ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN TANGERANG
Oleh : FANNY ANUGERAH K A 14301063
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN FANNY ANUGERAH K. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang. (Di bawah bimbingan SJAFRI MANGKUPRAWIRA). Pembangunan ekonomi Indonesia yang semakin membaik dan menuju ke arah struktur perekonomian yang seimbang antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. Kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional dan kemampuan menyerap angkatan kerja yang menurun di imbangi dengan proporsi kontribusi sektor non pertanian yang bertambah besar terhadap pendapatan nasional dan kemampuan menyerap angkatan kerja memiliki kaitan erat dengan semakin besarnya pergeseran penggunaan lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tingkat pendayagunaan lahan pertanian yang masih rendah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin maju. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), selama tahun 1983-1993, sekitar 935.000 hektar lahan pertanian telah beralih fungsi. Jumlah ini, 425.000 hektar diantaranya adalah lahan sawah dan 510.000 lainnya bukan sawah. Bila dirata-rata maka konversi lahan pertahun sekitar 40.000 hektar. Untuk tahun 1993-2003 dari hasil sejumlah penelitian diperkirakan konversi lahan mencapai dua kali lipat dari tahun 1983-1993, yaitu sekitar 80.000 hingga 100.000 hektar per tahun. Dilihat dari segi wilayah, konversi lahan terbesar terjadi di pulau Jawa sebesar 54%, Sumatera 38%. Akan tetapi jika dilihat dari bentuk perubahannya, perubahan terbesar adalah menjadi lahan perkampungan/lahan pemukiman (69 persen) dan kawasan industri (20 persen). Pada dasarnya alih fungsi lahan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian. Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang memiliki tingkat opportunity cost yang besar. Tujuan penelitian ini antara lain mengidentifikasi perkembangan dan pola konversi lahan sawah di wilayah Kabupaten Tangerang, menganalisis faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi konversi lahan sawah dan dampaknya terhadap struktur perekonomian wilayah. Metode yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda, Location Quetient (LQ), surplus pendapatan/tenaga kerja dan elastisistas pendapatan/tenaga kerja. Selama sepuluh tahun (1994-2003) di Kabupaten Tangerang telah terjadi konversi lahan sebesar 5.407 hektar atau 540,7 hektar pertahun dengan laju 2,44 persen pertahun. Perubahan luas lahan sawah dan perkembangan konversi lahan sawah besarnya berfluktuasi dari tahun ke tahun. Berdasarkan pola konversi menurut tipe sawah secara berturut-turut luas lahan terkonversi dari yang terluas adalah sawah tadah hujan (2.723 hektar), sawah irigasi ½ teknis (1.162 hektar), sawah irigasi sederhana (849 hektar) dan sawah irigasi teknis (673 hektar). Dampak kerugian akibat konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Tangerang diantaranya yaitu rata- rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang terkonversi selama sepuluh tahun (1994-2003) adalah sebesar
35.881,05 ton atau sekitar 3.588,11 ton per tahun Jika diasumsikan harga 1 ton gabah kering giling (GKG) adalah Rp 1.350.000, maka kehilangan nilai produksi tersebut menjadi 35.881,05 ton x Rp 1.350.000 per ton = Rp 48.439.417.500 atau Rp 4.843.941.750 per tahun. Berdasarkan informasi yang diperoleh, rata-rata penguasaan lahan per petani di Kabupaten Tangerang adalah sebesar 0,4 hektar. Hal ini berarti telah terjadi kehilangan peluang memperoleh pendapatan usahatani padi sawah sekitar Rp. 3.157.560 per tahun dan per 0,4 hektar lahan sawah yang terkonversi. Selain itu mubazirnya investasi irigasi yang ditimbulkan akibat konversi lahan sawah beririgasi yaitu sebesar Rp 14.341.500,00 (biaya pembangunan jaringan irigasi per hektar) x 268,4 hektar per tahun (luas lahan sawah irigasi yang terkonversi selama sepuluh tahun) = Rp 3.849.258.600. Secara tidak langsung terjadinya alih fungsi lahan sawah juga memberikan manfaat yaitu peningkatan penerimaan daerah yang diperoleh dari peningkatan pajak. Peningkatan status lahan sawah menjadi lahan kering untuk perumahan atau industri berarti peningkatan nilai pajak yang diterima pemerintah daerah. Semakin besar nilai kumulatif pajak bumi dan bangunan maka semakin besar pula kontribusi terhadap penerimaan pemerintah daerah tersebut. Terjadinya pergeseran struktur ekonomi telah menyebabkan peningkatan permintaan terhadap sumberdaya lahan. Ketersediaan lahan yang tetap akan menyebabkan tingginya kompetisi penggunaan lahan dalam berbagai alternatif penggunaannya yang pada akhirnya penggunaan lahan akan di prioritaskan pada penggunaan dengan nilai kompetitif yang paling besar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Location Quetient (LQ), surplus pendapatan/tenaga kerja dan elastisitas pendapatan/tenaga kerja selama tiga tahun terakhir (2001-2003), menunjukkan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Tangerang masih memiliki peran penting dan merupakan sektor yang mampu memberikan efek pertumbuhan yang positif bagi perkembangan perekonomian wilayah. Berdasarkan analisis regresi, hasil pendugaan menunjukkan koefisien determinasi (R2-adj) sebesar 92.5 persen yang menunjukkan bahwa peubah yang dimasukkan dalam model mampu menerangkan perilaku (kergaman) dari peubah konversi lahan sawah sebesar 92.5 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah di tingkat wilayah adalah laju pertumbuhan penduduk, persentase luas lahan sawah irigasi dan pertambahan panjang jalan aspal. Adapun peubah yang berpengaruh negatif yaitu produktivitas padi sawah, kontribusi sektor non pertanian dan peubah dummy (kebijakan pemerintah). Berdasarkan hasil uji-t diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah pada selang kepercayaan 90 persen adalah produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah irigasi, kontribusi sektor non pertanian terhadap PDRB dan dummy (kebijakan pemerintah), sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan pertambahan panjang jalan aspal tidak berpengaruh nyata. Selain itu nilai dari probabilitas-F menunjukkan bahwa secara bersamasama seluruh variabel penjelas berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN TANGERANG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Fanny Anugerah K A 14301063
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul Penelitian
: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN TANGERANG
Nama Mahasiswa : Fanny Anugerah K NRP
: A14301063
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira NIP. 130 345 014
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI, SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN TANGERANG” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
SUATU
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU
Bogor, Desember 2005
Fanny Anugerah K A 14301063
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1984 dari keluarga Dedy Dwiyanto K dan Zuhrianah. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Penulis memulai pendidikan non formalnya pada tahun 1988 di Taman Kanak-kanak Mu’mah Jakarta. Pendidikan formal dimulai pada tahun 1989 di SD Negeri Sudimara 3 Tangerang dan lulus pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTPN 2 Tangerang dan lulus pada tahun 1998. Penulis diterima di SMU Yayasan Perguruan Rakyat I Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji bagi Allah SWT atas segala kemudahan dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian ini telah dibantu oleh berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Nindyantoro, MSc selaku dosen penguji utama atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ir. Murdianto, MSi selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan atas saran dan masukkannya demi kesempurnaan skripsi ini. 4. Keluarga tercinta, Mama, Devy, Igan, Didi dan adikku tersayang Lala, Nenek dan terkhusus untuk Ayahanda tercinta Alm Dedy Dwiyanto atas segala motivasi dan pengertiannya. 5. Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten dan semua pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi luas dan pola konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Tangerang, menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan dampaknya di tingkat wilayah, serta mengidentifikasi peran dan kontribusi masing-masing sektor dalam perekonomian wilayah. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Bogor, Desember 2005
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................... i DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................. 1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian..............................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Perekonomian....................................................... 9 2.2 Konversi Lahan Sawah.............................................................. 10 2.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konversi lahan ................. 11 2.4 Dampak Konversi Lahan Sawah................................................ 13 2.5 Penelitian Terdahulu.................................................................. 14
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................................... 18 3.1.1 Pertumbuhan dan Pergeseran Struktur Ekonomi ............... 18 3.1.2 Konversi Lahan ................................................................ 20 3.1.3 Teori Ekonomi Basis ........................................................ 24 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 28 3.3 Hipotesis Penelitian................................................................... 33
BAB IV
METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................... 34 4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ........................................ 34 4.2.1 Metode Analisis Data ....................................................... 35 4.2.2 Analisis Deskriptif............................................................ 36 4.2.3 Analisis Estimasi Dampak Konversi Lahan Sawah ........... 36 4.2.4 Metode Location Quotient (LQ)........................................ 38 4.2.5 Analisis Surplus Pendapatan dan Tenaga Kerja.................. 40 4.2.6 Analisis Elastisitas Pertumbuhan........................................ 41 4.2.7 Analisis Regresi Linier Berganda ..................................... 42 4.2.7.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah......................... 42 4.3 Definisi Operasional......................................................................46
BAB V
KARAKTERISTIK DAN POTENSI WILAYAH 5.1 Kondisis Geografis dan Administrasi......................................... 48 5.2 Iklim dan Curah Hujan .............................................................. 50
1 4 7 7
5.3 Sumberdaya Alam ..................................................................... 51 5.3.1 Penyebaran dan Penggunaan Lahan .................................. 51 5.3.2 Sumberdaya Air................................................................ 53 5.4 Sumberdaya Manusia ................................................................ 54 5.4.1 Kependudukan.................................................................. 54 5.4.2 Ketenagakerjaan ............................................................... 55 5.5 Aksesibilitas dan Transportasi ................................................... 57 5.6 Karakteristik Perekonomian..........................................................58 BAB VI
PERKEMBANGAN DAN POLA KONVERSI LAHAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH 6.1 Perkembangan dan Pola Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Periode 1994 – 2003....................................................62 6.2 Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah................................. 65 6.2.1 Produksi dan Nilai Produksi yang Hilang.......................... 66 6.2.2 Pendapatan Usahatani yang Hilang.................................... 67 6.2.3 Nilai Investasi Irigasi yang Hilang.................................... 69 6.2.4 Manfaat Alih Fungsi Lahan Sawah....................... ............. 71 6.3 Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Tangerang...............73 6.3.1 Analisis Location Quetient (LQ) ....................................... 74 6.3.2 Analisis Surplus Pendapatan dan Tenaga Kerja................. 77 6.3.3 Analisis Elastisitas Pendapatan dan Tenaga Kerja............. 80
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN TANGERANG 7.1 Analisis Regresi Konversi Lahan Sawah......................................83 7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah ....................................................................... 84 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan....................................................................................89 8.2 Saran ........................................................................................ 90 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................92 LAMPIRAN..........................................................................................................95
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
1
Luas dan Persentase Penggunaan Lahan di Kabupaten Tangerang Tahun 1994-2003......................................................
3
2
Kecamatan dan Jumlah Kelurahan/Desa di Kabupaten Tangerang Tahun 2003................................................................
49
3
Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 2003.............................................
52
4
Pengelolaan Air oleh UPTD Irigasi di Kabupaten Tangerang Tahun 2003..................................................................................
54
5
Penduduk Berumur 10 Tahun ke-atas Mencari Pekerjaan Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tangerang Tahun 2003..................................................................................
56
Jumlah Perusahaan Berdasarkan Lapangan Usaha dan Penggunaan Tenaga Kerja di Kabupaten Tangerang Tahun 2003.............................................................................................
57
Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke-atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1998-2003......................................................................
60
8
Rata-rata Luas Lahan Sawah Terkonversi Menurut Jenis Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Tahun 1994 – 2003.................
64
9
Pola Konversi Lahan Sawah Menurut Jenis Lahan Sawah Terkonversi di Kabupaten Tangerang Tahun 1994 – 2003.........
64
10
Estimasi Kehilangan Produksi Akibat Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1994 – 2003..............
67
11
Peluang Perolehan Pendapatan Usahatani Padi Sawah yang Hilang Per Hektar Per Tahun Akibat Konversi Lahan Sawah Di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1994 – 2003.............
68
12
Anggaran Biaya Pemerintah Daerah Periode 1994-2003 Untuk Sumberdaya Air dan Irigasi ........................................................
70
13
Perkembangan PAD Kabupaten Tangerang Periode 19942003.............................................................................................
72
6
7
14
15
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Luas Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Periode 19942003.............................................................................................
84
Kawasan Pertanian Berdasarkan Wilayah Kecamatan Tahun 2003.............................................................................................
87
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
1
Ilustrasi Land Rent.................................................................
22
2
Ilustrasi Hubungan Antara Land Rent dengan Kapasitas Penggunaan Lahan.................................................................
3
Skema
Kerangka
Penggunaan
Lahan
Pemikiran Sawah
Operasional Ke
23
Pergeseran
Penggunaan
Non
Pertanian.................................................................................
32
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
1
Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang Periode 1994 – 2003 Berdasarkan Lapangan Usaha........
96
2
Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tangerang Atas Dasar Harga Konstan 1993, Menurut Lapangan Usaha ..............................................................
97
3
Analisis Usahatani Padi Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Berdasarkan Harga Tahun 2004 ....................
98
4
Nilai LQ Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Berdasarkan Indikator Pendapatan Periode Tahun 20012003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..................
99
Nilai LQ Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Berdasarkan Indikator Tenaga Kerja Periode 20012003..................................................................................
99
Nilai Surplus Pendapatan Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Periode Tahun 2001-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993........................................................
99
5
6
Halaman
7
Nilai Surplus Pendapatan Sub Sektor Pertanian di Kabupaten Tangerang Periode Tahun 2001-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993...................................
8
Nilai Surplus Tenaga Kerja Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Tahun 2001-2003........................
100
9
Nilai Elastisitas Pertumbuhan Pendapatan Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Periode 2001-2003...
100
10
Nilai Elastisitas Pertumbuhan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Periode 2001-2003...
101
11
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten periode 2001-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun1993........................................................................
101
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang 2001-2003 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993.......................................................................
101
12
100
13
Tenaga Kerja 10 Tahun Ke-atas Berdasarkan Lapangan Usaha Propinsi Banten Periode 2001-2003......................
102
14
Tenaga Kerja 10 Tahun Ke-atas Berdasarkan Lapangan Usaha Kabupaten Tangerang periode 2001-2003 ...........
102
15
Regression Analysis Penurunan Luas Lahan Sawah........
103
16
Peta Kabupaten Tangerang..............................................
104
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya
berasal dari sektor pertanian. Di masa Orde Baru, pembangunan pertanian diletakkan pada skala prioritas teratas dimana pertanian telah dijadikan dasar pembangunan nasional yang menyeluruh. Sebagian besar wilayah di Indonesia, sektor pertanian dapat diarahkan untuk mencapai salah satu tujuan pembangunan yaitu peningkatan pendapatan di suatu daerah. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat industrialisasi yang akan menjadi tulang punggung perekonomian nasional yang tangguh. Pembangunan ekonomi Indonesia yang semakin membaik dan menuju ke arah struktur perekonomian yang seimbang antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional dan kemampuan menyerap angkatan kerja yang semakin menurun di imbangi dengan proporsi kontribusi sektor non pertanian yang bertambah besar terhadap pendapatan nasional dan kemampuan menyerap angkatan kerja. Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap output nasional dan kemampuannya menyerap angkatan kerja, memiliki kaitan dengan semakin besarnya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tingkat pendayagunaan lahan pertanian yang masih rendah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin maju.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2003, selama tahun 1983-1993, sekitar 935.000 hektar lahan pertanian telah beralih fungsi. Berdasarkan jumlah ini, 425.000 hektar diantaranya adalah lahan sawah dan 510.000 lainnya bukan sawah. Bila dirata-rata maka konversi lahan per tahun sekitar 40.000 hektar. Perkembangan konversi lahan pada tahun 1993-2003 dari hasil sejumlah penelitian diperkirakan mencapai dua kali lipat dari tahun 1983-1993, yaitu sekitar 80.000 hingga 100.000 hektar per tahun. Dilihat dari segi wilayah, konversi lahan terbesar terjadi di pulau Jawa sebesar 54 persen, Sumatera 38 persen. Namun jika dilihat dari bentuk perubahannya, perubahan terbesar adalah menjadi lahan perkampungan/lahan pemukiman (69 persen) dan kawasan industri (20 persen). Kecenderungan konversi lahan yang tinggi, selama ini terasa pada sebagian kota-kota besar di pulau jawa yang merupakan kota-kota pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin besarnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah, akan menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya lahan. Ketersediaan lahan yang relatif tetap akan menyebabkan tingginya kompetitif penggunaan lahan dalam berbagai alternatif penggunaannya seperti sektor industri, pemukiman, sektor perdagangan maupun untuk sektor pertanian yang pada akhirnya penggunaan lahan akan di prioritaskan pada penggunaan dengan nilai kompetitif yang paling besar. Kabupaten
Tangerang merupakan
daerah yang
memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kemudahan aksesibilitas dan letak geografis yang strategis dengan wilayah pusat pertumbuhan seperti DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi, dalam pengembangan Jabotabek Kabupaten Tangerang
dipersiapkan sebagai pendukung/menjadi penyeimbang dari DKI Jakarta yang memiliki fungsi sebagai kegiatan industri, pemukiman, transportasi dan lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan perekonomian yang semakin maju telah mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Perkembangan perubahan penggunaan lahan selama sepuluh tahun terakhir (1994-2003) di Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tahun 1994 luas lahan di Kabupaten Tangerang sebesar 110.922 hektar, namun mengalami pengurangan sebesar 1.864 hektar menjadi 109.058 hektar pada tahun 2003. Hal ini diduga karena pada tahun 1994 telah terjadi pemekaran wilayah, yaitu dengan terbentuknya Kotamadya Tangerang. Tabel 1. Luas dan Persentase Penggunaan Tanah Berdasarkan Jenis Penggunaan di Kabupaten Tangerang Tahun 1994 dan 2003 Jenis Penggunaan 1994 2003 Luas Luas (Ha) % (Ha) % Bangunan 29.810 26,87 32.080 29,42 Tegal 16.625 14,99 18.362 16,84 Ladang 8.352 7,53 4.131 3,79 Pengembalaan 42 0,04 171 0,16 Rawa 874 0,79 867 0,79 Tanah sementara 233 0,21 2.044 1,87 Tanaman Kayu 805 0,73 0 0,00 Hutan 27 0,02 27 0,02 Perkebunan 27 0,02 81 0,07 Tambak 419 0,38 2.395 2,20 Kolam 2.095 1,89 479 0,44 Sawah 46.765 42,16 41.408 37,97 Lainnya 4.848 4,37 7.013 6,43 Total
110.922
100
109.058
100
Sumber : Laporan Tahunan Kabupaten Tangerang, Tahun1994-2003
Penurunan luas lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang, sebagian besar merupakan peralihan penggunaan lahan pertanian khususnya lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Pada tahun 2003, dari luasan lahan
keseluruhan sebesar 109.058 hektar, luas lahan sawah yaitu sebesar 41.408 hektar atau sekitar 37,97 persen, sedangkan sisanya sekitar 62,03 persen merupakan lahan kering dan bangunan. Jika dibandingkan dengan besaran luas lahan sawah pada tahun 1994, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas lahan sawah yaitu sebesar 5.357 hektar, dimana pada tahun 1994 luasan lahan sawah yaitu sebesar 46.765 hektar atau sekitar 42,16 persen. Penurunan luas lahan sawah pada umumnya merupakan dampak dari perluasan untuk bangunan, diantaranya yaitu berupa bangunan perumahan dan industri. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya penggunaan lahan untuk bangunan, dimana pada tahun 1994 luas lahan untuk bangunan sebesar 29.810 hektar atau 26,87 persen dan menigkat menjadi 32.080 hektar atau 29,42 persen pada tahun 2003 (Tabel 1). Besarnya konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Tangerang sebagai dampak dari semakin majunya perekonomian dan besarnya laju pertumbuhan
penduduk,
akan
menyebabkan
kerugian
dan
ketimpangan
pembangunan wilayah di daerah tersebut, seperti masalah ketahanan pangan dan kesejahteraan petani pada khususnya.
