ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU
R. LUKI KARUNIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
ANALISIS KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN NELAYAN KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU
R. LUKI KARUNIA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu R. Luki Karunia C 526010104
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Daniel R. Monintja, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 08 Mei 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 ini adalah Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Secara khusus, penulis menyampaikan penghargaan dan ungkapan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.Ir. John Haluan,M.Sc, Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, dan Ibu Dr.Ir. Anny Ratnawati, MS selaku pembimbing. Penghargaan dan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. H. M. Djoko Ramadhan selaku Bupati Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada periode penulisan disertasi ini dan Ibu Ir. Liliek Litasari, M.Si. selaku Kepala Suku Dinas Perikanan dan Kelautan beserta staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta, para sahabat serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan telah membantu selama pengumpulan data serta mendukung penyelesaian naskah disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih. Pada akhirnya, penghargaan dan ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda terkasih, serta seluruh keluarga. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009
R. Luki Karunia
x
RINGKASAN R.LUKI KARUNIA. Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, DANIEL R. MONINTJA, dan ANNY RATNAWATI. Pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2006, meningkat sebesar 123,89 persen. Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mengalami peningkatan, masingmasing sebesar 96,55 persen dan 142,41 persen jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di kedua kecamatan tersebut pada tahun 2006. Berdasarkan tahapan keluarga sejahtera pada tahun 2007 terdapat 782 keluarga miskin (pra sejahtera) di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu mencakup sekitar 15,1 persen dari jumlah seluruh keluarga yang terdapat di wilayah tersebut. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di wilayah DKI Jakarta yang rata-rata di bawah 5 %. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu masih cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang tepat dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan kepulauan seribu. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu model kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan kepulauan seribu. Model tersebut kemudian dilakukan pengujian dan menganalisis signifikansi dari masing-masing variabel. Analisis kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap diawali dengan analisis potensi ekonomi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa keberhasilan kebijakan peningkatan kesejahteraan akan dipengaruhi oleh ada tidaknya potensi ekonomi di wilayah tersebut. Potensi ini akan coba di potret dengan melihat PDRB, pertumbuhan ekonomi dan struktur ekonomi yang dilanjutkan dengan melihat sektor unggulan yang ada dengan menggunakan analisis location Quotient dan analisis shift share. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana potensi ekonomi sektor perikanan selama ini, karena pada dasarnya kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat didukung terlebih dahulu dengan potensinya sendiri. Hasil analisis menunjukkan sektor perikanan mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di kabupaten/kota lain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai nilai location quotient positif dan juga differential shift positif. Nilai positif ini mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini ditandai dengan nilai proportional shift negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah lain. Analisis berikutnya adalah pengembangan model melalui Structural Equation Modelling (SEM). Berdasarkan hasil analisis SEM, ditemukan beberapa komponen utama yang saling berinteraksi dan berkorelasi secara signifikan positif dalam peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Hubungan antara faktor determinan dengan peningkatan kesejahteraan
iv
nelayan di Kepulauan Seribu secara kuantitatif menunjukkan bahwa aspek penguatan kelembagaan (x1) memiliki pengaruh yang paling besar yaitu 0.398 diikuti oleh kewirausahaan (x3) sebesar 0.359, dan pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (x3) sebesar 0.239. Pada aspek kelembagaan kelembagaan keuangan mikro (LKM) merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659. Setelah mendapatkan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatakan kesejahteraan dilanjutkan dengan melakukan analisis SWOT guna mencari alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan dimulai dari aspek kelembagaan. Beberapa hal tersebut (i) perlunya kelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan PEMDA serta penyediaan prosedur dan mekanisme pemberian bantuan yang jelas, (ii) peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola kelembagaan dan penerima bantuan program pemberdayaan, (iii) pengembangan jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan, (iv) peningkatan akses masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman guna memotong mata rantai dengan tengkulak, (v) pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha. Pada aspek kewirausahaan beberapa kebijakan yang dihasilkan : (i) perlunya upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan dalam membangun kemitraan (ii) pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal, (iii) meningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pengembangan alternatif wirausaha, (iv) peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau, (v) segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan, (vi) regulasi dan kemudahan perijinan usaha kecil menangah dan koperasi. Aspek yang terakhir adalah pemberdayaan menghasilkan (i) Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan permodalan, (ii) memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata sosial yang ada, (iii) penggalian potensi yang berorientasi pada keunggulan kompetitif produk hasil perikanan, (iv) pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan., (v) pengembangan nelayan menjadi nelayan dengan skala lebih besar. Pemerintah perlu segera mengkaji kembali berbagai regulasi/kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan selama ini. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang memiliki spesifikasi wilayah kepulauan, lebih tepat jika program dan kegiatan pembangunan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan nelayan dengan cara penguatan kelembagaan yang ada. Pemerintah daerah hendaknya segera mengkaji kembali seluruh kebijakan pembangunan secara spesifik, komprehensif, dan integratif.
Kata-kata kunci: Kebijakan, penguatan kelembagaan, kewirausahaan, pemberdayaan, dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 1 Juni 1971 sebagai anak kedua dari pasangan Rahardjo Kusumo dan Sri Redjeki. Pendidikan tingkat sarjana ditempuh di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Udayana, lulus tahun 1994 yang kemudian diteruskan pada Universitas Indonesia guna mendapatkan gelar profesi Akuntan. Pada tahun 1996, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti studi pada bidang Economics Development with a concentration in Development Planning Studies di University of Hiroshima dan menamatkannya pada tahun 1999. Pada tahun 2001, melanjutkan ke program doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), pada sub-program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP), Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Lembaga Administrasi Negara sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang. Saat ini penulis menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis merangkap sebagai Ketua Program Studi Manajemen Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Ilmu Admnistrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN). Selain bekerja sebagai PNS, penulis juga aktif mengajar pada beberapa universitas di Jakarta seperti ABFI Perbanas, IPMI Business School, Bakrie School of Management (BSM) dan Universitas Mercu Buana.
vii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13a 13b 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Halaman Fasilitas kesehatan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 4 Indeks komposit ketertinggalan desa di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu …………………………………………….. 5 Indeks komposit ketertinggalan Kelurahan pada Wilayah DKI…. 5 Perkembangan jumlah RT miskin Kab. Adm. Kepulauan Seribu 5 Perbandingan jumlah dan prosentase penduduk miskin ………… 6 Tahapan keluarga sejahtera propinsi DKI Jakarta ……………… 7 Perbandingan situasi antara nelayan tradisional dan modern …… 18 Hasil analisis penelitian sebelumnya …………………………… 78 Komparasi tujuan penelitian dan penelitian sebelumnya.............. 83 Jumlah pulau menurut kelurahan ................................................. 85 Jenis dan makna faktor/konstruk dalam path diagram................ 99 Goodness of fit index................................................................... 105 Rasio jenis kelamin menurut kecamatan tahun 2006-2007 …….. 110 Kepadatan penduduk tahun 2006-2007 ……………………….. 111 Angka kelahiran kasar tahun 2006-2007 ……………………….. 113 Tingkat partisipasi KB tahun 2007 …………………………….. 114 Angka kematian kasar tahun 2006-2007 ………………………. 115 Angka harapan hidup Propinsi DKI Jakarta tahun 2004-2006 116 Angka partisipasi murni tahun 2006-2007 ................................. 117 Rasio murid terhadap guru tahun 2004 dan tahun 2006 ……… 118 Keadaan ketenagakerjaan dan pengangguran di tahun 2007 120 Komposisi alat penangkapan ikan……………………………… 121 Pengusahaan alat penangkapan ikan…………………………… 122 Pemasaran hasil perikanan 123 tangkap………………………………. Pemasaran hasil perikanan budidaya …………………………… 123 Perkembangan PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi…………. 125 Laju pertumbuhan PDRB menurut lapangan usaha atas dasar 126 harga konstan …………………………………………………. Laju pertumbuhan PDRB Kepulauan Seribu sektor pertanian 126 menurut subsektor ADHK Tahun 2000……………………….. Rasio location quotient (LQ) periode 2002-2007 ……………… 130 Persentase pangsa regional dengan migas periode 2002-2007 ….. 131 Persentase pangsa regional tanpa migas periode 2002-2007……. 133 Hasil perhitungan dengan metode shift share (rupiah)………… 135 Penilaian responden terhadap indikator kesejahteraan............... 141 Penilaian responden terhadap penguatan kelembagaan................ 142 Penilaian responden terhadap pemberdayaan sumberdaya 142 manusia ......................................................................................
xiv
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61
Halaman Penilaian responden terhadap kewirausahaan................................ 143 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk penguatan 147 kelembagaan……………………………………………………… Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk pemberdayaan 148 sumberdaya manusia nelayan…………………………………… Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kewirausahaan 149 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kesejahteraan 150 nelayan………………………………………………………… Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk model peningkatan 152 kesejahteraan nelayan…………………………………………… Hubungan antarvariabel pada model akhir……………………… 153 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan 155 nelayan………………………………………………………….. Korelasi antar faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan 155 Faktor pendorong dan penghambat penguatan kelembagaan….. 161 Matriks urgensi faktor internal penguatan kelembagaan……….. 162 Matriks urgensi faktor eksternal penguatan kelembagaan……….. 163 Matriks skoring faktor internal dan eksternal kelembagaan …….. 164 Matriks skor strategi SWOT penguatan kelembagaan………….. 165 Alternatif kebijakan penguatan kelembagaan…………………… 166 Faktor pendorong dan penghambat peningkatan 168 kewirausahaan… Matriks urgensi faktor internal peningkatan kewirausahaan… 169 Matriks urgensi faktor eksternal peningkatan kewirausahaan… 169 Matriks skoring faktor internal dan eksternal kewirausahaan…. 170 Matriks skor strategi SWOT peningkatan kewirausahaan… 171 Alternatif kebijakan peningkatan kewirausahaan………………. 172 Faktor pendorong dan penghambat pemberdayaan SDM……… 173 Matriks urgensi faktor internal pemberdayaan SDM…………… 174 Matriks urgensi faktor eksternal pemberdayaan SDM…………. 174 Matriks skoring faktor internal dan eksternal pemberdayaan 175 SDM Matriks skor strategi SWOT pemberdayaan SDM………….. 176 Alternatif kebijakan pemberdayaan SDM………………….. 177
xv
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Halaman Diagram kerangka pikir peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ................................ 15 Rantai nilai pengembangan kewirausahaan ............................... 40 Gabungan jasa ekosistem……………………………………… 46 Sistem kebijakan publik.............................................................. 62 Model hirarki kebijakan publik ................................................ 63 Lokasi penelitian …………………………………………….. 86 Diagram jalur hubungan struktural antar variabel penelitian…… 98 Confirmatory factor analysis tingkat kesejahteraan nelayan…… 100 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan…………. 100 Confirmatory factor analysis pemberdayaan SDM Nelayan 101 Confirmatory factor analysis pengembangan kewirausahaan 101 Pendekatan Penelitian …………………………………………. 107 Strukur ekonomi dengan migas ………………………………… 127 Struktur ekonomi tanpa migas ………………………………….. 128 Peranan sektor pertanian menurut subsektor tahun 2006……… 128 Proporsi pangsa regional setiap sektor tanpa migas 2002-2007 132 Proporsi pangsa regional sektor pertanian tanpa migas………… 133 Konseptualisasi model peningkatan kesejahteraan nelayan……. 146 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan…………. 147 Confirmatory factor analysis pemberdayaan SDM…………. 148 Confirmatory factor analysis kewirausahaan………..…………. 149 Confirmatory factor analysis kesejahteraan nelayan…………. 150 Confirmatory factor analysis model peningkatan kesejahteraan Nelayan………………………………………………………. 151 Kerangka pendekatan analisis kebijakan pembangunan perikanan 158 Zona kategori kebijakan pembangunan……………………….. 159 Penentuan prioritas kebijakan pembangunan…………………. 160 Kuadran penguatan kelembagaan……………………………. 166 Kuadran peningkatan kewirausahaan…………………………. 171 Kuadran pemberdayaan sumberdaya manusia………………… 176
xvi
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan
merupakan
suatu
proses
yang
berkesinambungan
(sustainable development) yang dilakukan secara berencana dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah telah membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan dalam bidang perencanaan pembangunan sejak masa pembangunan. Tujuan dari setiap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah dalam rangka untuk mencapai perubahan-perubahan ke arah yang positif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya hal tersebut merupakan fenomena yang tidak sederhana karena terjadi interaksi antara faktor alam, sosial, ekonomi dan politik. Daerah-daerah dengan sumber daya yang relatif sedikit, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya biasanya memiliki pertumbuhan ekomomi yang cenderung lebih lambat bila dibandingkan dengan daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang kaya dan beragam. Salah satu sumber ekonomi yang diharapkan dapat menolong bangsa ini keluar dari krisis ekonomi dan menghantarkan menjadi bangsa yang maju, adil dan makmur adalah sektor kelautan dan perikanan, seperti terlihat jelas selama masa krisis antara tahun 1997 sampai dengan 1999. Fakta menunjukkan selama krisis ada tiga permasalahan mendasar, yaitu (1) kurangnya sembilan bahan pokok dipasaran, (2) menurunnya kesempatan kerja yang mengakibatkan banyaknya proses PHK dan (3) menurunnya perolehan devisa. Ketiga permasalahan besar tersebut ternyata tidak terjadi pada sektor perikanan yang dibuktikan selama masa krisis ini, sektor perikanan masih menikmati pertumbuhan positif. Hal ini menunjukkan sektor perikanan sebenarnya merupakan sektor yang dapat diandalkan oleh bangsa Indonesia. Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya perikanan laut besar dan beragam dikarenakan total luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km2. Menurut Aziz et al. (1998) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia
1
adalah sebesar 6,18 juta ton per tahun, ikan demersal 1,78 juta ton per tahun, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan cumi-cumi 28,25 ribu ton. Melihat potensi yang sedemikian besar dan peran yang masih dapat diandalkan pada masa-masa yang akan datang, sektor perikanan ini sudah selayaknya diperhatikan. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan, khusunya sub sektor perikanan bertujuan diantaranya untuk: meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan produkproduk perikanan yang berdaya saing tinggi dan meningkatkan lapangan pekerjaan. Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, serta untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini diperluas cakupannya, sehingga tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga untuk meningkatkan konstribusi Sub Sektor Perikanan Tangkap terhadap perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) (Manggabarani 2005). Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap Indonesia dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang begitu besar seperti disebutkan diatas seharusnya dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional Indonesia, terutama terhadap tiga komponen penting pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan. Akan tetapi hal tersebut belum dapat dibuktikan oleh sektor perikanan terutama perikanan tangkap di Indonesia. Sebagai gambaran Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) melaporkan, bahwa berdasarkan data Lembaga SMERU dan BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia yang notabene nya adalah masyarakat nelayan sebanyak
3,91 juta KK (16,42 juta jiwa)
penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan Poverty Headcount Index (PHI) sebesar 0,32.
2
Paham kesejahteraan (welfare) sejalan dengan terma keadilan (equality) seperti dijelaskan Amartya Sen (1995) terkait penting dengan mengapa keadilan merupakan poin penting dalam peningkatan kesejahteraan dan keadilan terhadap apayang dimaksud dalam peningkatan kesejahteraan ini. Dua pertanyaan ini memang berbeda tetapi sebenarnya dua hal tersebut terkait satu sama lainnnya. Sen menyatakan bahwa kritik atau evaluasi terhadap suatu ketidakadilan tidak dapat dilakukan apabila kita tidak mengetahui secara tepat tentang apa yang dimaksud dengan ketidakadilan itu. Kritik terhadap keadilan lebih menyangkut pertanyaan kedua, yaitu keadilan terhadap apa. Misalnya, apakah keadilan terhadap pendapatan (income), kekayaan (wealths), kesejahteraan (welfare), kesempatan (opportunities), kesuksesan (achievement), kebebasan (freedoms) dan atau terhadap hak-hak (rights). Pendekatan umum yang dilakukan Sen (1995) dalam mengukur kesejahteraan adalah pengukuran atas jumlah orang miskin (poverty head count) dan secara agregat mengukur proporsi jumlah orang miskin terhadap total penduduk sebagai indeks kemiskinan (poverty indexs). Orang miskin itu sendiri dirumuskan sebagai mereka yang pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan (below poverty line), yang variasi ukurannya beraneka ragam tetapi orientasi pada dua variabel utama yaitu jumlah uang yang diperoleh atau asupan kalori perhari, artinya semakin besar jumlah penduduk miskin atau indeks kemiskinan semakin tidak sejahteran daerah itu. Pendekatan Sen yang menjadikan pengukuran atas jumlah orang miskin sebagi pengukuran kesejahteraan suatu daerah memberikan fakta bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu adalah suatu contoh daerah dimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Padahal, wilayah ini memiliki potensi dan sumber daya alam laut yang cukup besar. Pada bulan Juli Tahun 2001, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001 (PP No 55/2001). Peraturan tersebut, berisi keputusan mengenai Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Kepulauan Seribu, yang sebelumnya menjadi salah satu kecamatan di Kota Jakarta Utara, ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten administrasi.
3
Melalui peningkatan status itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Administrasi Kepulauan Seribu diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga dengan pengelolaan Kepulauan Seribu dalam segala aspek, antara lain kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam, ekonomi, kesejahteraan rakyat dan sosial budaya. Fakta di lapangan menunjukkan hingga enam tahun terbentuk, Kepulauan Seribu masih dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sarana dan ketertinggalan pembangunan. Sampai saat ini, dilihat dari sisi sosial ekonomi, kesejahteraan masyarakat Kepulauan Seribu masih sangat rendah, diindikasikan dari 4.920 kepala keluarga masih terdapat 660 keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan atau sekitar 13,5 % (Soebagio 2005). Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, minimnya sarana dan prasarana serta persebaran penduduk yang tidak merata menjadi kendala yang mengakibatkan semua kelurahan di Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori desa tertinggal. Beberapa contoh terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di wilayah Kepulauan Seribu, antara lain fasilitas kesehatan dan pendidikan. Tabel 1 dibawah tampak menggambarkan bahwa pada periode 1996-2000 fasilitas kesehatan yang terdapat di wilayah Kepulauan Seribu masih sangat sedikit. Tabel 1. Fasilitas kesehatan di wilayah kepulauan seribu tahun 1996-2000 Fasilitas Kesehatan Tahun (1) 1996 1997 1998 2000
Rumah Sakit (2) -
Rumah Bersalin (3) -
Poliklinik
BKIA
Puskesmas
Pos KB
Posyandu
(4) 1 3 -
(5) 6 4 4 4
(6) 4 4 3 4
(7) 10 10 13 4
(8) 13 10 6 22
Sumber: Kota Jakarta Utara Dalam Angka 1996-2000, BPS
Seluruh desa/kelurahan yang ada di wilayah Kepulauan Seribu termasuk dalam kategori desa tertinggal (Tabel 2). Kondisi ini terlihat dari nilai indeks komposit seluruh desa/kelurahan di Kepulauan Seribu yang masih lebih rendah bila
dibandingkan
dengan
indeks
komposit
desa/kelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta.
4
ketertinggalan
dari
desa-
Tabel 2 Indeks komposit ketertinggalan desa di wilayah kepulauan seribu Kode (1) 020 010 010 010 020 020
Kecamatan
Kode
(2) Kep. Seribu Utara Kep. Seribu Selatan Kep. Seribu Selatan Kep. Seribu Selatan Kep. Seribu Utara Kep. Seribu Utara
(3) 002 002 001 003 003 001
Indeks Komposit *) (5) 3.0526 3.1053 3.2105 3.2632 3.2632 3.3158
Desa (4) Pulau Harapan Pulau Pari Pulau Tidung Pulau Untung Jawa Pulau Kelapa Pulau Panggang
Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: *) Besarnya angka indeks komposit tersebut masih berada di bawah indeks komposit desa/kelurahan lain di wilayah DKI Jakarta
Indeks ketertingalan desa/kelurahan untuk desa/kelurahan kepulauan Seribu sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan desa/kelurahan lain yang ada di wilayah DKI Jakarta (Tabel 3). Tabel 3. Indeks komposit ketertinggalan kelurahan di wilayah DKI Kode (1) 010 030 020 050 010
Kecamatan
Kode
(2) Jagakarsa ( Selatan ) Cipayung ( Timur ) Menteng ( Pusat ) Tambora ( Barat ) Penjaringan ( Utara )
(3) 003 005 003 010 001
Indeks Komposit *) (5) 3.8947 3.7895 3.8421 3.8421 3.7895
Desa/kelurahan (4) Ciganjur Setu Cikini Roa Malaka Kamal Muara
Sumber: Publikasi Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal 2002, BPS. Keterangan: *) Besarnya angka indeks komposit terendah beberapa kelurahan yang berada di wilayah DKI Jakarta
Pada Tabel 4 dibawah ini digambarkan jumlah rumah tangga miskin dan anggota rumah tangga miskin yang mengalami kenaikan pada tahun 2008. Tabel 4 Perkembangan jumlah RT dan ART miskin kepulauan seribu Tahun NO
Kecamatan
(1) 1 2
(2) Kep.Seribu Selatan Kep Seribu Utara Total
2004
Peningkatan (%) 2005
RT mis
ART mis
RT mis
ART mis
RT mis
ART mis
(3) 185 267 452
(4) 761 1.099 1.860
(5) 386 656 1.042
(6) 1.462 2.373 3.835
(7) 108.65 145.69 130.53
(8) 92.12 115.92 106.18
Sumber : BPS (2007)
5
Seluruh rumah tangga miskin yang berada di wilayah Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu mengalami peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2007, yaitu meningkat sebesar 123,89 persen (Tabel 4). Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 96,55 persen dan 142,41 persen jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang terdapat di kedua kecamatan tersebut pada tahun 2006. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 2007 jumlah rumah tangga miskin yang ada di Kabupaten Kepulauan Seribu semakin banyak. Tabel 5 Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin
Kab/Kota (1) Kab. Adm. Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara Prop. DKI Jakarta Sumber ; BPS (2007)
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
2005 (2) 3.40 64.00 71.20 28.50 57.40 91.70
2006 (3) 3.20 76.30 85.10 43.60 89.50 109.40
2005 (4) 14.64 3.36 2.85 3.17 2.84 6.48
2006 (5) 16.64 3.74 3.55 4.92 4.22 7.58
316.20
407.10
3.61
4.57
Begitu pula apabila ditinjau dari segi penduduknya, menurut konsep kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa yang termasuk dalam
kategori
penduduk
miskin
adalah
penduduk
yang
memiliki
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Meskipun dari segi jumlah penduduk miskin yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sedikit mengalami penurunan, akan tetapi bila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta secara keseluruhan persentase penduduk miskin yang ada di wilayah tersebut mengalami peningkatan
6
sebesar 2,00 persen hingga mencapai angka 16,23 persen dari seluruh jumlah penduduk miskin yang ada di DKI Jakarta (Tabel 5). Angka kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu jauh diatas kota-kota lain yang ada di wilayah DKI Jakarta. Angka kemiskinan tersebut merupakan angka yang tertinggi di wilayah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat kesejahteraan mereka yang semakin menurun. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 6 di bawah ini yang menggambarkan tahapan keluarga sejaktera di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2006. Tabel 6. Tahapan keluarga sejahtera Propinsi DKI Jakarta tahun 2006 Kab/Kota
PS
%
KS-1
%
KS-2
%
KS-3
%
KS-3+
%
Jlh
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
205
0.06
52.293
15.9
92.234
28.2
133.314
40.7
49.570
15.1
327.616
8.757
1.9
103.086
22.7
156.289
34.5
147.860
32.6
37.331
8.2
453.323
Jakarta Pusat
127
0.07
54.974
31.6
58.286
32.4
48.194
27.7
14.403
8.3
173.984
Jakarta Barat
1.208
0.4
71.006
21.4
115.462
34.7
108.093
32.5
36.554
11.0
332.323
Jakata Utara
11.825
4.2
54.153
19.4
100.003
35.9
87.929
31.6
24.616
8.8
278.526
Kep. Seribu
797
15.3
1.524
29.3
2.270
43.6
556
10.7
65
1.3
5.212
Jakarta Selatan Jakarta Timur
Sumber : BPS (2007)
Selain dengan pendekatan rumah tangga dan penduduk, untuk melihat kondisi kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dilakukan dengan
menggunakan
pendekatan
jumlah
keluarga.
Menurut
BKKBN,
berdasarkan pendekatan keluarga tersebut terdapat beberapa tahapan keluarga sejahtera, yaitu keluarga pra sejahtera (miskin), keluarga sejahtera 1 (KS-1), keluarga sejahtera 2 (KS-2), keluarga sejahtera 3 (KS-3), dan keluarga sejahtera 3 plus (KS-3+). Tabel 6 di atas dapat tampak bahwa berdasarkan tahapan keluarga sejahtera pada tahun 2008 terdapat 782 keluarga miskin (pra sejahtera) di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, yaitu mencakup sekitar 15,1 persen dari jumlah seluruh keluarga yang terdapat di wilayah tersebut. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di wilayah DKI Jakarta yang rata-rata di bawah 5 %.
7
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang tepat dalam rangka untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari segi potensinya, dapat diketahui bahwa Kepulauan Seribu memiliki potensi wilayah yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya. Dengan luas wilayah kurang lebih hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yaitu luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50 km2, kondisi ini merupakan salah satu potensi yang menguntungkan bagi daerah tersebut yang dapat digunakan sebagai modal pembangunan daerah setempat apabila mampu dimanfaatkan dengan optimal. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini masyarakat Kepulauan Seribu belum semaju yang dibayangkan bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di wilayah DKI Jakarta lainnya, sehingga hal ini menimbulkan adanya dugaan bahwa sumber daya yang dimiliki belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini mengharuskan pemerintah daerah untuk cermat dalam merumuskan dan menetapkan setiap kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan sektor perikanan tangkap di Kepulauan Seribu. Kebijakan pemerintah dibidang perikanan tangkap yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah misalnya, bisa berakibat kontra produktif terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan bila tidak dirumuskan dengan pertimbangan dan analisa yang komprehensif terhadap potensi, kebutuhan dan karakteristik sosial ekonomi. Fenomena kemiskinan nelayan tersebut juga dikemukanan oleh Fauzi (2005), bahwa sebagian besar nelayan Indonesia, yaitu pelaku perikanan tangkap berskala kecil (perikanan pantai) masih tergolong masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan. Apabila dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Milineum atau Millenium Development Goals (MDGs) pendapatan sebesar US$ 10 per kapita per bulan sudah termasuk ke dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Kondisi seperti demikian menggambarkan bahwa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan belum dapat
8
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Kemiskinan, ternyata juga telah menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat pesisir khususnya nelayan. Rendahnya kapasitas masyarakat nelayan, dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan.
Usaha nelayan
biasanya bersifat individual, tradisional, dan biasanya hanya terpaku pada kegiatan penangkapan ikan saja, yaitu berupa
ikan segar hasil tangkapan.
Sedangkan kegiatan pasca-panen yang dapat menghasilkan nilai tambah justru dilakukan oleh pedagang dan pengolah ikan yang mengambil alih tugas-tugas peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk produk (proses pengolahan), perubahan waktu penjualan (proses penyimpanan), dan perubahan tempat penjualan (proses transportasi). Akibatnya porsi nilai tambah yang didapatkan oleh nelayan relatif kecil. Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tadi, sebenarnya pemerintah telah banyak melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan kemiskinan. Berbagai kebijakan pembangunan yang telah dilaksanakan diduga belum mampu menjadi pembangkit kinerja pembangunan perikanan tangkap yang berada di wilayah Kepulauan Seribu. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka penelitian mengenai kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dan kaitannya dengan variabelvariabel yang mempengaruhinya penting untuk dilakukan. Penelitian ini berjudul “Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”.
1.2 Perumusan Masalah Amartya Sen (1999), saat menerima hadiah nobel di Stockholm tanggal 8 Desember 1998, mengatakan “a camel is a horse designed by a committe”. Sen mengatakan onta (camel) tentu bukanlah kuda (horses), tetapi para pengembil keputusan dalam suatu negara yang ingin mendesain “kuda” akhirnya tidak dapat mengelak kemungkinan hasilnya menjadi “onta” dikarenakan harus mengayomi
9
berbagai perbedaan kepentingan dalam praktek kenegaraan. Sen mengatakan bahwa perumusan suatu pilihan sosial kemasyarakatan (social atau public choice) seperti tujuan suatu negara, daerah atau komunitas dapat menjadi sangat abstrak dikarenakan banyaknya kepentingan dalam pembuatan suatu kebijakan. Seringkali rumusan suatu kebijakan menjadi tidak berarti (negative definition) atau gagal pada saat diimplementasikan. Hal ini mencerminkan kegagalan para perumus kebijakan ketika membuat suatu kebijakan. Kesulitan merumuskan suatu pilihan atau tujuan suatu kebijakan dijelaskan oleh Kennneth Arrow (1950;1951) dalam teori kemustahilannya (impossibility theorem). Dalam pandangan Arrow, rasionalitas, konsistensi dan kebenaran tidak menjadi penting dalam suatu pilihan suatu kebijakan, tetapi kekuasaan lebih menjadi faktor yang paling dominan. Arrow menjelaskan dengan prinsip majority rule yaitu suatu pilihan atas suatu keputusan akan tetap disebut “benar” bila didukung suara mayoritas. Oleh karena itu faktor politik sangat berpengaruh dalam pembuatan suatu kebijakan. Rawls (1971) mendefinisikan kesejahteraan terkait dengan pemerataan pendapatan (equitable distribution of income). Menurut Rawls suatu ketidak adilan (inequality) atau mungkin lebih tepat disebut kesenjangan pendapatan (income gap) dapat dibenarkan sepanjang mereka yang paling miskin (the most poor people) dalam suatu masyarakat tetap memperoleh suatu jaminan sosial. Karena itu baginya kesejahteraan lebih diukur dari sejauh mana kebijakan yang dibuat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu dibuat. Justifikasi penelitian ini secara praktek bertujuan menganalisis kebijakan yang dibuat pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan yang bertujuan meningkatkan kemandirian masyarakat pesisir melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penguatan modal dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir. Justifikasi penelitian secara konseptual berdasarkan konsep teori kesejahteraan menurut Gunawan (2007) yaitu upaya penanggulangan kemiskinan yang merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan program pembangunan. Kebijakan khusus berhubungan dengan peningkatan
10
kesejahteraan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang seharusnya mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah tersebut ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan sebagai berikut : (1) modal usaha dan kewirausahaan, (2) pemberdayaan sumberdaya manusia, (3) prasarana, sarana dan sistem informasi, serta (4) penguatan kelembagaan. Walaupun banyak variabel yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat,
kebijakan
pembangunan
perikanan
tangkap
dalam
rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan dalam penelitian dibatasi dan diasumsikan dipengaruhi oleh tiga faktor utama sesuai dengan konsep kebijakan dari Departamen Kelautan dan Perikanan serta beberapa konsep secara teoritis , yaitu 1) penguatan kelembagaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3) kewirausahaan. Dari ketiga faktor yang diasumsikan mempengaruhi kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil tersebut, sampai saat ini belum diketahui secara pasti sejauhmana faktor-faktor tersebut mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan tangkap skala kecil. Mencermati rangkaian masalah tersebut, diperlukan model kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang dapat menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut: (1)
Apakah faktor penguatan kelembagaan mempengaruhi kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh serta apa yang diperlukan dalam penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
(2)
Apakah
faktor
pemberdayaan
sumberdaya
manusia
mempengaruhi
kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan terhadap kebijakan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil? (3)
Apakah faktor kewirausahaan mempengaruhi kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan dalam aspek kewirausahaan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil?
11
1.3
Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian ini adalah:
(1)
Menganalisis dan membahas pengaruh faktor penguatan kelembagaan terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh serta apa yang diperlukan dalam penguatan kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil
(2)
Menganalisis dan membahas pengaruh faktor pemberdayaan sumberdaya manusia terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan terhadap kebijakan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil.
(3)
Menganalisis dan membahas pengaruh faktor kewirausahaan terhadap kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, dan variabel apa yang paling berpengaruh, serta apa yang diperlukan dalam aspek kewirausahaan yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil.
Tujuan operasional dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh (effects) dan interaksi dari berbagai komponen yang berinteraksi dalam kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, sehingga dapat diperoleh masukan bagi para perumus kebijakan, para implementor, dan evaluator kebijakan ketika mereka berencana untuk merumuskan strategi pengelolaan atau bahkan hendak mengkaji kembali kebijakan peningkatan kesejahteraan yang ada agar lebih bernilai strategis di masa mendatang.
1.4 Manfaat Penelitian (1)
Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan publik tentang peningkatan kesejahteraan nelayan kecil.
12
(2)
Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini menjadi bahan studi lanjutan bagi pengembangan model peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil.
(3)
Bagi masyarakat pesisir (nelayan), hasil penelitian ini sebagai informasi tentang
model
yang
paling
sesuai
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan nelayan skala kecil.
1.5 Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Campbell (2000) tentang mata pencaharian yang berkelanjutan (the sustainable livelihoods framework), setiap kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat perikanan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan potensi sumberdaya perikanan yang tersedia. Konsep tersebut mengemukakan bahwa untuk membangun mata pencaharian yang berkelanjutan perlu memperhatikan aset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir (nelayan), yaitu diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada di sekitarnya; (3) social assets, dukungan yang didapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; (4) physical assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkan, serta (5) financial assests, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan Berdasarkan konsep tersebut yang dihubungkan dengan kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil, serta asumsi bahwa keberhasilan kebijakan peningkatan kesejahteraan akan dipengaruhi oleh ada tidaknya potensi ekonomi di wilayah kepulauan seribu. Potensi ini akan coba di potret dengan melihat PDRB, pertumbuhan ekonomi dan Struktur ekonomi yang dilanjutkan dengan melihat sektor unggulan yang ada dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis shift share. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana potensi ekonomi terutama sektor perikanan selama ini. Karena pada dasarnya kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan sangat didukung terlebih dahulu dengan potensinya sendiri. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil adalah
13
pemberdayaan SDM, kewirausahaan, dan penguatan kelembagaan, maka penelitian ini akan menelaah masing-masing faktor baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Selain mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh, dianalisis juga variabel-variabel yang mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Analisis selanjutnya adalah mengetahui hubungan dari masing-masing variabel apakah hubungan tersebut bersifat sinergis (saling memperkuat) atau antagonis (saling melemahkan). Untuk mengetahui keterkaitan variabel-variabel penting yang berpengaruh dan saling mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis Structural Equation Modeling (SEM), seperti yang dijelaskan oleh Ghozali dan Fuad (2005). Berdasarkan hasil analisis SEM kemudian disusun strategi peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil melalui perbaikan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Dari serangkaian analisis tersebut diharapkan dapat diketahui sejauhmana perikanan tangkap di Kepulauan Seribu berada pada tingkat yang optimum dan sejauhmana faktor-faktor pembedayaan SDM, kewirausahaan dan kelembagaan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil. Setelah
mendapatkan
faktor
yang
paling
berpengaruh
terhadap
peningkatakan kesejahteraan nelayan analisis dilanjutkan dengan menggunakan SWOT guna mencari alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan Kepulauan Seribu. Skema pada Gambar 1 menjelaskan bahwa penelitian ditujukan untuk mengkaji model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil yang
difokuskan
pada
faktor
kelembagaan,
pembedayaan
SDM,
dan
kewirausahaan terhadap kondisi nelayan dan sumberdaya saat ini sebagai suatu pengembangan model pemberdayaan nelayan, yang hasilnya digambarkan sebagai kinerja pembangunan perikanan tangkap skala kecil yang konprehensif, berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.
14
Era OTDA: 33 Provinsi 480 Kab/Kota
Kab.Adm Kepulauan Seribu (Kab. Baru)
Permasalahan: 1. Sebagian besar desa/kelurahan termasuk desa tertinggal; 2. Tingginya jumlah rumah tangga miskin dan penduduk miskin dari tahun ke tahun; 3. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan 4. Produktivitas Ekonomi Kelautan Rendah; 5. Rendahnya jiwa kewirausahaan pada nelayan
Analisis Potensi Ekonomi Daerah dan Sektor Unggulan (Guna melihat peran sektor Perikanan)
PENGUATAN KELEMBAGAAN
Model Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan skala kecil
Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan
PEMBERDAYAAN SDM NELAYAN
KEWIRAUSAHAAN
Gambar 1 Diagram kerangka pikir peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
15
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Nelayan Perikanan Tangkap Skala Kecil Klasifikasi perikanan skala kecil atau besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas.
Sering kali pengelompokkannya
berdasarkan atas ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, dan jarak daerah penangkapan dari pantai (Smith 1983). Menurut Charles (2001), skala usaha perikanan dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah penangkapan yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan, dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokkan tersebut dilakukan melalui perbandingan perikanan skala kecil (small-scale fisheries) dengan perikanan skala besar (big-scale fisheries), walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik. Lebih lanjut karakteristik perikanan skala kecil diungkapkan oleh Smith (1983), bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan dan membaginya ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional. Perikanan tradisional menurut Smith (1983) diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali. 2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan di luar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri. 4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin. 5) Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai sangat rendah.
16
7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual dilaut. 8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya. 9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan
kapal
untuk
memuat,
mengangkut,
mendinginkan, mengolah dan atau mengawetkannya.
menyimpan,
Usaha perikanan
selanjutnya didefinisikan sebagai semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap dan membudidayakan ikan untuk tujuan komersil. Usaha perikanan mencakup aspek produksi, pengolahan/pasca panen dan pemasaran, sehingga terdapat rangkaian kegiatan yang membentuk suatu sistem usaha perikanan. Kesteven (1973) mengelompokkan nelayan ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan industri, artisanal dan subsisten, di mana nelayan industri dan artisanal berorientasi komersial sedangkan hasil tangkapan nelayan subsisten biasanya tidak untuk dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri beserta keluarga atau untuk dijual secara barter. Lebih lanjut Smith (1983) yang dilengkapi oleh referensi Kesteven (1973), membuat rincian perbandingan perikanan skala tradisional dan industri berdasarkan technico-socioeconomic yang di dalamnya termasuk karakteristik perikanan skala kecil.
17
Tabel 7
Perbandingan situasi sosioekonomi-teknis antara nelayan tradisional dengan nelayan industri. Komersial
Katagori
Subsisten Artisanal
Industrial
Tradisional
1.
Unit penangkapan
Tepat, dengan divisi pekerjaan dan prospek jelas
Tepat, kecil, spesialisasi dengan pekerjaan yang tidak terbagi
Tenaga sendiri, atau keluarga, atau grup masyarakat
2.
Kepemilikan
Dikonsentrasikan pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan
Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman, atau nelayan-nelayan gabungan
Tersebar diantara partisipan-partisipan
3.
Komitmen waktu
Biasanya penuh waktu
Seringkali merupakan pekerjaan sampingan
Kebanyakan paruh waktu
4.
Kapal
Bertenaga, dengan peralatan yang memadai
Kecil; dengan motor di dalam (atau motor tempel kecil di luar)
Tidak ada, atau berbentuk kano
5.
Perlengkapan
Buatan mesin, atau pemasangan lainnya
Sebagian atau seluruhnya menggunakan materialmaterial buatan mesin
Material-material buatan tangan, dipasang oleh pemilik
6.
Sifat Pekerjaan
Dengan bantuan mesin
Bantuan mesin yang minim
Dioperasikan dengan tangan
7.
Investasi
Tinggi, dengan proporsi yang besar di luar nelayan
Rendah; penghasilan nelayan (seringkali diambil dari pembeli hasil tangkapan)
Sangat rendah sekali
8.
Penangkapan (per unitpenangkapan)
Besar
Menengah atau rendah
Rendah hingga sangat rendah
9.
Produktivitas (per orang nelayan)
Tinggi
Menengah atau rendah
Rendah hingga sangat rendah
10. Pengaturan Hasil Tangkapan
Dijual ke pasar yang terorganisir
Penjualan untuk lokal yang tak terorganisir, sebagian dikonsumsi sendiri
Umumnya dikonsumsi oleh nelayan itu sendiri, keluarganya, dan kerabatnya; atau ditukar
11. Pengolahan Hasil Tangkapan
Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi bukan untuk manusia
Beberapa dikeringkan, diasap, diasinkan; untuk kebutuhan manusia
Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi
12. Keberadaan Ekonomi Nelayan
Seringkali kaya
Golongan ke bawah
Minimal
13. Kondisi Sosial
Terpadu
Kadang terpisah
Masyarakat yang terisolasi
Keterangan: Kategori (1), (4)-(10) dan (13) dari Kesteven (1973). adalah tambahan perubahan karakteristik menurut Kesteven.
Ungkapan di dalam kurung
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 18
Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia. Dari sisi sumberdaya, wilayah pantai merupakan kawasan yang memiliki sumberdaya alam paling kaya dan merupakan bagian paling produktif di antara seluruh perairan bahari. Bahkan menurut Mulyana (1999) wilayah pesisir atau pantai menghasilkan sebagian besar (80%) produksi perikanan dunia. Walaupun demikian masyarakatnya dalam kondisi miskin bahkan secara ekonomi dianggap kelompok dengan opportunity cost yang rendah. Pendapat lain diungkapkan oleh Subade dan Abdullah (1993), bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka.
Oleh karenanya hampir seluruh
kegiatan di wilayah ini menarik dipelajari dan diteliti termasuk kegiatan perikanan yang sebagian besar dilakukan di wilayah ini. Dalam berbagai hal terutama yang berkaitan dengan badan legal seperti perbankan, nelayan tidak mudah memperoleh akses yang diharapkannya karena ada penilaian rendahnya opportunity cost tersebut.
Opportunity cost nelayan
adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau kegiatan ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan.
Dengan kata lain
opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan.
Bila opportunity cost rendah maka nelayan
cenderung tetap melaksanakan kegiatannya meskipun kegiatan tersebut tidak lagi menguntungkan dan tidak efisien. Ada lagi yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan sebagai mata pencahariannya, yaitu tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan. Panayotou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life).
Pendapat Panayotou ini dijelaskan oleh Subade dan
Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih puas hidup dari menangkap ikan daripada sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan.
Karena prinsip yang demikian, maka apapun yang
19
terjadi dengan keadaannya tidak dianggap sebagai masalah bagi mereka. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya. Smith (1979), menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama nelayan tetap terperangkap dalam kemiskinan, dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang mungkin tidak efisien secara ekonomis. Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain (Widiyanto et al., 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi karena rendahnya pendidikan dan penguasaan keterampilan bidang perikanan. Oleh karena itu pemberdayaan sumberdaya perikanan laut sudah semestinya dilakukan melalui pendekatan dengan nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan
kepada
kelompok
nelayan
kecil
agar
mereka
dapat
mengorganisasikan kegiatan usahanya. 2.2 Definisi Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin
dapat
berakibat antara lain, yaitu : (1) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, (3) rendahnya partisipasi
aktíf
masyarakat,
(4)
menurunnya 20
ketertiban
umum
dan
ketenteramaman
masyarakat;
(5)
menurunnya
kepercayaan
masayarakat
terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi (lost generations). Walaupun nelayan skala kecil menjadi kontributor terbesar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan masih selalu diidentikkan dengan kemiskinan (Elfindri, 2002). Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001). Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam.
Hubungan antara
variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik.
Artinya
semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, antar institusi sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah pusat dan daerah memiliki komitmen khusus bagi kepentingan masyarakat miskin, dengan kata lain perlu dilakukan affirmmative actions.
21
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan (patron) baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural (Nikijuluw, 2001). Seperti yang dinyatakan Shari (1990) dan Mashuri (1993) bahwa penyebab utama kemiskinan nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan buruh. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah (Saedan, 1999). Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks, karena tidak saja berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik
(powerlessness),
ketidakmampuan
menyampaikan
aspirasi
(voicelessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia (human development). Berdasarkan definisinya, Levitan (1980) yang diacu dalam Adiwibowo (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak. Sedangkan ahli ekonomi lebih sering mendefinisikannya sebagai fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup mapan sebagai tempat untuk menggantungkan hidup. Namun sesungguhnya tidak semata-mata diakibatkan oleh kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, melainkan lebih dari itu.
Esensi
Kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan perekonomiaanya.
22
Secara lebih mendalam, Adiwibowo (2000) membedakan paling sedikit ada 6 (enam) macam kemiskinan, yaitu : (1) kemiskinan subsisten (penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.), (2) kemiskinan perlindungan (lingkungan buruk: sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, (3) kemiskinan pemahaman (kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan), (4) kemiskinan partisipasi (tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas), (5) kemiskinan identitas (terbatasnya pembauran, terfragmentasi antara kelompok sosial), (6) kemiskinan kebebasan (stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik tingkat pribadi maupun komunitas). Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar permasalahannya yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: (1) kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya sumberdaya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah, (2) kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena strutur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.Definisi lain mengenai kemiskinan adalah seperti yang disebutkan oleh KPK (Komisi Penanggulangan Kemiskinan), yang mendefiniskan penduduk miskin ke dalam beberapa golongan, masing-masing: 1) Usia di atas 55 tahun (aging poor), yaitu kelompok masyarakat yang tidak produktif (usia lanjut dan miskin). Program untuk kelompok ini bersifat pelayanan sosial. 2) Usia antara 15-55 tahun (productive poor), yaitu usia sedang tidak produktif (usia kerja tetapi menganggur). Program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan merupakan fokus penanggulangan kemiskinan. 3) Usia di bawah 15 tahun (young poor), yaitu kelompok yang belum produktif. Program yang dilakukan yaitu penyiapan sosial. Kemiskinan merupakan suatu proses panjang yang melibatkan tarikmenarik serta interaksi berbagai faktor. Kemiskinan muncul bukan sebagai sebab tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi ketidakadilan, ketimpangan dan 23
ketergantungan dalam struktur masyarakat. Chambers (1983) yang diacu dalam Adiwibowo (2000) mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan (deprivation trap). Kemiskinan berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Rumusan pengertian kemiskinan mencakup unsur-unsur: (1) ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (pangan, pendidikan, kesehatan perumahan air bersih, transportasi dan sanitasi); (2) kerentanan; (3) ketidakberdayaan; dan (4) ketidakmampuan untuk menyalurkan aspirasinya. Sedangkan dimensi kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu: (1) kurangnya kesempatan (lack of opportunity); (2) rendahnya kemampuan (low of capabilities); (3) kurangnya jaminan (low-level of security); (4) dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Kemiskinan dapat dikategorikan berdasarkan penyebabnya, antara lain struktural, kultural, dan alamiah. Penyebab kemiskinan struktural adalah yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan dan lembaga yang ada dimasyarakat yang menghambat produktifitas dan mobilitas masyarakat. Adapun penyebab kulturalnya adalah berkaitan dengan adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan dan gizi yang buruk, sedangkan faktor alamiah adalah faktor kondisi alam dan geografis, misalnya keterisolasian daerah. Indikator kemiskinan yang selama ini lazim digunakan adalah garis kemiskinan (poverty line), yang menunjukkan ketidakmampuan seseorang melampaui ukuran pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya. Garis kemiskinan adalah ukuran yang didasarkan pada kebutuhan konsumsi minimum yang mencakup
konsumsi makanan dan non makanan.
