JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
ANALISIS KEMAMPUAN DANA BAGI HASIL DAN DANA ALOKASI UMUM DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN BELANJA DAERAH KABUPATEN KEEROM Aldrin W. Gainau* *Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UNCEN Kampus Baru Uncen – Waena, Jayapura
Abstract : This article analyzes the Capabilities of Sharing Fund and the General Allocation Fund in meeting the needs of Keerom Regional Budget.The data used in the analysis is the data source of revenue Keerom Year 2003-2005. This article looks at how adaptable and Role Sharing Fund and the General Allocation Fund Keerom meet budgets. To broaden the analysis are also discussed in this article with some regulations that govern the financial management area nationwide. This article discusses the structure of revenue and revenue management direction. The final conclusion of this paper is to meet the needs of Regional Budget Keerom eat Revenue Sharing and General Allocation Fund should really be optimized effectively and efficiently.
Abstrak : Artikel ini menganalisis tentang kemampuan Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum dalam memenuhi kebutuhan Belanja Daerah Kabupaten Keerom. Data yang dipakai dalam menganalisis adalah data sumber pendapatan Kabupaten Keerom Tahun 2003-2005. Artikel ini melihat seberapa besar kemampuan dan Peranan Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum memenuhi APBD Kabupaten Keerom. Untuk menambah wawasan analisis maka didalam artikel ini dibahas juga dengan beberapa regulasi yang mengatur pengelolaan keuangan daerah secara nasional. Artikel ini membahas juga struktur pendapatan daerah dan arah pengelolaan pendapatan daerah. Kesimpulan akhir dari penulisan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan Belanja Daerah Kabupaten Keerom makan Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum harus benar benar dioptimalkan secara efektif dan efisien.
Keywords : Capabilities Revenue Sharing, General Allocation Fund, Regional Budget Keerom
Pada hakekatnya otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan begitu setiap daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan relatif terhadap daerah-daerah lainnya. Bahkan dilihat dari segi potensinya keunggulan tersebut bisa bersifat mutlak, misalnya yang berasal dari aspek lokasi atau anugerah sumber (faktor endowment). Namun ini baru kesempatan atau peluang, bukan sesuatu yang otomatis terealisasikan. Otonomi daerah juga menghendaki daerah menjadi pelaku aktif dalam pembangunan sehingga mampu meminimalkan kesenjangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Selain itu otonomi daerah mendorong proses politik yang menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan memperjuangkan aspirasi mereka melalui partisipasi politik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik. Reformasi manajemen Pemerintah Daerah di era otonomi daerah menuntut semua tingkatan
manajemen untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah membawa beberapa implikasi politik, antara lain pertama; mengubah secara mendasar praktek pemerintahan, di mana Pemerintah Pusat secara substansial telah mengalihkan begitu banyak kewenangan kepada Pemerintah Daerah, kedua; menyediakan Dana Perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang jumlahnya cukup signifikan bagi daerah-daerah yang memiliki tingkat perekonomian yang relatif rendah dan ketiga ; aparat pemerintah dituntut untuk mewujudkan praktek pemerintahan yang memenuhi prinsip-prinsip pemerintah yang baik dan bersih seperti: partisipasi yang konstruktif, penegakan hukum, keterbukaan, melayani, berorientasi pada kesepakatan, pemerataan, efektif dan efisien, bertanggung jawab dan memiliki visi dan misi pelayanan publik. 150
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah Pusat serta merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2006 telah memperhatikan ketentuan peraturan perundangan yang meliputi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Otonom di Provinsi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1973 tentang Perubahan Nama Provinsi Irian barat menjadi Irian Jaya, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Bouven Digul, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, di Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4245), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355). Selain itu juga ada Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu membentuk Peraturan Pemerintah tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Informasi Laporan Penyeleng-
garaan Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 3839), Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952), Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 201, (Tambahan Lembaran Negara Nomor 4021), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 4503), Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Kuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 4578), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntunan Perbendaharaan dan Tuntunan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten Keerom Nomor : 01 Tahun 2006 tentang APBD Kabupaten Keerom Tahun Anggaran 2005, Peraturan Daerah Kabupaten Keerom Nomor : 03 Tahun 2006 tentang Perubahan APBD Kabupaten Keerom Tahun Anggaran 2006, dan Keputusan DPRD Kabupaten Keerom No: 11/DPRD–KR/PRP/2006 tentang Pengesahan APBD Kabupaten Keerom Tahun 2006. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, 151