1.2
Perumusan Masalah Menurut Maulana (2004), Lahan sebagai faktor produksi dan komoditas
strategis, mempunyai karakteristik yang khas yaitu : (1) penyediaannya bersifat permanen/tetap dan terbatas, (2) lokasi yang pasti/tidak dapat dipindahkan, (3) bersifat unik yaitu tidak satu bidang tanah yang mempunyai nilai yang sama dan tidak terpengaruh oleh waktu. Karena persediaan lahan bersifat tetap sedangkan
permintaannya terus bertambah, maka secara alamiah sesuai karakteristiknya akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktivitas. Pada dasarnya Konversi lahan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat dari semakin tingginya aktivitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian. Kabupaten Tangerang memiliki perkembangan pembangunan cukup pesat dan merupakan daerah penyangga kegiatan ekonomi kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi. Dinilai dari segi aksesibilitasnya yang strategis dengan daerah sekitar, Kabupaten Tangerang memiliki peluang yang cukup besar untuk pengembangan wilayah pertanian. Seperti diungkapkan pada latar belakang bahwa lebih dari separuh luas lahan di daerah ini merupakan lahan untuk pertanian dan sebagian besar merupakan lahan sawah. Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang memiliki tingkat opportunity cost yang besar. Ditingkat petani, dampak konversi lahan sawah dapat dilihat dari hilangnya kesempatan memperoleh produksi dan nilai produksi usahatani padi sawah, peluang memperoleh pendapatan usahatani yang hilang, dan berkurangnya kesempatan kerja disektor pertanian. Dampak dari konversi lahan sawah ternyata tidak hanya dirasakan pada tingkat petani saja, namun secara tidak langsung juga akan berdampak terhadap struktur perekonomian wilayah. Kasus alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dalam pelaksanaan pembangunan, menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tentang pertanahan, (dan) masih belum adanya sinkronisasi dalam pembuatan kebijaksanaan yang berkaitan dengan tanah antara instansi terkait (Harsono,1992). Secara umum, masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi karena (Utomo,1992) : 1.
Pola pemanfaatan lahan masih sektoral.
2. Delineasi antar kawasan belum jelas. 3. Kriteria kawasan belum jelas 4. Koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah 5. Pelaksanaan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) masih lemah 6. Penegakkan hukum masih lemah. Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan diungkapkan yaitu: 1. Bagaimana perkembangan dan pola konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Tangerang? 2. Bagaimana dampak konversi lahan sawah seiring dengan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Kabupaten Tangerang? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Tangerang?
1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Mengidentifikasi perkembangan dan pola konversi lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di wilayah Kabupaten Tangerang. 2. Mengidentifikasi dampak konversi lahan sawah seiring dengan terjadinya pergeseran struktur ekonomi di Kabupaten Tangerang. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Tangerang. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Tangerang, dalam hal ini Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang, Badan Perencanaan dan pembangunan daerah Kabupaten Tangerang dan instansi-instansi terkait lainnya di Kabupaten Tangerang. Penelitian ini bagi penulis sendiri berguna untuk melatih kemampuan analisis penulis terhadap suatu masalah di suatu daerah yang berhubungan dengan proses pergeseran struktur ekonomi yang berdampak terhadap terjadinya konversi lahan pertanian dan lahan sawah khususnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti lain yang akan melakukan studi selanjutnya.
1.4
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan sawah sebagai implikasi dari pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tangerang. Pembahasan lebih di fokuskan pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam penggunaan lahan sawah ke penggunaan non pertanian dan dampaknya,
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Penelitian
ini
juga
akan
mengidentifikasi perubahan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap struktur perekonomian wilayah. Dalam penelitian ini, akan digunakan model alat analisis regresi linier berganda untuk menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian pada tingkat wilayah, sedangkan model alat analisis Location Quotient (LQ), surplus pendapatan/tenaga kerja, elstisitas pendapatan/tenaga kerja digunakan untuk melihat perubahan peran masing-masing sektor ekonomi terhadap struktur perekonomian wilayah. Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian terbatas hanya pada konversi penggunaan lahan sawah ke penggunaan non pertanian saja seperti industri, perumahan, jasa maupun perdagangan. Pada penelitian ini faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah yaitu ; laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor non pertanian terhadap PDRB, produktivitas lahan sawah, persentase luas lahan sawah irigasi, pertambahan panjang jalan aspal dan kebijakan pemerintah sebelum dan sesudah otonomi daerah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkembangan Perekonomian Menurut Djojohadikusumo (1994) mengenai perkembangan perekonomian
di suatu wilayah, bahwa perkembangan perekonomian akan menyebabkan terjadinya transformasi strukutur ekonomi. Transformasi struktur ekonomi ditandai dengan terjadinya peralihan dan pergeseran dari kegiatan sektor primer (pertanian, pertambangan) ke sektor produksi sekunder (industri manufaktur, konstruksi) dan sektor tersier (jasa). Terdapat perbedaan tingkat produksi dan pada laju pertumbuhan diantara sektor-sektor yang bersangkutan. Dalam hubungan ini terjadi pergeseran diantara peranan masing-masing sektor dalam komposisi produk nasional. Transformasi struktur ekonomi juga dapat dilihat dari sudut pergeseran dalam kesempatan kerja. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian cenderung menurun sebagai persentase secara menyeluruh dan sebaliknya, jumlah tenaga kerja di sektor sekunder dan tersier meningkat baik secara absolut maupun sebagai persentase dari jumlah total angkatan kerja. Menurut Dawam (2000) akibat terjadinya transformasi struktur ekonomi telah memberikan beberapa dampak yaitu; Pertama, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB telah menurun dari 52 persen pada tahun 1961 menjadi 17 persen pada tahun 1996 dan 19 persen pada tahun 1998. Kedua, Penyerapan tenaga kerja pada periode yang sama juga mengalami penurunan dari 80 persen menjadi 44 persen dan 45 persen setelah krisis. Menurut Putri (1995) dalam skripsinya mengenai transformasi struktur ekonomi dan pembangunan pertanian, mengemukakan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi dan mempercepat terjadinya proses transformasi struktur ekonomi dalam pembangunan ekonomi
yaitu ; Lokasi, sarana dan
prasarana, produktivitas sektor pertanian, investasi dan kebijakan pemerintah daerah.
2.2
Konversi Lahan Sawah Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi
strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembanguan penduduk dan pola pembangunan wilayah (Utomo, 1992). Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayahwilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusatpusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi, yaitu dekatnya lokasi dengan pemukiman sebagai sumber tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati,1995). Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian periode 1990 – 1995 di Jawa secara keseluruhan paling besar terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing mengalami konversi lahan sekitar 23.448 dan 21.477 hektar. Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa Barat sekitar 66 persen lahan sawah
dialihkan fungsinya untuk kebutuhan penggunaan perumahan dan industri. Konsekuensi logis yang terjadi di Jawa Barat di karenakan daerah tersebut merupakan daerah tujuan untuk bermigrasi dan pusat-pusat pertumbuhan industri. Akibatnya alokasi lahan untuk kepentingan tersebut semakin meningkat dari tahun ke tahun (Sumaryanto, 1994). Nuryati (1995) dalam skripsinya yang berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah kepenggunaan non sawah mengemukakan bahwa laju perkembangan luas lahan sawah di Jawa Barat selama sepuluh tahun (1984 – 1994) mengalami penurunan sebesar 0,9 persen per tahun. Jumlah luas lahan sawah yang di konversi selama periode tersebut adalah seluas 52.557,421 hektar. Alokasi konversi lahan sawah digunakan untuk pemukiman sebesar 37,17 persen per tahun, pertanian non padi 22,53 persen, jalan dan fasilitas umum 9,95 persen dan lainnya 4,75 persen.
2.3
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Hayat (2002), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan
sawah di tingkat wilayah dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu, penurunan jumlah luas lahan dan variabel bebas yaitu, kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non pertanian. Namun dalam hasil penelitiannya, faktor tenaga kerja sektor non pertanian dihilangkan karena terdapat kontribusi positif yang kuat dengan faktor kontribusi
sektor non pertanian. Dari hasil perhitungan, faktor produktivitas lahan sawah, persentase luas lahan sawah beririgasi teknis, kontribusi sektor non pertanian dan pertambahan jalan aspal berpengaruh nyata, sedangkan kepadatan penduduk merupakan faktor yang tidak mempengaruhi secara nyata dalam model ini pada taraf uji 0,1. Sutarti (1999) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Serang dengan menggunakan analisis regresi diduga faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah yaitu pertumbuhan penduduk, kontribusi PDRB non tanaman pangan, produktivitas lahan sawah, jarak lokasi ke pusat pertumbuhan ekonomi dan kawasan industri. Melalui uji-t diperoleh bahwa pertumbuhan penduduk, kontribusi PDRB non tanaman pangan, jarak lokasi dari pusat pertumbuhan ekonomi dan kawasan industri berpengaruh nyata terhadapa model, sedangkan produktivitas lahan sawah tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Pangaribuan (1995) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah di Kabupaten DATI II Bekasi dengan menggunakan metode analisis regresi, peubah yang digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah yaitu kesempatan kerja di sektor non pertanian, kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga pemilik lahan sawah, harga rata-rata lahan sawah, panjang jalan aspal dan Dummy. Dari hasil analisis, bahwa peubah yang berpengaruh positif terhadap luas penggunaan lahan sawah adalah kesempatan kerja di sektor non pertanian, proporsi rumah tangga pemilik lahan sawah dan produktivitas lahan sawah. Sementara yang berpengaruh negatif
antara lain kepadatan penduduk, harga rata-rata lahan sawah, panjang jalan aspal dan variabel dummy. Nuryati (1995) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Jawa Barat dengan menggunakan alat analisis regresi linear berganda, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di tingkat wilayah adalah kepadatan penduduk, kontribusi sektor non tanaman pangan dalam PDRB, dan lokasi Kabupaten dari pusat pertumbuhan ekonomi. Masing-masing faktor tersebut berkolerasi positif dengan luas konversi lahan.
2.4
Dampak Konversi Lahan Sawah Menurut Nuryati (1995), masalah yang timbul akibat konversi lahan sawah
ke penggunaan non sawah adalah terancamnya swasembada beras yang telah dicapai dengan susah payah. Di samping itu konversi lahan sawah ini mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya adalah penurunan produksi pangan lokal atau nasional yang secara tidak langsung akan mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam PDRB, penurunan laju daya serap tenaga kerja sektor pertanian, mubazirnya investasi irigasi dan dampak konversi terhadap lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Menurut Hayat (2002), akibat terjadinya konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor telah menyebabkan hilangnya produksi dan nilai produksi, pendapatan usahatani padi sawah serta nilai investasi irigasi dan kelembagaan.
Hal ini secara langsung berdamapak terhadap semakin menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Menurut Sibolak (1995), pengalihan fungsi lahan ke penggunaan lain, secara otomatis mengubah besaran maupun jenis manfaat yang dapat di terima dari penggunaan lahan tersebut. Kerugaian akibat konversi lahan sawah terutama adalah hilangnya “peluang” memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahan yang terkonversi. Kerugiannya antaralain penurunan produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usahatani, kesempatan kerja pada kegiatan usahatani, kehilangan manfaat investasi dari lahan terkonversi.
2.5
Penelitian Terdahulu Sektor-sektor dalam perekonomian mempunyai laju perkembangan yang
berbeda-beda. Karena itu proses pembangunan ekonomi membawa serta perubahan struktur ekonomi. Menurut Hayat (2002) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode LQ menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor pada periode 1991 – 2000 terdapat empat sektor basis yaitu sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih dan sektor bangunan, sedangkan sektor pertanian bukan merupakan sektor basis karena memiliki nilai LQ lebih kecil dari satu sehingga prioritas pembangunan lebih condong di arahkan ke pembangunan sektor industri dibandingkan dengan sektor pertanian. Hal ini
menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah sebagai prioritas pengalokasian lahan bagi kawasan industri. Wiyanti (2004) dalam penelitiannya mengenai analisis sektor basis perekonomian Kabupaten Tangerang serta implikasinya terhadap perencanaan tata ruang wilayah dalam otonomi daerah dengan menggunakan pendekatan LQ, mengindikasikan bahwa terjadi perbedaan penentuan kebijakan antara kebijakan yang disusun oleh BAPEDA dalam RTRW dengan kebijakan hasil perhitungan LQ. Sebaiknya dalam pengembangan wilayah kebijakan diprioritaskan pada sektor pertanian, pertambangan dan galian, industri pengolahan, listrik dan air minum dan keuangan. Menurut Azkiyah (1995) dalam penelitiannya mengenai pergeseran peranan subsektor pada sektor pertanian dalam perekonomian Propinsi Jawa Barat dengan
menggunakan
alat
analisis
input–output
untuk
setiap
sektor
perekonomian, menyatakan bahwa telah terjadi penurunan kontribusi pertanian dan peningkatan kontribusi sektor industri. Akan tetapi dilihat dari kontribusinya secara keseluruhan dalam segi ekspor wilayah ternyata kedudukan sektor pertanian masih memiliki peranan penting dan tidak bisa diabaikan dalam perekonomian di Propinsi Jawa Barat. Tyadi (1995), dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi Propinsi Jawa Barat, menyatakan bahawa proses transformasi struktur ekonomi juga ditandai dengan terjadinya pengalihan fungsi sawah ke penggunaan non pertanian. Pengalihan lahan sawah ke penggunaan lainnya seperti perumahan, jalan, industri dan sebagainya dipandang sebagai suatu masalah, karena pengurangan lahan sawah akan berpengaruh negatif terhadap
produk padi yang pada gilirannya akan mengganggu swasembada beras. Meningkatnya laju urbanisasi yang dicirikan oleh tumbuhnya berbagai aktivitas akibat terjadinya perubahan struktur ekonomi mendesak terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian ke jenis penggunaan lainnya yang memberikan nilai yang lebih tinggi. Situmeang (1998), dalam penelitiannya mengenai pola hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan transformasi struktur ekonomi dengan menggunakan alat analisis regresi berganda, menyatakan bahwa pergeseran struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk berpengaruh nyata dalam mendorong konsumsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seperti lahan perumahan, lahan industri dan lahan lain. Menurunnya produktivitas lahan, khususnya produktivitas lahan tanaman pangan non padi, sangat nyata dalam mempercepat konversi lahan pertanian ke non pertanian. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, pertumbuhan ekonomi dalam perkembangannya di tandai dengan terjadinya pergeseran tenaga kerja dan terjadinya pergeseran penggunaan lahan dari sektor pertanian ke sektor non pertanain. Hal ini berdampak pada kontribusi masing-masing sektor yang bersangkutan terhadap output nasional dan dalam hal kemampuan menyerap angkatan kerja, dimana peran sektor pertanian akan semakin menurun dan pangsa sektor non pertanian akan semakin meningkat. Terjadinya pergeseran penggunaan lahan dari sektor pertanian ke penggunaan sektor non pertanian, memberikan dampak kerugian tidak hanya bagi para petani, namun juga memberi dampak pada perekonomian wilayah. Ditingkat wilayah, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya konversi lahan
sawah yaitu laju pertumbuhan penduduk, produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah irigasi, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, pertambahan jalan aspal dan kebijakan pemerintah. Peran sektor pertanian sebagai sektor primer, masih menjadi salah satu sektor yang dapat diunggulkan bagi perkembangan perekonomian wilayah. Hal ini mengingat ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang cukup berlimpah.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang teori-teori yang melandasi dan
mendukung
penelitian.
Teori
yang
digunakan
mencakup
hal-hal
yang
berhubungan dengan pergeseran struktur ekonomi dan konversi lahan sawah. 3.1.1 Pertumbuhan dan Pergeseran Struktur Ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang modern secara logis akan diikuti oleh perubahan struktur output dan ketenagakerjaan. Sektor primer akan semakin kecil peranannya sejalan dengan perkembangan yang pesat di sektor-sektor lainnya, seperti sektor jasa dan sektor industri. Sektor pertanian hanya akan menjadi penyangga awal ketika proses transisi berlangsung, sedangkan sektor non pertanian akan berkembang lebih besar lagi. Proses pembangunan membawa konsekuensi berupa terjadinya suatu pergeseran struktural, dimana ada pergeseran peran sektor perekonomian utama dari sektor tradisionil (pertanian) menjadi di dominasi oleh peran sektor yang lebih modern (industri). Kondisi ini dapat terlihat melalui kontribusi sektor pertanian terhadap struktur produksi (Output) agregat yang semakin menurun, sedangkan disisi lain kontribusi sektor non pertanian, terutama sektor industri semakin meningkat ( Tyadi 1995). Proses pergeseran struktur ekonomi di tandai dengan perubahan yang tidak sedikit pada struktur ekonomi suatu negara maupun daerah. Proses transformasi struktur ekonomi di tandai dengan semakin menurunnya Indeks Produktivitas Relatif (IPR)2 sektor pertanian di Indonesia (Putri, 1995)
Menurut Sukirno (1985), perubahan persentasi sumbangan berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi akibat perubahan struktur ekonomi : 1. Produksi sektor pertanian mengalami perkembangan yang lebih lambat dari perkembangan produksi nasional 2. Tingkat pertambahan produksi sektor industri adalah lebih cepat daripada tingkat pertambahan produksi nasional 3. Tidak adanya perubahan dalam peranan sektor jasa-jasa adalah sama dengan tingkat perkembangan produksi nasional. Dalam keberhasilan
menggunakan pelaksanaan
pertumbuhan
pembangunan
ekonomi biasanya
sebagai dilihat
tolak
dari
ukur
keadaan
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selanjutnya indikator struktur ekonomi dan peranan sektor-sektor ekonomi digunakan untuk melihat pergeseran-pergeseran antar sektor dalam struktur PDRB. Dengan mengetahui pergeseran-pergeseran tersebut dapat di indikasikan sektor-sektor dominan yang mungkin dapat dijadikan sektor kunci (key sektor) dan diharapkan mampu meberikan pengaruh pada sektor lain dan kegiatan ekonomi lebih lanjut (Nasoetion, 1998). Distribusi tenaga kerja di negara-negara maju saat ini terlihat bahwa proporsi terbesar berada pada sektor sekunder dan tersier, namun hanya sebagian kecil saja di sektor primer (pertanian). Proses perkembangan ekonomi negara maju diikuti oleh perubahan stuktur kesempatan kerja, jumlah angkatan kerja sektor primer cenderung menurun dibandingkan dengan sektor skunder yang selanjutnya sektor sekunder akan menurun dibandingkan dengan sektor tersier (United nation, 1980 seperti dikutip oleh Tyadi 1995).
3.1.2 Konversi Lahan Perubahan penggunaan lahan banyak terjadi pada daerah-daerah peralihan (urban fringe) antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Perubahan penggunaan lahan tersebut sangat berkaitan erat dengan perubahan-perubahan dalam perekonomian dan kependudukan. Menurut Pakpahan seperti dikutip oleh Nuryati (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan
petani
untuk
melakukan
konversi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi. Di tingkat wilayah, menurut Pakpahan konversi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh : 1. Perubahan struktur ekonomi 2. Pertumbuhan penduduk 3. Arus urbanisasi 4. Konsistensi implementasi rencana tata ruang Secara langsung konversi lahan sawah dipengaruhi oleh : 1. Pertumbuhan pembangunan sarana transportasi 2. Pertumbuhan lahan untuk industri 3. Pertumbuhan sarana pemukiman 4. Sebaran lahan sawah.
Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Secara umum, konversi lahan sawah ke penggunaan lain dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Konversi lahan sawah secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tataruang, sedangkan konversi lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan pertanian. Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi peningkatan peranan sektor non pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya
pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non pertanian lainnya. Persaingan kebutuhan untuk berbagai jenis penggunaan ditentukan oleh besarnya nilai sewa ekonomi lahan (land rent). Sewa lahan yang dihasilkan oleh tanah pada suatu wilayah akan berbeda-beda tergantung pada penggunaan lahan tersebut. Menurut Barlowe (1978), sewa ekonomi lahan mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi. Urutan besaran ekonomi lahan menurut penggunaannya dari berbagai kegiatan produksi ditunjukkan sebagai berikut : (1) industri manufaktur, (2) perdagangan, (3) pemukiman, (4) pertanian intensif, dan (5) pertanian ekstensif.
Biaya Produksi C
Land rent
D
MC E
AC
F
Biaya produksi A
B
Jumlah Output
Keterangan : MC = Marginal Cost AC = Average Cost Gambar 1.
Ilustrasi land rent sebagai sisa surplus ekonomi setelah biaya produksi di keluarkan (Barlowe, 1978)
Gambar 1 menjelaskan bahwa nilai total produk yang dihasilkan adalah ABCE dengan biaya produksi sebesar ADFB, dengan demikian land rent adalah ABCE – ADFB = CDFE. Dalam pelaksanaannya, ada dua gejala yang muncul jika mekanisme pasar diterapkan (Barlowe,1978) : 1. Semakin besar land rent maka daya saing penggunaan tanah untuk menduduki prime location semakin besar. 2. Penggunaan tanah yang mempunyai land rent yang lebih besar akan menggeser penggunaan tanah dengan land rent yang lebih kecil. Sewa ekonomi Industri dan Perdagangan Pemukiman Pertanian Hutan Lahan Tandus
Kapasistas Penggunaan Lahah
Gambar 2.
Ilustrasi hubungan antara land rent dengan kapasitas penggunaan lahan (Barlowe,1978)
Berdasarkan kedua teori diatas maka penggunaan lahan yang memiliki keuntungan komparatif tertinggi seperti perdagangan dan industri mempunyai kapasitas penggunaan lahan yang terbesar, sedangkan sektor pertanian
mempunyai keuntungan komparatif yang lebih rendah sehingga alokasi penggunaan lahan untuk pertanian akan semakin kecil. 3.1.3 Teori Ekonomi Basis Setiap wilayah memiliki faktor lokasi yang berbeda, terutama dalam hal penyebaran sumberdaya yang menunjang kegiatan perekonomiannya, perbedaan tersebut menyebabkan setiap wilayah memiliki potensi yang berbeda untuk dapat mengembangkan sektor ekonomi tertentu sebagai sektor basis. Kondisi masing-masing wilayah menunjukkan variasi yang berbeda-beda karena adanya perbedaan struktur perekonomian daerah yang bersangkutan. Terdapat berbagai teori yang menjelaskan sektor-sektor dalam perekonomian regional atau perubahan-perubahan kondisi perekonomian di suatu daerah. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisa pertumbuhan regional adalah teori basis ekonomi. Selain itu teori ini juga dapat digunakan untuk melihat peranan suatu sektor dalam perekonomian daerah baik dalam tenaga kerja maupun pendapatan, yaitu dengan cara menentukan apakah sektor tersebut merupakan sektor basis atau bukan basis. Hanafiah (1988) membagi kegiatan perekonomian dalam suatu wilayah menjadi kegiatan basis dan kegiatan bukan basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya dapat berupa barang dan jasa yang ditujukan untuk diekspor keluar dari lingkungan masyarakat tersebut, jadi dapat di golongkan kepada kegiatan masyarakat yang berorientasi ke luar, regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun efisiensi ekonomis sangat menentukan dalam pertumbuhan kegiatan basis suatu
wilayah, yaitu dalam pengertian persaingan dan prinsip perbandingan keuntungan. Kegiatan bukan basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya, baik berupa barang maupun jasa yang diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Barang-barang jadi dan pelayanan diperuntukkan bagi ruang lingkup kesejahteraan dan pasar mereka sendiri. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas lingkungan hidup sangat menentukan kegiatan bukan basis ini. Thalib (1998) mengungkapkan bahwa kriteria sektor unggulan akan sangat bervariasi. Hal ini didasarkan atas seberapa besar peranan sektor tersebut dalam perekonomian daerah, diantaranya : 1. Memiliki laju pertumbuhan yang tinggi 2. Angka penyerapan tenaga kerja yang relatif besar 3. Memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi, baik ke depan atau ke belakang. 4. Sektor yang mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi. Menurut Thalib (1998), kemajuan kegiatan sektor basis ditentukan oleh beberapa penyebab, diantaranya ; 1. Perkembangan jaringan transportasi dan komunikasi 2. Perkembangan pendapatan dan penerimaan daerah 3. Perkembangan teknologi 4. Usaha pengembangan prasarana ekonomi dan sosial Sedangkan faktor-faktor penyebab kemunduran sektor basis adalah : 1. Perubahan permintaan di luar daerah 2. Kehabisan cadangan sumberdaya alam
3. Perkembangan teknologi yang merubah komposisi input. Thalib (1998), mengemukakan bahwa beberapa asumsi dalam menentukan sektor basis dan non basis antara lain : (1) sektor basis merupakan penggerak utama pertumbuhan regional, (2) setiap daerah terdapat rasio tenaga kerja dan non basis konstan walaupun struktur ekonomi daerah bersangkutan berubah, (3) keseragaman produktivitas regional sektor-sektor, (4) sistem perekonomian tertutup, dan (5) spesialisasi lokal dalam produksi sehingga sesuai dengan spesialisasinya. Teori basis ekonomi terdapat beberapa kekurangan, antara lain kekurangan yang bersifat teknis seperti unit pengukuran, metode identifikasi dan pemilihan unit wilayah serta diabaikannya peranan impor (Glasson, 1977). Walaupun memiliki kekurangan-kekurangan seperti yang telah diuraikan, teori basis ekonomi tetap relevan dalam analisa dan perencanaan regional serta bermanfaat dalam usaha memahami struktur ekonomi suatu wilayah. Menurut Glasson (1977) terdapat beberapa teknik untuk menentukan yang menjadi sektor basis dan sektor non basis, diantaranya metode pengukuran langsung dan metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung adalah metode yang dilakukan menurut survei langsung untuk dapat menentukan sektor basis, sedangkan metode pengukuran tidak langsung dapat menggunakan tiga metode yaitu ; (1) metode Arbiter, yaitu metode yang langsung membagi suatu perekonomian ke dalam kategori ekspor dan non ekspor tanpa melakukan penelitian spesifik di tingkat lokal, (2) metode Location Quotient (LQ), yaitu metode analisa yang membandingkan peranan suatu sektor tertentu dalam suatu wilayah dengan peranan sektor tersebut dalam wilayah yang lebih luas, (3)
metode kebutuhan minimum, merupakan modifikasi dari metode LQ dengan menggunakan distribusi minimum dari employment yang diperlukan untuk menunjang sektor regional. Selanjutnya Glasson (1972), menyarankan untuk menggunakan metode LQ dalam menentukan sektor basis dan sektor non basis. Keunggulan metode LQ yaitu metode yang tergolong sederhana dalam menentukan atau memilih kegiatan ekonomi yang akan di kembangkan di suatu wilayah, atau dalam menentukan lokasi bagi suatu kegiatan ekonomi. Dasar ukuran penggolongan dalam perhitungan metode LQ dapat berbeda, sesuai dengan kebutuhan atau tujuan penggolongan. Penggunaan besaran sebagai ukuran mempunyai nilai yang bermacam-macam (Kadariah, 1985), yaitu : 1. Pendapatan, merupakan besaran yang digunakan untuk mengetahui hubungan lokasi suatu kegiatan dengan pasarnya. 2. Nilai tambah, merupakan besaran yang digunakan untuk membandingkan satuan kegiatan dengan daya produksi buruh secara keseluruhan. 3. Penduduk, merupakan besaran yang digunakan untuk mengetahui hal-hal yang menyangkut keadaan dan kriteria kesejahteraan serta pemerataan. 4. Area (kawasan), merupakan besaran yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya faktor yang memperkuat atau memperlemah satuan kegiatan. Asumsi-asumsi
yang
digunakan
dalam
metode
LQ
diantaranya
dikemukakan oleh Kadariah (1985), yaitu permintaan wilayah akan suatu barang pertama-tama akan dipenuhi oleh hasil produksi wilayah itu sendiri, jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi wilayah, maka kekurangan akan diimpor. Asumsi lain yang digunakan antara lain adalah ; (1) keseragaman pola konsumsi
atau permintaan dan selera, (2) keseragaman kebutuhan sarana produksi untuk proses produksi dan produktivitas tenagakerja dan (3) keseragaman tingkat pendapatan di tingkat regional dan nasional. Sedangkan untuk analisis LQ ini menurut Kadariah (1985) terdapat beberapa kelemahan yaitu : 1. Analisisnya bersifat statis sehingga tidak dapat menangkap kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi untuk waktu yang akan datang. 2. Walaupun suatu sektor memiliki nilai LQ lebih besar dari satu, belum menjadi jaminan sektor tersebut mampu bersaing.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Pembangunan ekonomi di pandang sebagai bagian dari keseluruhan
pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Dalam suatu negara, laju pembangunan ekonomi ditunjukkan dengan semakin meningkatnya pertambahan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product atau GDP). Hal ini bisa dilihat dengan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk yang merupakan suatu cerminan dari timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masayarakat di suatu wilayah. Peningkatan pendapatan perkapita ini sebagai dampak dari pertambahan aktivitas kegiatan ekonomi di dalam suatu masyarakat. Pergeseran struktur ekonomi merupakan suatu proses perubahan peran masing-masing sektor ekonomi terhadap output nasional dan kemampuannya menyerap angkatan kerja. Hal ini merupakan suatu bentuk modernisasi dalam struktur ekonomi tradisionil sebagai dampak dari pembangunan ekonomi yang semakin maju. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan aspek lingkungan akan memberikan dampak negatif, yang salah satunya yaitu dengan terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Terjadinya konversi lahan sawah yang semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin maju, merupakan suatu indikasi bahwa tingkat pendayagunaan lahan bagi sektor pertanian masih rendah. Hal ini akan berdampak pada kemampuan sektor pertanian dalam memberikan kontribusinya terhadap PDRB dan kemampuannya menyerap angkatan kerja. Arah perkembangan perekonomian ke sektor industri, perdagangan dan jasa akan memberikan dorongan yang kuat terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pemerintah membutuhkan lahan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung arah kebijaksanaanya seperti lokasi untuk industri, perdagangan, pergudangan, jaringan infrastruktur dan fasilitas lainnya. Hal ini akan meningkatkan permintaan terhadap lahan, namun disisi lain ketersediaan lahan terutama di perkotaan sangat terbatas, akibatnya akan terjadi pemekaran kota (gentrifikasi kota), sehingga akan menyebabkan konversi lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sebagai dampak dari semakin tingginya kompetisi dalam penggunaan lahan, menyebabkan ketersediaan lahan bagi penggunaan sektor pertanian dan sebagai lapangan usaha bagi petani akan semakin sempit. Dampak lebih lanjut dari perubahan penggunaan lahan ini, yaitu akan semakin besarnya mobilitas tenaga kerja sektor pertanian ke sektor non pertanian dan semakin menurunnya luas lahan pertanian yang akan berpengaruh terhadap
produksi dan produktivitas sektor pertanian. Kedua hal ini dapat dilihat dengan semakin
menurunnya
kontribusi sektor pertanian
terhadap
PDRB
dan
kemampuannya menyerap angkatan kerja. Semakin kecilnya luas lahan pertanian khususnya lahan sawah akan memberikan dampak kerugian, yaitu hilangnya jumlah produksi dan nilai produksi padi, hilangnya pendapatan usahatani padi dan hilangnya investasi irigasi. Derita kerugian ini tidak hanya berdampak pada petani saja namun akan berdampak pula terhadap perekonomian wilayah. Penurunan peran sektor pertanian yang diimbangi dengan laju pertumbuhan sektor lainnya terutama sektor industri dan bangunan akibat terjadi konversi lahan, ternyata juga memberi manfaat yaitu berupa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari tingginya pajak bumi dan bangunan (PBB). Hal ini dikarenakan pajak lahan yang digunakan untuk perumahan dan industri memberikan nilai pajak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pajak lahan penggunaan lahan sawah. Terjadinya perubahan peran masing-masing sektor ekonomi, dimana telah terjadinya penurunan peran sektor primer (sektor pertanain dan sektor pertambangan dan galian) dan meningkatnya peran sektor skunder (sektor industri, sektor listrik dan sektor bangunan) dan sektor tersier (sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa) terhadap output nasional dan kemampuannya menyerap angkatan kerja, akan berdampak terhadap struktur perekonomian wilayah. Hal ini dapat dilihat dengan dua indikator yaitu : (1) kontribusi yang diberikan masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB dan (2) kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam menyerap angkatan kerja.
Untuk lebih mengarahkan suatu prioritas pembangunan di suatu wilayah, dapat di analisis dengan melihat potensi suatu sektor dan peranannya terhadap perekonomian wilayah yang bersangkutan. Implikasi akhir mengenai sektorsektor yang perlu dikembangkan pada suatu wilayah dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut, yaitu dengan mengetahui sektor-sektor yang menjadi sektor basis di suatu wilayah, selain itu juga perlu adanya suatu kebijakan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencapai keseimbangan antar sektor ekonomi
Pembangunan Ekonomi
Pergeseran Struktur Ekonomi
Pergeseran struktur penggunaan lahan (Lahan pertanian ke non pertanian)
Analisis Regresi Linear berganda
Perubahan peran sektor pertanian (primer) ke sektor non pertanian (skunder dan tersier)
Konversi lahan Sawah ke Non pertanian
Kemampuan Menyerap angkatan kerja
Kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB)
Dampak konversi lahan sawah Analisis Location Quetient (LQ), Analisis Surplus Pendapatan/tenag a kerja, Analisis Elastisitas Pertumbuhan pendapatan/tenaga kerja
Kondisi Perekonomian Kabupaten Tangerang
Saran/Implikasi kebijakan
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Operasional Pergeseran Penggunaan Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian.
3.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran serta permasalahan yang di telaah, maka
dirumuskan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Pola konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Tangerang meningkat tiap tahunnya dan berdampak menurunkan peranan sektor pertanian. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju konversi lahan sawah di tingkat wilayah adalah laju pertumbuhan penduduk, produktivitas lahan sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non pertanian dalam PDRB, pertambahan panjang jalan aspal dan kebijakan pemerintah. 3. Sektor unggulan yang menggerakkan perekonomian wilayah pada dasarnya merupakan
sektor
basis.
Pendekatan
pembangunan
yang
berbasis
pengembangan sektor basis akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan wilayah tersebut.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di lapang dimulai pada akhir bulan April 2005 hingga bulan
Juni 2005 selama dua bulan. Daerah penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Pemilihan Kabupaten Tangerang sebagai lokasi Penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pemilihan wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah penelitian : 1. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah Kabupaten Tangerang dari tahun ke tahun mengalami penurunan sedangkan kontribusi sektor non pertanian lainnya meningkat. 2. Kabupaten Tangerang merupakan salah satu wilayah yang mempunyai tingkat konversi lahan sawah terbesar kedua setelah Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten (Banten dalam Angka, 2003). 3. Kabupaten Tangerang merupakan daerah penyangga DKI Jakarta serta di proyeksikan sebagai daerah pengalihan kegiatan industri dari DKI Jakarta. Hal ini sebagai indikasi terjadinya pergeseran struktur ekonomi dan akan berpengaruh terhadap konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Tangerang.
4.2
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber. Data yang diperlukan untuk
melihat pergeseran struktur ekonomi di Kabupaten Tangerang yaitu berupa data PDRB Kabupaten Tangerang dan Penyerapan tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha selama periode 1994-2003. Hal ini dikarenakan PDRB dan tingkat penyerapan tenaga kerja merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi di suatu daerah, sedangkan data yang diperlukan untuk melihat terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di tingkat wilayah adalah data time series tahun 1994–2003 yang meliputi data kependudukan, data perkembangan luas lahan sawah, produktivitas padi sawah, kontribusi sektor non pertanian, pertambahan panjang jalan aspal, serta data lain yang dianggap perlu. Data primer di peroleh melalui wawancara dengan pihak terkait dari pemerintah Kabupaten Tangerang. Data yang dibutuhkan diperoleh antara lain dari Badan Pusat Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, Bapepeda Kabupaten Tangerang, Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Tangerang, Dinas tata ruang wilayah dan dinas atau instansi pemerintah maupun non pemerintah yang terkait lainnya. 4.2.1 Metode Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis, yaitu metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas data dan informasi pada tabulasi data. Sedangkan penggunaan metode kuantitatif bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di tingkat wilayah dan mengidentifikasi terjadinya pergeseran
struktur ekonomi di Kabupaten Tangerang. Analisis kuantitatif menggunakan metode linear berganda, Location Quotient (LQ), surplus pendapatan/tenaga kerja dan elastisitas pendapatan/tenaga kerja 4.2.2 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif ini digunakan untuk menampilkan data dan informasi berdasarkan tabulasi data. Data yang diperoleh akan diolah dengan langkahlangkah sebagai berikut : 1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahankesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan. 2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi data. 3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh. Dengan menggunakan analisis deskriptif akan diperoleh gambaran umum mengenai pergeseran struktur ekonomi, perubahan peran sektoral dalam perekonomian daerah dan pertumbuhan sektoral. Sedangkan untuk konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian akan diperoleh gambaran umum mengenai perkembangan dan pola konversi lahan sawah di Kabupaten Tangerang. 4.2.3 Analisis Estimasi Dampak Konversi Lahan Sawah
Kerugian yang timbul dari konversi lahan sawah diantaranya berupa hilangnya peluang memperoleh produksi (dan nilainya) serta pendapatan usahatani yang seharusnya dapat tercipta dari usahatani seluas lahan sawah yang terkonversi. Secara matematis dapat dihitung : 4
3
Q = • Qi, dimana Qi = Si • Hm ……………………………………(1) I=1
Q
=
Qi =
m=1
produksi padi sawah per tahun yang hilang produksi padi sawah per tahun dari sawah dengan irigasi- i yang terkonversi
i
=
Si = Hm
=
M =
1…4, dimana 1, 2, 3, 4 masing-masing menunjukkan jenis sawah irigasi teknis, semiteknis, sederhana, dan tadah hujan yang terkonversi. luas lahan sawah dengan jenis irigasi – i yang terkonversi produktivitas usahatani pada musim tanam –m dari sawah dengan jenis irigasi – i tersebut. 1, 2, 3 masing- masing menunjukkan musim tanam 1, 2, dan 3
Sedangkan nilai produksi padi sawah yang hilang dapat dirumuskan sebagai berikut : NQ = P x Q ………………………………………………………….(2) NQ =
nilai produksi padi sawah yang hilang
P
harga komoditi padi sawah yang ditanam
=
Produksi dan nilainya yang hilang adalah merupakan akumulasi dari peluang produksi yang hilang selama kurun waktu akibat konversi tersebut. Secara kumulatif produksi yang hilang selama periode n tahun adalah : n
Q kum = • Qt ……………………………………………………….(3)
t=1
Q kum = produksi kumulatif yang hilang selama kurun waktu n t
=
1, 2, 3 ………10
Pendapatan usahatani yang hilang per tahun dapat di estimasi dengan persamaan metematis sebagai berikut : 4
3 i
i
ð = • Si ð , dimana ð = • ðm ……………………………………( i=1
4)
i=1
ð
=
pendapatan usahatani/ tahun yang hilang akibat konversi lahan sawah ke penggunaan lain.
