ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Disusun Oleh: Nama Peneliti Utama NIP Pangkat/Golongan Jabatan
: : : :
Agung Budilaksono 196710101997031001 Penata Tingkat I/III D Widyaiswara Muda
Nama Peneliti NIP Pangkat/Golongan Jabatan
: : : :
Hanik Rustiningsih 197003051996032001 Penata Tingkat I/III D Widyaiswara Muda
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN JAKARTA 2013
i
Analisis Kebijakan Tarif Cukai Rokok Dalam Menghadapi Pasar Tunggal Asean Economic Community 2015 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah membantu Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam rangka membuat kebijakan tariff cukai dan Harga Jual Eceran Rokok ketika dilaksanakan ASEAN Economic Community 2015 yang tidak akan lama lagi berjalan. Penelitian ini memfokuskan pada dampak selisih tariff cukai rokok kretek dan putih dalam negeri dengan tariff impor Negara-negara anggota ASEAN, dalam hal ini sampel difokuskan pada Negara Singapura dan Malaysia yang mempunyai harga jual eceran dan tariff impor rokok putih yang cukup tinggi dibandingkan dengan di Indonesia, sementara rokok kretek di dua Negara tersebut tidak ada/sangat kecil. Metode penelitian ini menggunakan kombinasi analisis path dan regresi sederhana rekursif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperkirakan pada pelaksanaan AEC 2015 sensitif komoditas rokok terjadi pada rokok putih, sementara rokok kretek yang dominan di dalam negeri kurang sensitive terhadap kebijakan tariff Negara tetangga. Perbedaan tariff cukai maupun impor komoditas rokok di Negara-negara ASEAN mendorong terciptanya nilai tambah komoditas rokok mengingat akan terjadi peningkatan persaingan untuk memperebutkan pasar rokok Negara dengan harga jual eceran rokok yang tinggi dan tariff cukai yang rendah., sebagai dampaknya adalah peluang munculnya penyelundupan rokok ke Negara-negara dengan HJE rokok tinggi.Biaya kesehatan ke depan perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan mengingat cukup besarnya biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh individu perokok untuk mengobati dirinya atas dampak rokok yang mungkin ada. Kalangan penikmat rokok lebih banyak didominasi oleh golongan bawah, yang pada gilirannya berpeluang menambah jumlah orang miskin di Indonesia dan menurunkan produktivitas nasional. Kekhawatiran adanya ledakan konsumsi rokok di Indonesia perlu diantisipasi melalui program terencana road map yang ke depan diarahkan untuk menurunkan konsumsi rokok masyarakat tanpa harus mengurangi penerimaan cukai Negara. Kata kunci: tariff cukai rokok, pasar tunggal, industri rokok, penyelundupan rokok
ii
Cigarette Excise Tax Policy Analysis in Facing ASEAN Economic Community 2015 Abstract The purpose of this study is to help the Government , especially the Ministry of Finance in order to make customs tariff policy and Cigarettes retail prices when implemented the ASEAN Economic Community 2015 which will no longer be running . This study focuses on the impact of cigarette excise tariff increment and white domestic with import tariffs of ASEAN member countries , in this case focused on a sample of Singapore and Malaysia that have retail prices and import tariffs white cigarettes are quite high compared to in Indonesia , while cigarette in the two countries there is no / very little . This research method uses a combination of simple regression analysis and recursive path .
The results of this study indicate that the implementation of the AEC in 2015 is estimated at sensitive commodities cigarette smoking occurs in white , while the dominant cigarette in the country less sensitive to the tariff policy of neighboring countries . The difference tariff cigarette excise and import commodities in ASEAN countries encourage non value -added commodities given the expected increase in competition for state cigarette market with a retail selling price of cigarettes high and low excise tariff . , As is the probability that the impact of smuggling cigarettes into countries with high cigarette retail . The cost of future health care policy makers need to be given sufficient amount of medical costs incurred by an individual smoker to treat himself for the possible effects of smoking . Among connoisseurs of cigarettes more dominated by lower classes , which in turn is likely to increase the number of poor people in Indonesia and lower national productivity . Fears of an explosion in cigarette consumption in Indonesia should be anticipated through a planned program road map forward is directed to the public to reduce consumption without reducing state tax revenues . Keywords: cigarette excise tariff, the single market, the tobacco industry, cigarette smuggling
iii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur disampaikan ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena atas berkah dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan Kajian Akademis ini yang berjudul “Analisis Kebijakan Tarif Cukai Rokok Dalam Menghadapi Pasar Tunggal Asean Economic Community 2015.” Kajian Akademis ini disusun dan disajikan dalam rangka membantu Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam rangka membuat kebijakan tariff cukai dan Harga Jual Eceran Rokok ketika dilaksanakan ASEAN Economic Community 2015 yang tidak akan lama lagi berjalan. Kajian ini juga tersusun dengan bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan; Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan; Kepala Pusdiklat Bea dan Cukai; Prof. Dr. Rina Oktaviani, selaku Pembimbing Akademis; Dr. Riyanto, selaku Pembimbing Akademis Ir. Sucipto, MM, Kepala Subdit Cukai Hasil Tembakau, selaku Pembimbing Teknis 7. Akbar Harfianto, SE, ME, Kepala Seksi Cukai Hasil Tembakau II, atas masukan-masukannya dalam Seminar Hasil Penelitian; dan 8. Pihak-pihak lain yang telah mendukung penyelesaian Kajian Akademis ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Penulis menyadari bahwa Kajian Akademis ini masih memiliki beberapa keterbatasan penelitian. Oleh karena itu penulis membuka kesempatan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan kajian ini dan menjadi lebih bermanfaat.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i ABSTRAK ............................................................................................................ ii ABSTRACT ......................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................iv DAFTAR ISI ......................................................................................................... v DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ viii DAFTAR GRAFIK ................................................................................................ix BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 20 1.3. Ruang Lingkup ............................................................................. 20 1.4. Tujuan .......................................................................................... 21 1.5. Manfaat ........................................................................................ 22 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sejarah Integrasi Ekonomi Regional ............................................ 23 2.2. Konsep Integrasi Ekonomi ............................................................ 24 2.3. Dampak Liberalisasi Perdagangan ............................................... 30 2.4. Struktur Pasar, Kinerja dan Perilaku Industri Rokok di Indonesia . 33 2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 36 2.6. Komoditas Rokok Dalam Integrasi Ekonomi Regional .................. 37 2.7. Potensi Sengketa Dagang Antara Pemerintah dan Industri Tembakau ........................................................................ 39 2.8. Keterjangkauan Rokok dan Konsumsi Yang Tinggi ...................... 40 2.9. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) – Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau ...................... 41 2.10. Hambatan Untuk Mencapai Implementasi FCTC Yang Efektif ...... 42 2.11. Sejarah Pengenaan Cukai ............................................................ 49 2.12. Teori Cukai Ramsey ..................................................................... 53 2.13. Teori Cukai Berdasarkan Ketergantungan Yang Rasional ............ 54 2.14. Teori Cukai Berdasarkan Ketidak-konsistenan Preferensi dalam Waktu (Time-Inconsistent Preferences Theory ) ................ 56 2.15. Teori Cukai Berdasar Proses Keputusan Yang Dipicu Oleh Signal (Theory of Cue -Triggered Decision Processes) ............... 57 2.16. Tingkat Ketepatan Cukai Rokok ................................................... 58 2.17. Biaya Eksternal Merokok .............................................................. 62 2.18. Kebijakan Harga jual Eceran dan Tarif Cukai Hasil Tembakau ..... 64 2.19. Penyelundupan Rokok Akibat Kebijakan Tarif Cukai Yang Asimetri ......................................................................................... 54 2.20. KonsepTerjadinya Penyelundupan Rokok .................................... 74 2.21. Pungutan Cukai Berdasarkan UU No39 Tahun 2007 .................... 75 2.22. Pungutan Cukai Berdasarkan UU No28 Tahun 2009 ................... 76 2.23. Hipotesis ...................................................................................... 78 BAB 3 METODE KAJIAN AKADEMIS 3.1. Jenis Penelitian ............................................................................ 81 3.2. Definisi Operasional Variabel ....................................................... 81 3.3. Instrumen Penelitian ..................................................................... 83
v
3.4. Metode Analisis Data ................................................................... 84 3.5. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 87 BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengolahan Data ................................................................. 88 4.2. Simulasi Tarif Cukai Optimal ....................................................... 104 4.3. Analisis Cost and Benefit Biaya Kesehatan Rokok ..................... 106 4.4. Strategi Memerangi Penyelundupan Rokok Sebagai Dampak Adanya Perbedaan Tarif ............................................................. 115 4.5. Langkah-langkah untuk memperkuat penegakanhukum ............. 118 4.6. Langkah-langkah mengantisipasi ledakan konsumsi rokok di Indonesia pada Pelaksanaan AEC 2015 ..................................... 123 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 127 5.2. Saran .......................................................................................... 133 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 135 RIWAYAT HIDUP PENELITI
vi
DAFTAR TABEL
Tabel.1.1 Penerimaan negara dari cukai rokok periode 2005 – 2009 pada negara-negara anggota ASEAN (dalam USD) ..................................... 5 Tabel.1.2 Rasio Ekspor Dan Impor Rokok Terhadap Produksi, Indonesia, 1995-2007 ........................................................................................... 8 Tabel.1.3 Penerimaan Cukai Hasil Tembakau periode 1991 – 2008 ................... 9 Tabel.1.4 Ringkasan Penelitian ........................................................................ 12 Tabel.1.5 Daftar Harga Jual Rokok Merk Asing tahun 2011 (USD) ................... 15 Tabel.1.6 Peta Penyebaran Merk Rokok Asing dan Lokal Yang Paling Populer tahun 2011 ........................................................................... 15 Tabel.1.7 Fakta Terjadinya Penyelundupan Rokok ........................................... 16 Tabel.1.8 Biaya Perawatan Kesehatan Akibat Konsumsi Tembakau ................. 18 Tabel.1.9 Perubahan Konsumsi Rokok dan Kematian dan Pendapatan Dengan Penambahan Harga Rokok Yang Bervariasi ........................ 19 Tabel.2.1 Beberapa Contoh Kasus Penyelundupan Terkini............................... 69 Tabel.2.2. Persentase Penyelundupan Rokok Tahun 2007 ............................... 69 Tabel.4.1 Simulasi Mencari Tarif Cukai Optimal .............................................. 105 Tabel.4.2 Ringkasan Perkiraan Biaya Kesehatan Akibat Merokok Per Individu Tahun 1999 ..................................................................................... 112 Tabel.4.3 Inflasi Tahunan ................................................................................ 113 Tabel.4.4 Biaya Kesehatan Akibat Rokok Per Individu Setelah Penyesuaian Inflasi ............................................................................................... 113 Tabel.4.5 Perkiraan Jumlah Konsumsi Rokok di Indonesia ............................. 114
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar.1.1
Negara-negara Potensi Target Penyelundupan dan Negara Target Basis Produksi ......................................................... 16
Gambar.1.2
Peta Kemungkinan Pergerakan Penyelundupan Rokok ................... 16
Gambar.2.1
Kerangka Konseptual ....................................................................... 37
Gambar 4.1
Ringkasan Hasil Analisis Path ........................................................ 101
viii
DAFTAR GRAFIK Grafik.1.1.
Harga Rokok Merk Asing dan Lokal Tahun 2011 (data USD) .................................................................................................. 2
Grafik 1.2
Perbandingan Pasar Rokok tahun 2011 (miliar batang) ..................... 7
Grafik 1.3
Pajak Tembakau (persentase terhadap harga eceran rokok) tahun 2011 ............................................................................ 17
Grafik.2.1.
Komposisi Pasar Rokok Malaysia (% dari pasar) ............................. 71
ix
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Perdagangan internasional telah dianggap sebagai mesin pertumbuhan
ekonomi yang memungkinkan suatu negara untuk menikmati kesejahteraan ekonomi yang lebih baik melalui spesialisasi dan skala ekonomi. Disamping itu juga diharapkan dapat membantu mengurangi defisit neraca pembayaran dan melindungi industri dalam negeri terhadap persaingan asing, dalam kasus ini banyak negara memilih dengan cara membatasi impor mereka dengan berbagai hambatan perdagangan, misalnya dengan tarif yang sangat tinggi. Alasan pengenaan tarif ini adalah untuk perlindungan sementara, juga untuk membantu industri yang masih muda dalam bersaing dengan pesaing asing dan sekaligus mengembangkan kekuatan industri muda
industri muda tersebut. Adanya
perlindungan tersebut memungkinkan industri muda dalam negeri memproduksi barang dengan biaya yang lebih tinggi dan tidak efisien. Selain itu, karena harga produk telah terdistorsi oleh perlindungan, maka sumber daya yang telah dialokasikan perlu diarahkan kembali agar lebih produktif dalam penggunaannya. Dalam
perkembangan
perjalanan
perdagangan
bebas
muncul
argumentasi bahwa tembakau atau produk dari tembakau tidak termasuk dalam perjanjian perdagangan bebas ini
karena tembakau dan produk tembakau
dianggap menjadi penyebab utama munculnya penyakit, yang kemudian dianggap dapat memperpendek kehidupan jutaanperokok. Harga rokok yang rendahdalam perdagangan bebas, memungkinkan terjadinya konsumsi rokok yang berlebihan, baik untuk rokok yang diproduksi secara lokal maupun yang
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
diperoleh melalui imporrokok. Akibatnya biaya kesehatan akibat merokok dan jumlah kematian yang disebabkan oleh komoditas tembakaukemudian menjadi meningkat. Dengan demikian, adanya spesialisasi dalam perdagangan bebas menjadi tidak selalu menguntungkanbagi semua negara. Grafik.1.1 Harga Rokok Merk Asing dan Lokal Tahun 2011 (data USD)
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
Pada tahun 1992, selama Konfeensi Tingkat Tinggi (KTT) Keempat di Singapura, negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN telah memutuskan
untuk mendirikan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Dimana negara-negara anggotanya sepakat untuk menghilangkan hambatan perdagangan barang dan jasa, termasuk dalam hal ini adalah komoditas tembakau dan produk tembakau, di
antara
mereka
sendiri,
walaupundalam
pelaksanaannya
mereka
masihmenerapkan hambatan khusus terhadap negara-negara di luar ASEAN. Upaya Negara-negara ASEAN ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan
2
BAB I PENDAHULUAN
daya saing produk-produk dari Negara-negara ASEAN di pasar dunia. Untuk mencapai tujuan ini, penghapusan tarif dan hambatan non-tarif menjadi hal yang sangat penting. Skema Common Effective Preferential Tarif (CEPT) AFTA akan digunakan untuk mendukung liberalisasi produk pertanian dan manufaktur yang memiliki setidaknya konten sebesar 40% dari negara-negara anggota ASEAN. Tingkat tarif yang dikenakan atas produk yang diperdagangkan di kawasan ini juga akan dikurangi sampai menjadi sebesar 0 sampai 5%. Demikian juga hambatan non-tarif juga akan dihilangkan. Tarif Bea Masuk CEPT untuk AFTA merupakan tarif bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk ke Indonesia dari negara-negara anggota ASEAN yang dilengkapi dengan Formulir-D (Certificate of Origin) yang diterbitkan oleh lembagaPemerintah yang berwenang yang ditunjuk oleh Negara Anggota pengekspor dandiberitahukan kepada Negara Anggota lainnya sesuai dengan Prosedur SertifikasiOperasional. Untuk memenuhi kesepakatan tersebut, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.010/2005 tanggal 18 Mei 2005. Dalam PMK tersebut dinyatakan bahwa tarif bea masuk 1.571 pos tarif diturunkan dari 5% menjadi 0%, sehingga secara keseluruhan saat ini telah terdapat 60,5% dari seluruh pos tarif yang memiliki tarif CEPT 0%. Jumlah pos tarif dengan tarif CEPT 0% secara bertahap akan bertambah sehingga ke depan perdagangan antar Negara-negara anggota ASEAN sudah tidak terdapat lagi hambatan tarif bea masuk. Beberapa negara-negara anggota ASEAN seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina memiliki perbedaan dalam hal keterbukaan perdagangan mereka, struktur industri tembakau, ukuran populasi, prevalensi merokok, dan respon
3
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
harga terhadap permintaan rokok. Dalam hal keterbukaan perdagangan, mereka memiliki tingkat tarif yang tinggi pada impor komoditi tembakau dan produk tembakau. Selain itu sesuai dengan skema CEPT- AFTA, mereka juga memiliki kewajiban untuk melakukan penyesuaian tarif secara bertahap dengan jadwal pengurangan yang berbeda-beda di antara negara-negara tersebut. Oleh karena itu, dampak dari skema CEPT- AFTA pada industri tembakau di Negara-negara anggota ASEAN sangat perlu untuk dipelajari. Tingkat dampak akan sangat tergantung pada latar belakang Negara-negara tersebut. Namun, belum ada studi yang cukup kritis untuk meneliti masalah penting ini. Penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan Saad (2006) untuk Indonesia, Austria (2006) untuk Filipina, dan Isra Sarntisart (2005) untuk Thailand. Khusus
berkaitan
dengan
dampak
dari
liberalisasi
perdagangan
tembakau,n terdapat studiyang dilakuk oleh Taylor et al. (2000) yang menyelidiki dampak liberalisasi perdagangan tembakau dengan menggunakan data tahunan dari 42 negara selama periode antara tahun 1970 dan 1995, dan menemukan bahwa liberalisasi perdagangan meningkatkan konsumsi merokok cukup signifikan. Kondisi ini
sangat signifikan terjadi pada Negara-negara dengan
penghasilan rendah dan menengah, namun tidak signifikan di negara-negara berpenghasilan tinggi. Studi ini memberikan penjelasan atas terjadinya perbedaan ini dengan penjelasan sebagai berikut:
Keterbukaan perdagangan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi danterjadinya penurunan keterbukaan pada pertumbuhan sejalan dengan
peningkatan
liberalisasi
4
pendapatan.
perdagangan
Dengan
demikian,
terhadappertumbuhan
dampak paling
dari besar
BAB I PENDAHULUAN
terjadipadaNegara-negara
berpenghasilan
rendah,
kemudian
diikuti
dengan negara-negara berpendapatan menengah dan tinggi.
Elastisitas pendapatan atas permintaan rokok adalahpositif, yang berarti bahwa
liberalisasi perdagangan yang tinggi akan menyebabkan
tingginyakonsumsi rokoknegara berpenghasilan rendah. Bila dilihat dari ruang lingkup penerimaan negara dari sisi cukai rokok, Indonesia menduduki peringkat pertama di kawasan ASEAN. Tabel.2.1 di bawah ini memberikan gambaran tentang hal tersebut selama periode 2005 - 2009. Tabel.1.1 Penerimaan negara dari cukai rokok periode 2005 – 2009 pada negara-negara anggota ASEAN (dalam USD)
Semenjak tahun 2005 sampai 2009 penerimaan negara Indonesia dari cukai dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya menduduki peringkat pertama, diikuti dengan Thailand kemudian Malaysia, Singapura, Philipina, Vietnam, Brunei, cambodia, dan Lao PDR. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008 mencatat bahwa jumlah perokok di Indonesia adalah yang terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Konsumsi rokok Indonesia tahun 2010 diperkirakan menembus angka 260
5
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
miliar batang. Pertumbuhan penjualan rokok ini sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang meningkat cenderung berkorelasi positif terhadap konsumsi rokok. Selain itu, tingginya konsumsi rokok Indonesia ikut dipicu oleh pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda dan peningkatan angka konsumsi rokok pada wanita. Adanya pergeseran perilaku konsumen dari perokok batang besar (umumnya Sigaret Kretek Tangan/SKT) ke batang kecil (mild and slim) juga mendorong volume konsumsi menjadi lebih besar. Gambaran di atas adalah gambaran dampak pendapatan dari liberalisasi perdagangan tetapidampak penurunan harga juga perlu diperhatikan, karena penurunan tarif dan penurunan harga rokok domestik tetap akan ada. Dampak pada permintaan tergantung padatingkat respon permintaan terhadap perubahan harga. Chaloupka et al. (2000)melakukan penelitian tentang konsumsi tembakau untuk negara berpenghasilan rendah, berpenghasilan menengah dannegara berpenghasilan tinggi, dan menemukanbahwa harga yang lebih rendah akan menyebabkan kenaikankonsumsi tembakau, tetapi tingkat responsif harga untuk negara berpenghasilan tinggiditemukan menjadi sekitar setengah dari negaranegara lainnya. Dengan mempertimbangkanpendapatan dan dampak harga, serta dampak keseluruhan dari liberalisasi perdagangan terhadap rokok, makapermintaan akanmenjadi lebih besar bagi negara-negara berpenghasilan rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Isu mengenai tindakan pengendalian tembakau dibahas secara baik oleh Jha danChaloupka(1999). Studi ini mengkaji masalah-masalah ekonomi yang harus
ditanganijika
pembuat
kebijakan
ingin
melaksanakan
tindakan
pengendalian tembakau. Laporan ini meneliti trend merokok di seluruh dunia. Hal
6
BAB I PENDAHULUAN
ini
juga
membahas
konsekuensi
kesehatan
dari
merokok
danmenilai
konsekuensi dari pengendalian tembakau dalam berbagai aspek. Hal ini menunjukkan bahwa banyakefek samping pengendalian tembakau tidak signifikan.
Contoh
efek
ini
adalahhilangnya
pekerjaan
dan
penurunan
penerimaan pajak. Apabila dilihat dari ruang lingkup konsumsi rokok di dunia, pada tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Rusia. Konsumsi rokok Indonesia sebesar 270,3 miliar batang sedangkan Rusia sebesar 385 miliar batang. Grafik.1.2. Perbandingan Pasar Rokok tahun 2011 (miliar batang)
Sumber: estimasi Philip Morris International
Pangsa pasar dunia juga dimanfaatkan Indonesia untuk memperbesar pangsa pasar rokoknya. Walaupun selama periode 1995-2006 kuantitas ekspor rokok yang diekspor Indonesia mengalami fluktuasi dari minimal ekspor sebesar 11.500 juta batang pada tahun 1999 sampai 41.583 juta batang pada tahun 2006. Persentase ekspor rokok terhadap produksi berkisar antara 5% (tahun 1999) sampai 18% (tahun 2005). Pada tahun 2006 jumlah rokok yang diekspor adalah sebanyak 41 juta batang dan yang diproduksi 244 juta batang. Dengan
7
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
demikian sebagian besar, yaitu 83%, produksi rokok Indonesia adalah untuk konsumsi domestik (Tabel.1.2.). Tabel.1.2 Rasio Ekspor Dan Impor Rokok Terhadap Produksi, Indonesia, 1995-2007 Tahun
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Impor (Juta batang) 294 90 84 16 121 400 206 300 34 9 247 142 64 301 311 350 429
Ekspor (Juta batang)
Produksi (Juta batang)
21175 19225 23090 17080 11500 16052 22220 22000 22800 29154 41583 41583 48148 55572 54465 57191 58030
186200 211823 225385 216200 219700 232,724 221293 200000 201304 218654 235985 244463 231000 240000 245000 249100 279400
% Impor terhadap Produksi 0,2 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1 0,1 0,03 0,13 0,13 0,14 0,15
% Ekspor terhadap Produksi 11,4 9,1 10,2 7,9 5,2 6,9 10,0 11,0 11,3 13,3 17,6 17,0 20,8 23,2 22,23 23 20,8
Sumber: - Ekspor dan impor: Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor dan Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor
Kenaikan tarif cukai rokok yang terjadi setiap tahun dalam beberapa tahun terakhir ini, sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang mengejutkan lagi. Seperti diketahui bersama, sesuai dengan roadmap industri rokok jangka menengah (2010-2014), pemerintah akan memfokuskan pada aspek penerimaan negara, kemudian kesehatan, dan tenaga kerja. Dengan prioritas aspek tersebut, besar kemungkinan pemerintah akan melakukan kenaikan tarif cukai rokok kembali secara berkala untuk beberapa tahun ke depan. Dengan adanya kenaikan tarif cukai rokok, maka penerimaan pemerintah dari cukai rokok juga akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
8
BAB I PENDAHULUAN
Tabel.1.3 Penerimaan Cukai Hasil Tembakau periode 1991 - 2008
Penerimaan cukai pemerintah Indonesia tersebut diperkirakan akan menghadapi tantangan yang sangat besar dengan semakin dekatnya penerapan pasar
tunggal
ASEAN
Community
2015yangmerupakan
kelanjutan
dan
percepatan dari ASEAN Vision 2020 yang menjadi tujuan jangka panjang ASEAN yakni: “…as a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in pecem stability and prosperity, bunded together in partnership in dynamic development an in community of caring societies”. Asean Economic Comunity (AEC) sendiri merupakan salah satu pilar utama dariASEAN Community 2015 yang bertujuan untuk mencapai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing, pertumbuhan ekonomi yang merata, dan terintegrasi dengan perekonomian global.
9
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Berbekal dari pengalaman di Negara-negara Eropa yang telah terlebih dahulu membentuk komunitas ekonomi Uni Eropa, menunjukkan bahwa telah terjadi persaingan dalam penetapan tarif pajak khususnya pada komoditi minyak diesel, bensin dan rokok. Persaingan tersebut disebabkan karena pertama, bahan bakar motor dan rokok adalah merupakan komoditas yang dipajaki paling banyak di negara-negara Eropa. Oleh karena itu, dengan sistem pajak berbasis pembelian akan terdapat insentif bagi konsumen Eropa untuk membelikomoditas dari negara-negara Uni Eropayang memiliki beban pajak konsumen lebih rendah. Kedua, terjadinya asimetri yang besar dalam ukuran tarif di negara-negara Eropa diperkirakan sebagai penyebab terjadinya persaingan pajak antar negara-negara anggota. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Kanbur dan Keen (1993) dan Wilson(1991)
dalam
penelitiannya
menemukan
bahwa
akibat
terjadinya
persaingan tarif pajak yang asimetris pada pasar tunggal Eropa, Negara-negara anggota Uni Eropa cenderung memiliki persepsi untuk menetapkan tarif pajak yang lebih rendah dibandingkan Negara-negara anggota lainnya karena negara pembentuk substansial tarif tersebut,akan mengambil manfaat pajak lebih besar jika terdapat perbedaan tarif yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwaukuran tarif pajak yang asimetri akan memfasilitasi terjadinya persaingan tarif pajak, karena semakin besarnya perbedaan tarif yang ada, maka posisi Negara dengan tarif pajak kecil akan memiliki posisi yang lebih baik dalam persaingan pajak tersebut. Pola perilaku penetapan tarif pajak pada komoditas dan bukti-bukti yang tersedia pada toko-toko di perbatasan-perbatasan antar negara-negara Uni Eropa, konsisten dengan temuan penelitian-penelitian di atas. Negara Eropa
10
BAB I PENDAHULUAN
yang kecil cenderung memungut tarif pajak yang lebih rendah pada komoditi diesel, bensin dan rokok dibandingkan dengan yang dilakukan oleh negaranegara Eropa yang besar. Sebagai contoh, pada tahun 2005, tarif cukai komoditi diesel pada negara-negara Eropa yang kecil rata-rata sebesar 15 persenlebih rendah dari tingkat cukai komoditi diesel pada negara-negara Eropa berukuran besar. Pada tahun yang sama, harga rata-rata satu pak rokok merk Marlboro adalah sebesar 4 euro di negara-negara kecil, sementara itu di negara-negara besar Eropa berharga 5 euro. Bukti lain menunjukkan bahwa toko-toko di beberapa perbatasan negara yang terkena pajak untuk bahan bakar motor danrokokmemiliki skala dalam jumlah besar. Sebagai contoh misalnya, di negara Jerman harga komoditi diesel lebih mahal daripada di Negara-negara tetangganya (karena cukai yang lebih tinggi),
pada
tahun
2004,
dan
10
persen
dari
seluruh
konsumsi
dieseldomestikterdapat pada toko-toko diperbatasan. Hal ini berdampak pada hilangnya pendapatan pajak sebesar Euro 2 miliar ke kas negara Jerman (Komisi, 2007). Sementara fakta lain diNegara Austria di mana harga komoditi diesel relatif murah, diperkirakan sebesar 30 persen dari pembelian bahan bakar pada pasar domestikNegara Austriadilakukan oleh kendaraan yang melakukan pariwisata dari Negara-negara tetangga ke Negara Austria (Badan Energi Austria, 2009). Dalam penelitian terbaru di bidang perpajakan tembakau di Negaranegara Uni Eropa (Komisi, 2008), menemukan bahwa penyelundupan dan penjualan produk tembakau pada perbatasan negara pada tahun 2004 diperkirakan mencapai sekitar 13 persen dari total pasar tembakau Uni Eropa.
