ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR TELUK KELABAT KAWASAN UTARA PULAU BANGKA PROPINSI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG
ROFIKO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2005
Rofiko NIM 995214
ABSTRAK ROFIKO. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka – Belitung. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, AKHMAD FAUZI dan SUGENG BUDIHARSONO. Secara umum penelitian ini bermaksud untuk: (i) mengidentifikasi kesesuaian lahan dan perairan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat, (ii) merencanakan lokasi Kawasan Pemanfaatan sektor pembangunan Perikanan, Industri, Pelabuhan dan Pariwisata, (iii) mengetahui persepsi pemerintah, swasta dan masyarakat berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan lahan pesisir maupun perairan pesisir pada Kawasan Pesisir Teluk Kelabat, dan (iv) mendelineasikan zona-zona yang sesuai bagi peruntukan industri, pariwisata, pelabuhan dan perikanan dalam Kawasan Pesisir Teluk Kelabat. Penelitian dilaksanakan di catchment area daratan pesisir di dua DAS Layang dan Antan serta perairan Estuaria Raksasa Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus Pulau Bangka Kabupaten Bangka Induk pada bulan Juni 2002 Desember 2003 . Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial (sistem informasi geografis) dengan menggunakan perangkat lunak Arc-info/Arc-view dan analisis hierarki proses dengan menggunakan perangkat lunak “expert choice”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesesuaian lahan untuk kawasan industri katagori sangat sesuai ( S1) seluas 17 701,08 ha (13,32 Lokasi yang sesuai terbatas (S2) seluas 72 737,79 ha (54,74); Kesesuaian lahan pariwisata, sangat sesuai (S1) seluas 600.67 ha (0.45 %), Lokasi yang sesuai terbatas (S2) seluas 533,66 ha (0.40 %); Kesesuaian lahan bagi pemanfaatan pelabuhan, lokasi yang sangat sesuai seluas 7456,735 ha (22.63 % dari luas Perairan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus seluas 32 939,26 ha), lokasi yang sesuai terbatas seluas 20,688 ha (0.0628 %) dan lokasi yang tidak sesuai seluas 25 461,617 ha (77.29 %); kesesuaian perairan bagi pemanfaatan budidaya perikanan , lokasi yang sangat sesuai seluas 21 977.42 ha (50.06 % dari luas perairan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus).Sebagai kriteria prioritas dalam menetapkan peruntukan kawasan . Berdasarkan analisis manfaat, responden memberikan prioritas pada kegiatan budidaya perikanan.
ABSTRACT ROFIKO. Policy Analysis of Coastal Spatial Utilization Coastal in The Bay of Kelabat, the North of Bangka, the Province Island of Bangka - Belitung Archipelago Under the direction of DEDI SOEDHARMA, AKHMAD FAUZI and SUGENG BUDIHARSONO. This study has the following objectives: ( i) to identify the suitability of land and the coastal water in Kelabat Bay, ( ii) to develop management planning to fishery development, fishery, Industrial, Port And Tourism activities, ( iii) to identify government perception, as well as community and private perception toward the development of Kelabat Bay in the future. ( iv) to identify the suitable zonation for industries, fisheries ant tomorrow. Research executed catchment area of continent coastal area in two DAS Float and the Pestle and also territorial water of Estuaria of Giant Coastal Area Bay of Kelabat at Subdistrict Belinyu and Subdistrict of Jebus Island of Bangka of Regency at June 2002 – December 2003 . This research aims to analysis of the spatial by using Geographical Information Systems ( GIS ) software of Arc-Info/Arc-View and Analyse Hierarchy Process by using software " expert choice". Result from study indicate that land suitability under category very suitability ( S1 ) is an amount at 17 701,08 ha ( 13,32 limited appropriate location), for suitable ( S2) 72 737 ha, for tourism activity land suitability account for 600.67 ha under category very suitable and 533.66 ha under for suitable. In term of Port activity 7 456.74 ha under very suitable located at sub district Belinyu and Jebus, while fair suitable account for 20,688 ha. For aquaculture activity land under very suitable account for 21 977.42 ha from the total area of Kelabat Bay. Based on perception, most stakeholder prioritize economic development as followed by social and environmental for Kelabat Bay development
© Hak cipta milik Rofiko, tahun 2005 hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR TELUK KELABAT KAWASAN UTARA PULAU BANGKA PROPINSI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG
ROFIKO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa ta Ala atas segala berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pertengahan tahun 2003 ini adalah Model Pemanfaatan. Pesisir Teluk Kelabat adalah merupakan estuaria raksasa sebagai salah satu ekosistem unik sumberdaya pesisir dan lautan, dalam pemanfaatannya terdapat dua pandangan yang bertentangan. Pandangan pertama menyatakan bahwa pesisir estuaria sebagai kawasan yang harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologis penting. Pandangan kedua melihat pesisir estuaria sebagai kawasan potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pemanfaatan pesisir yang tidak seimbang akan menghasilkan dampak negatif. Disatu pihak, tidak berkembangnya kawasan estuaria akibat kebijakan yang terlalu protektif. Dipihak lain, rusaknya kawasan akibat tekanan pemanfaatan berlebihan. Untuk itu perlu kebijakan yang berimbang, dimana usaha pemanfaatan pesisir estuaria ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan masih terjaga tentunya dengan tidak lupa mengadopsi persepsi masyarakat sekitar lokasi, Pemerintah Daerah dan para pengusaha yang berkepentingan di kawasan tersebut. Bertolak dari pemikiran di atas, maka penelitian ini diberi judul : “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Hasil analisis kebijakan ini merupakan outcomes penelitian ini, diharapkan dapat menjadi salah satu bahan arahan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Bogor, Mei 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di ujung selatan sebuah pulau kecil, yaitu : Toboali, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Propinsi Kepulauan BangkaBelitung, pada tanggal 6 Februari 1964 sebagai anak sulung dari 6 bersaudara pasangan H.Mukmin dan Hj.Rosdiana. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Jogjakarta lulus tahun 1988. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Perencanaan Kota dan Daerah Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB diperoleh pada bulan Januari tahun ajaran 2000 semester genap Angkatan II. Pendidikan Struktural yang diikuti adalah pendidikan kedinasan, yaitu : Sekolah Pimpinan Administrasi Lanjutan Departemen Dalam Negeri 1994, Sekolah Pimpinan Administrasi Madya Departemen Dalam Negeri 1998.Sedangkan pendidikan teknis fungsional yang pernah diikuti adalah Kursus dan studi perbandingan perikanan tropika di Kedah - Malaysia dan Sokhla Thailand Selatan tahun 2003, Human Resource Evaluation Planning ( JICA) tahun 1992, Land Resource Evaluation Planning tahun 1992, Geografic Information System Program (Joint England -Bakosurtanal) 1993, Kursus Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di UPT Pulau Pari- P2O-LIPI Kepulauan Seribu Tahun 2003, Kursus dan Temu Usaha Peternakan Lele Dumbo KUD Mino Ngremboko Sleman Yogyakarta Tahun 2003.Penyidik tindak pidana pegawai negeri sipil bidang perikanan tahun 2004 di Markas Besar POLRI. Pengalaman mengajar, penulis pernah menjadi dosen di Sekolah Tinggi Pertanian Bale Endah Kabupaten Bandung tahun 1988, guru di beberapa Sekolah Menengah Atas, antara lain: SPMA (Sekolah Menengah Pertanian Atas) Pangkalpinang tahun 1990 dan sampai sekarang masih sebagai dosen luar biasa di Sekolah Tinggi Pertanian dan Perikanan Sungailiat –Bangka. Karier sebagai Pegawai negeri sipil diawali terhitung 1 Maret 1990 diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. Sebagai PNS penulis pernah memangku jabatan baik struktural maupun fungsional.Jabatan Struktural di awali sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah pada kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) Kabupaten Bangka tahun 1991 s/d 1994, Tahun 1995 sebagai Kepala Bidang Pengolahan Data Proyek APBN, APBD I, APBD II dan Inpres pada kantor BAPPEDA Kabupaten Bangka, 1998 s/d 1999 Kepala Bidang Fisik dan Prasarana BAPPEDA Kabupaten Bangka; Kepala Bidang Pengendalian Proyek APBN dan APBD pada kantor BAPPEDA Propinsi Bangka Belitung 2-11-2002 s/d 14-8-2003 dan sekarang sebagai Kepala Sub Dinas Kelautan dan Perikanan pada Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kepulauan Bangka –Belitung; Sedangkan sebagai jabatan fungsional diawali penulis sebagai Pimpinan Proyek Rancangan Teknis Penghijauan pada tahun 1992 di Kabupaten Bangka ; Pimpinan Proyek Revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka Tahun 1993 ; Pimpinan Proyek Monitoring dan Evaluasi proyek APBN dan APBD Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2002;
Pimpinan Proyek Balai Benih Ikan Pantai Tanjung Rusa Kabupaten Belitung Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Pilot Project Keramba Jaring Apung Kabupaten Bangka Selatan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Monitoring dan Evaluasi proyek APBN dan APBD Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Studi dan Pengembangan Air Baku Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Detail Engineering Design Budidaya Udang Departemen Kelautan dan Perikanan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Pengembangan Saluran Primer Irigasi Tambak Rias Kabupaten Bangka Selatan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Pendalaman Tambak Udang dan Ikan Kota Pangkalpinang Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003; Pimpinan Proyek Bantuan Penguatan Modal Masyarakat Pembudidaya Ikan se Bangka Belitung Tahun 2003 Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2003.terakhir sebagai pimpinan proyek Detail engineering design dan Master plan pelabuhan perikanan kota Mentok tahun 2004. Penulis menikah dengan Dra. Nopidawati pada tahun 1989 dan telah dikaruniai dua putra,dan satu puteri : Dheo Iqbal Permana ( 14 Tahun ), Agy Faqih Dharma Negara ( 12 Tahun ), dan Dhea Rofiko Puteri (5 Tahun ).
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih yang tidak ternilai kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma,DEA sebagai ketua komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. dan Bapak Dr.Ir.Sugeng Budiharsono sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, arahan, sumbangan pemikiran, atas pengkayaan materi penelitian ini. Melalui pengetahuan dan pengalaman merekalah kualitas desertasi ini dapat ditingkatkan. Dengan penuh kebanggaan menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tuaku Ayahanda H.Mukmin Yunus dan Ibunda Hj.Rosdiana Syamsuddin, istriku tercinta Dra.Nopidawati yang tak henti- hentinya memberikan dorongan spirit, anakanakku tersayang Dheo Iqbal Permana,Agy Faqih Dharma Negara, Dhea Rofiko Puteri, yang ikut bersama-sama mendampingi penulis selama di Bogor dan terima kasih juga kepada adinda Eva, Ervi, Elly,Yoyok, Nining serta adik Dra.Yunita Hernawati,Apt
yang telah menjadi inspirator hidup penulis
selama ini, kepada
mereka - merekalah disertasi ini dipersembahkan. Ucapan terima kasih yang sama disampaikan pula kepada Bapak Gubernur Kepulauan Bangka- Belitung Drs.A.Hudarni Rani,SH sebagai atasan penulis, Bapak Ir.Thobrani Alwi,MSM baik sebagai Direktur Utama PT.Timah Tbk maupun sebagai Pak Yak ( paman) ,Bapak Bupati Bangka Kol.Ir .Eko Maulana Ali,MSc yang telah memberikan bantuan dana kuliah dan telah memberikan kesempatan pertama untuk melanjutkan studi dan telah memberikan tugas belajar program Doktor kepada penulis, salam hormat juga kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung Bpk.Ir.Suyanto SEA,MSc.Kepada yang terhormat Ketua P2O- LIPI Bapak Dr.Ono,MSc, atas pelayanannya dan izin selama penulis ikut riset dengan biaya cuma-cuma menggunakan kapal riset Baruna Jaya VII di lokasi penelitian perairan Bangka- Belitung. Kepada Bapak Dr.Ir.Asikin Djamali dan para peneliti di P2O - LIPI Jakarta atas kesediaan digunakannya beberapa peralatan termasuk
data.
Kepada
teman-teman
kuliah,
Bapak
Kol.Mar.Dr.Soebagio,
Dr. Ir.Max Maanema,MS, Ir.Nurnedi, MSi, Leming, Repi, Ryad, SSi dan seluruh staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB atas bantuannya selama ini.Dan tak lupa secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada adikadik Isbawan, Abok, Firman, Agus Tande, Agung, Imam Suhadi S.Pi, Zunaria S.Pt, dan Isbawati Ita Sualiya,S.Pi Bogor, Mei 2005
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ....................................................................................
Halaman xv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xxiii
I.
PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1. Latar belakang............................................................................ 1.2. Tujuan penelitian ....................................................................... 1.3. Maksud penelitian...................................................................... 1.4. Manfaat penelitian ..................................................................... 1.5. Lokasi, batas wilayah studi penelitian dan waktu penelitian.... 1.6. Perumusan masalah.................................................................... 1.7. Kerangka pikir penelitian...........................................................
1 1 5 5 5 5 7 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1. Teori pembangunan .................................................................. 2.1.1. Pengembangan wilayah ................................................. 2.1.2. Pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat 2.1.3. Pembangunan dan perubahan sikap masyarakat............ 2.1.4. Pembangunan pedesaan yang terpadu ........................... 2.2. Pembangunan wilayah pesisir .................................................. 2.2.1. Definisi dan batasan wilayah pesisir .............................. 2.2.2. Karakteristik wilayah pesisir .......................................... 2.2.3. Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berkelanjutan.................................................................. 2.2.4. Sumberdaya wilayah pesisir .......................................... 2.2.5. Dinamika wilayah pesisir............................................... 2.2.6. Jenis-jenis garis pantai.................................................... 2.2.7. Arus pasang surut ........................................................... 2.2.8. Estuarin........................................................................... 2.2.8.1. Pengertian estuarin ........................................... 2.2.8.2. Kawasan estuarin.............................................. 2.2.8.3. Dinamika biofisik estuarin ............................... 2.2.8.4. Pengaruh iklim terhadap hidrodinamika estuarin 2.2.8.5. Sumber pencemaran estuarin............................ 2.2.8.6. Pengaruh pencemaran terhadap lingkungan estuarin ............................................................. 2.2.8.7. Bentuk-bentuk kimia logam pencemar di estuarin 2.2.8.8. Salinitas estuarin............................................... 2.2.8.9. Pengaruh pencemar logam terhadap polimorpisme ikan estuarin .............................. 2.3. Pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu................................ 2.3.1. Keterpaduan wilayah/ekologis .......................................
12 13 13 14 14 17 17 17 19 23 24 24 26 27 27 28 35 37 40 42 43 43 44
13
36
41
2.3.2. Keterpaduan sektor......................................................... 2.3.3. Keterpaduan disiplin ilmu .............................................. 2.3.4. Keterpaduan stake holder ............................................... 2.3.5. Keterpaduan sistem ........................................................ 2.3.6. Keterpaduan fungsional.................................................. 2.3.7. Keterpaduan kebijakan ................................................... 2.4. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan.................. 2.5. Sistem informasi geografis (SIG) .............................................. 2.5.1. Integrasi penginderaan jauh dengan SIG...................... 2.5.2. Aplikasi SIG untuk pengelolaan di wilayah pesisir ..... 2.5.3. Kriteria SIG untuk pengelolaan wilayah pesisir........... 2.5.4. Pemanfaatan SIG untuk studi wilayah pesisir .............. 2.5.5. Keuntungan SIG pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam ........................................................
45 46 46 47 47 47 49 55 58 59 59 60
III. METODE PENELITIAN .............................................................. 3.1. Pengumpulan data dan informasi ............................................. 3.1.1. Pengumpulan data.......................................................... 3.1.2. Wawancara responden ................................................... 3.2. Analisis data ............................................................................. 3.2.1. Analisis spasial ............................................................... 3.2.1.1. Pengkompilasian peta tematik.......................... 3.2.1.2. Penyusunan matrik kesesuaian ......................... 3.2.1.3. Pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring) ........................................................... 3.2.1.4. Tumpang susun ................................................. 3.3. Proses analitik hierarki (analytical hierarchy process)............ 3.3.1. Mendefinisikan masalah dan solusi yang diinginkan ... 3.3.1.1. Aspek ekonomi ................................................. 3.3.1.1.1. Pendapatan........................................ 3.3.1.1.2. Sektor informal................................. 3.3.1.1.3. Modal................................................ 3.3.1.1.4. Biaya operasional ............................. 3.3.1.2. Aspek lingkungan ............................................. 3.3.1.2.1. Perlindungan pantai .......................... 3.3.1.2.2. Estetika kawasan .............................. 3.3.1.2.3. Pencemaran kawasan........................ 3.3.1.2.4. Degradasi lingkungan kawasan ........ 3.3.1.3. Aspek sosial ...................................................... 3.3.1.3.1. Tenaga kerja ..................................... 3.3.1.3.2. Rekreasi ............................................ 3.3.1.3.3. Perubahan gaya hidup ...................... 3.3.1.3.4. Kecemburuan sosial ......................... 3.3.1.4. Aspek Teknologi............................................... 3.3.1.4.1. Transfer Teknologi ...........................
62 62 63 64 66 66 66 67
61
69 70 70 71 72 72 72 72 72 73 73 73 73 73 74 74 74 74 74 75 75
3.3.1.4.2. Mutu bersaing................................... 3.3.1.4.3. Pengangguran ................................... 3.3.1.4.4. Tekanan terhadap produksi tradisional 3.3.2. Membuat struktur hierarki ............................................. 3.3.3. Membuat matriks perbandingan berpasangan ............... 3.3.4. Melakukan perbandingan berpasangan.......................... 3.3.5. Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensi 3.3.5.1. Matrik pendapat individu.................................. 3.3.5.2. Menghitung akar ciri......................................... 3.3.5.3. Menghitung vektor ciri ..................................... 3.3.5.4. Menghitung konsistensi .................................... 3.3.5.5. Menghitung matrik pendapat gabungan............ 3.3.5.6. Menghitung pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya............................................. 3.3.6. Kriteria kesesuaian lahan untuk industri ........................ 3.3.7. Kriteria kesesuaian perairan budidaya perikanan........... 3.3.8. Kriteria kesesuaian pelabuhan ....................................... 3.3.9. Kriteria kesesuaian pariwisata ....................................... 3.3.10. Penentuan bobot, skor dan kelas untuk masing-masing kategori .........................................................................
75 75 76 78 79 80 80 81 81 82
75
80
83 84 84 84 85 85
IV. KONDISI UMUM ........................................................................... 87 4.1 Kondisi perairan Teluk Kelabat ............................................... 87 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Kelabat Propinsi Kepulauan Bangka- Belitung......................................... 87 4.1.2. Produktivitas .................................................................. 89 4.1.3. Kondisi terumbu karang di Teluk Kelabat..................... 90 4.1.4. Ikan karang..................................................................... 91 4.1.5. Toksikologi .................................................................... 92 4.1.6. Fisika oseanografi dan kondisi hidrologi perairan......... 93 4.1.6.1. Suhu air laut ...................................................... 93 4.1.6.2. Salinitas............................................................. 93 4.1.6.3. Arus................................................................... 94 4.1.7. Geologi........................................................................... 95 4.1.8. Kimia anorganik............................................................. 95 4.1.9. Kimia nutrisi .................................................................. 97 4.1.9.1. Derajat keasaman (pH) ..................................... 97 4.1.9.2. Oksigen terlarut (O2) ....................................... 98 4.1.9.3. Zat hara (fosfat, nitrat, nitrit, amonia dan silikat) 100 4.1.10. Mikrobiologi................................................................. 102 4.1.11. Plankton........................................................................ 105 4.2. Kondisi pesisir Daratan Teluk Kelabat..................................... 105 4.2.1. Drainase dan daerah rawan bencana .............................. 105 4.2.2. Penggunaan lahan .......................................................... 106 4.2.3. Keadaan dan perkembangan ekonomi ........................... 107
4.3. Kondisi dan potensi sumberdaya pesisir dan lautan................. 4.3.1. Potensi dan pemanfaatannya.......................................... 4.3.1.1. Pertambangan ................................................... 4.3.1.2. Pariwisata ......................................................... 4.3.1.3. Kehutanan......................................................... 4.3.1.4. Perhubungan laut .............................................. 4.3.2. Keadaan industri maritim............................................... 4.3.2.1. Industri kapal dan sejenisnya............................ 4.3.2.2. Industri pengolahan hasil laut........................... 4.3.2.3. Industri pariwisata ............................................ 4.3.2.4. Industri pengolahan bahan galian tambang ...... V.
109 109 110 110 111 112 112 112 114 117 117
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 118 5.1. Kebijakan yang ada saat ini (Policy Existing) ......................... 118 5.2. Sintesis tahap I.......................................................................... 118 5.3. Analisis Hierarki Proses ........................................................... 119 5.3.1. Struktur hierarki penentuan penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus berdasarkan manfaat ...................................................... 119 5.3.1.1. Penentuan prioritas penggunaan lahan pada kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus .............................................. 131 5.3.1.2. Prioritas manfaat gabungan keseluruhan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat ................ 131 5.3.1.3. Prioritas manfaat kriteria terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat .................................... 133 5.3.1.4. Prioritas manfaat kegiatan terhadap penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat........................... 135 5.3.2. Struktur hierarki penentuan penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus Berdasarkan biaya/ kerugian.......................................... 137 5.3.3. Struktur hierarki penentuan penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus berdasarkan cost ratio .................................................... 149 5.3.3.1. Prioritas biaya/ kerugian aspek terhadap Pengelolaan kawasan teluk kelabat .................. 149 5.3.3.2. Prioritas biaya/ kerugian kriteria terhadap Pengelolaan kawasan teluk kelabat ................. 151 5.3.3.3. Prioritas biaya/ kerugian kegiatan terhadap pengelolaan kawasan teluk kelabat .................. 154 5.3.4. Prioritas aspek terhadap pengelolaan kawasan teluk Kelabat berdasarkan analisis manfaat dan biaya ........... 155 5.4. Analisis Spasial ........................................................................ 164 5.4.1. Analisis kesesuaian industri ........................................... 164 5.4.2. Analisis kesesuaian pariwisata ....................................... 167
5.4.3. Analisis kesesuaian pelabuhan ....................................... 170 5.4.4. Analisis kesesuaian perikanan........................................ 173 5.5. Jawaban pemecahan kebijakan (answer policy)....................... 176 5.5.1. Pengelolaan sumber daya............................................... 178 5.5.2. Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus rencana zoning .................................. 182 5.6. Sintesis Tahap II....................................................................... 183 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 6.1. Kesimpulan................................................................................. 6.2. Saran ........................................................................................... 6.3. Rekomendasi ..............................................................................
187 187 190 191
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
192
LAMPIRAN ..............................................................................................
206
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Areal kuasa penambangan timah di lokasi penelitian Teluk Kelabat .
9
2.
Kebutuhan informasi untuk pengelolaan pesisir.................................
47
3.
Data, jenis, dan sumber potensial Kabupaten Bangka........................
63
4.
Skala perbandingan secara berpasangan .............................................
76
5.
Kriteria kesesuaian lahan untuk industri.............................................
82
6.
Kriteria kesesuaian pelabuhan ............................................................
82
7.
Kriteria kesesuaian pariwisata ............................................................
83
8.
Kehadiran rumput laut di Teluk Kelabut, Bangka Belitung ...............
86
9.
Kondisi substrat dan biomassa rumput laut di Teluk Kelabat, Bangka Belitung............................................................................................... 86
10. Kepadatan ikan target ekonomis penting............................................
89
11. Distribusi suhu air laut ( o C ) di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung bulan Juni – Juli 2003 ......................................................... 91 12. Distribusi nilai salinitas (dalam psu) di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung Bulan Juni – Juli 2003.......................................... 91 13. Distribusi nilai kecepatan arus (cm/detik) di perairan, Bulan Juni – Juli 2003 .................................................................................. 92 14. Rata-rata kadar beberapa parameter kimia air laut di perairan teluk kelabat, bangka belitung, bulan Juni - Juli 2003................................. 94 15. Produk andalan Kabupaten Bangka Tahun 1997 s/d 2000 .................
103
16. Perkembangan pendapatan regional dan pendapatan perkapita kabupaten bangka tahun 1993 s/d 2000 atas dasar harga konstan tahun 1993..................................................................................................... 104 17. Jenis bahan, potensi dan pemanfaatan tambang galian golongan C ...
106
18. Tapak kawasan wisata Kabupaten Bangka .........................................
106
19. Angkutan barang dan orang Tahun 1998/1999...................................
107
20. Volume dan nilai produksi industri kapal baja ...................................
108
21. Jumlah industri, volume dan nilai produksi industri kapal kayu ........
108
22. Volume dan nilai produksi industri chatodic protection ....................
109
23. Jumlah, volume dan nilai produksi industri kerupuk/kemplang.........
109
24. Jumlah, volume dan nilai produksi industri ikan asin/cumi ...............
110
25. Jumlah, volume dan nilai produksi industri terasi ..............................
110
26. Jumlah, volume dan nilai produksi industri rusip...............................
110
27. Jumlah, volume dan nilai produksi industri abon ikan .......................
111
28. Jumlah, volume dan nilai produksi industri ikan asin/cumi ...............
111
29. Jumlah kunjungan wisatawan dari Tahun 1995 s/d 1999 ...................
112
30. Daftar nilai persepsi para stakeholder dari pembiayaan .....................
154
31. Daftar nilai persepsi para stakeholder dari aspek manfaat .................
155
32. B&C Ratio pendapat gabungan masyarakat .......................................
155
33. B&C Ratio pendapat gabungan pemerintah........................................
156
34. B&C Ratio pendapat gabungan swasta ...............................................
156
35. B&C Ratio pendapat gabungan keseluruhan .....................................
156
36. Luas dan Lokasi kesesuaian Lahan untuk Industri ............................
157
37. Luas dan Lokasi Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata .......................
160
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Lokasi penelitian.................................................................................
6
2
Estimasi tingkat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) tahun 20022007 Pulau Bangka ............................................................................. 9
3
Kerangka pikir penelitian....................................................................
11
4
Konsep integrated rural development (Manig, 1985) ........................
15
5
Diagram alir penelitian .......................................................................
62
6
Analisis hierarki kegiatan peruntukan ruang ......................................
64
7
Hierarki prioritas kegiatan manfaat pengelolaan kawasan .................
65
8
Perbandingan pertumbuhan chaetoceros gracelis yang dipaparkan pada sedimen dari perairan Teluk Kelabat Bangka Belitung Juni - Juli 2003 dari perairan di Laut Cina Selatan tahun 2002.......... 80
9
Matriks hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder .............................................. 120
10 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder .............................................. 121 11 Diagram hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder ............................... 121 12 Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder.
122
13 Matriks hierarki Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder .......................................................................................... 123 14 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah ............................................................ 123 15 Diagram hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah ........................................... 124 16 Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan pemerintah ..............
125
17 Matriks hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat swasta.................................................................................................. 125 18 Hierarki manfaat pengelolaan persepsi gabungan swasta...................
126
19 Diagram hierarki manfaat pengelolaan persepsi gabungan swasta.....
127
20 Model Hierarki manfaat pengelolaan persepsi gabungan swasta .......
128
21 Matriks manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat .......................................................................................... 128 22 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat .......................................................................................... 129 23 Diagram manfaat pengelolaan persepsi gabungan seluruh masyarakat 24 Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan seluruh masyarakat .
130 130
25 Diagram batang prioritas manfaat aspek terhadap pengelolaan kawasan industri perikanan terpadu.................................................................. 132 26 Diagram batang prioritas manfaat kriteria dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat...................................................................................... 134 27 Diagram batang prioritas manfaat kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat ....................................................................... 136 28 Matriks hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan seluruh stakeholder............................................................. 137 29 Hierarki biaya pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder ..
138
30 Diagram biaya pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder .
138
31 Model biaya pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder .....
139
32 Matriks hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat pemerintah........................................................................................... 140 33 Bagan hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat pemerintah........................................................................................... 140 34 Diagram hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat pemerintah........................................................................................... 141 35 Model biaya pengelolaan persepsi gabungan seluruh pemerintah......
142
36 Matrik hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat swasta.................................................................................................. 143 37 Bagan hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat swasta.................................................................................................. 144 38 Diagram hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat swasta.................................................................................................. 144 39 Model biaya pengelolaan persepsi gabungan swasta..........................
145
40 Matriks hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat .......................................................................................... 146
41 Bagan hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat .......................................................................................... 147 42 Diagram hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat .......................................................................................... 147 43 Model biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat
148
44 Diagram batang prioritas biaya/kerugian aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat ....................................................................... 149 45 Diagram batang prioritas biaya/kerugian kriteria terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat ....................................................................... 151 46 Diagram batang prioritas biaya/kerugian kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat ....................................................................... 155 47 Diagram batang prioritas aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat berdasarkan analisis manfaat dan biaya ................................ 156 48 Diagram batang prioritas kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat berdasarkan analisis manfaat dan biaya ................................ 160 49 Peta kesesuaian lahan kawasan industri..............................................
165
50 Peta kesesuaian lahan kawasan industri + KP Timah.........................
166
51 Peta kesesuaian kawasan pariwisata pesisir Teluk Kelabat ................
168
52 Peta kesesuaian perairan untuk pelabuhan Teluk Kelabat ..................
171
53 Peta kesesuaian perairan untuk pelabuhan +KP Timah Teluk Kelabat ................................................................................................ 172 54 Peta kesesuaian perairan untuk perikanan ..........................................
174
55 Peta kesesuaian perairan untuk perikanan + KP Timah Teluk Kelabat ................................................................................................ 175 56 Peta pola pemanfaatan ruang menurut hierarki menurut seluruh stakeholder .......................................................................................... 177 57 Kehadiran kapal keruk eksploitasi timah di laut yang menyebabkan terganggunya mata pencaharian rakyat............................................... 178 58 Kehadiran tambang inkonvensional oleh rakyat eksploitasi timah di darat yang mengakibatkan pencemaran .............................................. 179 59 Kehadiran tambang inkonvensional oleh rakyat eksploitasi timah di darat yang mengakibatkan pencemaran tambak budidaya ikan
180
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Penggunaan lahan pesisir Teluk Kelabat Tahun 1992 ......................
207
2
Penggunaan lahan pesisir Teluk Kelabat Tahun 2001 ......................
208
3
Arus pasang surut di Teluk Kelabat Bulan Januari - April ...............
209
4
Pola pasang surut di Teluk Kelabat Bulan Juli Tahun 2000 .............
210
5
Pola pasang surut di Teluk Kelabat Bulan Januari Tahun 2000........
211
6
Wind roses Teluk Kelabat Tahun 2000 .............................................
212
7
Plot stasiun pengambilan sample suhu ..............................................
213
8
Peta distribusi suhu lapisan permukaan perairan Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.................................................................................. 214
9
Peta distribusi suhu lapisan kedalaman 5 meter Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.................................................................................. 215
10
Peta distribusi salinitas permukaan perairan Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.................................................................................. 216
11
Peta distribusi salinitas kedalaman perairan Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.................................................................................. 217
12
Peta distribusi arus lapisan permukaan perairan Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.................................................................................. 218
13
Peta distribusi kandungan timbal permukaan perairan Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.......................................................... 219
14
Peta distribusi kandungan timbal dalam sedimen Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.................................................................................. 220
15
Peta distribusi keasaman (pH) lapisan permukaan Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.......................................................... 221
16
Peta distribusi keasaman (pH) kedalama 5 Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003 ............................................................................................ 222
17
Peta distribusi kandungan total pestisida (dalam air) Teluk Kelabat bulan Juni – Juli 2003................................................ 223
18
Peta distribusi kandungan total pestisida (dalam sedimen) Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli 2003.......................................................... 224
19
Distribusi zooplankton Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli2003...........
225
20
Distribusi klorofil di Teluk Kelabat Bulan Juni – Juli2003..............
226
21
Peta sebaran alat tangkap di Kabupaten Bangka...............................
227
22
Peta batimetri Teluk Kelabat.............................................................
228
23
Peta desa pesisir di Teluk Kelabat.....................................................
229
24
Peta hidrogeologi...............................................................................
230
25
Peta satuan lahan dan tanah...............................................................
231
26
Peta kawasan lindung ........................................................................
232
27
Kelerengan dataran dan kedalaman perairan pesisir .........................
233
28
Sebaran mangrove .............................................................................
234
29
Kawasan pengelolaan alternatif.........................................................
235
30
Peta citra satelit Pulau Bangka ..........................................................
236
31
Peta mutu ekosistem terumbu karang................................................
237
32
Peta produksi perikanan tangkap.......................................................
238
33
Peta pola arus berdasarkan perubahan musim...................................
239
34
Foto pengukuran kecepatan arus .......................................................
240
35
Foto alat pengambil lumpur (grab) ...................................................
240
36
Foto pengambilan air dengan botol Nansen ......................................
241
37
Foto jaring larva ................................................................................
241
38
Foto analisa sample air di laboratorium Kapal Riset Baruna Jaya VII ............................................................................................. 242
39
Menurunkan perahu karet untuk sampling perairan dangkal dari Kapal Riset Baruna Jaya VII ............................................................. 242
40
Tim Peneliti dengan perahu karet menuju lokasi penelitian .............
243
41
Foto bagan di Teluk Kelabat .............................................................
243
42
Foto nelayan penangkap kepiting bakau ...........................................
244
43
Foto ikan belanak (Mugil sp.) dari Teluk Kelabat.............................
244
44
Foto pantai pesisir putih aset pariwisata Teluk Kelabat....................
245
45
Foto pantai pesisir putih sesuai pariwisata Teluk Kelabat ................
245
46
Tuguk di estuaria DAS Antan, Teluk Kelabat...................................
246
47
Foto mangrove di DAS Layang, Teluk Kelabat................................
246
48
Foto kawasan perairan untuk budidaya karamba jaring apung di luar Teluk Kelabat .................................................................................... 246
49
Foto tambang timah tradisional di Sungai Antan, di Teluk Kelabat .
247
50
Foto tambang timah tradisional di Sungai Antan, Teluk Kelabat .....
247
51
Pengambilan sample plankton di Teluk Kelabat ...............................
248
52
Foto pengisian kuisioner dengan pengusaha perikanan /swasta .......
249
53
Foto penelitian terumbu karang di Teluk Kelabat.............................
249
54
Tabel pengukuran CTD di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung Juni – Juli 2003...................................................... 250
55
Tabel pengukuran arus di Perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung Bulan Juni – Juli 2003 ........................................... 250
56
Tabel pengukuran suhu dan salinitas di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung Bulan Juni – Juli 2003 ........................................... 251
57
Tabel hasil analisa kimia anorganik dari sedimen perairan sekitar Teluk Kelabat Pulau Bangka Bulan Juni – Juli ................................. 252
58
Tabel hasil analisa kimia anorganik dari air laut perairan sekitar Teluk Kelabat, Pulau Bangka Bulan Juni – Juli .......................................... 253
59
Tabel kadar beberapa parameter kimia dalam contoh air laut perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung, Bulan Juni – Juli 2003 ................. 254
60
Tabel hasil perhitungan fitoplankton sekitar Teluk Kelabat, Pulau Bangka Bulan Juni – Juli 2003.......................................................... 256
61
Tabel hasil perhitungan diperairan zooplankton sekitar Teluk Kelabat, Pulau Bangka Bulan Juni – Juli 2003................................................ 258
62
Kelimpahan fitoplankton, diatomae, dan dinoflagellata, sekitar margamarga fitoplankton yang mendominasi populasi fitoplankton di perairan Teluk Kelabat, Pulau Bangka Bulan Juni – Juli 2003......... 260
63
Luas dan persentase penutupan lahan pada kawasan imbuh di 13 DAS P. Bangka Tahun 2002 ...................................................................... 261
64
Hasil Pengukuran dan pengamatan parameter hidrologi di DAS Layang ............................................................................................... 262
65
Skema penampang melintang DAS Layang Teluk Kelabat ..............
264
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pengalaman paradigma pembangunan bangsa Indonesia selama kurun waktu pembangunan jangka panjang I yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek penting lainnya (seperti keunikan kondisi, potensi sumberdaya yang berbeda dan daya dukung lingkungan) telah menunjukkan hasil berupa kegagalan. Wujud dari kegagalan tersebut diantaranya berupa terhentinya pertumbuhan ekonomi dan kecenderungan degradasi lingkungan yang melampaui daya dukungnya. Sejak 1993, paradigma pembangunan Indonesia sudah berubah menjadi pembangunan berkelanjutan. Fokus dan pendekatan pembangunan pun bersifat spasial (horisontal). Dengan didasarkan pada overlay berbagai peta potensi sumber daya alam (perikanan tangkap, minyak dan gas bumi dan geologi laut), perairan laut Indonesia dibagi dalam sembilan wilayah pengelolaan yang disebut Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Laut (KAPPEL). Kesembilan kawasan tersebut adalah: (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3)Laut Jawa, (4) Selat Makassar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia (Azis 1998) Teluk Kelabat adalah daerah estuaria yang terletak di utara Pulau Bangka dengan luas perairan 32 939,26 Ha yang terdiri dari perairan teluk bagian dalam dengan luas 16 607,27 Ha ,dan perairan teluk bagian luar seluas 16 331,99 Ha, mempunyai dua muara sungai yaitu muara sungai Layang dan muara sungai Antan. Di daerah Teluk Kelabat dengan kekayaan sumber daya pesisir mulai terdegradasi sudah sejak lama. Hingga kini tetap berlangsung kegiatan penambangan timah di pesisir, baik didaratan maupun di laut oleh pihak swasta maupun penambangan timah di lepas pantai yang dilakukan BUMN PT. Timah Tbk. Aktifitas kegiatan ekonomi ini berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem sebagai tempat hidup ( habitat ) biodiversity sumber daya pesisir dan laut di Teluk Kelabat.
Aktifitas ekonomi antar stakeholder yang menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah seperti penambangan pasir, penambangan timah inkonvensional rakyat dilepas pantai, penambangan timah lepas pantai oleh kapal keruk milik PT. Timah di sekitar Pulau Bangka terutama di Teluk Kelabat merupakan salah satu sebab proses sedimentasi yang menyebabkan kekeruhan perairan dan berdampak pada kerusakan ekositem laut maupun ekosistem pesisir Teluk Kelabat, kasus sedimentasi terutama disebabkan oleh aktifitas ekonomi seperti penambangan pasir yang akan di ekspor ke Singapura, pengerukan kaolin bahan baku keramik. Pengaruh kondisi lingkungan yang buruk termasuk proses sedimentasi dan kekeruhan berakibat kurang baik terhadap ekosistem perkembangan dan pertumbuhan fauna ekhinodermata.Menurut Bengen (2001) ekosistem adalah hubungan timbal balik antara faktor-faktor biotik dengan abiotik atau organisme dengan lingkungannya, baik faktor fisik, kimia, dan biologi yang dalam tingkat penyusunannya di bagi menjadi 4 komponen yaitu : 1. Bahan-bahan tak hidup (non - hayati) yang dapat menjadi medium atau substrat untuk berlangsungnya kehidupan. 2. Produsen yaitu organisma yang mampu memanfaatkan bahan-bahan organik (tumbuhan berklorofil). 3. Konsumen yaitu organisma heterotrofik seperti hewan dan manusia yang memakan organisma lain. 4. Pengurai/perombak/dekomposer yaitu organisme heterotropik yang menguraikan bahan organik dari organisme mati. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Menurut Azis (1987) dalam Budiharsono (2001) perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi dan ilmu pembangunan wilayah adalah pada masalah ruang. Dalam teori ekonomi, tingkat harga dan produksi optimum ditentukan oleh beberapa faktor seperti struktur biaya, penerimaan (revenue) dan bentuk pasar yang berlaku. Adapun keuntungan maksimum yang dihasilkan melalui tingkat produksi tersebut merupakan pencerminan selisih antara penerimaan dan biaya rata-rata. Teori ekonomi juga menunjukkan bagaimana tingkat produksi optimum disesuaikan dengan tingkat dana yang tersedia dapat ditentukan melalui penggunaan kombinasi input atau teknologi tertentu, yang menghasilkan kondisi dimana rasio harga antara dua input mencapai nilai sama dengan rasio produk marginalnya. Selanjutnya unsur waktu juga dapat diperhitungkan melalui statik komparatif dan dinamik. Dalam hal ini teori ekonomi telah berhasil menjelaskan pertanyaan “apa”, “berapa”, “bagaimana”, “untuk siapa”, dan “bilamana” dalam konteks produksi. Namun belum menjelaskan “dimana” aktivitas produksi tersebut dilaksanakan, dengan perkataan lain bahwa analisis ilmu ekonomi berada pada alam tanpa ruang (spaceless world). Ruang merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak; (2) lokasi ; (3) bentuk; dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut diatas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Masalah lingkungan hidup yang dihadapi semakin berkembang dan kompleks. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan meningkatnya permintaan akan ruang wilayah serta sumber daya alam dan lahan, yang pada gilirannya bila tidak dikendalikan secara bijaksana dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Di samping itu, tuntutan masyarakat akan mutu lingkungan hidup yang lebih baik juga semakin meningkat dengan makin membaiknya tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Hal-hal ketersediaan ruang dan sumber daya alam di atas merupakan tantangan yang harus
dihadapi dalam upaya pembangunan kawasan industri berbasisi berbasis sumber daya pesisir dan lautan sekaligus pengelolaan lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal tersebut pemetaan dan pengelolaan data pesisir dan lautan merupakan momentum penting untuk membuka pesisir seluas-luasnya tidak hanya bagi kepentingan penelitian namun juga bagi pengembangan pemanfaatannya. Selain itu peningkatan kemampuan dan peran serta sumber daya manusia pesisir dan lautan yang mengalami stagnasi dalam beberapa waktu terakhir ini perlu didorong. Tanpa keterlibatan masyarakat secara luas tidak akan tumbuh budaya bahari yang seyogyanya harus berkembang dari meningkatnya kapasitas pendidikan dan pelatihan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut. Atribut-atribut pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Oleh karena itu akan dilakukan evaluasi pembangunan. Metode analisis ini merupakan suatu pendekatan analisis kebijakan prioritas dalam perencanaan penataan ruang yang tepat dengan menyusun suatu persoalan sebagai suatu hierarki, dimana pihak-pihak yang berkepentingan itu di tingkat yang paling tinggi karena kekuatan mereka untuk mempengaruhi hasil akhir merupakan faktor dominan. Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif. Peralatan utama analytical hierarchy process (AHP) adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia, serta hierarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok yang berjenjang membentuk hierarki (Saaty, 1993). Setelah menyusun komponen-komponen ini kedalam hierarki, maka diberikan nilai dalam angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian subyektif terhadap relatif pentingnya setiap bagian itu. Penilaian tersebut kemudian disentesiskan (melalui penggunaan eigen vector) guna menentukan variabel yang mempunyai prioritas tertinggi (Aziz, 1994). Pendekatan metode AHP yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang yang terjadi, dengan cara memilih/menentukan prioritas kegiatan/penggunaan lahan yang optimal, menggunakan bantuan perangkat lunak “ Expert Choice” (Permadi, 1992). Ditambahkan oleh Tomboelu (2000) bahwa pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya dapat memberikan skenario
optimal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (yang tidak terukur) ke dalam ukuran yang biasa, sehingga dapat dibandingkan.
1.2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian adalah membuat keserasian dan keseimbangan kawasan perencanaan Teluk Kelabat guna menciptakan lingkungan yang sehat, teratur, aman dan efisien. Selain itu dapat memberikan fasilitas dan pelayanan yang memadai, tepat dan memenuhi persyaratan. Selanjutnya menciptakan keharmonisan spasial untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. 1.3. Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk: (i) mengidentifikasi kesesuaian lahan , (ii) mengetahui persepsi pemerintah, swasta dan masyarakat berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan lahan pada kawasan Teluk Kelabat Belinyu, dan (iii) mendelinasikan zona-zona yang sesuai bagi peruntukan industri, pariwisata, pelabuhan, dan perikanan dalam kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka dalam pertimbangan pengambilan keputusan untuk penentuan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan.
1.5. Lokasi, batas wilayah studi penelitian dan waktu penelitian Lokasi studi penelitian di Teluk Kelabat pesisir utara pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan batasan studi meliputi areal seluas 165.809,14 Ha yang terdiri dari daratan pesisir teluk dengan dua daerah aliran sungai (DAS) Antan di Kecamatan Jebus seluas 69.026,09 Ha dan DAS Layang di Kecamatan Belinyu seluas 63.843,79 Ha, serta perairan teluk dengan luas 32.939,26 Ha yang terdiri dari teluk bagian luar seluas 16.331,99 Ha dan teluk bagian dalam seluas 16.607,27 Ha. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan selama 18 bulan yang dimulai dari bulan Juni 2002 sampai Desember 2003.
1.6. Perumusan masalah
Pembangunan wilayah pesisir dan lebih khususnya di Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus, umumnya masih belum mencapai kondisi ideal pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya pencemaran, kerusakan habitat perairan, dan penurunan sumberdaya alam.Berdasarkan Dahuri (2002), terdapat 10 propinsi yang tingkat pencemarannya tinggi, 10 propinsi dengan tingkat pencemaran sedang, dan 5 propinsi dengan pencemaran rendah. Kondisi terumbu karang yang baik hanya tinggal 29,92% (Dahuri, 2000). Secara rata-rata persentase kondisi terumbu karang yang rusak (persen penutupan karang hidup kurang dari 25%) di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur berturut-turut adalah 49%, 37%, dan 29% terlebih lagi di kawasan Teluk Kelabat Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dimana Aktifitas penambangan timah baik dilakukan di pesisir/ tambang darat maupun lepas pantai (off-shore) dengan menggunakan kapal keruk telah dimulai sejak tahun 1970-an, hal ini dapat dilihat pada tabel 1. Sejak beroperasinya kapal keruk penambangan timah di lepas pantai Teluk Kelabat, maka di mulai pula degradasi lingkungan pesisir di kawasan tersebut berlangsung. Sejak 3 tahun terakhir ini maraknya kegiatan penambangan lepas pantai yang dikenal dengan tambang inkonvensional
yang
dilakukan
oleh
masyarakat
akan
menambah persoalan baru dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hal ini dapat dilihat perkembangan penggunaan lahan selama 9 tahun, yaitu peta
perubahan
penggunaan lahan 1992 dan peta penggunaan lahan pada tahun 2001 pada lampiran. Sedangkan gambar 2 memperlihatkan
tingkat degradasi pada saat ini dan perkiraan tingkat kerusakan 5 tahun dari tahun 2002-2007.