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memenuhi kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban publik. Pelimpahan tugas kepada pemerintah daerah dalam otonomi daerah harus disertai dengan pelimpahan keuangan, karena tanpa pelimpahan keuangan maka otonomi daerah menjadi tidak bermakna. Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting, karena didasari oleh pertimbangan bahwa penyerahan kewenangan yang lebih luas kepada daerah diharapkan dapat menjembatani pemenuhan kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, baik implementasi dalam peraturan pelaksanaannya maupun realisasi dari dana yang didaerahkan. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang "Dana Perimbangan" sebagai dasar implementasi UU No. 25 Tahun 1999, kemudian terbitnya Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 dapat memberikan gambaran kepada daerah tentang bagaimana perimbangan keuangan tersebut dijalankan. Sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mengacu pada upaya mengurangi kesenjangan antar daerah sangat mendukung percepatan pembangunan, sekaligus pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Hal ini jelas terlihat dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) setiap daerah, ternyata pembiayaan pembangunan di daerah sangat mengandalkan sumber pembiayaan yang berasal dari pusat, dimana hampir dua per tiga dari total pengeluaran daerah dibiayai dari bantuan dan sumbangan pemerintah pusat (Shah, 1997:23). Implementasi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta aturan pelaksanaannya belum menunjukkan perubahan yang berarti sebagaimana diharapkan sesuai jiwa dan semangat otonomi daerah itu sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menghendaki pemerintah daerah dapat memiliki kemandirian yang lebih besar dalam pengelolaan pembangunan daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah daerah sering dihadapkan dengan masalah tingginya kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) sementara kapasitas fiskal daerah tidak mencukupi sehingga menimbulkan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Dikatakan demikian, karena
implementasi otonomi daerah menyebabkan bertambahnya kebutuhan belanja pemerintah daerah akibat bertambahnya transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan. Bertambahnya kebutuhan belanja pemerintah daerah mencakup belanja rutin bertambah akibat bertambahnya jumlah pegawai daerah sehingga belanja pegawai meningkat, bertambahnya pengeluaran untuk belanja barang, serta bertambahnya belanja perjalanan dinas. Hal ini dapat dibuktikan dari pertumbuhan realisasi belanja rutin dalam Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) Kabupaten Keerom yang cenderung naik setiap tahun, yakni tahun anggaran 2006 naik sebesar 43,92%, tahun anggaran 2005 naik sebesar 303,96% dan tahun anggaran 2004 naik sebesar 52,47%. Realisasi belanja rutin tahun anggaran 2003 meningkat secara fantastik ketika berlakunya otonomi daerah karena pertama pelimpahan kewenangan pusat ke daerah yang disertai pelimpahan pegawai pusat ke daerah dan pemekaran kecamatan baru yang memerlukan tambahan pegawai sehingga mendorong naiknya belanja pegawai. Kedua penambahan fasilitas kantor yang mendorong naiknya belanja barang dan pemeliharaan dan ketiga Konsultasi implementasi otonomi daerah yang mendorong naiknya belanja perjalan dinas. Belanja pembangunan meningkat akibat bertambahnya kebutuhan daerah untuk mengejar ketimpangan pembangunan yang selama ini terjadi agar dapat setara dengan daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari pertumbuhan realisasi belanja pembangunan dalam Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) Kabupaten Keerom yang cenderung naik setiap tahun, yakni tahun anggaran 2006 naik sebesar 47,51%, tahun anggaran 2005 naik sebesar 254,56% dan tahun anggaran 2004 naik sebesar 40,43%. Realisasi belanja rutin tahun anggaran 2006 meningkat secara fantastik ketika berlakunya otonomi daerah, karena adanya penambahan infrastruktur daerah dan peningkatan prioritas pelayanan publik. Untuk diketahui bersama bahwa implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sejak tanggal 1 Januari 2001 belum diikuti dengan sistem pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBD) Kabupaten 152
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
Keerom yang berbasis kinerja karena perangkat peraturan dan standar pengelolaan keuangan daerah yang dikeluarkan masih belum final. Dengan perkataan lain, program optimalisasi pengeluaran daerah yang merupakan perbaikan atas kegagalan pemerintah selama ini belum dapat diterapkan akibat perangkat aturan pelaksanaan yang telah dikeluarkan belum final. Di sisi lain, KepMendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran berbasis kinerja ini diharapkan dapat diterapkan paling lambat tahun 2006 guna mengeliminasi kegagalan pemerintah daerah di masa lalu dalam program optimalisasi pengeluaran daerah, karena pengeluaran daerah belum berorientasi pada kinerja dan kepentingan publik serta lebih berorientasi pada jangka pendek. KepMendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut kemudian penerapannya kembali harus mengacu dan berpedoman dengan terbitnya PerMendagri No. 13 Tahun 2006. Karena dana perimbangan menduduki porsi terbesar dalam APBD khususnya pada dua elemen utama, yakni Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak serta DAU, maka kajian ini lebih berfokus pada kebijakan pengelolaan kedua elemen dana perimbangan tersebut dalam pelaksanaan otonomi daerah. Fokus pada kedua elemen dana perimbangan karena Dana Alokasi Khusus (DAK) berupa