i
ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU
ENO SUWARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014 Eno Suwarno NRP E161090031
iv
RINGKASAN ENO SUWARNO. Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M. KOLOPAKING dan SUDARSONO SOEDOMO. Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah mandat kepada pemerintah untuk membangun KPH pada seluruh kawasan hutan negara. Keberadaan KPH merupakan prasyarat bagi terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan. Pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi harus dilakukan oleh organisasi KPHL/KPHP yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Dalam implementasinya, pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Salah satu KPH yang operasonalisasinya lambat adalah KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP-TBS) di Provinsi Riau. Struktur organisasi KPHP-TBS telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Namun hingga dua tahun kemudian (hingga akhir Agustus 2013, sampai akhir penelitian ini) Pemerintah Provinsi Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini, maka organisasi KPHP−TBS belum bisa menjalankan tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak. Ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, perkembangan operasionalisasi KPHP−TBS merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini yang kemudian menghasilkan outcome. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu (1) menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP−TBS, (2) menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford, dan (3) menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP−TBS. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan kerangka analitis Institutional Analysis and Development (IAD) Framework dari Elinor Ostrom. Berdasarkan IAD-Framework, variabel yang dianalisis meliputi pengaruh faktor eksogen (kondisi biofisik KPHP-TBS, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas), kondisi arena aksi (situasi aksi dan karakteristik partisipan), dan pola interaksi para partisipan. Data dikumpulkan dengan metode
v
studi dokumen, pengamatan langsung peneliti pada saat terlibat dalam prosesproses pembangunan KPH, dan melalui wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menemukan bahwa kondisi biofisik terbukti mempengaruhi situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Pada wilayah KPHP-TBS yang di dalamnya terdapat banyak ijin pemanfaatan hutan berbasis usaha besar (IUPHHKHTI), cenderung membuka peluang dan menguatkan conflict of interest sebagian pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan praktek-praktek korupsi. Sebagian aparatur Dinas Kehutanan memandang keberadaan KPH sebagai ancaman yang akan mengurangi kewenangannya. Temuan-temuan penting hasil analisis peraturan antara lain (1) pengaturan posisi-posisi partisipan belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses, (2) masih terdapat ketidaksinkronan antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dalam pengaturan kewenangan menetapkan organisasi KPHL/KPHP, (3) belum adanya aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam tahap-tahap penting pengambilan keputusan, (4) belum lengkapnya kriteria organisasi KPHL/KPHP, dan (5) masih kurangnya pasal-pasal yang bisa menjadi pendorong/insentif bagi pemerintah daerah untuk berinisiatif membangun KPH. Atribut komunitas yang paling penting dan cenderung menghambat pembangunan KPH adalah masalah paradigma dan budaya. Aparatur pemerintah daerah saat ini masih lebih mengedepankan paradigma “pemanfaatan hutan” daripada pengelolaan hutan secara utuh. Operasionalisasi paradigma ini hampir selalu diiringi dengan menguatnya budaya korupsi. Sementara kebijakan KPH adalah suatu konsep yang membawa paradigma “pengelolaan hutan secara utuh di tingkat tapak”. Ketika kebijakan KPH yang ada saat ini kurang memberikan tekanan dan insentif kepada pemerintah daerah, maka proses perubahan yang terjadi cenderung tidak dapat mengatasi resistensi yang ada. Dengan adanya masalah-masalah conflict of interest, adanya kelemahankelemahan peraturan, dan masalah paradigma dan budaya, menyebabkan munculnya perilaku yang kurang dapat bekerjasama dari Pemerintah Provinsi Riau. Sikap ini antara lain dimanifestasikan dengan cara menunda-nunda penempatan personil untuk mengisi struktur organisasi KPHP−TBS. Di sisi lain, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah belum diarahkan kepada menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Berdasarkan temuan-temuan penelitian, direkomendasikan kepada Kemenhut agar kebijakan pemberian bantuan sarana prasarana dan fasilitasi kepada pemerintah daerah perlu tetap dilanjutkan. Selain itu kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi di dalam arena aksi pemanfaatan hutan juga perlu dilakukan. Kemenhut juga perlu merubah cara berfikir dan pendekatan bahwa disamping menggunakan instrument peraturan, pemerintah juga perlu meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah serta meningkatkan penyebaran pengetahuan, komunikasi, dan membangun rasa saling percaya. Selain untuk mengatasi resistensi, pendekatan tersebut juga sangat diperlukan untuk mengawal proses transformasi paradigma dan budaya birokrasi kehutanan agar sejalan dengan nilai-nilai baru yang terkandung di dalam konsep KPH. Kata kunci: masalah kelembagaan, IAD-framework, paradigma pemanfaatan hutan, conflict of interest, pola interaksi, outcome
vi
SUMMARY ENO SUWARNO. Institutional Analysis of the Operationalization Process of FMU: A Case Study of Tasik Besar Serkap FMUP in Riau Province. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING and SUDARSONO SOEDOMO. One of the substantial essence of the Regulation No. 41/1999 is a mandate for the government to build the Forest Management Unit (FMU) in all of the national forest areas. The existence of the FMU is a prerequisite for the implementation of sustainable and equitable forest management. The management of protected and production forest should be carried out by the Protected FMU (KPHL) and Production FMU (KPHP) organizations formed by the local government. Along the way, thisobligation was hardly implemented due to several constraints. One of the FMU which show slow operationalization is the PFMU of Tasik Besar Serkap (PFMU-TBS) in Riau Province. The PFMU-TBS organizational structure has been established through the Riau Governor Regulation No. 47/2011 dated October 31, 2011. Yet until two years later (until the end of August 2013,or the end of this study), the Riau provincial government has not put personnel on the organizational structure of the FMU. As a result of this delay, the PFMU-TBS organization cannot perform the forest management tasks at the site level. Viewed from the institutional science perspective, the operational development of PFMU-TBS is an outcome of a combination of the action situation structure and participant’s characteristics which interact in the action arena of FMU development. The action situation structure and participants characteristics did not directly produce outcome, but through the formation of the incentives/disincentives structure faced by the participants. These structures were then encourage the formation of certain participant’s behavior patterns. The aggregate of this overall participant’sbehavior would then produce the outcome. The general objective of this research is to find institutional problems and difficulties in the implementation of policies that lead to the delay of the PFMUTBS operationalization. This general objective is translated into three operational objectives, i.e. (1) to analyze the influence of biophysical conditions of the action arena and forest utilization outcome, which in turn will affect the operationalization of the PFMU-TBS action arena, (2) to analyze the FMU organization formation regulation using seven rules types concept of Ostrom and Crawford, and (3) to analyze the effect of regulation, biophysical conditions and community attributes to the action arena, interaction patterns, and outcome in the PFMU-TBS operationalization. This study uses qualitative descriptive research design with case study approach. Approach to the problems is conducted by Institutional Analysis and Development (IAD) Framework of Elinor Ostrom. Based on IAD-Framework, the variables analyzed consist of the influence of exogenous factors (PFMU-TBS biophysical conditions,usedrules, and the communityattributes), action arena condition (action situation and participants characteristics), and the interaction patterns of participants. The data was collected by document review, direct
vii
observation during the FMU development process, and semi-structured interviews. This research found that biophysical conditions shown to affect the action situations faced by participants. The PFMU-TBS region which hold a lot of forest licenses by large enterprises (IUPHHK-HTI) tends to open up opportunities and strengthen the conflict of interestof most local government officials to conduct corrupt practices. Moreover, most Forest Office personnel consider the existence of the FMU as a threat that would diminish their authority. The key findings from the regulations analysis includes (1) placement of the participants positions has not been fully designed by considering the prospect of smooth process assuredness, (2) there are discrepancies between the PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 and Permendagri No. 61/2010 in authoritativesettings for the establishment of KPHL/KPHP organizations, (3) the absence of aggregation rules to anticipate the disagreement among the participants in the critical stages of decision-making, (4) incomplete KPHL/KPHP organizational criteria, and (5) lack of regulations that could drive or become an incentives for local governments to take the initiative in the FMU development. The most important community attributes which tend to inhibit the FMU development are paradigm and cultural problems. Local government personnel were still hold the "forest exploitation" paradigm rather than intact forest management. The operationalization of this paradigm is almost always accompanied by the strengthening of the corruption culture. Meanwhile,the FMU policy is a concept that brings the "intact forest management at the site level"paradigm. When current FMU policy give less pressure and incentives to local government, the changing could not overcome the existing resistance. The problems of conflict of interest, regulatory weaknesses, and paradigms and cultural issuesled to the emergence of less cooperative behavior of the Government of Riau Province. This attitude was expressed by the delaying of the personnel placement to fill the PFMU-TBS organizational structure. On the other hand, approaches taken by the national government have not been directed to answer these problems. Based on findings in this research, it is recommended to Ministry of Forestry (MoF) that the policy of infrastructure and facility support to local governments need to be continued. Moreover, policies to prevent and tackle corruption in the forest utilization action arena also needs to be done. The MoF also need to change the way of thinking and approach that -in addition to regulatory instrumentsgovernment also need to improve guidance to local authorities and to improve the dissemination of knowledge, communication, and build mutual trust. These approaches, in addition to overcoming resistance, is also needed to oversee the transformation process of forestry bureaucracy paradigms and culture aligned with the new values embodied in the concept of the FMU. Keywords: institutional problem, IAD-framework, forest management paradigm, conflict of interest, interaction patterns, outcome.
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ix
xi
ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU
ENO SUWARNO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
xii
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Dr Ir Azis Khan, MSc (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo, MSc (Peneliti Utama pada Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI)
xiii
Judul Disertasi : Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau Nama NIM
: Eno Suwarno : E161090031
Disetujui oleh: Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua
Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS Anggota
Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS Anggota
Diketahui oleh: Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof Dr Ir Hardjanto, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 17 Juli 2014
Tanggal Lulus:
xiv
PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan disertasi yang berjudul “Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau” dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan laporan penelitian yang dilakukan sejak bulan Mei 2012 sampai Akhir Agustus 2013. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo MS, Dr Ir Lala M Kolopaking, MS, dan Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS selaku komisi pembimbing, yang dengan sabar dan penuh perhatian telah memberikan arahan, dukungan, dan bimbingannya untuk penyelesaian disertasi ini. Selain itu penulis juga diberi kesempatan untuk terlibat di dalam beberapa kegiatan proses pembangunan KPH di Indonesia. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyediaan data, literatur, serta kebutuhan-kebutuhan lain terkait penyelesaian penelitian dan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga (mertua, istri, anak-anak, dan saudara) yang telah memberikan dukungan, pengorbanan dan do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga kebaikan Bapak Ibu dan semua pihak mendapatkan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Akhirnya harapan penulis semoga karya tulis ini dapat menjadi salah satu sumbangsih yang berharga bagi Bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka mendukung pembangunan KPH di Indonesia.
Bogor, Juli 2014 Eno Suwarno
xv
DAFTAR ISI RINGKASAN SUMMARY PRAKATA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kebaruan (Novelty) Manfaat Penelitian Sistematika Tulisan 2 GAMBARAN RINGKAS KEBIJAKAN KPH DAN KERANGKA IAD KPH di Indonesia Definisi KPH Pembentukan KPH Tugas Pokok KPH Urgensi KPH Kerangka Kerja IAD (IAD-Framework) Definisi Institusi Pengembangan dan Penggunaan Kerangka Kerja IAD Arena Aksi Faktor Eksogen Hasil atau Kinerja Aturan Kondisi Biofisik/Material Atribut Komunitas 3 ANALISIS PENGARUH KONDISI BIOFISIK TERHADAP ATRIBUT KOMUNITAS DALAM PEMANFAATAN HUTAN DI AREAL KPH Pendahuluan Latar Belakang Kerangka Penelitian Perumusan Masalah Tujuan Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Metode Pengumpulan dan Analisis Data Hasil dan Pembahasan Kondisi Biofisik Wilayah KPH Arena Aksi Pemanfaatan Hutan Pola Interaksi dan Outcomes pada Dua KPH Simpulan
iv vi xiv xvii xviii xix xx 1 1 4 4 5 6 7 8 8 8 8 9 9 11 11 12 13 14 14 15 15 17 18 18 18 20 20 21 21 21 21 22 22 29 41 49
xvi
4 ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) 51 Pendahuluan 51 Latar Belakang 51 Tujuan Penelitian 52 Metodologi Penelitian 52 Kerangka Teoritis dan Pendekatan Penelitian 52 Metode Pengumpulan dan Analisis Data 53 Hasil dan Pembahasan 54 Aturan Posisi 56 Aturan Keanggotaan 57 Aturan Otoritas 58 Aturan Agregasi 59 Aturan Informasi 59 Aturan Lingkup 60 Aturan Biaya-Manfaat 61 Simpulan 62 5 HAMBATAN KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK BESAR SERKAP 64 Pendahuluan 64 Latar Belakang 64 Tujuan Penelitian 65 Metodologi Penelitian 65 Waktu dan Tempat 65 Metode Pengumpulan dan Analisis Data 65 Hasil dan Pembahasan 66 Pengaruh Faktor Eksogen 66 Arena Aksi 75 Pola Interaksi dan Dampak 77 Simpulan 78 6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 80 Simpulan Umum 80 Saran 81 DAFTAR PUSTAKA 83 Lampiran 91 RIWAYAT HIDUP 108
xvii
DAFTAR TABEL 1 Variabel, metode pengumpulan, analisis dan sumber data 2 Luas wilayah KPH Tasik Besar Serkap dan KPH Rinjani Barat berdasarkan fungsi hutan 3 Rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 4 Jenis-jenis ijin pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap 5 Ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat 6 Keberadaan ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH pada tahun 2014 7 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP−TBS berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012 8 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP−TBS 9 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPH TBS berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja IUPHHK HTI dan HTR 10 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP-TBS 11 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHL-RB (Berdasarkan P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Hutan Kemasyarakatan) 12 Karakteristik para partisipan dalam skema Hutan Kemasyarakatan di KPHL-RB 13 Pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi 14 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi Riau 15 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi NTB 16 Matrik tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola 17 Hasil analisis isi tiga peraturan pembentukan organisasi KPH 18 Metode pengumpulan data, analisis data dan sumber data 19 Situasi aksi pembentukan dan operasionalisasi KPHP−TBS 20 Karakteristik para partisipan
22 23 26 27 28 28 31 31
35 35 40 40 44 45 46 49 54 66 76 77
xviii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kerangka penelitian Kerangka analisis IAD Kategori empat kelompok barang dan jasa Kerangka penelitian pengaruh biofisik Peta wilayah KPHP-TBS berdasarkan SK Menhut No. 509/MenhutVII/2010 Peta wilayah KPHL-RB berdasarkan SK Menhut No. 651/MenhutII/2010 Perbandingan keberadaan ijin konsesi hutan pada KPHP-TBS dan KPHL-RB Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo No. P.26/2012 Proses pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 Rantai perijinan usaha kehutanan dan titik-titik terjadinya suap/peras Proses perijinan dan pelayanan rencana kerja HKm berdasarkan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 Alur terjadinya KKN Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola Hubungan antara rules-in-use dengan unsur-unsur situasi aksi
3 12 16 20 24 24 28 30 34 38 39 42 48 53
xix
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Tabel daftar penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH 91 Tabel daftar penelitian lingkup kehutanan yang menggunakan kerangka kerja analisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) 97 Langkah-langkah Penggunaan Kerangka Kerja IAD 103
xx
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM AMDAL APBD APBN BKSDA BKUPHHK BLU BLUD BPKH BT BTN BUMN BUMS CPNS CPRs Dir WP3H
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Badan Layanan Umum Badan Layanan Umum Daerah Balai Pemantapan Kawasan Hutan Bujur Timut Balai Taman Nasional Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Swasta Calon Pegawai Negeri Sipil Common-Pool Resources Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan DR Dana Reboisasi FGD Focused Group Discussions GIZ The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit HKm Hutan Kemasyarakatan HK Hutan Konservasi HL Hutan Lindung HP Hutan Produksi HPH Hak Pengusahaan Hutan HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan HP-HTI Hak Pengusahaan Tanaman Industri HTR Hutan Tanaman Rakyat IAD-framework Institutional Analysis and Development Framework ICCON Information and Communication Center on Nusa Tenggara IIUPH Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan IUPHHK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HA Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam IUPHHK-HTI Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri IUPHHK-RE Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem IUPK Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan IUPJL Ijin Usaha Pemanfatan Jasa Lingkungan IUPHHK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHBK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu IPHHK Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu IPHHBK Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Kadishut Kepala Dinas Kehutanan KHDTH Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus KKN Kolusi Korupsi Nepotisme KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan KPHK Kesatuan Pengelolaan Hutan Konserrvasi
xxi
KPHL KPHP KPHP−TBS KPHL−RB KPK Jo. LU NTB Orba RPJP Pergub Pemprov Permendagri Permenhut PERSAKI PMA PMDN PNS PP PSDH RKUPHHK RKTUPHHK SDM SFM SK Menhut SKPD TGHK VOC SKSHH TII UNDP UPT UPTD V. Ostrom WA
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat Komisi Pemberantasan Korupsi Juncto Lintang Utara Nusa Tenggara Barat Orde Baru Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Peraturan Gubernur Pemerintah Provinsi Peraturan Menteri Dalam Negeri Peraturan Menteri Kehutanan Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Provisi Sumber Daya Hutan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Sumber Daya Manusia Sustainable Forest Management Surat Keputusan Menteri Kehutanan Satuan Kerja Perangkat Daerah Tata Guna Hutan Kesepakatan Verenigde Oost Indische Compagnie Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Tranparency International Indonesia United Nation Development Programme Unit Pelaksana Teknis Pelaksana Teknis Daerah Vincent Ostrom Working Area
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari perspektif ilmu manajemen hutan dan ilmu kelembagaan, kerusakan hutan Indonesia di luar Pulau Jawa pada umumnya adalah karena tidak adanya organisasi pengelola di tingkat tapak. Situasi demikian menyebabkan pada sebagian kawasan hutan negara secara de facto menjadi sumberdaya ”open access”. Praktek-praktek illegal logging dan perambahan hutan menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan (Kartodihardjo et al. 2011). Kondisi ”open access” ini akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemegang ijin usaha. Ketiga pihak ini di masa lalu dan bahkan hingga sekarang lebih berorientasi kepada mengeksploitasi komoditi kayu, bukan berorientasi kepada pengelolaan kawasan hutan (ICCON 2006). Seiring dengan terjadinya gerakan sosial yang menuntut reformasi politik pada tahun 1998, pada sektor kehutanan juga terjadi perubahan Undang-Undang yang menjadi landasan hukum pengurusan hutan di Indonesia. Sebelumnya berdasarkan UU No. 5/1967, selanjutnya diganti dengan UU No. 41/1999. Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah dimandatkan kepada pemerintah untuk membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh kawasan hutan negara. Adanya KPH dipandang sebagai prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management–SFM) dan berkeadilan (Kartodihardjo et al. 2011). Pada masa sebelumnya hingga diterbitkannya UU No. 41/1999, KPH hanya ada di Pulau Jawa, yaitu pada kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Pehutani. Wilayah kelolanya seluas 2.448.043,4 ha atau sekitar 1,6% dari luas total hutan negara yang berjumlah 127 juta ha. Pengelolaan hutan ini pun sesungguhnya hanya melanjutkan pengelolaan KPH yang sudah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Kawasan hutan negara lainnya (124,5 juta ha atau sekitar 98,4%), dimana sebagian besar berada di luar Pulau Jawa, belum dikelola ke dalam bentuk KPH-KPH kecuali untuk hutan konservasi (22 juta ha atau sekitar 17%) yang telah dikelola oleh sejumlah Balai Taman Nasional (BTN) dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Kebijakan pembangunan KPH meskipun sudah lama dicanangkan melalui Undang-Undang No. 41/1999, namun baru diwujudkan dalam 5 tahun terakhir terutama setelah terbitnya PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan negara, dimana pembangunannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2009 hingga tahun 2020. Sampai akhir tahun 2014 dicanangkan akan beroperasi sebanyak 120 unit KPH (Kemenhut 2010; 2011). Berdasarkan PP No. 38/2007 dan Permendagri No. 61/2010, sebagian urusan pengelolaan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban membentuk organisasi KPHL/KPHP. Namun demikian, pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Kartodihardjo (2008) mengungkapkan kendala-kendala tersebut antara lain masih terdapat pengertian yang keliru tentang KPH, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, lemahnya SDM, lemahnya dukungan politis, serta kurangnya sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung
2
pembangunan KPH. Disamping itu, berdasarkan hasil kajian pada tahun 2013, Kartodihardjo dan Suwarno (2014) menyatakan bahwa beberapa Kepala Daerah atau Kepala Dinas Kehutanan masih belum secara bulat menerima kehadiran KPH. Pada umumnya hal demikian disebabkan adanya pengertian bahwa KPH dianggap akan mengurangi peran Dinas Kehutanan, dan KPH dianggap hanya sebagai cost center yang merugikan daerah. Dengan demikian kendala-kendala tersebut hingga saat ini masih terus dirasakan. Salah satu KPH yang perkembangan operasionalisasinya berjalan lambat adalah KPH Produksi Model Tasik Besar Serkap (KPHP−TBS) di Provinsi Riau. Wilayah KPHP−TBS ditetapkan sebagai KPHP Model oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No. 509/Menhut-II/2010 pada tanggal 21 September 2010. Struktur organisasinya ditetapkan satu tahun kemudian melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No. 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011 yang berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di Dinas Kehutanan. Namun hingga dua tahun setelah itu (sampai akhir penelitian ini, akhir bulan Agustus 2013) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini maka organisasi KPHP−TBS belum bisa beroperasi untuk menjalankan tugas-tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dan Permendagri No. 61/2010. Sebagai pembanding, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) perkembangan operasionalisasi KPH Lindung Rinjani Barat (KPHL−RB) dinilai berjalan cepat. Organisasi pengelola KPH telah ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2008 melalui Pergub NTB No. 23/2008 1 dalam bentuk UPTD di Dinas Kehutanan. Rancang bangun KPH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui surat keputusan No. SK.337/Menhut-VII/2009. Pada tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengusulkan wilayah KPHL−RB sebagai KPH Model di Provinsi NTB. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor SK.785/Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009. Lima bulan kemudian, yakni pada bulan Pebruari 2010, Pemda NTB menempatkan 8 orang personil untuk mengisi organisasi KPH. Setelah itu organisasi KPHL-RB segera beroperasi melaksanakan tugas-tugas pengelolaan hutan. Pada tahun anggaran 2011, KPHL-RB telah mendapat dukungan anggaran dari APBD. Pada akhir tahun 2012 personil yang ditempatkan berjumlah 186 orang, terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 15 orang dan pegawai kontrak yang ditempatkan sebagai mandor di lapangan berjumlah 171 orang. Sebagaimana yang telah diungkapkan Kartodihardjo (2008), bahwa salah satu penyebab lambatnya pembangunan KPH di daerah adalah belum lengkapnya peraturan perundang-undangan. Selain kelengkapan peraturan perundangan, kualitas peraturan juga ikut menentukan. Berdasarkan aspek biofisik, antara KPHP−TBS dan KPHL-RB juga terdapat perbedaan mendasar, dimana wilayah KPHP−TBS didominasi oleh Hutan Produksi (HP) dan wilayah KPHL-RB 1
Pergub NTB No. 23/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pada Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) Pada Inspektorat, BAPPEDA dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi NTB. Di dalamnya termasuk penetapan organisasi Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (Balai KPH) sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Kehutanan Provinsi NTB.
3
didominasi oleh Hutan Lindung (HL). Aspek biofisik beserta peraturan yang mengikutinya, khususnya dalam pemanfaatan hutan diduga akan berpengaruh terhadap kinerja proses pembangunan dan operasionalisasi KPH. Demikian juga dengan karakteristik komunitas para pelaku implementasi kebijakan. Menurut Ostrom (2005), perilaku para partisipan yang kemudian membentuk pola interaksi di dalam arena aksi, dipengaruhi oleh struktur situasi aksi yang dihadapinya dan karakteristik dari partisipan itu sendiri. Sementara itu arena aksi (yang terdiri dari situasi aksi dan partisipan) dipengaruhi oleh faktorfaktor eksogen (peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas). Agregat perilaku para partisipan (yakni pola interaksi) pada kurun waktu tertentu akan menghasilkan dampak tertentu yang sering disebut juga sebagai outcome dari suatu penataan kelembagaan atau kebijakan. Perkembangan operasionalisasi KPHP−TBS dan KPHL-RB bila ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, pada dasarnya merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH yang bersangkutan. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong/mengarahkan kepada terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini (pola interaksi) kemudian menghasilkan outcome. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat kerangka umum penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1. Kerangka penelitian ini mengadopsi kerangka fikir dan alur analitis kerangka kerja alalisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) (lihat Gambar 2 halaman 12) yang dibuat oleh Ostrom dan para koleganya. Angka 1, 2, dan 3 menunjukan nomor bagian-bagian penelitian yang dapat dipilah secara mandiri sesuai dengan tujuan penelitian masing-masing. Bagian-bagian penelitian tersebut akan diuraikan pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5.
3
Analisis Pengaruh Kondisi Biofisik
1
Analisis Rules-in Use Pembangunan Organisasi KPHL/ KPHP
2
Analisis Pengaruh Atribut Komunitas
ARENA AKSI PEMBANGUNAN ORGANISASI KPHL/ KPHP
Pola Interaksi Para Partisipan
Outcomes: Cepat atau lambatnya operasionalisasi KPH
Gambar 1. Kerangka umum penelitian
4
Perumusan Masalah Mengacu kepada kerangka analisis dan pengembangan kelembagaan (IADframework) 2 yang dikembangkan oleh Ostrom dan para koleganya, cepat atau lambatnya perkembangan operasinalisasi KPH tersebut pada dasarnya merupakan dampak (outcome) dari proses-proses interaksi para partisipan di dalam arena aksi implementasi kebijakan pembangunan KPH. Melalui kerangka kerja IAD yang dibuatnya, Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan dampak (outcomes) atau kinerja (performance). Selanjutnya dapat terjadi hubungan timbal balik dimana outcomes akan mempengaruhi partisipan, situasi aksi, dan secara potensial dapat mempengaruhi faktor-faktor eksogen (Ostrom 2005; Ostrom et al. 2006). Polski dan Ostrom (1999) telah memberikan arahan umum penggunaan kerangka kerja IAD untuk analisis kebijakan (lihat Lampiran 3). Menurut Polski dan Ostrom, setelah seorang analis kebijakan mendefinisikan masalah kebijakan maka fokus selanjutnya adalah pada perilaku para partisipan di dalam arena aksi, yang meliputi situasi aksi dan individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara berkesinambungan terlibat dalam situasi tersebut. Salah satu tujuan dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pada masing-masing tiga bidang yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam situasi kebijakan, yaitu: kondisi biofisik dan material, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas. Dua tujuan lainnya adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pola interaksi yang logis yang berhubungan dengan perilaku para partisipan di dalam arena aksi, dan hasil (outcomes) dari interaksi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk kalimat tanya sebagai berikut: “Mengapa proses operasionalisasi KPHP−TBS berjalan lambat?” Pertanyaan umum tersebut kemudian dijabarkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus, yaitu: 1. Bagaimanakah kondisi biofisik mempengaruhi arena aksi yang dihadapi para partisipan dalam pemanfaatan hutan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap atribut komunitas di dalam operasionalisasi KPHP−TBS? 2. Bagaimanakah kondisi peraturan pembentukan organisasi KPH ditinjau dari konsep aturan yang digunakan (rules-in use) dari Ostrom dan Crawford? 3. Bagaimanakah secara bersama-sama faktor kondisi biofisik, peraturan, dan atribut komunitas mempengaruhi arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP−TBS? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu: 1. Menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP−TBS. 2
Uraian tentang kerangka teoritis IAD-framework disajikan pada Bab 2.
5
2. Menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford. 3. Menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP−TBS. Kebaruan (Novelty) Mengacu kepada kriteria orisinalitas dari Phillips dan Pugh (2005) dan Cryer (2006) 3 , penelitian ini setidak-tidaknya mengandung tiga nilai kebaruan (novelty), yaitu pertama, pada penggunaan komponen kerja (working part) dan banyaknya variabel yang digunakan dari kerangka kerja IAD Ostrom. Permasalahan implementasi kebijakan KPH pada KPHP-TBS didekati dengan melihat pengaruh tiga unsur faktor eksogen (kondisi biofisik, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas) terhadap arena aksi, pola interaksi, dan dampak (outcome) yang dihasilkan. Kedua, obyek kajiannya adalah implementasi kebijakan pembangunan KPH. Ketiga, dari sisi lokus penelitian ini mengambil kasus pada proses operasionalisasi KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau. Gabungan dari ketiganya menghasilkan sejumlah informasi baru dan kesimpulan penelitian yang berguna bagi pemecahan masalah-masalah pembangunan KPH di Indonesia. Informasi-informasi tersebut antara lain: (1) cenderungan adanya perbedaan respon pemerintah daerah terhadap pembangunan KPH antara KPHP dan KPHL 3
Phillips dan Pugh (2005) dalam bukunya yang berjudul “How to get a PhD: A handbook for students and their supervisors” merangkum kriteria orisinalitas suatu karya ilmiah menjadi 15 (lima belas) kriteria sebagai berikut: (1) Menyajikan bagian utama dari informasi baru untuk pertama kali; (2) Melanjutkan pekerjaan orisinal yang belum selesai; (3) Melaksanakan suatu karya ilmiah orisinal yang dirancang oleh komisi pembimbing; (4) Menyediakan suatu teknik, observasi, atau hasil yang orisinal dalam sesuatu penelitian; (5) Memiliki sejumlah ide, metode dan interpretasi orisinal dari semua yang telah dilakukan oleh orang lain; (6) Menunjukkan orisinalitas dalam pengujian ide orang lain; (7) Melaksanakan pekerjaan empiris yang belum pernah dilakukan sebelumnya; (8) Membuat sintesis yang belum pernah dibuat sebelumnya; (9) Menggunakan bahan yang sudah diketahui tetapi dengan interpretasi baru; (10) Mencoba sesuatu di suatu negara yang sebelumnya telah dilakukan di luar negeri; (11) Mengambil teknik tertentu dan menerapkannya di daerah baru; (12) Membawa bukti baru untuk mendukung isu lama; (13) Melakukan pendekatan lintas-disiplin dan menggunakan metodologi yang berbeda; (14) Menunjukan suatu wilayah pengamatan baru dimana orang-orang dalam disiplin yang sama belum melihat sebelumnya; dan (15) Menambah pengetahuan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sedangkan Cryer (2006) menyediakan 8 (delapan) kriteria orisinal yang agak berbeda sebagai berikut: (1) Orisinalitas dalam peralatan, tehnik, dan prosedur penelitian, yaitu menggunakan peralatan, tehnik, dan prosedur yang baru dalam melakukan eksplorasi atau pendekatan masalah penelitian; (2) Mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahui/dijelajahi, yaitu menyelidiki, mengeksplorasi sesuatu yang sebelumnya belum ada yang melakukan; (3) Eksplorasi tak terduga, yaitu menemukan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya; (4) Orisinalitas dalam data, yaitu mengumpulkan data, catatan hasil pengamatan yang belum diolah pada suatu waktu, namun data tersebut mempunyai nilai guna untuk diolah kemudian; (5) Orisinalitas dalam perubahan cara atau tempat penggunaan, yaitu melakukan proses perubahan cara atau tempat penggunaan sesuatu yang sudah ada tapi baru bagi tempat lain; (6) Orisinalitas dari hasil sampingan, yaitu bisa jadi dari jalur utama penelitian tidak menemukan sesuatu yang baru, akan tetapi ada hasil sampingan yang baru. Misalnya dalam cara, peralatan, atau beberapa temuan sekunder lainnya yang menarik; (7) Orisinalitas dalam pengalaman, yaitu berupa pengalaman yang orisinil, beda, dan menarik dari proses menjalankan penelitian itu sendiri; dan (8) Berpotensi untuk diterbitkan, yaitu hasil Meskipun tidak penelitiannya berpotensi untuk diterbitkan dalam jurnal peer-reviewed. dipublikasikan namun layak untuk dipublikasikan.
6
yang disebabkan oleh perbedaan peluang perburuan rente ; (2) struktur peraturan pembentukan organisasi KPH masih mengandung sejumlah kelemahan dalam hal pengaturan posisi para partisipan, tidak terdapatnya aturan agregasi untuk mengatasi kemandegan pembangunan KPH oleh pemerintah daerah, dan belum terdapatnya aturan insentif bagi pemerintah daerah; dan (3) adanya hambatan paradigma dan budaya birokrasi kehutanan dalam pembangunan KPH. Penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, namun semuanya belum ada yang menggunakan IADframework sebagai kerangka analisisnya. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Alviya dan Suryandari (2008), Kartodihardjo (2008), Supratman (2009), Suryandari dan Alviya (2009), Karsudi et al. (2010), Suryandari dan Sylviani (2010), Ruhimat (2010), Kusumedi dan Rizal (2010), Rizal et al. (2010), Nur (2012), dan Ruhimat (2013). Rincian dari penelitian-penelitian tersebut ditampilkan pada tabel di Lampiran 1. Demikian juga kerangka kerja IAD sudah banyak digunakan dalam kajian beragam bidang kelembagaan. Namun untuk melihat nilai kebaruan dari penelitian disertasi ini dapat dilihat dari perbedaan dalam tema kajian, fokus, tempat, dan aspek-aspek lainnya. Misalnya Clement dan Amezaga (2009) mengkaji proses desentralisasi kehutanan di Vietnam dengan penekanan pada hubungan antara kebijakan reboisasi dan alokasi lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat; Andersson (2011) mengkaji kebijakan desentralisasi kehutanan di Bolivia dengan fokus pada aliran informasi dan proses pembelajaran. Laerhoven (2010) mengkaji faktor-faktor penentu keberhasilan kelembagaan pengelolaan hutan masyarakat (community forest) di beberapa negara; Hardy dan Koontz (2010) mengkaji faktor-faktor keberhasilan kolaborasi pengelolaan dua Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan pola penggunaan lahan yang berbeda di Ohio; Tucker et al. (2006) mengkaji hubungan antara kelembagaan, kondisi biofisik, sejarah, dan kepemilikan hutan di Guatemala dan Honduras; Mehring et al. (2011) membandingka tingkat efektivitas antara kelembagaan formal dan informal dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu; McGinley dan Cubbage (2011) mengkaji kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan di Costa Rica, Guatemala, dan Nikaragua; Sithole (2014) mengkaji masalah hak akses dan pemanfaatan hutan di Swaziland; J. Suwarno (2011) mengkaji kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung; Ardi (2011) mengkaji pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri rotan jernang di Kabupaten Sorolangun, Jambi; dan Nursidah (2012) mengkaji pengelolaan hutan kawasan lindung DAS Arau. Rincian penelitianpenelitian tersebut ditampilkan pada tabel di Lampiran 2. Manfaat Penelitian Pembangunan KPH yang sedang berjalan saat ini kedudukannya sangat penting dalam kerangka perbaikan sistem pengurusan hutan Indonesia. Sebagaimana telah dinyatakan pada bagian awal, keberadaan KPH dipandang sebagai prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang dimaksudkan untuk membantu mengatasi kendala-kendala implementasi kebijakan pembangunan KPH menjadi sangat penting. Sampai sejauh ini penelitian yang mengambil fokus pada analisis hambatan kelembagaan berupa pengaruh peraturan, pengaruh kondisi biofisik, dan pengaruh karakteristik partisipan belum ada yang melakukan di Indonesia.
7
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi kebijakan guna meningkatkan kinerja proses pembangunan dan operasionalisasi KPHP−TBS. Mengingat di dalam penelitian ini juga dilakukan analisis peraturan yang digunakan secara nasional, maka rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki peraturan akan memiliki cakupan manfaat secara nasional. Adapun manfaat teoritisnya, penelitian ini menyajikan sebuah contoh penggunaan kerangka kerja IAD yang masih sangat langka digunakan pada sektor kehutanan di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sabatier et al. (2005), kerangka kerja IAD adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menjelaskan pola-pola interaksi dan hasilnya, yang dihasilkan dari keputusan dan perilaku para partisipan dalam satu susunan struktur kelembagaan. Dengan demikin maka pada dasarnya kerangka kerja IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis beragam susunan kelembagaan lain, terutama yang berbasiskan pengelolaan sumberdaya bersama (Common-Pool Resources–CPRs). Sistematika Tulisan Disertasi ini disusun terdiri dari enam bab. Bab-bab tersebut adalah: 1. Bab 1 Pendahuluan, menjelaskan latar belakang dan tujuan penelitian. 2. Bab 2 Gambaran Ringkas Kebijakan KPH dan Kerangka Kerja IAD, menyajikan dua hal penting berkaitan dengan konteks penelitian dan kerangka teoritis yang digunakan, yaitu: (a) informasi tentang konsep, kebijakan, dan urgensi KPH; dan (b) kerangka teoritis IAD-Framework. 3. Bab 3 Analisis Pengaruh Kondisi Biofisik, dengan menggunakan konsep dan variable yang disediakan di dalam IAD-framework. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 1. 4. Bab 4 Analisis Peraturan Pembentukan Organisasi KPH, dengan menggunakan konsep rules in-use Ostrom dan Crawford. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 2. 5. Bab 5 Hambatan Operasionalisasi KPHP−TBS: Sebuah Analisis Kelembagaan. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 3. Bab ini merupakan bagian utama disertasi, dimana hasil-hasil penelitian pada Bab 3 dan Bab 4 menjadi bagian pendukung bab ini. 6. Bab 6 Simpulan Umum dan Saran, merupakan rangkuman kesimpulan dan saran dari tiga bab sebelumnya. Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 dirancang menjadi bagian-bagian yang dapat berdiri sendiri untuk memenuhi format utuh sebuah naskah jurnal ilmiah. Oleh karena itu pada masing-masing bab tersebut berisi pendahuluan, metodologi penelitian, hasil dan pembahasan, dan kesimpulan.
