ANALISIS EKONOMI EKSTERNALITAS KEGIATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI DI LAUT TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN TANGKAP
NI KADEK SRI PUSPARINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekonomi Eksternalitas Kegiatan Produksi Minyak dan Gas Bumi di Laut terhadap Kegiatan Perikanan Tangkap adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2012
Ni Kadek Sri Pusparini NIM H351090101
ABSTRACT NI KADEK SRI PUSPARINI. Economic Analysis of Offshore Oil and Gas Production Activities Externality on Marine Capture Activities. Under direction of AKHMAD FAUZI and SAHAT MH SIMANJUNTAK. The offshore oil and gas exploitation activities have significant contribution in fulfilling the world’s oil and gas needs. However, the activities have to face several interest-conflicts with other parties such as marine capture activities that exploited different types of resources on the same location. This study shows that there is negative externality from the fishers’s perception towards the enforcement of safety zone which is located on the radius of 500 meters from the oil and gas production platform. The field study endorsed their assumption that the safety zone has limited their fishing grounds, therefore reducing their income per trip. The result shows that fishing ground’s productivity near the offshore oil and gas production platform area is lower than the productivity in non offshore oil and gas production platform area. On the contrary, the bio-economic analysis shows that the fishing ground productivity near the offshore oil and gas production platform area is higher compared to the productivity in non offshore oil and gas production platform area. The conclusion from both results is that the enforcement of safety zone in offshore oil and gas production platform area affects the marine capture’s productivity in the short run. Meanwhile the safety zone can increase and maintain the productivity in the long run because the production platform is functioning as temporary marine protected area for fish and other creatures in the sea. The findings are also utilized as input factors in designing the alternatives of environmental management model that is beneficial for both activities. Keywords; oil & gas production platform, safety zone, fishing ground, externality.
RINGKASAN
NI KADEK SRI PUSPARINI. Analisis Ekonomi Eksternalitas Kegiatan Produksi Minyak dan Gas Bumi di Laut terhadap Kegiatan Perikanan Tangkap. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan SAHAT MH SIMANJUNTAK. Permintaan minyak dan gas bumi (migas) mengalami peningkatan sejalan dengan semakin kompleksnya kebutuhan teknologi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya permintaan migas tersebut tidak diimbangi oleh jumlah produksi yang dihasilkan. Produksi minyak bumi dan kondensat pada tahun 2010 mencapai 346,38 ribu barrel dengan produksi harian sebesar 944,9 ribu bph (barrel per hari), mengalami penurunan sebesar 3.900 bph dibandingkan produksi minyak bumi dan kondensat tahun 2009 sebesar 948,8 ribu bph (beaindonesia.org, 2011). Mengingat peran energi migas, khususnya di Indonesia sampai saat ini masih menjadi energi andalan utama menyebabkan dibutuhkannya upaya ekstra untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Upaya pemenuhan kebutuhan migas dilakukan salah satunya melalui peningkatan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi ladang migas potensial. Dalam pelaksanaannya, kegiatan migas di laut dihadapkan pada persoalan lingkungan yang cukup kompleks yang dapat mempengaruhi efisiensi kegiatan. Konflik pemanfaatan sumber daya yang berbeda di kawasan dan saat yang sama merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi oleh kegiatan di laut. Konflik yang terjadi umumnya bersifat satu arah, yaitu tuntutan terhadap tanggung jawab dan kompensasi yang seharusnya dibayarkan oleh pihak pelaksana kegiatan migas di laut atas kerugian yang dialami oleh nelayan. Konflik sosial di kawasan kegiatan migas akan dapat berpengaruh pada efektivitas dan keberhasilan kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan upaya pengelolaan kegiatan sangat diperlukan, dan kebijakan yang bersifat win-win solution akan dapat disusun dan diimplementasikan, apabila pola interaksi dan eksternalitas dari masing-masing kegiatan dapat diketahui secara pasti. Pada penelitian ini, bagian dari kegiatan migas di laut yang dikaji adalah keberadaan anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan pemberlakuan zona aman kegiatan (area larangan radius 500 meter dan zona terbatas radius 750 meter). Beberapa asumsi nelayan yang selama ini muncul terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di laut yaitu berkurangnya daerah penangkapan ikan dan adanya unsur pemicu di anjungan yang menyebabkan ikan lebih tertarik berkumpul di sekitar anjungan sementara nelayan tidak dapat mengakses area anjungan tersebut. Akumulasi keresahan yang dipicu oleh tidak adanya mata pencaharian alternatif dapat meningkatkan sensitivitas nelayan yang berpotensi menimbulkan konflik atas pemanfaatan sumberdaya alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban dan solusi dari permasalahan yang diangkat, yaitu; 1) menganalisis persepsi nelayan terhadap kegiatan migas di laut yang juga merupakan area penangkapan ikan; 2) menganalisis bentuk eksternalitas yang ditimbulkan dari kegiatan produksi migas di laut terhadap penangkapan ikan; 3) menyusun alternatif strategi pengelolaan kegiatan dan lingkungan yang dapat diimplementasikan agar kegiatan migas dan penangkapan ikan dapat berjalan dengan manfaat yang optimal.
Penelitian ini dilaksanakan di Pesisir Kabupaten Karawang dan Pesisir Kabupaten Cirebon. Pesisir Karawang merupakan lokasi objek permasalahan yang diteliti yang selanjutnya disebut sebagai area migas dan Pesisir Cirebon menjadi titik kontrol yang selanjutnya disebut sebagai area non migas. Penelitian ini berlangsung selama 5 bulan, yang dilaksanakan pada Bulan Mei-September 2011. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer untuk parameter persepsi dan produktivitas per trip, dan data sekunder untuk parameter produksi per tahun dan indeks harga konsumen (IHK) kabupaten. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuisioner, wawancara, inventarisir data sekunder, dan penangkapan aktual (by catch). Data yang sudah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif, analisis produktivitas, dan analisis bioekonomi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat persepsi negatif nelayan payang dan pancing terkait dengan pemberlakuan zona aman kegiatan (larangan radius 500 meter) serta adanya pengaruh dari efek pencahayaan di anjungan terhadap daya tarik ikan. Nelayan berasumsi bahwa kedua hal ini berpengaruh pada pendapatan nelayan payang dan pancing per trip. Pemberlakuan zona larangan diyakini menyebabkan pengurangan daerah penangkapan ikan, dan adanya efek pencahayaan seolah menjadi daya saing dari cahaya lampu payang yang digunakan oleh nelayan. Persepsi negatif yang muncul sangat dipengaruhi oleh intensitas kegiatan penangkapan ikan di lokasi kegiatan eksplorasi migas. Semakin tinggi intensitas kebutuhan nelayan terhadap area perairan yang dijadikan lokasi kegiatan migas, maka semakin tinggi perubahan persepsi nelayan. Selain persepsi negatif, penelitian ini juga menghasilkan gambaran bentuk eksternalitas yang terjadi akibat keberadaan kegiatan migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap. Terdapat 2 bentuk eksternalitas kegiatan yang secara sekaligus mempengaruhi kegiatan perikanan tangkap. Eksternalitas negatif terjadi pada produktivitas nelayan payang lampu per trip, yang ditunjukkan oleh nilai hasil tangkapan mencapai 33% kg atau senilai 50% rupiah lebih rendah di area migas dibandingkan dengan area non migas. Bentuk eksternalitas positif terjadi pada pengaruh kegiatan terhadap kondisi bioekonomi penangkapan ikan dengan alat payang lampu, yang menunjukkan kondisi bioekonomi di area migas lebih baik dibandingkan dengan area non migas. Eksternalitas positif tersebut terjadi pada tingkat pertumbuhan sumber daya ikan yang lebih tinggi sebesar 0,5% di area migas dibandingkan dengan area non migas. Kondisi ini dikuatkan oleh hasil analisis produktivitas tahunan, yang menunjukkan produktivitas di area migas lebih tinggi dibandingkan dengan area non migas. Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa kondisi perikanan tangkap dengan alat payang di area migas maupun area non migas sudah berada dalam kondisi over fishing. Hasil penghitungan produktivitas dan hasil analisis bioekonomi dapat menjelaskan kondisi yang terjadi untuk jangka pendek dan jangka panjang. Dari paduan kedua hasil analisis tersebut, diperoleh bentuk eksternalitas keberadaan kegiatan produksi migas di laut terhadap produksi tangkapan ikan dalam jangka pendek dan panjang. Dengan mengetahui bentuk eksternalitas tersebut maka dapat disusun alternatif strategi pengelolaan kegiatan yang dapat diimpelementasikan oleh pelaksana kegiatan migas di laut agar kegiatan migas dapat dilaksanakan tanpa mengabaikan manfaat kawasan sebagai area penangkapan ikan yang dituju oleh nelayan lokal.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilinidungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk ap pun tanpa izin IPB
ANALISIS EKONOMI EKSTERNALITAS KEGIATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI DI LAUT TERHADAP KEGIATAN PERIKANAN TANGKAP
NI KADEK SRI PUSPARINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei 2011 ini ialah eksternalitas, dengan judul Analisis Ekonomi Eksternalitas Kegiatan Produksi Minyak dan Gas Bumi di Laut terhadap Kegiatan Perikanan Tangkap. Penelitian sebagai wujud pemenuhan salah satu syarat penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab keresahan dan rasa khawatir nelayan terhadap kegiatan migas yang berlangsung di perairan yang juga merupakan fishing ground utama yang dituju oleh nelayan lokal. Selain itu, penelitian ini juga diperlukan untuk menemukan usulan alternatif strategi pengelolaan kegiatan migas di laut agar dapat berjalan sinergis dengan kegiatan lain di sekitarnya. Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu Analisis Ekonomi Eksternalitas Kegiatan Produksi Minyak dan Gas Bumi di Laut terhadap Kegiatan Perikanan Tangkap, maka aspek pengkajian secara spesifik dilakukan terkait dengan bentuk eksternalitas yang ditimbulkan oleh keberadaan kegiatan migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap. Pembatasan kajian dilakukan pada keberadaan anjungan produksi migas di laut selama masa produksi/tahap operasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi jawaban atas pertanyaan, kekhawatiran, dan asumsi-asumsi nelayan tentang dampak keberadaan kegiatan migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan strategi pengelolaan kegiatan migas di laut agar tidak merugikan nelayan. Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini, dan semoga tesis ini dapat memberi manfaat, terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Maret 2012
Ni Kadek Sri Pusparini
UCAPAN TERIMA KASIH
Tesis ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik, berkat bimbingan, arahan, serta masukan dari komisi pembimbing, komisi penguji, serta bantuan dan dukungan dari pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih setulusnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan yang telah banyak memberikan arahan dan ilmu yang sangat berguna untuk penulis, serta bimbingan penuh dalam penyusunan tesis ini.
2.
Bapak Ir. Sahat MH Simanjuntak, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, arahan, ilmu, dan petuah yang sangat bermanfaat untuk kehidupan penulis saat ini dan masa mendatang, serta dukungan penuh dalam penyusunan tesis ini.
3.
Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT., selaku penguji sekaligus Ketua Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan yang telah berkenan memberikan izin kepada penulis untuk menimba ilmu di Departemen ESL dan sekaligus telah memberikan saran untuk perbaikan tesis ini.
4.
Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail MAgr., selaku komisi penguji sekaligus Sekretaris Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini.
5.
Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S., selaku dosen pengajar di Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, yang selalu menyemangati penulis untuk tetap berkarya.
6.
Bapak Dr. Ir. Suharno, MAdev., yang selama ini selalu mengarahkan, memberi saran, dan memotivasi penulis untuk senantiasa belajar dan berkarya.
7.
Bapak Ir. Moch. Prihatna Sobari, MSi., atas dukungan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh studi di program magister IPB Bogor.
8.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada program magister Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
9.
Para Dosen Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan yang telah memberikan ilmu-ilmu tentang ekonomi sumber daya dan lingkungan selama masa studi penulis di Departemen ESL.
10.
Pimpinan dan staff Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan atas kerjasama yang dijalin serta dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama masa studi penulis di Departemen ESL.
1.
2.
3.
4. 5.
6.
7. 8. 9. 10. 11. 11.
12.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-setingginya kepada: Bapak Imam Soeseno selaku Direktur dari PT EOS Consultans-INRR atas kepercayaan, kesempatan, dukungan beasiswa dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk kegiatan studi ini. Ibu Nunik Afianti Heranita selaku General Manager dari PT EOS Consultans-INRR atas kepercayaan dan dukungan penuh yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan baik. Tim lapangan; Rizky Novan Ngutra, Bapak Tri Sutrisno, Bapak Syarif, Bapak Talkim, Bapak Ohan, Bapak Suata dan crew, Bapak Warsila dan crew, Bapak Mpek dan crew, Bapak Bembeng, Nyoman Wagendre, dan Wayan Sriyasa yang telah banyak mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan. Keluarga besar PT EOS Consultants-INRR atas kerja sama dan dukungan yang diberikan sehingga studi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Pimpinan dan staff Dinas Perikanan, Kelautan, dan Peternakan Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat atas dukungan data dan informasi yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Pimpinan dan staff Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat atas dukungan data dan informasi yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Pimpinan dan staff Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cirebon atas dukungan data dan informasi yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Pimpinan dan staff Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat atas dukungan data yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Pimpinan dan staff Dinas Kelautan dan Perikanan Pusat, Jakarta atas dukungan data yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Pimpinan dan staff Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat atas dukungan data yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Rekan-rekan di Lab TRI FPIK IPB atas dukungan peralatan yang diberikan kepada penulis. Teman-teman ESL 2008-2011, ESK 2009-2011, PWD (S2 & S3) 20082009, Benny Osta Nababan, Ibu Magdalena, Evita, Donny, Yuni, Eris Setiawan, Risnandar, Yessi, Disti, Mardha, Nila, Irfan, Eva Anggraini, Sukma, Linda, Kiki, Komang Sutinut, dan Nyoman Arthadana atas kebersamaan dan semangat yang diberikan selama studi ini. Agus Copy Center atas jasa percetakan yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih terdalam dan setulusnya penulis sampaikan kepada:
1.
2.
Keluarga penulis: Bapak I Wayan Tambrig (ayah), Ibu Ni Nengah Riki (Ibu), I Wayan Sriyasa (kakak), I Komang Ariastawa (adik), dan nenek tercinta atas segala doa, kasih sayang, dukungan, semangat, perlindungan, dan nasihat yang diberikan untuk penulis sepanjang masa. I Nyoman Wagendre dan keluarga atas segala kesabaran, pengertian, dukungan, doa, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis, terutama selama studi ini berlangsung.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klungkung-Bali pada tanggal 14 Maret 1983 sebagai anak kedua dari pasangan I Wayan Tambrig dan Ni Nengah Riki. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan program magister pada program studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari PT EOS Consultans-INRR tempat penulis bekerja. Penulis bekerja sebagai staff pada divisi manajemen lingkungan sejak tahun 2006 yang bertempat di Bogor. Bidang kajian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah kajian sosial ekonomi sumberdaya pesisir. Kajian-kajian yang sudah sering dilakukan adalah kajian terkait dengan analisis dampak sosial dan ekonomi dari kegiatan industri minyak dan gas bumi di laut terhadap kegiatan masyarakat pesisir di sekitar lokasi kegiatan.
xxi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL............................................................................................
xxv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxvii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xxix I.
II.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian .........................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian..............................................................
7
1.6. Hipotesis Penelitian........................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1. Eksternalitas Pemanfaatan Kawasan..............................................
9 9
2.2. Sumber Daya Pesisir dan Laut: Sumber Daya Ikan dan Mineral...
13
2.2.1. Sumber Daya Ikan..............................................................
14
2.2.1.1. Karakteristik dan Bentuk Eksternalitas Sumber Daya Ikan ............................................................
14
2.2.1.2. Konsep Bioekonomi Perikanan...........................
15
2.2.1.3. Kawasan Perairan sebagai Area Penangkapan Ikan......................................................................
23
2.2.2. Sumber Daya Migas...........................................................
24
2.2.2.1. Kegiatan Produksi Migas di Laut........................
24
2.3. Respon Ikan terhadap Anjungan Produksi Migas di Laut .............
30
2.4. Respon Ikan terhadap Cahaya........................................................
34
2.5. Analogi Efek Kawasan Konservasi Laut di Area Anjungan Migas
35
III. METODE PENELITIAN........................................................................
36
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................
36
3.2. Metode Pengumpulan Data ............................................................
37
3.2.1. Wawancara.........................................................................
39
3.2.2. Pengisian Kuisioner ...........................................................
40
3.2.3. Penangkapan Aktual (Ground Truth Observation)............
40
xxii
Halaman 3.3. Metode Analisis Data .....................................................................
42
3.3.1. Analisis Deskriptif Kualitatif .............................................
43
3.3.2. Analisis Produktivitas.........................................................
43
3.3.3. Standardisasi CPUE Alat Tangkap Ikan.............................
45
3.3.4. Analisis Bioekonomi ..........................................................
46
3.4. Kerangka Pemikiran Studi...............................................................
49
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................
51
4.1. Kondisi Umum ...............................................................................
51
4.1.1. Wilayah dan Kependudukan...............................................
51
4.1.2. Pendidikan ..........................................................................
52
4.1.3. Kesehatan ...........................................................................
53
4.2. Kondisi Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan ...................................
53
4.2.1. Hidrooseanografi ................................................................
53
4.2.2. Kualitas Air Laut ................................................................
54
4.2.3. Biota Perairan .....................................................................
55
4.3. Kondisi Ekonomi Sumber Daya Pesisir dan Laut ..........................
60
4.3.1. Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan .........................
61
4.3.1.1. Nelayan................................................................
61
4.3.1.2. Daerah Penangkapan Ikan ...................................
62
4.3.1.3. Armada Penangkapan Ikan..................................
63
4.3.1.4. Alat Penangkapan Ikan........................................
65
4.3.1.5. Produksi Penangkapan Ikan ................................
74
4.3.1.6. Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan ....................
79
Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Migas ......................
80
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
83
5.1. Persepsi Nelayan terhadap Keberadaan Kegiatan MIGAS di Laut
83
5.1.1. Persepsi Umum...................................................................
83
5.1.1.1. Persepsi tentang Perkembangan Kegiatan Penangkapan Ikan................................................
83
5.1.1.2. Persepsi tentang Konflik dan Potensi Konflik Nelayan................................................................
87
4.3.2. V.
xxiii
Halaman 5.1.2. Persepsi terhadap Kegiatan Migas di Laut.........................
88
5.1.2.1. Persepsi tentang Keberadaan Anjungan Produksi Migas di Laut ......................................................
89
5.1.2.2. Persepsi tentang Pemberlakuan Zona Larangan Radius 500 m ......................................................
91
5.1.2.3. Persepsi tentang Keselamatan dan Kecelakaan Nelayan ...............................................................
93
5.1.2.4. Persepsi tentang Kontribusi Perusahaan terhadap Nelayan.................................................
94
5.2. Bentuk Eskternalitas Keberadaan Anjungan Produksi Migas di Laut terhadap Kegiatan Perikanan Tangkap .............................
99
5.2.1. Kegiatan Penangkapan Ikan dengan Payang (Purse Seine) 100 5.2.1.1. Unit Payang.........................................................
100
5.2.1.2. Waktu Pengoperasian Payang .............................
101
5.2.1.3. Daerah Penangkapan Ikan...................................
102
5.2.1.4. Pengoperasian Payang.........................................
102
5.2.1.5. Jenis Ikan Hasil Tangkapan Payang....................
104
5.2.1.6. Produktivitas per Trip di Titik Pengambilan Contoh .................................................................
106
5.2.1.7. Analisis Bioekonomi Sumber Daya Ikan dari Alat Payang..................................................
110
5.3. Alternatif Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Kegiatan Migas di Daerah Penangkapan Ikan .....................
119
5.3.1. Pengelolaan terhadap Persepsi Nelayan.............................
120
5.3.2. Pengelolaan terhadap Eksternalitas Negatif terkait dengan Produktivitas per trip .............................................
122
5.3.3. Pengelolaan terhadap Eskternalitas Positif terkait dengan Pertumbuhan SDI ..................................................
124
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
127
5.1.Simpulan ...........................................................................................
127
5.2.Saran..................................................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
131
LAMPIRAN.....................................................................................................
137
V.
xxv
DAFTAR TABEL
No.
Judul
Halaman
1.
Tempat pelaksanaan penelitian tesis .......................................................
37
2.
Hasil pengamatan terumbu karang di utara Pantai Karawang ................
56
3.
Jenis ikan yang terdapat di Karawang dan Cirebon ................................
57
4.
Jenis alat penangkapan ikan, pengoperasian, dan lokasi kepemilikan....
69
5.
Daftar jenis ikan/non ikan yang kerap menjadi hasil tangkapan nelayan di Pesisir Karawang dan Cirebon ..............................................
77
6.
Hasil penelitian untuk parameter persepsi nelayan.................................
96
7.
Pembagian tugas dalam armada payang lampu di area miags (Ciparage Jaya, Karawang) .....................................................................
8.
Jenis hasil tangkapan yang diperoleh di area migas, area non migas, dan area anjungan produksi migas di laut ...............................................
9.
100
104
Perbandingan produktivitas alat payang di titik area migas, area non migas, dan area anjungan .........................................................
106
10.
Tingkat perbedaan produktivitas di titik contoh .....................................
107
11.
Komposisi biaya operasional per trip unit payang di area migas, area non migas, dan area anjungan produksi migas................................
108
12.
Produktivitas nelayan payang per tahun periode 1996-2010 ..................
109
13.
Hasil pendugaan parameter biologi sumber daya ikan target alat tangkap payang di area migas dan area non migas ..........................
14.
Hasil pendugaan parameter ekonomi alat payang di area migas dan non migas .........................................................................................
15.
112
Hasil pendugaan stok dan jumlah tangkapan alat payang di area migas dan area non migas ...........................................................
16.
111
113
Hasil pendugaan effort dan rente ekonomi kegiatan penangkapan ikan dengan alat payang di area migas dan area non migas...........................
116
xxvii
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
1.
Realisasi sumur eksplorasi dan produksi ................................................
2
2.
Tipologi eksternalitas ..............................................................................
10
3.
Pengaruh penangkapan terhadap stok. ....................................................
20
4.
Kondisi maximum economic yield dan open access dalam pemanfaatan sumber daya ikan. ...................................................
22
5.
Ilustrasi steel leg platform.......................................................................
25
6.
Ilustrasi concrete gravity production platform .......................................
26
7.
Ilustrasi tension leg production platform ................................................
26
8.
Light weight production platform ...........................................................
27
9.
Jack Up ...................................................................................................
28
10.
Semi-submersible production platform (SSPP) ......................................
28
11.
Semi-submersible production unit (SSPU) .............................................
28
12.
Floating production unit (FPU) ..............................................................
28
13. Ilustrasi keberadaan anjungan berdasarkan jenis ....................................
28
14.
Ilustrasi kegiatan flaring di anjungan......................................................
29
15.
Bocaccio dewasa (Sebastes paucispinis) ................................................
31
16. Cowcod (S. levis) di bawah Anjungan Gail, Eastern Santa Barbara Channel......................................................................................
31
17.
Kondisi ekosistem di area anjungan produksi migas di laut ...................
33
18.
Perkembangan jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) pada tahun 1996-2010 di Kabupaten Karawang dan Cirebon ................
61
Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Karawang tahun 1996-2010. ...................................................................
63
Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon tahun 1996-2010........................................................................
64
Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan periode 1996-2010 di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cirebon...................................
66
22.
Perkembangan jumlah unit alat tangkap di Kabupaten Karawang .........
67
23.
Perkembangan jumlah unit alat tangkap di Kabupaten Cirebon.............
67
19. 20. 21.
xxviii
No.
Judul
Halaman
24. Perkembangan produksi dan nilai produksi penangkapan ikan di Kabupaten Karawang pada tahun 1996-2010......................................
74
25. Perbandingan antara perkembangan upaya penangkapan dengan jumlah produksi ikan di Kabupaten Karawang pada tahun 1996-2010...............
75
26. Perkembangan produksi dan nilai produksi penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon pada tahun 1996-2010 .........................................
76
27. Perbandingan antara perkembangan upaya penangkapan dengan jumlah produksi ikan di Kabupaten Cirebon pada tahun 1996-2010 ..................
76
28. Ilustrasi anjungan produksi migas di Pesisir Karawang..........................
81
29. Ilustrasi anjungan produksi migas pada malam hari di Pesisir Karawang
82
30. Ilustrasi anjungan dan zona larangan radius 500 m.................................
82
31. Persepsi nelayan tentang kondisi umum kegiatan penangkapan ikan di area migas............................................................................................
84
32. Persepsi tentang kondisi umum kegiatan penangkapan ikan di area non migas.....................................................................................
85
33. Persepsi tentang konflik dan potensi konflik di area migas ....................
87
34. Persepsi tentang konflik dan potensi konflik di area non migas .............
88
35. Persepsi tentang keberadaan anjungan migas di laut...............................
90
36. Persepsi tentang pemberlakuan zona larangan (radius 500 m) di sekitar anjungan produksi migas di laut ..............................................
92
37. Persepsi tentang kecelakaan terkait anjungan migas di laut....................
93
38. Persepsi tentang kontribusi sosial ekonomi perusahaan migas terhadap masyarakat nelayan di sekitarnya .............................................
95
39. Kurva bioekonomi alat payang lampu di area migas dan non migas ...... 114 40. Perbandingan jumlah tangkapan di titik pengambilan contoh................. 117 41. Perbandingan pendapatan di titik pengambilan contoh........................... 118
xxix
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul Lampiran
Halaman
1.
Peta lokasi penelitian ..............................................................................
137
2.
Dokumentasi jenis alat tangkap yang terdapat di lokasi penelitian ........
139
3.
Rekapitulasi data responden....................................................................
141
4.
Dokumentasi armada dan pengambilan contoh tangkapan aktual ..........
149
5
Data hasil tangkapan aktual dan uji komparasi.......................................
155
6.
Hasil olahan data bioekonomi.................................................................
173
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih menjadi sumber energi andalan dan utama. Permintaan terhadap migas menjadi semakin tinggi untuk mengimbangi tingkat kompleksitas penggunaan teknologi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini selanjutnya menuntut peningkatan upaya produksi migas. Bea-indonesia.org (2011) mencatat bahwa jumlah produksi minyak bumi termasuk kondensat pada tahun 2010 mencapai 346,38 ribu barrel dengan produksi harian sebesar 944,9 ribu bph (barrel per hari). Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 3.900 bph dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang mencapai sebesar 948,8 ribu bph. Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh produksi gas bumi pada tahun 2010, yang mencapai 9.336 MMSCFD (Million Metric Standard Cubic Feet per Day). Nilai ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mencapai 8.302 MMSCFD. Kenaikan produksi gas bumi disebabkan oleh mulai berproduksinya beberapa lapangan gas baru dan optimalisasi produk. Sedangkan pada kasus minyak bumi, justru menunjukkan terjadinya penurunan produksi yang disebabkan oleh mundurnya jadwal produksi beberapa KKKS (Kontrak Karya Kerja Sama), penurunan produksi alamiah, dan permasalahan teknis operasional. Permintaan migas yang semakin tinggi menyebabkan dibutuhkannya upaya ekstra dalam peningkatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Upaya pemenuhan kebutuhan migas dilakukan salah satunya melalui peningkatan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi ladang migas potensial. Berdasarkan data yang diperoleh dari bea-indonesia.org (2011) diketahui bahwa potensi sumber daya migas nasional saat ini masih cukup besar yang terakumulasi dalam 60 cekungan sedimen (basin) yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari 60 cekungan tersebut, hanya 38 cekungan yang sudah dieksplorasi, dan 15 cekungan diantaranya telah memproduksi hidrokarbon. Tiga cekungan yang telah memproduksi hidrokarbon tersebut berada di wilayah timur Indonesia, yaitu Basin Salawati dan Bintuni di Papua, dan Basin Bula di Maluku.
2
Kedua belas basin lainnya berlokasi di Indonesia bagian barat, salah satunya adalah Basin Jatibarang di Pantai Utara Jawa Barat. Delapan basin lainnya telah diketahui mengandung hidrokarbon, namun belum diproduksi. Dari data realisasi pemboran (Gambar 1), diketahui bahwa jumlah pemboran sumur eksplorasi maupun penemuan cadangan menunjukkan angka yang stabil, sedangkan jumlah pemboran sumur produksi cenderung mengalami peningkatan.
Gambar 1. Realisasi sumur eksplorasi dan produksi (Biro Riset LM FEUI, 2010).
Data pada Gambar 1 menunjukkan keseriusan upaya pemerintah dan pelaku industri migas untuk meningkatkan produksi migas baik dari pemanfaatan sumur produksi maupun penemuan cadangan baru. Potensi ini secara langsung membuka peluang bagi kegiatan eksplorasi di Indonesia, terutama dari cekungan yang belum pernah dieksplorasi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kini telah dikembangkan di berbagai lokasi mulai dari darat (onshore), perairan dangkal (shallow water), perairan laut (offshore) sampai dengan laut dalam (deepwater). Masing-masing kategori kegiatan eksplorasi tersebut memiliki kendala dan resiko lingkungan yang berbeda. Menurunnya potensi migas di area daratan, menyebabkan kegiatan eksplorasi semakin digiatkan ke arah pesisir sampai dengan laut dalam. Dari 22 cekungan yang belum pernah dieksplorasi tersebut sebagian besar terletak di wilayah laut.
3
Dalam pelaksanaannya, kegiatan migas di laut dihadapkan pada persoalan lingkungan yang cukup kompleks yang dapat mempengaruhi efisiensi kegiatan. Persoalan tersebut diantaranya adalah konflik ketika kegiatan berada di area perbatasan negara, konflik terkait dengan persoalan pencemaran perairan yang dapat berdampak pada kualitas dan kuantitas biota laut (baik yang ekonomis maupun yang dilindungi), dan konflik terkait dengan persoalan pemanfaatan area perairan yang juga dimanfaatkan oleh kegiatan lain, salah satunya adalah kegiatan penangkapan ikan. Di antara persoalan tersebut, konflik pemanfaatan sumber daya yang berbeda di kawasan yang sama dan pada saat yang bersamaan merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi oleh kegiatan migas di laut. Kendala ini menjadi semakin kompleks, ketika komunitas yang dihadapi memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kawasan perairan dan sumber daya laut. Hal ini menyebabkan kegiatan migas di laut, kerap menuai persepsi negatif yang berujung pada konflik pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam. Kondisi ini terjadi di hampir setiap lapangan migas yang berada di laut yang juga merupakan area penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Intensitas konflik di masing-masing area relatif berbeda, yang ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang meletakkan sektor perikanan tangkap sebagai sektor ekonomi utama menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya ikan dan kawasan. Kasus ini ditemukan di Pesisir Karawang, Jawa Barat. Berdasarkan data pada studi sebelumnya dan hasil studi awal yang dilakukan pada Bulan Maret 2011, area pemasangan anjungan produksi migas di laut merupakan area penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Dari hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh informasi bahwa keberadaan anjungan produksi migas di laut memunculkan kekhawatiran nelayan terkait dengan penurunan produktivitas. Kekhawatiran tersebut didasari oleh asumsi-asumsi berikut ini: 1) Keberadaan anjungan produksi dengan desain konstruksi, dan limpahan limbah organik dapat menjadi area berlindung bagi ikan (FAD/fish aggregating device). Kondisi ini dipicu pula oleh efek pencahayaan pada malam hari yang juga dapat menjadi daya tarik bagi ikan.
4
2)
Adanya pemberlakuan zona aman kegiatan migas pada radius 500 m di sekitar platform produksi migas di laut menyebabkan area anjungan produksi migas yang diduga menjadi tempat berkumpul ikan tidak dapat diakses oleh nelayan. Kondisi ini memunculkan persepsi bahwa keberadaan anjungan produksi migas di laut menyebabkan terjadinya penyempitan area penangkapan
ikan,
yang
selanjutnya
berdampak
pada
penurunan
produktivitas nelayan. Dari kondisi tersebut maka kegiatan migas yang berada di area fishing ground utama bagi nelayan lokal menyebabkan tingkat kepentingan terhadap kawasan semakin tinggi. Hal ini dapat memicu timbulnya konflik sosial terkait dengan pemanfaatan kawasan yang menjadi lokasi sumber daya alam (SDA) yang diekstrak. Selama ini konflik tersebut kerap diredam dengan pendekatan yang bersifat instan dan efektif untuk jangka pendek, namun menjadi inefisien untuk jangka panjang. Akumulasi pengelolaan kegiatan yang tidak tepat sangat berpotensi untuk menggeser tingkat intensitas konflik menuju status yang lebih kompleks dan berdampak pada inefisiensi kedua kegiatan, baik kegiatan migas maupun kegiatan penangkapan ikan. Konflik yang terjadi umumnya bersifat satu arah, yaitu tuntutan terhadap tanggung jawab dan kompensasi yang seharusnya dibayarkan oleh pihak pelaksana kegiatan atas kerugian yang dialami oleh nelayan. Selama ini tututan yang disampaikan oleh nelayan pada umumnya berupa asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh nelayan, dengan fakta dan data yang sulit diyakini oleh pihak pelaksana kegiatan migas di laut. Asumsi-asumsi yang diutarakan oleh nelayan kerap terkendala oleh ketersediaan data yang menyebabkan pihak pelaksana migas menemui kesulitan ketika akan menentukan besaran kompensasi yang layak diberikan kepada nelayan. Keterbatasan data terkait dengan kerugian ekonomi yang diderita oleh nelayan, akhirnya memposisikan persoalan ini pada derajat kepentingan yang cukup rendah. Kondisi ini berujung pada ketidakpuasan nelayan atas upaya dan kompensasi yang diberikan oleh pihak pelaksana kegiatan migas di laut. Upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh pihak pelaksana migas cenderung bersifat meredam konflik bukan menyelesaikan persoalan.
5
Hal ini menyebabkan kebijakan pengelolaan hanya bersifat sesaat dan menjadi tidak efektif ketika dihadapkan pada akumulasi kepentingan terhadap kawasan dan sumber daya alam. Pada sisi lain, nelayan dihadapkan pada kondisi keterbatasan mata pencaharian alternatif yang dapat ditekuni untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Fakta ini memunculkan inisiatif nelayan untuk terus meningkatkan upaya penangkapan agar produktivitas tetap terjaga. Upaya penangkapan yang sedemikian rupa akhirnya memicu terjadinya kondisi over fishing di kawasan tersebut.
Secara teori, kondisi over fishing akan berdampak pada tingginya
persaingan antar nelayan yang melakukan penangkapan ikan di kawasan tersebut. Persaingan yang tinggi pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produktivitas dan keuntungan ekonomi masing-masing nelayan. Secara perlahan, kondisi ini akan meningkatkan sensitivitas nelayan yang dapat memicu timbulnya konflik sosial. Konflik sosial di kawasan kegiatan migas akan dapat berpengaruh pada efektivitas dan keberhasilan kegiatan migas. Hal ini menyebabkan upaya pengelolaan kegiatan sangat diperlukan. Kebijakan yang bersifat win-win solution akan dapat disusun dan diimplementasikan, apabila pola interaksi dan eksternalitas masing-masing kegiatan dapat diketahui secara pasti. Kondisi tersebut menyebabkan penelitian ini perlu dilakukan, untuk memperoleh gambaran tentang eksternalitas yang timbul akibat keberadaan kegiatan migas di laut terhadap perikanan tangkap. Estimasi dari eksternalitas tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan input dalam penyusunan alternatif strategi pengelolaan kegiatan yang tetap memperhatikan kebutuhan lingkungan di sekitarnya. Dengan diakomodirnya kepentingan kedua pihak, yaitu perikanan tangkap dan kegiatan migas, maka diharapkan alternatif strategi kebijakan yang diusulkan dapat menjadi solusi dari persoalan konflik pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam untuk jangka waktu yang lebih panjang.
6
1.2. Rumusan Permasalahan Adanya pemberlakuan zona aman kegiatan migas pada radius 500 meter di sekitar anjungan produksi migas di laut menimbulkan kekhawatiran nelayan terkait dengan penyempitan area penangkapan ikan yang dapat diakses oleh nelayan. Penyempitan area penangkapan ikan yang berbanding terbalik dengan perkembangan jumlah nelayan secara langsung akan memicu tingginya persaingan antar nelayan di area penangkapan ikan (fishing ground) utama. Persaingan yang semakin tinggi akan berdampak pada penurunan produktivitas per unit per trip. Pada sisi lain, keberadaan anjungan produksi migas di laut yang disertai zona aman (radius 500 meter) secara langsung akan melindungi sejumlah ikan dari upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini akan membentuk area konservasi sementara bagi pertumbuhan sumberdaya ikan di Pesisir Karawang. Dengan demikian, terdapat 2 asumsi bentuk eksternalitas yang ditimbulkan, yaitu negatif dan positif. Namun bagaimana besaran dan pegaruh eksternalitas tersebut terhadap penentuan kebijakan yang dapat diimplementasikan agar kegiatan dapat berjalan tanpa mengabaikan manfaat kawasan sebagai area penangkapan ikan? Permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimana persepsi nelayan terhadap keberadaan kegiatan migas di laut? 1.2.2. Bagaimana bentuk eksternalitas yang ditimbulkan oleh keberadaan kegiatan migas di laut terhadap perikanan tangkap? 1.2.3. Menyusun
alternatif
strategi
pengelolaan
kegiatan
yang
dapat
mengakomodir kepentingan kegiatan penangkapan ikan di sekitarnya. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.3.1. Menganalisis persepsi nelayan terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut. 1.3.2. Menganalisis bentuk eksternalitas keberadaan anjungan produksi migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap. 1.3.3. Menyusun
alternatif
(pilihan)
strategi
pengelolaan
kegiatan
dan
lingkungan yang dapat diimplementasikan oleh pelaksana kegiatan industri migas di laut.
7
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu diperolehnya jawaban atas kekhawatiran nelayan terkait dengan bentuk eksternalitas yang timbul dari kegiatan migas di laut terhadap perikanan tangkap. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dan arahan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kegiatan yang dapat diimplementasikan oleh pelaksana kegiatan migas di laut. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Fokus kajian pada penelitian ini dikendalikan dengan penentuan ruang lingkup dan batasan penelitian. Penelitian ini dibatasi pada lingkup sosial dan ekonomi masyarakat nelayan terkait dengan kegiatan migas dan penangkapan ikan di sekitar anjungan produksi migas di laut.
Batasan penelitian secara rinci
disampaikan sebagai berikut: a. Kegiatan migas dibatasi pada kegiatan migas di laut yaitu terkait dengan keberadaan anjungan produksi selama tahap operasi. b. Kegiatan perikanan tangkap dibatasi pada kegiatan penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh nelayan lokal (Pesisir Karawang). c. Pendugaan eksternalitas dibatasi pada komponen sosial dan ekonomi terkait dengan persepsi dan pendapatan nelayan serta produksi perikanan tangkap di Pesisir Karawang. 1.6. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini yaitu: a. Terdapat perubahan persepsi nelayan terhadap kegiatan migas di laut terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di area penangkapan ikan (fishing ground). b. Terdapat eksternalitas negatif terhadap produktivitas nelayan dengan alat tangkap yang biasa dioperasikan di lokasi pemasangan anjungan produksi migas, yang disebabkan oleh pemberlakuan zona aman kegiatan migas. c. Terdapat eksternalitas positif terhadap kondisi bioekonomi perikanan tangkap dari jenis alat tangkap yang biasa dioperasikan di lokasi pemasangan anjungan yang disebabkan oleh pemberlakuan zona aman kegiatan migas.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Eksternalitas Pemanfaatan Kawasan Kawasan pesisir dan laut memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomi dan berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut di antaranya adalah potensi sumber daya ikan dan sumber daya mineral berupa minyak dan gas
bumi (migas).