1.7. Kerangka Pikir Penelitian Perencanaan lokasi dan prioritas pemanfaatan ruang kawasan pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus dalam upaya penetapan lokasi yang sesuai dengan daya dukung lahan dan mengoptimalkan penggunaan lahan, dalam penelitian ini.Pada tahap awal dilakukan dengan mencermati kebijakan saat ini (Existing policy analysis) oleh pemerintah setempat, baik terhadap sumberdaya (resources), ekologi(ecology) maupun terhadap kepentingan masyarakat (Social cost) hal ini mengacu kepada Peraturan Daerah No.11 Tahun 2002 tentang Kawasan Industri Terpadu di Teluk Kelabat.Pada tahap ke dua dilakukan sintesis. Sintesis ini mengacu kepada kepentingan stakeholder PT.Timah Tbk.yang diizinkan oleh pemerintah pusat melalui Direktur Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi. Selanjutnya pada 2 tahapan analisis yaitu analisis spasial dan AHP. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi kesesuaian lahan, sehingga diperoleh kesesuaian lahan untuk kegiatan industri, perikanan, pariwisata dan pelabuhan. Sedangkan penentuan prioritas alternatif lokasi kawasan dan prioritas kegiatan penggunaan lahan/ruang dilakukan dengan pendekatan Analisis Hierarki Proses (AHP). Hasil analisis tersebut menghasilkan merupakan apakah bisa menjawab (Answer policy) atau tidak terhadap permasalahan. Jawaban kebijakan tersebut akan berkaitan kepada penataan pengelolaan. Tahapan selanjutnya masuk kepada sintesa tahap 2. Hasil kedua sintesa tersebut dapat memberikan rumusan berupa rekomendasi kebijakan perencanaan pemanfaatan ruang kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus. Selanjutnya, kerangka pikir penelitian secara ringkas dapat dilihat pada gambar 3.
- Perda Kabupaten Bangka No. 11 Tahun 2002 Tentang Kawasan Industri Perikanan Terpadu Teluk Kelabat. - Peraturan DIRJEN Pertambangan Umum(Tabel 1) Keadaan kebijakan saat ini (Existing policy)
z
Penataan pengelolaan
Sumberdaya (Resources)
Ekologi (Ecology)
Biaya sosial (Social cost)
Sintesis tahap 1
Analisis keruangan (Spatial analysis)
Proses analisis berjenjang (AHP)
Kesesuaian lahan
Prioritas kegiatan
Solusi kebijakan (Answer policy)
Tidak Sintesis tahap 2
Rekomendasi kebijakan Gambar 3 Kerangka pikir penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA Rencana tata ruang berbentuk alokasi peruntukan ruang disuatu wilayah perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat tercapai pada akhir periode perencanaan. Tata ruang dapat pula berbentuk prosedur belaka yang harus dipatuhi oleh para pelaku pengguna ruang di wilayah rencana. Namun dapat pula merupakan gabungan keduanya (DKP 2000).Fu (1995) mengatakan bahwa pemerintah Taiwan telah membuat skema pembagian tugas dan tanggung jawab di dalam pengelolaan wilayah
pesisir,
selanjutnya
Huh
dan
Lee
(1995)
mendefinisikan batas wilayah pesisir secara hukum di Republik Korea dibatasi oleh batas administrasi kabupaten atau kota pantai berdasarkan pengkompilasian tingkat wilayah administratif. Brown (1997) di dalam menelaah pengelolaan wilayah pesisir di negara-negara Asia Selatan mengatakan bahwa batas pengelolaan wilayah pesisir sebaiknya berdasarkan isu atau masalah yang dihadapi dan bukan pada batasan wilayah yang kaku, namun menurutnya jika diterapkan akan menimbulkan ketidak terpaduan pengelolaan. Bagaimanapun isu kewenangan antara pusat dan daerah secara jelas harus diatur. Pemanfaatan ruang diartikan sebagai rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Menurut UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pasal 15, pemanfaatan ruang dilakukan melalui
pelaksanaan
program
pemanfaatan
ruang
beserta
pembiayaannya, yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pada
dasarnya
terselenggaranya
penataan
penataan
ruang
ruang
bertujuan
yang
untuk
berwawasan
lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya, dan tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas (DKP,c 2000). Disamping itu penataan ruang juga berarti pengaturan pemanfaatan berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, estetika lingkungan. 2.1. Teori pembangunan 2.1.1. Pengembangan wilayah Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan pedesaan di Indonesia, diperlukan pendekatan yang berbeda-beda mengingat wilayahnya yang luas dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang beragam. Salah satu pendekatan pembangunan dikenal dengan nama pendekatan wilayah yang berbeda dengan pendekatan yang sering dipakai oleh ekonom yaitu pendekatan pusat-pusat pertumbuhan dan pendekatan sektoral. Pendekatan yang disebut pusatpusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota-kota atau tempattempat strategis yang diharapkan akan menarik daerah-daerah pinggiran di sekitarnya, sedangkan pembangunan sektoral adalah pembangunan melalui pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu misalnya sektor perikanan, industri, pariwisata dan transportasi prasarana pelabuhan, maka pendekatan wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada para stakeholder dan masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang terisolasi. Pada wilayah yang terisolasi ini, dilakukan pencarian dan pengenalan kelompok-kelompok sasaran penduduk termiskin. Dengan cara demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi dan
sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah dapat terwujud (Mubyarto 2000). 2.1.2. Pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat Pergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan ekonomi menjadi pemerataan dan keadilan sebenarnya masih tetap dalam kerangka paradigma trilogi pembangunan yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, dengan urutan penekanan yang berbeda. Persaingan sengit yang terjadi antara orientasi petumbuhan dan pemerataan di lapangan mewujud dalam bentuk prioritas antara pembangunan sektor industri dan perikanan, dan atau sektor ekonomi modern di perkotaan dengan sektor ekonomi rakyat tradisional di pedesaan. Ini berarti bahwa penonjolan program pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan sesungguhnya merupakan upaya pemberian prioritas pada pembangunan pedesaan yang jauh tertinggal dari pembangunan sektor industri yang memiliki marjin leuntungan jangka pendek yang lebih tinggi, terutama ketersediaan prasarana yang jauh lebih mudah dan murah bagi sektor industri di perkotaan (Mubyarto 2000) Pembangunan pedesaan yang memberdyakan masyarakat juga menjamin pembangunan yang berkelanjutan (suistainable) karena keberdayaan masyarakat pada gilirannya akan meningkatkan kemandirian yaitu rasa percaya diri yang besar tanpa perlu menggantungkan diri pada pihak-pihak luar, baik dengan pasokan sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil-hasil produksinya (Mubyarto 2000)
2.1.3. Pembangunan dan perubahan sikap masyarakat Sikap-sikap hidup dalam masyarakat bukan sesuatu yang bersifat statis namun selalu ada kemungkinan untuk mengalami perubahan yang disebabkan oleh: (a) Pengaruh lingkungan dari dalam masyarakat itu sendiri baik yang berupa keinginan individu maupun keinginan kelompok dalam masyarakat, (b) Keinginan yang berasal dari dalam tersebut dapat muncul karena pengaruhpengaruh dari luar lingkaran nilai-nilai tradisional seperti program pembangunan,
(c) Faktor lain juga ikut berpengaruh adalah masuknya nilai-nilai budaya baru yang datang dari luar daerah dan dibawa oleh masyarakat pendatang atau perantau yang membawa cara hidup dan kebiasaannya, sehingga hal ini secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi sikap hidup masyarakat setempat, (d) Informasi-informasi dan gagasan-gagasan baru yang masuk melalui media-media informasi seperti televisi, radio, surat kabar, dan lain-lain 2.1.4. Pembangunan pedesaan yang terpadu (Integrated rural development). Salah satu konsep yang digunakan dalam pembangunan pedesaan adalah pembangunan pedesaan yang terpadu. Konsep ini, tentunya bukan satu- satunya solusi dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang muncul di dalam pembangunan pedesaan. IRD merupakakn konsep yang memasukkan berbagai aspek, yakni : ekonomi, sosial-psikologi, politik dan lingkungan. Aspek-aspek tersebut harus mencerminkan adanya keterkaitan dan tidak saling tumpang tindih. Untuk lebih jelasnya, konsep IRD dapat dilihat pada gambar 4. ASPEK SOSIAL Sistem sosial dan mobilitas Masyarakat 1. Tingkat sosial 2. Ideologi 3. Tingkat pendidikan
Seluruh masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan Kekuasaan
ASPEK POLITIK Proses Pengambilan Keputusan 1. Kelembagaan 2. Organisasi 3. Partisipasi
Transformasi
ASPEK EKONOMI Sistem produksi dan keuangan 1. Pemilik tanah 2. Sistem kredit 3. UU tenaga kerja 4. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian
Pembangunan
Perilaku ASPEK LINGKUNGAN Sistem transformasi 1. Peran pasar 2. Kebijakan transfer 3. Mekanisme distribusi yang kain
Gambar 4 Konsep Integrated Rural Development (Manig, 1985)
Dari gambar di atas, aspek ekonomi dapat digambarkan pada sistem produksi yang ada di masyarakat, misalnya : bagaimana sebenarnya pemilik tanah, sistem kredit, perundang-undangan ketenagakerjaan serta kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Adanya perkembangan dari berbagai elemen subsistem tersebut, diharapkan dapat mempengaruhi arah pembangunan pedesaan. Dari beberapa elemen yang disebutkan diatas, terlihat bahwa kondisi pedesaan kita masih lemah, misalnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian (off farm employment) masih belum di kembangkan, padahal kesempatan untuk itu sangat besar. Begitu juga kepemilikan tanah dan juga beberapa komponen lainnya. Aspek sosial dapat menggambarkan kondisi sosial masyarakat dari segi ideologi, pendidikan serta etnis. Selama ini kondisi sosial masyarakat yang ada tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan pedesaan. Hal ini seringkali memunculkan dampak-dampak negatif yang mengejutkan yang sebelumnya tidak diperkirakan. Alasannya adalah karena ada anggapan bahwa pembangunan pedesaan lebih banyak di pengaruhi aspek ekonomi ketimbang aspek sosial. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa kasus-kasus yang muncul saat ini (Maluku, Ambon, Poso, Sampit, dsb) dikarenakan asumsi-asumsi yang tidak tepat pada perencanaan pembangunan di masa lampau dalam arti penafikan peran aspek sosial di dalam pembangunan masyrakat. Aspek politik membahas proses pembelajaran politik bagi masyarakat luas (pedesaan) dalam satu sisi terutama untuk menjalankan fungsi kontrol, sedangkan sisi lainnya membahas peran pemerintah dan negara dalam penyelenggaraan negara. Peran ganda yakni ke dalam dan keluar dari pemerintah yang cukup besar yang ditangani sendiri akan mengarah pada pemerintah yang terlalu otoriter. Dalam kaitan ini diperlukan pembagian kekuasaan kepada masyarakat terutama pada taraf proses
pembuatan kebijakan. Untuk itu diperlukan data organisasi, kelembagaan serta administrasi pembangunan yang ada di pedesaan. Kata kuncinya adalah partisipasi masyarakat dalam penentuan dan pengambilan keputusan. Pernyataan pertama adalah apakah suatu organisasi yang ada sekarang ini memang diinginkan masyarakat atau tidak. Hal ini harus dijawab terlebih dahulu. Selanjutnya, sudah saatnya mencari dan menggali nilai lokal yang sudah mengakar (indigenous value) dan dikembangkan dengan sistem administrasi yang lebih relevan. Harapannya adalah bahwa sistem yang dikembangkan tersebut dapat langsung di akses oleh masyarakat banyak. Aspek lingkungan dalam hal ini menyangkut kebijakan publik terutama yang tidak mampu ditangani oleh prinsip dasar, yakni eksternalita. Dalam hal ini terutama ditekankan pada aspek transfer dan pajak. Perlu pencarian formula terbaik agar kebijakan yang muncul/dibuat tidak menimbulkan matinya suatu kegiatan ekonomi (dis economic). Untuk itu, beberapa aspek tranfer/subsidi dan pajak memerlukan beberapa persyaratan sebagaimana disebutkan di atas (transparansi,akuntabilitas, konsistensi, dsb). Dengan adanya aspek ini, diharapkan pembangunan yang dicapai secara susah payah tersebut dapat dirawat dan bertahan lama (berkesinambungan) 2.2. Pembangunan wilayah pesisir 2.2.1. Definisi dan batasan wilayah pesisir Wilayah pesisir adalah suatu wiilayah peralihan antara daratan dan lautan. Batas ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat air laut seperti pasang surut dan perembesan air laut, sementara ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-prosees alam yang ada di darat seperti sedimentasi dan pencemaran (Beatley 1994; Soegiarto 1976). Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif lebih mudah. Batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan perkataan lain batas suatu wilayah pesisir
berbeda dari suatu negara ke negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungann, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri atau khas (Dahuri et al. 1996). 2.2.2. Karakteristik wilayah pesisir Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan, kearah darat meliputi bagian daratan, baik yang kering maupun terendam air dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Mochtar 1998). Dengan demikian, wilayah pesisir berada di kawasan sepanjang pantai, baik di darat maupun laut. Berdasarkan komunitas hayati, ekosistem pesisir , mencakup ekosistem litoral yang terdiri atas pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang/terumbu karang, pantai lumpur (Edyanto 1998). Selain itu, menurut Clark (1996) ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir ini antara lain : hutan mangrove / bakau / payau yang terdiri atas vegetasi terawa payau (salt marsh), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass bed ), hutan rawa air tawar ( rapak), hutan rawa gambut pantai berpasir (sandy
beach), pantai
berbatu (rocky beach), estuaria dan lagun, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut, pemukiman, kawasan pariwisata dan kawasan industri. Wilayah pesisir memiliki karakteristik dan keunikan serta beragam sumberdaya yang khas. Kekhasan ini mengisyaratkan
pentingnya pengelolaan wilayah tersebut dikelola dengan pendekatan terpadu bukan pendekatan sektoral. Karakteristik wilayah pesisir yang dimaksud menurut Bengen (2001) adalah : Pertama,
Adanya
keterkaitan
ekologis
(hubungan
fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antar kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan di lahan atas (industri, pertanian, pemukiman, konservasi, pelabuhan dan industri dan lain-lain) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan ligkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut. Fenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan faktor penyebab utama bagi kegagalan panen tambak udang yang akhir-akhir ini menimpa kawasan Pantai Teluk Kelabat. Karena untuk kehidupan dan pertumbuhan udang secara optimal diperlukan kualitas perairan yang baik, tidak tercemar seperti banyak terjadi di daerah Pantai Utara Jawa. Kedua, dalam suatu kawasan pesisir terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Ketiga, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal, sangat sukar
atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan. Keempat, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunan tambak udang di Pantai Utara Pulau Jawa, yang sejak tahun 1982 menkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan lindung) menjadi tambak udang. Sehingga, pada saat akhir 1980-an sampai sekarang terjadi peledakan wabah virus, sebagian besar tambak udang di kawasan ini terserang penyakit yang merugikan ini. Kelima, kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini. 2.2.3. Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil sering melibatkan pengelolaan yang kompleks karena keterbatasan sumberdaya alam dan manusia (tenaga kerja). Kedua keterbatasan tersebut, ditambah kondisi keterbatasan biofisik pulau-pulau kecil, menyebabkan pengelolaan multiple use harus dilakukan secara efisien dan ekonomis (Fauzi dan Anna 2005). Pada prinsipnya pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi yang optimal dari sumberdaya yang ada dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya tersebut. Oleh
karena itu pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mempunyai dua tujuan, yaitu 1) memanfaatkan potensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka
meningkatkan
kontribusinya
terhadap
pembangunan
ekonomi
dan
kesejahteraan masyarakat, dan 2) menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mencakup seluruh aspek pembangunan, yaitu aspek-ekologis, aspek sosial-ekonomi-budaya, aspek politik, serta aspek hukum dan kelembagaan (Ditjen Bangda-PKSPL IPB 1998). Berdasarkan
sudut
pandang
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development), pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada beberapa kawasan pesisir yang tela dimanfaatkan (dikembangkan) dengan insentif. Hal ini kemudian muncul indikasi telah terlampauinya daya dukung atau potensi lestari dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama kawasan pesisir dengan penduduk yang padat dan tingkat pembangunan yang tinggi, seperti Selat Malaka, Pantai Utara jawa, Bali dan Sulawesi selatan. Ketimpangan pembangunan seperti ini selain karena kondisi agroekologis Pulau Jawa dan Bali yang lebih subur dan nyaman untuk kegiatan usaha pertanian dan pemukiman, juga terutama karena kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang sangat terkonsentrasi di kedua pulau tersebut selama kurun waktu 25 tahun pertama.(PJP I). Pembangunan saran dan prasarana ekonomi serta investasi usaha jauh lebih pesat di kedua pulau ini dibandingkan dengan daerah di luar Jawa dan Bali khususnya KTI. Orientasi pembangunan semacam ini telah mengakibatkan KTI menjadi tidak menarik bagi kalangan investor, baik nasional maupun asing dan kegiatan pembangunanpun menjadi sangat rendah. Sementara itu, pengaruh pemusatan polarization effect di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan Bali, terutama di sekitar Jakarta dan Surabaya serta kota-kota besar lainnya, menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan mengancam kelestarian ekosistem pesisir. Hal yang lebih
ironis lagi adalah suatu kenyataan bahwa selain telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, pembangunan sumberdaya kelautan masih belum dapat mengangkat sebagian besar penduduk yang mendiami kawasan pesisir dari kemiskinan, baik di KTI maupun di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Padahal kenyataan membuktikan bahwa kemiskinan seringkali memaksa manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan dengan cara-cara yang dapat merusak kelestariannya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu pemenuhan pangan. Penambangan batu karang, penggunaan bahan peledak atau racun untuk menangkap ikan karang, pembabatan mangrove selain dilakukan oleh kelompok manusia serakah, juga seringkali oleh penduduk yang karena kemiskinan absolute atau tidak mengerti tentang bahaya kerusakan lingkungan, terpaksa melakukannya. Dengan demikian kerusakan lingkungan bukan saja disebabkan oleh industrialisasi dan laju pembangunan yang pesat, tetapi juga oleh kemiskinan. Jika ditinjau dari sumber kejadiannya, jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut ada yang berasal dari luar sistem wilayah pesisir dan ada yang berlangsung dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran dapat berasal dari limbah yang terbuang dari berbagai kegiatan pembangunan seperti tambak, perhotelan dan permukiman serta industri yang terdapat di dalam wilayah pesisir; dan juga berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas. Sedimentasi atau pelumpuran yang terjadi di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan sediment di lahan atas (akibat penebangan hutan dan praktek pertanian yang tidak mengindahkan konservasi lahan dan lingkungan), yang terangkut aliran air sungai atau limpasan air dan diendapkan di perairan pesisir. Sementara itu, kerusakan lingkungan berupa degradasi fisik habitat pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang); lebih pungut (over exploitation) sumberdaya alam; abrasi pantai; konversi kawasan lindung; dan bencana alam, hampir semuanya terjadi di wilayah pesisir. Pencegahan
dan
rehabilitasi
kerusakan
lingkungan
serta
konservasi
keanekaragaman hayati merupakan beberapa cara pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Namun demikian sebagaimana di kemukakan oleh Bengen dan Rizal (2003),
upaya konservasi dan rehabilitasi lingkungan ini harus mempunyai manfaat ekonomi dan daya tarik tersendiri agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan di wilayah pesisir. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki daerah pesisir yang sangat luas dan diperkirakan 60 % dari penduduknya hidup dan tinggal di daerah pesisir. Sekitar 9.621 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia dapat di ketegorikan sebagai desa pesisir. Mereka ini kebanyakan merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial-ekonomi dan latar belakang pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (Supriharyono 2000). Kondisi sosial masyarakat pesisir seperti ini menyebabkan kesulitan tersendiri di dalam pembangunan wilayah pesisir. Pola pengembangan pesisir sebagai bagian dari
pola pembangunan
berkelanjutan di atas dalam perspektif ekonomi (kerangka pikir ekonomi), tujuan ekonomi dapat disederhanakan menjadi pertumbuhan dan efisisensi ekonomi, tujuan ekologis menjadi pengelolaan sumberdaya alam guna pembangunan industri dan tujuan sosial menjadi pengentasan kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan tanpa menghilangkan fungsi lingkungan alam serta komunitas masyarakat. Kebijakan pembangunan pesisir untuk mendukung pemerataan pertumbuhan pada prinsipnya menurut Dahuri (2000), meliputi 4 aspek utama yaitu : (1.) Aspek teknis dan Ekologis. Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan pembangunan dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan tiga persyaratan, yaitu : (a) keharmonisan spasial, (b) kapasitas asimilasi (daya dukung lingkungan), (c) pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan. (2.) Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat besar dari kegiatan pembangunan tersebut. (3.) Aspek Sosial dan Politik. Suatu kegiatan pembangunan berkesinambungan khususnya di wilayah pesisir dan lautan hanya dapat dicapai apabila di dukung oleh suasana yang demokratis dan transparan.
(4.) Aspek Hukum dan Kelembagaan. Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi kebijakan nasional. Satu aspek lagi yang perlu ditekankan bahwa penyelenggaraan pembangunan pesisir harus dilaksanakan dalam konteks desentralisasi kewenangan, dengan semangat menciptakan lebih banyak keleluasaan pada pemerintah daerah dan masyarakat lokal untuk menentukan prioritas-prioritas pembangunannya guna mendorong dan menumbuhkembangkan pembangunan daerah. 2.2.4. Sumberdaya wilayah pesisir Meskipun terdapat beragam definisi wilayah pesisir, dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir dapat di definisikan sebagai pertemuan antara daratan dan lautan dengan dinamika yang sangat tinggi (Kay and Alder 1999). Dari sisi bentukannya, wilayah pesisir memiliki dua fungsi, yaitu : sebagai struktur yang menahan ombak dan gelombang dan sebagai tempat penyimpanan sedimen..Tingkat Interaksi antara daratan dan lautan berbeda-beda di wilayah pesisir. Tingkat interaksi yang tinggi ada pada daerah pantai, rawa pesisir, mangrove dan terumbu karang tepi. Yang lebih rendah tingkat interaksinya adalah wilayah yang lebih ke arah daratan seperti sungai dan estuarianya. Meskipun demikian, kedua tingkat interaksi ini mempengaruhi morfologi serta ekosistem wilayah pesisir (Kay and Alder 1999). Karakteristik sumberdaya dan keruangan wilayah pesisir merupakan atraksi yang kuat bagi manusia untuk memanfaatkan di wilayah tersebut. Tekanan populasi manusia di wilayah pesisir merupakan salah satu ancaman yang terbesar bagi tercapainya
suatu
pembangunan
yang
berkelanjutan
(Aguero
and
Flores
1996).Meningkatnya populasi manusia memiliki implikasi yang penting bagi ketersediaan sumberdaya alam. Di satu sisi permintaan terhadap sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir terus meningkat. Di pihak lain sumberdaya pesisir mengalami penurunan yang pesat ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas sejalan dengan ekstraksi sumberdaya yang semakin kuat intensitasnya dan makin meluas ekstensitasnya (Vitousek et al. 1997)
Dengan tekanan yang demikian besar, diperlukan suatu pendekatan yang sifatnya integratif yang mencakup aspek keruangan di samping prinsip-prinsip sistem ekologi yang menjadi dasar pengelolaan. Suatu pendekatan yang berfokus secara eksplisit pada hubungan keruangan dan dinamika dari suatu bentang alam, dalam hal ini wilayah pesisir, dapat digunakan dalam pengelolaan yang terpadu. Dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik dan merupakan peralihan daratan dan lautan (econote). Wilayah pesisir dipengaruhi oleh dua regim yang berbeda yaitu daratan dan lautan sehingga pesisir memiliki karakter yang sangat spesifik. Karakter ini berkaitan dengan proses sumberdaya dan pemanfaatannya. Dari berbagai definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir memiliki karakter sebagai berikut : 1. Memiliki produktivitas yang tinggi dan bersamaan dengan itu memiliki kerentanan dalam keseimbangan ekosistemnya. 2. Memiliki beragam fungsi dan proses, yaitu fungsi hidrologis, geofisik, bio fisik dan ekologis. 3. Menampung beragam pengguna 4. Memiliki beragam tema Lebih jauh, karena struktur, fungsi, serta perubahan yang ada di dalamnya, wilayah pesisir memiliki karakter ” open access” yang inheren, sehingga sumberdaya wilayah pesisir mensyaratkan kehati-hatian dalam pengelolaannya. 2.2.5. Dinamika wilayah pesisir Rotasi bumi pada porosnya, dikombinasikan dengan pemanasan matahari yang tidak merata pada permukaan bumi, menghasilkan system angina global dimana angin bergerak seperti fluida sepanjang permukaan bumi (Strahler and Strahler 1998). Pergerakan angin ini menghasilkan dorongan yang dapat menggerakkan materi di atas permukaan bumi di daratan maupun di perairan/lautan (Oberlander and Muller 1982).Ada tiga daya yang membentuk menentukan karakteristik wilayah pesisir (Strahler and Strahler 1998): angin, gelombang, arus pasang surut. Ketiga gaya ini bersama-sama menentukan formasi pantai yang berbeda.
2.2.6. Jenis-jenis garis pantai Ada lima jenis garis pantai yang tergantung dari bentukan masa yang menerima gaya gelombang dan arus pasang surut ((Strahler and Strahler 1998) a. Pantai yang terbentuk karena submergence, yaitu penenggelaman sebagian pesisir karena naiknya muka laut atau tenggelamnya bagian kerak bumi,
atau
keduanya. Sedimen yang dihasilkan oleh gaya gelombang berakumulasi dalam bentuk-bentuk pantai yang berbentuk kantung (pocket bay) b. Pantai yang terbentuk karena penenggelaman trough glacial, disebut sebagai fjord. Arus dan gelombang laut kemudian dengan cepat mengerus garis pantai yang berbatu membentuk teluk, beting dan estuarin. Estuarin sebagai elemen yang membentuk struktur wilayah pesisir merupakan badan air yang dilindungi oleh konfigurasi garis pantai dari gaya gelombang yang kuat. Estuarin menyalurkan air sungai yang tawar serta sedimen ke lingkungan pesisir dan laut (French 1997). Di lingkungan estuarin, air tawar dan air laut bercampur menghasilkan habitat yang unik bagi banyak kehidupan (flora dan fauna) yang sebaliknya memiliki karakteristik yang unik, bukan air tawar atau air laut. c. Berlawanan dengan bentuk pantai-pantai submergences, pesisir dengan pulau pelindung (barrier island coasts) adalah pesisir dataran rendah dimana kemiringannya tidak ekstrim hingga ke bawah laut. Karakteristik bentuk pesisir berpelindung adalah adanya celah-celah yang disebut inlet pasang surut. Arus yang kuat mengalir keluar masuk melalui celah tersebut sejalan dengan pasang dan surutnya air laut. d. Pesisir Delta, yang terbentuk karena deposit tanah lempung, endapan lumpur dan pasir yang terbawa oleh sungai yang mengalir ke arah badan air yang relatif diam. Deposisi ini disebabkan oleh pengurangan kecepatan arus pada saat arus tersebut mendorong keluar ke arah perairan diam tersebut
pada saat aliran sungai
mendepositkan sedimen hasil dari gaya gelombang dan arus. Sedimen partikel
pasir dan endapan lumpur yang lebih kasar akan tenggelam lebih dulu, sementara partikel yang lebih halus akan terbawa terus hingga tenggelam pada perairan yang relatif dalam. Pertemuan air tawar dan air laut akan menyebabkan partikel tanah liat yang halus akan menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar. Delta terbentuk dengan cepat yang berkisar dari 3 m hingga 60 m per tahun. Delta merupakan dataran yang subur dan produktif bagi ekosistem mangrove dan spesies asosiasinya. e. Pesisir vulkanik mirip dengan pesisir delta dalam hal pembatasan antara laut dan formasi yang baru terbentuk. Pada pesisir vulkanik, formasi yang baru terbentuk dari deposit vulkanik, yaitu abu dan lava, yang mengalir dari gunung yang aktif ke arah laut. Tebing rendah terjadi pada saat gaya gelombang menggerus deposit yang baru. Pantai biasanya sempit dan curam, serta terdiri dari partikel halus deposit vulkanik (Oberlander and Muller 1982). Pesisir coral reef terbentuk oleh makhuk hidup, karang dan alga. Organisme ini tumbuh bersama dan mengeluarkan deposit yang mirip batuan yaitu kabinet mineral yang disebut terumbu karang. Pada saat koloni karang mati, koloni baru akan tumbuh diatasnya, dan berakumulasi sebagai CaCO3. Pecahan karang akan hancur oleh serangan gelombang dan menggerus pecahan tersebut yang kemudian berakumulasi menjadi pantai berpasir. Pesisir terumbu karang terdapat di wilayah perairan tropis dengan temperatur di atas 20oC. Perairan laut harus bebas dari suspensi sedimen dan harus memiliki pertukaran aliran oksigen yang tinggi. Karena itu, karang subur pada wilayah yang terbuka terhadap serangan ombak dari laut lepas (Dahuri et al. 1996, Strahler and Strahler1998; Tomascik et al. 1997). Yang terakhir adalah teras laut yang terbentuk karena event tektonik yang mendorong wilayah pesisir serta tebing laut dan platform abrasi di atas gaya gelombang. Denudasi fluvial akan berfungsi sebagai penggerus teras tersebut terbentuk (Strahler and Strahler1998). 2.2.7. Arus pasang surut
Sebagian besar pesisir dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yaitu naikturunnya muka laut ritmis (Ritter 1993). Pasang-surut air laut terjadi karena perubahan gaya tarik-menarik antara bulan dan matahari terhadap perputaran bumi. Pada saat pasang tinggi, pengaruh perubahan muka air dan arus pasang surut merupakan faktor dalam evolusi pesisir. Pada teluk dan estuari, pergantian pasang dan surut yang ada dalam pergerakan arus disebut arus pasang surut. Pada saat muka air turun, timbul arus surut (ebb current) (Strahler and Strahler1998). Aliran ini berhenti saat pasang surut berada pada titik terendah. Pada saat muka laut bergerak naik, arus ke arah daratan, arus pasang mulai mengalir. Arus pasang dan surut yang dibangkitkan oleh gelombang memiliki fungsi penting di sepanjang garis pantai (Strahler and Strahler 1998). Fungsi tersebut adalah : 1. arus yang mengalir keluar masuk teluk melalui inlet yang sempit dengan dan akan menggerus inlet tersebut dengan kuat. Hal ini akan menjaga inlet tadi terbuka, meskipun kecenderungan proses drifting pantai akan menutup inlet tadi dengan pasir. 2. arus pasang surut membawa material halus dan tanah liat dalam bentuk suspensi. Sedimen halus ini terbawa oleh aliran yang memasuki teluk, atau dari lumpur dasar yang terbawa oleh gaya gelombang badai. Sedimen tersebut kemudian tenggelam ke dasar teluk atau estuarin dan berakumulasi membentuk lapisan– lapisan serta perlahan-lahan mengisi teluk/estuarin tersebut. Banyak materi organik hadir dalam sedimen ini. Lama kelamaan, sedimen pasang surut memenuhi teluk dan menghasilkan daratan lumpur yang terdiri dari endapan lumpur dan tanah liat. Kemudian tumbuhtumbuhan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi. Tumbuhan ini kemudian menjebak sedimen lebih banyak lagi, sehingga daratan terbentuk sampai sebatas arus pasang menjadi rawa air asin atau tawar. Lapisan gambut di permukaan biasanya terbentuk. Ekosistem mangrove biasanya kemudian terbentuk di daerah pasang surut ini.
2.2.8. Estuarin 2.2.8.1. Pengertian estuarin Definisi estuarin adalah luasan badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleg gerakan pasang surut air laut yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan (Clark, 1974). Kelengkapan fisika dan biologinya yang utama banyak yang bukan merupakan karakterisitik transisi, tetapi unik (Murti, 2000; Wibowo et al. 1996). Untuk membedakannya dengan lautan, Clark (1974) menggunakan derajat ketertutupan luasan badan air tersebut, sehingga secara umum, struktur estuarin adalah badan air tertutup yang sisi sejajar pantainya paling tidak tiga kali lebar outlet kearah laut. Ekosistem estuarin bernilai sangat tinggi karena kombinasi dari bentuk dan fungsinya yang secara sendiri-sendiri maupun secara kombinasi memiliki fungsi sebagai berikut (Clark 1974). a. Struktur fisik yang setengah tertutup: melindungi wilayah badan air ini dari gaya gelombang dan memberikan kesempatan pada tumbuhan untuk dapat berakar, tumbuh dan menjerat/menampung biota dan nutrient b. Kedalaman yang rendah : Memungkinkan cahaya matahari untuk tembus ke luar estuarin sehingga mendukung tumbuhnya tumbuhan rawa dan biota rawa pasang surut, serta menghalangi predator laut yang biasanya menghindari perairan dangkal. c. Salinitas : Aliran air tawar dapat menimbulkan perbedaan salinitas yang lebih tinggi dan lebih berat, sehingga menimbulkan aliran yang terstratifikasi. d. Sirkulasi : menjadi suatu transport system yang menguntungkan bagi kehidupan strata rendah, karena dengan aliran yang terstratifikasi tadi, aliran permukaan ke luar (ke arah laut) dan aliran dasar masuk
ke wilayah estuarin serta
memungkinkan organisme berkumpul dalam suatu habitat melalui adaptasi. e. Arus pasang surut: energi pasang surut menjadi tenaga pengubah yang kuat; aliran arus pasang surut memindahkan nutrien dan kehidupan, mengencerkan dan
membuang limbah; irama pasang surut berfungsi sebagai regulator yang penting bagi penyediaan makanan dan perkembangbiakan kehidupan. f. Gudang nutrient : mekanisme penjerat di wilayah estuarin berfungsi sebagai penyimpan nutrisi, contohnya rawa dan padang lamun menyimpan nutrien untuk dilepaskan secara perlahan-lahan sebagai detritus. 2.2.8.2. Kawasan estuarin Sebagian besar daerah pesisir di Teluk Kelabat dipengaruhi oleh keberadaan estuarin. Beberapa daerah yang memiliki kawasan estuarin antara lain: kawasan estuarin DAS Layang dan DAS Antan. Kawasan muara sangat rentan terhadap kerusakan dan perubahan baik alami maupun akibat kegiatan manusia. Muara yang terletak di daerah perkotaan, industri, dan daerah pemukiman
seringkali
mendapat
tekanan
yang
besar.
Nybakken (1982), Wibowo et al. (1996) dan Clark (1974) melihat estuarin dari tiga aspek, yaitu komposisi fauna, vegetasi estuarin, dan plankton estuarin. Ada tiga komponen fauna di estuarin; komponen fauna laut, air tawar, dan air payau (estuarin). Menurut Koesoebiono (1996), hewan air yang hidup di wilayah estuarin terjadi atas: 1.
Spesies-spesies yang endemik (tinggal di estuarin sepanjang hidupnya) seperti berbagai macam kerang, kepiting, dan berbagai jenis ikan.
2.
Spesies yang tinggal untuk sementara waktu di estuaria, seperti larva beberapa jenis udang dan ikan yang setelah dewasa bermigrasi ke laut bebas.
3.
Beberapa spesies ikan yang menggunakan estuarin sebagai jalur migrasi dari laut ke sungai dan sebaliknya seperti ikan sidat dan salmon.
Koesoebiono (1996) dan Wibowo et al. (1996) menyatakan bahwa tumbuhan estuarin terdiri atas tumbuhan berakar seperti mangrove yang tumbuh di daerah pasang surut dan bermacam lamun (sea grass), serta ganggang makro (sea weed) yang tumbuh di dasar perairan. Selain itu, terdapat pula ganggang yang berukuran mikroskopis yang hidup sebagai plankton nabati yang hidup melekat menyelimuti daratan-daratan lumpur yang tampak pada waktu air surut atau melekat pada daun-daun. Estuarin mempunyai beberapa macam tipe dan definisi. Hal ini disebabkan oleh beberapa bentuk geomorfologis garis pantai, yang bentuknya seperti estuarin semi tertutup atau gobah, estuarin dataran pesisir atau rawa, estuarin tipe tektonik, fjord, teluk dangkal yang sering dianggap sebagai estuarine Nybakken (1992), mendefinisikan bahwa estuarin (aestus, air pasang) adalah lingkung;an pantai berbentuk teluk yang sebagian tertutup atau semi tertutup, dan tejadi pertemuan dan percampuran antara air tawar dan air laut. Hutabarat dan Evans (1986) menyebutkan bahwa estuarin merupakan daerah percampuran antara air sungai atau tawar dan air laut daerah ini mempunyai salinitas rendah dibanding dengan laut terbuka. Jadi definisi di atas memberi pengertian bahwa adanya hubungan bebas antara laut dengan sumber air tawar, paling sedikit selama setahun, proses percampuran sangat kompleks (Chanlett et al. 1980; Hutabarat dan Evans 1986; Nybakken 1992). Air tawar yang berasal dari sungai mempunyai densitas yang lebih kecil dibanding air laut dan cenderung mengapung di atas permukaan air laut. Di daerah estuarin terdapat dinamika salinitas Yang berfangsung secara tetap yang berhubungan dengan gerakan air pasang surut. Massa air tawar yang masuk ke estuarin pada waktu surut mengakibatkan salinitas rendah. Pada saat air pasang, massa air laut masuk ke dalam estuarin dan bercampur dengan air tawar, akibatnya salinitas dalam estuarin meningkat (Nybakken 1992). Wilayah estuarin dapat juga dibagi menjadi tiga bagian: (1) wilayah pertama, estuarin bagian mulut sungai yang berhubungan dengan air tawar dan dipengaruhi oleh pasang surut harian, (2) wilayah kedua, estuarin bagian tengah dan terjadi
percampuran air tawar dan air laut dengan baik, (3) wilayah ketiga, bagian estuarin yang berhubungan langsung dengan laut bebas (Moerrisey 1995). Pada masingmasing wilayah estuarin memiliki kondisi salinitas, suhu, oksigen terlarut dan bahan sedimen serta biologis yang bervariasi, sehingga menyebabkan ekosistem estuarin menjadi lebih kompleks (Kennish 1990; Nybakken 1992). Estuarin merupakan bagian dari sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan mulut sungai merupakan bagian hilir dari sungai yang berhubungan langsung dengan laut. Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran atau pembuangan air hujan yang berlebihan melalui mulut sungai ke laut. Karena letaknya diujung hilir, maka debit aliran air di muara lebih besar dibanding air sungai di hulu. Pengaruh pasang surut terhadap sirkulasi aliran di estuarin dapat sampai jauh ke hulu sungai dan hal ini tergantung dengan tinggi pasang surut, debit air sungai dan karakteristik dan, Ketinggiannya pasang di wilayah Indonesia berkisar antara 1 m - 2 m (Triatmodjo 1999). Estuarin dipengaruhi oleh massa air tawar yang mengalir dari sungai ke laut dan pergerakan air pasang surut secara teratur ke dalam dan ke luar estuarine Aliran pasang surut dan air tawar yang bersumber dari aliran air sungai maupun air laut yang menghasilkan arus dan aliran-aliran sekunder dengan kecepatan rendah, hal ini menyebabkan terjadinya proses percampuran air tawar dengan air laut yang menghasilkan salinitas bervariasi dalam wilayah estuarin Oleh karena itu, air tawar yang bersumber dari sungai dan air pasang-surut air laut merupakan faktor yang penting dalam ekosistem estuarin. Akibat pasang surut air laut menyebabkan terjadinya oxbuiensi, gesekan topografi dasar perairan, gelombang pasang yang dapat menghasilkan percampuran massa air tawar dan air laut di estuarin. Percampuran kedua massa air tersebut tersebut menghasilkan suatu wilayah (zona) air yang bersalinitas rendah (Nybakken 1992). Pada masing-masing lingkungan estuarin terdapat gradian salinitas yang dinilai dari sepenuhnya air laut (33%-17%) pada bagian laut terbuka sampai air tawar pada bagian hulu. Percampuran air tawar dan air laut terjadi bila keduanya saling bertemu dan faktor lain termasuk bentuk pasang utama, pasang surut serta aliran air sungai.
Pada estuarin yang terdapat air tawar yang cukup melimpah dan penguapan tidak begitu tinggi, air tawar bergerak keluar di atas air laut dan bercampur dekat permukaan air laut sehingga salinitas turun dan sebagian air yang lebih dalam tetap lebih tinggi salinitasnya. Kondisi demikian dapat memperlihatkan penampang melintang estuarin dalam garis salinitas yang sama (isohalin) (Hutabarat dan Evans 1996; Nyabakken 1992). Estuarin dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe berdasarkan gradien salinitas dan proses percampurannya : 1.
Estuarin positif Pada musim hujan, curah hujan sangat tinggi dan jumlah debit air tawar yang memasuki wilayah estuarin lebih besar. Pada bagian tertentu di kolom air secara vertikal di wilayah estuarin mempunyai salinitas tinggi di dekat dasar dan salinitas rendah di dekat permukaan. Kondisi estuarin yang demikian disebut estuarinpositif (estuarin baji garam). Estuarin baji garam sebagian tejadi karena percampuran. Baji garam yang mencolok sampai homogen menghasilkan salinitas yang sama secara vartikal dari permukaan sampai dasar pada tiap titik tertentu, akan tetapi kondisi pasang surut dan aliran air sungai diwilayah estuarin dapat berubah-ubah karena pengaruh musim (Nyabakken 1992).
2.
Estuarin negatif Pada musim kemarau, curah hujan sangat rendah dan jumlah debit air tawar yang memasuki estuarin jauh berkurang serta kecepatan penguapan tinggi, maka masalah ini dapat menghasilkan estuarin negatif, dan biasanya air laut masuk sampai beberapa kilometer kearah hulu. Dalam estuarin yang demikian, air laut ke luar dan masuk melalui permukaan dan selanjutnya mengalami sedikit pengeceran karena bercampur dengan air tawar yang terbatas jumlahnya. Bila kecepatan penguapan tinggi dapat menyebabkan permukaan air di wilayah estuarin menjadi hipersalin. Air hipersalin lebih berat darl air laut dan tenggelam ke dasar serta bergerak ke luar estuarin bersama dengan arus dasar (Nyabakken 1992).
3.
Estuarin netral. Estuarin yang demikian tejadi karena sumber air tawar dari sungai dan hujan seimbang dengan penguapan (Morrisey 1995).
Pritchard (1967) dalam Kennish (1994), mengklasifikasikan estuarin ke dalam empat tipe berdasarkan sirkulasi air : 1.
Tipe A (Salt wedge estuaries, estuarin baji garam). Tipe estuarin ini memiliki stratifikasi salinitas yang tinggi.
2.
Tipe B (Partially mixed estuaries, estuarin campuran sebagian). Tipe estuarin ini memiliki stratifikasi salinitas sedang (moderat).
3.
Tipe C (Vertically homogeneous estuarine estuarin homogen secara sempuma atau homogen vertikal). Tipe estuarin ini memiliki gradien salinitas ke arah samping.
4.
Tipe D (Sectionally homogeneous estuarine or Fjord, estuarin homogen terpisah-pisah). Tipe estuarin ini memiliki gradian salinitas membujur dan memiliki hubungan sirkulasi massa air laut dan air tawar yang tertutup serta menghasilkan perubahan salinitas yang menyebar ke segala arah. Duxbury dan Dexbury (1993) mengklasifikasikan karakteristik masing-masing
tipe estuarin sebagai berikut : (1) Salt wedge estuaries memiliki karateristik sebagai berikut : arus sungai sebagai pencampur utama, percampuran air laut terjadi dari dasar ke permukaan, stratifikasi densitas air laut dengan jelas, gradian salinitas terjadi secara vertikal, melintang atau membujur, tingkatan kekeruhan sangat tinggi. (2) Well mixed estuaries: angin dan pasang surut sebagai pencampur utama, arus pasang bergerak memasuki sungai dan terjadi percampuran oleh turbulensi arus, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut dengan jelas, gradian salinitas terjadi secara melintang dan membujur, tingkat kekeruhan tinggi. (3) Partially mixed estuaries: arus sungai, angin dan pasang surut merupakan pencampur utama, air laut bergerak dari bagian bawah ke atas, sehingga terjadi percampuran pada bagian atas, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut, gradien salinitas terjadi secara melintang atau vertikal dan membujur, tingkat kekeruhan sedang. (4) Fjord. arus sungai, pasang surut dan angin merupakan air bagian dasar cenderung lebih homogen dan relatif tetap, laut bercampur pada bagian atas, stratifikasi densitas air laut terjadi permukaan. Secara ekologis estuarin dapat dianggap sebagal wilayah (zona) peralihan atau ekoton antara habitat air tawar dan habitat air laut, akan tetapi banyak dari sifat fisika,
kimia dan biologinya yang utama tidak bersifat peralihan, melainkan unik (Nybakken 1992). Ke arah daratan wilayah ini dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang laut, angin laut intrusi air laut, sedangkan ke arah laut dipengaruhi oleh kegiatan alamiah dan manusia di wilayah daratan dan laut seperti air sungai yang bersumber dari aliran permukaan (run off), sedimentasi, bahan beracun dan pencemar lainnya. Keadaan sifat fisika, kimia dan biologis di estuarin juga bervariasi dan dipengaruhi oleh musim (Kennish 1990, 1992). Dinamika ekosistem estuarin laut dan darat di seluruh wilayah Indonesia ini berpengaruh terhadap faktor-faktor biotik dan biotik: salinitas, suhu air, total padatan tersuspensi, musim, massa air, sumberdaya ikan dan organisme makanan alami (Kennish 1992). Bentuk pasang surut perairan laut yang terdapat di perairan Indonesia tidak sama. Di dalam wilayah tertentu, kondisi pasang surut dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Menurut Triatmodjo (1999), pasang surut perairan laut di wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam empat tipe : 1.
Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut tersebut terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata 12 jam 24 menit. Pasang surut tersebut terdapat di Selat Malaka sampai Laut Andaman.
2.
Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Periode pasang terjadi selama 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini tejadi di perairan selat Karimata.
3.
Pasang surut campuran cenderung ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut akan tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Tipe pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan Indonesia Timur.
4.