11
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Pembelanjaan yang sah pada wilayah-wilayah perbatasan menyumbang sampai sekitar 4 sampai 5 persen pasar tembakau Uni Eropa, sementara transaksi penyelundupan diperkirakan sekitar 8 sampai 9 persen dari penjualan akhir. Penelitian ini juga mencatat bahwa di sejumlah anggotanegara seperti di Perancis, Jerman dan Inggris, konsumsi rokok yang tidak dipajaki secara domestik terhadap total konsumsi domestiktercatat lebih dari 20 persen, yang berarti berada di atasUni Eropa yang rata-ratanya 13 persen (Komisi, 2008). Pergerakan menuju arah “pasar tunggal” ASEAN, akan memiliki potensi masalah yang akan timbul dalam kebijakan produksi (atau impor) dari Barang Kena Cukai yang terjadi dalam satu negara anggota, tetapi konsumsi yang terjadi berada di tempat yang lain. Situasi ini akan muncul di pasar yang benar-benar tunggal, dan industri terkait akan meletakkan basis produksinya (atau impor) ke negara-negara yang memiliki tarif cukai rendah dibandingkan dengan negara anggota yang memiliki tarif cukai lebih tinggi. Tentu tidaklah berlebihan apabila pengalaman pasar tunggal Eropa dapat dijadikan
pelajaran
bagi
pemerintah
Indonesia
khususnya
Kementerian
Keuangan Republik Indonesia dalam upaya merespon penerapan ASEAN Community 2015 sekaligus mengamankan penerimaan negara dari sisi penerimaan cukai khususnya komoditi rokok yang telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi keberlangsungan pembiayaan APBN.
1
12
Tabel.1.4 Ringkasan Penelitian Penelitian Hasil Penelitian Kanbur dan Keen Hasil studi: (1993) dan - Akibat terjadinya persaingan tarif Wilson(1991) pajak yang asimetris pada pasar tunggal Eropa, negara-negara anggota Uni Eropa cenderung memiliki persepsi untuk menetapkan
BAB I PENDAHULUAN
Penelitian
-
2
Taylor et al. (2000)
Hasil Penelitian tarif pajak yang lebih rendah dibandingkan negara-negara anggota lainnya Ukuran tarif pajak yang asimetri akan memfasilitasi terjadinya persaingan tarif pajak, karena semakin besarnya perbedaan tarif yang ada, maka posisi negara dengan tarif pajak kecil akan memiliki posisi yang lebih baik dalam persaingan pajak tersebut.
Menggunakan data tahunan dari 42 negara selama periode antara tahun 1970 dan 1995, Hasil studi: - Liberalisasi perdagangan meningkatkan konsumsi merokok, signifikan terjadi pada negaranegara dengan penghasilan rendah dan menengah, - Liberalisasi perdagangan tidak signifikan meningkatkan konsumsi merokok di negara-negara berpenghasilan tinggi. - Keterbukaan perdagangan berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi dan terjadinya penurunan keterbukaan pada pertumbuhan sejalan dengan peningkatan pendapatan. Dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap pertumbuhan paling besar terjadi pada negara-negara berpenghasilan rendah, kemudian diikuti dengan negara-negara berpendapatan menengah dan tinggi. - Elastisitas pendapatan atas permintaan rokok adalah positif, yang berarti bahwa liberalisasi perdagangan yang tinggi akan menyebabkan tingginya konsumsi
13
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Penelitian
Komisi Komunitas Eropa, 2008
Hasil Penelitian rokok negara berpenghasilan rendah. Hasil studi: - Penyelundupan dan penjualan produk tembakau pada perbatasan negara pada tahun 2004 diperkirakan mencapai sekitar 13% dari total pasar tembakau Uni Eropa. - Pembelanjaan yang sah pada wilayah-wilayah perbatasan menyumbang sampai sekitar 4 sampai 5 % pasar tembakau Uni Eropa, - Transaksi penyelundupan diperkirakan sekitar 8% sampai 9% dari penjualan akhir. - Di Perancis, Jerman dan Inggris, konsumsi rokok yang tidak dipajaki secara domestik terhadap total konsumsi domestik tercatat lebih dari 20%, yang berarti berada di atas Uni Eropa yang rata-ratanya 13 persen
Dari uraian penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kondisi penetapan tarif cukai yang berbeda di negara-negara anggota ASEAN yang kemudian berkomitmen untuk menciptakan pasar tunggal ASEAN, akan menyebabkan terjadinya permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1.
Adanya
potensi
penyelundupankomoditas
rokok
di
daerah-daerah
perbatasan, dalam kasus Uni Eropa mencapai rata-rata 13%, bahkan untuk beberapa negara Uni Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Inggris mencapai 20% dari konsumsi domestik yang tidak dikenai pajak; Kalau dilihat dari harga rokok merk asing populer yang menguasai pasar di negara-negara ASEAN dengan komposisi yang ada, Indonesia
14
BAB I PENDAHULUAN
sangat mungkin menjadi negara pelaku penyelundupan sekaligus sebagai negara yang akan menjadi target negara tujuan basis produksi rokok.
Tabel.1.5 Daftar Harga Jual Rokok Merk Asing tahun 2011 (USD) No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Negara
Singapura Brunei Malaysia Myanmar Thailand Indonesia Lao PDR Cambodia Vietnam Philipine
Harga jual rokok merk asing
Merk Rokok Asing Yang Populer
83 59 3,32 3,08 2,35 1,47 1,45 1,19 0,74 0,63
Marlboro Marlboro Dunhill Marlboro Marlboro Marlboro 555 (BAT) White Horse (BAT) Marlboro
Pajak Tembakau (% harga eceran rokok) 69 72 48 50 70 62 16-19,7 20-25% 45 41
Sumber:diolah dari ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
Tabel.1.6 Peta Penyebaran Merk Rokok Asing dan Lokal Yang Paling Populer tahun 2011
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
15
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Gambar.1.1 Negara-negara Potensi Target Penyelundupan dan Negara Target Basis Produksi NEGARA-NEGARA POTENSITARGET PENYELUNDUPAN
Singapura, Brunei, Malaysia, Myanmar, Thailand
Indonesia, Lao PDR, Cambodia, Vietnam, Philipine NEGARA-NEGARA POTENSI TARGET BASIS PRODUKSI Gambar.1.2 Peta Kemungkinan Pergerakan Penyelundupan Rokok
Sumber: Ismail Rejab dan Zarihah Zain, 2006
Tabel. 1.7 Fakta Terjadinya Penyelundupan Rokok Tahun
Indonesia
Indonesia
Malaysia
Malaysia
Export ke
Import dari
Export ke
Import dari
Malaysia
Malaysia
Indonesia
Indonesia
(US$)
(US$)
(US$)
(US$)
2003
1.899.000
37.000
41.476.146
4.281.518
2004
643.000
7.000
34.327.176
8.157.813
2005
1.087.000
2.000
29.161.781
6.028.793
76.000 41.222.327 6.419.796 2006 1.667.000 Sumber: LPEM UI (2011) dan Prosiding Persidangan Kebangsaan Ekonomi Malaysia ke VII tahun 2012
16
BAB I PENDAHULUAN
Dalam kajian ini akan difokuskan pada interaksi perdagangan antara Indonesia, Malaysia dan Singapura, mengingat ketiga negara tersebut sangat berdekatan dengan Indonesia 2.
Terdapat kecenderungan negara-negara anggota untuk menetapkan tarif yang rendah dengan demikian akan terjadi peningkatan konsumsi rokok yang dapat menyebabkan tingginya biaya kesehatan bagi pengkonsumsi rokok; Grafik.1.3. Pajak Tembakau (persentase terhadap harga eceran rokok) tahun 2011
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
Namun demikian walaupun prosentase tarif cukai yang dikenakan tinggi apabila harga jualnya rendah tentunya pengaruh tarif cukai tinggi tersebut kurang akan memberikan dampak yang berarti bagi pengendalian rokok, demikian juga bagi penerimaan negara kecuali dalam jumlah komoditas yang sangat banyak sekali. 3.
Tingginya tingkat liberalisasi perdagangan akan berdampak pada tingginya konsumsi rokok bagi negara-negara anggota berpenghasilan rendah; Hal ini disebabkan karena arus perdagangan menjadi lancar dan dampaknya biaya transaksi perdagangan menjadi lebih murah sehingga
17
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
harga barang lebih terjangkau oleh masyarakat berdaya beli murah. Dengan demikian konsumsi rokok bagi Negara-negara berpenghasilan rendah cenderung akan meningkat. Tabel.1.8 Biaya Perawatan Kesehatan Akibat Konsumsi Tembakau
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
Tingginya
konsumsi
rokok
belum
tentu
menguntungkan
apabila
penerimaan pajaknya lebih kecil dibandingkan dengan biaya kesehatan yang dikeluarkannya. Sebagai contoh misalnya untuk Indonesia, rasio antara biaya kesehatan yang dikeluarkan mencapai 772% hal ini berarti bahwa
biaya
kesehatan
yang
dikeluarkan
dibandingkan
dengan
penerimaan pajak nya 7,7 kali lebih besar, demikian juga untuk megara Philipine mencapai 6,47 sampai 13,68 kali lipatnya, sedangkan Malaysia mencapai 12 kali lipatnya. Namun demikian ada juga negara-negara yang rasio biaya kesehatan terhadap penerimaan pajaknya masih di bawah 100% seperti Thailand
18
BAB I PENDAHULUAN
yang sebesar 20,37%, kemudian diikuti dengan Myanmar, Vietnam, dan Lao PDR yang sebesar 31,62%; 36,2%; dan 68,1%. Negara-negara ini masih memiliki selisih antara pendapatan pajaknya dengan biaya kesehatan yang dikeluarkannya akibat konsumsi rokok penduduknya. 4.
Semakin tingginya tingkat liberalisasi perdagangan akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan. Tabel.1.9 Perubahan Konsumsi Rokok dan Kematian dan Pendapatan Dengan Penambahan Harga Rokok Yang Bervariasi
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card Regional Comparisons and Trends February 2012
Data di atas menunjukkan bahwa adanya penambahan harga rokok antara 25% - 100% akan menyebabkan penambahan Gross Domestic Bruto sebesar rata-rata 0,3%. Disamping itu kenaikan harga rokok sebesar 50% juga dapat menyebabkan 27,2 juta orang terhindarkan dari kemungkinan kematian akibat rokok. Demikian juga apabila ditingkatkan sampai 100% dapat menyebabkan 54,5 juta orang terhindarkan dari kemungkinan kematian akibat rokok. 5.
Adanya trade off (pilihan) antara target finansial dan sasaran pencapaian lapangan kerja sektor industri rokok dan sektor hulunya (petani tembakau
19
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
dan cengkih), merupakan dilema yang dihadapi dalam penetapan kebijakan cukai hasil tembakau. 1.2.
Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan AEC 2015 yang dapat berpotensi memberi dampakmerugikan bagi penerimaan negara dari sisi cukai rokok?
2.
Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi kemungkinan terjadinya lonjakan konsumsi rokok akibat terjadinya pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai rendah pada pelaksanaan AEC 2015?
3.
Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi kemungkinan terjadinya pengeluaran biaya kesehatan akibat rokok yang lebih besar dibandingkan dengan perolehan cukai rokok pemerintah?
4.
Bagaimana strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi semakin tingginya liberalisasi perdagangan komoditas rokok?
5.
Bagaimana prioritas strategi kebijakan cukaidi Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Kajian ini mencoba membatasi pada permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
kebijakan cukai pemerintah dengan semakin terbukanya
ekonomi. Konsekuensi apa saja yang akan terjadi dengan semakin terbukanya ekonomi dan semakin bebasnya perdagangan yang ditandai dengan adanya
20
BAB I PENDAHULUAN
berbagai perjanjian perdagangan bebas pada kawasan-kawasan tertentu, seperti AFTA, AEC 2015, dsb. Kajian ini memfokuskan kepada analisis kebijakan publik yang perlu dilakukan pemerintah dalam mensikapi munculnya persaingan tarif pajak di kawasan ASEAN agar tujuan kebijakan cukai yang sesungguhnya dapat berjalan sesuai dengan rencananya. Kajian kebijakan publik ini dalam pengambilan strateginya didukung kajian analitis melalui pengujian hipotesis yang mendukung analisis kebijakan publik utamanya. 1.4.
Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah untuk merumuskan strategi-strategi yang
perlu dilakukan oleh Dirjen Bea dan Cukai dalam mensikapi terjadinya perkembangan persaingan perdagangan yang semakin kompleks, yaitu: 1.
Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan AEC 2015 yang dapat berpotensi memberi dampak merugikan bagi penerimaan negara dari sisi cukai rokok;
2.
Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi kemungkinan terjadinya lonjakan konsumsi rokok akibat terjadinya pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai rendah pada pelaksanaan AEC 2015?
3.
Mengidentifikasi strategi/menemukan
kebijakan tarif cukai dengan
mempertimbangkan aspek: a.
Penerimaan negara;
b.
Lonjakan konsumsi rokok;
21
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
4.
c.
Biaya kesehatan rokok;
d.
Liberalisasi perdagangan.
Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi semakin tingginya liberalisasi perdagangan komoditas rokok;
5. 1.5.
Menganalisis prioritas kebijakan cukai di Indonesia; Manfaat Memberikan masukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
bagaimana strategi kebijakan cukai untuk mensikapi potensi terjadinya asimetri tarif cukai `rokok di kawasan ASEAN pada penerapan pasar tunggal ASEAN agar penerimaan negara dari sisi penerimaan cukai dapat diamankan, sekaligus konsumsi rokok masyarakat dapat dikendalikan.
22
BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Sejarah Integrasi Ekonomi Regional Fenomena Integrasi ekonomi regional pasca Perang Dunia II (PD II)
bukanlah konsep baru. Konsep ini sebenarnya telah ada selama ratusan tahun (Schiff danWinters, 2003). Paska Perang Dunia II terjadi peningkatan minat Negara-negara di dunia untuk mengintegrasikan ekonomi nasionalnya di tingkat regional, meskipun terkadang terkendala karena adanya perbedaan pandangan politik dan ekonomi. Motivasi untuk melakukan
integrasi ekonomi regional
muncul karena adanya keterbatasan pada daerah-daerah perbatasan Negara dan adanya harapan terjadinya perdagangan, investasi dan efisiensi ekonomi. Hal ini kemudian berlanjut dengan gerakan-gerakan sukarela untuk melakukan penggabungan sistem sosio-ekonomi dan politik dari Negara-negara Anggota. Sebuah contoh bagaimana integrasi ekonomi regional mulai dapat dilihat adalah dari sejarah Uni Eropa yang dimulai pada tahun 1951 dengan pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) oleh enam negara saja, yaitu: Belanda, Inggris, Italia, Luksemburg, Perancis dan kemudian Jerman Barat. Hal ini kemudian diikuti dengan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) pada tahun 1957 dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) pada tahun 1960 (Daniels et al., 2004). Skema, kelangsungan hidup dan keberhasilan nyata dari MEE kemudian memicu maraknya skema integrasi di Amerika Latin, Asia dan Afrika (Schiff dan Winters, 2003). Pengelompokan ekonomi regional dapat terjadi dalam beberapa bentuk seperti Free Trade Area (FTA), Customs Union, Common Market, Economic
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Union and Political Federation. Daniels et al. (2004) mengatakan bahwa kelompok perdagangan umumnyaberisiNegara-negara di daerah yang sama di dunia
(meskipun
tidak
cenderungdiperpendek,
selalu),
jarak
perjalanan
barang
antar
Negara
preferensi konsumen cenderung mirip, dan saluran
distribusi dapat dengan mudah didirikan di negara-negara yang berdekatan sehingga biaya distribusi dapat dikurangi. Alasan lainnya adalah bahwa negaranegara saling bertetangga cenderung memiliki sejarah dan kepentingan bersama, dan mereka lebih bersedia untuk mengkoordinasikan kebijakan mereka. 2.2.
Konsep Integrasi Ekonomi Definisi integrasi ekonomi secara umum adalah pencabutan atau
penghapusan
hambatan-hambatan
perekonomian
suatu
pencabutan
atau
negara.
ekonomi
Secara
penghapusan
diantara
operasional,
diskriminasi
dan
dua
atau
didefinisikan
lebih
sebagai
penyatuan
politik
(kebijaksanaan) seperti, peraturan, dan prosedur. Instrumennya meliputi bea masuk, pajak, mata uang, undang-undang, lembaga, standardisasi produk, dan kebijaksanaan ekonomi. United Nation Conference on Trade and Development. (UNCTAD) mendefinisikan
integrasi
ekonomi
sebagai
kesepakatan
yang
dilakukan
untukmemfasilitasi perdagangan internasional dan pergerakan faktor produksi lintas negara. Pelkman (2003) mendefinisikan integrasi ekonomi berupa penghapusan hambatan-hambatan ekonomi (economic frontier) antara dua atau lebih ekonomi atau negara. Hambatan-hambatan ekonomi tersebut meliputi semua pembatasan yang menyebabkan mobilitas barang, jasa, faktor produksi, dan juga aliran komunikasi, secara aktual maupun potensial relatif rendah.
24
BAB II LANDASAN TEORI
Ketika integrasi ekonomi berlangsung, terjadi perlakuan diskriminatif antara negara anggota dengan negara-negara bukan anggota integrasi di dalam pelaksanaan perdagangan, sehingga akan memberikan dampak kreasi dan dampak diversi bagi negara-negara anggota. Krugman (1991) memperkenalkan suatu anggapan bahwa secara alami blok perdagangan didasarkan pada pendekatan geografis yang dapat memberikan efisiensi dan meningkatkan kesejahteraan bagi anggotanya. Solvatore (1997) menguraikan integrasi ekonomi atas beberapa bentuk : 1.
Pengaturan Perdagangan Preferensial (Preferential Trade Arragements) dibentuk oleh negara- negara yang sepakat menurunkan hambatanhambatan perdagangan di antara mereka dan membedakannya dengan negara-negara yang bukan anggota.
2.
Kawasan perdagangan bebas (free trade area) di mana semua hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif di antara negara-negara anggota dihilangkan sepenuhnya, namun masing- masing negara anggota masih berhak menentukan sendiri apakah mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap negaranegara non- anggota.
3.
Persekutuan Pabean (Customs Union) mewajibkan semua negara anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara lain non-anggota.
4.
Pasar bersama (Common Market) yaitu suatu bentuk integrasi di mana bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan namun arus
25
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal juga dibebaskan dari semua hambatan. Pelaksanaan integrasi ekonomi ASEAN melalui pasar tunggal dan basis produksi akan memberikan peluang dan manfaat ekonomi yang besar jika bangsa Indonesia cerdik dan cerdas menyikapi melalui peningkatan daya saing produk unggulannya. Adanya pasar ASEAN yang semakin terbuka akan mendorong Indonesia sebagai satu-satunya negara ASEAN yang memiliki jumlah penduduk dan sumber daya terbesar melakukan penetrasi produk nasionalnya di pasar ASEAN. Di sisi lain, pemerintah perlu melindungi masyarakat umum dari serbuan masuknya produk asing yang membahayakan aspek keselamatan, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup (K3L) serta melindungi pula produsen nasional dari masuknya produk bermutu rendah dan tidak aman yang akan merusak
pasar nasional disebabkan harganya yang
murah jika
dibandingkan dengan produk nasional yang aman dan bermutu. Menurut Viner (1950), dampak dari suatu integrasi ekonomi terhadap tingkat kesejahteraan dijelaskan melalui konsep trade creation dan trade diversion. Trade creation terjadi apabila suatu negara dapat mengimpor barang dengan harga yang lebih murah dari negara lain dalam suatu kawasan integrasi ekonomi,
sehingga
secara
keseluruhan
kesejahteraan
akan
meningkat.
Sementara itu, trade diversion terjadi apabila impor dari suatu negara yang berada di luar kawasan digantikan oleh negara lain yang berada di dalam kawasaan integrasi, karena produk dari negara lain dalam kawasan tersebut menjadi lebih murah akibat adanya perlakuan khusus dalam penetapan tarif. Dollar (1992), Sach, dan Warner (1995), Edwards (1998), dan Wacziarg (2001)
26
mengatakan
bahwa
integrasi
ekonomi
dapat
menurunkan
atau
BAB II LANDASAN TEORI
menghilangkan semua hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota, dapat meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada negara anggota, meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat memacu efisiensi produktif di antara produsen domestik, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas input dan barang dalam perekonomian. Produsen domestik dapat meningkatkan profit dengan semakin besarnya pasar ekspor dan meningkatkan kesempatan kerja. Sumarno dan Kuncoro (2002), menganalisis hubungan antara struktur dankinerja industri rokok kretek di Indonesia periode 1996-1999. Penelitian inimenggunakan indikator CR4 dan jumlah perusahaan sebagai ukuran dari struktur,sedangkan keuntungan sebagai indikator dari kinerja. Hasil analisis yang didapatyaitu, keuntungan tiap perusahaan mempunyai korelasi yang positif denganindikator turunnya nilai CR4. Sedangkan keuntungan tiap perusahaan mempunyaikorelasi yang negatif terhadap jumlah perusahaan. Keuntungan per output industry rokok kretek di Indonesia secara total pada tahun 1999 mengalami kenaikansebesar 4,1 persen bila dibandingkan dengan keuntungan per output pada tahun1996. Keuntungan per output yang meningkat seiring dengan bertambahnyajumlah perusahaan inilah yang menyebabkan keuntungan tiap perusahaanmenurun. Muslim dan Wardhani (2008), menganalisis tentang hubungan struktur dankinerja industri rokok kretek dengan menggunakan tiga variabel. Variabel tersebutterdiri dari CR4 dan MES (Minimum Efficiency of Scale) sebagai indikatorstruktur, sedangkan PCM (Price Cost Margin) sebagai indikator kinerja.Hasil
penelitian
positifterhadap
PCM.
yang
didapatkan
Konsentrasi
yang
yaitu
variabel
meningkat
akan
CR4
signifikan
mempengaruhi
27
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
peningkatanPCM atau sebaliknya. Hasil lainnya yaitu, variabel MES signifikan negative terhadap PCM. Semakin tinggi hambatan masuk pasar maka semakin menurunnilai PCM, atau sebaliknya. MES bernilai signifikan negatif karena pada industry rokok kretek, orientasinya lebih mengacu pada produk efisiensi. Produk efisiensidiukur berdasarkan peningkatan produktivitas tenaga kerja dalam menghasilkanrokok kretek. Hal ini dilakukan karena industri rokok kretek lebih bersifat padatkarya dibandingkan dengan orientasinya terhadap teknologi. Mengacu pada Baldwin dan Wyplosz (2004),
dampak
ekonomi
pembentukan suatu kawasan dapat dikategorikan sebagai berikut. 1.
Dampak alokasi (allocation effect) Integrasi ekonomi akan mendorong pelaku usaha di setiap negara untuk melakukan alokasi sumber daya yang dimilikinya secara lebih efisien. Kondisi ini akan tercapai melalui dua tahapan sebagai berikut : a. Pro-competitive effect Dihapuskannya berbagai hambatan dalam perdagangan maupun mobilitas faktor produksi akan memicu persaingan dengan masuknya produsen dari luar negeri ke pasar domestik. Kondisi persaingan mendorong terciptanya pro-competitive effect, di mana perusahaan dipaksa untuk terus menurunkan harga mark-up. b. Industrial restructuring dan scale effect Akibat persaingan yang makin ketat, perusahaan yang kalah efisien pada akhirnya akan keluar dari pasar. Perusahaan yang masih bertahan akan terus berusaha meningkatkan pangsa pasarnya, sehingga akhirnya dapat meraih keuntungan.
28
BAB II LANDASAN TEORI
2.
Dampak akumulasi (accumulation effect) Integrasi ekonomi akan mendorong terjadinya akumulasi kapital, baik fisik maupun human capital, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan output. Dampak
akumulasi
sangat
terkait
dengan
dampak
alokasi
yang
memberikan dorongan bagi pengusaha untuk beroperasi secara lebih efisian. Meningkatnya efisiensi menciptakan iklim yang kondusif bagi penambahan investasi, sehingga pelaku ekonomi akan terdorong untuk menambah akumulasi kapital. Di sisi lain, integrasi ekonomi juga akan mempermudah
mobilitas
faktor
produksi,
sehingga
akan
semakin
meningkatkan suplai faktor produksi. 3.
Dampak lokasi (location effect) Integrasi ekonomi akan mendorong suatu negara untuk melakukan spesialisasi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki. Konsep keunggulan
komparatif
ini
biasa
dikenal
sebagai
Heckscher-Ohlin
comparative advantage. Selain itu, integrasi ekonomi yang disertai dengan mobilitas faktor produksi juga akan mendorong terkumpulnya aktivitas ekonomi tertentu di suatu wilayah tertentu (agglomeration). Aglomerasi yang terjadi ini dapat bekerja secara backward maupun forward linkage. Aglomerasi yang terkait dengan forward linkage ialah aglomerasi yang terjadi karena keinginan pengusaha untuk mendekati pasar yang lebih besar. Sementara itu, aglomerasi backward linkage terjadi karena keinginan pengusaha untuk mendekati pemasok agar dapat menekan biaya.
29
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
2.3.
Dampak Liberalisasi Perdagangan Terdapat dua dampak utama yang timbul dari adanya liberalisasi
perdagangan,
yaitu
dampak
terhadap
lingkungan
mikroekonomi
danmakroekonomi. Efek makroekonomi melibatkan aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),penciptaan lapangan kerja, pengurangan inflasi, dan peningkatan saldo perdaganganinternasional. Efek pada ekonomi mikro erjadi karena adanya dampak penghapusan hambatan perdagangan yang memaksa perusahaan untuk memikirkan kembali strategi mereka dan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang ditandai oleh persaingan yang meningkat sehingga memkasa adanya proses yang kompetitif, munculnya inovasi teknologi dan peningkatan kualitas produk. Adanya persaingan dan interaksi efek ini, menyebabkan adanya tekanan pada perusahaan-perusahaan untuk menjadi produktif. Dalam
literatur
teori,
terdapat
tiga jalur utama
dari liberalisasi
perdagangan yang mempengaruhi kinerja ekonomi suatu negara. Pertama, adanya keuntungan yang timbul dari liberalisasi perdagangan dalam bentuk perbaikan
alokasi
sumber
daya
dalam
industri.