Potensi sumber daya yang dimiliki
menjadikan kawasan pesisir dan laut berfungsi sebagai area penangkapan ikan (fishing ground) nelayan. Potensi sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi menjadikan kawasan pesisir dan laut dimanfaatkan sebagai area produksi migas. Kedua potensi tersebut memiliki nilai dan peran yang sangat penting bagi perekonomian rumah tangga dan negara. Pada kasus keberadaan sumber daya ikan dan migas yang berada di kawasan yang berbeda maka pemanfaatan kawasan untuk kegiatan berbeda dalam waktu bersamaan tidak akan menimbulkan eksternalitas terhadap masing-masing pemanfaatan. Namun, kondisi yang terjadi akan berbeda ketika sumber daya ikan dan migas berada di kawasan yang sama dan dimanfaatkan pada waktu yang bersamaan. Fauzi (2004) menjelaskan bahwa status kawasan pesisir dan laut sebagai barang publik menyebabkan tidak adanya kepemilikan yang tegas terhadap kawasan tersebut. Hal ini berdampak pada pola pemanfaatan kawasan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya yang dikandung oleh kawasan tersebut. Lebih lanjut kondisi ini disebut sebagai suatu bentuk eksternalitas akibat pemanfaatan barang publik oleh lebih dari satu pihak yang berkepentingan. Lebih spesifik lagi disebutkan bahwa eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari suatu pihak dapat mempengaruhi utilitas dari pihak lain secara tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak eksternalitas. Kondisi ini berdampak pada pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam yang tidak efisien, mengingat adanya pihak yang diuntungkan dari kerugian yang diderita oleh pihak lain.
10
Friedman (1990) menyatakan bahwa eksternalitas yang positif melahirkan barang publik, sementara eksternalitas negatif menghasilkan barang publik “negatif”. Eksternalitas dapat terjadi dari konsumsi ke konsumsi, dari konsumsi ke produksi dan dari produksi ke konsumsi.
Kula, 1992 diacu dalam Fauzi, 2004
menyebut tipe eksternalitas ini sebagai eksternalitas teknologi (technological externalities) karena adanya perubahan konsumsi atau produksi oleh satu pihak terhadap pihak lain yang lebih bersifat teknis. Tipe eksternalitas lainnya adalah eksternalitas pecuniary (pecuniary externalities), yaitu ekstenalitas yang terjadi akibat adanya perubahan harga dari beberapa input maupun output. Dengan kata lain eksternalitas ini terjadi manakala aktivitas ekonomi suatu pihak dapat mempengaruhi kondisi finansial pihak lain. Hartwick dan Olewiler (1998) menggambarkan eksternalitas menjadi eksternalitas privat dan eksternalitas pubik. Eksternalitas privat melibatkan hanya beberapa individu bahkan bisa bersifat bilateral dan tidak menimbulkan spill over (limpahan) kepada pihak lain, sementara eksternalitas publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat. Tipologi eksternalitas secara rinci disampaikan pada Gambar 2. Eksternalitas
Pecuniary
Teknologi
Eksternalitas Produksi
Eksternalitas Konsumsi
Timbul akibat adanya perubahan harga input atau output dalam kegiatan ekonomi
Publik
Barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat
Privat
Eksternalitas yang bersifat bilateral
Gambar 2. Tipologi eksternalitas (Fauzi, 2004).
Kawasan pesisir dan laut memiliki kompleksitas fungsi, meliputi fungsi ekologi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi.
11
Semakin tinggi tingkat kompleksitas fungsi kawasan maka semakin tinggi pula tekanan terhadap kawasan pesisir itu sendiri. Keberadaan sumber daya alam di kawasan pesisir sangat menentukan kompleksitas persoalan terkait dengan pemanfaatan kawasan. Kondisi ini sangat mudah dijumpai di kawasan pesisir yang memiliki lebih dari satu jenis sumber daya alam, misalnya sumber daya perikanan dan sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi. Kedua sumber daya tersebut memiliki nilai ekonomi yang memegang peran penting baik bagi perekonomian skala rumah tangga maupun skala nasional bahkan dunia. Secara umum, kawasan pesisir secara otomatis akan menjadi arena sosial dan ekonomi komunitas nelayan lokal, yang secara langsung menggantungkan kehidupan ekonomi rumah tangganya pada kegiatan penangkapan ikan di laut. Kondisi ini menyebabkan wilayah perairan di sekitar pesisir seolah “diklaim” menjadi fishing ground nelayan lokal. Pada sisi lain, terdapat potensi sumber daya mineral yang juga dieksploitasi di perairan yang diklaim sebagai fishing ground tersebut. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi relatif lebih rentan terkait dengan konflik pemanfaatan kawasan untuk sumber daya yang berbeda pada waktu yang sama. Sifat kawasan yang merupakan barang publik, menyebabkan tidak adanya hak kepemilikan yang sah atas kawasan pesisir. Fauzi (2004) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan klaim yang sah terhadap sumber daya atau pun jasa yang dihasilkan oleh sumber daya tersebut. Dalam konteks ini adalah status sumber daya berupa hamparan perairan laut sebagai barang publik, maka hak kepemilikan tidak dapat diklaim secara sah oleh suatu pihak tertentu.
Sifat ini menyebabkan tidak adanya hak untuk
melarang pihak lain untuk menikmati sumber daya yang terkandung di laut. Pada barang publik, pemanfaatan suatu pihak kerap akan menimbulkan eksternalitas negatif pada pihak lain. Pada kasus ini adalah konflik kepentingan yang terjadi antara perusahaan industri migas dengan nelayan yang melakukan kegiatan di area dan pada waktu yang sama. Tidak adanya klaim yang sah terkait dengan hak kepemilikan atas hamparan perairan laut, menyebabkan setiap pihak merasa berhak atas wilayah tersebut dan tidak wajib bertanggung jawab ketika terjadi kerusakan atas perairan laut.
12
Pemanfaatan laut sebagai kawasan industri migas akan menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kegiatan perikanan tangkap, demikian pula sebaliknya. Tidak adanya hak yang membatasi/melarang pemanfaatan akan menyebabkan berlakunya sistem rimba dimana pihak dengan kekuatan lebih tinggi akan mendominasi pemanfaatan atas perairan yang bersifat multi fungsi.
Pada
akumulasi tertentu, kondisi ini akan berdampak pada perubahan kesejahteraan pihak posisi lemah, dalam hal ini yaitu pihak nelayan. INRR (2008), mengemukakan bahwa kondisi perikanan di perairan Pantura Jawa Barat menunjukkan tingkat persaingan yang cukup tinggi. Persaingan ini melibatkan persaingan internal nelayan lokal meliputi perbedaan alat tangkap antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang, dan persaingan dengan industri migas yang dirasakan semakin hari semakin mempersempit daerah penangkapan ikan yang biasa dituju. Tingginya persaingan ini menyebabkan tingginya tingkat sensitivitas nelayan, sehingga cukup rentan terhadap timbulnya persepsi negatif bahkan kerap memicu konflik. Jones, 1998 menjelaskan konflik dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana terdapat akumulasi persepsi negatif yang belum mendapat penyelesaian. Lebih lanjut dipaparkan bahwa konflik sering muncul berkaitan dengan perebutan akses dan kontrol atas perebutan sumber daya alam, misalnya sumber daya tambang dan mineral, sungai, danau, dan lembah yang subur. Jika ditinjau dari segi kepemilikan, sebagian besar konflik terjadi pada pemanfaatan sumber daya alam yang bersifat open akses atau barang publik. Fink (1998) mengemukakan bahwa konflik lingkungan yang terjadi memiliki dimensi yang kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan antar sektor dan stakeholder pembangunan. Kerap kali konflik lingkungan terjadi tidak semata karena permasalahan lingkungan itu sendiri (objek), melainkan juga melibatkan dimensi kepentingan subjek pelakunya. Terdapat 4 teori konflik sumber daya alam dan lingkungan, yaitu teori ketamakan (the greedy theory); NIMBY syndrome; teori mengail di air keruh (profit taking); serta teori kemerosotan dan kelangkaan (deprivation and scarcity). Berdasarkan definisi teori tersebut, maka teori yang relevan dengan penelitian ini yaitu teori kelangkaan sumber daya ikan akibat adanya overlapping kegiatan ekonomi di kawasan yang sama.
13
Penurunan hasil tangkapan ikan perlahan akan mengubah persepsi positif nelayan terhadap kegiatan migas di laut, dan demikian kondisi ini terjadi secara terus-menerus hingga mencapai titik klimaks dimana kelangkaan ikan mulai dirasakan oleh nelayan.
Kondisi ini tidak menutup kemungkinan akan
menyebabkan perselisihan ringan sehingga konflik antar sektor. Kompleksitas hubungan aspek biofisikal menyebabkan konflik sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin rumit. Adanya subjek dengan kepentingan tertentu akan menjadi trigger dari suatu konflik. Keterkaitan hubungan ini, menyebabkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan harus dilakukan secara berhati-hati dan mempertimbangkan segala aspek terkait. Pengelolaan konflik yang tidak tepat dapat berdampak pada inefisiensi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. 2.2. Sumber Daya Hayati Pesisir dan Laut: Ikan dan Mineral Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Zona peralihan didefinisikan sebagai area ke arah daratan sampai dengan garis pantai yang masih terpengaruh oleh kondisi pasang surut perairan. Dahuri et al (1996) menyatakan bahwa dalam cakupan horizontal maka wilayah pesisir dibatasi oleh dua garis hipotetik, ke arah daratan dan ke arah lautan. Ghofar (2004) menjelaskan bahwa kelebihan kawasan pesisir sebagai area peralihan yaitu sebagai nutrient trap yang menyediakan unsur hara dari proses run off di daratan. Pada sisi lain, area pesisir juga sangat rentan dengan kondisi pencemaran perairan yang berasal dari daratan baik sebagai akibat buangan limbah atau tingginya intervensi manusia di sekitarnya. Dari perspektif sosial ekonomi, kawasan pesisir yang memiliki kompleksitas nilai fungsi, akan berdampak pula pada kompleksitas tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan dari kawasan tersebut. Clark (1996) memaparkan bahwa kondisi pesisir sebagai area peralihan menyebabkan kawasan pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang relatif tinggi.
Potensi tersebut di antaranya adalah potensi
sumber daya ikan dan potensi sumber daya migas. Potensi sumber daya ikan yang berlimpah akan menyebabkan area perairan berkembang menjadi area penangkapan ikan (fishing ground) yang dituju oleh nelayan, terutama nelayan lokal di pesisir tersebut.
14
Demikian hal nya dengan potensi sumber daya mineral yang dimiliki oleh kawasan akan menyebabkan area perairan berkembang menjadi lokasi produksi sumber daya mineral. Paparan tentang masing-masing sumber daya alam serta fungsi pemanfaatan kawasan untuk sumber daya tersebut
diuraikan sebagai
berikut: 2.2.1. Sumber Daya Ikan 2.2.1.1. Karakteristik dan Bentuk Eksternalitas Sumber Daya Ikan Sumber daya ikan dikategorikan sebagai sumber daya alam yang memiliki mobilitas yang sangat tinggi, dengan fluktuasi keberadaan mengikuti musim tertentu. Fauzi (2010) menjelaskan bahwa selain terkait dengan sifat mobilitas dan proses eksploitasi, karakteristik spesifik dari sumber daya ikan dalah ketidakjelasan kepemilikan sumber daya ikan di suatu perairan. Sebagai salah satu public good, sumber daya ikan dapat diklaim secara sah oleh siapa pun, dan sebaliknya dapat ditinggalkan ketika sumber daya telah mengalami kerusakan (tidak menguntungkan secara ekonomi). Terkait dengan karakteristik ini maka terdapat beberapa macam eksternalitas dalam pemanfaatan sumber daya ikan, yaitu eksternalitas terkait dengan ruang (space interception), eksternalitas terkait dengan waktu (time interception), eksternalitas terkait dengan mobilitas (mobility interception), eksternalitas terkait dengan informasi (information interception), eksternalitas terkait dengan keragaman spesies (interspecies interception), dan eksternalitas terkait dengan stok (stok interception). Seijo dan Defeo (1997) mengkategorikan eksternalitas antar spesies dan eksternalitas stok sebagai eksternalitas yang melekat akibat karakteristik inheren dari sumber daya ikan. Dua jenis eksternalitas lainnya yang melekat akibat karakteristik inheren dari sumber daya ikan yaitu eksternalitas teknologi (technology externality) dan eksternalitas tekno-ekologis (techno-ecological externality). Dijelaskan bahwa eksternalitas tekno-ekologis terjadi manakala teknologi penangkapan suatu alat tangkap mengubah struktur dinamika populasi dari spesies target dan by catch kemudian menimbulkan dampak negatif bagi alat lain. Fauzi (2010) Lebih lanjut memaparkan bahwa eksternalitas tekno-ekologis ini dibagi menjadi 2 tipe, yaitu eksternalitas sekuential dan eksternalitas accidental.
15
Eskternalitas sekuential terjadi ketika nelayan skala kecil dan nelayan skala besar mengeksploitasi stok ikan pada siklus hidup yang berbeda. Eksternalitas accidental terjadi ketika secara teknologi terdapat ketergantungan dua alat tangkap dalam menangkap ikan. Fauzi, 2010 lebih lanjut menjelaskan jenis eksternalitas lainnya yang menjadi karakteristik unik dari sumber daya ikan adalah eksternalitas terkait dengan umpan balik biologi (biological feed back). Eksternalitas ini menggambarkan bahwa jumlah sumber daya ikan yang dapat diekstraksi sangat ditentukan oleh kondisi alam dan daya dukung biologi dan stok ikan itu sendiri. 2.2.1.2. Konsep Bioekonomi Perikanan Analisis bioekonomi merupakan kombinasi simultan antara analisis parameter biologi dengan analisis parameter ekonomi yang diaplikasikan dalam konteks perikanan.
Fauzi (2010) menjelaskan analisis biologi secara umum
menyangkut aspek produksi alamiah (natural production), dan juga aspek kondisi lingkungan perairan. Aspek ekonomi dalam analisis bioekonomi meliputi aspek pasar serta non pasar, aspek preferensi, dan aspek aktivitas ekonomi. Aspek Biologi Fauzi (2004) menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya ikan pada awalnya didasarkan hanya pada aspek biologi, yang didekati dengan metode maximum sustainable yield (MSY) atau tangkapan maksimum lestari. Pendekatan ini menekankan pada pemahaman bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus dipanen maka stok akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Pada pendekatan surplus produksi, dinamika dari biomass digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan berikut: Biomas pada t+1 = biomas pada t + produsi – mortalitas alami
(1)
Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun.
16
Hilborn dan Walters (1992) menyatakan bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan, atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomas dipertahankan dalam tingkat tetap. Model surplus produksi yang biasa digunakan adalah model yang dikembangkan oleh Scaefer (1954) berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Pada pendekatan ini, Scaefer 1954 menjelaskan beberapa faktor biologi yang berpengaruh dalam fungsi produksi penangkapan ikan. Faktor tersebut meliputi biomass dari stok yang diukur dalam berat (x), laju pertumbuhan alami dari populasi (r), dan faktor daya dukung maksimum lingkungan atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomass (K). Berdasarkan batasan faktor-faktor tersebut, maka dalam kondisi tidak ada penangkapan ikan laju perubahan biomass sepanjang waktu digambarkan dalam persamaan 2 dan 3. dxt = f ( xt ) dt
(2)
dxt x = rxt (1 − t ) dt K
(3)
Dengan f(xt) adalah fungsi pertumbuhan. Fungsi pertumbuhan dalam model surplus produksi terdiri atas model pertumbuhan logistik dan eksponensial atau Gompertz. Fungsi pertumbuhan logistik merupakan basis fungsi yang digunakan oleh Scaefer (1995) dan Walters dan Hilborn (1976). Fungsi Gompertz merupakan fungsi yang digunakan oleh Fox (1970), Schnute (1977), dan Clark, Yoshimoto, dan Pooley (1992). Fungsi persamaan Gompertz dituliskan dalam persamaan 4. ⎛K⎞ dxt = rxt ln⎜⎜ ⎟⎟ dt ⎝ xt ⎠
(4)
Fungsi produksi yang sering digunakan dalam sumber daya ikan dituliskan dalam persamaan 5. ht = qxt Et
(5)
Dengan ht menggambarkan jumlah tangkapan dalam satuan berat, q digambarkan sebagai koefisien penangkapan atau kemampuan daya tangkap dalam satuan per standardized effort, Xt digambarkan sebagai biomass dalam satuan berat, dan Et digambarkan sebagai upaya penangkapan ikan dalam satuan effort (trip).
17
Adanya aktivitas penangkapan ikan menyebabkan persamaan 4 berubah menjadi persamaan 6. dxt ⎛ x ⎞ = rxt ⎜1 − t ⎟ − qxt Et dt K⎠ ⎝
(6)
Jika menggunakan persamaan Gompertz, maka persamaan 4 berubah menjadi persamaan 7. dxt ⎛ x ⎞ = rxt ln⎜1 − t ⎟ − qxt Et dt K⎠ ⎝
(7)
(Fauzi, 2010) menyatakan bahwa dalam bentuk yang paling sederhana, pertumbuhan suatu populasi digambarkan dalam bentuk percent growth rate atau laju pertumbuhan persentase. Jika stok ikan pada periode t dinotasikan dengan xt dan stok ikan pada peridoe berikutnya ditulis sebagai xt+1, maka percent growth rate ditulis dalam persamaan 8: Δx xt +1 − xt = x xt
(8)
Jika persentasi pertumbuhan ini diasumsikan konstan sebesar r, maka persamaan 8 dapat ditulis menjadi persamaan 9: xt +1 − xt =r xt
(9)
xt +1 = (1 + r )xt
(10)
Jika perbedaan waktu di atas ditulis dalam bentuk Δt (bukan sebagai suatu interval periode waktu) maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi: x(t + Δt ) − x(t ) = r.Δt x(t )
(11)
Dengan penyederhanaan aljabar, persamaan 11 selanjutnya ditulis menjadi:
Δx = rx(t ) Δt
(12)
Jika perubahan waktu Δt yang terjadi sangat kecil, maka persamaan 12 selanjutnya menjadi persamaan diferensial yaitu persamaan yang menggambarkan perubahan waktu yang kontinyu.
18
dx = rx(t ) dt
(13)
Solusi dari persamaan 13 akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode
t atau x(t)=x0ert dimana x0 adalah stok pada periode awal. Aspek biologi stok ikan didekati dengan model pertumbuhan yang bersifat density dependent, yaitu pertumbuhan populasi dalam setiap periode bervariasi terhadap ukuran populasi pada periode awal. Dengan demikian, stok ikan pada periode t+1 diasumsikan ditentukan oleh pertumbuhan pada periode t atau ditulis F(xt) dan stok ikan pada periode t yakni xt. Secara matematis ditulis dalam persamaan 14:
x(t +1) = F ( xt ) + xt
(14)
Dengan demikian, laju pertumbuhan ikan pada periode t+1 dan t dapat ditulis dengan persamaan 15:
F (xt ) = xt +1 − xt
(15)
atau jika ditulis dalam bentuk persamaan kontinyu, persamaan menjadi:
dx = F (x ) dt
(16)
Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan proporsial alamiah maka persamaan 16 dapat ditulis menjadi:
dx = rx = F ( x) dt
(17)
Solusi dari persamaan di atas akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t atau x(t)=x0ert dimana x0 adalah stok pada periode awal. Pada kondisi r>0 maka stok pada periode t akan tumbuh secara eksponensial, dan akan turun secara eksponensial pada r<0.
Kondisi ini sangat ditentukan oleh daya dukung
lingkungan meliputi ruang, makanan, penyakit, dan predator.
Dengan
pertimbangan faktor daya dukung lingkungan tersebut, maka persamaan di atas berubah menjadi: dx = r ( x )x dt
(18)
19
Jika r merupakan fungsi yang menurun terhadap x, maka persamaan dapat ditulis menjadi: r ( x) = r −
rx K
(19)
Dimana K adalah kapasitas daya dukung lingkungan atau titik kejenuhan. Dengan mensubstitusikan persamaan ini ke dalam persamaan 19, maka persamaan selanjutnya ditulis menjadi: dx x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ dt ⎝ K⎠
(20)
Pada aspek ini, perhitungan sumber daya ikan didasarkan pada parameter biologi, meliputi pertumbuhan (r), biomas (x), dan daya dukung lingkungan (K). Adanya asumsi keseimbangan jangka panjang, menyebabkan sisi kiri persamaan kemudian menjadi 0 sehingga diperoleh persamaan untuk menghitung stok ikan (x), yaitu: ⎡ qE ⎤ x = K ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣
(21)
Persamaan 2.17 menggambarkan variabel stok (x) sebagai fungsi dari faktor biofisik (r, q, K) dan variabel input E. Susbtitusi variabel x ke dalam persamaan 19 selanjutnya menghasilkan persamaan:
⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
(22)
Persamaan ini menggambarkan hubungan antara input (E) dan ouput (h) dalam bentuk persamaan kuadrat yang selanjutnya dikenal sebagai persamaan yieldeffort lestari. Dalam perspektif Scaefer, pengelolaan sumber daya ikan yang terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield effort yang selanjutnya dikenal sebagai maximum sustainable yield (MSY). Pada kondisi ini, persamaan effort menjadi: E msy =
r 2q
(23)
Persamaan Emsy tersebut selanjutnya disubstitusikan pada persamaan output (hmsy) menjadi persamaan 24.
20
hmsy =
rK 4
(24)
Dari persamaan 23 dan 24 maka persamaan biomas (x) dapat dihitung dengan persamaan berikut ini: x msy =
hmsy qE msy
=
(rK / 4) = K q (r / 2q ) 2
(25)
Pengaruh penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh penangkapan terhadap stok (Seijo et al., 1998).
Gambar tersebut menunjukkan dampak yang terjadi pada stok akibat adanya kegiatan penangkapan ikan. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1 (garis vertikal). Kemudian, jika upaya dinaikkan sebesar E2, di mana E2>E1, hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2>h1). Jika upaya terus ditingkatkan, misalnya sebesar E3 (E3>E2>E1), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E3>E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (dalam hal ini h3< h2). Berdasarkan kondisi ini maka dapat dikatakan bahwa eksploitasi dalam kondisi tersebut tidak efisien secara ekonomis karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. Tingkat produksi pada titik K/2 disebut sebagai titik produksi maksimum lestari (MSY). Bentuk kuadratik kurva MSY menyebabkan peningkatan effort secara terus-menerus setelah melewati titik K/2 tidak akan diikuti oleh peningkatan produksi.
21
Produksi akan menurun secara terus-menerus bahkan mencapai titik 0 pada tingkat upaya maksimum (K). Hal ini membuktikan bahwa dalam sumber daya ikan, peningkatan input tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan output yang disebabkan oleh adanya faktor daya dukung alam yang membatasi. Fungsi tersebut baru hanya menggambarkan kondisi secara biologi, sehingga aspek ekonomi terkait dengan biaya produksi (upaya penangkapan) belum dapat digambarkan. Menyikapi hal ini, Conrad dan Clark, (1987) diacu dalam Fauzi (2010), menjelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan MSY memiliki beberapa kelemahan, yaitu: -
Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok meleset sedikit saja dapat berpengaruh pada kondisi pengurasan stok (stok depletion).
-
Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non steady state.
-
Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value).
-
Mengabaikan aspek interdependensi dari sumber daya.
-
Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki cirri ragam jenis (multi species).
Aspek Ekonomi
Kelemahan-kelemahan tersebut selanjutnya memunculkan pertimbangan pentingnya penghitungan aspek ekonomi dalam pendugaan fungsi produksi sumber daya ikan yang dikembangkan oleh Gordon (1954). Gordon mengembangkan fungsi kuadratik Velhust (1983) yang digunakan oleh Scaefer dalam pendugaan produksi sumber daya ikan. Model ini selanjutnya dikenal dengan model Gordon-Scaefer, yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu: -
Harga per satuan output diasumsikan konstan.
-
Biaya per satuan upaya diasumsikan konstan.
-
Spesies sumber daya ikan diasumsikan bersifat tunggal (single species).
-
Struktur pasar bersifat kompetitif.
-
Nelayan berposisi sebagai price taker (tidak bisa menentukan harga).
-
Faktor yang dihitung hanya faktor penangkapan, tanpa mengakomodir faktor pasca penangkapan.
22
Dalam perspektif ekonomi, effort diartikan sebagai nominal fishing effort yang sering dilambangkan dengan notasi E. (Clark, 1985 diacu dalam Fauzi, 2010) menjelaskan effort sebagai jumlah unit alat tangkap ikan yang distandardisasi dan secara aktif digunakan pada suatu periode tertentu. Dengan asumsi-asumsi tersebut maka rente ekonomi dari pemanfaatan sumber daya ikan dihitung dari selisih antara penerimaan total lestari (total sustainable revenue/TSR) dengan biaya yang dikeluarkan, yang dituliskan dengan persamaan berikut: ⎡ qE ⎤ TSR = ph( E ) = pqKE ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣
(26)
Dengan persamaan biaya total penangkapan dihitung melalui persamaan 26, dimana konstanta c selain menggambarkan biaya per unit input yang digunakan juga menggambarkan biaya korbanan dari input yang digunakan. TC = cE
(27)
Manfaat ekonomi dari penangkapan ikan selanjutnya dapat dihitung dari selisih TSR dengan TC, seperti ditulis pada persamaan 28 dan 29:
π = TSR − TC ⎡ qE ⎤ − cE = pqKE ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣
(28) (29)
Dari aplikasi model Gordon-Scaefer tersebut, maka diperoleh dugaan kondisi kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan yang telah mengakomodir aspek biologi dan aspek ekonomi. Secara grafis, kondisi pengelolaan sumber daya ikan pada titik optimum secara ekonomi diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kondisi maximum economic yield dan open access dalam pemanfaatan sumber daya ikan (Scaefer, 1957).
23
Dari Gambar 4 diketahui bahwa keuntungan optimum baik secara biologi mau pun ekonomi diperoleh pada saat kegiatan penangkapan ikan berada pada area economic optimum. Pada area ini total revenue menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan total cost. Pada kondisi open access, total cost yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan total revenue, sehingga manfaat ekonomi yang diperoleh menjadi turun mencapai 0. 2.2.1.3. Kawasan Perairan sebagai Area Penangkapan Ikan
Di Indonesia, potensi sumber daya ikan merupakan potensi utama dari suatu kawasan pesisir dan laut yang lazim dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga nelayan di sekitarnya. Suatu kawasan pesisir yang memiliki potensi sumber daya ikan berlimpah secara praktis akan menjadi fishing ground utama bagi nelayan lokal (sekitarnya).
Pada kondisi jenis mata pencaharian
alternatif yang terbatas, maka potensi sumber daya ikan akan menjadi tumpuan utama penduduk nelayan. Kondisi ini menyebabkan tingkat ketergantungan komunitas nelayan terhadap produktivitas pesisir dan laut menjadi relatif tinggi. Tingginya tingkat ketergantungan tersebut disebabkan oleh ketergantungan ekonomi rumah tangga yang sebagian besar dipenuhi dari kegiatan penangkapan ikan. INRR (2011) menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan di area pesisir Karawang relatif padat. Jenis alat tangkap yang digunakan relatif beragam, dari berbagai jenis kelompok alat tangkap (alat tangkap statis, pasif, dan aktif). Rutinitas kegiatan penangkapan ikan bersifat harian (one day fishing). Nelayan yang memanfaatkan kawasan pesisir sebagai fishing ground adalah nelayan lokal. Jenis sumber daya ikan yang menjadi hasil tangkapan di wilayah ini adalah jenis ikan pelagis dan demersal konsumsi. Bagi penduduk di pesisir ini, kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi utama yang dijadikan sebagai sumber pendapatan harian rumah tangga. Alternatif mata pencaharian lainnya masih merupakan derivasi dari kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan, yang meliputi usaha pengolahan ikan (ikan kering dan terasi), usaha penyewaan kimpling (keranjang ikan), usaha penyedia es balok, dan warung makanan di sekitar tempat pendaratan ikan (TPI).
24
Hal ini menggambarkan bahwa potensi sumber daya ikan dalam bentuk kegiatan penangkapan ikan di pesisir Karawang telah menjadi sumber mata pencaharian nelayan lokal. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk pesisir terhadap kawasan menyebabkan sensitivitas penduduk pesisir menjadi relatif tinggi. Kondisi ini cukup rentan dengan timbulnya konflik pemanfaatan perairan yang menjadi area penangkapan ikan yang dituju selama ini. 2.2.2. Sumber Daya Mineral (Migas) 2.2.2.1. Kegiatan Produksi Migas di Laut
Kegiatan produksi migas di laut secara umum adalah sama, yaitu terdiri atas 4 tahapan kegiatan, yaitu pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi. Dari empat tahapan tersebut, tahap operasi merupakan tahapan kegiatan dengan durasi waktu terlama. Pada tahap ini berlangsung kegiatan produksi yang dapat berumur sampai dengan puluhan tahun. Operasional kegiatan produksi migas di laut melibatkan sejumlah fasilitas utama dan pendukung yang dipasang di dasar laut maupun yang dimobilisasikan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Salah satu fasilitas tersebut adalah anjungan produksi migas di laut. Soedjono (1998) memaparkan bahwa konstruksi anjungan lepas pantai dapat dibedakan menjadi 3 golongan utama, yaitu : -
Anjungan terapung (Mobile Offshore Drilling Unit/MODU atau Floating Production Platform/FPU). Contoh dari anjungan ini yaitu: semi submersible, drilling ship, tension leg platform, jack-up, FPSO.
-
Anjungan terpancang (Fixed Offshore Platform). Contoh dari anjungan ini adalah jacket platform, concrete gravity, tripod.
-
Anjungan struktur lentur (Compliant Platform). Contoh dari anjungan ini adalah Articulated Tower, Guyed tower. Arifin (2000) menjelaskan beberap hal yang perlu diperhatikan dalam
merancang bangunan lepas pantai adalah biaya investasi, perilaku hidrodinamis, kemampuan mobilitas, serta reliability dalam pengoperasiannya. Caledonian Offshore Ltd (1995) memaparkan beberapa jenis anjungan produksi migas yang dibedakan berdasarkan sifat mobilitasnya, yaitu fixed platform dan mobile platform.
25
Fixed platform yang umum digunakan yaitu steel leg platform, concrete gravity production platform, tension leg production platform, dan light weight production platform. Mobile platform yang umum digunakan yaitu jack up, semi-submersible production platform, semi-submersible production unit, dan floating production unit. Peralatan yang terdapat di anjungan produksi meliputi wellhead, separation, main oil line pumping, electrical switch gear dan transformer, water injection, workshop/controlling room, drilling derrick, gas compression, power generation, living accommodation, utilities dan cooling water, flare boom, dan helideck. Anjungan produksi mampu menampung sebanyak 500-800 orang tenaga kerja, craneage dengan kapasitas tinggi (100 ton), helideck yang luas, dan beberapa fasilitas akomodasi yang cukup lengkap dengan standard internasional. Anjungan produksi biasanya menjadi induk dari beberapa unit sumur yang dihubungkan dengan remote well head. a.
Steel Leg Platform
Jenis ini biasanya digunakan di area perairan dangkal dan pemasangannya dilakukan dengan cara menanam tiang kaki anjungan di dasar perairan. Jumlah kaki disesuaikan dengan kompleksitas fungsi berbagai peralatan yang terdapat di anjungan serta beban yang disangga. Anjungan ini membutuhkan area yang cukup luas, dan secara umum digunakan di lapangan produksi yang luas. Ilustrasi steel leg anjungan disampaikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Ilustrasi steel leg platform (Caladonian Offshore Ltd., 1995).
26
b.
Concrete Gravity Production Platform
Jenis anjungan ini digunakan di perairan kedalaman 200-300 m yang biasanya dihubungkan ke fasilitas penerima di darat (Gambar 6).
Gambar 6. Ilustrasi concrete gravity production platform. (Caladonian Offshore Ltd., 1995).
c.
Tension Leg Production Platform
Anjungan jenis ini dikembangkan dari jenis sub-mersible anjungan yang ditujukan untuk efisiensi biaya dalam kegiatan produksi migas di perairan laut dalam. Ilustrasi tension leg production anjungan disampaikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Ilustrasi tension leg production platform. (Caladonian Offshore Ltd., 1995).
27
d.
Light Weight Production Platform
Anjungan jenis ini digunakan untuk memudahkan transmisi hasil produksi yang diperoleh ke kapal penerima. Anjungan ini biasanya menerima minyak atau gas bumi dari sejumlah sumur, yang selanjutnya diproses dan ditransfer ke fasilitas penerima (kapal), dan biasanya dioperasikan di perairan laut dalam. Ilustrasi light weight production anjungan disampaikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Light weight production platform. (Caladonian Offshore Ltd., 1995).
e.
Jack Up, Semi-Submersible Production Platform, Semi-Submersible Production Unit, dan Floating Production Unit
Anjungan jenis jack up, semi-submersible production platform, semisubmersible production unit, dan floating production unit merupakan jenis anjungan yang bersifat mobile dengan desain yang dapat dipindah-pindah dan di pasang di perairan dalam atau dangkal.
Jack up rig memiliki fleksibilitas
pengaturan tinggi dan rendah posisi yang dapat disesuaikan dengan permukaan perairan. Jenis anjungan semi-submersible production platform (SSPP), semisubmersible production unit (SSPU), dan floating production unit (FPU) biasanya digunakan untuk kegiatan di perairan dalam dan diapungkan di perairan. Ilustrasi masing-masing anjungan tersebut disampaikan pada Gambar 9, 10, 11, 12, 13.
28
Gambar 9. Jack Up
Gambar 11. SSPU
Gambar 10. SSPP
Gambar 12. FPU
Sumber: Caladonian Offshore Ltd., 1995.
Seluruh jenis anjungan tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai fasilitas produksi, namun posisi peletakan anjungan berbeda. Posisi peletakan masing-masing jenis anjungan diilustrasikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Ilustrasi keberadaan anjungan berdasarkan jenis (http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_platform
29
Pada kegiatan produksi, juga dilakukan kegiatan flaring yang ditujukan untuk pembakaran gas buang dan pengatur keseimbangan proses produksi. Flaring dilakukan di menara flare stack, yang secara visual ditunjukan oleh ilustrasi api menyerupai obor pada Gambar 14.
Gambar 14. Ilustrasi kegiatan flaring di anjungan (http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_platform).
Jumlah flare stack berbeda-beda disesuaikan dengan kompleksitas kegiatan di anjungan tersebut. Jarak antara menara flare stack dengan permukaan air umumnya mencapai 30-60 meter. Kondisi ini menyebabkan efek terang dari pendar cahaya dapat mencapai permukaan air dengan baik, demikian juga dengan perbedaan suhu udara di bawah flare stack tersebut. Kegiatan yang berlangsung di anjungan secara umum relatif sama, yaitu kegiatan produksi, dan kegiatan akomodasi tenaga kerja. Pada pelaksanaannya, seluruh kegiatan mengacu pada prosedur baku untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah mengacu pada ketentuan internasional dan peraturan negara yang relevan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tidak terdapat pembuangan limbah anorganik dan limbah berbahaya ke perairan laut yang dilakukan dari fasilitas anjungan produksi migas di laut. Keselamatan kegiatan dilindungi dengan baik, mengingat tingginya resiko dan bahaya yang dapat terjadi di fasilitas anjungan tersebut. Pengamanan dilakukan dari segi peralatan dan prosedur kerja, serta diberlakukannya zona larangan mendekati instalansi anjungan sejauh radius 500 meter, dan zona terbatas sejauh 750 meter dari zona larangan.
30
Pemberlakuan zona larangan dan zona terbatas di sekitar lokasi instalansi anjungan ditujukan untuk melindungi kegiatan dari jangkauan kegiatan lain yang dapat berakibat fatal pada sistem peralatan di anjungan. Ketentutuan yang belaku di zona larangan yaitu tidak diperkenankannya kegiatan lain dalam bentuk apa pun memasuki area radius 500 meter dari instalansi, dan zona ini dijaga dengan sistem patroli yang sangat ketat. Pada zona terbatas diberlakukan ketentuan tidak diperkenankannya kegiatan lain melakukan pemasangan jangkar atau kegiatan lain yang dapat menyentuh dasar perairan. Ketentuan ini didasarkan pada UU No. 1 tahun 1973 tentang landas kontinen yang didukung pula oleh PP No. 5 tahun 2010 tentang kenavigasian. Dari telaah pustaka tersebut, maka jenis anjungan yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis steel leg platform yang dipasang di kedalaman perairan <200 meter.
Kegiatan yang berlangsung di anjungan yang diteliti meliputi
kegiatan produksi, kegiatan akomodasi tenaga kerja, dan kegiatan flaring. Tidak terdapat pembuangan limbah anorganik dan limbah berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dibuang ke perairan laut, sehingga kemungkinan terjadinya pencemaran perairan relatif sangat kecil. 2.3. Respon Ikan terhadap Anjungan Produksi Migas di Laut
Penelitian tentang respon sumber daya ikan dan biota laut lainnya terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut telah dilakukan, diantaranya oleh Schroeder et al. (1999); Love et al. (2003); Jablonski (2002). Sebagian besar penelitian tersebut berlokasi di Pesisir California tepatnya di area anjungan produksi migas yang berada di perairan dangkal (kedalaman <1000 meter). Penelitian yang dilakukan lebih difokuskan pada kajian biologi, yaitu analisis tentang kemampuan anjungan produksi migas di laut untuk menjadi habitat baru bagi sejumlah ikan. Parameter yang dikaji yaitu tingkat densitas dan kelimpahan ikan, serta keragaman jenis ikan yang terdapat di area anjungan, dengan menggunakan ekosistem karang alami sebagai pembanding (tolok ukur). Schroeder, et al. (1999) telah melakukan penelitian tentang nilai relatif habitat di perairan dangkal lokasi anjungan produksi migas bumi di Santa Maria Basin dan Santa Barbara Channel, California.
31
Nilai relatif habitat tersebut dikomparasikan dengan nilai relatif habitat ekosistem karang alami yang berada tidak jauh dari lokasi anjungan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai relatif habitat di kedua lokasi studi, yaitu nilai relatif habitat yang lebih rendah mencapai 42% di area anjungan dibandingkan dengan area terumbu karang alami. Namun demikian, area anjungan terbukti mampu mendukung keberadaan juvenil ikan rock fish (Sebastes spp.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien variation dari habitat di area anjungan lebih tinggi (42%) dibandingkan dengan area terumbu karang alami (19%). Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan di perairan dengan variasi kedalaman lokasi anjungan yang dibandingkan dengan area terumbu karang alami dengan variasi kedalaman yang relevan. Kedalaman lokasi anjungan berbanding negatif dengan tingkat densitas dan keragaman jenis sumber daya ikan yang ada. Dari penelitian itu diketahui bahwa anjungan dengan kedalaman maksimal >46 meter memiliki nilai habitat dan koefiseien variasi tertinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan area terumbu karang alami. Kondisi ini dikaitkan dengan kuat arus dan gelombang yang terjadi di lokasi tersebut. Diyakini struktur anjungan mampu menjadi faktor penahan arus, yang berpengaruh pada pertahanan larva dan juvenile ikan di sekitar anjungan. Hal ini dapat menguatkan bagaimana kelimpahan juvenil ikan rock fish (Sebastes spp.) dapat berada dalam nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan area lainnya. Sebagian besar jenis ikan yang ditemukan di area anjungan merupakan ikan pelagis yang dalam pergerakannya cenderung membentuk kawanan atau schooling (Gambar 15 dan Gambar 16).
