ANALISIS BEBERAPA VARIABEL YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN SIDOARJO Andi Suriyanto Fakultas Ekonomi, Pendidikan Ekonomi Koperasi, UNESA, Kampus Ketintang Surabaya ABSTRACT This study aims to analyze how large the influence of several variables that affect the conversion of agricultural land in the district of Sidoarjo. This is important because agriculture is a strategic sector and has a very important role in economic growth. In this study the independent variables used are population, number of industry, farmers and the exchange rate (NTP). By using secondary data obtained from the relevant bodies. The research was carried out using quantitative descriptive analysis techniques and statistical test analysis using multiple linear regression analysis. Statistical analysis of the development of agricultural land conversion to non agriculture that occurred in Sidoarjo regency past few years were analyzed using the program eviews 6. From the results of research conducted showed that the population of farmers and exchange rates negatively affect the amount of land conversion, while a variable number of industries has a positive effect. However, a variable number of industries and farmers and exchange rate that proved significant, only a variable number of residents have a significant rate. Keyword: conversion of agricultural land, population and industrial growth, farmer exchange. ABSTRAK Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis seberapa besar pengaruh dari beberapa variabel yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini menjadi penting karena sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini variabel bebas yang digunakan adalah jumlah penduduk, jumlah industri, dan nilai tukar petani (NTP). Dengan menggunakan data skunder yang diperoleh dari badan terkait. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan analisis uji statistik dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Analisis statistik perkembangan konversi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo beberapa tahun kebelakang dianalisis menggunakan program eviews 6. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan nilai tukar petani berpengaruh negatif terhadap besarnya konversi lahan, adapun variabel jumlah industri berpengaruh positif. Akan tetapi variabel jumlah industri dan nilai tukar petani terbukti tidak signifikan, hanya variabel jumlah penduduk yang berpengaruh signifikan. Kata Kunci : Konversi Lahan Pertanian, Pertumbuhan Penduduk dan Tukar Petani (NTP).
Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian serta adanya potensi yang besar membuat sektor
Industri, Nilai
pertanian perlu mendapatkan perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. Besarnya potensi pertanian dapat terlihat dari pengalaman sejarah, ternyata krisis moneter dan krisis ekonomi di Indonesia
1
dapat ditanggulangi oleh sekelompok usaha kecil baik itu di bidang industri pengolahan maupun dibidang pertanian (Suparmoko, 2002). Sistem persawahan Indonesia bukanlah semata-mata diperlukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan perkembangan yang telah berlangsung ribuan tahun, sistem persawahan telah memelihara keberlangsungan sistem produksi dan lingkungan hidup dan juga mewariskan nilainilai budaya dari generasi ke generasi. Namun demikian, ekosistensi sistem persawahan menghadapi berbagai ancaman sejalan dengan semakin rusaknya sumber daya alam akibat pendekatan pembangunan yang bersifat ploitatif. Lahan sawah di daerah padat penduduk seperti Jawa mengalami konversi menjadi lahan untuk berbagai keperluan (Pasandaran, 2006). Pemanfaatan sumberdaya agraria merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan berbagai pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Lahan atau spesifiknya tanah merupakan salah satu sumberdaya utama dalam melaksanakan program pembangunan. Dengan kata lain, ketersediaan tanah merupakan faktor penting dalam pembangunan khususnya pembangunan pertanian. pembangunan pertanian dapat dipastikan selalu berorientasi pada peningkatan produksi dan kualitas hasil pertanian. namun, ketersediaan tanah semakin berkurang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan program atau rencana pembangunan dan juga perubahan kebijakan pihak yang terkait melalui upaya konversi lahan (Sihaloho, 2007). Konversi lahan dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi itu sendiri (Utomo et al, dalam Nuryanti, 2011). Konversi lahan pertanian dapat diibaratkan sebagai suatu perubahan sosial yang terjadi pada suatu masyarakat seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Konversi lahan merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain dipertanian sangat kecil peluangnya untuk
berubah kembali menjadi lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah baru diluar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengganti kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang sangat lama untuk melakukan pembangunan lahan sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Konversi lahan merupakan konsekuensi dari akibat meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk serta pembangunan yang lainnya. Konversi lahan pada hakekatnya merupakan hal yang wajar terjadi pada era modern seperti sekarang ini, namun konversi lahan pada kenyataannya membawa banyak masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif. Perkembangan Kabupaten Sidoarjo yang cukup pesat membawa implikasi terjadinya konversi lahan pertanian yang cukup tinggi. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan masa depan petani dan mengancam swasembada beras. Substansi masalah konversi lahan bukan hanya terletak pada “boleh” atau “tidak boleh” suatu lahan dikonversi demi mempertahankan produksi pangan, tetapi lebih banyak menyangkut kepada (1) kesesuaian dengan tata ruang, (2) dampak dan manfaat ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang, dan (3) alternatif lain yang dapat ditempuh agar manfaatnya lebih besar dari pada dampaknya (Pakpahan et al.,dalam Ruswandi, 2007). Bahkan, masalah konversi lahan tidak hanya mencakup masalah teknis dan ekonomis, tetapi bersifat lebih luas seperti hukum, politik, dan lingkungan. Implikasinya konversi lahan disatu sisi berupaya untuk meningkatkan nilai tanah yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan lahan oleh berbagai pihak baik untuk permukiman, industri, dan untuk kepentingan lainnya. Sementara disisi lain, konversi ini justru menyebabkan „ketidakakses-an‟ masyarakat lokal terhadap sumberdaya pertanian yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat yang relatif kurang dibandingkan pada kondisi awal. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tataruang
2
wilayah. Alih fungsi dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006). Terjadinya konversi lahan pertanian dapat disebabkan oleh nilai tukar petani. Nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak ada insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya (Ashari, 2003). Pertumbuhan penduduk di daerah pedesaan yang sangat cepat telah memberatkan bobot masalahnya, yakni menimbulkan berbagai tekanan yang berat dalam penggunaan lahan. Semakin lama semakin banyak orang yang menggarap sebidang lahan yang sama sehingga tingkat kesuburan mengikis dengan cepat dan berdampak pada ketersediaan lahan yang subur semakin terbatas. Pertumbuhan penduduk yang cepat telah menyebabkan semakin bertambahnya jumlah orang yang mengandalkan hidupnya dari lahan yang sama, sedangkan metode dan teknologi produksinya tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kita mengetahui dari prinsip perolehan hasil yang semakin menurun (diminishing returns) bahwa jika semakin banyak orang yang mengerjakan sebidang lahan, maka tingkat produktivitas marjinal (dan rata-ratanya) akan semakin menurun. Hasilnya, setandar hidup petani pedesaan terus memburuk (Todaro, 2006). Sensus penduduk tahun 2010 mencatat bahwa jumlah penduduk sebanyak 1.945.252 jiwa. Terjadi kenaikan sebesar 382.237 jiwa atau 24,45 persen dari sensus penduduk tahun 2000. Jumlah penduduk terbesar di kecamatan Waru sebanyak 231.298 jiwa diikuti kecamatan Taman sebesar 212.857 jiwa dan kecamatan Sidoarjo sebesar 194.051 jiwa. Kecamatan Jabon merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling kecil yaitu 49.989 jiwa, diikuti kecamatan Krembung sebesar 58.358 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk yang cukup besar inilah akan berdampak terjadinya konversi lahan pertanian yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Konversi lahan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah industri, khususnya industri besar. Pembangunan suatu industri
