ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari diketahui dari hasil analisis model persamaan struktural sebagaimana pada Gambar 6. Dari gambar tersebut dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu : (1) faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani (Y1); dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2).
Chi-Square=340,15, df=347, P-value=0,05934, RMSEA=0.073, CFI=0,98
Gambar 6. Model Lengkap Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Sertifikasi)
152
Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Belajar Petani Hasil analisis SEM menunjukkan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi intensitas belajar petani berturut-turut dari nilai koefisien yang paling besar yaitu: Kelembagaan pendukung pembelajaran petani (X5), Kelembagaan masyarakat (X4), Karakteristik petani (X1), dan Kompetensi Penyuluh/Pendamping (X2). Pendekatan pembelajaran (X3) dalam penelitian ini ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani. Hubungan antara intensitas belajar petani dengan peubah yang mempengaruhinya dapat dituliskan dengan persamaan : Y1= 0,26*X1 + 0,17*X2 + 0,26*X4 + 0,31*X5, R2 = 0,78 Artinya secara simultan pengaruh keempat peubah tersebut pada intensitas belajar petani sebesar 0,78. Hal ini mempunyai makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut sebesar 78 persen, sedangkan sisanya sebesar 22 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Dengan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 dalam penelitian ini diterima, walaupun tidak semua peubah pada hipotesis 1 diterima. Hipotesis 1 penelitian ini adalah intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dipengaruhi oleh karakteristik petani, kompetensi penyuluh/ pendamping,
pendekatan
pembelajaran,
kelembagaan
masyarakat
dan
kelembagaan pendukung. Satu peubah dalam penelitian ini yaitu pendekatan pembelajaran ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di kedua kabupaten secara keseluruhan tergolong rendah. Rendahnya intensitas belajar petani tersebut disebabkan oleh belum baik faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa intensitas belajar petani yang rendah ini disebabkan oleh lemahnya
lemahnya kelembagaan pendukung pembelajaran petani,
dinamika
kelembagaan
masyarakat,
rendahnya
kompetensi
penyuluh/pendamping, dan konsep diri dan motivasi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) yang tidak maksimal.
153
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Faktor yang menjadi penentu intensitas belajar petani sertifikasi ialah kelembagaan pendukung pembelajaran petani. Hal tersebut dapat dianalisis dari adanya perbedaan intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul tergolong sedang, sedangkan di Wonogiri tergolong rendah. Perbedaan intensitas belajar petani di kedua lokasi penelitian ternyata dipengaruhi kuat oleh adanya perbedaan kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Kelembagaan pendukung pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda khususnya berkaitan dengan keberadaan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari (Pokja HRL), yang merupakan tim kerja khusus yang dibentuk Bupati untuk mengembangkan Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul. Pokja Hutan Rakyat Lestari ini melibatkan berbagai unsur, baik Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Keberadaan Pokja Hutan Rakyat Lestari telah menyebabkan kegiatan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari dapat berlangsung dengan lebih baik karena melibatkan berbagai pihak yang berperan aktif untuk mencapai tujuan bersama. Pokja HRL bukan saja melibatkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dari unsur Pemerintah Daerah, tetapi juga Bappeda, yang memberikan dampak yang positif terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Menurut hasil analisis SEM, aspek kelembagaan pendukung yang paling berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi ialah dukungan kegiatan dan dukungan personil. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk dukungan atau fasilitasi yang langsung bersentuhan, dirasakan dan dinikmati oleh petani adalah kegiatan pembelajaran dan kehadiran penyuluh/pendamping di desa untuk mendampingi petani dalam mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Dukungan kegiatan dan dukungan personil yang diberikan kelembagaan pendukung pembelajaran di Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda, sehingga menyebabkan perbedaan intensitas belajar petaninya. Dukungan kegiatan bermanfaat di Gunung Kidul yang difasilitasi lembaga pendukung, sejak adanya pendampingan dari PKHR, Lembaga Arupa, Yayasan Shorea dan Dishutbun (yang tergabung dalam Pokja HRL), cukup banyak. Kegiatan tersebut berupa
154
pelatihan, magang, studi banding bagi para pengurus/anggota kelompok. Selain itu bantuan-bantuan dari berbagai pihak maupun kegiatan kunjungan-kunjungan, termasuk Belajar Antar Petani, Pelatihan petani se-ASEAN yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi (PT), maupun LSM telah meningkatkan aktivitas pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul. Bahkan sampai pada saat penelitian dilakukan, kegiatan pelatihan masih terus dijalankan. Walaupun kegiatan pendampingan berkaitan dengan proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari telah selesai, tetapi kegiatan pemeliharaan dan pemantapan hasil sertifikasi terus dilakukan. Sementara di Wonogiri dukungan kegiatan oleh lembaga pendukung pembelajaran petani sertifikasi sangat terbatas, bahkan setelah proses sertifikasi selesai, tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan untuk pemantapan Hutan Rakyat Lestari atau yang sudah disertifikasi. Memang ada usaha perbengkelan yang terus dijalankan, hanya tidak dikelola dengan baik dan kurang melibatkan pengurus atau anggota lainnya, sehingga hanya dinikmati oleh beberapa orang saja. Demikian juga dengan dukungan personil untuk pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Dengan adanya Pokja HRL, terdapat kerja sama yang baik antara personil yang ditempatkan untuk mendampingi pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul, khsususnya di antara pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Walaupun memang diakui sampai dengan saat ini, sekalipun institusi pembina mereka tergabung dalam satu kelompok kerja (POKJA), namun untuk tim yang bertugas langsung mendampingi masyarakat di desa masih belum bersinergi dengan baik, terutama antara LSM, PT dengan penyuluh dari Pemda. Sebagai contoh berkaitan dengan kompetensi penyuluh dan pendamping, khusus pendamping dari PT dan LSM sering diadakan pertemuan, pelatihan dan sharing tentang permasalahan dan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada masyarakat. Penyuluh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul atau saat ini Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) belum terlibat banyak dalam pertemuan tersebut, padahal bila dapat bersinergi dalam pertemuan dan pelatihan ini, akan mempunyai dampak yang sangat baik, karena antara penyuluh dari LSM, Perguruan Tinggi,
155
dan Pemda
dapat saling melengkapi dan berbagi pengalaman dalam
mendampingi masyarakat Gunung Kidul. Aspek kelembagaan pendukung lainnya yang berpotensi terhadap intensitas belajar petani ialah kesamaan nilai hutan antara masyarakat dan Pemerintah. Kesamaan nilai ini menjadi modal utama bagi terjadinya kolaborasi atau kemitraan yang baik antara masyarakat, Pemerintah dan Lembaga lainnya yang berkepentingan dalam Hutan Rakyat Lestari. Adanya Keputusan Bupati tentang pembentukan Pokja HRL maupun peraturan-peraturan daerah lainnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari (seperti Perda Hutan Rakyat Lestari yang pada saat penelitian belum tersusun, masih dilakukan perumusan bersama oleh Pokja HRL) sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan pembelajaran masyarakat mengenai Hutan Rakyat Lestari. Dukungan
anggaran
yang
diberikan
oleh
lembaga
pendukung
pembelajaran juga merupakan aspek kelembagaan pendukung pembelajaran yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi. Dengan adanya Pokja di Gunung Kidul, maka anggaran untuk kegiatan Hutan Rakyat Lestari termasuk di dalamnya pembelajaran masyarakat menjadi tanggung jawab bersama. Sebagai contoh, keterlibatan PKHR UGM dalam pendampingan pembelajaran masyarakat Gunung Kidul tentang Hutan Rakyat Lestari secara tidak langsung menarik dukungan pendanaan dari donor PKHR, dalam hal ini Ford Foundation. Dengan demikian pendanaan sertifikasi hutan rakyat/Hutan Rakyat Lestari tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemda, dalam hal ini Dinas Kehutanan sebagai instansi pembina teknis, saja, tetapi merupakan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Kelembagaan Masyarakat Hampir semua aspek kelembagaan masyarakat di kedua kabupaten termasuk kategori sedang, tetapi kelembagaan masyarakat mempunyai pengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Lembaga informal dalam masyarakat seperti arisan, sampai dengan saat ini berjalan baik di Gunung Kidul maupun di Wonogiri. Lembaga ini berlangsung cukup lama dan cukup diminati oleh warga. Petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri mengakui bahwa
156
arisan menjadi lembaga yang mempunyai peranan dalam pembelajaran petani. Wadah ini bila ditinjau dari segi ekonomi/keuangan tidak terlalu besar manfaatnya, karena mereka hanya mengumpulkan Rp. 1000-2000/bulan. Tetapi wadah ini menjadi daya tarik bagi petani untuk berkumpul, bersosialisasi dan saling tukar menukar informasi dan hiburan petani setelah seharian bekerja di ladang. Salah satu contoh di Desa Kedungkeris, Gunung Kidul dimana peneliti mendapatkan kesempatan untuk menghadirinya, terdapat suasana kekeluargaan dan akrab, walaupun tidak secara langsung menjadi wadah untuk pembelajaran masyarakat, khususnya melalui interaksi antar petani. Organisasi formal lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, FKPS (di Wonogiri), Koperasi Wana Manunggal Lestari (di Gunung Kidul) dan lainnya diakui juga berperan, tetapi sebagian besar petani mengakui bahwa peranan organisasi formal tersebut dalam pembelajaran petani berada di bawah urutan setelah arisan. Artinya organisasi formal tersebut belum dapat sepenuhnya berperan sebagai wadah pembelajaran yang paling efektif bagi petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Dari hasil analisis SEM, diperoleh hasil bahwa aspek kelembagaaan masyarakat yang paling berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani adalah norma/nilai,
kemudian
diikuti
dengan
aspek
kesamaan
tujuan,
dan
kepemimpinan. Norma atau nilai-nilai yang diyakini dan dijalankan oleh masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri memberikan pengaruh yang baik terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Beberapa contoh nilai-nilai dalam masyarakat yang mendukung intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari ialah kepercayaan kepada pemimpin/pemerintah, aturan tentang kewajiban melakukan penanaman setelah penebangan, gotong royong/sambatan, dan nilai hidup/budaya kerja keras. Petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul sangat mempercayai pemerintah dan pemimpinnya. Hal ini terbukti, ketika sertifikasi Hutan Rakyat Lestari belum menampakkan hasil yang diharapkan yaitu kenaikan harga jual kayu (premium price) mereka mengaku kecewa tetapi tidak mempersalahkan pemimpin atau pemerintah yang telah mengenalkan dan
157
membawa mereka untuk memperoleh sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Mereka tetap percaya bahwa pemerintah selalu berniat baik untuk memajukan masyarakatnya.
