Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 27-38
Analisis Kemiskinan Kota Semarang berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Indra Kertati*) Abstract Poverty is a complex issue in Indonesia. Semarang as the capital city of Central Java Province. According to the calculations of PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial), number of poor in Semarang is counted as many as 222.251 people, composed of men as 111.271 and women as much as 110.980 people. PPLS data in 2011 shows up a number of people in Semarang specifically has some issues in education field, labour, and health. Dealing with the poverty, the regional government launched a program called Gerdu Kempling as a poverty reduction strategies acceleration program by synergizing Semarang government's program with the stakeholder. This program has been running for 2 years and lowering a number of poor. Even though Gerdu Kempling has been done, the number of poor still much to be addressed. A good network needs to be strengthened with the society as well as the private by reviewing the program and activities which grow the Gerdu Kempling program for the up coming years. Key words : poverty, Semarang City, Gerdu Kempling, poverty alleviation. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena global yang terjadi di Indonesia, demikian halnya di Kota Semarang Jawa Tengah. Kemiskinan merupakan keadaan dimana seseorang tidak mampu hidup layak. Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dirincikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.1 Oleh karenanya kemiskinan menjadi konsep yang dinamis. Banyak ahli mendefinisikan dalam konteks yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun konsep dasarnya jelas, yaitu ketidakmampuan mengatasi kehidupan yaitu mencukupi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Dalam banyak perspektif kemiskinan ditimbulkan oleh berbagai faktor penyebab, dalam dimensi yang berbeda, tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi pada penduduk tersebut. Sangat sulit memastikan masalahmasalah, maupun sebab terjadinya kemiskinan. Tidak heran jika program-program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan juga sulit memastikan kebutuhan kaum miskin. Estimasi umum dari program biasanya berkisar 1
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) di Kopenhagen (Maret 1995)
*) Staf Pengajar Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang
pada pemenuhan kebutuhan dasar, tanpa melihat faktor penyebab terjadinya kemiskinan itu sendiri. Masalah kemiskinan bukan hanya masalah kesejahteraan kaum miskin namun masalah latar belakang mengapa mereka miskin. Kemiskinan bisa terjadi akibat kerentanan akibat ketidakseimbangan yang diterima kepada kelompok rentan, misalnya jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada kaum buruh, maka mereka akan langsung jatuh pada kondisi yang tidak berdaya. Bisa juga terjadi kerentanan pada petani dengan kapasitas tanah olahan yang terbatas, begitu terjadi kekeringan ataupun serangan hama, maka seketika petani menjadi terpuruk. Kemiskinan juga dapat terjadi akibat tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja. Pendidikan rendah, ketrampilan terbatas, akses informasi terbatas, yang mengakibatkan mereka terjebak pada kondisi serba terbatas dan masuk dalam perangkap eksploitasi tenaga kerja dengan jam bekerja panjang dan upah yang tiidak memadai. Rendahnya tawar menawar ini juga merupakan bentuk dependensi antara mereka yang rentan dan mereka yang memiliki kuasa untuk melakukan tindakan pemiskinan. Kemiskinan akibat ketidakpercayaan akan kemampuan diri karena penguasaan oleh mereka yang tidak miskin, khususnya penguasaan pemerintah dalam menentukan keputusan menyangkut diri kaum miskin, sehingga kaum miskin terjebak pada keadaan ketidakberdayaan menghadapi penyakit, kekumuhan, kekotoran, bahkan kematian. Kemiskinan bisa terjadi akibat terkurasnya semua penghasilan kaum miskin untuk konsumsi pangan dengan kualitas dan kuantitas yang terbatas. Mereka bekerja sehari untuk mencukupi kebutuhan konsumsi bersama keluarga mereka pada saat itu juga. Akibatnya bisa diprediksi kualitas produktivitas merekapun rendah karena asupan gizi yang terbatas.
Analisis Kemiskinan Kota Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka, sehingga dalam kompetensi merebut peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah. Parahnya kemiskinan terjadi akibat budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Budaya kemiskinan yang diwariskan antar generasi ini cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas, yaitu menghambat kemajuan dan harapan-harapan mereka di masa depan. Gunawan Sumodiningrat (2002)2 mengelompokkan sebab-sebab kemiskinan menjadi dua. Pertama, kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh faktor eksternal atau faktor yang berada di luar jangkauan individu. Faktor ini secara kongkrit lebih bersifat hambatan kelembagaan atau struktur yang memang bisa menghambat seseorang untuk meraih kesempatan-kesempatannya. Adanya kemiskinan jenis ini bukan karena seseorang itu malas atau tidak mampu bekerja. Karena itu kemiskinan jenis ini disebut juga kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kedua, adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Kaum konservatif penganut pandangan ini melihat kemiskinan jenis ini terjadi sebagai akibat dari nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut sekelompok masyarakat. Jadi tidak bermula dari struktur sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta , fatalis, tidak ada hasrat berprestasi dan sebagainya. Orang-orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya sendiri. Budaya itu, seperti dikonseptualisasikan oleh Oscar Lewis sebagai pencetus teori ini, adalah "budaya kemiskinan" (culture of poverty). Penduduk Kota Semarang mengalami kemiskinan, walaupun jumlahnya terbatas. Jumlah penduduk miskin Kota Semarang berdasarkan perhitungan PPLS adalah terendah di Jawa Tengah. Selain terendah, penduduk
