ANALISIS DAMPAK RELOKASI PEDAGANG KAKILIMA (PKL) DI BLOK G PASAR TANAH ABANG JAKARTA PUSAT (PERIODE TAHUN 2013 – 2014)
HERI DESTRIANTO
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Relokasi Pedagang Kakilima (PKl) di Blok G Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat (Periode Tahun 2013 – 2014) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014 Heri Destrianto NIM H14080093
ABSTRAK HERI DESTRIANTO. Analisis Dampak Relokasi Pedagang Kakilima (PKl) di Blok G Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat (Periode Tahun 2013 – 2014). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A. Kebijakan penertiban PKl oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta mulai menjadi prioritas. Salah satu yang sudah dilakukan adalah relokasi PKl di Pasar Tanah Abang ke Blok G. Hasilnya, kini jalan di sekitar Pasar Tanah Abang lancar dan bersih dari PKl, namun relokasi tersebut juga memberikan dampak terhadap pendapatan PKl. Penelitian ini menganalisis dampak pendapatan dengan uji t berpasangan, dan faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan PKl sebelum dan sesudah relokasi menggunakan analisis regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah data primer hasil wawancara. Hasil yang didapatkan menunjukan setelah direlokasi terjadi penurunan pendapatan PKl sebesar 99 persen dari pendapatan sebelum direlokasi. Turunnya pendapatan ini akibat berkurangnya jumlah pembeli di Blok G. Berdasarkan analisis regresi, faktor yang memengaruhi pendapatan hanya omset. Faktor-faktor lain seperti modal, lama usaha, jam kerja perhari, umur pedagang, jenis kelamin, pendidikan, dan biaya kerja harian tidak berpengaruh terhadap pendapatan. Kata kunci: Jakarta, Pasar Tanah Abang, pedagang kakilima, sektor informal
ABSTRACT HERI DESTRIANTO. Analysis of The Impact of Relocating Street Vendors on The Block G Tanah Abang Market in Central Jakarta (period 2013 – 2014). Supervised by MUHAMMAD FINDI A. A policy to control the street vendor by Jakarta Provincial Government start to become priority. One that has been done is relocating street vendors on the road around Tanah Abang Market to Block G. Now the road around Tanah Abang Market does not have a traffic jam and clean from street vendors, but this relocation also provide impact on revenue of street vendors. In this study the impact of the relocation analyzed with t-paired test, and factors that influence income before and after relocating street vendors were analyzed using multiple linear regression. This study used the primary data from the interview. The results from the analysis showed that after relocation the revenue was decline amounted to 99 persen of revenue before being relocated. This declining revenue is caused by slack of buyers that come to block G. Factors that influence income only turnover. Other factors such as capital, the long effort, the working hours per day, the age of the trader, gender, education, and the cost of daily work does not have an effect on income. Keywords : informal sector, Jakarta, street vendor, Tanah Abang Market
ANALISIS DAMPAK RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI BLOK G PASAR TANAH ABANG JAKARTA PUSAT (PERIODE TAHUN 2013 – 2014)
HERI DESTRIANTO
Skripsi sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Dampak Relokasi Pedagang Kakilima (PKl) di Blok G Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat (Periode Tahun 2013 – 2014) Nama : Heri Destrianto NIM : H14080093
Disetujui oleh
Dr. Muhammad Findi A, M.E. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya, sekalipun mengalami berbagai kesulitan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Relokasi Pedagang Kakilima (PKl) di Blok G Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat (Periode Tahun 2013 – 2014)” selain menjadi pembelajaran bagi penulis, semoga juga bermanfaat untuk kebutuhan ilmu pengetahuan dan pengkayaan kajian mengenai PKl di Indonesia. Skripsi ini melihat bagaimana fenomena PKl di Pasar Tanah Abang yang sudah berlangsung begitu lama hingga memenuhi jalan raya ditertibkan. Mereka dipindahkan ke Blok G yang juga selalu kososng dan tidak digunakan. Fenomena tersebut dilihat dari sudutpandang pedagang yaitu dengan mengukur kenaikan atau penurunan pendapatan mereka setelah direlokasi dan mencari tahu faktorfaktor yang memengaruhi pendapatan PKl. Terselesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak. Ungkapan terima kasih saya sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada pembimbing Bapak Dr Muhammad Findi A, M.E. yang dengan kesabarannya terus berupaya mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Terimakasih kepada ibu Widyastutik, M.Si dan bapak Salahuddin El Ayyubi, MA sebagai dosen penguji atas masukannya untuk lebih menyempurnakan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang telah menjadi sumber inspirasi penulis dalam menentukan judul karya ilmiah ini. Harapan dan Doa penulis panjatkan untuk kesejahteraan responden, para pedagang kakilima di Tanah Abang yang telah bersedia memberikan informasi berharga bagi penulis. Penulis menyadari sepenuhnya atas kekurangan dari karya ilmiah ini, maka kritik dan saran perbaikan penulis terima dengan senang hati. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014 Heri Destrianto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
4
PKl Sebagai Sektor Informal
4
Penanganan PKl
4
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pendapatan
5
Kerangka Pemikiran
6
METODE
6
Lokasi dan Waktu Penelitian
6
Metode Pengambilan Sampel
6
Jenis dan Sumber Data
7
Prosedur Analisis Data
7
Pengujian Asumsi Klasik
7
Definisi Operasional Variabel
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Kondisi Umum DKI Jakarta
10
Gambaran Umum Blok G Pasar Tanah Abang
10
Keberadaan PKl di Pasar Tanah Abang
11
Dasar Hukum Relokasi PKl
12
Karakteristik Responden
13
Dampak Relokasi Terhadap Pendapatan
16
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan
18
Strategi Pascarelokasi
20
SIMPULAN DAN SARAN
22
Simpulan
22
Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
23
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL 1 Jumlah tenaga kerja sektor informal di Indonesia (jumlah dalam juta) 2 Kondisi lapak pascarelokasi 3 Variabel yang tidak dimasukkan dalam model
13 16 19
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Presentase responden berdasarkan daerah asal Jumlah responden berdasarkan pendidikan Jumlah responden berdasarkan umur Jumlah responden berdasarkan lama berdagang Jumlah responden berdasarkan lama berdagang dalam sehari Perubahan pendapatan responden sebelum dan sesudah relokasi
14 14 15 15 17 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Hasil output analisis regresi sebelum dipindahkan Hasil output analisis regresi sesudah dipindahkan Hasil output uji t berpasangan Kuisioner penelitian Dokumentasi penelitian
25 27 28 30 31
