-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
ANALISIS KEBUTUHAN PENGEMBANGAN MODEL BUKU TEKS BAHASA INDONESIA BERBASIS KECERDASAN EKOLOGIS BAGI SISWA SMP DI SURAKARTA Sarwiji Suwandi, Ahmad Yunus, dan Laili Etika Rahmawati
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu: (1) mengeksplanasikan muatan kecerdasan ekologis dalam buku teks Bahasa Indonesia di SMP dan (2) mendeskripsikan kebutuhan pengembangan buku teks Bahasa Indonesia berbasis kecerdasan ekologis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D). Penelitian ini termasuk dalam tahap I yang disebut dengan tahap eksplorasi. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, muatan kecerdasan ekologis dalam BSE mata pelajaran Bahasa Indonesia meliputi: (1) mengidenti ikasi komponen-komponen ekosistem; (2) memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan; (4) memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai religius, dan nilai normatif; (5) menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan; (6) melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan; (7) memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan, baik secara individual maupun kolektif; (8) mengelola/melestarikan sumber daya alam; dan (9) memanfaatkan lingkungan secara positif. Namun demikian, muatan nilai kecerdasan ekologis masih lebih dominan pada hal-hal yang bersifat pengetahuan dan belum menekankan pada pemahaman dan internalisasi nilai serta penerapannya. Kedua, berdasarkan hasil analisis kebutuhan diketahui beberapa hal sebagai berikut: (1) muatan komponen ekosistem diperlukan dalam buku ajar bahasa Indoneia; (2) hingga kini belum tersedia buku ajar bahasa Indonesia yang secara spesi ik mengintegrasikan dengan kebutuhan upaya pelestarian lingkungan; (3) buku ajar perlu memuat sistem pengelolaan lingkungan; (4) buku ajar bahasa Indonesia perlu menekankan nilai-nilai kearifan lokal, religius, dan normatif (berkaitan dengan aturan) tentang lingkungan; (5) muatan strategi beradaptasi dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan; (6) buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan selama ini belum cukup menyajikan strategi pemecahan permasalahan lingkungan; (7) buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan selama ini belum menyajikan strategi pelestarian lingkungan; (8) buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan belum secara lengkap menyajikan strategi pemanfatan lingkungan; (9) muatan kecerdasan ekologis dalam buku lebih ditekankan pada hal-hal yang praktis sesuai dengan dunia anak dan kepentingan siswa SMP. Kata kunci: analisis kebutuhan, buku teks, bahasa Indonesia, kecerdasan ekologis
Pendahuluan Bencana alam yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini telah menyebabkan kerugian yang begitu besar bagi masyarakat Indonesia, tidak saja secara material tetapi juga mental-spiritual. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah bencana alam tahun 2014 terjadi 372 kali dengan korban meninggal mencapai 245 jiwa, luka-luka 1.523 jiwa, dan korban mengungsi 1.044.990 jiwa. Jumlah tersebut didominasi oleh banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan (http://www.republika.co.id). Salah satu penyebab timbulnya berbagai bencana tersebut adalah ulah manusia sendiri. Pernyataan ini dapat dibuktikan melalui beberapa hasil penelitian tentang penyebab banjir. Banjir di kota-kota besar timbul akibat perubahan penggunaan lahan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) (As-syakur, 2010:205) serta kebiasaan membuang sampah di sungai sehingga mengurangi kapasitas volume saluran air (Sartohadi dan Suryono, 2003: 199). Terjadinya pembalakan liar terhadap kekayaan hutan dengan berbagai latar belakang alasan sebagaimana dikemukakan oleh Kasia dkk. (2011: 1-2) turut pula berpengaruh terhadap keseimbangan alam. 359
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Kenyataan di atas menunjukkan betapa buruknya kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Upaya-upaya penanggulangan bencana sebenarnya sudah banyak dilakukan, seperti penyusunan aplikasi SSOP Bantal untuk mendeteksi dini daerah rawan banjir dan tanah longsor (Santoso, 2012:53), peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah (Riswan, dkk, 2011:31-38), revitalisasi fungsi DAS melalui pemberdayaan seluruh elemen masyarakat (Suganda, dkk, 2009:143-153). Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya masih dilakukan secara parsial dan hanya menyentuh wilayah isik dan teknis, sedangkan penanggulangan bencana dengan mengutamakan aspek mental berupa perubahan mindset dan penanaman sikap belum banyak dilakukan. Penanaman sikap cinta terhadap lingkungan dapat diupayakan melalui jalur pendidikan. Buku merupakan faktor penting dalam pendidikan yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif kepada anak tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Melalui buku pelajaran yang berbasis pada nilai-nilai cinta terhadap alam dan lingkungan sekitar, anak dituntun untuk memiliki kecerdasan ekologis (ecological intelligence), yakni menjadikan anak mampu menempatkan dirinya sebagai kontrol terhadap lingkungannya (human as in control of the natural environment) (Jung dalam Utina, 2012: 2). Kecerdasan ekologis ini diyakini memiliki kekuatan besar untuk menang-gulangi berbagai bencana alam yang disebabkan oleh perilaku buruk manusia terhadap alam. Upaya pelestarian lingkungan tersebut selayaknya menjadi perhatian semua elemen pendidikan. Pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran IPA atau Sains, tetapi oleh semua guru mata pelajaran, termasuk guru Bahasa Indonesia. Buku atau bahan ajar Bahasa Indonesia yang tersedia belum memberikan perhatian yang cukup pada upaya menjaga dan melestarikan lingkungan (ekosistem). Untuk itu, dipandang penting melakukan penelitian untuk mendeskripsikan dan menjelaskan muatan kecerdasan ekologis dalam buku teks Bahasa Indonesia SMP. Dari data tersebut selanjutnya dapat dikembangkan/ disusun model buku teks bahasa Indonesia berbasis kecerdasan ekologis. Penanaman kesadaran tentang pelestarian lingkungan dapat dilakukan melalui pembelajaran bahasa. Melalui bahasa pengetahuan dan nilai-nilai dikomunikasikan dan diinternalisasikan. Wills (1996:12) dengan tegas menyatakan bahwa hal terpenting dalam mempelajari bahasa adalah menggunakan bahasa itu. Buku pelajaran yang baik secara langsung maupun tidak juga mengomunikasikan nilai-nilai sosial dan budaya. Ini yang disebut ‘kurikulum tersembunyi’ yang berupa program mendidik, tetapi tidak dinyatakan dan tidak diperlihatkan. Hal ini bisa berupa ungkapan sikap dan nilai yang secara tidak sadar dilakukan tetapi tetap mempengaruhi isi dan kesan terhadap bahan pengajaran dan kurikulum secara keseluruhan. Karena sistem nilai yang pokok tidak eksplisit dan tidak dinyatakan, kita perlu melihat buku pelajaran tersebut secara teliti menemukan apa saja nilai-nilai yang tidak diungkapkan (Cunningsworth, 1995:91). Kerangka Teori Pengembangan buku teks berbasis kecerdasan ekologis ini memiliki peran strategis. Memang telah banyak dilakukan riset tentang penanggulangan bencana dan pelestarian ekosistem; namun, riset yang secara sistematis berupaya menanamkan kesadaran anak didik sejak dini tentang pentingnya pelestarian lingkungan belum banyak mendapat perhatian. Vallori (2014: 199) menyatakan bahwa pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bermakna yang didukung oleh beragam literatur yang lengkap dan sesuai dengan konteks yang dialami oleh peserta didik. Penanaman kesadaran tentang pelestarian lingkungan dapat dilakukan melalui pembelajaran bahasa. Melalui bahasa pengetahuan dan nilai-nilai dikomunikasikan dan diinternalisasikan. Wills (1996:12) dengan tegas menyatakan bahwa hal terpenting dalam 360
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
mempelajari bahasa adalah menggunakan bahasa itu. Keterampilan berbahasa yang terealisasikan dalam wujud penggunaan bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yakni keterampilan reseptif dan produktif (Widdowson, 1987:36). Pembelajaran merupakan sistem yang kompleks. Menurut Richards (2002:54), terdapat empat faktor utama dalam pembelajaran, yaitu sekolah, guru, proses pembelajaran, dan siswa. Sementara itu, menurut Sanjaya (2008:52), faktor penting yang berpengaruh dalam sistem pembelajaran meliputi guru, siswa, sarana dan prasarana, serta lingkungan. Buku pelajaran, menurut Cunningsworth (1995:7), hendaknya dipandang sebagai sebuah sumber dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Buku Pelajaran hendaknya disusun dengan teks yang variatif dan menarik minat anak (Kaya, 2014:41). Istilah ekologi, menurut Soemarwoto (1991:19) berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan sebagai ilmu rumah tangga makhluk hidup. Pendapat hampir sama dikemukakan ahli lain. Cooper (2005:235) berpendapat bahwa ekologi merupakan studi tentang hubungan antara organisme dan lingkungan hidupnya. Menurut Sutton dan Anderson (2010:3), ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Sementara itu, Keraf (2014:127) menegaskan bahwa eko-logi adalah ilmu yang mengkaji hubungan antara anggota rumah tangga di alam semesta dan sekaligus hubungan semua makhluk hidup dengan alam semesta atau lingkungan sekitarnya. Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan dua komponen utama penyusunnya, yaitu faktor abiotik atau takhidup dan faktor biotik atau hidup (Kormondy dalam Sutton and Anderson, 2010:35). Manusia mempunyai daya adaptasi yang besar, baik secara hayati maupun kultural (Soemarwoto, 1991:73). Misalnya, manusia dapat menyesuaikan diri pada penggunaan air yang tercemar. Ia membentuk daya tahan hidup terhadap penyakit dalam tubuhnya dan karena kebiasaan menekan rasa jijiknya terhadap air yang kotor, air bersih tidak lagi dirasakan sebagai kebutuhan dasar oleh kelompok manusia tersebut. Adaptasi demikian itu, walaupun mempunyai nilai dalam mempertahankan kelangsungan hidup, haruslah dianggap sebagai maladaptasi atau penyesuaian diri yang tidak sehat. Khachapilly dan Mathulla (2014:323) menyatakan bahwa knowing the body and cultivating the body needs understanding of the body-personal, biological, social, religius, philoshopical dimensions among other. Manusia dituntut memahami krisis dan bencana lingkungan hidup serta memberi solusi. Menurut Keraf (2014:124), solusi yang ditawarkan pada tempat pertama adalah pemikiran atau paradigma alternatif karena sebab utama dari krisis dan bencana lingkungan hidup adalah kesalahan paradigma berpikir. Hanya dengan mengubah paradigma inilah akan muncul perilaku dan cara hidup baru sebagai solusi akhir bagi keseluruhan krisis dan bencana lingkungan hidup global. Inti dari tawaran solusi ini adalah membangun sebuah masyarakat berkelanjutan, baik pada tingkat global, nasional, atapun daerah. Sebuah masyarakat berkelanjutan membangun dan menata kehidupannya secara bersama dengan bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup. Kesadaran inilah yang disebut sebagai ecoliteracy atau melek ekologi (Capra, 1997:297). Kesadaran yang sama, menurut Keraf (2014:125), dapat pula bertumpu pada ilsafat bioregionalisme, yaitu kesadaran tentang pentingnya hidup selaras dengan alam dan sekaligus bertumpu pada mata rantai kehidupan dalam alam sekitar. Kesadaran tentang pentingnya alam inilah yang kemudian melahirkan dan menjelma dalam perilaku yang selalu ramah atas lingkungan hidup, perilaku yang selalu menjaga dan merawat lingkungan hidup sebagai sebuah kebiasaan dan pola laku hidup. 361
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Melek ekologi sesungguhnya diinspirasi dan bersumber pada`apa yang disebut Capra sebagai kearifan alam. Sebagimana dinyatakan oleh Capra, “Selama lebih dari tiga miliar tahun evolusi, ekosistem planet bumi telah mengorganisasi dirinya sedemikian samar-samar dan kompleks untuk meningkatkan keberlanjutannya. Kearifan alam inilah yang merupakan hakikat dari ekoliterasi atau melek lingkungan hidup.” Capra mendambakan dan sekaligus meramalkan bahwa masa depan umat manusia, masa depan komunitas manusia, dan masa depan planet bumi ini sangat bergantung pada ecoliteracy ini, pada kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup, pada kemampuan dan keseriusan kita menata perilaku kita serta komunitas kita selaras dengan ecoliteracy ini. Sejalan dengan itu, Keraf (2014:129) menekankan pentingnya merevitalisasi sedemikian rupa komunitas-komunitas kita—termasuk komunitas pendidikan, komunitas bisnis, dan komunitas politik—agar prinsip-prinsip ekologi bisa diwujudnyatakan di dalam komunitaskomunitas kita sebagai prinsip-prinsip pendidikan, manajemen, dan politik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Chili (2014), kecerdasan ekologis yang dikuasai oleh seseorang ditentukan oleh guru. Guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kecerdasan ekologis dalam pembelajaran yang dilaksanakan di kelas sehingga pembelajaran hendaknya disiapkan secara matang. Prinsip-prinsip ekologis yang dimaksudkan oleh Capra (1997: 298-304) meliputi prinsip interdependensi, daur ulang, kemitraan, leksibilitas, dan keragaman. Dengan sedikit merevisi prinsip-prinsip ekologis di atas dalam bukunya The Hidden Connections, Capra (2004: 201202) merumuskan prinsip-prinsip itu sebagai jejaring (networks), siklus (cycles), energi surya (solar energy), kemitraan (pertnership), keanegaramaan (diversity), dan keseimbangan dinamis (dynamic balance). Dengan kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup serta memahami prinsip ekologis, manusia diharapkan mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap alam sekitar atau lingkungan. Kemampuan menjalankan fungsi kontrol terhadap alam sekitarnya (human as in control of the natural environment) inilah, menurut Jung (dalam Utina, 2012:2), disebut dengan kecerdasan ekologis (ecological