Gambar 15. Gambar 16. Gambar 15. Bocaccio dewasa (Sebastes paucispinis) dan Gambar 16. Cowcod (S. levis) di bawah Anjungan Gail, Eastern Santa Barbara Channel (Schroeder, et al., 1999).
32
Jablonski (2002) melakukan penelitian serupa pada tahun 2001-2002 bertempat di Campos-Santos Basin. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek anjungan produksi migas di laut terhadap produksi perikanan tangkap, terkait dengan zona larangan (radius 500 meter) yang diberlakukan di sekitar anjungan. Penelitian dilakukan melalui pengamatan visual terhadap hasil tangkapan dengan unit penangkapan berupa hand long line. Target tangkapan pada penelitian ini adalah jenis ikan tuna, sardine, dan mackerel. Penelitian dilakukan dengan pembedan titik pengamatan menjadi 3 titik, yaitu di dalam radius 500 meter, di luar radius 500 meter, dan di area perbatasan dalam-luar radius 500 meter. Selain membedakan titik pengamatan, tata waktu pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap, dengan melibatkan nelayan dan pengamat (pencatat hasil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tangkapan terbanyak diperoleh dari area perbatasan (6.700 kg), sedangkan jumlah tangkapan di dalam dan luar radius 500 meter menunjukkan hasil yang relatif sama yaitu masing-masing 1.300 kg dan 1.400 kg. Banyaknya jumlah tangkapan di area perbatasan diduga sebagai akibat dari letak anjungan yang tepat di area penangkapan ikan terbaik. Love et al. (2003), menyatakan bahwa anjungan produksi migas di laut memiliki 2 fungsi utama terkait dengan fungsi ekologi habitat ikan.
Fungsi
tersebut yaitu fungsi kolom perairan sebagai nursery ground untuk jenis rock fishes (Sebastes spp.) dan jenis spesies lainnya, dimana kolom perairan memiliki kuat arus yang mendukung pertahanan keberadaan juvenil ikan; serta fungsi dasar perairan (pertemuan pipa dan dasar laut) yang dapat menjaga dan meningkatkan kelimpahan ikan remaja dan ikan dewasa. Konstruksi tiang-tiang anjungan mampu mengundang alga dan dapat menjadi tempat menempel biota laut. Demikian seterusnya kondisi tersebut dalam jangka waktu yang lama mampu membentuk habitat baru bagi ikan. Jenis ikan yang banyak ditemukan di area ini adalah ikan rockfishes, lingcod (Ophiodon elongatus), painted greenling (Oxylebius pictus), dan jenis ikan karang. disampaikan pada Gambar 17.
Ilustrasi hasil pengamatan ini
33
Gambar 17. Kondisi ekosistem di area anjungan produksi migas di laut. (Love et al., 2003). Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bagaimana kondisi ekologi biota laut yang berada di area anjungan. Penelitian ini sekaligus menggambarkan bagaimana anjungan produksi migas di laut dapat menjadi daya tarik bagi ikan dan menjadikannya sebagai habitat baru. Love et al. (2003) menyatakan bahwa adanya alga yang bersimbiosis dengan pipa dan peralatan bawah laut menciptakan kehidupan baru di sekitar anjungan. Alga dan plankton selanjutnya menarik kehadiran biota laut lainnya sehingga menciptakan rantai makanan. Demikian kondisi ini berlangsung secara terus-menerus dalam durasi waktu yang cukup lama sehingga terbentuk ekosistem baru yang dapat menuju stabil. Pada studi tersebut, kajian ditekankan pada keberadaan anjungan yang sudah tidak berproduksi, yang dikatakan dapat berperan sebagai articial reef. Layaknya artificial reef lainnya, anjungan produksi migas di laut terbukti mampu membentuk ekosistem baru yang dapat menjadi habitat bagi ikan jenis tertentu. Pengkajian aspek ekonomi terkait dengan manfaat anjungan masih minim, sehingga dari studi yang dirujuk, belum diketahui besaran nilai ekonomi yang dapat disimpan oleh habitat yang terbentuk di sekitar area anjungan.
34
2.4. Respon Ikan terhadap Cahaya
Selain faktor makanan yang cukup, kondisi ekologi dan kualitas perairan yang mendukung, keberadaan cahaya juga menjadi faktor penting bagi kehadiran jenis ikan tertentu. Belum ditemukan penelitian yang secara khusus mengkaji efek cahaya di anjungan terhadap daya tarik ikan. Namun demikian, telah terdapat banyak studi tentang respon ikan terhadap cahaya yang dapat dianalogikan dengan efek cahaya dari anjungan produksi migas di laut. Kegiatan pencahayaan di anjungan berasal dari cahaya lampu penerangan anjungan, lampu signal, dan cahaya flaring. Ikan memiliki respon positif dan negatif terhadap rangsangan cahaya, yang sering dikenal dengan istilah fototaksis positif (mendekati cahaya) dan fototaksis negatif (menjauhi cahaya). Pada jenis ikan fototaksis positif, pendaran cahaya di perairan akan merangsang ikan untuk mendekat dan berkumpul di area terang dan sebaliknya pada jenis ikan yang bersifat fototaksis negatif akan cenderung menjauhi cahaya. Laevastu dan Hayes (1991), menjelaskan bahwa cahaya dengan segala aspek yang dikandung seperti intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektral, arah dan panjang gelombang, serta lama penyinaran akan mempengaruhi tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Dikatakan bahwa ikan memiliki respon yang cukup baik terhadap rangsangan cahaya, meskipun besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara 0,01-0,001 lux yang ditentukan oleh kemampuan suatu jenis ikan untuk beradaptasi. Warna cahaya sangat berpengaruh pada daya tarik ikan, cahaya akan efisien jika sinar warna lampu dapat menembus kedalaman tertinggi.
Warna lampu tersebut adalah
warna
lampu yang sejenis dengan warna perairan.
Sudirman et al. (2000) mengemukakan bahwa warna cahaya yang baik
digunakan untuk menarik dan mengumpulkan ikan adalah warna cahaya biru, kuning dan merah. Gunarso (1985) menyatakan bahwa ketertarikan ikan terhadap cahaya juga disebabkan oleh indikasi keberadaan makanan. Dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ikan yang berada dalam kondisi lapar akan lebih mudah terpikat oleh adanya cahaya dibandingkan dengan ikan yang dalam keadaan tidak lapar.
35
Dikatakan pula bahwa respon ikan muda terhadap rangsangan cahaya adalah lebih besar dibandingkan dengan respon ikan dewasa dan setiap jenis ikan memiliki intensitas cahaya optimum terkait dengan ketertarikannya. Ayodhya (1981) menyebutkan bahwa peristiwa tertariknya ikan di bawah cahaya dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu; peristiwa langsung, dimana ketertarikan ikan menuju cahaya sangat berhubungan langsung dengan peristiwa fototaksis, misalnya jenis ikan sardinella, kembung dan layang; peristiwa tidak langsung, dimana ketertarikan disebabkan oleh adanya konsentrasi plankton yang menjadi sumber makanan ikan kecil dan ikan lainnya berkumpul, lalu ikan dengan ukuran lebih besar datang dengan tujuan mencari makan (feeding). Beberapa jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tenggiri, selar dan jenis ikan pelagis dan demersal lainnya. Selain dua kelompok di atas terdapat ikan yang tertarik pada cahaya sebagai hasil dari reflex defensive ikan terhadap predator. Hal ini terjadi berkaitan dengan pembentukan schoolling dan kemampuan penglihatan pada ikan. Ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan menyebar pada saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan lebih mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh cahaya buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi, sehingga memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dari incãran predator. Temuan ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Schroeder, et al., (1999) terkait dengan tingginya kelimpahan ikan yang berada dalam fase juvenil di area anjungan. Selain faktor kuat arus yang diperlemah oleh bangunan anjungan, maka kehadiran ikan dalam fase juvenil bisa jadi disebabkan oleh faktor cahaya anjungan yang dipantulkan ke perairan. Hasil penelitian tersebut memberikan analogi terkait dengan kemampuan anjungan dalam mengumpulkan ikan melalui efek cahaya lampu dan flaring. 2.5. Analogi Efek Kawasan Konservasi Laut di Area Anjungan Migas
Haryadi (2004) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut merupakan salah satu upaya yang dikembangkan untuk mengembalikan fungsi sosial, ekologis, dan ekonomi suatu kawasan perairan agar dapat memberikan manfaat optimal yang berkesinambungan.
36
Dibentuknya kawasan konservasi laut (KKL) ditujukan untuk mereduksi kondisi over fishing, sehingga manfaat ekonomi dari kegiatan penangkapan ikan dapat dinikmati untuk jangka waktu yang lebih panjang. Pada pelaksanaannya, penetapan KKL kerap memperoleh respon negatif dari masyarakat nelayan yang berkepentingan. Respon tersebut terkait dengan penyempitan area penangkapan ikan, yang bedampak pada peningkatan persaingan dan memicu peningkatan biaya operasional penangkapan ikan. Nababan & Sari (2004) melakukan kajian terhadap manfaat KKL Kepulauan Seribu dengan melakukan penghitungan manfaat berbasis data produksi periode 1990-2001. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan produktivitas nelayan pada periode sebelum dan setelah penetapan KKL di Kepulauan Seribu. Perbedaan produktivitas menunjukkan angka yang cukup signifikan untuk menyatakan bahwa keberadaan KKL dapat memberi manfaat positif terhadap pertumbuhan biomass ikan pada kedua segmen waktu kajian. (Fauzi dan Buchary, 2002 diacu dalam Nababan & Sari, 2004) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan produksi yang sangat signifikan pasca dibentuknya Taman Nasional Kepulauan Seribu sampai dengan tahun 1999. Pendekatan yang digunakan dalam penghitungan manfaat KKL terhadap perikanan tangkap terdiri atas analisis produktivitas dan analisis bioekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana KKL dapat berperan secara efektif untuk mempertahankan keberlangsungan stok ikan, sehingga yang ditangkap oleh nelayan hanyalah limpahan (spill over) dari area konservasi. Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran analogi kondisi yang terjadi di area sekitar anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan zona aman kegiatan sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen.
Kondisi
ini
secara
langsung
menciptakan
suatu
area
perlindungan/konservasi sementara selama anjungan produksi masih beroperasi di area tersebut.
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Pesisir Karawang dan Pesisir Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Pesisir Karawang merupakan lokasi objek utama permasalahan yang diteliti, dan Pesisir Cirebon merupakan titik kontrol. Dalam penelitian ini Pesisir Karawang selanjutnya disebut sebagai area migas, dan Pesisir Cirebon disebut sebagai area non migas. Tempat penelitian secara spesifik dipilah menjadi 3 lokasi, yang secara rinci disampaikan pada Tabel 1 dan digambarkan pada peta lokasi penelitian (Lampiran 1). Tabel 1 Tempat pelaksanaan penelitian tesis No. 1.
Tujuan Penelitian
Data yang Dikumpulkan
Menganalisis Persepsi Nelayan
Data persepsi nelayan
Tempat Pesisir Karawang: Cilamaya Wetan, Cilamaya Kulon, Tempuran, Pedes, Cibuaya, Tirtajaya, Tanjungpakis. Pesisir Cirebon: Gebang, Ender, Losari, Pangenan, Astanajapura, Mundu, Gunungjati, Suranenggala, Kapetakan.
2.
Menganalisis Eksternalitas Keberadaan Kegiatan Produksi Migas di Laut terhadap Perikanan Tangkap
Produktivitas per trip
Di 3 titik pengambilan contoh yang diberi nama area migas, area non migas, dan area anjungan. Area migas adalah area perairan di Karawang yang boleh diakses oleh nelayan (di luar zona aman kegiatan migas radius 500 meter). Area non migas adalah area di Cirebon yang dianggap sebagai titik kontrol (area tanpa anjungan migas). Area anjungan adalah area di dalam radius 500 meter dari anjungan produksi migas di laut.
Kondisi bioekonomi
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. Kantor BPS Provinsi Jawa Barat.
38
Pemilihan Pesisir Karawang sebagai wilayah objek penelitian didasari oleh beberapa pertimbangan, yaitu: a)
Intensitas kegiatan migas di area Pesisir Karawang cukup tinggi. Kegiatan migas di pesisir Karawang dilakukan dalam berbagai bentuk seperti survei seismik laut 2D dan 3D dan area produksi yang sudah dikembangkan sejak puluhan tahun yang lalu sampai dengan sekarang (2012).
b)
Pada sisi lain, area pesisir lokasi produksi migas di laut juga merupakan area penangkapan ikan (fishing ground) utama oleh nelayan lokal.
Tingkat
ketergantungan nelayan terhadap area perairan ini cukup tinggi. c)
Keluhan yang pernah dan kerap terjadi terkait dengan pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam di pesisir Karawang perlu mendapatkan solusi yang tepat. Pemilihan Pesisir Cirebon sebagai titik kontrol dari penelitian ini didasari
oleh beberapa pertimbangan, yaitu: a).
Karakteristik kondisi pesisir yang relatif mirip dengan Pesisir Karawang, baik dari kualitas perairan dan sumber daya ikan serta aktivitas penangkapan ikan yang dimiliki.
b).
Di Pesisir Cirebon belum terdapat kegiatan produksi migas yang melibatkan keberadaan fasilitas produksi migas di laut, sehingga dapat dikatakan bahwa area perairan masih relatif bersih dari keberadaan fasilitas produksi migas di laut.
3.2. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang digunakan meliputi data produktivitas nelayan per jenis alat tangkap, data produksi penangkapan ikan tahun 1996-2010, data statistik penangkapan ikan, yang memuat perkembangan jumlah nelayan, perahu, dan alat tangkap, serta data indeks harga konsumen (IHK) wilayah Karawang yang didekati dengan data IHK Kabupaten Cirebon. Data kualitatif yang digunakan meliputi data persepsi nelayan, yang dipilah menjadi 2 kelompok persepsi, meliputi persepsi umum dan persepsi terkait dengan keberadaan kegiatan migas di laut.
39
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan atas sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer bersumber dari pengamatan langsung, data responden dan informasi yang diperoleh dari narasumber. Data sekunder bersumber dari data yang diarsipkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan berupa laporan tahunan, data produksi dan harga ikan dari tempat pelelangan ikan (TPI), data IHK dari Kantor BPS, dan informasi terkait dengan profil kegiatan migas yang terdapat di Pesisir Karawang. Sumber informasi dan data primer dalam penelitian ini meliputi informan, responden, dan objek yang diamati. Informan merupakan narasumber pemberi informasi terkait dengan penelitian yang terdiri atas nelayan, tokoh nelayan, juragan pemilik perahu penangkapan ikan, bakul ikan, pengurus TPI, pengurus KUD (Koperasi Unit Desa), staff Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten, provinsi, dan pusat, serta staff BPS (Biro Pusat Statistik). Metode pengumpulan data dilakukan dengan 3 teknik, yaitu wawancara, pengisian kuisioner, dan penangkapan aktual. Wawancara dilakukan untuk mendalami data yang dikumpulkan dari kuisioner dan data kualitatif dari tokoh nelayan dan staf kantor dinas yang terkait. Pengisian kuisioner dilakukan untuk mengumpulkan data persepsi nelayan dari perwakilan masing-masing jenis alat tangkap yang digunakan di lokasi penelitian. Teknik penangkapan aktual dilakukan untuk mengatasi keterbatasan data hasil tangkapan di area anjungan, dimana data ini tidak dapat diperoleh melalui TPI maupun kuisioner. Penjelasan dari masing-masing teknik tersebut disampaikan sebagai berikut: 3.2.1. Wawancara Teknik wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi secara mendalam terkait dengan objek penelitian. Pada penelitian ini wawancara dilakukan terhadap informan yang meliputi staff Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (subdit perikanan tangkap), petugas tempat pelelangan ikan (TPI) yang dituju oleh nelayan, serta tokoh nelayan. Informasi dari hasil wawancara digunakan sebagai rujukan untuk mengidentifikasi jenis alat tangkap yang mampu menjangkau anjungan produksi migas.
40
Identifikasi ini sangat penting dalam penggambaran tingkat intensitas kepentingan masing-masing jenis alat tangkap terhadap area perairan yang digunakan sebagai area anjungan produksi migas. Wawancara juga dilakukan untuk memperoleh
informasi terkait dengan usulan kebijakan pengelolaan
kegiatan di area anjungan migas agar tetap sinergis dengan kondisi lingkungan dan kegiatan lain yang terdapat di sekitarnya. 3.2.2. Pengisian Kuisioner Teknik pengisian kuisioner dilakukan untuk mengumpulkan data persepsi nelayan, produktivitas penangkapan ikan (alat, biaya operasional, produksi, dan pendaoatan), serta identitas responden yang menyangkut asal, pengalaman usaha, dan umur. Data kuisioner dikumpulkan dari data responden yang diambil dengan metode stratified random sampling dan cluster purposive sampling.
Metode
stratified random sampling dilakukan terhadap responden di area migas (Karawang). Dengan metode ini maka jumlah total contoh yang diambil adalah sebanyak 100 orang. Metode cluster purposive sampling dilakukan terhadap responden di area non migas (Cirebon). Pengelompokan dilakukan berdasarkan jenis alat tangkap ikan yang digunakan. Asumsi yang digunakan dalam penentuan jumlah contoh ini adalah bahwa responden memiliki karakteristik dan kebiasaan operasional alat tangkap yang homogen pada setiap jenis alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, selanjutnya perwakilan contoh dipilih sebanyak 10 orang untuk masing-masing jenis alat tangkap, kecuali pada jenis alat tangkap bagan yang hanya mengambil 3 contoh. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan responden bagan di lapangan, namun demikian jumlah ini relatif mampu mewakili kelompok nelayan bagan. Pemilihan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat pemahaman terhadap alat tangkap yang diwakili.
Dengan demikian,
jumlah contoh yang diambil di area migas yaitu sebanyak 100 orang, dan jumlah contoh di area non migas adalah sebanyak 113 orang. 3.2.3. Penangkapan Aktual (Ground Truth Observation)
Teknik ini dilakukan dalam pengumpulan data produktivitas nelayan per trip
di titik area migas, area non migas, dan area anjungan (zona aman). Metode ini dilakukan dengan pertimbangan tidak tersedianya data terkait dengan hasil tangkapan di area anjungan produksi migas di laut.
41
Data dikumpulkan dengan teknik pencatatan hasil tangkapan per trip dari masingmasing perahu di titik pengambilan contoh. Pada teknis pelaksanaannya, digunakan 3 unit perahu payang yang dilengkapi dengan 10 unit lampu berdaya 450 watt per lampu. Perahu payang berukuran panjang 7 meter dengan lebar 3 meter, dan tinggi palkah 1 meter. Jaring yang digunakan adalah jaring payang dengan luasan 250 meter. Jumlah anak buah kapal (ABK) di masing-masing perahu sebanyak 14 orang. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan mengikuti rutinitas nelayan payang, yaitu pada malam hari dengan hitungan hari gelap bulan (bulan mati). Waktu gelap bulan diyakini sebagai waktu penangkapan ikan yang memberikan tingkat produktivitas terbaik untuk nelayan. Bias data diminimalisir dengan penggunaan unit penangkapan ikan dan waktu penangkapan yang sama. Dengan demikian, ketiga perahu dengan spesifikasi yang sama bergerak secara bersamaan (waktu berangkat, mayang, dan kembali). Pendaratan dan penjualan ikan dilakukan di TPI terdekat, yaitu di TPI Singa Perbangsa untuk perahu yang berlokasi di area migas dan area anjungan produksi, serta di bakul ikan untuk perahu yang berlokasi di Cirebon. Hasil tangkapan yang diperoleh selanjutnya dicatat dalam form isian yang sudah disiapkan. Data yang dicatat terdiri atas data koordinat, waktu per segmen kegiatan (mulai dari berangkat, tiba, setting lampu, tawur/tebar dan angkat jaring), nama ikan, dan jumlah ikan (dalam taksiran kg). Setiap trip terdiri atas 2-3 kali tebar-angkat untuk di area migas dan non migas, dan rata-rata 6-12 kali tebarangkat untuk area anjungan (zona larangan). Setelah mendarat, dilakukan pencatatan harga masing-masing jenis ikan di TPI yang dituju. Penghitungan dilakukan untuk mengetahui produktivitas di masing-masing area. Keterbatasan sumber daya yang digunakan dalam penelitian ini menyebabkan pengambilan contoh dilakukan selama bulan Mei-Agustus, dengan total jumlah pengambilan contoh sebanyak 15 kali (15 contoh). Dari 15 trip pengambilan contoh, sebanyak 1 trip diambil pada saat bulan penuh (purnama) dan sebanyak 2 trip contoh mengalami kegagalan.
42
Kegagalan ini disebabkan oleh putaran arus yang dialami oleh payang di titik area non migas, dan kegagalan akibat gelombang yang cukup tinggi sehingga tim kesulitan untuk melakukan penangkapan di area anjungan yang menyebabkan pengambilan contoh dihentikan sebelum waktunya. Data trip yang diambil pada saat bulan penuh (purnama) hanya digunakan sebagai pembanding produktivitas dengan kondisi pada gelap bulan (bulan mati). Ketiga data ini digugurkan dari penghitungan terkait dengan pertimbangan kelaikan data. Dengan demikian jumlah data yang digunakan dalam perhitungan (estimasi) produktivitas adalah sebanyak 12 data. 3.3. Metode Analisis Data Penyusunan data yang berhasil dikumpulkan meliputi 3 tahapan, yaitu editing, coding, serta tabulasi dan analisis. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa rangkaian dokumen, hasil wawancara, serta dokumen/literatur lainnya. Mile dan Hubermen (1992) mengemukakan bahwa analisis data dapat dilakukan dengan rangkaian kegiatan yang meliputi: (1) Pereduksian data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, penajaman, penggolongan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan di lapangan; (2) Penyajian data, yaitu penyusunan sekumpulan informasi dan data untuk memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Pada tahap ini, bentuk teks naratif yang sering ada dalam analisis kualitatif dimanfaatkan untuk menemukan pola-pola yang sederhana.
Penyajian data
menggunakan matriks tabulasi, grafik dan bagan yang seluruhnya ditujukan untuk menggabungkan informasi yang diperoleh menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara utuh; (3) Penarikan kesimpulan, yaitu rangkaian kegiatan dari konfigurasi yang utuh hasil dari kegiatan yang berulang-ulang antara reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan sesuai dengan tinjauan catatan lapangan. Seiring dengan dilakukannya tahapan kegiatan tersebut, dilakukan pula analisis komparasi studi literatur. (Glaser dan Strauss, 1967 diacu dalam Bungin, 2003) menjelaskan bahwa komparasi digunakan sebagai prosedur untuk mencermati hasil reduksi data atau pengelolaan data untuk mendapatkan keterandalan dan keabsahan konsep, teori, serta keseluruhan temuan lapangan sehingga data dan kondisi lapangan dapat dipadukan dengan baik.
43
Suriasumantri (1998) menjelaskan bahwa pengumpulan dan pengolahan data memerlukan instrumen tertentu. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi recorder, kuisioner, form isian, dan buku catatan; sedangkan instrumen yang digunakan pada pengelolaan data yaitu MS Excell dan MAPLE versi 11.0. 3.3.1. Analisis Deskriptif Kualitatif Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis persepsi nelayan tentang pengaruh keberadaan anjungan produksi migas di laut terhadap kegiatan penangkapan ikan. Variabel penelitian yang diamati meliputi persepsi (baik persepsi positif maupun negatif), keluhan nelayan, serta isu potensi konflik dan konflik yang pernah terjadi terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di laut dan kegiatan penangkapan ikan. Data persepsi nelayan dikumpulkan melalui wawancara dan pengisian kuisioner yang selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. 3.3.2. Analisis Produktivitas Analisis produktivitas digunakan untuk mengestimasi produksi yang hilang (loss of productivity) dari kegiatan penangkapan ikan akibat keberadaan kegiatan migas di laut yang juga merupakan area penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Hasil tangkapan yang diperoleh di masing-masing titik pengambilan contoh selanjutnya dikomparasikan sehingga diperoleh gambaran kondisi produktivitas alat tangkap di masing-masing titik tersebut. Dari hasil komparasi yang dilakukan akan diperoleh selisih atau perbedaan produktivitas kegiatan penangkapan ikan per trip di area migas dengan di area non migas. Estimasi perbedaan produktivitas kegiatan penangkapan ikan per trip dilakukan dengan memanfaatkan data hasil tangkapan aktual yang dilakukan di 3 titik pengamatan. Tiga titik pengamatan tersebut masing-masing mewakili area migas (titik yang berada di area penangkapan saat ini), area non migas (titik yang berada di Cirebon untuk mewakili area perairan yang bersih dari keberadaan anjungan produksi migas di laut), dan area anjungan produksi migas (titik yang berada di dalam radius 500 m).
44
Produktivitas di masing-masing titik pengamatan tersebut dihitung dengan persamaan yang dikembangkan oleh Garcia, X.R. Doldan., M.L. Chas Amil, dan J. Touza (2010) berikut ini:
V = X ∗ Y ⎛ V1 ⎞ ⎜ ⎟ V = ⎜ .... ⎟ ⎜V ⎟ ⎝ n⎠
⎛ X 11 .... X 1n ⎞ ⎟ ⎜ X = ⎜ X 21 .... X 2 n ⎟ ⎟ ⎜X ⎝ 31 .... X 3n ⎠
(30)
⎛ Y1 ⎞ ⎜ ⎟ Y = ⎜ .... ⎟ ⎜Y ⎟ ⎝ n⎠
dimana: V : Nilai ekonomi tangkapan per trip per alat tangkap (Rupiah) X : Jumlah hasil tangkapan per trip per alat tangkap (kg) Y : Nilai ekonomi tangkapan spesies ke-i, per alat tangkap (Rupiah) Estimasi nilai ekonomi produksi per trip tersebut dilakukan untuk masingmasing alat tangkap yang digunakan dalam pengambilan contoh. Perbedaan nilai ekonomi produksi penangkapan ikan di masing-masing titik pengambilan contoh selanjutnya diasumsikan sebagai akibat dari keberadaan kegiatan migas di laut. Perbedaan yang terjadi dihitung sebagai selisih produksi atau produktivitas yang hilang. Persamaan yang digunakan dituliskan dalam persamaan 31. Pi = Vi ∗ Z i dengan Vi = Qi ∗ pi
(31) dan
Zi =
S (migas ) S (nonmigas )
dimana: Pi
: Produksi yang hilang dari spesies ke-i
Vi
: Ekspektasi nilai ekonomi produksi spesies ke-i (Rupiah)
Qi
: Ekspektasi jumlah tangkapan spesies ke-i (kg)
pi
: Harga rata-rata spesies ke-i (Rupiah/kg)
Zi
:
S
: Spesies ke-i
Tangkapan yang hilang di area pemberlakuan zona terlarang
(32)
45
Dengan pendekatan produktivitas, besaran selisih nilai tersebut digambarkan sebagai jumlah produksi yang hilang akibat adanya kegiatan migas di laut, terkait dengan pemberlakuan zona larangan (radius 500 m). Perbedaan hasil tangkapan di ketiga titik pengambilan contoh, selanjutnya diuji komparasi secara statistik non parametrik, yaitu dengan uji tanda. Selain penghitungan perbedaan produktivitas per trip di ketiga titik pengamatan, penghitungan produktivitas juga dilakukan dari data series dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Fauzi, 2003 berikut ini: ⎛ NOt ΔVP = ⎜⎜ ⎝ xt
⎞ ⎟⎟ × Δ Pr , dimana Δ Pr = X − xt ⎠
(33)
dengan: ΔVP : Perbedaan nilai produksi pada tahun t NOt : Nilai output pada tahun t xt
: Output/produksi pada tahun t
ΔPr : Perbedaan produktivitas X
: Output/produksi rata-rata
xt
: Output/produksi pada tahun t
3.3.3. Standardisasi CPUE Alat Tangkap Ikan Analisis CPUE ditujukan untuk mengestimasi upaya alat tangkap di setiap titik pengamatan. Unit effort sejumlah armada penangkapan ikan dengan alat tangkap dan waktu tertentu dikonversi ke dalam satuan “boat-days” (trip). Pertimbangan trip yang digunakan adalah: (1) respon stok terhadap alat tangkap standard akan menentukan status sumber daya yang selanjutnya berdampak pada status perikanan alat tangkap lain; (2) total hasil tangkapan ikan per unit effort alat tangkap standard lebih dominan dibandingkan dengan alat tangkap lain; dan (3) daerah penangkapan alat tangkap standard berhubungan dengan daerah penangkapan alat tangkap lainnya. Pertimbangan beragamnya alat tangkap yang digunakan di lokasi penelitian, maka dilakukan standardisasi upaya tangkap antar alat. Standardisasi ini ditujukan untuk melakukan pengukuran upaya tangkap masing-masing alat dengan satuan pengukuran yang setara. Teknik standardisasi yang digunakan mengikuti persamaan yang dikembangkan oleh King (1995) diacu dalam Anna (2003):
46
Eit = ϕ it Dit , dimana ϕ it =
U it U std
(34)
dengan: Eit
: Effort dari alat tangkap yang distandardisasi
Dit
: Jumlah hari melaut (fishing days) dari alat tangkap i pada waktu t
Φit
: Nilai kekuatan menangkap (fishing power index) dari alat tangkap i pada periode t
Uit
: Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap i pada periode t
Ustd : Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap standard. 3.3.4. Analisis Bioekonomi Manfaat optimum lestari kegiatan penangkapan ikan di area migas dan area non migas diestimasi dengan analisis bioekonomi. Pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh nilai estimasi tangkapan lestari dari stok ikan, yang idealnya dilakukan pada setiap spesies ikan. Agar kondisi bioekonomi dapat diestimasi maka perlu dilakukan estimasi terhadap stok yang sangat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan, faktor biologi, dan faktor pendukung lingkungan lainnya, serta faktor ekonomi. Pendugaan Parameter Biologi Pada model ini pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistik yang ditentukan oleh faktor biomass ikan (x), pertumbuhan alamiah ikan (r), kapasitas daya dukung lingkungan (K). Kegiatan penangkapan ikan yang diupayakan oleh nelayan diasumsikan tergantung pada faktor input/upaya yang digunakan (E), biomass ikan (x), dan peluang tertangkapnya ikan (q). Berdasarkan asumsi tersebut, maka estimasi fungsi produksi dihitung melalui persamaan berikut ini, (Fauzi, 2010):
∂x . x⎞ ⎛ = x = rx⎜1 − ⎟ ∂t ⎝ K⎠
(35)
h = qxE
(36)
Dengan adanya penangkapan maka persamaan 35 dan 36 berubah menjadi persamaan 37.
47
dx x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ − qxE dt ⎝ K⎠
(37)
Parameter biologi selanjutnya diduga dengan menggunakan persamaan Clark, Yoshimoto, dan Pooley (1996) yang diacu dalam Fauzi, 2010 (persamaan 38) yang disederhanakan menjadi persamaan 39. ln(U t +1 ) =
(2 − r ) ln(U ) − q (E + E ) 2r ln(qK ) + t (2 + r ) (2 + r ) t t +1 2+r
ln (U t +1 ) = β 1 + β 2 ln(U t ) + β 3( Et + Et +1 )
(38) (39)
Hasil pendugaan β1, β2, dan β3 selanjutnya digunakan untuk menghitung parameter biologi r, q, dan K. Penghitungan nilai r, q, dan K dilakukan dengan menggunakan persamaan 40-42. r=
2(1 − β 2) (1 + β 2)
q = − β 3(2 + r )
(40) (41)
β 1( 2 + r )
K=
e
(2 r )
q
(42)
Nilai yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mengestimasi stok (x), dan jumlah tangkapan (h) yang dihitung dengan persamaan 43 dan 44. ⎡ qE ⎤ x = K ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣
(43)
⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
(44)
Pada kondisi MSY maka biomass (x) dan tangkapan (h) dihitung pada upaya penangkapan (Emsy) dengan persamaan 45-47 (Fauzi, 2010). E msy =
r 2q
(45)
hmsy =
rK 4
(46)
x msy =
(rK / 4) = K q(r / 2q ) 2
(47)
48
Pendugaan Parameter Ekonomi
Pendugaan parameter ekonomi dilakukan melalui estimasi biaya produksi (operasional penangkapan), dan harga ikan. Variabel biaya operasional diestimasi dari rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh nelayan alat payang per trip. Perhitungan biaya per trip dilakukan dengan formulasi pada persamaan 48. Parameter harga ikan diestimasi dengan harga riil ikan yang diperoleh dari konversi harga nominal tahun 1996-2009 dengan penyesuaian dengan IHK. Perhitungan harga dilakukan dengan formula pada persamaan 49. Dengan diketahui nilai harga, biaya dan tangkapan, maka dapat dilakukan penghitungan besaran penerimaan total lestari penangkapan ikan dengan persamaan 50. TC = cE
(48)
⎛P ⎞ Preal = ⎜ no min al ⎟ x100 ⎝ IHK ⎠
(49)
⎡ qE ⎤ TSR = pqKE ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣
(50)
dengan keterangan: TC
: Biaya total (Rupiah)
C
: Biaya per effort komponen biaya (Rupiah)
E
: Jumlah effort (trip)
Preal
: Harga riil produk tahun i (rupiah/kg)
Pnominal
:
IHK
: Indeks Harga Konsumen tahun i (%)
TSR
: Total Sustainable Rent (Rupiah)
Harga nominal tahun i (rupiah/kg)
Dari persamaan 48-50 maka nilai rente ekonomi dari kegiatan penangkapan dapat dihitung dengan persamaan 51. ⎡ qE ⎤ − cE Rente Ekonomi (π ) = pqKE ⎢1 − r ⎥⎦ ⎣
(51)
Hasil pendugaan parameter biologi dan ekonomi di area migas dan non migas selanjutnya dikomparasikan, sehingga diperoleh selisih kurva bioekonomi di area migas dan area non migas.
49
Selisih kurva tersebut digunakan untuk mengestimasi perbedaan kondisi bioekonomi di kedua area, yang dapat menggambarkan bentuk eksternalitas keberadaan anjungan produksi migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap. 3.4. Kerangka Pemikiran Studi
Adanya asumsi tentang penurunan produktivitas yang dikemukakan oleh nelayan akibat pengetatan zona aman kegiatan migas (radius 500 meter). Asumsiasumsi yang timbul berpotensi membentuk persepsi negatif di kalangan nelayan. Persepsi negatif yang terakumulasi berpotensi menjadi sumber konflik pemanfaatan kawasan yang sama untuk jenis SDA yang berbeda. Konflik pemanfaatan kawasan untuk lebih dari satu bentuk pengelolaan jenis sumber daya alam dapat berdampak pada inefisiensi masing-masing kegiatan. Hasil estimasi bentuk eksternalitas tersebut membutuhkan beberapa data dan alat analisis yang sesuai, agar hasil estimasi lebih akurat. Hasil estimasi yang diperoleh selanjutnya dijadikan input dalam penyusunan alternatif strategi pengelolaan kegiatan migas di laut agar tetap mengakomodir kepentingan kegiatan penangkapan ikan di sekitarnya. Selain alternatif strategi, dari penelitian ini juga diharapkan dapat diestimasi besaran kerugian ekonomi yang diderita nelayan akibat keberadaan kegiatan produksi migas di area perairan yang juga merupakan area penangkapan ikan utama oleh nelayan lokal. Estimasi nilai ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembayaran kompensasi oleh pihak pelaksana migas di laut kepada nelayan terdampak. Dengan demikian diharapkan alternatif strategi yang diusulkan dari penelitian ini dapat mengakomodir kepentingan kedua pihak, yaitu pihak nelayan dan pihak pelaksana kegiatan migas di pesisir Karawang. Usulan strategi dari penelitian ini diharapkan dapat dapat menjadi alternatif solusi yang efektif dan berkelanjutan terkait dengan konflik pemanfaatan kawasan dan sumber daya alam. Alur pemikiran dari studi ini disampaikan pada Gambar 15.
50
Kegiatan produksi migas di laut
Keberadaan anjungan produksi migas
Pembuangan limbah organik (sisa makanan)
Kegiatan flaring (pembakaran gas)
Pemberlakuan zona terlarang (radius 500 m)
Menarik konsentrasi ikan ke area anjungan
Nelayan tidak dapat mengakses area di sekitar anjungan migas
Pengaruh terhadap SDI: Stok, ekosistem biota laut di sekitar anjungan produksi migas di laut
Pengaruh Ekonomi:
Persepsi nelayan. Produktivitas nelayan per trip.
Impact Assessment
Persepsi nelayan terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut
Estimasi pengaruh anjungan produksi migas terhadap pendapatan
Estimasi pengaruh anjungan produksi migas terhadap SDI
Pendekatan produktivitas per trip
Analisis bioekonomi
Analisis deskriptif kualitatif
Studi literatur
ALTERNATIF STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEGIATAN DAN LINGKUNGAN
Keterangan:
: Pendekatan yang digunakan Gambar 15
Kerangka pemikiran studi.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Kondisi Umum 4.1.1.
Wilayah dan Kependudukan
Pesisir Karawang merupakan wilayah yang memiliki sumber daya alam dan lingkungan pesisir yang sangat berperan terhadap perekonomian penduduk setempat. Pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut di wilayah ini cukup kompleks, meliputi pemanfaatan nilai ekologi, ekonomi, serta sosial. Bentuk pemanfaatan nilai ekologi diperoleh dari fungsi ekosistem sebagai habitat biota laut (ikan pelagis, demersal, terumbu karang, dan ikan hias). Bentuk pemanfaatan nilai ekonomi diperoleh dari manfaat laut sebagai penghasil sumber daya ikan bernilai ekonomi. Selain sumber daya ikan, Pesisir Karawang juga memiliki sumber daya energi dan mineral berupa minyak dan gas bumi yang masih dikelola sampai saat ini. Bentuk pemanfaatan nilai sosial diperoleh dari fungsi kawasan sebagai arena sosial yaitu sebagai tempat berlangsungnya interaksi sosial masyarakat setempat, baik itu rutinitas sehari-hari maupun kegiatan terkait dengan budaya dan adat istiadat. Berdasarkan data Kabupaten Karawang dalam Angka 2010, luas wilayah Karawang kurang lebih 1.753,27 km2 dengan panjang pantai 84,23 km. Kabupaten Karawang terdiri atas 25 kecamatan dengan 297 desa dan 12 kelurahan. Kecamatan yang terdapat di pesisir adalah sebanyak 9 kecamatan, meliputi Cilamaya Wetan, Cilamaya Kulon, Tempuran, Pedes, Cilebar, Cibuaya, Tirtajaya, dan Batujaya.
Luas kecamatan pesisir mencapai 676,2 km2 atau
38,56% dari luas wilayah total. Kondisi kependudukan di Pesisir Karawang didekati dari data kependudukan tahun 2010.