Disamping pengertian kemiskinan secara universal, diperlukan pula pengertian kemískinan pada tingkat lokal yang ditentukan oleh komunitas setempat dan pemerintah daerah terkait. Dengan demikian kriteria kermiskinan, pendataan kemiskinan, penentuan sasaran, pemecahan masalah penanggulangan
kemiskinan
dapat
lebih
obyektif
dan
dan upaya-upaya tepat
sasaran.
Uraian tersebut lebih bersifat pada pada pemahaman kemiskinan yang lebih 24
material, walaupun disadari masih terdapat berbagai pandangan lain yang
non-
material. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh indikasi-indikasi masalah kemiskinan yang nampak pada dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Fauzi (1992) mendeifinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa). Secara anatomis, pada dasarnya kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah dapat timbul karena faktor alam yang tidak mendukung, misalnya sumberdaya yang langka atau tidak bisa lagi menjadi daya dukung kebutuhan manusia. Kemiskinan struktural terjadi karena struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Birokrasi yang
berbelit-belit dan sistem mekanisme pasar yang tidak sehat misalnya merupakan beberapa sebab kemiskinan struktural. Menurut Rasdani (1993), kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Selain itu, tidak punya kemampuan dari dalam untuk mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan (culture of poverty). Kusnadi (2002) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa.
Faktor non-alamiah, berkaitan dengan
keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat Jenderal Agraria (1996) yang diacu oleh Kusnadi (2002) mengklasifikasikan tingkat kemiskinan berdasarkan
25
nilai konsumsi total 9 bahan pokok dalam setahun yang dinilai dengan harga setempat. Kebutuhan hidup minimum yang dipergunakan sebagai tolok ukur adalah 100 kg beras, 15 kg ikan asin, 6 kg gula pasir, 6 kg inyak goreng, 9 kg garam, 60 liter minyak tanah, 20 batang sabun, 4 meter tekstil kasar dan 2 meter batik kasar. Besarnya standar kebutuhan hidup minimum per kapita per tahun dijadikan sebagai garis batas kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut dibagi dalam beberapa katagori sebagai berikut: a) Tidak miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih besar dari 200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun. b) Hampir miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 125-200% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun. c) Miskin, apabila pendapatan per kapita per tahun antara 75-125% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun. d) Miskin sekali, apabila pendapatan per kapita per tahun lebih kecil dari 75% dari nilai total 9 bahan pokok dalam setahun. 2.3 Definisi Kesejahteraan Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan program pembangunan. Menurut gunawan (2007) kebijakan khusus pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang harus mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah pembangunan tersebut harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan yang terdiri dari beberapa hal. Pertama, modal usaha guna mengembangkan kewirausahaan yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantua dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan
kegiatan
sosial
ekonomi
produktif
unggulan
dalam
meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat.
26
Kedua, pemberdayaan sumberdaya manusia, yaitu memperkuat kapasitas sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui pelatihan,peyuluhan dan pemdampingan. Ketiga, penguatan kelembagaan yaitu upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi lokal. Keempat,
prasarana
dan
sarana
serta
sistem
informasi
yaitu
mengembangkan prasarana dan sarana serta jaringan pemasaran sehingga masyarakat dengan mudah mendapatkan input produksi dan menjual produk kepasar lokal, regional dan nasional melalui kemitraan dengan dunia usaha dan penyedia jasa pendukung. Serta sistem informasi yaitu meningkat kemampuan pemantauan, pengendalian, dan pelapora berbasis sistem informasi manajemen dan sistem informasi geographis agar pelaksanaan pembangunan bisa dilakukan secara tepat arah, tepat sasaran dan tepat tujuan. 2.3.1 Tingkat kesejahteraan Kesejahteraan bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai prdoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap factor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Konsep tentang kesejahteraan juga berkaitan dengan konsep tentang kemiskinan. Menurut Sayogyo (1977), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita pertahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu: (1) miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 untuk daerah kota, (2) miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota, (3) paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 beras untuk daerah kota. Kesehatan dapat juga dipakai sebagai ukuran kesejahteraan seseorang. Faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat antara lain konsumsi makan
27
makanan bergizi, sarana kesehatan serta keadaan sanitasi lingkungan yang tidak memadai. Tinjauan tentang kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makanan (pangan) dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa dan indikator dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan dalam kehidupan dewasa ini sudah dianggap sebagai kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Selain itu, faktor gizi juga merupakan indikator utama dalam komponen gizi dan konsumsi yang digunakan dalam menggambarkan taraf hidup masyarakat.
Penyebab kekurangan gizi yang menggambarkan taraf hidup
masyarakat yang lebih rendah lebih lanjut dikatakan bahwa tingkat ekonomi yang masih rendah menyebabkan masyarakat belum mampu memperoleh pelayanan kesehatan. Tinjauan atas tingkat kesejahteraan rakyat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas tempat tinggal yang dimiliki. Perumahan adalah salah satu kebutuhan dasar yang paling penting selain makanan dan pakaian untuk mencapai kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumah tangga/masyarakat. UU No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan soaial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang menungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
28
Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan dan pola pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan. Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS, 1991). Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002), yang
disebut keluarga sejahtera adalah: (1)
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama; (2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarganya; dan (3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, berkehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk, disamping terpenuhi kebutuhan pokoknya. Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS (1991) yang sudah dimodofikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas: (1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan tempat tinggal; (4)
Fasilitas tempat tinggal; (5)
Kesehatan anggota keluarga; (6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medis/paramedis, termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan obatobatan; (7)
Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan; (8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi; (10)
Perasaan aman dari
gangguan kejahatan; dan (11) Kemudahan dalam melakukan olah raga.
29
Tingkat Kesejahteraan Keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1996) yang diacu dalam Primayuda (2002) adalah sebagai berikut: 1)
Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2)
Keluarga Sejahtera Tahap-1 (S-1), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasrnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keluarga Berencana (KB), interaksi dalam keluarga, lingkungan, tempat tinggal serta kebutuhan transportasi.
3)
Keluarga Sejahtera Tahap-2 (S-2), adalah keluarga yag telah dapat memenuhi kebutuhan dasar dan juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi.
4)
Keluarga Sejahtera Tahap-3 (S-3), adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, prsikologis dan pengembangannya akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif di masyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya.
5)
Keluarga Sejahtera Tahap-3 plus (S-3+), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
2.3.2 Pemberdayaan sumberdaya manusia Kata pemberdayaan (empowerment) mengandung arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat, sehingga kegiatan yang berbasis pembedayaan adalah pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut kemudian mengkomunikasikan kekuatan untuk mengubah hal-hal yang ada dalam diri kita (inner space), orang lain yang dianggap penting dan 30
masyarakat sekitar proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama kecenderungan primer yang prosesnya sering disebut sebagai makna pemberdayaan. Kecenderungan ini menekankan pada proses pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Kedua kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Sesungguhnya, di antara kedua kecenderungan tersebut adalah saling terkait, bahkan bisa saja agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Pranarka dan Vidhyandika , 1996). Berdasarkan konsep tersebut, proses pemberdayaan secara umum meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1) Merumuskan relasi kemitraan, 2) Mengartikulasikan tantangan-tantangan dan mengidentifikasi berbagai kekuatan yang ada, 3) Mendifinisikan arah yang ditetapkan, 4) mengeksplorasi sistemsistem sumber, 5) Menganalisis kapabilitas sumber, 6) Menyususn frame pemecahan masalah, 7) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber dan memperluas kesempatan-kesempatan, 8) Mengakui temuan-temuan, 9) Mengintegrasikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai. Pada dasarnya pemberdayaan diletakan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Oleh karena itu Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri.
31
Berkaitan dengan pemberdayan nelayan sebagai bagian dari masyarakat pesisir, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk memberdayakan masyarakat pesisir, di antaranya adalah 1) Strategi Fasilitasi, yaitu mengharapkan kelompok yang menjadi sasaran program sadar terhadap pilihan-pilihan dan sumberdaya yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu agen perubah secara bersama-sama dengan kliennya (masyarakat) mencari penyelesaian. 2) Strategi edukatif,
yaitu strategi yang
diperuntukan bagi
masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan dan keahlian terhadap segmen yang akan diberdayakan. 3) Strategi persuasive, yaitu strategi yang ditujukan untuk membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku. Strategi ini lebih cocok digunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan. 4) Strategi kekuasaan, yaitu strategi yang efektif membutuhkan agen perubah yang mempunyai sumbersumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk monopolis akses. Untuk terlaksananya strategi-strategi tersebut, program unggulan harus dibuat dan dilaksanakan secara terstrukur dan terencana dengan komitmen yang kuat. Selanjutnya dikatakan bahwa program-program pemberdayaan masyarakat pesisir yang seyogyanya dilakukan, adalah: 1) Peningkatan kesejahteraan nelayan yang dilakukan melalui pembangunan desa pantai disertai pembinaan intensif, meningkatkan aktivitas sekunder dengan melibatkan nelayan, menggalakan pengembangan usaha skala kecil dan menengah, membentuk sistem agribisnis perikanan terpadu, pembinaan tehadap lembaga-lembaga keuangan dalam mendukung usaha perikanan, pengembangan usaha berbasis sumberdaya pantai dan industri kecil. 2) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan. Dilakukan melalui peningkatan penguasaan dan penerapan IPTEK perikanan, teknologi pengolahan bagi pengumpul dan pedagang ikan dan pengembangan kemampuan perguruan tinggi pendukung. 3) Pengembangan industri perikanan dan kelautan. Pengembangan industri perikanan dan kelautan di daerah harus dilakukan dengan kebijakan pendekatan total (total approach). Untuk itu banyak hal yang perlu mendapat perhatian yang dapat digolongkan ke dalam 3 aspek
32
yaitu : (1) Administrasi dan manajemen, (2). Badan usaha dan, (3). Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Berkaitan dengan strategi pemberdayaan dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (Community Based Management = CBM) adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan berpusat pada masyarakat, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah. Pengelolaan dengan konsep CBM ini hampir tidak ada campur tangan pemerintah. Pengelolaan dengan CBM ini memiliki resiko jika sumberdaya manusianya tidak siap. Namun demikian, dalam konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dalam kenyataannya juga tidak sepenuhnya berhasil tanpa keterlibatan pemerintah dalam implementasinya. Masyarakat memiliki banyak kekurangan terutama dalam kualifikasi pendidikan, kesadaran akan pentingnya lingkungan, keuangan/permodalan dan sebagainya. Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat local sebagai dasar pengelolaannya. Pengembangan masyarakat dengan CBM dikaitkan dengan kepercayaan (religion). Oleh sebab itu pengelolaan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang mengakomodir berbagai kepentingan (termasuk pemerintah) dalam pengelolaan sumberdaya alam yang disebut CO-Operative Management (CO- Management) Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2002) disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, yakni pembangunan dengan memiliki ciri-ciri: (1) berbasis lokal (melibatkan sumberdaya lokal sehingga return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan adalah sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan (menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi), 33
(3) berbasis kemitraan (kemitraan yang mutualistis antara orang lokal atau orang miskin dengan orang yang lebih mampu, untuk membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik atau profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas), (4) secara holistik atau multi aspek (pembangunan mencakup semua aspek, setiap sumberdaya lokal patut diketahui dan didayagunakan), dan (5) bekelanjutan (keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan sosial). Disebutkan pula, bahwa khusus pembangunan di kawasan pesisir dan umumnya pembangunan perikanan dan kelautan, masalah kualitas SDM dan lingkungan sepatutnya mendapat perhatian khusus, karena secara umum masyarakat pesisir memiliki tingkat pendidikan dan kesehatan yang masih rendah. Oleh karena itu dalam investasi SDM masyarakat pesisir sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua hal tersebut, walaupun investasi SDM dinilai mahal, tidak quick yielding dan tidak nyata (feasible) manfaatnya menurut perhitungan ekonomi konvensional, khususnya bila harus dinilai dengan indikator seperti benefit cost ratio (B/C) atau internal rate of return (IRR). Meskipun demikian investasi ini perlu dilakukan, dengan pertimbangan khusus atau adanya kebijakan keberpihakan (affirmative policy). Dengan SDM yang memadai, maka di masa yang akan datang pengelolaan sumberdaya, bisnis, organisasi, dan kelembagaan produksi di daerah pesisir dapat dilakukan dengan lebih baik. Sehingga dampak positif akan dapat dirasakan baik oleh individu, maupun masyarakat pesisir terutama nelayan secara keseluruhan. Selanjutnya disebutkan pula bahwa pemberdayaan dapat dilakukan melalui Pendekatan Empat-Daya (4D), yaitu upaya pemberdayaan masyarakat pada aspekaspek manusia (Daya-Manusia), usaha (Daya-Usaha), lingkungan (DayaLingkungan) dan sumberdaya (Daya-Sumbedaya). Pendekatan ini merupakan bagian dari strategi pembangunan komprehensif. Pendekatan 4D juga merupakan modifikasi pendekatan tri-bina yang pernah digunakan dalam program pengentasan kemiskinan. Komponen tri-bina adalah bina manusia, bina lingkungan dan bina usaha. Modifikasi dilakukan karena dua hal. Pertama, kata pembinaan lebih berkonotasi tidak adanya partisipasi dan bersifat top-down.
34
Untuk itu diubah dengan kata pemberdayaan yang lebih bernuansa bottom-up dan pelibatan masyarakat. Kedua, ditambahkannya aspek sumberdaya karena pembangunan di pesisir sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya ikan, yang keberadaannya sangat rentan terhadap tindakan manusia dan oleh sebab itu perlu diperhatikan secara khusus. Untuk itu maka dimunculkan aspek sumberdaya dalam bentuk Daya-Sumberdaya. Penjelasan keempat pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: Dayamanusia adalah pendekatan pemberdayaan masyarakat kecil melalui pengembangan SDM. Aspek-aspeknya mencakup (1) investasi pada human capital, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, (2) peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok dalam upaya membentuk dan menumbuhkan collective action, (3) memperluas dan mengintegrasikan mandat agar supaya collective action makin sinergis, (4) menumbuhkan budaya kerja keras dan hemat, serta (5) mengurangi sikap dan perilaku negatif. Daya uasaha adalah pemberdayaan masyarakat melalui pencipataan usaha yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat sendiri. Aspek-aspeknya mencakup (1) meningkatkan keterampilan teknis dan analisis dengan berdasarkan pengetahuan dasar dan pengetahuan teknis, (2) meningkatkan akses terhadap teknologi, modal, pasar, dan informasi pembangunan, (3) membangun kemitraan mutualistis antara pengusaha kuat dan lemah, (4) membangun sistem insentif sebagai basis pengembangan usaha, (5) menyediakan peraturan yang kondusif bagi usaha dan meniadakan peraturan yang tidak relevan dan tidak perlu. Daya lingkungan merupakan pendekatan pemberdayaan dan pembinaan masyarakat melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana produksi serta peran masyarakat dalam mengelola dan menata lingkungan hidupnya. Pendekatan ini mencakup aspek-aspek (1) membangun infrastuktur yang menjadi faktor penarik investasi, (2) meningkatkan perencanaan dan pembangunan kawasan dengan mempertimbangkan daya dukung dan kesesuaian lingkungan, (3) mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya, (4) memperkaya sumberdaya melalui kegiatan-kegiatan rehabilitasi, mitigasi bencana, pengendalian pencemaran serta restocking.
35
Daya sumberdaya pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui pelibatan mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang mencakup aspekaspek (1) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pengelolaan sumberdaya sehingga akan terwujud sistem pengelolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat, (2) memberikan konsesi pengelolaan laut bagi masyarakat lokal sehingga ada perhatian dan rasa memiliki akan sumberdaya tersebut, (3) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya, (4) menerapkan sistem monitoring, pengendalian dan pengawasan lapangan atau MCS sistem, (5) menerapkan teknologi ramah lingkungan dan sumberdaya, (6) membangun kesadaran akan pentingnya merawat dan menjaga keberlanjutan sumberdaya. Campbell (2000) mengenalkan konsep Kerangka Mata Pencaharian yang Berkelanjutan (The Sustainable Livelihoods Framework). tersebut
dikatakan
bahwa
untuk
membangun
mata
Dalam kerangka pencaharian
yang
berkelanjutan, perlu diperhatikan asset-aset yang dimiliki oleh masyarakat pesisir (nelayan), diantaranya (1) human assets, meliputi pengetahuan, kecakapan dan kemampuan; (2) natural assets, aset sumberdaya yang ada disekitarnya; (3) social assets, dukungan yang di dapat dari masyarakat sekitar dan keluarga; (4) physical assets, infrastruktur yang dapat dimanfaatkanseperti jalan, suplai air bersih, pelabuhan dan sebagainya; serta (5) financial assests, modal yang dapat diperoleh untuk aktivitas usaha yang dijalankan. Berdasarkan konsep dan pendekatan di atas, maka sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan diformulasikan sebagai berikut: 1) Terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. 2) Tersedianya prasarana dan sarana produksi lokal yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses dengan harga murah dan berkualitas yang baik. 3) Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu. 4) Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), pasar yang jelas 36
(market-based),
berkelanjutan
berdasarkan
kapasitas
sumberdaya
(environmental-based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based). 5) Terciptanya jaringan transportasi dan komunikasi yang memadai, sebagai basis jaringan ekonomi, baik antar kawasan pesisir maupun antara pesisir dan pedalaman. 6) Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam laut. 2.3.3 Kewirausahaan (Entrepreunership) Menurut Nikijuluw (2005), kewirausahaan (entrepreunership) berasal dari kata
wirausaha
(entrepreunerial).
Menurut
Longman
Dictionary
of
Contemporary English, wirausaha adalah kemampuan seseorang untuk memulai bisnis, menata semua urusan bisnisnya, selanjutnya mengambil risiko dalam rangka memperoleh keuntungan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
wirausaha disamakan dengan wiraswasta yang artinya orang yang pandai atau berbakat
mengenali
produk
baru,
menentukan
cara
produksi
baru,
memasarkannya, serta mengatur permodalanan operasinya. Selanjutnya Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa dengan dasar kedua definisi ini, kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya. Bila dia pelaku UKM maka yang bersangkutan emiliki kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya, untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya.
37
Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha (entrepreneurial intelligence) yang menurut mereka adalah dasar bagi seseorang, siapapun dia, apakah pelaku UKM atau konglomerat, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan. Apakah para pelaku UKM perikanan memiliki kemampuan ini? Jawabannya ya atau ada, tetapi mungkin tidak banyak.
Karena itu perlu
dikembangkan kemampuan berwirausaha di kalangan UKM perikanan sehingga sumberdaya perikanan yang tersedia di sekitar mereka dapat dimanfaatkan dengan baik bagi dirinya dan masyarakat lain. Definisi atau batasan lain yaitu kemitraan usaha. Kemitraan (partnership) berasal dari kata mitra (partner) yang berarti kawan sekerja. Mitra usaha dalah rekan dalam bisnis atau usaha (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara itu dalam Longman Dictionary of Contemporary English, kemitraan diartikan sebagai: (1) kerjasama dalam berusaha; (2) suatu usaha yang dimiliki oleh dua atau lebih pihak yang bersama mencari keuntungan dan memikul kerugian; dan (3) suatu hubungan antara dua orang, organisasi atau negara yang bekerjasama secara reguler. Kemitraan usaha perikanan adalah kerjasama antara dua pihak, utamanya antara pihak usaha besar di satu sisi dan pihak UKM di sisi lain dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan guna mencapai tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Dengan demikian kemitraan usaha perikanan memiliki kedudukan penting dalam pembinaan dan pengembangan UKM.
Melalui
kemitraan, kekurangan UKM dapat disubstitusi dengan kelebihan usaha skala
38
besar. Demikian juga kekurangan dan masalah usaha skala besar dapat dengan lebih efisien diatasi oleh UKM. Pengembangan kewirausahaan dan kemitraan usaha perikanan memiliki akar yang kuat dalam UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Karena amanat UU 31/04 ini maka pengembangan kewirausahaan dan kemitraaan usaha perlu dipromosikan dan dilaksanakan untuk kemajuan bangsa. Pada pasal 2, dikatakan bahwa pengelolaan perikananan diantaranya dilakukan berdasarkan asas keadilan, kemitraan, pemerataan dan keterpaduan. Pengelolaan perikanan diantaranya dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, mendorong perluasan dan kesempatan kerja serta meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing (pasal 3). Pemerintah
diamanatkan
pemberdayaan UKM perikanan.
untuk
melaksanakan
pembinaan
dan
Pasal 62 UU 31/2004 disebutkan bahwa
pemerintah mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan dan pembudidaya ikan, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Juga disebutkan bahwa pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan UKM perikanan dalam kegiatan usaha perikanan yang mencakup penangkapan, budidaya, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan(pasal 63) UKM perikanan diberdayakan diantaranya melalui penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan serta pengembangan kelompok dan koperasi (pasal 60). Komitmen pemerintah bukan saja supaya nelayan Indonesia bisa menguasai teknologi untuk berkiprah di perairan Indonesia saja tetapi juga supaya mereka mampu bekerja di luar negeri.
Untuk itu pemerintah
mengembangkan lembaga pendidikan dan latihan bertaraf internasional (pasal 57). Pemerintah juga diamanatkan untuk bekerjasama dengan lembaga lain, di tingkat nasional dan internasional untuk menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan (pasal 58). Pengembangan kewirausahaan di kalangan perikanan adalah suatu proses yang berkelanjutan dan barangkali tidak ada akhirnya. Dalam bentuknya sebagai suatu proses yang tidak berakhir maka pangkal dan proses tersebut adalah 39
membangun nilai-nilai dan kesadaran berusaha atau berbisnis di kalangan UKM perikanan. Tanpa adanya nilai-nilai dan kesadaran berbisnis maka langkah
Wirausaha
Kemampuan
Praktek dan Pengalaman Usaha
Ketrampilan Usaha
Ketrampilan Dasar
Nilai-nilai kesadaran bisnis
selanjutnya adalah pengembangan kewirausahaan ini tidak akan terwujud.
Rantai Nilai Kewirausahaan
Gambar 2 Rantai nilai pengembangan kewirausahaan (Nikijuluw, 2005). Dari gambar di atas menjelaskan bahwa setelah memiliki kesadaran dan nilai-nilai dalam dirinya berbisnis itu perlu dilakukan dan melalui harkat dan martabatnya dapat ditingkatkan maka langkah selanjutnya yaitu: (1) membangun penguasaan akan ketrampilan dasar teknologi yang berkaitan dengan perikanan; (2) membangun ketrampilan usaha dan manajerial; (3) meningkatkan praktek dan pengalaman usaha; dan (4) mengembangkan niat kewirausahaan secara terus menerus ke depan. 2.3.4 Kelembagaan Menurut Arifin dan Rahbini (2001), definisi kelembagaan mencakup dua demarkasi penting, yaitu konvensi (conventions) dan aturan main (rules of the games). Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal dan diikuti secara baik oleh anggota masyarakat, yang membuat naungan (liberty) dan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga dapat tidak ditulis secara formal seperti pada aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan ini umumnya dapat diprediksi (predictable) dan cukup stabil, serta dapat diaplikasikan pada sutuasi berulang. Menurut bapak ekonomi kelembagaan (the patron saint) Thorstein Veblen (1926) yang diacu dalam Arifin dan Rahbini (2001), kelembagaan adalah settled habits of thought common to the generality of men. Kelembagaan dianggap sebagai suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi (predictable) dalam hubungan antar 40
manusia. Walaupun kelembagaan social sangat peduli pada pemecahan masalahmasalah koordinasi social, kelembagaan tidak mesti mengawasi dirinya sendiri (self-policing). Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal seperti Negara, untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencuri hak-hak orang lain. Menurut tokoh panutan yang lain John R. Commons (1934) yang diacu dalam Arifin dan Rahbini (2001), definisi kelembagaan adalah collective action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap perilaku ekonomi juga sering disebut kelembagaan, sehingga setiap yang dinamis atau tidak statis, yang terproses atau tidak semata komoditas, yang beraktivitas atau tidak semata perasaan dan kepekaan, yang berupa amanajemen atau tidak sekadar keseimbangan, semuanya tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan itu dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns). Jadi kelembagaan itu adalah kegiatan kolektif dalam suatu control atau yurisdiksi, pembebasan atau liberasi, dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu, seperti yang telah disebutkan di atas. Ruang lingkup kelembagaan juga dapat dibatasi pada hal-hal berikut ini: 1) Kelembagaan adalah kreasi manusia (human creations). Beberapa bagian penting dari kelembagaan adalah hasil akhir dari upaya atau kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar. Apabila manusia itu hanya pasif saja dalam suatu system, system itu tak ubahnya seperti kondisi alami atau system fisik yang mungkin saja dapat lebih menguasai kelangsungan kepentingan manusia. 2) Kumpulan individu (group of individuals). Kelembagaan hanya berlaku pada sekelompok individu, setidaknya dua orang atau bagi seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan dirumuskan dan diputuskan bersama-sama oleh kelompok individu, bukan secara perorangan. 3) Dimensi waktu (time dimension). Karakteristik suatu institusi itu adalah apabila dapat diaplikasikan pada situasi yang berulang (repeated 41
situations) dalam suatu dimensi waktu. Kelembagaan tidak diciptakan hanya untuk satu atau dua momen pada suatu kurun waktu tertentu saja. 4) Dimensi tempat (place dimension). Suatu lingkungan fisik adalah salah satu determinan penting dalam aransemen kelembagaan, yang juga dapat berperan penting dalam pembentukan struktur kelembagaan. Akan tetapi, aransemen kelembagaan juga dapat berperan sangat penting pada perubahan kondisi atau lingkungan fisik. Hal inilah yang sering dikenal sebagai hubungan timbal balik (feed-back relationship). 5) Aturan main dan norma (rules and norms). Kelembagaan itu ditentukan oleh konfigurasi aturan main dan norma, yang telah dirumuskan oleh suatu kelompok masyarakat.
Anggota masyarakat harus mengerti rumusan-
rumusan yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianut dalam kelembagaan tersebut. 6) Sistem pemantauan dan penegakan hukum (monitoring and law enforcement). Aturan main dan norma harus dipantau dan ditegakkan oleh suatu badan yang kompeten, atau oleh masyarakat secara internal pada tingkat individu. Artinya, system pemantauan dan penegakan aturan ini tidak sekadar aturan diatas aturan, tetapi lebih lengkap. 7) Hirarki dan jaringan (nested levels and institutions). Suatu kelembagaan bukanlah struktur yang terisolasi, melainkan merupakan bagian dari hirarki dan jaringan atau sistem kelembagaan yang lebih kompleks.
Pola
hubungan ini sering menimbulkan keteraturan yang berjenjang dalam masyarakat, sehingga setiap kelembagaan pada masing-masing tingkatan dapat mewarnai proses evolusi dari setiap kelembagaan yang ada. 8) Konsekuensi kelembagaan (consequences of institutions). umumnya dikenal dua tingkatan konsekuensi.
Disini
Pertama, kelembagaan
meningkatkan rutinitas atau keteraturan atau tindakan manusia yang tidak memerlukan pilihan yang lengkap dan sempurna. Tetapi kelembagaan dapat mempengaruhi tingkah laku individual melalui sistem insentif dan disinsentif.
Kedua, kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya
suatu pola interaksi yang stabil yang diinternalisasi oleh setiap individu. Hal inilah yang menimbulkan suatu ekspektasi keteraturan di masa 42
mendatang, tentunya dalam batas-batas aransemen kelembagaan structural. Oleh karena itu, kelembagaan dapat menurunkan ketidakpastian. Dari uraian definisi dan ruang lingkup kelembagaan di atas, kelembagaan menentukan “bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain (kebolehan atau liberty), bagaimana mereka dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif (kemampuan atau hak), dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya. Bromley (1989 diacu dalam Arifin dan Rahbini 2001 ) secara tegas mengatakan bahwa kelembagaan itu adalah serangkaian hubungan keteraturan (ordered relationships) antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai hak orang lain, dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut. Ekonomi kelembagaan lahir karena para penemunya sangat peduli (concerned) tentang penelusuran bagaimana suatu sistem ekonomi disusun, dijalankan dan digerakkan, serta bagaimana struktur dalam sistem ekonomi itu berubah karena adanya respons terhadap kegiatan kolektif.
Ekonomi
kelembagaan melihat individu atau seseorang sebagai anggota dari perusahaan, anggota dari suatu keluarga, atau anggota dari suatu organisasi tertentu. Hal ini jelas sangat berbeda dengan ekonomi neo-klasik atau ekonomi ortodoks, karena persepsi dan metodologi individualisme, memperlakukan individu atau seseorang sebagai autonomous maximizer yang cukup rasional dan ingin memuaskan keinginannya, dan sebagai satu unit analisis ekonomi yang komplet yang dapat naik atau turun tingkat kepuasannya apabila mengkonsumsi satu tambahan barang atau jasa. Sejak awal kelahirannya, ekonomi kelembagaan dimaksudkan sebagai salah satu bentuk alternative pemecahan masalah-masalah ekonomi. Ekonomi kelembagaan dapat memberikan rekomendasi penting untuk para perumus kebijakan karena seringkali permasalahan ekonomi justru hanya dapat dilihat dari sisi kelembagaan sebagai penghambat (konstrain) dalam perekonomian. Dengan
43
demikian, titik persamaan (dan perbedaan) antara ekonomi kelembagaan dan dalam ekonomi neo-klasik atau ekonomi ortodoks akan digunakan untuk membedakannya dengan ekonomi kelembagaan. Suatu lembaga dapat berjalan apabila ada : 1). Aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, 2). Fasilitas ruang, peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga tersebut Dahuri (2001). Ada tiga unsur di dalam kelembagaan, seperti yang diungkapkan oleh Adiwibowo (2000), bahwa ciri kelembagaan sosial yaitu 1) ada batas yuridiksi, 2) kepemilikan yang sebenarnya (property right ), 3) aturan representasi. Batas yuridiksi menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu institusi dalam suatu masyarakat, yang berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki. Konsep kepemilikan (property right) adalah pengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam menyatakan kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan yang repsentasi mengatur permasalahan siapa saja yang berhak berpartisipasi terhadap proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibat terhadap performance, akan ditentukan oleh kaidah repsentasi yang digunakan. Lembaga sosial biasanya lebih mengakar pada masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh proses tumbuhnya suatu lembaga sosial di masyarakat telah melalui beberapa tahapan ujian dari masyarakat itu sendiri Adiwibowo (2000). Lembaga sosial pada awalnya hanya merupakan kelakuan antar individu, tetapi karena kelakuan antar undividu tersebut sering dilakukan maka akan menjadi sebuah kebiasaan. Apabila kebiasaan ini disertai dengan sanksi hukum bagi anggota yang melanggar, maka kebiasaan ini akan menjadi sebuah sistem hukum yang pada akhirnya menjadi norma yang bisa tertulis atau tidak. Norma akan membudaya dalam sistem nilai budaya masyarakat setempat dan dilakukan secara spontan atau semacam gerak refleks. Apabila semacam ini sudah tercapai berarti kebiasaan tersebut telah melembaga.
44
2.4 Pengukuran Tingkat Kesejahteraan dengan Menggunakan Millennium Assessment Millenium Ecosystem Assessment (MA) dibentuk dengan melibatkan pihak pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan ilmuwan untuk mendapatkan penilaian yang terintegrasi terhadap perubahan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, serta untuk menganalisa pilihan-pilihan yang tersedia guna meningkatkan fungsi ekosisten agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Selain bermanfaat dalam penyediaan informasi yang penting bagi pemerintah, swasta dan masyarakat secara umum, Millenium Assessment juga dapat membantu mendapatkan tujuan yang dirumuskan oleh Millenium Development
Goals
PBB,
sekaligus
merupakan
perwujudan
Plan
of
Implementation dari World Summit on Sustainable Development. Kerangka pikir yang dikembangkan oleh Millenium Assessment dapat memberi kesempatan kepada para pengambil kebijakan untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan (options) yang dapat membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan mencapai tujuan yang lestari. Semua negara dan masyarakat di dunia berjuang menghadapi tantangan untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat terhadap pangan, air bersih, kesehatan dan kesempatan kerja. Para penentu kebijakan di sektor swasta dan publik harus pula mencari keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial dengan konservasi lingkungan. Semua kepedulian ini secara langsung maupun tak langsung terkait dengan ekosistem dunia. Jasa ekosistem adalah manfaat yang diperolah manusia dari suatu ekosistem. Manfaat ini dapat berupa jasa penyediaan, pengaturan dan jasa kultural, yang secara langsung mempengaruhi kehidupan manusia, serta jasa pendukung yang diperlukan untuk menghasilkan dan mempertahankan jasa lainnya. Perubahan terhadap jasa ini akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui dampak yang ditimbulkannya terhadap keamanan, bahan dasar untuk kehidupan yang layak dan kesehatan, serta hubungan sosial dan kultural. Unsur pokok kesejahteraan dipengaruhi oleh manusia dan dapat mempengaruhi kebebasan (freedoms) dan pilihan (choice) yang tersedia bagi manusia. Jika terjadi perubahan terhadap jasa ini maka kesejahteraan manusia 45
dalam berbagai hal akan turut terpengaruh. Hal ini ditunjukkan pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 3 Hubungan jasa ekosistem dengan kesejahteraan manusia Permintaan akan jasa ekosistem ini sekarang menjadi sedemikian besarnya sehingga trade-off antar jasa tersebut dapat menjadi suatu faktor penentu yang penting. Sebagai contoh, suatu negara dapat meningkatkan jumlah produksi pangan melalui konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian. Namun demikian, tindakan tersebut dapat mengurangi jasa lain yang memiliki kepentingan yang sama atau bahkan lebih besar, misalnya tersedianya air yang bersih, kayu, sarana ekoturisme, atau jasa pengaturan terhadap banjir dan kontrol terhadap kekeringan. Selama ini telah banyak terdapat indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap ekosistem akan tetap meningkat pada dekade mendatang. Pada tahun 2050 diperkirakan penduduk dunia akan meningkat empat kali lipat, sehingga permintaan dan konsumsi akan sumber-sumber biologi dan fisik akan bertambah pesat pula, sekaligus meningkatkan dampak terhadap ekosistem dan jasa yang dapat diberikan oleh ekosistem. Kesejahteraan manusia memiliki berbagai dimensi, antara lain bahan 46
(materi) dasar untuk mendapatkan hidup yang layak, kebebasan (freedom) dan pilihan (choice), kesehatan, hubungan sosial yang baik, serta keamanan (safety). Kemiskinan juga bersifat multi-dimensi dan merupakan suatu kondisi yang sangat berbeda dari kesejahteraan. Kesejahteraan, kekurangan atau kemiskinan ini diuraikan dan dieksperesikan sesuai dengan kondisi dan situasi, mencerminkan keadaan fisik setempat, keadaan sosial, serta faktor perorangan seperti kondisi geografi, lingkungan, usia, gender dan kultural. Pada semua kondisi, ekosistem tetap merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mencapai kesejahteraan manusia karena banyaknya jasa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dari ekosistem ini, termasuk jasa penyediaan, pengaturan, kultural dan penunjang. Intervensi atau campur tangan manusia dalam mengelola ekosistem dapat melipat gandakan manfaat ekosistem ini untuk manusia. Namun demikian, dalam dekade terakhir ini terdapat banyak bukti tentang meningkatnya dampak manusia pada berbagai tipe ekosistem diseluruh dunia, sehingga menambah kepedulian mengenai konsekuensi spasial (ruang) dan temporal (waktu) dari perubahan ekosistem yang berpengaruh buruk terhadap kesejahteraan manusia. Perubahan ekosistem dapat mempengaruhi kesejahteraan manusia melalui berbagai cara yaitu: 1) Keamanan (security) dipengaruhi oleh dua hal yaitu (i) perubahan pada jasa penyediaan yang dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dan bahan lain dan kemungkinan terjadinya konflik akibat sumberdaya yang menurun, dan (ii) perubahan dalam jasa pengaturan, yang dapat mempengaruhi frekuensi dan besarnya banjir, kekeringan, tanah longsor, atau bencana yang lain. Keamanan ini juga dapat dipengaruhi oleh perubahan jasa kultural. Misalnya suatu acara seremonial yang penting atau atribut spiritual dari ekosistem hilang, maka akan berpengaruh pada melemahnya hubungan sosial dalam suatu masyarakat. perubahan ini pada akhirnya akan mempengaruhi kesejahteraan, kesehatan, kebebasan dan pilihan, keamanan dan hubungan sosial yang baik. 2) Akses terhadap bahan dasar untuk penghidupan yang layak sangat terkait erat dengan jasa penyediaan, seperti pangan dan produksi serat, serta jasa pengaturan, termasuk penjernihan air. 47
3) Kesehatan terkait erat dengan jasa penyediaan seperti produksi pangan dan jasa pengaturan, termasuk hal-hal yang mempengaruhi distribusi serangga yang menyebarkan penyakit dan patogen yang ada di dalam air dan udara. Kesehatan dapat pula terkait dengan jasa cultural melalui jasa rekreasi dan spiritual. 4) Hubungan sosial dipengaruhi oleh perubahan jasa kultural, yang selanjutnya akan mempengaruhi kualitas dari pengalaman manusia. 5) Kebebasan (freedoms) dan pilihan (choice) sebagian besar tergantung pada keberadaan komponen kesejahteraan masyarakat dan, oleh karenanya, dipengaruhi oleh perubahan dalam jasa penyediaan, pengaturan atau kultural dari suatu ekosistem. Kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan melalui interaksi manusia yang berkesinambungan dengan ekosistem, yang didukung oleh instrumen, institusi, organisasi dan teknologi yang dibutuhkan. Melalui keikutsertaan dan transparansi, interaksi tersebut akan merupakan kontribusi yang besar terhadap kebebasan dan pilihan, disamping meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ketahanan ekologi adalah batas minimum dari stok ekologi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kelestarian jasa ekosistem. Namun manfaat yang didapat oleh institusi dan teknologi ini tidak diperoleh secara otomatis dan tidak pula dibagi secara merata. Peluang tersebut lebih mudah didapat oleh negara dan masyarakat yang kaya dibandingkan dengan negara dan masyarakat yang yang miskin; beberapa institusi dan teknologi malahan memperburuk kondisi lingkungan; governance yang bertanggungjawab ternyata sulit diwujudkan; untuk mempertahankan partisipasi dalam pengambilan keputusan – suatu elemen penting dari governance yang bertanggungjawab – ternyata mahal dalam hal waktu dan sumberdaya. Akses yang tidak merata terhadap jasa ekosistem seringkali neningkatkan kesejahteraan bagi hanya sebagian kecil masyarakat, melalui biaya dari sebagian besar masyarakat lainnya. Konsekuensi dari penurunan dan degradasi jasa ekosistem ini dapat dikurangi melalui substitusi pengetahuan, serta substitusi manufaktur atau sumberdaya manusia. Sebagai contoh, penambahan pupuk pada lahan pertanian selama ini dapat dipakai untuk menahan penurunan kesuburan tanah di berbagai 48
wilayah dunia di mana masyarakatnya memiliki sumberdaya ekonomi untuk membeli input pupuk ini; fasilitas penjernihan air kadang-kadang dapat menggantikan fungsi dari daerah aliran sungai dan lahan basah untuk memurnikan air. Namun perlu diingat bahwa ekosistem merupakan suatu sistem yang kompleks dan dinamis dan terdapat ambang batas dari berbagai substitusi ini, khususnya yang terkait dengan jasa pengaturan, kultural dan pendukung. Tak ada substitusi bagi kepunahan spesies yang penting. Mengingat lambannya proses dalam sistem ekologi dan manusia, konsekuensi dari perubahan ekosistem yang terjadi pada saat ini mungkin tidak akan terasa sampai dekade mendatang. Jadi, untuk mempertahankan jasa ekosistem, dan juga mempertahankan kesejahteraan manusia, diperlukan pemahaman yang mendalam dan pengelolaan yang bijak dari hubungan antara kegiatan manusia, perubahan ekosistem dan kesejahteraan, untuk jangka waktu pendek, menengah dan jangka panjang. Pemanfaatan jasa ekosistem yang berlebihan akan mengurangi ketersediaan jasa tersebut untuk masa mendatang. Hal ini dapat dicegah melalui pemanfaatan jasa yang lestari. Untuk memperoleh pemanfaatan yang lestari diperlukan institusi (kelembagaan) yang efektif dan efisien. Institusi yang efektif dan efisien ini dapat mengatur akses terhadap jasa ekosistem melalui mekanisme kebebasaan, kesetaraan, keadilan, kemampuan dasar, dan keselarasan. Institusi yang bersifat seperti itu mungkin juga membutuhkan penengahan terhadap konflik antara kepentingan individu dan kepentingan kelompok yang mungkin timbul. Pengelolaan ekosistem untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan berbeda jika fokusnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan lemah atau jika difokuskan kepada masyarakat yang kaya dan berkuasa. Untuk kedua kelompok tersebut, diperlukan akses yang setara dan aman terhadap jasa ekosistem. Memahami faktor yang dapat menyebabkan perubahan dalam ekosistem dan jasa ekosistem merupakan suatu hal yang sangat penting untuk merumuskan intervensi yang memiliki dampak positif dan sekaligus meminimumkan dampak negatif. Dalam konsep millennium assessment ini dipakai istilah “penggerak” (driver), yaitu merupakan suatu faktor yang dapat merubah suatu aspek dari 49
ekosistem tertentu. Suatu penggerak yang sifatnya langsung dapat dipastikan akan mempengaruhi proses ekosistem, sehingga dapat diidentifikasi dan diukur pada derajat ketelitian tertentu. Suatu penggerak yang bersifat tidak langsung bekerja secara lebih tersebar, seringkali dengan mengubah satu penggerak langsung atau lebih, dan pengaruhnya dapat diketahui melalui dampaknya terhadap penggerak langsung. Penggerak langsung dan tidak langsung ini seringkali bekerja secara sinergis. Perubahan dalam penutupan lahan, sebagai contoh, dapat meningkatkan peluang introduksi spesies asing yang invasif. Demikian halnya dengan kemajuan teknologi yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju perekonomian. Para pengambil kebijakan memiliki peran yang sangat penting dalam mempengaruhi ekosistem, jasa ekosistem dan kesejahteraan manusia Kebijakan ini dirumuskan pada tiga tingkatan yang berbeda, meskipun perbedaan antar tingkatan tersebut seringkali kabur dan sulit untuk dipisahkan oleh (1) individu dan kelompok kecil pada tingkatan lokal (misalnya suatu tegakan hutan atau kebun) yang secara langsung dapat merubah sebagian dari ekosistem; (2) oleh pengambil kebijakan perorangan dan kelompok pada tingkatan kabupaten, provinsi dan nasional; dan (3) oleh pengambil kebijakan perorangan dan kelompok pada tingkat internasional, seperti konvensi internasional dan perjanjian multi-lateral. Proses pengambilan keputusan merupakan suatu kegiatan yang sangat rumit dan bersifat multi-dimensional. Penggerak yang dapat dipengaruhi oleh para pengambil kebijakan dikenal sebagai penggerak endogen (berasal dari dalam), sementara penggerak yang tidak dapat dikontrol oleh pengambil kebijakan disebut penggerak eksogen (berasal dari luar). Dari sudut pandang para petani, misalnya, jumlah pupuk yang diberikan pada suatu lahan pertanian merupakan penggerak endogen, sementara harga pupuk merupakan penggerak eksogen, mengingat bahwa petani tidak dapat mempengaruhi harga pupuk tersebut. Penggerak eksogen dan endogen, dalam berbagai skala temporal (waktu), spasial (ruang) dan organisasi, serta interaksi diantara berbagai penggerak akan secara khusus dikaji dalam millennium assessment. Bagi para pengambil kebijakan, suatu penggerak dapat bersifat eksogen atau endogen, tergantung dari skala spasial dan temporal yang ditentukan. 50
Contohnya, seorang pengambil kebijakan dapat menentukan pilihan teknologi, melakukan perubahan dalam tataguna lahan, dan menentukan input eksternal (misalnya pupuk atau irigasi) secara langsung, namun memiliki kontrol yang sangat kecil terhadap harga dan pasar, hak atas kepemilikan, teknologi pengembangan, atau iklim setempat. Sebaliknya, seorang pengambil kebijakan pada tingkatan nasional atau regional memiliki kontrol yang lebih kuat terhadap berbagai faktor, seperti kebijakan makroekonomi, teknologi pengembangan, hak atas kepemilikan, pembatasan perdagangan (trade barrier), harga dan pasar. Tetapi pada jangka pendek, individu tersebut tetap memiliki kontrol yang terbatas terhadap iklim global atau populasi global. Pada skala waktu yang lebih panjang, penggerak yang bersifat eksogen bagi pengambil kebijakan pada jangka pendek, seperti populasi, dapat menjadi penggerak endogen karena pengambil kebijakan tersebut dapat
mempengaruhi populasi
melalui,
contohnya, pendidikan,
pengembangan kaum wanita dan kebijakan mengenai migrasi. Penggerak perubahan yang bersifat tidak langsung terdiri dari: (1) demografi (misalnya ukuran populasi, usia, struktur gender, penyebaran secara spasial); (2) ekonomi (misalnya pendapatan per kapita, kebijakan makroekonomi, perdagangan
internasional,
aliran
kapital);
(3)
sosial-politik
(misalnya
demokratisasi, peran kaum wanita, peran masyarakat madani, peran pihak swasta, serta mekanisme menengahi persengkataan pada tingkat internasional); (4) ilmu pengetahuan
dan
teknologi
(misalnya
laju
investasi
dalam
riset
dan
pengembangan, serta laju adopsi teknologi, termasuk bioteknologi dan informasi teknologi); dan (5) kultural dan agama (misalnya pilihan yang diambil oleh individu mengenai apa dan seberapa banyak yang dimanfaatkan).
