ANALISIS KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROPINSI RIAU
EL SYABRINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Bersama ini saya menyatakan sebenarnya, bahwa Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau Tugas Akhir adalah karya dan pemikiran saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun dan oleh siapapun kepada perguruan tinggi manapun dimana karya tulis ini murni muncul dari pemikiran saya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor,
Februari 2009
El Syabrina NRP. A15305025
ABSTRACT EL SYABRINA. Analysis of Agricultural Extension Institutions in the Province of Riau. Under the Supervision of DEDI BUDIMAN HAKIM and FREDIAN TONNY.
This era of regional autonomy with its emphasis on the efficiency of institutions and improved human resources has made some changes in the extension paradigm. Different regions have different responses. Some still maintain their extension institutions as they were in the past while others have changed the extension system. The varied institutions that are responsible for agricultural extension have certainly resulted in different performance, and consequently affected the main target of agricultural development, namely farmers. This study was intended to: (1) identify the structure of agricultural extension institutions in the regional autonomy era in the Province of Riau, (2) analyze the implementation of agricultural extensions in different institutions, and (3) analyze the effect of different extension implementation on the performance of extension workers and the degree of technological application among farmers. This is a descriptive study through a survey conducted from March to April 2008 in three regencies/towns, namely Pekanbaru, Kampar Regency and Pelalawan Regency. The data collected for the study consist of primary and secondary data. The primary data were obtained from a structured interview by using questionnaires and a focus group discussion. The secondary data were collected by examining documents or reports from the related institutions. To determine alternative strategies in developing the extension institutions in the Province of Riau, an analysis was made on the internal and external factors, followed with a further analysis of SWOT (strengths, weakness, opportunities, and threat); and to determine the strategy priorities, the study used the method of quantitative strategic planning matrix (QSPM). The study results showed that the implementation of Laws Number 22/1999 and Number 32/2004 along with the regulations under the laws has
caused the agricultural extensions in the Province of Riau to experience coevolution in the social infrastructure of agricultural extensions in both regencies/towns and districts. In the implementation, the functions of services and arrangement still dominate the working system of extension. The existence of extension institutions has not been able to accommodate the interests of extension, and the frequency of LAKU is not fully implemented yet. The condition of an extension institution can influence the performance of agricultural extension and give different views on appropriate recommendations in the technology application by farmers. The formulated strategy in developing the agricultural extension institutions in the Province of Riau is to form a separate and specific institution that regulates agricultural extension through the following programs: a) reorganization of the agricultural extension institutions, b) improvement of human resource for agricultural extension, c) improvement in the quality of agricultural extension activities. Therefore, it is urgent to unite extension workers under one institution that can accommodate the interests of agricultural extension workers and farmers as the implementation of Law Number 16/2006.
RINGKASAN EL SYABRINA. Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai ketua dan FREDIAN TONNY sebagai anggota komisi pembimbing. Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Keragaman kelembagaan yang menangani penyelenggaraan penyuluhan pertanian mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut, dan konsekuensinya berpengaruh terhadap sasaran utama pembangunan pertanian yaitu para petani. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihakpihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien. Kajian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau, (2) Menganalisis pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan yang berbeda, (3) Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani.
Kajian ini
menggunakan pendekatan deskriptif dengan survey, di laksanakan pada bulan Maret sampai April 2008 di 3 (tiga) kabupaten/kota yaitu : Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan. Data yang dikumpulkan pada kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang peroleh melalui metoda wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan Focus Group Discusion. Sedangkan data sekunder yang diperoleh dengan telahan dokumen dari
laporan-laporan dari instansi terkait.
Untuk menentukan alternatif strategi
pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threat) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM). Hasil kajian mengungkapkapkan : 1). Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi Riau mengalami perubahan bersama (coevolution) pranata sosial kelembagaan penyuluhan baik di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan penyuluhan pertanian yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Kelembagaan di penyuluhan pertanian pada kabupaten Kampar dinilai cukup baik dibandingkan dengan kelembagaan penyuluhan di kabupaten Pelalawan dan kota Pekanbaru; 2). Pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan
masih
mendominasi
sistim
kerja
penyuluhan.
Keberadaan
kelembagaan penyuluhan belum dapat mengakomodir kepentingan penyuluh dan petani Frekuensi LAKU belum sepenuhnya terlaksana. Penyuluh pada lembaga penyuluhan di Kabupaten Kampar menyelenggarakan penyuluhan yang baik dibanding pada penyuluh yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru, 4) Rumusan strategi dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau adalah
membentuk badan sendiri yang spesifik
menaungi penyuluhan pertanian. Program yang dapat mewujudkan pembentukan lembaga penyuluhan pertanian tersendiri di provinsi Riau adalah : a) Program Penataan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian,
b)
Program Peningkatan
Ketenagaan Penyuluh Pertanian, c) Program Peningkatan Mutu Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Program penataan kelembagaan penyuluhan pertanian diimplementasikan melalui kegiatan antara lain : a) penyelesaian peraturan daerah dan keputusan gubernur sebagai penjabaran dari UU Penyuluhan Pertanian, b) penyusunan pedoman tentang pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat
kabupaten/kota dan kecamatan, c) Pemberdayaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai home base dan basis pengembangan profesionalisme penyuluh pertanian. Program peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian diupayakan melalui kegiatan : a) pengembangan penyuluh swakarsa dan penyuluh swasta, b) pengangkatan tenaga penyuluh honorer, dan c) penempatan penyuluh pertanian PNS , swakarsa atau swasta untuk mengisi satu desa satu penyuluh. Program ini dilaksanakan untuk mengatasi kekurangan penyuluh pada kabupaten/kota. Program peningkatan mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian diupayakan melalui kegiatan ; a) penyusunan pedoman kinerja penyuluh pertanian, b) sosialisasi pedoman kinerja penyuluh pertanian, c) peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, c) pengembangan kerjasama dan jejaring kerja penyuluh pertanian, d) pengembangan forum koordinasi penyuluhan pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah daerah dan penyuluh pertanian dapat dijadikan sebagai pelaksana dari program tersebut.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROPINSI RIAU
EL SYABRINA
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Judul Tugas Akhir
:
Analisis Kelembagaan Propinsi Riau
Nama
:
El Syabrina
NRP
:
A 153050225
Penyuluhan
Pertanian
di
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Dedi Budiman Hakim, MAEc Ketua
Ir. Fredian Tonny, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr.Ir. Yusman Syaukat,ME
Tanggal Ujian : 19 Desember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat ridho dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dengan judul “ Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau”. Penulisan karya ilmial ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional dalam program Pasca Sarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Frediantonny, MS selaku anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen dan pimpinan serta pengelola Magister Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Walikota Pekanbaru, yang telah mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada koordinator dan rekan-rekan PPL pada lokasi penelitian. Orang tua tercinta dan keluarga besar yang telah banyak mendorong, menyemangati dan memberikan perhatiannya sampai selesainya pendidikan ini, diucapkan terimakasih tak terhingga. Kepada teman-teman yang tak dapat disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan langkah-langkah selanjutnya. Terlepas dari kekurangannya, penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak
Bogor , Februari 2009 El Syabrina
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 8 Juni 1963 sebagai anak pertama dari dua orang bersaudara, dari pasangan H. Syahruddin Sidik, BRE dan Hj. Daliana. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi (Budidaya Pertanian), Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1987.
Pada tahun 2005,
penulis melanjutkan kuliah pada Program Studi
Pembangunan Daerah pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2008. Penulis bekerja sebagai PNS semenjak tahun 1999 pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Riau dan pada tahun 2001 pindah ke Dinas Pertanian Kota Pekanbaru-Riau sampai pada tahun 2008. Saat ini Penulis ditempatkan pada Sekretarita Pemerintah Kota Pekanbaru pada bagian Adminsitrasi Sumber Daya Alam.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL …………………………..............................................
i
PERNYATAAN ............................................................................................
ii
ABSTRAK .....................................................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
v
PRAKATA ....................................................................................................
vii
RIWAYAT HIDUP ………………………………………….......................
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………....................
ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………. ..........
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiv
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang .............................................................................. Perumusan Masalah ………………………………................ Tujuan Kajian ...................................... …………................ Manfaat Kajian ........................................................................... Cakupan Kajian ..........................................................................
1 5 8 8 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian....... 2.2 Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ................... 2.2.1. Era Bimas ......................................................................... 2.2.2. Era otonomi ....................................................................... 2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian ........................................... 2.3.1. Penyuluhan Pertanian ....................................................... 2.3.2. Penyuluh Pertanian ............................................................ 2.4. Kerangka Pemikiran ...................................................................
10 10 13 15 17 22 22 29 32
III.
METODOLOGI KAJIAN ...................................................................... 3.1. Jenis Kajian ………………………………….......................... 3.2. Waktu dan Tempat Kajian............................................................. 3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ............................... 3.4. Pengumpulan dan Analisis Data ............................................. 3.4.1. Jenis Data ......................................................................... 3.4.2. Analisis Data .................................................................... 3 5. Metode Perancangan Program ..................................................
36 36 37 37 38 38 39 46
Halaman IV.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ............................... 4.1. Kabupaten Kampar ...................................................................... 4.1.1. Letak dan Luas Wilayah .................................................. 4.1.2. Penduduk dan Mata Pencarian ....................................... 4.1.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ........................... 4.1.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ............... 4.1.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ................................. 4.2. Kabupaten Pelalawan .................................................................. 4.2.1. Letak dan Luas Wilayah ................................................... 4.2.2. Penduduk dan Mata Pencarian ....................................... 4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ........................... 4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ............... 4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ................................. 4.3. Kota Pekanbaru ........................................................................... 4.2.1. Letak dan Luas Wilayah ................................................... 4.2.2. Penduduk dan Mata Pencarian ....................................... 4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ........................... 4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ............... 4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian .................................
49 49 49 50 51 51 53 54 54 55 55 56 57 58 58 58 59 60 62
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 5.1. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ............................ 5.1.1 Kabupaten Kampar ............................................................. 5.1.2. Kota Pekanbaru ................................................................. 5.1.3. Kabupaten Pelalawan ........................................................ 5.1.4. Ikhtisar ................................................................................ 5.2. Pelaksanaan Sisitem Kerja Penyuluhan Pertanian ...................... 5.2.1. Sistem Penyuluhan ............................................................. 5.2.2. Persepsi Penyuluh Terhadap Keberadaan Kelembagaan Penyuluhan ........................................................................ 5.2.3. Sistem Kerja Penyuluh Pertanian ...................................... 5.2.4. Ikhtisar ................................................................................ 5.3. Dampak Penyelenggaraan Penyuluhan Terhadap Kinerja Penyuluh Dan Tingkat Penerapan Teknologi............................... 5.3.1. Karakteristik Penyuluh ..................................................... 5.3.2. Kinerja Penyuluh Pertanian .............................................. 5.3.3. Karakteristik Petani ......................................................... 5.3.4. Tingkat Penerapan Teknologi ........................................... 5.3.4. Ikhtisar ................................................................................ 5.4. Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ..... 5.4.1. Analisis Evaluasi Faktor Internal/Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan ........................ 5.4.2. Analisis SWOT Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ........................................................ 5.4.3. Tahap Keputusan Strategi ................................................. 5.5. Program Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan ..................
63 63 63 67 70 73 74 74 76 78 83 84 84 87 89 91 94 95 95 98 102 104
Halaman VI.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ......................... 6.1. Kesimpulan ................................................................................ 6.2. Rekomendasi Kebijakan ..............................................................
108 108 109
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................................
112 115
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
27.
Halaman
Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai tukar Petani di Provinsi Riau Tahun 2001 s/d Tahun 2007....................................................... 3 Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian.............................................................................................. 32 Penyebaran Jenis dan Jumlah Responden........................................... 38 Matrik Analisis Faktor Internal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ......................................................................... 41 Matrik Analisis Faktor Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ....................................................................... . 43 Matrik SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats).......... 44 Matriks Analisis QSPM ..................................................................... 46 Rincian Metode dan Pengumpulan AnalisisData ............................... 48 Penggunaan Tanah di Kabupaten Kampar ....................................... 52 PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Kampar Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha) ......................... 53 Penggunaan Tanah di Kabupaten Pelalawan Tahun 2006.................. 56 PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Pelelawan Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha)....................... 57 Penggunaan Tanah di Kota Pekanbaru .............................................. 60 PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kota Pekanbaru Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha)............................... 61 Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Tahun 2007 di Tiga Kabupaten/Kota ..................................................................... 72 Sistem Penyuluhan Pada Kelembagaan Penyuluh Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota ........................................................................ 75 Persepsi Penyuluh Terhadap Kelembagaan Penyuluhan di Tiga Kab/Kota ............................................................................................ 77 Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota Tahun 2008 .................................................................................................. 81 Karakteristik Penyuluh di Tiga kabupaten/kota Tahun 2007.............. 86 Kinerja Penyuluh Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota Tahun 2007..... 88 Karakteristik Petani di Tiga kabupaten/Kota Tahun 2008 ................. 90 Persepsi Petani tentang Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) dan Tingkat Penerapan Teknologi .......................................................... 92 Matrik IFE Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau .................................................................................... 96 Matrik EFE Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau .................................................................................... 97 Matrik SWOT .................................................................................... 100 Hasil Analisis QSPM dalam perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau .................................................................................................... 103 Strategi, Program dan Pelaksana Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan ........................................................................................ 106
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Halaman
Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau .................................................................................................
35
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Halaman
Kuesioner untuk Instansi/Kepala Satuan Kerja.................................... Kuesioner untuk PPL........................................................................... Kuesioner untuk Petani ..................................................................... Kuesioner Nilai Faktor eksternal dan internal ................................... Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ..................................... Matriks Nilai Keterkaitan Faktor Strategis ........................................
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan ketahanan pangan nasional, pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Namun demikian, pembangunan pertanian saat ini dan yang akan datang dihadapkan kepada permasalahan antara lain : penurunan kapasitas sumberdaya pertanian; sistem alih teknologi masih lemah dan kurang tepat sasaran, keterbatasan akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil, kualitas dan ketrampilan sumberdaya petani rendah, kelembagaan petani dan posisi tawar petani rendah (Departemen Pertanian, 2002). Dalam rangka membangun kemandirian pangan, pemerintah berusaha agar pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri dan meminimalisasi impor, melalui optimalisasi sumberdaya domestik dan lokal. Sehingga strategi yang ditempuh untuk mencapai sasaran kemandirian pangan tersebut adalah memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan
untuk
meningkatkan
produksi
dan
pendapatan
masyarakat
(pemberdayaan masyarakat) (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Mengacu pada perkembangan lingkungan strategis di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai akibat implementasi Undang-undang Republik
Indonesia No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004, menunjukkan bahwa usaha pertanian pada umumnya didominasi oleh usaha skala kecil, tingkat pendidikan petani/nelayan masih rendah dan bermodal kecil. Kondisi dengan skala usaha kecil umumnya belum mampu menerapkan teknologi inovatif karena akan menjadi kurang efisien. Akibatnya adalah hanya sebagian kecil potensi sumberdaya itu yang dapat dimanfaatkan dan karena ketidak tepatan dalam penerapan inovasi teknologi terjadi penurunan kuantitas maupun kualitas produk yang dihasilkan (Suryana, 2003). Sektor pertanian hingga saat ini di Provinsi Riau masih merupakan sektor yang memberikan lapangan usaha dominan dan menyerap tenaga kerja paling besar (52,24 %). Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan tahun 2004 – 2008 bidang pertanian adalah pengembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan terpadu dengan peternakan tetap menjadi prioritas pembangunan, mengingat 76,26 persen penduduk miskin mempunyai mata pencaharian pada sub sektor tanaman pangan dan peternakan (Pemerintah Provinsi Riau, 2006). Produktivitas hasil pertanian khususnya tanaman pangan di Provinsi Riau dari tahun 2001–2007 menunjukkan perkembangan yang kurang mengembirakan. Produktivitas padi dan jagung, pada periode 7 tahun terakhir memperlihatkan kecenderungan stagnan atau mengalami perekmbangan yang kurang baik, dimana produktivitas padi mengalami penurunan setiap tahunnya sebesar 0,17 persen, sedangkan jagung mengalami peningkatan yang relatif kecil yakni sebesar 0,22 persen setiap tahunnya (Tabel 1). Sehingga kurang baiknya produktivitas padi dan jagung ini, menyebabkan sub sektor tanaman pangan tersebut belum mampu
memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat petani. Belum baiknya tingkat kesejahteraan petani ditunjukkan oleh nilai tukar petani. Nilai tukar petani di Riau dalam periode yang sama menunjukkan penurunan sebesar 6,59 persen setiap tahunnya. Tabel 1.
No. 1 2 3 4 5 6 7
Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau Tahun 2001 – 2007
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Gr (%)
Produktivitas Padi 30.55 29.41 29.87 30.45 29.99 30.49 30.24 - 0,17
Produktivitas Jagung 21.28 21.06 21.13 21.25 21.40 21.73 21.56 0.22
Nilai Tukar Petani 123.4 126.4 139.1 113.6 88.13 84.91 82.05 -6.59
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan BPS Riau (2007)
Banyak faktor yang menjadi kendala peningkatan produktivitas dan produksi pangan di Propinsi Riau untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduknya, Diantraranya yang terpenting adalah : a) masih tingginya konversi lahan produktif ke lahan non pertanian tanaman pangan; 2) kecilnya skala usaha pertanian tanaman pangan, perikanan maupun peternakan sehingga hasilnya tidak mampu mensejahterakan petani dan berakibat pada kurangnya investasi untuk peningkatan produksi; 3) terbatasnya teknologi tepat guna yang dapat diakses oleh petani; 4) kurangnya bimbingan kepada petani karena tidak difungsikannya institusi penyuluhan pertanian secara optimal seperti masa lalu, 5) terbatasnya sistem pengairan dan 6) rendahnya akses petani terhadap modal usaha (Badan Ketahanan Pangan Riau, 2008). Kondisi diatas menggambarkan bahwa disadari atau tidak, peranan penyuluhan pertanian terus mengalami penurunan, sehingga berdampak negatif
pada sektor pertanian dalam arti luas terutama terhadap kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan lambatnya alih teknologi dan kebijakan pemerintah, terutama sangat dirasakan sejak awal otonomi daerah (Yasin, 2007).
Peningkatan
kapabilitas petani/nelayan harus dilakukan melalui pembangunan system penyuluhan yang mampu membantu baik dalam penerapan teknologi inovasi berwawasan bisnis yang menghasilkan produk bermutu sesuai permintaan pasar global. Penyuluhan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan
pertanian,
karena
mempunyai
tugas
dan
fungsi
untuk
menyelenggarakan pendidikan non formal bagi petani/nelayan. Dengan demikian, system kelembagaan penyuluhan harus dibangun dan dikembangkan dalam upaya untuk
membantu
petani/nelayan
dalam
menciptakan
iklim
pendidikan/pembelajaran yang kondusif, sehingga pada akhirnya mereka mampu menolong
dirinya
sendiri
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
keluarga
(Departemen Pertanian, 2007). Disamping itu menurut Tedjokoesoemo (1996), keberhasilan mengaitkan sistem produksi pertanian dengan mata rantai agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya-upaya pemberian motivasi kepada kelompok tani – nelayan untuk berkembang menjadi kelompok-kelompok usaha komoditas pertanian tertentu atau kombinasinya.
Perkembangan ini hanya
dimungkinkan oleh adanya kesempatan berusaha yang lebih luas yang dapat diciptakan melalui pembangunan jaringann kelembagaan penyuluhan pertanian yang berwatak profesional. Kebijakan publik yang berkaitan dengan dengan kelembagaan penyuluhan yang dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau ini jelas sangat berdampak
terhadap
pencapaian
tujuan
mensejahterakan petani.
akhir
dari
pembangunan
pertanian
yaitu
Seperti yang dikatakan oleh Riant Nugroho (2008)
dalam bukunya Public Policy menyatakan bahwa kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama. Dikatakan lebih lanjut bahwa kebijakan public merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu Negarabangsa (dalam hal juga termasuk daerah). Untuk itu perlu di-review kembali kebijakan public yang telah dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan penyuluhan.
Berdasarkan
argumentasi tersebut maka “Analisa Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau” perlu dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Kondisi ini menyebabkan kinerja penyuluhan pertanian semakin menunjukkan penurunannya, karena penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditempatkan pada posisi minor. Bahkan memasuki abad ke 21 kinerja penyuluhan pertanian dapat dikatakan mencapai titik terendah (Mardikanto, 2008). Di era tahun 1980-an (BIMAS), penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistik dan koordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat
sampai kedaerah.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan secara
integral dan didukung dengan baik oleh empat catur sarana (PPL, Kios Saprotan, BRI dan KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa dan menjadi biasa. Pendekatan yang digunakan pada era ini, telah menghantarkan bangsa kita mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (RPP IPB, 2005). Sedangkan pada era otonomi daerah, paradigma pembangunan pertanian yang telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi desentralistrik dan pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan tampaknya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah kurang mendapat perhatian pemerintah daerah. Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan di daerah belum terprogram dengan jelas karena penyuluhan pertanian dianggap suatu kegiatan yang dianggap kurang penting. Sebagai akibatnya, kelembagaan/instansi penyuluhan pertanian banyak yang terlikuidasi (Amanah, 2006). Menurut Harun (2006) bahwa, pada era otonomi daerah saat ini, dengan orientasi efisiensi institusi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ternyata telah ikut merubah nuasa paradigma penyuluhan. Berbagai daerah menyikapinya dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda. Ada daerah yang masih mempertahankan kelembagaan penyuluhan seperti pada masa sebelumnya, dan ada lagi yang merubah tatanan kepenyuluhan dengan merekrut penyuluh dalam salah satu dinas atau beberapa dinas sub sektor pertanian. Di Propinsi Riau penyuluhan diselenggarakan dengan kelembagaan yang bervariasi
seperti
di
kota
Pekanbaru,
kegiatan
penyuluhan
pertanian
diselenggarakan oleh Kantor Pusat Informasi Penyuluhan Terpadu, dan di kabupaten Kampar diselenggarakan oleh Kantor Informasi dan Penyuluhan Pembangunan; serta di kabupaten Pelalawan oleh Dinas Pertanian. Keragaman kelembagaan
yang
menangani
penyelenggaraan
penyuluhan
mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut.
pertanian
Kelembagaan yang
beragam ini, menunjukkan bahwa beragamnya persepsi provinsi/kabupaten/kota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di wilayah masing-masing (Departemen Pertanian, 2005). Kondisi kelembagaan yang sangat beragam
ini
mempengaruhi
kinerja
penyelenggaraan
penyuluhan
dan
konsekuensinya berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Mengingat penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keragaan
kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi
daerah di Provinsi Riau ? 2. Bagaimana pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan penyuluhan yang berbeda ?
3. Bagaimana dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani ? 4. Bagaimana strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian untuk Provinsi Riau ? 1.3. Tujuan Kajian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan kajian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau. 2. Menganalisis
pelaksanaan
sistem
kerja
penyuluhan
pertanian
pada
kelembagaan yang berbeda. 3. Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani. 4. Merumuskan strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian yang terbaik untuk Provinsi Riau. 1.4. Manfaat Kajian Manfaat kajian ini adalah : 1. Bagi masyarakat akademi dapat dijadikan bahan dan konsep dalam pemberdayaan masyarakat petani melalui kelembagaan penyuluhan yang efektif dan efisien; 2. Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan/rekomendasi dalam implementasi UU No. 16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian. Evaluasi terhadap reorientasi struktur kelembagaan dan sistem kerja
penyuluhan pertanian di daerah, sehingga tercipta proses peningkatan adopsi teknologi inovasi di tingkat petani. 1.5. Cakupan Kajian Cakupan
kajian
ini
adalah
menganalisis
penyuluhan pertanian di tiga kabupaten/kota,
keragaan
kelembagaan
yang dianggap mewakili
kelembagaan yang ada di 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Analisis kelembagaan pada kajian ini dilihat dari sisi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan yang tersedia. Hal ini mengingat bahwa keefektifan dan berkelanjutan intereaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani sangat dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan. Terakhir merumuskan strategi pengembangan kelembagaan pertanian yang terbaik untuk provinsi dan kabupaten/kota kajian yang disesuaikan dengan kondisi (visi dan misi) lokalitanya masing-masing. Untuk mendapatkan strategi pengembangan , dilakukan analisis faktor internal dan eksternal dengan responden tiga orang stakeholders yang dianggap punya kompetensi yaitu Koordinator Penyuluh Pertanian Spesial (PPS), Kepala Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) Provinsi Riau dan salah satu anggota Komisi Penyuluh Pertanian (KKP) Provinsi Riau.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Kelembagaan (institusion) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya besarta komponen-komponennya yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1997). Sehingga suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial.
Dengan
demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari struktural berupa pelbagai peranan sosial (Tonny,
dkk,
2004).
