ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PROYEK PENANAMAN KEMBALI KEBUN SAWIT SEBAGAI UPAYA MENGURANGI DEFORESTASI
FITRIA FADHILLA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKUTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PROYEK PENANAMAN KEMBALI KEBUN SAWIT SEBAGAI UPAYA MENGURANGI DEFORESTASI
FITRIA FADHILLA
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKUTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN FITRIA FADHILLA. E14104012. Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO. Lahan hutan menjadi target ekspansi bidang usaha lain non-kehutanan, salah satunya perkebunan sawit. Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran saat ini adalah pendorong terbesar deforestasi di Indonesia. Laju ekspansi lahan sawit begitu besar dikarenakan meningkatnya kebutuhan konsumsi minyak di dunia. Untuk menghindari adanya kegiatan ekspansi lahan yang terus-menerus, maka dilakukan kegiatan penanaman kembali. Kegiatan penanaman kembali merupakan kegiatan melakukan peremajaan sawit sebagai upaya meningkatkan produktivitas hasil tanaman, yang dilakukan secara mekanis dengan menggunakan 2 unit alat berat yaitu excavator kapasitas 20 ton yang dilakukan oleh pihak kontraktor. Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Sawit PT. X di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Penelitian berlangsung dari Agustus hingga November 2010. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui alasan pemilik kebun untuk melakukan kegiatan penanaman kembali, kemudian menghitung kelayakan usaha sebagai kontraktor proyek penanaman kembali kebun sawit berdasarkan aspek finansial (Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period), sehingga dapat ditentukan proyek tersebut layak atau tidak. Selanjutnya menganalisis berkurangnya laju deforestasi dengan adanya kegiatan penanaman kembali tersebut. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Untuk menghitung kelayakan usaha, data diolah dengan menggunakan analisis Discounted Cash Flow dengan menggunakan tiga kondisi harga sewa alat dalam satuan jam berdasarkan harga pasar di lokasi, kondisi harga tersebut antara lain Rp.200.000 per jam, Rp.225.000 per jam, dan Rp. 250.000 per jam. Dan untuk menganalisis berkurangnya laju deforestasi dengan adanya kegiatan penanaman kembali digunakan analisis secara deskriptif. Berdasarkan analisis Discounted Cash Flow diperoleh hasil bahwa kondisi harga sewa alat per jam Rp. 225.000 dan Rp. 250.000 merupakan kondisi yang layak untuk ditawarkan kepada pihak kebun. Sedangkan harga sewa alat per jam Rp. 200.000 tidak layak berdasarkan nilai Internal Rate of Return. Mengenai deforestasi, berdasarkan analisis deskriptif dan asumsi perkiraan pertambahan luas sawit sebesar 8,7% per tahun, maka akan terjadi pengurangan ekspansi perkebunan kelapa sawit sebesar 5% per tahun dengan adanya kegiatan penanaman kembali. Ini berarti bahwa hanya terjadi ekspansi sebesar 3.7% per tahun. Jadi, dengan angka ekspansi yang lebih rendah maka juga akan mengurangi potensi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (deforestasi).
Kata kunci: ekspansi Sawit, penanaman Kembali, deforestasi, kelayakan finansial
SUMMARY FITRIA FADHILLA. E14104012. Analysis of Feasibility Study at Palm Oil Plantation Replanting For Reduce Deforestation. Under Supervision of HARIADI KARTODIHARDJO. Recently, forest to be target for expansion of non-forest sectors. One of sector who converts the forest is palm oil plantation. Expansion of palm oil plantation is very high because demand of palm oil is getting increase. In order to absorp the demand, palm oil plantation stakeholders try to expand land. It means that they need more land to be converted to palm oil. In order to improve production of palm oil without expansion, it is conducted replanting. Replanting is activity in palm oil plantation to replace old plant with new plant. In field, replanting by mechanization is the best way because of faster than others (manual, chemical). Mechanization use heavy equipment (excavator with capacity 20 ton) who operated by contractor. This research was done at company X, located at North Mamuju, Province of West Celebes, from August until November 2010. The aim of research are know the reason of palm oil plantation company to conduct replanting, then calculate financial analysis as palm oil replanting contractor based on financial aspect, consist of Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period. And then, this research also analyze influence of palm oil replanting to deforestation in North Mamuju. For research, data consist of primary data and secondary data. Discounted Cash Flow is used for calculate financial analysis where used three conditions of price per hour, IDR 200,000 per hour, IDR 225,000 per hour, and also IDR 250,000 per hour. For analyze influence of palm oil replanting to deforestation is used decription analysis. Based on Discounted Cash Flow, condition with price IDR 225,000 per hour, and IDR 250,000 per hour are feasible. But condition with price IDR 200,000 per hour Price is not feasible because value of internal rate of return almost same with interest rate. And for deforestation, based on description analysis and asumption expansion rate of palm oil plantation 8.7% per year, replanting can reduce the expansion to be 5% per year lower. It means that with replanting, the expansion only 3.7% per year. Thus, with lower expansion rate, it is possible to decrease convertion of forest (deforestation) to be palm oil plantation.
Keywords: expansion, replanting, deforestation, financial analysis
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit Sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka skripsi ini.
Bogor,
Mei 2011
Fitria Fadhilla E14104012
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala kebesaran-NYA sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit Sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kegiatan penanaman kembali yang dilakukan oleh perkebunan sawit. Analisis dilakukan dengan menghitung kelayakan finansial. Dengan mengetahui kelayakan kegiatan ini diharapkan para pemilik kebun sawit dalam meningkatkan produktivitas produksinya memiliki kebijakan melakukan penanaman kembali pada kebun yang sudah ada dengan tidak melakukan ekspansi pada lahan hutan sehingga konversi hutan yang menyebabkan deforestasi dapat dihindari. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis tetap berharap skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat khususnya bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pembimbing, Bapak Rachmat Kurniawan dari pihak kontraktor kebun, serta pihak-pihak kebun lainnya yang telah banyak membantu memberikan informasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, Kakek Muslim, Nenek Kismawati, serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya, penulis ucapkan terima kasih.
Bogor,
Mei 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Syaiful Bachri dan Enny Marina. Pada tahun 1998, penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Sudimara 13 Ciledug, Tangerang, Banten. Kemudian tahun 2001 penulis lulus dari SLTP YKPP Pendopo Muara Enim Sumsel. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMU YKPP Pendopo Muara Enim Sumsel dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan perkuliahan pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan dan berbagai kepanitiaan yakni sebagai staf bidang olahraga dan seni BEM KM IPB tahun 2005-2006, anggota KOPMA IPB tahun 2005-2006, dan panitia Temu Manajer tahun 2007. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Umun Kehutanan (PUK) di Sancang-Kamojang, Garut, Jawa Barat lalu dilanjutkan dengan Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Purwakarta, Jawa Barat pada bulan Juli-September 2007. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di KPH Ciamis, Jawa Barat pada bulan Februari-April 2008. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................... i RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2 1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3 1.4 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan .......................................................................................................... 5 2.1.1 Pengertian Hutan .............................................................................. 5 2.1.2 Keadaan Hutan Saat Ini .................................................................... 5 2.1.3 Deforestasi ........................................................................................ 7 2.2 Perkebunan Sawit ....................................................................................... 8 2.3 Penanaman Kembali ................................................................................... 8 2.4 Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi .................................................................................................. 10 2.5 Alat Berat ................................................................................................... 12 2.6 Analisis Proyek........................................................................................... 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu ....................................................................................... 16 3.2 Alat ............................................................................................................. 16 3.3 Sumber Data ............................................................................................... 16 3.4 Metode Pengolahan Data............................................................................ 17 3.4.1 Analisis Kelayakan Finansial ........................................................... 17 3.4.2 Analisis Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi............................................................................ 19 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sulawesi Barat ............................................................................................ 21 4.2 Mamuju Utara............................................................................................. 22 4.2.1 Letak Geografis ................................................................................ 22 4.2.2 Curah Hujan ...................................................................................... 22 4.2.3 Penggunaan Lahan ............................................................................ 23 4.2.4 Kependudukan .................................................................................. 23 4.2.5 Indikator Ekonomi ............................................................................ 24 4.2.5.1 Pertumbuhan Ekonomi.......................................................... 24
4.2.4.2 Produk Domestik Regional Bruto ......................................... 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penanaman Kembali oleh Perkebunan Sawit PT. X .................................. 25 5.2 Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ....................................................... 27 5.3 Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ......................... 30 5.4 Bisnis Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali .............. 30 5.5 Analisis Kelayakan Finansial Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ................................................................................... 31 5.5.1 Pendapatan (Inflow) .......................................................................... 31 5.5.2 Pengeluaran (Outflow) ...................................................................... 32 5.5.2.1 Biaya Investasi, Bunga, dan Depresiasi ............................... 32 5.5.2.2 Biaya Operasional ................................................................ 33 5.5.3 Indikator Proyek ............................................................................... 34 5.6 Analisis Dampak Kegiatan Penanaman Kembali terhadap Deforestasi ..... 37 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 40 6.2 Saran ........................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41 LAMPIRAN .......................................................................................................... 43
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Perkembangan Luas Areal Sawit dan Produksi TBS ...................................... 11 2. Asumsi Korelasi Antara Penanaman Kembali, Permintaan Minyak Sawit, dan Ekspansi Lahan ................................................................ 12 3. Kisaran Harga.................................................................................................. 19 4. Luas Kawasan Hutan di Mamuju Utara Menurut Fungsinya.......................... 23 5. Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten di Sulawesi Barat .......................... 24 6. Produk Domestik Regional Bruto Antar Kabupaten di Sulawesi Barat............................................................................................. 24 7. Perbandingan antara Penanaman Kembali dengan Pengembangan Sawit Secara Konvensional ............................................................................. 27 8. Kerjasama Antara Kontraktor dan Perusahaan Kebun.................................... 30 9. Biaya Investasi ................................................................................................ 32 10. Biaya Bunga ............................................................................................................ 33 11. Biaya Depresiasi .............................................................................................. 33 12. Biaya Operasional ........................................................................................... 34 13. Indikator Proyek .............................................................................................. 35 14. Luas Areal Kelapa Sawit di Mamuju Utara Tahun 2007-2012....................... 38 15. Dampak Adanya Kegiatan Penanaman Kembali Terhadap Ekspansi Lahan ............................................................................................... 39