Dengan
meningkatnya
persaingan dari barang impor, produsen dalam negeri dipaksa bersaing untuk menjadi lebih efisien. Perusahaan akan menurunkan margin biaya mereka ke bawah kurva biaya rata-rata mereka. Tekanan persaingan akan menurunkan biaya dan harga. Ketika hambatan perdagangan dihapus, maka biaya bagi eksportir dan importir menjadi berkurang, dan hal ini memberik keuntungan bagi pembeli dan investasi barang karena harga yang lebih rendah. Konsumen adalah penerima pertama keuntungan dari proses ini, karena adaya penurunan harga
30
BAB II LANDASAN TEORI
dan selanjutnya akan berlanjut pada perluasan perdagangan ke arah peningkatan kualitas, kuantitas, dan pilihan produk yang tersedia. Dengan adanya heterogenitas dalam industri, liberalisasi perdagangan memungkinkan
perusahaan
menjadi
lebih
produktif
dengan
adanya
perluasanpasar sementara akibat keluarnya atau menyusutnya perusahaan yang kurang efisien. Dengan keluarnya perusahaan yang tidak efisien, maka sumber daya (tenaga kerja dan modal) akan bebas pindah ke industri yang lain di mana mereka dapat digunakan dengan lebih produktif. Liberalisasi perdagangan dan reformasi yang berorientasi pasar juga akan mendorong terjadinya proses restrukturisasi dan pengalokasikan kembali sumber daya di sektor ekonomi sehingga kontrak-kontrak yang tidak menguntungkan akan menyusut dan kegiatan
yang
menguntungkan
akan
berkembang.
Hal
inimerupakan
konsekuensi dari sebuah peningkatan efisiensi alokatifyang diharapkandapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh perekonomian. Kedua, adanya keuntungan dinamis akibat terjadinya perubahanperubahan dalam hal teknis, pembelajaran, dan pertumbuhan yangmenyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas. Efisiensi dinamis memberikan gambaran bahwa ekonomi akan mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi secara permanen. Adanya kompetisi dalam industri, menyiratkan adanya peluang pasar yang lebih besar dan peningkatan skala perusahaan secara permanen melalui upaya biaya yang lebih rendah, kualitas yang lebih tinggi, lebih spesialisasi, dan inovasi melalui kegiatan R & D. Ketiga, terdapat efek kompetitif yang timbul dari kompetisi pada pasar domestik. Efek ekonomi mikro tidak akan tercapai dalam waktu singkat dan akanmemerlukan cukup waktu untuk terwujud. Selama pada masa periode
31
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
penyesuaian, hal yang paling ditakutkan adalah adanya pengurangan tenaga kerja.
Dengan
demikian,
diperlukan
langkah-langkah
tertentu
yang
menyertaiupaya mengurangi penyesuaian biaya-biaya, terutama berkaitan dengan kalangan pekerja. Dalam upaya mewujudkan dampak yang diharapkan, perusahaan perlu mengubah perilaku mereka dan menyesuaikan diri dengan lingkungan pasar yang baru. Keberhasilan reformasi perusahaanakan sangat tergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengeksploitasi potensi-potensi terpendamnya pada persaingan di pasar yang baru dan sekaligus dapat mengambil keuntungan dari banyaknyapeluang yang ditawarkan kepada mereka pada pasar baru tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut tentu saja tidak akan berani masuk ke dalam kondisi
yang mereka sendiri
tidak
mengetahuisecara jelas dan pasti. Tentunya mereka hanya akan mengambil keuntungan dari peluang pasar yang baru hanya jika program reformasi kebijakan perdagangan pemerintahdianggap kredibel oleh mereka. Perubahan kebijakan, keterlambatan jadwal, dan pengambilan keputusan yang tidak konsisten hanya akan merusak keberhasilan liberalisasi perdagangan. Kekuatan kompetisi di pasar tidak hanya berasal dari perilaku perusahaan tetapi juga berasal dari lingkungan eksternal di mana perusahaan-perusahaan tersebut bersaing. Kondisi ini misalnya termasuk masalah transportasi dan komunikasi,
aturan
hukum,
efektivitas
sistem
keuangan
untuk
dapat
mempertemukan antara sumber daya investasi dengan peluang kewirausahaan, serta informasi yang tersedia bagi konsumen. Carlin dan Seabright (2000) menyebut lingkungan eksternal sebagai
"infrastruktur yang kompetitif" baik
secara fisik maupun kelembagaan. Ketika "infrastruktur kompetitif" kurang memadai, maka kompetisi akan menjadi lemah.
32
BAB II LANDASAN TEORI
2.4.
Struktur Pasar, Kinerja dan Perilaku Industri Rokok di Indonesia Menurut Laporan Industry Update Bank Mandiri volume ke 3 bulan
Februari 2013, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlahperokok terbesar di dunia setelah China, AS, danRusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi diIndonesia mengalami peningkatan dari 182 miliarbatang pada 2001 (Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8miliar batang pada 2009 (Tobacco Atlas 2012).Sementara itu, Gabungan Perserikatan Pabrik RokokIndonesia (Gappri) memperkirakan konsumsi rokokpada 2012 telah mencapai 300 miliar batang. Konsumsirokok tumbuh rata-rata 4,4% per tahun selama 2005-2012 dan diperkirakan tumbuh 4%-5% di 2013. Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia 2011 jugamenunjukkan bahwa prevalensi merokok di Indonesiasecara umum meningkat dari 27% pada tahun 1995 menjadi36,1% pada tahun 2011. Apabila dilihat lebih detail, prevalensimerokok pada laki-laki di Indonesia meningkat dari53,4% pada tahun 1995 menjadi 67,4% pada tahun 2011. Angkaprevalensi merokok pada laki-laki di Indonesia tahun2011 tersebut sekaligus merupakan yang tertinggidibandingkan dengan Rusia (60,6%), Banglades (58%),dan China (52,9%). Sedangkan pada perempuan diIndonesia, angka prevalensi meningkat dari 1,7% pada1995 menjadi 4,5% di 2011. Laporan Industry Update Bank Mandiri edisi Februari 2013
juga
menyatakan bahwa meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatantelah menggeser pola konsumsi rokok dari heavier kelower tar lower nicotine format cigarettes beberapatahun terakhir ini. Hal tersebut menjadikanpertumbuhan pasar rokok Indonesia saat ini lebihdidorong oleh pertumbuhan segmen sigaret kretekmesin jenis mild. Pada 2011, penjualan rokok mildtumbuh 22% menjadi 100 miliar batang. Penjualansigaret kretek tangan naik 4% menjadi 85 miliar
33
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
batangdi 2011. Penjualan sigaret kretek mesin filter naik 2%menjadi 87 miliar batang. Sementara penjualan sigaretputih mesin naik 5% menjadi 22 miliar batang.Pertumbuhan penjualan rokok mild di Indonesiaterutama didorong kenaikan permintaan terutama didaerah perkotaan. Laporan Industry Update Bank Mandiri juga menginformasikan bahwa produksi rokok Indonesia meningkat dari 220 miliarbatang pada 2005 menjadi 300 miliar batang di 2011,atau tumbuh rata-rata 5,3% per tahun. Angka produksitersebut telah melebihi target produksi rokok dalamroadmap Industri Hasil Tembakau (IHT). Sesuai denganroadmap, pemerintah menargetkan produksi rokokhanya sejumlah 240 miliar batang untuk sasaran jangkamenengah (2010-2014) dan 260 miliar batang untuksasaran jangka panjang (2015-2025). KementerianPerindustrian menargetkan pertumbuhan produksirokok 2011-2015 hanya berkisar rata-rata 3%-4% pertahun. Berdasarkan jenisnya, segmen Sigaret KretekMesin (SKM) masih menjadi kontributor terbesar(63,6%), diikuti Sigaret Kretek Tangan SKT (28,9%),dan Sigaret Putih Mesin SPM (7,5%). Sementara darisisi produsen, industri rokok didominasi oleh tigapemain utama yang menguasai sekitar 72% pangsapasar, yaitu Sampoerna (31,1%), Gudang Garam(20,7%), dan Djarum (20,2%). Pemain besar lainnyaadalah Bentoel/BAT (8,0%), dan Nojorono (5,8%).Jumlah perusahaan di industri pengolahan tembakaubesar dan sedang nasional pada 2011 diperkirakan 897perusahaan dimana sebaran terbesar terdapat di JawaTimur. Industri pengolahan tembakau banyak jugaterdapat di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat,dan DI Yogyakarta.
Jika
dilihat
berdasarkan
jumlahnya,terdapat
kecenderungan
menurun pada industripengolahan tembakau besar dan sedang nasional dari1.132 perusahaan pada tahun 2008 menjadi 978 perusahaanpada tahun2010
34
BAB II LANDASAN TEORI
meskipun sharegolongan ini mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkansemakin kuatnya dominasi pemain besar di industri ini. Struktur pasar ini dapat mempengaruhi persaingan dan tingkat harga. Beberapa elemen penting untuk mengukurstruktur pasar diantaranya adalah tingkat konsentrasi dan hambatan masuk pasar.Tingkat konsentrasi industri merupakan salah satu variabel penting dalamstruktur pasar. Konsentrasi menurut Jaya (2001), dapat diartikan sebagaikombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan oligopolis yang
terdapathubungan saling ketergantungan di
dalamnya. Konsentrasi juga menunjukantingkat produksi dari pasar yang dibentuk oleh satu atau beberapaperusahaan terbesar. Semakin besar pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaanrelatif terhadap pangsa pasar total, maka semakin tinggi nilai konsentrasinya. Kinerja pasar menurut Teguh (2006), merupakan hasil kerja atau prestasiyang muncul sebagai reaksi akibat terjadinya tindakan-tindakan para pesaingpasar yang menjalankan strategi perusahaannya guna bersaing dan menguasaipasar. Kinerja dapat diukur melalui berbagai bentuk pencapaian yang diraihperusahaan, beberapa diantaranya adalah keuntungan dan efisiensi. Struktur
industri
yang
berbeda-beda
ditandai
oleh
keuntungan
yangditerima setiap perusahaan dalam industri yang berbeda-beda pula. Industri yangberstruktur pasar persaingan sempurna, akan mendapatkan keuntungan normal. Produsen pada umumnya akan berproduksi pada saat harga sama dengan
biayamarginal
dan
biaya
rata-rata.
Sebaliknya,
pasar
yang
berstrukturoligopoli/monopoli akan berproduksi pada saat tingkat harga melebihi
35
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
biaya rataratayang sedang menurun sehingga keuntungan yang didapat bersifat supernormal profit Menurut
Teguh
(2006),
struktur
pasar
yang
bersifat
oligopoli/
monopolipada umumnya berproduksi pada situasi penerimaan marginal sama dengan biayamarginal. Oligopolis/monopolis tersebut akan berproduksi pada saat kapasitasproduksi yang rendah sehingga mendapat keuntungan super normal. Perilaku pasar menurut Kuncoro (2007), diartikan sebagai pola tanggapanyang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuannya dalam lingkup persainganindustri. Aksi reaksi antar satu perusahaan terhadap perusahaan lainnya diterapkandalam bentuk penetapan harga jual, serta promosi produk (advertising). Perilaku pasar digunakan untuk menentukan segala sesuatu yang berkaitandengan kegiatan operasional perusahaan. Strategi pasar jenis ini dilakukan
olehpelaku
pasar
beserta
pesaing-pesaingnya.
Masing-masing
tindakan yangdijalankan oleh perusahaan dalam industri memiliki ciri khas tersendiri sebagailangkah untuk melakukan penetrasi pasar (Teguh, 2006). Perilaku setiapperusahaan akan sulit diperkirakan untuk kondisi pasar oligopoli. Tindakan yangdilakukan seringkali harus mengantisipasi tindakan dari pesaingpesaing terdekat. 2.5.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kebijakan tarif cukai diharapkan dapat menjadi instrumen pemerintah
dalam upaya mengelola penerimaan negara khususnya dari cukai, sekaligus menjadi alat pengelola industri rokok di Indonesia untuk lebih meningkatkan nilai tambah dan produktivitasnya khususnya ketika menghadapi integrasi ekonomi
36
BAB II LANDASAN TEORI
ASEAN tahun 2015. Pola perilaku ini diharapkan memberikan masukan kepada pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam memaksimalkan target penerimaannya. Gambar. 2.1 Kerangka Konseptual
CR4 Rokok Kretek (X3) H4 Output Rokok Kretek (X1)
Selisih Tarif Rokok Kretek Dengan Tarif Import Singapura (X7)
H2 H5
Selisih Tarif Rokok Kretek Dengan Tarif Import Malaysia (X8)
Nilai Tambah Rokok Kretek (X4) Penerimaan Cukai (Y)
H1
CR4 Rokok Putih (X5)
Output Rokok Putih (X2)
H6
Selisih Tarif Rokok Putih Dengan Tarif Import Singapura (X9)
H7
Selisih Tarif Rokok Putih Dengan Tarif Import Malaysia (X10)
H3
Nilai Tambah Rokok Putih (X6)
2.6.
Komoditas Rokok Dalam Integrasi Ekonomi Regional Teori
perdagangan
klasik
dan
Teori
Perdagangan
Baru
tidak
menyebutkan dampak perdagangan internasional terhadap isu-isu sosial, seperti kesehatan dan dalam kaitannya dengan produk yang berbahaya seperti tembakau. Meskipun demikian, peningkatan perdagangan tembakau telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang utama di abad 21 ini. Sementara konsumsi tembakau telah menurun di negara-negara berpenghasilan tinggi, dan
37
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
terus meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terutama karena adanya pembentukan perusahaan tembakau transnasional di pasar negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tiga dekade terakhir (Jha dan Chaloupka, 2000). Perusahaan tembakau transnasional adalah pendukung kuat kebijakan penurunan tarif dan pasar perdagangan bebas, agar mereka dapat bersaing dengan perusahaan rokok domestik. Semakin banyak pasar dibuka untuk produsen asing, semakin tinggi produksi tembakau mereka maka semakin agresif pemasaran tembakau mereka untukmeningkatkan konsumsi tembakau tersebut. Misalnya, dalam tahun 1980-an, adanya perjanjian perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan beberapa negara Asia telah menaikkan permintaan tembakau di Asia. (WTO/WHO, 2002). Pemasaran yang dilakukan
olehPerusahaan
Tembakau
Transnasional
telah
meningkatkan
konsumsi produk tembakau di negara-negara miskin lebih besar dibandingkan di negara-negara yang tidak miskin(Bank Dunia 1999). Dari perspektif kesehatan masyarakat, perdagangan pasar bebas internasional dianggap akan merusak upaya pengendalian tembakau. Hal ini disebabkan karena adanya perluasan produk tembakau publik yang dinggap berbahaya. Beberapa perjanjian perdagangan seringkali menetapkan kebijakan untuk melindungi investasi dan investor yang tidak memiliki pengecualian pada produk tembakau. Sebagai akibatnya, muncul hambatan bagi Negara untuk mengadopsi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dalam kegiatan perdagangan internasional. Kondisi ini memberikan kesempatan bagi Perusahaan Tembakau Transnasional seperti Philip Morris, British American Tobacco,
dan
Japan
Tobacco
International
untuk
secara
jeli
dapat
memanfaatkan hambatan ini dan mencari kompensasi atas keuntungan yang
38
BAB II LANDASAN TEORI
hilang akibat kebijakan pemerintah yang dianggap tidak mematuhi kebijakan investasi (Weissman 2003).
2.7.
Potensi Sengketa Dagang Antara Pemerintah dan Industri Tembakau Di bawah Komunitas Ekonomi ASEAN semua hambatan perdagangan
harus dihilangkan, langkah-langkah pengendalian tembakau yang kuat suatu negara bisa menjadi subyek sengketa di WTO atau di bawah perjanjian investasi bilateral. Hal ini terjadi di Australia. Dalam upaya melindungi kesehatan masyarakat penduduknya, Australia telah mengesahkan peraturan yang berkaitan dengan tembakau kemasan polos, yang melarang setiap pencitraan merek (kecuali untuk nama merek dengan jenis font huruf dan ukuran yang standar) dan mengatur penggunaan paket standar untuk warna gelapcoklatkehijauan untuk memperjelas peringatan kesehatan bergambar besar di bagian depan dan belakang pada setiap bungkus rokoknya. Hal ini kemudian ditentang oleh Ukraina di WTO dengan alasan bahwa undang-undang ini melanggar Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) WTO Tahun 1994, serta Kesepakatan Hambatan Teknis Perdagangan dan Perjanjian mengenai Tarif dan perdagangan (GATT). Philip Morris juga telah mengajukan gugatan terhadap pemerintah Australia berdasarkan perjanjian investasi bilateral antara Australia dan Hong Kong. Insiden ini tentunya menghambat implementasi penuh FCTC untuk menempatkan peringatan kesehatan yang lebih menonjol pada bungkus rokok, dalam rangka untuk memperingatkan konsumen dan membatasi iklan rokok.
39
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
2.8.
Keterjangkauan Rokok dan Konsumsi Yang Tinggi Dalam upaya untuk memperluas bisnis dan keuntungan perusahaan di
Asia Tenggara, maka Perusahaan Tembakau Transnasional seperti Philip Morris dan British American Tobacco telah mendirikan fasilitas manufaktur dan usaha patungan di hampir semua negara ASEAN, untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan dan penghapusan tarif impor yang diberikan kepada produksi dalam negeri Negara-negara anggota ASEAN di bawah AEC. Di Indonesia, Philip Morris International (PMI) telah membeli Sampoera Indonesia pada tahun 2005, dan saat ini menguasai 30% dari pasar rokok. Perusahaan percaya pada prospek positif di Indonesia. Selain itu, British American Tobacco telah membeli saham 85% di Bentoel pada tahun 2009. Kedua perusahaan memperoleh peningkatan volume penjualan rokok di Indonesia pada 2010terutama untuk rokok kretek kretek, yang menyumbang lebih dari 90% dari pasar rokok di Indonesia. Di Filipina, PMI merupakan investor besar di negara tersebut, telah membentuk perusahaan patungan dengan Fortune Tobacco, yang memproduksi rokok untuk masyarakat berpenghasilan rendak sampai menengah di Filipina. Kedua perusahaan kini memiliki pangsa pasar sebesar 90% dari pasar rokok senilai $ 1,7 miliar. Kasus-kasus serupa ini terjadi di seluruh negara-negara yang dipilih. Tidak diragukan lagi, bahwa pengurangan dan penghapusan tarif di bawah AEC akan memberikan peluang yang menguntungkan bagi perusahaan tembakau untuk memperluas pasar mereka dan mendapatkan keuntungan lebih di wilayah regional. FCTC memandang bahwa tindakan pengenaan pajak dan harga yang dikenakan pada produk tembakau sebagai cara paling efektif untuk mengurangi konsumsi tembakau. Dengan demikian prinsip-prinsip AEC yang berjalan pada
40
BAB II LANDASAN TEORI
konsep pengurangan/penghapusan tarif akan melemahkan pelaksanaan FCTC yang berbasis pada pajak dan ukuran harga. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa di antara lima negara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina dan Vietnam, memiliki harga rokok yang sudah sangat murah. Tarif impor yang rendah akan menyebabkan terjadinya aliran bebas rokok yang murah dari negara-negara produsen seperti Indonesia dan Filipina ke seluruh negara-negara di ASEAN. Meskipun negara mungkin ingin memaksakan pajak dalam negeri pada rokok, namun aturan yang ada tidak memungkinkan negara-negara tersebut untuk memaksakan penggunaan pajak ganda terhadap suatu komoditas. Saat ini, dataGlobal Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan bahwa konsumsi rokok yang tinggi berada di kalangan kaum muda dengan usia antara 12-15 di lima negara terpilih, terutama di Filipina dan Indonesia (CDC, 2013). Jika program AEC berhasil meningkatkan status ekonomi di tingkat mikro dan makroNegara-negara anggotanya, maka kondisi ini dengan sendirinya
akan
meningkatkan pendapatan rumah tangga dan daya beliNegara-negara anggota tersebut, dan kondisi ini akan lebih memungkinkan perokok yang ada dan baru untuk membeli rokok lagi. 2.9.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) – Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau FCTC merupakan suatu perjanjian pertama berkaitan dengan kesehatan
masyarakat global yang dinegosiasikan di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memerangi epidemi tembakau. Hal ini mulai berlaku pada Februari 2005 dan sebanyak 175 negara anggota WHO (mewakili 87,8% dari populasi dunia) telah menjadi Peserta konvensi ini. Kesepakatan dalam konvensi
41
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
tersebut mengharuskan para Pihak yang meratifikasi konvensi tersebut untuk mengambil langkah-langkah, antara lain, 1) penggunaan instrumen pajak dan harga untuk mengurangi konsumsi tembakau, 2) larangan melakukan iklan, promosi dan sponsorshiptembakau, 3) menciptakan situasi kerjadan ruang publik yang bebas asap rokok; 4) menempatkan peringatan kesehatan yang menonjol pada bungkus tembakau, dan 5) memerangi perdagangan ilegal produk tembakau (FCA 2012). Wilayah Asia Pasifik mencatat 57,4% dari populasi dunia yang merokok dengan konsumsi rokok per kapita sekitar 873 batang per tahun. Lima negara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina dan Vietnam, menghadapi tantangan konsumsi tembakau yang tinggi. Prevalensi perokok dewasa (berusia 18 tahun ke atas) adalah 19,5% di Kamboja, 34,7% di Indonesia, 40,3% di Lao PDR, 28,3% di Filipina dan 23,8% di Vietnam (SEATCA 2012). Tarif pajak tembakau di kalangan negara-negara ASEAN, Negara Brunei memiliki beban pajak tertinggi terhadap harga eceran yang dikenakan pada satu pak rokok (72%) dan diikuti oleh Thailand (70%) dan Singapura (69%). Di antara lima negara tersebut, beban pajak terhadap harga ritel dirasakan masih cukup rendah, masih di bawah tingkat pajak tembakau yang direkomendasikan oleh WHO 70% (SEATCA 2012). 2.10.
Hambatan Untuk Mencapai Implementasi FCTC Yang Efektif Semua negara-negara ASEAN, dengan pengecualian Indonesia, telah
meratifikasi FCTC, mengikat mereka untuk melaksanakan ketentuan perjanjian dan melaporkan kemajuannya. AEC memiliki potensi menghambat pelaksanaan FCTC,selain itu memungkinkan terjadinya perdagangan gelap rokok. Meskipun terdapat beberapa pendapat penelitian yang mengatakan bahwa tingkat cukai
42
BAB II LANDASAN TEORI
dan kenaikan pajak bukan merupakan pendorong utama terjadinya perdagangan gelap tembakau, namun industri tembakau berpendapat bahwa kenaikan cukai tembakau akan menghasilkan peningkatan perdagangan gelap rokok. Meskipun demikian, beberapa penelitian juga membuktikan bahwa perdagangan gelap tembakau terutama disebabkan oleh masalah penegakan hukum, perhatian pada kesehatan masyarakat, harga produk tembakau yang tersedia secara murah. Semakin bebas arus barang dalam AEC dapat meningkatkan tantangan yang lebih berat yang dihadapi oleh negara-negara yang sudah mencoba melaksanakan pengendalian perdagangan gelap tembakau. Selain itu, karena terjadi aliran bebas dari gerakan manusia dalam wilayah ini, maka potensi terjadinya penyelundupan walaupun mungkin terjadi dalam skala yang kecil terjadi. Para wisatawan dapat membeli rokok dan produk tembakau lainnya di satu negara untuk dijual kembali secara ilegal di negara lain. Meskipun banyak negara mengadopsi langkah-langkah pengendalian tembakau dengan menggunakan ukuran sebelum terjadinya AEC, namun mereka akan terus dihadapkan oleh tekanan-tekanan dari industri tembakau dengan dasar perjanjian investasi dan perdagangan kecualikomoditas tembakau dimasukkan dalam perjanjian tersebut. 2.10.1. Substansi
Konsep
PemikiranKebijakan
Pengendalian
Rokok
Berdasarkan FCTC Tembakau telah membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, diproyeksikan akan membunuh 10 juta orang sampai tahun 2020, dengan 70% kematian terjadi di Negara berkembang. Penyakit yang diakibatkan oleh rokok juga telah memakan biaya yang sangat besar dalam pelayanan kesehatan, menyebabkan kehilangan produktifitas seseorang, dan
43
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
tentunya juga biaya yang tidak terlihat akibatpenyakit dan penderitaan yang timbul terhadap perokok aktif, pasif dan keluarga mereka. Sebagaimana
tertulis
dalam
pembukaanKerangka
Kerja
Konvensi
Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control FCTC),tujuan FCTC adalah untuk melindungi generasi saat ini dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta asap tembakau. Konvensi ini menjadi hukum internasional pada tanggal 27 Februari 2005.FCTC mendorong seluruh negara peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari standar minimal yang ditentukan dalam Konvensi. Ketentuan-ketentuan yang dianggap cukup penting khususnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut (fact sheet – TCSC – IAKMI):
Pertanggungjawaban (Pasal 4.5) Tindakan hukum perlu dilakukan sebagai strategi pengendalian dampak tembakau. FCTC melihat bahwa pertanggungjawaban merupakan program yang penting dalam pengendalian dampak tembakau. Negara-negara peserta sepakat untuk melakukan pendekatan legislatif dan hukum dalam mencapai tujuan pengendalian dampak tembakau dan bekerjasama dalam pengadilan yang terkait dengan masalah tembakau.
Pajak dan Penjualan Bebas Bea (Pasal 6) FCTC menghimbau negara-negara peserta untuk menaikkan pajak tembakau dan mempertimbangkan tujuan kesehatan masyarakat dalam menetapkan kebijakan cukai dan harga produk tembakau. Penjualan tembakau bebas bea juga sebaiknya dilarang.
44
BAB II LANDASAN TEORI
Asap Rokok Bekas (Pasal 8) Asap rokok telah terbukti secara ilmiah menyebabkan kematian, penyakit dan cacat. FCTC mensyaratkan seluruh negara peserta untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam melindungi dampak dari asap rokok di tempattempat publik bagi bukan perokok, termasuk di tempat-tempat kerja, kendaraan umum, serta ruangan-ruangan di tempat publik lainnya.
Pengungkapan dan Pengaturan Kandungan Produk (Pasal 9 dan 10) Produk tembakau perlu diatur. Negara-negara peserta sepakat untuk membentuk suatu acuan yang dapat digunakan seluruh negara-negara dalam mengatur kandungan produk tembakau. Negara-negara peserta juga harus mewajibkan pengusaha tembakau untuk mengungkapkan kandungan produk tembakaunya kepada pemerintah.
Pengemasan dan Pelabelan (Pasal 11) FCTC mensyaratkan agar sedikitnya 30% dari permukaan kemasan produk digunakan untuk label peringatan kesehatan dalam kurun waktu 3 tahun setelah ratifikasi FCTC. Peringatan yang mengandung kata-kata yang menyesatkan seperti “light”, ”mild,” dan “rendah tar” dilarang. Penelitan membuktikan rokok yang berlabel light, mild dan rendah tar sama bahayanya seperti rokok pada umumnya. Negara-negara peserta sepakat untuk melarang segala kata-kata yang menyesatkan dalam kurun waktu 3 tahun setelah menjadi anggota FCTC.