Kepercayaan masyarakat Gunung Kidul terhadap pemerintah
merupakan kapital sosial yang potensial dalam pengembangan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul. Hal ini ditegaskan oleh Fukuyama (1995), yang diacu dalam Field (2010). Menurut Fukuyama kepercayaan adalah unsur dasar kapital sosial. Kapital sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan abadi di tengah-tengah masyarakat atau pada bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Kepercayaan adalah dasar dari tatanan sosial, komunitas bergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul secara spontan. Field (2010) menegaskan bahwa jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan rendah. Hal ini terbukti di Forum Komunitas Petani Sertifikasi di Wonogiri, jaringan tidak berfungsi dengan baik karena petani tidak mempercayai pengurus FKPS. Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, terdapat norma atau aturanaturan tidak tertulis berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari, yang masih dipegang oleh masyarakat dan diwariskan secara turun temurun baik. Misalnya kewajiban menanam, dan memelihara pohon yang ditanam, tidak lama setelah menebang di lahannya. Wajib tanam berbeda dalam hal jumlahnya, baik antar dusun maupun desa di Kabupaten Wonogiri dan Gunung Kidul. Norma ini bahkan di beberapa kelompok sudah menjadi aturan tertulis yang dituangkan dalam AD/ART Kelompok tani. Norma dan aturan tidak tertulis, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri, juga merupakan kapital sosial, yang tidak dapat dipisahkan dengan jaringan dan kepercayaan. Menurut Fukuyama (1999), yang diacu dalam Field (2010), norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan secara berulang-ulang. Budaya gotong royong juga mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi. Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Desa Selopuro dan Sumberejo Wonogiri memulai kegiatan hutan rakyat dengan gotong royong melakukan penanaman sekitar tahun 1970. Budaya gotong royong sudah mengakar pada masyarakat Gunung Kidul maupun Wonogiri, sehingga tidak sulit
158
bagi masyarakat untuk mempelajari dan memiliki sikap positif terhadap Hutan Rakyat Lestari khususnya dalam aspek sosial. Walaupun dalam penerapannya, masih sulit bagi masyarakat untuk bekerja sama dan masih banyak mengembangkan Hutan Rakyat Lestari secara individual. Masyarakat masih belum terbiasa berorganisasi secara formal, sehingga sulit bagi masyarakat untuk dapat mengelola kelompok tani sebagai kelompok formal. Apalagi bila kelompok itu memang sengaja dibentuk oleh lembaga eksternal pendukung pembelajaran untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan sertifikat ekolabel tanpa adanya
kesadaran dan kebutuhan masyarakat untuk membentuknya. Sebagai contoh, salah satu kelompok tani di Desa Girisekar yaitu Kelompok Sekar Eko Jati, yang pada saat penelitian dilakukan sudah ”mati”, karena memang kelompok ini dibentuk pada pertengahan proses sertifikasi di Gunung Kidul tanpa adanya sosialisasi dan pendekatan, hanya untuk memenuhi persyaratan luasan Hutan Rakyat Lestari. Sebaliknya Kelompok Tani Percabaan di Wonogiri, yang tumbuh sekitar tahun 1970 secara swadaya karena kebutuhan masyarakat sendiri, yang pada saat itu sedang giat-giatnya bergotong royong melakukan penanaman di dusun Jarak. Sampai dengan saat ini kelompok tersebut masih berjalan dengan baik, walaupun memang belum dapat mengikuti dinamika organisasi modern seperti yang diharapkan, dengan adanya pembagian tugas yang baik dan keterkaitan antar bagian dalam menjalankan organisasi. Kesesuaian tujuan organisasi kemasyarakatan dengan tujuan anggota, menjadi indikator yang cukup kuat merefleksikan kelembagaan masyarakat, yang mempengaruhi intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Kesesuaian tujuan ini penting bagi kelangsungan organisasi dan partisipasi anggota dalam mempertahankan organisasi tersebut. Bila kesesuaian tujuan ini tidak tercapai, organisasi tersebut cenderung akan sulit berkembang, bahkan seringkali ”mati”. Pada penelitian ini ditemukan beberapa bukti yang menguatkan pernyataan ini. Berkaitan dengan persyaratan sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), ada ketentuan mengenai keberadaan organisasi atau kelembagaan masyarakat yang menyokong manajemen Hutan Rakyat Lestari. Sehingga untuk keperluan tersebut maka dibentuklah Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML) di Gunung Kidul, Forum Komunitas Petani
159
Sertifikasi (FKPS) dan Tempat Pengelolaan Kayu Sertifikasi (TPKS), serta kelompok tani di beberapa desa yang memang belum ada kelompok tani, seperti di Dusun Belimbing, Desa Girisekar, Gunung Kidul. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk lebih kepada kepentingan perolehan sertifikat tanpa didahului dengan proses penyadaran, sosialisasi dan pembentukan kesepahaman mengenai visi, misi dan tujuan organisasi, sehingga akhirnya masyarakat tidak merasa bahwa dirinya sebagai bagian dari organisasi dan merasa perlu untuk mempertahankan dan mengembangkan organisasi tersebut. Oleh karenanya maka kelangsungan dan dinamika kelompok atau organisasi tersebut perlahan-lahan memudar, kritis bahkan mati. Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, tidak seperti organisasi-organisasi lainnya yang disebutkan di atas, saat ini masih terus berjalan dan diupayakan pengembangannya.
Pendampingan terhadap koperasi sampai
dengan saat ini masih terus dilakukan oleh LSM Shorea. Belum banyak manfaat yang telah didapatkan anggota, tetapi sedikit banyak telah menjadi wadah pembelajaran masyarakat juga dalam mengembangkan usaha Hutan Rakyat Lestari. Koperasi yang letaknya di Desa Dengok, menyulitkan komunikasi dan pengembangannya, mungkin ke depan perlu lebih disederhanakan, dan dibentuk unit-unit keuangan yang lebih sederhana di desa atau kecamatan sebagai cabang dari koperasi tk kabupaten. Kepemimpinan merupakan aspek kelembagaan masyarakat yang cukup potensial mempengaruhi intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari. Kepemimpinan di kedua kabupaten cukup berpengaruh untuk kelangsungan dan dinamika kelompok tani. Sebagian besar ketua kelompok Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) adalah kepala dusun, yang merupakan kepercayaan masyarakat dan menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian segi positif dari ketua kelompok yang merangkap kepala dusun ialah dinamika kelompok cukup terjaga, apalagi dengan kepala dusun yang juga menjadi ketua Gabungan Kelompok Tani Pertanian (Gapoktan) ataupun Ketua Tani Nasional Andalan (KTNA). Kelompok yang dikepalai oleh tokoh-tokoh ini relatif lebih maju, karena luasnya jaringan informasi maupun anggaran yang dapat diakses oleh ketua memberi dampak
160
positif bukan saja pada dusun tetapi juga kepada kelompok tani yang dipimpinnya. Aspek-aspek kelembagaan masyarakat lainnya seperti sanksi, keterkaitan antar bagian, toleransi juga mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi tetapi tidak sama potensinya dengan ketiga aspek di atas. Sanksi, baik di Wonogiri dan Gunung Kidul belum dilaksanakan dengan baik. Penerapan sanksi, sangat jarang dilakukan, tidak ada orang yang ditunjuk untuk menjadi ”penegak hukum atau sanksi’ bila aturan tidak dijalankan oleh masyarakat. Menurut mereka, selama ini jarang sekali sanksi diterapkan, karena jarang juga masyarakat yang melakukan pelanggaran, khususnya berkaitan dengan kewajiban tanam dan pelihara setelah penebangan, menurut mereka menanam sudah menjadi budaya mereka sehingga dengan kesadaran sendiri mereka akan melakukan penanaman, bahkan dalam jumlah melebihi dari aturan yang ada. Bila sanksi dapat diterapkan dengan baik, maka kelembagaan masyarakat di kedua lokasi penelitian menjadi lebih baik lagi dalam mendukung intensitas pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Toleransi masyarakat terhadap nilai-nilai baru di kedua lokasi penelitian tidak sulit. Khususnya di Gunung Kidul, mereka sangat terbuka apalagi bila inovasi atau nilai baru diperkenalkan oleh pemerintah. Mereka percaya bahwa tidak mungkin Pemerintah akan menyengsarakan rakyatnya. Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa atau ”kraton/kerajaan”
dengan sistem
pemerintahan kesultanan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Demikian juga dengan diperkenalkannya Hutan Rakyat Lestari kepada masyarakat. Mereka menyambut baik, dan tidak merasa kecewa bila sampai dengan saat ini belum mencapai hasil yang mereka harapkan yaitu tingginya harga kayu sertifikasi.
Karakteristik Petani Dilihat dari koefisien regresinya, pengaruh peubah karakteristik petani terhadap intensitas belajar adalah sama kuatnya dengan pengaruh kelembagaan masyarakat. Aspek karakteristik petani dalam penelitian yang secara nyata berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani secara berturut-turut dari yang paling besar potensinya yaitu konsep diri petani, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.
161
Konsep diri yang positif sangat berpengaruh terhadap proses belajar seseorang. Konsep diri dapat dibentuk dari pengalaman seseorang. Konsep diri terhadap Hutan Rakyat Lestari petani sertifikasi di Gunung Kidul positif, sehingga berpengaruh terhadap intensitas belajar di Gunung Kidul yang cenderung sedang. Sementara konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri cenderung negatif terutama disebabkan oleh kekecewaan terhadap LSM pendamping, dan pengurus FKPS sehingga membentuk konsep diri yang negatif terhadap Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang negatif ini juga berpengaruh terhadap intensitas belajar petani di Wonogiri yang cenderung rendah. Motivasi ekstrinsik sangat berkaitan dengan dukungan dari kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki motivasi ekstrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani sertifikasi di Wonogiri. Kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul lebih banyak melibatkan institusi dari berbagai unsur dan solid, tergabung dalam Pokja dengan kegiatan yang berkelanjutan, bahkan setelah sertifikat diperoleh. Sementara di Wonogiri kelembagaan pendukung pembelajaran hanya melibatkan satu unsur saja yaitu LSM (tidak ada PT maupun Pemda) dan kegiatan tidak berkelanjutan sehingga motivasi ekstrinsik petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) kurang berkembang. Motivasi intrinsik petani baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari adalah tinggi, terlebih lagi di Gunung Kidul, sekalipun pada lokasi non sertifikasi, motivasi intrinsik petani terhadap hutan rakyat tinggi. Untuk masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri mengembangkan hutan rakyat, yang secara sederhana dilaksanakan dengan menanam pohon, sudah dilakukan dengan kesadaran yang tinggi, bahkan sudah membudaya. Pengalaman keberhasilan mengembangkan hutan rakyat dan manfaat yang sudah dirasakan oleh masyarakat petani, baik di Wonogiri maupun Gunung Kidul mendorong mereka untuk terus mau mengembangkan hutan rakyat. Pengalaman inilah yang membentuk motivasi intrinsik yang tinggi pada petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (1985), diacu dalam Tan et. al (2001) dimana murid-murid
162
yang memiliki motivasi intrinsik mencapai hasil yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya memiliki motivasi ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut mendukung pernyataan Soedijanto (1994) dan Suparno (2001). Soedijanto (1994) menyatakan bahwa pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar maka ia telah memiliki perasaaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang.
Sebaliknya
seseorang
yang
pernah
memiliki
pengalaman
mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk berhasil. Suparno (2001) mengemukakan bahwa untuk proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri positif. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang. Sejalan dengan ini Marzano (1992) juga mengungkapkan bahwa belajar akan efektif jika melalui lima dimensi belajar, diantaranya adalah memiliki sikap dan persepsi positif terhadap belajar.
Kompetensi Penyuluh Penilaian kompetensi penyuluh dan pendamping oleh petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri secara umum cenderung rendah, walaupun terdapat perbedaan nyata antara penilaian petani di kedua lokasi penelitian. Petani di Gunung Kidul menilai kompetensi petani cenderung sedang, sedangkan di Wonogiri cenderung rendah. Walaupun secara umum kompetensi petani bernilai rendah, tetapi secara nyata kompetensi penyuluh mempengaruhi intensitas pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa aspek kompetensi penyuluh yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani ialah kemampuan penyuluh dalam: (1) menganalisis permasalahan; (2) meningkatkan kapasitas petani; dan (3) mengembangkan wawasan teknis petani. Intensitas pertemuan petani dengan penyuluh yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan
163
penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, khususnya pendampingan dalam proses sertifikasi Ekolabel, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Petani sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul berpendapat bahwa kompetensi penyuluh atau pendamping dalam menganalisis permasalahan nyata yang dihadapi petani, dapat ditingkatkan bila penyuluh atau pendamping tinggal bersama dengan masyarakat yang didampinginya. Petani sertifikasi di Dusun Pijenan dan Jeruken, Desa Giri Sekar, Gunung Kidul mengungkapkan pengalaman mereka didampingi oleh pendamping dari LSM Shorea, yang tinggal bersama dengan masyarakat. Dengan kebersamaan hidup dengan petani sertifikasi, baik dalam kegiatan formal maupun informal, pendamping
dapat
merasakan dan meningkatkan ”empati” sehingga dapat mendalami permasalahan sesungguhnya yang dirasakan oleh petani. Bagi petani sertifikasi, penyuluh dan pendamping yang mau dan dapat tinggal bersama dengan masyarakat yang didampingi menjadi harapan untuk dapat meningkatkan intensitas pembelajaran mereka. Peningkatan kapasitas petani merupakan aspek kompetensi penyuluh yang dinilai cukup berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani HRL. Peningkatan kapasitas petani, khususnya di Gunung Kidul, selain berkaitan dengan pengelolaan atau manajemen usaha maupun kelompok, juga berkaitan dengan kemampuan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, termasuk penanganan pasca panen. Peningkatan kapasitas petani tidak dapat dilakukan hanya dengan pertemuan atau diskusi selama satu sampai dua jam saja. Peningkatan kapasitas petani memerlukan frekuensi dan interaksi yang lebih banyak, baik dengan penyuluh, materi belajar maupun lingkungan belajar. Sebagai contoh: peningkatan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dilakukan baik dengan pelatihan, magang maupun studi banding, menghasilkan interaksi yang lebih baik antara petani dengan penyuluh, maupun petani dengan materi dan lingkungan belajar. Dengan demikian untuk pengembangan intensitas belajar petani sertifikasi di masa mendatang perlu lebih difokuskan pada kegiatan-
164
kegiatan untuk meningkatkan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kompetensi penyuluh dalam mengembangkan atau meningkatkan wawasan teknis kehutanan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, dinilai masih kurang oleh petani sertifikasi, khususnya di Wonogiri. Petani sertifikasi, khususnya di Wonogiri mendapatkan pembelajaran mengenai budidaya tanaman kayu-kayuan lebih banyak secara turun menurun (informal), dan tanpa melalui pembelajaran formal ataupun nonformal lainnya. Salah satu kelemahan pendamping di Wonogiri adalah kurangnya tenaga teknis yang berkaitan dengan teknis kehutanan, karena sebagian besar pendamping dari LSM PERSEPSI bukan berlatar belakang pendidikan kehutanan. Sementara pendamping di Gunung Kidul, berlatar belakang pendidikan kehutanan, tetapi kelemahanannya adalah kurang mengakomodir pengetahuan lokal masyarakat. Hal tersebut diakui oleh salah seorang pamong, bahwa sebenarnya mereka sudah tahu cara menghitung tinggi pohon, volume pohon dengan cara dan kearifan masyarakat dan sudah terbukti cukup akurat. Tetapi mereka diajarkan cara lain yang menurut mereka cukup membingungkan dan lebih sulit. Pembelajaran lebih baik bila dapat mengkombinasikan antara pengetahuan teknis dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Pengetahuan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari yang baru, yang dikombinasikan dengan pengetahuan lokal masyarakat, sesuai dengan kebutuhan, mudah dipahami dan diterapkan oleh petani sertifikasi menjadi hal-hal menarik yang dapat meningkatkan intensitas belajar petani. Pentingnya mengakomodir apa yang telah dimiliki oleh masyarakat dalam pengelolaan usaha kehutanan ini sejalan dengan pendapat Darusman (2001) bahwa strategi pengembangan usaha masyarakat akan membuahkan hasil yang baik jika strategi yang diterapkan berprinsip pada apa yang dimiliki masyarakat, apa yang berkembang di masyarakat dan bukan dengan cara mengintroduksikan sesuatu hal yang baru, yang sesungguhnya tidak dikuasai, bahkan tidak disukai oleh masyarakat.