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................................... 4 2. Excavator dan Bulldozer ............................................................................... 13 3. Analisis Deskriptif Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali Dengan Deforestasi ....................................................................................... 20 4. Peta Provinsi Sulawesi Barat ........................................................................ 21 5. Grafik Curah Hujan Kabupaten Mamuju Utara ............................................ 22 6. Lahan konservasi yang terdapat di dalam areal kebun.................................. 26 7. Flow Chart Kegiatan Penanaman Kembali................................................... 28 8. Kegiatan Penumbangan ................................................................................. 28 9. Kegiatan Pencacahan .................................................................................... 29 10. Kegiatan Perumpukan ................................................................................... 29 11. Proses Bisnis Usaha Kegiatan Penanaman Kembali ..................................... 31 12. Pendapatan per tahun berdasarkan harga per jam per unit excavator ........... 32 13. Nilai NPV pada tiap kondisi ......................................................................... 35 14. Nilai IRR pada tiap kondisi ........................................................................... 36 15. Nilai BCR pada tiap kondisi ......................................................................... 36 16. Nilai Payback Period pada tiap kondisi ........................................................ 36 17. Perkembangan Areal Kelapa Sawit di Indonesia .......................................... 38
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Perbandingan Antara Biaya Kegiatan Penanaman Kembali dengan Pembukaan Lahan Baru (Konvensional) ........................................................ 44 2. Cash Flow Harga Sewa Rp.200.000 per jam .................................................. 45 3. Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.200.000 per jam ...................... 45 4. Cash Flow Harga Sewa Rp.225.000 per jam .................................................. 46 5. Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.225.000 per jam ...................... 46 6. Cash Flow Harga Sewa Rp.250.000 per jam .................................................. 47 7. Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.250.000 per jam ...................... 47 8. Rincian Pengeluaran (Outflow) ....................................................................... 48 9. Struktur Organisasi ......................................................................................... 50 10. Deskripsi Pekerjaan Tenaga Kerja .................................................................. 50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan (FWI/GFW, 2001) Salah satu perkebunan yang produksinya meningkat dari tahun ke tahun adalah perkebunan kelapa sawit. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sungguh fenomenal, dengan produksi yang bertumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960-an. Pembangunan perkebunan selama 30 tahun terakhir jelas merupakan faktor utama penyebab deforestasi, tetapi sulit menyajikan data definitif mengenai luas hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan. Sumbersumber data resmi sangat bervariasi dan tidak konsisten dari tahun ke tahun. Menurut analisis, total kawasan lahan hutan yang dikonversi menjadi bentuk perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta ha. Dari angka total ini, menurut penelitian lainnya, 1,8 juta ha hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 (FWI/GFW, 2001) Permintaan dunia akan minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat dari 20,2 juta ton per tahun menjadi 40 juta ton di tahun 2020. Permintaan ini dapat dipenuhi bila 300.000 ha perkebunan baru ditanami tiap tahunnya selama 20 tahun ke depan. Diperkirakan bahwa sebagian besar lahan baru ini akan dibuka di Indonesia dimana sumber daya manusia dan lahan masih berlimpah(Greenpeace, 2008). Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional meningkat sebesar 1 juta ton pada 2010. Jumlah tersebut dihasilkan dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas 7,3 juta ha. Tahun 2009, produksi minyak sawit mentah
nasional mencapai 21 juta ton dan naik menjadi 22 juta ton pada tahun 2010 ini. Namun, lahan perkebunan sawit di Indonesia saat ini sedikitnya menghasilkan rata-rata sekitar 3,2 ton minyak sawit mentah per ha per tahun. Angka tersebut masih jauh lebih rendah dari produktivitas perkebunan sawit Malaysia yang mencapai 6-7 ton per ha per tahun.1 Menurut Direktur Tanaman Tahunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, produktivitas perkebunan sawit dalam negeri saat ini masih rendah, terutama milik rakyat yang hanya 15 ton tandan buah segar (TBS) per ha dan swasta 25 ton per ha per tahun dengan rendemen 21-23%. Namun, perkebunan sawit tidak mungkin lagi melakukan ekspansi besar-besaran karena keterbatasan lahan. Pemerintah memiliki program revitalisasi dan penanaman kembali untuk meningkatkan produktivitas produksi minyak sawit mentah.2 Dalam konteks perkebunan komersial, yang menjadi tujuan perusahaan yaitu keuntungan yang optimal. Keuntungan optimal perusahaan perkebunan sangat ditentukan oleh sumber pendapatan perusahaan. Secara pasti, hal itu merupakan fungsi produksi dari tanaman yang ditanam di kebun. Untuk mencapai produksi yang optimal tersebut, perlu dicapai keadaan rata-rata umur tanaman 15 tahun karena akan tercapai produksi puncak. Salah satu tindakan manajemen untuk mempertahankan rata-rata umur tanaman tetap optimal bagi perusahaan adalah dengan melakukan kegiatan penanaman kembali (Pahan, 2008). Dengan dilakukan kegiatan ini diharapkan selain dapat meningkatkan hasil panen juga sekaligus menghindari konversi hutan menjadi lahan sawit baru.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.
Mengetahui alasan pemilik kebun untuk melakukan kegiatan penanaman kembali.
2.
Menghitung kelayakan usaha sebagai kontraktor proyek penanaman kembali kebun sawit berdasarkan aspek finansial (Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period), serta menentukan proyek tersebut layak atau tidak.
1 2
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=264623 (27 April 2011) http://bataviase.co.id/node/638703 (27 April 2011)
3.
Menganalisis berkurangnya laju deforestasi dengan adanya kegiatan penanaman kembali kebun sawit.
1.3 Manfaat Penelitian Diharapkan dengan adanya kegiatan penanaman kembali akan mengurangi laju deforestasi hutan. Selain itu, dengan mempelajari usaha kontraktor dapat melatih kompetensi untuk menjadi wirausaha yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
1.4 Kerangka Pemikiran Peningkatan jumlah penduduk di dunia tentunya akan diikuti oleh kebutuhan pangan yang semakin meningkat, salah satunya adalah minyak kelapa sawit. Keadaan ini menyebabkan para pengusaha perkebunan kelapa sawit akan terus meningkatkan produksinya guna mendapatkan keuntungan dari pasar yang selalu meningkat. Salah satu upaya peningkatan produksi adalah dengan intensifikasi (tanpa melakukan ekspansi lahan) yang kegiatannya berupa penanaman kembali. Penanaman kembali ini dapat
dilakukan dengan cara
mekanis yang diharapkan dapat dilakukan dengan cepat dan biaya yang lebih murah. Untuk mendukung kegiatan penanaman kembali, perlu adanya kajian analisis finansial berupa berapa besar Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period, sehingga apakah menguntungkan jika ada pihak yang akan mengerjakan kegiatan penanaman kembali secara mekanis. Selain itu juga akan dilakukan analisis secara deskriptif mengenai seberapa besar pengurangan deforestasi dari kegiatan penanaman kembali kelapa sawit tersebut. Berikut ini adalah gambaran kerangka pemikiran yang dapat dilihat jelas pada Gambar 1.
Kebutuhan CPO dunia meningkat
Perkebunan sawit meningkatkan produktivitas
Penanaman kembali pada lahan sawit
Ekspansi lahan baru
Lahan hutan
Lahan non hutan (cth: alangalang, perkebunan karet, dll)
Me
Ki
Ma
ka
mi
nu
nis
a
al
Tidak ada ekspansi lahan (khususnya lahan hutan)
Berkurangnya angka deforestasi
Deforestasi
Alat berat (kontraktor)
Analisis Kelayakan Usaha Kontraktor Penanaman Kembali Kebun Sawit
Layak Tidak layak
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan 2.1.1 Pengertian Hutan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi (Tunggal, 2008).
2.1.2 Keadaan Hutan Saat Ini Indonesia memiliki sebagian besar wilayah hutan alam tersisa, terdiri dari wilayah-wilayah bentang hutan utuh yang luas serta hutan-hutan sekunder. Diperkirakan 88,5 juta hektar hutan masih tersisa. Walaupun angka ini tampaknya besar, kenyataannya hampir separuh hutan di Indonesia telah dirusak sejak 1950 ketika total tutupan hutan masih 162 juta ha. Indonesia saat ini tengah mengalami penyusutan hutannya lebih cepat dibandingkan negara berhutan lainnya. Sekitar 51 km2 hutan dirusak tiap harinya, atau setara dengan lebih dari 300 luas lapangan bola per jam. Angka yang mengejutkan, sekitar 72 persen bentang hutan utuh di Indonesia telah hilang atau rusak berat akibat pertumbuhan industri selama
puluhan tahun dan penebangan ilegal. Hutan mulai mengalami tekanan besar karena para penebang kayu terus mencari-cari kawasan baru. Selain itu, tekanan juga ditimbulkan oleh ledakan industri kelapa sawit (Greenpeace, 2008). Salah satu ancaman terkini terhadap hutan Indonesia adalah perkebunan kelapa sawit. Didorong oleh meningkatnya permintaan global akan minyak kelapa sawit untuk industri makanan, kosmetik, serta kemunculan apa yang disebut bahan bakar nabati. Sebuah laporan dari Departemen Kehutanan dan negara Uni Eropa menyatakan permintaan dunia akan minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat dari 20,2 juta ton per tahun menjadi 40 juta ton di tahun 2020. Permintaan ini dapat dipenuhi bila 300.000 ha perkebunan baru ditanami tiap tahunnya selama 20 tahun ke depan. Sebagian besar lahan baru ini akan dibuka di Indonesia dimana sumber daya manusia dan lahan masih berlimpah (Greenpeace, 2008). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang paling pesat bertumbuh dalam dua dasawarsa terakhir. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, areal tanaman perkebunan kelapa sawit terus meningkat dari 1,1 juta ha di tahun 1990 menjadi 6,1 juta ha di tahun 2006. Sedangkan hingga tahun 2007, Menteri Pertanian menyatakan bahwa areal tanaman perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 6,3 juta ha. Jika dibuat rata-rata, terjadi penambahan luas tanaman kelapa sawit sekitar 260 ribu ha setiap tahun.3 Industri kelapa sawit tumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960an. Didominasi oleh perusahaan negara, perkebunan rakyat dan perkebunan skala besar milik swasta. Pembangunan perkebunan selama 30 tahun terakhir jelas merupakan faktor utama penyebab deforestasi, tetapi sulit menyajikan data definitif mengenai luas hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan lahan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta ha. Dari angka ini, menurut penelitian lainnya 1,8 juta ha hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 (FWI/GFW, 2001).
3
http://fwi.or.id/?p=76 (20 Oktober 2010)
2.1.3 Deforestasi Beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional diacu dalam Budiharto (2009) diantaranya adalah: UNFCCC
11/CP.7 mendefinisikan sebagai konversi langsung yang
disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan. FAO (2006) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan penutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi. WWF/IUCN (1996) mendefinisikan hilangnya
hutan
yang tidak
digantikan dengan regenerasi alami atau penanaman kembali. Sebagian besar hutan di Indonesia menghadapi ancaman yang serius. Periode tahun 2000-2005, Indonesia kehilangan sekitar 1,09 juta hektar hutan setiap tahun dan sempat mengalami puncak deforestasi pada periode 1997-2000 yang mencapai angka 2,83 juta hektar per tahun (DEPHUT, 2007). Banyak faktor yang bisa dituding sebagai pendorong besarnya laju deforestasi di Indonesia. Ada dua macam faktor pendorong yang menyebabkan deforestasi, yaitu faktor pendorong secara langsung dan faktor pendorong tidak langsung. Penyebab langsung meliputi kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan. Penyebab tidak langsung antara lain, adalah kegagalan pasar, kebijakan, serta persoalan sosial-ekonomi dan politik lainnya. Konversi lahan hutan ke lahan perkebunan dan transmigrasi pada era sebelum tahun 2000 dianggap sebagai pendorong deforestasi yang cukup besar. Disamping itu, kebutuhan industri kayu juga menjadi pendorong deforestasi yang besar. Praktek penjarahan hutan pada masa transisi pemerintahan dari orde baru ke era reformasi dan kebakaran hutan besar juga terjadi tahun 1997/1998 yang menyebabkan hilangnya hutan yang cukup luas.