intelligence). Kecerdasan ekologis merupakan bentuk pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta makhluk hidup lain. Kecerdasan ekologis diwujudkan dalam bentuk empati dan kepedulian yang mendalam terhadap lingkungan sekitar, serta cara berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar akibat perlakuan kita. Berkes dalam Pilgrim, et. al, (2008: 1004-1005) mendeskripsikan empat tingkatan dalam kecerdasan ekologis, yakni (1) mengidenti ikasi komponen-komponen ekosistem, baik biotik maupun abiotik; (2) memahami fungsi dan kegunaan setiap komponen dalam ekosistem; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan; (4) memahami dan mampu menjalankan tata nilai yang berlaku dalam sistem ekologi. Kecerdasan ekologis mengacu pada pemahaman akan dampak ekologis tersembunyi dan pemecahan untuk memperbaiki hal tersebut. Kecerdasan ekologis memadukan keterampilan kognitif dengan empati terhadap segala bentuk kehidupan. Kecerdasan sosial dan emosional terbangun atas kemampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan menunjukkan kepedulian kita. Kecerdasan ekologis memperluas kapasitas tersebut ke seluruh sistem alami. Kita menunjukkan empati dan merasa sedih melihat tanda-tanda penderitaan bumi atau kita bertekad untuk membuat segalanya menjadi lebih baik. Empati yang meluas ini meningkatkan analisis rasional terhadap unsur penyebab dan memengaruhi motivasi untuk membantu. Kita harus mempelajari kepekaan baru terhadap serangkaian ancaman tak dikenal, yang berada di luar jangkauan radar sistem saraf dan 362
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
mempelajari cara menghadapinya. Untuk itulah diperlukan kecerdasan ekologis (Goleman, 2009). Pada beberapa persoalan, kecerdasan atau wawasan ekologis sering dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan lokal kelompok masyarakat adat. Banyak pakar melihat bahwa wawasan dan kearifan ekologi yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan memiliki peran penting dalam upaya pengelolaan sumber daya alam, pengayoman terhadap keanekaragaman hayati, dan memberikan model atau cara hidup dengan lingkungan (Turner, Ignace, and Ignace, 2000: 1275). Kearifan lokal dapat berwujud nyata (tangible) dan takberwujud (intangible), yaitu nilainilai yang turun-temurun dan masih dilaksanakan, di antaranya tercermin dalam tata wilayah (rumah adat, permukiman, pengairan, sawah dan ladang serta hutan), tata wilayah yang ditunjukkan berdasarkan fenomena alam, dan tata lampah yang diwujudkan dalam aturanaturan berkenaan dengan lingkungan (etika lingkungan) serta upacara adat. Nilai-nilai tata lingkungan yang ada di antaranya nilai adaptif terhadap lingkungan, nilai preventif terhadap bencana, nilai keseimbangan dan keselarasan ekologis, nilai kesinambungan, nilai kepercayaan, nilai kemasyarakatan (sosial dan budaya). Kecerdasan ekologis tidak terletak pada kemampuan individual, tetapi harus menjadi kecerdasan kolektif (Goleman dalam Shumba, 2011: 87). Manusia harus memahami bahwa sistem ekologi berlangsung dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam. Dengan demikian, yang menjadi titik perhatian dalam kecerdasan ekologis adalah kemampuan memahami sistem alam dengan semua kompleksitasnya dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan ekologis yang ada di sekitarnya. Berdasarkan berbagai pendapat ahli di atas dapat disintesiskan bahwa kecerdasan ekologis adalah kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan serta kemampuan beradaptasi, mengontrol, mengatur, mempeduli, menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan lingkungannya demi kelangsungan hidup manusia. Komponen yang tercakup dalam kecerdasan ekologis meliputi (1) mengidenti ikasi komponen-komponen ekosistem, baik abiotik maupun biotik; (2) memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem, baik abiotok maupun biotik; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan, baik abiotik maupun biotik; (4) memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai religius, dan nilai normatif; (5) menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan, baik abiotik maupun biotik; (6) melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan, baik abiotok maupun biotik; (7) memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan (abiotik maupun biotik), baik secara individual maupun kolektif; (8) mengelola/ melestarikan sumber daya alam (abiotik dan biotik), baik secara individual dan kolektif; dan (9) memanfaatkan lingkungan secara positif (abiotik dan biotik), baik secara individual maupun kolektif. Metode Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis). Analisis isi dilakukan untuk menedeskripsikan dan menjelaskan muatan kecerdasan ekologis dalam buku sekolah elektronik mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP. Selain analisis terhadap buku pelajaran, juga dilakukan studi pustaka yang berkaitan dengan kecerdasan ekologis. Keabsahan data yang diperoleh dilakukan melalui triangulasi, pengecekan anggota, dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif. Prosedur yang diguakan Miles dan Huberman (1984) adalah (1) pengumpulan data (focusing the collection data); (2) reduksi data (analysis during data collection, within site analysis, cross site analysis); (3) penyajian data 363