8
2 GAMBARAN RINGKAS KEBIJAKAN KPH DAN KERANGKA KERJA IAD KPH di Indonesia Definisi KPH Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Indonesia No. 41/1999, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah kesatuan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Sedangkan Castaneda (2000) mendefinisikan KPH sebagai unit pengelolaan hutan yang arealnya telah ditetapkan dengan batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar arealnya ditutupi oleh hutan, dikelola untuk jangka panjang, dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas yang dituangkan ke dalam rencana pengelolaan hutan. Dengan demikian maka KPH adalah strategi manajemen hutan berupa pembagian areal lahan hutan ke dalam unit-unit wilayah pengelolaan berdasarkan kriteria tertentu. Luas wilayah satu unit KPH berkisar antara 5000 ha – 700.000 ha (lihat Dir WP3H 2012). Penetapan luas wilayah KPH tersebut sangat dipengaruhi oleh luas dan sebaran wilayah hutan yang ada pada masing-masing provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPHK adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi. KPHL adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan lindung. KPHP adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi. Pembentukan KPH Seluruh kawasan hutan Negara di Indonesia akan terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah KPH. Dari 127 juta ha kawasan hutan negara, hampir separuhnya tidak dikelola secara intensif. Adapun kawasan hutan yang telah dikelola intensif sebagian besar merupakan hutan produksi dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Kondisi ini menjadi salah satu pendorong agar pembentukan KPH segera dilaksanakan. Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH. Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap, yaitu: Tahap 1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap 2, Arahan pencadangan wilayah KPH oleh Kemenhut; tahap 3, Usulan Penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan wilayah KPH oleh Kemenhut. Setelah penetapan wilayah KPH maka harus segera diikuti dengan penetapan organisasi yang akan mengelola KPH. KPH dikelola oleh sebuah organisasi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan hutan di tingkat tapak (site level). Berdasarkan PP No 6/2007 jo PP No 3/2008, organisasi KPHK dibentuk dan ditetapkan oleh Kemenhut, sementara berdasarkan Permendagri No. 61/2010 organisasi pengelola KPHL dan KPHP dibentuk dan ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP
9
yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tugas Pokok KPH Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Tahun 2008, yang dijabarkan dalam Permenhut No. P.6/ 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, tugas pokok organisasi KPH adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan penataan hutan dan tata batas di dalam wilayah KPH. 2. Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH. 3. Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk dalam bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. 4. Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan. 5. Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam. 6. Melaksanakan pengelolaan hutan di kawasan tertentu bagi KPH yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). 7. Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan. 8. Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan kawasan. 9. Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPH tersebut yaitu pada penyelenggaraan manajemen pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan yaitu penyelenggaraan pengurusan/administrasi kehutanan. Urgensi KPH Sebuah Analogi Kartodihardjo et al. (2011) menganalogikan keberadaan organisasi dan personil KPH di tingkat tapak seperti “rumah dan penghuninya” yang berada pada suatu “hamparan lahan”. “Rumah” adalah organisasi KPH, “penghuni rumah” adalah personil organisasi KPH, sedangkan “hamparan lahan” adalah kawasan hutan negara. Penanaman pohon dalam kegiatan rehabilitasi hutan, −khususnya pada kawasan hutan lindung− selama ini terkesan mengabaikan asumsi yang harus dipenuhi, yaitu keberadaan rumah dan penghuninya yang akan melindungi dan merawat setiap waktu. Pohon dianggap akan tumbuh dengan sendirinya hingga besar bila kualitas bibitnya bagus dan ditanam sesuai musim. Cara pandang seperti ini bisa benar bila bibit ditanam oleh petani pada lahan yang diakui orang-orang sekitarnya sebagai miliknya, letaknya tidak jauh dari rumahnya, dan petani
10
tersebut selalu menengok dan memeliharanya untuk memastikan bibit tersebut aman dan tumbuh dengan bagus. Sedangkan bila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka kelangsungan hidup bahkan keberadaan bibit pohon tersebut peluangnya sangat kecil untuk bisa tetap ada dan tumbuh hingga dewasa. Hal ini sudah dibuktikan dengan rendahnya tingkat keberhasilan tanaman GNRHL di luar lahan-lahan masyarakat atau pada lahan-lahan yang tidak ada pengelolanya. Rumah dan penghuninya bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya. Ia harus diadakan dan sangat mungkin perhatian dan biaya untuk mengadakannya jauh lebih mahal daripada harga bibit yang ditanam di pekarangan. Ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh ketiadaan atau lemahnya “rumah dan penghuninya”, yaitu pengelola hutan di tingkat tapak. Ketiadaan atau kelemahan “siapa” yang dari waktu ke waktu mengetahui dan memperhatikan perkembangan sumberdaya hutan di lapangan, memelihara dan menjaga hasil-hasil penanaman pada lahan kritis, mengetahui batas-batas kawasan yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang paling terkait dan memerlukan manfaat sumberdaya hutan, dan lain-lain. Dengan demikian ditinjau dari aspek prasyarat, ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak, menjadi penyebab utama kegagalan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah (Kartodihardjo et al. 2011). KPH dan Kelestarian Hutan Ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak terbukti menjadi penyebab kegagalan bagi banyak program, baik dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, pemanfaatan hutan yang lestari, pemberdayaan masyarat, maupun dalam rangka perlindungan hutan. Kegagalan program-program tersebut dengan sendirinya menghasilkan kinerja pengelolaan hutan yang buruk. Indikasitornya dapat dilihat dari masih tingginya jumlah hutan dan lahan yang rusak, misalnya pada bulan Maret 2013 Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa sekitar 60% hutan Indonesia dalam kondisi rusak (Republika, 9 Maret 2013). Pembangunan KPH dimaksudkan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak yang selama ini tidak ada. Adanya KPH akan membuka ruang profesional bagi para rimbawan untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan. KPH akan menjembatani dan mengatur lalulintas kepentingan para pihak terhadap hutan. KPH bisa mengintegrasikan dan mengorganisasikan potensi-potensi para pihak yang ingin terlibat dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan demikian maka keberadaan KPH menjadi faktor pemungkin bagi terwujudnya hutan lestari. KPH dan Akses Masyarakat Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan, dan harapan ekonomi masyarakat untuk memperbaiki kehidupannya. Apabila dikaitkan dengan ijin atau penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada di tangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas dan
11
cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konlik maupun pencegahan terjadinya konlik lebih dapat dikendalikan. Selain itu, KPH dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Kartodihardjo et al. 2011). Kerangka Kerja IAD (IAD-Framework) Definisi Institusi Istilah "institusi atau kelembagaan" didefiniskan dengan banyak cara. Ostrom dan Crawford (2005) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan yang dipahami secara luas, sebagai norma, atau sebagai strategi yang menciptakan insentif bagi perilaku dalam situasi yang berulang. Aturan adalah preskripsi bersama (tentang yang harus, tidak boleh, atau mungkin) yang melarang, mengizinkan atau memerlukan tindakan-tindakan atau hasil tertentu, dan sanksi yang terkait dengan pelanggaran peraturan. Norma adalah preskripsi yang biasanya bersifat informal, yang ditegakkan secara bersama-sama oleh para anggota. Sementara strategi adalah rencana yang sangat teratur yang dibuat oleh individu, dalam struktur insentif yang dihasilkan oleh aturan dan norma, dan harapan kemungkinan perilaku dari orang lain dalam situasi yang dipengaruhi oleh kondisi biofisik yang relevan (Ostrom 2007a). Selanjutnya Ostrom (2005) mendefisikan institusi dengan redaksi yang agak berbeda, yaitu preskripsi yang digunakan manusia untuk mengorganisasikan semua bentuk interaksi yang berulang dan terstruktur, seperti interaksi yang terjadi di dalam keluarga, antar tetangga, pasar, perusahaan, liga olah raga, gereja, asosiasi swasta, dan pemerintahan pada semua level. Institusi mungkin secara formal digambarkan dalam bentuk undang-undang, kebijakan, atau prosedur, atau mungkin muncul secara informal sebagai norma, standar operasional, atau kebiasaan. Menurut Hurwicz (1994) dalam Polski dan Ostrom (1999), baik secara sendirian atau dalam satu set pengaturan, institusi adalah mekanisme untuk mengatur perilaku dalam situasi yang membutuhkan koordinasi antara dua atau lebih individu atau kelompok individu. Analisis institusi merupakan upaya untuk memeriksa bagaimana aturan yang diadopsi oleh individu dan atau organisasi dalam mengatasi masalah mereka, yang diarahkan kepada hasil yang diinginkan (Imperial, 1999). Menurut Soedomo (2012), dalam konteks teori permainan (game theory) institusi sosial dapat memiliki tiga makna, yaitu sebagai organisasi, sebagai aturan main, dan sebagai suatu keseimbangan dari interaksi (permainan) sosial. Individu mempengaruhi dan membentuk institusi (institusi sebagai keseimbangan), sebaliknya institusi juga mengatur perilaku individu (institusi sebagai aturan main). Individu dan institusi dapat dipisahkan, tapi saling tergantung dan berkembang. Pendekatan institusi sebagai aturan main mempelajari institusi sebagai kendala eksogen yang membimbing kepada prilaku endogen, sementara penegakan aturan diperlakukan sebagai isu terpisah. Dinamika institusi pada dasarnya adalah tentang aturan yang berubah, dan fokusnya adalah pada aturan formal yang berubah. Sebaliknya, pendekatan institusi sebagai keseimbangan berfokus pada pengejawantahan dari motivasi endogen, bagaimana melanggengkan perilaku tersebut. Dinamika institusi dengan demikian berkenaan
12
dengan perubahan motivasi dan kebiasaan perilaku, dan fokus analitiknya pada perubahan kepercayaan, norma, dan harapan. Pengembangan dan Penggunaan Kerangka Kerja IAD Menurut Ostrom (2005), dalam menganalisis institusi kebijakan seringkali berhadapan dengan kompleksitas. Beberapa situasi kebijakan mungkin sederhana, namun kebanyakan situasi melibatkan pengetahuan dari perspektif yang berbeda, kemudian aktivitas dijalankan pada berbagai tingkatan, dan sejumlah situasi kebijakan yang given mungkin tumpang tindih dengan situasi kebijakan lain, sehingga aktivitas dalam satu situasi mempengaruhi aktivitas di situasi lain. Dalam rangka memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam arena kebijakan, adalah penting untuk menggabungkan masukan dari berbagai disiplin ilmu, beberapa tingkat aktivitas, dan beberapa situasi kebijakan. Inilah salah satu alasan untuk mengembangkan Institutional Analysis and DevelopmentFramework (IAD-Framework), yaitu untuk memberikan landasan umum untuk mengintegrasikan beragam unsur-unsur kebijakan dan kerangka kerja bagi analis kebijakan yang berbeda-beda. Kerangka kerja IAD dapat dipandang sebagai metode yang sistematis untuk mengorganisir aktivitas analisis kebijakan, yang kompatibel dengan berbagai macam teknik analisis yang lebih khusus yang digunakan dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Menurut Ostrom (2005), pengembangan dan penggunaan kerangka kerja (framework) membantu kita untuk mengidentifikasi unsur-unsur dan hubungan di antara unsur. Kerangka kerja mengatur pertanyaan diagnostik dan preskriptif. Kerangka kerja menyediakan sebagian besar variabel yang harus digunakan untuk menganalisis semua jenis susunan unsur yang relevan. Kerangka kerja memberikan bahasa meta teori yang diperlukan untuk membahas dan membandingkan teori. Kerangka kerja berusaha mengidentifikasi unsur-unsur universal bahwa setiap teori yang relevan juga perlu untuk dimasukkan. Adapun posisi teori, lebih fokus pada bagian-bagian dari kerangka kerja dan membuat asumsi khusus yang diperlukan bagi analis untuk mendiagnosis fenomena, menjelaskan proses, dan memprediksi hasil.
Gambar 2 Kerangka analisis IAD Sumber: Ostrom (2005)
13
Melalui kerangka kerja IAD yang dibuatnya Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya, bersama-sama dengan faktorfaktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan dampak (outcomes) atau kinerja (performance). Selanjutnya dapat terjadi hubungan timbal balik dimana outcomes akan mempengaruhi partisipan, situasi aksi, dan secara potensial dapat mempengaruhi faktor-faktor eksogen. Kriteria evaluasi digunakan untuk menilai kinerja sistem dengan memeriksa pola interaksi dan hasil (Ostrom 2005; 2007b; 2011; Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja IAD dikembangkan oleh Elinor Ostrom bersama para koleganya di Pusat Studi Kelembagaan, Perubahan Populasi dan Lingkungan (Center for the Study of Institutions, Population and Environmental Cange, CIPEC) di Universitas Indiana, sejak dua dekade yang lalu atau lebih (Oakerson 1990; Ostom 2005; Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja ini dibangun dari beragam teori, diantaranya teori ekonomi politik klasik, teori mikroekonomi neoklasik, ekonomi kelembagaan, teori pilihan publik, ekonomi biaya transaksi, dan teori permainan non kerjasama (Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja IAD telah banyak digunakan oleh para peneliti luar dan mendapat pengakuan luas, antara lain seperti yang dinyatakan oleh Schlager dan Blomquist (1996) dan Koontz (2005), yang menyatakan bahwa IAD adalah kerangka kerja yang telah mapan dan kuat, menekankan kepada analisis pengaruh peraturan terhadap pengambilan keputusan dan tindakan individu atau organisasi. Sementara Sabatier et al. (2005) menyatakan bahwa kerangka kerja IAD adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menjelaskan pola-pola interaksi dan hasilnya yang dihasilkan dari keputusan dan perilaku para partisipan (individu dan/atau organisasi) dalam satu susunan kendala kelembagaan. Konsep-konsep terpenting di dalam kerangka kerja IAD adalah arena aksi, situasi aksi, partisipan, faktor eksogen, pola interaksi dan outcomes. Terdapat dua cara atau pendekatan untuk melakukan analisis kebijakan berbasis kelembagaan. Pendekatan pertama, menggunakan kerangka kerja IAD sebagai alat diagnostik dan bekerja ke arah belakang (backward) sesuai dengan diagram alir untuk menegaskan kembali atau merevisi tujuan kebijakan, mengevaluasi hasil kebijakan, memahami struktur informasi dan insentif kebijakan, atau mengembangkan inisiatif reformasi. Pendekatan ini paling cocok digunakan untuk menganalisis situasi kebijakan yang sudah mapan atau sudah diimplementasikan. Pendekatan kedua adalah bekerja dari belakang ke depan (forward), biasanya untuk mendefinisikan isu atau tujuan kebijakan, dan menggunakan kerangka kerja IAD sebagai suatu aktivitas ekonomi politik. Pendekatan kedua ini paling cocok untuk tugas-tugas kebijakan yang melibatkan pengembangkan inisiatif kebijakan baru, atau membandingkan dengan rancangan kebijakan alternatif (Polski dan Ostrom 1999). Arena Aksi Arena aksi adalah konsep analitis yang menunjuk kepada suatu ruang sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara situasi aksi dan partisipan. Situasi aksi adalah ruang sosial dimana para partisipan dengan beragam preferensi berinteraksi, bertukar barang dan jasa, memecahkan masalah, mendominasi satu sama lain, atau saling berlawanan (banyak hal yang dapat dilakukan orang dalam arena aksi) (Ostrom 2005). Konsep situasi aksi merupakan sebuah konstruk
14
analitis yang digunakan oleh ahli teori, sebagai salah satu cara untuk melihat dunia nyata dengan jalan mengisolasi beberapa variabel kunci yang dianggap mempengaruhi perilaku manusia. Kehidupan nyata tentunya jauh lebih kompleks daripada apa yang direpresentasikan oleh suatu model situasi aksi (Ostrom 1983). Situasi aksi meliputi tujuh variabel, yaitu (1) Siapa para partisipan, (2) Posisi para partisipan, (3) Hasil (outcomes) yang mungkin terjadi, (4) Keterkaitan antara aksi dan hasil, (5) Tingkat kontrol partisipan terhadap hubungan antara aksi dan hasil, (6) Informasi yang dimiliki para partisipan tentang struktur situasi aksi, dan (7) Biaya dan manfaat yang ditanggung para partisipan. Ketujuh elemen kerja (working parts) tersebut dapat dipandang sebagai elemen-elemen terpenting dan memadai untuk menggambarkan struktur situasi aksi. Elemen-elemen tersebut mirip dengan apa yang digunakan dalam membangun model permainan formal (formal game models) (Ostrom 2005). Partisipan adalah individu dan atau organisasi yang terlibat di dalam suatu arena aksi. Partisipan meliputi empat variabel, yaitu (1) Sumberdaya partisipan yang dibawa pada situasi aksi, (2) Penilaian/persepsi partisipan terhadap arena aksi, (3) Cara partisipan dalam memperoleh, melaksanakan, menguasai, dan memanfaatkan pengetahuan dan informasi, dan (4) Proses atau strategi para partisipan memilih kriteria aksi (Ostrom 2005, 2007). Kerangka kerja IAD mengasumsikan bahwa partisipan bersifat rasional, namun tetap terbatas karena mereka dibatasi oleh sumber daya yang terbatas, pengetahuan yang tidak lengkap dan tingkat kemampuan pemrosesan informasi yang terbatas. Akibatnya, partisipan bisa melakukan kesalahan ketika memilih tindakan tertentu untuk mencapai tujuan (Ostrom 2007). Namun seiring dengan waktu, setelah pengalaman terakumulasi, para partisipan dapat mengadopsi strategi yang berbeda dan mengubah peraturan untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Ostrom 2007). Menurut Ostrom (1999, 2005), penting untuk dicatat bahwa sebagian realitas sosial terdiri dari beberapa arena aksi saling terkait, baik secara berurutan atau secara simultan. Arena aksi sangat jarang yang bersifat independen dari arena aksi yang lain. Dalam hal ini, misalnya arena aksi pembangunan dan operasionalisasi KPH akan terkait dengan beberapa arena aksi lain −antara lain arena aksi pemanfatan hutan− yang mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan para partisipan di arena aksi tersebut. Faktor Eksogen Faktor eksogen meliputi tiga hal, yaitu (1) Karakteristik sumberdaya biofisik/material (biophysical/material condition), (2) Penciri atau atribut komunitas (attributes of community), dan (3) Aturan-aturan yang digunakan (rules in-use). Faktor-faktor ini saling terkait dan secara bersama-sama mempengaruhi perilaku, kegiatan dan strategi yang dilakukan para partisipan (membentuk pola interaksi) dan outcomes yang dihasilkan (Ostrom 2007b). Hasil atau Kinerja Hasil (outcomes) atau kinerja (performance) adalah hasil-hasil yang terjadi sebagai hasil dari interaksi para partisipan di dalam arena aksi dikaitkan dengan tujuan kebijakan atau kelembagaan. Manurut Polski dan Ostrom (1999) perilaku para partisipan menghasilkan pola interaksi yang bisa diamati, yang pada
15
gilirannya menghasilkan hasil (outcomes) kebijakan. Bentuk-bentuk hasil (outcomes) dapat diprediksi dengan mencermati struktur situasi aksi yang terbentuk dan asumsi yang digunakan terhaadap paartisipan (Ostrom 2005). Aturan Definisi aturan di sini lebih dekat kepada pengertian regulasi. Aturan dapat dianggap sebagai seperangkat instruksi untuk menciptakan situasi aksi dalam lingkungan tertentu. Aturan bersifat menggabungkan unsur-unsur untuk membangun struktur situasi aksi. Property rights merupakan salah satu bentuk aplikasi pengaturan. Dalam sistem pemerintahan demokratis dan terbuka, ada banyak sumber aturan yang digunakan oleh individu. Selain undang-undang dan peraturan pemerintah pusat, juga ada aturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan lokal. Di dalam perusahaan swasta, struktur yang berwenang mengadopsi berbagai aturan akan menentukan siapa yang menjadi anggota, bagaimana manfaat didistribusikan, dan bagaimana keputusan dibuat (Ostrom 2005). Dalam analisis kelembagaan, langkah pertama adalah memahami aturanaturan yang secara ril digunakan individu dalam membuat keputusan (rules in use). Rules in use adalah seperangkat aturan yang menjadi referensi partisipan jika mereka diminta untuk menjelaskan dan membenarkan tindakan mereka. Individu secara sadar dapat juga memutuskan untuk mengadopsi aturan yang berbeda dan mengubah perilaku mereka untuk menyesuaikan diri dengan keputusan seperti itu (Ostrom 2005). Dilihat dari tipenya, menurut Sabatier (2007) rules in use dapat berupa aturan formal atau informal, aturan tertulis atau tidak tertulis, bahkan dapat berupa kebiasaan sosial (social habit). Aturan-aturan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap tujuh unsur situasi aksi, yaitu aturan posisi (position rules), aturan batas-batas (boundary rules), aturan kewenangan (authority rules), aturan agregasi (aggregation rules), aturan informasi (information rule), aturan lingkup (scope rules), dan aturan biayamanfaat (payoff rules) (Ostrom dan Crawford 2005). Kondisi Biofisik/Material Bila konfigurasi aturan mempengaruhi semua elemen situasi aksi, maka beberapa variabel dari situasi aksi (dengan demikian keseluruhan susunan insentif yang dihadapi oleh individu dalam suatu situasi) juga dipengaruhi oleh atribut dunia biofisik dan material. Tindakan apa yang secara fisik mungkin dilakukan, hasil apa yang dapat diproduksi, bagaimana tindakan terkait dengan hasil, dan apa yang terkandung di dalam informasi bagi para partisipan dipengaruhi oleh dunia biofisik. Peraturan yang sama dapat menghasilkan situasi aksi yang berbeda, tergantung kepada kondisi biofisik yang dihadapi (Ostrom 2005). Atribut biofisik sangat mempengaruhi pilihan yang tersedia bagi partisipan. Dua atribut yang sering digunakan untuk membedakan antara empat kelompok barang dan jasa, yaitu: exclusion dan subtractability dalam penggunaan barang dan jasa. Exclusion berkaitan dengan sulitnya membatasi orang-orang untuk mendapat keuntungan dari penyediaan barang atau jasa. Subtractability berkaitan dengan keadaan sejauh mana penggunaan barang atau jasa oleh individu mengurangi ketersediaan barang atau jasa untuk dikonsumsi oleh pihak lain. Keadaan kedua atribut tersebut berkisar antara rendah sampai tinggi. Ketika atribut ini didikotomiskan maka susunannya seperti pada Gambar 3. Matrik ini
16
dapat digunakan sebagai atribut untuk mendefinisikan empat jenis barang, yaitu: barang kelompok, barang pribadi, barang publik, dan sumber daya umum. Substractability of use Difficulty of excluding potential beneficiares
Low
High
Low
Toll goods
Private goods
High
Public goods
Common-pool resources
Gambar 3 Kategori empat kelompok barang dan jasa Sumber: Ostrom (2005) Menurut Ostrom dan Hess (2007), istilah “common-property resource” kadangkala digunakan untuk menggambarkan jenis barang ekonomi yang lebih baik disebut sebagai “common-pool resources”. Semua jenis barang commonpool resources berbagi dua atribut yang penting untuk kegiatan ekonomi, yaitu (1) sangat mahal untuk mengeksklusi individu dari memanfaatkan barang, baik melalui hambatan fisik atau instrumen hukum, dan (2) manfaat yang dikonsumsi oleh satu individu akan mengurangi manfaat yang tersedia bagi orang lain. Dengan memahami kelompok jenis barang yang berbagi kedua atribut itu, memungkinkan para ahli untuk mengidentifikasi masalah inti teoritis yang dihadapi individu “ketika lebih dari satu individu atau kelompok yang dapat memanfaatkan sumber daya tersebut” untuk jangka waktu yang panjang. Selain berdasarkan dua atribut tersebut, khususnya untuk common-pool resources, sifatnya akan berbeda-beda tergantung kepada jenis atribut lain yang mempengaruhi kegunaan ekonomi, seperti ukuran, bentuk, produktivitas, nilai, waktu dan keteraturan unit sumber daya yang dihasilkan. Common-pool resources dapat dimiliki oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kelompok-kelompok komunal, individu swasta atau perusahaan, atau digunakan sebagai sumber daya akses terbuka (open acces). Masing-masing dari jenis rezim hak tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, akan tetapi pada dasarnya mungkin membutuhkan dasar pengaturan yang sama mengenai akses dan penggunaan sumber daya. Dengan demikian, CPRs tidak ada hubungan otomatis dengan “kepemilikan (property rights)”, akan tetapi terkait langsung dengan sifat “pemanfaatan” oleh banyak orang. Kepemilikannya dapat berupa state property, common property, ataupun private property, sementara pemanfaatan sumberdaya dilakukan oleh banyak orang dan sulit atau biayanya relatif sangat mahal untuk melakukan eksklusi. Situasi demikian, apabila tidak diatasi dengan pengaturan dan penegakkan kelembagaan yang tepat, cenderung mengarah kepada terjadinya tragedy of the common. Selain atribut ekskludabilitas dan substraktabilitas, struktur situasi aksi juga dipengaruhi oleh beragam atribut lain yang mempengaruhi bagaimana aturan digabungkan dengan kondisi fisik untuk menghasilkan insentif positif atau negatif. Jumlah atribut yang dapat mempengaruhi struktur situasi luar biasa banyaknya. Hal yang penting diketahui oleh para analis kelembagaan adalah bahwa aturanaturan yang menghasilkan insentif dalam satu pengaturan, mungkin mengalami
17
kegagalan ketika diterapkan pada situasi dengan kondisi biofisik yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam studi CPRs yang telah dilakukan secara luas, misalnya pengaturan yang efektif sangat dipengaruhi oleh ukuran sumber daya, mobilitas unit sumber daya (misalnya air, satwa liar, atau pohon), keberadaan tempat penyimpanan; jumlah dan distribusi curah hujan, jenis tanah, kemiringan, ketinggian, dan berbagai faktor lainnya (Ostrom 2005). Atribut Komunitas Atribut komunitas yang penting dalam mempengaruhi arena aksi meliputi (1) nilai-nilai perilaku yang berlaku di dalam komunitas, (2) tingkat pemahaman bersama (common understanding) bahwa anggota komunitas berbagi (atau tidak berbagi) tentang bagian-bagian tertentu dari struktur arena aksi, (3) tingkat homogenitas preferensi anggota komunitas, (4) ukuran dan komposisi komunitas, dan (5) sejauh mana ketimpangan penguasaan aset dasar di antara mereka. Istilah budaya (culture) sering digunakan untuk nilai-nilai bersama dalam masyarakat (Ostrom 2005). Berkaitan dengan arena aksi, karakteristik para partisipan yang terlibat dalam suatu arena aksi biasanya sangat dipengaruhi oleh atribut komunitas tempat dimana mereka berada (Sabatier et al. 2005). Atribut tersebut dapat mempengaruhi preferensi atas kebijakan serta apakah kebijakan ini beroperasi atau tidak sebagaimana yang diharapkan (Imperial 1999).
18
3 ANALISIS PENGARUH KONDISI BIOFISIK DAN PERATURAN TERHADAP ATRIBUT KOMUNITAS DALAM PEMANFAATAN HUTAN DI AREAL KPH Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan KPH yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia diyakini sebagai prasyarat terciptanya pengelolaan hutan lestari dan berkeadilan (Kartodihardjo et al. 2011). Pembangunan KPH dilakukan pada beragam kondisi biofisik hutan. Berdasarkan kriteria fungsi hutan, KPH dikelompokan menjadi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPHK adalah kesatuan pengelolaan hutan dimana luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi. KPHL adalah kesatuan pengelolaan hutan dimana luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan lindung. KPHP adalah kesatuan pengelolaan hutan dimana luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi. Rintisan penetapan kawasan hutan ke dalam kategori Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) telah dilakukan sejak awal masa pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966. Pengklasifikasian tersebut dilakukan dalam rangka persiapan eksploitasi hutan alam secara besar-besaran. Lembaga yang bertugas untuk melakukan perencanaan hutan secara nasional pada saat itu adalah Direktorat Inventarisasi dan Perencanaan Kehutanan (DITINPEK), di bawah Direktorat Jenderal Kehutan Departemen Pertanian. Pada saat itu pemerintah belum memiliki peraturan tentang kriteria penetapan kawasan hutan ke dalam kategori HP, HL dan HK. Penetapan dilakukan secara langsung melalui Keputusan Menteri Pertanian berdasarkan hasil survey dan rekomendasi dari DITINPEK. Kawasan-kawasan hutan yang berpotensi untuk diusahakan dan disetujui oleh pemerintah daerah, secara otomatis ditetapkan sebagai Hutan Produksi (Djajapertjunda dan Jamhuri 2013). Kebijakan pemerintah saat itu didorong oleh kondisi perekonomian negara yang sedang terpuruk akibat krisis politik yang berkepanjangan. Salah satu jalan untuk memulihkannya dengan cara memanfaatkan potensi sumberdaya hutan (Djajapertjunda dan Jamhuri 2013; Nurjaya 2005; Mas’oed 1989; Barr 2006). Baru pada awal dekade 80-an pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kriteria penetapan kawasan hutan berdasarkan fungsinya. Kriteria dan tata cara penetapan Hutan Lindung diatur melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980. Kriteria dan tata cara penetapan Suaka Alam dan Hutan Wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/1981 mengatur (terakhir diatur melalui PP No. 28/2011). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/1981 mengatur tentang kriteria dan tata cara penetapan Hutan Produksi Konversi, dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/1981 mengatur tentang kriteria dan tata cara penetapan Hutan Produksi. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, arahan pencadangan Hutan Lindung dan Hutan Produksi ditetapkan berdasarkan pemberian bobot dan nilai (scoring) kepada tiga faktor biofisik hutan, yaitu “kelas kelerengan lahan”, “jenis tanah menurut kepekaan erosi”, dan “curah hujan”. Hasil penjumlahan nilai dari
19
tiga faktor tersebut apabila sama dengan atau lebih dari 175, maka dicadangkan sebagai Hutan Lindung; nilai 125 – 174 dicadangkan sebagai Hutan Produksi Terbatas; dan nilai lebih kecil atau sama dengan 124 dicadangkan sebagai Hutan Produksi Tetap. Arahan pencadangan Suaka Alam dan Suaka Marga Satwa ditentukan berdasarkan sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik. Secara kelembagaan, pengkatogerian kawasan hutan berdasarkan fungsinya memunculkan bentuk-bentuk pengaturan lanjutan yang berbeda, antara lain dalam pemanfaatan hutan. Saat ini pemanfaatan hutan, baik pada HK, HL dan HP diatur dalam PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dan sejumlah peraturan turunnya. Tata cara mendapatkan IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) diatur dalam Permenhut No. No. P.50/2010 jo. No. P.26/2012; tentang Rencana Kerja IUPHHK diatur dalam Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012; dan tentang Hutan Kemasyarakatan diatur dalam Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011. Pemanfaatan hutan dalam perjalanannya penuh diwarnai dengan praktekpraktek KKN (Smith 2003; Nurjaya 2005; Barr 2006; Mas’oed 1989; Kartodihardjo 2006). Kondisi demikian berlangsung pada seluruh masa pemerintahan rezim Orde baru (32 tahun). Berdasarkan fakta di lapangan warisan kebiasaan KKN ini sampai saat ini masih terus berlangsung 4. Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang dalam fase awal mengimplementasikan kebijakan pembangunan KPH di seluruh kawasan hutan Indonesia. Berdasarkan Permendagri No. 61/2010, pembentukan dan operasionalisasi organisasi KPHL dan KPHP dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dari sekitar 120 KPH Model yang sedang dibangun, terdapat fakta di lapangan bahwa pembangunan dan operasionalisasi organisasi KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP−TBS) di Provinsi Riau berjalan lambat, sementara di KPHL Rinjani Barat (KPHL−RB) berjalan cepat. Hal ini diduga ada hubungannya dengan perbedaan kondisi biofisik dan rezim pengaturan pemanfaatan hutan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui situasi-situasi yang dapat menghambat proses-proses pembangunan dan operasionalisasi organisasi KPH oleh pemerintah daerah, khususnya untuk melihat pengaruh aspek biofisik. Ostrom (2005; 2007a; 2011) menyediakan kerangka kerja analisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) yang dapat digunakan untuk meneliti pengaruh kondisi biofisik terhadap suatu arena aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Melalui kerangka kerja IAD, Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan suatu dampak (outcomes) tertentu. Faktor eksogen dimaksud terdiri dari kondisi biofisik (physical/material conditions), peraturan yang digunakan (rules in use), dan karakteristik komunitas (attributes of community). Menurut Ostrom (2005), pengembangan dan penggunaan kerangka kerja (framework) dapat membantu kita untuk mengidentifikasi unsur-unsur dan hubungan di antara unsur. Berdasarkan pernyataan Ostrom tersebut, penelitian ini mengambil fokus kepada pengaruh kondisi biofisik dan peraturannya terhadap arena aksi 4
Mengacu kepada hasil kajian KPK pada akhir tahun 2013 oleh Kartodihardjo dan Nagara (KPK 2013).
20
pemanfaatan hutan, yang selanjutnya akan mempengaruhi pola interaksi di antara para partisipan dan dampak yang dihasilkan. Dampak dibatasi pada penguatan atau pelemahan prinsip-prinsip tata kelola hutan pada komunitas pelaksana daerah. Anggota-anggota dari komunitas ini juga menjadi pelaksana partisipan di dalam arena aksi pembangunan KPH. Penelitian ini merupakan studi literatur dimana data yang digunakan sepenuhnya merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Kerangka Penelitian Penelitian ini mengadopsi alur pemikiran dan pendekatan analitis sebagaimana yang digambarkan pada kerangka kerja IAD (lihat Gambar 2 halaman 12). Menurut Ostrom (2005) kerangka kerja IAD dapat membantu para analis kelembagaan dalam mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang membentuk struktur situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Pola hubungan di antara kelompok variabel dapat dijelaskan sebagai berikut: Interaksi para partisipan di dalam suatu arena aksi yang dihadapi bersama, cenderung akan memunculkan pola perilaku tertentu, yang selanjutnya menghasilkan dampak-dampak (outcomes) tertentu. Arena aksi terdiri dari “situasi aksi” dan “para partisipan”. Situasi aksi menunjuk pada ruang sosial dimana para partisipan dengan beragam preferensi melakukan interaksi. Partisipan adalah individu-individu atau organisasi yang melakukan interaksi di dalam arena aksi. Arena aksi dipengaruhi oleh tiga kelompok besar faktor eksogen, yaitu “kondisi biofisik”, “peraturan yang digunakan”, dan “atribut komunitas”. Dalam penelitian ini tidak mengambil keseluruhan komponen kerangka kerja IAD, namun mengambil secara parsial komponen-komponen kerja tersebut sesuai dengan tujuan penelitian. Kerangka fikir penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4. Pengaruh Kondisi Biofisik • Kondisi biofisik • Peraturan pemanfaatan hutan
ARENA AKSI PEMANFAATAN HUTAN
Pola interaksi para partisipan
Dampak (Outcomes): terhadap kinerja prinsip-prinsip tata kelola hutan pada komunitas partisipan daerah
Gambar 4. Kerangka penelitian pengaruh biofisik Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dan kerangka fikir penelitian, maka masalah penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
21
1. Bagaimanakah kondisi biofisik hutan beserta peraturan pemanfaatan mempengaruhi arena aksi pemanfaatan hutan pada KPHP−TBS dan KPHL−RB? 2. Bagaimana pola interaksi yang terjadi? 3. Bagaimana dampak (outcomes) yang terbentuk sebagai hasil dari pola interaksi tersebut? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan pengaruh perbedaan kondisi biofisik dan peraturan pemanfaatan hutan terhadap arena aksi pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHL Rinjani Barat. 2. Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk sebagai dampak dari situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan daerah. 3. Mendeskripsikan dampak (outcomes) yang terbentuk sebagai hasil dari pola interaksi. Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Mei 2014. Obyek penelitian adalah proses pembangunan dan operasionalisasi organisasi KPHP−TBS dan KPHL−RB. KPHP−TBS merupakan KPH provinsi dimana wilayah kerjanya bersifat lintas kabupaten, yaitu pada wilayah Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak di Provinsi Riau. Demikian juga KPHL−RB adalah KPH Provinsi dimana wilayah kerjanya berada pada Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Format penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai ciri, karakter, sifat, model, atau Gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin 2010). Format penelitian deskriptif kualitatif menurut Bungin pada umumnya dilakukan dengan pendekatan studi kasus. Menurut Faisal (2010) pendekatan studi kasus dilakukan dengan jalan menelaah masalah secera komprehensif, mendetail, dan mendalam, dimana berbagai varibel ditelaah dan ditelusuri, termasuk juga kemungkinan hubungan antar variabel yang ada. Oleh karenanya bisa jadi penelitian studi kasus menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bersifat eksplanasi, akan tetapi eksplanasi tersebut tidak dapat diangkat sebagai suatu generalisasi. Penelitian ini mengadopsi pendekatan analitis kerangka kerja IAD Ostrom. Mengacu kepada kerangkan kerja tersebut, jenis-jenis variabel yang dianalisis, jenis dan sumber data, metode pengumpulan dan analisis data yang disesuaikan dengan masing-masing tujuan penelitian ditampilkan pada Tabel 1.
22
Tabel 1 Variabel, metode pengumpulan, analisis dan sumber data Tujuan
Variabel yang dianalisis dan metode analisis
Metode pengumpulan
Sumber data
Tujuan 1: Mendeskripsikan pengaruh perbedaan kondisi biofisik dan peraturan pemanfaatan hutan terhadap arena aksi pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHL Rinjani Barat. a
Kondisi biofisik KPH
Luas kawasan hutan; luas kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan (TGHK) (Deskriptif)
b
c
d
Pengaturan pemanfatan hutan
Rezim ijin pemanfaatan hutan
Keberadaan ijin-ijin pemanfaatan hutan
Jenis dan jumlah ijin konsesi
Arena aksi pemanfaatan hutan
Situasi aksi terdiri dari: Para partisipan; Posisi dan peran; Jenis tindakan (Tugas/wewenang); Tingkat kontrol; Ketersediaan informasi; Biaya manfaat, dan; Dampak yang mungkin. Partisipan terdiri dari: Preferensi; Cara menggunakan informasi, dan; Kriteria seleksi.
(Deskriptif)
(Deskriptif)
Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet.
• Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPJP) KPHP−TBS dan RPJP KPH-RB.
Mengumpulkan peraturan yang dibutuhkan melalui internet.
• Situs Kementerian Kehutanan
Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet.
• Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPJP) KPHP−TBS dan RPJP KPH-RB. • Situs Kementerian Kehutanan dan beberapa situs lain.
Mengumpulkan peraturan yang dibutuhkan melalui internet. (Deskriptif)
• Situs Kementerian Kehutanan
Tujuan 2: Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk sebagai dampak dari situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan daerah. a
Pola interaksi
Tingkat KKN (Deskriptif)
Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet.
• Buku, laporan penelitian, newsletter, dan sebagainya. • Suat kabar online dan sejumlah situs yang relevan.
Tujuan 3: Mendeskripsikan dampak (outcomes) yang terbentuk sebagai hasil dari pola interaksi. a
Dampak (outcomes)
Penguatan/pelemahan prinsipprinsip tata kelola hutan (Deskriptif)
Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet.
• Buku, laporan penelitian, newsletter, dan sebagainya. • Suat kabar online dan sejumlah situs yang relevan.