Jumlah penduduk total di
Kabupaten Karawang yaitu sebanyak 2.125.234 orang. Kondisi serupa terdapat di Pesisir Cirebon, yang dijadikan sebagai titik kontrol dalam penelitian ini. Bentuk pemanfaatan nilai sumber daya pesisir dan laut di Cirebon cukup beragam, meliputi fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Kondisi wilayah yang masih berada dalam satu garis pantai menyebabkan Karawang dan Cirebon memiliki karakteristik wilayah yang relatif sama. Akan tetapi, di pesisir Cirebon belum terdapat pemanfaatan kawasan pesisir dan laut sebagai lokasi fasilitas produksi migas seperti yang terdapat di Pesisir Karawang.
52
Berdasarkan data Kabupaten Cirebon dalam Angka 2010, luas wilayah Cirebon kurang lebih 990,36 km2 dengan panjang pantai 54 km. Kabupaten Cirebon terdiri atas 31 kecamatan dengan 242 desa. Kecamatan yang terdapat di pesisir adalah sebanyak 7 kecamatan, meliputi Losari, Gebang, Astanajapura, Pangenan, Mundu, Cirebon Utara, dan Kapetakan. Luas kecamatan pesisir mencapai 310,21 km2 atau 31,32% dari luas wilayah total. Kondisi kependudukan di Pesisir Karawang didekati dari data kependudukan tahun 2010.
Jumlah penduduk total di
Kabupaten Karawang yaitu sebanyak 2.170.374 orang. 4.1.2.
Pendidikan Sarana pendidikan di Kabupaten Karawang relatif lengkap untuk setiap
jenjang pendidikan dari jenjang SD (Sekolah Dasar) sampai dengan perguruan tinggi. Sarana yang dapat diakses oleh penduduk pesisir pada umumnya adalah fasilitas pendidikan dari jenjang SD sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas), bagi penduduk yang ingin melanjutkan pendidikan sampai dengan jenjang perguruan tinggi maka harus melanjutkan sekolahnya di wilayah kota. Jarak tempuh dari lokasi pesisir ke kota relatif dekat, namun kondisi jalan yang pada umumnya masih belum diaspal dan tidak dijangkau oleh sarana angkutan umum menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi sekolah relatif lama. Kondisi ini sering dianggap menjadi kendala aksesibilitas penduduk terhadap sarana pendidikan formal. Tidak jarang penduduk usia sekolah menjadikan kondisi ini sebagai salah satu alasan hilangnya ketertarikan untuk melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Alasan tersebut didukung oleh beberapa penjelasan, misalnya harus memiliki kendaraan sendiri, atau tinggal jauh dari orangtua (menjadi anak kos), yang secara otomatis akan menuntut penduduk bersangkutan agar memiliki persediaan biaya yang lebih memadai. Pesisir Cirebon berada relatif dari kota, dan tingkat aksesibilitas penduduk pesisir ke kota relatif mudah. Hal ini disebabkan oleh jarak, kondisi jalan, dan sarana angkutan yang mendukung kegiatan mobilisasi penduduk pesisir. Sarana pendidikan yang tersedia di wilayah ini relatif lengkap dari jenjang taman kanankanak (TK) sampai dengan peguruan tinggi. Namun demikian, secara umum tingkat pendidikan yang dimiliki oleh penduduk pesisir masih relatif rendah.
53
Kondisi ini disebabkan oleh masih rendahnya minat penduduk usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan formal, yang disebabkan oleh kendala biaya sekolah yang dirasakan masih relatif tinggi. 4.1.3.
Kesehatan Kondisi kesehatan penduduk di pesisir Karawang dan Cirebon didukung
oleh beberapa sarana kesehatan yang sampai saat ini dimanfaatkan oleh penduduk, yaitu puskesmas pembantu (pustu), puskesmas, dan rumah sakit. Di puskesmas, umumnya penanganan penyakit dilakukan oleh tenaga medis meliputi dokter umum, perawat, mantri, dan paramedis. Penyakit yang tergolong serius, biasanya dirujuk untuk melakukan pengobatan ke rumah sakit daerah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diperoleh informasi jenis penyakit yang sering diderita oleh penduduk pesisir di antaranya yaitu rematik, diare, demam, batuk, dan sakit kepala. Jenis penyakit ini sangat dipengaruhi oleh pekerjaan, pola dan kebiasaan hidup penduduk. Pada umumnya, penduduk melakukan penanganan terhadap penyakit tersebut dengan cara beristirahat dari rutinitas, atau dengan pengobatan sendiri. Pengobatan sendiri dilakukan dengan mengkonsumsi obat yang dijual di warung. 4.2. Kondisi Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan 4.2.1. Hidrooseanografi Lokasi penelitian berada di wilayah perairan bagian barat Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan yang relatif tertutup, yang dihubungkan oleh Selat Karimata ke Laut Cina Selatan, dan ke Samudera Hindia oleh Selat Sunda dan Selat Bali. Di bagian timur, Laut Jawa terbuka ke Laut Flores. Batimetri INRR (2008) menjelaskan bahwa kondisi pantai di laut pantura Jawa Barat umumnya landai dengan kemiringan antara 0,4% di wilayah ujung Karawang, dan 0,06% di wilayah Teluk Cirebon. Perbedaan kelandaian pantai ini berkaitan dengan dinamika perairan pantai. Kedalaman perairan pada jarak 4 km (2,3 mil laut) diperkirakan mencapai 5 m, kedalaman pada jarak 13 km (7 mil laut) mencapai 10 m, dan pada jarak 21 km (~13 mil laut) mencapai 20 m.
54
Kontur kedalaman kurang dari 5 m memperlihatkan kondisi yang relatif sejajar dengan garis pantai. Demikian pula dengan garis kedalaman yang menunjukkan kondisi yang relatif sejajar dengan garis pantai antara 5 m-<10 m dan 10-<20 m, kecuali perairan sekitar Cirebon yaitu dengan kedalaman antara 5- <10 m. Arus (INRR 2008) memaparkan bahwa sistem arus permukaan di Laut Jawa sepenuhnya bergantung pada angin, kecuali di sekitar pantai, yang lebih ditentukan oleh fenomena geografis lokal. Pada saat Muson Tenggara (JuniSeptember), massa air dari bagian timur Kepulauan Indonesia masuk ke Laut Jawa, sebagian keluar melalui Selat Karimata dan sebagian melalui Selat Sunda menuju ke Samudera Hindia dengan kecepatan ~0,25 m/s hampir di seluruh lokasi dan mencapai 0,51 m/s di sekitar Pulau Belitung. Pada saat Muson Barat Laut (Desember-Maret) pola arus berbalik sepenuhnya dan menuju ke timur. Massa air bergerak dari Laut Cina Selatan melalui Selat Karimata di utara Laut Jawa keluar ke arah timur dan sebagian melalui Selat Sunda dengan kecepatan lebih kuat antara 0,51-1,02 m/s. Pada periode antar muson (April-Mei dan OktoberNovember) pola arus cenderung melemah. Pasang Surut (INRR 2008) membahas bahwa keadaan pasang surut (pasut) di wilayah perairan nusantara ditentukan oleh penjalaran pasang surut dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, morfologi pantai serta batimeri perairan yang kompleks, yang memiliki banyak selat, palung dan laut yang dangkal sampai dengan sangat dalam. (Dishidros 2006 diacu dalam INRR 2008) menyatakan bahwa berdasarkan data pasut di Tanjung Priok diperoleh bilangan Formhzal sebesar 4,60 yang menunjukkan bahwa pasut laut Jawa dan di Teluk Jakarta pada umumnya bertipe tunggal. Amplitudo pasut di Laut Jawa berkisar antara 1-1,5 m kecuali di Selat Madura yang mencapai 3 m. 4.2.2. Kualitas Air Laut (INRR, 2008) melakukan kajian tentang kualitas air laut yang diukur berdasarkan Baku Mutu Kepmen LH Nomor 51 tahun 2004. Parameter yang diukur diantaranya meliputi suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, nitrat, dan fospat.
55
Berdasarkan kajian tersebut, diketahui bahwa Pantai Utara (Pantura) Jawa memiliki kisaran suhu rata-rata antara 28-30°C. Sebaran suhu yang tinggi dominan berada di daerah pesisir pantai dan semakin rendah ke arah laut. Nilai pH di perairan Pantura secara rata-rata berkisar antara 3,8-9,7, dan salinitas berkisar antara 25-37,5‰. Wilayah perairan Pantura memiliki sebaran salinitas yang cukup homogen dan alami yaitu rata-rata sebesar 30,35‰. (INRR, 2008) mengkaji bahwa oksigen terlarut menyebar rata di perairan Pantura Jawa dengan kisaran 3,4-4,9. Tingkat kelarutan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu. Kelarutan oksigen akan semakin berkurang seiring dengan peningkatan suhu. Kisaran oksigen terlarut di wilayah perairan Pantura masih memenuhi Baku Mutu Kepmen LH Nomor 51 tahun 2004 yaitu 5 mg/L. Kondisi kandungan logam di perairan ditinjau dari beberapa parameter, yaitu logam berat Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Seng (Zn), dan Kadmium (Cd). Kandungan Hg berada pada kisaran 0-0,2 mg/L; Pb berkisar antara 0,008-0,058 mg/L; Zn berkisar antara 0-0,111 mg/L dengan rata-rata sebesar 0,017 mg/L; dan Cd berkisar antara 0,001-0,005 mg/L. Fosfat ditemukan dalam kisaran 0,004-0,052 mg/L dan ratarata 0,018 mg/L. Nitrat dikatakan cenderung terkonsentrasi di tengah perairan. Berdasarkan kajian tersebut diketahui bahwa sebagian besar parameter tersebut berada dalam ambang batas baku mutu dan sebagian kecil lainnya berada dalam kondisi melebihi ambang batas baku mutu Kepmen LH Nomor 51 tahun 2004. 4.2.3. Biota Perairan (INRR, 2008) melakukan kajian terhadap kondisi biota perairan yang meliputi plankton, bentos, terumbu karang, dan nekton: Plankton dan Bentos Jenis fitoplankton yang ditemukan di perairan Pantura Jawa Barat berkisar antara 5-21 taksa dengan kelimpahan berkisar antara 142.953-2.605.2015 sel/m3 dan indeks keragaman berkisar antara 1,122-2,633. Berdasarkan klasifikasi keragaman Shanon Wiener (1994) maka indeks keragaman tersebut tergolong dalam keragaman rendah-sedang. Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0,3810,910 dan indeks dominansi berkisar antara 0,090-0,586.
56
Jenis yang umum ditemukan diantaranya yaitu Tricodesmium sp, Rhizosolenia sp, Chaetosceros sp, Bacteriastrum sp, Coscinodiscus sp, Navicula sp, Nitzschia sp, Thalasiotrix sp, Pleurosigma sp, Leptocylindricus sp, Hemiaulus sp, Dytium sp, dan Amphora sp. Jenis zooplankton yang ditemukan di perairan Pantura Jawa Barat berkisar antara 4-17 taksa dengan kelimpahan berkisar antara 4.301-1.056.262 sel/m3. Indeks keragaman berkisar antara 0,914-2,460 yang tergolong dalam keragaman rendah sampai sedang (Klasifikasi keragaman berdasarkan Shannon Wiener, 1949). Indeks keseragaman berkisar antara 0,416-0,962 dan indeks dominansi berkisar antara 0,108-0,619. Jenis yang umum terdapat di perairan Pantura Jawa Barat adalah Ceratium sp, Parafavella sp, Noctiluca sp, Tintinopsis sp, Dictyocha sp, Chalanus sp, Oithona sp, dan Nauplius stadia. Jenis bentos di perairan Pantura Jawa Barat berkisar antara 3 taksa dengan kelimpahan mencapai 700 ind/m2. Jenis yang umum ditemukan antara lain Nuculla sp, Tellina sp, dan Nereis sp. Terumbu Karang (INRR, 2008) juga melakukan kajian terhadap terumbu karang di bagian utara Pantai Karawang. Dari hasil kajian tersebut diketahui bahwa terumbu karang terdapat di bentangan pantai antara Muara Cilamaya sampai dengan Muara Ciparage. Kondisi terumbu karang di lokasi tersebut berada dalam kategori buruk. Terumbu karang tumbuh di gosong-gosong karang, beberapa gosong karang utama antara lain Karang Guci, Karang Tengah, Karang Pasir, dan Karang Sedulang. Kondisi terumbu karang secara umum disampaikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pengamatan terumbu karang di utara Pantai Karawang Lokasi
Kedalaman
Persentase (%) Karang Hidup
Karang Mati
Alga
Keterangan Biota Lain
Abiotik
Karang Sedulang
0,5-3 m
23,8
35,4
32,1
0,9
7,8
Kondisi Buruk
Karang Tengah
1-3 m
5,3
11,1
12,4
2,1
69,1
Kondisi Buruk
Karang Pasir
1-2 m
4,7
5,4
8,3
1,9
79,7
Kondisi Buruk
Karang Guci
1-2 m
6,4
17,6
25,1
1,6
49,3
Kondisi Buruk
Sumber: INRR, 2008
57
Nekton Potensi sumber daya ikan yang terdapat di lokasi penelitian cukup beragam dan merupakan jenis ikan konsumsi. Komoditas perikanan tangkap di lokasi ini terdiri atas ikan demersal dan pelagis. Terdapat lebih kurang sebanyak 32 famili dengan 70 spesies yang teridentifikasi menjadi hasil tangkapan nelayan di Karawang dan Cirebon. Jenis ikan yang ditemukan di tempat pendaratan ikan dan bakul di lokasi penelitian disampaikan pada Tabel 3. Tabel 3 No. 1.
2.
3.
Jenis ikan yang terdapat di Karawang dan Cirebon Family
Scombridae
Caesionidae
Nemipteridae
Spesies
Nama Lokal
Nama Inggris
Auxis thazard
Tongkol
Frigate Mackarel
Euthynnus affinis
Tuna
Mackarel tuna
Rastrelliger kanagurta
Kembung
Long-Jawed Mackarel
Katsuwonis pelamis
Tongkol tuna
Skipjack tuna
Scomberomorus commerson
Tenggiri papan
Narrow-Barred Spanish Mackarel
Scoberomorus guttatus
Tenggiri
Double- Lined Mackerel
Thunnus albacares
Tuna
Yellowfin Tuna
Thunnus obesus
Tongkol
Bigeye Tuna
Caesio cuning
Ekor kuning
Red-Bellied Fusilier
Caesio teres
Ekor kuning
Yellow and Blueback Fusilier
Pterocaesio tile
Pisang-pisang
Dark-Banded Fusilier
Pterocaesio pisang
Pisang-pisang
Banana Fusilier
Nemipterus isacanthus
Kurisi
Twin-Lined Thriadfin-Bream
Nemipterus peronii
Kurisi
Notched ThreadfinBream
Nemipterus virgatus
Kurisi
Yellow-Lipped Thriadfin-Bream
58
No.
Family
Spesies
Nama Lokal
Nama Inggris
4.
Priacanthidae
Priacanthus hamur
Swanggi
Lunar-Tailed Bigeye
5.
Lutjanidae
Lutjanus erythropterus
Kakap merah
Crimson Seaperch
Lutjanus malabaricus
Kakap merah
Saddle-Taild Seaperch
Lutjanus sebae
Kakap merah
Red Emperor
Lutjanus gibbus
Kakap merah
Paddletail
Caranx ignobilis
Kue
Giant Trevalley
Caranx crumenopthalmus
Selar
Trevalley
Caranx sexfasciatus
Kue
Bigeye Trevalley
Caranx tille
Kue
Tille Trevalley
Decapterus kuroides
Layang
Scad
Decapterus russelli
Layang
Russell’s Mackerel Scad
Decapterus sp.
Layang
Scad
Elegatis hipunnulata
Salem
Rainbow Runner
Megalapis cordyla
Daun bambu
Finny Scad
6.
Carangidae
7.
Sphyraenidae
Sphyraena obstuta
Barracuda
Seapike
8.
Serranidae
Epinephelus tauvina
Kerapu lumpur
Reef Cod
Epinephelus lanceolatus
Kerapu kertang
Quennsland Groper
9.
Trichiuridae
Trichiurus haumella
Layur
Hair Tail
10.
Clupeidae
Amblygaster sirm
Tembang
Northern Pilchard
Sardinella sirm
Lemuru
Sardine
Anodontostoma chacunda
Selanget
Gizzard Shad
Stolephorus indicus
Teri
Indian Anchovy
Stolephorus sp.
Teri
Anchovy
Sphyraena obtusata
Alu-alu
Striped Seapike
Sphyraena jello
Alu-alu
Giant Seapike
11.
12.
Engraulidae
Sphyraenidae
13.
Ariidae
Arius venosus
Manyung
Catfish
14.
Leiognathidae
Leiognathus equulus
Petek
Common Ponyfish
Secutor ruconius
Petek
Common Ponyfish
59
No. 15.
Family Acanthuridae
Spesies
Nama Lokal
Nama Inggris
Acanthurus nigrofuscus
Sebelah
Dusky Surgeonfish
Acanthurus thompsoni
Sebelah
Thompson’s Surgeonfis
16.
Bothidae
Psettodes erumei
Sebelah
Queensland Halibut
17.
Cynoglossidae
Paraplagusia bilineata
Sebelah
Patterned Tongue Sole
18.
Shark
Shark
Hiu
Shark
19.
Dasyatidae
Amphotistius kuhlii
Pari kembang
Blue-Spotted Fantail Stingray
20.
Myliobatidae
Aetobatus narinari
Pari burung
Spotted Eagle Ray
21.
Synodontidae
Saurida tumbil
Bloso
Common Grinner
22.
Polynemidae
Eleutheronema tetradactylum
Senangin
Giant Threadfin
23.
Mugilidae
Mugil cephalus
Belanak
Sea Mullet
24.
Chirocentridae
Chirocentrus dorab
Parang-parang
Wolf Herring
25.
Stromateidae
Parastromateus niger
Bawal hitam
Black Pomfret
26.
Pamphidae
Pamphus argenteus
Bawal putih
White Pomfret
27.
Theraponidae
Terapon jarbua
Kerong-kerong
Crescent Perch
28.
Gerridae
Gerres oyena
Kapas-kapas
Common Silver Biddy
29.
Scolopsidae
Scolopsis vosmeri
Pasir-pasir
Whitecheek Monocle Bream
30.
Pomadasydae
Pomadasys maculatum
Gerot-gerot
Blotched Javelinfish
31.
Mollusca
Anadara granosa
Kerang dara
Blood cocle
Placuna placenta
Simping
Shell
Geloina bengalensis
Kepah
Bivalvia
Loligo spp.
Cumi-cumi
Squid
Sephia sp
Blakutak
Squid
Penaeus merguiensis
Udang jerbung
Benana prawn
Penaeus indicus
Udang putih
Benanan prawn
Penaeus monodon
Udang windu
Tiger prawn
Portunus pelagicus
Rajungan
Flying crab
Scylla serrata
Kepiting bakau
Mud crab
32.
Crustacea
Sumber: Data primer, Mei-September 2011 (diolah)
60
4.3. Kondisi Ekonomi Sumber Daya Pesisir dan Laut Perekonomian penduduk di pesisir Karawang dan Cirebon sebagian besar terkait secara langsung dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Salah satu sumber daya yang dimanfaatkan sebagai usaha perekonomian penduduk nelayan adalah sumber daya ikan. Sumber daya ikan diekstraksi secara langsung dari perairan melalui usaha penangkapan ikan. Di Karawang, selain sumber daya ikan terdapat pula sumber daya mineral berupa minyak dan gas bumi. Sumber daya ini diesktraksi secara langsung dari dasar laut melalui serangkaian kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh perusahaan migas di Indonesia yang bekerja sama dengan perusahaan asing. Sumber daya ikan dan sumber daya migas tersebut berada di area perairan yang sama, dan dimanfaatkan pada waktu yang sama. 4.3.1
Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Nilai ekonomi dari manfaat sumber daya ikan diperoleh melalui bentuk
usaha penangkapan ikan. Di Karawang dan Cirebon kegiatan penangkapan ikan merupakan salah satu sumber utama pendapatan rumah tangga. Sumber pendapatan lainnya berasal dari pengembangan usaha yang relevan dengan aktivitas penangkapan ikan. Kondisi ini menyebabkan kegiatan penangkapan ikan ditekuni oleh sebagian besar penduduk pesisir usia kerja laki-laki, sebagian kecil lainnya yaitu bekerja sebagai bakul ikan, pemilik warung, jasa pengangkutan ikan, jasa sewa kimpling (alat yang digunakan sebagai wadah ikan), dan buruh di pengolahan ikan kering dan terasi. Pekerjaan tersebut mayoritas ditekuni oleh kaum perempuan. Kegiatan penangkapan ikan di Karawang dan Cirebon secara umum memiliki karakteristik yang relatif sama. Karakteristik tersebut dibatasi pada daerah penangkapan ikan, kebiasaan trip (waktu trip), jenis alat tangkap, serta ikan target hasil tangkapan. Perbedaan tampak pada mekanisme pemasaran hasil tangkapan. Pemasaran hasil tangkapan ikan di Karawang masih dilakukan dengan cara lelang dengan memanfaatkan fasilitas TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang tersedia. Namun demikian, masih pula terdapat mekanisme transaksi jual-beli antara langgan dengan nelayan. Di Cirebon pemasaran ikan dilakukan secara langsung antara nelayan dengan bakul ikan melalui transaksi jual beli. Fasilitas TPI umumnya hanya digunakan sebagai tempat transaksi.
61
Uraian tentang kegiatan
penangkapan ikan di Karawang dan Cirebon
disampaikan sebagai berikut: 4.3.1.1. Nelayan Profesi sebagai nelayan ditekuni oleh penduduk di Pesisir Karawang dan Cirebon. Masyarakat berpendapat bahwa sumber daya laut merupakan sumber daya alam yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian penduduk. Perkembangan jumlah rumah tangga perikanan di Kabupaten Karawang relatif stabil dengan kecenderungan peningkatan pada tahun 1996-2004, dan mengalami penurunan pada tahun 2005-2007, dan meningkat drastis pada tahun 2008-2010. Perkembangan jumlah nelayan selama 15 tahun (1996-2010) disampaikan pada
1200
9,000 8,000
1000 7,000 800
6,000 5,000
600 4,000 3,000
400
2,000 200 1,000 0
0
Jumlah Nelayan di Cirebon (RTP)
Jumlah Nelayan di Karawang (RTP)
Gambar 18.
Tahun RTP Karawang
RTP Cirebon
Gambar 18. Perkembangan jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) di Kabupaten Karawang dan Cirebon pada tahun 1996-2010.
Gambar 18 menunjukkan pola perkembangan jumlah yang sama antara RTP di Kabupaten Karawang dengan Cirebon. Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Karawang menunjukkan kecenderungan jumlah yang meningkat. Penurunan terjadi pada tahun 2005 yang diduga diakibatkan oleh peralihan mata pencaharian nelayan dari menangkap ikan menjadi petambak. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, pada tahun 2007 usaha tambak yang dikembangkan oleh nelayan mengalami penurunan produktivitas.
62
Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan nelayan kembali lagi menekuni usaha penangkapan ikan yang telah ditinggalkan. Demikian seterusnya, jumlah nelayan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa sumber daya ikan di laut masih menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk pesisir. Di Kabupaten Cirebon, kecenderungan penurunan justru terjadi pada tahun 2009-2010. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa terdapat peralihan mata pencaharian nelayan di Kabupaten Cirebon. Alternatif pekerjaan yang menjadi tujuan peralihan nelayan meliputi sektor industri sebagai tenaga buruh, tenaga ABK di kapal nelayan asing (Thailand), dan enjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Arab Saudi. Peralihan ini disebabkan oleh keinginan dan harapan nelayan untuk memperoleh pendapatan dan pengalaman kerja yang lebih baik. 4.3.1.2. Daerah Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan di Karawang dan Cirebon dibedakan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan. Jenis alat tangkap yang digunakan sangat menentukan lokasi perairan yang sebaiknya dituju oleh nelayan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, diperoleh informasi bahwa secara garis besar daerah penangkapan ikan dibagi berdasarkan jarak dan kedalaman perairan yang dijangkau oleh nelayan. Jika ditinjau dari jarak dan kedalaman perairan, maka daerah penangkapan ikan di wilayah ini dibagi menjadi daerah pesisir yaitu area perairan dengan jarak kurang dari 2 mil dengan kedalaman perairan kurang dari 10 meter, daerah laut dengan jarak kurang dari 30 mil dan kedalaman perairan antara 10 sampai dengan 50 meter, dan area perairan dengan jarak lebih dari 30 mil dan kedalaman kurang dari 300 meter. Dari hasil pengamatan maka area pesisir sampai dengan area kedalaman kurang dari 50 meter, merupakan area penangkapan ikan terpadat yang dijangkau oleh nelayan lokal. Area perairan yang lebih jauh dan dalam dijangkau oleh nelayan dengan alat tangkap jenis tertentu dan modal operasional per trip yang lebih tinggi. Dari hasil pengamatan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa area pesisir sampai dengan perairan kedalaman kurang dari 50 meter merupakan area penangkapan ikan (fishing ground) utama nelayan lokal.
63
4.3.1.3. Armada Penangkapan Ikan Armada penangkapan ikan yang digunakan di Karawang dan Cirebon secara garis besar dibedakan berdasarkan kekuatan mesin penggerak yang digunakan. Dari hasil observasi lapangan jenis armada tersebut terdiri atas perahu tanpa motor, perahu motor tempel, dan kapal motor dengan kapasitas sebagian besar 0-5 GT (Gross Ton) dan 5-10 GT, dan sebagian kecil berkapasitas 10-20 GT yang terdapat di Cirebon. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh informasi bahwa secara umum jumlah armada penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan relatif stabil. Fluktuasi terjadi pada jumlah trip. Fluktuasi trip yang terjadi disebabkan oleh beberapa kendala, misalnya kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), dan perubahan cuaca terkait dengan curah hujan dan gelombang. Hasil wawancara ini dikuatkan oleh data dari Buku Statistik Perikanan Provinsi Jawa Barat tahun 1996-2010 tentang perkembangan jumlah armada penangkapan ikan yang ditunjukkan pada Gambar 19 dan Gambar 20.
Jumlah Armada Penangkapan Ikan (unit)
160000
1000
140000 120000
800
100000
600
80000 60000
400
40000
200
20000 0
0
Tahun Armada (unit)
Upaya Penangkapan Ikan
Gambar 19. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Karawang tahun 1996-2010.
Upaya Penangkapan Ikan (trip)
180000
1200
8000
800000
7000
700000
6000
600000
5000
500000
4000
400000
3000
300000
2000
200000
1000
100000 0
0
Upaya Penangkapan Ikan (trip)
Jumlah Armada Penangkapan Ikan (unit)
64
Tahun Armada
Upaya Penangkapan Ikan
Gambar 20. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon tahun 1996-2010. Dari gambar tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi perkembangan armada penangkapan ikan di Kabupaten Karawang dan Cirebon relatif sama. Kondisi perkembangan jumlah armada penangkapan ikan tersebut tidak berimbang dengan jumlah trip yang dilakukan oleh nelayan. Trip tertinggi dilakukan pada tahun 1996 yang selanjutnya menurun pada tahun 1997 sampai dengan 2000. Pada tahun 2001 jumlah trip meningkat lalu turun kembali pada tahun berikutnya. Demikian seterusnya jumlah trip mengalami fluktuasi yang cukup labil, sedangkan jumlah armada penangkapan relatif stabil. Jumlah trip dan armada yang tidak berimbang diduga disebabkan oleh upaya nelayan untuk mengatasi kendala kegiatan penangkapan ikan. Penurunan yang terjadi pada tahun 1998-2002 sebagian besar diduga disebabkan oleh kenaikan harga BBM akibat krisis moneter. Kondisi ini menyebabkan nelayan mengurangi jumlah trip dan mengalihkan kegiatan yang awalnya dengan perahu motor tempel menjadi perahu tanpa motor, yang secara langsung berpengaruh pada jangkauan dan pola trip nelayan. Pada tahun 2003-2005 jumlah trip meningkat, tanpa peningkatan jumlah armada penangkapan. Pada tahun 2006-2008 trip kembali menurun yang disebabkan oleh perubahan frekuensi hujan dan gelombang tinggi yang terjadi di laut, sehingga memaksa nelayan untuk mengurangi jumlah trip.
65
Trip meningkat kembali pada tahun 2009 dan 2010, yang disertai dengan peningkatan jumlah armada penangkapan yang baru. Dengan kata lain, salah satu solusi yang diupayakan oleh nelayan dalam menghadapi kendala kegiatan penangkapan ikan terkait dengan kenaikan harga BBM dan perubahan cuaca adalah mengubah jumlah dan pola trip, dan bertahan pada jenis armada tertentu. Jenis armada penangkapan ikan yang banyak digunakan di Karawang dan Cirebon adalah jenis motor tempel, jenis lainnya adalah perahu tanpa motor, dan kapal motor.
Perahu motor tempel lebih banyak diminati disebabkan oleh
kesuaian modal nelayan dan alat tangkap yang digunakan. Kekuatan mesin yang digunakan berkisar antara 5-24 PK (Power Kuda). Jenis perahu tanpa motor lebih banyak dipilih oleh nelayan yang melakukan penangkapan ikan di pinggir pantai dan muara sungai. Jenis kapal motor dipilih oleh nelayan dengan modal besar dan jangkauan penangkapan yang lebih jauh. Armada kapal motor dengan kapasitas 10-20 GT umumnya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di luar daerah misalnya Jakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Kalimantan. 4.3.1.4. Alat Penangkapan Ikan Alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Karawang dan Cirebon relatif sama, meliputi pukat pantai, pukat kantong, payang, dogol, gillnet, jaring klitik, pancing, tegur, bubu dan sero. Alat tangkap berupa payang, pukat kantong, dogol, pancing dan gillnet pada umumnya dioperasikan di perairan pada jarak lebih dari 8 mil kedalaman berkisar antara 4-20 meter. Berbeda halnya dengan alat tangkap berupa pukat pantai, jaring klitik, tegur, dan bubu yang pada umumnya dioperasikan di perairan pantai, pada jarak kurang dari 4 mil kedalaman kurang dari 5 meter. Selain jenis alat tangkap tersebut, di Cirebon juga ditemukan jenis alat tangkap arad dan garok yang dioperasikan di perairan pantai kedalaman 2-5 meter. Jenis arad dan garok kerap menjadi salah satu sumber konflik nelayan setempat, karena dianggap dapat merusak lingkungan dan mempengaruhi produktivitas alat lainnya. Berdasarkan data Buku Statistik Perikanan Provinsi Jawa Barat, maka perkembangan jumlah alat tangkap ikan di Karawang dan Cirebon selama 10 tahun (1996-2010) disampaikan pada Gambar 21.
Jumlah Alat Penangkapan Ikan (unit)
2500
16000 14000
2000
12000 10000
1500
8000
1000
6000 4000
500
2000 0
0
Tahun Karawang
Jumlah Alat Penangkapan Ikan (unit)
66
Cirebon
Gambar 21. Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cirebon tahun 1996-2010.
Gambar 21 menunjukkan kondisi perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di Kabupaten Karawang dan Cirebon pada tahun 1996-2010. Dari gambar tersebut diketahui adanya fluktuasi jumlah alat penangkapan ikan yang digunakan. Fluktuasi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu ketentuan peraturan lokal terkait dengan jenis alat tangkap yang dilarang, perubahan ketertarikan nelayan pada jenis tertentu, serta adanya kondisi modal untuk melakukan trip secara mandiri. Misalnya yang terjadi di Karawang pada tahun 2008, penurunan jumlah alat tangkap disebabkan oleh adanya ketentuan pelarangan penggunaan arad. Selain itu, pada tahun 2005 terjadi pengetatan sistem penjagaan area aman kegiatan di sekitar anjungan produksi migas di laut yang berpengaruh terhadap penurunan jumlah alat tangkap jenis payang. Kondisi ini menyebabkan secara perlahan sebagian nelayan payang mengganti alat tangkapnya dengan alat tangkap lain seperti pukat pantai dan jaring lingkar lainnya. Kondisi sebaliknya terjadi di Kabupaten Cirebon, pada tahun 2008 justru menunjukkan peningkatan. Kondisi ini disebabkan oleh keinginan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan secara mandiri. Dimana pada awalnya nelayan tersebut bergabung dengan nelayan lain sebagai ABK (Anak Buah Kapal). Menjadi
nelayan
mandiri
mengharuskan
nelayan
untuk
memiliki
unit
67
penangkapan sendiri. Perkembangan jumlah alat tangkap menurut jenis alat secara
Jumlah Alat Penangkapan Ikan (unit)
rinci disampaikan pada Gambar 22 dan Gambar 23. 800
Payang
700
Dogol Pukat pantai
600
Pukat cincin 500 400
Jaring insang hanyut Jaring lingkar
300
Jaring klitik
200
Jaring insang tetap
100
Bagan tancap Pancing rawai tuna
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pancing lainnya
Tahun
Gambar 22. Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di Kabupaten Karawang.
2,500
Pukat Tarik Ikan Jumlah Alat Tangkap (unit)
Payang 2,000
Dogol Pukat Pantai/Jr Arad
1,500
Jaring Insang Hanyut Jaring Lingkar
1,000
Jaring Insang Tetap Trammel Net Bagan Tancap
500
Anco Rawai Tetap
0 2005
2006
2007
2008
Tahun
2009
2010
Perangkap Kerang Perangkap lainnya
Gambar 23. Perkembangan jumlah alat penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon.
Masing-masing jenis alat tangkap tersebut memiliki cara pengoperasian dan kebiasaan trip yang berbeda.
68
Jika ditinjau dari kebiasaan waktu trip, maka secara umum kebiasaan trip nelayan di Karawang dan Cirebon termasuk dalam trip harian (one day fishing). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan baik pada pagi hari, siang hari, maupun malam hari per trip dengan durasi balik hari (tidak babang/bermalam di laut). Trip dengan sistem babang di laut dilakukan oleh nelayan dengan alat tangkap pancing di Muara Cilamaya (Karawang), jaring rajungan yang dilakukan sampai ke luar daerah oleh nelayan di Pasir Putih (Karawang), dan nelayan payang cumi di Cirebon. Pada umumnya nelayan babang di laut dalam durasi 3-4 hari. Uraian mengenai kebiasaan trip nelayan di lokasi penelitian secara rinci disampaikan pada Tabel 4. Dokumentasi jenis alat tangkap ikan yang terdapat di lokasi penelitian disampaikan pada Lampiran 2.
69
Tabel 4 Jenis alat penangkapan ikan, pengoperasian, dan lokasi kepemilikan
No.
1.
Jenis Alat Tangkap
Payang
Daerah Penangkapan Ikan
Perairan sejauh 8-30 mil dari pantai dengan kedalaman 12-23 m.
Waktu Operasional Alat Tangkap
Pada malam hari (jika gelap bulan).
Jumlah ABK dalam 1 Armada (orang)
Produktivitas per Trip (Rupiah)
12-20
800 ribu2,5juta
2 juta14 juta
Jaring 5-7 juta
± 600 ribu
2 juta2,5 juta
Jaring ± 5 juta rupiah.
500 ribu4 juta
Jaring 30 juta rupiah.
Biaya
Biaya Pengadaan (Rupiah)
Penjualan
Pada siang hari (jika terang bulan)
Kapal termasuk mesin: 15-20 juta rupiah.
Musim penggunaan sepanjang tahun (tergantung pada cuaca). 2.
3.
Dogol
Jaring milineum
Perairan sejauh ±12 mil dengan kedalaman ±22 m
Pagi-sore hari dengan musim penggunaan sepanjang tahun (tergantung pada cuaca).
12
Daerah perairan pinggir-tengah sejauh kurang dari 20 mil, dengan kedalaman 15 m.
Siang-pagi sepanjang musim tergantung pada cuaca.
4
200-300 ribu
Kapal termasuk mesin: 30 juta rupiah.
Kapal termasuk mesin 20-25 juta rupiah.
70
No.
4.
5.
Jenis Alat Tangkap
Jaring arad
Daerah Penangkapan Ikan
Daerah perairan sejauh 1-2 mil dengan kedalaman perairan 3 m.
Waktu Operasional Alat Tangkap
Sore-pagi dengan penggunaan sepanjang tahun tergantung cuaca dan hasil tangkapan.
Jumlah ABK dalam 1 Armada (orang)
Produktivitas per Trip (Rupiah)
2-3
120 - 800 ribu
150 ribu2,5 juta
Jaring 1-2 juta rupiah.
300 ribu
500 ribu1 juta
Jaring 500 ribu rupiah per tingting.
Biaya
Biaya Pengadaan (Rupiah)
Penjualan
Perahu termasuk mesin 30 juta rupiah.
Kebiasaan trip yaitu one day fishing dan babang selama 3 hari.
Jaring Daerah perairan kopet/tembang sejauh 1 mil dengan kedalaman 15 m.
Sore-pagi dengan musim penggunaan terbanyak pada Bulan Juli-Agustus.
3-4
6.
Jaring kepiting
Daerah perairan sejauh 2 mil dengan kedalaman 8 m-10 m.
Pagi-sore hari dengan sebaran penggunaan alat sepanjang tahun tergantung cuaca.
4-5
50 ribu
80 ribu150 ribu
Kompresor dan perahu senilai 12 juta rupiah.
7.
Jaring bilis
Daerah perairan sejauh kurang dari 12 mil dengan kedalaman 8 m.
Pagi-siang hari dengan musim penggunaan alat sepanjang tahun tergantung cuaca.
5
125 ribu
150 ribu500 ribu
Jaring 500 ribu rupiah per tingting.
Perahu termasuk mesin 35-50 juta rupiah.
Perahu termasuk mesin 20 juta rupiah.
71
No.
8.
9.
10.
11.
Jumlah ABK dalam 1 Armada (orang)
Produktivitas per Trip (Rupiah)
Pagi-malam, namun aktivitas penangkapan dilakukan pada pagi-sore hari. Alat ini banyak dioperasikan pada Bulan JuliSeptember.
4
500 ribu
Daerah perairan sejauh 2 km, dengan kedalaman mencapai 5 m.
Subuh-siang hari. Alat ini sepanjang tahun dan tergantung pada kondisi cuaca dan penghasilan nelayan.
8-12
Jaring grandong
Daerah perairan sejauh kurang dari 20 mil dengan kedalaman mencapai 9 m-15 m.
Sore-pagi hari. Alat ini banyak digunakan pada bulan September-Januari.
4
Pukat pantai
Perairan sejauh kurang dari 3 mil dengan kedalaman kurang dari7 m.
Pagi-siang dengan musim penggunaan sepanjang tahun (tergantung cuaca).
1-2
Jenis Alat Tangkap
Jaring rampus
Jaring bondet
Daerah Penangkapan Ikan
Perairan sejauh 25 mil dengan kedalaman berkisar antara 20 m.
Waktu Operasional Alat Tangkap
Biaya
Biaya Pengadaan (Rupiah)
Penjualan 1 juta2 juta
Jaring, tambang, timah, pelampung mencapai 10 juta rupiah. Perahu 12 juta rupiah termasuk mesin.
200 ribu
500 ribu1 juta
Jaring mencapai 10 juta- 15 juta rupiah. Perahu dan mesin mencapai 30 juta rupiah.
400 ribu
1-2 juta
Jaring 10 juta rupiah. Perahu dan mesin 45 juta rupiah.
70 ribu
100 ribu
Jaring 500 ribu-1 juta rupiah.
72
No.
12.