ði
=
pendapatan per hektar usahatani per tahun di lahan sawah irigasi- i.
ðm
=
pendapatan per hektar usahatani pada musim tanam-m di lahan sawah tersebut.
4.2.4 Metode Location Quotient (LQ) Metode ini merupakan salah satu pendekatan identifikasi basis ekonomi di suatu wilayah, yaitu untuk menentukan apakah suatu sektor ekonomi termasuk ke dalam basis atau non basis di suatu wilayah dalam periode tertentu. Suatu sektor dikatakan basis bila sektor tersebut telah mampu berswasembada di suatu wilayah dan dapat mengirim atau menyumbangkan sebagian produksinya ke wilayah lain, sedangkan kebalikannya termasuk dalam sektor non basis. Dalam hal ini metode LQ digunakan untuk mengukur kegiatan di suatu wilayah dengan jalan membandingkan peranannya dalam perekonomian wilayah dengan peranannya dalam perekonomian secara keseluruhan. Dasar ukuran penggolongan tersebut dapat berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan atau tujuan penggolongan. Apabila tujuan penggolongan tersebut adalah untuk mencari kegiatan ekonomi yang dapat memberikan kesempatan kerja yang sebanyak-banyaknya, maka yang digunakan sebagai dasar ukuran
adalah jumlah tenaga kerja. Apabila yang dianggap penting adalah peningkatan pendapatan regional, maka pendapatan atau value added yang digunakan dalam pengukuran dasar, sedangkan jika hasil produksi yang dipentingkan, maka dasar ukuran yang digunakan adalah tingkat produksi. LQ merupakan perbandingan antara pendapatan relatif/jumlah tenaga kerja relatif suatu sektor dalam suatu wilayah dengan total pendapatan relatif/total jumlah tenaga kerja relatif sektor tersebut pada tingkat wilayah yang lebih luas. Selain itu, LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Secara umum rumus metode LQ adalah: Si Ni S …………………………. (5 LQ = = S Ni N N Si
)
LQ = besarnya kuosien lokasi suatu sektor ekonomi Si = jumlah tenaga kerja atau pendapatan sektor i pada tingkat Kabupaten S
= jumlah total tenaga kerja atau total pendapatan keseluruhan sektor pada tingkat Kabupaten
Ni
= jumlah tenaga kerja atau pendapatan sektor i pada tingkat Propinsi
N
= jumlah total tenaga kerja atau total pendapatan keseluruhan sektor pada tingkat Propinsi Rasio yang lebih besar dari satu (LQ>1) menujukkan bahwa sektor tersebut termasuk sektor basis atau ekspor. Artinya sektor tersebut lebih berperan bagi perekonomian Kabupaten daripada perekonomian Propinsi dam mampu mengekspor. Jika LQ=1 menunjukkan bahwa sektor tersebut tidak mengekspor atau mengimpor, artinya telah berswasembada. Akan tetapi jika LQ<1 berarti sektor tersebut temasuk sektor non basis. Artinya sektor tersebut kurang berarti bagi perekonomian Kabupaten daripada perekonomian Propinsi.
4.2.5 Analisis Surplus Pendapatan dan Tenaga Kerja Perhitungan surplus pendapatan atau kawasan bertujuan untuk melihat apakah sektor-sektor ekonomi di wilayah Kabupaten Tangerang menghasilkan surplus atau harus mengimpor dari luar. Nilai surplus pendapatan atau merupakan perkalian antara indeks surplus pendapatan atau kawasan dengan pendapatan atau kawasan sektor x di wilayah i dengan kontribusi pendapatan atau kawasan sektor x di wilayah pembanding yang lebih luas (wilayah j), dimana wilayah i merupakan bagian wilayah j. Adapun rumus yang di gunakan dalam perhitungan surplus pendapatan atau kawasan adalah : SYi =
SIi * Yxi…………………………………………………….…(6
)
SYi =
(RYxi – RYxj) * Yxi…………………………………………...(7
)
Yxi –Yxj SYi = Yti
Ytj
* Yxi………………………..………………….(8
SYi = surplus pendapatan atau tenaga kerja di wilayah i SIi = indeks surplus pendapatan atau tenaga kerja di wilayah i Yxi = pendapatan atau tenaga kerja sektor x diwilayah i Yxj = pendapatan atau tenaga kerja sektor x diwilayah j RYxi
= (Yxi) / (Yti)
= kontribusi pendapatan atau tenaga kerja sektor x terhadap total pendapatan atau tenaga kerja di wilayah i RYxj
= (Yxj) / (Ytj)
= kontribusi pendapatan atau tenaga kerja sektor x terhadap total pendapatan atau tenaga kerja di wilayah j Yti = total pendapatan atau tenaga kerja diwilayah i Ytj = total pendapatan atau tenaga kerja diwilayah j 4.2.6 Analisis Elastisitas Pertumbuhan
)
Analisis elastisitas pertumbuhan ini menggunakan pendekatan teori elastisitas, dimana seberapa besar perubahan pendapatan atau penyerapan tenaga kerja pada suatu sektor akan mempengaruhi perubahan pada total atau penyerapan tenaga kerja wilayah. Adapun perhitungan elastisitas pertumbuhan menggunakan rumus sebagai berikut.: å
= =
•Yt / Y t (0) •Yx / Y x (0) {Yt(t) – Yt (0)}/ Yt(0) {Yx(t) – Yx (0)}/Yx (0)
…………………….
......... (9)
å
= elastisitas pertumbuhan untuk suatu indikator (indikator pendapatan atau tenaga kerja)
•Yx
= perubahan pendapatan atau tenaga kerja yang disumbangkan dari sektor x di wilayah i
•Y
= perubahan total pendapatan atau tenaga kerja di wilayah sama
Yx(t)
= pendapatan atau tenaga kerja yang disumbangkan oleh sektor x pada tahun t di wilayah i
Yx(0)
= pendapatan atau tenaga kerja yang disumbangkan oleh sektor x pada tahun awal (tahun 0) di wilayah i
Yt(t)
= total pendapatan atau tenaga kerja di wilayah i pada tahun t
Yt(0)
= total pendapatan atau total tenaga kerja di wilayah i pada tahun awal.
Apabila suatu elastisitas pertumbuhan bernilai a, berarti apabila terdapat kenaikan pendapatan atau tenaga kerja sebesar satu persen, maka total pendapatan atau tenaga kerja di wilayah yang sama akan meningkat sebesar a persen.
4.2.7 Analisis Regresi Linier Berganda
Metode Analisis Linier Berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada Metode Ordinary Least Square (OLS). Metode OLS memiliki beberapa sifat : (1) penaksir OLS tidak bias, (2) penaksir OLS mempunyai Varians yang minimum, (3) konsisten ; yaitu dengan meningkatnya ukuran sample secara tidak terbatas, penaksir mengarah ke nilai populasi yang sebenarnya, (4) dari sifat nomor 1 dan 2, OLS merupakan penaksir tidak bias dengan varians yang minimum sehingga OLS efisien, dan (5) Linier. Metode Regresi Linier Berganda digunakan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di tingkat wilayah 4.2.7.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penurunan luas lahan sawah yang diproksi dari tingkat konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di tingkat wilayah Kabupaten Tangerang adalah : 1. Laju Pertumbuhan Penduduk Laju pertumbuhan penduduk suatu daerah akan mempengaruhi permintaan terhadap lahan, seperti untuk pemukiman maupun untuk sarana dan prasarana lainnya seperti fasilitas umum, misalnya jalan raya, pasar, rumah sakit dan lain-lain.
2. Kontribusi Sektor Non pertanian dalam PDRB
Kontribusi PDRB sektor non pertanian terhadap PDRB total akan menyusun prioritas untuk pengembangan masing-masing sektor. Tingginya pertumbuhan ekonomi dari selain sektor non pertanian akan menuntut konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. 3. Produktivitas padi di lahan sawah diproksi dari produktivitas lahan sawah 4. Proporsi luas lahan sawah beririgasi teknis dan semiteknis terhadap luas sawah total diproksi dari kualitas lahan sawah 5. Pertambahan panjang jalan aspal diproksi dari kualitas sarana transportasi. 6. Peubah Boneka Kebijakan Pemerintah (Dummy) Adanya kebijakan pemerintah mengenai pengalokasian pembangunan dan pemanfaatan ruang, sebelum dan saat terjadinya otonomi daerah. Keterkaitan antara peubah-peubah di atas dapat dirumuskan oleh persamaan sebagai berikut : Y = B0 +B1 X1 + B2 X2 + B3 X3 + B4 X4 + B5 X5 + B6 D+ ì i…………........(10) Y
= penurunan luas lahan sawah yang diproksi dari jumlah konversi lahan sawah (hektar)
B0
= intersep
B1 dan B2 = koefisien regrasi X1
= laju pertumbuhan penduduk
X2
= produktivitas padi di lahan sawah (ton/ha/tahun)
X3
= proporsi luas lahan sawah beririgasi teknis dan semiteknis
X4
= kontribusi PDRB sektor non pertanian terhadap PDRB total
X5
= pertumbuhan panjang jalan aspal (km)
D
= Peubah boneka kebijakan pemerintah
D
= 0 = kebijakan semenjak otonomi daerah
D
= 1 = kebijakan sebelum otonomi daerah
ìi
= standar error
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh pengaruh peubah-peubah dalam persamaan akan mempengaruhi konversi lahan sawah akan dilakukan uji statistik. Untuk pengujian, dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Pengujian parameter secara individu 2. Pengujian parameter secara keseluruhan. Pengujiannya dilakukan sebagai berikut : 1. Pengujian parameter secara individu, dimaksudkan untuk mengetahui secara terpisah variabel bebas berpengaruh terhadap variabel tak bebas. Hipotesa yang digunakan : H0 ; b1 = 0 H1 ; b1 • 0 Uji statistik yang digunakan : thit =
b1 Sb1
………………………….……………………………….
dimana : b1 = Koefisien regresi suatu variabel bebas Sb1 = Standar kesalahan Kaidah pengujian : Jika thit < ttabel maka terima H0 Jika thit > ttabel maka tolak H0 Jika hasil pengujian menolak H0 maka variabel ke- i berpengaruh nyata terhadap variabel bebas pada tingkat kepercayaan tertentu.
(11)
2. Pengujian parameter secara keseluruhan, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antara variabel bebas dengan variabel tak bebas secara keseluruhan. Hipotesa yang digunakan : H0 : b1 = b2 = ……= 0 H1 : Ada yang tidak sama dengan nol Uji statistik yang digunakan : F hit =
JKR / (k-1) JKG / (n-k)
….……………………………….
JKR
= Jumlah kuadrat regresi
JKG
= Jumlah kuadrat galat
k
= Jumlah variabel terhadap intersep
n
= Jumlah pengamatan / sampel
.......(12)
Kaidah pengujian : Jika thit < ttabel maka terima H0 Jika thit > ttabel maka tolak H0 Jika hasil pengujian menolak H0, maka model tepat untuk meramalkan pengaruh antara variabel bebas dengan variabel tak bebas.
4.3
Definisi Operasional
1. Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non pertanian (Ha) Seluruh sawah yang dikonversi kepenggunaan non pertanian. Diukur dalam satuan hektar. 2. Lahan Pertanian Lahan yang dikuasai dan pernah diusahakan untuk pertanian selama setahun yang lalu. Lahan tersebut antara lain : lahan sawah, huma, ladang/tegal/kebun, kolam/tebat/empang, tambak, lahan perkebunan, hutan, dan lahan untuk pengembalaan/padang rumput. 3. Lahan bukan pertanian a. Lahan bangunan dan halaman/pekarangan adalah lahan untuk bangunan rumah serta halaman. b. Lahan tidur adalah lahan yang biasanya digunakan untuk usaha pertanian tetapi tidak dimanfaatkan lebih dari dua tahun. 4. Lahan Sawah Lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (gelengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah. 5. Lahan Sawah irigasi Lahan sawah yang mendapatkan air dari sistem irigasi baik bangunan penyadap dan jaringannya dikelola oleh instansi pemerintah.
6. Lahan sawah tanpa irigasi
a. Sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan. b. Sawah pasang surut adalah lahan sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. c. Sawah lainnya adalah lahan sawah lebak, polder, lahan rawa yang di tanami padi dan lain-lain. 7. Kontribusi Sektor Non Pertanian (%) Data PDRB yang dipakai adalah PDRB Propinsi Banten dan Kabupaten Tangerang berdasarkan harga konstan tahun 1993. Kontribusi sektor non pertanian dalam PDRB diperoleh dari jumlah keseluruhan PDRB Kabupaten Tangerang dikurangi kontribusi sektor pertanian. 8. Produktivitas Lahan (ton/ha) Besarnya nilai produktivitas lahan secara langsung menunjukkan pendapatan kotor petani dari suatu lahan. 9. Pertambahan Panjang Jalan Aspal (km) Proksi dari kualitas sarana dan prasarana transportasi 10. Kebijakan Pemerintah Sebelum dan saat diberlakukannya otonomi daerah.
BAB V KARAKTERISTIK DAN POTENSI WILAYAH KABUPATEN TANGERANG
5.1.
Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Tangerang terletak di Bagian Timur Propinsi Banten dan di
Bagian Barat Laut Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 1.110.38 Km2. Berada pada koordinat 106°. 20’ - 106°.43’ Bujur Timur dan 6°.00’ - 6°.20’ Lintang Selatan, dengan batas – batas wilayah : 1. Sebelah Utara dengan Laut Jawa 2. Sebelah Timur dengan Propinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang 3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bogor 4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Serang dan Lebak. Wilayah Kabupaten Tangerang secara administratif mengalami beberapa kali pemekaran. Berdasarkan Undang–undang No. 2 Tahun 1993, wilayah Kabupaten
Tangerang
telah
dimekarkan
menjadi
dua
wilayah
dengan
terbentuknya Kotamadya Tangerang. Pembagian wilayah setelah dikurangi oleh Kotamadya Tangerang dan dengan adanya pemekaran, maka wilayah menjadi 19 kecamatan, enam wilayah Pembantu Bupati, tujuh Perwakilan Kecamatan dan 316 Desa. Pada tahun 2000, wilayah administratif mengalami pemekaran kembali menjadi 24 kecamatan dengan 325 Desa dan pada tahun 2001, wilayah Kabupaten Tangerang secara administratif menjadi 26 Kecamatan dengan 328 Desa.
Tabel 2. Kecamatan dan Jumlah Kelurahan/Desa di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2003 No.
Nama Kecamatan
1 Kosambi 2 Teluknaga 3 Pakuhaji 4 Septan 5 Mauk 6 Rajeg 7 Pasar Kemis 8 Kronjo 9 Kresek 10 Balaraja 11 Cisoka 12 Tigaraksa 13 Cikupa 14 Curug 15 Legok 16 Serpong 17 Pamulang 18 Ciputat 19 Pondok Aren 20 Panongan 21 Pagedangan 22 Cisauk 23 Sukadiri 24 Kemeri 25 Jambe 26 Jayanti Jumlah
Jumlah Kelurahan/Desa
10 13 14 16 12 14 15 18 18 16 17 14 14 11 12 16 8 18 11 8 12 12 8 7 10 9 328
Sumber : Rencana Kinerja Diperta Kabupaten Tangerang 2004
Dibentuknya system hirarki kota yang dapat membantu struktur tata ruang yang dituju terutama yang berhubungan dengan pola orientasi kegiatan. Pembentukan hirarki kota–kota didasarkan pada proyeksi kota-kota yang memiliki hirarki sebagai berikut : 1. Kota orde I Utama adalah kota-kota yang berfungsi sebagai Ibukota Kabupaten yang diarahkan Tigaraksa.
2. Kota orde I adalah kota-kota yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, yaitu : Serpong, Balaraja dan Teluk Naga. Kota-kota yang memiliki perkembangan cukup pesat, yaitu : Ciputat dan Pamulang. 3. Kota orde II adalah kota-kota yang berfungsi sebagai Ibukota Kawedanan dan kota-kota yang memiliki kegiatan simpul koleksi dan distribusi, yaitu : Curug, Mauk, Cikupa, Pasar Kemis dan Sepatan. 4. Kota orde III adalah kota yang berfungsi sebagai Ibukota Kecamatan dan memiliki simpul produksi yaitu : Legok, Cisoka, Kresek, Kronjo, Rajeg, Kosambi dan Pakuhaji serta Perwakilan Kecamatan Cisauk, Pagedangan, Jayanti, Jambe, Panongan, Kemiri dan Sukadiri. 5. Kota orde IV adalah semua pusat-pusat desa atau pusat satuan pemukiman.
5.2
Iklim dan Curah Hujan Kabupaten Tangerang memiliki hujan tropis dan termasuk zona iklim
sedang. Sebagian besar wilayahnya adalah pantai, sehingga sangat di pengaruhi oleh iklim laut. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 23.2°C – 32.8°C. Ratarata kelembaban udara dan intensitas metahari berkisar 55–81 persen. Keadaan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus, dengan curah hujan rata- rata 1500 – 3000 mm per tahun dalam jumlah hari hujan sebesar 119 hari. Musim kemarau berlangsung antara bulan Juni sampai September, sedangkan bulan April, Mei, Oktober dan November merupakan masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau.
5.3
Sumberdaya Alam
5.3.1 Jenis, Penyebaran dan Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang memiliki topografi relatif datar yang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Dataran rendah di bagian utara dengan ketinggian berkisar antara 0 – 25 meter di atas permukaan laut, yaitu Kecamatan Teluknaga, Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pasar Kemis dan Sepatan. 2. Dataran tinggi di bagian tengah ke arah selatan dengan ketinggian lebih dari 25 meter di atas permukaan laut, yaitu Kecamatan Legok, Pamulang dan Ciputat. Kemiringan tanah relatif kecil rata- rata 0-3 persen dengan bagian selatan menurun ke Utara. Ketinggian wilayah berkisar antara 0–85 meter diatas permukaan laut. Wilayah bagian utara merupakan daerah pesisir pantai sepanjang 50 Km. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Tangerang di dominasi oleh tanah Latosol dan Podsolik Merah Kuning yang terdapat hampir di seluruh wilayah Kecamatan. Jenis tanah dan penyebarannya : a. Latosol penyebarannya mendominasi wilayah timur b. Podsolik merah kunig mendominasi bagian tengah, sedangkan c. Jenis tanah lain adalah : alluvial yang terdiri dari alluvial hidromorf, alivial kelabu tua, alluvial coklat kekelabuan. Jenis tanah ini penyebarannya di sepanjang Sungai Cidurian.
Wilayah Kabupaten Tangerang memiliki luas wilayah 109.088 ha. Terdiri dari lahan sawah 41.408 ha (38 persen) dan lahan kering 67.680 ha (62 persen). Adapun luas lahan yang dimanfaatkan dalam bidang pertanian : Tabel 3.
Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 2003 No Jenis Pemanfaatan 1 kali setahun 2 kali setahun Jumlah 1. Lahan Sawah a. Pengairan teknis 24.336 24.336 b. Pengairan ½ teknis 342 2.060 2.402 c. Pengairan sederhana 175 799 974 d. Pengairan Non PU 20 20 e. Tadah hujan 7.728 5.513 13.241 f. Lebak/polder 245 190 435 2. Lahan Kering a. Tegalan/kebun 18.443 18.443 b. Ladang/huma 4.131 4.131 Jumlah 31.064 32.918 63.982 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang 2003
Kabupaten Tangerang mempunyai peluang besar untuk dikembangkan menjadi wilayah pertanian yang potensial. Luas lahan untuk usaha pertanian yang dapat dikelola sekitar 71,66 persen merupakan prasarana yang sangat mendukung. Dominasi penggunaan lahan industri berada pada bagian selatan jalan utama, terutama untuk Kecamtan Balaraja, Tigaraksa dan Cikupa, sedangkan pada bagian utara jalan utama terdapat di Kecamatan Pasar Kemis. Pemanfaatan lahan pemukiman di Kabupaten Tangerang umumnya berkelompok dan terkonsentrasi pada wilayah pusat-pusat kota Kecamatan, sedangkan di luar kelompok itu pemukiman cenderung memiliki pola menyebar yang dikelilingi oleh lahan pertanian.
5.3.2
Sumberdaya Air Untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi manusia, ternak maupun tanaman,
Kabupaten Tangerang memiliki sumber air yang cukup potensial yang berasal dari sungai, situ, rawa dan air tanah. Sejumlah sungai besar dan kecil yang melintasi Kabupaten Tangerang yaitu : Sungai Cisadane, Cidurian, Cimanceuri, Cirarab, Kali Angke dan Pesanggrahan, selain itu terdapat banyak situ yaitu : Situ Pamulang, Situ Gintung, Situ Garukgak dan Situ Patrasana. Untuk kebutuhan dalam bidang pertanian sumber air berasal dari Sungai Cisadane, Sungai Cidurian yang dilengkapi bendungan dan jaringan irigasi untuk mengatur penggunaannya. Sumber air yang ada di Kabupaten Tangerang di kelola oleh UPTD Irigasi, kondisi air yang di kelola diproyeksikan untuk mengairi 30.803 ha, yang meliputi pengelolaan UPTD Irigasi Cisadane Barat Laut seluas 20.548 ha dan UPTD Irigasi Cidurian seluas 10.245 ha. Operasionalisasi penggunaan air di lahan usahatani melalui saluran tersier, Kabupaten Tangerang memiliki 705 unit saluran tersier dengan rata-rata panjang saluran tersier 4 Km, maka panjang saluran yang ada diperkirakan 2.820 Km. Kondisi saluran tersier tidak semuanya baik, hal tersebut disebabkan karena terjadi pendangkalan akibat lumpur yang mengendap, saluran bocor sehingga terjadi perembasan, rusaknya tanggul dan pintu air yang tidak berfungsi dengan baik. Apabila diprakirakan kondisi saluran tersier yang kurang baik yaitu sebesar 30 persen dari seluruh panjang saluran tersier yang ada, maka diprakirakan saluran tersier yang kurang baik yaitu sepanjang 846 Km.
Tabel 4. Pengelolaan Air oleh UPTD Irigasi di Kabupaten Tangerang Tahun 2003 Golongan Daerah Irigasi Golongan I Di Cisadane UPTD Barat Laut
Jumlah Golongan II Di Cisadane UPTD Barat
Jumlah Golongan III Di Cisadane UPTD Barat Jumlah Golongan I Di Cidurian UPTD Cidurian
Jumlah Golongan II Di Cidurian UPTD Cidurian
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Teluknaga Kosambi Sepatan Pakuhaji Mauk Rajeg
Rajeg Pasarkemis Kemeri Kresek Kronjo
Kronjo Balaraja Cisoka Balaraja Kresek Pasarkemis Rajeg Cikupa Balaraja Kresek
Jumlah Jumlah seluruhnya
Areal (Ha)
2.098 401 2.398 3.333 3.021 61 11.312 2.492 291 1.659 1.645 475 6.553 2.575 108 2.683 443 1.883 249 1.845 720 96 5.236 1.217 2.567 1.225 5.009 30.803
Sumber : Rencana Kinerja Diperta Kabupaten Tangerang 2004
5.4
Sumberdaya Manusia
5.4.1 Kependudukan Penduduk sebagai faktor dominan dalam pertumbuhan dan merupakan potensi yang cukup efektif dalam pelaksanaan pembangunan. Jumlah penduduk yang besar disertai dengan kualitas yang tinggi menjadi syarat penting bagi keberhasilan pembangunan.
Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Tangerang sebesar 3.195.737 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 7,12 Persen per tahun. Kepadatan penduduk sebesar 2.878 jiwa per Km2. Di bandingkan dengan tahun sebelumnya, Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang mengalami peningkatan yaitu 2.983.384 jiwa pada tahun 2002 menjadi 3.195.737 jiwa pada tahun 2003. 5.4.2 Ketenagakerjaan Pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh adanya mutasi penduduk yang lahir, mati, pindah dan datang secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ketenagakerjaan dan lapangan usaha. Bertambahnya jumlah penduduk, usia kerja juga akan meningkat. Peningkatan jumlah angkatan kerja tersebut harus diimbangi dengan jumlah kesempatan kerja yang ada, sehingga diharapkan dapat menekan tingkat pengangguran (BPS,2000). Dari jumlah penduduk usia kerja yaitu sebesar 2.525.386 jiwa, menurut Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang, ternyata di Kabupaten Tangerang terdapat 1,28 persen (32.454 jiwa) yang sedang mencari kerja pada tahun 2003, dimana jumlah pencari kerja dengan tingkat pendidikan SLTA merupakan yang terbanyak yaitu sebesar 21.031 jiwa (64,80 persen) disusul oleh tingkat pendidikan SLTP yaitu sebesar 7.051 jiwa (1,73 persen). Peningkatan jumlah pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2003 meningkat pesat jika dibandingkan dengan tahun 1994. Pada tahun 1994 jumlah tenaga kerja yaitu sebesar 17.622 jiwa, dimana jumlah pencari kerja
dengan tingkat pendidikan SLTA merupakan yang terbanyak yaitu sebesar 10.903 jiwa. Tabel. 5. Penduduk Berumur 10 Tahun ke-atas Mencari Kerja di Kabupaten Tangerang Menurut Tingkat Pendidikan Periode 1994-2003 Jumlah Tenaga Kerja Tingkat Pendidikan Tahun 1994 Tahun 2003 SD 882 797 SLTP 5.144 7.051 SLTA 10.903 21.031 D3/S1 638 3.558 Total 17.622 32.454 Sumber : Kantor Departemen Tenagakerja Kabupaten Tangerang,Tahun 1994-2003
Semakin bertambahnya jumlah pencari kerja, menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk penyediaan lapangan usaha, sehingga tingkat daya serap tiap-tiap lapangan usaha terhadap angkatan kerja semakin besar. Dilihat menurut Kecamatan,
ternyata
Kecamatan yang memiliki
perusahaan industri yang banyak akan berpengaruh sekali terhadap jumlah pencari kerja. Untuk Kecamatan Pasar Kemis, Balaraja dan Cikupa jumlah pencari kerja merupakan yang terbanyak yaitu masing-masing 5.444 jiwa, 5.160 jiwa dan 4.330 jiwa pencari kerja. Kecamatan Sepatan, Jambe dan Kosambi merupakan Kecamatan dengan jumlah pencari kerja yang paling sedikit yaitu masing-masing 115 jiwa, 123 jiwa dan 133 jiwa. Tenaga kerja yang ada di Kabupaten Tangerang pada tahun 2003 banyak terserap oleh sektor industri pengolahan yaitu sebanyak 236.104 tenaga kerja dari 1.669 perusahaan, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang menyerap 24.362 tenaga kerja dari 627 perusahaan. Sektor pertambangan dan penggalian hanya 6 orang tenaga kerja yang terserap oleh satu perusahaan.
Tabel 6.
Jumlah Perusahaan berdasarkan Lapangan Usaha dan Penggunaan Tenaga Kerja di Kabupaten Tangerang Tahun 2003 Lapangan Usaha Perusahaan Tenaga Kerja Pertanian, peternakan, kehutanan dan 94 4.379 perikanan Pertambangan dan Penggalian 1 6 Industri Pengolahan 1.669 236.104 Listrik, gas dan Air minum 5 273 Bangunan/konstruksi 71 4.136 Perdagangan, Hotel dan Restoran 627 24.362 Pengankutan dan Kominikasi 41 2.042 Keuangan, persewaan dan jasa Perusahaan 86 5.370 Jasa – jasa 142 7.960 Total
2.736
Sumber : Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang 2003
5.5
284.632
Aksesibilitas dan Transportasi Kabupaten Tangerang berada dalam jalur lalu-lintas perhubungan utama
antara pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Posisi strategis ini merupakan potensi yang sangat besar guna meningkatkan aktivitas perekonomian, beberapa fasilitas transportasi dapat menjadi sumber pendapatan yang cukup besar, antara lain Bandar Udara Soekarno-Hatta yang merupakan jalan di Kabupaten Tangerang yang berstatus jalan negara tercatat membentang pada jalur perhubungan dari Kabupaten Tangerang ke Kabupaten Serang maupun ke Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jalan tersebut merupakan jalan kelas B yang kondisinya 75 persen dalam keadaan baik dan terpelihara, serta hanya 23 persen dalam kondisi sedang. Jaringan jalan yang terdapat di Kabupaten Tangerang menurut statusnya terdiri dari jalan negara, jalan propinsi, jalan kabupaten serta jalan Tol Jakarta – Merak. Jalan tersebut melintasi beberapa kecamatan seperti Ciledug, Curug, Cikupa dan Pasar Kemis. Jika ditinjau dari jenisnya, jumlah terminal di daerah ini berjumlah delapan buah, yaitu terminal yang melayani angkutan penumpang regional
maupun lokal, sedangkan untuk angkutan penumpang yang ada di Kabupaten meliputi trayek angkutan antar kota, antara kecamatan dan antar pedesaan. Pelabuhan udara yang berada di Kabupaten Tangerang yaitu, PLP Curug atau Bandara Budiarto Curug yang berlokasi di Kecamatan Legok yang berfungsi sebagai sarana pendidikan dan latihan penerbangan. Selain itu terdapat pula Bandara Udara Pelita Air Service yang berlokasi di Kecamatan Pamulang dan berfungsi sebagai sarana penerbangan Pertamina. Pelabuhan laut di Kabupaten Tangerang ada dua yaitu, di Kecamatan Mauk dan Teluk Naga. Pelabuhan ini dimanfaatkan sebagai pendaratan nelayan dan tempat pelelangan ikan. Diarahkannya obyek wisata Bahari di Pantai Utara Tangerang, maka fasilitas pelabuhan laut mulai dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Sampai saat ini terdapat beberapa daerah yang mengalami kesulitan dalam hal aksesibilitas antara lain : Kecamatan Kresek, Kemiri dan Pakuhaji. Rendahnya aksesibilitas daerah-daerah tersebut, salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat kerusakan jalan Propinsi dan jalan Kabupaten. Sulitnya aksesibilitas akan menghambat perkembangan ekonomi masyarakat diantaranya menyebabkan tidak stabilnya harga hasil pertanian.
5.6
Karakteristik Perekonomian Dalam
keberhasilan
menggunakan pelaksanaan
pertumbuhan
pembangunan
ekonomi biasanya
sebagai dilihat
tolak
dari
ukur
keadaan
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selanjutnya indikator
struktur ekonomi dan peranan sektor-sektor ekonomi digunakan untuk melihat pergeseran-pergeseran antara sektor dalam struktur PDRB. Pada Lampiran 1 laju pertumbuhan PDRB di Kabupaten Tangerang selama sepuluh tahun (1994-2003) terakhir cenderung berfluktutif bahkan sempat bernilai negatif yaitu pada tahun 1998 semasa terjadinya krisis ekonomi dengan laju pertumbuhan sebesar -9,26 persen. Namun untuk tahun berikutnya laju pertumbuhan PDRB berangsur-angsur meningkat dengan laju pertumbuhan terbesar ditempati oleh sektor pertanian dengan nilai sebesar 6,70 persen. Pada tahun 2003, laju pertumbuhan PDRB terbesar di Kabupaten Tangerang ditempati oleh sektor jasa-jasa dengan nilai sebesar 8,89 persen, sedangkan untuk sektor pertanian mengalami penurunan menjadi 5,05 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran struktur perkonomian tradisionil ke arah struktur perekonomian modern, dimana peran sektor pertanian sebagai sektor primer kontribusinya lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusi sektor non pertanian terhadap pendapatan nasional maupun kemampuannya dalam angkatan kerja. Kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB di Kabupaten Tangerang selama periode 1994-2003, masih di dominasi oleh sektor industri. Kontribusi sektor industri terbesar terjadi pada tahun 1998, yaitu sebesar 58,86 persen. Adapun kontribusi sektor pertanian sebagai sektor primer terhadap product Domestic Regional Bruto (PDRB) dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Sektor pertanian memberikan nilai kontribusi terbesar pada tahun 1994, yaitu sebesar 12,87 persen dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2003 yaitu sebesar 10,31 persen. Hal ini juga dialami oleh sektor primer lainnya
yaitu sektor pertambangan dan galian yang juga memberikan kontribusi yang terus menurun (Lampiran 2). Selain berdasarkan besaran kontribusi masing-masing sektor terhadap PDRB, pergeseran peran masing-masing sektor juga dapat dilihat melalui kemampuannya menyerap angkatan kerja. Kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam menyerap angkatan kerja dapat dilihat pada Tabel 7 . Sektor ekonomi yang mempunyai daya serap angkatan kerja terbesar selama enam tahun terakhir yaitu sekor industri pengolahan dengan jumlah pekerja yaitu sebesar 213.424 jiwa pada tahun 1998, lalu meningkat menjadi 384.017 jiwa pada tahun 2003, sedangkan untuk sektor pertanian pada tahun 1998 mampu menyerap angkatan kerja sebesar 119.013 jiwa dan meningkat menjadi 122.190 jiwa pada tahun 2003. Tabel 7.
Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke-atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1998-2003 Lapangan Usaha 1998 1999 2002 2003 Pertanian 119013 185233 92193 122190 Pertambangan dan Penggalian 9923 6601 6139 6293 Industri Pengolahan 213424 207827 284131 384017 Listrik gas dan Air Bersih 1503 6978 2313 2965 Bangunan/konstruksi 57463 37197 52214 36860 Perdagangan, hotel dan restoran 247618 266086 281915 237808 Pengangkutan dan komunikasi 70093 71084 115858 96406 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 30401 27995 65463 41681 Jasa- jasa 181504 185582 203130 186036
Sumber : BPS Kabupaten Tangerang Tahun 1998-2003
Tahun 1998/1999 pada masa krisis ekonomi, sektor pertanian mampu memberikan nilai positif terhadap perekonomian wilayah. Sektor pertanian mampu menyerap angkatan kerja dalam jumlah besar. Pada tahun tersebut sektor pertanian mampu menyerap angkatan kerja sebesar 66.220 jiwa, sedangkan sektor
ekonomi lainnya mengalami penurunan dalam menyerap angkatan kerja. Berdasarkan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian sebagai sektor primer tetap memegang peranan penting dalam menunjang perkembangan perekonomian
wilayah.
Berdasarkan
indikator
pendapatan
maupun
kemampuannya menyerap angkatan kerja, sektor pertanian mampu memberikan kontribusi yang positif dan dapat dijadikan sebagai sektor andalan bagi perekonomian wilayah di Kabupaten Tangerang.
BAB VI PERKEMBANGAN DAN POLA KONVERSI LAHAN SAWAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH 6.1
Perkembangan dan Pola Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Periode 1994 – 2003 Perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menyebabkan
permintaan terhadap sumberdaya lahan semakin meningkat. Semakin pesatnya aktivitas pembangunan akan memerlukan sumberdaya lahan yang semakin besar, baik sebagai tempat untuk memperoleh sumberdaya mineral, lahan pertanian, maupun lokasi kegiatan ekonomi lainnya seperti industri, pemukiman dan perkantoran. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk pembangunan dan terbatasnya ketersediaan lahan, menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan yang pada akhirnya pemanfaatan sumberdaya lahan diperuntukkan bagi penggunaan yang memberikan sewa tertinggi. Lahan sawah yang merupakan penghasil terbesar bagi produksi padi sebagai pangan pokok bagi sebagian besar penduduk tidak dapat dihindari dari konversi, karena sewa untuk penggunaan pertanian relatif lebih kecil dibandingkan dengan sewa untuk penggunaan non pertanian. Perkembangan laju luas lahan sawah yang terkonversi berdasarkan data BPN Kabupaten Tangerang untuk tahun 2000, dari 26 Kecamatan yang ada di Kabupaten Tangerang terdapat lima Kecamatan yang mengalami konversi lahan cukup besar yaitu Kecamatan Pamulang (46,77 persen), Ciputat (45,45 persen), Pondok Aren (36,20 persen), Serpong (32,56 persen) dan Teluknaga (18,82 persen). Sebagian besar luasan lahan digunakan untuk industri, perdagangan, pergudangan dan pemukiman, selain itu lokasi kecamatan ini juga berdekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi dan sebagai jalur transportasi, seperti Kecamatan Teluknaga yang merupakan daerah dekat pelabuhan sehingga konversi
lahan banyak terjadi dan diperuntukkan untuk pergudangan. Kecamatan Serpong, Pamulang, Ciputat dan Pondok Aren merupakan Kecamatan yang memiliki lokasi cukup strategis yaitu dekat dengan daerah Jakarta dan Bogor sehingga banyak dibangun kawasan pemukiman dan kawasan perindustrian. Berdasarkan RUTRW Kabupaten Tangerang tahun 2003, kawasan pergudangan dan industri dimaksudkan untuk menampung kegiatan bongkar muat bagi perdagangan regional dan internasional yang berorientasi ke bandara Soekarno Hatta, pelabuhan Bojonegara maupun Tanjung Priuk. Kawasan ini direncanakan akan disediakan lahan seluas 750 Ha dan 3000 Ha. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan permintaan lahan semakin meningkat disamping ketersediaan lahan yang tetap, maka konversi lahanpun tidak dapat dihindari. Selama periode 1994-2003, di Kabupaten Tangerang telah terjadi konversi lahan sebesar 5.407 hektar atau 540,7 hektar per tahun dengan laju sebesar 2,44 persen per tahun. Perubahan luas lahan sawah dan perkembangan konversi lahan sawah besarnya berfluktuasi dari tahun ke tahun. Berdasarkan pola konversi menurut tipe sawah secara berturut-turut luas lahan terkonversi dari yang terluas adalah sawah tadah hujan yaitu sebesar 2.723 hektar atau 272,3 hektar per tahun, sawah irigasi ½ teknis sebesar 1.162 hektar atau 116,2 hektar per tahun, sawah irigasi sederhana sebesar 849 hektar atau 84,9 hektar per tahun dan sawah irigasi teknis sebesar 673 hektar atau 67,3 hektar per tahun (Tabel 8).
Tabel 8.
Rata–rata Luas Lahan Terkonversi Menurut Jenis Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1994 – 2003 (dalam Hektar)
Jenis Sawah
Sawah Sawah Sawah Sawah Total Irigasi Irigasi½ Irigasi Tadah Hujan Teknis Teknis Sederhana Lahan 673 1162 849 2723 5407
Jumlah Sawah Terkonversi Rata – rata Per tahun
67,3
116,2
84,9
272,3
540,7
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Tangerang (diolah)
Pola konversi lahan sawah menurut jenis sawah yang terkonversi selama periode 1994-2003 dapat terlihat jelas apabila diperbandingkan proporsinya satu sama lain (Tabel 9). Sekitar 49,64 persen luas lahan sawah terkonversi merupakan luas lahan sawah irigasi dan sisanya sebesar 50,36 persen merupakan lahan tadah hujan. Tabel 9.
