ANALISIS DETERMINAN EKSPOR CPO INDONESIA PERIODE 2002-2011 Amalia Dwi Puspita, Fithra Faisal Hastiadi Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Indonesia Email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini menganalisis apa saja faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat ekspor CPO Indonesia ke dunia, termasuk ke negara- negara yang menjadi tujuan utama ekspor CPO Indonesia itu sendiri. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan OLS dengan data time series selama sepuluh tahun yaitu tahun 2002 sampai dengan 2011. Penelitian ini juga memasukkan indeks perhitungan RCA sebagai salah satu variabel dalam model, dengan tujuan dapat menangkap unsur keunggulan komparatif yang penting dalam perdagangan. Pada hasil penelitian kemudian ditemukan bahwa faktor seperti harga CPO dunia, harga ekspor komoditas CPO Indonesia, tarif dan efisiensi dalam produksi yang digambarkan dengan keunggulan komparatif, memiliki pengaruh terhadap ekspor CPO Indonesia tapi tidak dengan nilai tukar riil rupiah terhadap dolar. AN ANALYSIS ON THE DETERMINANTS OF INDONESIAN CPO EXPORTS FOR THE PERIOD 2002 TO 2011 Abstract The focus of this study is to analyze determinants of Indonesia’s export on commodities, specifically Crude Palm Oil and to figure out influences that affect Indonesia’s export to world market and its partner countries. The approach that used in this study is time series regression using Ordinary Least Square estimation and the period of observation is 2002 to 2011. This study also included RCA index as one of the variable in the model in order to capture the role of comparative advantage, which is important, in trade between countries. This study later on, found out that factors such as CPO’s price in world market, Indonesia’s export price on CPO, tariff rate in partner countries and comparative advantage which represents efficiency in production, affect Indonesia’s export of CPO. Meanwhile, real exchange rate is found to be not significant in affecting Indonesia’s export of CPO. Keywords: Comparative Advantage; Crude Palm Oil; Export’s Determinants; International Trade Pendahuluan Indonesia kini tengah mengalami proses transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara yang mengalami industrialisasi. Bank Dunia menglasifikasikan Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami transformasi karena sektor pertanian bukan lagi sumber utama bagi pertumbuhan (Bank Dunia, 2008). Meskipun kini sektor pertanian tidak lagi menjadi sektor utama yang menopang pertumbuhan ekonomi melalui kontribusinya melalui PDB (Produk Domestik Bruto), namun demikian komoditas dari sektor pertanian tetap menjadi andalan dalam ekspor Indonesia. Berdasarkan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, paling tidak terdapat sepuluh komoditas andalan ekspor Indonesia yaitu tekstil dan produk tekstil, elektronik, karet dan produk olahannya, minyak sawit, hasil hutan, produk otomotif, produk alas kaki (footwear), udang, kokoa, dan kopi. Minyak sawit merupakan salah satu komoditas yang menjadi andalan terutama untuk ekspor non-migas.
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Produksi Minyak Sawit Indonesia Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, negara- negara lain di wilayah Asia, bahkan negara lain di dunia, Indonesia memiliki comparative advantage pada produksi minyak sawit, khususnya Crude Palm Oil (CPO). Sejak tahun 2005, Indonesia dan Malaysia berada pada kompetisi yang ketat dalam produksi dan ekspor minyak sawit. Negara lain yang juga memproduksi minyak sawit, antara lain Thailand, Colombia, dan Nigeria. Kompetisi yang ketat antara Indonesia dan Malaysia berlanjut sampai pada akhirnya di tahun 2006 Indonesia berhasil melewati Malaysia dalam produksi minyak sawit. Sebelumnya Indonesia berada pada posisi nomor dua dengan total produksi sebesar 13,8 juta ton atau 41,2 persen dari pangsa produksi CPO dunia dan Malaysia berada di nomor satu dengan jumlah produksi sebesar 15,38 juta ton (45,24 persen). Namun demikian, tingkat pertumbuhan CPO di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, 14,72 persen sementara Malaysia hanya sebesar 6,06 persen. Oleh karena itu, pada tahun 2006 Indonesia menjadi penghasil CPO terbesar di dunia sampai saat ini. Hal tersebut tidak terlepas dari intervensi pemerintah yang mencanangkan kebijakan perluasan area plantasi atau perkebunan kelapa sawit di beberapa wilayah di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua di tahun 2005. Grafik 1 menunjukkan Indonesia berhasil mempertahankan posisinya sebagai produsen CPO terbesar sejak periode 2005/2006 sampai dengan saat ini (April 2013-data terbaru). Tercatat pada April 2012/2013 Indonesia memproduksi sebesar 28,5 juta ton dan Malaysia memproduksi sebesar 19 juta ton, diikuti dengan Thailand sebesar 1,7 ton, Kolombia 960 ribu ton, Nigeria sebesar 850 ribu ton dan negara-negara lain di dunia memproduksi sebesar 3,31 juta ton. Selama hampir satu dasa warsa terakhir Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.