Sedangkan
menurut
Budiono
(2008),
konteks
”kelembagaan ” dalam pemerintahan sudah seharusnya dimaknai dalam pelayanan publik yakni memberikan layanan yang terbaik pada masyarakat, oleh karena itu hal ini dapat merupakan satu cermin dari praktik tata pemerintahan yang baik, yang merupakan dambaan setiap warga. Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari sistem pembangunan pertanian mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian. Penyuluhan pertanian adalah upaya membangun kemampuan masyarakat secara persuasif-edukatif yang terutama dilakukan melalui proses pembelajaran petani dengan menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian secara baik dan benar didukung oleh kegiatan pembangunan pertanian lainnya (Departemen Pertanian, 2002).
Penyuluhan pertanian merupakan pemberdayaan petani dan keluarganya
beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di
bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai. Kegiatan
penyuluhan
pertanian
adalah
kegiatan
berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik.
terencana
dan
Pengorganisasian
penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, petani dan swasta (Departemen Pertanian 2006). Menurut Suhardiyono (1990), fungsi pelayanan penyuluhan mempunyai lingkup yang terbatas yaitu komunikasi tentang pesan-pesan ilmiah yang disiapkan oleh para ahli kepada petani beserta keluarganya melalui pendidikan non formal, sehingga kelembagaan penyuluhan dapat dikatakan sebagai kelembagaan pendidikan yang bertujuan mengubah pengetahuan, tingkah laku dan sikap bagi petani dan keluarganya.
Dengan demikian inti kelembagaan
penyuluhan adalah petani dan penyuluh yang melakukan komunikasi dua arah, baik antara penyuluh dengan petani, antara petani yang satu dengan yang lain, antara petani dengan keluarganya serta antara penyuluh dengan penyuluh (Suhardiyono, 1990) Agar penyuluhan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, maka pengorganisasian
penyuluhan
dalam
suatu
kelembagaan
harus
lebih
menitikberatkan komunikasi untuk memperoleh partisipasi aktif dari petani dan keluarganya. Untuk itu dalam kelembagaan penyuluhan harus mempertimbangkan
beberapa hal diantaranya : (1) Adanya penyuluh lapangan yang professional, (2) terdapatnya pelayanan penyuluhan di berbagai tingkatan guna memudahkan dalam mendekatkan hubungan antara pusat-pusat penelitian atau sumber inovasi lain dan pelayanan penyuluhan yang akan diorganisir, (3) terjalinnya hubungan antara peneliti dengan pekerjaan penyuluhan dalam menerapkan teknik budidaya pertanian modern di lahan usaha tani untuk menjawab permasalahan-permaslahan para petani yang bersifat mendesak, (4) adanya sisitem kerja penyuluhan pertanian yang ditetapkan, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa pelaksanaan alih teknologi serta ketrampilan kepada petani dan keluarganya benar-benar dapat berjalan secara rutin dan terus menerus, (5) Adanya hubungan koordinasi dengan kegiatan-kegiatan bidang penyuluhan yang dilaksanakan oleh unit kegiatan yang lain, (6) adanya sistem pemantauan yang memadai untuk mengetahui hasil pelaksanaan kegiatan penyuluhan, kendala-kendala yang ditemui, masalahmasalah yang dihadapi baik oleh penyuluh di lapangan maupun petani yang harus dipecahkan melalui kegiatan penyuluhan, dan (7) adanya kelembagaan petani untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan alih teknologi ataupun alih ketrampilan dari para penyuluh lapangan kepada petani beserta keluarganya.(Departemen Pertanian, 2005). Dengan adanya desentralisasi, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di provinsi tidak ada, tetapi fungsi penyuluhan pertanian dibeberapa provinsi dilaksanakan oleh Dinas atau Badan lingkup pertanian. Namun penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi, karena mandat untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, menurut
Mardikanto (1991), efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh sub system yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis. Penyuluhan berkontribusi besar dalam peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan masyarakat tani. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa keberadaan lembaga penyuluhan semakin merosot yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : a) program yang lemah; b) kuantitas penyuluh yang kurang berkembang; c) kualitas penyuluh cenderung kurang berkembang; d) fasilitas yang semakin terbatas; e) perhatian pemerintah ; terutama pemerintah daerah yang semakin lemah ( Hafsah, 2006). 2.2. Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Perubahan sistem pemerintahan dari paradigma yang berorientasi pada sentralisasi ke desentralisasi, telah memberikan konsekuensi sangat luas dan mendalam pada sistem tata pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bergesernya status dan kedudukan suatu kelembagaan dalam keseluruhan formasi tata pemerintahan daerah.
Konsekuensi dari perubahan
tersebut adalah pada batasan kekuasaan dan wewenang suatu kelembagaan dalam mengimplementasikan proses-proses regulasi, legislasi dan kebijakan publik. Menurut Nasdian (2008) sejak berorientasi pada paradigma desentralisasi, formasi sosial dalam sistem tata pemerintahan di daerah telah membentuk pola-pola relasi kekuasaan dan wewenang yang berbasis tidak hanya pada pilar regulative, tetapi juga telah mempertimbangkan pilar normative berbasis
pada
otonomi
lokal.
Dampaknya,
dan cultural-cognitive yang meskipun
regulasi
yang
diimplementasikan dala tata-pemerintahan di daerah dalam wilayah Indonesia
adalah sama tetapi dalam implementasinya kekuatan struktur lokal atau kelembagaan yang ditopang oleh pilar normative dan cultural cognitive semakin membuat ”bangunan” tata-pemerintahan daerah menjadi lebih beragam. Pembentukan kelembagaan dalam masyarakat tidak terlepas dari peranan individu, kelompok atau pemerintah sehingga lembaga-lembaga yang hidup dalam masyarakat yang ada bersifat informal dan ada pula yang tercipta secara formal baik dari masyarakat maupun luar masyarakat (Indaryanti, 2003). Pergeseran paradigma penyuluhan dari teknik budidaya (on-farm) menuju sistem usaha agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan. Dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari sub sistem petani, penyuluh dan kelembagaan struktural, menjadi subsitem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan lembaga pelatihan (Hafsah, 2006). Kelembagaan penyuluhan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang hal itu memungkinkan adanya pembagian kerja yang lebih jauh, peningkatan pendapatan, perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang usaha.
Dalam kehidupan nyata, kelembagaan dapat menjadi peubah
eksogen dalam proses pembangunan dengan demikian kelembagaan dapat dianggap sebagai penyebab segala perubahan pembangunan. Namun dipihak lain kelembagaan bisa diduga menjadi peubah endogen dimana perubahan kelembagaan diakibatkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial masyarakat yang ada. Sehingga kelembagaan yang ada dalam masyarakat sudah mengalami dinamika perubahan berbagai zaman (Daryanto, 2004). Menurut Scott (2008) dalam Nasdian (2008) mengemukakan bahwa perubahan kelembagaan secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor
regulasi. Selain faktor tersebut faktor stuktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi mikrodan makro, dan faktor kultural merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat (atau menjadi buffer ) evolusi bersama kelembagaan an organisasi tersebut. Dengan kata lain, terdapat tiga pilar ”penopang” kelembagaan, yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Ketiga elemen tersebut membentuk suatu gerak kontinum ”from the conscious to the unconscious, from the legally enforced to the taken for granted” 2.2.1. Era Bimas Pada era BIMAS, penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistis dan berkoordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara integrasi dan didukung dnegan baik oleh empat catur sarana : (1) PPL, (2) Kios Saprotan, (3) BRI, dan (4) KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa, dan menjadi biasa (RPP, IPB, 2005). Penyuluhan yang dilaksanakan pada program Bimas selain berperan dalam penyebarluasan inovasi teknologi kepada petani, juga berperan dalam pembinaan dan pemberdayaan kelompok, membantu penyaluran saprodi, serta berperan dalam membantu penyaluran dan pengembalian kredit dari perbankan. Keberhasilan fungsi penyuluhan kala itu dipengaruhi oleh penerapan sistem dan manajemen penyuluhan dengan sistem LAKU, penyusunan program penyuluhan, pewilayahan binaan (Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian/WKPP), dan Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian/WKBKPP), serta didukung dengan penerapan
metode penyuluhan, penyediaan sarana penyuluhan yang memadai, serta tenaga penyuluh yang memadai (Hafsah, 2006) Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan petanian pada Pelita IV (Orde Baru) diarahkan untuk : (1) memberikan dorongan bagi berkembangnya kelembagaan tani-nelayan kearah terciptanya system pengguna aktif dari informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis; (2) memperkuat BPP dengan tenaga kerja, sarana, prasarana dan pembiayaan yang memadai dalam menghadapi perkembangan perilaku petani-nelayan sebagai system pengguna aktif berbagai informasi dan kesempatan berusaha; (3) membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian, dengan BPP sebagai perangkat terdepan; (4) mengorientasikan penyuluh dan aparat pembinanya agar memiliki satu kesatuan tindakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (5) penyuluhan pertanian dilaksanakan dengan materi yang sesuai dengan mandat, misi dan tujuan penyuluhan pertanian serta kondisi dan potensi nyata daerah; (6) penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat Nasional dan Provinsi diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota dan BPP; (7) penggunaan berbagai pendekatan dan metode penyuluhan pertanian disesuaikan dengan perkembangan/tingkat kemajuan social ekonomi wilayah dan tujuan yang hendak dicapai dalam wilayah bersangkutan; (8) mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan pertanian didasarkan atas prinsip keterlibatan semua unsur penyuluhan pertanian sebagai suatu jaringan kelembagaan penyuluhan
pertanian yang berfungsi sebagai penyalur informasi teknologi, pasar, permodalan dan lain-lain (Departemen Pertanian, 2002). 2.2.2. Era Otonomi Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dan peraturan-peraturan yang mengikutinya, merubah konsep penyuluhan dimana paradigma pembangunan pertanian telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi disentralistik, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan agribisnis.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian
diserahkan sepenuhnya ke kabupaten/kota. Pemerintah pusat sepenuhnya hanya bertugas merumuskan kebijakan, norma, standar, dan model-model penyuluhan partisipatif (RPP IPB, 2005). Menurut Hafsah (2006) pada era otonomi daerah pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah penyuluhan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif melalui proses yang melibatkan berbagai pihak terkait. Namun dengan munculnya beberapa peraturan pemerintah yang kurang mendukung penyelenggaraan penyuluhan daerah, seperti PP No.25/2000 dam PP No.8/2003 mengakibatkan ruang gerak pemerintah daerah untuk mendirikan kelembagaan penyuluhan pertanian sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi tidak jelas, kelembangaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota beragam. Perubahan yang berlangsung pada dua kondisi diatas menunjukkan terjadinya evolusi bersama (co-evaluation) pranata sosial dan pengorganisasian.
Perubahan pranata sosial yang merujuk kepada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan ”ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adapatasi dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive (Nasdian, 2008). Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah dikemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan adalah sebagai berikut : a. Kelembagaan di Pusat Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Pusat adalah Badan Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada Menteri. Sebagai mitra kerja Menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan, dibentuk Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Keanggotaan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. b. Kelembagaan di Provinsi Kelembagaan
penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian
di
Provinsi
berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur. Komisi Penyuluhan Pertanian Provinsi bertugas memberikan masukan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi.
Keanggotaannya sama dengan keanggotaan Komisi Penyuluhan
Pertanian Nasional yaitu terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. c. Kelembagaan di Kabupaten/Kota Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota. Komisi Penyuluhan Pertanian Kabupaten/Kota bertugas memberikan masukan kepada Bupati/Walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota.
Keanggotaannya terdiri dari para pakar
dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. d. Kelembagaan di Kecamatan Kelembagaan penyuluhan pertanian di kecamatan adalah Balai Penyuluh Pertanian . BPP merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan penyuluhan pertanian kabupaten/kota. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) dibantu oleh Tim Penyuluh Pertanian. Tim ini terdiri dari Penyuluh Pertanian (PPL), Petani Pemandu, LSM, Mantri Tani, Mantri Kesehatan Hewan dan Teknisi pertanian lapangan lainnya. e. Kelembagaan di Desa Kelembagaan penyuluhan pada tingkat desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat non structural.
Amanat UU No.16/2006 menurut Slamet (2008) bertabrakan dengan PP 8/2003 tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41/2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentukanya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat propinsi, dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek-aspek perencanaan, ketenagaan, program, manajemen, dan pembiayaan menjadi kewenangan bersama Pemerintah, provinsi, Kabupaten/kota, Petani dan Swasta. Kondisi ini memberi kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan lokalita, sedangkan pemerintah mempunyai kewenangan
untuk
melakukan
pembinaan,
pengawasan
dan
koordinasi
penyelenggaraan penyuluhan pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Dengan kata lain, pelaksanaan kelembagaan penyuluhan dapat ditinjau dari aspek perencanaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan. Kebijakan pembangunan pertanian pada era desentralisasi ini adalah mewujudkan pertanian yang tangguh dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani.
Kebijakan ini menghendaki perubahan
pendekatan penyuluhan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan agribisnis.
Kebijakan ini juga mensyaratkan dikembangkannya jaringan
kerjasama di antara pelaku agribisnis, penyuluhan pertanian, peneliti, pendidikan dan pelatihan (Hafsah, 2006) Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ada dua hal penting yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan dimasa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah : (1) dibangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya pengembangan program-program penyuluhan yang berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan (Slamet, 2008). Pada UU No.16/2006 pasal 6 tercantum kebijakan system penyuluhan yaitu : (1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan system penyuluhan; (2) Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud
pada
point
terdahulu,
pemerintah
dan
pemerintah
daerah
memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a) penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan; b) penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pada tiap-tiap tingkat admnistrasi pemerintah. Seyogyanya
dalam
konteks
otonomi
daerah,
pemerintah
mesti
melandaskan moral pembangunannya pada keberpihakan ekonomi rakyatnya. Pemberdayaan dilakukan dalam segala aspek yang selama ini dianggap kritis dalam pengembangan ekonomi rakyat, meliputi 1) pemberdayaan sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi rakyat; 2) pemberdayaan sumberdaya alam
berkelanjutan dan menjamin redistribusi secara merata serta hak kepemilikan rakyat atas sumberdaya alam; 3) pemberdayaan keuangan untuk membuka akses pendanaan, 4) pemberdayaan kelembagaan untuk menguatkan institusi rakyat agar mampu mengorganisir diri dan komunitasnya dalam sebuah institusi yang berdaya dan berkelanjutan. 2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian 2.3.1. Penyuluhan Pertanian Ilmu penyuluhan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia dibentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah, sehingga membawa pada perubahan kualitas kehidupan orang yang bersangkutan (Slamet, 1992). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan manajemen. Penyuluhan selalu menitik-beratkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan batin, sehingga kegiatan yang dilakukan akan selalu berkaitan erat dengan ilmu-ilmu lain seperti pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya.
Jadi sebagai ilmu, penyuluhan bersifat
interdisipliner. Hal ini berkaitan erat dengan praktek penyuluhan di lapangan yang menuntut pendekatan interdisipliner.
Kenyataan menunjukkan bahwa
beberapa keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia terjadi karena ditopang oleh penggunaan pendekatan interdisipliner ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi seperti yang terangkum dalam ilmu penyuluhan (Slamet, 1992)
Ilmu penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Penyuluhan Pertanian (Agricultural Extension), terutama di Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Kemudian ternyata berkembang penggunaannya bidangbidang lain maka berubah namanya menjadi “Extension Education”, dan di beberapa negara lain disebut “Development Communication”. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Penyuluhan sebagai proses pendidikan, maka penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku baik pengetahuan maupun ketrampilannya. penyuluhan
harus
Penyuluhan sebagai proses demokrasi, maka
mampu
mengembangkan
mengembangkan kemampuan masyarakat. sasaran
penyuluhan
berfikir,
suasana
bebas,
untuk
Penyuluh harus mampu mengajak
berdiskusi,
menyelesaikan
masalahnya,
merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka. Sebagai proses yang kontiniu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki berdasarkan kepada kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan.
Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi
kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padalah kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluhan perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang tersebut (unfelt need) menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran (felt need) Menurut Mardikanto (1991), penyuluhan pertanian adalah suatu system pendidikan bagi masyarakat (petani) untuk membuat mereka tahu, mau dan
mampu
berswadaya
melaksanakan
upaya
peningkatan
produksi,
pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/ masyarakatnya. Sedangkan menurut AW.Van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. UU No. 16/2006, mendefenisikan bahwa penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama (petaninelayan) serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan
dan
kesejahteraannya,
serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestrasian fungsi lingkungan hidup. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan agar dapat berlangsung efektif dan efisien, maka terlebih dahulu harus dipahami falsafah penyuluhan. Falsafah penyuluhan menurut Suhardiyono (1990) yang merupakan dasar dalam bekerja dilandasi oleh tiga hal yaitu : (1) penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi dan (c) penyuluhan merupakan proses yang terus menerus. Artinya, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang membawa perubahan yang diharapkan oleh seseorang ataupun masyarakat, dengan cara tidak memaksakan sesuatu kepada masyarakat tani tersebut dan dilakukan secara terus menerus. Kemudian dalam melaksanakan penyuluhan, harus ada prinsip-prinsip yang menjadi pegangan kerja atau sebagai panduan dalam merencanakan pemecahan masalah secara efektif guna membantu masyarakat pedesaan. Prinsip-
prinsip penyuluhan menurut Valera, dkk (1987) adalah : (1) penyuluhan bekerja dengan klien, bukan untuk klien, (2) penyuluhan harus bekerjasama dan melakukan koordinasi dengan organisasi pembangunan lainnya, (3) penyuluhan adalah pertukaran informasi yang bersifat dua arah, (4) penyuluhan bekerja dengan kelompok-kelompok sasaran yang berbeda-beda di masyarakat, dan (5) masyarakat harus ikut serta dalam semua aspek-aspek kegiatan pendidikan dari penyuluhan. Menurut Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (1991), setidaktidaknya ada 12 prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas yaitu : (1) Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. (2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga atau kerabatnya. (3) Keragaman budaya, artinya penyuluh harus menyadari adanya keragaman budaya memerlukan keragaman pendekatan. (4) Perubahan budaya, artinya kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya. (5) Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan (6) Demokrasi dalam penerapan ilmu, penyuluhan harus selalu member kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk ikut memutuskan tujuan,
alternative pemecahan masalah dan metode apayang digunakan dalam penyuluhan. (7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. (8) Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan social budaya) (9) Kepemimpinan,
kartinya
penyuluhan
harus
mampu
mengembangkan
kepemimpinan, teutama mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin local untuk membantu kegiatan penyuluhan itu sendiri. (10) Spesialis yang terlatih, artinya penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh. (11) Segenap keluarga, artinya penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. (12) Kepuasan, artinya penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Kepuasan akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan. Undang-undang No. 16 Tahun 2006 pasal 3 menyatakan bahwa penyuluhan bertujuan mengembangkan sumber daya manusia yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan.
Namun lebih jauh, Tedjokoesoemo (1996) berpendapat
penyelenggaraan penyuluhan pertanian pada dasarnya mempunyai keluaran
(output) yang tidak sama pada berbagai tingkat yaitu lapangan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat serta untuk berbagai kategori petani nelayan. Kendati mempunyai keluaran yang berbeda, penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditujukan untuk menolong petani nelayan agar mampu melakukan identifikasi dan analisis masalah, serta memecahkan berbagai masalah yang menyangkut usahataninya sebagai bagian dari sistem agribisnis sehingga menghasilkan perilaku professional dalam bentuk antara lain : (1) perilaku usahawan yang rasional dalam pengambilan keputusan usaha yang didasarkan atas permintaan pasar dan saluran pemasaran yang tepat; (2) pengelolaan usaha yang efisien disertai kemampuan bekerjasama di antara sesama petani nelayan atau antara petani nelayan dan pengusaha agroindustri serta sektor ekonomi pedesaan lainnya; (3) kepemimpinan yang berkembang secara mandiri ke arah berkembangnya sistem pengguna aktif berbagai peluang dan informasi usaha yang tersedia; (4) usaha yang berorientasi pelestarian sumberdaya alam sehingga mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan; (5) penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relative cepat melalui kemandirian dalam mencari, menganalisa, dan mengambil keputusan atas informasi yang tersedia, serta (6) kepedulian terhadap masalah ketahanan pangan di tingkat keluarga, masyarakat dan nasional. Misi pokok penyuluhan pertanian menurut Tedjokoesoemo (1996), hanya ada 2 (dua) hal yaitu (1) pengembangan sumberdaya manusia dan (2) alih teknologi.
Kedua misi pokok ini merupakan peranan-peranan yang perlu
dilaksanakan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan sektor pertanian. Pengembangan sumberdaya manusia berintikan pada pengembangan perilaku dan
kemampuan
serta
dikembangkan penciptaan
ke
pendayagunaan dalam upaya
lapangan
kerja,
kemampuan-kemampuan peningkatan
kesehatan
pendapatan,
lingkungan
serta
yang
telah
kesejahteraan, kelangsungan
pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Efektivitas atau keberhasilan suatu kegiatan penyuluhan menurut Mardikanto (1991) dapat diukur dari seberapa jauh telah terjadi perubahan perilaku (petani) sasarannya, baik yang menyangkut : pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya. Yang kesemuanya itu dapat diamati pada : a. Perubahan-perubahan pelaksanaan kegiatan bertani yang mencakup macam dan jumlah sarana produksi, serta peralatan/mesin yang digunakan, maupun caracara atau teknik bertaninya b. Perubahan-perubahan tingkat produktivitas dan pendapatannya c. Perubahan dalam pengelolaan usaha (perorangan, kelompok, koperasi), serta pengelolaan pendapatan dari usaha taninya. Disamping
itu,
beberapa
faktor
atau
kekuatan–kekuatan
yang
mempengaruhi proses perubahan yang diupayakan melalui penyuluhan pertanian, dapat terjadi karena; 1) keadaan pribadi sasaran, 2) keadaan lingkungan fisik, lingkungan sosial dan budaya masyarakat, 3) macam dan aktivitas kelembagaan yang tersedia untuk menunjang kegiatan penyuluhan. Menurut Hafsah (2006), bahwa efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh subsistem yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis. Dalam banyak hal kasus, terlihat bahwa keberhasilan penyuluhan pertanian sangat ditentukan oleh perhatian pengusaha atau pimpinan wilayah setempat.
Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja penyuluhan pertanian (RPP IPB,2005) antara lain : 1) tersusunya programa penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan petani, 2) tersusunnya rencana kerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing-masing, 3) tersedianya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi sesuai dengan pengwilayahan komoditas unggulan, 4) terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, 5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, kelompok usaha/asosiasi petani dan usaha formal (seperti koperasi), 6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, 7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, 8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan 9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani dimasing-masing wilayah kerja. 2.3.2. Penyuluh Pertanian Penyuluh adalah seorang pendidik dan pembimbing masyarakat tani. Sebagai seorang mubaligh atau seorang missionair, seorang penyuluh pertanian harus mempunyai panggilan terhadap pekerjaannya, harus mempunyai cita-cita atau ideology (Mardikanto, 1991). Sedangkan menurut UU No. 16/2006, penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Lebih lanjut, penyuluh dipilah menjadi tiga kategori yaitu : (1) Penyuluh pegawai negeri yang selanjutnya disebut Penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan
atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan; (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; dan (3) Penyuluh Swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Penyuluh pertanian dalam memberdayakan masyarakat tani menurut Suhardiyono (1990), berperan sebagai : (1) pembimbing petani, (2) Organisator dan dinamisator petani, (3) teknisi dan (4) penghubung antara lembaga penelitian dengan petani. Kemudian Harun (1996), menyatakan peran penyuluh sebagai : (1) sumber informasi bagi petani, (2) penghubung petani kepada sumber-sumber informasi, (3) katalisator atau dinamisator di dalam mengarahkan dinamika petani atau kelompok tani untuk menciptakan suasana belajar yang diinginkan dan (4) pendidik, yang menyampaikan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya di bidang pertanian kepada petani.
Sedangkan Samsudin (1987) menyatakan bahwa
penyuluh berperan sebagai pemimpin, pengajar dan penasehat.
Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas mempunyai kesamaan dan saling melengkapi mengenai pengertian dan peranan penyuluh pertanian lapangan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai “ujung tombak” dalam membina petani dan kelompok tani dengan baik menuju kondisi penerapan pembangunan pertanian yang lebih baik. Dalam menyampaikan informasi kepada sasaran, penyuluh hendaknya mampu melaksanakan proses belajar mengajar, selain sebagai seorang guru, hendaknya menempatkan diri sebagai teman sasaran dalam mengambil keputusan. Dalam kaitan ini penyuluh dituntut mampu berperan ganda, antara lain dengan
menjalankan fungsi sebagai komunikator, pendidik dan motivator, bagi terjadinya perubahan perilaku sasaran, karena penyuluh mengkomunikasikan pesan-pesan penyuluhan kepada sasaran, dengan metode yang syarat nilai pendidikan, sehingga bertindak sebagai pendidik dengan berperan sebagai motivator bagi peningkatan kesadaran masyarakat kearah pencapaian tujuan yang diinginkan, dengan melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Selain itu, penyuluh juga harus
mampu melakukan pengamatan terhadap keadaan sumberdaya yang terdapat di pedesaan, memberikan contoh pemecahan masalah dari berbagai kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat, serta menganalisa pemecahan masalah tersebut (Departemen Pertanian, 2002). Kegiatan penyuluhan akan menjadi kegiatan yang mendapat apresiasi petani bila sang penyuluh dapat memberikan informasi-informasi segar dan bermanfaat serta memberikan pencerahan dalam setiap problem usaha tani yang dilakukan oleh para petani sebagai sasaran dari penyuluhannya.