dana reboisasi dan dana darurat tidak secara rutin diterima oleh Pemerintah Daerah. Kajian ini mengambil studi kasus pada Kabupaten Keerom Provinsi Papua sebagai salah satu kabupaten yang masih muda tetapi memiliki peluang berkembang cukup tinggi setelah di mekarkan dari Kabupaten Jayapura. PEMBAHASAN Peranan Dana Perimbangan dalam Otonomi Daerah Dana perimbangan terdiri dari bagian daerah atas bagi hasil (penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana perimbangan pada hakekatnya merupakan kelompok sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang alokasinya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi. Dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sebelum pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 dikenal dengan dana bantuan pembangunan. Berdasarkan UU No, 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dana bantuan/subsidi pembangunan bagi daerah terdiri atas (1) bantuan yang diberikan pada tingkat pemerintahan daerah tertentu (block grant), dan (2) bantuan yang diberikan untuk sektor tertentu (specific grant). Dengan diimplementasikannya otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001, maka kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah tersebut, kepada daerah diberikan: Kewenangan untuk mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri; dan Perimbangan keuangan pusat dan daerah dan antar daerah. Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pemungutan pajak dan retribusi daerah harus dalam batas-batas kewajaran, dengan koridor yang diatur melalui UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah beserta revisinya dalam UU Nomor 34 Tahun 2000. Pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui dana perimbangan yang mempunyai tujuan utama untuk mengatasi ketimpangan keuangan yang terjadi baik antara pusat dan daerah maupun antar daerah sesuai dengan tujuannya, maka dana perimbangan dibedakan menjadi pertama Bagi hasil dimaksudkan untuk mengatasi masalah ketimpangan vertikal (antara pusat dan daerah) yang dilakukan melalui pembagian hasil antara pemerintah pusat dan daerah penghasil, dari sebagian penerimaan perpajakan (nasional) dan penerimaan sumber daya alam. Kedua, Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) untuk mengatasi masalah ketimpangan horizontal (antar daerah) 153
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Dan ketiga Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan transfer yang bersifat khusus (specific grant) untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan khusus daerah dan/atau kepentingan nasional. Sebagaimana maksud dana perimbangan, maka daerah penerima wajib mengelolanya secara bijaksana dalam upaya percepatan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat guna memperkecil bahkan mungkin menghilangkan kesenjangan antara pusat dan daerah maupun antar daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bagian Daerah dari Hasil Pajak dan Bukan Pajak Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak adalah dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah sebagai bagian bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dilihat dari pengertiannya, maka sumber dana perimbangan yang berasal dari bagian daerah atas bagi hasil pajak dan bukan pajak, mencakup Bagi hasil pajak,Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh pasal 21) sebesar 20% (dua puluh persen) serta Bagi hasil sumber daya alam berupa Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan minyak bumi sebesar 15% (lima belas persen); dan Pertambangan gas alam sebesar 15% (lima belas persen), dan bagian pusat dibagi lagi 30% (tiga puluh persen) untuk daerah. Dilihat dari sudut pandang sistem pembagian atas pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, maka dapat dikatakan kedua jenis pajak ini tidak tepat lagi untuk dijadikan pajak nasional karena pemerintah pusat hanya mendapatkan sedikit bagian (10% untuk PBB dan 20% untuk BPHTB) dari hasil penerimaannya. Berdasarkan alasan tersebut tercetus keinginan untuk menjadikan kedua jenis pajak ini sebagai pajak daerah dan merupakan bagian dari pendapatan asli daeara sekaligus sebagai upaya kemauan politik dalam penyelenggaraan desentralisasi
fiskal guna meningkatkan kemampuan daerah atas kemandirian keuangan. Dari ketentuan baik menurut UU No.33 Tahun 2004 maupun PP No. 104 Tahun 2000, pengaturan dana bagi hasil untuk sumber daya alam hanya mencakup empat sektor yakni sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, sektor perikanan, dan sektor pertambangan minyak bumi dan gas. Ketentuan tersebut tidak memberikan ruang untuk masuknya sektor lain seperti sektor perkebunan yang memiliki potensi besar penerimaan negara berupa pajak ekspor dari hasil perkebunan produk potensial seperti kakao, kelapa sawit, karet, dan sebagainya. Dilihat dari upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, maka mesti menjadi wacana daerah untuk menjadikan penerimaan sektor perkebunan sebagai bagian dari bagi hasil bukan pajak karena terkait dengan daerah penghasil. Pemberlakuan UU No.33 Tahun 2004 dan PP No.104 Tahun 2000 ini dapat dikatakan sebagai upaya sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dalam membagi hasil penerimaan negara yang disumbangkan oleh daerah penghasil. Dikatakan demikian, karena terkadang pembagian tidak dilakukan secara adil sesuai bobot potensi daerah penghasil atas beberapa sektor-sektor dalam sumber daya alam. Pikiran ini cukup beralasan, karena penerimaan negara dari sektor-sektor yang mengelola sumber daya alam tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah penghasil. Di sisi lain, dampak pengelolaan atas sumber-sumber alam ini akan mungkin membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) daerah penghasil khususnya anggaran belanja daerah guna mendukung pengamanan eksploitasi besar-besaran yang merugikan daerah dalam jangka panjang dan anggaran belanja daerah untuk menciptakan sistem eksploitasi yang berdimensi lestari dan berkesinambungan. Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah dalam bentuk block grant yang pemanfaatan diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui dana alokasi umum bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan antara pusat dan 154