sangat bergantung pada ketersediaan lahan, sementara itu pembangunan industri di Kabupaten Sidoarjo saat ini pembangunannya dibangun pada lahan sawah basah. Sehingga akan berdampak menjadi masalah yang besar bagi mata perekonomian masyarakat khususnya para petani yang telah kehilangan mata pencarian akibat dari perubahan fungsi dari fungsi lahan semula yang menjadi lahan pertanian berubah menjadi lahan pembangunan industri. Sejak tahun 2000 sampai sekarang peranan sektor industri di Sidoarjo menunjukkan peningkatan secara terus-menerus. Di dalam penciptaan nilai tambahnya, sektor ini juga semakin memegang posisi yang cukup dominan. Hal ini bisa digambarkan melalui peningkatan peran sektor industri dalam PDRB Sidoarjo. Jumlah perusahaan industri besar dan sedang di Kabupaten Sidoarjo yang tercatata dalam survei industri tahunan sebanyak 804 perusahaan didominasi di Kecamatan Taman dan Waru, yaitu 120 dan 155 perusahaan. Peningkatan kesejahteraan petani sangatlah penting untuk dilakukan dikarenakan berbagai masalah dan hambatan yang telah dialami oleh para petani, sebagaimana hilangnya lahan sawah sebagian para petani yang diakibatkan karena berubahnya fungsi lahan yang mengalami konversi akibat dari dampak pembangunan yang hanya mengutamakan pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat bawah. Sebenarnya program yang mendukung peningkatan kesejahteraan para petani sudah lama berjalan, tetapi amat lamban meski telah ada undang-undang yang mengaturnya, yakni UUPA No. 5/1960 yang merupakan produk hukum yang mengakhiri hukum agraria kolonial. UUPA No. 5/1960 sangat memprioritaskan redistribusi tanah bagi petani miskin, menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria. Reformasi tanah sangatlah penting untuk dilakukan karena saat ini kesejahteraan petani yang terus menurun. Terlihat penurunan dari nilai tukar petani (NTP) yang dialami petani di Jawa Timur khususnya yang dialami oleh tertentu lebih buruk dibandingkan dengan keadaan pada tahun dasar, dan 3) tahun 20002010 kesejahteraan petani periode tertentu lebih
3
buruk dibandingkan dengan keadaan pada tahun dasar. Dari beberapa uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Analisis Beberapa Variabel Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Sidoarjo”. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian beberapa tahun kebelakang yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo dan untuk mengetahui pengaruh peningkatan jumlah penduduk, jumlah industri dan nilai tukar petani secara parsial maupun secara simultan terhadap besarnya konversi lahan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo. Konversi lahan dapat didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo et al,.dalam Nuryanti, 2011). Konversi lahan sawah didefinisikan sebagai konversi lahan neto. Artinya luas lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun sebelumnya (Lt-1) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi lahan sawah (At). Secara matematika diformulasikan sebagai berikut: (Ct – At) = Lt – Lt-1 Faktor-Faktor Konversi Lahan
Yang
Mempengaruhi
Alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan, yaitu: pertama, Faktor Eksternal merupkan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. Kedua, faktor internal merupakan faktor yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Ketiga, faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian (Kustiawan dalam Nuryanti, 2011).
Terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian disebabkan oleh kepadatan penduduk, nilai tukar petani, dan PDRB per kapita. Kepadatan penduduk disuatu tempat (terutama di perkotaan) yang juga mencerminkan land man rasio akan mendorong penduduk mencari tempat lain untuk membangun pemukiman di luar kota (pedesaan). Akibatnya banyak lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian mengalami alih fungsi menjadi pemukiman. Sedangkan nilai tukar petani yang rendah menyebebkan tidak ada insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya. Beberapa faktor lain yang menyebabkan cepatnya konversi tanah pertanian menjadi nonpertanian yaitu: 1. Faktor kependudukan: peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tambahan untuk perumahan, jasa industri, dan fasilitas umum lainnya. 2. Faktor ekonomi: tingginya tingkat keuntungan (land rent) yang diperoleh sektor non-pertanian dan rendahnya land rent dari sektor pertanian itu sendiri. 3. Faktor sosial budaya: keberadaan hukum waris yang dapat menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian sehingga tidak memenuhi skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic: mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (law enforccement) dari peraturan-peraturan yang ada (Sunito et al., 2005). Lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Konversi lahan berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan sektor pertanian petani pelaku koversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non-pertanian. Berdasarkan fakta, upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, karena lahan sawah merupakan private good yang legal
4
untuk di trnsaksikan. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan hanya bersifat pengendalian. Pengendalian yang dilakukan sebaiknya bertitik tolak dari faktor-faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah, yaitu faktor ekonomi, sosial, dan perangkat hukum. Beberapa konsep pengendalian telah direkomendasikan oleh beberapa peneliti. Namun karena belum adanya pemberdayaan hukum yang konsisten dan dibutuhkan prasyarat yang ketat maka pengendalian konversi lahan cenderung tidak efektif (Ilham, dkk, 2003). Strategi yang dapat ditempuh salah satunya adalah memperkecil peluang terjadinya konversi lahan pertanian. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkecil terjadinya konversi lahan adalah dari sisi penawaran dan dari sisi permintaan (Sunito et al., 2005). Dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik lahan. Sedangkan dari sisi permintaan dapat dilihat melalui: 1. Mengembangkan pajak tanah yang progresif. 2. Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan non-pertanian sehingga tidak ada tanah yang sia-sia. 3. Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk kawasan industri perumahan dan perdagangan.
beralih fungsi menjadi tanah non pertanian. Banyak para ahli ekonomi menuliskan teori mereka terhadap pentingnya tanah. Menurut Mahzab Fisiokratis yang dipelopori oleh Quesnay mengatakan bahwa hukum ekonomi yang bersesuaian dengan hukum alam ini menjadikan alam. Yang dimaksud disini ialah adalah tanah sebagai salah satu sumber kemakmuran bagi rakyat. Menurutnya kegiatan industri dan perdagangan dinilai tidak produktif, karena kegiatan industri hanya mengubah bentuk dan sifat barang. Begitu juga dengan perdagangan yang dinilai hanya memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Quesnay kaum petani paling produktif, oleh karena itu menganjurkan agar kebijakan yang diambil pemerintah harus ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup para petani. Dari teori yang dikemukakan oleh Quesnay tersebut mengandung pengertian bahwa para petani perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah agar proses produksi pertanian dapat meningkat. Perhatian tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada para petani, agar proses produksi yang dilakukan petani tidak terganggu. Hal ini dikarenakan petanilah yang mempunyai produktifitas paling tinggi (Deliarnov dalam Mustopa, 2011).
Teori Tanah Sebagai Lahan Pertanian Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Tanah menjadi sangat penting karena keberadaannya dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia dalam melakukan kegiatannya. Tanah sebagai lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting peranannya dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika tidak ada lahan, maka tidak ada pertanian. hal ini dikarenakan lahan merupakan tempat dimana pertanian dapat berjalan. Permintaan akan tanah dari tahun ketahun mengalami peningkatan, hal ini yang mengakibatkan harga tanah semakin tinggi. Pada dasarnya penggunaan tanah yang ada sekarang ini digunakan untuk sektor pertanian. akan tetapi seiring kemajuan jaman banyak lahan pertanian
Peraturan Land Reform Undang-undang Pokok Agraria Salah satu prinsip dari UUPA adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisap, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus segala hak-hak asing dan konsesikonsesi kolonial di atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. Pada pihak lain, land reform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. UUPA No. 5/1960 merupakan produk hukum yang mengakhiri hukum agrarian kolonial: UU Agraria 1870, UUPA No. 5/1960 memprioritaskan redistribusi tanah bagi petani miskin, menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam
5
sektor agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin. Redistribusi tanah yang diamanatkan UUPA No. 5/1960 dilaksanakan melalui tiga tahap: 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tahun 1961, yang merupakan aturan turunan UU No. 5/1960, dilakukanlah pendaftaran tanah di seluruh teritori RI; 2. Setelah dilakukan pendaftaran tanah, tahapan selanjutnya adalah penentuan tanah yang dikategorikan “tanah lebih” serta pembagiannya kepada petani tak bertanah berdasarkan PP No. 224 tahun 1961; 3. Di tahap ketiga sampai pada pelaksanaan bagi hasil produksi pertanian yang berdasarkan UU No. 2/1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH). Sebagian besar tahapan-tahapan reformasi agraria itu baru dimulai pada tahun 1963. “Molornya” waktu pelaksanaan reformasi agraria itu, antara lain, karena perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialis Belanda pada kurun waktu 19611963. Selain itu, ketidak siapan birokrasi dan belum dicabutnya status negara dalam keadaan darurat perang (SOB) oleh militer turut memperlambat jalannya land reform. Teori Kependudukan Thomas Robert Malthus. Dalam sebuah buku yang berjudul Essay on the Principle of Population, Thomas Malthus merumuskan sebuah konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (Diminishing returns). Malthus melukiskan suatu kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu negara akan semakin meningkat sangat menurut deret ukur atau tingkat geometrik setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal itu diredam oleh bencana kelaparan. Sementara itu, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik. Bahkan, karena lahan yang dimiliki setiap anggota masyarakat semakin lama semakin sempit, maka kontribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun (Todaro, 2006).