Iklan, Promosi dan Pemberian Sponsor (Pasal 13) FCTC mensyaratkan agar negara anggotanya melaksanakanlarangan total terhadap berbagai jenis iklan, pemberian sponsor, dan promosi produk-
45
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam kurun waktu 5 tahun setelah dilakukannya ratifikasi Konvensi. Larangan ini juga termasuk iklan lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negaranegara yang memiliki hambatan konsitusional, larangan total iklan, pemberian sponsor dan promosi ini dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Penyelundupan (Pasal 15) FCTC mensyaratkan dilakukannya suatu tindakan dalam rangka mengatasi penyelundupan tembakau. Tindakan tersebut termasuk menuliskan asal pengiriman serta tempat tujuan pengiriman di semua kemasan tembakau. Selain itu, negara-negara peserta dihimbau untuk melakukan kerjasama penegakan hukum dalam penyelundupan tembakau lintas negara.
2.10.2. Kebijakan Pengendalian Rokok di Indonesia Dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Desember 2012 yang berlaku 12 bulan mendatang, pemerintah telah mencoba memberlakukan pengendalian pada produksi, impor, peredaran, promosi dan iklan, serta memberikan perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil serta pengaturan kawasan tanpa rokok. Produsen juga dilarang menjual rokok menggunakan mesin layan diri, menjual kepada anak di bawah usia 18 tahun serta kepada perempuan hamil. Produsen juga wajib mencantumkan peringatan kesehatan dalam produk rokok yang diedarkan di seluruh wilayah Indonesia.
46
BAB II LANDASAN TEORI
Setiap satu varian rokok wajib mencantumkan gambar dan tulisan peringatan kesehatan yang terdiri atas lima jenis yang berbeda, dengan porsi masingmasing 20%. Gambar dan tulisan peringatan kesehatan wajib dicantumkan pada bagian atas depan dan belakang kemasan rokok masing-masing seluas 40%. Produsen juga dilarang untuk mencantumkan keterangan atau tanda apa pun yang
menyesatkan
atau
kata-kata
yang
bersifat
promotif,
misalnya
mencantumkan kata light, ultra light, mild, extra mild, low tar, slim, special, full flavour, premium atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti yang sama. Pemerintah juga mengendalikan promosi dan iklan rokok. Pengendalian iklan rokok antara lain mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan sebesar paling sedikit 10% dari total durasi iklan dan/atau 15% dari total luas iklan.Pengendalian promosi rokok juga dilakukan dengan cara melarang pemberian cuma-cuma, potongan harga, serta hadiah dalam bentuk produk tembakau. Juga tidak diperbolehkan penggunaan logo atau merk rokok pada suatu kegiatan lembaga atau perorangan. Sponsor rokok dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan tidak menggunakan nama merk dagang dan logo produk
tembakau
termasuk
brand
image
serta
tidak
bertujuan
untuk
mempromosikan. Kebijakan PP 109 tahun 2012 secara umum sudah sejalan sesuai dengan kesepakatan dalam FCTC. Apabila dirasakan masih ada perbedaan atau kekurangan dapat disesuaikan dalam perjalanannya, namun semangatnya perlu didukung secara maksimal.
47
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Disamping itu juga dapat dilakukan kebijakan-kebijakan berikut untuk memerangi penyelundupan, seperti misalnya:
mengurangi insentif untuk penyelundupan melalui kebijakan harga dan harmonisasi pajak;
mengurangi pasokan tembakau yang diselundupkan dengan mengatur transportasi dan penjualan ritelnya;
mengurangi
permintaan
tembakau
yang
diselundupkan
dengan
mempengaruhi perilaku konsumen untuk tidak membeli produk selundupan
meningkatkan kepastian hukum, penuntutan dan penegakkan hukum serta pemberian hukuman yang berat. Pajak perlu diarahkan untuk dapat meningkat secara tahunan. Pada
awalnya pajak diarahkan untuk mengekang konsumsi dan dalam jangka panjang diarahkan untuk mempertahankan kenaikan pajak untukmengontrol konsumsi dan menghasilkan pendapatan pemerintah yang cukup besar. Produk-produk tembakau perlu dikenakan pajak secara seragam untuk mencegah pengguna beralih ke merk rokok dengan harga yang lebih rendah. Pemerintah
perlu
memastikan
bahwa
sistem
pajaknya
telah
disederhanakan dan tertutup dari berbagai celah yang memungkinkan industri tembakau dapat mengambil keuntungan dari sistem pajak yang rumit. Oleh karena itu sistem pajak harus dibuat sesederhana mungkin sehingga membuat industri
tembakau
mau
bertanggung
jawab
untuk
melaporkan
semua
transaksinya kepada otoritas pajak, mengikuti semua kriteria dan persyaratan yang ditetapkan pemerintah sehingga tidak tersedia ruang sedikitpun untuk melakukansnegosiasi.
48
BAB II LANDASAN TEORI
Batas-batas hukum yang jelas perlu dibentuk agardapat didefinisikan secara jelasbagaimana bentuk hubungan antara pemerintah dan industri tembakau. Hal ini untuk memastikan bentuk hubungan formal interaksi seperti apa yang akan dikedepankan dan bagaimana teknis pembayaran denda atas penyimpangan dari hubungan formaltersebut. Pemerintah perlu menetapkan kode etik dan moral yang jelas bagi aparat pemerintah ketika bekerja dengan industri tembakau. Hal ini diperlukan agar petugas bea dan cukai dapat mempertanggungjawabkan kinerja mereka sambil memastikan dipatuhinya standar kode etik yang ada. 2.11.
Sejarah Pengenaan Cukai Filsuf Barat pertama yang membahas mengenai penggunaan pajak
tembakau sebagai instrumen kebijakan ekonomi adalah Adam Smith. Dalam bukunya berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations,Smith menjelaskan jenis pajak atas komoditas konsumsiyang harus dikenakan
pajak
agar
tidak
meningkatkan
tingkat
upah
buruh.
Smith
mendefinisikan "kebutuhan barang" sebagai komoditas yang penting untuk kelangsungan hidup,walaupun bagi orang-orang tertentu bukan merupakan kebutuhan yang menjadi prioritas atau merupakan prioritas yang terendah (Smith 1818,287). Sepanjang pertengahan tahun 1700 ketika Smith menulis buku tersebut, garam, lilin,dan sabun dianggap merupakan barang kebutuhan. Ketika item kebutuhan dikenakan pajak, maka produsenkomoditas tersebut harus membayar pajak, dan kemudian memasukkan biaya tersebutdalam kenaikan harga komiditas mereka. Dengan menaikkan harga barang-barang tersebut, maka
hargasubsistemnya
tersebutsangat
diperlukan
juga
akan
untuk
meningkat, kelangsungan
karena hidup.
barang-barang Peningkatan
49
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
hargasubsistem ini akanmendorong terjadinya kenaikan upah, karena jika perolehan dari buruh yang produktif ini berada di bawahtingkat subsistem yang ada, maka akan terjadi penurunan jumlah pekerja yang tersedia, yangakan mendorong produsen untuk membayar upah lebih tinggi sehingga membangun kembali keseimbangan antarapasokan tenaga kerja dan permintaan (Smith 1818, 287-290). Dengan demikian, pajak atas kebutuhan yangdiinginkan konsumen memaksa harga subsistem menjadi meningkat, namun di sisi lain produsen tidak menginginkan adanya pajak tersebut menyebabkan biaya mereka menjadi meningkat karena adanya tuntutan untuk menaikkan upah yang lebih tinggi dan berkurangnya produk yang mereka jual. Sebaliknya, Smith mendefinisikan "barang mewah" sebagai komoditas yang tidakpenting untuk kelangsungan hidup. Tembakau, rum, dan gula merupakan contoh barang mewah yang diuraikan dalam bukunya berjudul“Wealth of Nations”, ia mengklaim bahwa barang tersebut "sangat tepat untuk menjadi subyek pajak"karena dikonsumsi secara luas (Smith 1818, 341).Ketika barang mewah dikenakan pajak, maka pemerintah dapat meningkatkan pendapatan yang mereka butuhkandengan sedikit hambatan, karena pajak tidak memaksa terjadinya
kenaikan
tingkatupah.Meskipun
Smith
tidak
secara
eksplisit
mendukung pendapat pajak "dosa" dalam tulisan-tulisannya, ia tidakmendukung pajak barang mewah yang
dikonsumsi secara luasyang dapat mengarahkan
konsumen membentukkebiasaan buruknya, seperti mengkonsumsi alkohol, yang dapat menghasilkan eksternalitas negatif. Smith menganggap pajak tembakaumerupakan sarana untuk menghasilkan pendapatan pemerintah yang memiliki sedikit gangguan di pasarekonomi. Meskipun argumen Smith untuk
50
pajak tembakau
mendahului gagasan
BAB II LANDASAN TEORI
mengkonsumsi tembakau sebagai "dosa,"namun pertumbuhan penerimaan tembakau sebagai komoditas kena pajak menciptakan preseden yang memungkinkan
pengenaan
pajak
tembakau
yang
lebih
tinggi
untuk
ditempatkanmenjadipajak tembakau sepanjang abad kedua puluh dengan label"pajak dosa." David Ricardo membantu memperluas teori Smith tentang perpajakan dalam bukunya Principles of Political Economy dan Taxationtahun 1817 yang mengatakan bahwa pajak barang mewah memiliki beberapa keuntungan atas pajak
atas
kebutuhansebagai
pajak
atas
barang
mewah
yang
tidak
meningkatkan tingkat upah dan mengurangi keuntungan produsen. Ricardo juga berpendapat bahwa konsumen akhirnya tetap akan memiliki "batas pajak" atas pengenaan cukai pada komoditas tertentu yang terus meningkat. Setelah batas pajak tercapai, konsumen akan berhenti atau mengurangi pembeliannya, bukan karena ia tidak bisa lagi membelinya, tapi karena ia harus membayar harga yang lebih tinggi daripada yang menurutnya layak (Ricardo 1996 , 167-168). Dengan demikian, Ricardo mencapai kesimpulan penting bahwa konsumen akan mencapai batas tertentuatas pengeluaran yang mereka bersedia bayarkan pada item apapun, terlepas dari berapa banyak kenikmatan yang mereka peroleh darinya. Pada beberapa kasus "titik langgar" ini lebih tinggi daripada titik yang lain, sehingga faktor penentu kepuasan menjadi relatif terhadap persepsi konsumen. Teori Ricardo juga menganggap bahwa zat yang paling adiktif juga akan memiliki batas untuk berapa banyak mereka dapat dikenakan pajak, dan setelah batas tersebut tercapai, konsumen akan membatasi atau berhenti mengkonsumsinya.
51
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Jules Dupuit memperluas ide Ricardo tentang batas pajak pada tahun 1844 dalam uraiannya mengenai tingkat pajak optimal untuk jembatan dan pekerjaan umum. Dupuit mengatakan bahwa jika pajak secara bertahap meningkat dari nol sampai ke titik di mana ia menjadi penghalang, maka yield-nya adalah nol pertama, kemudian meningkat secara bertahap nulai dari kecil sampai mencapai maksimum, setelah itu secara bertahap menurun sampai menjadi nol lagi (Dupuit 1969, 278). Argumen ini bukan argumen yang sama sekali baru di bidang ekonomi, baik Adam Smith dan Alexander Hamilton juga mengemukakan masalah berkurangnya pendapatan atas perpajakan pemerintah dalam tulisan mereka sebelumnya. Dalam Wealth of Nations, Smith mengklaim bahwa pajak yang lebih tinggi sering menyebabkan pendapatan pemerintah lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh tingkat yang lebih moderat (Smith 1818, 78). Demikian juga Alexander Hamiltondalam The Federalist Papers, mengemukakan bahwa jika pajak terlalu tinggi maka kas yang dihasilkan akan tidak terlalu besar dibandingkan bila berada dalam batas-batas yang tepat dan moderat (Hamilton 1993, 138). Dengan demikian pajak tembakau, seperti pajak atas barang-barang lainnya, bisa secara teoritis mencapai titik di mana pendapatan pemerintah akan menurun ketika tarif pajak dinaikkan. Teori dari Dupuit tentang perpajakan yang optimal didukung oleh teori kurva permintaan diminishing marginal utility, dan hal ini merupakan pertama kalinya sebuah kurva permintaan dijelaskan dengan menggunakan teori utilitas marjinal. Teori itu
kemudiandikenal dengan
namaCurve Dupuit-Laffer (teori ini diperluas oleh ekonom abad kedua puluh Alfred B. Laffer), yang mengemukakan bahwa peningkatan pajak dari komoditi tertentu bukan merupakan sarana yang efektifbagi para pembuat kebijakan untuk
52
BAB II LANDASAN TEORI
meningkatkan pendapatan pemerintah, karena ada suatu titik di mana ketika pajak begitu tinggi justru akan menurunkan pendapatan pemerintah. 2.12.
Teori Cukai Ramsey Seorang ekonom dan ahli matematika Frank P. Ramsey mencoba
memperluas gagasan Marshall berkaitan dengan elastisitas harga terhadap pajak. Menurut Ramsey, pemerintah dapat memaksimalkan efisiensi perpajakan dengan pajak atas barang-barangdengan cara melihat kepada barang-barang yang memiliki proporsi terbalik dengan elastisitas harga permintaan mereka (Shughart 1998, 17). Dengan demikian, komoditas yang relatif inelastic maka harganya harus dikenakan pajak lebih dari barang-barang yang memiliki elastisitas harga lebih besar dari permintaannya. Bahkan, Ramsey menyatakan bahwa jika ada barang yang memperlihatkan permintaan inelastis sempurna, maka keseluruhan pendapatan pemerintah harus berasal dari pajak komoditas tersebut. Sistem pajak memungkinkan pemerintah untuk menaikkan tingkat pendapatan yang diinginkan, tetapi utilitas yang diperoleh konsumen tidak akan mengurangi sama sekali jika pajak itu harus ditingkatkan (Ramsey tahun 1978, 254). Ramsey mengatakan bahwa sistem perpajakan dapat efisien untuk jumlah tertentu pendapatan yang diinginkan pemerintah untuk dinaikkan. Ramsey tidak mengatakan bahwa sistem perpajakan akan tetap efisien jika pemerintah berusaha untuk menaikkan pendapatan pajak sampai batas maksimum. Geoffrey Brennan dan James Buchanan mengatakan bahwa apabilakeinginan pemerintah ingin meningkatkan pendapatan pajakpemerintah semaksimal mungkin menggunakan system pajak maka
tidak akan efisien.
Pemerintah akan menjadi kekuatan monopoli untuk mengeksploitasi barang-
53
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
barang dengan permintaan inelastis, dan tentunya akan menaikkan bobot kerugian di masyarakat dengan menerapkan pajak yang lebih tinggi (Brennan dan Buchanan 1980, 55-80). Dengan demikian, upaya perolehan pendapatan pajak dengan mengikuti "Ramsey Rule"hanya memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pajak dalam jumlah yang terbatas, sekaligus dapat meminimalkan gangguan dan hilangnya utilitas konsumen dalam masyarakat. 2.13.
Teori Cukai Berdasarkan Ketergantungan Yang Rasional Literatur terbaruberkaitan dengan pajak rokokmenitikberatkan pada
adanya keprihatinan akibat masalah kecanduan rokok. Dua ekonom yang telah mempelajari kebiasaan konsumsi barang adiktif adalah Gary Becker dan Kevin Murphy. Dalam tulisannya berjudul, A Theory of Addiction Rasional, Becker dan Murphy(1988) menyatakan bahwa perilaku adiktif dapat dipelajari dalam konteks ekonomi neoklasik, sebagai konsumen barang adiktif yang rasional yang mencoba memaksimalkan utilitas mereka dari waktu ke waktu. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa konsumen bertindak rasional, mereka tidak hanya memiliki informasi yang sempurna tentang preferensi konsumsi mereka saat ini dan masa depan, tetapi mereka juga mengetahui biaya penuh yang muncul akibat mengonsumsi adiktif dan dampak bahayanya. Dengan demikian, meskipun individu menyadari konsekuensi penuh dari mengkonsumsi rokok, mereka mungkin masih memilih untuk merokok karena keuntungan dari merokok melebihi biaya apapun termasuk kecanduan di masa depan (Botond dan Köszegi 2000, 1). Menurut model mereka, utilitas individu berasal dari konsumsi barang adiktif saat ini yang merupakan fungsi konsumsi masa lalu dari barang tersebut. Semakin banyak barang adiktif yang telah dikonsumsi seorang individu di masa
54
BAB II LANDASAN TEORI
lalu, semakin besar konsumsi dalam periode saat ini karena substansi sifat adiktif tersebut dan konsumen dapat melakukan"learning by doing." Becker dan Murphy (1988) menyimpulkan bahwa kenaikan harga yang dikompensasikan ke dalam barang adiktif tersebut tidak hanya akan mengurangi konsumsi saat ini karena kendala harga baru dan efek substitusi, tetapi konsumsi masa depan juga akan terpengaruh dalam tingkat yang jauh lebih besar. Hal ini karena "stok" konsumsi akan lebih rendah pada setiap periode waktu di masa mendatang mendatang setelah terjadinya penurunan awal, dan menyebabkan peningkatan penurunan konsumsi di masa depan pada setiap periode di masa depan. Mengingat adanya sifat saling melengkapi konsumsi di lintas waktu, maka kenaikan pajak di masa depan tetap akan memiliki efek pada konsumsi rokok saat ini. Jika konsumen sangat rasional, maka mereka akan membatasi merokok saat ini dalam menghadapi kenaikan pajak yang akan datang sehingga konsumsi rokok masa depan mereka akan memaksimalkan utilitas merekadisebabkan karena adanya kendala harga baru di masa depan (Becker dan Murphy 1988, 685-689). Jika perilaku yang sebenarnya dilakukan oleh konsumen, maka konsumsi rokok akan menurun bahkan sebelum pajak cukai baru diberlakukan. Becker dan Murphy (1988)berargumen bahwa meskipun kenaikan pajak pada barang adiktif dapat menghasilkan pengurangan konsumsi jangka pendek, namun efek jangka panjang dari pajak kemungkinan akan lebih besar daripada jika barang non-adiktif yangdipajaki (Becker dan Murphy 1988, 695). Penemuan ini menunjukkan bahwa elastisitas jangka pendek dan jangka panjang barang adiktif berbanding terbalik, dan pajak barang-barang adiktif yang bersifat inelastis dalam jangka pendek bukan merupakanpengenaan pajak yang paling efisien karena adanya gangguan pasar yang akan direalisasikan ke tingkat yang lebih
55
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
besar di masa mendatang. Argumentasi Becker dan Murphy berbeda dengan konsep efisiensi pajakRamsey, yang mengasumsikan bahwa elastisitas harga suatu barang akan tetap konstan terlepas dari konsumsi sebelumnya. Adanya argumentasi Becker dan Murphy ini menyebabkan pajak rokok tidak boleh dikenakan
untuk
maksud
meningkatkan
pendapatan
pemerintah,
tetapi
dikenakan untuk mengoreksi kesenjangan antara biaya publik dan swasta akibat eksternalitas antarpribadi yang disebabkan oleh rokok (Gruber dan Köszegi 2002, 4). 2.14.
Teori Cukai Berdasarkan Ketidak-konsistenan Preferensi dalam Waktu (Time-Inconsistent Preferences Theory ) Meskipun Becker dan Murphy berpendapat bahwa pajak atas barang
yang memiliki zat adiktif seperti rokok mungkin tidak efisien dalam jangka panjang, namun telah ada beberapa argumen yang berbeda dengan asumsi yang mendasari model mereka, khususnya asumsi bahwa konsumen berperilaku rasional. Jonathan Gruber dan Botond Köszegi berpendapat bahwa konsumen barang adiktif tidak bertindak secara rasional, dan sebagai gantinya memiliki preferensi waktu yang tidak konsisten. Jadi, meskipun ada kebijakan yang ingin membatasi konsumsi rokok mereka di masa depan, namun fakta yang ada menunjukkan bahwa konsumen yang kecanduandalam jangka pendek tidak akan dapat mengaktualisasikan mengurangi tingkat merokokdi masa depan (Gruber dan Köszegi 2002,17). Gruber dan Köszegi berargumen bahwa perilaku ketidakkonsistenan dalam waktu membenarkan adanya pajak rokok di luar eksternalitas mereka, karena pandangan merokok berbahaya bagi konsumen yang irasional dan tidak terkendali. Dengan argumen ini, pajak rokok akan menguntungkan bagi masyarakat dengan cara mengurangi kerugian individu
56
BAB II LANDASAN TEORI
yang tidak rasional dalam merokok, dengan demikian menghasilkan utilitas yang lebih besar bagi konsumen sekaligus meningkatkan pendapatan pemerintah (Gruber dan Köszegi 2002, 35). Implikasi kebijakan penting yang disarankan oleh Gruber dan Köszegi adalah bahwa biaya internal merokok perlu dipertimbangkan bersama eksternalitas ketika membahas masalah perpajakan rokok. Jika konsumen tidak mampu mencegah untuk mencelakai dirinya sendiri karena kualitas adiktif yang kuat dari rokok, maka hal tersebut merupakan tanggung jawab dari pemerintahan yang bijak untuk menggunakan pajak sebagai "pajak pengendalian diri" (Gruber dan Köszegi 2000, 27-31). 2.15.
Teori Cukai Berdasar Proses Keputusan Yang Dipicu Oleh Signal (Theory of Cue -Triggered Decision Processes) Douglas Bernheim dan Antonio Rangel (2004) memperkenalkan sebuah
model yang melibatkan kegagalan psikologis kognitif dalam upaya untuk menjelaskan perilaku konsumen rokok. Menurut Bernheim dan Rangel, konsumen dapat mengambil keputusan yang bersifat
"panas" atau "dingin"
sehubungan dengan zat adiktif. Keputusan konsumen yang bersifat "panas" menunjukkan adanya
kegagalan kognitif
dalam
pengambilan keputusan
mengkonsumsi terlepas dari preferensi yang mendasarinya. Sedangkan dalam pengambilan keputusan "dingin" menunjukkan bahwa konsumen
menyadari
sepenuhnya keputusan konsumsi dan konsekuensi potensi yang ada, serta kemungkinan efek dari pilihan yang ada untuk berpeluang memasuki kondisi "panas" di masa depan (Bernheim dan Rangel 2004, 1559).Model
"Dingin"
menurut Bernheim dan Rangel akan sebanding dengan rasionalitas yang mendasari individu dalam melakukan konsumsi. (Bernheim dan Rangel 2004, 1565-1568).
57
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
2.16. Tingkat KetepatanCukai Rokok Seberapa tinggi seharusnya beban cukai pada rokok? Pajak rokok sering dibenarkan dalam pembebanan untuk biaya eksternal dari merokok yang memasukkan biaya eksternalitas langsungyang dialami oleh orang lain, seperti gangguan kesehatan dan kerusakan yang disebabkan oleh merokokpasif, dan biayaperawatan medis yang ditanggung secara bersama dan didanai publik untuk kondisi-kondisi yang berkaitan dengan kegiatan merokok(Smith 2007). Mengimbangi terjadinya eksternalitas negatif merupakan keuntungan finansial masyarakatatas hidup yang lebih pendek dari perokok, dimana keuntungan atas waktu hidup yang terkurangi diberikan kepada perokok melalui skema pension publik atau asuransi sosial. Beberapa studi empiris menemukan bahwapajak tembakau melebihi biaya eksternal kepada masyarakat (Gravelle dan Zimmerman 1994). Sementara penelitian lain menemukan bahwa pajak tembakau tidak menutupi biaya eksternal kepada masyarakat (Sloan et. al.2004). Seseorang dapat saja tidak memiliki informasi yang baikmengenai sifat adiktif tembakau, kondisi ini menjadi alasanperlunya pajak tembakau yang lebih tinggi. Gruber dan Kszegi (2008) menemukan hasil penelitiannya bahwa pajak tembakau harus melebihi tingkat eksternalitas murni karena kegagalan seseorang mengendalikan diri mendorong untuk merokok secara berlebihan ke taraf yang diinginkannya. Pajak tembakau dapat memerangi kegagalan pengendalian diri ini. Meskipun efek fiskal merokok sering dijadikan acuan ketika mengukur biaya merokok, namun perlu juga digunakan acuan lain selain acuan ekonomi ketika menentukan biaya eksternal merokok. Salah satu biaya yang penting yang tidak akan langsung dimasukkan dalam argumen ekonomi adalah biaya untuk
58
BAB II LANDASAN TEORI
orang yang tidak menyadari dari sifat adiktif nikotin, dan yang tidak mengakui atau benar-benar memahami risiko kesehatan masa depan merokok. Meskipun sering diasumsikan bahwa perokok sadar akan risiko kesehatan yang berhubungan dengan rokok, namun masih ada yang menyatakan bahwa asumsi ini tidak dapat digunakan untuk remaja yang tidak cukup kemampuan untuk bertanggung jawab membuat keputusan rasional yang negatif yang dapat mempengaruhi kesehatannya di masa depan. Jika memang benar bahwa remaja merokok dengan pemahaman yang tidak sempurna terhadap konsekuensi kesehatan atas kebiasaan mereka tersebut, maka biaya internal rokok perlu diperhitungkan sampai batas tertentu ketika menentukan tingkat yang tepat dari cukai rokok. Pajak rokok yang lebih tinggi pada kondisi demikian bisa dibenarkan dengan asumsi bahwa pajak yang lebih tinggi bertindak sebagai pencegah bagi anak-anak untuk mulai merokok sebelum mereka menyadari konsekuensi negatif terhadap kesehatan mereka. Namun, temuan lain menemukan adanya ketidakpastian terhadap biaya eksternal yang tinggi untuk memperkirakan biaya-biaya yang terkait dengan rokok. Dalam Biaya Jaminan Sosial Merokok, Shoven, Sundberg, dan Bunker (1987)
menemukan
bahwa
kematian
prematur
akibat
merokok
telah"menyelamatkan" sistem Jaminan Sosial ratusan miliar dolar, karena para perokok hidup lebih pendek daripada rata-rata non-perokok, padahal perokok membayar Sistim Jaminan Sosial , namun akhirnya mengumpulkan uang kurang daripada yang diperoleh para non-perokok di kemudian hari. Dengan demikian, sebenarnya perokok mensubsidi manfaat Jaminan Sosial non-perokok, dan menghasilkan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Viscusi menemukan bahwa untuk setiap bungkus rokok yang dihisap di Amerika Serikat ada penghematan
59
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
biaya bersih sebesar 32 sen dengan memperhatikan harapan hidup lebih pendek dan mengurangi pembayaran Jaminan Sosial untuk perokok (Viscusi, 20022003). Namun ada beberapa peneliti yang mengkritik argumen ini, mereka merasa keberatan bahwa kematian dini untuk perokok dapat dianggap sebagai "keuntungan" dalam perhitungan ini (Evans, Ringel, dan Stech 1999, 44-45). Beberapa
negara
Eropa
seperti
Inggris,
Irlandia
dan
Perancis
memberlakukan pajak cukai yang sangat tinggi padarokok, lebih dari € 3,00 per pak
20
batang
(Table.2.1).
