ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA LELE SANGKURIANG DI KABUPATEN TEGAL
RISNANDA PATRIA PERDANA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Efisiensi Tataniaga Lele Sangkuriang di Kabupaten Tegal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016 Risnanda Patria Perdana NIM H34124029
iv
v
ABSTRAK RISNANDA PATRIA PERDANA. Analisis Efisiensi Tataniaga Lele Sangkuriang di Kabupaten Tegal. Dibimbing oleh YANTI NURAENI MUFLIKH. Lele sangkuriang merupakan produk perikanan unggulan di Kabupaten Tegal, namun marjin pemasaran selalu meningkat. Hal ini menunjukan bahwa pemasaran yang tidak efisien. Tujuan penelitian adalah menganalisis saluran dan lembaga tataniaga, fungsi pasar, struktur pasar, prilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya pada tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Penelitian dilakukan pada Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Penentuan pembudidaya responden berdasarkan metode purposive sampling, sedangkan untuk pedagang responden berdasarkan metode snowball sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada Kecamatan Tarub, saluran tataniaga yang terbentuk adalah 3 saluran. Saluran tataniaga yang relatif efisien pada Kecamatan Tarub adalah saluran tataniaga II. Pada Kecamatan Pangkah, saluran tataniaga yang terbentuk adalah 2 saluran. Saluran tataniaga yang relatif efisien pada Kecamatan Pangkah adalah saluran tataniaga II. Pada Kecamatan Kramat, saluran tataniaga yang terbentuk adalah 2 saluran. Saluran tataniaga yang relatif efisien pada Kecamatan Kramat adalah saluran tataniaga I. Kata kunci: efisiensi, lele sangkuriang, pemasaran
ABSTRACT RISNANDA PATRIA PERDANA. Lele Sangkuriang Marketing Analysis in Tegal Regency. Supervised by YANTI NURAENI MUFLIKH.
Lele sangkuriang is a superior fishery products in Tegal regency, but marketing margin had been increased. This showed that the marketing was not efficient. The objective of this research is to analyze marketing channels, marketing institutions, marketing functions, marketing structures, marketing conducts, marketing margin, farmer’s share and profit ratio againt cost of the lele sangkuring marketing in Tegal regency. This research is conducted in the Tarub district, Pangkah district and Kramat district. Determination of farmer respodents based on purposive sampling method, whereas for merchants respondents by snowball sampling method. The results of this research show that Tarub district has 3 marketing channels. The most efficient marketing channels in Tarub district is second marketing channels. Pangkah district has 2 marketing channels. The most efficient marketing channels in Pangkah district is second marketing channels. Kramat district has 2 marketing channels. The most efficient marketing channels in Kramat district is first marketing channels. Keywords: efficiency, lele sangkuriang, marketing
vi
vii
ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA LELE SANGKURIANG DI KABUPATEN TEGAL
RISNANDA PATRIA PERDANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
x
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini adalah Tataniaga dengan judul Anilisis Efisiensi Tataniaga Lele Sangkuriang di Kabupaten Tegal. Terima kasih penulis ucapkan kepada Yanti Nuraeni Muflikh, SP, M.Agribus selaku dosen pembimbing penelitian, Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji utama serta Anita Primaswari Widhiani, SP, M.Si selaku dosen penguji akademik di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB yang telah banyak memberi saran. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Netti Tinaprila, MM selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu dan mengarahkan penulis selama menjalani masa-masa perkuliahan. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal atas bantuannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, adik dan seluruh keluarga, dan teman-teman atas segala doa, support dan kasih sayangnya. Bogor, Januari 2016 Risnanda Patria Perdana
xii
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
xii xiii xiii 1 1 5 7 8 8
TINJAUAN PUSTAKA Tataniaga Agribisnis Efisiensi Tataniaga Lele Sangkuriang
8 8 10
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional
11 11 17
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data
20 20 20 21 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Karakteristik Pembudidaya Responden Karakteristik Pedagang Responden Analisis Saluran dan Lembaga Tataniaga Analisis Fungsi Tataniaga Analisis Struktur Pasar Analisis Prilaku Pasar Analisis Marjin Tataniaga Analisis Farmer’s Share Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Efesiensi Tataniaga
24 24 26 28 31 41 55 57 59 62 64 71
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
74 74 74
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
75 76 84
xiv
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Pencapaian produksi budidaya kolam air tawar Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Produksi budidaya ikan air tawar di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Tingkat konsumsi ikan di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Pertumbuhan rata – rata harga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal Rata – rata produksi lele sangkuriang tiap kecamatan di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Distribusi usia pembudidaya responden Tingkat pendidikan terakhir pembudidaya responden Pengalaman budidaya lele sangkuriang Luas kolam budidaya lele sangkuriang Distribusi usia pedagang responden Tingkat pendidikan terakhir pedagang responden Pengalaman berdagang pedagang responden Volume penjualan pedagang responden Fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Marjin tataniaga tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Marjin tataniaga tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Marjin tataniaga tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Farmer’s share tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Farmer’s share tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Farmer’s share tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Keuntungan tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Rasio keuntungan dan biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Keuntungan tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Rasio keuntungan dan biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015
1 2 4 6 25 26 27 27 28 29 30 30 31 47 51 54 60 61 61 62 63 63 64 65 66 67 67 68 69
xv 30. Keuntungan tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 31. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 32. Data rekap analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Tarub tahun 2015 33. Data rekap analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Pangkah tahun 2015 34. Data rekap analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Kramat tahun 2015
70 70 71 72 73
DAFTAR GAMBAR 1 Hubungan antara fungsi-fungsi pertama dan turunan terhadap margin tataniaga dan nilai margin pemasaran 2 Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Tarub 3 Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Pangkah 4 Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Kramat
16 33 37 39
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Profil responden pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Tarub Profil responden pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah Profil responden pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Kramat Profil responden pedagang lele sangkuriang di Kecamatan Tarub Profil responden pedagang lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah Profil responden pedagang lele sangkuriang di Kecamatan Kramat Biaya tataniaga pada saluran tataniaga I Kecamatan Tarub Biaya tataniaga pada saluran tataniaga II Kecamatan Tarub Biaya tataniaga pada saluran tataniaga III Kecamatan Tarub Biaya tataniaga pada saluran tataniaga I Kecamatan Pangkah Biaya tataniaga pada saluran tataniaga II Kecamatan Pangkah Biaya tataniaga pada saluran tataniaga I Kecamatan Kramat Biaya tataniaga pada saluran tataniaga II Kecamatan Kramat
76 77 77 79 79 79 80 80 81 81 82 82 83
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam hal membangun bangsa, peran tersebut dapat berupa pada peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Untuk menjalankan peran tersebut, maka pemerintah perlu melakukan beberapa strategi penting. Salah satu strategi dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat adalah meningkatkan produksi budidaya perikanan. Ikan konsumsi merupakan salah satu potensi dari sektor perikanan yang dapat ditingkatkan produksi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan juga pemenuhan gizi masyarakat. Kabupaten Tegal merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi budidaya perikanan yang cukup melimpah. Pada tahun 2013 Kabupaten Tegal memiliki potensi budidaya perikanan seluas 443.947 ha, luasan tersebut meliputi areal kolam air tawar sebesar 5.927 ha dan tambak seluas 438.02 ha yang terdapat di 18 kecamatan. Total produksi budidaya perikanan Kabupaten Tegal pada tahun 2013 mencapai 1 349 821 kg. Jumlah produksi tersebut terdiri dari budidaya kolam air tawar sebanyak 1 017 496 kg dan budidaya tambak sebanyak 332 325 kg. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa budidaya kolam air tawar mendominasi produksi budidaya perikanan di Kabupaten Tegal. Budidaya perikanan di Kabupaten Tegal khususnya budidaya kolam air tawar merupakan potensi yang selalu diupayakan agar dapat meningkat, hal tersebut dapat dilihat dari pencapaian produksi budidaya kolam air tawar yang selalu meningkat pada Tabel 1. Tabel 1. Pencapaian produksi budidaya kolam air tawar Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Jumlah Produksi (kg) 172 310 211 350 212 220 212 504 1 017 496
Persentase Pertumbuhan (%) 22.7 0.4 0.1 378.8
Sumber : Buku Statistik Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal Tahun 2013 (diolah)
Terlihat pada Tabel 1 bahwa produksi budidaya kolam air tawar dari tahun 2009 hingga 2013 selalu meningkat, dengan persentase perubahan tertinggi terdapat pada tahun 2013 yaitu sebesar 378.8 persen dengan pencapaian jumlah produksi sebanyak 1 017 496 kg. Dengan kata lain produksi kolam air tawar pada tahun 2013 meningkat hampir empat kali lipat dari produksi tahun sebelumnya, fakta tersebut menunjukan bahwa pemerintahan Kabupaten Tegal serius dalam hal meningkatkan potensi perikanan khususnya pada budidaya kolam air tawar. Keberhasilan tersebut karena Dinas Kelautan Perikanan dan Kelautan Kabupaten
2 Tegal telah melakukan beberapa langkah strategis yang disahkan melalui Peraturan Bupati Tegal nomor 13 tahun 2008, yaitu antara lain: 1. Membina peningkatan kapasitas kelembagaan dan pemberdayaan pelaku usaha perikanan, memberikan bimbingan teknis. 2. Menyebarluaskan dan menerapkan teknologi perikanan. 3. Melakasanakan pembinaan dan penyuluhan pembudidaya dan pembenihan perikanan air tawar beserta mutu hasilnya. 4. Melaksanakan pembangunan dan pengolahan balai benih ikan air tawar. 5. Melakasanaan pengadaan, penggunaan peredaran dan pengawasan terhadap ikan, obat dan pakan ikan. 6. Memanfaatkan potensi penyediaan dan pengeloalaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. Pencapaian jumlah produksi budidaya perikanan kolam air tawar pada tahun 2013 yang sebanyak 1 017 496 kg tersebut tediri dari produksi budidaya beberapa jenis ikan antara lain ikan lele sebanyak 895 543 kg, ikan nila sebanyak 45 860 kg, ikan tawes sebanyak 1 000 kg, ikan gurame sebanyak 48 453 kg, ikan mas sebanyak 15 150 kg, ikan bawal sebanyak 10 890 kg dan ikan patin sebanyak 600 kg. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa produksi ikan lele merupakan produksi yang paling dominan dengan jumlah produksi sebanyak 895 543 kg. Hal ini karena pemerintah Kabupaten Tegal selalu berupaya agar jumlah produksi ikan lele meningkat tiap tahunnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam data yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi budidaya ikan air tawar di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Jenis Ikan
Jumlah Produksi (Kg) 2009
Lele 145 120 Nila 17 300 Tawes 4 040 Gurame 1 800 Mas 4 050 Bawal Patin -
2010
2011
2012
2013
177 108 20 707 4 311 1 980 4 383 1 229 1 632
179 050 24 280 1 810 7 080 -
206 497 25 800 2 022 6 931 100 100
895 543 45 860 1 000 48 453 15 150 10 890 600
Total (Kg)
Rata-Rata (Kg/th)
Persentase (%)
1 603 318 133 947 9 351 56 065 37 594 12 219 2 332
320 664.0 26 789.4 1 870.2 11 213.0 7 518.8 2 443.8 466.4
86.44 7.22 0.5 3.02 2.02 0.65 0.13
Sumber : Buku Statistik Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal (diolah)
Pada Tabel 2 menunjukan bahwa produksi ikan lele merupakan produksi yang paling dominan dibanding ikan jenis lain. Hal ini dapat dilihat dari persentase rata-rata produksi ikan air tawar Kabupaten Tegal dari tahun 2009 sampai 2013, bahwa ikan lele memiliki persentase tertinggi yaitu 86.44 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa ikan lele merupakan komoditas paling dominan pada budidaya ikan air tawar di Kabupaten Tegal. Produksi tiap tahun ikan lele selalu meningkat. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2013 dan total jumlah produksi dari tahun 2009 hingga 2013 adalah sebanyak 1 603 318 kg, sehingga rata-rata yang diperoleh pada produksi ikan lele dari tahun 2009 hingga 2013 adalah 320 664 kg per tahun. Melihat dari data tersebut dapat diprediksi bahwa produksi ikan lele untuk tahun – tahun berikutnya akan terus meningkat.
3 Maka dari itu, ikan lele pantas dijadikan sebagai produk ikan unggulan pada budidaya perikanan di Kabupaten Tegal. Ikan lele merupakan salah satu komoditas ikan konsumsi yang digemari masyarakat karena rasanya yang gurih. Lele mengandung banyak gizi yang dibutuhkan dalam tubuh, antara lain kadar air 78.5 persen, sumber energi 90 kal, protein 18.7 gr, lemak 1.1 gr, kalsium (Ca) 15 mgr, posfor (P) 260 mgr, zat besi (Fe) 2 mgr, natrium 150 mgr, tiamin (Vit B1) 0.1 mgr, riboflavin (Vit B2) 0.05 mgr, niasin 2 mgr (FAO, 1972). Maka dari itu lele dapat memenuhi kebutuhan energi, protein dan zat-zat lain nya untuk menjalankan aktivitas. Selain bergizi tinggi, ikan lele juga mudah dibudidayakan karena dapat dilakukan pada lahan dan sumber air yang terbatas, dengan padat tebar yang tinggi, teknologi budidaya yang relatif mudah dimengerti masyarakat, relatif tahan terhadap penyakit, pertumbuhannya cepat, dan bernilai ekonomi relatif tinggi. Jenis Lele yang banyak dibudidayakan di Kabupaten Tegal adalah jenis Lele Sangkuriang. Lele Sangkuriang berasal dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang diperkenalkan pada tahun 2004 melalui pengukuhan dari Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KP.26/MEN/2004 tanggal 21 Juli 2004. Lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui rekayasa perkawinan silang antara induk betina generasi kedua (F2) lele dumbo dengan induk jantan generasi keenam (F6) lele dumbo. Induk betina generasi kedua (F2) merupakan koleksi indukan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Indukan tersebut adalah keturunan kedua lele dumbo yang diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1985. Sedangkan induk jantan generasi keenam (F6) merupakan sediaan indukan yang dimiliki oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Perkawinan silang ini dilakukan dengan langkah awal mengkawinkan antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6) yang menghasilkan induk jantan lele dumbo jantan (F2 – F6) kemudian induk jantan lele dumbo jantan (F2 – F6) dikawinkan lagi dengan induk betina generasi kedua (F2) yang akhirnya menghasilkan lele sangkuriang. Dari segi biologis, alasan jenis lele sangkuriang digunakan pembudidaya di Kabupaten Tegal karena memiliki efektivitas penyerapan pakan yang baik yang ditunjukkan dengan nilai FCR (Food Convertion Ratio) 1:1 yang artinya setiap 1 kg pakan yang dimakan, akan membentuk 1 kg daging, sehingga hal ini menyebabkan produksi lebih tinggi misal dalam 1 000 ekor benih lele sangkuriang diberi pakan 100 kg maka akan menghasilkan lele sangkuriang siap konsumsi 100 kg, berbeda dengan lele dumbo biasa yang hanya menghasilkan 70 – 80 kg. Selain itu, masa panen lele sangkuriang lebih cepat daripada lele dumbo. Ditingkat pembenihan, pertumbuhan lele sangkuriang dari ukuran 2 – 3 cm untuk mencapai ukuran 5 – 6 cm, hanya membutuhkan waktu 20 – 25 hari, namun lele dumbo membutuhkan waktu 30 – 40 hari. Ditingkat pembesaran untuk ukuran siap panen lele sangkuriang membutuhkan waktu 50 – 60 hari, namun lele dumbo membutuhkan waktu 3 – 4 bulan. Kemampuan bertelur lele sangkuriang dinilai lebih baik daripada lele dumbo. Lele sangkuriang mampu bertelur sebanyak 40 000 – 60 000 butir dalam sekali pemijahan dan daya tetas telur tinggi yaitu sekitar 90 persen, berbeda dengan lele dumbo yang hanya mampu bertelur sebanyak 20 000 – 30 000 butir dalam sekali pemijahan dan daya tetas telur hanya 80 persen. Begitu juga dengan dagingnya, lele sangkuriang memiliki tekstur daging yang lebih padat
4 dan minim kandungan lemak serta rasanya yang renyah, gurih dan tidak berbau lumpur jika dibanding lele dumbo. Meski lele tidak memilik sisik ikan seperti ikan air tawar lainnya yang digunakan dalam melindungi kulit dan tubuh ikan terutama dari penyakit, namun lele memiliki lendir yang fungsinya hampir sama dengan sisik ikan pada ikan air tawar umumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, lele sangkuriang tahan terhadap bakteri Trichoda sp dan Ichthiophthirius sp yang biasa menyerang ikan air tawar. Dewasa ini banyak masyarakat yang mengkonsumsi protein hewani khususnya dari ikan, hal ini karena banyak masyarakat yang mengalami peningkatan kesejahteran, selain itu masyarakat saat ini mulai sadar mengenai penting gizi protein hewani terutama dari ikan. Kegemaran masyarakat dalam mengkonsumsi ikan di Kabupaten Tegal dapat ditunjukan dalam Tabel 3. Tabel 3. Tingkat konsumsi ikan di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 Tahun Konsumsi ikan Persentase perubahan (kg/kap) (%) 2009 2.13 2010 2.03 -4.69 2011 3.13 54.19 2012 6.07 93.93 2013 7.57 24.71 Sumber : Buku Profil Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal Tahun 2014
Data pada Tabel 3 menunjukan bahwa tingkat konsumsi ikan di Kabupaten Tegal cenderung meningkat. Pada awalnya ditahun 2009 konsumsi ikan masyarakat Kabupaten Tegal sebanyak 2.13 kg/kapita/tahun, namun ditahun berikutnya terdapat penurunan sebesar -4.69 persen sehingga konsumsi ikan masyarakat Kabupaten Tegal menjadi 2.03 kg/kapita/tahun, presentase perubahan tertinggi ditunjukan pada tahun 2012 yaitu sebesar 93.93 persen atau sebanyak 6.07 kg/kapita/tahun. Hal tersebut karena sudah semakin sadarnya masyarakat mengenai pentingnya mengkonsumsi protein hewani dari ikan dan juga meningkatnya kesejahteraan masyarakat, hingga pada akhirnya terdapat peningkatan konsumsi ikan pada tahun 2013 sebesar 24.71 persen atau sebanyak 7.57 kg/kapita/tahun. Cenderung meningkatnya konsumsi ikan secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsumsi ikan lele sangkuriang, karena pada Tabel 2 menunjukan bahwa persentase rata – rata produksi tertinggi adalah ikan lele sangkuriang, yaitu sebesar 86.44 persen. Sehingga ikan lele sangkuriang mempunyai peranan dalam hal tingkat konsumsi ikan walau belum dibandingkan dengan produksi ikan secara keseluruhan. Hal ini dapat ditunjukan secara langsung dengan semakin maraknya restoran atau rumah makan yang menyediakan masakan yang berbahan dasar ikan lele dengan berbagai inovasinya, sehingga hal ini menjadikan masakan berbahan dasar ikan lele beserta inovasinya menjadi tren pada kalangan penikmat kuliner di Kabupaten Tegal. Maka dari itu, dapat diprediksi bahwa konsumsi ikan lele sangkuriang di Kabupaten Tegal akan terus meningkat untuk tahun – tahun berikutnya, sehingga usaha budidaya ikan lele sangkuriang di Kabupaten Tegal masih memberikan peluang kepada
5 pembudidaya ikan lele sangkuriang untuk mengekspansi usahanya baik dengan meluaskan lahan dan meningkatkan produksinya. Peluang pembudidaya ikan lele sangkuriang dalam memenuhi permintaan pasar harus disertai dengan berbagai pertimbangan dalam memasarkan produk yang dihasilkan, karena akan percuma apabila pembudidaya mampu meningkatkan produksi namun produk tersebut tidak dapat dipasarkan secara sempurna. Lele merupakan produk perikanan yang bersifat perishable atau mudah rusak/busuk. Untuk menjaga kualitas dan memenuhi tuntutan dari konsumen yang menginginkan ikan dalam keadaan segar maka diupayakan ikan lele sangkuriang dapat cepat sampai di tangan konsumen dengan melalui beberapa pihak tataniaga yang tepat. Sehingga diperlukan informasi pasar untuk dapat mengetahui kapan, dimana dan berapa banyak produk yang diminta oleh pasar agar produk dapat segera disalurkan. Namun pembudidaya juga ingin mendapatkan harga yang layak agar pembudidaya dapat terangsang dalam keberlanjutan usaha budidaya dan dapat meningkatkan kesejahteraan, hal tersebut dapat diupayakan dengan melakukan penelitian mengenai efisiensi tataniaga. Penelitian mengenai efisiensi tataniaga diharapkan dapat memberikan solusi mengenai saluran tataniaga yang efesien yang dapat memberikan keuntungan yang adil pada tiap lembaga tataniaga ikan lele sangkuriang. Keuntungan yang adil adalah apabila para lembaga tataniaga mendapat bagian yang sesuai dengan fungsi – fungsi yang dilakukan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, sehingga dari sini akan menghasilkan marjin tataniaga yang tidak terlalu besar, maka harga jual di tingkat konsumen akhir akan terjangkau.
Perumusan Masalah Kabupaten Tegal merupakan kawasan yang memiliki potensi untuk mengembangkan usaha budidaya lele sangkuriang karena usaha budidaya lele sangkuriang masih dapat ditingkatkan produksinya, hal ini dapat dilihat dari produksi lele tiap tahun semakin meningkat. Selain itu, permintaan lele sangkuriang di Kabupaten Tegal cukup tinggi dan cenderung akan terus meningkat permintaannya. Inilah yang akan menjadi peluang bagi pembudidaya lele sangkuriang untuk mengekspansi usaha budidaya dengan memperluas lahan dan meningkatkan produksi. Namun dalam menjalankan usaha budidaya lele sangkuriang, pembudidaya perlu mempertimbangkan untuk memasarkan produk ini, agar produk yang melimpah nantinya dapat disalurkan dengan harga yang layak dan semua produk dapat terjual. Begitu juga dengan harapan konsumen, untuk bisa mendapatkan ikan lele sangkuriang dalam keadaan segar dan harga ditingkat konsumen yang terjangkau sehingga konsumen mendapat kepuasaan. Kepuasan konsumen menjadi penting karena hal tersebut merupakan indikator terciptanya tataniaga yang efisien. Dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukan bahwa harga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal tahun 2013 pada tingkat pembudidaya mengalami peningkatan. Sehingga terdapat rata – rata pertumbuhan harga yang bernilai positif dari bulan Januari hingga Desember yaitu sebesar 0.12 persen. Peningkatan harga lele sangkuriang di tingkat pembudidaya juga diikuti dengan peningkatan harga lele sangkuriang di tingkat konsumen akhir. Peningkatan harga lele sangkuriang yang
6 terjadi di tingkat konsumen akhir juga menyebabkan rata – rata pertumbuhan harga yang bernilai positif yaitu sebesar 1.69 persen. Tabel 4. Pertumbuhan rata–rata harga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal tahun 2013 Harga (Rp/kg) Marjin tataniaga Bulan Pembudidaya Konsumen akhir (Rp/kg) Januari 15 387.14 15 509.68 122.53 Februari 15 468.54 15 732.14 263.60 Maret 15 448.61 15 956.99 508.38 April 15 105.07 16 158.89 1 053.82 Mei 15 147.22 16 590.32 1 443.11 Juni 15 295.02 16 964.44 1 669.42 Juli 15 074.26 17 096.77 2 022.51 Agustus 15 224.19 17 666.67 2 442.47 September 15 195.73 17 816.67 2 620.94 Oktober 15 129.59 18 053.76 2 924.17 November 15 208.61 18 222.22 3 013.61 Desember 15 579.59 18 634.41 3 054.82 Rata - rata petumbuhan (%) 0.12 1.69 39.37 Sumber : Buku Statistik Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal (diolah)
Walaupun kedua harga lele sangkuriang di tingkat pembudidaya dan di tingkat konsumen akhir mengalami peningkatan, namun besarnya pertumbuhan peningkatan harga berbeda cukup signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari selisih nilai rata – rata pertumbuhan harga pada kedua tingkatan yaitu sebesar 1.57 persen yang lebih besar pada rata – rata pertumbuhan harga di tingkat konsumen akhir. Hal tersebut mengindikasikan bahwa besarnya kenaikan harga di tingkat konsumen akhir tidak diikuti oleh kenaikan harga yang adil di tingkat pembudidaya. Sehingga dapat dilihat pada marjin tataniaga (selisih harga pada tingkat konsumen akhir dengan harga tingkat pembudidaya) selalu mengalami peningkatan tiap bulan, dengan rata – rata pertumbuhan sebesar 39.37 persen tiap bulan. Hal ini berdampak pada kekecewaan konsumen akhir karena harga lele sangkuriang yang bertambah mahal, begitu juga dengan pembudidaya yang merasa bagian yang didapatnya belum cukup adil. Hal tersebut sangat mempengaruhi kesejahteraan pembudidaya, apalagi para pembudidaya juga mengeluh tentang harga pakan yang mahal, sehingga keuntungan yang didapat menjadi relatif sedikit. Alasan tersebut dapat menjadikan pembudidaya enggan untuk meneruskan usaha budidaya lele sangkuriang, sehingga hal ini akan menyebabkan kekurangan pasokan komoditas lele sangkuriang. Untuk meminimalisir dampak tersebut maka diperlukan mencari pilihan mengenai saluran pemasaran yang efisien. Secara umum pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal memiliki skala usaha mikro dengan kriteria modal kurang dari Rp 50 juta; volume/luas unit usaha kurang dari 1000 m²; hasil penjualan per tahun kurang dari Rp 60 juta; dan
7 jumlah tenaga kerja kurang dari 2 orang (menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan R.I. Nomor PER.05/MEN/2009). Hal ini akan sulit bagi pembudidaya dengan skala usaha mikro dalam memiliki posisi tawar yang kuat tanpa adanya sebuah perkumpulan atau organisasi yang berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Sebagian besar pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal tergabung dalam kelompok pembudidaya ikan. Harapan dari kelompok pembudidaya ikan tersebut adalah sebagai wadah bertukar pikiran dan kerjasama, sehingga mampu menghadapi masalah dan memiliki posisi tawar yang kuat. Namun sayangnya kelompok pembudidaya ikan tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, karena kurangnya komunikasi atau pertemuan rutin yang seharusnya dilakukan, sehingga fungsi kelompok pembudidaya ikan tersebut tidak dapat berjalan lancar. Hal ini yang menyebabkan pembudidaya kurang mendapatkan informasi mengenai pasar sehingga pembudidaya kesulitan dalam menetapkan harga jual hasil panen. Harga yang ditetapkan pembudidaya dalam menjual lele sangkuriang kepada pedagang adalah Rp. 15.000,00 hingga Rp. 16.000,00, sedangkan harga beli konsumen akhir adalah Rp. 22.000,00 hingga Rp. 23.000,00. Perbedaan harga jual pembudidaya dengan harga beli konsumen akhir ini dipengaruhi oleh fungsi – fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Dalam menjalankan fungsi – fungsi tersebut, lembaga tataniaga memerlukan biaya pemasaran. Pemasaran yang efisien dapat mempengaruhi tingkat pendapatan pembudidaya. Agar sistem pemasaran dapat seefisien mungkin, maka diperlukan untuk memilih saluran pemasaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan nilai yang diterima pembudidaya, memperkecil biaya pemasaran serta mampu menciptakan harga jual yang terjangkau dalam batas daya beli konsumen akhir. Pemasaran yang efisien dapat dilihat dari kondisi sistem pemasaran dan efisiensi pemasaran yang meliputi analisis marjin pemasaran, analisis farmer’s share, dan analisis keuntungan dan biaya. Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berdasarkan analisis saluran dan lembaga tataniaga, analisis fungsi tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis prilaku pasar ? 2. Bagaimana efisiensi tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berdasarkan analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan dan biaya ?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi sistem tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berdasarkan analisis saluran dan lembaga tataniaga, analisis fungsi tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis prilaku pasar. 2. Menganalisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berdasarkan analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan dan biaya.