2.2 Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elais quineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan plasma yang termasuk tanaman tahunan. Kelapa sawit sudah mulai menghasilkan pada umur 24-30 bulan. Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23,5º LU-23,5º LS. Adapun persyaratan tumbuh pada tanaman kelapa sawit sebagai berikut: Curah hujan ≥2000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan periode bulan kering (<100mm/bln) tidak lebih dari 3 bulan. Temperatur siang hari rata-rata 29-33ºC, malam hari 22-24ºC. Ketinggian tempat dari permukaan laut < 500m. Matahari bersinar sepanjang tahun, minimal 5 jam perhari. Industri kelapa sawit merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, berupa lahan yang subur, tenaga kerja yang produktif, dan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun. Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dengan produksi minyak per ha yang paling tinggi dari seluruh tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Agribisnis kelapa sawit adalah salah satu dari sedikit industri yang merupakan keunggulan kompetitif Indonesia untuk bersaing di tingkat global. Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku utama pembuatan minyak makan. Permintaan akan minyak makan di dalam dan luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peran komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa. Selain itu masih banyak produk turunan dari kelapa sawit seperti mentega, sabun, hingga biodiesel (Pahan, 2008).
2.3 Penanaman Kembali Tanaman kelapa sawit komersial saat ini memiliki usia produktif sekitar 20-25 tahun. Kalau pun bisa bertahan lebih dari umur tersebut, tanaman kelapa sawit dimaksud telah menampakkan gejala penurunan masa produktifnya. Di lapangan terkadang ditemui beberapa pohon kelapa sawit yang telah berusia diatas 25 tahun, tetapi masih mampu menghasilkan tandan buah segar bahkan dengan
komidel yang sangat besar. Pohon-pohon tersebut jika didata lalu dianalisa secara konkrit, maka akan ditemui bahwa tren grafik produktivitasnya tidak sebaik masa usia muda. Oleh karena itu sudah harus dipikirkan untuk melakukan proses peremajaan tanaman dengan penanaman kembali kebun sawit (Nyoto, 2007). Secara teoritik, produksi tanaman kelapa sawit per satuan luas menunjukkan kecenderungan (profile) yang meningkat secara tajam pada umur 47 tahun, mulai melandai pada umur 8-15 tahun, dan mulai turun secara gradual pada umur >16 tahun. Produksi /ha/tahun dalam suatu kebun secara merata sepanjang satu siklus, biasanya 25-30 tahun, harus betul-betul optimal. Untuk mencapai produksi yang optimal tersebut, perlu dicapai keadaan rata-rata umur tanaman 15 tahun. Acuan penentuan batasan umur 15 tahun didasarkan karena pada umur 15 tahun akan tercapai produksi puncak. Rata-rata umur tanaman yang paling optimal tersebut harus diimbangi dengan program penanaman kembali yang berkesinambungan. Penanaman kembali merupakan salah satu tindakan manajemen untuk mempertahankan rata-rata umur tanaman tetap optimal bagi perusahaan (Pahan, 2008). Menurut Pahan (2008), penanaman kembali merupakan kegiatan melakukan peremajaan yang bukan hanya didasarkan pada umur, melainkan : -
Rata-rata produksi/ha tanaman yang rendah
-
Biaya perawatan yang tinggi
-
Lokasi blok yang sulit diakses
-
Ketersediaan modal Kegiatan penanaman kembali dapat dilakukan secara manual, khemis,
maupun mekanis. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan konservasi lahan sehingga daur hidrologi tetap terpelihara.4 Mengingat kebutuhan minyak sawit dunia yang terus meningkat, maka penanaman kembali dapat menjadi pilihan alternatif solusi jangka panjang sehingga ekspansi konversi hutan menjadi perkebunan sawit dapat dihindari.
4
http://www.faperta.ugm.ac.id/buper/download/kuliah/sawit/4_LC%20dan%20Persiapan%20Lahan.ppt (25 Mei 2010)
2.4 Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Pengurangan Deforestasi Kendati produksi crude palm oil (CPO) Indonesia tahun depan diperkirakan akan naik 6,3% dari tahun ini yang kurang lebih mencapai 19 juta ton menjadi 22 juta ton akhir tahun depan, namun total stok dunia justru diramalkan tidak akan sanggup memenuhi permintaan. Padahal pada saat bersamaan konsumsi dunia terus mengalami peningkatan secara signifikan. Artinya jika tahun 2010 total produksi CPO Indonesia berkisar 19 juta ton dengan komposisi ekspor mencapai 16 juta ton, maka tahun depan ekspor Indonesia minimal bisa mencapai 18,2 juta ton. Dengan penyerapan domestik yang diperkirakan tak beranjak dari 4 juta ton setahun.5 Pemerintah menggenjot produktivitas kelapa sawit dengan melakukan program penanaman kembali kelapa sawit. Sebab, selama ini tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia masih rendah. Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian Rismansyah Danasaputra mengatakan untuk kebun kelapa sawit rakyat, saat ini tingkat produktivitasnya sekitar 15 ton per hektare (ha) per tahun. Sedangkan untuk perkebunan besar milik PTPN dan swasta rata-rata sekitar 20 ton - 25 ton tandan buah segar (TBS) per ha per tahun dengan tingkat rendemen minyak kelapa sawit rata-rata 21% - 23%. Berdasarkan data statistik perkebunan Kementan, tahun 2010 lalu lahan kelapa sawit yang perlu diremajakan sekitar 91.281 ha. Rinciannya, sebanyak 13.651 ha perkebunan besar milik negara (PBN), 46.959 ha perkebunan milik swasta (PBS) dan 30.671 ha perkebunan milik rakyat (PR). Dari jumlah itu, areal perkebunan milik swasta dan perkebunan negara telah diremajakan sekitar 2.424 ha atau sekitar 4% dari luas lahan yang harus diremajakan.6
5
http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/36357/Stok-CPO-Dunia-Tak Mampu-PenuhiPermintaan (4 Juni 2010) 6 http://industri.kontan.co.id/v2/read/Industri/64727/Genjot-produktivitas pemerintah-jalankanperemajaan-lahan-kelapa-sawit (14 April 2011)
Dan berikut adalah tabel perkembangan luas areal sawit dan produksi tandan buah segar (TBS) 10 tahun terakhir menurut Ditjenbun yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan Luas Areal Sawit dan Produksi TBS Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009*) 2010**) Rata-rata
Produksi (ton) 7.000.508 8.396.472 9.622.345 10.440.834 10.830.389 11.861.615 17.350.848 17.664.725 17.539.788 18.640.881 19.844.901
Kenaikan (ton) 1.395.964 1.225.873 818.489 389.555 1.031.226 5.489.233 313.877 -124.937 1.101.093 1.204.020 1.284.439
Luas lahan (ha) 1.905.653 4.713.435 5.067.058 5.283.557 5.284.723 5.453.817 6.594.914 6.766.836 7.363.847 7.508.023 7.824.623
Kenaikan (ha) 2.807.782 353.623 216.499 1.166 169.094 1.141.097 171.922 597.011 144.176 316.600 591.897
sumber: Ditjenbun, 2010
Berdasarkan data di atas, dibutuhkan sekitar 591.897 ha lahan setiap tahunnya. Jumlah tersebut akan terus meningkat seiring permintaan minyak kelapa sawit dunia yang semakin tinggi. Tentunya potensi akan adanya konversi hutan menjadi sawit akan lebih besar seiring dengan meningkatnya permintaan minyak dunia yang memacu para pengusaha sawit untuk meningkatkan produksinya. Penanaman
kembali
merupakan
kegiatan
untuk
meningkatkan
produktivitas tanaman. Tanaman yang tidak produktif berarti produktivitas buah < 15 ton/ha/tahun. Hal ini tidak hanya disebabkan faktor umur tanaman yang sudah tua, melainkan faktor jalan, penyakit, dan pola tanam yang tidak sesuai dengan standar. Oleh karena itu, setelah dilakukan replanting diharapkan dapat diperoleh hasil buah yang optimal (>25 ton/ha/tahun), dan dapat menghemat biaya karena kondisi tanaman dan areal yang sudah memenuhi standar. Berikut asumsi korelasi antara replanting, kebutuhan permintaan minyak sawit, dan ekpansi lahan sebagai dampak pemenuhan kebutuhan permintaan yang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2
Asumsi Korelasi Antara Penanaman Kembali, Permintaan Minyak Sawit, dan Ekspansi Lahan
Asumsi Peningkatan permintaan minyak/tahun Produksi buah yang harus tersedia (rendemen 20%)
Kondisi "A" tanpa penanaman kembali "B" dengan penanaman kembali Selisih sumber: Kurniawan, 2010
Nilai Satuan 1.284.439 ton minyak kelapa sawit 6.422.197 ton buah (TBS)
Rata-rata produksi buah (ton/ha/tahun) 15 25
Luas lahan (ha) 428.146 256.888 171.258
Dari asumsi tersebut dapat diketahui bahwa kondisi “A” tanpa penanaman kembali dapat memenuhi permintaan minyak sawit dengan luas lahan sebesar 428.146 ha. Hal ini berbeda dengan kondisi “B” dengan penanaman kembali yang cukup dengan 256.888 ha untuk memenuhi permintaan tersebut. Jadi, seharusnya dengan luas 256.888 sudah cukup memenuhi permintaan pasar tanpa memerlukan ekspansi lahan sebesar 171.258 ha.
2.5 Alat Berat Untuk keperluan waktu, cara mekanis dengan menggunakan bantuan alat berat dinilai lebih efektif dan efisien. Hal tersebut jika dibandingkan dengan cara kimia yang membutuhkan waktu 1-3 bulan untuk tanaman mati dengan sendirinya setelah disuntikkan herbisida aktif. (Nyoto, 2007) Alasan pemanfaatan alat berat (AED Department PT. UT, 2007) adalah : 1.
Alat-alat berat digunakan untuk pekerjaan berskala besar dengan waktu penyelesaian yang terbatas.
2.
Alat-alat berat digunakan untuk pekerjaan berskala besar yang tidak memungkinkan hanya menggunakan tenaga manusia.
3.
Karena alasan efisiensi, keterbatasan tenaga kerja, keamanan dan faktorfaktor ekonomi lainnya. Dalam hal kegiatan penanaman kembali, maka alat berat yang digunakan
adalah excavator atau bulldozer. Excavator adalah alat serba guna yang dapat dipergunakan untuk menggali, memuat, dan mengangkat material. Terutama dipergunakan untuk menggali parit-parit saluran air atau pipa (pipe line). Dengan mengganti kelengkapan kerja tambahan (attachment). Alat ini dapat juga dipakai untuk memecah batu, mencabut tunggul, membongkar aspal dan lain-lain.