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketimpangan pembangunan di Indonesia masih cukup tinggi, meskipun kebijakan desentralisasi telah lama diterapkan. Pembangunan infrastruktur dan industrialisasi masih terpusat pada daerah perkotaan. Perbandingan Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) tertinggi dengan terendah pada tingkat provinsi di Indonesia begitu jauh. DKI Jakarta sebagai provinsi dengan PDRB tertinggi mencapai angka Rp 1.103.738 milyar, sedangkan Lampung sebagai salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang terdekat dengan Jakarta hanya Rp 144.561 milyar (BPS 2013). Akibat dari ketimpangan ini menimbulkan fenomena migrasi dari desa ke kota. Perkembangan sosial ekonomi yang pesat di Jakarta dan wilayah sekitarnya menarik banyak penduduk untuk bermigrasi ke Jabodetabek. Mereka datang dengan harapan untuk mendapat pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik. Para migran yang datang ke Jakarta pada awalnya mencari kerja di sektor formal. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Jakarta melampaui laju pertambahan lapangan kerja formal. Keterbatasan lapangan kerja formal yang tersedia menyebabkan sebagian besar pendatang bekerja di sektor informal, yaitu sebagai pedagang kecil, eceran atau Pedagang Kakilima (PKl). Sektor informal telah menjadi penopang ekonomi dengan daya serapnya yang tinggi terhadap pengangguran di Jakarta. Tahun 2001 jumlah PKl di Jakarta sebesar 141.073 (BPS DKI Jakarta 2001 dalam Yatmo 2008), pada sensus usaha kaki lima di Provinsi DKI Jakarta tahun 2005, yang dilaksanakan oleh BPS Provinsi DKI Jakarta, menunjukkan bahwa terdapat 92.751 usaha PKl, yang menyerap 139.394 orang pekerja. Dari jumlah tersebut, hanya 19.960 usaha (sekitar 21,5 persen) yang beroperasi dengan status resmi, dan sisanya sebanyak 72.791 usaha (sekitar 78,5 persen) merupakan usaha dengan status tidak resmi (Agustinus 2010). Sektor informal yang didominasi oleh perdagangan memiliki sumbangan yang besar terhadap PDRB. Pedagang besar dan eceran menyumbang 14,92 persen PDRB Jakarta pada tahun 2011 dengan laju pertumbuhan mencapai 7,66 persen. Adanya PKl juga dapat menjadi penyedia barang dan jasa yang murah bagi warga berpendapatan rendah. Kondisi yang membutuhkan modal kecil dan biaya operasional rendah membuat harga barang yang dijual oleh PKl sangat murah. Bahkan pedagang besar dan sektor produksi sangat bergantung pada keberadaan PKl. Merekalah yang menjadi penyalur barang-barang produksi maupun barang-barang yang dijual oleh toko besar kepada konsumen. Meskipun tak jarang PKl juga menjual barang kepada pedagang lain. Sayangnya, tumbuhnya PKl secara tak terkendali menimbulkan dampak negatif bagi kondisi perkotaan. Pedagang kakilima sering berjualan di tempattempat yang bukan seharusnya, seperti di trotoar, taman kota, bahkan di badan jalan raya. Data mengenai PKl di Jakarta menunjukkan bahwa mayoritas PKl menempati lokasi ilegal (83,4%), hanya 16,6 persen yang menempati kawasan legal yang memang difungsikan untuk lokasi PKl (Yatmo 2008). Kebanyakan PKl tidak terorganisir dengan baik, menimbulkan bau tidak sedap, dan penataan barang yang tidak teratur. Sampah yang mereka produksi menyebabkan
2 lingkungan yang tidak sehat dan kumuh. Keberadaan PKl selain menimbulkan ketidaknyamanan juga menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat. Sejak tahun 1978 PKl telah menjadi masalah di Ibu Kota. Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan PKl. Salah satunya melalui peraturan daerah yang menyatakan bahwa para pedagang kakilima dapat menjalankan usahanya di tempat yang telah ditentukan, dan dilarang berjualan diluar lokasi yang telah ditentukan (Chandrakirana 1994). Meski begitu regulasi yang dibuat tidak mampu mengontrol PKl yang jumlahnya sangat besar di Jakarta. Relokasi semua PKl yang ada ke tempat legal juga tidak mungkin dilakukan PKl, sehingga seringkali pemerintah melakukan jalan pintas dengan kebijakan penutupan dan penggusuran paksa (Yatmo 2008). Namun upaya tersebut juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Seringkali PKl yang terkena gusur kembali lagi ke lokasi semula. Perumusan Masalah Permasalahan klasik Provinsi DKI Jakarta yang selalu menjadi sorotan dan prioritas kebijakan adalah masalah banjir dan kemacetan. Jika banjir datang secara musiman, berbeda dengan kemacetan. Kemacetan merupakan masalah yang dirasakan masyarakat setiap hari sepanjang tahun. Banyak faktor yang menyebabkan kemacetan di Jakarta, seperti jumlah kendaraan yang terlalu besar melebihi kapasitas jalan yang ada, padatnya penduduk dan pekerja komuter dari sekitar Jakarta, dan tidak tertibnya para PKl. Mayoritas PKl di Jakarta menempati trotoar (±40%) dan jalan (±30%) yang menyebabkan PKl selalu identik dengan kemacetan (Yatmo 2008). Salah satu kasusnya adalah PKl di Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang merupakan kawasan perdagangan yang sangat ramai. Pasar ini melayani penjualan domestik maupun luar negeri, baik dalam jumlah besar (partai) maupun eceran. Ramainya perdagangan di Pasar Tanah Abang telah menarik para PKl untuk datang. Namun keberadaan mereka telah menyebabkan kemacetan permanen di lokasi mereka berdagang. Jalan K.H. Mas Mansyur, jalan Jembatan Tinggi dan jalan Jatibaru Raya di Tanah Abang selalu penuh dengan PKl dan kendaraan yang terjebak macet. Bagi pedagang, kemacetan tidak menjadi masalah tetapi menjadi berkah. Mereka memanfaatkan kondisi macet untuk mendapatkan tambahan pembeli dari pengguna jalan yang melintas. Namun dari sudut pandang pengguna jalan tentu berbeda. Kemacetan sangat merugikan dari segi waktu, tenaga dan biaya. Jika kita bandingkan dengan kemacetan di daerah lain, misalnya jalur Cicurug – Parungkuda Kabupaten Sukabumi yang diteliti oleh Farhani (2011) dapat berpotensi merugikan secara ekonomi sebesar Rp 4.609.120.990,10 per tahun. Perkiraan kerugian yang dialami oleh supir dalam satu tahun mencapai Rp 13.418.247.456,00. Kemacetan di jakarta yang lebih padat tentu mengalami kerugian yang lebih besar. Untuk mengatasi dampak buruk dari adanya PKl tersebut, pemerintah melakukan penataan para PKl dengan memindahkan mereka dari jalan ke Blok G Pasar Tanah Abang. Blog G yang sebelumnya kosong pada lantai 3 dan sebagian lantai 2, kini ditempati oleh para PKl yang sebelumnya berjualan di jalan sekitar Tanah Abang. Jalanan yang dulu ramai dengan para pedagang, pembeli, dan kendaraan yang terjebak macet kini bersih dari para pedagang.
3 Usaha pemerintah mengatasi kemacetan dengan pemindahan PKl memang berhasil, namun tentu saja hal ini memiliki dampak terhadap para PKl yang dipindahkan. Penataan ini sudah pernah dilakukan sebelumnya pada tahun 2005, namun mereka kembali lagi ke jalanan. Alasannya karena pedagang mengalami penurunan omset secara tajam. Lokasi baru mereka di Blok G sangat sepi pembeli sehingga pada saat itu pedagang memilih kembali memadati badan jalan di sekitar Pasar Tanah Abang. Jika permasalahan yang dihadapi PKl tidak segera diatasi maka kemungkinan kejadian pada tahun 2005 akan terulang kembali, mereka akan kembali ke jalan lagi dan menimbulkan kemacetan kembali. Hal paling mendasar yang menjadi tuntutan para pedagang dari adanya pemindahan ini adalah meminimalisir dampak terhadap pendapatan mereka. Agar para PKl tersebut tidak kembali lagi, Pemerintah Daerah DKI Jakarta perlu merancang langkah berikutnya. Perlu dilihat seberapa besar dampak yang dialami para PKl dari segi pendapatan dan faktor-faktor apa yang memengaruhinya. Permasalahan yang akan dibahas dalan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dampak relokasi pedagang kakilima Tanah Abang ke Blok G terhadap pendapatan pedagang? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pendapatan pedagang kakilima di Tanah Abang? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perubahan pendapatan pedagang kakilima Tanah Abang setelah relokasi ke Blok G. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan pedagang kakilima di Tanah Abang Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi Pemerintah Provinsi Jakarta dalam menjalankan kebijakan pembangunan wilayahnya, khususnya dalam penataan dan pemberdayaan pedagang kakilima. Hasil dari penelitian ini bisa menjadi evaluasi terhadap program penataan pedagang kakilima yang telah di lakukan, khususnya di Tanah Abang. Selain itu juga bisa menjadi acuan dalam penataan pedagang kakilima di lokasi lainnya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup yang dikaji adalah relokasi pedagang kakilima di Tanah Abang, tepatnya relokasi di Blok G Pasar Tanah Abang. Penelitian ini mengkaji perubahan pendapatan pedagang kaki lima setelah direlokasi dari jalan raya ke Blok G.