(Indra Kertati) miskin kota Semarang termasuk dalam prioritas 3, yaitu berada di bawah garis kemiskinan atau tepat pada garis kemiskinan (Gambar 1). Tidak heran karena Kota Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah memiliki berbagai potensi andalan yang memungkinkan jumlah penduduk miskin terendah. Infrastuktur yang memadai, lapangan kerja yang terbuka, jumlah perusahaan yang banyak, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) yang memadai memungkinkan hal tersebut terjadi. Berdasarkan pendataan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase jumlah penduduk miskin Kota Semarang, tahun 2009 adalah 4,84%, tahun 2010 sebanyak 5,12% dan tahun 2011 adalah 5,68%. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Kota Semarang tahun 2009, jumlah penduduk miskin tahun 2010 sebesar 26,41%, sedangkan tahun 2011 menjadi 26,85% dengan jumlah penduduk 1.507.039 jiwa. Sementara jika dilihat dari jumlah rumah tangga dan jiwa, tahun 2009 jumlah warga miskin ada 111.558 rumah tangga dengan 398.009 jiwa (dengan jumlah penduduk 1.507.039 jiwa), sedangkan tahun 2011 naik menjadi 128.647 rumah tangga dengan 448.398 jiwa3. Jumlah ini merupakan jumlah terkecil di Jawa Tengah, bahkan berada di bawah rata-rata Jawa Tengah dan nasional. Meskipun jumlahnya kecil, namun persoalan kemiskinan yang terjadi Kota Semarang cukup unik. Analisis penduduk miskin ini akan melihat variabel kemiskinan dalam perspektif pendataan PPLS yang dapat menggambarkan kondisi kemiskinan yang riil dan dapat menjadi acuan dalam penanganan penduduk miskin. PRIORITAS 1
PRIORITAS 2
0%
PRIORITAS 3
4%
96% Gambar 1 Jumlah Rumah Tangga PPLS 2011 Menurut Klasifikasi Kemiskinan Dan Kecamatan Metode Kajian Metoda kajian dalam tulisan ini adalah kajian data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung. Data sekunder biasanya diterbitkan oleh institusi
2
Sumodiningrat, Gunawan dkk.; Kemiskinan Teori Fakta dan Kebijakan, Impac, Jakarta, 2002.
28
3
Data PPLS Jawa Tengah, TKPKD Jateng, 2012
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 27-38 tertentu. Menurut Thomas V (2011) analisis data sekunder merupakan analisis data survei yang telah tersedia. Analisis ini mencakup interpretasi, kesimpulan atau tambahan pengetahuan dalam bentuk lain. Semua itu ditunjukkan melalui hasil penelitian pertama secara menyeluruh. Analisis bentuk ini merupakan analisis ulang (re-analysis) dalam bentuk atau sudut pandang berbeda dari laporan pertama.4 Analisis data sekunder memiliki kelebihan yaitu selain menghemat, juga cakupan yang sangat luas bahkan dapat untuk basis pengujian hipotesis.5 Kajian ini bukan menguji hipotesa namun analisis deskriptf kualitatif berbasis hasil perhitungan penduduk miskin oleh BPS berdasarkan perhitungan PPLS tahun 2010. Hasil Kajian Perfomance data akan dilihat dari kondisi penduduk miskin berdasarkan usia dan tumah tangga perempuan, klasifikasi usia, pekerjaan yang digeluti, status pekerjaan, pendidikan, kecacatan, air minum, status bangunan, sumber penerang utama, bahan bakar, sumber air minum, dan tempat buang air besar. Menurut pendataan PPLS tahun 2011, jumlah pendudk miskin Kota Semarang sebanyak 222.251 jiwa, dengan jumlah perempuan miskin sebanyak 110.980 jiwa dan laki-laki 111.271 jiwa. Jumlah pendudk miskin perempuan 49,93%, atau hampir mencapai 50%. Jumlah ini tentu sangat istimewa karena kelompok rentan ini jumlahnya hampir seimbang dengan laki-laki. Dimensi kemiskinan yang menimpa perempuan ini adalah akibat posisi tawar yang lemah di dalam masyarakat, kultur yang represif, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi di ruang publik dan domestik, serta tidak pedulinya negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat guna menentaskan perempuan dalam kemiskinan6. Dalam dunia mikro kredit misalnya, menyebutkan bahwa bantuan mikro kredit adalah sarana yang efektif dalam membasmi kemiskinan pada perempuan, sayangnya berdasarkan data Women’s World Banking, dana mikro kredit yang baru dikucurkan oleh pihak perbankan kepada perempuan di Indonesia masih berkisar 7% dari jumlah keseluruhan nasabah. Selain itu, Human Development Report tahun 2004 menunjukkan bahwa pembangunan gender di Indonesia amat rendah yaitu di peringkat 907. Dibandingkan dengan negara Asean saja, Indonesia berada di peringkat
terendah. Capaian pembangunan gender Kota Semarang yang ditunjukkan dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) sangat bagus yaitu 72,478, menduduki rangking 5 di Jawa Tengah. Sayangnya jika dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mencapai 77,429, yaitu lebih besar dari IPG, yang artinya kesenjangan itu nyata adanya. Perhitungan agregat dari IPG meunjukan kontribusi perempuan kota Semarang hanya 34, 38 %.10 Kemiskinan kemudian memaksa perempuan mencari penghidupan di rantau. Tingkat perdagangan perempuan dan anak Indonesia meningkat tiap tahunnya. Tahun 2000 ditemukan fakta bahwa 74.616 orang tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri adalah korban trafficking. Di level negara sendiri belum ada hukum yang secara kuat menjerat para pelaku trafficking11. 4.310 3.616
1.579
< 45
45 - 60
> 60