Konstruksi bagian atas dari excavator dapat berputar 360 derajat, sehingga memungkinkan alat ini bekerja ditempat yang relatif sempit sekalipun. Sedangkan Bulldozer adalah traktor beroda rantai, serba guna dan memiliki kemampuan traksi yang besar. Digunakan untuk bermacam-macam pekerjaan, seperti menggali, mendorong, menggusur, mengurug dan sebagainya. Efisien untuk kondisi medan kerja yang berat sekalipun, seperti daerah berbukit, berbatu, hutan dan sebagainya. Mampu beroperasi pada tanah kering hingga lembab. Pada kondisi tanah yang sangat lunak (liat berlumpur), dapat dipergunakan Swamp Bulldozer. Jarak pemindahan tanah dengan menggunakan bulldozer masih efisien sampai sejauh 100 meter. Contoh gambar excavator dan bulldozer tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2 Excavator dan Bulldozer
2.6 Analisis Proyek Menurut Soeharto (1995) kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas. Tujuan analisis proyek menurut Gray et al. (1987) adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi dalam suatu proyek.
2.
Mengindari
pemborosan
sumber-sumber
yaitu
dengan
menghindari
pelaksanaan proyek yang tidak menguntungkan. 3.
Mengadakan penilaian terhadap kesempatan investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif proyek yang paling menguntungkan.
4.
Menentukan prioritas investasi
Keputusan untuk melakukan investasi yang menyangkut sejumlah besar dana dengan harapan mendapatkan keuntungan bertahun-tahun dalam jangka panjang, seringkali berdampak besar bagi kelangsungan suatu perusahaan. Oleh karena itu sebelum diambil keputusan jadi tidaknya suatu investasi salah satu syarat terpenting adalah mengkaji aspek finansial dan ekonomi. Dasar dan tujuan analisis aspek finansial dibedakan dari aspek sosial-ekonomi. Analisis finansial berkepentingan untuk meningkatkan kekayaan perusahaan yang diukur dengan naiknya nilai saham. Sedangkan aspek ekonomi mengkaji manfaat dan biaya bagi masyarakat secara menyeluruh. Dalam proses mengkaji kelayakan proyek atau investasi dari aspek finansial, pendekatan konvensional yang dilakukan adalah dengan menganalisis perkiraan aliran kas keluar dan masuk selama umur proyek atau investasi. Yaitu menguji dengan memakai kriteria seleksi. Aliran kas terbentuk dari perkiraan biaya pertama, modal kerja, biaya operasi, biaya produksi, dan revenue. Sistematika analisis aspek finansial menurut Soeharto (1995) adalah sebagai berikut: 1. Menentukan parameter dasar Parameter dasar memberikan ketentuan, antara lain mengenai kapasitas produksi,
teknologi
pendukung, jumlah
yang dipakai, pilihan peralatan utama, fasilitas
produksi, pangsa pasar, proyeksi harga produk, dan lain-
lain. 2. Membuat perkiraan biaya investasi Dikenal tiga komponen utama biaya investasi, yaitu biaya pertama atau biaya pembangunan, modal kerja, dan biaya operasi/produksi. 3. Proyeksi pendapatan Perkiraan atau proyeksi pendapatan adalah perkiraan dana yang masuk sebagai hasil penjualan produksi dari unit usaha yang bersangkutan. 4. Membuat model Sebagai model untuk dianalisis dalam rangka mengkaji kelayakan finasial adalah aliran kas (cash flow) selama umur investasi dan bukannya neraca atau statemen rugi laba.
5. Kriteria penilaian Kriteria penilaian didahului oleh konsep equivalent yang mencoba memberikan
bobot kuantitatif faktor waktu terhadap nilai uang seperti bunga
dan rendemen (rate of return). Ini selanjutnya dipakai sebagai kaidah pokok dalam perhitungan
dan analisis masalah finansial dan ekonomi. Kriteria
penilaian merupakan alat bantu bagi manajemen untuk membandingkan dan memilih alternatif investasi yang tersedia. Terdapat bermacam-macam kriteria penilaian yang dianggap baku diantaranya memperhitungkan konsep equivalent seperti Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, indeks profitabilitas, dan lain-lain. Adapun yang tidak memperhitungkan konsep tersebut adalah periode pengembalian (payback period) dan return on investment (ROI). 6. Melakukan penilaian, accept reject, dan menyusun ranking alternatif. 7. Analisis risiko
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan dari Agustus sampai dengan November 2010. Penelitian dimulai dengan pembuatan proposal penelitian. Kemudian, kegiatan pengambilan data dan pengamatan di lapangan dilakukan di Perkebunan Sawit PT. X di Mamuju Utara Sulawesi Barat selama kurang lebih 1 bulan dari September sampai dengan Oktober 2010. Selanjutnya data diolah dan dianalisis lalu skripsi disusun.
3.2 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu stopwatch, kamera, meteran, dan kompas. Sedangkan alat berat (mekanis) yang digunakan adalah excavator kapasitas 20 ton.
3.3 Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil kegiatan pengamatan dilapangan yaitu : Metode kerja Produktivitas alat berat Biaya tetap (mesin, bangunan) Biaya variabel (bahan bakar, upah, listrik, perawatan alat berat) Struktur organisasi Sarana dan prasarana Jarak basecamp dengan lokasi Data sekunder merupakan data dari sumber lain yaitu : Kondisi geografis lokasi penelitian BPS Mamuju Utara Pustaka terkait lainnya
3.4 Metode Pengolahan Data 3.4.1 Analisis Kelayakan Finansial Analisis Discounted Cash Flow (DCF) Menurut Soeharto (1995), bentuk penyajian DCF adalah sebagai berikut: 1. Net Present Value (NPV) NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas ke nilai sekarang. Dengan mendiskonto semua aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang kemudian menghitung angka netto, maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama, yaitu harga (pasar) saat ini. Rumus NPV sebagai berikut: n
(C)t
NPV = ∑ t=0 (1+i)t
n
(Co)t
- ∑ t=0 (1+i)t
Keterangan rumus: (C)t
= aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t n
= umur unit usaha hasil investasi
i
= arus pengembalian (rate of return)
t
= waktu
Indikasi: NPV = positif, usulan proyek dapat diterima, makin tinggi angka NPVmakin baik. NPV = negatif, usulan proyek ditolak. NPV = 0, berarti netral
2. Internal Rate of Return (IRR) IRR adalah arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk = NPV aliran kas keluar. Analisis dilakukan dengan menentukan terlebih dulu besar arus pengembalian (diskonto) (i), kemudian dihitung nilai sekarang neto (PV) dari aliran kas keluar dan masuk. Selanjutnya ditentukan NPV=0, kemudian dicari berapa besar arus pengembalian (diskonto) (i) agar hal tersebut terjadi.
Rumus IRR sebagai berikut: n
(C)t
IRR = ∑
n
(Co)t
= ∑
t=0 (1+i)t
t=0 (1+i)t
Keterangan rumus: (C)t
= aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t n
= umur unit usaha hasil investasi
i
= arus pengembalian (rate of return)
t
= waktu
Indikasi: IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan, proyek diterima IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan, proyek ditolak
3. Benefit Cost Ratio (BCR) BCR merupakan perbandingan manfaat terhadap biaya. Rumus BCR sebagai berikut: (PV)B BCR = Cf Keterangan rumus: (PV)B = nilai sekarang benefit Cf
= biaya pertama
Indikasi: BCR > 1 Usulan proyek diterima BCR < 1 Usulan proyek ditolak
4. Payback Period (PP) PP merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal suatu investasi, dihitung dari aliran kas bersih. Periode pengembalian biasanya dinyatakan dalam jangka waktu per tahun.
Rumus PP sebagai berikut:
n-1 PP = (n-1) + Cf
1
- ∑ An 1
An
Keterangan rumus: Cf
= biaya pertama
An
= aliran kas pada tahun n
n
= tahun pengembalian ditambah 1
Indikasi: Proyek dengan periode pengembalian lebih cepat akan lebih disukai
Di dalam perhitungan indikator proyek, digunakan 3 (tiga) harga per jam yang berbeda-beda yaitu Rp. 200.000 per jam, Rp. 225.000 per jam, dan Rp. 250.000 per jam. Kisaran harga tersebut diperoleh dari harga pasar di lokasi kerja yang bersumber dari hasil wawancara di lapangan. Berikut kisaran harga yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kisaran Harga Kondisi A B C
Harga per jam Rp. 200.000 Rp. 225.000 Rp. 250.000
sumber: hasil wawancara di lapangan
Selanjutnya ditentukan kondisi mana yang layak berdasarkan nilai NPV, IRR, BCR, dan PP.
3.4.2 Analisis Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari lapangan (hasil wawancara) maupun pustaka dari pihak yang terkait. Analisis ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3.
Persentase ekspansi areal kelapa sawit di Indonesia 5 tahun terakhir
Ekspansi Areal Kelapa Sawit di Mamuju
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Mamuju Utara
Utara
tanpa
penanaman kembali
kegiatan
Gambar 3 Analisis Deskriptif Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi.
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sulawesi Barat Sulawesi Barat merupakan provinsi pemekaran Sulawesi Selatan yang terbentuk tahun 2004 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis terletak di antara 0°12’ - 3°38’ Lintang Selatan (LS) dan 118°43’ 15’’ - 119° 54’ 3’’ Bujur Timur (BT). Luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Barat adalah 16.937,16 km2 dengan luas wilayah laut 7.668,84 km2 dan terbagi ke dalam 5 kabupaten yaitu Polewali Mandar, Majene, Mamuju, Mamuju Utara, dan Kabupaten Mamasa. Batas Provinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara adalah Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah Timur berbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Teluk Mandar, dan sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Gb… Peta Sulawesi Barat
sumber: Dephut, 2009
Gambar 4 Peta Provinsi Sulawesi Barat 4.2 Mamuju Utara
4.2.1 Letak Geografis Menurut BPS Mamuju Utara (2009), Kabupaten Mamuju Utara yang beribukota di Pasangkayu terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Barat atau pada bagian barat dari Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak pada posisi 0º 40’ 10” – 1º 50’ 12” Lintang Selatan (LS) 119º 25’ 26” – 119º 50’ 20” Bujur Timur (BT). Kabupaten Mamuju Utara mempunyai batas wilayah: Utara : Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah; Timur : Kabupaten Donggala; Selatan : Kabupaten Mamuju; Barat : Selat Makassar. Kabupaten Mamuju Utara memiliki luas wilayah 304.375 ha. Secara administrasi pemerintahan terbagi atas 12 kecamatan yang terdiri dari 63 desa. Kecamatan Baras merupakan kecamatan terluas dengan luas 43.343 ha (14,24 %) dari seluruh luas wilayah Kabupaten Mamuju Utara, sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Sarjo dengan luas 3.011 ha (0,69 %).
4.2.2 Curah Hujan Curah Hujan di Mamuju Utara berkisar antara 124 mm3 hingga 703 mm3. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli sedangkan terendah di Januari.
