Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
ANALISIS HUMOR PERCAKAPAN BERBAHASA SUNDA: SEBUAH ANALISIS PRAGMATIK Putrasulung Baginda Departemen Pendidikan Bahasa Jerman FPBS Universitas Pendidikan Indonesia Jalan Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 E-mail:
[email protected]
Abstrak : Di Indonesia, humor sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan, dimana small talk dan ritual yang ada dalam interaksi sosial kemasyarakat kerap juga melibatkan humor. Dalam masyarakat kita yang beragam, humor sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti calung dalam masyarakat Sunda, ludruk dan ketoprak dalam masyarakat Jawa atau lenong di masayarakat Betawi. Penelitian ini bertujuan mengungkap aspek pragmatik dalam humor percakapan berbahasa Sunda. Teori dasar yang digunakan adalah Maksim Percakapan yang dikemukakan oleh Grice dan Principle of Mutual Consideration dari Aziz. Melalui penelaahan sederhana ini diharapkan mekanisme humor dalam menghasilkan kelucuan bisa diungkap. Sampel penelitian adalah 10 humor perbincangan berbahasa Sunda yang disiarkan radio Rama dalam acara Canghegar. Dari penelitian ini diketahui, bahwa dalam kreasi humor Sunda, upaya melahirkan kelucuan dilakukan dengan memanipulasi bahasa sehingga keluar dari maksim cara (maxim of manner) sebagaimana dikemukakan oleh Grice. Kata-kata kunci: analisis pragmatik, bahasa Sunda, humor
Abstract: In Indonesia, humor has become one of society system, where small talk and ritual which exist in social interaction is often involve in humor. In our various societies, humor has become a part of people’s art like “calung” in Sundanese society, “ludruk” and “ketoprak” in Javanese society, or “lenong” in Betawi society. This study aims to reveal the pragmatic aspect in Sundanese humor conversations. The basic theory used is Conversation Maxims proposed by Grice and the Principle of Mutual Consideration of Aziz. This simple study tried tried to reveal the linguistic mechanism which generate humor. Samples were 10 Sundanese humor conversations broadcasted by Rama FM in the program of Canghegar. The study found that in the creation of Sundanese humor, the efforts made by manipulating the language so that it violated the maxim of Manneras suggested by Grice. Keywords: pragmatic analysis, Sundanese, humor
248
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
PENDAHULUAN Sebagai makhluk bermain atau homo ludens, manusia membutuhkan hiburan dalam hidupnya. Keragaman hiburan disediakan oleh sistem kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan egosentris dari konsumennya. Sebagian orang mungkin menyenangi menonton film, sedangkan sebagian lainnya cenderung memilih permainan yang bersifat psikomotoris. Abu Bakar ash Shiddiq ra. memilih jihad sebagai rekreasinya. Soeharto jelas menggemari kegiatan memancing sedangkan Slash dikabarkan lebih memilih memainkan game Angry Birds. Dari keragaman hiburan tersebut, humor pada umumnya mempunyai peranan yang lebih istimewa. Membicarakan humor ternyata memang bukan masalah yang main-main. Di Indonesia, humor sudah menjadi bagian dari sistem kemasyarakatan, dimana small talk dan ritual yang ada dalam interaksi sosial kemasyarakat kerap juga melibatkan humor. Dalam masyarakat kita yang beragam, humor sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti calung dalam masyarakat Sunda, ludruk dan ketoprak dalam masyarakat Jawa atau lenong di masayarakat Betawi. Keluasan cakupan humor ini terjadi karena definisi humor yang memang luas cakupannya. Jaya Suprana, seorang penggiat humor pernah mengemukakan, bahwa humor itu indah, sebuah misteri kehidupan yang tidak perlu lagi dikekang dalam batasan definitif (Suhadi, 1989). Satu hal yang pasti, adalah bahwa humor akan senantiasa berkaitan dengan bahasa dalam berbagai derajatnya. Humor bisa dibangun dalam bentuk kebahasaan verbal yang kompleks, namun bisa juga menggunakan bentuk komunikasi lain seperti bahasa isyarat, misalnya kedipan mata atau gerakan telunjuk. Dengan demikian, mengkaji humor akan berkaitan erat dengan kajian implikatur.
Pada hakekatnya semua ahli sepakat menggunakan istilah implikatur untuk menyebut maksud penutur yang tidak diekpresikan secara tersurat melalui proposisi. Yule (1996:35) sebagaimana juga Levinson (1983:97) menyatakan bahwa implikatur adalah sesuatu yang menjadi maksud penutur dan mempunyai makna lebih dari yang dituturkan. Huang (2007:25) menekankan bahwa implikatur adalah apa yang diciptakan oleh penutur untuk menyampaikan sebuah maksud kepada pendengar, agar kiranya makna atau pesan yang disampaikan itu jelas tanpa harus berpanjang-lebar dalam membuat ungkapan. Dalam hal ini, Huang menambahkan efektifitas dan efisiensi dalam makna implikatur. Membahas kajian implikatur akan senantiasa melibatkan nama Grice, sebagai ahli yang mengemukakan maksim-maksim percakapan. Teori implikatur percakapan yang dikemukakan oleh Grice (1961, 1975, 1978, 1989 dalam Huang: 2007) mengandung prinsip yang memberikan rambu-rambu penggunaan bahasa, agar bahasa bisa digunakan secara efektif dan efisien. Prinsip ini dikenal dengan istilah prinsip kooperatif. Prinsip kooperatif ini mempunyai empat maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim hubungan dan maksim cara. Berikut adalah penjabarannya. Teori Grice mengenai kooperatif (Huang 2007:25).
prinsip
a. Prinsif kooperatif Buatlah kontribusi percakapan kita sesuai dengan yang diperlukan, pada tahapan terjadinya, untuk mencapai maksud atau pertukaran pembicaraan. b. Maksim percakapan kualitas: upayakan kontribusi kita dalam percakapan adalah benar. (i) Jangan katakan apa-apa yang diyakini salah. (ii) Jangan katakan suatu pernyataan yang kurang bukti pendukungnya.