4
TINJAUAN PUSTAKA PKl Sebagai Sektor Informal Gagasan mengenai sektor informal pertama kali disampaikan oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris pada tahun 1973 (Manning dan Effendi 1985). Sejak munculnya konsep itu banyak penelitian dan kebijakan mengenai kesempatan kerja kelompok miskin di kota secara khusus. Hart dalam Manning (1995) membagi tiga sektor pekerjaan menjadi formal, informal sah, dan informal tidak sah. Namun dalam kenyataan perbedaan antara sektor informal sah dan tidak sah sukar untuk di bedakan secara jelas. Sektor informal ditandai oleh beberapa karakteristik unik seperti variasi bidang produksi barang dan jasa yang tinggi, berskala kecil, dimiliki perorangan atau keluarga, padat karya, teknologi yang di pakai sederhana (Todaro dan Smith 2006). Menurut Perda Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 Pedagang kakilima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan. Salah satu karakteristik pedagang kakilima adalah memiliki mobilitas tinggi, mereka dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Mereka dapat menggelar dagangan dan membongkarnya dengan mudah. Kemudahan ini juga menjadikan PKl sebagai usaha musiman, terkadang ada terkadang tidak (Yatmo 2008). Ciri yang lainnya, untuk menjadi pedagang kakilima tidak harus memiliki pengalaman dan keahlian khusus. Penelitian Akliyah (2008) di Tasikmalaya juga mendukung penyataan ini. Penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara keuntungan dengan tingkat pendidikan, lama usaha, modal usaha, dan umur. Penanganan PKl Banyak penelitian yang memberikan saran kepada pemerintah untuk menangani sisi negatif dari sektor informal. Saran yang paling utama adalah perubahan sikap pemerintah agar setiap kebijakan yang dibuat berorientasi untuk mendukung sektor informal. Kebijakan teknis lainnya seperti menyediakan kredit, pendidikan dan latihan keterampilan, pengembangan sumberdaya dan teknologi (Manning dan Effendi 1985). Akliyah (2008) memberikan dua alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan pedagang kakilima. Kebijakan tersebut condong ke arah penataan lokasi. “… Alternatif model penataan PKl yang dihasilkan pada penelitian ini terdiri atas dua alternatif. Alternatif pertama, relokasi in-situ yaitu pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berjualan. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan kegiatan PKl dari jalan – jalan di wilayah kota ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung para PKl. Masing-masing alternatif
5 memerlukan prasyarat dan pengaturan zonasi dalam pengendalian pemanfaatan ruangnya. Pengaturan zonasi (zoning regulation) ini sangat bermanfaat sebagai instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang PKl sehingga merupakan hal penting yang harus ada dalam penataan PKl. Pengaturan zonasi baik untuk alternatif 1 dan alternatif 2 hampir sama, hanya dalam model 2 harus disertai pengaturan zonasi untuk lokasi bekas PKl agar PKl benar-benar tidak kembali ke tempat asal berupa aturan-aturan disertai penguatan kelembagaan yang ada di lokasi bekas PKl untuk menolak kembalinya PKl. Pengaturan Zonasi (Zoning Regulation) ini memegang peranan yang penting dalam penataan PKl Kota Tasikmalaya agar tercipta ketertiban, keteraturan, dan kenyamanan kota. ...”
Dalam mengelola pedagang kakilima di perkotaan, Mubarok (2012) merumuskan beberapa langkah. Pertama mengadakan registrasi dan pembuatan database PKl untuk mendapatkan kejelasan data PKl, pemberdayaan ekonomi pelaku PKl, menyatukan persepi dalam pengelolaan PKl, penundaan penggusuran dan dialog dengan pemda, pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi dan mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/kompleks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKl. Langkah-langkah tersebut membutuhkan kerjasama berbagai pihak, baik pemerintah, para pedagang sendiri, dan masyarakat. Dukungan pemerintah terhadap pedagang kakilima kini sudah cukup baik. Pemerintah telah melihat PKl sebagai suatu peluang bukan ancaman. Untuk menangani masalah itu pilihan tindakan pemerintah adalah merelokasi PKl ke tempat yang strategis dan mendukung dengan pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan keinginan pedagang sederhana, mereka hanya ingin lokasi yang strategis dan ramai untuk menunjang kemajuan usaha mereka (Ramawisada 2003) Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pendapatan Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada lokasi dan waktu yang berbeda. Penelitian Pratiwi (2013) terhadap PKl di stasiun kota Bogor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi besaran omset adalah usia, lama usaha, jam operasional dan jumlah pembeli. Penelitian Mubarok (2012) menunjukkan bahwa variabel omzet, modal awal dan dummy lokasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan pedagang kakilima. Beberapa penelitian lain menunjukan bahwa faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh. Seperti penelitian Akliyah (2008) di Tasikmalaya yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara keuntungan dengan tingkat pendidikan, lama usaha, modal usaha, dan umur. Namun setiap tempat dan waktu tertentu memiliki karakteristik yang berbeda, oleh sebab itu masih relevan untuk mencoba menganalisis setiap variabel yang mungkin berpengaruh.
6 Kerangka Pemikiran
Laju pertumbuhan penduduk tinggi dan kelangkaan lapangan kerja
Sektor Informal Pedagang kakilima (PKl) Dampak Positif : Menyerap tenaga kerja, Share PAD tinggi, Penyedia kebutuhan masyarakat.
Pendapatan naik/tetap
Dampak Negatif : Mengganggu ketertiban dan kenyamanan kota.