2.5 Kemiskinan Nelayan di Indonesia Masyarakat pesisir (nelayan) di Indonesia identik dengan kemiskinan meskipun dari banyak literatur menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan adalah suatu atribut global, terkecuali untuk negara-negara maju seperti Jepang. Kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena suatu
kesalahan pengelolaan
sumberdaya ikan, dimana sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada 51
seorangpun
yang
bertanggung
jawab
dalam
memikirkan
keberlanjutan
sumberdaya (Subade and Abdullah, 1993; Panayotou, 1992; Johnston, 1992). Sementara itu, Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecil yang menanggung eksternalitas disekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan. Secara terstuktur, Dahuri (2000) mengajukan alasan kemiskinan nelayan, yang intinya kemiskinan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu biaya tinggi yang harus dibayar dan penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan. Seterusnya bila, diteliti lebih jauh, biaya tinggi disebabkan karena struktur pasar yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerimaan yang rendah adalah karena volume hasil tangkapan dan/atau harga ikan yang rendah. Dahuri (2000) mengklasifikasikan alasan kemiskinan nelayan kedalam empat hal yaitu (1) kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan, (2) kemiskinan karena kekurangan prasarana, (3) kemiskinan karena kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan (4) kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dan memberikan insentif usaha. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti demikian tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak. Panayotou (1992) mengatakan bahwa nelayan tetap bertahan dalam kemiskinan, karena tidak ada pilihan untuk menjalani kehidupan itu (preference
52
for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1992) ini dikuatkan oleh Subade dan Abdullah (1993), yang menekankan bahwa nelayan lebih senang dan memiliki kepuasaan hidup dari menangkap ikan
dan bukan semata-mata
beorientasi pada peningkatan pendapatan. Sehingga dengan way of life yang demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, bukanlah masalah baginya, sementara prinsip hidup sangat sukar untuk diuah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu. Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia menyimpulkan, bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya secara ekonomis tidak lagi efisien. Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu, bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil.
53
Dengan demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan. Johnston (1992) mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas dis-ekonomi (kejadian-kejadian yang terjadi di luar sumberdaya ikan yang menimbulkan biaya yang harus dibebankan kepada masyarakat nelayan, sedangkan keuntungan diterima oleh orang lain) yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga (kecil), maka nelayan kecilah yang akan menanggung eksternalitas dis-ekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan dan deplesi sumberdaya ikan. Hal tersebut terjadi karena sumberdaya ikan tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya. Seperti dikemukakan oleh Feeny (1990) bahwa sumberdaya milik bersama setidaknya memiliki 2 karakteristik, yaitu eksludabilitas (exludability) yaitu kondisi dimana pengawasan terhadap sumberdaya oleh penggunanya cukup sulit dilakukan atau hampir tidak mungkin dilakukan dan substraktabilitas (substractability), yaitu situasi persaingan dimana bila yang seseorang memperoleh lebih banyak, maka orang lain memperoleh lebih sedikit. Jadi substraktabilitas mengandung makna persaingan di dalam pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian sumberdaya milik bersama adalah jenis sumberdaya alam dimana pengawasan terhadapnya sulit dilaksanakan dan pemanfaatan secara bersama-sama melibatkan persaingan. Kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan dan eksternalitas dis-ekonomi ini merupakan variabel mendasar yang selama ini tidak diprogramkan sebagai upaya untuk membangun perikanan di Indonesia (Nikijuluw, 2001). Di bawah kelas sumberdaya milik bersama, terdapat sistem pemilikan sumberdaya (1) akses terbuka atau tidak dimiliki oleh siapapun, (2) kepemilikan swasta, (3) kepemilikan komunal atau oleh sekelompok masyarakat, dan (4) kepemilikan pemerintah. Sumberdaya akses terbuka, seperti selama ini diatributkan pada sumberdaya perikanan Indonesia, adalah sistem dimana tidak seorangpun yang 54
memiliki sumberdaya tersebut. Akibatnya sumberdaya itu terbuka bagi siapa saja untuk dimanfaatkan. Kondisi sumberdaya ikan akses terbuka biasanya adalah kemunduran jumlah ikan, penangkapan secara berlebih-lebihan, penggunaan alat tangkap yang merusak, dan tidak ada seorangpun yang mau bertanggung jawab terhadap kelanjutan sumberdaya. Kemiskinan sebagai akibat akses terbuka dan pengelolaan sumberdaya secara tidak efektif karena lebih dari 80% armada perikanan Indonesia adalah armada skala kecil dan umumnya menganut prinsip rejim dan kepemilikan aset terbuka (open access) maka dampak perikanan akses terbuka ini sangat nyata bagi Indonesia. Dengan sumberdaya ikan yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka setiap orang berhak masuk atau keluar dari sumberdaya tanpa perlu mendapat izin dari yang lain. Kondisi akses terbuka, pada awalnya akan menghasilkan keuntungan bagi industri perikanan maupun nelayan secara individu. Namun keuntungan yang dimiliki ini tidak akan bertahan lama. Karena setiap keuntungan yang diperoleh akan memacu investasi baru. Baik nelayan yang sudah ada dalam industri maupun mereka yang di luar industri akan melihat adanya keuntungan pada industri tersebut sebagai daya tarik untuk masuk ke dalam industri. Nelayan yang sudah terlebih dahulu ada akan meningkatkan investasi usahanya, dalam bentuk penambahan kapal baru, atau meningkatkan jumlah frekwensi penangkapan. Dengan demikian upaya penangkapan ikan akan bertambah. Sementara itu orang lain yang berada di luar industri akan masuk ke dalam industri dalam bentuk investasi baru. Bila proses ini berjalan terus, maka yang akan terjadi adalah perebutan yang semakin kompetetif (purely and perfectly competitive) terhadap sumberdaya yang ada yang semakin hari semakin meningkat. Oleh karena besar dan stok sumberdaya ada batasnya (carrying capacity) dan adanya sifat substraktabilitas sumberdaya yang common property, maka kompetisi yang terjadi akan membuat semakin kecil perolehan keuntungan. Bila sebelumnya, sumberdaya menghasilkan keuntungan supernormal, dengan makin bertambahnya nelayan dan kapal penangkapan ikan, maka pendapatan setiap orang nelayan akan berkurang. Proses 55
ini pada akhirnya akan membuat penerimaan nelayan dari penjualan ikan secara rata-rata, hanya mampu untuk menutupi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengangkapan tersebut. Kejadian-kejadian seperti diuraikan tersebut, sering dikatakan sebagai tragedi akses terbuka.
Feeny (1990) menguraikannya sebagai tragedi milik
bersama. Disebutkan sebagai suatu tragedi karena terjadinya proses pemiskinan, nelayan yang tadinya bisa meraih keuntungan pendapatan akhirnya mengalami penurunan pendapatan. Tragedi ini semakin parah karena lebih banyak orang yang terperangkap dalam usaha memanfaatkan sumberdaya milik bersama ini, terutama di negara berkembang dimana kondisi tenaga kerja relatif banyak tetapi lapangan dan kesempatan kerja relatif kecil, sehingga akan terjadi aliran orang-orang yang terus masuk ke industri perikanan yang memang dicirikan dengan sumberdaya akses yang terbuka. Karena kompetisi antara nelayan terus terjadi, maka individu yang satu berusaha melebihi yang lainnya. Semakin cepat dan semakin banyak seseorang mendapat ikan akan semakin baik bagi yang bersangkutan. Dengan permintaan ikan di pasar yang terus meningkat maka setiap orang akan berusaha memenuhi permintaan itu. Akhirnya, nelayan cenderung menggunakan cara-cara yang tidak benar dengan merusak sumberdaya dan merusak lingkungan. Sampai pada kondisi ini maka tragedi milik bersama magnitude dan skalanya.semakin besar Di Indonesia, secara nasional tragedi itu telah terjadi dan hal tersebut bisa digambarkan sebagai berikut: Potensi lestari ikan laut Indonesia berdasarkan evaluasi potensi terakhir oleh Departemen Kelautan Perikanan adalah sekitar 6,18 juta ton per tahun. Potensi lestari artinya bahwa jumlah ini bisa diambil dari laut setiap tahun secara kontinyu tanpa adanya kemunduran atau degradasi sumberdaya. Namun berdasarkan cara-cara pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, maka yang bisa diambil dari laut yaitu sekitar 80% dari potensi lestari, atau hanya sekitar 5 juta ton per tahun. Angka 5 juta ton dinamakan jumlah tangkapan diperbolehkan (total allowable catch)
56
Dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan ini yang sudah dimanfaatkan dalam bentuk hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada tahun1998 sekitar 3,8 juta ton, atau sekitar 76%, sehingga masih ada sekitar 1,2 juta ton yang dapat diambil lagi dari laut. Namun jumlah yang tersisa tersebut diprediksi akan semakin kecil karena banyak kapal asing yang mencuri ikan, banyak kapal ikan yang tidak melapor kepada yang berwajib, atau laporan di bawah angka yang sebenarnya. Bila dinilai dengan, katakanlah, Rp 5.000 per kg ikan maka nilai hasil tangkapan pada tahun 1998 adalah Rp 19 trilyun. Nilai sebesar ini dihasilkan oleh sekitar 4 juta orang nelayan (skala besar dan kecil, industri dan tradisional). Dengan demikian dalam setahun, seorang nelayan menghasilkan sekitar Rp 4.750.000, nilai kotor sebelum dikurangi biaya operasional dan investasi. Dalam sebulan, berarti setiap nelayan menghasilkan nilai hasil tangkapan kotor sekitar Rp 395.833. Pendapatan rata-rata nelayan per bulan ini memang tergolong rendah. Apalagi jumlah ini harus digunakan untuk membiayai kegiatan penangkapan ikan itu sendiri dan juga untuk kebutuhan keluarga yang umumnya sekitar 4 jiwa per keluarga. Inilah
tragedi itu. Meskipun banyak upaya sudah dilakukan untuk
menghentikan, namun tampaknya sulit, karena caranya yang salah, kurang mengena, kurang strategis, dan tidak tepat sasaran. Sementara itu nelayan tetap bertambah karena sumberdaya ikan tetap bersifat akses terbuka. Jadilah usaha perikanan sebagai perangkap kemiskinan. Hasil penurunan derajat kemiskinan yang dilakukan selama tiga dekade di Indonesia tenyata masih sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi politik, konflik sosial, dan bencana alam yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini terlihat dari angka kemiskinan pada tahun 1976 dari 54,2 juta jiwa (40% dari total penduduk) menurun menjadi 22,5 juta jiwa (11,3% dan total penduduk) pada tahun 1996. Namun badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada bulan Juli 1997 berakibat pada angka penduduk miskin meningkat tajam menjadi 49,5 juta
57
jiwa atau 24,23% dari total penduduk (berdasarkan data BPS bulan Desember 1998). Pengalaman pada masa lalu memperlihatkan beberapa kelemahan pembangunan antara lain : (1) masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro dari pada pemerataan, (2) sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi kebijakan, (3) lebih bersifat karitatif daripada transformative, (4) memposisikan masyarakat sebagai objek dari pada subyek, (5) cara pandang tentang penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada karitatif daripada produktivitas, (6) asumsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama (uniformitas} daripada pluralistik. Tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan kemiskinaan saat ini adalah tuntutan untuk menerapkan paradigma, yaitu : (1) pengelolaan pemerintahan yang baik, (2) otonomi daerah dan desentralisasi, dan (3) upaya pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Tentang masalah kemiskinan di Indonesia data Badan Pusat Statistik (2003) menunjukan, bahwa populasi penduduk miskin di Indonesia sebelum krisis pada tahun 1996 sekitar 11,34%, setelah krisis pada tahun 1998 sekitar 24,23%, dan di akhir tahun 2000 sekitar 18,95%. Oleh karena itu strategi pokok penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menurunkan populasi penduduk miskin dari sekitar 18,95% (atau sekitar 37,8 juta jiwa) di tahun 2001 menjadi sekitar 14% (atau sekitar 26,8 juta jiwa) di akhir tahun 2004. Sedangkan sebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan, bahwa lebih dari 59% berada di Jawa-Bali, 16% di Sumatera dan 25% di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Terpusatnya kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan pola sebaran penduduk yang sebagian besar berada dii Jawa-Bali, sehingga penduduk di Jawa-Bali rentan terhadap krisis ekonomi dan berpengaruh terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin. Hasil pendataan BPS pada tahun 1999 menunjukkan sebagian besar dari rumahtangga miskin rata-rata mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah rata-rata anggota rumahtangga ini lebih besar dibanding jumlah rata-rata anggota rumahtangga tidak miskin (3,9). Ini menunjukkan bahwa rumahtangga
58
miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumahtangga tidak miskin. Ciri lain rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipinipin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02% rumahtangga miskin diperkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 31,38% dipinipin oleh kepala rumiah tangga berpendidikan SD. Karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan aspek kegiatan ekonomi dapat ditinjau dari sumber penghasilannya. Menurut data BPS pada tahun 1996 penghasilan utama 63,01% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya (2,88%) merupakan penerima pendapatan. Pada tahun 1998 penghasilan utama 56,67% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 7,43% dari kegiatan industri, dan 34 % dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya (1,9%) merupakan penerima pendapatan. Hal ini menunjukkan sektor pertanian merupakan sumber penghasilan utama yang dominan bagi rumahtangga miskin dibandingkan dengan sektor laínnya. Dengan membedakah menurut karakteristík wilayah perdesaan-perkotaan sebagian besar, sekitar 75,7% rumahtangga miskin berada di perdesaan yang mengandalkan kehidupannya pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Lebih dari 75% rumahtangga miiskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, dan hanya 24 % yang mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekonomi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumahtangga miskin di perkotaan.
59
Karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan scatus pekerjaan, data BPS menunjukkan pada tahun 1996 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan termasuk pekerja lepas sebesar 80,05%. Di perkotaan terdapat 62,37% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusahasendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga dan 35,92% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja/buruh. Pada tahun 1998 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja dengan status berusaha sendiri atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan termasuk pekerja lepas sebesar 77,95%. Di perkotaan terdapat 53,89% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusaha sendiri/ berusaha dibantu pekerja keluarga dan 43,35% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja/buruh. Pada tahun 1999 kepala rumahtangga miskin perdesaan bekerja dengan status berusaha sendirí atau dibantu pekerja keluarga tidak dibayar dan termasuk pekerja lepas sebesar 77,91%. Di perkotaan terdapat 61,21% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja lepas/berusaha sendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga dan 36,67% rumahtangga miskin yang bekerja sebagai pekerja/buruh. Gambaran karakteristik rumahtangga miskin berdasarkan status pekerjaan diatas, menunjukkan kondisi tahun 1998 terjadi peningkatan persentase rumahtangga miskin yang bekerja sebagai buruh/karyawan. Kecenderungan tersebut mengindikasikan krisis yang terjadi pada tahun 1998 menjangkau sektor formal, sehingga relatif lebih banyak buruh/karyawan yang jatuh miskin pada tahun 1998 dibandng 1996. Sedikit perbaikan sudah mulai nampak pada tahun 1999, walaupun kondisinya masih sedikit lebih buruk dari tahun 1996. Yang lebih perlu diperhatikan adalah dominannya rumahtangga miskin yang berstatus pekerja lepas/berusaha sendiri/berusaha dibantu pekerja keluarga baik di perdesaan maupun di perkotaan, walaupun rumah tangga miskin yang berstatus karyawan/pekerja/buruh juga cukup banyak. 2.6 Kebijakan Publik Young dan Quinn (2002 diacu oleh Suharto, 2005) memberikan definisi kebijakan publik secara luas, yakni sebagai ”whatever governments choose to do or to do”. Sementara itu, Anderson yang dikutip oleh Young dan Quinn (2002 60
diacu oleh Suharto, 2005), mengemukakan definisi kebijakan publik yang lebih spesifik, yaitu sebagai “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”. Beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik: 1) Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukannya. 2) Kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, dan upaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. 3) Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukan sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. 4) Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah social. Namun kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah social akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya memerlukan tindakan tertentu. 5) Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang actor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah. Kebijakan publik sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah, hal ini disebabkan sebagian besar dana untuk kebijakan tersebut dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Namun saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintah) ke governance (tatakelola), sehingga kebijakan publik dipandang tidak lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari 61
“penguasa orang banyak” yang diidentikkan dengan pemerintah, ke “bagi kepentingan orang banyak” yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. 2.6.1 Analisis kebijakan publik Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang proses kebijakan. Analis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Analisis kebijakan diletakkan pada konteks sistem kebijakan, yang menurut Dunn, dengan mengutip Thomas R.Dye dalam Nugroho (2007) dapat digambarkan sebagaimana Gambar 4
PELAKU KEBIJAKAN
LINGKUNGAN KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK
Gambar 4 Sistem kebijakan publik Menurut Dunn (1999), metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: 1) Definisi: Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. 2) Prediksi: Menyediakan informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa datang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu. 3) Preskripsi: Menyediakan informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang.
62
4) Deskripsi: Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. 5) Evaluasi: Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah. 2.6.2 Hirarki kebijakan publik Menurut Arifin dan Rahbini (2001), model hirarki kebijakan publik timbul dan berkembang dari suatu proposisi bahwa perubahan aransemen kelembagaan sangat berhubungan dengan hakikat, model dan analisis kebijakan publik. Walaupun terdapat beberapa model kebijakan publik seperti model linier, melingkar dan sebagainya, model hirarki kebijakan sering dijadikan referensi dalam analisis ekonomi kelembagaan dan ekonomi politik secara umum. Model hirarki perumusan kebijakan mengenal tiga tingkatan, yaitu: (1) Tingkatan politis (kebijakan); (2) Tingkatan organisasi (institusi, aturan main); dan (3) Tingkatan implementasi (untuk evaluasi, feed-back). Tingkat Politis Lembaga Tinggi Negara: DPR dan sebagainya
Aransemen Kelembagaan
Tingkat Organisasi Lembaga Departemen/Non Departemen
Aransemen Kelembagaan
Tingkat Operasional (Individu: Petani, Perusahaan, dan sebagainya)
Bentuk dan Pola Interaksi
Hasil Akhir (Outcome)
Evaluasi (Assessment)
Gambar 5 Model hirarki kebijakan publik Pada tingkat politis, terdapat lembaga tinggi negara dan atau lembaga legislatif seperti DPR; sedangkan pada tingkat organisasi ditempati oleh lembaga63
lembaga departemen dan non-departemen. Individu perorangan, petani, rumah tangga, dan perusahaan berada pada tingkat operasional atau implementasi kebijakan publik (Gambar 5). Tingkat politis dengan tingkat organisasi terikat oleh suatu aransemen kelembagaan, yang menjabarkan aturan main mengenai bagaimana organisasiorganisasi bekerja dan beroperasi. Aransemen kelembagaan berikutnya terlihat menghubungkan antara tingkat organisasi dengan tingkat operasional, yang jelas juga dipengaruhi oleh aransemen kelembagaan antara tingkat politis dengan tingkat operasional, yang jelas juga dipengaruhi oleh aransemen kelembagaan antara tingkat politis dan tingkat organisasi. Masukan dari bawah (feedback) merupakan kunci suatu perumusan kebijakan publik. Jika tata krama dan hukum adat masih dominan dalam hal aturan main tata krama kemasyarkatan, inovasi dan perubahan kelembagaan dapat juga dilakukan melalui jalur yang semestinya.
Perumusan kebijakan tanpa
mengikutsertakan evaluasi (assessment) dan umpan balik dari bawah hanya akan menimbulkan suatu sistem kekuasaan yang otoriter dan totaliter, sesuatu yang tidak diinginkan oleh sistem perekonomian.
Jika telah terlanjur menjadi
kebijakan, kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik oleh pejabat pemerintah juga harus ada dan harus jelas mekanisme politiknya. Alasannyapun jelas karena sumber-sumber ekonomi, kekuatan hukum dan politik yang terlibat adalah domain publik yang harus diawasi. 2.7 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan di Indonesia Berdasarkan pengalaman masa lalu dan tantangan yang dihadapi saat ini, maka
diperlukan
upaya
yang
sungguh-sungguh
dalam
penanggulangan
kemiskinan, untuk itu perlu dirumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional yang komprehensif, terpadu antar kebijakan dan antar pelaku pemerintahan pusat-daerah bersama-sama dengan masyarakat
madani, swasta,
serta kelompok masyarakat lokal. Dalam rangka mempertajam kebijakan penanggulangan kemiskinan maka orientasi penanggulangan kemiskinan diarahkan pada : (1) upaya mengkatkan 64
produktvitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan dengan basis pengembangan ekonomi lokal melalui dukungan pendanaan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya, dan (2) upaya meringankan beban pengeluaran miasyarakat miskin dengan peningkatan akses terhadap kebutuhan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan penyediaan infrastruktur sosial ekonomi lokal melalui intervensi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Beberapa tujuan dan sasaran yang dilakukan pemerintah dalam rangka menanggulangi problem kemiskinan di Indonesia adalah : 1)
Menciptakan iklim dan lingkungan yang mampu mendorong perluasan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dan memperoleh pelayanan publik yang tidak diskriminatif.
2)
Meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan publik melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pemantapan kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik bagi kelompok masyarakat miskin .
3)
Meningkatkan
kemampuan
peningkatan
dasar
masyarakat
miskin
untuk
pendapatan melalui perbaikan kesehatan dan
pendidikan, ketrampilan
usaha, permodalan, prasarana, teknologi,
serta informasi pasar. 4)
Membangun sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan Kelompok masyarakat yang terkena bencana alam, dampak negative krisis ekonomi dan konflik sosial.
5)
Mendorong terciptanya kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah dalam upaya membantu kelompok masyarakat miskin.
6)
Mempercepat penurunan kemiskinan absolut serta melindungi keluarga dan
kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan
sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial. 7)
Menurunkan
jumlah penduduk miskin dari sekitar 18,95% (atau
sekitar 37,8 juta jiwa) di tahun 2000 menjadi sekitar 14,01 % (atau sekitar 26,8 juta jiwa) di awal tahun 2004. 65
Hal
tersebut
dengan
mempertimbangkan
upaya
penanggulangan
kemiskinan adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin dalam jangka panjang, yaitu pada període tahun 2001- 2015, yang terkait dengan sasaran pïnanggulangan kemiskinan secara internasional untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin secara absolute sebesar 50% dari angka kemiskinan tahun 1999. Tingkat sasaran tersebut menunjukkan angka yang relatif tidak jauh berbeda dengan target penurunan jumlah penduduk miskin yang tertuang dalam Propenas 2000, dimana sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun (2000-2004) adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolut sebesar 4 % dari tingkat kemiskinan tahun 1999. Dengan penurunan tersebut, jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 beikurang menjadi 28,86 juta jiwa. Target tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) Penurunan jumlah pengangguran secara bertahap dari 6,03 (6,4% dari seluruh angkatan kerja) sehingga mencapai 4,7% pada tahun 2004, (2) Pertumbuhan ekonorm nasional rata-rata 4-5% pada tahun 2001, 5-6% tahun 2002, 5-6% tahun 2003, dan 6-7% tahun 2004, (3) Laju inflasi rata-rata 6-8% pada tahun 2001, 5-7% tahun 2002, 4-6% tahun 2003, dan 3-5% tahun 2004, dan (4) Adanya kemampuan pembiayaan pemerintah, pemerintah daerah dan dukungan dari swasta dan donor. Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan amanat konstitusional bagi pencapaian tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan mandat Undang-undang Dasar 1945 yang tertuang dalam beberapa pasal terutama pasal 17 ayat 2 yang berbunyi "Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "tiap- tiap warga negara berhak mendapat pengajaran", dan pasal 34 : "Fakir miskin dan anak-anak, terlantar dipelihara oleh negara".
66
Dalam kerangka pelaksanaan strategi maka kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi : 1. Kebijakan perluasan kesempatan (promotíng opportunity) berkaitan dengan penciptaan iklim dan lingkungan yang kondusif dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Kebijakan tersebut meliputi: 1)
peningkatan alokasi fískal untuk penanggulangan kemiskinan,
2)
menciptakan sistem pajak dan subsidi yang adil,
3)
merangsang investasi untuk daerah-daerah miskin,
4)
peningkatan stabilitas moneter terutama yang berkaitan dengan pengendalian harga-harga kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat kurang mampu.
5)
peningkatan kinerja pelayanan publik;
6)
kebijakan peningkatan
praktek pemerintahan yang baik dalam
pengelolaan kebijakan penanggulangan kemiskinan; 7)
peningkatan
tanggung
jawab
pemerintah
daerah
dalam
penanggulangan kemiskinan; 2. Kebijakan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) berkaitan dengan upaya penguatan masyarakat beserta organisasi dan kelembagaannya untuk mampu mengakses dan terlibat dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan publik. Kebijakan tersebut meliputi : 1) Pendampingan manajemen dan informasi kepada lembaga ekonomi-sosial masyarakat miskin; 2) Pengembangan forum lintas pelaku dalam komumkasi dan konsultasi baik antara pemerintah dan lembaga masyarakat, maupun antar
lembaga
masyarakat dalam kegiatan pengambilan keputusan publik; 3) Penguatan legalitas bagi penyusunan acuran masyarakat lokal dalam rangka otonomi daerah; 4) Penguatan akses terhadap kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, perumahan, serta prasarana transportasi dan komunikasi; 5) Peningkatan kapasitas lembäga dan organisasi masyarakat lokal dalam pengembangan demokrasi, partisipasi, dan resolusi konflik dalam rangka pemantapan ketahanan sosial masyarakat; 67
6) Penguatan akses dan kemampuan finansial, kemampuan organisasi modern, dan intenalisasl budaya industri dalam proses industrialisasi dan pengembangan bisnis; 7) Pembangunan akses kepada pasar tenaga kerja yang lebih adil, baik antara tenaga kerja formal, informal maupun antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan, 8) Pengembangan
jaringan
kerjasama
antar
organisasi
masyarakat,
pemerintah, dan swasta dalam rangka peningkatan pemasaran produk, penguatan posisi politis, kedudukan sosial dan etika berdemokrasi. Kebijakan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) ditujukan untuk: 1)
Adanya peningkatan kemampuan manajemen dan akses informasi kepada lembaga ekonomi-sosial masyarakat miskin;
2)
Adanya forum lintas pelaku dalam komunikasi dan konsultasi baik antara pemerintah dan lembaga masyarakat, maupun antar lembaga masyarakat dalam kegiatan pengambilan keputusan publik; Adanya penguatan legalitas bagi penyusunan aturan masyarakat lokal dalam rangka otonomi daerah;
3)
Semakin menguatkan akses terhadap kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, perumahan, serta prasarana transportasi dan komumkasi
4)
Meningkatkan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal dalam pengembangan demokrasi, partisi pasi, dan resolusi konflik dalam rangka pemantapan ketahanan sosial masyarakat;
5)
Menguatnya akses dan kemampuan finansial, kemampuan organisasi modemi, dan intemialisasi budaya industri dalam proses industrialisasi dan pengembangtín bisnis; Terbangunnya akses kepada pasar tenaga kerja yang lebih adil, baik antara tenaga kerja formal, informal maupun antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan, Berkembangnya jaringan kerjzsama antar organisasi masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam rangka peningkatan pemasaran produk, penguatan posi si kedudukan sosial dan etika berdemokrasi.
68
politis,
3.
Kebijakan peningkatan kemampuan (capacity building) berkaitan dengan upaya
peningkatan
kemampuan
dasar
masyarakat
miskin
untuk
meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan,peningkatan ketrampilan usaha, ketrampilan usaha, permodalan, prasarana, teknologi, serta informasi pasar. Kebijakan tersebut meliputi : 1)
Peningkatan penyediaan dan pelayanan kebutuhan dasar yang langsung pada masyarakat miskin, terutama pangan, pendidlkan, kesehatan, air bersih dan prasarana dan sarana dasar lainnya.
2)
Pemberian potongan harga atau subsidi dalam berbagai pelayanan sosial dasar secara ädil dan merata.
3)
Penyediaan bantuan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang menunjang kegiatan ekonomi produktíf masyarakat miskin.
4)
Penyediaan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kemampuan serta pengembangan usaha bagi masyarakat miskin serta usaha mikro dan kecil.
5)
Kebijakan perbankan untuk peningkatan akses kredit dengan bunga terjangkau bagi penduduk miskin, usaha mikro, usaha kecil dan menengah.
6)
Perbaikan akses dan regulasi yang mendukung kegiatan usaha mikro, kecïl dan menengah, terutama di pemerintah daerah.
7)
Pengembangan kelembagaan keuangan mikro dan perbankan yang mudah diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah.
8)
Meningkatkan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah melalui peningkatan skill, modal, teknologi, informasi, dan legal.
9)
Pendampingan terhadap keluarga dan kelompok masyarakat miskin dalam pengembangan usaha dan kebiasaan hidup produktif.
4. Kebijakan peningkatan kemampuan (capacity building): 1)
Adanya potongan harga atau subsidi dalam berbagai pelayanan sosial dasar secara adil dan merata.
2)
Terbangunnya prasarana dan sarana sosial ekonomi yang
menunjang
kegiatan ekonomi produktif masyarakat miskin. 3)
Meningkatnya kemampuan serta pengembangan usaha bagi masyarakat miskin serta usaha mikro dan kecil. 69
4)
Adanya aksés perbankan
untuk kredit dengan bunga terjangkau bagi
penduduk miskin, usaha mikro, usaha kecil dan menengah 5)
Adanya akses dan regulasi yang mendukung kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah, terutama di pemerintah daerah.
6)
Berkembangnya kelembagaan keuangan
mikro dan perbankan yang
mudah diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah. 7)
Meningkatnya kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah melalui peningkatan skill, modal, teknologi, informasi, dan legal.
8)
Berkembangnya usaha keluarga dan kelompok masyarakat miskin dan kebiasaan hidup produktif.
9)
Berkembangnya jaringan produksi dan pemasaran antar usaha mikro, kecil, dan menengah bersama-sama dengan pemerintah dan organisasi non pemerintah atas dasar local resources based dan demand dríven.
2.7.1 Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) merupakan salah satu program Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dilaksanakan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan pertisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi lainnya yang berbasis sumberdaya lokal dan berkelanjutab, sehingga dapat mendorong dinamika pembangunan sosial ekonomi di kawasan pesisir. Program PEMP dilaksanakan sejak tahun 2001 dan akan berakhir pada tahun 2009. Secara garis besar, periode pelaksanaan Program PEMP dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu : (1) tahap inisiasi program (2001-2003), (2) tahap institusionalisasi program (2004-2006) dan (3) tahap diversifikasi program (2007-2009). Program PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan didasarkan pada karakteristik masyarakat pesisir sehingga masyarakat merasa memiliki dan membutuhkan program ini.
70
Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (lapangan kerja dan pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan, dan agama), lingkungan sumberdaya perikanan dan laut serta permukiman dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan berusaha serta meningkatkan
meningkatkan pendapatan. kualitas
sumberdaya
Aspek social penting
manusia
melalui
peningkatan
untuk ilmu
pengetahuan dan teknologi, iman dan takwa serta sikap dan perilaku. Aspek lingkungan penting untuk pelestarian sumberdaya pesisir dan laut, serta perbaikan permukiman. Aspek infrastruktur dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan social. Keempat aspek tersebut (ekonomi, social, lingkungan, dan infrastruktur) harus ditunjang oleh kelembagaan social ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal. Keberhasilan
dalam
peningkatan
kesejahteraan
(ekonomi)
akan
dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang bisa dikembangkan dan permodalan yang dapat disediakan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Kegiatan usaha itu sendiri keberhasilannya akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya laut dan pesisir yang ada, teknologi yang tersedia seta kualitas sumberdaya manusia yang akan mengelolanya. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, iman dan takwa, serta wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan, dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam ranka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Dalam
rangka
peningkatan
kualitas
sumberdaya
manusia
dan
pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat diperlukan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar, dan tata ruang kawasan pesisir. Pengembangan kegiatan usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut memerlukan perencanaan yang matang agar dalam pelaksanaannya tidak menyebabkan kerusakan sumberdaya yang bersangkutan. Oleh karena itu, kegiatan tersebut harus dimulai dengan identifikasi potensi dan permasalahan 71
wilayah pesisir dan laut yang disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan, dan kemampuan masyarakat serta kebijakan pemerintah dan infrastruktur yang mendukungnya. Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir harus didukung oleh kegiatan ekonomi masyarakat yang berbasis pada potensi sumberdaya local dengan memprioritaskan partisipasi masyarakat setempat dan memperhatikan skala dan tingkat kelayakan ekonomi. Pengembangan organisasi dan kelembagaan social ekonomi masyarakat yang berbasis pada budaya local perlu dilakukan untuk mendukung aktivitas social dan ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini penting terutama untuk membantu mengantisipasi dan menyelesaikan konflik social yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Upaya pencapaian keberhasilan program PEMP ini diawali dengan sosialisasi program pada semua pihak terkait yang meliputi dinas teknis, masyarakat sasaran program, tokoh masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya guna mendapatkan respon dan masukan untuk menyempurnakan program yang telah disusun. Pada kondisi sosial (tingkat pendidikan, mental, perilaku) masyarakat pesisir yang belum optimal, agar program dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan, maka sangat diperlukan tenaga pendamping professional. Pemantauan dan evaluasi harus dilakukan agar program dapat berjalan sesuai dengan harapan. Evaluasi kerja PEMP dilakukan dari tahun ketahun dilakukan secara berkesinambungan dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mengetahui status keberhasilan kinerja pelaksanaan Program PEMP secara nasional 2) Mengetahui status keberhasilan kinerja dan capaian-capaian pelaksanaan Program PEMP di sejumlah lokasi 3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status kinerja Program PEMP 4) mendapatkan berbagai data dan informasi yang akurat, obyektif sebagai basisi untuk melakukan perumusan umpan balik dan perbaikan kinerja Program PEMP pada masa yang akan datang.
72
2.7.2 Komite penanggulangan kemiskinan Sebagai upaya Pemerintah dalam mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia, pada tanggal 7 Desember 2001, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 124 Tahun 2001 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang disempurnakan lagi dengan Keppres No. 8 dan No. 34 Tahun 2002 untuk memperlancar tugas dan fungsi KPK tersebut. Komite ini berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Sumodiningrat, 2003). Strategi pemberdayaan masyarakat KPK adalah meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya dan mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama UMKM yang meliputi penajaman program, pendanaan dan pendampingan. Pendampingan adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program, agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Sedangkan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin dilakukan melalui penajaman alokasi APBN, yaitu melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan melakukan tiga pemberdayaan,
yaitu pada usahanya berupa bantuan
permodalan dan pendampingan, pada manusianya yaitu berkaitan dengan pendidikan,
pelatihan
dan
peningkatan
kesehatan;
dan
sarana-
prasarananya/lingkungannya yang mendukung usaha atau kegiatan produktif masyarakat miskin. Selain itu penajaman APBN juga dilakukan melalui Bantuan Operasional Pembangunan (BOP) kepada departemen/LPND/instansi terkait untuk melakukan pembinaan teknis terhadap lembaga-lembaga di Tingkat Daerah, Pembinaan teknis yang diterapkan meliputi pembinaan kepada manusianya, usahanya, kelembagaannya, monitoring evaluasi dan pengendaliannya. Hambatan-hambatan yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan UMKM di antaranya adalah keterbatasan sumberdaya finansial, badan hukum dan manajemen yang konvensional, sehingga sektor ini sulit tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank). Upaya pemerintah untuk membantu UMKM misalnya dengan menghubungkan dengan pengusaha besar untuk bermitra belum 73
cukup efektif mengatasi masalah mengingat jumlahnya yang banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik UMKM yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala besar tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Selain itu LKM dapat juga menjadi perpanjangan tangan dari lembaga keuangan formal, sebelum dana untuk pelayanan keuangan mikro itu tersalur kepada kelompok swadaya masyarakat (atau usaha mikro tersebut). Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri memuat 3 (tiga) elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama). Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan. Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. Yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian Indonesia. Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya (baca: masyarakat miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan 74
dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan si nasabah untuk dapat mengelola keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya. Selama ini keengganan dari pihak perbankan bank komersial dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang, bahwa pelayanan terhadap masyarakat miskin akan menyebabkan biaya tinggi dan penuh resiko. Tingginya biaya disebabkan oleh skala kredit yang terlalu kecil untuk bank komersial, tidak mampu memberikan agunan, pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah. Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM—organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya yang diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral. Mekanisme
penyaluran
itu
membutuhkan
keberadaan
seorang
pendamping. Pendamping merupakan faktor kunci agar receiving mechanism berjalan. Pendamping memberi bantuan dan fasilitas non keuangan untuk sektor mikro seperti memfasilitasi adanya penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Agar proses pendampingan berkelanjutan, maka diperlukan biaya pendampingan. Biaya itu dapat diambilkan dari beberapa alternatif, misalnya dari pengembalian kredit yang 75
berasal dari kegiatan LKM itu sendiri, atau berasal dari sisa laba BUMN yang merupakan hasil kerjasama dengan pemerintah. Dengan terbitnya kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota lebih mempunyai ruang yang luas untuk mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan hal ini, penanggulangan kemiskinan juga harus dilakukan pada tingkat daerah terkecil, namun fungsi dasar pemerintah daerah tetap sebagai fasilitator, regulator, serta motivator. Artinya pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat sentral karena lebih mengerti dan memahami potensi, tantangan, kekuatan dan kelemahan daerah masing-masing. Pelibatan unsur-unsur lain di luar daerah juga tetap menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena apabila pemerintah daerah mengabaikan hal ini, maka kegagalan pembangunan Indonesia selama masa orde lama dan baru akan terulang kembali. Terkait dengan KPK Daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan khususnya untuk masyarakat miskin produktif, maka pemberdayaan dan pengembangan UMKM menjadi prioritas utama. Konsekuensinya pemberdayaan dan pengembangan LKM sesuai dengan aspek lokalitas dan karakteristik UMKM menjadi salah satu syarat dasar. Pertanyaannya, bagaimana keterkaitan di antara keduanya? LKM di tingkat daerah dengan segala fleksibilitasnya dalam menyalurkan kredit mikro untuk sektor UMKM daerah dapat dijadikan mitra bagi perbankan umum yang menganut prinsip kehati-hatian, untuk menjangkau sektor UMKM yang selama ini dianggap tidak bankable. Kemitraan kerja ini dapat melalui dua saluran. Pertama, LKM bertindak hanya sebagai penyalur dan pendamping bagi pengusaha UMKM yang mendapat kucuran kredit dari perbankan. Fungsi executing tetap dipegang oleh perbankan. Kedua, LKM berfungsi sebagai penyalur dan pemutus kredit (kredit), dan bank bertindak sebagai pengucur kredit (perbankan mengucurkan kredit kepada LKM untuk kemudian disalurkan kepada sektor UMKM). Pengembangan kemitraan kerja ini, harus didukung oleh unsur-unsur daerah yang lain, seperti dunia usaha dalam bentuk penciptaan kemitraan di bidang produksi, manajemen dan pemasaran, lembaga litbang dan perguruan tinggi sebagai pemantau, evaluasi dan penyempurnaan suatu kebijakan, serta 76
pemerintah daerah dalam bentuk penciptaan kondisi makro dan mikro di tingkat daerah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha. Sementara itu, peran pendampingan juga LKM dapat dijalankan oleh LSM. 2.7.3 Program-program lainnya Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah juga telah dan sedang melaksanakan sekitar 15 (lima belas) program penanggulangan kemiskinan, termasuk program jaring pengaman sosial (JPS), yakni: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT); Program Pengembangan Kecamatan (PPK); Program Kredit Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna dalam rangka Pengentasan Kemiskinan (KP-TTG-Taskin); Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP); Program Kredit Usaha Tani (KUT); Pogram Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS); Program Operasi Pasar Khusus Beras (OPK-Beras); Program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE); Program Beasiswa dan Dana Biaya Operasional Pendidikan Dasar dan Menengah (JPS-Bidang Pendidikan); Program JPS-Bidang Kesehatan; Program Padat Karya Perkotaan (PKP); Program Prakarsa Khusus Penganggur Perempuan (PKPP); Program Pemberdayaan Masyarakat melalui Pembangunan Prasarana Subsidi Bahan Bakar Minyak (PPM-Prasarana Subsidi BBM); Program Dana Bergulir Subsidi Bahan Bakar Minyak untuk UKM; Program Dana Tunai Subsidi Bahan Bakar Minyak (Hendriwan, 2003).
2.8 Penelitian Terdahulu Melengkapi kajian terhadap berbagai aspek yang berpengaruh dalam peningkatan kesejahteraan nelayan, khususnya di wilayah kepulauan seribu, penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu yang mengambil locus di wilayah Kepulauan Seribu. Beberapa disertasi yang menjadi referensi dalam penelitian ini diantaranya adalah Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus P. Pari Kepulauan Seribu), Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Model Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan. Pembahasan dan hasil analisis dari ketiga penelitian tersebut ditunjukkan pada Tabel 8. 77
Tabel 8 Hasil analisis penelitian sebelumnya Penelitian
Hasil yang Diperoleh dari
Sebelumnya
Penelitian Sebelumnya
(Penelitian Pertama ) Model Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu)
1
Tidak terdapat parameter/variabel yang dominan berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan di gugus P. Pari, jika dibandingkan dengan persyaratan kualitas air laut untuk budidaya menurut SK No. Kep02/MENKLH/I/88.
2
Model pariwisata pantai di gugus P. Pari masih pada tahap sesuai, sedangkan untuk pariwisata bahari tidak sesuai lagi.
3
Model budidaya laut menyatakan bahwa rumput laut tidak lagi menjadi komoditas utama untuk semua gobah. Ikan kerapu dan teripang sebagai alternatif komoditas utama untuk dibudidayakan di gobah gugus P. Pari.
4
Model perikanan tangkap (TKP) di perairan gugus P. Pari yang dihitung dengan metode CYP adalah: Ln (Ut + 1) = 1,34890 + 0,44315 ln(Ut) – 0,00656 (Et + Et + 1). Analisis dinamik memperoleh titik keseimbangan terdapat pada tingkat hasil tangkapan kurang dari 200 ton, dan tingkat hari kerja operasi sebanyak 30.000 hari, dengan trayektori ke arah keseimbangan dicapai pada waktu kurang lebih 50 tahun.
5
Kegiatan pariwisata yang sesuai, baik di P. Burung maupun di P. Kongsi adalah pariwisata pantai dengan penetapan wilayah perairan 100 m tegak lurus dari garis pantai kedua pulau tersebut, sehingga tidak mengganggu kegiatan budidaya.
6
Kegiatan budidaya teripang diarahkan untuk diadakan di gobah Soa Besar dan gobah Buntu, sedangkan budidaya ikan Kerapu di gobah Kuanji dan gobah Kurungan. Untuk gobah yang lain tergantung pilihan apakah budidaya teripang atau ikan kerapu.
7
Kegiatan penangkapan ikan diarahkan untuk dilakukan di perairan luar tubir dengan ikan Pelagis sebagai tujuan penangkapan.
8
Formula alternatif skenario kebijakan pemanfaatan gugus P. Pari yang digambarkan oleh alokasi tenaga kerja dengan manfaat ekonomi maksimum adalah skenario II, yaitu: U = h10,3 h20,6 h30,1, dengan pendapatan Rp 845.000,00 per tenaga kerja per bulan.
78
Penelitian
Hasil yang Diperoleh dari
Sebelumnya
Penelitian Sebelumnya
(Penelitian kedua) Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
1
Indeks keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil (IBPK) di Kelurahan P. Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan IBPK di Kelurahan P. Pari Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
2
Berdasarkan penilaian terhadap 5 (lima) aspek (dimensi) keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil di dalam disertasi ini, yaitu: aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan, maka aspek ekonomi merupakan aspek pembangunan yang paling rendah IBPK-nya, baik di Kelurahan P. Panggang maupun di Kelurahan P. Pari. Aspek ekonomi ini masih berada pada kategori keberlanjutan “kurang” karena indeksnya berada pada selang 25 – 50.
3
Dari 61 atribut (variabel) yang digunakan sebagai dasar penilaian, terdapat 2 (dua) atribut yang tidak sensitif berkontribusi terhadap hasil akhir perhitungan IBPK, yaitu atribut besarnya pengaruh daerah sekitar (atribut pada dimensi sosial) dan atribut metode budidaya laut yang tidak ramah lingkungan (atribut pada dimensi teknologi); Atribut ini untuk selanjutnya dapat dihilangkan.
4
Di dalam dimensi ekologi terdapat 4 (empat) atribut yang paling sensitif terhadap IBPK, yaitu pencemaran perairan, pembuangan limbah di dasar perairan, penutupan terumbu karang hidup, dan kondisi pemanfaatan air tanah. Dari 4 atribut tersebut yang perlu diperbaiki kondisinya adalah penutupan terumbu karang hidup, sedangkan 3 atribut lainnya masih dalam kondisi baik sehingga harus dapat dipertahankan.