Bulan sumber: BPS Mamuju Utara (2009)
Gambar 5 Grafik Curah Hujan Kabupaten Mamuju Utara
4.2.3 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Mamuju Utara terdiri tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai) yang dominasi oleh tanaman padi. Hortikultura berupa tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan yang didominasi oleh tomat dan jeruk. Perkebunan (kelapa sawit, kelapa dalam, kakao, dan lainlain) yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. Dan, sebagian besar wilayah Mamuju Utara merupakan hutan yaitu seluas 208.258,25 ha. Luas kawasan hutan di Mamuju Utara menurut fungsinya bersumber dari Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup Kabupaten Mamuju Utara dalam BPS Mamuju Utara (2009) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Luas Kawasan Hutan di Mamuju Utara Menurut Fungsinya Jenis Hutan Hutan Lindung Hutan Produksi Konversi Hutan Produksi Biasa Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka Alam Total
Luas (ha) 95.444,36 32.009,33 1.691,36 76.973,70 2.139,90 208.258,25
sumber: BPS Mamuju Utara (2009)
4.2.4 Kependudukan Berdasarkan BPS Mamuju Utara (2009), berdasarkan data yang dikumpulkan dari tiap kantor desa di Mamuju Utara, penduduk Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2008 berjumlah 143.163 jiwa. Angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan penduduk di Mamuju Utara sebesar 9,29 % dibandingkan dengan tahun 2007 berdasarkan sumber yang sama. Jumlah penduduk Mamuju Utara paling besar berada di Kecamatan Pasangkayu yaitu sebesar 18.394 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar sebesar 82,56 jiwa per km2
4.2.5 Indikator Ekonomi 4.2.5.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Mamuju Utara sebesar 7,57 % atau peringkat ketiga di Propinsi Sulawesi Barat. Berikut perbandingan pertumbuhan ekonomi antar kabupaten di Sulawesi Barat yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten di Sulawesi Barat
sumber: BPS Mamuju Utara (2009)
4.2.5.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku Mamju Utara pada tahun 2008 sebesar Rp. 1.002.083.000.000 atau peringkat ketiga di Propinsi Sulawesi Barat. Berikut perbandingan produk domestik bruto antar kabupaten di Sulawesi Barat yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Produk Domestik Regional Bruto Antar Kabupaten di Sulawesi Barat
sumber: BPS Mamuju Utara (2009)
Secara detail, PDRB Mamuju Utara paling besar disumbangkan dari sektor pertanian, yaitu sebesar 44,64%. Hal ini menunjukkan bahwa Mamuju Utara pada saat ini masih bertumpu pada sektor pertanian.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penanaman Kembali oleh Perkebunan Sawit PT. X Dalam rangka meningkatkan produksi minyak kelapa sawit akibat permintaan Crude Palm Oil (CPO) dunia yang semakin tinggi, PT. X berusaha melakukan inovasi untuk meningkatkan produksinya. PT. X melakukan intensifikasi dengan tidak melakukan perluasan wilayah kebun sawit yang diperoleh dari lahan lain khususnya lahan hutan. Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman kembali. Penanaman kembali merupakan kegiatan peremajaan tanaman sawit yang produktivitasnya telah menurun yang dilakukan pada lahan yang sama sehingga tidak merambah kepada lahan lain. Hal tersebut berbeda dengan kegiatan ekspansi lahan yang biasanya dilakukan pada kawasan hutan. Konversi hutan untuk perkebunan sawit dinilai dapat menimbulkan kerusakan lingkungan seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah. Berdasarkan wawancara kepada pihak kebun7, beberapa alasan perusahaan kebun tersebut melakukan kegiatan penanaman kembali antara lain: 1.
Izin Meskipun di dalam perkebunan sendiri terdapat areal hutan, namun bagi
pihak kebun untuk melakukan perluasan kebun dengan mengkonversi lahan konservasi, diperlukan perizinan yang harus diperoleh dari berbagai pihak terkait. Kemungkinan akan ada pihak-pihak yang tidak menyetujui perizinan peralihan lahan karena lahan tersebut merupakan lahan konservasi.
7
wawancara dilakukan kepada pihak kebun sawit PT. X di Mamuju Utara pada bulan September 2010
Gambar 6 Lahan konservasi yang terdapat di dalam areal kebun 2.
Keterbatasan Lahan Untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan, konversi hutan untuk
perkebunan sawit telah banyak dilakukan. Namun untuk wilayah Indonesia Bagian Timur, untuk didirikannya atau perluasan wilayah perkebunan mengalami kendala dalam hal aksesibilitas yang rendah karena kondisi alam berupa topografi yang relatif berbukit-bukit. 3.
Gejolak Sosial Telah banyak organisasi-organisasi lingkungan hidup menyuarakan
aspirasi mengenai dampak dari kegiatan konversi hutan untuk perkebunan sawit yang mengakibatkan deforestasi. Salah satu dampak yang paling dirasakan saat ini yang menyangkut kehidupan masyarakat luas adalah mengenai perubahan iklim akibat luas hutan yang semakin menurun. Maka dari itu, untuk meminimalisir gejolak sosial baik dari organisasi-organisasi lingkungan hidup serta masyarakat setempat, pihak kebun melakukan kegiatan penanaman kembali ini dimana juga dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan. 4.
Investasi besar Untuk melakukan konversi hutan menjadi kebun sawit, akan dilakukan
Land Clearing atau pembukaan lahan baru. Pembukaan lahan adalah kegiatan yang dilakukan mulai dari perencanaan tata ruang dan tata letak lahan sampai dengan pembukaan lahan secara fisik. Biasanya kegiatan pembukaan lahan baru dilakukan dengan sistem bakar maupun tanpa bakar (Pahan, 2008). Jika dilakukan dengan pembakaran, akan menimbulkan kerugian bagi lingkungan meskipun hanya membutuhkan biaya yang cukup murah. Namun jika dilakukan tanpa
pembakaran, misalnya seperti secara kimiawi dengan mematikan pohon yang juga akan merusak lingkungan, juga dapat dilakukan dengan cara mekanik. Cara mekanik membutuhkan investasi alat berat yang juga terbilang mahal. Berikut
ini
perbandingan
antara
penanaman
kembali
dengan
pengembangan kebun sawit secara konvensional (land clearing) yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan antara Penanaman Kembali dengan Pengembangan Sawit Secara Konvensional
sumber: hasil wawancara, *Pahan (2008)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa penanaman kembali lebih menguntungkan berdasarkan aspek finansial, sosial, dan lingkungan. Dari aspek finansial, penanaman kembali membutuhkan biaya sebesar Rp. 1.896.000.000 untuk luas 400 ha sedangkan konvensional Rp. 2.080.312.141 (Pahan, 2008) dengan kata lain lebih hemat sebesar 10%. Dari aspek sosial penanaman kembali lebih kecil kemungkinan adanya gangguan sosial seperti pencurian dan perselisihan lahan masyarakat sekitar. Dari aspek lingkungan penanaman kembali tidak ada proses pembakaran dan konversi hutan dapat diminimalisir karena dilakukan pada lahan yang sudah ada, sedangkan pengembangan sawit secara konvensional berpotensi dilakukan metode pembakaran dan konversi hutan.
5.2 Proyek Kegiatan Penanaman Kembali Penanaman kembali dilakukan di dalam areal kebun sawit yang sudah berdiri. Hal ini berbeda dengan land clearing atau pembukaan lahan dimana berlokasi di areal baru (misal konversi hutan ataupun lahan lainnya). Berikut flow chart kegiatan penanaman kembali secara umum yang disajikan pada Gambar 7.
Penumbangan
Pencacahan
Perumpukan
Re-design Infastruktur
Penanaman
Gambar 7 Flow Chart Kegiatan Penanaman Kembali Proyek kegiatan penanaman kembali dalam penelitian ini hanya dilakukan dari proses penebangan hingga perumpukan. Hal tersebut dikarenakan investasi yang terlalu besar untuk pembelian sebuah alat berat. Sedangkan kegiatan redesign infrastruktur (membuat drainase dan terasering) dan penanaman, perusahaan kebun melakukannya sendiri dengan menggunakan alat yang sudah ada
(bulldozer) dan secara manual (tenaga manusia). Oleh karena itu ruang
lingkup penelitian ini terdiri dari kegiatan penumbangan hingga perumpukan, yaitu sebagai berikut : 1.
Penumbangan Penumbangan merupakan kegiatan melepaskan perakaran sawit dari
permukaan tanah. Sawit merupakan tanaman dengan akar serabut sehingga cukup mudah ditumbangkan dengan alat berat. Alat dan mesin yang digunakan yaitu excavator dengan kapasitas 20 ton dilengkapi dengan alat chipping bucket. Berikut kegiatan penumbangan yang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Kegiatan Penumbangan 2.
Pencacahan Pencacahan merupakan kegiatan membagi batang sawit menjadi beberapa
bongkahan batang sawit dengan ketebalan sekitar 15-20 cm. Tujuan dari pencacahan ini adalah mempermudah serta mempercepat proses pembusukan (dekomposisi) sehingga biomassa sawit dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk bagi tanaman baru. Selain itu, pencacahan juga bermanfaat untuk mencegah datangnya hama seperti kumbang, dimana kumbang akan cepat menyerang pada batang yang ditumbangkan dalam kondisi utuh. Proses
pencacahan ini cukup mudah dilakukan karena kondisi batang yang masih segar dan basah. Alat dan mesin yang digunakan yaitu excavator dengan kapasitas 20 ton dilengkapi dengan alat chipping bucket. Berikut kegiatan pencacahan yang disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Kegiatan Pencacahan 3.
Perumpukan Perumpukan merupakan kegiatan untuk mendistribusikan hasil cacahan
sehingga dapat merata dan teratur. Tujuan dari perumpukan ini adalah memastikan bahwa hasil dekomposisi biomassa sawit dapat dimanfaatkan secara merata. Alat dan mesin yang digunakan yaitu excavator dengan kapasitas 20 ton dilengkapi dengan alat chipping bucket. Berikut kegiatan perumpukan yang disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Kegiatan Perumpukan Kegiatan penanaman kembali dengan cara mekanis (alat berat) adalah pilihan bagi perusahaan kelapa sawit untuk memperoleh hasil yang optimal dan waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara manual (chainsaw). Hasil yang optimal adalah hasil cacahan berupa beberapa bongkahan dengan tebal 1520 cm untuk semua bagian sawit mulai dari pelepah hingga tunggul dan bongkahan tersebut dirumpuk utara-selatan dengan jarak antar rumpukan 12 m.
Untuk waktu dengan cara mekanis, diperoleh untuk satu alat excavator 20 ton mampu mencapai produktivitas 1 ha per hari dengan jam kerja 14 ha.
