ANALISIS INVESTASI APARTEMEN PUBLIK DI BAWAH MODEL KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA (KPS) UNTUK MENARIK INVESTOR DI INDONESIA Erman Sumirat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia ABSTRACT Indonesia saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun pertumbuhan tersebut menyebabkan kelompok berpenghasilan rendah (LIG) tidak mampu membeli rumah karena harganya mahal. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi LIG meski tidak memiliki anggaran pemerintah. Kemitraan publik swasta (public private partnership / PPP) dapat dilakukan di mana sektor swasta mengembangkan bangunan campuran dan memainkan subsidi silang antara apartemen komersial dan publik di bawah jaminan pemerintah.Untuk menarik investor swasta, pemerintah harus menghitung analisis investasinya sehingga menghasilkan hasil yang layak. Makalah ini menggunakan proyek apartemen publik di Bandung sebagai studi kasus dengan menggunakan alat analisis investasi yaitu penganggaran modal serta manajemen risiko menggunakan matriks risiko dan analisis skenario terutama jika porsi kenaikan apartemen publik selama iklan. Tolok ukur dari negara lain juga akan dijadikan referensi. Karena proporsi kenaikan LIG, hasil kelayakan seperti penurunan NPV dan IRR, sehingga subsidi dan insentif dari pemerintah dapat dibutuhkan. Makalah ini akan merekomendasikan jenis subsidi dan insentif untuk menutupi porsi LIG di Apartemen Umum agar proyek ini layak dan menarik bagi investor. Begitu model investasi ini berhasil, maka bisa dijadikan referensi untuk pengembangan apartemen umum lebih lanjut di bawah PPP di Indonesia. Kata kunci: Analisis Investasi, Apartemen Umum, Kemitraan Publik Swasta, Penganggaran Modal, Manajemen Risiko PENDAHULUAN Bandung merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang memiliki populasi padat dengan tingkat pertumbuhan tinggi 1,88%, dengan kepadatan rata-rata 14.651 jiwa / km2. Populasi akan mencapai 4 juta penduduk pada tahun 2031. Salah satu implikasinya adalah meningkatnya kebutuhan akan sarana dan prasarana di kota perumahan, termasuk perumahan yang layak bagi kelompok berpenghasilan rendah (LIG). Dengan semakin sempitnya lahan perkotaan, harga tanah di kota semakin meningkat seiring dengan keterbatasan anggaran Pemerintah Kota
Bandung dalam menyediakan sarana dan prasarana perumahan yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan sehari-hari penduduk, maka konsekuensi logis yang biasa terjadi pada permukiman perkotaan adalah Munculnya daerah kumuh. LIG tidak mampu meraih hipotek dengan harga jual rata-rata di atas Rp 500 juta. . Harga rata-rata tanah di Bandung sekitar Rp 2,7 Juta / m2 sementara rumah itu adalah Rp 6 juta / m2, naik lagi hingga 36% menjadi Rp 3,69 juta / m2 rata-rata dalam waktu kurang dari satu tahun (Urbanindo, 2014). Kenaikan harga ini berlaku untuk semua jenis properti lainnya, seperti apartemen dan ruko yang rata-rata naik 20-30% (Urbanindo, 2014). Kapasitas pengembang yang terbatas belum didukung oleh sifat insentif dan subsidi ditambah rendahnya keterjangkauan LIG. Hal ini menyebabkan degradasi kualitas perumahan dan menciptakan daerah kumuh baru. Hal itu bisa dilihat dari kenaikan kumuh dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, jumlah permukiman kumuh di Bandung adalah 6,11% dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 8,5% (Distarcip Kota Bandung, 2015). Salah satu kebijakan dari Pemerintah Kota Bandung di perumahan dan permukiman adalah dengan membangun perumahan vertikal berupa Rumah Adat dan Perumahan untuk LIG. Pemkot Bandung telah memprioritaskan sekitar 15 lokasi untuk pembangunan perumahan vertikal atau Perumahan yang menggunakan lahan pemerintah sebagai solusi penanganan kumuh dan pemenuhan hunian menjadi layak dan terjangkau bagi LIG, yang dipopulerkan dengan nama People Apartment / Public Apartment atau "Apartemen Rakyat", konsep ini bercampur dengan apartemen komersial, area perdagangan dan fasilitas lain yang disebut mixed use building, kawasan komersial diharapkan bisa memberikan subsidi silang untuk apartemen umum untuk kawasan LIG. Lokasi ini menggunakan lahan pemerintah dan beberapa bagian kota adalah lokasi lahan milik pribadi di daerah kumuh padat yang akan diakuisisi oleh pemerintah. Sektor swasta akan memiliki hak pengelolaan selama 60 tahun dengan skema Build Operate Transfer (BOT). Masalah yang