Pasang surut campuran cenderung ke harian tunggal (mixed tide prevailing diumal). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali air surut, akan tetapi kadang-kadang untuk beberapa waktu terjadi dua kali pasang dan dua kati surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Tipe
pasang surut jenis ini terdapat di perairan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Variasi salinitas di wilayah estuarin berpengaruh terhahap proses pengaturan osmosis pada setiap individu spesies ikan estuarine Variasi salinitas dalam estuarin dipengaruhi oleh besar kecilnya curah hujan bulanan dan musiman (Laevastu dan Hela 1970). Estuarin dan pantainya merupakan wilayah yang kaya unsur hara dan bahan organik dan memiliki produktivitas tinggi, sehingga makanan alami untuk berbagai spesies ikan tersedia dengan baik (Valiela 1995). Laevastu dan Hela (1970), ikan dan organisme estuarin dikontrol oleh salinitas dan suhu perairan. Di dalam ekosistem pemiran estuarine spesies-spesies ikan air tawar menempati kolom air lapisan atas, Spesies-spesies ikan laut menempati kolom air lapisan bawah, sedangkan spesies-spesies ikan estuarin murni menempati kolom air yang bercampur air tawar dan air laut (front) (Kingsford dan Suthers 1994). Pada musim barat kelompok-kelompok spesies ikan laut lebih banyak tinggal dan bergerombol di lapisan permukaan laut antara kedalaman 0-100 m. Gerombolan spesies ikan tersebut bermigrasi ke arah pantai. Arus pasang yang bergerak ke wilayah pantai dan estuarin mempunyai peranan penting terhadap distribusi salinitas, organisme makanan ikan serta partikel-partikel pasif. Distribusi spesies ikan ke wilayah estuarin dipengarahi oleh perubahan hidrodinamika estuarin dan arus laut ke arah pantai dan estuarin (Jenkins dan Black 1984). Wootton (1984) menyatakan distribusi spesies dibatasi oleh faktor salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH dan sedimen. Jika terjadi perubahan fisika dan kimia serta organisme makanan memberi respon terhadap organisme secara keseluruhan. Ikan estuarin dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia air : total padatan tersuspensi (kekeruhan) berpengaruh pada kecerahan air dan jumlah cahaya dalam aliran estuarin sehingga mempengaruhi perilaku (behaviour) ikan pemangsa dan organisme makanannya dan penglihatan ikan secara harian atau musiman (Cerri 1983; Collier et al. 1973;). 2.2.8.3. Dinamika biofisik estuarin
Sebagaimana wilayah pesisir lainnya, estuarin memiliki karakteristik yang khas (Haslett 2000). Sehingga, pengetahuan mengenai struktur fungsi, serta dinamika biofisik lain di wilayah estuarin memegang peran yang penting dalam pengelolaan wilayah estuarin tersebut. Teluk kelabat di masa lalu memiliki kawasan hutan alam yang sangat lebat, ekosistem perairan estuarin dan ekosistem pantai laut serta perairan tawar yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya, dengan panorama alam yang serba indah, akan tetapi kondisinya pada saat ini telah berubah karena pengaruh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam penambangan timah baik di daratan pesisir maupun lepas pantai (off shore) dan industri penambangan pasir yang dikirim ke Singapura, pertanian dan perkebunan, erosi (run off) dan pestisida penyemprotan perkebunan lada rakyat. Kegiatan tersebut mencemari lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan tawar, estuarin dan laut, baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Selain hal-hal tersebut di atas lingkungan estuarin merupakan wilayah pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki dinamika ekosistem yang kompleks. Kompleksnya ekosistem ini terjadi karena interaksi antara ekosistem darat, ekosistem air tawar dan ekosistem laut (Chanlett et al. 1980; Kennish 1994). Pencemaran udara, tanah perairan tawar hingga perairan estuarin yang bersumber dari antropogenik dan berpengaruh terhadap kualitas fisika, komposisi kimia dalam air, sedimen sampai jaringan organ ikan serta organisme lainnya. Pencemaran perairan estuarin dapat menjadi bencana untuk generasi yang kemudian, misalnya apabila akumulasi logam beracun dalam sedimen dan patikel-partikel dalam air, bioakumulasi dan biokonsentrasi logam beracun dalam ikan dan organisme lainnya akan menyebabkan produk perikanan tidak memiliki nilai ekonomis, karena ekspor ke luar negeri di tolak oleh negara konsumen, mengurangi pendapatan nelayan dan sumber protein hewani, menurunnya kesehatan konsumen lokal dan kerusakan ekosistem serta punahnya spesies ikan. Pengaruh logam beracun tersebut dapat tejadi dalam jangka waktu panjang terhadap ikan dan organisme lainnya. Nilai ekonomi sumberdaya biologis yang terkandung dalam perairan tidak dapat dinilai harganya dibanding dengan logam mulia yang terdapat di dasar sungai tersebut, demikian pula
bagi kesehatan manusia secara berkelanjutan. Ada tiga jenis pencemar yang penting dan berbahaya untuk ikan dan organisme makanan ikan serta manusia, yaitu kadmium (Cd), timbal (Pb) dan air raksa (f-fg). Pb merupakan pencemar global baru dalam karakternya. Senyawa-senyawa logam beracun tersebut secara terus menerus mengancam kelangsungan komunitas ikan beserta habitatnya. Bioakumulasi dan biokonsentrasi logam non essensial dapat menghambat atau mengganggu hubungan fungsi dan peran logam essensial (Ca, Zn, Cu dan Fe dli) pada sistem enzim dan metabolisms sel-sel dalam jaringan dan organ sasaran, kemudian hal ini mengganggu keseimbangan pertumbuhan organ (Konovalov 1994; Darmono 2001). Akibatnya tedadi perubahan polimorpisme menjadi tidak normal. Jaringan dan organ-organ sasaran logam beracun, mencakup hati, ginjal, insang, tulang, kulit dan daging. Pengaruh lanjutan lebih banyak terjadi pada pertumbuhan ikan kecil yang tidak normal berupa perubahan bentuk polimorpismenya. Keracunan logam dalam jaringan dan organ ikan juga dipengaruhi oleh parameter suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan dan total padatan tersuspensi (Choe dan Gill 2003; Watras et al. 1995). 2.2.8.4. Pengaruh lklim terhadap hidrodinamika estuarin Secara geografis wilayah Indonesia terletak diantara dua benua Asia dan Australia serta diapit oleh samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu iklim dan kondisi wilayah laut dan darat kepulauan di Indonesia dipengaruhi oleh kedua benua dan samudera tersebut. Demikian pula halnya dengan dinamika musim di wilayah laut, darat dan estuarin di Indonesia erat hubungannya dengan dinamika ekosistem kedua benua dan samudera tersebut (Wirtky 1961). Angin pasat timur laut yang berhembus ke wilayah barat Indonesia disertai musim kemarau (panas) di wilayah barat Indonesia, sedangkan ketika angin pasat barat laut berhembus ke wilayah timur Indonesia yang disertai musim hujan. Ketika kegiatan angin pasat timur laut atau tenggara (kemarau) mulai berhembus dengan kuat, kondisi salinitas air laut mulai meningkat (>35%) dan lebih tinggi dibandingkan salinitas air laut pada angin musim pasat barat laut (hujan). Pada musim barat (hujan)
salinitas di perairan laut menurun seiring dengan tingginya curah hujan (NopemberJuni) di wilayah kepulauan di Indonesia, terutama disekitar pantai pulau-pulau besar seperti di wilayah pantai pulau. Di Teluk Kelabat terdapat banyak sungai-sungai besar yaitu sungai Layang dan sungai Antan yang bermuara di laut. Sirkulasi massa air yang berasal dari Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik dan melintasi laut kepulauan Indonesia pada musim timur dan musim barat disebut Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Sirkulasi massa air tersebut terjadi secara bergantian antara musim barat dan timur, dan masing-masing sekali dalam setahun. Sirkulasi arus tersebut merupakan sirkulasi massa air dunia (Ilahude 1992). Sirkulasi, angin dan arus massa air yang melintasi kepulauan Indonesia dan Mempengaruhi iklim darat dan laut di Indonesia (Wirtky 1961). 2.2.8.5. Sumber pencemaran estuarin Kegiatan manusia merupakan sumber antropogenik. Pencemaran logam toksik ini dapat bersumber dari kegiatan : industri, pertambangan, pertanian dalam arti luas, Perkotaan, transportasi (Kennish 1992; Kumar dan Hader 1999; Laevastu 1993), akhir-akhir ini kebakaran hutan menjadi sumber pencemaran udara dan hal ini terjadinya karena perubahan iklim global (Firor 1995). Pencemaran lingkungan yang bersumber dari antropogenik tersebut dapat berupa gas, cair dan padat.
Logam
beracun terikat pada sedimen, partikel-partikel dalam kolom air dan protein ikan (Mason et al. 1993; Konovalov 1994). Jadi kegiatan manusia modern merupakan sumber antropogenik yang mencemari lingkungan estuarin (Kennish 1992), demikian pula halnya pada lingkungan darat dan udara (Firor 1995). Kegiatan alamiah dapat menjadi sumber logam dalam air, akan tetapi dalam konsentrasi yang rendah, seperti kegiatan gunung merapi dibawah laut dan kegiatan bakteria (biogeokimia) serta erosi (Lu 1995). Kegiatan alamiah bukan sumber pencemaran lingkungan estuarin maupun laut. Cd di alam terdapat endapan Pb dan seng (Zn) (Lee and Roberts 1995). Cd dan Zn selalu hadir bersama-sama, tetapi Zn merupakan elemen logam essensial, sedangkan Cd elemen logam non essensial. Selain itu Pb terdapat bersama dengan endapan suffat. Cd juga berinteraksi dengan
logam essensial lainnya seperti Ca, Cu, Fe. Cd merupakan penyebab kekurang logam essensial dalam jaringan dan organ ikan. Cd dalam batuan terdapat rata-rata sekitar 0.03 ppb Cd dan 80 ppb Zn, konsentrasinya di laut sekitar 0.1 ppb, dalam tanah sekitar 4.5 mg/kg Cd. Cd juga kaya dalam lengas tanah berkisar antara 0.002 - 0.03 µg /M3. Logam ini banyak dilepaskan di wilayah pertambangan dan tempat pembersihan logam lainnya, limbah perkotaan dan pupuk fosfat (PO4). Cd banyak sebagai pewarna dalam industri keramik dan cat. Selain itu sumber Cd juga dari cat pewarna, plastik, stabilasi pada pipa PVC. Cd juga digunakan dalam sabun, kertas, tinta printer dan pewarna tekstil. Lebih dari 1 juta kg Cd mencemari udara dalam setahun. Sekitar 52 % dari total Cd mencemari udara yang bersumber dari emisi gas hasil pembakaran bahan bakar minyak mesin, fungisida, plastik dan batu bara dan pupuk fosfat (Lu 1995). Daerah yang tidak tercemar konsentrasinya di udara dalam rentang nanogram/m3. K onsentrasinya di dalam air sekitar 1ì g/l kecuali di daerah yang tercemar. Cd dalan air sebesar 10 mg/l, dan dapat membunuh ikan dalam waktu sehari dan ketika konsentrasi sebesar 2 mg/l dapat membunuh ikan dalam waktu 10 hari. Pb lebih tersebar luas dibandingkan dengan logam beracun lainnya. Konsentrasi Pb dalam tanah berkisar antara 5 - 25 mg/kg, dalam air tanah berkisar antara 1 - 60 ì gl dan lebih rendah dalam air perrnukaan di alam. Di dalam batuan fosfat terdapat sekitar 15 mg Pb dalam bentuk timbal sulfida (PbS = galena). Konsentrasinya di udara di bawah 1 µg/m3, tetapi dapat terjadi peningkatan di tempat tertentu dan di daerah yang lalu lintasnya padat. Pb terdapat juga dalam pestisida, plastik dan zat pewama cat, emisi minyak bakar (solar, minyak tanah dan bensin). Debu jalan dan tanah di sepanjang jalan raya yang sibuk terdapat sekitar 1000 - 4000 mg/kg. Selain itu Pb bersumber dari pertambangan, pewarna tinta, cat dan tekstil. Konsentrasinya di dalam lingkungan perairan dapat terjadi peningkatan karena kegiatan penambangan, pembersihan bahan tambang, pestisida, gas hasil pembakar baban bakar dari minyak mesin, rumah tangga dan limbah minyak yang dibuang ke dan masuk ke sistem perairan. Pb merusak zat tambahan dalam bahan bakar minyak dan pewama dalam cat, pipa PVC (Lu 1995).
Konsentrasi Pb di dalam dapat
meningkat seiring dengan peningkatan penggunaannya oleh kegiatan manusia. Pb terdapat dalam air, sedimen dan organisme perairan. Masusknya Pb dalam jaringan organisme perairan dapat terjadi melalui kulit, saluran pencernaan dan insang. Hg di alam berbentuk cair. Di dalam perairan logam ini bersumber dari lapisan kerak bumi yang dilepas dari proses kegiatan gunung berapi dan erosi. Fitzgerald dan Lyons (1975) melaporkan bahwa konsentrasi Hg pada lapisan perairan Atlantik Barat Laut berkisar antara 3 ± 8 ng/l. Hg di dalam lingkungan dapat berbentuk senyawasenyawa anorganik dan organik.
Logam ini termasuk logam non essensial.
Penambangan emas, pembakaran bahan fosil (termasuk gambut dan hutan), pestisida dan limbah perkotaan merupakan sumber Hg (Lu 1995). Hg sering digunakan dalam fungisida dan pestisida (alkil Hg atau HgCl) dalam bidang Pertanian yang mencemar lingkungan. Dari kegiatan manusia dan alam dalam setahun melepaskan sekitar 3000 ton Hg ke atmosfer. Hg juga bersumber dari tambang batu bara muda dan batu bara tua serta residu tars (kerak) dengan masing-masing konsentrasi berkisar 1-25 ppb; 1.100-2.700 ppb; 1.900-21.000; 520.000 ppb. Kegiatan gunung merapi bawah laut menyumbang sekitar 5.000 ton Hg/tahun. Kegiatan industri menyumbang sekitar 1 juta kg Hg/tahun ke laut. Konsentrasi air raksa di udara pada umumnya sangat rendah. K onsentrasi di daerah yang tidak tercemar sekitar 0.1 ì g/l, tetapi angka tersebut dapat meningkat 80 ì g/l Hg di wilayah yang berdekatan dengan endapan Hg (Lu 1995). Di Pada jaringan organ organisme air konsentrasi Hg dapat meningkat dengan tajam apabila habitatnya tercemar Hg. 2.2.8.6. Pengaruh pencemaran terhadap lingkungan estuarin Pencemaran estuarin dan laut merupakan suatu ancaman yang benar-benar harus ditangani secara serius. Karena hal ini sudah banyak kejadian terbukti bahwa pencemaran laut, pantai dan estuarin yang bersumber dari kegiatan kapal-kapal pengangkut yang bermuatan bahan beracun dalam jumlah yang besar dan tenggelam ke dasar laut. Kemudian terbawa oleh arus, angin dan gelombang ke pantai, estuarin dan menjadi sumber penyebab kematian organisme, tetapi hal yang sangat membahayakan adalah terakumulasinya zat kimia beracun dalam sedimen. Zat kimia
beracun yang terakumulasi pada sedimen di daerah estuarin baru terurai oleh bakteri dalam jangka cukup lama. Akibatnya dalam selang waktu penguraian tersebut terjadi kematian organisme laut dan kerusakan ekosistem estuarin (Hutabarat dan Evans 5). Estuarin penting fungsi dan peranannya karena merupakan habitat dan lokasi pemijahan serta tempat ruaya organisme laut dan air tawar. Pengaruh zat kimia beracun yang terakumulasi dalam sedimen dapat menyebabkan kematian telur dan anak-anak ikan (Kennish 1994; Nybakken 1992). Dalam Produk hasil perikanan juga mengalami penurunan mutunya, karena ekspor hasil produk perikanan laut menurun harga jualnya dan bahkan ditolak oleh negara konsumen (Darmono 2001). Ikan lebih sensitif terhadap pencemaran Cd, Pb dan Hg dibanding dengan krustase dan spesies bentuk lainnya (Ward dan Young 1982 dalam Connell dan Miller 1995).
Cd, Pb dan Hg merupakan logam non essensial yang umumnya
diketahui sebagai "logam beracun". Oleh karena itu kehadirannya secara berlebihan sangat membahayakan keseimbangan ekosistem.
Berbagai upaya pencegahan
pencemaran dan cara pemantauan melalui indikator-indikator biologis dan kimia sering dilakukan (Connell dan Miller 1995; Lu 1995). Hal-hal tersebut diperlukan karena kita masih belum cukup punya pengetahuan dan pengalaman mengenai ekosistem laut dan estuarin serta pengaruh pencemaran logam terhadap kehidupan organisme pada tingkat yang membahayakan (Hutabarat dan Evans 1985). Pengaruh letal logam beracun lebih mudah terdeteksi, tetapi sub letal jarang terdeteksi karena terakumulasi dalam sedimen dan jaringan organ ikan. Pada konsentrasi tertentu, pengaruh negatif baru muncul setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terakumulasi dalam tubuh ikan, organisme lainnya, lingkungan dan manusia. Connell dan Miller (1990), pengaruh logam beracun terhadap ikan dan manusia muncul dalam waktu yang relatif beda, tetapi pada manusia baru muncul gangguannya setelah 30 tahun sejak terakumulasi dalam jaringan dan organ tubuh. Jadi pada konsentrasi tertentu akan menyebabkan keracunan pada jaringan dan organ sasaran yang lebih spesifik.
Keracunan Hg terhadap manusia baru terlihat (tremor) dan terasa
pengaruhnya antara 10 - 20 tahun. Dalam rentang waktu tersebut terjadi akumulasi secara terus-menerus, baik melalui air minum, kontaminasi melalui kulit dan insang
(saluran pernapasan), saluran pencernaan makanan (Connell 1990; Connell dan Miller 1995; Lu 1995). 2.2.8.7. Bentuk-bentuk kimia logam pencemar di estuarin Pada umumnya logam asli tidak larut dalam air dan mereka dalam lingkungan perairan sebagai ion-ion yang larut dalam air. Sedangkan spesies-spesies organologam seringkali memperlihatkan bentuk yang menonjol dari bioakumulasinya oleh senyawa-senyawa Lu (1995), yang relatif stabil (Hawker 1995). Cd terlarut dalam air laut atau air payau adalah dalam bentuk ion Cd 2+. Cd tersebut berasosiasi secara kuat dengan ion-ion klorida (Cl-) dalam air laut, dan bentuk-bentuknya yang sangat menonjol telah dihitung sebagai CdCl2 (51%), (CdCl)+ (39%), (Cd Cl3)- (6.1%) dan Cd2+ (2.5%). Spesies logam ini berdistribusi dalam sedimen-sedimen laut (estuarin) (Hawker 1995; Darmono 2001). Konsentrasi dan bentuk Cd dalam perairan sewaktu-waktu berubah-ubah oleh antropogenik. Sekitar 65-90 % Cd dalam perairan berbentuk ion-ion senyawa-senyawa logam. Kompleks Cd dengan bahan organik terlarut lebih dominan dan konsentrasi paling tinggi terjadi pada musim panas (73-84 %). Di dalam perairan, konsentrasi yang paling tinggi terdapat di lapisan permukaan (57-76 %), kemudian di dasar (46-63) (Iskra dan Linik 1996). Hg yang larut dalam air laut dan payau dalam bentuk ion-Ion Hg2+, dan terjadi paling banyak dalam bentuk Hg (OH)2 dan HgCl2. Ion-ion halida kompleks Hg dapat terbentuk sebagai (HgCl4)2- yang terdapat dalam larutan. Hg dapat membentuk Hg kompleks yang stabil dengan senyawa-senyawa organik yang terdapat dalam air payau, terutama protein dan asam humik yang mengandung sulfur. Hg yang masuk ke ekosistem perairan estuarin dapat berubah menjadi senyawa anorganik melalui oksidasi (Lu. 1995). Hg anorganik dapat berubah bentuk menjadi Hg organik melalui sistem anaerobik oleh bakteria tertentu di dalam sedimen dasar perairan. Degradasi Hg terjadi melalui proses lambat hingga berubah menjadi anorganik. Dalam batas tertentu Hg dapat diabsorbsi oleh partikel-partikel organik dalam sedimen dan pada kondisi anaerobik tampil sebagai HgS dan HgS22- (Hawker 1995). Di dalam sedimen
dapat mengalami dimetilisasi oleh bakteri (Clostridium cochkarium) anaerobik dalam bentuk monometil Hg (CH3 Hg) dan dimetil Hg (CH3 - Hg - CH3) dan sangat reaktif (Choe dan Ill 2003; Gagnon et al. 1996; Golding et al. 2002; Mason et al. 1993; Watras 1992). Dimetil Hg lebih stabil pada pH tinggi, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan CH3Hg+ pada pH rendah dan keluar dari lumpur sedimen bersamaan air interstisial. 2.2.8.8. Salinitas estuarin Distribusi salinitas dalam estuarin dan laut uhi oleh densitas air. Densitas (kepadatan) itu sendiri dipengaruhi oleh suhu, sdipengaruhi oleh sirkulasi air laut penguapan, aliran air sungai, evaporasi dan hujan (Ross 1970). Habitat ikan estuarin merupakan lingkungan yang bersalinitas dinamis dibanding dengan laut bebas (Prasad. et al. 1995). Hal ini disebabkan oleh pengaruh aliran air tawar dari sungaisungai diperubahan salinitas juga dipengaralinitas, tekanan dan kedalaman air (Ross 1970). Dinamika salinitas di estuarin berpengaruh terhdap konsentrasi ion-ion Cd2+, Pb2+ Hg2+ 1. Na+ dan Cl- dalam darah ikan estuarin ion-ion Ca2+ konsentrasinya rendah dalam darah ikan dan pemanfaatan dilakukan secara efesien. Tekanan (stress) salinitas pada ikan estuarin menyebabkan perubahan dalam elektrolit plasma darah (Prasad et al. 1995). Salinitas permukaan laut terbuka, bervariasi antara 33-37 % dengan nilai rata-rata 35 %. Pada perairan dangkal, lapisan lebih homogen hingga ke dasar, dengan salinitas dan suhu yang homogen. Massa air yang dari laut cina selatan mengalir ke laut Jawa pada bulan Desember mempunyai salinitas lebih rendah (isohalin 33 %) akibat terjadinya pengenceran karena curah hujan dan aliran sungai di sepanjang pantai timur Sumatera dan Kalimantan. Salinitas air laut jawa lebih banyak berhubungan dengan sirkulasi massa air laut dari samudera Hindia dan samudera Pasifik dan hujan diwilayah Indonesia (Ilahude 1999; Nontji 1987). 2.2.8.9. Pengaruh pencemar logam terhadap polimorpisme lkan estuarin Pencemaran logam baracun secara langsung tidak merubah bentuk polimorpisme ikan (Ariens et al. 1986; Lu 1995), tetapi mengganggu kegiatan sistem
enzim dan metabolisms sel-sel jaringan dan organ. Perubahan polimorpisme pada tulang merupakan karakteristik penting yang diperlukan sebagai indikator biologis. Perubahan polimorpisme ikan dapat terjadi secara generatif pada organ sirip karena faktor adaptasi dengan faktor makanan dan lingkungan habitat (Wagner dan Misof 1992; Wootton 1984). Setiap spesies memiliki variasi daya adaptasi dan toleransi pada lingkungan habitatnya (Salthe 1972). Dalam proses perubahan polimorpisme (evolusi) dan adaptasi memerlukan waktu yang panjang dan hal ini tergantung daya toleransi dan kemampuan spesies. Perubahan polimorpisme ikan terjadi akibat terganggu faktor internal dan ekstemal karena interaksi dengan logam beracun dan didorong oleh pengaruh faktor-faktor lingkungan fisika, kimia, biologis dan geografis, sehingga memicu perubahan struktur organ tubuh ikan (Hildebrand and Goslow 2001). 2.3. Pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu Terlepas dari kekayaan sumberdaya pesisir dan laut Indonesia dan ketergantungan kita terhadapnya, ironisnya, kondisi wilayah pesisir dan laut mengalami tekanan yang mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan pesisir dan lautan. Isu – isu pengelolaan wilayah pesisir dan laut sedikitnya dipengaruhi oleh masalah – masalah yang ada dalam kegiatan – kegiatan ekonomi, sosial, politik, budaya dan hukum yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh sumberdaya pesisir dan laut (Fauzi 1999). Isu – isu yang dapat diangkat antara lain; 1. Kurangnya integrasi antar kegiatan pengelolaan karena pendekatan yang sifatnya sektoral. 2. Tidak ada kejelasan kewenangan hukum dan perencanaan 3. Rendahnya penilaian akan sumberdaya pesisir dan laut. Berdasarkan keterkaitan sektor, maka model pengelolaan sumberdaya pesisir dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu pengelolaan sektoral dan pengelolaan
secara terpadu. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan, pelabuhan,pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam perencanaan dan pengelolaan semacam ini aspek ‘cross-sectoral” atau “ crossregional” impacts seringkali terabaikan. Akibatnya, model perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan dan juga akan mematikan sektor lain. Fenomena Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh dari perencanaan pembangunan sektoral, dimana sektor industri mematikan sektor perikanan budidaya (tambak) apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan secara tepat dan benar (Depdagri 1998). Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomisbudaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada (Lawrence 1998).
Menurut Bengen (2001) keterpaduan perencanaan dan pengelolan wilayah pesisir secara terpadu ini mencakup 4 (empat) aspek , yaitu : (1) keterpaduan wilayah/ekologis (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; (4) keterpaduan stakeholder. 2.3.1. Keterpaduan wilayah/ekologis Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya, demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan limbah rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di kawasan di pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap
jika tidak diimbangi dengan perencanaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosisitem yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan. 2.3.2. Keterpaduan sektor Sebagai konsekwensi dari besar dan beragamnya sumber daya alam di kawasan pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, seringkali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dangan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan,maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembanguann di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari dari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya. 2.3.3. Keterpaduan disiplin ilmu Wilayah pesisir dan laut memiliki karasteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosisitem pesisir maupun sifat dan karasteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan
sistem dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula, seperti hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan luat adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. 2.3.4. Keterpaduan stakeholder Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir di laut (stakeholder). Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola sumber daya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (Pusat dan Daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masing-masing mempunyai kepentingan terhadap pemanfaatan sumber daya alam di kawasan pesisir. Penyusunan perencanan pengelolaan terpadu harus mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "top down” dan pendekatan " bottom up”. Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem pengeloalan sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan secara internal antara kebijakan dan program aksi, antar proyek dan program, tetapi juga menjamin antara perencanaan dan pelaksanaan. Menutut Kay dan Alder (1999) berdasarkan jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis keterpaduan, yaitu keterpaduan sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan.
2.3.5. Keterpaduan sistem Keterpaduan sistem memasukan pertimbangan dimensi spasial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola
pemanfaatan sumber daya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Keterpaduan ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, seperti pada Tabel 2.
2.3.6. Keterpaduan fungsional Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Tabel 2. Kebutuhan informasi untuk pengelolaan pesisir Biologi
Jenis dari luas ekosistem; produktifitas primer; keanekaragaman dan kelimpahan spesies Daerah pemijah (nursery ground); Siklus hudup
Fisik
Geologi; Suhu; Salinitas; Nutrien; Pasang Surut; Arus; dan Permukaan Laut; Distribusi dan Jenis Sedimen ; Erosi
Sosial-Ekonomi
Distribusi dan pertumbuhan penduduk; aktivitas ekonomi; Pemanfaatan lahan
Hukum dan Kelembagaan
Sistem pemilikan lahan; Hukum dan peraturan yang relevan; Tanggung Jawab Lembaga-lembaga; Pemanfaatan sumberdaya manusia
2.3.7. Keterpaduan kebijakan
Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerinah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan ekonomi dan strategi penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. Untuk mewujudkan pengelolaan terpadu, lembaga–lembaga yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan harus mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan, dan bagaimana cara memadukannya (Aunuddin et al. 2001). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dua kegiatan atau lebih dapat dipadukan apabila memenuhi azaz kompatibilitas. Azaz kompatibilitas ini terdiri dari 3 macam, yaitu complete compability, partial compability dan incompability. Complete Compability terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat berlangsung bersaman dalam ruang dan waktu yang sama (misalnya,kegiatan silvofisheries). Partial compability terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara berurutan dalam ruang yang sama, namun dalam waktu yang berbeda (misalnya sesudah tanam padi kemudian tanam kacang ). Incompatibility terjadi apabila dua kegiatan tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan dalam ruang yang sama (Nirarita et al. 1996).
Kegiatan–kegiatan yang mudah dipadukan adalah kegiatan yang bersifat jasa (services) seperti pembuatan rencana dan program yang sama. Kegiatan yang agak sulit dipadukan adalah kegiatan untuk membuat atau merumuskan aturan main bersama (norm creation), sedang yang sulit dipadukan adalah kegiatan yang berkaitan dengan implementasi dari aturan main yang telah disepakati bersama dan pengawasannya (implementation and rules observance). Apabila tingkat kesulitan tersebut diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya, maka akan terlihat bahwa perencanaan termasuk katagori mudah, penataan agak sulit, sedangkan pelaksanaan dan pengawasan adalah yang paling sulit dari seluruh kegiatan (Aunuddin et al. 2001). Dari sudut struktur hukum, menurut Supriharyono (2000) hal–hal yang dapat dipadukan, yaitu yang dapat diidentifikasikan atau dicari dari aspek tujuan, strategi untuk mencapai tujuan dan pedoman pelaksanaan strategi.dengan demikian dapat dipahami bahwa peraturan perundang–undangan yang mengatur perencanaan, penataan, pemanfaatan dan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan dapat dilaksanakan secara terpadu. Pengelolaan sumberdaya secara terpadu tersebut menurut Pomeroy (1994) juga merupakan keterpaduan dari resource based management, community based management dan marketing based management. Resource based management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya. Community based management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan masyarakat. Marketing
based management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan dalam memanfaatkan basis – basis kompetisi seperti sumberdaya, peraturan perundang– undangan dan kelembagaan (basis for competition ),memanfaatkan peluang pasar seperti sorting, grading dan processing ( How to compete) dan kemampuan bersaing dengan para pesaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri (where to compete ). Keberhasilan dalam melaksanakan resource based dan community based management secara terpadu merupakan basis yang kuat untuk melakukan kompetisi, sedang how to compete akan mempengaruhi pilihan tentang jenis, jumlah dan mutu produk yang dihasilkan agar sesuai dengan permintaan pasar, serta where to compete akan mempengaruhi strategi pemasaran yang akan dilaksanakan. Kesemuanya ini harus di dukung dengan peraturan perundang– undangan dan kemapuan kelembagaan yang memadai.
2.4. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan Otonomi dan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan, topik yang dipandang sangat menarik bagi Pemerintah Daerah karena sampai saat ini masih ada persoalan penting, yaitu belum ada kejelasan otonomi dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelutan, dan belum banyak urusan sektor yang diserahkan kepada Pemda melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres).
Pasal 7 dan 8, UU No. 5/1974; menyatakan otonomi daerah berarti daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penambahan penyerahan urusan pemerintah kepada daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 45/1992 menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah pada Daerah Tk.II, dilaksanakan dengan menyerahkan sebagian urusan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah Tk. I, kepada Pemerintah Daerah Tk. II secara bertahap dan berkelanjutan (Depdagri 1998). GBHN menyatakan bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan modal dasar pembangunan yang penting. Berdasarkan hasil studi Bappenas, kontribusi pemanfatan sumberdaya kelautan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) mencapai Rp 36,6 trilyun atau 22 % tahun 1988, dan tahun 1990 kontribusi sektor kelautan sudah mencapai Rp 43,5 trilyun atau 24 % dari PDRB dan menyediakan kesempatan kerja bagi 16 juta jiwa (Dahuri et al 1996). Kontribusi ekonomi tersebut semakin besar, karena banyak kegiatan pembangunan sektoral, regional, swasta, dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budidaya perikanan, wisata bahari, industri maritim, pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut dan reklamasi pantai. Sehingga pemanfaatan potensi dan prospek sumberdaya kelautan merupakan kegiatan pembangunan yang penting. UU No. 24/1992 tentang Tata Ruang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan penataan ruang atas wilayah laut tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan laut tertentu ini merupakan kewenangan pusat. Peraturan pelaksanaan mengenai tata ruang laut ini belum ada sehingga kewenangan tersebut belum jelas (DKP 2000). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut UU no. 17/1985, kewenangan daerah atas penataan ruang laut tersebut identik dengan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut teritorial. Jadi UU No. 17/1985 jo UU No. 24/1992 daerah dapat memiliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi dan prospek sumberdaya alam pesisir laut dalam batas-batas yang diatur oleh perundang-undang yang berlaku. Perlu ditegaskan di sini bahwa daerah tidak memiliki kewenangan atas badan airnya (water coloumn), sehinggga kewenangan tersebut bukan kewenangan otonomi yang dapat diartikan sebagai kedaulatan daerah, tetapi kewenangan atas badan air tetap menjadi kewenangan pusat, karena untuk menjelaskan adanya kepentingan nasional dalam pengintegrasian pengelolaan baik secara regional maupun nasional (Purwaka 2000) . Dengan tetap berpegang teguh pada Perpu No. 4/1960 jo. No. 5/1974, daerah telah lama melaksanakan kewenangan pengelolaan atas laut. Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai situasi yang telah menjadi hukum kebiasaan dalam melaksanakan administrasi pemerintahan di daerah (administrative customary law), yang dapat dipakai sebagai dasar hukum bagi kewenangan daerah atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut. Pemerintahan daerah berhak dan berwenang mengkoordinasikan semua perencanaan pembangunan sektoral dan daerah sesuai PP No. 6/1988, perencanaan ini tidak dibatasi hanya di darat
saja, sehingga secara implisit berarti mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sektor kelautan. Melalui PP No. 45/1992 tentang Otonomi Daerah dan PP No. 8/1995 tentang 26 kabupaten percontohan otonomi Tk. II, maka secara bertahap dan berkelanjutan pembangunan otonomi daerah lebih dititikberatkan ke Daerah Tk. II, termasuk penyerahan urusan pengelolaan sumberdaya kelautan (Depdagri 1998). Seiring dengan nafas reformasi, pemerintah membuat UU No.22 Tahun 1999, UU No.25 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000, memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya alam serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip demokasi, keadilan dan pemerataan. Implikasi langsung dari Undang-Undang No.22 Tahun 1999 adalah beralihnya kewenangan (semula wilayah laut menjadi kewenangan pusat) dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangannya di daearah agar menjadi keuntungan daerah berupa adanya peluang yang prospektif dalam mengelola sumber daya pesisir dan lautan dalam batas-batas yang telah ditetapkan (Darwin 2001). Dengan demikian, luas wilayah kewenangan Pemerintah Daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah, khususnya dalam hal jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas sumber alam hayati dan non hayati, sumber pertambangan dan energi kelautan disamping sumberdaya pesisir yang sangat memungkinkan untuk digali
dan dioptimalkan, antara lain sumber daya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata (Bengen et al 2001). Pengelolaan pesisir dan lautan seperti tersirat dalam UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10, bahwa Daerah berwenang mengelola sumber daya alam yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena Itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, optimal dan bertanggung jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan dan menjamin kebutuhan generasi mendatang (Muchsin et al. 2001). Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaat dan kekuasaan. Menurut Bengen et al (2001) upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan proaktif. Secara reaktif , artinya pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi potensi-potensi konflik pada masa mendatang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan,
peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara tyerpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun Rencana Stategis (Renstra) pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan terpadu dari setiap daerah dengan menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektorsektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (Management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi (Action plan) yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan Pemerintah Daerah, Swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana strategis yang penting untuk dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Ditambahkan oleh Chambers (1996) proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan yang bersifat community based planning, dimana setiap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah tidak memiliki dampak negatif terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Menurut Knight (2001) dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah seperti di atas tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Artinya sumberdaya tersebut tidak semata-mata untuk dieksploitasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya. Sebab dengan persepsi demikian, maka sumberdaya pesisir dan lautan yang ada diupayakan dan dieksploitasi sebesar-
besarnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Menurut Peterson (1997) eksploitasi berlebih dengan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya dikemudian hari. Jika hal ini terjadi, maka pola pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu, yang perlu segera dibenahi adalah bagaimana agar Pemerintah Daerah memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan, dimana beralihnya beberapa wewenang pusat ke daerah, disamping terdapat keuntungan, juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab dalam pengendalian dan pengelolaannya, seperti: over eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran, dan keselamatan serta keamanan pelayaran. Hal-hal ini menurut Aunuddin et al. (2001) hanya merupakan akibat lanjutan dari beberapa masalah berikut; a. Belum adanya Institusi/Lembaga pengelola khuisus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut. Implikasinya, tidak tersedianya Instumen Hukum wilayah perbatasan daerah tersebut (RTRW, zonasi) untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan. b. Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintah) dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih., Sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam
pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada
terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 4 mil laut yang merupakan kewenangan Kabupaten. Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi tentang
pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan pembangunan (pariwisata, pemukiman dan sebagainya), pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran dan lain-lainnya. c. Ketersediaan data dan informasi pesisir dan laut sangat terbatas, seperti seberapa besar potensi kelautan yang dapat terdeteksi misalnya bahan tambang,perikanan dan pariwisata. d. Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagaimana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terjawab, karena keterbatasan kemampuan teknologi untuk dapat menggali potensi sumberdaya pesisir dan laut. Pembangunan pesisir dan laut yang berbasis daerah dengan tujuan untuk menggerakkan otonomi daerah, maka mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan adalah tenggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah. Hal ini dapat memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya melakukan pemanfaatan potensi pesisir dan laut di wilayah yang menjadi kewenangannya (Adimihardja 2001). Menurut Bengen et al. (2001) kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dalam pembangunan daerah akan memberikan manfaat, antara lain : •
Mengurangi beban kerja pemerintah pusat sehingga dana pembangunan sektor yang terbatas dapat dipadukan dengan dana pembangunan daerah yang semakin besar, termasuk mengalokasikan aparatur dan fasilitas yang dapat menangani pembangunan secara langsung.
•
Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan swasta karena pemberdayaan unit-unit
kerja
Pemerintah
Daerah
dan
kelembagan
masyarakat
akan
memudahkan pelayanan langsung ke pengguna jasa dan proses-prose perizinan. Mereka tidak lagi meminta izin ke instansi sektor di Jakarta untuk urusan yang bukan strategis nasional.
•
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, yang berimplikasikan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat.
•
Menempatkan kepentingan nasional di Daerah pada skala prioritas tinggi sehingga meningkatkan perhatian Pemerintah Daerah untuk ikut bertanggung jawab dalam melestarikan sumberdaya kelautannya. Dengan manfaat tersebut, maka diharapkan kerelaan semua pihak agar memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah selebar 12 mil dari titik pasang surut terendah, karena di
wilayah
ini
konflik
dan
konsentrasi
pemanfaatan
sumberdaya pesisir terjadi. Di sisi lain diharapkan Pemerintah Daerah secara proaktif memperjuangkan kewenangan tersebut menjadi milik mereka dengan menunjukkan komitmen yang kongkrit dalam pelaksanaan proyek-proyek kelautan yang telah diserahkan sebagian kepada daerah. 2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial dan menggunakan analisis spasial/keruangan (Prahasta 2001). Kemampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan pesisir dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang (pemetaan potensi) sumberdaya wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya dan sifat sangat dinamisnya. SIG berperan menyusun data dasar dan model analisa spasial sehingga didapat model dasar yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun skenario-skenario perencanaan dan identifikasi proyek pembangunan. Peranan model dalam merumuskan kriteria ke dalam bahasa SIG memegang peranan penting, bahkan inti persoalan dan kinerja SIG sangat ditentukan oleh sejauh mana merumuskan kriteria dan menterjemahkannya kedalam suatu
model. SIG diharapkan akan realistis dalam mengatasi suatu masalah pembangunan wilayah pesisir. Berdasarkan analisis SIG terhadap bentangan alam setidaknya dapat dihasilkan: (1) perencanaan tata ruang yang melestarikan kepentingan ekosistem; (2) evaluasi lahan untuk penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukungnya; (3) evaluasi lahan untuk keperluan observasi tanah, dan; (4) studi tentang dampak lingkungan suatu aktifitas yang rentan terhadap dampak lingkungan. Pertimbangan pertama yang melandasi pemakaian SIG dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir adalah: (1) pembangunan berkelanjutan mempersyaratkan bahwa perencanaan dan pengambilan keputusan hendaknya berdasarkan informasi yang sah dan akurat, (2) hampir semua permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu, dan (3) perencanaan sumberdaya alam memerlukan kombinasi berbagai macam informasi dari peta tematik. Sistem Informasi Geografis merupakan perangkat yang integratif, karena teknologi SIG dikembangkan dan terintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti geografi, statistik, kartografi, ilmu komputer, biologi, matematika, ekonomi, dan geologi. SIG sebagai sistem komputer terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, dan personal (orang) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, strukturisasi data, generalisasi data, transformasi data, pencarian data, menganalisa, persentasi grafik dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis. SIG dianggap sama dengan sistem informasi seperti sistem komputer design (Computer Aided Design/CAD), komputer kartografi, pengelolaan basis data (database management ), dan penginderaan jauh. SIG memiliki kelebihan dibandingkan sistem lainnya, seperti CAD adalah sistem komputer berbasis grafik namun kemampuan analisis terbatas dan kecil sekali kemampuan
berhubungan
dengan
basis
data,
komputer
kartografi
yang
memanfaatkan geografis digital (peta), tetapi struktur data sederhana sehingga tidak dapat menyajikan informasi kontur permukaan bumi, sistem managemen basis data
memiliki keterbatasan dalam pengelolaan analisis spasial tetapi berfungsi sebagai tempat menyimpan dan mengambil data atribut non-grafik, sistem pengolahan basis data digunakan SIG sebagai input atribut data, penginderaan jauh memiliki keterbatasan dalam pembuatan atribut data tetapi memiliki kemampuan analisis spasial yang baik, kelebihan kemampuan system tersebut terintegrasi pada SIG (Rahardjo 1996). Basis data merupakan komponen penting dalam SIG. Upaya pembuatan dan pemeliharaan basis data diperhitungkan sebelum memutuskan penggunaan SIG, khususnya di negara dimana basis data digital tidak tersedia meski sistem geografi telah dilakukan, diperkirakan lebih dari 80% upaya dibutuhkan untuk membangun basis data sebelum digunakan (Pheny et al. 1992, diacu dalam Dahuri 1998). Komponen penting lainnya adalah pengguna (user). Pengguna ini perlu melakukan pelatihan atau pengetahuan SIG, analisis spasial dan pengetahuan lapang. Menurut Sutanto (1994) potensi SIG untuk aplikasi yang lebih besar lagi dengan kemampuan mengintegrasikan data dari berbagai sektor, memerlukan pengetahuan pengguna dari berbagai disiplin ilmu, disamping keahlian khusus untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi ini. Fungsi utama SIG adalah pengumpulan data, penyimpanan, manipulasi, analisis dan presentasi grafik.
Model geografi biasanya terdiri atas: spasial dan atribut.
Spasial data mengacu kepada entitas (objek) dimana lokasi itu berada dipermukaan bumi (koordinat lintang-bujur). Atribut data merupakan karakteristik dari entitas lokasi tersebut seperti karateristik Kota Jakarta, karateristik wilayah pesisir dan sebagainya. Spasial data dapat bertipe vektor atau raster. Pada data vektor, entitas geografik seperti titik, garis dan area (Polygon) yang ditunjukan dengan koordinat XY. Pada struktur data vektor perbedaan diantara 2 informasi dibatasi oleh garis seperti batasan jenis tanah. Pada data raster, tampilan geografis diwujudkan sebagai unit area yang terputus-putus (diskret) seperti grid (sebagai pixel = satuan homogen terkecil) atau segitiga dan heksagonal yang tidak beraturan. Data raster ini mudah dioverlay-kan, karena struktur datanya sederhana dibanding data vektor (Prahasta 2001).
Menurut Gunawan (1998) berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG, yaitu: (1) Operasi titik (point operation), yaitu tipe analisis dengan memasukan beberapa formula aljabar dan overlay beberapa layer data; (2) Operasi Tetangga (Operation Neighbourhood) yakni tipe analisis yang menghubungkan titik pada suatu lokasi di permukaan bumi dengan semua informasi atributnya, dengan lingkungan disekitarnya, sebagai contoh menentukan kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan; (3) Analisis jaringan (Network analisis) yakni tipe analisis yang menghubungkan beberapa tampilan data (feature) berupa garis, seperti menentukan jalan dengan jarak terdekat diantara dua kota. Alat untuk melakukan analisis-analisis seperti tersebut d iatas telah tersedia pada beberapa perangkat lunak SIG.
Pada aplikasi penggunaan ketiga tipe analisis tersebut,
sepenuhnya tergantung kepada keahlian pengguna untuk menentukan tipe analisis mana yang akan dipakai.
Beberapa perangkat lunak SIG menyediakan fasilitas
bahasa pemrograman makro yang dapat diintegrasikan pada semua bentuk pekerjaan SIG. Dengan bahasa pemrograman tersebut pengguna dapat membuat aplikasi rutin untuk tujuan tertentu. Produk/output SIG dapat berupa peta (berwarna atau hitam putih), tabel, kesimpulan statistik, dan laporan (Dahuri 1998). 2.5.1. Integrasi penginderaan jauh dengan SIG Penginderaan jauh merupakan salah satu input data spasial bagi SIG, yang dapat secara temporal dan homogen untuk cakupan wilayah yang luas dengan ketelitian yang tinggi, setelah diolah dengan algoritma dan perangkat lunak pengolah citra agar akurat (Siregar 1998). Menurut Danoedoro (1996) beberapa cara untuk mengintegrasikan INDERAJA dengan SIG, antara lain melalui: a) Photo udara dan hasil photographi dari citra satelit setelah diolah dan diklasifikasikan, diinterpretasikan secara manual dan dijadikan peta tematik seperti: penutupan lahan, dapat digitasi ke dalam SIG.
b) Data digital INDERAJA dianalisis dan diklasifikasi secara digital, output dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian digitasi ke dalam SIG. c) Data digital dianalisis dan diklasifikasi dengan menggunakan metode digital otomatis hasilnya langsung dapat ditransfer ke dalam SIG. d) Data mentah hasil INDERAJA dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus. Data INDERAJA umumnya bersifat raster yang baik dan mudah digunakan SIG, sebab mudah di overlay, menurut Susilo (2000) terdapat beberapa keuntungan pengintegrasian INDERAJA dengan SIG, yaitu: •
Data INDERAJA dapat digunakan dengan cepat pada saat memperbaharui peta, khususnya pada kasus data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu proyek.
•
Basis data SIG dapat menyediaakan data tambahan untuk membantu dalam klasifikasi atau analisis data INDERAJA, dengan demikian dapat meningkatkan ketepatan peta yang dihasilkan.