Dari pernyataan Malthus tersebut dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan yang lebih cepat dari ketersediaan bahan pangan, dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan yang digunakan untuk pemukiman dan industri. Sehingga pada akhirnya manusia akan mengalami kekurangan kebutuhan makanan. Akan tetapi Malthus melupakan hal yang paling penting yaitu kemajuan teknologi. Dengan adanya kemajuan teknologi maka dapat meningkatkan produktivitas pangan. Tapi sekarang ini masalah yang dihadapi adalah semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, sehingga walaupun teknologi yang digunakan sudah cukup maju tapi dengan lahan yang semakin berkurang maka produktivitasnya juga mulai terganggu. Hal ini dapat menyebabkan ketahanan pangan mulai terganggu. Karena perkembangan pertumbuhan penduduk yang jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan hasil produksi pertanian, maka Malthus meramalkan akan terjadi malapetaka terhadap kehidupan manusia. Malapetaka tersebut timbul karena adanya tekanan penduduk tersebut. Sementara keberadaan lahan semakin berkurang karena pembangunan berbagai infrastruktur. Akibatnya akan terjadi bahaya pangan bagi manusia. Selanjutnya, Malthus menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi masalah rendahnya taraf hidup yang kronis atau kemiskinan absolut tersebut adalah “penanaman kesadaran moral” (moral restraint) di kalangan segenap penduduk dan kesediaan untuk membatasi jumlah kelahiran. Dengan perumusan konsep akan pentingnya pembatasan kelahiran dan jumlah penduduk itu, malthus dapat kita pandang sebagai bapak atau pelopor gerakan modern pengendalian kelahiran. Transformasi Peranian Dalam sektor pertanianlah ditentukan berhasil atau tidaknya upaya-upaya pembangunan ekonomi jangka panjang (Gunnar Myrdal dalam Todaro, 2006). Maksud dari kutipan diatas yaitu, jika suatu negara menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan, maka negara itu
6
harus memulainya dari daerah pedesaan pada umumnya, dan sektor pertanian pada khususnya. Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata. Berdasarkan pengalaman historis dari negaranegara barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor-sektor industri yang dinobatkan sebagai sektor unggulan dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Model pembangunan “dua sektor” Lewis merupakan contoh yang baik dari teori pembangunan yang menitik beratkan pada pengembangan sektor industri secara cepat, dimana sektor pertanian hanya dipandang sebagai pelengkap atau penunjang, yaitu sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah. Penyebab utama dari semakin memburuknya kinerja pertanian dinegara berkembang adalah terabaikannya sektor yang sangat penting dalam perumusan prioritas pembangunan oleh pemerintahan negara-negara berkembang itu sendiri. Terabaikannya sektor pertanian tersebut diperparah lagi dengan gagalnya pelaksanaan investasi dalam perekonomian industri perkotaan, yang terutama disebabkan oleh kesalahan dalam memilih strategi industrialisasi subtitusi impor dan penetapan nilai kurs yang terlalu tinggi (Todaro, 2006). Salah satu manifestasi atau perwujudan terpenting dari terabaikannya pengelolaan sektor pertanian dan penekanan yang berlebihan terhadap pertumbuhan perkotaan telah menimbulkan gelombang migrasi para petani yang menganggur tanpa lahan garapan dari daerah pedesaan secara besar-besaran ke kotakota, yang sebenarnya sudah terlampau padat. Nilai Tukar Petani Yang dimaksud dengan nilai tukar adalah nilai tukar suatu barang dengan barang lain, jadi suatu rasio harga (nominal atau
indeks) dari dua barang yang berbeda (Tambunan, 2003). Nilai tukar petani adalah angka perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Indeks harga diterima petani (It) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga harga produsen atas hasil produksi pertanian. Indeks harga dibayar petani (Ib) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik untuk konsumsi maupun untuk perluasan proses produksi. Rumus untuk penghitungan NTP, It dan Ib adalah: 𝐼𝑡 𝑁𝑇𝑃 = 𝑥100 ……………….....(2) 𝐼𝑏 Dimana: NTP = Nilai Tukar Petani It = Indeks harga yang diterima petani Ib = Indeks harga yang dibayar petani Sedangkan masing-masing indeks dihitung menggunakan formulasi modifiedLaspeyres seperti berikut: 𝑙𝑛 =
𝑃 𝑛𝑖 𝑚 𝑃 𝑛 −1 𝑖 Q 0𝑖 𝑖=1 𝑃 𝑛 −1 𝑖 𝑚 𝑃 𝑄 𝑖=1 0𝑖 0𝑖
𝑥100…..(3)
Dimana: In
= Indeks harga bulan ke n (It atau Ib) Pni = Harga bulan ke n untuk jenis barang ke i P(n-1)I = Harga Bulan ke (n-1) untuk jenis barang ke i Pni/P(n-1)I = Relatif harga bulan ke n untuk jenis barang ke i Poi = Harga pada tahun dasar untuk jenis barang ke i Qoi = Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke i m = Banyaknya jenis barang yang tercakup pada paket komoditi
Penghitungan NTP akan menghasilkan 3 (tiga) kemungkinan sebagai berikut: 1. NTP > 100, berarti Daya Beli Petani pada saat itu berpotensi untuk lebih baik, karena indeks yang diterima lebih tinggi dari indeks yang dibayar.