muncul adalah minimnya dana dari anggaran kota Bandung untuk membangun apartemen umum bersubsidi yang jumlahnya diperkirakan mencapai 5 triliun, sama dengan total anggaran kota Bandung. Oleh karena itu, Kemitraan Publik Swasta akan menjadi solusi untuk membangun pemukiman masyarakat di Bandung
LOCATION Paldam Nyengseret Sadang Serang Derwati Cingised Arjuna Bagusrangin Kiara Condong Simpang Dago
Tabel 1 LOKASI APARTEMEN PUBLIK DI BANDUNG AREA BUDGET 11,336 377,766,963,400 m2 15,205 263,710,425,000 m2 10,556 295,619,355,559 m2 32,851 907,196,035,167 m2 7,061 m2 59,096,568,548 8,203 m2 68,331,922,877 27,808 1,360,873,130,000 m2 28,928 521,631,1122,500 m2 43,808 TOTAL DEVELOPMENT ALMOST m2 IDR 5,000,000,000,000
Sumber: Distarcip Bandung, 2015 STUDI LITERATUR Gilmour dkk (2010) menjelaskan tentang public private partnership (PPP) di perumahan rakyat sebagai konsep infrastruktur sosial yang memungkinkan skema bisnis "Build Own Operate Transfer" dikenal sebagai BOOT atau "Design Build Finance Operate" atau DBFO. Kasus untuk tanah yang dimiliki dan diakuisisi oleh pemerintah seperti di Bandung, skema BOT sehingga sektor swasta tidak dapat memiliki proyek ini terus-menerus. PPP memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk mengerjakan proyek yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun karena pemerintah memiliki anggaran terbatas, maka sektor swasta dapat berpartisipasi untuk menetapkan, mengelola dan setelah biaya investasi tercakup dan menghasilkan keuntungan, Apartemen bersubsidi ini akan dialihkan kembali ke pemerintah. PPP
juga memungkinkan konsep pembagian risiko antara pemerintah dan perusahaan swasta dengan pola risk sharing sebagai berikut:
Tabel 2 ALOKASI TANGGUNG JAWAB Borne by Government
Item Land Acquisition
X
Legal Permit
X
Site Plan , FS, Development Plan
X
Borne by Private Sector
Source of Fund and Interest
X
Construction Cost
X
Promotion and Marketing
X
Operation and Maintenance
X
Other Operational and Commercial Cost
X
Selanjutnya Mc Kinsey (2014) memiliki konsep yang disebut "rumah terjangkau" dalam pembiayaan perumahan. Menurut laporan tersebut, ada empat faktor untuk mengurangi biaya sebesar 20% -50% menjadi terjangkau bagi kelas bawah. Faktor-faktor ini terkait dengan harga pembebasan lahan; Cara konstruksi yang efisien; Sistem operasi yang optimal; Dan akses terhadap pembiayaan properti.
Figure 1 Mc Kinsey’s Concept of Affordable House
Sumber: McKinsey, 2014
Dasar pemikiran Mc Kinsey dalam pembiayaan perumahan di bawah koridor PPP dapat disusun lebih jauh menjadi tiga faktor utama untuk menilai analisis investasi di apartemen umum. Pertama, pentingnya pembiayaan dan akses pembiayaan sebagai struktur keuangan. Ini dijelaskan oleh Gulter dan Basti, (2014) yang menguraikan sistem pembiayaan perumahan serta pembiayaan real estat inovatif selain hipotek dari perbankan komersial (Squires et al, 2016). Kedua, penilaian investasi yang mencakup aspek teknis, penjualan, investasi dan biaya operasional, termasuk biaya lahan dan konstruksi (Tanaphoom dan Bart, 2014 dan Rachmawati dkk, 2015). Ketiga, manajemen risiko dan persepsi perilaku pengembang, kreditor, pemerintah dan konsumen (Schepper, Dooms and Haezendonck, 2013). Jika struktur permodalan, penilaian investasi dan manajemen risiko dari persepsi pemangku kepentingan dihitung, dikelola dan dilaksanakan dengan baik maka analisis investasi untuk apartemen umum akan menghasilkan hasil
yang
layak.