Jenis Alat Tangkap
Jenis jaring rajungan dan udang
Daerah Penangkapan Ikan
Perairan sejauh kurang dari 4 mil dengan kedalaman 2 m-6 m.
Waktu Operasional Alat Tangkap
Pagi-siang dengan musim penggunaan sepanjang tahun (tergantung cuaca).
Jumlah ABK dalam 1 Armada (orang)
Produktivitas per Trip (Rupiah)
2-4
150 ribu
Biaya
Biaya Pengadaan (Rupiah)
Penjualan 200 ribu500 ribu
Jaring 1 tingting seharga 150 ribu, atau 1,5 juta untuk luasan 100 m jaring dengan tingi 4 m. Kapal termasuk mesin: 20 juta-25 juta rupiah.
13.
14.
15.
Bubu rajungan
Pancing rawai
Garok
Daerah penangkapan kurang dari 4 mil dengan kedalaman 6 m-12 m.
Pagi-sore dengan musim penggunaan sepanjang tahun (tergantung cuaca).
3
Daerah perairan sejauh kurang dari 40 mil dengan kedalaman perairan 3 m-30 m.
Pagi-siang, pagi-sore, atau malam-pagi hari. Umumnya dengan sistem babang selama 3-7 hari.
3-7
Daerah perairan sejauh kurang dari 3 mil dengan kedalaman 7 m.
Pagi-sore hari dengan sebaran penggunaan terbanyak pada Bulan Juni-Agustus.
2-3
100 ribu
150 ribu300 ribu
Bubu 12 ribu per unit. Tali tambang 35 ribu per kg. Perahu 8 juta rupiah.
200 ribu4 juta
500 ribu30 juta
Pancing dan tali 300 ribu- 1,5 juta rupiah. Perahu dengan mesin: 20 juta-25 juta rupiah.
250 ribu
270 ribu300 ribu
Garuk 200 ribu500 ribu rupiah per unit. Perahu 10 juta-15 juta rupiah.
73
No.
16.
17.
Jenis Alat Tangkap
Sero
Bagan tancap
Daerah Penangkapan Ikan
Daerah perairan sejauh 1 mil-3 mil kedalaman 8 m-11 m.
Daerah perairan sejauh kurang dari 4 mil dengan kedalaman 5 m-10 m.
Waktu Operasional Alat Tangkap
Alat bersifat statis di perairan dengan durasi ratarata 3-4 bulan.
Jumlah ABK dalam 1 Armada (orang)
Produktivitas per Trip (Rupiah)
2
50 ribu
Biaya
Biaya Pengadaan (Rupiah)
Penjualan 70 ribu200 ribu
Jaring 9 juta rupiah. Bambu 1,5 juta rupiah.
Jumlah keberadaan alat paling banyak pada Bulan November-Mei
Biaya angkut bambu ke laut 500 ribu rupiah.
Pengambilan ikan dilakukan pada subuh-pagi hari.
Kapal termasuk mesin: 20 juta-25 juta rupiah.
Alat bersifat statis dengan durasi keberadaan di laut selama 4 bulan. Pengambilan hasil dilakukan pada malam hari.
Sumber: Data primer, September 2011 (diolah).
1
50 ribu
100 ribu500 ribu
Bagan 4 juta rupiah.
74
4.3.1.5. Produksi Penangkapan Ikan Produksi penangkapan ikan di Karawang dan Cirebon didekati melalui produksi per trip dan produksi per tahun. Produksi per trip diperoleh dari data responden terkait dengan produktivitas nelayan per jenis alat per trip. Data produksi tahunan diperoleh dari data Buku Statistik Perikanan Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data tersebut, maka perkembangan produksi dan nilai produksi
16,000
100,000,000
14,000
90,000,000 80,000,000
12,000
70,000,000
10,000
60,000,000
8,000
50,000,000
6,000
40,000,000 30,000,000
4,000
20,000,000
2,000
10,000,000
Nilai Produksi (x 1000 Rupiah)
Jumlah Produksi (ton)
di Karawang dan Cirebon disampaikan pada Gambar 24 dan Gambar 25.
0
0
Tahun Produksi (ton)
Nilai Produksi
Gambar 24. Perkembangan produksi dan nilai produksi penangkapan ikan di Kabupaten Karawang pada tahun 1996-2010.
Gambar 24 menunjukkan kondisi produksi perikanan tangkap secara agregat di Karawang relatif berfluktuasi dengan tendensi menurun. Demikian pula dengan nilai ekonomi produksi per tahun. Pada tahun 2005 nilai ekonomi produksi menunjukkan kondisi yang relatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan jumlah produksi yang relatif stabil dengan tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan oleh harga ikan yang cukup tinggi. Tingginya harga ikan disebabkan oleh menurunnya produksi dengan tingkat permintaan yang relatif stabil. Pada tahun 2006, jumlah produksi turun drastis yang diikuti oleh penurunan nilai ekonomi produksi. Jika dihubungkan dengan upaya penangkapan, maka perkembangan kondisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 25.
180,000
16,000
160,000
14,000
140,000
12,000
120,000
10,000
100,000
8,000
80,000
6,000
60,000 40,000
4,000
20,000
2,000
0
Jumlah Produksi (ton)
Upaya Penangkapan Ikan (trip)
75
0
Tahun Upaya Penangkapan
Produksi
Gambar 25. Perbandingan antara perkembangan upaya penangkapan dengan jumlah produksi ikan di Kabupaten Karawang pada tahun 1996-2010.
Dari Gambar 25 dapat dikatakan bahwa penurunan produksi yang terjadi pada tahun 2006 disebabkan oleh penurunan upaya penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Jumlah dan nilai ekonomi produksi penangkapan ikan di Kabupaten Karawang secara perlahan mulai menanjak pada tahun 2007-2010. Kondisi yang relatif sama terjadi pada perkembangan jumlah dan nilai ekonomi produksi di Kabupaten Cirebon, secara garis besar menunjukkan fluktuasi dengan tendensi meningkat. Namun mengalami penurunan pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Peningkatan yang terjadi pada tahun 1996-2006 relatif kecil dan lambat. Berbeda dengan fluktuasi yang cukup tajam yang terjadi pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2001-2006 nilai ekonomi produksi jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1996-2000 dan tahun 2007-2010 dengan jumlah produksi yang justru relatif tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh harga ikan, dimana sebagian besar jenis ikan yang diperoleh bukan merupakan jenis ikan mahal. Ilustrasi perkembangan jumlah dan nilai ekonomi produksi dari kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon disampaikan pada Gambar 26. Jika produksi dihubungkan dengan tingkat upaya penangkapan, maka grafik diilustrasikan pada Gambar 27.
76
45,000
600,000,000 500,000,000
Nilai Produksi (Rupiah)
Jumlah Produksi (ton)
40,000 35,000 30,000
400,000,000
25,000 300,000,000 20,000 15,000
200,000,000
10,000 100,000,000 5,000 0
0
Tahun Produksi (ton)
Nilai Produksi
800,000
45,000
700,000
40,000
600,000
35,000 30,000
500,000
25,000 400,000 20,000 300,000
15,000
200,000
10,000
100,000
5,000
0
Jumlah Produksi (ton)
Upaya Penangkapan Ikan (Trip)
Gambar 26. Perkembangan produksi dan nilai produksi penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon pada tahun 1996-2010.
0
Tahun Upaya Penangkapan
Produksi
Gambar 27. Perbandingan antara perkembangan upaya penangkapan dengan jumlah produksi ikan di Kabupaten Cirebon pada tahun 1996-2010.
Perkembangan jumlah dan nilai ekonomi produksi penangkapan ikan di Kabupaten Cirebon relatif berfluktuasi yang mulai terjadi pada tahun 2001-2010. Pada tahun 2001, 2002, 2006, 2007, dan 2008 jumlah produksi menunjukkan peningkatan namun sebaliknya terjadi penurunan pada upaya penangkapan ikan. Kondisi ini dapat menggambarkan tingkat produktivitas yang cukup tinggi pada tahun tersebut.
77
Produksi selanjutnya menurun seiring dengan penurunan upaya penangkapan ikan. Sektor perikanan tangkap di Karawang dan Cirebon cukup berkontribusi terhadap perekonomian wilayah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai ekonomi produksi penangkapan ikan yang dicatat pada periode 1996-2010. Sektor ini memberikan nilai ekonomi minimum mencapai 100 juta rupiah per tahun. Jika ditinjau dari penghasilan bersih yang diperoleh oleh nelayan per trip, secara rata-rata berkisar antara 50 ribu-70 ribu rupiah per trip per orang. Nilai pendapatan per trip tersebut sangat tergantung pada jenis alat tangkap ikan yang digunakan. Di Pesisir Karawang, tingkat persaingan penangkapan ikan sudah sangat tinggi dan terdapat dominansi jenis alat tangkap tertentu. Jumlah dan nilai produksi penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh upaya penangkapan ikan dan harga ikan yang berlaku. Harga ikan sangat ditentukan oleh jenis ikan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan. Jenis ikan hasil tangkapan tersebut sangat ditentukan oleh jenis alat tangkap yang digunakan. Jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan nelayan adalah jenis ikan pelagis kecil dan besar, ikan demersal, ikan karang, dan jenis non ikan lainnya seperti cumi, kerang dan keong. Jenis ikan yang kerap menjadi hasil tangkapan nelayan di Karawang dan Cirebon disampaikan pada Tabel 5. Tabel 5 Daftar jenis ikan/non ikan yang kerap menjadi hasil tangkapan nelayan di Pesisir Karawang dan Cirebon No.
Nama Lokal
Kategori
Jenis Alat Tangkap
Harga (Rupiah)
1.
Tongkol
Pelagis besar
Jaring
10.000-12.000
2.
Tongkol tuna
Pelagis besar
Jaring/pancing
15.000-18.900
3.
Kembung
Pelagis besar
Jaring
11.000-12.300
4.
Tuna
Pelagis besar
Jaring
20.000-33.000
5.
Tenggiri
Pelagis besar
Jaring/pancing
20.000-25.000
6.
Tenggiri papan
Pelagis besar
Jaring/pancing
25.000-32.500
7.
Ekor kuning
Ikan karang
Jaring
7.500
8
Kurisi
Demersal
Jaring
3.500
9.
Kakap merah
Demersal
Jaring/pancing
22.000-25.000
10.
Kue
Demersal
Jaring
12.500-15.000
78
No.
Nama Lokal
Kategori
Jenis Alat Tangkap
Harga (Rupiah)
11.
Selar
Demersal
Jaring
15.000
12.
Layang
Demersal
Jaring
8.000
13.
Daun bambu
Demersal
Jaring/pancing
10.000-12.000
14.
Barracuda
Pelagis besar
Jaring/pancing
15.000-20.000
15.
Kerapu lumpur
Demersal
Jaring/pancing
35.000-40.000
16.
Layur
Demersal
Jaring
4.000
17.
Tembang
Pelagis kecil
Jaring
3000-5000
18.
Lemuru
Pelagis kecil
Jaring
7.000
19.
Selanget
Pelagis kecil
Jaring
6.000-8.000
20.
Teri nasi
Pelagis kecil
Jaring
35.000
21.
Teri jengki
Pelagis kecil
Jaring
6.000-12.000
22.
Alu-alu
Pelagis besar
Jaring/pancing
20.000-30.000
23.
Manyung
Demersal
Pancing
10.000-12.000
24.
Petek
Demersal
Jaring
1.500-2.000
25.
Sebelah
Demersal
Jaring
4.000-8.000
26.
Hiu
Pelagis besar
Jaring/pancing
8.000-10.000
27.
Pari kembang
Demersal
Pancing/jaring
15.000-22.000
28.
Bloso
Demersal
Jaring
4.000-5.000
29.
Senangin
Demersal
Jaring
5.000-6.000
30.
Belanak
Demersal
Jaring
3.000-5.000
31.
Parang-parang
Pelagis besar
Pancing/jaring
6.000-7.000
32.
Bawal hitam
Demersal
Jaring
25.000
33.
Bawal putih
Demersal
Jaring
90.000120.000
34.
Kerong-kerong
Demersal
Jaring
5.000-5.500
35.
Kapas-kapas
Demersal
Jaring
5.800
36.
Gerot-gerot
Demersal
Jaring
6.500
37.
Kerang dara
Non ikan
Garok
18.000
38.
Simping
Non ikan
Jaring
8.000
79
No.
Nama Lokal
Jenis Alat Tangkap
Kategori
Harga (Rupiah)
39.
Kepah
Non ikan
Garok
2.500
40.
Cumi-cumi
Non ikan
Jaring
22.000-25.000
41.
Blakutak
Demersal
Jaring
20.000-22.000
42.
Udang jerbung
Non ikan
Gill net
25.000-35.000
43
Udang putih
Non ikan
Gill net
60.000-70.000
44.
Udang windu
Non ikan
Gill net
80.000-92.000
45.
Rajungan
Non ikan
Gill net
35.000
46.
Kepiting bakau
Non ikan
Pintur
12.000
Sumber: Data primer, Mei-September 2011 (diolah)
Dari jenis ikan yang disampaikan dalam Tabel 5, jenis ikan dengan harga mahal di Karawang dan Cirebon adalah ikan tengiri, barracuda, tongkol, bawal, kakap, pari, cumi-cumi, dan jenis udang-udangan. 4.3.1.6. Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan Pemasaran hasil tangkapan dilakukan melalui 2 cara yaitu melalui sistem lelang yang diselenggarakan oleh TPI dan KUD setempat, atau dengan cara menjual di bakul ikan.
Sistem lelang digunakan oleh nelayan di pesisir
Karawang, dengan memanfaatkan beberapa TPI yang aktif. Namun demikian, masih terdapat nelayan yang menjual ikan melalui bakul/langgan yang biasanya memberikan modal untuk kegiatan penangkapan ikan. TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di pesisir karawang pada umumnya melakukan fungsinya untuk melelang ikan, bukan sekedar sebagai fasilitas pendaratan dan jual beli. TPI yang masih aktif melayani pelelangan ikan di lokasi penelitian diantaranya adalah TPI Ciparage Jaya yang terdapat di Tempuran yang dikelola oleh KUD Singa Perbangsa, dan TPI Putra Bahari yang terdapat di Muara Cilamaya. TPI yang lainnya pada umumnya hanya memanfaatkan bangunan TPI sebagai tempat transaksi jual beli ikan. Di pesisir Cirebon, sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapan di bakul. Terdapat 2 alasan utama nelayan lebih memilih menjual ikan di bakul, yaitu TPI kurang berfungsi dan adanya faktor ketergantungan nelayan terhadap para bakul.
80
Ketergantungan ini terjadi akibat kebutuhan nelayan terhadap bantuan pinjaman modal yang diberikan oleh bakul. Dengan kondisi ini maka nelayan memiliki keterbatasan dalam menjual hasil tangkapannya. 4.3.2. Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Migas Kegiatan migas yang dikaji dalam penelitian ini adalah kegiatan produksi pada tahap operasi, yaitu terkait dengan keberadaan anjungan migas di laut. Anjungan produksi migas
yang terdapat di Pesisir Karawang dipasang di
kedalaman kurang dari 100 m dengan jarak kurang dari12 mil dari pantai. Anjungan pada umumnya memiliki luasan area 100 m x 100 m, dengan design konstruksi 4 kaki untuk masing-masing unit yang selanjutnya dihubungkan oleh titian/jembatan. Di Pesisir Karawang, anjungan produksi migas telah berdiri sejak tahun 1970-an dengan konstruksi yang selalu diremajakan. Kegiatan yang berlangsung di anjungan ini hanya berupa kegiatan akomodasi tenaga kerja yang menjaga proses produksi agar tetap terkontrol. Kegiatan akomodasi tenaga kerja di anjungan menimbulkan limbah organik dan anorganik berupa limbah padat dan cair. Limbah yang dibuang ke perairan laut adalah limbah organik cair dan padat yang terlebih dahulu dikelola sehingga memenuhi baku mutu lingkungan. Limbah anorganik padat dan cair ditampung di anjungan yaitu di dalam tempat penampungan yang sudah dipisahkan menurut kategori limbah (plastik, kertas, logam, pelumas). Limbah yang sudah ditampung tersebut selanjutnya diserahkan kepada pihak ketiga yang telah memiliki izin dari KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan PPLI (Prasadah Pamusnah Limbah Indonesia). Perlakuan ini merujuk pada ketentuan MARPOL 73/78 annex IV dan V tentang pembuangan limbah untuk kegiatan di laut. Desain anjungan produksi migas dapat memberi efek teduh dan perlindungan serta navigasi bagi sumber daya ikan. Kondisi ini didukung pula oleh kegiatan akomodasi tenaga kerja yang menghasilkan buangan limbah organik yang dapat menjadi sumber makanan bagi ikan dan biota laut lainnya. Kondisi inilah yang memunculkan asumsi nelayan bahwa anjungan dapat menarik dan mengumpulkan ikan, sehingga menjadi lebih sulit untuk ditangkap. Ilustrasi anjungan produksi migas di laut disampaikan pada Gambar 28.
81
Gambar 28. Ilustrasi anjungan produksi migas di Pesisir Karawang. Selain kegiatan akomodasi tenaga kerja penjaga sistem di anjungan, terdapat pula kegiatan flaring yang dilakukan yang ditujukan untuk menjaga tekanan gas di dalam pipa sekaligus membakar gas buang yang dihasilkan dari proses produksi. Flaring dilakukan di flare stack, yaitu bagian dari anjungan produksi berupa tiang tinggi yang menyangga sumbu api menyerupai obor pada bagian ujung tiang. Tinggi flare stack kurang lebih 60 m dari lantai anjungan. Cahaya api flare stack sangat terang dan dapat menghangatkan suhu di bawahnya. Selain kegiatan flaring, efek cahaya di anjungan juga dihasilkan oleh lampu yang dipasang untuk kebutuhan penerangan dan kode kabel. Kondisi ini menyebabkan penampakan anjungan pada malam hari sangat gemerlap dengan lampu berwarnawarni dan cahaya obor yang sangat terang. Ilustrasi anjungan pada malam hari disampaikan pada Gambar 29.
82
Gambar 29. Ilustrasi anjungan produksi migas pada malam hari di Karawang.
Keamanan dan keselamatan kerja di anjungan dijaga dengan pemberlakuan zona terlarang dan terbatas pada di sekitar anjungan sesuai dengan ketentuan UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen. Zona terlarang berada pada radius 500 m dari anjungan. Di zona ini tidak diperkenankan adanya kegiatan lain dalam bentuk apapun. Zona terbatas berada pada radius 750 m dari zona terlarang. Di zona ini kegiatan lain diperkenankan melintas, namun tidak melakukan kegiatan yang dapat menyentuh dasar laut. Kondisi ini menjadikan zona terlarang steril dari kegiatan lain, termasuk kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal. Ilustrasi anjungan migas di laut disampaikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Ilustrasi anjungan dan zona aman kegiatan radius 500 m.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Persepsi Nelayan terhadap Keberadaan Anjungan Produksi Migas di Laut Pada penelitian ini, kajian terhadap persepsi nelayan dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu persepsi umum dan persepsi tentang keberadaan anjungan produksi migas di laut. Pada kajian persepsi umum aspek yang diukur meliputi persepsi tentang perkembangan kegiatan penangkapan ikan saat ini dan persepsi tentang konflik nelayan. Persepsi tentang konflik yang digambarkan meliputi konflik yang sudah pernah terjadi maupun yang masih bersifat potensi. Hasil penelitian terhadap persepsi nelayan dipaparkan sebagai berikut: 5.1.1. Persepsi Umum Persepsi yang dianalisis pada kajian ini yaitu persepsi nelayan terkait dengan kegiatan penangkapan ikan secara umum (tanpa menghitung variabel kegiatan migas di laut). Pengkajian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang kondisi perikanan tangkap di lokasi penelitian (area migas dan area non migas). Hasil yang diperoleh digunakan untuk mengestimasi perbedaan kondisi perikanan tangkap di kedua lokasi penelitian (area migas dan area non migas). Responden dalam penelitian secara umum adalah nelayan lokal (asli), dengan rata-rata pengalaman menjadi nelayan berkisar antara 23-25 tahun. Kegiatan penangkapan ikan merupakan mata pencaharian utama dari seluruh responden yang diwawancarai dalam penelitian ini. Rekapitulasi data responden disampaikan pada Lampiran 3. 5.1.1.1. Persepsi tentang Perkembangan Kegiatan Penangkapan Ikan Aspek yang digali dalam kajian ini meliputi perkembangan jumlah nelayan, alat tangkap ikan, daerah penangkapan ikan, jumlah trip, produktivitas per trip, konflik nelayan, serta faktor kendala kegiatan penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kondisi penangkapan ikan serta faktor kendala yang dihadapi oleh nelayan relatif sama. Persentase persepsi nelayan terhadap masing-masing aspek yang diukur ditunjukkan oleh Gambar 31 dan Gambar 32.
Jumlah trip Jumlah alat Jenis alat Perubaha Efisiensi tangkap tangkap n DPI Waktu Jumlah perahu Kualitas dan kuantitas Jumlah SDI Nelayan
Parameter Persepsi
Kendala Kendala Kendala alat Kendala Kendala kegiatan tangkap modal peraturan MIGAS alam
84
Sangat Berpengaruh Berpengaruh tidak berpengaruh Sangat Berpengaruh Berpengaruh tidak berpengaruh Sangat Berpengaruh Berpengaruh tidak berpengaruh Sangat Berpengaruh Berpengaruh tidak berpengaruh Sangat Berpengaruh Berpengaruh tidak berpengaruh Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun Bertambah Tetap Menurun
31 35 34 13 15 72 36 39 25 38 22 40 100 0 0 0 55 45 0 0 100 0 0 100 21 47 32 57 43 0 100 0 0 100 0 0 0 0 100 0
20
40
60
80
100
Persentase Persepsi (%)
Gambar 31. Persepsi nelayan tentang kondisi umum kegiatan penangkapan ikan di area migas.
120
Jumlah trip Efisiensi Waktu Jumlah alat Jenis alat Perubahan tangkap tangkap DPI Kualitas dan Jumlah kuantitas SDI Nelayan
Jumlah perahu
Parameter Persepsi
Kendala Kendala Kendala alam alat tangkap modal
Kendala peraturan
Kendala kegiatan MIGAS
85
0 0
Sangat Berpengaruh Berpengaruh tidak berpengaruh
100 18
Sangat Berpengaruh Berpengaruh
0 82
tidak berpengaruh
27
Sangat Berpengaruh Berpengaruh
61 12
tidak berpengaruh Sangat Berpengaruh
25 32
Berpengaruh
43
tidak berpengaruh Sangat Berpengaruh
100 0 0 0
Berpengaruh tidak berpengaruh Bertambah
39
Tetap Menurun
61 0
Bertambah Tetap
39 61
Menurun
0
Bertambah Tetap
57 43
Menurun Bertambah
48 47
Tetap Menurun
0 34
Bertambah
65
Tetap Menurun
1 12
Bertambah Tetap
54 33 35 38
Menurun Bertambah Tetap
27
Menurun Bertambah
0 31
Tetap
69
Menurun
0
20
40
60
80
100
120
Persentase Persepsi (%)
Gambar 32. Persepsi tentang kondisi umum kegiatan penangkapan ikan di area non migas.
Nelayan beranggapan bahwa saat ini (tahun 2011) telah terjadi perubahan frekuensi penangkapan ikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Perubahan yang sangat dirasakan oleh nelayan adalah penurunan jumlah trip yang disebabkan oleh faktor cuaca yang sulit diprediksi.
86
Penurunan jumlah trip tersebut cukup memberi pengaruh buruk terhadap pendapatan nelayan per tahun. Kondisi ini semakin diperburuk oleh tingkat persaingan antar nelayan yang semakin tinggi. Tingginya tingkat persaingan tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah nelayan, perahu penangkapan, serta ragam dan jumlah alat tangkap ikan yang digunakan di luasan area penangkapan ikan yang relatif tetap bahkan cenderung menurun. Dari hasil wawancara, jenis alat tangkap berupa arad sudah tidak digunakan oleh nelayan di Karawang. Hal ini menunjukkan bahwa peran regulasi terkait ketentuan jenis alat tangkap di wilayah ini cukup efektif. Namun terdapat jenis alat tangkap berupa jaring milineum yang saat ini semakin banyak digunakan. Di Cirebon jenis alat tangkap arad dan garok masih banyak digunakan oleh nelayan, namun terjadi penurunan untuk jenis alat tangkap berupa bagan tancap. Daerah penangkapan ikan di area migas (Karawang) diyakini telah mengalami penurunan, yaitu semakin jauh dan berakibat pada penurunan efisiensi waktu penangkapan ikan dan jumlah trip. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan daya jangkau nelayan terkait dengan harga BBM dan akibat adanya regulasi kegiatan lain yaitu kegiatan migas yang memberikan ketentuan zona terlarang dan terbatas. Kondisi berbeda terjadi di area non migas (Cirebon) yang cenderung berpendapat bahwa daerah penangkapan ikan yang dijangkau oleh nelayan secara umum tidak mengalami perubahan. Perubahan hanya terjadi pada jenis alat tangkap ikan yang dioperasikan di area pesisir (kedalaman <4 meter). Terkait dengan aspek kendala penangkapan ikan, seluruh nelayan beranggapan bahwa faktor cuaca yang tidak menentu menjadi faktor kendala utama untuk kegiatan penangkapan ikan. Selain faktor cuaca, kendala penangkapan ikan juga dipicu oleh persaingan jenis alat tangkap dan daerah penangkapan ikan, kendala permodalan, dan kendala peraturan yang berlaku terkait dengan ketentuan zonasi penangkapan ikan dan jenis alat yang dapat digunakan. Di Pesisir Karawang, selain faktor tersebut di atas, faktor keberadaan kegiatan migas di laut juga menjadi salah satu faktor kendala kegiatan penangkapan ikan.
87
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden, diketahui bahwa sebanyak 31% responden menyatakan keberadaan anjungan produksi migas di laut menjadi kendala yang sangat berpengaruh (pengaruh dalam intensitas cukup tinggi). Sebanyak 35% responden menyatakan berpengaruh dalam intensitas sedang, dan sebanyak 34% menyatakan faktor ini tidak berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Responden yang menyatakan sangat berpengaruh baik intensitas sedang sampai dengan tinggi pada umumnya berasal dari responden dengan jenis alat tangkap berupa payang lampu dan pancing. 5.1.1.2. Persepsi tentang Konflik dan Potensi Konflik Nelayan Persepsi nelayan terkait dengan konflik yang pernah terjadi baik di area migas maupun area non migas memberikan hasil bahwa isu persaingan daerah penangkapan ikan dan jenis alat tangkap merupakan sumber konflik utama. Persentase tanggapan nelayan terkait dengan parameter ini disampaikan pada
Potensi Konflik Potensi Konflik Konflik Alat akibat Potensi Konflik Alat akibat Konflik DPI Tangkap MIGAS Konflik DPI Tangkap MIGAS
Parameter Persepsi
Gambar 33 dan Gambar 34. 72
Ya
28
Tidak
76
Ya
24
Tidak
72
Ya
28
Tidak
24
Ada
76
Tidak ada
61
Ada
39
Tidak ada
26
Ada
74
Tidak ada
0
10
20
30
40
50
60
Persentase Persepsi (%)
Gambar 33. Persepsi tentang konflik dan potensi konflik di area migas.
70
80
Potensi Potensi Konflik Alat Konflik DPI Tangkap Konflik Alat Konflik DPI Tangkap
Konflik akibat MIGAS
Parameter Persepsi
Potensi Konflik akibat MIGAS
88
0
Ya Tidak
100
Ya
100 0
Tidak
66
Ya
34
Tidak
0
Ada
100
Tidak ada
53
Ada
47
Tidak ada
43
Ada
57
Tidak ada
0
20
40
60
80
100
120
Persentase Persepsi (%)
Gambar 34. Persepsi tentang konflik dan potensi konflik di area non migas.
Khusus nelayan di Karawang, pemberlakuan zona larangan di sekitar anjungan produksi migas di laut juga dinyatakan sebagai salah satu sumber konflik. Konflik tersebut terkait dengan efek berupa penyempitan area penangkapan ikan, sebagai akibat digunakannya area perairan sebagai area anjungan produksi migas yang disertai dengan zona larangan. Selama ini rasa khawatir dan keluhan nelayan dapat diredam, sehingga konflik yang terjadi dapat dicegah. Namun demikian, mengingat kondisi yang akan berlangsung secara terus-menerus dan dalam durasi yang lama, maka potensi konflik tersebut perlu memperoleh solusi yang tepat. Beberapa hal yang berpotensi menjadi sumber konflik terkait dengan kegiatan migas yaitu adanya pemberlakuan zona larangan di sekitar anjungan produksi migas di laut, dan adanya rasa khawatir terkait dengan keselamatan nelayan di sekitar anjungan produksi migas tersebut. 5.1.2. Persepsi terhadap Kegiatan Migas di Laut Pada kajian ini, pembahasan dilakukan secara khusus terhadap persepsi nelayan terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di laut terhadap kegiatan perikanan tangkap di sekitar anjungan produksi.
89
Persepsi nelayan terhadap kegiatan migas di laut dipilah menjadi 4 sub kajian, yaitu: persepsi nelayan terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut; persepsi nelayan terhadap pemberlakuan zona larangan (radius 500 meter); persepsi tentang keselamatan dan kecelakaan nelayan terkait dengan keberadaan anjungan migas di laut; serta persepsi tentang kontribusi yang diberikan oleh pihak perusahaan terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan di sekitarnya. Hasil yang diperoleh diuraikan sebagai berikut: 5.1.2.1. Persepsi tentang Keberadaan Anjungan Produksi Migas di Laut Sebagian besar nelayan di area migas (Karawang) menyatakan mengetahui informasi tentang keberadaan anjungan produksi migas di laut. Penyampaian informasi tentang keberadaan anjungan produksi migas tersebut tergolong sangat efektif, yaitu melalui beberapa media dan dapat dengan mudah dipahami oleh nelayan. Media yang digunakan meliputi: tatap muka langsung melalui kegiatan sosialisasi, penyebaran informasi melalui poster, KUD dan TPI, serta adanya patroli. Terdapat pandangan positif nelayan terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di laut, yang didasari oleh asumsi bahwa anjungan produksi dapat mengumpulkan ikan. Design anjungan produksi yang menyerupai rumpon yang berada di perairan sejak berpuluh-puluh tahun lamanya diduga mampu menciptakan habitat baru bagi sumber daya ikan, terutama ikan pelagis besar. Nelayan menganalogikan kondisi pipa dan kabel di bawah air serupa dengan bangkai kapal yang sering dijadikan sebagai rumah ikan buatan. Selain itu, nelayan juga memaparkan bahwa adanya pencahayaan baik dari anjungan maupun flare berpengaruh pada perbedaan intensitas cahaya dan suhu di perairan yang cenderung digemari oleh ikan. Secara umum nelayan beranggapan bahwa jumlah ikan di area anjungan produksi lebih banyak (>50%) dan lebih baik dibandingkan dengan di luar anjungan. Namun demikian, pengaruh negatif keberadaan anjungan tetap dirasakan oleh nelayan terkait dengan keselamatan nelayan. Nelayan merasa agak khawatir dengan berbagai kegiatan berbahaya yang terdapat di anjungan, yang diduga dapat berpengaruh kepada nelayan. Misalnya rentan terjadi kecelakaan, seperti kejatuhan api obor, kebocoran gas beracun dan mudah terbakar, serta kebocoran pipa minyak di perairan.
90
Beberapa nelayan menyatakan sangat takut untuk melakukan aktivitas di dekat anjungan. Persentase tanggapan nelayan terkait dengan persepsi tersebut
Pengaruh anjungan Pengaruh anjungan Pengaruh anjungan terhadap terhadap biaya Pengaruh anjungan terhadap pendapatan operasional keselamatan terhadap DPI Kualitas ikan di anjungan
Lebih baik
Efektivitas penyampaian informasi
Pengaruh anjungan Beda jumlah SDI di terhadap SDI anjungan
Sangat berpengaruh
Tahu informasi keberadaan anjungan
Parameter Persepsi
ditunjukkan pada Gambar 35. 31 37
Berpengaruh
26
Tidak berpengaruh
34
Negatif
38
Positif
30
Tidak berpengaruh
28
Negatif
18
Positif
54
Tidak berpengaruh
44
Negatif
33
Positif
23
Tidak berpengaruh
72 20
Lebih buruk
8
Tidak berbeda
68
Lebih banyak (>50%)
21
Lebih banyak (<50%)
10
Tidak berbeda
67
Negatif
23
Positif
10
Tidak berpengaruh
57
Sangat efektif
38
Efektif Tidak efektif
5 97
Tahu Tidak tahu
3
0 20 40 60 Persentase Persepsi Nelayan (%)
80
100
Gambar 35. Persepsi tentang keberadaan anjungan migas di laut.
120
91
5.1.2.2. Persepsi tentang Pemberlakuan Zona Larangan Radius 500 m Dari hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa hampir seluruh nelayan menyatakan mengetahui informasi tentang pemberlakuan zona larangan radius 500 meter dari area anjungan. Nelayan menyatakan bahwa zona larangan itu dibuat karena sering terjadi kehilangan alat (pipa, dll) yang ada di anjungan. Selain kehilangan alat, nelayan juga menyatakan bahwa dalam sosialisasi diperoleh informasi bahaya memasuki area 500 meter, karena rawan kecelakaan. Penyampaian informasi dianggap sangat efektif, melalui beberapa media yang mudah dipahami dan disampaikan secara terus menerus. Nelayan dapat memahami informasi tersebut dengan baik. Sebagian besar nelayan menganggap bahwa pemberlakuan zona larangan tidak memberi pengaruh apapun terhadap sumberdaya ikan di perairan, dan sebagian kecil lainnya menganggap bahwa zona larangan berpengaruh terhadap keberadaan SDI di perairan. Anggapan ini diperkuat dengan alasan bahwa adanya zona larangan dapat melindungi ikan dari kegiatan penangkapan, sehingga ikan dapat berkembang biak dan mempertahankan kelangsungannya. Kelompok nelayan dengan pendapat ini pada umumnya berasal dari nelayan jaring rajungan, dan bubu, yang berada di Pesisir Tangkolak.
Jika dilihat dari persentase, maka hanya sebagian kecil
nelayan yang beranggapan negatif terkait dengan pengaruh zona larangan terhadap produktivitas. Namun sebagian kecil nelayan tersebut, menunjukkan keberatan dengan skala intensitas tinggi. Hal ini terkait dengan nilai area sebagai tujuan utama penangkapan ikan. Kelompok nelayan tersebut adalah nelayan payang di Ciparage Jaya dan nelayan pancing di Muara Cilamaya. Persentase respon nelayan ditunjukkan oleh Gambar 36.
Pengaruh ZL terhadap pendapatan Pengaruh ZL terhadap hasil tangkapan Tahu infomarsi keberadaan anjungan
Efektivitas penyampaian informasi
Pengaruh ZL terhadap SDI
Parameter Persepsi
Pengaruh ZL terhadap biaya operasional
Pengaruh ZL terhadap DPI
Pengaruh ZL terhadap keselamatan
92
Sangat berpengaruh
35
Berpengaruh
35 30
Tidak berpengaruh
65
Negatif
7
Positif
28
Tidak berpengaruh
35
Negatif
7
Positif
58
Tidak berpengaruh
46
Negatif
0
Positif
54
Tidak berpengaruh
53
Negatif
0
Positif
48
Tidak berpengaruh
36
Sangat berpengaruh
1
Berpengaruh
63
Tidak berpengaruh
46
Sangat efektif
34
Efektif
5
Tidak efektif
100
Tahu
0
Tidak tahu
0
20
40
60
80
100
120
Persentase Persepsi (%)
Gambar 36. Persepsi tentang pemberlakuan zona larangan (radius 500 m) di sekitar anjungan produksi migas di laut.
Nelayan payang dan pancing tersebut beranggapan bahwa adanya anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan zona larangan menyebabkan area penangkapan ikan nelayan menjadi semakin sempit. Hal ini disebabkan oleh letak anjungan yang berada di kawasan pesisir dan merupakan fishing ground utama nelayan payang lampu dan pancing. Selain terkait dengan penyempitan wilayah yang dapat diakses oleh nelayan, keberadaan anjungan produksi migas di laut juga dianggap berpengaruh terhadap teknik penangkapan ikan alat payang lampu dan pancing. Nelayan payang lampu dan pancing di Pesisir Karawang memanfaatkan teknik pencahayaan untuk mengumpulkan ikan di area penangkapan.
93
Alat bantu penangkapan yang digunakan adalah beberapa unit lampu tembak (450 watt) yang dipasang di perahu dan rangkaian 4 unit lampu petromaks yang dipasang di perairan. Menurut hasil wawancara, nelayan merasakan adanya cahaya dari anjungan menyebabkan cahaya buatan yang dipasang di perahu tidak efektif. Kondisi tersebut menyebabkan beberapa nelayan payang menambah unit lampu yang digunakan, atau bahkan mengganti alat tangkap payang dengan alat tangkap lainnya. Jika dihubungkan dengan keselamatan, maka nelayan beranggapan bahwa adanya zona larangan dapat membantu nelayan memastikan diri telah berada di area perairan yang jauh dari bahaya kegiatan migas. 5.1.2.3. Persepsi tentang Keselamatan dan Kecelakaan Nelayan Pada parameter ini, persepsi dikaji dengan mengembalikan ingatan nelayan pada kasus-kasus terkait dengan keselamatan dan kecelakaan yang pernah terjadi di sekitar anjungan produksi migas di laut. Kasus keselamatan dibatasi hanya pada kasus-kasus yang berkaitan dengan keberadaan anjungan produksi migas di laut. Dari hasil survei diketahui bahwa sebanyak 82% responden menyatakan pernah terjadi kecelakaan terkait dengan anjungan produksi migas di laut Karawang. Kecelakaan tersebut berupa kebakaran perahu akibat sisa pembakaran dari flare stack atau akibat gas aktif yang secara tiba-tiba menyambar kompor nelayan yang terdapat di perahu. Persentase persepsi responden terkait dengan kecelakaan
di
sekitar
anjungan
produksi
migas
di
laut
ditunjukkan
Informasi tentang Kecelakaan terkait Anjungan MIGAS
Parameter Persepsi
pada Gambar 37.
Pernah
82
Tidak pernah
18
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Persentase Persepsi (%)
Gambar 37. Persepsi tentang kecelakaan terkait anjungan migas di laut.
90
94
Dari hasil wawancara dengan responden, ditemukan 2 informasi tentang kecelakaan yang pernah terjadi di sekitar anjungan produksi migas yang terdapat di laut Karawang, yaitu:
Kecelakaan pemuda yang hendak melakukan rekreasi memancing di sekitar anjungan produksi migas di Karawang. Menurut informasi kecelakaan ini terjadi pada tahun 2000-an yang menyebabkan 3 orang meninggal dunia, dan 1 orang (nelayan yang menyewakan perahu) menglami luka bakar. Kecelakaan terjadi akibat jatuhnya percikan api flare menimpa perahu nelayan yang mengakibatkan perahu terbakar.