30000 25000 Indonesia
20000
Malaysia 15000
Thailand Colombia
10000
Nigeria 5000
Other
0 2008/09 2009/10 2010/11 2011/12
Mar Apr 2012/13 2012/13
Grafik 1. Produksi Minyak Sawit Negara Produsen Palm Oil (metric ton), 2008- April 2013 Sumber: United States Department of Agriculture, olahan penulis
Share Ekspor Crude Palm Oil Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, kedua negara tersebut menguasai industri minyak sawit secara global. Grafik 2 dan 3 memperlihatkan pangsa atau share ekspor CPO dunia selama periode 2002 sampai dengan 2012. Grafik-grafik tersebut menggambarkan bahwa selama satu dasa warsa terakhir Indonesia dan
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Malaysia menguasai pangsa ekspor dunia untuk CPO tidak pernah kurang dari 80 persen dari total keseluruhan ekspor CPO dunia. 100% 80% 60%
Rest of the World Malaysia
40%
Indonesia 20% 0% 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Grafik 2. Share Ekspor CPO dunia (%) Sumber: UNCOMTRADE, olahan penulis Indonesia
Malaysia
Rest of the World
5%
38% 57%
Grafik 3. Share Ekspor CPO Dunia Tahun 2012 (%)
Sumber: UNCOMTRADE, olahan penulis
Pada tahun 2011 tercatat Indonesia dan Malaysia menjadi dua pengekspor terbesar dengan share sebesar 89,42 persen sementara negara-negara lain hanya berkisar sebesar 10,58 persen. Indonesia dan Malaysia pada tahun 2010 tercatat menguasai pangsa pasar ekspor dunia sebesar 94,18 persen dan angka ini merupakan yang terbesar selama periode 2002 sampai dengan 2011. Sementara itu, pada tahun 2012 pangsa ekspor yang dimiliki Indonesia dan Malaysia terhadap keseluruhan total ekspor CPO dunia mencapai 95 persen sedangkan negara-negara lain (rest of the world) hanya berkisar 5 persen dari keseluruhan total nilai ekspor dunia yang mencapai 11,78 miliar Dolar AS pada tahun yang sama. Dari total keseluruhan share ekspor yang begitu besar yang dimiliki oleh Indonesia pada industri minyak sawit khususnya Crude Palm Oil, Indonesia mengekspor CPOnya ke beberapa negara yang menjadi partner country-nya antara lain India, Cina dan Malaysia. Sebuah fakta yang menarik bahwa Malaysia yang juga merupakan eksportir sekaligus produsen CPO nomor dua setelah Indonesia, ternyata mengimpor CPO dari Indonesia. Tercatat pada tahun 2011 nilai impor CPO Indonesia yang
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
masuk ke negara Malaysia dan India secara berurutan adalah sebesar 1,47 miliar dan 4,25 miliar Dolar AS, sementara nilai impor CPO Indonesia di Cina hanya berkisar 74,6 juta Dolar AS. Meskipun demikian, Indonesia tetap menguasai pangsa impor CPO dari total keseluruhan impor CPO yang masuk menuju ketiga negara tersebut (India, Cina dan Malaysia). Grafik 4 menggambarkan bagaimana pangsa impor CPO Indonesia terhadap keseluruhan impor CPO yang masuk ke ketiga negara. Secara rata-rata share impor CPO Indonesia selama periode 2002 sampai dengan 2011 adalah sebesar 77,5 persen, dengan kata lain ketiga negara tersebut merupakan partner country yang penting bagi Indonesia sekaligus memiliki ketergantungan akan impor CPO dari Indonesia. Cina
India
Malaysia 78,39% 76,50%
2011
71,88%
2010 58,01%
2009 45,19%
2008
24,10%
2004
82,78%
63,02% 6,31%
48,63%
97,58%
92,04%
82,83%
2003 2002
83,69%
80,73% 53,93%
2005
95,35%
86,51% 88,28%
42,26%
2006
84,95%
85,58% 85,13%
45,27%
2007
89,99%
98,95% 98,48% 98,95% 94,70%
88,48%
Grafik 4. Share Impor CPO Indonesia (Dolar AS)
Sumber: UNCOMTRADE, olahan penulis Mengapa Ekspor Crude Palm Oil Lebih jauh lagi, CPO merupakan komoditas ekspor yang pertumbuhannya cepat dan menjadi salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia dan CPO juga diprediksikan akan terus menjadi komoditas yang dibutuhkan sampai tahun 2050 melalui terus naiknya permintaan dunia terhadap minyak sawit terutama untuk produk makanan dan biofuel. Selain itu, berdasarkan data United States Department of Agriculture selama periode 2008/09 sampai dengan April 2012/13 alokasi dari produksi minyak sawit Indonesia adalah sebesar 73 persen untuk ekspor dan hanya sebesar 27 persen dialokasikan untuk konsumsi domestik. Hal tersebut secara tidak langsung menggambarkan pentingnya ekspor bagi industri minyak sawit Indonesia. Minyak sawit juga merupakan komoditas yang berkontribusi cukup besar terhadap total ekspor Indonesia sejak tahun 2002. Kontribusi terbesar minyak sawit terhadap keseluruhan total ekspor komoditas adalah 9,03 persen pada tahun 2008 dan 9,26 persen pada tahun 2012. Kenaikan yang signifikan pada ekspor minyak sawit antara tahun 2007 dan 2008 dikarenakan adanya permintaan dunia yang tinggi untuk minyak sawit. Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar, mencoba untuk memenuhi permintaan yang tinggi tersebut dengan melakukan ekspansi area perkebunan minyak sawit (UNCOMTRADE). Sementara itu, apabila dilihat secara perbandingan ekspor
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Indonesia masih lebih banyak didominasi oleh CPO dibandingkan RPO (Refined Palm Oil) sehingga secara tidak langsung kontribusi ekspor minyak sawit Indonesia dapat menggambarkan bagaimana kontribusi CPO terhadap ekspor. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini selanjutnya bertujuan ingin mengetahui apa saja faktor-faktor atau determinan ekspor komoditas Crude Palm Oil Indonesia, termasuk ke negara-negara tujuan utama ekspornya, selama periode 2002 sampai dengan 2011. Adapun alasan mengapa periode tersebut dipilih karena di dalam kurun waktu tersebut terjadi transisi dimana Indonesia berhasil melewati Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, yaitu di tahun 2006. Tinjauan Referensi Penelitian ini menggunakan beberapa teori dari perdagangan internasional yang digunakan sebagai basis atau dasar teori, antara lain tentang Perdagangan Internasional (International Trade). Perdagangan internasional merupakan suatu aktivitas dimana terjadi proses pertukaran barang dan jasa yang melewati perbatasan suatu negara dan aktivitas ini kemudian akan memberikan dampak terhadap perekonomian domestik maupun dunia (Markusen, 1995). Selain itu, digunakan juga teori yang dikembangkan oleh David Ricardo pada tahun 1817 atau yang dikenal juga dengan Ricardian Theory, dimana dibahas mengenai keunggulan komparatif (comparative advantage). Suatu negara dikatakan memiliki keunggulan komparatif apabila negara tersebut memproduksi suatu barang yang sama dan juga diproduksi oleh negara lain, akan tetapi dengan opportunity cost yang lebih rendah. Comparative advantage menjadi penting karena gain from trade dalam perdagangan hanya dapat terjadi apabila paling tidak satu negara yang terlibat dalam perdagangan internasional memiliki comparative advantage (Krugman et al., 2012). Penelitian ini juga selanjutnya melihat bagaimana hubungan antara tarif dan nilai tukar riil mata uang terhadap jumlah ekspor suatu komoditas di satu negara. Penelitian terdahulu banyak yang telah menganalisis mengenai determinan ekspor suatu komoditas antara penelitian Athukorala (1991), Lordkipanidxe, Epperson dan Ames (1996), Jongwanich (2009), Amzul (2011) serta Sulistyanto dan Akyuwen (2011). Penelitian-penelitian tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penentuan spesifikasi model penelitian pada studi ini. Athukorala (1991) menganalisis determinan ekspor komoditas pertanian di negara-negara berkembang (developing countries) di Asia, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, India, Pakistan dan Sri Langka dengan pendekatan Ordinary Least Square. Model penelitian yang digunakan Athukorala adalah: XV = XV merupakan jumlah ekspor produk pertanian, variabel ini digunakan sebagai variabel dependen dalam penelitian Athukorala. Adapun variabel independennya adalah permintaan akan ekspor produk tradisional pertanian (WD), tingkat competitiveness dari produk ekspor (CM) dan diversifikasi ekspor (DV) yang diperoleh melalui perhitungan Gini- Hirschman Coefficient1. Hasil yang ditemui pada penelitian ini yaitu terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara permintaan dunia dan tingkat daya saing (competitiveness) terhadap volume ekspor produk pertanian tradisional serta terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara diversifikasi ekspor dengan volume ekspor produk pertanian tradisional di tujuh negara berkembang di Asia. Jongwanich (2009) melakukan penelitian mengenai dampak dari adanya food safety standards pada ekspor produk makanan olahan di negara berkembang dengan pendekatan panel. Model :
1
Nilai independen variabel pada penelitian yang dilakukan Premachandra Athukorala diperoleh melalui perhitungan khusus,
∑
W
;
[∑
⁄∑
];
√∑
(
⁄∑
) (Gini- Hirschman Coefficient).