Moko dan Olima (2014) melakukan survei di Kenya kepada 160 profesional di bidang properti
dengan hasil jawaban 70 orang dan menemukan bahwa metode PPP, fasilitas pemerintah dan teknologi alternatif dalam properti bangunan dapat mengurangi biaya konstruksi dengan biaya utama. Faktor yang berasal dari harga tanah, biaya material dan biaya infrastruktur. Biaya konstruksi rumah terdiri dari sumber fisik dan keuangan. Geltner dan Miller (2001) mendefinisikan biaya bangunan sebagai biaya langsung komponen fisik seperti biaya pembebasan lahan, tenaga kerja, bahan dan peralatan, biaya pengembang, manajemen proyek dalam biaya konstruksi dan biaya overhead ditambah biaya desain, legal dan pembiayaan. Selain itu, biaya konstruksi yang terkait dengan kontraktor dan terkait dengan pengembang. Biaya kontraktor seperti biaya bahan, tenaga kerja dan peralatan untuk melakukan pekerjaan dan biaya keuangan, manajemen dan berbagai lokasi dan biaya kantor (Geltner dan Miller, 2001). Alaghbari dkk. (2012) di sisi lain mendefinisikan dan mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi biaya perumahan yaitu: faktor terkait lahan; Metode konstruksi; Bahan; Pekerjaan finishing dan masalah luar lainnya yang mempengaruhi biaya perumahan. Menurut Rahardjo, Syriac dan Trikariastoto (2014) pembangunan infrastruktur di kota besar seperti Jakarta yang membebani investasi besar seperti infrastruktur jalan raya termasuk kawasan perumahan yang merelokasi dan memodifikasi kawasan kumuh ke permukiman tersebut membutuhkan kerja sama dengan mekanisme PPP. Namun berdasarkan analisis AHP ada beberapa risiko yang harus dipertimbangkan dalam kolaborasi kontrak hukum antara pemerintah dan entitas swasta seperti isu-isu pemerintahan belum berjalan baik dan dikelola dengan baik, perbedaan visi pemerintah dan sektor swasta, manfaatnya tidak jelas. Antara pemerintah dan sektor swasta, perubahan kepemimpinan di pemerintahan, terutama di daerah, kurangnya pendanaan sektor swasta, kendala keuangan, berbagi risiko yang seimbang antara pemerintah dan sektor swasta, ketidakmampuan untuk mengubah struktur pemerintahan Dan perjanjian
kerjasama sektor swasta serta janji pemerintah yang tidak akurat. Kendala ini menyebabkan sektor swasta masih ragu untuk bekerja sama dengan pemerintah (Raharjo, Suryani dan Trikariastoto, 2014). Penelitian oleh Kane (1999) menyatakan bahwa subsidi tersebut dibutuhkan dalam pembiayaan perumahan terutama terkait dengan variabel leverage, risiko aset, risiko suku bunga, jaminan / garansi dan kontinjensi. Studi pada Kantor Akuntan Umum AS pada tahun 1996 (Kane, 1999) menyebutkan subsidi negara dapat mengurangi pajak, hal itu juga memberikan gambaran subsidi dalam bentuk bantuan kredit kepada pengembang, Kane (1999) merekomendasikan untuk memberikan subsidi yang dijamin secara berurutan. Untuk mengurangi biaya dana. Sementara Schaefer (2003) menemukan properti untuk orang berpenghasilan rendah (LIG) mendapatkan banyak kredit bersubsidi, potongan pajak termasuk subsidi langsung yang menjadi tanggung jawab pemerintah, terutama untuk kelompok senior dan orang berpenghasilan rendah. Di Eropa, konsep subsidi telah banyak digunakan dan jika pemerintah kekurangan dana modal untuk apartemen umum, maka skema kemitraan publik swasta dapat dilakukan antara pemerintah dan perusahaan swasta, di mana pemerintah harus mendukung dan terus mensyaratkan subsidi oleh Dengan mempertimbangkan basis aset, arus pendapatan, faktor biaya dan permintaan untuk perumahan sosial (ME Whitehead, 2003). Xin Ge (2009) melakukan studi untuk melihat pengelolaan perumahan rakyat di Australia dan menyimpulkan bahwa ada pemberian subsidi rumah di Australia seperti fasilitas bantuan tunai sebesar 7.000 AUD untuk pembeli rumah pertama maka ada fasilitas pembayaran uang muka dan Pembayaran hipotek dengan memanfaatkan dana pensiun karyawan yang dikenal di Australia sebagai superannuation
KERANGKA KONSEPTUAL
Figure 2 Conceptual Framework Loan Equity REITS Crowd Finance Municipal Bonds Other Financing
Funding Alternative Capital Structure
Capital Expenditure Sales Price Detail Cost Assumption Operational Cost Discounted Cash Flow
Financial Risk Operational Risk Business Risk Legal Risk Other Risks
Investment Analysis Discounted Cash Flow
Investment Feasibility Public Private Partnership
Risk Perception Financial Behavior
PEMBAHASAN Struktur Modal Ada banyak bentuk sumber pendanaan seperti pinjaman, obligasi, kepercayaan investasi real estat, pendanaan orang banyak, ekuitas pribadi dan ekuitas. Untuk perhitungan ini pada langkah pertama, diasumsikan bahwa dana tersebut berasal dari pinjaman bank sebesar 70% karena pemerintah pusat memiliki kebijakan untuk mensubsidi pinjaman untuk perumahan rakyat terutama LIG dan dana internal dari pengembang sebesar 30%. Sumber dana lainnya seperti obligasi pemerintah kota belum dipertimbangkan mengingat Kota Bandung masih belum mengeluarkan obligasi karena menunggu laporan keuangan memiliki status opini wajar tanpa pengecualian dari akuntan publik dengan melengkapi status hukum aset tersebut. Kemungkinan lain seperti trust investasi real estat (REITS) dan pendanaan orang banyak seperti Co-assets Singapura juga harus bekerja sama dengan perbankan investasi terkemuka dan mengapung di pusat keuangan seperti Singapura, akan memakan waktu lama karena Bandung harus mendirikan perusahaan lokal untuk pembiayaan kendaraan. , Membuat 15 lokasi menjadi satu portofolio
besar untuk memenuhi ukuran investasi dan mengikuti roadshow investor dengan memilih penjamin emisi / investor yang tepat. Oleh karena itu untuk perhitungan sementara, diasumsikan menggunakan 70% hutang dan ekuitas 30% dengan tingkat bebas risiko Indonesia 6,5%, tingkat pengembalian pasar dari rata-rata pasar saham Indonesia sebesar 17,46%, beta tidak leluasa dari go public property company yaitu 0,55. Pengambilan kembali menggunakan persamaan hamada menghasilkan beta 1,28 levered. Hasil WACC adalah 12,27%.