7
2. NTP = 100, berarti Daya Beli Petani pada saat itu tetap, karena indeks yang diterima sama dengan indeks yang dibayar. 3. NTP < 100, berarti Daya Beli Petani pada saat itu berpotensi untuk lebih buruk, karena indeks yang diterima lebih renda dari indeks yang dibayar. Perubahan NTP disebabkan oleh perubahan It dan/atau Ib. Oleh karena itu, pengkajian terhadap penyebab lemahnya NTP dapat dilakukan dengan menganalisis faktorfaktor penyebab rendahnya It dan faktor-faktor penyebab tingginya Ib. Faktor-faktor tersebut dapat berbeda menurut jenis komoditas. Misalnya, dari sisi It, jelas beras dan jeruk berbeda dalam pola persaingannya. Di Indonesia, petani beras di dalam negeri mengalami persaingan yang sangat ketat, termasuk dengan beras impor. Karena beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, yang artinya selalu ada permintaan dalam jumlah yang besar, maka semua petani berusaha untuk menanam padi atau memproduksi beras saja. Hal ini membuat harga beras di pasar domestik cenderung menurun hingga (pada titik ekuilibrium jangka panjang) sama dengan biaya marjinal, atau sama dengan biaya rata-rata per unit output. ini artinya bahwa It akan sama dengan Ib, dan berarti keuntungan petani nol. Sedangkan jeruk bukan merupakan suatu barang kebutuhan pokok sepenting beras, sehingga walaupun harganya baik tidak semua petani ingin menanam jeruk. Jadi jelas diversivikasi output di sektor pertanian sangat menentukan baik tidaknya NTP di Indonesia. Sedangkan dari sisi Ib, faktor utama adalah harga pupuk, yang bagi banyak petani padi terlalu mahal. Hal ini tidak terlalu disebabkan oleh volume produksi atau suplai pupuk (termasuk pupuk impor) di dalam negeri yang terbatas, tetapi oleh adanya distorsi di dalam sistem pendistribusinannya. Harga pupuk yang mahal bisa juga merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mengalihkan surplus di sektor pertanian ke sektor industri (Colman, dalam Tambunan, 2003). Selain itu, belakangan ini naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik juga mempunyai suatu kontribusi yang besar terhadap
peningkatan biaya produksi petani, sementara harga gabah atau beras di pasar bebas rendah. Hubungan Variabel Bebas Dengan Variabel Independen. Menurut Sihaloho, 2007 ketersediaan tanah semakin berkurang seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perubahan program atau rencana pembangunan dan juga perubahan kebijakan. Masalah yang ditimbulkan dari pertumbuhan jumlah penduduk juga dijelaskan oleh Thomas Robert Malthus bahwa pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan yang lebih cepat menurut deret ukur dari ketersediaan bahan pangan yang pertambahannya hanya menurut deret hitung sehingga lambat laun manusia akan mengalami krisis bahan pangan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan perumahan juga akan meningkat. Sementara itu jumlah lahan yang tersedia jumlahnya tetap sehingga otomatis dalam penyediaan perumahan mengorbankan lahan sawah untuk tempat pembangunan perumahan. Menurut Widjanarko, 2006 alih fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijakan pembangunan yang menekankan kepada aspek kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah. Kebijakan yang menentukan berkembang atau tidaknya pertanian sangat dipengaruhi oleh pemimpin negara yang yang berwenang dalam pengeluaran suatu kebijakan. Sebagaimana kebijakan terhadap pembangunan pertanian pada berbagai Orde pemerintahan yang pernah memegang kekuasaan di Indonesia. Pada Orde Lama pemerintah sangat memihak terhadap petani, hal ini dapat terlihat dengan dikeluarkannya UUPA No. 5/1960 merupakan produk hukum yang mengakhiri hukum agrarian kolonial: UU Agraria 1870. UUPA No. 5/1960 memprioritaskan redistribusi tanah bagi petani miskin, menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin. Berbeda pada Orde Baru yang menggunakan strategi pembangunan dengan sistem ekonomi kapitalistik yang membuka seluas-luasnya pada modal swasta
8
baik asing maupun domestik untuk menggerakkan roda perekonomian nasional. Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dikatakan masa Orde Baru telah menanggalkan strategi pembangunan ekonomi yang menekankan perombakan struktur sosialekonomi secara mendasar dan lebih memandang peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam waktu singkat dibanding dengan pelaksanaan Land Reform sebagai pondasi untuk menunju industrialisasi nasional yang kokoh dan mandiri (Bona, 2011). Terjadinya konversi lahan juga disebabkan oleh nilai tukar petani, menurut Ashari, 2003 nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak adanya insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya. Sementara itu kejadian kronis setiap musim panen mengenai anjloknya harga gabah petani adalah akibat dari ketidakampuhan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang memang dipengaruhi oleh bias perkotaan. Masyarakat konsumen perkotaan yang lebih banyak menerima manfaat dari sekian macam program pemerintah, yang bahkan memberikan subsidi pada sektor pertanian (Arifin, 2004). Penelitian Yang Relevan Ilham, Syaukat, Friyatno (2003). Melakukan penelitian yang berjudul “Perkembangan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya”. Penelitian ini meneliti tentang beberapa variabel yang mempengaruhi konversi lahan. Hasil penelitian lingkup mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang diproksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Sementara itu dalam lingkup makro: konversi lahan sawah berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDB dan konversi lahan sawah berkorelasi negatif dengan nilai tukar petani. Penelitian yang terkait dengan konversi lahan juga dilakukan oleh Sihaloho, Dharmawan, Rusli (2007). Melakukan penelitian dengan judul “Konversi Lahan Pertanian Dan Perubahan Struktur Agraria”. hasil penelitian
menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja dapat dibagi dua (1) secara makro yang terdiri dari kebijakan pemerintah yang memberikan iklim kondusif bagi transformasi peruntukan suatu kawasan dan pertumbuhan penduduk alamiah dan non alamiah (migrasi masuk lebih tinggi dari migrasi keluar) dan (2) secara mikro yang terdiri dari „keterdesakan ekonomi‟, investasi pihak „pemodal‟, proses alih hak milik atas tanah, dan proses pengadaan tanah. Irawan (2005) juga melakukan penelitian dengan judul konversi lahan sawah: potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. Hasil penelitian menyebutkan konversi lahan sawah diluar jawa (132 ribu hektar pertahun) ternyata jauh lebih tinggi dari pada di pulau jawa (56 ribu hektar per tahun). Sebesar 58,68 persen konversi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan sisahnya untuk usaha tani bukan sawah. Sebagian besar konversi lahan untuk kegiatan nonpertanian ditujukan untuk pembangunan perumahan (48,96 persen) dan pembangunan sarana publik (28,29 persen). Alokasi konversi lahan sawah untuk pembangunan perumahan sangat dominan dipulau jawa (74,96 persen) sedangkan diluar pulau jawa konversi lahan sawah tersebut sebagiab besar ditujukan untuk pembangunan sarana publik (43,59 persen) dan pembangunan perumahan (3,92) persen. Hipotesis Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang perlu diberikan hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2008). Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada faktafakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian. Dalam penjelasan tersebut diatas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas (jumlah penduduk, jumlah induri dan nilai tukar petani) secara parsial
9