8 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapakan memberikan beberapa manfaat antara lain: 1. Bagi pembudidaya lele sangkuriang, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai tataniaga lele sangkuriang yang efisien. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis lele sangkuriang setelah mengetahui kondisi tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. 3. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan informasi, literatur, dan bahan bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini terbatas pada pembudidaya lele sangkuriang dan lembaga-lembaga yang terkait dalam tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Penelitian ini dilakukan terhadap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal, dalam arti, pembudidaya lele sangkuriang berdomisili di wilayah Kabupaten Tegal khususnya pada 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Adapun aliran tataniaga produk setelah pembudidaya produksi primer hingga konsumen akhir, dapat berada diluar tiga kecamatan yang telah disebutkan sebelumnya, sesuai dengan saluran tataniaga yang dimiliki oleh masing-masing pembudidaya. Penelitian ini hanya membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu tentang saluran dan lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, prilaku pasar dan efisiensi tataniaga. Seluruh hasil perhitungan pada penelitian ini didasarkan pada harga dan kondisi saat pengambilan data dilakukan, yaitu pada bulan Maret hingga Mei tahun 2015.
TINJAUAN PUSTAKA Tataniaga Agribisnis Sistem tataniaga dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis yaitu analisis saluran dan lembaga tataniaga, analisis fungsi tataniaga, analisis struktur pasar dan analisis prilaku pasar. Analisis saluran dan lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui mengenai jumlah saluran yang terjadi dan lembaga apa saja yang terkait dalam suatu tataniaga. Dalam tataniaga komoditas produk agribisnis jumlah saluran yang terbentuk antara 2 saluran (Harahap 2010), 3 saluran (Sembiring 2013) (Safitri 2009), 4 saluran (Puspitasari 2010) (Alfikri 2014), 5 saluran (Tarigan 2014), 6 saluran (Faisal 2010) hingga 8 saluran (Luthfi 2014), hal ini tergantung dengan komoditas yang dipasarkan dan juga kondisi pasar pada lokasi komoditas. Ada beberapa lembaga yang terkait dalam saluran tataniaga yaitu pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer (Safitri 2009;
9 Sembiring 2013; Alfikri 2014; Luthfi 2014; Tarigan 2014) dan juga beberapa agen perantara seperti warung pecel lele (Puspitasari 2010), rumah potong ayam (Tarigan 2014), rumah potong hewan (Faisal 2010). Fungsi – fungsi yang dilakukan tiap lembaga dalam tataniaga pun berbeda, tergantung dari komoditas yang dipasarkan seperti pada penelitian Puspitasari (2010) yang melakukan penelitian tentang tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Ciawi. Fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga lele sangkuriang seperti pada pedagang pengumpul yaitu fungsi pertukaran (pembelian dari petani dan menjual kembali pada lembaga berikutnya); fungsi fisik (penyimpanan lele sangkuriang dan pengangkutan kepada lembaga berikutnya); fungsi fasilitas (permodalan, penanggungan risiko, standarisasi dan grading, dan informasi pasar). Berbeda dengan Safitri (2009) yang melakukan penelitian tentang tataniaga telur ayam kampung di Kabupaten Bogor. Fungsi yang dilakukan pada pedagang pengumpul yaitu fungsi pertukaran (pembelian dari peternak dan kemudian menjual kepada lembaga berikutnya); fungsi fisik (pengangkutan kepada lembaga berikutnya); fungsi fasilitas (biaya, penangungan risiko dan informasi pasar). Pada kedua penelitian oleh Puspitasari (2010) dan Safitri (2009) terdapat perbedaan fungsi antara lembaga ditingkat pedagang pegumpul yaitu pada fungsi fisik. Pada penelitian Puspitasari (2010) fungsi fisik pada pedagang pengumpul melakukan fungsi penyimpanan terhadap lele sangkuriang. Hal ini karena lele sangkuriang sangat rentan terhadap proses penyusutan dan kematian walau lele sangkuriang baru diterima dari petani sekalipun. Berbeda dengan penelitan Safitri (2010) yang dalam fungsi fisik pada pedagang pengumpul tidak melakukan penyimpanan, hal ini karena telur ayam lebih lama proses pembusukannya sehingga tidak diperlukan proses penyimpanan, mengingat telur ayam baru didistribusikan dari peternak, sehingga keadaan telur ayam masih segar. Begitu juga pada fungsi fasilitas, terdapat perbedaan antara kedua penelitian. Pada penlitian Puspitasari (2010) fungsi fasilitas yang dilakukan pedang pengumpul melakukan sortasi dan grading, hal ini karena lele sangkuriang terdapat variasi dimensi dan massa yang cukup besar antara tiap masing-masing lele sangkuriang, sehingga perlu dilakukan grading agar dapat mengetahui potensi atau nilai tambah dalam lele sangkuriang dan juga mempermudah dalam penjualan karena hanya memberikan sampel tiap grade-nya. Berbeda dengan penelitan Safitri (2009) yang hanya melakukan sortasi tanpa melakukan grading. Sortasi dilakukan untuk memilah telur yang layak dijual dengan telur yang pecah, karena dalam pengangkutan telur ayam rentan terjadi pecah telur. Sedangkan grading tidak dilakukan karena telur ayam rata-rata memiliki dimensi dan massa yang relatif seragam. Struktur pasar merupakan sifat organisasi pasar yang mempengaruhi prilaku dan keragaan pasar. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa karakteristik antara lain jumlah atau ukuran perusahaan, kondisi produk, hambatan keluar masuk pasar, informasi pasar yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam tataniaga. Struktur pasar dibagi menjadi dua kategori yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Pada penelitian terdahulu terdapat perbedaan stuktur pasar pada tingkat petani, hal ini tergantung pada karakteristik yang telah disebutkan di atas. Ada beberapa penelitian yang masuk pada kategori struktur pasar persaingan sempurna (Sembiring 2013; Luthfi 2014), struktur pasar
10 oligopoli (Safitri 2009; Faisal 2010; Tarigan 2014), dan struktur pasar oligosopni (Puspitasari 2010; Harahap 2011). Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu. Analisis perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga dan pembayaran serta kerjasama antara lembaga tataniaga. Pada penelitian terdahulu terdapat beberapa yang mengunakan analisis prilaku pasar dalam mengetahui kondisi pasar yang tejadi (Safitri 2009; Puspitasari 2010; Harahap 2011; Sembiring 2013; Luthfi 2014; Tarigan 2014). Pada penelitian Sembiring (2013) tentang tataniaga kubis di Kabupaten Cianjur, petani melakukan jual beli dengan pedagang pengumpul menggunakan sistem timbang atau sistem borongan. Petani dibayar secara tunai setelah pedagang pengumpul kebun selesai melakukan panen. Kemudian pada penelitian Tarigan (2014) tentang tataniaga ayam broiler di Kecamatan Parung, mengungkapkan bahwa kegiatan pemeliharaan peternak dilakukan dengan sistem kemitraan intiplasma, dimana peternak berperan sebagai plasma dan pedagang besar berperan sebagai perusahaan inti. Peternak plasma tidak perlu lagi memikirkan ketersediaan DOC, pakan dan obat-obatan serta sarana produksi peternakan lainnya karena halhal tersebut telah disediakan oleh perusahaan inti. Peternak plasma dapat fokus dalam melakukan kegiatan pemeliharaan karena penjualan hasil panen peternak sudah dijamin oleh perusahaan inti, hal ini terjadi karena peternak sebagai plasma melakukan kerjasama dengan perusahaan inti, sehingga terdapat perjanjian untuk memasarkan hasil panen mereka melalui perusahaan inti.
Efisiensi Tataniaga Lele Sangkuriang Pada beberapa penelitian terdahulu ada yang menyimpulkan bahwa saluran tataniaga terpendek merupakan saluran yang paling efisien (Puspitasari 2010; Sembiring 2013; Luthfi 2014). Hal ini karena pada saluran tataniaga tersebut hanya terdapat petani sebagai produsen yang langsung menyalurkan produknya kepada konsumen akhir, sehingga didapat marjin tataniaga yang kecil, dan farmer’s share yang besar. Namun hal tersebut berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu yang menyimpulkan bahwa panjang pendeknya rantai tataniaga tidak sepenuhnya menjamin terjadinya saluran tataniaga yang paling efisien (Safitri 2009; Tarigan 2014). Hal ini karena pada beberapa penelitian tersebut mempertimbangkan juga aspek lain seperti persentase volume komoditas yang dapat didistribusikan dalam saluran tataniaga atau market share, sehingga akan percuma apabila terdapat saluran tataniaga dengan marjin tataniaga yang kecil, farmer’s share yang besar dan rasio keuntungan dengan biaya yang besar namun presentase volume komoditas yang dapat didistribusikan atau market share sangat rendah. Sehingga perlu pertimbangan presentase volume komoditas yang dapat didistribusikan atau market share, selain mempertimbangkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dengan biaya dalam menentukan efisiensi tataniaga. Terdapat penelitian terdahulu yang membahas mengenai tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Ciawi (Puspitasari 2010). Pada penelitian tersebut
11 menyimpulkan bahwa saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran yang memiliki rantai tataniaga terpendek. Penelitian ini belum mempertimbangkan presentase volume komoditas yang dapat didistribusikan atau market share dalam menentukan efisiensi tataniaga. Penelitian-penelitian terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini. Maka dari itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya adalah perbedaan pada lokasi penelitian, lembaga tataniaga, pasar yang menjadi tempat kegiatan penjualan dan pembelian komoditas yang diteliti, dan perlu menambahkan sebuah aspek dalam mempertimbangkan efisiensi tataniaga yaitu persentase volume komoditas yang dapat didistribusikan (market share). Penambahan aspek tersebut diharapkan akan menambah keakuratan dalam hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian ini.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Tataniaga Para ahli yang mendalami tataniaga memiliki pemahaman dan pengertian masing masing tentang konsep tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987) mengartikan tataniaga sebagai semua kegiatan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik suatu barang pertanian dari tangan produsen kepada konsumen yang juga mencakup kegiatan tertentu yang merubah fisik dari barang untuk memudahkan penyaluran barang tersebut. Pertukaran barang dalam kegiatan tataniaga dapat terjadi dalam lima kondisi yaitu adanya dua pihak dimana kedua pihak memiliki sesuatu yang berharga untuk dipertukarkan. Kemudian kedua pihak mampu berkomunikasi dan melakukan pertukaran, kedua pihak bebas untuk menolak atau menerima tawaran dari pihak lain. Hanafiah dan Saefudin (2006) menjelaskan bahwa aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Kemudian Asmarantaka (2012) mengatakan tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ilmu ekonomi dan aspek ilmu manajemen. Pengertian dari aspek ilmu ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem fungsi-fungsi pemasaran yaitu fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Fungsi ini merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa pertanian dari petani sampai konsumen akhir. Pengertian dari aspek ilmu manajemen menyebutkan tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya terdapat individu atau kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Manajemen tataniaga merupakan kajian secara individu dari konsumen sebagai pemakai dan produsen sebagai suatu perusahaan yang melakukan aktivitas bisnis dalam sistem pemasaran. Dari beberapa pendapat ahli yang telah disebutkan, dapat diambil kesimpulan bahwa tataniaga merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
12 untuk memindahkan hak milik dan juga fisik dari suatu komoditi pertanian dari produsen kepada konsumen akhir dengan melibatkan berbagai pihak. Pada kegiatan ini tidak menutup kemungkinan adanya perubahan fisik barang sesuai dengan kebutuhan dari pelaku tataniaga. Kegiatan tataniaga melibatkan banyak pihak untuk bisa menyampaikan barang dari produsen kepada konsumen akhir. Pihak - pihak yang terlibat biasa disebut dengan lembaga tataniaga. Lembagalembaga yang dilalui oleh suatu komoditi juga akan memperlihatkan suatu saluran yang disebut dengan saluran tataniaga. Lembaga Tataniaga Purcell (1979) menjelaskan bahwa lembaga tataniaga merupakan pihak yang melakukan penanganan komoditas atau penyedia jasa pemasaran dengan prilaku pengambil keputusan untuk perubahan suatu pasar. Hanafiah dan Saefudin (2006), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga ada lah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Tugas lembaga tataniaga adalah menjalankan fungsi - fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga tataniaga berupa marjin tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah suatu badan atau lembaga yang berusaha dalam bidang tataniaga, mendistribusikan barang dari produsen hingga ke konsumen melalui proses perdagangan. Produsen memiliki peranan utama dalam menghasilkan produk dan sering melakukan sebagian kegiatan tataniaga. Sedangkan pedagang melakukan penyaluran produk dalam waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan oleh konsumen dalam saluran tataniaga. Penggolongan lembaga tataniaga yang didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya, yaitu: 1) Berdasarkan fungsi yang dilakukan : Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga seperti informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain. 2) Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang : Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan. 3) Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar : Lembaga tataniaga bersaing sempurna seperti pengecer beras, pengecer rokok dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolistis seperti pedagang bibit dan benih. Lembaga tataniaga oligopolis seperti importir cengkeh dan lain-lain.
13
Lembaga tataniaga monopolis seperti perusahan kereta api, perusahaan pos dan giro dan lain-lain. 4) Berdasarkan bentuk usahanya : Berbadan hukum seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi. Tidak berbadan hukum seperti perusahaan perorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan sebagainya. Terdapat tiga kelompok yang secara langsung terlibat dalam penyaluran barang atau jasa mulai dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, yaitu (1) pihak produsen, (2) lembaga perantara, (3) pihak konsumen akhir. Pihak produsen adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan. Pihak lembaga perantara adalah yang memberikan pelayanan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yaitu pedagang besar (wholeseller) dan pedagang pengecer (retailer). Sedangkan konsumen akhir adalah pihak yang langsung menggunakan barang dan jasa yang dipasarkan (Limbong dan Sitorus, 1987). Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang – orang yang membutuhkan atau menginginkannya. Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), saluran tataniaga terdiri dari pedagang perantara yang membeli dan menjual barang dengan tidak memperdulikan apakah mereka memiliki barang dagangan atau hanya bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Panjang atau pendeknya saluran tataniaga yang dilalui oleh suatu komoditi bergantung pada beberapa faktor, yaitu : 1. Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh komoditi tersebut. 2. Sifat produk. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat. 3. Skala produksi. Jika produksi berlangsung dalam ukuran – ukran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil, sehingga akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Hal ini berarti membutuhkan kehadiran pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui komoditi akan cenderung panjang. 4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga karena akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi keuangannya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga. Berdasarkan pendapat ahli diatas maka saluran tataniaga merupakan rangkaian beberapa organisasi yang saling terlibat satu sama lain dalam proses pemindahan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, dimana tugas atau aktivitas yang dilakukan dalam proses tersebut dinamakan fungsi-fungsi tataniaga.
14 Fungsi Tataniaga Fungsi tataniaga merupakan suatu kegiatan ataupun tindakan yang dapat memperlancar dalam proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi tataniaga dapat dikelompokkan atas tiga fungsi yaitu: 1. Fungsi Pertukaran adalah Kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari dua fungsi yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Pembelian merupakan kegiatan melakukan penetapan jumlah dan kualitas barang, mencari sumber barang, menetapkan harga, dan syarat-syarat pembelian. Kegiatan penjualan diikuti dengan mencari pasar, menetapkan jumlah kualitas serta menentukan saluran tataniaga yang paling sesuai. 2. Fungsi Fisik adalah Suatu tindakan langsung yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi ini terdiri dari a) fungsi penyimpanan yaitu membuat komoditi selalu tersedia saat konsumen menginginkannya, b) fungsi pengangkutan yaitu pemindahan, melakukan kegiatan membuat komoditi selalu tersedia pada tempat tertentu yang diinginkan dan, c) fungsi pengolahan yaitu untuk komoditi pertanian, kegiatan yang dilakukan merubah bentuk melalui proses yang diinginkan sehingga dapat meningkatkan kegunaan, kepuasan dan merupakan usaha untuk memperluas pasar dari komoditi asal. 3. Fungsi Fasilitas adalah Semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari: a) Fungsi standarisasi dan grading yaitu mempermudah pembelian barang, mempermudah pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya pemasaran dan memperluas pasar. b) Fungsi penanggungan resiko dengan menerima kemungkinan kehilangan dalam proses pemasaran yang disebabkan resiko fisik dan resiko pasar. c) Fungsi pembiayaan yaitu kegiatan pembayaran dalam bentuk uang untuk memperluas proses tataniaga. d) Fungsi informasi pasar dengan mengumpulkan interpretasi dari sejumlah data sehingga proses pemasaran menjadi lebih sempurna. Struktur Pasar Struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syaratsyarat masuk pasar (Limbong dan Sitorus, 1987). Pasar dapat diklasifikasikan menjadi empat struktur pasar berdasarkan sifat dan bentuknya yaitu: 1. Struktur Pasar Bersaing Sempurna Pada struktur pasar bersaing sempurna terdapat banyak penjual dan pembeli yang bebas keluar masuk pasar. Barang dan jasa yang dipasarkan bersifat homogen. Dengan struktur biaya tertentu, perusahaan tidak dapat menetapkan harga sendiri untuk memaksimumkan keuntungan. Sehingga perusahaan hanya sebagai penerima harga (price taker) dan hanya menghadapi satu tingkat harga.
15 2. Struktur Pasar Bersaing Monopolistik Struktur pasar bersaing monopolistik terdiri dari banyak pembeli dan penjual yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga. Produk yang dijual perusahaan tidak bersifat homogen tetapi memiliki perbedaan, seperti perbedaan pengepakan, warna kemasan, harga dan pelayanannya. Untuk mencapai keuntungan maksimum perusahaan dapat menekan biaya produksi atau dengan cara perubahan teknologi. 3. Struktur Pasar Oligopoli Perusahaan pada struktur pasar oligopoli tidak bebas untuk menentukan harga produk yang dihasilkan untuk mencapai keuntungan maksimum, karena perusahaan tergantung kepada struktur biaya dan permintaan produk yang ditawarkan serta kepada tindakan perusahaan pesaing. Tindakan penurunan harga produk oleh suatu perusahaan pada pasar oligopoli dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau “market share” tertentu, tidak selalu dapat dilakukan, dimana keputusan perusahaan harus didasarkan pada perusahaan pemimpin (leader). Perusahaan leader ini dapat lebih bebas menentukan harga dalam mencapai tujuan perusahaan. 4. Struktur Pasar Monopoli Perusahaan monopoli dapat berbentuk monopoli pemerintah, monopoli swasta menurut undang - undang, dan monopoli swasta murni. Salah satu tindakan perusahaan monopili untuk memperoleh keuntungan maksimum adalah melalui diskriminasi harga (discrimatory pricing). Diskriminasi harga adalah menjual produk yang sama pada tingkat harga yang berbeda dan pada pasar yang berbeda. Prilaku Pasar Asmarantaka (2012) mengatakan bahwa perilaku pasar atau market conduct merupakan perilaku partisipan pasar (pembeli dan penjual) baik strategi ataupun reaksi dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran dalam struktur pasar tertentu. Perilaku pasar dapat berupa praktek penentuan harga, persaingan bukan harga, praktik advertising, dan penambahan pangsa pasar. Gonarsyah (1996/1997) di dalam Asmarantaka (2012) mengatakan ada tiga cara mengenal perilaku pasar yaitu dari cara penentuan harga dan level output, cara promosi produk dan exclusivenary tactics. Struktur pasar yang berbeda akan memiliki perilaku pasar yang berbeda, hal ini karena jumlah penjual dan pembeli yang tidak sama pada setiap struktur pasar. Marjin Tataniaga Hanafiah dan Saefudin (2006) mengatakan marjin adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Konsep marjin tataniaga terbentuk akibat dari perbedaan kegiatan dari setiap lembaga yang menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya. Margin pemasaran termasuk semua biaya yang menggerakkan produk tersebut, mulai dari petani hingga ke konsumen. Asmarantaka (2012) mengatakan bahwa marjin tataniaga dapat dipergunakan untuk menganalisis system pemasaran dari prespektif makro dan
16 prespektif mikro. Prespektif makro dipergunakan untuk menganalisis pemasaran produk mulai dari petani produsen sampai di tangan konsumen akhir. Sedangkan dari prespektif mikro, marjin pemasaran merupakan selisih harga jual dengan harga beli atau marjin pemasaran merupakan biaya – biaya dan keuntungan dari perusahaan tersebut akibat adanya aktivitas bisnis yang dilakukan perusahaan. Pada Gambar 1, merupakan gambar mengenai marjin pemasaran ( prespektif makro) menggambarkan kondisi pasar ditingkat lembaga – lembaga yang berbeda, minimal ada 2 tingkat pasar yaitu pasar di tingkat petani dan di tingkat konsumen akhir.
Gambar 1. Hubungan antara fungsi-fungsi pertama dan turunan terhadap margin tataniaga dan nilai margin pemasaran. Sumber : Hammond dan Dahl, 1997 dan Tomek dan Robinson, 1990 dalam Asmarantaka, 2012
Keterangan: Df Dr Sf Sr Qr,f
= Permintaan di tingkat petani (primary demand) = Permintaan di tingkat konsumen akhir (derived demand) = Penawaran di tingkat petani (primary supply) = Penawaran di tingkat konsumen akhir (derived supply) = Jumlah produk di tingkat petani dan konsumen akhir
Ada empat pengertian marjin pemaran. Setiap pengertian mempunyai keterkaitan satu sama lainnya, yaitu : 1. Perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat konsumen akhir (Pr) yaitu MT = Pr – Pf. Pengertian ini hanya perbedaan harga tidak membuat perbedaan dengan quantity di pasar. Quantity di petani dan konsumen harus setara (equivalent), apabila produk tersebut sampai mengalami proses pengolahan. 2. Merupakan harga dari kumpulan jasa – jasa pemsaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value added). Dengan demikian pengertian marjin pemasaran menunjukan bahwa MT = Pr – Pf = Biaya biaya pemasaran + Keutungan lembaga - lembaga pemasaran. 3. Nilai dari MM (marketing margin) adalah VMM (value marketing margin) = (Pr – Pf)*Qr.f dapat dilihat secara agregrate (keseluruhan) atau dapat dilihat dalam perbedaan dua komponen yaitu marketing costs (return to factor) atau
17 marketing charges (return to institutions). Sebagai balas jasa terhadap input – input pemsaran berupa upah, bunga, sewa, dan keuntungan 4. Marjin dapat diukur secara absolut dan presntase dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir atau di tingkat eksportir. Secara presentase, harga di tingkat konsumen akhir atau eksportir merupakan tujuan akhir sistem pemasaran yang dapat diamati adalah 100 persen dan harga di tingkat lembaga lainnya dinyatakan dalam presentase relative terhadap harga konsumen akhir tersebut. Farmer’s Share Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Bagian yang diterima lembaga tataniaga sering dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan Sitorus, 1987). Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga tataniaga semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian yang diterima petani (farmer’s share) akan semakin sedikit. Hal ini karena petani menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Semakin besar marjin maka penerimaan petani relatif kecil. Dengan demikian dapat diketahui adanya hubungan negatif antara marjin tataniaga dengan bagian yang diterima petani (farmer’s share). Semakin tinggi farmer’s share berfungsi untuk mengukur seberapa besar bagian yang diterima oleh petani ketika melakukan tataniaga komoditi perikanan. Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio keuntungan dan biaya adalah perbandingan antara keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga tataniaga dengan nilai biaya – biaya yang dikeluarkan. Rasio ini dapat menggambarkan besaran keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga secara lebih akurat. Hal ini karena besarnya keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga tataniaga tergantung dari besarnya biaya yang dikeluarkan. Keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga dalam tataniaga tidak dapat dibandingkan dengan lembaga lainnya dalam alur yang sama tanpa adanya perbandingan dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing - masing lembaga tersebut. Dengan demikian semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga semakin efisien (Limbong dan Sitorus 1985). Tingkat efisiensi diukur melalui perbandingan keuntungan terhadap biaya yang harus bernilai positif (π/c > 0).
Kerangka Pemikiran Operasional Lele sangkuriang merupakan komoditas yang telah banyak dibudidayakan di Kabupaten Tegal. Kabupaten Tegal merupakan kawasan yang memiliki potensi untuk mengembangkan usaha budidaya lele sangkuriang karena usaha budidaya lele sangkuriang masih dapat ditingkatkan produksinya, hal ini dapat dilihat dari produksi lele tiap tahun semakin meningkat. Selain itu, permintaan akan lele
18 sangkuriang di Kabupaten Tegal cukup tinggi dan cenderung akan terus meningkat permintaannya. Inilah yang akan menjadi peluang bagi pembudidaya lele sangkuriang untuk mengekspansi usaha budidaya dengan memperluas lahan dan meningkatkan produksi. Dalam menjalankan usaha budidaya lele sangkuriang perlu mempertimbangkan untuk memasarkan produk ini, agar produk yang melimpah nantinya dapat disalurkan dengan harga yang layak dan semua produk dapat terjual. Namun harga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal mengalami peningkatan. Peningkatan harga ini terjadi di dua tingkatan, baik tingkat pembudidaya dan tingkat konsumen, tetapi rata - rata pertumbuhan peningkatan harga lebih besar pada tingkatan konsumen. Sehingga tingginya harga di tingkat konsumen tidak dirasakan cukup adil di tingkat petani. Penyebab dari perbedaan harga di tingkat pembudidaya dan konsumen adalah karena terdapat permasalahan pada saluran tataniaga terutama pada ketidakadilan bagian yang diterima antara pembudidaya dan lembaga tataniaga sehingga mengakibatkan marjin tataniaga yang besar. Konsumen juga berharap untuk bisa mendapatkan ikan lele sangkuriang dalam keadaan segar dan harga ditingkat konsumen yang terjangkau sehingga konsumen mendapat kepuasaan. Hal tersebut mengindikasikan perlunya analisis tataniaga lele sangkuriang agar nantinya didapat solusi mengenai saluran tataniaga lele sangkuriang yang paling efisien. Sehingga semua lembaga yang terlibat dalam tataniaga lele sangkuriang mendapat kepuasan, baik pembudidaya, pedagang maupun konsumen akhir. Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini terdapat beberapa tujuan yaitu Analisis kualitatif yang menggambarkan secara deskriptif dan dilakukan untuk mengamati karakteristik dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat efisiensi tataniaga dengan menggunakan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Gambar 2 menunjukan alur berfikir secara teknis penelitian ini.