Disamping
itu
rokok
jugadikenakan pajak
pertambahan nilai (PPN) dengan tarif standar, lebih dari tiga-perempat dari harga eceranrokok di masing-masing negara. Beberapa negara anggota Uni Eropa lainnya memilikipajak jauh lebih rendah, meskipun semua pungutan cukai pada rokok
diatas
tingkat
standar
PPN.
Rata-rata,
negara-negara
anggota
meningkatkan pendapatan sekitar € 160 perkepala penduduk dari cukai rokok, dimana rokok dikonsumsi hampir semua negara anggota oleh sepertigapopulasi orang dewasa. Meskipun awalnya tembakau dikenakan pajak lebih tinggi daripada barang yang lainkarena pengenaan pajak yang tinggi pada tembakau lebih murah untuk mengumpulkannya dan lebih mudah untuk menegakkannya, dan juga sebagai cara untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan merokok. Pertanyaannya kemudian adalah seberapa jauh pajak yang tinggi pada rokok dibenarkan untuk alasan adanya biaya eksternalmerokok, dan pertimbangan lain apa yang harus ada dalam menetapkan kebijakan tentangtingkat cukai yang tepat dan struktur perpajakan tembakau? Bagi negara-negara anggota Uni Eropa, hal ini merupakan masalah dengan dimensi kebijakan Uni Eropa yang penting. Kebijakan Nasionalyang
60
BAB II LANDASAN TEORI
berkaitan dengan pajak tembakau dibatasi oleh perjanjian Tingkatan dan Struktur CukaiUni Eropa, dengan aturan ini Uni Eropa mencoba mengatur pergerakan barang dipasar internal. Aturan tentang cukai secara singkat dirangkum di bawah ini, dan kebijakan pajak tembakau dan regulasinya ini memainkan peran penting dalam menentukan agenda tindakan kebijakanNegara-negara Anggota Uni Eropa. Ringkasan Aturan tarif cukai pada rokok Uni Eropa
Semua Negara Anggota diwajibkan memberlakukan tarif cukai rokok, yang harus berisi mengenai harga ('advalorem') dan kuantitas komponen terkait.
Selain itu, Negara-negara Anggota harus mengenakan PPN atas rokok dan produk tembakau lainnya dengan tingkat standar mereka(aturan Uni Eropa minimal 15%). PPN juga berlaku untuk tarif cukai yang inklusif.
Untuk tujuan mendefinisikan tarif cukai dan struktur, harga referensi didefinisikan berdasarkan pada kategori harga paling populer (Most Popular Price Category - MPPC) di setiap Negara Anggota. Kondisi ini bervariasi antara Negara Anggota tergantung padakondisi pasar, pola pembelian, dll
Minimum Total cukai rokok di MPPC mulai 1 Juli 2006 harus menjadi € 64,00 per seriburokok (€ 1,28 per bungkus 20).
Selain itu, untuk negara-negara anggota yang memiliki tarif cukai dibawah € 101,00 per seribu rokok, maka untuk rokok di MPPC total cukai harus minimal 57% dari total pajak inklusif dari harga jual eceran.
Keseimbangan antara tarif
ad valorem dan kuantitas komponen tertentu
dalam cukai rokok harus sedemikian rupa sehinggaelemen tertentu tersebut adalah antara 5% dan 55% dari total pajak (termasuk PPN) dikenakan pada MPPC.
61
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Bulan Juli 2008, Komisi mengusulkan akan membuat berbagai perubahan terhadapaturan:
Pajak tidak lagi didefinisikan dalam kaitannya dengan MPPC, tetapi dalam kaitannya dengan Rata-rata Tertimbang Harga(Weighted Average PriceWAP) dari rokok yang dijual di setiap negara anggota.
Peningkatan akan dilakukan secara bertahap mulai dari tingkatan dan nilai minimum selama periode sampai dengan Januari 2014 dengancukai minimum naik dari € 64,00 sampai € 90,00 per seribu pada tahun 2014 dan persentase minimum terhadap harga naik dari 57% menjadi 63% (dari WAP).
Persyaratan keseimbangan antara komponen dan harga ad valorem akan bergeser ke arah cukai spesifik,yang harus berada dalam kisaran 10-75% dari total pajak.
2.17. Biaya Eksternal Merokok Biaya eksternal terkait dengan konsumsi tembakauyang ditanggung oleh orang-orang selain perokok merupakan suatu pembenaran kebijakan publikyang paling kontroversial untuk mengatur dan membatasi konsumsi mereka. Biayabiaya eksternal termasuk efek langsung pada orang lain, seperti gangguan dan kerusakan kesehatan yang disebabkan oleh merokok pasif, dan biaya ditanggung secara kolektif seperti biaya-biaya yang didanai oleh perawatan medis publik untuk kondisi yang berhubungan dengan merokok. Adanya efek ini memberikan arti bahwa keputusan konsumsi individu tidak akan mencerminkan biaya sosial, karena konsumen individu tidak menanggung biaya marjinal perawatan medis atau eksternalitas langsung yang mengikuti dari perilaku merokok mereka. Eksternalitas akan mengoreksi pajak atau dalam bentuk
62
BAB II LANDASAN TEORI
peraturan lainnya yang diperlukan untuk memastikan bahwa biaya tersebut tercermin dalam keputusan konsumsi individu. Biaya yang paling relevan menurut argumen ini adalah bahwa mereka ditanggung oleh orang lain daripada individu perokok atau masyarakat secara kolektif. Merokok melibatkan berbagai konsekuensi dimana fakta yang ada lebih banyak yang merugikan dibandingkan dengan kesenangan langsung akibat konsumsi tersebut terhadap individu konsumen. Namun demikian, dalam kasus konsumsi tembakau, terdapat biaya individu merokok yang timbul sebagai akibat dari sifat adiktif tembakau, dan hal ini tentu saja
menambah
dimensi
masalah
yang
ada.
Konsumsi
rokok
dapat
meningkatkan risiko kecanduan di masa depan. Adanya informasi yang baik dan konsumen
yang
rasional
akan
menurunkan
kesediaan
untuk
merokok
dibandingkan jika tidak ada risiko kecanduan di masa depan (Becker dan Murphy, 1988; Chaloupka, 1991). Namun, hal itu dianggap tidak realistis untuk berasumsi bahwa semua individu sepenuhnya diberitahu tentang risiko adiktif yang ada ketika mengkonsumsi rokok(Orphanides dan Zervos, 1995). Konsekuensi dari merokok yang dirasakan oleh individu selain perokok, yang mungkin telah diperhitungkan oleh perokok ketika memilih berapa banyak rokok, terdiri dari tiga kategori:
eksternalitas langsung yang dialami oleh orang lain, termasuk gangguan yang disebabkan olehmerokok pasif dan efek kesehatan yang merugikan yang dialami oleh mereka yang terkena lingkunganasap tembakau. Orangorang ini mungkin termasuk rekan kerja dan individu tidak terkait lainnya (Misalnya, pelanggan lain dari sebuah bar atau restoran), tetapi proporsi yang tinggi adalah temandan anggota keluarga.
63
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Biaya ditanggung secara kolektif, seperti biaya yang didanai publik untuk perawatan medis akibat merokok dan belanja publik lainnya.
Pendapatan eksternalitas yang timbul melalui sistem pajak. Merokok dapat memiliki konsekuensi pendapatan dan pengeluaran konsumen individu, khususnya melalui penetapan tarif yang lebih tinggi. Lightwood et al. (2000) menemukan dalam studinya bahwa biaya
kesehatan dan biaya lainnya akibat merokok dapat digunakan untuk beberapa tujuan,termasuk perencanaan pengeluaran publik dan alokasi anggaran, dan penilaiankompensasi dalam kasus litigasi, serta penilaian tentang manfaat dari kebijakanperpajakan. Sebagian besar dariliteratur menemukan bahwa biaya sosial merokok tidak secara langsung relevan dengan kasus eksternalitas untukperpajakan dan regulasi, karena terdapat penggambaran yang kurang jelas antara biaya yang dialami dan yang diinternalisasi konsumen individu dan biaya eksternal yang dialami oleh pihak yang lain. 2.18. Kebijakan Harga jual Eceran dan Tarif Cukai Hasil Tembakau Kebijakan Harga Jual Eceran (HJE) ditentukan berdasarkan fungsi pemungutan cukai yang antara lain mempertimbangkan: 1. Pendapatan bagi negara, dimana cukai merupakan salah satu sumber penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2. Pembatasan pola konsumsi rokok, dimana dasar pengenaan cukai terhadap barang-barang tertentu dikarenakan sifatnya yang dapat “merugikan” konsumen. Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan dua cara, yaitu:
64
BAB II LANDASAN TEORI
1. Advarolem (tarif prosentase), dimana cukai dikenakan dengan cara menetapkan besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai. 2. Spesifik (tarif nominal), dimana cukai dikenakan dengan menetapkan besaran rupiah terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti Rp/batang dan Rp/liter. Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase atau tarif nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah sebagai berikut : 1. Pada sistem advarolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan harga jual eceran (HJE) dan besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan tersebut, maka dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai adalah perkalian antara prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya volume penjualan. 2. Pada sistem tarif nominal atau spesifik, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai hanya ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya volume penjualan. Dengan variabel volume penjualan tersebut, maka penerimaan cukai dapat diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk setiap batang rokok dengan besarnya volume penjualan rokok. Pemerintah menerapkan tarif cukai secara majemuk, artinya besarnya tarif cukai dibedakan berdasarkan 3 hal, yaitu: 1. Proses produksi. Dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya, yaitu: sigaret kretek tangan (SKT) yang merupakan produksi rokok padat karya, serta
65
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) yang keduanya merupakan produksi rokok padat modal. 2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume). Kemampuan produksi maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi. Besar kecilnya industri rokok ditentukan dari jumlah rokok yang diproduksi oleh masing-masing industri rokok. 3. Harga jual eceran (strata harga). Penetapan harga jual eceran ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri rokok. Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas maksimal dan minimal dari suatu jenis rokok yang dihasilkan oleh suatu industri rokok yang dapat dijual ke masyarakat. Penetapan tarif cukai hasil tembakau tertera pada Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No. 52/BC/2012 dimana untuk penatapan tarif cukai hasil tembakau merupakan keputusan kepalaKantor atas suatu Merek dalamrangka menjalankan peraturan menteri keuangan yang mengaturtentang tarif cukai hasil tembakau yang sifatnya administratif fiskaldan bukan merupakan perlindungan kepemilikan atas suatu Merek Kepala Kantor menetapkan tarif cukai hasil tembakau untukMerek baru dan menetapkan penyesuaian tarif cukai hasiltembakau.Penetapan tarif cukai hasil tembakau untuk Merek barudigunakanuntuk pemeriksaan laboratorium dan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dilakukan berdasarkan permohonandari Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir. Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir harusmengajukan permohonan penetapan penyesuaian tarif cukaihasil tembakau dalam hal Harga Transaksi Pasar:
66
BAB II LANDASAN TEORI
a. telah melampaui Batasan harga jual eceran per batang ataugram diatasnya; atau b. berada pada posisi Batasan harga jual eceran per batang ataugram tertinggi pada masing-masing golongan PengusahaPabrik hasil tembakau telah melampaui 5% (lima persen)dari harga jual eceran yang berlaku atau harga yangtercantum dalam pita cukai. Tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan menggunakanjumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gramhasil tembakau.Penetapan tarif cukai hasil tembakau didasarkan: a. golongan pengusaha berdasarkan atas jumlah dan jenis hasil tembakau, sesuai Batasan Jumlah Produksi Pabrik; dan b. Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Batasan Harga Jual Eceran per Gram hanya berlaku bagi jenis TIS dan HPTL. Harga Jual Eceran per Batang atau Gram untuk setiap jenis hasiltembakau untuk tujuan ekspor ditetapkan sama dengan harga jualeceran per batang atau gram untuk setiap jenis hasil tembakau darijenis dan Merek yang sama yang ditujukan untuk pemasaran didalam negeri. Khusus mengenai cukai, pada awal November 2011pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK)No.167/2011 melakukan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 16% yang diberlakukan efektif per 1Januari 2012. Dalam hal ini, persentase kenaikan cukai di atas30% terjadi untuk hasil tembakau produksi dalam negerijenis SPM Golongan I dengan harga jual eceran (HJE)paling rendah Rp375 per batang, yaitu sebesar 49%,kemudian jenis SKM Golongan II dengan HJE palingrendah Rp374 sampai dengan Rp430 per batang,
67
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
yaitusebesar 38,2%, dan jenis SKT Filter atau SPT FilterGolongan II dengan HJE lebih dari Rp374 sampaidengan Rp430 per batang, yaitu sebesar 38,2%. Jikadilihat berdasarkan golongannya, komposisi persentasekenaikan tarif cukai rokok
untuk
produsen
SKMberskala
besar
(Golongan
I)
lebih
kecil
dibandingkanprodusen rokok SKM berskala kecil. Hal ini diperkirakanmerupakan salah satu cara pemerintah menahan upayaprodusen rokok skala besar menghindarkan
bebancukai
yang
lebih
tinggi
dengan
memecah
perusahaanmenjadi beberapa perusahaan berskala kecil. Kenaikantarif cukai rokok secara langsung akan meningkatkanbeban pokok penjualan dimana beban cukai dan pajakpertambahan nilai (PPN) saat ini menyumbang sekitar55%-70% dari total beban pokok penjualan beberapaemiten rokok. 2.19. Penyelundupan Rokok Akibat Kebijakan Tarif Cukai Yang Asimetri Dengan harga jual rokok di Indonesia yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, sangat mungkin Indonesia menjadi negara tempat terjadinya penyelundupan rokok. Negara-negara yang berpotensi terjadi penyelundupan komoditas rokok adalah Lao PDR, Cambodia, Vietnam dan Philipine. Namun tentunya potensi terjadinya penyelundupan tersebut adalah dengan
negara-negara
yang
berdekatan
yang
memungkinkan
masih
terjangkaunya biaya transportasi yang muncul. Apabila dilihat dari peta negara Indonesia, Indonesia berbatasan dekat dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura dan Philipina. Namun apabila dilihat dari harga rokok di negara-negara tersebut kemungkinan penyelundupan rokok dari Indonesia adalah ke negara-negara seperti Malaysia, Singapura. Beberapa kasus penyelundupan dapat dilihat pada tabel.2.2. di bawah ini:
68
BAB II LANDASAN TEORI
Tabel.2.1 Beberapa Contoh Kasus Penyelundupan Terkini No.
Wilayah
1
Riau
2
Batam
Kejadian Minggu, 24 Juni 2012 Rabu, 19 Desember 2012
Merk
Banyaknya
Nilai
John
500 bungkus/10 juta batang 1100 karton rokok
Rp. 2,5 miliar
Sumber www.mediaind onesia.com www.batamtoday.com
Target paling menarik adalah negara Singapura, Malaysia dan Brunei karena negara-negara tersebut memiliki harga jual rokok yang berbeda sangat signifikan
dengan
Indonesia.
Walaupun
tidak
menutup
kemungkinan
perdagangan rokok ilegal juga terjadi di dalam negeri melalui pemalsuan pita cukai. Pengawasan yang lemah juga menjadi alasan semakin ramainya perdagangan rokok ilegal. Tabel.2.2.
Persentase Penyelundupan Rokok Tahun 2007
Sumber: Laporan Lembaga Demografi Indonesia (Ekonomi Indonesia) 2007
Tembakau di
Apabila dilihat dari tabel.2.2. di atas memperlihatkan bahwa tahun 2007 persentase penyelundupan di negara Malaysia mencapai 24% sedangkan di Indonesia hanya sebesar 6%. Hal ini disebabkan adanya perbedaan harga eceran rokok antara Malaysia dengan Indonesia. Namun secara keseluruhan terlihat bahwa semakin tinggi harga semakin semakin tinggi kecenderungan terjadinya penyelundupan rokok.
69
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
2.19.1. Gambaran
Kebijakan
Tarif
Cukai
MalaysiaDalam
Merespon
Terjadinya Perdagangan Rokok Ilegal Pada tahun 2002, cukai rokok atas 1000 rokok di Malaysia mencapai MYR43.2. Selanjutnya, pemerintah Malaysia mulai menaikkan pajak cukai secara tajam. Pada tahun 2010, cukai telah meningkat lebih dari 430%yaitu mencapai MYR230 per 1.000 rokok. Sebagai akibat dari peningkatan cukai tersebut, tarif cukai rokok meningkat dari 19% pada tahun 2001 menjadi 45% pada tahun 2010, dan harga rata-rata rokok resmimencapai lebih daridua kali lipat dari MYR4.14 per bungkus di tahun 2001 menjadi MYR8.90 per bungkus pada tahun 2010. Kenaikan harga rokok legal tersebut telah menyebabkan konsumen beralih ke sumber-sumber pasokan rokok ilegal (lihat Grafik.1). Pada tahun 2002, perokok Malaysia mengkonsumsi sebesar 19,5 miliar batang rokok legal. Pada tahun 2010, kemudian turun sebesar 31% menjadi 13,5 miliar. Penurunan penjualan legal terutama didorong oleh lonjakan konsumsirokok ilegal, yang mencapai 8,8 miliar pada tahun 2010. Akibatnya terjadinya peningkatan pangsa pasar rokok ilegal dari sebesar 21%pada tahun 2002 menjadi sebesar 39% pada tahun 2010.
70
BAB II LANDASAN TEORI
Grafik. 2.1. Komposisi Pasar Rokok Malaysia (% dari pasar)
Sumber: Nielsen, 2011
Diakui bahwa masalah perdagangan rokok ilegal dan tarif cukai rokok yang berlebihan telah menyebabkan Pemerintah Malaysia memutuskan untuk menghentikan tren kenaikan cukai secara tajam dengan caramembekukan sementara tarif cukai pada anggaran tahun 2012. Perdana Menteri Malaysia telah membuat pernyataan bahwa pada tanggal 9 Oktober 2011, sehari setelah diumumkannya anggaran pemerintah, bahwa pemerintah tidak dapat menaikkan harga rokok secara tajamkarena penggunaan rokok ilegal telahmencapai 40%. Tingkat
kenaikan
ini
dianggap
terlalu
tinggi.
Jika
kemudian
terjadi
peningkatanharga rokok secara tajam, maka tentu persentasemereka yang merokok secara ilegal akan terus meningkat.
71
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
2.19.2. Gambaran Kebijakan Tarif Cukai Singapura Dalam Merespon Terjadinya Perdagangan Rokok Ilegal Pengalaman negara Singapura berkaitan dengan pajak cukai rokokselama sepuluh tahun terakhir ini dapat dibagi menjadidua periode yang berbeda, yaitu:
Periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 yang merupakan periode kenaikan tarif cukai secaratajam;
Periode setelah tahun 2005 belum ada kenaikan cukai. Antara tahun 2000 sampai 2005, pemerintah Singapura meningkatkan tarif
cukai rokok dari SGD150 per1.000 rokok menjadi SGD352 (tertinggi di Asia) peningkatan rata-rata sebesar 19% per tahun, kemudian pada tahun 2005 tarif pajak cukai hampir mendekati 65%.Dengan kenaikan ini, harga rata-rata rokok yang membayar cukai meningkat secara dramatis selama periode ini yaitu sebesar 62%. Akibat perubahan harga tersebut, volume rokok yang membayar cukai turun dari 3,2 miliar batang pada tahun 2000 menjadi 2,0 miliarbatang pada tahun 2005 (atau 37%). Penerimaan cukai awalnya naik sebesar 48%, tetapi kemudian menurun sebesar 20% antara tahun 2003sampai tahun 2006. Secara signifikanpertumbuhan perdagangan ilegalpun meningkat secara signifikan pula, meskipun tidak ada statistik resmi yangtersedia, namun hal ini dapat dibuktikan dengan responyang dilakukan oleh pemerintah selanjutnya terkait dengan kondisi tersebut. Untuk mengurangi pertumbuhan di pasar rokok ilegal, pemerintah Singapura memilih untuk menahan secara konstan nominal cukai. Pada tahun 2006, Pidato Anggaran Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Lee Hsien Loong mengatakan bahwa “Pemerintah serius mempertimbangkan untuk
72
BAB II LANDASAN TEORI
meningkatkan
cukai
memutuskannya
tembakau,
tetapi
pemerintah
juga
bimbang
untuk
karena penerimaan negara sudah terlihat menurun, bukan
karena orang yang merokok kurang tetapi karena penyelundupan telah meningkat (Loong 2006, paragraf 2,75). Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkan hukuman yang lebih berat bagi mereka yang tertangkap memiliki kepemilikan rokok ilegal. Pada tahun 2008, Singapore Customs mulai menghukum dengan besaran minimal SGD500 per paket rokok ilegal yang ditemukan dalam kepemilikan konsumen. Singapore Customs juga mengakui bahwa upaya pendidikan masyarakat harus dilakukan berbarengan dengan penegakan hukum yang telah dilakukan, agar penegakkan hukum dapat tetap berjalan secara berkelanjutan. Hal ini telah menunjukkan hasilnya dengan adanya kesadaran masyarakatuntuk melawan perdagangan rokok ilegaldalam bentuk berbagai kampanye pada berbagai
pertunjukkan-
pertunjukkandi negara ini (Singapore Customs, 2008). Singapore Customs (2011) melaporkan bahwa rokok ilegal telah mencapai puncak pada jumlah 5,3 juta paket dalam tahun 2006, kemudian jumlah inimengalami tren menurun sampai menjadi sebesar 2,3 juta batang pada tahun 2010. Meskipun data yang ada masih menunjukkan sedikit yang diketahui tentang tingkat keberhasilan upaya penegakan hukum, namun fakta yang ada juga menunjukkan bahwa tren penurunan konsisten dengan penurunan ukuran dari volume pasar ilegal rokok. Volume yang berhasil
dibayar pada tahun 2006 mencapai 1,8 miliar
batang. Namun pembekuan pajak yang dilakukan pada tahun 2005,ditambah lagi dengan investasi dalam penegakan hukum yang kuat, telah menyebabkan terjadinya pemulihan volume pajak yang dibayar dan penurunanpenyelundupan.
73
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Pangsa pasar perdagangan rokok ilegal turun menjadi 15,9% pada tahun 2010 dari 22% pada tahun 2006. Walaupun hal tersebut masihjauh lebih tinggi dari pada tahun-tahun sebelum kenaikan pajak. 2.20.
KonsepTerjadinya Penyelundupan Rokok Penyelundup
itu
beroperasi
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan
keuntungan. Adanya perbedaan harga memungkinkan penyelundup untuk mendapatkan keuntungan denganmembeli produk tembakau di pasar dengan harga yang rendah dan menjualnya kembalidi pasar ketika harga sedang tinggi. Pergerakan
penyelundup
produk
tembakau
antar
pasar
dalam
rangka
penghindaran hukum dilakukan melalui kalkulasi penghitungan pajak dan tarif. Kemudahan untuk melakukan penghindaran pajak akan sangat mempengaruhi kecenderungan
individu
untuk
terlibat
dalam
penyelundupan
tembakau.
Pengawasan yang lemah atas terjadinya penggelapan di perbatasan juga merupakan alasan utama terjadinya perdagangan ilegal antar negara, selain karena perbedaan harga yang ada. Bootlegging merupakan transaksi pembelian tembakau resmi di satu negara, tetapi kemudian melakukan konsumsi atau penjualan kembali di negara lain tanpa membayar pajak atau bea yang berlaku. Joossens et al (2000) memberikan gambaran bahwa secara umum, bootlegging menggunakan pengangkutan rokok yang jaraknya relatif pendek (misalnya, antar negaranegara tetangga atauyurisdiksi lain di dekatnya). Perbedaan harga yang signifikan antar yurisdiksi menciptakan insentif untuk terjadinya bootlegging. Sedangkan Wholesale smuggling merupakan tindakan untuk menghindari pajak dengan cara menjual barang tanpa ada bukti pembayaran seperti pelekatan pita cukai palsu.Tarif cukaiyang tinggi akan memberikan insentif untuk
74
BAB II LANDASAN TEORI
melakukan penyelundupan atau produksirokok dengan pelekatan pita cukai palsu sehingga tidak ada kewajiban untuk membayarcukai yang terutang. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penyelundupan, bootlegging, dan wholesale smuggling. Diantaranya merupakan faktor yang absolutdari
penyebab
terjadinya
penyelundupan.
Namun
ada
beberapa
diantaranya merupakan faktor yang membutuhkan suatu kondisi tertentu, seperti: (Aldary, 2009) -
Law enforcement (penegakan hukum) yang lemah
-
Kebijakan yang kurang tepat sasaran.
-
Tingginya harga jual rokok
-
Adanya keuntungan dari pihak produsen rokok jika dia melakukan tindakan penyelundupan.
-
Perilaku konsumen rokok yang semakin terbiasa dengan kadar nikotin yang tinggi sehingga meningkatkan pula sifat ketergantungan terhadap rokok.
-
Tingginya tarif cukai yang dibebankan, dan
-
Sistem administrasi cukai yang belum terintegrasi.
2.21.
Pungutan Cukai Berdasarkan UU No.39 Tahun 2007 Pengertian cukai berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
tentang Cukai adalah sebagai berikut “Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”Maksud dari barangbarang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik adalah barang yang:
konsumsinya perlu dikendalikan;
peredarannya perlu diawasi;
75
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini. Barang barang yang mempunyai sifat dan karakteristik tersebut diatas
dinamakanBarang Kena Cukai.Sedangkan sampai dengan saat ini, barang kena cukai (objek cukai) yang dipungut cukainya terdiri atas:
etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
2.22.
Pungutan Pajak Rokok Berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1985 tentang Cukai dan UU No. 39
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai),rokok dikenakan tarif rokok yang cukup tinggi, baik bagi produk hasil tembakau buatan Indonesia maupun tembakau yang diimpor. Dalam hal ini, jenis sigaret dipandang tergolong barang terkena cukai berdasarkan Pasal 2 UU Cukai.Oleh karena itu para perokok diakui haknya, karena mereka termasuk pembayar pajak yang berhak atas kebersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
76
BAB II LANDASAN TEORI
Para perokok berhak atas pengakuan, jaminan, kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pada saat ini telah dikeluarkan pula UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, dan juga menjadi dasar pengenaan pajak rokok bagi konsumen sigaret, setelah sebelumnya, berdasarkan UU Cukai, dikenakan cukai rokok. Menurut konstitusi, cukai termasuk pajak dan termasuk kategori "pungutan lain yang bersifat memaksa," (menurut Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang). Berdasarkan UU No 28 tahun 2009 pasal 2 ayat 1 huruf e dinyatakan bahwa pajak rokok juga termasuk dalam pajak propinsi. Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yangberwenang memungut cukai bersamaan denganpemungutan cukai rokok.Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkanoleh Pemerintah terhadap rokok.Pasal 29 UU No.28 tahun 2009 menyatakan bahwa Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) daricukai rokok.Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun
bagiankabupaten/kota,
dialokasikan
paling
sedikit
50%
(lima
puluhpersen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat danpenegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
77
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
2.23.
Hipotesis
Hipotesis dalam kajian ini adalah sebagai berikut: H1
:
-
Output rokok kretek (x1) dan rokok putih (x2)berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan cukai negara secara bersama
-
Output rokok putih (X2) secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap penerimaan cukai negara.
-
Output rokok kretek (X1) secara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap penerimaan cukai negara.