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
daerah dan antar daerah, akibat kebijakan pembagian penerimaan negara dari sumber daya alam lebih dominan dinikmati oleh daerah penghasil. Atas alasan mengurangi kesenjangan tesebut, maka daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif lebih sedikit dibanding daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif kecil. Sehubungan dengan bantuan pemerintah pusat dalam rangka memberikan palayanan dasar dan pembiayaan pembangunan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 diberikan dalam bentuk INPRES dan Subsidi Daerah Otonom (SDO). Setelah pemberlakuan UU No. 33 Tahun 2004 istilah INPRES dan SDO diganti dengan DAU. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dimana dari 25% bagian daerah tersebut dialokasikan sebesar 10% sebagai bagian provinsi dan 90% merupakan bagian dari kabupaten/kota. Pengaturan lebih lanjut terhadap 90% bagian kabupaten/kota dari 25% distribusi DAU ke provinsi, diatur dalam PP No.104 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa pembagian DAU kepada seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia didasarkan atas bobot masing-masing daerah yang ditetapkan atas kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) suatu daerah merupakan kebutuhan daerah yang bersangkutan dikurangi potensi ekonomi daerah. Kebutuhan wilayah otonomi daerah dihitung berdasarkan perkalian antara pengeluaran daerah rata-rata dengan penjumlahan indeks penduduk, indeks luas daerah, indeks harga bangunan, dan indeks kemiskinan relatif setelah dibagi empat. Selanjutnya potensi ekonomi daerah dihitung berdasarkan perkalian antara penerimaan daerah rata-rata dengan penjumlahan dari indeks industri, indeks sumber daya alam, dan indeks sumber daya manusia setelah dibagi tiga. Adapun rumus untuk menghitung besarnya distribusi dana alokasi umum yang mempermudah daerah dalam mengaplikasikannya guna menghitung proyeksi penerimaan daerah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tanpa menunggu terbitnya Keputusan Presiden tentang bagian daerah tersebut. Walaupun demikian, masalah yang terjadi
adalah daerah tidak memiliki data akurat untuk menghitung bagian DAU yang akan diterimanya. Hal ini disebabkan karena tidak semua data variabel DAU tersedia di daerah, sehingga perlu adanya sistem informasi daerah melalui otomatisasi kantor yang dapat mengakomodir kebutuhan daerah terhadap data variabel DAU tersebut. Ketidaktersediaan data dan keterbukaan pusat dalam menyajikan informasi variabel DAU setiap daerah sangat mempengaruhi daerah dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sebaliknya, ada beberapa daerah mengalami surplus anggaran menunjukkan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai dana penyeimbang pemerataan atas kesenjangan antar daerah belum dapat dibuktikan. Salah satu dari fungsi tersebut adalah fungsi alokasi yang diwujudkan dalam bentuk dan perimbangan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan maksud untuk memenuhi keterbatasan keuangan daerah dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Bambang Brodjonegoro dan Arlen T. Pakpahan (2002:86) mengemukakan bahwa rumus untuk menghitung besarnya distribusi dana alokasi umum ketika implementasi UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No.104 Tahun 2000 disebut dengan proses penetapan bobot daerah model dasar, digambarkan pada gambar 1: Dalam implementasi model DAU yang dikembangkan oleh LPEM-FE UI ini tahun anggaran 2001, banyak daerah yang merasa tidak puas, sehingga model ini berkembang lagi pada tahun anggaran 2002 dengan tetap mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 84 Tahun 2001 tentang Perubahan atas PP No. 104 Tahun 2000. Perubahan atas Pasal 17 yang mengatur tentang dana perimbangan menjadikan bagian DAU provinsi dan kabupaten/kota didasarkan pada: pertama Penentuan bobot daerah didasarkan pada kebutuhan wilayah otonomi daerah, dan potensi ekonomi daerah. Jadi DAU suatu daerah adalah kebutuhan wilayah otonomi daerah yang bersangkutan dikurangi potensi ekonomi daerah, kedua pada Kebutuhan wilayah otonomi daerah dihitung berdasarkan penjumlahan dari Indeks Penduduk, Indeks Luas Wilayah, Indeks Kemiskinan Relatif, dan Indeks Kemahalan Harga setelah dikalikan dengan bobot masingmasing indeks. Ketiga, pada Potensi ekonomi daerah dihitung berdasarkan perkiraan pen155
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
jumlahan penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Adapun bagian DAU Provinsi dan Kabupaten/Kota tahun anggaran 2002 ditentukan berdasarkan faktor penyeimbang atau
alokasi minimum (AM), yakni untuk Kabupaten/Kota sebesar 60%, sedangkan untuk Provinsi adalah 50%. Selanjutnya faktor penyeimbang atau alokasi minimum (AM) dibagi menjadi dua bagian, yaitu “Lumpsum” yang dibagi secara merata dan “proporsi dari belanja pegawai”.