Perubahan Pendapatan Faktorfaktor yang memengaruhi pendapatan pedagang. Strategi pascarelokasi
Relokasi, Pembuatan pasar tradisional PKL kembali ke lokasi semula
Pendapatan turun
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pasar Tanah Abang Blok G Tanah Abang Jakarta Pusat. Lokasi ini merupakan tempat relokasi pedagang kakilima yang sebelumnya berada di jalan raya Tanah Abang selama bertahun-tahun. Lokasi ini merupakan lokasi pertama program penataan pedagang kakilima di Jakarta era kepemimpinan Joko Widodo. Penelitian dilakukan pada bulan November 2013 hingga Januari 2014. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan konsultasi. Metode Pengambilan Sampel Populasi penelitian terdiri dari pelaku PKl yang mengalami relokasi dari jalan raya menuju Blok G Pasar Tanah Abang. Pada penelitian ini digunakan teknik penarikan contoh tanpa-peluang (nonprobability sampling) dengan prosedur penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Sampel yang diambil ditentukan berdasarkan pertimbangan karakteristik yang dimiliki untuk menjawab tujuan penelitian. Ukuran sampel yang digunakan sebanyak 32
7 responden pedagang kakilima. Selain itu juga dilakukan wawancara kepada beberapa informan kunci yang dirasa mendukung untuk memberikan informasi mengenai relokasi PKl tersebut. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner terhadap pedagang dan informan kunci. Wawancara digunakan untuk mengetahui pengaruh pemindahan pedagang kakilima ke Blok G terhadap pendapatan mereka. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada pengelola Blok G Pasar Tanah Abang. Untuk data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta dan publikasi di media internet. Prosedur Analisis Data Analisis dampak relokasi dan strategi setelah adanya relokasi dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap data hasil wawancara yang didapatkan. Untuk memunculkan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan pedagang kakilima, data dianalisis menggunakan model regresi linier berganda. Data pendapatan yang diregresi adalah pendapatan sebelum relokasi dan pascarelokasi. Model regresi yang digunakan sebagai berikut: Yi = β0+β1X1i+β2X2i+β3X3i+β4X4i+β5X5i+β6X6i+β7X7i+β8D1i+β9D2i+ei Dimana: Yi X1i X2i X3i X4i X5i X6i X7i D1i D2i ei β0 β1,… β9,
= Pendapatan rata-rata PKl (Rp/bulan) = Omset rata-rata PKl (Rp/ bulan) = Modal awal/investasi PKl (Rp) = Lama usaha pada jenis usaha yang bersangkutan PKl (tahun) = Biaya kerja PKl (Rp/hari) = Jam kerja PKl (jam/hari) = Umur responden (tahun) = Tingkat Pendidikan (SD, SMP, SMA, S1) = Asal pedagang (Jakarta, luar Jakarta) = Jenis kelamin (laki-laki, perempuan) = error standard. = Intersep = Koefisien
Model tersebut digunakan untuk analisis sebelum dan sesudah relokasi dengan tambahan indeks “s” untuk sebelum dan “r” untuk sesudah. Analisis model regresi sebelum dan sesudah secara terpisah dapat menunjukkan apakah ada perbedaan respon pedagang. Respon ini dilihat dari ada atau tidaknya perbedaan pengaruh variabel-variabel bebasnya sebelum dan sesudah relokasi. Pengujian Asumsi Klasik Suatu model dikatakan baik apabila memenuhi asumsi klasik atau terhindar dari masalah-masalah heterkodastisitas, multikolinearitas dan autokolerasi. Suatu
8 model akan baik apabila jika suatu penaksir berbentuk linear, tak bias, dan mempunyai varians terendah dalam kelompok penaksir tak bias linear dari sebuah parameter. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah model memiliki distribusi normal atau tidak. Suatu model regresi dikatakan baik, apabila memiliki distribusi normal ataupun mendekati normal. Melalui uji Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat data menyebar secara normal atau tidak. Data menyebar secara normal jika dengan menggunakan software SPSS, nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada N-par test, lebih besar dari alpha, maka asumsi residual menyebar normal terpenuhi. Uji Heteroskedastisitas Suatu model mengalami heteroskedastisitas jika ragam error tidak konstan, sedangkan salah satu asumsi dasar metode regresi linear adalah asumsi bahwa semua sisaan menyebar identik dengan ragam sama atau homogen yang dikenal sebagai homoskedastitas. Penyebab adanya heteroskedastisitas ini adalah adanya data pencilan. Pada data crossaction, variasi dapat ditimbulkan dari kolerasi yang tinggi antara x dan y. Akibat adanya heteroskedastisitas yaitu dugaan koefisien regresi menjadi tidak bias tapi tetap konsisten dan penduganya tidak efisien. Berdasarkan hasil uji analisis statistik, probabilitas yang diperoleh dari uji breuch pagan harus lebih besar dari alpha yang artinya homoskedastisitas. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas adalah terjadinya kolerasi yang tinggi antara peubah bebas Xi yang berarti terdapat hubungan linear antarvariabel penjelas X. Multikolinear terdiri dari multikolinear tidak sempurna (near multicolinear) dan multicolinear sempurna (perfect multicolinear). Multikolinear tidak sempurna terjadi akan berakibat sebagai berikut: 1. Interpretasi dari koefisien dugaan menjadi sulit. 2. Nilai varian dari dugaan koefisien regresi menjadi lebih besar. 3. Banyak variabel Xi tidak signifikan. 4. Koefisien dugaan regresi menjadi lebih sensitif jika terjadi perubahan. Cara untuk mendeteksi multikolinear antara lain yang pertama dengan uji kolerasi pearson dimana dikatakan terdapat multikolinear jika t hitung lebih besar dari t-tabel atau nilai p-value kurang dari alpha. Kedua dengan melihat nilai VIF. Uji Autokolerasi Autokolerasi adalah terjadinya kolerasi yang tinggi antarnilai error dari periode waktu (time series). Konsekuensi dari adanya autokolerasi: 1. Estimator kuadrat terkecil masil linear dan tak bias. 2. Tapi estimator tersebut tidak efisien yang artinya tidak memiliki variasi minimum bila dibandingkan dengan prosedur yang mempertimbangkan kolerasi. 3. Varian taksiran dari estimator OLS bersifat bias. 4. Tes t dan F yang biasa tidak andal. 5. Varian dan kesalahan standar peramalan yang dihitung secara konvensional mungkin tidak efisien.