Sebagai contoh penambahan data seperti
topografi, geologi, tanah dapat berguna untuk penunjuk yang vital bagi interpretasi penutupan lahan dibandingkan respon dari informasi spektral data INDERAJA. •
Data INDERAJA sangat bermanfaat bila dikombinasi dengan SIG dari sumber data lainnya, atau citra dari berbagai waktu dan spektrum yang berbeda disajikan secara bersama-sama. SIG memiliki fasilitas untuk menerima (integrasi) dari berbagai format data, khususnya data spasial yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis dan pemodelan fenomena-fenomena alami yang kompleks. Keunggulan komputer dan teknologi SIG yang terintegrasi dengan INDERAJA, merupakan sistem yang akurat dan ampuh untuk pengelolaan sumberdaya alam kawasan pesisir dan lautan.
2.5.2. Aplikasi SIG untuk pengelolaan di wilayah pesisir Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Menurut Dahuri (1998) hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi. 2.5.3. Kriteria SIG untuk pengelolaan wilayah pesisir Kriteria utama yang harus dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian SIG bagi pengelolaan wilayah pesisir adalah sebagai berikut : 1. Model dan struktur data yang digunakan dapat di pakai pada wilayah yang luas dengan ketelitian dan resolusi yang tinggi. 2. Data spasial maupun non spasial yang telah tersusun, dapat diperbaiki, disimpan, dapat diambil pada saat tertentu dan dapat ditampilkan secara efesien dan efektif. 3. Tersediannya peralat dengan kemampuan analisis spasial untuk pemodelan wilayah pesisir, yang dapat melakukan proses-proses analisis dan pemodelan tersebut. 2.5.4. Pemanfaatan SIG untuk studi wilayah pesisir Pada evaluasi kesesuaian SIG untuk tujuan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir (CZMP), terlebih dahulu harus diketahui kondisi spesifik dari wilayah pesisir yang mungkin diperlukan untuk studi SIG, seperti model data, struktur, algoritma dan teknik pengelolaan basis data (Bartlett dalam Dahuri
2000). Sebagai objek dengan sifat yang kompleks dan dinamis, wilayah pesisir dapat dikategorikan memiliki karakteristik : a) Luasan : merujuk pada luasan lautan yang masih terpengaruh oleh kegiatan di daratan dan wilayah terestrial. b) Kedalaman : berhubungan dengan volume air, dengan variabel distribusi vertikal dari arus dan nutrien yang mempengaruhi penyebaran ikan dan terumbu karang serta pembalikan sediment (up welling). c) Luasan wilayah pesisir memiliki batas yang semu (fuzzy boundaries), sebagai contoh garis yang memisahkan darat dan laut; apakah wilayah pesisir itu termasuk dalam wilayah darat atau laut, belum terdefinisi secara tepat. d) Kisaran yang lebar skala dan resolusi data spasial diperlukan untuk menjelaskan proses dan fenomena yang berbeda di wilayah pesisir, pengukuran harus dimulai dari satuan terkecil, seperti proses kimia pada pasir dan batu di zona intertidal, sampai skala puluhan, ratusan atau ribuan kilometer (seperti : daerah penangkapan ikan, perubahan garis pantai, dan area pengoperasian alat tangkap ikan). Idealnya SIG dapat mengakomodasi kondisi khusus dan kompleks dari wilayah pesisir.
Pada saat ini SIG mampu ditampilkan dalam format 2 dan 3
dimensi. Tambahan dimensi lain yaitu waktu untuk menformulasikan proses dinamik seperti proses-proses di wilayah pesisir. Beberapa masalah komplek di wilayah pesisir tidak dapat dikerjakan baik secara spasial maupun temporal dalam SIG, tetapi dapat diintegrasikan dengan perangkat lunak lain seperti oil map untuk membuat pemodelan sebaran tumpahan minyak di wialayah pesisir dan laut. Kemungkinan dimasa datang yang akan ditingkatkan kemampuan SIG ini. Bagaimanapun juga SIG telah dapat digunakan untuk pemodelan spasial dan
analisis wilayah pesisir yang sangat bermanfaat bagi perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. 2.5.5. Keuntungan SIG pada perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam Keuntungan menggunakan SIG pada pengelolaan sumber daya alam (SDA) sangat dianjurkan dan telah dikembangkan di beberapa negara untuk berbagai tipe SDA, seperti areal konservasi dan pengelolaan hutan. Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan pengelolaan SDA sebagai berikut: •
Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber.
•
Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data di antara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait.
•
Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada pekerjaan manual.
•
Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan.
•
Memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien, terutama grafik.
•
Mampu menampung data dalam volume yang besar. Dengan sistem yang terintegrasi, SIG mampu melakukan pemodelan dengan multikriteria yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan SDA di wilayah pesisir, terutama pada pendekatan secara holistik/integral.
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: pengumpulan data dan informasi, analisis data dalam dua tahap analisis (Analisis Spasial dan Analisis Hierarki Proses). Tahapan-tahapan kedua analisis tersebut dapat dilihat dalam gambar 5. Kawasan pesisir Teluk Kelabat Pengumpulan data Persepsi Pemerintah Masyarakat Swasta
Perencanaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat
Proses analisis hierarki
Analisis keruangan
Rekomendasi pemanfaatan ruang kawasan pesisir Teluk Kelabat
Gambar 5. Diagram alir penelitian
Data spasial
3.1
Pengumpulan data dan informasi Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapangan untuk konfirmasi jenis penggunaan lahan dan wawancara dengan menggunakan kuisioner. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dan laporan dari berbagai instansi. Data yang dikumpulkan berupa data fisik, sosial dan ekonomi, seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Data, jenis, dan sumber potensial Kabupaten Bangka No 1 2
Data Peta rupa bumi Peta penggunaan lahan
Jenis Peta Peta
Sumber Bakosurtanal, Bappeda BPN, Bappeda
3
Peta
Bappeda
4 5
Peta RUTR kota Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus Peta kemampuan tanah Topografi
Peta Peta
BPN Bappeda, BPN
Daya dukung Kemiringan lereng Ketinggian
6
Tanah
Statistik
Bappeda, Puslitan
Jenis, solum, struktur dan tekstur
7
Sarana dan prasarana
Statistik
PU, PLN, TELKOM, PAM
Jaringan jalan, listrik, telepon, air minum
8
Kependudukan
Statistik
BPS, Bappeda
Jumlah dan pertumbuhan penduduk
Parawisata, Pelabuhan, Pertanian, Perindustrian, Perikanan, BPS,P2OLIPI Bappeda, BPS, Perikanan, PT Timah Tbk, P2O LIPI Jakarta.
Laporan data parawisata, kapal, pertanian, industri
9
Produktivitas
Statistik
10
Biofisik pantai, pesisir dan cuaca, data pokok kelautan
Statistik
11
Data pokok pembangunan
Statistik
Bappeda
Keterangan Penggunaan lahan, Kawasan hutan
Tipe Pantai,arus ekosistem, kerawanan bencana, pasut, gelombang, batimetri, sungai, sedimentasi, abrasi, curah hujan, angin, intensitas hujan Ekonomi
Data dan informasi yang didapatkan, dihasilkan melalui dari dua cara, yaitu pengumpulan data dan wawancara.
3.1.1. Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penyusunan peta kawasan pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data tabuler. Data spasial yang digunakan berasal dari peta topografi sebagai peta dasar dan beberapa peta tematik, seperti peta kemiringan lereng, peta ketersediaan air tawar, peta ketinggian, peta jenis tanah, peta drainase, peta penggunaan tanah, peta rawan bencana, peta sempadan pantai, peta kedalaman dan arus, peta jalan, dan peta sungai. Untuk menghasilkan data digital, peta yang digunakan adalah peta data pokok dengan skala 1 : 50.000 yang dikumpulkan dari Pemda Bangka dan Bappeda Kabupaten Bangka. Sedangkan data tabuler dimasukkan sebagai bagian dari sistem informasi geografis (SIG).
3.1.2. Wawancara responden Pengumpulan data sebagai bahan analisis penentuan prioritas alternatif lokasi kawasan dan penentuan prioritas kegiatan dilakukan melalui wawancara menggunakan kuisioner (terlampir). Responden yang dilibatkan dipilih secara purposive sampling, yaitu penentuan responden dengan pertimbangan bahwa responden adalah pelaku (individu atau lembaga) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung, responden yang memiliki keahlian khusus, dan yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan terkait dengan Perencanaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus. Adapun nama-nama responden dapat dilihat pada lampiran 1.
Penentuan prioritas kegiatan penggunaan lahan dilakukan terhadap 25 orang responden, yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta dan masyarakat. Responden dari unsur pemerintah di lingkup Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Bangka berjumlah 11 orang, yaitu pejabat dan staf yang menguasai permasalahan yang berasal dari beberapa instansi/lembaga, Responden dari unsur swasta berjumlah 7 orang, terdiri dari para pengusaha . Sedangkan responden dari unsur masyarakat berjumlah 7 orang, terdiri dari tokoh masyarakat Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus, Lembaga Swadaya Masyarakat (Lintas Pelaku). Variabel yang diamati untuk mengetahui pemanfaatan ruang kawasan dan skenario pemanfaatannya yang optimal, serta untuk mengetahui permasalahan mendasar dan kebijakan apa yang perlu diambil untuk mengkaji perencanaan, anatara lain : Perencanaan tata ruang kawasan pesisir dalam bentuk penempatan setiap kegiatan pembangunan harus dilakukan secara berimbang antara kepentingan sosial ekonomi dengan kepentingan ekologisnya. Melalui penempatan spasial tersebut terjaga ekosistem dan terdapat keharmonisan spasial antara kawasan peruntukan pemanfaatan dengan kawasan lindung atau penyangga. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan adalah mempertemukan dimensi kepentingan sosial-ekonomis dengan dimensi ekologis, sehingga ketiga dimensi tersebut dapat diakomodir secara proporsional dan pembangunan berkelanjutan dapat terjamin.
Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan harus bersesuaian dengan kebutuhan biofisik–kimianya, sehingga terbentuk suatu mosaik yang harmonis, dalam arti kesesuaian satu sama lainnya. Perencanaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus harus dilakukan dengan analisis kesesuaian daya dukung lahan. Analisis kesesuaian ini dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Hal ini tentunya perlu ditunjang oleh ketersediaan data kondisi fisik dan sosial ekonomi dari sumberdaya alam/lahan yang ada. Masukan data untuk analisis SIG yang diperoleh dari berbagai sumber, dikompilasikan dalam suatu basis data digital. Basis data ini mengandung data berbagai tema, misalnya penggunaan tanah, batas administrasi, penyebaran penduduk, prasarana (transportasi, jalan, kualitas jalan, pendidikan dan kesehatan), kemiringan lahan dan lainnya. Tema-tema ini disajikan di dalam lapisan lapisan (layers) informasi yang berbeda. Selanjutnya, terhadap lapisanlapisan informasi tersebut dibobot sesuai tingkat kepentingan masing-masing. Dari analisis tumpang susun akan diketahui daerah potensial yang dapat dikembangkan untuk penggunaan lahan industri, perikanan, pariwisata dan pelabuhan yang sesuai dengan daya dukung lahan tersebut. i.
Manfaat dan kerugian ekonomi bila Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus dikelola menjadi kawasan industri, kawasan pelabuhan, kawasan pariwisata dan kawasan perikanan
ii. Manfaat dan kerugian lingkungan bila Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus dikelola menjadi kawasan industri, kawasan pelabuhan, kawasan pariwisata dan kawasan perikanan. iii. Manfaat dan kerugian sosial bila Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus dikelola menjadi kawasan industri, kawasan pelabuhan, kawasan pariwisata dan kawasan perikanan. iv. Manfaat dan kerugian teknologi bila Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus dikelola menjadi kawasan industri, kawasan pelabuhan, kawasan pariwisata dan kawasan perikanan.
3.2
Analisis data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial (keruangan) dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan analisis hierarki proses (AHP) untuk penetuan prioritas pemanfaatan.
3.2.1. Analisis spasial Secara singkat Langkah-langkah analisis sistem informasi geografis adalah: (i) pengkompilasian peta-peta tematik bagi kawasan, (ii) penyusunan matrik kesesuaian, (iii) pembobotan dan pengharkatan, serta (iv) analisis spasial. 3.2.1.1. Pengkompilasian peta tematik Pengkompilasian peta-peta tematik berdasarkan pengumpulan data sekunder yang sudah dalam bentuk peta digital. Data digital tersebut terdiri dari penggunaan lahan saat ini, peta kemiringan lereng, peta ketinggian, peta drainase, peta rawan bencana, peta ketersediaan air, peta sempadan pantai, peta batimetri dan arus, peta sungai, peta jalan, dan peta jenis tanah.
3.2.1.2. Penyusunan matrik kesesuaian Langkah selanjutnya adalah penyusunan matriks kesesuaian untuk pengembangan pariwisata, industri, pelabuhan dan perikanan berdasarkan kriteria teknis. Matrik ini merupakan parameter kesesuaian bagi peruntukan penggunaan lahan. Adapun kriteria peruntukan penggunaan lahan menurut Sugiarti et al. (2000), Sjafi’i et al. (2001), Amien (1997), dan Arsy (1997) adalah sebagai berikut: a) Kriteria kawasan pariwisata pesisir: • Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan • Tingkat rawan bencana: sangat rendah sampai ringan • Drainase: tidak tergenang • Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran, reklamasi • Tipe tanah: pasir, pasir berlempung • Sempadan pantai dan sungai b) kriteria kawasan perikanan: • Kekeruhan 2-30 NTU • Salinitas 27-33 % • Oksigen terlarut minimal 3 ppm • Suhu 27 –32 °C • Arus perairan 5-15 cm/detik • Kecerahan > 3 meter • Kadar padatan tersuspensi 5-25 ppm • Derajat keasaman 6,5 –9,0 c) kriteria kawasan industri: • Ketinggian: pedataran sampai perbukitan sedang • Kemiringan lereng: 0 – 8 % • Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan
• Rawan bencana: sangat rendah sampai ringan • Drainase: tidak tergenang • Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran, reklamasi d) kriteria kawasan pelabuhan: • Ketersediaan air tawar terletak pada air permukaan dan daerah resapan • Rawan bencana: sangat rendah sampai ringan • Drainase: tidak tergenang • Penggunaan lahan: alang-alang, semak, hutan, kebun campuran, reklamasi • Ketinggian: pedataran sampai perbukitan sedang • Kedalaman: > 13 meter • Pasang surut: < 2 meter • Gelombang laut: < 0,2 meter • Arus laut: < 0,5 knot • Angin: < 8,5 knot Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 kelas, yaitu kelas S1 (sangat sesuai, highly Suitable), kelas S2 (sesuai, suitable), dan kelas N (tidak sesuai, not suitable), yang masing-masing didefinisikan sebagai berikut (Safi,i 2001): Kelas S-1 : Sangat sesuai (highly suitable), yaitu: Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari biasa yang dilakukan dalam mengusahakan lahan tersebut. Kelas S-2 : Sesuai (suitable), yaitu:
Lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari.
Pembatas tersebut akan
mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh, serta meningkatkan masukan (input) untuk mengusahakan lahan tersebut. Kelas N : Tidak sesuai (not suitable), yaitu: Lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, sehingga tidak mungkin untuk dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu secara lestari. Sumber : Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, 1997.
3.2.1.3. Pembobotan (Weighting) dan pengharkatan (scoring) Pembobotan (weighting) pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan berdasarkan tingkatan dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan. Pembobotan setiap parameter berdasarkan pada tingkat kepentingan suatu peruntukan penggunaan lahan. Besar pembobotan untuk setiap parameter ditentukan terbesar 3 dan terkecil 1. Pengharkatan (scoring) untuk menilai beberapa faktor pembatas/parameter terhadap suatu evaluasi kesesuaian peruntukan lahan. Pemberian nilai (scoring) pada setiap parameter berdasarkan pada tingkat kesesuaian dari tiap kelas yang ada pada tiap parameternya. Pemberian pengharkatan dapat pula berdasarkan pengaruh dari tiap kelas pada parameternya. Sedangkan pemberian kelas pada setiap faktor pembatas/parameter berdasarkan pada besar skor/nilai yang
diperoleh dan ditentukan berdasarkan selang untuk kelas sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai. 3.2.1.4. Tumpang susun (overlay) Analisis spasial dengan cara tumpang susun (overlay) terhadap evaluasi kesesuaian lahan, diikuti pembobotan dan pengharkatan, terdiri dari: a. Evaluasi kesesuaian lahan untuk pariwisata b. Evaluasi kesesuaian lahan untuk perikanan c. Evaluasi kesesuaian lahan untuk industri d. Evaluasi kesesuaian lahan untuk pelabuhan. Dari hasil analisis ini diperoleh peta yang mendeskripsikan pola penggunaan lahan yang sesuai bagi peruntukan masing-masing kawasan tersebut. 3.3
Proses Analitik Hierarki (Analytical Hierarchy Process) Metode analisis ini merupakan suatu pendekatan analisis kebijakan prioritas dalam perencanaan penataan ruang yang tepat dengan menstruktur suatu persoalan sebagai suatu hierarki, dimana pihak-pihak yang berkepentingan itu di tingkat yang paling tinggi karena kekuatan mereka untuk mempengaruhi hasil akhir merupakan faktor dominan. Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif. Peralatan utama analisis hierarki proses (AHP) adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia, serta hierarki suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok yang berjenjang membentuk hierarki (Saaty 1993). Setelah menyusun komponen-komponen ini kedalam hierarki, maka diberikan nilai dalam angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian subyektif terhadap relayif pentingnya setiap bagian itu. Penilaian tersebut kemudian disentesiskan (melalui penggunaan eigen vektor) guna menentukan variabel yang mempunyai prioritas tertinggi (Aziz 1994). Pendekatan metode AHP yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang yang terjadi, dengan cara memilih/menentukan prioritas
kegiatan/penggunaan lahan yang optimal, menggunakan bantuan perangkat lunak “ Expert Choice” (Permadi 1992). Ditambahkan oleh Tomboelu et al. (2000) bahwa pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya dapat memberikan skenario optimal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (yang tidak terukur) ke dalam ukuran yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Adapun langkah analisis data AHP menurut Saaty (1993) adalah sebagai berikut: 1. Mendifinisikan masalah dan menentukan solusi yang diiinginkan 2. Menyusun struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan 5. Menghitung matriks pendapat individu dan gabungan, mengolah horizontal, vektor prioritas atau vektor ciri (eigen vektor), akar ciri atau nilai eigen (eigen value) maksimum, mengolah vertikal dan menguji indeks konsistensinya. Jika tidak konsisten, maka pengambilan data diulangi dengan cara melakukan revisi pendapat. Sebagai implementasi dari tahapan / langkah-langkah tersebut di atas adalah sebagai berikut :
3.3.1. Mendefinisikan masalah dan solusi yang diinginkan Penentuan prioritas kegiatan penggunaan lahan pada Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus dilakukan dengan metode AHP dan Benefit Cost Analysis. Pemecahan masalah dan solusi yang diinginkan yaitu mendapatkan skenario yang optimal bagi pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus. Oleh karena itu untuk menyusun suatu analisis yang mengaplikasikan dua metode pendekatan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat dan biaya dari pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus. 3.3.1.1. Aspek ekonomi Aspek ekonomi mempengaruhi keputusan akan pemilihan/penentuan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan. Kriteria dari aspek ini dijabarkan menjadi faktor manfaat (pendapatan dan sektor informal), dan biaya/kerugian (modal dan biaya operasional dan pemeliharaan) yang mungkin terjadi dengan uraian sebagai berikut: 3.3.1.1.1. Pendapatan. Kegiatan industri, perikanan, pariwisata dan pelabuhan akan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat setempat dan penanaman investasi merupakan aset yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah 3.3.1.1.2. Sektor Informal.
Adanya industri, parawisata, pelabuhan dan perikanan di suatu daerah akan menumbuhkan sektor informal, dapat berupa usaha di bidang perdagangan, jasa dan transportasi yang sangat menunjang perekonomian penduduk setempat. 3.3.1.1.3. Modal. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan modal uang yang tidak sedikit, bahkan perlu tahapan dalam melaksanakan kegiatan 3.3.1.1.4. Biaya operasional dan pemeliharaan. Dalam menjalankan kegiatan dibutuhkan biaya operasional untuk upah, bahan dan alat serta pemeliharaan bangunan dan alat-alat agar tetap berfungsi dalam proses produksi.
3.3.1.2. Aspek Lingkungan Pertimbangan aspek lingkungan dalam menentukan prioritas kegiatan adalah untuk menunjang pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan berkelanjutan. Adapun kriteria dari aspek lingkungan dapat dijabarkan menjadi faktor manfaat (perlindungan pantai dan estetika), dan biaya/kerugian (pencemaran dan degradasi lingkungan) yang mungkin terjadi, yaitu sebagai berikut: 3.3.1.2.1. Perlindungan pantai. Adanya kegiatan industri, pariwisata, pelabuhan dan perikanan akan menjaga lingkungan pantai agar tetap berfungsi secara alami, sehingga dapat dihindari angin yang kencang dan abrasi pantai untuk menjamin keberlanjutan usaha 3.3.1.2.2. Estetika.
Kawasan yang terbangun dengan perencanaan yang baik akan memberikan suasana yang nyaman dan sehat sebagai tempat tinggal, serta dapat memberikan gairah dalam bekerja 3.3.1.2.3. Pencemaran. Proses produksi kegiatan industri, pariwisata, pelabuhan dan rumah tangga menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan apabila tidak dilakukan pengelolaan limbah secara benar. Pencemaran lingkungan dapat mengganggu kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem wilayah pesisir. Pembuangan limbah ke perairan harus tidak melebihi kapasitas asimilasinya. 3.3.1.2.4. Degradasi Lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak bertanggung jawab dari kegiatan industri, parawisata dan pelabuhan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan atau menyebabkan penurunan kualiatas lingkungan hidup. Sehingga perlu dilaksanakan kegiatan yang ramah lingkungan.
3.3.1.3. Aspek Sosial Aspek Sosial. Pertimbangan aspek sosial dalam penentuan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang wilayah pesisir merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan aspek-aspek lainnya dalam pembuatan kebijakan. Hal ini disebabkan kebijakan tersebut akan berdampak positif, dapat diterima serta direspons masyarakat apabila masyarakat ikut serta menikmati dan merasa memiliki hasil dari kebijakan. Faktor manfaat (tenaga kerja dan rekreasi), dan biaya/kerugian (perubahan gaya hidup dan kecemburuan sosial) dari aspek sosial ini yang mungkin terjadi adalah:
3.3.1.3.1. Tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja yang besar pada kegiatan industri, pariwisata dan pelabuhan akan berimplikasi pada pemanfaatan sumberdaya manusia setempat, sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan perikanan merupakan sumber penyediaan tenaga kerja yang sangat dibutuhkan oleh kegiatan tersebut. 3.3.1.3.2. Rekreasi. Kawasan yang terletak di pesisir pantai akan menjadi lebih menyenangkan dan indah dengan adanya penataan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Hal tersebut akan memberikan suasana rekreatif dan menyegarkan 3.3.1.3.3. Perubahan gaya hidup. Pertumbuhan ekonomi yang baik dan meningkatnya pendapatan akan berdampak kepada pola hidup yang cenderung konsumtif dan mengikuti pola zaman serta berpotensi mengubah budaya 3.3.1.3.4. Kecemburuan sosial. Kesenjangan sosial berpotensi terjadi dalam hubungan antara pengusaha, karyawan dan masyarakat, yang terkadang membawa dampak kurang baik dan merugikan semua pihak bila terjadi aksi yang anarki, dan tuntutan yang berlebihan akan dapat menghambat pekerjaan 3.3.1.4. Aspek teknologi Pertimbangan aspek teknologi dalam penentuan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang adalah karena teknologi sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah di masa mendatang. Melalui berbagai kegiatan seperti industri, perikanan, parawisata dan pelabuhan, maka faktor manfaat (transfer teknologi dan mutu bersaing), dan biaya/kerugian (penggangguran dan tekanan terhadap produksi tradisional) yang mungkin terjadi adalah:
3.3.1.4.1. Transfer teknologi. Kegiatan yang berteknologi tinggi membutuhkan tenaga kerja yang ahli, dan hal ini akan memacu untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil menggunakan teknologi serta dapat belajar lebih baik setelah mengikuti kegiatan tersebut. 3.3.1.4.2. Mutu bersaing. Produksi yang berbasis teknologi tentunya akan menghasilkan produk yang berkualitas baik dan mampu menghadapi persaingan global 3.3.1.4.3. Pengangguran. Umumnya penggunaan alat dan mesin berteknologi tinggi dalam menggantikan tenaga kerja akan berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja. Sehingga tenaga kerja yang memiliki keahlian terbatas akan menganggur 3.3.1.4.4. Tekanan terhadap produksi tradisional. Apabila kegiatan pada kawasan industri menghasilkan produk yang sama dengan yang dihasilkan oleh masyarakat secara tradisional, maka produk tradisional masyarakat akan tersaingi, karena kalah bersaing dalam hal higienitas, kemasan dan promosi. Selanjutnya hal ini akan berdampak menghambat perkembangan usaha tradisional, bahkan dapat mematikan industri rumah tangga masyarakat lokal.
3.3.2. Membuat struktur hierarki Struktur hierarki prioritas manfaat Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus disajikan pada Gambar 10. Sedangkan struktur hierarki prioritas kegiatan penggunaan lahan pada Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus disajikan dalam Gambar 11.
PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI
MODAL
BIAYA OPRSINL PEMELI HARAAN
INDUSTRI
LINGKUNGAN
PENCEMARAN
SOSIAL
DEGRADASI
PERIKANAN
PERUB GAYA HIDUP
PARIWISATA
TEKNOLOGI
KECEM BURU AN SOSIAL
PENGA NGGUR AN
TEK THD PROD TRADS
PELABUHAN
Gambar 7 Hierarki prioritas kegiatan manfaat pengelolaan kawasan
3.3.3. Membuat matriks perbandingan berpasangan Matriks perbandingan berpasangan ini menggambarkan kontribusi atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan “ judgement” pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan dengan elemen yang lainnya. Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan, yang dimulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah.
Tabel 4 Skala perbandingan secara berpasangan
Tingkat kepentingan
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya
7
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek
9
Satu elemen mutlak lebih penting dari pada elemen lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan
Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i
3.3.4. Melakukan perbandingan berpasangan Bila vektor pembobotan elemen-elemen opereasi A1, A2, A3 dinyatakan sebagai vektor W = (w1, w2, w3), maka nilai intensitas kepentingan elemen operasi A1 Terhadap A2 dapat dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen operasi A1 terhadap A2, yakni w1/w2 yang sama dengan a12. Sehingga matriks perbandingan dinyatakan sebagai berikut (Saaty 1999):
A1 A2 A3 ................................... An
A1
w1/w2 w1/w2 w1/w3 .................................... w1/wn
A2
w2/w1 w2/w2 w2/w3 .................................... w2/wn
A3
w3/w1 w3/w2 w3/w3 ................................... w3/wn
. An
. . .................................
.
. . .................................
. wn/wn
.
Nilai wi/wj, dengan ij = 1, 2, 3 ...........n didapat dari hasil kuisioner terhadap responden. Responden adalah orang-orang yang berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis. Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom w (w1, w2, w3, ........... wn) maka diperoleh hubungan : AW = nW
........................................ (1)
Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut : (A – nI) W = 0 .................................. (2) dimana I = matriks identitas.
3.3.5. Menghitung akar ciri, vector ciri dan menguji konsistensi Sebelum penghitungan akar ciri (eigen matriks), terlebih dahulu perlu dihitung matrik pendapat individu sebagai berikut.
3.3.5.1. Matrik pendapat individu Formulasi matrik pendapat individu adalah sebagai berikut :
C1
C1
C2
.....
Cn
1
a12
.....
a1n
A = (aij)=
C2
1/a12
.....
......
.......
.....
.....
Cn
1/a1n
1/a2n
.....
1
1
.....
a2n
Dalam hal ini C1, C2, ......, Cn adalah set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matrik n x n. Nilai aij merupakan nilai matrik pendapat hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.
3.3.5.2. Menghitung akar ciri (nilai eigen matriks) Untuk mendapatkan akar ciri (n) maka harus ada kondisi : [A – n] = 0
Sebagai contoh, dijelaskan dengan menggunakan matriks A, maka : 1 a a
21 31
1 a a
a 12 1 a 32
a a
a
a a
31
a
23
−
n
1
12
1
21
1 0 0
13
n 0 0
13 23
−
1
32
0 1 0 0 n 0
0 0 = 0 1 0 0 n
= 0
Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri n1, n2, n3. 3.3.5.3. Menghitung vektor ciri [A
1 a 21 a 31
-n
a 12 1 a 32
a 13 1 a 23 − 2 0 1 0
0 1 0
sehingga diperoleh :
I]
W
0 w1 0 w2 1 w3
= 0
1− 2
a12
a 21 a 31
= 0
a13
w1
0
1 − 2 a 23 w 2 = 0 a 32 1 − 2 w3 0
Pada akhir perhitungan akan diperoleh vektor ciri dari w1, w2, w3. Vektor ciri tersebut memberikan informasi pilihan skenario yang optimal.
3.3.5.4. Menghitung konsistensi Consistency Index (CI) merupakan indikator yang menyatakan penyimpangan konsistensi sedangkan Consistency Ratio (CR) adalah indikator untuk menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Kedua indikator tersebut diperlukan
untuk menguji tingkat konsistensi dari pembobotan. Pada keadaan yang sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan faktor yang dibandingkan, sehingga matriks tersebut tidak konsisten. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi, dengan persamaan : λ maks - n CI = -------------n
dimana λ maks = akar ciri maksimum n = ukuran matriks
- 1
Indek konsistensi (IK) adalah matriks random dengan skala penilaian 9 (19) beserta kebalikannya sebagai indeks random (RI).
CI CR = ----------RI Untuk mengetahui konsistensi secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan dapat diukur dari nilai consistency ratio (CR). Consistency ratio adalah perbandingan antara consistency indeks (CI) dengan indeks random (RI), dimana nilai RI telah ditentukan. Matrik perbandingan dapat diterima jika nilai CR ≤ 0,1 dan bila CR> 0,1 maka langkah-langkah sebelumnya harus diulangi lagi (Saaty 1993).
3.3.5.5. Menghitung matrik pendapat gabungan Matrik pendapat gabungan (G) merupakan susunan matrik baru yang elemen matriknya (gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu (aij) yang nilai consistency ratio (CR) memenuhi syarat. Tujuan dari penyusunan matriks pendapat gabungan ini adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta vektor prioritas dari elemen-elemen hierarki yang mewakili semua responden. Pendapat gabungan ini menggunakan formulasi sebagai berikut:
m
n
ð aij (k)
G = gij = k=1 Dimana: gij
= elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
aij (k) = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j untuk matriks pendapat individu yang consistency ratio (CR) memenuhi persyaratan ke-k k
= 1,2,3,… n
m
= jumlah matrik pendapat individu dengan CR yang memenuhi persyaratan atau jumlah responden
3.3.5.6. Menghitung pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya
Kerangka Proses Hierarki Analitik (AHP) menggunakan kerangka manfaat/biaya (kerugian), maka nilai ekonomi, lingkungan dan sosial dari masing-masing alternatif pengelolaan dihitung berdasarkan nilai perbandingan manfaat dan biaya (benefit cost ratio). Nilai B/C > 1 atau yang maksimum adalah skenario optimal yang dipilih dalam pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus. Sedangkan nilai B/C < 1 adalah skenario alternatif yang dalam pelaksanaannya harus meminimalkan biaya/kerugian atau dampak yang ditimbulkan .
3.3.6. Kriteria kesesuaian lahan untuk industri Tabel 5 Kriteria kesesuaian lahan untuk industri Karakteristik lahan
Kemiringan lereng (%) Prasarana jalan (m) Ketersediaan air tawar (l/dt) Kedalaman effektif tanah (cm) Ketinggian (m) Draenase
Tingkat sangat sesuai
Tingkat sesuai terbatas
Tingkat tidak sesuai
S-1 3-8 0-300 >15 31-60 6-15 Tidak tergenang
S-2 9-15 300-500 10-15 61-90 16-20 Tidak tergenang
N <2/>16 >500 5-10 <30/>91 <6/>20 Tergenang periodik
3.3.7. Kriteria kesesuaian perairan budidaya perikanan •
Kekeruhan 2-30 NTU
•
Salinitas 27-33 %
•
Oksigen terlarut minimal 3 ppm
•
Suhu 27 –32 °C
•
Arus perairan 5-15 cm/detik
•
Kecerahan > 3 meter
•
Kadar padatan tersuspensi 5-25 ppm
•
Derajat keasaman 6,5 –9,0
3.3.8. Kriteria kesesuaian pelabuhan Tabel 6 Kriteria kesesuaian pelabuhan Karakteristik Perairan
Tingkat sangat Tingkat sesuai sesuai terbatas S-1 S-2 Angin (knot) <8,5 8,5-18 Tinggi gelombang (m) <0,2 0,2-1,2 Batimetri (m) >13 5,5-12 Pasang surut (m) <2 2-4 Arus laut (knot) <0,5 0,5-1 Luas areal (m2 ) >126.000 40.000-126.000 Sumber: Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
Tingkat tidak sesuai N >18 >1,2 <5,5 >4 >1 <40.000
FAO modifikasi (76) dalam Sugiarti Deperindag. dalam Sugiarti Departement Physical Geography. Fakultas Geografi UGM
3.3.9. Kriteria kesesuaian pariwisata Tabel 7 Kriteria kesesuaian pariwisata Karakteristik Lahan
Tingkat kesesuaian
Buffer garis pantai (m) Aksessibilitas (km) Penggunaan lahan Tipe tanah Rawan bencana
S-1 <300 <1 Lahan terbuka Berpasir Rendah
S-2 300-700 1-2 Pemukiman Pasir lempung Sedang
N >700 >2 Industri/hutan Liat Tinggi
Keterangan: Kelas S-1 : Sangat Sesuai (higly Suitable), yaitu: Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan
tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai
pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari biasa yang dilakukan dalam mengusahakan lahan tersebut. Kelas S-2 : Sesuai (Suitable), yaitu: Lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari.
Pembatas tersebut akan
mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan (input) untuk mengusahakan lahan tersebut. Kelas N : Tidak Sesuai (Not Suitable), yaitu: Lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, sehingga tidak mungkin untuk dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lastari.
3.3.10. Penentuan bobot, skor dan kelas untuk masing-masing kategori Pembobotan setiap parameter berdasarkan pada tingkat kepentingan suatu peruntukan penggunaan lahan. Besar pembobotan ditentukan terbesar relatif dan terkecil relatif. Pemberian nilai (scoring) pada setiap parameter berdasarkan pada tingkat kesesuaian dari tiap kelas yang ada pada tiap parameternya.
Pemberian nilai /
pengharkatan dapat pula berdasarkan pengaruh dari tiap kelas yang ada pada tiap parameternya. Besar nilai (scoring) tertinggi relatif dan terendah relatif. Untuk penentuan bobot, skor dan kelas untuk masing-masing katagori dapat dilihat pada tabel yang terletak pada lampiran.
PENENTU AN PRIORITAS KEGIATAN PENGELOL AAN KAW ASAN TELUK KEL AB AT
Tingkat I Tujuan Utama
Tingkat II Aspek
Tingkat III Kriteria
Tingkat IV Prioritas
EKONOMI
• • • •
Pendapatan Sektor informal Modal Biaya operasional
INDUSTRI
LINGKUNGAN
• • • •
Perlind. Pantai Estetika Pencemaran Degradasi
PERIKANAN
SOSIAL
• • • •
Tenaga kerja Rekreasi Gaya Hidup Cemburu Sosial
PARIWISATA
Gambar 6 Analisis hierarki kegiatan peruntukan ruang
TEKNOLOGI
• • • •
Trans. Teknologi Mutu saing Pengangguran Tek. Prod. tradisional
PELABUHAN
IV. KONDISI UMUM 4.1
Kondisi perairan Teluk Kelabat
4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Kelabat Propinsi Kepulauan Bangka- Belitung. Perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung yang diteliti adalah perairan antara 01o 25’ 00” LS, - 105o 32’ 00” BT dengan 0o 32’ 39,84” LS, - 105o 41’ 34,50” BT.Perairan sekitar Teluk Kelabat, Pulau Bangka memiliki ekosistem muara sungai (estuaria), ekosistem mangrove dan ekosistem karang. Bentuk Teluk Kelabat cukup unik seolah-olah terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar melebar di tengah menyempit dimana terletak Pelabuhan Belinyu dan bagian dalamnya melebar lagi. Bagian dalam teluk memiliki dua estuaria yang cukup besar yaitu estuaria Layang dan estuaria Antan. Teluk Kelabat merupakan bagian dari perairan pulau Bangka yang menjorok ke daratan dalam dua cekungan. Cekungan pertama (bagian utara) berupa mulut dan bibir teluk, pada bagian ini sebagian substrat paparan terumbu belum tercemar oleh sedimen lumpur. Di bagian cekungan ke dua (bagian selatan/dalam) substrat paparan terumbu berlumpur, di lokasi ini tempat penambang timah. Dalam kaitannya dengan kegiatan budidaya perikanan, maka pada bagian cekungan pertama mulut dan bibir pantai masih layak untuk budidaya rumput laut. Pantai/ paparan terumbu rata-rata dengan substrat pasir, gravel, batu karang, karang mati dan karang hidup. Perairan pantai cekungan pertama sebelah barat dan timur serta kedua bibir mulut teluk ditemukan pertumbuhan
algae/rumput laut. Kehadiran rumput laut ini merupakan indikasi dari faktor hidrologi dan substrat yang lebih baik dibandingkan cekungan kedua yang tidak ditemukan pertumbuhan algae atau lamun dan substrat berlumpur. Untuk Lebih jelasnya paparan rumput laut dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8. Kehadiran rumput laut di Teluk Kelabat, Bangka Belitung Nama Rumput laut 1 Chlorophyceae Halimeda discoidea
2
3 4 5 6 7
Halimeda opuntia Neomeris annulata Ulva lactuca Phaeophyceae Dictyota dichotoma Hormophysa triquetra Lobophora variegata Padina australis Sargassum polycystum Sargassum echinocarpum Turbinaria ornata Rhodophyceae Acanthophora spicifera Actinotrichia fragilis Amphiroa foliacea Amphiroa fragilissima Chondrococcus hornemannii Halymenia durvillaei Hypnea sp. Galaxaura silindrica Gracilaria eucheumioides
Sumber : P2O LIPI 2003. Jakarta Keterangan : + = ada - = tidak ada
Lokasi penelitian Tanjung. Meliala Tanjung penyusu +
+
+ + +
+ + +
+ + + + + +
+ + + -
+ + + + + + + + +
+ + + + -
Tabel 9. Kondisi substrat dan biomassa rumput laut di Teluk Belitung L o k a s i Tanjung Meliala : St. 5 : L 05o 90’ 00” S B 105o 36’ 00” E
St. 7 : L 01o 32’ 500” S B 105o 38’ 500” E St. 9 : L 0o 36’ 500” S B 105o 39’ 000” E St. 10 : L 01o 37’ 500” S B 105o 40’ 500” E Tanjung Penyusu St. 6 : L 01o 31’ 000” S B 105o 40’ 500” E St. 11 : L 01o 35’ 000” S B 105o 43’ 000” E
Substrat (%) Pasir Bt. Karang
Kr. hidup
Kr. mati
5
50
5
40
70
10
5
10
80
15
5
-
90
5
5
-
5
50
25
20
75
10
5
10
Kelabat, Bangka
Nama Rumput laut Halimeda Lobophora Padina Sargassum Turbinaria Amphiroa Galaxaura Halimeda Sargassum Turbinaria
epadatan Rata-rata (g/m2 30 35 25 250 15 25 25 10 25 10
Halimeda Sargassum Turbinaria Halimeda
20 25 10 10
Ulva Halimeda Sargassum Acanthophora Gracilaria Ulva Gracilaria
20 25 20 40 25 15 20
Sumber : P2O LIPI 2003. Jakarta
4.1.2. Produktivitas Secara umum massa air di Teluk Kelabat dapat dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama di mulut teluk memiliki ciri massa air samudera, yakni kondisi perairannya relatif jernih belum terpengaruh oleh massa air dari sungai dan bagian dasar perairan berupa karang dan pasir. Bagian kedua mulai dari Tanjung Penyusuk sampai sekitar pantai Ridingpanjang adalah merupakan percampuran
massa air dari samudera, dari sungai dengan bagian dasar perairan berupa pasir berlumpur, sedang bagian ketiga mulai dari pantai Ridingpanjang sampai bagian hulu teluk (muara sungai) merupakan massa air yang berasal dari darat (sungai) dengan dasar perairan berupa lumpur. Kandungan klorofil fitoplankton yang tinggi ditemui di luar teluk dan semakin ke arah teluk nilainya berangsur – angsur turun hingga minimum di muara sungai. Sedangkan kandungan seston menunjukkan sebaran yang sebaliknya, maksimum ditemui di sekitar mulut sungai dan semakin ke arah luar dari teluk nilainya berangsur turun hingga mencapai minimum.
4.1.3. Kondisi terumbu karang di Teluk Kelabat 1. Paparan terumbu sebelah barat (Tanjung Meliala). Paparan terumbu pada umumnya substrat pasir, batuan vulkanik, karang mati dan karang hidup. Secara umum pantai terdapat celah kecil dengan substrat pasir putih. Dengan keberadaan rumput laut alam, pantai terdapat lekukan dari batuan vulkanik dan batu karang, substrat dasar dari pasir, batuan vulkanik, batu karang dan karang hidup. Perairan lebih jernih dibanding pada cekungan kedua (bagian dalam). Kondisi ini memungkinkan bahwa pantai pada cekungan pertama (bagian mulut dan bibir) pantai dapat dimanfaatkan untuk lokasi budidaya. Pengaruh terhadap gempuran ombak, dimusim timur pada bulan April-Agustus ombak lebih kecil dan perairan lebih tenang. 2. Paparan terumbu sebelah timur Tanjung Penyusuk Kawasan perairan terdapat pulau Penyusuk besar, Hantu dan Penyusuk kecil. Pulau ini, terdapat lekukan-lekukan selat yang sempit perairan lebih tenang jernih. Lokasi ini sangat cocok untuk budidaya rumput laut. Paparan terumbu kebanyakan terlindung batu karang dari gempuran ombak, banyak ditemukan
jenis rumput laut jenis Gracilaria, Sargassum dan Halimeda. Rumput laut yang dominan Acanthophora, kehadiran rumput laut alam ini sebagai indikasi untuk dapat dijadikan lokasi budidaya. Dari posisi letak dipaparan terumbu pantai ini dapat dibudidaya di kedua musim barat dan timur Pantai di Tanjung Penyusuk kebanyakan bersubstrat pasir dan ujung tubir terdapat dinding tubir berbatu karang, dapat untuk budidaya rumput laut terutama pada bulan April-September pantai terlindung dari gempuran ombak oleh dinding tubir, dan perairan jernih. Pada musim barat ombak lebih besar dibandingkan pantai bagian sebelah barat.
4.1.4. Ikan karang Jumlah jenis ikan major yang ditemukan di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung bagian luar adalah 58 jenis yang termasuk dalam 9 suku. Suku Pomacentridae yang terdiri dari 25 jenis dan suku Labridae dengan 20 jenis merupakan dua suku yang memiliki jumlah jenis terbanyak di dalam struktur komunitas ikan karang yang ada di Teluk Kelabat, Bangka Belitung. Jenis ikan yang umumnya ditemukan hampir di semua lokasi adalah jenis Abudefduf sexfasciatus, Pomacentrus bankanensis, Hemiglyphidodon plagiometopon, Halichoeres purpurascens.. Hal yang menarik adalah ditemukannya beberapa jenis ikan hias yang sangat berpotensi seperti Pomacanthus anularis ( Enjiel biru), Platax pinnatus (Ikan kelelawar) dan Cheilinus unifasciatus ( keling ekor putih). Ikan enjiel biru ini ditemukan hampir disetiap lokasi pengamatan, sehingga kelangsungannya perlu di jaga dari pemburu ikan hias, karena ikan ini termasuk dalam golongan ikan hias yang mahal (Kelas A) (P2O-LIPI 2003). Jumlah jenis ikan target yang ditemukan di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung bagian luar adalah sebanyak 21 jenis yang termasuk dalam 11 suku
jenis ekor kuning (Caesio cunning) merupakan jenis ikan yang umumnya ditemukan dalam jumlah besar serta terdapat hampir di setiap lokasi ikan ini pada ukuran dewasa, suku Serranidae (kerapu) yang ditemukan umumnya masih merupakan benih kerapu. Kepadatan dari beberapa jenis ikan target ekonomis penting pada daerah ini dapat dilihat dibawah ini :
Tabel 10. Kepadatan ikan target ekonomis penting No
Nama Jenis
1. Cephalopolis boenack 2. Cephalopolis formosa 3. Caesio cunning 4. Lutjanus carponotatus 5. Siganus virgatus Sumber : P2O LIPI 2003.
Nama Lokal Kerapu Kerapu Ekor kuning Kakap Beronang
Jumlah individu 28 21 740 28 17
Densitas (ekor/m2) total indv/3750 m2 0,007 0,005 0,197 0,007 0,0045
Taksiran ukuran Ketika di sensus 15 – 20 cm 12 – 16 cm 20 – 25 cm 25 – 30 cm 20 – 25 cm
Jumlah jenis ikan indikator yang ditemukan pada daerah ini hanya 2 jenis yakni jenis Chaetodon oktofasciatus dan Chelmon rostratus. Hal ini karena umumnya di daerah Propinsi Bangka Belitung ini jumlah jenis ikan Chaetodontidae relatif sedikit.
4.1.5. Toksikologi Kualitas sedimen dari perairan dalam Teluk Kelabat dijumpai masih relatif lebih baik dibanding dengan sedimen dari perairan di luar. Kualitas sedimen sangat dipengaruhi oleh kualitas air laut. Kontaminan yang tidak terserap atau terurai akan mengendap di dasar perairan. Kandungan kontaminan dalam sedimen yang terlarut dalam air (bioavailable) akan menjadi sumber toksikan
bagi biota yang hidup disekitarnya. Hasil uji toksisitas sedimen menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya pengaruh toksik dari sedimen yang di uji. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan algae yang diuji, yaitu meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan algae pada kontrol. Sehingga dapat diduga bahwa kandungan kontaminan dalam sedimen tidak bioavailable bagi biota atau karena faktor lingkungan lain yang tidak diukur.
Jumlah sel (x 10000 sel/mL)
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
Lokasi Laut Cina Selatan 2002
Teluk Mei 03
Sumber : P2O LIPI 2003.