H2
:
-
CR4 Rokok kretek (x3) dan nilai tambah rokok kretek (x4)secara bersama berpengaruh berpengaruh signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
-
CR4 Rokok kretek (x3)secara individu berpengaruh negative signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
-
CR4 Rokok kretek (x3)secara individu berpengaruh positif signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
H3
:
-
CR4 Rokok putih (x5) dan nilai tambah rokok putih (x6)secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 10%
-
Nilai tambah rokok putih (x6)secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 5%
78
BAB II LANDASAN TEORI
-
CR4 rokok putih (x5)secara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 5%
H4
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan Malaysia (X8) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X8) secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
H5
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan Malaysia
(X8)
secara
bersama-samaberpengaruh
secara
signifikan
terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 5% -
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7)ecara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X8) secara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4)
79
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
H6
:
-
Variabel selisih tarif cukai rokok putih Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan Malaysia (X10)secara bersama-sama signifikan mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) secara individu signifikan mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan Malaysia (X10)secara individu signifikan mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
H7
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan Malaysia (X10)secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) secara individu signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Malaysia (X10)masing-masing secara individu signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)
80
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
3.1.
Jenis Penelitian Kajian
ini
merupakan
kajian
deskriptif
yang
ditujukan
untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Kajian deskriptif juga merupakan kajian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnyakondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. Fenomena disajikan secara apa adanya, serta hasil penelitiannya diuraikan secara jelas dan gamblang tanpa manipulasi. Analisis deskriptif dapat juga menggunakan analisis distribusi frekuensi yang menyimpulkan berdasarkan hasil rata-rata. 3.2.
Definisi Operasional Variabel Adapun model tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut :
Yt =
t + 7t X7t + 8t X8t + 9t X9t + 10t X10t
Yt =
t + 1t X1t + 2t X2t
X1t =
t + 3t X3t + 4t X4t
X2t =
t + 5t X5t + 6t X6t
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
X3t =
t + 7t X7t + 8t X8t
X4t =
t + 7t X7t + 8t X8t
X5t =
t + 9t X9t + 10t X10t
X6t =
t + 9t X7t + 8t X10t
Keterangan : t
: tahun ke-t
Y
: Penerimaan Cukai Pemerintah (Rp)
X1
: Output Rokok Kretek (batang)
X2
: Output Rokok Putih(batang)
X3
: CR4 produk rokok kretek (%), merupakan rasio konsentrasi empat perusahaan
terbesar
(CR4)
–
Rokok
Kretek
(%).
CR4
ini
merupakanindikator yang menunjukkan persentase penjualan rokok kretek empat perusahaan terbesarterhadap penjualan total dalam industri. X4
: Nilai tambah produk rokok kretek (Rp)
X5
: CR4 produk rokok putih (%), merupakan rasio konsentrasi empat perusahaan
terbesar
(CR4)
–
Rokok
Kretek
(%).
CR4
ini
merupakanindikator yang menunjukkan persentase penjualan rokok putih empat perusahaan terbesarterhadap penjualan total dalam industri. X6
:
Nilai tambah produk rokok putih (Rp)
X7
: selisih tarif import rokok kretek Singapura dengan tarif cukai Indonesia (Rp/batang)
82
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
X8
:
selisih tarif import rokok kretek Malaysia dengan tarif cukai Indonesia (Rp/batang)
X9
: selisih tarif import rokok putih Singapura dengan tarif cukai Indonesia (Rp/batang)
X10
: selisih tarif import rokok putih Malaysia dengan tarif cukai Indonesia (Rp/batang)
U
: galat
3.3.
Instrumen Penelitian
Beberapa jenis instrumen yang digunakan dalam kajian ini
adalah sebagai
berikut :
Kuesioner Pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden mengenai hal-hal yang diketahuinya terkait dengan kebijakan Dirjen Bea dan Cukai.
Wawancara (Interview) Untuk mencari data tentang variabel-variabel maupun kebijakan Dirjen Bea dan Cukai
Observasi Melakukan pengamatan secara langsung ataupun memanfaatkan kuesioner yang berisi daftar kegiatan yang akan diamati.
Dokumentasi Menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, dan sebagainya.
83
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
3.4.
Metode Analisis Data Dalam kajian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan analisis
kebijakan publik atas kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Dirjen Bea dan Cukai dan Metode Analisis Path untuk menganalisisstruktur, perilaku, dan kinerja industri rokok. Analisis kebijakan publik merupakan kajian ilmu terapan yang mempunyai tujuan memberikan rekomendasi kepada public policy maker dalam rangka memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah kebijakan publik serta argumen-argumen tentang
berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan
pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Sedangkan
metode
analisis
jalur
(path
analysis)
digunakan
untukmengetahui hubungan sebab akibat, dengan tujuan menerangkan akibat langsung danakibat tidak langsung seperangkat variabel, sebagai variabel penyebab terhadapvariabel lainnya yang merupakan variabel akibat. William N. Dunn (2003) mengemukakan bahwa analisis kebijakan publik adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Dalam menganalisis kebijakan dibutuhkan metodologi, yaitu sistem standar, aturan dan prosedur untuk menciptakan penilaian secara kritis dan mengkomunikasikan informasi dan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan harus menyediakan informasi yang dapat menjawab 5 (lima) pertanyaan penting, yaitu apa hakekat permasalahan, kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan
84
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
apa hasilnya, seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaantersebut membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masadepan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Willian N. Dunn (2003) mendefinisikan masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan sebagai berikut. 1.
Masalah kebijakan ialah nilai atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan dapatdiidentifikasi untuk diperbaiki atau dicapai melalui tindak publik.
2.
Masa depan kebijakan ialah konsekuensi dari serangkaian tindakan untuk pencapaian nilai-nilai dan merupakan penyelesaian terhadap suatu masalah kebijakan.
3.
Aksi kebijakan ialah gerakan atau serangkaian gerakan yang dituntun oleh alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil masa depan yang bernilai.
4.
Hasil kebijakan ialah konsekuensi yang teramati dari aksi kebijakan.
5.
Kinerja kebijakan ialah derajat di mana hasil kebijakan yang ada, memberi kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
lazim dipakai, yaitu perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Berikut gambar prosedur analisis kebijakan. Analisis kebijakan sangat penting karena bisa membantu pembuat keputusan dengan memberikan informasi yang diperoleh melalui penelitian dan analisis,
memisahkan
dan
mengklarifikasi
persoalan,
mengungkap
ketidakcocokan tujuan dan upayanya, memberikan alternatif-alternatif baru dan
85
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
mengusulkan cara-cara menterjemahkan ide-ide kedalam kebijakan-kebijakan yang mudah diwujudkan dan direalisasikan. Kontribusi utamanya barangkali untuk memberikan masukan-masukan terutama dengan memperhitungkan keutamaan dan kepekaan parameternya. Analisis ini tidak lebih dari tambahan, meskipun merupakan hal yang penting dalam rangka penilaian, intuisi dan pengalaman pembuat keputusan (Quade, 1982-11). Badjuri dan Yuwono (2002-66) mengemukakan lima argumen tentang arti penting analisis kebijakan publik, yakni: 1.
Dengan analisis kebijakan maka pertimbangan yang scientifik, rasional dan obyektif diharapkan dijadikan dasar bagi semua pembuatan kebijakan publik. Ini artinya bahwa kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan ilmiah yang rasional dan obyektif.
2.
Analisis kebijakan publik yang baik dan komprehensif memungkinkan sebuah kebijakan didesain secara sempurna dalam rangka merealisasikan tujuan berbangsa dan bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan umum (public welfare)
3.
Analisis kebijakan menjadi sangat penting oleh karena persoalan bersifat multidimensional, saling terkait (interdependent) dan berkorelasi satu dengan lainnya.
4.
Analisis kebijakan memungkinkan tersedianya panduan yang komprehensif bagi pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Hal ini disebabkan analisis kebijakan juga mencakup dua hal pokok yaitu hal-hal yang bersifat substansial saat ini dan hal-hal strategik yang mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang.
86
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
5.
Analisis
kebijakan
memberikan
peluang
yang
lebih
besar
untuk
meningkatkan partisipasi publik. Hal ini dikarenakan dalam metode analisis kebijakan perlu melibatkan aspirasi masyarakat.
3.5.
Jenis dan Sumber Data Jenis
data
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
data
sekunder.Sumber data utama berasal dari Statistik Industri Besar dan Sedang dalam bentukbuku, Ditjen Bea Cukai, jurnal-jurnal ilmiah, serta literatur-literatur terkait. Datayang digunakan adalah data time series dari tahun 1996 - 2008. Data-data yangdiambil dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Data penerimaan cukai pemerintah (2) Output rokok kretek nasional (3) Output rokok putih (4) CR4 Perusahaan Rokok Kretek dan Putih 4 yang terbesar dalam pasar (5) Nilai tambah rokok kretek dan putih (6) Data selisih tarif rokok kretek antara Indonesia dan Singapura (7) Data selisih tarif rokok putih antara Indonesia dan Singapura (8) Data selisih tarif rokok kretek antara Indonesia dan Malaysia (9) Data selisih tarif rokok putih antara Indonesia dan Malaysia
87
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil Pengolahan Data Pengolahan ini menggunakan analisis path, dimana akan dilakukan
regresi secara bertahap, yaitu: a) Regresi X7 dan X8 terhadap X3 b) Regresi X7 dan X8 terhadap X4 c) Regresi X9 dan X10 terhadap X5 d) Regresi X9 dan X10 terhadap X6 e) Regresi X3 dan X4 terhadap X1 f)
Regresi X5 dan X6 terhadap X2
g) Regresi X1 dan X2 terhadap y
Regresi bertahap (recursive) dibuat untuk memudahkan pengambilan keputusan kebijakan yang ingin dikeluarkan. Regresi ini menggunaan persamaan linier berganda.
Sementara Diagram Path digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman variabel dapat menjelaskan variabel terikat (variabel penerimaan cukai).
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
a) Hasil Regresi Regresi X7 dan X8 terhadap X3 Variables Entered/Removed Variables
Variables
Entered
Removed
Model 1
b
Method
selisih_dgn_mal aysia,
. Enter
selisih_dgn_sing apura
a
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: CR4_rokok_kretek
Model Summary Change Statistics
Model
R
1
.704
Adjusted R
Std. Error of the
R Square
Square
Estimate
Change
R Square a
.496
.395
6.899
Sig. F F Change
.496
df1
4.911
df2 2
Change
10
.033
a. Predictors: (Constant), selisih_dgn_malaysia, selisih_dgn_singapura
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Regression
467.436
2
233.718
Residual
475.916
10
47.592
Total
943.352
12
Sig.
4.911
.033
a
a. Predictors: (Constant), selisih_dgn_malaysia, selisih_dgn_singapura b. Dependent Variable: CR4_rokok_kretek Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error 86.581
6.192
selisih_dgn_singapura
-.009
.003
selisih_dgn_malaysia
-.016
.015
Coefficients Beta
t
Sig.
13.984
.000
-.739
-3.132
.011
-.253
-1.070
.310
a. Dependent Variable: CR4_rokok_kretek
89
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
b) Hasil Regresi X7 dan X8 terhadap X4 Variables Entered/Removed
Model 1
Variables
Variables
Entered
Removed
b
Method
selisih_dgn_mal aysia,
. Enter
selisih_dgn_sing apura
a
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable:nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Regression
3.138E26
2
1.569E26
Residual
1.903E26
10
1.903E25
Total
5.041E26
12
Sig.
8.244
.008
a
a. Predictors: (Constant), selisih_dgn_malaysia, selisih_dgn_singapura b. Dependent Variable: nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
1.562E12
3.915E12
selisih_dgn_singapura
7.292E9
1.844E9
selisih_dgn_malaysia
1.928E10
9.212E9
a. Dependent Variable: nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak
90
Coefficients Beta
t
Sig. .399
.698
.808
3.955
.003
.427
2.093
.063
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
c) Hasil Regresi Regresi X9 dan X10 terhadap X5 Variables Entered/Removed
b
Variables Model 1
Variables Entered
Removed
Method
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia, selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
. Enter
a
a. All requested variables entered. c.
Dependent Variable: cr4_rokok_putih
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
Df
Mean Square
21.387
2
10.693
Residual
232.359
10
23.236
Total
253.746
12
F
Sig. .460
.644
a
a. Predictors: (Constant), selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia, selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura b. Dependent Variable: cr4_rokok_putih Coefficients
Model 1
a
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant)
Std. Error
93.064
4.229
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
.000
.002
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia
.009
.010
Beta
t
Sig.
22.008
.000
.036
.114
.912
.298
.946
.367
a. Dependent Variable: cr4_rokok_putih
91
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
d) Hasil Regresi X9 dan X10 terhadap X6 Variables Entered/Removed
b
Variables Model 1
Variables Entered
Removed
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia, selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
Method . Enter
a
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Nilai_tambah_rokok_putih
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
5.359E24
2
2.679E24
Residual
2.479E24
10
2.479E23
Total
7.838E24
12
F
Sig.
10.808
.003
a
a. Predictors: (Constant), selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia, selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura d.
Dependent Variable: Nilai_tambah_rokok_putih
Coefficients
Model 1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant)
Std. Error
-5.289E10
4.368E11
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_singapura
9.122E8
2.080E8
selisih_tarif_rokok_putih_dgn_malaysia
2.825E9
1.038E9
a. Dependent Variable: Nilai_tambah_rokok_putih
92
a
Beta
t
Sig.
-.121
.906
.814
4.386
.001
.505
2.723
.021
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
e) Hasil Regresi X3 dan X4 terhadap X1 Variables Entered/Removed
b
Variables Model 1
Variables Entered
Removed
nilai_tambah_kretek_stl_dikuran g_pajak, CR4_rokok_kretek
Method . Enter
a
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: output_rokok_kretek
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Regression
1.162E21
2
5.810E20
Residual
1.124E21
10
1.124E20
Total
2.286E21
12
Sig.
5.171
.029
a
a. Predictors: (Constant), nilai_tambah_kretek_stl_dikurang_pajak, CR4_rokok_kretek b. Dependent Variable: output_rokok_kretek
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
2.974E11
3.595E10
CR4_rokok_kretek
-1.256E9
4.199E8
.000
.001
nilai_tambah_kretek_stl_diku rang_pajak
Coefficients Beta
t
Sig.
8.272
.000
-.807
-2.992
.014
-.198
-.735
.480
a. Dependent Variable: output_rokok_kretek
93
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
f) Hasil Regresi X5 dan X6 terhadap X2 Variables Entered/Removed
Model 1
Variables
Variables
Entered
Removed
b
Method
Nilai_tambah_ro kok_putih, cr4_rokok_putih
. Enter a
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: output_rokok_putih
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2.178E20
2
1.089E20
Residual
2.799E20
10
2.799E19
Total
4.978E20
12
F
Sig.
3.890
.056
a
a. Predictors: (Constant), Nilai_tambah_rokok_putih, cr4_rokok_putih b. Dependent Variable: output_rokok_putih
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) cr4_rokok_putih Nilai_tambah_rokok_putih
a. Dependent Variable: output_rokok_putih
94
Std. Error
-4.423E9
3.353E10
3.886E8
3.632E8
-.006
.002
Coefficients Beta
t
Sig. -.132
.898
.277
1.070
.310
-.723
-2.789
.019
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
g) Hasil Regresi X1 dan X2 terhadap y
Variables Entered/Removed
b
Variables Model 1
Variables Entered
Removed
Method
output_rokok_putih, output_rokok_kretek
. Enter
a
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: penerimaan_cukai
Model Summary
Model
R
1
.949
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.901
.881
5.156E12
a. Predictors: (Constant), output_rokok_putih, output_rokok_kretek
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2.411E27
2
1.205E27
Residual
2.659E26
10
2.659E25
Total
2.677E27
12
F
Sig.
45.343
.000
a
a. Predictors: (Constant), output_rokok_putih, output_rokok_kretek b. Dependent Variable: penerimaan_cukai Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) output_rokok_kretek output_rokok_putih
Std. Error
-2.647E12
2.736E13
330.412
120.509
-1791.712
258.235
Coefficients Beta
T
Sig. -.097
.925
.305
2.742
.021
-.773
-6.938
.000
a. Dependent Variable: penerimaan_cukai
95
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Model yang dihasilkan dari hasil pengolahan data adalah sebagai berikut:
Y =
- 2,647. 1012 +
X1 =
2,974. 1011 - 1,256. 109X3+ 0 X4
X2 =
- 4,42. 109
X3 =
86.581
X4 =
1,562.1012 +7,292.109 X7+
X5 =
93.064
X6 =
- 5,289.1010+ 9,122.108 X9+ 2,82.109X10
Y =
- 9,977.1011 + 9,75. 1010 X8+2,06. 1010 X9-9,822. 1010 X10
330,412 X1 -1791,712 X2
+3,886. 108 X5-
0,006 X6
-0,009 X7-0,016 X8
+ 0,000
1,92 1010 X8 X9+ 0,000
X10
Y = Penerimaan Cukai X1= Output Rokok Kretek X2= Output Rokok Putih X3= CR4 Rokok Kretek X4=Nilai Tambah Rokok Kretek X5= CR4 Rokok Putih X6= Nilai Tambah Rokok Putih X7= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Singapura X8= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia X9= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura X10= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia
96
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
HASIL TEMUAN TERKAIT HIPOTESIS PENELITIAN:
H1
:
-
Output rokok kretek (x1) dan rokok putih (x2)berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan cukai negara secara bersama
-
Output rokok putih SECARA INDIVIDUberpengaruh NEGATIF secara signifikan terhadap penerimaan cukai negara.
H2
:
-
CR4 Rokok kretek (x3) dan nilai tambah rokok kretek (x4)secara bersama berpengaruh berpengaruh signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
-
CR4 Rokok kretek (x3)secara individu berpengaruh negative signifikan terhadap output rokok kretek (X1)
H3
:
-
CR4 Rokok putih (x5) dan nilai tambah rokok putih (x6)secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 10%
-
Nilai tambah rokok putih (x6)secara individu berpengaruh negative secara signifikan terhadap output rokok putih (X2) pada signifikansi 5%
H4
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan Malaysia (X8) secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
97
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) secara individuberpengaruh negative secara signifikan terhadap CR4 Rokok Kretek (X3)
H5
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan Malaysia
(X8)
secara
bersama-samaberpengaruh
secara
signifikan
terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 5% -
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X7) dan Malaysia (X8) masing-masing secara individu berpengaruh positif secara signifikan terhadap Nilai tambah Rokok Kretek (X4) pada signifikansi 10%
H6
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan Malaysia secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura dan Malaysia
masing-masing
secara
individu
tidak
signifikan
mempengaruhiterhadap CR4 Rokok Putih (X5)
H7
:
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan Malaysia (X10)secara bersama-sama tidak signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)
98
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
-
Variabel selisih tarif cukai Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dan Malaysia (X10)masing-masing secara individu signifikan mempengaruhi Nilai tambah Rokok Putih (X6)
•
Kebijakan tarif cukai rokok dalam negeri dipengaruhi oleh kebijakan tarif impor rokok negara-negara tetangga khususnya yang memiliki tarif cukai tinggi dan harga eceran rokok tinggi.
•
Dari hasil penelitian yang ada bila liberalisasi perdagangan diterapkan dalam AEC 2015, maka kebijakan tarif cukai rokok putih memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan rokok kretek pada Penerimaan Cukai dalam negeri;
•
Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Singapura signifikan mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia
•
Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Malaysia tidak signifikan mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
•
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Singapura tidak signifikan mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
•
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Malaysia tidak signifikan mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
•
Selisih tarif cukai ROKOK PUTIH dengan Negara SINGAPURAsignifikan mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia. Hal ini disebabkan karena di Singapura merk rokok yang populer adalah rokok putih merk asing yang perbedaan harga dan tarif cukainya dengan Indonesia sangat mencolok.
99
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Y=
- 9,977.1011 + 9,75. 1010 X8+2,06. 1010X9-9,822. 1010 X10
Y = PENERIMAAN CUKAI; X9= SELISIH TARIF CUKAI ROKOK PUTIH DGN SINGAPURA -
Setiap penambahan (tarif impor Singapura) selisih sebesar Rp.10/batang, maka Indonesia diperkirakan akan kehilangan penerimaan cukai sebesar Rp. 791.700.000.000.
-
Penambahan (tarif impor Singapura) selisih sebesar Rp.20/batang penerimaan cukai Indonesia berkurang sebesar Rp. 585.700.000.000. Hal ini menandakan bahwa tarif impor Singapura cukup efektif menahan masuknya rokok dari Indonesia dan kehilangan penerimaan cukai pemerintah Indonesia semakin berkurang dibandingkan penambahan sebesar Rp.10/batang
-
Penurunan (tarif cukai Indonesia dinaikkan) selisih tarif sebesar Rp. 10/batang, maka Indonesia diperkirakan akan kehilangan penerimaan cukai sebesar Rp. 1.203.700.000.000.
-
Artinya SEMAKIN TINGGI TARIF IMPOR dan HARGA ECERAN ROKOK suatu negara maka EFEKTIF untuk MENAHAN MASUKNYA ROKOK dari luar negeri secara resmi, namun TIDAK UNTUK MASUK SECARA TIDAK RESMI karena menawarkan KEUNTUNGAN yang sangat tinggi. Negara dengan TARIF CUKAI lebih rendah dari TARIF IMPOR Negara lain maka negara tersebut cenderung akan dijadikan basis produksi rokok.
100
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambar. 4.1 Ringkasan Hasil Analisis Path
= 0,938 p = 0,538
Output Rokok Kretek (X1)
= -0,253 p = 0,310 H4 Adj R square = 0,395 Sig F = 0,033
Penerimaan Cukai (Y)
= 0,996 p = 0,000
= 0,808 p = 0,083
Selisih Tarif Rokok Kretek Dengan Tarif Import Malaysia (X8)
H5 Adj R square = 0,547 Sig F = 0,008
Nilai Tambah Rokok Kretek (X4)
H1 Adj R square = 0,881 Sig F = 0,000
= 0,427 p = 0,063
= 0,036 p = 0,912
= 0, p = 0,000
CR4 Rokok Putih (X5)
= 0,277 p = 0,31
Output Rokok Putih (X2)
Selisih Tarif Rokok Kretek Dengan Tarif Import Singapura (X7)
H2 Adj R square = 0,41 Sig F = 0,029
= -0,198 p = 0,48 = 0, p = 0,21
= -0,739 p = 0,011
CR4 Rokok Kretek (X3)
= -0,807 p = 0,014
H3 Adj R square = 0,438 Sig F = 0,056
= 0,208 p = 0,367 H6 Adj R square = 0,084 Sig F = 0,644
Selisih Tarif Rokok Putih Dengan Tarif Import Singapura (X9)
Dari gambar 4.1 di atas diperoleh bahwa gambaran terdapat beberapa path yang = -0,723 = -0,950 p = 0,530
p = 0,019
= 0,814 p = 0,001 H7 Adj R square = 0,084 Sig F = 0,644
signifikan. Koefisien βdiatas adalah pengaruh langsung
Selisih Tarif Rokok Putih Dengan Tarif masing-masing variabel. Import Malaysia (X10)
Pengaruh langsung kepada variabel penerimaan cukai yang signifikan Nilai Tambah Rokok Putih (X6) = 0,505 p = 0,021
adalah pada variabel selisih tarif rokok putih Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dengan besar pengaruh 0,996 atau 99,6%. Hal ini menunjukkan bahwa apabila tarif rokok putih di Singapura lebih tinggi dari di Indonesia dengan asumsi daya beli konsumen dan biaya produksi tidak jauh berbeda maka akan ada aliran masuk rokok putih dari Singapura ke Indonesia dengan cara menjadikan Indonesia sebagai basis produksi produsen rokok putih. Dengan demikian akan ada pemasukan cukai pemerintah Indonesia dari rokok putih ini.
101
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Namun dampak selanjutnya diperkirakan akan ada penyelundupan rokok putih ke Singapura untuk menghindari pajak import Negara tersebut mengingat adanya selisih tarif yang cukup signifikan. Modus penyelundupan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti telah dikemukakan dalam bab 2 landasan teori sebelumnya. Disamping itu apabila dilihat dari teori pemasaran perbedaan harga yang cukup signifikan dengan kualitas produk yang hampir sama akan mendorong konsumen untuk mengkonsumsi barang tersebut. Sedangkan pengaruh langsung dari variabel perbedaan tarif cukai rokok putih di Indonesia dengan tarif impor rokok Malaysia menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan selisih perbedaan yang tidak sebesar dengan selisih perbedaan Indonesia dengan Singapura. Sedangkan pengaruh tidak langsung yangbisa diukur adalah: a) Pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Singapura (X7) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel CR4 Rokok Kretek (X3) dan variabel output rokok kretek (X4) adalah: -0,709 ×0,807 x 0,35 = 0,2 signifikan. Maksudnya adanya selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Singapura memberikan dampak tidak secara langsung kepada penerimaan cukai Negara, namun memberikan dampak secara langsung pada pangsa pasar 4 perusahaan rokok terbesar di Indonesia dalam bentuk terjadinya potensi penurunan pangsa pasar akibat potensi masuknya rokok kretek dari Negara Singapura yang disebabkan karena adanya insentif tarif di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura. Masuknya rokok kretek dari Singapura ini berpeluang meningkatkan tingkat
102
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
persaingan di dalam negeri yang pada gilirannya dapat menurunkan produksi produsen rokok kretek di dalam negeri (Indonesia). b) Variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Malaysia (X8) tidak signifikan mempengaruhi variabel penerimaan cukai (Y) c) Pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor Singapura (X9) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2) adalah: 0,814 × -0,723x -0,773 = 0,455 signifikan. Variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor Singapura yang cukup tinggi juga memberikan dampak langsung kepada nilai tambah produk rokok putih dalam negeri. Hal ini disebabkan adanya dorongan bagi produsen rokok dalam negeri untuk lebih unggul dalam nilai tambah produk untuk dapat bersaing dengan produk rokok putih dari Singapura. Namun di sisi yang lain persaingan ini diperkirakan akan menyebabkan turunnya produksi rokok putih di dalam negeri. Dengan terlihat bahwa produsen rokok putih dalam negeri akan lebih meningkatkan nilai tambah
rokoknya sekaligus mengurangi produksinya di dalam negeri
sebagai kekhawatiran akan tidak terserapnya produk mereka di pasar dalam negeri. d) Pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor Malaysia (X10) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2) adalah: 0,505 × -0,723x -0,773 = 0,282 signifikan. Variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif import Malaysia berdampak langsung juga pada nilai tambah produk rokok putih di dalam negeri. Reaksi ini sama seperti rekasi yang terjadi akibat potensi masuknya rokok putih dari Singapura. Demikian juga respon
103
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
produsen rokok putih dalam negeri mengakibatkan menurunnya output rokok putih di dalam negeri sebagai bentuk kehati-hatian para produsen dalam negeri akibat kekhawatiran tidak terserapnya produk rokok putih mereka di dalam negeri. Berdasarkan model-model pengaruh tersebut, dapat disusun model lintasan pengaruh sebagai berikut. Model lintasan ini disebut dengan analisis path, dimana pengaruh error ditentukan sebagai berikut: Regresi 1 Pe1 = 1 − 𝑅12 =
1 − 0,4962 = 0,868
Regresi 2Pe2 = 1 − 𝑅22 =
1 − 0,6222 = 0,783
Regresi 3Pe3 = 1 − 𝑅32 =
1 − 0,0842 = 0,996
Regresi 4Pe4 = 1 − 𝑅42 =
1 − 0,6842 = 0,729
Regresi 5Pe5 = 1 − 𝑅52 =
1 − 0,5282 = 0,849
Regresi 6Pe6 = 1 − 𝑅62 =
1 − 0,4382 = 0,899
Sehingga koefisien determinasi total adalah: R2m = 1 – Pe12x Pe22 x Pe32x Pe42 x Pe52x Pe62 R2m = 1 – 0,8682x 0,7832 x 0,9962x 0,7292 x 0,8492x 0,8992 = 0,858 Artinya keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model analisis path tersebut adalah sebesar 0,858 atau 85,8% atau dengan kata lain informasi yang terkandung dalam data 85,8% dapat dijelaskanoleh model tersebut. Sedangkan yang 14,2% dijelaskan oleh variabel lain yang belum terdapat dalammodel dan error. 4.2.