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
(matrix displays some general suggestion); dan (4) penarikan simpulan (drawing and verivying conclutions). Analisis dilanjutkan dengan penarikan simpulan berdasarkan pada tema-tema yang menjadi fokus eksplorasi. Kebutuhan pengembangan buku teks berbasis kecerdasan ekologis digali dengan menggunakan angket dan FGD. Hasil Dan Pembahasan Muatan Nilai Kecerdasan Ekologis dalam Buku BSI SMP di Surakarta Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia yang digunakan oleh para guru Bahasa Indonesia SMP di Surakarta cukup beragam, khususnya sekolah yang masih menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Keseluruhan buku Bahasa Indonesia yang digunakan berjumlah 38 judul. Buku BSI yang digunakan oleh SMP di Surakarta berjumlah 38 judul dan diambil tujuh judul sebagai sampel, yakni: (1) Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMP Kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawati; (2) Bahasa Indonesia (untuk SMP/ MTs Kelas VII) ditulis oleh Atikah Anindyarini dan Sri Ningsih; (3) Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas IX karangan Atikah Anindyarini, Yuwono, dan Suhartanto; (4) Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan Kelas VII (WP7) karya Fairul Zabadi, dkk.; (5) Bahasa Indonesia: Wahana Pengetahuan Kelas VIII ditulis oleh Fairul Zabadi dan Sutejo, ditelaah: Hasanuddin W.S. dan M.Abdullah; (6) Bahasa dan Sastra Indonesia 3 untuk SMP/MTs Kelas IX karya Maryati dan Sutopo; (7) Bahasa dan Sastra Indonesia 3 untuk SMP/MTs Kelas VII karya Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawarti. Selanjutnya, ketujuh buku tersebut dianalisis muatan nilai-nilai kecerdasan ekologis di dalamnya dengan menggunakan teori kecerdasan ekologis yang dirumuskan oleh Berkes dan Goleman yang dijabarkan ke dalam sembilan dimensi atau komponen kecerdasan ekologis, meliputi (1) mengidenti ikasi komponen-komponen ekosistem, baik subdimensi/ aspek abiotik maupun biotik; (2) memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem, baik abiotik maupun biotik; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan, baik abiotik maupun biotik; (4) memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai religius, nilai normatif, dan nilai literer; (5) menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan, baik abiotik maupun biotik; (6) melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan, baik abiotok maupun biotik; (7) memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan (abiotik dan biotik), baik secara individual maupun kolektif; (8) mengelola/ melestarikan sumber daya alam (abiotik dan biotik), baik secara individual dan kolektif; dan (9) memanfaatkan lingkungan secara positif (abiotik dan biotik), baik secara individual maupun kolektif. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap ketujuh buku pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP tersebut dapat disimpulkann bahwa ditinjau dari kecerdasan ekologis, buku-buku tersebut kurang lengkap. Pada komponen Buku-buku tersebut belum mampu mengakomodasi sembilan dimensi maupun tiga puluh dua subdimensi kecerdasan ekologis secara penuh. Ada buku yang memuat sembilan dimensi kecerdasan ekologis, tetapi sebaran subdimensinya tidak penuh dan tidak merata. Ada pula buku yang hanya memuat lima dimensi dari sembilan dimensi yang ada dan memuat delapan subdimensi dari tiga puluh dua subdimensi kecerdasan ekologis yang ada. Materi dalam buku pelajaran memaparkan dimensi kecerdasan ekologis yang berhubungan dengan komponen dan fungsi ekosistem, baik abiotik maupun biotik, lebih banyak mengakomodasi pengembangan koginitif siswa. Pengembangan kemampuan afektif (yang berhubungan dengan nilai-nilai religius, normatif, dan kearifan lokal) serta psikomotor (yang berhubungan dengan tata kelola terkait penghargaan dan keprihatinan terhadap lingkungan) siswa secara inividual ataupun kolektif belum terakomodasi secara memadai. Muatan materi kecerdasan ekologis dalam buku-buku pelajaran Bahasa Insonesia tersebut belum menunjukkan upaya fasilitasi sekolah bagi siswa untuk mengembangan sikap 364