Gambar 8. Perbandingan pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang dipaparkan pada sedimen dari perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung, Juni- Juli 2003 dengan dari perairan di Laut Cina Selatan 2002.
4.1.6. Fisika oseanografi dan kondisi hidrologi perairan 4.1.6.1. Suhu
Secara umum suhu air laut di sekitar perairan Teluk Kelabat pada Bulan 27 Juni – 8 Juli 2003 ini bervariasi antara 29,283° C – 30,671° C. Suhu air pada lapisan permukaan memperlihatkan nilai yang lebih bervariasi dari pada suhu air pada lapisan yang lebih dalam. Semakin ke dalam, suhu air memperlihatkan nilai yang cenderung makin dingin. Suhu pada lapisan permukaan cenderung lebih hangat dari pada lapisan di bawahnya, dan maksimum suhu air teramati pada lapisan permukaan. Secara rinci distribusi nilai suhu air laut di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung di setiap interval lapisan kedalaman seperti terlihat dalam Tabel 11.
Tabel 11. Distribusi suhu air laut (oC) di perairan Teluk Kelabat, Belitung Bulan Juni – Juli 2003. Parameter
Lapisan Kedalaman (m)
Suhu
Suhu air (o C)
Nilai Rerata
Bangka Simpangan baku (std.dev)
©
Minimum
Maksimum
©
©
1
29,288
30,671
29,677
0,321
5
29,283
29,998
29,507
0,1923
Sumber : P2O LIPI 2003.
4.1.6.2. Salinitas Nilai salinitas di sekitar perairan teluk pada bulan 27 Juni – 8 Juli 2003 ini bervariasi antara 24,957 psu – 32,739 psu. Makin ke dalam, salinitas cenderung makin besar. Salinitas pada lapisan permukaan juga lebih bervariasi daripada lapisan dibawahnya. Kisaran salinitas tertinggi dijumpai pada lapisan permukaan dan maksimum salinitas teramati pada lapisan kedalaman dekat dasar. Pada arah menegak distribusi nilai salinitas yang relatif lebih bervariasi dijumpai di alur stasiun bagian luar dari teluk. Pada alur stasiun luar, distribusi nilai
salinitas lebih beragam. Secara rinci distribusi nilai salinitas di setiap interval lapisan kedalaman pada bulan Juni – Juli 2003 seperti terlihat dalam Tabel 12.
Tabel 12. Distribusi nilai salinitas (dalam psu) di perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung Bulan Juni – Juli 2003 Parameter
Lapisan Kedalaman (m)
Salinitas
Salinitas (psu)
Nilai Rerata
Simpangan baku (std.dev)
(psu)
Minimum
Maksimum
(psu)
(psu)
1
24,957
32,739
30,975
2,183
5
30,264
32,734
32,206
0,688
Sumber : P2O LIPI 2003. Jakarta
4.1.6.3. Arus Kecepatan arus yang diukur beragam dengan arah yang bervariasi. Arus waktu pengamatan mempunyai kecepatan yang bervariasi dari 5,0 cm/detik – 71,9 cm/detik. Arah arus menujukkan arah yang berbeda di setiap lapisan kedalaman. Di lapisan permukaan (lapisan 1 m) arah arus cenderung menuju ke arah Barat Daya, sedangkan pada lapisan kedalaman 5 m dan arus cenderung menuju ke arah Tenggara. Secara terperinci distribusi nilai arus di setiap interval lapisan kedalaman pada bulan Juni Juli 2003 seperti terlihat dalam Tabel 13 .
Tabel 13. Distribusi nilai kecepatan arus (cm/detik) di perairan, Bulan Juli 2003. Parameter
Arus
Lapisan Kedalaman (m)
Kecepatan arus (cm/detik) Minimum Maksimum (psu) (psu)
Nilai Rerata (cm/detik)
Juni –
Simpangan baku (cm/detik)
Arah arus rerata (cm/detik)
1
5,0
71,8
28,3
7,723
Barat daya
5
5,0
71,9
41,7
20,99
Tenggara
Sumber : P2O LIPI 2003.
4.1.7. Geologi Fragmen batuan yang dijumpai umumnya dari batuan beku dan batuan sedimen ini sendiri, cangkang biota umumnya dari jenis moluska. Karbon yakni bahan-bahan organik seperti sisa tumbuh–tumbuhan berupa kayu, akar dan daun dijumpai sangat sedikit dengan pengendapan karbon ini menunjukkan lokasi sedikit memiliki bentang mengingat berat jenis karbon adalah kecil. (P2O LIPI 2003)
4.1.8. Kimia anorganik Perairan Teluk Kelabat, Bangka-Belitung yang diteliti adalah perairan antara 01o 25’ 00” LS, - 105o 32’ 00” BT dengan 0 o 32’ 39,84” LS, - 105o 41’ 34,50” BT. Perairan Teluk Kelabat termasuk perairan neritik dangkal. Kadar logam berat Pb perairan pada permukaan berkisar antara 0,001 ppm – 0,007 ppm. Untuk kadar logam berat Cd relatif sama yaitu
< 0,001 ppm. Untuk kadar
logam berat Cu relatif sama yaitu < 0,001 ppm. Untuk kadar logam berat Zn berkisar antara < 0,001 – 0,007 ppm, untuk kadar logam berat Ni berkisar antara < 0,001 ppm – 0,003 ppm. Walaupun daerah tersebut dekat penambangan timah (TI), namun tetap saja sama kadar logam beratnya dengan yang tidak dekat penambangan. Ini diduga karena pengadukan arus yang relatif seragam. Kadar logam berat Pb perairan pada dasar berkisar antara
0,001 ppm
– 0,006 ppm. Kadar logam berat Cd relatif sama yaitu < 0,001 ppm. Untuk kadar logam berat Cu juga relatif sama. Untuk kadar logam berat Zn berkisar antara
<0,001 ppm – 0,003 ppm. Untuk kadar logam berat Ni berkisar antara < 0,001 ppm – 0,002 ppm. Dekat penambangan timah (TI), kadar logam beratnya relatif sama dengan stasiun yang tidak dekat penambangan timah (TI), karena pengadukan massa air yang relatif seragam. Kadar logam berat perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung baik permukaan atau dasar, masih dalam ambang batas diperbolehkan untuk budidaya dan konservasi menurut Peraturan Pemerintah No. Kep-02/Men KLH/I/1998. Namun karena perairan ini penuh dengan mineral berat, maka disarankan agar Pemda membuat Baku Mutu Daerah (BMD). Kadar logam berat dalam sedimen, dapat dikatakan abadi dengan tanda kutip, karena logam berat diserap lewat kisi-kisi kristal sedimen. Kadar logam berat Pb dalam sedimen perairan berkisar antara 1,06 ppm – 58,19 ppm. Dekat lokasi penambangan timah (TI), kadar logam berat Pb relatif besar yaitu berkisar antara 2,75 ppm – 45,00 ppm, diduga karena pengendapan sedimen yang mantap dalam palung hasil pengerukan. Untuk kadar logam berat Cd berkisar antara 0,01 ppm – 0,10 ppm, dan stasiun dekat penambangan timah (TI) adalah relatif sama kadar logam beratnya. Untuk kadar logam berat Cu berkisar antara 0,28 ppm – 5,67 ppm, dan stasiun dekat penambangan timah (TI) adalah relatif sama kadar logam beratnya yaitu 0,44 ppm – 2,78 ppm. Untuk kadar logam berat Cr berkisar antara 0,68 ppm – 15,97 ppm, namun stasiun dekat penambangan relatif kecil kadar logam beratnya , dan yang relatif besar kadar logam beratnya justru stasiun yang jauh dari penambangan timah (TI), hal ini diduga karena porositas sedimen
kecil. Untuk kadar logam berat Zn berkisar antara 0,43 ppm – 36,85 ppm, dan stasiun pada penambangan timah (TI) relatif besar karena adanya palung yang memantapkan pengendapan sedimen. Untuk kadar logam berat Mn berkisar antara 5,34 ppm – 376,53 ppm, sedangkan kadar logam berat dekat penambangan timah (TI) lebih kecil yang diduga pengadukan arus. Untuk kadar logam berat Ni berkisar antara 0,26 ppm – 7,55 ppm, dan juga kadar logam beratnya kecil pada lokasi penambangan timah (TI). Untuk kadar logam berat Fe berkisar antara 468,64 ppm – 12.838,16 ppm, dan inipun kadar logam berat kecil pada lokasi penambangan timah (TI). Disebabkan perairan Teluk Kelabat, Bangka-Belitung penuh dengan batuan mineral, kawasan ini memiliki unsur hara yang amat lengkap dan meningkatkan kualitas tanah. Untuk itu disini dapat digalakkan “agrogeologi”. Agrogeologi adalah geologi yang melayani pertanian. Namun harus diketahui bahwa adanya penambangan hanya memberikan pendapatan tinggi karena skala produksi. Dengan perkataan lain, tidak memberikan nilai tambah dari industri hilir. Lingkungan dapat dipulihkan adalah “retorika kosong”. Para ahli lingkungan mengatakan bahwa nilai ekonomi total lingkungan adalah jumlah manfaat langsung (harga crude oil), harga bijih tambang dan sebagainya (ditambah manfaat tak langsung (pencegahan banjir, mematok kualitas air, mencegah longsor) plus “optimal value” dan existention value” (nilai pilihan).
4.1.9. Kimia nutrisi Keadaan kimia nutrisi perairan disajikan pada Tabel. 14. Uraian kimia zat hara tersebut meliputi beberapa aspek.
Tabel 14. Rata-rata kadar beberapa parameter kimia air laut di perairan teluk kelabat, bangka belitung, bulan Juni - Juli 2003.
Permukaan Min Max Rata2 5 meter Min Max Rata2 Dekat Dasar Min Max Rata2
pH
Oksigen ( ml/l )
Fosfat (µg A/l )
Nitrit (µg A/l )
Nitrat (µg A/l )
Ammonia (µg A/l )
Silikat (µg A/l )
7,56 7,89 7,77
3,54 3,88 3,69
0,09 0,66 0,30
0,04 0,18 0,10
0,06 1,34 0,49
0,07 1,02 0,38
0,88 16,66 7,41
7,75 7,90 7,84
3,22 3,30 3,26
0,13 0,79 0,35
0,04 0,19 0,09
0,10 0,64 0,29
0,08 1,06 0,49
0,98 10,97 5,01
7,11 7,91 7,32
2,97 3,78 3,10
0,36 0,88 0,56
0,04 0,25 0,13
0,18 0,96 0,46
0,15 2,16 0,54
1,66 11,85 6,18
Sumber : P2O LIPI 2003. Jakarta
4.1.12.1. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) didefinisikan dalam bentuk rumus: pH = - log [H+], dimana H+ adalah ion hidrogen. Pada umumnya, nilai pH dalam suatu perairan berkisar antara 4 – 9, sedangkan di daerah bakau, nilai pH dapat menjadi lebih rendah. Menurut Mulyanto (1992), pH yang baik untuk kehidupan ikan berkisar antara 5 – 9 dan antara 6,5 – 8,5 (Baku Mutu Air Laut 1988). Secara keseluruhan nilai pH berkisar antara 7,11 - 7,91 dengan rata-rata 7,68. Nilai tertinggi diperoleh kedalaman 20 m dan terendah pada kedalaman 5 m di lapisan permukaan. Kisaran nilai pH yang diperoleh pada lapisan permukaan dari pengamatan ini adalah 7,56 – 7,89 dengan rata-rata 7,77 dan pada kedalaman 5 m yaitu 7,75 - 7,90 dengan rata-rata 7,84 dan dekat dasar 7,11 - 7,91 dengan rata-rata 7,32. Variasi nilai pH di perairan ini dipengaruhi buangan limbah di muara sungai maupun di sepanjang
pantai. Hal ini terlihat dari nilai pH yang lebih rendah di perairan ini ditemukan di daerah dekat pantai dan muara sungai, sedangkan yang lebih tinggi diperoleh di lepas pantai. Menurut SALIM (1986) nilai pH di suatu perairan laut berkisar antara 8,2 – 8,5. Nilai pH di perairan ini masih baik untuk peruntukan budidaya perikanan karena masih dalam kisaran nilai yang diperkenankan oleh Environment Protection Agency (1973) dan Baku Mutu Air Laut (1988) yaitu 6,5 – 8,5. 4.1.12.2. Oksigen terlarut (O2) Oksigen terlarut yang terdapat dalam air laut berasal dari diffusi udara dan fotosintetis fitoplankton dan tumbuhan bentik. Kecepatan diffusi oksigen dari udara kedalam air sangat lambat, sehingga fotosintetis fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut di perairan. Beberapa faktor yang mempemgaruhi kelarutan oksigen antara lain suhu, salinitas, pergerakan massa air, tekanan atmosfir, luas permukaan air dan persentase oksigen sekelilingnya. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan persediaan oksigen terlarut yang cukup dalam kolom air, yaitu masuknya air tawar dan air laut di daerah estuari secara teratur, karena kondisi daerah tersebut dangkal sehingga pengadukan massa air serta percampuran oleh angin akan berlangsung dengan baik. Sedangkan berkurangnya oksigen dalam air antara lain disebabkan pelepasan oksigen ke udara, aliran air tanah ke dalam perairan, adanya zat besi, reduksi yang disebabkan oleh desakan gas lainnya dalam air respirasi biota dan dekomposisi bahan organik (Nybakken 1988; Mulyanto 1992). Untuk kelangsungan hidup ikan ditemukan kadar oksigen yang beragam. Penurunan kadar oksigen terlarut dalam jumlah yang sedang akan menurunkan kegiatan fisiologis mahluk hidup dalam air diantaranya terjadinya penurunan pada nafsu makan, pertumbuhan dan kecepatan berenang ikan pada saat kadar oksigen terlarut kurang dari 8 – 10 ppm (Welch 1980). Menurut Mulyanto (1992), pada kadar oksigen terlarut < 4 – 5 ppm, pertumbuhan kurang baik dan nafsu makan ikan berkurang sedangkan pada kadar 3 – 4 ppm dalam jangka waktu yang lama, ikan akan berhenti makan dan pertumbuhan terhenti. Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut berkisar antara 2,97 - 3,88 ml/l dengan rata-rata 3,44 ml/l. Nilai tertinggi diperoleh
pada Stasiun 8 di lapisan permukaan dan terendah pada kedalaman 14 m (dekat dasar) .Kadar oksigen terlarut ini rendah bila dibandingkan dengan kadar oksigen terlarut di perairan laut yang normal yang berkisar antara 5,7 ppm – 8,5 ppm (Sutamihardja 1978). Kadar oksigen terlarut di lapisan permukaan, 5 m dan dekat dasar masing-masing berkisar antara 3,54 – 3,88 ml/l dengan rata-rata 3,69 ml/l ; 3,22 - 3,30 ml/l dengan rata-rata 3,26 ml/l dan 2,97 - 3,78 ml/l dengan rata-rata 3,10 µg A/l (untuk mengkonversi ml/l menjadi ppm, angka ini dikalikan dengan konstanta 1,429). Kadar oksigen terlarut yang lebih tinggi diperoleh di lepas pantai sebelah timur dan selatan perairan ini. Pengaruh aktivitas manusia dan buangan limbah organik melalui sungai-sungai sebelah barat perairan ini dapat menurunkan kadar oksigen terlarut karena digunakan bakteri untuk pernafasan dalam menguraikan zat organik menjadi zat anorganik. Hal ini terlihat dari kadar oksigen terlarut yang lebih rendah di sebelah barat dekat pantai perairan ini. Namun kondisi oksigen di perairan ini masih dapat digunakan untuk kepentingan budidaya perikanan karena masih memenuhi nilai ambang batas oksigen > 5 ppm dan > 4 ppm (Baku Mutu Air Laut 1988). Kadar oksigen terlarut untuk budidaya kerang hijau dan tiram berkisar antara 3 ppm – 8 ppm, sedangkan untuk beronang, kerapu dan kakap antara 4 ppm – 8 ppm dan untuk kerang bulu berkisar antara 2 ppm – 3 ppm (Baku Mutu Air Laut Departemen Pertanian dalam KLH 1984).
4.1.12.3. Zat hara (fosfat, nitrat, nitrit, ammonia dan silikat) Zat hara nitrogen (sebagai nitrat) dan fosfor (sebagai fosfat) merupakan zat hara anorganik utama yang dibutuhkan fitoplankton sebagai rantai makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Menurut Nybakken (1988) kadar kedua unsur ini sangat kecil dalam air laut, sehingga merupakan faktor pembatas bagi produktivitas fitoplankton. Di perairan tropik dan subtropik kadar zat hara pada
umumnya rendah di lapisan permukaan, namun meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Koesoebiono 1981), sedangkan di perairan pantai aliran drainase sungai sangat berpengaruh terhadap kedua zat hara ini (Harvey 1945 dalam Koesoebiono 1981). Menurut Raymont (1963) nitrogen dalam bentuk an-organik yang berguna bagi tumbuh-tumbuhan adalah nitrat, nitrit dan amoniak disebabkan terjadinya proses perombakan material-material yang mengandung nitrogen dalam batuan mikroorganisme dimana nitrogen dirubah dari amino nitrogen (R – NH2) berturutturut menjadi ammonium (NH4+) kemudian menjadi nitrit (NO2) dan selanjutnya menjadi (NO3). Diantara ketiga bentuk senyawa nitrogen tersebut, yang paling tinggi kadarnya adalah ammonia. Hal ini disebabkan terjadinya reaksi oksidasi sebagai akibat banyaknya pasokan limbah nitrogen organik dari limbah argoindustri, pertanian dan tambak udang. Bakosurtanal (1994) menganjurkan kadar ammonia tidak lebih dari 0,42 ppm untuk kriteria tingkat kesesuaian perikanan tambak dan perikanan laut. Dari hasil penelitian Sharp (1983) di perairan Belgia diperoleh kadar ammonia yang tinggi yaitu 600 µg A/l (8,40 ppm). Dengan demikian bila mengacu pada hasil penelitian Sharp tersebut, kualitas perairan Teluk Kelabat, BangkaBelitung masih normal ditinjau dari variasi kadar nitrogennya. Silikat merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Kadar silikat disuatu daerah estuari selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya, seperti tingginya curah hujan serta sumbangan dari daratan dengan terjadinya erosi melalui sungai keperairan tersebut. Fitoplankton merupakan salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan silikat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton disuatu perairan tergantung kepada kandungan zat hara di perairan tersebut antara lain zat hara silikat (Nybakken 1982). Sama halnya seperti zat hara lainnya, kadar silikat disuatu perairan, secara alami terdapat sesuai dengan kebutuhan organisme yang hidup di perairan tersebut. Zat hara lainnya seperti fosfat dan nitrat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Diantara jenis flora laut seperti algae, sangat membutuhkan zat hara fosfat, nitrat dan silikat dalam jumlah besar (Lund 1950, Jorgensen 1953, Prescott 1969).
Beberapa jenis fitoplankton diantaranya diatom dan silicoflagellata membutuhkan silikon (Si) untuk pembentukan kerangka dinding selnya, namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa silikon (Si) juga diperlukan untuk sintetis DNA (Raymont 1980). Secara umum, kondisi kadar zat hara ini relatif tinggi dalam suatu perairan. Hal ini sangat dipengaruhi musim timur pada bulan Agustus dengan kuatnya pengadukan (turbulence) massa air laut yang mengakibatkan naiknya zat-zat hara dari dasar perairan ke permukaan. Ditinjau dari kadar zat hara tersebut, dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif subur karena masih berada pada kisaran zat hara fosfat di perairan laut yang normal yaitu 0,10 – 1,68 µg A/l (Sutamihardja 1978). Menurut Joshimura dalam Liaw (1969) tingkat kesuburan perairan dapat ditinjau dari kadar fosfat dalam suatu perairan dengan kisaran 0,07 – 1,61 µg A/l adalah kategori perairan cukup subur, sedangkan pada beberapa perairan seperti di perairan Teluk Penghu dan Selat Taiwan, merupakan daerah budidaya (oyster) dengan kadar fosfat dan nitrat masingmasing berkisar antara 0,08 – 1,20 µg A/l dan 0,08 – 1,80 µg A/l (Liu and Fang 1986), sehingga bila ditinjau dari kadar fosfat dan nitrat yang merupakan salah satu indikator kesuburan, maka perairan Teluk Kelabat, Bangka Belitung masih baik untuk peruntukan budidaya perikanan. Kadar fosfat dan nitrat yang baik untuk budidaya kerang hijau dan kerang bulu masing-masing berkisar antara 0,5 – 1,0 µg A/l dan 2,5 – 3,0 µg A/l. Untuk budidaya tiram berkisar antara 0,5 – 3,0 µg A/l dan 1,5 – 3,0 µg A/l sedangkan untuk budidaya beronang, kakap dan kerapu berkisar antara 0,2 – 0,5 µg A/l dan 0,9 – 3,2 µg A/l (Baku Mutu Air Laut Departemen Pertanian dalam KLH, 1984). Namun dari data yang diperoleh, ternyata hanya kadar fosfat yang cocok untuk budidaya tiram sedangkan kadar nitrat tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Baku Mutu tersebut. Hal ini mungkin disebabkan kadar fosfat dan nitrat sangat dipengaruhi kondisi perairan dan bervariasi dalam dimensi ruang dan waktu, namun telah diperoleh kondisi luwes untuk kadar fosfat dan nitrat dalam suatu peruntukan budidaya perikanan dalam suatu perairan (KMN-LH 1988).
4.1.10.
Mikrobiologi Kepadatan bakteri heterotrofik dan halotoleran menunjukkan bahwa di
Perairan Teluk Kelabat, Bangka-Belitung pengaruh lingkungan laut lebih besar dari pada lingkungan darat. Hal ini dapat teramati dari selalu lebih tingginya kepadatan bakteri heterotrofik daripada bakteri halotoleran. Kepadatan bakteri heterotrofik di perairan Teluk Kelabat, Bangka-Belitung berkisar <1x 103 s/d 20 x 103 koloni/ml dengan rata-rata 6.5 x 103 koloni/ml. Kepadatan bakteri halotoleran di perairan Teluk Kelabat, Bangka-Belitung berkisar dari <11x 1x 103 s/d 25.5 x 103 koloni/ml dengan rata-rata 3.1 x 103 koloni/ml. Kepadatan bakteri heterotrofik dan halotoleran keduanya berada di daerah pantai timur Teluk Kelabat, Bangka-Belitung bagian dalam. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Kelabat, Bangka-Belitung bagian dalam cukup subur karena kandungan bahan organiknya cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan kawasan lain, perairan ini memiliki kepadatan bakteri pemecah organik asal laut (heterotrof) dan asal laut (halotoleran) yang jauh lebih tinggi dari pada daerah pengamatan lainnya. Kisaran kepadatan bakteri heterotrofnya adalah 3.5 x 103 koloni/ml – 38.5 x 103 koloni/ml, sedangkan bakteri halotolerannya <1 x 103 koloni/ml – 25.5 103 koloni/ml. Adanya masukan bahan organik dari Sungai Layang yang bermuara ke perairan tersebut telah meningkatkan ketersediaan bahan organik di perairan ini. (P2O LIPI 2003) Kepadatan bakteri heterotrofik dan halotoleran terendah teramati di perairan pantai timur Teluk Kelabat bagian luar. Hal ini menunjukkan bahwa
perairan ini memiliki kandungan bahan organik yang rendah atau mungkin lingkungan tersebut mengalami tekanan akibat keberadaan bahan beracun yang dapat membunuh/menekan pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat berupa tingginya konsentrasi polutan logam berat ataupun bahan organik. Jika diperhatikan, kepadatan bakteri pemecah minyak dan indikator pencemaran domestiknya menunjukkan angka yang cukup tinggi. Kepadatan keduanya termasuk rendah. Berdasarkan data bakteri indikator pencemaran domestik, nampak bahwa perairan ini cukup bersih. Nilai rata-rata kandungan bakteri fekal kolinya belum mencapai 1000 koloni/100ml dan kandungan bakteri koliformnya juga masih jauh dibawah 10.000 koloni/100 ml. Nilai ini digunakan dalam baku mutu air laut untuk penentuan peruntukan suatu perairan (Anonim, 1988). Dari 25 contoh air yang diperiksa hanya 5 contoh yang mengandung bakteri fekal koli, itupun dalam jumlah yang relatif rendah yaitu 4 – 13 koloni/100ml. Contoh tersebut berasal dari perairan di mulut Teluk. Di perairan lainnya, bakteri fekal koli tidak terdeteksi. Kepadatan bakteri koliform juga menunjukkan angka yang rendah yaitu 143 – 4015 koloni/100 ml. Nilai ini masih jauh di bawah ambang batas maksimum untuk kawasan budidaya yaitu 10.000 koloni/100 ml. Perairan yang nilai rata-rata kepadatan bakteri koliformnya tertinggi teramati di perairan mulut teluk dan kedua tertinggi di pantai barat teluk bagian luar. Diduga, perairan ini mendapat pengaruh dari aliran Sungai Musi yang mengandung limbah domestik lebih banyak daripada DAS Sungai Layang yang ada di Pulau Bangka.
Hasil penelitian para pakar ( Atlas 1995; Atlas and Bartha 1973; Hood et al. 1975 ) menunjukkan bahwa dalam keadaan normal bakteri pemecah minyak ada di alam dalam jumlah yang sangat kecil, namun ketika terjadi pencemaran jumlah bakteri tersebut akan meningkat secara tajam. Bahkan, dapat mendominasi mikroflora di perairan tersebut. Di perairan Teluk Kelabat, keberadaan bakteri pemecah minyak dapat terdeteksi di semua contoh lumpur/sedimen. Kepadatannya berkisar dari 4 X 102 – >2400 x 102 JPT/100mg, dengan nilai ratarata 350 x 102 JPT/100mg. Nilai ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian di Laut Natuna (Pusat Penelitian Oseanografi 2002) menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi. Kepadatan bakteri ini di perairan Laut Natuna hanya berkisar antara 0 – 150 x102 JPT/100mg dengan nilai rata-rata 13 x 102 JPT/100mg. Hal ini diduga karena Teluk Kelabat merupakan perairan yang semi tertutup, minyak yang masuk ke perairan ini baik akibat dari berbagai aktivitas di laut maupun limbah dari darat tidak dapat dengan bebas terbawa ke luar teluk. Kepadatan bakteri pemecah minyak tertinggi teramati di Perairan Pantai timur Teluk Kelabat bagian luar. Pantai timur bagian utara digunakan sebagai tempat rekreasi pantai, karena memiliki pantai yang berpasir putih. Namun di sebelah selatannya terdapat pelabuhan dan tempat penambangan pasir timah yang menggunakan kapal keruk. Tentunya kedua aktivitas tersebut akan memberikan dampak terhadap perairan sekitarnya, diantaranya adalah terjadinya cemaran minyak . Hal ini terbukti dari tingginya kepadatan bakteri pengurai minyak di
perairan tersebut, nilai rata-ratanya mencapai 1153 x 102/100mg. Padahal di kawasan lainnya masih relatif rendah.
4.1.11.
Plankton
Sel-sel fitoplankton dan zooplankton terlihat pada lampiran. Fitoplankton kelimpahan sel-sel fitoplankton berkisar antara 4.000 sel/m3 di sebelah dalam teluk (st. 16) – 2,5 j sel/m3 di muka Teluk Kelabat. Kelimpahan dinoflagellata sangat rendah yaitu hanya 1.000 sel/m3. Ternyata sebaran baik sel-sel fitoplankton secara umum maupun diatomae atau dinoflagellata tampak seirama, yaitu kelimpahan tinggi (di depan wilayah Bubus). Hampir seluruh populasi fitoplankton didominasi oleh marga dari kelompok diatomae yaitu Rhizosolenia, yang kemudian kelimpahan tersebut disusul oleh Chaetoceros), dan Guinardia. Hal ini ternyata sangat menarik. Dominasi Chaetoceros menunjukkan bahwa perairan tersebut mempunyai arus yang berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya yaitu arus yang agak deras. Dengan demikian kesimpulan sementara menunjukkan bahwa ke tiga wilayah tersebut mempunyai arus yang deras. 4.2
Kondisi pesisir daratan Teluk Kelabat
4.2.1. Drainase dan daerah rawan bencana Drainase suatu daerah dinilai dari cepat atau lambatnya aliran permukaan tanah dan penyerapan air tanah. Hal ini berkaitan dengan unsur-unsur fisik tanah, seperti lereng, tekstur dan tanaman penutup tanah. Daerah yang tidak tergenang memiliki kondisi drainase baik, daerah yang tidak tergenang dalam waktu lama artinya daerah yang sepanjang tahunnya lebih banyak tidak tergenang atau air
tergenang sementara yang kemudian dapat diserap oleh vegetasi penutup tanah dan tanah itu sendiri. Daerah ini digolongkan sebagai drainase sedang. Sedangkan daerah yang tergenang air sepanjang tahun digolongkan sebagai daerah dengan drainase jelek. Daerah yang dapat menyerap air dengan baik dengan demikian dapat menahan laju aliran permukaan, sehingga memiliki kemampuan yang tinggi untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir dapat dikategorikan sebagai daerah yang sangat rendah sampai ringan bencana. Sementara daerah dengan kondisi tanaman penutup tanah yang mulai berkurang sehingga laju aliran permukaan cukup besar digolongkan sebagai daerah rawan bencana dengan klasifikasi sedang. Sedangkan daerah yang terbuka dan bertekstur pasir umumnya mudah terjadi erosi dan banjir dikategorikan sebagai daerah rawan bencana agak berat sampai berat.
4.2.2. Penggunaan lahan Berdasarkan kegiatan ekonomi budidaya penggunaan lahan dikelompokkan kedalam 3 kelompok, yaitu: (i) lahan yang sudah diusahakan, (ii) lahan yang belum diusahakan, dan (iii) lahan lainnya. Lahan yang diusahakan mencakup penggunaan lahan untuk pemukiman, tanaman pangan, kebun campuran, perkebunan, hutan tanaman industri dan tambak. Kebun campuran merupakan campuran antara perkebunan rakyat dengan hutan, tanaman pangan dan semak belukar, diusahakan secara tradisional dengan ciri ladang berpindah. Perkebunan terdiri dari lada, karet, kelapa dan kelapa sawit serta cengkeh dan coklat. Tanaman karet kondisinya bercampur dengan hutan
atau tanaman lainnya. Hutan tanaman industri berupa tanaman acasia diusahakan oleh swasta. Lahan yang belum diusahakan, atau sudah dicadangkan tetapi belum termanfaatkan adalah hutan (lebat/belukar), semak belukar, alang-alang, tanah tandus/rusak dan padang rumput. Hutan alam tropis ditumbuhi jenis pohon seru (Shima bancana), nyato (Palaqium rostratum), pelawan (Tristania sp), mentangur (Calopylum sp), meranti (Shorea sp), gelam (Malaleuca leucadendron) dan lainnya. Hutan belukar yang ada merupakan hasil reklamasi lahan bekas garapan yang telah ditinggalkan, memiliki kayu dengan diameter 0 – 30 cm. Lahan alangalang dan semak tergolong lahan kritis karena kurang subur dan rawan erosi. Lahan lainnya termasuk di dalamnya daerah sungai, kolong, dan perairan lainnya seperti rawa-rawa.
4.2.3. Keadaan dan perkembangan ekonomi Perkembangan ekonomi masyarakat dari aktivitas ekspor produk andalan dapat dilihat pada Tabel 12. Sementara perkembangan pendapatan per kapita tahun 2000 sebesar Rp. 4.536.110 (harga berlaku) atau Rp. 1.901.396 (harga konstan) merupakan pendapatan di atas rata-rata nasional, untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Produk andalan Kabupaten Bangka Tahun 1997 s/d 2000 NO.
SEKTOR/SUB SEKTOR SATUAN
I. Perindustrian
1997
VOLUME EKSPORT/PRODUKSI 1998 1999
2000
1.Timah
M ton
II. Perdagangan 1.Logam timah 2.Lada 3.Moulding 4.Karet Sir 20 5.Ikan segar 6.Kaolin III. Pertambangan 1.Timah 2.Kaolin 3.Pasir kuarsa 4.Granit 5.Tanah Liat 6.Batu koral 7.Pasir bangunan IV. Perkebunan
1.Lada 2.Karet 3.Kelapa Sawit
V. Perikanan 1.Penangkapan di laut 2.Hasil perairan umum Budidaya (Udang, . kerapu, ikan) VI. Pertanian tanaman pangan 1.Buah-buahan
52,669.340
Kg Kg M3 Kg Kg Kg
43,101.251
36,934.430
42,109.314
39,819,143.600 20,053,080.000 4,090.960 4,026,460.000 560,000.000 8,500,000.000
40,720,581.600 36,685,180.200 33,985.989 16,169,960.000 23,223,880.000 34,763,575.000 2,404.800 1,965.500 1,019.568 6,361,900.000 2,983,700.000 3,415,520 1,410,150.000 1,009,850.000 923,600.000 10,140,000.000 12,259,000.000 7,969,000.000
Ton Sn Ton Ton M3 Ton Ton Ton
54,521.077 35,170.000 71,896.000 60,011.000 540.000 110,957.110 482,645.000
43,463.984 40,264,762.000 51,196,500.000 11,948.000 15,033.600 47,550.000 22,972.000 162,100.000 191.060 2,884.500 960.000 87,000.000 476,606.000 -
Ton Ton Ton
18,849.860 33,833.000 219,633.800
21,637.530 36,436.000 663,689.000
17,520.520 37,376.500 759,592.800
26,780.600 37,936.500 369,045.100
Ton Ton
47,546.000 48.000
51,349.700 51.800
54,350.000 53.200
57,200.000 60.000
Ton
90.000
101.700
190.200
141.000
Ton
20,911.000
4,727.000
28,756.000
19,979.000
Sumber Data : Bangka dalam angka 2000
Tabel 16. Perkembangan pendapatan regional dan pendapatan perkapita kabupaten bangka tahun 1993 s/d 2000 atas dasar harga konstan tahun 1993 NO.
URAIAN
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
1. P D R B (Juta Rupiah)
857,030
925,445 1,002,662 1,128,643 1,221,096 1,138,713
1 ,176,535 1,247,883
2. Penyusutan (Juta Rupiah)
52,832
62,213
64,715
68,239
3.
P D R B Atas Dasar Harga Pasar 804,198 (Juta Rupiah)
863,232
937,947 1,061,216 1,150,844 1,072,369 1,108,296 1,175,027
4.
Pajak Tidak Langsung (Juta Rupiah)
61,180
70,870
55,238
67,427
83,863
70,252
96,005
66,344
80,674
87,064
72,856
92,895
5.
P D R B Atas Dasar Biaya Faktor 748,960 (Juta Rupiah)
802,052
867,077
977,353 1,054,839 991,695
6.
Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun (Jiwa)
531,668
541,772
547,344
7. P D R B Per Kapita (Rupiah) 8.
521,562
553,050
558,471
1,021,232 1,082,132 563,803
569,125
1,643,199 1,740,645 1,850,708 2,062,036 2,207,931 2,038,983 2,086,784 2,192,634
Pendapatan Regional Per Kapita 1,435,994 1,508,558 1,600,446 1,785,628 1,907,312 1,775,732 1,811,328 1,901,396 (Rupiah)
Sumber : BPS 2001
Pertumbuhan ekonomi dari industri kecil, seperti kerajinan, pengolahan hasil pangan pertanian, perkebunan dan perikanan, industri menengah seperti produksi cabang pangan dan kimia serta bahan bangunan, demikian pula dari industri besar, seperti cabang kimia dan bangunan, logistik dan jasa juga pangan dengan uraian sebagai berikut: 1. Pertumbuhan jumlah industri kecil dan kerajinan secara keseluruhan selama tahun 1993/1994 – 2000 sebanyak 3.264 unit atau rata-rata 10,87% per tahun. Adapun yang paling besar pertumbuhannya adalah jenis industri cabang pangan sebanyak 2.219 unit atau rata-rata 18,46% per tahun dan industri kimia dan bahan bangunan sebanyak 1.257 unit atau 52,35% per tahun. Sedangkan industri sandang dan kulit dan kerajinan umum mengalami pertumbuhan negatif masing-masing 96 unit (3,20% per tahun) dan 499 unit (4,75% per tahun). 2. Pertumbuhan jumlah industri menengah selama tahun 1993/1994 – 2000 mengalami penurunan sebanyak 76 atau rata-rata 13,08% per tahun. Pertumbuhan negatif tertinggi terjadi pada industri pangan sebanyak 47 unit (13,43% per tahun). 3. Pertumbuhan industri besar selama tahun 1993/1994 – 2000 sebanyak 6 unit atau rata-rata 10,71% per tahun. pertumbuhan tertinggi pada industri kimia dan bahan bangunan sebanyak 3 unit (14,29% per tahun) serta industri pangan sebanyak 2 unit (28,57% per tahun).
4. Adapun pertumbuhan nilai investasi tertinggi terdapat pada industri besar sebanyak Rp . 62.830.321.000,- atau rata-rata 95,25% per tahun, diikuti oleh industri kecil dan kerajinan sebesar Rp. 13.090.994.000,- atau rata-rata 31,93% per tahun. Sedangkan pertumbuhan industri menengah selama tahun 1993/1994 – 2000 mengalami penurunan investasi sebanyak Rp. 80.572.895.000,- atau ratarata 13,43% per tahun. 5. Adapun pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor industri ini adalah sebagai berikut : •
Industri kecil dan kerajinan mengalami pertumbuhan sebanyak 7.205 orang atau rata-rata 7,04% per tahun.
•
Industri menengah mengalami penurunan sebanyak 5.287 orang atau rata-rata 13,19% per tahun.
•
Industri besar mengalami pertumbuhan sebanyak 1.579 orang atau rata-rata 53,08% per tahun.
4.3
Kondisi dan potensi sumberdaya pesisir
4.3.1. Potensi dan pemanfaatannya Sumberdaya pesisir dan laut Kabupaten Bangka telah dimanfaatkan sejak lama, namun belum maksimal sebagaimana pemanfaatan sumberdaya daratan, padahal potensi sumberdaya pesisir dan laut sangat besar. Beberapa sektor yang berhubungan dengan potensi pesisir dan kelautan dapat diuraikan sebagai berikut.
4.3.1.1. Pertambangan Bahan tambang yang memiliki potensi cukup besar adalah mineral timah (Zirkon) tersebar mulai dari Selat Bangka sampai Pulau Belitung dan telah dimanfaatkan dari zaman Belanda sampai sekarang oleh PT Timah Tbk dan PT. Kobatin. Selain timah, potensi bahan galian golongan C, berupa pasir kuarsa, batu granit, kaolin dan lainnya dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 17. Jenis bahan, potensi dan pemanfaatan tambang galian golongan C No.
Jenis Bahan
Potensi (ha) 3.689
Jumlah (juta ton/m3) 321
1
Pasir Bangunan
2
Pasir Kuarsa
3.174
252
3
Batu Granit
338
310
Pemanfaatan Lokasi Kecamatan Ket. Izin SIPD (ha) 602 Mentok, Koba, 11 perusahaan Toboali, Merawang, Payung, Belinyu, Sungailiat, Sungai Selan 1.581 Mentok, Sungailiat, 20 perusahaan Merawang, Pangkalanbaru, jebus 81 Seluruh Kecamatan 3 perusahaan
Sumber: Ali (2000)
Di samping tambang timah dan galian golongan C, masih dalam pencarian secara intensif jenis tambang lainnya seperti minyak dan gas alam, mineral biji besi, dan lainnya. 4.3.1.2. Pariwisata Kabupaten Bangka telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan andalan pariwisata oleh Departemen Pariwisata, khususnya wisata bahari yang memiliki panatai panjang dan indah. Sebagai tindak lanjut, pemerintah daerah menetapkan 5 daerah simpul pengembangan serta menetapkan 8 tapak kawasan wisata dalam Peraturan Daerah, seperti tabel berikut:
Tabel 18. Tapak kawasan wisata Kabupaten Bangka No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Tapak Kawasan Wisata Pantai Matras dan Parai Tenggiri Sungailiat Teluk Uber Sungailiat Tanjung Kelian Mentok Tanjung Ular Mentok Remodong Belinyu Tanjung Belayar Pulau Panjang Lepar Pongok Pulau Semujur Pasir Kuning Tempilang Rebo Sungailiat Sadai Toboali
Luas (ha) 800 25 282 96,80 76,25 110 70 10 60 119 240
Jumlah
1.889,05
Sumber: Ali. 2000.
Beberapa tapak kawasan wisata, seperti Pantai Parai Tenggiri, Rebo, Remodong, Teluk Uber, telah dimanfaatkan dan dikembangkan. Saat ini di kawasan tersebut terdapat pembangunan hotel, cottage serta fasilitas pelengkapnya. Beberapa jenis wisata bahari yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut yang masih perlu dikembangkan adalah diving, fishing dan sailing. 4.3.1.3. Kehutanan Kabupaten Bangka memiliki hutan mangrove yang cukup luas yaitu kurang lebih 40.000 ha atau 3,47 % dari luas Pulau Bangka. Hutan mangrove tersebar di sepanjang pantai barat, utara dan selatan dan sedikit di sepanjang pantai timur. Beberapa areal, terutama di pantai barat, seperti pesisir Mentok, telah ditetapkan sebagai hutan lindung dan sebagai sempadan pantai dan sungai, agar tetap berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan biota laut, dan penyangga pantai dari erosi dan abrasi. Sementara di bagian utara dilaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Masyarakat menggunakan hutan mangrove ini untuk berbagai kepentingan antara lain, kayunya untuk tajur atau junjung tanaman lada merambat, selain itu untuk industri arang kayu, tiang bagan dan sebagainya. 4.3.1.4. Perhubungan laut Sebagai daerah kepulauan, perhubungan laut menjadi alternatif lebih efisien untuk angkutan barang dibandingkan perhubungan udara. Perhubungan laut sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian daerah dalam perdagangan. Peranan sektor perhubungan laut dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Angkutan barang dan orang Tahun 1998/1999 No. 1
Uraian Penumpang a. Datang
Satuan Orang
Alat Angkut Kapal Laut Kapal Udara 170.572 (62,65%)
101.700(37,35%)
Jumlah 272.272
2 3
b. Berangkat Arus Kapal Arus Barang Bongkar/Impor Muat/Ekspor
Orang Unit Ton Ton
169.428(61,65%) 51.947(95,28%)
105.374(38,35) 2.575(4,72%)
274.802 54.522
2.829.013(99,91%) 2.480.260(99,925)
2.413(0,09%) 2.069(0,08%)
2.831.426 2.482.329
Sumber: Ali. 2000.
4.3.3. Keadaan industri maritim 4.3.3.1. Industri kapal dan sejenisnya Industri kapal baja/galangan kapal/doking perkapalan di Kabupaten Bangka telah berkembang dengan baik. Lokasi industri kapal tersebut berada di Selindung Kecamatan Pangkalan Baru dan Air Kantung Kecamatan Sungailiat dengan jumlah industri sebanyak 7 buah. Industri ini sebagian besar memanfaatkan tenaga lokal, dan bahan bakunya sebagian berasal dari luar daerah seperti plat baja, cat, kawat las dan lainnya. Perkembangan industri ini dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 20. Volume dan nilai produksi industri kapal baja Tahun 1996 1997 1998 1999
Volume Produksi (Unit) 72 69 69 93
Nilai Produksi (Jutaan Rp) 6.405 9.558 6.040 6.828
Sumber: Ali. 2000.
Industri kapal kayu/galangan kapal rakyat yang membuat kapal-kapal kayu untuk pelayaran lokal antar pulau dan kapal nelayan untuk penangkapan ikan ternyata lebih cepat berkembang. Industri ini berlokasi di Bangka Kota Kecamatan Payung, Koba dan Lepar Pongok dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal dan bahan lokal berupa kayu dan papan. Perkembangannya sebagai berikut.
Tabel 21. Jumlah industri, volume dan nilai produksi industri kapal kayu Tahun 1996 1997
Jumlah Industri (buah) 43 47
Volume Produksi (buah) 142 158
Nilai (Jutaan Rp) 1.646 2.018
1998 1999
52 58
178 202
2.588 2.922
Sumber: Ali. 2000.
Industri yang berkaitan dengan perkapalan ini adalah industri chatodic protection, yaitu bahan anti karat pada kapal atau kerangka besi/baja lainnya yang dipergunakan di laut. Industri ini sudah lama berdiri di Kabupaten Bangka yaitu di Selindung Kecamatan Pangkalan Baru sebanyak satu buah dengan volume dan nilai produksi sebagai berikut: Tabel 22. Volume dan nilai produksi industri chatodic protection Tahun 1996 1997 1998 1999
Volume Produksi (Unit) 257,032 260,218 140,835 377,163
Nilai Produksi (Jutaan Rp) 6.516,4 6.046,5 3.472,7 10.038,1
Sumber: Ali. 2000.
4.3.3.2. Industri pengolahan hasil laut Industri pengolahan hasil laut yang berkembang adalah industri kerupuk/kemplang, ikan asin/cumi kering, terasi, rusip, abon ikan dan pembeku udang/cumi-cumi. Jenis industri ini merupakan industri kecil yang berbasis pada ekonomi kerakyatan, dikerjakan secara sederhana dengan teknologi sederhana pula serta padat karya. Industri ini tersebar di seluruh wilayah, terutama sentra produksinya di Kecamatan Belinyu, Sungailiat, Pangkalanbaru dan Toboali. Sentuhan teknologi modern untuk fase-fase tertentu pada saat pengolahan dapat saja diberikan di masa mendatang untuk meningkatkan kualitas produksi, misalnya pada fase pengolahan, pengepakan (pengemasan siap saji) dan lainnya. Perkembangan industri ini dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Jumlah, volume dan nilai produksi industri kerupuk/kemplang Tahun
Jumlah (Unit)
Volume Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Jutaan Rp)
1996 1997 1998 1999
196 205 215 220
780 820 860 880
5.850 8.200 10.750 13.200
Sumber: Ali. 2000.
Industri yang paling banyak menyerap bahan baku hasil laut pada saat ini adalah ikan asin/cumi kering. Dengan membaiknya harga ikan di pasaran luar daerah, maka industri ikan asin/cumi kering ini berkembang cukup pesat sebagaimana data di bawah ini (Tabel 24).
Tabel 24. Jumlah, volume dan nilai produksi industri ikan asin/cumi Tahun 1996 1997 1998 1999
Jumlah (Unit) 203 220 245 275
Volume Produksi (Ton) 2.030 2.200 2.450 2.750
Nilai Produksi (Jutaan Rp) 15.225 22.000 29.400 35.750
Sumber: Ali. 2000.