terhadap Y (konversi lahan pertanian di kabupaten Sidoarjo tahun 2000-2010). 2. Diduga ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas (jumlah penduduk, jumlah induri dan nilai tukar petani) secara simultan terhadap Y (konversi lahan pertanian di kabupaten Sidoarjo tahun 2000-2010). METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang dapat diukur secara langsung atau dapat dihitung secara langsung. Dengan demikian penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian studi deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan suatu keadaan, gejala, peristiwa kejadian subyek atau obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagainya. Kemudian menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Analisis regresi berganda (multiple regression analysis) digunakan untuk maksud meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen, bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor dimanipulasi (dinaikturunkan nilainya). Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggambarkan variabel-variabel dalam suatu penelitian agar pola pikir penulis dapat dipahami oleh pembaca. Desain penelitian untuk analisis regresi berganda (multiple regression analysis) menunjukkan seberapa besar pengaruh jumlah penduduk (X1), jumlah industri (X2), dan nilai tukar petani (X 3) sebagai variabel independen atau bebas terhadap konversi lahan pertanian di kabupaten Sidoarjo selama tahun 1999-2010 (Y) sebagai variabel dependen atau terikat. Rancangan penelitian dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: X1 X2
Y
X3
Bagan 3.1. Rancangan Penelitian Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat
Keterangan : X1 = Jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo (orang) X2 = Jumlah industri Kabupaten Sidoarjo (unit) X3 = Nilai tukar petani Jawa Timur Y = Besarnya konversi lahan pertanian Kabupaten Sidoarjo (ha) Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah konversi lahan pertanian, jumlah penduduk, jumlah industri, dan nilai tukar petani di Kabupaten Sidoarjo. Teknik Pengumpulan Data 1. Studi Kepustakaan Cara pengumpulan data dengan mempelajari bacaan-bacaan yang berkaitan dengan dan yang mendukung penelitian yang dilakukan. Studi ini juga bisa dilakukan dengan mengumpulkan data yang didapat dari internet. 2. Dokumentasi Yaitu pengumpulan data yang diperoleh dengan mengumpulkan dan meneliti datadata berupa arsip, dokumen dan catatan mengenai konversi lahan pertanian, kependudukan, industrialisasi, dan nilai tukar petani. Tenik Analisis Data Data yang telah terkumpul selanjutnya akan diolah dan dianalisis guna dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif dan analisis uji statistik dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan uji signifikansi 5 persen melalui uji F dan korelasi parsial. 1. Analisis Deskriptif Kuantitatif Analisis deskriptif kuantitatif adalah teknik yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan besarnya konversi lahan
10
pertanian di Kabupaten Sidoarjo selama tahun 1999-2010. 2. Analisis Statistik Sesuai dengan tujuan dan hipotesis penelitian yang dilakukan, maka keterkaitan antara variabel penelitian dapat digambarkan secara spesifik dalam model regresi linier berganda. Analisis ini dapat digunakan untuk menerangkan tingkat ketergantungan suatu variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas. Berdasarkan variabel-variabel yang telah diuraikan maka model regresi linier berganda dirumuskan sebagai berikut: Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ei……(4) Keterangan: Y = Besarnya konversi lahan pertanian X1 = Jumlah penduduk X2 = Jumlah industri X3 = Nilai tukar petani a = Konstanta b1,b2,b3 = Koefisien regresi ei = Faktor pengganggu a. Uji Asumsi Klasik Persamaan regresi linier berganda harus bersifat BLUE (Best Linier Unbias Estimator), artinya pengambilan keputusan melalui uji t dan uji F tidak boleh bias. Pada penelitian ini juga akan dilakukan beberapa uji asumsi klasik terhadap model regresi yang telah diolah dengan menggunakan program Eviews6. Untuk menghasilkan pengambilan keputusan yang BLUE maka harus dipenuhi asumsi dasar yang tidak boleh dilanggar oleh regresi linier berganda yaitu: 1) Uji Normalitas Untuk menguji apakah model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Kriteria normalitas: a) Prob.Obs.R2 (X2) < α → sebaran data tidak normal b) Prob.Obs.R2 (X2) > α → sebaran data normal 2) Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah kondisi adanya hubungan linear antar variabel
independen. Masalah multikolinearitas bisa timbul karena berbagai sebab, pertama sifat-sifat yang terkandung dalam kebanyakan variabel ekonomi berubah bersama-sama sepanjang waktu. Besaran-besaran ekonomi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama. Oleh karena itu, sekali faktorfaktor yang mempengaruhi itu menjadi operatif, maka seluruh variabel akan cenderung berubah dalam satu arah. Kedua, penggunaan nilai lag (lagged values) dari variabel-variabel bebas tertentu dalam model regresi. Kriteria multikolinearitas: a) r ≥ 0,8 → ada multikolinearitas b) r < 0,8→tidak ada multikolinearitas 3) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada penelitian ini adalah uji white. Kriteria heteroskedastisitas: a) Prob.Obs.R2 (X2) < α → ada heteroskedastisitas b) Prob.Obs.R2 (X2) > α → tidak ada heteroskedastisitas 4) Uji Autokorelasi Adalah keadaan dimana faktor-faktor pengganggu yang satu dengan yang lain saling berhubungan, pengujian terhadap gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson (DW), yaitu dengan cara membandingkan antara DW statistik (d) dengan dL dan DU, jika DW statistik berada diantara dU dan 4-dU maka tidak ada autokorelasi. Jika Durbin Watson test mendekati angka 2,0 maka autokerelasi tidak menjadi persoalan. 5) Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah model penelitian berbentuk linier atau log linier. a) Prob.F Stat > α → model memenuhi asumsi linearitas b) Prob.F Stat < α → model tidak memenuhi asumsi linearitas
11
c) Prob.F Stat > α → variabel independen cocok dimasukkan dalam model d) Prob.F Stat < α→ variabel independen tidak cocok dimasukkan dalam model b. Uji Hipotesis 1) Uji parsial (Uji t) adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh suatu variabel bebas secara individual dalam mempengaruhi variabel terikat. Kriteria yag dipakai untuk menguji hipotesis adalah jika T hitung > T tabel, maka Ho ditolak. 2) Uji simultan (Uji F) yaitu pengujian distribusi F yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas mempunyai pengaruh secara bersamasama terhadap variabel terikat. Kriteria yang dipakai intuk menguji hipotesis adalah jika F hitung > F tabel maka Ho ditolak. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif
Perkembangan konversi lahan sawah di Kabupaten Sidoarjo Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sidoarjo, lahan sawah pada tahun 1998-2010 selalu mengalami penurunan luas lahan kecuali pada tahun 2007. dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1998 hingga tahun 2010 lahan sawah di Kabupaten Sidoarjo selalu mengalami penurunan luas lahan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2007 luas lahan sawah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006. Pada tahun 2006 luas lahan sawah di Kabupaten Sidoarjo sebesar 23.196 ha, kemudian pada tahun 2007 lahan sawah di Kabupaten Sidarjo meningkat mencapai angka 23.262 ha. Kenaikan lahan sawah pada tahun 2007 bukan dikarenakan oleh penambahan pembuatan areal lahan sawah baru, karena di Kabupaten Sidoarjo sudah tidak tersedia lahan hutan yang dapat digunakan untuk membangun lahan sawah baru. Kenaikan yang terjadi pada tahun 2007 tersebut lebih disebabkan oleh
penggunaan kembali lahan sawah yang semula digunakan untuk perkebunan tebuh dan usaha tanam selain padi. Secara keseluruhan terjadi penurunan total luas lahan sawah di Kabupaten Sidoarjo dalam kurun waktu antara tahun 1998 hingga 2010 sebesar 16,32% atau sekitar 4.358 Ha, yaitu dari 26.700 Ha pada tahun 1998 menjadi 22.342 Ha pada tahun 2010. Lahan sawah beririgasi teknis merupakan yang terluas di Sidoarjo mencapai 97,63 persen (24.779 Ha) dari total luas lahan sawah 25.381 Ha, sedang sisanya 0,59 persen (150 Ha) masih beririgasi setengah teknis, sedangkan 1,78 persen (452 Ha) lahan sawah yang beririgasi sederhana. Perkembangan jumlah penduduk di Kabupaten Sidoarjo Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sidoarjo, jumlah penduduk terus mengalami peningkatan pada tahun 1998-2010. dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1998 hingga tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten Sidoarjo selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo mengalami fluktuasi dari tahun 1999 hingga tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2008 yakni sebesar 18,91 %, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah terjadi pada tahun 2002 yakni sebesar 1,83%. Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh empat komponen yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), migrasi masuk (in-migration) dan migrasi keluar (outmigration). Diantara komponen tersebut yang menyebabkan laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo menurun pada periode 1998-2010 adalah komponen kelahiran (fertilitas). Komponen kelahiran (fertilitas) dapat ditekan melalui program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan oleh pemerintah. Meskipun jumlah penduduk di Kabupaten Sidoarjo memiliki tendensi meningkat pada tahun 1999-2010 namun dapat dikatakan program KB yang digalakkan oleh pemerintah telah berhasil. Hal ini dapat diketahui dari tingkat perkembangan jumlah penduduk atau