Gambar: 1. Diagram Perhitungan Bobot DAU POTENSI PENERIMAAN
KEBUTUHAN DAERAH
Ind. Indusri + SDA + SDM
Penerimaan X rata-rata
3
Pengeluaran rataX rata
Ind. Pndk + Luas + Hrg + Miskin 4
KEBUTUHAN DAU Kebutuhan Daerah - Potensi Penerimaan
BOBOT DAU DAERAH Kebutuhan DAU Daerah Total Kebutuhan DAU
BAGIAN DAU PROVINSI
BAGIAN DAU KABUPATEN/KOTA
10% x 25% x PDN x Bobot DAU
90% x 25% x PDN x Bobot DAU
Sumber: Brodjonegoro B dan Pakpahan A.T., 2002
Komposisi DBH dan DAU Ketergantungan yang sangat tinggi dari keuangan daerah terhadap pusat tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut lebih tepat disebut sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik daripada yang desentralistik. Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekonsentrasi. Dalam implementasinya dekonsentrasi merupakan sarana bagi perangkat birokrasi pusat untuk menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehingga kemandirian daerah
menjadi terhambat. Koswara (1999) mengemukakan bahwa dalam beberapa hal UU No 5 Tahun 1974 lebih tepat disebut sebagai Undang-Undang Birokrasi daripada UndangUndang desentralisasi. Pengalaman masa orde baru mendorong semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, sehingga pemerintah mengeluarkan satu paket Undang-undang otonomi daerah, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU N0. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah 156
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari perintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah maka tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah, sehingga kedua Undang-Undang tersebut saling melengkapi.
Konsep-konsep dana perimbangan dalam otonomi daerah sesuai UU No. 33 Tahun 2004 mengalami perubahan cukup mendasar bila dibandingkan dengan UU No. 5 Tahun 1974, dimana terjadi perubahan dalam porsi alokasi dana ke daerah dan tambahan sumber baru yang sebelumnya tidak ada. Perbedaan komposisi dana perimbangan tersebut dapat dilihat pada berikut:
Tabel:1. Perbandingan Dana Perimbangan menurut UU No. 5 TAHUN 1974 dan UU No. 33 TAHUN 2004 Sumber
Pembagian Menurut UU No. 5 Tahun 1974
UU No. 33 Tahun 2004
Pusat
Pusat
Dati I
Dati II
Provinsi
Kabupaten/Kota Semua Penghasil Lainnya
A. Bagi Hasil Pajak 1. PBB
10
16,2
64,8
10
16,2
64,8
-
-
2. BPHTB
20
16
64
20
16
64
-
-
3. PPh 21 orang Pribadi
100
-
-
80
8
12
IHH
55
30
15
20
16
-
32
32
IHPH
30
70
-
20
16
64
-
-
-
-
-
20
-
80
-
-
Land rent
20
16
64
20
16
64
-
-
Royalty
20
16
64
20
16
-
32
32
Minyak
100
-
-
85
3
-
6
6
Gas Bumi
100
-
-
70
6
-
12
12
40
40
20
100
-
-
-
-
-
-
-
75
2,5
22,5
-
-
B. Bagi Hasil SDA 4. Kehutanan:
5. Royalty Perikanan 6. Pertambangan Umum
7. Royalty Migas
8. Agraria C. Dana Alokasi Umum (DAU)
Sumber: UU No.5 Tahun 1974 dan UU No. 33 Tahun 2004 (Hasil Identifikasi)
Satu hal yang spesifik dalam UU No. 33 Tahun 2004 adalah dimasukannya pertimbangan daerah penghasil sebagai dasar pembagian yang diterima oleh kabupaten/kota. Maksudnya kabupaten/kota yang memiliki kekayaan sumber alam (berupa hutan dan tambang) akan menerima bagian tertentu untuk kepentingan daerahnya sendiri. Klausal ini merupakan jawaban terhadap tuntutan daerahdaerah yang ingin melepaskan diri dari Negara kesatuan republik Indonesia akibat dari pembagian yang tidak adil di masa lalu.
Meskipun pola pembagian seperti di atas dalam batas-batas tertentu dapat meredam tekanan separatisme, tetapi hal ini bisa menimbulkan problema baru di masa datang yaitu kemungkinan terjadinya disparitas keuangan antar daerah. Daerah-daerah yang dikaruniai potensi tinggi dalam bentuk hutan dan tambang akan memperoleh bagian yang sangat besar karena 2 alasan, antara lain : Porsi bagian daerah cukup besar (32% untuk IHH, 32% untuk royalty pertambangan umum, 6% untuk royalty minyak bumi dan 12% untuk 157
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
royalty gas bumi). Dan nilai total penerimaan dari sumber-sumber tersebut memang besar. Sehingga porsi daerah yang besar dikalikan dengan total nominal penerimaan yang besar jelas akan menghasilkan perolehan yang besar bagi daerah. Pos penerimaan ini akan sangat penting bagi daerah-daerah seperti Aceh, Kalimantan Timur, Riau dan Papua yang kaya SDA. Selanjutnya, meskipun DAU merupakan pengganti dana dari pusat ke daerah yang selama ini dilaksanakan, yaitu Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan dana INPRES, DAU merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk "block grant" yang penggunaanya diserahkan kepada daerah dan besarnya didasarkan pada potensi ekonomi dan kebutuhan obyektif daerah. Tujuan dari DAU disamping sebagai sarana untuk meningkatkan otonomi di daerah, juga bertujuan sebagai sarana penyeimbang kemampuan penyediaan pelayanan publik di daerah, mengingat kemampuan keuangan antar daerah sangat bervariasi. Diperkirakan dana DAU ini secara tidak langsung akan memperkecil ketimpangan keuangan antar daerah yang ditimbulkan oleh pembagian hasil