Data tersebut menunjukkan perkembangan jumlah industri sejak tahun 1996 sampai 1999 rata-rata 11, 82 % per tahun, volume produksi meningkat rata-rata 16,46 % per tahun dan nilai produksi meningkat 33,70 % per tahun. Industri ikan asin/cumi kering ini berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Bangka dengan pusat produksi di Mentok, Toboali, Sungai Selan, Koba, Belinyu, Sungailiat dan Pangkalanbaru. Salah satu industri olahan ikan dan udang yang cukup terkenal adalah terasi dengan sentra produksi di Kecamatan Mentok, Toboali, Tempilang dan Payung. Perkembangannya dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.
Tabel 25. Jumlah, volume dan nilai produksi industri terasi Tahun
Jumlah (Unit)
Volume Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Jutaan Rp)
1996 1997 1998 1999
198 216 224 230
297 314 337 348
1.504 2.698 3.372 4.486
Sumber: Ali. 2000.
Data di atas menunjukkan pertumbuhan industri ini rata-rata per tahun adalah 5,38 %, sedangkan volume produksi dan nilai produksi meningkat rata-rata per tahun 5,72 % dan 66,09 %. Sementara itu industri rusip juga menunjukkan perkembangannya, seperti tabel 26 berikut ini.
Tabel 26. Jumlah, volume dan nilai produksi industri rusip Tahun 1996 1997 1998 1999
Jumlah (Unit) 31 35 37 39
Volume Produksi (Botol) 54.400 63.300 66.600 72.100
Nilai Produksi (Jutaan Rp) 135 220 299 396
Sumber: Ali. 2000.
Industri pengolahan lainnya adalah industri abon ikan yang juga merupakan industri rumah tangga berskala kecil. Industri ini berada pada sentra produksi perikanan tertentu saja, yaitu kecamatan Belinyu, Sungailiat, dan Pangkalanbaru. Perkembangan industri abon ikan ini baik jumlah, volume maupun nilai produksinya relatif cepat sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 27 di bawah ini. Tabel 27. Jumlah, volume dan nilai produksi industri abon ikan Tahun 1996 1997 1998 1999
Jumlah (Unit) 15 21 26 29
Volume Produksi (Ton) 18 24 31 36
Nilai Produksi (Jutaan Rp) 269 421 594 810
Sumber: Ali. 2000.
Jenis industri lainnya yang mengolah hasil laut adalah pembekuan udang/cumicumi yang baru dimulai pada tahun 1998. Industri ini banyak berlokasi di Pangkal
Pinang dan baru satu buah yang berlokasi di Kabupaten Bangka yaitu di Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat. Melihat perkembangannya yang cukup menggembirakan dengan semakin meningkatnya volume dan nilai produksinya, seperti yang terdapat pada tabel 28 di bawah ini. Tabel 28. Jumlah, volume dan nilai produksi industri ikan asin/cumi Tahun 1998 1999
Volume Produksi (Ton) Udang Beku Cumi Beku 180 60 108 45
Nilai Produksi (Jutaan Rp) Udang Beku Cumi Beku 5.400 240 4.320 202
Sumber: Ali. 2000.
Industri yang pengolahan hasil laut lainnya yang belum berkembang di Kabupaten Bangka adalah industri pengalengan ikan dan rumput laut. Potensi budidaya rumput laut cukup potensial, terutama di perairan Kecamatan Lepar Pongok, Toboali, Kelapa dan Belinyu.
4.3.3.3. Industri pariwisata Pariwisata Kabupaten Bangka lebih mengandalkan kepada wisata bahari, karena objek wisata yang menonjol adalah pantai dan laut, sehingga sektor pariwisata ini dapat mendukung industri maritim. Pada saat ini tersedia 36 objek wisata pantai, 32 wisata budaya 5 objek wisata sejarah dan 15 objek wisata agro yang tersebar di 9 kecamatan dan telah tersedia pula 1 hotel berbintang IV, I hotel bintang III, dan 1 hotel bintang I serta 7 hotel kelas melati. Selain itu terdapat 3 travel biro, restoran, rumah makan, pramu wisata, tempat rekreasi dan olah raga serta hiburan umum. Jumlah kunjungan wisatawan dari tahun 1995 sampai 1999 dapat dilihat pada Tabel 29 di bawah ini.
Tabel 29. Jumlah kunjungan wisatawan dari Tahun 1995 s/d 1999 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999
Wisatawan Nusantara 44.704 51.637 58.029 55.292 41.720
Wisatawan Manca Negara 1.405 1.083 559 548 460
Jumlah 46.109 52.720 58.588 55.840 42.180
Sumber: Ali (2000).
4.3.3.4. Industri pengolahan bahan galian tambang Industri bahan galian timah berupa industri peleburan timah Pusat Metalurgi Timah (PUSMET) di Mentok milik PT. Timah Tbk. Industri kerajinan timah telah pula berkembang sebagai peningkatan nilai tambah produksi timah dalam membina karyawannya dan masyarakat. Industri galian tambang lainnya adalah tegel granit yang berlokasi di Desa Riau Silip Belinyu dengan produksi 2.500 m3 per tahun.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kebijakan yang ada saat ini (policy existing). Peraturan Daerah Kabupaten Bangka No. 11 Tahun 2002 Tentang Kawasan Industri Perikanan Terpadu di Teluk Kelabat. Demikian juga SK Direktur Jenderal Pertambangan Umum (Tabel 1) tentang izin penambangan baik di daratan pesisir maupun di lepas pantai (off-shore) di wilayah Teluk Kelabat. Dalam rangka merencanakan pengelolaan sumberdaya kawasan pesisir daratan dan pesisir perairan Teluk Kelabat yang sesuai dengan keseimbangan daya dukung lahan serta mengukur dampak biaya sosial berbagai komponen masyarakat, swasta atau para pengusaha dan pemerintah terhadap kawasan tersebut, maka penelitian ini dimaksudkan untuk : (i) mengidentifikasi kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ruang industri, pelabuhan, perikanan, pariwisata di Kawasan Teluk Kelabat, (ii) merencanakan lokasi pemanfaatan ruang-ruang untuk industri, pelabuhan, perikanan dan pariwisata di Kawasan Teluk Kelabat, (iii) mengetahui persepsi pemerintah, swasta dan masyarakat berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan lahan pada Kawasan Teluk Kelabat, dan (iv) mendelinasikan zona-zona yang sesuai bagi peruntukan industri, pariwisata, pelabuhan dan perikanan di Kawasan Teluk Kelabat. 5.2. Sintesis tahap I Untuk membuat keserasian dan keseimbangan kawasan perencanaan yang menjadi tujuan penelitian ini seperti yang telah dijelaskan pada metode penelitian, maka dipergunakan dua cara analisis. Analisis tersebut adalah proses analisis hierarki untuk mencoba mengukur persepsi berbagai komponen masyarakat terhadap kegiatan pengelolaan kawasan Teluk Kelabat dan analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi untuk kesesuaian lahan. Proses analisis berjenjang dapat dilihat dari gambar matrik pemanfaatan tiap peruntukan ruang kegiatan perikanan, pelabuhan, industri dan pariwisata. Dalam tahapan proses ini juga terdapat diagram nilai–nilai aspek ekonomi, teknologi, sosial dan lingkungan. Masing-masing aspek tersebut juga diperoleh nilai–nilai kriteria masing-masing tiap-tiap aspek sesuai persepsi stakeholder. Di samping itu dalam analisis ini
114
diperoleh model pengelolaan sesuai keinginan para stakeholder yang akhirnya merupakan rekomendasi kebijakan. 5.3. Analisis hierarki proses Proses analisis berjenjang (AHP) pada penelitian ini dilakukan untuk penentuan prioritas lokasi pemaanfaatan kegiatan kawasan Teluk Kelabat dan penentuan prioritas kegiatan penggunaan lahan bagi pengelolaan kawasan Teluk Kelabat dengan berdasarkan atas pendapat responden yang berkompeten. Hal ini merupakan
pembahasan dari maksud penelitian,
yaitu untuk
mencoba
merencanakan dan menentukan pemanfaatan jenis kegiatan lokasi Kawasan Teluk Kelabat dan mengukur persepsi berbagai komponen masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada Kawasan Teluk Kelabat. Adapun langkah-langkah untuk merencanakan dan menentukan lokasi Kawasan Teluk Kelabat untuk
menentukan prioritas penggunaan lahan pada
kawasan Teluk Kelabat adalah : (i) membuat struktur hierarki dalam menentukan prioritas penggunaan lahan pada kawasan Teluk Kelabat, (ii) menganalisa masingmasing manfaat dan biaya/kerugian dari prioritas penggunaan lahan pada kawasan Teluk Kelabat berdasarkan tingkatan struktur hierarki tersebut, dan (iii) menganalisa manfaat dan biaya kegiatan-kegiatan penggunaan lahan. 5.3.1. Struktur hierarki penentuan penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus berdasarkan manfaat. Adapun struktur hierarki penentuan penggunaan lahan Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus berdasarkan manfaat terdiri dari 4 tingkat. Tingkat pertama merupakan tujuan utama, tingkat kedua aspek, tingkat ketiga kriteria, dan tingkat ke-empat adalah kegiatan yang akan menggunakan lahan kawasan Teluk Kelabat, kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat hasil Analisis dengan menggunakan AHP struktur hierarki penentuan penggunaan lahan Kawasan Teluk Kelabat, kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus berdasarkan manfaat dapat dilihat pada Gambar–gambar sebagai berikut. Proses analisis berjenjang dapat dilihat dari gambar matrik pemanfaatan tiap peruntukan ruang kegiatan perikanan, pelabuhan,
115
industri dan pariwisata. Dalam tahapan proses ini juga terdapat diagram nilai–nilai aspek ekonomi, teknologi, sosial dan lingkungan. Masing-masing aspek tersebut juga diperoleh nilai–nilai kriteria masing-masing tiap-tiap aspek sesuai persepsi stakeholder. Disamping itu dalam analisis ini diperoleh gambar model pengelolaan sesuai keinginan para stake holder yang akhirnya merupakan rekomendasi kebijakan. Berikut data-data yang akan dijadikan bahan yang telah diolah dengan proses analisis berjenjang sebagai berikut.
Gambar 9 Matrik hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder.
Gambar 9 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing stakeholder. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (3) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi.
116
Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Tk. 4 Kegiatan
Penentuan Prioritas Kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI 0.577
LINGKUNGAN 0.133
SOSIAL 0.179
TEKNOLOGI 0.111
PENDA PATAN
SEKTOR INFOR MAL
PERLIN DUNGAN PANTAI
ESTETI KA
TENA GA KERJA
REKRE ASI
TRANS FER TEKNO LOGI
MUTU SAING
0.481
0.096
0.114
0.019
0.154
0.026
0.074
0.037
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.303
0.455
0.127
0.115
Gambar 10 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder.
Gambar 11 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh Stakeholder.
117
Gambar 10 dan gambar 11 menggambarkan jenjang kekuatan masingmasing aspek masing-masing stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi seluruh stakeholder dari beberapa aspek. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi,lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan adalah aspek ekonomi (0.577) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kriteria pendapatan (0.481) bila dibandingkan dengan kriteria lain, tetapi pada jenjang tersebut terdapat kriteria yang tidak bisa dikesampingkan yaitu penyerapan tenaga kerja (0.154) dan perlindungan pantai (0.114). Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan perikanan (0.455) kemudian industri (0.303), pariwisata (0.127) dan pelabuhan (0.115).
Gambar 12 Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder.
Gambar
12
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan (45.5 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan memberikan dampak yang tinggi terhadap aspek ekonomi (57,7 %), kemudian terhadap aspek sosial (17.7 %), lingkungan (13.3 %), dan teknologi (11.1 %).
118
Gambar 13 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Tk. 4 Kegiatan
Penentuan Prioritas Kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI 0.567
LINGKUNGAN 0.136
SOSIAL 0.155
TEKNOLOGI 0.143
PENDA PATAN
SEKTOR INFOR MAL
PERLIN DUNGAN PANTAI
ESTETI KA
TENA GA KERJA
REKRE ASI
TRANS FER TEKNO LOGI
MUTU SAING
0.453
0.113
0.116
0.019
0.129
0.026
0.095
0.048
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.287
0.401
0.151
0.162
Gambar 14 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah.
119
Gambar 14 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing stakeholder. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan persepsi pemerintah adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (3) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (4) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi.
Diagram 15 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah
Gambar 14 dan diagram 15 menggambarkan jenjang kekuatan masingmasing aspek masing-masing stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi pemerintah dari beberapa aspek. Aspek tersebut
terdiri
dari
aspek
ekonomi,lingkungan,
teknologi
dan
sosial.
Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan pemerintah adalah aspek ekonomi (0.567) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya yang cenderung memberikan nilai yang sama (lingkungan (0.136), sosial (0.155) dan teknologi (0.143). Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap
kriteria pendapatan (0.453) bila dibandingkan
dengan kriteria lain. Kemudian berpengaruh cukup relevan terdapat kriteria
120
penyerapan tenaga kerja (0.129) dan perlindungan pesisir (0.116) . Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan sektor perikanan (0.401) kemudian industri (0.287), pelabuhan (0.162) dan pariwisata (0.151).
Gambar 16 Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan pemerintah.
Gambar 17 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi swasta.
121
Gambar
16
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan (40.1 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan memberikan dampak yang tinggi terhadap aspek ekonomi (56,7 %), kemudian aspek lingkungan (13.6 %), aspek sosial (15.5 %), dan teknologi (14.3 %). Gambar 17 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing
stakeholder.
Aspek
tersebut
terdiri
dari
aspek
ekonomi,lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan persepsi swasta adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (4) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (4) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (6) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi.
Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Tk. 4 Kegiatan
Penentuan Prioritas Kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI 0.588
LINGKUNGAN 0.136
SOSIAL 0.181
TEKNOLOGI 0.094
PENDA PATAN
SEKTOR INFOR MAL
PERLIN DUNGAN PANTAI
ESTETI KA
TENA GA KERJA
REKRE ASI
TRANS FER TEKNO LOGI
MUTU SAING
0.49
0.098
0.116
0.019
0.159
0.023
0.047
0.047
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.366
0.425
0.108
0.101
Gambar 18. Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat swasta.
122
Gambar 19 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan swasta. Gambar 18 dan 19 menggambarkan jenjang kekuatan masing-masing aspek setiap stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi seluruh stakeholder dari beberapa aspek. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi,lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan swasta adalah aspek ekonomi (0.588) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya, selanjutnya lingkungan (0.136), sosial (0.181) dan teknologi (0.094). Aspek ekonomi yang dominan tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kriteria pendapatan (0.49) bila dibandingkan dengan kriteria lain, yaitu penyerapan tenaga kerja (0.159) perlindungan pesisir (0.116) dan transfer teknologi (0.047) . Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan sektor perikanan (0.425) kemudian industri (0.366), pariwisata (0.108) dan pelabuhan (0.101). Gambar
20
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan (42.5 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan memberikan dampak yang tinggi terhadap aspek ekonomi (58,8 %), kemudian terhadap aspek lingkungan (13.6 %), sosial (18.1 %), dan teknologi (9.4 %).
123
Gambar 20 Model manfaat pengelolaan persepsi gabungan swasta.
Gambar 21 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi masyarakat.
Gambar 21 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing stakeholder. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan
124
persepsi masyarakat adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (6) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (2) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi. Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Tk. 4 Kegiatan
Penentuan Prioritas Kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI 0.537
LINGKUNGAN 0.131
SOSIAL 0.339
TEKNOLOGI 0.093
PENDA PATAN
SEKTOR INFOR MAL
PERLIN DUNGAN PANTAI
ESTETI KA
TENA GA KERJA
REKRE ASI
TRANS FER TEKNO LOGI
MUTU SAING
0.447
0.089
0.112
0.019
0.209
0.03
0.077
0.015
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.218
0.588
0.122
0.072
Gambar 22 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat.
Gambar 21 dan 22 menggambarkan jenjang kekuatan masing-masing aspek setiap stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi seluruh stakeholder dari beberapa aspek. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan masyrakat adalah aspek ekonomi (0.537) lebih dominan diikuti aspek sosial (0.239), aspek lingkungan (0.131) dan teknologi (0.093). Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kriteria pendapatan (0.447) kemudian penyerapan tenaga kerja (0.209), perlindungan pesisir (0.112) dan transfer teknologi (0.077). Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan adalah pemanfaatan ruang kawasan
125
untuk kegiatan sektor perikanan (0.588) kemudian industri (0.218), pariwisata (0.112) dan pelabuhan (0.072).
Gambar 23 Hierarki manfaat pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi masyarakat.
Gambar 24 Manfaat model pengelolaan persepsi gabungan masyarakat.
126
Gambar
24
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan (58.8 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan memberikan dampak yang tinggi terhadap aspek ekonomi(53.7 %), kemudian terhadap aspek sosial(23.9 %), aspek lingkungan (13.1 %) dan aspek teknologi (9.3 %) Seperti langkah-langkah yang telah disebutkan diatas, maka pembahasan berikut ini adalah upaya untuk menentukan lokasi pemanfaatan ruang bagi sektorsektor pembangunan di Kawasan Teluk Kelabat
yang tepat sesuai dengan
pendapat responden yang berkompeten.
5.3.1.1. Penentuan prioritas penggunaan lahan pada kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus. Analisis hierarki proses untuk menentukan prioritas kegiatan dalam penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang kawasan secara optimal sesuai keinginan dari stakeholders. Stakeholders dalam hal ini terdiri dari orang-orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dari kegiatan yang berhubungan dengan proses pemutusan kebijakan, serta memahami persoalan dan prospek kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus. Mereka terdiri dari unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka, unsur swasta, dan unsur masyarakat. Pembahasan penulisan ini mengarah kepada prioritas manfaat dan biaya/kerugian dari pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, yang bermuara kepada analisis biaya manfaat serta prioritas kegiatan pengelolaan kawasan Teluk Kelabat.
5.3.1.2. Prioritas manfaat gabungan keseluruhan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat. Hasil analisis AHP penentuan prioritas manfaat aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat dapat dilihat pada Gambar 17. Menurut pendapat gabungan responden, bahwa manfaat ekonomi mendapat bobot proritas tertinggi (0,577), lalu diikuti secara bersama aspek sosial (0,179), aspek lingkungan (0,133) dan dan kemudian aspek teknologi (0,111), sedangkan consistency ratio 0,02. Gabungan responden berpendapat
bahwa dalam pengelolaan kawasan Teluk
127
Kelabat yang menjadi prioritas adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dalam upaya meningkatkan baik pendapatan masyarakat maupun pendapatan asli daerah serta dapat menumbuhkan sektor informal. P R IOR IT AS M AN F AAT AS P E K T E R H AD AP P E N GE L OL AAN K AW AS AN T E L U K K E L AB AT
S K A LA P R IO R ITA S
0 ,6 0 ,4 0 ,2
E K ON OM I L IN GK U N GAN
0
S OS IAL GAB
PMR T
SWST
M AS Y
E K ON OM I
0,577
0,567
0,588
0,537
L IN GK U N GAN
0,133
0,136
0,136
0,131
S OS IAL
0,179
0,155
0,181
0,339
T E K N OL OGI
0,111
0,143
0,094
0,093
T E K N OL OGI
R E SP O N D EN
Gambar 25 Prioritas manfaat aspek terhadap pengelolaan kawasan industri perikanan terpadu Pengelolaan kawasan Teluk Kelabat juga harus memperhatikan aspek sosial (0,179) dan lingkungan ( 0,133) secara bersama-sama, sehingga keasrian dan terpeliharanya ekologis dapat dijamin dan kawasan tersebut dapat pula menyerap tenaga kerja agar kelangsungan pembangunan kawasan mendapat partisipasi aktif dari masyarakat setempat.
Sedangkan aspek teknologi (0,111) merupakan
prioritas berikutnya apabila aspek di atas telah terpenuhi dan aspek ini hendaknya berjalan sesuai perkembangan dari kebutuhan kepentingan sektor pembangunan di Teluk Kelabat tersebut. Menurut pendapat gabungan dari masing-masing unsur, ternyata bobot prioritas manfaat aspek ekonomi menjadi prioritas pertama, pemerintah (0,567), swasta (0,588) dan masyarakat (0,537). Hal
ini menunjukkan bahwa aspek
ekonomi menjadi pilihan utama dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat untuk meningkatkan pendapatan dan menumbuhkan sektor informal. Dalam prioritas berikutnya, terdapat persamaan dalam menilai, pemerintah (0,155), swasta (0,181)
128
dan masyarakat (0,179) melihat pentingnya manfaat aspek sosial.
Dengan
demikian terlihat keinginan pemerintah memberikan peran aktif dalam menciptakan situasi sosial yang harmonis antara swasta dan masyarakat. Begitu pula masyarakat menilai manfaat aspek sosial, berupa penyerapan tenaga kerja menjadi prioritas dalam pengelolaan, karena ada semacam kekhawatiran, nantinya mereka apakah hanya akan menjadi buruh biasa saja atau tidak berperan sama sekali dan swasta merespon dengan baik situasi ini. Prioritas manfaat aspek berikutnya, pemerintah memberi bobot teknologi (0,143) diikuti bobot aspek pelestarian lingkungan (0,136) dengan consistency ratio (0,01). Sedangkan swasta memberi bobot manfaat aspek lingkungan (0,136) dan teknologi (0,094) dengan consistency ratio (0,04). Sementara masyarakat memberi bobot manfaat lingkungan (0,131) dan manfaat aspek teknologi (0,093) dengan consistency ratio (0,08). 5.3.1.3. Prioritas manfaat kriteria terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat Berdasarkan hasil analisis AHP prioritas manfaat kriteria dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, pendapat gabungan responden (0,481), pemerintah (0,453), swasta (0,49), dan masyarakat (0,447) menyatakan bahwa prioritas manfaat kriteria yang tertinggi adalah kriteria pendapatan. Hal ini menunjukkan keinginan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dari hasil kegiatan pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, sehingga daya beli masyarakat meningkat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat diharapkan akan semakin membaiknya struktur dan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula dengan membaiknya daya beli masyarakat akan menggairahkan dan memacu pihak swasta dalam proses produksi yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan asli daerah untuk pembangunan. Prioritas kriteria berikutnya menurut semua pendapat, gabungan (0,154) masyarakat (0,209), pemerintah (0,129) dan pihak swasta (0,159) adalah kriteria tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut hubungan yang baik antara pemerintah dan swasta dalam menangani aspek tenaga kerja. Aspek tenaga kerja menjadi prioritas yang berkait erat dengan pendapatan yang menghendaki adanya kebijakan yang arif untuk mendahulukan kepentingan orang
129
banyak dengan tidak mengenyampingkan lingkungan serta mengabaikan tenaga kerja untuk mendukung produksi sehingga dapat menghasilkan barang yang berkualitas. PR IOR ITAS K R ITER IA PE N GOLAH AN K AW AS AN TE LU K K E LAB AT B ER D AS AR K AN AN ALISIS 0,5
G abungan Pe mda Swasta M asyarakat
VA R IA B EL
0,4 0,3 0,2 0,1 0
P DP
S INF
P LP T
ES TK
TKER
RRS
TRK
M TS
Ga bunga n
0 ,4 8 1
0 ,0 9 6
0 ,1 1 4
0 ,0 1 9
0 ,1 5 4
0 ,0 2 6
0 ,0 7 4
0 ,0 3 7
P e m da
0 ,4 5 3
0 ,1 1 3
0 ,1 1 6
0 ,0 1 9
0 ,1 2 9
0 ,0 2 6
0 ,0 9 5
0 ,0 4 8
S w a s ta
0 ,4 9
0 ,0 9 8
0 ,1 1 6
0 ,0 1 9
0 ,1 5 9
0 ,0 2 3
0 ,0 4 7
0 ,0 4 7
M a s ya ra k a t
0 ,4 4 7
0 ,0 8 9
0 ,1 1 2
0 ,0 1 9
0 ,2 0 9
0 ,0 3
0 ,0 7 7
0 ,0 1 5
SK ALA PR IOR ITAS
Gambar 26 Prioritas manfaat kriteria dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat Hal yang menarik pada prioritas ketiga untuk semua pendapat, yaitu: gabungan (0,114), pemerintah (0,116), swasta (0,116) dan masyarakat (0,112), menginginkan perlindungan pesisir pantai sebagai hal yang harus diperhatikan. Pemerintah melihat pelestarian ini sebagai suatu kewajiban, masyarakat dan swasta melihat pelestarian dan perlindungan pesisir sebagai pendukung utama perkembangan kawasan Teluk Kelabat. Wilayah pesisir merupakan wilayah ekonomis yang menciptakan alasan tumbuhnya perekonomian di daerah ini, sehingga wajar bila kriteria ini diprioritaskan oleh swasta dan masyarakat. Sementara kriteria sektor informal, rekreasi, estetika dan produksi mutu yang dapat bersaing menjadi prioritas selanjutnya. 5.3.1.4. Prioritas manfaat kegiatan terhadap penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat Berdasarkan hasil analisis AHP prioritas manfaat terhadap penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat, seperti pada gambar, kegiatan perikanan menjadi prioritas pertama dari pendapat gabungan (0,455), pemerintah (0,401), swasta (0,425) dan pendapat masyarakat (0,588). Perikanan merupakan kegiatan ekonomi
130
yang masih mendominasi dalam masyarakat di kawasan Teluk Kelabat. Sebagai Kegiatan utama, perikanan telah memberikan sumbangan yang cukup besar dan telah bertahan cukup lama karena kondisi lingkungan yang mendukung. Namun bila melihat penilaian semua terhadap kegiatan industri, responden gabungan (0,303), pemerintah (0,287), swasta (0,366) dan masyarakat (0,218) secara keseluruhan menginginkan industri sebagai sektor alternatif yang diharapkan bisa lebih meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan sektor informal. Selain itu dapat mempercepat transfer teknologi untuk menghasilkan barang berkualitas yang mampu bersaing. Selanjutnya menurut responden kegiatan pariwisata menjadi prioritas ketiga berdasarkan analisis manfaat pendapat gabungan (0,127), pemerintah (0,151), swasta (0,108), dan pendapat masyarakat (0,122). Kegiatan pariwisata ini, selain dapat meningkatkan pendapatan dan menumbuhkan sektor informal, yang utama adalah menciptakan ruang yang berimbang dari keriuhan dan kesibukan industri dengan suasana yang lebih tenang dan menyejukkan. Selain itu dapat menjaga dan melindungi pantai melalui konsep ekowisata, serta memiliki nilai estetika yang tinggi yang dapat memberikan suasana rekreatif yang kondusif bagi proses produksi pada kawasan tersebut. P R IOR IT AS K E GIAT AN P AD A K AW AS AN T E L U K K E L AB AT B E R D AS AR K AN AN AL IS IS M AN F AAT 0,6
Industri P e rikanan P ariwisata P e labuhan
P R IOR IT AS
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
G a bunga n
P e m e rinta ha n
S w a sta
M a sya ra ka t
Industri
0,303
0,287
0,366
0,218
P e rika na n
0,455
0,401
0,425
0,588
P a riw isa ta
0,127
0,151
0,108
0,122
P e la buha n
0,115
0,162
0,101
0,072
R E S P ON D E N
Gambar 27 Prioritas manfaat Teluk Kelabat
kegiatan
terhadap
pengelolaan
kawasan
131
Dilihat pada gambar 27 kegiatan pelabuhan menjadi prioritas terakhir berdasarkan pendapat gabungan (0,115), pemerintah (0,162), swasta (0,101) dan pendapat masyarakat (0,072). Kegiatan ini berperan dalam arus keluar masuk barang dan penumpang melalui laut untuk mengangkut hasil produksi ke lokasi pemasaran dan mendatangkan barang baik sebagai sarana produksi industri maupun barang kebutuhan pokok dan
lainnya. Pelabuhan juga menyediakan
sarana pergudangan dan ruang bongkar muat peti kemas yang melayani pelayaran domestik dan internasional. Aktifitas pelabuhan akan memberikan lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi masyarakat yang berarti dapat memberikan penghasilan dan menumbuhkan sektor informal. Selain itu pengelolaan pelabuhan yang baik akan memberi perlindungan pantai serta memberikan pemandangan yang menyenangkan. 5.3.2. Struktur hierarki penentuan penggunaan lahan Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus berdasarkan biaya/kerugian Adapun struktur hierarki penentuan penggunaan lahan Kawasan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus berdasarkan biaya/kerugian terdiri dari 4 tingkat. Tingkat pertama adalah tujuan utama, tingkat kedua aspek, tingkat ketiga kriteria, dan tingkat keempat adalah kegiatan yang akan menggunakan lahan kawasan Teluk Kelabat. Untuk lebih jelasnya struktur hierarki penentuan penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat berdasarkan biaya/kerugian dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 28 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder.
132
Gambar 28 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing
stakeholder.
Aspek
tersebut
terdiri
dari
aspek
ekonomi,lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspekaspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (2) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (3) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (6) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi.
Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Penentuan prioritas kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI
LINGKUNGAN
SOSIAL
TEKNOLOGI
0.55
0.156
0.183
0.111
MODAL
BIAYA OPERASI ONAL PEMELI HARAAN
PENCE MARAN
DEGRA DASI
PERUB GAYA HIDUP
KECEM BURU AN SOSIAL
PENGA NGGU RAN
TEK THD PROD TRADS
0.458
0.092
0.104
0.052
0.122
0.061
0.089
0.022
Tk.4 Kegiatan
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.368
0.328
0.163
0.142
Gambar 29 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan seluruh stakeholder.
133
Gambar 30 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi seluruh stakeholder. Gambar 29 dan 30 menggambarkan jenjang kekuatan masing-masing aspek setiap stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi seluruh stakeholder dari beberapa aspek. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan adalah aspek ekonomi (0.55) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya yang cenderung memberikan nilai yang hampir sama (lingkungan (0.156), sosial (0.183) dan teknologi (0.111). Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kriteria modal (0.458). Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan
sektor industri (0.368),
kemudian perikanan (0.328), pariwisata (0.163) dan pelabuhan (0.142).
134
Gambar 31 Model biaya pengelolaan persepsi gabungan seluruh stakeholder.
Gambar
31
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri (36.8 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri memberikan dampak terhadap aspek ekonomi yang tinggi (55.0 %). Selanjutnya aspek sosial (18.3 %), lingkungan (15.6 %), dan teknologi (11.1 %).
Gambar 32 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah.
135
Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Penentuan prioritas kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI
LINGKUNGAN
SOSIAL
TEKNOLOGI
0.542
0.172
0.183
0.103
MODAL
BIAYA OPERASI ONAL PEMELI HARAAN
PENCEM ARAN
DEGRA DASI
PERUB GAYA HIDUP
KECEM BURU AN SOSIAL
PENGA NGGU RAN
TEK THD PROD TRADS
0.451
0.09
0.086
0.086
0.092
0.092
0.086
0.017
Tk.4 Kegiatan
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.416
0.251
0.175
0.158
Gambar 33 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat pemerintah Gambar 33 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing
stakeholder.
Aspek
tersebut
terdiri
dari
aspek
ekonomi,lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan persepsi pemerintah adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (4) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (3) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (4) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi.
136
Gambar 34 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi pemerintah. Gambar 33 dan 34 menggambarkan jenjang kekuatan masing-masing aspek masing-masing stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi pemerintah dari beberapa aspek. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi,lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan pemerintah adalah aspek ekonomi (0.542) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya yang cenderung memberikan nilai yang sama (lingkungan (0.172), sosial (0.183) dan teknologi (0.103). Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap
kriteria modal (0.451). Kegiatan yang paling sesuai menurut
persepsi pemerintah adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan sektor industri (0.416) kemudian perikanan (0.251), pariwisata (0.175) dan pelabuhan (0.158).
137
Gambar 35. Biaya model pengelolaan gabungan seluruh persepsi pemerintah. Gambar 35 menggambarkan kecenderungan pilihan diarahkan ke peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri (41.6 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri memberikan dampak terhadap aspek ekonomi yang tinggi (54.2 %). Kemudian disusul oleh aspek lingkungan (17.2 %), sosial (18.3 %), dan teknologi (10.3 %).
Gambar 36 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi swasta.
138
Gambar 36 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing stakeholder. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan persepsi swasta adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (2) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (4) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi. Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
EKONOMI
LINGKUNGAN
SOSIAL
TEKNOLOGI
0.507
0.264
0.143
0.086
MODAL
BIAYA OPERASI ONAL PEMELI HARAAN
PENCEMA RAN
DEGRA DASI
PERUB GAYA HIDUP
KECEM BURU AN SOSIAL
PENGA NGGUR AN
TEK THD PROD TRADS
0.422
0.084
0.211
0.053
0.119
0.024
0.069
0.017
Tk.4 Kegiatan
G
Penentuan prioritas kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.333
0.425
0.123
0.119
Gambar 37 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat persepsi swasta
139
Gambar 38 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi swasta. Gambar 37 dan 38 menggambarkan jenjang kekuatan masing-masing aspek setiap stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi seluruh stakeholder dari beberapa aspek. Aspek tersebut
terdiri
dari
aspek
ekonomi,lingkungan,
teknologi
dan
sosial.
Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan swasta adalah aspek ekonomi (0.507) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya (lingkungan (0.264), sosial (0.143) dan teknologi (0.086). Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kriteria modal (0.422). Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan swasta adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan perikanan (0.425), kemudian sektor industri (0.333), pariwisata (0.123) dan pelabuhan (0.119).
140
Gambar 39 Biaya model pengelolaan gabungan seluruh persepsi swasta Gambar
39
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan (42.5 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan memberikan dampak pertumbuhan aspek ekonomi yang tinggi (50.7 %). Kemudian aspek lingkungan (26.4 %), sosial (14.3 %), dan teknologi (8.6 %).
Gambar 40 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi masyarakat.
141
Gambar 40 menggambarkan kekuatan masing-masing aspek keinginan dari masing-masing stakeholder. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan dari pendapat gabungan persepsi masyarakat adalah aspek ekonomi lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Perbandingan aspek ekonomi dengan aspek lainnya adalah sebagai berikut ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek lingkungan ; aspek ekonomi (3) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek sosial ; aspek ekonomi (5) lebih tinggi bila dibandingkan dengan aspek teknologi.
Tingkat 1 Tujuan Utama
Tk.2 Aspek
Tk. 3 Kriteria
Penentuan prioritas kegiatan PENGELOLAAN KAWASAN TELUK KELABAT
EKONOMI
LINGKUNGAN
SOSIAL
TEKNOLOGI
0.577
0.133
0.179
0.111
MODAL
BIAYA OPERASI ONAL PEMELI HARAAN
PENCEMA RAN
DEGRA DASI
PERUB GAYA HIDUP
KECEM BURU AN SOSIAL
PENGA NGGUR AN
TEK THD PROD TRADS
0.481
0.096
0.111
0.022
0.157
0.022
0.092
0.018
Tk.4 Kegiatan
INDUSTRI
PERIKANAN
PARIWISATA
PELABUHAN
0.209
0.574
0.126
0.019
Gambar 41 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat masyarakat
142
Gambar 42 Hierarki biaya pengelolaan kawasan Teluk Kelabat pendapat gabungan persepsi masyarakat. Gambar 40 dan 41 menggambarkan jenjang kekuatan masing-masing aspek setiap stakeholder. Keduanya memberikan hasil analisa yang sama berkaitan dengan persepsi seluruh stakeholder dari beberapa aspek. Aspek tersebut terdiri dari aspek ekonomi, lingkungan, teknologi dan sosial. Kecenderungan jenjang tertinggi dari pendapat gabungan masyarakat adalah aspek ekonomi (0.577) lebih dominan jika dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya yang cenderung memberikan nilai yang hampir sama (lingkungan (0.130), teknologi (0.111) dan sosial (0.179). Aspek ekonomi yang dominan selanjutnya memberikan pengaruh yang besar terhadap kriteria modal (0.481). Kegiatan yang paling sesuai menurut persepsi gabungan adalah pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan sektor perikanan (0.574) kemudian industri (0.209), pariwisata (0.126) dan pelabuhan (0.019).
143
Gambar 43 Biaya model pengelolaan gabungan seluruh persepsi masyarakat. Gambar
43
menggambarkan
kecenderungan
pilihan
diarahkan
ke
peruntukan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan (57.4 %). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan memberikan dampak yang tinggi terhadap aspek ekonomi (57.7 %), kemudian diikuti aspek sosial(17.9 %), aspek lingkungan (13.0 %) dan aspek teknologi (11.1 %).
5.3.3. Struktur hierarki penentuan penggunaan lahan kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus berdasarkan biaya /kerugian berdasarkan cost dan ratio. 5.3.3.1. Prioritas biaya/kerugian aspek Teluk Kelabat.
terhadap pengelolaan kawasan
Berdasarkan analisis AHP prioritas biaya/kerugian dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, pendapat gabungan stakeholder (0,55; CR 0,02 ) menyatakan
aspek ekonomi yang membutuhkan biaya yang paling tinggi,
demikian pula pendapat masing-masing unsur, pemerintah (0,542; CR 0,02), swasta (0,507; CR 0,01), dan pendapat masyarakat (0,577; CR 0,02). Dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi, kegiatan pengelolaan Teluk Kelabat memang memerlukan modal yang besar baik sebagai modal dasar.
144
B IAYA K E R U GIAN AS P E K D AL AM P E N G E L OL AAN K AW AS AN T E L U K K E L AB AT
S K ALA P R IO R IT AAS
0 ,6 0 ,5 0 ,4 0 ,3 E konomi
0 ,2
Lingkungan S osial
0 ,1 0
T e knologi G a bunga n
P e m e rinta h
M a sya ra ka t
S w a sta
Ekonom i
0,55
0,542
0,577
0,507
Lingkunga n
0,156
0,172
0,133
0,264
S osia l
0,183
0,183
0,179
0,143
Te knologi
0,111
0,103
0,111
0,086
R ESPO ND EN
Gambar 44 Prioritas biaya/kerugian aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat Gambar 43 menunjukkan bahwa Aspek sosial menjadi prioritas kedua menurut pendapat dari gabungan stakeholder (0,183), pemerintah (0,183), dan masyarakat (0,179), sementara itu pada posisi ini pihak swasta (0,0264) menyatakan aspek lingkungan mempunyai prioritas biaya/kerugian cukup penting selain ekonomi. Bila dihubungkan dengan aspek lingkungan sebagai prioritas ketiga pada pendapat gabungan stakeholder (0,156), pemerintah (0,172), dan masyarakat (0,133), biaya/kerugian sosial dan lingkungan menandakan kecemasan yang sama dari aktifitas industri akan memberikan tekanan yang keras terhadap sosial dan lingkungan. Secara sosial terlihat kekhawatiran akan kesiapan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap dampak negatif industri pada kehidupan seperti perubahan gaya hidup dan kecemburuan sosial. Sedangkan secara lingkungan dampak yang diperhitungkan adalah pencemaran dari limbah industri dan degradasi fisik lingkungan, yang semula sistem ekologis di dominasi habitat tumbuhan, maka dengan masuknya komunitas Teluk Kelabat akan terjadi keseimbangan ekologis yang baru di lingkungan tersebut. Apabila eksploitasi lingkungan tersebut masih sesuai dengan asimilasi atau daya dukung (carring capacity) lingkungan, maka kehidupan biota darat dan laut tidak berpengaruh
145
nyata, namun bila yang terjadi lingkungan tidak mampu lagi menetralisir atau menampung limbah atau beban dari tekanan terhadap sumberdaya yang ada maka akan terjadi seperti langkanya sumberdaya alam sampai bahkan menghilangnya biota tertentu yang sensitif terhadap perubahan tersebut, sehingga akan mengakibatkan keseimbangan ekologis yang baru. Tidak jauh berbeda dengan responden lain, swasta menempatkan aspek sosial pada prioritas ketiga dengan bobot 0,143 dengan pertimbangan aspek lingkungan adalah salah satu bagian syarat kelayakan usaha yang dinilai agar industri bisa berjalan dan ketika industri memulai produksi, aspek sosial adalah keharusan selanjutnya yang wajib diprioritaskan. Sedangkan aspek teknologi menjadi prioritas biaya/kerugian terakhir, dengan bobot menurut pendapat gabungan (0,148),
dan masyarakat (0,110),
dimana biaya/kerugian yang ditimbulkannya adalah sistem padat modal dengan lebih mengandalkan proses produksi menggunakan alat-alat berteknologi tinggi sehingga tidak memberi peluang lapangan pekerjaan kepada masyarakat secara umum yang dapat mengakibatkan terjadinya pengangguran, dan apabila produksi yang dihasilkan oleh kawasan industri ini adalah barang yang sama diproduksi oleh masyarakat secara tradisional (home industry), maka dapat menyebabkan tekanan persaingan yang kuat bagi berkembangnya produksi tradisional masyarakat tersebut. 5.3.3.2. Prioritas biaya/ kerugian kriteria terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat. Berdasarkan analisis AHP prioritas biaya/kerugian kriteria terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, seperti pada Gambar 29, kriteria modal merupakan prioritas kriteria tertinggi, menurut pendapat gabungan (0,458), demikian pula menurut pendapat dari unsur pemerintah (0,451), swasta (0,422), dan pendapat masyarakat (0,481).
Proses produksi dapat berlangsung bila
tersedianya sarana produksi seperti lokasi, alat dan mesin, bahan baku dan lainnya yang merupakan modal dan membutuhkan biaya tinggi untuk mengadakannya.
146
B IAYA K E R U GIAN K R ITER IA D ALAM P E N GE LOLAAN K AW AS AN TELU K K ELAB AT 0,5
SKALA PRIO RITAS
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25
Gabungan
0,2 0,15
Pem erintah
0,1
M asyarakat Sw asta
0,05 0
M DL
BOP
CM R
GRD
GA YH
C BS
GUR
T KT R
Gab u n g an
0,458
0,092
0,104
0,052
0,122
0,061
0,089
0,022
Pe m e r in tah
0,451
0,09
0,086
0,086
0,092
0,092
0,086
0,017
M as yar ak at
0,481
0,096
0,111
0,022
0,157
0,022
0,092
0,018
Sw as ta
0,422
0,084
0,211
0,053
0,119
0,024
0,069
0,017
VARIABEL
Gambar 45. Prioritas biaya/kerugian kriteria terhadap pengelolaan kawasan industri perikanan terpadu Prioritas biaya/kerugian kedua tertinggi adalah kriteria gaya hidup, berdasar pada pendapat gabungan (0,122), masyarakat (0,157). Meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan pula daya belinya, hal ini umumnya dapat menyebabkan masyarakat cenderung kepada pola konsumtif, tentunya akan berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat seperti hilangnya sifat gotong royong, munculnya sifat individual yang mengabaikan musyawarah dan munculnya kelompok-kelompok. Dampak seperti ini dan masalah kesengajaan juga diprioritaskan oleh pemerintah dengan bobot yang sama (0,092) karena masalah gaya hidup dan kesenjangan sosial merupakan isu yang cukup beresiko menghalangi proses pembangunan. Sedangkan swasta memberi bobot 0,211 untuk prioritas ini pada kriteria pencemaran karena tanggung jawab terhadap penanganan pencemaran lingkungan lebih ditujukan kepada pihak swasta sebagai pelaku industri maka masalah limbah dari proses produksi Teluk Kelabat dan pelestariannya akan menjadi pilihan prioritas biaya/kerugian yang diperhitungkan. Limbah yang merupakan polutan yang berpotensi terhadap pencemaran lingkungan, hal ini akan merugikan dan terganggunya kehidupan perairan sekitar kawasan. Untuk itu diperlukan biaya yang cukup tinggi dalam mengatasi limbah
147
industri agar limbah dapat dinetralisir kembali dan pada saat memasuki atau dibuang kembali tidak menimbulkan penurunan kualitas perairan. Prioritas ketiga dalam biaya/kerugian, menurut pendapat gabungan (0,104) dan masyarakat (0,111) adalah kriteria pencemaran. Swasta memilih kriteria gaya hidup (0,119) sebagai biaya/kerugian yang akan mempengaruhi iklim usaha. Yaitu ketika gaya hidup berubah maka tuntutan, pemikiran, semangat dan produktifitas tenaga kerja akan berkembang sejalan dengan baik tidaknya kebijakan dunia usaha. Untuk prioritas selanjutnya pendapat gabungan memberikan urutan kriteria biaya operasional dan pemeliharaan (0,092), pengangguran (0,089), kesengajaan (0,061), degradasi lingkungan (0,052), dan tekanan produksi (0,022). Pemerintah mengurutkan prioritas lanjutan biaya/kerugiannya dengan kriteria biaya operasional dan pemeliharaan (0,09), pengangguran, degradasi, pencemaran dalam bobot yang sama (0,086) dan tekanan produksi (0,017) sebagai prioritas terakhir. Pendapat masyarakat memiliki skema yang mirip dengan pendapat gabungan dengan urutan kriteria biaya operasional dan pemeliharaan (0,096), pengangguran (0,092), degradasi dan kesenjangan sosial dengan bobot yang sama (0,022), dan tekanan produksi (0,018). Begitu pula dengan responden swasta, biaya operasional dan pemeliharaan (0,084), pengangguran (0,069), degradasi (0,053), kesenjangan (0,024) dan tekanan produksi (0,017). Untuk lima prioritas terakhir rata-rata setiap responden memiliki skala prioritas yang sama. Penggangguran
adalah
terbatasnya
kesempatan
kerja
dikarenakan
penggunaan teknologi tinggi dan alat dan mesin yang dapat menggantikan manusia. Bagi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan teknis, pengalaman dan pengetahuan/pendidikan yang mencukupi syarat yang ditentukan akan kalah bersaing sehingga tidak akan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses produksi industri. Biaya operasional dan pemeliharaan dipersiapkan untuk mendampingi modal dasar
agar dapat melangsungkan keberlanjutan proses produksi dan
berkembangnya Teluk Kelabat. Biaya/kerugian kriteria degradasi fisik lingkungan disebabkan karena kurang pedulinya para pengguna lahan pada kawasan industri tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan ini akan berdampak kepada ketersediaan sumberdaya alam, seperti sumberdaya
148
ikan, apabila sumberdaya ikan tersebut semakin menurun, akan berakibat pada menurunnya hasil tangkap nelayan, dengan demikian menurun pula pendapatan sedangkan kebutuhan hidup meningkat, tekanan terhadap kebutuhan hidup menyebabkan nelayan melakukan tindakan destruktif dan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya lingkungan lainnya. Sementara biaya/kerugian yang ditimbulkan dengan adanya kawasan Teluk Kelabat lainnya adalah munculnya tekanan terhadap produksi tradisional. Produksi home industri masyarakat pada umumnya sangat sederhana baik kualitas hasil produksi maupun pengemasannya, sehingga produksi masyarakat ini sulit bersaing apabila mendapat saingan dari produksi industri yang menggunakan alat dan mesin yang canggih. Ketidak mampuan menghasilkan kualitas produk yang bersaing ini karena kemampuan dan ketrampilan serta modal yang kurang dimiliki masyarakat. 5.3.3.3. Prioritas biaya/kerugian kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat Berdasarkan analisis AHP prioritas biaya/kerugian kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, kegiatan industri menempati prioritas biaya/kerugian yang tertinggi menurut pendapat gabungan (0,368), demikian pula pendapat unsur dari pemerintah (0,416). Masyarakat menilai perikanan dengan bobot 0,574 menempati biaya/kerugian tertinggi, sedangkan swasta (0,123). Penilaian ini dipengaruhi oleh hubungan kegiatan lainnya dalam hal modal dan biaya operasional serta pemeliharaan, pencemaran dan degradasi lingkungan, perubahan gaya hidup dan kecemburun sosial serta terjadinya pengangguran dan tekanan terhadap produksi tradisional dari sudut pandang dan posisi masingmasing responden.