Gambar 2 Jumlah Ruta Perempuan Tahun 2011 Kerentanan perempuan miskin akan menjadi makin berat manakala perempuan miskin harus menanggung beban seperti anak, orang tua, keluarga terdekat, maupun cucu. Beban berat ini dipikul oleh perempuan yang menjadi kepala rumah tangga. Pilihan yang biasanya diambil adalah hidup dalam keterbatasan, melakukan pembiaran, dan meninggalkan pada keluarga di rumah yang juga perempuan untuk mengadukan nasib ke kota maupun ke luar negeri. Urbanisasi akhirnya diambil sebagai pilihan. Menurut penelitian Dr. Saratri, arus migrasi masuk ke Kota Semarang dilihat dari kelompok umur 25-29 sampai 35-39, baik laki-laki maupun perempuan, telah terjadi kenaikan yang cukup tajam. Tahun 1997, kelompok umur 25-29 jumlah penduduk lak-laki sekitar 56.409 jiwa dan penduduk perempuan 57.827 jiwa. Sepuluh tahun kemudian atau tahun 2007, jumlahnya melonjak tajam, yakni masingmasing 78.093 jiwa untuk laki-laki dan 77.228 jiwa untuk perempuan. Sebagian besar bekerja
4
Vartanian, Thomas P, Secondary Data Analysis, Oxford Univercity Press.inc, 2011. 5 Sarah Boslaugh, Secondary Data Sources for Public Health A Practical Guide Washington University, St Louis, 2007 6 Mengurai Kemiskinan, Jurnal Perempuan Edisi 42 7 ibid
8
Data IPM,IPG dan IDG, Kabupaten/Kota, KPPPA 2012
9
ibid
10 11
opcit opcit
29
Analisis Kemiskinan Kota Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) di sektor informal atau jasa sebesar 81,9%. Dan hanya 18,09% yang bekerja di sektor industri12. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terjadi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya mencicil atau menyewa rumah, dan kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan (Komarudin,1997)13. Data PPSLS menunjukan jumlah rumah tangga yang dipimpin perempuan cukup tinggi. Jumlah rumah tangga (ruta) miskin yang dikepalai oleh perempuan (ruta perempuan) tahun 2011 adalah 9.505. Kondisi ruta perempuan pada usia kurang dari 45 tahun adalah sebanyak 1.579, usia 45-60 tahun sebanyak 3.616 dan tahun 2011 dan usia diatas 60 tahun sebanyak 4.310. Jumlah ini 10,7% dari seluruh ruta di Kota Semarang14. Besarnya jumlah ruta pada usia diatas 60 tahun ini cukup memprihatinkan, mengingat usia ini masuk dalam usia rentan. Perempuan miskin pada usia di atas 60 tahun dan menjadi ruta biasanya merupakan perempuan yang telah ditinggal oleh suaminya, memiliki pengasuhan anak dan cucu, ataupun tinggal sendiri. Ini menjadi beban kelompok usia produktif bagi keluarga, maupun oleh pemerintah. Perempuan miskin lebih rentan karena ruang gerak dalam mengkomunikasikan kehidupannya makin terbatas. Mereka akan mengandalkan keluarga terdekat atau tetangga. Dilihat dari lapangan kerja yang digeluti, penduduk miskin usia 18-60 tahun sebagian besar adalah jasa (24.459 orang), industri pengolahan (16.315 orang), perdagangan (17.356 orang), pekerja bangunan (13.477 orang), lainnya dapat dilihat pada Gambar 2. Semua pekerjaan yang digeluti sebagian besar adalah sektor informal, yaitu sebuah pekerjaan yang tanpa ikatan, tidak tetap, dinamis, diatur sendiri. Pekerjaan tersebutlah yang mampu diraih. Pekerjaan ini mengandung kerentanan yang tinggi. Pada satu situasi pekerjaan ini tidak menghasilkan uang, keluarga akan dipertaruhkan. Jenis pekerjaan penduduk miskin tertinggi adalah jasa, perdagangan, industri pengolahan sebagaimana yang tertera pada Gambar 3. Berdasarkan usia, ternyata cukup banyak anak-anak miskin yang harus bekerja. Penduduk yang berusia 5 sampai kurang dari 15 tahun 12
Dr.Saratri Wilonoyudho, M.Si. dalam disertasinya yang berjudul Determinan dan Dampak Urbanisasi Berlebih di Kota Semarang, 2011. 13 Komarudin.1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Yayasan REI: PT. Rakasindo 14 Opcit data PPLS Jawa Tengah, 2012.
30
(Indra Kertati) yang bekerja mencapai 57,74% atau 59.258 orang dari 102.630 orang. Artinya jumlah pekerja anak cukup besar. Jika dirunut dari Konvensi International Labour Organization (ILO) No.138 (disahkan Pemerintah Indonesia melalui UU No.1 Tahun 2000) mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja menyatakan bahwa, usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika pekerjaan itu tidak mengganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan, dan pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun. Fakta di atas menunjukan bahwa masih banyak anak berusia kurang dari 15 tahun yang harus bekerja di Semarang. Data dari ILO menyebutkan bahwa, ada 218 juta anak usia 5-17 tahun di dunia yang dikategorikan sebagai pekerja. Jumlah itu menurun dari tahun 2002 yang mencapai 246 juta. Sebanyak 100 juta di antara pekerja anak adalah anak-anak perempuan. Mereka bekerja di tempat-tempat berisiko tinggi seperti perbudakan, pornografi, dan prostitusi. Di dalam laporan ILO yang baru, jumlah keluarga miskin semakin bertambah. Kondisi itu dipastikan akan memunculkan lebih banyak anak yang putus sekolah dan dipaksa untuk bekerja, sementara yang dikorbankan terutama adalah anak perempuan. Jika dikaitkan dengan budaya, banyak keluarga yang memilih untuk mempertahankan anak laki-laki di sekolah daripada anak perempuan dalam kondisi krisis ekonomi. Banyak anak perempuan yang tidak punya akses untuk ke sekolah dan dalam bekerja, kondisi kesehatan, keamanan dan moral mereka berada dalam kondisi membahayakan. Pekerja anak diartikan sebagai anak yang harus melakukan pekerjaan yang menghalangi mereka bersekolah dan membahayakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Manik, 2006). Pekerja anak juga diartikan sebagai anak yang aktif bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena tidak semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai pekerja ( Indaryati dan 15 Lisna (eds), 2005:75). Jika demikian halnya, beberapa hak anak hilang karena mereka tidak mampu menikmati sekolah, dan masa kecil yang harusnya dinikmati. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan, karena jika terjadi tekanan terhadap penduduk miskin, maka jumlah ini akan bertambah dengan cepat.