Simulasi Tarif Cukai Optimal Untuk memperoleh tarif cukai yang optimal dapat dibuat suatu simulasi
sebagai berikut:
104
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Y=
- 9,977.1011 + 9,75. 1010 X8+2,06. 1010X9-9,822. 1010 X10 P=0.538
P=0.000
P=0.530
X8= Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia X9= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura X10= Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia Variabel yang signifikanmempengaruhi penerimaan cukai hanya X9 karena menunjukkan nilai p < 0.05. Oleh karena hanya X9 yang berpengaruh secara signifikan, maka dilakukan simulasi dengan menganggap variabel lain yaitu X8 dan X10 dianggap konstan. Dari hasil simulasi didapat nilai seperti pada tabel.4.1 berikut ini: Tabel.4.1 Simulasi Mencari Tarif Cukai Optimal
Penerimaan Cukai (Rp)
-791.000.000.000 -585.000.000.000 -379.000.000.000 -173.000.000.000 32.300.000.000
Selisih Tarif Rokok Kretek Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia (X8) 0 0 0 0 0
Selisih Tarif Cukai Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Singapura (X9) Rp.10/batang Rp.20/batang Rp.30/batang Rp.40/batang Rp.50/batang
Selisih Tarif Rokok Putih Indonesia dengan Tarif Impor Malaysia (X10) 0 0 0 0 0
Berdasarkan simulasi yang ada di dapat bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi penerimaan cukai apabila integrasi ekonomi ASEAN 2015 dilaksanakan adalah variabel X9 (selisih tarif dengan Singapura khususnya rokok putih). Apabila tarif cukai Indonesia untuk rokok putih yang telah dirata-ratakan mempunyai selisih sebesar Rp. 10/batang dengan tarf impor Singapura yang telah dikonversikan kepada rupiah, maka kehilangan penerimaan cukai pemerintah sebesar Rp. 791 milyar, demikian seterusnya untuk nilai sampai
105
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
dengan selisih Rp.40/batang. Namun apabila selisihnya mencapai Rp. 50/batang justru pemerintah memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp.32,3 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa sampai selisih Rp.50/batang peluang terjadinya keuntungan arbitrage untuk eksportir dalam Negeri mengekspor ke Singapura sudah kurang menjanjikan lagi, bahkan dapat terjadi kemungkinan justru rokok dari luar negeri masuk ke Indonesia. Tariff optimal ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Negara sekaligus mengurangi konsumsi rokok oleh masyarakat bawah khususnya remaja yang komposisinya sudah mulai mengkhawatirkan bagi kelangsungan produktivitas nasional.
4.3.
Analisis Cost and Benefit Biaya Kesehatan Rokok Analisis cost-benefit sering digunakan untuk memutuskan apakah suatu
proyek ataukebijakan mampu memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan kesejahteraanmasyarakat. Analisis cost-benefit ini dijadikan suatu alat dalam proses pengambilankeputusan guna mengevaluasi kelayakan suatu proyek atau kebijakan yang akandilaksanakan dalam suatu negara, sehingga apabila memberikan kontribusi negatif lebihbesar dari pada kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat, maka hendaknyakelanjutan proyek atau kebijakan tersebut dapat dipertimbangkan kembali untuk dicarikanalternatif lain atau bahkan dihapus atau ditolak (Perkins, 1994). Penilaian cost-benefit sosial dari suatu proyek memiliki fungsi yang lebih dari padapenilaian ekonomi dalam memutuskan proyek manakah yang dapat meningkatkankesejahteraan
masyarakat
saat
pengaruh
keberadaannya
dipertimbangkan. Dalammenentukan keputusan, penganalisis tidak hanya
106
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
memperhatikan besarnya cost danbenefit yang dapat disumbangkan dari suatu proyek, melainkan harus memperhatikanpula mengenai siapa yang menerima benefit dan siapa pula yang membayar ataumenanggung cost dari proyek atau kebijakan tersebut. Oleh karena itu, penilaian sosialmencakup dilema moral dan teoritis, seperti yang diperkenalkan dalam kriteria pilihanHicks-Kaldor, bahwa suatu
proyek
menghasilkan
berharga suatu
untuk
Pareto
dilaksanakan
optimality dalam
jika
memiliki
kesejahteraan
potensiuntuk masyarakat
suatunegara. Suatu kondisi Pareto optimality hanya akan terjadi apabila tidak ditemukannyakebijakan baru yang dapat membuat kondisi kesejahteraan setiap individu masyarakatmenjadi lebih baik atau sama dengan keadaannya seperti pada kondisi kebijakan yanglama (Perkins, 1994). Untuk mengetahui besarnya beban cost yang harus ditanggung olehmasyarakatsebagai akibat pengkonsumsian rokok, maka di bawah ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Likke, Llewelyn, dan Musianto, 2000 terkait dengan perhitungan biaya untuk limajenis penyakit terkait dengan aktivitas merokok: a)
Merokok dan Mengidap Penyakit Tumor Paru Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok yang dilakukan oleh konsumen aktif adalahsebanyak 20 batang per hari. Lama rawat inap setiap individu dalam kondisi ini diperolehdari lama rawat inap rata-rata pasien kelas II RSUD Dr. Soetomo Surabaya yangmengidap penyakit tumor paru yang menjadi sumber data dari penelitian ini. Frekuensikambuhnya penyakit tumor paru ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawat inapadalah dua tahun sekali. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus dijalani olehpenderita penyakit ini adalah tiga kali per tahun. Dalam kondisi
107
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
tertentu, operasi atauradioterapi dapat dilakukan dan hal ini dilakukan hanya satu kali seumur hidup. Adapunperhitungan biaya untuk kondisi ini adalah sebagai berikut: Lama rawat inap 10 hari ( 2 tahun sekali ) -
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700,00 per hari = Rp.11.700,00 * 10 hari =Rp.117.000,00
-
Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap = Rp.117.000,00 * 80% =Rp. 93.600,00
-
Biaya obat rawat jalan = Rp. 4.900,00 * 20 hari * 3 kali per tahun =Rp.294.000,00
-
Biaya operasi atau radioterapi 1 kali seumur hidup =Rp.210.850,00
-
Rawat inap = Rp. 5.500,00 * 10 hari =Rp. 55.000,00
-
Sekali operasi atau radioterapi = Rp. 5.500,00 * 14 hari =Rp. 77.000,00
-
Biaya rawat inap (operasi/radioterapi) = Rp. 11.700,00 * 8 hari =Rp. 93.600,00
-
Biaya obat operasi (80% dari biaya rawat inap) = Rp. 93.600,00 *80%= Rp. 74.880,00
TOTAL BIAYA PER TAHUN = Rp. 507.965.
b)
Merokok dan Mengidap Penyakit Emphysema Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok oleh konsumen aktif adalah sebanyak 15batang per hari. Seperti pada kondisi-kondisi sebelumnya, lama rawat inap setiap individu diperoleh dari lama rawat inap rata-rata pasien kelas II RSUD Dr. Soetomo Surabayayang mengidap penyakit emphysema yang menjadi sumber data dari penelitian ini. Frekuensi
108
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
kambuhnya penyakit ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawat inapadalah dua kali per tahun. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus dijalani olehpenderita penyakit ini adalah empat kali per tahun. Perhitungan biaya untuk kondisi iniadalah sebagai berikut: Lama rawat inap 5 hari ( 2 kali per tahun ) -
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari=Rp. 11.700 * 5 hari *2 kali per tahun = Rp. 117.000,00
-
Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap =Rp.58.500,00*80% = Rp. 93.600,00
-
Biaya obat rawat jalan = Rp. 6275 * 5 hari * 4 kali per tahun = Rp. 125.500,00
-
Biaya kehilangan pekerjaan=Rp. 5.500 * 5 hari * 2 kali per tahun = Rp. 55.000,00
TOTAL BIAYA (DIAMBIL 1 kali PERTAHUN) = Rp. 195.550,-
c)
Merokok dan Mengidap Penyakit Bronchitis Chronis Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok oleh konsumen aktif sebanyak 15 batang perhari. Lama rawat inap setiap individu diperoleh dari lama rawat inap rata-rata pasienkelas II RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang mengidap penyakit Bronchitis Chronis yangmenjadi sumber data dari penelitian ini. Frekuensi kambuhnya penyakit ini sampai padatingkat yang membutuhkan rawat inap adalah dua kali per tahun. Sedangkan frekuansirawat jalan yang harus dijalani oleh penderita penyakit ini adalah empat kali per tahun(berdasarkan hasil wawancara dengan para dokter di RSUD Dr. Soetomo: 25 Mei 1999,Surabaya).Daya tahan hidup individu yang
109
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
mengidap penyakit bronchitis chronis dibagi dalamdua kelompok yaitu: individu yang penyakitnya dapat sembuh dan dapat bertahan hidupsampai usia 70 tahun dan untuk individu yang penyakitnya berkembang parah dan dapatbertahan hidup sampai pada usia 55 tahun. Adapun perhitungan biaya adalah sebagaiberikut: Lama rawat inap 5 hari ( 2x per tahun ) -
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari = Rp.11.700 * 5 hari *2 kali per tahun = Rp. 117.000,00
-
Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap=Rp.117.000*80%= Rp. 93.600,00
-
Biaya obat rawat jalan= Rp. 6275 * 5 hari * 4 kali per tahun = Rp. 125.500,00
-
Biaya kehilangan pekerjaan=Rp.5.500*5 hari*2 kali per tahun = Rp. 55.000,00
Perhitungan di atas memberikan gambaran besarnya biaya yang harus ditanggungsetiap tahunnya oleh individu karena penyakit bronchitis chronis yang dideritanya sebagaiperokok aktif. TOTAL BIAYA (DIAMBIL 1 kali PERTAHUN) = Rp. 195.550,-
d)
Merokok dan Mengidap Penyakit Jantung Koroner Pada kondisi ini, pengkonsumsian rokok oleh konsumen aktif adalah sebanyak 20batang per hari. Lama rawat inap setiap individu dalam asumsi ini diperoleh dari lamarawat inap rata-rata pasien kelas II RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang mengidappenyakit jantung koroner yang menjadi sumber data dari penelitian ini. Frekuensikambuhnya penyakit jantung
110
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
koroner ini sampai pada tingkat yang membutuhkan rawatinap adalah satu kali per tahun. Sedangkan frekuensi rawat jalan yang harus dijalani olehpenderita penyakit ini adalah setiap hari atau dengan kata lain selama seumur hidup.Dalam kondisi tertentu, operasi dapat dilakukan pada penderita penyakit jantung koronerdan 10 tahun setelah operasi pertama dilakukan, bila dibutuhkan dan kondisi pasienmemungkinkan maka dapat dilakukan operasi ulang atau ditiup jantung terhadap pasien(berdasarkan hasil wawancara dengan para dokter di RSUD Dr. Soetomo: 25 Mei 1999,Surabaya). Seperti sebelumnya, daya tahan hidup individu yang mengidap penyakit jantungkoroner dibagi dalam dua kelompok yaitu: individu yang dapat bertahan hidup sampaiusia 70 tahun dan individu yang dapat bertahan hidup sampai pada usia 55 tahun. Perhitungan biaya adalah sebagai berikut: Lama rawat inap 18 hari per tahun -
Tipe ruangan kelas II Rp. 11.700 per hari= Rp. 11.700* 18 hariper tahun =Rp. 210.600,00
-
Biaya obat sebesar 80% dari biaya rawat inap= Rp. 210.600,00 *80% =Rp. 168.480,00
-
Biaya obat rawat jalan seumur hidup= Rp. 3.850,00 * 365 hariper tahun =Rp. 1.405.250,00
-
Rawat inap= Rp. 5.500,00 * 18 hari per tahun =Rp. 99.000,00
-
Sekali Operasi = Rp. 5.500,00 * 20 hari =Rp. 110.000,00
-
Sekali Tiup atau Operasi ulang = Rp. 5.500,00 * 20 hari =Rp. 110.000,00
111
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
-
Biaya rawat inap selama sekali operasi= Rp. 11.700,00 * 10 hari =Rp. 117.000,00
-
Biaya obat setelah operasi (80 % dari biaya rawat inap) =Rp. 117.000,00 * 80% =Rp. 93.600,00
-
Biaya 1 kali operasi =Rp.23.250.000,00
-
10
tahun
setelah
operasi
I,
sekali
tiup
atau
operasi
ulang
=Rp.19.640.000,00 per tahun Rp. 1.964.000 TOTAL BIAYA PER TAHUN (OPERASI 1 KALI) = Rp. 27.527.930,-
Tabel.4.2 Ringkasan Perkiraan Biaya Kesehatan Akibat Merokok Per Individu Tahun 1999 No
Penyakit Yang Diderita
1 2 3 4
Merokok dan Mengidap Penyakit Tumor Paru Merokok dan Mengidap Penyakit Emphysema Merokok dan Mengidap Penyakit Bronchitis Chronis Merokok dan Mengidap Penyakit Jantung Koroner
Perkiraan Biaya Kesehatan Akibat Merokok per individu (Tahun 1999) Rp. 507.965 Rp. 195.550 Rp. 195.550 Rp. 27.527.930
Untuk menghitung total biaya kesehatan dalam 1 tahun maka populasi perokok dikelompokkan ke dalam 4 kelompok penyakit dengan bobot masing-masing 25%, 35%, 35% dan 5%. Contoh diberikan untuk perkiraan biaya kesehatan tahun 1999 adalah sebagai berikut: Total biaya kesehatan akibat rokok 1999 = 20%*145 juta x (25%*Rp.507.965 + 35%*Rp.195.550 + 35%*Rp.195.550 +5%*Rp.27.527.930) =Rp.47.567.909.750.000,-
Jumlah perokok yang peduli dengan kesehatannya dan memeriksakan dirinya di rumah sakit diasumsikan 20% nya;
112
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
-
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 25% diasumsikan terkena penyakit jenis-1
-
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 35% diasumsikan terkena penyakit jenis-2
-
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 35% diasumsikan terkena penyakit jenis-3;
-
Dari jumlah perokok yang 20%, sebanyak 5% diasumsikan terkena penyakit jenis-4
Kenaikan biaya kesehatan akibat merokok setiap tahunnya diperhitungkan adanya kenaikan biaya akibat inflasi, dengan rincian inflasi sebagai berikut: Tabel.4.3 Inflasi Tahunan Tahun
Inflasi (%)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2 9,4 12,55 10,03 5,16 6,4 17,11
Tabel.4.4 Biaya Kesehatan Akibat Rokok Per Individu Setelah Penyesuaian Inflasi Penyakit
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Jenis-1
507.965
518124
566828
637965
701953
738174
785417
Jenis-2
. 195.550
199461
218210
245596
270229
284173
302360
Jenis-3
195.550
199461
218210
245596
270229
284173
302360
Jenis-4
27.527.930
28078489
30717867
34717867
38040627
40003523
42563748
113
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Dengan demikian total biaya kesehatan akibat merokok: Tabel.4.5 Perkiraan Jumlah Konsumsi Rokok di Indonesia Tahun
Biaya Kesehatan Yang Dikeluarkan Perokok (Rp. Triliun) 47,6
Penerimaan Cukai (Rp. Triliun)
1999
Populasi Perokok umur > 15 tahun (juta orang) 145
2000
149
49,9
13,8
2001
152
55,6
18,3
2002
155
63,9
23,08
2003
158
71,6
26,4
2004
160
76,3
28,64
2005
163
82,7
32,65
10,11
Sumber: Lembaga Demografi UI (2011) diolah Tabel 4.5. ini dibuat hanya untuk menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat cukup besar bila dibandingkan dengan penerimaan cukai yang diterima pemerintah. Kondisi ini belum memperhitungkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli rokok oleh masyarakat tentunya akan menjadi lebih besar lagi. Dengan kondisi yang demikian pemerintah perlu mempertimbangkan konsep strategi pengendalian gerak industri rokok sesuai dengan road map yang telah dicanangkan. Pemerintah perlu lebih memperhatikan potensi penurunan produktivitas nasional sebagai akibat daridampak merugikan merokok pada penduduk produktif. Perlindungan masyarakat perlu lebih diutamakan, dengan demikian
114
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
kebijakan
memperbesar
ekspor
rokok
dapat
dipertimbangkan
dengan
memberikan insentif-insentif yangberkaitan dengan ekspor rokok. Kebijakan pengendalian impor rokok perlu lebih diperketat kembali mengingat konsumsi dalam negeri yang sudah cukup besar. Bagaimana menciptakan kebijakan di satu sisi penerimaan pemerintah tetap tinggi namun di sisi yang lain masyarakat bawah yang mendominasi konsumsi rokok dalam negeri dapat dikurangi jumlahnya dengan cara memberikan sosialisasi yang intensif.
4.4.
Strategi Memerangi Penyelundupan Rokok Sebagai Dampak Adanya Perbedaan Tarif Perdagangan ilegal rokok dirangsang oleh empat pendorong utama,
yaitu(1) insentif yang tinggi dan celah besar;(2) tindakan pengendalian rantai pasokan yang tidak memadai sesuai dengan skala ancaman;(3) pihak penegak hukum menghadapi tantangan yang sifatnya umum sampai yang khusus; dan (4) faktor disinsentif dan sanksi rendah. Dengan demikian strategi untuk memerangi penyelundupan rokok adalah dengan menghindari adanya insentif yang tinggi dan melakukan kontrol secara bersamaan. 4.4.1. Insentif yang tinggi dan celah yang besar Produk tembakau yang pada umumnya dikenakan pajak, bea masuk yang tinggi. Permasalahan pajak umumnya terletak pada tingginya pajak terhadap harga jual eceran. Perbedaan harga (yang dibayar oleh konsumen akhir ) produk tembakau di antara Negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu perlu diciptakan permintaan yang kuat dan insentif yang menarik untuk distribusi yang dilakukan secara sah. Meskipun kesenjangan harga telah
115
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
menyempit di antara Negara-negara anggota ASEAN namun umumnya di perbatasan cenderung menunjukkan tariff yang lebih rendah. 4.4.2 . Langkah-langkah untuk mengurangi insentif Perlu dilakukan penyelarasan tariff cukai dengan Negara-negara tetangga dan mendefinisikan kembali konsep cukai tembakau, untuk mendapatkan keuntungan dari penyederhanaan yang akan dilakukan dengan menyelaraskan definisi cukai dengan Negara-negara tetangga. Definisi yang tepat untuk produk kena pajak adalah berdasarkan kriteria obyektif sebagai langkah awal untuk menurunkan beban administrasi pada kedua operator ekonomi dan otoritas pajak Negara, sehingga mengurangi celah dan memastikan tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan Undang-undang cukai . Untuk wilayah abu-abu antara tindakan penyelundupan dan impor yang sah oleh wisatawan perlu diperhatikan, diperlukan suatu elaborasi bimbingan teknis untuk mendukung negara-negara anggota dalam menggunakan kriteria obyektif ketika menerapkan ambang bantuan bagi wisatawan . Berkaitan dengan tindakan pencegahan perlu diteliti apakah aturan dasar umum dapat membatasi penghindaran pajak sambil menghindari distorsi persaingan antara operator integrasi ekonomi yang didirikan di negara anggota yang berbeda. Langkah-langkah tindakan anti pencegahan terkait dengan bukti pembayaran cukai, maka operator yang telah menandatangani perjanjian tersebut dapat memastikan standar kepatuhan yang lebih tinggi untuk bisa mendapatkan keuntungan dari masa transisi untuk pembuktian pembayaran cukai. Insentif bagi penyelundup dan insentif bagi konsumen perlu dikurangi. Untuk mencegah warga membeli rokok ilegal dan produk tembakau lainnya.
116
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dampak negatif dari perdagangan gelap harus dibuat lebih dikenal oleh masyarakat luas, khususnya dampak pada keuangan negara dan keterlibatannya dengan kejahatan terorganisir, serta fakta bahwa produk ilegal tidak sesuai dengan undang-undang produk tembakau, misalnya adanya ketentuan tampilan pada bahan dan peringatan kesehatan pada kemasan. 4.4.3. Langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasokan komoditi Sebagai langkah pertama pengamanan rantai pasokan tembakau, Negara
anggota
ASEAN
perlu
menandatangani,
meratifikasi
dan
mengimplementasikan Protokol FCTC secara efektif terlebih dahulu, termasuk langkah-langkah menyangkut lisensi atas manufaktur peralatan, dan ketentuan mengenai zona bebasnya. Protokol mewajibkan para pihak untuk mendirikan sebuah sistem pelacakan dan pelacakan untuk semua produk tembakau yang diproduksi atau yang diimpor ke wilayah Negara anggota. Elemen kunci dari sistem tersebut adalah diberikannya tanda-tanda identifikasi yang unik yang dapat membantu dalam menentukan asal dan titik pengalihan produk tembakau ke perdagangan gelap. Hal ini dapat membantu dilakukannya pemantauan dan pengendalian pergerakan produk tembakau dan status hukum mereka oleh pejabat berwenang dari Para Pihak dan juga termasuk pertukaran informasi dengan mitra internasional melalui focal point di Sekretariat WHO FCTC. Pelacakan dan Sistem pelacakan akan memungkinkan terjadinya peningkatan pengendalian rantai pasokan secara signifikan dan memperkuat langkah-langkah pergerakan produk kena pajak.Fitur dasar dari pelacakan nasional dan sistem pelacakan harus ditentukan di tingkat ASEAN, untuk menghindari adanya distorsi produk tembakau di pasar internal ASEAN. Dalam
117
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
rangka untuk memastikan bahwa hanya ada produk yang sesuai di pasar ASEAN, maka perlu dilakukan pelacakan produk tembakau di seluruh rantai suplai (termasuk di tingkat eceran). Produsen tembakau sementara itu perlu menutup kontrak-kontrak
dengan pihak ketiga yang
independen untuk
memaastikan system berada dalam kapasitas transparan yang penuh oleh pemerintah Negara-negara anggota ASEAN.Hal itu merupakan salah satu bentuk tindakan pengamanan atas semua produk tembakau , untuk membantu konsumen dan otoritas terkait untuk membedakan antara produk yang asli dan palsu. 4.5.
Langkah-langkah untuk memperkuat penegakan hukum
4.5.1 . Manajemen risiko Pelaksanaan tindakan yang diidentifikasi dalam manajemen risiko Bea Cukai, khususnya pada kualitas data yang disediakan oleh operator ekonomi , untuk aksesibilitas dan berbagi informasi untuk tujuan manajemen risiko. Hal ini akan memberikan kerangka kerja yang lebih kuat dan terkoordinasi untuk melakukan manajemen risiko dan dapat meningkatkan target operasi yang mencurigakan berkaitan dengan produk tembakau. Berbagi informasi untuk dianalisis dengan kantor pabean Negara-negara anggota ASEAN dalam upaya memerangi perdagangan internasional yang ilegal sehingga dapat membantu meningkatkan kapasitas otoritas operasional. Kerangka kerja seperti ini akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk memerangi segala bentuk perdagangan ilegal, termasuk penyelundupan tembakau. 4.5.2 . Tindakan operasional Tindakan operasional dilakukan khususnya di perbatasan-perbatasan antar Negara-negara anggota ASEAN
118
sebagai bagian dari Kerangka
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Manajemen Risiko ASEAN, wilayah penyelundupan rokok perlu ditetapkan sebagai Control Priority Area ( PCA ) untuk memastikan manajemen risiko yang lebih intensif berbasis koordinasi. Melengkapi PCA dalam sebuah koordinasi kerjasama operasional. untuk memperkuat kapasitas ASEAN yang lebih sistematis untuk mengidentifikasi dan menargetkan risiko-risiko di daerah-daerah potensial rokok. Setelah hasil analisis akhir menunjukkan tanda-tanda yang positif, tentunya dapat digunakan untuk mengatur lebih lanjut tindakan yang ditargetkan pada perdagangan gelap tembakau, dengan kekhususan yang tinggi. Apabila terdapat kelemahan dalam Operasi Bersama Bea Cukai maka harus ditangani lebih lanjut oleh Kelompok Kerja Kerjasama Bea dan Cukai
dan
aktivitas berbagi informasi dalam konteks Kerjasama Operasi perlu lebih ditingkatkan kembali khususnya berkaitan dengan informasi tentang asal geografis kiriman tembakau ilegal melalui analisis teknis sampel dari produk yang disita. 4.5.3 . Peralatan dan Perlengkapan Teknologi Informasi Negara anggota harus didorong untuk menggunakan teknologi yang tersedia dengan kapasitas penuh mereka . Pada saat yang sama , Negara Anggota dapat mengeksplorasi penggunaan Kontainer untuk menargetkan pengiriman mencurigakan terkait penyelundupan rokok. Agar lebih efektif dapat menggunakan peralatan pendukung lainnya seperti plat otomatis dan alat pemindai kode kontainer (dengan berbagi informasi yang diperoleh melalui alatalat lainnya di tingkat regional) yang nantinya juga akan dieksplorasi . Modernisasi peralatan bea dan cukai, termasuk infrastruktur dan peralatan, perlu didukung oleh otoritas regional ASEAN di masa depan jika negara-negara anggota ASEAN menyadarinya
119
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Strategi Komprehensif untuk Memerangi Penyelundupan Rokok
Memahami dan memantau ukuran dansifat dari masalah . Sebagai langkah awal, pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu memahamiukuran dan implikasi dari perdagangan gelap produk tembakau, mengidentifikasi mereka yang terlibat dan linkdengan perdagangan gelap barang lainnya. Ada beberapaindikator keberadaan dan pertumbuhan perdagangan produk tembakau yang terlarang, seperti: Terjadinya penurunan penjualan pasar, hal ini umumnya terlihat oleh kalangan industri dan perdagangan; Terjadinya gangguan pada aliran penerimaan Pemerintah; Terjadinya peningkatan produk ilegal -baik dalam frekuensi atau jumlah; Munculnya merek yang tidak menampilkan tanda-tanda yang benar atau yang tidak legal didistribusikan dan dijual di dalam negeri, dan Terjadi perubahan dalam hasil survei anti perdagangan terlarang.
Hasil metodologi yang solid dan kuatbiasanya
dapat berperan dalam
meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat umumnyauntuk lebih serius menangani masalah yang ada dan dapat berfungsi untukmempengaruhi alokasi sumber daya yang ada.