`
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Variabel dependen pada penelitian ini adalah export performance, yang diproksikan dalam jumlah ekspor, dari produk olahan (PROEX). Sementara itu variabel bebas yang digunakan antara lain adalah food safety standards (SPS), ukuran pasar domestik negara (CS), kelimpahan sumber daya pertanian (ARE), rezim kebijakan perdagangan (Trade Policy Regime)- (OPEN), stabilitas finansial (DC), stabilitas harga (PIS), FDI, nilai tukar riil mata uang (RER), infrastruktur (INFRA) yang diproksikan dengan fasilitas jalan raya (ROAD) serta terdapat variabel dummy kondisi geografis. Pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa food safety standards, ukuran pasar domestik, initial endowment, rezim kebijakan perdagangan, stabilitas finansial, nilai tukar riil mata uang berpengaruh signifikan dengan export performance, sedangkan variabel FDI, stabilitas harga dan proksi infrastuktur, ROAD, tidak signifikan berpengaruh terhadap export performance. Lordkipanidxe, Epperson dan Ames (1996) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan impor minyak kanola di Amerika Serikat (ekspor minyak kanola dari Kanada ke AS). Model diestimati menggunakan GLS (Generalized Least Square), model dalam penelitian ini adalah :
Kuantitas impor minyak kanola per kapita menjadi variabel dependen dan variabel independennya antara lain, harga minyak kanola, harga minyak substitusinya, yaitu kedelai dan CPO, nilai tukar mata uang dolar Kanada terhadap AS, pendapatan bersih per kapita, jumlah impor di lag sebelumnya, faktor trend dan musim (variabel dummy). Berdasarkan hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa harga komoditas minyak kanola dan pendapatan bersih ternyata belum mampu menjelaskan permintaan impor minyak kanola di AS. Hal tersebut diperkirakan karena data bulanan tidak dapat merefleksikan dampak dari income effect. Harga minyak yang menjadi substitusi kanola (minyak kedelai dan CPO) memiliki pengaruh terhadap permintaan impor minyak kanola, begitu juga dengan musim dan faktor tren. Nilai tukar mata uang dolar Kanada terhadap AS memiliki pengaruh dan berhubungan negatif dengan permintaan impor minyak kanola di AS, sedangkan variabel jumlah impor periode sebelumnya tidak berpengaruh signifikan terhadap impor minyak kanola. Penelitian lainnya mengenai determinan ekspor CPO Indonesia dilakukan oleh Amzul (2011), Amzul dalam penelitiannya menganalisis peran industri minyak sawit terhadap Perekonomian Indonesia serta bagaimana daya saing ekspornya. Metode yang digunakan adalah Ordinary Least Square. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, faktor- faktor seperti harga di periode lalu, nilai tukar mata uang, pajak ekspor, serta ekspor minyak sawit yang telah diolah, mempengaruhi daya saing ekspor CPO Indonesia. Di antara variabel tersebut nilai tukar mata uang memiliki dampak yang paling besar terhadap daya saing ekspor CPO terhadap Malaysia. Sulistyanto dan Akyuwen (2011) dengan menggunakan metode multiple regression data selama 38 tahun, menemukan faktor yang signifikan mempengaruhi export performance CPO Indonesia adalah pembiayaan ekspor dan harga CPO dunia, selain itu juga harga vegetable oil lain- sunflower dan soybean- memiliki pengaruh. Metode Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan ekspor dari komoditas CPO di Indonesia, sehingga ruang lingkup yang digunakan berada pada level negara yaitu Indonesia. Sementara itu, periode observasi penelitian adalah tahun 2002 sampai dengan tahun 2011 dengan interval data bulanan (Januari 2002 s.d Desember 2011). Adapun pendekatan yang digunakan adalah metode ekonometrika yang dikenal dengan Ordinary Least Square dan data yang digunakan bersifat time series.
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis tambahan mengenai perbandingan comparative advantage antara ekspor CPO Indonesia dan Malaysia sebagai negara produsen sekaligus eksportir CPO terbesar dan terbesar ke dua di dunia. Analisis comparative advantage dilakukan menggunakan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) yang dikembangkan oleh Bela Balasa tahun 1965. Tipe komoditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah komoditas Crude Palm Oil dengan kode 151110 pada sistem klasifikasi yang dikenal dengan Harmonized System (HS) di UNCOMTRADE (United Nations Commodity Trade Statistics Database). HS merupakan suatu sistem penglasifikasian komoditas-komoditas dalam perdagangan internasional yang dilakukan oleh World Customs Organization (WCO) yang beranggotakan 170 negara dan berpusat di Brussels, Belgia. Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dipublikasikan pertama kali oleh Bela Balassa ditahun 1965 melalui tulisannya “Trade Liberalization and Comparative Advantage”. Metode RCA telah diaplikasikan dalam berbagai laporan sejak pertama kali diterbitkan (UNIDO, 1986; World Bank, 1994) dan publikasi akademis (Aquino, 1981; Craft and Thomas, 1986; van Hulst et al, 1991; Lim, 1997). RCA digunakan untuk pengukuran terhadap spesialisasi perdagangan internasional satu negara untuk komoditas tertentu. Indeks RCA merepresentasikan comparative advantage (CA) suatu negara tapi seringkali belum dapat menghasilkan pengukuran yang tepat dari CA itu sendiri. Namun demikian, hasil perhitungan RCA tetap digunakan sebagai basis penilaian potensi ekspor suatu negara (Mikic, 2005). Revealed Comparative Advantage (Balassa, 1965) dapat didefinisikan sebagai berikut: ⁄