15
Catatan MenegPPPA, 2006
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 27-38 24.359 17.356 13.477
16.315 4.024 35
259 525 174 379 184 288
322
1.515
6.890
4.978 409 278
Sumber : Data PPLS, TKPKD Jateng 2013
Gambar 3 Jumlah Penduduk Miskin Usia 18 – 60 Tahun yang Bekerja
Penduduk Kota Semarang yang berusia 15 tahun hingga kurang dari 60 tahun yang bekerja sebanyak 24.383 jiwa, yang tidak bekerja sebanyak 11.161 jiwa. Kondisi ini menunjukan pengangguran pada usia produktif dari penduduk miskin, sementara pada kelompok dengan usia lebih dari 60 tahun yang bekerja sebanyak 7.946 jiwa, sedangkan yang
tidak bekerja sebanyak 14.261 jiwa, artinya kelompok rentan (manula) memperjuangkan kehidupan dengan bekerja, sementara 14.261 jiwa tidak bekerja merupakan kelompok rentan yang tidak terlindungi. Kemungkinan adalah mereka di bawah ampuan keluarga, atau terlantar. Data selengkapnya tersaji dalam Gambar 4.
59.258 43.372 24.383
Bekerja
Tidak Bekerja
Bekerja
5 - < 15
11.161
7.946
Tidak Bekerja
Bekerja
15 - < 60
14.261
Tidak Bekerja > 60
Sumber : Data PPLS dari TKPKD Provinsi Jateng, 2012 Gambar 4 Status Bekerja Penduduk Miskin Kota Semarang Berdasarkan (Usia) Kemiskinan juga mengakibatkan penduduk miskin tidak mampu mengenyam pendidikan lebih baik. Ketidakmampuan menikmati penddikan ini dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama karena tidak ada minat belajar dari kelompok miskin, akibat waktu belajar terpaksa harus digantikan dengan bekerja. Kedua, karena rendahnya akses pelayanan dasar pendidikan dari kelompok miskin yag tidak terjangkau. Dilihat dari jumlah penduduk miskin usia 7-18 tahun yang tidak sekolah mencapai 8.197 atau 14,95% dari jumlah penduduk miskin yang harusnya sekolah. Dari data tersebut, pada
anak miskin usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 3,55%, pada usia 13-15 tahun yang tidak menikmati bangku sekolah sebanyak 10,13, sedangkan pada anak 16-18 tahun yang tidak mampu menikmati bangku sekolah sebanyak 45,13%. Kondisi ini dipicu dari tekanan ekonomi keluarga yang memaksa secara langsung maupun tidak langsung anakanak harus bekerja membantu orang tua. Data ini signifikan engan besarnya jumlah pekerja anak di Kota Semarang. Selengkapnya data tersaji pada Gambar 5 berikut:
31
Analisis Kemiskinan Kota Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)
(Indra Kertati)
26.904
12.702 7.023
7-12 th
13-15 th
5.776
16-18 th
990
1.431
7-12 th
13-15 th
Jumlah Anak yang Bersekolah
16-18 th
Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah
Jumlah Anak yang Bersekolah 7-12 th Jumlah Anak yang Bersekolah 16-18 th Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah 13-15 th
Jumlah Anak yang Bersekolah 13-15 th Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah 7-12 th Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah 16-18 th
Sumber : Data PPLS dari TKPKD Provinsi Jateng, 2012 Gambar 5 Pendidikan Masyarakat Miskin Kerentanan anak-anak miskin bukan hanya pada pekerjaan yang digeluti saja, namun termasuk pendidikan yang ditamatkan. Partisipasi sekolah tertinggi hanya di level terendah yaitu SD sebesar 55,62% dari total anak-anak miskin yang bersekolah. Selanjutnya anak-anak miskin yang menikmati bangku sekolah hingga SMP dan MTs sebanyak 26,53%, SMA dan MA seanyak 17,20% dan yang melanjutkan perguruan tinggi sebanyak 0,66%. Dalam perspektif gender, Gambar 5 menunjukan jumlah anak laki-laki yang
menikmati bangku SD,SMP dan SMA lebih banyak dibandingkan perempuan, namun yang menarik pada pendidikan berbasisi keagamaan anak perempuan lebih banyak dibandingkan anak laki-laki, bahkan di erguruan tinggipun anak-anak perempuan lebih banyak yang bersekolah dibandingkan anak laki-laki. Fenomena ini menunjukan anak laki-laki dalam struktur keluarga lebih diperhatikan karena merupakan tulang punggung keluarga, yang diharapkan akan menggantikan peran orang tua mereka.