Standarisasi
kualitas sumberdaya manusia seorang penyuluh pertanian mutlak menjadi main point dalam perekrutan dan penempatan PPL di lapangan. Trampil memahami masalah, mengetahui kebutuhan, dan dapat memberikan solusi pada setiap permasalahan yang dialami dan ditemui oleh petani merupakan kebutuhan ideal yang harus dapat distandarkan bagi setiap PPL di lapangan (Tohir, 2005) Menurut Hafsah (2006), perubahan yang paling mendasar pada penyuluhan paradigma baru adalah perubahan pengambilan keputusan sentralisasi menjadi desentralisasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan sebagai konsekuensi dari konsep penyuluhan desentralisasi (Tabel 2).
Tabel. 2. Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian. No.
UNSUR
PENYULUHAN LALU
1. 2.
Manajemen Tujuan
Sentralisasi Memaksimal produksi
3. 4.
Pendekatan Metodologi
Top down Teknologi umum
5.
Sistem Penyuluhan
6.
Pola Penyuluhan
Menyampaikan rekomendasi dan mengadopsi teknologi - Umum - Seragam
7.
Fokus
Komoditi nasional
8.
Sumber Informasi
- Lembaga penelitian - Lembaga pendidikan -
9.
Peran Penyuluh
Pengajar
10.
Kedudukan Petani
Penerima pesan dan pengguna teknologi
11.
Program Penyuluhan Materi Penyuluhan Metoda Belajar
Berorientasi sektoral
12. 13.
14.
Pendidikan Penyuluh Sumber : Hafsah (2006)
Paket teknologi, rekomendasi pemerintah Kuliah, demonstrasi
Berpendidikan Pertanian SPMA (sederajat SMU)
PENYULUHAN MASA DEPAN Desentralis mengadopsi Meningkatkan pendapatan dan kesejateraan petani Bottom Up Teknologi spesifik lokasi Pemberdayaan petani, petani memilih yang terbaik - Berorientasi sumberdaya dan sistem sosial budaya lokal - Spesifik lokasi Komoditi unggulan daerah - Petani - Sektor swasta - Lembaga pendidikan - Media informasi Pemandu dan Pendamping Mitra aktif dalam penyuluhan dan pengkajian teknologi Berorientasi kebutuhan petani dan terpadu Prinsip-prinsip, metoda informasi Belajar melalui pengalaman dan penemuan Berpendidikan Strata Satu (S1)
2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menelaah diskripsi kebijaksanaan otonomi daerah dan pengaruhnya terhadap sistem penyuluhan pertanian seperti : kelembagaan
penyuluhan, sIstem kerja penyuluhan pertanian, kinerja pelaku penyuluhan pertanian, tingkat penerapan teknologi petani dan produktifitas usahatani. Selain itu juga dicermati permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh akibat restrukturisasi sIstem penyuluhan pertanian serta pemecahan masalahnya
secara
partisipatif.
Otonomi
daerah
mengisyaratkan
bahwa
pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang memadai dalam perumusan permasalahan yang dihadapi, kebutuhan serta tujuan pembangunan daerahnya. Pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat dan pembagunan daerah. Gagasan paradigma pembangunan pertanian ternyata telah menimbulkan pergeseran dalam struktur kelembagaan penyuluhan pertanian. Implementasi reorientasi dan restrukturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian direspon daerah sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan daerah. Ada daerah yang masih mempertahankan pranata kelembagaan penyuluhan pertanian sebelum otonomi daerah dan ada yang memformulasikannya dalam bentuk yang baru. Apapun model kelembagaan penyuluhan pertanian yang dikembangkan, tujuan akhirnya adalah percepatan proses alih teknologi inovasi dari penyuluh sebagai agen pembaharu (change agent) kepada petani sebagai pelaku utama usahatani. Pendekatan alih teknologi atau pendekatan penyuluhan ( extention approach) diartikan sebagai suatu model aksi yang terdapat dalam sebuah sistem tertentu, yang menyangkut aspek struktur, kepemimpinan, program, sumber daya serta keterkaitan.
Secara operasional sebuah pendekatan penyuluhan mempersoalkan bagaimana pemilihan petani yang akan dijadikan target audience, bagaimana pemenuhan sumberdaya sekaligus alokasinya, metodologi (sistem kerja) apa yang dipilih serta perkiraan hasil dan dampak kegiatan penyuluhan itu sendiri nantinya. Keefektifan dan keberlanjutan interaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani dipengaruhi beberapa variabel seperti : (1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan dan (4) pendanaan . Sejalan dengan keragaman bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian, ternyata telah ikut merubah sistem kerja penyuluhan pertanian dan kinerja petugas penyuluh pertanian didaerah.
Kinerja penyuluh merupakan
kemampuan
penyuluh mematuhi jam kerja dan ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan. Sehingga kondisi ini mempengaruhi kompetensi dan pemberdayaan petani yang dapat dilihat dari tingkat adopsi teknologi dan inovasi, yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas dan pendapatan yang diterima oleh petani (Gambar 1)
KEBIJAKSANAAN OTDA
KELEMBAGAAN PENYULUHAN
SISTEM PENYULUHAN
SISTEM KERJA PENYULUHAN
KINERJA PENYULUHAN
KOMPETENSI DAN PEMBERDAYAAN PETANI
PRODUKTIFITAS DAN PENDAPATAN PETANI
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau Keterangan : tidak dibahas dalam penelitan
III.
METODOLOGI KAJIAN
3.1. Jenis Kajian Ditinjau dari aspek tujuan penelitian, kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan survey. Menurut Whitney (1960) dalam Natsir (1999), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Sedangkan Hasmanto (2008), mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendalam tentang satu atau beberapa fenomena sosial. Setiap gejala atau kondisi sosial tersebut diteliti secara luas dan mendalam dan kemudian dibuatkan gambaran, sehingga diperoleh suatu penjelasan yang luas tentang apa yang diteliti. Pada jenis penelitian ini dapat mengembangkan konsep, menghimpun data, tetapi tidak menguji hipotesa. Sedangkan survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Dalam metode survey ini juga dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan dimasa mendatang (Natsir, 1999)
3.2. Waktu dan Lokasi Pengkajian dilaksanakan selama 2 (bulan) bulan mulai Maret sampai April 2008, yang mengambil lokasi di 3 (tiga) kabupaten/kota yaitu : Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelelawan.
Penetapan lokasi
dilakukan secara ‘purposive’ dengan pertimbangan daerah yang mempunyai sistem kelembagaan penyuluhan dimana penyuluh pertanian ber-satmikal (Satuan Administrasi Pangkal) di lembaga penyuluhan (Kabupaten Kampar) tersebut atau bersatminkal dibawah Dinas Pertanian (Kabupaten Pelalawan dan penyuluh pertanian yang bersatminkal di lembaga penyuluhan terpadu (Kota Pekanbaru). 3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi penelitian adalah adalah semua pihak yang terlibat dalam kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota, di tingkat kecamatan dan desa di Kabupaten Kampar, Pelalawan dan Kota Pekanbaru. Sampel penelitian adalah kepala satuan kerja, koordinator penyuluh, penyuluh, kelompok tani dan petani.
Unit analisis SWOT, digunakan tiga orang stakeholders sebagai
responden yang dianggap punya kompetensi yaitu Koordinator Penyuluh Pertanian Spesial (PPS), Kepala Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) Provinsi Riau dan salah satu anggota Komisi Penyuluh Pertanian (KKP) Provinsi Riau. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Masing-masing kabupaten/kota dipilih 2 (dua) responden sebagai key informan yaitu kepala Satker dan Koordinator Penyuluh/Kasubdin. Masingmasing kabupaten/kota diambil satu kecamatan (BPP), dengan pertimbangan kecamatan sentra produksi pangan.
Kecamatan terpilih adalah Kecamatan
Kampar di Kabupaten Kampar, Kecamatan Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan dan Kecamatan Rumbai Pesisir. Ditingkat kecamatan dipilih 1 orang Koordinator Penyuluh (Kepala BPP),
5 orang Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL), dan 10 petani dari 2 kelompok tani pada daerah sentra produksi pangan (padi atau jagung), yang dipilih secara acak. Sehingga jumlah sampel setiap kabupaten/kota adalah 36 orang. Sehingga total sampel adalah 78 orang (Tabel 3) Tujuan diambilnya sampel kelembagaan di tingkat petani (kelompok tani) adalah untuk melihat perubahan perilaku dan dampak kebijakan publik yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan ini pada masing-masing kabupaten/kota. Tabel 3. Penyebaran Jenis dan Jumlah Responden No. Kabupaten/ Kota/ Koordinator Penyuluh Kecamatan Penyuluh 1. Kampar 1 5 2. Pelalawan 1 5 3. Pekanbaru 1 5 Jumlah 3 15
Petani
Jumlah
20 20 20 60
26 26 26 78
Sumber : Data Primer, 2008. 3.4. Pengumpulan dan Analisis Data. 3.4.1. Jenis Data Data yang dikumpulkan pada kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data
primer yang dikumpulkan meliputi adalah :
sistem kerja
penyuluhan, karakteristik penyuluh (umur, masa kerja, tingkat pendidikan formal, bidang keahlian, jumlah keluarga, kerja sampingan), kinerja penyuluh, karakteristik petani (meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, jumlah anggota keluarga, dll), tingkat penerapan teknologi. Data primer yang peroleh melalui metoda wawancara terstruktur menggunakan kuesioner bersifat
tertutup dan terbuka. Untuk mengetahui persepsi responden terhadap kelembagaan dan kinerja penyuluhan digunakan, digunakan kuesioner tertutup dengan skala likert (Arikunto, 1998). Untuk lebih memperoleh masukan yang lebih mendalam terhadap masalah yang ada dilakukan Focus Group Discusion baik tingkat responden dan dilanjutkan ditingkat kecamatan. Pengumpulan data sistem penyuluhan meliputi kesesuaian fungsi penyuluhan yang terlaksana, persepsi penyuluh terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan.
Sedangkan sistem kerja penyuluhan pertanian, data yang
dikumpulkan tentang intensitas laku, materi pertemuan, ketepatan metode, frekuensi latihan, pemecahan masalah yang ada. Sedangkan kinerja penyuluh diukur dari disiplin mematuhi jam kerja, ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan. Pengumpulan data tingkat penerapan teknologi, diperoleh dari wawancara dengan petani sampel, yang meliputi persepsi petani tentang sistem LAKU, dan jumlah komponen teknologi yang diadopsi. Sedangkan data sekunder yang diperoleh dengan telahan dokumen dari laporan-laporan dari instansi terkait, yang meliputi : 1) aspek kelembagaan (visi, misi, tugas pokok); 2) aspek ketenagaan (data jumlah tenaga penyuluh, status penyuluh, penyebaran), 3)aspek
penyelenggaraan (program/kegiatan/materi
penyuluhan, 4) aspek pendanaan (alokasi anggaran, dana operasional penyuluh, tunjangan operasional). Serta data-data terkait dengan potensi daerah. 3.4.2. Analisis Data Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Data kuantitatif (primer dan sekunder) disajikan dalam bentuk tabel frekuensi, tabel silang
sederhana, grafik atau bagan sesuai jenisnya.
Data tersebut selanjutnya
diinterpretasikan untuk dapat menunjang dan saling melengkapi dengan data kualitatif guna menjawab permasalahan-permasalahan dalam kajian. Data kualitatif diolah dan dianalisis dengan tahapan melakukan peringkasan (reduksi) data, penggolongan, penyederhanaan, penelusuran tema dan pangaitan antar tema. Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threat) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM). 1. Analisis Faktor Internal Analisis internal dilakukan untuk memperoleh faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang harus diatasi. Faktor tersebut dievaluasi dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dengan langkah sebagai berikut (David, 2002)) : a. Menentukan faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) dengan responden terbatas. b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot). Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut : 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1 jika faktor vertikal sama pentingnya dengan faktor vertikal dan 0 jika vertikal kurang penting daripada faktor horizontal.
c. Memberikan skala rating 1 sampai 4 untuk setiap faktor untuk menunjukkan apakah faktor tersebut mewakili kelemahan utama (peringkat = 1), kelemahan kecil (peringkat = 2), kekuatan kecil (peringkat = 3), dan kekuatan utama (peringkat = 4). Pemberian peringkat didasarkan atas kondisi atau keadaan pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau. d. Mengalikan bobot dengan rating untuk mendapatkan skor tertimbang. e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.
Nilai 1
menunjukkan bahwa kondisi internal sangat buruk dan nilai 4 menunjukkan kondisi internal yang sangat baik rata-rata nilai yang dibobotkan adalah 2,5. Nilai lebih kecil daripada 2,5 menunjukkan bahwa kondisi internal selama ini masih lemah. Nilai lebih besar daripada 2,5 menunjukkan kondisi internal kuat. Analisis faktor diatas dapat menggunakan matriks pada Tabel 4. Tabel 4.
No
1. 2. 3.
1. 2. 3.
Matriks Analisis Faktor Internal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian. Faktor Internal
Bobot
Rating
Bobot x Rating
Kekuatan (Strengths) ............................................... ............................................... ............................................... Kelemahan (Weakness) ............................................... ............................................... ............................................... Total
1,00
2. Analisis Faktor Eksternal Analisis eksternal digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor yang menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi.
Hasil
analisis eksternal digunakan untuk mengetahui peluang dan ancaman yang ada
serta seberapa baik strategi yang telah dilakukan selama ini. Analisis eksternal ini mengunakan matriks EFE (Eksternal Faktor Evaluation) dengan langkah-langkah sebagai berikut (David, 2002): a. Membuat faktor utama yang berpengaruh penting pada kesuksesan dan kegagalan usaha yang mencakup peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan melibatkan beberapa responden. b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor eksternal (bobot). Penentuan bobot dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor.
Penilaian angka pembobotan adalah
sebagai berikut : 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1 jika faktor vertikal sama dengan faktor horizontal dan 0 jika faktor vertikal kurang penting daripada faktor horizontal. c. Memberikan peringkat (rating) 1 sampai 4 pada peluang dan ancaman untuk menunjukkan seberapa efektif strategi mampu merespon faktor-faktor eksternal yang berpengaruh tersebut. Nilai peringkat berkisar antara 1 sampai 4.
Nilai 4 jika jawaban rata-rata dari responden sangat baik dan 1 jika
jawaban menyatakan buruk. d. Menentukan skor tertimbang dengan cara mengalikan bobot dengan rating. e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total.
Nilai 1
menunjukkan bahwa respon terhadap faktor eksternal sangat buruk dan nilai 4 menunjukkan sangat baik. Rata-rata nilai yang dibobot adalah 2,5. Nilai lebih kecil daripada 2,5 menunjukkan respon Provinsi Riau terhadap eksternal masih lemah. Nilai lebih besar daripada 2,5 menunjukkan respon yang baik. Analisis faktor eksternal diatas dapat menggunakan matriks Tabel 5.
Tabel 5. Analisis Faktor Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian. No
1. 2. 3.
1. 2. 3.
Faktor Eksternal
Bobot
Rating
Bobot x Rating
Peluang (Opportunities) ............................................... ............................................... ............................................... Ancaman (Threats) ............................................... ............................................... ............................................... Total
1,00
3. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan alat untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul. Hasil analisis SWOT adalah berupa sebuah matriks yang terdiri atas empat kuadran. Masing-masing kuadran merupakan perpaduan strategi antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Menurut David (2002) langkah-langkah dalam menyusun matriks SWOT adalah sebagai berikut : 1. Mendaftar peluang eksternal 2. Mendaftar ancaman eksternal 3. Mendaftar kekuatan internal 4. Mendaftar kelemahan internal 5. Memadukan kekuatan internal dengan peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel S-O 6. Memadukan kelemahan internal dengan peluang eksternal dan mencatat hasilnya ke dalam sel W-O
7. Memadukan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel S-T 8. Memadukan kelemahan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya pada sel W-T. Secara lengkap matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) Faktor Internal STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
Faktor Eksternal
OPPORTUNITIES (O)
THREATS (T)
STRATEGI S-O Mengunakan kekuatan untuk memanfaatkan Peluang
STRATEGI W-O Meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI S-T Menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI W-T Meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
4. Analisis QSPM Untuk
menentukan
prioritas
strategi
pengembangan
kelembagaan
penyuluhan pertanian digunakan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Setelah didapat beberapa strategi alternatif yang dihasilkan melalui analisis SWOT, selanjutnya menetapkan prioritas strategi dari beberapa pilihan tersebut dengan menggunakan analisis QSPM (David, 2002). Langkah-langkah dalam analisis QSPM adalah : a. Mendaftar peluang/ancaman eksternal dan kekuatan/kelemahan internal dalam kolom kiri dari QSPM, informasi ini diambil dari matriks EFE dan IFE
b. Memberikan bobot untuk setiap faktor sukses kritis eksternal dan internal. Bobot ini identik dengan yang dipakai dalam matriks EFE dan matriks IFE. Bobot dituliskan dalam kolom disebelah kanan faktor sukses kritik eksternal dan internal. c. Memeriksa matriks SWOT dan mengidentifikasi alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Mencatat semua strategi ini di baris teratas dari QSPM. d. Menetapkan nilai daya tarik (Attractiveness Score = AS) , tentukan nilai yang menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi alternatif. Nilai daya tarik ditetapkan dengan memeriksa setiap faktor sukses kritis eksternal dan internal, satu per satu, dan mengajukan pertanyaan, apakah faktor ini mempengaruhi strategi pilihan yang akan dibuat ? Bila jawaban atas pertanyaan ini ya, maka stategi ini harus dibandingkan relatif pada faktor kunci. Secara spesifik, nilai daya tarik harus diberikan pada setiap strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif dari satu strategi atas strategi lain, mempertimbangkan faktor penentu. Nilai daya tarik itu adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = menarik, dan 4 = amat menarik.
Bila jawaban atas pertanyaan di atas tidak,
menunjukkan bahwa faktor sukses kritis yang bersangkutan tidak mempunyai pengaruh pada pilihan paling spesifik yang akan dibuat, kita tidak perlu memberikan nilai daya tarik pada strategi tersebut. e. Menghitung total nilai daya tarik (Total Attractiveness Score= TAS). Total nilai daya tarik ditetapkan sebagai hasil perkalian bobot (langkah 2) dengan nilai daya tarik (langkah 4) dalam setiap baris.
Total nilai daya tarik
menunjukkan daya tarik relatif dari setiap strategi altenatif, hanya
mempertimbangkan dampak dari faktor sukses kritis eksternal dan internal di baris tertentu. Semakin tinggi total nilai daya tarik, semakin menarik strategi alternatif itu ( hanya mempertimbangkan faktor sukses kritis dibaris itu). f. Menghitung jumlah total nilai daya tarik. Menjumlahkan total nilai daya tarik dalam setiap kolom strategi QSPM.
Jumlah total nilai daya tarik
mengungkapkan strategi mana yang paling menarik dalam setiap set strategi. Semakin
tinggi
nilai
menunjukkan
strategi
itu
semakin
menarik,
mempertimbangkan semua faktor sukses kritis eksternal dan internal relevan yang dapat mempengaruhi keputusan strategis. Besarnya perbedaan antara jumlah total nilai daya tarik dalam satu set strategi alternatif tertentu menunjukkan seberapa besar strategi lebih diinginkan relatif terhadap yang lain. Untuk lebih jelasnya analisis metode QSPM dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Matriks Analisis QSPM Strategi Alternatif Faktor Kunci
Bobot
I AS
II TAS
AS TAS
III AS TAS
Faktor-faktor kunci Eksternal.......................... ........................................ Faktor-faktor kunci Insternal.......................... ........................................
3.5. Metode Perancangan Program Kajian ini bertujuan menganalisis masalah dan menetukan masalah prioritas. Tahapan yang digunakan meliputi tahapan analisis masalah dan analisis
pilihan tindakan stategis. Analisis masalah dimulai dari identifikasi masalah dan dilanjutkan analisis masalah strategis. Setelah itu, dilakukan penyusunan strategi yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Strategi yang dihasilkan digunakan sebagai landasan dalam perancangan program. Program dirancang untuk menjawab tantangan, kendala, dan isu strategis yang dihadapi oleh kelembagaan penyuluhan pertanian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan petani. Pelaksana program meliputi kelembagaan pemerintah, swasta, dan swadaya. Perancangan program tersebut disesuaikan pada lokalitas masing-masing kabupaten. Data yang telah diolah disajikan secara deskriptif sesuai dengan tema-tema pembahasan untuk dapat mendukung penarikan kesimpulan atau tindakan lebih lanjut.
Adapun rincian analisis data yang digunakan untuk menjawab setiap
tujuan kajian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rincian Metode Pengumpulan dan Analisa Data Tujuan
Data yang diperlukan
5. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaan/profil kelembagaan penyuluhan pertanian era otonomi daerah .
a. Visi dan Misi b. Kebijakan c. Tupoksi d. Program e. Satminkal Penyuluh f. Jumlah BIP/BPP g. Jumlah RT Petani h. Jumlah / Klas Kelompok Tani - Jumlah Kontak Tani a. Sistem Penyuluhan b. Persepsi Penyuluh c. Sistem Kerja Penyuluhan
6. Menganalisis pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan yang berbeda.
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data - Telahan Dokumen - Wawancara
Metode Analisis dan Penyajian Data Deskriptif dan Tabulasi
- Ka Satker - Ka BPP - Penyuluh - Kelompok Tani
- Wawancara - FGD
Analisis Deskriptif Komparatif, Tabulasi
- Kasatker - Kasubdin - Ka BPP
3. Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani.
d. Karakteristik Penyuluh e. Kinerja Penyuluh f. Karakteristik Petani - Tingkat Adopsi Teknologi
- Penyuluh - Petani
- Wawancara - Pengamatan
Deskriptif, Komparatif Tabulasi
4. Merumuskan strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian berdasarkan tipe kelembagaan penyuluhan.
- Potensi Masalah dan kebutuhan - Strategi Pengembangan kelembagaaan
- Ka Satker - Ka BPP - Penyuluh - Petani
- Wawancara - FGD
Deskriptif SWOT
IV.
4.1.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Kabupaten Kampar
4.1.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kampar terletak antara 1º 02' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang Selatan, 100º 23' - 101º40' Bujur Timur . Sebelah utara berbatasan dengan kota Pekanbaru dan kabupaten Siak, Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Kuantan Singingi, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Propinsi Sumatera Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak (BPS Kampar, 2006) Luas wilayah Kabupaten Kampar tahun 2005 mencapai 10.983,46 atau ± 11,61 persen dari luas wilayah Propinsi Riau. Secara fisiografis sebahagian besar (68,02 %) wilayah Kabupaten Kampar merupakan daerah perbukitan yang berada di sepanjang Bukit Barisan yang berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat dengan ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan laut. Pada tahun 2005 kabupaten Kampar memiliki 12 Kecamatan yang terdiri dari 205 desa/kelurahan, sebanyak 126 desa (61,46 %) merupakan desa swasembada dan 79 desa (38,54 %) merupakan desa swakarsa.
Kecamatan
Kampar Kiri memiliki luas wilayah yang terbesar, yakni dengan luas 2.194,38 Km² atau 19,98 % dari total luas kabupaten Kampar, diikuti kecamatan XIII Koto Kampar dan Tapung Hulu. Sedangkan kecamatan Bangkinang mempunyai luas wilayah paling kecil (2,34 %).
Jumlah desa terbanyak berada di kecamatan
Kampar Kiri yakni sebanyak 31 desa, kemudian diikuti oleh kecamatan Kampar dengan 30 desa dan kecamatan Tapung dengan 23 desa. Jumlah desa terkecil terdapat di kecamatan Kampar Kiri Hulu.