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik kuantitas: buatlah kontribusi kita seinformatif mungkin (untuk kepentingan pertukaran pembicaraan). Jangan mengatakan sesuatu yang lebih informatif dari yang dibutuhkan. hubungan: berikanlah kontribusi yang relevan. cara: katakanlah dengan jelas. (i) Hindari kekaburan ujaran. (ii)Hindari ketaksaan. (iii) Bicaralah dengan singkat, tidak bertele-tele. (iv) Berbicaralah secara sistematis.
lihat contoh berikut. Misal Ahmad bertanya, “rumah kamu dimana?”, kemudian jawaban yang diperolehnya adalah, “rumah saya masih cukup jauh dari sini”. Jawaban yang diperoleh Ahmad tidak memenuhi informasi yang ditanyakan. Dengan demikian maka jawaban ini telah melanggar maksim kuantitas. Pelanggaran semacam ini pada gilirannya akan memunculkan implikatur. 3) Maksim Hubungan (Maxim of Relation) Maksim ini menyarankan penutur untuk memberikan respon yang relevan dalam percakapan. Dengan kata lain, penutur harus mengatur ujaran yang dikemukakan agar senantiasa sesuai dengan konteks percakapan. Sebagai contoh, misal A bertanya, “maukah kamu menikah denganku?”, lalu B menjawab, “masa kuliahku masih lama”. Jawaban B jelas keluar dari konteks yang ditanyakan oleh A. dengan demikian, B telah melanggar maksim hubungan dan melahirkan implikatur dalam jawabannya.
Ada baiknya kita bahas dengan lebih mendetil keempat maksim percakapan ini. 1) Maksim Kualitas (Maxim of Quality) Maksim ini bertujuan mengatur kebenaran dari ujaran yang diungkapkan. Untuk itu, maka kita disarankan agar tidak mengatakan sesuatu yang tidak benar, atau sesuatu yang tidak bisa didukung oleh bukti yang cukup. Sebagai contoh, bila muncul pertanyaan, “dimana pak kepala sekolah?” lalu kemudian seseorang menjawabnya, “pak kepala sekolah sedang bekerja di kantornya”, maka jawaban tersebut mengandung informasi yang shahih, yang menyatakan bahwa kepala sekolah sedang ada di kantornya. Namun bila dialog tersebut terjadi di antara dua orang yang sama-sama mengetahui bahwa kepala sekolah mangkir kerja, maka jawaban yang muncul cenderung merupakan sebuah sindiran sarkasme, dan tentunya tidak mengandung informasi yang benar. Fenomena ini merupakan pelanggaran terhadap maksim kualitas.
4) Maksim Cara (Maxim of Manner) Maksim ini terkait dengan pengaturan ujaran agar tidak menimbulkan permasalahan kebahasaan seperti ambiguitas dan ujaran yang tidak sistematis. Contoh faktual yang bisa diambil untuk lebih memahami maksim ini adalah pernyataan “MUI melarang suster keramas”. Pernyataan ini bersifat ambigu karena menimbulkan dua macam interpretasi, yang pertama adalah larangan bagi para suster untuk keramas, dan yang kedua adalah film suster keramas. Untuk memperjelas masalah ini, maka bisa dimasukkan satu kata yang memperjelas maksud pernyataan, misalnya “MUI melarang film suster keramas”.
2) Maksim Kuantitas (Maxim of Quatity) Maksim ini menuntut penutur untuk memberikan informasi sesuai dengan yang diperlukan, tidak kurang dan tidak berlebihan. Dengan demikian, informasi yang diberikan benar-benar pas kuantitasnya. Sebagai ilustrasi untuk memperjelas fungsi maksim ini bisa kita
Keempat maksim tersebut dikemukakan sebagai sebuah panduan bagi siapapun yang ingin meraih tujuan komunikasi dengan sempurna. Namun demikian, pendapat yag diajukan oleh 250
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Grice ini mendapat respon yang beragam. Harnish(dalam Huang 2007) contohnya, menyatukan maksim kualitas dan kuantitas menjadi satu maksim: make the strongest relevant claim justifiable by your evidence. Sedangkan Keenan menyimpulkan bahwa semua maksim yang dikemukakan Grice cenderung berfokus pada aspek budaya dan tidak bersifat universal. Maksim-maksim di atas walau bagaimanapun “tidak mempunyai landasan hukum kuat yang mewajibkan” penutur untuk mematuhinya. Contoh yang dikemukakan oleh Huang adalah saksi di pengadilan yang cenderung tidak secara sukarela memberikan informasi. Dalam sisi lain, setiap penutur mungkin akan menyadari bahwa mematuhi maksim di atas adalah hal yang mesti dilakukan dalam sebuah perbincangan, dan berupaya tetap mematuhinya namun tetap merasa khawatir dengan adanya potensi bahwa perbincangan tidak bisa memenuhi prinsip kooperatif (Huang 2007:26-27). Hal ini akan tampak dari penggunaan beberapa ungkapan yang diekspresikan untuk mengindikasikan kemungkinan bahwa yang dikatakan penutur mungkin tidak sepenuhnya akurat. Frasa-frasa semacam ini disebut dengan istilah hedges atau Yule menyebutnya juga dengan istilah cautious notes (Yule 1996:18). Kelancaran komunikasi selain ditunjang dengan kepatuhan kepada empat maksim percakapan tadi, juga sebaiknya memperhatikan penggunaan bahasa berdasarkan aturan kesantunan. Pendapat yang empatik mengenai kesantunan dikemukakan olehAziz(2008) yang mengemukakan prinsip kesantunan berbahasa yang dikenal dengan istilah “The Principle of Mutual Consideration’ (PMC) atau Prinsip Saling Tenggang Rasa. Bila kita telaah, maka esensi dari prinsip ini adalah sikap yang tidak hanya simpatik, namun lebih dari itu, empatik. Hubungan komunikasi dibangun atas prinsip saling
menghargai dan pandangan bahwa mitra tutur adalah pihak yang sama pentingnya dengan penutur. Secara aplikatif, teori kesantunan PMC dijalankan dengan berpegang pada beberapa sub prinsip, antara lain sebagai berikut. 1) Prinsip daya luka dan daya sanjung. Bahasa yang dikemukakan dalam proses komunikasi mempunyai dua potensi, yaitu membuat mitra tutur tersanjung atau terluka. Pemahaman akan kedua potensi ini mendorong penutur untuk berhati-hati dalam mengemukakan ujaran. 2) Prinsip berbagi rasa. Merupakan pengingat bahwa hakikatnya mitra tutur adalah kita yang sedang bercermin. Artinya, mitra tutur memiliki perasaan sebagaimana penutur. Dengan pemahaman ini, penutur bisa memperkirakan apakah ujaran yang dikemukakan akan diterima dengan baik atau sebaliknya, dengan menggunakan perasaan diri sendiri sebagai barometer. 3) Prinsip kesan pertama. Sesuai dengan paradigma psikologis, kesan pertama dalam percakapan juga menentukan kesan keseluruhan yang menentukan proses komunikasi selanjutnya. Bila kita menunjukkan niatan baik dalam proses komunikasi sebagai kesan pertama, maka percakapan setelahnya akan berjalan dengan baik. 4) Prinsip keberlanjutan. Prinsip ini mendorong penutur untuk menjaga cara berkomunikasi yang tengah berlangsung. Dengan demikian, hubungan yang telah terjalin bisa berlanjut di masa depan. Bila kita perhatikan prinsip kesantunan ini, maka kita tidak hanya bisa
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
berkomunikasi dengan efektif dan efisien, namun juga bernilai. Dengan demikian, bahasa yang kita gunakan tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga sebagai wujud identitas kita yang menjamin keterjagaan nilai-nilai etis dan perasaan mitra tutur. Dapat kita bayangkan bila setiap orang benar-benar berpegang pada prinsip ini, maka dunia akan menjadi tempat yang lebih baik dan menyenangkan.