⁄ Dimana, Xij, Xwj adalah nilai ekspor dari negara i dan total ekspor dunia untuk produk atau sub sektor j, secara berurutan ; Xit , Xwt adalah nilai total ekspor negara i dan total seluruh ekspor dunia (kumpulan negara), secara berurutan Numerator (pembilang) mewakili persentase bagian dari satu sektor terhadap total ekspor suatu negara. Denominator (penyebut) mewakili persentase bagian dari ekspor satu komoditas dari kumpulan negara terhadap keseluruhan total ekspor kumpulan negara yang dipilih, sebagai contoh negara- negara OECD atau ASEAN. Ketika share ekspor produk secara nasional lebih tinggi dari share ekspor produk tingkat dunia (RCA>1), maka negara itu dapat dikatakan memiliki revealed comparative advantage untuk komoditas tertentu. Sebaliknya, jika indeks RCA<1 maka negara itu dapat disimpulkan memiliki revealed comparative disadvantage. Selanjutnya pada penelitian ini akan digunakan variabel RCA sebagai proksi dari comparative advantage yang dimiliki Indonesia pada ekspor komoditas CPO, metode perhitungan yang digunakan adalah RCA market specialization. Indeks RCA dapat diinterpretasikan sebagai rasio spesialisasi pasar (market specialization) dan indeks ini dapat digunakan untuk berfokus pada pasar khusus tertentu, misalnya pasar di suatu negara. Oleh karena itu, muncul sedikit perubahan atau modifikasi dari indeks RCA yang dapat difokuskan untuk melihat pasar tertentu. Hal yang berbeda dalam perhitungan indeks ini yaitu, dimana denominator yang digunakan adalah nilai impor dari produk atau komoditas j pada pasar k dan total impor dari pasar k : ⁄ ⁄
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Dimana, Xij, Xit adalah nilai ekspor negara i untuk produk j dan nilai ekspor negara i ke dunia, secara berurutan; Mkj, Mkt adalah nilai impor dari produk j di pasar k dan total impor di pasar k, secara berurutan Jika nilai dari indeks RCA yang diperoleh kurang dari satu maka negara itu dapat dikatakan memiliki revealed comparative disadvantage di pasar k (pasar yang menjadi tujuan ekspor), sementara indeks RCA yang lebih dari satu menunjukkan adanya revealed comparative advantage di pasar k (UNESCAP). Regresi Time Series Trend Banyak dari data ekonomi yang bersifat time-series memiliki tendensi untuk tumbuh seiring waktu berjalan. Oleh karena itu para peneliti yang melakukan pendekatan estimasi dengan time-series harus menyadari bahwa banyak dari data series yang dipengaruhi time trend dalam menunjukkan hubungan kausalitasnya. Apabila hal ini diabaikan, maka dapat menyebabkan munculnya penarikan kesimpulan yang salah, misalnya terdapat dua variabel yang memiliki dua tren yang berlawanan arah, tetapi bisa jadi disimpulkan terdapat hubungan kausalitas diantara keduanya padahal pada kenyataan yang ada hanyalah arah tren yang berbeda dan bukan hubungan kausalitas. Pada banyak kasus seringkali terjadi dua variabel time series yang menunjukkan korelasi hanya karena dua variabel tersebut memiliki tren seiring waktu yang disebabkan oleh faktor- faktor yang tidak bisa terobservasi. Salah satu bentuk model statistik yang melibatkan adanya tren, yaitu :
Dimana et merupakan variabel independen, t merupakan variabel time trend dalam model tersebut dan α1 merupakan parameter yang dikalikan dengan t, sehingga membentuk linear time trend. α1 diinterpretasikan dengan: ketika seluruh faktor lain cateris paribus atau konstan (variabel independen yang terdapat dalam et), parameter α1 mengukur perubahan yt dari satu titik waktu ke titik waktu lainnya yang disebabkan oleh pengaruh waktu; ketika =0.
Cara lain untuk menunjukkan adanya linear time trend adalah dengan melihat apakah nilai rata- rata dari yt merupakan linear function of time : E(yt) = Ketika α1 > 0, maka secara rata- rata, yt meningkat atau tumbuh seiring waktu dan memiliki upward trend. Sebaliknya, apabila α1 < 0 maka, yt memiliki downward trend. Nilai dari yt tidak turun atau mengalami perubahan secara random, melaikan karena adanya ekspektasi bahwa nilai tersebut akan turun. Tidak seperti nilai rerata, varians dari yt bersifat konstan seiring waktu: Var(yt) = Var(et) = . Kondisi time series yang memiliki tren mendorong diperbolehkannya ada korelasi antar variabel independen (et) seiring waktu dan hal ini tidak menganggu esensi dari linear time trend itu sendiri karena pada kenyataannya dalam analisa regresi dibawah asumsi CLRM, yang terpenting adalah E(yt) yang bersifat linear dalam waktu (Wooldrige, 2009). Unit Root
Sebuah seri yang memiliki unit root artinya nilai rerata dan variansnya mengalami perubahan seiring waktu dan hal ini berbeda dengan tren yang konstan dalam varians. Disamping itu, apabila dalam di dalam seri data terdapat unit root, artinya terdapat lebih dari satu tren. Adanya unit root dalam data
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
yang digunakan berarti menunjukkan bahwa data itu tidak stasioner, sementara asumsi stasioneritas merupakan hal yang penting dalam estimasi dengan pendekatan time series. Selain itu, unit root merupakan salah satu penyebab munculnya spurious regression. Stasioneritas dan Uji Unit Root Uji stasioneritas perlu dilakukan, ada beberapa alasan penting, yaitu untuk mencegah terjadinya spurious regression dan mendapatkan hasil uji statistik t yang valid. Apabila data variabel yang berada dalam estimasi tidak bersifat stasioner maka dapat menciptakan analisa asumsi asymptotic yang tidak valid. Dengan kata lain, rasio t tidak akan mengikuti distribusi t sehingga tidak dapat diperoleh hasil analisa atau uji hipotesis yang valid bagi parameter dalam model estimasi. Uji unit root pada time series pertama kali dilakukan oleh Dickey dan Fuller (Dickey dan Fuller 1979, Fuller 1976). Tujuan dasar dari uji ini adalah untuk menguji H0 berupa ϕ=1, dimana : dan H1 berupa ϕ<1, sehingga H0= terdapat unit root H1= tidak terdapat unit root (data bersifat stasioner) Dalam regresi dilakukan dengan bentuk persamaan : Oleh karena itu uji ϕ=1, sama dengan uji (karena ϕ-1 = ). Uji DF dibagi dalam beberapa jenis, antara lain uji DF terhadap stasioneritas pada AR (1)2, stasioneritas AR(1) dengan drift (perubahan tanpa arah dan tujuan) dan stasioneritas dengan drift dan trend. Dalam bentuk hipotesis untuk setiap jenis stasioneritas, sebagai berikut : a. H0 : H1 : Merupakan uji stasioneritas pada AR(1), dan = 0. b. H0 : H1 : Merupakan uji stasioneritas pada AR(1) dengan drift, c. H0 : H1 : Merupakan uji stasioneritas pada AR(1) dengan drift dan trend. Persamaan estimasi yang digunakan dalam menguji stasioneritas , yaitu: (1); (2); (3) dimana ϕ-1 = . Pada setiap jenis uji hipotesis tersebut berdasarkan rasio t pada di estimasi regresi terhadap serta konstanta (pada jenis kedua) dan faktor tren (pada jenis ketiga). Kemudian critical value yang digunakan untuk uji t bukan merupakan distribusi t standar, melainkan sebuah critical value non standar yang telah dibuat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, yaitu oleh Fuller (1976). Tabel critical value ditunjukkan oleh Tabel 3.1. Tabel 1. Critical Values Uji DF dan ADF Α CV dengan konstanta tanpa tren CV dengan konstanta dan tren (Fuller, 1976, p373)