4.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk kabupaten Kampar pada akhir tahun 2005 adalah 544.543 jiwa, yang terdiri atas laki-laki 274.818 jiwa (50,47 %) dan 267.725 jiwa (49,53 %), dengan jumlah rumah tangga 124.242 RT, dengan rata kepadatan penduduk per km2 sebanyak 50 jiwa. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Kampar yang mencapai 86.471 jiwa, dan yang terkecil di kecamatan Kampar Kiri Hulu, dengan jumlah penduduk 11.032 jiwa. Penyebaran penduduk di kabupaten Kampar tidak merata, sehingga kepadatan penduduk per kilometer bervariasi disetiap kecamatan. Penduduk yang terpadat terdapat di kecamatan Bangkinang yang mencapai 244 per km² sedangkan penduduk yang masih jarang terdapat di kecamatan Kampar Kiri Hulu yakni 13 jiwa per km². Sedangkan rata-rata jiwa setiap rumah tangga berkisar antara 4 dan 5 jiwa setiap rumah tangga. Rata-rata jiwa setiap rumah tangga di kecamatan Kampar dan Bangkinang relatif sama yakni 5 jiwa untuk setiap rumah tangga, sedangakan rata-rata kabupaten 4 jiwa untuk setiap rumah tangga. Apabila jumlah penduduk dilihat dari kelompok umur, maka di kabupaten Kampar pada tahun 2005 penduduk yang berada kelompok umur 0 – 14 tahun berjumlah 34,78 persen, 15 – 64 tahun mencapai 62,74 persen dan lebih dari 65 tahun 2,48 persen. Hal ini berarti tersedia cukup banyak tenaga kerja yang dapat diandalkan untuk meningkatkan produksi pangan, yang akhirnya meningkatkan pula jumlah pangan yang tersedia. Bidang pertanian merupakan mata pencaharian utama penduduk di Kabupaten Kampar. Pada tahun 2005 jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian (pertanian/perkebunan/kehutanan) mencapai 67,22 persen. Bila dilihat
dari sisi prosentase penduduk umur 10 tahun keatas yang bekerja di sektor pertanian tersebut, ternyata 21,9 persen bekerja sebagai petani tanaman pangan, 33,81 persen perkebunan, 2,6 persen peternak dan 0,73 persen perikanan. 4.1.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan Kualitas penduduk dapat dicirikan oleh tingkat pendidikanya, baik pendidikan formal maupun non formal.
Kondisi sumber daya manusia di
Kabupaten Kampar pada umumnya masih rendah, hal ini dapat dilihat dari komposisi tingkat pendidikan masyarakat dimana 61,27 persen berpendidikan tingkat SD kebawah. Sementara yang memiliki pendidikan SLTP 17,15 persen, SLTA 16,11 persen dan Diploma/Perguruan Tinggi 5,47 persen. Tingkat kesejahteraan masyarakat, dapat diukur dari kesejahteraan keluarga yang ada. Tingkat kesejahteraan penduduk di Kabupaten Kampar relatif rendah, hal ini dapat dilihat masih tingginya persentase keluarga miskin di Kabupaten Kampar yakni mencapai 26,88 persen, prevalensi balita yang berstatus gizi buruk dan kurang mencapai 13,6 persen. 4.1.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian Dari 1.092.820 Ha luas Kabupaten Kampar, pada tahun 2006 diantaranya 11.542 Ha atau 1,06 persen digunakan untuk tanah sawah dan 1.081.278 Ha atau 98,93 persen merupakan lahan kering (Tabel 9). Lahan sawah di Kabupaten Kampar, merupakan sawah irigasi ½ teknis, sederhana, desa dan tadah hujan. Luas lahan sawah yang ditanami padi , dua kali dalam setahun baru mencapai 1.423 Ha atau 12,33 persen dari total lahan sawah. Sedangkan tanah sawah yang dimanfaatkan satu kali satu tahun mencapai
4.711 Ha atau 40.82 persen.
Terdapat pada tahun 2006, tanah sawah yang tidak ditanami seluas 2.243 Ha, dan
tanah sawah yang sementara tidak dimanfaatkan seluas 3.165 ha atau 27,42 persen (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Riau , 2007). Penggunaan tanah kering di kabupaten Kampar, persentase terbesar digunakan untuk perkebunan (kecuali hutan) yakni sebesar 311.775 atau 28,53 persen, diikuti lahan yang ditanami kayu-kayuan seluas 262.589 Ha atau 24,03 persen. Disamping itu masih terdapat lahan yang tidak ditanami seluas 71.788 atau 6,57 persen. Tabel 9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Kampar Tahun 2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Penggunaan Tanah Luas (Ha) (%) Lahan sawah 1.1542 1,06 Pekarangan, lahan bangunan 50.000 4,58 Tegal atau kebun 64.060 5,86 Ladang atau huma 13.419 1,23 Penggembalaan padang rumput 6.141 0,56 Rawa-rawa yang tidak ditanami 5.845 0,53 Tambak 12.638 1,16 Kolam atau empang 1.133 0,10 Lahan kering sementara tidak ditanami 71.788 6,57 Lahan yang ditanami kayu-kayuan 262.589 24,03 Hutan negara 174.991 16,01 Perkebunan 311.775 28,53 Lain-lain 106.899 9,78 Jumlah 1.092.820 100,00 Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Provinsi Riau, 2007
Kondisi penggunaan tanah di kabupaten menunjukkan, bahwa masih terdapat potensi dan peluang untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Mengingat produktivitas tanaman pangan yaitu produktivitas tanaman padi di kabupaten Kampar pada tahun 2006 mencapai 28,48 kw/Ha. Bila dibanding kan dengan produktivitas pada tahun 2001, belum menunjukkan peningkatan yang berarti karena hanya mengalami peningkatan sebesar 0,33 persen setiap tahunnya. Produktivitas jagung dan ubikayu, menunjukkan perkembangan yang kurang baik, karena terjadi penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2006,
produktivitas jagung mencapai 21,94 kw/ha, bila dibanding produktivitas tahun 2001, ternyata mengalami penurunan 0,07 persen setiap tahunnya. Begitu juga dengan produktivitas ubikayu yang mengalami penurunan 0,42 persen setiap tahunnya (Tabel 10). Tabel 10. Perkembangan Produktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten KamparTahun 2001 - 2006 (Kw/Ha) No. 1. 2 3 4 5 6
Tahun Padi Jagung Ubi Kayu 28.01 22.02 11.06 2001 28.63 21.53 10.52 2002 28.39 21.67 10.68 2003 28.35 21.96 10.79 2004 28.50 21.53 10,79 2005 28.48 21.94 10.83 2006 0.33 -0.07 -0.42 Gr (%) Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Provinsi Riau, 2007
4.1.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Kampar merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki beberapa perbedaan dengan Kabupaten / Kota lainnya di Propinsi Riau. Di Kabupaten Kampar terdapat institusi lingkup pertanian yang relatif lengkap, yaitu, Dinas Pertanian Holtikultura dan Pengairan, Badan Ketahanan Pangan dan Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian (KIPP), yang merupakan wadah kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Kampar. Di Tingkat Kecamatan selain Kantor Cabang masing-asing Dinas, masih terdapat Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIP) sama dengan BPP pada waktu sebelum otonomi bergulir. Struktur kelembagaan sudah diatur oleh Perda secara keseluruhan baik dari tingkat Kabupaten sampai tingkat kecamatan. Perubahan kebijakan yang terjadi membawa pengaruh dalam penetapan anggaran dan pelaksanaan program.
Yang dulunya wilayah kerja PPL sangat luas sekarang lebih sempit sehingga penyuluh dapat memberikan perhatian lebih kepada petani Jumlah Penyuluh di Kabupaten Kampar sebnyak 210 orang yang terdiri dari 111 orang sarjana dan 99 orang non Sarjana yang didukung oleh 19 Orang kontak tani. Penyuluh Pertanian yang sarjananya jumlahnya cukup banyak dibanding Kabupaten lainnya. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya kualifikasi penyuluh yang menghendaki pendidikan dasar sarjana dan ini segera dimanfaatkan oleh penyuluh di Kabupaten Kampar karena mobilitas dan aksesibilitas mereka cukup tinggi untuk mengikuti pendidikan ke Kota Pekanbaru. 4.2.
Kabupaten Pelalawan
4.2.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Pelalawan merupakan kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Kampar. Kabupaten Pelalawan terletak di pesisir timur pulau Sumatera, dengan wilayah daratan yang membentang di sepanjang bagian hilir sungai kampar serta berdekatan dengan selat malaka.
Secara geografis kabupaten
Pelalawan terletak antara antara 1º 25' Lintang Utara dan 0º 20' Lintang Selatan, 100º 42' - 103º28' Bujur Timur . Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Siak, Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir, sebelah Barat berbatasan dengan kota Pekanbaru dan kabupaten Kampar, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Riau (BPS Pelalawan , 2006) Luas wilayah kabupaten Pelalawan tahun 2005 mencapai 12.490,43 Km2, yang terdiri dari 12 kecamatan, yang terbagi menjadi 93 desa dan 12 kelurahan. Kecamatan Kuala Kampar merupakan kecamatan mempunyai daerah paling luas dibanding kecamatan lainnya.
4.2.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk kabupaten Pelalawan pada akhir tahun 2005 adalah 241.512 jiwa, dengan jumlah rumah tangga 55.987 RT, dibanding dengan jumlah penduduk tahun 2004, ternyata mengalami peningkatan 9.34 persen. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Pangkalan Kerinci yang mencapai 63.917 jiwa, dan yang terkecil di kecamatan Pelalawan, dengan jumlah penduduk 11.674 jiwa. Mata pencarian penduduk di Kabupaten Pelalawan masih relatif besar tergantung kepada sektor pertanian. Hingga tahun 2006 penduduk yang mempunyai mata pencaharian dibidang pertanian mencapai 68.5 %. Jumlah rumah tangga petani terbanyak terdapat dikecamatan Kuala Kampar. 4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan Kualitas sumberdaya manusia dapat didekati dari tingkat pendidikan yang diikuti oleh penduduk. Kondisi sumber daya manusia di Kabupaten Pelalawan pada umumnya masih rendah, hal ini dapat dilihat dari komposisi tingkat pendidikan masyarakat dimana 65,77 % berpendidikan tingkat SD kebawah. Sementara yang memiliki pendidikan SLTP 15,65 %, SLTA 14,61% dan Diploma/Perguruan Tinggi 3,97%. Tingkat kesejahteraan masyarakat, dapat diukur dari kesejahteraan keluarga yang ada. Pada tahun 2005, persentase penduduk miskin di kabupaten Pelalawan mencapai 20,83 persen.
Persentase penduduk miskin terbanyak
terkonsentrasi di kecamatan Kuala Kampar dan Teluk Meranti. Artinya dengan lebih memfokuskan pembangunan pertanian, maka jumlah penduduk miskin dapat
dikurangi dari tahun ke tahun, mengingat persentase penduduk yang bekerja disektor pertanian masih dominan di Kabupaten Pelalawan. 4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian Dari 1.240.414
Ha luas Kabupaten Pelalawan , pada tahun 2006
diantaranya 4.14 persen digunakan untuk tanah sawah (49.285 Ha), yang didominasi sawah pasang surut. Masih terdapat 72.68 persen tanah sawah yang sementara tidak diusahakan, dan 7.72 persen tidak ditanami.
Sedangkan luas
lahan kering mencapai 95.86 persen dari total sumberdaya lahan yang ada (1.191.129 Ha) (Tabel 4.3) Penggunaan tanah kering di kabupaten Kampar, persentase digunakan untuk perkebunan (kecuali hutan) yakni sebesar 297.079 Ha atau 23.95 persen, diikuti lahan yang diperuntukan untuk hutan mencapai 49.65 persen. Disamping itu masih terdapat lahan yang tidak ditanami seluas 66.301 (5.31 %).
Tabel 11. Penggunaan Tanah di Kabupaten Pelalawan Tahun 2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Penggunaan Tanah Luas (Ha) (%) Lahan sawah 49285 3.97 Pekarangan, lahan bangunan 29131 2.35 Tegal atau kebun 47819 3.86 Ladang atau huma 18237 1.47 Penggembalaan padang rumput 17766 1.43 Rawa-rawa yang tidak ditanami 27167 2.19 Tambak 75 0.01 Kolam atau empang 216 0.02 Lahan kering sementara tidak 9 ditanami 39134 3.15 10 Lahan yang ditanami kayu-kayuan 42138 3.40 11 Hutan negara 615907 49.65 12 Perkebunan 297079 23.95 13 Lain-lain 56460 4.55 Jumlah 1240414 100.00 Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Provinsi Riau, 2007
Kondisi penggunaan tanah di kabupaten Pelalwan, menunjukkan bahwa masih terdapat potensi dan peluang untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Mengingat produktivitas tanaman pangan relatif masih rendah, dan selama 5 tahun mengalami peningkatan yang kurang baik. Produktivitas tanaman padi di kabupaten Pelalawan pada tahun 2006 mencapai 31.11 kw/Ha. Bila dibanding kan dengan produktivitas pada tahun 2001, belum menunjukkan peningkatan yang berarti karena hanya mengalami peningkatan sebesar 0,14 persen setiap tahunnya. Produktivitas jagung mencapai 22.65 kw/ha atau hanya mengalami peningkatan 1.05 persen setiap tahunnya, sedangkan produktivitas ubikayu menunjukkan perkembangan yang kurang baik, karena terjadi penurunan setiap tahunnya sebesar 0,22 persen setiap tahunnya. (Tabel 11). 4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Pelalawan berada dibawah institusi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura, khususnya Subdin Penyuluhan. Segala urusan Administrasi Penyuluh berada dibawah dinas tersebut. Dinilai dari sistem kerjanya Penyuluhan di Kabupaten Pelalawan sudah lebih baik mengingat masing-masing penyuluh sudah terfokus atau spesisifik tugasnya
pada
komoditi
Tanaman
Pangan
dan
Holtikultura.
Untuk
penyelenggaraan penyuluhan ditingkat kecamatan dilakukan oleh Cabang dinas Pertanian yang dipimpin oleh seorang Kepala Cabang/Kacab. Jumlah Penyuluh pertanian di Kabupaten Pelalawan sebanyak 83 orang, dengan sebaran jumlah penyuluh PNS sebanyak 6 orang dan honorer 47 orang, dikaitkan dengan jumlah kelompk tani yang harus dibina sebanyak 448 Kelopmpok Tani.
Tabel 12. Perkembangan Produktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Pelalawan Tahun 2001 - 2006 (Kw/Ha) No. 1. 2 3 4 5 6
Tahun Padi Jagung Ubi Kayu 30.90 21.5 10.81 2001 27.82 21.86 10.64 2002 28.77 21.63 10.58 2003 30.38 21.85 10.71 2004 31.06 22.05 10.56 2005 31.11 22.65 10.69 2006 0.14 1.05 -0.22 Gr (%) Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Provinsi Riau, 2007
4.3. Kota Pekanbaru 4.3.1. Letak dan Luas Wilayah. Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau yang terletak antara 101º14 - 101 º34 bujur timur dan 0 º25 - 0 º45 lintang utara. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Kabupaten Siak, sebelah selatan dengan Kabupaten Kampar dan Pelalawan, sebelah timur dengan kabupaten Siak dan Pelalawan dan sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar. Kota Pekanbaru mempunyai luas wilayah 632,26 km² atau 0,78 persen dari luas provinsi Riau, dengan 12 kecamatan dan 50 kelurahan/desa (BPS Riau, 2006). Kecamatan Tenayan Raya merupakan kecamatan yang terluas atau sekitar 27 persen total luas kota Pekanbaru. Sedangkan kecamatan yang paling kecil wilayahnya adalah kecamatan Pekanbaru Kota yaitu seluas 2,26 km² atau hanya 0,36 % dari luas kota Pekanbaru (BPS Kota Pekanbaru, 2006) 4.3.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk kota pada tahun 2005 berjumlah 689.834 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 350.662 jiwa (50,89 %) dan perempuan 339.211 jiwa (49.11
%). Dengan kelompok umur terbesar 20 – 54 tahun yakni sebesar 55.26 persen. yang merupakan angkatan kerja yang produktif . Lapangan kerja yang paling banyak diminati oleh penduduk adalah sektor perdagangan (34,42 %) dan jasa (26,24 %). Sedangkan jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian pada sektor pertanian mencapai 2,75 %. Sektor pertanian yang dominan dikembangkan adalah komoditi palawija, sayuran dan tanaman hias, peternakan dan perikanan darat . 4.3.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh sebab itu berhasil atau tidaknya pembangunan suatu daerah banyak dipengaruhi oleh tingka pendidikan penduduknya.
Dan tingkat pendidikan suatu daerah
menggambarkan kualitas sumberdaya manusia yang ada didaerah tersebut. Tingkat pendidikan penduduk di kota Pekanbaru relatif sudah baik, hal ini mengingat 42,08 persen penduduk telah menamatkan tingkat pendidikan SLTA, dan 20,89 persen tamat SLTP dan 10,16 persen menamatkan akademi dan perguruan tinggi. Tingkat kesejahteraan penduduk daerah dapat pula digambarkan dari jumlah penduduk miskin yang ada didaerah tersebut. Jumlah penduduk miskin di kota Pekanbaru pada tahun 2005 mencapai 7.33 %. Jumlah penduduk miskin tersebut relatif rendah dibanding rata-rata Provinsi Riau yang mencapai 20,96 %. Bila dilihat pada tingkat kecamatan, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin tertinggi berada di Kecamatan Tenayan Raya (13,07 %) dan kecamatan Rumbai (12,39 %). Kedua kecamatan tersebut merupakan daerah-daerah sentra produksi pertanian di kota Pekanbaru. Sehingga dengan lebih memperhatikan
pembangunan pertanian di kota pekanbaru, akan mendorong terwujudya pengentasan kemiskinan di kota Pekanbaru . 4.3.4. Penggunaan Tanah/Lahan dan Produktivitas Pertanian Penggunaan tanah merupakan campur tangan manusia secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik materil maupun spiritual, terhadap kompleks sumberdaya tanah (Vink, 1975 dalam Sargo 2002). Tata guna tanah atau pola penggunaan tanah berkaitan dengan penggunaan tanah suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu, sebagai interaksi antara ketersediaan sumberdaya tanah dan kebutuhan manusia. Selain itu penggunaan tanah yang ada pada suatu daerah, mempengaruhi terhadap jumlah produksi pangan didaerah tersebut. Tabel 13. Penggunaan Tanah di Kota Pekanbaru Tahun 2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Penggunaan Tanah Lahan sawah Pekarangan, lahan bangunan Tegal atau kebun Ladang atau huma Penggembalaan padang rumput Rawa-rawa yang tidak ditanami Tambak Kolam atau empang Lahan kering sementara tidak ditanami Lahan yang ditanami kayu-kayuan Hutan negara Perkebunan Lain-lain Jumlah
Luas (Ha) 0 14.437 4.076 8.510 28 1.338 0 199 4.133 1.402 4.321 7.510 17.272 63.226
(%) 0 22,83 6,45 13,46 0,04 2,12 0,00 0,31 6,54 2,22 6,83 11,88 27,32 100,00
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2007 Dari 63.226 Ha luas kota Pekanbaru diantaranya 22,88 persen digunakan untuk pekarangan, lahan bangunan dan lahan sekitarnya. Penggunaan tegal atau kebun mencapai 6,48 persen. Sedangkan penggunaan tanah untuk perkebunan mencapai 11,88 persen dari total penggunaan tanah yang ada. Hutan negara
mencapai 6,83 persen, kolam dan empang mencapai 0,31 persen.
Namun
demikian pengembangan sektor pertanian di kota Pekanbaru masih terbuka , hal ini mengingat masih belumoptimalnya pemanfaatan tanah yang ada, serta masih terdapatnya lahan-lahan yang belum dimanfaatkan, seperti lahan kering sementara yang tidak ditanami mencapai 4.133 Ha atau 6,54 persen (Tabel 13) Produktivitas tanaman pangan dan hortikultura di kota Pekanbaru sejak tahun 2001 hingga 2006 memperlihatkan perkembangan yang relatif kurang menggembirakan, dengan kata lain tidak terdapat peningkatan yang diharapkan. Produktivitas jagung pada tahun 2006 sebesar 21.41 kw/ha, bila dibandingkan dengan produktivitas pada tahun 2001, menunjukkan hanya mengalami peningkatan 0,39 persen setiap tahunnya. Produktivitas ubikayu mengalami penurunan setiap tahunnya sebesar 0,07 persen, dimana pada tahun 2006 produktivitas ubi kayu sebesar 10.85 kw/ha sedangkan pada tahun 2001 yang mencapai 10,89 kw/ha.
Produktivitas kangkung
menunjukkan penurunan
mencapai 16.02 persen setiap tahunnya (Tabel 14). Tabel 14. Perkembangan Produktivitas Jagung, Ubi Kayu Di Kota Pekanbaru Tahun 2001 - 2006 (Kw/Ha) No. 1. 2 3 4 5 6
Tahun Jagung Ubi Kayu Kangkung 21.00 10.89 78.05 2001 19.10 10.44 82.12 2002 20.17 10.36 32.12 2003 20.00 10.55 21.07 2004 20.96 10.45 44.12 2005 21.41 10.85 32.60 2006 0.39 -0.07 -16.02 Gr (%) Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Provinsi Riau, 2007
Kondisi tersebut diatas memperlihatkan, bahwa perkembangan sektor pertanian di kota Pekanbaru perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius oleh
pemerintah daerah, baik dari aspek usaha tani maupun kelembagaan pendukungnya. 4.3.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Penyelenggaraan penyuluh pertanian di Kota pekanbaru berada di bawah institusi yang khusus menangani penyuluh yang di beri nama kantor penyuluh informasi pertanian terpadu (KPIPT). KPIPT Kota Pekanbaru memiliki 6 balai penyuluh
pertanian
(BPP)
yang
membawahi
12
kecamatan.
Untuk
penyelenggaraan penyuluhan ditingkat kecamatan dilakukan oleh BPP yang dipimpin oleh seorang Kepala. Jumlah penyuluh pertanian di Kota pekanbaru sebanyak 43 orang dan tingkat pendidikan sarjana 10 orang atau 23,3 persen dan non sarjana 33 orang.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian. Penerapan Otonomi Daerah (OTDA) berimplikasi terhadap paradigma pembangunan pertanian yang pada akhirnya menimbulkan pergeseran dalam struktur kelembagaan penyuluhan pertanian.
Implementasi reorientasi dan
restrukturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian direspon daerah sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan daerah. Secara umum, keragaman bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota Provinsi Riau dapat diklarifikasi ke dalam tiga bentuk : (1) Memiliki institusi khusus yang menangani kepenyuluhan sendiri.
Eksistensi
lembaga ini dikukuhkan dengan Perda dan keberadaannya setingkat dengan eselon III (berbentuk Kantor); (2) Di bawah institusi yang khusus menangani penyuluhan secara terpadu (tidak khusus menangani pertanian saja namun juga bidang-bidang lain seperti keagamaan, Keluarga Berencana, kenakalan remaja, Narkoba, AIDS dan lain-lain. Sama dengan point satu, kelembagaan ini sertingkat dengan eselon III (berbentuk Kantor); (3) Terpusat pada salah satu Dinas sub sektor yaitu Dinas Pertanian dan berada di bawah sub Dinas Penyuluhan. Segala urusan administrasi penyuluh baik yang berlatar belakang ketrampilan tanaman pangan, perkebunan, peternakan, maupun perikanan berada di bawah kendali Dinas Pertanian. Keragaman bentuk kelembagaan penyuluhan tersebut menyebabkan pada keragaman aspek kelembagaan satminkal penyuluh, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan penyuluhan. Lebih jelasnya keragaan kelembagaan penyuluhan dilokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Tiga Kabupaten / Kota Provinsi Riau Tahun 2007 No A.
B.
C.
D.
Aspek / Uraian Kelembagaan Satminkal Penyuluh Kelembagaan Penyuluh BIP / BPP Visi, Misi, Tupoksi Ketenagaan Penyuluh (Org) Sarjana Non sarjana Ratio peyuluh / kel.tani Status Penyuluh PNS Honorer Jumlah rumah tangga tani Jumlah Kelompok Tani - Pemula Lanjut - Madya - Utama -Belum dikukuhkan Jumlah Kontak tani (orang) Penyelenggaraan - Penyusunan Program - Materi dan Metode Peny - Koordinasi Pendanaan - Alokasi Anggaran APBD
Kampar
KIPP 20 Spesifik
Pekanbaru
KPIPT 6 Umum
Pelalawan
Sub din Luh 11 Umum
210 111 99 0,21
43 10 33 0,2
83 26 48 0.18
176 34 80.433 1014 657 299 64 8 117 19
30 13 25.121 135 125 7 2 1 0 7
36 47 60.471 448 444 218 292 13 288 18
Per th Laku Cukup baik/ intens
Per th Laku Kurang intens
Laku Kurang intens
14 – 17 Milyard/th Ada/APBN
1,2 – 1,8 Milyard/th -
Kecil Ada/ APBN
16,7 %
34 unit 100 %
- Dana Operasional - Sarana dan Prasarana 120 unit • Roda 2 80 % • Gedung BPP Sumber data : Programa Kabupaten/Kota, 2007
5.1.1. Kabupaten Kampar Kelembagaan penyuluhan pertanian berada pada Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian. Keberadaan kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Kampar dilegitimasi berdasar Peraturan Daerah. Kedudukannya
setingkat eselon III dan langsung dibawah SEKDA. Selain itu masih ada satu wadah koordinasi lingkup pertanian yang dibentuk Pemda Kampar yaitu Forum Koordinasi Penyuluh Pertanian (FKPP), diketuai oleh Sekretaris Daerah yang beranggotakan instansi lingkup pertanian dan instansi terkait lainnya. Lembaga ini merupakan wadah koordinasi dan kerjasama yang dapat menyamakan gerak langkah dan persepsi terutama dalam operasional penyuluhan pertanian.
Di
tingkat Kecamatan selain Kantor Cabang masing-masing Dinas, masih terdapat Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIP) sama dengan BPP pada waktu sebelum otonomi daerah bergulir. Kantor Informasi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Kampar telah memiliki visi dan misi yang
spesifik pada bidang pertanian.