“canghegar” sendiri merupakan kependekan dari carita ngeunah dan segar. Acara ini berisi humor sunda yang disajikan dalam bentuk cerita, dialog atau puisi. Peneliti memandang bahwa penyajian humor dalam acara ini sesuai dengan karakteristik masyarakat Sunda, dengan demikian humor ini merupakan humor yang sesuai dengan kultur Sunda, yang tidak bisa dilakukan dalam konteks masyarakat Jerman misalnya.
METODE PENELITIAN b.
Peneliti merasa tertarik untuk memahami lebih jauh bagaimana sebenarnya mekanisme humor bekerja dipandang dari segi kebahasaan. Dalam kajian sederhana ini, peneliti membatasi permasalahan dengan melakukan penelaahan bentukbentuk humor verbal saja. Selain itu, peneliti juga mendasari penelaahan dengan pertimbangan-pertimbangan berikut. a. Peneliti menyadari bahwa humor akan dipersepsi dan diterima oleh suatu masyarakat bila sesuai dengan nilainilai, tradisi dan aspek-aspek budaya dari masyarakat bersangkutan. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat McGhee dan Golstein (1972: 153), yang menyatakan bahwa penerimaan humor dalam masing-masing masyarakat tidaklah sama. Ada masyarakat yang sangat terbuka kepada semua jenis humor dan ada pula masyarakat yang bersikap selektif atau bahkan membatasi humor. Masyarakat Amerika latin misalnya, tidak membatasi humor berdasarkan status orang. Humor bisa terjadi di antara siapa saja, bahkan antara mertua dan menantu. Sesuatu yang tidak akan kita jumpai dalam budaya Sunda.
Tulisan sederhana ini bertujuan mengkaji humor yang disajikan secara verbal. Untuk menghilangkan aspek gestur yang bisa membiaskan hasil penelahaan, maka peneliti mengambil humor yang disiarkan melalui radio. Dalam hal ini humor dalam acara “Canghegar” yang disiarkan radio swasta Rama FM Bandung. Melalui langkah ini diharapkan bahwa humor yang dikaji benar-benar dihasilkan oleh kegiatan verbal saja dan bukan karena ada konstribusi dari gestur penutur.
c. Sampel penelitian dipersempit menjadi humor dialogis saja. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan, bahwa humor yang dilakukan secara dialogis lebih interaktif dibandingkan puisi atau cerita. Sifat interaktifmerupakan ciri utama dari penggunaan bahasa dalam interaksi sosial suatu masyarakat. Dengan demikian, mengkaji humor dialogis akan lebih mungkin digunakan dalam keseharian dibandingkan bentuk lainnya. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan dan ketertarikan tersebut, peneliti mencoba membuat kajian mengenai implikatur dalam humor percakapan berbahasa Sunda.Sampel penelitian adalah 10 dialog humor bahasa Sunda yang diambil secara purposive dari program Canghegar. Dalam sekali tayang, jumlah humor yang ditampilkan kira-kira sepuluh humor dalam berbagai bentuk. Jumlah 10 diambil dengan pertimbangan,
Berdasarkan pemahaman ini, penulis akan mengambil populasi penelitian beberapa episode “Canghegar”, sebuah acara humor berbahasa Sunda yang disiarkan di radio Rama FM Bandung. Kata 252
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
bahwa 10 humor adalah jumlah satu kali tayang, bila semua format humor yang ditayangkan adalah bentuk dialog. jumlah Kajian mengarah kepada konsep ketaatan atau pelanggaran terhadap maksim percakapan yang dikemukakan oleh Grice (dalam Huang: 2007). Melalui kajian maksim ini, maka bisa kita lihat apa yang menyebabkan munculnya humor dalam percakapan yang disajikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah pertama dalam bab ini adalah mengkaji masing-masing dialog yang telah ditranskripsi berdasarkan pendekatan maksim percakapan Grice, klasifikasi teori humor dan pandangan teori kesantunan PMC terhadap dialog humor tersebut. Setelah semua sampel dianalisis, maka dilakukan kajian secara umum terhadap seluruh sampel. Melalui langkah ini diharapkan pola umum humor dialogis bahasa Sunda bisa ditemukan. 1. Penelaahan Tiap Data Untuk memudahkan kajian, peneliti menuliskan urutan angka di depan setiap bagian dialog. Hal ini dilakukan agar proses pengacuan dalam penjelasan bisa dilakukan dengan mudah. Angka di depan setiap bagian dialog (otomatis di depan partisipan dialog) ini kemudian disebut dengan istilah poin. Sedangkan nomor dialog ditulis dalam bentuk angka romawi agar tidak tertukar dengan angka poin. Misalnya, dalam dialog di bawah, dialog I, angka ditulis dalam angka romawi, sedangkan angka didepan kata ibu pada kalimat pertama dialog tersebut ditulis dalam angka latin, dan selanjutnya disebut poin 1. Dialog I 1
Ibu :
2
Anak:
“Enggal geulis, bageur kanyaah mamah. Sok atuh geura leueut obatna méh gancang cageur!” “Alim mamah. Obatya sieun pait!”
3
Ibu :
4
Anak:
5
Ibu :
“Moal atuh moal pait raos obatna coba rasa jeruk manis. Sok coba geura dileueut nya yuk!” “Ssrrruupp, glek! glek! mamah! Cenah rasa jeruk manis, tapi naha beut pait ieu mah!” “Ehhe muhun geulis ieu mah tablét rasa jeruk, tapi cangkangna!”