5.3 Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali Umumnya karena alat berat merupakan investasi yang mahal, perusahaan akan memilih untuk menggunakan jasa kontraktor. Adapun bentuk kerjasama antara kontraktor dengan perusahaan kebun dapat berupa kontrak luasan (ha), kontrak volume (pokok sawit), dan kontrak jam. Untuk kontrak luasan dan volume akan sangat bergantung pada pengalaman kontraktor, karena mereka akan dibayar berdasarkan produktivitas yang diperoleh, sedangkan untuk kontrak jam merupakan pilihan bagi kegiatan yang tergolong baru, yaitu untuk mempelajari terlebih dahulu proses kerja. Karena penanaman kembali dengan cara mekanis masih tergolong baru, maka kontrak jam menjadi pilihan dalam penelitian ini. Kontraktor dan perusahaan kebun yang telah bersepakat melakukan kerjasama memiliki kesepakatan kerja yang tertuang dalam perjanjian kerjasama. Tabel 8 berikut ini menyajikan rincian kerjasama yang berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut diperoleh dari hasil wawancara di lapangan. Tabel 8 Kerjasama Antara Kontraktor dan Perusahaan Kebun
5.4 Bisnis Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, bisnis usaha kontraktor proyek penanaman kembali menguraikan proses pekerjaan, waktu yang ditargetkan, serta pihak yang terlibat dalam pekerjaan. Berikut adalah proses bisnis usaha kontraktor proyek penanaman kembali yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11 Proses Bisnis Usaha Kegiatan Penanaman Kembali Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa waktu efektif pekerjaan adalah dari Januari hingga September. Hal ini karena pada akhir tahun (Oktober hingga Desember) akan dilakukan penanaman. Kegiatan penanaman kembali dilakukan dalam dua shift yaitu waktu kerja maksimal dalam satu shift adalah sepuluh jam, dan rata-rata tujuh jam, jadi dalam satu hari diperoleh jam kerja 14 jam.
5.5 Analisis Kelayakan Finansial Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali Analisis finansial menguraikan 3 hal, yaitu pendapatan (inflow), pengeluaran (outflow), dan cash flow. Berikut hasil pengamatan di lokasi kerja : 5.5.1 Pendapatan (Inflow) Pendapatan berdasarkan dari jumlah jam kerja yang dihasilkan per bulan. Dalam satu hari, rata-rata jam kerja adalah 14 jam, sehingga dengan jumlah hari kerja 25 hari per bulan akan dihasilkan 350 jam kerja per bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jam kerja adalah kondisi alat berat, cuaca, dan ketersediaan bahan bakar. Dalam penelitian ini, harga per jam menjadi variable dengan melihat kondisi pasar di lokasi kerja. Harga per jam terdiri dari Rp. 200.000 per jam, Rp. 225.000 per jam, dan Rp. 250.000 per jam. Pembagian harga per jam ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan kontraktor ketika negosiasi dengan perusahaan kebun, apakah dengan harga minimal sebesar Rp. 200.000 per jam sudah dapat dijadikan sebagai proyek yang layak. Berikut inflow yang diperoleh
oleh kontraktor penanaman kembali dengan investasi 2 unit excavator 2 ton yang disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Pendapatan Per Tahun Berdasarkan Harga Per Jam Unit Excavator
5.5.2 Pengeluaran (Outflow) 5.5.2.1 Biaya Investasi, Bunga, dan Depresiasi Biaya investasi merupakan biaya awal yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha, diantaranya adalah pembelian alat berat, peralatan services, alat kantor, peralatan komunikasi, dan fasilitas tempat tinggal. Biaya investasi tersebut diperoleh berdasarkan wawancara oleh pihak kontraktor di lapangan. Berikut persentase biaya investasi yang harus dikeluarkan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Biaya Investasi
Berdasarkan tabel di atas diketahui pembelian alat menjadi biaya investasi tertinggi yaitu 99% dari biaya investasi. Dengan perincian biaya investasi tersebut, diharapkan kontraktor dapat mempertimbangkan untuk membeli alat berat yang berkualitas.
Berkaitan dengan investasi, akan diperhitungkan juga biaya bunga dan biaya depresiasi. Biaya bunga dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Biaya Bunga
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa biaya bunga tahun pertama sebesar Rp. 266.576.400 dan selanjutnya menurun untuk tahun kedua (Rp. 177.717.600) tahun ketiga (Rp. 88.858.800). Hal ini dikarenakan suku bunga yang dipakai adalah suku bunga efektif sebesar 15% per tahun dengan jangka waktu angsuran selama 3 tahun. Untuk biaya depresiasi, dipengaruhi oleh umur pakai alat berat dan resale value pada saat umur ekonomis tercapai. Umur pakai alat adalah 5 (lima) tahun dan resale value sebesar 30%. Sedangkan untuk investasi lain seperti alat kantor, fasilitas tempat tinggal, dan alat komunikasi, umur pakainya adalah lima tahun dengan nilai resale value adalah Rp. 0. Berikut besarnya depresiasi yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Biaya Depresiasi
5.5.2.2 Biaya Operasional Untuk biaya operasional terdiri dari gaji karyawan, administrasi dan kantor, komunikasi, kendaraan operasional, bahan bakar kendaraan operasional, pemeliharaan alat, dan asuransi. Berikut persentase biaya operasional yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Biaya Operasional
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa biaya pemeliharaan alat adalah komponen biaya operasional terbesar yaitu Rp. 330.000.000 atau 55%. Besarnya biaya tersebut karena kondisi alat sangat menentukan kelancaran operasional di lapangan, sehingga kondisi alat yang baik akan menghasilkan pendapatan sesuai dengan target yang diharapkan. Gaji karyawan juga menjadi komponen biaya operasional yang dominan. Besarnya biaya gaji sebagian besar dari gaji operator yang di bayar per jam, yaitu sebesar Rp. 15.000. Biaya operasional setiap tahunnya akan mengalami peningkatan akibat dari kenaikan harga (inflasi). Berdasarkan data dari Bank Indonesia5, inflasi rata-rata dari Januari 2009 hingga Desember 2010 adalah sebesar 5,01%. Oleh karena itu di dalam penelitian ini akan digunakan asumsi nilai inflasi sebesar 5% per tahun. Untuk asuransi merupakan biaya yang harus dikeluarkan sebagai pengaman apabila terjadi kecelakaan terhadap alat berat maupun pekerja. Untuk pekerja biaya asuransi telah dimasukkan ke dalam unsur gaji, dengan besar 5% dari gaji pokok. Sedangkan untuk alat berat, biaya asuransi adalah sebesar 1 % per tahun dari harga beli. Maka biaya asuransi untuk 2 unit alat berat adalah Rp 22.000.000.
5.5.3 Indikator Proyek Indikator proyek (NPV, IRR, BCR, dan PP) merupakan pertimbangan untuk menentukan apakah suatu proyek dinyatakan layak atau tidak layak. Pada Tabel 13 akan disajikan indikator proyek yang telah dihitung berdasarkan pengamatan di lapangan.
5
http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Moneter/Default_Inflasi_ID (28 September 2010)
Tabel 13 Indikator Proyek
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kondisi A (harga per jam Rp. 200.000) memiliki nilai NPV terkecil, yaitu sebesar Rp. 18.736.197. Sedangkan kondisi C (harga per jam Rp. 250.000) memiliki nilai NPV terbesar, yaitu sebesar Rp. 760.493.657. Jadi, berdasarkan nilai NPV, kondisi A, B, dan C memenuhi kriteria yang layak yaitu memiliki nilai yang positif. Berikut grafik nilai NPV yang disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Nilai Net Present Value pada Tiap Kondisi. Untuk nilai IRR, kondisi A memiliki nilai IRR yang terendah, yaitu 15%, sedangkan yang tertinggi adalah kondisi C sebesar 27%. Nilai IRR harus lebih besar dari suku bunga bank, sehingga dimaksudkan bahwa dengan berinvestasi (jasa kontraktor) akan lebih menguntungkan daripada menyimpan uang di bank. Dari asumsi suku bunga bank yang digunakan adalah 15%. Jadi, hanya kondisi B (harga per jam Rp. 225.000) dan C (harga per jam 250.000) yang memenuhi kriteria layak untuk IRR. Berikut grafik nilai IRR yang disajikan pada Gambar 14.
Suku bunga bank (15%)
Gambar 14 Nilai Internal Rate of Return pada Tiap Kondisi. Untuk nilai BCR, kondisi A memiliki nilai BCR yang terendah, yaitu sebesar 1,01, sedangkan yang tertinggi adalah kondisi C sebesar 1,34. Dari ketiga kondisi (A,B, dan C), semuanya memenuhi kriteria yang layak, yaitu nilai BCR lebih besar dari satu. Dan untuk nilai payback period, semakin cepat maka semakin baik untuk suatu proyek. Kondisi C memiliki payback period tercepat yaitu 4,25 tahun, sedangkan kondisi A memiliki payback period terlama yaitu 5,93 tahun. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat dengan grafik nilai BCR dan Payback Period.
Gambar 15 Nilai Benefit Cost Ratio pada Tiap Kondisi.
Gambar 16 Nilai Payback Period pada Tiap Kondisi.
Jadi, berdasarkan nilai NPV, IRR, BCR, dan payback period, hanya kondisi B (harga per jam Rp. 225.000) dan kondisi C (harga per jam Rp. 250.000) yang dinyatakan layak. Sedangkan kondisi A (harga per jam Rp. 200.000) dinyatakan tidak layak karena nilai IRR kurang atau sama dengan suku bunga bank, yaitu sebesar15%. Dengan mengetahui kondisi yang layak secara finansial, maka kontraktor akan mengambil kebijakan harga sekitar Rp. 225.000 per jam – Rp. 250.000 per jam. Mengenai apakah harga Rp. 225.000 per jam atau Rp. 250.000 per jam, akan ditentukan dalam negosiasi antara kontraktor dengan pemilik kebun.
5.6 Analisis Dampak Kegiatan Penanaman Kembali terhadap Deforestasi Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari
kelas
penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori non hutan. Yang termasuk kategori non hutan adalah semak belukar, savana/padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, pelabuhan udara/laut (Dephut, 2008). Berdasarkan uraian tersebut dikatakan bahwa perkebunan termasuk ke dalam kategori non-hutan. Menurut Ditjenbun (2010) diperkirakan tahun 2010 luas kebun sawit di Indonesia sebesar 7,8 juta ha. Adanya pembukaan perkebunan ini berpotensi meningkatkan debit sungai yang akan menjadi bencana banjir. Selain itu juga menyebabkan erosi serta terancam punahnya satwa langka karena habitatnya di konversi menjadi sawit. Untuk menganalisis pengaruh kegiatan penanaman kembali terhadap deforestasi di Sulawesi Barat khususnya di Mamuju Utara dilakukan secara deskriptif. Menurut Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup dalam BPS Mamuju Utara (2009), luas hutan di Mamuju Utara adalah 208.258,25 ha. Berkaitan dengan perkembangan areal kelapa sawit seiring meningkatnya konsumsi minyak di dunia, keberadaan areal hutan memiliki potensi untuk di konversi menjadi areal non hutan seperti sawit. Berikut perkembangan areal kelapa sawit di Indonesia menurut Ditjenbun yang disajikan pada Gambar 17.