Tabel 3 PERHITUNGAN WACC Proposed Debt Proposed Equity Risk Free Rate Market Return Risk Premium Tax Beta-Levered Beta-Unlevered Debt to Equity Portion Beta-Relevered WACC Computation Equity Cost Debt Cost – Before Tax Debt Cost – After Tax Debt to Capital Portion Equity to Capital Portion WACC
70% 30% 6.50% 17.46% 10.96% 25% 0.55 233.3% 1.28 20.57% 11.62% 8.72% 6.10% 6.17% 12.27%
Discounted Cash Flow Perhitungannya akan didasarkan pada arus kas proyek dengan asumsi yang digunakan sebagai berikut: Sisa cakrawala yang digunakan dalam model keuangan adalah 3 tahun; Struktur biaya modal yang ada terdiri dari 30% ekuitas dan 70% pinjaman; Tingkat inflasi di kisaran 4,53 per tahun; Tingkat diskonto yang digunakan dalam perhitungan kriteria investasi adalah WACC sebesar 12,27%; Pendapatan masuk pada tahun pertama pendapatan hunian dan ritel mulai tahun 3 saat konstruksi selesai; Harga dan biaya yang terkandung dalam proyek ini perhitungan FS
mengacu pada harga yang berlaku pada tahun 2014 - 2015. Ada komponen yang terkunci, seperti jumlah minimum proporsi apartemen dari kamar bersubsidi dan bagaimana cara membayar penyesuaian tersebut. Di FLPP bank (Fasilitas Likuiditas untuk Proyek Perumahan) sebagaimana diatur oleh pemerintah. Harga jualnya berkisar antara 315 hingga 350 juta rupiah untuk unit non subsidi (75% kamar) dan 262 juta unit bersubsidi (25% kamar) dengan unit komersial 545 dan harga 22,5 juta. Pendapatan Peramalan akan menjadi 654 Miliar dengan potensi keuntungan sebesar 83 Miliar. Dalam perhitungan ini akan ada dua skenario, sektor swasta melakukan proyek itu sendiri sebagai skenario biasa atau menggunakan skenario KPS dimana pemerintah akan memperoleh tanah dan izin, sektor swasta yang bertanggung jawab atas konstruksi dan operasional bangunan.
Parking construction Subsidized Building Cost Non Subsidized Landscape Relocation and Demolition Marketing Consulting Permit Administration Operational Cost Building Maintenance Tax Land Price
Tabel 4 Asumsi Komponen Biaya IDR 3,500,000/m2 IDR 6,845,000/m2 IDR 6,845,000/m2 IDR 1,500,000/m2 IDR 176,433/m2 5 % from Sales 5 % from Construction Cost 20% from Land Book Value 1.5% from Sales 5 % from Sales 3% from Routine Sales 5% from Commercial Sales IDR 7,500,000/m2 Tabel 5 Skenario
Type Type A Non Subsidy Type BNon Subsidy Type CSubsidy Total Commercial Area
Unit
Proportion
433 Bay 380 Bay 339 Bay 1,152 Bay 545 Unit
37.59 % 32.98 % 29.40 % 100%
Sales Price/Bay Starts 350 Mio Starts 315 Mio Max 262 Mio Starts 22,5 Mio
Source: Distarcip Bandung, 2015
Untuk skema KPS, variasi ruang subsidi lebih besar dari tipe B maksimal 262 juta; Tipe C dan D max 55 juta dan 144 unit yang gratis untuk penduduk yang ada di tanah proporsi unit bersubsidi meningkat mendekati 60%. Total pendapatan untuk skema ini adalah Rp 534 miliar dengan proyeksi laba 74 miliar, hasil menunjukkan bahwa keuntungan bottom line turun dari 83 menjadi 74 Miliar atau ada keuntungan yang hilang karena mengembangkan apartemen bekas apartemen umum untuk kelompok berpenghasilan rendah. Fenomena ini membuat apartemen umum tidak menarik bagi investor / pengembang swasta Jadi akan ada perbedaan antara dua skenario dalam perhitungan ini. Pertama adalah skenario reguler, sektor swasta mengakuisisi lahan sendiri, menjual lebih komersial (75%) daripada unit bersubsidi untuk kelompok berpenghasilan rendah (LIG) dengan total 1.334 unit. Yang kedua adalah skenario PPP, disini satuan subsidi adalah 50%, total unit 1.439.