Dalam dialog diatas, inisiasi dialog dimulai dengan kalimat pada poin 1, berisi informasi mengenai anak dalam dialog yang tengah sakit dan akan segera minum obat. Reaksi negatif terhadap maksud ibu pada kalimat tersebut ditunjukkan dalam poin 2 dengan jelas oleh anak. Pertentangan terjadi antara ibu dan anak, dimana anak berekspektasi bahwa obat yang diminum akan terasa manis sesuai informasi ibu dalam kalimat 3, namun ternyata berasa pahit. Humor dari dialog ini tercapai ketika ibu menjelaskan informasi yang semestinya disampaikan dalam kalimat di poin 3, yaitu bahwa yang berikan adalah obat dengan rasa kulit jeruk. Dalam dialog ini, secara sepintas kita akan beranggapan, bahwa pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran terhadap maksim kuantitas pada jawaban ibu, yaitu tidak dicantumkannya keterangan bahwa yang dimaksud ibu bukan jeruk manis namun cangkang jeruk. Keterangan yang mestinya muncul pada kalimat 3 kemudian diungkapkan di akhir dialog, sekaligus memberikan kesan klimaks dalam penciptaan humor. Namun bila ditilik dari kosakata yang digunakan, yaitu istilah ‘jeruk manis’ yang digunakan ibu pada kalimat di poin 3, lalu ‘cangkangna’ mengacu kepada cangkang jeruk pada kalimat di poin 5, maka jelas ada kerancuan. Bila memang yang dilanggar adalah maksim kuantitas, maka mestinya kata yang digunakan dalam kalimat 3 adalah ‘jeruk’, sehingga tinggal “menambah” kata ‘cangkang’ didepannya pada kalimat 5. Bila frase yang digunakan
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
adalah ‘jeruk manis’, maka istilah akhir ‘cangkang jeruk manis’ akan terdengar rancu. Dengan demikian, dalam kasus ini, yang terjadi adalah pelanggaran maksim kualitas, karena ibu tidak memberikan informasi yang benar pada kalimat 3. Rasionalisasi yang ada ialah ibu sengaja melanggar maksim kualitas. Implikaturnya, ibu berupaya membujuk anaknya agar mau meminum obat.
“pemudi” tidak menjawabnya dengan baik. Jawaban akan pertanyaan tersebut baru dikemukakan pada poin 8, setelah pemuda bertanya untuk keduakalinya pada poin 7. Dengan demikian, pelanggaran yang terjadi adalah terhadap maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas pada poin 3, memberikan efek penasaran dan sekaligus membuat kita menaruh perhatian yang lebih besar terhadap kemungkinan jawabannya. Muncul ekspektasi dan akhirnya meledak menjadi klimaks yang humoris di akhir dialog, karena terjadi bisosiasi dan ketidaksesuaian ekspektasi dengan kondisi yang diungkapkan.
Ditilik dari The Principle of Mutual Consideration, maka ibu berupaya menguatkan daya sanjung dalam tuturannya. Hal ini dilakukan sebagai rayuan kepada anak agar mau meminum obat. Namun jelas sikap ibu dalam dialog tersebut melanggar sub prinsip berbagi rasa, kesan pertama dan keberlanjutan. Karena setelah “tipuan” ini, besar kemungkinan anak akan menolak meminum obat walaupun dibujuk dengan sanjungan. Di samping itu, anak akan merasa “tertipu”.
Berdasarkan Prinsip Tenggang Rasa, “pemudi” mengemukakan ujaran yang mempunyai daya luka yang tinggi pada akhir dialog, kemudian meskipun tampak susah ketika mengungkapkan kebenaran pada poin 8, ia juga melanggar prinsip berbagi rasa. Prinsip kesan pertama dan keberlanjutan jelas dilanggar, karena besar kemungkinan pemuda tidak akan pernah berniat melanjutkan usahanya mendekati “pemudi”. Dengan demikian, dalam dialog ini semua sub prinsip The Principle of Mutual Consideration dilanggar.
Dialog II 1 2 3
Pemuda: “Pemudi”: Pemuda:
4
“Pemudi”:
5
Pemuda:
6 7
“Pemudi”: Pemuda:
8
“Pemudi”:
“Nyalira waé néng?” “Muhun kang” “Ningal foto saha néng, kabogoh nya? Bangun nu sedih kitu. Nembé diputuskeun nya?” “Ah! sanés kang, sanés kabogoh. Sareng teu nembé diputuskeun abdi mah. Malih abdi mah nuju milari” “Aduh, kaleresan atuh pami kitu mah.Kaleresan akang ogé nuju milari istri yeuh!” “Nu leres kang?” “Muhun, sumpah! éh, dupi éta, foto saha atuh nu saleresna? Mani gagah tur kasép kitu? Akang mah janten minder” “Ehhe ieu maah… ehhmm foto abdi sateuacan operasi ganti kelamin kang!”
Dialog III 1 2 3
Nenek: Pemudi: Nenek:
4
Pemudi:
5
Nenek:
“Nyai, nyai orang sunda nya?” “Mmmm… muhun” “Heueuh ari ka wanoja sunda mah moal kapalingan najan di alak paweuh ge. Tetep wé arapaleun lantaran aya ciri khasna, gareulis.. tur aramucuy rupana” “Nini gening apal yén abdi téh urang sunda..mmm.. pasti katawis tina raray abdi nya ni nya?” “Lain euy. Tapi katara tina urut WC na, bau jéngkol!”
Pelanggaran yang terjadi dalam dialog di atas adalah pelanggaran terhadap maksim cara. Hal ini tampak pada poin 3, dimana nenek menyampaikan maksud
Bagian yang penting dalam dialog ini terdapat pada kalimat di poin 3, dimana pemuda meminta informasi mengenai foto yang sedang dilihat oleh “pemudi”, namun 254
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
secara bertele-tele. Hal ini memberikan peluang kepada pemudi untuk menebaknebak alasan, kenapa nenek tersebut mengetahui bahwa ia adalah orang Sunda. Karena ekspektasi pemudi tersebut cenderung positif, maka jawaban negatif yang disampaikan di kalimat akhir dialog tersebut akan bersifat kontradiktif dan akhirnya melahirkan humor yang pas. Kembali dalam dialog ini keempat sub prinsip dalam The Principle of Mutual Consideration dilanggar dengan sadar. Daya luka yang muncul karena memberikan jawaban yang bertentangan dengan ekpektasi pemudi merupakan pelanggaran atas prinsip kesantunan dalam percakapan. Demikian pula sub prinsip berbagai rasa, yang tidak diperhitungkan oleh si nenek. Kesan pertama jelas kurang baik karena ke-togmol-an yang ada, sehingga keberlanjutanpun terancam.
relevan. Namun alih-alih humor, yang muncul kemudian mungkin perselisihan. Pun dalam dialog ini, semua sub prinsip yang dijadikan panduan untuk percakapan yang santun dilanggar. kesan pertama yang mungkin muncul adalah anggapan bahwa si pembeli bukan orang yang sabar dan suka berakrab-akrab dengan small talk. Dengan demikian, keberlanjutan komunikasi di masa depan akan sulit untuk dijaga. Dialog V 1
Pasien:
2
Dokter:
3
Pasien:
4
Dokter:
5
Pasien:
Dialog IV 1
Pembeli:
2
Penjual:
3
Pembeli:
“Kang, cik punten mésér paku sakilo” “Mangga mangga. Badé dibungkus waé?” “Ah henteu dituang di dieu wé kang!”