2
10% -2.57 -3.12
5% -2.86 -3.41
Autoregressive process of order one (AR(1))
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
1% -3.43 -3.96
Hipotesis null yang menyatakan adanya unit root ditolak apabila rasio t yang diperoleh dari regresi terhadap variabel dalam estimasi nilai lebih negatif dari critical value pada tabel 3.1. Spesifikasi model Model dalam penelitian ini mengacu pada model determinan permintaan akan komoditas Athukorala (1991), Jongwanich (2009), Lordkipanidxe, Epperson dan Ames (1996), Amzul (2011) dan Sulistyanto dan Akyuwen (2011), yang telah dijabarkan sebelumnya. Penelitian- penelitian terdahulu tersebut belum dapat menangkap peran atau unsur comparative advantage yang sangat penting dalam perdagangan internasional, sehingga pada model penelitian ini dimasukkan variabel indeks RCA sebagai proksi dari comparative advantage yang dimiliki Indonesia. Penelitian ini kemudian, menggunakan variabel dependen jumlah ekspor Crude Palm Oil ke pasar dunia sebagai proksi akan permintaan dunia terhadap komoditas CPO yang diproduksi Indonesia, berikut spesifikasi model penelitian :
Dimana, X: Volume ekspor Crude Palm Oil Indonesia (kg); PE_Ina: Harga Ekspor CPO Indonesia per ton (dolar AS); P_CPO: Harga CPO di pasar dunia (dolar AS/ metrik ton); Kurs: Nilai tukar riil Rupiah Indonesia terhadap Dolar Amerika; Tar_Ind : Tarif MFN (Most Favored Nations) simple weighted mean terhadap komoditas Negara India (%); Tar_Chi :Tarif MFN (Most Favored Nations) simple weighted mean terhadap komoditas Negara Cina (%); Tar_Mal : Tarif MFN (Most Favored Nations) simple weighted mean terhadap komoditas Negara Malaysia (%); RCAIndoindia : Revealed Comparative Advantage market specialization Indonesia di Negara India ; RCAIndoMalaysia: Revealed Comparative Advantage market specialization Indonesia di Negara Malaysia; RCAIndoCina: Revealed Comparative Advantage market specialization Indonesia di Negara Cina. Data- data untuk setiap variabel diperoleh dari berbagai sumber antara Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, World Development Indicators- World Bank, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia, World Integrated Trade Solutions (WITS) dan dari UNCOMTRADE. Tabel 2. Sumber Data dan Hipotesis Variabel Variabel
Sumber Data
Hipotesis
X
BPS (Badan Pusat Statistik Indonesia)
(n.a)
PE_Ina
BPS
(-); (Epperson dan Ames, 1996)
P_CPO
WDI- World Bank
(+); (Sulistyanto dan Akyuwen, 2011)
Kurs
Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI)- BI
(?); (Cushman, 1983 & Koray dan Lastrapes, 1989), Doyle (2001), Baak (2004) dan Ramli dan Podivinski (2011)
Tar_Ind
WITS (World Intergrated Trade Solutions)
(-); (Jongwanich, 2009)
Tar_Chi
WITS
(-)
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Tar_Mal
WITS
(-)
RCAIndoindia
UNCOMTRADE-diolah
(+); (Ricardian Theory)
RCAIndoMal
UNCOMTRADE-diolah
(+)
RCAIndoCina
UNCOMTRADE-diolah
(+)
Tidak dimasukkannya variabel PDB atau Gross Domestic Product (GDP) yang menjadi proksi dari pendapatan negara yang menjadi tujuan utama atau partner country dari ekspor CPO Indonesia, dikarenakan pada estimasi dengan interval data bulanan pengaruh dari income effect belum dapat ditangkap. Hal tersebut berdasarkan pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lordkipanidxe, Epperson dan Ames (1996) mengenai determinan ekspor minyak kanola yang masuk ke Amerika Serikat. Selain itu, alasan dimasukkannya dua variabel harga, yaitu Variabel Harga Ekspor CPO Indonesia dan Harga Komoditas CPO di Pasar Dunia adalah dengan tujuan untuk menangkap peran atau pengaruh dari adanya kebijakan non-tariff barriers, berupa pajak ekspor (export tax). Kebijakan pajak ekspor merupakan salah satu kebijakan yang dapat menyebabkan adanya perbedaan harga antara domestik dengan pasar dunia, selain kebijakan tariff atau export subsidy. Hasil dan Analisis Pada awalnya penelitian ini ingin dianalisis dengan menggunakan pendekatan Two Stage Least Squares atau Persamaan Simultan, dengan bentuk spesifikasi model sebagai berikut :
Dimana, diekspektasikan harga komoditas CPO di pasar dunia merupakan suatu variabel endogen yang dipengaruhi oleh harga minyak substitusinya yaitu harga soybean oil dan sunflower oil. Namun, setelah dilakukan uji endogeneity melalui Uji Durbin Wu- Hausman ditemukan bahwa estimasi OLS sudah konsisten dalam menjelaskan model penelitian sehingga tidak diperlukan estimasi TSLS yang menggunakan variabel instrumen. Selain itu, untuk menemukan variabel instrumen yang tepat merupakan kendala yang seringkali muncul pada persamaan simultan (Borenzstein et al.,1998), sehingga seringkali karena adanya kendala ini seolah meniadakan adanya hubungan endogen. Oleh karena itu, pada akhirnya estimasi model penelitian dilakukan dengan pendekatan OLS. Tabel 2 menunjukkan hasil regresi dari analisis determinan ekspor CPO Indonesia periode 2002 sampai dengan 2011. Berdasarkan Tabel 2 ditemukan bahwa harga ekspor komoditas CPO Indonesia, harga CPO dunia, dan Tarif Malaysia merupakan faktor penting dan signifikan mempengaruhi ekspor CPO Indonesia 2002-2011 karena signifikan di semua hasil regresi. Sementara itu, tarif yang ditetapkan di negara Cina serta comparative advantage ekspor CPO Indonesia di Negara India dan Malaysia juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah ekspor CPO Indonesia. Namun, Tarif Negara India dan comparative advantage CPO Indonesia di negara Cina , serta nilai tukar riil mata uang rupiah terhadap Dolar AS ditemukan belum signifikan dalam mempengaruhi CPO Indonesia. Tidak signifikannya, serta adanya hubungan yang ambigu antara variabel nilai tukar riil mata uang terhadap ekspor bukan menjadi hal yang baru karena beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hal yang serupa. Ramli dan Podivinski (2011) melakukan studi dengan tujuan melihat pengaruh dari volatilitas nilai tukar terhadap ekspor di lima Negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia dan Thailand) dan ditemukan bahwa nilai tukar riil memiliki dampak yang signifikan terhadap ekspor di lima negara tersebut, dan memiliki hubungan yang negatif, kecuali di Indonesia. Studi lain yang terkait, juga dilakukan oleh Doyle (2001) dan Baak (2004) menyimpulkan bahwa pengaruh nilai tukar terhadap ekspor masih bersifat ambigu, bisa secara positif maupun negatif. Hal