9 Pengujian ada tidaknya autokolerasi pada model dengan menggunakan uji statistik durbin watson dilihat dari nilai probabilitas (chi-square) harus lebih besar dari alpha, yang artinya tidak ada autokorelasi. Definisi Operasional Variabel Variabel terikat (Y) adalah variabel yang nilainya tergantung pada nilai variabel lain yang merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perubahan pendapatan pedagang kakilima. Variabel kontrol merupakan variabel yang dimasukkan ke dalam penelitian untuk mengendalikan atau menghilangkan pengaruh tertentu pada model penelitian agar kesimpulan yang ditarik tidak bias atau salah persepsi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya berpengaruh terhadap variabel lain. Variabel terikat dan bebas yang digunakan untuk melihat pengaruh dari relokasi PKl antara lain: a. Pendapatan Penjualan (Yi) adalah pendapatan yang diterima pelaku usaha PKl yang merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya untuk menghasilkan barang atau jasa usaha tersebut. Pendapatan dinyatakan dalam rupiah per bulan yang dihitung dengan cara mengalikan pendapataan harian kali 30 hari kerja dalam satu bulan. b. Omset PKl (X1i) adalah rata-rata hasil penjualan barang atau jasa PKl ke-i yang dinyatakan dalam rupiah per bulan, dihitung dengan cara mengalikan omset penjualan harian kali 30 hari kerja dalam satu bulan. c. Modal Awal Investasi (X2i) adalah uang dan atau nilai barang dan peralatan yang digunakan PKl ke-i untuk memulai usaha yang dinyatakan dalam rupiah. d. Lama Usaha (X3i) Adalah lamanya berusaha (pengalaman usaha) pada jenis usaha yang bersangkutan dari PKl ke-i, dinyatakan dalm satuan tahun. e. Biaya Kerja (X6i) Adalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan PKl ke-i, terkait dengan aktivitas usahanya seperti biaya transportasi, makan, penyewaan peralatan, sewa lahan, uang keamanan, listrik dan sebagainya, dinyatakan dalam rupiah per bulan. f. Jam Kerja (X7i) Adalah banyaknya jam kerja PKl ke-i yang digunakan untuk melakukan usaha, dinyatakan dalam jam per hari. g. Usia (X6i) adalah usia responden yang terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir. h. Tingkat Pendidikan (X7i) Adalah ijazah pendidikan terakhir yang dimiliki pedagang ke-i: 0 = SD; 1 = SMP; 2 = SMA; 3 = S1 i. Asal Pedagang (D2i) Adalah daerah atau kota asal PKl ke-i: 1 = Luar Jakarta 0 = Dalam Jakarta j. Jenis Kelamin (D3i) Adalah jenis kelamin pelaku PKl ke-i: 1 = Laki-laki 0 = Perempuan
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi terpadat di Indonesia. Menurut BPS DKI Jakarta pada 2013 jumlah penduduk Jakarta diperkirakan mencapai 10,09 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduknya pertahun 0,99 juta jiwa. Jumlah penduduk sebesar ini menempati Jakarta yang hanya seluas 662,33 Km2. Kondisi ini semakin padat dengan adanya penduduk yang sifatnya komuter pada jam-jam kerja di siang hari. Mereka tinggal di kota-kota di sekitar Jakarta. Secara administratif, Jakarta berbatasan dengan provinsi Banten di sebelah barat, dan provinsi Jawa Barat di sebelah timur. Kota-kota di sekitar Jakarta yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menjadi daerah buffer yang menampung limpahan penduduk Jakarta, membentuk megapolitan Jabodetabek. Kini kota tujuan migrasi bukan hanya Jakarta, namun juga kota sekitarnya yang juga sedang tumbuh dengan sangat cepat. Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada 2012 sebesar 6,53 persen. Tingkat partisipasi angkatan kerja 70,83 persen dengan tingkat pengangguran terbuka di Jakarta 10,72 persen. PDRB pada tahun 2012 di Jakarta Rp 1.103,74 triliun rupiah. Kemajuan yang pesat ini tentu sangat menarik masyarakat di seluruh Indonesia, terutama masyarakat di daerah tertinggal untuk mencari hidup yang lebih baik di Jakarta. Hal inilah kemudian yang menimbulkan penambahan penduduk tinggi, dan pada akhirnya mengakibatkan tumbuhnya PKl yang tak terkendali. Secara administrasi Jakarta dibagi dalam enam wilayah, yaitu Kotamadya Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara serta kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. Kecamatan yang ada di Jakarta sebanyak 44 kecamatan, dan terdapat 267 kelurahan. Sebagai ibu kota negara, Jakarta memiliki keistimewaan dan otonomi khusus. Seluruh kebijakan mengenai pemerintahan dan anggaran ditentukan pada tingkat provinsi karena lembaga legislatif hanya ada pada tingkat provinsi. Gambaran Umum Blok G Pasar Tanah Abang Pasar Tanah Abang adalah komplek pasar di kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Pasar ini buka setiap hari dan menyediakan berbagai macam barang, baik kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan dan kebutuhan lain seperti pakaian jadi. Pasar ini dibagi menjadi beberapa Blok gedung, yaitu Blok A, Blok B, Blok C, Blok F dan Blok G serta ada Metro Tanah Abang di depan Blok B. Pasar Blok A, B, C dan F menyediakan barang-barang tekstil, seperti kain dan pakaian jadi baik eceran maupun grosir. Blok G menyediakan bahan kebutuhan pokok di lantai 1, sedangkan di lantai 2 menyediakan aksesoris dan pakaian. Blok G Pasar Tanah Abang menjadi lokasi pemindahan PKl yang sebelumnya biasa berjualan di pinggir jalan di sekitar Pasar Tanah Abang. Karena mengganggu lalu lintas dengan menyebabkan macet para PKl dipindahkan oleh pemerintah DKI Jakarta ke Blok G pada 1 september 2013. Mereka menempati sebagian lantai 2 dan lantai 3. Sebelum adanya pemindahan PKl, kios di Blok G
11 banyak yang kosong, terutama di lantai 2 dan 3. Padahal pasar ini sudah ada sejak lama. Lantai 1 Blok G ini menyediakan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan lantai 2 dan 3, lantai 1 sudah penuh dengan pedagang sejak lama, dan ramai dengan pengunjung. Untuk lantai 2, sebagian kios sudah ada pedagang sejak lama, namun sebagian kios kosong. Kini kios-kios yang sebelumnya kosong telah diisi oleh PKl. Rata-rata mereka, para PKl yang menempati tempat baru di Blok G tersebut menjual baju. Ada 807 PKl yang di pindahkan ke Blok G, namun kini tidak semua pedagang membuka kiosnya. Banyak kios-kios pedagang yang tutup, karena merasa dagangan mereka di Blok G sepi. Kondisi pedagang yang sepi memengaruhi keinginan pengungjung untuk berbelanja ke Blok G. Pada hasil wawancara, salah satu penjual berpendapat bahwa jika semua pedagang di lantai 3 kurang bekerja sama, banyak dari mereka yang tidak membuka kiosnya. Sehingga pedagang yang datang tidak bersemangat untuk berbelanja, karena jika pedagang sepi mereka tidak memiliki banyak pilihan barang untuk di beli. Kondisi pasar di Blok G memang tidak sebanding dengan Blok A ataupun Blok B. Blok G jauh lebih sederhana, tak ada lift atau eskalator disini. Lorong dan tangga yang menghubungkan antar lantai sempit. Kios yang tersedia untuk pedagang juga tidak selebar yang ada di Blok B. Memang harga kios di Blok G tidak semahal kios di Blok A dan Blok B, namun kondisi tersebut membuat pelanggan lebih nyaman berbelanja di Blok A ataupun Blok B dari pada di Blok G. Blok A, B dan F juga lebih mudah di akses pengunjung karena ketiga Blok di pasar ini terhubung. Saat penelitian ini berlangsung, sedang dibangun juga jalan penghubung antara Blok F dan Blok G. Proyek pembangunan jalan penghubung ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, namun hingga saat ini belum juga selesai. Fasilitas yang sudah tersedia di Blok G ini antara lain ada masjid yang cukup luas dan nyaman, ATM, puskesmas, dan toilet. Keberadaan PKl di Pasar Tanah Abang Pasar Tanah Abang merupakan pusat lokasi perdagangan tekstil yang sangat terkenal. Pengunjung pasar ini tidak hanya dari dalam negeri, namun juga luar negeri. Usia Pasar Tanah Abang cukup tua dibanding dengan pasar-pasar lain di Jakarta, tumbuhnya pasar disini telah berlangsung sejak tahun 1920-an (Hardjanto 1999). Seiring dengan pertumbuhan pasar, tumbuh juga pedagang kaki lima di sekitar pasar. Kebanyakan dari para PKl ini juga menjual produk yang sama, yaitu produk tekstil pakaian jadi. Barang-barang yang dijual oleh PKl berasal dari produsen secara langsung dari daerah masing-masing, namun sebagian juga menjual pakaian yang mereka beli dari pedagang di pasar Blok A maupun Blok B. Sebelum direlokasi para PKl mengambil lapak untuk berdagang di jalan raya di sekitar Pasar Tanah Abang. Jalan yang mereka tempati antara lain di jalan Kebonjati, jalan Fakhrudin, dan jalan KH Mas mansyur. Akibatnya jalanan ini macet setiap hari yang diakibatkan aktifitas para PKl, para pembeli, dan angkot yang menunggu penumpang. Akibat dari adanya PKl ini menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi pengguna jalan raya. Hal inilah yang mendorong Pemerintah DKI Jakarta untuk memindahkan PKl dari jalan menuju Blok G