Maksim yang dilanggar adalah maksim hubungan, dimana jawaban pembeli pada poin3 benar-benar keluar dari konteks pembicaraan. Pelanggaran ini justru melahirkan keterkejutan atas respon yang dikemukakan, dan disinilah letak kelucuannya. Implikatur yang kemudian muncul adalah, kemungkinan pembeli menyindir penjual. Membeli paku dimanapun dan kapanpun akan senantiasa dibungkus, jadi tidak usah ditanyakan lagi. Ketika jawaban yang dikemukakan adalah kalimat yang melanggar dengan jelas maksim hubungan maka lahirlah kelucuan. Mungkin tak akan lahir humor, bila jawaban akhir pemuda adalah, “enya pasti dibungkus atuh kang. Dimana-mana oge meuli paku mah dibungkus!”. Bila ditinjau dari maksim hubungan jawaban tersebut
“Dokter! Tolong periksa saya dokter, saya ini punya penyakit apa dok?” “Eee sebentar pak! Saya periksa dulu ya!” “Darah normal, detak jantung mmm… normal, kolesterol pun normal!” “Coba. Tarik nafas ya pak! Hmmm.. penyakit bapak itu banyak pak!.. yang paling terlihat itu.. struk pa!” “Aduh dokter! Bagaimana penyakit saya bisa setruk”, segerobak aja aku dah ga kuat!”
Dialog ini melahirkan kelucuan ketika istilah “stroke” ditanggapi menjadi “se-truck”. Dari fenomena ini bisa kita simpulkan, bahwa pelanggaran terhadap maksim cara (Maxim of Manner) telah terjadi. Dalam kasus ini, jawaban dokter bersifat taksa secara fonologis. Pelafalan yang mirip melahirkan persepsi yang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Salah satu saran yang bisa dijadikan solusi untuk menghilangkan ketaksaan ini ialah dengan menambahkan kata ‘penyakit’ di depan kata ‘stroke’ di kalimat dalam poin 4. Namun demikian, pelafalan stroke dan se-truck yang dibuat mirip memang bertujuan melahirkan humor dalam dialog ini. Dimana ekspektasi akan respon pasien yang dinantikan ternyata berganti dengan sesuatu yang lain. Bila dilihat dari
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
kelompok teori humor yang di bahas di bab dua, bisa kita lihat bahwa jenis humor ini masuk ke dalam teori ketidaksesuaian dan bisosiasi.
perlu menambahkan prangko. Maka ibu pengirim surat mempersepsi penambahan prangko ini dengan ungkapan keraguan, berupa pertanyaan mengenai kemampuan prangko mengurangi beban berat surat.
Dalam dialog di atas, dokter tidak menunjukkan rasa empatik kepada pasien atas penyakit yang dideritanya. Dokter tidak pula memberikan motivasi kepada pasien untuk bersikap optimis. Kondisi ini jelas melanggar prinsip daya sanjung dan daya luka, juga prinsip berbagi rasa. Sikap dokter ini mungkin akan membuat pasien merasa tidak nyaman, sehingga pelanggaran terhadap prinsip kesan pertama dan keberlanjutanpun terjadi.
Dengan demikian, maka pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran terhadap maksim cara, karena terkait dengan permasalahan kebahasaan. Pelanggaran terhadap maksim ini menjadikan dialog yang ada di atas mampu menghadirkan kelucuan. Ditinjau dari perspektif kesantunan, dalam dialog VI dapat kita lihat bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dalam PMC tidak “separah” dalam dialog sebelumnya. Prinsip daya luka dan daya sanjung diperhatikan, sehingga tidak ada ungkapan-ungkapan yang mampu melukai mitra tutur.Prinsip berbagi rasa juga ditunjukkan dengan ungkapan-ungkapan yang baik tanpa adanya kata-kata yang menyudutkan. Dalam dialog di atas juga tidak ada potensi yang dapat merusak kesan pertama dan keberlanjutan komunikasi di antara kedua pihak. Hal ini mungkin disebabkan konteks dialog yang berlangsung dalam suasana semi formal, dimana pihak pertama adalah petugas kantor pos yang sedang dalam waktu kerja dan pihak kedua adalah seorang ibu yang berkepentingan dengan kantor pos.
Dialog VI 1
Pegawai:
2
Ibu:
3
Pegawai:
4 5
Ibu: Pegawai:
6
Ibu:
“Pak, ieu abdi badé ngintun serat ka Palembang” “Mangga mangga. Ké urang timbang heula bu nya!” “Waduh, kedah ditambihan perangkona bu!” “Naha?” “Margi beuratna langkung teuing!” “Naha lamun perangkona ditambahan, beuratna bisa ngurangan kitu?”
Kelucuan dalam dialog di atas muncul melalui proses yang kurang lebih sama dengan dialog VI, yaitu melalui ketidaksesuaian atau bisosiasi. Namun berbeda dengan dialog VI, dimana ketidasesuaian dan bisosiasi lahir dari pelafalan yang kurang benar, ketaksaan dalam dialog VI ini berawal dari makna semantik kalimat yang dipersepsi berbeda.Penambahan perangko yang dimaksud pegawai kantor pos tentunya terkait dengan penambahan biaya pengiriman surat. Namun maksud penambahan prangko ini tampaknya kurang dipahami oleh si ibu, sehingga yang diproses oleh kognitifnya adalah informasi yang diterima dalam kalimat sebelumnya, dikaitkan dengan prinsip logika yang kurang tepat. Pegawai menyampaikan, bahwa surat yang ingin dikirim oleh si ibu terlalu berat sehingga
Dialog VII 1 Jék: 2 Daniel: 3 Jék: 4 Orang ke-3: 5 Jék: 6 Daniel: 7 Jék: 8 Daniel:
256
“Daniel!” “Naon jék atuh?” “Engké soré persib ngalawan PSMS yeuh!” “Heueuh tah ramé sigana tah!” “Manéh nyekel mana?” “Urang mah nyekel PSMS pastina!” “Ongkoh cenah manéh téh bobotoh lin?” “Heueuh urang téh bobotoh. Nu matak urang nyekel PSMS teh kusabab kuring téh bobotoh. Pan mun PSMS
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
dicekel ku urang mah, moal bisa ngalawan, jadi pérsib bisa meunang!”