Luas Kelapa Sawit 8.000.000
7.000.000 6.000.000 Ha
5.000.000 4.000.000
3.000.000
Series1
2.000.000 1.000.000
0 1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Tahun
Gambar 17 Perkembangan Areal Kelapa Sawit di Indonesia Dari grafik perkembangan di atas, diketahui bahwa dari tahun 2005 hingga 2010 areal sawit melakukan perluasan dari 5.453.817 ha menjadi 7.824.623 ha. Dari jumlah tersebut maka setiap tahunnya, dari tahun 2005-2010 telah terjadi ekspansi sawit sebesar 8.7%. Untuk wilayah Mamuju Utara, berdasarkan data Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup dalam BPS Mamuju Utara (2007) memiliki luas kelapa sawit seluas 79,271 ha. Sehingga dapat diperoleh perkiraan luas areal kelapa sawit hingga tahun 2012 yang tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Luas Areal Kelapa Sawit di Mamuju Utara Tahun 2007-2012
Luas Sawit (Ha)
Kecamatan Sarudu Baras Pasangkayu Bambalamotu Jumlah
2007 2.825 8.940 27.797 39.709 79.271
2008* 3.071 9.718 30.215 43.164 86.168
2009* 3.338 10.563 32.844 46.919 93.664
2010* 3.628 11.482 35.702 51.001 101.813
2011* 3.944 12.481 38.808 55.438 110.671
2012* 4.287 13.567 42.184 60.261 120.299
* Asumsi perkiraan pertambahan luas sebesar 8.7% per tahun
Jika terjadi ekspansi areal sawit secara terus-menerus maka tahun 2012 luas areal sawit di Mamuju Utara diperkirakan akan meningkat menjadi 120.299 hektar atau terjadi perluasan sebesar 41.028 ha dari tahun 2007. Luasan tersebut tentunya akan berpotensi diperoleh dari areal hutan yang luasnya 208.258,17 ha. Oleh karena itu perluasan areal sawit yang mengkonversi hutan harus dicegah. Dari data di lapangan tentang penanaman kembali, diharapkan hasil produksi buah sawit (tandan buah segar) penanaman kembali akan meningkat, dari < 15 ton/ha/tahun menjadi > 25 ton/ha/tahun (hampir dua kali lebih besar). Menurut
data kebun PT. X, akan dilakukan penanaman kembali sebesar 5% per tahun tanpa melakukan perluasan areal atau pembukaan kebun baru. Oleh karena itu berikut dampak adanya penanaman kembali terhadap ekspansi lahan dengan analisis secara deskriptif yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Dampak Adanya Kegiatan Penanaman Kembali Terhadap Ekspansi Lahan No.
Uraian
Luas Sawit
Luas Sawit
Luas Sawit
Ekspansi
2010 (ha)
2011 (ha)
2012 (ha)
Lahan
101.813
110.671
120.299
18.486
101.813
105.580
109.486
7.674
Tanpa 1
2
Penanaman Kembali
Penanaman Kembali
Keterangan: Diperkirakan luas kebun sawit meningkat 8,7% per tahun tanpa penanaman kembali dan 3,7% jika ada penanaman kembali. Ekspansi diperoleh dari konversi lahan non hutan.
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pada tahun 2012 apabila tidak dilakukan penanaman kembali diperkirakan luas kebun sawit di Mamuju Utara menjadi 120.299 ha. Ekspansi lahan yang terjadi sebesar 18.486 ha. Kemudian jika terdapat penanaman kembali, maka perkiraan ekspansi lahan hanya sebesar 7,674 ha. Semakin besar luasan areal penanaman kembali, maka semakin sedikit ekspansi lahan yang akan berdampak berkurangnya potensi untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kebun sawit. Jadi, dengan adanya penanaman kembali diharapkan dapat seminimal mungkin terjadinya ekspansi lahan, dan jika terjadi ekspansi, diharapkan lahannya berasal dari konversi areal non hutan sehingga tidak ada deforestasi.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1.
Perkebunan Sawit PT. X melakukan intensifikasi dengan tidak melakukan perluasan wilayah kebun sawit yang diperoleh dari lahan lain khususnya lahan hutan (konversi hutan) yaitu dengan kegiatan penanaman kembali pada lahan yang sama. Penanaman kembali lebih menguntungkan dari aspek finansial, sosial, dan lingkungan dibandingkan dengan pengembangan secara konvensional (konversi hutan).
2.
Berdasarkan analisis kelayakan finansial kontraktor proyek penanaman kembali, diketahui bahwa harga per jam Rp. 225.000 dan Rp, 250.000 adalah layak, sedangkan harga per jam Rp. 200.000 tidak layak. Hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemilik kebun untuk melakukan kegiatan penanaman kembali dengan harga sewa alat berat per jam mulai dari Rp.200.000 hingga Rp.250.000.
3.
Penanaman kembali sebesar 5% akan mengurangi ekspansi lahan sawit dari sekitar 8,7% per tahun menjadi 3,7% per tahun. Untuk wilayah Mamuju Utara, dengan adanya penanaman kembali diperkirakan akan terjadi ekspansi lahan sebesar 7.674 ha dari tahun 2010-2012, namun jika tidak ada penanaman kembali diperkirakan akan ada ekspansi lahan sebesar 18.486 ha.
6.2 Saran Kegiatan penanaman kembali hendaknya
menjadi kebijakan suatu usaha
perkebunan baik rakyat, negara, dan swasta dalam peningkatan produktivitas produksi CPO. Selain itu, kegiatan penanaman kembali juga dapat mengurangi deforestasi karena tidak memerlukan perluasan lahan untuk meningkatkan produktivitas produksi CPO.
DAFTAR PUSTAKA Application Engineer Department UT, 2007. Manajemen Alat Berat. Jakarta.
BPS Mamuju Utara. 2009. Kabupaten Mamuju Utara dalam Angka 2007/2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju Utara. Mamuju Utara. Budiharto 2009. Penentuan Rujukan dan Skenario Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia [thesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2006. Jakarta: Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/I13_06.pdf [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Potensi Sumber Daya Hutan Produksi Sulawesi Barat. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/files/potensiSDHP_sulbar.pdf [Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan. Jakarta. FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia: Bab 3 Deforestasi dan Degradasi Hutan. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch. http://fwi.or.id/publikasi/buku/PKHI_BAB_3.pdf
Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspaitella PFL. Pengantar Evaluasi Proyek. 1987. PT. Gramedia. Jakarta.
Greenpeace. 2008. Kerusakan Hutan, Perubahan Iklim, dan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Greenpeace SEA. Jakarta. http://www.greenpeace.org/seasia/id/Global/seasia/report/2008/10/deforest asi-perubahan-iklim-d.pdf Kurniawan R. 2010. Laporan Survey Replanting. Laporan Internal PT. Bina Pertiwi. Jakarta. Nyoto. 2007. Cara Praktis Budidaya Kelapa Sawit. Riau: UNRI PRESS. Hlm 134.
Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 17-23, 107-110, 120-121. Republik Indonesia. Undang-Undang Kehutanan RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Soeharto, I. 1995. Manajemen Proyek Dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta: Erlangga. Tunggal HS. 2008. Undang-undang Kehutanan beserta Peraturan Pelaksanaannya. Harvarindo. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Penanaman Kembali
Perbandingan Antara Biaya Kegiatan Penanaman Kembali dengan Pembukaan Lahan Baru (Konvensional)
130 13 Rp. 2.295.000 Rp. 1.690.000 Rp. 75.000 Rp. 50.000 Rp. 4.740.000 Rp. 1.896.000.000
Rp. 23.523.183.360 Rp. 28.035.661.765 Konvensional Rp. 448.958.400 (Pahan, Rp. 52.007.803.525 2008) Rp. 5.200.780 Rp. 2.080.312.141
jumlah pokok sawit per hari per ha 10 pokok sawit per jam, jadi butuh 13 jam per hari per ha sewa alat berat dari kontraktor (RP.225.000 per jam) per hari solar 6500/liter, butuh 20 liter per jam, 260 liter per hari makan operator dan helper per hari pengawas per hari Total biaya per hari per ha Total biaya per 400 ha Land Clearing Sarana dan Prasarana Survey Total per 10000 ha Total per ha Total per 400 ha
Selisih antara biaya kegiatan penanaman kembali dengan pembukaan lahan baru (konvensional) per ha adalah Rp. 460.780 atau 10% lebih hemat untuk biaya kegiatan penanaman kembali.
Lampiran 2 Cash Flow Harga Sewa Rp.200.000 per jam No
Tahun
Uraian
0
1
1 Inflow 1. Nilai Penjualan Total Inflow 2 Outflow 1. Biaya Investasi 2. Biaya Operasional Gaji karyawan Biaya administrasi dan kantor Biaya komunikasi Sewa kendaraan Bahan bakar kendaraan Biaya Pemeliharaan Alat Asuransi Biaya lain-lain Total Biaya Operasional
2
3
4
5
1.260.000.000 1.260.000.000
1.260.000.000 1.260.000.000
1.260.000.000 1.260.000.000
1.260.000.000 1.260.000.000
1.260.000.000 1.260.000.000
231.600.000 1.460.000 1.800.000 27.000.000 10.800.000 330.000.000 22.000.000 66.644.100 691.304.100
243.180.000 1.533.000 1.890.000 28.350.000 11.340.000 346.500.000 23.100.000 69.976.305 725.869.305
255.339.000 1.609.650 1.984.500 29.767.500 11.907.000 363.825.000 24.255.000 73.475.120 762.162.770
268.105.950 1.690.133 2.083.725 31.255.875 12.502.350 382.016.250 25.467.750 77.148.876 800.270.909
281.511.248 1.774.639 2.187.911 32.818.669 13.127.468 401.117.063 26.741.138 81.006.320 840.284.454
568.695.900 312.114.000 266.576.400 (9.994.500) (9.994.500) 312.114.000
534.130.695 312.114.000 177.717.600 44.299.095 13.289.729 31.009.367 312.114.000
497.837.230 312.114.000 88.858.800 96.864.430 29.059.329 67.805.101 312.114.000
459.729.091 312.114.000 147.615.091 44.284.527 103.330.564 312.114.000
419.715.546 312.114.000 107.601.546 32.280.464 75.321.082 312.114.000
302.119.500 568.695.900 0,870 494.518.174 (1.726.951.826)
343.123.367 520.840.967 0,756 393.830.598 (1.333.121.228)
379.919.101 468.777.901 0,658 308.229.079 (1.024.892.148)
6
(2.221.470.000)