Kecelakaan nelayan payang di salah satu anjungan produksi migas di Pesisir Karawang. Menurut informasi kecelakaan ini terjadi pada tahun 2005-an yang menyebabkan 7 orang nelayan meninggal dunia. Kecelakaan terjadi akibat semburan gas yang secara tiba-tiba menyerang kompor yang terdapat di perahu yang sedang beristirahat dan ditambat di sekitar anjungan. Gas yang terbawa udara memicu kobaran api yang sangat besar dari kompor yang menyebabkan perahu terbakar. Api semakin besar dipicu oleh terbakarnya persediaan BBM yang ada di perahu. Dari informasi yang diperoleh, pihak perusahaan memberikan tanggung
jawab sosial berupa santunan jiwa terhadap korban yang meninggal, dan santunan pengobatan total untuk nelayan yang terluka akibat kecelakaan tersebut. 5.1.2.4. Persepsi tentang Kontribusi Perusahaan terhadap Nelayan Persepsi nelayan tentang kontribusi perusahaan terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan ditunjukkan oleh Gambar 38. Secara umum, nelayan belum merasakan adanya konstribusi sosial-ekonomi yang diberikan oleh perusahaan migas yang beroperasi di wilayah mereka. Informasi serupa diperoleh pula dari pihak pengurus KUD dan TPI. Namun, dari hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat kerjasama berupa bantuan infrastruktur antara perusahaan migas dengan pihak dinas pendidikan di beberapa sekolah yang difungsikan oleh masyarakat. Kontribusi tersebut baru dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat. Persentase persepsi tentang kontribusi sosial dan ekonomi yang diberikan oleh pihak perusahaan terhadap nelayan disampaikan pada Gambar 38.
Kontribusi Kontribusi Kontribusi Kontribusi Kontribusi Lapangan Pendidikan Kesehatan Ekonomi Infrastruktur Kerja
Parameter Persepsi
95
Ada
0
Tidak ada
100
Ada
10
Tidak ada
90
Ada
0
Tidak ada
100
Ada
0
Tidak ada
100
Ada
26
Tidak ada
74 0
20
40
60
80
100
120
Persentase Persepsi (%)
Gambar 38. Persepsi tentang kontribusi sosial ekonomi perusahaan migas terhadap masyarakat nelayan di sekitarnya.
Dari hasil yang diperoleh pada kajian persepsi maka dapat dikatakan bahwa kondisi umum perkembangan penangkapan ikan di area migas dan area non migas adalah relatif sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan karakteristik lingkungan (biofiskim dan sosial ekonomi) pesisir yang berada dalam satu garis pantai dengan jenis alat tangkap dan kebiasaan trip yang relatif sama. Rangkuman persepsi tersebut disampaikan pada Tabel 6.
96
Tabel 6 Hasil penelitian untuk parameter persepsi nelayan No.
Parameter Persepsi
Hasil Penelitian
1.
Kondisi umum Kondisi perikanan tangkap dianggap telah mengalami kegiatan penurunan produktivitas, baik dari segi efisiensi waktu dan penangkapan ikan. biaya, maupun hasil tangkapan per trip. Faktor cuaca dianggap sebagai faktor kendala utama.
2.
Kondisi konflik Konflik yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh dan potensi konflik persoalan terkait dengan persaingan daerah penangkapan ikan (DPI), dan persaingan alat tangkap. Konflik ini nelayan. umumnya terkait dengan penggunaan alat tangkap yang dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat menguras sumber daya ikan yang dinilai dapat mempengaruhi produktivitas alat lain. Konflik lainnya yang terjadi di Karawang adalah konflik terkait dengan keberadaan zona larangan di sekitar anjungan produksi migas di laut.
3.
Keberadaan anjungan produksi migas di laut.
Terdapat tanggapan positif tentang pengaruh anjungan produksi migas di laut terhadap ikan, yaitu sebagai habitat ikan. Nelayan meyakini bahwa di area anjungan terdapat banyak ikan dengan ukuran dan nilai ekonomi yang mahal. Namun terdapat keresahan nelayan terkait dengan bahaya kegiatan dan keberadaan api flare di anjungan produksi tersebut.
4.
Pemberlakuan zona larangan radius 500 meter di sekitar anjungan migas di laut.
Terdapat persepsi negatif nelayan payang dan pancing terkait dengan pemberlakuan zona larangan radius 500 m. Persepsi negatif tersebut disebabkan oleh tingginya intensitas nelayan terhadap area perairan, dimana lokasi anjungan dianggap sebagai area penangkapan ikan terbaik (fishing ground utama). Adanya pemberlakuan zona larangan radius 500 m dinilai berpengaruh pada pengurangan DPI yang mengakibatkan tingginya persaingan antar nelayan sehingga berdampak pada penurunan pendapatan per trip. Kondisi ini sangat meresahkan nelayan payang, mengingat jumlah anjungan dengan ketentuan operasional yang sama di pesisir Karawang sudah relatif banyak.
5.
Kecelakaan yang pernah terjadi terkait dengan anjungan migas di laut.
Diperoleh informasi tentang 2 kasus kecelakaan yang pernah terjadi di sekitar anjungan, yaitu kecelakaan perahu payang dan kecelakaan nelayan pancing. Kedua kecelakaan terjadi dengan modus kebakaran perahu dan menyebabkan beberapa diantaranya meninggal dunia.
6.
Kontribusi sosial dan ekonomi perusahaan terhadap nelayan
Diperoleh informasi bahwa tidak dirasakannya kontribusi yang diberikan oleh perusahaan terhadap kehidupan sosialekonomi nelayan lokal. Manfaat kontribusi yang telah diberikan belum dirasakan secara langsung oleh nelayan.
97
Hasil analisis persepsi terkait dengan konflik, menunjukkan bahwa keberadaan kegiatan migas di laut telah dirasakan membatasi keleluasaan kegiatan penangkapan ikan kelompok nelayan alat tangkap payang lampu dan pancing. Kondisi ini dapat menjadi pemicu konflik dalam tingkat eskalasi yang lebih tinggi ketika nelayan dihadapkan pada kondisi kelangkaan hasil tangkapan. Kelangkaan hasil tangkapan secara langsung akan berdampak pada peningkatan sensitivitas nelayan. Potensi konflik akan semakin rentan ketika nelayan tidak memiliki alternatif mata pencaharian selain menangkap ikan.
Pada kondisi yang
terakumulasi, yang dipicu dengan kondisi hasil tangkapan pada saat musim paceklik, maka keberadaan kegiatan migas di laut akan sangat mudah untuk menerima respon negatif nelayan yang berdampak pada inefisiensi kegiatan. Inefisiensi ini akan terjadi pada kedua belah pihak kegiatan, baik kegiatan migas itu sendiri maupun kegiatan penangkapan ikan yang diusahakan oleh nelayan lokal.
Pada kasus yang diangkat dalam penelitian ini, keberadaan anjungan
produksi migas di laut menimbulkan persepsi negatif terhadap produktivitas nelayan payang lampu dan pancing. Jika ditinjau dari jumlah persentase, maka persentase persepsi negatif tersebut relatif kecil, namun dengan intensitas yang cukup tinggi. Intensitas tinggi disebabkan oleh lokasi anjungan produksi migas yang berada di area penangkapan utama alat payang lampu, serta melibatkan jumlah ABK yang cukup banyak (rata-rata 12-14 orang per unit armada). Dengan kata lain, tingkat ketergantungan nelayan terhadap area ini cukup tinggi. Beberapa asumsi yang dikemuukakan oleh nelayan terkait dengan pengaruh anjungan produksi migas di laut terhadap sumber daya ikan, yaitu:
Bentuk dan design anjungan yang menyerupai FAD (Fish Agregating Device) dengan kondisi durasi waktu yang sudah cukup lama diduga dapat menjadi habitat yang baik bagi ikan target nelayan
Adanya buangan limbah organik berupa limbah dapur dan akomodasi tenaga kerja diduga menjadi faktor pendukung yang dapat menarik ikan untuk berkumpul di anjungan.
Adanya rangkaian kabel dengan perbedaan suhu di air, menciptakan habitat yang semakin disukai oleh biota ikan.
98
Adanya efek pencahayaan dari anjungan yang berasal dari cahaya lampu dan flare stack diduga menjadi pemicu daya tarik ikan pada malam hari. Asumsi ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Laevastu dan Hayes (1991) yang menyatakan bahwa cahaya dengan segala aspek yang dikandung dapat mempengaruhi tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis pada kekuatan cahaya 0,01-0,001 lux sekalipun. Gunarso, 1985 menemukan bahwa
warna
cahaya
yang
baik
digunakan
untuk
menarik
dan
mengumpulkan ikan adalah warna cahaya biru, kuning dan merah. Jika dianalogikan maka hasil penelitian tersebut dapat memberi gambaran bagaimana pencahayaan di anjungan produksi migas di laut dapat menjadi daya tarik bagi ikan untuk berkumpul di sekitar anjungan. Asumsi-asumsi tersebut cenderung positif terhadap kondisi ikan, namun dengan adanya pemberlakuan zona aman kegiatan pada radius 500 m di sekitar anjungan, maka menyebabkan terbatasnya ruang gerak nelayan untuk mengakses ikan yang diyakini sudah berkumpul di sekitar anjungan. Kondisi ini dianggap semakin mempersulit peluang tertangkapnya ikan oleh nelayan di luar area larangan. Kekhawatiran dengan intensitas tinggi dialami oleh nelayan payang lampu yang cenderung melakukan penangkapan ikan pada malam hari dan pada saat gelap bulan. Adanya pencahayaan dari anjungan, dirasakan akan semakin mempersulit upaya nelayan dalam menangkap ikan.
Secara tidak langsung,
nelayan dipaksa untuk mampu mengerahkan upaya yang lebih tinggi untuk mengimbangi cahaya lampu dari anjungan. Dengan demikian diperkirakan ikan akan dapat keluar dari anjungan menuju cahaya lampu payang yang digunakan oleh nelayan. Teknik ini membutuhkan tambahan biaya operasional yang cukup tinggi, sehingga bagi nelayan dengan modal terbatas produktivitas akan menjadi rendah.
Pada kondisi terpaksa, nelayan kerap memberanikan diri mendekati
anjungan dengan harapan memperoleh jumlah tangkapan yang lebih banyak dengan modal yang terbatas, namun dengan resiko ancaman keselamatan dan nyawa.
99
Persepsi negatif yang muncul sangat dipengaruhi oleh intensitas kegiatan penangkapan ikan di lokasi keberadaan anjungan produksi migas di laut. Semakin tinggi intensitas kebutuhan nelayan terhadap area perairan yang dijadikan lokasi kegiatan migas, maka semakin tinggi peluang munculnya persepsi negatif nelayan terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut.
Pada kondisi yang
terakumulasi, perubahan persepsi ini berpotensi menjadi sumber konflik yang dapat mempengaruhi efisiensi kegiatan migas dan kegiatan penangkapan ikan. 5.2. Bentuk Eskternalitas Keberadaan Anjungan Produksi Migas di Laut terhadap Kegiatan Perikanan Tangkap Berdasarkan kajian persepsi nelayan di Pesisir Karawang terkait dengan keberadaan kegiatan produksi migas di laut, maka diketahui bahwa keberadaan anjungan migas di laut dianggap mengganggu kegiatan penangkapan ikan. Gangguan yang terjadi diakibatkan oleh pemberlakuan zona aman kegiatan (larangan radius 500 m). Pemberlakuan zona aman kegiatan mengakibatkan nelayan tidak dapat mengakses seluruh perairan secara leluasa. Terbatasnya akses nelayan memunculkan anggapan bahwa keberadaan anjungan dengan zona larangan menyebabkan nelayan tidak dapat menikmati nilai manfaat perairan sebagai fishing ground. Selain pemberlakuan zona larangan mendekati area sekitar anjungan (radius 500 m), terdapat pula faktor lain yang dianggap dapat menurunkan produktivitas per trip nelayan. Kelompok nelayan yang merasakan gangguan tersebut adalah kelompok nelayan payang (purse seine) dan pancing. Jika ditinjau dari intensitas gangguan, maka intensitas nelayan payang lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan pancing. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat mobilitas alat tangkap pancing yang lebih luas dibandingkan dengan payang. Selain mobilitas, payang melibatkan lebih banyak ABK (Anak Buah Kapal) per armada, sehingga tingkat ketergantungan nelayan menjadi lebih tinggi. Pertimbangan keterbatasan sumber daya dalam penelitian ini serta pertimbangan tingkat intensitas gangguan, maka pembahasan eksternalitas dibatasi hanya pada kajian terhadap alat payang.
100
5.2.1. Kegiatan Penangkapan Ikan dengan Payang (Purse Seine) 5.2.1.1. Unit Penangkapan Payang Alat tangkap payang (mini purse seine) merupakan salah satu alat tangkap mayoritas yang digunakan oleh nelayan di Pantura Jawa Barat. Pada penelitian ini, alat tangkap yang dikaji adalah alat tangkap payang dengan alat bantu lampu, yang terdapat di Pesisir Karawang tepatnya di Ciparage Jaya Kecamatan Tempuran. Pada pengoperasiannya, satu unit payang melibatkan 12-14 orang nelayan dengan spesialisasi tugas. Terdapat tugas yang dilakukan secara khusus oleh beberapa orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian sesuai tugas tersebut, dan sebagian tugas lainnya dikerjakan secara bersama-sama oleh seluruh awak payang. Rincian tugas tersebut disampaikan pada Tabel 7. Tabel 7 Pembagian tugas dalam armada payang lampu di area miags (Ciparage Jaya, Karawang) No.
Spesialisasi Nelayan
Jumlah (orang)
Fungsi/Tugas
1.
Juru mudi (nahkoda)
1
Mengemudikan kapal dan menentukan daerah tangkapan ikan.
2.
Juru arus
1
Mengarahkan pemasangan jaring payang dan pemasangan lampu petromaks agar tidak terputar/terbelit oleh arus perairan.
3.
Juru mesin
1
Menghidupkan dan mengontrol kondisi mesin selama trip dan penangkapan berlangsung.
4.
Juru masak
1
Menyiapkan makanan untuk seluruh awak.
5.
Juru lampu
1
Menyalakan lampu yang akan digunakan untuk mengumpulkan ikan di area tangkapan. Lampu tersebut terdiri atas lampu petromaks 4 unit, dan lampu tembak berdaya 450 watt per unit sebanyak 10 unit lampu.
6.
Juru batu
1
Menurunkan dan merapihkan batu yang digunakan sebagai pemberat jaring payang.
7.
ABK (Anak Buah Kapal)
7
Menurunkan dan menarik jaring payang serta memilah jenis ikan hasil tangkapan. Tugas ini dilaksanakan secara bersama-sama dengan 4 awak lainnya (juru arus, juru mesin, juru masak, juru lampu, dan juru batu).
Sumber: Data primer, Mei-September, 2011 (diolah)
101
Alat tangkap payang di pesisir Ciparage Jaya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang terdiri atas 3 bagian utama, meliputi perahu beserta mesin, jaring payang, dan lampu. Perahu payang lampu memiliki ukuran panjang kurang lebih 7 meter, dengan lebar 3 meter, dan tinggi 2 meter. Alat bantu utama yang digunakan dalam penangkapan ikan adalah lampu, yang terdiri atas lampu tembak dan lampu petromaks. Lampu petromaks yang digunakan sebanyak 4 unit yang dirangkai dan dihubungkan oleh 4 selang ke tabung gas ukuran 3 kg. Lampu ini dipasang di atas permukaan perairan sebagai pemikat ikan. Lampu tembak yang digunakan sebanyak 10 unit, dengan daya lampu sebesar 450 watt per unit lampu. Lampu ini digunakan sebagai pemikat serta pertahanan cahaya di area penangkapan/jaring.
Fungsi lampu sebagai pemikat ikan sangat menentukan
produktivitas nelayan per trip. Jumlah lampu yang digunakan dianggap berkorelasi positif dengan tingkat produktivitas per trip. Hal ini menyebabkan nelayan dengan modal besar akan berupaya untuk terus meningkatkan jumlah lampu yang digunakan. Jumlah lampu yang digunakan sangat ditentukan oleh kemampuan permodalan juragan untuk menambah unit lampu dan menyediakan BBM (Bahan Bakar Minyak). Nelayan dengan modal terbatas umumnya hanya menggunakan sebanyak 4-5 unit lampu. Selain lampu, bagian penting dari alat tangkap payang adalah jaring. Jaring yang digunakan rata-rata memiliki ukuran 250 meter. Dokumentasi armada dan pengambilan contoh tangkapan aktual disampaikan pada Lampiran 4. 5.2.1.2. Waktu Pengoperasian Payang Pengoperasian payang lampu dilakukan pada saat gelap bulan, sehingga dalam satu bulan rata-rata jumlah trip yang dapat ditempuh oleh 1 unit armada payang adalah berkisar antara 10-14 hari. Durasi trip rata-rata mencapai 15-17 jam per trip, dengan durasi mayang (hauling) berkisar antara 8-9 jam per trip. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan pada kisaran pukul 18.00-03.00. Durasi tersebut dianggap sebagai durasi gelap yang dapat memberikan tingkat produksi yang paling efisien. Nelayan berangkat ke laut rata-rata pada pukul 14.00, dan kembali ke darat esok hari biasanya pada kisaran pukul 06.00-08.00.
102
5.2.1.3. Daerah Penangkapan Ikan Daerah penangkapan yang dituju rata-rata berada pada jarak 20 mil dari pantai, dengan kedalaman perairan berkisar antara 18-30 mil. Dari hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa tidak seluruh perairan lautan dapat memberikan hasil tangkapan yang baik untuk alat payang. Pengoperasian alat ini sangat membutuhkan dukungan dari faktor lingkungan, misalnya kondisi perairan yang jernih. Area dengan perairan yang jernih akan dapat menjadi area penangkapan ikan yang cukup baik. Hal ini akan meningkatkan efektivitas penetrasi cahaya yang masuk ke kolom perairan. Semakin kuat intensitas cahaya yang masuk ke kolom perairan, maka semakin banyak ikan yang dapat dipikat. Selain faktor kejernihan perairan, kondisi arus yang tenang merupakan faktor pendukung efektivitas alat tangkap payang. 5.2.1.4. Pengoperasian Payang Produktivitas payang ditentukan oleh beberapa hal, yaitu intensitas cahaya, produktivitas area penangkapan, kondisi perairan, serta faktor teknik (cara penangkapan ikan). Keahlian nelayan dalam pengoperasian payang mulai dari penentuan area penangkapan ikan, pemahaman kondisi perairan, serta keahlian nelayan dalam melingkarkan jaring payang di area penangkapan akan menjadi penentu utama dari keberhasilan tangkapan alat payang. Kondisi kegagalan teknis yang kerap terjadi yaitu penerangan dengan cahaya yang relatif lama yang mengakibatkan kejenuhan ikan berkumpul di area penangkapan, sehingga ikan pergi meninggalkan area penangkapan sebelum jaring dilingkarkan. Kegagalan lainnya adalah kesalahan penentuan arus, yang menyebabkan jaring terbelit saat dilingkarkan. Kondisi ini berakibat pada kegagalan jaring menangkap ikan yang telah terkumpul di area penangkapan ikan. Pengoperasian payang dilakukan dengan beberapa langkah, sebagai berikut: 1. Tiba di area penangkapan target, nelayan membuang jangkar dan mematikan mesin perahu. 2. Juru lampu lalu menyalakan seluruh lampu tembak dengan listrik yang dialirkan dari mesin genset. Lampu ini dibiarkan menyala sampai ikan datang menuju area penangkapan di sekitar perahu.
103
Masa tunggu ini sangat ditentukan oleh kondisi sumber daya ikan di area tersebut. Biasanya nelayan membutuhkan waktu tunggu selama 2-3 jam. 3. Menjelang masa tunggu berakhir, lampu petromaks disiapkan. Lampu petromaks sebanyak 4 unit telah disusun dan dirangkai yang dihubungkan oleh 4 selang pada 1 tabung gas ukuran 3 kg. 4. Juru arus turun untuk melihat arah arus dan menentukan titik penempatan lampu petromaks. 5. Juru lampu mematikan lampu tembak di perahu, dan selanjutnya menurunkan lampu petromaks yang sudah menyala menuju titik tempat juru arus. Pada saat lampu tembak dimatikan, ikan mengalami disorientasi navigasi, dan pada saat itulah lampu petromaks diturunkan dengan tujuan menggiring ikan kea rah posisi jaring akan dilingkarkan. 6. Jaring pun diturunkan, lalu dilingkarkan di sekitar area lampu dengan cara ditarik oleh perahu. Dengan demikian ikan masuk ke jaring, dan selanjutnya diangkat ke atas perahu. Proses ini berlangsung sangat cepat. 7. Hasil tangkapan selanjutnya dipilah berdasarkan jenis ikan, dan disimpan di palkah perahu. Nelayan akan mengulangi proses ini jika hasil tangkapan pada saat hauling pertama dirasakan masih kurang. Penangkapan akan berhenti pada hauling kedua, yang disebabkan oleh kondisi laut yang semakin terang sehingga cahaya lampu sudah tidak efektif untuk memikat ikan. Hauling pertama biasanya dilakukan pada pukul 18.00-22.00 dan dimulai lagi pada pukul 00.00-03.00. kegiatan penangkapan pada satu trip dianggap selesai, dan akan dilakukan kembali esok hari selama durasi bulan gelap. Pada penelitian ini dilakukan pula penangkapan ikan di area anjungan (di dalam radius 500 m). Teknik yang dilakukan lebih sederhana dan relatif berbeda dengan teknik yang digunakan di area migas dan area non migas secara normal. Di area anjungan, langkah pengumpulan ikan dengan cahaya dari perahu dan lampu petromaks tidak dilakukan. Tim memanfaatkan pantulan cahaya dari flare stack dan lampu anjungan sebagai pengumpul ikan.
104
Dengan demikian, tim dapat langsung menurunkan jaring dan mengangkatnya dalam hitungan 15-30 menit, sehingga di area anjungan jumlah tebar dan angkat jaring yang dilakukan mencapai 7-11 kali. Jika dibandingkan dengan kedua area normal, penangkapan ikan di area anjungan produksi migas dilakukan dengan ritme yang lebih cepat. 5.2.1.5. Jenis Ikan Hasil Tangkapan Payang Jenis hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan dengan alat payang lampu pada umumnya adalah jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal, dan jenis non ikan. Jenis yang umum diperoleh di ketiga titik adalah jenis ikan pelagis kecil dan jenis non ikan berupa cumi-cumi dan blakutak. Rincian data analisis jenis hasil tangkapan tersebut disampaikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis hasil tangkapan yang diperoleh di area migas, area non migas, dan area anjungan produksi migas di laut No.
Nama Lokal
Area migas
Area non migas
Area Anjungan
Kategori
1.
Cumi-cumi
√
√
√
Demersal
2.
Teri nasi
√
√
√
Pelagis kecil
3.
Japuh
√
√
√
Pelagis kecil
4.
Silap
√
√
√
Pelagis kecil
5.
Tembang
√
√
√
Pelagis kecil
6.
Bawal
√
√
√
Demersal
7.
Golok-golok
√
√
√
Pelagis besar
8
Tongkol
√
√
√
Pelagis besar
9.
Layur
√
√
√
Pelagis besar
10.
Layang
√
√
√
Demersal
11.
Selar
√
√
√
Demersal
12.
Petek
√
√
√
Demersal
13.
Tengiri
√
√
√
Pelagis besar
105
No.
Nama Lokal
Area migas
Area non migas
Area Anjungan
Kategori
14.
Baracuda
-
√
√
Pelgis besar
15.
Udang
√
√
√
Demersal
16.
Kakap
√
√
√
Demersal
17.
Kembung
√
√
√
Pelagis besar
18.
Kuniran
√
√
√
Pelagis besar
19.
Banyar
√
√
√
Pelagis kecil
20.
Lowang
√
√
-
Demersal
21.
Kerong-kerong
-
√
-
Pelagis besar
22.
Kapas-kapas
-
-
√
Demersal
23.
Kurisi
-
-
√
Demersal
24.
Gerot-gerot
√
√
√
Demersal
25.
Ekor kuning
√
√
Ikan karang
Sumber : Data primer, Mei-September 2011 (diolah)
Dari hasil penelitian dengan teknik penangkapan aktual di titik area migas, area non migas, dan anjungan produksi migas di laut, maka diperoleh hasil tangkapan ikan di masing-masing area tersebut. Secara umum, jenis hasil tangkapan di area migas dengan di area non migas adalah sama, namun berbeda secara kuantitas. Hasil tangkapan di area non migas memberikan komposisi jumlah jenis ikan pelagis besar relatif lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan di area migas. Jenis tersebut meliputi ikan tongkol, ikan bawal, dan ikan tengiri. Kondisi yang cukup berbeda ditemui pada hasil tangkapan ikan di area anjungan produksi migas di laut. Dari hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa jenis ikan hasil tangkapan di area anjungan didominasi oleh jenis ikan pelagis besar dan ikan demersal dengan harga yang relatif mahal. Jenis-jenis tersebut meliputi tengiri, barracuda, kakap, dan ikan bawal.
106
5.2.1.6. Produktivitas per Trip di Titik Pengambilan Contoh Produktivitas per trip dari unit payang di ketiga titik pengambilan contoh diestimasi dengan mengukur jumlah hasil tangkapan yang selanjutnya dikonversi dalam bentuk rupiah. Dari hasil analisis data yang telah dilakukan maka diperoleh hasil bahwa jumlah hasil tangkapan per trip di titik area migas, area non migas, dan area anjungan produksi migas di laut menunjukkan nilai yang berbeda. Hasil estimasi yang diperoleh dari analisis produktivitas per trip disampaikan pada Tabel 9. Tabel 9 Perbandingan produktivitas alat payang di titik area migas, area non migas, dan area anjungan Lokasi Pengambilan Contoh No.
Aspek Pengukuran Area migas
Area non migas
Area Anjungan
1.
Jumlah hasil tangkapan (kg/trip)
178,2500
269,1083
223,1500
2.
Produktivitas per jam durasi mayang (kg)
19,8056
33,6385
27,8938
3.
Pendapatan (Rp/trip)
1.294.225
3.162.223
2.939.305
4.
Biaya operasional (Rp/trip)
648.700,00
612.225,00
341.000,00
Sumber: Data primer, 2011 (diolah)
Dari data pada Tabel 9, diketahui bahwa jumlah hasil tangkapan per trip terbanyak diperoleh di area non migas, dan terendah diperoleh di area migas. Dari hasil uji signifikansi yang dilakukan pada level signifikansi 5%, maka jumlah tangkapan dan pendapatan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Jumlah hasil tangkapan di area migas berbeda mencapai 33% kg atau senilai 60% rupiah lebih rendah dibandingkan dengan area non migas. Jika produktivitas di area anjungan produksi dibandingkan dengan produktivitas di area non migas pada level signifikansi 5%, maka jumlah tangkapan di area anjungan berbeda sebesar 17% kg atau senilai 7% rupiah lebih rendah dibandingkan dengan area non migas.
107
Jika produktivitas di area anjungan produksi migas dibandingkan dengan di area migas, pada level signifikansi 5% maka produktivitas di area anjungan berbeda hingga 25% kg atau senilai 127% rupiah lebih tinggi dibandingkan dengan area migas. Tingkat perbedaan tersebut disampaikan pada Tabel 10. Data hasil tangkapan aktual dan uji komparasi disampaikan pada Lampiran 5. Tabel 10 Tingkat perbedaan produktivitas di titik contoh No.
Titik Contoh yang Dibandingkan
Jumlah Tangkapan (%kg)
Pendapatan (%Rp)
1.
Area migas dengan area non migas
-33,7627*
-59,0723*
2.
Area anjungan dengan area non migas
-17,0780*
-7,0494*
3.
Area anjungan dengan area migas
25,1893*
127,1093*
Sumber Keterangan
: Data primer, 2011 (diolah) : *Berbeda nyata (level signifikansi 5%)
Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat diketahui bahwa tingkat produktivitas per trip dengan unit penangkapan dan waktu yang sama menghasilkan tingkat perbedaan yang signifikan. Kegiatan penangkapan ikan di area migas menunjukkan tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan area non migas. Jika ditinjau dari perbandingan produktivitas per jam, maka tingkat produktivitas di area migas lebih rendah dibandingkan dengan area non migas, dan produktivitas per jam di area anjungan menunjukkan nilai yang paling tinggi. Pendapatan tertinggi diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan di area anjungan produksi migas. Kondisi ini disebabkan oleh harga ikan yang diperoleh di area anjungan produksi migas relatif lebih mahal dibandingkan di area migas maupun area non migas. Selain faktor jumlah produksi dan harga ikan, estimasi produktivitas juga dilakukan melalui struktur biaya operasional yang digunakan. Dari segi biaya produksi (operasional) maka struktur dan besaran biaya untuk operasional payang di area migas dan area non migas relatif sama yaitu sebesar 612.225-648.700 rupiah, sedangkan di area anjungan menunjukkan biaya yang paling rendah yaitu sebesar 341.000 rupiah.
108
Rendahnya biaya produksi di area anjungan disebabkan oleh tidak dikeluarkannya biaya BBM untuk generator listrik yang dialirkan ke lampu pemikat. Pada penangkapan ikan di area anjungan, peneliti memanfaatkan pantulan cahaya anjungan dan flare stack sebagai pengumpul ikan, sehingga tidak diperlukan stimulan cahaya dari lampu. Hal ini pula yang memberi kontribusi cukup tinggi terhadap pendapatan dari kegiatan penangkapan ikan di area anjungan. Komposisi biaya operasional per trip untuk payang di ketiga titik pengambilan contoh disampaikan pada Tabel 11. Tabel 11 Komposisi biaya operasional per trip unit payang di area migas, area non migas, dan area anjungan produksi migas No.
Item Biaya
Harga (Rupiah)
Jumlah
Biaya (Rupiah)
AM
ANM
AP
AM
ANM
AP
5.500
70
68
20
385.000
374.000
110.000
1.
BBM
2.
Gas
17.000
2
2
-
34.000
34.000
-
3.
Kaos strongking
12.000
1
1
-
12.000
12.000
-
4.
Es
18.000
2
2
1
36.000
36.000
50.000
5.
Beras (makanan)
5.000
5
6
-
25.000
30.000
6.
Bumbu, minyak, kopi, gula
36.700
1
1
-
36.700
26.225
7.
Rokok
10.000
12
10
-
120,000
100.000
648,700
612,225
Biaya total
181.000
341,000
Keterangan: AM (Area migas); ANM (Area non migas); AP (Area Anjungan)
Data yang diperoleh dengan teknik penangkapan aktual tersebut didukung oleh data kuisioner yang dikumpulkan dari responden alat tangkap payang di area migas dan area non migas. Analisis produktivitas juga dilakukan dengan memanfaatkan data produksi payang per tahun, yang diambil dari tahun 19962010. Data produktivitas tahunan disampaikan pada Tabel 12.
109
Tabel 12 Produktivitas nelayan payang per tahun periode 1996-2010 Area migas (Karawang) Tahun
Area non migas (Cirebon)
Rumah Tangga Perikanan (RTP)
Produktivitas (ton/RTP/tahun)
Rumah Tangga Perikanan (RTP)
Produktivitas (ton/RTP/tahun)
1996
740
3,99
2.897
0,52
1997
740
3,49
2.897
0,60
1998
740
6,60
2.854
0,55
1999
780
6,65
2.864
0,43
2000
780
4,67
2.875
0,35
2001
780
5,62
2.896
0,43
2002
780
9,06
4.456
0,31
2003
780
7,13
4.869
0,27
2004
780
7,19
4.614
0,47
2005
731
7,66
4.776
0,55
2006
731
1,74
5.026
0,74
2007
731
4,13
4.996
1,64
2008
1088
2,87
8.025
0,80
2009
1088
3,74
4.999
0,25
2010
1102
3,01
4.999
1,29
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat 1996-2010, (diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 12, maka dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan hasil antara data primer dengan data series selama 15 tahun. Dari data sekunder (series 15 tahun) produktivitas nelayan payang di area migas justru menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas nelayan di area non migas. Kondisi ini dapat dijelaskan sebagai akibat dari kondisi over fishing. Ada kemungkinan kondisi over fishing di area non migas relatif tinggi dibandingkan dengan kondisi over fishing di area migas. Kondisi over fishing dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat pertumbuhan sumber daya ikan. Tingkat pertumbuhan ikan sangat berpengaruh terhadap kondisi stok sumber daya ikan untuk mengimbangi kegiatan penangkapan. Hasil analisis ini selanjutnya dikomparasikan dengan hasil analisis bioekonomi untuk mengetahui kondisi sumber daya ikan secara biologi dan ekonomi.
110
5.2.1.7. Analisis Bioekonomi Sumber Daya Ikan dari Alat Payang Berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasil analisis produktivitas, dimana pada teknik tangkapan aktual produktivitas di area migas lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas di area non migas. Kondisi sebaliknya diperoleh dari hasil analisis produktivitas dengan data sekunder series tahun 19962010, yang menunjukkan produktivitas di area migas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas di area non migas.
Hasil temuan ini
selanjutnya dianalisis secara bioekonomi untuk mengetahui kondisi biologi dan ekonomi yang terjadi pada sumber daya ikan di area migas dan area non migas. Data yang digunakan dalam analisis model ini adalah data produksi dan effort unit payang dalam trip di area migas (Karawang) dan area non migas (Cirebon) dalam periode produksi tahun 1996-2010. Pendugaan parameter ekonomi dilakukan dengan menggunakan data IHK Kabupaten Cirebon tahun 1996-2010. Hasil perhitungan dan pendugaan OLS dengan menggunakan software Microfost Excel memberikan gambaran pengaruh CPUE saat ini (tahun t) terhadap CPUE pada masa yang akan datang (t+1). Model dugaan yang dihasilkan untuk area migas dan area non migas yaitu: Model dugaan untuk area migas: LnCPUEt +1 = 0,6019 + 0,0110 Ln(U t ) − 0,0001( Et + Et +1 ) Model dugaan untuk area non migas: LnCPUE t +1 = 0,4579 + 0,2039 Ln(U t ) − 0,00007( Et + Et +1 ) Model dugaan tersebut menjelaskan bahwa tangkapan per unit effort saat ini memiliki hubungan positif terhadap tangkapan per unit effort pada tahun mendatang. Dari model dugaan dapat diketahui bahwa peningkatan tangkapan per unit effort sebesar satu satuan pada saat ini (tahun t) akan mengakibatkan peningkatan tangkapan per unit effort masa mendatang (t+1) sebesar
0,011
satuan. Sedangkan di area non migas, peningkatan sebesar 1 satuan tangkapan per unit effort saat ini akan mengakibatkan peningkatan sebesar 0,2039 satuan tangkapan per unit effort pada masa yang akan datang.
111
Variabel upaya penangkapan memiliki hubungan negatif terhadap tangkapan per unit effort, artinya setiap peningkatan effort penangkapan sebesar 1 satuan akan menurunkan tangkapan per unit effort masa yang akan datang sebesar 0,0001 satuan untuk di area migas dan 0,00007 satuan untuk area non migas. Hasil regresi secara lengkap disampaikan pada Lampiran 6. Pendugaan Parameter Biologi Dari model dugaan tersebut diperoleh dugaan untuk koefisien β1, β2, dan β3. dengan demikian estimasi parameter biologi sumber daya ikan di area migas dan area non migas dapat dilakukan. Hasil estimasi parameter biologi disampaikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil pendugaan parameter biologi sumber daya ikan target alat tangkap payang di area migas dan area non migas Koefisien Biologi
Area Migas
Area Non Migas
r (%)
1,9564
1,3224
q (per standardized effort)
0,0003
0,000243
K (ton)
3.606,4523
4.108,6921
Sumber: Data primer, 2011 (diolah)
Dari data hasil pendugaan parameter biologi maka dapat diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ikan yang menjadi target tangkapan alat payang lampu di area migas lebih tinggi hingga 0,5% dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sumber daya ikan di area non migas. Jika ditinjau dari koefisien penangkapan maka nilai yang diberikan relatif sama.
Nilai ini dapat menjelaskan bahwa
peluang tertangkapnya ikan dengan alat payang di area migas dan area non migas relatif sama. Kondisi ini memberikan gambaran tentang kondisi penangkapan ikan dengan alat payang di area migas dan area non migas. Dari nilai daya dukung, terlihat bahwa daya dukung di area non migas menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daya dukung di area migas. Nilai yang ditunjukkan pada Tabel 13, dapat menjelaskan bagaimana kondisi produktivitas penangkapan ikan dengan alat payang di area migas dapat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas di area non migas.
112
Pendugaan Parameter Ekonomi Pendugaan parameter ekonomi dilakukan untuk memperoleh estimasi pengaruh faktor ekonomi terhadap sumber daya ikan. Parameter yang diukur meliputi parameter biaya harga ikan berdasarkan indeks harga konsumen Kabupaten Cirebon 1996-2010. Dari hasil perhitungan diperoleh data yang disampaikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil pendugaan parameter ekonomi alat payang di area migas dan non migas Parameter Ekonomi
Area migas
Area non migas
p (rupiah/ton)
2.531.000
2.531.000
c (rupiah/trip)
648.700
612.225
4.151,0473
2.791,0617
12.198
10,253
Produksi rata-rata (ton/tahun) Trip rata-rata (trip/tahun) Sumber: Data primer, 2011 (diolah)
Parameter harga yang digunakan adalah harga riil yang sudah disesuaikan dengan IHK Kabupaten Cirebon tahun 1996-2009. Penggunaan rujukan nilai IHK yang sama menyebabkan estimasi harga sumber daya ikan di area migas dengan area non migas menjadi sama yaitu senilai 2.531 ribu rupiah per ton. Biaya operasional diperoleh dari data penghitungan variabel biaya yang digunakan pada saat melakukan penangkapan aktual, yang dikomparasikan dengan data kuisioner yang diperoleh dari responden. Biaya operasional alat payang di area migas dan area non migas relatif sama, yaitu berkisar antara 612.225-648.700 rupiah per trip. Data produksi tahunan rata-rata diperoleh dari data sekunder (DKP Provinsi Jawa Barat, 1996-2010), demikian pula dengan data trip diperoleh dari pengolahan data sekunder yang disesuaikan dengan hasil wawancara dan data kuisioner. Dari data pada Tabel 14, diketahui bahwa jumlah produksi tahunan rata-rata di area migas lebih tinggi dibandingkan dengan area non migas. Kondisi ini dapat disebabkan oleh jumlah trip rata-rata di area migas lebih tinggi dibandingkan dengan area non migas. Data ini selanjutnya digunakan untuk mengestimasi rente ekonomi dari setiap rezim pengelolaan sumber daya ikan. Pengolahan data dilakukan dengan software MAPLE versi 11.0.
113
Dari hasil pengolahan data diperoleh estimasi terhadap stok (x), jumlah tangkapan (h), effort (E), dan rente ekonomi dari kegiatan penangkapan ikan dengan alat payang lampu di area migas dan non migas.
Hasil perhitungan
disampaikan pada Tabel 15 dan Tabel 16. Tabel 15 Hasil pendugaan stok dan jumlah di area migas dan area non migas Stok (ton) Rezim Pengelolaan
Area migas
tangkapan
alat
payang
Jumlah Tangkapan (ton)
Area non migas
Area non migas
Area migas
Sole owner
2.230,40
2.552,06
1.664,93
1.278,60
MSY
1.803,27
2.054,37
1.763,92
1.358,34
854,40
995,43
1.275,49
997,44
1.756,90
1.839,32
1.762,75
1.343,46
4.151,04
2.791,06
Open Access Optimum Aktual
Sumber: DKP Provinsi Jawa Barat, 1996-2010 (diolah)
Tabel 16 Hasil pendugaan effort dan rente ekonomi kegiatan penangkapan ikan dengan alat payang di area migas dan area non migas Effort (trip) Rezim Pengelolaan
Area migas
Rent (x1000 rupiah)
Area non migas
Area non migas
Area migas
Sole owner
2.488,24
2.061,76
2,61x109
1,98x109
MSY
3.260,67
2.720,99
2,50x109
1,77x109
Open Access
4.976,48
4.123,52
0
0
Optimum
3.344,44
3.005,80
2,29x109
1,56x109
12.198
10.253
Aktual
Sumber: DKP Provinsi Jawa Barat, 1996-2010 (diolah)
Hasil analisis bioekonomi menunjukkan bahwa kondisi penangkapan ikan alat payang lampu di area migas berada dalam kondisi lebih baik dibandingkan dengan area non migas.