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
dan keterampilan yang berkenaan dengan kecerdasan ekologis. Namun demikian, terlepas dari hal di atas, keberadaan subdimensi yang telah termuat dalam keeenam buku BSI tersebut dapat terintegrasi secara merata dalam beberapa bagian buku, baik pada sajian materi, latihan/ soal, maupun bagian pendukung, seperti prakata dan pendahuluan. Hanya saja, intensitas pemunculannya masih belum konsisten. Kebutuhan Buku Teks Bahasa Indonesia Berbasis Kecerdasan Ekologis Selain berdasarkan hasil analisis isi muatan nilai-nilai kecerdasan ekologis dalam buku pelajaran bahasa Indonesia, analisis kebutuhan juga dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh dari pengguna (guru). Analisis kebutuhan diperoleh melalui angket yang dikembangkan dengan mengacu pada konstruk kecerdasan ekologis dan kebutuhan pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan tuntutan kurikulum. Analisis kebutuhan meliputi dimensi dan aspek-aspek kecerdasan ekologis yang dan pengembangan bahan yang dintegrasikan dengan pencapaian tujuan pelajaran bahasa Indonesia, yakni keterampilan berbahasa dan kemampuan apresiasi sastra. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dapat dikemukakan kebutuhan pengembangan buku teks berikut ini. Pertama, sejalan dengan tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia, mayoritas guru (94 %) menyatakan bahwa muatan komponen ekosistem—baik abiotik dan biotik—diperlukan dalam buku ajar bahasa Indoneia. Mereka (89 %) berpandangan bahwa hal itu diperlukan agar para siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang ekosistem serta fungsi dan kegunaan ekosistem. Kedua, sebagian besar guru (100 %) menyatakan bahwa hingga kini belum tersedia buku ajar bahasa Indonesia untuk SMP yang secara spesi ik mengintegrasikan dengan kebutuhan upaya pelestarian lingkungan. Untuk itu, para guru (88 %) memandang penting tersedianya buku teks bahasa Indonesia berbasis kecerdasan ekologis. Ketiga, para guru (85 %) setuju bahwa buku ajar perlu memuat sistem pengelolaan lingkungan. Hal demikian akan meningkatkan pemahaman siswa untuk mengelola lingkungan dengan lebih baik. Untuk materi tentang pengelolaan lingkungan yang bersistem diperlukan. Keempat, mayoritas guru (93 %) menyatakan kesetujuan mereka bahwa buku ajar bahasa Indonesia perlu menekankan nilai-nilai kearifan lokal, religius, dan normatif (berkaitan dengan aturan) tentang lingkungan. Dengan demikian, para siswa akan lebih menghayati atau menginternalisasi berbagai nilai yang terkait dengan upaya pelestarian lingkungan. Kerena muatan dalam buku ajar bahasa Indonesia belum memadai, menurut mayoritas guru (91 %), pengembangan nilai tersebut masih sangat diperlukan. Kelima, para guru (87 %) percaya bahwa muatan strategi beradaptasi dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Namun demikian, diakui oleh mereka (98 %) buku-buku bahasa Indonesia yang ada belum menyajikan strategi beradaptasi dengan lingkungan secara baik. Untuk itu, mayoritas guru (100 %) menyatakan pentingnya pengembangan bahan ajar. Buku ajar perlu menyajikan berbagai teknik atau cara yang dapat digunakan siswa untuk memiliki perilaku adaptasi yang positif terhadap lingkungannya. Keenam, hampir keseluruhan guru (99 %) menyatakan bahwa buku pelajaran bahasa Indonesia yang mereka digunakan selama ini belum cukup menyajikan strategi pemecahan permasalahan lingkungan. Untuk itu, mereka berpendapat perlu dikembangkan buku teks bahasa Indonesia yang antara lain memuat strategi baik individual dan kelompok untuk memecahkan permasalahan atau dampak lingkungan. Muatan strategi tersebut diyakini guru (87 %) dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk turut serta menanggulangi berbagai permasalahan lingkungan yang ada. 365