5
Di dalam dimensi ekonomi juga terdapat 4 (empat) atribut yang paling sensitif,
yaitu
transfer
keuntungan,
kontribusi
terhadap
GDP,
penghasilan relatif terhadap UMR, dan besarnya pasar. Dari 4 atribut tersebut hanya atribut kontribusi terhadap GDP yang masih dalam kondisi baik dan perlu dipertahankan. Tiga atribut yang lainnya perlu diperbaiki kondisinya untuk dapat meningkatkan indeks dan status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil di 2 (dua) kelurahan yang diteliti. 6
Di dalam dimensi sosial terdapat 5 (lima) atribut yang relatif paling sensitif dibandingkan dengan atribut lainnya, yaitu partisipasi keluarga
79
dalam pemanfaatan sumberdaya alam, tingkat pendidikan, frekuensi penyuluhan dan pelatihan, frekuensi pertemuan warga, dan frekuensi konflik. Tiga atribut yang terakhir masih dalam kondisi yang baik sehingga perlu dipertahankan, sedangkan 2 (dua) atribut yang pertama perlu perbaikan karena kondisi keberlanjutannya masih kurang. 7
Di dalam dimensi teknologi terdapat 3 (tiga) atribut yang paling sensitif, yaitu penggunaan alat bantu penangkapan ikan, selektivitas alat tangkap, dan jenis alat penangkapan ikan. Dari 3 (tiga) atribut ini yang masih perlu diperbaiki adalah atribut penggunaan alat bantu penangkapan ikan, sedangkan 2 (dua) atribut yang lainnya masih dalam kondisi baik ditinjau dari kriteria keberlanjutannya.
8 Di dalam dimensi hukum dan kelembagaan terdapat 4 (empat) atribut yang relatif paling sensitif, yaitu adanya tokoh panutan yang disegani masyarakat, ketersediaan aturan adat dan kepercayaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, ada tidaknya aturan “limited entry”, dan ketersediaan personil penegak hukum di lokasi. Dari 4 (empat) atribut di atas, 2 (dua) atribut yang pertama kondisinya masih baik dan perlu dipertahankan, sedangkan 2 (dua) atribut yang terakhir masih perlu diperbaiki. Atribut ketersediaan personil penegak hukum di lokasi yang masih perlu diperbaiki adalah di Kelurahan P. Pari, sedangkan di Kelurahan P. Panggang kondisinya masih baik. 9
Disertasi ini juga menyimpulkan bahwa metode “Rapsmile” (Rapid Appraisal of Small Island Development) cukup baik digunakan sebagai alat untuk menilai status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil. Metode ini dapat mencakup jumlah variabel (atribut) yang besar, sehingga bersifat holistik tetapi cukup mudah penilaiannya karena dinilai berdasarkan skor peringkat (ordinal). Metode ini juga dapat menilai atribut yang tidak sensitif di dalam penilaian, sehingga pada akhirnya akan ditemukan atribuf-atribut yang cukup sensitif saja yang digunakan di dalam penilaian status keberlanjutan pulau-pulau kecil.
10 Kajian terhadap model ekonomi-ekologis yang dilakukan di dalam disertasi ini menyimpulkan bahwa itu sudah kondisi ekonomi dan ekologis di Kepulauan Seribu saat ini dalam kondisi tidak seimbang. Jumlah ternaga kerja (dalam satuan orang-hari) terlalu besar, sehingga harus dikurangi hingga sekitar Rp 250.000,00 – Rp 300.000,00 orang/hari. Rasio biaya per tenaga kerja terhadap harga jual per satuan
80
produksi ikan (rasio c/p) masih terlalu besar dibandingkan dengan besarnya stok ikan dan jumlah tenaga kerja yang ada saat ini. 11 Berdasarkan hasil analisis Rapsmile dan analisis model ekonomisekologis tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa pembangunan pulau pulau kecil di Kelurahan P. Panggang dan P. Pari Kepulauan Seribu belum berkelanjutan. (Penelitian
1
Dalam model optimal pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan
ketiga) Model
Seribu berbasis industri perikanan, ditemukan bahwa dominansi indikator
Pembangunan
lingkungan industri berpengaruh terhadap keberadaan lingkup usaha
Kabupaten
perikanan (LUP), implementasi kewenangan bagi pemerintah (KBP), dan
Administrasi
implementasi kewenangan bagi pemerintah daerah otonom (KBO).
Kep.Seribu
Dalam
Berbasis
pembangunan perikanan (TPP) merupakan variabel bebas yang
Industri
berinteraksi secara signifikan dengan kewenangan bagi pemerintah (KBP)
Perikanan
dan kegiatan perikanan tangkap (TKP). Hal ini menjadi titik balik
hubungan
antarvariabel,
dapat
dibuktikan
bahwa
tujuan
(turning point) bagi paradigma pembangunan perikanan di Indonesia. 2
Dalam pencapaian tujuan pembangunan perikanan (TPP), ditemukan bahwa mau tidak mau pemerintah maupun pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu harus mempersiapkan dengan matang aplikasi model pembangunan pada tataran administratif, teknis, dan operasional
sebelum
mengimplementasikan
diversifikasi
kebijakan/regulasi yang mengatur secara tegas jenis-jenis kegiatan tertentu untuk diberlakukan pada wilayah-wilayah yang memiliki spesifikasi dan karakteristik tertentu. Selain itu, dalam kerangka umum pembangunan wilayah kepulauan, kehadiran stimulus fiskal bagi pengembangan industri perikanan (terutama perikanan budidaya) menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan perikanan. 3
Secara khusus, model optimal bagi pembangunan Kab. Administrasi Kepulauan Seribu berbasis industri perikanan menghendaki status variabel tujuan pembangunan perikanan menjadi variabel bebas dalam interaksinya dengan kewenangan bagi pemerintah (KBP) dan kegiatan perikanan tangkap (TKP). Implikasinya adalah apabila pemerintah maupun pemerintah daerah yang selama ini sudah terbiasa dengan pola kerja top-down, maka untuk mengejar ketertinggalan pembangunan sektor perikanan di wilayah-wilayah kepulauan harus melakukannya dengan cara bottom-up.
81
4 Kegiatan perikanan budidaya (BDY) hingga saat ini belum memberikan kontribusi signifikan bagi tujuan pembangunan perikanan (TPP) dalam pembangunan perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang memiliki karakteristik dan spesifikasi wilayah kepulauan. Keadaan ini terjadi karena pemerintah maupun pemerintah daerah belum memberi insentif yang proporsional sebagai stimulus bagi masyarakat pesisir dan nelayan untuk mengembangkan kegiatan perikanan budidaya (BDY). 5 Dari 8 (delapan) indikator tujuan pembangunan perikanan yang membentuk model optimal pembangunan berbasis industri perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, ternyata secara realistik hanya terdapat 5 (lima) indikator yang berinteraksi dalam pencapaian tujuan pembangunan perikanan (TPP), yaitu: - Daya saing industri berbasis perikanan; - Pertumbuhan industri berbasis perikanan; - Dukungan ekologi industri berbasis perikanan; - Dukungan sosial industri berbasis perikanan; dan - Faktor eksternalitas pembangunan industri berbasis perikanan.
Sumber: Saksono (2008), Penulis (2009) Disadari bahwa terdapat banyak penelitian tentang Kepulauan Seribu baik sebagai obyek maupun locus studi. Mencermati keadaan ini, diperlukan spesifikasi ruang lingkup bidang penelitian untuk lebih menonjolkan karakteristik dan kekuatan penelitian ini. Langkah yang ditempuh adalah melakukan komparasi terhadap masing-masing tujuan dari setiap penelitian yang pernah dilakukan di wilayah Kepulauan Seribu sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8. Oleh karena itu pada table 9 dibawah ini akan dibuat komparasi tujuan penelitian dari beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan pada wilayah kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Komparasi ini bertujuan untuk membandingkan perbedaan tujuan dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan sehingga bias digunakan sebagai acuan dari pembuatan model yang akan dilakukan pada penelitian ini.
82
Tabel 9 Komparasi tujuan penelitian dari beberapa penelitian sebelumnya di wilayah Kabupaten Adm Kepulauan Seribu Judul Disertasi Model Pemanfaatan Pulaupulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu)
Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Model Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan
Tujuan Penelitian:
Tujuan Penelitian:
Tujuan Penelitian:
1) Menentukan parameter/ variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan, serta mengelompokkan wilayah perairan sesuai kemiripan parameter/variabel lingkungan tersebut.
1) Menilai keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil di Kel. P. Panggang dan Kel. P. Pari Kab. Adm. Kep. Seribu DKI Jakarta, melalui penyusunan indeks dan status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil dan analisis keseimbangan ekonomiekologis, yakni IBPK, atau “Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil”.
1) Menganalisis dan membahas interaksi antar faktor dan dimensi pembangunan perikanan, yakni: kewenangan bagi Pemerintah, kewenangan bagi Pemerintah Daerah Otonom, lingkungan usaha perikanan, kegiatan perikanan tangkap, kegiatan perikanan budidaya, dan kegiatan pengolahan hasil perikanan terhadap tujuan pembangunan perikanan dalam pembangunan daerah berbasis industri perikanan.
2) Membangun model pemanfaatan pulau-pulau kecil: model pariwisata dan model budidaya laut berdasarkan kesesuaian kondisi perairan, serta model penangkapan ikan berdasarkan kajian stok ikan, selanjutnya menciptakan model integrasi pemanfaatan gugus P. Pari sesuai daya dukung lingkungannya. 3) Menata ruang perairan gugus P. Pari sesuai peruntukkan dengan memperhatikan keterpaduan ekologis. 4) Memformulasikan alternatif skenario pembangunan optimal dan berkelanjutan serta menyusun konsep pemanfaatan perairan yang digambarkan dengan pemanfaatan tenaga kerja di gugus P. Pari.
2) Mendeterminasi tingkat kemajuan maupun ketertinggalan atributatribut aspek pembangunan di daerah studi serta membuat evaluasi dinamika variabel ekonomi dan ekologi untuk memudahkan perencanaan pembangunan selanjutnya agar sesuai dengan kriteria pembangunan yang berkelanjutan. 3) Mengembangkan metode evaluasi status keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil, sehingga dapat digunakan secara luas di Indonesia baik oleh instansi Pemerintah maupun oleh swasta.
Sumber: Saksono (2008), Penulis (2009)
83
2) Menganalisis dan membahas kebijakan pembangunan perikanan pada daerah kepulauan dalam pencapaian tujuan pembangunan perikanan. 3) Menganalisis dan membahas sistem pembangunan perikanan dalam pembangunan Kab. Adm. Kep. Seribu berbasis industri perikanan. 4) Menganalisis dan membahas kegiatan usaha perikanan terhadap tujuan pembangunan perikanan di Kab. Adm. Kep. Seribu. 5) Merancang suatu model pengembangan pembangunan yang sesuai untuk Kab. Adm. Kep. Seribu berbasis industri perikanan
Berdasarkan komparasi tujuan penelitian terhadap 3 penelitian terdahulu sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9, selanjutnya ditetapkan tujuan dalam konteks penelitian ini, yaitu menguji dan melakukan analisis terhadap interaksi antarvariabel dalam suatu model kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dengan menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM). Diharapkan melalui kajian ini, dapat ditemukan rancangan model yang tepat sebagai model optimal kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan. Selain itu, dengan mempedomani model tersebut, Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dapat berpikir lebih strategis dalam menetapkan skala prioritas program dan/atau kegiatan, merespon aspirasi masyarakat dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah (bottom-up planning) serta melakukan langkah-langkah konkrit terutama dalam implementasi berbagai kebijakan Pemerintah maupun Pemerintah
Daerah
DKI
Jakarta.
Obyek kajian dalam penelitian ini,
pembahasannya sengaja dikerucutkan agar lebih fokus mengingat sejumlah keterbatasan yang dimiliki peneliti sendiri, yakni keterbatasan waktu, tenaga, dan terutama pembiayaan bagi penyelenggaraan penelitian.
84
3 METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian mulai dari persiapan sampai pada pengolahan data berlangsung dari bulan February 2006 sampai dengan Desember 2006. Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Seribu , dimana secara geografis terletak pada 106020’00” BT hingga 106057’00” BT dan 5010’00” LS hingga 5057’00” LS. Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun 2000 tentang wilayah Kepulauan Seribu dinyatakan bahwa Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terdiri dari 2 Kecamatandan 6 kelurahan. Total jumlah pulau di Kecamatan Kepulauan Seribu adalah 110 pulau yang secara Administratif dibagai menjadi 6 wilayah kelurahan yaitu kelurahan Pulau Panggang, Pulau Tidung, Pulau Kelapa, Pulau Untung Jawa, Pulau Harapan dan Pulau Pari. Dari keenam kelurahan tersebut Kelurahan Pulau Kelapa memiliki pulau yang paling banyak (36 pulau) dan yang paling sedikit pulaunya adalah Kelurahan Pulau Tidung (6 pulau). Tabel 10 Jumlah pulau menurut Kelurahan di Kabupaten Adm Kepulauan Seribu. No Kelurahan Jumlah Pulau Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1 Kelurahan P.Panggang 13 2 Kelurahan P.Kelapa 36 3 Kelurahan P.Harapan 30 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 1 Kelurahan P.Tidung 6 2 Kelurahan P.Pari 10 3 Kelurahan P.Untung Jawa 15 Jumlah 110 Sumber : Buku Saku Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2005
85
Gambar 6 Lokasi penelitian
3.2
Jenis, Sumber, dan Ukuran Sampel Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan di lapangan, meliputi berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Data tersebut diperoleh melalui wawancara menggunakan
86
sejumlah kuesioner yang dibagikan kepada para responden dan observasi (mengamati langsung situasi dan kondisi di lapangan). Sedangakn data sekunder adalah data yang sudah diolah dan hampir semuanya berasal dari Badan Pusat Statistik, BAPPEKAP dan suku dinas perikanan Kabupaten Kepulauan Seribu. Berdasarkan jenisnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berupa angka-angka untuk kebutuhan analisis dalam penelitian ini. Data sekunder semuanya berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Data-data yang digunakan tersebut antara lain berasal dari: (1) publikasi Kabupaten Kepulauan Seribu dalam angka yang digunakan untuk mengetahui informasi tentang keadaan Kabupaten Kepulauan Seribu, (2) publikasi Kota Jakarta Utara dalam angka yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan Kepulauan Seribu sebelum menjadi Kabupaten, (3) data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi DKI Jakarta atas dasar harga berlaku dan data PDRB Propinsi DKI Jakarta atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha, (4) publikasi pendapatan regional Kepulauan Seribu yang akan digunakan untuk mengetahui perkembangan keadaan perekonomian, struktur ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu, (5) publikasi-publikasi lainnya, antara lain yang berupa publikasi indikator ekonomi dan indikator kesejahteraan rakyat. Adapun data kualitatif dalam penelitian ini adalah data yang tidak dinyatakan dalam angka-angka yang berasal dari hasil kuisioner dan wawancara di lapangan. Ukuran sampel memegang peranan penting dalam estimasi dan interpretasi hasil analisis Structural Equation Modelling (SEM). Menurut Ferdinand (2006) mengatakan bahwa ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100 – 200. Bila ukuran sampel menjadi terlalu besar, misalnya lebih daripada 400, maka metode menjadi “sangat sensitif”, sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran-ukuran Goodness of Fit yang baik. Ferdinand (2006) juga menyarankan bahwa ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated parameter.
87
Dengan demikian, bila estimated parameter-nya berjumlah 12, maka jumlah sampel minimum adalah 60 (Ferdinand, 2000). Adapun pedoman ukuran sampel menurut Ferdinand (2000) adalah: (1)
100 – 200 sampel untuk teknik Maximum Likelihood Estimation (ML).
(2)
Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi. Pedomannya adalah 5 – 10 kali jumlah parameter yang diestimasi.
(3)
Tergantung pada jumlah indikator yang digunakan dalam seluruh variabel laten. Jumlah sampel adalah jumlah indikator dikali 5 – 10. Bila terdapat 20 indikator, besarnya sampel adalah antara 100 – 200.
(4)
Bila sampelnya sangat besar, maka peneliti dapat memilih teknik estimasi. Misalnya bila jumlah sampel di atas 2500, maka teknik estimasi Asymtotically Distribution Free Estimation (ADF) dapat digunakan. Mengacu pada teknik Maximum Likelihood Estimation (ML), maka jumlah
sampel yang dibutuhkan untuk analisis SEM dalam penelitian ini berkisar antara 100 – 200 sampel. Ukuran sampel ini ditetapkan dengan pertimbangan syarat keterwakilan aspek kajian dan kebutuhan analisis. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Hal ini dilakukan mengingat jumlah populasi penelitian yang terlalu besar dan tersebar tidak merata di 11 (sebelas) pulau berpenghuni di kawasan Kepulauan Seribu. Berdasarkan teknik ini, kemudian ditetapkan jumlah sampel sebanyak 160 orang responden. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dengan jumlah penduduk yang lebih banyak diambil 90 orang responden berasal dari kelurahan Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan masing-masing sebanyak 30 orang reseponden. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit diambil 60 orang responden berasal dari kelurahan Pulau Tidung, Pulau Pari dan Pulaua Untung Jawa masing-masing sebanyak 20 orang reseponden. Responden
penelitian
terdiri
dari
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders) di bidang kelautan dan perikanan, yaitu: kelompok usaha skala mikro, kecil, menengah (UMKM) dan besar, kalangan nelayan, pembudidaya,
88
pengolah hasil-hasil perikanan, Pemerintahan Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Akademisi.
3.3 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan pendekatan teroritis. Pendekatan teoritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap konsep-konsep yang dikembangkan, sehingga model akhir yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat kebenaran secara ilmiah. Model dalam penelitian ini berusaha mengungkap bagaimanakah seharusnya kebijakan yang dibuat pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan kepulauan
Seribu. Kebijakan
pemerintah
tersebut sebagai upaya guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan yang merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan program pembangunan. Menurut gunawan sumodiningrat (2007) arah pembangunan tersebut harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan yang terdiri dari beberapa hal. Pertama, penguatan kelembagaan (X1) yaitu upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi lokal. Kedua, pemberdayaan sumberdaya manusia (X2) yaitu memperkuat kapasitas sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui pelatihan,peyuluhan dan pendampingan. Ketiga, modal usaha guna mengembangkan kewirausahaan (X3) yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantua dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan
kegiatan
sosial
ekonomi
89
produktif
unggulan
dalam
meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat. 3.3.1 Variabel kesejahteraan UU No. 16 tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan soaial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang menungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS (1991) yang sudah dimodofikasi. Modifikasi diperlukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator tersebut terdiri atas: (1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan tempat tinggal; (4)
Fasilitas tempat tinggal; (5)
Kesehatan anggota keluarga; (6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan tenaga medis/paramedis, termasuk didalamnya kemudahan mengikuti Keluarga Berencana (KB) dan obatobatan; (7)
Kemudahan memasukkan anak ke suatu jenjang pendidikan; (8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi; (10)
Perasaan aman dari
gangguan kejahatan; dan (11) Kemudahan dalam melakukan olah raga. Variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan tingkat kesejahteraan nelayan adalah pendapatan rumah tangga (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan kondisi kesehatan (Y3). 3.3.2
Variabel penguatan kelembagaan Penguatan
kelembagaan
yaitu
upaya
meningkatkan
kemampuan
kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran
90
serta administrasi pembangunan terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi lokal. Penguatan kelembagaan yang akan digunakan sebagai indikator dalam penelitian ini adalah kelembagaan yang berupa : organisasi nelayan (X11); lembaga keuangan mikro (X12); dan lembaga pemerintahan (X13). Definisi dari organisasi nelayan adalah organisasi yang melaksanakan pelayanan dalam bidang kesejahteraan sosial baik untuk anggotanya sendiri maupun masyarakat (organisasi selain organisasi politik), dan telah mempunyai struktur yang tetap (susunan pengurus seperti ketua, sekretaris, dan bendahara), baik yang berbadan hukum maupun tidak, dikelola oleh gabungan beberapa nelayan. Definisi lembaga keuangan mikro (LKM) menurut Komite Nasional Pemberdayaan Keuangan Mikro Indonesia adalah badan usaha keuangan yang menyediakan layanan jasa keuangan mikro, yang tidak berbentuk bank dan tidak berbentuk koperasi, serta bukan pegadaian, namun termasuk badan kredit desa yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bank. Sedangkan, definisi dari lembaga pemerintah pada penelitian ini bisa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 3.3.3
Variabel pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan Definisi dari pemberdayaan adalah penguatan kapasitas sumber daya
manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui pelatihan,peyuluhan dan pendampingan. Penguatan sumber daya manusia nelayan yang akan digunakan sebagai indikator dalam penelitian ini berupa : pengadaan penyuluhan (X21); penyelenggaraan pelatihan (X22); dan penyelenggaraan pendidikan (X23). Definisi
penyuluhan
dan
pelatihan
mempunyai
kemiripan
yaitu
serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap individu. Perbedaan prinsipnya adalah pada pelatihan lebih ditekankan praktek dari pada teori. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada teori. Oleh karena itu perbedaan dengan
91
pendidikan sangat jelas yaitu pendidikan memberikan gelar atau ijazah resmi yang dimulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. 3.3.4
Variabel kewirausahaan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan
atau GNMMK (1995) mendifinisikan kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memperoleh keuntungan. Penguatan kewirausahaan nelayan yang akan digunakan sebagai indikator penelitian ini berupa : kepemilikan ketrampilan usaha (X31); praktek dan pengalaman usaha (X32); dan adanya niat berusaha (X33). Definisi kepemilikan ketrampilan seorang nelayan adalah orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai peluang atau kesempatan bisnis yang ada serta menghimpun sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mendapatkan laba atau hasil serta mengambil tindakan yang tepat guna memastikan keberhasilan. Definisi pengalaman usaha adalah lamanya seseorang menggeluti suatu usaha atau pekerjaan sehingga yang bersangkutan mempunyai pengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan niat berusaha adalah dorongan yang kuat dari seorang individu untuk melakukan pekerjaan selain pekerjaan yang sehari-harinya mereka kerjakan.
3.4 Analisis Data 3.4.1
Analisis location quotient (LQ) Analisis ini digunakan untuk mengetahui sektor-sektor unggulan yang ada
di Kabupaten Kepulauan Seribu. Secara umum, metode ini dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasikan sumber-sumber pertumbuhan regional, menganalisa kecenderungan dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil kegiatan ekonomi di suatu daerah bagian (Kabupaten Kepulauan Seribu) dalam lingkup daerah himpunannya (Propinsi DKI Jakarta). Metode Location Qoutient (LQ) ada 2 macam yaitu static location quotient (SLQ) dan dynamic location quotient (DLQ). Berikut ini akan diuraikan kedua macam metode LQ tersebut.
92
SLQ merupakan perbandingan kontribusi nilai tambah suatu sektor di daerah bagian (Kabupaten Kepulauan Seribu) dengan kontribusi nilai tambah sektor sejenis di daerah himpunan (Propinsi DKI Jakarta). Formula SLQ adalah sebagai berikut:
(
)(
SLQ = X ijt / Y jt / X it / Yt
)
dimana:
X
t ij
nilai tambah sektor i di daerah bagian j pada akhir tahun
:
pengamatan
X
t i
Y
t j
:
nilai tambah sektor i di daerah himpunan pada akhir tahun
pengamatan : PDRB daerah bagian pada akhir tahun pengamatan : PDRB daerah himpunan pada akhir tahun pengamatan
Yt
Apabila nilai rasio SLQ>1 menunjukkan bahwa sektor/subsektor tersebut merupakan sektor unggulan bagi daerah bagian (Kabupaten Kepulauan Seribu), dan mampu bersaing dengan sektor/subsektor yang sama di daerah lain dalam himpunannya (Propinsi DKI Jakarta). Sebaliknya jika rasio SLQ<1 menunjukkan bahwa sektor/subsektor tersebut bukan merupakan unggulan bagi daerah karena masih kalah bersaing dengan daerah bagian lain dalam daerah himpunannya. Karena hanya dilihat pada satu titik waktu, maka ini berarti bahwa sektor yang unggul peranannya pada suatu waktu belum tentu unggul pada waktu yang akan datang, sehingga diperhitungkan juga tingkat pertumbuhan masing-masing sektor, yaitu dengan DLQ. Metode kedua mempunyai prinsip yang sama dengan SLQ namun mengintroduksikan laju pertumbuhan dengan asumsi bahwa setiap nilai tambah sektoral maupun total nilai tambah mempunyai rata-rata laju pertumbuhan sendirisendiri selama periode waktu tertentu. Formula untuk DLQ adalah sebagai berikut:
{(
)(
)} {(
)(
DLQ = X ij0 * (1 + Gij ) / Y j0 * (1 + G j ) / X i0 * (1 + Gi ) / Y 0 * (1 + G ) t
t
dimana:
93
t
t
)}
X ij0
: nilai tambah sektor i di daerah bagian j pada awal tahun
0 i
pengamatan : nilai tambah sektor i di daerah himpunan pada awal tahun
X Y
0 j
pengamatan : total nilai tambah daerah bagian pada awal tahun pengamatan
Y 0 : total nilai tambah daerah himpunan pada awal tahun pengamatan Gij : pertumbuhan rata-rata sektor i di daerah bagian
Gi
: pertumbuhan rata-rata sektor i di daerah himpunan
Gj
: pertumbuhan rata-rata total daerah bagian
G
: pertumbuhan rata-rata total daerah himpunan
Rasio DLQ>1 menunjukkan bahwa proporsi laju pertumbuhan suatu sektor di daerah bagian terhadap laju pertumbuhan total daerah bagian tersebut lebih cepat bila dibandingkan dengan proporsi laju pertumbuhan sektor tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan daerah himpunannya. Jika DLQ<1, maka dapat dikatakan bahwa proporsi laju pertumbuhan suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi daerah bagian secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan proporsi laju pertumbuhan sektor tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan daerah himpunannya. Hasil perhitungan SLQ dan DLQ dapat diterangkan secara ringkas, yaitu (1) SLQ>1 dan DLQ>1 berarti merupakan sektor unggulan dan mempunyai daya saing; (2) SLQ>1 dan DLQ<1 berarti merupakan sector unggulan tetapi tidak mempunyai daya saing; (3) SLQ<1 dan DLQ>1 berarti mempunyai potensi dan mempunyai daya saing; (4) SLQ<1 dan DLQ<1 berarti tidak mempunyai potensi dan tidak memiliki daya saing. 3.4.2 Analisis shift share Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Analisis ini juga dapat digunakan untuk mengkaji pergeseran struktur perekonomian daerah dalam kaitannya dengan peningkatan perekonomian daerah
94
yang bertingkat lebih tinggi. Perekonomian daerah yang didominasi oleh sektor yang lamban pertumbuhannya akan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan perekonomian daerah di atasnya. Dalam penelitian ini, analisis shift share digunakan untuk mengetahui besarnya posisi relatif dari peranan dan pertumbuhan sektor-sektor di Propinsi DKI Jakarta terhadap kegiatan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu. Penggunaan angka propinsi sebagai pembanding berdasarkan pada asumsi bahwa peranan dan pertumbuhan daerah himpunan menggambarkan kondisi rata-rata seluruh daerah bagian dari daerah himpunan tersebut. Terdapat 3 (tiga) komponen dalam analisis shift share, yaitu: 1. Pangsa Regional (PR), merupakan pengaruh dari pertumbuhan ekonomi daerah himpunan, yaitu pertumbuhan PDRB Propinsi DKI Jakarta terhadap nilai tambah sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu.
PR = X ij0 * {(Yt Y0 ) - 1} Nilai pangsa regional untuk suatu sektor di daerah bagian menunjukkan suatu jumlah dimana tingkat pertumbuhan sektor tersebut sama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi keseluruhan daerah himpunannya. 2. Differential Shift (DS) adalah perbedaan antara pertumbuhan ekonomi daerah (kabupaten) dan nilai tambah bruto sektor yang sama di tingkat propinsi. Dalam penelitian ini, DS menunjukkan pergeseran yang berbeda antara Kabupaten Kepulauan Seribu dan kabupaten lainnya, untuk mengukur seberapa jauh nilai tambah suatu sektor di kabupaten tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada laju pertumbuhan nilai tambah sektor sejenis di kabupaten lain.
{(
)(
DS = X ij0 * X ijt X ij0 - X it X i0
)}
Bila sektor-sektor memiliki differential shift (DS) yang positif berarti sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif terhadap sektor yang sama di daerah lain. Selain itu, sektor-sektor yang memiliki DS positif berarti bahwa sektor tersebut terkonsentrasi di daerah dan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya. Apabila DS negatif maka tingkat pertumbuhan sektor tersebut relatif lamban.
95
3. Proportional Shift (PS), adalah pertumbuhan Nilai Tambah Bruto suatu sektor i dibandingkan total sektor di tingkat propinsi. Dalam penelitian ini PS menggambarkan pengaruh relatif dari pertumbuhan sektoral ekonomi Propinsi DKI Jakarta terhadap pertumbuhan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu.
{(
)
}
PS = X ij0 * X it X i0 - (Yt Y0 )
Apabila PS bertanda positif menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan cepat di daerah himpunannya. Sedangkan, apabila PS bertanda negatif berarti sektor tersebut mempunyai laju pertumbuhan lambat di daerah himpunannya. 3.4.3 Analisis dan pengembangan model menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) SEM
merupakan
sekumpulan
teknik-teknik
yang
memungkinkan
pengujian beberapa variabel dependen dengan beberapa variabel independen secara simultan. Ferdinand (2002:7) mengungkapkan bahwa SEM memungkinkan untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat regresif maupun dimensional. Pada saat seorang peneliti menghadapi pertanyaan penelitian berupa identifikasi dimensi-dimensi sebuah konsep atau konstruk dan pada saat yang sama ingin mengukur pengaruh atau derajat hubungan antar faktor yang telah diidentifikasi dimensi-dimensinya, maka SEM akan memungkinkan untuk melaksanakannya. SEM juga merupakan pendekatan terintegrasi antara analisis faktor, model struktural dan analisis jalur (path analysis) (Solimun, 2002:65). Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan pendekatan teroritis. Pendekatan teoritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap konsep-konsep yang dikembangkan, sehingga model akhir yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat kebenaran secara ilmiah. Dalam kaitan ini, telaah pustaka, eksplorasi terhadap hasil-hasil penelitian yang berkaitan, dan diskusi pakar menjadi hal penting untuk dilakukan. Berdasarkan telaah pendahuluan, beberapa komponen yang berinteraksi dalam kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah pemberdayaan SDM nelayan, peningkatan kewirausahan dan penguatan kelembagaan.
96
Dinamika setiap komponen utama tersebut dipengaruhi oleh interaksi dengan komponen lainnya yang lebih kecil dan secara rinci dapat dijelaskan: (1)
(2)
Penguatan kelembagaan (X1), dapat berinteraksi/dipengaruhi oleh: 1)
Aspek organisasi nelayan (X11);
2)
Aspek lembaga keuangan mikro (X12); dan
3)
Aspek lembaga pemerintahan (X13).
Pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (X2), dapat berinteraksi/ dipengaruhi oleh:
(3)
1)
Aspek pengadaan penyuluhan (X21);
2)
Aspek penyelenggaraan pelatihan (X22); dan
3)
Aspek penyelenggaraan pendidikan (X23).
Kewirausahaan bagi nelayan (X3), berinteraksi/dipengaruhi oleh : 1)
Aspek ketrampilan usaha (X31);
2)
Aspek praktek dan pengalaman usaha (X32); dan
3)
Aspek niat berusaha (X33).
Dalam kaitan ini, analisis SEM dalam penelitian akan dikembangkan untuk melihat terjadinya interaksi diantara komponen tersebut dan mengetahui interaksi
mana
yang
paling
berperan
dalam
pembangunan
Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu berbasis industri perikanan. Gambaran interaksi diantara komponen tersebut kemudian diilustrasikan dalam rancangan awal path
diagram. a)
Pembuatan path diagram Setelah menyusun model berbasis teori, langkah selanjutnya adalah
menerjemahkan model tersebut ke dalam diagram jalur (path diagram) agar dapat diestimasikan dengan menggunakan program AMOS. Pembuatan path diagram merupakan
kegiatan
penggambaran
interaksi
komponen-komponen
yang
dikembangkan secara teoritis dan kemudian menjadi konstruk penelitian. Dalam penggambaran ini, konstruk/variabel laten penelitian tersebut harus dilengkapi dengan dimensi/variabel terukur. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam model struktural dikenal dua variabel, yaitu variabel eksogen dan endogen. Sedangkan untuk persamaan97
persamaan struktural yang dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk, persamaan tersebur pada dasarnya dibangun dengan pedoman sebagai berikut: variabel endogen (terikat) = variabel eksogen + variabel endogen + error (Ferdinand, 2002:167). Variabel eksogen adalah variabel yang nilainya ditentukan di luar model, seperti variabel bebas dan variabel instrumen (juga disebut predetermined variables). Sedangkan variabel endogen adalah variabel yang nilainya ditentukan berdasarkan model, seperti variabel tidak bebas. Dalam kaitan ini, telaah pustaka menjadi hal penting untuk menetapkan variabel terukur yang tepat. Path diagram dibuat dengan menggunakan program AMOS 7.0 Professional. Rancangan path diagram untuk merumuskan model kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini. Persamaan struktural dalam penelitian ini adalah persamaan rekursif dimana memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Antara εij (galat) saling bebas (independent) 2. Antara εij dengan Y, Y1, Y2, Y3, X1, X2, dan seterusnya saling bebas 3. Arah pengaruh kausalitas dari variabel endogen adalah searah, atau tidak ada variabel endogen yang mempunyai pengaruh bolak-balik (resiplokal).
Gambar 7 Diagram jalur hubungan struktural antar variabel penelitian
98
Penjelasan faktor/konstruk yang digunakan dalam path diagram pada Gambar 7 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis dan makna faktor/konstruk dalam path diagram serta simbolnya dan measurement model No.
Faktor/ Konstruk
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
X1 X11 X12 X13 X2 X21 X22 X23 X3 X31 X32 X33 Y Y1 Y2 Y3
Keterangan
Penguatan Kelembagaan Organisasi nelayan Lembaga keuangan mikro Lembaga pemerintahan Pemberdayaan SDM nelayan Pengadaan penyuluhan Penyelenggaraan pelatihan Penyelenggaraan pendidikan Kewirausahaan bagi Nelayan Ketrampilan usaha Praktek dan pengalaman usaha Niat berusaha Kesejahteraan nelayan Pendapatan rumah tangga Keadaan tempat tinggal Kondisi kesehatan
Simbol dalam Measurement Model
ζ1 X11 X12 X13 ζ2 X21 X22 X23 ζ3 X31 X32 X33 η1 Y11 Y12 Y13
sumber: Hasil pengolahan data
b) Pengujian masing-masing variabel b.1) Tingkat kesejahteraan nelayan (Y) Variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan tingkat kesejahteraan nelayan adalah pendapatan rumah tangga (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan kondisi kesehatan (Y3). Pengujian apakah variabel-variabel ini dapat digunakan untuk membentuk faktor atau konstruk dilakukan dengan jalan melihat nilai probabilitas (p) dari nilai koefisien lambda (λ). Jika nilai probabilitas (p) koefisien lambda lebih kecil dari nilai α (0,05), maka indikator tersebut dapat digunakan untuk membentuk faktor atau konstruk. Begitu pula sebaliknya, jika nilai probabilitas (p) koefisien lambda lebih besar dari nilai α (0,05), maka indikator tersebut tidak dapat digunakan untuk membentuk faktor atau konstruk.
99
Adapun model pengukuran confirmatory factor analysis untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan terdapat pada gambar 8 dibawah ini. Pendapatan Rumah Tangga (Y1)
Tingkat Kesejahteraan Nelayan (Y)
Keadaan Tempat Tinggal (Y2)
Kondisi Kesehatan (Y3)
Gambar 8 Confirmatory factor analysis tingkat kesejahteraan nelayan b.2) Penguatan kelembagaan Variabel-variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan penguatan kelembagaan adalah
organisasi nelayan (X11), lembaga keuangan
mikro (X12), dan lembaga pemerintahan (X13). Adapun model pengukuran
confirmatory factor analysis untuk penguatan kelembagaan dapat dilihat pada gambar berikut .
Organisasi Nelayan (X11)
Penguatan Kelembagaan (X1)
Lembaga Keuangan MIkro (X12)
Lembaga Pemerintahan (X13)
Gambar 9 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan
100
b.3) Pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (X1) Variabel-variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan pemberdayaan SDM nelayan adalah penyelenggaraan penyuluhan (X21), penyelenggaraan pelatihan (X22),
dan
penyelenggaraan pendidikan (X23).
Untuk membentuk faktor atau konstruk. Adapun model pengukuran confirmatory
factor analysis untuk pemberdayaan nelayan dapat dilihat pada Gambar berikut. Pengadaan Penyuluhan (X21)
Pemberdayaan Sumber Daya Nelayan (X2)
Penyelenggaraan Pelatihan (X22)
Penyelenggaraan Penyuluhan (X23)
Gambar 10 Confirmatory factor analysis pemberdayaan SDM nelayan b.4) Pengembangan kewirausahaan (X3) Variabel-variabel yang digunakan sebagai indikator yang menentukan pengembangan kewirausahaan adalah nilai ketrampilan usaha (X31), praktek dan pengalaman usaha (X32), dan adanya niat dalam berusaha (X33). Ketrampilan Usaha (X31)
Pengembangan Kewirausahaan (X3)
Pengalaman Usaha (X32)
Niat Berusaha (X33) Gambar 11 Confirmatory factor analysis pengembangan kewirausahaan
101
c)
Pemilihan matriks input dan estimasi model Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari
matriks kovarian dan matriks korelasi. Dalam beberapa penelitian, matriks kovarian lebih sering digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda. Setelah model dispesifikasikan secara lengkap, langkah berikutnya adalah memilih jenis input. Matriks input yang dipilih dalam penelitian ini adalah matrix kovarians. Alasan memilih input data matrix covarians adalah karena matriks
covarians memiliki keunggulan dalam
menyajikan perbandingan yang valid
antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda. Selain itu matriks
covarians lebih sesuai untuk memvalidasi hubungan kausal. Selanjutnya untuk memilih teknik analisis dengan mempertimbangkan ukuran sampel. Setelah memilih matriks input, maka perangkat lunak (AMOS atau AMOS) akan melakukan estimasi koefisien path. Dalam melakukan estimasi model, ukuran sampel memegang peranan yang cukup penting. Teknik-teknik estimasi yang tersedia adalah: (a) Maximum LikelihoodEstimation (ML), (b) Generalized Least Square Estimation (GLS), (c) Unweighted Least Square Estimation (ULS), (d) Scale Free Least Square Estimation (SLS), dan (e) Symtotically Distribution-free Estimation (ADF). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Maximum Likelihood (ML). c.1) Identifikasi Model Masalah identifikasi merupakan masalah ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Masalah identifikasi dapat muncul melalui gejala sebagai berikut: a. Standard error untuk satu sampai beberapa koefisien sangat besar b. Program tidak mampu menghasilkan matriks informasi yang seharusnya c. Munculnya angka-angka yang tidak diinginkan, seperti varians error yang negatif d. Munculnya angka korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang diperoleh 102
c.2) Asumsi-asumsi SEM yang harus dipenuhi 1. Ukuran sampel Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan SEM adalah minimum berjumlah 100, selanjutnya menggunakan perbandingan 5 observasi untuk setiap parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, bila mengembangkan model dengan lebih 20 parameter maka minimum digunakan 100 sampel. 2. Normalitas dan linearitas Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas terpenuhi sehingga data dapat diolah lebih lanjut dengan pemodelan SEM. Normalitas dapat diuji dengan melihar gambar histogram data atau dapat diuji
dengan
model
statistik.
Uji
normalitas
dilakukan
dengan
menggunakan uji skewness yang menunjukkan bahwa hampir seluruh variabel normal pada tingkat signifikansi 0,01 (1%). Hal ini terlihat pada nilai CR dari skewness yang berada di bawah ± 2,58 (Arbuckle, 1997:78). Nilai mutivariat pada uji normalitas adalah koefisien kurtosis multivariate, apabila hasil yang diperoleh masih di bawah nila batas ± 2,58, ini berarti bahwa ada data yang digunakan berdistribusi multivariat normal. 3. Outliners (data-data pencilan)
Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat maupun multivariat yaitu yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya. c.3) Menguji kelayakan model yang dikembangkan 1) Degree of freedom (derajat kebebasan) Harus bernilai positif 2) Chi Square statistic ( χ 2 ) dan probabilitas Alat uji fundamental untuk mengukur overall fit adalah likelihood ratio chi
square statistic. Model ysng baik harus mempunyai chi square = 0 berarti tidak
ada
perbedaan.
Tingkat
103
signifikan
penerimaan
yang
direkomendasikan adalah apabila p ≥ 0,05 (Hair et al., 1998:389) yang berarti matriks input sebenarnya dengan matriks input yang diprediksi tidak berbeda secara statistik.
3) CMIN/DF CMIN/DF adalah ukuran yang diperoleh dari nilai chi-square dibagi dengan degree of freedom. Menurut Hair et al. (1998:340) nilai yang direkomendasikan untuk menerima kesesuian sebuah model adalah nilai CMIN/DF yang lebih kecil atau sama dengan 2,0 atau 3,0.
4) Goodness of Fit Index (GFI) Digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan. Indeks ini mencerminkan tingkat kesesuaian model secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang yang diprediksi dibandingkan dengan data yang sebenarnya. Nilai Goodness of
Fit Index biasanya dari 0 sampai 1. Semakin besar jumlah sampel penelitian maka nilai GFI akan semakin besar. Nilai yang lebih baik mendekati 1 mengindikasikan model yang diuji memiliki kesesuaian yang baik (Hair et al., 1998:387) nilai GFI dikatakan baik adalah ≥ 0,90. 5) Tucker-Lewis Index (TLI) TLI adalah sebuah alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model. Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah ≥ 0,9 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit. TLI merupakan index fit yang kurang dipengaruhi oleh ukuran sampel. 6) Comparative Fit Index (CFI) CFI juga dikenal sebagai Bentler Comparative Index. CFI merupakan indeks kesesuaian incremental yang juga membandingkan model yang diuji dengan null model. Indeks ini dikatakan baik untuk mengukur kesesuaian sebuah model karena tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel
104
(Hair et al., 1998:289). Indeks yang mengindikasikan bahwa model yang diuji memiliki kesesuian yang baik adalah apabila CFI ≥ 0,90. 7) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) Nilai RMSEA menunjukkan goodness of fit yang diharapkan bila model diestimasikan dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu didasarkan degree of
freedom. RMSEA merupakan indeks pengukuran yang tidak dipengaruhi oleh besarnya sampel sehingga biasanya indeks ini digunakan untuk mengukur fit model pada jumlah sampel besar. Indeks-indeks yang digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model dapat diringkas dalam Tabel berikut. Tabel 12 Goodness of Fit Index
Goodness of Fit Index
Cut off Value Diharapkan kecil ≥ 0.05 ≤ 2 atau 3 ≥ 0.90 ≥ 0.95 ≥ 0.95 ≤ 0.08 -0.09
Chi Square Significance Probability CMIN/DF GFI TLI CFI RMSEA
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji signifikansi regresi berdasarkan uji F pada α = 0,05 pada masing-masing koefisien persamaan, baik secara langsung maupun secara parsial. Setelah dilakukan pengujian terhadap asumsi dasar SEM dan terhadap uji kesesuaian dan uji statistik, langkah berikutnya adalah melakukan modifikasi terhadap model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang telah dilakukan. Setelah model diestimasi, residualnya haruslah kecil atau mendekati nol dan distribusi frekuensi dari kovarians residual harus bersifat simetrik (Tabaknick and Fidell, 1997). Hair et al. (1998) memberikan sebuah pedoman untuk mempertimbangkan perlu tidaknya modifikasi terhadap sebuah model, yaitu dengan melihat sejumlah residual yang dihasilkan oleh model. Bila jumlah residual lebih besar dari 5% dari semua residual kovarians yang 105
dihasilkan oleh model, maka modifikasi perlu dipertimbangkan. Bila ditemukan nilai residual yang dihasilkan oleh model cukup besar (>2,58), maka cara lain dalam memodifikasi adalah dengan mempertimbangkan untuk menambah jalur baru terhadap model yang diestimasi. Nilai residual lebih besar atau sama dengan 2,58 diinterpretasikan sebagai signifikan secara statistik pada tingkat 5% dan residual yang signifikan ini menunjukkan adanya prediction error yang substansial untuk sepasang indikator. 3.4.4 Analisis SWOT Budiharsono (2003) menyebutkan bahwa salah satu metoda yang bisa digunakan untuk menentukan kebijakan, adalah metoda analisis SWOT (Strength-
Weaknesses-Opportunities-Threats).
Dengan
analisis
ini
akan
ditentukan
kebijakan yang diperlukan didasarkan pada kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan terhadap implementasi program-program pemberdayaan yang sudah dilaksanakan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut : 1) Identifikasi kekuatan/kelemahan dan peluang/ancaman Pada tahap ini dilakukan penelaahan kondisi faktual di lapangan dan kecenderungan yang mungkin terjadi untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi program pemberdayaan yang sudah dilaksanakan pada beberapa wilayah kajian. 2) Analisis SWOT dan alternatif kebijakan hasil analisis SWOT Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis hubungan keterkaitan untuk memperoleh beberapa alternatif kebijakan (SO, ST, WO dan WT). Untuk mendapatkan prioritas kebijakan, maka dilakukan pemberian bobot (nilai) berdasarkan tingkat kepentingan. 3) Analisis kebijakan
3.5 Pendekatan Penelitian Dari alur pelaksanaan penelitian dapat dijelaskan bahwa analisis yag dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 12 sebagai berikut :
106
ANALISIS POTENSI EKONOMI KEADAAN POTENSI PERIKANAN
Analysis Structural Equation Modeling (SEM) KESEJAHTERAAN NELAYAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL
KELEMBAGAAN
PEMBERDAYAAN
KEWIRAUSAHAAN
Organisasi nelayan, Lembaga keuangan mikro dan Lembaga Pemerintahan
Penyelenggaraan Penyuluhan, Pelatihan dan Pendidikan
Adanya ketrampilan usaha, praktek dan pengalaman usaha, niat berusaha
ANALISIS SWOT Rekomendasi Kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan skala kecil
Gambar 12 Pendekatan Penelitian
107
4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Pada tahun 2001 wilayah Kepulauan Seribu telah ditetapkan menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, sehingga hal ini telah menjadikan Kepulauan Seribu sebagai satu-satunya Kabupaten yang ada di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Wilayah ini terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta. Kepulauan Seribu dapat dikatakan memiliki karakteristik dan potensi alam yang berbeda dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta yang lain, karena wilayah ini terdiri dari gugusan pulau-pulau terumbu karang dimana sebagian besar terumbu karang yang ada masih mengalami pertumbuhan. Secara administrasi luas wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah meliputi 869,61 Ha, yang terbagi menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, dengan 6 kelurahan dan 110 pulau. Sementara itu apabila ditinjau dari aspek geografisnya, topografi wilayah Kepulauan Seribu rata-rata termasuk landai (0-15 persen dengan ketinggian 0-2 meter di bawah permukaan laut), dimana luas daratan masing-masing pulau dipengaruhi oleh adanya pasang surut yang mencapai ketinggian 1-15 meter di atas Pelabuhan Tanjung Priok. Secara fisik wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dibatasi oleh Laut Jawa/Selat Sunda di sebelah utara dan Laut Jawa di sebelah timur. Sementara itu, di sebelah selatan wilayah ini berbatasan dengan Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing, dan Tangerang (Banten). Sedangkan, di sebelah barat wilayah Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa/Selat Sunda. Pada umumnya, keadaan geologi di Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan kapur, karang/pasir dan sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa, terdiri dari susunan bebatuan malihan/metamorfosa dan batuan beku, di atas batuan dasar diendapkan sedimen epiklastik, batu gamping, batu lempung yang menjadi dasar pertumbuhan gamping terumbu Kepulauan Seribu.