165
Pendekatan pembelajaran Berkaitan dengan pendekatan pembelajaran hal yang menarik adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap intensitas belajar petani sertifikasi sangat kecil atau bahkan tidak nyata. Artinya pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Hal ini bertentangan dengan banyak pendapat berkaitan dengan proses pembelajaran di antaranya ialah Sumanto (2006), Goodwin (1971), van den Ban (1999) dan Sudjana (2000). Semua pendapat menyatakan bahwa proses belajar dipengaruhi oleh pendekatan atau metode yang digunakan oleh fasilitator dalam proses belajar. Metode atau pendekatan pembelajaran yang berbeda menghasilkan proses dan hasil belajar yang berbeda pula. Sudjana (2000) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang berpusatkan kepada peserta didik menghasilkan keterlibatan peserta didik yang tinggi, umpan balik lebih akurat, dan proses belajar dapat dilakukan lebih optimal dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang berpusatkan pada pendidik atau fasilitator. Keberhasilan petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam memperoleh sertifikasi Ekolabel ternyata bukan merupakan hasil dari pembelajaran selama proses pendampingan yang berlangsung beberapa tahun. Keberhasilan tersebut lebih merupakan proses belajar mandiri secara arif oleh petani yang telah berlangsung puluhan tahun. Proses belajar masyarakat di kedua lokasi penelitian diawali oleh kesadaran kritis berkaitan dengan permasalahan kesulitan hidup dan kondisi alam yang sangat kritis, dan harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Pembelajaran mereka tentang Hutan Rakyat selama ini lebih banyak diwariskan turun menurun dari orang tua mereka. Hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Rogers (1969), bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers mencetuskan teori belajar yang non-direktif dengan menggunakan prinsip “self determination” dan “selfdirections”
dengan
pendekatan
“learner
centered”.
Menurut
Rogers,
pembelajaran memberikan kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk
166
menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Menurut teori ini, perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka
untuk
meningkatkan
kemandirian
dalam
berinteraksi
dengan
lingkungannya. Pendekatan
pembelajaran
yang
digunakan
oleh
penyuluh
atau
pendamping, terutama di Wonogiri dinilai sangat rendah oleh petani sertifikasi. Mereka bahkan banyak yang mengaku belum pernah mendapatkan pembelajaran dari penyuluh ataupun pendamping. Bahkan ada yang mengaku sampai usia mereka saat ini belum pernah bertemu dengan penyuluh ataupun pendamping. Proses pembelajaran di Gunung Kidul jauh lebih baik, karena lebih sering mendapatkan pendampingan dan pembelajaran dari penyuluh dan pendamping, khususnya di Desa Kedung Keris sehingga pendekatan pembelajaran dinilai sedang oleh petani. Secara keseluruhan, penilaian petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian adalah rendah, dilihat dari nilai skor rataannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Pendekatan pembelajaran atau pendampingan petani, khususnya berkaitan dengan
Hutan
Rakyat
Lestari,
dilihat
dari
lima
indikator
yang
merepresentasikannya, lebih cenderung menggunakan pendekatan mengajar (teaching) daripada pembelajaran (learning).
Pertama, dalam hal materi
pembelajaran Hutan Rakyat Lestari lebih diarahkan untuk mencapai target-target tertentu dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi. Materi pembelajaran lebih banyak ditetapkan oleh LSM pendamping, petani kurang dilibatkan. Dengan demikian materi pembelajaran kurang dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya masalah utama masyarakat adalah bagaimana mengatasi kebiasaan “tebang butuh”. Sebenarnya masyarakat menginginkan adanya usaha produktif lain yang dapat mengalihkan kebiasaan tebang butuh, untuk menambah penghasilan mereka selama menunggu waktu tepat untuk memanen kayu.
167
Kedua, metode pembelajaran lebih banyak tatap muka, diskusi kelompok dalam pertemuan-pertemuan rutin kelompok seperti salapanan, atau tiap tanggal tertentu tiap bulan. Selain pertemuan kelompok, dilakukan juga praktek di lapangan, seperti
pendugaan volume kayu, pemetaan batas lahan milik dan
lainnya. Namun, hanya sebagian kecil pengurus yang mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan praktek di lapangan, sebagian besar anggota tidak dilibatkan. Ketiga, model pembelajaran lebih banyak diskusi kelompok, tapi masih lebih banyak didominasi oleh penyuluh dan pendamping serta pengurus kelompok. Diskusi belum banyak dapat menggali pengalaman dan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Keempat, tahapan pembelajaran dengan menggunakan paham “trickle down effect”, dengan asumsi pengurus terlebih dahulu diikutkan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan berharap akan menyebarluaskan materi yang telah didapat oleh pengurus kepada anggota lainnya, tetapi ternyata proses penyebarluasan materi pembelajaran atau informasi kepada anggota tidak berjalan dengan baik.
Kelima, cara pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
banyak kegiatan di lapangan (learning by doing), namun belum banyak menggali pengalaman dan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kurang menggunakan experiental learning,
discovery learning, dan cara
pembelajaran andragogi lainnya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (sertifikasi) di kedua lokasi penelitian ternyata masih belum menerapkan empat prinsip pembelajaran orang dewasa yang diperkenalkan oleh Knowles (1979). Keempat prinsip mendasar dalam pendidikan orang dewasa tersebut ialah: (1) Orang dewasa memiliki konsep diri sehingga mampu mengambil keputusan sendiri, memikul tanggung jawab dan menyadari tugas dan perannya. Oleh karenanya perlu diciptakan iklim belajar yang sesuai keadaan orang dewasa dengan melibatkan peserta belajar dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, perencanaan belajar, proses belajar mengajar dan mengevaluasi kemajuan dalam proses belajarnya; (2) orang dewasa memiliki banyak pengalaman, yang membentuk pendapat dan kepribadian orang tersebut. Sehingga dalam pembelajaran perlu dimanfaatkan dan digali kekayaan pengalaman yang dimiliki
168
orang dewasa, proses belajar ditekankan pada aplikasi praktis dan belajar dari pengalamannya; (3) orang dewasa memiliki kesiapan belajar, berdasarkan kebutuhan yang dirasakan; dan (4) orientasi belajar orang dewasa adalah aplikasi belajar langsung dimanfaatkan sehingga materi pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah dan pengalaman belajar dirancang berdasarkan masalah atau fokus perhatian peserta belajar. Bila
dikaitkan
dengan
strategi
pengembangan
masyarakat
yang
diperkenalkan oleh Batten, diacu dalam Isbandi (2003), pendekatan pembelajaran di kedua lokasi penelitian sebenarnya dapat dilakukan dengan pendekatan non direktif karena tingkat kesadaran kritis masyarakat terhadap pengelolaan hutan rakyat yang sudah tinggi. Pendekatan nondirektif, atau lebih dikenal dengan pendekatan partisipatif dilakukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pada pendekatan ini penyuluh dan pendamping tidak menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan apa yang ”baik” atau ”buruk” bagi suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan tersebut adalah masyarakat itu sendiri, penyuluh lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Tujuan dari pendekatan non direktif adalam upaya pengembangan masyarakat adalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka.
Faktor yang mempengaruhi Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat Lestari Hasil analisis SEM pada Gambar 6 menunjukkan bahwa perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2) dipengaruhi secara nyata oleh peubah : Intensitas belajar (Y1) dan karakteristik petani (X1). Faktor Kelembagaan masyarakat (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku petani. Hubungan antara Perilaku Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Y2) dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya dituliskan dengan persamaan: Y2
= 0,51*Y1 + 0,40*X1,
R2 = 0,72. Dari persamaan tersebut,
169
dapat disimpulkan bahwa peubah yang paling berpengaruh terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari ialah Intensitas Belajar. Selanjutnya peubah lain yang mempengaruhi perilaku petani ialah karakteristik individu petani. Secara simultan pengaruh kedua peubah tersebut pada perilaku petani mengelola Hutan Rakyat Lestari adalah sebesar 0,72. Hal ini mengandung makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut adalah 72 persen, sedangkan sisanya 28 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error.
Dengan demikian, hipotesis 2 dalam penelitian ini
diterima, walaupun ada satu peubah yang ditolak atau tidak berpengaruh secara langsung, yaitu kelembagaan masyarakat (X4). Perilaku petani mengelola Hutan Rakyat Lestari dalam penelitian ini secara umum tergolong sedang untuk aspek produksi dan ekologi, dan tinggi untuk aspek sosial. Namun, tingginya perilaku sosial, bila dikaji lebih mendalam ternyata tidak pada semua ranah ”tinggi”. Tingginya ranah pengetahuan dan sikap ternyata tidak berimplikasi terhadap ranah ketrampilan, karena pada ranah ketrampilan tergolong rendah. Artinya walaupun petani baik dalam wawasan atau pengetahuan dan memiliki sikap positif terhadap aspek sosial Hutan Rakyat Lestari, namun belum diimbangi dengan
ketrampilannya menerapkan aspek
sosial Hutan Rakyat Lestari. Petani dalam melaksanakan usaha Hutan Rakyat Lestari lebih banyak melakukannya secara individu, dan belum banyak dikerjakan bersama secara berkelompok. Keberadaan kelompok tani yang diharapkan menjadi unit manajemen dalam Hutan Rakyat Lestari belum berjalan dengan baik dan mendukung perilaku positif dari anggotanya.