19
Lele sangkuriang merupakan produk unggulan di Kabupaten Tegal Permintaan lele sangkuriang terus meningkat sehingga berpotensi untuk mengembangkan usaha budidaya lele sangkuriang
Perbedaan harga jual dari tingkat pembudiya dan harga beli ditingkat konsumen akhir yang relatif besar dan terus meningkat
Bagaimana efisiensi tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal
Analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang
Analisis Kuantitatif
Analisis Kualitatif
Analisis saluran dan lembaga tataniaga Analisis fungsi tataniaga Analisis struktur pasar Analisis prilaku pasar
Analisis marjin tataniaga Analisis farmer’s share Analisis rasio keuntungan dan biaya
Efisiensi operasional
Saluran tataniaga lele sangkuriang yang efisien
Gambar 2. Kerangka pemikiran operasional
20
METODE PENELITIAN Penelitian ini menganalisis mengenai saluran dan lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, prilaku pasar, farmer’s share, marjin tataniaga dan rasio keuntungan dan biaya. Penelitian dilakukan pada pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga kecamatan yang diambil di Kabupaten Tegal, yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Penetuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu dengan pertimbangan bahwa daerah pada tiga kecamatan tersebut memiliki jumlah produksi ikan lele sangkuriang yang tinggi atau merupakan sentra budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Pengamatan di lokasi penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei tahun 2015. Objek penelitian yang dilakukan adalah pembudidaya lele sangkuriang dan pedagang sebagai lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran lele sangkuriang.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan responden menggunakan bantuan kuesioner. Data sekunder merupakan data pelengkap yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Sumber data sekunder dapat berupa publikasi instansi seperti Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal. Selain itu data sekunder juga dapat diperoleh melalui jurnal, hasil penelitian, internet, dan buku yang dijadikan rujukan terkait dengan pemasaran produk perikanan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : 1. Data untuk menganalisis saluran pemasaran, didapat melalui observasi langsung dengan bantuan kuesioner, yaitu meliputi: - Karakteristik pembudidaya dan pedagang responden : nama, alamat, usia, pendidikan, pengalaman budidaya, luas kolam budidaya, jumlah panen setiap siklus, status kepemilikan kolam. - Cara penjualan pembudidaya dan pedagang responden : volume, cara pembayaran, tujuan penjualan. - Cara penjualan pedagang responden : volume, cara pembayaran, tujuan penjualan. 2. Data untuk menganalisis fungsi-fungsi pemasaran di setiap lembaga pemasaran melalui observasi langsung dengan bantuan kuesioner, yaitu meliputi : - Fungsi pertukaran : volume penjualan pembudidaya dan pedagang responden, volume pembelian, harga penjualan pembudidaya dan
21 pedagang responden, tempat pembelian dan penjualan pembudidaya dan pedagang responden. - Fungsi fisik : dilakukan penyimpanan atau tidak, biaya-biaya yang timbul selama proses penyimpanan, lama penyimpanan, biaya transportasi, alat transportasi - Fungsi fasilitas : proses standarisasi, biaya-biaya yang timbul selama proses pemasaran, risiko yang ditanggung pada proses pemasaran, sumber informasi pasar. 3. Data untuk menganalisis struktur pasar pada setiap lembaga pemasaran melalui observasi langsung dengan bantuan kuesioner, yaitu meliputi jumlah pelaku pemasaran yang terlibat, keragaman produk, hambatan untuk keluar masuk pasar. 4. Data untuk menganalisis prilaku pasar melalui observasi langsung dengan bantuan kuesioner, yaitu meliputi sistem penentuan harga, cara pembayaran pada transaksi jual beli, sistem kontrak kerjasama. 5. Data untuk menganalisis farmer’s share, margin pemasaran dan rasio keuntungan terhadap biaya melalui bantuan kuesioner, meliputi harga jual, harga beli, dan biaya pemasaran.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dan pengamatan langsung kepada responden yaitu pembudidaya lele sangkuriang serta lembaga – lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran lele sangkuriang. Metode pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang saluran pemasaran, biaya-biaya yang terjadi pada proses pemasaran, dan kegiatankegiatan yang berhubungan dengan pemasaran lele sangkuriang. Sedangkan metode pengumpulan data dengan pengamatan langsung yaitu mengamati kegiatan-kegiatan yang terjadi selama proses produksi dan pemasaran lele sangkuriang di lokasi penelitian. Responden diambil berdasarkan pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui kondisi pasar pada system tataniaga lele sangkuriang yang terjadi, sehingga terdapat 2 jenis responden yaitu pembudidaya dan pedagang. Penentuan pembudidaya responden dilakukan dengan metode purposive sampling, dengan pertimbangan responden diambil berdasarkan pembudidaya yang telah menjalankan usaha budidaya lele sangkuriang minimal selama satu tahun. Pada penelitian ini terdapat 21 orang reponden pembudidaya yang terbagi atas 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tarub terdapat 5 orang, Kecamatan Pangkah terdapat 10 orang dan Kecamatan Kramat terdapat 6 orang. Kemudian untuk penetuan responden pada lembaga tataniaga ditentukan dengan metode snowball sampling. Penentuan awal metode snowball sampling dilakukan dengan wawancara terhadap responden pembudidaya lele sangkuriang kemudian mengikuti alur aliran komoditas, hal ini dilakukan untuk menentukan responden pedagang yang menyalurkan komoditas dari pembudidaya hingga konsumen akhir, sehingga tidak terdapat rantai tataniaga yang terputus. Apabila terdapat kesamaan aktivitas antar pedagang maka akan dipilih salah satu yang
22 mewakili untuk menjadi reponden. Terdapat 12 orang pedagang yang menjadi responden pada penelitian ini. Jumlah tersebut terbagi di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tarub terdapat 5 orang, Kecamatan Pangkah terdapat 4 orang dan Kecamatan Kramat terdapat 3 orang.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menggambarkan secara deskriptif dan dilakukan untuk mengamati karakteristik dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar hingga perilaku pasar. Analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat efisiensi tataniaga dengan menggunakan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya ( /C). Analisis Lembaga Tataniaga Analisis lembaga tataniaga dapat dilakukan dengan mengamati pihak-pihak yang terlibat dalam saluran tataniaga. Pihak yang telibat tersebut melakukan atau mengembangkan aktivitas bisnis (fungsi – fungsi pemasaran). Analisis lembaga tataniaga ini dapat diamati dari wawancara yang diawali pada pembudidaya lele sangkuriang, dengan mengikuti alur aliran komoditas maka akan diketahui lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga merupakan suatu rangkaian yang terdiri dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendistribusian produk primer dari produsen primer hingga ke konsumen akhir. Saluran tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal, dapat dianalisis melalui pengamatan terhadap lembaga-lembaga tataniaga yang ada. Pengamatan dilakukan dengan melihat kemana produk didistribusi dari pembudidaya hingga konsumen akhir, sehingga dapat diketehaui saluran tataniaga yang terjadi. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut maka dapat digambarkan pola saluran tataniaga. Analisis Fungsi Tataniaga Analisis fungsi tataniaga dilakukan dengan mengamati fungsi-fungsi atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Pengamatan pada fungsi pemasaran dikelompokkan menjadi 3 fungsi utama yaitu: (1) Fungsi Pertukaran, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperlancar perpindahan hak milik dari barang atau jasa yang dipasarkan dari penjual kepada pembeli, meliputi fungsi penjualan dan fungsi pembelian. (2) Fungsi Fisik, merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu dan bentuk, terdiri dari fungsi pengangkutan, fungsi pengolahan, fungsi pengemasan dan fungsi penyimpanan. (3) Fungsi Fasilitas, merupakan tindakan yang memperlancar kegiatan pertukaran antara produsen dan konsumen, meliputi fungsi permodalan, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan fungsi informasi pasar.
23 Analisis Struktur Pasar Analsis struktur pasar dilakukan untuk mengetahui kecenderungan struktur suatu pasar. Analisis struktur pasar dilakukan dengan pengamatan jumlah lembaga tataniaga, hambatan keluar masuk pasar, sifat dan karakteristik produk yang diperjualbelikan serta sistem informasi pasar. Struktur pasar dapat dibedakan antara pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Semakin banyak jumlah penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah barang yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga tataniaga maka struktur pasar tersebut semakin mendekati pasar bersaing sempurna. Adanya kesepakatan dalam sesama pelaku tataniaga menunjukkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna. Analisis Perilaku Pasar Analisis perilaku pasar digunakan untuk mengetahui kegiatan yang terjadi diantara lembaga-lembaga tataniaga. Analisis perilaku pasar dilakukan dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian terhadap pembentukan atau sistem penentuan harga. Selain itu analisis perilaku pasar juga dapat dianalisis melalui tatacara pembayaran dan sistem kerjasama yang terjalin diantara lembagalembaga tataniaga yang terlibat pada pemasaran lele sangkuriang. Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efesiensi operasional dari tataniaga lele sangkuriang. Marjin tataniaga merupakan perbedaan atau selisih harga di tingkat produsen dengan tingkat konsumen akhir yang didalamnya terdapat harga penambahan nilai kegunaan dan keuntungan bagi lembaga-lembaga tataniaga. Analisis ini dihitung dengan pengurangan harga penjualan dan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga, mulai dari pembudidaya lele sangkuriang hingga dan konsumen akhir. Menurut Asmarantaka (2012) marjin tataniaga dapat dihitung dengan rumusan berikut : Mt = Pr – Pf = biaya-biaya + lembaga = ∑ Mi dimana: Mt : Marjin total Pr : Harga di tingkat retail (konsumen akhir) Pf : Harga di tingkat petani produsen (farmer) lembaga : Profit lembaga pemasaran akibat adanya sistem pemasaran Mi = Pji - Pbi Mi : Marjin di tingkat lembaga ke-i, di mana i = 1, 2, 3,... n Pji : Harga penjualan untuk lembaga pemasaran ke-i. Pbi : Harga pembelian untuk lembaga pemasaran ke-i. Analisis Farmer’s Share Analisis farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir terhadap harga produk yang diterima oleh pembudidaya. Farmer’s share memiliki hubungan yang negatif dengan marjin tataniaga. Jika nilai marjin tataniaga tinggi maka bagian yang diperoleh pembudidaya rendah, begitu juga dengan sebaliknya jika nilai marjin tataniaga rendah maka bagian yang diperoleh pembudidaya tinggi. Farmer’s share
24 ditentukan berdasarkan rasio harga yang diterima oleh pembudidaya (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr) dan dinyatakan dalam persentase. Secara matematis farmer’s share dirumuskan sebagai berikut: F’s = (Pf / Pr) x 100% dimana: F’s : Farmer’s share Pr : Harga di tingkat retail (konsumen akhir) Pf : Harga di tingkat petani produsen (farmer) Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat rasio keuntungan dan biaya dapat diketahui berdasarkan rincian perhitungan marjin tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio keuntungan dan biaya = / C Keterangan: = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/ kg) C = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga (Rp/ kg)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Tegal merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Tegal terletak di bagian barat laut Provinsi Jawa Tengah dengan koordinat 108º 57ʹ 6ʺ – 109º 21ʹ 30ʺ bujur timur dan 6º 02ʹ 41ʺ – 7º 15ʹ 30ʺ lintang selatan. Pada sebelah utara, Kabupaten Tegal berbatasan dengan Kotamadya Tegal, kemudian pada bagian selatan dan barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes, dan bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Pemalang. Pusat pemerintahan Kabupaten Tegal terletak di Kota Slawi, yaitu terletak ± 16 km ke arah selatan dari Kota Tegal. Kabupaten Tegal memiliki luas 879.79 km² dengan jumlah penduduk 1 394 839 jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Secara administratif, Kabupaten Tegal terbagi atas 18 kecamatan, 6 kelurahan dan 281 desa. Wilayah Kabupaten Tegal terletak pada ketinggian antara 11 meter hingga 949 meter di atas permukaan laut. Keadaan iklim di Kabupaten Tegal jika dilihat dari suhu yaitu berkisar dari 26.6 ºC hingga 27.6 ºC, dengan kelembapan udara sekitar 74 – 96 persen. Kabupaten Tegal mengalami curah hujan yang berfluktuatif dengan curah hujan tertinggi yaitu mencapai 308 mm/tahun dan curah hujan terendah yaitu 152.80 mm/tahun.
25 Keadaan Umum Perikanan Kabupaten Tegal memiliki area yang potensial dalam budidaya perikanan. Area berpotensi yang dimiliki Kabupaten Tegal pada tahun 2013 adalah seluas 443.947 ha, luasan tersebut meliputi areal kolam air tawar sebesar 5.927 ha dan tambak seluas 438.02 ha yang terdapat di 18 kecamatan. Produksi budidaya perikanan di Kabupaten Tegal cenderung meningkat, terutama pada budidaya kolam air tawar. Terlihat pada Tabel 1 bahwa produksi pada budidaya kolam air tawar cenderung meningkat, dengan produksi tertinggi sebesar 1 017 496 kg terjadi pada tahun 2013. Jumlah produksi tersebut meliputi beberapa produksi ikan antara lain ikan lele sebanyak 895 543 kg, ikan nila sebanyak 45 860 kg, ikan tawes sebanyak 1 000 kg, ikan gurame sebanyak 48 453 kg, ikan mas sebanyak 15 150 kg, ikan bawal sebanyak 10 890 kg dan ikan patin sebanyak 600 kg. Ikan lele merupakan komoditas yang paling tinggi produksinya, sehingga ikan lele menjadi komoditas utama pada budidaya kolam air tawar di Kabupaten Tegal. Terdapat 3 sentra pada budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal, yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rata – rata produksi lele sangkuriang tiap kecamatan di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013 No Kecamatan Luas Kolam Produksi (m²/th) (kg/th) 1 Suradadi 2 206.20 7 367.00 2 Kramat 5 745.80 26 150.80 3 Tarub 11 820.20 47 585.40 4 Talang 904.60 18 651.80 5 Adiwerna 2 665.80 14 540.40 6 Pangkah 9 224.40 41 977.00 7 Dukuhwaru 895.40 2 626.60 8 Slawi 1 227.40 6 028.40 9 Balapulang 2 459.60 5 474.60 10 Bojong 4 758.30 6 210.00 11 Bumijawa 2 649.72 10 072.00 12 Lebaksiu 3 642.10 21 020.60 13 Margasari 3 104.00 12 545.00 14 Dukuhturi 2 253.00 13 396.20 15 Ked. Banteng 2 494.40 11 199.00 16 Pagerbarang 2 196.40 20 212.60 17 Warurejo 1 837.20 17 106.00 18 Jatinegara 253.60 1 500.20 Jumlah 60 338.12 283 663.60 Sumber : Buku Statistik Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal (diolah)
26 Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata – rata produksi tertinggi lele sangkuriang di Kabupaten Tegal terdapat pada Kecamatan Tarub, dengan rata – rata produksi sebesar 47 585.40 kg/tahun. Kecamatan Pangkah memiliki rata – rata produksi lele sangkuriang terbesar kedua yaitu sebesar 41 977.00 kg/tahun, dan terbesar ketiga terdapat pada Kecamatan Kramat dengan rata – rata produksi sebesar 26 150.80 kg/tahun. Begitu juga dengan luas kolam yang dimiliki oleh 3 kecamatan tersebut yang lebih luas dibanding dengan kecamatan lain, dengan luas masing – masing yaitu Kecamatan Tarub sebesar 11 820.20 m²/tahun; Kecamatan Pangkah sebesar 9 224.40 m²/tahun; Kecamatan Kramat 5 745.80 m²/tahun. Dari pertimbangan tersebut maka 3 kecamatan tersebut dapat dijadikan sentra budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Pada ketiga kecamatan ini dilakukan penelitian untuk mengetahui saluran tataniaga yang efisien pada masing – masing kecamatan, hal tersebut karena pada masing - masing kecamatan memiliki sistem pemasaran tersendiri. Pada setiap kecamatan ini juga memiliki tujuan yang berbeda di Kabupaten Tegal. Pada Kecamatan Tarub memasarkan komoditas di Pasar Pagongan, Kecamatan Pangkah memasarkan komoditas di Pasar Balamoa dan Kecamatan Kramat memasarkan komoditas di Pasar Suradadi.
Karakteristik Pembudidaya Responden Pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 21 orang yang terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Tarub terdapat 5 orang, Kecamatan Pangkah terdapat 10 orang dan Kecamatan Kramat terdapat 6 orang. Karakteristik dari setiap pembudidaya berbeda – beda, hal tersebut dapat dilihat dari usia, tingkat pendidikan terakhir, lama pengalaman budidaya, dan luas kolam. Karakteristik ini dapat mempengaruhi pembudidaya dalam mengambil setiap keputusan. Usia Pembudidaya Responden Usia dapat mempengaruhi kemampuan dan prestasi kerja seseorang, baik dari segi fisik maupun mental. Pada penelitian ini usia responden yang didapat bervariasi mulai dari usia 32 hingga 65 tahun. Pembudidaya responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 kelompok usia, yaitu usia antara 25 hingga 34 tahun, usia antara 35 hingga 44 tahun, usia antara 45 hingga 54 tahun dan usia lebih dari 55 tahun. Jumlah pembudidaya responden yang masuk pada tiap kelompok usia tersbut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi usia pembudidaya responden Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) 25 – 34 3 35 – 44 11 45 – 54 4 ≥ 55 3 Total 21
Persentase (%) 14.29 52.38 19.05 14.29 100.00
27 Pada Tabel 6 menunjukan bahwa, jumlah pembudidaya terbanyak terdapat pada rentang usia 35 – 44 tahun yaitu terdapat 11 orang (52.38 persen). Pembudidaya responden lele sangkuriang di Kabupaten Tegal sebagian besar adalah pembudidaya dengan usia cukup produktif, sehingga mereka lebih bersemangat dalam hal memasarkan dari hasil panen kepada lembaga tataniaga berikutnya. Tingkat Pendidikan Terakhir Pembudidaya Responden Tingkat pendidikan terakhir dapat mempengaruhi pada pengambilan keputusan dalam suatu usaha budidaya. Semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir maka diharapkan akan semakin rasional dan lebih memperhitungkan atas dampak yang dihasilkan dari setiap pengambilan keputusan. Tabel 7. Tingkat pendidikan terakhir pembudidaya responden Tingkat pendidikan terakhir Jumlah (orang ) Tidak sekolah 1 SD 3 SLTP/sederajat 7 SLTA/sederajat 8 Sarjana 2 Total 21
Persentase (%) 4.76 14.29 33.33 38.10 9.52 100
Pada Tabel 7 menunjukan bahwa tingkat pendidikan terakhir terbanyak adalah SLTA / sederajat dengan jumlah 8 orang (38.10 persen). Sehingga hal ini dapat disimpulkan bahwa kebanyakan pembudidaya lele sangkuriang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Hal ini dapat memberikan dampak yang baik dalam hal pemasaran karena pembudidaya lebih berpikiran terbuka dalam transfer informasi baik berupa informasi teknis budidaya maupun informasi pemasaran, karena pembudidaya rata - rata tidak buta huruf. Pengalaman Budidaya Pengalaman budidaya menjadi penting, karena dengan adanya pengalaman maka pembudidaya mengalami pembelajaran dari setiap hasil yang diperoleh, sehingga semakin lama pengalaman budidaya maka diharapakan hasil yang diperoleh semakin baik. Pengalaman budidaya pada pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berkisar antara 1 – 16 tahun, dan dengan pengalaman budidaya rata – rata selama 5 tahun . Tabel 8. Pengalaman budidaya lele sangkuriang Pengalaman budidaya (tahun) Jumlah (orang) ≤5 15 ˃5 6 Total 21
Persentase (%) 71.43 28.57 100
Pada tabel 8 menunjukan bahwa pembudidaya sebanyak 15 orang atau 71.43 persen memiliki pengalaman di bawah atau sama dengan 5 tahun, dan sisanya pembudidaya sebanyak 6 orang atau 28.57 persen memiliki pengalaman
28 lebih lama dari 5 tahun. Dapat disimpulkan bahwa kebanyakan pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal merupakan pemain baru dalam usaha budidaya lele sangkuriang, sehingga diharapkan pembudidaya tersebut lebih giat lagi dalam mencari informasi baik mengenai teknis budidaya maupun pemasaran komoditas, yang berguna bagi kemajuan usaha budidaya lele sangkuriang. Begitu juga dengan pembudidaya dengan pengalaman lebih dari 5 tahun, diharapkan berkenan untuk bertukar ilmu dan informasi kepada pembudidaya baru, sehingga tercipta suasana dinamis antar pembudidaya dan dapat memajukan usaha budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Luas Kolam Budidaya Luas kolam berhubungan langsung dengan skala usaha, hal ini karena luas kolam merupakan salah satu parameter dalam menentukan skala usaha (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan R.I. nomor PER.05/MEN/2009). Parameter luas kolam dalam menentukan skala usaha terbagi menjadi 3 kategori, yaitu kolam dengan luas kurang dari 1 000 m² termasuk dalam usaha pembudidayaan ikan skala mikro, kemudian kolam dengan luas antara 1 000 – 5 000 m² termasuk dalam usaha pembudidayaan ikan skala kecil, dan kolam dengan luas 5 000 – 10 000 m² termasuk dalam usaha pembudidayaan ikan skala menengah. Luas kolam yang dimiliki oleh pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berkisar antara 24 m² hingga 7 000 m². Tabel 9. Luas kolam budidaya lele sangkuriang Luas kolam (m²) Jumlah (orang ) < 1 000 19 1 000 – 5 000 1 5 000- 10 000 1 Total 21
Persentase (%) 90.48 4.76 4.76 100
Pada Tabel 9 menunjukan bahwa kolam dengan luas kurang dari 1 000 m² paling banyak yang dimiliki oleh pembudidaya yaitu dengan jumlah 19 orang (90.48 persen). Hanya 1 orang yang memiliki kolam dengan luas antara 1 000 – 5 000 m². Begitu juga dengan kolam dengan luas antara 5 000 – 10 000 m² hanya dimiliki oleh 1 orang. Pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal kebanyakan memiliki kolam dengan luas kurang dari 1 000 m² atau dapat dikatakan bahwa memiliki usaha pembudidayaan ikan skala mikro. Pembudidaya dengan usaha skala mikro cenderung memiliki posisi tawar yang lemah, maka dari itu diharapkan pembudidaya lele sangkurang di Kabupaten Tegal tergabung dalam kelompok pembudidaya ikan agar dapat saling bertukar pengalaman dan informasi sehingga tercipta suatu posisi tawar yang kuat.
Karakteristik Pedagang Responden Pedagang merupakan suatu pihak yang melakukan aktivitas jual beli dalam menyalurkan produk dari produsen hingga sampai ke konsumen. Dalam penelitian ini, pedagang terbagi menjadi 3 kategori yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan dan pedagang pengecer. Masing – masing
29 pedagang mempunyai aktivitas yang berbeda. Pedagang pengumpul desa melakukan aktivitas secara rutin dengan membeli produk langsung kepada produsen (pembudidaya) kemudian menjualnya kembali kepada pedagang pengumpul kecamatan atau pedagang pengecer. Pedagang pengumpul desa rutin datang kepada pembudidaya untuk membeli pasokan lele sangkuriang, dan biasanya mereka datang kepada pembudidaya lebih dari satu orang karena untuk mencukupi pasokan yang mereka jual setiap hari. Berbeda dengan pedagang pengumpul kecamatan, mereka melakukan aktivitas dengan membeli produk dari pedagang pengumpul desa atau terkadang membeli dari pembudidaya dengan volume yang besar dan menjualnya kepada pedagang pengecer atau ke konsumen akhir. Perbedaan juga terdapat pada wilayah pembelian, pedagang pengumpul desa memiliki cangkupan wilayah tingkat desa, sedangkan pedagang pengumpul kecamatan memiliki cangkupan wilayah tingkat kecamatan. Pedagang pengecer melakukan kegiatan dengan membeli produk dari pedagang pengumpul kecamatan atau pedagang pengumpul desa untuk menjual kepada konsumen akhir, biasanya mereka menyediakan produk dengan jumlah yang relatif sedikit. Pada penelitian ini terdapat 12 orang pedagang responden. Jumlah tersebut terbagi di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tarub terdapat 5 orang, Kecamatan Pangkah terdapat 4 orang dan Kecamatan Kramat terdapat 3 orang. Jenis pedagang menurut kategorinya pada tiap kecamatan juga berbeda jumlahnya, pada Kecamatan Tarub terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 2 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Pada Kecamatan Pangkah terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 1 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Sedangkan pada Kecamatan Tarub terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 1 orang pedagang pengumpul desa dan 1 orang pedagang pengecer. Masing – masing pedagang memiliki karakteristik berbeda yang akan mempengaruhi pedagang dalam mengambil sebuah keputusan. Perbedaan karakteristik ini meliputi usia, tingkat pendidikan terakhir, pengalaman berdagang, dan volume penjualan. Usia Pedagang Responden Pedagang lele sangkuriang di Kabupaten Tegal yang menjadi responden pada penelitian ini memiliki usia yang cukup bervariasi. Usia pedagang responden berkisar antara usia 32 hingga 54 tahun. Usia yang bervariasi tersebut dibagi menjadi 3 kelompok umur, yaitu kelompok umur 25 hingga 34 tahun, kelompok umur 35 hingga 44 tahun, dan kelompok umur 45 hingga 54 tahun. Jumlah pedagang responden yang terlibat pada tiap kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Distribusi usia pedagang responden Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) 25-34 1 35-44 7 45-54 4 Total 12
Persentase (%) 8.33 59.33 33.33 100
Pada Tabel 10 menunjukan bahwa usia pedagang responden terbanyak terdapat pada usia antara 35 – 44 tahun yaitu sebanyak 7 orang (59.33 persen).