12
laju pertumbuhan penduduk per tahun yang meningkat relatif kecil, bahkan cenderung menurun pada tahun 1998-2010. Dengan demikian teori kependudukan Malthus yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk berkembang menurut deret ukur tidak terbukti di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 1998-2010
Perkembangan jumlah industri di Kabupaten Sidoarjo Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS dan DISPERINDAG Kabupaten Sidoarjo, pertumbuhan industri terus mengalami naik turun pada tahun 1998-2010. dapat diketahui perkembangan jumlah industri selama kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2010 mengalami fluktuatif. Pada tahun 1998 terdapat 325 perusahaan yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo dan terjadi peningkatan pada tahun berikutnya 1999 sebesar 3,38 dengan jumlah perusahaan menjadi 336 perusahaan. Peningkatan jumlah industri besar di Kabupaten Sidoarjo terus berlangsung hingga tahun 2007 dimana jumlah industri terus mengalami peningkatan yang cukup pesat yang berjumlah sebesar 336, meskipun pada tahun 2004 sempat mengalami penurunan sebesar -0,50 dari tahun 2003 dimana pada tahun 2003 terdapat 398 industri sempat mengalami penurunan yang relatif sangat kecil menjadi 396 industri pada tahun 2004. Peningkatan jumlah industri dari tahun 1998 hingga tahun 2007 ini dikarenakan kondisi perekonomian yang sudah mulai membaik paska terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 sehingga mampu menarik investor baik luar negeri maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya pada sektor industri di Indoesia begitu juga dengan Kabupaten Sidoarjo. Pada tahun 2008 pertumbuhan industri mengalami penurunan sebesar -7,60 dengan jumlah industri menjadi 450. Hal ini terjadi karena guncangan politik dan krisis ekonomi yang berdampak pada perekonomian nasional termasuk Kabupaten Sidoarjo. Penurunan ini terus berlangsung sampai tahun 2010, dimana pada tahun 2009 terjadi penurunan yang cukup tinggi sebesar -19,78 dan jumlah perusahaan menjadi 361 industri. Penurunan pertumbuhan industri kembali terjadi pada tahun 2010 sebesar -32,69 dengan jumlah industri menjadi 243. Penurunan dikarenakan alasan yang sama yaitu
krisis ekonomi yang mengguncang indonesia begitu juga dengan Kabupaten Sidoarjo. Perkembangan nilai tukar petani di Kabupaten Sidoarjo Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, nilai tukar petani terus mengalami naik turun pada tahun 1998-2010. dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1998 hingga tahun 2010 nilai tukar petani selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 1999, 2002 dan 2009 nilai tukar petani mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 1998 nilai tukar petani sebesar 86,27, kemudian pada tahun 1999 nilai tukar petani menurun mencapai angka 82,34. Pada tahun 2002 juga mengalami hal yang sama, yaitu mengalami penurunan mencapai angka 100,00 dimana pada tahun 2001 nilai tukar petani mencapai angka 104,04 penurunan nilai tukar petani juga kembali terjadi pada tahun 2009 nilai tukar petani mencapai angka 111,87 lebih rendah dari tahun 2008 yang mencapai angka114,15. Sedangkan laju perubahan nilai tukar petani mengalami fluktuasi dari tahun 1999 hingga tahun 2010. Laju perubahan nilai tukar petani tertinggi terjadi pada tahun 2001 yakni sebesar 15,93%, sedangkan laju perubahan terendah terjadi pada tahun 1999 yakni sebesar -4,56%. Pada tiga tahun pertama yaitu tahun 1998, 1999, dan 2000, NTP Jawa Timur menunjukkan nilai dibawah 100, berturut-turut 86,27, 82,34, dan 89,74. Hal ini menggambarkan bahwa daya beli atau tingkat kesejahteraan petani pada tahun-tahun tersebut berada dibawah kondisi pada tahun 1993. Gambaran tersebut memberikan indikasi bahwa daya beli petani “tererosi” karena mereka harus membayar barang/jasa kebutuhannya dengan harga yang relatif lebih mahal. Rendahnya nilai NTP pada tahun 1998 sampai dengan 2000 merupakan dampak krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis moneter mengakibatkan kenaikan harga barang-barang kebutuhan rumah tangga baik mekanan maupun nun makanan, sarana produksi, serta barang-barang modal. Hal ini
13
tercermin pada indeks harga yang dibayar petani yang naik sangat signifikan dari tahun ketahun. Analisis Satistik Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi linear berganda dengan bantuan program Eviews 6.0. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan dilakukan pengolahan. Data konversi lahan, jumlah penduduk, jumlah industri, dan nilai tukar petani dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 4.5 Input Data Thn
Knversi lahan
Junlah Pnduduk
Jumlah Industri
NTP
1999 2000 2001 2002 2003
44,65 224,12 -96,92 912,90 23,25
3,68 2,49 2,08 1,83 2,68
3,38 1,49 2,93 9,12 3,92
-4,56 8,99 15,93 -3,77 2,93
2004 2005 2006 2007
0,00 79,84 -46,84 -117,84
3,34 3,66 2,22 2,31
-0,50 12,63 7,17 1,88
2,03
2008 2009 2010
-975,76 -74,91 35,86
18,91 9,08 2,72
-7,60 -19,78 -32,69
0,26 6,07 1,29 0,91 -2,01 0,49
1. Analisis Regresi Proses pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer dalam paket eviews 6.0, sedangkan operasi regresinya menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Analisa data ini dimaksudkan untuk mengetai seberapa besar pengaruh jumlah penduduk, jumlah industri, dan nilai tukar petani terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan hasil regresi yang diolah dengan program eviews 6.0, maka diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: Y= 377,1392- 67,82579+ 3,024647– 25,64247
Dimana : Y = Konversi lahan pertanian X1 = Jumlah penduduk X2 = Jumlah industri X3 = Nilai tukar petani Persamaan regresi berganda tersebut menunjukkan bahwa : a. Nilai konstanta C sebesar 377,1392artinya bahwa jika jumlah penduduk, jumlah industri dan nilai tukar petani bernilai 0, maka konversi lahan akan sebesar 377,1392 b. C(X1) = -67,82579 artinya jika variabel jumlah penduduk bertambah 1%, sedangkan variabel jumlah industri dan nilai tukar petani tetap maka konversi lahan pertanian (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 67,82579. Tanda (-) negatif menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik atau berlawanan antara jumlah penduduk dan konversi lahan pertanian yaiu jika jumlah penduduk tinggi maka konversi lahan pertanian akan rendah. c. C(X2) = 3,024647 artinya jika variabel jumlah industri bertambah 1%, sedangkan variabel jumlah penduduk dan nilai tukar petani tetap maka konversi lahan pertanian (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 3,024647. Tanda (+) positif menunjukkan adanya hubungan yang searah antara jumlah industri dan konversi lahan pertanian yaitu jika jumlah industri tinggi maka konversi lahan pertanian juga tinggi. d. C(X3) = -25,64247 artinya jika variabel nilai tukar petani bertambah 1%, sedangkan variabel jumlah penduduk dan jumlah industri tetap maka konversi lahan pertanian (Y) akan mengalami penurunan sebesar -25,64247. Tanda (-) negatif menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik atau berlawanan antara nilai tukar petani dan konversi lahan pertanian yaitu jika nilai tukar petani tinggi maka konversi lahan pertanian akan rendah.