114
Namun kedua area menunjukkan kondisi over fishing, yang dapat dilihat dari jumlah tangkapan dan trip aktual yang jauh di atas titik optimum. Kondisi ini diilustrasikan dalam Gambar 39.
Gambar 39. Kurva bioekonomi alat payang lampu di area migas dan non migas.
Kondisi ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ikan di area migas lebih tinggi dibandingkan dengan area non migas.
Jika ditinjau dari kondisi
penangkapan aktual rata-rata, maka kondisi penangkapan ikan di area migas maupun non migas menunjukkan kondisi overfishing. Kondisi overfishing yang terjadi cukup kontradiktif untuk menjelaskan status penangkapan ikan dengan alat payang secara bioekonomi di area migas.
Terdapat indikasi bahwa tingkat
overfishing yang terjadi dapat diimbangi oleh tingkat pertumbuhan ikan yang mencapai 1,9% di area migas. Komparasi Hasil Analisis Produktivitas dengan Analisis Bioekonomi Dari hasil analisis produktivitas per trip, produktivitas tahunan, dan analisis bioekonomi maka diperoleh suatu komparasi yang cukup kontradiktif. Pada hasil analisis produktivitas per trip diperoleh temuan bahwa tingkat produktivitas per trip alat payang di area migas menunjukkan kondisi yang lebih rendah dibandingkan dengan area non migas. Kondisi ini diyakini sebagai akibat dari adanya pemberlakuan zona aman kegiatan migas di sekitar anjungan produksi yang dianggap mempersempit area penangkapan ikan yang dapat diakses.
115
Terdapat asumsi bahwa lokasi anjungan produksi migas tersebut dianggap berada di area fishing ground terbaik. Kondisi sebaliknya ditunjukkan oleh hasil analisis produktivitas tahunan dan hasil analisis bioekonomi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kondisi sumber daya ikan di area migas berada dalam kondisi lebih baik dibandingkan dengan area non migas. Kondisi ini dapat dijelaskan dari perbedaan angka pertumbuhan sumber daya ikan yang terjadi di area migas dan area non migas. Tingkat pertumbuhan sumber daya ikan di area migas menunjukkan nilai sebesar 0,5% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sumber daya ikan di area non migas. Tingkat pertumbuhan sumber daya ikan yang lebih tinggi di area migas, cukup memberikan kontribusi terhadap pertambahan stok ikan di area ini. Dengan demikian untuk estimasi produktivitas dalam jangka panjang (dengan data series), maka hasil akan menunjukkan nilai produktivitas yang lebih tinggi. Tingkat pertumbuhan sumber daya ikan yang lebih tinggi di area migas dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya daya dukung lingkungan. Secara fisik kimia biologi, daya dukung perairan menunjukkan kondisi yang relatif sama, demikian pula dari sisi persaingan penangkapan ikan dengan alat payang masih relatif sama. Terdapat kemungkinan kondisi ini disebabkan oleh diberlakukannya zona aman kegiatan migas radius 500 meter yang melarang kegiatan lain termasuk penangkapan ikan memasuki area ini. Secara langsung, area ini akan terlindungi dari kegiatan penangkapan ikan yang sudah menunjukkan kondisi over fishing. Jika dianalogikan dengan penelitian sebelumnya tentang terbentuknya habitat baru di area anjungan, maka dapat diduga bahwa dalam jangka panjang anjungan yang disertai zona larangan secara tanpa disengaja telah menjadi area konservasi sementara (temporary marine protected area). Analisis ini dikuatkan oleh asumsi-asumsi yang diperoleh dari responden tentang pengaruh positif anjungan produksi migas di laut terhadap sumber daya ikan. Kondisi lingkungan di sekitar anjungan dapat menarik ikan untuk menuju area anjungan, bahkan menjadikannya sebagai habitat sementara. Beberapa faktor yang menjadi daya tarik dari anjungan produksi migas yaitu:
116
a.
Konstruksi anjungan dengan berbagai peralatan (pipa) yang terdapat di perairan berfungsi menyerupai fish aggregating device (FAD) yang disukai oleh ikan. Efek teduh yang diberikan oleh bayangan anjungan dan keberadaan pipa warna-warni di perairan, dapat menjadi area tujuan ikan. Dalam durasi yang cukup lama, area ini akan membentuk suatu kehidupan yang selanjutnya dapat menjadi habitat baru bagi ikan.
b.
Limbah organik yang ditimbulkan dari aktivitas akomodasi tenaga kerja, yang dibuang secara terus-menerus ke perairan dapat menjadi salah satu sumber makanan bagi ikan.
c.
Efek terang yang ditimbulkan oleh cahaya lampu dan flaring mampu menarik plankton yang dapat menarik jenis ikan kecil dan membuat suatu jebakan rantai makanan di sekitar anjungan. Dengan demikian, ikan yang menuju area ini dapat saja ikan demersal yang bertujuan memperoleh makanan dari sistem rantai makanan yang terbentuk.
d.
Pemberlakuan zona terlarang (radius 500 meter) secara langsung membatasi ruang gerak nelayan, sehingga area anjungan sampai dengan batas zona terlarang menjadi area yang sangat terlindung.
Kondisi ini semakin
memberikan kesan aman bagi ikan yang sudah berada di area anjungan. Pada durasi yang cukup lama, kondisi yang sedemikian rupa yang terjadi secara terus-menerus akan menciptakan suatu habitat menyerupai area konservasi laut. Dari data hasil tangkapan aktual yang diperoleh di area anjungan, maka kondisi ini dapat diilustrasikan pada Gambar 40.
117
350.00
Jumlah Tangkapan (kg/trip)
300.00 Area Non MIGAS
250.00 200.00
Area MIGAS
150.00
Area Anjungan (larangan)
100.00 50.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Pengambilan Contoh ke-n Gambar 40. Perbandingan jumlah tangkapan di titik pengambilan contoh.
Perbedaan jumlah hasil tangkapan ditunjukkan oleh area yang diarsir. Area ini memberikan gambaran jumlah ikan yang tidak berhasil ditangkap oleh nelayan, akibat adanya pemberlakuan zona terlarang di sekitar anjungan. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa hasil tangkapan per trip yang selama ini diperoleh oleh nelayan, justru berasal dari spill over ikan yang terlindungi di area anjungan (di dalam zona aman tersebut). Jika jumlah tangkapan ini dikonversi ke dalam nilai rupiah dalam bentuk pendapatan per trip, maka terdapat perbedaan produktivitas di ketiga titik pengambilan contoh. Perbedaan produktivitas tersebut dapat diselisihkan sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi nilai produktivitas yang hilang (selisih antara area non migas dengan area migas). Kondisi ini diilustrasikan pada pada Gambar 41.
118
4,500,000
Pendapatan (Rupiah/trip)
4,000,000 Area Non MIGAS
3,500,000 3,000,000
Area MIGAS
2,500,000 2,000,000
Area Anjungan (larangan)
1,500,000 1,000,000 500,000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pengambilan Contoh ke-n
Gambar 41. Perbandingan pendapatan di titik pengambilan contoh.
Dari Gambar 41 diketahui bahwa terdapat perbedaan produktivitas per trip dari alat payang di area migas dengan area non migas sebesar area yang diarsir. Analisis ini didasarkan pada harga dan kondisi yang berlaku pada saat penelitian ini dilaksanakan (Mei-Agustus 2011). Area arsir tersebut menunjukkan selisih kurva pendapatan di area non migas dengan di area migas, yang dapat menggambarkan jumlah pendapatan yang hilang akibat adanya pemberlakuan zona terlarang di sekitar anjungan produksi migas di laut. Adanya pemberlakuan zona terlarang radius 500 meter secara langsung berdampak pada penyempitan area penangkapan ikan yang dapat diakses oleh nelayan. Area penangkapan ikan yang semakin sempit dengan jumlah aktivitas penangkapan yang semakin meningkat, secara langsung akan memicu tingkat persaingan antar nelayan. Peningkatan persaiangan antar nelayan, pada kondisi open access akan berdampak pada penurunan produktivitas nelayan, yang ditandai dengan penurunan rente ekonomi. Pada kondisi terakumulasi kondisi tersebut sangat berpotensi melumpuhkan sumber daya ikan. Dari komparasi hasil analisis produktivitas per trip dan tahunan, serta bioekonomi maka diperoleh gambaran tentang pengaruh keberadaan anjungan produksi migas di laut terhadap perikanan tangkap dengan alat payang lampu. Selisih grafik pada Gambar 40 dan Gambar 41 dapan menggambarkan estimasi produksi yang hilang dalam setiap trip nelayan di area migas.
119
Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan anjungan produksi migas di laut memberikan eksternalitas negatif terhadap produktivitas per trip nelayan payang lampu. Hasil ini memperkuat asumsi-asumsi nelayan tentang penurunan produktivitas yang dialami oleh nelayan payang lampu. Pada kondisi jangka panjang, keberadaan anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan zona aman kegiatan sejauh radius 500 meter dari anjungan menyebabkan timbulnya area terlindung di sekitar anjungan. Adanya kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan biota laut, termasuk ikan maka keberadaan anjungan yang disertai dengan zona aman (larangan mendekat radius 500 meter) menyebabkan area anjungan seolah menjadi area konservasi sementara (selama anjungan tersebut ada di perairan). Pada kondisi ini anjungan produksi migas dapat berperan menyerupai artificial reef bagi biota laut dan ikan, dan zona aman kegiatan dapat berperan sebagai temporary marine protected area. Kondisi inilah yang dapat melindungi sumber daya ikan dari kegiatan penangkapan, terlebih dalam kondisi over fishing, sehingga pertumbuhan tetap terjadi. Namun demikian, peran penting wilayah perairan di Karawang sebagai ladang mata pencaharian utama nelayan, menyebabkan kondisi penurunan produktivitas per trip yang saat ini mulai dirasakan harus dapat diatasi. Selain itu, potensi konflik yang semakin meningkat membutuhkan perhatian dari pihak pelaksana kegiatan migas di laut dan pihak instansi terkait. 5.3.
Alternatif Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Kegiatan Migas di Daerah Penangkapan Ikan Hasil analisis yang diperoleh dari kajian persepsi dan pendugaan bentuk
eksternalitas pada uraian sebelumnya, selanjutnya digunakan sebagai input untuk menyusun alternatif strategi pengelolaan kegiatan yang dapat diimplementasikan oleh pelaksana kegiatan migas di laut. Hal ini ditujukan agar kegiatan migas dapat berjalan lancar tanpa menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kegiatan perikanan tangkap. Hasil analisis menunjukkan bahwa komponen yang perlu dikelola secara khusus yaitu komponen persepsi nelayan, penurunan produktivitas per trip, dan kontribusi kegiatan terkait dengan kondisi overfishing yang tengah dihadapi oleh nelayan secara umum, dan nelayan payang lampu secara khusus.
120
5.3.1. Pengelolaan terhadap Persepsi Negatif Nelayan Persepsi negatif yang timbul dari kalangan nelayan terhadap keberadaan anjungan migas di laut perlu dikelola untuk menciptakan kegiatan yang efesien. Dari hasil penelitian diketahui bahwa persepsi negatif nelayan secara spesifik terjadi di kalangan nelayan payang dan pancing. Kondisi ini dikaitkan dengan kesamaan lokasi tujuan penangkapan ikan oleh kedua jenis alat tangkap tersebut, dimana keduanya beranggapan bahwa lokasi anjungan merupakan lokasi penangkapan ikan terbaik. Persepsi negatif tersebut dapat dikelola melalui beberapa alternatif strategi berikut ini: a)
Membentuk Skema Komunikasi yang Efektif Membentuk suatu skema komunikasi yang mudah dipahami, mudah diakses,
dan melibatkan nelayan secara aktif dalam kegiatan yang mungkin dapat dipenuhi oleh skill nelayan. Komunikasi yang efektif dan lebih mengedepankan bentuk kerja sama dengan nelayan, mampu membangkitkan rasa memiliki dari pihak nelayan.
Kondisi ini akan merangsang inisiatif positif nelayan untuk turut
menjaga kegiatan migas yang beroperasi di perairan yang juga merupakan fishing ground utama nelayan lokal. Hubungan yang sudah terjalin dapat dipertahankan melalui diskusi secara berkala untuk membahas apa saja terkait dengan kepentingan pihak nelayan dan pihak pelaksana kegiatan migas. Menggali informasi tentang kondisi di sekitar lokasi anjungan, serta masukan-masukan nelayan agar kegiatan dapat tetap berjalan tanpa banyak mengganggu nelayan. Kondisi yang terjadi selama ini adalah kurang dilibatkannya nelayan dalam sistem komunikasi di lapangan serta kurangnya upaya pendekatan sosial yang dilakukan. Kurangnya pendekatan sosial dan kelemahan pihak pelaksana kegiatan migas dalam menyampaikan pesan dari ketentuan zona larangan di sekitar anjungan menyebabkan nelayan hanya merasa dilarang untuk mengakses area yang semestinya menjadi fishing ground utama mereka. Komunikasi yang terbentuk cenderung bersifat 1 arah, dan terdapat tendensi pelimpahan kepercayaan yang terlalu besar terhadap beberapa oknum (misalnya pengurus KUD), tanpa melakukan ground checking dan feedback informasi dari nelayan secara langsung.
121
Kegagalan sistem informasi tersebut perlu dibenahi dengan cara membuat suatu sistem informasi yang lebih kooperatif dan mengutamakan interaksi komunikasi dari nelayan. Sistem ini selanjutnya perlu disegarkan secara berkala, dengan demikian nelayan dapat merasakan keberadaan perusahaan migas secara lebih etis, bukan hanya sebagai pengeksploitasi SDA yang mengabaikan kondisi lingkungan dan kehidupan sosial yang ada di sekitarnya. b)
Melakukan Upaya untuk Menjaga Keselamatan Kerja dan Lingkungan Melakukan upaya teknis untuk mereduksi resiko keselamatan kerja terkait
dengan keberadaan flare stack dan kegiatan flaring. Termasuk dalam hal ini adalah upaya penjagaan secara ketat area anjungan produksi dari jangkauan nelayan. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan kepastian keamanan dan keselamatan nelayan, sebab bagaimana pun kecelakaan yang terjadi di sekitar anjungan akan menjadi tanggung jawab pihak pelaksana kegiatan migas. Kondisi yang terjadi di lapangan saat ini menunjukkan bahwa sistem penjagaan di sekitar anjungan masih relatif kurang memadai. Tidak adanya tanda batas aman di perairan terkadang menjadi alasan nelayan yang nekat masuk ke zona aman kegiatan (dalam radius 500 m). Peluang masuknya nelayan ke zona larangan saat ini memang sangat kecil, namun masih terjadi. Alasan minimnya permodalan untuk meningkatkan daya lampu serta ketidaktahuan nelayan mengenai titik terluar radius 500 m menjadi alasan nelayan yang tertangkap masuk ke zona aman kegiatan. Kondisi ini sangat perlu menjadi perhatian bagi pelaksana kegiatan migas, sebab ketika zona aman ini dapat diakses oleh kegiatan lain tanpa pemahaman prosedur kegiatan, maka terdapat ancaman keselamatan dan keamanan kegiatan yang dapat menghilangkan nyawa dan resiko efisiensi kegiatan. c)
Melakukan Penyegaran Bentuk Kontribusi Sosial Ekonomi Melakukan penyegaran bentuk kontribusi sosial ekonomi yang diberikan,
yaitu dengan memilih program yang dapat dirasakan secara langsung oleh nelayan. Misalnya kontribusi terkait dengan kegiatan penangkapan ikan. Peran tersebut dapat berupa bantuan teknis untuk perbaikan sandaran armada yang sangat dibutuhkan oleh nelayan, dan kondisinya saat ini sudah dianggap menyulitkan mobilitas pengangkutan ikan.
122
Bantuan alat dan sistem/mekanisme komunikasi yang dapat menghubungkan nelayan dengan pihak pelaksana kegiatan. Serta peran aktif pada acara-acara terkait dengan hubungan sosial dan kultural di pesisir ini. Upaya tersebut ditujukan untuk mengelola persepsi nelayan, dengan menjaga persepsi positif dan mereduksi persepsi negatif nelayan terhadap kegiatan migas yang beroperasi di pesisir sekitar mereka. Keberhasilan pengelolaan persepsi nelayan akan menjadi modal sosial bagi pelaksana kegiatan yang dapat meningkatkan kerja sama nelayan untuk turut mendukung kegiatan migas yang berada di area perairan yang juga merupakan area penangkapan ikan nelayan lokal. 5.3.2. Pengelolaan
terhadap
Eksternalitas
Negatif
terkait
dengan
Produktivitas per trip Dari hasil analisis produktivitas per trip, maka eksternalitas negatif kegiatan migas timbul akibat keberadaan anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan zona aman kegiatan radius 500 meter. Kondisi ini dialami oleh nelayan payang lampu. Perbedaan produktivitas per trip dari armada payang lampu menunjukkan nilai yang lebih rendah dan cukup signifikan. Perbedaan jumlah hasil tangkapan mencapai 33% atau senilai 60% rupiah lebih rendah di area migas dibandingkan dengan area non migas.
Hal ini menjadi indikasi bahwa
pengelolaan terhadap kerugian ekonomi nelayan sangat perlu dilakukan. Dengan mengkombinasikan persepsi nelayan dan besaran kehilangan produktivitas yang dialami, maka bentuk pengelolaan yang diusulkan dari penelitian ini adalah pembayaran kompensasi kepada nelayan.
Pembayaran kompensasi tersebut
sekurang-kurangnya memuat hal-hal berikut ini: a)
Identifikasi Nelayan Melakukan identifikasi nelayan yang mengalami kerugian ekonomi akibat
keberadaan anjungan produksi migas di laut. Dari penelitian ini, nelayan yang teridentifikasi mengalami kerugian ekonomi adalah nelayan jenis alat tangkap payang lampu dan pancing. b)
Pembayaran Kompensasi Kerugian Ekonomi Kompensasi yang dibayarkan memuat nilai produktivitas yang hilang.
Selama ini, besaran nilai kompensasi dirancukan dengan keterbatasan data terkait kerugian ekonomi yang dialami oleh nelayan.
123
Penelitian ini mencoba menghitung nilai besaran produktivitas yang hilang, terkait dengan keberadaan anjungan di perairan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terjadi kehilangan produktivitas mencapai 33% kg atau senilai 60% rupiah lebih rendah dibandingkan dengan area non migas. Pengukuran yang dilakukan di ketiga titik pengamatan, cukup mampu menjelaskan perbedaaan produktivitas tersebut. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa jumlah produksi di titik anjungan berada persis di ruang antara nilai produksi di area non migas dengan area migas. Pada saat penelitian ini dilakukan, (2011) pendapatan nelayan payang lampu per trip di Karawang mencapai 700-2 juta rupiah, dengan waktu operasional (termasuk perjalanan) selama 17 jam per trip, dan frekuensi penangkapan pada durasi gelap bulan (12 hari per bulan). Nilai produktivitas ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai produktivitas yang diperoleh oleh nelayan di area non migas yang dapat mencapai 2-4 juta rupiah per trip dengan waktu dan frekuensi penangkapan ikan yang relatif sama dengan di area migas. Nilai ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dari kegiatan kompensasi yang akan dilakukan, dengan menyesuaikan kembali dengan hasil kesepakatan pihak nelayan dengan pelaksana kegiatan migas serta peraturan yang berlaku. Ketika nilai kompensasi yang disepakati berada lebih tinggi dari estimasi dalam penelitian ini, maka pihak pelaksana kegiatan migas di laut dapat melakukan negosiasi dengan memanfaatkan hasil perhitungan dari penelitian ini. Pengelolaan dalam bentuk pembayaran kompensasi dapat menjadi bentuk pengelolaan yang efektif pada kegiatan yang bersifat statis, namun berbeda kondisinya ketika pengelolaan ditujukan untuk kegiatan dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi, misalnya kegiatan penangkapan ikan. Kompensasi cenderung hanya mampu mengelola konflik dalam jangka waktu yang sangat pendek. Oleh karena itu, efektivitas pengelolaan tidak semata menyangkut besaran kompensasi, melainkan lebih menekankan pada upaya menumbuhkan pemahaman dan kerjasama nelayan. c)
Membina Hubungan Kerjasama yang Bersifat Timbak Balik Membina hubungan kerjasama yang bersifat timbal balik diperlukan untuk
menjaga keharmonisan pihak berkepentingan. Pada upaya ini, azas yang diutamakan adalah azas penghargaan pada sifat kooperatif kedua pihak.
124
5.3.3. Pengelolaan
terhadap
Eskternalitas
Positif
terkait
dengan
Pertumbuhan SDI Dari hasil kajian bioekonomi dengan menggunakan data produksi dan effort series periode 1996-2010, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi bioekonomi di area migas justru lebih tinggi dibandingkan dengan di area non migas. Kondisi ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ikan di area migas lebih tinggi dibandingkan dengan area non migas, yaitu berbeda sebesar 0,5%. Adanya pemberlakuan zona aman kegiatan pada jarak radius 500 m, semakin menguatkan pertahanan fungsi ekologi yang mungkin terbentuk di area anjungan produksi migas di laut. Adanya simbiosis ekologi di area anjungan serta pemberlakuan zona aman di sekitar anjungan menyebabkan area anjungan seolah menjadi area konservasi (marine protected area/MPA). Kondisi ini dapat melindungi ikan sementara (selama tahap operasi) dari kegiatan penangkapan yang sudah menunjukkan kondisi over fishing. Dalam jangka panjang, perlindungan ini cukup berarti untuk tingkat pertumbuhan ikan yang akan berkontribusi secara langsung terhadap keberlangsungan kegiatan penangkapan ikan di pesisir ini. Kondisi ini cukup mampu menjawab kekhawatiran nelayan terkait dengan keberadaan anjungan produksi migas di laut, yang juga merupakan fishing ground utama. Selain itu, kondisi ini sekaligus memberikan gambaran bagi nelayan tentang kondisi perikanan tangkap, khususnya alat payang secara biologi dan ekonomi yang saat ini telah menunjukkan kondisi overfishing dan perlu segera diatasi. Over fishing yang terjadi dapat menjadi peringatan bagi nelayan dan pemerintah terkait untuk mulai mengupayakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak bersifat eksploitatif. Pada sisi yang sama, kondisi over fishing juga dapat menjadi peringatan bagi pelaksana kegiatan migas untuk mulai lebih memperhatikan gejolak sosial yang mungkin dapat timbul dan berdampak pada kegiatan migas itu sendiri. Hasil penelitian ini dapat membantu pihak pelaksana kegiatan migas dalam penjelasan dampak positif keberadaan anjungan migas di laut terhadap pengendalian kondisi overfishing, khususnya alat payang. Penjelasan yang detail, mudah dipahami, dan memberikan manfaat positif bagi nelayan itu sendiri akan berpeluang lebih besar untuk dimengerti dan diyakini oleh nelayan.
125
Selain untuk mengelola konflik sosial terkait dengan pemanfaatan kawasan dan SDA, eksternalitas positif anjungan produksi migas di laut dapat pula menjadi salah satu pertimbangan dalam kegiatan decommissioning ketika kegiatan operasi telah usai. Dengan adanya dugaan terbentuknya ekosistem di area anjungan yang diestimasi dari perbedaan produksi dan komparasi studi literatur, maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat lebih komperehensif untuk mengetahui nilai relatif habitat yang terbentuk di area anjungan. Nilai relatif habitat tersebut, dapat memberikan gambaran dalam penentuan kebijakan decommissioning fasilitas anjungan dari perairan. Kebijakan pembongkaran anjungan dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, misalnya dengan pembongkaran fasilitas secara total, pemotongan sebagian fasilitas, atau tetap membiarkan fasilitas secara utuh di perairan dengan kondisi mengubah posisi (menenggelamkannya dalam posisi memanjang). Dalam perspektif ekonomi sumber daya alam dan lingkungan, maka pertimbangan holistik dan sinergis sangat diperlukan, mengingat potensi sumber daya alam yang harus dijaga untuk kepentingan kehidupan saat ini dan generasi selanjutnya. Pihak pelaksana kegiatan migas di laut dapat melakukan kerja sama dengan pihak instansi terkait, misalnya dinas kelautan dan perikanan yang relevan terkait dengan pengambilalihan fasilitas yang telah tidak diaktifkan lagi. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan memanfaatkan anjungan tersebut sebagai artificial reef yang dikelola oleh pihak dinas kelautan dan perikanan. Pengelolaan dapat dilakukan dengan penjagaan di sekitar anjungan, atau pemberian tanda batasan zona yang dapat diakses oleh nelayan. namun dengan memastikan bahwa proses close down anjungan benar-benar telah aman dari bahaya yang dapat mengancam nyawa.
VI.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan serta hasil analisis data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dan saran yang disampaikan dari penelitian ini yaitu: 6.1. Simpulan a)
Keberadaan anjungan produksi migas di laut menimbulkan persepsi negatif dan positif dari nelayan. Persepsi positif muncul dari kelompok nelayan dengan alat tangkap yang dioperasikan jauh dari anjungan. Anggapan yang berkembang dari persepsi positif ini adalah adanya fungsi positif anjungan terhadap sumber daya ikan di laut. Selain itu adanya anggapan bahwa keberadaan anjungan dapat berperan sebagai acuan navigasi di laut juga menjadi salah satu alasan dari munculnya persepsi positif nelayan. Persepsi negatif muncul dari kelompok nelayan dengan alat tangkap payang lampu dan pancing. Anggapan yang berkembang dari persepsi negatif ini yaitu adanya pengurangan area penangkapan ikan, yang berpengaruh pada penurunan produktivitas per trip nelayan payang lampu dan pancing. Selain itu, persepsi lain yang muncul adalah bahwa keberadaan anjungan kerap menyebabkan kecelakaan yang menewaskan nelayan.
b)
Bentuk eksternalitas yang ditimbulkan dari keberadaan kegiatan migas di laut berupa eksternalitas negatif terhadap produktivitas per trip nelayan payang lampu. Perbedaan produktivitas per trip nelayan payang lampu di area migas dapat mencapai 33% kg atau senilai 60% rupiah lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas nelayan payang di area non migas. Eksternalitas positif yang ditimbulkan berupa manfaat area anjungan yang disertai zona aman kegiatan (larangan radius 500 m) sebagai area perlindungan sementara untuk sumber daya ikan. Hal ini dibuktikan oleh hasil analisis bioekonomi dengan data periode 1996-2010. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi bioekonomi di area migas yang lebih baik dibandingkan dengan area non migas. Data ini juga didukung oleh produktivitas tahunan yang dihitung dari data sekunder tahun 1996-2010.
128
c)
Terdapat dugaan bahwa area anjungan produksi migas di laut yang disertai dengan pemberlakuan zona aman kegiatan pada radius 500 m di sekitar anjungan telah dapat berperan menyerupai area perlindungan ikan untuk sementara (selama masa produksi migas). Dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwa
selain
eksternalitas
negatif
berupa
penurunan
pendapatan nelayan payang per trip, ternyata keberadaan kegiatan produksi migas di laut memberikan eksternalitas positif terhadap pertumbuhan ikan. Pertumbuhan ikan di area migas 5% lebih tinggi dibandingkan dengan di area non migas. 6.2. Saran a)
Pengelolaan sebaiknya difokuskan terhadap komponen lingkungan yang terpengaruh, yaitu perspesi negatif nelayan dan produktivitas nelayan payang lampu dan pancing. Kerugian produktivitas nelayan perlu dibayar melalui pemberian kompensasi, dan upaya pengelolaan sebaiknya diarahkan pada kegiatan yang bersifat jangka panjang bukan eksplotatif.
b)
Pengelolaan sebaiknya melibatkan sistem terkait dan bersifat interaksi timbal balik. Pihak pelaksana industri migas di laut perlu menjalin kerjasama dan hubungan komunikasi yang baik dan harmonis dengan pihak nelayan, lembaga lokal, dan institusi terkait. misalnya
dengan
pertemuan
berkala
untuk
Hal ini dapat dilakukan membicarakan
kondisi
lingkungan di perairan sekitar lokasi kegiatan migas. Pembicaraan tersebut sebaiknya mengakomodir kepentingan kedua pihak (pihak pelaksana migas dan pihak nelayan). c)
Manfaat positif yang diperoleh dari keberadaan anjungan produksi migas di laut perlu dipertahankan untuk menjaga keberlangsungan kegiatan penangkapan ikan, dan juga meningkatkan keamanan dan keselamatan kegiatan migas itu sendiri.
d)
Perlu upaya berupa penyebaran informasi kepada nelayan tentang eksternalitas positif anjungan yang dapat melindungi ikan dari kegiatan penangkapan, terutama dalam kondisi overfishing yang telah terjadi.
129
Penjelasan secara detail diharapkan dapat membangkitkan kesadaran nelayan untuk turut bekerjasama mengamankan sumber daya ikan sekaligus kegiatan migas. e)
Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih komprehensif dan holistik untuk mengetahui kondisi ekologi dan mengukur nilai relatif habitat yang terbentuk di area anjungan produksi migas di laut. Hal ini sangat penting diketahui
terkait
dengan
rencana
kebijakan
pelaksanaan
close
down/decommissioning pada tahap pasca operasi. f)
Perlu dilakukan analisis kelayakan terhadap alternatif strategi pengelolaan kegiatan dan lingkungan yang diusulkan dalam penelitian ini. Analisis ini diperlukan untuk dapat menyusun strategi pengelolaan kegiatan pada tahap operasi (selama anjungan berada di perairan) dan pada tahap pasca operasi (setelah kegiatan usai) yang efektif, tepat, dan memberi manfaat terhadap kondisi sumber daya dan lingkungan di sekitar lokasi kegiatan migas di laut.
DAFTAR PUSTAKA
Anna, S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi PerikananPencemaran: kasus di Teluk Jakarta, DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ayodhya. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Bogor: IPB. Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Baskoro, SM dan A Suherman. 2007. Teknologi Penangkapan Ikan Dengan Cahaya. Semarang:UNDIP. Bea-indonesia.org. 2011. Peluang Investasi MIGAS di Indonesia. Biro Riset LMFEUI. 2010. Analisis Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 1996. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 1997. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 1998. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 1998. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2000. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2001. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2002. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2003. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2004. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat.
132
[BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2005. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2006. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2007. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2008. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2009. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Indeks Harga Konsumen. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Kabupaten Karawang dalam Angka 2010. Provinsi Jawa Barat. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Kabupaten Cirebon dalam Angka 2010. Provinsi Jawa Barat. Bungin, B. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Caledonian Offshore Ltd. 1995. North Sea Offshore Employment. Canada. Clark, CW. 1990. Mathematical Bioeconomics the Optimal Management of Renewable Resources 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. Clark, J. 1996. Coastal Ecosystem Ecological Considerations for Management of Coastal Zone, Departement the Conservation Foundation 1717. Masschu Setts Anvenue, N W. Washington, DC. Cooper, AB.
A Guide to Fisheries Stock Assessment.
From Data to
Recommendation. University of Hampshire. Dahuri, R., J, Rais, S.P Ginting, dan M J Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paramita: Jakarta.
133
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 1996. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 1997. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 1998. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 1999. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2000. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2001. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2002. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2003. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2004. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2005. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2006. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2007. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2008. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2009. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. 2010. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Provinsi Jawa Barat.
134
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi, A dan Suzy Anna, S. 2005.
Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan
Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fink, CF. 1968. Some Conceptual Difficulties in Theory of Social Conflict. Jurnal of Conflict Resolution, Special Review Issue. 412-460. Fox, W.W. Jr. 1970. An Exponential Surplus-Yield Model for Optimizing Exploited Fish Population. Transactions of the American Fisheries Society 99: 80-88. Freeman, M. 1990. Valuing Environmental Resources Under Alternative Management Regimes. Friedman, David. 1990. Price Theory: An Intermediate Text. South-Western Publishing Co. Garcia, XR. Doldan., M.L. Chas Amil, dan J. Touza. 2010. Estimating the Economic Impacts of A Portuary Development: The Case of A Coruna Outer Port in Spain. Ghofar, A. 2004.
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan secara Terpadu dan
Berkelanjutan. Cipayung-Bogor. Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of Common Property Resource: The Fishery . Jurnal of Political Economy. 62:124-142. Graham, M. 1935. Modern Theory of Exploiting a Fishery: an Aplication to North Sea Trawling. Jurnal du Counseili International pour I’Exploration de la Mer 10: 264-274. Groot, SJ. 1996. Quantitative Assessment of the Development of the offshore oil and Gas Industry in the North Sea. ICES Marine Science, 53: 1045– 1050. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment . A Manual of Basic Methods. New York: John Wiley and Sons.
135
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metoda Dan Taktik Penangkapan. Bogor: IPB. Haryadi, A. 2004. Analisis Ekonomi Manfaat Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Seribu, Jakarta [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hilborn dan Walters. 1992. Quantitative Fisheries Stock Assessment: Choice, Dynamics, & Uncertainty. USA. [INRR] Institute of Natural and Regional Resources. 2008. RKL dan RPL Tambahan Kegiatan Pengembangan Lapangan ONWJ, Perairan Pantai Utara Jawa Barat. Jakarta. [INRR] Institute of Natural and Regional Resources. 2011. UKL-UPL Survei Seismik 3D
Laut dan Zona Transisi di Lepas Pantai Kabupaten
Karawang. Jakarta. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bogor: IPB Jablonski, S. 2002. The Interaction Of The Oil And Gas Offshore Industry With Fisheries In Brazil: The “Stena Tay” Experience. Brazilian Journal Of Oceanography, 56(4):289-296. Jones, S. 1998. Conflict about Natural Resources. Di dalam Quarterly Paper Foodstep no. 36. Tearfund, England, September 1998. Kaufmann, B. dan Green, G. (1997). Cost-recovery as a Fisheries Management Tool, Marine Resource Economics, 12(1), Spring, 57-66. Lange, G. 1990. Fisheries Accounts: Management of a Recovering Fishery. Namibia. Published as Chapter 4 in Environmental Accounting in Action. Lange, G. 2000. Policy uses of the Philippine System of Integrated Environmental and Economic Accounts. Report to the Philippines National Statistical Coordination Board, Manila. Laevastu, T. dan M.L. Hayes. 1991. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News. Farnham.
136
Love, M. S., D. M. Schroeder, and M. M. Nishimoto. 2003. The Ecological Role of Oil and Gas Production Platforms and Natural Outcrops on Fishes in Southern and Central California: a Synthesis of Information. U. S. Department of the Interior, U. S. Geological Survey, Biological Resources Division, Seattle, Washington, 98104, OCS Study MMS 2003-032. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang MetodeMetode Baru. UIPress. Jakarta. Nababan, BO dan Yessi DS. 2008.
Analisis Manfaat Ekonomi Kawasan
Konservasi Laut Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Scaefer, M. 1954. Some Aspects of the Dynamics of Populations Important to Management of Comersial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna. Comm. 1:27-56. Schroeder DM, et al. 1999. Relative habitat value of oil and gas production platforms and natural reefs to shallow water fish assemblages in the Santa Maria Basin and Santa Barbara Channel, California. OCS Study MMS 99-0038. Proceeding of the Fifth California Island Symposium, US Department of the Interior, Minerals Management Service, Pacific. OCS Region, Camarillo, CA, and Santa Barbara Natural History Museum, Santa Barbara, CA.1999. p. 493–8. Schroeder, DM dan Milton SL. 2004. Ecological and political issues surrounding decommissioning of offshore oil facilities in the Southern California Bight. Ocean & Coastal Management 47 (2004) 21–48. Seijo, J.C., and O.Defeo. 1998. Fisheries Bioeconomics: Theory Modelling and Management. FAO Fisheries Technical Paper 368. FAO, Rome. Italy. Sudirman., M.S.Baskoro, Zulkarnain, S.Akiyama and T.Arimoto., 2000. Light Adaptation Process of Jack Mackerel (Trachurus japonicus) by different Light Intensites and Water Temperatures. Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 2.
Dokumentasi Jenis Alat Tangkap yang Terdapat di Lokasi Penelitian
Lampiran 3.
Rekapitulasi Data Responden
141
Tabel 1. Karakteristik responden di area migas (Karawang) No.
Jenis Alat Tangkap
Usia (Tahun)
Asal
Suku
Pendidikan
Pengalaman (Tahun)
1
Bubu rajungan
41
1
Jawa
1
22
2
Bagan tancap
60
1
Jawa
1
40
3
jaring blantong
50
1
Jawa
2
28
4
Jaring bondet
26
1
Sunda
2
5
5
Jaring rajungan
40
1
Jawa
1
22
6
Jaring rampus
48
1
Jawa
1
18
7
Jaring millenium
49
1
Jawa
1
29
8
Dogol
36
0
Jawa
2
12
9
Jaring Udang
43
1
Jawa
1
22
10
Payang lampu
49
1
Jawa
1
28
11
Pancing
42
1
Jawa
1
27
12
Payang lampu anjungan
48
1
jawa
1
28
RATA-RATA
44
1
Jawa
1
23
143
Tabel 2. Kebiasaan trip nelayan menurut jenis alat penangkapan ikan di area migas (Karawang) Daerah Penangkapan Ikan No.
Jenis Alat Tangkap
Waktu Kegiatan Penangkapan Ikan
TRIP
Jumlah ABK
2
Jarak Penangkapan (mil)
Kedalaman (meter)
Waktu Tempuh
Berangkat
Tiba/ Mulai
Usai
Mendarat
Durasi Penangkapan
Jumlah Trip
Bulan Puncak
Bulan Kosong
3
15
1
7
8
16
17
8
26
Juni-Juli
Agustus
1
Bubu rajungan
2
Bagan tancap
4
4
12
0.5
17
18
4
6
10
15
Juni-Juli
Agustus
3
jaring blantong
7
3
15
1
5
6
10
11
12
25
Sep-Okt
Agustus
4
Jaring bondet
10
4
12
1.5
5
6
10
11
4
26
Sep-Okt
Agustus
5
Jaring rajungan
3
2
10
2
16
18
5
7
12
25
Sep-Okt
Juli - Ags
6
Jaring rampus
2
5
10
2
4
6
9
11
3
25
Juli
Maret
7
Jaring millenium
4
2
10
0.5
5
6
8
8
12
25
Juni-Juli
Agustus
8
Dogol
7
3
25
2
4
6
11
13
5
30
nov-des
Juli - Ags
9
Jaring Udang
3
1
10
1
5
6
12
13
6
25
Sep-Okt
Juli - Ags
10
Payang lampu
10
5
20
3
15
18
2
7
6
20
Juli
Maret
11
Pancing
4
24
35
4
7
11
18
22
7
6
Maret
Agustus
12
Payang lampu
11
4
22
3
16
18
3
7
8
12
Juli
Maret
13
Payang lampu di anjungan
6
5
16
2
9
11
9
11
8
22
Juli
Maret
144
Tabel 3. Produktivitas per trip nelayan menurut jenis alat penangkapan ikan di area migas (Karawang) No.