Kelucuan dalam dialog VII tampak dalam kesalahan mempersepsi makna semantik sebuah kata, yaitu “nyeukeul”. Maksud kata tersebut dalam konteks dialog ini tentu saja bersifat konotatif. Padanannya dalam bahasa Indonesia mungkin adalah ‘berpihak’ atau ‘menjagokan’. Dalam dialog di atas, Daniel tidak mempersepsinya demikian. Daniel memaknai ‘nyeukeul’ secara denotatif. Hal ini tentu saja menghasilkan kondisi yang tidak sesuai dengan ekspektasi pendengar, dan pada gilirannya melahirkan humor. Mungkin kita akan berpendapat bahwa fenomena ini merupakan pelanggaran terhadap maksim hubungan, karena ujaran yang diungkapkan tidak mendapatkan respon yang sesuai. Namun bila kita lihat secara lebih seksama, respon yang diberikan Jek sebetulnya masih berada dalam ranah konteks yang sama. Yang salah difahami adalah makna kata saja. Dengan demikian, maksim yang dilanggar dalam kasus ini utamanya adalah maksim cara.Pelanggaran ini menjadikan dialog di atas bersifat kurang komunikatif bila ditinjau dari kacamata Grice. Ketika membaca transkrip dialog VII, kita akan memahami bahwa situasi percakapan berlangsung antara dua orang yang sudah saling mengenal, dalam kondisi non formal. Dengan demikian, bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa akrab, atau ‘loma’ dalam istilah bahasa Sunda. Meskipun menggunakan bahasa ‘loma’, karena partisipan yang ada dalam dialog tersebut sudah saling mengenal satu sama lain, terbiasa berbincang-bincang dalam bahasa akrab, dan kemungkinan besar mempunyai usia yang tidak jauh berbeda, maka dapat dikatakan bahasa yang digunakan tidak mempunyai daya luka ataupun daya sanjung. Dengan kata lain, kedua belah
pihak berterima dengan bahasa yang digunakan mitra tuturnya. Hubungan yang ada antar partisipan dalam dialog VII juga terlihat baik dan dekat. Hal ini dikuatkan oleh ungkapan Jek dalam poin ke-7 yang mengetahui bahwa Daniel adalah seorang bobotoh. Dengan demikian, prinsip tenggang rasa tercermin dalam pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi seperti pada poin 5. Jek menanyakan kepada Daniel,yang ia tahu adalah seorang bobotoh, mengenai keberpihakannya dalam pertandingan antara Persib dengan PSMS. Pertanyaan ini tidak benar-benar bertujuan menanyakan keberpihakan Daniel dalam pertandingan tersebut, namun kemungkinan lebih mengarah kepada menyenangkan Daniel, degan memberitahukan kembali sesuatu yang sudah dinanti-nantikan, yaitu pertandingan bola antara Persib dengan PSMS. Kondisi yang kondusif bagi hubungan sosial ini juga sekaligus memberikan semacam jaminan bagi keberlanjutan dan kesan pertama yang baik. secara umum, dialog ini tidak melanggar prinsip kesantunan. Dialog VIII 1
Anak 1:
2
Anak 2:
3 4 5
Anak 1: Anak 2: Anak 1:
“Eh, dieu geura dieu! Urang rék carita siah! Bapak urang mah jagoan! Pepetasan sakilo digantungkeun na ceuli, tuluy dibeuleudugkeun! Aah..hadé bapa urang mah!” “Wah! Jagoan atuh! Ari ayeuna, aya kénéh teu bapa manéh teh?” “Euweuh da geus maot!” “Iraha maotna?” “Nya harita wé… pas ngabeledugkeun pepetasan!”
Dialog ini dipandang sebagai salah satu humor terbaik dalam seri Canghegar. Pada awal dialog bisa kita lihat pengkondisian humor melalui kebanggaan seorang anak terhadap ayahnya karena melakukan satu hal yang tidak biasa.Humor mencapai “titik ledak” dalam kalimat di poin 5, sekaligus merupakan
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
akhir dari dialog. Pelanggaran terhadap panduan yang dikemukakan Grice terletak pada poin 3, dimana jawaban yang diberikan atas pertanyaan poin 2, yaitu “…Ari ayeuna, aya keneh teu bapa maneh teh?”, tidak lengkap. Hal ini mendorong anak 2 untuk menanyakan lebih lanjut, “Iraha maotna?”. Jawaban yang memenuhi maksim kuantitas dari pertanyaan awal semestinya mengandung informasi mengenai waktu meninggalnya ayah anak 1, kejadiannya, dan informasi terkait lainnya seperti misalnya tempat kejadian. Namun demikian, pelanggaran ini sepertinya disengaja agar terjadi klimaks dalam humor dialogis ini.
3
Pembeli:
4
Penjual:
5 6 7
Pembeli: Penjual: Pembeli:
“Hayyah! éta mah ngan gopé, aaa!” “Gopé, eu..satingtong we koh! Nya? Bisa teu?” “Hayyah! Owé kaga ngerti aaa, apa itu satingtong?” “Ari gopé naon?” “Gopé mah lima ratus aaa” “Heueuh, satingtong ogé tilu ratus lima puluh!”
Ungkapan “satingtong” mungkin akan dipahami oleh penjual sebagai sebuah kebohongan, mengingat kata tersebut sebenarnya tidak ada dan hanya merupakan akal-akalan pembeli saja. Hal ini berpotensi melahirkan daya luka, karena adab yang lebih baik mungkin bukan seperti yang dilakukan pembeli dalam dialog di atas. Cukup menanyakan arti “gope”, maka percakapan akan menjadi lebih “aman” secara norma kesantunan. Sikap penjual yang menggunakan kata “gope” mungkin muncul dari dugaan, bahwa kata tersebut sudah maknanya diketahui khalayak luas. Namun tetap sikap semacam itu menunjukkan kurangnya kehati-hatian penjual terhadap istilah-istilah yang mungkin asing bagi
Dialog IX Pembeli:
Penjual:
Humor dialogis di atas menunjukkan sebuah strategi yang dilakukan oleh pembeli yang tidak mengetahui arti kata “gope” dengan cara mengujarkan sebuah istilah baru yang mungkin baru ia ciptakan saat itu juga, yakni “satingtong”. Hal ini ia lakukan untuk menghindari pandangan merendahkan dari penjual karena ketidaktahuannya itu. Penggunaan istilah yang tidak dipahami mitra tutur jelas merupakan pelanggaran terhadap salah satu maksim percakapan Grice, yaitu maksimcara. Percakapan yang baik dimulai dengan mengetahui “common ground” mitra tutur, lalu berkomunikasi berdasarkan hal tersebut. Namun demikian, pelanggaran terhadap maksim cara justru melahirkan kelucuan dalam dialog di atas.