Revenue Type A Type B Type C Retail Revenue Total Cost Production Operational EPC Total Cost Profit Projection
Tabel 6 Project Forecast for Regular Scenario In Indonesian Rupiah (IDR) 151,550,000,000 119,700,000,000 88,818,000,000 294,300,000,000 654,368,000,000 348,478,950,000 90,442,460,000 83,717,642,500 570,650,357,500 83,717,642,500 Tabel 7 Skenario KPS
Type Type A Commercial Type B Government Program Type C Army Type D Low Cost Type E Free
Unit 433 Bay 275 Bay
Proportion 37.59 % 23.87 %
Sales Price/Bay Starts 350 Mio Starts 262 Mio
60 Bay 240 Bay 144 Bay
5.21 % 20.83 % 12.50 %
Max 55 Mio Max 55 Mio Free of Charge
Total Commercial Area
Revenue Type A Type B Type C Type D Retail Revenue Total Cost Production Operational EPC Total Cost Profit Projection
1,152 Bay 545 Unit
100% Starts 22,5 Mio
Tabel 8 Proyeksi Pendapatan Biaya dalam Skenario KPS In Indonesian Rupiah (IDR) 151,550,000,000 72.050.000.000 3,300,000,000 13,200,000,000 294,300,000,000 534,400,000,000 348,478,950,000 75,803,350,000 35,372,947,500 459,655,247,500 74,744,752,500
Untuk skema KPS, pemerintah akan mendapatkan tanah dan izin, sisanya akan ditanggung oleh sektor swasta. Skenario reguler memiliki modal dan capex yang lebih tinggi daripada PPP, namun pendapatannya akan lebih tinggi karena proporsi unit komersial lebih banyak daripada PPP. Akibatnya, keuntungan bottom line untuk PPP jauh lebih rendah daripada skenario biasa seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Total Capital Revenue Capital Expenditure Cost Profit Interest Net Profit
Tabel 9 Comparison Between Regular and PPP Scenario Regular Scenario PPP Scenario IDR 115,779,947,500 IDR 19,423,947,500 IDR 654,368,000,000 IDR 534,400,000,000 IDR 457,824,747,500 IDR 388,851,897,500 IDR 90,442,460,000 IDR 75,744,752,500 IDR 106,100,792,500 IDR 74,744,752,500 IDR 15,615,660,643 IDR 38,131,421,130 IDR 90,485,131,857 IDR 36,613,331,360
Skenario Reguler menghasilkan IRR 23,33%, NPV 28 Milyar Rupiah dan masa pengembalian 2 tahun sementara skenario PPP membuat IRR 16,21%, NPV 12 Miliar Rupiah dan jangka waktu pengembalian sekitar 3 tahun seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini. Oleh karena itu, skenario PPP tidak menarik bagi investor / pengembang karena memiliki IRR yang lebih rendah, perbedaan NPV yang jauh lebih rendah dan pengembalian yang lebih lama daripada skenario biasa yang akan membuat pengembang tidak tertarik untuk terlibat dalam
skema KPS. Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting jika pemerintah dapat menawarkan insentif atau cakar kembali ke sektor swasta di tempat lain untuk membuat proyek lebih layak dan meningkatkan minat investasi bagi sektor swasta untuk bergabung dengan PPP dalam mengembangkan apartemen umum.