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
tersebut tergantung pada keputusan yang diambil oleh eksportir (agents in the market), apabila eksportir merupakan pihak yang risk averse maka hubungan antara nilai tukar riil dengan ekspor akan negatif, vice versa. (Cushman, 1983, Koray dan Lastrapes, 1989). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Joung Jin (2010) yang bertujuan untuk melihat efek dari kompetisi di pasar komoditas gandum terhadap pangsa pasar Amerika Serikat di sepuluh negara Asia. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa variabel nilai tukar riil Dolar AS terhadap mata uang lain (Dolar Australia dan Dolar Kanada) tidak signifikan atau belum mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel ekspor gamdum Amerika Serikat. Hal lain yang juga dapat menjelaskan tidak signifikannya variabel nilai tukar riil karena data dalam interval bulanan dimana perubahan atau volatilitas nilai tukar relatif kecil, kecuali ketika terjadi shock dalam perekonomian. Sementara, transaksi perdagangan seperti ekspor atau impor biasanya dilakukan dengan kontrak tertentu terutama future contract, termasuk menyepakati nilai kurs yang akan digunakan dalam transaksi ekspor atau impor tersebut. Tabel 3. Hasil Regresi Model Determinan Ekspor CPO Indonesia
RER(Rp/$) PCPOwt-1 PCPOInat-1 RCAIndia RCAMal RCAChi TarIndia3 TarMal TarChi cons Obs R2 Adjusted- R2 Prob > F
(1) X 0.0553 (0.437) 2.09* (0.578) -1.346** (0.645) -0.245 (0.989) -0.686 (0.781) -0.035 (0.126) 5.8* (2.086) -2.374* (0.597) 0.285 (1.558) 18.127* 113 0.6501 0.6195 0.0000
(2) X -0.2605 (0.407) 1.479** (0.564) -1.447** (0.631) 0.1737 (0.719) -0.6538 (0.712)
(3) X -0.0709 (0.438) 1.6209* (0.603) -1.475** (0.669) 1.506** (0.639) 0.802 (0.637)
(4) X -0.2005 (0.421) 1.769* (0.574) -1.677** (0.641)
-0.649 (0.784) -0.0041 (0.095)
(5) X 0.119 (0.415) 1.816* (0.587) -1.346** (0.665) 1.836* (0.592) 1.359* (0.483)
(6) X -0.239 (0.405) 1.522* (0.559) -1.483** (0.627)
(7) X
1.703* (0.466) -1.374** (0.574)
-1.703 (1.283) -1.238* (0.336) -0.154 (1.028) 28.183* 119 0.6309 0.6076 0.0000
-1.227* (0.277) -2.544* (0.8301) 19.863* 119 0.5922 0.5664 0.0000
28.005* 113 0.6219 0.6005 0.0000
-3.307* (0.6008) 12.711* 119 0.5857 0.5635 0.0000
-1.073* (0.147) -0.1712 (0.334) 25.559* 119 0.6274 0.6109 0.0000
-1.085* (0.0815)
23.028* 119 0.6246 0.6149 0.0000
Sementara itu, variabel lain yang ditemukan tidak signifikan pada semua regresi adalah Variabel Revealed Comparative Advantage Indonesia di Negara Cina. Tidak signifikannya variabel RCA Indonesia di Negara Cina, dapat dijelaskan dengan volume ekspor CPO Indonesia yang jumlahnya tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan dua negara tujuan ekspor lainnya (India dan Malaysia). Nilai impor CPO Indonesia ke India dan Malaysia pada tahun 2011 mencapai 4,25 miliar dan 1,47 miliar Dolar AS, secara berurut. Sementara itu Cina hanya berkisar pada nilai 74,6 juta Dolar AS pada tahun 2011 dan sebesar 119,5 juta Dolar AS pada tahun 2010. Meskipun demikian, Cina merupakan salah satu negara utama tujuan ekspor CPO Indonesia dan lebih jauh lagi pangsa impor CPO Negara Cina dikuasai oleh Indonesia (Grafik 4).
3
Terdapat multikolinearitas antara tarif India dan tarif Malaysia, sehingga terjadi redundancy antara kedua variabel tersebut, sama halnya antara variabel RCA China dan Tarif China. Adanya redundancy menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi tidak valid.
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Cina yang merupakan negara pengimpor minyak sawit terbesar kedua setelah India selama periode 2008/09 sampai dengan April 2012/13 (USDA), dalam impor minyak sawitnya lebih banyak didominasi oleh impor RPO (Refined Palm Oil) dan Malaysia mendominasi pasar RPO apabila dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki comparative advantage sebatas pada komoditas CPO (UNCOMTRADE). Minyak sawit menjadi komoditas minyak nomor dua terbesar yang dikonsumsi di Negara Cina setelah soybean oil. Berbeda dengan minyak sawit, Cina memproduksi soybean oil dan hanya sebesar 27,6 persen dari total keseluruhan konsumsi domestik yang diimpor dari luar negeri (USDA, 2010). Berdasarkan Grafik 4, terlihat terjadi peningkatan share impor CPO Indonesia di Cina dari 6,3 persen pada tahun 2002 menjadi sebesar 98,95 persen di tahun 2003. Fenomena tersebut tidak terlepas dari adanya kebijakan pemerintah Cina berupa Tariff Rate Quota (TRQ) untuk minyak mentah atau edible oil yang masuk ke negara tersebut, termasuk untuk minyak sawit. Sistem ini diperkenalkan oleh pemerintah Cina sebagai bagian dari komitmen terhadap WTO (Wahid et al.,2007). Dalam sistem TRQ, jumlah spesifik dari impor (quota) dapat masuk ke Cina dengan tingkat tarif rendah, sementara itu apabila jumlah impor telah melebihi kuota maka tarif yang dikenakan justru menjadi lebih tinggi. Pada komoditas minyak sawit, tarif yang dikenakan adalah sebesar 9 persen pada jumlah impor yang masih berada pada batas kuota sementara apabila telah over quota tarif yang dikenakan menjadi sebesar 66,3 persen. Sistem ini diimplementasikan selama 2002 sampai dengan tahun 2005 dan setiap tahunnya quota yang ditentukan berbeda- beda, yaitu 2,4 juta ton, 2,6 juta ton, 2,7 ton dan 3,17 juta ton secara berurutan. Jumlah kuota yang masuk melebihi apa yang telah ditentukan oleh pemerintah, kecuali di tahun 2002. Lebih jauh lagi, Indonesia dan negara-negara di ASEAN serta Cina telah menyepakati Free Trade Agreement yang dikenal dengan AC-FTA (ASEAN China- Free Trade Agreement) pada tahun 2010. Melalui perjanjian perdagangan bebas tersebut, Indonesia yang termasuk ke dalam negara ASEAN dapat melakukan aktivitas perdagangan dengan bebas tarif. Hal ini diharapkan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan atau benefit baik bagi negara- negara ASEAN maupun Cina.