Dalam dialog VIII ini jelas dapat kitabaca kata-kata yang secara umum akan dipandang kurang sopan, seperti misalnya ‘siah’ dan ‘maneh’. Namun bila kita lihat konteks dialog yang mencerminkan suasana obrolan ringan anak-anak kecil, maka kata-kata tersebut kecil kemungkinan mempunyai daya luka terhadap mitra tutur. Dengan kata lain, bila kita mengacu kepada Prinsip Tenggang Rasa, maka dapat kita lihat, bahwa penggunaan kata-kata tersebut di atas berada dalam ranah yang masih dapat ditolerir oleh partisipan dialog. Dengan demikian, daya luka yang diduga hadir justru tidak ada. Di sisi lain, daya sanjung muncul dalam kata ‘jagoan’ yang ada dalam poin 2, memberikan persetujuan dan dukungan terhadap ayah anak 1. Fenomena ini menunjukkan proses berbagi rasa yang positif, Dimana anak 2 menyetujui perkataan anak 1 yang mengatakan bahwa ayahnya hebat. Sanjungan ini memainkan peranan yang strategis dalam upaya menimbulkan kesan pertama yang baik dan kemungkinan keberlanjutan komunikasi di masa datang.Dengan demikian, tidak ada satu prinsippun dari PMC yang dilanggar dalam dialog di atas.
1
2
“Koh! Ari éta bohlam nu leutik sabaraha?” 258
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
pembeli. Kondisi ini menunjukkan lemahnya perhatian penjual pada prinsip berbagai rasa, dimana ia seharusnya mempertimbangkan kemungkinan pemahaman atau common ground mitra tutur. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip daya sanjung dan daya luka, juga prinsip berbagi rasa membahayakan kesan pertama dan keberlanjutan komunikasi di masa mendatang. Dengan demikian, semua prinsip kesantunan PMC dilanggar dalam komunikasi di atas. Dialog X 1 2 3
Pemuda 1: Pemuda 2: Pemuda 1:
4
Pemuda 2:
5
Pemuda 1:
6
Pemuda 2:
“Kang!” “Euy?” “Ari tadi wengi siga aya nu ragrag meni reuwas, aya naon kitu nya?” “Ooh, éta tadi wengi? Sarung nu ragrag ka handap!” “Sarung? Naha meni disadana meni ngagoroprak kitu nya kang?” “Nya atuh heueuh, kan aya abdi di jerona!”
Dialog di atas mengandung salah satu humor “klasik” dari barisan humorhumor baru dalam acara Canghegar. Berbeda dengan sampel dialog-dialog sebelumnya yang lebih bersifat humor situasi, dialog X mengandung humor yang memang bernada candaan. Permasalahan muncul ketika pertanyaan yang diajukan pemuda 1 dalam poin 3 mendapatkan jawaban yang tampak tidak logis. Jawaban yang diberikan pemuda 2 di poin 4 relevan dengan pertanyaan, namun memang tampaknya bukan jawaban yang benar. Dengan demikian, maksim hubungan tidak dilanggar dalam dialog ini, karena pemuda 2 memahami benar maksud pertanyaan dan menjawabnya.Jawaban pemuda dua tampak bukan jawaban yang benar karena tidak sesuai dengan logika. dengan demikian, pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran terhadap maksim kualitas, dimana jawaban yang diberikan tidak mengandung kebenaran yang dibutuhkan. Namun demikian, ketika kebenaran yang
dibutuhkan kemudian diungkapkan setelah pemuda 1 mengungkapkan keraguannya, lahirlah kelucuan. Sesuatu yang mungkin tidak akan ada ketika jawaban pemuda 2 sejak awal disesuaikan dengan pedoman dalam maksim kualitas. Bila dialog X ditelaah melalui PMC, maka prinsip yang dilanggar adalah prinsip berbagi rasa, dimana pemuda 2 dengan sengaja membuat pemuda 1 kebingungan dengan memberikan jawaban yang kebenarannya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal ini juga berpotensi menimbulkan daya luka, namun karena sifatnya hanya canda, maka kemungkinan daya luka ini tidak muncul juga ada. Dalam suasana dialog yang akrab, fenomena ini tidak akan membahayakan kesan pertama dan keberlanjutan komunikasi. 2. Penelaahan Data Keseluruhan Setelah ditelaah satu persatu, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penelaahan data secara keseluruhan. Melalui langkah ini diharapkan peneliti dapat menemukan pola umum yang ada dalam humor dialogis bahasa Sunda dari dua aspek. Pertama, aspek kepatuhan humor dialogis terhadap maksim percakapan Grice. Kepatuhan terhadap maksim-maksim ini merupakan hal yang dipandang essensial bagi siapapun yang ingin berkomunikasi secara sangkil dan mangkus. Kedua, ditinjau dari Prinsip Tenggang Rasa yang menjadi panduan bagi kesantunan berbahasa. Dari kacamata kedua ini bisa kita lihat apakah humor senantiasa identik dengan sikap berbahasa yang kurang santun atau tidak. 1) Kepatuhan Sampel Terhadap Prinsip Kooperatif Grice Berikut adalah tabel data secara keseluruhan yang menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip kooperatif Grice.
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
Tabel 1. Pelanggaran terhadap maksim percakapan
Dialog 1 Dialog 2 Dialog 3 Dialog 4 Dialog 5 Dialog 6 Dialog 7 Dialog 8 Dialog 9 Dialog 10
Kualitas V V
Pelanggaran Terhadap Maksim Kuantitas Hubungan V V V -
Cara V V V V V -
Dari data tersebut bisa kita lihat prosentase pelanggaran terhadap tiap maksim dalam tabel berikut ini. Tabel 2. Prosentase pelanggaran terhadap tiap maksim Prosentase Pelanggaran 20% 20%
Maksim Kualitas Maksim kuantitas Maksim Hubungan Maksim Cara
10% 50%
Pelanggaran terhadap maksim kualitas mencapai 20% dari keseluruhan dialog yang dijadikan sampel dalam kajian sederhana ini. Angka ini sama persis dengan jumlah pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa 20% dialog disusun tanpa berpegang kepada keharusan memberikan informasi yang benar dalam percakapan dan apakah partisipan memberikan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak. Pelanggaran dengan frekuensi terkecil adalah pelanggaran terhadap maksim hubungan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dialog disusun dengan tetap berpegang pada relevansi antara ujaran yang diungkapkan sebagi stimulus dan responnya. Setengah
dari jumlah populasi ternyata mengandung pelanggaran terhadap maksim cara. Manipulasi terhadap permasalahan kebahasaan seperti ketaksaan atau sistematika ujaran menjadi hal yang paling sering dilakukan untuk membangkitkan kelucuan dalam humor dialogis program Canghegar. Dengan demikian, seluruh sampel humor dialogis yang diambil secara purposivesampling dari beberapa episode Canghegar ini kurang mematuhi prinsip kooperatif yang dikemukakan oleh Grice. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat 100% sampel merupakan humor dialogis yang dipandang lucu dan seluruhnya melanggar maksim percakapan. Dalam penjelasan masing-masing data, dapat kita temukan bahwa hal-hal yang 260
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
lucu justru lahir dari ketidakpatuhan ini. Pada gilirannya data ini mendorong kita untuk berasumsi, bahwa humor tidak dapat dilahirkan melalui percakapan yang efektif dan efisien.