Mengevaluasi penyebab utama masalah, seperti pengendalian ekspor dan pembuatannya, wilayah-wilayah zone bebas dan teknis pelaksanaan transit, dll
Merancang kebijakan pajak yang seimbang dan efektif dalam mengumpulkan pajak Tarif cukairokok harus diatur untuk mengoptimalkan penerimaan pajakdalam jangka
120
panjang.
Ketika
menetapkan
tarif
pajak,Pemerintah
perlu
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
mempertimbangkan tingkatpembangunan ekonomi, daya belidari konsumen dan tarif pajak di negara tetangga. Pengalaman menunjukkan bahwa cukai yang
radikalcenderung
gelap.Negara
harus
mengumpulkandan
mengarah
menggunakan
mengendalikan
pada metode
penerimaan
munculnyaperdagangan yang
berbeda
perpajakan
untuk
tembakau.
Sistem administrasicukai biasanya didasarkan untukmemeriksa produksi pabrik, gudang berikat danvolume impor. Hal ini dapat dilengkapi denganpenggunaan penanda fiskal (misalnya kertas perangko pajak kertasatau digital coding) yang ditempelkan pada setiap penjualan paket individu. Tanda tersebut dapat digunakan baik sebagaimekanisme audit tambahan atau sebagai sarana pembayaranpajak itu sendiri (mereka menanggung pembayaran pajak untuk produk yang mereka gunakan).Namun sayangnya sistem cap kertas pajak yang paling canggihsajasulit untuk melindungi sepenuhnya pasarterhadap ancaman produk ilegal dan tentunya juga kegagalan melindungi penerimaan cukai. Seperti rokok misalnya,pita cukai rokok harus memiliki kualitas yang tinggi untuk menghindari pemalsuan, Pita cukai jugarentan terhadap pencurian dan penggunaan kembali oleh penyelundup.Dengan teknologi yang ada saat ini verifikasi pajak secara digital merupakan alternatifsolusi yang menawarkan pendekatan yang jauh lebih aman dalam pelaksanaan pengumpulanpajak dan audit. Menggunakan teknologi coding digital yang maju yang dapat dicetak langsung untuk menggantikan baik pita cukaiatau penanda fiskal. Hal ini mudah dibaca dan juga dapat berfungsi sebagai alat otentikasi sehingga duplikasi kode yang
121
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
terenkripsi asli hampir dapat dipastikanmustahil terjadi. Pemerintah sendiri memperoleh
informasi
real-time
danaman berkaitan
dengan
volume
rokokyang diproduksi sehingga diharapkan dapatmenawarkan transparansi penuh
dan
kemudahan
untuk
pengadaan
jumlah
cukaiyang
harus
dikumpulkan oleh masing-masing produsen danimportir. Verifikasi pajak digital
untuk
tembakauproduk
ini
sepenuhnya
sejalan
dengan
e-
governmentyang sudah dicanangkan pemerintah daninisiatif e - customs. Verifikasi pajak digital adalah cara maju dan merupakan sistem yang menggunakan biaya yang efisien dan dapat diakses olehNegara-negara maju dan maupun Negara-negara berkembang,
Menganalisis undang-undang dan peraturan yang adauntuk memastikan penyelundup memperoleh ancaman hukuman yang memadai dan berfungsi sebagai pencegah tindakan penyelundupan;
Memastikan bahwa pengadilan menyadari bahwa penyelundupan merupakan suatu
kejahatan
yang
serius
dan
diperlukan
upaya
keras
untuk
menghancurkan produk dan peralatan ilegal pada waktu yang tepat
Melakukan penegakkan hukum secara bersama dari semua instansi terkait dan memastikan bahwa mereka memiliki dan memastikan mereka memiliki cukupkekuasaan untuk bertindak.
Menyediakan sumber daya keuangan yang cukup untuk mendukung kapasitas penegakan hukum yang memadai .
Melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang implikasi daripenyelundupan rokok.
Membangun dan memperkuat kemitraan antara instansi pemerintah terkat dengan lembaga internasional terkait.
122
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bekerja sama dengan pelaku industri yang sahuntuk membuat intelijen dan sumber dayagabungan
4.6.
Langkah-langkah
mengantisipasi
ledakan
konsumsi
rokok
di
Indonesia pada Pelaksanaan AEC 2015 Mengidentifikasi dampak dari kenaikan pajak cukai pada konsumsi rokok sangat penting untuk menentukan kebijakan pemerintah di masa depan. Efek samping kesehatan yang parah dari rokok dan mereka yang kecanduan dapat membenarkan perlunya pajak. Di sisi lain, elastisitas pajak yang rendah membenarkan kenaikan pajak untuk meningkatkan pendapatan. Menurut merokok British Medical Journal, satu batang rokok menurunkan harapan hidup seseorang sebelas minutes. Kebijakan pajak negara mengenai tembakau memiliki dua tujuan, yaitu (i) mengumpulkan dana (untuk berkampanye melawan penggunaan tembakau , dan banyak lainnya Beban negara ) . Menurut hasil penelitian di atas, dalam jangka pendek, persentase perokok dewasa tidak menurun ketika pajak meningkat. Jumlah penerimaan pajak yang dikumpulkan dari para perokok dewasa meningkat, meskipun perokok dewasa mengurangi sedikit jumlah rokok yang dikonsumsi, hal ini tidak cukup signifikan untuk mengimbangi peningkatan penerimaan pajak. Demikian pula, penurunan perokok di bawah umur (siswa SMA yang merokok ) tidak cukup besar untuk mengimbangi kenaikan penerimaan pajak karena jumlah siswa sekolah tinggi di setiap negara jauh lebih kecil dari jumlah penduduk dewasa. Dalam jangka panjang, jumlah perokok dapat menurun secara substansi jika pajak meningkat karena jumlah pemuda yang akan mulai merokok di sekolah tinggi sedikit, yang pada gilirannya juga akan mengakibatkan penurunan yang jauh lebih besar pada
123
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
jumlah perokok dewasa. Jadi, dalam jangka panjang, kenaikan tarif pajak dapat menyebabkan penurunan penerimaan pajak total. Pemerintah menggunakan pajak rokok untuk melindungi kesejahteraan rakyat. Gruber dan Mullainathan (2002) menemukan bahwa perpajakan berfungsi sebagai kontrol diri melalui perangkat harga bagi perokok dewasa yang ingin berhenti. Gruber dan Mullainathan (2002) juga menunjukkan bukti bahwa individu yang mengkonsumsi zat adiktif seperti rokok tidak sepenuhnya memiliki pemikiran yang rasional dalam keputusan mereka untuk merokok. Dengan demikian,
perokok
muda
lebih
mungkin
untuk
tidak
sepenuhnya
memperhitungkan masa depan efek samping dari merokok. Dalam hal ini, menaikkan pajak akan membantu mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Perokok dewasa dan pemuda akan mengurangi jumlah rokok mereka apabila terdapat pemikiran untuk memperpanjang hidup mereka. Oleh karena itu ditinjau dari sudut perspektif kesejahteraan, kenaikan pajak cukai rokok harus terjadi. Pada tahun 2013 konsumsi rokok Indonesia sudah mencapai 302 miliar batang per tahun. Ekonom senior Emil Salim mengatakan, sebenarnya Indonesia memiliki peluang mencapai kemajuan di tahun 2020 dengan adanya bonus demografi berupa jumlah generasi muda yang banyak. Kesempatan ini untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi kesempatan itu menjadi menurun oleh kebiasaan merokok generasi muda. Kebiasaan merokok dianggap akan mengurangi produktivitas, menimbulkan ketergantungan, serta menambah beban kesehatan negara. Road Map industri rokok menjadi penting untuk melindungi generasi muda dari bahaya rokok tersebut. Peredaran dan penggunaan rokok di berbagai
124
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
daerah harus dikendalikan salah satunya dengan menggunakan instrument road map yang secara konsisten dijalankan. Road mapdapat menjadi rujukan para pemangku kepentingan maupun masyarakat. Bagi pemangku kepentingan road map akan menjadi rujukan pengembangan program dan aksi pengendalian dampak produk tembakau. Diharapkan road map dapat menjadi ukuran kinerja dan tingkat keberhasilan pemangku kepentingan.Sementara itu bagi masyarakat, road mapdapat digunakan untuk sarana komunikasi, informasi, dan edukasi tentang ancaman bahaya produk tembakau. Semua unsur masyarakat dan dunia usaha harus sadar mengenai dampak bahaya merokok. Upaya
pengendalian
dampak
konsumsi
rokok
bagi
kesehatan
diIndonesia, saat ini memiliki kekuatan berupa Undang-Undang Nomor36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 109Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat AdiktifBerupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan serta Peraturan MenteriKesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman PeringatanKesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau.Selain itu kebijakan dalam penyediaan dana bagi pengendaliantembakau yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun2007 tentang Cukai dan pengaturan pajak rokok yang tertuang dalamUndang-Undang danRetribusi
Nomor
Daerah,
28
juga
pemerintah.Terbentuknya
Tahun
2009
merupakan
Aliansi
tentang
kekuatan
Bupati/Walikota
Pajak
Daerah
yang
dimiliki
di
bidang
PengendalianMasalah Kesehatan Akibat Tembakau dan Penyakit Tidak Menular(PTM) Indonesiayang
sejak terdiri
tahun dari
2011,
jejaring
organisasi
pengendalian
profesi,
tembakau
akademisi,
di
Lembaga
SosialMasyarakat, Lembaga Internasional, Tokoh agama dan TokohMasyarakat
125
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
dan adanya dukungan masyarakat terhadap penerapankebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan peluang yangdimiliki oleh pemerintah Indonesia dalam pengendalian dampakkonsumsi rokok bagi kesehatan. Peluang lainnya adalah
adanyakebutuhan
untuk
program
berhenti
merokok
di
antara
populasiperokok aktif (GATS 2011). Oleh sebab itu, upaya pengendalian dampak konsumsi rokok diIndonesia harus dilaksanakan secara komprehensif sebagai tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan masyarakat sehingga derajatkesehatan masyarakat yang setinggi-tinginya dapat terwujud.Untuk itu, perlu dibuat kebijakan pengendalian dampak konsumsirokok dalam bentuk peta jalan Pengendalian Dampak Konsumsi RokokBagi Kesehatan (roadmap) yang menjadi acuan bersama dalampenyusunan
dan
pengembangan
program
dan
kegiatan
upayapengendalian dampak konsumsi rokok oleh semua pemangkukepentingan.
126
BAB V PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Seperti sudah dikemukakan dalam tujuan penelitian ini ada 5 poin yang mejadi tujuan penelitian ini, yaitu: 1. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi potensi terjadinya perbedaan tariff cukai dan impor pada pelaksanaan AEC 2015 yang dapat berpotensi memberi dampak merugikan bagi penerimaan negara dari sisi cukai rokok. Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa:
pemerintah perlu mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai rokok putih yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar konsumen rokok putih dapat diarahkan pada lapisan kelas menengah ke atas yang secara kuantitas lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan lapisan bawah perokok, namun di sisi yang lain penerimaan Negara dapat tetap dijaga keberlangsungannya karena harga eceran dan tariff yang cukup tinggi tersebut.
Dari sisi rokok kretek pelaksanaan AEC 2015 diperkirakan belum memberikan dampak yang signifikan mengingat Negara-negara di ASEAN lebih banyak mengkonsumsi rokok putih dibandingkan rokok kretek. Konsumsi rokok didalam negeri lebih banyak konsumsi rokok kretek.
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Berapa besaran tariff dan harga jual eceran rokok putih di dalam negeri akan sangat bergantung pada tariff impor dan tariff cukai di Negaranegara tetangga ASEAN.
2. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi kemungkinan
terjadinya
lonjakan
konsumsi
rokok
akibat
terjadinya
pergerakan basis produksi rokok ke negara yang memiliki tarif cukai rendah pada pelaksanaan AEC 2015? Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:
mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai yang cukup tinggi, agar konsumen lebih terarah pada kelas menengah ke atas yang jumlahnya lebih sedikit dari kelas bawah. Dengan demikian jumlah konsumen kelas menengah akan meningkat tidak sebesar jumlah konsumen rokok kelas bawah yang akan menurun secara signifikan sehingga secara keseluruhan lonjakan konsumsi rokok dapat diredam;
basis produksi masih dimungkinkan dengan syarat rokok untuk diekpor. Dengan demikian pemerintah masih memperoleh keuntungan dalam bentuk devisa, penyerapan tenaga kerja dan penerimaan Negara bukan dari cukai namun dari pajak penghasilan;
3. Mengidentifikasi
strategi/menemukan
kebijakan
tarif
cukai
dengan
mempertimbangkan aspek: a. Penerimaan negara; b. Lonjakan konsumsi rokok; c. Biaya kesehatan rokok; dan d. Liberalisasi perdagangan. Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:
128
BAB V PENUTUP
mengarahkan pada kebijakan harga jual eceran dan tariff cukai yang cukup tinggi agar konsumen lebih terarah pada kelas menengah ke atas yang jumlahnya lebih sedikit dari kelas bawah. Dengan demikian jumlah konsumen kelas menengah akan meningkat tidak sebesar jumlah konsumen rokok kelas bawah yang akan menurun secara signifikan sehingga secara keseluruhan lonjakan konsumsi rokok dapat diredam;;
mempertimbangkan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh perokok dibandingkan dengan penerimaan cukai yang di dapat oleh pemerintah, walaupun apabila dikaitkan dengan pelaksanaan AEC 2015 pengaruh tariff dan harga jual eceran lebih terarah pada rokok putih yang konsumsinya masih lebih sedikit dibandingkan dengan rokok kretek, namun biaya kesehatan yang dibayarkan perokok cukup besar;
4. Menemukan strategi kebijakan Kementerian Keuangan dalam mensikapi semakin tingginya liberalisasi perdagangan komoditas rokok; Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:
Kebijakan tarif cukai rokok dalam negeri dipengaruhi oleh kebijakan tarif impor rokok negara-negara tetangga khususnya yang memiliki tarif cukai tinggi dan harga eceran rokok tinggi. Oleh karena itu kebijakan tariff cukai dan harga eceran rokok harus dilakukan secara dinamis mengikuti pergerakan perubahan kebijakan tariff cukai dan harga eceran Negara-negara tetangga;
Dari hasil penelitian yang ada bila liberalisasi perdagangan diterapkan dalam AEC 2015, maka kebijakan tarif cukai rokok putih
129
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan rokok kretek pada Penerimaan Cukai dalam negeri;
Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Singapura signifikan mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok putih dengan Negara Malaysia tidak signifikan mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Singapura tidak signifikan mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai rokok kretek dengan Negara Malaysia tidak signifikan mempengaruhi penerimaan cukai dalam negeri Indonesia
Selisih tarif cukai ROKOK PUTIH dengan Negara SINGAPURAsignifikan mempengaruhi PENERIMAAN CUKAI dalam negeri Indonesia. Hal ini disebabkan karena di Singapura merk rokok yang populer adalah rokok putih merk asing yang perbedaan harga dan tarif cukainya dengan Indonesia sangat mencolok.
Adanya pengaruh langsung kepada variabel penerimaan cukai yang signifikan akibat adanya selisih tarif rokok putih Indonesia dengan tarif impor Singapura (X9) dengan besar pengaruh 0,996 atau 99,6%.
Adanya pengaruh tidak langsung akibat selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Singapura (X7) terhadap variabel penerimaan cukai (Y). melalui variabel CR4 Rokok Kretek (X3) dan Output rokok kretek (X1) adalah: -0,709 × -0,807 x 0,35 = 0,2 signifikan. Namun memberikan dampak secara langsung pada pangsa pasar 4 perusahaan rokok terbesar di Indonesia dalam bentuk terjadinya potensi penurunan pangsa pasar akibat potensi masuknya rokok kretek dari Negara Singapura yang
130
BAB V PENUTUP
disebabkan karena adanya insentif tarif di Indonesia dibandingkan dengan di Singapura. Masuknya rokok kretek dari Singapura ini berpeluang meningkatkan tingkat persaingan di dalam negeri yang pada gilirannya dapat menurunkan produksi produsen rokok kretek di dalam negeri (Indonesia).
Variabel selisih tarif rokok kretek dengan tarif impor Malaysia (X8) tidak signifikan mempengaruhi variabel penerimaan cukai (Y)
Adanya pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor Singapura (X9) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2) adalah: 0,814 × -0,723 x -0,773 = 0,455 signifikan. Variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor Singapura yang cukup tinggi juga memberikan dampak langsung kepada nilai tambah produk rokok putih dalam negeri dan dampak tidak langsung pada pengurangan produksi rokok putih di dalam negeri sebagai kekhawatiran akan tidak terserapnya produk mereka di pasar dalam negeri.
Adanya pengaruh tidak langsung variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif impor Malaysia (X10) terhadap variabel penerimaan cukai (Y) melalui variabel nilai tambah rokok putih (X6) dan variabel output rokok putih (X2) adalah: 0,505 × -0,723 x -0,773 = 0,282 signifikan. Variabel selisih tarif rokok putih dengan tarif import Malaysia berdampak langsung juga pada nilai tambah produk rokok putih di dalam negeri dan berdampak tidak langsung pada menurunnya output rokok putih di dalam negeri sebagai bentuk kehati-hatian para produsen dalam negeri akibat kekhawatiran tidak terserapnya produk rokok putih mereka di dalam negeri.
131
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model analisis path adalah sebesar 0,858 atau 85,8% atau dengan kata lain informasi yang terkandung dalam data 85,8% dapat dijelaskan oleh model tersebut. Sedangkan yang 14,2% dijelaskan oleh variabel lain yang belum terdapat dalam model dan error.
5. Menganalisis prioritas kebijakan cukai di Indonesia; Berdasarkan hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemerintah perlu:
Prioritas kebijakan cukai di Indonesia diarahkan agar konsisten sejalan road map yang telah ditetapkan pemerintah dan menjamin berjalan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan;
Lebih difokuskan kepada tariff cukai dan harga eceran rokok putih;
menyusun
strategi
industri,
perdagangan
dan
investasi
secara
terintegrasi, dalam konteks kerja sama AEC.
implementasi AEC berpotensi melebarkan defisit perdagangan barang dan jasa seiring peningkatan perdagangan komoditas rokok.
menyiapkan strategi untuk mengantisipasi potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA). Akibatnya, akan ada beban tambahan bagi Indonesia dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran.
implementasi AEC akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi mitra ekonominya untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya alam, sehingga manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi
132
BAB V PENUTUP
nilai tambah, penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri hulu;
5.2. 1.
Saran Kebijakan tarif cukai rokok ketika diterapkan AEC 2015 sebaiknya bersifat dinamis mengikuti pergerakan kebijakan tariff impor dan cukai Negara-negara tetangga;
2.
Kebijakan tariff cukai yang sensitive terhadap kebijakan tariff cukai dan impor Negara-negara tetangga adalah tariff cukai khusus untuk rokok putih karena rokok jenis ini juga dikonsumsi di Negaranegara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia sehingga memungkinkan untuk terjadi pergerakan konsumsi rokok;
3.
Pada Pelaksanaan integrasi ekonomi, terdapat kecenderungan Negara yang memiliki tariff cukai rendah akan menjadi target basis produksi rokok, sementara Negara dengan harga jual eceran tinggi akan menjadi target ekspor;
4.
Pemerintah
perlu
secara
intensif
melakukan
pembicaraan
mengenai kesepakatan tariff dengan Negara-negara tetangga; dan 5.
Strategi antisipasi penyelundupan rokok perlu disiapkan sedini mungkin agar pada saat pelaksanaan integrasi ekonomi Indonesia telah siap dengan segala perangkat aturan, infrastruktur dan kebijakan-kebijakan yang dapat merespon penyelundupan;
133
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
6.
Saran untuk penelitian berikutnya adalah perlunya dilakukan analisis dinamika penentuan tarif cukai rokok dengan game theory, karena kebijakannya sangat tergantung pada strategi kebijakan rokok negara tetangga.
134
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA Ahsan, Abdillah.,Wiyono Nur Hadi., Setyonaluri Diah Hadi,(2011), Illicit Cigarettes in Indonesia, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Juni Aldary, Idham Tamim (2009), Kajian Efektifitas Pengawasan Melalui Pelekatan Pita Cukai Sebagai Tindakan Preventif Terhadap Penyelundupan dan Produksi Rokok Ilegal. (Dikaitkan dengan kebijakan tariff dan perilaku konsumen rokok di Indonesia), STAN Austria, M.S. (2006). “The Economic and Health Impact of Trade Liberalization in AFTA: the Case of the Philippines,” A Research Report Submitted to the Southeast Asia Tobacco Alliance (SEATCA). Austrian Energy Agency, 2009. Energy Efficiency Polices and Measure in Austria. Diunduh dari http://www.odysseeindicators.org/publications/PDF/austria_nr.pdf Bunker, John P., John B. Shoven, and Jeffrey O. Sundberg (1987). The Social Security Cost of Smoking. National Bureau of Economic Research. Carlin, W. & P. Seabright, 2000, “The Importance of Competition in Developing Countriesfor Productivity and Innovation”, Background Paper for World Development Report2001. Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2013, http://apps.nccd.cdc.gov/gtssdata/Ancillary/Documentation.aspx?SUID=1& DOCT=1(diakses tanggal 7 Agustus 2013) Chaloupka, F.J., Hu, T., Warner, W.M., Jacobs, R., and Yurekli, A. (2000). “The Taxation of Tobacco Products.” in Jha, P. and Chaloupka F.J. (eds.). Tobacco Control in Developing Countries, The World Bank and World Health Organization, Commission of the European Communities, 2007. Impact Assessment. COM(2007)52 final SEC(2007)171. (Accompanying document to the Proposal for a Council Directive amending Directive 2003/96/EC.) Daniels, John D, Radebaugh, H. Lee, Sullivan, P. Daniel, 2004, International Business“Environments and Operations.” 10th Ed, Pearson Education: Upper SaddleRiver, New Jersey, United States. Evans, William N., Jeanne S. Ringel, and Diana Stech (1999). Tobacco Taxes and Public Policy to Discourage Smoking. Tax Policy and the Economy, Vol. 13 : 1-56. Gravelle, J. and Zimmerman, D. (1994): Cigarette Taxes to Fund Health Care Reform: An Economic Analysis,” CRS Report for Congress. Washington, DC: U.S. Congress, Congressional Research Service. Gruber, J. and K_szegi, B., (2008): A Modern Economic View of Tobacco Taxation. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
135
ANALISIS KEBIJAKAN TARIF CUKAI ROKOK DALAM MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Gruber, Jonathan and Sendhil Mullainathan.(2002), “Do Cigarette Taxes Make SmokersHappier.” NBER Working Paper No.8872 (2002). Hoekman, Bernard, Matoo Aaditya and English Philip, 2002, Development, Trade and theWTO, The World Bank. Isra Sarntisart (2003). An Economic Analysis of Tobacco Control in Thailand, HNP Discussion Paper: Economics of Tobacco Control Paper No. 15, WHO: Tobacco Free Initiative and the World Bank: HNP, Washington D.C. Jha, P. and Chaloupka, F.J. (1999). Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control, World Bank Publication, Washington D.C. Joossens, L. D. Merriman dan A. Yurekli (2000),“Issues in Smuggling of Tobacco Products,” pp. 393– 406 In Tobacco Control in Developing Countries (ed. P. Jha and F. J. Chaloupka ), London, Oxford University Press. Kanbur, R., Keen, M. 1993. Jeux Sans Frontiers: Tax Competition and Tax Coordination When Countries Differ in Size. American Economic Review 83, 877-892. KPMG (2012), Project STAR 2011 report, 19 June, KPMG, London Lightwood, J., D. Collins, H. Lapsley and T.E. Novotny, 2000, Estimating the Costs of Tobacco Use, in: P. Jha and F.J. Chaloupka (eds.), Tobacco Control in Developing Countries, Oxford University Press, Oxford, pp. 63103. Loong, L (2006), Budget Speech 2006, Ministry of Finance, Singapore Government, 17 February, Singapore. Maruping, Mothae, 2005, Africa in the World Economy-The National, Regional and InternationalChallenges, FONDAD, The Hague. Pangestu, Mari and Scollay, Robert, 2001, Regional Trading Arrangements: Stocktake andNext Steps, Trade Policy Forum, Bangkok, Thailand. Pannaadhy, S.D. 2010. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja IndustriPengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia [skripsi]. Bogor: InstitutPertanian Bogor. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Perkins, F.C. 1994. Practical Cost Benefit Analysis: Basic, Concepts and Applications.Macmillan Education Australia Pty Ltd, Melbourne. Schiff, Maurice and Winters, L. Alan., 2003, Regional Integration and Development, TheWorld Bank. Singapore Customs (2008), Singapore Customs’ annual enforcement results, Media Release, Singapore.
136
DAFTAR PUSTAKA
Singapore Customs (2011), Singapore Customs’ annual enforcement results 2010: contraband cigarettes situation improves with record low seizure and continuous growth of revenue, 15 February, Singapore. Sloan, F., Ostermann, J., Conover, C., Taylor, D., and Picone, G. (2004): The Price of Smoking. Cambridge, MA: MIT Press. Smith, S. (2007), Taxation and Regulation of Tobacco, Issues Paper prepared for the seminar, “Taxation and Regulation of Alcohol, Tobacco and Gambling,” at the Dutch Ministry of Economic Affairs. Sunengcih. 2009. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri MinumanRingan di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sunley E., Yurekli, A, and Chaloupka, F (2000): “The Design, Administration, and Potential Revenue of Tobacco Excises,” in Jha P, Chaloupka F, eds., Tobacco Control in Developing Countries. New York: Oxford University Press, 409-26. Sunley, M. Emil, 2009, “Taxation of Cigarettes in the Blomberg Initiative Countries: Overview of Policy Issues and Proposals for Reform.” Paper for Bloomberg Initiative to reduce Tobacco Use under a Contract from the International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) Taylor, A., Chaloupka, F.J., Guindon E., and Corbett, M. (2000). “The Impact of Trade Liberalization on Tobacco Consumption.” in Jha, P. and Chaloupka F.J. (eds.). Tobacco Control in Developing Countries, The World Bank and World Health Organization, Oxford University Press. Teguh, M. 2006. Ekonomi Industri. Raja Graffindo, Jakarta. Terra, B. (1996): “Excises,” in Thuronyi, V, ed., Tax Law Design and Drafting, vol. 1. Washington, D.C.: International Monetary Fund, 246-63. The Star (2011), „War against illicit cigarettes‟, Malaysia Online, 7 June, http://thestar.com.my/news/story.asp?file=/2011/6/7/nation/8849098&sec=n ation. Todaro, M.P and Smith, S. Steven. 2006, Economic Development, 9th Ed, Pearson Education:Upper Saddle River, New Jersey, United States. Viscusi, W. Kip (1995). Cigarette Taxation and the Social Consequences of Smoking. Tax Policy and the Economy. Vol. 9. Ed. James Poterba. Cambridge, MA: MIT Press. Viscusi, W. Kip (2002-2003). The New Cigarette Paternalism. Regulation. Wibowo, T. 2003. Juni 2003. “Potret Industri Rokok di Indonesia”. Jurnal KajianEkonomi dan Keuangan, 7: 2 Wilson, J. D., 1991. Tax Competition with Interregional Differences in Factor Endowments, Regional Science and Urban Economics 21, 423-451.
137