Pola Konversi Lahan Sawah Menurut Jenis Sawah Terkonversi di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1994 – 2003 (dalam Persen)
Jenis Sawah Selama periode 1994 – 2003 Rata - rata per Tahun
Sawah Irigasi teknis
Sawah irigasi 1/2 teknis
Sawah irigasi sederhana
sawah tadah hujan
12,45
21,49
15,7
50,36
1,24
2,15
15,7
5,04
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Tangerang (diolah)
Bersarnya luas lahan sawah irigasi yang terkonversi yaitu sekitar 49,64 persen, akan memberikan dampak kerugian biaya yang cukup besar, karena biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembangunan sawah irigasi terhitung cukup mahal dan sawah irigasi merupakan penghasil padi yang tertinggi dengan produktivitas dan intensitas tanam padi yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah tadah hujan. Berdasarkan hal ini, diperlukan adanya reorientasi kebijakan mengenai visi dan misi dari pembangunan wilayah di Kabupaten Tangerang itu
sendiri menyangkut pelarangan atau pengendalian pengalihgunaan lahan sawah beririgasi menjadi penggunaan lain seperti untuk kawasan industri dan pemukiman. Kabupaten Tangerang yang merupakan bagian dari propinsi Banten adalah wilayah baru akibat pemekaran wilayah. Menurut Haris (2003), adanya wilayah baru seperti Provinsi atau Kabupaten sebagai akibat pemekaran wilayah akan menimbulkan persoalan baru yang terkait dengan rencana tata ruang wilayah baru tersebut, sehingga masalah konversi lahan sawah pun sulit dikendalikan. Fenomena konversi lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Tangerang diduga akibat penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) yang belum menyeluruh dan dalam penerapannya belum konsisten dengan ketetapan yang telah disepakati, sehingga perlu adanya penegakkan hukum (law enforcement) yang tegas dan jelas baik dari tingkat daerah maupun Propinsi.
6.2
Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat memberikan
dampak kerugian. Kerugian akibat konversi lahan sawah terutama adalah produksi dan nilai produksi yang hilang, yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahan yang terkonversi. Hilangnya produksi dan nilai produksi dapat berdampak terhadap terancamnya ketahanan pangan di wilayah yang bersangkutan. Jenis kerugian lainnya yaitu hilangnya pendapatan dari kegiatan usahatani, kesempatan kerja pada usahatani dan kehilangan manfaat investasi dari lahan yang terkonversi. Kerugian akibat dari konversi lahan sawah tidak hanya dirasakan oleh petani, namun juga akan berdampak pada perekonomian wilayah. Dalam
penelitian ini dikaji dampak kerugian terhadap produksi dan nilai produksi yang hilang, pendapatan usahatani yang hilang dan hilangnya investasi akibat konversi lahan sawah. 6.2.1 Produksi dan Nilai Produksi yang Hilang Produksi padi yang hilang sebagai dampak langsung dari konversi lahan sawah dipengaruhi antara lain oleh ; (a) luas lahan sawah yang terkonversi, (b) pola tanam yang diterapkan dan (c) produktivitas usahatani padi (Pakpahan et al. 1993). Asumsi yang digunakan dalam menghitung produksi dan nilai produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah pada periode 1994-2003 adalah pola tanam yang dilakukan konstan, produktivitas dari ke empat jenis sawah terkonversi adalah sama serta diestimasi dengan harga 2003. Secara umum, rata-rata produktivitas padi sawah selama periode 19942003 per tahun adalah sebesar 6,54 ton/ha. Produksi padi per hektar per tahun yang hilang di lokasi penelitian adalah seperti tercantum pada Tabel 10. Rata-rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang terkonversi adalah sekitar 3.588,11 ton per tahun. Secara total dengan asumsi apabila lahan itu tidak di konversi sehingga petani tetap mengusahakan tanaman padi sawah, maka jumlah produksi padi sawah yang hilang dalam periode 1994 – 2003 adalah sebesar 35.881,05 ton. Jika diasumsikan harga 1 ton gabah kering giling (GKG) adalah Rp 1.350.000, maka kehilangan nilai produksi tersebut menjadi 35.881,05 ton x Rp 1.350.000 per ton = Rp 48.439.417.500, sedangkan rata-rata hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 4.843.941.750 atau sekitar Rp 4,84 milyar.
Tabel 10.
Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Total
Estimasi Kehilangan Produksi Akibat Konversi Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Selama Periode 1994 – 2003 Produktivitas padi sawah (Ton/Ha) 6,46 6,53 6,67 6,56 6,4 6,48 6,39 6,63 6,66 6,68 -
Luas Lahan Terkonversi (ha)
Produksi yang hilang (ton)
0 4346 3488 -2081 -434 -431 0 14 460 45 5407
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Tangerang (diolah)
6.2.2
0 28370,55 23266,94 -13646,96 -2774,87 -2792,73 0 92,78 3064,95 300,4 35881,05
Pendapatan Usahatani Padi Sawah yang Hilang Perhitungan pendapatan usahatani padi sawah yang hilang ini diestimasi
berdasarakan usahatani padi sawah dijenis sawah beririgasi teknis. Pendapatan usahatani padi sawah yang hilang akibat konversi lahan sawah dipengaruhi oleh produktivitas usahatani, biaya usahatani dan pola tanam (Pakpahan et al. 1993). Adapun yang termasuk dalam komponen biaya usahatani adalah pengeluaran untuk faktor-faktor produksi, tenaga kerja, sewa lahan dan biaya lainnya yang harus dikeluarkan oleh petani. Menurut informasi yang diperoleh, rata-rata peluang pendapatan usahatani padi sawah per hektar dalam dua musim tanam setiap tahunnya dapat dilihat dari Tabel 11, dimana pendapatan total diperoleh dari hasil pengurangan nilai produksi total dengan biaya total, sedangkan perincian usahatani padi sawah berdasarakan harga tahun 2004 terdapat pada Lampiran 3.
Tabel 11. Peluang Perolehan Pendapatan Usahatani Padi sawah yang Hilang per Hektar per Tahun Akibat Konversi Lahan Sawah Selama Periode 1994 – 2003 Uraian Nilai Produksi Total Biaya Total Pendapatan Total
Masa Tanam 1 7.425.000 2.912.500 4.512.500
Masa Tanam 2 6.345.000 2.963.600 3.381.400
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Tangerang (diolah)
Total 13.770.000 5.876.100 7.893.900
Adapun dari informasi yang diperoleh, bahwa rata-rata penguasaan lahan per petani di Kabupaten Tangerang adalah 0,4 hektar, berarti rata-rata per tahun dan per 0,4 hektar sawah yang dikonversi akan terdapat kehilangan peluang memperoleh pendapatan usahatani padi sawah sekitar Rp. 3.157.560. Kehilangan peluang memperoleh pendapatan usahatani ini lebih dirasakan kerugiannya bagi petani yang berstatus penyakap dibandingkan dengan petani lain yang berstatus pemilik. Hal ini dikarenakan petani pemilik dapat memperoleh nilai ganti rugi dari hasil penjualan sawah, sedangkan petani penyakap akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani tersebut. Pemilikan lahan sawah yang relatif sempit, telah mendorong petani pemilik lahan untuk mencari pekerjaan di luar sektor non pertanian guna memperoleh penghasilan tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup. Dampak lebih lanjut dari hilangnya pendapatan usahatani akibat semakin sempitnya lahan pertanian produktif yaitu menghasilkan kemiskinan baru di perdesaan dan perkotaan. Hal ini dikarenakan tenaga kerja pertanian akan kehilangan pekerjaannya, dilain pihak mereka tidak punya keahlian untuk masuk ke sektor non pertanian seperti sektor industri, sektor jasa atau sektor lainnya.
6.2.3 Nilai Investasi Irigasi yang Hilang Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian, juga memberikan dampak kerugian bagi pemerintah Kabupaten Tangerang yaitu berupa hilangnya investasi jaringan irigasi. Pembangunan jaringan irigasi memerlukan pengeluaran yang tidak sedikit, mubazirnya investasi irigasi yang ditimbulkan konversi lahan sawah beririgasi merupakan suatu bentuk kerugian yang mencakup investasi pembangunan jaringan irigasi yang hilang dan biaya pemeliharaan sawah per tahunnya khususnya biaya merehabilitas jaringan irigasi. Menurut Departemen pertanian, biaya pembangunan jaringan irigasi per hektarnya mencapai sekitar Rp 14.341.500,00 dan biaya untuk merehabilitasi jaringan irigasi adalah sekitar Rp 11.473.200,00 (Hayat 2002). Berdasarkan hal ini, dengan rata-rata konversi lahan sawah irigasi sebesar 268,4 hektar per tahunnya, maka rata-rata kerugian tiap tahun Pemerintah Kabupaten Tangerang dari investasi yang ditanam untuk pembangunan jaringan irigasi adalah sebesar Rp 3.849.258.600. Hal ini membutuhkan perhatian dari pemerintah, selain dikarenakan biaya anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang untuk pembiayaan sumberdaya air dan irigasi tiap tahunnya selalu meningkat, namun disisi lain terjadinya konversi lahan sawah irigasi pun tetap terjadi yang mengakibatkan luas lahan sawah irigasi semakin menurun luasnya. Konversi lahan sawah, pada kenyataannya memang tidak dapat dihentikan namun perlu dikendalikan. Di Kabupaten Tangerang, luas lahan terkonversi terbesar terjadi pada tahun 1995/1996 yaitu sebesar 4.346 hektar, namun untuk tahun berikutnya luas lahan yang terkonversi semakin kecil, bahkan pada tahun
1997-2000 luas lahan terkonversi menunjukkan nilai negatif yang berarti telah terjadinya pencetakkan lahan sawah baru (Tabel 12). Tabel 12. Anggaran Biaya Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang 1994-2003 untuk Sumberdaya Air dan Irigasi Tahun Jumlah Anggaran Luas Lahan Anggaran (dalam Juta Rupiah) Terkonversi (Ha) 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003
28.538 82.200 159.956 221.550 214.714 850.210 964.790 4.005.112 9.339.000 10.604.580
Sumber : Tangerang dalam Angka, tahun 1994-2003
0 4346 3488 -2081 -434 -431 0 14 460 45
Terjadinya penurunan luas lahan sawah yang terkonversi dan peningkatan jumlah anggaran biaya untuk sumberdaya air dan irigasi, merupakan suatu indikasi bahwa pemerintah Kabupaten Tangerang mulai memberikan perhatian terhadap keberlangsungan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan. Adanya pengaturan tata ruang wilayah melalui RUTRW merupakan suatu bentuk intervensi pemerintah dalam mengatur penggunaan dan pengalokasian lahan sebagai upaya pemanfaatan ketersediaan sumberdaya secara optimal. Masalah konversi lahan sawah sangat terkait dengan kebijaksanaan pengalokasian lahan-lahan sawah baru. Pembukaan lahan sawah baru untuk mengganti lahan sawah yang terkonversi dalam upaya meningkatkan produksi, membutuhkan biaya yang cukup besar dan akan memungkinkan timbulnya persoalan baru. Terdapat beberapa alasan penting yang mendasari penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan yang terjadi dengan membuka lahan sawah
baru, diantaranya seperti ; (1) tingkat produktivitas lahan sawah baru yang belum tentu menyamai produktivitas lahan sawah yang terkonversi, sehingga membutuhkan penerapan teknologi baru yang tepat guna dan penyuluhan usahatani dikawasan baru yang bukan merupakan persoalan sederhana, (2) ketersediaan sumberdaya air (SDA) yang belum tentu menyamai ketersediaan SDA kawasan yang terkonversi, sehingga dibutuhkan sejumlah anggaran/biaya yang diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi baru. Dampak kerugian yang dirasakan akibat terjadinya konversi lahan sawah tidak hanya dirasakan pada tingkat petani, namun akan berdampak lebih lanjut terhadap keberlangsungan perekonomian di wilayah Kabupaten Tangerang. 6.2.4
Manfaat Alih fungsi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah Berdasarkan data Lampiran 2, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB
dari tahun 1994-2003 secara umum menurun, namun penurunan sektor pertanian ini diimbangi dengan laju pertumbuhan sektor lainnya terutama sektor industri yang terus meningkat. Pada tahun 1994, sektor pertanian mampu memberikan kontribusinya sebesar 12,87 persen, namun mengalami penurunan menjadi 10,31 persen pada tahun 2003, sedangkan untuk sektor industri pengolahan pada tahun 1994 mampu memberikan kontribusinya yaitu sebesar 51,11 persen dan meningkat menjadi 54,63 persen pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Tangerang telah terjadi moderenisasi struktur perekonomian, dimana telah terjadinya penurunan peran sektor primer (sektor pertanian) yang diikuti dengan meningkatnya peran sektor sekunder (sektor industri) terhadap PDRB. Di tingkat wilayah, lahan sawah memberikan nilai pajak yang relatif lebih rendah dibandingkan nilai pajak lahan untuk penggunaan industri dan perumahan.
Sebagaimana menurut Soliha (2002), untuk luasan lahan sawah 100 m2 dengan nilai jual lahan sawah per meter Rp 20.000 pajak bumi dan bangunan yang harus dibayar sebesar Rp 3000, sedangkan untuk lahan pekarangan seluas 100 m2 dengan nilai jual lahan Rp 50.000 per meter dan bangunan rumah seluas 50 m2 dengan nilai jual per meter Rp 310.000 dikenakan pajak sebesar Rp 12.000. Pajak lahan-lahan yang dipakai untuk perumahan dan industri memberikan nilai pajak yang lebih tinggi karena dalam perhitungan pajak, lahan-lahan tersebut telah mengalami pematangan (dari lahan basah menjadi lahan kering) dan pembangunan yang membutuhkan investasi cukup besar, sehingga nilai lahan perumahan dan industri lebih tinggi dibanding lahan sawah. Berdasarkan hal tersebut, dari luasan lahan sawah yang sama setelah berubah status memberikan nilai pajak bumi dan bangunan yang lebih tinggi (Tabel 13). Semakin besar nilai kumulatif pajak bumi dan bangunan maka semakin besar kontribusinya terhadap penerimaan pemerintah daerah tersebut. Hal ini karena pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu komponen penyusun penerimaan pemerintah daerah. Tabel 13. Perkembangan PAD Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 1994/1995, 1997/1998, 2000/2001 dan 2003 (dalam Juta Rupiah) Th Th Th Th Anggaran Anggaran Anggaran Anggaran 1994/1995 1997/1998 2000/2001 2003 Uraian Penerimaan Pajak Daerah 9.046,851 15.089,750 26.943,320 54.635 Retribusi Daerah, BUMD dan Pendapatan Lain 23.319,194 25.378,48 16.174 55.830,89 Jumlah PAD 32.366,045 40.468,23 43.117,32 110.465,89 Sumber : Tangerang dalam angka, tahun 1994-2003
Data perkembangan PAD Kabupaten Tangerang tahun anggaran 19942003 menunjukkan telah terjadi peningkatan, dimana pada tahun anggaran 1994/1995 PAD yang diperoleh yaitu sebesar Rp 32.366,045 juta dan meningkat
menjadi Rp 110.456,89 juta pada tahun anggaran 2003. Peningkatan pajak daerah memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap jumlah PAD yang diperoleh Kabupaten Tangerang. Pajak daerah pada tahun anggaran 1994/1995 yaitu sebesar Rp 9.046,851 juta dan meningkat menjadi Rp. 54.635 juta. Peningkatan jumlah PAD yang berasal dari penerimaan pajak daerah, diduga merupakan dampak dari semakin banyaknya penyediaan fasilitas-fasilitas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah seperti pemberian surat izin untuk pendaftaran perusahaan, pembuatan reklame dan perizinan lainnya yang menandakan semakin pesatnya perkembangan perekonomian di Kabupaten Tangerang. Prioritas
kebijakan
Pemerintah
Kabupaten
Tangerang
mengenai
pengalokasian penggunaan lahan, perlu mempertimbangkan manfaat maupun kerugian yang akan berdampak terhadap kesejahteraan petani dan secara tidak langsung akan berdampak terhadap perkembangan struktur perekonomian wilayah. Seiring dengan terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian, ternyata peningkatan aktivitas usaha lain (non pertanian) dapat memberikan manfaat yaitu dengan cara diciptakannya lapangan kerja baru bagi mereka yang telah mengorbankan lahan sawahnya yang dialih fungsikan. Pengalokasian penggunaan lahan hendaknya mengacu pada potensi wilayah yang bersangkutan, guna mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya (sumberdaya manusia maupun suberdaya alam) yang tersedia.
6.3
Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Tangerang Permasalah yang terdapat di Kabupaten Tangerang yaitu; perkembangan
penduduk dalam jumlah besar terutama akibat bertambahnya para pekerja pelaju
(commuters), kegiatan pemukiman dan industri yang telah menyebabkan peningkatan kebutuhan akan infrastruktur, transportasi dan berbagai sarana prasarana lainnya yang pada akhirnya akan mengakibatkan kecenderungan pergeseran
penggunaan
lahan.