108
4.1 Profil Wilayah 4.1.1 Jumlah Penduduk dan Ratio Jenis Kelamin Pada tahun 2007 penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu berjumlah 20.043 jiwa. Jumlah tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 0,63 persen jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang berjumlah hanya 19.916 jiwa. Tingkat pertumbuhan tersebut masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk secara nasional yang mencapai angka 1,34 persen pada tahun 2006. Sedangkan, apabila dilihat per kecamatan dapat diketahui bahwa pertumbuhan penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan adalah relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, yaitu sebesar 0,82 persen. Sementara itu, apabila ditinjau berdasarkan jenis kelaminnya, tampak bahwa secara umum di Kabupaten Kepulauan Seribu jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah hampir sama. Meskipun demikian, masih tetap dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk yang berjenis kelamin lebih cepat bila dibandingkan dengan penduduk yang berjenis kelamin perempuan, terutama di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu sebesar 1,04 persen. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Kepulauan Seribu tersebut apabila mampu dimanfaatkan secara optimal terutama sebagai pelaku pembangunan, maka akan dapat menguntungkan daerah yang bersangkutan. Hal ini karena jumlah penduduk yang besar tersebut dapat diberdayakan menjadi salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan wilayah setempat. Rasio jenis kelamin menggambarkan perbandingan banyaknya penduduk di suatu wilayah antara yang berjenis kelamin laki-laki dengan penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Semakin banyak penduduk yang berjenis kelamin laki-laki di suatu wilayah berarti semakin banyak tersedia tenaga kerja yang nantinya dapat dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dapat dikatakan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang berjenis kelamin perempuan.
109
Berdasarkan tabel berikut dapat diketahui bahwa rasio jenis kelamin penduduk
Kabupaten
Kepulauan
Seribu
adalah
sebesar
102.
Hal
ini
menggambarkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu yang berjenis kelamin laki-laki adalah sedikit lebih banyak jika dibandingkan dibandingkan dengan penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Tabel 13a Rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu menurut kecamatan tahun 2006-2007 No. (1) 1
2
Sex Ratio
Kelurahan (2) Kec. Kep. Seribu Selatan a. Pulau Tidung b. Pulau Pari c. Pulau Untung Jawa
2006 (3) 98 95 98 105
2007 (4) 99 96 99 105
Kec. Kep. Seribu Utara a. Pulau Panggang b. Pulau Kelapa c. Pulau Harapan
105 104 106 105
105 104 106 105
102
102
Kepulauan Seribu Sumber : BPS (2008)
Sedangkan, apabila ditinjau per kecamatan dapat dilihat bahwa hingga tahun 2007 penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang berjenis kelamin laki-laki jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan penduduk perempuannya. Hal ini tampak dari nilai rasio jenis kelaminnya, yaitu sebesar 98 pada tahun 2006 dan 99 di tahun 2007. Akan tetapi, kondisi yang berlawanan justru terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dimana nilai rasio jenis kelaminnya adalah sebesar 105 baik untuk tahun 2006 maupun tahun 2007. Hal ini menggambarkan bahwa penduduk kecamatan tersebut yang berjenis kelamin laki-laki jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan kondisi tersebut, tampak bahwa untuk wilayah Kepulauan Seribu secara umum dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara pada khususnya memiliki penduduk laki-laki yang lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu, kondisi seperti ini seharusnya dapat
110
dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin karena dengan jumlah penduduk lakilaki yang lebih besar ini berarti tersedia lebih banyak tenaga kerja yang dapat diandalkan
sehingga
mampu
meningkatkan
produktivitas
dari
kegiatan
pembangunan yang dilakukan di wilayah tersebut. 4.1.2 Kepadatan Penduduk Selain
dari
indikator
jumlah
dan
pertumbuhan
penduduknya,
perkembangan variabel kependudukan juga dapat ditinjau dari segi indikator kepadatan penduduknya. Penyebaran penduduk yang tidak merata perlu mendapat perhatian karena berkaitan dengan daya dukung terhadap lingkungan. Penyebaran penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu secara geografis dapat dikatakan masih belum merata. Hingga tahun 2007 penduduk yang tinggal di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ada sebanyak 11.920 jiwa atau sekitar 59,5 persen dari penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu sedangkan yang tinggal di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ada sebanyak 8.123 jiwa atau sekitar 40,5 persen. Selanjutnya, apabila dilihat dari kepadatan penduduknya tampak bahwa dengan luas wilayah yang mencapai sekitar 869,61 Ha, pada tahun 2006 kepadatan penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu adalah 2,290 jiwa/km2 dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2007 yaitu menjadi sebesar 2,305 jiwa/km2. Tabel 13b Kepadatan penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007 No. (1) 1
2
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 2006 2007 (3) (4) 2,647 2,669 3,849 3,884 2,271 2,296 1,743 1,750
Kelurahan (2) Kec. Kep. Seribu Selatan a. Pulau Tidung b. Pulau Pari c. Pulau Untung Jawa Kec. Kep. Seribu Utara a. Pulau Panggang b. Pulau Kelapa c. Pulau Harapan
Kepulauan Seribu Sumber : BPS (2008)
111
2,098 7,200 2,099 803
2,109 7,230 2,106 812
2,290
2,305
Berdasarkan tabel yang sama juga terlihat bahwa Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kepadatan yang lebih tinggi di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ini disebabkan karena daerah tersebut memiliki daya tarik sosial ekonomi yang cukup tinggi yaitu merupakan pusat perekonomian terutama industri. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase penggunaan lahan di wilayah tersebut yang digunakan untuk kegiatan industri dan perumahan bila dibandingkan dengan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu sekitar 34,40 persen untuk industri dan 27,45 persen untuk perumahan. Berdasarkan kondisi yang telah dipaparkan, apabila peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di Kabupaten Kepuluan Seribu tersebut tidak diimbangi dengan pemerataan lokasi daerah tempat tinggalnya maka akan dapat menyebabkan penduduk-penduduk tersebut hanya terkonsentrasi di wilayahwilayah tertentu sehingga daya dukung terhadap lingkungan juga menjadi terganggu. 4.1.3 Fertilitas dan Keluarga Berencana Salah satu masalah kependudukan di Indonesia dewasa ini adalah bagaimana menurunkan tingkat fertilitas ke tingkat yang lebih rendah. Hal tersebut di perlukan karena kelahiran adalah salah satu komponen yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Dengan adanya penurunan pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. 4.1.3.1 Angka kelahiran kasar (CBR) Program Pemerintah melalui Keluarga Berencana tidak hanya bertujuan menurunkan tingkat fertilitas tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menanamkan norma tentang keluarga kecil bahagia sejahtera. Upaya pemerintah tersebut di atas telah berhasil menurunkan tingkat fertilitas di Indonesia secara umum. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai sumber data antara lain angka kelahiran kasar (Crude Birth Rate=CBR). Di Kabupaten Kepulauan Seribu angka CBR pada tahun 2006 adalah sebesar 3.35 dan selanjutnya mengalami penurunan menjadi 1.39 di tahun 2007.
112
Angka ini menunjukkan bahwa jumlah kelahiran yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Seribu selama tahun 2006 adalah sebanyak 335 jiwa per 10.000 penduduk dan mengalami penurunan menjadi 139 jiwa per 10.000 penduduk. Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat terhadap program pemerintah dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas semakin meningkat. Tabel 14 Angka kelahiran kasar Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007
No. (1) 1
2
Kelurahan (2) Kec. Kep. Seribu Selatan a. Pulau Tidung b. Pulau Pari c. Pulau Untung Jawa Kec. Kep. Seribu Utara a. Pulau Panggang b. Pulau Kelapa c. Pulau Harapan
Kepulauan Seribu Sumber : BPS (2008)
Jumlah Kelahiran
CBR
2006 (3)
2007 (4)
2006 (5)
2007 (6)
146 54 23 69
78 43 26 9
1.46 0.54 0.23 0.69
0.78 0.43 0.26 0.09
189 82 62 45
61 19 23 19
1.89 0.82 0.62 0.45
0.61 0.19 0.23 0.19
335
139
3.35
1.39
4.1.3.2 Tingkat partisipasi keluarga berencana Selain itu, turunnya angka kelahiran kasar (CBR) di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu tersebut juga dapat dikaitkan dengan tingkat partisipasi masyarakat setempat terhadap program KB. Dari tabel 16 berikut dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 secara umum tingkat partisipasi KB masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu sudah cukup baik, yaitu telah mencapai sebesar 74,99 persen. Sedangkan, apabila ditinjau per kecamatan dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan terhadap program KB adalah sebesar 95,64 persen, yaitu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yang tingkat partisipasinya hanya mencapai 63,30 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat Kecamatan Kepulauan
113
Seribu Selatan akan pentingnya program penurunan fertilitas jauh lebih baik daripada masyarakat Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Tabel 15 Tingkat partisipasi KB di Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2007
No. (1) 1
2
Jumlah PUS
Jumlah Peserta KB
Tingkat Partisipasi KB (%)
(2) Kec. Kep. Seribu Sel a. Pulau Tidung b. Pulau Pari c. Pulau Untung Jawa
(3) 1,283 732 231 320
(4) 1,227 725 223 279
(5) 95.64 99.04 96.54 87.19
Kec. Kep. Seribu Utara a. Pulau Panggang b. Pulau Kelapa c. Pulau Harapan
2,267 976 1,055 236
1,435 577 638 220
63.30 59.12 60.47 93.22
3,550
2,662
74.99
Kelurahan
Kepulauan Seribu Sumber : BPS (2008) 4.1.3.3 Angka kematian kasar (CDR)
Disamping tingkat kelahiran dan migrasi, salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika geografis adalah kematian. Tingkat kematian yang terjadi umumnya berbeda menurut golongan umur, jenis kelamin maupun kondisi sosial ekonomi penduduk. Dengan demikian tingkat kematian yang terjadi di suatu wilayah sering dihubungkan dengan kemajuan sosial ekonomi di wilayah tersebut. Salah satu ukuran kematian yang paling sederhana adalah berupa angka kematian kasar (Crude Death Rate=CDR). Pada tahun 2007 tampak bahwa Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2006, yaitu sebesar 0,32 yang artinya jumlah kematian yang terjadi di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 adalah sebanyak 32 jiwa per 10.000 penduduk. Sementara itu, apabila ditinjau per kecamatan dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki tingkat kematian yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Jumlah kematian yang terjadi di Kecamatan Kepulauan
114
Seribu Selatan pada tahun 2006 adalah sebanyak 19 jiwa per 10.000 penduduk. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena jumlah fasilitas kesehatan yang terdapat di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara lebih banyak bila dibandingkan dengan fasilitas kesehatan yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Tabel 16 Angka kematian kasar Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007
No. (1) 1
2
Kelurahan (2) Kec. Kep. Seribu Selatan a. Pulau Tidung b. Pulau Pari c. Pulau Untung Jawa Kec. Kep. Seribu Utara a. Pulau Panggang b. Pulau Kelapa c. Pulau Harapan
Kepulauan Seribu Sumber : BPS (2008)
Jumlah Kematian
CDR
2006 (3)
2007 (4)
2006 (5)
2007 (6)
15 5 3 7
19 9 4 6
0.15 0.05 0.03 0.07
0.19 0.09 0.04 0.06
15 3 7 5
13 4 6 3
0.15 0.03 0.07 0.05
0.13 0.04 0.06 0.03
30
32
0.30
0.32
4.1.3.4 Angka harapan hidup Disamping fertilitas dan mortalitas, indikator lain yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat adalah angka harapan hidup (AHH). Angka Harapan Hidup (AHH) atau Life Expectancy (LE) menunjukkan rata-rata umur penduduk mulai lahir sampai dengan akhir hidupnya. Faktor yang mempengaruhi perubahan AHH dapat ditinjau dari beberapa hal seperti kondisi lingkungan dan status sosial ekonomi penduduk, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, status gizi dan lain-lain. Oleh karena itu AHH cukup representatif digunakan sebagai indikator dalam menilai tingkat kesejahteraan penduduk khususnya di bidang kesehatan. Berdasarkan tabel 18 dapat diketahui bahwa selama kurun waktu tahun 2004-2006 angka harapan hidup di Kabupaten Kepulauan Seribu mengalami peningkatan, yaitu meningkat dari 69,3 tahun pada tahun 2004 menjadi 69,7 tahun pada tahun 2005. Begitu pula pada tahun 2006, angka harapan hidup di Kabupaten
115
Kepulauan Seribu juga semakin mengalami peningkatan yaitu menjadi 70,1 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat atau kualitas penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu di sektor kesehatan semakin baik. Tabel 17 Angka harapan hidup Propinsi DKI Jakarta tahun 2004-2006 Kab/Kota (1) Kab. Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara Prop. DKI Jakarta Sumber : BPS (2007)
Angka Harapan Hidup (Tahun) 2004 2005 2006 (2) (3) (4) 69.3 69.7 70.1 72.1 72.4 72.8 72.5 72.5 72.6 71.0 71.3 71.8 72.6 72.6 72.8 72.2 72.2 72.3 72.4
72.5
72.6
Meskipun selama kurun waktu dari tahun 2004 sampai tahun 2006 kondisi angka harapan hidup masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu terus mengalami peningkatan, akan tetapi angka tersebut masih tetap lebih rendah bila dibandingkan dengan angka harapan hidup di tingkat Propinsi DKI Jakarta secara umum, yaitu yang mencapai hingga 72,6 tahun pada tahun 2006. Ini menunjukkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat atau penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu tersebut masih berada di bawah kondisi masyarakat DKI Jakarta secara umum. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kondisi secara umum yang ada di Indonesia dengan AHH nasional pada tahun 2005 dan 2006 yang masingmasing hanya mencapai 69,0 tahun dan 69,4 tahun maka angka harapan hidup penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan sedikit lebih tinggi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sebenarnya secara umum meskipun dibandingkan dengan masyarakat DKI Jakarta kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu lebih rendah, akan tetapi bila dibandingkan dengan wilayah nasional kualitas kesehatannya masih hampir sama. 4.1.4 Pendidikan Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai dengan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja yang berkualitas secara perorangan atau kelompok.
116
Beberapa cara untuk menampilkan hasil kerja produktif diantaranya dengan mengasah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang umumnya dapat diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kemajuan suatu masyarakat. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, biasanya wawasan maupun pengetahuan masyarakat juga akan semakin luas dan meningkat. Sementara itu, sampai saat ini telah terdapat berbagai macam indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan masyarakat di suatu wilayah, antara lain angka partisipasi murni (APM), angka partisipasi kasar (APK) dan rasio murid guru. 4.1.4.1 Angka partisipasi murni (APM) Angka partisipasi murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu, yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan yaitu SD untuk penduduk usia 7-12 tahun, SMP untuk penduduk usia 13-15 tahun dan SMA untuk penduduk usia 16-18 tahun. Semakin tinggi angka partisipasi murni (APM) berarti semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah di tingkat pendidikan tertentu. Standar ideal untuk APM adalah mendekati 100. Tabel 18 Angka partisipasi murni Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2006-2007 No. (1)
Kecamatan (2)
APM SD
Tahun 2006 APM SMP APM SMA
APM SD
Tahun 2007 APM SMP APM SMA
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1
Kep. Seribu Selatan
97.10
86.21
56.25
96.49
78.79
38.71
2
Kep. Seribu Utara
92.31
80.65
64.15
94.87
79.17
60.47
93.87
82.42
61.18
95.40
79.01
51.35
Kepulauan Seribu
Sumber : BPS (2007) Berdasarkan tabel 19 di atas dapat diketahui bahwa selama tahun 2006 dan 2007 APM tertinggi di Kabupaten Kepulauan Seribu terjadi di level SD, kemudian SMP dan SMA. Angka partisipasi murni (APM) SD di Kabupaten Kepulauan Seribu secara keseluruhan telah mendekati standar, yaitu sebesar 93,87 di tahun 2006 dan sebesar 95,40 pada tahun 2007. Sedangkan apabila ditinjau per kecamatan tampak bahwa APM SD di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan menunjukkan angka yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan APM SD di
117
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Akan tetapi, di sisi lain untuk APM SMP dan SMA di Kabupaten Kepulauan Seribu secara keseluruhan terlihat bahwa masih jauh di bawah standar nasional dimana APM untuk SMP 82,42 pada tahun 2006 dan 79,01 pada tahun 2007 sedangkan APM untuk SMA 61,18 pada tahun 2006 dan 51,35 pada tahun 2007. Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, APM SD di Kabupaten Kepulauan Seribu mengalami peningkatan sebesar 1,53 pada tahun 2007. Sedangkan, APM SMP dan APM SMA sama-sama mengalami penurunan pada tahun 2007, yaitu masing-masing sebesar 3,41 dan 9,83. Penurunan angka APM SMA yang cukup besar ini karena sangat dipengaruhi oleh penurunan APM SMA yang terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan pada tahun 2007 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 17,54. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum sampai dengan tahun 2007 partisipasi sebagian besar penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu terhadap pendidikan hanya sampai dengan tingkat SD dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai APM yang mendekati 100. Sedangkan, hanya sebagian kecil yang partisipasi pendidikannya sampai dengan tingkat SMP dan SMA, yang ditunjukkan dengan nilai APM SMP dan SMA yang masih jauh dari angka 100. 4.1.4.2 Rasio murid terhadap guru Sementara itu, selain angka partisipasi murni (APM), rasio murid terhadap guru juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator pendidikan di suatu wilayah. Semakin tinggi rasio murid guru berarti semakin banyak siswa yang harus dilayani oleh seorang guru atau hal ini dapat diartikan semakin kurang jumlah guru di suatu daerah. Standar rasio murid per guru adalah 40 untuk SD, 21 untuk SMP dan SMU. Tabel 19 Rasio murid terhadap guru tahun 2004 dan tahun 2006 No. (1) 1 2
Kecamatan
(2) Kep. Seribu Sel. Kep. Seribu Utara Kepulauan Seribu Sumber : BPS (2007)
SD (3) 33 19 26
Tahun 2004 SLTP SMU (4) (5) 19 13 20 9 20 11
118
SD (6) 14 33 22
Tahun 2006 SLTP SMU (7) (8) 11 8 19 13 14 11
Tabel 20 di atas menunjukkan bahwa jumlah tenaga guru yang terdapat di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 sudah lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah guru yang berada di wilayah tersebut pada tahun 2004. Selain itu, data tersebut juga dapat menunjukkan bahwa hingga pada tahun 2006 tenaga guru yang berada di Kabupaten Kepulauan Seribu secara umum sudah mencukupi, dimana rasio murid per guru di wilayah tersebut adalah 22 untuk SD, 14 untuk SLTP dan 11 untuk SMU. 4.1.5 Ketenagakerjaan Hampir di semua negara saat ini, masalah ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Di negara berkembang umumnya masalah ketenagakerjaan berkaitan dengan kelangkaan/sempitnya
peluang
atau
kesempatan
kerja,
tingginya
angka
pengangguran, rendahnya kemampuan SDM atau tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah dan masalah jaminan sosial nyaris tidak ada. Sementara itu, masalah kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon buruh yang banyak sedangkan lapangan usaha yang tersedia relatif sedikit atau banyaknya lapangan kerja namun kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerjaan ini dapat memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang selanjutnya dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas. Seperti halnya masalah ketenagakerjaan yang terjadi secara luas tersebut, dalam lingkup atau cakupan wilayah yang lebih kecil seperti Kabupaten Kepulauan Seribu juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi ketenagakerjaan secara umum. Berdasarkan tabel 20 dapat digambarkan keadaan kesempatan kerja yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007. Dari tabel tersebut tampak bahwa terdapat cukup banyak jumlah angkatan kerja yang terdapat di wilayah tersebut. Secara keseluruhan di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu terdapat 7.727 angkatan kerja, dimana sekitar 75,91 persen adalah berjenis kelamin laki-laki dan sisanya berjenis kelamin perempuan. Jumlah angkatan kerja
119
tersebut telah mencapai 59,09 persen dari jumlah penduduk usia kerja yang terdapat di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu. Selain itu, berdasarkan data yang terdapat pada tabel 22 tersebut juga dapat dilihat bahwa dari sebanyak 7.727 angkatan kerja yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu 87,95 persen diantaranya adalah telah berstatus bekerja. Sedangkan, apabila dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan, tingkat kesempatan kerja penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu dapat dikatakan masih relatif lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu yang bekerja jumlahnya sudah cukup banyak. Tabel 20 Keadaan ketenagakerjaan dan pengangguran di tahun 2007 Uraian (1) 1. Penduduk usia kerja 2. Jumlah Angkatan kerja 3. Jumlah penduduk yang bekerja 4. Jumlah pengangguran
5. % bekerja terhadap angkatan kerja 6. Tingkat pengangguran terbuka (%)
Kepulauan Seribu Laki-laki Perempuan L+P (2) (3) (4) 6,988 6,089 13,077 5,866 1,861 7,727 5,216 1,580 6,796 650 281 931 88.92 84.90 87.95 11.08 15.10 12.05
Laki-laki (5) 3,377,321 2,773,032 2,436,549 336,483 87.87 12.13
DKI Jakarta Perempuan (6) 3,389,602 1,622,292 1,406,395 215,897 86.69 13.31
L+P (7) 6,766,923 4,395,324 3,842,944 552,380 87.43 12.57
Laki-laki (8) 82,079,391 68,719,887 63,147,938 5,571,949 83.72 8.11
Indonesia Perempuan (9) 82,038,932 41,221,472 36,782,279 4,439,193 50.25 10.77
L+P (10) 164,118,323 109,941,359 99,930,217 10,011,142 66.99 9.11
Sumber : BPS (2008) Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah ketenagakerjaan yang banyak terjadi salah satunya adalah pengangguran. Sesuai dengan data yang terdapat dalam tabel 15 juga tampak bahwa secara umum tingkat pengangguran terbuka yang terjadi di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 mencapai 12,05 persen. Secara lebih lanjut, apabila ditinjau menurut jenis kelamin terlihat bahwa pada tahun 2007 di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu terdapat sekitar 15,10 persen penganggur terbuka yang berjenis kelamin perempuan, sedangkan penganggur yang berjenis kelamin laki-laki terdapat sekitar 11,08 persen. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya laki-laki merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab memberikan nafkah bagi keluarganya, dimana untuk dapat memperoleh nafkah tersebut harus dengan cara bekerja. Apabila dibandingkan dengan kondisi yang ada di DKI Jakarta terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Kepulauan Seribu masih sedikit lebih rendah. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kondisi yang ada
120
di Indonesia secara umum terlihat bahwa tingkat pengangguran yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Seribu masih jauh lebih tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masih cukup tingginya angka pengangguran di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu tersebut sebagai akibat dari masih terbatasnya lapangan pekerjaan yang terdapat di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dari saksono (2008) yang melakukan survei terhadap 100 responden yang merupakan pemangku kepentingan di bidang perikanan, diperoleh data bahwa masyarakat Kepulauan Seribu melakukan kegiatan penangkapan ikan sebanyak 45% dan kegiatan pembudidayaan ikan berkisar sebesar 23%. Sehingga sebanyak 68 % penduduk Kepulauan Seribu berprofesi sebagai nelayan sedangkan sisanya sebanyak 32% memilih melakukan berbagai kegiatan lainnya di berbagai sektor, seperti pariwisata, jasa angkutan, pegawai negeri, dan usaha perikanan yang dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan hingga pemasaran. 4.1.6 Jenis dan sumber alat tangkap nelayan Masyarakat Kepulauan Seribu dalam melaksanakan profesi penangkapan ikan dilakukan dengan berbagai jenis alat tangkap. Berdasarkan hasil penelitian dari saksono (2008) yang melakukan survei terhadap 100 responden nelayan dan/atau nelayan kecil, diperoleh data bahwa penggunaan alat tangkap yang sangat dominan adalah alat tangkap lainnya, yakni sebesar 26% (Tabel 21). Tabel 21 Komposisi alat penangkapan ikan di Kepulauan Seribu Jenis Alat Tangkap 1. Jaring Gebur 2. Pancing 3. Pancing Cumi 4. Jaring (Payang/Rampus) 5. Sistem Kompresor 6. Sero 7. Peralatan Lainnya
Jumlah (%)
Keterangan
11,00 25,00 8,00 12,00 12,00 6,00 26,00
Peralatan Lainnya adalah alat-alat tangkap dari luar yang beroperasi di kawasan Kepulauan Seribu, seperti: Pukat Pantai, Trawl, dll.
Sumber: Saksono 2008. Memperhatikan tabel 21 jenis alat penangkapan lainnya yang tidak termasuk dalam kelompok alat tangkap jenis jaring dan alat tangkap pancing, seperti bubu mempunyai porsi paling besar yaitu 26 % sedangkan pancing
121
merupakan alat tangkap yang paling dominan digunakan nelayan dan/atau nelayan kecil di perairan Kepulauan Seribu, yakni sebesar 32%. Para nelayan Kepulauan Seribu biasanya mengusahakan alat tangkap buatannya sendiri. Berdasarkan hasil penelitian dari saksono (2008) yang melakukan survei terhadap 100 responden nelayan dan/atau nelayan kecil, terdapat 31% nelayan membuat sendiri peralatan untuk penangkapan ikan. Namun demikian, pada umumnya nelayan membeli alat tangkap kemudian melakukan modifikasi, yakni sebesar 55%. Nelayan yang menggunakan alat pancing dengan membeli jadi hanya sekitar 14%. 4.1.7 Sistem pembelian alat tangkap oleh nelayan Ditinjau dari aspek sistem pembayaran terhadap pembelian alat tangkap yang dilakukan para nelayan dan/atau nelayan kecil, berdasarkan penelitian saksono (2008) sebanyak 56 % nelayan melakukan pembayaran kontan atas setiap alat tangkap yang dibeli. Selain itu, terdapat pula 37% nelayan dan/atau nelayan kecil yang melakukan pembayaran alat tangkap yang telah dibelinya dengan sistem cicilan atau kredit. Nelayan yang melakukan pembayaran dengan hasil tangkapan hanya berkisar 7%. Fenomena diatas mengindikasikan bahwa perekonomian masyarakat di wilayah Kepulauan Seribu pada umumnya relatif baik, karena para nelayan sudah dapat
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
bahkan
memiliki
modal
untuk
mengembangkan usahanya. Tabel 22 Pengusahaan alat penangkapan ikan di Kepulauan Seribu Jumlah Pengusahaan Alat Tangkap Keterangan (%) 1. Cara Pengusahaan a. Dibuat sendiri b. Dibeli siap pakai c. Dibeli lalu dimodifikasi 2. Sistem Pembayaran a. Bayar kontan b. Bayar cicilan c. Dibayar dari hasil tangkapan 3. Kisaran Harga a. < Rp 500.000,00 b. Rp 500.000,00 – Rp 1.000.000,00 c. > Rp 1.000.000,00
31,00 14,00 55,00 Alat tangkap pada umumnya 56,00 dibeli di pasar ikan. 37,00 7,00 Alat tangkap jaring dibeli 45,00 dengan harga cukup murah 36,00 kemudian dimodifikasi 19,00
Sumber: Saksono (2008)
122
4.1.8 Pemasaran hasil perikanan Hasil penelitian saksono pada tahun 2008 menunjukkan bahwa dalam perspektif perikanan tangkap, lokasi pemasaran hasil tangkapan nelayan yang potensial adalah langsung di wilayah Kepulauan Seribu (45 %) dan Muara Angke (35 %), sedangkan sistem transaksi terbaik dalam pemasarannya adalah pembayaran kontan (83 %) sebagaimana disajikan pada tabel 23 Tabel 23 Pemasaran hasil perikanan tangkap di Kepulauan Seribu Pemasaran Hasil
Jumlah (%)
1. Tujuan Lokasi Pemasaran a. Muara Angke b. Kalibaru c. Di tempat (wilayah Kep. Seribu)
Keterangan
35,00 20,00 45,00
2. Sistem Pembayaran Hasil Tangkap a. Bayar kontan b. Bayar cicilan c. Cara pembayaran lainnya
Pembayaran kontan sangat 83,00 umum dilakukan. 13,00 Pembayaran cicilan hanya 4,00 dilakukan bila ada kesepakatan dengan pembeli
Sumber: Saksono (2008) Sedangkan pemasaran hasil perikanan budidaya sebagian besar dilakukan di Muara Angke (tabel 24) Tabel 24 Pemasaran hasil perikanan budidaya di Kepulauan Seribu Pemasaran Hasil
Jumlah (%)
Keterangan
1. Tujuan Lokasi Pemasaran a. Muara Angke b. Kalibaru c. Di tempat (wilayah Kep. Seribu)
Jual sendiri banyak dipilih 46,00 karena dianggap lebih 36,00 menguntungkan 18,00
2. Sistem Pembayaran Hasil Budidaya a. Bayar kontan b. Bayar cicilan c. Cara pembayaran lainnya
Pembayaran kontan sangat 78,00 umum dilakukan meskipun 16,00 kepada pelanggan tetap. 6,00
Sumber: Saksono (2008) 4.1.9 Transportasi penduduk Seiring dengan kegiatan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, maka aksesibilitas masyarakat dan/atau nelayan dalam memasarkan hasil
123
tangkapan maupun produk budidaya perikanan memerlukan sarana transportasi. Hasil survei dari saksono (2008) sebagai sarana transportasi dari wilayah Kepulauan Seribu ke Jakarta melalui pelabuhan Muara Angke dan sebaliknya, pada umumnya (87%) menggunakan sarana angkutan rakyat berupa kapal motor yang berfungsi sebagai angkutan umum antarpulau dan hanya 13% yang memanfaatkan sarana kapal cepat. Hal ini sangat menyulitkan bagi percepatan kegiatan masyarakat di Kepulauan Seribu. Dalam konteks sarana transportasi, terdapat beberapa kesulitan, yakni jadwal keberangkatan yang rata-rata hanya 2 (dua) kali sehari, rendahnya sistem keamanan dan keselamatan pelayaran, terbatasnya kapasitas muat, dan lamanya waktu tempuh baik antarpulau dalam wilayah Kepulauan Seribu maupun dari Kepulauan Seribu ke Jakarta (Muara Angke). 4.2 Struktur Ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu Besaran PDRB sering digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja perekonomian suatu wilayah, terutama yang dikaitkan dengan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Kenaikan produksi dan harga barang dan jasa merupakan faktor penyebab utama kenaikan nilai PDRB. Perkembangan PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu selama 6 tahun terakhir cukup stabil yang terlohat pada tabel 26. Pada tahun 2006, PDRB atas dasar harga berlaku mencapai 2,634 trilyun rupiah yang berarti mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2004 yang berada pada angka 1,534 trilyun rupiah dan 2,151 trilyun rupiah. Peningkatan nilai tambah ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan produksi, akan tetapi juga disebabkan oleh kenaikan harga yang signifikan terutama harga minyak dan gas bumi. Begitu pula dengan PDRB atas harga berlaku tanpa migas juga mengalami peningkatan dari 192,1 milyar rupiah di tahun 2005 menjadi 217,3 milyar rupiah pada tahun 2006. Sementara itu, berdasarkan tabel 26 juga dapat dilihat bahwa PDRB atas dasar harga konstan dengan migas terus mengalami penurunan hingga tahun 2005 dan kembali meningkat pada tahun 2006. Penurunan tersebut disebabkan karena adanya penurunan produksi. Sedangkan, PDRB atas dasar harga konstan tanpa migas terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006.
124
Pada tahun 2006 PDRB atas harga konstan dengan migas mencapai 1,072 trilyun rupiah dan PDRB tanpa migas mencapai 139,1 milyar rupiah. Tabel 25
Perkembangan PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2001-2006
PDRB ADHB (juta rupiah) Tahun Dengan Tanpa Migas Migas (1) (2) (3) 2001 1,533,832 168,752 2002 1,338,072 177,260 2003 1,223,830 153,307 2004 1,534,290 173,085 2005 2,151,457 192,128 2006 2,634,912 217,283 Sumber : BPS (2007)
Laju
pertumbuhan
PDRB ADHK Tahun 2000 (Juta Rupiah) Dengan Tanpa Migas Migas (4) (5) 1,427,840 153,109 1,382,231 148,979 1,187,155 127,549 1,118,224 130,732 1,050,064 134,087 1,072,123 139,062
ekonomi
merupakan
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Dengan Tanpa Migas Migas (6) (7) -1.19 -2.66 -3.19 -2.70 -14.11 -14.38 -5.81 2.50 -6.10 2.57 2.10 3.71
indikator
makro
yang
menggambarkan tingkat pertumbuhan produksi barang dan jasa. Secara makro, indikator ini digunakan untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan pembangunan yang telah digalakkan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu pada periode tahun 2001 hingga tahun 2006. Pada periode tahun 2001 hingga 2005 Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif, bahkan sempat mengalami kondisi kontraksi pada tahun 2003 dimana pertumbuhan ekonominya mencapai -14,11 persen. Akan tetapi mulai tahun 2004 sampai tahun 2006 laju pertumbuhannya semakin meningkat, baik laju pertumbuhan dengan migas maupun tanpa migas. Laju pertumbuhan yang negatif yang terjadi hingga tahun 2003 tersebut salah satu penyebabnya adalah pada saat itu stabilitas di wilayah tersebut yang belum kondusif. Hal ini disebabkan karena sejak terbentuk pada tahun 2001, pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu masih dalam tahap melengkapi infrastruktur di wilayah tersebut hingga tahun 2003. Sementara itu, dari tabel 30 berikut ini secara sektoral menunjukkan bahwa pada tahun 2006 seluruh sektor mengalami pertumbuhan yang positif. Sektor pertanian dengan subsektor perikanan sebagai primadona mampu tumbuh sebesar 3,99 persen di tahun 2006. Kondisi tersebut mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2,98 persen.
125
Begitu pula dengan sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor perdagangan, hotel dan restoran juga mengalami peningkatan laju pertumbuhan, dimana masing-masing sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan sebesar 1,87 persen; 4,58 persen; 2,14 persen dan 4,18 persen pada tahun 2006. Tabel 26 Laju pertumbuhan PDRB Kepulauan Seribu menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
2001 (3) -13.51 -1.01 0.29 1.67 2.39 10.44 0.28 3.32 2.59
2002 (4) -13.47 -3.25 3.59 1.37 9.08 7.23 -16.03 1.65 2.36
Tahun 2003 2004 (5) (6) -48.11 2.46 -14.08 -6.81 4.41 1.40 4.41 1.45 5.45 2.51 4.58 3.79 3.81 -7.17 0.18 0.42 4.07 2.54
2005 (7) 2.98 -7.24 3.05 1.83 3.45 3.69 -15.27 1.22 2.92
2006 (8) 3.99 1.87 2.56 2.14 4.58 4.18 0.90 1.36 3.01
PDRB Tanpa Migas PDRB Dengan Migas
-2.66 -1.19
-2.7 -3.19
-14.38 -14.11
2.57 -6.10
3.71 2.10
No.
Lapangan Usaha
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
(2)
2.5 -5.81
Sumber : BPS (2007)
Apabila ditinjau menurut subsektornya, khusus untuk sektor pertanian tampak bahwa hanya subsektor peternakan yang laju pertumbuhannya mengalami penurunan selama periode tahun 2001 hingga tahun 2006. Sementara itu, untuk subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan perikanan selama periode tersebut terus mengalami peningkatan laju pertumbuhan dimana untuk subsektor perikanan laju pertumbuhannya mampu mencapai 4,16 persen di tahun 2006. Tabel 27 Laju pertumbuhan PDRB Kepulauan Seribu sektor pertanian menurut subsektor ADHK Tahun 2000 No. (1) 1 2 3
Subsektor (2) Tanaman Bahan Makanan Peternakan Perikanan Sektor Pertanian
2001 (3) -20.32 0.00 -13.46
2002 (4) 16.41 -0.20 -13.79
Tahun 2003 2004 (5) (6) 7.73 -13.19 9.02 -11.34 -48.96 2.96
2005 (7) -8.44 2.80 3.25
2006 (8) -3.56 0.06 4.16
-13.51
-13.47
-48.11
2.98
3.99
sumber : BPS (2007)
126
2.46
Struktur ekonomi dinyatakan dalam persentase menunjukkan besarnya peranan nilai tambah masing-masing sektor ekonomi dalam menciptakan PDRB. Struktur ekonomi menggambarkan ketergantungan daerah terhadap kemampuan produksi masing-masing sektor ekonomi.
Gambar 13 Strukur ekonomi dengan migas Struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 relatif tidak mengalami pergeseran dengan tahun-tahun sebelumnya. Sektor yang sangat dominan dan memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu adalah sektor pertambangan dan penggalian; sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sector pertanian. Pada tahun 2006 peranan sektor pertambangan dan penggalian 91,74 persen terhadap perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki peranan sebesar 3,35 persen dengan sektor utama adalah perdagangan yang memiliki kontribusi sebesar 2,04 persen. Begitu pula dengan sektor pertanian, pada tahun 2006 sektor ini berperan 2,04 persen terhadap perekonomian Kabupaten Kepulauan Seribu dengan sektor utama adalah sektor perikanan yang memiliki kontribusi sebesar 2,00 persen.
127
Gambar 14 Struktur ekonomi tanpa migas Di sisi lain, apabila dilihat tanpa migas struktur ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memiliki peran 40,6 persen kemudian diikuti sektor pertanian yang memiliki kontribusi sebesar 24,68 % . Peran terbesar dari sektor pertanian pada tahun 2006 dihasilkan oleh subsektor perikanan, yaitu yang mendominasi sebesar 98,26 persen dari peranan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu secara keseluruhan (gambar 15).
Gambar 15 Peranan sektor pertanian menurut subsektor tahun 2006
128
4.3 Sektor Unggulan Kabupaten Kepulauan Seribu Pada periode tahun 2002-2007 sektor-sektor/subsektor ekonomi yang unggul peranannya di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah sektor pertanian terutama subsektor perikanan, sektor pertambangan dan penggalian serta subsektor angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Sektor/subsektor tersebut dikatakan sektor unggulan karena memiliki nilai SLQ>1. Sektor pertanian sub sector perikanan mempunyai nilai SLQ>1 yaitu sebesar 54,7 sedangkan DLQ nya jauh diatas 1 yaitu sebesar 13,236. Hal ini mununjukkan sub sektor perikanan merupakan sektor unggulan di Kepulauan Seribu sekaligus juga mempunyai daya saing pada masa yang akan datang. Namun, dari beberapa sektor atau subsektor yang menjadi unggulan tersebut ternyata subsektor angkutan sungai, danau dan penyeberangan memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor/subsektor yang sejenis pada wilayah-wilayah lain di Propinsi DKI Jakarta. Kondisi ini disebabkan karena subsektor tersebut memiliki nilai SLQ>1 sedangkan nilai DLQ<1. Hal ini berarti bahwa jika tidak dilakukan upayaupaya untuk meningkatkan laju pertumbuhan subsektor tersebut, maka di masa depan subsektor tersebut akan kalah bersaing dengan subsektor yang sama di wilayah lainnya. Sektor-sektor/subsektor yang berpotensi untuk menjadi andalan atau unggulan di kemudian hari adalah sektor pertanian subsektor tanaman bahan makanan (tabama), peternakan dan perikanan, subsektor industri makanan, minuman dan tembakau. Selain itu, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran terutama subsektor perdagangan dan hotel, subsektor jasa pemerintahan umum serta subsektor jasa hiburan dan rekreasi juga merupakan sektor/subsektor yang memiliki potensi untuk menjadi sektor unggulan di masa mendatang. Hal ini disebabkan karena sektor-sektor/subsektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor/subsektor yang sejenis pada wilayah lain di Propinsi DKI Jakarta, dimana meskipun sektor/subsektor tersebut memiliki nilai SLQ<1 akan tetapi memiliki nilai DLQ>1 sehingga sektor-sektor/subsektor tersebut memiliki daya saing di masa depan (tabel 28).
129
Tabel 28 Rasio location quotient (LQ) periode 2002-2007 No
1
2 3
4
5 6
7
8
9
Lapangan Usaha
Location Quotient Statis Dinamis 2007 2002-2007
Pertanian a.tabama b.tanaman hias c.peternakan d.perikanan Pertambangan & penggalian a.minyak & gas Industri pengolahan a.makanan,minuman & tembakau b.tekstil, barang kulit & alas kaki c.barang kayu & hasil hutan lain d.kertas & barang cetakan e.pupuk,kimia & barang dari karet f.semen & barang galian bkn lgm g.logam dasar besi & baja h.alat angkutan, mesin & peralatan i.barang lainnya Listrik, gas & air bersih a.listrik b.gas c.air bersih Bangunan Perdagangan,hotel & restaurant a.perdagangan b.hotel c.restauran Pengangkutan & komunikasi a.pengangkutan 1.angkutan rel 2. angkutan jalan raya 3. angkutan laut 4. angkutan sungai & penyebrngan 5. angkutan udara 6.jasa penunjang b.komunikasi 1.pos & telekomunikasi 2.jasa penunjang telekomunikasi Keuangan,persewaan & jasa prsh a.bank b.lembaga keuangan tanpa bank c.jasa penunjang keuangan non bank d.sewa bangunan e.jasa perusahaan Jasa-jasa a.pemerintahan umum 1.adm pemerintahan & pertahanan 2.jasa pemerintahan lainnya b.swasta 1.sosial kemasyarakatan 2.hiburan & rekreasi 3.perorangan & rumah tangga Produk Domestik Regional Bruto
20.812 0.708 0.000 0.851 54.756 190.361 190.361 0.017 0.175 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.004 0.000 0.038 0.000 0.000 0.000 0.078 0.167 0.137 0.745 0.120 0.017 0.031 0.000 0.011 0.000 98.392 0.000 0.000 0.005 0.000 0.000 0.013 0.024 0.001 0.000 0.000 0.000 0.090 0.225 0.000 0.000 0.033 0.019 0.175 0.013
362,071.117 93.354 0.000 456,355.285 13,236.843 4,552.545 4,552.545 0.022 139.418 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000 0.010 0.000 0.000 0.000 2.102 1.719 2.085 1.981 0.717 0.002 0.153 0.000 0.000 0.000 0.227 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.005 0.123 0.000 0.000 0.000 0.000 0.279 4.476 0.000 0.000 0.937 0.253 4.192 0.006
1.000
1.000
Keterangan
p + ds p + ds u + ds u + ds tp + tds p + ds
tp + tds
p + ds p + ds p + ds p + ds
u + tds
tp + tds
tp + tds p + ds tp + tds
Sumber : pengolahan data BPS (2008) Keterangan : u + ds = sektor unggulan & mempunyai daya saing; u + tds = sektor unggulan tetapi tidak mempunyai daya saing; p + ds = mempunyai potensi & berdaya saing; tdp + tds = tidak berpotensi & tidak berdaya saing
130
4.4 Sumber Pertumbuhan Sektor Unggulan Sedikit berbeda dengan metode location quotient (LQ) yang hanya mampu melihat jenis sektor-sektor yang menjadi unggulan atau andalan di suatu daerah tanpa mampu melihat sumber pertumbuhannya, dengan metode shift share dapat dilakukan analisis yang berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan dari sektor-sektor yang menjadi unggulan atau andalan di suatu daerah. Analisis shift share ini terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu komponen pangsa regional (PR), differential shift (DS) dan proportional shift (PS). 4.4.1 Analisis Pangsa Regional (PR) Persentase pangsa regional (PR) persektor merupakan peranan setiap sektor bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Seribu dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi Propinsi DKI Jakarta. Berdasarkan tabel berikut ini tampak bahwa pada periode tahun 2002-2007 sektor pertambangan dan penggalian memiliki peranan yang terbesar bagi pertumbuhan nilai tambah Propinsi DKI Jakarta. Peranan terbesar yang kedua dihasilkan oleh sektor pertanian dimana sumbangan terbesar dari sektor ini adalah berasal dari sumbangan subsektor perikanan. Selanjutnya, sektor perdagangan, hotel dan restoran juga berperan cukup besar terhadap pertumbuhan nilai tambah DKI Jakarta. Tabel 29 Persentase pangsa regional dengan migas periode 2002-2007
No. (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor/Lapangan Usaha (2) Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
Sumber : pengolahan data BPS (2008)
131
Persentase Pangsa Regional (3) 4.46 89.00 0.29 0.04 0.80 3.33 0.39 0.48 1.21 100.00
Dari informasi di atas, dapat dikatakan bahwa pola pembangunan ekonomi yang lebih tepat untuk diterapkan di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah pembangunan ekonomi dengan sektor pertambangan dan penggalian serta sektor pertanian dengan subsektor utama perikanan yang dominan. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya telah dijelaskan bahwa sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor yang memberikan peranan tertinggi terhadap pertumbuhan nilai tambah Propinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 89,00 persen. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan satu-satunya wilayah di DKI Jakarta yang mengelola dan menghasilkan output yang berasal dari kegiatan pertambangan dan penggalian. Sedangkan apabila tanpa memasukkan sektor migas, dapat dilihat bahwa pada periode tahun 2002-2007 sektor pertanian (sektor 1) memiliki peranan yang dominan bagi pertumbuhan nilai tambah Kepulauan Seribu yaitu sebesar 40,58 persen.