Pelaksanaan
program penyuluhan yang dilakukan berpengaruh terhadap visi dan misi yang ingin di capai. Kegiatan kantor ini sudah terfokus pada bidang pertanian secara umum. Begitu juga dengan TUPOKSI sudah dijabar dengan baik untuk kegiatan penyuluhan. Aktifitas BIP dalam melaksanakan latihan kepada Penyuluh Lapangan terjadual 2 minggu sekali. Pelatih di BPP terdiri dari petugas Penyuluh di Kabupaten dan petugas dinas lingkup sub sektor pertanian. Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) kepada kelompok tani di lakukan secara terjadual oleh Penyuluh Lapangan. Demikian juga monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem LAKU dilakukan secara intensif oleh koordinator penyuluh secara terstruktur mulai dari kabupaten sampai tingkat kecamatan (BIP). Penyusunan rencana kerja penyuluhan di tingkat
WKPP ( Wilayah Kerja
Penyuluh Pertanian), pembuatan programa tingkat kecamatan dan Kabupaten
dilakukan secara terstruktur dan rutin setiap tahun dan berkoordinasi dengan dinas lingkup pertanian. Jumlah penyuluh di Kabupaten Kampar sebanyak 208 orang yang terdiri dari 109 orang sarjana dan 99 orang non sarjana yang didukung oleh 19 orang kontak tani. Penyuluh Pertanian yang sarjana jumlahnya cukup banyak dibanding Kabupaten lainnya. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya kualifikasi penyuluh yang menghendaki pendidikan dasar sarjana dan ini segera dimanfaatkan oleh penyuluh di Kabupaten Kampar karena mobilitas dan aksesibilitas mereka cukup tinggi untuk mengikuti pendidikan ke kota Pekanbaru. Jumlah kelompok tani yakni 1.014 kelompok, kelompok kelas pemula masih lebih banyak dibanding kelas lainnya. 657 kelompok tani adalah kelas pemula, 299 kelompok kelas lanjut dan 64 kelompok kelas madya dan 8 kelompok utama. Ratio penyuluh dengan kelompok tani sebesar 0,2. Penyuluh yang mempunyai status pegawai negeri sebanyak 174 orang dan 34 orang berstatus honorer. Penyuluh berada dibawah kendali Kantor Informasi Penyuluh Pertanian (KIPP ), karena satminkalnya di bawah koordinasi KIPP. Di tingkat Kecamatan terdapat Kantor Cabang Dinas dari masing-masing dinas sub sektor sebagai bawahan dari dinas, dan BIP sebagai bawahan dari KIPP Penyusunanan kebijakan dan program penyuluhan kabupaten dilakukan setiap tahun, dengan melibatkan perwakilan petani. Perwakilan petani diundang untuk menyampaikan keinginan dan kebutuhan mereka setelah itu baru dibuat kebijakan. Sistem dan metode penyuluhan di Kabupaten Kampar, masih memakai sistem LAKU, Pertemuan di Kelompok Tani yang dihadiri oleh penyuluh.
Penyusunan programma sebagai basis untuk bergeraknya penyuluh terus dilakukan setiap tahunnya. Frekuensi pertemuan dengan penyuluh di Tingkat Kecamatan (BIP) intens dan terjadwal dengan baik dilakukan secara berkala 2 kali dalam sebulan dengan agenda pertemuan adalah pelatihan-pelatian dan pengumpulan serta pemecahan/solusi dari kendala-kendala yang didapat selama pelaksanaan penyuluhan Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Kampar, terdapat perbedaaan dengan masa lalu. Ada kecenderungan para penyuluh tidak banyak melakukan kegiatan untuk mendukung program yang ada di masing masing dinas sub sektor sesuai dengan latar belakang penyuluh yang ada. Para penyuluh lebih banyak melakukan kegiatan sesuai dengan program yang ada diinstansi tempat mereka berada yaitu, KIPP. Tuntutan Penyuluh agar bisa menguasai semua bidang pertanian dalam arti luas/Polifalen, membuat tugas penyuluh terasa berat dan tidak terfokus pada suatu keahlian tertentu. Di Kampar para penyuluh lebih banyak terlibat dalam kegiatan pembinaan melalui P4K/ P2K (Program yang serupa, tetapi penganggaran dari Kapbupaten Kampar). Dalam kegiatan P4K/P2K tidak saja materi pertanian yang ditekuni, tetap juga kegiatan industri rumah tangga dll, sesuai dengan potensi wilayah dan kemauan petaninya. P4K/P2K merupakan suatu kegiatan proyek yang seharusnya dapat dikembangkan oleh berbagai sektor, terutama mengenai pola dan sistemnya. Materi penyuluhan telah disusun berdasarkan kebutuhan petani, dan penyampaian oleh PPL sudah komprehensif, namun materi-materi tersebut belum merupakan materi yang
terkini terhadap teknologi yang berkembang.
Koordinasi dengan instansi lain cukup baik dan intens dilakukan dan koordinasi
dilakukan melalui rapat-rapat atau pertemuan tertentu yang diundang oleh salah satu dinas yang merasa ada keterkaitan dan kepentingan penyuluh, Selain itu masih ada wadah koordinasi lingkup Pertanian yang dibentuk PEMDA Kampar (FKPP) yang di Ketuai oleh Sekretaris Daerah yang beranggotakan instansi lingkup pertanian dan instansi terkait lainnya.. Wadah ini merupakan wadah koordinasi yang dapat menyamakan gerak langkah dan persepsi terutama dalam operasional penyuluhan pertanian. Sejak otonomi daerah, KIP kabupaten Kampar di biayai oleh APBD kabupaten Kampar, yang pada tahun 2007 mencapai Rp. 14 milyard, dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 17 Milyard. Dan ditambah dengan adanya bantuan dari pemerintah pusat seperti dana BOP sebesar 250.000/bulan. 5.1.2. Kota Pekanbaru Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Pekanbaru berada di bawah institusi yang khusus menangani penyuluh yang diberi nama Kantor Penyuluhan Informasi Pertanian Terpadu (KIPTK). Meskipun demikian koordinasi antar penyuluh dengan Dinas terkait sangat lemah. Rapat-rapat yang menghubungkan penyuluh dengan kegiatan-kegiatan Dinas hampir tidak pernah dilakukan. Di tingkat BPP pertemuan rutin diadakan sekali dalam satu bulan yang dihadiri oleh penyuluh yang berada di WKBPP (Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian). Visi dan misi KPIPT Kota Pekanbaru bersifat umum atau tidak spesifik dibidang penyuluhan pertanian, begitu juga dengan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) kendati sudah ditetapkan dengan PERDA No. 8 tahun 2001 tentang Struktur Organisasi Tatalaksana (SOT) Kota pekanbaru. TUPOKSI tersebut telah
dijabarkan namun penjabarannya tidak spesifik pada bidang pertanian melainkan cakupannya terlalu luas dan menggambang. Penyusunan programa penyuluh pertanian yang merupakan acuan penyuluh dalam melaksanakan program kerja dilapangan tidak ditunjang dengan penyediaan dana yang pada giliranya perencanaan kerja penyuluh hanya dibuat dari tingkat kota Pekanbaru. Sedangkan pada tingkat BPP penyusunan programa hanya dibuat sewaktu-waktu. Intensitas pembinaan yang dilakukan oleh petugas penyuluhan tingkat kota Pekanbaru baik ke WKBPP maupun ke WKPP ( Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian) sangat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arahan yang jelas dari pimpinan unit kerja. Pejabat struktural yang seharusnya melayani kepentingan penyuluh tidak memahami secara penuh tugastugas penyuluhan, karena mereka tidak mempunyai latar belakang ilmu di bidang penyuluhan, sehingga gerakan penyelenggaraan penyuluhan tidak terlihat secara nyata. Materi penyuluhan telah disusun berdasarkan kebutuhan petani, dan penyampaian oleh PPL sudah komprehensif, namun materi-materi tersebut belum merupakan materi yang terkini terhadap teknologi yang berkembang. Penyusunan programma ditingkat BPP terus dilakukan, meskipun tidak didukung oleh dana penunjang, pelibatan petani / kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan cukup besar, melalui impact point yang didapat dari petani, sehingga pelaksanaan penyuluhan merupakan apa yang diperlukan oleh petani. Frekuensi pertemuan dengan penyuluh intens dilakukan secara berkala 2 kali dalam sebulan dengan agenda
pertemuan
adalah
pelatihan-pelatian
dan
pengumpulan
serta
pemecahan/solusi dari kendala-kendala yang didapat selama pelaksanaan penyuluhan Jumlah Penyuluh Pertanian di Kota Pekanbaru sebanyak 39 orang dengan tingkat pendidikan sarjana sebanyak 18 orang dan 21 orang non sarjana. Jumlah penyuluh PNS sebanyak 30 orang dan honorer 9 orang. Jumlah pegawai honorer yang ada merupakan penyuluh kontrak . Dikaitkan dengan jumlah kelompok tani yang harus dibina sebanyak 135 kelompok tani, maka ratio penyuluh dengan kelompok tani sebesar 0,2.
Dilihat dari kelas kemampuan kelompok tani ,
sebanyak 125 kelompok berada dalam kelas pemula, 7 kelompok kelas lanjut, 2 kelompok kelas madya dan 1 kelompok kelas utama. Semua kelompok tani yang ada di Kota Pekanbaru telah dikukuhkan keberadaannya oleh pemerintah daerah. Koordinasi dengan instansi lain cukup baik dan kurang intens dilakukan, koordinasi melalui rapat-rapat atau pertemuan tertentu yang diundang oleh salah satu dinas yang merasa ada keterkaitan dan kepentingan penyuluh. Namun kurang nya inisiatif dari pengawai kantor KPIPT untuk menangkap peluang mengambil peluang yang ada di dinas sehingga kegiatan mereka tumpang tindih. Anggaran KPIPT Kota pekanbaru telah dianggarkan pada APBD sejak dilaksanakan nya otonomi daerah. Namun anggaran yang tersedia kurang memadai atau dapat dikatakan tidak mencukupi sehingga program atau kegiatan penyuluh kurang berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana seperti gedung untuk kegiatan penyuluhan atau sebagai tempat berkumpul dan bertemuan nya penyuluh dan petani sangat minim sekali yaitu hanya ada satu saja di BPP Rumbai Bukit yang permanen. Kantor BPP yang lain berbagi tempat dikantor camat. Sedangkan KPIPT sendiri tidak
memiliki gedung permanen. Kendaraan operasional juga sangat minim serta alat tulis kantor dan alat peraga sama sekali tidak ada bantuan. 5.1.3. Kabupaten Pelalawan. Keragaan sistem penyelenggaraan penyuluhan di Kabupaten Pelalawan terpusat di salah satu Dinas sub sektor yaitu Dinas Pertanian dan mereka berada dibawah sub Dinas Penyuluhan. Segala urusan administrasi penyuluh baik yang berlatar belakang keterampilan tanaman pangan, perkebunan, peternakan, maupun perikanan berada di bawah kendali Dinas Pertanian.
Begitu juga mengenai
operasionalnya yang mengatur lebih dominan adalah dinas pertanian. Koordinasi dan kerjasama kegiatan penyuluhan antar dinas sub sektor hanya dilakukan melalui rapat-rapat tertentu yang diundang oleh salah satu dinas yang merasa ada keterkaitan dan kepentingan dengan penyuluh. Kondisi ini relatif menyulitkan penyuluh terutama penyuluh pertanian yang mempunyai latar belakang ilmu yang berbeda seperti; penyuluh peternakan dan perikanan. Mereka akan kesulitan dalam mengakomodir program Dinas yang berkaitan dengan bidang ilmunya, demikian juga dalam hal penilaian angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional penyuluh. Tim Penilai Kredit Point biasanya terdiri dari pejabat struktural dan penyuluh Kabupaten. Persepsi dan cara penilaian yang berbeda dari anggota Tim Penilai jelas akan menimbulkan perbedaan dalam penilain kredit. Untuk penyelenggaraan penyuluhan di tingkat kecamatan fungsi BPP masih terus dipertahankan, kendati frekuensi pertemuan baik penyuluh dengan petugas maupun penyuluh dengan petani sudah sangat jarang dibanding sewaktu OTDA berlum bergulir.
Penyusunan programa baik tingkat BPP maupun Kabupaten
masih terus dilakukan meskipun tidak didukung oleh dana penunjang. Demikian
juga sistim LAKU ( Latihan dan Kunjungan ) ke kelompok tani masih berjalan dengan baik, meskipun intensitas kunjungan sudah mulai agak berkurang dibanding sebelum OTDA. Pertemuan rutin yang diselenggarakan BPP masih terus dilakukan satu bulan sekali. Penyuluhan dilaksanakan dengan sistem LAKU dengan metode kunjungan secara rutin kepada Petani, pertemuan berkala dengan kelompok tani dilakukan secra berkala setiap bulannya sesuai kesepakatan penyuluh dengan kelompok tani. Dalam pertemuan itu disampaikan materi-materi penyuluhan serta mengumpulkan kendala dan permasalahan yang dihadapi petani di lapangan. Jumlah penyuluh pertanian di Kabupaten Pelalawan sebanyak 83 orang, dengan sebaran jumlah penyuluh PNS sebanyak 6 orang dan honorer 47 orang, dikaitkan dengan jumlah kelompk tani yang harus dibina sebanyak 448 Kelopmpok Tani, maka ratio penyuluh dengan kelompok Tani yang dibina sebesar 0,19, dengan kekurangan tersebut pelaksanaan kegiatan penyuluhan agak terhambat, karena terbatasnya kuantitas jumlah penyuluh, yang pada akhirnya berpengaruh pada tujuan penyuluhan itu sendiri Sejak otonomi daaerah, dinas pertanian tanaman pangan dan holtikultura Kabupaten Pelalawan dibiyai oleh APBD Kabupaten Pelalawan, untuk dana kegiatan penyuluhan, peruntukkannya terbilang kecil, karena dana APBD yang ada harus berbagi dengan Subdin lain, sehingga kekurangan dana ini berimbas pada kegiatan penyuluhan secara keseluruhan. Selain dana tersebut diatas,terdapat dana dari pusat, seperti dana dari BOP, untuk kegiatan operasional penyuluhan. Dilihat dari prasarana lain, seperti gedung BPP, sudah ada di setiap kecamatan di Kabupaten Pelalawan, namun perlu adanya peningkatanm kualitas gedung dan
fasilts didalamnya, seperti : ATK (Alat Tulis Kantor), Alat Peraga Penyuluhan Pertanian, sehingga kegiatan penyuluhan dapat berlangsung dengan baik. 5.1.4. Ikhtisar Keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi Riau mengalami perubahan bersama (co-evolution) pranata sosial kelembagaan penyuluhan baik di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Perubahan tersebut akibat implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diamandemen menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya seperti peraturan pemerintah, keputusan menteri, sampai kepada keputusan kepala daerah. Perubahan kelembagaan penyuluhan pertanian yang merujuk kepada paradigma desentralisasi , yakni menciptakan “ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adaptasi dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan penyuluhan pertanian yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Pada pilar regulative keragaman muncul karena perbedaan interpretasi dalam memberikan kewenangan kegiatan penyuluhan pada tingkat kabupaten dan kecamatan, yang dimanifestasikan ke dalam masing-masing surat keputusan kepala daerah.
Pada pilar normative
keragaman respons muncul dapat
disebabkan semakin kuatnya otonomi dan persoalan yang dihadapi kelembagaan penyuluhan pertanian . Pada pilar cultural cognitive , keragaman respons muncul karena semakin kuatnya tuntutan masyarakat untuk mengedepankan kelembagaan lokal yang berbasis kultur setempat.
Kekuatan pilar cultural cognitive yang
membedakan pengorganisasian kelembagaan penyuluhan pertanian di era reformasi dibandingkan pada orde lama dan orde baru. Hal ini dapat dilihat pada keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian. Pada kabupaten yang penyuluhnya bersatminkal di beberapa dinas sub sektor telah membagi habis BPP di Kabupaten sesuai dengan komoditas daerah, yaitu BPP pertanian, peternakan dan perikanan. Kondisi ini sangat menyulitkan bagi penyuluh dan petani terutama dalam menyelesai permasalahan yang berbeda dengan komoditas yang ditangani BPP. Dengan keberadaan BPP saat ini menyebabkan terhambatnya arus informasi dan pertukaran informasi baik antar petani maupun petani dengan penyuluh dan berkurangnya keakraban serta kerjasama antar mereka. BPP yang merupakan kelembagaan terdepan penyuluhan pertanian dan simpul koordinasi dari berbagai kepentingan program serta satuan operasional penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kecamatan saat ini sudah tidak terlihat lagi gerakannya, bahkan beberapa BPP beralih fungsi menjadi Kantor Cabang Dinas.
5.2. Pelaksanaan Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian 5.2.1. Sistem Penyuluhan Berdasarkan kajian secara komprehensif tentang potensi-potensi yang ada di masyarakat dan hasil evaluasi terhadap program penyuluhan pertanian yang telah dilaksanakan oleh kelembagaan penyuluhan yang ada dilokasi penyuluhan, menunjukkan bahwa bahwa fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan masih mendominasi sistim kerja penyuluhan. Keadaan ini terlihat hampir sama disemua Kabupaten sampel .
Fungsi lainnya masih bersifat pelengkap, yaitu fungsi informasi, fungsi penelitian dan fungsi pasar (Tabel 16) .Hal ini mengindikasikan bahwa petani sedang berubah dari petani sub sistem menjadi petani komersil . Tabel 16. Sistem Penyuluhan Pada Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Di Tiga Kabupaten/Kota No Aspek / Uraian Kampar Pekanbaru Pelalawan a. Fungsi Penelitian (%) Sesuai 36 11 29 Kurang sesuai 40 50 47 Tidak sesuai 24 31 24 b. Fungsi Penyuluhan (%) Sesuai 25 19 25 Kurang sesuai 45 56 36 Tidak sesuai 30 25 39 c. Fungsi Pengaturan (%) Sesuai 45 51 41 Kurang sesuai 40 37 34 Tidak sesuai 15 12 25 d. Fungsi Pelayanan (%) Sesuai 42 50 41 Kurang sesuai 38 29 24 Tidak sesuai 20 21 25 e. Fungsi Informasi (%) Sesuai 34 21 22 Kurang sesuai 36 55 45 Tidak sesuai 30 24 33 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan responden (Penyuluh) Menurut Padmanegara (1996) , perubahan tersebut bervariasi yaitu mulai pemula, berkembang dan yang maju. Pada tahap pemula petani menerima ide baru perbaikan usahatani secara parsial dengan Indeks Panen 100 %, perencanaan usahatani berasal dari Penyuluh, kurang informatif dan produk usahatani untuk kebutuhan sendiri. Pada tahap berkembang petani menerima ide baru perbaikan usahatani dengan komoditas ganda, merencanakan usahatani bersama Penyuluh,
informatif dan usahatani utama berorientasi pasar. Pada wilayah maju petani menerima dan menggunakan ide baru, perbaikan usahatani dengan IP > 100 %, merencanakan usahatani sendiri, informatif, berorientasi pasar dimana pendapatan riil melatar belakangi usahatani. Variasi perubahan usahatani menghendaki adanya strategi, metode maupun teknik penyuluhan yang berbeda. Pada tahap pemula lebih menekankan pada cara-cara penerapan ide baru, Tahap berkembang lebih menekankan pada alasan-alasan mengapa ide baru diterapkan. Dari kategori tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian merupakan tahap berkembang dimana fungsi penyuluhan lebih menekankan pada prinsip pengembangan pengetahuan dan keterampilan serta pendapatan usahatani. 5.2.2. Persepsi Penyuluh Terhadap Keberadaan Kelembagaan Penyuluhan Menilik kepada tugas yang menjadi mandatnya, maka peranan penyuluh pertanian banyak menentukan keberhasilan pembangunan pertanian, sehingga kepada mereka perlu diberikan dorongan atau motivasi yang dapat mendukung pelaksanaan tugas pokoknya. Untuk meningkatkan motivasi penyuluh, secara internal mereka harus membangun kesadarannya akan tugas dan fungsinya serta keberpihakannya terhadap kepentingan petani dan berinsiatif untuk melengkapi dirinya dengan informasi dan inovasi terbaru serta menterjemahkannya sesuai dengan kondisi petani. Selain itu faktor eksternal seperti dukungan berbagai pihak terhadap eksistensi penyuluh serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan penyuluhan akan sangat berpengaruh terhadap etos kerja penyuluh. Persepsi penyuluh tentang keberadaan kelembagaan penyuluh di tiga kabupaten menunjukkan, bahwa penyuluh di kabupaten Kampar memberikan persepsi 91 persen managemen telah sesuai dengan fungsi penyuluhan, 93 persen
tugas pokok telah sesuai dengan sistem penyelenggaraan penyuluhan, 81 persen penyuluh menyatakan ketersediaan sarana penunjang telah sesuai, dan 91 persen penyuluh mempunyai persepsi bahwa eksistensi kelembagaan penyuluhan dalam meningkatkan etos kerja penyuluh (Tabel 17). Tabel 17.
No
Persepsi Penyuluh Tentang Keberadaan Kelembagaan Penyuluh di Tiga Kabupaten/Kota
Aspek / Uraian
Pelalawa n
Kampar
Pekanbaru
Kesesuaian managemen dg fungsi penyuluhan (%) Sesuai 70 91 77 Kurang sesuai 21 9 19 Tidak sesuai 9 2 4 Kesesuaian Tupok dg b. sistim Penyelenggaraan Penyuluhan (%) Sesuai 74 93 75 Kurang sesuai 21 6 21 Tidak sesuai 5 1 4 c. Ketersediaan sarana penunjang kegiatan (%) Sesuai 61 81 65 Kurang sesuai 35 17 31 Tidak sesuai 4 2 4 Eksistensi kelembagaan d. Penyuluhan dalam meningkatkan etos kerja Penyuluh (%) Sesuai 63 91 75 Kurang sesuai 29 9 20 Tidak sesuai 8 0 5 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan responden a.
(Penyuluh) Persepsi penyuluh terhadap kelembagaan penyuluhan, menunjukkan bahwa kelembagaan yang ada dapat meningkatkan etos kerja penyuluh, kesesuian manajemen dengan fungsi penyuluhan, kesesuaian tugas pokok dengan sistem penyelenggaraan penyuluhan. Namun demikian penyuluh berharap ada lembaga
khusus yang dapat menangani kepentingan penyuluh dan petani secara langsung, dimana lembaga penyuluhan dapat menjadi wadah komunikasi, informasi dan pertemuan antar penyuluh, petani dan pembuat kebijakan, seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang RI Nomor 16 Tahun 2006. 5.2.3. Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian Sistem
kerja
penyuluhan
adalah
alat
yang
digunakan
untuk
penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Berdasarkan Undang-Undang nomor 16 tahun 2006, dinyatakan bahwa pendekatan penyuluhan dalam upaya alih teknologi inovasi pertanian adalah dengan sistem LAKU. Beberapa hal yang terkait dengan sistem LAKU antara lain kunjungan penyuluh ke petani yang terjadual dan teratur, latihan yang terjadual di BPP dan menjembatani keterkaitan hasil penelitian dengan kegiatan penyuluhan dilapangan. Inti dari pendekatan LAKU adalah ; (1) mendisiplinkan penyuluh dalam bekerja melalui kunjungan ke petani yang terjadual dan teratur; (2) meningkatkan kualitas penyuluh melalui latihan terjadual di BPP dan konsultasi masalah yang dihadapi penyuluh di lapangan ; (3) menjembatani keterkaitan hasil penelitian dengan kegiatan penyuluh pertanian dilapangan. Melaui sistem LAKU ini diharapkan manajemen penyuluhan dapat berjalan lebih efektif, berdayaguna dan berhasil guna. Dari Tabel 18 dapat diketahui, bahwa frekuensi LAKU belum sepenuhnya terlaksana , hal ini dapat terlihat dari intensitas LAKU ke kelompok tani yang pada umumnya dilakukan lebih dari 1 minggu untuk 1 kelompok tani. Hal ini selain disebabkan karena keterbatasan tenaga penyuluh juga karena kurangnya pengawasan bahkan di kota Pekanbaru yang tidak lagi mewajibkan penyuluh
melakukan pembinaan kepada kelompok tani kondisi ini semakin dipersulit dengan tidak bermukimnya penyuluh di wilayah kerjanya. Mengingat jumlah penyuluh yang terbatas dan cukup luasnya wilayah binaan, maka pendekatan WKPP berdasarkan hamparan dan domisili petani perlu ditinjau kembali. Mengkombinasikan luas hamparan dan domisili melalui kesamaan unit produksi dan kesamaan jenis komoditas hasil pertanian unggulan (spesifik lokalita) merupakan salah satu alternatif
pendekatan yang perlu
dipertimbangkan. Tabel 18.
No a.
b.
c.
d.
e.
f.
Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Pelalawan, Kampar dan Kota Pekanbaru Tahun 2008.