12 Tanah Abang. Tidak seperti para pengguna jalan raya, keadaan macet dan tidak teratur ini justru menguntungkan para PKl. Ramainya jalan tersebut menarik masyarakat yang lewat untuk berbelanja disana. Suksesnya para pedagang kakilima tersebut, dilihat dari rata-rata pendapatan mereka yang setara dan bahkan melebihi UMR menyebabkan laju migrasi ke kota semakin besar. Cerita kesuksesan ini membuat jumlah PKl semakin hari akan terus menjamur karena semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi PKl. Para PKl di Pasar Tanah Abang kebanyakan bukanlah warga sekitar. Mereka memiliki tempat tinggal yang relatif jauh dari tempat mereka berdagang. Para pedagang tersebut mendapatkan lapak untuk berdagang dengan cara menyewa secara tidak resmi pada oknum pemburu rente. Oknum-oknum tersebut preman sekitar. Biaya yang mereka keluarkan bermacam-macam pertahunnya sekitar Rp 300.000,00 sampai Rp 1.500.000,00. Para PKl juga harus menyewa gudang untuk menyimpan barang dagangan. Hal ini untuk memudahkan PKl mengatur barang-barangnya. Sehingga mereka tidak perlu membayar biaya transportasi barang setiap harinya, dan juga tidak perlu banyak tenaga karena gudang dan lokasi berdagang mereka berdekatan. Bahkan ada gudang yang menyediakan jasa antarjemput barang ke lokasi berdagang. PKl harus membayar jasa gudang ini dengan biaya sekitar Rp 10.000,00 – Rp 15.000,00. Kebanyakan PKl menjaga lapak miliknya sendiri. Jarang ada PKL yang menggunakan jasa pegawai atau saudaranya untuk menjaga lapaknya. Malah ada yang memilik lebih dari satu kios dengan penjaganya adalah suami istri. Dalam penelitian yang dilakukan hanya dijumpai dua kios yang dijaga bukan oleh pemiliknya dari 32 responden yang diwawancarai. Dasar Hukum Relokasi PKl Penataan PKl di Pasar Tanah Abang mengacu pada perda DKI Jakarta nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum. Peraturan ini yang menjadi dasar penertiban PKl di sekitar Pasar Tanah Abang. Dalam perda tersebut disebutkan pengertian tentang PKl pada pasal 1 ayat 14 yaitu pedagang kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan. Pasal 3 huruf i menyatakan larangan penggunaan bahu jalan atau trotoar yang tidak sesuai dengan fungsinya tanpa seijin Gubernur. Peraturan mengenai PKl dicantumkan secara lengkap pada pasal 25. Pada ayat (1) diatur mengenai lokasi yang boleh digunakan untuk usaha PKl adalah lokasi yang ditetapkan oleh gubernur. Ayat (2) merupakan penegasan bahwa setiap orang atau badan dilarang berdagang di tempat-tempat umum di luar ketentuan yang diatur pada ayat (1). Pasal ini tidak hanya mengatur pelaku PKl saja, tetapi juga larangan bagi pembeli yang tertuang pada ayat (3) dimana setiap orang dilarang membeli barang dagangan pedagang kaki lima sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 26 mengatur tentang usaha PKl yang diijinkan oleh gubernur sesuai dengan pasal 25 ayat (1)
13 Pemidanaan akibat pelanggaran pasal 25 diatur pada pasal 61. Pelaku PKl yang melanggar peraturan dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp 100.000,00 (Seratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp 20.000.000,00 (Dua Puluh Juta Rupiah). Perda tersebut sudah cukup jelas mengatur tentang ketertiban para PKl. Sejauh ini implementasi pemerintah terhadap perda tersebut terbatas pada penertiban, penggusuran dan relokasi PKl belum sampai pada pidana. Kebijakan relokasi PKl di Pasar Tanah Abang sebenarnya cukup berpihak terhadap PKl, karena mereka tidak di denda namun direlokasi dan masih bisa meneruskan usahanya. Namun para PKl masih saja melakukan penolakan kebijakan pemerintah tersebut tanpa memerhatikan undang-undang dan kerugian yang ditanggung masyarakat lain, dalam hal ini pengguna jalan raya. Karakteristik Responden Responden penelitian ini sebanyak 32 orang pedagang yang menempati blok G Pasar Tanah Abang. Pedagang yang dipilih adalah pedagang yang sebelumnya menjadi PKl di sekitar Pasar Tanah Abang. Komoditas yang dijual oleh para pedagang yang diwawancarai mayoritas tekstil. Jenis Kelamin Pedagang Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin yang diwawancarai memiliki proporsi laki-laki yang lebih sedikit yaitu 14 responden (44%) dibanding perempuan 19 responden (56%). Peran perempuan dalam bidang ini memang cukup besar. Perempuan yang menjadi PKl biasanya membantu suami untuk menambah pendapatan keluarga mereka. Tidak jarang juga ada pasangan suamiistri yang sama-sama berdagang menjadi PKl. Mahalnya biaya hidup di Jakarta menyebabkan pendapatan dari kepala keluarga saja tidak mencukupi kehidupan mereka. Chandrakirana (1995) juga menyatakan bahwa tenaga kerja perempuan mempunyai kecenderungan besar untuk bekerja pada ekonomi informal karena jam dan tempat kerjanya fleksibel. Bahkan menurut Sigit dalam Chandrakirana (1995) separuh dari tenaga kerja informal di Indonesia adalah perempuan. Tabel 1 Jumlah tenaga kerja sektor informal di Indonesia (jumlah dalam juta) Jenis kelamin / Tahun Tenaga kerja pria Tenaga kerja wanita
2001 33.07 22.74
Sumber: Nazar dalam Mishra 2010
2003 37.05 21.40
2006 38.48 22.29
2009 38.56 26.28
14 Daerah Asal PKl Para PKl yang berdagang di Blok G Pasar Tanah Abang mayoritas berasal dari daerah luar Jakarta. Sebanyak 78 persen pedagang berasal dari luar Jakarta, mereka bermigrasi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Mayoritas para pedagang tersebut datang memang dengan niat untuk berdagang. Hanya sebagian kecil yang menjadi pedagang karena mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya. Banyaknya PKl yang berasal dari luar Jakarta tidak lepas dari sejarah munculnya PKl di sekitar Pasar Tanah Abang. Berdasarkan penelitian Hardjanto (1999) pada mulanya PKl yang ada di Pasar Tanah Abang adalah para pendatang dari Padang, jumlahnya sekitar 100 orang pada tahun 1970an. Jumlah ini kemudian terus bertambah, tidak hanya dari suku Minang (Padang) tetapi juga dari suku Sunda dan Jawa. Penduduk setempat (Betawi) malah hanya beberapa saja yang tertarik untuk ikut berdagang.