15.343 13.697
6.650 7.183 4.589 4.606
P
L
SD/SDLB/Paket A
643
630
P
L
M.Ibtidaiyah
P
323
303
P
L
L
SMPT/SMPLB/Paket B
P
L
M. Tsanawiyah SMA/SMK/SMALB/Paket C
105
73
P
L M. Aliyah
209
150
P
L
Perguruan Tinggi
Sumber : Data PPLS dari TKPKD Provinsi Jateng, 2012 Gambar 6 Partisipasi Sekolah Masyarakat Miskin Kota Semarang Dalam perspektif kesehatan, data PPLS menunjukan terdapat 1,16% penduduk miiskin yang mengalami cacat, dari total 222.251 jiwa penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin yang cacat ini merata dari umur kurang dari 15 tahun hingga di atas usia 60 tahun. Jumlah tertinggi pada usia produktif yaitu usia 15-45 tahun. Cukup menarik adalah, dari jumlah penderita,
32
sebagian besar adalah laki-laki pada usia kurang dari 60 tahun, namun pada usia lebih dari 60 tahun jumlah tersebut berbalik lebih besar pada perempuan. Kecacatan ini dari cacat lahir, hingga cacat akibat kecelakaan kerja. Kecacatan sejak lahir bisa bawaan atau akibat asupan gizi kurang pada saat ibu mengandung. Lepas dari itu semua, jumlah ini walaupun tidak lebih dari 2%,
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 27-38 namun harus mendapatkan penanganan yang
serius.
599 448
395 312
281 195
154
103
P
L
P
0 - < 15
L
P
15 - < 45
L
P
45 - < 60
L > 60
Sumber : Data PPLS dari TKPKD Provinsi Jateng, 2012 Gambar 7 Jumlah Individu yang Menderita Kecacatan (Usia) 1.841 1.394
1.246 904 669 455 99
111
P
L < 15
P
L
15 - < 45
P
L
45 - < 60
P
L > 60
Gambar 8 Penyakit Kronis (Individu) Data PPLS mencatat orang miskin dengan penyakit kronis sebanyak 3,01% dari total penduduk miskin. Umumya mereka yang telah berusia di atas 45 tahun, meskipun demikian terdapat pula penderita penyakit kronis usia dibawah 15 tahun (Gambar 7). Penyakit-penyakit pada orang miskin antara lain hepatitis C, demam berdarah, kusta, chikungunya, herpes, dan campak. Dalam perspektif gender penyakit kronis ini lebih banyak dialami perempuan. Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith dalam bukunya Economic Development (2006) menyatakan perempuan miskin rentan dalam hal kesehatan. Mereka melukiskan di berbagai permukiman kumuh di banyak kota metropolitan di kawasan Asia, polutan-polutan mengancam kesehatan. Perempuan-perempuan yang berada di tempat-tempat kumuh hampir tidak menyadari bahwa asap, polutan, buangan limbah telah mengancam kesehatan mereka. Kalaupun mereka sadar, mereka tidak bisa
berbuat banyak, karena tidak ada alternatif pilihan bagi mereka16. Semua keluarga harus berada pada lingkungan yang tidak sehat, masih ditambah asap rokok suami dan anak-anak lakilaki. Tidak heran bronchitis, seringkali menghinggapi hampir 90 persen keluarga miskin.17 Tanah dan rumah sangat berarti bagi penduduk miskin. Tanah dan rumah merupakan harta berharga yang berarti, yang memberikan kepastian bagi mereka untuk bisa menjalani hidup. Status kepemilikan lahan penduduk miskin kota Semarang cukup baik, karena 56,60% berstatus milik sendiri, 10,60% kontrak dan sisanya sebesar 32,80% lain-lain, seperti di jalanan, di pasar, di pinggir jalan dan numpang keluarga (Gambar 8). Jumlah penghuni lahan tersebut biasaya berkisar 6-7 orang. Dari
16
P. Todaro, Stephen C. Smith dalam bukunya Economic Development, Erlangga, 2006 17 ibid
33
Analisis Kemiskinan Kota Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) kondisi tersebut, jumlah penduduk mskin yang rawan berada di luar rumah masih tinggi.
30.809 17.854 5.770 Milik sendiri
Kontrak/Sewa
Lainnya
Gambar 9 Status Penguasaan Lahan Penduduk miskin kota membutuhan sanitasi dan air bersih. Menurut catatan Unicef (2012), di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat. Penyakit yang terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktekpraktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak. Air Kemasan Air Ledeng Sumber Terlindung Sumber Tidak Terlindung 4% 6%
45%
45%
Gambar 10 Jumlah Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih Penduduk miskin Kota Semarang sebanyak 45% menggunakan air ledeng untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, 45% menggunakan air terlindung, 4% menggunakan sumber air yang tidak terlindung dan 6% menggunakan air kemasan. Bagi penduduk yang menggunakan air tidak terlindung, biasanya memiliki
34
(Indra Kertati) kecenderungan kesehatan yang rentan. Penggunaan air tidak terlindung secara terus menerus bukan saja meningkatkan kerentanan, namun sekaligus membuat makin rendahnya kualitas hidup. Menurut catatan Bank Dunia (2012), dampak buruk yang dapat diakibatkan oleh infrastruktur sanitasi yang buruk adalah terhadap kesehatan umum, perekonomian, dan lingkungan. Bank Dunia mencatat, dari empat penyebab utama kematian balita di Indonesia, dua diantaranya yakni diare dan tipus, ditularkan melalui kotoran manusia (feses), dan terkait langsung dengan kurangnya air bersih, sanitasi, dan isu kebersihan. Sulitnya akses air bersih juga menyebabkan rumah tangga miskin, terutama perempuan dan anak-anak, menghabiskan banyak waktu untuk mengambil air. Penyediaan air bersih juga berkaitan dengan ketersediaan jamban bagi keluarga miskin. Dari jumlah penduduk miskin yang ada hanya 7% yang tidak menggunakan jamban. Mereka membuang air besar di sungai maupun pekarangan. Sedangkan 32% menggunakan jamban umum, dan sisanya menggunakan jamban sendiri (Gambar 11). Sementara fasilitas pembuangan akhir terdapat 31% yang masih menggunakan selain tangki/ Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL). Kondisi ini dipastikan bahwa penduduk miskin belum tercukupi kebutuhan dasarnya (Gambar 12). 7% Jamban Sendiri 32% 61%