Hasil dan Pembahasan Kondisi Biofisik Wilayah KPH Lokasi Lokasi kedua KPH dijelaskan berdasarkan posisi geografis, wilayah administrasi pemerintahan, dan pulau. Berdasarkan posisi geografisnya KPH
23
Tasik Besar Serkap terletak di antara 101°55’48’’ BT − 103°16’12’’ BT dan 00°10’12’’ LU − 00°43’48’’ LU, sedangkan berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau, dan berdasarkan pulau berada di Pulau Sumatera (KPHP−TBS 2012). KPH Rinjani Barat, berdasarkan posisi geografisnya terletak pada 116º00’ − 116º30’ LS dan 08º10’ − 08º40’ BT, berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan berdasarkan pulau berada di Pulau Lombok (KPHL−RB 2012). Luas dan Fungsi Hutan Wilayah kerja KPH Tasik Besar Serkap, ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 509/Menhut-VII/2010 pada tanggal 21 September 2010 dengan luas 513.276 ha. Wilayah kerja KPH Rinjani Barat ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 651/MenhutII/2010 tanggal 22 Desember 2010 dengan luas 40.983 ha. Rincian luas masingmasing KPH berdasarkan fungsi hutan ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Luas wilayah KPH Tasik Besar Serkap dan KPH Rinjani Barat berdasarkan fungsi hutan Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi (HP) No
Nama KPH Luas (ha)
1
KPHP Tasik Besar Serkap
2
KPHL Rinjani Barat
%
Luas (ha)
%
Hutan Produksi Terbatas (HPT) Luas (ha)
%
Hutan Produksi Konversi (HPK) Luas (ha)
Jumlah
%
Luas (ha)
%
-
-
491,768
95.80
2,660
0.50
18,848
3.70
513,276
100.00
28,911
70.58
5,075
12.39
6,997
17.03
-
-
40,983
100.00
Sumber: KPHP-TBS (2012) dan KPHL-RB (2012)
Luas wilayah kerja KPH Tasik Besar Serkap hampir 13 kali lipat luas wilayah kerja KPH Rinjani Barat. Berdasarkan fungsi hutan wilayah kerja KPH Tasik Besar Serkap seluruhnya berupa kawasan hutan produksi (HP, 100%), sementara wilayah kerja KPH Rinjani Barat sebagian besar berupa Hutan Lindung (HL, 70,58%) dan sisanya berupa Hutan Produksi (HP, 29,42%). Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, sementara Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. KPH yang wilayah kerjanya didominasi oleh hutan produksi diberi nama Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), dan KPH yang wilayah kerjanya didominasi oleh hutan lindung diberi nama Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan hutan di Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Djajapertjuda dan Jamhuri (2013), secara historis telah dilakukan jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Indonesia berkuasa. Masyarakat sudah terbiasa memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan makanan, sumber kayu sebagai bahan bangunan dan bahan pakaian. Setelah kedatangan kompeni (VOC) pada masa
24
Gambar 5 Peta wilayah kerja KPHP-TBS (SK Menhut No. 509/Menhut-VII/201)
Gambar 6
Peta wilayah kerja KPHL-RB (SK Menhut No. 651/Menhut-II/2010)
25
permulaan abad ke-17 semakin memperjelas kedudukan hutan sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan perdagangan. Pada periode-periode berikutnya pemanfaatan hutan berlangsung semakin intensif dimana kayu menjadi komoditi utama untuk keperluan bahan bangunan, perkapalan, dan kayu bakar industri. Setelah Indonesia merdeka, pemanfaatan hutan terus berlangsung dan terjadi dalam skala besar-besaran sejak awal Orde Baru (1966). Amanat Penderitaan Rakyat dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi nasional secara cepat. Untuk mendukung kebijakan ini pemerintah membuat instrumen hukum (legal instrument) yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Setelah minyak dan gas bumi yang dijadikan andalan, selanjutnya sumber daya hutan dieksploitasi melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Sebagai landasan hukumnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, kemudian PP No. 21 Tahun 1970 jo. PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Menyusul kemudian PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Tanaman Industri (HP-HTI) (Nurjaya 2005). Pemberian ijin konsesi HPH yang dilakukan tanpa prosedur lelang antara tahun 1967 – 1980 berjumlah 519 unit dengan luas wilayah 53 juta ha (Kartodihardjo 2006). Dari segi ekonomi, pemberian ijin konsesi hutan kepada Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberi kontribusi secara nyata bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, akan tetapi karena pelaksanaannya dilakukan secara tidak terbuka dan tidak selektif karena mengandung unsur KKN (Nurjaya 2005; Hidayat 2008), maka hal ini menyebabkan ijin konsesi didominasi oleh orang-orang atau yayasan-yayasan tertentu yang memiliki akses kuat pada elit penguasa. Selain itu, karena lemahnya pengawasan (control) dan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, maka situasi itu menyebabkan terjadinya eksploitasi hutan yang tidak terkendali dan tidak tersentuh oleh hukum (Nurjaya 2005). Hasil kajian Sarjono (2004) terhadap pokok-pokok kebijakan kehutanan pemerintah selama lima periode Pelita (25 tahun) menyimpulkan bahwa politik kehutanan Indonesia tidak menghilangkan karakter politik kehutanan yang diwariskan kolonial Belanda yang menekankan pada aspek pengusahaan hutan (ekonomi). Karakter tersebut merupakan salah satu ciri dari konsep kehutanan konvesional, yaitu kebijakan yang orientasi utamanya pada pengusahaan hutan (forest utilization). Berdasarkan uraian di atas maka secara historis pengusahaan hutan selalu menjadi arus utama (mainstream) bagi kebijakan pengurusan hutan Indonesia. Konsep kehutanan konvensional ini telah menjadi paradigma yang membentuk pola fikir dan budaya mayoritas rimbawan Indonesia. Sejalan dengan itu, produkproduk hukum atau peraturan kehutanan yang dihasilkan pun didominasi oleh warna paradigma ini. Peraturan pemanfaatan hutan Undang-undang sektoral yang menjadi dasar hukum pemanfaatan hutan di Indonesia saat ini adalah UU No. 41/1999. Pada tingkat operasional mengacu
26
kepada PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP tersebut kemudian dijabarkan dengan sejumlah Peraturan Menteri dan Peraturan Direktur Jenderal. Jenis-jenis pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3. Terdapat empat kelompok besar ijin pemanfaatan hutan, yaitu (1) Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), (2) Ijin Usaha Pemanfatan Jasa Lingkungan (IUPJL), (3) Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dan (4) Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK). Keempat kelompok jenis ijin pemanfaatan hutan tersebut semuanya dapat dilakukan pada hutan produksi, sementara pada hutan lindung hanya IUPK, IUPJL, dan IPHHBK (jenis ijin yang diberi tanda panah besar tidak boleh dilakukan pada HL). Berdasarkan peraturan tersebut maka dapat diprediksi bahwa konsentrasi keberadaan ijin-ijin usaha pemanfaatan kayu, dimana pada umumnya menjadi domain perusahaan besar, akan lebih banyak terdapat pada wilayah kerja KPHP daripada pada KPHL. Tabel 3 Rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Status Kawasan Hutan berdasarkan fungsi hutan
Hutan Lindung (HL)
Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)
IUPK, antara lain: 1. budidaya tanaman obat;
2. budidaya tanaman hias;
3. budidaya jamur; 4. budidaya lebah; 5. penangkaran satwa liar;
6. rehabilitasi satwa;
7. budidaya hijauan makanan ternak.
Hutan Produksi (HP)
IUPK, antara lain: 1. budidaya tanaman obat; 2. budidaya tanaman hias; 3. budidaya jamur; 4. budidaya lebah; 5. penangkaran satwa; dan 6. budidaya sarang burung walet.
Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL)
IUPJL, antara lain:
Rezim Pemanfaatan Hutan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)
-
1. pemanfaatan jasa aliran air; 2. pemanfaatan air; 3. wisata alam; 4. perlindungan keanekaragaman hayati; 5. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; 6. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
IUPJL, antara lain: 1. pemanfaatan jasa aliran air; 2. pemanfaatan air; 3. wisata alam; 4. perlindungan keanekaragaman hayati; 5. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau 6. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK)
IPHHBK: 1. rotan; 2. madu; 3. getah; 4. buah; 5. jamur; atau 6. sarang burung walet.
IUPHHK:
IPHHK:
1. IUPHHK-Hutan Alam: 1. untuk pembangunan a. IUPHHK fasilitas umum, maksimum b. IUPHHK-Restorasi Ekosistem 50 m3 2. IUPHHK-Hutan Tanaman: 2. untuk kebutuhan individu, a. Hutan Tanaman Industri (HTI) maksimum 20 m3 per b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Kepala Keluarga (KK) c. Hutan Tanaman Hasil Reboisasi (HTHR)
IPHHBK
IUPHHBK: 1. Rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,pengamanan, dan pemasaran hasil. 2. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
1. Pada hutan alam: rotan, madu, getah, buah atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbiumbian, dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap kepala keluarga. 2. Pada hutan tanaman: idem
27
Keberadaan ijin-ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH KPHP Tasik Besar Serkap. Di wilayah kerja KPHP−TBS saat ini terdapat 20 unit ijin pemanfaatan hutan, yang terdiri dari 17 buah IUPHHK-HTI, 1 buah IUPHHK-HA, 1 buah IUPHHK-RE, dan 1 buah ijin Hutan Desa. IUPHHK-HTI semuanya untuk memproduksi kayu bahan baku pulp, IUPHHK-HA PT The Best One saat ini kondisinya sedang tidak aktif, IUPHHK-RE atas nama PT Gemilang Cipta Nusantara baru beroperasi tahun 2013, demikian juga dengan ijin Hutan Desa untuk masyarakat Desa Serapung-Segamai baru beroperasi pada tahun yang sama. Daftar para pemegang ijin sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4. Berdasarkan data pada Tabel 4, kawasan hutan yang telah dibebani ijin seluas 388.413 ha dari luas total areal kerja KPHP−TBS seluas 513.276 ha. Dengan demikian berarti masih ada kawasan tidak dibebani ijin seluas 124.863 ha yang saat ini kondisinya secara de facto menjadi open access. Kawasan tersebut sebagian besar merupakan bekas areal kerja HPH PT Yos Raya Timber. Tabel 4 Jenis-jenis ijin pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap No
Nama pemegang hak
Lokasi
Jenis ijin
Status
Luas (ha)
1
PT RAPP
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
106.080
2
PT Mitra Hutani Jaya
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
9.240
3
PT Satria Perkasa Agung
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
11.830
4
PT Triomas FDI
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
9.625
5
PT Uni Seraya
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
33.360
6
PT Putra Riau Perkasa
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
15.640
7
PT Madukoro
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
15.000
8
PT Selaras Abadi Utama
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
13.600
9
CV. Bhakti Praja Mulia
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
5.800
10
CV. Alam Lestari
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
3.300
11
CV Harapan Jaya
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
4.800
12
CV Tuah Negeri
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
1.480
13
CV Mutiara Lestari
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HT
Aktif
4.000
14
PT Arara Abadi
Kab. Siak
IUPHHK-HT
Aktif
45.431
15
PT Ekawana Lestaridharma
Kab. Siak
IUPHHK-HT
Aktif
9.300
16
PT National Timber dan Forest
Kab. Siak
IUPHHK-HT
Aktif
9.300
17
PT Balai Khayang Mandiri
Kab. Siak
IUPHHK-HT
Aktif
22.250
18
PT The Best One
Kab. Pelalawan
IUPHHK-HA
Tdk Aktif
44.112
19
PT Gemilang Cipta Nusantara
Kab. Pelalawan
IUPHHK-RE
Aktif
20.265
20
Desa Segamai - Serapung
Kab. Pelalawan
Hutan Desa
Aktif
4.000
Jumlah
388.413
Sumber: Diolah dari KPHP−TBS (2012) dan Mongabay (2013a, 2013b) KPHL Rinjani Barat. Di wilayah kerja KPHP Rinjani Barat saat ini terdapat 9 unit ijin pemanfaatan hutan yang terdiri dari IUPHHK-HTI 1 buah, ijin HKm 7 buah, dan ijin KHDTH 1 buah. IUPHHK-HTI PT. Sadhana Arif Nusa mengembangkan kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan oven tembakau masyarakat mitra kerja PT Sampurna Grup, sedangkan ijin KHDTH adalah ijin kepada Pusat Penelitian Budidaya Gaharu Universitas Mataram. Rincian ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat ditampilkan pada Tabel 5.
28
Tabel 5 Ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat No
Nama pemegang hak
Lokasi
Jenis ijin
Luas (ha)
Status
1
PT Sadana Arif Nusa
Kab. Lombok Utara
IUPHHK-HT
Aktif
1.405,00
2
HKm Sasaot
Kab. Lombok Barat
Ijin HKm
Aktif
46,15
3
HKm Batu Layar
Kab. Lombok Barat
Ijin HKm
Aktif
225,56
4
HKm Jenggala 1
Kab. Lombok Utara
Ijin HKm
Aktif
547,38
5
HKm Jenggala 2
Kab. Lombok Utara
Ijin HKm
Aktif
589,13
6
HKm Monggal
Kab. Lombok Utara
Ijin HKm
Aktif
32,45
7
HKm Kebon Baru
Kab. Lombok Barat
Ijin HKm
Aktif
329,00
8
HKm Batu Kemali
Kab. Lombok Barat
Ijin HKm
Aktif
142,84
9
Universitas Mataram
Kab. Lombok Utara
Ijin KHDTH
Aktif
200,34
Jumlah
3.517,85
Sumber: Diolah dari KPHL-RB (2012) dan Kemenhut (2014)
Berdasarkan data pada Tabel 5, kawasan hutan yang telah dibebani ijin seluas 3.517,85 ha dari luas total 40.983 ha. Dengan demikian maka sisanya seluas 37.465,15 ha adalah areal yang tidak dibebani ijin. Kondisi demikian, walaupun statusnya hutan lindung, namun sebelum ada organisasi pengelola di tingkat tapak maka secara de facto cenderung menjadi kawasan open acces. Berdasarkan data keberadaan ijin-ijin pemanfaatan hutan pada masingmasing KPH, maka untuk keperluan komparasi dapat ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Keberadaan ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH pada tahun 2014 IUPHHK
Ijin skema pemberdayaan masyarakat
Nama KPH
Ijin KHDTH
HA
RE
HTI
Jml
HKm
Hutan Desa
Jml
1. KPHP-TBS
1
1
17
19
0
1
1
0
2. KPHL-RB
0
0
1
1
6
0
6
1
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
KPHP Tasik Besar Serkap KPHL Rinjani Barat
Gambar 7 Perbandingan keberadaan ijin konsesi pada KPHP-TBS dan KPHL-RB
29
Data pada Tabel 6 dan Gambar 7 menunjukan bahwa jenis ijin yang mendominasi pada areal kerja KPHP Tasik Besar Serkap adalah IUPHHK-HTI (17 buah) dan pada real kerja KPHL Rinjani Barat adalah ijin HKm (6 buah). Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan pemberian IUPHHK HTI adalah untuk menghasilkan pendapatan negara dari sektor kehutanan. Sementara tujuan kebijakan pemberian ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Perbedaan tujuan ini berimplikasi pada perbedaan bentuk-bentuk aktivitas yang diatur di dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya. Arena Aksi Pemanfaatan Hutan Sebagaimana telah dirinci pada Tabel 3 tentang rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP 6/2007 jo. PP 3/2008, penetapan kawasan hutan ke dalam kategori Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL), akan menentukan jenisjenis ijin yang diberikan. Pada gilirannya jenis-jenis ijin ini akan menentukan partisipan yang terlibat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi di antara mereka. Bentuk-bentuk hubungan atau tata hubungan kerja antar partisipan tersebut antara lain diatur di dalam Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012 tentang Tata Cara Perijinan IUPHHK HA/HT/RE, Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja IUPHHK HTI dan HTR, dan dan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Situasi Aksi dan Partisipan Dalam Proses Perijinan IUPHHK-HTI di KPHP Tasik Besar Serkap. Jenis ijin konsesi yang berada di wilayah KPHP−TBS didominasi oleh IUPHHK-HTI (17 buah), kemudian IUPHHK-HA dan IUPHHK-RE masing-masing 1 buah. Partisipan utama yang terlibat dalam arena aksi ini di satu pihak adalah aparatur pemerintah (pusat dan daerah) dan di pihak lain para pengusaha besar. Secara skematis bentuk-bentuk hubungan antara pemerintah dengan pemegang ijin dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar tersebut menunjukan proses Tata Cara Pemberian dan Perluan Areal Kerja Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, Restorasi Ekosistem, atau Hutan Tanaman Industri sebagaimana diatur di dalam Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012. Dalam terminologi Ostrom di dalam kerangka kerja IAD, peraturan tersebut disebut sebagai rules in-use. Proses perijinan IUPHHK-HTI ini dilakukan satu kali untuk masa konsesi 60 tahun. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa mata rantai yang harus dilalui oleh para pengusaha kehutanan untuk memperoleh IUPHHK HTI sangat panjang. Pada semua urusan yang ditandai dengan tanda adalah titik-titik rawan terjadinya praktek-praktek KKN. Menurut Ostrom (2005) arena aksi terdiri dari situasi aksi dan partisipan. Situasi aksi tersusun atas tujuh variabel, yaitu variabel partisipan, posisi partisipan, jenis tindakan, tingkat kontrol, ketersediaan informasi, biaya-manfaat, dan dampak yang potensial terjadi. Partisipan dalam hal ini tersusun atas tiga variabel, yaitu variabel preferensi terhadap struktur situasi aksi, cara memproses dan menggunakan informasi, dan kriteria seleksi yang digunakan dalam mengambil keputusan.
30
Pemohon
Gubernur
• Akta pendirian • Surat Izin Usaha • NPWP • Pernyataan pendirian cabang di daerah • Peta min skala 1:100.000
Rekomendasi Gubernur + Peta min skala 1:100.000
Proposal Tehnis SURAT PERMOHONAN
Rekomendasi Gubernur + Peta min skala 1:100.000
Dishut Provinsi
Bupati / Walikota
Dishut Kab/Kota
BPKH
Menteri Kehutanan
Analisis fungsi kawasan
Pertimbangan Bupati
Analisis hakhak lain
Analisis fungsi kawasan
Surat Permohonan
Sekjen
Dirjen BUK
Tembusan Surat Permohonan
Tembusan Surat Permohonan
Tim Penilai
Dirjen Planologi
Penilai an
Tembusan Surat Permohonan
TERIMA atau TOLAK
Tembusan Surat Permohonan
TERIMA atau TOLAK
TERIMA atau TOLAK
TERIMA atau TOLAK TERIMA
Menyusun AMDAL atau UKL & UPL
SP 1
AMDAL atau UKL & UPL
AMDAL atau UKL & UPL
AMDAL atau UKL & UPL
TERIMA
SK IUPHHK
SP 2 Membayar IIUPH
SK IUPHHK
Telaah hukum Konsep SK IUPHHK
Konsep SK IUPHHK
: Titik rawan korupsi Gambar 8 Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo No. P.26/2012
Peta working area & BPTT
31
Berdasarkan jenis-jenis variabel tersebut, struktur situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP−TBS berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 Jo. P.26/2012 tentang Tata Cara Perijinan IUPHHK HA, RE, HTI ditampilkan pada Tabel 7, sedangkan karakteristik partisipan pada Tabel 8. Tabel 7 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP−TBS berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012 (Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE) Posisi
Partisipan 1. Kemenhut
• Pemberi ijin IUPHHK
2. Gubernur
• Pemberi rekomendasi
3. Dinas Kehutanan Provinsi
• Pelaksana analisis fungsi kawasan
4. Bupati
• Pemberi pertimbangan
5. Dinas Kehutanan Kab/Kota
• Pelaksana analisis hak-hak lain
6. Perusahaan: a. HTI:17 b. HA:1 c. RE: 1
• Pemohon ijin
Jenis tindakan
Tingkat kontrol
Ketersediaan informasi
• analisis fungsi kawasan • menilai permohonan IUPHHK • menerbitkan SP1 • menerbitkan peta working area • menerbitkan SK IUPHHK • menerbitkan rekomendasi • menerbitkan pertimbangan • Menganalisis hakhak lain • Mengajukan permohonan dan melengkapi persyaratan
• Semua partisipan mempunyai tingkat kontrol relatif tinggi, dikarenakan pola-pola hubungan yang terbentuk telah mapan.
• Jenis-jneis informasi ttg prosedur perijinan IUPHHK terangkum di dlm peraturan. Informasi yg bersifat khusus ada dua, yaitu: (a) fungsi kawasan hutan, dan (b) keberadaan hak-hak lain. • Data tersebut tersedia setelah dilakukan analisis oleh instansi terkait berdasarkan permohonan pemohon ijin (perusahaan).
Biaya-Manfaat
Dampak yang potensial terjadi
• Biaya pemerintah Ada tiga berupa biaya kemungkinan: administratif dan 1. Proses perijinan biaya pelayanan berjalan lancar • Manfaat bagi tanpa KKN pemerintah berupa pendapatan dari 2. Proses perijinan IIUPH, dan hutan tidak lancar ada yg mengelola tanpa KKN • Biaya perusahaan 3. Proses perijinan berua biaya berjalan lancar pemenuhan dengan KKN persyaratan, biaya AMDAL, biaya IIUPH, dan biayabiaya transaksi tidak resmi. • Manfaat bagi perusahaan berupa mendapatkan ijin konsesi hutan.
Tabel 8 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP−TBS Partisipan 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Dinas Kehutanan Provinsi 4. Bupati 5. Dinas Kehutanan Kab/Kota 6. Perusahaan: a. HTI: 17 b. HA: 1 c. RE: 1
Preferensi terhadap struktur situasi aksi Secara garis besar preferensi partisipan akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang lebih menyukai tetap berlangsungnya situasi status quo, dimana hubungan antara aparatur pemerintah dengan pengusaha banyak diwarnai oleh praktek KKN. 2. Kelompok yang lebih menyukai tata pemerintaha yang bersih (clean governance), dan 3. Kelompok pengikut arus yang lebih dominan.
Cara memperoleh/memproses/ menggunakan informasi Pemerintah: - Informasi diperoleh dari analisis peta, kemudian digunakan sebagai bahan penyusunan rencana, pelaporan, dan lain-lain. - Informasi terkadang digunakan sebagai komoditi yang diperjual-belikan secara illegal (misalnya tentang calon lokasi ijin, peta, dll)
Kriteria seleksi • Mengacu kepada peraturan secara murni; atau mengacu kepada peraturan namun disertai dengan kepentingan (interest) pribadi
Perusahaan: - Informasi diperoleh dengan cara mencari sendiri kepada instansi kehutanan atau melalui jalur personal. - Informasi digunakan sebagai persyaratan pengajuan ijin.
Menunjuk kepada isi Tabel 7, para partisipan utama yang terlibat dalam pemanfaatan hutan di wilayah KPHP−TBS (kolom 1) ada tujuh organisasi, yaitu Kemenhut, Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, KPH, dan Perusahaan (17 HTI, 1 HA, 1 RE). Berdasarkan posisinya (kolom 2), masing-masing partisipan ditetapkan untuk menjalankan tugas/kewenangan atau jenis tindakan tertentu (kolom 3).
32
Sejauh mana tingkat kontrol masing-masing partisipan ketika melaksanakan tugas/kewenangannya diyakini bisa menghasilkan outcome yang diharapkan, dijelaskan pada kolom 4. Kolom 5 menggambarkan ketersediaan jenis-jenis informasi yang telah diatur dalam proses perijinan. Kolom 6 menggambarkan biaya-manfaat yang akan ditanggung/diperoleh oleh masing-masing partisipan. Kemudian terakhir kolom 7 menjelaskan tiga bentuk outcomes yang potensial atau mungkin terjadi. Hal-hal penting yang perlu diberi perhatian dari situasi aksi proses perijinan IUPHHK-HTI yang digambarkan pada Tabel 7 dan karakteristik partisipan pada Tabel 8 adalah: • Mekanisme perijinan IUPHHK-HTI disusun dengan rangkaian proses yang sangat panjang, melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan pemerintah daerah. Di dalam rangkaian tersebut, sebagian besar proses harus diurus sendiri oleh pemohon (misalnya untuk memperoleh data kondisi hutan, mendapatkan pertimbangan dari bupati, mendapatkan rekomendasi dari gubernur, dan lainlain), bukannya diselesaikan sendiri oleh pemerintah selaku pemilik aset hutan. • Jenis informasi utama dalam proses perijinan IUPHHK-HTI adalah informasi tentang kondisi kawasan hutan, yaitu “fungsi kawasan” dan “keberadaan hakhak lain”. Analisa terhadap kedua jenis informasi ini dilakukan oleh Bupati, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan Dinas Kehutanan Provinsi. Informasi tersebut diserahkan sebagai syarat kelengkapan rekomendasi dari Gubernur kepada Menteri Kehutanan. Pengadaan kedua jenis informasi tersebut sebenarnya sangat sederhana, namun penggunaan informasi tersebut menjadi tidak sederhana ketika proses pengurusan untuk mendapatkannya diserahkan kepada pemohon. Calon pemohon diposisikan sebagai pihak yang sangat membutuhkan informasi tersebut, sehingga seringkali terjadinya proses jual-beli informasi antara oknum aparat pemerintah dengan pemohon. • Bila dihubungkan dengan biaya, secara formal biaya yang harus ditanggung oleh pemohon adalah biaya yang berkaitan dengan penyiapan seluruh persyaratan administratif, pelaksanaan AMDAL, dan biaya Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH). Di dalam realitanya, karena sebagian besar rangkaian proses pengurusan ijin itu pengurusannya diserahkan kepada pemohon, maka pemohon pun seringkali harus mengeluarkan biaya-biaya tidak resmi dalam jumlah yang sangat besar untuk memperlancar proses perijinan tersebut. Misalnya Transprancy International Indonesia (TII, 2011) menyatalan bahwa suap digunakan untuk memperoleh ijin tanpa kajian teknis atau rekomendasi, atau melalui manipulasi data dan analisis. Praktek-praktek KKN di Provinsi Riau juga telah terbukti, dimana pada periode tahun 20082014 dua orang mantan bupati, tiga orang mantan kepala dinas kehutanan provinsi, dan satu orang mantan gubernur telah dijatuhi hukuman pidana (Koran Kompas 2008; Pekanbaru Express 2010; Riau Pos 2012; Antara 2014). Kemudian penelitian KPK pada akhir tahun 2013 juga menemukan fakta bahwa di dalam pengurusan perijinan, perusahaan harus mengeluarkan uang pelicin untuk mendapatkan rekomedasi dan pertimbangan dari gubernur dan bupati sebesar Rp. 50–100 juta per hektar (KPK 2013). • Preferensi partisipan terhadap proses perijinan IUPHHK-HTI akan terbagi ke dalam tiga kelompok, dimana ketiganya akan berkaitan dengan jenis outcome potensial yang mungkin terjadi, yaitu (1) kelompok yang lebih menyukai proses
33
perijinan berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) kelompok yang lebih menyukai proses perijinan berjalan lancar dengan adanya KKN, dan (3) Kelompok pengikut kelompok lain yang lebih dominan. • Mekanisme perijinan konsesi hutan merupakan bagian dari sistem administrasi pemerintahan. Kriteria pengambilan keputusan pada seluruh mata rantai prosesprosesnya akan mengacu kepada peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan kata lain kriteria seleksinya adalah ketentuan-ketentuan di dalam peraturan itu sendiri. Namun demikian, di dalam sistem tata pemeritahan yang buruk, selain mengacu kepada ketentuan-ketentuan peraturan, oknum aparatur pemerintah seringkali memboncengkan kepentingan pribadinya dalam menjalankan kewenangan formalnya sehingga terjadi praktek-praktek KKN. • Berdasarkan struktur situasi di atas, hasil atau outcomes yang potensial terjadi ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu (1) proses perijinan berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) proses perijinan berjalan tidak lancar karena tidak ada KKN, atau (3) proses perijinan berjalan lancar karena ada KKN. Berdasarkan data kasus hukum di provinsi Riau yang sudah diungkapkan di atas, juga berdasarkan hasil penelitian KPK (2013), maka dapat disimpulkan bahwa outcome yang saat ini sering terjadi adalah yang nomor 3, yaitu proses perijinan berjalan lancar disertai dengan adanya praktek-praktek KKN. Berdasarkan uraian di atas, maka arena aksi pemanfaatan hutan di KPHP−TBS cenderung banyak diwarnai oleh praktek-praktek KKN. Praktekpraktek KKN ini sebagai efek dari penyalahgunaan wewenang dan banyaknya ijin konsesi pada wilayah KPH tersebut. Hubungan-hubungan KKN ini menjadi mapan karena kurangnya penegakan hukum yang bersih dan kuat. Dilihat dari perspektif tata pemerintahan, menurut Jain (2011) terjadinya KKN karena ada tiga kondisi, yaitu pertama, ada peluang pemburuan rente yang inheren dengan alokasi kekuasaan atau wewenang pada peraturan, kedua, aparatur yang korup memiliki keleluasaan di dalam struktur administrasi pemerintahan, dan ketiga, lemah dan tidak efektifnya lembaga-lembaga publik yang bertugas untuk mengendalikan KKN. Sedangkan dilihat dari perspektif yang lebih bersifat individu, Singleton et al. (2006) mengemukakan ada tigal hal yang mendorong terjadinya fraud (KKN), yaitu adanya pressure (dorongan), opportunity (peluang), dan rationalization (rasionalisasi). Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan KKN, contohnya karena kebutuhan biaya hidup, biaya pendidikan anak, hutang, gaya hidup mewah, keserakahan, atau harus menyetor kepada pihak-pihak tertentu. Opportunity adalah peluang yang memungkinkan terjadinya KKN, misalnya karena memiliki kewenangan tertentu dan kurangnya pengawasan. Kemudian unsur yang ketiga yaitu rasionalisasi, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya. Misalnya tindakannya untuk membahagiakan keluarga, atau menganggap sebagai hal yang telah lumrah karena orang lain pun melakukan hal yang sama. Situasi Aksi dan Partisipan Dalam Proses Pengesahanan Rencana Kerja IUPHHK-HTI di KPHP Tasik Besar Serkap. Setelah ijin IUPHHK-HTI diperoleh, selanjutnya pemegang ijin berkewajiban menyusun rencana kerja yang diatur melalui Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012. Bentukbentuk hubungan antar partisipan dalam proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI seperti ditampilkan pada Gambar 9.
34
Dishut Kab/Kota
Dishut Provinsi
Membuat usulan RKUPHHK
Tembusan Usulan RKUPHHK
Tembusan Usulan RKUPHHK
RKUPHHK yg telah disetujui
Tembusan RKUPHHK yg telah disetujui
Tembusan RKUPHHK yg telah disetujui
Pemegang Izin
KPH
BPPHP
Menteri Kehutanan
Direktur di Dirjen BUK
Usulan RKUPHHK C.q. Dirjen Tembusan RKUPHHK yg telah disetujui
Dirjen BUK
Usulan RKUPHHK Menilai dan menyetujui Usulan RKUPHHK
Mendelegasikan
Dapat mendelegasikan kpd Direktur
Dapat mendapat pendelegasian Usulan revisi RKUPHHK Dalam hal: • Bertambah atau berkurang areal kerja • Berubah daur dan jenis tanaman • Perubahan fisik SDH dan penggunaan kwsn oleh sektor lain sesuai peraturan per-UU • Perubahan tehnik silvikultur, dll yg dpt dipertanggungjwbkan • Pengembangan agroforestry dsb
Usulan revisi RKUPHHK
Tembusan revisi RKUPHHK yg telah disetujui
Tembusan revisi RKUPHHK yg telah disetujui
Tembusan Usulan RKTUPHHK
Usulan RKTUPHHK
Data dan informasi pembayaran PSDH dan DR
Data dan informasi pembayaran PSDH dan DR
Tembusan RKUPHHK telah disetujui
Menilai dan mengesahkan Usulan RKTUPHHK
Laporan RKTUPHHK self approval
Laporan RKTUPHHK self approval
Pengawasan
Pengawasan
Tembusan revisi RKUPHHK yg telah disetujui
Revisi RKUPHHK yg telah disetujui
Membuat usulan RKTUPHHK
RKTUPHHK telah disetujui
Dlm hal IUPHHK-HA mendpt sertifikat PHPL baik, RKTUPHHK disetujui sendiri (self approval) Pelaksanaan RKTUPHHK
Revisi RKTUPHHK yg telah disetujui
Laporan RKTUPHHK self approval
Laporan RKTUPHHK self approval
Tembusan Usulan revisi RKTUPHHK
Tembusan revisi RKTUPHHK yang telah disetujui
Tembusan Usulan BKUPHHK
Usulan BKUPHHK Tembusan Usulan BKUPHHK Pemeriksaan lapangan oleh WASGANIS PHPL - CANHUT Berita Acara Pemeriksaan
BKUPHHK telah disetujui
Tembusan BKUPHHK telah disetujui
Menilai dan menyetujui Usulan BKTUPHHK
Pelaksanaan BKUPHHK atau RKTUPHHK
Pengawasan oleh WASGANIS PHPL CANHUT
Tembusan BKUPHHK telah disetujui
Tembusan BKUPHHK telah disetujui
Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan
Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan
Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Laporan 3 bulanan dan Tahunan Pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK
Pelaksanaan RKTUPHHK, RKTUPHHK atau BKUPHHK
Tembusan RKTUPHHK telah disetujui
Menilai dan menyetujui usulan revisi RKTUPHHK
Tembusan revisi RKTUPHHK yang telah disetujui
Berita Acara Pemeriksaan
Laporan 3 bulanan dan Tahunan pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK
Tembusan Usulan RKTUPHHK
Tembusan Usulan revisi RKTUPHHK
Usulan Bagan Kerja (BKUPHHK) Dlm hal: Sebelum RKUPHHK dinilai dan disetujui, pemegang izin baru dapat mengajukan BKUPHHK. Disusun berdasarkan Proposal Tehnis permohon an izin.
Dapat mendelegasikan kpd Direktur
Dapat mendapat pendelegasian
Usulan revisi RKTUPHHK
Usulan revisi RKTUPHHK Dalam hal: • Tambah atau kurang areal kerja • Prubahan daur dan atau jenis tanaman • Prubahan luas blok RKTUPHHK • Prubahan kondisi fisik tertentu SDH • Perubahan RKUPHHK • Adanya pengembangan agroforestry dan atau tumpangsari
Menilai dan menyetujui Usulan revisi RKUPHHK
Penilaian dan Persetujuan RKUPHHK, RKTUPHHK dan BKUPHHK
Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Cq. Direktur
Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan
Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan
Laporan 3 bulanan dan Tahunan Pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK Pengendalian atas penilaian, persetujuan, dan pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK
: Titik rawan korupsi
Gambar 9 Proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012
35
Proses pengesahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) 10 tahun sekali, Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK) setiap tahun, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (BKUPHHK) setiap tahun. Dari Gambar 9 terlihat bahwa mata rantai yang harus dilalui oleh para pengusaha kehutanan untuk mendapatkan pengesahan tiga jenis rencana kerja IUPHHK HTI sangat panjang. Pada semua urusan yang ditandai dengan adalah titik-titik rawan KKN. Struktur situasi aksinya ditampilkan pada Tabel 9 dan karakteristik partisipannya pada Tabel 10. Tabel 9 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP−TBS berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja IUPHHK HTI dan HTR Partisipan
1. Kemenhut
Posisi • Penilai dan pengesah RKUPHHK
2. Dinas Kehutanan Provinsi
• Penilai dan Pengesah RKTUPHHK dan BKUPHHK
3. Dinas Kehutanan Kab/Kota
• Pemeriksa data pembayaran PSDH dan DR; Pengawas dan pemeriksa lapangan
4. Perusahaan a. HTI:17 b. HA:1 c. RE: 1
• Pengusul RKUPHHK, RKTUPHHK, atau BKUPHHK
Jenis Tindakan
Tingkat kontrol
• Menilai dan mengesahkn RKUPHHK • menilai dan mengesahkan RKTUPHHK dan BKUPHHK • Memeriksa data pembayaran PSDH dan DR • Melakukan pengawasan dan pemeriksaan lapangan • Membuat dan mengajukan RKUPHHK, RKTUPHHK, atau BKUPHHK • Membuat laporan pelaksanaan RKTUPHHK atau BKUPHHK
• Semua partisipan mempunyai tingkat kontrol relatif tinggi, dikarenakan pola-pola hubungan yang terbentuk sudah mapan.
Ketersediaan Informasi • Informasi
Biaya-Manfaat • Bagi
pemerintah: penting biaya berupa tentang biaya-biaya kondisi dan administratif potensi SDH dan biaya lebih banyak pelayanan.; dikuasai oleh manfaat berupa pemegang pendapatan dari PSDH, DR, ijin. pajak Pemerintah perusahaan, dll. mendapatkan • Bagi informasi perusahaan: tersebut pada biaya berupa umumnya pembayaran berdasarkan PSDH, DR, laporan dari pajak, biayapemegang biaya transaksi tidak resmi, dll; ijin. manfaat berupa keuntungan dari produksi kayu.
Dampak yang potensial terjadi
Ada tiga kemungkinan: 1. Proses pengesahan rencana kerja berjalan lancar tanpa KKN 2. Proses pengesahaan rencana kerja tidak lancar tanpa KKN 3. Proses pengesahan rencana kerja berjalan lancar dengan KKN
Tabel 10 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP−TBS Partisipan 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Dinas Kehutanan Provinsi 4. Bupati 5. Dinas Kehutanan Kab/Kota 6. Perusahaan: a. HTI: 17 b. HA: 1 c. RE: 1
Preferensi terhadap struktur situasi aksi Secara garis besar preferensi partisipan akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang lebih menyukai situasi status quo, hubungan aparatur pemerintah dengan pengusaha banyak diwarnai praktek KKN 2. Kelompok yang lebih menyukai tata pemerintahan yang bersiah (clean governance), dan 3. Kelompok pengikut arus yang dominan.
Cara memproses/menggunakan informasi Pemerintah: - Informasi digunakan sebagai bahan penyusunan rencana, pelaporan, dan lain-lain. - Informasi terkadang digunakan sebagai komoditi yang diperjualbelikan secara illegal (misalnya peta, temuan pelanggaran pemegang ijin, dll) Perusahaan: - Informasi digunakan sebagai bahan penyusunan rencana, pelaporan, dan lain-lain. - Informasi terkadang juga direkayasa untuk mendapatkan keuntungan secara illegal (misalnya laporan produksi kayu).
Kriteria seleksi • Mengacu kepada peraturan secara murni; atau mengacu kepada peraturan tapi disertai dengan kepentingan (interest) pribadi
36
Sebagaimana di dalam arena aksi pengurusan ijin IUPHHK HA/HT/RE, para partisipan utama di dalam arena aksi pengurusan rencana kerja juga terdiri dari tujuh organisasi, yaitu Kemenhut, Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, KPH, dan Perusahaan (17 HTI, 1 HA, 1 RE). Adapun yang berbeda adalah pada posisi masing-masing partisipan, jenis tindakan, tingkat kontrol, ketersediaan informasi, biaya manfaat, dan hasil (outcome) yang potensial terjadi. Perbedaan ini berkaitan dengan urusannya, yaitu antara “urusan perijinan” dan “urusan rencana kerja”. Hal-hal penting dari situasi aksi proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK HA/HT/RE yang digambarkan pada Tabel 9 dan karakteristik partisipan pada Tabel 10 adalah: • Sebagaimana pada mekanisme perijinan, mekanisme pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI juga disusun dengan melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan pemerintah daerah. RKUPHHK-HTI disahkan oleh Menteri Kehutanan (Menteri Kehutanan dapat mendelegasikan kepada Dirjen, dan Dirjen dapat mendelegasikan kepada pejabat di bawahnya), sementara RKTUPHHK dan BKUPHHK disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. • Dalam penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI, jenis informasi yang terpenting adalah tentang kondisi dan potensi sumbedaya hutan (SDH). Idealnya jenis-jenis informasi ini dimiliki secara lengkap oleh pemerintah selaku pemilik aset hutan berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan sendiri. Namun dalam kenyataannya, pemerintah seringkali memperoleh kedua jenis informasi tersebut dari laporan pemegang ijin. Dengan demikian maka terjadi ketimpangan penguasaan informasi (assymetric information) antara pemerintah sebagai pemilik aset hutan (principal) dan perusahaan sebagai pemegang ijin (agent). Situasi ini sangat rentan untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang ijin. • Berkaitan dengan biaya, secara formal biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pemegang ijin adalah pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), dan pajak perusahaan. Namun di dalam kenyataannya, selain jenis-jenis biaya tersebut perusahaan juga seringkali harus mengeluarkan sejumlah besar biaya transaksi tidak resmi. Hal ini antara lain terungkap dari hasil penelitian KPK (2013) yang menemukan bahwa untuk proses revisi RKUPHHK perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 50100 juta, ditambah dengan biaya tidak resmi sampai dengan sebesar Rp. 200 juta. Dalam kegiatan monitoring pelaksanaan RKTUPHHK, perusahaan harus menanggung biaya perjalanan dinas petugas pemeriksa sebanyak 140 x 8 Hari Orang Kerja (HOK). • Preferensi partisipan terhadap proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI akan terbagi ke dalam tiga kelompok, dimana ketiganya akan berkaitan dengan jenis outcome potensial yang mungkin terjadi, yaitu: (1) kelompok yang lebih menyukai proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) kelompok yang lebih menyukai proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar dengan adanya KKN, dan (3) Kelompok pengikut kelompok lain yang lebih dominan. • Berdasarkan struktur situasi di atas, hasil atau outcome yang potensial mungkin terjadi ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu: (1) proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) proses penyusunan dan
37
pengesahan rencana kerja berjalan tidak lancar karena tidak ada KKN, atau (3) proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar karena ada KKN. Berdasarkan data hasil penelitian KPK (2013) di atas maka dapat disimpulkan bahwa outcome yang saat ini sering terjadi adalah yang nomor 3, yaitu proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar disertai dengan adanya praktek-praktek KKN. Berdasarkan uraian di atas, pemanfaatan hutan di KPHP−TBS −baik pada arena aksi perijinan maupun pada arena aksi penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI− cenderung banyak diwarnai oleh terjadinya praktek-praktek KKN. Terjadinya praktek-praktek KKN ini selain karena telah menjadi bagian dari budaya birokrasi Indonesia, juga sebagai efek dari adanya wewenang yang disalahgunakan dan terdapatnya peluang untuk melakukan praktek-praktek tersebut. Banyaknya ijin konsesi pada wilayah KPH, pada situasi pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, cenderung menjadi lahan subur bagi terjadinya praktek-praktek KKN. Telaah yang lebih komprehensif tentang fenomena KKN di Indonesia antara lain dikemukakan oleh Martini (2012). Menurut Martini, penyebab korupsi bervariasi di setiap negara dan akan tergantung pada kebijakan nasional, sejarah, tradisi birokrasi, dan pembangunan politik. Korupsi juga berkorelasi dengan PDB yang rendah, ketimpangan pendapatan, inflasi, dan kurangnya kompetisi. Demikian juga, korupsi berkorelasi dengan sejumlah faktor struktural dan institusional seperti ukuran pemerintah, tingkat dan bentuk desentralisasi, kualitas regulasi, administrasi pelayanan publik, hak-hak sipil dan politik. Martini menyebutkan sejumlah penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, sebagai berikut: • Aspek sejarah, dimana Indonesia telah melewati masa yang panjang di bawah kekuasaan rezim otoriter orde baru. Ketika Presiden Soeharto memerintah, dalam rangka memperoleh dukungan ia memastikan bahwa saudara-saudaranya, teman-teman dari komunitas bisnis, dan pejabat militer senior, diberikan fasilitasi untuk monopoli, kontrak pasokan eksklusif, dan keringanan pajak. Salah satu alasan mengapa reformasi pada isu-isu korupsi berjalan sangat lambat hingga saat ini antara lain karena telah tertanamnya kelembagaan budaya patronase ini. • Sistem pemilihan langsung untuk memilih gubernur, bupati/walikota dan anggota DPRD juga membawa tantangan tersendiri untuk pengendalian korupsi. Tingginya biaya kampanye pemilu telah mendorong kandidat untuk mencari dukungan dari sektor swasta atau penyalahgunaan dana dan sumber daya publik. • Upah pegawai pemerintah yang rendah mengakibatkan penurunan efisiensi dan produktivitas sektor publik dan menciptakan insentif dan kesempatan untuk korupsi. • Independensi dan kualitas peradilan juga berkorelasi dengan tingkat korupsi. Sistem hukum dan peradilan yang tidak efektif dapat menghambat semua upaya untuk membuat pemerintah lebih transparan dan bertanggung jawab kepada warganya. Peradilan di Indonesia dinilai sebagai salah satu lembaga yang paling korup. • Kelimpahan sumber daya alam di negara berkembang, dapat menjadi penyebab korupsi karena menciptakan peluang lebih lanjut untuk pemburuan rente ketika
38
mekanisme penegakan hukum tidak memadai. Kekayaan sumberdaya hutan Indonesia dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas terkait dengan eksploitasi sumber daya hutan, telah membuat sektor ini sangat rentan terhadap korupsi. Selain itu, banyaknya persyaratan (baik di tingkat nasional, provinsi atau di tingkat kabupaten/kota) yang diperlukan untuk mengoperasikan konsesi hutan, memberikan banyak kesempatan untuk terjadinya korupsi. Perusahaan dilaporkan sering harus membayar suap untuk mempercepat prosedur atau untuk menyelesaikan suatu urusan. Kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan, pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan, terdapat biaya suap/peras (Gambar 10). PERIZINAN DAN Persiapan PENYIAPAN permohonan KAWASAN
TATA USAHA PRODUKSI HASIL HUTAN KAYU Working Area
IHMB
EVALUASI & WASDAL
RKU
Sertifikasi PHPL/LK
Permohonan
Penilaian
LHP
RKT
LHC
Pengalihan Izin&Saham Sanksi Administratif
Tata Batas
Izin RENTE IZIN
RENTE HASIL HUTAN KAYU
TATA USAHA PENGANGKUTAN
DR-PSDH
Sanksi Pidana
SKSKB Rekonsiliasi PNBP
Indikasi state capture IIUP
Potensi suap, pemerasan, penjualan pengaruh
Gambar 10 Rantai perijinan usaha kehutanan dan titik-titik terjadinya suap/peras (Sumber: KPK 2013) Situasi Aksi dan Partisipan Dalam Pemanfaatan Hutan di Wilayah KPHL Rinjani Barat. Jumlah total ijin pemanfaatan hutan di wilayah kerja KPHL Rinjani ada 8 (delapan) buah, yaitu ijin HKm (6 buah), ijin IUPHHK-HTI kayu bakar (1 buah), dan ijin KHDTH (1 buah). Dengan demikian jenis ijin pemanfaatan hutan yang dominan adalah ijin HKm. Partisipan utama yang terlibat dalam arena aksi HKm di satu pihak adalah aparatur pemerintah (unsur pusat dan daerah) dan di pihak lain para petani anggota HKm. Secara skematis bentukbentuk hubungan antara pemerintah dengan pemegang ijin HKm dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukan proses Tata Cara Pemberian Ijin HKm sekaligus dengan Penyusunan dan Pengesahan Rencana Kerja HKm sebagaimana diatur di dalam Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan.