Variabel Tarif yang ditetapkan di Negara India juga ditemukan belum signifikan di semua regresi dalam menjelaskan jumlah ekspor CPO Indonesia ke pasar dunia atau negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspornya. Tarif India yang ditemukan tidak signifikan dalam mempengaruhi jumlah ekspor CPO Indonesia dapat disebabkan karena posisi India yang merupakan importir terbesar CPO dari Indonesia dengan nilai yang mencapai 4,25 miliar (pada tahun 2011). Dengan kata lain karena ketergantungan India pada impor CPO dari Indonesia (lihat Grafik 4) maka ketika terjadi kenaikan tarif di negara tersebut (misalnya satu persen) maka tidak akan menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap permintaan impor CPO dari Indonesia dengan asumsi kenaikan tarif nilainya lebih kecil dari perbedaan harga antara dua negara, permintaan impor CPO dari Indonesia dapat dikatakan inelastis. Oleh karena itu, apabila yang terjadi adalah kenaikan tarif sebesar satu persen di Negara India maka hal ini tidak akan berpengaruh signikan terhadap jumlah ekspor CPO Indonesia, khususnya terhadap jumlah yang masuk ke negara tersebut. Terdapat berbagai perubahan pada struktur pasar untuk komoditas minyak sawit di India. Sebelum tahun 1999 struktur pasar India didominasi oleh RPO, sehingga pada periode tersebut pangsa impor minyak sawit India dikuasai oleh Malaysia. Struktur pasar minyak sawit India kemudian bergeser menjadi lebih didominasi oleh CPO karena kebijakan import tax yang diberlakukan pemerintah India. Import tax yang dikenakan pada CPO adalah 0 persen sementara 7,5 persen pada RPO, India juga memiliki industri pengolahan minyak sawit mentah (CPO) yang besar dimana CPO kemudian diolah menjadi berbagai produk turunannya, misalnya minyak goring. Industri tersebut memerlukan CPO sebagai input bagi proses produksinya (Srinivasan, 2005). Hal tersebut yang menjadi salah satu faktor mengapa India memiliki permintaan dan ketergantungan yang begitu besar akan impor CPO dari Indonesia.
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage) Ekspor CPO Indonesia Berdasarkan Tabel 3 ditunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia sama- sama memiliki revealed comparative advantage pada komoditas ekspor CPO dimana secara konstan kedua negara tersebut memiliki indeks RCA >1 selama periode 2002 sampa dengan tahun 2011.
Tabel 4. Hasil Perhitungan Revealed Comparative Advantage RCA4
Indonesia
Malaysia
2002
20.56
5.49
2003
19.61
5.51
2004
20.68
4.37
2005
20.75
4.46
2006
19.2
5.59
2007
20.62
4.51
2008
19.71
3.89
2009
20.61
4.48
2010
19.02
4.56
2011
14.5
5.62
Rest of the World 0.219 0.294 0.312 0.259 0.234 0.302 0.281 0.187 0.137 0.291
Sumber : UNCOMTRADE dan OECD stats, olahan penulis Meskipun kedua negara sama-sama memiliki comparative advantage, akan tetapi indeks dari Indonesia berada di atas Malaysia dengan perbedaan yang cukup jauh. Hal tersebut menggambarkan bahwa Indonesia memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Malaysia dalam memproduksi komoditas Crude Palm Oil. Sementara itu, negara- negara lainnya belum memiliki comparative advantage dalam memproduksi CPO. Meskipun Indonesia memiliki comparative advantage pada komoditas CPO yang lebih baik dibandingkan dengan Malaysia, namun demikian tidak pada produk turunan dari CPO, refined palm oil atau minyak sawit mentah yang telah diolah. Malaysia, meskipun kurang efisien dalam produksi CPO dibandingkan dengan Indonesia, karena biaya produksi CPO di Indonesia hanya berkisar antara 150 sampai dengan 180 Dolar AS per ton sedangkan di Malaysia mencapai 220 Dolar AS per ton, akan tetapi Malaysia unggul di pasar dunia dalam produksi komoditas turunan CPO. Ekspor Malaysia akan produk turunan sawit didominasi oleh produk turunan CPO yang telah diolah dengan perbandingan refined palm oil: CPO sama dengan 80:20, berbeda dengan Indonesia yang perbandingan antara refined palm oil dengan CPO yang masih berkisar di 60:40 di tahun 2012. Tentu hal ini menjadi hal yang sangat disayangkan karena harga dari produk atau komoditas turunan CPO harganya bisa mencapai 12 kali lipat dari harga CPO itu sendiri. 4
Negara- negara yang masuk kedalam kumpulan negara dalam perhitungan indeks RCA ini antara lain negara- negara OECD (Organization for Economic Co-operation and Development- beranggotakan 34 negara) ditambah dengan Negara Non-OECD yaitu Brazil, India, Cina, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, Federasi Rusia. Dipilihnya negara- negara tersebut karena negara- negara itu dinilai kini memiliki pertumbuhan ekonomi yang disoroti dunia. India, Indonesia, Cina, Afrika Selatan, Rusia dan Brazil tergabung ke dalam G-20 sehingga dinilai penting dalam memasukkan data perdagangannya dalam perhitungan perdagangan dunia dan juga negara- negara G-20 merupakan negara yang menguasai sekitar 80 persen dari perdagangan dunia. Ditambahkannya Malaysia bertujuan agar tidak terjadi bias dalam perhitungan RCA karena tujuan dari perhitungan ini ingin melihat comparative advantage akan ekspor CPO Indonesia dan Malaysia yang merupakan produsen sekaligus eksportir terbesar dan nomor dua terbesar di dunia