Jamban Bersama/Umum Tidak Ada Fasilitas Tempat BAB
Gambar 11 Fasilitas Buang Air Besar Data temuan United Nations International Children's Emergency Fund (Unicef) bahwa 26% orang Indonesia masih buang air besar di alam terbuka, alias bukan di jamban yang layak. Sebanyak 26% warga Indonesia yang perilaku sanitasinya begitu sama dengan 70 juta penduduk Indonesia masih buang air sembarangan. Apa maknanya? Ternyata menurut mereka, dari 100.000 bayi yang lahir di Indonesia, 75 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun akibat terserang diare yang sangat berkorelasi dengan sanitasi umum itu. Bukan kotoran manusia langsung yang menimbulkan diare bagi anak-anak itu, melainkan melalui air minum dan cuci yang terkontaminasi bakteri diare dari kotoran yang
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 27-38 dibuang bukan di jamban-jamban tertutup itu.18 Angka 7% bagi Kota Semarang cukup besar sehingga perlu ada intervensi khusus karena bukan saja menyangkut estetika namun menyangkut pula kesehatan dan hak hidup. Tangki/ SPAL
31%
Pembuangan Akhir Tinja Selain Tangki/SPAL
69%
Gambar 12 Fasilitas Pembuangan Akhir Pembahasan : Implikasi dalam Program Pembangunan Meskipun jumlah penduduk miskin Kota Semarang relatif sedikit dibandingkan dengan kabupaten kota lain di Jawa Tengah, namun kota ini tetap mengupayakan meminimalisir jumlah penduduk miskin. Dari data sebagaimana tersebut dalam poin C, terdapat beberapa persoalan dasar dari keberadaan penduduk miskin, yaitu berkaitan dengan pendidikan , ketenagakerjaan, kesehatan dan infrastruktur. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menyusun strategi yaitu : (1) strategi peningkatan pendapatan melalui peningkatan produktifitas, dimana masyarakat miskin memiliki kemampuan pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya maupun politik; (2) strategi pengurangan, melalui pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi, dan (3) strategi peningkatan kepedulian dan kerjasama stakeholder dalam membantu masyarakat miskin19. Strategi ini dikembangkan dalam pola Tri Bina yaitu Bina Manusia, Bina Lingkungan dan Bina Usaha. Pola ini untuk menjawab persoalan yang berkembang,. Untuk memenuhi kebutuhan dasar dan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan serta perubahan pola pikir dilakukan dengan pola Bina Manusia. Program yang dijalankan seperti beasiswa walikota, imunisasi, gerakan bebas jentik, KLB, Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT AS), dana kematian, Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), penguatan kelembagaan dan jaringan KB, pelatihan ketrampilan dan lain-lain. Pengembangan Bina Usaha ditempuh agar mampu menciptakan wirausaha baru sehingga dapat membuka kesempatan kerja dan mendorong perbaikan 18
Berita di Antara 27 Januari 2012
19
http://p3b.bappenas.go.id
pendapatan keluarga. Upaya yang ditempuh adalah melalui bina usaha industri kecil menengah (IKM), temu usaha dan promosi, dagang produk unggulan industri kecil dan menengah, bantuan peralatan dan pelatihan IKM. Bina Lingkungan dilakukan guna memfasilitasi perbaikan lingkungan masyarakat miskin agar dapat menjalankan kehidupan dan usahanya dengan aman, sehat dan nyaman. Upaya yang dijalankan melalui rehabilitasi gedung puskesmas, peningkatan pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), rehabilitasi SD, rumah pintar, revitalisasi pasar, pembinaan pos kamling, peningkatan sarana prasarana lingkungan permukiman, pembangunan jalan, jembatan, drainase, penanganan banjir, pembangunan dermaga jeti, dan pembangunan terminal. Di luar itu, terdapat berbagai program yang berasal dari berbagai sumber seperti Jamkesmas, Jamkesda, beasiswa, bantuan alat kontrasepsi, kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD), Resik-Resik Kutho, Dana Kontingensi, Japan Social Development Fund (JSDF), PMT Panti, Usaha Ekonomi Produktif (UEP), UKM Raskin dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Melihat besarnya program penanggulangan kemiskinan, optimistis akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin sebagaimana yang ditargetkan oleh Kota Semarang. Jumlah dana penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan melalui APBD Kota Semarang tahun 2012 mencapai Rp89.213.459.813,00. Bantuan pemerintah pusat dan provinsi mencapai Rp14.046.771.000,00 dan bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) dan swadaya masyarakat mecapai Rp2.253.069.50020,00. Total dana penanggulangan kemiskinan Kota Semarang tahun 2012 adalah Rp105.513.300.313,00. Jika melihat jumlah dana tanpa melihat jumlah penduduk miskin, terlihat cukup besar, namun jika dilihat jumlah sasaran dan dihitung rata-rata penerimaan tiap penduduk, terasa kecil. Asumsi jika dana penanggulangan kemiskinan tersebut dalam bentuk uang, maka setiap penduduk hanya akan memperoleh dana sejumlah Rp474.748,00. Jika setiap keluarga miskin memiliki anggota keluarga 5 orang, penerimaan rumah tangga miskin sebesar Rp2.373.742,00 atau setiap bulan menikmati dana penaggulangan kemiskinan Rp197.812,00. Nilai ini jika dibandingkan rata-rata paritas daya beli tentulah tidak sebanding. Paritas daya beli Kota Semarang tahun 2011 adalah sebesar Rp649.260,00 , meningkat seiring dengan 20