39
Masyarakat sbg pemohon
KPH
Dishut Kab/Kota
Bupati / Walikota
Koordinasi
• Sketsa lokasi • Daftar nama yg diketahui oleh Camat dan Kades/Lurah
Dishut Provinsi
Gubernur
BPDAS Menentukan calon WA dan fasilitasi permohonan izin
Koordinasi
UPT terkait
Koordinasi
Menteri Kehutanan
Lanjutan Surat Permohonan
BPKH
Verifikasi usulan Laporan hasil verifikasi
Surat Permohonan
SURAT PERMOHONAN
Tim Verifikasi
Dirjen BPDAS PS
Sebagai PJ Tim verifikasi Pengecekan lapangan
Lanjutan Surat Permohonan:
• Peta digitasl lokasi skala min 1:50.000 • Deskripsi wilayah • Daftar nama
Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan
Menerima fasilitasi
Membantu fasilitasi
Menerima fasilitasi
Menerima atau Menolak
PEMBERITA HUAN
PEMBERITA HUAN
Menerima penetapan WA HKm
Menerima penetapan WA HKm
Fasilitasi lebih lanjut: • Penyusunan rencana kerja • Teknologi • Diklat • Akses pasar • Pengembangan usaha • Kemitraan usaha
Membantu fasilitasi
Membantu fasilitasi
Pemberian Izin HKm
Menerima Izin HKm
Pemberian Izin HKm
Tembusan Izin HKm
Membuat Rencana Umum
Mengesahkan
Mengesahkan
Membuat Rencana Operasional
Mengesahkan
Menunjuk pejabat pengesah RO
: Fasilitasi kepada petani HKm
Penetapan WA HKm
Membantu fasilitasi
Membantu fasilitasi
Membantu fasilitasi
Pihak-pihak Pihak-pihak yg yg dapat dapat membantu membantu fasilitasi: fasilitasi: Perguruan Perguruan Tinggi, Tinggi, LPPM, LPPM, LSM, LSM, Lembaga Lembaga Keuangan, Keuangan, Koperasi, Koperasi, BUMN, BUMN, BUMD, BUMD, BUMS. BUMS. Koordinasi Koordinasi dengan dengan Pemkab/Kota Pemkab/Kota
Tembusan Izin HKm
Tembusan Izin HKm
MENOLAK
Mengesahkan
Menunjuk pejabat pengesah RO
MENERIMA
Pembinaan dan pengedalian dalam: • Penetapan WA HKm
Tembusan Izin HKm
Tembusan Izin HKm
Pembinaan dan pengendalian dalam: • Pemberian izin HKm Pembinaan dan pengendalian dalam: • Pembuatan Renja
Gambar 11 Proses perijinan dan pelayanan rencana kerja HKm berdasarkan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011
40
Struktur situasi aksi pemanfaatan hutan berdasarkan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan seperti ditampilkan pada Tabel 11 dan karakteristik partisipannya seperti ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 11 Situasi aksi pemanfaatan hutan skema Hutan Kemasyarakatan di KPHL−RB Partisipan
Posisi
5. KPH
• Pemberi ijin lokasi • Pembina dan pengendali ijin HKm • Pembina dan pengendali rencana kerja • Pemberi ijin HKm • Fasilitator • Pengesah Rencana Umum • Fasilitator • Pengesah Rencana Operasional • Fasilitator • Fasilitator
6. Pemohon/ pemegang ijin HKm (6 ijin)
• Pemohon • Pemegang ijin
1. Kemenhut
2. Gubernur
3. Bupati
4. Dinas Kehutanan
Jenis Tindakan • Verifikasi dan menilai usulan calon lokasi (WA) • Menetapkan WA • Membina dlm pemberian ijin HKm dan pengesahan renja • Memberi ijin HKm • Melakukan fasilitasi • Mengesahkan Rencana Umum • Mengesahkan Rencana Operasional • Mengajukan permohonan • Membuat rencana umum dan renaca operasional • Melakukan pemanfaatan hutan pola HKm
Tingkat kontrol
Ketersediaan Informasi
• Tingkat kontrol • Jenis Kemenhut thd informasi gubernur/bupati utama dlm dlm hal tindak HKm adalah: lokasi, status lanjut pemberian dan fungsi ijin HKm relatif hutan calon rendah. lokasi; dan • Tingkat kontrol informasi gubernur/bupati kelompok thd usulan tani calon penetapan areal petani HKm kerja oleh Menhut relatif • Informasi tsb rendah. relatif mudah disediakan. • Tingkat kontrol Informasi no. Kemenhut, 1 oleh gubernur/bupati instansi thd kehutanan di implementasi daerah, no. 2 fasilitasi relative oleh kantor tinggi. desa dan kecamataan.
BiayaManfaat
Dampak yang potensial terjadi
• Dalam HKm sbg program pmberdayaan masyarakat, pemerintah/ pemda: mengeluarkan biaya-biaya pelayanan dan fasilitasi; mendapatkan manfaat tdk langsung • Masyarakat sbg pemegang ijin membiayai pemenuhan persyaratan; mendapatkan hak pemanfaatan hutan pola HKm
Ada empat kemungkinan: 1. Proses perijinan dan fasilitasi berjalan lancar 2. Proses perijinan lancar, fasilitasi tidak lancar 3. Proses perijinan tidak lancar, fasilitasi lancar 4. Proses perijinan dan fasiltasi sama-sama tidak lancar. Catatan: pengesahan rencana kerja HKm termasuk ke dlm bentuk fasilitasi pemerintah
Tabel 12 Karakteristik para partisipan dalam skema Hutan Kemasyarakatan di KPHL−RB Partisipan
Sumberdaya/ Pengaruh
Preferensi terhadap struktur situasi aksi
1. Kemenhut
+++
2. Gubernur
++
3. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
++
Secara garis besar preferensi partisipan akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
4. Bupati
++
5. Dinas Kehutanan Kabupaten
++
6. KPH
+++
7. Kelompok tani HKm : 6 bhn ijin
++
Keterangan:
+++ : tinggi
1. Kelompok yang menginginkan program pemberdayaam masyarakat melalui HKm berjalan lancar tanpa ditunggangi kepentingan pribadi. 2. Kelompok yang membonceng dengan mencari keuntungan pribadi dalam program HKm
++ : sedang
+ : rendah
- : tidak ada
Cara memproses Informasi Pemerintah: - Informasi calon lokasi digunakan sebagai bahan usulan penetapan WA; - informasi kondisi kelompok tani digunakan sbg bahan penyusunan program kerja (faasilitasi), pelaporan, dan lain-lain. Kelompok tani: - Informasi calon lokasi dan kondisi kelompok tani digunakan sebagai bahan usulan ijin dan penyusunan rencana kerja, pelaporan, dan lain-lain.
Kriteria Seleksi • Peraturan • Interes pribadi
(Pengukuran persepsional)
Di dalam arena aksi perijinan dan rencana kerja HKm di wilayah kerja KPHL Rinjani Barat, para partisipan utama yang terlibat terdiri dari Kemenhut, Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, KPH, dan kelompok tani HKm (6 kelompok tani). Hal-hal penting berkaitan dengan arena aksi perijinan dan rencana kerja HKm di wilayah kerja KPHL
41
Rinjani Barat sebagaimana digambarkan pada Tabel 11 dan karakteristik partisipan pada Tabel 12 adalah: • Bila di dalam perijinan IUPHHK-HTI pengurusan pemenuhan syarat-syarat perijinan dan penyusunan rencana kerja diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan (pemohon/pemegang ijin), sementara pada perijinan HKm pemerintah diwajibkan memberikan fasilitasi kepada petani HKm mulai dari tahap penentuan calon lokasi HKm, pembentukan kelembagaan kelompok tani, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, pengembangan usaha, hingga kepada pemasaran hasil produksi petani HKm (Tanda bintang di dalam Gambar 6 menunjukan titik-titik pemberian fasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain). Perbedaan bentuk pelayanan ini disebabkan oleh perbedaan tujuan. Pemberian ijin IUPHHK-HTI oleh pemerintah bertujuan untuk memperoleh pendapatan langsung dari pemanfaatan kayu (dengan menerapkan PSDH, DR, IIUPH, dan lain-lain), sementara pemberian ijin HKm bertujuan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. • Preferensi partisipan aparatur pemerintah terhadap perijinan HKm secara garis besar akan terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu (1) kelompok yang menginginkan program pemberdayaam masyarakat melalui HKm berjalan lancar tanpa ditunggangi kepentingan pribadi, dan (2) Kelompok yang kurang peduli dengan perijinan HKm kalau tidak ada (atau kecil) peluangperburuan rente (rent seeking) padanya, namun akan bersemangat apabila ada peluang perburuan rente padanya. Bila dihubungkan dengan preferensi tersebut, dampak (outcome) yang potensial mungkin terjadi ada 4 (empat) kemungkinan, yaitu (1) Proses perijinan HKm dan fasilitasinya berjalan lancar, (2) Proses perijinan lancar, fasilitasi tidak lancar; (3) Proses perijinan tidak lancar, fasilitasi lancar; dan (4) Proses perijinan dan fasiltasi sama-sama tidak lancar. Berdasarkan informasi dari informan KPHL Rinjani Barat, outcome yang lebih sering terjadi adalah outcome nomor 3, yaitu proses perijinan kurang lancar namun fasilitasi berjalan relatif lancar. Pola Interaksi dan Outcomes pada Dua KPH Pola Interaksi Menurut Gillin dan Gillin (1956) “interaksi sosial” adalah hubunganhubungan antara orang-orang secara individual, antar kelompok orang, dan antar perorangan dengan kelompok. Dalam kamus bahasa Indonesia (situs online), “pola” artinya adalah “gambar, corak, model, sistem, cara kerja, bentuk, dan struktur”. Dengan demikian pola interaksi dapat diartikan sebagai corak atau bentuk hubungan-hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan individu. Ostrom sendiri tidak pernah secara khusus membuat definisi pola interaksi. Di dalam beberapa tulisannya, Ostrom kadang menyebut dengan istilah “pola interaksi” (pattern of interaction), kadangkadang juga menyebutnya dengan istilah “pola perilaku” (pattern of behavior) 5. Dalam penelitian ini pola interaksi dapat didefinisikan sebagai bentuk agregat perilaku dari para partisipan yang saling berhubungan di dalam arena aksi. 5
Antara lain terdapat pada buku Ostrom, “Understanding Institutional Diversity” (2005:64) dan pada tulisan lamanya yang berjudul “The Formulating of Institutional Analysis” ( Ostrom 1985:7).
42
Di dalam arena aksi pemanfaatan hutan ada dua kelompok besar yang melakukan interaksi, yaitu unsur pemerintah (pusat–daerah) dan unsur perusahaan. Pemerintah berperan sebagai regulator (membuat kebijakan dan peraturan) dan sebagai administratur (menerima permohonan, menilai, memberi rekomendasi/pertimbangan tehnis, memberi izin, mengesahkan rencana kerja, menerima laporan dan pembayaran resmi, memeriksa, melakukan pengawasan dan pengendalian, dan lain-lain). Sementara pihak perusahaan berperan sebagai pemohon (mengurus permohonan ijin) dan pemegang ijin (membuat rencana kerja, melakukan pemanfaatan hutan, melaksanakan ketentuan pengelolaan hutan lestari, membayar kewajiban finansial, dan lain-lain). Idealnya, kedua belah pihak menjalankan peran masing-masing secara jujur, profesional, dan bertanggungjawab. Namun secara de facto, adanya hubunganhubungan antara kedua belah pihak seringkali ditunggangi oleh kepentingan pribadi/kelompok yang mendorong kepada terjadinya perilaku illegal, yaitu praktek-praktek KKN. Misalnya Amacher (2012) menyatakan, korupsi bisa diprakarsai oleh pengawas produksi kayu yang dapat disuap oleh pengusaha untuk menghindari denda terkait dengan pembalakan liar. Sementara dilihat dari proses evolusi sistem pemerintahan, Smith et al. (2003) menyatakan bahwa pada periode transisi dari sistem pemerintahan otokrasi menuju demokrasi sangat rentan terhadap berkembangnya korupsi kolusi, karena selama masa transisi institusi penting sistem demokrasi belum berfungsi dengan baik. Dalam mengkritisi kondisi di Indonesia, Utami 6 menyatakan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia sarat dengan praktek korupsi yang mengakar dan sistemik, dengan suap sebagai modus utamanya. Korupsi terjadi mulai dari penyusunan peraturan-perundangan, perizinan, proses teknis pemanfaatan hasil hutan, hingga penegakan hukum. Guna membuktikan terjadinya KKN tersebut, pada penelitian ini dikumpulkan data dan informasi dari beberapa sumber tertulis tentang KKN sektor kehutanan di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian terhadap bahan-bahan tersebut, dapat disusun bagan alir mengenai celah/potensi, modus operandi, dan bukti-bukti KKN sebagaimana pada Gambar 12. Adanya celah-celah atau peluang terjadinya KKN pada situasi pelaksanaan tata kelola hutan (forestry governance) yang buruk, memunculkan beragam modus operandi praktek-praktek KKN. Kemudian praktek-praktek KKN ini dibuktikan dengan bukti-bukti kejadian KKN, baik berupa hasil penelitian maupun berupa hasil proses-proses hukum di pengadilan. CELAH / POTENSI TERJADINYA KKN
MODUS OPERANDI KKN
BUKTI-BUKTI KEJADIAN KKN
Gambar 12 Alur terjadinya KKN Celah atau Potensi Terjadinya KKN. Pada tahun 2010 KPK melakukan penilaian resiko korupsi pada sektor kehutanan. Menurut UNDP (2013), hasil 6
Utami NH, Project Manager Forest Government Integrity (FGI) Transparency International Indonesia. Pernyataanya dimuat dalam E-Newsletter TI-Indonesia edisi VII –Volume VII – November 2011.
43
kajian tersebut menemukan sejumlah ”celah” mengapa kebijakan hukum pada tingkat nasional maupun lokal sangat rentan disalahgunakan. Pertama, definisi hutan dan batas kawasan hutan yang terdapat didalam beberapa peraturan sangat lemah dan mengandung unsur ketidakpastian. Terutama yang diatur di dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 50/2009 tentang Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Kedua, belum ada satu-kesatuan peta kawasan hutan yang disepakati bersama oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki otoritas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup maupun pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat adat dan lokal. Hal ini mengakibatkan tidak adanya rujukan yang sama bagi semua pihak ketika memberikan izin maupun dalam menyelesaian sengketa. Celah ketiga adalah adanya ketidakharmonisan atau tumpang tindih satu aturan dengan aturan lain, disamping ada ketidakpastian antara hak-hak masyarakat dan investasi. Sedangkan celah yang keempat adalah terbatasnya kapasitas dan integritas unit pengelola hutan di tingkat tapak. Kapasitas dalam melakukan perencanaan kehutanan dan penguatan unit pengelola hutan pada tingkat lokal, juga dinilai lemah. Selain itu, pemerintah dinilai belum memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah lokal dalam mengelola, melindungi dan mengawasi kawasan hutan. Celah-celah seperti ini dinilai KPK menimbulkan suasana yang tidak kondusif dan aturan hukum menjadi rentan disalahgunakan. Karenanya KPK menilai setiap aktivitas di kawasan hutan memiliki potensi resiko korupsi yang sangat tinggi. Modus Operandi KKN. Berdasarkan hasil telaah terhadap empat sumber tulisan dari Callister (1999), Tranparency International Indonesia (TII, 2011), Greenomic (2004) dan Jikalahari (2012), modus operandi KKN pada sektor kehutanan di Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: • Mengatur zonasi hutan dalam rencana tata ruang (nasional, provinsi dan kabupaten). • Menyuap pejabat negara untuk mendapatkan izin dan memuluskan proses. • Memperoleh lisensi tanpa kajian teknis atau rekomendasi yang memadai, atau melalui manipulasi data dan analisisnya. • Menyuap untuk memanipulasi ketentuan seperti volume maupun diameter tebangan • Menyuap untuk menghindari pengawasan dan hukuman atas kontrak konsesi. • Membayar petugas pemeriksa atas pelanggaran kepatuhan perusahaan terhadap aturan pengelolaan hutan lestari. • Menyuap atas pembiaran praktek penebangan di luar blok tebangan, di luar batas areal konsesi, penebangan di kawasan hutan lindung, • Menyuap untuk mungkinkan pengangkutan kayu ilegal, dan lain-lain. Bukti-Bukti KKN. Bukti praktek-praktek KKN di Provinsi Riau dapat ditunjukan antara lain berdasarkan laporan hasil penelitian KPK tentang pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan pelaku usaha yang berasal dari lima provinsi di Indonesia (salah satunya dari Provinsi Riau). FGD dan wawancara dilaksanakan di Bogor pada tanggal 26 Oktober 2013. Ringkasan sebagian hasil FGD dan wawancara ditampilkan pada Tabel 13.
44
Tabel 13 Pengaruh kebijakan kehutanan terhadap biaya transaksi Pelaksanaan Kebijakan Kehutanan 1. Pencadangan kawasan hutan (SK Menhut No. 6273/2011) 2. Pengurusan izin IUPHHK (Permenhut No. P50/10 jo. P 26/12) — Rekomendasi Gubernur/ Bupati 3. Pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) (Permenhut No. P56/2009 jo. P24/11)— Menetapkan jatah produksi 4. Izin Pemanfaatan Kayu (Permenhut No. P14/11 jo. P.20/13) 5. Monitoring dan pengawasan rutin
Pengaruh terhadap Biaya Transaksi -5
-4
-3
-2
-1
0
+1
+2
+3
2
2
1
1
1
Nilai Transaksi +4
+5
1
1
1
3
3
2
2
3
3
4
Biaya sd Rp 25 juta untuk mendapatkan peta dan arahan lokasi. Rp. 50 sd 100 ribu per ha.
Pengesahan bisa sd Rp. 50 juta. Biaya monitoring RKT untuk140 hari kerja x 8 orang . Biaya tim teknis lapangan-nego. Tarif tergantung luas dan jenis kayu. Membayar biaya perjalanan dan akomodasi tim
Pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi diukur dengan kisaran skor dari -5 (berarti sangat menurunkan biaya transaksi) sampai +5 (berarti menaikan biaya transaksi). Angka pada sel-sel yang diberi shading menunjukkan jumlah informan yang menyatakan pendapatnya. Data pada Tabel 13 mengindikasikan pelaksanaan lima jenis kebijakan kehutanan cenderung menaikan biaya transaksi. Jenis dan besarnya biaya transaksi, misalnya untuk pengurusan pencadangan kawasan, biaya tidak resmi yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan informasi dan peta sampai Rp. 25 juta. Biaya untuk mendapatkan pertimbangan dari Bupati dan rekomendasi dari Gubernur sekitar Rp 50 – 100 ribu per ha. Biaya monitoring pra penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT), perusahaan menanggung biaya operasional tim pemeriksa sebanyak 140 hari kerja x 8 orang = 1.120 HOK (Hari Orang Kerja). Total biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pengesahan satu buah RKT IUPHHK-HTI sekitar Rp. 75 juta. 7 Biaya dalam pengurusan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dengan tim teknis (pemeriksa) nilainya dinegosiasikan, sedangkan untuk pengesahan ijinnya ada tarif tertentu berdasarkan luas dan jenis kayu. Kemudian terakhir, untuk kegiatan monitoring dan pengawasan rutin perusahaan juga hampir selalu diminta menanggung biaya perjalanan dan akomodasi para petugas. Bukti lain yang lebih khusus untuk kasus di Provinsi Riau diperoleh dari tulisan Suryadi (2012). Di dalam tulisan tersebut Suryadi mencatat pengakuan sejumlah saksi pada saat persidangan kasus korupsi Burhanuddin Husin di 7
Informasi dari mahasiswa S3 Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang sedang melakukan penelitian biaya transaksi antara perusahaan pemegang IUPHHK-HTI dan instansi kehutanan daerah di Provinsi Riau.
45
pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tahun 2012. Pengakuan para saksi tersebut antara lain: • Sandra Wibawa, Ketua Tim Survei RKT PT Seraya Sumber Lestari di Siak, menyatakan bahwa hutan yang disurvei adalah hutan alam dan mendapat uang dari perusahaan sebesar Rp. 15-20 juta untuk semua tim selama survey, dan mendapat uang sebesar Rp. 85 juta setiap pertimbangan teknisnya, khusus untuk tahun 2006 uang yang diterima sebesar Rp. 25 juta. • Amrizal, selaku pejabat pengesah laporan hasil produksi Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan untuk perusahaan PT Triomas FDI tahun 2005-2006, dan untuk PT Satria Perkasa pada tahun 2007, menyatakan bahwa hutan yang disahkan adalah hutan alam dan saksi mendapatkan uang dari perusahaan sebesar Rp. 1 juta perbulan selama 3 tahun. • Djamalis, selaku pejabat pengesah laporan hasil produksi Dinas Kehutanan Kabupaten Pelelawan, mengatakan di dalam persidangan bahwa ia mengesahkan lapora hasil produksi PT Satria Perkasa Agung pada tahun 2004, PT Mitra Hutani Jaya pada tahun 2005 dan PT Uniseraya pada tahun 2006 dan menyatakan bahwa tiga perusahaan tersebut kayunya merupakan kayu hutan alam. Ia mendapatkan uang dari perusahaan Rp. 500 ribu per sekali jalan dan Rp. 750 ribu per bulan. • Abdul Haris, selaku PNS Dinas Kehutanan Kabupaten Siak yang pada saat itu bertugas melakukan pembinaan hasil hutuan, tata usaha kayu, dan pengamanan hasil hutan. Di dalam persidangan menyatakan bahwa hasil survey lapangan diketahui bahwa areal PT Seraya Sumber Lestari masih berupa hutan alam. Saksi mendapatkan uang dari perusahaan sebesar Rp. 250-300 ribu per bulan selama 2 tahun dan ada 29 orang lainnya juga menerima uang (secara rutin).
Kemudian bukti terakhir berupa keputusan hukum terhadap enam mantan pejabat di Provinsi Riau yang dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi dalam urusan kehutanan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi Riau No 1
Terpidana Syuhada Tasman, Mantan Kadishut Provinsi Riau 2003−2004
2
Asral Rahman, mantan Kadishut Provinsi Riau 2004-2005
3
Burhanuddin Husin, Mantan Kadishut
Sumber informasi Riau pos, 25 April 2012
Kasus hukum
Hukuman
Mengesahkan RKT IUPHHK 6 perusahaan di Kabupaten Pelalawan. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 153 miliar.
• Divonis tanggal 25 April 2012 • Hukuman penjara 5 tahun, denda Rp 250 juta
Menerima suap dan memberikan izin usaha pemanfaatan hutan di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan dengan kerugian negara sekitar Rp 889,2 miliar.
• Divonis tanggal 5 November 2010 • Hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 200 juta
Pekanbaru express,
Mengesahkan RKT IUPHHK 14 perusahaan di Kabupaten Siak dan Pelalawan. Kerugian
• Divonis tanggal 24 Oktober 2012 • Hukuman penjara 2 tahun 6 bulan, denda
Riau pos, 25 Oktober 2012
5 November 2010
46
No
4
Terpidana
Sumber informasi
negara diperkirakan sebesar Rp 519 miliar lebih.
Azmun Jaafar,
Menerbitkan IUPHHKHT pada perusahaan yang dinilai memiliki kedekatan dengan bupati. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 1,2 triliun.
• Divonis tanggal 16 September 2008 • Hukuman penjara 11 tahun, denda Rp 500 juta
Kompas.com,
Menerbitkan 5 IUPHHKHT. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp. 301 milyar.
• Divonis tanggal 22 Desember 2011 • Hukuman penjara 4 tahun, denda Rp 200 juta
Pekanbaru Tribun,
Korupsi Dana Pekan Olahraga Nasional (PON) dan kehutanan di Pelalawan dan Siak. Kasus kehutanan berupa penerbitan Bagan Kerja Usaha (BKU) IUPHHKHT untuk sembilan perusahaan di Pelalawan dan Siak pada tahun 2004. Kerugian keuangan negara diperkirakan sebesar Rp 265 miliar.
• Divonis tanggal 12 Maret 2014 • Hukuman penjara 14 tahun, denda Rp 1 miliar.
Antaranews. com, 12 Maret 2014
Arwin As, Mantan Bupati Kabupaten Siak 2 periode, 2001− 2011
6
Hukuman
Provinsi Riau 2005−-2006, juga mantan Bupati Kabupaten Kampar 2006−-2011
Mantan Bupati Kabupaten Pelalawan, 2001−2011 5
Kasus hukum
Rusli Zainal, Mantan Gubernur Provinsi Riau 2 periode, 2003−2013
Rp100 juta
17 September 2008
22 Desember 2011
Berdasarkan penelusuran melalui internet, diperoleh informasi tiga kasus korupsi kehutanan di Provinsi NTB sebagaimana ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi NTB No 1
Terpidana Burhanuddin H. Usman Mantan Kadishut Kabupaten Dompu.
2
Komisaris Bardiono (Wakapolres Kab
Kasus hukum
Hukuman
Menerbitkan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) untuk kayu-kayu illegal. Selain itu juga menggelapkan uang dari pembayaran SKSH tahun 2002. Kerugian negara sebesar Rp 147,6 juta.
• Divonis tahun 2007, hukuman penjara 2 tahun, denda Rp 2,5 juta.
Membeking pembalakan liar
• Komisaris Bardiono dicopot dari jabatan Wakapolres dan
Sumber informasi Wajah-koruptor. blogspot.com, 2012
Koran Tempo, 21 Sept 2004
Koran Tempo, 13 April 2005
47
No
Terpidana
Kasus hukum
Dompu) dan 3 bintara polisi: Brigadir Ponidi, Brigadir Dua Susan dan Brigadir Dua Frans. Reskrim Polres Dompu. 3
Abdul Rahman, Mantan Plt Kadishut Kota Bima 2005−2006
Hukuman
Sumber informasi
dimutasi. • Tiga bintara, dihukum kurungan 21 hari, dimutasi ke daerah pelosok.
Korupsi proyek pengembangan Hutan Rakyat pola Agroforestri tahun 2006. Kerugian negara sekitar Rp. 106,8 juta.
• (Tidak diperoleh keterangan lebih lanjut)
Sumbawanews, 20 November 2008
Dalam pemanfaatan hutan, dapat dilihat terdapat perbedaan situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan antara di KPHP−TBS dan KPHL−RB. Pada wilayah kerja KPHP−TBS yang didominasi oleh jenis ijin IUPHHK-HTI, dimana peluang perburuan rente lebih besar, sehingga pola interaksi yang terbentuk adalah menguatnya hubungan-hubungan KKN antara aparatur pemerintah dengan pihak pengusaha. Sementara di wilayah KPHL−RB yang didominasi oleh ijin HKm, dimana peluang perburuan rente ekonomi lebih kecil, maka pola interaksi yang terbentuk lebih diwarnai oleh hubungan-hubungan fasilitasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat bagi petani peserta HKm. Perilaku korup pada sektor kehutanan telah mewabah hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dari hasil penelitian KPK pada akhir tahun 2013. Demikian juga hasil kajian UNDP tahun 2012 memberi indikasi ke arah yang sama, dengan masih rendahnya indeks prinsip akuntabilitas dalam tata kelola hutan. Secara khusus berlangsungnya praktekpraktek KKN di Provinsi Riau telah dibuktikan dengan pengakuan sejumlah saksi dalam persidangan kasus korupsi, juga telah divonisnya sejumlah pejabat mantan kepala dinas kehutanan provinsi, mantan bupati, dan mantan gubernur. Bukti-bukti tersebut mendukung teori yang dikemukakan oleh para ahli, khususnya dari Jain yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya tiga keadaan, yaitu pertama, adanya peluang pemburuan rente yang inheren dengan alokasi kekuasaan atau wewenang yang diatur dalam peraturan, kedua, aparatur yang korup memiliki keleluasaan atau independensi di dalam struktur administrasi pemerintahan, dan ketiga, lemah dan tidak efektifnya lembaga-lembaga publik yang bertugas untuk mengendalikan KKN. Peluang terjadinya praktek-praktek KKN akan lebih besar terjadi pada situasi aksi yang menyediakan peluang yang lebih besar dibanding situasi aksi yang lainnya. Peluang di sini dapat berupa kewenangan tertentu yang melekat pada jabatan atau posisi tertentu pada aparatur pemerintah, kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan di sisi lain adanya peluang ekonomi yang bisa dibangkitkan dengan menggunakan penyalahgunaan kewenangan tersebut (potensi suap dari perusahaan untuk memperlancar urusan, uang damai, dan sebagainya).
48
Dampak (Outcomes)
Hasil atau dampak (outcomes) adalah dampak-dampak yang terjadi sebagai akibat dari interaksi para partisipan di dalam arena aksi. Dampak yang dinilai di sini adalah dampak pola interaksi para partisipan terhadap penguatan atau pelemahan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang dapat didekati dengan nilai indeks tata kelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan. Pada tahun 2012 UNDP melakukan kajian kondisi tata kelola hutan, lahan dan REDD+ dalam skala wilayah yang cukup luas di Indonesia. Penilaian dilakukan pada 31 lokasi yang tersebar di tingkat nasional, 10 tingkat provinsi dan 20 tingkat kabupaten. Pemilihan provinsi didasarkan kepada jumlah luas kawasan hutan yang dimiliki oleh masing-masing provinsi dan kemudian dipilih sepuluh provinsi yang memiliki jumlah luas kawasan hutan yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Sementara dua kabupaten di masing-masing provinsi dipilih berdasarkan tingkat kerentanan ekologi, ekonomi dan jumlah desa atau masyarakat yang tingga di dalam kawasan hutan. Laporan hasil kajiannya antara lain menyajikan indeks tata kelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan (lihat Gambar 13). Hasil kajian menunjukan, secara keseluruhan indeks tata kelola berdasarkan prinsip berada pada angka 2,35 dari kisaran nilai indeks 0,00 – 5,00. Skor 2,35 berasal dari nilai agregat pusat 2,71, lalu nilai agregat rata-rata provinsi 2,36, dan nilai agregat kabupaten 1,98. Nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan prinsip tersebut masih di bawah nilai tengah yaitu nilai 3.
5,00 4,00 3,00
2.67
2,45
2,35
2,34
2,32
2,26
1,98
2,00 1,00 0,00 Transparansi
Partisipas
Indeks Keadilan Keseluruhan
Kapabilitas Akuntabilitas Efektivitas
Gambar 13 Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola Indeks prinsip yang paling tinggi ditempati oleh prinsip transparansi dengan skor 2,67. Tingginya nilai indeks transparansi disumbang oleh sejumlah kerangka hukum, antara lain didorong dengan keluarnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun demikian, membaiknya indikator prinsip transparansi belum berimplikasi secara signifikan terhadap membaiknya indikator akuntabilitas dan efektifitas.
49
Tabel 16 Matrik tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola Lokasi
Indeks Partisipasi Akuntabilitas Transparansi Kapasitas Efektivitas Keadilan
Pusat
2.71
2.99
2.61
3.06
2.61
2.31
2.68
Aceh
2.12
2.10
2.09
2.66
1.95
1.81
2.11
Riau
2.21
2.51
2.13
2.24
2.24
2.27
1.85
Jambi
2.31
2.40
2.43
2.35
2.22
2.27
2.22
Sumatra Selatan
2.27
2.09
2.35
2.28
1.89
2.23
2.76
Kalimantan Barat
2.57
2.79
2.67
3.04
2.28
2.04
2.61
Kalimantan Tengah
2.63
2.88
2.48
2.69
2.69
2.37
2.65
Kalimantan Timur
2.37
2.54
2.24
2.47
2.09
2.26
2.59
Sulawesi Tengah
2.54
2.77
2.52
2.42
2.47
2.49
2.55
Papua Barat
2.26
2.32
2.21
2.53
1.85
2.21
2.41
Papua
2.39
2.46
2.42
2.42
2.34
2.24
2.44
Hal tersebut menunjukan bahwa tata kelola hutan dan lahan gambut sekarang ini masih sarat dengan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti tergambar dalam skor prinsip akuntabilitas, dan kinerja yang rendah seperti tergambar dalam skor prinsip efektifitas (UNDP 2013). Data pada Tabel 16 menunjukkan skor indeks pada 10 provinsi yang paling baik dan yang paling buruk. Berdasarkan kategori “prinsip tata kelola” peringkat pertama ditempati oleh Provinsi Kalimantan Tengah dengan skor 2,63. Lalu disusul oleh Provinsi Kalimantan Barat dengan skor 2,57, dan Provinsi Sulawesi Tengah dengan skor 2,54. Sementara itu provinsi yang memiliki nilai paling rendah ditempati oleh Provinsi Aceh dengan skor 2,12, disusul oleh Provinsi Riau dengan skor 2,21 dan Provinsi Papua Barat dengan skor 2,26. Namun demikian, semua skor berada di bawah 3 yang artinya kondisi tata kelola hutan, lahan dan REDD+ masih dalam kategori buruk. Data di atas mengindikasikan ada korelasi yang kuat antara tingginya tingkat KKN dengan rendahnya skor indeks tata kelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan. Besarnya peluang terjadinya KKN dikarenakan adanya sejumlah besar IUPHHK-HTI, pada kondisi tata kelola hutan yang buruk, cenderung menguatkan nilai-nilai KKN itu sendiri yang ditunjukan dengan rendahnya nilai prinsip akuntabilitas. Kuatnya nilai-nilai KKN di dalam lingkungan aparatur, cenderung akan mempengaruhi preferensi terhadap jenisjenis kebijakan yang datang dari pihak lain. Smith et al. (2003) misalnya menyatakan, pejabat pemerintah yang sudah biasa memperoleh manfaat dari korupsi, akan berusaha untuk mencegah atau melemahkan kebijakan dan perubahan kelembagaan yang dapat menghambat praktek-praktek ilegalnya. Simpulan Perbedaan situasi aksi pemanfaatan hutan yang dihadapi oleh para partisipan antara di KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHL Rinjani Barat, dimana pada
50
wilayah kerja KPHP−TBS didominasi oleh keberadaan jenis ijin IUPHHK-HTI, sementara di wilayah KPHL−RB didominasi oleh ijin HKm, menyebabkan perbedaan peluang perburuan rente ekonomi. Pada wilayah KPHP−TBS peluang perburuan rente ekonominya jauh lebih besar dibanding pada wilayah KPHL−RB, sehingga memunculnya pola interaksi KKN yang lebih kuat antara aparatur pemerintah dengan pihak pengusaha. Kondisi ini pada gilirannya akan semakin menguatkan nilai-nilai KKN (rendahnya transparansi dan akuntabilitas) itu sendiri pada komunitas para pelakunya. Kuatnya nilai-nilai KKN dalam suatu komunitas yang dipicu oleh struktur situasi pemanfaatan hutan, dapat menghambat proses-proses pembangunan KPH. Hal ini karena para partisipaan di dalam dua arena aksi tersebut sama. Hambatan terjadi karena sebagian pejabat Dinas Kehutanan memandang dengan adanya KPH akan mengurangi kewenangan mereka. Selain itu KPH membawa nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai-nilai lama dan preferensi mereka. Namun demikian terjadinya praktek-praktek KKN di dalam arena aksi pemanfaatan hutan bukan hanya disebabkan oleh kondisi biofisik. Sejumlah faktor lain pun akan berpengaruh, antara lain adanya celah atau kelemahan pada aspek peraturan, lemahnya kondisi tata kelola hutan, dan lemahnya penegakan hukum.