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Komoditas CPO Indonesia kemudian di ekspor ke negara tujuan utama ekspor yang salah satunya adalah Malaysia. Malaysia memanfaatkan CPO yang diimpor dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi produk turunan yang memiliki nilai tambah jauh lebih tinggi dari CPO. Dengan kata lain, justru keuntungan dari olahan CPO dinikmati oleh negara lain yang mengimpor CPO dari Indonesia dengan memanfaatkan teknologi untuk memroduksi produk turunan, sementara Indonesia masih mengandalkan produk mentah sebagai komoditas ekspor. Selain permasalahan produk olahan CPO yang pengembangannya sampai saat ini masih terbatas. Indonesia juga mengalami permasalahan dalam produktivitas produksi CPO. Meskipun memang Indonesia sampai dengan saat ini masih memiliki posisi sebagai produsen nomor satu CPO namun dalam hal produktivitas Indonesia masih kalah dengan pesaing, yaitu Malaysia. Malaysia dengan 5 juta hektare dapat memproduksi CPO sebanyak sekitar 18 juta ton per tahun sementara Indonesia dengan jumlah area perkebunan kelapa sawit sebesar 7,9 juta hektare hanya dapat memproduksi CPO sekitar 23 juta ton per tahun, di tahun 2012 (BUMN). Lebih jauh lagi, selain isu produktivitas, tingkat pajak ekspor juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor CPO Indonesia dibandingkan dengan Malaysia. Malaysia di awal tahun 2013, menurunkan tingkat pajak ekspornya terhadap minyak sawit dengan tujuan untuk mendukung ekspor komoditas serta industri hilir produk turunan atau derivasi dari CPO. Pajak ekspor Malaysia sejak Januari 2013 diturunkan dari 23 persen menjadi berkisar antara 4,5-8 persen sedangkan Indonesia sendiri masih menetapkan pajak ekspornya untuk minyak sawit berkisar antara 7,5-22,5 persen. Rendahnya pajak ekspor Malaysia dikhawatirkan dapat menjadi salah satu kendala bagi ekspor CPO Indonesia karena menempatkan Indonesia di posisi yang kurang kompetitif. Simpulan Harga ekspor komoditas CPO Indonesia, harga CPO dunia, dan Tarif yang ditetapkan di Negara Malaysia merupakan faktor penting dan signifikan mempengaruhi ekspor CPO Indonesia 2002-2011, begitu juga dengan tarif yang ditetapkan di Negara Cina serta comparative advantage ekspor CPO Indonesia di Negara India dan Malaysia juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah ekspor CPO Indonesia. Namun demikian, tarif Negara India dan comparative advantage ekspor CPO Indonesia di Negara Cina , serta nilai tukar riil mata uang rupiah terhadap Dolar AS ditemukan tidak signifikan dalam mempengaruhi atau belum dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada ekspor CPO Indonesia. Disamping itu, Indonesia memiliki comparative advantage yang lebih baik dibandingkan dengan Malaysia untuk produksi CPO. Namun demikian, banyak hal yang harus diperbaiki untuk mempertahankan comparative advantage Indonesia di pasar dunia terutama terkait pengembangan industri hilir dari produk turunan CPO di Indonesia, produktivitas serta kebijakan ekspor yang dipilih. Diperlukan perbaikan teknologi dan research and development. Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, dimulai dari keterbatasan penggunaan data yang seharusnya lebih bersifat mikro dan juga tidak disertakannya variabel seperti pajak ekspor atau kebijakan non-tariff barriers lainnya dalam model penelitian karena sulitnya memperoleh data yang menjadi proksi variabel pajak ekspor. Selain itu, data dari beberapa variabel penelitian diperoleh dari proses interpolasi karena interval data yang bersifat bulanan sementara data tersedia dalam interval tahunan. Saran untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang sama adalah penggunaan interval waktu yang lebih panjang atau dengan interval tahunan yang lebih bisa menangkap perubahan setiap periodenya. Variabel pajak ekspor juga dinilai cukup penting dalam mempengaruhi ekspor CPO Indonesia. Oleh karena itu, hendaknya di penelitian selanjutnya variabel ini dapat dimasukkan sebagai variabel dalam model penelitian. Sehingga dapat diperoleh output yang lebih merefleksikan kebijakan pemerintah Indonesia dan dapat menjelaskan implikasi bagi kebijakan yang berkaitan dengan ekspor itu sendiri. Penelitian ini juga masih belum bisa memasukkan semua variabel yang bersifat unobserved ke dalam model regresi dan disadari bahwa model penelitian dalam penelitian ini bukan merupakan model yang terbaik.
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013
Daftar Referensi Amzul, R. (2011). The Role of Palm Oil Industry in Indonesian Economy and Its Export Competitiveness. Athukorala, P. (1991). An Analysis of Demand and Supply Factors in Agricultural Exports from Developing Asian Countries. JSTOR . Coleman, J. R., Fry, J. T., & Boughner, D. S. (2002). The Impacts of China's Accession to WTO on US Agricultural Exports. Office of Industries Working Paper, US International Trade Commission . Corley, R. (2009). How Much Palm Oil Do We Need? ELSEVIER , 134- 139. Jongwanich, J. (2009). The Impact of Food Safety Standards on Processed food Exports from Developing Countries . ELSEVIER . Joung, J. H. (2010). The Effects of Competition US Wheat Market Shares in East Asia. Journal of Economic Development . Krugman, P., Obstfeld, M., & Melitz, M. (2012). International Economics. Pearson. Lordkipanidze, N., Epperson, E. J., & Ames, G. C. (1996). An Economic Analysis of Import Demand for Canola Oil in The United States. Department of Agricultural and Applied Economics, College of Agricultural and Environmental Science, University of Georgia. Markusen, J. R., Melvin, J. R., Kaempfer, W. H., & Maskus, K. E. (1995). International Trade: Theory and Evidence. New York: McGraw-Hill. Mia Mikic, UNESCAP. (2005). Introduction to Trade Research II: Trade and Statistics . ARTNeT Capacity Building Workshop on Trade Research. UNESCAP. Ramli, N., & Pondivinsky, J. M. (2011). The effects of exchange rate volatility on exports: Some new evidence for regional ASEAN countries. Srinivasan, P. V. (2005). Impact of Trade Liberalization on India's Oilseed and Edibles Oil Sector. IGIDR-ERS/USDA Project: Indian Agricultural Market Policy . Sulistyanto, A. I., & Akyuwen, R. (2011). Factors Affecting The Performance of Indonesia's Crude Palm Oil. IPEDR . Wahid, M. B., Simeh, M. A., & Nordin, J. (2007). Recent Development in the World Palm Oil Prices: An Overview. Oil Palm Industry Economic Journal, Vol. 7(2) , 1-11.
Analisis determinan..., Amalia Dwi Puspita, FE UI, 2013