30 Pada usia antara 25 – 34 tahun hanya terdapat 1 orang pedagang (8.33 persen), namun pedagang dengan usia antara 45 – 54 tahun terdapat 4 orang pedagang (33.33 persen). Kebanyakan pedagang respoden memiliki umur produktif, terutama pada umur antara 35 – 44 tahun. Dalam usia yang masih produktif tersebut akan menguntungkan, karena pedagang masih memiliki fisik prima sehingga akan memudahkan dalam melakukan aktivitas pemasaran dan pertukaran informasi mengenai pemasaran lele sangkuriang. Selain itu pada usia produktif tersebut, pedagang responden masih memiliki banyak kesempatan dalam hal usaha pemasaran lele sangkuriang. Tingkat Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan terakhir pedagang lele sangkuriang di Kabupaten Tegal pada umumnya sudah cukup tinggi. Dapat dilihat pada Tabel 11 yang menunjukan bahwa pada tingkatan SLTA / sederajat dan SLTP / sederajat masing – masing terdapat jumlah pedagang responden yang sama yaitu 4 orang (33.33 persen) Kemudian pada tingkat pendidikan SD terdapat 2 orang (20 persen), dan tingkat sarjana terdapat 1 orang (10 persen). Dengan banyaknya pedagang yang sudah berpendidikan maka akan memudahkan pedagang dalam hal pertukaran informasi mengenai pemasaran lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Tabel 11. Tingkat pendidikan terakhir pedagang responden Tingkat pendidikan terakhir Jumlah (orang ) SD 3 SLTP/ sederajat 4 SLTA/ sederajat 4 Sarjana 1 Total 12
Persentase (%) 25.00 33.33 33.33 8.33 100
Pengalaman Berdagang Semakin lama pengalaman dalam berdagang, maka pedagang akan semakin mengetahui keputusan yang harus diambil untuk mencapai kemajuan usaha. Selain itu, pedagang dengan pengalaman berdagang yang lama akan memiliki koneksi yang kuat dengan pedagang lainnya sebagai rekan kerja, sehingga pedagang tidak bingung lagi untuk memasarkan komoditasnya. Pada penelitian ini didapat pedagang responden yang memiliki pengalaman berdagang antara 3 hingga 16 tahun, dengan rata – rata selama 6 tahun. Untuk memudahkan dalam pengelompokan, maka penulis mengelompokan pengalaman berdagang dengan lama berdagang dibawah atau sama dengan 6 tahun (rata – rata lama berdagang) dan lama berdagang diatas 6 tahun. Tabel 12. Pengalaman berdagang pedagang responden Pengalaman berdagang (tahun) Jumlah (orang) ≤6 7 ˃6 5 Total 12
Persentase(%) 58.33 41.67 100
31 Pada tabel 12 menunjukan bahwa jumlah pedagang terbanyak adalah pedagang dengan pengalaman berdagang kurang atau sama dengan 6 tahun, yaitu sebanyak 7 orang (58.33 persen). Untuk pedagang yang memiliki pengalaman berdagang diatas 6 tahun terdapat 5 orang (41.67 persen). Hal ini menunjukan bahwa kebanyak pedagang lele sangkuriang di Kabupaten Tegal merupakan pedagang yang relatif baru dalam memulai membuka usaha. Volume Penjualan Volume penjualan merupakan sejumlah satuan ukuran (berat) yang tersedia untuk dijual oleh pedagang per hari. Besarnya volume antara pedagang satu dengan pedagang lainnya cenderung berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh klasifikasi pedagang yang mereka jalankan. Pada umumnya pedagang pengumpul kecamatan memiliki volume yang lebih besar dalam menjualkan produknya dibandingkan dengan pedagang pengumpul desa maupun pedagang pengecer. Pada pengamatan dilapangan, pedagang membeli pasokan langsung dari pembudidaya sesuai dengan jumlah yang biasa mereka pasarkan. Pedagang tidak mau mengambil risiko mengenai komoditas yang tidak habis terjual semua apabila membeli pasokan melebihi dari volume penjualan biasanya. Pedagang membeli pasokan komoditas langsung dari pembudidaya dan kemudian menjual komoditas kembali keesokan harinya. Tabel 13. Volume penjualan pedagang responden Volume penjualan (kg) Jumlah (orang) 10 – 49 5 50 – 99 4 ≥ 100 3 Total 12
Persentase (persentase) 41.67 33.33 25 100
Menurut hasil pengamatan pada Tabel 13 menunjukan bahwa terdapat 5 orang pedagang (41.67 persen) yang memiliki volume penjualan antara 10 – 49 kg. Kemudian terdapat 4 orang pedagang (33.33 persen) yang volume penjualan antara 50 – 99 kg. Dan terdapat 3 orang pedagang (25 persen) yang menjual produk dengan berat lebih atau sama dengan 100 kg. Perbedaan volume penjualan juga memperngaruhi keputusan yang akan diambil oleh masing - masing pedagang. Semakin besar volume penjualan akan membutuhkan lebih banyak pertimbangan, pertimbangan tersebut meliputi persiapan penampungan sementara yang digunakan apabila komoditas lele sangkuriang tidak habis terjual dalam sehari, Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko dalam pemasaran seperti kematian dan penyusutan pada lele sangkuriang.
Analisis Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran tataniaga merupakan suatu alur proses kegiatan yang bertujuan untuk menyampaikan produk pertanian primer dari produsen (pembudidaya) hingga sampai ke tangan konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga. Lembaga – lembaga tataniaga ini saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain.
32
Komoditas lele sangkuriang di Kabupaten Tegal seluruhnya didistribusikan hanya di dalam daerah Kabupaten Tegal saja. Hal ini karena jumlah produksi lele sangkuriang di Kabupaten Tegal hanya mencukupi permintaan dalam daerah saja. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada 3 kecamatan di Kabupaten Tegal, yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Pada penelitian ini, analisis dilakukan pada masing – masing kecamatan sehingga didapat saluran tataniaga yang paling efisien pada tiap kecamatan, hal ini dilakukan karena masing – masing kecamatan memiliki sistem tataniaga yang berbeda, baik dari lembaga tataniaga maupun tujuan pasar pada saat pemasaran. Selain itu, menganalisis pada masing – masing kecamatan akan menghasilkan informasi yang lebih akurat dan sesuai dengan kondisi pada masing – masing kecamatan. Kecamatan Tarub Kecamatan Tarub merupakan salah satu sentra budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Menurut data, Kecamatan Tarub memiliki jumlah rata – rata produksi lele sangkuriang tertinggi dibanding dengan kecamatan lain di Kabupaten Tegal. Data yang terdapat pada Tabel 5 menyatakan bahwa Kecamatan Tarub memiliki rata – rata luas kolam sebesar 11 820.20 m²/th, yang mampu menghasilkan lele sangkuriang sebanyak 47 585.40 kg/th. Aktivitas pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Tarub ini dilakukan oleh beberapa lembaga tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer. Pembudidaya yang menjadi reponden pada kecamatan ini adalah 5 orang. Sedangkan untuk pedagang responden terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 2 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Masing – masing lembaga tataniaga ini memasarkan lele sangkuriang dalam jumlah yang berbeda. Pada pedagang pengumpul kecamatan biasanya per hari mampu menjual lele sangkuriang seberat 200 kilogram, kemudian pada pedagang pengumpul desa per hari menjual lele sangkuriang seberat 50 – 60 kilogram, dan pedagang pengecer per hari menjual seberat 30 kilogram. Pembudidaya biasanya tidak menjual komoditasnya langsung kepada konsumen akhir, hal ini karena jauhnya lokasi pembudidaya dari pusat perdagangan sehingga konsumen akhir enggan untuk membeli langsung kepada pembudidaya. Selain itu karena keterbatasan modal, pembudidaya tidak dapat menjual komoditas di pusat perdagangan. Maka dari itu peran lembaga tataniaga menjadi penting dalam hal mendistribusikan komoditas hingga konsumen akhir. Dalam mendistribusikan komoditas, lembaga - lembaga tataniaga ini memiliki beberapa saluran tataniaga. Adapun saluran tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
33
Pedagang Pengumpul Desa
Pedagang Pengumpul Kecamatan
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Saluran I = 4215.5 kg (39.99 %)
Pembudidaya
Pedagang Pengumpul Kecamatan
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Saluran II = 5854.5 kg (55.54 %) Pedagang Pengumpul Desa
Konsumen Akhir
Saluran III = 472 kg (4.48 %) Gambar 3. Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Tarub Gambar 3 menunjukan beberapa saluran tataniaga lele sangkuriang yang terdapat di Kecamatan Tarub, antara lain : : Pembudidaya → Pedagang pengumpul desa → Saluran tataniaga I Pedagang pengumpul kecamatan → Pedagang pengecer → Konsumen akhir. Saluran tataniaga II : Pembudidaya → Pedagang pengumpul kecamatan → Pedagang pengecer → Konsumen akhir. Saluran tataniaga III : Pembudidaya → Pedagang pengumpul desa → Konsumen akhir. Dari 3 saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Tarub, saluran tataniaga I merupakan saluran yang terpanjang diantara saluran tataniaga lainnya karena melibat lembaga tataniaga terbanyak yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Berbeda dengan saluran tataniaga II yang melibatkan 4 lembaga tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Sedangkan saluran tataniaga III merupakan saluran tataniaga terpendek dengan hanya melibatkan 3 lembaga tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa dan konsumen akhir. Pada Gambar 3 juga ditunjukan bahwa saluran I dapat mendistribusikan lele sangkuriang sebanyak 4 215.5 kilogram (39.99 persen), sedangkan saluran II mendistribusikan sebanyak 5 854.5 kilogram (55.54 persen) dan saluran III mendistribusikan sebanyak 472 kilogram (4.48 persen). Jumlah distribusi pada tiap saluran tataniaga ini merupakan jumlah komoditas yang dipanen dan kemudian disalurkan oleh pembudidaya responden atau dapat dikatakan sebagai market share tiap saluran tataniaga.
34 Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga I merupakan saluran yang terpanjang dalam tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub, karena saluran ini melibatkan jumlah lembaga tataniaga terbanyak, yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Pedagang pengumpul desa merupakan pihak yang membeli produk langsung dari pembudidaya dan disalurkan kepada lembaga tataniaga berikutnya. Pedagang ini memiliki tugas untuk membeli produk dari beberapa pembudidaya pada suatu desa. Berbeda dengan pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan membeli produk dari beberapa pedagang pengumpul desa, namun dapat juga membeli produk dari pembudidaya langsung karena untuk mencukpi volume produk yang akan dijual. Pedagang pengumpul kecamatan juga memiliki jumlah penguasaan barang lebih besar daripada pedagang pengumpul desa dan memiliki wilayah pembelian produk pada tingkat kecamatan, sedangkan pedagang pengumpul desa hanya pada tingkat desa. Saluran tataniaga I memiliki market share sebesar 4 215.5 kilogram (39.99 persen), nilai ini cukup besar karena pembudidaya responden yang terdapat pada saluran tataniaga I memiliki usaha pembudidaya ikan skala kecil yang memiliki kolam dengan luas 3300 m². Saluran Tataniaga I dimulai dari pembudidaya yang membudidayakan lele sangkuriang, setelah melakukan panen pembudidaya responden yang terlibat pada saluran tataniaga I menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa. Sebelum melakukan panen, pembudidaya memberi informasi kepada pedagang pengumpul desa mengenai lele sangkuriang yang siap panen. Kemudian pedagang pengumpul desa akan datang ke pembudidaya untuk membeli hasil panen dari pembudidaya. Pedagang pengumpul desa biasanya hanya membeli hasil panen sesuai dengan jumlah yang mereka jual sehari – hari atau dengan kata lain pedagang pengumpul desa tidak membeli semua hasil penen yang ada di kolam pembudidaya. Hal ini karena pedagang pengumpul desa tidak mau mengambil risiko bahwa komoditas yang mereka jual tidak langsung habis karena akan terjadi penyustan, jika membeli hasil panen terlalu banyak. Pembudidaya responden yang menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul desa tidak mengeluarkan biaya transportasi, hal ini karena pedagang pengumpul desa yang langsung datang kepada pembudidaya dan mengangkut hasil panen sendiri menggunakan motor yang telah diberi bak. Namun apabila pedagang pengumpul desa berhalangan untuk mengambil hasil panen, ada pembudidaya yang rela mengantar hasil panen tersebut ke tempat pedagang pengumpul desa dan setelah itu pedagang pengumpul desa mengganti biaya transport yang dikeluarkan oleh pembudidaya. Hal ini hanya dilakukan pembudidaya apabila pedagang pengumpul desa berlangganan sejak lama. Pedagang pengumpul desa pada saluran I biasanya membeli hasil panen lele sangkuriang sebanyak 60 kilogram per hari untuk dijual kembali. Lele sangkuriang yang telah dibeli oleh pedagang pengumpul desa kemudian dijual kembali kepada pedagang pengumpul kecamatan, hal ini dilakukan oleh pedagang pengumpul desa sudah cukup lama karena pedagang pengumpul desa mendapatkan kepastian komoditas yang didagangkan selalu laku dan cepat terjual. Begitu juga dengan pedagang pengumpul kecamatan yang mau membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa karena pedagang pengumpul
35 kecamatan memerlukan pasokan komoditas yang banyak untuk mencukupi permintaan di pasar. Pedagang pengumpul kecamatan menyediakan komoditas sebanyak 200 kilogram per hari. Setelah membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa, kemudian pedagang pengumpul kecamatan menjual kepada pedagang pengecer. Pedagang pengecer ini sudah lama berlangganan untuk membeli pasokan dari pedagang pengumpul kecamatan. Biasanya setiap pagi pedagang pengumpul kecamatan mengantarkan komoditas kepada pedagang pengecer di pasar dimana mereka berjualan. Setelah itu pedagang pengecer menjual kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer membeli lele sangkuriang seberat 30 kg per hari, kemudian dijual di lapak pasar yang mereka sewa. Setiap hari pedagang pengecer menjual dari pukul 5 pagi hingga pukul 2 siang, namun apabila lele laku sudah habis terjual sebelum pukul 2 siang, pedagang pengecer dapat pulang lebih awal. Pada awalnya lele sangkuriang yang dijual oleh pedagang pengecer masih dalam keadaan hidup, namun setelah adanya transaksi dengan konsumen, kemudian lele sangkuriang tersebut dimatikan dan dibersihkan bagian dalam yang tidak terpakai, hal ini dilakukan agar lele sangkuriang yang dibeli masih dalam keadaan segar. Saluran Tataniaga II Lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga II antara lain pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen. Dari 5 orang pembudidaya reponden, terdapat 1 orang atau 20 persen yang terlibat pada saluran tataniaga II. Pembudidaya yang terlibat dalam saluran tataniaga II mampu menghasilkan lele sangkuriang dan menjualnya sebanyak 5 854.5 kilogram atau dengan market share sebesar 55.54 persen. Nilai ini paling besar diantara 2 saluran lainnya, hal ini karena pada saluran II terdapat pembudidaya respoden dengan usaha pembudidaya ikan skala menengah yaitu dengan luas kolam 7000 m². Pada saluran ini pembudidaya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul kecamatan, berbeda dengan saluran I yang menjualnya kepada pedagang pengumpul desa terlebih dahulu. Pembudidaya menjual komoditas dalam keadaan hidup dan pedagang pengumpul kecamatan membeli hanya dengan jumlah sesuai dengan yang biasa dijual sehari – hari yaitu 200 kilogram. Pembudidaya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul kecamatan karena pembudidaya tidak perlu repot untuk memasarkan hasil panennya sehingga tidak mengeluarkan biaya pengangkutan. Setelah membeli komoditas dari pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan kemudian mengangkut dan membawa ke kolam penampungan miliknya, dan kemudian keesokan harinya pedagang pengumpul kecamatan mengantar komoditas ke tempat pedagang pengecer berjualan. Pedagang pengecer tidak memiliki kolam penampung, sehingga pedagang pengecer hanya membeli lele sangkuriang dalam keadaan hidup tepat sebelum mereka berjualan, dan biasanya komoditas laku terjual semua pada hari yang sama. Hal ini dilakukan pedagang pengecer untuk mengurangi biaya dari penyimpanan dan juga mengurangi penanggungan risiko akibat ikan yang menjadi susut saat dijual. Pedagang pengecer berjualan di pasar dengan pembelinya adalah konsumen akhir. Konsumen akhir pada saluran ini kebanyakan adalah ibu rumah tangga untuk konsumsi pribadi.
36 Saluran Tataniaga III Saluran tataniaga III merupakan saluran yang terpendek dari 3 saluran yang ada. Saluran ini melibatkan 3 lembaga tataniaga, diantaranya pembudidaya, pedagang pengumpul desa dan konsumen akhir. Jumlah responden pembudidaya yang terlibat pada pola saluran tataniaga III ini adalah sebanyak 3 orang dari total 5 orang pembudidaya reponden atau 60 persen. Pembudidaya pada pola saluran tataniaga III dapat menghasilkan lele sangkuriang dan disalurkan sebanyak 472 kilogram atau market share dengan nilai 4.48 persen. Walaupun pada saluran tataniaga III ini terdapat lebih banyak pembudidaya responden daripada saluran tataniaga I dan II, namun hasil market share tergolong kecil. Hal ini karena pada saluran tataniaga III, pembudidaya reponden yang terlibat merupakan pembudidaya dengan usaha pembudidaya ikan skala mikro, dengan luas kolam hanya antara 30 hingga 132 m². Berbeda dengan saluran tataniaga sebelumnya, pada saluran ini pedagang pengumpul desa bertindak untuk memasarkan komoditas langsung kepada konsumen akhir. Hal ini karena pedagang pengumpul desa memiliki lapak untuk berjualan langsung di pasar. Seperti pola saluran tataniaga sebelumnya, pembudidaya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa yang bersedia datang ke kolam pembudidaya untuk membeli hasil panen sesuai dengan jumlah yang mereka jual dan mengangkut hasil panen. Pedagang pengumpul desa membeli hasil panen dari pembudidaya dalam keadaan hidup dan pedagang pengumpul desa membayarnya secara tunai. Setelah membeli komoditas dari pembudidaya, kemudian pedagang pengumpul desa mengangkutnya ke rumah dan menyimpan lele sangkuriang di tempat penampungan. Keesokan harinya, pedagang pengumpul desa melakukan kegiatan berjualan di pasar dengan pembelinya adalah konsumen akhir yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi pribadi. Kecamatan Pangkah Kecamatan Pangkah memiliki luas kolam rata – rata sebesar 9 224.40 m²/th dan produksi rata - rata lele sangkuriang sebanyak 41 977.00 kg/th sehingga kecamatan ini merupakan kecamatan dengan produksi terbesar kedua untuk penghasil lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Pada pengamatan ini, Kecamatan Pangkah terdapat 10 orang pembudidaya responden yang dapat menghasilkan lele sangkuriang untuk sekali panen sebanyak 2 203.25 kilogram. Kemudian untuk pedagang reponden terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 1 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Pada pengamatan, pedagang pengumpul kecamatan menjual lele sangkuriang sebanyak 200 kilogram per hari, kemudian pedagang pengumpul desa menjual sebanyak 60 kilogram per hari dan pedagang pengecer 20 - 30 kilogram per hari. Dari beberapa lembaga tataniaga tersebut terbentuk menjadi 2 saluran tataniaga dalam melakukan aktivitas pemasaran. Adapun saluran tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
37
Pedagang Pengumpul Desa
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Saluran I = 841.25 kg (38.18 %) Pembudidaya Pedagang Pengumpul Kecamatan
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Saluran II = 1362 kg (61.82 %) Gambar 4. Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Pangkah Pada Gambar 4 menunjukan bahwa terdapat 2 saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Pangkah, yaitu : Saluran tataniaga I : Pembudidaya → Pedagang pengumpul desa → Pedagang pengecer → Konsumen akhir. Saluran tataniaga II : Pembudidaya → Pedagang pengumpul kecamatan → Pedagang pengecer → Konsumen akhir. Kedua saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Pangkah ini terlihat mirip karena memiliki jumlah lembaga tataniaga yang sama pada setiap saluran tataniaga yaitu 4 lembaga tataniaga. Namun yang berbeda adalah jenis lembaga tataniaga yang terlibat. Pada saluran I terdapat pedagang pengumpul desa yang membeli komoditas lele sangkuriang langsung dari pembudidaya, tapi pada saluran II terdapat pedagang pengumpul kecamatan yang membeli komoditas lele sangkuriang langsung dari pembudidaya. Selain itu, perbedaan juga terlihat dari jumlah komoditas yang dapat disalurkan. Pada saluran tataniaga I menyalurkan komoditas sebanyak 841.25 kilogram atau market share sebesar 38.18 persen., sedangkan pada saluran tataniaga II menyalurkan komoditas sebanyak 1 362 kilogram atau market share sebesar 61.82 persen. Saluran Tataniaga I Lembaga tataniaga pada Kecamatan Pangkah yang terlibat pada saluran tataniaga I adalah pembudidaya, pedagang pengumpul desa, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Pada pola saluran tataniaga I ini jumlah pembudidaya reponden yang terlibat berjumlah 4 orang dari 10 responden pembudidaya atau 40 persen. Kemudian untuk pedagang reponden yang terlibat pada saluran tataniaga I berjumlah 2 orang yang terbagi menjadi 1 orang pedagang pengumpul desa dan 1 orang pedagang pengecer. Berdasarkan pengamatan, jumlah lele sangkuriang yang didistribusikan pada saluran tataniaga I sebanyak 841.25 kilogram atau market share sebesar 38.18 persen.
38 Proses penyaluran komoditas dalam saluran tataniaga I dimulai dari pembudidaya yang melakukan panen lele sangkuriang, kemudian pembudidaya menghubungi pedagang pengumpul desa yang telah menjadi pelanggan untuk membeli hasil panen tersebut. Pembudidaya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa dengan harga Rp. 15.000,00 per kilogram. Pedagang pengumpul desa biasanya membeli hasil panen sebanyak dengan jumlah mereka jual kembali yaitu 60 kilogram. Pedagang pengumpul desa melakukan pembayaran secara tunai di tempat pembudidaya, dan kemudian mengangkut komoditas dengan menggunakan motor yang telah diberi bak penampungan. Cara ini lebih efektif karena dengan menggunakan motor dalam pengangkutan, lokasi pembudidaya dapat dengan mudah dijangkau. Setelah mengangkut komoditas sampai ke tempat pedagang pengumpul desa, lele sangkuriang di pindahkan ke kolam penampungan agar menghindari risiko kematian dan penyusutan. Kemudian keesokan harinya, pada dini hari pedagang pengecer datang kepada pedagang pengumpul desa untuk membeli komoditas. Pedagang pengecer ini kemudian menjualkan komoditas di lapak pasar dimana mereka biasa berjualan. Saluran Tataniaga II Lembaga tataniaga yang terlibat pada pola saluran tataniaga II antara lain pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Dari 10 pembudidaya reponden, terdapat 6 orang atau 60 persen yang terlibat pada pola saluran tataniaga II. Pembudidaya responden yang terlibat dalam pola saluran tataniaga II dalam siklus pemeliharaan mampu menghasilkan dan menyalurkan lele sangkuriang sebanyak 1362 kilogram atau market share sebesar 61.82 persen. Pembudidaya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul kecamatan karena pembudidaya tidak perlu repot untuk memasarkan hasil panennya sehingga tidak mengeluarkan biaya pengangkutan. Setelah membeli komoditas dari pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan kemudian mengangkut dan membawa ke kolam penampungan miliknya, dan kemudian keesokan harinya pedagang pengumpul kecamatan menjual komoditas dengan mengantarkan ke tempat pedagang pengecer berjualan. Pedagang pengecer tidak memiliki kolam penampung, sehingga pedagang pengecer hanya ingin membeli lele sangkuriang dalam keadaan hidup tepat sebelum berjualan, dan biasanya laku terjual semua pada hari yang sama. Hal ini dilakukan pedagang pengecer untuk mengurangi biaya dari penyimpanan dan juga mengurangi penanggungan risiko akibat ikan yang menjadi kurang segar saat dijual. Pedagang pengecer berjualan di pasar dengan pembelinya adalah konsumen akhir. Konsumen akhir pada saluran ini kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi pribadi. Kecamatan Kramat Kecamatan Kramat merupakan kecamatan dengan penghasil lele sangkuriang terkecil diantara 3 kecamatan yang dilakukan pengamatan. Kecamatan ini memiliki luas kolam rata – rata sebesar 5 745.80 m²/th dan menghasilkan lele sangkuriang sebanyak 26 150.80 kg/th. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam pengamatan ini berjumlah 6 orang pembudidaya reponden, 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 1 orang pedagang pengumpul desa dan 1 orang pedagang pengecer. Pada pengamatan, pembudidaya reponden
39 menghasilkan 794.75 kg lele sangkuriang. Kemudian pedagang pengumpul kecamatan menyediakan lele sangkuriang sebanyak 150 kg per hari, pedagang pengumpul desa menyediakan sebanyak 50 kg per hari dan pedagang pengecer menyediakan sebanyak 30 kg per hari. Dari beberapa lembaga tataniaga yang terlibat pada kegiatan pemasaran ini, mereka membentuk 2 saluran tataniaga. Adapun saluran tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Pedagang Pengumpul Kecamatan
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Saluran I = 538.5 kg (67.76 %) Pembudidaya
Pedagang Pengumpul Desa
Konsumen Akhir
Saluran II = 256.25 kg (32.24 %) Gambar 5. Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Kramat Pada Gambar 5 menunjukan bahwa terdapat 2 saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Kramat, yaitu : : Pembudidaya → Pedagang pengumpul kecamatan → Saluran tataniaga I Pedagang pengecer → Konsumen akhir. Saluran tataniaga II : Pembudidaya → Pedagang pengumpul desa → Konsumen akhir. Terdapat 2 saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Kramat. Saluran tataniaga I terdapat 4 lembaga tataniaga yang telibat yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Pembudidaya responden pada saluran tataniaga I ini menghasilkan dan mendistribusikan lele sangkuriang sebanyak 538.5 kilogram atau market share dengan nilai 67.76 persen. Pada pengamatan ini terdapat 4 orang pembudidaya responden yang terlibat pada saluran tataniaga I. Sedangkan pada saluran tataniaga II, lembaga tataniaga yang terlibat adalah pembudidaya, pedagang pengumpul desa dan konsumen akhir. Pembudidaya responden pada saluran tataniaga II menghasilkan dan mendistribusikan lele sangkuriang sebanyak 256.26 kilogram atau market share dengan nilai 32.24 persen. Pembudidaya responden yang terlibat dalam saluran tataniaga II berjumlah 2 orang. Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga I merupakan saluran tataniaga yang terdiri dari 4 lembaga, yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Jumlah pembudidaya responden yang terlibat pada pola saluran tataniaga I adalah sebanyak 4 orang dari 6 reponden pembudidaya
40 keseluruhan di Kecamatan Kramat atau 66.67 persen. Pembudidaya responden pada saluran tataniaga I mampu melakukan panen lele sebanyak 538.5 kilogram untuk didistribusikan. Pedagang pengumpul kecamatan datang ke tempat pembudidaya pada waktu panen untuk membeli hasil panen dan mengangkut hasil panen dengan menggunakan motor. Hasil panen tersebut dibayar oleh pedagang pengumpul kecamatan dengan harga Rp. 16.000,00 per kg. Pembayaran dari pembelian hasil panen tersebut dilakukan secara tunai di lokasi pembudidaya. Kemudian setelah membeli komoditas dari pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan menjual komoditas kepada pedagang pengecer yang biasa berjualan di pasar. Komoditas ini dibeli oleh pedagang pengecer dengan cara mendatangi ke rumah pedagang pengumpul kecamatan pada saat sebelum pedagang pengecer berdagang. Pedagang pengumpul kecamatan menerapkan harga jual sebesar Rp. 19.000,00 per kilogram kepada pedagang pengecer. Kemudian setelah membeli dari pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer berjualan di pasar. biasanya mereka berjulan dari jam 5 pagi hingga jam 2 siang. Komoditas yang dijual oleh pedagang pengecer dalam keadaan hidup, hal ini dilakukan agar komoditas yang dibeli konsumen akhir masih dalam keadaan segar. Kemudian setelah terjadi transaksi oleh konsumen akhir, lele sangkuriang dimatikan dan dibersihkan bagian dalam yang tidak dikonsumsi. Harga lele sangkuriang yang ditawarkan oleh pedagang pengecer kepada konsumen akhir adalah Rp. 22.000,00 per kilogram. Saluran Tataniaga II Saluran tataniaga II merupakan saluran yang lebih pendek dari saluran tataniaga I. Saluran ini hanya melibatkan 3 lembaga tataniaga, diantaranya pembudidaya, pedagang pengumpul desa dan konsumen akhir. Jumlah pembudidaya reponden yang terlibat pada pola saluran tataniaga II ini adalah sebanyak 2 orang dari total 6 orang pembudidaya reponden atau 33.33 persen. Pembudidaya pada saluran tataniaga II menghasilkan lele sangkuriang sebanyak 256.25 kilogram. Berbeda dengan saluran tataniaga sebelumnya, pada saluran ini pedagang pengumpul desa bertindak untuk memasarkan komoditas langsung kepada konsumen akhir. Hal ini karena pedagang pengumpul desa memiliki lapak untuk berjualan langsung di pasar. Pembudidaya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa yang bersedia datang ke kolam pembudidaya untuk membeli dan mengangkut hasil panen. Pedagang pengumpul desa membeli hasil panen dari pembudidaya dalam keadaan hidup dan pedagang pengumpul desa membayarnya secara tunai. Setelah membeli komoditas dari pembudidaya, kemudian pedagang pengumpul desa mengangkutnya ke rumah dan menyimpan lele sangkuriang di tempat penampungan. Keesokan harinya, pedagang pengumpul desa melakukan kegiatan berjualan di pasar dengan pembelinya adalah konsumen akhir yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi pribadi.