Aspek / Uraian
Pelalawa Kampar Pekanbaru n Intensitas LAKU ke kel.tani binaan (%) Setiap hari 26 41 6 Seminggu sekali 49 53 44 > 1 minggu 25 6 50 Kesesuaian materi pertemuan penyuluhan dengan urgensi masalah yg dihadapi petani (%) Sesuai 71 78 67 Kurang sesuai 22 19 29 Tidak sesuai 7 3 4 Ketepatan metode penyuluhan (%) Tepat 71 81 79 Kurang tepat 20 15 16 Tdk tepat 9 4 5 Pembuatan perencanaan kel.tani Ada 61 79 47 Tidak ada 39 21 53 Frekuensi Latihan/Pertemuan yang diikuti penyuluh di BPP 2 minggu sekali 0 96 52 Sebulan sekali 91 4 48 > 1 bulan 9 0 0 Kemampuan BPP dlm memecahkan masalah penyuluh dan petani (%) Mampu 61 76 60 Kurang mampu 34 22 35 Tidak mampu 5 2 5
g
Kesesuaian materi pertemuan BPP dg urgensi masalah yang dihadapi PPL/ptn (%) Sesuai 63 75 60 Kurang sesuai 28 22 31 Tidak sesuai 9 3 9 h. Ketersediaan sumber informasi teknologi di BPP (%) Tersedia 67 86 65 Kurang tersedia 29 12 26 Tidak tersedia 4 2 9 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan responden (Penyuluh)
Kurangnya tingkat kesesuaian materi penyuluhan dengan urgensi masalah yang dihadapi petani disebabkan karena terbatasnya wawasan pengetahuan Penyuluh Pertanian Lapangan akibat kurangnya informasi iptek yang dikuasainya. Mempertemukan penyuluh dengan sumber teknologi mutlak diperlukan. Tim Komisi Teknologi yang beranggotakan Dinas lingkup sub sektor Pertanian, Balai Penelitian Teknologi Pertanian dan Perguruan Tinggi yang pada masa lalu diketuai oleh Kanwil Deptan, kiranya keberadaanya perlu dihidupkan kembali. Karena dari lembaga inilah rekomendasi teknologi dihasilkan. Teknologi yang akan direkomendasikan kepada petani sebelumnya telah dilakukan uji spesifik lokalitanya
dan
selanjutnya
diinformasikan
kepada
penyuluh
pertanian
dilapangan. Dalam melakukan diseminasi hasil-hasil penelitian kepada penyuluh pertanian dilapangan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau selaku sumber informasi teknologi inovasi merasa kesulitan dalam memberikan informasi teknologi kepada penyuluh khususnya Kabupaten yang tidak mempunyai lembaga penyuluhan. Sering bahan hasil – hasil penelitian yang dikirimkan ke Dinas sub sektor pertanian tidak sampai lagi kepada penyuluh dilapangan dan tertumpuk di kantor unit kerja Kabupaten. Tidak terdistribusinya bahan- bahan informasi
pertanian ini antara lain karena tidak berfungsinya
BPP yang biasanya
dimanfaakan untuk pertemuan penyuluh dan petani yang dilakukan setiap 2 minggu sekali. Metode penyuluhan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah informasi teknologi yang disampaikan oleh penyuluh dapat diterima oleh petani. Ketepatan metode penyuluhan harus disesuaikan dengan karakteristik petani binaan. Metode diskusi dan praktek langsung dilapangan harus dilakukan secara seimbang sehingga informasi teknologi yang disampaikan dapat dicerna oleh petani. Uji coba yang dilakukan Penyuluh di lahan usahatani serta sekolah lapang (SL) yang langsung melibatkan petani secara partisipatif merupakan salah satu cara yang efektif dalam memberikan informasi teknologi kepada petani. Selain itu diklat untuk petani seperti pola pembinaan P4K dengan pendekatan kebutuhan petani sesuai dengan potensi wilayah dapat dijadikan salah satu metode penyuluhan karena petani merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan usaha yang mereka rencanakan bersama-sama kelompoknya. Pembuatan perencanaan kelompok tani merpakan tolok ukur dalam menentukan eksistensi manajemen kelompok tani. Dibeberapa Kabupaten yang diamati, perencanaan kelompok tani bervariasi . Ada penyuluh yang membuat perencanaan kelompok tani dan ada pula yang tidak membuatnya tergantung dari kewajiban yang diminta oleh unit kerjanya. Rendahnya persentase kemampuan kelompoktani dalam menyusun Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kerja Kelompok (RDKK ) mengindikasikan bahwa dalam menyusun perencanaan usahatani ditingkat petani, kemampuan petani masih rendah. Petani
belum terbiasa menyusun perencanaan kelompok sendiri tanpa di bantu oleh Petugas. Hal ini antara lain disebabkan karena pembinaan yang dilakukan selama ini mengacu kepada kepentingan sepihak (top down), sehingga petani kurang terdidik untuk lebih aspiratif. Bagi Kabupaten yang memiliki institusi penyuluhan sendiri, aktifitas petermuan di BPP cukup tinggi, hal ini terlihat di Kabupaten Kampar, dimana frekuensi latihan/ pertemuan di BPP dilakukan 2 kali sebulan. Sedangkan di Kabupaten lainnya, hampir tidak terlihat lagi aktifitas BPP. Kondisi BPP saat ini yang dapat dikemukakan adalah bahwa telah terjadi perubahan fungsi BPP dari yang semula sentra kegiatan penyuluhan di Kecamatan sekarang hanya menjadi penunjang kegiatan penyuluhan. Mengaktifkan kembali peranan dan fungsi BPP sebagai sarana komunikasi,
informasi
dan
menyelesaikan permasalahan
pertemuan
petani
dengan
petugas
dalam
yang dihadapi petani, perlu dilakukan jika kita
menghendaki perubahan dan peningkatan kesejahteraan petani. Oleh karena itu perlu kiranya melakukan revitalisasi penyuluhan termasuk kelembagaannya sehingga kepentingan petani sebagai garda utama pembangunan pertanian tetap dapat dipertahankan. Tingkat kemampuan BPP dalam memecahkan masalah
penyuluh dan
petani berkaitan dengan aksesibilitas BPP dalam menerima kegiatan dan program Dinas lingkup sub sektor pertanian. Ketersediaan sumber informasi teknologi di BPP sangat erat kaitannya dengan aktifitas BPP dalam mencari informasi ke berbagai sumber informasi. Informasi teknologi inovasi selain diperoleh dari Balai
Penelitian dan Pusat Penelitian dapat juga diperoleh dari berbagai media lainnya seperti media elektronik dan media cetak. Dalam menjembatani arus informasi teknologi inovasi dari sumber teknologi kepada petani, peranan penyuluh sangat diperlukan karena penyuluh tidak hanya sebagai pemberi informasi secara langsung kepada petani tetapi juga pengawal teknologi yang akan diterapkan oleh petani. Berkaitan dengan hal tersebut perlu ditumbuhkan kembali jaringan informasi yang mengakomodir kerjasama petani, penyuluh dan peneliti dalam merancang usahatani- nelayan yang responsif terhadap kemampuan wilayah dan permintaan pasar. Melalui wadah ini diharapkan penyuluh pertanian mempunyai kemapuan dan wawasan dalam memperoleh informasi teknologi baru. 5.2.4. Ikhtisar Perubahan fungsi pranata sosial dan pengorganisasian kelembagaan penyuluhan
pertanian
akibat
paradigama
desentralisasi,
mengakibatkan
perbedaaan pada sistem penyuluhan, persepsi penyuluh terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan dan sistem kerja penyuluhan pertanian. Perbedaan ini muncul karena perbedaan interpretasi dalam memberikan wewenang kepada kepala satuan kerja lembaga penyuluhan (regulative) dan masalah yang dihadapi masing-masing daerah (normative). kelembagaan
penyuluhan
Sistem kerja penyuluhan pertanian pada
pertanian
di
Kabupaten
Kampar
lebih
baik
pelaksanaanya dibanding kabupaten lainnya. Frekuensi
LAKU
belum
sepenuhnya
terlaksana,
hal
diakibatkan
keterbatasan tenaga penyuluh juga karena kurangnya pengawasan. Mengingat jumlah penyuluh yang terbatas dan cukup luasnya wilayah binaan, maka
pendekatan WKPP berdasarkan hamparan dan domisili petani perlu ditinjau kembali. Mengkombinasikan luas hamparan dan domisili melalui kesamaan unit produksi dan kesamaan jenis komoditas hasil pertanian unggulan (spesifik lokalita) merupakan salah satu alternatif pendekatan yang perlu dipertimbangkan. Restruturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian telah menyebabkan perubahan terhadap sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian yaitu perubahan terhadap mekanisme dan manajemen penyuluhan. Fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan masih mendominasi sistim kerja penyuluhan. Berdasarkan kondisi tersebut, terdapat dua hal penting yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan dimasa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah : (1) dibangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya
pengembangan
program-program
penyuluhan
yang
berbasis
penelitian dan ilmu pengetahuan. 5.3. Dampak Penyelenggaraan Penyuluhan Terhadap Kinerja Penyuluh dan Tingkat Penerapan Teknologi 5.3.1. Karakteristik Penyuluh. Penyuluh pertanian memiliki umur berkisar antara 33 tahun sampai 41 tahun (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh masih cukup lama dapat berkarir dan mengembangkan profesinya dibidang penyuluhan. Jika usia fungsional penyuluh sampai 60 tahun maka penyuluh masih dapat berkarya sekitar 30 tahun lagi. Dilihat dari pendidikan formal penyuluh ternyata sekitar 50 % penyuluh berpendidikan setingkat SLTA, 20 % berpendidikan setingkat Diploma 3 dan 30 % berpendidikan S1. Cukup banyaknya penyuluh yang telah menempuh pendidikan S1 disebabkan adanya kualifikasi penyuluh dari Badan
Sumber Daya Pertanian yang menghendaki penyuluh berpendidikan dasar S1 dalam rangka peningkatan karir keprofesionalitasan. Sehubungan dengan hal tersebut, Balai Pelatihan Pertanian telah membuka perkuliahan bagi penyuluh yang mau meningkatkan jenjang pendidikannya. Dari program tersebut yang telah selesai dilaksanakan selama 7 terakhir, maka didapatkan lebih dari 50 % penyuluh telah menamatkan pendidikan S1. Pendidikan non formal yang diikuti oleh penyuluh, menunjukkan bahwa bahwa frekuensi latihan yang diikuti dalam 3 tahun terakhir berkisar dari 3 – 5 kali. Pendidikan non formal merupakan sarana bagi penyuluh dalam meningkatkan kualitas diri. Dari latihan – latihan yang diikuti oleh penyuluh akan dapat menambah wawasan penyuluh terutama dalam menerima informasi teknologi baru yang akan di berikan kepada petani binaannya. Mengingat tingginya aksesibilitas petani terhadap keterdedahan sumber informasi teknologi baru akibat modernisasi saat ini menyebabkan petani lebih mudah mencari sumber-sumber informasi teknologi termasuk media elektronik dan media cetak. Berkaitan dengan hal tersebut maka penyuluh sebagai agen pembaharu bagi petani dan ujung tombak dari pelaksanaan program pemerintah, memerlukan pembekalan yang cukup sehingga wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya lebih luas dan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi petani dengan cepat dilapangan. Bidang tanaman pangan merupakan bidang keahlian dominan yang dimiliki penyuluh di kabupaten Kampar dan Pelalawan. Penyuluh yang memiliki latar belakang ilmu peternakan dan perikanan relatif lebih sedikit. Agar penyuluh memiliki pengetahuan yang memadai di luar bidang keahliannya, maka perlu
dilakukan pembekalan berupa latihan atau diklat sehingga wawasan dan pengetahuannya lebih meningkat. Hal ini perlu dilakukan karena petani sebagai binaannya penyuluh tidak hanya melakukan satu cabang usahatani tetapi berbagai jenis usahatani baik pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Penyuluh yang memiliki jabatan fungsional Penyuluh Pertanian Pelaksana Lanjutan ( III/b) mencapai 30 persen , sedangkan penyuluh yang menduduki jabatan fungsional Penyuluh Pertanian Madya ( IVa) kurang dari 1 persen . Penyuluh mengemukakan bahwa kondisi ini disebabkan bahwa proses kenaikan pangkat penyuluh cukup panjang dan rumit. Selain itu nilai angka kredit yang sangat kecil juga merupakan hambatan bagi penyuluh dalam pengumpulan angka kredit. Oleh karena itu banyak diantara penyuluh yang kurang termotivasi dalam meningkatkan jenjang jabatannya. Tabel 19. Karaktristik Penyuluh di Kabupaten Pelalawan, Kampar dan Kota Pekanbaru Tahun 2008 No
Aspek / Uraian
a.
Rataan Umur (thn)
b.
Pendidikan Formal (%) SLA D3/Dipl/Akd S1
c.
Pendidikan non Formal dlm 3 thn terakhir (kali)
d.
Bidang Keahlian (%) Pangan Perkebunan Peternakan Perikanan
e.
Jabatan Fungsional (%) PP.Madya (IVa)
Pelalawa n 32.6
Kampar
Pekanbaru
37,5
39,4
45,6 13,4 41,0
52,4 21,1 26,6
47,4 15,0 37,6
4,1
6,7
3,1
70 23 3 4
67 26 5 2
44 35 17 4
0
1
1
f. g.
PP.Muda (III/d) PP.Penyelia (III/c) PP.Pel.lanjut (III/b) PP.Pertama (III/a) PP.Pelaksana (II/d) PP.Pel.Ljtn (II/a dan II/b) Masa Kerja (th) Jumlah tanggungan keluarga (org)
4 31 44 11 8 2 11 3.2
Pekerjaan sampingan (%) On farm Off farm Tidak ada Keterangan: Angka dalam tabel adalah
33 35 15 9 6 1 17 3,5
31 22 35 6 4 1 13 3,2
h.
45 42 22 35 21 4 20 37 74 persentase pernyataan responden
(Penyuluh) Penyuluh memiliki masa kerja rata –rata masa kerja lebih dari 13 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh telah cukup berpengalaman dalam melakukan pembinaan kepada petani.
Jumlah tanggungan keluarga rata-rata 3 orang.
Dikaitkan dengan perolehan pendapatan penyuluh yang rata-rata berpangkat III/b, jelas hanya mencukupi kebutuhan dasar keluarga. Sebagai leader pemerintah dilapangan, ternyata penyuluh cukup tanggap dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia. Beberapa penyuluh memiliki usaha sampingan sesuai dengan bidang tugas yang diembannya. Lebih dari 50 % penyuluh mempunyai pekerjaan sampingan dalam menunjang kelancaran usahatani. berdampak positif terhadap kinerja
Kondisi ini
penyuluh pertanian, karena pekerjaan
sampingan penyuluh pertanian pada umumnya adalah berusaha tani pada komoditi yang menjadi tanggung jawabnya. 5.3.2. Kinerja Penyuluh Pertanian Profesi Penyuluh Pertanian mempunyai fungsi sebagai profesi yang mendampingi petani / masyarakat pedesaan dalam mengarungi gejolak gelombang
arus perubahan perilaku dalam proses transformasi dari tradisional menjadi pertanian yang berwawasan pasar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka seorang penyuluh dituntut kemampuannya untuk dapat memadukan tingkat sosial petani dan mengimplementasikannya dengan kemajuan petani diwilayah binaannya terhadap teknologi baru yang akan diinformasikan. Tingkat profesionalitas penyuluh diukur dari kemampuan kerja penyuluh tersebut. Dalam hal peningkatan mutu kerja, motivasi merupakan salah satu faktor yang mendorong penyuluh untuk melakukan pekerjaan. Secara eksternal motivasi kerja penyuluh dapat terbangun dari tuntutan dinamika masyarakat tani-nelayan yang semakin kompleks serta karakteristik wilayah yang berbeda. Sedangkan dari segi internal motivasi penyuluh antara lain ditentukan dari kondisi kelembagaan penyuluhan yang dapat mengakomodir kepentingan penyuluh secara holistik. Tingkat motivasi penyuluh dapat dilihat dari kinerja penyuluh terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Tabel 20. Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pelalawan, Kampar dan kota Pekanbaru Tahun 2008 No Aspek / Uraian Kampar Pekanbaru Pelalawan a. Disiplin mematuhi jam kerja (jam/minggu) 36,7 30,5 32,2 b. Frekuensi Kunjungan ke kelompok tani (%) Setiap hari 41 6 26 Seminggu sekali 53 44 49 > 1 minggu 6 50 25 c. Ketepatan dalam menyelesaikan administrasi dan pelaporan Tepat 87 65 66 Tidak tepat 13 35 34 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan responden (Penyuluh) Dari tabel 20 dapat diketahui bahwa disiplin mematuhi jam kerja per minggu rata-rata 33 jam/minggu . Motivasi kerja dan disiplin mematuhi jam kerja
sangat erat kaitannya dengan aturan main yang diterapkan oleh unit kerja dimana penyuluh bersatminkal. Adanya kewajiban bagi penyuluh lapangan untuk melakukan kunjungan secara terjadual kepada kelompok tani binaanya harus diiringi dengan pengawasan dan monitoring dari pejabat yang berwenang. Frekuensi kunjungan ke kelompok tani untuk Kabupaten Kampar cukup tinggi, dimana kunjungan kepada setiap kelompok dilakukan seminggu sekali. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya pengawasan yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Kabupaten sampai ke Kecamatan dan WKPP (Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian). Dilihat dari ketepatan dalam menyelesaikan administrasi dan pelaporan, Kabupaten Kampar relatif lebih tepat dibanding kabupaten lain. Hal ini disebabkan karena penyuluh di Kabupaten Kampar dan tidak dibebankan dengan pekerjaan lain diluar tugas pokoknya seperti pekerjaan keproyekan dan lain-lain sehingga mereka cukup bertanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugas dan fungsinya. 5.3.3. Karakteristik Petani Umur dan pengalaman dalam suatu pekerjaan dapat digunakan untuk mengindikasi seberapa lama seseorang telah menekuni pekerjaan tersebut. Menurut Suriatna,S (1998), proses adopsi suatu inovasi pada kelompok umur produktif ( 25 – 45 tahun) akan berjalan cukup baik dibanding kelompok usia yang lebih muda atau lebih tua. Hal ini dikarenakan pada usia muda nilai tanggung jawab masih rendah terhadap beban hidup sedangkan pada kelompok umur yang lebih tua telah terjadi pembakuan model atau pola hidup yang kaku sebagai hasil dari suatu endapan pengalaman yang dijadikan patokan hidup.
Berdasarkan kelompok umur, lebih dari 50 % petani berusia produktif ( 25 – 55 tahun) dengan pengalaman kerja 10 – 20 tahun . Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan petani dalam melakukan usahatani sudah dapat dikatakan cukup baik. Namun bila dihubungkan dengan tingkat pendidikan petani yang pada umumnya masih setingkat SD (Sekolah Dasar) hal ini akan berkaitan dengan kemampuan dalam penerapan teknologi inovasi. Pendidikan menggambarkan tingkat pengetahuan, wawasan, pandangan seseorang yang dalam bidang pertanian diartikan sebagai cara seseorang merespon suatu inovasi pertanian dan membangun gagasan dalam perencanaan usahatani. Pengukuran tingkat pendidikan baik formal maupun non formal sangat bermanfaat dalam memprediksi kondisi wawasan pengetahuan petani dan arah pemahaman petani terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Dari pengamatan dilapangan terlihat bahwa angkatan muda yang berusia kurang dari 25 tahun, kurang tertarik melaksanakan pekerjaan usahatani. Kendati pendidikan formal petani masih rendah, peningkatan wawasan petani khususnya pengetahuan dan informasi teknologi pertanian dapat dilakukan melalui pelatihan – pelatihan yang diberikan kepada petani. Jenis dan bentuk pelatihan dapat disesuaikan dengan kebutuhan petani. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa tidak semua petani memperoleh kesempatan dalam mengikuti diklat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baik yang diadakan oleh pemerintah maupun fihak lain. Tabel 21 . Karakteristik Petani di Kabupaten Pelalawan, Kampar dan Kota Pekanbaru Tahun 2008 No a.
Aspek / Uraian Umur (thn)
Pelalawa n
Kampar
Pekanbaru
b.
<25 25 – 55 >55
17 39 44
7 55 38
9 31 60
Pendidikan SD SLTP SLTA
41 41 18
54 33 13
27 54 19
Pengalaman berusahatani (thn) <10 tahun 19 11 10 – 20 thn 57 73 > 20 tahun 24 16 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan c.
49 41 10 responden
(Penyuluh) Hal ini menunjukkan bahwa informasi teknologi dari berbagai sumber teknologi tidak dapat diterima oleh semua petani. Petani yang menerima informasi teknologi biasanya hanya sedikit sekali yang menerapkan teknologi tersebut dalam kegiatan usahataninya dan sedikit sekali pula yang ditrasferkan ke petani lainnya. Alasan petani mengapa hanya sebagian kecil yang menerapkan teknologi usahatani yang diterimanya, disebabkan karena selain teknologi tersebut relatif sulit untuk diterapkan, keberhasilannya juga sulit diraih disebabkan banyaknya faktor-faktor pembatas seperti ; kondisi alam, keterampilan petani, ketersediaan modal, dan lain-lain . Suriatna (1998), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi percepatan proses adopsi teknologi ditingkat petani adalah; 1) teknologi yang dikenalkan benar-benar membantu pemecahan permasalahan petani; 2) sarana yang diperlukan untuk implementasi teknologi tersebut mudah didapat; 3) teknologi yang dikenalkan mempunyai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi sebelumnya; 4) produk dari teknologi tersebut mempunyai prospek pasar yang baik. 5.3.4. Tingkat Penerapan Teknologi
Persepsi petani tentang Sistim LAKU (Latihan dan Kunjungan) dapat menggambarkan sejauh mana pandangan petani tentang sistem kerja yang diterapkan oleh Penyuluh Pertanian dalam upaya perbaikan kualitas petani dan usahataninya sehingga model dan metode penyuluhan dapat disesuaikan dengan perkembangan petani disuatu wilayah. Dari Tabel 22 yaitu persepsi petani tentang sistem LAKU menjelaskan bahwa ; a. Lebih dari 50 % petani menyatakan bahwa sistem LAKU mempercepat proses adopsi teknologi; sekitar 30 % petani menyatakan bahwa adopsi teknologi tidak hanya dari pembinaan penyuluh tetapi diperoleh dari sumber-sumber lain ; seperti pengujian yang dilakukan oleh agen-agen tertentu dalam rangka mempromosikan produknya, dari pertukaran informasi antar petani dan dari media lainnya seperti televisi dan media cetak. Sekitar 7 % petani menyatakan tidak setuju karena tidak sampainya pembinaan oleh penyuluh kepada mereka. b. Lebih dari 50 % petani menyatakan bahwa sistem LAKU memperbaiki manajemen usahatani. Sekitar 25 % petani menyatakan bahwa perbaikan manajemen usahatani tidak hanya dari sistem LAKU tetapi dari tukar pengalaman dengan kelompok tani lainnya atau pembinaan yang dilakukan oleh lembaga lainnya seperti BPTP, LSM ,dll. Tabel 22. Persepsi Petani tentang Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) dan Tingkat Penerapan Teknologi No Aspek / Uraian Kampar a. Percepatan proses adopsi teknologi (%) Setuju 70 Kurang setuju 28 Tidak setuju 2 b. Transfer teknologi baru (%) Setuju 81
Pekanbaru
Pelalawan
65 28 7
71 20 9
79
75
Kurang setuju 16 19 Tidak setuju 3 2 c. Pembinaan manajemen usahatani (%) Setuju 72 59 Kurang setuju 12 30 Tidak setuju 16 11 d. Peningkatan Pendapatan usahatani (%) Setuju 62 55 Kurang setuju 27 33 Tidak setuju 11 12 e. Fasilitator petani dengan pemerintah (%) Setuju 81 69 Kurang setuju 17 30 Tidak setuju 2 1 f. Tkt. Penerapan teknologi usahatani (%) Sesuai anjuran 57 33 Kurang sesuai anjuran 39 56 Tidak sesuai anjuran 4 11 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan (Petani)
19 6 66 19 15 70 21 9 81 17 2
47 39 14 responden
c. Lebih dari 50 % petani menyatakan bahwa sistem LAKU meningkatkan pendapatan usahatani, karena informasi teknologi inovasi yang disampaikan bila diterapkan oleh petani akan meningkatkan pendapatan petani.; Sekitar 30 % petani menyatakan bahwa peningkatan pendapatan petani tidak hanya dari pembinaan yang dilakukan oleh penyuluh tetapi dari nilai produk yang dihargai dipasar, produktifitas yang dihasilkan dan biaya usahatani yang dikeluarkan. d. Lebih dari 70 % petani menyatakan bahwa sistem LAKU merupakan fasilitator petani dengan pemerintah karena melalui penyuluh petani dapat melaksanakan
program
pemerintah
yang
di
alokasikan
kepada
petani/kelompok tani. Sekitar 20 % petani menyatakan bahwa fasilitator dengan pemerintah tidak hanya penyuluh tetapi dapat juga dilakukan oleh kontak tani, Ketua kelompok tani atau aparat desa.