Jakarta 7 22% Luar Jakarta 25 78%
Gambar 1 Presentase responden berdasarkan daerah asal Pendidikan PKl Tingkat pendidikan sebagian besar responden PKl adalah SMA. Jumlah responden terbanyak kedua berdasarkan pendidikan adalah lulusan SD yaitu sebanyak 6 orang. Responden yang berpendidikan terakhir SMP sebanyak 2 orang. Hanya ada satu responden yang lulus S1. Responden tersebut baru 3 tahun menjadi PKl. Sebelumnya dia bekerja sebagai guru honorer. Namun setelah dia melihat bahwa usaha PKl memberikan keuntungan yang tidak sedikit, akhirnya dia memutuskan untuk berusaha sebagai PKl. 23
6 2 SD
SMP
1 SMA
Gambar 2 Jumlah responden berdasarkan pendidikan
S1
15 Umur PKl yang menjadi responden memiliki umur minimal 20 tahun dan maksimal 60 tahun. Responden dengan umur antara 31-45 tahun memiliki jumlah yang paling banyak yaitu sebesar 62 persen. Kelompok umur terbanyak kedua adalah kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebesar 25 persen. Kelompok umur 46 – 60 tahun memiliki jumlah paling sedikit sebesar 13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa para PKl memiliki usia dewasa dan memiliki pertimbangan rasional dalam berusaha (Mubarok 2012). 20-30 tahun
31-45 tahun
4 13%
46-60 tahun
8 25%
20 62%
Gambar 3 Jumlah responden berdasarkan umur Lama berdagang Mayoritas responden telah menjadi PKl selama 11-20 tahun yaitu sebanyak 14 orang. Terbanyak lainnya adalah rentang waktu 6-10 tahun dengan jumlah 10 orang. Pedagang yang telah berdagang lebih dari 20 tahun hanya berjumlah 4 orang. Tingginya jumlah pedagang yang telah menjadi PKl sejak 20 tahun terakhir menunjukkan besarnya dampak krisis ekonomi di era 90an yang mendorong masyarakat untuk bertahan hidup dengan bekerja pada sektor informal. 14
10
4
1-5 tahun
6-10 tahun
11-20 tahun
2
2
21-30 tahun
>30 tahun
Gambar 4 Jumlah responden berdasarkan lama berdagang
16 Sebaran jumlah PKl berdasarkan lama usaha ini juga menunjukkan bahwa PKl cenderung semakin bertambah. Seiring dengan kenyataan bahwa semakin sering usaha pemerintah menahan pertambahan PKl dan melakukan penertiban PKl di ruang-ruang publik, keberadaan PKl semakin nyata dan semakin bertambah. Apalagi dengan adanya cerita kesuksean PKl dengan rata-rata pendapatan tinggi tanpa modal besar. Dampak Relokasi Terhadap Pendapatan Berdasarkan hasil analisis uji t, terdapat perbedaan yang nyata pada pendapatan sebelum dan sesudah relokasi dengan nilai Sig. (2-tailed) 0,000. Pemindahan PKl dari jalan raya ke Blok G Pasar Tanah Abang memiliki dampak yang besar terhadap pandapatan mereka. Rata-rata pedagang mengalami penurunan pendapatan hingga 99 persen. Selama berdagang di jalan raya, para pedagang memiliki pendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp 7.112.500. Kini setelah mereka di relokasi ke Blok G Tanah Abang pendapatan perbulan mereka rata-rata hanya Rp 51.656. Hasil analisis korelasi antara pendapatan sebelum dan sesudah relokasi menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,241 dengan signifikansi 0,183, yang berarti tidak ada hubungan antara pendapatan sebelum relokasi dengan sesudah relokasi. Turunnya pendapatan secara drastis ini diakibatkan oleh sepinya pembeli di Blok G. Para pedagang merasa memiliki penurunan jumlah pembeli secara drastis. Hanya 2 orang yang menyatakan bahwa keadaan pembeli mereka sama saja, mereka percaya bahwa sepinya pengunjung bukan karena dipindahkan tetapi karena memang bulan saat data diambil adalah bulan-bulan sepi pengunjung. Tidak ada pedagang yang menyatakan pengunjung bertambah setelah mereka dipindahkan. Beberapa kasus menunjukkan, ketika PKl menjual barang-barang yang sama dengan yang di jual di toko, bisnis toko tersebut akan terancam. Hal ini sering terjadi di pasar tradisional indonesia. Mereka melihat bahwa PKl sebagai kompetitor langsung dan tidak adil, semenjak PKl mengambil pembeli mereka di luar, sebelum pembeli masuk ke pasar. Pada kenyataannya PKl melawan PKl yang lainnya, menolak pendekatan pemerintah untuk direlokasi hingga PKl yang lainnya juga di relokasi scara berkala (Dimas 2008). Tabel 2 Kondisi lapak pascarelokasi
Berkurang Tetap Bertambah
Jumlah Pembeli 30 2 0
Luas Lapak 6 26 0
Kenyamanan 1 6 25
Luas lapak yang mereka gunakan saat ini dengan ketika berdagang di jalan menurut 26 pedagang tidak jauh berbeda. Sedangkan 6 orang menyatakan berkurang dan tidak ada yang menyatakan bertambah. Terkait masalah kenyamanan 25 orang menyatakan kenyamanan memang bertambah, karena sudah tidak khawatir dengan hujan dan mereka tidak menyebabkan kemacetan. Masih ada pedagang yang menyatakan sama saja, karena mereka mendapat kios di
17 pinggir pasar yang jika turun hujan, mereka tetap terkena air yang tertiup angin. Satu orang menyatakan turun, dengan mengkritisi tidak adanya tangga berjalan. Sepinya pembeli membuat turunnya waktu berdagang PKl dalam sehari. Rata-rata para PKl di Pasar Tanah Abang bekerja 10,6 jam perhari sebelum mereka di relokasi ke Blok G. Sesudah relokasi rata-rata mereka berdagang selama 7,7 jam perhari. Sebelum di relokasi, paling cepat para pedagang membuka kios mereka selama 8 jam sehari dan paling lama hingga 14 jam sehari. Ketika berada di Blok G para pedagang paling lama buka 10 jam sehari, bahkan paling cepat hanya 5 jam dalam sehari. 14 jam sehari
Lama Berdagang
13 jam sehari 12 jam sehari 11 jam sehari 10 jam sehari 9 jam sehari 8 jam sehari 7 jam sehari 6 jam sehari 5 jam sehari 0
2
4
Sesudah Relokasi
6 8 Jumlah PKL
10
12
14
Sebelum Relokasi
Gambar 5 Jumlah responden berdasarkan lama berdagang dalam sehari Biaya berupa pungutan yang harus mereka bayarkan ketika berdagang di jalan raya dengan dipasar memang berkurang. Ketika berjualan di jalan mereka harus membayar iuran kepada preman dengan jumlah yang tidak tentu. Dalam sebulan rata-rata pedagang mengeluarkan biaya Rp 1.296.250,00 untuk pungutan uang keamanan ditambah uang sewa lahan dan uang sewa gudang untuk menyimpan barang dagangan mereka. Setelah dipindahkan ke Blok G, para pedagang hanya diwajibkan untuk membayar uang kebersihan sebesar Rp 4.000,00 sehari, sedangkan uang sewa lahan masih digratiskan oleh Gubernur DKI, dan barang-barang dagangan dapat disimpan di kios masing-masing. Akibat dari penurunan yang drastis ini banyak pedagang yang gulung tikar. Banyak kios-kios di Pasar Tanah Abang tutup dan terdapat tanda silang dari pengelola pasar. Tanda silang tersebut adalah tanda peringatan dari pengelola pasar bagi para pedagang yang tidak membayar iuran harian untuk kebersihan pasar sebesar Rp 4.000,00 selama sebulan. Beberapa pedagang yang masih buka namun juga mendapat tanda silang mengaku bahwa mereka memang sengaja tidak membayar uang iuran tersebut. Menurut mereka, pendapatan untuk biaya harian saja tidak mencukupi apalagi untuk membayar iuran tersebut.
18 16000000 14000000 Pendapatan
12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Observasi
pendapatan sebelumnya
Pendapatan sesudahnya
Gambar 6 Perubahan pendapatan responden sebelum dan sesudah relokasi Akibat dari berkurangnya pendapatan, para pedagang menggunakan omset mereka untuk menutup kebutuhan sehari-hari, sehingga modal berjalan yang mereka miliki untuk melakukan usaha perdagangan terus berkurang. Beberapa pedagang mengatasi hal tersebut dengan membuka lapak di tempat lain yang ramai pada malam harinya, seperti di Monas setiap hari sabtu dan minggu, atau mencari keramaian lain seperti adanya pasar malam. Pedagang masih bertahan di pasar sebagian besar karena tidak punya pilihan lain. mereka bertahan selama mendapatkan keringanan mendapatkan sewa gratis selama enam bulan pertama. Mereka memilih untuk tidak meneruskan menyewa lapak di Blok G, jika kondisi yang sepi ini tidak berubah hingga wajib membayar sudah jatuh tempo. Para pedagang tidak melakukan usaha khusus untuk mengatasi sepinya pengunjung di Blok G. Mereka cenderung pasif dan mengharapkan solusi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pendapatan Faktor-faktor yang memengaruhi pandapatan Pedagang kaki lima dianalisis menggunakan regresi linier berganda dengan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) dan teknik stepwise. Variabel bebas yang dianalisis dan diperkirakan memengaruhi pendapatan sebelum dilakukan pemindahan antara lain omset perbulan sebelum dipindahkan, modal usaha, lama usaha yang sudah dijalankan, biaya perbulan sebelum dipindahkan, jam kerja perhari sebelum dipindahkan, asal pedagang, jenis kelamin, dan pendidikan. Analisis pendapatan setelah direlokasi menggunakan variabel bebas yang beberapa berbeda dengan sebelum dipindahkan, variabel yang berbeda adalah omset sesudah relokasi, jam kerja perhari setelah dipindahkan, dan untuk biaya operasional tidak di masukkan karena nilainya sama bagi semua responden.