41 Analisis Fungsi Tataniaga Kecamatan Tarub Fungsi Pertukaran Saluran Tataniaga I Pada pembudidaya, fungsi pertukaran yang dilakukan hanya fungsi penjualan. Fungsi penjualan ini dilakukan pembudidaya dengan menjual hasil panen berupa lele sangkuriang kepada pedagang pengumpul desa. Penjualan ini dilakukan di kolam pembudidaya pada saat panen dan dibayarkan oleh pedagang pengumpul desa secara tunai. Pada saat pengamatan, harga jual dari pembudidaya kepada pedagang pengumpul desa adalah sebesar Rp 15.000,00 per kilogram. Pedagang pengumpul desa pada pola saluran tataniaga I juga melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan dengan membeli komoditas pada pembudidaya saat pembudidaya melakukan panen. Sebelum panen, pedagang pengumpul desa telah dihubungi oleh pembudidaya untuk memberitahu bahwa komoditas telah siap panen dan melakukan perjanjian pembelian. Namun apabila pedagang pengumpul desa mengalami kekurangan pasokan, mereka biasanya yang menghubungi pembudidaya terlebih dahulu, untuk memastikan apakah lele sangkuriang sudah bisa dipanen. Hal ini dilakukan karena banyak pedagang pengumpul desa yang ingin membeli komoditas dari pembudidaya untuk mencukupi permintaan di pasar. Setelah membeli dari pembudidaya, pedagang pengumpul desa pada saluran tataniaga I melakukan fungsi penjualan kepada pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul desa menjual komoditasnya dengan mendatangi kerumah pedagang pengumpul kecamatan dan menjual dengan harga Rp 17.000,00 per kilogram. Pembayaran dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan secara tunai sesuai berat komoditas yang diterima oleh pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan dengan membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa mendatangi ke tempat pedagang pengumpul kecamatan untuk melakukan transaksi. Jumlah total pembelian komoditas oleh pedagang pengumpul kecamatan seberat 200 kilogram per hari. Jumlah total pasokan ini didapat dari membeli komoditas pada beberapa pedagang pengumpul desa. Pembayaran komoditas yang dibeli oleh pedagang pengumpul kecamatan dilakukan dengan cara tunai. Setelah membeli komoditas, pedagang pengumpul kecamatan pada pola saluran tataniaga I ini menjual komoditas kepada pedagang pengecer. Biasanya pedagang pengumpul kecamatan mengantarkan komoditas kepada pedagang pengecer di pasar dimana pedagang pengecer berjualan. Hal ini dilakukan pada saat dini hari sebelum pedagang pengecer berjualan di pasar. Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer kepada pedagang pengumpul kecamatan dilakukan secara tunai ditempat terjadinya transaksi. Harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul kecamatan dalam menjual lele sangkuriang adalah Rp. 20.000,00 per kilogram. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengecer adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengecer dengan cara membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan. Komoditas tersebut diantar oleh pedagang pengumpul kecamatan ke tempat pedagang
42 pengecer menjual komoditas. Pedagang pengecer pada saluran tataniaga I membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan dengan harga Rp. 20.000,00 per kilogram. Setelah melakukan pembelian kemudian pedagang pengecer langsung melakukan penjualan di pasar. Harga yang mereka tawarkan kepada konsumen adalah Rp. 22.000,00 per kilogram dengan ukuran konsumsi yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Dalam sehari pedagang pengecer menjual lele sangkuriang seberat 30 kilogram. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga I Pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik pada saluran tataniaga I, baik fungsi pengangkutan maupun fungsi penyimpanan. Pembudidaya tidak melakukan fungsi pengangkutan karena pada saat transaksi jual beli, pedagang pengumpu desa yang menanggung biaya pengangkutan. Pembudidaya juga tidak melakukan fungsi penyimpanan karena komoditas yang siap panen segera dibeli oleh pedagang pengumpul desa karena minimnya jumlah pasokan lele sangkuriang. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan. Fungsi pengangkutan dilakukan pedagang pengumpul desa dengan melakukan pengangkutan hasil panen dari pembudidaya menuju tempat pedagang pengumpul kecamatan. Hal ini dilakukan hanya dengan mengunakan kendaraan bermotor roda dua dengan sisi kiri dan sisi kanan diberi bak penampungan berupa drum plastik. Setiap drum plastik ini menurut pedagang pengumpul desa mampu menampung komoditas seberat 60 kilogram. Biaya yang dikeluarkan dari fungsi pengangkutan ini adalah biaya pembelian bensin. Dalam sehari pedagang pengumpul desa mengeluarkan 2 liter bensin dalam mengangkut hasil panen. Kendaraan motor beroda dua digunakan pedagang pengumpul desa dengan alasan lebih efisien dan fleksibel, karena hanya digunakan untuk menampung komoditas seberat 60 kilogram, selain itu lebih mudah untuk menjangkau lokasi pembudidaya yang aksesnya susah ditempuh. Fungsi penyimpanan dilakukan pedagang pengumpul desa dengan menggunakan kolam terpal yang terdapat di rumah pedagang pengumpul desa. Fungsi penyimpanan dilakukan apabila pada waktu pengangkutan tidak memungkinkan untuk langsung diantarkan dari kolam pembudidaya ke tempat pedagang pengumpul kecamatan. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan, antara lain fungsi penyimpanan dan fungsi pengangkutan. Fungsi penyimpanan dilakukan pedagang pengumpul kecamatan apabila masih terdapat sisa komoditas yang belum laku terjual, sehingga perlu dilakukan penyimpanan untuk dijual keesokan harinya. Fungsi pengangkutan yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan pada pola saluran tataniaga I adalah mengangkut komoditas ke tempat pedagang pengecer berjualan. Hal ini dilakukan agar lebih efektif karena dalam satu pasar terdapat beberapa pedagang pengecer. Dalam sehari pedagang pengumpul kecamatan menghabiskan bahan bakar sebanyak 1 liter yang digunakan untuk pengangkutan. Pedagang pengecer tidak melakukan fungsi fisik karena komoditas yang dipasarkan sudah diangkut oleh pedagang pengumpul kecamatan dan juga komoditas langsung laku terjual pada tiap harinya sehingga tidak melakukan fungsi penyimpanan.
43 Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga I Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pembudidaya adalah fungsi standarisasi dan fungsi informasi pasar. Pembudidaya melakukan fungsi standarisasi dengan menjual lele sangkuriang sesuai permintaan pasar, yaitu ukuran 8 – 12 per kilogram. Apabila pada saat panen, pembudidaya mendapat lele sangkuriang dengan ukuran tidak sesuai standar maka lele sangkuriang tersebut dikonsumsi sendiri. Fungsi informasi pasar juga dilakukan oleh pembudidaya pada saat akan melakukan panen, yaitu dengan mencari informasi mengenai harga lele sangkuriang di pasar, sehingga pada saat panen pembudidaya dapat menjual komoditas sesuai dengan harga yang berlaku, setelah itu pembudidaya melakukan komunikasi terhadap pedagang pengumpul desa bahwa lele sangkuriang siap panen. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengumpul desa adalah fungsi pembiayaan, fungsi standarisasi, dan fungsi informasi pasar. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengumpul desa dengan menggunakan modal sendiri, hal ini dilakukan dalam membiayai berbagai macam kegiatan yang dilakukan antara lain membeli lele sangkuriang dari pembudidaya, dan membeli bahan bakar yang digunakan dalam pengangkutan. Fungsi standarisasi dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dengan membeli hasil panen dari pembudidaya yang ukurannya merupakan permintaan dari pasar yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi informasi pasar dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dengan saling bertukar informasi pasar terutama informasi mengenai harga. Fungsi informasi ini terjadi antara sesama pedagang pengumpul desa lain atau dengan pembudidaya. Pedagang pengumpul desa juga memberikan informasi kepada pedagang pengumpul kecamatan bahwa pedagang pengumpul desa memiliki komoditas yang siap dijual kepada pedagang pengumpul kecamatan. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan, antara lain fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi, dan fungsi informasi pasar. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan menggunakan modal sendiri yang digunakan dalam melakukan kegiatan pemasaran, antara lain membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa, membeli pakan untuk fungsi penyimpanan di kolam penampungan yang digunakan apabila komoditas tidak habis terjual, pembelian bahan bakar yang digunakan dalam pengangkutan komoditas kepada pedagang pengecer. Fungsi penanggungan risiko dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan apabila terjadi kerugian, seperti kematian dan penyusutan saat dilakukan penyimpanan. Fungsi penangungan risiko ini ditanggung sendiri oleh pedagang pengumpul kecamatan. Fungsi standarisasi dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan dengan melakukan standar ukuran penjualan yaitu sesuai dengan ukuran yang diminta oleh pasar 8 – 12 ekor per kilogram. Hal ini dilakukan pada saat membeli komoditas di pedagang pengumpul desa dan juga pada saat menjual kepada pedagang pengecer. Fungsi informasi pasar dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan dengan bertukar informasi terutama mengenai harga lele sangkuriang di pasar dan memberikan informasi kepada pedagang pengecer mengenai ketersedian komoditas yang siap dijual. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan oleh pedagang pengecer dengan menerapkan standar ukuran yang
44 diminta oleh pasar yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Pada fungsi pembiayaan, pedagang pengecer menggunakan modal sendiri yang digunakan dalam kegiatan pemasaran. Kegiatan tersebut antara lain, membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan, membeli kantong plastik, dan membayar retribusi pasar. Fungsi informasi pasar dilakukan untuk mengetahui harga pasar yang berlaku. Pedagang pengecer ini saling bertukar informasi terhadap sesama pedagang pengecer, khususnya mengenai harga lele sangkuriang. Fungsi Pertukaran Saluran Tataniaga II Pembudidaya hanya melakukan salah satu dari fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan. Pembudidaya melakukan fungsi penjualan dengan menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul kecamatan. Harga yang ditetapkan pembudidaya dalam menjual komoditasnya adalah Rp. 16.000,00 per kilogram. Pada fungsi pertukaran, pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan membeli hasil panen dari pembudidaya lele sangkuriang. Hasil panen tersebut dibeli di tempat pembudidaya dengan membayar secara tunai. Pedagang pengumpul kecamatan membeli hasil panen kepada pembudidaya dengan harga Rp. 16.000,00 per kilogram. Dalam sehari pedagang pengumpul kecamatan pada pola saluran II dapat mengumpulkan 200 kilogram lele sangkuriang yang kemudian dijual keesokan harinya kepada pedagang pengecer. Pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi penjualan kepada pedagang pengecer dengan harga Rp. 19.000,00 per kilogram. Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan oleh pedagang pengecer dengan membeli lele sangkuriang dari pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul kecamatan mengantar komoditas pedagang pengecer yang telah dipesan sebelumnya, pada pagi hari sebelum berjualan di pasar. Pedagang pengecer membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan dengan harga Rp. 19.000,00 per kilogram. Pembelian komoditas itu dibayarkan oleh pedagang pengecer dengan cara tunai. Biasanya pedagang pengecer membeli komoditas sebanyak 30 kilogram untuk dijual kembali setiap harinya. Pada pola saluran tataniaga II ini, responden pedagang pengecer berjualan di pasar dengan harga penjualan Rp. 22.000,00 per kilogram. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga II Pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik karena pembudidaya tidak melakukan fungsi peyimpanan dan pengangkutan, karena hal tesebut dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan adalah fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan. Fungsi pengangkutan yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan adalah mengangkut hasil panen yang dibeli dari pembudidaya ke tempat pedagang pengumpul kecamatan, dan kemudian melakukan fungsi penyimpanan di kolam penampungan dan keesokan harinya pedagang pengumpul kecamatan mengantar komoditas ke tempat pedagang pengecer berjualan. Dalam fungsi pengangkutan pedagang pengumpul kecamatan menghabis bahan bakar sebanyak 2 liter.
45 Pedagang pengecer tidak melakukan fungsi fisik karena komoditas telah diantar oleh pedagang pengumpul kecamatan sehingga tidak melakukan fungsi pengangkutan dan komoditas langsung habis laku terjual sehingga tidak melakukan fungsi penyimpanan. Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga II Pembudidaya melakukan fungsi fasilitas yaitu fungsi standarisasi dan informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pembudidaya dengan menjual lele sesuai dengan pemintaan konsumen yang digunakan untuk ukuran standar yaitu dengan ukuran 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi informasi pasar dilakukan pembudidaya untuk mengetahui harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar, sehingga pada waktu panen pembudidaya tidak salah dalam memberikan harga penjualan dan pembudidaya memberikan informasi kepada pedagang pengumpul kecamatan mengenai ketersedian hasil panen yang siap dijual. Pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi fasilitas yang diantaranya adalah fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan menggunakan standar ukur dalam menjual komoditas sesuai dengan permintaan pasar yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kilogram. Dalam fungsi pembiayaan, pedagang pengumpul kecamatan menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya, sepeti membeli pakan untuk fungsi penyimpanan, membeli lele sangkuriang dari pembudidaya, membeli bahan bakar yang digunakan dalam pengangkutan. Penanggungan risiko dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan memasukan pada beban biaya pemasaran. Pedagang pengumpul kecamatan juga melakukan fungsi informasi pasar, yang dilakukan dengan cara melakukan komunikasi untuk bertukar informasi terutama mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan oleh pedagang pengecer dengan menggunakan standar ukur pada saat membeli dan menjual yaitu dengan ukuran 8 – 12 kg per kilogram. Pedagang pengecer melakukan fungsi pembiayaan dengan mengunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya sebagai pedagang pengecer. Fungsi informasi pasar yang dijalankan pedagang pengecer pasar adalah melakukan komunikasi antara pedagang pengecer untuk saling bertukar informasi khususnya mengenai harga lele sangkuriang di pasar. Fungsi Pertukaran Saluan Tataniaga III Pada fungsi pertukaran, pembudidaya hanya melakukan fungsi penjualan. Fungsi penjualan dilakukan oleh pembudidaya dengan menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa. Pembudidaya pada pola saluran tataniaga III menjual hasil panen seharga Rp 16.000,00 per kilogram dan kemudian pedagang pengumpul desa membayarnya secara tunai. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi pembelian dan fungsi penjualan pada fungsi pertukaran. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengumpul desa dengan membeli hasil komoditas dari pembudidaya dan dibayar secara tunai. Pembelian hasil panen dari pembudidaya dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dengan jumlah 50 kilogram, jumlah ini sesuai dengan jumlah
46 komoditas yang dijual kembali oleh pedagang pengumpul desa di pasar. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi penjualan yang dilakukan di pasar. Hal ini dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dari pukul 06.00 WIB hingga 14.00 WIB. Pedagang pengumpul desa berjualan lele sangkuriang dengan harga Rp. 22.000,00 per kilogram. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga III Pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik baik fungsi pengangkutan maupun penyimpanan, hal ini karena fungsi tersebut telah ditanggung oleh pedagang pengumpul desa sebagai pembeli langsung dari pembudidaya. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi fisik setelah melakukan pembelian komoditas yaitu fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan. Pengangkutan yang dilakukan dengan menggunakan motor yang sisi kiri dan kanan diberi bak penampung. Pada pengangkutan ini pedagang pengumpul desa menghabiskan 2 liter bensin dalam sehari. Setelah sampai di rumah, pedagang pengumpul desa melakukan fungsi penyimpanan terhadap komoditas yang telah dibeli. Fungsi penyimpanan dilakukan di kolam penampungan yang dibuat oleh pedagang pengumpul desa, hal ini dilakukan agar lele sangkuriang yang dibeli tidak mengalami stres sehingga terjadi kematian. Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga III Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pembudidaya adalah fungsi standarisasi dan informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pembudidaya dengan menerapkan standar ukur yaitu 8 – 12 ekor per kg. Fungsi informasi dilakukan pembudidaya dengan saling bertukar informasi antar pembudidaya mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar. Selain itu pembudidaya memberikan informasi kepada pedagang pengumpul desa bahwa lele sangkuriang siap dipanen. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa adalah fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Seperti pola saluran tataniaga sebelumnya pada pedagang pengumpul desa menerapkan standarisasi pada ukuran. Ukuran ini diterapkan berdasarkan ukuran permintaan pasar yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi pembiayaan yang dilakukan pedagang pengumpul desa merupakan pembiayaan yang berasal dari modal sendiri. Pembiayaan tersebut dilakukan dalam usaha pemasaran lele sangkuriang, seperti pembelian lele sangkuriang dari pembudidaya, pembelian bahan bakar dalam pengangkutan, pembayaran retribusi pasar, pembelian kantong plastik dan lain sebagainya. Karena pedagang pengumpul desa pada pola saluran tataniaga III ini langsung memasarkan komoditas kepada konsumen akhir, maka biaya yang ditanggung lebih besar daripada pedagang pengumpul desa pada saluran tataniaga lainnya. Fungsi informasi pasar dilakukan pedagang pengumpul desa dengan saling bertukar informasi dengan sesama pedagang khususnya mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku. Dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah bahwa terdapat perbedaan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh tiap lembaga tataniaga di Kecamatan Tarub. Lembaga tataniaga yang melakukan fungsi tataniaga paling sedikit adalah pembudidaya. Hal ini karena pembudidaya merupakan pihak yang melakukan budidaya untuk memproduksi komoditas tanpa melakukan pemasaran langsung
47 kepada konsumen, sehingga pembudidaya hanya perlu melakukan sedikit fungsi untuk memasarkan komoditas kepada lembaga tataniaga selanjutnya. Sedangkan lembaga tataniaga yang melakukan fungsi tataniaga terlengkap adalah pedagang pengumpul kecamatan, hal ini karena pedagang pengumpul kecamatan memiliki jumlah volume komoditas dalam skala besar, sehingga diperlukan perlakuan ekstra kepada komoditas tersebut agar komoditas tersebut memiliki nilai guna untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Terdapat 3 fungsi yang dilakukan oleh semua lembaga tataniaga yaitu fungsi penjualan, fungsi standarisasi dan fungsi informasi pasar. Fungsi penjualan dilakukan oleh semua lembaga tataniaga dalam rangka aktivitas perpindahan hak miliki komoditas. Pemasaran sangat erat kaitannya dengan kegiatan jual beli, hal ini menyebabkan fungsi penjualan dilakukan oleh semua lembaga tataniaga namun tidak dengan fungsi pembelian karena pembudidaya merupakan lembaga tataniaga yang memproduksi komoditas sehingga tidak memerlukan fungsi pembelian dalam pemasaran. Konsumen akhir mengharapkan lele sangkuriang yang dibeli sesuai dengan ukuran yang diinginkan, maka dari itu semua lembaga tataniaga menerapkan standar ukur yang sama dalam memasarkan lele sangkuriang yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Informasi pasar merupakan fungsi tataniaga yang bersifat luas dan penting, hal ini karena fungsi informasi pasar menyajikan informasi mengenai situasi dan kondisi pasar terkait dengan komoditas yang dipasarkan baik mengenai jumlah dan harga yang berlaku. Maka dari itu informasi pasar dibutuhkan oleh semua lembaga tataniaga dalam menjalankan usaha dalam memasarkan suatu produk. Tabel 14. Fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Fungsi Tataniaga Fungsi Pertukaran
Fungsi Fisik
Fungsi Fasilitas
Beli
Jual
Angkut
Simpan
Standarisasi
Biaya
Risiko
Informasi
Pembudidaya
-
√
-
-
√
-
-
√
Pedagang pengumpul desa
√
√
√
√
√
√
-
√
Pedagang pengumpul kecamatan
√
√
√
√
√
√
√
√
Pedagang pengecer
√
√
-
-
√
√
-
√
Pembudidaya
-
√
-
-
√
-
-
√
Pedagang pengumpul kecamatan
√
√
√
√
√
√
√
√
Pedagang pengecer
√
√
-
-
√
√
-
√
Pembudidaya
-
√
-
-
√
-
-
√
Pedagang pengumpul desa
√
√
√
√
√
√
-
√
Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran I
Saluran II
Saluran III
48 Kecamatan Pangkah Fungsi Pertukaran Saluran Tataniaga I Pembudidaya hanya melakukan fungsi penjualan pada fungsi pertukaran. Pembudidaya melakukan penjualan hasil panen kepada pedagang pengumpul desa dengan harga Rp. 15.000,00 per kilogram. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengumpul desa adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi pembelian hasil panen dari pembudidaya dengan datang ke tempat pembudidaya dan membayar hasil panen secara tunai. Pada pengamatan, dalam sehari pedagang pengumpul desa responden mampu menampung komoditas sebanyak 60 kilogram untuk dijual kembali. Keesokan harinya pedagang pengumpul desa melakukan fungsi penjualan dengan cara perdagang pengecer datang ke rumah pedagang pengumpul desa untuk membeli komoditas. Pedagang pengumpul desa menjual komoditas kepada pedagang pengecer dengan harga Rp. 19.000,00 per kilogram. Fungsi pertukaran yang dijalankan oleh pedagang pengecer adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengecer dengan membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa seharga Rp. 19.000,00 per kilogram. Kemudian pedagang pengecer melakukan fungsi penjualan dengan harga Rp. 23.000,00 per kilogram. Menurut pengamatan, pedagang pengecer responden membeli komoditas sebanyak 30 kilogram dalam sehari. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga I Pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik baik fungsi pengangkutan maupun fungsi penyimpanan, hal karena fungsi tersebut telah ditanggung oleh pembeli yaitu pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi fisik, yaitu fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dengan menggunakan motor yang telah diberi bak penampungan. Dalam sehari pedagang pengumpul desa menghabiskan bahan bakar sebanyak 2 liter. Setelah sampai di tempat pedagang pengumpul desa, komoditas yang telah dibeli dari pembudidaya di pindah ke kolam penampungan untuk fungsi penyimpanan. Pedagang pengecer melakukan fungsi fisik yaitu fungsi pengangkutan, hal ini karena pedagang pengecer mengangkut sendiri komoditas yang dibeli pada pedagang pengumpul desa. Dalam sehari pedagang pengecer menghabiskan bahan bakar sebanyak 1 liter. Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga I Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pembudidaya adalah fungsi standarisasi dan informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan oleh pembudidaya reponden dengan menerapkan standar pada ukuran lele sangkuriang yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi informasi pasar dilakukan pembudidaya dengan saling bertukar informasi antar pembudidaya mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar dan pembudidaya memberikan informasi kepada pedagang pengumpul desa mengenai ketersedian lele sangkuriang yang siap panen.
49 Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengumpul desa antara lain fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pedagang pengumpul desa dengan menggunakan standar ukur sesuai dengan permintaan pasar, yaitu 8 – 12 ekor per kg. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengumpul desa dengan menggunakan modal sendiri yang digunakan dalam menjalankan usaha pemasaran lele sangkuriang seperti membeli hasil panen dari pembudidaya dan membeli bahan bakar yang digunakan dalam pengangkutan. Fungsi informasi pasar dilakukan pedagang pengumpul desa dengan saling bertukar informasi mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar. Pedagang pengecer juga melakukan fungsi fasilitas yaitu fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pedagang pengecer dengan mengunakan standar ukur sesuai dengan permintaan pasar yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kg. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengecer dengan menggunakan modal sendiri dalam melakukan usaha pemasaran, seperti membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa, membeli kantong plastik, membayar retribusi pasar. Fungsi informasi pasar dilakukan oleh pedagang pengecer dengan saling bertukar informasi mengenai harga antar sesama pedagang pengecer. Fungsi Pertukaran Saluran Tataniaga II Pembudidaya hanya melakukan fungsi penjualan pada fungsi pertukaran. Pembudidaya melakukan penjualan hasil panen kepada pedagang pengumpul kecamatan dengan harga Rp. 15.000,00 per kilogram. Pada fungsi pertukaran, pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi pembelian hasil panen dari pembudidaya dengan datang ke tempat pembudidaya dan membayar hasil panen secara tunai. Menurut pengamatan pada pedagang pengumpul kecamatan, dalam sehari pedagang pengumpul kecamatan membeli komoditas sebanyak 200 kilogram untuk dijual kembali. Keesokan harinya pedagang pengumpul kecamatan mengangkut komoditas tersebut untuk dibawa ke pasar kemudian dibagikan kepada pedagang pengecer dalam fungsi penjualan. Pedagang pengumpul kecamatan menjual komoditas kepada pedagang pengecer dengan harga Rp. 19.000,00 per kilogram. Pedagang pengecer pada saluran tataniaga II melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengecer dengan membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan seharga Rp. 19.000,00 per kilogram. Setelah membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan kemudian pedagang pengecer melakukan fungsi penjualan kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer menjual komoditas di pasar dengan menerapkan harga Rp 22.000,00 per kilogram. Setiap harinya pedagang pengecer pada saluran tataniaga II ini menjual lele sebanyak 20 kilogram. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga II Pembudidaya tidak melakukan fungsi pengangkutan karena pengangkutan telah ditanggung oleh pedagang pengumpul kecamatan. Sehingga pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik.