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Ketujuh, mayoritas guru (79 %) menyatakan bahwa buku pelajaran bahasa Indonesia yang mereka digunakan selama ini belum menyajikan strategi pelestarian lingkungan. Sejalan dengan itu, mereka berpendapat perlu dikembangkan buku teks bahasa Indonesia yang di dalamnya berisi strategi baik individual dan kelompok untuk melestarikan lingkungan. Muatan strategi tersebut dipercaya guru (82 %) dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk turut serta melestarikan dan memuliakan lingkungan. Kedelapan, sebagian besar guru (93 %) mengakui bahwa buku pelajaran bahasa Indonesia yang mereka digunakan belum secara lengkap menyajikan strategi pemanfatan lingkungan. Untuk itu, mereka berpendapat perlu dikembangkan buku teks bahasa Indonesia yang di dalamnya antaral lain memuat strategi baik individual dan kelompok untuk memanfaatkan lingkungan. Guru percaya (82 %) bahwa hal itu dapat meningkatkan kesadaran siswa untuk memanfaatkan lingkungan secara lebih baik. Kesembilan, para guru bahasa Indonesia mengusulkan sejumlah topik peningkatan kecerdasan ekologis yang perlu dikembangkan dalam buku teks, yaitu (1) pemeliharaan kebersihan diri, (2) pemeliharaan kebersihan lingkungan rumah, (3) pemeliharaan kebersihan lingkungan sekolah, (4) pemulihan lingkungan yang rusak, (5) pengelolaan dan penggunaan air, (6) pengurangan pencemaran udara, (7) pengelolaan sungai, (8) pengelolaan sampah, (9) kelestarian hutan,(10) penyelematan bencana alam, dan sebagainya. Kesepuluh, mayoritas guru (76 %) menyatakan bahwa muatan kecerdasan ekologis dalam buku lebih ditekankan pada hal-hal yang praktis sesuai dengan dunia dan kepentingan siswa SMP. Para guru (96 %) berharap Buku Teks bahasa Indonesia Berbasis Kecerdasan Ekologis dilengkapai dengan Buku Pedoman Pengembangan Bahan Aajar dagi Guru dan Buku Pedoman Kegiatan Siswa. Hasil analisis kebutuhan dari guru di atas sejalan dengan hasil analisis muatan nilai kecerdasan ekologis yang diperoleh dari buku. Komponen-komponen kecerdasan ekologis yang tersaji dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SMP cukup variatif; dari buku yang hanya memuat tiga komponen kecerdasan ekologis sampai dengan buku yang memuat semua komponen kecerdasan ekologis. Namun demikian, buku pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP pada umumnya masih lebih dominan menyajikan hal—hal yang bersifat pengetahuan dan belum menekankan pada internalisasi nilai kecerdasan ekologis serta penerapannya, baik berupa adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan, pemecahan masalah yang timbul dari dampak lingkungan, pengelolaan/pelestarikan sumber daya alam, dan pemanfaatan lingkungan secara positif. Sejalan dengan rumusan kebutuhan di atas, perlu disusun Buku Teks Bahasa Indonesia Berbasis Kecerdasan Ekologis. Berdasarkan hasl Focus Group Discusion (FGD) para guru bahasa dan sastra Indonesia, materi yang disajikan dalam buku pelajaran BSI tidak hanya materi bahasa dan sastra, tetapi haruslah diintegrasikan dengan berbagai aspek kecerdasan ekologis. Nilai kecerdasan ekologis yang perlu diintegrasikan dalam buku meliputi subdimensi (1) mengidenti ikasi komponen-komponen ekosistem; (2) memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan; (4) memahami tata nilai lingkungan; (5) melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan biotik; (6) memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan; (7) mengelola/ melestarikan sumber daya alam; dan (8) memanfaatkan lingkungan secara positif. Simpulan Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Muatan kecerdasan ekologis dalam BSE mata pelajaran Bahasa Indonesia meliputi: (1) mengidenti ikasi komponen-komponen ekosistem; (2) memahami fungsi dan kegunaan 366
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
komponen ekosistem; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan; (4) memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai religius, dan nilai normatif; (5) menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan; (6) melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan; (7) memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan, baik secara individual maupun kolektif; (8) mengelola/melestarikan sumber daya alam; dan (9) memanfaatkan lingkungan secara positif. Namun demikian, muatan nilai kecerdasan ekologis masih lebih dominan pada halhal yang bersifat pengetahuan dan belum menekankan pada pemahaman dan internalisasi nilai serta penerapannya. 2. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan diketahui beberapa hal sebagai berikut: (1) muatan komponen ekosistem diperlukan dalam buku ajar bahasa Indoneia; (2) hingga kini belum tersedia buku ajar bahasa Indonesia yang secara spesi ik mengintegrasikan dengan kebutuhan upaya pelestarian lingkungan; (3) buku ajar perlu memuat sistem pengelolaan lingkungan; (4) buku ajar bahasa Indonesia perlu menekankan nilai-nilai kearifan lokal, religius, dan normatif (berkaitan dengan aturan) tentang lingkungan; (5) muatan strategi beradaptasi dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan; (6) buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan selama ini belum cukup menyajikan strategi pemecahan permasalahan lingkungan; (7) buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan selama ini belum menyajikan strategi pelestarian lingkungan; (8) buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan belum secara lengkap menyajikan strategi pemanfatan lingkungan; (9) muatan kecerdasan ekologis dalam buku lebih ditekankan pada hal-hal yang praktis sesuai dengan dunia dan kepentingan siswa SMP. Daftar Pustaka As-syakur, A.R., at.al. (2010). Studi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Badung. Bumi Lestari Journal, 10, 2, 200-208. Capra, Fritjof. (1997). The Web of Life: A New Scienti ic Understanding of Living Systems. London: Flamingo. Capra, Fritjof. (2004). The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living. London: Flamingo. Chili, Nsizwazikhona Simon. (2014). The Ecology of Teaching: Ef iciency, Ef icacy, and Effectiveness of Teaching and Learning of Tourism in Township High Schools. Journal of Human Ecology, 48, 2, 299-312. Cooper, Sherri L. (2005). Ecological Diversity, Variety in the Heavens, and Higher Education. The New Philosophy, July–December, 2005. Cunningsworth, Alan. (1995). Choosing Your Course book. Oxford: Heinemann. Goleman, Daniel. (2009). Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impact of What We Buy Can Change Everything. New York: Broadway Books. Kaya, Meral. (2014). The Qualities of Effective Literacy Teachers: The Dinamics of Effective Teachers’Beliefes, Their Practices and Students’ Responses. Journal of Education and Human Development, Vol.3, No. 3, 41-57. Khachapilly, Kurian dan Mathulla, Paul. (2014). According Legitimacy to the Human Body in Education. Journal of Education and Human Development, Vol.3, No. 4, 323-333. Kasia, Rahmad, et.al. (2011). Penanganan Masalah Pembalakan Liar di Kawasan Ulu Masen, Aceh: Strategi, Aksi dan Tujuan di Masa Yang Datang. Aceh: Laporan Fauna & Flora Internasional. 367
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Khalid, Adeel. (2014). Text Books: Ebook vs Print. Journal of Education and Human Development, Vol.3, No. 2, 243-258. Keraf, A. Sonny. (2014). Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof Capra. Yogyakarta: Kanisius. Pilgrim, Sarah E., et.al. (2008). Ecological Knowledge is Lost in Wealthier Communities and Countries. Environmental Science & Technology, 42, 4. Richards, Jack C. (2002). Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Riswan, Sunoko, H.R. & Hadiyarto, A. (2011). Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kecamatan Daha Selatan. Journal of Ilmu Lingkungan, 9, 1. Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Santoso, Harry.(2012). Aplikasi “SSOP BANTAL” Berbasis DAS untuk Penanggulangan Banjir dan Tanah Longsor. Journal of Penanggulangan Bencana, 3, 1. Sartohadi, Junun & Suyono. (2003). Mencermati Penyebab Banjir Pantai Utara Jawa Tengah pada Satuan Wilayah Sungai Pemali-Comal. Proceedings of National Workshop with the Theme of Towards Regional Resources Management on the Basis of Ecosystem to Reduce Interregional Con lict Potential. Shumba, Overson. (2011). Commons Thinking, Ecological Intelligence and The Ethical and Moral Framework of Ubuntu: An Imperative for Sustainable Development. Journal of Media and Communication Studies, 3, 3, 84-96. Soemarwoto, Otto. (1991). Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Suganda, Emirhadi, Yatmo, Y.A. & Atmodiwirjo, P. (2009). “Pengelolaan Lingkungan dan Kondisi Masyarakat pada Wilayah Hilir Sungai”. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 2, Desember 2009: 143-153. Sutton, Mark Q. & Anderson, E. N. (2010). Introduction to Cultural Ecology 2nd Ed. Lanham, New York, Toronto, Plymouth: AltaMira Press, Rowman & Little ield Publishers, Inc. Turner, Nancy J., Ignace, Boelscher, M. & Ronald, I. (2000). Traditional Ecological Knowledge And Wisdom Of Aboriginal Peoples In British Columbia. Ecological Applicationis, 10, 5, 1275-1287 [Ecological Society of America]. Utina, Ramli. (2012). Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo. [Paper]. Proceedings of the Second Conference and National Seminar of Center of Indonesian Living Environment Study, 13-15 September 2012 in Mataram. Vallori, Antoni Ballester. (2014). Meaningful Learning in Practice. Journal of Education and Human Development, Vol.3, No. 4, 199-209. Wills, Jane. (1996). A Framework for Task-Based Learning. England: Longman. Widdowson, H.G. (1987). The Teaching of English as Communication. The Communicative Approach to Language Teaching, (ed) C.J. Brum it & K. Johnson. Oxford: Oxford University Press. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/04/n1wxjl-bnpb-245-orang meninggal-akibat-bencana-2014
368