Type Bays
C 339 AFLPP 1
A 433 Free
Tabel 10 Capital Budgeting Result Regular Scenario B Retail IRR 275 287 23.33% PPP Scenario FLPP2 Commercial Retail
NPV 28 Billion IRR
Payback 2 Years PV
Pay
2 Bio
Back 3 Year
Army 60
B 240
144
275
433
287
16.21%
Pada model PPP, bangunan bekas campuran akan memiliki 5 tipe unit dengan ruang ritel untuk area komersial. Tipe A, B dan Commercial Retail Area akan memiliki angka keuntungan positif karena ruang tersebut hanya dijual dengan skema komersial. Meskipun demikian, tipe C, D dan E yang dijual ke kelompok berpenghasilan rendah akan menghasilkan kerugian secara akumulatif mencapai 74 Miliar Rupiah. Meski menggabungkan total keuntungan dari semua unit akan menghasilkan angka positif, unit LIG menghasilkan kerugian kumulatif. Kerugian ini juga akan menanda tangani jumlah kerugian yang ditanggung oleh sektor swasta, mensubsidi pemerintah karena minimnya anggaran kota. Dengan alasan ini, pemerintah harus melakukan beberapa insentif kepada sektor swasta untuk memulihkan kerugian dari unit penjualan LIG. Dalam hal manfaat nyata, PPP memberi manfaat kepada pemerintah sebesar 74 Miliar Rupiah dari subsidi yang ditanggung oleh sektor swasta dalam mengembangkan unit C, D dan E untuk LIG. Pemerintah juga bisa mendapatkan keuntungan dari pemungutan pajak, pembagian
keuntungan 30% dari biaya parkir dan layanan beserta potensi pajak perusahaan dari kegiatan operasional. Manfaat untuk sektor swasta di bawah PPP adalah hak 60 tahun untuk mengoperasikan gedung tersebut. Sektor swasta juga mendapat manfaat dari izin dan lisensi gratis, tidak perlu membeli tanah yang menghemat hampir 85 miliar rupiah dan mendapatkan insentif pajak sebesar 4.427 miliar, juga memiliki ruang komersial yang lebih tinggi dari kebijaksanaan, pembagian keuntungan 70% dari parkir dan layanan. Oleh karena itu, meski pemerintah tidak dapat memberikan subsidi tunai namun kompensasi untuk membangun unit non-komersial
untuk
-
Lisensi
Izin
dan
LIG Gratis
dapat
diganti
(pemerintah
dengan
beberapa
bertanggung
jawab
insentif atas
seperti:
biaya
ini)
- Bebas dari Pembebasan Lahan (ditanggung oleh pemerintah)
- Insentif pajak Hak untuk mengoperasikan dan mengenakan biaya parkir / retribusi dan biaya layanan Selain hasil keuangan, ada banyak manfaat tak berwujud dengan pengembangan apartemen umum dengan menggunakan bangunan bekas campuran. Manfaat bagi pemerintah: ini adalah indikasi yang jelas bahwa pemerintah berpihak pada orang miskin; Memiliki orientasi untuk menyediakan penyelesaian yang terjangkau bagi kelompok berpenghasilan rendah. Secara lingkungan, konsep ini akan mengatasi daerah kumuh, memanfaatkan aset menganggur dan mengurangi backlog perumahan. Penyisihan 30% uang muka yang bisa didapat dari dana pensiun (BPJS) untuk kelompok berpenghasilan rendah dan jaminan konsumen dari pemerintah akan menjadi keuntungan bagi pengembang swasta serta semua izin dan lahan akan menjadi tanggung jawab pemerintah, Oleh karena itu, risiko pasar, risiko bisnis dan risiko hukum dapat dibagi dan sektor swasta / investor dapat fokus pada kegiatan konstruksi dan pengelolaan properti lainnya. Agar proyek layak dilakukan, berikut beberapa kebijakan yang ditawarkan dari pemerintah kepada sektor / pengembang swasta Sebuah. Kebijaksanaan Luas Bangunan Kelayakan daerah dari 11.335 m2 yang ada dengan rasio bangunan bertingkat 4 di bawah kebijaksanaan baru akan meningkat 6 kali lipat menjadi 68.016 m2 x koefisien koefisien bangunan 40% yaitu 22.672 m2. Meningkatnya area pengembangan akan meningkatkan potensi ruang komersial yang lebih besar yang dijual ke konsumen. Kebijaksanaan bisa diambil sebagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nafsu keinginan investor.