Intensitas Belajar Hasil analisis SEM mengungkapkan bahwa intensitas belajar petani memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari, walaupun secara keseluruhan intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi cenderung rendah. Artinya baik buruknya perilaku petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri dipengaruhi kuat oleh tingkat intensitas belajar petani. Intensitas belajar petani dalam penelitian ini direfleksikan oleh lima aspek berikut, dari nilai tertinggi sampai
170
terendah yaitu interaksi antara : (1) petani dengan penyuluh atau pendamping; (2) petani dengan materi pembelajaran; (3) petani dengan lingkungan belajar; (4) petani dengan kelompok tani; dan (5) petani dengan petani. Intensitas belajar yang tinggi akan mempengaruhi perilaku yang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Bila dikaitkan dengan tingkat intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri, maka rendahnya tingkat intensitas belajar petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian, terutama dipengaruhi oleh : rendahnya intensitas interaksi petani dengan penyuluh/pendamping, intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran, dan intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar. Interaksi petani dengan penyuluh/pendamping Rendahnya interaksi petani dan penyuluh/pendamping antara lain karena : (1) keterbatasan jumlah penyuluh kehutanan, terutama yang ditugaskan untuk mendampingi, khususnya di Wonogiri. Perhatian pemerintah, khususnya, Dinas Kehutanan sebagai induk pembina penyuluh, lebih kepada lokasi-lokasi dengan persentasi lahan kritis yang luas. Penempatan penyuluh lebih banyak disesuikan dengan program rehabilitasi lahan kritis. Desa Sumberejo dan Selopuro di Wonogiri merupakan daerah yang sudah dianggap berhasil dalam pelestarian alam dan lingkungan, dan sedikit lahan kritis sehingga kurang mendapat perhatian fokus pemerintah; (2) penyuluh dan pendamping tidak tinggal bersama dengan masyarakat. Penyuluh dan pendamping biasanya datang ketika ada kegiatan atau kadang-kadang pada pertemuan kelompok. Dengan demikian sangat jarang frekuensi pertemuan, begitu juga dengan intensitas hubungan yang terjalin dengan penyuluh lebih bersifat formal, sebatas ’petugas pemerintah’ atau ”petugas pendamping” dan petani sebagai sasaran penyuluhan. Walaupun di Gunung Kidul, interaksi lebih baik, namun petani menginginkan intensitas pertemuan yang lebih banyak
dengan
penyuluh
dan
pendamping.
Manfaat
interaksi
dengan
penyuluh/pendamping bila intensitas pertemuan dan hubungan tinggi sangat banyak, yang paling penting ialah penyuluh/pendamping dapat berempati, mendalami permasalahan yang dihadapi petani dan kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh petani. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971), menyebutkan
171
bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan murid mempengaruhi hasil belajar. Interaksi antara penyuluh dan petani, yang diharapkan oleh petani sebenarnya seperti yang diungkapkan wanita Aborigin Australi, yang dikutip dalam Suharto (2005) : ”If you have come to help me you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together”. Untuk dapat bekerja sama dengan petani, penyuluh dan pendamping harus melihat perjuangan petani sebagai bagian dari perjuangan penyuluh dan pendamping juga, bukan dengan maksud sekedar menolong petani. Berkaitan dengan pendekatan pengembangan masyarakat (community development), peran penyuluh dan pendamping menurut Batten dalam Isbandi (2003) adalah sebagai katalisator, pemercepat perubahan (enabler) yang mempercepat terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat untuk menentukan arah langkahnya sendiri (self-determination) dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri (self-help). Havelock (1973) menyebutkan empat hal yang perlu diperhatikan oleh penyuluh atau pendamping sebagai agen pembaharu agar dapat membantu kliennya memecahkan masalah: (1) sikap bersahabat; (2) kesamaan, agen pembaharu yang efektif adalah yang dirasakan sama dengan kliennya, dalam arti cara berpakaian, gaya bicara dan lainnya; (3) manfaat: keberadaan agen pembaharu harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat; dan (4) responsif: seorang agen pembaharu harus selalu menjadi seorang pendengar yang baik dan penuh perhatian. Interaksi petani dengan materi belajar, khususnya di Wonogiri sangat rendah. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya interaksi tersebut adalah: (1) rendahnya intensitas pertemuan dengan Penyuluh dan pendamping, bahkan di Wonogiri banyak petani hutan rakyat sertifikasi yang sama sekali tidak mengetahui penyuluh atau pendampingnya. Padahal pertemuan kelompok sekaligus arisan berjalan cukup baik, dengan jumlah kehadiran anggota yang cukup banyak 50% lebih di tiap-tiap kelompok. Sebenarnya pertemuan kelompok secara rutin atau arisan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pembelajaran dan interaksi petani dengan materi pembelajaran; (2) materi pembelajaran lebih banyak given, tidak sesuai dengan permasalahan dan
172
kebutuhan petani.
Dan seringkali hanya diberikan kepada beberapa orang
pengurus kelompok saja. Petani di Wonogiri menginginkan materi pembelajaran berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi, khususnya untuk mengatasi penebangan kayu yang belum cukup besar karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka berharap mendapatkan materi pembelajaran mengenai pengolahan kayu pasca panen, budidaya ikan di bawah tegakan dan lainnya. Namun, keinginan tersebut kurang mendapat perhatian lembaga pendukung. Interaksi petani dengan lingkungan belajar di Wonogiri sangat rendah. Petani sedikit memiliki akses untuk berinteraksi dengan lingkungan belajar, yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Lingkungan belajar dalam hal ini hal-hal yang mendukung proses belajar Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), baik sarana prasarana, institusi yang mendukung proses belajar dan lainnya. Misalnya, di Wonogiri telah dibuat tempat penampungan kayu, bengkel kerja, di Gunung Kidul telah ada koperasi, tetapi sulit dijangkau petani karena letaknya tidak strategis. Sebenarnya hampir semua kelompok memiliki tempat pertemuan yang tetap, umumnya di rumah ketua kelompok, namun sekretariat yang umumnya mudah dijangkau anggota belum difasilitasi menjadi salah satu sarana atau lingkungan belajar yang baik bagi anggotanya. Lingkungan belajar yang paling mudah dijangkau oleh semua petani sebenarnya tegalan, kebun dan pekarangan tempat mereka mengelola lahan, tetapi tanpa adanya pendampingan yang baik, lingkungan tersebut tidak menjadi lingkungan belajar yang baik bagi petani. Padahal sangat banyak hal yang dapat dipelajari dari interaksi dengan lahan usaha, pekarangan, atau tegalan yang mereka miliki sebagai lingkungan belajar. Memperhatikan interaksi petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) dengan penyuluh, materi belajar dan lingkungan belajar, dikaitkan dengan kecenderungan pembelajaran menurut Dwiyogo (2008), dapat dikatakan pembelajaran di kedua lokasi penelitian masih lebih cenderung ke arah pembelajaran tradisional, dimana pembelajaran masih sangat tergantung dari guru, terbatas pada tempat dan waktu tertentu. Pengembangan pembelajaran bagi petani pengelola hutan rakyat lestari lebih diarahkan kepada pembelajaran visioner, dimana pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja
173
dan melalui apa saja. Petani pengelola hutan rakyat lestari sebenenarnya telah memiliki motivasi intrinsik yang sangat tinggi, bahkan di Gunung Kidul dengan konsep diri yang tinggi, sehingga dapat diarahkan pada pembelajaran visioner sehingga petani dapat mengembangkan pembelajaran mandiri dengan tidak tergantung pada penyuluh, tempat dan waktu tertentu saja.
Karakteristik petani Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam penelitian ini termasuk kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata karakteristik petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari. Karakteristik petani dalam penelitian ini direfleksikan oleh aspek, secara berurutan dari nilai koefisien yang paling tinggi: konsep diri, motivasi ekstrinsik, dan motivasi intrinsik. Artinya selain peubah intensitas belajar, konsep diri, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri secara nyata mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri
yang positif menghasilkan perilaku yang baik dalam
pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, demikian sebaliknya konsep diri yang negatif menghasilkan perilaku yang kurang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Hal ini terungkap dari hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa petani di Wonogiri walaupun mempunyai motivasi intrinsik yang tinggi, tetapi karena adanya konflik internal, kecemburuan sosial, ketidakpercayaan terhadap LSM pendamping, kurangnya pembinaan dan tidak berlanjutnya pendampingan telah menurunkan semangat petani bahkan menghasilkan konsep diri yang negatif terhadap perkembangan Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang negatif tersebut telah menghambat pengembangan Hutan Rakyat Lestari, khususnya berkaitan dengan penerapan nilai-nilai sosial dalam pengelolaan hutan rakyat sertifikasi. Sebagai contoh dalam hal pemasaran, yang sebenarnya sangat penting untuk dilakukan secara komunal, akhirnya karena sistem FKPS tidak berjalan, dan ketidakpercayaan anggota terhadap pengurus, tidak dapat akhirnya petani lebih suka menjual kayu secara perseorangan.
berjalan baik, dan
174
Motivasi ekstrinsik yang kurang baik, akan berdampak negatif terhadap perilaku petani, sekalipun motivasi intrinsiknya baik. Hal ini terbukti di Wonogiri, dimana motivasi intrinsik petani tinggi, namun kurang didukung atau difasilitasi oleh kelembagaan pendukung pembelajaran dan lingkungan belajar yang baik sehingga menimbulkan motivasi ekstrinsik yang kurang baik. Bahkan motivasi ekstrinsik semakin buruk dengan adanya ketidakpercayaan terhadap LSM pendamping, dan hubungan yang kurang harmonis dengan pengurus FKPS menyebabkan konsep diri petani terhadap Hutan Rakyat Lestari menjadi negatif. LSM pendamping, yang dianggap telah “ingkar janji” dan ketidakterbukaan pengurus FKPS menyebabkan perilaku petani yang kurang baik. Dengan pengalaman yang kurang baik, konsep diri dan motivasi ekstrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri kurang baik, sehingga menyebabkan intensitas belajar yang cenderung rendah. Tetapi karena motivasi intrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri sangat tinggi, petani tetap mau terus belajar mengembangkan Hutan Rakyat Lestari secara mandiri, walaupun kurang didukung oleh lembaga pendukung pembelajaran sehingga perilaku petani huta rakyat sertifikasi di Wonogiri masih tergolong sedang. Motivasi intrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian yang sangat tinggi, yang dibentuk melalui pengalaman, telah mempengaruhi pengetahuan, sikap dan ketrampilan mereka dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri lebih banyak mendapatkan pengetahuan melalui pembelajaran sendiri dan turun temurun dari orang tua mereka. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan pembelajaran sendiri ini, yang disebut kearifan lokal, telah membentuk kesadaran mereka tentang pentingnya Hutan Rakyat Lestari. Dengan demikian kesadaran yang
kemudian
memotivasi
mereka
untuk
lebih
banyak
belajar
dan
mengembangkan Hutan Rakyat Lestari. Sebagai contoh pertama, petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri mendapatkan pengetahuan tentang nilai ekonomi kayu karena didorong motivasi intrinsik ingin mengembangkan hutan rakyat dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri sekarang mulai mengganti tanaman mahoni dengan tanaman sengon laut, karena mempunyai nilai ekonomi kayu yang lebih tinggi. Mereka mau
175
melakukan percobaan dan penghitungan keuntungan sendiri, dengan biaya sendiri karena motivasi intrinsik yang sangat tinggi. Contoh kedua, dari segi ekologi, karena telah merasakan manfaat dari tanaman kayu-kayuan dalam memunculkan mata-mata air baru, dan didorong untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik lagi, petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri membandingbandingkan penyerapan air oleh tanaman. Dan hasilnya mereka mendapatkan bahwa tanaman akasia sangat rakus air dan tidak dapat menahan air dengan baik dibandingkan tanaman jati. Dengan demikian pengetahuan, sikap dan ketrampilan mereka dalam mengembangkan Hutan Rakyat Lestari menjadi lebih baik.
Kelembagaan Masyarakat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Tetapi kelembagaan masyarakat memberikan pengaruh tidak langsung terhadap perilaku petani sertifikasi. Artinya, keberadaan kelompok tani dan kelembagaan masyarakat lainnya, dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh langsung terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Keberadaan kelompok tani dan kelembagaan lainnya memberikan pengaruh terhadap intensitas belajar petani, yang kemudian intensitas belajar petani tersebut berpengaruh terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Kelompok Tani dan kelembagaan masyarakat lainnya, seperti Koperasi, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) dan lainnya masih bersifat terlalu formal, dan banyak yang dibentuk hanya untuk memenuhi persyaratan sertifikasi. Kelembagaan ini sebenarnya diharapkan dapat menjadi wadah pengembangan kapasitas petani hutan rakyat sertifikasi, khususnya dalam pengembangan pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat baik dalam aspek ekologi, produksi dan sosial. Namun karena sifat kelembagaan ini lebih ke arah organisasi modern dan formal, sehingga sulit diikuti dan dijalankan oleh masyarakat yang belum terbiasa dalam berorganisasi. Selain itu masyarakat belum menyadari pentingnya keberadaan organisasi dan merasakan manfaat dari keberadaan organisasi tersebut dalam usaha hutan rakyat yang mereka kelola.
176
Sementara organisasi yang tumbuh dari masyarakat seperti arisan, kelompok pengajian, belum difasilitasi menjadi media pembelajaran dan pembentukan perilaku petani, khususnya dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Padahal keberadaan kelompok sosial masyarakat seperti ini bila dikembangkan dan difasilitasi dengan baik dapat menjadi kapital sosial masyarakat yang sangat potensial untuk peningkatan perilaku positif bagi petani hutan rakyat sertifikasi.