3 Cash Flow EBITDA Depresiasi Bunga Earnings Before Tax Income Tax (30%) Net Income Depresiasi Nilai Sisa (Resale Value) Free Cash Flow Relevan Free Cash Flow Discounted Factor (15%) Relevan Free Cash Flow After Discounted Akumulasi PV NPV Net B/C IRR Payback Period
660.000.000 (2.221.470.000) (2.221.470.000) 1 (2.221.470.000) (2.221.470.000) 18.736.197 1,01 15% 5,93
415.444.564 1.047.435.082 415.444.564 1.047.435.082 0,572 0,497 237.531.778 520.760.355 (787.360.371) (266.600.016)
660.000.000 0,432 285.336.213 18.736.197
Lampiran 3 Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.200.000 per jam No
Uraian
1 Nilai Penjualan Harga sewa per jam (hour meter) Rata-rata Pemakaian per hari (2 shift) Rata-rata hari kerja per bulan Bulan Efektif Jumlah unit
Tahun 1 1.260.000.000 200.000 14 25 9 2
2 1.260.000.000 jam/unit hari Bulan unit
3 1.260.000.000
4 1.260.000.000
5 1.260.000.000
Lampiran 4 Cash Flow Harga Sewa Rp.225.000 per jam No
Tahun
Uraian
0
1
1 Inflow 1. Nilai Penjualan Total Inflow 2 Outflow 1. Biaya Investasi 2. Biaya Operasional Gaji karyawan Biaya administrasi dan kantor Biaya komunikasi Sewa kendaraan Bahan bakar kendaraan Biaya Pemeliharaan Alat Asuransi Biaya lain-lain Total Biaya Operasional
2
3
4
5
6
1.417.500.000 1.417.500.000
1.417.500.000 1.417.500.000
1.417.500.000 1.417.500.000
1.417.500.000 1.417.500.000
1.417.500.000 1.417.500.000
231.600.000 1.460.000 1.800.000 27.000.000 10.800.000 330.000.000 22.000.000 66.644.100 691.304.100
243.180.000 1.533.000 1.890.000 28.350.000 11.340.000 346.500.000 23.100.000 69.976.305 725.869.305
255.339.000 1.609.650 1.984.500 29.767.500 11.907.000 363.825.000 24.255.000 73.475.120 762.162.770
268.105.950 1.690.133 2.083.725 31.255.875 12.502.350 382.016.250 25.467.750 77.148.876 800.270.909
281.511.248 1.774.639 2.187.911 32.818.669 13.127.468 401.117.063 26.741.138 81.006.320 840.284.454
726.195.900 312.114.000 266.576.400 147.505.500 44.251.650 103.253.850 312.114.000
691.630.695 312.114.000 177.717.600 201.799.095 60.539.729 141.259.367 312.114.000
655.337.230 312.114.000 88.858.800 254.364.430 76.309.329 178.055.101 312.114.000
617.229.091 312.114.000 305.115.091 91.534.527 213.580.564 312.114.000
577.215.546 312.114.000 265.101.546 79.530.464 185.571.082 312.114.000
415.367.850 681.944.250 0,870 592.995.000 (1.628.475.000)
453.373.367 631.090.967 0,756 477.195.438 (1.151.279.562)
490.169.101 579.027.901 0,658 380.720.244 (770.559.318)
525.694.564 1.157.685.082 525.694.564 1.157.685.082 0,572 0,497 300.567.573 575.574.090 (469.991.745) 105.582.344
(2.221.470.000)
3 Cash Flow EBITDA Depresiasi Bunga Earnings Before Tax Income Tax (30%) Net Income Depresiasi Nilai Sisa (Resale Value) Free Cash Flow Relevan Free Cash Flow Discounted Factor (15%) Relevan Free Cash Flow After Discounted Akumulasi PV NPV Net B/C IRR Payback Period
660.000.000 (2.221.470.000) (2.221.470.000) 1 (2.221.470.000) (2.221.470.000) 390.918.558 1,18 21% 4,82
660.000.000 0,432 285.336.213 390.918.558
Lampiran 5 Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.225.000 per jam No
Uraian
1 Nilai Penjualan Harga sewa per jam (hour meter) Rata-rata Pemakaian per hari (2 shift) Rata-rata hari kerja per bulan Bulan Efektif Jumlah unit
1 1.417.500.000 225.000 14 25 9 2
2 1.417.500.000 jam/unit hari Bulan unit
Tahun 3 1.417.500.000
4 1.417.500.000
5 1.417.500.000
Lampiran 6 Cash Flow Harga Sewa Rp.250.000 per jam No
Tahun
Uraian
0
1 Inflow 1. Nilai Penjualan Total Inflow 2 Outflow 1. Biaya Investasi 2. Biaya Operasional Gaji karyawan Biaya administrasi dan kantor Biaya komunikasi Sewa kendaraan Bahan bakar kendaraan Biaya Pemeliharaan Alat Asuransi Biaya lain-lain Total Biaya Operasional
1
2
3
4
5
1.575.000.000 1.575.000.000
1.575.000.000 1.575.000.000
1.575.000.000 1.575.000.000
1.575.000.000 1.575.000.000
1.575.000.000 1.575.000.000
231.600.000 1.460.000 1.800.000 27.000.000 10.800.000 330.000.000 22.000.000 66.644.100 691.304.100
243.180.000 1.533.000 1.890.000 28.350.000 11.340.000 346.500.000 23.100.000 69.976.305 725.869.305
255.339.000 1.609.650 1.984.500 29.767.500 11.907.000 363.825.000 24.255.000 73.475.120 762.162.770
268.105.950 1.690.133 2.083.725 31.255.875 12.502.350 382.016.250 25.467.750 77.148.876 800.270.909
281.511.248 1.774.639 2.187.911 32.818.669 13.127.468 401.117.063 26.741.138 81.006.320 840.284.454
883.695.900 312.114.000 266.576.400 305.005.500 91.501.650 213.503.850 312.114.000
849.130.695 312.114.000 177.717.600 359.299.095 107.789.729 251.509.367 312.114.000
812.837.230 312.114.000 88.858.800 411.864.430 123.559.329 288.305.101 312.114.000
774.729.091 312.114.000 462.615.091 138.784.527 323.830.564 312.114.000
734.715.546 312.114.000 422.601.546 126.780.464 295.821.082 312.114.000
525.617.850 792.194.250 0,870 688.864.565 (1.532.605.435)
563.623.367 741.340.967 0,756 560.560.277 (972.045.158)
600.419.101 689.277.901 0,658 453.211.408 (518.833.749)
635.944.564 1.267.935.082 635.944.564 1.267.935.082 0,572 0,497 363.603.368 630.387.825 (155.230.381) 475.157.444
6
(2.221.470.000)
3 Cash Flow EBITDA Depresiasi Bunga Earnings Before Tax Income Tax (30%) Net Income Depresiasi Nilai Sisa (Resale Value) Free Cash Flow Relevan Free Cash Flow Discounted Factor (15%) Relevan Free Cash Flow After Discounted Akumulasi PV NPV Net B/C IRR Payback Period
660.000.000 (2.221.470.000) (2.221.470.000) 1 (2.221.470.000) (2.221.470.000) 760.493.657 1,34 27% 4,25
660.000.000 0,432 285.336.213 760.493.657
Lampiran 7 Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.250.000 per jam No
Uraian
1 Nilai Penjualan Harga sewa per jam (hour meter) Rata-rata Pemakaian per hari (2 shift) Rata-rata hari kerja per bulan Bulan Efektif Jumlah unit
Tahun 1 1.575.000.000 250.000 14 25 9 2
2 1.575.000.000 jam/unit hari Bulan unit
3 1.575.000.000
4 1.575.000.000
5 1.575.000.000
Lampiran 8 Rincian Pengeluaran (Outflow) Biaya Investasi No 1 2
Uraian Alat Berat Alat Operasional & services Tool box Helm proyek Sepatu boot Alat Kantor Laptop Printer/fotocopy/scan Whiteboard (1,5 m x 1 m) Fasilitas Tempat Tinggal Tempat tidur Meja Kursi Plastik Sapu Alat makan (lusin) Alat masak (set) Tabung gas 12 kg Galon air Alat Komunikasi Handy talkie Modem GSM
3
4
6
Gaji Karyawan No 1 2 3 4
Posisi Koordinator Lapangan Operator Helper Pembantu
Biaya Sewa Kendaraan No 1
Jumlah orang 1 4 2 1
Jumlah 2
Harga 1.100.000.000
Total 2.200.000.000
2 7 7
2.000.000 50.000 60.000
4.000.000 350.000 420.000
1 1 1
4.000.000 1.000.000 300.000
4.000.000 1.000.000 300.000
5 1 6 1 1 1 1 5
1.000.000 500.000 100.000 50.000 250.000 400.000 1.000.000 50.000
5.000.000 500.000 600.000 50.000 250.000 400.000 1.000.000 250.000
3 1
1.000.000 350.000
3.000.000 350.000
Gaji setahun 36.000.000 31.500.000 12.000.000 6.000.000
Uraian Sewa sepeda motor
Biaya Bahan Bakar (bensin) No Uraian 1 Bensin untuk sepeda motor
Asuransi 1.800.000 1.575.000 600.000 300.000
THR 3.000.000 3.000.000 1.500.000 500.000
Bonus 3.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000
Jumlah 3
Harga per bulan 750.000
Jumlah 3
Biaya Per bulan 300.000
Total Per tahun 43.800.000 150.300.000 30.200.000 7.300.000
Total 27.000.000
Total 10.800.000
Biaya Pemeliharaan Alat Berat No Uraian 1 Biaya Pemeliharaan
Biaya Asuransi No 1
Biaya Bunga Total Investasi Uang Muka (20%) Pinjaman Pokok Bunga Efektif Jangka waktu (tahun) No 1 2 3
Uraian Biaya Asuransi Unit
Jumlah 2
Harga per tahun 165.000.000
Jumlah Unit 2
Premi Asuransi 1%
Pinjaman Pokok 1.777.176.000
Tahun ke 1 1.184.784.000 592.392.000 266.576.400
Harga Pembelian 2.200.000.000 4.770.000 1.300.000 8.050.000 3.350.000
Umur Pakai (thn) 5 5 5 5 5
Harga Unit 1.100.000.000
Total 330.000.000
Total 22.000.000
2.221.470.000 444.294.000 1.777.176.000 15% 3 Uraian
Pinjaman Pokok
Tahun ke 2 592.392.000 592.392.000 177.717.600
Tahun ke 3 0 592.392.000 88.858.800
Nilai sisa 30% 0% 0% 0% 0%
Nilai Sisa 660.000.000 -
Umur Pakai 5 5 5 5 5
Harga Pembelian-nilai sisa 1.540.000.000 4.770.000 1.300.000 6.000.000 8.500.000
Depresiasi 308.000.000 954.000 260.000 1.200.000 1.700.000
Total Investasi 2.221.470.000
Persentase 3%
Total 66.644.100,0
Angsuran Pokok Bunga
Nilai Sisa No 1 2 3 4 5
Uraian Alat Berat Alat Operasional&services Alat Kantor Fasilitas Tempat Tinggal Alat Komunikasi
Biaya Depresiasi No 1 2 3 4 5
Alat Berat Alat Operasional&services Alat Kantor Fasilitas Tempat Tinggal Alat Komunikasi
Biaya Lain-lain No 1
Uraian Biaya lain-lain
Uraian
Lampiran 9 Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Owner/Pemilik----1
Koordinator Lapangan--1
Operator---4
Helper---2
Pembantu--1
--- jumlah tenaga kerja
Lampiran 10 Deskripsi Pekerjaan Tenaga Kerja 1. Owner/pemilik 2. Koordinator Lapangan
: Melakukan negosiasi untuk mendapatkan pekerjaan dari kebun Mengeluarkan kuitansi dan faktur pajak atas pembayaran pekerjaan : Memimpin operasional di lapangan Memastikan suplai bahan bakar lancar Membuat laporan pekerjaan harian, mingguan, dan bulanan Memantau kondisi alat berat Melaporkan kepada owner untuk dilakukannya services alat berat Menyerahkan dokumen penagihan Memantau pembayaran oleh kebun
3. Operator
: Mengemudikan alat berat sesuai dengan prosedur Menginformasikan ke mandor untuk segala permasalahan di lapangan
4. Helper
: Melakukan perawatan alat berat (melumas/grease, mengencangkan baut) Mengantar makanan Mengisi bahan bakar
5. Pembantu
: Memasak Mencuci Membersihkan tempat tinggal / mess