Pemberdayaan atau komptensi penyuluh dan petani dapat diwujudkan pada tingkat penerapan teknologi usaha tani.
Tingkat penerapan teknologi
usahatani menggambarkan seberapa jauh petani telah menerapkan teknologi introduksi (Ekalinda, 1999). Dilihat dari tingkat penerapan teknologi usahatani, pada umumnya petani belum menerapkan teknologi sesuai introduksi, artinya hanya sebagian komponen teknologi usahatani yang diadopsi oleh petani. Menilik dari kondisi tersebut, maka implementasi penyuluhan yang dapat diterapkan oleh penyuluh dilapangan adalah memberikan informasi teknologi inovasi yang lebih diarahkan pada metode praktek lapangan daripada teori, dimana petani yang telah cukup berpengalaman dengan tingkat pendidikan yang masih rendah lebih mudah menerima melalui penglihatan dibanding mendengar. Uji coba hasil-hasil penelitian melalui petak-petak percontohan dan mengikut sertakan petani secara partisipatif di lahan usaha taninya merupakan salah satu upaya yang efektif dalam memberikan informan teknologi baru kepada petani. Peningkatkan efektifitas pembinaan kepada kelompok tani sasaran, maka jumlah kelompok binaan untuk setiap penyuluh diperkecil jumlahnya, idealnya satu orang penyuluh membina 7 – 10 kelompok tani sehingga dalam satu bulan setiap kelompok tani dapat dikunjungi 3 - 4 kali. Fungsi penyuluh bagi petani tidak hanya mengawal teknologi yang akan diadopsi tetapi juga merupakan nara sumber bagi petani terutama dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi petani. Beberapa orang petani yang diwawancarai menginginkan agar kegiatan penyuluhan pertanian dapat dikembalikan seperti sebelum otonomi dahulu, sehingga mereka lebih banyak dapat binaan dan bimbingan dari para penyuluh pertanian.
5.3.5. Ikhtisar Perubahan terhadap kelembagaan akan berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan tekonologi oleh petani.
Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) sebagai personal yang langsung melaksanakan tugas-tugas penyuluhan sangat menentukan keberhasilan fungsi penyuluhan. Kinerja penyuluh pada kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten Kampar menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding penyuluh di kabupaten Pelalawan dan kota Pekanbaru. Kondisi ini memberikan gambaran yang lebih baik terhadap tingkat penerapan teknologi usaha tani. Implementasi penyuluhan yang dapat diterapkan oleh penyuluh dilapangan adalah memberikan informasi teknologi inovasi yang lebih diarahkan pada metode praktek lapangan dibanding teori, dimana petani yang telah cukup berpengalaman dengan tingkat pendidikan yang masih rendah lebih mudah menerima melalui penglihatan dibanding mendengar. Uji coba hasil-hasil penelitian melalui petakpetak percontohan dan mengikut sertakan petani secara partisipatif di lahan usahataninya merupakan salah satu upaya yang efektif dalam memberikan informasi teknologi baru kepada petani. Sistem LAKU mengindikasikan bahwa sistem LAKU yang merupakan sistem kerja penyuluh pertanian dapat mempercepat proses adopsi teknologi, transfer teknologi baru, pembinaan manajemen usahatani, peningkatan pendapatan usahatani dan dapat menjembatani kepentingan petani untuk diakomodir oleh pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penyuluh sebagai agen pembaharu di tingkat petani perlu di tingkatkan wawasan dan pengetahuannya baik secara teknis yang berkaitan dengan komoditas usahatani yang menyangkut
informasi teknologi inovasi, inovasi kelembagaan dan program disetiap Dinas sub sektor pertanian. 5.4.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan kelembagaan
penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strenght, weakness, opportunities, threats) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM). 5.4.1. Analisis Evaluasi Faktor Internal / Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian. Identifikasi masalah dari hasil pengamatan, kuesioner dan wawancara dengan responden di lapangan, diperoleh beberapa faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi Riau dapat dituangkan dalam sebuah matriks IFE/EFE yang dapat membantu
sebagai
solusi
alternatif
strategi
yang
pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian.
akan
dibuat
dalam
Penilaian keterkaitan
identifikasi pada matriks IFE/EFE ini dilakukan dengan cara pembobotan, pemberian rating dan adanya skor/ nilai yang berpengaruh kepada kekuatan, kelemahan, peluang ataupun ancaman yang terdapat pada kajian ini. Tabel 23. Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau No
2. 2.
Faktor Internal Kekuatan (Strengths) PERDA Kelembagaan Penyuluhan Lembaga Peneliti dan Pelatihan Pertanian
Bobot
Rating
0.076
4
Bobot x Rating 1.666 0.304
0.098
3
0.294
3.
Penghargaan terhadap penyuluh berpretasi 4. Insentif yang memadai bagi pegawai/ penyuluh 5. Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder (PEDA) Kelemahan 1. Koordinasi antar subsektor lemah 2. Kuantitas dan Kualitas PPL terbatas 3. Sarana dan prasarana PPL terbatas 4. Anggaran APBD terbatas 5. Perbedaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan Jumlah Sumber : Data Primer (diolah)
0.119
3
0.357
0.119
3
0.357
0.118
3
0.0354
0.095
3
1.567 0.285
0.102
3
0.306
0.116
3
0.348
0.085 0.072
4 4
0.340 0.288
1.00
3.233
Hasil akhir analisis matriks IFE (Tabel 23) untuk elemen kekuatan dan kelemahan diperoleh dari indeks akumulatif skor kekuatan sebesar 1.666, sedangkan nilai akhir bobot internal adalah sebesar 3.233. Hal ini menunjukkan bahwa responden memberikan pandangan yang cukup tinggi pada faktor kekuatan dan respon yang relatif kecil untuk faktor kelemahan. Sedangkan untuk total nilai bobot skor faktor strategis internal sebesar 3.233. Melihat hasil tersebut, menunjukkan pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau diatas rata-rata dalam kekuatan internal secara keseluruhannya, maka dapat dikatakan bahwa pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiki dan mampu mengatasi kelemahan yang ada. Matriks EFE (External Factor Evaluation) menggambarkan apa dan bagaimana faktor eksternal yang terdapat pada sebuah organisasi, sehingga dapat membuat keputusan alternatif strategi solusi
agar organisasi dapat berjalan
dengan baik. Matriks EFE mempunyai nilai yang dibobot antara nilai 0,0 (tidak
penting) sampai dengan 1,0 (terpenting), bobot menunjukkan kepentingan relatif dari faktor tersebut agar dapat berhasil dalam organisasi dengan baik. Nilai rating/peringkat dalam EFE antara nilai 1 (ancaman utama) sampai dengan nilai 4 (peluang utama) dengan jumlah skor 2,5. Hasil akhir analisis matriks EFE (Tabel 24) untuk elemen peluang diperoleh dari nilai indeks kumulatif skor sebesar 1.543, sedangkan nilai akhir bobot skor untuk elemen ancaman sebesar 1.258. Hal ini menunjukkan bahwa responden memberikan respon yang cukup tinggi pada faktor peluang dan respon yang lebih kecil terhadap faktor ancaman. Untuk total nilai bobot skor untuk faktor strategis eksternal sebesar 2.801. Melihat hasil analisis tersebut, dengan nilai bobot skor untuk elemen peluang lebih besar dari bobot skor elemen ancaman, maka pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau sangat prospektif sekali karena mampu memanfaatkan peluang sebaik mungkin. Hal ini, menunjukkan bahwa dalam kajian ini kekuatan eksternal ini memiliki
posisi
yang
kuat
karena
dapat
memanfaatkan
peluang
dan
meminimalkan pengaruh negatif dari kekuatan eksternal. Tabel 24 . Matriks EFE (External Factor Evaluation) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau No
Faktor Eksternal
Bobot
Rating
Bobot x Rating 1.543
0.079
4
0.316
0.097
3
0.291
0.076
3
0.228
Peluang (Opportunities) 1. 2. 3.
UU N0.16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian PP 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Daerah Permenpan No. PER/02/MENPAN/2/2008 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya serta adanya
4.
5.
Peningkatan Kompetensi & Profesionalisme PPL Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi di tk. Nasional Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder tingkat Nasional (PENAS) Ancaman (Threats)
0.111
3
0.333
0.125
3
0.375
1.258
1.
Alih fungsi profesi penyuluh
0.125
3
0.375
2.
Inkonsistensi peraturan / perundangan Tumpang tindih program intansi terkait Rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian Jumlah
0.109
3
0.327
0.134
2
0.268
0.144
2
0.288
3. 4.
1.00
2.801
5.4.2. Analisis SWOT Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Pada
strategi
pengembangan
kelembagaan
penyuluhan
pertanian
ditemukan berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berpengaruh terhadap peran dan perkembangan pelaksanaan kegiatan. Berikut ini adalah rumusan strategi yang dihasilkan dari analisis internal dan eksternal, yaitu : a. Strategi S-O (Strengths – Opportunities) Kekuatan yang dimiliki untuk pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian adalah adanya PERDA kelembagaan penyuluhan, adanya lembaga penelitian dan pelatihan pertanian, penghargaan terhadap penyuluh berprestasi, terdapatnya insentif yang memadai bagi pegawai/penyuluh, serta tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stakeholder (PEDA). Peluang yang dimiliki dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian adalah adanya UU No. 16 / 2006 tentang sistem penyuluhan, adanya PP
42 / 2007 tentang SOTK daerah, adanya Permenpan No. PER/02/MENPAN/2/ 2008 tentang jabatan fungsional PPL dan kompetensi serta profesionalisme. Selain itu terdapatnya penghargaan terhadap aparat yang berjasa dalam pembangunan penyuluhan didaerah, serta tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder di tingkat nasional (PENAS). b. Strategi W-O (Weaknesses – Opportunities) Kelemahan
yang ada pada pengembangan kelembagaan penyuluhan
pertanian di Provinsi Riau adalah koordinasi antar subsektor yang masih lemah, kuantitas dan kualitas PPL terbatas, sarana dan prasarana PPL terbatas, anggaran APBD terbatas serta perbedaaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan. Sedangkan peluang yang dimiliki dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian adalah adanya UU No. 16 / 2006 tentang sistem penyuluhan, adanya PP 42 / 2007 tentang SOTK daerah, adanya Permenpan No. PER/02/MENPAN/2/ 2008 tentang jabatan fungsional PPL dan kompetensi serta profesionalisme. Selain itu terdapatnya penghargaan terhadap aparat yang berjasa dalam pembangunan penyuluhan didaerah, serta tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stakeholder di tingkat nasional (PENAS)(Tabel.25) Tabel 25 . Matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats)
IFE (Internal Factor Evaluation )
EFE (External Factor Evaluation)
KEKUATAN (S) 1. PERDA kelembagaan Penyuluhan. 2. Lembaga Peneliti dan Pelatihan Pertanian 3. Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi 4. Insentif yang memadai bagi pegawai/ penyuluh 5. Tersedianya sarana komunikasi bagi
KELEMAHAN (W) 1. Koordinasi antar subsektor lemah 2. Kuantitas dan kualitas PPL terbatas 3. Sarana dan prasarana PPL terbatas 4. Anggaran APBD terbatas 5. Perbedaan persepsi keberadaan kelembagaan
penyuluh dan stakeholder
PELUANG (O) 1.UU No.16/2006 Ttg Sistem Penyuluhan 2.PP 41/2007 Ttg SOTK daerah 3.Permenpan No. PER/02/ MENPAN/2/2008 ttg jabatan fungsional PPl dan Kompetensi serta Profesionalisme 4.Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi di tk. Nasional 5.Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder tingkat Nasional (PENAS) ANCAMAN (T) 1. Alih fungsi profesi penyuluh 2. Inkonsistensi peraturan / perundangan 3. Tumpang tindih program intansi terkait 4. Rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian
STRATEGI S-O 1. Memaksimalkan keberadaan PERDA dengan dukungkan UU No.16/2006 serta PP 42/2007 (S1, O1, O2, O3) 2. Peningkatan kinerja kepala daerah untuk memaksimalkan PERDA kelembagaan di daerahnya (S1, S2, O4)
penyuluhan
STRATEGI W-O 1. Peningkatan koordinasi antar subsektor (W1, O1, O2, O5) 2. Penghargaan yang diberikan pemerintah pusat terhadap aparatur akan mampu mendorong aparatur di daerah untuk lebih peduli terhadap penyuluhan (W1, W2, W5, O4, 05)
STRATEGI S-T 1.
2.
Perkuat PERDA untuk mengatasi terjadinya alih fungsi profesi penyuluh (S1, T1,T2,T3) Mensosialisasikan PERDA kepada masyarakat luas (S5, T4, T1)
STRATEGI W - T 1.
2.
Pembentukan badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian (W1, W2,W3, W5, T1, T2, T3). Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait (W1, W5, T2, T3
c. Strategi S-T (Strengths – Threats) Kekuatan yang dimiliki untuk pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian adalah adanya PERDA kelembagaan penyuluhan, adanya lembaga penelitian dan pelatihan pertanian, penghargaan terhadap penyuluh berprestasi, terdapatnya insentif yang memadai bagi pegawai/penyuluh, serta tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stakeholder (PEDA).
Ancaman yang terdapat pada pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian adalah alih fungsi penyuluh pertanian, inkonsistensi peraturan/ perundangan, tumpang tindih program instansi terkait, dan rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian. d. Strategi WT (Weaknesses- Threats) Kelemahan
yang ada pada pengembangan kelembagaan penyuluhan
pertanian di Provinsi Riau adalah koordinasi antar subsektor yang masih lemah, kuantitas dan kualitas PPL terbatas, sarana dan prasarana PPL terbatas, anggaran APBD terbatas serta perbedaaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan. Ancaman yang terdapat pada pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian adalah alih fungsi penyuluh pertanian, inkonsistensi peraturan/ perundangan , tumpang tindih program instansi terkait, dan rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian. Pada tabel 25 terlihat bahwa strategi yang berguna untuk menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau adalah sebagai berikut : 1. Memaksimalkan keberadaan PERDA dengan dukungkan UU No.16/2006 serta PP 42/2007 2.
Peningkatan
kinerja
kepala
daerah
untuk
memaksimalkan
PERDA
kelembagaan di daerahnya. 3. Perkuat PERDA untuk mengatasi terjadinya alih fungsi profesi penyuluh 4. Mensosialisasikan PERDA kepada masyarakat luas 5. Peningkatan koordinasi antar subsektor
6. Penghargaan yang diberikan pemerintah pusat terhadap aparatur akan mampu mendorong aparatur di daerah untuk lebih peduli terhadap penyuluhan 7. Pembentukan badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian 8. Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait.
5.4.3. Tahap Keputusan Strategi Untuk menentukan prioritas strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau digunakan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM adalah alat untuk memungkinkan ahli strategi untuk mengevaluasi strategi alternatif secara objektif, berdasarkan pada faktor-fakot kritis untuk sukses ekternal dan internal. Secara konsep QSPM menentukan daya tarik dari berbagai strategi berdasarkan pada sejauh mana faktor-faktor secara kritis eksternal dan internal dimanfaatkan atau diperbaiki. Analisis QSPM merupakan lanjutan dari analisis SWOT sebagai tahapan pengambilan keputusan untuk perumusan prioritas strategi. Dari rumusan strategi yang diperoleh dari analisis SWOT kemudian dilakukan analisa dengan cara memberikan nilai kemenarikan relatif (Attractive Score = AS) pada masingmasing faktor internal maupun eksternal. Strategi yang mempunyai total nilai kemarikan relatif (Total Attractive Score = TAS) yang tertinggi adalah merupakan prioritas strategi. Setelah dilakukan perhitungan dan analisis, maka diperoleh hasil analisis QSPM dalam perumusan prioritas strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau dapat dilihat pada tabel 26. Dari tabel 26 terlihat bahwa total nilai tertinggi pada strategi (7) membentuk badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian dengan total nilai
6.347, kermudian diikuti dengan (1) Memaksimalkan keberadaan PERDA dengan dukungkan UU No.16/2006 serta PP 42/2007
dengan total nilai 5.855, (3)
Penghargaan yang diberikan pemerintah pusat terhadap aparatur akan mampu mendorong aparatur di daerah untuk lebih peduli terhadap penyuluhan,
(2)
Penghargaan terhadap aparatur yang berjasa dalam pembangunan penyuluhan didaerah akan mendorong kepala daerah untuk memaksimalkan PERDA kelembagaan di daerahnya . Tabel 26. Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Stategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau Alternatif Strategi 1. Memaksimalkan keberadaan PERDA dengan dukungkan UU No.16/2006 serta PP 41/2007
Skor Peringkat 5.855 2
2. Peningkatan kinerja kepala daerah untuk memaksimalkan PERDA kelembagaan di daerahnya
5.389
4
3. Perkuat PERDA untuk mengatasi terjadinya alih fungsi profesi penyuluh
4.886
7
4. Mensosialisasikan PERDA kepada masyarakat luas
5.202
5
5. Peningkatan koordinasi antar subsektor
4.769
8
6. Penghargaan yang diberikan pemerintah pusat terhadap aparatur akan mampu mendorong aparatur di daerah untuk lebih peduli terhadap penyuluhan
5.424
3
7. Pembentukan badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian
6.347
1
8. Peningkatan koordinasi dan kerjasama antar instansi 5.159 terkait
6
Sumber : Data Olahan ( 2008).
Apabila dicermati lebih lanjut bahwa dari 8 alternatif strategi tersebut dengan memperhatikan kondisi yang ada saat ini maka dapat diambil 3 (tiga ) prioritas strategi tertinggi dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan
pertanian di Provinsi Riau adalah: (1) membentuk badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian dengan total nilai 6.347, (2) Memaksimalkan keberadaan PERDA dengan dukungkan UU No.16/2006 serta PP 42/2007 dengan total nilai 5.855, (3) Penghargaan yang diberikan pemerintah pusat terhadap aparatur akan mampu mendorong aparatur di daerah untuk lebih peduli terhadap penyuluhan . 5.5. Strategi dan Program Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Strategi merupakan cara dan teknik mencapai tujuan, yang akan dijadikan acuan dalam penetapan program dan kegiatan
pengembangan kelembagaan
penyuluhan. Berdasarkan hasil analisis QSPM diperoleh bahwa prioritas strategi pertama yang direkomendasikan dalam pengembangan program kelembagaan penyuluhan pertanian di Propinsi Riau adalah membentuk badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian. Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan keberadaan PERDA dengan dukungkan UU No.16/2006 serta PP 41/2007. Strategi ketiga adalah pemberian penghargaan terhadap aparatur akan mampu mendorong aparatur di daerah untuk lebih peduli terhadap penyuluhan.
Ketiga
strategi
tersebut
dapat
dilaksanakan
secara
berkesinambungan karena strategi kedua dan ketiga dapat mendukung implementasi strategi pertama. Pembentukan badan/organisasi kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau akan mendorong terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani.
Sistem penyuluhan pertanian yang sesuai
dengan kebutuhan petani adalah sistem penyuluhan pertanian yang mampu memberdayakan petani dan keluarganya serta pelaku usaha pertanian lainnya
melalui sistem pendidikan non formal agar petani menjadi pengusaha agribisnis berbasis
komoditas
yang
memiliki
kompetensi
ilmu
dan
teknologi,
kewirausahaan, manajerial, bekerja dalam tim, berorganisasi , bermitra usaha dan memiliki integritas moral yang tinggi. Pembentukan lembaga penyuluhan pertanian, juga mendukung percepatan terwujudnya program revitalisasi penyuluhan pertanian.
Dengan kelemahan,
kekuatan, peluang dan tantangan yang ada, maka program yang dapat mewujudkan strategi pembentukan lembaga penyuluhan pertanian tersendiri di provinsi Riau adalah: 1. Program Penataan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian 2. Program Peningkatan Ketenagaan Penyuluh Pertanian 3. Program Peningkatan Mutu Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Program penataan kelembagaan penyuluhan pertanian diimplementasikan melalui kegiatan antara lain : a) penyelesaian peraturan daerah dan keputusan gubernur sebagai penjabaran dari UU Penyuluhan Pertanian, b) penyusunan pedoman tentang pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan, c) Pemberdayaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai home base dan basis pengembangan profesionalisme penyuluh pertanian. Pelaksana program ini adalah
pemerintah daerah (eksekutif dan
legislatif), kelembagaan swasta dan masyarakat (Tabel 27).
Tabel 27. Program, Kegiatan dan Pelaksana Pembentukan Badan/Lembaga Yang Spesifik Menaungi Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau. No. 1
Program
Kegiatan Utama 2
3
Pelaksana 4
1.
Penataan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian
2.
Peningkatan Ketenagaan Penyuluh Pertanian
3.
Peningkatan Mutu Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian.
a. Penyelesaian peraturan daerah dan keputusan gubernur sebagai penjabaran dari UU Penyuluhan Pertanian b. Penyusunan pedoman tentang pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota c. Pemberdayaan Balai Penuluhan Pertanian (BPP) a. Pengembangan penyuluh swakarsa dan penyuluh swasta, b. Pengangkatan tenaga penyuluh honorer, c. Penempatan penyuluh pertanian PNS , swakarsa atau swasta untuk mengisi satu desa satu penyuluh. a. Penyusunan pedoman kinerja penyuluh pertanian, b. Sosialisasi pedoman kinerja penyuluh pertanian, c. Peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, d. Pengembangan kerjasama dan jejaring kerja penyuluh pertanian, e. Pengembangan forum koordinasi penyuluhan pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), kelembagaan swasta, masyarakat.
pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), kelembagaan swasta dan masyarakat.Peme rintah daerah
Pemerintah daerah dan penyuluh pertanian
Program peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian diupayakan melalui kegiatan : a) pengembangan penyuluh swakarsa dan penyuluh swasta, b) pengangkatan tenaga penyuluh honorer, dan c) penempatan penyuluh pertanian PNS , swakarsa atau swasta untuk mengisi satu desa satu penyuluh. Program ini dilaksanakan untuk mengatasi kekurangan penyuluh pada kabupaten/kota. Pelaksana program ini adalah pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), kelembagaan swasta dan masyarakat.
Program peningkatan mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian diupayakan melalui kegiatan ; a) penyusunan pedoman kinerja penyuluh pertanian, b) sosialisasi pedoman kinerja penyuluh pertanian, c) peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, c) pengembangan kerjasama dan jejaring kerja penyuluh pertanian, d) pengembangan forum koordinasi penyuluhan pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah daerah dan penyuluh pertanian dapat dijadikan sebagai pelaksana dari program tersebut.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil kajian mengenai analisa keragaaan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau, diperolah kesimpulan sebagai berikut : 1. Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi Riau mengalami perubahan bersama (co-evolution) pranata sosial kelembagaan penyuluhan baik di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan penyuluhan pertanian yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Kelembagaan di penyuluhan
pertanian
pada
kabupaten
Kampar
dinilai
cukup
baik
dibandingkan dengan kelambagaan penyuluhan di kabupaten Pelalawan dan kota Pekanbaru. 2. Pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan masih mendominasi sistim kerja penyuluhan. Keberadaan kelembagaan penyuluhan belum dapat mengakomodir kepentingan penyuluh dan petani Frekuensi LAKU belum sepenuhnya terlaksana. Pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian di Kabupaten Kampar lebih baik dibanding di kabupaten Pelalawan dan kota Pekanbaru. 3. Kondisi kelembagaan penyuluhan
dapat mempengaruhi kinerja penyuluh
pertanian, seperti disiplin mematuhi jam kerja, frekuensi kunjungan ke kelompok tani, ketepatan dalam menyelesaikan administrasi dan pelaporan. Kondisi tersebut memberikan gambaran yang berbeda terhadap tingkat
kesesuaian anjuran penerapan teknologi oleh petani.. Penyuluh pada lembaga penyuluhan di Kabupaten Kampar menyelenggarakan penyuluhan yang baik dibanding pada penyuluh yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru. 4. Rumusan strategi dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau adalah
membentuk badan sendiri yang spesifik menaungi
penyuluhan pertanian. Program yang dapat mewujudkan pembentukan lembaga penyuluhan pertanian tersendiri di provinsi Riau adalah : a) Program Penataan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, b) Program Peningkatan Ketenagaan
Penyuluh
Pertanian,
c)
Program
Peningkatan
Mutu
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. 6.2. Rekomendasi Kebijakan Saran / rekomendasi kebijakan
yang dapat diusulkan dalam
pengembangan kelembagaaan penyuluhan pertanian adalah : 1. Penyatuan penyuluh pada satu lembaga yang dapat mengakomodasi kepentingan penyuluh pertanian dan petani, mendesak untuk dilaksanakan sebagai wujud implementasi dari Undang-Undang No.16 Tahun 2006. 2. Untuk mendukung peranan dan tanggung jawab Penyuluh Pertanian terhadap tugas dan tanggungjawabnya, kelembagaan yang ada saat ini diharapkan membuat program unggulan yang disertai target-target tertentu sesuai kondisi wilayah. Sehingga dengan demikian penyuluh pertanian akan mempunyai kegiatan yang lebih terarah dan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih jelas terhadap pekerjaanya.