Pengaruh Faktor Lain Dari hasil analisa SEM didapatkan bahwa peubah intensitas belajar dan karakteritik individu petani secara simultan mempengaruhi perilaku petani mengelola hutan rakyat (lestari) sebesar 0,72. Hal ini mengandung makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut adalah 72 persen, sedangkan sisanya 28 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Peubah lain yang diduga mempengaruhi perilaku petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi), yang dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya adalah perilaku non konsumtif petani dan pola pengelolaan ekonomi rumah tangga. Perilaku petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat (sertifikasi) tergolong sedang dalam aspek produksi dan aspek ekologi, dan tinggi dalam aspek sosial. Perilaku lestari petani tersebut diduga dipengaruhi juga oleh perilaku non konsumtif petani hutan rakyat (sertifikasi). Bila perilaku petani pengelola hutan rakyat konsumtif, tidak akan ditemui hutan rakyat dengan kelestarian produksi dan kelestarian hasil hutan, karena semua kayu yang mempunyai nilai jual cukup tinggi akan ditebang untuk dijual. Hal ini yang menjadi kekuatiran banyak pihak terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri di masa mendatang. Mengingat semakin meningkatnya harga kayu baik akibat semakin menipisnya stok kayu dari hutan alam atau hutan produksi, dikuatirkan hutan rakyat akan mengalami hal yang sama sebagaimana pengeksploitasian hutan alam yang telah rusak. Perilaku petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) yang tidak konsumtif diharapkan dapat mencegah terjadinya
177
over cutting yang akan mengancam kelestarian sumberdaya hutan, baik dari segi produksi, ekologi dan sosial. Demikian juga
dalam pola pengelolaan ekonomi rumah tangga, bila
petani pengelola hutan rakyat (sertifikasi) tidak dapat mengelola ekonomi rumah tangga dengan baik, maka mereka tidak akan memperhatikan dan memperdulikan kearifan ”tebang butuh”. Bila petani hutan rakyat tidak dapat mengelola ekonomi rumah tangganya dengan baik, maka petani cenderung memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan kurang memikirkan adanya tabungan bagi masa depan atau keperluan mendesak. Padahal kenyataan yang ada, baik petani hutan rakyat (sertifikasi) di Gunung Kidul maupun Wonogiri melakukan ”tebang butuh”, yaitu membatasi penebangan kayu hanya jika ada keperluan mendesak dan tidak ada alternatif lainnya yang dapat dimanfaatkan. Petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki pola mengelola ekonomi rumah tangga yang baik, mereka sangat memperhatikan keperluan tabungan, bahkan bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi juga anak dan cucu mereka. Latar belakang kehidupan petani di masa lalu yang sangat sulit, telah membentuk perilaku petani yang sangat menghargai sumberdaya yang dimiliki untuk dikelola dengan baik, sehingga berdampak pada perilaku pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik. Pola pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik membentuk kesadaran untuk menabung dengan cara penanaman pohon segera setelah penebangan dilakukan. Kebiasaan menanam (setelah penebangan) bahkan sudah membudaya bagi petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri, sehingga membentuk perilaku lestari petani hutan rakyat (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri.
Peran Penting Kelembagaan dalam Proses Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa faktor kelembagaan memegang peranan penting dalam proses pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi, baik kelembagaan eksternal pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, maupun kelembagaan internal masyarakat. Kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, terutama di Gunung Kidul menunjukkan bahwa adanya kelembagaan pendukung yang bersinergi dan berkolaborasi dengan baik dapat
178
berdampak pada proses pembelajaran petani sertifikasi yang baik, sehingga menghasilkan intensitas belajar yang lebih baik di Gunung Kidul. Beberapa hal keunggulan kelembagaan yang berkolaborasi dan sistemik antara lain pertama dengan adanya komitmen bersama lembaga atau institusi untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari berdampak pada keseriusan lembaga atau institusi yang terlibat untuk memberikan perhatian, mengalokasikan dana dan kegiatan, juga menempatkan personil untuk mendukung pembelajaran petani tentang Hutan Rakyat Lestari.
Kedua, keterlibatan berbagai institusi
dengan fungsi yang beragam, yaitu penelitian, pendidikan, penyuluhan dan pemasaran-perkreditan, akan melengkapi proses pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi. Sebagai contoh, fungsi penelitian yang dilakukan oleh pihak Perguruan Tinggi akan menghasilkan temuan-temuan atau inovasi yang penting untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Hasil-hasil temuan atau inovasi tersebut perlu disosialisasikan kepada petani melalui penyuluh dan pendamping. Oleh karena itu dibutuhkan institusi yang berfungsi pendidikan maupun penyuluhan. Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis Pemda maupun Kementerian Kehutanan untuk meningkatkan kapasitas penyuluh dan pendamping perlu bekerja sama dan terkait dengan fungsi penelitian, sehingga penyuluh dan pendamping dapat ditingkatkan kapasitasnya berkaitan dengan hasil temuan institusi penelitian, berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari baik teknis maupun aspek sosial lainnya. Fungsi penyuluhan yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat akan saling melengkapi dalam mempersiapkan dan memfasilitasi tenaga penyuluh dan pendamping, sehingga dapat melakukan tugas pendampingan petani hutan rakyat sertifikasi dengan baik. Fungsi pemasaran dan perkreditan merupakan peran penting dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, yang sampai dengan saat ini belum berjalan dengan baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Kelemahan petani hutan rakyat sertifikasi terutama dalam hal pemasaran, sehingga belum ada peningkatan pendapatan secara nyata dari kayu yang dipanen dari hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikasi. Kelembagaan pemasaran penting untuk meningkatkan posisi tawar petani yang masih rendah dalam penentuan harga jual kayu hutan
179
rakyat. Rendahnya posisi tawar petani karena adanya kebutuhan mendesak untuk memperoleh uang kontan, sehingga harga jual kayu biasanya ditentukan oleh tengkulak. Menurut Widayanti et. al, (2005), permasalahan pemasaran ini dapat dipecahkan apabila kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat telah kuat atau dikelola oleh organisasi yang profesional, yang dibentuk dari pemilik hutan rakyat. Keberadaan kelembagaan pemasaran menjadi aspek penting dalam meningkatkan intensitas belajar petani dalam mengembangkan pengelolaan hutan rakyat lestari, karena kelembagaan pemasaran yang berjalan baik akan lebih memotivasi petani untuk mengembangkan usaha hutan rakyat lestari dan akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Lembaga perkreditan sangat penting bagi petani hutan rakyat sertifikasi untuk mencegah petani menebang pohon di bawah standar, pada saat dibutuhkan yaitu pada saat kebutuhan keluarga yang besar dan mendesak, seperti hajatan, menyekolahkan anak, biaya pengobatan sakit dan lainnya. Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, sebenarnya dibentuk untuk melakukan fungsi ini, namun belum dapat berjalan baik. Sejalan dengan pentingnya lembaga perkreditan, Prihadi (2010) menyatakan bahwa fasilitas ”kredit tunda tebang” mendukung pelaksanaan penundaan penebangan bagi kayu-kayu yang masih belum memenuhi standar. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kredit tunda tebang telah meningkatkan keunggulan kompetitif dan memiliki tingkat efisiensi lebih baik dibandingkan tanpa adanya kredit tunda tebang. Keterkaitan antara fungsi penelitian, fungsi pendidikan, fungsi penyuluhan dan fungsi pemasaran-perkreditan dalam pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi merupakan hal penting. Sampai dengan saat ini koperasi belum termasuk dalam Pokja, demikian juga keterlibatan pihak swasta yang berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Padahal cukup banyak pihak swasta yang dapat dilibatkan menjadi mitra untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari, misalnya perusahaan furniture, perusahaan air minum, yang mendapatkan manfaat dari kelestarian hutan.
Beberapa perusahaan yang telah menjalin kerjasama
dengan Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul antara lain ialah Java furniture Lestari (Jakarta), CV. Airlangga Mebelindo Design, Surabaya, CV. Alpin Furniture, Jakarta, UD Ellika, Jepara dan UD Karya Jati, Jepara.
180
Keterlibatan swasta dalam POKJA diharapkan dapat ikut merumuskan konsep pemasaran hasil Hutan Rakyat Lestari sehingga mendapatkan hasil yang lebih tinggi, dan petani memiliki posisi tawar yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kraenzel (2001) bahwa pendekatan whole person yang dipopulerkan oleh Apps (1996) dalam pendidikan orang dewasa, dibutuhkan dalam membangun hubungan dalam pemasaran hasil pertanian, agar petani mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Perspektif hubungan kerja dalam
pemasaran hasil pertanian telah bergeser dari yang berorientasi pada pengawasan (control oriented), dikenal dengan ”I win you loose” ke arah orientasi pada komitmen (commitment oriented) untuk mencapai tujuan bersama, dikenal dengan ”I win you win” (win-win solution). Bila dikaitkan dengan pendapat Reed (2004) berkaitan dengan jenis hubungan antar institusi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, hubungan antar institusi pendukung pembelajaran di Gunung Kidul dapat dikatakan termasuk jenis kolaborasi (collaboration). Reed (2004) membedakan kerja sama (cooperation),
kolaborasi (collaboration) dan kemitraan sesungguhnya (true
partnership). Kolaborasi adalah tipe hubungan antar institusi dimana misi institusi yang bermitra saling tumpang tindih (overlap), dan masing-masing pihak menyepakati peranan yang setara dari misinya melalui perencanaan bersama. Tingkatan hubungan kolaborasi lebih tinggi dari kerja sama (cooperation) tetapi di bawah true partnership. Kerja sama adalah hubungan dengan saling berbagi kegiatan, sebagai hasil dari ajakan dari pihak lainnya. Permintaan yang sesuai dengan misi, nilai dan tujuan pihak yang diajak akan ditanggapi positif oleh pihak yang dilibatkan. Kegiatan di Gunung Kidul telah direncanakan bersama antar institusi yang terlibat dalam Pokja, dan telah disepakati peranan yang menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan, belum bersinergi seperti yang diharapkan. Handy (1985), yang diacu dalam Pretty (1997), menyatakan bentuk kolaborasi dimulai dengan forming, storming, norming, dan performing, maka di Gunung Kidul dapat dikatakan sudah mencapai tahapan performing dimana Pokja dapat melakukan pekerjaan lebih efektif sebagai sebuah tim kerja. Hal tersebut dapat terbukti dengan didapatkannya sertifikasi Ekolabel pada kayu hutan rakyat
181
dari wilayah binaan mereka dan langkah nyata ke arah terbitnya Peraturan Daerah tentang Hutan Rakyat Lestari yang dirumuskan bersama oleh Pokja. Sedangkan di Wonogiri dapat dikatakan belum memasuki tahapan manapun, termasuk tahapan forming. Karena sejak dari awal kegiatan sertifikasi tidak ada kesepakatan dan kesepahaman antara Pemda (Dinas Kehutanan) dan LSM pendamping. Berkaitan dengan hal tersebut, Pretty (1995) menegaskan bahwa untuk pertanian berkelanjutan diperlukan kelembagaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim yang multidisipliner, fleksibel dan heterogen, serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian untuk proses pembelajaran petani yang baik, pertama-tama perubahan bukan pada petani, tetapi paradigma kelembagaan pendukung pembelajaran, sekaligus mindset para pengambil kebijakan pada kelembagaan tersebut.