Tabel 11 Building Discretion Existing Regulation Area Building Coefficient Ratio High Rise Buidling Ratio
Discretion 11,336 m2
40%
40% 45,344 m
2
4.0
6.0 45,344 m2
Total Development Area
68,016 m2 22,672 m2
B. Biaya layanan Service Charge juga akan menjadi hak manajerial untuk pengembang namun pemerintah masih bisa mendapatkan uang dari pajak. Sebagai gantinya, semua biaya perawatan rutin akan ditanggung oleh pengembang swasta. C. Parkir Sektor swasta juga memiliki hak mengelola tempat parkir untuk memulihkan investasi pengembangan apartemen umum. Selama 60 tahun, pengembang dapat bertindak sebagai manajemen properti yang dapat mengenakan biaya parkir dan biaya layanan properti komersial dari penyewa sebagai bagian dari insentif dari pemerintah untuk membuat proyek ini menjadi menarik. Manajemen risiko Berdasarkan studi pustaka, ada beberapa risiko utama yang terkait dengan apartemen real estat / publik seperti risiko hukum, leverage, pembiayaan, dan biaya konstruksi dan risiko inflasi dengan mitigasi yang disarankan seperti yang disajikan pada tabel 14. Manajemen Risiko harus mengidentifikasi risiko dan temuan utama. Cara pemecahannya untuk mengurangi risiko tersebut, di PPP akan ada metode pembagian risiko yang lebih banyak yang harus diterapkan Tabel12 Service Charge Retail 545 Bays Service Charge per month IDR 33,333 1 Bay Area 24 m2 SC per Bay/month. IDR 800,000 SC cost/annum IDR 9,600,000 SC Revenue/Annum IDR 5,232,000,000 Cost IDR 1,569,600,000 Profit IDR 3,662,400,000 Tax IDR 915,600,000 Net Profit/Annum IDR 2,746,800,000
Tenant 1,152 Bays Service Charge per month 1 Bay Area SC per Bay/month. SC cost/annum SC Revenue/Annum Cost Profit Tax Net Profit/Annum
12,000 24 m2 288,000 3,456,000 3,981,312,000 1,194,393,600 2,786,918,400 696,729,600 2,090,188,000
Tabel 13 Parking Business Retail 545 Bays Parking Rate/Hour Car Quantity Motor Car Total Unit
IDR 3,000 1,635 unit 164 unit 1,799
Tenant 1,152 Bays Subscription Motor Car Unit Motor
150,000 60,000 150,000 377
Hours Revenue/Day Revenue/Year Cost Profit Tax Net Profit/Year
3,579 Hours 10,791,000 3,884,760,000 1,156,428,000 2,719,332,000 679,833,000 2,039,499,000
Car Revenue/Month Revenue/Year Cost Profit Tax Net Profit/Year
62 31,912,857 382,954,286 114,886,286 268,068,000 67,017,000 201,051,000
Terjemahkan dari: Indonesia Untuk analisis manajemen dalam implementasi beberapa alternatif solusi akan seperti di bawah ini: 1. Risiko hukum akan dialihkan ke pemerintah untuk memastikan kepastian kepastian sektor swasta (Risk Transfer) 2. Risiko Leverage akan terkendali oleh badan pengawas perumahan yang akan dibentuk oleh pemerintah kota, begitu tersedianya, maka akan membuka pendaftaran apartemen umum untuk kelompok berpenghasilan rendah, database dapat menjadi jaminan untuk disesuaikan Tingkat hunian minimum (Risk Control) 3. Risiko Pembiayaan akan dikurangi dengan kerja sama antara Dana Pensiun (BPJS) untuk memberikan uang muka dan Bank pelunasan, yaitu Bank BTN dan Bank Mandiri (Risk Transfer) 4. Risiko Biaya Konstruksi akan dikurangi dengan memilih kontraktor nasional bereputasi baik seperti Wijaya Karya, Adhi Karya dan PP, mereka harus menempatkan deposit, penjaminan bank dan bentuk jaminan / biaya lainnya untuk menjamin ruang lingkup, biaya dan waktu dapat dilakukan secara on- (Risk Transfer) 5. Risiko yang akan terjadi bila terjadi keterlambatan. Oleh karena itu, seiring berjalannya waktu sehingga memunculkan eskalasi atau inflasi harga, untuk kepentingan yang sangat penting untuk tetap menjelesaian jalur dengan kejelian dan menerapkan manajemen proyek yang dapat dilakukan. Dievaluasi secara real time oleh pemerintah (Risk Control)
Major Risk(s) Inflation Risk Financing Risk Construction Cost Risk Business Risk
Legal Risk
Leverage Risk
Tabel 14 Risk Management in High Rise Building The Key Recommendation as Risk Mitigation Inflation should be captured in a detailed cost calculation which accommodates price escalation due to inflation effect Partnering with highly reputable financial institution in the long term that support financing on time and with the right amount as required Risk Sharing with the competent and credible contractor Developer must command the market and customer behavior. Location, design and buildings as well as marketing activities should align with the customers’ expectations The function of land and purpose of the project should be similar. This is the key for getting the design indicator. The design indicator should be checked with the construction department of city before project design The real estate company should understand the demand of housing characteristic of market segment including the customer of project and the financing risk of customer. The company should focus on the maximum profit more than control cost. Project design should meet customers’ expectations
Sumber: Professional Project Management, 2011 SARAN DAN REKOMENDASI