14
2. Uji Asumsi Klasik Untuk dapat diterima sebagai model regresi linier berganda maka harus memenuhi uji asumsi lasik. Uji asumsi klasik meliputi: a) Uji Normalitas Berdasarkan hasil uji normalitas yang diolah dengan program eviews 6.0, maka dapat diperoleh bahwa bentuk histogramnya didistribusikan secara asimetris sehingga residualnya kita duga didistribusikan secara normal. Berdasarkan uji statistik Jargue bera nilai statistiknya sebesar 2,331422 dengan probabilitas 31,17% sehingga dapat disimpulkan bahwa residual didistribusikan secara normal dan lolos dalam uji normalitas, sehingga pengujian data layak untuk dilanjutkan dalam penelitian. b) Uji Multikolinieritas Dari hasil pengolahan data melalui program eviews 6.0, maka dapat disimpulkan: 1) Koefisien korelasi untuk variabel jumlah penduduk dan jumlah industri sebesar -0,309664. Hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel jumlah penduduk dengan jumlah industri, karena besarnya koefisien korelasi adalah -0.309664 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. 2) Koefisien korelasi untuk variabel jumlah penduduk dan nilai tukar petani sebesar -0,216701. Hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel jumlah penduduk dengan nilai tukar petani, karena besarnya koefisien korelasi adalah -0,216701 kurang dari 0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. 3) Koefisien korelasi untuk variabel jumlah industri dan nilai tukar petani sebesar 0,160519. hal ini berarti tidak terjadi multikolinieritas antara variabel jumlah industri dengan nilai tukar petani, karena besarnya koefisien korelasi adalah 0,160519 kurang dari
0,8 maka dapat dikatakan “lolos uji mutikolinieritas”. c) Uji Heteroskedastisitas Dari pengolahan data melalui program eviews 6.0, kita bisa mengetahui bahwa nilai probabilitas Obs* R- squared sebesar 0,6720. Karena nilai probabilitas Obs* R- squared sebesar 0,6720 > 0,5 maka tidak ada heteroskedastisitas. d) Uji Autokorelasi Dari hasil pengolahan melalui program eviews 6.0, dapat kita lihat bahwa nilai Durbin – Watson test sebesar 1,880266. Hal ini berarti nilai 1,880266 berada diantara 1,54 < 1,880266 < 2,46 sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam model penelitian ini lolos uji autokorelasi. e) Uji Linieritas Berdasarkan uji linearitas melalui program eviews 6.0, bisa diketahui nilai Probabilitas F sebesar 0,6939. Dengan demikian, probabilitas sebesar 0,6939 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan model penelitian ini lolos uji linearitas. 3. Uji Hipotesis a) Uji t 1) Variabel Jumlah Penduduk Hasil perhitungan melalui program eviews 6.0 untuk variabel jumlah penduduk (JP) diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,0048. Dengan demikian Ha diterima, karena nilai probabilitas lebih kurang dari α 0,05 (0,0048 < 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. 2) Variabel Jumlah Industri Hasil perhitungan melalui program eviews 6.0 untuk variabel jumlah industri (JI) diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,6592. Dengan demikian Ha ditolak, karena nilai
15
probabilitas < α 0,05 (0,6592 > 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel jumlah industri tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. 3) Variabel Nilai Tukar Petani Hasil perhitungan melalui program eviews 6.0 untuk variabel nilai tukar petani (NTP) diperoleh nilai probabilitas (signifikansi) = 0,1155. Dengan demikian Ha ditolak, Ho diterima karena nilai probabilitas (signifikansi) lebih besar dari α 0,05 (0,1155 > 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa variabel nilai tukar petani tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. b) Uji F Dari hasil pengolahan data melalui program eviews 6.0 tersebut diperoleh nilai probabilitas untuk Fstatistik adalah sebesar 6,110909. Dengan demikian Ha ditolak, Ho diterima karena nilai probabilitas (signifikansi) lebih besar dari α 0,05 (6,110909 > 0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama jumlah penduduk, jumlah industri, dan nilai tukar petani tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. 4. Koefisien Determinasi Berdasarkan hasil pengolahan data melalui program eviews 6.0 nilai koefisien determinasi bisa dilihat dari nilai RSquared. Hasil perhitungan eviews tersebut diketahui nilai R square sebesar 0,696196. Hal ini berarti 69,61% konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh variabel jumlah penduduk, jumlah industri, dan nilai tukar petani, sedangkan sisanya sebesar 30,39% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
PEMBAHASAN Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Sidoarjo Hasil estimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square) menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Pengaruh yang signifikan ini bisa dilihat dari nilai probabilitas untuk variabel jumlah penduduk adalah sebesar 0,0001 < α (0.05). Pada hipotesisis sebelumnya dikemukakan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Hal ini tidak sesuai dengan hasil analisis data diatas karena dalam hasil tersebut mempunyai tanda negatif (-) yang berarti hubungan antara jumlah penduduk dan konversi lahan pertanian adalah berbanding terbalik yaitu ketika jumlah penduduk mengalami penurunan maka konversi lahan pertanian akan meningkat. Hipotesis awal yang dikemukan peneliti sebelumnya mengacu pada teori kependudukan Thomas Robert Malthus yang menyatakan bahwa jumlah populasi di suatu negara akan semakin meningkat menurut deret ukur atau tingkat geometrik. Sementara itu, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin berkurang (Diminishing return) dari suatu faktor produksi yang demakin berkurang dari suatu faktor produksi yang semakin berkurang darinsuatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik. Bahkan karena lahan yang dimiliki setiap anggota masyarakat semakin lama semakin sempit, maka kontribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun (Todaro:2006). Dari pernyataan Malthus tersebut dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan yang lenih cepat dari ketersediaan bahan pangan, dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan pertanian yang digunakan untuk pemukiman. Berdasarkan hasil penelitian, variabel jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif terhadap variabel luas konversi
16
lahan pertanian. hal ini disebabkan karena tujuan manusia mengkonversi lahan pertanian untuk membuat bangunan semakin bervariasi. Misalnya saja untuk bangunan rumah, satu orang penduduk dapat memiliki lebih dari satu bangunan rumah. Selain untuk dijadikan sebagai tempat tinggal pribadi, bangunan-bangunan tersebut juga dijadikan sebagai usaha untuk memperoleh pendapatan dengan melakukan usaha sewa atau kontrakan rumah (Ilham,dkk:2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) tentang perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekoominya. Dari penelitian tersebut menyebutkan secara mikro, berkembangnya pemukiman mempengaruhi konversi lahan sawah, namun secara makro pengembangan pemukiman yang diproduksi dengan peningkatan jumlah penduduk tidak menunjukkan hubungan yang positif. Hal ini menindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi sebagai investasi. Pengaruh Jumlah Industri Terhadap Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Sidoarjo Hasil estimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square) menunjukkan bahwa variabel jumlah industri mempunyai hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Pengaruh yang tidak signifikan ini bisa dilihat dari besarnya nilai probabilitas untuk variabel jumlah industri adalah sebesar 0,7077 > α (0.05). Pengaruh yang tidak signifikan ini tidak sesuai pada hipotesis diawal penelitian yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan antara variabel jumlah industri terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidarjo. Hipotesis awal yang dikemukan peneliti sebelumnya mengacu pada Todaro (2006) yang menyebutkan penyebab utama dari semakin memburuknya kinerja pertanian dinegara berkembang adalah terabaikanya sektor yang sangat penting dalam perumusan prioritas pembangunan oleh pemerintahan negara-negar berkembang itu sendiri. Tarabaikannya sektor pertanian tersebut
diperparah lagi dengan gagalnya pelaksanaan investasi dalam perekonomian industri perkotaan, yang terutama disebabkan oleh kesalahan dalam memilih strategi industrialisasi subtitusi impor. Hal ini identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor-sektor industri yang dinobatkan sebagai sektor unggulan dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Strategi pembangunan ekonomi yang menitik beratkan pada pengembangan sektor industri akan mengakibatkan bias kebijakan industrialisasi dan ekonomi makro yang jelas tidak dapat dipisahkan dari derajat pemahaman ekonomi para pemimpin negara dan mind-set dari pemimpin nasional. Kebijakan industrialisasi, meskipun harus melakukan proteksi industri, jelas amat diskriminatif terhadap sektor pertanian yang pada akhirnya berkembangnya sektor industri akan menyebankan meluasnya konversi lahan pertanian. Semakin besarnya konversi lahan pertanian akibat perluasan usaha industri juga akan mengakibatkan ketidak-adilan agraria yang pada dasarnya menguntungkan pemodal (khususnya), pemerintah (program berjalan lancar) dalam derajat yang tinggi di satu sisi. Disisi lain menguntungkan warga yang sama sekali tidak bekerja karena mendapat pekerjaan di sektor informal karena adanya perusahaan PT. Selanjutnya, proses konversi sangat merugikan pihak masyarakat karena pasca konversi masyarakat akan termarginalkan (khususnya petani dan buruh tani). Mereka akan kehilangan lapangan pekerjaan mereka yang berupa tanah grapan sekaligus kehilangan sumber penghasilannya. Dari hasil penelitian yang tidak signifikan, mengidikasikan bahwa sebagian kecil industri yang ada diKabupaten Sidoarjo yang lokasi pembangunannya dibangun pada areal lahan sawah. Dan sebagian besar pembangunan industri yang ada di Kabupaten Sidoarjo