Gambar 16 Proporsi pangsa regional setiap sektor tanpa migas 2002-2007 Peranan terbesar kedua adalah sebesar 30,29 persen yang dihasilkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (sektor 6). Selain itu, sektor jasa-jasa dengan subsektor utama hiburan dan rekreasi (sektor 9) juga mampu memberikan peranan yang cukup besar terhadap pertumbuhan nilai tambah yaitu sebesar 11 persen. Kondisi ini sangat wajar karena selama ini di wilayah Kepulauan Seribu terdapat cukup banyak tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai obyek wisata dimana wisatawan banyak berkunjung ke daerah tersebut.
132
Oleh karena itu, berdasarkan informasi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pola pembangunan ekonomi di luar sektor migas yang lebih tepat untuk diterapkan di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah pembangunan ekonomi dengan sektor pertanian (40,58 %) serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (30,29%) yang dominan. Tabel 30 Persentase pangsa regional tanpa migas periode 2002-2007 No.
Sektor/Lapangan Usaha
Persentase Pangsa Regional
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
(2) Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
(3) 40.58 0.00 2.68 0.33 7.24 30.29 3.53 4.37 11.00 100.00
Sumber : pengolahan data BPS (2008)
Proporsi (%) 120.00 98.89 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.95
0.16
0.00 Tabama
Peternakan
Perikanan
Subsektor
Gambar 17 Proporsi pangsa regional sektor pertanian tanpa migas Hal ini juga didukung oleh fakta seperti yang terdapat pada gambar diatas. Dari gambar tersebut tampak bahwa apabila dilihat menurut subsektornya yang memberikan kontribusi atau peranan terbesar terhadap sektor pertanian di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2007 adalah subsektor perikanan, yaitu
133
sebesar 98,89 persen. Sedangkan, subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan peternakan hanya berkontribusi masing-masing 0,95 persen dan 0,16 persen. 4.4.2 Differential Shift (DS) dan Proportional Shift (PS) Komponen yang digunakan untuk menganalisis sumber pertumbuhan sektor-sektor di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah hasil perhitungan dengan metode shift share. Dari nilai proportional shift dapat dianalisis pemanfaatan keuntungan struktur ekonomi atau konsentrasi kebijakan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu relatif terhadap pertumbuhan sektoral Propinsi DKI Jakarta. Sedangkan dari differential shift dapat dilihat posisi keuntungan lokasi Kabupaten Kepulauan Seribu yang mempengaruhi laju pertumbuhan suatu atau beberapa sektor di kabupaten ini. Keuntungan lokasi ini antara lain disebabkan karena kemampuan dalam menyediakan bahan mentah, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya buatan sebagai fasilitas penunjang. Pada periode tahun 2002-2007 terlihat bahwa secara keseluruhan pertumbuhan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu disebabkan oleh kemampuan pemanfaatan keuntungan struktur ekonomi atau konsentrasi kebijakan sektoral. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai total komponen proportional shift sebesar Rp.221,7 milyar, tanpa memperhatikan positif atau negatifnya nilai tersebut, dimana nilai tersebut lebih besar dari nilai total komponen differential shift yaitu sebesar Rp. -60,9 milyar. Nilai proportional shift yang negatif tersebut mengindikasikan bahwa besarnya laju pertumbuhan sektoral Kabupaten Kepulauan Seribu sebagai pengaruh dari pemanfaatan faktor keuntungan struktur ekonomi atau konsentrasi kebijakan sektoral secara keseluruhan relatif masih kalah bersaing dengan kemampuan Propinsi DKI Jakarta secara umum. Sektor-sektor yang mampu menangkap peluang dari kebijakan sektoral sehingga pertumbuhannya pesat di tingkat propinsi adalah subsektor listrik, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi terutama subsektor angkutan jalan raya dan komunikasi. Sektor-sektor tersebut selama tahun 2002-2007 memiliki nilai proporsional shift yang positif (tabel 32).
134
Tabel 31 Hasil perhitungan dengan metode shift share (rupiah) No
1
2 3
4
5 6
7
8
9
Lapangan Usaha
Shift Share differential proportinal 2002-2007 2002-2007
Pertanian a.tabama b.tanaman hias c.peternakan d.perikanan Pertambangan & penggalian a.minyak & gas Industri pengolahan a.makanan,minuman & tembakau b.tekstil, barang kulit & alas kaki c.barang kayu & hasil hutan lain d.kertas & barang cetakan e.pupuk,kimia & barang dari karet f.semen & barang galian bkn lgm g.logam dasar besi & baja h.alat angkutan, mesin & peralatan i.barang lainnya Listrik, gas & air bersih a.listrik b.gas c.air bersih Bangunan Perdagangan,hotel & restaurant a.perdagangan b.hotel c.restauran Pengangkutan & komunikasi a.pengangkutan 1.angkutan rel 2. angkutan jalan raya 3. angkutan laut 4. angkutan sungai & penyebrngan 5. angkutan udara 6.jasa penunjang b.komunikasi 1.pos & telekomunikasi 2.jasa penunjang telekomunikasi Keuangan,persewaan & jasa prsh a.bank b.lembaga keuangan tanpa bank c.jasa penunjang keuangan non bank d.sewa bangunan e.jasa perusahaan Jasa-jasa a.pemerintahan umum 1.adm pemerintahan & pertahanan 2.jasa pemerintahan lainnya b.swasta 1.sosial kemasyarakatan 2.hiburan & rekreasi 3.perorangan & rumah tangga
60,514,015 34,911,883 0 7,779,235 17,822,897 0 0 -841,711,785 -250,990,662 0 0 0 0 0 0 -265,731,300 0 -570,828,084 0 0 0 -2,033,721,823 -10,991,316,058 -1,972,770,908 -8,856,530,874 -2,516,176,809 -12,042,590,698 -8,547,589,179 0 -434,990,215 0 1,957,964,942 0 0 -732,402,853 0 0 -2,346,501,298 -475,913,528 -23,548,271 0 -14,205,630 0 -6,755,963,235 -4,239,319,123 0 0 -1,639,894,830 -59,628,473 -2,155,851,374 -217,953,079
-51,267,507,620 -458,513,020 0 -100,114,920 - 58,288,628,237 -178,974,642,960 -178,974,642,960 -708,355,094 -1,515,336,943 0 0 0 0 0 0 -19,989,298 0 584,736,685 0 0 0 1,925,320,761 1,979,999,183 175,850,533 3,272,392,342 885,918,842 4,641,214,505 1,292,523,829 0 253,082,071 0 -9,031,122,148 0 0 586,092,009 0 0 -1,340,945,289 -3,198,696,837 17,168,268 0 9,651,574 0 1,418,440,542 -78,084,245 0 0 528,775,505 152,191,114 1,255,885,713 5,236,774
Produk Domestik Regional Bruto
-60,942,587,528
-221,741,739,287
Sumber : pengolahan data BPS (2008)
135
Keterangan
berkembang Berkembang Berkembang Berkembang tertekan (tb + tp )
tertekan berkembang
potensi potensi potensi potensi potensi potensi berkembang
potensi
tertekan berkembang berkembang berkembang
berkembang berkembang berkembang
Dari hasil pengolahan data tersebut juga tampak bahwa tidak ada satupun sektor-sektor/subsektor di Kabupaten Kepulauan Seribu pada periode tahun 20022007 yang memiliki memiliki nilai proportional shift dan differential shift yang positif l, sehingga dapat digolongkan menjadi kategori 1 (PS + dan DS +). Kategori 1 adalah sektor pada suatu wilayah yang mempunyai pertumbuhan sangat cepat (rapid growth sector). Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Seribu belum cukup efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Bahkan terdapat beberapa sektor dalam kategori 4 yaitu sektor
yang
mempunyai PS dan DS negative (PS – dan DS -). Kategori 4 ini menunjukkan sektor yang bersangkutan saat ini dalam keadaan tidak berkembang dan tidak mempunyai potensi dimasa yang akan datang. Sektor/subsektor tersebut adalah sektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau; alat angkutan mesin dan peralatan serta perbankan. Sektor-sektor yang mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di kabupaten/kota lain adalah semua sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman bahan makanan (tabama), peternakan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai DS (+). DS yang positif terjadi apabila laju pertumbuhan pada suatu sektor disuatu wilayah lebih tinggi daripada laju pertumbuhan pada sektor yang sama di wilayah lain. DS yang positif ini mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini ditandai dengan nilai PS yang negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah lain. Hasil ini menunjukkan bahwa subsektor perikanan sebenarnya merupakan sektor unggulan dan mempunyai daya saing yang tinggi, dibuktikan dengan nilai LQ yang positif dan juga DS yang positif. Akan tetapi sektor ini tidak memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sektor sejenis di daerah lain. Hal ini terjadi karena yang menjadi pembanding subsektor perikanan Kepulauan Seribu adalah Kota Jakarta Utara. Seperti sudah digambarkan pada bab sebelumnya sebesar 55 % pemasaran hasil perikanan tangkap dan 82 % pemasaran hasil
136
perikanan budidaya dilakukan diluar wilayah kepulauan seribu. Kondisi inilah yang menyebabkan subsektor perikanan Kepulauan Seribu tidak tumbuh dengan baik karena justru yang menikmati hasil tangkapan dan hasil budidaya perikanan adalah kota lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan yang dapat mempercepat pertumbuhan subsektor perikanan disemua wilayah Kepulauan Seribu. Percepatan pertumbuhan sektor perikanan ini dapat berpotensi guna memberikan efek ganda (multiplier effects) yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam wilayah Kepulauan Seribu yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan.
137
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab sebelumnya tampak bahwa tidak ada satupun sektor dan subsektor di Kabupaten Kepulauan Seribu pada periode tahun 2002-2007 yang memiliki memiliki nilai proportional shift dan differential shift yang positif l, sehingga dapat digolongkan menjadi kategori 1 yaitu kategori dimana proportional shift positif dan differential shift positif. Kategori 1 adalah sektor pada suatu wilayah yang mempunyai pertumbuhan sangat cepat (rapid growth sector). Bahkan terdapat beberapa sektor dalam kategori 4 yaitu sektor yang mempunyai proportional shift negatif dan differential shift negatif. Kategori 4 ini menunjukkan sektor yang bersangkutan saat ini dalam keadaan tidak berkembang dan tidak mempunyai potensi dimasa yang akan datang. Sektor/subsektor tersebut adalah sektor industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau; alat angkutan mesin dan peralatan serta perbankan. Sektor yang mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan sektor sejenis di kabupaten/kota lain adalah semua sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman bahan makanan (tabama), peternakan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai differential shift positif. Differential shift positif terjadi apabila laju pertumbuhan pada suatu sektor disuatu wilayah lebih tinggi daripada laju pertumbuhan pada sektor yang sama di wilayah lain. Differential shift positif mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini ditandai dengan nilai proportional shift negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah lain. Hasil ini menunjukkan bahwa subsektor perikanan sebenarnya merupakan sektor unggulan dan mempunyai daya saing yang tinggi, dibuktikan dengan nilai location quotient positif dan juga Differential shift positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator-indikator yang lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Kabupaten Kepulauan Seribu belum cukup efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dikarenakan hasil pembangunan yang ada ternyata belum dapat mensejahterahkan masyarakat terutama masyarakat nelayan.
138
Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses pengembangan kapasitas masyarakat dalam jangka panjang sehingga memerlukan perencanaan yang tepat dan akurat. Perencanaan ini berarti harus mampu mencakup kapan, di mana dan bagaimana pembangunan harus dilakukan agar mampu merangsang pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Dengan kata lain, pembuat rencana pembangunan haruslah mampu untuk memprediksi dampak yang ditimbulkan dari pembangunan yang akan dilakukan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru serta merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2002). Wujud perekonomian daerah yang dibangun mencerminkan peningkatan peran masyarakat dan pelayanan masyarakat dengan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Persoalan sering timbul manakala menentukan manakah yang terlebih dahulu harus dilakukan antara pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Apakah pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pembangunan kesejahteraan ataukah sebaliknya. Keragaman sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah kerapkali menimbulkan pandangan generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan hanya perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan lebih luas pada daerah, kemudian dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial dan bahkan meniadakannya sama sekali. Alasannya: pembangunan kesejahteraan dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi (PAD) telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linier berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan (Suharto, 2005). Oleh karena itu perlu dibuat suatu model yang komprehensif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. 5.1 Model Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan merupakan prioritas yang perlu diterapkan dalam setiap pelaksanaan progam pembangunan. Upaya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Menurut Gunawan (2007) kebijakan khusus pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat guna
139
menanggulangi kemiskinan merupakan bagian integral pembangunan nasional yang harus mempunyai arah pembangunan yang jelas. Arah pembangunan tersebut harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan berikut ini. Pertama, penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi yaitu upaya meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat agar proses alih informasi dan teknologi, penyaluran dana dan informasi, proses produksi dan distribusi dan pemasaran serta administrasi pembangunan, terlembaga dengan baik sesuai dengan kondisi lokal. Kedua, pemberdayaan sumber daya manusia, yaitu memperkuat kapasitas sumber daya manusia dengan cara meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi aparat dan warga masyarakat dalam pembangunan guna meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui pelatihan, penyuluhan dan pendampingan. Ketiga, kewirausahaan yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantuan dan kredit lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial ekonomi produktif unggulan dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan sehingga dapat menjamin surplus untuk tabungan dan akumulasi modal masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, model peningkatan kesejahteraan nelayan dapat menggunakan ketiga faktor di atas yaitu: penguatan kelembagaan (X1), pemberdayan sumberdaya manusia (X2), dan kewirausahaan (X3). Selanjutnya semua variabel dari faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan tersebut di atas diukur dengan skala Likert (skala 1 sampai 5). Berikut ini akan diuraikan satu persatu hasil tabulasi dari jawaban responden pada masing-masing variabel. 5.1.1 Tabulasi hasil jawaban responden 5.1.1.1 Tingkat kesejahteraan nelayan (Y) Kesejahteraan nelayan secara umum (Y) dalam konseptualisasi model peningkatan kesejahteraan nelayan menggunakan konsep yang dikeluarkan oleh BPS. Menurut BPS kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat komplek dan tidak memungkinkan untuk untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan tersebut. Sehingga indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan rumah tangga yang telah ditetapkan oleh BPS (1991) yang sudah dimodifikasi.
Modifikasi ini dimungkinkan karena, (a)
masalah pembangunan nelayan adalah manajemen pengembangan masyarakat pesisir
140
yang meliputi, masalah sosio-ekonomi rumah tangga nelayan, (b) menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di daerah penelitian. Indikator-indikator tersebut terdiri atas: (1) Pendapatan rumah tangga; (2) Konsumsi rumah tangga; (3) Keadaan tempat tinggal; (4)
Fasilitas tempat tinggal; (5)
Kesehatan anggota keluarga.
Berdasarkan derajat kualitasnya, indikator kesejahteraan (Y) ini dapat dipadatkan menjadi tiga variabel, yaitu: variabel yang mencakup aspek pendapatan nelayan (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan kesehatan (Y3). Tabel 32 Penilaian responden terhadap indikator kesejahteraan Jawaban Responden
Frek. 4 20 95 20 4 Jumlah 143 Sumber: Hasil pengolahan data 1 2 3 4 5
Item Pertanyaan Y2
Y1 % 2.8 14.0 66.4 14.0 2.8 100
Frek. 3 7 107 23 3 143
% 2.1 4.9 74.8 16.1 2.1 100
Y3 Frek. 4 20 95 20 4 143
% 2.8 14.0 66.4 14.0 2.8 100
Secara keseluruhan responden lebih banyak menyatakan pilihan 3 atau cukup. Khususnya untuk item Y2 (perumahan) terdapat 74.8% respoden memilih bahwa kondisi rumah merupakan item yang sangat penting (tabel 32). Terdapat hal yang menarik dimana item pendapatan (Y1) bukan item yang dianggap cukup penting. Sedangkan untuk item kondisi kesehatan (Y3) tanggapan responden cukup beragam. 5.1.1.2 Penguatan kelembagaan Indikator pertama dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah aspek kelembagaan. Menurut tokoh kelembagaan John R. Commons (1934) yang diacu dalam Arifin dan Rahbini (2001), definisi kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, dan juga berarti perilaku dari pranata tersebut.
Dengan demikian, kelembagaan itu
dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekumpulan kepentingan (a set of working rules of going concerns). Oleh karenanya ruang lingkup kelembagaan dibatasi pada hal-hal (1) Kelembagaan adalah kreasi manusia (human creations); (2) Kumpulan individu (group of individuals); (3) mempunyai dimensi waktu (time dimension); (4) mempunyai dimensi tempat (place dimension); (5) suatu lingkungan fisik (6) adanya aturan main dan norma (rules and norms); (7) adanya penegakan hukum (monitoring and law enforcement); (8) adanya hirarki dan jaringan (nested levels and institutions). Oleh karena itu dapat disimpulkan 141
indikator X1 terdiri dari variabel: organisasi nelayan (X11), lembaga keuangan mikro (X12), dan lembaga pemerintahan (X13). Tabel 33 Penilaian responden terhadap penguatan kelembagaan nelayan Jawaban Responden 1 2 3 4 5 Jumlah
Item Pertanyaan X12
X11 Frek. 3 25 87 25 3 143
% 2.1 17.5 60.8 17.5 2.1 100
Frek. 3 25 88 24 3 143
% 2.1 17.5 61.5 16.8 2.1 100
X13 Frek. 3 25 86 26 3 143
% 2.1 17.5 60.1 18.2 2.1 100
Sumber: Hasil pengolahan data
Secara keseluruhan responden lebih bersifat moderat dengan dominasi pilihan pada pilihan cukup (60 %). Pada semua aspek yang ada responden memberikan tanggapan yang sangat beragam disekitar pilihan cukup (tabel 33). 5.1.1.3 Pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan Indikator pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan menggunakan konsep pada Undang-Undang Perikanan yaitu UU No.31 Tahun 2004 Bab X pasal 60 ayat (1) b tentang pemberdayaan nelayan. Pada pasal tersebut terdapat tugas pemerintah dalam memberdayakan nelayan yang berupa penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi nelayan guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dibidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran ikan. Berdasarkan undang-undang pemberdayaan nelayan tersebut, indikator pemberdayaan SDM (X2) mengandung tiga variabel penting, yaitu; penyelenggaraan penyuluhan (X21), penyelenggaraan pelatihan (X22), dan pendidikan (X23). Tabel 34 Penilaian responden terhadap pemberdayaan sumberdaya manusia Jawaban Responden 1 2 3 4 5 Jumlah
Item Pertanyaan X22
X21 Frek. 3 24 90 23 3 143
% 2.1 16.8 62.9 16.1 2.1 100
Frek. 3 21 93 21 5 143
Sumber: Hasil pengolahan data
142
% 2.1 14.7 65 14.7 3.5 100
X23 Frek. 3 23 91 24 2 143
% 2.1 16.1 63.6 16.8 1.4 100
Responden lebih cenderung berada pilihan cukup yang hampir mencapai 65% (tabel 34). Secara keseluruhan pilihan responden memberikan tanggapan sangat berimbang pada kedua sisi. 5.1.1.4 Kewirausahaan Berdasarkan konsep kewirausahaan yang dikemukakan oleh Nikijuluw (2005), yaitu pengembangan kewirausahaan di kalangan perikanan adalah suatu proses yang berkelanjutan dan barangkali tidak ada akhirnya. Dalam bentuknya sebagai suatu proses yang tidak berakhir, maka pangkal dan proses tersebut adalah membangun nilai-nilai dan kesadaran berusaha atau berbisnis dikalangan nelayan. Tanpa adanya nilai-nilai dan kesadaran berbisnis maka langkah selanjutnya adalah pengembangan kewirausahaan ini tidak akan terwujud. Oleh karenanya setelah memiliki kesadaran dan nilai-nilai, berbisnis itu perlu dilakukan dan melalui harkat dan martabatnya dapat ditingkatkan. Maka langkah selanjutnya yaitu: (1) membangun penguasaan akan keterampilan dasar teknologi yang berkaitan dengan perikanan; (2) ketersediaan modal usaha dan manajerial; (3) meningkatkan praktek dan pengalaman usaha; dan (4) mengembangkan niat kewirausahaan secara terus menerus ke depan. Dari uraian di atas kita tetapkan bahwa, indikator kewirausahaan (X3) terdiri dari: keterampilan usaha mandiri (X31), praktek dan pengalaman usaha (X32), dan niat dalam usaha (X33). Tabel 35 Penilaian responden terhadap kewirausahaan Jawaban Responden 1 2 3 4 5 Jumlah
Item Pertanyaan X32
X31 Frek. 2 26 88 25 2 143
% 1.4 18.2 61.5 17.5 1.4 100
Frek. 4 34 67 34 4 143
% 2.8 23.8 46.8 23.8 2.8 100
X33 Frek. 3 21 96 20 3 143
% 2.1 14.7 67.1 14 2.1 100
Sumber: Hasil pengolahan data
Responden lebih cenderung berada pilihan cukup yang hampir mencapai 55%. Seperti halnya pada aspek kewirausahaan, pada aspek ini secara keseluruhan pilihan responden memberikan tanggapan sangat berimbang pada kedua sisi. 5.1.2 Metode Analisis Data primer yang dikumpulkan dari responden diolah secara kuantitatif, ditabulasi, dan diolah lanjutan menggunakan model persamaan struktural (structural 143
equation model atau SEM) second order full version. Dalam persamaan ini kesejahteraan nelayan yaitu Y (variabel endogen laten) dipengaruhi oleh tiga faktor (variabel esksogen laten), yaitu penguatan kelembagaan (X1), pemberdayaan sumberdaya manusia (X2), dan kewirausahaan (X3). Sedangkan setiap faktor tersebut dipengaruhi oleh berbagai variabel yang bisa diukur (variabel endogen yang diamati). Kesejahteraan nelayan perikanan tangkap ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu aspek pendapatan (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan aspek kesehatan (Y3). Dalam hal ini juga dilakukan analisis tentang korelasi antar variabel esksogen laten, yaitu X1, X2, dan X3. Galat pengukuran (measurement error) diklasifikasikan sebagai variabel esksogen laten. Variabel endogen adalah variabel yang nilainya harus diterangkan atau diprediksi. Variabel esksogen adalah variabel yang nilainya tidak harus diterangkan atau diprediksi. Sebuah variabel dikelompokkan sebagai endogen atau esksogen tergantung pada asumsi yang ditetapkan. Model persamaan struktural (SEM) dibuat secara diagram maupun rumus matematik. maka persamaan matematis untuk model SEM ini adalah sebagai berikut: Konstruksi variabel endogen pengamatan dan esksogen laten Xij = λjXi + γj
................................................................................................................................(1)
Dimana: untuk i = 1; j = 1, 2, 3 untuk i = 2; j = 1, 2, 3 untuk i = 3; j = 1, 2, 3 λ = komponen muatan (loading component) γ = galat (measurement error) X1 = variabel esksogen laten ” kelembagaan ” X2 = variabel esksogen laten ” pemberdayaan sumberdaya manusia” X3 = variabel esksogen laten ” kewirausahaan” X11 = variabel endogen pengamatan ” organisasi nelayan” X12 = variabel endogen pengamatan ” lembaga keuangan mikro” X13 = variabel endogen pengamatan ” lembaga pemerintahan” X21 = variabel endogen pengamatan ” penyelenggaraan penyuluhan” X22 = variabel endogen pengamatan “penyelenggaraan pelatihan” X23 = variabel endogen pengamatan ” penyelenggaraan pendidikan” X31 = variabel endogen pengamatan ” ketrampilan usaha” X32 = variabel endogen pengamatan ” praktek dan pengalaman berusaha” X33 = variabel endogen pengamatan ” niat dalam berusaha” Konstruksi variabel endogen pengamatan dan laten Yl = λlY + γl
................................................................................................................................(2)
Yl = variabel endogen pengamatan 144
Y = variabel endogen laten kesejahteraan nelayan perikanan tangkap dimana: l = 1, 2, 3 λ = komponen muatan (loading component) γ = galat pengukuran (measurement error) tingkat pendapatan (Y1), keadaan tempat tinggal (Y2), dan tingkat pendidikan (Y3) Y1 = variabel endogen pengamatan “ tingkat pendapatan ” Y2 = variabel endogen pengamatan ” keadaan tempat tinggal ” Y3 = variabel endogen pengamatan “ tingkat pendidikan “ Konstruksi variabel esksogen laten dan endogen laten Xi = Ωi Y+ ε ......................................................................................(3) dimana: i = 1, 2, 3, Ωi = komponen muatan (loading component) antara Xi dan Y εi = galat (measurement error) Selanjutnya juga dihitung korelasi (r) antar faktor determinan (Xi). 5.1.3 Pengujian Kelayakan Model Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural, maka langkah awal yang dilakukan pada analisis model persamaan struktural adalah menentukan konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masingmasing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masingmasing variable observed. Berdasarkan survei terhadap 160 responden, hanya 143 data survei yang dianggap layak dan memenuhi persyaratan untuk diestimasi. Selanjutnya, hasil estimasi secara grafis dapat diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 18 berikut
145
X33 X32
X3
X31 Y1
X23 X22
Y
X2
Y2 Y3
X21
X13 X12
X1
X11 Gambar 18 Konseptualisasi model peningkatan kesejahteraan nelayan Keterangan: Y=Kesejahteraan Nelayan (Y1= pendapatan RT, Y2=keadaan tempat tinggal, Y3=kesehatan); X1= penguatan kelembagaan, (X11= organisasi nelayan, X12= LKM, X13= lembaga pemerintahan), X2= Pemberdayaan SDM (X21= penyelenggaraan penyuluhan, X22=penyelenggaraan pelatihan, X23= pendidikan); X3= kewirausahaan (X31 ketrampilan usaha =, X32= praktek dan pengalaman usaha, X33= niat dalam berusaha)
5.1.3.1 Pengujian variabel penguatan kelembagaan Sebelum
dilaksanakan
analisis
model
persamaan
struktural
secara
keseluruhan, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan analisis model persamaan struktural pada masing-masing variable guna menentukan konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masing-masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable observed. Hasil estimasi secara grafis dapat diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 20 berikut.
146
Gambar 19 Confirmatory factor analysis penguatan kelembagaan Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Tujuannya adalah untuk mengukur apakah variabel kelembagaan sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada tabel 36. Tabel 36
Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk penguatan kelembagaan
Kriteria Chi-square (X2) Probability (p) GFI AGFI CFI TLI RMSEA
Cut off Value
Hasil Model
Keterangan
Diharapkan Kecil ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,90 ≤ 0,08
0.066 0.797 1.000 0.998 1.000 1.071 0.000
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008). Berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk variabel X1 yaitu penguatan kelembagaan yang diterangkan oleh indikator organisasi nelayan, koperasi dan lembaga keuangan mikro menunjukkan bahwa model dalam kriteria baik dan dapat digunakan guna mengukur variabel penguatan kelembagaan (tabel 41). 5.1.3.2 Pengujian variabel pemberdayan sumberdaya manusia Pengujian selanjutnya dilakukan guna mengevaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk variabel pemberdayaan sumberdaya manusia. Tujuannya adalah untuk mengukur apakah variabel X2 sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada gambar 20. 147
Gambar 20 Confirmatory factor analysis pemberdayaan sumberdaya manusia Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Hasil evaluasi variabel X2 ditunjukkan pada tabel 37. Tabel 37
Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan
Kriteria Chi-square (X2) Probability (p) GFI AGFI CFI TLI RMSEA
Cut off Value
Hasil Model
Keterangan
Diharapkan Kecil ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,90 ≤ 0,08
2.009 0.156 0.991 0.994 0.982 0.946 0,084
baik baik baik baik baik baik dapat diterima
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008). Berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk variabel X2 yaitu pemberdayaan sumberdaya manusia pada nelayan yang diterangkan oleh indikator pendidikan, pelatihan dan penyukuhan menunjukkan bahwa model dalam kriteria baik dan dapat digunakan guna mengukur variabel pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan (tabel 38). 5.1.3.3 Pengujian variabel kewirausahaan Pengujian variabel X yang terakhir dilakukan guna mengevaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk variabel kewirausahaan. Tujuannya adalah untuk
148
mengukur apakah variabel kewirausahaan sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada gambar 21.
Gambar 21 Confirmatory factor analysis kewirausahaan Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Hasil evaluasi variabel kewirausahaan ditunjukkan pada tabel 38. Berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk variabel X3 yaitu kewirausahaan yang diterangkan oleh indikator kebutuhan modal usaha, ketrampilan dan pengalaman usaha menunjukkan bahwa model dalam kriteria baik dan dapat digunakan guna menguji model kewirausahaan. Tabel 38 Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kewirausahaan Kriteria Chi-square (X2) Probability (p) GFI AGFI CFI TLI RMSEA
Cut off Value
Hasil Model
Keterangan
Diharapkan Kecil ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,90 ≤ 0,08
1.619 0.203 0.992 0.955 0.993 0.979 0.066
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008). 5.1.3.4 Pengujian variabel kesejahteraan Sebelum
dilaksanakan
analisis
model
persamaan
struktural
secara
keseluruhan, maka pengukuran variabel yang terakhir yaitu variabel kesejahteraan 149
nelayan guna menentukan konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masing-masing indikator kesejahteraan yaitu pendapatan, tempat tinggal dan kesehatan merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable observed. Hasil estimasi secara grafis dapat diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan pada gambar 22 berikut.
Gambar 22 Confirmatory factor analysis kesejahteraan nelayan Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Tujuannya adalah untuk mengukur apakah variabel kesejahteraan sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada tabel 39. Tabel 39
Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk kesejahteraan nelayan
Kriteria Chi-square (X2) Probability (p) GFI AGFI CFI TLI RMSEA
Cut off Value
Hasil Model
Keterangan
Diharapkan Kecil ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,90 ≤ 0,08
0.042 0.837 1.000 0.999 1.000 1.059 0.000
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
150
5.1.4 Analisis Confirmatory Factor dan Model Persamaan Struktural Kesejahteraan Nelayan Langkah yang terakhir adalah melakukan analisis model persamaan structural keselurahan pada model persamaan structural kesejahteraan nelayan. Langkah awal yang dilakukan pada analisis model persamaan struktural adalah menentukan konstruk laten dengan Confirmatory Factor Analysis. Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk menguji apakah konstruk (faktor) laten dari masingmasing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masingmasing variable observed. Hasil estimasi secara grafis dari ketujuh konstruk laten diilustrasikan sebagaimana ditunjukkan pada gambar 23.
Gambar 23 Confirmatory factor analysis model peningkatan kesejahteraan Berikut ini disajikan evaluasi kiteria Goodness of Fit Index untuk model pengukuran masing-masing konstruk dengan confirmatory factor analysis. Tujuannya adalah untuk mengukur apakah model peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sudah memenuhi kriteria Goodness of Fit Index. Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada Tabel 40.
151
Tabel 40
Evaluasi kriteria Goodness of Fit Index untuk model peningkatan kesejahteraan nelayan
Kriteria Chi-square (X2) Probability (p) GFI AGFI CFI TLI RMSEA
Cut off Value
Hasil Model
Keterangan
Diharapkan Kecil ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≥ 0,90 ≥ 0,95 ≥ 0,90 ≤ 0,08
72.628 0.056 0.922 0.889 0.949 0.939 0.048
Baik Baik Baik dapat diterima Baik Baik Baik
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008). Berdasarkan Tabel 40, ternyata hasil Chi-square sebagai salah satu kriteria model fit menunjukkan nilai Chi-square sebesar 72.628 dengan probabilitas (p) =0,056 atau nilai probabilitasnya mendekati 0,05. Hal ini berarti bahwa model sudah fit. Selain itu, jika dilihat dari kriteria fit yang lain, yaitu: nilai GFI = 0,922, nilai TLI = 0,939, dan nilai RMSEA = 0,048, maka secara keseluruhan kriteria ini sudah memenuhi standar yang direkomendasikan. Sekalipun untuk nilai AGFI = 0,889 masih berada di bawah nilai yang direkomendasikan, yaitu lebih besar daripada 0,90, namun bila nilai AGFI dibulatkan dua angka di belakang koma diperoleh nilai AGFI setara dengan 0,90. Dengan kata lain, berdasarkan hasil evaluasi kriteria Goodness of Fit Index terhadap model secara keseluruhan, terbukti secara nyata bahwa pada kriteria Goodness of Fit Index sudah tidak terdapat pelanggaran nilai kritis, sehingga dapat dikemukakan bahwa model relatif dapat diterima atau telah sesuai dengan data. 5.1.5 Analisis Pengaruh dari Masing-masing Variabel Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana kekuatan pengaruh antarkonstruk maupun pengaruh totalnya yang mempengaruhi tujuan peningkatan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pengujian terhadap model seperti pada gambar 23 menunjukkan adanya efek pengaruh langsung sebagaimana ditunjukkan pada tabel 41. Mencermati model sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 23 dan melalui pembandingan nilai critical ratio (CR) atau t-hitung terhadap nilai t-tabel akan diperoleh pola hubungan antarvariabel. Jika nilai CR atau t-hitung lebih besar daripada nilai t-tabel, maka hubungan antarvariabel signifikan dan dapat dianalisis lebih lanjut. Pada nilai α = 5%, diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,98 dengan hasil korelasi antarvariabel ditabulasikan pada tabel 41. 152
Tabel 41 Hubungan antarvariabel pada model akhir confirmatory factor konstruk unidimensional variabel kesejahteraan Hubungan antar variabel
Standardized Regression Weights Estimate
X1 ↔ X2 X1 ↔ X3 X2 ↔ X3 Y ← X1 Y ← X2 Y ← X3
0.371 0.551 0.612 0.398 0.239 0.359
S.E.
Critical Ratio C.R. (T-hitung)
Ttabel
Prob.
Keterangan
0.15 0.19 0.20 0.145 0.141 0.142
2.468 3.363 3.642 2.674 1.582 2.077
1.98 1.98 1.98 1.98 1.98 1.98
0.014 0.000 0.000 0.007 0.114 0.038
Significant Significant Significant Significant Non significant Significant
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008). Terdapat pengaruh langsung antarvariabel seperti dijelaskan pada tabel 41. Dalam hal pengaruh langsung masing-masing variabel terhadap variabel yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Variabel X1 (kelembagaan) berpengaruh positif terhadap variabel X2 (pemberdayaan sumberdaya manusia) dan juga sebaliknya dengan nilai estimates 0.371 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2.468 dengan nilai probabilitas 0,014 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan antar variabel X1 dan X2 berpengaruh positif dan signifikan.
(2)
Variabel X1 (kelembagaan) berpengaruh positif terhadap variabel X3 (kewirausahaan) dan juga sebaliknya dengan nilai estimates 0.551 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 3.363 dengan nilai probabilitas 0,000 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan antar variabel X1 dan X3 berpengaruh positif dan signifikan.
(3)
Variabel X2 (pemberdayaan) berpengaruh positif terhadap variabel X3 (kewirausahaan) dan juga sebaliknya dengan nilai estimates 0.612 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 3.642 dengan nilai probabilitas 0,000 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan antar variabel X1 dan X3 berpengaruh positif dan signifikan.
(4)
Variabel X1 (kelembagaan) berpengaruh positif terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.398 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2.674 dengan nilai probabilitas 0,007 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan variabel kelembagaan
153
benar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. (5)
Variabel X2 (pemberdayaan sumberdaya manusia) berpengaruh positif terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.239 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 1.582 dengan nilai probabilitas 0,114 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan variabel pemberdayaan sumberdaya manusia berpengaruh positif dan non signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan.
(6)
Variabel X3 (kewirausahaan) berpengaruh positif terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.359 dan nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2.077 dengan nilai probabilitas 0,038 (< 0,05), sehingga dapat dikatakan variabel kewirausahaan benar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Langkah yang terakhir adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana
kekuatan pengaruh antarkonstruk yan dipengaruhi masing-masing variabel eksogen laten (X1, X2 dan X3). Pengujian terhadap masing-masing variabel menunjukkan adanya efek pengaruh langsung sebagaimana ditunjukkan pada tabel 42 di bawah ini. Di antara aspek-aspek yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan di Kabupaten Kepulauan seribu terdapat korelasi. Korelasi secara umum bernilai antara 0 (tidak ada korelasi) hingga 1 (sangat kuat korelasinya). Dalam hal ini korelasi yang paling kuat adalah antara aspek pemberdayaan dan kelembagaan Adanya korelasi antar aspek menunjukkan adanya keterkaitan antar faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan, dan menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh sendiri-sendiri. Dengan kata lain, kebijakan yang dilaksanakan harus bersifat komprehensif atau tidak parsial karena ada keterkaitan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.
154
Tabel 42 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan di Kabupaten Kep. Seribu Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan
Koefisien
Nilai t
Pengaruh
1. Penguatan kelembagaan (X1) 1. 2. 3.
Organisasi nelayan Lembaga keuangan mikro Lembaga pemerintahan
0.599 0.659 0.439
2.902 2.000 2.902
Nyata Nyata Nyata
4.806 4.806 4.000
Nyata Nyata Nyata
4.620 4.000 4.620
Nyata Nyata Nyata
2. Pemberdayaan sumberdaya manusia (X2) 4. 5. 6.
Penyelenggaraan Penyuluhan Penyelenggaraan Pelatihan Penyelenggaraan Pendidikan
0.665 0.669 0.487
3. Kewirausahaan (X3) 7. Kepemilikan keterampilan berusaha 0.548 8. Pengalaman berusaha 0.708 9. Niat berusaha 0.753 Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008).
Tabel 43 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan Kabupaten Kep. Seribu Faktor Penentu
X1 (Penguatan Kelembagaan)
X2 (Pemberdayaan sumberdaya manusia)
X3 (Kewirausahaan)
1,00
0.371
0.551
0.371
1,00
0.612
0.551
0.612
1,00
X1 (Penguatan kelembagaan) X2 (Pemberdayaan sumbedaya manusia) X3 ( Kewirausahaan)
Sumber: Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2008). 5.1.6 Pembahasan Umum Mengacu pada hasil analisis SEM dapat dibuktikan bahwa variabel penguatan kelembagaan, pemberdayaan SDM dan kewirausahaan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun dalam konteks hubungan antara pemberdayaan sumberdaya manusia (X2) dengan peningkatan kesejahteraan (Y), nilai nilai C.R. (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 1.582 lebih rendah dari nilai t table 1.98 dan nilai probabilitas 0,114 (< 0,05), sehingga 155
dapat dikatakan variabel pemberdayaan sumberdaya manusia berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Artinya, sekalipun Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan sumberdaya manusia, namun hasil implementasi kebijakan tersebut tidak dapat mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan nelayan secara signifikan. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai komponen menunjukkan bahwa aspek penguatan kelembagaan (X1) memiliki pengaruh yang paling besar yaitu 0.398 diikuti oleh kewirausahaan
(X3) sebesar 0.359, dan pemberdayaan sumberdaya
manusia nelayan (X3) sebesar 0.239. Hasil ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Arif Satria (2008) yang mengatakan bahwa aspek kelembagaan dalam hal ini adalah segala piranti lembaga keuangan mikro dan kredit usaha rakyat sangat berpengaruh dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di pesisir khususnya nelayan. Aspek penguatan kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut persepsi nelayan dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 (tabel 43). Berdasarkan tabel diatas tampak kelembagaan keuangan mikro merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Sebaliknya mereka tidak terlalu menganggap penting keberadaan organisasi nelayan dan lembaga pemerintahan. Para nelayan menganggap adanya LKM dikarenakan kebutuhan mereka terhadap suatu lembaga yang dapat membantu mereka secara langsung mengenai permodalan dan bebas dari sistem ijon. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan selalu menggunakan tengkulak dengan suku bunga yang relatif tinggi dalam memenuhi kebutuhan modal mereka. Tabel diatas juga menunjukkan bahwa aspek pemberdayaan sumber daya nelayan justru mempunyai peran yang paling kecil, menurut nelayan Kepulauan Seribu sebagai aspek yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hasil ini menujukkan aspek pemberdayaan SDM tidak mempunyai peran yang lebih penting dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Hal ini dikarenakan dalam mencari nafkah sebagai nelayan mereka tidak membutuhkan adanya pemberdayaan yang berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (Siswanto, 2008). Dari beberapa literatur ditemukan bahwa dari aspek demografi rumah tangga, nelayan memiliki beban ketergantungan yang relatif tinggi dengan indikasi dapat dijelaskan dari tingginya tingkat angka kelahiran dibandingkan dengan rumah tangga
156
lainnya. Kecenderungan ini tentunya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rumah tangga nelayan jauh lebih tinggi. Selanjutnya dalam kesehariannya dalam hal ini anak-anak keluarga nelayan secara lebih dini terlibat dalam pekerjaan nelayan. Hal ini tentu berimplikasi pada kelangsungan pendidikan keluarga nelayan. Dan siklus ini terus berputar, dimana minat untuk meningkatkan kualitas diri terutama melalui pendidikan menjadi sangat minim, karena orang tua maupun anak-anaknya lebih cenderung memikirkan kebutuhan dasar. Tabel 44 diatas menggambarkan keinginan mereka adanya program-program pemberdayaan yang berupa pelatihan dibandingkan penyuluhan atau pendidikan. Menurut persepsi mereka pendidikan tidak berkorelasi kuat terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi yang cukup signifikan antara tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu. Mereka lebih mementingkan adanya pemberdayaan berupa pelatihan. Hal ini dipahami karena pola pendidikan yang berkembang di Indonesia pada umumnya bersifat vertikal atau satu arah dan tidak dinamis, hal ini bertentangan dengan karakteristik masyarakat nelayan yang lebih cenderung terbuka dan dinamis. Berbeda dengan aspek pelatihan yang lebih bersifat lateral, tidak menggurui tetapi melibatkan langsung nelayan di dalamnya. Dari aspek kewirausahaan menunjukkan konsep Nikijuluw (2005) terbukti dengan hasil nilai kesadaran berusaha merupakan nilai yang paling tinggi pada aspek kewirausahaan. Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa dengan dasar kedua definisi ini, kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya. Bila dia pelaku UKM maka yang bersangkutan memiliki kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya, untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya. Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) memperkenalkan istilah kecerdasan wirausaha (entrepreneurial intelligence) yang menurut mereka adalah dasar bagi seseorang, siapapun dia, apakah pelaku UKM atau konglomerat, untuk membangun usahanya. Kecerdasan wirausaha adalah dorongan
157
hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan. 5.2. Pengembangan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menuntut adanya partisipasi aktif dari masyarakat, sehingga peran pemerintah sebagai otoritas pembangunan harus terfokus untuk memastikan bahwa seluruh sumberdaya di dalam negara dapat berkembang secara optimal, dan membangun keunggulan kompetitif dari negara tersebut (Osborne and Gaebler, 1992; Drucker, 1994). Lebih lanjut juga dikemukakan bahwa, dalam kaitan ini ada tugas-tugas pemerintah yang tidak dapat tergantikan, yaitu membuat kebijakan publik serta pada tingkat tertentu melaksanakan kebijakan publik dan melakukan evaluasi termasuk monitoring kebijakan. Kebijakan pembangunan perikanan pada hakekatnya merupakan kebijakan publik, yang tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama nelayan.
Kebijakan ini merupakan keputusan otoritas negara, yang bertujuan
mengatur kehidupan bersama.
Adapun pendekatan yang dipergunakan dalam
melakukan analisis kebijakan pembangunan perikanan di Kepulauan Seribu adalah seperti dapat dilihat melalui gambar 24. Berangkat dari pendekatan pada gambar tersebut, maka analisis kebijakan ini ditujukan sebagai upaya untuk membuat kebijakan.
Gambar 24 Kerangka pendekatan analisis kebijakan pembangunan perikanan tangkap guna meningkatkan kesejahteraan nelayan.
158
Lebih lanjut, yang perlu disadari adalah bahwa setiap kebijakan dalam kenyataannya memerlukan sumberdaya (resources). Dalam kaitan ini, mengingat ketersediaan sumberdaya yang terbatas, maka akan memaksa setiap kebijakan dibangun atas dasar prioritas.
Keban (2001) yang dikutip Dwidjowijoto (2006)
memperkenalkan kategori kebijakan dalam bentuk pemetaan isu kebijakan pembangunan menjadi 4 (empat) zone, yang masing-masing memerlukan penanganan berbeda. Ke empat zone dimaksud, dapat dilihat melalui gambar 25.
Gambar 25 Zone kategori kebijakan pembangunan Pada zone satu (computation zone), kebijakan terbatas pada perhitungan matematika. Zone ini merupakan sisi kebijakan yang mudah disetujui nilainya, dan mudah pula untuk melaksanakannya.
Sementara zone kedua adalah negosiasi
(negotiating zone), yang konteksnya sulit untuk disetujui, akan tetapi caranya masih mudah. Namun demikian, masalah terbesar, terbanyak, terberat dan mendasar berada pada zone ke tiga (judgement zone) dan zone ke empat (inspiration zone). Masalah kemiskinan yang pada umumnya menjadi masalah utama di sektor perikanan khususnya masyarakat nelayan, justru berada pada zone ke tiga. Kita tahu dan setuju bahwa kemiskinan harus dihapus, tetapi kriteria kemiskinan dan cara untuk mengatasi kemiskinan ternyata sangat beragam dan tidak mudah untuk menentukan yang terbaik. Dengan
pendekatan
yang
lebih
sederhana,
Dwidjowijoto
(2006)
memperkenalkan zoning isu kebijakan secara makro untuk melihat prioritas pembangunan dengan menggunakan model Time Matrix Management sebagai berikut
159
PENTING
KURANG PENTING
MENDESAK
Kuadran I
Kuadran II
KURANG MENDESAK
Kuadran III
Kuadran IV
Gambar 26 Penentuan perioritas kebijakan pembangunan Tugas seorang pemimpin pada hakekatnya harus mampu memilih prioritas serta menentukan mana kebijakan pembangunan yang berada pada kuadran I, kuadran II, kuadran III dan kuadran IV. Setelah itu, baru kemudian menyusun tata urutan manajemen yang dimulai dari visi hingga ke implementasi. Setelah memahami, sejauh mana pengaruh dan hubungan kebijakan penguatan kelembagaan, pemberdayaan SDM dan peningkatan kewirausahaan seperti telah dibahas sebelumnya, selanjutnya akan dibahas analisis pengembangan dari masingmasing faktor tersebut. Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang berguna meningkatkan kesejahteraan nelayan yang berorientasi kepada potensi yang ada, dan mampu mengantisipasi permasalahanpermasalahan pembangunan perikanan secara konfrehenship dalam bentuk langkahlangkah strategis. Metode yang digunakan untuk merangkum aspek potensi dan permasalahan pembangunan perikanan secara komprehensip tersebut adalah analisis SWOT (Strength-Weaknessess-Opportunities-Threaths) seperti yang digunakan oleh David (1997).