Alat Tangkap
Biaya Total (kg)
Jumlah Tangkapan (kg)
Penjualan (Rp)
Pendapatan Bersih (Rupiah)
1
Bubu rajungan
80.250
13.60
379.333
45.000
2
Bagan tancap
102.000
240.00
2.640.000
150.000
3
jaring blantong
150.000
168.00
1.160.000
70.000
4
Jaring bondet
142.500
800.00
1.348.400
140.000
5
Jaring rajungan
54.000
10.08
100.800
40.000
6
Jaring rampus
96.833
13.60
327.333
50.000
7
Jaring millenium
87.000
83.04
1.192.000
156.000
8
Dogol
391.700
208.96
1.175.101
63.400
9
Jaring Udang
92.237
17.12
685.560
94.026
10
Payang lampu
648.740
162.12
1.428.460
47.000
11
Pancing
727.567
187.84
4.377.707
1.406.667
12
Payang lampu anjungan
257.025
233.62
3.242.083
107.867
Rata-rata
232.778
226
1.504.731
197.497
145
Tabel 4. Karakteristik responden di area non migas (Cirebon) No.
Jenis Alat Tangkap
Usia
Asal
Suku
Pendidikan
Pengalaman (Tahun)
46
1
1
1
33
1
Jaring rajungan
2
Jaring kopet/tembang
46,6
1
1
1
25
3
Jaring millenium
45,3
1
1
1
28
4
Pancing senggol
42,8
1
1
1
25
5
Pancing rawe
39,5
1
1
1
21
6
Payang/gemplo
45,5
1
1
1
28
7
Payang
47
1
1
1
25
8
Ampera
51,6
1
1
1
28
9
Arad
42,9
1
1
1
21
10
Garok
50,1
1
1
1
26
11
Rampus
41
1
1
1
16
12
Bagan
56
1
1
1
31
RATA-RATA
45
1
Jawa
1
25
147
Tabel 5. Kebiasaan trip nelayan menurut jenis alat penangkapan ikan di area non migas (Cirebon) No
Jenis Alat Tangkap
Jumlah ABK
Daerah Penangkapan Ikan
Waktu Kegiatan Penangkapan Ikan
TRIP
Jarak (mil)
Kedalaman (m)
Waktu Tempuh
Berangkat
Mendarat
Durasi
Rata-rata
Bulan Puncak
1
Jaring rajungan
1
1
3
1
3
12
9
20
2
Jaring kopet/tembang
3
1
15
1
18
7
13
25
30
3
Jaring millenium
4
1
10
2
17
7
14
20
25
4
Pancing senggol
6
24
25
7
15
8
168
2
4
5
Pancing rawe
3
25
25
7
15
8
168
3
3
6
Payang/gemplo
8
18
20
2
4
17
13
25
26
7
Payang
12
23
20
3
14
7
17
12
12
8
Ampera
12
20
3
2
18
3
8
18
20
9
Arad
2
1
3
1
4
16
10
20
28
10
Garok
2
1
7
2
3
16
11
25
25
11
Rampus
2
2
7
2
3
16
11
25
25
12
Bagan
2
2
5
1
18
6
12
15
15
Modus
2
1
3
2
3
7
13
25
25
148
Tabel 6. Produktivitas per trip nelayan menurut jenis alat penangkapan ikan di area non migas (Cirebon) No.
Alat Tangkap
1
Jaring rajungan
2
Biaya Total (Rp.)
Jumlah Tangkapan (kg)
Penjualan (Rp)
Pendapatan Bersih (Rupiah)
25.680
2,60
104.000
67.535
Jaring kopet/tembang
263.950
63,00
724.500
425.590
3
Jaring millenium
213.800
71,00
1.597.500
1.198.260
4
Pancing senggol
193.630
134,50
4.552.000
3.815.945
5
Pancing rawe
189.430
134,50
3.443.200
2.855.345
6
Payang/gemplo
247.665
40,70
732.600
40.411
7
Payang
618.500
286,50
4.822.488
178.650
8
Ampera
200.425
40,88
809.424
25.168
9
Arad
117.750
3,20
164.550
185.810
10
Garok
186.878
2,44
220.000
33.122
11
Rampus
120.815
9,05
135.750
14.935
12
Bagan
20.175
76,25
1.143.750
1.123.575
202.411.48
68,47
1.537.480.17
830.362.19
Rata-rata
Lampiran 4.
Dokumentasi Armada dan Pengambilan Contoh Tangkapan Aktual
Lampiran 5.
Data Hasil Pangkapan Aktual dan Uji Komparasi
157
Lampiran 5. Data Hasil Tangkapan Aktual A. Area Migas (Karawang di luar area zona aman kegiatan migas) WAKTU PENANGKAPAN (WIB) Waktu Durasi Mulai Usai Mayang Merapat Trip Mayang ke TPI
Produksi
No. Sampling
Tanggal Sampling
1.
21 Mei 2011
14
18
7.15
17
18.3
23.55
4.5
234
1.901.900
2.
27 Mei 2011
13.3
18
8
18.5
18
0.00
6.00
203
1.564.000
3.
28 mei 2011
14
18
7.45
18
2.15
8.00
152
1.008.100
4.
29 Mei 2011
14
19
8.3
18.5
18.15
3.30
9.5
182
1.335.100
5.
04 Juni 2011
14
18
7
17
18.15
3.55
10.00
153
1.019.000
6.
11 Juni 2011
14.3
19
8.15
17
19
3.30
8.50
210
1.640.300
7.
02 Juli 2011
14
18
8
9
18.3
4.00
9.00
166
1.160.700
8.
03 Juli 2011
15
18
7.3
17
19
3.00
8.00
128
746.500
9.
30 Juli 2011
14.3
19
8
18.5
19
3.30
8.50
201
1.542.200
10.
31 Juli 2011
14
18
7.55
17.55
18.5
3.00
8.00
160
1.095.300
11.
27 Agustus 2011
14
19
7
17
19
2.30
7.50
200
1.171.600
12.
28 Agustus 2011
14
18
7.15
17.15
18.45
2.50
8.00
183
1.346.000
14 14
18 18
8 8
17 17
19 18
3.3 4
8 8
178.2500
1.294.225
Modus Rata-rata
Waktu Berangkat
Waktu Tiba di Lokasi
Durasi Mayang
Jumlah (kg)
Penjualan (Rp)
158
B. Di Area Anjungan Produksi Migas (dalam zona aman kegiatan migas) WAKTU PENANGKAPAN (WIB)
PRODUKSI
Waktu Tiba di Lokasi
Waktu Merapat ke TPI
19
20
8
13
20.30
4.05
7.5
204.5
2.665.150
27 Mei 2011
20.15
22
7
11
22
3.05
5
263
3.525.100
3.
28 Mei 2011
16.3
18
7.3
15
18.3
4
9.5
213
2.790.100
4.
29 Mei 2011
18.5
20
7
13
20.15
3.05
7
282,50
3.811.750
5.
04 Juni 2011
18.45
20
7.2
12
20.45
4.20
7.5
221,30
2.912.110
6.
11 Juni 2011
16
18
7
15
18.3
3.05
6
256,50
3.429.550
7.
02 Juli 2011
16
18
7
15
18
3
9
219,50
2.885.650
8.
03 Juli 2011
16
18
8
16
18.00
3.3
9.5
218,50
2.870.950
9.
30 Juli 2011
18
20
7
13
20
3.2
7.5
192,70
2.491.690
10.
31 Juli 2011
17
19
8
15
19
3.3
8.5
211,20
2.763.640
11.
27 Agustus 2011
19
20
7
13
20
4
8
202,10
2.629.870
12.
28 Agustus 2011
16
18
7
16
18
3.40
9.5
193
2.496.100
16
18
7
13
18
3.05
7.5
17.53
19
7.29
13.92
19.38
3.47
7.88
223.1500
2.939.305
No. Sampling
Tanggal Sampling
1.
21 Mei 2011
2.
Modus Rata-rata
Waktu Berangkat
Durasi Trip
Mulai Mayang
Usai Mayang
Durasi Mayang
Jumlah (kg)
Penjualan (Rp)
159
C. Area Non Migas (Cirebon) WAKTU PENANGKAPAN (WIB) No. Sampling
Tanggal Sampling
1.
21 Mei 2011
14
2.
27 Mei 2011
3.
Waktu Merapat ke TPI
Durasi Trip
18
7
17
18
23.55
6
327
4.014.825
15
19
8.05
17
19.3
3.15
7.5
299
3.582.150
28 mei 2011
14
18
7.02
17
18.15
0
6
234
2.662.400
4.
29 Mei 2011
14
18
7.25
17.5
18
3.1
9
229
2.591.650
5.
04 Juni 2011
14
18
8
18
18
2.3
7.5
332.50
4.056.175
6.
11 Juni 2011
15
18
8.15
17
19
3.15
8
294
3.511.400
7.
02 Juli 2011
15
19
8
17
18
3
9
240.80
2.758.620
8.
03 Juli 2011
14
18
7.3
17
18
1
7
251
2.902.950
9.
30 Juli 2011
14
18
7.55
18
18.4
3
8
262
3.058.600
10.
31 Juli 2011
14
18
7
17
18
2.3
8.5
213
2.365.250
11.
27 Agustus 2011
14
18
7
17
19
2
8
198
1.150.000
12.
28 Agustus 2011
14
18
7
17
18.3
3
8.5
247
2.846.350
14
18
17
18
3.15
6
14.25
18
17.21
18.35
4.13
7.75
269.1083
3.162.223
Modus Rata-rata
Waktu Berangkat
Waktu Tiba di Lokasi
Produksi
7.44
Mulai Mayang
Usai Mayang
Durasi Mayang
Jumlah (kg)
Penjualan (Rp)
175
Tabel 7. Perbandingan hasil tangkapan aktual di titik pengamatan: area migas, non migas, dan anjungan produksi migas Lokasi Sampling No,
I,
Parameter Perbandingan
Area Migas
Area Anjungan
Area Non Mmigas
S 05,98505
S 06,02,775
S 06,26,312
E 107,5770
E 107,31,501
E 108,47,338
20 mil
2 mil
23 mil
Kedalaman perairan
20 meter
18-20 meter
26 meter
Waktu tempuh ke lokasi penangkapan ikan
3-4 jam
1,5 – 2 jam
3-4 jam
Waktu berangkat
14,00
17,53
14,25
Waktu kembali (merapat ke darat)
7,59
7,29
7,58
Durasi trip
16,75
13,92
7,44
Waktu mulai pengoperasian payang
18,00
19,38
18,35
Waktu usai pengoperasian payang
3,30
3,05
3,15
Durasi pengoperasian payang
9,00
8,00
9,00
Jumlah tawur (tebar - angkat jaring)
2,00
8,00
2,00
DAERAH PENANGKAPAN IKAN Koordinat lokasi Jarak dari daratan ke lokasi penangkapan ikan
II,
III,
IV,
WAKTU PENANGKAPAN
PENGOPERASIAN PAYANG
PRODUKTIVITAS PENANGKAPAN Jumlah produksi per trip
178,25
223,15
269,1083
Jumlah produksi per tebar Jumlah produksi per jam (durasi mayang)
89,125
27,8938
134,5542
19,8055
27,8937
29,9009
1.294.225
2.939.305
3.162.222.5
143.802.7778
367.413.125
351.358.0556
648.700
341.000
612.255
Pendapatan per trip Pendapatan per jam mayang) Biaya per trip
(durasi
177
HASIL UJI KOMPARASI JUMLAH TANGKAPAN AKTUAL PAYANG PER TRIP DI TITIK PENGAMATAN: AREA MIGAS, NON MIGAS, DAN ANJUNGAN PRODUKSI MIGAS
A. Uji komparasi jumlah tangkapan payang per trip di area non migas dan area migas Tabel 8. Data tangkapan aktual payang per trip di area non migas dan migas Jumlah Tangkapan di Titik Pengambilan Contoh (kg)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
327
234
2.
27 Mei 2011
299
203
3.
28 mei 2011
234
152
4.
29 Mei 2011
229
182
5.
04 Juni 2011
332,50
153
6.
11 Juni 2011
294
210
7
02 Juli 2011
240,80
166
8.
03 Juli 2011
251
128
9.
30 Juli 2011
262
201
10.
31 Juli 2011
213
160
11.
27 Agustus 2011
198
200
12.
28 Agustus 2011
247
183
Area Non Migas
Area Migas
a. Hipotesis H0 : tangkapan di area non migas = tangkapan di area migas, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan payang per trip di area non migas dengan area migas. H1 : tangkapan di area non migas > tangkapan di area migas, terdapat perbedaan hasil tangkapan di area non migas dengan area migas. b. Level signifikansi α = 5% = 0,05 c. Rumus statistik penguji (merujuk pada tabel binomial) d. Menghitung rumus statistik penguji (dengan pemberian tanda)
178
Tabel 9. Hasil uji komparasi data tangkapan aktual payang per trip di area non migas dan migas Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
Jumlah Tangkapan di Titik Pengambilan Contoh (kg) Area Non Migas
d
Arah Perbedaan
Tanda
Area Migas
1.
21 Mei 2011
327
234
93
>
+
2.
27 Mei 2011
299
203
96
>
+
3.
28 mei 2011
234
152
82
>
+
4.
29 Mei 2011
229
182
47
>
+
5.
04 Juni 2011
332,50
153
179,50
>
+
6.
11 Juni 2011
294
210
84
>
+
7
02 Juli 2011
240,80
166
74,80
>
+
8.
03 Juli 2011
251
128
123
>
+
9.
30 Juli 2011
262
201
61
>
+
10.
31 Juli 2011
213
160
53
>
+
11.
27 Agustus 2011
198
200
-2
<
-
12.
28 Agustus 2011
247
183
64
>
+
a. Df/db/dk (tidak diperlukan) b. Nilai tabel c. N (pasangan yang berbeda) = 12; X (tanda yang paling sedikit -) = 1 d. Nilai Tabel untuk n = 12, X = 1 adalah 0,003 e. Daerah penolakan f. 0,003 < 5%, H0 ditolak, H1 diterima g. Simpulan h. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan di area non migas dengan area migas, pada α = 5%, dimana jumlah hasil tangkapan di area non migas menunjukkan jumlah yang lebih tinggi hingga 29,32% dibandingkan dengan area migas.
179
B. Uji komparasi jumlah tangkapan payang per trip di area non migas dengan anjungan migas Tabel 10. Data tangkapan aktual payang per trip di area non migas dan anjungan migas Jumlah Tangkapan di Titik Pengambilan Contoh (kg)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
327
204.5
2.
27 Mei 2011
299
263
3.
28 mei 2011
234
213
4.
29 Mei 2011
229
282,50
5.
04 Juni 2011
332,50
221,30
6.
11 Juni 2011
294
256,50
7
02 Juli 2011
240,80
219,50
8.
03 Juli 2011
251
218,50
9.
30 Juli 2011
262
192,70
10.
31 Juli 2011
213
211,20
11.
27 Agustus 2011
198
202,10
12.
28 Agustus 2011
247
193
Area Non Migas
Area Anjungan Migas
a. Hipotesis H0 : tangkapan di area non migas = tangkapan di anjungan migas, tidak beda hasil tangkapan antara area non migas dengan area migas. H1 : tangkapan di area non migas > tangkapan di anjungan migas, terdapat perbedaan hasil tangkapan di area non migas dengan anjungan migas. b. Level signifikansi α = 5% = 0,05 c. Rumus statistik penguji (merujuk pada tabel binomial) d. Menghitung rumus statistik penguji (dengan pemberian tanda)
180
Tabel 11. Hasil uji komparasi data tangkapan aktual payang per trip di area non migas dan anjungan migas Jumlah Tangkapan di Titik Pengambilan Contoh (kg) Area Area Non Anjungan Migas Migas 327 204.5
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
2.
27 Mei 2011
299
3.
28 mei 2011
4.
Arah Perbedaan
Tanda
122.50
>
+
263
36.00
>
+
234
213
21.00
>
+
29 Mei 2011
229
282,50
-53.50
<
-
5.
04 Juni 2011
332,50
221,30
111.20
>
+
6.
11 Juni 2011
294
256,50
37.50
>
+
7
02 Juli 2011
240,80
219,50
21.30
>
+
8.
03 Juli 2011
251
218,50
32.50
>
+
9.
30 Juli 2011
262
192,70
69.30
>
+
10.
31 Juli 2011
213
211,20
1.80
>
+
11.
27 Agustus 2011
198
-4.10
<
-
12.
28 Agustus 2011
247
54.00
>
+
202,10 193
d
a.
Df/db/dk (tidak diperlukan)
b.
Nilai tabel
c.
N (pasangan yang berbeda) = 12; X (tanda yang paling sedikit -) = 2
d.
Nilai Tabel untuk n = 12, X = 2 adalah 0,0193
e.
Daerah penolakan
f.
0,0193 < 5%, H0 ditolak, H1 diterima
g.
Simpulan
h.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan di area non migas dengan area anjungan migas, pada α = 5%, dimana jumlah hasil tangkapan di area non migas menunjukkan jumlah yang lebih tinggi hingga 12,52% dibandingkan dengan area migas.
181
C. Uji komparasi jumlah tangkapan payang per trip di area migas dan anjungan migas Tabel 12. Data tangkapan aktual payang per trip di area non migas dan anjungan migas Jumlah Tangkapan di Titik Pengambilan Contoh (kg)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
234
204.5
2.
27 Mei 2011
203
263
3.
28 mei 2011
152
213
4.
29 Mei 2011
182
282,50
5.
04 Juni 2011
153
221,30
6.
11 Juni 2011
210
256,50
7
02 Juli 2011
166
219,50
8.
03 Juli 2011
128
218,50
9.
30 Juli 2011
201
192,70
10.
31 Juli 2011
160
211,20
11.
27 Agustus 2011
200
202,10
12.
28 Agustus 2011
183
193
Area Migas
Area Anjungan Migas
a. Hipotesis H0 : tangkapan di area migas = tangkapan di anjungan migas, tidak beda hasil tangkapan antara area non migas dengan area migas. H1 : tangkapan di area anjungan migas > tangkapan di area migas, terdapat perbedaan hasil tangkapan di area anjungan migas dengan area migas. b. Level signifikansi α = 5% = 0,05 c. Rumus statistik penguji (merujuk pada tabel binomial) d. Menghitung rumus statistik penguji (dengan pemberian tanda)
182
Tabel 13. Hasil uji komparasi data tangkapan aktual payang per trip di migas dan anjungan migas Jumlah Tangkapan di Titik Pengambilan Contoh (kg) Area Area Anjungan Migas Migas 234 204.5
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
2.
27 Mei 2011
203
3.
28 mei 2011
4.
Arah Perbedaan
Tanda
-29.50
<
-
263
60.00
>
+
152
213
61.00
>
+
29 Mei 2011
182
282,50
100.50
>
+
5.
04 Juni 2011
153
221,30
68.30
>
+
6.
11 Juni 2011
210
256,50
46.50
>
+
7
02 Juli 2011
166
219,50
53.50
>
+
8.
03 Juli 2011
128
218,50
90.50
>
+
9.
30 Juli 2011
201
192,70
-8.30
<
-
10.
31 Juli 2011
160
211,20
51.20
>
+
11.
27 Agustus 2011
200
202,10
2.10
>
+
12.
28 Agustus 2011
183
193
10.00
>
+
d
a.
Df/db/dk (tidak diperlukan)
b.
Nilai tabel
c.
N (pasangan yang berbeda) = 12; X (tanda yang paling sedikit -) = 2
d.
Nilai Tabel untuk n = 12, X = 2 adalah 0,0193
e.
Daerah penolakan
f.
0,0193 < 5%, H0 ditolak, H1 diterima
g.
Simpulan
h.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan di area migas dengan area anjungan migas, pada α = 5%, dimana jumlah hasil tangkapan di area anjungan migas menunjukkan jumlah yang lebih tinggi hingga 17,80% dibandingkan dengan area migas.
183
III. HASIL UJI KOMPARASI PENDAPATAN PAYANG PER TRIP DI TITIK PENGAMATAN: AREA MIGAS, AREA NON MIGAS DAN ANJUNGAN MIGAS D. Uji komparasi pendapatan payang per trip di area non migas dan area migas Tabel 14. Data pendapatan payang per trip di area non migas dan migas Pendapatan per Tripdi Titik Pengambilan Contoh (Rupiah)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
4.014.825
1.901.900
2.
27 Mei 2011
3.582.150
1.564.000
3.
28 mei 2011
2.662.400
1.008.100
4.
29 Mei 2011
2.591.650
1.335.100
5.
04 Juni 2011
4.056.175
1.019.000
6.
11 Juni 2011
3.511.400
1.640.300
7
02 Juli 2011
2.758.620
1.160.700
8.
03 Juli 2011
2.902.950
746.500
Area Non Migas
Area Migas
9.
30 Juli 2011
3.058.600
1.542.200
10.
31 Juli 2011
2.365.250
1.095.300
11.
27 Agustus 2011
1.150.000
1.171.600
12.
28 Agustus 2011
2.846.350
1.346.000
a. Hipotesis b. H0 : pendapatan payang per trip di area non migas = pendapatan payang per trip di area migas, tidak terdapat perbedaan pendapatan payang per trip antara area non migas dengan area migas. c. H1 : pendapatan payang per trip di area non migas > pendapatan payang per trip di area migas, terdapat perbedaan pendapatan payang per trip di area non migas dengan area migas. d. Level signifikansi e. α = 5% = 0,05 f. Rumus statistik penguji (merujuk pada tabel binomial) g. Menghitung rumus statistik penguji (dengan pemberian tanda)
184
Tabel 15. Hasil uji komparasi pendapatan payang per trip di area non migas dan migas Pendapatan per Trip di Titik Pengambilan Contoh (Rupiah)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
4.014.825
1.901.900
2.
27 Mei 2011
3.582.150
3.
28 mei 2011
4.
Arah Perbedaan
Tanda
2.112.925
>
+
1.564.000
2.018.150
>
+
2.662.400
1.008.100
1.654.300
>
+
29 Mei 2011
2.591.650
1.335.100
1.256.550
>
+
5.
04 Juni 2011
4.056.175
1.019.000
3.037.175
>
+
6.
11 Juni 2011
3.511.400
1.640.300
1.871.100
>
+
7
02 Juli 2011
2.758.620
1.160.700
1.597.920
>
+
8.
03 Juli 2011
2.902.950
746.500
2.156.450
>
+
9.
30 Juli 2011
3.058.600
1.542.200
1.516.400
>
+
10.
31 Juli 2011
2.365.250
1.095.300
1.269.950
>
+
11.
27 Agustus 2011
1.150.000
1.171.600
-21.600
<
-
12.
28 Agustus 2011
2.846.350
1.346.000
1.500.350
>
+
Area Non Migas
d
Area Migas
a.
Df/db/dk (tidak diperlukan)
b.
Nilai tabel
c.
N (pasangan yang berbeda) = 12; X (tanda yang paling sedikit -) = 1
d.
Nilai Tabel untuk n = 12, X = 1 adalah 0,003
e.
Daerah penolakan
f.
0,003 < 5%, H0 ditolak, H1 diterima
g.
Simpulan
h.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang per trip di area non migas dengan area migas pada α = 5%, dimana pendapatan payang per trip di area non migas menunjukkan nilai yang lebih tinggi hingga 52,84% dibandingkan dengan area migas.
185
E. Uji komparasi jumlah tangkapan di area non migas dengan anjungan migas Tabel 16. Data pendapatan payang per trip di area non migas dan anjungan migas Pendapatan per Trip di Titik Pengambilan Contoh (Rupiah)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
4.014.825
2.665.150
2.
27 Mei 2011
3.582.150
3.525.100
3.
28 mei 2011
2.662.400
2.790.100
4.
29 Mei 2011
2.591.650
3.811.750
5.
04 Juni 2011
4.056.175
2.912.110
6.
11 Juni 2011
3.511.400
3.429.550
7
02 Juli 2011
2.758.620
2.885.650
8.
03 Juli 2011
2.902.950
2.870.950
9.
30 Juli 2011
3.058.600
2.491.690
10.
31 Juli 2011
2.365.250
2.763.640
11.
27 Agustus 2011
1.150.000
2.629.870
12.
28 Agustus 2011
2.846.350
2.496.100
Area Non Migas
Area Anjungan Migas
a. Hipotesis b. H0 : pendapatan payang per trip di area non migas = pendapatan payang per trip di anjungan migas, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang per trip di area non migas dengan area anjungan migas. c. H1 : pendapatan payang per trip di area non migas > pendapatan payang per trip di area anjungan migas, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang per trip di area non migas dengan anjungan migas. d. Level signifikansi e. α = 5% = 0.05 f. Rumus statistik penguji (merujuk pada tabel binomial) g. Menghitung rumus statistik penguji (dengan pemberian tanda)
186
Tabel 17. Hasil uji komparasi pendapatan payang per trip di area non migas dan anjungan migas Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
Pendapatan per Trip di Titik Pengambilan Contoh (Rupiah)
d
Arah Perbedaan
Tanda
Area Non Migas
Area Anjungan Migas
21 Mei 2011
4.014.825
2.665.150
1.349.675
>
+
2.
27 Mei 2011
3.582.150
3.525.100
57.050
>
+
3.
28 mei 2011
2.662.400
2.790.100
-127.700
<
-
4.
29 Mei 2011
2.591.650
3.811.750
-1.220.100
<
-
5.
04 Juni 2011
4.056.175
2.912.110
1.144.065
>
+
6.
11 Juni 2011
3.511.400
3.429.550
81.850
>
+
7
02 Juli 2011
2.758.620
2.885.650
-127.030
<
-
8.
03 Juli 2011
2.902.950
2.870.950
32.000
>
+
9.
30 Juli 2011
3.058.600
2.491.690
566.910
>
+
10.
31 Juli 2011
2.365.250
2.763.640
-398.390
<
-
11.
27 Agustus 2011
1.150.000
2.629.870
-1.479.870
<
-
12.
28 Agustus 2011
2.846.350
1.310.000
350.250
>
+
a.
Df/db/dk (tidak diperlukan)
b.
Nilai tabel
c.
N (pasangan yang berbeda) = 12; X (tanda yang paling sedikit -) = 5
d.
Nilai Tabel untuk n = 12, X = 5 adalah 0,387
e.
Daerah penolakan
f.
0,387 > 5%, H0 diterima, H1 ditolak
g.
Simpulan
h.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang per trip di area non migas dengan area anjungan migas pada α = 5%.
187
F. Uji komparasi pendapatan payang per trip di area migas dan anjungan migas Tabel 18. Data pendapatan payang per trip di area non migas dan anjungan migas Pendapatan per Trip di Titik Pengambilan Contoh (Rupiah)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
1.901.900
2.665.150
2.
27 Mei 2011
1.564.000
3.525.100
3.
28 mei 2011
1.008.100
2.790.100
4.
29 Mei 2011
1.335.100
3.811.750
5.
04 Juni 2011
1.019.000
2.912.110
6.
11 Juni 2011
1.640.300
3.429.550
7
02 Juli 2011
1.160.700
2.885.650
8.
03 Juli 2011
746.500
2.870.950
9.
30 Juli 2011
1.542.200
2.491.690
10.
31 Juli 2011
1.095.300
2.763.640
11.
27 Agustus 2011
1.171.600
2.629.870
12.
28 Agustus 2011
1.346.000
1.310.000
Area Migas
Area Anjungan Migas
a. Hipotesis b. H0 : pendapatan payang per trip di area migas = pendapatan payang per trip di area anjungan migas, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang per trip di area migas dengan area anjungan migas. c. H1 : pendapatan payang per trip di area anjungan migas > pendapatan payang per trip di area migas, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang per trip di area migas dengan area anjungan migas. d. Level signifikansi e. α = 5% = 0,05 f. Rumus statistik penguji (merujuk pada tabel binomial) g. Menghitung rumus statistik penguji (dengan pemberian tanda)
188
Tabel 19. Hasil uji komparasi pendapatan payang per trip di area migas dan anjungan migas Pendapatan per Trip di Titik Pengambilan Contoh (Rupiah)
Pengambilan Contoh ke-
Tanggal Pengambilan Contoh
1.
21 Mei 2011
1.901.900
2.665.150
2.
27 Mei 2011
1.564.000
3.
28 mei 2011
4.
Arah Perbedaan
Tanda
763.250
>
+
3.525.100
1.961.100
>
+
1.008.100
2.790.100
1.782.000
>
+
29 Mei 2011
1.335.100
3.811.750
2.476.650
>
+
5.
04 Juni 2011
1.019.000
2.912.110
1.893.110
>
+
6.
11 Juni 2011
1.640.300
3.429.550
1.789.250
>
+
7
02 Juli 2011
1.160.700
2.885.650
1.724.950
>
+
8.
03 Juli 2011
746.500
2.870.950
2.124.450
>
+
9.
30 Juli 2011
1.542.200
2.491.690
949.490
>
+
10.
31 Juli 2011
1.095.300
2.763.640
1.668.340
>
+
11.
27 Agustus 2011
1.171.600
2.629.870
1.458.270
>
+
12.
28 Agustus 2011
1.346.000
1.310.000
-36.000
<
-
Area Migas
d
Area Anjungan Migas
a.
Df/db/dk (tidak diperlukan)
b.
Nilai tabel
c.
N (pasangan yang berbeda) = 12; X (tanda yang paling sedikit -) = 1
d.
Nilai Tabel untuk n = 12, X = 2 adalah 0,003
e.
Daerah penolakan
f.
0,003 < 5%, H0 ditolak, H1 diterima
g.
Simpulan
h.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan payang di area migas dengan area anjungan migas pada α = 5%, dimana pendapatan payang per trip di area anjungan migas menunjukkan nilai yang lebih tinggi hingga 51,27% dibandingkan dengan area migas.
Lampiran 6.
Hasil Olahan Data Bioekonomi
175
Lampiran 6a. Hasil Olahan Data Bioekonomi di Area Migas (Kabupaten Karawang) Tabel 20. Data upaya penangkapan dan produksi perikanan tahunan di area migas (Kabupaten Karawang) Tahun
Jumlah Alat Tangkap (unit)
Jumlah Trip (Trip)
Jumlah Produksi (Ton)
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
89 89 89 110 110 160 110 110 110 156 156 156 175 143 143
8.544 8.544 8.544 10.560 10.560 15.360 10.560 10.560 10.560 14.976 14.976 14.976 16.800 13.728 13.728
2.951,20 2.585,00 4.886,00 5.183,20 3.640,00 4.383,20 7.065,50 5.557,60 5.604,70 5.600,00 1.275,29 3.019,15 3.124,39 4.071,08 3.319,40
Tabel 21. Tahun
Hasil pengolahan data upaya dan produksi penangkapan ikan di area migas (Kabupaten Karawang) Total Effort
Total Produksi
CPUE Total
Ln CPUE (t+1)
Ln CPUEt
Et+E ( t+1)
1996
8.544
2.951,20
0,3454
-1,1955
-1,0630
17.088
1997
8.544
2.585,00
0,3026
-0,5589
-1,1955
17.088
1998
8.544
4.886,00
0,5719
-0,7117
-0,5589
19.104
1999
10.560
5.183,20
0,4908
-1,0651
-0,7117
21.120
2000
10.560
3.640,00
0,3447
-1,2540
-1,0651
25.920
2001
15.360
4.383,20
0,2854
-0,4018
-1,2540
25.920
2002
10.560
7.065,50
0,6691
-0,6419
-0,4018
21.120
2003
10.560
5.557,60
0,5263
-0,6335
-0,6419
21.120
2004
10.560
5.604,70
0,5307
-0,9837
-0,6335
25.536
2005
14.976
5.600,00
0,3739
-2,4633
-0,9837
29.952
2006
14.976
1.275,29
0,0852
-1,6015
-2,4633
29.952
2007
14.976
3.019,15
0,2016
-1,6821
-1,6015
31.776
2008
16.800
3.124,39
0,1860
-1,2155
-1,6821
30.528
2009
13.728
4.071,08
0,2966
-1,4197
-1,2155
27.456
2010
13.728
3.319,40
0,2418
AKTUAL
12.198
4.151,05
176
Tabel 22. Pendugaan parameter bioekonomi terhadap upaya dan produksi penangkapan ikan di area migas (Kabupaten Karawang) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Ln CPUE t+1 Y -1,1955 -0,5589 -0,7117 -1,0651 -1,2540 -0,4018 -0,6419 -0,6335 -0,9837 -2,4633 -1,6015 -1,6821 -1,2155 -1,4197
Ln CPUEt X1 -1,0630 -1,1955 -0,5589 -0,7117 -1,0651 -1,2540 -0,4018 -0,6419 -0,6335 -0,9837 -2,4633 -1,6015 -1,6821 -1,2155
Et+(E t+1) X2 17.088 17.088 19.104 21.120 25.920 25.920 21.120 21.120 25.536 29.952 29.952 31.776 30.528 27.456
177
Keluaran Hasil Regresi Upaya dan Produksi Penangkapan di Area Migas (Kabupaten Karawang) SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0,65214 0,42529 0,320798619 0,454711958 14
ANOVA df
SS
MS
2
1,6831
0,8415
Residual
11
2,2744
0,2068
Total
13
3,9575
Regression
Standard Error
Coefficients
Significance F
F 4,0701
t Stat
P-value
0,04753
Lower 95%
Intercept
0,60193
0,63651
0,94566
0,364631
-0,799029
X1
0,01103
0,28941
0,03806
0,970325
-0,625948
X2
-0,00007
0,00003
-2,25586
0,045421
-0,000138
β1:
0.6019
r:
1.9564
β2: β3:
0.0110 -0.0001
q: K (ton):
0.0003 3,606.4523
Rata-rata produksi (ton): Rata-rata effort aktual (trip): p (Rupiah/ton):
4,151.0473 12,198 2.531.000
LnCPUE t +1 = 0,6019 + 0,0110 Ln(U t ) − 0,0001( Et + Et +1 ) Tabe23. Hasil olahan bioekonomi penangkapan ikan di area migas (Kabupaten Karawang) Parameter Pengukuran
OA
MSY
Stock (x)
272,4921
1.803,2262
1.939,4722
1.223,1095
Produksi (h)
492,8238
1.763,9158
1.753,8459
1.581,3547
6.028,6022
3.260,6666
3.014,3011
4.309,6572
10
10
9,7536 x 109
Effort (E) Rent
SO
1.1883 x 10
Opt
1,1963 x 10
179
> >
> >
> > > >
180
> > > >
181
>
>
182
> > >
183
>
184
> > > > > > > > > > >
185
>
> > > > >
> >
187
Lampiran 6b. Hasil Olahan Data Bioekonomi di Area Non Migas (Kabupaten Cirebon) Tabel 24. Data upaya penangkapan dan produksi perikanan tahunan di area non migas (Kabupaten Cirebon) Tahun
Jumlah Alat Tangkap (unit)
Jumlah Trip (Trip)
Jumlah Produksi (Ton)
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
248 248 316 332 287 287 344 401
7.196 6.303 15.180 13.688 8.310 6.880 19.334 17.727
1.513,90 1.739,10 1.575,30 1.245,30 1.019,70 1.239,23 1.399,90 1.292,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
401 382 395 516 522 212 212
17.878 11.999 2.823 8.738 8.155 5.281 4.306
2.177,70 2.621,00 3.724,10 8.215,20 6.391,30 1.253,10 6.459,10
Tabel 25. Hasil pengolahan data upaya dan produksi penangkapan ikan di area non migas (Kabupaten Cirebon) Tahun
Total Effort
Total Produksi
CPUE Total
Ln CPUE t+1
Ln CPUEt
Et+ E ( t+1)
1996
7.196
1.513,90
0,2104
-1,2876
-1,5588
13,498
1997
6.303
1.739,10
0,2759
-2,2655
-1,2876
21,482
1998
15.180
1.575,30
0,1038
-2,3972
-2,2655
28,868
1999
13.688
1.245,30
0,0910
-2,0979
-2,3972
21,998
2000
8.310
1.019,70
0,1227
-1,7141
-2,0979
15,190
2001
6.880
1.239,23
0,1801
-2,6255
-1,7141
26,213
2002
19.334
1.399,90
0,0724
-2,6189
-2,6255
37,061
2003
17.727
1.292,00
0,0729
-2,1053
-2,6189
35,605
2004
17.878
2.177,70
0,1218
-1,5212
-2,1053
29,876
2005
11.999
2.621,00
0,2184
0,2770
-1,5212
14,822
2006
2.823
3.724,10
1,3192
-0,0617
0,2770
11,561
2007
8.738
8.215,20
0,9402
-0,2437
-0,0617
16,893
2008
8.155
6.391,30
0,7838
-1,4385
-0,2437
13,436
2009
5.281
1.253,10
0,2373
0,4055
-1,4385
9,587
2010
4.306 10,253
6.459,10 2.791,06
1,5000
AKTUAL
188
Tabel 26. Pendugaan parameter bioekonomi terhadap upaya dan produksi penangkapan ikan di area non migas (Kabupaten Cirebon) Tahun
Ln CPUE t+1
Ln CPUEt
Et+(E t+1)
Y
X1
X2
1996
-1,2876
-1,5588
13,498
1997
-2,2655
-1,2876
21,482
1998
-2,3972
-2,2655
28,868
1999
-2,0979
-2,3972
21,998
2000
-1,7141
-2,0979
15,190
2001
-2,6255
-1,7141
26,213
2002
-2,6189
-2,6255
37,061
2003
-2,1053
-2,6189
35,605
2004
-1,5212
-2,1053
29,876
2005
0,2770
-1,5212
14,822
2006
-0,0617
0,2770
11,561
2007
-0,2437
-0,0617
16,893
2008
-1,4385
-0,2437
13,436
2009
0,4055
-1,4385
9,587
189
Keluaran Hasil Regresi Upaya dan Produksi Penangkapan di Area Non Migas (Kabupaten Cirebon) SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0,74992304 0,562384565 0,482818123 0,773591636 14
ANOVA df Regression Residual Total
SS 8,459739271 6,582884216 15,04262349
2 11 13
MS 4,229869636 0,59844402
F 7,068112466
Significance F 0,010617187
Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
Intercept
0,457941
0,543071
0,843243
0,417052
-0,737350
1,653231
X1
0,203947
0,315844
0,645722
0,531698
-0,491220
0,899114
X2
-0,000073
0,000033
-2,227793
0,047710
-0,000146
-0,000001
Lower 95%
β1:
0,457941
r:
1,3224
p (Rupiah/ton):
253.1000
β2:
0,203947
q:
c (Rupiah/trip):
612.225
-0,000073
K (ton):
0,000243 4.108,692 1
Rata-rata produksi (ton):
2,791.0617
β3:
Upper 95%
Ratarata effort aktual (trip):
10,253
LnCPUE t +1 = 0,4579 + 0,2039 Ln(U t ) − 0,00007( Et + Et +1 ) Tabel 27. Hasil olahan bioekonomi penangkapan ikan di area non migas (Kabupaten Cirebon) Parameter Pengukuran Stok (x) Produksi (h) Effort (E) Rent
OA
MSY
SO
127,2447
2.054,3461
2.117,9684
808,8573
0.,163,0572
1.358,3336
1.357,0309
859,0598
0.,5273,4394
2.720,9877
2.636,7197
4.370,6413
10
10
1,4334 x 1010
2,5229 x 10
Opt
2.5255 x 10
191
> >
> >
> > > >
192
> > > >
193
>
>
194
> > >
195
>
196
> > > > > > > > > > >
197
>
> > > > >
> >