Masalah
pergeseran
penggunaan
lahan,
memerlukan suatu solusi, yang salah satunya yaitu berupa kebijakan pengaturan penggunaan lahan, dimana kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah harus tepat guna dan tepat sasaran. Pengembangan sektor basis merupakan kebijakan strategis dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan pengalokasian penggunaan lahan per sektor ekonomi yang secara umum termuat dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW). Pendekatan Location Quetient (LQ) dengan indikator pendapatan dan tenaga kerja digunakan untuk menghasilkan sektor-sektor yang menjadi sektor basis dalam perekonomian wilayah, sedangkan surplus pendapatan dan surplus tenaga kerja digunakan untuk mengetahui seberapa jauh suatu sektor mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam menyerap tenaga kerja atau kemampuan untuk menghasilkan pendapatan. Selain menggunakan ke-dua pendekatan tersebut, akan dilakukan penghitungan elastisitas pertumbuhan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan pendapatan atau tenaga kerja pada suatu sektor akan mempengaruhi perubahan pada total pendapatan atau penyerapan tenaga kerja. 6.3.1 Analisis Location Quetient (LQ) Sektor-sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang. Pembahasan LQ terkait dengan sektor mana saja yang menjadi prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang selama periode 2001-2003 yang secara
implikasinya mempengaruhi penentuan pengalokasian setiap sektor. Indikator yang digunakan dalam penghitungan LQ adalah indikator pendapatan wilayah (PDRB) dan indikator tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha. Sektor basis adalah sektor yang mempunyai nilai LQ yang lebih besar dari satu, artinya sektor tersebut telah mampu memenuhi permintaan produk sektor tersebut di daerahnya dan mempunyai potensi untuk mengekspor keluar daerah, sedangkan sektor non basis adalah sektor yang mempunyai nilai LQ lebih kecil dari satu, dan berarti sektor tersebut harus mengimpor dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan sektor tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan nilai LQ sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Tangerang dengan menggunakan indikator pendapatan selama periode 2001 – 2003, terdapat lima sektor yang berkedudukan kuat sebagai sektor basis ekonomi wilayah dengan nilai LQ lebih besar dari satu, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor listrik gas dan air bersih, sektor industri pengolahan dan sektor keuangan (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa kelima sektorsektor tersebut memiliki keunggulan nilai kontribusi dalam perbandingan antar wilayah dan merupakan sektor yang berperan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Tangerang, serta layak untuk dikembangkan. Sektor pertanian mempunyai nilai LQ lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian bagi Perekonomian Kabupaten Tangerang relatif besar. Luas wilayah Kabupaten Tangerang yang didominasi oleh lahan pertanian, merupakan suatu potensi yang cukup baik bagi berkembangnya sektor pertanian. Lokasi yang strategis dengan daerah-daerah
yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi (DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi), dapat mempermudah aksesibilitas pemasaran produk pertanian. Pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa memiliki nilai LQ kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sektor-sektor tersebut bagi perekonomian Kabupaten Tangerang relatif kecil dan masih tergantung pada daerah lain untuk memenuhi permintaan akan sektor-sektor tersebut. Banyaknya pekerja pelaju (commuters) dari luar wilayah Kabupaten Tangerang, menyebabkan pendapatan yang diperoleh para pekerja banyak dipergunakan (dibelanjakan) di luar wilayah Kabupaten Tangerang, sehingga peningkatan
pendapatan
bangunan/konstruksi,
pada
sektor
sektor-sektor
perdagangan,
yang hotel
bersangkutan dan
restoran,
(sektor sektor
pengangkutan dan komunikasi, dan sektor jasa-jasa) tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian wilayah Kabupaten Tangerang. Berdasarkan indikator tenaga kerja, pada Lampiran 5 yang termasuk dalam sektor basis perekonomian Kabupaten Tangerang selama periode 2001-2003 adalah
sektor
industri
pengolahan,
sektor
bangunan/konstruksi,
sektor
perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. Hal ini berarti sektor-sektor tersebut telah mampu memenuhi permintaan tenaga kerja di dalam wilayah sendiri dan berpotensi untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di luar wilayah Kabupaten Tangerang. Kebijakan pembangunan Pemerintah Kabupaten Tangerang yang didasari faktor lokasi yang cukup strategis berdekatan dengan daerah pusat perekonomian dan merupakan jalur lintas antara Sumatera dan Jawa, membuat Kabupaten
Tangerang menjadi pusat perdagangan dan industri. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya penduduk Kabupaten Tangerang yang beralih mata pencaharian yaitu dari pertanian ke sektor non pertanian. Sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, sektor listrik gas dan air bersih, dan sektor pengangkutan dan komunikasi tidak termasuk sektor basis karena memiliki nilai LQ lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja di wilayahnya sendiri. Sektor pertanian memiliki nilai LQ kurang dari satu dengan indikator tenaga kerja. Hal ini merupakan suatu indikasi telah terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Rata-rata kepemilikan luas lahan yang relatif sempit (kurang dari 1 Hektar) yaitu sekitar 0,4 hektar, telah menyebabkan banyak petani mencari pekerjaan lain yang lebih memberi harapan untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti menjadi tukang/buruh bangunan, buruh industri atau membuka usaha kecil-kecilan. 6.3.2 Analisis Surplus Pendapatan dan Tenaga Kerja Perhitungan nilai surplus pendapatan dan tenaga kerja digunakan untuk mendukung hasil analisis LQ. Apabila suatu sektor tergolong sektor basis (LQ>1), maka sektor tersebut akan mempunyai nilai surplus pendapatan yang positif. Apabila suatu sektor tergolong sektor non basis (LQ<1), maka sektor tersebut akan mempunyai surplus pendapatan yang negatif. Berdasarkan asumsi yang menyatakan bahwa pola permintaan untuk wilayah Kabupaten Tangerang sama dengan pola permintaan propinsi Banten dan sistem perekonomian tertutup, maka kegiatan sektor basis akan memberikan surplus pendapatan pada Kabupaten Tangerang.
Pada Lampiran 6 berdasarkan hasil perhitungan surplus pendapatan selama periode 2001-2003, dapat dilihat bahwa terdapat lima sektor ekonomi yang mempunyai nilai surplus pendapatan yang positif yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih, dan sektor keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa kelima sektor tersebut telah mampu mengekspor komoditinya keluar wilayah Kabupaten Tangerang. Selain hampir separuh wilayah Kabupaten Tangerang didominasi oleh lahan pertanian, dalam perkembangannya Kabupaten Tangerang juga berpotensi untuk dikembangkan sektor industri pengolahan. Sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa memiliki nilai surplus pendapatan negatif, yang berarti bahwa kegiatan dari masing-masing sektor tersebut belum mampu menghasilkan komoditi yang dapat memenuhi kebutuhan di dalam wilayahnya. Pada tahun 2003, sektor pertanian menduduki peringkat kedua dengan memperoleh nilai surplus pendapatan terbesar yaitu sebesar Rp 6.525,984 juta setelah sektor industri pengolahan dengan nilai sebesar Rp. 140.982,266 juta. Nilai surplus pendapatan sektor pertanian terbesar diperoleh pada tahun 2002 dengan nilai sebesar Rp. 7.311,545 juta. Hal ini berarti kegiatan kedua sektor tersebut (sektor pertanian dan industri pengolahan) telah menghasilkan suatu nilai pendapatan yang relatif lebih dibandingkan kegiatan ke tujuh sektor lainnya. Sebagaimana dalam hipotesis diungkapkan bahwa pendekatan pembangunan yang berbasis pengembangan sektor basis akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan wilayah tersebut.
Pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa selama periode 2001-2003, nilai surplus pendapatan sub sektor pertanian yang mempunyai nilai suplus pendapatan bernilai positif yaitu sub sektor peternakan. Pada tahun 2003, subsektor peternakan memperoleh nilai surplus pendapatan sebesar Rp 58.038,815 juta sedangkan untuk subsektor lainnya bernilai negatif. Sub sektor tanaman pangan mempunyai nilai surplus pendapatan negatif selama periode 2001-2003, dimana pada tahun 2003 subsektor tanaman memperoleh nilai surplus pendapatan sebesar Rp-33.613,278 juta. Nilai surplus pendapatan yang bernilai negatif untuk subsektor tanaman pangan mengindikasikan bahwa kurang adanya prioritas untuk sub sektor ini, maka diperlukan adanya reorientasi kebijakan dan perhatian dari pemerintah terutama mengenai perubahan penggunaan lahan sawah, baik mengenai pengaturan perencanaan tata ruang wilayah maupun mengenai implementasi dari perencanaan tata ruang wilayah tersebut, yaitu dengan cara penegakkan hukum (law enforcement) yang jelas dan tegas untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan dalam pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Hal ini penting, selain dikarenakan produk tanaman pangan khususnya padi merupakan kebutuhan pokok, Kabupaten Tangerang yang memiliki luas lahan sawah yang cukup dominan, merupakan potensi yang cukup besar untuk pengembangan sub sektor tanaman pangan. Nilai surplus tenaga kerja sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Tangerang selama periode 2001- 2003 tercantum pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil perhitungan surplus tenaga kerja di Kabupaten Tangerang, dapat dilihat bahwa sektor-sektor perekonomian yang berkedudukan kuat mempunyai nilai surplus
tenaga kerja positif yaitu sektor industri pengolahan, sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa kelima sektor tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya tanpa harus mengimpor dari luar daerah Kabupaten Tangerang. Selama periode 2001-2003 nilai surplus tenaga kerja untuk sektor pertanian selalu bernilai negatif tiap tahunnya. Surplus tenaga kerja sektor pertanian pada tahun 2001 yaitu sebesar -15.615 jiwa dan meningkat pada tahun 2003 yaitu menjadi – 22.552 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode tersebut, sektor pertanian di Kabupaten Tangerang belum mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dari dalam wilayah itu sendiri dan kurang mampu menyerap angkatan kerja yang terdapat di Kabupaten Tangerang. Hal ini diduga selain ketersediaan lahan bagi penggunaan sektor pertanian yang relatif sempit, rendahnya tingkat pendapatan yang diperoleh dari kegiatan sektor pertanian jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari kegitan sektor lainnya, juga menjadi faktor pendorong tenaga kerja sektor pertanian untuk alih kerja (mobilisasi) ke sektor lainnya (non pertanian). 6.3.3 Analisis Elastisitas Pertumbuhan Pendapatan dan Tenaga Kerja Elastisitas pertumbuhan pendapatan/tenaga kerja adalah suatu nilai yang menggambarkan
pengaruh
perubahan
pendapatan/tenaga
kerja
terhadap
perubahan total pendapatan/tenaga kerja wilayah. Pada Lampiran 9 disajikan nilai dari elastisitas pertumbuhan pendapatan dari sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Tangerang selama periode 2001-2003. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa nilai elastisitas sektor-sektor perekonomian sangat bervariasi. Sektor pertanian memiliki nilai elastisitas positif dan nilai elastisitas terbesar jika dibandingkan
dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 1,723 yang menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan sektor pertanian sebesar 1,00 persen maka pendapatan total wilayah akan mengalami peningkatan sebesar 1,723 persen. Hal ini cukup menarik karena walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap total pendapatan wilayah mempunyai kecenderungan menurun, dilain sisi ternyata sektor
pertanian
mempunyai
efek
pertumbuhan
yang
positif
terhadap
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tangerang. Hal ini diduga sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari kegiatan sektor pertanian dibelanjakan untuk komoditi sektor lain dari dalam wilayah Kabupaten Tangerang. Selain menggunakan indikator pendapatan, penghitungan elastisitas pertumbuhan juga dapat menggunakan indikator tenaga kerja. Adapun nilai elastisitas dengan indikator tenaga kerja selama periode 2001-2003 dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari sembilan sektor perekonomian di Kabupaten Tangerang berdasarkan indikator tenaga kerja, terdapat lima sektor ekonomi yang memiliki nilai elastisitas pertumbuhan tenaga kerja positif yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih dan sektor jasa-jasa. Sektor jasa-jasa memliki nilai elastisitas pertumbuhan tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 1,074, yang menunjukkan bahwa apabila terjadi penambahan tenaga kerja sebesar 1,00 persen pada sektor jasa-jasa, maka akan menghasilkan penyerapan total tenaga kerja di Kabupaten Tangerang sebesar 1,074 persen. Sektor ekonomi yang memiliki nilai elastisitas negatif selama periode 20012003 yaitu sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan persewaan dan jasa.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan tenaga kerja pada masing-masing sektor tersebut akan mengakibatkan penurunan total penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Tangerang. Hal ini berarti sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor keuangan sebagai sektor basis belum bisa menunjukkan efek pertumbuhan yang positif terhadap total penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Tangerang. Nilai LQ yang lebih besar dari satu, nilai surplus pendapatan dan nilai elastisitas yang positif bagi sektor skunder (sektor industri pengolahan) dan sektor tersier (sektor jasa-jasa) berdasarkan indikator tenaga kerja, menunjukkan bahwa di Kabupaten Tangerang telah terjadi perubahan struktur ketenagakerjaan, dimana telah terjadi pergeseran struktur tenaga kerja dari sektor primer (sektor pertanian dan pertambangan) ke sektor skunder dan tersier. Berdasarkan hasil analisis basis ekonomi terhadap struktur perekonomian wilayah Kabupaten Tangerang, dalam penelitian ini ternyata terdapat beberapa sektor yang menjadi unggulan di tingkat Kabupaten. Banyaknya sektor yang menjadi sektor unggulan berdasarkan indikator pendapatan maupun tenaga kerja, merupakan suatu potensi yang cukup baik bagi perkembangan perekonomian wilayah, sehingga diperlukan penerapan arah kebijakan pembangunan yang sejalan dengan strategi dan prioritas pembangunan.
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH DI KABUPATEN TANGERANG 7.1
Analisis Regresi Konversi Lahan Sawah ke Non Pertanian Terjadinya transformasi struktur perekonomian yang mengarah pada
meningkatnya peranan sektor industri dan jasa, mengubah besaran dan laju penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja, modal dan lahan antar sektor. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi terhadap perubahan alokasi sumberdaya khususnya sumberdaya lahan. Akibatnya akan terjadi realokasi sumberdaya lahan antar sektor, dimana realokasinya lebih diprioritaskan kepada penggunaan yang memiliki rate of return yang tertinggi yaitu seperti penggunaan untuk kegiatan industri sebagai kegiatan utama yang dapat menarik perkembangan kegiatan lainnya seperti pemukiman, perdagangan dan prasarana lainnya, sehingga konversi lahan pun tidak dapat dielakkan. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian (pemukiman, industri dan sarana parasrana lainnya) dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil estimasi ternyata cukup konsisten dengan teori. Koefisien determinasi (R2) dari fungsi dugaan mencapai 92.5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah yang dimasukkan dalam model mampu menerangkan perilaku (keragaman) dari peubah konversi lahan sawah sebesar 92.5 persen, dengan kata lain bahwa sisanya 7.5 persen dari peubah konversi lahan sawah ditentukan oleh peubah-peubah lain di luar faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Tangerang digunakan analisis regresi linear berganda. Data
yang digunakan untuk membuat model tersebut merupakan data time series yang telah digabungkan dari tahun 1994 sampai tahun 2003. Nilai dari probabilitas Fhitung pada Tabel 14, yaitu sebesar 0.082 yang berarti hipotesis H0 ditolak pada taraf uji 0.1. Hal ini berarti secara bersama-sama seluruh variabel penjelas berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen. Tabel 14. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Luas Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Periode 1994-2003 Peubah Penjelas 1. 2. 3. 4.
Intersep Laju pertumbuhan Penduduk Produktivitas Padi Sawah Persentase Luas Lahan sawah irigasi 5. Kontribusi Sektor Non Pertanian (PDRB) 6. Pertambahan panjang jalan aspal 7. Dummy (kebijakan pemerintah) R2 R-adj F-hitung
Koefisien Regresi 269232 239,9 -17714 603,3
T-hitung
P
3,54 0,76 -2,48** 3,93*
0,038 0,505 0,089 0,029
-2142,5
-4,47*
0,021
9,510 -6025 92,5 77,5
1,51 -3,18*
0,228 0,050
6,15**
0,082
K eterangan : *) : nyatapadaá = 0,05 `
**) : nyatapadaá = 0,1
Dari analisis regresi di atas, peubah yang berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah adalah laju pertumbuhan penduduk, persentase luas lahan sawah irigasi dan pertambahan panjang jalan aspal. Adapun peubah yang berpengaruh negatif yaitu produktivitas padi sawah, kontribusi sektor non pertanian dan peubah dummy. 7.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah Variabel produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah irigasi,
kontribusi sektor non pertanian terhadap PDRB dan dummy merupakan variabel-
variabel yang menentukan konversi lahan dan berpengaruh secara nyata pada taraf á = 0.05 dan á = 0.1 . Sedangkan dua variabel lainnya yaitu laju pertumbuhan penduduk dan pertambahan panjang jalan aspal tidak berpengaruh nyata. Koefisien produktivitas padi sawah berpengaruh negatif dan nyata terhadap penurunan luas lahan sawah. Hal ini memang logis dan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat produktivitas padi sawah maka akan semakin kecil penurunan luas lahan sawah yang terjadi. Selain dampak kerugian yang akan diderita akibat terjadinya konversi lahan sawah, laju pertumbuhan penduduk yang semakin besar di Kabupaten Tangerang juga menyebabkan penyediaan kebutuhan pangan pokok perlu ditingkatkan, sehingga sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi harus tetap dipertahankan dan di dukung oleh kemajuan teknologi yang tepat guna. Koefisien parameter produktivitas lahan sawah yang bertanda negatif dan berpengaruh nyata, dapat diartikan bahwa masih adanya kecenderungan dari petani untuk mempertahankan lahan sawah yang memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas lahan sawah yang tinggi ternyata cukup efektif untuk mengendalikan laju konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Koefisien persentase luas lahan sawah irigasi berpengaruh positif dan nyata pada taraf á = 0,05 yang berarti persentase luas lahan sawah irigasi yang semakin besar akan menyebabkan laju konversi luas lahan sawah yang semakin meningkat. Sebagian besar lahan sawah yang terkonversi bukan merupakan lahan sawah irigasi melainkan lahan sawah tadah hujan. Hal ini dikarenakan, dampak kerugian yang ditimbulkan akibat konversi lahan sawah irigasi cukup besar, seperti biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan jaringan irigasi, selain itu
lahan sawah irigasi juga memiliki tingkat produktivitas yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas lahan sawah tadah hujan. Konversi lahan sawah terbesar yang terjadi di Kabupaten Tangerang selama sepuluh tahun terakhir (1994-2003) yaitu sawah tadah hujan dengan luas lahan terkonversi sebesar 2.723 hektar atau sekitar 50,36 persen, sedangkan sawah irigasi sebesar 2.684 hektar atau sekitar 49,64. Besarnya konversi lahan sawah yang terjadi, maka diperlukan adanya upaya peningkatan dan perbaikan dalam kegiatan usahatani seperti program intensifikasi pertanian dengan mengadopsi teknologi pertanian yang lebih maju dan tepat guna yang memungkinkan petani untuk meningkatkan produktivitasnya dengan luas lahan yang cenderung berkurang, sehingga peningkatan atau pencetakkan lahan sawah irigasi baru dapat berdampak positif terhadap produktivitas dan kesejahteraan petani. Koefisien kontribusi sektor non pertanian berpengaruh negatif dan nyata pada taraf á = 0.05, yang berarti semakin besar kontribusi sektor non pertanian akan menyebabkan penurunan luas lahan sawah yang semakin kecil. Hal ini diduga selain melihat kondisi wilayah Kabupaten Tangerang yang masih memiliki potensi dan kemampuan untuk dikembangkannya sektor pertanian dengan hampir separuh luas wilayahnya merupakan lahan pertanian, ternyata sektor pertanian di Kabupaten Tangerang masih dinilai cukup penting dan dominan walaupun peranannya semakin menurun (sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB), selain itu berdasarkan analisis sektor basis, selama tiga tahun terakhir (2001-2003) ternyata sektor pertanian masih merupakan sektor basis di tingkat Kabupaten. Kawasan Pertanian di Kabupaten Tangerang tersebar hampir di seluruh kecamatan, yang meliputi pertanian tanaman pangan lahan basah, pertanian
tanaman pangan lahan kering, pertanian tanaman tahunan, kegiatan peternakan dan kegiatan perikana darat (budidaya tambak). Tabel 15. Kawasan Pertanian Berdasarkan Wilayah Kecamatan Tahun 2003 Kawasan Pertanian tanaman pangan lahan basah Pertanian tanaman pangan lahan kering Pertanian tanaman tahunan Peternakan Perikanan darat (budidaya tambak) Sumber : RTRW Kabupaten Tangerang
Kecamatan Pasar Kemis, Sepatan, Pakuhaji, Teluknaga, Kronjo, Cisoka, Kresek, Mauk, Rajeg, Kemiri, Sukadiri. Hampir semua kecamatan, tetapi potensial berada di Kecamatan bagian selatan Jayanti, Jambe, Cisauk dan Rajeg Hampir ada di semua kecamatan Pakuhaji, Teluknaga, Kronjo, Mauk, Kemiri dan Sukadiri
Peubah dummy (kebijakan pemerintah) mempunyai hubungan yang negatif terhadap besaran luas konversi lahan sawah yang menunjukkan bahwa peranan pemerintah terhadap konversi lahan sawah cukup besar, artinya adanya kebijakan pemerintah mengenai pengalokasian penggunaan lahan sebelum dan sesudah adanya otonomi daerah akan mempengaruhi besaran laju konversi lahan sawah. Koefisien variabel yang bernilai negatif menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah akan menyebabkan terjadinya penurunan terhadap luas konversi lahan sawah Hal ini diduga bahwa pemerintah daerah setempat mulai memberi perhatian khusus terhadap keberlangsungan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan setelah adanya otonomi daerah. Hal ini juga dapat didukung dengan variabel kontribusi sektor non pertanian yang memiliki nilai koefisien negatif terhadap konversi lahan sawah Pada masa otonomi daerah, Kabupaten Tangerang memiliki beberapa sektor basis yang salah satunya yaitu sektor pertanian. Berdasarkan hasil analisis
sektor basis ini, ternyata sektor pertanian dengan indikator pendapatan mampu memberikan nilai surplus pendapatan yang positif dan memperoleh nilai elastisitas pendapatan terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Tangerang masih memegang peranan penting dan mempunyai efek pertumbuhan yang positif bagi kemajuan pembangunan perekonomian wilayah. Salah satu bentuk upaya dari pemerintah Kabupaten Tangerang guna membatasi terjadinya konversi lahan sawah, yaitu telah dibentuknya system hirarki kota yang dapat membantu struktur tata ruang yang dituju terutama yang berhubungan dengan pola orientasi kegiatan, akan memberikan arahan-arahan mengenai pengalokasian pembangunan yang sesuai dengan potensi masingmasing wilayah guna mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia khususnya terhadap sektor pertanian, selain itu juga adanya Keppres Pemerintah No 3 Tahun 2001 tentang pelarangan pengalih fungsian lahan sawah irigasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak terkait (BAPPEDA), menunjukkan bahwa pada kenyataannya walaupun telah ditetapkan aturan-aturan mengenai pengalokasian pemanfaatan sumberdaya lahan yang tercermin dalam RUTRW, konversi lahan sawah terus terjadi. Hal ini dikarenakan belum adanya ketetapan hukum yang tegas dan jelas dalam upaya menindak pelanggarpelanggar hukum yang menyalahi aturan mengenai pengalokasian dan pemanfaatan sumberdaya lahan yang telah ditetapkan.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
1.