Makalah ini membahas tentang apartemen umum LIG terutama di Bandung yang dinilai tidak terlalu menarik bagi pengembang jika skema PPP tersebut karena porsi ruang yang dibutuhkan untuk LIG yang tidak terlalu komersial menghasilkan keuntungan. Untuk membuat proyek ini layak dan menarik, harus ada subsidi non tunai yang harus dicakup dalam tiga penggerak utama. Pertama, struktur permodalan dengan ekuitas 70% 30% harus didukung dengan beberapa insentif subsidi seperti suku bunga kredit khusus dari bank perumahan nasional (BTN) dan bank milik negara Bank Mandiri yang telah mensubsidi pinjaman untuk LIG plus dukungan dana pensiun nasional. / BPJS memberikan uang muka untuk LIG. Subsidi ini dapat mengurangi WACC untuk proyek ini. Kedua, arus kas diskonto harus mencakup beberapa insentif subsidi seperti pembebasan tanah dan biaya perizinan yang ditanggung oleh pemerintah sehingga biaya investasi akan berkurang untuk sektor swasta. Hal ini juga memungkinkan sektor swasta untuk menangani area parkir, komersial dan layanan untuk meningkatkan kelayakan proyek. Ketiga, manajemen risiko harus mencakup pembagian risiko antara pemerintah dan pengembang termasuk kegiatan pemantauan risiko. Konsep Risk Sharing juga berarti melibatkan lembaga nasional terkemuka seperti asuransi (BPJS), Bank (BTN dan Mandiri) dan pengembang BUMN besar (Adhi Karya, Wijaya Karya, PP). Jika proyek ini termasuk semua subsidi dan insentif berhasil diterapkan, maka dapat disalin dan disisipkan ke beberapa lokasi untuk apartemen umum di seluruh Indonesia. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan untuk menggunakan teknik struktur pembiayaan yang lebih maju seperti struktur modal optimal Damodaran untuk menurunkan WACC, metode arus kas diskonto menggunakan simulasi Monte Carlo dan opsi nyata untuk memasukkan beberapa risiko seperti risiko penundaan, risiko harga material, risiko izin hukum , Dan risiko dalam tahap pembangunan konstruksi dan sebagainya. Selain itu,
disarankan juga untuk menangkap perilaku berisiko untuk secara jelas melihat persepsi risiko yang sebenarnya dari pengembang, pemerintah, dan sektor swasta untuk mengakomodasi harapan investor dan pemangku kepentingan dalam perhitungan FS.
REFERENSI Alaghbari, W., A. Salim., K. Dola & A.A.A. Ali. (2012). Identification of Significant Factors Influencing Housing Cost in Yemen. International Journal of Housing Market and Analysis, 5(1), 41-52. Distracip Bandung, Dinas Tata Ruang Cipta Karya, Bandung. Housing Needs in Bandung, 2015 Geltner, D. M., N. G. Miller(2001). Commercial Real Estate Analysis and Investments. 3rd Edition, Prentice Hall. Graham, S., N, Hutchison. , A. Adair. , J. Berry. , S. McGreal. , S. Organ. (2016). Innovative Real Estate Development Finance, Evidence from Europe. Journal of Financial Management of Property and Construction, 21(1), 54 – 72 Hamza, G., E. Basti. (2014).The Housing Finance System in Turkey. International Journal of Housing Markets and Analysis, 7(3), 363 – 382 Kane, E. J. (1999). Housing Finance GSEs: Who Gets the Subsidy? Journal of Financial Service Research, 15(3), 197- 209. Mc Kinsey and Company (2014). A Blueprint for Addressing the Global Affordable Housing Challenge.Mc Kinsey Global Institute, October 2014 Moko, S., K. Olima, Washington MA. (2014). Determinants of House Construction Cost in Kenya: A Case of Nairobi County. International Journal of Business and Commerce, 4(1), Septermber 2014 Professional Project Management Blogspot. (2011). Risk Management on New Residential Development Project. Retrieved August 17, 2016, from http://professionalprojectmanagement.blogspot.co.id/2011/07/riskmanagement-on-new-residential.html Rachmawati, Farida. Soemitro, Ria. Adi, Tri Joko. Susilawati, Connie (2015). Low Cost Apartment Program Implementation in Surabaya Metropolitan Area, Procedia Engineering, 125, 75-82 Rahardjo, H. A., F. Suryani., S.T. Trikariastoto. (2014). Key Success Factors for Public Private Partnership in Urban Renewal in Jakarta. IACSIT International Journal of Engineering and Technology, 6(3), June 2014. Schaefer, J.P. (2003). Financing Social Housing in France. Housing Finance International, June 2003. Schepper, S. D., M. Dooms. , E. Haezendonck (2014). Stakeholder Dynamics and Responsibilities in Public Private Partnership: A Mixed Experience.International Journal of Project Management, 32, 1210-1222
Tanaphoom, W., B., Dewancker (2014). An Overview of Public Housing Characteristics and Living Satisfactions: Old and New Public Housing Project in Bangkok.,Procedia Environmental Sciences, 28, 689 -697 Tony G.I., W, Simon. , P. M. Loosemore. (2010). Social infrastructure partnerships: A Firm Rock in A Storm? .Journal of Financial Management of Property and Construction, 15(3), 247- 259 Urban Indo (2015). Market Data for Land and Housing for Kota Bandung. Urban Indo, 2015 Whitehead, M.E., Christine (2003). Financing Social Housing in Europe. Housing Finance International, 2003 X. G., Janet (2009). An Alternative Financing Method for Affordable Housing. Housing Finance International, 2009