3. Sistem Latihan dan Kunjungan (LAKU) yang merupakan sistem kerja penyuluhan pertanian saat ini masih dibutuhkan oleh petani. Implikasi kebijakan di bidang Penyuluhan yang perlu diterapkan adalah meningkat intensitas kunjungan petani kepada kelompok tani binaannya secara terjadual dan teratur serta pengawasan yang intensif dari pejabat yang berwenang agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Untuk meningkatkan efektifitas pembinaan kepada kelompok tani sasaran, maka jumlah kelompok binaan untuk setiap penyuluh diperkecil jumlahnya, idealnya satu orang penyuluh membina 7 - 10 kelompok tani sehingga dalam satu bulan setiap kelompok tani dapat dikunjungi 3 - 4 kali. 4. Penyusunan dan pembuatan programa penyuluhan sebagai acuan dan tolok ukur terhadap pekerjaan penyuluh, perlu kembali dibuat secara rutin dan terjadual mulai dari tingkat BPP dan Kabupaten, sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh penyuluh lebih jelas dan terarah. Oleh sebab itu fungsi dan peranan BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) yang berada di tingkat Kecamatan, perlu dihidupkan kembali karena lembaga ini merupakan home base tempat bertemunya petani dan penyuluh dalam upaya memperoleh informasi teknologi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam mensukseskan program pembangunan pertanian yang tujuannya untuk meningkatkan pendapataan petani. 5. Kebijakan otonomi daerah dalam menetapkan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian harus mampu mencerminkan : (1) kerjasama petani – penyuluh dan peneliti dalam merancang usahatani nelayan yang responsif terhadap kemampuan wilayah dan permintaan pasar; (2) mengefektifkan
kembali fungsi dan peranan BPP sebagai home base dan pusat kegiatan pata petani, penyuluh dan peneliti untuk mengembangkan usahatani nelayan berdasarkan
prinsip-prinsip
agribisnis
;
(3)
membangun
dan
mengoperasionalkan jaringan kelembagaan komunikasi, informasi dan penyuluhan yang mampu memberikan dorongan bagi berkembangnya profesionalisme petani, nelayan dan penyuluh; (4) mengorientasikan para petugas terutama para administrator terdepan dan penyuluh pertanian sehingga mereka mampu menjadi mitra kerja , fasilitator, motivator dan konsultan bagi para petani-nelayan dan (5) mengatur pendanaan sehingga berbagai kegiatan penyuluhan pertanian dapat dilaksanakan daerah otonom dengan biaya memadai, berdaya guna dan berhasil guna.
DAFTAR PUSTAKA Amanah, S. 2006. Peran Strategis Penyuluhan Pembangunan.: Tinjauan dari Sisi Akademis. Institut Pertanian Bogor. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik. Bina Aksara. Jakarta. BPS Kabupaten Kampar. 2006. Kampar Dalam Angka 2005. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kampar dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kampar. Bangkinang. BPS Kabupaten Pelalawan . 2006. Pelalawan Dalam Angka 2005. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pelalawan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pelalawan. Pangkalan Kerinci BPS Kota Pekanbaru. 2006. Pekanbaru Dalam Angka 2005. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Kota Pekanbaru dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekanbaru. Pekanbaru BPS Provinsi Riau.. 2006. Riau Dalam Angka 2005. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Riau dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau. Pekanbaru Badan Ketahanan Pangan Riau. 2008. Evaluasi Pembangunan Ketahanan Pangan Tahun 2004 – 2007. Pekanbaru. Budiono, P, 2008. Dilematika Penyuluh (Kehutanan) dalam Paradigma Good Governance. dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Pustaka Bangsa Press. Medan. David, F. R. 2002. Manajemen Strategis Konsep, Edisi Ketujuh, Education Asia Pte. Ltd dan PT. Prenhallindo, Jakarta
Pearson
Daryanto A, 2004. Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi Masyarakat Sebagai Modal Sosial Pembangunan. Agrimedia. Volume 9 No.1. Departemen Pertanian. 2002. Kebijaksanaan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. Departemen Pertanian. 2005. Strategi dan Kebijakan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian . Badan Pengembangan SDM Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. Departemen Pertanian. 2006. Rencana Strategis Departemen Pertanian 2005 – 2009. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2007. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau. 2007. Data Statistik Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2006. Ekalinda,O, 1999, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi, BPTP Riau 2000, Yogyakarta. Hafsah, J. 2006. Kedaulatan Pangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Harun,R, 1996, Kebutuhan Revitalisasi dalam Penyuluhan Pertanian, Ekstensia, Volume II,Pusat Penyuluhan Pertanian, Jakarta. Hasmosoewignjo dan Attila Garnadi, 1962. Penjuluhan Kepada Rakjat Tani. Djawatan Pertanian. Djakarta. Indaryanti Y. 2003. Analisis Strategi Ketahanan Pangan Komunitas Petani (Studi Kasus di desa Sidajaya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
PT.
Mardikanto, T. 2008. Refleksi dan Rekomendasi Implementasi Penyuluhan Pembangunan Pertanian . dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Pustaka Bangsa Press. Medan. Mardikanto, T. 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta. Sebelas Maret University Press. Mustopadidjaja, AR. 2002. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja. Jakarta. LAN (Lembaga Administrasi Nasional). Nasdian, Fredian Tonny. 2008. Kelembagaan dan Tata-Pemerintahan Kecamatan : Review Implementasi dan Rekomendasi. Project Working Paper Series No.02. Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat , Institut Pertanian Bogor dengan Democratic Reform Support Program, United States Agency for International Development. Natsir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Nugroho, R. 2008. Public Policy. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.
Pemerintah Provinsi Riau. 2008. Merekat Kebersamaan Membangun Negeri. Pekanbaru RPP IPB. 2005. Strategi dan Kebijakan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Badan Ketahanan Pangan . Departemen Pertanian. Suryana, A. 2003. Kapita Selekta : Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE-Yogyakarta Suhardiyono, L. 1990. Penyuluhan : Petunjuk bagi Penyuluhan Pertanian. Penerbit Erlangga. Jakarta Syamsudin S, U. 1977. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bandung. Binacipta. Slamet, M, 2008. Menuju Pembangunan Berkelanjutan Melalui Implementasi UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan, dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Pustaka Bangsa Press. Medan. Tony NF dan Utomo BS. 2004. Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial. Modul Kuliah Magister Profesional Pengembanan Masyarakat Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tedjokoesoemo, H. 1996. Uapaya Pemahaman Tugas dan Fungsi Penyuluhan Pertanian (makalah disampaikan pada kegiatan Apresiasi Manajemen dan Metodologi Penyuluhan bagi Peneliti. Bogor, 15-19 Januari 1996). Jakarta. Pusat Penyuluhan Pertanian Departemen Pertanian. Tohir, W. 2005. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian Ditinjau dari Aspek Teknis Operasional. Disampaikan dalam Konsultansi Publik ’ Revitalisasi Pertanian ” Badan Pengembangan SDM Pertanian dan Biro Hukum dan Humas Deptan serta Tabloid Sinar Tani. Ciawi Bogor, 30 Agustus 2005. Yasin, F. 2007. Perspektif Penyuluhan Pertanian. Riau Mandiri. Kamis 27 Sepetember 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006. 2006. Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Jakarta. Pengembangan SDM Pertanian Departemen Pertanian.
Sistem Badan
Van den Ben, AW dan Hawkins, HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Valera, J.B., V.A.Martinez dan R.F.Plopino. 1987. An Introduction to Extension Delivery System. Island Publishing House, Inc. Manila. Vitalaya S.Hubeis, Aida et.al. 1992. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia, Jakarta. PT. Pustaka Pembangunan Nusantara.
Vitalaya S.Hubeis, Aida. 1992. Strategi Penyuluhan Pertanian Sebagai Salah Satu Upaya Menswadayakan Petani-Nelayan. Makalah Seminar Sehari dalam rangka Ulang Tahun V Perhiptani, Tanggal 1 Desember 1992. Jakarta.
KUESIONER NARASUMBER ANALISA KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROVINSI RIAU Nama Unit Kerja Pangkat Jabatan
: : : :
No.
FAKTOR STRATEGIS INTERNAL
I. 1.
Kekuatan PERDA Kelembagaan Penyuluhan
2. 3.
Lembaga Peneliti dan Pelatihan Pertanian Penghargaan terhadap penyuluh berpretasi
4.
Insentif yang memadai bagi pegawai/ penyuluh Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder (PEDA)
Nilai 1
5.
II. 1. 2. 3. 4. 5.
2
Kelemahan Koordinasi antar subsektor lemah Kuantitas dan Kualitas PPL terbatas Sarana dan prasarana PPL terbatas Anggaran APBD terbatas Perbedaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan
Keterangan : Tingkat Nilai : 1 = Jika Faktor tsb Sangat Kurang Berpengaruh (Kelemahan Besar) 2 = Jika Faktor tsb Kurang Berpengaruh (Kelemahan Kecil) 3 = Jika Faktor tsb Berpengaruh Besar (Kekuatan Kecil) 4 = Jika Faktor tsb Berpengaruh sangat Besar (Kekuatan Utama)
3
4
KUESIONER NARASUMBER ANALISA KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROVINSI RIAU Nama Unit Kerja Pangkat Jabatan
: : : :
No.
FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL
I. 1.
Peluang UU N0.16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian PP 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Daerah Permenpan No. PER/02/MENPAN/2/2008 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya serta adanya Peningkatan Kompetensi & Profesionalisme PPL Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi di tk. Nasional Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder tingkat Nasional (PENAS) Letak Geografis yang strategis
1
2. 3.
4. 5. 6.
II. 1. 2. 3. 4.
Nilai 2 3
Ancaman Alih fungsi profesi penyuluh Inkonsistensi peraturan / perundangan Tumpang tindih program intansi terkait Rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian
Keterangan : Tingkat Nilai : 1 = Jika Faktor tsb Sangat Kurang Berpengaruh (Kelemahan Besar) 2 = Jika Faktor tsb Kurang Berpengaruh (Kelemahan Kecil) 3 = Jika Faktor tsb Berpengaruh Besar (Kekuatan Kecil) 4 = Jika Faktor tsb Berpengaruh sangat Besar (Kekuatan Utama)
4
REKAPITULASI No.
FAKTOR STRATEGIS INTERNAL
Nilai 1
2
3
I. 1.
Kekuatan PERDA Kelembagaan Penyuluhan
2. 3.
Lembaga Peneliti dan Pelatihan Pertanian Penghargaan terhadap penyuluh berpretasi
V V
4.
Insentif yang memadai bagi pegawai/ penyuluh Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder (PEDA)
V
5.
II. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelemahan Koordinasi antar subsektor lemah Kuantitas dan Kualitas PPL terbatas Sarana dan prasarana PPL terbatas Anggaran APBD terbatas Perbedaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan
No.
FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL
I. 1.
Peluang UU N0.16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian PP 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Daerah Permenpan No. PER/02/MENPAN/2/2008 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya serta adanya Peningkatan Kompetensi & Profesionalisme PPL Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi di tk. Nasional Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder tingkat Nasional (PENAS)
V
V
V V V V V
1
2. 3.
4. 5.
II. 1. 2. 3.
Ancaman Alih fungsi profesi penyuluh Inkonsistensi peraturan / perundangan Tumpang tindih program intansi terkait
4
Nilai 2 3
4 V
V V
V V
V V V
4.
Rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian
No.
FAKTOR STRATEGIS INTERNAL Kekuatan PERDA Kelembagaan Penyuluhan
I. 1. 2. 3. 4. 5.
II. 1. 2. 3. 4. 5.
No . I. 1. 2. 3.
4. 5.
II.
V
Nilai RESPONDEN 1
Lembaga Peneliti dan Pelatihan Pertanian Penghargaan terhadap penyuluh berpretasi Insentif yang memadai bagi pegawai/ penyuluh Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder (PEDA) Kelemahan Koordinasi antar subsektor lemah Kuantitas dan Kualitas PPL terbatas Sarana dan prasarana PPL terbatas Anggaran APBD terbatas Perbedaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan
RESPONDEN 2
Ancaman
RATA-RATA
4
4
4
4
4
3
3
3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
3
2
3
4 3 4 4 4
4 4 3 4 4
1 2 2 3 4
3 3 3 4 4
Nilai
FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL Peluang UU N0.16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian PP 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Daerah Permenpan No. PER/02/MENPAN/2/2008 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya serta adanya Peningkatan Kompetensi & Profesionalisme PPL Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi di tk. Nasional Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder tingkat Nasional (PENAS)
RESPONDEN 3
RESPONDEN 1
RESPONDEN 2
RESPONDEN 3
4
4
4
4
3
4
3
3
4
3
2
3
4
3
3
3
3
3
3
3
RATA-RATA
1. 2. 3. 4.
Alih fungsi profesi penyuluh Inkonsistensi peraturan / perundangan Tumpang tindih program intansi terkait Rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian
3 2 2 3
4 4 2 1
2 4 2 2
3 3 2 2
KUESIONER NARASUMBER ANALISA KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROVINSI RIAU Nama Unit Kerja Jabatan
No.
: : :
FAKTOR STRATEGIS INTERNAL
Nilai 1
I. 1. 2. 3.
Kekuatan PERDA Kelembagaan Penyuluhan Lembaga Diklat Pertanian Penghargaan terhadap penyuluh berpretasi
4.
Insentif yang memadai bagi pegawai/ penyuluh Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder (PEDA)
5.
II. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelemahan Koordinasi antar subsektor lemah Kuantitas dan Kualitas PPL terbatas Sarana dan prasarana PPL terbatas Anggaran APBD terbatas Perbedaan persepsi keberadaan kelembagaan penyuluhan
Keterangan : Tingkat Nilai : 1 = Kelemahan Utama 2 = Kelemahan Kecil 3 = Kekuatan Kecil 4 = Kekuatan Utama
2
3
4
KUESIONER NARASUMBER ANALISA KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROVINSI RIAU Nama Unit Kerja Jabatan
No. I. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
II. 1. 2. 3. 4.
: : :
FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL Peluang UU N0.16 Tahun 2006 tentang Penyuluhan Pertanian PP 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Daerah SK Mentan tentang Profesinalisme Penyuluh Pertanian
Nilai 1
Penghargaan terhadap penyuluh berprestasi di tk. Nasional Tersedianya sarana komunikasi bagi penyuluh dan stake holder tingkat Nasional (PENAS) Letak Geografis yang strategis
Ancaman Alih fungsi profesi penyuluh Inkonsistensi peraturan / perundangan Tumpang tindih program intansi terkait Rendahnya minat masyarakat terhadap sektor pertanian
5.
Keterangan : Tingkat Nilai : 1 = Kelemahan Utama 2 = Kelemahan Kecil 3 = Kekuatan Kecil 4 = Kekuatan Utama
2
3
4
PENELITIAN ANALISIS KERAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROPINSI RIAU KUISIONER UNTUK INSTANSI/KEPALA SATUAN KERJA
No Kuisioner : Hari /Tanggal :
DATA DIRI Nama, L/P Umur Pendidikan Terakhir Jabatan
Kabupaten Kecamatan Nama Lembaga Tahun ditetapkan
: : : :
berdiri
VISI DAN MISI 1. Apakah lembaga saudara telah merumuskan visi dan misi penyuluhan pertanian yang spesifik untuk wilayah kerja anda? a) Visi dan misi lengkap dan komprehensif (3) b) Visi dan misi cukup lengkap (2) c) Visi dan misi kurang lengkap (1) d) Visi dan misi tidak ada (0) 2. Apakah lembaga saudara telah menyusun rencana strategis tentang penyuluhan pertanian? a) Renstra ada dan komprehensif (3) b) Renstra ada cukup komprehensif (2) c) Renstra kurang cukup komprehensif (1) d) Renstra tidak dibuat (0) 3. Dengan pelaksanaan penyuluhan yang telah dilakukan, berpengaruhkah pelaksanaan program terhadap visi dan misi lembaga yang anda pimpin? a). Sangat berpengaruh (3) b). Berpengaruh
(2)
c). Cukup berpengaruh
(1)
d). Tidak berpengaruh
(0)
Apa saja pencapaian yang telah berhasil dilakukan oleh lembaga anda? ………………………………………………………………………………… ……... ………………………………………………………………………………… ……... ………………………………………………………………………………… ……... TUPOKSI 3. Apakah tugas pokok dan fungsi lembaga saudara telah ditetapkan dengan Perda? a) Ada (3) b) Tidak ada (0) 4. Jika ada apakah tupoksi telah dijabarkan? a) Telah dijabarkan menjadi uraian kerja dengan baik (3) b) Telah dijabarkan cukup baik (2) c) Telah dijabarkan kurang baik (1) d) Belum dijabarkan (0)
KEBIJAKAN TENTANG PENYULUHAN YANG TELAH DITETAPKAN
5. Apakah telah ada struktur kelembagaan yang terorganisir dan definitif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Daerah mulai dari tingkat Kabupaten/Kota dan tingkat Kecamatan? a) Telah ada kelembagaan penyuluhan Tk. Kabupaten/Kota dan Tk. Kecamatan dan telah ditetapkan dengan Perda (3) b) Telah ada kelembagaan penyuluhan Tk. Kabupaten/Kota dan Tk. Kecamatan tetapi tidak diatur dengan Perda (2) c) Hanya ada Tk. Kabupaten/Kota saja (1) d) Belum diatur (0) 6. Perubahan aturan, kebijakan dan SOT, apakah membawa pengaruh terhadap pelaksanaan program penyuluhan ? a). Sangat berpengaruh (3) b). Berpengaruh
(2)
c). Cukup berpengaruh
(1)
d). Tidak berpengaruh
(1)
Dalam hal apa saja? ……………………………………………………………………………………… ... ……………………………………………………………………………………… ... ……………………………………………………………………………………… ...
PROGRAM/KEGIATAN 7. Apakah telah ada saudara menyusun kebijakan dan program penyuluhan Tk. Kabupaten/Kota? (berkaitan dengan programma penyuluhan) a) Ada (3) b) Belum ada (0) 8. Apakah telah ada menyusun, memperbanyak, menyebarkan metode penyuluhan pertanian? a) Ada, lengkap (3) b) Ada, cukup lengkap (2) c) Ada, kurang lengkap (1) d) Tidak ada (0) 9. Apakah saudara menumbuh kembangkan kelembagaan ekonomi petani dan kelompok tani? a) Sudah ada, dan berkembang dengan baik (3) b) Sudah ada, cukup berkembang (2) c) Sudah, kurang berkembang (1) d) Tidak ada (0)
KOORDINASI DENGAN LEMBAGA/INSTANSI LAIN 10. Apakah ada program pembinaan dan pengembangan kerjasama kemitraan petani, penyuluh pertanian, peneliti dan LSM di wilayah kerja saudara? a) Sudah diprogramkan dan telah berjalan baik (3) b) Sudah diprogramkan dan cukup baik (2) c) Sudah diprogramkan dan kurang baik (1) d) Belum diprogramkan (0) 11. Apakah koordinasi dengan pihak lain/institusi/lembaga dalam pelaksanaan program berpengaruh terhadap pencapaian tujuan penyuluhan ? a). Sangat berpengaruh (3) b). Berpengaruh
(2)
c). Cukup berpengaruh
(1)
d). Tidak berpengaruh (0) Apakah ada koordinasi dengan pihak lain/institusi/lembaga dalam pelaksanaan program, dan dalam bentuk apa? ………………………………………………………………………………… ……... ………………………………………………………………………………… ……... ………………………………………………………………………………… ……... ………………………………………………………………………………… ……… SDM 12. Apakah ada kebijakan/program pembinaan penyuluh pertanian? a) Ada dan terlaksana dengan baik b) Ada dan cukup terlaksana c) Ada dan kurang terlaksana dengan baik d) Belum ada
dan pengembangan tenaga (3) (2) (1) (0)
SARANA/PRASARA SERTA PENDANAAN 13. Apakah ada saudara membuat kebijakan/program untuk pengadaan sarana dan prasarana penyuluhan pertanian? a) Ada dan terlaksana dengan sangat baik (3) b) Ada dan cukup terlaksana dengan baik (2) c) Ada dan kurang terlaksana (1) d) Tidak ada (0) 14. Apakah besar kecilnya anggaran dana yang disediakan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan penyuluhan? a). Sangat berpengaruh (3) b). Berpengaruh
(2)
c). Cukup berpengaruh
(1)
d). Tidak berpengaruh
(0)
Berapa besar alokasi dana untuk program penyuluhan ini? ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… MASALAH YANG DIHADAPI 15. Sebutkan/jelaskan masalah, kendala dan harapan saudara menyangkut penyelenggaraan penyuluhan pertanian. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………
PENELITIAN ANALISIS KERAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI PROPINSI RIAU KUISIONER UNTUK PPL
No Kuisioner : Hari /Tanggal :
Kab/Kota BPP Wilayah Kerja Alamat
: : : :
DATA DIRI Nama, L/P Umur Pendidikan Terakhir Jabatan Pengalaman kerja(Th) Jenis Pelatihan/kursus yang
Nama Pelatihan
Tahun/ Lama Pelatihan
Aktif
Tidak Aktif
pernah diikuti
Jumlah Kelompok yang dibina
DAFTAR PERTANYAAN Apakah besar kecilnya anggaran berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan anda? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah Prosedur penyaluran dan pencairan anggaran yang dialokasikan berdampak terhadap penyuluhan anda? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh Apakah
tingkat
e. Tidak berpengaruh
kepercayaan
diri
anda
berpengaruh
dalam
pelaksanaaan penyuluhan yang anda lakukan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah pelibatan petani dalam merencanakan metode penyuluhan berpengaruh terhadap hasil yang ingin dicapai? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah kelengkapan fasilitas penunjang penyuluhan (alat peraga, teknologi, dan kendaraan) yang digunakan berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan?
a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah tingkat pendidikan anda(formal dan informal.kursus), berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Pernahkah anda mendapatkan masalah dalam kegiatan penyuluhan, jika ya, dalam hal apa? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Apakah masalah tersebut berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Perubahan Aturan, kebijakan dan SOT, apakah membawa pengaruh terhadap pelaksanaan program penyuluhan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah frekuensi pelatihan bagi tenaga penyuluh berpengaruh terhadap kinerja anda dilapangan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah Jumlah penyuluh diwilayah anda berpengaruh terhadap pencapaian tujuan penyuluhan secara keseluruhan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Apakah kondisi fisik bangunan kantor PPL berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan? a. Sangat berpengaruh
b. Berpengaruh
c. Cukup
berpengaruh d. Kurang berpengaruh
e. Tidak berpengaruh
Sebutkan kendala, permasalahan dan harapan anda menyangkut Pelaksanaan program Penyuluhan? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
1. Apakah status dari lembaga saudara telah ditetapkan berdasarkan Perda? a. Ya (3) b. Belum (0) 2. Jika ya, apakah kelembagaan saudara telah memiliki tugas pokok dan fungsi definitif? a. Sudah ada, jelas dan telah dijabarkan menjadi uraian kerja (3) b. Sudah ada, cukup jelas belum dijabarkan menjadi uraian kerja (2) c. Sudah ada, kurang jelas (1) d. Belum ada (0) 3. Apakah lembaga saudara telah menyusun program penyelenggaraan penyuluhan pertanian? a. Sudah ada, lengkap dibuat setiap tahun (3) b. Sudah ada, lengkap, tidak dibuat setiap tahun (2) c. Sudah, kurang lengkap (1) d. Belum ada (0)
4. Apakah lembaga sudah melakukan pembinaan terhadap penyuluh pertanian yang berupa : a. Pertemuan berkala, secara rutin ( Ya / Tidak ), Jika Ya berapa kali ......... dalam satu tahun , apa saja agenda dalam pertemuan rutin tersebut sebutkan ......................................................................................................................... ......................................................................................................................... ......................................................................................................................... b. Pertemuan penyusunan program penyuluhan ( Ya / Tidak ) c. Melakukan monotoring dan evaluasi terhadap penyuluh pertanian di wilayah kerjanya ( Ya / Tidak ), Jika dalam bentuk kegiatan apa , jelaskan ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ Jika tidak kenapa , sebutkan alasannya …………………………………................................................................... ........................................................................................................................ ........................................................................................................................
5. Apakah Program kerja masing-masing penyuluhan telah ditetapkan sesuai dengan spesifik wilayah kerjanya (Ya/tidak), Jika ya jelaskan ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… 6.
Apakah ada pemberian penghargaan kepada penyuluh pertanian yang berprestasi ( Ya / Tidak ) , Jika tidak apa alasannya ,..........................................................................
7.
Apakah sarana dan prasarana penyuluhan pada wilayah kerja sdr telah mencukupi ( Sudah / Belum ) , Jika belum , sarana /prasarana apa yang paling anda butuhkan dalam mendukung penyelenggaraan penyuluhan ,sebutkan ............................................................................................................................
.................................................................................................................................. 8. Sebutkan masalah apa saja yang sdr hadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan pada wilayah kerja sdr ............................................................................................................................ ............................................................................................................................ ............................................................................................................................