Wollenberg
(2005) menekankan bahwa pengelolaan kolaboratif dapat berjalan baik jika kelompok kepentingan mencoba untuk terlibat dalam proses yang berkembang dan berkelanjutan untuk saling memahami pengetahuan, tujuan, kepentingan, kapasitas dan aksi masing-masing. Kolaborasi juga dapat ditingkatkan dengan menjamin bahwa tidak ada pandangan atau pengetahuan dari satu kelompok pun yang mendominasi proses ini. Pembelajaran bersama mengakui bahwa kelompok kepentingan membawa pengetahuan yang berbeda (termasuk nilai-nilai, kapasitas, perspektif, metode pembelajaran, tempat pengalaman sejarah) pada proses kolaborasi tersebut. Pengetahuan dan pengalaman ini dapat menjadi aset bagi penyelesaian masalah. Pembelajaran bersama juga mendorong persepsi saling ketergantungan (interdependency) dan saling menghargai. Sejalan dengan hal tersebut, Nemarundwe (2005) mengungkapkan bahwa ada tiga persyaratan untuk kolaborasi, yaitu perlu fasilitasi pembelajaran dari pengalaman yang efektif, kekuasaan yang setara dalam proses pembelajaran tersebut dan kesediaan untuk aktif dalam proses multi tahap dalam kolaborasi. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat (internal) di kedua lokasi penelitian memiliki peran penting dalam proses pembelajaran petani. Kelembagaan informal seperti arisan, gotong royong, kelompok pengajian ternyata lebih disukai sebagai wadah pembelajaran bagi petani hutan rakyat sertifikasi, sedangkan kelompok formal yang dibentuk sebagai
182
persyaratan dalam proses sertifikasi seperti beberapa kelompok tani, koperasi, forum komunitas petani, kurang dinamis, dan kurang diminati oleh petani sebagai wadah pembelajaran. Salah satu alasan adalah para petani hutan rakyat sertifikasi, baik di Wonogiri maupun Gunung Kidul, belum terbiasa dengan struktur organisasi yang kaku, dengan peraturan dan tujuan organisasi yang kurang sesuai atau tidak menjawab kebutuhan mereka. Soetomo (2008) menyatakan bahwa kunci pertama keberhasilan program eksternal adalah apabila dapat mendorong munculnya aktivitas lokal. Apabila dampak keberlanjutan yang diharapkan, maka aktivitas lokal tersebut harus dapat menolong munculnya aktivitas lokal berikutnya sehingga akan tercapai suatu siklus kemandirian dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagai syarat agar aktivitas lokal tersebut dapat mendorong aktivitas berikutnya perlu adanya manfaat yang dirasakan pada tingkat warga masyarakat maupun pada tingkat komunitas, sehingga dapat memperkuat institusi yang mendorong kesinambungan aktivitas tersebut. Nemarundwe (2005) mengungkapkan dari pengalaman kolaborasi kelembagaan pengelolaan hutan di Zimbabwe, bahwa untuk meningkatkan peluang terjadinya pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu ada kolaborasi antara kelembagaan informal dan formal yaitu dengan saling berbagai tanggung jawab. Arisan dan gotong royong yang berkembang baik di kedua lokasi penelitian, yang didasarkan oleh persahabatan, kekerabatan dan kepercayaan merupakan kapital sosial yang perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Hubungan sosial pada masyarakat ini menjadi kekuatan yang sangat mendukung proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan bila terus dilestarikan dapat membentuk kapital lainnya, kapital manusia, kapital fisik dan lainnya. Dengan kapital sosial, kapital manusia dan kapital fisik yang berasal dari masyarakat sendiri akan sangat mendukung keberlanjutan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Lawang (2005) menegaskan bahwa bila semua kapital yang tersedia di dalam masyarakat (manusia, fisik dan sosial) dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam suatu program, maka bukan saja mencapai tujuan yang diinginkan tetapi juga menghasilkan keberlanjutan program itu sendiri. Nilai-nilai hidup/budaya kerja keras, yang sangat kental terlihat di Gunung Kidul maupun Wonogiri, juga mempengaruhi pembelajaran petani hutan rakyat
183
lestari (sertifikasi). Kesulitan hidup di waktu yang lampau karena kondisi fisik lahan dan alam yang sangat kritis telah menempa dan membentuk sikap mental penduduk di Gunung Kidul dan Wonogiri sebagai pekerja keras. Tidak jarang pada saat penelitian ditemui orang-orang yang sudah lanjut usia masih bekerja di ladang, bahkan membawa pakan ternak dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak jarang para wanita setengah baya memanen hasil ladang dan membawanya untuk dijual di pasar dengan berjalan kaki berkilo meter.
Mereka tetap melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat sekalipun secara finansial kebutuhan mereka telah terpenuhi karena ditunjang oleh anak-anak mereka yang telah berhasil dalam pekerjaan di kota-kota besar, bahkan di luar negeri. Kepemimpinan yang kuat mengakar dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari juga terlihat pada Kelompok Tani Percabaan di Desa Selopuro maupun di Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Sumberejo. Dilihat dari latar belakang sejarah hutan rakyat, dimana masyarakat digerakkan untuk bersama-sama melakukan penanaman di lahan kritis, dimulai dari contoh yang diberikan oleh pemimpin, ternyata membuahkan hasil yang baik, yaitu tumbuhnya budaya menanam dalam masyarakat di Wonogiri. Pengaruh pemimpin, yang terus ada sampai dengan penelitian ini dilakukan merupakan faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Djogo (2005) bahwa dalam upaya pembangunan berkelanjutan kepemimpinan lingkungan menjadi salah satu andalan. Kepemimpinan lingkungan dapat dibangun atau sudah eksis di dalam sebuah masyarakat tradisional atau masyarakat dan institusi pedesaan. Kepemimpinan lingkungan biasanya muncul karena adanya persoalan serius di bidang lingkungan atau pembangunan yang berdampak pada lingkungan. Kepemimpinan lingkungan pada dasarnya ialah bagaimana kita memimpin, bersikap dan bertindak sehingga orang lain mau bertindak sehingga orang lain mau berbuat baik untuk lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut Cao dan Zhang (2005), belajar dari pengalaman
pengelolaan
hutan
berbasis
komunitas
di
Yunnan,
China
mengungkapkan bahwa nilai-nilai budaya bersama menciptakan dasar yang kuat untuk negosiasi dan kompromi yang berhasil, yang membawa pada pengelolaan
184
hutan secara lebih efektif. Tetapi nilai-nilai bersama saja tidak cukup, tanpa kepemimpinan yang efektif dalam proses-proses informal untuk membangun konsensus, upaya pengelolaan hutan bisa gagal.
Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Model lengkap yang menggambarkan hubungan semua peubah yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, dapat dianalisis dari persamaan struktural yang dihasilkan dari analisis SEM, dan secara sederhana digambarkan pada Gambar 7.
Kompetensi penyuluh (X2)
Karakteristik petani (X1)
Intensitas Belajar Petani (Y1)
Perilaku Petani (Y2)
Kelembagaan masyarakat (X4) Kelembagaan Pendukung pembelajaran (X5)
Gambar 7. Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Sesuai dengan model yang didapat dari hasil penelitian, perilaku petani di kedua lokasi penelitian, yang tergolong sedang,
dapat ditingkatkan dengan
memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, yaitu: (1) Intensitas belajar petani; dan (2) Karakteristik petani. Dan untuk meningkatkan intensitas belajar petani perlu diperhatikan peningkatan aspek yang berpengaruh yaitu : (1) Kelembagaan pendukung pembelajaran; dan (2) Kompetensi Penyuluh.
185
Pengembangan Perilaku Petani Lestari melalui Peningkatan Intensitas Belajar Petani Peningkatan perilaku positif petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan intensitas belajar petani. Intensitas belajar petani di Gunung Kidul dan Wonogiri, yang saat ini cenderung sedang, dapat ditingkatkan dengan mengembangkan intensitas interaksi antara petani dengan penyuluh, materi belajar, kelompok tani, petani lainnya, dan lingkungan belajar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa aspek intensitas interaksi penyuluh/pendamping dengan petani merupakan indikator yang paling dominan merepresentasikan intensitas belajar petani. Intensitas interaksi petani dengan penyuluh bukan saja ditingkatkan melalui peningkatan frekuensi pertemuan dengan penyuluh, tetapi juga dari kualitas atau intensitas pertemuan. Komunikasi dengan penyuluh dan pendamping berkelanjutan baik secara formal maupun informal, dengan konteks hubungan pertemanan dan bukan sebagai guru dengan murid. Setiap interaksi yang dilakukan oleh petani dengan penyuluh atau pendamping, dapat membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi atau meningkatkan perilaku petani. Intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran ditingkatkan dengan cara memfasilitasi materi pembelajaran, dalam berbagai bentuk (cetakan, audio visual, dan lainnya), yang mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan dan minat petani. Pengadaan materi pembelajaran, terutama dikaitkan dengan pencarian solusi terhadap permasalahan yang dihadapi petani. Penyuluh dan pendamping juga perlu meningkatkan kapasitas petani agar dapat mencari informasi secara mandiri, baik melalui kerja sama dengan institusi pendukung pembelajaran maupun melalui media telekomunikasi. Intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar ditingkatkan dengan meningkatkan kapasitas petani dalam mendapatkan akses kepada sumber informasi, institusi pendukung pembelajaran ataupun sumber pembelajaran lainnya yang berkaitan dengan pengembangan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat juga akan membuka peluang petani untuk mendapatkan pelajaran melalui kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, seperti metode Sekolah Lapang dan lainnya.
186
Intensitas interaksi petani dengan kelompok tani dapat ditingkatkan melalui manajemen kelompok yang lebih baik (perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, pengawasan), sehingga kelompok dapat berjalan dinamis dan aktif dalam mencapai tujuan bersama. Dan tiap-tiap anggota dan bagian dapat berperan aktif dalam menjalankan fungsinya. Intensitas interaksi petani dengan petani ditingkatkan kapasitasnya sehingga interaksi antar petani menjadi lebih berkualitas, dalam arti setiap petani dapat menjadi sumber informasi terpercaya bagi sesama petani (dikenal dengan istilah farmer to farmer).
Peningkatan Intensitas Belajar Petani melalui Penguatan Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Petani Untuk meningkatkan intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari perlu memperhatikan peubah yang mempunyai pengaruh paling besar yaitu kelembagaan pendukung pembelajaran petani. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang relatif kolaboratif
di Gunung Kidul
menghasilkan intensitas belajar petani yang cukup baik. Sedangkan kelembagaan pendukung yang kurang kolaboratif seperti di Wonogiri, menghasilkan intensitas belajar petani yang rendah atau kurang baik. Salah satu kelemahan dalam kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul ialah kurangnya keterlibatan swasta. Baik pada pelaksanaan di lapangan, maupun dalam Pokja masih sangat kurang atau bahkan belum ada keterlibatan pihak swasta, khususnya yang berkaitan dengan pemasaran, penting sekali dilibatkan. Memang saat ini di Gunung Kidul baru dilaksanakan pengembangan Hutan Rakyat Lestari yang penekanannya
pada
pengelolaan hutan secara lestari, bukan pada sertifikasinya. Saat ini fokus masih terarah pada sosialisasi Hutan Rakyat Lestari, belum dikaitkan dengan program pasca panen atau pemasarannya sehingga belum melibatkan pihak swasta. Namun untuk peningkatan pengaruh kelembagaan pendukung pembelajaran pada intensitas belajar petani di masa mendatang perlu dikembangkan dengan melibatkan pihak swasta dalam Pokja ini. Selain kelemahan pada kelembagaan pemasaran, kelemahan yang ada dalam kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari baik di
187
Gunung Kidul dan Wonogiri ialah kurangnya mengakomodir kebutuhan, nilainilai masyarakat dalam pembelajaran. Sebagai contoh: kebiasaan petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri melakukan sistem ”tebang butuh” dalam pemanenan dan penanaman sejumlah pohon segera setelah penebangan sebenarnya merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat dalam melakukan metode pengaturan hasil hutan, yang menghasilkan kelestarian hutan. Bahkan dapat dikatakan mendekati keadaan hutan normal yang dikenal dalam manajemen hutan, di antaranya ialah dengan adanya sebaran kelas umur normal, volume/ persediaan normal dan pertumbuhan normal (Meyer et.al, 1961). Tetapi berkaitan dengan persyaratan sertifikasi, pihak eksternal ingin mengubah kebiasaan ”tebang butuh” petani hutan rakyat sertifikasi dengan metode pengaturan hasil yang biasa diterapkan pada hutan negara. Soetomo (2008) menyatakan bahwa faktor penghambat yang sering dijumpai kelembagaan eksternal dalam belajar dari pengetahuan dan kearifan lokal adalah adanya kesenjangan komunikasi antara pihak eksternal tersebut dengan masyarakat, sehingga kurang mampu memahami kerangka fikir masyarakat lokal. Selain itu, kendala juga disebabkan oleh kenyataan bahwa masih adanya prasangka bahwa masyarakat lokal khususnya masyarakat desa memiliki pengetahuan yang rendah sehingga masyarakat desa bukan sumber pengetahuan, sebaliknya di sisi yang lain pihak eksternal yang melaksanakan program di desa sebagai pihak yang lebih menguasai pengetahuan. Selanjutnya Soetomo (2008) menyebutkan bahwa dalam proses belajar sosial, hubungan dan kedudukan antara pihak eksternal dan masyarakat lokal tidak bersifat vertikal, melainkan horisontal karena pihak eksternal sekedar sebagi mitra. Melalui proses belajar tersebut masyarakat belajar untuk memahami dan memberi makna bahwa ide dari pihak eksternal dapat memberi manfaat sehingga mereka dapat menerimanya. Sebaliknya, apabila dalam proses belajar tersebut masyarakat menilai ide tersebut tidak bermanfaat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat dapat menolaknya. Oleh karena itu dalam proses belajar sosial, komunikasi dialogis, yang bersifat dua arah bukan instruksi atau perintah yang bersifat satu arah, berperan sangat penting.