149
B IAYA/K E R U GIAN K E GIATAN D AL AM P E N GE LOLAAN K AW AS AN TE LU K K E LAB AT 0,6 0,55 S KAL A P RIO RIT AS
0,5 0,45 0,4 0,35 0,3
P e rik a na n
0,25
Indus tri
0,2 0,15
P a riw is a ta P e la buha n
0,1 0,05 0
G a bu nga n
P e m e rinta h
M a sya ra ka t
S w a sta
P e rika na n
0,328
0,251
0,574
0,042
In dustri
0,368
0,416
0,209
0,033
P a riw isa ta
0,163
0,175
0,126
0,123
P e la b uha n
0,142
0,158
0,019
0,119
R E S P ON D E N
Gambar 46 Prioritas biaya/kerugian kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat Kegiatan perikanan menjadi prioritas kedua, sesuai hasil pendapat gabungan (0,328) dan pemerintah (0,251). Swasta menilai kegiatan pelabuhan sebagai pilihan kedua (0,119) dan masyarakat lebih memilih kegiatan industri dengan bobot 0,209. Berikutnya biaya/kerugian kegiatan pariwisata merupakan prioritas ketiga menurut pendapat gabungan (0,163) dan masyarakat (0,126). Namun swasta (0,042) melihat kegiatan perikanan sebagai prioritas ketiganya. Selanjutnya prioritas biaya/kerugian kegiatan yang keempat adalah kegiatan pelabuhan, yaitu pendapat gabungan (0,142), pemerintah (0,158), namun berdasarkan pendapat swasta industri memilih industri sebagai prioritas terakhir yang memiliki biaya/kerugian terkecil. 5.3.4. Prioritas aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat berdasarkan analisis manfaat dan biaya. Berdasarkan hasil analisis manfaat dan biaya prioritas aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat, aspek lingkungan menjadi prioritas utama menurut pendapat swasta yaitu 1,94 dengan mengacu kepada prinsip ratio benefit/cost > 1 ( B/C >1) adalah layak, ini berarti pengelolaan kawasan industri akan sangat menguntungkan, demikian pula pendapat dari pemerintah (1,26),
150
gabungan dari para ahli (1,17) dan masyarakat (1,02) yang memberikan prioritas ketiga.
S K ALA P R IO R IT AS
P RIO RIT AS AS P EK DALAM P ENG EL O LAAN KAW AS AN TEL UK KEL ABAT DAN JEBUS BERDAS ARKAN ANAL IS IS M ANF AAT DAN BIAYA 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
Gab
Pe m
M as y
Sw as ta
Ek o n o m i
0,95
0,96
1,07
0,86
L in g k u n g an
1,17
1,26
1,02
1,94
So s ial
1,02
1,18
0,53
0,79
T e k n o lo g i
1,01
0,72
1,19
0,91
E ko n o m i L in g k u n g a n S o s ia l T e k n o lo g i
S TA KE HO L DE RS
Gambar 47 Prioritas aspek terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat berdasarkan analisis manfaat dan biaya Selanjutnya menurut pendapat gabungan pelaku, bahwa aspek sosial dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat menempati prioritas kedua yaitu dengan bobot 1.02 dan masuk dalam kategori layak, artinya pembangunan dibidang sosial akan menguntungkan dengan memperhatikan dampak atau gejala kesenjangan yang mungkin timbul dari pembangunan kawasan tersebut. Perubahan dalam lingkungan sosial mencakup perubahan yang telah berkembang untuk mewadahi semakin kompleknya kebutuhan masyarakat, pergeseran nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, melemahnya kontrol sosial dalam masyarakat dan keluarga. Perubahan-perubahan tersebut menurut Dunn (2001) telah membawa dampak sosial budaya seperti perbedaan kelas sosial, persaingan dan konflik kepentingan antar kelompok, ketimpangan sosial yang dapat mengganggu stabilitas sosial ekonomi. Pendapat
yang mempunyai sikap cukup memprihatinkan pada masalah
sosial ini adalah pendapat swasta yang menilai B/C 0,79, hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat dianggap belum siap apabila nanti kawasan tersebut berkembang sesuai rencana. Rendahnya tingkat peran serta masyarakat terutama
151
disebabkan oleh masih rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap perkembangan pembangunan dan persoalan lingkungan hidup serta keterkaitan antar keduanya.Lemahnya peran lembaga kemasyarakatan maupun dunia usaha dalam mendukung program pembangunan terutama menyangkut teknologi yang dikuasai masyarakat dan mutu sumberdaya alam serta pola kehidupan sebagian besar masyarakat yang masih dalam tahap pemenuhan kebutuhan paling primer mereka secara layak menyebabkan kapasitas keperansertaan mereka tidak optimal, namun pemerintah (1,18) dan masyarakat (0.53) merasa optimis bahwa pembangunan sosial bisa menjadi prioritas dan dapat memberikan suasana yang kondusif bagi pembangunan kawasan tersebut, dengan upaya sejauh mungkin mengajak dan memberi kesempatan masyarakat berpartisipasi, menjalin komunikasi dan informasi. Persepsi pelaku Masyarakat (1,19), lebih mengutamakan aspek teknologi yang dianggap dapat menguntungkan, namun bagi pemerintah (0,72) dan swasta (0,91) justru penggunaan teknologi yang tidak meninggalkan kemampuan masyarakat atau keikutsertaan dari masyarakatlah yang perlu dipertimbangkan, sehingga terdapat keseimbangan pembangunan pada kedua aspek ini,demikian pula pendapat gabungan para pelaku (1,01), penggunaan iptek yang tidak bijaksana dapat menghancurkan daya dukung dan menurunkan mutu lingkungan hidup, misalnya: pengurukan sungai dan pantai, pencemaran udara dan kebisingan karena industri. Untuk itu menurut Sugandhy (1999) dengan semakin cepatnya proses industrialisasi diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi industri yang berwawasan lingkungan untuk pengelolaan limbah, pengendalian erosi dan banjir, kesiapan teknologi pengelolaan lingkungan untuk melestarikan fungsi tatanan, mengukur daya dukung lingkungan, teknologi konservasi flora, dan fauna dan teknologi pengendalian pencemaran, kerusakan dan rehabilitasi lingkungan serta pemenuhan kebutuhan energi yang ramah lingkungan. Penguasaan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup bangsa yang harus diselaraskan dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hidup.
Pengembangan berbagai disiplin ilmu dan
152
teknologi yang diperhitungkan akan memiliki peluang tinggi dalam mempercepat laju pembangunan harus dikenali dan diberi perhatian khusus. Para pelaku pembangunan baik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat pada umumnya juga masih memperlakukan lingkungan hidup sebagai barang bebas (free commodity). Menurut Yakin (1997) lingkungan hidup belum dianggap sebagai komoditi dan aset ekonomi yang fungsi dan kemampuannya perlu dilestarikan untuk keberlanjutan proses produksi.
Akibatnya pemanfaatan
sumberdaya dan lingkungan tidak dilakukan secara bijaksana dan kurang memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Orientasi pembangunan dan kegiatan masyarakat khususnya para pelaku ekonomi masih berspektif jangka pendek. Tujuan jangka pendek meraih keuntungan materiil dengan mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan di pandang masih lebih penting dari pada tujuan jangka panjang memperhatikan ketersediaan sumberdaya secara berlanjut bagi pembangunan. Di sisi lain, pengertian dan kesadaran tentang lingkungan di kalangan penegak hukum dan pejabat pemerintahan masih rendah,sehingga penegakan hukum juga lemah.
Sementara itu, kasus pelanggaran lingkungan cenderung meningkat
karena intensitas dan kompleksitas masalah lingkungan. Walaupun demikian dengan telah adanya landasan hukum dan perundang-undangan merupakan peluang untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan di masa mendatang. Berdasarkan hasil analisis manfaat dan biaya kegiatan terhadap pengelolaan kawasan Teluk Kelabat semua kegiatan yang direncanakan pada kawasan Teluk Kelabat belum dianggap layak, kecuali kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan dikatakan layak atau dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada biaya atau kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Kegiatan industri menjadi prioritas kedua, sesuai dengan pendapat swasta (1,098), masyarakat (1,043), gabungan pelaku (0,823) dan pemerintah (0,690). Kegiatan pelabuhan menjadi prioritas ketiga, sesuai dengan pendapat pemerintah (1,025), swasta (0,849), gabungan pelaku (0,810) dan masyarakat (0,791). Sedangkan kegiatan pariwisata menjadi prioritas keempat, sesuai pendapat gabungan pelaku (0,810), pemerintah (1,025), swasta (0,849) dan pendapat masyarakat (0,791).
153
Kegiatan perikanan dan industri memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, lingkungan, sosial dan teknologi. Dengan meningkatnya aktifitas dari kegiatan-kegiatan tesebut, diharapkan akan semakin meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah, menumbuhkan sektor informal yang dapat mendinamiskan
masyarakat
mengembangkan
berbagai
usaha
dan
jasa,
memberikan dampak yang baik bagi perlindungan pantai dan keindahan alami pesisir, dapat menampung tenaga kerja dan memberikan suasana yang nyaman, serta memungkinkan adanya penyerapan atau adopsi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghasilkan produksi yang dapat bersaing pada pasar dalam dan luar negeri. Namun demikian menurut pemerintah dan masyarakat perlu diwaspadai dampak yang kurang menguntungkan, seperti pada kegiatan pelabuhan masih harus ditekan dan dikendalikan dari biaya/kerugian yang ditimbulkan oleh modal, biaya operasional dan pemeliharaan, pencemaran dan degradasi fisik lingkungan, adanya perubahan gaya hidup dan kecemburuan sosial yang disebabkan adanya kesenjangan sosial, serta adanya pengangguran karena tenaga kerja yang tidak siap pakai dan tekanan terhadap produksi tradisional masyarakat yang kalah bersaing dengan kualitas barang dari industri, bahkan masyarakat juga memperhitungkan pelabuhan masih sedikit belum menguntungkan,
hal ini
menunjukkan adanya evaluasi beragam dari pelaku yang nantinya akan memberikan beberapa solusi atau pola pendekatan yang mestinya akan menghasilkan skenario optimal dalam pengelolaan kawasan Teluk Kelabat dengan melihat faktor-faktor manfaat dan biaya/kerugian yang ditimbulkan. Sedangkan untuk kegiatan perikanan telah disediakan berbagai fasilitas penunjang sehingga lebih menguntungkan, tetapi pelabuhan ini lebih diutamakan untuk memudahkan akses ke pusat industri
dan mendukung proses produksi. Pada kawasan
peruntukan ini dapat juga bernilai ekonomi tinggi apabila dapat mengoptimalkan adanya lokasi komersial, dimana lokasi ini sebagai pasar yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya di lingkungan kawasan Teluk Kelabat.
154
P RIO RITAS KEG IATAN DALAM P ENG ELO LAAN KAW AS AN PRIORITAS KEGIATAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN TELUK
SK ALA PR IO R ITAS
TELUK KELABAT DAN JEBUS DALAM ALIS IS M ANFAAT DAN KELABAT BERDASAR ANALIS BIAYA MANFAAT DAN BIAYA 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Gab u n g an
Pe m
Sw as t a
M as y
P e r ik a n a n
Pe r ik an an
1,387
1,598
1,000
1,024
In d u s tr i
In d u s t r i
0,823
0,69
1,098
1,043
0,779
0,863
0,878
0,968
P a r iwis a ta
Par iw is at a Pe lab u h an
0,810
1,025
0,849
0,791
P e la b u h a n
ST A KEHO LD ER S
Gambar 48 Prioritas Kegiatan terhadap Pengelolaan Kawasan Teluk Kelabat Berdasarkan Analisis Manfaat dan Biaya Pada Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Jebus ini terdapat tapak kawasan wisata Tanjung Penyusuk. Adanya kawasan pariwisata diharapkan dapat menumbuhkan aktifitas ekonomi di lingkungan sekitarnya. Selanjutnya akan mendorong pertumbuhan investasi menuju industrialisasi. Seperti dijelaskan oleh Sigit (1994) secara spesifik pengembangan pariwisata diharapkan dapat memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan memeratakan kesempatan kerja. Selain itu pariwisata juga mampu mendorong pembangunan daerah, terutama daerah-daerah yang masih tertinggal, sehingga ketimpangan pembangunan secara spasial dapat dipersempit. Daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata dapat dikembangkan sehingga pembangunan ekonomi daerah tersebut dapat ditingkatkan. Tabel 30. Daftar nilai persepsi para stakeholder dari pembiayaan Keterangan
Gabungan
Pemerintah
Masyarakat
Swasta
Perikanan Industri Pariwisata Pelabuhan Modal Biiaya oprasional & Pemeliharaan
0,328 0,368 0,163 0,142 0,458 0,092
0,251 0,416 0,175 0,158 0,451 0,09
0,574 0,209 0,126 0,019 0,481 0,096
0,042 0,333 0,123 0,119 0,422 0,084
155
Pencemaran Degradasi Gaya hidup Kesenjangan Pengangguran Tekanan produksi Ekonomi Lingkungan Sosial Teknologi
0,104 0,052 0,122 0,061 0,089 0,022 0,55 0,156 0,183 0,111
0,086 0,086 0,092 0,092 0,086 0,017 0,542 0,172 0,183 0,103
0,111 0,022 0,157 0,022 0,092 0,018 0,577 0,133 0,179 0,111
0,211 0,053 0,119 0,024 0,069 0,017 0,507 0,264 0,143 0,086
Tabel 31. Daftar nilai persepsi para stakeholder dari aspek manfaat Keterangan Perikanan Industri Pariwisata Pelabuhan Pendapat Sektor informal Perlindungan pesisir Estetika Tenaga kerja Rekreasi Tranfer tehnologi Mutu saing Ekonomi Lingkungan Sosial Teknologi
Gabungan
Pemerintah
Masyarakat
Swasta
0,455 0,303 0,127 0,115 0,481 0,096 0,114 0,019 0,154 0,026 0,074 0,037 0,577 0,133 0,179 0,111
0,401 0,287 0,151 0,162 0,453 0,113 0,116 0,019 0,129 0,026 0,095 0,048 0,567 0,136 0,155 0,143
0,588 0,218 0,122 0,072 0,447 0,089 0,112 0,019 0,209 0,03 0,077 0,015 0,537 0,131 0,339 0,093
0,425 0,366 0,108 0,101 0,49 0,098 0,116 0,019 0,159 0,023 0,047 0,047 0,588 0,136 0,181 0,094
Nilai-nilai kriteria diatas menggambarkan interaksi keterkaitan antar kriteria aspek Ekonomi, Lingkungan, Sosial dan Teknologi. Kriteria-kriteria tersebut ditinjau dari sudut pandang pemanfaatan kegiatan-kegiatan mana yang paling memungkinkan dalam pemanfaatan ruang masing-masing peruntukan. Tabel 32. B&C Ratio pendapat gabungan masyarakat No 1 2 3 4
Uraian
Manfaat
Biaya
B&C Ratio
Perikanan Industri Pariwisata Pelabuhan
0,588 0,218 0,122 0,072
0,574 0,209 0,126 0,019
1.024 1.043 0.968 0.791
156
Pada Tabel 32 digambarkan bahwa kelayakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan 1,024 dan industri 1,043.Artinya menurut persepsi gabungan masyarakat yang paling baik adalah kawasan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan industri. Tabel 33. B&C Ratio pendapat gabungan pemerintah No 1 2 3 4
Uraian
Manfaat
Biaya
B&C Ratio
Perikanan Industri Pariwisata Pelabuhan
0,328 0,368 0,163 0,142
0,251 0,416 0,175 0,158
1.598 0.690 0.863 1.025
Pada Tabel 33 digambarkan bahwa kelayakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan 1,598 dan pelabuhan 1,025. Artinya menurut persepsi gabungan pemerintah yang paling baik adalah kawasan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan. Tabel 34. B&C Ratio pendapat gabungan swasta No 1 2 3 4
Uraian
Manfaat
Biaya
B&C Ratio
Perikanan Industri Pariwisata Pelabuhan
0,425 0,366 0,108 0,101
0,042 0,333 0,123 0,119
1.000 1.098 0.878 0.849
Pada Tabel 34 digambarkan bahwa kelayakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan 1,000 dan industri 1,098.Artinya menurut persepsi gabungan masyarakat yang paling baik adalah kawasan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan industri. Tabel 35. B&C Ratio pendapat gabungan keseluruhan No 1 2 3 4
Uraian
Manfaat
Biaya
B&C Ratio
Perikanan Industri Pariwisata Pelabuhan
0,455 0,303 0,127 0,115
0,328 0,368 0,163 0,142
1.387 0.823 0.779 0.810
Pada Tabel 35 digambarkan bahwa kelayakan pemanfaatan ruang untuk kegiatan perikanan 1,387. Artinya menurut persepsi gabungan stakeholder yang paling baik adalah kawasan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan.
157
5.4. Analisis Spasial Setelah didapatkan kawasan dengan letak, dukungan, strategi, dan keterlibatan positif dari stakeholder yang harmonis, teratur dan seimbang maka diperlukan suatu kebijakan yang mendukung pengelolaan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Dan semua itu bisa dianalisa dalam analisis spasial agar bisa memperkuat kebulatan pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan yang berguna dan dinamis. Analisis spasial pada penelitian ini berupa analisis kesesuaian lahan untuk industri, perikanan, pariwisata dan pelabuhan. Analisis dilakukan dengan teknik tumpang susun (overlay) sesuai dengan matrik kesesuaian masing-masing peruntukan. 5.4.1. Analisis Kesesuaian Industri Berdasarkan hasil metode tumpang susun (overlay) untuk matrik kesesuaian lahan industri, maka lokasi yang sangat sesuai seluas 17 701.08 ha (13,32 % dari luas Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan Jebus), lokasi yang sesuai (S-2) seluas 72 737.79 ha (54,74 %), dan lokasi yang tidak sesuai (N) Seluas uas 42 431,02 ha (31,93 %). Untuk lebih jelasnya luas dan lokasi kesesuaian lahan industri dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Luas dan Lokasi kesesuaian Lahan untuk Industri No.
Klasifikasi
Luas (ha)
Lokasi (Desa)
1
Sangat sesuai
17 701.08
Belinnyu/mantung, Gunungmuda/Riding panjang, Riau/Silip/Lumut, Telak/Kapit, Puputbawah/Ranggi/Asam
2
Sesuai
72 737.79
Belinyu/Mantung, Gunungmuda/Ridingpanjang, Airlayang, Telak/Kapit
3
Tidak sesuai
42 431.02
Gunungmuda/Ridingpanjang, Riau/Silip/Lumut, Airlayang, pangkalniur, Rukam
Secara spasial lokasi-lokasi kesesuaian
industri baik tumpang tindih
dengan kuasa penambangan timah maupun yang tidak tumpang tindih dapat dilihat pada gambar 49 dan gambar 50 di bawah ini.
158
159
160
Wilayah dengan klasifikasi sangat sesuai untuk industri sebagian besar berada
di
Desa
Belinnyu/Mantung,
Gunungmuda/Riding
panjang,
Riau/Silip/Lumut, Telak/Kapit, Puputbawah/Ranggi/Asam serta sebagian kecil di Desa Airlayang Wilayah tersebut umumnya memiliki karakteristik lahan sebagai berikut: kemiringan lahan 0-8 %, berupa pedataran sampai perbukitan sedang, serta merupakan padang alang-alang, semak, hutan, kebun campuran dan semak reklamasi. Wilayah ini memiliki ketersedian air bersumber dari air permukaan, air kolong bekas penambangan timah dan sungai. Selain itu wilayah ini memiliki kondisi tidak tergenang dan kondisi rawan bencana sangat rendah sampai ringan. Wilayah dengan klasifikasi sesuai untuk industri sebagian besar berada di Desa Belinyu/Mantung, Gunungmuda/Riding panjang, Airlayang, Telak/Kapit. Wilayah tersebut umumnya memiliki karakteristik lahan sebagai berikut: kemiringan lahan 9-15 %. Wilayah dengan klasifikasi tidak sesuai untuk industri sebagian besar berada di Desa Gunungmuda/Ridingpanjang, Riau/Silip/Lumut, Airlayang, pangkalniur, Rukam serta sebagian kecil di Desa Bakit dan Semulut. Wilayah tersebut umumnya memiliki karakteristik lahan sebagai berikut: kemiringan lahan 16-30 %, berupa perbukitan berelief kasar, serta merupakan jalur hijau, hutan lindung, hutan bakau, penyangga, rawa, sawah dan tambak.
Wilayah ini memiliki
ketersedian air agak langka bersumber dari air tanah dalam. Selain itu wilayah ini memiliki kondisi tergenang serta kondisi rawan bencana agak berat sampai berat. 5.4.2. Analisis Kesesuaian Pariwisata Tabel 37. Luas dan Lokasi Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata No.
Klasifikasi
Luas (ha)
1
Sangat sesuai
600.67
2
Sesuai
533.66
3
Tidak sesuai
131735.54
Lokasi (Desa) Sebagian kecil Belinyu/Mantung, Gunungmuda/Ridingpanjang, Bakit, Telak, Kapit Sebagian kecil Belinyu/Mantung, Airlayang, Pusuk Sebagian besar Gunungmuda/Ridingpanjang, Riau/Silip/Lumut, Airlayang, Telak/Kapit
161
162
Berdasarkan hasil overlay
untuk kesesuaian lahan bagi pemanfaatan
pariwisata, lokasi yang sangat sesuai seluas 600.67 ha (0.45 % dari luas daratan pesisir kawasan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus), lokasi yang sesuai terbatas seluas 533.66 ha (0.40 %), dan lokasi yang tidak sesuai seluas 131 735.54 ha (99.14 %). Untuk lebih jelasnya peta lokasi kesesuaian lahan untuk pariwisata dapat dilihat pada Gambar 51. Wilayah dengan klasifikasi sangat sesuai untuk pariwisata sebagian besar berada Belinyu/Mantung, Gunungmuda/Ridingpanjang, Bakit, Telak, Kapit serta sebagian kecil di Desa Pugul. Umumnya karakteristik lahan wilayah ini sebagai berikut: merupakan padang alang-alang, semak, hutan, kebun campuran dan semak reklamasi, berada disekitar sempadan pantai dan sungai dengan tipe tanah berpasir atau pasir berlempung. Wilayah ini memiliki ketersedian air bersumber dari air permukaan, air kolong bekas penambangan timah dan sungai. Selain itu wilayah ini memiliki kondisi tidak tergenang dan kondisi rawan bencana sangat rendah sampai ringan. Wilayah dengan klasifikasi sesuai untuk pariwisata sebagian besar berada di Sebagian kecil Belinyu/Mantung, Airlayang, Pusuk dan Romodong. Umumnya karakteristik lahan wilayah saat ini sebagai kawasan perikanan, campuran perikanan. Berada di sekitar kawasan hutan bakau dengan tipe tanah lempung. Wilayah ini memiliki ketersedian air bersumber dari air tanah dangkal dan rawa. Selain itu wilayah ini memiliki kondisi tidak tergenang dan terkadang tergenang sementara kondisi rawan bencana sedang. Wilayah dengan klasifikasi tidak sesuai untuk pariwisata
berada di
Sebagian besar Gunungmuda/Ridingpanjang, Riau/Silip/Lumut, Airlayang, Telak/Kapit Laut umumnya memiliki karakteristik lahan sebagai berikut: merupakan jalur hijau, hutan lindung, hutan bakau, penyangga, rawa, sawah dan tambak, berada disekitar hutan lindung dengan tipe tanah liat dan liat berpasir. Wilayah ini memiliki ketersedian air agak langka bersumber dari air tanah dalam. Selain itu wilayah ini memiliki kondisi tergenang serta kondisi rawan bencana agak berat sampai berat.
163
5.4.3. Analisis Kesesuaian Pelabuhan Berdasarkan hasil overlay
untuk kesesuaian lahan bagi pemanfaatan
pelabuhan, lokasi yang sangat sesuai seluas 7 456,735 ha (22.63 % dari luas Perairan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus seluas 32 939,26 ha) terletak sebagian besar di kelurahan Mantung kecamatan Belinyu, lokasi yang sesuai terbatas seluas 20,688 ha (0.0628 %) terletak di pesisir pantai desa Telak Kapit, sebagian pesisir Semulut bagian utara serta sebelah utara desa Bakit kecamatan Jebus, dan lokasi yang tidak sesuai seluas 25 461,617 ha (77.29 %).
Untuk
lebih jelasnya lokasi kesesuaian lahan pelabuhan dapat
Gambar 52 dan Gambar 53.
164
165
166
5.4.4.Analisis Kesesuaian Perikanan Berdasarkan hasil overlay
untuk kesesuaian perairan bagi pemanfaatan
budidaya perikanan, lokasi yang sangat sesuai seluas 21.977.42 ha (50.06 % dari luas perairan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus), hal ini dapat dilihat pada Gambar 54 yaitu peta kesesuaian kawasan perikanan dan pada Gambar 55 yaitu peta kesesuaian perairan untuk kawasan perikanan yang telah di overlay dengan kuasa penambangan Timah di lepas pantai.
167
168
169
5.5.
Pemecahan Kebijakan (Answer Policy). Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan analisis AHP, maka diperoleh
pola pemanfaatan ruang seperti disajikan pada Gambar 56. hasil analisis tersebut luas kuasa penambangan timah dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) yaitu DAS Layang dan DAS Antan seluas 56 097,38 ha; kawasan konservasi 1 558,56 ha; kawasan industri 80 189,27 ha; kawasan perikanan 32 939,26 ha; kawasan pelabuhan di perairan Teluk Kelabat bagian luar, kawasan pariwisata 128,64 ha, dan kesesuaian untuk budidaya lainnya seluas 26 935,74 ha. Hasil analisis pola pemanfaatan ruang ini tidak lagi ada perbedaan kesesuaian S1, S2 maupun NS untuk masing-masing peruntukan. Hal ini sudah merupakan penggabungan dari luas kesesuaian S1dan S2 untuk masing-masing peruntukan.
170
171
5.5.1. Pengelolaan Sumberdaya Selanjutnya pendekatan Empat-Bina menurut Dahuri (2000) adalah pendekatan
holistik
dalam
membangun
perekonomian
wilayah
pesisir.
Pendekatan tersebut adalah membina masyarakat untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dari aspek: manusia, lingkungan, sumberdaya, dan usaha. •
Bina manusia adalah strategi pengembangan sumberdaya manusia, melalui (1) investasi pada modal manusia (human capital) yaitu dalam pendidikan dan kesehatan, (2) peningkatan kapasitas organisasi/kelembagaan sebagai suatu cara untuk mensinergiskan dan memadu kekuatan individu, (3) memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa dicapai, (4) memperbaiki budaya kerja, dan (5) menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan menghambat pembangunan.
Sumber : Bangka Pos, 2004
Gambar 57 Kehadiran kapal keruk eksploitasi timah di laut yang menyebabkan terganggunya mata pencaharian nelayan. •
Bina lingkungan merupakan strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat pesisir melalui perbaikan lingkungan tinggal, lingkungan dan prasarana produksi serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam menata dan mengelola lingkungan hidupnya. Strategi ini mencakup hal-hal berikut:
172
(1) meningkatkan peran masyarakat dalam mengelola dan menata ligkungan hidup, baik tempat tinggal mereka maupun habitat atau kawasan tempat kegiatan ekonomi produktif dijalankan, (2) membangun infrasturktur terutama yan menyangkut kebutuhan masyarakat dalam kegiatan ekonomi, (3) meningkatkan perencanaan dan pembangunan secara spasial di wilayah pesisir dengan mempertimbangkan kompatabilitas wilayah pesisir dan daya dukungnya, (4) mengenal sumberdaya serta faktor yang mempengaruhi eksistensinya, dan (5) memperkaya sumberdaya melalui kegiatan pengkayaan stok ikan dan habitatnya, rehabilitasi, mitigasi bencana, dan mengendalikan pencemaran.
Sumber : Bangka Pos, 2004
Gambar 58 Kehadiran tambang inkonvensional oleh rakyat eksploitasi timah di darat yang menyebabkan pencemaran. •
Bina sumberdaya adalah strategi pemberdayaan dan pembinaan masyarakat pesisir melalui pelibatan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir.
Kegiatan tersebut meliputi penentuan hak,
kewajiban dan aturan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir, bina sumberdaya ini adalah upaya untuk menerapkan apa yang dikenal dengan community-based resource management, yaitu (1) memberikan
173
konsesi pengelolaan dan pemanfaatan laut dan pesisir, (2) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal, (3) pemantauan,
pengendalian
dan
pengawasan
menerapkan sitem
(monitoring,
controlling,
surveillance) dengan prinsip partisipasi masyarakat, (4) menerapkan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli (indigenous technology), (5) membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategi sumberdaya bagi generasi kini dan yang akan datang, (5) merehabilitasi habitan dan memperkaya sumberdaya.
Sumber : Bangka Pos, 2004
Gambar 59 Kehadiran tambang inkonvensional oleh rakyat eksploitasi timah di darat yang menyebabkan pencemaran tambak budidaya ikan. •
Bina usaha meliputi: (1) membangun kemitraan mutualistis diantara sesama pelaku ekonomi dan melalui kerjasama perusahaan berskala besar, peningkatan akses masyarakat terhadap permodalan yang dapat ditempuh melalui hubungan langsung antara masyarakat dengan sumber modal, hubungan secara kelompok antara masyarakat dengan sumber modal dengan atau tanpa jaminan dari pihak ketiga, hubungan antara pengusaha skala kecil secara individu atau secara kelompok dengan pengusaha skala besar atau BUMN, serta penyatuan kekuatan modal dimiliki rakyat kecil secara individu,
174
(2) meningkatkan dan mempermudah akses terhadap teknologi, pasar dan informasi pembangunan agar berbagai pihak pelaku ekonomi dapat saling berinteraksi sesuai dengan keterkaitan kebutuhan mereka, (3) meningkatkan ketrampilan usaha, (4) menyediakan peraturan yang menjamin berjalannya proses pembangunan ekonomi kerakyatan, dukungan pemerintah
dalam
bentuk pengawasan yang adil ini untuk menjaga terbinanya hubungan baik dan dapat beroleh manfaat. Lebih
lanjut menurut Kartodihardjo
dan
Hidayat (2000) strategi
pengembangan pariwisata adalah: •
Memanfaatkan adanya universal values, seperti hak asasi manusia, demokrasi dan penyelamatan lingkungan untuk melakukan perombakan masalah struktural dan pembaharuan berbagai kontrak pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah dan swasta,
•
Dalam pengelolaan sumberdaya alam, secara tegas tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan masyarakat adat, termasuk hukum adat dan adat istiadat perlu dihormati dan dilindungi serta diberi kewenangan yang jelas terhadap keberadaan sumberdaya alam,
•
Memperjelas, menyepakati, dan melaksanakan mekanisme partisipasi publik untuk pengambilan keputusan dan dalam pengelolaan sumberdaya alam, masyarakat
mempunyai
hak
untuk
mengakses
informasi
mengenai
sumberdaya alam. Perlu dibentuk mekanisme pemberian informasi dan partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan. Disamping itu juga diperlukan
mekanisme
penyelesaian
berbagai
konflik
sosial
akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang kini terjadi, •
Mendorong terwujudnya corporate social responsibility
(tanggungjawab
sosial perusahaan) di dalam sistem ekonomi dan iklim usaha yang mampu memberi insentif digunakannya teknologi ramah lingkungan, sistem evaluasi dengan memperhatikan kepentingan lingkungan dan stakeholders, •
Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mendorong tercapainya sistem hukum yang responsif adalah dengan pembuatan peraturan yang melandasi kegiatan operasional setiap usaha pariwisata yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan memperhatikan kepentingan bersama, penataan
175
kelembagaan yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk lembaga hukum, •
Mengembangkan obyek wisata dan daya tarik wisata alam yang sesuai dengan pasar meliputi: pengembangan wisata minat khusus, wisata eko, wisata pantai dan selam, wisata petualangan, wisata pedesaan dan mengembangkan pondok wisata (homestay), penginapan kecil dan desa wisata,
•
Meningkatkan akses pengusaha kecil, menengah dan koperasi ke pasar, permodalan, managemen dan informasi serta pengembangan pola kemitraan dalam pengembangan produk wisata dan pelayanan yang mampu bersaing,
•
Pengembangan sistem standarisasi dan sertifikasi kompetensi sumberdaya manusia di bidang usaha pariwisata, meningkatkan Sadar Wisata (SAPTA PESONA) di antaranya melalui media massa dan memperluas jaringan informasi usaha pariwisata yang terstruktur serta mensinergiskan kesepakatan kerjasama dengan internasional,
•
Menumbuhkan, memelihara dan meningkatkan citra Indonesia sebagai destinasi kelas dunia yang menarik, nyaman dan aman melalui berbagai upaya promosi yang terarah dan berkelanjutan. Selanjutnya guna meminimalkan dampak negatif, disarankan oleh Bachri
(1993): •
Pengembangan pariwisata hendaknya menggunakan teknik konservasi budaya, artinya melalui pengembangan pariwisata, secara langsung dapat membantu pelestarian atau bahkan menghidupkan kembali musik dan tradisional misalnya, juga drama, kerajinan tangan, pakaian daerah, upacara adat dan gaya arsitektur daerah yang hampir punah; selanjutnya buatlah panduan untuk mengukur keasliannya, terutama jika akan dipertontonkan kepada wisatawan,
•
Libatkan masyarakat melalui para pemimpinnya dalam setiap proses pengambilan keputusan perencanaan pengembangan pariwisata di daerah tertentu agar mereka dapat memberikan sumbangan pikiran tentang jenis pariwisata yang cocok dikembangkan,
•
Buatlah suatu ketentuan umum, bahwa atraksi wisata harus didasari aspek budaya dan lingkungan lokal, dan bukan merupakan tiruan atraksi asing,
176
•
Laksanakan program pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat di daerah yang akan dikembangkan, mengenai konsep, manfaat, masalah pariwisata, serta bagaimana menciptakan hubungan yang baik dengan wisatawan asing yang berbeda latar belakang budayanya, sehingga kontak antara masyarakat tuan rumah dan pendatang dapat bermanfaat timbal-balik.
Pendidikan
masyarakat dapat ditempeh melalui berbagai cara dan saluran, misalnya melalui media massa, komunikasi langsung atau melalui pemuka adat, pemuka agama, pemuka masyarakat dan organisasi sosial lainnya, •
Informasikan kepada wisatawan tentang latar belakang sejarah dan budaya masyarakat yang dikunjunginya, kebiasaannya, cara berpakaian, kode etik perilakunya, serta hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan lokal,
•
Berikanlah pelatihan kepada para pekerja setempat agar mereka dapat bekerja secara efektif di bidang usaha pariwisata, sehingga antara wisatawan dan pekerja akan terjalin hubungan yang menyenangkan tanpa harus menimbulkan salah pengertian dan konflik; pelatihan harus berisi hal yang berkaitan dengan latar belakang budaya para wisatawan. Sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bangka, kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus ini akan dikembangkan jenis-jenis industri berupa: industri pengolahan ikan, industri es batu, industri agar-agar, industri komponen kapal, industri kontainer, industri instrumen kapal dan industri penunjang lainnya.
Penempatan
jenis industri
didasarkan atas tingkat polusinya, dimana industri dengan tingkat polusi tinggi akan diarahkan di bagian utara kawasan, sedangkan industri ringan dengan tingkat polusi rendah akan ditempatkan di bagian selatan kawasan bagian dalam yang berdekatan dengan kawasan pemukiman. Untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh udara dan suara di kawasan industri terhadap lingkungan sekitarnya maka perlu dibuat suatu kawasan penyangga (buffer zone), fungsi zona penyangga yang berbentuk jalur hijau tersebut adalah sarana mencegah dampak lingkungan. Menurut Kusumastanto (2000) untuk jenis industri pengolahan perikanan adalah : (i) industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota air lainnya seperti tepung ikan, kecap ikan, tepung udang dan sejenisnya; (ii) industri
177
pengalengan ikan dan biota perairan lainnya (seperti sardencis, udang dan sejenisnya), (iii) industri penggaraman/pengeringan ikan dan
biota perairan
lainnya seperti ikan tembang, teri, udang cumi-cumi dan sejenisnya; dan (iv) industri pemindangan ikan dan biota air lainnya seperti bandeng, tongkol dan sejenisnya. Pengembangan industri perikanan mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang besar dan diharapkan dapat mengatasi problem pengangguran. Untuk mendukung pembangunan perikanan berdasarkan pokok pikiran pengelolaan perikanan berwawasan lingkungan, dengan cara menyusun konsepsi sistem tata ruang,
pengembangan
perikanan
pantai
yang
mampu
berusaha
secara
berkelanjutan dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan seperti MSY (maximum sustainable yield), pengembangan perikanan berwawasan industrial, dan suatu usaha perikanan yang selalu mengandalkan peningkatan mutu berkelanjutan (Purwanto 2000). Selain itu pemanfaatan keragaman hayati untuk menghasilkan produk/proses yang berguna bagi kehidupan manusia dan lingkungannya dapat dilaksanakan melalui pengembangan industri bioteknologi, yang memanfaatkan makro/mikro organisme sebagai biokatalis. Keragaman hayati perairan meliputi mikroba dan phytoplankton, blue green algae (cyanobacteria), green algae, brown algae, red algae, sponges, coelenterates, bryozoans, molluscs, tunicates, echinodermis untuk menghasilkan produk maupun proses yang bernilai tinggi melalui pengembangan industri bioteknologi. Secara garis besar menurut Dahuri (2000) industri bioteknologi yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan keragaman hayati perairan adalah: •
Pengembangan Industri Bahan Alami Laut. Organime laut tersebut di atas merupakan sumber bahan aktif dan bahan kimia yang sangat potensial.
Dari biota laut tersebut dapat dihasilkan
berbagai bahan lain untuk industri farmasi (seperti anti tumor, anti kanker, anti biotik, anti inflammatory), bidang pertanian (fungisida, pestisida, growth, stimulator), industri kosmetik dan makanan (seperti zat pewarna alami, biopolisakarida). Dalam mengembangkan industri ini diperlukan strategi untuk mengumpulkan, membudidayakan serta menyeleksi biota laut yang mampu menghasilkan bahan alami yang diinginkan (Dahuri et al. 1996)
178
•
Pengembangan Bioproses Produksi Energi.
Untuk
Pengendalian
Pencemaran
dan
Pengembangan teknik bioremediasi, dengan memanfaatkan organisme laut merupakan solusi yang aman untuk mengatasi pencemaran. Salah satu contoh produk industri bioteknologi formula medium (nutrien) untuk mikroorganisme yang mampu mendergadasi komponen minyak bumi. Nutrien tersebut merupakan formula yang dapat digunakan untuk pendispersi minyak dalam proses degradasi minyak dan berguna untuk bioremediasi tumpahan minyak di pantai. Pemanfaatan
cyanobacteria
(blue
green
algae)
selain
untuk
meningkatkan kesuburan tanah pertanian melalui fiksasi nitrogen juga membuka peluang penelitian untuk memanfaatkan sebagai organisme pengkonversi energi surya pada skala industri. Fotosistesis cyanobacteria menghasilkan oxygen dari air, sementara nitrogen fiksasi menghasilkan hidrogen dan amonia secara simultan sebagai hasil dari reaksi nitrogenase. Dalam kondisi tanpa nitrogen udara, produksi hidrogen akan meningkat, oleh karena itu, cyanobacteria dapat mempengaruhi pemecahan molekul air menjadi oksigen dan hidrogen dengan adanya energi cahaya. •
Pengembangan Produk untuk Pengendalian “Biofouling”. Biofouling
yang menyebabkan kerusakan
pada peralatan
yang
beroperasi di daerah pesisir dan lautan merupakan masalah yang serius dan menyebabkan kerugian sangat besar. Biofolling disebabkan karena bioflm yang dihasilkan oleh organisme laut.
Saat ini teknik yang banyak
diaplikasikan untuk pencegahan biofouling adalah melapisi peralatan dengan anti-fouling yang biasanya menggunakan bahan beracun, hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan pesisir dan lautan.
Mengatasi
permasalahan tersebut, industri bioteknologi dapat dikembangkan untuk menghasilkan bahan alami anti fouling yang dapat diaplikasikan untuk pencegahan fouling melalui pemanfaatan Ulva fasciata (green algae) atau Zotra marina (eelgrass).
Bahan aktif yang dihasilkan kedua organisme
tersebut bersifat aktif terhadap bakteri, spora alga dan cacing laut.
179
•
Pengembangan Budidaya.
Industri
Bioteknologi
untuk
Mendukung
Sistem
Pengembangan industri bioteknologi untuk mendukung sistem budidaya meliputi industri pembenihan untuk menghasilkan benih unggul melalui manipulasi genetik dan hormonal. Bioteknologi dapat juga diterapkan untuk menilai dan memperbaiki kesegaran, warna, rasa, tekstur dan kandungan nutrisi produks perikanan.
Contoh sederhana penerapan teknologi untuk
memperbaiki produk perikanan yaitu pemanfaatan zeaxanthin yang dihasilkan oleh bakteri laut Achromonas sp. Untuk memperbaiki warna ikan hias. Selain itu teknologi praktis juga telah dapat dikembangkan untuk menditeksi dan mencegah racun, kontaminasi dan residu zat berbahaya pada produk perikanan. Selain industri berbasis kelautan seperti tersebut diatas, Teluk Kelabat yang sangat penting adalah industri pembangunan kapal. Menurut Aunuddin et al. (2001) industri pembangunan kapal meliputi industri galangan kapal, industri pemeliharaan dan perbaikan kapal, dan industri penunjang. Industri galangan kapal diantaranya pembangunan jenis kapal niaga, kapal ikan dan kapal untuk tujuan lainnya. Industri pemeliharaan dan perbaikan kapal, disamping untuk kebutuhan pemeliharaan dan perbaikan kapal, seperti elektronik, perbengkelan, listrik dan layanan lainnya, juga dirasakan perlunya peningkatan produktivitas kapal dengan memasukkan teknologi dan peralatan modern, seperti peralatan pendeteksi kondisi
perairan dan perikanan.
Sedangkan industri penunjang dibangun sebagai pendukung dari industri galangan kapal dan industri pemeliharaan dan perbaikan kapal berupa bahanbahan pembangunan kapal, permesinan, peralatan, cat dan komponenkomponen seperti pelat baja, rantai jangkar, tali kabel, jangkar, mesin utama, genset, main switch board, radio, mesin kulkas, hatch cover, dan lain sebagainya.
Untuk merangsang pertumbuhan
industri penunjang supaya
dapat bersaing di pasar dunia, maka yang perlu mendapat perhatian termasuk keterlibatan pemerintah adalah penetapan standarisasi, keterkaitan dengan pihak prinsipal atau pemilik merek terhadap komponen yang dirakit berdasarkan lisensi
dan peningkatan kemampuan teknis sesuai dengan
kualifikasi khusus peralatan tersebut.
180
Perkapalan dan sistem pelabuhan sangat penting untuk pengembangan sumberdaya alam laut dan pesisir, mendorong pembangunan ekonomi, mengurangi biaya perdagangan dan meningkatkan ekspor. Perhubungan laut sangat penting bagi daerah kepulauan yang merupakan penghubung utama dalam sistem perhubungan, menyediakan kontak antara transportasi darat dan laut. Mereka merupakan pusat bagi pengembangan industri. Pembangunan suatu pelabuhan baru merupakan perangsang utama bagi pemanfaatan sumberdaya di daerah sekelilingnya (Mochtar et al. 1998).
Kegiatan
pelabuhan sebagai pintu keluar masuknya bahan baku maupun produk Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus pada masa mendatang akan ditempatkan dibagian kawasan sebelah timur, sehingga tidak langsung berinteraksi dengan kawasan pariwisata Tanjung Penyusuk yang berada disebelah Barat. Penggunaan lahan pada zona pelabuhan ini akan terdiri dari blok pelabuhan bongkar muat, blok pembangkit listrik tenaga uap/gas bumi, blok terminal penimbunan batubara dan biji besi serta blok penampungan sementara limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya), dengan arahan sebagai berikut: • Fungsi pelabuhan pada blok pelabuhan sebagai kawasan yang akan menunjang kegiatan bongkar muat bahan baku maupun produk industri yang dihasilkan oleh kawasan Teluk Kelabat tersebut.
Pelabuhan ini selain
dilengkapi dengan fasilitas penunjangnya, juga dilengkapi dengan fasilitas pergudangan dan terminal penumpukan barang (peti kemas). • Blok pembangkit listrik tenaga uap/gas akan berisi kegiatan yang berhubungan dengan prasarana pembangkit energi untuk kawasan industri. • Terminal batubara digunakan sebagai tempat penampungan batubara yang berasal dari PT. Bukit Asam Tanjung Enim sebelum digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap/gas bumi sebagai bahan bakar, mengingat rawan bahaya kebakaran dari bahan batubara ini, maka terminal ini hendaknya cukup terjaga dengan baik. Sedangkan terminal biji besi digunakan untuk menampung biji besi yang akan digunakan sebagai bahan baku industri galangan kapal yang akan dikembangkan di kawasan Teluk Kelabat. • Limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang dihasilkan oleh kegiatan industri akan ditampung pada blok penampungan sementara limbah B3 dalam
181
kawasan, sebelum dikirim melalui jalur laut ke pusat pengolahan limbah B3 yang berada di Citeureup Bogor. Lokasi penampungan limbah B3 sementara ini harus jauh dari perumahan mengingat tingkat resiko bahaya yang dikandungnya. Selanjutnya untuk mendukung kegiatan-kegiatan di atas dan guna menertibkan serta sekaligus menyediakan perikanan, selayaknya pada pusat kawasan dibangun perumahan. Pembangunan perumahan pada kawasan adalah sebagai tempat hunian dimaksudkan akan memberikan kemudahan dalam menjangkau fasilitas dalam pusat kawasan. Selain sebagai tempat hunian pada daerah ini juga disediakan zona komersial dan zona terbuka. Zona komersial atau pusat perbelanjaan ini berskala lokal kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan fasilitas yang menunjang kegiatan industri dalam kawasan. Fasilitas penunjang komersial ini baik berhubungan langsung dengan dengan kegiatan industri seperti fasilitas perkantoran maupun fasilitas yang tidak berhubungan langsung seperti sekolah, bioskop dan pasar. Pada zona ini terdiri dari pertokoan, perkantoran, sarana olah raga (fitnes center), terminal dan pasar, bioskop, klinik kesehatan, dan kantor pelayanan umum lainnya.