Analisis
SWOT
yaitu
analisis
alternatif
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi berbagai faktor penting secara sistematis dan memformulasikannya ke dalam suatu strategi. Analisis SWOT merupakan pemilihan hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan, dan unsur-unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman. Pengembangan
kebijakan
pembangunan
perikanan
tangkap
guna
meningkatkan kesejahteraan nelayan dalam penelitian ini dipilah menjadi tiga bagian pengembangan kebijakan, masing-masing adalah pengembangan kebijakan publik guna peningkatan SDM , kelembagaan dan pengembangan kemampuan bernisnis individu (entrepreneurship). Pengembangan kebijakan ketiga komponen tersebut disusun
berdasarkan
kekuatan
(strength),
kelemahan
(weakness),
peluang
(opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing komponen yang dianggap
160
sangat mempengaruhi peningkatan kinerja pembangunan perikanan tangkap di Indonesia. 5.2.1 Pengembangan kebijakan penguatan kelembagaan Banyak sekali faktor yang menghambat dalam upaya pencapaian tingkat kesejahteraan nelayan seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Daerah ataupun Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan terkadang adanya celah antara kinerja yang diinginkan dengan implementasi kebijakan di lapangan. Analisis dan pemecahan masalah yang tepat, diharapkan akan membantu
dalam upaya meningkatkan
pencapaian kinerja seperti yang diharapkan. Metode analisis yang akan digunakan dalam mengidentifikasi dan pemecahan masalah adalah analisis SWOT ( Strength, Weakness, Opportunity dan Threath).Analisis SWOT adalah suatu analisis untuk mengetahui gambaran kekuatan (Strenght), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity) dan ancaman (Threath) suatu organisasi guna menentukan faktor unggulan dan strategi efektif yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan . Oleh karena itu pengembangan kebijakan komponen penguatan kelembagaan tersebut akan disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing komponen yang dianggap sangat mempengaruhi penguatan kelembagaan yang ada di Kepulauan Seribu. Faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi peningkatan kesejahteraan khususnya pada bidang penguatan kelembagaan dapat diliihat pada tabel 44 dibawah ini : Tabel 44 Faktor Pendorong dan penghambat penguatan kelembagaan No Pendorong Penghambat 1 Ketersediaan SDM pengelola dalam Kapasitas SDM pengelola jumlah yang memadai (I/S) kelembagaan yang masih rendah (I/W) 2 Adanya bank penjamin (E/O) Suku bunga pinjaman masih relatif tinggi (E/T) Adanya prosedur & mekanisme Beragamnya persyaratan dalam 3 penyaluran dana (E/O) penyaluran dana (E/T) 4 Bunga tengkulak masih relatif tinggi Akses kepada tengkulak relatif (I/S) mudah (I/W) 5 Calon debitur sudah memiliki Calon debitur tidak memiliki pekerjaan (I/S) agunan (I/W) 6 Ditetapkanya menjadi kebijakan Tidak menentunya arah kebijakan Pemerintah (E/O) pemerintah (E/T) Sumber : hasil FGD 161
Dari data diatas kemudian kita akan menggolongkan masing-masing faktor sebagai faktor pendorong yang terdiri dari kekuatan dan peluang sedangkan faktor penghambat
terdiri
dari
kelemahan
dan
ancaman.
Kemudian
kita
akan
mengelompokkan pada faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan sedangkan faktor eksternal adalah peluang dan ancaman. Setelah pengelompokkan dilakukan dilanjutkan dengan melakukan perbandingan pada masing-masing komponen tersebut (misalnya a dibandingkan dengan b, dan seterusnya. Dari pengelompokkan yang dilakukan munculah jumlah huruf pada masing-masing komponen, yang akan dibagi dengan jumlah total huruh pad sumbu vertikal. Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dan rating untuk mengetahui arah strategi pengembangan kelembagaan dalam peningkatan kinerja perikanan tangkap. Tabel 45 memperlihatkan bobot dan rating unsur-unsur pembentuk SWOT untuk penentuan arah pengembangan kelembagaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tabel 45 Matriks urgensi faktor internal komponen penguatan kelembagaan Total Bobot
FAKTOR INTERNAL
a
Kekuatan ( S )
b
c
d
e
f
a
c
d
e
a
2
0,12
c
d
e
b
1
0,06
d
e
f
2
0,12
d
d
5
0,33
f
3
0,20
2
0,12
15
1,00
a
Ketersediaan SDM pengelola dalam jumlah yang memadai
b
Calon debitur sudah memiliki pekerjaan
a
c
Bunga tengkulak masih relatif tinggi
c
c
Kelemahan (W) d
Kapasitas SDM pengelola kelembagaan yang masih rendah
d
d
d
e
Calon debitur tidak memiliki agunan
e
e
e
d
f
Akses kepada tengkulak relatif mudah
a
b
f
d
Total
162
f
Tabel 46 Matriks urgensi faktor eksternal komponen penguatan kelembagaan FAKTOR EKSTERNAL
Total Bobot
Peluang ( O)
a
b
c
d
e
f
b
c
a
e
f
1
0,06
c
b
e
b
3
0,20
c
c
c
5
0,33
d
f
1
0,06
f
2
0,12
3
0,20
15
1,00
a
Adanya bank penjamin
b
Adanya prosedur & mekanisme penyaluran dana
b
c
Ditetapkanya menjadi kebijakan Pemerintah
c
c
Ancaman (W) d
Suku bunga pinjaman masih relatif tinggi
a
c
c
e
Beragamnya persyaratan dalam penyaluran dana
e
e
c
d
f
Tidak menentunya arah kebijakan pemerintah
f
b
c
f
Total
f
Langkah selanjutnya setelah menyelesaikan pembuatan matriks urgensi adalah pembuatan matriks skoring guna memberikan skor pada masing-masing faktor baik faktor internal maupun eksternal. Matriks ini berguna guna membuat suatu peta kekuatan organisasi, terletak dimanakah organisasi kita sekarang. Pembuatan matriks scoring ini dimulai dengan mengisi nilai BF (bobot faktor) yang diambil dari perhitungan bobot pada matriks urgensi diatas. Kemudian mengisi nilai dukungan (ND) yang terdiri dari angka 1 (tidak mendukung) sampai dengan angka 5 (sangat mendukung) yang dilanjutkan dengan mengalikan bobot faktor dengan nilai dukungan guna menghasilkan nilai bobot dukungan (NBD). Berikutnya adalah mengisi nilai keterkaitan (NK) yang terdiri dari angka 0 (tidak ada kaitan) sampai dengan angka 5 (mempunyai keterkaitan sangat erat). Langkah terakhir adalah mengisi nilai rata-rata keterkaitan (NRK), nilai bobot keterkaitan (NBK) dan total nilai bobot (TNB) seperti tampak pada tabel 49 dibawah ini :
163
Tabel 47 Matriks skoring faktor internal dan faktor eksternal penguatan kelembagaan No
Faktor Internal
BF %
ND
NBD 1
N
K
NRK
NBK
TNB
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
2
5
2
3
2
3
4
2
2
2
2,5
0,3
0,66
2
2
4
5
4
4
3
2
2
3
2,9
0,2
0,38
3
4
4
3
3
4
3
2
3
3,0
0,4
0,76
KEKUATAN 1
Ketersediaan SDM pengelola
12
3
0,36
2
Calon debitur memiliki pekerjaan
06
3
0,18
1
3
Tingginya bunga tengkulak
12
3
0,36
2
2
KELEMAHAN
1,8
4
Rendahnya SDM pengelola
33
5
1,65
5
2
3
2
5
Calon debitur tidak punya agunan
20
4
0,8
2
4
4
2
6
Akses ke tengkulak mudah
12
3
0,36
3
5
4
2
2
2
3
3
2
2
2
2,5
0,8
2,45
5
4
3
3
4
3
2
3,2
0,6
1,4
4
3
3
4
3
2
3,5
0,4
0,76
5
PELUANG
4,61
7
Adanya bank penjamin
06
3
0,18
2
4
3
2
4
4
4
8
Adanya prosedur & mekanisme
20
4
0,8
3
4
4
3
3
3
4
9
Menjadi kebijakan pemerintah
33
5
1,65
4
3
4
3
3
3
3
3
2
2
3
3,0
0,2
0,38
3
3
4
2
3,3
0,7
1,5
3
4
3
3,3
1,1
2,75
3
ANCAMAN
4,63
10
Bunga pinjaman tinggi
06
3
0,18
2
2
3
2
4
4
2
3
3
3
11
Banyaknya persyaratan
12
3
0,36
2
2
2
2
3
3
2
4
4
3
12
Arah kebijakan tidak menentu
20
4
0,8
2
3
3
2
2
2
3
2
3
4
2
4
2,9
0,2
0,38
2
2,6
0,3
0,66
2,5
0,5
1,3 2,34
164
Matrik diatas menggambarkan alternatif strategi yang dapat dijalankan, yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST dan strategi WT.
Berdasarkan matrik inilah
dapat disusun prioritas kebijakan guna melakukan penguatan kelembagaan. Prioritas kebijakan ditentukan oleh skor yang dimiliki masing-masing strategi dalam matrik tersebut. Dari peta interaksi SWOT diatas dapat disusun matrik skor strategi SWOT, seperti dapat dilihat melalui tabel 50 dibawah ini.
Skor yang diperoleh dari masing-masing
faktor, dipergunakan untuk menghitung atau menentukan skor yang diperoleh setiap startegi pada matrik SWOT.
Selanjutnya, berdasarkan skor dari masing-masing
strategi dipergunakan untuk menentukan prioritas dari strategi, yang hasilnya secara berurutan adalah sebagai berikut : (1)
Strategi – ST
(2)
Strategi – SO
(3)
Strategi – WT dan
(4)
Strategi – WO Tabel 48
Matrik skor strategi SWOT penguatan kelembagaan STRENGHT (S)
WEAKNESSES (W)
1,80 STRATEGI – SO
4,61 STRATEGI – W0
4,63
2,83
0,02
TREATHS (T)
STRATEGI – ST
STRATEGI – WT
2,34
0,54
2,27
IFAS EFAS OPPORTUNIES (O)
Berdasarkan bobot dan rating pada tabel 48 maka arah strategi pengembangan kelembagaan untuk peningkatan kesejahteraan
nelayan perikanan tangkap adalah
kebijakan stabilitas yaitu kebijakan dengan memaksimalkan peluang yang ada dan meminimalkan kelemahan, seperti yang terlihat pada gambar 27 dibawah ini :
165
S 1,8 II (difersifikasi)
I ( ekspansi)
T 2,34
O 4,63 2,29
2,81
IV (survival)
III (stabilitas) W 4,61
Gambar 27 Kuadran penguatan kelembagaan guna peningkatan kesejahteraan nelayan Selanjutanya adalah pembuatan beberapa alternative kebijakan guna meningkatkan penguatan kelembagaan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tabel 49 Alternatif kebijakan penguatan kelembagaan Peluang Adanya bank penjamin
Adanya prosedur & mekanisme
Menjadi kebijakan pemerintah
Peningkatan kapasitas SDM pengelola kelembagaan
Pelembagaan program dan penyediaan prosedur yg jelas
Pelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan PEMDA
Calon debitur tidak punya agunan
Pengembangan jaringan kemitraan dengan perbankan
Peningkatan akses dengan penyederhanaan prosedur
Peningkatan akses dg penyederhanaan prosedur
Akses ke tengkulak mudah
Pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha
Pengembangan program pemberdayaan dg 'self financing”
Pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha
Kelemahan Rendahnya SDM pengelola
166
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka pengembangan kelembagaan yang dapat dilakukan adalah pelembagaan program penguatan kelembagaan terutama berupa lembaga keuangan mikro dan organisasi nelayan untuk masyarakat pesisir secara nasional, dengan memperhatikan: 1)
Pelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan Pemerintah Daerah.
2)
Pelembagaan program dan penyediaan prosedur dan
mekanisme
pemberian bantuan yang jelas. 3)
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola kelembagaan dan penerima bantuan program pemberdayaan.
4)
Pengembangan jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan.
5)
Peningkatan akses masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman guna memotong mata rantai dengan tengkulak.
6)
Pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha
7)
Pengembangan program pemberdayaan dengan '”self financing”, sehingga nelayan diharapkan dapat membiayai dirinya sendiri serta tidak tergantung kepada tengkulak.
5.2.2 Pengembangan kebijakan peningkatan kewirausahaan Pengembangan
kebijakan
berikutnya
adalah
kebijakan
peningkatan
kewirausahaan yang akan disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing komponen yang dianggap sangat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan kepulauan seribu. Faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi peningkatan kesejahteraan khususnya pada bidang peningkatan kewirausahaan dapat diliihat pada tabel 50 dibawah ini :
167
Tabel 50 Faktor Pendorong dan penghambat peningkatan kewirausahaan No Pendorong 1 Semangat untuk mensejahterakan kehidupan keluarga (I/S) 2 Adanya program - program pemberdayaan (I/S) 3 Sumber pengetahuan pada umumnya berasal dari turun temurun. (I/S) 4 Produk hasil perikanan dan olahannya relatif belum dikembangkan secara optimal (E/O).
Penghambat Keterbatasan modal dan akses modal (I/W) Kendala pengetahuan dan pemasaran (I/W) Lemahnya kemitraan bisnis dengan industri (I/W)
5
Banyaknya produk luar negeri yang lebih murah (E/T) Tingginya biaya-biaya diluar produksi (E/T)
Pasar lokal masih terbuka luas untuk produk perikanan (E/O) 6 Kebijakan pemerintah yang mendukung (E/O) Sumber : hasil FGD
Usaha sejenis yang cepat berkembang jika mendapatkan keuntungan (E/T)
Dari data diatas kemudian kita akan menggolongkan masing-masing faktor sebagai faktor pendorong yang terdiri dari kekuatan dan peluang sedangkan faktor penghambat
terdiri
dari
kelemahan
dan
ancaman.
Kemudian
kita
akan
mengelompokkan pada faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan sedangkan faktor eksternal adalah peluang dan ancaman. Setelah pengelompokkan dilakukan dilanjutkan dengan melakukan perbandingan pada masing-masing komponen tersebut (misalnya a dibandingkan dengan b, dan seterusnya. Dari pengelompokkan yang dilakukan munculah jumlah huruf pada masing-masing komponen, yang akan dibagi dengan jumlah total huruh pad sumbu vertikal. Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dan rating untuk mengetahui arah strategi peningkatan kewirausahaan dalam peningkatan kinerja perikanan tangkap. Tabel 51 memperlihatkan bobot dan rating unsur-unsur pembentuk SWOT untuk penentuan arah peningkatan kewirausahaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan.
168
Tabel 51 Matriks urgensi faktor internal komponen peningkatan kewirausahaan Total Bobot
FAKTOR INTERNAL
a
Kekuatan ( S )
b
c
d
e
f
a
c
d
e
f
1
0,06
b
d
e
f
1
0,06
d
e
f
1
0,06
d
d
5
0,33
f
3
0,20
4
0,26
15
1,00
a
Semangat untuk mensejahterakan kehidupan keluarga
b
Sumber pengetahuan pada umumnya berasal dari keturunan
a
c
Adanya program - program pemberdayaan
c
b
Kelemahan (W) d
Keterbatasan modal dan akses modal
d
d
d
e
Kendala pengetahuan & pemasaran
e
e
e
d
f
Lemahnya kemitraan bisnis dengan industry
f
f
f
d
f
Total
Tabel 52 Matriks urgensi faktor eksternal komponen peningkatan kewirausahaan FAKTOR EKSTERNAL
Total Bobot
Peluang ( O)
a
b
c
d
e
f
a
a
a
e
a
4
0,26
b
b
e
b
3
0,20
c
c
f
2
0,12
d
f
1
0,06
f
2
0,12
3
0,20
15
1,00
a
Produk hasil perikanan & olahannya relatif blm dikembangkan scr optimal
b
Pasar lokal masih terbuka luas untuk produk perikanan
a
c
Kebijakan pemerintah yang mendukung
a
b
Ancaman (W) d
Usaha sejenis cepat berkembang jika mendapatkan keuntungan
a
b
c
e
Banyaknya produk luar negeri yang lebih murah
e
e
c
d
f
Tingginya biaya-biaya diluar produksi
a
b
f
f
Total
169
f
Tabel 53 Matriks skoring faktor internal dan faktor eksternal peningkatan kewirausahaan No
Faktor Internal
BF %
ND
NBD 1
N
K
NRK
NBK
TNB
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
2
1
3
3
3
3
2
2
1
2
2
2,18
0,13
0,25
2
3
3
4
2
2
3
2
2
1
2,36
0,14
0,32
3
3
4
3
3
3
2
2
2
2,55
0,15
0,33
KEKUATAN 1
Semangat mensejahterakan keluarga
06
2
0,12
2
Pengetahuan berasal dari keturunan
06
3
0,18
2
3
Adanya program pemberdayaan
06
3
0,18
1
2
KELEMAHAN
0,90
4
Keterbatasan modal dan akses modal
33
5
1,65
3
3
3
4
5
Kendala pengetahuan & pemasaran
20
4
0,8
3
3
3
4
6
Lemahnya kemitraan bisnis dg industri
26
4
1,04
3
4
4
5
5
5
5
4
3
4
3
3,82
1,26
2,91
5
4
4
3
2
3
3
3,37
0,67
1,47
4
4
3
3
3
3
3,73
0,97
2,01
5
PELUANG
6,39
7
Produk hasil perikanan & olahannya relatif blm dikembangkan scr optimal
26
5
1,3
3
2
3
5
4
4
5
8
Pasar lokal terbuka u/ produk perikanan
20
5
1,0
2
2
3
5
4
4
5
9
Kebijakan pemerintah mendukung
12
4
0,48
2
3
3
4
3
3
3
3
3
2
3
3,37
0,87
2,17
3
3
2
3
3,27
0,65
1,65
2
3
3
2,91
0,35
0,83
3
ANCAMAN
4,65
10
Usaha sejenis cepat berkembang jika mendapatkan keuntungan
06
3
0,18
1
2
2
3
2
3
3
3
2
2
11
Produk luar negeri yang lebih murah
12
3
0,36
2
2
2
4
3
3
2
2
3
2
12
Tingginya biaya-biaya diluar produksi
20
4
0,8
2
1
2
3
3
3
3
3
3
3
4
3
2,36
0,14
0,32
4
1,82
0,22
0,58
2,73
0,55
1,35 2,25
170
Tabel 54
Matrik skor strategi SWOT peningkatan kewirausahaan STRENGHT (S)
WEAKNESSES (W)
0,90 STRATEGI – SO
6,39 STRATEGI – W0
4,65 TREATHS (T)
3,75 STRATEGI – ST
1,74 STRATEGI – WT
2,25
1,35
4,14
IFAS EFAS OPPORTUNIES (O)
Berdasarkan bobot dan rating pada tabel 56 maka arah strategi peningkatan kewirausahaan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap adalah kebijakan stabilitas yaitu kebijakan dengan memaksimalkan peluang yang ada dan meminimalkan kelemahan, seperti yang terlihat pada gambar 28 dibawah S 0,9 I ( ekspansi)
II (difersifikasi)
T 2,25
O 4,65 2,4
5,49
IV (survival)
III (stabilitas)
W 6,39 Gambar 28 Kuadran peningkatan kewirausahaan guna peningkatan kesejahteraan
Selanjutanya adalah pembuatan beberapa alternatif kebijakan guna meningkatkan kewirausahaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan nelayan.
171
Tabel 55 Alternatif kebijakan peningkatan kewirausahaan Peluang Produk hasil perikanan & olahannya blm dikembangkan secara optimal
Pasar lokal terbuka untuk produk perikanan
Kebijakan pemerintah mendukung
Kelemahan Keterbatasan modal dan akses modal
Segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan
Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan
Peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau
Kendala pengetahuan & pemasaran
Peningkatan kapasitas SDM dalam pengembangan alternative wirausaha
Pengembangan bisnis perikanan bernilai ekonomis tinggi untuk menarik perhatian sektor industri dan perbankan
Pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal
Lemahnya kemitraan bisnis dengan industri
Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dalam membangun kemitraan
Regulasi dan kemudahan perijinan UMKM
Regulasi dan kemudahan perijinan UMKM
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka peningkatan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan. (2) Upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dalam membangun kemitraan. (3) Pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal. (4) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pengembangan alternatif wirausaha. (5) Peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau. (6) Segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan. (7) Regulasi dan kemudahan perijinan usaha kecil menangah dan koperasi.
172
(8) Pengembangan bisnis perikanan bernilai ekonomis tinggi untuk menarik perhatian sektor industri dan perbankan 5.2.3 Pengembangan kebijakan pemberdayaan sumberdaya manusia Pengembangan
kebijakan
berikutnya
adalah
kebijakan
pemberdayaan
sumberdaya manusia yang akan disusun berdasarkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat) dari masing-masing komponen yang dianggap sangat mempengaruhi peningkatan kesejahteraan nelayan kepulauan seribu. Faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi peningkatan kesejahteraan khususnya pada bidang pemberdayaan sumberdaya manusia dapat diliihat pada tabel 58 dibawah ini : Tabel 56 Faktor Pendorong dan penghambat pemberdayaan sumberdaya manusia No Pendorong 1 Semangat untuk belajar masih tinggi (I/S) 2 Pranata sosial seperti pengajian, arisan, dsb masih berkembang dengan baik (I/S) 3 Etos dan semangat kerja yang tinggi dari nelayan (I/S) 4 Akses pendidikan yang tidak terlalu jauh dari ibu kota. (E/O).
Penghambat Keterbatasan biaya pendidikan (I/W) Pemahaman atas pentingnya pendidikan masih rendah dikalangan orang tua (I/W) Minimnya waktu luang dan kesempatan (I/W) Daya tarik bekerja lebih kuat dibandingkan belajar (E/T)
5
Banyaknya tawaran untuk bekerja (E/T) Sarana dan prasarana pendidikan masih sangat kurang (E/T)
Adanya program pendidikan dan latihan yang relatif murah (E/O) 6 Komitmen pemerintah yang tinggi terhadap pendidikan (E/O) Sumber : hasil FGD
Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot dan rating untuk mengetahui arah strategi pemberdayaan sumberdaya manusia dalam peningkatan kinerja perikanan tangkap. Tabel 57 memperlihatkan bobot dan rating unsur-unsur pembentuk SWOT untuk penentuan arah pemberdayaan manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan.
173
Tabel 57 Matriks urgensi faktor internal komponen pemberdayaan SDM Total Bobot
FAKTOR INTERNAL
a
Kekuatan ( S )
b
C
d
e
f
b
C
d
a
f
1
0,06
B
d
b
f
3
0,2
d
c
c
3
0,2
d
e
4
0,26
e
1
0,06
2
0,12
15
1,00
a
Semangat untuk belajar masih tinggi
b
Pranata sosial masih berkembang dengan baik
b
c
Etos dan semangat kerja yang tinggi dari nelayan
c
b
Kelemahan (W) d
Keterbatasan biaya pendidikan
d
d
D
e
Pemahaman atas pendidikan masih rendah dikalangan orang tua
a
b
C
d
f
Minimnya waktu luang dan kesempatan
f
f
C
e
e
Total
Tabel 58 Matriks urgensi faktor eksternal komponen pemberdayaan SDM FAKTOR EKSTERNAL
Total Bobot
Peluang ( O)
a
B
c
d
e
f
B
c
d
e
a
1
0,06
c
d
e
b
2
0,12
d
e
f
2
0,12
e
d
4
0,26
f
4
0,26
2
0,12
15
1,00
a
Akses pendidikan yang tidak terlalu jauh dari ibu kota.
b
Adanya program pendidikan dan latihan yang relatif murah
b
c
Komitmen pemerintah yang tinggi terhadap pendidikan
c
c
d
d
d
Ancaman (W) d
Daya tarik bekerja dibandingkan belajar
lebih
kuat
e
Banyaknya tawaran untuk bekerja
e
e
e
e
f
Sarana dan prasarana pendidikan masih sangat kurang
a
b
f
d
Total
174
f
Tabel 59 Matriks skoring faktor internal dan faktor eksternal pemberdayaan sumberdaya manusia No
Faktor Internal
BF %
ND
NBD 1
N
K
NRK
NBK
TNB
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
4
4
2
2
3
2
2
4
3
3
4
3,0
0,18
0,36
4
3
4
3
2
4
4
3
2
2
3,18
0,64
1,64
3
4
3
2
3
2
3
3
2
3,0
0,60
1,40
KEKUATAN 1
Semangat untuk belajar masih tinggi
0,06
3
0,18
2
Pranata sosial berkembang dengan baik
0,20
5
1,0
4
3
Etos & semangat kerja yang tinggi
0,20
4
0,8
4
4
KELEMAHAN
3,40
4
Keterbatasan biaya pendidikan
0,26
4
1,04
2
3
3
5
Pemahaman pendidikan masih rendah
0,06
3
0,18
2
4
4
2
6
Minimnya waktu luang & kesempatan
0,12
3
0,36
3
3
3
3
2
3
2
4
4
3
2
2
2,73
0,71
1,75
3
2
3
2
3
2
2
2,64
0,16
0,34
3
2
2
3
4
2
2,82
0,34
0,70
3
PELUANG
2,79
7
Akses pendidikan tidak jauh dari DKI
0,06
3
0,18
2
2
2
2
2
3
2
8
Adanya program pendidikan & latihan
0,12
5
0,6
2
4
3
4
3
2
2
9
Komitmen pemerintah yang tinggi
0,12
4
0,48
4
4
2
4
2
2
3
3
2
3
2
2,27
0,14
0,32
4
3
2
1
2,73
0,33
0,93
1
2
3
2,82
0,34
0,82
4
ANCAMAN
2,07
10
Daya tarik bekerja lebih kuat
0,26
3
0,78
3
3
3
3
3
3
2
3
1
11
Banyaknya tawaran untuk bekerja
0,26
5
1,3
3
2
3
2
2
4
3
2
2
4
12
Sarana & prasarana pendidikan kurang
0,12
4
0,48
4
2
2
2
2
2
2
1
3
2
4 2
2
2,73
0,71
1,49
2
2,64
0,69
1,99
2,18
0,26
0,74 4,22
175
Tabel 60
Matrik skor strategi SWOT pemberdayaan sumberdaya manusia STRENGHT (S)
WEAKNESSES (W)
3,4 STRATEGI – SO
2,79 STRATEGI – W0
2,07 TREATHS (T)
1,33 STRATEGI – ST
0,72 STRATEGI – WT
4,22
0,82
1,43
IFAS EFAS OPPORTUNIES (O)
Berdasarkan bobot dan rating pada tabel 56 maka arah strategi pemberdayaan sumberdaya manusia untuk peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap adalah kebijakan difersifikasi yaitu kebijakan dengan memaksimalkan kekuatan yang ada dan meminimalkan ancaman, seperti yang terlihat pada gambar 29 dibawah S 3,4 II (difersifikasi)
I ( ekspansi)
0,61 T 4,22
O 2,07 2,15
III (stabilitas)
IV (survival) W 2,79 Gambar 29
Kuadran pemberdayaan sumberdaya manusia guna peningkatan kesejahteraan
176
Selanjutanya adalah pembuatan beberapa alternative kebijakan guna meningkatkan pemberdayaan sumberdaya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tabel 61 Alternatif kebijakan pemberdayan sumberdaya manusia Kekuatan
Ancaman
Semangat untuk belajar masih tinggi
Pranata sosial seperti masih berkembang dengan baik
Etos dan semangat kerja yang tinggi dari nelayan
Daya tarik bekerja lebih kuat
Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan pemodalan
Memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata sosial yang ada
Pengembangan nelayan menjadi nelayan skala besar
Banyaknya tawaran untuk bekerja
Pengembangan kebijakan penggalian potensi yang berorientasi pada keunggulan kompetitif produk hasil perikanan
Pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan
Pengembangan nelayan menjadi nelayan skala besar
Sarana & prasarana pendidikan kurang
Penyediaan sarpras pendidikan & latihan yg menunjang peningkatan kinerja nelayan
Penyediaan sarpras tempat pertemuan yang menunjang kegiatan berorganisasi
Penyediaan sarpras perikanan tangkap yang menunjang peningkatan akses pasar
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka pemberdayaan sumberdaya manusia nelayan dapat dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan pemodalan. (2) Memperbanyak program pemberdayaan melalui pranata sosial yang ada. (3) Pengembangan kebijakan penggalian
potensi yang berorientasi pada
keunggulan kompetitif produk hasil perikanan. (4) Pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan.
177
(5) Penyediaan sarpras pendidikan & latihan yg menunjang peningkatan kinerja nelayan. (6) Penyediaan sarpras tempat pertemuan yang menunjang kegiatan berorganisasi (7) Penyediaan sarpras perikanan tangkap yang menunjang peningkatan akses pasar. (8) Pengembangan nelayan menjadi nelayan skala besar. 5.2.4 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil pengembangan kebijakan publik yang dapat dilakukan, maka arah penguatan kelembagaan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan adalah: 5.2.4.1 Penguatan kelembagaan Aspek penguatan kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut persepsi nelayan dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 (tabel 43). Sedangkan berdasarkan tabel 44 diatas tampak Kelembagaan Keuangan Mikro (LKM) merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Para nelayan menganggap adanya LKM dikarenakan kebutuhan mereka terhadap suatu lembaga yang dapat membantu mereka secara langsung mengenai permodalan dan bebas dari sistem ijon. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan selalu menggunakan tengkulak dengan suku bunga yang relatif tinggi dalam memenuhi kebutuhan modal mereka. Pembangunan ekonomi pesisir sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional, keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan nelayan terutama perikanan tangkap. Hal itu merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pesisir menggantungkan hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan penangkapan ikan sering dijadikan indikator pembangunan ekonomi pesisir. Di dalam praktek penangkapan ikan, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan nelayan
178
justru pada adopsi inovasi teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal yang lemah. Untuk mengatasi kekurangan modal, nelayan biasanya mengusahakan tambahan modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena nelayan sering tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti nelayan pemodal (pelepas uang - rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional karena terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pesisir. Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bagi nelayan akan menjadi salah satu solusinya. LKM memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat nelayan yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional. Di lingkungan masyarakat, telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit dengan pola yang beragam, namun umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi usaha-usaha ekonomi non perikanan. Pada bulan Mei 2008 saat diadakan rapat kerja kelembagaan perikanan dan kelautan di hotel Equator Surabaya, gubernur Jawa timur memaparkan dari jumlah sekitar 10 juta jiwa nelayan di Jawa Timur ada 900.000 nelayan yang merupakan nelayan yang hidup dipesisir pantai dan sebagian besar dari mereka terlilit utang renternir. Utang kepada renternir telah membuat nelayan terjebak dalam kemiskinan terstruktur, sehingga kehidupan nelayan tidak pernah kunjung sejahtera. Para renternir telah mengambil benefit yang besar dari nelayan, sebab sebelum bias melunasi pinjaman pokok, nelayan harus membayar bunga yang telah ditentukan hingga tiga kali lipat. Setiap kali melaut pendapatan mereka dipotong 20 % guna pembayaran bunga renternir. Bunga it uterus ditagih di lokasi tempat pelelangan ikan selama masih belum dilunasi pinjaman tersebut. Problem besarnya adalah nelayan sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu, sehingga bila tidak melaut, pihak yang
179
dicari adalah renternir untuk dapat berhutang dengan cepat dan mudah demi menyambung hidup keluarganya. Selama masa paceklik, nelayan umumnya menggantungkan kebutuhan keluarganya kepada renternir, karena pinjaman melalui bank harus ada jaminan. Renternir merupakan bagian kehidupan nelayan yang sangat sulit dipisahkan, walaupun sangat merugikan nelayan. Hasil wawancara dengan nelayan mengatakan bahwa mereka mengaku sudah sejak puluhan tahun telah berhutang kepada renternir, bahkan sejak mereka masih bujangan sampai tua. Mereka menagatakan tidak bias lepas dari renternir, apalagi sejak kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Kehidupan nelayan Indonesia semakin terpuruk, lebih dari 50% anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) bergantung hidupnyanya pada tengkulak kata Sekjen HNSI, HAM Siagian (Bisnis Indonesia, 2008). Peran Lembaga keuangan mikro dalam rangka peningkatan kesejahteraan nelayan juga dikemukakan oleh gunawan (2003) yang mengatakan salah satu hambatan utama masyarakat atau usaha kecil untuk berkembang adalah keterbatasan sumberdaya finansial karena sifatnya yang mikro dengan modal kecil, tidak berbadan hukum dan manajemen yang sebagian masih tradisional sehingga sektor ini tidak tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (bank) yang selalu menerapkan prinsip perbankan dalam memutus kreditnya. Untuk mengatasi hambatan ini, pendekatan yang perlu dilakukan adalah penyediaan jasa keuangan mikro (micro finance). Selama ini Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang mampu memenuhi kebutuhan modal karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat kecil yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. LKM mampu memberikan pelayanan kredit tanpa jaminan, tanpa aturan yang ketat, dan dengan cara itu pula mampu untuk menutup seluruh biaya yang mereka keluarkan. Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sendiri juga memuat 3 (tiga) elemen kunci (versi dari Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia). Pertama, menyediakan beragam jenis pelayana keuangan—relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani. Kedua, melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah
(masyarakat
miskin
menjadi
pihak
180
beneficiaries
utama).
Ketiga,
menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel, agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan. Berbagai fenomena di atas menyebabkan LKM menjadi pilihan bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi. Dalam rangka perkuatan perekonomian nasional, penyediaan jasa keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua sisi yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, yaitu mampu untuk melayani kebutuhan nasabahnya (baca: masyarakat miskin) dan pada sisi lain mampu untuk mengembangkan dirinya sebagai lembaga keuangan mikro yang bonafid. Kemampuan untuk melayani nasabah menuntut juga kemampuan si nasabah untuk dapat me-manage keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya. Selama ini keengganan dari pihak perbankan dalam menyalurkan kreditnya kepada usaha kecil karena adanya anggapan bahwa kelompok atau individu yang mempunyai predikat sebagai masyarakat miskin sangatlah tidak bankable di mata perbankan. Pihak perbankan kebanyakan akan merasa sia-sia dalam memberi pelayanan kepada mereka. Hal itu dikarenakan pihak perbankan memandang pelayanan terhadap masyarakat miskin akan mendatangkan biaya transaksi tinggi dan penuh dengan resiko. Tingginya biaya disebabkan skala kredit yang mereka butuhkan terlalu kecil untuk bank komersial, kemudian tidak mampu memberikan agunan, ditambah lagi dengan pendapatan yang menjadi jaminan pengembalian juga rendah, dan kenyataan bahwa jarak lembaga keuangan dengan mereka sedemikian jauh. Pihak perbankan cenderung untuk melayani golongan ekonomi atas, karena golongan ini dipandang lebih prospektif, lebih dekat, dan lebih mudah. Oleh karena itu keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu untuk mencakup dua profile, antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski
181
berperan sebagai institusi sosial, tetapi LKM dapat menjadi institusi komersial melalui cara minimasi biaya transaksi, dan peran dari kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam mengkoordinir anggotanya. Karena kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, maka biaya-biaya dapat berkurang. Kemudian peran dari KSM—organisasi yang terdiri dari orang-orang sesuai strata ekonominya—yang diharapkan mampu menekan anggotanya dalam mengamankan kreditnya, atau mensubstitusi collateral. Sampai saat ini baru terdapat satu LKM yang berdiri di Kepulauan Seribu. Satu-satunya LKM yang ada tersebut bernama Lembaga Ekonomi Tidung Sejahtera (LETS) yang didirikan pada tanggal 11 Oktober 2003 sebagai hasil dari adanya program Program Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Pada tanggal 1 Juli 2006 LETS ini berubah menjadi Koperasi Pesisir Seribu Sejahtera. Kinerja Koperasi pesisir ini dimulai dari pencairan dana PEMP yang dikelola LETS pada bulan Januari 2004 sebesar Rp.872.400.000. Informasi terakhir yang didapatkan di lapangan pada bulan Juli 2007 tinggal sebesar Rp.3.840.000, Data diatas memperlihatkan terjadi kemunduran usaha yang sangat jelas. Perjalan usaha LETS dalam kurun waktu tersebut mengalami kemunduran akibat kemacetak kredit yang terbesar pada periode per 31 Juli 2004 adalah pinjaman modal bergulir dari Rp.505.833.380, jumlah kemacetan sebesar Rp.300.512.334. Berarti jumlah uang yang dibayar hanya sebesar Rp.205.321.050. Sedangkan pinjaman modal konsumtif dari jumlah Rp.123.630.000, tingkat kemacetan dana sebesar Rp.94.830.000. Yang lebih menyedihkan adalah pinjaman tenaga karyawan LETS yang meminjam uang dari LETS sejumlah RP.32.785.000, yang terbayar hanya sebesar Rp.8.500.000. Berarti terdapat tunggakan sebesar Rp.24.285.000. Pendapatan jasa yang diterima sebesar Rp.22.783.200, dana ini berasal dari pendapatan jasa produkstif dan konsumtif. Namun demikian biaya operasional yang dikeluarkanlebih besar dari pendapatan jasanya. Pengeluaran dana operasional sebesar Rp.48.941.800, pengeluaran ini sebagian besar untuk biaya tenaga kerja sebesar Rp.33.145.000.
182
Pengembalian dana dari LETS yang cenderung terabaikan, hal ini patut dicermati dan perlu bijaksana dalam melihat pola pikir masyarakat pesisir. Masyarakat Kepulauan Seribu umumnya berpendidikan rata-rata SD sehingga membentuk pola pikir yang tidak membangun yang menganggap dana pinjaman yang berasal dari program PEMP dirasakan sebagai hibah bukannya dana pinjaman yang harus dikembalikan. Mereka juga melihat pada para pengurus koperasi yang sangat sulit dalam pengembalian pinjaman. Sehingga pola pikir ini akan tersus mendarah daging dan harus dikembalikan ke arah yang benar sesuai dari pembentukan program yaitu kesejahteraan masyarakat pesisir. Oleh karena itu sesuai dengan hasil SWOT (nomer 3) diatas sangat diperlukan adanya peningkatan kapasitas SDM pengelola kelembagaan dan penerima bantuan program pemberdayaan. Peningkatan kapasitas SDM pengelola dan penerima mutlak diperlukan untuk menunjang keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilakukan. Peningkatan SDM pengelola diarahkan pada hal-hal: a.
Penguasaan pemahaman pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan program yang diselenggarakan oleh pemerintah.
b.
Mahaman prosedur dan mekanisme penyaluran dana.
c.
Penguasaan teknologi informasi yang menunjang pelaksanaan program
d.
Pemahaman tentang kelayakan bisnis / usaha perikanan yang akan dijalankan.
e.
Bimbingan teknis perlu rutin diselenggarakan.
f.
Monitoring dan evaluasi program.
Peningkatan SDM penerima diarahkan pada beberapa hal, antara lain: a.
Bimbingan teknis dan manajemen usaha yang akan dijalankan, termasuk untuk bisnis/usaha yang sudah dijalankan untuk meningkatkan kinerja usaha/bisnis perikanan yang dijalankan.
b.
Manajemen keuangan dan pemasaran.
c.
Jaringan kerjasama bisnis/usaha yang dijalankan. Belajar dari keberhasilan pengelolaan LKM pada daerah lain untuk diterapkan
dalam membangun LKM pesisir Kepulauan Seribu pada dasarnya dapat saja dilakukan dengan mengakomodasi beberapa pola yang sudah berkembang dengan
183
melakukan penyesuaian. Pendekatan pola Grameen Bank, serta pola lainnya dapat dijadikan acuan salah satu alternatif skim perkreditan untuk diaplikasikan untuk mendukung usahatani, namun dengan beberapa penyesuaian terkait dengan karakteristik nelayan sebagai berikut: 1) Pendekatan kelompok. Makna pendekatan kelompok adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak adanya agunan (collateral). Kelompok diselaraskan dengan kelompok nelayan yang sudah eksis beranggotakan antara 20 – 30 orang. 2) Perluasan sasaran pengguna kredit Sasaran pengguna kredit tidak difokuskan untuk kaum ibu saja, melainkan perlu juga melibatkan kaum Bapak. Karena yang menjadi anggota kelompok nelayan adalah kaum bapak dan yang mengetahui kebutuhan dana untuk adopsi teknologi penangkapan. 3) Seleksi calon pengguna kredit Indikator seleksi disesuaikan dengan keragaan usaha penangkapan, salah satunya yang penting dipertimbangkan adalah adanya diversifikasi usaha. 4) Volume Pagu Kredit Volume pagu kredit minimal mampu memenuhi standar kebutuhan tambahan biaya penangkapan dan realisasi pencairannya disesuaikan dengan perilaku pola penangkapan. Studi kelayakan mengenai penangkapan ikan menjadi acuan. Tiap orang kebutuhannya akan berbeda. 5) Bunga Pinjaman Bunga pinjaman terkait dengan keberlanjutan perkreditan. Oleh karena itu patokannya adalah bunga komersial sesuai pasar. 6) Waktu pengembalian cicilan Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk mingguan dan atau segera setelah penangkapan. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah penangkapan (disesuaikan dengan perkiraan sumber pendapatan nasabah). Disarankan komposisi jumlah cicilan mingguan lebih besar dari pada cicilan segera setelah penagkapan, misal 70% berbanding 30%.
184
7) Pendampingan dan Monitoring Pendampingan dan monitoring secara berkelanjutan, sehingga jika terjadi masalah selama proses pemanfatan kredit bisa segera dicarikan solusinya. 8) Pelatihan Pelatihan diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk secara terus menerus meningkatkan kapabilitas manajemen LKM Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di Kepulauan Seribu selain harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan, secara operasional hendaknya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon kelompok sasaran, antara lain terkait dengan eksistensinya sebagai kelompok paling tidak dalam dua tahun terakhir. Dalam penetapan calon kelompok sasaran ini seyogyanya berpedoman pada mekanisme yang sistematis dan terstruktur berdasarkan langkah-langkah kegiatan yang mengarah pada operasionalisasi kegiatan. 2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria tersebut diseleksi oleh pendamping lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas. 3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran kelompok yang layak melakukan kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan didasarkan pada keragaan organisasi kelompok nelayan yang difokuskan pada kondisi kinerja organisasi kelompok nelayan. 4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha kelompok (penyediaan seed capital). 5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam adminitrasi pengelolaan dana. 6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
185
7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas pengurus dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan usaha kepada nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi. Selain itu hasil analisis SWOT menyarankan adanya pengembangan jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan dan industri serta peningkatan akses masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman guna memotong mata rantai dengan tengkulak. Menurut Setiawan (2008) kelemahan kelembagaan ekonomi di masyarakat pesisir adalah tidak berhubungan dengan industri maupun perbankan. Lemahnya akses lembaga terhadap sektor industri maupun perbankan membuat kelembagaan yang dibentuk umumnya hanya bertahan selama proyek berjalan. Setelah itu, kelembagaan dengan sendirinya akan mati. Kerjasama dengan industri diarahkan pada penyediaan akses dan jaringan informasi pemasaran. Meskipun tidak langsung berhubungan dengan kelembagaan, namun kerjasama ini tentunya akan menyediakan jaringan pemasaran dan informasi yang dibutuhkan. Masyarakat selaku anggota lembaga akan merasa terbantu sehingga akan cukup menghidupkan kelembagaan yang ada. Kerjasama dengan perbankan diarahkan untuk maksud kemudahan akses penyediaan modal yang dibutuhkan bagi anggota kelompok.
Kerjasama ini
merupakan kerjasama yang saling menguntungkan antara perbankan selaku penyandang dana dan lembaga ekonomi masyarakat selaku pemanfaat.
Bila
kerjasama ini bisa dilakukan antar lembaga ekonomi masyarakat yang ada dengan perbankan, maka ‘self financing mechanism’ yang berarti lembaga sudah mampu mengadakan pembiayaan sendiri sudah berjalan dan sudah tidak memerlukan bantuan program pemerintah karena sudah bisa beroperasi melalui pendanaan sendiri. Berdasarkan tabel 44 diatas tampak organisasi nelayan merupakan kelembagaan yang penting setelah adanya Lembaga Keuangan Mikro dengan nilai koefisien 0.599 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Hal ini sesuai dengan penelitian marwoto (2004) yang mengatakan keberadaan suatu kelembagaan yang dapat menghimpun nelayan akan sangat bermanfaat bagi nelayan yang
186
bersangkutan dan dapat membantu dalam pelaksanaan berbagai program yang dilakukan pemerintah. Bentuk kelembagaan yang pada umumnya ada di pedesaan antara lain adalah kelompok nelayan (berdasarkan jenis alat tangkap), Kelompok Usaha Bersama (KUB, berdasarkan kesamaan jenis usaha), Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Kelompok Nelayan yang ada saat ini dalam kenyataannya kurang dan bahkan tidak dapat mewakili kepentingan nelayan, terutama nelayan buruh. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Kelompok Nelayan pada umumnya menyebutkan bahwa yang dapat menjadi anggota Kelompok Nelayan adalah nelayan pemilik. Oleh karenanya Kelompok Nelayan tidak lain adalah kumpulan dari para pemilik unit penangkapan, yang biasanya sejenis. Dengan sistim keanggotaan yang demikian maka Kelompok Nelayan hanya menyuarakan kepentingan nelayan pemilik saja.