51
4 ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) Pendahuluan Latar Belakang Berdasarkan PP No. 38/2007, pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi dilakukan secara bersama antara pemerintah dengan pemerintah daerah (Pemda). Menurut Permendagri No. 61/2010 Pemda wajib membentuk organisasi KPHL/KPHP dalam bentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Namun demikian pelaksanaan kewajiban tersebut hingga saat ini berjalan tersendat dikarenakan terdapat sejumlah kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain masih terdapat pengertian yang keliru tentang KPH, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, lemahnya SDM, lemahnya dukungan politis, serta kurangnya sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung pembangunan KPH. Dengan kondisi demikian maka diperlukan kelengkapan dan kualitas peraturan perundang-undangan yang baik untuk mengarahkan langkah bersama. Di samping itu, komunikasi dan koordinasi antar lembaga dan penguatan supervisi sangat diperlukan (Kartodihardjo 2008). Berkenaan dengan identifikasi masalah, berbagai diskusi baik melalui forum sosialisasi, workshop, rapat kerja, dan sebagainya telah dilakukan. Dari diskusidiskusi tersebut telah banyak diperoleh pembelajaran, khususnya dari pengalaman berprosesnya pembangunan KPH model. Salah satu isu penting dalam peraturan perundang-undangan, terdapat fenomena umum bahwa pemerintah daerah masih kebingungan dalam mensikapi peraturan perundang-undangan yang ada seperti PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 (Kartodihardjo et al. 2011). Berdasarkan sejumlah kendala umum pembangunan KPH tersebut, penelitian ini akan difokuskan kepada analisis peraturan. Di dalam kelembagaan formal, peraturan selalu dijadikan sebagai acuan pokok dalam proses-proses pengambilan keputusan. Ostrom dan Crawford (2005) mengungkapkan ada dua alasan mendasar tentang pentingnya penekanan pada pengaruh peraturan terhadap pengambilan keputusan dan tindakan individu atau organisasi, yaitu: pertama, analisis kelembagaan seringkali digunakan untuk menganalisis dampak dari perubahan peraturan, baik dampak yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi; dan kedua, analisis kelembagaan seringkali digunakan untuk mencari solusi bagi kinerja negatif dari suatu situasi aksi, dengan pertimbangan bahwa merubah peraturan akan lebih mudah dilakukan daripada merubah kondisi biofisik dan karakteristik masyarakat. Kerangka Kerja Analisis dan Pengembangan Kelembagaan (IADFramework) Ostrom dapat digunakan untuk menganalisis substansi isi peraturan. Menurut Schlager dan Blomquist (1996), kerangka kerja IAD adalah kerangka kerja yang telah mapan dan kuat yang menekankan kepada analisis pengaruh peraturan terhadap pengambilan keputusan dan tindakan individu atau organisasi. Di dalam kerangka kerja IAD terdapat satu komponen yang bernama “rules inuse” atau “aturan-aturan yang digunakan”. Dalam analisis kelembagaan, konsep ini digunakan untuk menganalisis isi peraturan dalam hubungannya dengan struktur situasi aksi yang terbentuk dan kinerja yang dihasilkan. Contoh penggunaannya antara lain ditunjukan oleh Schweik dan Kitsing (2010) untuk
52
menganalisis peraturan-peraturan dalam sistem perangkat lunak geospasial terbuka (open source geospatial system). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kelemahan-kelemahan substansial dari peraturan pembentukan organisasi KPHL dan KPHP. Analisis dibatasi pada pasal-pasal yang berkaitan dengan pembentukan organisasi KPHL/KPHP di tingkat provinsi, pada tiga buah peraturan yaitu PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008, Permendagri No. 61/2010, dan PP No. 41/2007. Saat ini ketiga peraturan tersebut digunakan sebagai dasar pembentukan organisasi KPHL dan KPHP di Indonesia. Hasil analisis dapat digunakan sebagai dasar untuk perbaikan peraturan dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka meningkatan kinerja pembangunan KPH di Indonesia. Metodologi Penelitian Kerangka Teoritis dan Pendekatan Penelitian Di dalam kelompok variabel eksogen (exogenous variables) kerangka kerja IAD, terdapat komponen “aturan-aturan yang digunakan” (rules in-use). Menurut Ostrom (2005) dan Ostrom et al, (2006), aturan-aturan yang digunakan adalah aturan yang dirujuk oleh partisipan jika mereka diminta untuk menjelaskan dan membenarkan tindakan yang mereka lakukan kepada partisipan lain. Konsep ini dapat digunakan untuk menganalisis isi peraturan dalam hubungannya dengan struktur situasi aksi yang terbentuk, perilaku yang terjadi, dan kinerja yang dihasilkan dalam proses pembentukan organisasi KPHL/KPHP. Birkland (2001) menyebut komponen tersebut sebagai instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk menciptakan dampak yang diharapkan. Menurut Blomquist (2006), komponen peraturan berperan dalam membentuk situasi aksi dengan cara mempengaruhi insentif dan pilihan yang tersedia bagi pada aktor, kemudian aktor yang rasional akan meresponnya dengan cara berperilaku dan mengadopsi strategi tertentu, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil. Oleh karena itu menurut Blomquist, dengan memodifikasi peraturan dapat memotivasi individu untuk berperilaku dan mengadopsi strategi tertentu sehingga berpotensi menghasilkan hasil yang berbeda. Modifikasi peraturan pada dasarnya dimaksudkan untuk menemukan kombinasi yang lebih efektif dibanding kombinasi yang lainnya (Ostrom, 2008). Ostrom dan Crawford (2005) membagi peraturan yang digunakan ke dalam tujuh jenis aturan, yaitu: aturan posisi, aturan batas-batas keanggotaan, aturan otoritas tindakan, aturan agregasi, aturan informasi, aturan lingkup, dan aturan biaya-manfaat. Pola pengklasifikasian seperti ini dihubungkan dengan unsur-unsur struktur situasi aksi, yaitu para partisipan, posisi, otoritas tindakan, kontrol, informasi, hasil atau dampak, dan biaya-manfaat. Ostrom (2005) dan Ostrom et al. (2006) memberi batasan ketujuh jenis aturan sebagai berikut: Aturan posisi (position rule) adalah jenis peraturan yang mengatur keberadaan sejumlah posisi dan berapa banyak partisipan yang dapat menduduki setiap posisi di dalam suatu arena aksi; Aturan batas-batas keanggotaan (boundary rule) adalah peraturan tentang persyaratan dan cara partisipan masuk atau meninggalkan posisi tertentu di dalam suatu arena aksi;
53
Aturan otoritas tindakan (authority rule) adalah peraturan tentang sejumlah tindakan sah atau resmi yang diberikan kepada partisipan sesuai dengan posisinya pada setiap tahapan pengambilan keputusan; Aturan agregasi (agregation rule) adalah peraturan tentang fungsi transformasi jenis tindakan tertentu kepada hasil akhir atau hasil antara bagi kelompok pada setiap tahap pengambilan keputusan; Aturan informasi (information rule) adalah peraturan yang mengatur tingkat informasi yang tersedia, mengotorisasi saluran informasi, menetapkan kewajiban, ijin, atau larangan untuk berkomunikasi dengan partisipan pada posisinya pada tahap keputusan tertentu, dan menetapkan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi; Aturan lingkup (scope rule) adalah peraturan yang mengatur tindakan atau keadaan yang mempengaruhi variabel hasil (outcome) yang “harus”, “tidak boleh”, atau “mungkin” terpengaruh sebagai akibat dari tindakan yang diambil dalam suatu situasi; dan Aturan biaya-manfaat (payoff rule) adalah peraturan tentang bagaimana manfaat dan biaya yang diperlukan, diizinkan, atau dilarang, didistribusikan kepada para partisipan. Kinerja (performance) dari suatu aturan kelembagaan dapat dilacak melalui analisis konfigurasi ketujuh jenis aturan yang digunakan. Susunan tujuh jenis aturan ini dimaksudkan untuk mendorong, membolehkan atau menghambat munculnya perilaku tertentu yang diharapkan dari para partisipan dalam rangka mencapai atau mewujudkan suatu tujuan atau keadaan tertentu (state variables). Dengan demikian maka apabila terdapat kesenjangan (gap) antara tujuan dengan kenyataan, analis kelembagaan dapat memeriksa kembali sejauhmana susunan aturan-aturan tersebut telah berkesesuaian dengan muncul atau tidak munculnya perilaku yang diharapkan. Hubungan antara unsur-unsur rules in-use dengan unsur-unsur situasi aksi seperti ditampilkan pada Gambar 14. Aturan Keanggotaan
Aturan Informasi
RULES IN USE
Aturan Agregasi
SITUASI AKSI Para Partisipan menempati Posisi tertentu
Informasi tentang
Kontrol terhadap
Terkait dengan
Hasil-hasil atau Dampak yang mungkin terjadi
Aturan Lingkup
sesuai dengan Biaya-Manfaat berkaitan dengan
Otoritas tindakan
Aturan Otoritas
Aturan Posisi
Aturan Biaya-Manfaat
Gambar 14 Hubungan antara rules in-use dengan unsur-unsur situasi aksi (Sumber: Ostrom, 2005) Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini bersifat analisis restropektif, yaitu suatu proses penciptaan dan transformasi informasi sesudah kebijakan diimplementasikan (ex-post), yang berorientasi pada identifikasi variable-variabel yang dapat dimanipulasi oleh
54
pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah (Dunn, 2000). Peraturan yang dikaji ada tiga buah berupa peraturan formal tertulis, yaitu PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi KPHL dan KPHP di Daerah; dan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dengan pertimbangan saat ini ketiga peraturan tersebut digunakan sebagai dasar pembentukan organisasi KPHL dan KPHP di Indonesia. Penelitian ini menganalisis isi peraturan dengan jalan mengidentifikasi karakteristik isi peraturan yang dibentuk melalui teks. Alat analisisnya adalah konsep rules in-use dari Ostrom (aturan posisi, aturan keanggotaan, aturan otoritas tindakan, aturan agregasi, aturan informasi, aturan lingkup, dan aturan biayamanfaat). Menurut Ostrom (2005), dalam teori analisis kelembagaan penyederhanaan asumsi sering dilakukan bahwa individu dalam situasi aksi tertentu hanya akan melakukan tindakan-tindakan yang sah berdasarkan aturan yang berlaku. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada menganalisis pasalpasal yang berkaitan dengan pembentukan organisasi KPHL dan KPHP, kemudian mencermati implikasinya terhadap perilaku para partisipan yang terbentuk, serta terhadap dampak atau kinerjanya. Isu dan permasalahan dikumpulkan melalui wawancara dengan para partisipan, melalui pertemuan-pertemuan yang diikuti langsung oleh peneliti, dan dengan membaca kembali dokumen dan hasil-hasil kajian terdahulu. Hasil dan Pembahasan Abstraksi hasil analisis isi tiga buah peraturan disajikan pada Tabel 17. Pada tabel tersebut disajikan ringkasan pasal-pasal yang berkaitan dengan pembentukan organisasi KPHL/KPHP di tingkat provinsi, yang dikelompokkan berdasarkan tujuh jenis aturan dari konsep rules in-use Ostrom dan Crawford. Tabel 17 Hasil analisis isi tiga peraturan pembentukan organisasi KPH Tujuh Unsur Konsep Rules in Use Ostrom
PP No.6/2007 jo. PP No.3/2008 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah
Aturan posisi : Aturan tentang jumlah dan jenis posisi, jumlah anggota dlm setiap posisi, mekanisme suksesi, dan peran sesuai posisi
• Menteri sebagai penetap organisasi KPHK, KPHL, KPHP (8:1)
• Mendagri sebagai pembina umum organisasi KPHP/KPHL (16:1)
• Pemprov sebagai pengusul organisasi KPHL/KPHP lintas kab/kota; dan pemberi pertimbangan tehnis (8:2a)
• Menhut sebagai pembina tehnis organisasi KPHP/KPHL (16:2)
Aturan batas keanggotaan: Aturan tentang syarat dan mekanisme masuk
Tidak ada
Tidak ada
• Pemdaprov (Gubernur dan DPRD provinsi) sebagai pembuat Perdaprov (Organisasi KPHL/KPHP ditetapkan melalui Perda) (2:2)
PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
• Mendagri sbg pembina dan pengendali ramperda Organisasi Perangkat Daerah (OPD) provinsi (38:1) • Menpan sebagai pemberi pertimbangan untuk pembentukan lembaga lain dari OPD (45:2) • Pemdaprov sebagai pembuat Perdaprov ( 2:1) • Gubernur sbg pembuat Pergub rincian tupoksi dan tahubja OPD (l 2:3) Tidak ada
55
Tujuh Unsur Konsep Rules in Use Ostrom
PP No.6/2007 jo. PP No.3/2008 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah
PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
dan keluarnya anggota pada setiap posisi Aturan otoritas: Aturan tentang jenis-jenis tindakan/ kewenangan resmi pada setiap posisi
• Menteri menetapkan organisasi KPHK, KPHL, KPHP (8:1) • Pemprov mengusulkan organisasi KPHL/KPHP lintas kab/kota (8:2a) • Pemprov memberikan pertimb tehnis (8:2c) • Menteri membuat tata cara penetapan, pertimb tehnis, dan usulan penetapan organisasi (8:3dan6)
• Pembentukan organisasi KPHL/KPHP lintas kab/kota ditetapkan melalui Perdaprov (2:2) • Mendagri melakukan pembinaan umum atas KPH provinsi (16:1) • Menhut melakukan pembinaan tehnis (16:2)
• Pembentukan OPD ditetapkan melalui Perda (2:1) • Perda mengatur susduk dan tupoksi (2:2) • Rincian tupoksi dan tata kerja diatur dlm Pergub (2:3) • Mendagri melakukan pembinaan dan pengendalian OPD provinsi (38:1); Pemantauan dan evaluasi penataan OPD (42:1)
Aturan agregasi: aturan tentang fungsi transformasi jenis tindakan tertentu kepada hasil akhir atau hasil antara pada setiap tahap pengambilan keputusan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Aturan informasi: Aturan tentang penyediaan, jenis, akses informasi; sosialisasi, komunikasi, dsb.
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Aturan lingkup: aturan tentang tindakan atau keadaan yang mempengaruhi variabel hasil (outcome) yang “harus”, “tidak boleh”, atau “mungkin” dilakukan dalam suatu situasi
• Organisasi KPHL dan KPHP dalam bentuk SKPD (2:1)
• Wilayah KPH ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan (6:1)
• KPHL/KPHP terdiri dari Tipe A • Kepala UPT dinas eselon IIIa, Kasi-Kasubbag-Kasubbid dan Tipe B (5:1) eselon IVa (34:4) • Penentuan tipe KPHL/KPHP berdasarkan NSPK (5:2) • Kepala KPHL/KPHP Tipe A eselon IIIa; Tipe B Eselon IVa (11:1-2) • KPHP/KPHL yang dibentuk sblm diberlakukan peraturan ini wajib menyesuaikan plg lambat 1 thn setelah ditetapkan (18) • Permen ini mulai berlaku tgl 23 Desember 2010 (19)
Aturan biayamanfaat: Aturan tentang biaya dan manfaat −yang diperlukan,
• Pada dinas daerah dapat dibentuk UPT (7:6)
• KPH meliputi KPHK, KPHL dan KPHP (5)
• Pemerintah, Pemdaprov bertanggungjawab atas pembangunan KPH dan infrastrukturnya (10:1)
• Pembiayaan KPHL/KPHP
dibebankan kepada APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan
• Dlm rangka menjalankan tugas dan fungsi, Pemda dapat membentuk lembaga lain sebagai bagian dari perangkat daerah (45:1) • Organisasi dan tata kerja serta eselonisasi lembaga tersebut ditetapkan Mendagri setelah mendapat pertimbangan dari Menpan (45:2) -
56
Tujuh Unsur Konsep Rules in Use Ostrom diijinkan, dan dilarang− didistrbusikan; termasuk sanksi dan penghargaan.
PP No.6/2007 jo. PP No.3/2008 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan • Dana pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD dan dana lain yang tidak mengikat sesuai peraturan perundangan (10:2)
Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah
PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
perundangan (17)
Keterangan: Angka di dalam tanda kurung menunjukan pasal dan ayat dalam peraturan.
Aturan Posisi Kelembagaan pembangunan KPH melibatkan unsur-unsur organisasi pemerintah dan Pemda. Seperti yang disebutkan Hill dan Hupe (2002) terjadi hubungan-hubungan horizontal dan vertikal di antara organisasi-organisasi pemerintah. Di dalam sistem pemerintahan, pengaturan posisi dan peran para partisipan unsur pemerintah berimpit langsung dengan posisi dan tupoksi jabatan struktural dan fungsionalnya. Di tingkat pemerintah, Kemenhut menempati posisi sebagai pembina teknis dan Kemendagri menempati posisi sebagai pembina organisasi. Pada level di bawahnya Ditjen Planologi Kehutanan ditunjuk sebagai penanggungjawab program, sedangkan Ditjen Bina Usaha Kehutanan (BUK) dilibatkan ketika berhubungan dengan pembentukan KPHP, Ditjen Daerah Aliran Sungai dan Pehutanan Sosial (DASRLPS) dilibatkan ketika berhubungan dengan pembentukan KPHL, Pusdiklat Kehutanan di bawah Sekjen terlibat dalam program diklat calon KKPH, dan UPT BPKH dilibatkan dalam penyusunan rancang bangun dan rencana pengelolaan KPH. Di tingkat provinsi, secara empiris posisi-posisi penting yang terlibat dalam pembentukan organisasi KPHL/KPHP adalah Gubernur, DPRD provinsi, dan Kepala Dinas Kehutanan. Hubungan posisi para pejabat dan organisasi daerah tersebut berkaitan dengan otoritas yang melekat pada jabatan dan organisasi tersebut. Peran Gubernur adalah sebagai pembentuk dan penetap organisasi KPHL/KPHP bersama-sama dengan DPRD provinsi dalam menetapkan Peraturan Daerah (Perda). Di samping itu juga Gubernur berperan dalam menindaklanjuti Perda tersebut melalui penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk rincian tugas pokok organisasi (Tupoksi) dan penempatan personil pada organisasi KPHL/KPHP. Dinas Kehutanan (Dishut) merupakan satker teknis penyelenggara urusan kehutanan. Walaupun posisinya tidak disebutkan di dalam ketiga peraturan yang dianalisis, namun secara faktual posisinya sangat strategis, mengingat sebagai pembantu Gubernur dalam menyiapkan dan melaksanakan keputusan pimpinan daerah dalam urusan kehutanan. Situasi umum yang terjadi di daerah saat ini adalah: (1) Tidak seluruh Pemda memberi dukungan dalam pembangunan KPH, terutama dalam pembentukan organisasi KPH karena memerlukan anggaran yang besar untuk menghidupkan organisasi tersebut, (2) Terbatasnya pengertian dan pemahaman aparatur daerah terhadap fungsi dan manfaat KPH bagi pembangunan kehutanan, dan (3) Terbatasnya SDM yang memahami dan mempunyai kapabilitas untuk menjalankan organisasi KPH (Kartodihardjo et al. 2011). Implikasi dari semua
57
kendala tersebut adalah terhambatnya proses pembentukan organisasi dan operasionalisasi KPH di daerah. Dalam konteks mendorong percepatan proses pembangunan KPHL/KPHP, isu pertama yang muncul adalah “kurang optimalnya posisi dan peran Kemendagri sebagai Pembina Organisasi KPH”. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dishut Provinsi Riau, Kemenhut dinilai masih kurang melibatkan Kemendagri dan tidak secara langsung mendekati para pimpinan daerah dalam melakukan pendekatan kepada daerah. Tugas untuk meyakinkan pimpinan daerah dan DPRD dinilai akan lebih efektif apabila dilakukan oleh Kemendagri, mengingat Kemendagri memiliki posisi yang kuat di hadapan Pemda. Hal ini berkaitan dengan kedudukan Kemendagri sesuai UU No. 32/2004 sebagai evaluator dan pembina pemerintah daerah. Isu kedua yang dinilai penting adalah “perlu dibukanya ruang partisipasi yang luas bagi para pihak yang potensial dapat membantu pembangunan KPH”. Para pihak tersebut antara lain dari unsur akademisi, organisasi rimbawan, lembaga donor, LSM, dan unsur masyarakat lainnya yang terkait. Terdapat dua alasan yang mendasarinya, pertama, bahwa membangun KPH dalam skala nasional adalah pekerjaan sangat besar, baik secara teknis maupun finansial; kedua, membangun KPH berarti perlu mengubah paradigma birokrat kehutanan dari posisinya yang selama ini sebagai forest administrator menjadi forest administrator dan forest manager. Upaya mengubah paradigma ini seringkali menghadapi resistensi dari pihak-pihak yang merasa kenyamanannya terganggu. Sekalipun pelibatan berbagai unsur pemerintah dan masyarakat pada dasarnya dimungkinkan karena telah diatur dalam Pasal 70 UU No. 41/1999, namun UU ini belum ditindaklanjuti dengan aturan operasional. Faktanya, sepanjang proses pembangunan KPH pihak Kemenhut hampir selalu melibatkan unsur lain terutama akademisi. Selain itu juga ada unsur lembaga kerjasama internasional pemerintah Jerman (GIZ) sebagai penyandang dana (funding). Sebenarnya masih ada beberapa pihak yang dapat dilibatkan mengingat potensi dan relevansinya, misalnya organisasi rimbawan Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI) yang memiliki jaringan pengurus dan keanggotaan di seluruh wilayah Indonesia. Apabila unsur-unsur tersebut diberi posisi yang definitif di dalam peraturan terkait pembangunan KPH, maka diharapkan akan menjadi jalan bagi para aktivis pro-KPH untuk terlibat lebih aktif dalam mendorong pembangunan KPH. Berdasarkan temuan-temuan ini dapat disimpulkan bahwa pengaturan posisi-posisi yang ada di dalam rezim peraturan KPH saat ini belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses. Dibuktikan dengan kurang operasionalnya beberapa posisi strategis (Kemendagri dan Pemda pada umumnya), yang tidak disertai dengan dibuatnya posisi-posisi penyeimbang atau pendorong. Aturan Keanggotaan Mekanisme keluar masuknya individu atau organisasi menjadi partisipan dan persyaratan menempati posisi tertentu di dalam arena aksi pembangunan KPHL/KPHP tidak secara khusus diatur di dalam ketiga peraturan yang dianalisis, namun diatur secara umum pada peraturan lain. Mekanisme keanggotaan para partisipan pada dasarnya dapat dipilah menjadi dua cara, yaitu pertama, bagi
58
aparat pemerintah, Pemda, dan wakil rakyat (DPRD) masuknya partisipan ke dalam arena aksi dikaitkan langsung dengan aturan rekrutmen individu dan tupoksi dari lembaga yang bersangkutan. Misalnya untuk pimpinan daerah dan anggota DPRD diatur di dalam UU No. 32/2004; kedua, bagi unsur non pemerintah, biasanya melalui mekanisme permintaan atau kerjasama dari satker pananggungjawab pembangunan KPH, misalnya mengenai pelibatan akademisi diatur dalam Pasal 217(7) UU No. 32/2004. Adanya aturan keanggotaan ini merupakan implikasi dari adanya aturan posisi. Bila di dalam aturan posisi ditetapkan adanya posisi-posisi tertentu, maka mekanisme dan prasyarat keluar masuknya individu atau organisasi ke dalam posisi-posisi tersebut juga perlu diatur. Sebaliknya bila di dalam aturan posisi tidak ada posisi tertentu, maka aturan keanggotaan tentang posisi tersebut pun tidak akan ada. Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa pada ketiga peraturan yang dianalisis tidak mengatur mekanisme keanggotaan para partisipan ke dalam arena aksi pembangunan organisasi KPHL/KPHP, namun diatur secara umum pada peraturan-peraturan yang lain. Dengan demikian maka sudah tentu tidak akan ada persyaratan khusus tentang kualifikasi pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang KPH. Dalam konteks pembangunan organisasi KPHL/KPHP sebagai suatu konsep dan institusi baru dalam sistem pengurusan hutan Indonesia, maka sebagai konsekwensinya sangat diperlukan keterlibatan sejumlah besar pihak-pihak yang memiliki kompetensi ilmiah. Mereka diperlukan sebagai perintis jalan di atas landasan keilmuan yang sahih, untuk menjadi penuntun para praktisi dalam mewujudkan sebuah tatanan kehutanan baru. Aturan Otoritas Aturan otoritas berkaitan dengan pembagian tugas dan wewenang untuk setiap posisi di dalam arena aksi. Menurut PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008, Menteri berwenang menetapkan organisasi KPH (KPHK, KPHL, dan KPHP), sedangkan menurut Permendagri No. 61/2010 mengingat KPHL/KPHP adalah organisasi daerah maka ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Permendagri ini tidak mengacu kepada PP No. 6/2007 jo. PP No.3/2008 melainkan mengacu kepada Pasal 2 PP No.41/2007. Dengan demikian terdapat ketidak sinkronan diantara peraturan-peraturan tersebut. Menurut Permendagri No. 61/2010 Mendagri bertugas melakukan pembinaan organisasi KPHL/KPHP dan Menhut melakukan pembinaan teknis. Sebagaimana telah diungkapkan di dalam aturan posisi bahwa pembinaan organisasi yang dilakukan oleh Mendagri belum optimal. Salah satu indikatornya adalah belum adanya Pemda provinsi/kab/kota yang telah mengubah bentuk UPTD KPHL/KPHP menjadi SKPD sesuai dengan instruksi pada Pasal 18 Permendagri tersebut. Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidaksinkronan peraturan tentang kewenangan penetapan organisasi KPHL/KPHP antara PP No.6/2007 jo. PP No.3/2008 dengan Permendagri No.61/2010. Kesalahan terletak pada Pasal 8 PP No.6/2007 jo. PP No.3/2008 yang tidak sejalan dengan prinsip sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah, oleh karenanya perlu direvisi. Selain itu sebagaimana yang sudah dibahas pada aturan posisi, kewenangan pembinaan umum organisasi oleh Mendagri hingga saat ini belum dilaksanakan
59
dengan optimal, sehingga berdampak kepada lambatnya pembentukan dan operasionalisasi organisasi KPHL/KPHP. Aturan Agregasi Aturan agregasi mengatur bagaimana cara pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi. Apakah diserahkan kepada seseorang pada posisi tertentu, atau melalui pemungutan suara, atau dengan menggunakan alat bantu teknologi tertentu seperti rambu-rambu lampu lalu lintas di perempatan jalan dalam mengatur para pengendara. Salah satu fungsi penting dari aturan agregasi adalah menyediakan mekanisme “jalan keluar” apabila tidak tercapai kesepakatan di antara beberapa partisipan dalam suatu tahap pengambilan keputusan. Di dalam ketiga peraturan yang dianalisis tidak terdapat jenis aturan agregasi. Hal ini menjadi salah satu titik lemah dari peraturan tersebut. Misalnya dalam kasus di Provinsi Riau, Pemda Riau sudah menetapkan struktur organisasi UPTD KPHP Tasik Besar Serkap melalui Pergub No. 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Namun hingga dua tahun kemudian belum ada penempatan personil pada organisasi KPHP tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh Pemda Riau, sebagai konsekuensi dari penempatan personil adalah harus disediakannya biaya rutin dan biaya operasional KPH yang besar, sementara bantuan dari pemerintah sifatnya insidentil (seperti bantuan kantor dan kelengkapannya, kendaraan roda empat dan roda dua, dan beberapa peralatan survey). Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam ketiga peraturan yang dianalisis belum menyediakan aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidak-mufakatan di antara para partisipan dalam pembentukan dan operasionalisasi KPHL/KPHP. Keadaan ini berdampak kepada terjadinya stagnasi menuju tahapan berikutnya dalam rangka operasionalisasi KPHL/KPHP. Aturan Informasi Di dalam ketiga peraturan yang dianalisis, tidak terdapat aturan yang secara khusus mengatur tentang informasi berkaitan dengan pembentukan organisasi KPHL/KPHP. Aturan tentang informasi memang sudah diatur di dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kemudian di dalam PP No. 61/2010 tentang pelaksanaan UU No. 14/2008, dan turunannya pada Permenhut No. P.02/2010 tentang Sistem Informasi Kehutanan. Salah satu langkah penting dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut, Kemenhut telah membuat situs “Media Informasi KPH” dengan alamat http://www.kph.dephut.go.id/. Selain itu Kemenhut juga telah mengeluarkan beberapa buku tentang KPH. Namun yang menjadi masalah saat ini tidak terbatas pada ketersediaan informasi dan kemudahan aksesnya saja, melainkan pada bagaimana informasi tersebut dapat dipahami serta terbangunnya kesepahaman di antara para partisipan utama. Isu yang mengemuka berkaitan dengan aturan informasi adalah perlu adanya pusat informasi, komunikasi dan konsultasi KPH. Satuan tugas ini diperlukan terutama untuk meningkatkan pemahaman berbagai pihak terhadap konsep KPH dan seluruh aspeknya, sebab pada pada tahap awal proses pembangunan KPH masih banyak pihak yang belum mengerti sepenuhnya tentang KPH. Kurangnya pemahaman ini diduga menjadi salah satu penyebab kurangnya dukungan pihak-
60
pihak yang bersangkutan, khususnya unsur pemerintah daerah, terhadap pembangunan KPH. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada ketiga peraturan yang dianalisis tidak secara khusus mengatur tentang informasi KPH, namun diatur secara umum (tentang informasi kehutanan) di dalam peraturanperaturan lainnya. Kinerja dari peraturan informasi yang ada sudah cukup baik, diindikasikan dengan ketersediaan informasi KPH yang cukup lengkap dan mudah diakses, baik berupa media maya (website) maupun media cetak (buku). Namun yang menjadi masalah saat ini tidak terbatas pada ketersediaan informasi dan kemudahan aksesnya, melainkan pada bagaimana informasi tersebut dapat dipahami serta terbangunnya kesepahaman, dan kemudian menumbuhkan motivasi bagi para partisipan utama, terutama di daerah. Dengan kata lain, selain proses sosialisasi juga diperlukan adanya proses edukasi sebagai salah satu pilihan instrumen kebijakan (Cubbage et al. 2007). Aturan Lingkup Di dalam ketiga peraturan yang dianalisis dapat diidentifikasi setidaktidaknya terdapat tiga masalah menyangkut aturan lingkup, yaitu: (1) Di dalam Permendagri No. 61/2010 dinyatakan bahwa bentuk organisasi KPHL/KPHP adalah “SKPD” (bukan UPTD). Kemudian di dalam ketentuan peralihan dinyatakan bahwa KPHP/KPHL yang telah dibentuk sebelum diberlakukan Permendagri ini “wajib menyesuaikan dengan peraturan ini paling lambat satu tahun setelah ditetapkan” (Permendagri ini ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2010). Pemda-pemda yang sudah membentuk organisasi KPHL/KPHP, pada umumnya berupa “UPTD” dengan mengacu kepada PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pemda provinsi mengacu kepada Pasal 7(6) yang menyatakan bahwa “…pada dinas daerah dapat dibentuk UPT Dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa wilayah kabupaten/kota.” Alasannya karena PP No. 41/2007 dinilai lebih sesuai dan aplikatif bagi daerah saat ini, baik ditinjau dari ketersediaan SDM, anggaran, maupun harmonisasi hubungan dengan Dinas Kehutanan. Berdasarkan data Ditjen Planologi Kehutanan per Januari 2013, dari 68 unit organisasi KPHL/KPHP yang sudah dibentuk terdapat 61 unit organisasi KPHL/KPHP berbentuk UPTD dan hanya tujuh unit berbentuk SKPD (Ditjenplan, 2013). (2) Di dalam Permendagri No. 61/2010 maupun peraturan lainnya belum tersedia kriteria yang jelas tentang penentuan organisasi KPHL/KPHP ke dalam kategori Tipe A atau Tipe B. Apakah berdasarkan luas wilayah kelola, ketersediaan SDM, atau kemampuan pendanaan daerah? Misalnya bila diperbandingkan berdasarkan luas wilayah kelola antar KPHL/KPHP sendiri, KPHP Model Tasik Besar Serkap (Provinsi Riau) luas wilayah kelolanya “± 513.276 ha” “Tipe A”, KPHP Model Kampar Kiri (Provinsi Riau) luas wilayah kelolanya “± 143.783 ha” “Tipe B”, dan KPHP Model Gedong Wani (Provinsi Lampung) luas wilayah kelolanya “± 30.243 ha” “Tipe A”. (3) Eselonisasi pejabat struktural KPHP dan KPHL, dimana menurut Permendagri No. 61/2010 eselon bagi Kepala KPHL/KPHP tipe A adalah IIIa dan bagi
61
Kepala KPHL/KPHP tipe B adalah IVa. Bila menggunakan kembali contoh kasus pada butir (2), perbandingan eselon Kepala KPHP Model Tasik Besar Serkap dengan luas wilayah kelola “± 513.276 ha” “Eselon IIIa”, Kepala KPHP Model Kampar Kiri dengan luas wilayah kelola “± 143.783 ha” “Eselon IVa”, dan Kepala KPHP Model Gedong Wani dengan luas wilayah kelola “± 30.243 ha” “Eselon IIIa”; kemudian bila diperbandingkan dengan Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yang luas wilayah kelolanya “± 217.991.18 ha” “Eselon IIa”. Penetapan eselonisasi ini direspon negatif oleh para partisipan daerah karena mereka memprediksi akan menyulitkan pelaksanaan tugas pejabat KPHL/KPHP ketika harus berkoordinasi dengan berbagai instansi lain di daerah, mengingat eselon kepala SKPD saat ini semuanya eselon II. Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria penyusunan organisasi KPHP/KPHL di dalam Permendagri No. 61/2010 belum lengkap dan belum aplikatif. Situasi ini cenderung mendorong sebagian besar Pemda mengacu langsung kepada PP No. 41/2007 yang tidak secara khusus mengatur tentang pembentukan organisasi KPHL/KPHP, namun mereka memandang lebih lengkap dan lebih aplikatif bagi daerah. Aturan Biaya-Manfaat Di dalam PP No.6/2007 jo. PP No.3/2008 dan Permendagri No.61/2010 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Provinsi bertanggungjawab atas pembangunan KPH dan infrastrukturnya. Dana pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD dan dana lain yang tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua peraturan tersebut baru mengatur tentang “pembiayaan pembangunan KPH”, namun belum mengatur tentang “insentif bagi daerah”. Isu yang mengemuka pun senada, yaitu peraturan tentang KPH saat ini belum menyediakan insentif bagi daerah. Menurut partisipan daerah, sudah selayaknya apabila beban pengelolaan hutan lindung (melalui KPHL) dan hutan produksi (melalui KPHP) diserahkan kepada daerah, maka perlu diimbangi dengan pemberian berbagai insentif yang memadai, antara lain melalui peningkatan porsi bagi hasil bagi daerah. Berdasarkan hasil kajian praktik desentralisasi hutan di berbagai negara, Gregersen et al. (2006) menyatakan bahwa desentralisasi administrasi tanpa adanya kesetaraan hak atas sumber-sumber keuangan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya secara tidak berkelanjutan dan untuk menghimpun pendapatan bagi pembiayaan operasional. Bahkan jika pemerintah pusat menyediakan dana pun, dengan tidak adanya kepastian terhadap kontrol atas hutan tetap akan menjadi insentif bagi pemerintah daerah untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan secara intens. Meinzen et al. (2001) juga menyatakan bahwa salah satu insentif yang paling penting bagi pengelola sumberdaya hutan adalah pemberian hak-hak (property rights) yang diperlukan, untuk mendorong mereka bersedia menanggung biaya pengelolaan sumber daya alam. Ostrom (1999) menyatakan bahwa masalah tersebut dapat terselesaikan dari dalam apabila para partisipan utama secara simultan melakukan perubahan besar dalam mengatur struktur insentif yang dihadapi oleh mereka semua. Dalam
62
pembangunan KPH, aturan insentif antara lain dapat dimasukan pada peraturan tentang keuangan pusat-daerah (PP No. 55/2005), khususnya tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam Kehutanan. Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa rezim peraturan KPH yang ada saat ini belum dirancang berdasarkan pendekatan insentif-disinsentif, tapi lebih bercorakkan pola komando. Secara umum diyakini bahwa di dalam sistem desentralisasi pola pendekatan insentif-disinsentif akan lebih efektif menghasilkan kinerja yang diharapkan daripada pola pendekatan komando, yang lebih cocok dijalankan pada sistem pemerintahan yang sentralistik. Simpulan Penggunaan konsep “rules in-use” Ostrom −yang terdiri dari tujuh jenis aturan, yaitu aturan posisi, aturan keanggotaan, aturan otoritas, aturan agregasi, aturan informasi, aturan lingkup, dan aturan biaya-manfaat− terbukti efektif untuk menemukan kelemahan-kelemahan suatu peraturan. Konfigurasi tujuh jenis aturan pada tiga peraturan yang dianalisis masih mengandung sejumlah kelemahan/kekurangan sehingga belum mampu memunculkan (atau mencegah) perilaku yang diharapkan dari para partisipan, khususnya partisipan pemerintah daerah. Butir-butir penting hasil analisis peraturan yang didukung oleh unpan balik dari proses implementasi peraturan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan posisi tentang pembentukan dan operasionalisasi KPHL/KPHP di dalam rezim peraturan KPH saat ini belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses. Dibuktikan dengan kurang operasionalnya beberapa posisi strategis (Kemendagri dan Pemda pada umumnya) yang tidak disertai dengan dibuatnya posisi-posisi penyeimbang atau pendorong. 2. Ketiga peraturan yang dianalisis tidak mengatur mekanisme keanggotaan para partisipan ke dalam arena aksi pembangunan KPHL/KPHP, namun diatur “secara umum” pada peraturan yang lain. Dalam konteks pembangunan KPHL/KPHP sebagai suatu konsep dan institusi baru dalam sistem pengurusan hutan Indonesia, salah satu dampaknya adalah terjadinya kesenjangan pemahaman di antara para partisipan. Sebagai konsekwensinya sangat diperlukan keterlibatan para akademisi dalam jumlah yang besar untuk mensuplai pengetahuan kepada para praktisi dalam mewujudkan pembangunan KPH. 3. Terdapat ketidak-sinkronan peraturan tentang kewenangan penetapan organisasi KPHL/KPHP antara PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010. Kesalahan terletak pada Pasal 8 PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 yang tidak sejalan dengan prinsip sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Di dalam ketiga peraturan yang dianalisis belum menyediakan aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidak-mufakatan di antara para partisipan dalam pembentukan dan operasionalisasi KPHL/KPHP. Keadaan ini bisa berdampak kepada terjadinya stagnasi menuju tahapan berikutnya dalam rangka operasionalisasi KPHL/KPHP. 5. Kriteria di dalam Permendagri No. 61/2010 untuk menyusun organisasi KPHP/KPHL belum lengkap dan aplikatif. Situasi ini mendorong sebagian
63
besar pemerintah daerah mengacu langsung kepada PP No. 41/2007 yang tidak secara khusus mengatur tentang pembentukan organisasi KPHL/KPHP. 6. Kinerja dari aturan informasi yang ada sudah cukup baik, diindikasikan dengan ketersediaan informasi KPH yang cukup lengkap dan mudah diakses. Tugas berikutnya adalah bagaimana agar informasi tersebut lebih tersebar, kesepahaman lebih terbangun, kemudian tumbuhnya motivasi para partisipan utama di daerah untuk membangun KPH. 7. Rezim peraturan KPH yang ada saat ini belum dirancang berdasarkan pendekatan insentif-disinsentif, tapi lebih bercorakkan pola komando. Di dalam sistem desentralisasi, pola pendekatan insentif-disinsentif diprediksi akan lebih efektif menghasilkan respon perilaku yang diharapkan dibanding dengan pola pendekatan komando.
64
5 HAMBATAN KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU Pendahuluan Latar Belakang Kementerian Kehutanan (Kemenhut) lebih dari satu dekade yang lalu telah menggulirkan program pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP), dimana setiap wilayah KPH akan dikelola oleh organisasi KPH di tingkat tapak. Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan Indonesia. Pembangunannya dilakukan secara bertahap yang sudah dimulai sejak tahun 2009. Berdasarkan PP No. 38/2007 dan Permendagri No. 61/2010, pengelolaan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban harus membentuk organisasi KPHL/KPHP. Pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Kartodihardjo (2008) mengungkapkan kendala-kendala tersebut antara lain masih terdapat pengertian yang keliru tentang KPH, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, lemahnya SDM, lemahnya dukungan politis, serta kurangnya sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung pembangunan KPH. Kendala-kendala tersebut hingga saat ini masih terus dirasakan. Salah satu KPH yang perkembangannya lambat adalah KPHP Model Tasik Besar Serkap (KPHP−TBS) di Provinsi Riau. Wilayah KPHP−TBS ditetapkan melalui SK Menhut No. 509/Menhut-II/2010 pada tanggal 21 September 2010, kemudian struktur organisasinya melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No. 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Hingga dua tahun setelah dikeluarkannya Pergub tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau belum bersedia mengisi struktur organisasi KPH tersebut dengan personil yang dibutuhkan, sehingga KPHP−TBS pun belum bisa beroperasi. Mengacu kepada kerangka kerja IAD Ostrom (2005), terjadinya kelambatan tersebut pada dasarnya merupakan dampak (outcome) dari proses-proses interaksi para partisipan di dalam arena aksi implementasi kebijakan pembangunan KPH. Secara konseptual kebijakan pembangunan KPH merupakan proses pergeseran institusi, dimana secara filosofis akan membawa perubahan fundamental pada (1) sistem nilai dan cara berpikir (dari forest administrator menjadi forest manager), dan pada tingkat (2) transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Menurut Ostrom (2005) kerangka kerja analitis IAD dapat membantu para analis kelembagaan dalam mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang membentuk struktur situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan, dan menjelaskan bagaimana peraturan yang digunakan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas mempengaruhi struktur situasi tersebut. Bila pada Bab 3 penelitian difokuskan kepada analisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan hasil-hasilnya dari pemanfaatan hutan, kemudin Bab 4 pada analisis peraturan yang digunakan (rules-in use) dalam pembentukan organisasi KPH, maka pada Bab 5 ini menggunakan seluruh komponen kerja (working part) kerangka kerja IAD untuk mengalisis proses pembangunan/operasionalisasi KPHP–TBS. Hasil-hasil analisis yang diperoleh pada Bab 3 dan Bab 4 digunakan untuk menjadi bagian dari analisis pada Bab 5.