Buku Gerdu Kempling 2013
35
Analisis Kemiskinan Kota Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) semakin tingginya kebutuhan hidup dibandingkan tahun 2010 yang tercatat sebesar Rp646.940,0021 . Artinya menurunkan penduduk miskin dengan angka 105 milyar masih belum mamu mendongkrak turunnya penduduk miskin secara signifikan. Perlu ada evaluasi apakah jumlah dana tersebut telah mampu meringankan beban kaum miskin, atau seberapa besar alokasi dana murni yang sesungguhnya dapat dinikmati kaum miskin. Untuk menurunkan secara signifikan, perlu upaya spesifik dengan memperhatikan data LPLS sebagaimana terungkap di atas. Misalnya ada persoalan berkaitan dengan pekerja anak dari golongan anak miskin sebesar 59.258 anak di Kota Semarang yang berusia di bawah 15 tahun yang bekerja. Jumlah ini sangat besar untuk ukuran Kota Semarang dengan jumlah penduduk 1,55 juta jiwa. Untuk memecahkan masalah ini, langkah yang dilakukan bisa dengan mengembalikan anak untuk melanjutkan sekolah, dan meningkatkan pendapatan keluarga. Pola lain yang bisa dilakukan adalah dengan mendekatkan pekerja anak pada fasilitas dasar pendidikan yang mudah diakses. Persoalan pendidikan, yaitu jumlah anakanak miskin yang mengenyam pendidikan sebagian besar hanya SD, harus dicari akar masalahnnya, apakai minat yang rendah, beban ganda yang harus dipikul atau minimnya akses yang harusnya dijangkau. Menelusuri penyebab mengapa mereka terhambat pendidikannya akan memudahkan mencari solusi. Permasalahan sanitasi dan infrasrtuktur dari aspek teknis sebenarnya mudah untuk dilaksanakan, sayangnya masih bayak aspek teknis yang tidak terjangkau, misalnya kebiasaan dalam menjaga kualitas lingkungan yang berimplikasi pada kesehatan. Membuang sampah, membuang hajat, mengelola sanitasi dll, bukan saja memerlukan penanganan teknis, namun juga penanganan sosial. Menurut catatan Unicef, buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan sosial yang perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17% rumah tangga di Indonesia pada tahun 2010 atau sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi lebih dari sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada penduduk perkotaan. WHO-Unicef (JMP) juga mencatat, untuk air bersih yang akan digunakan, Indonesia harus mencapai tambahan cakupan 21
Buku IPM Kota Semarang, 2011
36
(Indra Kertati) pelayanan air bersih sebesar 36,3 juta orang pada tahun 2015. Saat ini, bahkan di provinsi yang berkinerja lebih baik (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari tiga rumah tangga tidak memiliki akses ke persediaan air bersih. Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan, akses air bersih pada tahun 2010 telah mengalami penurunan kira-kira sebesar 7%. Pembalikan ini pada umumnya disebabkan oleh penurunan di daerah perkotaan(sebesar 23% sejak tahun 200722). Senada yang dilaporkan Unicef dan World Health Organization (WHO), Kota Semarang mengalami krisis pemanfaatan air bersih. Pada kelompok miskin yang berada di daerah pantai, krisis tersebut lebih terasa. Krisis air bersih dapat terjadi akibat lingkungan yang tidak mendukung, seperti banjir rob. Dalam pemenuhan kebutuhan akan air bersih, Semarang kota bagian bawah seperti Kecamatan Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur, Gayam Sari, Genuk, dan Manyaran, tidak dapat memanfaatkan air permukaan sebagai sumber air bersih karena air bersifat payau. Penyebaran air payau kota Semarang semakin luas dan kadar garam semakin tinggi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan air bersih dengan pemanfaatan air tanah melalui sumur gali dan sumur pompa. Hingga saat ini pemanfaatan air tanah di kawasan pantai Semarang dilakukan secara berlebihan tanpa memperhitungkan dampak yang akan terjadi, yaitu: air laut begitu mudah meresap ke darat (rob), bahkan terjadi intrusi air laut. Kondisi menyolok terjadi di sekitar Tawangsari, Tambaklorok, Genuksari, Wonosari, Tambaksari, dan Bedono23. Daerahdaerah tersebut merupakan kantong kemiskinan. Persoalan ini tentu saja bukan sekedar infrastruktur dan kondisi lahan yang tidak memadai, lebih dari itu adalah sistem sosial yang berjalan tidak memungkinkan berkembangnya kearifan atas kondisi alam yang telah terdeplesi. Untuk itulah persoalan yang harus dipecahkan adalah bukan saja bagaimana pembangunan infrastruktur yang tepat , namun bagaimana membangun sistem sosial yang memungkinkan infrastruktur tersebut dapat dijalankan dengan baik. Persoalan kesehatan kaum miskin menjadi persoalan yang tidak sederhana, yaitu jumlah orang cacat dan penderita penyakit kronis, hal ini berkaitan dengan kondisi fisik tempat tinggal. Kondisi kumuh yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi 22
Laporan Unicef 2012
23
Agus Suyanto, http://www.pustaka.ut.ac.id