2)Kepatuhan Terhadap Pedoman Kesantunan dalam Principle of Mutual Consideration Data mengenai keseluruhan pelanggaran yang terjadi terhadap prinsip saling tenggang rasa disajikan dalam tabel berikut
Tabel 3. Pelanggaran terhadap Prinsip Saling Tenggang Rasa
Dialog 1 Dialog 2 Dialog 3 Dialog 4 Dialog 5 Dialog 6 Dialog 7 Dialog 8 Dialog 9 Dialog 10
Pelanggaran Terhadap Prinsip Tenggang Rasa Daya Sanjung Berbagi Rasa Kesan Pertama Keberlanjutan & Daya Luka V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V -
Bila diprosentasekan, maka data pelanggaran terhadap teori kesantunan PMC akan terlihat dalam tabel berikut. Tabel 4. Prosentase pelanggaran terhadap tiap prinsip
Prinsip Daya Sanjung & Daya Luka Prinsip Berbagi Rasa Prinsip Kesan Pertama Prinsip Keberlanjutan
Pelanggaran yang dilakukan dalam penelitian humor dialogis di acara Canghegar menunjukkan angka yang relatif tinggi, bila dibandingkan dengan frekwensi pelanggaran terhadap prinsip kooperatif Grice. Dalam data di atas bisa kita lihat, setengah dari jumlah populasi melanggar prinsip daya sanjung dan daya luka. Demikian pula halnya dengan jumlah
Prosentase Pelanggaran 50% 50% 60% 60%
pelanggaran terhadap prinsip berbagi rasa.Prinsip-prinsip yang ada dalam teori kesantunan PMC merupakan elemenelemen yang membentuk satu panduan bagi sistem kesantunan yang digunakan dalam interaksi sosial. Karena sifatnya yang saling terkait, maka pengaruh terhadap salah satu prinsip akan ikut mempengaruhi prinsip-prinsip lainnya. Hal
Putrasulung Baginda Analisis humor percakapan berbahasa Sunda: sebuah analisis pragmatik
ini tampak pula dalam tabel di atas. Ketika prinsip-prinsip daya sanjung, daya luka dan berbagi rasa dilanggar, maka pelanggaran terhadap prinsip kesan pertama dan prinsip keberlanjutanpun cenderung terlanggar.
Namun demikian, banyak pula humor yang melanggar prinsip kesantunan. Hal ini menunjukkan bahwa orang Sunda mempunyai potensi “ngaleuyeud” dalam humor. Proporsi yang hamper imbang antara yang melanggar dan tidak melanggar prinsip-prinsip kesantuan menguatkan kedua karakter tersebut dalam budaya humor Sunda.
Lebih dari setengah humor-humor dialogis yang ditelaah dalam kajian ini menunjukkan lemahnya perhatian terhadap prinsip kesantunan. Humor yang diciptakan memang mengundang tawa bagi siapapun yang menyimak atau membacanya, namun bila hal tersebut diterapkan dalam realitas keseharian, maka bukan tidak mungkin humor hanya berlaku bagi pembuat, namun tidak bagi orang yang dijadikan objek humor. Kita juga tampaknya tidak bisa dengan tegas mengatakan, bahwa kondisi yang memenuhi keempat prinsip kesopanan tidak bisa melahirkan humor. Hal ini dibuktikan dengan adanya humor dialogis yang sesuai dengan semua prinsip kesantunan dalam PMC. Sebanyak 40% dari populasi sama sekali tidak melanggar prinsip kesantunan berbahasa. Dengan demikian, terbukti membuat humor tidak senantiasa wajib dilakukan dengan melanggar prinsip kesantunan.
Dalam kreasi humor Sunda, umumnya upaya melahirkan kelucuan dilakukan dengan memanipulasi bahasa sehingga keluar dari maksim cara (maxim of manner) sebagaimana dikemukakan oleh Grice(dalam Huang: 2007). Kemampuan memanipulasi aspek-aspek kebahasaan seperti misalnya ketaksaan dan sistematika ujaran dibutuhkan untuk memunculkan humor. Pada gilirannya, kemampuan tersebut memainkan peranan yang tidak bisa diremehkan dalam sistem interaksi sosial masyarakat Sunda yang memandang keakraban sebagai hal yang sangat baik. Selain itu, jarang sekali humor Sunda dilahirkan dari kondisi komunikasi yang rendah relevansinya. Demikian pula sebaliknya, bila kita berada dalam kondisi percakapan dengan mitra tutur orang Sunda, maka kita bisa menciptakan humor, utamanya dengan cara memanipulasi aspek-aspek kebahasaan. Cara ini lebih umum ditemukan dalam budaya humor Sunda sehingga kemungkinan besar bisa benarbenar direspon sebagai humor. Selanjutnya, dalam menciptakan humor, kita juga tidak harus mengorbankan kesantunan, karena humor masih tetap bisa dimunculkan tanpa harus menjadi orang yang tidak santun.
SIMPULAN Humor merupakan salah satu elemen yang ada dalam interaksi kemasyarakatan suku Sunda. Sebagai salah satu elemen yang ada dalam sistem kemasyarakatan, maka humor dalam masyarakat Sunda juga menyesuaikan diri dengan karakteristik suku Sunda yang khas. Orang Sunda umumnya bersifat akrab, santun, siap mengalah, namun juga “ngaleuyed”. Dari penelaahan terhadap humor Sunda tampak bahwa sifat masyarakat Sunda juga menjadi sifat humor Sunda. Dalam temuan di Bab 4 tampak, bahwa banyak humor Sunda yang tidak melanggar prinsip kesantunan dalam PMC. Hal ini menunjukkan karakter santun yang terbawa bahkan ke dalam dunia canda.
DAFTAR PUSTAKA Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Drs. E. Aminudin. 262
BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Aziz, MA, Ph.D sebagai Guru Besar dalam bidang Linguistik pada Fakultas Bahasa dan Seni (FPBS) UPI
Yule, G. (1996). Pragmatics. New York: Cambridge University Press
Huang, Y. (2007). Pragmatics. New York: Oxford University Press
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulisan penelitian ini. Peneliti juga menghaturkan terima kasih kepada segenap redaksi Jurnal Barista yang telah mereviu dan memublikasikan artikel hasil penelitian ini.
Levinson, S.C. (1983). Pragmatics. New York: Cambridge University Press Mc. Ghee & Golstein. (1972). Handbook of Humor Research. New York: Springer-Verlag.
UCAPAN TERIMA KASIH