17
menggunakan lahan non sawah. Dimana pada lahan non sawah mempunyai keuntungan akses yang lebih memadai dan lebih menunjang kelancaran proses industri. Pengaruh Nilai Tukar Petani Terhadap Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Sidoarjo Hasil estimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square) menunjukkan bahwa variabel nilai tukar petani mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Pengaruh yang signifikan ini bisa dilihat dari nilai probabilitas untuk variabel nilai tukar petani adalah sebesar 0,0099 < α (0.05). Pengaruh yang tidak signifikan ini, tidak sesuai dengan hipotesis di awal penelitian yang menyatakan bahwa variabel nilai tukar petani mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Hipotesis awal yang dikemukakan peneliti sebelumnya mengacu pada Ashari (2003) yang menyebutkan nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak ada insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya. Konversi lahan pertanian sebenarnya cermin belaka dari ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan kebijakan perencanaan dan tata ruang. Kebujakan pangan murah (Cheap food policy) selama ini menggunakan instrumen operasi pasar (dan operasi pasar khusus-OPK sejak krisis ekonomi). Argumen utamanya adalah bahwa berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1999, sebagian besar (76 persen) rumah tangga adalah konsumen beras (net consumer) dan hanya 24 persen sisanya produsen beras (net producer). Di daerah perkotaan, konsumen beras adalah 96 persen atau hanya 4 persen saja yang merupakan produksi beras. Di daerah pedesaan, konsumen beras sekitar 60 prsen atau hanya 40 persen penduduk desa yang merupakan produksi beras (Arifin:2004). Implikasinya adalah setiap kenaikan 10 persen harga beras akan menurunkan daya beli masyarakat perkotaan sebesar 8,6 persen dan masyarakat pedesaan
sebesar 1,7 persen atau dapat menciptakan dua juta orang miskin baru (Ihsan dalan Arifin:2004). Karena beras merupakan makanan pokok, membagi-bgikan beras murah terus menerus kepada kelompok net consumer bukan cara yang bijak untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan karena hal ini akan berdampak kerugian bagi net producer. Harga beras yang rendah menyebabkan indeks harga yang diterima petani semakin menurun, hal ini dapat berdampak pada menurunnya nilai tukar petani jika kebutuhankebutuhan yang dikeluarkan petani (Indeks harga yang di bayar petani) mempunyai nilai yang tetap atau meningkat. Faktor utama penyebab lemahnya nilai tukar petani dari sisi Ib (indeks harga yang dibayar petani) adalah harga pupuk, yang bagi banyak petani padi terlalu mahal. Hal ini tidak disebabkan oleh volume produksi atau suplai pupuk di dalam negeri yang terbatas, tetapi oleh adanya distorsi di dalam sistem pendistribusiannya. Harga pupuk yang mahal bisa juga merupakan salah satu instrumrn pemerintah untuk mengaihkan surplus disektor pertanian ke sektor industri (Colman, dalam Tambunan:2003). Menurunnya nilai tukar petani juga disebabkan oleh bencana kekeringan (puso) dan bencana banjir yang pada akhirnya mengakibatkan gagal panen. Tradisi kekeringan dan banjir yang sering menimpa Indonesia tidak hanya harus dilihat sebagai fenomena alam saja, tetapi juga perlu diperlakukan sebagai suatu akumulasi kelalaian komitmen untuk memberikan early warning system (sistem peringatan dini) dengan langkah antisipasi yang lebih bermutu. Pengaruh Jumlah Penduduk, Jumlah Industri dan Nilai Tukar Petani Terhadap Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Hasil estimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square) menunjukkan bahwa jumlah penduduk, jumlah industri dan nilai tukar petani secara bersama – sama (simultan) tidak berpengaruh signifikan terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo. Pengaruh yang tidak signifikan ini bisa diketahui dari nilai
18
probablitas F statistic yaitu sebesar 6.293919 > α (0,05). Sedangkan nilai R square sebesar 0.702400. Hal ini berarti 70,24% konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh variabel jumlah penduduk, jumlah industri dan nilai tukar petani. Sedangkan sisanya sebesar 29,76% dipengaruhi oleh variabel lain, dimana dalam persamaan regresi berganda konversi lahan pertanian tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penduduk (X1), jumlah industri (X2) dan nilai tukar petani (X3), tetapi terdapat variable lain (ei) yang juga mempengaruhi konversi lahan pertanian. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Dalam kurun waktu antara tahun 1998 hingga tahun 2010 lahan sawah di Kabupaten Sidoarjo selalu mengalami penurunan luas lahan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2007 luas lahan sawah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan terjaadi penurunan total luas lahan sawah di Kabupaten Sidoarjo dalam kurun waktu antara tahun 1998 hingga 2010 sebesar 16,32% atau sekitar 4.358 Ha, yaitu dari 26.700 Ha pada tahun 1998 menjadi 22.342 Ha pada tahun 2010. Berdasarkan hasil pembahasan atas pengujian hipotesis mengenai pengaruh jumlah penduduk terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa secara parsial jumlah penduduk berpengaruh signifikan dan negatif terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo yang berarti adanya kenaikan jumlah penduduk akan menurunkan konversi lahan pertanian.
Berdasarkan hasil pembahasan atas pengujian hipotesis mengenai pengaruh jumlah industri terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa secara parsial jumlah industri berpengaruh tidak signifikan dan positif terhadap konversi lahan pertanian di
Kabupaten Sidoarjo yang berarti jika variabel jumlah industri meningkat, maka konversi lahan pertanian juga akan mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil pembahasan atas pengujian hipotesis mengenai pengaruh nilai tukar petani terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo dapat disimpulkan bahwa secara parsial nilai tukar petani tidak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap konversi lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo yang berarti adanya kenaikan nilai tukar petani akan menurunkan konversi lahan pertanian. Saran Berdasarkan pembahasan dan hasil kesimpulan penelitian, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
Diharapkan kepada pemerintah untuk melakukan pembangunan kembali infrastruktur pertanian yang telah rusak, seperti sarana irigasi agar kegiatan bertani agar kegiatan bertani dapat berjalan dengan lancar dan optimal sehingga kesejahteraan yang diterima petani semakin meningkat. Dan juga diharapkan kepada pemerintah untuk melaksanakan undang-undang agraria yang telah ada, agar dapat meningkatkan kinerja pertanian dengan melakukan penegakan hukum yang tegas dalam menindak lanjuti pihak-pihak yang menggunakan lahan pertanian sebagai daerah pembangunan. Adapun kepada pihak-pihak yang melakukan pembangunan baik dalam bidang industri ataupun kegiatan ekonomi lainnya untuk tidak menggunakan lahan pertanian sebagai daerah pembangunan, karena dampak dari konversi yang bersifat permanen dan merugikan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Arifin
Bustanul, 2005. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
19
Ashari, 2003. Fenomena Konversi Lahan Di Pulau Jawa. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(6), (Online),(http://pustaka.litbang.depta
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/h andle/.../2007msi_abstract.pdf?...1, diakses 4 Februari 2012).
n.go.id/publikasi/wr252032.pdf, diakses 4 Februari 2012) BPS. Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka 19982011. Ilham, dkk. 2003. Perkembangan dan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawa Serta Dmpak Ekonominya. IPB Press, (Online),(
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%2 811%29%20soca-nyak% 20ilham %20dkk konversi% 20lahan% 281% 29.pdf, diakses 4 Februari 2012). Irawan,
Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, (Online), Vol 23 No.1-18, (http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/p
dffiles/FAE23-1a.pdf, Februari 2012).
diakses
[Tesis]. Sekolah Pascasarjana.Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 1. Bogor: Institut Pertanian,(Online), (
4
Nuryanti Tri. 2011. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Kesejahteraan Petani Di Pedesaan. Potre Hidup Anak Jalanan, (Online),(
http://kolokiumkpmipb.wordpress.co m/2009/04/22/dampak-konversilahan-pertanian-bagi-taraf-hiduppetani/, diakses 4 Februari 2012).
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta Sunito S, Heru Purwandari dan Dyah Ita Mardiyaningsi.2005. Penanganan konversi lahan dan pencapaian lahan pertanian abadi. Prosiding Seminar.166 hal. Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik: Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah. Edisi Pertama, Yogyakarta: C.V Andi Offset. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia. Todaro, Michael P dan Stephen C.Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga. Widjanarko S, dkk. 2006. Aspek Pertanahan Dalam Fungsi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN: Jakarta.
Sihaloho M. 2007. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria.
20