Di sisi lain, program
pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan Pemerintah menggunaan pendekatan kelompok nelayan.
Dengan demikian yang mempunyai kesempatan untuk
mengikuti pembinaan dan penyuluhan hanyalah nelayan pemilik.
Padahal
meningkatnya produktivitas usaha penangkapan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan ketrampilan nelayan buruh yang secara langsung terjun dalam kegiatan penangkapan. Mereka seolah tidak memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan ketrampilan yang diberikan oleh Pemerintah. Sebaliknya, bagi pemilik unit penangkapan, pengetahuan dan ketrampilan tidak begitu penting, karena yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana unit penangkapan siap untuk beroperasi, termasuk dalam menyediakan uang untuk membeli kebutuhan untuk operasionalnya. KUB, KUD Mina dan HNSI juga menunjukkan kenyataan yang sama. Kelembagaan ini merupakan wadah hanya bagi pemilik unit penangkapan dan bukan untuk nelayan buruh. Hingga saat ini belum ada kelembagaan bagi nelayan buruh, sehingga adanya sistim bagi hasil yang tidak adil, sebagai contoh, tidak ada jalur kelembagaan yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasinya.
187
Selain itu, pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah juga selalu mencantumkan persyaratan yang hanya dapat dipenuhi oleh nelayan pemilik. Misalnya pemberian paket bantuan palkah, mesin, dan jaring, dengan mekanisme dana bergulir, hanya mungkin diikuti oleh para pemilik unit penangkapan, dan bukan nelayan buruh yang memang tidak memiliki unit penangkapan. Dengan demikian, lemahnya kelembagaan nelayan buruh berpengaruh terhadap kemiskinan yang dialami oleh nelayan buruh. Penyelesaian masalah organisasi nelayan ini dikemukan oleh marwoto (2004) dengan tahap awal, kelembagaan yang perlu dikembangkan adalah Kelompok Nelayan Buruh, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan buruh untuk mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan jumlah nelayan buruh yang sangat banyak dan dominan dan tergabung dalam suatu organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan pemilik sehingga tidak ada lagi hubungan kerjasama yang tidak saling menguntungkan. Peran kelembagaan Kelompok Nelayan ini diharapkan seperti peran kelembagaan pekerja di sektor industri dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Bagi nelayan yang bekerja di perikanan industri (skala besar) penerapan ketentuan upah minimum regional sudah seharusnya juga diterapkan, apalagi waktu kerja dan resiko kerja bagi nelayan lebih berat dibandingkan dengan pekerja/buruh industri. Di sisi lain, mengingat jumlahnya yang banyak, sudah sewajarnya jika Pemerintah mulai memberikan perhatian kepada kelompok nelayan buruh ini. Dapat dipastikan bahwa mereka juga memerlukan pembinaan, dan justru merekalah yang harus dibina agar dapat diperoleh peningkatan produksi perikanan yang berasal dari kegiatan penangkapan ikan. Meningkatnya produksi akan diikuti dengan peningkatan nilai jual hasil tangkapan dan pada gilirannya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan. Dalam tahap berikutnya, kelompok nelayan buruh secara bertahap dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi kelompok usaha bersama pada saat memiliki kemampuan untuk melakukan investasi untuk
188
mengadakan unit penangkapan secara bersama.
Peningkatan pendapatan dapat
diperoleh dengan mekanisme yang sama dengan adanya bantuan unit penangkapan yang berasal dari Pemerintah. Pada akhirnya sesuai dengan hasil analisis SWOT diatas yang terpenting dari semua hal tersebut adalah adanya pelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan Pemerintah Daerah serta adanya penyediaan prosedur dan mekanisme pemberian bantuan yang jelas. Menurut Setiawan (2008) pelembagaan program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir secara nasional perlu segera dilakukan. Hal ini diarahkan pada pengembangan kelembagaan pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) pada satu pintu, sehingga koordinasi, skim kredit pemodalan, aturan main maupun mekanisme pengelolaan dana-dana pemberdayaan dikelola oleh lembaga ini. Kelembagaan yang dibentuk bisa didalam departemen atau instansi teknis yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Selama ini, program pemberdayaan dilakukan secara beragam. Departemen Sosial, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Agama, Departemen Pemberdayaan Wanita, Departemen Daerah Tertinggal mempunyai direktorat, sub-direktorat atau kepala bagian yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Akibatnya, skim kredit, mekanisme penyaluran maupun teknis pengembaliannya sangat beragam. Pengembangan
kelembagaan
menjadi
satu
pintu
khususnya
dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir dan laut dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan
perikanan
tangkap
dimaksudkan
agar
bisa
mengatur,
mengkoordinasikan, membuat mekanisme dan aturan main tertentu sehingga tidak menyulitkan pada saat pelaksanaanya di lapangan. Permasalahan yang sering terjadi selama ini, karena perbedaan dalam penyaluran dana maupun aturan-aturanya menyebabkan kesulitan dalam penentuan jenis bantuan yang diberikan. Satu instansi memberikan bantuan secara murni, sementara instansi lain memberikan bantuan dalam bentuk dana bergulir, dan instansi lainnya memberikan bantuan dalam bentuk kredit. Akibatnya, masyarakat terutama masyarakat pesisir menjadi bingung dan mempertanyakan jenis bantuan yang diberikan.
Jika skim bantuan yang diberikan
dalam satu desa seragam tidak menjadi masalah. Tetapi apabila sudah diberikan
189
bantuan sebelumnya dan skimnya berbeda, biasanya akan sangat menyulitkan mekanisme pengaturan selanjutnya. Pengembangan kelembagaan pemberdayaan masyarakat pesisir dan laut dalam satu pintu, harus mempunyai pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan yang jelas dimaksudkan agar bisa memberikan pedoman dan petunjuk pelaksanaan yang jelas dan dapat diimplementasikan di lapangan. Keuntungan kelembagaan program pemberdayaan satu pintu adalah bisa membuat Pedum dan Juklak yang tidak berbeda antar masing-masing instansi.
Dengan
demikian, segala macam skim bantuan yang diberikan sudah mempunyai Pedum dan Juklak dari satu pintu, sehingga petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang dibuat diharapkan tidak asal jadi, tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman pada program pemberdayaan sebelumnya. Prosedur dan mekanisme penyaluran dana juga harus jelas. Hal ini menurut Setiawan (2008) dimaksudkan agar pemberian dana pemberdayaan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan.Prosedur dan mekanisme penyaluran dana yang sederhana dan jelas bisa mengacu pada versi yang sudah dikembangkan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, yaitu : (1) keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM),
(ii) penyediaan beragam jenis
pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat yang dilayani; serta, dan yang terakhir (iii) melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin menjadi pihak beneficiaries utama). Melalui pengembangan ketiga elemen kunci tersebut, LKM menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat bawah karena memang mempunyai karakteristik yang “merakyat”. yaitu sesuai dengan ritme kehidupan sehari-hari dan menggunakan prosedur yang sederhana, tidak sarat aturan dan cepat. Jadi adalah tepat dan wajar apabila untuk masa sekarang LKM mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka pemulihan ekonomi karena LKM mendukung sustainability dan pengembangan UMKM yang telah terbukti mampu menjadi pilar dasar perekonomian.
190
5.2.4.2 Pengembangan kewirausahaan Nikijuluw (2005) mengemukakan bahwa kewirausahaan UKM perikanan dapat diartikan sebagai kemampuan pelaku UKM perikanan dalam memulai dan menjalankan bisnisnya sedemikian rupa melalui langkah-langkah pengambilan resiko untuk mencapai keuntungan dan dalam rangka mengembangkan usahanya secara lebih jauh. Sederhananya, seorang wirausahaan adalah seorang yang pada akhirnya mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya.
Bila dia
pelaku UKM maka yang bersangkutan memiliki kemampuan, meskipun kecil atau menengah skala usahanya, untuk menjalankan bisnisnya dengan tetap menghasilkan laba di tengah situasi dan kondisi resiko yang melingkupi usahanya. Prijosaksono dan Bawono (2004) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kekuatan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya. Berdasarkan definisi ini, selanjutnya mereka mengatakan bahwa kecerdasan berwirausaha adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dan mengelola diri serta berbagai peluang maupun sumberdaya disekitarnya secara kreatif untuk menciptakan nilai tambah maksimal bagi dirinya secara berkelanjutan. Pengembangan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap menurut hasil analisis SWOT diatas meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan alternatif wirausaha sesuai dengan potensi daerah. Kemampuan berbisnis individu biasanya tidak datang dengan sendirinya. Kemampuan ini biasanya datang turun temurun atau melalui pendidikan dan pelatihan yang digelutinya atau berdasarkan pengalaman di sekitarnya. Setiawan (2008) mengatakan peningkatan pemasaran produk perikanan untuk meningkatkan gairah usaha sektor bisnis perikanan. Pemasaran produk perikanan pada umumnya tidak diminati karena tingkat resikonya yang sangat tinggi. Resiko tersebut adalah cepat busuknya produk hasil perikanan tangkap sehingga menurunkan harga jual. Resiko lain adalah penurunan harga jual pada saat musim penangkapan.
191
Dalam rangka peningkatan pemasaran produk perikanan, perlu disediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk meminimilasi kemungkinan penurunan harga jual akibat penurunan kualitas hasil tangkapan. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan antara lain pembangunan TPI/PPI dan penyediaan sarana/prasarana transportasi yang memadai agar bisa dipasarkan ke wilayah lain. Kemudian masalah regulasi UKM dan UMKM dalam kemudahan perijinan juga perlu diperhatikan. UKM dan UMKM biasanya kesulitan dalam mengurus perijinan-perijinan yang diperlukan.
Disamping ketidak tahuannya, juga karena
kesulitan yang dijumpainya untuk memperoleh ijin-ijin yang diperlukan. Oleh karena itu, perlu regulasi UKM dan UMKM dalam kemudahan perijinan, sehingga usaha/wirausaha yang dijalankan bisa bersaing dengan usaha/wirausaha lain, baik tingkat lokal, regional maupun internasional. 5.2.4.3 Pemberdayaan sumberdaya manusia Analisis SEM diatas juga menunjukkan bahwa aspek pemberdayaan sumber daya nelayan justru mempunyai peran yang paling kecil yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hasil ini menujukkan aspek pemberdayaan SDM tidak mempunyai peran yang lebih penting dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dari beberapa literatur ditemukan bahwa dari aspek demografi rumah tangga, nelayan memiliki beban ketergantungan yang relatif tinggi dengan indikasi dapat dijelaskan dari tingginya tingkat angka kelahiran dibandingkan dengan rumah tangga lainnya. Kecenderungan ini tentunya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rumah tangga nelayan jauh lebih tinggi. Selanjutnya dalam kesehariannya dalam hal ini anak-anak keluarga nelayan secara lebih dini terlibat dalam pekerjaan nelayan. Hal ini tentu berimplikasi pada kelangsungan pendidikan keluarga nelayan. Dan siklus ini terus berputar, dimana minat untuk meningkatkan kualitas diri terutama melalui pendidikan menjadi sangat minim, karena orang tua maupun anak-anaknya lebih cenderung memikirkan kebutuhan dasar. Hal ini dikarenakan dalam mencari nafkah sebagai nelayan mereka tidak membutuhkan adanya pemberdayaan yang berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan (Siswanto, 2008).
192
Peningkatan penguatan kelembagaan dan kemampuan berbisnis individu melalui pendidikan dan pelatihan sangat perlu dilakukan walaupun menurut mereka pemberdayaan tidak begitu penting. Penguatan kelembagaan dan peningkatan kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan pengembangan kapasitas sumberdaya yang pada umumnya hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Pelaku bisnis perikanan, pada umumnya enggan untuk meningkatkan kemampuannya dengan biaya sendiri. Mereka sangat tergantung pada dana yang diberikan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah harus mengambil inisiatif untuk dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia nelayan dalam rangka pengembangan alternatif wirausaha sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya sebelum menggulirkan dana pemberdayaan. Kegagalan program pemberdayaan yang sering terjadi adalah karena tidak didahului dengan penyiapan sumberdaya terlebih dahulu. Penerima program pemberdayaan hanya mengandalkan kemampuannya dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya sehingga penerima program sering tidak bisa mengembalikan dana yang diperolehnya apabila dana tersebut harus dikembalikan. Keuntungan yang diperoleh dari program pemberdayaan relatif tidak bertambah, sementara ditambah dengan kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman.
193
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan
adalah: (1) Sektor-sektor yang mampu memanfaatkan keuntungan lokasional sehingga memiliki
daya
saing
yang
tinggi
dibandingkan
sektor
sejenis
di
kabupaten/kota lain adalah susektor perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai DS positif yang mencerminkan posisi keuntungan lokasi (locational advantage position). Tetapi kondisi sektor ini tidak tumbuh dengan baik, ini ditandai dengan nilai PS negatif, yang berarti bahwa sektor ini memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan daerah lain. Hasil ini menunjukkan bahwa subsektor perikanan sebenarnya merupakan sektor unggulan dan mempunyai daya saing yang tinggi, dibuktikan dengan nilai LQ yang positif dan juga DS yang positif. Akan tetapi sektor ini tidak memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan sektor sejenis di daerah lain. Hal ini
terjadi karena yang menjadi pembanding
subsektor perikanan Kepulauan Seribu adalah Kota Jakarta Utara. Seperti sudah digambarkan pada bab sebelumnya sebesar 55 % pemasaran hasil perikanan tangkap dan 82 % pemasaran hasil perikanan budidaya dilakukan diluar wilayah kepulauan seribu. Kondisi inilah yang menyebabkan subsektor perikanan Kepulauan Seribu tidak tumbuh dengan baik karena justru yang menikmati hasil tangkapan dan hasil budidaya perikanan adalah kota lain. (2) Faktor penguatan kelembagaan (variabel X1) berpengaruh positif terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.398, sehingga dapat dikatakan variabel kelembagaan benar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Aspek penguatan kelembagaan merupakan aspek yang paling penting menurut persepsi nelayan dengan nilai koefisien paling tinggi yaitu 0.398 dan kelembagaan keuangan
194
mikro merupakan kelembagaan yang paling penting menurut para nelayan dengan nilai koefisien 0.659 dan secara uji hipotesis valid dan terpercaya. Setelah mendapatkan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatakan kesejahteraan dilanjutkan dengan melakukan analisis SWOT guna mencari alternatif kebijakan yang paling mungkin diterapkan guna meningkatkan kesejahteraan nelayan dari aspek kelembagaan yaitu (i) perlunya kelembagaan program dan sinkronisasi dengan kebijakan PEMDA serta penyediaan prosedur dan mekanisme pemberian bantuan yang jelas, (ii) peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola kelembagaan dan penerima bantuan program pemberdayaan, (iii) pengembangan jaringan kemitraan dengan kalangan perbankan, (iv) peningkatan akses masyarakat dengan lembaga keuangan dengan cara penyederhanaan prosedur dan mekanisme peminjaman guna memotong mata rantai dengan tengkulak, (v) pengembangan jaringan kemitraan antar kelembagaan lokal guna pengembangan usaha. (3) Faktor kewirausahaan (variabel X3) berpengaruh positif yang kedua terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.359 sehingga dapat dikatakan variabel kewirausahaan benar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kesejahteraan nelayan. Nilai kesadaran berusaha merupakan nilai yang paling tinggi dari aspek kewirausahaan. Hal ini menunjukkan seorang nelayan juga diharapkan menjadi seorang wirausahaan yaitu seorang yang mampu menghasilkan keuntungan atau laba (profit) melalui usahanya.
Pada aspek kewirausahaan beberapa kebijakan yang
dihasilkan adalah : (i) perlunya
upaya perbaikan lingkungan untuk
meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan dalam membangun kemitraan (ii) pengembangan wisarausaha yang handal dan berbasis keunggulan lokal, (iii) meningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pengembangan alternatif wirausaha, (iv) peningkatan akses modal melalui skim yang terjangkau, (v) segmentasi permodalan berdasarkan usaha yang dikembangkan, (vi) regulasi dan kemudahan perijinan usaha kecil menangah dan koperasi.
195
(4) Faktor pemberdayaan sumberdaya manusia (variabel X2) adalah factor yang paling kecil berpengaruh terhadap variabel Y (kesejahteraan nelayan) dengan nilai estimates 0.239. Aspek pemberdayaan sumber daya nelayan justru mempunyai peran yang paling kecil, menurut nelayan Kep. Seribu sebagai aspek yang mempengaruhi kesejahteraan. Beberapa alternatif kebijakan yang dihasilkan adalah (i) Peningkatan SDM melalui ketrampilan disertai dengan permodalan, (ii) memperbanyak program pemberdayaan
melalui pranata
sosial yang ada, (iii) penggalian potensi yang berorientasi pada keunggulan kompetitif produk hasil perikanan, (iv) pemberdayaan nelayan melalui kemitraan dengan industri dan perbankan., (v) pengembangan nelayan menjadi nelayan dengan skala lebih besar 6.2 Saran dan Rekomendasi Kebijakan (1) Diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan yang dapat mempercepat pertumbuhan subsektor perikanan disemua wilayah Kepulauan Seribu. Percepatan pertumbuhan sektor perikanan ini dapat berpotensi guna memberikan efek ganda (multiplier effects) yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam wilayah Kepulauan Seribu yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. (2) Berdasarkan hasil SEM maka dari 3 aspek kebijakan yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan aspek kelembagaan mempunyai nilai yang paling tinggi. Oleh karenanya di masa yang akan datang sebaiknya program penciptaan kelembagaan dan penumbuhan jiwa kewirausahaan lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan program-program pemberdayaan yang berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. Perlu diadakan pelembagaan program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir (nelayan) secara nasional dan pengembangan
jaringan
kemitraan
antar
kelembagaan
lokal
dalam
pengembangan usaha produktif masyarakat. (3) Pada aspek kewirausahan diharapkan kedepan dilakukan peningkatan kapasitas SDM dalam pengembangan wirausaha alternatif sesuai dengan
196
potensi lokal serta pengembangan wirausaha yang handal berbasis pada keunggulan lokal. Hal ini ditunjang dengan pengembangan teknologi tepat guna dalam rangka menciptakan usaha yang lebih bernilai ekonomis serta peningkatan pemasaran produk perikanan untuk meningkatkan gairah usaha (bisnis) sektor perikanan. Regulasi bidang UKM dan UMKM, terutama dalam hal
perijinan.
Selanjutnya,
dibutuhkan
adanya
peningkatan
bantuan
permodalan melalui berbagai skim pemberian modal dengan persaratan ringan dan terjangkau masyarakat. Terakhir dibutuhkan adanya upaya perbaikan lingkungan untuk meningkatkan kepercayaan industri dan perbankan terhadap usaha perikanan. (4) Dibutuhkan komitmen keberlanjutan suatu kebijakan oleh pemerintah, sehingga keberhasilan penerapan suatu kebijakan dapat terlihat dengan jelas. Selama ini yang terjadi setiap penggantian pemerintah, kebijakan ikut berubah. Khususnya nelayan ketergantungan terhadap tengkulak sulit dihindari karena tengkulak selalu siap memenuhi kebutuhan nelayan kapanpun, berbeda dengan kebijakan pemerintah yang mempunyai anggaran terbatas dan terikat dengan ketentuan yang kadang menurut nelayan sangat menyulitkan. (5) Pemerintah perlu segera mengkaji kembali berbagai regulasi/kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan selama ini. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang memiliki spesifikasi wilayah kepulauan, lebih tepat jika program dan kegiatan pembangunan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan nelayan dengan cara penguatan kelembagaan yang ada. Pemerintah daerah hendaknya segera mengkaji
kembali
seluruh
kebijakan
komprehensif, dan integratif.
197
pembangunan
secara
spesifik,
DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo, S. 2000. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Makalah Pelatihan ICZPM Angkatan I. PPLH IPB, Bogor. Adrianto, L. 2004. Analisis Penentuan Daerah Perikanan (Fisheries Dependent Region). Working Paper Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Institut Pertanan Bogor. Bogor. Adrianto, L., Matsuda, Y., dan Sakuma, Y. 2005. Assessing Local Sutainability of Fisheries System: A Multi-Criteria Participatory Approach with The Case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture. Japan Marine Policy. 29, 9-23. Arif , Satria (2008), Negeri Bahari yang Melupakan Nelayan, Kompas , 9 Juni 2008 Adrian P Pangemanan (2002), Sumber Daya Manusia Masyarakat Nelayan, Bogor, IPB Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, (1998). Structural Equation Modeling in Practice: A Review and Recommended Two Step Approach, Psychological Bulletin, Vol. 163. Arifin, B. dan Rahbini, D.J. 2001. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik.
Arrow, Kenneth.J. (1950) “ A Difficulty in the Concept of Social Welfare” Journal of Political Economy, August 1950 Arsyad, Lincolin. (2002) Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi kedua, BPFE UGM Yogyakarta. Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bapekab), ( 2002.) Penyusunan Rencana Pengembangan Kegiatan Ekonomi Kelautan di Kepulauan Seribu. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Badan Perencanaan Kabupaten dengan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB. Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bapekab), (2002). Penyusunan Rencana Pengembangan Kemitraan Pembangunan Kepulauan Seribu. Kerjasama Badan Perencanaan Kabupaten (Bapekab) Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Institut Pertanian Bogor (IPB). Badan Perencana Pembangunan Kabupaten (Bapekab), (2002). Penyusunan Konsep Ketentuan Pemanfaatan Perairan Laut Kepualaun Seribu. Kerjasama Badan Perencanaan Kabupaten (Bapekab) Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB)
198
. Biro Hukum Pemerintah Propinsi DKI Jakarta,( 2001 ). Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001. Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta. Biro Hukum Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2000. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. BPS, Jakarta. ____________2003. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS. Jakarta. ____________2004. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta ____________2005. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta ____________2006. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta ____________2007. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta ____________2008. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. BPS, Jakarta Badan Pusat Statistik, 2004. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ____________2005. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ____________2006. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ____________2007. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ____________2008. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Badan Pusat Statistik (2007), Indek Pembangunan Manusia 2005-2006,Jakarta, CV.Rioma Badan Pusat Statistik (2007), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2007, Jakarta, CV. Nario Sari. Badan Pusat Statistik (2007) Statistik Kesejahteraan Rakyat ,Jakarta, CV Gading Komunikatama. Budiharsono, S. 2003. Analisis Prioritas, Alokasi Anggaran, Monitoring dan Evaluasi Proyek Pembangunan. Makalah, disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZPM) diselenggarakan pada tanggal 11 Agustus - 25 Oktober 2003 di Bogor. Kerjasama DKP dan PKSPL IPB. Byrne, B.M., 2001. Structural Equation Modeling with AMOS. Basic Concepts, Applications and Programming. Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey. 338 pp.
199
Campbell, J. 2000. Sustainable Coastal Livelihoods Research in the Bay of Benga. Sustainable Coastal Livelihoods Newsletter. Volume 1, Issue 1. IMM Ltd. 1 Southern hay West. UK. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. UK Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Masyarakat, LISPI dan Ditjen P3K. Jakarta. 145 halaman. ___________ 2004. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmia: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), 2001. Statistik Perikanan Tangkap. 2001. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. ____________2002. Position Paper Kebijakan dan Program Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Program Tahun Anggaran 2002. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. ____________2002. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2002. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. ____________2003. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. ____________2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2003. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. ____________2004. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Tahun 2004. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta ____________2004. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir 2004. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. ____________2004. Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2004. Ditjen Perikanan Tangkap, DKP Jakarta. ____________2007. 6 tahun Program PEMP sebuah refleksi. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Ditjen P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Drucker, P.F, 1994, Innovation and Entrepreneurship. Practice and Principles (terjemahan). Penerbit Erlangga
200
Dunn, W.N. 2001. Public Policy Analysis. University of Pittburgh. Disunting oleh Muhadjir Darwin. Penerbit Hanindita Graha Widya Yogyakarta. Dwidjowijoto, R.N, 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. Model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-Client. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Andalas University Press. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries, Book 4, Fisheries Management. FAO, Rome. 82 p. Fauzi, A. 1992. Suatu Telaah Kemiskinan di Indonesia (Makalah). Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. ____________2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. PT.Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Fatchudin. 2006. Analisis Kebijakan Perkreditan untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Feeny, D. 1990. The Tragedy of the Commons: Twenty-Two Years Later. Human Ecology, 8(1): 1-19. Ferdinand, A. 2006. Structural Equation Modeling (SEM) dalam penelitian Manajemen. Program Magister Manajemen Universitas Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Fox, J. 2002. Structural Equation Models, An Appendix to An R and S-PLUS Companion to Applied Regression. 20pp. Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Journal of Political Economics, 62(2): 124-142. Gunawan, S 2007. Pemberdayaan Sosial, Jakarta, Gramedia Pustaka Irwandi Idris,et.all. 2007, Membangunkan Raksasa Ekonomi,Bogor, Penerbit Buku Ilmiah Hendriwan, 2003. Penanggulangan Kemiskinan Dalam Rangka Kebijakan Desentralisasi. Makalah Falsafah Sains. Program Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hox, J.J. and T.M. Bechger. 1998. An Introduction to Structural Equation Modeling. Family Science Review 11:354-373. Johnston, R.S. 1992. Fisheries Development, Fisheries Management and Externalities. World Bank Discussion Paper, 165, 43 p. Kasimis, C and Anastasia Petrou. 2000. Identifying Fisheries Dependent Regions in Greece in Symes, D. (eds). Fisheries Dependent Regions. Fishing News Books. Blackwell Science, London, UK.
201
Kesteven, G.L. 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1 – An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No. 118. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome Kollmeyer, C.J. 2004. Measuring Class Compromise: A Structural Equation Model: A Structural Equation Model 15 Advanced Capitalist Democracies. Global & International Studies Program. Paper 18. University of California. Santa Barbara. 43pp. http://repositories.cdlib.org/gis/18. Kusnadi. 2002. Nelayan. Strategi Adaptasi Dan Jaringan Sosial. Penerbit Humaniora Utama Press ,Bandung. ____________ 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Humaniora Utama Press, Bandung. Mashuri, 1993. Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan Sosial Ekonomi Kenelayanan Jawa dan Madura 1850-1940, Masyarakat Indonesia. LIPI. Marwoto, 2004. Kemikinan Nelayan : Sebuah Masalah yang Belum Terpecahkan, Makalah Matakuliah Pengantar Ke Falsafah Sains, IPB, Bogor Mulyana, R. 1999. Kajian Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Pesisir-Pendekatan System Dynamic (Studi Kasus Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta). Tesis, Program Studi Pembangunan. Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Tidak dipublikasikan. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan?. Penerbit Feraco. Jakarta. ____________2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir secara Terpadu. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, diselenggarakan pada tanggal 29 Oktober – 3 November 2001 di Bogor. Kerjasama CRC-URI dengan PKSPL IPB. ____________1998. Identification of Indigenous Coastal Fisheries Management (ICFM) Sistem in Sulawesi, Maluku, and Irian Jaya. Indonesian Journal of Coasal and Marine Resources, 1(2): 1-14. Nugroho, R. 2007. Analisis Kebijakan. Elex Media Komputindo-Gramedia Jakarta. Osborne, D and T. Gaebler, 1992. Reinventing Government. How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo Panayatou, T. 1992. Management Concepts for Small-scale Fisheries: Economic and Sosial Aspects. FAO Fish. Tech. Paper, 228: 53 p. Paul, S. 1987. community Participation in Development Project. New York: World Bank
202
Phillipson, J. 2000. Delimiting Fisheries Dependent Regions: The Problem of Inadequate Data in Symes, D. (eds). Fisheries Dependent regions. Fishing News Books. Blackwell Science London, UK. Pranarka dan Vidhyandika, M. 1996. “Pemberdayaan” dalam Onny S.P dan A.M.W. Pranarka (ed). Jakarta: CSIS Primayuda. 2002. Analisis Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Buruh Nelayan dan Pariwisata di Pantai Sendang Biru Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur (Skripsi). Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prijosaksono, A. Dan S. Bawono, 2004. The Power of Entrepreneurial Intelligence. Membangun Sikap dan Perilaku Entrepreneur Dalam Diri Anda. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 171 p. Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis – Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rasdani.1993. Nelayan, Kehidupan dan Permasalahannya. Perikanan. Jakarta.
Majalah Dinas
Rawls, John. A Theory of Justice. Cambrigde, Mass: Harvard University Press, 1971. Saad S. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia.Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. Saedan, C. 1999. Kemiskinan Keluarga Nelayan di Pantai Barat Sumatrea Barat. (Tesis). Pembangunan Wilayah Pedesaan. Universitas Andalas Padang Satria, A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan. Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung. ____________2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Penerbit: PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta Saksono, Herie. 2008. Model Pembangunan Kabupaten Adm Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan, Disertasi, IPB, Bogor Sayogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP – IPB. Bogor. ____________1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT. Grassindo. Jakarta. Setiawan, I. 2007. Kinerja Pembangunan Perikanan Tangkap : Suatu Analisis Program Pemberdayaan Nelayan, Disertasi, IPB, Bogor Sen, Amartya K (1995). Inequality Reexamined, New York : Russel Sage Foundation, 1995. ____________ (1999). The Possibility of Social Change, American Economic Review, 89, July 1999
203
Shari,I. 1990. Ekonomi Nelayan: Pengumpulan Modal, Perubahan Teknologi dan Pembezaan Ekonomi. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. Sihombing, Martin. 2008. Si Raja Laut Masih dihimpit Renternir, Bisnis Indonesia, 03 September 2008. Siswanto, Budi (2008) Kemiskinan dan Perlawanan Nelayan, Malang, Laksbang
Smith, I.R. 1979. A Research Framework for Traditional Fisheries. ICLARM Studies and Reviews, 2: 40 p. ___________ 1983. A Research Framework for Traditional Fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARAM), Manila. Soegiarto, A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oceanologi Nasional, Jakarta. Soepanto
and V.P.H. Nikijuluw. 1999. Resource-based Collaborative Commercial Fisheries Management in Eastern Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, 2(2):17-28.
Subade, R.F. and N.M.R. Abdullah. 1993. Are Fishers Profit Maximizers? The case of Gillnetters in Negros Occidental and Iloilo, Philippines. Asian Fisheries Science, 6:39-49. Suharto, E. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. CV. Alfabeta, Bandung. Sumodiningrat, 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengamanan Sosial. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ____________2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Jurnal ekonomi Rakyat. Artikel Th. II-No. 1- Maret 2003. Tim Pengendali Jaring Pengaman Sosial (TP-JPS). 2001. Verivikasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) http://www.jps.or.id/proyek/rekomendasi/ 2001/s81-151101.html. Undang-Undang Perikanan 2004. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sinar Grafika, Jakarta UU No. 16 tahun 1994. tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Sinar Grafika, Jakarta Widiyanto, D., Saefuddin, A., dan Sumardjo. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Pantai untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan. Kasus Tanjung Pakis Kabupaten Karawang, Jawa Barat. IPB Press.
204
Lampiran
Analysis Summary Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143 Variable Summary (Group number 1) Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X12 X11 X13 Unobserved, exogenous variables X1 err12 err11 err13 Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
7 3 4 4 3
Variable Summary (Group number 1) Your model contains the following variables (Group number 1)
205
Observed, endogenous variables X12 X11 X13 Unobserved, exogenous variables X1 err12 err11 err13 Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
7 3 4 4 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
X12 <--- X1 X11 <--- X1 X13 <--- X1
Estimate S.E. C.R. P Label 1.000 .593 .204 2.902 .004 "1?" .593 .204 2.902 .004 "1?"
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
X12 <--- X1 X11 <--- X1 X13 <--- X1
Estimate .790 .468 .460
Variances: (Group number 1 - Default model)
X1 err12 err11 err13
Estimate S.E. .319 .126 .192 .115 .400 .061 .418 .062
C.R. 2.534 1.667 6.602 6.707
206
P .011 .096 *** ***
Label par_2 par_3 par_4 par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
X13 X11 X12
Estimate .211 .219 .625
Model Fit Summary CMIN
Model Default model Saturated model Independence model
NPAR 5 6 3
CMIN .066 .000 42.242
DF 1 0 3
P .797
CMIN/DF .066
.000
14.081
RMR, GFI
Model Default model Saturated model Independence model
RMR .005 .000 .118
GFI 1.000 1.000 .827
AGFI .998
PGFI .167
.653
.413
NFI Delta1 .998 1.000 .000
RFI rho1 .995
IFI Delta2 1.023 1.000 .000
TLI rho2 1.071
Baseline Comparisons
Model Default model Saturated model Independence model
.000
Parsimony-Adjusted Measures
Model Default model Saturated model Independence model
PRATIO .333 .000 1.000
PNFI .333 .000 .000
PCFI .333 .000 .000
NCP
Model Default model Saturated model Independence model
NCP .000 .000 39.242
LO 90 .000 .000 21.836 207
HI 90 2.863 .000 64.086
.000
CFI 1.000 1.000 .000
FMIN
Model Default model Saturated model Independence model
FMIN .000 .000 .297
F0 .000 .000 .276
LO 90 .000 .000 .154
HI 90 .020 .000 .451
RMSEA
Model Default model Independence model
RMSEA .000 .304
LO 90 .000 .226
HI 90 .142 .388
PCLOSE .829 .000
AIC
Model Default model Saturated model Independence model
AIC 10.066 12.000 48.242
BCC 10.356 12.348 48.416
BIC 24.880 29.777 57.130
CAIC 29.880 35.777 60.130
ECVI
Model Default model Saturated model Independence model
ECVI .071 .085 .340
LO 90 .077 .085 .217
HI 90 .098 .085 .515
HOELTER
Model Default model Independence model
HOELTER .05 8257 27
208
HOELTER .01 14262 39
MECVI .073 .087 .341
Analysis Summary Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143 Variable Summary (Group number 1) Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X21 X22 X23 Unobserved, exogenous variables err21 err22 X2 err23 Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
7 3 4 4 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
X21 <--- X2 X22 <--- X2
Estimate S.E. C.R. P Label 1.137 .237 4.806 *** "1?" 1.137 .237 4.806 *** "1?" 209
X23 <--- X2
Estimate S.E. 1.000
C.R.
P
Label
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
X21 <--- X2 X22 <--- X2 X23 <--- X2
Estimate .629 .648 .585
Variances: (Group number 1 - Default model)
X2 err21 err22 err23
Estimate S.E. .158 .055 .311 .051 .282 .048 .303 .051
C.R. 2.855 6.148 5.864 5.891
P .004 *** *** ***
Label par_2 par_3 par_4 par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
X23 X22 X21
Estimate .342 .419 .396
Model Fit Summary CMIN
Model Default model Saturated model Independence model
NPAR 5 6 3
CMIN 2.009 .000 58.602
DF 1 0 3
P .156
CMIN/DF 2.009
.000
19.534
RMR, GFI
Model Default model Saturated model Independence model
RMR .023 .000 .133
GFI .991 1.000 .771
Baseline Comparisons
210
AGFI .944
PGFI .165
.541
.385
Model Default model Saturated model Independence model
NFI Delta1 .966 1.000 .000
RFI rho1 .897
IFI Delta2 .982 1.000 .000
.000
TLI rho2 .946 .000
CFI .982 1.000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model Default model Saturated model Independence model
PRATIO .333 .000 1.000
PNFI .322 .000 .000
PCFI .327 .000 .000
NCP
Model Default model Saturated model Independence model
NCP 1.009 .000 55.602
LO 90 .000 .000 34.350
FMIN .014 .000 .413
F0 .007 .000 .392
HI 90 9.376 .000 84.283
FMIN
Model Default model Saturated model Independence model
LO 90 .000 .000 .242
HI 90 .066 .000 .594
RMSEA
Model Default model Independence model
RMSEA .084 .361
LO 90 .000 .284
HI 90 .257 .445
PCLOSE .228 .000
AIC
Model Default model Saturated model Independence model
AIC 12.009 12.000 64.602
BCC 12.299 12.348 64.776
BIC 26.823 29.777 73.490
CAIC 31.823 35.777 76.490
ECVI
Model Default model
ECVI .085
LO 90 .077 211
HI 90 .143
MECVI .087
Model Saturated model Independence model
ECVI .085 .455
LO 90 .085 .305
HI 90 .085 .657
HOELTER
Model Default model Independence model
HOELTER .05 272 19
212
HOELTER .01 470 28
MECVI .087 .456
Analysis Summary Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1) Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X31 X32 X33 Unobserved, exogenous variables err31 err32 X3 err33 Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
7 3 4 4 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates
213
Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
X31 <--- X3 X32 <--- X3 X33 <--- X3
Estimate S.E. C.R. P Label .468 .101 4.630 *** "1?" 1.000 .468 .101 4.630 *** "1?"
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
X31 <--- X3 X32 <--- X3 X33 <--- X3
Estimate .532 .946 .573
Variances: (Group number 1 - Default model)
X3 err31 err32 err33
Estimate S.E. .620 .149 .344 .049 .072 .125 .278 .043
C.R. 4.170 7.005 .579 6.496
P *** *** .563 ***
Label par_2 par_3 par_4 par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
X33 X32 X31
Estimate .328 .896 .283
Model Fit Summary CMIN
Model Default model Saturated model Independence model
NPAR 5 6 3
CMIN 1.619 .000 91.681
DF 1 0 3
P .203
CMIN/DF 1.619
.000
30.560
RMR, GFI
Model Default model Saturated model Independence model
RMR .027 .000 .175
GFI .992 1.000 .703 214
AGFI .955
PGFI .165
.406
.352
Baseline Comparisons
Model Default model Saturated model Independence model
NFI Delta1 .982 1.000 .000
RFI rho1 .947
IFI Delta2 .993 1.000 .000
.000
TLI rho2 .979 .000
CFI .993 1.000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model Default model Saturated model Independence model
PRATIO .333 .000 1.000
PNFI .327 .000 .000
PCFI .331 .000 .000
NCP
Model Default model Saturated model Independence model
NCP .619 .000 88.681
LO 90 .000 .000 61.066
FMIN .011 .000 .646
F0 .004 .000 .625
HI 90 8.509 .000 123.719
FMIN
Model Default model Saturated model Independence model
LO 90 .000 .000 .430
HI 90 .060 .000 .871
RMSEA
Model Default model Independence model
RMSEA .066 .456
LO 90 .000 .379
HI 90 .245 .539
PCLOSE .280 .000
BIC 26.433 29.777 106.570
CAIC 31.433 35.777 109.570
AIC
Model Default model Saturated model Independence model
AIC 11.619 12.000 97.681
BCC 11.909 12.348 97.855
215
ECVI
Model Default model Saturated model Independence model
ECVI .082 .085 .688
LO 90 .077 .085 .493
HI 90 .137 .085 .935
HOELTER
Model Default model Independence model
HOELTER .05 337 13
216
HOELTER .01 583 18
MECVI .084 .087 .689
Analysis Summary Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1) Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables Y1 Y2 Y3 Unobserved, exogenous variables errY1 errY2 Y errY3 Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
7 3 4 4 3
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model)
217
Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Y3 <--- Y Y1 <--- Y Y2 <--- Y
Estimate S.E. C.R. P Label 2.167 .703 3.083 .002 "1?" 1.000 2.167 .703 3.083 .002 "1?"
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Y3 <--- Y Y1 <--- Y Y2 <--- Y
Estimate .657 .314 .768
Variances: (Group number 1 - Default model)
Y errY1 errY2 errY3
Estimate S.E. .046 .029 .422 .053 .150 .035 .285 .045
C.R. 1.584 8.011 4.302 6.306
P .113 *** *** ***
Label par_2 par_3 par_4 par_5
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Y3 Y2 Y1
Estimate .431 .591 .098
Model Fit Summary CMIN
Model Default model Saturated model Independence model
NPAR 5 6 3
CMIN .042 .000 51.901
218
DF 1 0 3
P .837
CMIN/DF .042
.000
17.300
RMR, GFI
Model Default model Saturated model Independence model
RMR .003 .000 .106
GFI 1.000 1.000 .808
AGFI .999
PGFI .167
.615
.404
NFI Delta1 .999 1.000 .000
RFI rho1 .998
IFI Delta2 1.019 1.000 .000
TLI rho2 1.059
Baseline Comparisons
Model Default model Saturated model Independence model
.000
.000
CFI 1.000 1.000 .000
Parsimony-Adjusted Measures
Model Default model Saturated model Independence model
PRATIO .333 .000 1.000
PNFI .333 .000 .000
PCFI .333 .000 .000
NCP
Model Default model Saturated model Independence model
NCP .000 .000 48.901
LO 90 .000 .000 29.148
FMIN .000 .000 .365
F0 .000 .000 .344
HI 90 2.392 .000 76.087
FMIN
Model Default model Saturated model Independence model
LO 90 .000 .000 .205
HI 90 .017 .000 .536
RMSEA
Model Default model Independence model
RMSEA .000 .339
LO 90 .000 .262
219
HI 90 .130 .423
PCLOSE .863 .000
AIC
Model Default model Saturated model Independence model
AIC 10.042 12.000 57.901
BCC 10.332 12.348 58.075
BIC 24.856 29.777 66.789
CAIC 29.856 35.777 69.789
ECVI
Model Default model Saturated model Independence model
ECVI .071 .085 .408
LO 90 .077 .085 .269
HI 90 .094 .085 .599
HOELTER
Model Default model Independence model
HOELTER .05 12948 22
220
HOELTER .01 22364 32
MECVI .073 .087 .409
Analysis Summary Date and Time
Date: Friday, September 05, 2008 Time: 8:37:11 AM Title
Presentasix1: Friday, September 05, 2008 08:37 AM Notes for Group (Group number 1)
The model is recursive. Sample size = 143
Variable Summary (Group number 1) Your model contains the following variables (Group number 1)
Observed, endogenous variables X12 X22 X32 Y2 X11 X13 X21 X23 X31 X33 Y1 Y3 Unobserved, endogenous variables Y Unobserved, exogenous variables X1 X2 X3 err11 err12 err13 err21 err23 err31 err32 221
err33 errY1 errY2 errY3 err22 errY Variable counts (Group number 1)
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
29 12 17 16 13
Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Y Y Y X12 X22 X32 Y2 X13 X11 X21 X23 X31 X33 Y3 Y1
<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<---
X2 X3 X1 X1 X2 X3 Y X1 X1 X2 X2 X3 X3 Y Y
Estimate S.E. .224 .141 .296 .142 .388 .145 1.468 .149 1.468 .149 1.468 .149 1.468 .149 1.000 1.468 .149 1.468 .149 1.000 1.000 1.468 .149 1.468 .149 1.000
C.R. 1.582 2.077 2.674 9.829 9.829 9.829 9.829
Label par_3 par_4 par_5 "1?" "1?" "1?" "1?"
9.829 *** "1?" 9.829 *** "1?"
9.829 *** "1?" 9.829 *** "1?"
222
P .114 .038 .007 *** *** *** ***
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Y Y Y X12 X22 X32 Y2 X13 X11 X21 X23 X31 X33 Y3 Y1
<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<--<---
X2 X3 X1 X1 X2 X3 Y X1 X1 X2 X2 X3 X3 Y Y
Estimate .239 .359 .398 .659 .669 .708 .744 .439 .599 .665 .487 .548 .753 .638 .426
Covariances: (Group number 1 - Default model)
X1 <--> X2 X2 <--> X3 X1 <--> X3
Estimate S.E. .037 .015 .073 .020 .063 .019
C.R. P Label 2.468 .014 par_2 3.642 *** par_6 3.363 *** par_7
Correlations: (Group number 1 - Default model)
X1 <--> X2 X2 <--> X3 X1 <--> X3
Estimate .371 .612 .551
223
Variances: (Group number 1 - Default model)
X1 X2 X3 errY err11 err12 err13 err21 err23 err31 err32 err33 errY1 errY2 errY3 err22
Estimate S.E. .097 .026 .105 .026 .136 .032 .030 .013 .372 .055 .272 .045 .405 .053 .285 .045 .337 .045 .317 .042 .293 .045 .224 .039 .416 .052 .160 .029 .289 .042 .279 .045
C.R. 3.784 3.994 4.235 2.341 6.747 5.998 7.704 6.272 7.563 7.533 6.442 5.753 7.956 5.472 6.958 6.220
P *** *** *** .019 *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ***
Label par_8 par_9 par_10 par_11 par_12 par_13 par_14 par_15 par_16 par_17 par_18 par_19 par_20 par_21 par_22 par_23
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Y Y3 Y1 X33 X31 X23 X21 X13 X11 Y2 X32 X22 X12
Estimate .677 .407 .181 .568 .300 .237 .442 .193 .359 .554 .501 .448 .434
Model Fit Summary
224
CMIN
Model Default model Saturated model Independence model
NPAR 23 78
CMIN 72.628 .000
DF 55 0
P .056
CMIN/DF 1.321
12
412.734
66
.000
6.254
RMR, GFI
Model Default model Saturated model Independence model
RMR .045 .000 .128
GFI .922 1.000 .541
AGFI .889
PGFI .650
.458
.458
NFI Delta1 .824 1.000 .000
RFI rho1 .789
IFI Delta2 .951 1.000 .000
TLI rho2 .939
Baseline Comparisons
Model Default model Saturated model Independence model
.000
.000
Parsimony-Adjusted Measures
Model Default model Saturated model Independence model
PRATIO .833 .000 1.000
PNFI .687 .000 .000
PCFI .791 .000 .000
NCP 17.628 .000 346.734
LO 90 .000 .000 286.334
NCP
Model Default model Saturated model Independence model
HI 90 43.852 .000 414.633
FMIN
Model Default model Saturated model Independence model
FMIN .511 .000 2.907
F0 .124 .000 2.442
225
LO 90 .000 .000 2.016
HI 90 .309 .000 2.920
CFI .949 1.000 .000
RMSEA
Model Default model Independence model
RMSEA .048 .192
LO 90 .000 .175
HI 90 .075 .210
AIC 118.628 156.000 436.734
BCC 123.264 171.721 439.153
PCLOSE .532 .000
AIC
Model Default model Saturated model Independence model
BIC 186.774 387.102 472.288
CAIC 209.774 465.102 484.288
ECVI
Model Default model Saturated model Independence model
ECVI .835 1.099 3.076
LO 90 .711 1.099 2.650
HI 90 1.020 1.099 3.554
HOELTER
Model Default model Independence model
HOELTER .05 144 30
226
HOELTER .01 161 33
MECVI .868 1.209 3.093