65
Dengan demikian maka kerangka umum penelitian yang ditampilkan pada Bab Pendahuluan (Gambar 1 halaman 3) menjadi kerangka penelitian pada Bab 5. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi arena aksi yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Deskripsi tersebut akan mencakup (1) pengaruh dari aspek biofisik, atribut komunitas, dan peraturan yang digunakan terhadap arena aksi; (2) struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan di dalam arena aksi; dan (3) pola interaksi dan outcome yang dihasilkan. Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Agustus 2013. Tempat penelitian sesuai dengan kedudukan para partisipan yang terlibat dalam pembangunan KPHP−TBS, yaitu di Jakarta, Bogor dan Provinsi Riau. Para partisipan tersebut mencakup unsur pemerintah (instansi kehutanan dan instansi terkait) dan unsur non pemerintah (akademisi, lembaga donor, LSM, perusahaan, dan tokoh masyarakat) di tingkat nasional dan di Provinsi Riau. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Berdasarkan IAD-Framework, variabel yang dianalisis meliputi pengaruh eksogen faktor (kondisi biofisik KPHP−TBS, atribut masyarakat, dan aturan yang digunakan), kondisi arena aksi (situasi aksi dan karakteristik peserta), dan pola interaksi. Untuk mendapatkan pemahaman pada peraturan yang digunakan, analisis isi dilakukan pada sejumlah peraturan yang terkait dengan pengembangan organisasi KPH. Interpretasi dan pelaksanaan peraturan dianalisis berdasarkan pendapat dan perilaku peserta menggunakan wawancara semi terstruktur. Sebanyak 22 informan diwawancarai yang terdiri dari perwakilan dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kementerian Kehutanan, akademisi, lembaga donor, perusahaan, dan tokoh masyarakat. Selain itu, data sekunder yang relevan dikumpulkan dari dokumen hardcopy dan internet. Metode pengumpulan data, sumber data, dan analisis data yang disinkronkan dengan tujuan penelitian, ditunjukkan pada Tabel 18.
66
Tabel 18 Metode pengumpulan data, analisis data dan sumber data Tujuan
Variabel yang dianalisis
Metode pengumpulan dan analisis data
Sumber data
1. Pengaruh faktor eksogen a
Kondisi biofisik KPHP−TBS
Sifat institusi barang; Keberadaan izin-izin konsesi; Kelengkapan organisasi KPH
Mengambil dari dokumen, wawancara, mengambil hasil analisis Bab 3 (Deskriptif)
• Dokumen RPJ KPHP−TBS • Informan: Dishut Prov Riau (5 org) • Bab 3 laporan penelitian ini
b
Atribut komunitas
Kesesuaian nilai-nilai kebijakan dengan budaya birokrasi kehutanan; Tingkat kesepahaman terhadap kebijakan; Homogenitas preferensi terhadap strategi kebijakan.
Wawancara
• Informan dari Prov Riau: Dishut (5 org), DPRD (1 org), Akademisi (3 org), LSM (1 org), Perusahaan (2 org), Tokoh Masyarakat (2 org)
Aturan posisi; Aturan keanggotaan; Aturan otoritas; Aturan agregasi; Aturan informasi; Aturan lingkup; Aturan biaya-manfaat
Mengambil hasil analisis pada Bab 4
• Bab 4 laporan penelitian ini
Partisipan; Posisi dan Peran; Tugas dan Kewenangan; Kontrol; Informasi; Biayamanfaat; Dampak yang potensial terjadi
Mengumpulkan peraturan, wawancara
• Website Kemenhut • Informan: sama seperti informan atribut komunitas
Penguasaan sumberdaya; Keaktifan; Kemampuan memproses informasi; Preferensi; Kriteria seleksi
Wawancara
Kerjasana atau konflik
Wawancara
c
Peraturan yang digunakan
(Deskriptif)
• Informan nasional: Kemenhut (4 org), Akademisi (2 org), APHI (1 org), Lembaga donor (1 org)
2. Kondisi arena aksi a
b
Situasi aksi
Karakteristik partisipan
3. Pola interaksi
(Deskriptif)
(Deskriptif)
(Deskriptif)
• Informan: sama seperti informan atribut komunitas
• Informan Prov Riau: Dishut (5 org) • Informan nasional: Kemenhut (4 org), Akademisi (1 org)
Hasil dan Pembahasan Pengaruh Faktor Eksogen Menurut Ostrom (2005), pengambilan keputusan dan pilihan tindakan partisipan di dalam arena aksi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogen. Faktor eksogen tersebut terdiri dari: kondisi biofisik, atribut komunitas, dan peraturan yang digunakan. Pengaruh Kondisi Biofisik Berdasarkan hasil wawancara, hasil identifikasi dari literatur, dan hasil analisis peraturan, diperoleh tiga kelompok atribut biofisik penting dalam implementasi kebijakan pembangunan KPHP−TBS, yaitu: 1) Sifat ekonomi-
67
institusi sumberdaya hutan; 2) Keberadaan izin konsesi hutan; dan 3) Perlengkapan dan pembiayaan organisasi KPH. 1) Sifat ekonomi-institusi sumberdaya hutan Common-Pool Resources (CPRs) –seperti laut, danau, sistem irigasi, ”hutan”, internet dan stratosfir− adalah sistem alami atau buatan manusia yang menghasilkan jumlah terbatas unit sumber daya sehingga penggunaan satu orang mengurangi dari jumlah unit sumber daya yang tersedia untuk orang lain. Kebanyakan sumber daya CPRs berukuran besar sehingga sejumlah orang dapat menggunakan sistem sumber daya secara bersamaan, sementara upaya untuk mengeluarkan orang-orang (to exclude) atau membatasinya (to limit) bersifat mahal (Ostrom, Gardner, dan Walker, 1994; Varughese dan Ostrom 2001; Ostrom 2005, 2007b). Karakteritik CPRs tersebut antara lain dapat disebabkan oleh ukuran sumberdaya alam itu semata, misalnya Gibson et al (2000) menyataan bahwa pada kebanyakan hutan karena ukurannya yang luas menyebabkan kesulitan intrinsik untuk mengatasi akses penunggang gelap (free riders). Berdasarkan sifat ekonomi-institusi barang, sebagian hutan wilayah kerja KPHP−TBS memiliki karakteristik CPRs. KPHP−TBS memiliki areal kerja dengan ukuran yang sangat luas yaitu 513.276 ha, dimana di dalam dan di sekitar kawasan tersebut banyak terdapat masyarakat yang memiliki kebutuhan tinggi terhadap lahan dan produk hasil hutan. Seluas 388.413 ha telah diserahkan kepada pemegang izin pemanfaatan hutan (IUPHHK-HTI, HA, RE dan Hutan Desa), sementara seluas 124.863 ha belum dibebani ijin yang saat ini kondisinya secara de facto menjadi open acces. Kawasan tersebut sebagain besar adalah bekas areal kerja HPH PT Yos Raya Timber. Berdasarkan PP No. 45/2004 tentang Perlindungan Hutan, tugas perlindungan hutan pada areal yang dibebani hak dan ijin konsesi diserahkan kepada pemegang hak atau pemegang ijin. Ketika ijin konsesi yang sudah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang lagi, kondisi hutan cenderung menjadi open access, dan pelaksanaan perlindungan hutan menjadi tugas langsung pemerintah dan pemerintah daerah. Wilayah kerja KPHP−TBS sebagian besar berupa hutan alam rawa gambut (±90%) yang rentan terhadap kebakaran hutan (KPHP−TBS 2013). Mengacu kepada Ostrom (2005), karakteristik biofisik tersebut menjadi disinsentif bagi calon pengelola, karena beratnya beban pengamanan hutan dari pembalakan liar, perambahan lahan hutan, pembakaran hutan, dan lain-lain. Keberatan ini misalnya dinyatakan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi (Kadishutprov) Riau: “… wilayah yang akan diamankan itu sangat luas dan tidak bisa pakai mobil saja. Kita disuruh memberesi masalah. … ambil saja contoh UPT pusat sendiri (TN Tesso Nilo), sampai timbul banyak masalah, daerah juga yang disalahkan karena banyak okupasi.”
2) Keberadaan izin konsesi hutan Wilayah KPHP−TBS seluruhnya berupa hutan produksi, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap 491.768 ha (95,8%), Hutan Produksi Terbatas 2.660 ha (0,5%), dan Hutan Produksi Konversi 18.848 ha (3,7%). Pada saat ini di wilayah kerja KPHP−TBS terdapat 20 unit izin konsesi hutan, yang terdiri dari Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman 17 buah, Izin Usaha Pemanfaatan
68
Hasil Hutan Kayu Hutan Alam 1 buah, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Eksostem 1 buah, dan Hutan Desa 1 buah. Adanya hubungan antara aparat pemerintah dengan perusahaan swasta di dalam sistem konsesi hutan seringkali diwarnai praktek-praktek korupsi (Amacher et al. 2012). Pada Bab 3 telah dibahas kuatnya hubungan antara keberadaan ijinijin konsesi dengan maraknya praktek-praktek korupsi. Di Provinsi Riau hal ini dapat dibuktikan dengan telah dipenjaranya tiga orang mantan bupati dan tiga orang mantan kepala dinas kehutanan dan satu mantan gubernur pada periode tahun 2008 – 2014 karena pidana korupsi kehutanan. 8 Penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir tahun 2013 juga menunjukan buktibukti yang sama. 9 Mengacu kepada hasil penelitian KPK, hingga saat ini berarti praktek-praktek korupsi kehutanan di Provinsi Riau masih berlangsung. Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 3, dilihat dari persektif tata kelola pemerintahan (governance) menurut Jain (2011) KKN terjadi karena adanya tiga kondisi, yaitu pertama, ada peluang pemburuan rente yang inheren dengan alokasi kekuasaan atau wewenang sesuai peraturan, kedua, aparatur yang korup memiliki keleluasaan atau independensi di dalam struktur administrasi pemerintahan, dan ketiga, lemah dan tidak efektifnya lembaga-lembaga publik yang bertugas untuk mengendalikan KKN. Sedangkan dilihat dari perspektif individu, Singleton et al. (2006) mengemukakan ada tigal hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud (KKN), yaitu adanya pressure (dorongan), opportunity (peluang), dan rationalization (rasionalisasi). Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan KKN, contohnya kebutuhan biaya hidup dan pendidikan anak, gaya hidup mewah atau keserakahan, kewajiban menyetor kepada pihak-pihak tertentu, dan lain-lain. Opportunity adalah peluang yang memungkinkan KKN terjadi, misalnya karena kewenangan yang dimilikinya dan kurangnya pengawasan. Kemudian unsur yang ketiga yaitu rasionalisasi, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya tindakannya dianggap sebagai hal yang telah lumrah di negeri ini. Tumbuh suburnya korupsi ini dapat menghambat pembangunan KPH disebabkan oleh adanya conflict of interest pada sebagian aparatur dinas kehutanan. 10 Dengan adanya KPH akan terjadi pengalihan sebagian kewenangan dan tugas dari Dinas Kehutanan Provinsi kepada KPH dalam rangka melayani perusahaan. Jenis palayanan yang terpenting adalah terkait dengan kewenangan pengesahan RKT IUPHHK sebagaimana diatur dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 pasal 75 yang berbunyi: “… pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman, wajib: (a) …………… (b) menyusun rencana kerja tahunan (RKT) berdasarkan RKUPHHK untuk disahkan oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.”
8
Data ditampilkan pada Tabel 14 halaman 45 − 46.
9
Pada wawancara KPK dengan responden dari sepuluh provinsi (salah satunya dari Provinsi Riau), terungkap bahwa dalam pengurusan izin konsesi perusahaan mengeluarkan biaya untuk mendapatkan rekomendasi gubernur dan bupati sebesar Rp. 50 s/d 100 ribu/ha, sementara untuk monitoring RKT harus menanggung biaya pemeriksaan para pemeriksa sebanyak 140 x 8 HOK (KPK 2013).
10
Antara lain dapat diidentifikasi dari pernyataan mereka: “… kalau ada KPH, lalu nanti apalagi buat kita?”
69
Berdasarkan informasi dari seorang mahasiswa pascasarjana IPB program studi ilmu pengelolaan hutan yang saat ini sedang melakukan penelitian tentang politik ekonomi di Provinsi Riau, biaya transaksi tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh pemegang ijin IUPHHK-HTI untuk proses-proses sampai mendapatkan pengesahan RKT sekitar Rp. 75 juta. Apabila di wilayah kerja KPHP−TBS saat ini ada 17 ijin IUPHHK-HTI, maka jumlah biaya transaksi per tahun untuk urusan RKT sebesar Rp. 1,275 milyar. Besarnya nilai uang ini bisa menjadi salah satu pendorong terjadinya conflict of interest. 3) Perlengkapan dan pembiayaan organisasi KPH Di dalam Permendagri No. 61/2010 dinyatakan bahwa organisasi KPHL/KPHP adalah organisasi perangkat daerah (OPD). Organisasi KPH harus diisi oleh SDM sesuai kualifikasi yang diatur dalam Permenhut No. 42/2011. Mengingat KPHP sebagai OPD, maka sebagian besar beban pengadaan infrastruktur, biaya operasional, dan pemenuhan SDM akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Menyadari kemungkinan terjadinya respon negatif dari pemerintah daerah, Pemerintah (Kemenhut) berinisiatif menyediakan sejumlah bantuan (fasilitasi) kepada pemerintah daerah dalam rangka mempersiapkan beroperasinya KPH. Fasilitasi diarahkan kepada tiga hal, yaitu (1) pemberian bantuan sarana prasarana, (2) fasilitasi pembuatan rencana jangka panjang pengelolaan KPH, dan (3) penyiapan SDM pengelola KPH. Fasilitasi sarana prasarana berupa bantuan bangunan kantor, perlengkapan kantor (meja, kursi, lemari, perlengkapan elektronik kantor), kendaraan (roda empat, roda dua, kendaraan air), peralatan operasional (alat komunikasi, komputer, peralatan survey), dan sarana pendukung (pal batas blok atau petak, dan jalan pendukung pengelolaan hutan). Fasilitasi pembuatan rencana kerja jangka panjang dilakukan dengan fasilitasi pembiayaan dan penyediaan tenaga pendamping. Sedangkan penyiapan SDM dilakukan melalui program diklat calon KKPH 2 orang, penempatan tenaga kontrak lulusan SKMA 5 orang per KPH, dan terakhir program sarjana magang di KPH. Namun demikian walaupun sejumlah bantuan telah diberikan oleh Pemerintah, hal ini belum bisa menghapus keberatan Pemprov Riau terhadap kewajiban membentuk SKPD bar. Alasannya dikaitkan dengan biaya operasional organisasi yang harus mereka tanggung. Hal ini antara lain diungkapkan Kadishutprov Riau: “… Saya bukan mengecilkan arti bantuan pusat. Umpamanya Riau pertama kali diberi bantuan gedung (senilai) Rp 800 juta, plus mobil satu buah dan sepeda motor tiga buah. Apa artinya itu? Kalau bantuan sarana berarti sifatnya sementara, yang menjadi beban itu adalah operasional (setelah itu). Konsekwensi ke depan nanti daerah yang tanggungjawab.”
Selain itu dalam upaya memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan yang disyaratkan di dalam Permenhut Nomor P.42/2011, di satu sisi persyaratan tersebut ditujukan untuk menjamin kualitas pengelolaan KPH, namun di sisi lain untuk memenuhi persyaratan tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi Pemerintah Daerah. SDM yang memenuhi persyaratan ketersediaannya masih jarang di dalam Dinas Kehutanan Provinsi Riau sendiri. Kalaupun ada biasanya masih sangat dibutuhkan untuk bekerja di Dinas Kehutanan.
70
Gambaran kebutuhan jumlah SDM untuk mengelola KPHP−TBS (luas 523.276 ha), dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan jumlah SDM di KPHL Rinjani Barat (KPHL−RB, luas 40.983 ha) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah kerja KPHL−RB ditetapkan oleh Menteri Kehutanan satu tahun lebih awal daripada penetapan wilayah kerja KPHP−TBS yang ditetapkan tahun 2010. Pengisian personil organisasi KPHL−RB berdasarkan Keputusan Gubernur NTB No: 821.2-1/130/BKD/2010 tanggal 10 Februari 2010. Kondisi pegawai di KPHL−RB per Nopember 2012, PNS berjumlah 15 orang, pegawai kontrak (mandor/petugas lapangan 171 orang), sehingga semuanya berjumlah 186 orang. Berdasarkan presentasi Kepala KPHL−RB (MM) pada bulan Nopember 2012, kebutuhan ideal jumlah SDM bagi KPHL−RB adalah 25 orang untuk pegawai di kantor KPH, dan 265 orang di resort (Kepala resort 8 orang, staf resort 24 orang, dan mandor 265 orang), sehingga SDM yang dibutuhkan berjumlah 332 orang. Dengan demikian apabila ukuran luas wilayah kerja menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan, maka SDM untuk mengelola KPHP−TBS akan dibutuhkan dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada di KPHL−RB. Sementara di sisi lain, untuk melakukan rekrutmen CPNS baru masih terkendala dengan kebijakan nasional dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) yang menetapkan moratorium CPNS. Pada tahun 2013 dilanjutkan dengan kebijakan zero growth jumlah PNS. Dengan demikian maka pengadaan SDM menjadi salah satu kendala tersendiri yang dihadapi oleh Pemprov Riau. Pengaruh Atribut Komunitas Atribut komunitas diidentifikasi oleh Meyer mempengaruhi situasi aksi dan pengambil keputusan ketika mereka membuat pilihan kolektif tentang pengaturan kelembagaan. Atribut komunitas dalam menjalankan pilihan kolektif seringkali dapat mengakibatkan pengaturan kelembagaan menjadi tidak efektif (Kiser dan Ostrom 1987) akibat adanya perbedan-perbedaan. Komunitas dalam penelitian ini menunjuk kepada kelompok sosial berdasarkan adanya aspek relasional tertentu (Clark 2007). Anggota komunitas ini adalah seluruh partisipan yang terlibat dalam pembangunan KPHP−TBS. Mengacu kepada Ostrom (2005) dalam penelitian ini dipilih tiga atribut komunitas, yaitu 1) Kesesuaian antara nilai-nilai kebijakan dengan budaya birokrasi kehutanan; 2) Tingkat kesepahaman terhadap kebijakan; dan 3) Homogenitas preferensi terhadap strategi kebijakan. 1) Kesesuaian antara nilai-nilai kebijakan KPH dengan budaya birokrasi kehutanan Secara konseptual kebijakan pembangunan KPH merupakan proses pergeseran institusi yang membawa perubahan fundamental pada cara berfikir, sistem nilai dan budaya pengurusan hutan Indonesia. KPH akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator menjadi forest manager, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Di sisi lain, sebagian besar birokrat kehutanan hingga saat ini masih menjalankan paradigma dan budaya timber extraction dan timber management. Pengelolaan hutan lebih banyak diserahkan kepada pengusaha dalam bentuk izin pemanfaatan hutan, sementara pemerintah
71
memposisikan diri sebagai administratur hutan. Ekstraksi kayu di samping menghasilkan modal pembangunan, juga seringkali disertai dengan praktekpraktek korupsi (Mas’oed 1989; Simon 2004; Kartodihardjo 2006; Hidayat 2008). Berkaitan dengan pergeseran institusi, menurut Schlüter (2007) pengambilan keputusan dalam memilih alternatif-alternatif institusi sangat dipengaruhi oleh model mental dari beragam aktor. Sebagaimana kesimpulan pada Bab 3, banyaknya jumlah ijin IUPHHK di dalam suatu areal kerja KPH cenderung menguatkan nilai-nilai KKN (ditandai dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitas) pada komunitas para pelakunya. Kuatnya nilai-nilai KKN di dalam arena pemanfaatan hutan, dapat menghambat proses-proses di dalam arena aksi pembangunan KPH, mengingat para partisipaan di dalam dua arena aksi tersebut sama. Kebiasaan KKN para pejabat di dalam arena aksi pemanfaatan hutan, dapat menghambat proses-proses implementasi pembangunan KPH apabila pembangunan KPH dinilai akan mengurangi kewenangan ataupun membawa nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai-nilai lama dan preferensi mereka. Berkaitan dengan budaya korupsi, menurut Cheung (2005) nilai-nilai sistem administrasi publik di sebagian besar negara Asia (secara khusus disebutkan Indonesia dan Cina) mewarisi sistem pemerintahan kolonial, dicirikan dengan birokrasi yang dekat dengan bisnis, dibangun di atas pola patronase dan korupsi yang dilembagakan, gaji pegawai yang rendah, dan kebijaksanaan yang longgar dalam mencari pendapatan tambahan. Budaya KKN di Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang, berakar jauh pada birokrasi kerajaan dan birokrasi kolonial Hindia Belanda. Sebelum Belanda datang, Indonesia diperintah oleh berbagai macam kerajaan yang didukung oleh birokrasi yang bercorak feodal. Pada zaman kolonial, birokrasi dibentuk untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial dengan tujuan pokok membantu pemerintah kolonial melakukan ekstraksi kekayaan Indonesia. Strategi yang dipilih oleh pemerintah kolonial adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan indirect rule melalui kerjasama dengan para penguasa lokal, yaitu para raja atau elit lokal yang kemudian diangkat menjadi bupati. Karena sumber kekuasaan datang dari pusat, maka para bupati dan perangkat birokrasinya dapat bertindak semena-mena kepada rakyat, asalkan mendapat persetujuan dari penguasa Belanda dan Batavia. Praktek-praktek yang dilakukan oleh para bupati antara lain melakukan pungutan di luar pajak, telah menjadi perilaku yang lumrah (Purwanto, 2009). Dengan adanya KPH, yang mana secara konseptual membawa nilai-nilai baru berupa peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola hutan, maka budaya lama menghadapi tantangan. Oleh karena itu kebijakan pembangunan KPH mengalami resistensi dari para pendukung budaya lama. Yilmaz dan Kılıçoğlu (2013) merangkum sejumlah penyebab terjadinya resistensi terhadap perubahan, antara lain karena alasan: 1) Dampak ekonomi, yaitu jika perubahan dianggap akan mengurangi gaji atau pendapatan tambahan, maka seseorang cenderung akan mempertahankan status quo; dan 2) Mengancam kekuasaan atau pengaruh, yaitu jika perubahan mengancam basis kekuasaan dalam pengambilan keputusan, kontrol terhadap sumber daya dan informasi. Realokasi kewenangan dalam pengambilan keputusan dapat mengancam hubungan kekuasaan dalam jangka panjang.
72
Uraian tentang adanya resistensi di atas memberikan sebagian jawaban, mengapa operasionalisasi KPHP−TBS berjalan tersendat. Menurut Purwanto (2009), dimensi struktural birokrasi tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak diikuti dengan perubahan dimensi budaya. Namun demikian perubahan budaya membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan perubahan aturan formal. 2) Tingkat kesepahaman (common understanding) terhadap kebijakan KPH Kesefahaman terhadap struktur arena aksi di antara para partisipan merupakan salah satu prasyarat untuk terjadinya aksi bersama (Ostrom 2005). Terbangunnya kesepahaman sangat dipengaruhi oleh terjadi atau tidak terjadinya proses berbagi dalam hal cara berfikir, cara melakukan sesuatu, pengetahuan, tujuan, dan kepercayaan (Ostrom 2005; Jaatinen dan Lavikka 2008). Dalam penelitiannya Lee (2001) menemukan bukti bahwa kesepahaman lebih dipengaruhi oleh adanya proses saling berbagi kepercayaan daripada oleh berbagi pengetahuan atau hal lainnya. Mengacu kepada “karakteristik kesepahaman” di atas, dapat dinyatakan bahwa antara partisipan pemerintah dan Pemprov Riau saat ini belum terjadi kesepahaman terhadap kebijakan KPH. Kondisi ini tercermin dari pernyataan Kadishutprov Riau. “ …. yang saya khawatirkan ini hanya sekedar skenario. Membentuk lembaga ini (KPH) seolah-olah ingin memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah, tetapi pada prakteknya adalah melemparkan tanggungjawab kepada daerah.
Pernyataan Kadishutprov Riau di atas, di satu sisi dapat dinilai sebagai bentuk kekurangfahamannya terhadap kebijakan KPH, namun di sisi lain bila dihubungkan dengan pembahasan sebelumnya tentang adanya conflict of interest, pernyataan tersebut bisa saja merupakan upaya mengkilah dari kewajiban untuk segera mengoperasionalisasikan KPH. Sebab bila organisasi KPH telah terbentuk, kemudian pejabat strukturalnya telah secara resmi ditetapkan, maka kewenangan pengesahan RKT IUPHHK akan berpindah dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi kepada Kepala KPH. Bila yang menjadi kendala karena kekurangfahaman, Ostrom (2005) menekankan pentingnya komunikasi untuk membangun kesepahaman. Melalui komunikasi para partisipan bisa lebih saling mengenal satu sama lain, dan apakah sudah cukup terbangun kepercayaan sehingga bisa menjalankan aksi bersama. Hal itu sangat dipengaruhi oleh perilaku yang dapat dipercaya dari masing-masing pihak. Namun bila yang menjadi kendala karena adanya conflict of interest, maka pendekatan komunikasi saja tidak cukup, melainkan harus melalui perbaikan instrumen kelembagaan dan penegakan hukum. 3) Homogenitas preferensi terhadap strategi kebijakan pembangunan KPH Preferensi menurut Nitzan (2010) berkaitan dengan tingkat kesukaan seseorang ketika dihadapkan pada satu set pilihan. Menurut Ostrom (2005) perilaku partisipan sebagiannya dipengaruhi oleh preferensi. Kesamaan preferensi dalam menilai suatu kebijakan ibarat lem perekat yang sangat kuat untuk terjadinya kerjasama (Sabatier dan Weible 2007). Namun demikian, di dalam situasi yang sama para partisipan mungkin memiliki preferensi yang berbeda terhadap strategi dan dampak (outcomes) yang diharapkan (Schlager dan Blomquist 1998; Ostrom 2005), yang dapat menghambat terjadinya kerjasama.
73
Preferensi partisipan terhadap kebijakan KPH dapat dilihat dari penilaian mereka terhadap dua aspek, yaitu terhadap “konsep KPH” dan terhadap “strategi implementasi kebijakan pembangunan KPH”. Konsep KPH berkaitan dengan keharusan adanya unit-unit wilayah dan organisasi pengelola hutan di tingkat tapak untuk menciptakan pengelolaan hutan lebih efisien, efektif, adil dan lestari, sementara strategi implementasi berbaitan dengan cara untuk mewujudkan konsep KPH tersebut. Terhadap aspek pertama yaitu terhadap “konsep KPH”, partisipan Pemprov Riau maupun Pemerintah memiliki preferensi yang sama. Mereka sepakat terhadap perlu adanya unit pengelola hutan di tingkat tapak (KPH). Partisipan Pemprov Riau menyatakan: “Pembentukan KPH sudah menjadi amanat undang-undang, maka implementasinya ya harus membentuk unit-unit KPH. Dari sisi ini Riau memandang oke.” Sementara partisipan Pemerintah menyatakan: “Ya, jujur saja secara ‘konsepsi’ memang kita ini enggak ada persoalan.”
Namun terhadap “strategi implementasi kebijakan KPH”, kedua belah pihak memiliki preferensi yang berbeda. Partisipan Pemprov Riau lebih menyukai agar pemerintah terlebih dahulu menyiapkan dan memperbaiki seluruh peraturan yang diperlukan untuk mendukung beroperasinya KPH. Peraturan yang ada saat ini dinilainya masih banyak yang harus diperbaiki. Partisipan pemerintah pun sebenarnya telah menyadari adanya kelemahan-kelemahan tersebut, khususnya terkait pengaturan kewenangan, namun mereka lebih menyukai agar perbaikan peraturan dilakukan secara bertahap sambil pemerintah daerah melakukan pembentukan dan operasionalisai KPH. Kadishutprov Riau menyatakan: “…. jadi banyak hal-hal yang perlu diperbaiki. Ada orang bilang yang penting buat dulu KPH-nya. Ooh… saya enggak mau itu!” Sementara partisipan Pemerintah menyatakan: “… kalau teman-teman di daerah langsung nembak di jantungnya ‘bahwa kami enggak punya kewenangan’, itu memang betul Tapi pertanyaannya, 'kewenangan apa itu?’ ‘ KPH anda sudah seperti apa?’ Jadi jangan itu dulu yang dipermasalahkan, tapi kita kerjakan dulu yang ini (Maksudnya mengoperasionalkan KPH).”
Kadishutprov Riau menyampaikan pernyataan demikian memang bukan tanpa dasar pijakan. Sebagaimana telah dibahas pada Bab 4, memang masih ditemukan sejumlah kelemahan dari tiga peraturan KPH yang ada saat ini. 11 Di samping itu hampir seluruh peraturan terkait pengelolaan hutan lainnya juga perlu direvisi setelah adanya KPH (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Namun demikian, sesungguhnya sebagai prasyarat dasar, dengan peraturan yang sudah ada saat ini 12 sesungguhnya pembangunan dan operasionalisasi KPH sudah dapat dilakukan. Hal ini telah dibuktikan dengan telah beroperasinya KPH di tempat lain, yaitu KPHP Yogyakarta dan KPHL Rinjani Barat. Dengan demikian maka adanya tuntutan Kadishutprov Riau agar pemerintah memperbaiki dulu sejumlah peraturan, dapat dipandang sebagai salah satu bentuk alasan untuk menunda 11 12
Hasil analisis isi tiga peraturan disajikan pada Tabel 17 halaman 54−55.
Terutama PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008, Permendagri No. 61/2010, dan Permenhut No. P.6/2010.
74
menempatkan personil pada organisasi KPHP−TBS. Munculnya sikap ini dapat dihubungkan dengan pembahasan sebelumnya tentang adanya conflict of interest. Peraturan Yang Digunakan (Rules in use) Peraturan yang digunakan adalah aturan yang dirujuk oleh partisipan ketika mereka diminta untuk menjelaskan dasar tindakan yang mereka lakukan (Ostrom 2005). Ostrom dan Crawford (2005) membaginya ke dalam tujuh jenis peraturan, yaitu: aturan posisi, aturan keanggotaan, aturan otoritas tindakan, aturan agregasi, aturan informasi, aturan lingkup, dan aturan biaya-manfaat. Sebagaimana telah diungkapkan pada Bab 4, dalam penelitian ini dianalisis tiga buah peraturan, yaitu PP No.6/2007 Jo PP No.3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi KPHL dan KPHP di Daerah; dan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Ketiga peraturan tersebut saat ini digunakan sebagai dasar pembentukan organisasi KPHL dan KPHP di Indonesia. Butir-butir penting hasil analisis peraturan ditampilkan kembali sebagai berikut: • Aturan posisi tentang pembentukan dan operasionalisasi KPHL/KPHP di dalam rezim peraturan KPH saat ini belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses. Dibuktikan dengan kurang operasionalnya beberapa posisi strategis (Misalnya Kemendagri dan Pemerintah Daerah pada umumnya) yang tidak disertai dengan dibuatnya posisi-posisi penyeimbang atau posisi pendorong. • Terdapat ketidak-sinkronan peraturan tentang kewenangan penetapan organisasi KPHL/KPHP antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010. Kesalahan terletak pada Pasal 8 PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 yang tidak sejalan dengan prinsip sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurut PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008, Menteri berwenang menetapkan organisasi KPH (KPHK, KPHL, dan KPHP), sedangkan menurut Permendagri No. 61/2010, mengingat KPHL/KPHP adalah organisasi daerah maka ditetapkan melalui peraturan daerah. • Tidak terdapat aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam operasionalisasi KPHL/KPHP. Misalnya pada kasus Pemprop Riau yang belum bersedia menempatkan personil pada struktur organisasi yang telah ditetapkannya sejak dua tahun yang lalu. Hal ini berdampak kepada terjadinya stagnasi operasionalisasi KPHP−TBS. • Kriteria di dalam Permendagri No. 61/2010 untuk menyusun organisasi KPHP/KPHL belum lengkap dan aplikatif. Situasi ini mendorong sebagian besar pemerintah daerah mengacu langsung kepada PP No. 41/2007 yang tidak secara khusus mengatur tentang pembentukan organisasi KPHL/KPHP. • Kinerja dari aturan informasi yang ada sudah cukup baik, diindikasikan dengan ketersediaan informasi KPH yang cukup lengkap dan mudah diakses. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana informasi tersebut sampai dan dapat dipahami oleh para pengambil kebijakan di daerah (Kepala Daerah dan DPRD), terbangunnya kesepahaman, dan tumbuhnya motivasi bagi para partisipan utama untuk membangun KPH.
75
• Berdasarkan kategori aturan biaya-manfaat, rezim pengaturan KPH yang ada saat ini belum dirancang berdasarkan pola insentif-disinsentif bagi pemerintah daerah, namun masih bercorakkan pola komando. Di dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dan Permendagri No. 61/2010 baru diatur tentang pembiayaan membangun KPH (dari APBN, APBD, dan sumber lain yang tidak mengikat). Sementara aspek-aspek yang dapat menjadi insentif bagi pemerintah daerah belum diatur. Kelemahan-kelemahan peraturan tersebut dapat menjadi kendalabagi proses pembangunan KPH. Komponen peraturan berperan dalam membentuk situasi aksi dengan cara mempengaruhi insentif dan pilihan yang tersedia bagi pada aktor. Oleh karena itu dengan cara memodifikasi peraturan, maka dapat memotivasi individu untuk berperilaku dan mengadopsi strategi tertentu sehingga berpotensi menghasilkan hasil yang berbeda. Modifikasi peraturan dilakukan pada dasarnya untuk menemukan kombinasi yang lebih efektif dibanding kombinasi yang lainnya (Blomquist 2006; Ostrom 2008). Arena Aksi Arena aksi terdiri dari situasi aksi dan para partisipan. Situasi aksi terdiri dari tujuh variabel dan partisipan empat variabel. Hasil identifikasi dan pengamatan terhadap proses pembangunan KPHP−TBS diperoleh data seperti disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Di tingkat nasional, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (Dir WP3H) Kemenhut, berposisi sebagai penanggungjawab program tingkat nasional. Dalam menjalankan tugasnya Dir WP3H telah mampu mengkonsolidasikan partisipan lain di tingkat nasional. Seluruh partisipan tersebut (kecuali Kemendagri) saat ini telah aktif mendukung program-program pembangunan KPH yang dibuat oleh Kemenhut. Partisipan akademisi selain berperan sebagai tenaga ahli (expert), juga seringkali memainkan peranan strategis. Melalui langkah-langkah yang dilakukannya, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini telah memasukan pembangunan KPH menjadi bagian dari agenda kerjanya. Menurut partisipan tersebut, pembaharuan kebijakan di sektor kehutanan cenderung tidak dapat dilakukan secara bertahap, tapi harus dilakukan secara fundamental dan perlu ada inovasi serta dorongan dari luar organisasi kehutanan. Baginya, “pengetahuan” merupakan kriteria seleksi terpenting dalam pengambilan keputusan. Dir WP3H dengan jumlah personil yang terbatas, 13 saat ini masih lebih fokus kepada pencapaian target-target fisik 14 dan membangun kesepahaman di internal Kemenhut. Adanya kesepahaman tersebut menjadi faktor penting bagi Dir WP3H untuk memperlancar pelaksanaan agenda-agenda pembangun KPH. Namun di sisi lain, agenda-agenda penting lainnya seperti melakukan sosialisasi dan komunikasi kepada para pimpinan daerah, menjadi kurang mendapatkan perhatian dan alokasi 13
Berdasarkan informasi dari informan Dir WP3H, jumlah personil yang mengurusi KPH di Dir WP3H ada 14 orang, sementara yang aktif hanya 7 orang. 14 Seperti penetapan wilayah KPH, pembuatan peraturan, diklat calon KKPH, bantuan saranaprasarana, dan lain-lain.
76
waktu yang memadai. Padahal pembentukan dan beroperasinya KPH di daerah sangat ditentukan oleh keputusan-keputusan pimpinan daerah. Tabel 19 Situasi aksi pembentukan dan operasionalisasi KPHP−TBS Partisipan
Posisi
Nasional (Pusat): • PJ dan 1. Kemenhut Pembina tehnis
Jenis Tindakan
Daya kontrol
Merumuskan peraturan
• Kemenhut memiliki daya kontrol relatif tinggi dalam mengontrol agendaagenda kegiatannya pada lingkup partisipan nasional
Menyusun rencana nasional
2. Kemendagri
• Pembina organisasi
3. Akademisi
• Expert
4. Lembaga donor (GIZ)
• Funding
5. Bappenas
• Pendukung kebijakan
Pembinaan
• Pengambil keputusan • Pengambil keputusan
Mengambil keputusan (eksekutif)
Sosialisasi Fasilitasi
Daerah: 1. Gubernur 2. DPRD
Mengambil keputusan (legislatif)
3. Kepala Dinas Kehutanan
• Pemberi pertimbangan keputusan
4. Staf Dinas Kehutanan
• Staf birokrasi
5. Akademisi
• Expert
6. LSM
• Fasilitator
Fasilitasi
7. Perusahaan
• Anggota forum
8. Masyarakat
• Anggota forum
Memberi dukungan atau penolakan
Menyiapkan keputusan Menyusun rencana KPH
• Relatif lemah ketika berhadapan dengan para pengambil kebijakan di tingkat daerah • Kadishut bersama Gubernur memiliki daya kontrol relatif tinggi pada lingkup partisipan daerah
Ketersediaan Informasi
BiayaManfaat
• Informasi ttg • Di tingkat KPH: pmerintah: (konsepsi, ktersediaan dan akses peraturan, anggaran manual, (APBN dan skema bantuan) pembiayaan, untuk hasil-hasil pembangun penelitian, an KPH dll) relatif relatif masih sdikit. cukup. • Sudah ada 23 bh buku ttg • Manfaat jk KPH, ada pendek unt situs memenuhi informasi target IKU, KPH dari jk panjang Kemenhut. terciptanya kondisi • Dengan kata hutan lstari lain rakyat ketersediaan sejahtera. data msh sedang dlm • Bagi daerah tahap belum jelas akumulasi mnfaatnya, menuju namun tingkat sudah jelas memadai bebannya (Lihat • Tingkat pernyataan ketersebaran Kadishut informasi pada hlm masih relatif 66 dan 68) terbatas
Di Provinsi Riau, partisipan yang sangat berperanan dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan KPH adalah Kadishutprov Riau (ZY) 15 dan Gubernur Provinsi Riau (RZ). Sementara DPRD sampai saat ini belum menunjukan peran aktifnya. Adapun peran partisipan lain (akademisi, LSM, tokoh masyarakat), mereka sudah melakukan berbagai kegiatan untuk menyambut beroperasinya KPH, namun belum memberikan pengaruh yang signifikan kepada Kadishut dan Gubernur agar segera menempatkan personil pada organisasi KPHP−TBS yang sudah ditetapkan. 15
Kadishut Provinsi Riau (ZY) adalah orang kepercayaan Gubernur Riau (RZ) dalam urusan kehutanan. ZY berlatar belakang pendidikan ‘ilmu hukum’ dan sampai saat ini menjadi ketua tim pengacara PNS Provinsi Riau. Salah satu dasar pertimbangan pengangangkatan ZY sebagai Kadishut, karena memiliki kompetensi di bidang hukum. Hal ini berkaitan dengan milestones kasus-kasus hukum di bidang kehutanan yang menimpa tiga orang Kadishut Riau sebelumnya dan dua orang bupati di Provinsi Riau. Dengan latar belakang tersebut, ZY cenderung menjadi sangat kritis terhadap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Dampak yang potensial terjadi Ada tiga kemungkinan: 1. Pemda menerima penuh, maka pemenuhan syarat beroperasinya KPH berjalan relatif lancar. 2. Pemda menerima dengan setengah hati, maka pemenuhan syarat beroperasinya KPH berjalan tersendat, daerah sangat tergantung kpd inisitaif dan bantuan pusat. 3. Daerah sepenuhnya menolak, pemenuhan syarat tidak berjalan.