188
Saat ini para penyuluh dan pendamping petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri, maupun institusi pembinanya masih cenderung lebih banyak menekankan kompetensi teknis dan belum banyak mengembangkan kapasitas masyarakat sesuai dengan minat serta kebutuhan petani untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan penelitian Narayan (1993), yang diacu dalam Pretty (1997), yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh seberapa banyak faktor dalam kelembagaan eksternal yang merupakan kebutuhan atau minat masyarakat lokal. Disimpulkan bahwa kesuksesan kelembagaan eksternal ditentukan oleh sejauhmana kelembagaan eksternal mengakomodir orientasi utama atau nilainilai, kebutuhan dan minat masyarakat lokal, respons selama pelaksanaan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengambil keputusan. Keberadaan BP2KP di Gunung Kidul seharusnya dapat meningkatkan pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Saat ini BP2KP belum terlibat dalam Pokja Hutan Rakyat Lestari, tetapi sebagai institusi yang memiliki tupoksi dalam pemberdayaan masyarakat dan instansi pembina para penyuluh kehutanan maka sudah seharusnya BP2KP dilibatkan Pokja. Bahkan peranan BP2KP dalam menyusun program pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, pelatihan penyuluh pendamping sebagai pelaksana teknis pembelajaran masyarakat di lapangan sangat penting bagi pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Mengacu kepada Pretty (1997) serta Moyo dan Hagman (1999) untuk pembangunan berkelanjutan diperlukan kelembagaaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim multidisipliner, fleksibel dan heterogen serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Kelembagaan eksternal harus realistik, cepat menanggapi masukan sehingga perlu memiliki respons adaptif untuk perubahan. Pembelajaran harus ditetapkan pada pemecahan masalah, interaktif dan berdasarkan kondisi di lapangan. Keterkaitan antara kelembagaan pendukung pembelajaran yang lebih baik, ialah bagaimana mengkaitkan antara penelitian, penyuluhan, pendidikan bagi masyarakat. Masing-masing lembaga mempunyai tugas pokok dan fungsi berlainan namun memiliki keterkaitan dan saling melengkapi, bekerja secara sinergis sehingga proses pembelajaran masyarakat dapat berjalan lebih baik. Hal
189
ini sejalan dengan pendapat Roling (1989) Rivera dan Schram (1987), yang diacu dalam Rivera et.al. (2005) bahwa sekumpulan institusi menjadi sebuah sistem jika komponennya terkait satu dengan lainnya, dan institusi yang terpisah tersebut saling terhubung sehingga dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan untuk saling berbagi sumberdaya manusia, fisik dan finansial untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Sistem ini dikenal dengan Agricultural Knowledge Information System (AKIS), yang terdiri dari tiga institusi yaitu penelitian, penyuluhan, kelembagaan pendidikan pertanian dengan petani sebagai pusat dari tujuan sistem tersebut, yaitu pelayanan terhadap petani. Seiring dengan perkembangannya AKIS berkembang menjadi AKIS/RD, yang mengutarakan empat mayor subsistem dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, yaitu : (1) subsistem penciptaan pengetahuan; (2) subsistem difusi pengetahuan; (3) subsistem penggunaan pengetahuan; (4) subsistem pendukung pertanian, terdiri dari kredit, input dan fungsi pasar. Pernyataan ini menguatkan hasil penelitian di atas bahwa dalam Pokja perlu dimasukkan pihak swasta yang tergolong dalam subsistem pendukung: yang menyediakan kredit, dan khususnya pemasaran. Bila dikaitkan dengan AKIS/RD, Pokja Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dapat dikatakan atau berfungsi sebagai sebuah sistem, yang terdiri dari subsistem pendidikan, penelitian, penyuluhan, informasi dan pemasaran sebagai subsistem tambahan dari keanggotan Pokja yang ada saat ini. Kelembagaan pendukung pembelajaran yang berkolaborasi, sudah merupakan keharusan dalam pengelolaan kehutanan berkelanjutan ke depan. Mengacu pada AKIS, yang disebarkan oleh FAO (2005), diperlukan pendekatan sistem dalam penyuluhan. Sistem penyuluhan terdiri dari lima sub sistem yang saling terkait, yaitu sub sistem penelitian, sub sistem pendidikan, sub sistem pendukung
(support system), sub sistem penyuluhan dan sub sistem petani.
Semua sub sistem ini saling terkait satu dengan yang lainnya dan masing-masing sub sistem memiliki peran dan fungsi yang berbeda, dan saling interdependensi. Dikaitkan dengan model AKIS yang dikembangkan oleh FAO, maka satu sub sistem yang belum ada dalam Pokja yaitu keterlibatan support system, yang melayani kredit, pemasaran dan lainnya.
190
Pokja Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, merupakan salah satu bentuk kolaborasi kelembagaan pendukung, yang menghasilkan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) yang lebih baik dibandingkan dengan Wonogiri. Pada kelembagaan pendukung pembelajaran di Wonogiri kurang adanya kerja sama, bahkan cenderung mengarah kepada hubungan yang kurang harmonis. Dan bila dikaitkan dengan AKIS, masih sangat jauh dari yang diharapkan, karena pada kelembagaan pendukung di Wonogiri baru terdapat satu sub sistem yaitu penyuluhan saja, sedangkan sub sistem lainnya tidak ada. Dengan kolaborasi yang lebih baik, diharapkan terdapat kesamaan visi, misi dan tujuan sistem yang mengikat semua sub sistem di dalamnya, sehingga walaupun masing-masing lembaga sebagai sub sistem tetap menjalankan fungsi dan
perannya
masing-masing,
tetapi
secara
bersamaan
mereka
juga
memperjuangkan tujuan sistem dimana mereka bergabung. Dengan demikian perlu ada pembagian peran dan tugas, yang tegas, yang mencakup penyediaan sarana, prasarana, fasilitas dan personil pendukung
yang menjamin tercapai
tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Mattesich et.al. (2001) yang mendefinisikan kolaborasi sebagai hubungan yang saling menguntungkan dan didefinisikan secara jelas antara dua atau lebih organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan tersebut mencakup komitmen terhadap tujuan bersama, struktur yang dikembangkan bersama dan tanggung jawab yang dibagi, kewenangan dan pertanggungjawaban bersama, dan berbagi sumberdaya dan pahala. Selanjutnya Mattesich et. al. (2001) mengungkapkan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak ialah konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada; adanya saling menghormati, kesepahaman dan kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya antar pihak, dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak, dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak, keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat, pemenuhan kepentingan setiap pihak; frekuensi komunikasi; dan ketersediaan sumberdaya. Salah satu faktor penting untuk mewujudkan kolaborasi tersebut adalah kesejajaran kapasitas sehingga semua pihak yang berkolaborasi mampu untuk
191
berbagi kewenangan, peran dan tanggung jawab, berbagi resiko dan keuntungan dan saling kontrol. Ketidakseimbangan kapasitas para pihak dapat mengganggu kepercayaan (trust) dan kesetaraan (equity) antar pihak dalam suatu kolaborasi, oleh karena itu perlu peningkatan kapasitas para pihak yang berkolaborasi. Seringkali masyarakat atau petani sebagai pihak dengan kapasitas yang lemah dalam suatu kolaborasi, oleh karenanya Chaskin et.al (2001) mengungkapkan kombinasi
empat
strategi
utama
dalam
peningkatan
kapasitas,
yaitu:
pengembangan kepemimpinan, pengembangan organisasi, pengorganisasian masyarakat dan pengembangan kolaborasi antar organisasi. Peningkatan kapasitas petani tersebut dapat dilakukan melalui pertemuan kelompok, diskusi petani dengan lembaga pendukung dan personilnya, diskusi petani dengan para penyuluh dan pendamping, studi banding dan pelatihan-pelatihan. Dikaitkan
dengan
hasil
SEM,
aspek
kelembagaan
pendukung
pembelajaran yang mempengaruhi intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi, terutama adalah dukungan kegiatan dan personil yang kompeten. Maka untuk pengembangan intensitas belajar, perlu diwujudkan kegiatan nyata kelembagaan pendukung yang berkolaborasi secara sinergis, yang dapat memenuhi kebutuhan dan membantu penyelesaian permasalahan yang dihadapi masyarakat. Demikian juga kelembagaan pendukung perlu mendukung personilpersonil yang kompeten dan dapat bersinergi dengan personil dari lembaga lain serta dapat saling melengkapi dalam pendampingan pembelajaran melalui kegiatan bersama. Untuk itu penting bagi kelembagaan pendukung pembelajaran mengadakan pelatihan bersama dan peningkatan kapasitas personil-personil agar dapat melakukan pendampingan petani dengan baik. Selain dari itu kelembagaan pendukung pembelajaran perlu terus mensosialisasikan visi, misi dan tujuan bersama sehingga dapat
dicapai kesepahaman, kepercayaan dan kesepakatan
bersama.
Peningkatan Intensitas Belajar Petani Melalui Peningkatan Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Dalam penelitian ini kompetensi penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dan Wonogiri secara keseluruhan cenderung rendah, tetapi kompetensi
192
penyuluh atau pendamping berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani. Jadi, untuk dapat meningkatkan intensitas belajar petani, penyuluh atau pendamping perlu meningkatkan kemampuannya, khususnya dalam
dalam
kemampuan menganalisis permasalahan, peningkatan kapasitas petani, dan peningkatan wawasan teknis kehutanan, khususnya teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Ketiga aspek tersebut ialah aspek yang kuat merefleksikan kompetensi penyuluh dan pendamping. Penyuluh diharapkan dapat lebih memahami permasalahan nyata yang dihadapi petani sehingga dapat lebih berempati pada petani. Dalam hal ini kemampuan yang diharapkan dari penyuluh ialah kemampuan bukan untuk mencarikan pemecahan masalah yang tepat untuk permasalahan petani, tetapi untuk membantu petani agar mereka dapat mengambil solusi bagi permasalahan mereka sendiri. Di sisi lain penyuluh dan pendamping diharapkan dapat mencapai target-target yang ditentukan oleh institusi pembinanya. Penyuluh dan pendamping dikatakan kompeten bila dapat mencari titik temu dan memadukan antara kepentingan petani yang didampinginya dengan kepentingan dan target yang diharapkan oleh institusi pembinanya. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999) bahwa penyuluhan merupakan alat kebijakan yang tepat jika kepentingan utama petani bertepatan dengan kepentingan agen penyuluhan. Kondisi yang ada saat ini ialah penyuluh dan pendamping masih lebih banyak membela kepentingan insitusi tempat mereka bernaung dan kurang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan petani. Hal ini dapat disebabkan oleh latar belakang penyuluh kehutanan, yang pada saat direkrut pertama kali sebagai pegawai honorer proyek penghijauan. Paradigma penyuluhan pada saat itu lebih menekankan keberhasilan proyek penghijauan, sehingga penyuluh kehutanan ditanamkan untuk ”memobilisasi” penduduk untuk melakukan kegiatan penanaman. Perubahan paradigma penyuluhan ini masih belum dipahami oleh penyuluh kehutanan, bahkan oleh pejabat pengambil kebijakan dan penyelenggara penyuluhan kehutanan baik di pusat maupun pemda. Oleh karena itu sangat dibutuhkan perubahan mindset penyuluhan ini melalui pelatihan atau sosialisasi
193
baik pada pejabat pengambil keputusan di Pusat maupun penyelenggara penyuluhan kehutanan di daerah, sampai kepada penyuluh kehutanan di lapangan. Kepekaan penyuluh kehutanan atau pendamping terhadap permasalahan riil yang dihadapi petani, dapat dikembangkan bila penyuluh tinggal dan hidup bersama-sama masyarakat. Oleh karenanya dalam kebijakan penempatan penyuluh dan pendamping perlu ditegaskan penyuluh tinggal bersama dengan masyarakat yang didampinginya sehingga perlu juga diperhitungkan konsekuensi biaya untuk memfasilitasi penyuluh dan pendamping tinggal di desa sekitar masyarakat yang didampinginya. Di sisi lain jumlah penyuluh kehutanan yang ada saat ini sangat terbatas, sehingga perlu dikembangkan ”penyuluh atau pendamping” swadaya dari masyarakat sendiri, dengan melatih petani ’maju” setempat yang mau dan dapat diandalkan untuk membantu teman petani lainnya. Penyuluhan kehutanan berkelanjutan yang diharapkan ke depan ialah penyuluh yang memberi perhatian dan fokus pada peningkatan kapasitas petani yang didampinginya, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kapasitas petani dalam hal ini juga meliputi kapasitas dalam teknis Hutan Rakyat Lestari, kapasitas dalam mengelola usahatani berkelanjutan, kapasitas manajemen kelompok dan lainnya. Peningkatan kapasitas petani, perlu disesuaikan dengan minat dan kebutuhan petani dan difokuskan pada pemecahan permasalahan dan pengembangan usahatani Hutan Rakyat Lestari. Penentuan kebutuhan pelatihan tersebut ditentukan bersama-sama dengan petani hutan rakyat sertifikasi, sehingga kebutuhan pelatihan bukan saja ditentukan berdasarkan sudut pandang penyelenggara penyuluhan saja, tetapi dikombinasikan dengan minat dan kebutuhan petani. Dengan demikian diharapkan petani memiliki motivasi tinggi untuk ditingkatkan kapasitasnya. Peningkatan wawasan teknis kehutanan, khususnya pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, perlu dikembangkan sesuai dengan minat, budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, bukan hanya mengintroduksi hal-hal baru yang sulit atau tidak dikenal masyarakat. Oleh karena itu penting sekali menggali potensi, kebiasaan, minat yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, sebelum menetapkan jenis peningkatan wawasan teknis yang dibutuhkan petani. Dengan demikian peningkatan wawasan teknis sekaligus juga menggali,
194
mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kompetensi
penyuluh
dan
pendamping
yang
dibutuhkan
untuk
meningkatkan intensitas belajar petani tersebut, berkaitan dan sejalan dengan pendapat Chamala dan Shingi (1997) bahwa penyuluh harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting yaitu : pemberdayaan; pengelolaan kelompok dan penguatan kelembagaan masyarakat; pengembangan sumberdaya petani; serta pemecahan masalah dan pendidikan. Oleh karena itu perlu direncanakan dengan baik, peningkatan kompetensi penyuluh berkaitan dengan peranan tersebut. Keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan pendidikan dalam kelembagaan pendukung sebagai suatu sistem dalam hal ini sangat penting. Dengan adanya keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan pendidikan, dapat dipersiapkan dengan baik pelatihan penyuluh dan pendamping sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh lembaga penyuluhan. Sejalan dengan hal tersebut, Sumardjo (2010) mengemukakan empat kompetensi yang perlu dimiliki oleh penyuluh yaitu: (1) kompetensi personal yaitu kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian penyuluh yang tercermin dari kemampuan membawakan diri, kepemimpinan, kesantunan, motivasi berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan ciri kepribadian penyuluh lainnya;
(2)
kompetensi
sosial
menyangkut
kemampuan-kemampuan
berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerja sama dan bersinergi, mengembangkan
kesetiakawanan,
kohesif
dan
mampu
saling
percaya
mempercayai; (3) kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan mengubah pengetahuan, ketrampilan dan sikap sasaran penyuluhan; dan (4) kompetensi komunikasi inovatif menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati, kemampuan komunikasi partisipatif, menggali dan mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan.