SDA yang sangat menguntungkan daerah penghasil. Inilah alasan mengapa DAU nilainya cukup besar, yaitu sekurang-kurangnya 25% dari APBN dengan pembagian sejumlah 2,5% untuk provinsi dan 22,5% untuk kabupaten/kota. Sumber dana perimbangan yang lain adalah dana alokasi khusus (DAK) yang bisa dianggap sebagai "specific grant" dari pusat ke daerah. DAK berasal dari APBN yang dialokasikan oleh pusat kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain. Secara spesifik dinyatakan bahwa DAK termasuk sumber dari dana reboisasi dengan pola pembagian 40% untuk daerah penghasil dan 60% untuk pemerintah pusat. Dengan adanya dana perimbangan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap besarnya penerimaan daerah. UU No. 33 Tahun 2004 memungkinkan daerah memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar bila dibanding dengan UU No. 5 Tahun 1974. Hasil perkiraan ini tampakanya sejalan dengan jiwa dan semangat otonomi daerah yang menitikberatkan pada otonomi Daerah Kabupaten/Kota, sehingga transfer dana ke Daerah Kabupaten/Kota mengalami kenaikan yang luar biasa di satu sisi
dan di sisi lain transfer ke Daerah Provinsi mengalami penurunan. Meskipun ada kenaikan penerimaan yang cukup besar bagi daerah khususnya Daerah Kabupaten/Kota, masih berlum jelas apakah kenaikan itu sudah bisa membiayai pengeluaran daerah seandainya otonomi luas diberlakukan. Seperti diketahui dalam UU No. 32 Tahun 2004 ada sebelas kewenangan dari pusat yang dilimpahkan ke daerah, namun tugas limpahan kewenangan itu apakah sudah sejalan dengan transfer dana ke daerah. Apabila limpahan kewenangannya jauh lebih besar, maka implementasi otonomi yang nyata justru akan memberatkan pemerintah daerah. Sampai sekarang intensitas tugas yang harus dilaksanakan oleh daerah dalam kaitannya dengan limpahan kewenangan dari pusat ke daerah belum diatur secara lengkap. Struktur Pendapatan Daerah Implikasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain pembagian urusan pemerintahan yang lebih jelas, perubahan juga menekankan pada hubungan yang lebih harmonis antar strata pemerintahan, serta lembaga perangkat daerah lebih berorientasi pada pelayanan umum. Sejalan dengan hal tersebut, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari aspek perencanaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan tetapi juga dari aspek pembiayaannya. Oleh karena itu, dengan mengacu pada semangat Undang-undang tersebut, maka setiap perangkat daerah yang mempunyai tugas memungut dan menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan Pendapatan Asli Daerah sesuai Peraturan Daerah yang mengaturnya. Berkaitan dengan hal itu, oleh Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa struktur pendapatan daerah dirinci menurut kelompok dan jenis pendapatan yang meliputi pertama, Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari pajak daerah, retribusi 158
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Kedua, Dana Perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil pajak/bukan pajak, DAU, DAK dan bantuan keuangan dari provinsi. Ketiga, Lain-lain Pendapatan yang sah yang terdiri dari bantuan dana kontijensi/penyeimbang dari pemerintah dan dana darurat. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terlepas dari kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerah yang dimilikinya, pengelolaan keuangan daerah ini meliputi pengelolaan pendapatan dan belanja daerah terkait upaya – upaya untuk memaksimalkan sumber – sumber pendapatan daerah baik Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan (DAU, DAK), dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, serta lain – lain pendapatan sah, sedangkan pengelolaan pengeluaran/belanja daerah berhubungan dengan bagaimana mengalokasikan, mengadministrasikan dan mempertanggungjawabkan keuangan daerah (lima) tahun ke depan (2005 – 2010) diupayakan selalu mengacu dan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang –undangan bidang keuangan. Arah Kebijakan Keuangan Daerah Pengelolaan Anggaran Daerah telah menjadi perhatian utama bagi para pengambil keputusan dalam pemerintahan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Penyusunan APBD selama ini hanya menyajikan informasi tentang jumlah sumber pendapatan dan penggunaan dana (belanja). Sedangkan informasi tentang kinerja yang ingin dicapai, keadaan dan kondisi ekonomi serta potensinya belum tergambar dengan jelas. Arah Kebijakan Keuangan Daerah yang dimaksudkan disini adalah kebijakan penyusunan program dan indikasi kegiatan pada pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah secara efektif dan efisien.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, maka penyusunan APBD telah menginformasikan tentang kinerja yang ingin dicapai. Sumber pendapatan pemerintah daerah Kabupaten Keerom berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, DAU, DAK), Dana Otonomi Khusus dan Lain-lain pendapatan yang sah. Sumber dari bagian sisa lebih tahun lalu adalah sisa anggaran tahun lalu yang tidak habis digunakan dan kemudian masuk sebagai penerimaan untuk tahun berikutnya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan daerah terutama dari pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan dinas, laba perusahaan daerah dan lainnya. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah meliputi bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus. Untuk mendapat gambaran keuangan daerah Kabupaten Keerom 3 (tiga ) tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 2. Dari uraian tabel diatas memperlihatkan bahwa ketergantungan daerah terhadap pemerintah atasan baik pusat dan provinsi cukup tinggi, disatu sisi kemampuan APBD sangat kecil yang bersumber dari PAD. Kemampuan APBD Kabupaten Keerom yang digambarkan oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat kecil, dari seluruh totalitas penerimaan daerah tahun 2003 yang berjumlah Rp. 6.000.000.000 hanya berasal dari Dana Perimbangan, sedangkan PAD masih nol dan pada tahun 2004 dari total penerimaan daerah mengalami kenaikan menjadi Rp. 75.627. 476.000, hanya 0,11 % yang berasal dari PAD. Sedangkan tahun 2005 mengalami kenaikan menjadi Rp. 160.835.258.868 (0,49% yang berasal dari PAD). Arah dan Kebijakan Umum Anggaran memuat arah yang akan dituju dan instrumen yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Arah dan Kebijakan Umum Anggaran menjadi pedoman dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja. Dibawah ini digambarkan secara singkat arah kebijakan keuangan daerah yaitu yang berkaitan dengan arah pengelolaan pendapatan daerah, arah pengelolaan belanja daerah dan pembiayaan 159
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
guna mewujudkan visi misi Bupati periode 2005 – 2010, sebagai berikut. Kebijakan Desentralisasi dan bergulirnya otonomi daerah membawa konsekwensi perubahan manajemen keuangan daerah. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan anggaran daerah yang benar-benar mencerminkan dan harapan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan daerah secara ekonomi, efisien dan efektif. Sejak berdirinya Kabupaten Keerom pada tahun 2002, maka pemerintah daerah baru benar-benar mengelola anggaran mulai pada tahun 2004 dan 2005, sedangkan tahun anggaran 2003 masih anggaran transisi (belum mempunyai APBD dan DPRD). Pengelolaan Anggaran tahun 2004 mencapai realisasi 100 % dari target yang ditetapkan, dan pada Tahun Anggaran 2005 mencapai realisasi 104,95 % dari target yang ditetapkan. Selama 2 (dua) tahun terakhir pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan 835,82 %, adapun rincian penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari penerimaan pajak daerah pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesr 2142,37% atau tercatat sebesar Rp. 112.120.000, penerimaan pajak daerah yang menonjol antara lain, Pajak Penerimaan retribusi daerah mengalami kenaikan sebesar 319,08%, Adapun penerimaan retribusi daerah yang menonjol antara lain adalah, pajak penerangan, retribusi ijin dan retribusi ijin tempat usaha. Penerimaan yang berasal dari dana perimbangan selama dua tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 146,89%, rincian penerimaan dana perimbangan terdiri dari Pos Bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak
tidak tersedia, sedangkan pada tahun 2005 dana tersebut terealisasi sebesar Rp. 35.037.301.134, Dana alokasi Umum (DAU) mengalami kenaikan rata-rata sebesar 36,40%, sedangkan untuk dana Alokasi Khusus (DAK ) pada Tahun 2004 sebesar Rp. 4.000.000.000 dan Tahun 2005 meningkat sebesar Rp. 8.230.000.000, atau mengalami kenaikan 105,75%. Kapasitas keuangan daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan pendapatan daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Penerimaan pendapatan daerah dari tahun ke tahun diharapkan menunjukkan peningkatan, namun demikian kontribusi PAD terhadap penerimaan masih sangat kecil dibanding dengan sumber penerimaan dari dana perimbangan. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang, yang perlu disikapi dengan usaha keras, agar komposisi perimbangan peran PAD dan pendapatan dari pusat mencapai titik keseimbangan (equilibrium). Arah Kebijakan pengelolaan pendapatan daerah diarahkan pada pengelolaan dan penerimaan daerah secara maksimal verdasarkan kewenangan dan potensi daerah, melalui peningkatan program intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah, meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali Pendapatan Asli Daerah (Taxing Power) dan mengoptimalkan penerimaan daerah melalui peningkatan tax ratio, dengan tetap memperhatikan kendala potensi dan perkembangan dunia usaha dan aspek keadilan, sehingga tidak menghambat atau mematikan kegiatan ekonomi yang menjadi basis pajak.
Tabel 2. Sumber Pendapatan Kabupaten Keerom Tahun 2003 s/d 2005 Tahun Anggaran No
I
II
III
2003
Sumber Penerimaan
2004
2005
Rp.
%
Rp.