50 Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan adalah fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan. Fungsi pengangkutan tersebut dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan dengan menggunakan motor yang telah diberi bak penampungan. Dalam sehari pedagang pengumpul kecamatan menghabiskan bahan bakar sebanyak 1 liter untuk satu motor. Pengangkutan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan dua kendaraan bermotor karena jumlahnya yang besar sehingga tidak mampu apabila hanya menggunakan satu motor. Selain itu pedagang pengumpul kecamatan memiliki pegawai yang membantunya dalam berbagai aktivitas pemasaran ini. Setelah sampai di tempat pedagang pengumpul kecamatan, komoditas yang telah dibeli dari pembudidaya di pindah ke kolam penampungan untuk fungsi penyimpanan. Pedagang pengumpul kecamatan juga memberikan pakan pada saat fungsi penyimpanan hal ini dilakukan untuk mengurangi penyusutan. Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga II Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pembudidaya adalah fungsi standarisasi dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pembudidaya dengan menjual lele sangkuriang sesuai ukuran konsumsi yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi informasi pasar dilakukan pembudidaya dengan saling bertukar informasi antar pembudidaya mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar dan pembudidaya memberikan informasi kepada pedagang pengumpul kecamatan mengenai ketersedian lele sangkuriang yang siap panen. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan antara lain fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risko dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan menggunkan standar ukur sesuai dengan permintaan pasar, yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan menggunakan modal sendiri yang digunakan dalam menjalankan usaha pemasaran lele sangkuriang seperti membeli hasil panen dari pembudidaya, membeli bahan bakar yang digunakan dalam pengangkutan, serta pembelian pakan pada saat menampung yang digunakan dalam fungsi penyimpanan. Fungsi penanggungan risiko dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan cara memasukan beban biaya yang digunakan untuk biaya penyusutan. Biaya penyusutan tersebut dihitung dengan cara memasukan beban biaya sebanyak 5 persen dari pembelian komoditas di pembudidaya. Biaya ini digunakan untuk jaga – jaga apabila terjadi penyusutan. Menurut pengalaman pedagang pengumpul kecamatan, penyusutan maksimal yang terjadi adalah 5 persen dari berat komoditas keseluruhan setiap pembelian di pembudidaya. Fungsi informasi pasar dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan saling bertukar informasi mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar. Pedagang pengecer juga melakukan fungsi fasilitas yaitu fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pedagang pengecer dengan mengunakan standar ukur sesuai dengan permintaan pasar yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kg. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengecer dengan menggunakan modal sendiri dalam melakukan usaha pemasaran, seperti membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan, membeli kantong plastik, membayar retribusi pasar. Fungsi informasi pasar
51 dilakukan oleh pedagang pengecer dengan saling bertukar informasi mengenai harga antar sesama pedagang pengecer. Tabel 15 menunjukan bahwa pada saluran tataniaga I terdapat 3 lembaga tataniaga yang melakukan fungsi tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer. Terlihat bahwa tidak ada lembaga tataniaga yang melakukan fungsi penanggungan risiko, hal ini karena pada lembaga tataniaga saluran I, menjual komoditas dengan jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga risiko yang biasanya terjadi (penyusutan dan kematian) tidak begitu berarti bagi lembaga tataniaga saluran I. Hal ini berbeda dengan saluran tataniaga II yang pada lembaga tataniaga terdapat lembaga tataniaga yang melakukan fungsi penanggungan risiko yaitu pada pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul kecamatan merupakan pedagang dengan volume penjualan yang besar sehingga risiko penyusutan dan kematian cukup berarti bagi pedagang pengumpul kecamatan. Tabel 15. Fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Fungsi Tataniaga Fungsi Pertukaran Saluran dan Lembaga Tataniaga
Fungsi Fisik
Fungsi Fasilitas
Beli
Jual
Angkut
Simpan
Standarisasi
Biaya
Risiko
Informasi
Saluran I Pembudidaya Pedagang pengumpul desa
-
√
-
-
√
-
-
√
√
√
√
√
√
√
-
√
Pedagang pengecer
√
√
√
-
√
√
-
√
Saluran II Pembudidaya Pedagang pengumpul kecamatan
-
√
-
-
√
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Pedagang pengecer
√
√
-
-
√
√
-
√
Selain itu perbedaan juga terjadi pada pedagang pengecer. Pedagang pengecer saluran tataniaga I melakukan fungsi pengangkutan, hal ini karena pedagang mengambil sendiri komoditas yang dibeli dari pedagang pengumpul desa, berbeda pada pedagang pengecer saluran II tidak melakukan fungsi pengangkutan karena pedagang pengumpul kecamatan bersedia mengantarkan komoditas ke tempat pedagang pengecer berjualan. Kecamatan Kramat Fungsi Pertukaran Saluran Tataniaga I Pada pembudidaya, fungsi pertukaran yang dilakukan hanya fungsi penjualan saja. Pembudidaya melakukan fungsi penjualan dengan menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul kecamatan. Pembudidaya menjual hasil panen lele sangkuriang kepada pedagang pengumpul kecamatan seharga Rp. 16.000,00 per kilogram.
52 Pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan pembelian. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan membeli sejumlah hasil panen dari pembudidaya. Hasil panen dibayarkan secara tunai oleh pedagang pengumpul kecamatan dengan harga Rp. 16.000,00 per kilogram. Menurut pengamatan, dalam sehari pedagang pengumpul kecamatan membeli komoditas sesuai dengan jumlah yang dijual kembali yaitu 150 kilogram per hari. Fungsi penjualan dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan melayani penjualan lele sangkuriang di rumahnya. Pembeli dari komoditas yang dijual oleh pedagang pengumpul kecamatan adalah pedagang pengecer. Harga jual yang diterapkan oleh pedagang pengumpul kecamatan kepada pedagang pengecer adalah Rp. 19.000,00 per kilogram. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengecer dengan membeli komoditas pada pedagang pengumpul kecamatan, dengan cara datang kerumah pedagang pengumpul kecamatan sebelum mereka berjualan. Mereka membeli lele sangkuriang dari pedagang pengumpul kecamatan dengan harga Rp. 19.000,00 per kilogram. Dalam sehari biasanya pedagang pengecer membeli sebanyak 30 kilogram untuk di jual kembali di pasar. Pada fungsi penjualan, pedagang pengecer menjual lele sangkuriang kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer menjual lele sangkuriang dengan harga Rp. 22.000,00 per kilogram. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga I Pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik, hal ini karena fungsi fisik (pengangkutan dan penyimpanan) dilakukan oleh pembeli yaitu pedagang pengumpul kecamatan. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan terbagi menjadi dua yaitu fungsi pengangkutan dan fungsi penyimpanan. Setelah membeli hasil panen dari pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan melakukan fungsi pengangkutan menuju ke rumah mereka sendiri untuk ditampung. Fungsi pengangkutan ini dilakukan dengan menggunakan motor yang telah diberi bak. Dalam sehari pedagang pengumpul kecamatan menghabiskan bahan bakar sebanyak 2 liter dalam fungsi pengangkutan ini. Fungsi penyimpanan dilakukan pedagang pengumpul kecamatan di dalam kolam penampungan. Dalam penampungan, pedagang pengumpul kecamatan memberi pakan kepada lele sangkuriang. Hal ini dilakukan agar lele sangkuriang yang telah dibeli tidak mengalami penyusutan dan kematian. Pada fungsi fisik, pedagang pengecer melakukan fungsi pengangkutan. Fungsi pengangkutan ini dilakukan pedagang pengecer pada saat membeli komoditas dari pedagang pengumpul kecamatan dan kemudian membawa ke pasar untuk di jual kepada konsumen akhir. Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga I Fungsi fasilitas yang dilakukan pembudidaya adalah fungsi standarisasi dan fungsi informasi pasar. Pembudidaya melakukan fungsi standarisasi dengan menjual lele sangkuriang sesuai dengan ukuran standar yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Pembudidaya saling bertukar informasi terutama mengenai harga yang berlaku dalam menjalankan fungsi informasi pasar.
53 Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan terbagi menjadi empat, yaitu fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan dengan menngunakan standar ukur dari permintaan konsumen yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi pembiayaan dilakukan pedagang pengumpul kecamatan dengan menggunakan modal sendiri, hal ini digunakan dalam menjalankan usaha pemasaran seperti membeli lele sangkuriang dari pembudidaya, membeli bahan bakar yang digunakan dalam pengangkutan, membeli pakan yang digunakan pada saat fungsi penyimpanan dan lain sebagianya. Fungsi penanggungan risiko dilakukan dengan menanggung atas kerugian yang terjadi dalam usaha pemasaran seperti kematian dan penyusutan berat komoditas. Fungsi informasi pasar dilakukan dengan saling bertukar informasi antara pedagang pengumpul kecamatan mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengecer adalah fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi dilakukan pedagang pengecer yaitu dengan mengunakan standar ukur lele sangkuriang menurut permintaan konsumen pada umumnya yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kilogram. Kemudian fungsi pembiayaan digunakan pedagang pengecer dalam mempelancar kegiatan pemasaran seperti membeli lele sangkuriang dari pedagang pengumpul kecamatan, membeli bahan bakar dalam fungsi pengangkutan, membeli kantong plastik dan kebutuhan lainnya pada saat berjualan di pasar. Fungsi informasi pasar cukup penting dilakukan oleh pedagang pengecer, hal ini digunakan dalam mengetahui kemana komoditas harus di salurkan dan mengetahui harga komoditas lele sangkuriang. Fungsi ini dilakukan dengan cara saling bertukar informasi antara sesama pedagang lele sangkuriang. Fungsi Pertukaran Saluran Tataniaga II Pada fungsi pertukaran, pembudidaya hanya melakukan fungsi penjualan. Fungsi penjualan dilakukan oleh pembudidaya dengan menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa. Pembudidaya pada pola saluran tataniaga II menjual hasil panen seharga Rp 15.000,00 per kg dan kemudian pedagang pengumpul desa membayarnya secara tunai. Pada fungsi pertukaran, pedagang pengumpul desa melakukan fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan pedagang pengumpul desa dengan membeli hasil komoditas dari pembudidaya dan dibayar secara tunai. Pedagang pengecer pada pengamatan ini membeli lele sangkuriang sebanyak 50 kilogram dalam sehari untuk dijual kembali. Keesokan harinya, pedagang pengumpul desa melakukan fungsi penjualan yang dilakukan di pasar. Pedagang pengumpul desa berjualan lele sangkuriang dengan harga Rp. 22.000,00 per kilogram. Konsumen yang membeli komoditas dari pedagang pengumpul desa kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang membeli untuk konsumsi pribadi. Fungsi Fisik Saluran Tataniaga II Seperti pada saluran tataniaga sebelum, pada saluran ini pembudidaya tidak melakukan fungsi fisik baik fungsi pengangkutan maupun fungsi penjualan. Fungsi Fisik dilakukan oleh pedagang pengumpul desa setelah membeli komoditas dari pembudidaya. Pedagang pengumpul desa melakukan fungsi pengangkutan yang dilakukan dengan menggunakan motor yang sisi kiri dan
54 kanan diberi bak penampung. Pada pengangkutan ini dalam sehari pedagang pengumpul desa menghabiskan 1 liter bensin. Setelah sampai di rumah pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul desa melakukan fungsi penyimpanan terhadap komoditas yang telah dibeli. Fungsi penyimpanan dilakukan di kolam penampungan yang dibuat oleh pedagang pengumpul desa, hal ini dilakukan agar komoditas yang dibeli tidak mengalami kematian. Fungsi Fasilitas Saluran Tataniaga II Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pembudidaya adalah fungsi standarisasi dan fungsi informasi pasar. fungsi standarisasi dilakukan dengan menjual lele sangkuriang hanya dengan standar ukur yang diminta oleh konsumen yaitu ukuran 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi informasi pasar dilakukan pembudidaya dengan saling bertukar informasi antar pembudidaya mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku di pasar. Selain itu pembudidaya memberikan informasi kepada pedagang pengumpul desa bahwa lele sangkuriang siap dipanen. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa adalah fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Pedagang pengumpul desa menerapkan standarisasi pada ukuran, berdasarkan ukuran permintaan pasar yaitu 8 – 12 ekor per kilogram. Fungsi pembiayaan yang dilakukan pedagang pengumpul desa merupakan pembiayaan yang berasal dari modal sendiri. Pembiayaan tersebut dilakukan dalam usaha pemasaran lele sangkuriang, seperti pembelian lele sangkuriang dari pembudidaya, pembelian bahan bakar dalam pengangkutan, pembayaran retribusi pasar, pembelian kantong plastik dan lain sebagainya. Karena pedagang pengumpul desa pada pola saluran tataniaga II ini langsung memasarkan komoditas kepada konsumen akhir, maka biaya yang ditanggung lebih besar. Fungsi informasi pasar dilakukan pedagang pengumpul desa dengan saling bertukar informasi dengan sesama pedagang khususnya mengenai harga lele sangkuriang yang berlaku. Tabel 16. Fungsi tataniaga pada setiap lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Fungsi Tataniaga Fungsi Pertukaran Saluran dan Lembaga Tataniaga
Fungsi Fisik
Fungsi Fasilitas
Beli
Jual
Angkut
Simpan
Standarisasi
Biaya
Risiko
Informasi
Saluran I Pembudidaya Pedagang pengumpul kecamatan
-
√
-
-
√
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Pedagang pengecer
√
√
√
-
√
√
-
√
-
√
-
-
√
-
-
√
√
√
√
√
√
√
-
√
Saluran II Pembudidaya Pedagang pengumpul desa
Tabel 16 menunjukan perbedaan jumlah lembaga tataniaga yang terdapat pada kedua saluran, sehingga hal ini mempengaruhi panjangnya rantai tataniaga. Panjangnya rantai tataniaga ini berpengaruh pada banyaknya fungsi tataniaga
55 yang dilakukan pada setiap saluran. Pada saluran tataniaga I fungsi tataniaga yang terbanyak adalah yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan. Hal ini karena pedangang besar memiliki jumlah komoditas yang lebih banyak untuk dijual kembali, sehingga hal ini akan membutuhkan banyak perlakuan. Sedangkan pada saluran tataniaga II, lembaga tataniaga yang paling banyak melakukan fungsi tataniaga adalah pedagang pengumpul desa. Pada pedagang pengumpul desa di saluran tataniaga II tidak melakukan fungsi penanggungan risiko, hal ini karena jumlah komoditas yang dijual tidak terlalu banyak sehingga kerugian akibat risiko pada saat pemasaran sangat minim, dan tidak terlalu berarti bagi pedagang pengumpul desa.
Analisis Struktur Pasar Asmarantaka dalam buku Bunga Rampai Agribisnis (2009) menjelaskan bahwa struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan atau korelasi antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Faktor penentu karateristik struktur pasar antara lain jumlah atau ukuran individu dalam pasar, keadaan produk, kondisi keluar masuk pasar, tingkat informasi pasar yang dimiliki. Dalam sitem tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal terdapat perbedaan struktur pasar yang terjadi pada setiap lembaga tataniaga, sehingga hal ini mempengaruhi prilaku setiap lembaga tataniaga dalam kegiatan pemasaran. Pada ketiga kecamatan yang diamati, penulis membahas analis struktur pasar menjadi satu, hal ini karena terdapat kemiripan kondisi yang terjadi pada tiap kecamatan dalam lembaga tataniaga yang berbeda. Struktur Pasar di Tingkat Pembudidaya Struktur pasar yang dihadapi oleh pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah maupun Kecamatan Kramat adalah cenderung mendekati pasar oligosopni dimana hanya terdapat beberapa pelaku usaha yang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli atas produk dalam suatu pasar komoditas. Posisi tawar yang dimiliki oleh pembudidaya sama kuatnya dengan pembeli yaitu pedagang pengumpul desa maupun pedagang pengumpul kecamatan, hal ini karena pasokan komoditas dari pembudidaya yang terbatas. Sehingga dalam hal penetapan harga terjadi mengikuti mekanisme pasar. Produk yang ditawarkan pada pasar ini bersifat homogen yaitu lele sangkuriang. Pembudidaya memiliki keleluasaan dalam menjual komoditasnya kepada pedagang manapun, begitu juga pedagang tidak bisa memaksa atau menekan pembudidaya dalam hal memasarkan komoditas kepada mereka. Karena komoditas lele sangkuriang di Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah maupun Kecamatan Kramat hanya mampu mencukupi permintaan di dalam area saja, maka tidak ada hambatan dalam keluar masuk pasar. Sehingga apabila terdapat pembudiaya baru yang masuk dalam pasar komoditas lele sangkuriang, maka komoditas dari pembudidaya tersebut akan terserap oleh pasar. Pembudidaya mendapatkan informasi pasar dari antar sesama pembudidaya atau bahkan dari lembaga tataniaga lainnya
56 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa Pedagang pengumpul desa lele sangkuriang menghadapi struktur pasar yang cenderung mendekati pasar oligopoli apabila melakukan penjualan terhadap pedagang pengecer dan konsumen akhir, hal ini karena jumlah pedagang pengumpul desa lebih sedikit dibandingkan jumlah pembelinya yaitu pedagang pengecer dan konsumen akhir. Namun apabila melakukan penjualan terhadap pedagang pengumpul kecamatan, maka pasar yang terjadi adalah struktur pasar mendekati persaingan sempurna. Harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul desa kepada pedagang pengumpul kecamatan merupakan harga yang terjadi karena mekanisme pasar. Namun apabila menjual komoditas kepada pedagang pengecer atau pun konsumen akhir, pedagang pengumpul desa dapat menetapkan harga karena posisi tawar pedagang pengumpul desa lebih kuat. Produk yang diperdagangkan merupakan produk yang bersifat homogen yaitu lele sangkuriang. Terdapat hambatan bagi pedagang pengumpul desa saat keluar masuk pasar, hal ini karena pada saat menjadi pedagang pengumpul desa baru akan kesulitan dalam mendapatkan pasokan komoditas dari pembudidaya karena saat ini pasokan komoditas minim, hanya dapat untuk mencukupi permintaan di tiap kecamatan saja. Informasi pasar hanya diperoleh dari komunikasi antara pedagang pengumpul desa dan lembaga tataniaga lainnya. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecamatan Pedagang pengumpul kecamatan menghadapi struktur pasar cenderung mendekati pasar oligopoli, dimana jumlah pembeli yaitu pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan jumlah pedagang pengumpul kecamatan sebagai penjual. Produk yang dipasarkan merupakan produk yang bersifat homogen berupa lele sangkuriang pedagang pengumpul kecamatan dapat menetapkan harga karena posisi tawar yang lebih kuat dalam menjual komoditasnya. Hambatan yang dihadapi oleh pedagang pengumpul kecamatan untuk keluar masuk pasar cukup tinggi karena pada umumnya pedagang pengumpul kecamatan membutuhkan pasokan yang besar dalam usaha pemasaran, sedangkan pasokan komoditas lele sangkuriang di tiap kecamatan pada pembudidaya terbatas. Hal ini menyebabkan pedagang pengumpul kecamatan baru akan kesulitan untuk mendapatkan pasokan komoditas dari pembudidaya. Informasi pasar hanya didapatkan pedagang pengumpul kecamatan dari komunikasi antar pedagang pengumpul kecamatan dan lembaga tataniaga lainnya. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Responden pedagang pengecer lele sangkuriang yang berjualan di pasar menghadapi struktur pasar yang mendekati pasar bersaing sempurna. Hal ini terjadi karena kondisi jumlah pedagang pengecer yang banyak dan jumlah konsumen sebagai pembeli juga banyak. Baik pedagang pengecer maupun konsumen akhir tidak dapat mempengaruhi terbentuknya harga. Harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar. Jenis barang yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu lele sangkuriang. Pedagang pengecer pada pasar ini dapat dengan bebas untuk keluar masuk pasar dan memperoleh informasi mengenai harga, hal ini karena tidak terdapat hambatan yang berarti untuk dapat memasuki pasar ini.
57 Analisis Prilaku Pasar Prilaku pasar merupakan suatu pola tindakan dalam strategi yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga pada suatu struktur pasar tertentu dalam melakukan fungsi – fungsi tataniaga. Prilaku pasar dapat diamati dengan tindakan yang lembaga – lembaga lakukan pada praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Praktek Pembelian dan Penjualan Hampir sebagian besar lembaga tataniaga pada seluruh saluran tataniaga melakukan praktek jual – beli, kecuali salah satu lembaga tataniaga yaitu pembudidaya yang tidak melakukan praktek pembelian. Pembudidaya hanya melakukan praktek penjualan, penjualan ini dilakukan kepada pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan. Praktek penjualan yang dilakukan oleh pembudidaya dimulai dengan pembudidaya memberikan informasi baik kepada pedagang pengumpul desa maupun kepada pedagang pengumpul kecamatan mengenai ketersediaan komoditas yang telah siap panen dan dijual. Kemudian pedagang pengumpul desa maupun pedagang pengumpul kecamatan datang ke tempat pembudiaya dengan menggunakan motor yang telah diberi bak penampung sebagai sarana pengangkutan hasil panen. Pembudidaya melakukan strandarisasi dalam menjual komoditas, karena konsumen meminta ukuran sesuai keinginan mereka, yaitu ukuran 8 -12 ekor per kilogram. Maka dari itu apabila pada saat panen terdapat lele sangkuriang di bawah ukuran standar, maka lele tersebut tidak dijual melainkan untuk konsumsi pribadi. Pembudidaya tidak mengeluarkan biaya dalam pemanenan karena biaya angkut telah ditanggung oleh pedagang pengumpul desa maupun pedagang pengumpul kecamatan. Setelah pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan melakukan transaksi dengan pembudidaya kemudian mereka menjual kembali kepada lembaga tataniaga berikutnya. Pedagang pengumpul desa menjual komoditasnya kepada pedagang pengumpul kecamatan (saluran tataniaga I Kecamatan Tarub), pedagang pengecer (saluran tataniaga I Kecamatan Pangkah), dan konsumen akhir (saluran tataniaga III kecamatan Tarub dan saluran tataniaga II Kecamatan Kramat). Pedagang pengumpul desa melakukan penjualan dengan mendatangi ke tempat pedagang pengumpul kecamatan yang telah melakukan komunikasi sebelumnya. Namun apabila pedagang pengumpul desa menjual komoditas kepada pedagang pengecer, pedagang pengecer lah yang mendatangi pedagang pengumpul desa. Berbeda apabila pedagang pengumpul desa menjual langsung kepada konsumen akhir, pedagang pengumpul desa memiliki lapak di pasar sehingga konsumen dapat mendatangi lapak pedagang pengumpul desa di pasar. Pada pengamatan ini pedagang pengumpul kecamatan pada setiap kecamatan melakukan praktek penjualan dengan menjual kepada pedagang pengecer tanpa ada yang menjual ke konsumen akhir. Hal ini karena volume penjualan pedagang pengumpul kecamatan yang relatif besar sehingga akan menghabiskan banyak tenaga dan waktu apabila menjual secara eceran kepada konsumen akhir, selain itu pedagang pengumpul kecamatan juga membutuhkan waktu untuk mencari pasokan dari para pembudidaya. Dalam melakukan penjualan, pedagang pengumpul kecamatan mendatangi pedagang pengecer ke tempat pedagang
58 pengecer berjualan (Saluran tataniaga I dan II Kecamatan Tarub; Saluran tataniaga II Kecamatan Pangkah). Pedagang pengumpul kecamatan membawa komoditas secara kolektif yang nantinya setelah sampai di pasar kemudian komoditas tersebut dibagikan kepada pedagang pengecer sesuai pesanan pedagang pengecer. Selain itu, pedagang pengumpul kecamatan melayani penjualan di rumah pedagang pengumpul kecamatan, hal ini terjadi pada pola saluran tataniaga I pada Kecamatan Kramat. Dalam menjual komoditasnya pedagang pengumpul kecamatan menggunakan standarisasi yaitu standar ukur sesuai dengan permintaan konsumen. Apabila menjual kepada pedagang pengecer, pedagang pengumpul kecamatan menggunakan standar ukur 8 – 12 ekor per kg. Responden pedagang pengecer pada penelitian ini menjual lele sangkuriang di pasar. Praktek pembelian dilakukan dengan membeli lele sangkuriang di pedagang pengumpul desa (saluran tataniaga I Kecamatan Pangkah) dan di pedagang pengumpul kecamatan (saluran tataniaga I dan II Kecamatan Tarub; saluran tataniaga II Kecamatan Pangkah; saluran tataniaga I Kecamatan Kramat). Apabila membeli komoditas di pedagang pengumpul desa, pedagang pengecer mendatangi ke tempat pedagang pengumpul desa. Namun apabila membeli komoditas di pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kecamatan lah yang mengangkut komoditas secara kolektif ke tempat pedagang pengecer berjualan. Menurut pedagang pengumpul kecamatan, cara ini lebih efektif karena akan sekali mengangkut ke pasar, dibandingkan dengan pedagang pengecer yang berdatangan silih - berganti ke rumah pedagang pengumpul kecamatan yang akan menganggu. Pedagang pengecer yang berjualan di pasar haruslah memiliki lapak terlebih dahulu, maka dari itu pedagang pengecer ini membayar retribusi kepada pihak pasar. Pedagang pengecer ini rata – rata mulai berjualan dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Konsumen akhir dari pedagang pengecer adalah ibu rumah tangga yang membeli lele sangkuriang untuk konsumsi pribadi Sistem Penentuan Harga Posisi tawar yang dialami oleh pembudidaya dan pedagang (pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan) sama kuat yaitu kedua pihak berperan sebagai price taker, sehingga dalam penentuan harga kedua belah pihak lembaga tataniaga ini mengikuti mekanisme pasar. Alasan ini diperkuat karena pedagang pengumpul desa maupun pedagang pengumpul kecamatan cukup mengalami kesulitan untuk mendapatkan pasokan komoditas dari pembudidaya sehingga mereka tidak dapat seenaknya untuk menentukan harga atau berperan sebagai price maker. Begitu juga pada penetuan harga pada tingkat pedagang pengumpul desa ke pedagang pengumpul kecamatan yang dipengaruhi oleh mekanisme pasar. Namun penentuan harga pada pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan ke pedagang pengecer, pihak pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan lah yang menentukan harga karena posisi tawar mereka lebih kuat dari pedagang pengecer. Informasi mengenai harga komoditas yang berlaku di pasar didapat pedagang dengan melakukan komunikasi antar pedagang. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran harga lele sangkuriang di setiap kecamatan yang dilakukan seluruh lembaga tataniaga, seluruhnya menggunakan dengan sistem
59 tunai. Sistem tunai yaitu pembayaran yang dilakukan dengan membayar secara langsung dan menyeluruh setelah produk diterima oleh pembeli sesuai dengan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pembayaran ini dilakukan di tempat terjadinya transaksi jual beli. Sistem ini dilakukan oleh seluruh lembaga tataniaga lele sangkuriang di Kabupaten Tegal yang melakukan pembelian dari pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer hingga konsumen akhir. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Terdapat kerjasama antar lembaga tataniaga yang terjadi antara pedagang pengumpul kecamatan dan pembudidaya pada saluran tataniaga I dan II pada Kecamatan Tarub. Kerjasama ini dilakukan oleh pedagang pengumpul kecamatan yang bersedia menyediakan pinjaman berupa benih dan pakan yang dapat digunakan oleh pembudidaya dalam sarana produksi. Pinjaman berupa benih dan pakan ini dapat dikembalikan setelah panen dan hasil panen tersebut harus dijual kepada pedagang pengumpul kecamatan pemilik pinjaman sesuai dengan harga yang berlaku. Dengan begitu, dalam situasi ini terdapat dua pihak yang saling menguntungkan, Pembudidaya mendapatkan pinjaman pakan dan benih disaat kurang modal, sedangkan pedagang pengumpul kecamatan mendapatkan kepastian pasokan komoditas dari pembudidaya. Kerjasama ini terjalin tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan tidak ada kontrak untuk menjalankan kerjasama dalam jangka waktu tertentu.
Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan dan biaya, merupakan suatu analisis yang penting dalam melihat saluran tataniaga yang efisien dalam suatu sistem tataniaga. Nilai dari masing – masing analisis tersbut tergantung pada kondisi dari pasar suatu komoditas seperti lembaga tataniaga yang terlibat, harga suatu komoditas, biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam menjalankan fungsi tataniaga dan keuntungan yang diperoleh. Maka dari itu agar didapat hasil yang lebih detail, penulis membahas analisis pada setiap kecamatan yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Analisis Marjin Tataniaga pada Kecamatan Tarub Marjin tataniaga merupakan selisih antar harga jual dengan harga beli yang berlaku pada tiap lembaga tataniaga, atau dapat dikatakan bahwa marjin tataniaga merupakan penjumlahan dari biaya tataniaga dengan keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha. Biaya tataniaga merupakan suatu pengeluaran atas fungsi - fungsi yang dilakukan pada suatu produk. Maka dari itu marjin tataniaga berbeda antar tiap lembaga tataniaga, tergantung dari fungsi – fungsi yang dilakukan terhadap suatu produk.
60 Tabel 17. Marjin tataniaga tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015
Lembaga tataniaga - Pembudidaya - Pedagang pengumpul desa - Pedagang pengumpul kecamatan - Pedagang pengecer Total
Saluran Tataniaga I II III Harga Marjin Harga Marjin Harga Marjin (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) 15 000 16 000 16 000 17 000
2 000
22 000
20 000
3 000
19 000
3 000
22 000
2 000 7 000
22 000
3 000 6 000
6 000
6 000
Pada Tabel 17 menunjukan bahwa harga jual lele sangkuriang di Kecamatan Tarub pada tingkat pembudidaya berkisar dari Rp. 15.000,00 per kg hingga Rp. 16.000,00 per kg, sedangkan harga beli pada tingkat konsumen adalah Rp. 22.000,00 per kg. Perbedaan harga jual pembudidaya dan harga beli konsumen akan menimbulkan marjin tataniaga. Dapat terlihat bahwa marjin tataniaga total terbesar terdapat pada saluran tataniaga I yaitu sebesar Rp. 7.000,00 per kg, nilai marjin tataniaga ini terbagi atas marjin tataniaga di tingkat pedagang pengumpul desa sebesar Rp. 2.000,00 per kg, marjin tataniaga di tingkat pedagang pengumpul kecamatan sebesar Rp. 3.000,00 per kg dan marjin tataniaga di tingkat pedagang pengecer sebesar Rp. 2.000,00 per kg. Sedangkan marjin tataniaga total terkecil terdapat pada tiga saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga II dan III dengan nilai sebesar Rp. 6.000,00 per kg. Pada saluran tataniaga II, marjin tataniaga terjadi pada tingkat pedagang pengumpul kecamatan dan pedagang pengecer yang bernilai sebesar Rp. 3.000,00 per kg. Pada saluran tataniaga III, marjin tataniaga terjadi pada tingkat pedagang pengumpul desa yang bernilai sebesar Rp. 6.000,00 per kg. Besarnya nilai marjin tataniaga dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapat oleh tiap lembaga tataniaga, maka dari itu perlu dilakukan anilisis lebih lanjut mengenai biaya dan keuntungan. Marjin tataniaga yang kecil merupakan salah satu indikator dari pemasaran yang efisien. Sehingga jika dilihat dari marjin tataniaga saja, saluran tataniaga II dan III merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien. Namun kedua saluran tataniaga tersebut belum dapat dikatakan efisien secara keseluruhan. Hal ini karena masih ada beberapa analisis untuk menentukan efisiensi tataniaga seperti farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Analisis Marjin Tataniaga pada Kecamatan Pangkah Terdapat dua saluran tataniaga yang terdapat pada Kecamatan Pangkah. Pada tiap saluran terdapat beberapa lembaga tataniaga. Harga yang berbeda pada tiap lembaga tataniaga menyebabkan terjadinya marjin tataniaga.
61 Tabel 18. Marjin tataniaga tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga Pembudidaya Pedagang pengumpul desa Pedagang pengumpul kecamatan Pedagang pengecer Total
I Harga (Rp/kg) 15 000 19 000
II Marjin (Rp/kg)
Harga (Rp/kg) 15 000
Marjin (Rp/kg)
4 000
23 000
4 000 8 000
19 000 22 000
4 000 3 000 7 000
Tabel 18 menunjukan bahwa terdapat perbedaan marjin tataniaga yang terjadi pada kedua saluran tataniaga. Saluran tataniaga I memiliki nilai marjin tataniaga total benilai Rp. 8.000,00 per kg. Nilai marjin tataniaga ini terbagi atas marjin tataniaga pedagang pengumpul desa yang bernilai Rp. 4.000,00 per kg dan nilai marjin tataniaga pada pedagang pengecer yaitu Rp. 4.000,00 per kg. Sedangkan pada saluran tataniaga II memiliki nilai marjin tataniaga senilai Rp. 7.000,00 per kg yang terbagi atas marjin tataniaga pada pedagang pengumpul kecamatan dengan nilai Rp. 4.000,00 per kg dan marjin tataniaga pedagang pengecer dengan nilai Rp. 3.000,00 per kg. Dari hasil analisis marjin tataniaga tersebut dapat dinyatakan bahwa saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien menurut analisis marjin tataniaga. Perlu beberapa indikator lagi untuk menentukan saluran tataniaga yang efisien secara keseluruhan. Analisis Marjin Tataniaga pada Kecamatan Kramat Perbedaan harga yang terjadi antar lembaga tataniaga akan menyebab adanya gap harga. Gap harga yang terjadi ini merupakan suatu yang penting dalam penelitian ini, karena jika terdapat gap harga yang besar akan menyebabkan harga jual komoditas yang diterima konsumen menjadi tak terjangkau. Gap harga ini dapat disebut dengan marjin tataniaga. Tabel 19. Marjin tataniaga tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga Pembudidaya Pedagang pengumpul desa Pedagang pengumpul kecamatan Pedagang pengecer Total
I
II
Harga (Rp/kg) 16 000
Marjin (Rp/kg)
19 000 22 000
3 000 3 000 6 000
Harga (Rp/kg) 15 000 22 000
Marjin (Rp/kg)
7 000
Tabel 19 menunjukan data mengenai marjin tataniaga yang terjadi pada tiap saluran tataniaga di Kecamatan Kramat. Pada saluran tataniaga I terdapat nilai
62 marjin tataniaga total sebesar Rp. 6.000,00 per kg. Nilai ini terbagi atas marjin tataniaga yang terdapat pada pedagang pengumpul kecamatan sebesar Rp. 3.000,00 per kg dan marjin tataniaga pada pedagang pengecer yaitu Rp. 3.000,00 per kg. Pada saluran tataniaga II terdapat nilai marjin tataniaga total sebesar Rp. 7.000,00 per kg. Nilai marjin tataniaga total ini merupakan nilai marjin tataniaga yang terdapat pada pedagang pengumpul desa saluran tataniaga II. Hal ini karena pada saluran tataniaga II hanya terdapat satu lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul desa. Salah satu indikator saluran tataniaga yang efisien adalah memiliki nilai marjin tataniaga yang terkecil antara saluran tataniaga lain. Maka dari itu, saluran tataniaga I merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien berdasarkan analisis marjin tataniaga. Analisis Farmer’s Share Analisis Farmer’s Share pada Kecamatan Tarub Farmer’s Share merupakan persentase bagian yang diterima oleh petani dari harga penjualan suatu produk. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan marjin tataniaga, semakin besar marjin tataniaga maka bagian yang diterima petani (farmer’s share) akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Farmer’s share merupakan salah satu indikator untuk menilai efisiensi tataniaga. Suatu saluran tataniaga diharapkan memiliki nilai farmer’s share yang besar agar dapat dikatakan sebagai suatu pemasaran yang efisien. Tabel 20. Farmer’s share tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Saluran Tataniaga I II III
Harga di tingkat Pembudidaya (Rp/kg) Konsumen (Rp/kg) 15 000 22 000 16 000 22 000 16 000 22 000
Farmer’s share (%) 68.18 72.72 72.72
Pada Tabel 20 menunjukan bahwa nilai farmer’s share tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Perbedaan nilai farmer’s share ini hanya menunjukan jarak sekitar 4.54 persen dari nilai farmer’s share terkecil hingga terbesar yaitu dari 68.18 persen hingga 72.72 persen. Saluran tataniaga yang memiliki nilai farmer’s share terbesar yaitu saluran tataniaga II dan III yaitu sebesar 72.72 persen. Sedangkan saluran tataniaga yang memiliki nilai farmer’s share terkecil adalah saluran tataniaga I yaitu sebesar 68.18 persen, pada saluran tataniaga ini juga memiliki nilai marjin tataniaga terbesar. Saluran tataniaga II dan III merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien apabila dilihat dari analisis marjin tataniaga dan analisis farmer’s share. Namun masih diperlukan analisis rasio keuntungan dan biaya untuk menentukan apakah saluran tataniaga tersebut efisien atau kemungkinan terdapat saluran tataniaga lain yang lebih efisien apabila mempertimbangkan beberapa analisis.
63 Analisis Farmer’s Share pada Kecamatan Pangkah Farmer’s share merupakan bagian yang diterima oleh petani dari harga sebuah produk pada suatu saluran tataniaga. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaga. Sehingga saluran tataniaga yang efisien adalah saluran tataniaga dengan nilai farmer’s share terbesar pada suatu sistem tataniaga. Tabel 21. Farmer’s share tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Saluran Tataniaga I II
Harga di tingkat Pembudidaya (Rp/kg) Konsumen (Rp/kg) 15 000 23 000 15 000 22 000
Farmer’s share (%) 65.22 68.18
Nilai farmer’s share pada Kecamatan Pangkah ditunjukan pada Tabel 21. Terdapat perbedaan yang terjadi pada nilai farmer’s share pada kedua saluran. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan pada harga di tingkat konsumen akhir, yaitu pada saluran tataniaga I terdapat harga Rp. 23.000,00 per kg sedangkan pada saluran tataniaga II terdapat harga Rp. 22.000,00 per kg. Sehingga pada kedua saluran tataniaga di Kecamatan Pangkah terdapat perbedaan nilai farmer’s share, yaitu pada saluran tataniaga I sebesar 65.22 persen dan pada saluran tataniaga II sebesar 68.18 persen. Salah satu indikator saluran tataniaga yang efisien adalah memiliki nilai farmer’s share yang terbesar dari. Maka dari itu, pada Kecamatan Pangkah saluran tataniaga yang paling efisien berdasarkan analisis farmer’s share adalah saluran tataniaga II dengan nilai sebesar 68.18 persen. Analisis Farmer’s Share pada Kecamatan Kramat Analisis farmer’s share berfungsi untuk melihat bagian yang diterima oleh petani dari harga komoditas. Semakin besar bagian yang diterima oleh petani maka saluran tersebut akan semakin efisien. Nilai farmer’s share pada Kecamatan Kramat dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 22. Farmer’s share tiap saluran tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Saluran Tataniaga I II
Harga di tingkat Pembudidaya (Rp/kg) Konsumen (Rp/kg) 16 000 22 000 15 000 22 000
Farmer’s share (%) 72.73 68.18
Tabel 22 menunjukan bahwa terdapat nilai farmer’s share pada kedua saluran tataniaga lele sangkuriang yang terdapat pada Kecamatan Kramat. Perbedaan nilai farmer’s share yang terdapat pada kedua saluran tataniaga tidak begitu signifikan, hanya terpaut 4.55 persen. Hal ini karena, pada kedua saluran tataniaga hanya terdapat perbedaan harga jual ditingkat pembudidaya sebesar Rp. 1.000,00 per kg sementara harga jual di tingkat konsumen akhir sama yaitu Rp.
64 22.000,00 per kg. Pada saluran tataniaga I menunjukan nilai farmer’s share sebesar 72.73 persen. Sedangkan pada saluran II, terdapat nilai farmer’s share sebesar 68.18 persen. Berdasarkan hasil dari analisis farmer’s share, maka saluran tataniaga I merupakan saluran tataniaga yang efisien.
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya pada Kecamatan Tarub Analisis rasio keuntungan dan biaya merupakan suatu perbandingan antara keuntungan yang didapat oleh suatu lembaga tataniaga dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan. Rasio keuntungan dan biaya merupakan salah satu indikator untuk menentukan pemasaran yang efisien. Diharapkan bahwa nilai rasio keuntungan dan biaya dalam suatu pasar dapat tersebar secara merata di antara lembaga tataniaga yang terlibat. Dalam mencari rasio keuntungan dan biaya diperlukan untuk menganalisis biaya tataniaga dan keuntungan terlebih dahulu. Biaya tataniaga didapat dengan mencari komponen – komponen biaya yang digunakan dalam melakukan aktivitas tataniaga. Setelah menganalisis biaya tataniaga kemudian barulah dapat melakukan analisis keuntungan yang didapat oleh lembaga tataniaga, sehingga didapat keuntungan dan biaya yang berlaku pada tiap lembaga tataniaga. Tabel 23. Biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Lembaga Tataniaga Pedagang pengumpul desa Bensin Plastik Retribusi pasar Total Pedagang pengumpul kecamatan Pegawai Bensin Pakan Penyusutan Total Pedagang pengecer Plastik Retribusi pasar Total Biaya total
Biaya Tataniaga pada Saluran ke- (Rp/kg) I II III 243.33
292.00 320.00 76.67 688.67
243.33 150.00 36.50 60.00 850.00 1096.50
150.00 73.00 60.00 800.00 1 083.00
266.67 127.78 354.44 1 734.28
333.33 72.22 405.56 1 488.56
688.67
Lembaga tataniaga yang semakin mampu untuk menekan biaya sesuai dengan kebutuhan maka semakin efisien saluran tataniaga tersebut. Pada Tabel 23 menunjukan mengenai biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga
65 pada setiap saluran. Biaya tataniaga yang terbesar terdapat pada saluran tataniaga I dengan nilai sebesar Rp. 1.734,28 per kg, sementara biaya tataniaga terkecil terdapat pada saluran tataniaga III dengan nilai sebesar Rp. 688,67 per kg. Saluran I merupakan saluran dengan biaya tataniaga terbesar karena terdapat lembaga tataniaga dengan biaya yang besar, yaitu pedagang pengumpul kecamatan dengan biaya sebesar Rp. 1.096,50 per kg. Biaya penyusutan pada pedagang pengumpul kecamatan merupakan komponen biaya yang terbesar pada saluran tataniaga I. Biaya penyusutan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk berjaga jaga apabila terjadi penyusutan pada komoditas, sehingga pedagang pengumpul kecamatan dapat menangung risiko akibat penyusutan tersebut. Saluran tataniaga III merupakan saluran tataniaga dengan biaya terkecil karena pada saluran hanya terdapat satu lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul desa, selain itu pada komponen biaya pedagang pengumpul desa tidak terdapat biaya yang relatif besar. Perlu dipertimbangan mengenai keuntungan yang didapat, karena akan tidak efisien apabila terdapat lembaga tataniaga yang mampu menekan biaya namun mengambil keuntungan yang besar, sehingga nilai marjin tataniaga akan menjadi besar. Maka dari itu, perlu dilakukan analisis mengenai keuntungan. Tabel 24. Keuntungan tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015
Lembaga Pembudidaya Pedagang pengumpul desa Pedagang pengumpul kecamatan Pedagang pengecer Total
I Rp/kg
%
1 756.67
33.36
1 903.50
36.15
1 605.56 30.49 5 265.72 100.00
Saluran Tataniaga II Rp/kg %
III Rp/kg
%
5 311.33 100.00 1 917.00 2 594.44 4 511.44
42.49 57.51 100.00
5 311.33 100.00
Pada Tabel 24 menunjukan data mengenai keuntungan yang didapat oleh tiap lembaga tataniaga di Kecamatan Tarub. Keuntungan tataniaga terbesar terdapat di saluran tataniaga III dengan nilai sebesar Rp. 5.311,33 per kg, sedangkan keuntungan tataniaga terkecil terdapat di saluran II dengan nilai sebesar Rp. 4.551,44 per kg. Apabila dilihat dari keuntungan tataniaga individu, lembaga tataniaga yang paling besar mendapat untung adalah pedagang pengumpul desa pada saluran tataniaga III dengan nilai sebesar Rp. 5.311.33 per kg, sedangkan yang mendapat keuntungan terkecil adalah pedagang pengecer pada saluran tataniaga I yaitu sebesar Rp 1.605,56 per kg. Pemasaran yang efisien adalah pemasaran yang memberikan keuntungan yang adil kepada lembaga tataniaga yang terkait. Adil yang dimaksudkan adalah mendapatkan sesuatu sesuai dengan porsinya (sesuatu yang dikerjakan). Maka diperlukan untuk membandingkan antara keuntungan dengan biaya.
66 Tabel 25. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga Tataniaga I II III Pedagang pengumpul desa Biaya (Rp/kg) 243.33 688.67 Keuntungan (Rp/kg) 1 756.67 5 311.33 7.22 7.71 Rasio /C (%) Pedagang pengumpul kecamatan Biaya (Rp/kg) 1096.50 1 083.00 Keuntungan (Rp/kg) 1903.50 1 917.00 1.74 Rasio /C (%) 1.77 Pedagang pengecer Biaya (Rp/kg) 394.44 405.56 Keuntungan (Rp/kg) 1 605.56 2 594.44 4.07 6.40 Rasio /C (%) Biaya total 1 734.28 1 488.56 688.67 Keuntungan total 5 265.73 4 511.44 5 311.33 3.04 3.03 7.71 Rasio /C (%) Tabel 25 menunjukan bahwa rasio keuntungan dan biaya terbesar terdapat pada saluran tataniaga III yaitu sebesar 7.71. Dapat dikatakan bahwa saluran tataniaga III terlalu besar dalam mengambil keuntungan, apalagi pada saluran tataniaga tersebut hanya terdapat satu lembaga tataniaga yang terlibat yaitu pedagang pengumpul desa. Hal ini menyebabkan marjin tataniaga yang besar sehingga harga menjadi lebih mahal. Padahal harga jual pada tingkat konsumen bisa lebih ditekan apabila pedagang pengumpul desa pada saluran tataniaga III ini berkenan untuk mengurangi sedikit keuntungan yang didapat. Maka dari itu, saluran tataniaga III dapat dinyatakan kurang efisien jika melihat dari sudut analisis rasio keutungan dan biaya. Meratanya rasio keuntungan dan biaya merupakan salah satu ciri pemasaran yang efisien. Jika dilihat pada Tabel 25, terdapat saluran tataniaga yang memiliki rasio keuntungan dan biaya yang relatif merata dibanding pada saluran tataniaga lain yaitu terdapat pada saluran tataniaga II. Saluran tataniaga II memiliki perbedaan nilai rasio keuntungan dan biaya yang tidak jauh yaitu 1.77 pada pedagang pengumpul kecamatan dan 6.40 pada pedagang pengecer, selain itu pada saluran tataniaga ini memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya total yang terkecil yaitu 3.03. Dapat dikatakan bahwa saluran II mengambil keuntungan yang relatif sesuai dengan pengeluaran biaya tataniaga, maka saluran tataniaga II ini relatif efisien apabila dilihat dari analisis rasio keuntungan dan biaya. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya pada Kecamatan Pangkah Analisis rasio keuntungan dan biaya merupakan suatu perbandingan antara keuntungan yang didapat dengan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas pemasaran. Untuk menganalisis rasio keuntungan dan biaya diperlukan untuk menganalisis komponen biaya yang dikeluarkan oleh masing – masing lembaga
67 tataniaga terlebih dahulu. Komponen biaya yang dikeluarkan oleh tiap lembaga tataniaga dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Biaya Tataniaga pada Saluran ke- (Rp/kg) Lembaga Tataniaga I II Pedagang pengumpul desa Bensin 243.33 Total 243.33 Pedagang pengumpul kecamatan Pegawai 175.00 Bensin 73.00 Pakan 60.00 Penyusutan 750.00 Total 1 058.00 Pedagang pengecer Bensin 243.33 Plastik 333.33 500.00 Retribusi pasar 110.00 125.00 Total 686.67 625.00 930.00 1 683.00 Biaya total Dapat dilihat pada Tabel 26 bahwa biaya total yang terbesar terdapat pada saluran tataniaga II dengan nilai Rp. 1.683,00 per kg. Saluran tataniaga II terbagi dari pedagang pengumpul kecamatan dan pedagang pengecer. Pada pedagang pengumpul kecamatan mengeluarkan biaya sebesar Rp. 1.058,00 per kg, hal ini terdapat komponen biaya terbesar yaitu biaya penyusutan sebesar Rp. 750,00 per kg. Kemudian pada pedagang pengecer mengeluarkan biaya sebesar Rp. 625,00 per kg. Terdapat komponen terbesar pada pedagang pengecer yaitu biaya plastik sebesar Rp. 500,00 per kg. Kemudian biaya yang terkecil terdapat pada saluran tataniaga I dengan besar biaya total yaitu Rp. 930,00 per kg. Tabel 27. Keuntungan tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga I II Rp/kg % Rp/kg % Pedagang pengumpul desa 3 756.67 53.14 Pedagang pengumpul kecamatan 55.33 2 942.00 Pedagang pengecer 3 313.33 46.86 2 375.00 44.67 Total 7 070.00 100.00 5 317.00 100.00 Setelah diketahui biaya yang dikeluarkan oleh masing – masing lembaga tataniaga pada setiap saluran tataniaga, maka kita dapat mengetahui juga keuntungan yang didapat pada setiap lembaga tataniaga yaitu dengan mengurangi marjin tataniaga
68 dengan biaya yang dikeluarkan pada tiap lembaga tataniaga. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 27. Pada Tabel 27 terlihat bahwa saluran tataniaga yang mendapat keuntungan terbesar adalah saluran tataniaga I dengan nilai Rp. 7.070,00 per kg. Pada saluran tataniaga I, keuntungan terbesar didapat pada pedagang pengumpul desa yaitu dengan nilai Rp. 3.756,67 per kg dengan presentase sebesar 53.14 persen. Pada saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga dengan keuntungan total terkecil yaitu Rp. 5.317,00 per kg. Pada saluran tataniaga ini, keuntungan terbesar terdapat pada pedagang pengumpul kecamatan dengan nilai Rp. 2.942,00 per kg dan presentase sebesar 55.33 persen. Setelah mendapatkan biaya dikeluarkan dan keuntungan yang didapat pada tiap lembaga tataniaga, maka dapat diketahui nilai rasio keuntungan dan biaya. Nilai rasio kuntungan dan biaya diharapkan merata pada tiap lembaga tataniaga. Agar tidak terdapat perbedaan yang terlalu besar sehingga harga jual dapat terjangkau oleh konsumen. Tabel 28. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga Tataniaga I II Pedagang pengumpul desa Biaya (Rp/kg) 243.33 Keuntungan (Rp/kg) 3 756.67 15.43 Rasio /C (%) Pedagang pengumpul kecamatan Biaya (Rp/kg) 1 058.00 Keuntungan (Rp/kg) 2 942.00 Rasio /C (%) 2.78 Pedagang pengecer Biaya (Rp/kg) 686.67 625.00 Keuntungan (Rp/kg) 3 313.33 2 375.00 4.83 3.80 Rasio /C (%) Biaya total 930.00 1 683.00 Keuntungan total 7 070.00 5 317.00 7.60 3.16 Rasio /C (%) Tabel 28 menunjukan nilai rasio keuntungan dan biaya yang terdapat pada tiap saluran tataniaga. Saluran tataniaga I memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 7.60. Sedangkan pada saluran tataniaga II terdapat nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3.16. Salah satu indikator saluran tataniaga yang efisien adalah memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya yang merata pada tiap lembaga tataniaga terkait. Hal ini dapat ditemukan pada saluran tataniaga II, karena terdapat perbedaan nilai rasio keuntungan dan biaya yang relatif kecil dibanding saluran tataniaga I. Pada pedagang pengumpul kecamatan saluran tataniaga II memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2.78, sedangkan pada pedagang pengecer memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3.80.
69 Sehingga saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga yang efisien berdasarkan indikator analisis rasio keuntungan dan biaya. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya pada Kecamatan Kramat Untuk mengetahui nilai dari rasio keuntungan dan biaya maka terlebih dahulu merinci mengenai biaya – biaya apa saja yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam melakukan aktivitas pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Kramat. Rincian biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 29 yang menunjukan mengenai biaya yang dikeluarkan oleh tiap lembaga tataniaga pada pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Kramat. Terdapat dua saluran dalam pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Kramat. Biaya tataniaga total terbesar terdapat pada saluran tataniaga I yaitu sebesar Rp. 1.550.67 per kg. Biaya ini terbagi atas biaya pedagang pengumpul kecamatan sebesar Rp. 964.00 per kg dan biaya pedagang pengecer sebesar Rp. 586,67 per kg. Saluran tataniaga II memiliki biaya tataniaga total sebesar Rp. 532,00 per kg. Biaya tataniaga ini relatif kecil karena pada saluran tataniaga II hanya terdapat pedagang pengumpul desa sebagai lembaga tataniaga yang menyalurkan komoditas. Tabel 29. Biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Biaya Tataniaga pada Saluran ke- (Rp/kg) Lembaga Tataniaga I II Pedagang pengumpul desa Bensin 292.00 Plastik 160.00 Retribusi pasar 80.00 Total 532.00 Pedagang pengumpul kecamatan Pegawai Bensin 97.33 Pakan 66.67 Penyusutan 800.00 Total 964.00 Pedagang pengecer Bensin 243.33 Plastik 250.00 Retribusi pasar 93.34 Total 586.67 1 550.67 532.00 Biaya total Marjin tataniaga merupakan hasil dari biaya yang dikeluarkan ditambahkan dengan keuntungan yang didapat oleh lembaga tataniaga. Dari rumus ini kita dapat mengetahui keuntungan yang didapat setelah mengetahui marjin tataniaga dan biaya yang dikeluarkan. Hasil nilai keuntungan lembaga tataniaga dapat dilihat pada Tabel 30.