Selama periode 1994-2003, di Kabupaten Tangerang telah terjadi konversi lahan sebesar 5.407 hektar dengan laju sebesar 2,44 persen per tahun. Secara berturut-turut luas lahan terkonversi dari yang terluas adalah sawah tadah hujan, sawah irigasi ½ teknis, sawah irigasi sederhana dan sawah irigasi teknis.
2.
Rata- rata kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang terkonversi sekitar selama periode 1994-2003 yaitu sebesar 3.588,11 ton per tahun, sedangkan kehilangan nilai produksi yaitu sebesar Rp 48.439.417.500. Rata-rata penguasaan lahan per petani yaitu 0,4 hektar, maka akan terdapat kehilangan peluang memperoleh pendapatan usahatani padi sawah sekitar Rp. 3.157.560 per tahun per 0,4 hektar, selain itu kerugian yang diderita pemerintah akibat terjadinya konversi lahan sawah yaitu nilai investasi jaringan irigasi yang hilang sebesar Rp 3.849.258.600. Terjadinya konversi lahan juga memberi manfaat yaitu berupa peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh dari tingginya pajak bumi dan bangunan.
Pajak lahan-lahan yang dipakai untuk perumahan dan
industri memberikan nilai pajak yang lebih tinggi, karena dalam perhitungan pajak, lahan-lahan tersebut telah mengalami pematangan dan pembangunan. 3.
Hasil perhitungan LQ berdasarkan indikator pendapatan menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor basis dan mampu memberikan
nilai surplus pendapatan yang positif, sedangkan dengan menggunakan indikator tenaga kerja, menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai nilai LQ lebih kecil dari satu. Berdasarkan perhitungan elastisitas dengan indikator pendapatan dan tenaga kerja sektor pertanian memiliki nilai elastisitas yang positif. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian masih memiliki peran penting dan mempunyai efek pertumbuhan yang positif bagi pertumbuhan perekonomian wilayah Kabupten Tangerang. 4.
Hasil estimasi konversi lahan sawah dengan menggunakan metode analisis regresi
linear
berganda
menunjukkan
bahwa
faktor-faktor
yang
berpengaruh nyata pada taraf uji á = 0,1 terhadap terjadinya konversi lahan sawah yaitu produktivitas padi sawah, luas lahan sawah irigasi, kontribusi sektor non pertanian dan kebijakan pemerintah. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan pertambahan jalan aspal tidak berpengaruh nyata terhadap terjadinya konversi lahan sawah. Nilai uji F-hitung menunjukkan berpengaruh nyata pada taraf uji á = 0,1. Hal ini berarti bahwa
secara bersama-sama seluruh variabel penjelas berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90 persen.
8.2
Saran
1.
Pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di Kabupaten Tangerang memerlukan suatu kebijakan yang mampu memperhatikan aspek sosial dan lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Prioritas pembangunan wilayah perlu berpijak pada kondisi riil struktur ekonomi daerah yang berbasis sumberdaya dan keunggulan komparatif wilayah.
2.
Dalam implementasi pelaksanaan strategi rencana pembangunan terkadang masih banyak terjadi ketidak sesuaian atau penyimpangan-penyimpangan terhadap RUTRW yang telah di tetapkan, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan adanya kekuatan hukum yang jelas dan tegas.
3.
Dominasi luas lahan pertanian di Kabupaten Tangerang, letak geografis yang strategis dan kemudahan aksesibilitas dengan daerah-daerah pusat pertumbuhan dapat dijadikan sebagai pendorong dan daya tarik bagi berkembangnya sektor pertanian.
4.
Dampak kerugian akibat konversi lahan sawah dalam kegiatan usahatani, memerlukan penelitian lebih lanjut. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ditingkat petani dan dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Hal ini terkait dengan adanya motivasi yang berbeda-beda dan adanya pertimbangan pribadi dari penjual (petani pemilik lahan) untuk menjual lahannya.
DAFTAR PUSTAKA Ashari. 1995. Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Azkiyah.1995. Pergeseran Peranan Subsektor pada Sektor Pertanian dalam Perekonomian Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.2002. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2002-2012. Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Tangerang. Badan Pusat Statistik Nasional. 2003. Laporan Tahunan : Jenis Penggunaan Tanah di Indonesia. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. 1994. Kabupaten Tangerang Dalam Angka 1994. Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Tangerang. . 1996. Kabupaten Tangerang Dalam Angka 1996. Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Tangerang. . 1998. Kabupaten Tangerang Dalam Angka 1998. Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Tangerang. . 2000. Kabupaten Tangerang Dalam Angka 2000. Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Tangerang. Badan Pusat Satatistik Propinsi Banten. 2003. Propinsi Banten Dalam Angka 2003. Pemerintahan Propinsi Banten. Banten. Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate. Practice. Hall, Inc. New Jersey. Dawam. 2000. Pembangunan Pertanian di Persimpangan Jalan. Kompas. Jakarta Djojohadikusumo, S. 1994. Indonesia dalam Perkembangan Dunia Kini dan Masa Datang.LP3ES. Jakarta Glasson, J. 1972. Pengantar Perencanaan Regional. Diterjemahkan: Paul Sitohang. LPFEUI. Jakarta. Haris, A. 2003. Saatnya Petani Indonesia Harus Berproduksi. Kompas edisi 23 Mei 2003. Hayat, S. 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Hanafiah, T. 1988. Pendekatan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Maulana, F. 2004. Konservasi Lahan Pertanian di Pantura Jawa Barat. Institut Tekhnologi Bandung. Bandung. Nasoetion, I. 1998. Keterkaitan antara Pergeseran Struktur Perekonomian Wilayah, Penggunaan Lahan dan Tenaga Kerja. Skripsi. Departemen Ilmuilmu Tanah. Fakulatas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nuryati, L . 1995. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Kepenggunaan Non Sawah . Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafa’at. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pangaribuan, K. (1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah di Kabupaten DATI II Bekasi. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Putri, B 1995. Transformasi Struktur Ekonomi dan Pembangunan Pertanian. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Richardson, H.W.1991. Ilmu Ekonomi Regional. Universitas Indonesia. Jakarta. Situmenang, M. 1998. Pola Hubungan antara Perubahan Penggunaan Lahan dengan Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakulatas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Solihah, N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Sumaryanto, N. 1994. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian Pertanian Nasional. Bogor. Tyadi, I.H. 1995. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi Propinsi Jawa Barat Tahun 1977-1993. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thalib, N. 1998. Analisis Pembangunan Pertanian : Studi Kasus DT II Kabupaten Cianjur.Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Utomo, M. 1991. Alih Fungsi Lahan : Tinjauan Analitis dalam Makalah Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung. Lampung. Wiyanti, H. 2004. Analisis Sektor Basis Perekonomian Serta Implikasinya Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dalam Otonomi Daerah. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang Periode 1994 – 2003 Berdasarkan Lapangan Usaha (Dalam Persen) Lapangan Usaha
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
0,85
7,59
8,56
-5,14
-15,46
6,70
3,67
4,16
3,45
1,91
Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Pertambangan dan Penggalian
0,47
0,30
2,56
8,16
-39,32
-7,50
1,77
10,61
3,14
6,49
11,78
8,54
13,71
7,66
-2,90
2,18
2,33
4,48
3,04
4,54
Listrik, gas dan Air minum
0,83
9,94
9,28
2,77
-2,44
0,47
7,44
9,37
3,10
3,83
Bangunan/konstruksi
2,24
16,47
4,54
3,70
-52,68
-8,64
1,54
5,81
4,82
6,62
Perdagangan, Hotel dan Restoran
8,42
10,68
6,35
9,08
-14,14
2,75
3,02
6,29
6,60
6,76
Pengangkutan dan Kominikasi
3,14
11,14
5,19
6,73
-13,54
-1,24
5,08
6,47
6,76
8,31
Perusahaan
10,53
13,21
12,58
17,48
-40,56
1,60
67,86
3,95
10,56
7,16
Jasa – jasa
2,12
3,00
7,90
5,65
-0,64
0,45
3,27
4,71
5,23
8,89
7,70
9,02
10,56
5,95
-9,26
2,11
4,39
5,08
4,10
5,05
Industri Pengolahan
Keuangan, persewaan dan jasa
Poduk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Lampiran 2 Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tangerang Atas Dasar Harga Konstan 1993, Menurut Lapangan Usaha (dalam persen) Lapangan Usaha Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
12,87
12,7
12,46
11,16
10,4
10,86
10,79
10,69
10,63
10,31
0,27
0,24
0,23
0,23
0,16
0,14
0,14
0,14
1,14
0,14
51,11
50,88
52,29
53,14
58,86
56,9
55,78
55,45
54,89
54,63
Listrik, gas dan Air minum
5,79
5,84
5,76
5,59
6,01
5,92
6,09
6,34
6,27
6,2
Bangunan/konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran
3,65
3,9
3,68
3,61
1,88
1,68
1,64
1,65
1,66
1,68
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
12,68
12,88
12,38
12,74
12,06
12,13
11,97
12,11
12,4
12,6
Pengankutan dan Kominikasi Keuangan, persewaan dan jasa Perusahaan
5,68
5,79
5,5
5,55
5,28
5,11
5,14
5,21
5,35
5,51
2,7
2,81
2,86
3,17
2,07
2,06
3,32
3,28
3,49
3,56
Jasa - jasa Poduk Domestik Regional Bruto (PDRB)
5,25
4,96
4,83
4,82
5,28
5,19
5,14
5,12
5,17
5,36
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Lampiran 3 Analisis Usahatani Padi Lahan Sawah di Kabupaten Tangerang Berdasarkan Harga Tahun 2004 Uraian A.
Sewa Lahan
Harga
Jumlah
Satuan
Volume
satuan(Rp)
(Rp)
Ha
1
400.000
400.000
Jumlah A B.
400.000
Tenaga Kerja 1. Persemaian
HOK
5
20.000
100000
2. Pengolahan Tanah
HOK
15
20.000
300000
3. Penanaman
HOK
20
20.000
400000
4. Penyiangan
HOK
10
20.000
200000
5. Pemupukkan
HOK
8
20.000
160000
6. Pemberantasan Hama
HOK
5
20.000
100000
Jumlah B C.
1260000
Sarana Produksi 1. Bibit
Kg
25
5.000
125000
Urea
Kg
200
1050
210000
ZA
Kg
50
950
47500
SP-35
Kg
100
1500
150000
Kcl
Kg
100
3000
300000
2. Pupuk
Jumlah C D.
832500
1.Panen Perontokkan
HOK
4
20000
80000
Pengeringan
HOK
4
20000
80000
Pengangkutan
HOK
3
20000
60000
2. Transportasi
200000
Jumlah D
420000
Jumlah A + B + C + D E.
2.912.500
Produksi Gabah Kering Giling
HOK
5500
Jumlah E
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Tangerang 2001
1350
7425000 7425000
Lampiran 4.
Nilai LQ Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Berdasarkan Indikator Pendapatan Periode Tahun 2001-2003 Atas Harga Konstan Tahun 1993 Sektor 2001 2002 2003 Pertanian 1,150 1,167 1,148 Pertambangan dan Penggalian 1,209 1,231 1,251 Industri Pengolahan 1,105 1,101 1,110 Listrik gas dan Air Bersih 1,450 1,418 1,403 Bangunan/konstruksi 0,717 0,720 0,732 Perdagangan, hotel dan restoran 0,674 0,684 0,696 Pengangkutan dan komunikasi 0,647 0,658 0,681 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 1,395 1,383 1,049 Jasa- jasa 0,955 0,955 0,999
Lampiran 5.
Nilai LQ Sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Berdasarkan Indikator Tenaga Kerja Periode 2001 – 2003 Sektor 2001 2002 2003 Pertanian 0,352 0,309 0,372 Pertambangan dan Penggalian 0,986 0,943 1,117 Industri Pengolahan 1,254 1,264 1,501 Listrik gas dan Air Bersih 0,916 0,728 0,714 Bangunan/konstruksi 1,044 1,226 1,025 Perdagangan, hotel dan restoran 1,130 1,155 1,115 Pengangkutan dan komunikasi 1,189 1,128 0,994 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 1,735 1,769 1,684 Jasa- jasa 1,276 1,400 1,235
Lampiran 6
Nilai Surplus Pendapatan sektor-sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Periode Tahun 1993 – 2003 dalam Harga Konstan Tahun 1993 (dalam Juta Rupiah) Sektor 2001 2002 2003 Pertanian 6498,857 7311,545 6525,984 Pertambangan dan Penggalian 1,565 1,734 1,999 Industri Pengolahan 127413,371 125020,432 140982,266 Listrik gas dan Air Bersih 5426,993 5265,204 5261,877 Bangunan/konstruksi -467,085 -485,735 -494,139 Perdagangan, hotel dan restoran -30877,517 -32144,742 -33117,880 Pengangkutan dan komunikasi -6468,430 -6728,809 -6782,810 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 1330,577 1527,712 281,989 Jasa- jasa -532,313 -576,400 -19,580
Lampiran 7 Nilai Surplus Pendapatan Sub Sektor Pertanian di Kabupaten Tangerang Tahun 1993 – 2003 Menurut Harga Konstan Tahun 2003 (dalam Juta Rupiah) Sektor 2001 2002 2003 a. Tanaman Pangan -25876,221 -31490,697 -33613,278 b.Perkebunan -325,390 -359,786 -357,894 c. Peternakan 45542,463 58693,049 58038,815 d.Kehutanan e. Perikanan -521,134 -515,423 -476,928 Lampiran 8
Nilai Surplus Tenaga Kerja Sektor–sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Tahun 1995 – 2003 (dalam Jiwa) Sektor 2001 2002 2003 Pertanian -15.615 -17.229 -22.552 Pertambangan dan Penggalian -1 -2 4 Industri Pengolahan 17.784 15.274 44.082 Listrik gas dan Air Bersih -1 -2 -3 Bangunan/konstruksi 103 455 30 Perdagangan, hotel dan restoran 7.585 9.639 5..219 Pengangkutan dan komunikasi 1557 1.381 -50 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 1.330 1.685 632 Jasa- jasa 6.444 10.664 5.895
Lampiran 9 Nilai Elastisitas Pertumbuhan Pendapatan Sektor-sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Periode 2001-2001 Sektor år ås å Pertanian -0,094 -0,054 1,723 Pertambangan dan Penggalian -0,094 -0,098 0,952 Industri Pengolahan -0,094 -0,077 1,212 Listrik gas dan Air Bersih -0,094 -0,070 1,329 Bangunan/konstruksi -0,094 -0,118 0,796 Perdagangan, hotel dan restoran -0,094 -0,138 0,678 Pengangkutan dan komunikasi -0,094 -0,156 0,598 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan -0,094 -0,185 0,507 Jasa- jasa -0,094 -0,146 0,642
Lampiran 10 Nilai Elastisitas Pertumbuhan Tenaga Kerja Sektor-sektor Ekonomi di Kabupaten Tangerang Periode 2001-2003 Sektor år ås å Pertanian -0,049 -0,285 0,171 Pertambangan dan Penggalian -0,049 -0,362 0,135 Industri Pengolahan -0,049 -0,257 0,190 Listrik gas dan Air Bersih -0,049 -0,070 0,701 Bangunan/konstruksi -0,049 0,279 -0,175 Perdagangan, hotel dan restoran -0,049 0,104 -0,471 Pengangkutan dan komunikasi -0,049 0,056 -0,873 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan -0,049 0,279 -0,175 Jasa- jasa -0,049 -0,045 1,074 Lampiran 11 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten periode 2001-2003 Berdasarkan Harga Konstan Tahun1993 Sektor
2001
2002
2003
1.613.260
1.662.133
1.732.580
20.673
21.157
22.321
8.705.911
9.098.511
9.492.939
Listrik gas dan Air Bersih
758.034
807.144
852.754
Bangunan/konstruksi
398.840
420.563
443.749
Perdagangan, hotel dan restoran
3.117.172
3.306.096
3.496.124
Pengangkutan dan komunikasi
1.398.820
1.482.009
1.561.896
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
408.252
459.938
654.159
Jasa- jasa
929.384
988.718
1.036.024
17.350.345
18.246.269
19.292.545
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
TOTAL (juta)
Lampiran 12 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Tangerang Periode 2001-2003 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 1993 Sektor
2001
2002
2003
465659
481746
490949
6274
6471
6891
2414723
2488230
2601221
275900
284441
295328
71752
75209
80184
Perdagangan, hotel dan restoran
527378
562174
600179
Pengangkutan dan komunikasi
226967
242314
262454
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
142983
158078
169392
Jasa- jasa
222850
234498
255355
4354487
4533161
4761955
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik gas dan Air Bersih Bangunan/konstruksi
TOTAL (juta)
Lampiran 13 Tenaga Kerja 10 Tahun Ke-atas Berdasarkan Lapangan Usaha Propinsi Banten Periode 2001-2003 Sektor
2001
2002
2003
780217
841464
936600
13546
18341
16071
704183
632905
730199
8753
8945
11855
Bangunan/konstruksi
141607
119938
102619
Perdagangan, hotel dan restoran
679030
687577
608718
Pengangkutan dan komunikasi
248332
289212
276777
96330
104226
70651
403053
408678
429946
3077052
3113288
3185439
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik gas dan Air Bersih
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa- jasa Total (juta)
Lampiran 14 Tenaga Kerja 10 Tahun Ke-atas Berdasarkan Lapangan Usaha Kabupaten Tangerang periode 2001-2003 Sektor
2001
2002
2003
95084
92193
122190
4620
6139
6293
305516
284131
384017
2772
2313
2965
51140
52214
36860
Perdagangan, hotel dan restoran
265292
281915
237808
Pengangkutan dan komunikasi
102120
115858
96406
57800
65463
41681
177948
203130
186036
1064293
1105358
1116259
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik gas dan Air Bersih Bangunan/konstruksi
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa- jasa Total (juta)