77
Tabel 20 Karakteristik para partisipan Partisipan
Sumberdaya/ Pengaruh
Keaktifan
Nasional (Pusat): 1. Kemenhut
+++
+++
2. Kemendagri
++
+
3. Akademisi
++
+++
4. Donor (GIZ)
++
+++
5. Bappenas
++
+++
Daerah: 1. Gubernur
+++
++
++
-
+++
+++
4. Staf Dinas Kehutanan
+
+
5. Akademisi
2. DPRD 3. Kepala Dinas Kehutanan
+
++
6. LSM
+
++
7. Perusahaan
++
+
8. Masyarakat
+
+
Keterangan:
+++ : tinggi
++ : sedang
Preferensi terhadap strategi kebijakan KPH
Cara memproses Informasi
• Ketersediaan informasi tentang pembangunan KPH sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3 kolom 5. • Pastisipan pusat Di Provinsi Riau terbagi ke menggunakan dalam tiga kelompok, yaitu: informasi yang 1. Kelompok yang tersedia sbg dasar menginginkan untuk menyusun dituntaskan dahulu rencana kerja dan peraturan tentang strategi. pembagian kewenangan, • Pemprov Riau kelembagaan dan pay-off menggunakan (1,2,3); informasi yang 2. Kelompok yg tersedia (khususnya mendukung incremental peraturan) sebagai procces (5,6,8); dan dasar untuk 3. Kelompok pengikut (4,7). mengajukan keberatan. Pusat lebih menyukai strategi “incremental process”, sambil secara bertahap melakukan prbaikan/ penyempurnaan peraturan.
+ : rendah
- : tidak ada
Kriteria Seleksi Pusat: • Peraturan • Rencana kerja • Pengetahuan
Daerah: • Peraturan • Pay-off • Politis
(Pengukuran persepsional)
Berdasarkan preferensi terhadap strategi kebijakan, preferensi partisipan pusat mengerucut kepada satu strategi, yaitu menjalankan dulu peraturan yang sudah ada sambil melakukan perbaikan secara bertahap (incremental process). Sementara partisipan di Provinsi Riau terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) kelompok yang menghendaki diperbaiki dulu peraturan terkait pembagian kewenangan, organisasi dan biaya-manfaat (Gubernur, DPRD, Kadishut); (2) kelompok yang mendukung incremental process (akademisi, LSM, tokoh masyarakat); dan (3) kelompok pengikut (staf Dishut dan perusahaan). Mengingat kewenangan pengambilan keputusan tertinggi di provinsi ada pada Gubernur (berdasarkan pertimbangan Kadishut), maka preferensi kelompok ini yang mendominasi. Perbedaan preferensi tersebut menjadi salah satu penyebab Pemprov Riau tidak segera menempatkan personil pada organisasi KPHP−TBS. Pola Interaksi dan Dampak Di dalam arena aksi pembangunan KPHP−TBS ada dua kelompok partisipan utama yang melakukan interaksi, yaitu pemerintah (Kemenhut) dan pemerintah provinsi Riau. Pemerintah berperan sebagai regulator (membuat kebijakan dan peraturan) dan pemerintah provinsi berperan sebagai implementator atau pelaksana kebijakan. Dengan demikian pola interaksi yang terjadi menunjuk kepada bentuk-bentuk hubungan di antara kedua kelompok pelaku utama ini. Bentuk-bentuk hubungan tersebut dapat dilihat dari cara pendekatan dan respon satu sama lain pihak. Di dalam melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah, Kemenhut selama ini masih lebih banyak menggunakan strategi pendekatan struktural (mengandalkan instrumen peraturan) dan bantuan fisik (diklat calon kepala KPH, sarana prasarana KPH, penyusunan rencana jangka panjang, dan lain-lain),
78
sementara pendekatan yang sasarannya untuk membangun kesepahaman, penyebaran ilmu pengetahuan, dan membangun rasa saling percaya masih belum banyak dilakukan. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa terbangunnya kesepahaman sangat dipengaruhi oleh terjadi atau tidak terjadinya proses berbagi dalam hal cara berfikir, cara melakukan sesuatu, pengetahuan, tujuan, dan kepercayaan (Ostrom 2005; Jaatinen dan Lavikka 2008). Menurut V. Ostrom (1997), seringkali seseorang harus membuat pilihan berdasarkan pengetahuan yang tidak lengkap. Dengan informasi yang tidak lengkap dan kemampuan pengolahan informasi yang tidak sempurna, seseorang dapat membuat kesalahan dalam persepsi dan dalam pemahaman tentang bagaimana struktur yang kompleks bekerja. Di sisi lain, Pemprov Riau belum sepenuhnya memahami manfaat KPH bagi efisiensi pengelolaan hutan. Mereka masih terpaku kepada kesulitan-kesulitan jangka pendek yang ditemui pada tahap awal pembentukan organisasi KPH. Pemprov Riau memandang peraturan KPH yang ada saat ini masih banyak yang perlu direvisi, terutama menyangkut pengaturan kewenangan (antara lain dinilainya belum adil) 16, biaya-manfaat, dan kriteria organisasi. Semua kendala tersebut semakin diperberat dengan adanya masalah conflict of interest. Adanya ketidaksetujuan pada beberapa aspek, kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan KPH, serta adanya conflict of interest mendorong Pemprov Riau merespon kebijakan ini dengan sikap kurang dapat bekerjasama. Mereka menerima kebijakan KPH sebagai amanah undang-undang, namun tidak termotivasi untuk bergerak sendiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan sikap menunda-nunda pemenuhan syarat-syarat untuk beroperasinya KPHP−TBS, terutama berupa penetapan personil dalam struktur organisasi KPH. Simpulan Faktor-faktor yang menghambat pembangunan KPHP−TBS, pada aspek kondisi biofisik adalah masih adanya masalah instrinsik pada areal kerjanya yang memiliki sifat CPRs, adanya hubungan antara keberadaan izin konsesi hutan dengan menguatnya praktek-praktek korupsi, dan adanya keberatan pemerintah daerah untuk membiayai operasionalisasi KPH; pada atribut komunitas adanya resistensi terhadap perubahan paradigma dan budaya birokrasi, belum adanya kesefahaman dalam mensikapi kebijakan KPH, dan adanya perbedaan preferensi terhadap strategi implementasi kebijakan KPH; dan pada peraturan yang digunakan terdapat sejumlah kelemahan pada pengaturan posisi, keanggotaan, kewenangan, aturan agregasi, aturan lingkup, dan aturan biaya-manfaat. Struktur situasi tersebut ketika berpadu dengan karakteristik partisipan (penguasaan sumberdaya, keaktifan, perbedaan preferensi, kemampuan dan cara memproses informasi, dan kriteria seleksi) menghasilkan pola interaksi yang tidak asosiatif dalam pembangunan KPHP−TBS. Pemprov Riau masih terpaku kepada kesulitan-kesulitan jangka pendek yang harus mereka hadapi, menyangkut pengaturan kewenangan, beban biaya, SDM, dan ada ketidakjelasan arahan bentuk organisasi KPH. Sementara pendekatan Kemenhut terhadap pemerintah daerah 16
Terkait hal ini Kadishut Riau menyatakan: “Kalau kita kembali kepada undang-undang otonomi daerah, yang namanya otonomi itu tidak ada lagi pelayanan di pusat Pak. Jadi (kewenangan) yang dilimpahkan itu hanya sedikit, tidak utuh. Itulah yang namanya otonomi setengah hati”.
79
lebih banyak menggunakan pendekatan peraturan dan bantuan fisik, adapun pendekatan untuk membangun kesepahaman, penyebaran ilmu pengetahuan, dan membangun rasa saling percaya, masih kurang dilakukan. Pendekatan tersebut belum bisa menjawab kesulitan, kebutuhan informasi dan pemahaman partisipan pemerintah daerah terhadap pembangunan KPH. Oleh karena itu Pemprov Riau merespon situasi tersebut dengan sikap kurang dapat bekerjasama dan tidak termotivasi untuk bergerak sendiri.
80
6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan Umum Kondisi biofisik terbukti mempengaruhi situasi aksi (menyediakan insentif atau disinsentif) yang dihadapi oleh para partisipan di dalam arena aksi pembangunan KPH. Pada wilayah KPHP Tasik Besar Serkap yang di dalamnya terdapat banyak ijin pemanfaatan hutan berbasis usaha besar (IUPHHK-HTI), −dengan struktur peraturan pemanfaatan hutan yang ada saat ini− cenderung membuka peluang dan menguatkan benturan kepentingan (conflict of interest) bagi sebagian pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan praktek-praktek korupsi. Masih maraknya praktek-praktek korupsi dalam suatu wilayah KPH, menjadi salah satu penghambat yang kuat pembangunan KPH. Sebagian aparatur Dinas Kehutanan memandang keberadaan KPH sebagai ancaman yang akan mengurangi kewenangannya, antara lain kewenangan dalam pengesahan RKTUPHHK-HTI. Sementara pada wilayah KPH yang di dalamnya tidak atau sedikit terdapat ijin-ijin berbasis usaha besar, bahkan lebih banyak terdapat ijinijin dengan tujuan pemberdayaan masyarakat, yaitu HKm −contohnya pada KPHL Rinjani Barat−, pembangunan KPHnya cenderung berjalan lebih lancar. Hal ini dikarenakan benturan kepentingan dari para pejabat daerahnya relatif lebih rendah. Walaupun untuk penyediaan SDM, sarana-prasarana, dan biaya operasional juga tetap dirasakan berat oleh mereka, namun kendala tersebut tidak sepenuhnya dijadikan sebagai alasan untuk menghambat beroperasinya KPH. Peraturan pembentukan organisasi KPH yang ada saat ini (PP No. 6/2007 jo. PP No. /2008; PP No. 41/2007, dan Permendagri No. 61/2010) masih mengandung sejumlah kelemahan. Kelemahan-kelemhanan tersebut dapat menghambat proses-proses pembangunan KPH, karena menciptakan struktur situasi aksi yang kurang kondusif bagi munculnya perilaku yang diharapkan dari para partisipan pelaksana kebijakan. Temuan-temuan penting hasil analisis peraturan antara lain (1) pengaturan posisi-posisi partisipan belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses, (2) masih terdapat ketidaksinkronan antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dalam pengaturan kewenangan menetapkan organisasi KPHL/KPHP, (3) belum adanya aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam tahap-tahap penting pengambilan keputusan, (4) belum lengkapnya kriteria organisasi KPHL/KPHP, dan (5) masih kurangnya pasal-pasal yang bisa menjadi pendorong/insentif bagi pemerintah daerah untuk berinisiatif membangun KPH. Atribut komunitas yang paling penting dan cenderung menghambat pembangunan KPH adalah masalah paradigma dan budaya. Birokrat kehutanan maupun aparatur pemerintah daerah saat ini pada umumnya masih lebih mengedepankan “paradigma pemanfaatan hutan” daripada pengelolaan hutan secara utuh. Operasionalisasi paradigma ini hampir selalu diiringi dengan menguatnya budaya korupsi. Paradigma tersebut tidak sejalan dengan paradigma yang terkandung di dalam konsep KPH, yaitu “paradigma pengelolaan hutan secara utuh di tingkat tapak”. Perubahan paradigma ini juga akan disertai dengan perubahan nilai-nilai (terutama transparansi, akuntabilitas, profesionalitas, dan keadilan) dan kelembagaan. Ketika kebijakan KPH yang ada saat ini kurang memberikan tekanan dan daya dorong (insentif) kepada pemerintah daerah
81
sebagai pelaksana kebijakan, maka proses perubahan yang terjadi cenderung tidak dapat mengatasi resistensi yang ada. Dengan adanya masalah-masalah benturan kepentingan (conflict of interest) yang dipicu dari kondisi biofisik, adanya kelemahan-kelemahan peraturan, dan masalah paradigma dan budaya, menyebabkan munculnya perilaku yang kurang dapat bekerjasama dari Pemerintah Provinsi Riau. Sikap ini antara lain dimanifestasikan dengan cara menunda-nunda penempatan personil untuk mengisi struktur organisasi KPHP−TBS. Di sisi lain, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah belum diarahkan kepada menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Saran Kebijakan pemberian bantuan sarana prasarana, pendidikan dan latihan bagi calon pengelola KPH, fasilitasi penyusunan rencana, dan lain-lain untuk mendukung operasionalisasi KPH masih perlu dilanjutkan. Selain itu kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi di dalam arena aksi pemanfaatan hutan juga perlu dilakukan. Strateginya umumnya, di satu sisi diarahkan kepada memperkecil peluang terjadinya KKN, di sisi lain diarahkan kepada penguatan sistem dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Misalnya, peraturan tentang informasi calon lokasi dan pengurusan syarat-syarat perijinan IUPHHK tidak diurus langsung oleh para pemohon, akan tetapi disiapkan oleh pemerintah sendiri sebagai pemilik aset. Penilaian dan pengesahan rencana kerja serta pengawasan implementasi rencana kerja perusahaan, dilakukan dengan standar transparasi dan akuntabilitas yang tinggi. Bersamaan dengan itu perlu dilakukan perbaikan sub-sub sistem lainnya yang terkait, yaitu (1) masalah pengaturan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah, (2) penanaman nilai-nilai tata kelola pemerintahan yang baik (prinsip-prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, integritas, dan fairness), (3) penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum, (4) peningkatan kesejahteraan pegawai, dan (5) peningkatan kapasitas masyarakat sipil sebagai pengawas dan pendorong sistem pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan perbaikan peraturan pembentukan organisasi KPHL/KPHP direkomendasikan: (1) Penetapan posisi-posisi di dalam peraturan dirancang berdasarkan hasil analisis kebutuhan konfigurasi dan formasi partisipan dengan memperhitungkan relevansi serta kekuatan-kekuatannya. Di antaranya dengan memasukkan unsur-unsur yang memiliki daya penyeimbang dan daya dorong yang kuat (unsur perguruan tinggi, LSM, organisasi rimbawan, dll). Pengaturan posisi harus dipadukan dengan penataan otoritas yang diarahkan kepada lebih dominannya posisi-posisi pro-KPH dibanding posisi-posisi yang resisten; (2) Peran Kemendagri selaku pembina organisasi KPHL/KPHP perlu ditingkatkan; (3) Perlu adanya lembaga adhoc non struktural yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan potensi dan mendorong peran para pihak dalam pembangunan KPH; (4) Ketidaksinkronan pengaturan kewenangan penetapan organisasi KPHL/KPHP antara PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dapat diatasi dengan melakukan perubahan Pasal 8 PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008; (5) Guna mengatasi ketidakmupakatan di antara para partisipan utama, −seperti yang terjadi pada kasus penundaan penempatan personil pada KPHP Tasik Besar Serkap− terlebih dahulu perlu diidentifikasi tahapan-tahapan krusial pengambilan keputusan di dalam suatu peraturan, lalu
82
dibuat aturan agregasi untuk menyediakan jalan keluarnya; (6) Belum lengkap dan implementatifnya kriteria pada Permendagri Nomor 61/2010 dapat diatasi melalui penyempurnaan kriteria-kriteria tersebut dengan memperhatikan masukanmasukan dari para pihak khususnya dari pemerintah daerah; (7) Perlu ada satuan tugas yang berfungsi sebagai pusat informasi, komunikasi dan konsultasi KPH; dan terakhir (8) Guna mendorong munculnya inisiatif daerah, kebijakan pembangun KPH saat ini perlu disertai dengan sejumlah kebijakan pemberian insentif yang menarik bagi pemerintah daerah. Guna meningkatkan penerimaan pemerintah daerah terhadap kebijakan KPH, pemerintah (Kemenhut) perlu merubah cara berfikir dan pendekatan bahwa peraturan bukan satu-satunya instrumen untuk mengarahkan perilaku partisipan daerah. Meskipun peraturan itu sendiri masih banyak yang perlu diperbaiki, namun pemerintah juga perlu meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah serta meningkatkan penyebaran pengetahuan, komunikasi, dan membangun rasa saling percaya. Selain untuk mengatasi resistensi, pendekatan tersebut juga sangat diperlukan untuk mengawal proses transformasi paradigma dan budaya birokrasi kehutanan agar sejalan dengan nilai-nilai baru yang terkandung di dalam konsep KPH. Guna memperlancar pelaksanaan tugas tersebut, Kemenhut perlu meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan jaringan yang sudah terbentuk (akademisi, lembaga donor, Bappenas, dan lain-lain), maupun dengan lembaga-lembaga potensial lain seperti Kemendagri, UKP4, dan KPK. Sebagai implikasi teoritis dari penelitian ini, kerangka analitis IAD Ostrom sangat potensial untuk digunakan oleh para analis kebijakan, baik pada sektor kehutanan maupun sektor-sektor lainnya. Penggunaan kerangka analitis IAD Ostrom terbukti efektif dalam menemukan masalah-masalah implementasi kebijakan serta memberikan arahan solusinya.
83
DAFTAR PUSTAKA Alviya I, Suryandari EY. 2008. Kajian Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan Model Way Terusan Register 47. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 5(2):101–120 Amacher GS, Ollikainen M, Koskela E. 2012. Corruption and forest concessions. Journal of Environmental Economics and Management. 63(1):92–104. doi:10.1016/j.jeem.2011.05.007 Andersson K. 2006. Understanding decentralized forest governance: an application of the institutional analysis and development framework. Sustainability: Science, Practice, & Policy 21(1):25-35 Andersson KP, Ostrom E. 2008. Analyzing decentralized resource regimes from a polycentric perspective. Policy Science. 41:71–93. DOI:10.1007/s11077007-9055-6 Antara. 2014. Rusli Zainal divonis 14 tahun penjara [internet]. Tersedia pada: http://www.antaranews.com/berita/423607/rusli-zainal-divonis-14-tahunpenjara. [Diakses 12 Mei 2014]. Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun, Jambi). Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB Barr C. 2006. Forest Administration and Forestry Sector Development Prior to 1998. In: Barr C, editor. Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development and Community Livelihoods. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). Birkland TA. 2001. An Introduction To The Policy Process: Theories, Concepts, And Models Of Public Policy Making. New York (US): M.E. Sharpe Blomquist W. 2006. “The Policy Process and Large-N Comparative Studies.” In Sabatier PA, editor. Theories of the Policy Process. Boulder, CO (US): Westview Press. Bungin B. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group Callister DJ. 1999. Corrupt and illegal activities in the forestry sector: current understandings and implications for World Bank forestry policy. Forest Policy Implementation Review and Strategy Development: Analytical Studies. Washington DC (US): World Bank. Castañeda F. 2000. Why national and forest management unit level criteria and indicator for sustainable management of the dry forest in Asia?. in: Cheng TL, Durst PB, editors. Development of national-level criteria and indicator for sustainable management of the dry forest in Asia: background paper. Rap Publication, Bangkok, Thailand (TH). 1–22 June 2000. Cheung ABL. 2005. The politics of administrative reforms in Asia: paradigms and legacies, paths and diversities. Governance: An International Journal of Policy, Administration, and Institutions. 18(2):257–282. DOI: 10.1111/j.1468-0491.2005.00275.x Clark, A. 2007. Understanding Community: A review of networks, ties and contacts.Working Paper. University of Leeds. ESRC National Centre for Research Methods. Available at: http://www.reallifemethods.ac.uk/ publications/ workingpapers/2007-05-rlm-clark.pdf Clement F, Amezaga JM. 2009. Afforestation and forestry land allocation in
84
northern Vietnam: Analysing the gap between policy intentions and outcomes. Land Use Policy 26:458–470. doi:10.1016/j.landusepol.2008. 06.003 Cubbage F, Harou P, Sills R. 2007. Policy instruments to enhance multifunctional forest management. Forest Policy and Economics. 9:833–851. doi.org/10.1016/j.forpol.2006.03.010 [Dir WP3H] Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan (ID). 2012. Data dan Informasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. [Ditjenplan] Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan. 2013. Data KPH Update Sampai September 2013 [internet]. Tersedia pada: http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=275:perkembangan-kph-sd-september-2013&catid=1:berita-kph. Djajapertjunda, S.dan E. Jamhuri. 2013. Hutan dan Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Press Dunn WN. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan. Terjemah dari Public Policy Analysis: An Introduction. Second edition. Samodra Wibawa et al. (Penterjemah). Muhadjir Darwin (Penyunting). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Eggertsson T. 1990. Economic Behavior and Institutions. Cambridge (US): Cambridge University Press. Ekawati S, Kartodihardjo H, Hardjanto, Dwiprabowo H, Nurrochmat DR. 2011. Proses Pembuatan Kebijakan Pembagian Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Dalam Pengelolaan Hutan Lindung dan Implementasinya di Tingkat Kabupaten. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 8(2):132–151 Faisal S. 2010. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada Gibson CC, McKean MA, Ostrom E. 2000. Explaining Deforestation: The Role of Local Institution. In: Gibson CC, McKean MA, Ostrom E, editors. People and Forest: Communities, Institutions, and Governance. Cambridge (US), Massachusetts (US), London GB): The MIT Press. Gillin JL, Gillin JP. 1956. Cultural Sociology: A Revision of "An Introduction to Sociology". New York (US): Macmillan. Greenomic. 2004. Pola Praktik Korupsi dalam Perizinan Konsesi Hutan: Bahasan Literatur terhadap Praktik-praktik Korupsi dalam Mekanisme Perizinan Konsesi Hutan. Kertas Kerja No.03. Desember 2004. Jakarta (ID): Greenomic. Gregersen HM, Hermosilla AC, White A, Philips L. 2006. Tata kelola hutan dalam distem federal: Sebuah tinjauan atas pengalaman dan implikasinya terhadap desentralisasi. Dalam: Colfer CJP, Capistrano D, editor. Politik desentralisasi: Hutan, kekuasaan dan rakyat, pengalaman di berbagai negara. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). Hardiansyah G. 2012. Analisis Stakeholder Dalam Pembangunan KPH Di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Tropis 13(1): 62-72 Hardy SD, Koontz TM. 2010. Collaborative watershed partnerships in urban and rural areas: Different pathways to success?. Landscape and Urban Planning 95:79–90. doi:10.1016/j.landurbplan.2009.12.005
85
Hidayat, H. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Orde Baru dan Orde Reformasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Hill M, Hupe P. 2002. Implementing public policy. London (GB), Thousand Oaks (US), New Delhi (IN): Sage Publication. [ICCON] Information and Communication Center on Nusa Tenggara. 2006. Masyarakat Adat dan Pembangunan Kehutanan [internet]. Available at: http://www.infonusra.org/ html/Berita/Masyarakat Adat dan Pembangunan Kehutanan.htm. Imperial, Mark T. 1999. Institutional Analysis and Ecosystem-Based Management: The Institutional Analysis and Development Framework. Environmental Management. 24(4): 449–65. DOI:10.1007/s002679900246 Jaatinen M, Lavikka R. 2008. Common understanding as a basis for coordination. Corporate Communications: An International Journal 13(2):147–167.doi.org/10.1108/13563280810869587 Jain AK. 2011. Corruption: Theory, Evidence and Policy. CESifo DICE Report 2/2011. Available at: http://ideas.repec.org/a/ces/ifodic/v9y2011i2p3-9.html Jikalahari. 2012. Presiden SBY, Menhut RI, Penegak Hukum RI tidak tuntas memerangi praktek extra ordinary crime sektor kehutanan di Riau: Catatan Akhir Tahun 2012 [internet]. Pekanbaru (ID): Jikalahari. Tersedia pada: http://www.jikalahari.or.id/index.php?option=com_content&view=article&i d=197%3Apresiden-sby-menhut-ri-penegak-hukum-ri-tidak-tuntas-meme rangi-praktek-extra-ordinary-crime-sektor-kehutanan-di-iau&catid =39%3 Ajikalahari-news&Itemid=134&la ng=id. [Diakses 12 Mei 2014]. Karsudi, Soekmadi R, Kartodihardjo H. 2010. Model Pengembangan Kelembagaan Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 16(2):92-100 Kartodihardjo H. 2008. Kerangka Hubungan Kerja Antar Lembaga Sebelum dan Setelah Adanya KPH, GTZ project report on strengthening the management capacities in the Ministry of Forestry (SMCF). Kartodihardjo H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta (ID): Equinox Publishing Kartodihardjo H, Suwarno E. 2014. Pengarusutamaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam Kebijakan dan Pelaksanaan Perizinan Kehutanan. Jakarta (ID): Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangn dan Implementasi. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan RI. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2014. Profil KPHL Model Rinjani Barat (Provinsi NTB [internet]). Tersedia pada: http://www.kph.dephut.go.id/index. php?option=com_content& view=article &id=116&Itemid=331. [Diakses 12 Mei 2014]. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011 – 2030. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 51/Menhut-II/2010 jo.
86
P.15/Menhut-II/2013 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010 – 2014. Kiser LL, Ostrom E. 1987. Reflection on the Elements of Institutional Analayis. Paper on Workshop in Political Theory and Policy Analysis, 10 August 1987. Bloomngton (US): Indiana University. Kolstad I, Søreide T. 2009. Corruption in natural resource management: implications for policy makers. Resources Policy. 34:214–226. doi.org/10.1016/j.resourpol.2009.05.001 Koontz TM. 2005. We Finished the Plan, So Now What? Impacts of Collaborative Stakeholder Participation on Land Use Policy. The Policy Studies Journal. 33(3):459–481. DOI: 10.1111/j.1541-0072.2005.00125.x Koran Tempo. 2005. Tiga Polisi Ditahan Karena Pembalakan Liar [internet]. Tersedia pada: http://antikorupsi.org/en/content/tiga-polisi-ditahan-karenapembala kan-liar. [Diakses 12 Mei 2014]. Koran Tempo. 2005. 21 Hari Penjara Untuk Polisi yang Terlibat Pembalakan Liar [internet]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2005/04/13/ 05859529/21-Hari-Penjara-Untuk-Polisi-yang-Terlibat-Pembalakan-Liar. [Diakses 12 Mei 2014]. Koran Tempo. 2004. Kejaksaan Menahan Kepala Dinas Kehutanan Dompu [internet]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2004/09/21/ 05848332/Kejaksaan-Menahan-Kepala-Dinas-Kehutanan-Dompu. [Diakses 13 Mei 2014]. Koran Kompas. 2008. Bupati Divonis 11 Tahun [internet]. Tersedia pada: http://nasional. kompas.com/read/2008/09/17/00192486/bupati.divonis. 11.tahun. [Diakses 12 Mei 2014]. [KPHP TBS] Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Tasik Besar Serkap. 2012. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHP Model Tasik Besar Serkap Periode 2012 – 2021. Pekanbaru (ID): KPHP Model Tasik Besar Serkap. [KPHL RB] Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rinjani Barat. 2012. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL Model Rinjani Barat Periode 2012 – 2021. Mataram (ID): KPHL Model Rinjani Barat. [KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2013. Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam: Studi Kasus Sektor Kehutanan. Jakarta (ID): Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (Tidak dipublikasikan) Kusumedi P, Rizal AHB. 2010. Analisis Stakeholder dan Kebijakan Pembangunan KPH Model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3):179–193 Laerhoven FV. 2010. Governing community forests and the challenge of solving two-level collective action dilemmas—A large-N perspective. Global Environmental Change 20 (2010) 539–546. doi:10.1016/j.gloenvcha. 2010.04.005 Lee BPH. 2001. Mutual knowledge, background knowledge and shared beliefs: their roles in establishing common ground. Journal of Pragmatics. 33:21–44. Martini, M. 2012. Causes of corruption in Indonesia [internet]. Transparency International. Available at: http://www.transparency.org/whatwedo/answer/ causes_of_corruption_in_indonesia Mas’oed M. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. Jakarta
87
(ID): LP3ES McGinnis MD. 2011. An Introduction to the IAD and the Language of the Ostrom Workshop: A Simple Guide to a Complex Framework. Policy Studies Journal. 39(1):169–183. McGinley K, Cubbage FW. 2011. Governmental regulation and nongovernmental certification of forests in the tropics: Policy, execution, uptake, and overlap in Costa Rica, Guatemala, and Nicaragua. Forest Policy and Economics 13:206–220. doi:10.1016/j.forpol.2010.10.002 Mehring M, Seeberg-Elverfeldt C, Koch S, Barkmann J, Schwarze S, Stoll-Kleemann S. 2011. Local institutions: regulation and valuation of forest use—evidence from Central Sulawesi, Indonesia, Land Use Policy 28:736–747. Mongabay. 2013b. Pertobatan Pembalak Liar Hutan Desa Segamai (Bagian III): Jalan Panjang Menikmati Manisnya Hutan Desa [internet]. Tersedia pada http://www.mongabay.co.id/2013/08/03/pertobatan-pembalak-liar-hutandesa-segamai-bagian-iii-jalan-panjang-menikmati-manisnya-hutan-desa/. [diakses 13 Mei 2014]. Mongabay. 2013a. RAPP Luncurkan Program Restorasi Ekosistem, Namun Lanjutkan Pembabatan Hutan Pulau Padang [internet]. Tersedia pada: http://www.mongabay.co.id/2013/05/10/rapp-luncurkan-program-restorasiekosistem-namun-lanjutkan-pembabatan-hutan-pulau-padang/. [diakses 13 Mei 2014]. Nitzan S. 2010. Collective Preference and Choice. New York (US): Cambridge University Press. Nur M. 2012. Penataan Tenurial Kawasan Hutan Pada Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kasus KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara). Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Nurjaya IN. 2005. Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan Di Indonesia. Jurisprudence. 2(1): 35–55. Nursidah, Nugroho B, Darusman D, Rosdiana O, Rasyid Y. 2012. Pengembangan Institusi untuk Membangun Aksi Kolektif Lokal dalam Pengelolaan Hutan Kawasan Lindung SWP DAS Arau, Sumatera Barat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 18(1): 18–30. DOI: 10.7226/jtfm.18.1.18 Oakerson RJ. 1992. Analyzing the commons: A framework. In: Daniel W, Bromley, et al. editors. Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy. San Francisco (US): ICS Press, pp. 41–59. Ostrom E. 2011. Background on the institutional analysis and development framework. The Policy Studies Journal. 39(1):7–27. Ostrom, E. 2008. Institutions and the environment. Economic Affairs. 28(3):24–31 Ostrom, E. 2007a. Developing A Method for Analizing Institutional Cange. Workshop in Political Theory and Policy Analysis, Indiana University. Forthcoming 2008 in Assessing the Evolution and Impact of Alternative Institutional Structures. In: Sandra Batie S, Mercuro N, editors. London (GB): Routledge Press. Ostrom E. 2007b. Institutional Rational Choice:An Assessment of the Institutional Analysis and Development Framework. In: Sabatier PA, editor. Theories of the Policy Process. Boulder, CO (US): Westview Press. Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton (US): Princenton University Press
88
Ostrom E. 1999. Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge (US): Cambridge University Press. Ostrom E. 1985. Formulating the Elements of Institutional Analysis [internet]. Paper presented at a conference on Institutional Analysis and Development, Washington, D.C., May 21-22, 1985. Available at: http://www.indiana.edu/~workshop/wsl/iad.php Ostrom E, Crawford S. 2005. A grammar of institutions. In Ostrom E (Ed.) Understanding Institutional Diversity. Princeton (US): Princeton University Press. Ostrom E, Gardner G, Walker J. 2006. Rule, Games, & Common-Pool Resources. Michigan (US): University of Michigan Press. Ostrom E, Hess C. 2007. Private and Common Property Right. Workshop in Political Theory and Policy Analysis, Indiana University [internet]. Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1304699 Ostrom V. 1997. The Meaning of Democracy and the Vulnerability of Democracies: A Response to Tocqueville's Challenge. Ann Arbor (US): University of Michigan Press. Pekanbaru Express. 2010. Terjerat Kasus Korupsi, Asral Rachman Diganjar 5 Tahun Bui [internet]. Tersedia pada: http://www.pekanbaruexpress. Com/ index.php?option=com_content&view=article&id=2746:terjerat-kasuskorup si-asral-rachman-diganjar-5-tahun-bui-&catid=37:korupsi&Itemid=621. [diakses 14 April 2014]. Pekanbaru Tribun. 2011. Mantan Bupati Siak Arwin AS Divonis 4 Tahun Penjara [internet]. Tersedia pada: http://pekanbaru.tribunnews.com/2011/ 12/22/ mantan-bupati-siak-arwin-as-divonis-4-tahun-penjara. [diakses 11 April 2014]. Polski MM, Ostrom E. 1999. An Institusional Framework for Policy Analysis and Design. Paper on Workshop in Political Theory and Policy Analysis Departmen of Political Science, Indiana University, W98-27 [internet]. [diunduh 2010 Jul 15]. Available at: http://mason.gmu.edu/~mpolski/ documents/PolskiOstromIAD.pdf Purwanto, EA. 2009. Merumuskan Kembali Agenda Pembangunan Budaya Birokrasi Yang Terlupakan. Dalam Pramusinto dan Kumorotomo (Editor). Governance Reform di Indonesia. Yogyakarta (ID): Penerbit Gaya Media Riau Pos. 2012. Mantan Kadishut Riau Syuhada Tasman Divonis 5 Tahun Penjara [internet]. Tersedia pada: http://www.riaupos.co/11789-beritamantan-kadishut-riau-syuhada-tasman-divonis-5-tahun-penjara.html. [diakses 13 Mei 2014]. Rizal AHB, Dewi IN, Kusumedi P. 2010. Kajian Strategi Implementasi KPH: Studi Kasus di Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 8(2):167–188. Robbins P. 2000. The rotten institution: corruption in natural resource management. Political Geography. 19:423–443.doi.org/10.1016/S09626298(99)00087-6 Ruhimat IS. 2010. Implementasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Di Kabupaten Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3):169-178 Ruhimat IP. 2013. Model Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan KPH: Studi Kasus di KPH Model Kabupaten
89
Banjar, Kalimantan Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(3):255–267. Sabatier PA, Leach W. Lubell M, Pelkey N. 2005. Theoretical frameworks explaining partnership success. In Sabatier PA, Lubell M, Focht W, editors. Swimming upstream: Collaborative approaches to watershed management. Cambridge (US): MIT Press. Sabatier PA, Wieble CM. 2007. The Advocacy Coalition Framework: Innovations and Clarifications. In Sabatier PA, editor. Theories of the Policy Process. Boulder, CO (US): Westview Press. Sarjono MA. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Yogyakarta (ID): Debut Press Schlager E, Blomquist W. 1996. A comparison of three emerging theories of the policy process. Political Research Quarterly. 49(3):31–50. Schlager E, Blomquist W. 1998. Resolving Common Pool Resource Dilemmas and Heterogeneities Among Resource Users. Conference Paper. Crossing Boundaries, the Seventh Biennial Conference of the International Association for the Study of Common Property. Vancouver, British Columbia, Canada, June 10-14, 1998. Available in: http://hdl.handle.net/10535/1009 Schlüter A. 2007. Institutional change in the forestry sector—the explanatory potential of new institutional economics. Forest Policy and Economics. 9:1090–1099. Schweik CM, Kitsing M. 2010. Applying Elinor Ostrom’s rule classification framework to the analysis of open source software commons. Transnational Corporation Review. 2(1):13–26. Singleton T, Sigleton A, Bologna J, Linquist R. 2006. Fraud Auditing and Forensic Accounting. 3rd ed. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc. Simon H. 2004. Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sithole G. 2013. Access to and utilisation of forest resources: Evidence from common property forest management in Swaziland. Journal of Horticulture and Forestry 5(7): 92-108. DOI 10.5897/JHF12.031 Smith J, Obidzinski K, Subarudi, Suramenggala I. 2003. Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia. International Forestry Review 5(3):293−302. Soedomo S. 2013. Institusi dalam Perspektif Permainan. Di dalam: Kartodihardjo, editor. Kembali Ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Bogor (ID): FORCI Development. Sumbawanews. 2008. Pemkot Dukung Proses Hukum Kasus Kehutanan [internet]. Tersedia pada: http://www.sumbawanews.com/node/1931. [diakses 13 Mei 2014]. Supratman. 2009. Desain Model Pembangunan KPH Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulwesi Barat. Jurnal Perennial, 5(1):38−44 Suryadi. 2012. Korupsi Kehutanan Di Riau: Study Kasus Burhanuddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2012 [internet]. [diunduh 2014 Mar 12]. Tersedia pada: http://riaucorruptiontrial.files.wordpress.com /2012/10/korupsi-kehutanan-kasus-burhanuddin.pdf
90
Suryandari EY, Alviya I. 2009. Kendala dan Strategi Implementasi Pembangunan KPH Rinjani Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 6(1):1−14 Suryandari EY, Sylviani. 2010. Peran Koordinasi Para Pihak Dalam Pengelolaan KPH. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3):227–246 Suwarno J. 2011. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tucker CM, Randolph JC, Castellanos EJ. 2007. Institutions, Biophysical Fpartisipans and History: An Integrative Analysis of Private and Common Property Forests in Guatemala and Honduras. Hum Ecol 35:259–274. DOI 10.1007/s10745-006-9087-0 [TII] Transparency International Indonesia. 2011. Forest Governance Integrity Report Indonesia [internet]. [diunduh 2014 Mar 12]. Tersedia pada: http://www.ti.or.id/index.php/publication/2011/11/23/ forest-governanceintegrity-report-indonesia [UNDP] United National Development Programme Indonesia (ID). 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ 2012 di Indonesia. Jakarta: UNDP Indonesia Varughese G, Ostrom E. 2001. The contested role of heterogeneity in collective action: Some evidence from community forestry in Nepal. World Development. 29(5):747–765. Wenger E, McDermott R, Snyder WM. 2002. Cultivating Communities of Practice. Boston (US): Harvard Business School Press. Wajah Koruptor. 2012. [internet]. [diunduh 2014 Mar 12]. Tersedia pada: http://wajah-koruptor.blogspot.com/2012/10/ir-burhanuddin-h-usman.html Yılmaz D, Kılıçoğlu G. 2013. Resistance to change and ways of reducing resistance in educational organizations. European Journal of Research on Education. 1(1):14–21.
91
Lampiran 1 Tabel daftar penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH No
1
Identitas Penelitian (Peneliti, Tahun, Organisasi, Sumber tulisan, Lokus/lokasi, Judul) Alviya dan Suryandari (2008); Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Kemenhut; Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan; KPH Model Way Terusan, Provinsi Lampung.
Tujuan Penelitian (Fokus kajian)
Kerangka Analisis / Metode Analisis Data
(1) Mengkaji konsep pembangunan KPH Model Way Terusan Register 47, dan (2) Mengidentikasi kondisi umum KPH Model Way Terusan Register 47 dan permasalahannya.
Analisis kualitatif deskriptif
Mengidentifikasi kerangka kerja hubungan/koordinasi perwakilan/liaison antar lembaga berdasarkan peraturanperundangan.
Analisis isi peraturanperundangan dan evaluasi pelaksanaannya.
Judul: Kajian Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan Model Way Terusan Register 47
2
Kartodihardjo (2008); Fakultas Kehutanan IPB; Laporan Penelitian kepada GTZ; Indonesia Judul: Kerangka Hubungan Kerja Antar Lembaga Sebelum dan Setelah Adanya KPH
Hasil / Temuan
• Hasil kajian menunjukkan bahwa KPH Model Way Terusan Register 47 telah memiliki konsep pembangunan KPH model yang baik, ditunjang dengan adanya perencanaan jangka pendek hingga panjang (20 tahun). • Dalam implementasi pembangunan KPH banyak menghadapi permasalahan baik dari sisi kelembagaan dan sosial. Dari sisi kelembagaan meliputi hambatan pemangku kepentingannya sendiri, peraturan perundangan, organisasi, pendanaan, dan SDM. Pada sisi sosial karena adanya klaim lahan oleh masyarakat dan perbedaan jenis tanaman yang akan dikembangkan pada areal KPH model. • Pembangunan KPH secara konseptual dapat meningkatkan efisiensi dan mewujudkan keadilan dalam pelaksanaan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Namun demikian pembangunan KPH tidak mudah dilaksanakan karena berbagai hal: pengertian yang keliru tentang KPH, belum lengkapnya peraturanperundangan, lemahnya SDM, lemahnya dukungan politis, serta minimalnya sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung pembangunan KPH. • Pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan sebelum ada KPH, ditemukan sejumlah masalah hubungan antar lembaga, baik dalam pelaksanaan perencanaan hutan dan tata hutan, pemanfaatan, rehabilitasi hutan dan lahan, serta perlindungan maupun konservasi. Masalah hubungan antara lembaga ini disebabkan, pertama, substansi kebijakan pengelolaan hutan, dan kedua lemahnya fungsi lembagalembaga untuk melakukan dukungan teknis serta peranannya sebagai liaison.