70 Tabel 30. Keuntungan tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga I II Rp/kg % Rp/kg % Pedagang pengumpul desa 6 468.00 100.00 Pedagang pengumpul kecamatan 2 036.00 45.76 Pedagang pengecer 2 413.33 54.24 Total 4 449.33 100.00 6 468.00 100.00 Seperti yang terlihat pada Tabel 30 bahwa saluran tataniaga I mendapatkan keuntungan tataniaga total sebesar Rp. 4.449,33 per kg. Besarnya keuntungan ini terbagi atas keuntungan tataniaga pada pedagang pengumpul kecamatan sebesar Rp. 2.036.00 per kg (45.76 persen) dan keuntungan pada pedagang pengecer sebesar Rp. 2.413,33 per kg (54.24 persen). Saluran tataniaga II mendapatkan keuntungan tataniaga total yang lebih besar yaitu sebesar Rp. 6.468,00 per kg. Keuntungan total pada saluran tataniaga II hanya dirasakan oleh satu lembaga tataniaga yaitu pedagang penggumpul desa. Diharapkan bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh ini disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan pada proses pemasaran. Maka dari itu perlu dilakukan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh atas biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Kramat tahun 2015 Saluran Tataniaga Lembaga Tataniaga I II Pedagang pengumpul desa Biaya (Rp/kg) 532.00 Keuntungan (Rp/kg) 6 468.00 12.16 Rasio /C (%) Pedagang pengumpul kecamatan Biaya (Rp/kg) 964.00 Keuntungan (Rp/kg) 2 036.00 2.11 Rasio /C (%) Pedagang pengecer Biaya (Rp/kg) 586.67 Keuntungan (Rp/kg) 2 413.33 4.11 Rasio /C (%) Biaya total 1 550.67 532.00 Keuntungan total 4 449.33 6 468.00 2.87 12.16 Rasio /C Seperti yang terlihat pada Tabel 31, saluran tataniaga I memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2.87, dengan rincian bahwa pedagang pengumpul
71 kecamatan memiliki rasio keuntungan dan biaya sebesar 2.11 dan pedagang pengecer memilki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 4.11. Saluran tataniaga II memilki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 12.16 dan pada saluran tataniaga II hanya terdapat satu lembaga tataniaga. Saluran tataniaga II relatif besar dalam mendapatkan keuntungan, yaitu dengan nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 12.16, dapat dijelaskan bahwa biaya yang dikeluarkan sebesar 1 rupiah, akan mendapatkan keuntungan sebesar 12.16 rupiah. Dapat disimpulkan bahwa pedagang pengumpul desa pada saluran tataniaga II terlalu besar mendapatkan keuntungan. Berbeda dengan saluran I dengan nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2.87, yang dapat dijelaskan bahwa setiap biaya yang dikeluarkan sebesar 1 rupiah, akan mendapatkan keuntungan sebesar 2.87 rupiah. Pada saluran tataniaga ini mendapat keuntungan yang jauh lebih kecil daripada saluran tataniaga II. Selain itu pada tiap lembaga tataniaga yang terlibat juga mengambil keuntungan yang relatif merata antar lembaga tataniaga yang lain. Pedagang pengumpul kecamatan memiliki memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2.11 dan pedagangan pengecer sebesar 4.11. Dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga I merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien berdasarkan analisis rasio keuntungan dan biaya.
Efisiensi Tataniaga Analisis Efisiensi Tataniaga pada Kecamatan Tarub Berdasarkan hasil analisis yang telah didapat, maka hasil analisis tersebut dapat direkap sehingga akan mempermudahkan dalam mempertimbangkan mengenai saluran tataniaga yang efisien. Data rekapan tersebut dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Data rekap analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Tarub tahun 2015 Saluran Marjin tataniaga Farmer's share Rasio /C Market share tataniaga (Rp/kg) (%) (%) (%) 39.99 I 7 000 68.18 3.03 55.54 II 6 000 72.72 3.04 4.48 III 6 000 72.72 7.71 Pada Tabel 32 dapat dilihat data – data berdasarkan beberapa analisis yang telah dilakukan. Jika dari nilai dari analisis yang diperoleh, maka saluran tataniaga II merupakan saluran yang paling efisien diantara saluran lain. Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang terkecil yaitu Rp. 6.000,00 per kg, kemudian nilai farmer’s share terbesar yaitu 72.72 persen, kemudian nilai rasio keuntungan dan biaya yang merata dan relatif kecil yaitu 3.03, dan ditunjang dengan distribusi komoditas (market share) yang terbesar yaitu 55.54 persen. Dari beberapa pertimbangan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga yang paling efisien di Kecamatan Tarub, dibandingkan saluran tataniaga yang lainnya. Sehingga saluran tataniaga II dapat direkomendasikan kepada pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Tarub untuk mendistribusikan komoditas pada saluran ini.
72 Analisis Efisiensi Tataniaga pada Kecamatan Pangkah Untuk mempermudah dalam mempertimbangkan mengenai saluran tataniaga yang efisien, maka dapat melihat dari ketiga indikator yaitu analis marjin tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan dan biaya. Selain itu data mengenai market share dapat juga digunakan sebagai penunjang dalam mempertimbangkan saluran tataniaga yang efisien. Hal ini karena saluran tataniaga yang efisien juga diharapkan dapat mendistribusikan komoditas dengan jumlah yang besar dan mampu terserap oleh pasar. Tabel 33. Data rekap analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Pangkah tahun 2015 Saluran tataniaga I II
Marjin tataniaga Farmer's share (Rp/kg) (%) 8 000 65.22 7 000 68.18
Rasio /C (%) 7.60 3.16
Market share (%) 38.18 61.82
Pada Tabel 33 menunjukan hasil dari nilai masing – masing analisis pada tiap saluran tataniaga. Jika dilihat dari nilai marjin tataniaga, saluran tataniaga II merupakan saluran yang relatif efisien karena memiliki nilai marjin tataniga yang lebih kecil dari saluran tataniaga I yaitu Rp. 7.000,00 per kg. Sedangkan melihat pada nilai farmer’s share, saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien karena memiliki nilai yang lebih besar yaitu 68.18 persen. Melihat dari nilai rasio keuntungan dan biaya, saluran tataniaga II juga dapat dikatakan paling efisien karena memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya yang merata pada tiap lembaga tataniaga, selain itu saluran tataniaga II tidak mengambil untung yang terlalu besar, dengan nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3.16. Ditunjang dengan nilai market share yang besar yaitu sebesar 61.82 persen, maka saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien pada pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah. Sehingga saluran tataniaga II dapat dijadikan rekomendasi bagi para pembudidaya untuk menyalurkan komoditas pada saluran tataniaga II. Analisis Efisiensi Tataniaga pada Kecamatan Kramat Untuk menentukan saluran tataniaga yang efisien harus berdasarkan ketiga indikator yang telah disebutkan yaitu analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan dan biaya. Untuk mempermudah dalam mempertimbangkan, maka hasil dari masing – masing analisis efisiensi pemasaran dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 menunjukan hasil beberapa anaisis efisiensi tataniaga yang terdapat pada tiap saluran tataniaga. Dilihat dari analisis marjin tataniaga, saluran I adalah yang efisien karena memiliki nilai marjin tataniaga yang terkecil yaitu Rp. 6.000,00 per kg. Begitu juga berdasarkan analisis farmer’s share, saluran tataniaga I juga merupakan saluran tataniaga yang efisien dengan nilai sebesar 72.73 persen.
73 Tabel 34. Data rekap analisis efisiensi tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Kramat tahun 2015 Saluran tataniaga I II
Marjin tataniaga Farmer's share (Rp/kg) (%) 6 000 72.73 7 000 68.18
Rasio /C Market share (%) (%) 67.76 2.87 32.24 12.16
Kemudian untuk analisis rasio keuntungan dan biaya, saluran tataniaga yang efisien adalah saluran tataniaga I, karena saluran I mendapatkan keuntungan yang lebih rasional (tidak terlalu besar) yaitu 2.87 dan juga keuntungan yang merata pada tiap lembaga tataniaga dibanding dengan saluran tataniaga II. Sehingga menurut ketiga analisis yang telah disebutkan, saluran tataniaga I merupakan saluran tataniaga yang relatif efisien pada pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Kramat, ditunjang dengan market share yang besar yakni sebesar 67.76 persen. Sehingga saluran tataniaga I dapat menjadi rekomendasi bagi pembudidaya untuk menyalurkan komoditas pada saluran tataniaga ini. Dari ketiga kecamatan dapat dibandingkan untuk mencari saluran tataniaga yang paling efisien. Apabila melihat dari nilai marjin tataniaga, saluran tataniaga II dan III pada Kecamatan Tarub dan saluran tataniaga I pada Kecamatan Kramat memiliki nilai marjin tataniaga yang terkecil yaitu Rp. 6000,00. Sama halnya apabila melihat dari nilai farmer’s share, saluran tataniaga II dan II pada Kecamatan Tarub dan saluran tataniaga I pada Kecamatan Kramat memiliki nilai farmer’s share terbesar yaitu 72.73. Namun apabila melihat dari rasio keuntungan dan biaya, saluran tataniaga I pada Kecamatan Kramat memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya yang terkecil dari seluruh saluran tataniaga di setiap kecamatan yaitu 2.87. Begitu juga apabila dilihat dari tabel 31, menunjukan bahwa selisih nilai rasio keuntungan dan biaya antar lembaga tataniaga lebih kecil sehingga hal ini menunjukan nalai rasio keuntungan dan biaya lebih merata dibandingkan dengan seluruh saluran tataniaga di setiap kecamatan. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga I pada Kecamatan Kramat merupakan saluran tataniaga lele sangkuriang yang paling efisien di Kabupaten Tegal. Walaupun Kecamatan Kramat memiliki jumlah produksi lele sangkuriang yang terkecil di anatara ketiga kecamatan namun ternyata kecamatan ini memiliki saluran tataniaga yang paling efisien. Hal dipengaruhi oleh luas kecamatan kramat yang paling kecil diantara 3 kecamatan lainnya, sehingga jarak yang ditempuh dari pembudidaya ke pasar relatif dekat. Hal ini mengakibatkan saluran tataniaga yang relatif pendek sehingga fungsi yang dilakukan tidak terlalu banyak dan biaya menjadi rendah yang menyebabkan marjin tataniaga juga menjadi rendah. Begitu juga dengan keadaan infrastruktur pendukung terutama dalam transportasi yaitu jalan pada Kecamatan Kramat yang relatif lebih baik dari kecamatan lain. Hal ini dipengaruhi oleh letak Kecamatan Kramat yang berada di sekitar jalur pantura sehingga infrastruktur didaerah tersebut lebih diperhatikan oleh pemerintah dengan banyaknya jalan yang diperbaiki. Semakin baik jalan maka akan semakin mudah akses dalam pemasaran sehingga akan semakin menekan biaya pemasaran dan akan semakin efisien pada saluran tataniaga yang terjadi.
74
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
Terdapat 3 Kecamatan yang diteliti di Kabupaten Tegal, yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Pada Kecamatan Tarub terdapat 3 saluran tataniaga yang, Kecamatan pangkah terdapat 2 saluran tataniaga dan Kecamatan Kramat terdapat 2 saluran tataniaga. Fungsi tataniaga yang dilakukan pembudidaya adalah fungsi pertukaran (penjualan) dan fungsi fasilitas (standarisasi dan informasi pasar). Sedangkan pedagang pengumpul desa melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan pertukaran), fungsi fisik (pengangkutan dan penyimpanan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan dan informasi pasar). Fungsi yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan adalah fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (pengangkutan dan penyimpanan) dan fasilitas (standarisasi, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar). Fungsi yang dilakukan pedagang pengecer adalah fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (pengangkutan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan dan informasi pasar). Struktur pasar yang terjadi di pembudidaya adalah mendekati strutur pasar oligosopni, di pedagang pengumpul desa adalah mendekati struktur pasar oligopoli, di pedagang pengumpul kecamatan adalah struktur pasar oligopoli, di pedagang pengecer adalah mendekati pasar persaingan sempurna. Prilaku tataniaga yang dilakukan antara lain praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerja sama antar lembaga tataniaga. Berdasarkan beberapa analisis seperti analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share dan analisis rasio keuntungan dan biaya maka didapat saluran tataniaga yang relatif efisien pada masing – masing kecamatan. Pada Kecamatan Tarub saluran tataniaga yang relatif efisien adalah saluran tataniaga II. Pada Kecamatan Pangkah saluran tataniaga yang efisien adalah saluran tataniaga II. Pada Kecamatan Kramat saluran tataniaga yang efisien adalah saluran tataniaga I.
Saran Para pembudidaya sebaiknya menjual hasil budidaya lele sangkuriang pada saluran tataniaga yang relatif efisien pada penelitian, yaitu pada Kecamatan Tarub pada saluran tataniaga II, Kecamatan Pangkah terdapat pada saluran tataniaga II dan Kecamatan Kramat terdapat pada saluran tataniaga I. Pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal sebaiknya melakukan pertemuan rutin pada kelompok pembudidaya ikan yang diharapkan dapat menjadi sarana bagi para pembudidaya untuk bertukar informasi mengenai harga yang berlaku dipasaran sehingga posisi tawar pembudidaya menjadi lebih kuat.
75
DAFTAR PUSTAKA Alfikri S. 2014. Analisis Tataniaga Telur Itik di Kabupaten Cirebon (Skripsi).Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asmarantaka RW. 2012. Agrimarketing. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal.2014. Buku Profil Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal, Slawi. Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal.2014. Buku Statistik Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal.Slawi. Faisal M. 2010. Analisis Tataniaga Sapi Potong PT. Kariyana Gita Utama Cicurug Sukabumi (skripsi).Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fariyanti A, Jahroh S, Kusnadi N, Rachmina D. 2009. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hanafiah AM, Saefudin. 2006. Tataniaga Hasil Perikanan. Jakarta : Universitas Indonesia (UI) Press. Harahap M. 2010. Analisis Tataniaga Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.) di Desa Pabuaran Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor (Skripsi).Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kohls RL, Uhl JN. 2002. Marketing of Agricultural Product Ninth Edition. USA : Prentice-Hall Inc. Limbong W.H, Sitorus P. 1987. Bahan Kuliah Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Luthfi A. 2014. Analisis Tataniaga Beras Varietas Kuriak Kusuik di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat (Skripsi).Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purcell W.D. 1979. Agricultural Marketing, Systems, Coordination, Cash and Future Prices.Reston Publishing Company, Inc. Virginia. Puspitasari E.Y, 2010. Analisis Efisensi Tataniaga Pada Kelompok Usaha Budidaya Ikan Lele Sangkuriang di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Skripsi). Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Safitri B. 2009. Analisis Tataniaga Telur Ayam Kampung (Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) (Skripsi). Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sembiring K.P. 2013.Analisis Tataniaga Kubis (Brassica Oleracea L) Di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat (Skripsi). Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarigan J.F, 2014. Analisis Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat (Skripsi).Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
76 Lampiran 1. Profil responden pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Tarub
No
Nama
1 Hasanudin
Alamat
Kelamin
Pendidikan
Pengalaman Usaha (tahun)
Ukuran dan Jumlah Kolam (m x m (m²))
Pria
58
SD
3
4x6 (5); 5x4 (1); 2x7 (1)
2 Titik Herawati Desa Depok
Wanita
44
SLTA/ sederajat
4
3x10 (3); 3x8 (3); 2.5x5 (2); 3x3 (2)
3 Baehakhi
Desa Lebaksiu
Pria
62
Sarjana
10
5x3 (4); 2.5x3.5 (4); 4x6 (2)
4 Komarudin
Desa Kalikangkung Pria
39
SLTA/ sederajat
8
3x6 (13)
5 Jono
Desa Bogares Lor
Pria
65
SLTP/ sederajat
9
4x5 (10); 3x6 (1)
6 M. Subhan
Desa Grobog Wetan Pria
36
SLTP/ sederajat
4
4x6 (21)
7 Adikin
Desa Dermasandi
Pria
37
Sarjana
4
4x6 (2)
8 Ismail
Desa Talok
Pria
32
SLTP/ sederajat
8
3x5 (15)
9 Rosidi
Desa Pecabean
Pria
38
Tidak Sekolah
2
3x4.5 (10)
Desa Pangka
Pria
43
SLTA/ sederajat
1
2x4 (6)
10 Nusi
Desa Purbayasa
Usia (tahun)
Lanjutan Lampiran 1.
No
Nama
Luas Jumlah Kolam tebar Total Benih (m²) (ekor)
Jumlah panen (kg)
I
II
III
IV
Status Lahan
Saluran Tataniaga
rata - rata
1 Hasanudin
154
2 500 120 140 165 180
151.25
hak milik
I
2 Titik Herawati
205
5 000 360 325 358 336
344.75
hak milik
II
3 Baehakhi
143
2 000 128
80 130 144
120.50
hak milik
II
4 Komarudin
234
5 500 340 315 363 370
347.00
10 hak milik, 3 sewa
II
5 Jono
218
4 000 245 270 120 256
222.75
hak milik
II
6 M. Subhan
504
6 000 415 428 360 320
380.75
hak milik
I
7 Adikin
48
2 000 136 140 128 125
132.25
sewa
II
8 Ismail
225
3 000 173 215 190
70
162.00
9 Rosidi
135
3 000 210 188 165 216
194.75
sewa
II
48
2 500 110 175 164 140
147.25
sewa
I
10 Nusi
10 hak milik, 5 sewa
I
77 Lampiran 2. Profil responden pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah
No
Nama
Alamat
Kelamin
Usia (tahun)
Pengalaman Ukuran dan Jumlah Kolam Usaha (m x m (m²)) (tahun)
Pendidikan
1 A. Kustedjo
Desa Kesadikan
Pria
46 SLTA/ sederajat
1
4x6 (4); 4x2 (1)
2 Sopandi
Desa Bulakwaru
Pria
33 SD
4
2x3 (3); 3x4 (1)
3 Saeful Bakri
Desa Karang jati
Pria
34 SLTA/ sederajat
3
3x5 (4); 4x3 (2); 4x6 (2)
4 Rojichan
Desa Kemanggungan
Pria
40 SLTP/ sederajat
10
10x15 (30); 10x10 (25)
5 Suhana
Desa Karang jati
Pria
39 SD
16
10x10 (33)
Lanjutan Lampiran 2.
No
Nama
Luas Jumlah Kolam tebar Total Benih (m²) (ekor)
Jumlah panen (kg)
I 1 A. Kustedjo
II
III
IV
Status Lahan
Saluran Tataniaga
rata - rata
104
4 000
270
256
235
150
227.75
hak milik
III
30
1 500
105
78
95
90
92.00
bagi hasil
III
132
2 500
135
156
170
148
152.25
hak milik
III
4 Rojichan
7 000
90 000
5 955
5 788
6 045
5 630
5854.50 36 hak milik, 19 sewa
II
5 Suhana
3 300
70 000
4 340
3 870
4 287
4 365
4215.50
I
2 Sopandi 3 Saeful Bakri
hak milik
Lampiran 3. Profil responden pembudidaya lele sangkuriang di Kecamatan Kramat
No
Nama
Alamat
Kelamin
Usia (tahun)
Pendidikan
Pengalaman Usaha (tahun)
Ukuran dan Jumlah Kolam (m x m (m²))
1 Kasmudi
Desa Mejasem Timur
Pria
42
SLTA/ sederajat
3
4x6 (8)
2 Talib
Desa Kertayasa
Pria
39
SLTA/ sederajat
1
3x4 (2)
3 Sunarto
Desa Kertayasa
Pria
47
SLTA/ sederajat
2
4x3 (2)
4 Joko
Desa Mejasem Timur
Pria
43
SLTP/ sederajat
3
3x5 (2)
5 Diyan
Desa Mejasem Timur
Pria
46
SLTP/ sederajat
4
4x4 (3)
6 S. Gunawan
Desa Mejasem Barat
Pria
47
SLTP/ sederajat
4
4x3 (3); 4x4 (2)
78 Lanjutan Lampiran 3.
No
Nama
1
Kasmudi
2
Luas Kolam Total (m²)
Jumlah tebar Benih (ekor)
Jumlah panen (kg)
I
II
III
IV
Status Lahan
Saluran Tataniaga
rata - rata
192
5 000
284
297
308
320
302.25
hak milik
I
Talib
24
1 500
93
75
60
84
78.00
hak milik
II
3
Sunarto
24
1 000
50
64
78
72
66.00
hak milik
I
4
Joko
30
1 500
98
87
65
94
86.00
hak milik
I
5
Diyan
48
1 500
69
72
88
108
84.25
hak milik
I
6
S. Gunawan
48
3 000
183
174
166
190
178.25
hak milik
II
79 Lampiran 4. Profil responden pedagang lele sangkuriang di Kecamatan Tarub
No 1 2 3 4 5
Nama Dodi Komar Nur aeni Sisri Sandies
Jenis Usia Kelamin (tahun) Pria Pria wanita Wanita Pria
54 42 45 32 44
Pengalaman usaha (tahun) Sarjana 7 SLTA / sederajat 4 SD 16 SD 5 SD 8 Pendidikan
Volume penjualan (kg) 200 60 50 30 30
Lampiran 5. Profil responden pedagang lele sangkuriang di Kecamatan Pangkah
No 1 2 3 4
Nama Yuni Darto Winardi Masinah
Pengalaman usaha (tahun) 41 SLTA / sederajat 5 35 SLTA / sederajat 3 46 SLTP/ sederajat 7 40 SLTP/ sederajat 5
Jenis Usia Kelamin (tahun) Wanita Pria Wanita wanita
Pendidikan
Volume penjualan (kg) 200 60 30 20
Lampiran 6. Profil responden pedagang lele sangkuriang di Kecamatan Kramat
No
Nama
1 Tiar 2 Andi 3 Joleha
Pengalaman Pendidikan usaha (tahun) 45 SLTP/ sederajat 4 43 SLTA / sederajat 5 36 SLTP/ sederajat 5
Jenis Usia Kelamin (tahun) Pria Pria Wanita
Volume penjualan (kg) 150 50 30
80 Lampiran 7. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga I Kecamatan Tarub Komponen Biaya Pedagang pengumpul desa (60 kg) Bensin Total Pedagang pengumpul kecamatan (200 kg) Pegawai Bensin Pakan Penyusutan Total Pedagang pengecer (30 kg) Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya Total
Keterangan
2 liter x 7 300
Biaya (Rp)
Biaya per kg (Rp/kg)
14 600.00 14 600.00
243.33 243.33
1 orang 1 liter 1 kilogram 5 % x 200 kg x harga beli
30 000.00 7 300.00 12 000.00 170 000.00 219 300.00
150.00 36.50 60.00 850.00 1 096.50
1 pack
8 000.00 2 000.00 500.00 1 333.33 11 833.33 245 733.33
266.67 66.67 16.67 44.44 394.44 1 734.28
40000 / 30 hari
Lampiran 8. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga II Kecamatan Tarub Komponen Biaya Pedagang pengumpul kecamatan (200 kg) Pegawai Bensin Pakan Penyusutan Total Pedagang pengecer (30 kg) Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya Total
Keterangan
Biaya (Rp)
Biaya per kg (Rp/kg)
1 orang 2 liter x 7300 1 kilogram 5 % x 200 kg x harga beli
30 000.00 14 600.00 12 000.00 160 000.00 216 600.00
150.00 73.00 60.00 800.00 1 083.00
1 pack
10 000.00 1 000.00 500.00 666.67 12 166.67 228 766.67
333.33 33.33 16.67 22.22 405.56 1 488.56
20000 / 30 hari
81 Lampiran 9. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga III Kecamatan Tarub Komponen Biaya Pedagang pengumpul desa (50 kg) Bensin Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya total
Keterangan
2 liter x 7300 2 pack x 8000
40000 / 30 hari
Biaya (Rp)
Biaya per kg (Rp/kg)
14 600.00 16 000.00 2 000.00 500.00 1 333.33 34 433.33 34 433.33
292.00 320.00 40.00 10.00 26.67 688.67 688.67
Lampiran 10. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga I Kecamatan Pangkah Komponen Biaya Pedagang pengumpul desa (60 kg) Bensin Total Pedagang pengecer (30 kg) Bensin Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya Total
Keterangan
Biaya (Rp)
Biaya per kg (Rp/kg)
2 liter x 7300
14 600.00 14 600.00
243.33 243.33
1 liter 1 pack
7 300.00 10 000.00 1 800.00 500.00 1000.00 13 300.00 27 900.00
243.33 333.33 60.00 16.67 33.33 686.67 930.00
30000 / 30 hari
82 Lampiran 11. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga II Kecamatan Pangkah Komponen Biaya Pedagang pengumpul kecamatan (200 kg) Pegawai Bensin Pakan Penyusutan Total Pedagang pengecer (20 kg) Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya Total
Keterangan
1 Orang 2 Liter 5% x 200 kg x harga beli
1 pack
30000 / 30 hari
Biaya (Rp)
Biaya per kg (Rp/kg)
35 000.00 14 600.00 12 000.00 150 000.00 211 600.00
175 73 60 750 1 058
10 000.00 1 000.00 500.00 1000.00 12 500.00 224 100.00
500 50 25 50 625 1 683
Lampiran 12. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga I Kecamatan Kramat Komponen Biaya Pedagang pengumpul kecamatan (150) Bensin Pakan Penyutan Total Pedagang pengecer (30 kg) Bensin Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya Total
Keterangan
2 liter x 7300 5% x 150 kg x harga beli
1 liter 1 pack
15000 / 30 hari
Biaya (Rp)
Biaya per kg (Rp/kg)
14 600.00 10 000.00 120 000.00 144 600.00
97.33 66.67 800.00 964.00
7 300.00 7 500.00 1 800.00 500.00 500.00 17 600.00 162 200.00
243.33 250.00 60.00 16.67 16.67 586.67 1 550.67
83 Lampiran 13. Biaya tataniaga pada saluran tataniaga II Kecamatan Kramat
Komponen Biaya Pedagang pengumpul desa (50 kg) Bensin Plastik Sewa lapak per hari Uang sampah Retribusi per bulan Total Biaya Total
Keterangan
2 liter 1 pack
15000 / 30 hari
Biaya (Rp)
14 600.00 8 000.00 3 000.00 500.00 500.00 26 600.00 26 600.00
Biaya per kg (Rp/kg)
292.00 160.00 60.00 10.00 10.00 532.00 532.00
84
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 30 September 1990. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Risang Sri Nugroho dan Ibu Retna Puspaningtyas. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD N Trayeman 03 pada tahun 2002. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, penulis melanjutkan pendidikan di SMP N 1 Slawi, Kabupaten Tegal dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA N 1 Slawi, Kabupaten Tegal. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai mahasiswa Diploma III Pengelolaan Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan berhasil lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Institut Pertanian Bogor, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, melalui jalur seleksi tertulis.
Bogor, Januari 2016 Penulis