Riptek Vol. 7, No. 1, Tahun 2013, Hal. 27-38 kualitas kesehatan. Persoalan ini tidak akan selesai dengan program Jamkesmas, maupun Jamkesda, namun bagaimana masyarakat ditingkatkan kesadarannya untuk memelihara lingkungan dimana mereka tinggal. Persoalan ini juga bukan sekedar persoalan yang mudah ditangani dengan penyuluhan, karena ini menyangkut kebiasaan yang telah melembaga. Diperlukan upaya kecil yang terus menerus sehingga kesadaran akan kesehatan diri dan lingkungan makin menguat. Untuk mencapai hal tersebut, perlu ada sinkronisasi program dengan mendasarkan pada data PPLS yang dirumuskan berdasarkan urusan yang diampu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Hal ini ditempuh karena kemiskinan adalah mainstreaming, menjadi isu yang cross catting yang mengarusutama pada beberapa urusan. Berkaitan dengan tingginya pekerja anak miskin, bukan saja menjadi urusan ketenagakerjaan untuk menyelesaikannya, namun urusan pendidikan, urusan pemberdayaan perempuan bahkan urusan pemberdayaan masyarakat dan desa juga ikut bertanggungjawab. Data PPLS cukup lengkap, bahkan by name dan by adress, sayangnya data ini belum dianalisis sesuai kebutuhan. Pemerintah daerah dapat menggunakan data PPLS untuk menentukan kelompok sasaran dengan tepat. Data PPLS digelar untuk dapat dikaji dengan detail permasalahan yang terjadi. Dari data ini Bappeda dapat menetapkan SKPD mana yang dapat menangani permasalahan kemiskinan. Pola ini jika dikembangkan secara luas akan menajamkan sasaran pembangunan, khususnya dalam pengentasan kemiskinan di Kota Semarang. Menurut web BPS, Prosedur Permintaan dan Pemanfaatan Data PPLS 201124 adalah sebagai berikut: 1. Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial (selanjutnya disebut Basis Data Terpadu) dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Basis Data Terpadu ini dimaksudkan sebagai referensi penetapan sasaran bagi Program Perlindungan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. 2. Pemerintah Daerah mengakses data dari Basis Data Terpadu untuk penyelenggaraan programnya dengan menyampaikan keterangan mengenai Program yang akan dilaksanakan (menggunakan format yang telah disediakan). Keterangan ini dibuat untuk setiap program yang akan
24
menggunakan nama dan alamat dari Basis Data Terpadu 3. Pemerintah Daerah menunjuk instansi (SKPD) terkait dan contact person yang akan menjadi mitra kerja sekretariat TNP2K dalam merumuskan kebutuhan data untuk Program yang akan menggunakan Basis Data Terpadu. 4. Pemerintah Daerah menandatangani Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa nama dan alamat dari Basis Data Terpadu hanya akan digunakan untuk keperluan penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial. Surat ini disampaikan setelah Pemerintah Daerah dan Sekretariat TNP2K merumuskan keperluan data untuk Program seperti dalam butir no.3 di atas. Surat pernyataan ini menggunakan format yang akan disediakan kemudian. 5. Data disediakan oleh Sekretariat TNP2K tanpa biaya apapun. Akses yang mudah ini selain membuat kabupaten/kota kaya akan data, juga memiliki dasar yang kuat dalam menjalankan program dan kegiatannya. Simpulan dan Rekomendasi 1. Kota Semarang merupakan kota dengan jumlah penduduk miskin terendah di Jawa Tengah. Rendahnya jumlah penduduk miskin ini bukan berarti Kota Semarang tidak memiliki masalah terhadap kemiskinan. Hasil analisis data PPLS menunjukan Kota Semarang memiliki masalah berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ketenagakerjaan kaum miskin. 2. Jumlah dana yang digulirkan untuk penaggulangan kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin masih relatif kecil, sehingga diperlukan upaya keras agar kebutuhan dan permasalahan penduduk miskin dapat teratasi. 3. Uraian program kegiatan dengan pendanaan dari APBD kurang menyasar langsung pada masyarakat miskin, hal ini akibat penyusunan program dan kegiatan belum mengacu pada kondisi yang tercermin dalam data PPLS, sehingga program dan kegiatan spesifik belum terarah dengan baik. 4. Agar program dan kegiatan tepat sasaran, penggunaan data baik PPLS maupun data relevan menjadi penting, karena data akan mengungkap siapa yang mengalami masalah, lokasi, bahkan nama orang yang mengalami kerentanan. 5. Melalui data PPLS pemerintah kita dapat memetakan permasalahan yang dapat diselesaikan oleh SKPD sesuai dengan pokok masalah yang dialami oleh penduduk miskin.
www.bps.go/id
37
Analisis Kemiskinan Kota Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 6. Segera dilakukan evaluasi terhadap programprogram penanggulangan kemiskinan Kota Semarang, sehingga dapat diketahui seberapa besar kontribusi program dan kegiatan yang benar-benar telah mampu mengentaskan masyarakat miskin. DAFTAR PUSTAKA Boslaugh, Sarah. 2006. Secondary Data Sources for Public Health, A Practical Guide. St. Louis : Washington University. Gerdu Kempling 2013 IPM Kota Semarang, 2011 Jurnal Perempuan Kemiskinan.
Edisi
42
Mengurai
Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Yayasan REI. PT.Rakasindo. Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) di Kopenhagen (Maret 1995) KPPPA. 2012. Data Kabupaten/Kota.
IPM,IPG
dan
IDG,
Laporan Unicef 2012 Sumodiningrat, Gunawan dkk. 2002. Kemiskinan Teori Fakta dan Kebijakan. Jakarta : Impac. TKPKD Jawa Tengah. 2012. Data PPLS Jawa Tengah. Todaro, Stephen C. Smith. 2006. Economic Development. Jakarta : Erlangga. Vartanian, Thomas P. 2011. Secondary Data Analysis. Oxford University Press.inc. Wilonoyudho, Saratri. 2011. disertasi Determinan dan Dampak Urbanisasi Berlebih di Kota Semarang. www.bps.go/id
38
(Indra Kertati)