3
Supratman (2009); Universitas
Merancang model unit manajemen KPH
Permodelan; Analisis Kualitatif
• Model pembangunan KPH di Kabupaten Mamuju harus
92
No
Identitas Penelitian (Peneliti, Tahun, Organisasi, Sumber tulisan, Lokus/lokasi, Judul) Hasanuddin; Jurnal Perennial; Kabupaten Mamuju Provinsi Sulwesi Barat
Tujuan Penelitian (Fokus kajian)
hutan berdasarkan situasi lapangan.
Kerangka Analisis / Metode Analisis Data
- Deskriptif dan Kuantitatif Deskriptif.
Judul: Desain Model Pembangunan KPH Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulwesi Barat.
4
Suryandari dan (1) Mengkaji Alviya (2009); Pusat permasalahan Penelitian Sosial dalam Ekonomi dan implementasi Kebijakan pembangunan Kehutanan, KPH Rinjani Barat Kemenhut; Jurnal (KPH-RB); (2) Mengetahui peran Analisis Kebijakan antara pengelola Kehutanan; Provinsi KPH dengan Nusa Tenggara Barat. stakeholder lain Judul: Kendala dan dalam pembangunan Strategi KPH-RB; dan Implementasi (3) Menyusun strategi Pembangunan dalam KPH Rinjani Barat pembangunan KPH-RB.
Analisis deskriptif dan SWOT
5
Karsudi et al. (2010); Pascasarjana IPB; Jurnal Manajemen Hutan Tropika; Jayapura dan Kepulauan Yapen, Provinsi Papua.
Analytical Hierarchy Process (AHP)
6
Judul: Model Pengembangan Kelembagaan Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan di Provinsi Papua Suryandari dan Sylviani (2010); Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan
Merumuskan model kelembagaan pembentukan wilayah KPH dan organisasi pengelola KPH.
(1) Mengidentifikasi peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan
Analisis stakeholder
Hasil / Temuan
dikaitkan dengan dinamikadinamika masyarakat, IUPHHK, IPKTM, industri hasil hutan, transmigrasi, dan perkembangan wilayah pedesaan. • Strategi pembangunan KPH adalah meningkatkan pelayanan publik usaha kehutanan, memperkuat status kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, dan penguatan kelembagaan usaha kehutanan masyarakat. • Struktur organisasi yang sesuai untuk mengelola KPH adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mamuju. • Pembangunan KPH-RB terhambat antara lain karena keterbatasan SDM, keterbatasan anggaran, belum adanya dukungan Perda, dan adanya klaim lahan oleh masyarakat. • Stakeholder yang terlibat dalam pembangunan KPH-RB adalah Dishut propinsi dan kabupaten, BPDAS, LSM, universitas, masyarakat, Bapeda, calon KPH dan dunia usaha. • Strategi yang perlu dikembangkan adalah (1) Pemanfaatan kekuatan masyarakat dan pemanfaatan lahan dalam upaya memenuhi permintaan kayu, (2) Akademisi dan LSM membantu menyusun draft rencana pengelolaan KPH dan draft rancang bangun yang diselaraskan dengan pemanfaatan kawasan hutan untuk pengembangan kayu pertukangan. • Kinerja pembangunan wilayah KPH di Provinsi Papua berada pada level 29,50% (termasuk kategori rendah). Rendahnya kinerja tersebut disebabkan masih rendahnya pemahaman, kerjasama dan koordinasi antara pemangku kepentingan. • Maka model kelembagaan harus diarahkan untuk meningkatkan peran, kapasitas, dan efektifitas hubungan antar stakeholder.
• Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, BPKH, KPH dan Bappeda merupakan pihak yang berperan sangat penting dan
93
No
7
Identitas Penelitian Tujuan Penelitian (Peneliti, Tahun, (Fokus kajian) Organisasi, Sumber tulisan, Lokus/lokasi, Judul) Kebijakan KPH; dan Kehutanan, (2) Menganalisis Kemenhut; Jurnal mekanisme nasional; KPH DIY, koordinasi antar KPH Bali Barat dan lembaga yang KPH Lalan (Sumsel) terkait dalam pengelolaan KPH. Judul: Peran dan Koordinasi Para Pihak dalam Pengelolaan KPH: pada KPH DIY, KPH Bali Barat dan KPH Lalan
Kerangka Analisis / Metode Analisis Data
Ruhimat (2010); Balai Penelitian Kehutanan Ciamis; Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan; Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Mengukur efektivitas implementasi kebijakan KPH
Empat kriteria efektivitas implementasi kebijakan (ketepatan kebijakan, ketepatan pelaksana kebijakan, ketepatan target kebijakan, dan ketepatan lingkungan kebijakan)
Mengidentikasi stakeholder dan kebijakan yang terkait langsung dengan pembangunan KPH
Analisis stakeholder
Merumuskan strategi implementasi
Analisis medan daya (Force Field
Judul: Implementasi Kebijakan KPH di Kabupaten Banjar
8
9
Kusumedi dan Rizal (2010); Balai Penelitian Kehutanan Solo dan Makassar; Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan; KPH Model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan. Judul: Analisis Stakeholder dan Kebijakan Pembangunan KPH Model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan Rizal et al. (2010); Balai Penelitian
Hasil / Temuan
berpengaruh dalam pengelolaan KPH (Primary Stakeholders); pihak lainnya yang penting dan tidak berpengaruh dalam pengelolaan KPH adalah perguruan tinggi, LSM dan BP2HP (Secondary Stakeholders); masyarakat dalam pengelolaan KPH merupakan Key Stakeholder, berperan dalam pemeliharaan dan pengamanan hutan. • Mekanisme koordinasi antar stakeholder dengan KPH dinilai lemah dan belum berjalan dengan baik terutama dengan instansi pusat seperti BPDAS, BP2HP, dan dengan instansi daerah seperti Dinas kehutanan kabupaten, perguruan tinggi dan lembaga adat. • Kebijakan KPH telah dilaksanakan secara efektif dilihat dari kriteria ketepatan kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan di Kabupaten Banjar dan ketepatan lingkungan dalam menerima kebijakan . Sedangkan dilihat dari kriteria ketepatan pelaksana kebijakan, dan ketepatan target dari kebijakan maka implementasi kebijakan KPH belum efektif. • Terdapat beberapa faktor yang secara dominan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan KPH di Kabupaten Banjar diantaranya: komunikasi antar stakeholder, sumber daya, dan partisipasi stakeholder. • Stakeholder yang terkait langsung dan mempunyai peran yang berpengaruh antara lain; BPKH, BKSDA, TN Bantimurung Bulusaraung, DPRD, Dishut Prop, Dishut Kab, Pemerintah setempat, tokoh masyarakat, masyarakat setempat, dan investor. • Kebijakan KPH perlu dijabarkan lebih lanjut tentang peran dan tangungjawab KPH dikaitkan dengan peraturan perundangan otonomi daerah dan pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah tentang pembagian kewenangan di bidang kehutanan. • Pembangunan KPH Tana Toraja berada pada kategori “growth-
94
No
Identitas Penelitian (Peneliti, Tahun, Organisasi, Sumber tulisan, Lokus/lokasi, Judul) Kehutanan Makassar dan Solo; Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan; Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.
Tujuan Penelitian (Fokus kajian)
pembangunan KPH.
Kerangka Analisis / Metode Analisis Data
Analysis)
Judul: Kajian Strategi Implementasi KPH: Studi Kasus di Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan
10
Nur (2012); Pascasarjana IPB; Tesis; KPHP Model Gunung Sinopa (KPHP-GS) Provinsi Maluku Utara Judul: Penataan Tenurial Kawasan Hutan Pada Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kasus KPHP Model Gunung Sinopa Provinsi Maluku Utara)
(1) Menganalisis potensi konflik tenurial kawasan hutan di wilayah KPH; (2) Memetakan posisi parapihak dikaitkan dengan sekumpulan hak (bundle of rights) pada tanah dan SDA yang diklaim dalam wilayah KPH; (3) Mengidentifikasi makna keamanan tenurial atas klaim penguasaan tanah dan SDA menurut persepsi parapihak yang ada dalam wilayah KPH dan; (4) Mengidentifikasi tipologi masalah sosial terkait tenurial dalam wilayah KPH.
Rapid Land Tenure Assessment (RaTA); konsep bundle of rights
Hasil / Temuan
stability”, maka strategi yang sesuai adalah konsentrasi melalui integrasi horizontal dengan cara memperluas kegiatan di masyarakat dan mengembangkan jaringan informasi dan komunikasi antar daerah yang memiliki program KPH. • Strategi implementasi KPH Tana Toraja yang dapat dikembangkan adalah memperkuat faktor pendorong internal (kebutuhan masyarakat akan lahan garapan dan kehadiran tokoh masyarakat yang visioner) dan faktor pendorong eksternal (potensi hutan pinus dan peran LSM pendamping), serta memperkecil pengaruh faktor penghambat internal (pemukiman yang berkembang di dalam kawasan hutan, penerbitan SPPT atas lahan kawasan hutan, dan penyiapan sarana prasarana pendukung kegiatan KPH), dan faktor penghambat eksternal (penerbitan dasar hukum operasionalisasi KPH di daerah dan tindak lanjut program pemerintah pusat di sektor kehutanan oleh daerah dalam waktu yang sama). • Potensi konflik para pihak diakibatkan perbedaan basis klaim: status tata kuasa, status tata kelola dan status tata perijinan atas tanah dan SDA, dimana kebijakan yang mendasarinya berbeda-beda. • Hasil analisis bundle of rigths memposisikan PEMDA dan Masyarakat Lokal sebagai Pemilik (owner), UPTD KPHP Gunung Sinopa sebagai Pengelola tetap (Proprietor) dan Transmigrasi sebagai pengunjung yang dizinkan (authorized entrant). • Persespsi terkait tenure security: UPTD KPHP GS; harus ada tatabatas tetapi belum dilaksanakan, Pemda; tapal batas perkebunan jelas dan diakui semua pihak serta diawasi mandor, masyarakat lokal memastikan tenure security dengan tanaman kelapa dan batas klaim menggunakan kelapa kembar, sedangkan transmigrasi merasa kepastian tanah dengan sertifikat. • Hasil analisis di atas berupa potensi konflik parapihak dalam
95
No
11
Identitas Penelitian (Peneliti, Tahun, Organisasi, Sumber tulisan, Lokus/lokasi, Judul)
Ruhimat (2013); Balai Penelitian Teknologi Agroforestry; Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan; KPH Model Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Judul: Model Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan KPH: Studi Kasus di KPH Model Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan
12
E. Suwarno (2014)*); Draft Disertasi Pascasarjana IPB; KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP-TBS) di Provinsi Riau. Judul: Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau
Tujuan Penelitian (Fokus kajian)
Kerangka Analisis / Metode Analisis Data
(1) Menganalisis model pengaruh faktor kemampuan, kesempatan, dan motivasi terhadap tingkat partisipasi masyarakat; dan (2) Merumuskan model peningkatan partisipasi masyarakat.
Statistik deskriptif dan statistik inferensial (Structural Equation Modeling= SEM)
4. Menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP-TBS; 5. Menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford; dan 6. Menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik,
Kerangka kerja analisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework)
Hasil / Temuan
wilayah KPHP GS yang bersifat saling bertentangan, dan persepsi makna keamanan/kepastian tenurial yang diimplementasikan dalam tindakan nyata dan caracara yang digunakan untuk mempertahankan klaim, maka teridentifikasi tipologi permasalahan sosial dalam wilayah KPH adalah konflik tenurial berat. • Tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan KPH di Kabupaten Banjar masih rendah. Hal ini disebabkan secara langsung oleh rendahnya motivasi berpartisipasi dan secara tidak langsung oleh rendahnya tingkat kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi. • Partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan melalui proses peningkatan motivasi berpartisipasi dengan cara meningkatkan kemampuan dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini dapat dijalankan dengan mengoptimalkan peran pihakpihak terkait seperti pemerintah, swasta, tokoh masyarakat, dan LSM. • Lihat Bab Simpulan dan Saran.
96
No
Identitas Penelitian (Peneliti, Tahun, Organisasi, Sumber tulisan, Lokus/lokasi, Judul)
Tujuan Penelitian (Fokus kajian)
Kerangka Analisis / Metode Analisis Data
Hasil / Temuan
dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP-TBS.
Keterangan: *Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis (Eno Suwarno untuk disertasi ini) dengan penelitian-penelitian lainnya antara lain dapat dilihat dari Tujuan Penelitian (Fokus Kajian) dan Kerangka Kerja Analisis yang digunakan.
97
Lampiran 2 Tabel daftar penelitian lingkup kehutanan yang menggunakan kerangka kerja analisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) No
1
2
Identitas Penelitian (Peneliti, Sumber tulisan, Tahun, Lokus/lokasi, Judul) Andersson (2006); Jurnal Sustainability: Science, Practice & Policy; Bolivia Judul: Understanding decentralized forest governance: an application of the institutional analysis and development framework. Tucker et al. (2006); Jurnal Human Ecology; Guatemala dan Honduras
Topik
Clement (2010); Jurnal Policy Science; Kebijakan desentralisasi pengelolaan SDH di Vietnam Judul: Analysing decentralised natural resource governance: proposition for a “politicised” institutional analysisand development framework
Kerangka Analisis
Hasil/Temuan
Mempelajari kondisi-kondisi kelembagaan yang kondusif untuk desentralisasi tata kelola hutan yang efektif
Aliran informasi Kerangka dan kerja analisis pembelajaran dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
• Temuan awal menunjukkan bahwa sistem pemerintahan daerah yang lebih berhasil adalah ketika para aktor yang terlibat, menikmati kondisi yang kondusif untuk pertukaran informasi dan pembelajaran.
Analisis kelembagaan pengelolaan hutan yang diperluas
Analisis hubungan antara kelembagaan yang kuat dengan kondisi biofisik hutan, dan sejarah rezim kepemilikannya.
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
• Karakteristik biofisik yang mendukung produktivitas hutan yang tinggi merupakan insentif bagi terbentuknya kelembagaan yang kuat; Kondisi hutan yang baik dan kelembagaan yang kuat pada umumnya terjadi pada hutan milik pribadi; Penelusuran sejarah menunjukan bahwa telah terjadi situasi yang mendukung kemilikan pribadi daripada kepemilikan umum. • Temuan-temuan tersebut menunjukan bahwa untuk meningkatkan pengelolaan SDH harus memperhitungkan faktorfaktor biofisik dan konteks sejarah yang memfasilitasi atau menghambat kelembagaan yang kuat.
Pengembangan kerangka metodologi analisis kebijakan sumberdaya alam.
Menjembatani kesenjangan dalam analisis kelembagaan, pendekatan sejarah kekuasaan, dan analisis wacana.
IAD framework; kekusaan dan kelembagaan ; pengambilan keputusan kontekstual; konstruksi sosial
• Kerangka metodologi analisis perlu mempertimbangkan penggunaan secara bersama-sama masalah kelembagaan, konteks ekonomi-politik dan wacana antar tingkat pemerintahan.
Judul: Institutions, Biophysical Factors and History: An Integrative Analysis of Private and Common Property Forests in Guatemala and Honduras.
3
Fokus Kajian
98
No
4
5
Identitas Penelitian (Peneliti, Sumber tulisan, Tahun, Lokus/lokasi, Judul) Laerhoven (2010); Jurnal Global Environmental Change; Bhutan, Bolivia, Brazil, Colombia, Ecuador, Guatemala, Honduras, India, Kenya, Madagascar, Mexico, Nepal, Tanzania, Uganda, dan Amerika Serikat. Judul: Governing community forests and the challenge of solving two-level collective action dilemmas—A largeN perspective Hardy dan Koontz (2010); Jurnal Landscape and Urban Planning; Amerika Serikat Judul: Collaborative watershed partnerships in urban and rural areas: Different pathways to success?
Topik
Fokus Kajian
Kerangka Analisis
Hasil/Temuan
Penilaian efektivitas praktek tata kelola hutan masyarakat
Penggunaan sampel data lintas negara dalam jumlah yang besar. Data dikumpulkan dari 240 hutan lokal dari 15 negara:
Tata kelola hutan masyarakat (Community forest governance)
• Pemantauan dan pemeliharaan merupakan rezim tata kelola hutan yang efektif. • Modal sosial, organisasi, kepemimpinan dan otonomi berkontribusi terhadap pengembangan kelembagaan untuk membangun aksi kolektif. • Dua tingkat dilema aksi kolektif menghambat munculnya rezim tata kelola hutan yang efektif.
Evaluasi keberhasilan pengelolaan DAS secara kemitraan kolaboratif
Evaluasi biaya transaksi output lingkungan, sosial, dan kebijakan dari dua bentuk kemitraan kolaborastif pengelolaan DAS dengan pola penggunaan lahan yang berbeda: yang satu di lingkungan perkotaan dan satu lagi di lingkungan pedesaan.
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
• Perbedaan sifat masalah lingkungan, dikombinasikan dengan atribut budaya dan kerangka kelembagaan, menyebabkan tujuan kemitraan, proses, dan output yang berbeda. • Di perkotaan para pengelola DAS telah mengambil keuntungan dari kerangka kelembagaan stormwater yang kuat , memulihkan gangguan, dan memperkuat kebijakan lokal. Di pedesaan, anggota kemitraan berusaha mengatasi ancaman konversi lahan dan pembangunan yang tidak sesuai dengan perencanaan dan membangun hubungan dengan para pemilik lahan untuk mendorong konservasi dan best practice. • Dengan demikian terdapat variabel-variabel penting yang berbeda untuk masing-masing keberhasilan di dua jenis pengaturan.
99
No
6
Identitas Penelitian (Peneliti, Sumber tulisan, Tahun, Lokus/lokasi, Judul) Mehring et al. (2011); Jurnal Land Use Policy; Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah, Indonesia.
Topik
McGinley dan Cubbage (2011); Jurnal Forest Policy and Economics; Costa Rica, Guatemala, dan Nicaragua.
Sithole (2013); Journal of Holticulture and Forestry; Swaziland, Afrika Selatan Judul: Access to and utilisation of forest resources: Evidence from common property forest management in Swaziland
Hasil/Temuan
• Aturan formal belum berhasil diterapkan karena belum jelasnya batas demarkasi hutan, dan kurang sesuai dengan kondisi lokal. Di sisi lain aturan informal lebih dihormati oleh masyarakat setempat karena sesuai dengan hak penggunaan tradisional dan sanksi di tingkat desa. • Kesepakatan konservasi antara pengelola TNLL dengan masyarakat dapat menjadi sarana untuk mediasi antara kepentingan konservasi dan kebutuhan masyarakat setempat, yang mengintegrasikan antara aturan informal yang tradisional. • Selain perlu sumber daya dan kapasitas yang cukup untuk eksekusi kebijakan, juga diperlukan adanya pengaturan yang inovatif untuk mempromosikan, memverifikasi, dan menegakkan kepatuhan terhadap kebijakan.
Analisis kelembagaan formal (pemerintah) dan informal (masyarakat lokal) dalam pengelolaan hutan hujan tropis.
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
Analisis kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan.
Analisis peraturan kehutanan pemerintah dan NGO tentang sertifikasi pengelolaan hutan.
Proses kebijakan; Implementas i kebijakan; Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
Judul: Governmental regulation and nongovernmental certification of forests in the tropics: Policy, execution, uptake, and overlap in Costa Rica, Guatemala, and Nicaragua
8
Kerangka Analisis
Analisis kelembagaan pengelolaan hutan hujan tropis.
Judul: Local institutions: Regulation and valuation of forest use—Evidence from Central Sulawesi, Indonesia
7
Fokus Kajian
Analisis kelembagaan pemanfaatan hutan
Hak akses dan pemanfaatan sumber daya hutan
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
• Pengaturan juga perlu menggabungkan antara instrumen kebijakan dan aktor yang melampaui pendekatan tradisional command-and-control, termasuk memberi insentif fiskal untuk pengelolaan hutan lestari, bantuan teknis, partisipasi penjaga hutan dari sektor swasta, dan menghadirkan dukungan dari NGO. • Akses rumah tangga terhadap sumber daya hutan berbeda, dimana akses terhadap hutan masyarakat dibatasi, namun akses terhadap hutan alam bersifat terbuka bagi siapapun. • Aturan kelembagaan yang mengatur akses ini tidak efektif, sehingga terjadi deforestasi,
100
No
Identitas Penelitian (Peneliti, Sumber tulisan, Tahun, Lokus/lokasi, Judul)
Topik
Fokus Kajian
Kerangka Analisis
Hasil/Temuan
degradasi, penebangan liar, dan kurangnya keterlibatan masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan.
9
J. Suwarno (2011); Disertasi Pascasarjana IPB; DAS Ciliwung, Kabupaten Bogor
Analisis kelembagaan pengelolaan DAS
Indeks dan status keberlanjutan pengelolaan DAS; Arena aksi lokal; Formulasi skenario pengembangan kebijakan pengelolaan DAS berkelanjutan.
Pendekatan multidimensi onal scaling (MDS); Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework); dan analisis prospektif.
Pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri rotan jernang.
(1) Identifikasi karakteristik SDH, kelompok masyarakat pemanfaat SDH dan aturanaturan yang digunakan dalam pemanfaatan SDH serta interaksi antar kelompok masyarakat dan SDH; (2) Respon pemerintah dan inisiasi masyarakat terkait kebijakan HTR; (3) Identifikasi masalah
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework); Analisis tata niaga Jernang; Analisis kelayakan finansial dan kebutuhan hidup layak; analisis perencanaan strategis organisasi
Judul: Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor
10
Ardi (2011); Disertasi Pascasarjana IPB; Kabupaten Sarolangun, Jambi Judul: Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun, Jambi)
• Nilai indeks keberlanjutan DAS Ciliwung Hulu sebesar 47,23 berarti kurang berkelanjutan. • Institusi lokal yang terdiri dari aturan informal masyarakat dan aturan formal pemerintah keduanya tidak efektif dalam mengatur perilaku dan pilihan strategi masyarakat dalam pengelolaan DAS. • Penerapan skenario moderat paling mungkin dilakukan. Skenario ini dapat meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dari 47,23 (kurang berkelanjutan) menjadi 51,84 (cukup berkelanjutan). • Hutan negara di Lamban Sigatal memiliki potensi “Rotan Jernang” sebagai sumberdaya bersama yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok penjernang aturan kolektif lembaga adat. • Akses terhadap lahan dalam bentuk IUPHHKHTR belum dapat terwujud karena masyarakat belum mampu memenuhi persyaratan sebagaimana peraturan perundangan. • Pengelolaan sumberdaya bersama milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat diperlukan akses yang sempurna terhadap lahan dalam bentuk perizinan dan memperhatikan karakter sumberdaya lokal,
101
No
11
Identitas Penelitian (Peneliti, Sumber tulisan, Tahun, Lokus/lokasi, Judul)
Nursidah (2012); Jurnal Manajemen Hutan Tropika; DAS Arau, Sumatera Barat
Topik
Pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS
Judul: Pengembangan Institusi untuk Membangun Aksi Kolektif Lokal dalam Pengelolaan Hutan Kawasan Lindung SWP DAS Arau, Sumatera Barat
12
E. Suwarno (2014); Draft Disertasi Pascasarjana IPB;; KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP-TBS) di Provinsi Riau. Judul: Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau
Analisis implementasi kebijakan pembangunan KPH
Fokus Kajian
institusi pembangun an HTR dalam hal kepastian hak pemilikan masyarakat , kapasitas masyarakat dan efisiensi pasar. Analisis arena aksi, atribut komunitas, dan aturan pengelolaan hutan
(1) Analisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaata n hutan, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap arena aksi operasionali sasi KPHP; (2) Analisis peraturan pembentuk an organisasi KPH menggunak an konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford; dan
Kerangka Analisis
Hasil/Temuan
kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga.
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
Kerangka kerja analisis dan pengembang an kelembagaan (IADframework)
• Model kelembagaan comanagement antara pemerintah dan masyarakat lokal (model nagari) lebih cocok, karena memberikan kesempatan yang lebih besar untuk pengakuan hak masyarakat adat atas hutan kemasyarakatan, sampai kapasitas desa menjadi lebih baik, maka pilihan pengelolaan hutan dapat digeser kepada model manajemen berbasis masyarakat hutan nagari. • Lihat Bab Simpulan dan Saran
102
No
Identitas Penelitian (Peneliti, Sumber tulisan, Tahun, Lokus/lokasi, Judul)
Topik
Fokus Kajian
(3) Analisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasional isasi KPHP.
Kerangka Analisis
Hasil/Temuan
103
Lampiran 3
Langkah-Langkah Penggunaan Kerangka Kerja IAD (Mengacu kepada: Polski dan Ostrom 1999)
Langkah ke-1: Menentukan tujuan analisis kebijakan dan pendekatan analisisnya Ada dua pendekatan yang dapat dugunakan, pertama menggunakan IAD sebagai alat diagnostik dan bekerja mundur (backwards) melalui diagram alur untuk menegaskan kembali atau merevisi tujuan kebijakan, mengevaluasi hasil kebijakan, memahami informasi dan struktur insentif kebijakan, atau mengembangkan inisiatif reformasi. Pendekatan ini lebih cocok untuk menganalisis situasi kebijakan yang sudah mapan. Dimulai dengan mengisolasi isu kebijakan tertentu atau program, dan menentukan tujuan, kemudian mengamati beberapa fakta hasil kegiatan di arena kebijakan. Jenis pertanyaannya meliputi: Apa yang terjadi di arena kebijakan? Bagaimana hasil yang terjadi dibandingkan dengan tujuan kebijakan (yang diharapkan)? Mana hasil yang memuaskan, mana yang tidak? Dengan fokus pada hasil atau outcome tertentu, selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap pola-pola interaksi yang relevan. Sebagai contoh, pola interaksi kunci dalam analisis politik ekonomi biasanya meliputi struktur pasar, arus informasi, dan struktur partisipasi politik. Pertanyaan yang relevan diajukan: Siapa saja yang terlibat? Seperti apa pola interaksi yang terjadi? Pada titik ini, analisis diagnostik ke belakang membawa kita untuk menspesifikasi arena aksi, kondisi fisik dan materi, atribut komunitas, dan aturan yang digunakan. Pendekatan ini diarahkan untuk menjelaskan secara rinci dengan menanyakan: Bagaimana hasil kebijakan itu terjadi? Pendekatan kedua, analisis berdasarkan pada pengamatan empiris di masa lalu dan peristiwa yang terjadi saat ini, perkiraan hipotetis dan simulasi, atau kombinasi keduanya. Langkah ke-2: Menganalisis kondisi fisik dan material Kondisi fisik dan material sering mempengaruhi situasi aksi kebijakan dan membatasi institusi. Ketika kita membicarakan kondisi fisik dan material, berarti merujuk pada sumber daya fisik dan manusia dan kemampuan yang terkait untuk menyediakan dan memproduksi barang dan jasa. Kondisi ini termasuk input produksi seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi, serta sumber-sumber keuangan, penyimpanan, dan saluran distribusi. Analis kebijakan mengetahui kondisi ini penting karena memiliki implikasi yang signifikan terhadap rancangan kebijakan, politik, dan tindakan kolektif, yang mana semuanya merupakan aspek penting dari proses pembuatan kebijakan. Jenis pertanyaan yang relevan adalah: Dengan fokus pada barang atau jasa yang dihasilkan dalam situasi kebijakan, bagaimana sifat ekonomi dari barang tersebut? Bagaimana barang atau jasa ini diproduksi atau dibangun?
104
Apa saja sumber daya fisik dan manusia yang diperlukan untuk menyediakan dan membangun barang atau jasa tersebut? Apa saja jenis dan proses teknologi apa yang dibutuhkan? Bagaimanakah skala dan ruang lingkup penyediaan dan aktivitas pembangunannnya? Setelah mengidentifikasi sifat ekonomi dari aktivitas kebijakan, selanjutnya membedakan antara kegiatan produksi dari kegiatan provisi. Kegiatan produksi mengacu pada semua kegiatan yang melibatkan transformasi input menjadi output. Sementara kegiatan provisi berkaitan dengan distribusi dan pembiayaan. Langkah 3: Menganalisis atribut komunitas Atribut komunitas yang mempengaruhi situasi aksi kebijakan meliputi demografi masyarakat, norma-norma yang diterima secara umum tentang aktivitas-aktivitas kebijakan, tingkat kesepahaman umum para partisipan, tingkat homogenitas “nilai-nilai, keyakinan, dan preferensi” dari partisipan potensial tentang orientasi strategi kebijakan dan hasil-hasilnya. Jenis pertanyaan yang diajukan untuk menentukan atribut masyarakat yang relevan meliputi: Pengetahuan dan informasi apa yang partisipan miliki tentang hubungan antara orientasi strategi kebijakan, tindakan, dan hasil-hasilnya? Apa saja nilai-nilai dan preferensi partisipan sehubungan dengan strategi untuk mencapai hasil, serta terhadap hasil itu sendiri? Bagaimana keyakinan partisipan tentang hubungan antara orientasi strategi kebijakan, tindakan, dan hasilnya? Bagaimana keyakinan partisipan tentang preferensi strategi dan hasil dari partisipan lain? Langkah ke-4: Menganalisis aturan yang digunakan Jenis aturan yang dianalisis berkaitan erat dengan unsur-unsur situasi aksi. Mereka adalah seperangkat minimal aturan untuk menjelaskan bagaimana tindakan, interaksi, dan hasil terjadi. Berangkat dari pemahaman bahwa aturan formal dan informal mempengaruhi perilaku partisipan dalam arena aksi. Analisis konsentrasi pada aturan operasional yang biasa digunakan oleh sebagian besar partisipan. Tujuh jenis aturan yang digunakan adalah:
Aturan tentang posisi Aturan tentang batas-batas Aturan tentang otoritas Aturan tentang agregasi Aturan tentang cakupan Aturan tentang informasi Aturan tentang hasil
• Aturan posisi menentukan penetapan posisi atau peran partisipan dalam situasi aksi, dan jumlah dan jenis partisipan yang memegang masing-masing posisi. • Aturan batas-batas keanggotaan dapat dianggap sebagai aturan keluar dan masuknya partisipan: menetapkan bagaimana partisipan masuk atau meninggalkan posisi dan bagaimana cara melakukannya.
105
• Aturan otorita menentukan pemberian kewenangan kepada partisipan dalam posisinya. • Aturan agregasi menentukan bagaimana keputusan dibuat dalam situasi aksi tertentu. Sebagai contoh, seorang sopir ketika di persimpangan jalan dikendalikan oleh lampu lalu lintas, memutuskan apakah berjalan atau tidak diputuskan berdasarkan warna lampu lalu lintas. • Aturan lingkup menentukan lingkup yurisdiksi. Misalnya dalam kebijakan lalu lintas tentang persimpangan jalan, dapat diberlakukan pada semua jalan negara, atau berlaku hanya untuk kelas persimpangan jalan tertentu saja. • Aturan informasi mempengaruhi jumlah dan jenis informasi yang tersedia bagi partisipan dalam arena aksi. Misalnya, aturan penyediaan informasi tentang penegakan hukum lalu lintas di persimpangan jalan bagi para pengemudi dapat mempengaruhi cara berperilaku pengemudi. • Dan terakhir adalah aturan pay-off, yang menentukan bagaimana biaya dan manfaat yang ditakar di dalam arena aksi. Langkah ke-5: Mengintegrasikan analisis Arena aksi adalah fokus analisis dalam kerangka analisis IAD. Arena aksi adalah ruang konseptual di mana para partisipan menginformasikan dirinya sendiri, mempertimbangkan alasan-alasan tindakan, membuat keputusan, mengambil tindakan, dan mengalami konsekuensi dari tindakan ini. Siapa saja yang hadir dalam situasi ini, peran apa yang mereka mainkan, apa saja tindakan yang mereka lakukan, dan seterusnya, semua dipengaruhi oleh faktor-faktor dunia fisik dan material, atribut masyarakat, dan aturan yang digunakan. Arena aksi memiliki dua aspek, yaitu: situasi aksi, dan para partisipan yang berinteraksi dalam situasi aksi. Situasi Aksi Situasi aksi dapat diidentifikasi dengan menggunakan pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Siapa saja para partisipan? Apa posisi atau peran yang dimainkan partisipan dalam situasi ini? Tindakan apa yang bisa partisipan lakukan, dan bagaimana kaitan tindakan dengan hasil? Bagaimana tingkat kontrol masing-masing partisipan terhadap tindakantidakan masing dihubungkan dengan hasil dalam situasi ini? Hasil apa saja yang mungkin dalam situasi ini? Informasi apa saja tentang struktur situasi aksi yang tersedia bagi para partisipan? Bagaimana biaya dan manfaat yang ditanggung partisipan ketika mereka mengambil tindakan dalam situasi ini? Partisipan Dalam pendekatan IAD, sangat penting untuk melakukan analisis terhadap kemampuan partisipan dalam pengambilan keputusan di dalam arena aksi. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan hal berikut: Sumber daya yang dimiliki (dikuasai)
106
Valuasi atau preferensi terhadap unsur-unsur situasi aksi Pengolahan informasi Proses seleksi Pilihan keputusan partisipan sering dipengaruhi oleh akses mereka kepada stok modal, tenaga kerja, pengetahuan, teknologi, waktu, dan pengaruh sosial. Sumber daya ini memberikan kapasitas kepada partisipan untuk bertindak secara sepihak, secara bilateral, atau multilateral, lebih pendek, jangka waktu menengah, dan jangka panjang. Hal ini merupakan kapasitas fundamental yang menentukan kekuatan relatif dari satu partisipan atau kelompok pelaku. Sejauh mana kekuatan relatif yang dapat digunakan untuk menghindari atau mengubah aturan yang ada dengan sendirinya merupakan tuntutan bagi pengaturan institusi yang lebih tinggi. Valuasi atau preferensi mengacu pada apa yang partisipan ingin capai dalam situasi yang ada. Preferensi subyek merupakan bahasan teoritis yang cukup luas dalam ilmu psikologi, ekonomi, dan filsafat. Seorang analis kelembagaan bisa menggunakan survei atau wawancara untuk mengukur preferensi partisipan di dalam arena aksi. Pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas informasi partisipan. Partisipan dalam situasi kebijakan memiliki informasi yang beragam dan diasumsikan mereka bertindak rasional dalam proses pengambilan keputusan. Dalam banyak kebijakan, pada umumnya partisipan memiliki jumlah informasi, pengalaman, dan kemampuan pemrosesan informasi yang berbeda. Oleh karenanya ketidakpastian begitu terbentang luas dan preferensi para partisipan seringkali saling bertentangan secara radikal. Oleh karena itu untuk mnemukan dan menegosiasikan keputusan memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk koordinasi, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Dengan kondisi ini berarti bahwa perilaku sosial akan memiliki karakter strategis antara yang berorientasi kepada kepentingan diri sendiri dengan individu yang memiliki tujuan sosial yang lebih luas. Akhirnya, pemilihan kriteria yang digunakan oleh partisipan untuk memilih dan mengevaluasi satu alternatif tindakan dengan memhitungkan keberadaan pihak lain adalah sebuah pertimbangan yang terkait. Sejauh mana individu dan kelompok mengambil keputusan secara rasional. Rasionalitas dipengaruhi oleh berbagai faktor sosio-psikologis, termasuk ketersediaan informasi, tingkat pendidikan, perbedaan kepribadian, tekanan teman sebaya, dan sebagainya. Kriteria seleksi sangat sensitif terhadap perubahan situasi dunia fisik dan materi, atribut masyarakat, dan aturan yang digunakan. Langkah ke-6: Menganalisis pola interaksi Setelah kendala dunia fisik dan materi, atribut komunitas, dan aturan yang digunakan dipertimbangkan, pola interaksi mengalir secara logis dari perilaku partisipan di dalam arena aksi. Pola interaksi mengacu pada karakteristik struktural situasi aksi dan tingkah laku partisipan dalam struktur yang terbentuk. Dalam situasi aksi yang sangat ketat, dengan sedikit atau tidak ada ketidakpastian, partisipan memiliki rentang strategi yang terbatas, dan analis kebijakan dapat membuat kesimpulan dan prediksi spesifik yang kuat tentang kemungkinan pola perilaku. Misalnya, ketika tidak ada pembatasan dalam jumlah orang yang menggunakan sumber daya CPRs, atau terhadap jumlah pungutan yang dapat mereka lakukan, dan pengguna tidak memiliki akses ke arena negosiasi
107
pembuatan aturan pengelolaan CPRs, maka dapat diprediksi bahwa pengguna akan melakukan pemungutan hasil secara berlebihan dan akan sepenuhnya menghilangkan surplus ekonomi. Langkah ke-7: Menganalisis hasil Ketika kita menganalisis hasil (outcomes), kita benar-benar menganalisis kinerja dari sistem kebijakan. Oleh karena itu, kita membutuhkan semacam tolok ukur untuk perbandingan. Kadang-kadang, program atau kebijakan menyediakan data kondisi awal (baseline). Namun dalam banyak kasus, kita harus menetapkan kriteria evaluatif sebagai bagian dari proses analisis kebijakan.
108
RIWAYAT HIDUP Eno Suwarno (E161090031) lahir di Ciamis Jawa Barat tanggal 2 Agustus 1964, anak keempat dari empat bersaudara dari ayah Bapak Wirya Atmaja (Alm) dan Ibu Atih Suryimah (Alm). Menikah dengan Desti Safitri, SPi dan telah dikaruniai empat orang anak, yaitu Jilan Hanifah (16 tahun), Raihannah Zhafiroh (15 tahun), Rahma Muthmainnah (10 tahun) dan Haniya Adilla Tsabita (8 tahun). Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri Purwaharja I, sekolah menengah pertama di SMP Negeri Cisaga, sekolah lanjutan atas di SMA Negeri Ciamis. Pada tahun 1984 diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur PMDK. Pada tahun 1985 memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan hingga lulus pada tahun 1989. Pada tahun 2001−2004 dengan bantuan biaya dari Pemerintah Provinsi Riau mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata-2 (S2) pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 2009 melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Strata-3 (S3) pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) Sekolah Pascasarjana IPB, dengan bantuan beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Kehutanan Univeritas Lancang Kuning Pekanbaru yang dirintis sejak tahun 2000. Pada periode tahun 2005 – 2009 pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan III. Sebelum menjadi dosen, pada tahun 1989 – 1993 pernah bekerja di perusahaan HPH PT Tuah Megow (Hutrindo Group), Sumatera Selatan dengan jabatan terakhir sebagai Asisten Manajer Bidang Perencanaan dan Pembinaan Hutan. Pada tahun 1993 – 1994 bekerja di PT (Persero) Inhutani V Sumatera Bagian Selatan, sebagai pengawas produksi merangkap sebagai pelaksana tugas Kepala Perwakilan di Pulau Bangka. Pada periode tahun 1994 – 2000, setelah keluar dari PT (Persero) Inhutani V dan sebelum menjadi staf pengajar Universitas Lancang Kuning, pernah menjalani beragam jenis pekerjaan antara lain bekerja di toko buku, mini market, showroom mobil, pemborong jalan perkebunan kelapa sawit, berdagang kecil-kecilan, dan lain-lain. Dengan dukungan dari dosen, komisi pembimbing, dan teman-teman mahasiswa, selama kuliah S3 di IPB penulis banyak mendapatkan pengalaman berharga, antara lain pernah dipercaya sebagai ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (FORMA-IPH) periode 2010 – 2012 dan anggota pembina Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) IPB. Selain itu dilibatkan pada berbagai acara dan penelitian yang terkait dengan tema Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), antara lain (1) Studi Penyiapan Kelembagaan KPH Model Kabupaten Keerom dan Kabupaten Waropen, (2) Studi Pengarus-utamaan Pengelolaan Hutan oleh KPH melalui Pembenahan Regulasi Kehutanan, (3) Analisis Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), (4) Kajian Good Corporate Governance Sektor Kehutanan, dan (5) Evaluasi Kebijakan Strategis Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Periode 2005 – 2009.