%
Pendapatan Asli Daerah 1.1 Pajak Daerah 1.2 Retribusi Daerah 1.3 Laba Perusahaan 1.4 Lain-lain PAD yang Sah
-
-
85.000.000 5.000.000 75.000.000 5.000.000
0,13 0,01 0,12 0,01
Dana Perimbangan 2.1 Bagi hasil pajak dan bukan Pajak 2.2 Dana Alokasi Umum (DAU) 2.3 Dana Alokasi Khusus (DAK) 2.4 Dana Otonomi Khusus (DOK) 2.5 Dana Perimbangan Provinsi
-
-
61.135.000.000 -
96,94
151.936.651.134 93,88 35.037.301.134 21,65
5.000.000.000 -
-
57.135.000.000 4.000.000.000 12.564.476.000 -
90,60 6,34 19,92
77.933.000.000 48,16 8.230.000.000 5,09 30.000.000.000 18,54 736.350.000 0,45
Lain-lain Pendapatan yang Sah
1.000.000.000
-
1.843.000.000
2,92
Jumlah
6.000.000.000
63.063.000.000
Rp. 795.447.734 112.118.370 314.311.323 369.018.041
9.103.160.000
% 0,49 0,07 0,19 0,23
5,62
161.835.258.868
160
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
PENUTUP Kesimpulan Mengembangan ekonomi kerakyatan melalui peningkatan kesempatan berusaha, optimalisasi potensi ekonomi lokal, pemberdayaan usaha sektor informal, Koperasi dan UMKM serta keadilan kesempatan untuk berusaha dalam iklim yang kondusif. Mengoptimalkan pendapatan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversivikasi sumbersumber pendapatan tanpa membebani masyarakat. Mengoptimalkan pengelolaan Asset dan kekayaan daerah agar dapat
memberikan nilai tambah bagi pendapatan daerah. Menumbuhkembangkan iklim yang sehat di BUMD sehingga mampu memberikan kontribusi optimal bagi pendapatan daerah. Setiap pengeluaran daerah harus mendasarkan pada, standar analisa belanja, standar harga, tolok ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal serta memperhatikan prinsip efisien dan efektif. Penyusunanan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektifitas kegiatan dalam pencapaian target dan sasaran tahunan.
DAFTAR PUSTAKA Blocher E. J., Chen K. H., and Lin T. W., 1999. Cost Management: a Strategic Emphasis. McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Brodjonegoro B., dan Pakpahan A. T., 2002. Evaluasi atas Alokasi DAU 2001 dan Permasalahannya, dalam Machfud Sidik, dkk., Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah, Penerbit Buku Kompas, November 2002, Jakarta. Davey, K.J., 1988. Desentralisasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Penerbit LP3ES, Jakarta. Hoque Z. and Moll J., 2001. Public Sector Reform: Implications for Accountability and Performance of State-Owned Entities, an Australia Perspective, The International Journal of Public Sector Management, Vol. 14. Jones R. and Pendlebury M., 1996. Public Sector Accounting, Fourth Edition, Pitman Publishing, London. Kadjadmiko dan Raksaka Mahi B., 2002. Dana Alokasi Umum (DAU) 2002, dalam Machfud Sidik, dkk., Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah, Penerbit Buku Kompas, November 2002, Jakarta. Kuncoro, M., 1995. Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Prisma Edisi 4, April 1995. Koswara, E., 1999. Pemerintah Daerah dengan Otonomi yang Luas, Makalah dalam Seminar Sehari, Kerjasama LPEM – FEUI – ISEI – YBBAKM, 18 Mei, Jakarta Machfud, S., 2000. Kebijakan Fiskal Nasional Untuk Mendukung Otonomi Daerah. Seminar Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan, Yogyakarta. --------------, 2002. Kebijakan Implementasi dan Pandangan ke depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Menciptakan Good Governance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal”, 20 April 2002. Yogyakarta. Mardiasmo, 2002. Elaborasi Sistem Akuntansi Sektor Publik: Telaah Kritis terhadap Kebutuhan Sistem Akuntansi Keuangan pada Pemerintah Daerah. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Menciptakan Good Governance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal”, 20 April 2002. Yogyakarta. --------------, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Serial Otonomi Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta. Musgrave, R.A., and Musgrave, P.A., 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition. McGraw-Hill Inc., New York. Nakamura A. O. and Warburton, W.P., 1998. Performance Measurement Concepts and Chalenges in a Public Sector Context, dalam Mardiasmo, 2002. Elaborasi Sistem Akuntansi Sektor Publik: Telaah Kritis terhadap Kebutuhan Sistem Akuntansi Keuangan pada Pemerintah Daerah. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional “Menciptakan Good Governance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal”, 20 April 2002. Yogyakarta. 161
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol.10, No.3, Desember 2012
Raksaka Mahi, B., dan Adriansyah, 2002. Sejarah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah, dalam Machfud Sidik, dkk., Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Shah, A., 1997. Balance, Accountability, and Responsiveness: Lesson about Decentralization, Washinton D.C. World Bank. Simamora, H., 2002. Akuntansi, Basis Pengambilan Keputusan Bisnis, Jilid II, Penerbit Salema Empat. Jakarta. Simanjuntak, R. A., 1999. Reformasi Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Makalah dalam Seminar Sehari, Kerjasama LPEM – FEUI – ISEI – YBBAKM, 18 Mei, Jakarta. Simanjuntak, R. A., 2000, Beberapa Alternatif Sumber Penerimaan Daerah dalam Rangka Pemberdayaan Pemerintah Daerah, Makalah dalam Konggres Nasional ISEI, 21-23 April, Makassar ---------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. ---------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. ---------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. ---------, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. ---------, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. ---------, Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan atas PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. ---------, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. ---------, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ---------, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. ---------, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 (Perubahan Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006) tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
162