195
Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Strategi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari merupakan penjabaran dari model pengembangan pembelajaran petani yang dihasilkan dari analisis SEM. Strategi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Gambar 8) terdiri dari input (masukan), proses, output (keluaran), dan outcome (hasil).
Gambar 8. Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
196
Input
dalam
strategi
pengembangan
pembelajaran
petani
dalam
pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, terdiri dari: (1) Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang kolaboratif dan sistemik; dan (2) Kompetensi Penyuluh dan pendamping. Proses dalam strategi pengembangan pembelajaran petani ialah peningkatan intensitas belajar petani, sedangkan output (keluaran) yang dihasilkan dari proses pembelajaran ialah perilaku ”lestari” petani hutan rakyat lestari (sertifikasi). Outcome (hasil) dari proses pembelajaran atau peningkatan intensitas belajar petani ialah hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Strategi pengembangan pembelajaran petani dijabarkan ke dalam dua strategi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu : (1) Pengembangan Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang kolaboratif dan sistemik; dan (2) Peningkatan Kompetensi Penyuluh. Penjabaran strategi masing-masing input tersebut lebih ditekankan pada aspek-aspek yang paling berpotensi mempengaruhi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, sesuai dengan temuan penelitian ini.
Pengembangan Kelembagaan Pendukung yang Kolaboratif dan Sistemik Strategi pertama untuk pengembangan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) di masa mendatang ialah dengan pengembangan kelembagaan pendukung yang kolaboratif dan sistemik. Kelembagaan pendukung yang kolaboratif dalam ini ialah dapat melibatkan semua institusi atau organisasi yang berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari, yang menjalankan fungsi penyuluhan, pendidikan, penelitian dan pemasaran-perkreditan, tetapi memiliki visi, misi dan tujuan yang sama, dengan fokus kepada kepentingan petani. Kolaborasi yang diharapkan dalam pengelolaan hutan, khususnya dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari ialah kolaborasi sampai dengan tingkatan performing (Handy (1985), yang dikutip Pretty (1995), di mana semua lembaga pendukung pembelajaran dapat bekerja sama dalam satu tim secara efektif. Tim ini memiliki pandangan dan kekuasaan untuk mendukung pembelajaran, dan tingkat kepercayaan diri tim tercapai pada saat semua anggota tim mencapai
197
kesediaan untuk menanggung resiko bersama dan berupaya menghasilkan ide-ide mereka sendiri. Austin (2000) menyebutkan tahapan integratif sebagai tahapan tertinggi dalam kolaborasi. Pada tahapan integratif, misi mitra kerja, masyarakat dan kegiatan dilakukan secara lebih kolektif dan mengalami integrasi organisasi. Nilai individu meningkat menjadi nilai bersama; masing-masing budaya organisasi dipengaruhi budaya lainnya; proses dan prosedur dilembagakan untuk mengelola kompleksitas hubungan yang semakin besar. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang sistemik, berarti kelembagaan pendukung tersebut terintegrasi dalam suatu sistem, yang terdiri dari dari berbagai organisasi dengan berbagai fungsi sebagai subsistem. Di mana masing-masing subsistem memiliki visi, misi, dan tujuan masing-masing, tetapi sebagai bagian dari sistem yang lebih besar juga mendukung dan menjalankan visi, misi dan misi kelembagaan pendukung. Sub sistem-sub sistem tersebut saling terkait satu dengan lainnya dan saling mendukung. Berkaitan dengan kelembagaan pendukung pembelajaran petani sebagai suatu sistem, Pokja Hutan Rakyat di Gunung Kidul dapat dikembangkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub sistem-sub sistem yang saling terkait satu dengan lainnya. Saat ini Pokja Hutan Rakyat di Gunung Kidul belum melibatkan BP2KP sebagai sub sistem penyuluhan dan Koperasi Wana Manunggal atau pihak swasta lainnya sebagai subsistem yang menjalankan fungsi pemasaran atau bantuan perkreditan, dan kegiatan pendukung lainnya. Untuk meningkatkan tahapan kolaborasi kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian, diperlukan upaya-upaya yang berbeda karena tingkatan atau tahapan kolaborasi kelembagaan pendukung tersebut berbeda. Kelembagaan pendukung secara bersama perlu menekankan dukungannya pada kegiatan nyata, yang sesuai dengan kebutuhan petani dan menempatkan personil pendamping yang kompeten. Secara umum upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari yang kolaboratif dan sistemik ialah sebagai berikut :
198
a. Membentuk kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang kolaboratif dan sistemik dengan melibatkan institusi atau organisasi yang menjalankan fungsi penyuluhan, pendidikan, penelitian dan pemasaran-perkreditan, yang memiliki kesamaan visi, misi dan tujuan dengan fokus pada pemberdayaan petani hutan rakyat lestari (sertifikasi); b. Menetapkan visi, misi, dan tujuan bersama, dan menjabarkannya dalam program dan kegiatan bersama. Kegiatan yang dilaksanakan lebih difokuskan pada pemberdayaan petani yang berkelanjutan, dan saling terkait antara satu organisasi dengan organisasi lainnya; c. Menetapkan aturan, kesepakatan dan kesepahaman bersama (berkaitan dengan sharing sumberdaya, peran dan lainnya), yang selalu disosialisasikan kepada semua organisasi yang terlibat; d. Masing-masing institusi menjalankan perannya, sesuai dengan yang disepakati bersama, dan menempatkan personil pendamping yang kompeten. Untuk mendapatkan personil yang kompeten sangat perlu dilakukan pelatihan bersama bagi para pendamping di lapangan, selain untuk mencapai kesepahaman bersama di tingkat lapangan, sharing pengalaman juga saling melengkapi; e. Semua lembaga pendukung pembelajaran yang terkait dalam tim kerja, memantau dan melakukan evalusi terhadap hasil pekerjaan yang dilakukan bersama.
Peningkatan Kompetensi Penyuluh/Pendamping Strategi kedua pengembangan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) ialah peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping. Sebelum meningkatkan kompetensi penyuluh dan pendamping, terlebih dahulu penyuluh dan pendamping perlu menyadari bahwa tugas utamanya adalah menolong petani hutan rakyat sertifikasi agar mereka dapat menolong dirinya sendiri untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari. Tugas penyuluh dan pendamping adalah mempersiapkan petani sertifikasi agar memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri segala hal yang berkaitan dengan usaha Hutan Rakyat Lestari
199
dan pengembangannya. Pretty (1995) menyebutkannya bahwa konsep penyuluhan ke depan adalah bekerja bersama masyarakat, bukan bekerja untuk masyarakat. Dengan demikian kompetensi penyuluh dan pendamping yang perlu ditingkatkan bukan hanya meningkatkan kemampuan teknis, tetapi lebih luas lagi yaitu kompetensi penyuluh dalam mengembangkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Chamala dan Shingi (1997) serta Moyo dan Hagmann (1999). Chamala dan Shingi (1997) menegaskan bahwa kompetensi penyuluh yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan ialah kompetensi dalam menjalankan empat peranan, yaitu: (1) pemberdayaan; (2) pengelolaan kelompok dan organisasi masyarakat; (3) pengembangan sumberdaya manusia; dan (4) pemecahan masalah dan pendidikan. Berkaitan dengan peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping di kedua lokasi penelitian, terutama kemampuan dalam menganalisis permasalahan petani, meningkatkan kapasitas petani dan peningkatan wawasan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut : a. Penyusunan bersama semua kelembagaan pendukung pembelajaran tentang kompetensi standar yang harus dimiliki oleh penyuluh dan pendamping secara umum, dan secara khusus kompetensi yang berkaitan dengan pendampingan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari; b. Sosialisasi tentang visi dan misi yang akan dicapai baik oleh organisasi induk tempat penyuluh bernaung, juga visi dan misi kolaborasi kelembagaan pendukung, seperti Pokja dan lainnya; c. Sosialisasi terus menerus tentang peranan penyuluh dan pendamping dalam pemberdayaan, pengelolaan kelompok dan organisasi, pengembangan SDM dan pemecahan masalah dan pendidik. Penting menanamkan konsep bekerja bersama masyarakat pada penyuluh dan pendamping; d. Merancang bersama-sama kebutuhan dan prioritas pelatihan atau bentuk peningkatan kompetensi lainnya bagi penyuluh dan pendamping Hutan Rakyat Lestari; e. Pelaksanaan pelatihan secara bersama penyuluh dan pendamping untuk lebih meningkatkan dan membangun kesepahaman dalam tim. Hal ini menjadi penting,
karena
baik
di
Gunung
Kidul
maupun
Wonogiri
terjadi
200
kesalahpahaman dan saling curiga mencurigai antara penyuluh (PNS) dengan pendamping dari LSM; f. Dalam pelatihan atau magang, atau bentuk peningkatan kompetensi lainnya selalu ditekankan mengenai pentingnya bekerja tim dalam jaringan. Dengan demikian, teladan kemitraan antara penyuluh dan pendamping pasti akan berdampak pada hubungan kerja sama dan kemitraan pada masyarakat yang didampinginya; g. Pemberian penghargaan kepada
penyuluh dan pendamping yang telah
memiliki kompetensi tinggi dan berhasil mendampingi petani hutan rakyat sertifikasi sehingga petani mandiri dalam mengelola dan mengembangkan Hutan Rakyat Lestari.