Zona ini
diarahkan pengembangannya sebagai salah satu daya tarik kawasan, sehingga investor menjadi tertarik atau berminat mengembangkan usaha industrinya pada kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus ini. Sentral kawasan industri yang terdiri dari fasilitas gedung perkantoran, bank, pemadam kebakaran, olahraga dan lainnya ditempatkan ditengah-tengah kawasan dengan maksud agar efisien dan efektif dalam pencapaiannya. Pola pengembangan perikanan
pantai menurut Kusumastanto (2000)
merupakan bagian dari Pola Pembangunan Berkelanjutan maka menurut kerangka pembangunan berkelanjutan tersebut, bahwa suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan
pembangunan harus
dapat membuahkan
pertumbuhan
ekonomi,
pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan termaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara
182
daya
dukung
lingkungan,
dan
konservasi
sumberdaya
alam
termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity). Sementara itu, keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Pola pengembanganperikanan sebagai bagian dari Pola Pembangunan Berkelanjutan di atas, dalam perspektif ekonomi (kerangka pikir ekonomi), maka tujuan ekonomis dapat disederhanakan menjadi pertumbuhan dan efisiensi ekonomi, tujuan ekologis menjadi pengelolaan sumberdaya alam guna pengembangan industri, dan tujuan sosial menjadi pengentasan kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan tanpa menghilangkan fungsi lingkungan alam. Pembangunan kawasan Teluk Kelabat diupayakan dapat menciptakan lingkungan yang sehat teratur, aman serta efisien dengan memberikan fasilitas dan pelayanan yang memadai, tepat dan memenuhi persyaratan. Demikian pula disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan fungsi yang diemban oleh kawasan, dengan memperhatikan kaidah-kaidah serta norma-norma yang berlaku. Perencanaan Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus merupakan kebijakan pemanfaatan ruang yang disusun dan ditetapkan berdasarkan kebijakan pengembangan wilayah jangka panjang sebagaimana tertuang dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten
Bangka.
Perencanan
tersebut
dimaksudkan
untuk
menyiapkan perwujudan ruang kawasan dalam rangka pelaksanaan program pengendalian pembangunan fisik kawasan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan adanya kesesuaian lokasi Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka berarti tidak ada hambatan dalam aspek legalitas, dan juga menjamin kelayakan lokasi bagi investor.
5.5.2. Rencana Zoning Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus Pembagian zoning dimaksudkan untuk memudahkan proses identifikasi kawasan serta analisis kawasan. Dasar pertimbangan penentuan zoning dalam
183
kawasan industri adalah pengembangan kegiatan fungsional pada masing-masing zona, serta hubungan keterkaitan antara masing-masing kegiatan yang merupakan elemen penting yang akan dikembangkan dalam Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus. Dimana peruntukan zoning tersebut akan dikembangkan terintegrasi dengan kondisi eksisting serta rencana penggunaan lahan. Dalam pembagian zoning kawasan ini juga dipertimbangkan hal-hal seperti batas fisik, kesamaan fungsi kegiatan, keterjangkauan pelayanan fasilitas dan efektifitas jangkauan (Amien 1997). Zona-zona kegiatan fungsional yang akan dikembangkan di dalam Kawasan Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus ini meliputi: (i) zona pariwisata, (ii) zona industri, (iii) zona pelabuhan, dan (iv) zona perikanan . Selain zona kegiatan utama, terdapat juga zona pendukung yang meliputi: (i) zona komersial, (ii) zona penyangga, dan (iii) zona rekreasi dan ruang terbuka.
5.6. Sintesis Tahap 2 Kawasan Pesisir Teluk Kelabat memiliki ketersedian air bersumber dari air permukaan, air kolong bekas penambangan timah dan sungai. Selain itu wilayah ini memiliki kondisi tidak tergenang dan kondisi rawan bencana sangat rendah sampai ringan. Zona pariwisata berada pada tapak kawasan wisata Tanjung Penyusuk. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka kawasan ini telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan kawasan andalan pariwisata. Zona pariwisata ini terletak pada bagian utara dari rencana kawasan industri dan pelabuhan. Bila dikaji karakter arah angin, lokasi zona pariwisata tersebut sudah tepat, dimana arah angin dari kawasan industri tidak mengarah ke kawasan pariwisata. Dengan demikian kemungkinan besar zona pariwisata terlindungi dari kemungkinan polusi. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari karakter arah angin sebagai berikut: • Bulan Agustus – April
: arah angin dari barat laut ke tenggara
• Bulan April – Juni
: arah angin tidak menentu
• Bulan Juni – Agustus
: arah angin dari tenggara ke barat laut
184
Zona pelabuhan terletak pada zona yang terjauh dari zona pariwisata ke arah selatan. Adanya bekas dermaga di kawasan perencanaan, tepatnya di Tanjung Mantung. Menurut Amien (1997) pemilihan suatu lokasi sebagai kawasan pelabuhan sebaiknya memiliki suatu areal minimal, sehingga pengembangannya pada masa yang akan datang tidak menghadapi banyak kendala.
Secara umum dapat
dikatakan bahwa ukuran luas kawasan pelabuhan didasarkan pada jenis kapal yang akan berlabuh pada pelabuhan tersebut. Berdasarkan jenis dan peruntukan suatu pelabuhan, maka dapat diperkirakan kebutuhan luas lahan minimal untuk pengembangannya adalah sebagai berikut: • Pelabuhan Samudera (luar negeri) adalah berupa tipe pelabuhan peti kemas (container port). Pada tipe ini dikenal apron yang menjadi suatu bagian dengan tempat penimbunan terbuka yang luas (open space area), yang diperlukan untuk pergerakan peti kemas.
Peti kemas ini berfungsi pula
sebagai gudang yang dapat dipindahkan. Panjang dermaga untuk satu kapal peti kemas adalah 200 – 250 meter, dengan luas lapangan terbuka adalah lebih besar dari 4 hektar. • Pelabuhan Nusantara (dalam negeri) membutuhan areal lahan yang dipergunakan untuk apron depan selebar minimum 3 meter, gudang / terminal selebar minimum 60 meter, apron belakang selebar minimum 3 meter, tempat parkir selebar minimum 12 meter, dan jalan selebar minimum 8 meter. Atau total lebar yang dibutuhkan dari garis pantai adalah minimum 86 meter. Untuk panjang dermaga tergantung perencanaan jumlah kapal yang dapat berlabuh bersamaan. Jika diambil contoh panjang dermaga yang dibutuhkan adalah 1000 meter, maka luas areal yang dibutuhkan adalah minimal 1000 m x 86 m = 86.000 m2, atau sama dengan 8,6 hektar. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka zona pelabuhan minimal untuk melaksanakan aktivitas pelabuhan saja adalah seluas 12,6 hektar. Sementara pada kawasan Teluk Kelabat ini, selain aktivitas pelabuhan, juga untuk menunjang aktivitas industri pada zona pelabuhan tersebut. Aktivitas lainnya yang terjadi pada zona pelabuhan seperti terminal penimbunan batubara dan biji besi, penampungan sementara limbah bahan beracun berbahaya (B3), pembangkit
185
listrik tenaga uap/gas bumi, instalasi pengolahan limbah dan pembuangan limbah padat. Dengan mempertimbangkan aktivitas-aktivitas tersebut dan pengembangan pelabuhan di masa mendatang, maka kebutuhan ruang areal pada zona pelabuhan ini direncanakan seluas 50 hektar. Zona pelabuhan ini diletakkan dibagian kawasan sebelah selatan, sehingga tidak langsung berinteraksi dengan kawasan pariwisata Tanjung Penyusuk yang berada di sebelah utara. Mengingat fungsi kawasan sebagai kawasan industri maka zona industri merupakan zona utama dalam kawasan Teluk Kelabat. Berdasarkan luasan kavling dan jenis industri yang akan dikembangkan pada Kawasan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus ini, maka zona industri dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu kavling industri tipe besar, kavling industri tipe sedang, dan kavling industri tipe kecil, adapun uraian masing-masing tipe kavling adalah sebagai berikut: 1) Blok kavling besar, yaitu untuk menampung kegiatan industri berat dan menengah dengan tingkat potensi pencemaran yang tinggi, maka kavling ini diletakkan pada bagian timur kawasan, serta memiliki akses yang tinggi terhadap pelabuhan. Pada blok kavling besar ini ukuran kavling industri yang direncanakan adalah sekitar 3 hektar. 2) Blok kavling sedang, yaitu untuk menampung kegiatan industri menengah dengan tingkat potensi pencemaran sedang. Kavling ini akan diletakkan di bagian tengah kawasan dekat dengan pusat kawasan, serta memiliki akses yang cukup terhadap pelabuhan. Pada blok kavling ukuran sedang ini ukuran kavling industri yang direncanakan adalah sekitar 2 hektar. 3) Blok kavling kecil, yaitu untuk menampung kegiatan industri menengah dan kecil, dengan tingkat potensi pencemaran rendah. Kavling ini akan diletakkan di bagian tengah kawasan. Pada blok kavling kecil ini ukuran kavling industri yang direncanakan adalah sekitar 0,5 hektar. Proporsi luas kavling industri ukuran besar: kavling industri ukuran sedang: kavling industri ukuran kecil, adalah: 3 : 2 : 1. direncanakan luas areal kavling ukuran besar
Pada areal zona industri
150 hektar, luas areal kavling
ukuran sedang 100 hektar serta luas areal kavling ukuran kecil 50 hektar. Secara
186
keseluruhan luas areal zona industri pada Kawasan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus ini adalah sekitar 300 hektar. Zona pendukung berikutnya adalah zona penyangga. Zona penyangga (buffer zone) merupakan zona yang direncanakan untuk mengantisipasi kemungkinan pengaruh udara dan suara di kawasan industri terhadap lingkungan sekitarnya. Fungsi zona penyangga yang berbentuk jalur hijau tersebut adalah sarana mencegah dampak lingkungan dalam merencanakan tata ruang kawasan Teluk Kelabat yang berwawasan lingkungan (sustainable approach). Adanya jalur atau sabuk hijau yang melingkari kawasan Teluk Kelabat tersebut akan meredam dampak polusi bagi lingkungan kehidupan masyarakat sekitarnya dan juga bagi kegiatan pariwisata. Zona penyangga berupa sabuk hijau ini direncanakan ditempatkan melingkari kawasan Teluk Kelabat sampai kepada zona rekreasi dan ruang terbuka. Untuk kebutuhan ruang areal zona penyangga ini direncanakan areal seluas sekitar 100 hektar. Selain zone penyangga ini, untuk menjaga lingkungan pantai dan ekosistem di dalamnya agar tetap terjaga dan berfungsi sebagaimana mestinya, maka perlu dibuat sempadan pantai. Sempadan pantai ini merupakan daerah bebas dari aktivitas kegiatan Teluk Kelabat kecuali aktifitas pelabuhan. Sempadan pantai ditempatkan melingkari kawasan Teluk Kelabat di sepanjang pesisir pantai dengan jarak 130 meter kali perbedaan pasang tertinggi dan surut terrendah laut yang ditarik kearah daratan dari titik pasang tertinggi air laut (Bengen 2001). Sebaiknya diantara kawasan Teluk Kelabat dengan sempadan pantai ditanami dengan tumbuhan seperti cemara. Hal ini dimaksudkan selain untuk meredam suara dan kemungkinan polusi udara yang berasal dari kegiatan industri, juga menambah keindahan pantai.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Aksessibilitas kawasan, khususnya keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan kriteria yang menjadi prioritas utama dalam penetapan lokasi. Pemilihan lokasi yang menjadi pusat-pusat kegiatan dengan mempertimbangkan nilai ekonomi yang tinggi. Pendekatan dengan teori perdagangan dan teori lokasi dapat diwujudkan dalam metode analisis perencanaan tata ruang regional kepulauan, misalnya dalam usaha meminimalkan biaya transportasi. 2. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan Geografic Information System dan analisis AHP, maka diperoleh pola pemanfaatan peruntukan ruang masingmasing kegiatan. Luas kuasa penambangan timah dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) yaitu DAS Layang dan DAS Antan seluas 56097,38 ha; kawasan konservasi 1558,56 ha; kawasan industri 80 189,27 ha; kawasan perikanan 32939,26 ha; kawasan pelabuhan di perairan Teluk Kelabat bagian luar, kawasan pariwisata 128,64 ha, dan kesesuaian untuk budidaya lainnya seluas 26935,74 ha. Hasil analisis pola pemanfaatan ruang ini tidak lagi ada perbedaan kesesuaian S1, S2 maupun NS untuk masing-masing peruntukan. Hal ini sudah merupakan penggabungan dari luas kesesuaian S1dan S2 untuk masing-masing peruntukan. 3. Berdasarkan analisis manfaat terhadap pemanfaatan ruang Teluk Kelabat: • Gabungan para pelaku (Pemerintah, Swasta dan Masyarakat) memprioritaskan pembangunan bidang ekonomi (0,577) dengan memperhatikan aspek sosial (0,179 ) dan lingkungan (0,133). • Pemerintah memprioritaskan pembangunan aspek ekonomi (0,567) dengan memperhatikan aspek Sosial (0,155). • Swasta memprioritaskan pembangunan aspek ekonomi (0,588) dengan memperhatikan aspek Sosial, dan • Masyarakat memprioritaskan pembangunan aspek ekonomi (0,537) dengan memperhatikan aspek sosial (0,339).
4. Berdasarkan analisis manfaat, baik gabungan para pelaku (0,455), maupun pemerintah 0,401), swasta (0,425) dan masyarakat (0,588) memprioritaskan kegiatan sektor perikanan, lalu diikuti kegiatan Industri, pariwisata dan pelabuhan dalam pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat. Pembangunan perikanan mengarah kepada pengembangan keunggulan kompetitif perikanan terpadu, yaitu “ Integrated Resource-based maritim” yang dibangun melalui penerapan IPTEK dan manajemen profesional. 5. Berdasarkan analisis manfaat dan biaya terhadap Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat: • Gabungan
para pelaku memprioritaskan pembangunan sektor perikanan
(0,455). • Pendapat Gabungan Pemerintah memprioritaskan pembangunan sektor perikanan ( 1,598) dan pelabuhan (1,025). • Swasta memprioritaskan pembangunan sektor perikanan (1,00) dan industri (1,098). • Masyarakat memprioritaskan pembangunan sektor perikanan (1.024) dan industri (1,024). 6. Penggunaan lahan pada Kawasan Pesisir Teluk Kelabat dimanfaatkan untuk kegiatan utama, yaitu Perikanan, industri,pariwisata, dan pelabuhan.Selain itu dimanfaatkan untuk kawasan penyangga yang berbentuk jalur hijau guna mengantisipasi dampak lingkungan. 7. Wilayah pesisir Teluk Kelabat Kecamatan Belinyu masih memiliki kesesuaian lahan untuk industri, perikanan, pariwisata, dan pelabuhan dengan perincian: • Kesesuaian lahan industri, sangat sesuai ( S1) seluas 17701,08 ha (13,32 %) berada di sebagian dari Kelurahan Air Jukung, Kelurahan Kuto Panji, sebelah barat Kelurahan Mantung Kelurahan Bukit Ketok Kecamatan Belinyu termasuk wilayah DAS Layang serta sebagian kecil di di utara Desa Telak
Kapit, bagian utara Desa Semulut di pesisir timur Kecamatan Jebus. Lokasi yang sesuai terbatas (S2) seluas 72737,79 ha (54,74 %) berada sebelah selatan di desa Gunung Muda, sebelah selatan desa Ridingpanjang, dan sebagian besar di Kelurahan Air Jukung serta sebagian kecil sebelah barat Kelurahan Kuto Panji Desa-desa tersebut berada di Kecamatan Belinyu DAS Layang. • Kesesuaian lahan pariwisata, sangat sesuai (S1)seluas 600.67 ha (0.45 %), berada di sebagian Desa Romodon Tanjung Penyusuk pesisir barat air Jukung sebelah barat Kelurahan Mantung, Kecamatan Belinyu DAS Layang. Sedangkan Kondisi lahan sangat sesuai di Kecamatan Jebus DAS Antan berada di sebagian kecil pesisir timur desa Bakit dan sebelah pesisir utara desa Semulut serta pesisir timur desa Telak Kapit yang memanjang dari utara sampai sebelah tenggara pesisir. Lokasi yang sesuai terbatas (S2) seluas 533,66 ha (0.40 %) berada di Pesisir barat kelurahan Mantung, sebagian kecil pessir barat kelurahan Air Jukung sebagian besar sebelah selatan Desa Riau /Silip/Lumut . • Kesesuaian lahan bagi pemanfaatan pelabuhan, lokasi yang sangat sesuai seluas 7456,735 ha (22.63 % dari luas Perairan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus seluas 32939,26 ha) terletak sebagian besar di kelurahan Mantung kecamatan Belinyu, lokasi yang sesuai terbatas seluas 20,688 ha (0.0628 %) terletak di pesisir pantai desa Telak Kapit, sebagian pesisir Semulut bagian utara serta sebelah utara desa Bakit kecamatan Jebus, dan lokasi yang tidak sesuai seluas 25461,617 ha
(77.29 %)
• kesesuaian perairan bagi pemanfaatan budidaya perikanan , lokasi yang sangat sesuai seluas 21977.42 ha (50.06 % dari luas perairan Teluk Kelabat kecamatan Belinyu dan kecamatan Jebus) daerah perairan yang sangat sesuai sebagian besar berada disebelah utara teluk Kelabat bagian luar, dari sebelah selatan Tanjung Ru sampai sebelah utara Tanjung Meliala Kecamatan Jebus bagian timur. Lokasi perairan yang sangat sesuai di Pesisir Kecamatan
Belinyu dari sebelah selatan Tanjung Mantung sampai sebelah utara Tanjung Penyusuk.
6.2. Saran 1. Eksploitasi timah di kuasa penambangan yang umur masa pakainya 30 tahun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral c/q Direktur Jenderal Pertambangan Umum harus sesuai dengan kaidah-kaidah penambangan ramah lingkungan dan kelestarian alam. 2. Pemanfaatan Kawasan pesisir Teluk Kelabat diprioritaskan pada pembangunan ekonomi dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial dan teknologi. Pengembangan kegiatan dengan nilai ekonomi tinggi berorientasi kepada pasar Internasional memberikan nilai tambah melalui proses pengolahan bahan mentah yang memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. 3. Berdasarkan sisi manfaatnya, sebaiknya kegiatan pembangunan industri perlu dipacu dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir seefisien mungkin serta mengantisipasi dampak lingkungan dan sosial budaya, melalui program-program seperti; AMDAL, sadar lingkungan, juga peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknologi guna mempersiapkan tenaga kerja yang dapat bersaing secara global, kemudian penjalinan kerjasama dan kemitraan diantara pelaku ekonomi (pengusaha dan masyarakat) baik dari segi modal, proses produksi maupun
pemasaran,
serta
memperkuat
home
industry
dengan
tetap
mempertahankan kekuatan unsur kekhasan tradisional yang sudah diminati dan dikenali masyarakat di dalam maupun di luar daerah. Adanya otonomi daerah maka
perlu
didorong
kegiatan
yang
bersifat
kerjasama
yang
saling
menguntungkan antar daerah dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan.
4. Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat perlu dikembangkan dalam kerangka pembangunan dan pemanfaatan ruang kawasan dengan memperhatikan pelestarian budaya, dan memelihara citra yang baik. 5. Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan menjaga keharmonisan spasial (keruangan) Kawasan pesisir Teluk Kelabat, maka peletakan peruntukan kegiatan harus mengacu kepada tata letak yang direncanakan sesuai dengan spesifikasi atau pola kegiatan dan daya dukung lahan. Laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan pulih, dan resultante dampak negative yang ditimbulkan tidak melebihi kemampuan kawasan pesisir/laut untuk menetralisirnya. Sementara itu penyusunan tata ruang harus menggunakan pendekatan partisipatif berbasis masyarakat: • Melibatkan
segenap stakeholders, yaitu instansi pemerintah, swasta,
masyarakat, LSM, kalangan Perguruan Tinggi, dan lainnya. • Menggunakan musyawarah, “ Public Hearing” dan media partisipatif lainnya. • Hak adat/tradisional harus diadopsi dalam tata ruang.
6.3. Rekomendasi Berdasarkan analisis manfaat dan biaya terhadap Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Kelabat: 1. Gabungan para pelaku stakeholder memprioritaskan pembangunan sektor perikanan (0,455) artinya lebih besar score dari masing-masing persepsi Gabungan dari Pemerintah, Swasta maupun Masyarakat. 2. Swasta memprioritaskan pembangunan sektor perikanan (1,00) dan industri (1,098), maka peneliti merekomendasikan kawasan Teluk Kelabat layak untuk dikelola sebagai kawasan industri perikanan terpadu.
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja K, Hikmat H. 2001. Participatory Research Appraisal Dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Aguero M and Flores S. 1996. Valuation Cencepts and Techniques with Applications to Coastal Resources in Valuation of Tropical Coastal Resources: Theory and Application of Linnier Programming (Edition, Annabelle Cruz Trinidad), United Nation Economic Commission for Latin America and The Caribbean (ECLAC), Manila, Phillipines. pp9-16. Ali EM. 2000. Prospek Pengembangan Industri Maritim di Kabupaten Bangka. Sungailiat: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. Amien AP. 1997. Penyusunan Konsep Tata Ruang Kawasan Pantai. Jakarta: Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. Anonimous. 2002. Laporan Akhir Penelitian Sumber Daya Kelautan di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Cina Selatan, Khususnya Perairan Bangka, Belitung dan Kalimantan Barat Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta : 102 hal. Anonimous. 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kantor Menteri Negara Kependudukan Lingkungan Hidup 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kep-02/MENKLH/1988. Sekretariat Negara, Jakarta. 57 hal. Anonimous. 2002. Peraturan Daerah No 11. Pemerintah Kabupaten Daerah Bangka Tahun 2002 Tentang Kawasan Industri Terpadu di Teluk Kelabat. Ariens EJ, Mutschler E, dan Simonis AM. 1986. Pengantar Toksikologi Umum. Gajah Mada University Press hal.
Aronoff S. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective. Otawa Canada: WDL Publication. Arsy OMF. 1997. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta: Departement Physical Geography Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. ASTM. 1992. Standard Methods for Conducting Static Acute Toxicity Tests with Larvae of Four Species of Bivalve Mollucs. In: Annual book of ASTM Standards, Water and Environmental Technology, vol. 11.04. American Society for Testing Materials, Philadelphia, Pennsylvania, p. 259-275.
Atlas RM and Bartha. 1973. Abundance, Distribution and Oil Biodegradation Potential of Microorganism in Raritan Bay. Environmental Pollution. 4 : 180 – 209 Atlas RM. 1995. Petroleum Degradation and Oil Spill Bioremediation. International Conference on Marine Pollution and Ecotoxicology, 22 - 25 January 1995. Hongkong. Aunuddin 2001. Penyusunan Kegiatan Investasi, Pembentukan Pokmas, Pelatihan dan Penguatan Kelembagaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Azis IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Aziz A dan Darsono P. 1997. Beberapa Catatan Mengenai Fauna Ekhinodermata di Daerah Rataan Terumbu Bagian Selatan Gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, dalam : PRASENO, D.P. (Eds.), Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II. Puslitbang Oseanologi -LIPI, Jakarta : 72 - 77. Aziz A, Aswandy I dan Giyanto.1998. Pengamatan komunitas krustasea dan ekhinodermata bentik di Teluk Jakarta. Lingkungan & Pembangunan 18 (1) : 61 - 73. [BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 1994. Integrasi Citra Inderaja dan SIG. Study di Teluk Saleh, Pulau Sumbawa. Laporan Penelitian.
Bachri TB.1993. Dampak Sosial – Budaya Kegiatan Pariwisata. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 7 Triwulan I/Maret 1993 ISSN 0853-9847. Lembaga Penelitian Perencanaan Wilayah dan Kota (LPP – ITB), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Jurusan Teknik Planologi Fakultas Teknil Institut Teknologi Bandung. Halaman 28 – 31. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 1996. Profil Kelautan Nasional. Jakarta: Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan Bandung dan BPPT. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. 2001. Data Pokok Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka Tahun 2000. Sungailiat: BAPPEDA Kabupaten Bangka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. 2000. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka Tahun 1999-2009. Sungailiat: BAPPEDA Kabupaten Bangka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. 2001. Bangka Dalam Angka. Sungailiat: BPS dan BAPPEDA Kabupaten Bangka. Barnes RSK. 1974. Estuarine Biology. In : Studies in Biology No. 49. Edward Arnold Ltd. (pbl.) London, 76 pp. Beatley T, Brower DJ and Schwab AK. 1994. An Introduction to Coastal Zone Management. Island Press, Washington, DC. Bengen DG 2001. Identifikasi Permasalahan Pola Pergeseran Sistem Pengelolaan dari Rejim Sentralistik kepada Otonomi Daerah. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisi dan Lautan IPB dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya pesisir. Bogor: PKSPL-IPB.
Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bennekom AJ, Berger G, Helder W and De Vries. 1978. Nutrient distribution in the Zaire estuary and River Plume. J. Sea Res, 12 : 296 – 323. Brown BE. 1997. Integrated Coastal Management ; South Asia. Departement of Marine Science and Coastal Management, University of New Castle, New Castle upon Tyne, United Kingdom. 200 hal. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita. Cerri RD. 1983. The Effect of Light Intensity on Predator and Prey Behavior in Cyrinid Fish: Factor that Influence Prey Rish. Journal Animal Behavior. London: Bailliare Tindall. Vol. 31 (3): 736-742. Chambers R. 1996. Participatory Rural Appraisal Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius. Chanlett ET, Parker DE, Mc Clain EP, Grava S and Natusch DFS. 1980. Encyclopedia of Environmental Science. 2nd Edition, Sybil P. Parker (Ed). New York McGraw-Hill Book Co. 858 p. Chapman PM. 1981. Measurements of The Short-Term Stability of Interstitial Salinities in Subtidal Estuarine Sediments. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 12 : 67 - 81. Choe KY, Gill GA and Lehman R. 2003. Distribution of Particulate, Colloidal, and Dissolved Mercury in San Fransisco Bay Estuary: 1. Total Mercury. Limnology and Oceanography. Vol. 48 (4): 1535-1546). Clark J. 1974. Coastal Ecosystem, The Conservation Foundation, Washington DC. 178 p. Clark JR. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Florida: Lewis Publishers. Collier BD, Coxs GW, Johnson AW, and Miller PC. 1973. Dynamic Ecology. London: Printice Hall, Inc. Engelwood Cliff. 563 p.
Connell DW. 1990. Biomagnifikasi Senyawaan Lipofilik dalam Sistem Darat dan Perairan. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Des W. Connell (Ed). Jakarta: U.I. Press. Hal: 153-196. Connell DW. 1995 and. Miller GJ. 1995. Kikia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: U.I. Press. 520 hal. Cox GW. 1967. Laboratory Manual of General Ecology. MWG. Brown Company, Mennapolis. 1967: 165 pp. Dahuri R, Rais J, Ginting SP dan
Sitepu MJ. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Eksplorasi Lautan dan Perikanan. Dahuri R. 1998. Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Perencanaan dan Pengelolaan Tata Ruang Wilayah Pesisir. Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Danoedoro P. 1996. Pengelolaan Citra Digital. Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: U.I Press. 179 hal. Darwin M. 2001. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Davis CC. 1955. The Marine a nd Freshwater plankron. Michigan State Univ. Press.: 562 pp. [Dirjen Bangda-PKSPL] Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah-Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Lautan Institut Pertanian Bogor. 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Jakarta.
Departemen Dalam Negeri. 1996. Metodologi Zonasi Lahan Pedoman Bagi Staf Bappeda, LREP Part D. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Departemen Dalam Negeri.
1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah
Pesisir. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri dan PK – SPL IPB. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000. Konsepsi Pendekatan Penataan Ruang Dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil. Prosiding Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir; Jakarta, 10 Oktober 2000. Jakarta: Direktorat Jenderal Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil DKP. Lampiran 3. Dexbury AB and Duxbury AC. 1993. Fundamental of Oceanography Dubuque Iowa: Wm, C. Brown Publisher. Co. Dutton IM 2001. Sikap dan Persepsi Masyarakat Mengenai Sumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 3, No. 3, 2001. ISSN 1410 – 7821. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Halaman 45–51. Edyanto CBH. 1998. Dasar-dasar Pertimbangan Dalam Pengelolaan Lahan di Pulau Weh. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia; Jakarta 7-10 Desember 1998. Coastal Resources Management Project (CRMP-USAID), TPSA, BPPT, dan Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan Departemen Dalam Negeri. Halaman D-19. Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria. Ecological Research Series Washington : 595 p.
Fauzi A. 1999. Teknik Valuasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PMO-SACDP Pemerintah Daerah Cilacap dengan PKSPL IPB. Fauzi A, S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Untuk Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Firor J. 1995. Perubahan Atmosfir. Sebuah Tantangan Global. Diterjemah oleh Yuliani Liputo. Jakarta: Rosda Jayapura. 150 hal. Fitsgerald WF and Lyons WB. 1975. Mercury Concentration in Open-Ocean Water: Sampling Procedure. Limnology and Oceanography. Vol. 20 (3): 468471 pp. Food and Agriculture Organization of United Nations. 2000. The State of World Fisheries and Aquaculture. Rome: FAO Fisheries Departement. Fu K. 1995. Taiwan. Dalam Hotta K dan Dutton IM (Editor) : Coastal Management in The Asia-Pacific Region : Issues and Approaches. Japan International Marine Science and Technology Federation, Tokyo hal.187-195 French PW. 1997. Coastal and Estuarine Management, Routledge New York. 251 p. Fridman A. 1998. World Fisheries – What is to be done ?. Victoria: Baird Publications. Gagnon G. Pelletier E, Mucci A and Fitzgerald WF. 1996. Diagenetic Behavior of Methymercury in Organic Rich Coastal Sediments. Limnology of Oceanography. Vol. 41 (3): 428-434. Gunawan I. 1998. Typical Geographic Information System (GIS) Applications for Coastal Resources Management in Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 1, No.1, 1998. ISSN 1410-7821. PKSPL-IPB Bogor. Halaman 17-26. Gunawan I. 2000. Konsep Resolusi Konflik dalam Penetapan Ruang Wilayah Pesisir. In Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Bogor, 13-18 Novemper 2000 (Ed, Dietriech G Bengen), Proyek Pesisir. Bogor. Hallegraeff GM. 1991. Aquaculturist’Guide to Harmful Australian Microalgae. Publ. Fishing Industry Training Board of Tasmania 25 Old Wharf, Hobart, Tasmania. 7000-CSIRO Div. Of Fihsries, Hobart, Australia. : 111 pp. . Haslett SK. 2000. Coastal System, Routledge, New York. 218 p. Hawker DW. 1995. Bioakumulasi Zat yang Mengandung Logam dan Senyawaan Organologam. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Des W. Connell (Ed). Jakarta: U.I. Press. Hal: 197-219. Heald EJ and Odum WE. 1972. The contribution of mangrove swamps to Florida Fisheries. Gulf and Carib. Fish Inst. Proc. 22nd. Ann. Sess: 130 -135. Hidayat A. 2000. Konsep dan kebijakan Pengembangan Wisata Bahari. Seawatch Indonesia, BPPT, Himateka IPB. Hildebrand M and Goslow GE. 2001. Analysis Vertebrate Structure. 5th Edition. New York. John Willey and Son. 635 p. Hood MA, Bishop WS, Bishop JFW, Meyer SP and Whelan T. 1975. Microbial Indicatoprs of Oil-rich Salthmarsh Sediments Appl. Environmenta. Microbiology 30 : 982 - 987 Hukom FD, Suharti SR dan Yahmantoro. 2002. Keanekaragaman Jenis dan Kelimpahan Ikan Karang di Daerah Terumbu Karang Perairan Bangka, Belitung dan Pulau Karimata. Laporan Penelitian Pusat Oseanografi – LIPI. Hutabarat S dan Evans SM. 1986. Pengantar Oseanografi. UI Press. 1959 hal. Idris I
2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.
Ilahude AG. 1992. Note on The Surface Current System South of Java-Sumbawa. In T. Sugimoto, K. Romintarto, S. Soemodihardjo and H. Nakata (Ed) Prossedings of Third ORI-LIPI Seminar on Southeast Asia Marine Science: Oceanography for Fisheries Japan: ORI University of Tokyo.
Ingersoll P. 1995. Sediment Toxicity. In Fundamentals of Aquatic toxicology. Second edition, Rand, G.M. Ed. New Tork : Hemisphere Pub. Corp. Iskra IV, Linik PN. 1996. 1996. Concentration and Forms of Migration of Cadmium in The Dnieper Reservoirs. Hydrobiology. Journal. Vol. 32 (5 & 6): 7888. Jenkins GP and Black KP. Temporal Variability in Settlement of Coastal Fish (Sillaginodes Punctata) Determined by Low-Frequency Hydrodynamic Australian Journal of Marine and Freshwater Research. Victoria Australia: CSIRO. Jorgensen EG. 1953. Silicate Assimilation by Diatoms. Physiologia. 6, 301 -
315.
Kartodiharjo. 2000. Masalah dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Basis Pengembangan Pariwisata. Seawatch indonesia, BPPT, Himateka IPB. Kartodiharjo. 2000. Masalah dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Basis Pengembangan Pariwisata. Seawatch indonesia, BPPT, Himateka IPB. Kay R and Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London: E and FN SPON an im Print of Routledge. Kennish MJ. 1990. Ecology of Estuaries: Biologycal Aspects. CRC Press. Boston. 391 p. Kennish MJ. 1992. Ecology of Estuaries: Anthropogenic Effect. CRC Press. London. Vol. 14 (6): 494 p. Kennish MJ. 1994. Practical Hand Book Marine Science. 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press. 566 p. Kingsford MJ and Suthers IM. 1994. Dynamic Estuarine Plumes and Fronts: Importance to Small Fish and Plankton in Coastal Water of NSW, Australia. Journal Pergamon, Vol 14 (6): 655-672.
KLH 1984. Bahan Penyusunan RPP Baku Mutu Air Laut untuk Mandi, Renang, Biota Laut dan Budidaya Biota Laut. Lokakarya Baku Mutu Air Lingkungan Laut, Bogor, 23 – 25 Februari. Knight M. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir di Amerika Serikat: Contoh Bagi Indonesia. Penerbitan Khusus Proyek Pesisir. Rhode Island: Coastal Resources Center, University of Rhode Island. Koesoebiono 1981. Plankton dan Produktivitas Bahari. Faperi IPB Bogor : 173 hal Konovalov YD. 1994. A Review of Binding of Cadmium and Mercury in Fish by Protein Low Molecular Weight Thiol. Hydrobiology. Journal. Vol. 30 (1): 47-56. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef Fishes of the Western Pacific, Indonesia and adjascent water. Penerbit Gramedia Pustaka Utama Jakarta. 314 hal. Kumar HD and Hader DP. 1999. Global Aquatic and Atmospheric Environment Springer. 393 p. Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Kusumastanto T. 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Bogor: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Laevastu T and Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. New Ocean Environment Services London: Fishing News (Book) Ltd. 238 p. Laevastu T. 1993. Marine Climate, Weather and Fisheries. Effect of Weather and Climatic Changes on Fisheries and Ocean Resources. New York: Joh Willey and Son, Inc. 204 p. Lawrence D. 1998. Integrated Coastal Zone Management Training. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Canberra, Townsville. Lee JG, Robert SB and Morel FMM. 1995. Cadmium: A Nutrient for The Marine Diatom Thalassiosira weissflogii. Limnology Oceanography. Vol. 40 (6): 1056-1063.
Leiske E and Myers R. 1997. Coral Reef Fishes of Indo Pasific and Caribean. Harper collin Publish. 400 pp. Liaw WK, 1969. Chemical and Biological Studies of fish Pond and Reservoir in Taiwan. Chinese America Joint Comission on Rural. Recontruction Fish, Series 7 : 1 - 43 Liu Kon- Kee and Lee-Shing Fang, 1986. Nutrient Cycling in the Penghu Bay: A Study on Nutrient regeneration in sediments in an oyster farm. A eanographica Taiwanica. 17 : 45 - 60. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: U.I. Press. 428 hal. Lund JWG. 1950. Studies on Asterionella formosa Hass. II. Nutrients Depletion and The Spring Maximum. J. Ecol. 38, 1 - 35. Manig
W.1985.Integrierte Rurare Vauk.Kiel.Germany
Entwicklung.
Kieler
Wissensschaftliche
Mason RP, Fitzgerald WF, Hurley J,Hanson AK, Donaghay PL and Sieburth JM. 1993. Mercury Biogeochemical Cycling in A Stratified Estuary. Limnology and Oceanography. Vol 38 (6): 1227-1241. Mochtar O 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Moerrisey D. 1995. Estuaries, Coastal Marine Ecology of Temperate Australia. A J. Underwood and M.G. Chapman (Ed) Australia: UNSW Press. P: 152170. Mubyarto. 2000. Pengembangan Wilayah, Pembangunan Pedesaan dan Otonomi Daerah; Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan tertentu: Sebuah Kajian
Eksploratif.
Direktorat
Kebijaksanaan
Teknologi
untuk
Pengenbangan Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta. Muchsin I
2001. Kebijakan Pelestarian Ekosistem Mangrove Sebagai Jalur Hijau Pantai (Green Belt) Dalam Konteks Otonomi Daerah. Bogor: PK–SPL IPB dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Mulyanto 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Murti HNC. 2000. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Estuaria dengan Pendekatan Tata Ruang dan Zonasi (Studi Kasus Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah); Disertasi. Program Pascasarjana-Pusat Studi Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 259 hal. Newell GE, Newell RC. 1963. Marine Plankton. A Practical Guide. Hutchinson of London; 244 hal. I Nirarita E. 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Bogor: Wetlands International – Indonesia Programme. Nontji A. 1984. Biomasa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta. Bogor. Disertasi. IPB. Tidak dipublikasikan. Nybakken. JW. 1982. Marine Biology and Ecology Approach, 459 p. Nybakken. JW.
1992. Biologi Laut: Suatu Pengantar Ekologis. Terjemahan M.
Eidman, Dietrich G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo. Jakarta: Gramedia 459 hal. Oberlander, Theodore M and Muller RA. 1982. Essestials of Physical Geography Today, Random House. New York. 493 p. Odum WE.
1976. Ecologycal Guidelines for Tropical Coastal Development.
Switzerland: IUCN. Odum WE. 1972. Tropic analysis of an estuarine mangrove community. Bull. of Marine Science 22: 671-738. P2O- LIPI. 2003. Laporan Akhir Tahun Kappel dan SumberDaya Ikan BangkaBelitung Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. 2000. Data Dasar Wilayah Pesisir dan Kelautan Kabupaten Bangka. Sungailiat: Pemda Bangka.
Permadi BSB. 1992. AHP. Jakarta: Pusat Antar Universitas–Studi Ekonomi Universitas Indonesia. Peterson PJ.
1997. Indicators of Sustainable Development in Industrializing
Countries. Malaysia: Institute for Environment and Development. Pomeroy RS. 1994. Community management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pasific: Concepts, Methods and Experiences. Manila: International Center for Living Aquatic Resources. Prahasta E. 2001. Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika, Bandung. Pratikto WA, Armono HD, Suntoyo. 1996. Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM. Pratiwi R, Al Hakim I, Aswandy I, Genisa A dan Mudjiono. 1997. Komunitas fauna epibentik padang lamun di Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Dalam : Praseno, D.P. (Eds.), Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II. Puslitbang Oseanologi -LIPI, Jakarta : 62 - 71. Prescott GW. 1969. Purwaka TH.
"The Algae, a Review". Nelson : 338 pp.
2000. Industri Maritim dan Kaitannya dengan Otonomi Daerah.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengembangan Kapasitas dan Kelembagaan Departemen Eksplorasi Lautan dan Perikanan. Purwanto J. 2000. Rencana Strategik Pembangunan Kelautan dan Perikanan Pasca Terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Bogor: Marine Techno and Fisheries IPB. Purwanto J. 2001. Pengelolaan Lingkungan Sumberdaya Perairan. Bogor: Fakultas Perikanan dan kelautan IPB. Pusat Penelitian Oseanografi. 2002. Laporan Akhir Penelitian Sumberdaya Kelautan di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Cina Selatan, Khususnya Perairan Belitung, Bangka dan Kalimantan Barat. Proyek Penelitian IPTEK Kelautan. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI.
Rahardjo S. 1996. Makalah Pelatihan SIG. Depok: F-MIPA UI, Pusat Penelitian Terapan. Raymont JEG. 1980. Plankton and Productivity in the oceans (Second edition). Vol. 1 : Phytoplankton. Pergamon Press., Oxford : 273-275 pp. Ritter DF. 1993. Process Geomorphology, Wm. C. Brown Publisher. Dubuque Project. 1-4 pp. Riyono SH. 1977. Penentuan Kandungan Seston. Dalam: Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Horas P. Hutagalung, D. Setiapermana, S.H. Riyono (Editor) : 114-119. Rosenberg R. 1975. Stressed Tropical Benthic Fauna Community of Miami, Florida. Ophelia 14 : 93 - 112. Ross DA. 1970. Introduction to Oceanography. Meredith Cooperation. USA. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Komplek. Seri Manajemen No. 134/1993. Terjemahan Sapta BU. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Saaty TL. 1999. Decision Making for Leaders, The Analytic Hierarchy Process For Decisions in a Complex World. Pittsburgh: University of Pittsburgh. RWS. Salim E. 1986.
Baku Mutu Lingkungan. KLH, Jakarta : 25 hal.
Salthe SN. 1972. Evolutionary Biology. London: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 346 p. Sasono A, Juoro U, Makka AM.
1993. Pembangunan Regional dan Segitiga
Pertumbuhan. Jakarta: Center for Information and Development Studies. Sekretariat Negara. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No.24/1992 Tentang Penataan Ruang.
Sharp JH.
1983. The Distributions of Inorganic Nitrogen and Dissolved and Particulate Organic Nitrogen in theSea. In : “ Nitrogen in the Marine Environment “. (E. J. Carpenter and D.G. Capone eds ). Academic Press, New York : 1 - 29.
Shepard KP. 1954. Nomenclature Based Sand Silt Clay Ratio, Jowcn.Sed. Petral. 24 : 151 – 158 Sigit H. 1994. Perkembangan Dampak Ekonomi Pariwisata 1985 – 1993. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Edisi Khusus 1994 ISSN 0853-9847. Lembaga Penelitian Perencanaan Wilayah dan Kota (LPP – ITB), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Jurusan Teknik Planologi Fakultas Teknil Institut Teknologi Bandung. Halaman 25–32. Siregar V. 1998. Prinsip Dasar Penginderaan Jauh. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sjafi,i EBI, Bengen DG, Gunawan I. 2001. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 4, No. 1, 2001. ISSN 1410 – 7821. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Halaman 1–16. Soegiarto A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional. Soemarwoto O. 1994. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Strahler A and Strahler A. 1998. Introducing Physical Geography, John Willey and Son. New York. 567 p. Subardjo H dan Suwardjo, 1988. Pelaksanaan Pemetaan Tanah di Daerah Transmigrasi dalam Pembakuan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Cibinong–Bogor.
Sugandhy A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugiarti, Bengen DG, Dahuri R. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kota Pasuruan Jawa Timur. Jurnal Pesisir dan Lautan Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 3, No. 2, 2000. ISSN 1410 – 7821. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Halaman 1–18. Supriharyono. 2000. Pelestarian Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia. Soeriaatmadja RE. 1981. Ilmu Lingkungan. Penerbit Institut Teknologi Bandung (ITB).Bandung Susilo SB. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sutamihardja RTM. 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan Sekolah. Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB : 41 hal. Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Tomascik T, Anmarie JM, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of Indonesian Seas-Part Two, Periplus Editions (HK) Ltd., Singapore. 642 p. Tomboelu N, Bengen DG, Nikijuluw VPH, Idris I. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Volume 3, No. 1, 2000. ISSN 1410 – 7821. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Halaman 51-67. Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Jakarta: Beta Offset. 397 hal.
Valiela I. 1995. Marine Ecological Processes. 2nd Edition. Springer. 686 p. Vitousek PM, Mooney HA, Lubchenco J and Melilo JM. 1997.Human Domination of Earth’s Ecosystem, Science. Wagner GP and Misof BY. 1992. Evolutionary Modification of Regenerative Capability in Vertebrates: A Comparative Study on Teleos Pectoral Fin Regeneration. The Journal of Expert Zool. Vol. 261 (1): 62-78 pp. Watras CJ, Morrison KA, Host JS and Bloom NS. 1995. Concentration of Mercury Species in Relationship to other Site-Specific Factor in The Surface Water of Northern Wisconsin Lakes. Limnology and Oceanography. Vol. 40 (3): 556-565 pp. Watras CJ. 1992. Mercury and Methylmercury in Individual Zooplankton Limnology and Oceanography. Vol 37 (6) 1313-1318 pp. Welch EB. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge University Press, Cambrige. Wibowo, Prianto Ch, Endah Nirarita, Shanty S, Djupri Padmawinata, Kusmarini, Syarif M, Yeni H, Kusniangsih dan Sinulingga L. 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia: Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan, Wetlands International Indonesia Programme, Bogor. 215 p. Wirtky K. 1961. The Physical Oceanography of South East Asian Waters. La Jolla California: University California Press. Naga Report. Vol 2. Wootton RJ. 1984. A Functional Biology of Sticklebacks. London: Croom Helm. 265 p. Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Akademika Presindo. Yamaji I. 1966. Illustrations of the marine plankton of Japan. Hoikusho, Osaka, Japan. 369 p.
Lampiran 1 Penggunaan lahan Tahun 1992
Lampiran 2 Peta penggunaan lahan pesisir Teluk Kelabat Tahun 2001