19 Model persamaan regresi yang didapatkan sebagai berikut : Ys = 1889694.669 + 0,130 Xs1* (0,021) (0,000) R = 0,817; R2 = 0,668; Sig-F = 0.000 …………. (Sebelum Relokasi) Yr = -5950.672 + 0,172 Xr1* (0,433) (0,000) R = 0,935; R2 = 0,875; Sig-F = 0.000 …………. (Sesudah Relokasi) Probabilitas = (….); * = Nyata pada α = 5% Variabel yang tidak signifikan ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 3 Variabel yang tidak dimasukkan dalam model Variabel Modal Lama Usaha Jam Kerja Usia Asal Pedagang Jenis Kelamin Pendidikan Biaya Kerja
Sebelum Relokasi Sesudah Relokasi Koefisien Probabilitas Koefisien Probabilitas 0,008 0,944 -0,098 0,135 -0,144 0,194 0,102 0,117 -0,026 0,811 -0,006 0,935 -0,03 0,784 0,087 0,193 -0,011 0,925 0,007 0,913 -0,073 0,521 0,09 0,168 0,149 0,17 0,02 0,727 0,127 0,234 -
Kedua model, sebelum dan sesudah relokasi, menunjukkan bahwa variabel bebas yang berpengaruh terhadap pendapatan hanyalah omset dengan probabilitas keduanya (0,000) kurang dari taraf nyata 5 persen. Koefisien yang lain memiliki probabilitas lebih dari taraf nyata 5 persen. Nilai R2 untuk pendapatan sebelum relokasi (Ys) sebesar 0.668. Hal ini berarti bahwa model yang didapatkan dapat menjelaskan kondisi sebenarnya sebesar 66.8 persen. Sisanya sebesar 33,2 persen dipengaruhi faktor-faktor diluar model. Nilai R2 untuk pendapatan setelah direlokasi (Yr) sebesar 0,875 lebih besar daripada R2 pendapatan sebelum direlokasi. Nilai koefisien Xs1 sebesar 0.130 menunjukkan bahwa peningkatan omset rata-rata sebelum relokasi sebesar Rp 1.000,00/hari akan meningkatkan pendapatan rata-rata sebesar Rp 130,00/hari. Sedangkan nilai Xr1 sebesar 0,172 menunjukkan bahwa peningkatan omset rata-rata setelah direlokasi sebesar Rp 1000,00/hari akan meningkatkan pendapatan rata-rata sebesar Rp 172,00/hari. Nilai koefisien disini dapat diartikan sebagai presentase keuntungan pedagang dari omset mereka. Dari perbedaan nilai koefisien antara Xs1 dengan Xs2, pedagang lebih banyak mengambil untung ketika berada di Blok G. Mereka meningkatkan persentase keuntungan untuk menutupi kerugian akibat sepinya pengunjung. Variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang ditunjukkan dari nilai probabilitasnya yang lebih dari taraf nyata 5 persen. Berdasarkan penelitian Akliyah (2008) keuntungan dari PKL memang tidak dipengaruhi lama usaha, tingkat pendidikan, modal usaha, maupun umur, namun keuntungan PKL dipengaruhi lokasi PKL berdagang dan tingkat keragaman serta jenis dagangan di
20 lokasi. Penelitian dari Mubarok (2012) menunjukkan hasil bahwa jenis kelamin, biaya internal dan pungutan-pungutan, dan modal kerja tidak berpengaruh terhadap pendapatan. Variabel modal awal seharusnya berkorelasi positif terhadap pendapatan tapi ternyata tidak signifikan secara statistik. Modal yang digunakan tergantung pada barang yang dijual. Semakin mahal nilai barang yang dijual maka modal yang dibutuhkan semakin tinggi. Namun, belum tentu keuntungan barang yang membutuhkan modal besar lebih tinggi dari barang yang membutuhkan modal lebih kecil. Menurut penuturan salah seorang responden yang berdagang sandal, dia mengklaim bahwa keuntungan yang dia dapatkan lebih tinggi daripada keuntungan istrinya yang berdagang baju. Meskipun modal yang dibutuhkan istrinya untuk berdagang baju lebih besar daripada modal yang dia butuhkan. Lama usaha dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap pendapatan. Menjadi PKl tidak membutuhkan keahlian khusus, orang dari berbagai latar pendidikan apapun dapat melakukannya. Kemudahan ini juga menjadi alasan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk terbiasa menjadi pedagang kaki lima. Jam kerja PKl yang beragam juga tidak memengaruhi pendapatan PKl. Setiap PKl memiliki strategi masing-masing untuk berdagang. Meskipun ada PKl yang lebih cepat jam berdagang dalam seharinya, namun mereka tidak melewatkan momentum padat pengunjung. Sehingga tidak terdapat perbedaan antara pedagang yang buka lebih lama dengan yang lebih cepat. Usia pedagang tidak berpengaruh terhadap pendapatan, mereka memiliki usaha yang sama dalam melakukan kegiatan perdagangan. Biaya kerja juga tidak berpengaruh terhadap pendapatan. Besaran biaya yang harus mereka keluarkan untuk menjadi PKl tidak terasa dibanding dengan pendapatan yang mereka hasilkan. Antara pedagang yang berasal dari dalam Jakarta dengan dari Luat Jakarta juga tidak berbeda. Adanya penyedia jasa penyewaan gudang memudahkan pedagang yang berasal dari luar Jakarta. Kebanyakan masyarakat pendatang juga sudah bertempat tinggal di Jakarta cukup lama. Antara pedagang laki-laki dengan wanita juga tidak berbeda. Peran wanita dalam mencari nafkah keluarga saat ini sudah sejajar dengan peran laki-laki. Strategi Pascarelokasi Ada dua permasalahan turunan yang muncul setelah relokasi PKl dari jalan raya ke Blok G. Permasalahan yang utama adalah menurunnya pendapatan pedagang yang dipindahkan akibat dari sepinya PKl. Permasalahan yang kedua adalah munculnya PKl baru atau kembalinya PKl lama di lokasi sebelumnya. Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi di Jakarta, para pedagang yang dipindahkan akan kembali lagi ke jalan ketika mereka merasa dagangannya lebih sepi setelah dipindahkan. Selain faktor sepinya pengunjung, adanya PKl yang memaksa tetap berjualan di lokasi lama juga memicu para PKl lama untuk kembali ke jalan. Pada 2004 PKl Tanah Abang sudah pernah direlokasi menempati Blok G, namun karena sepinya pengunjung dan kurang ketatnya pemerintah untuk menertibkan PKl di jalan, mereka akhirnya kembali lagi ke jalan. Model kebijakan relokasi memang tidak selalu berjalan lancar, pada tahun 1988 dari pemberdayaan 58 pasar Inpres untuk PKl dan pedagang ekonomi lemah oleh Pemerintah DKI
21 Jakarta hanya 3 yang terisi penuh, dua kosong sama sekali dan 27 pasar diisi sekitar 21 persen sampai 75 persen (Chandrakirana 1995). Pemerintah DKI sebenarnya telah melakukan berbagai kebijakan untuk menarik pembeli agar pasar Blok G ramai dengan pengunjung. Dari mulai promosi ke berbagai media hingga pemberian hadiah mobil bagi pengunjung yang berbelanja ke Blok G. Pada hari sabtu dan minggu juga ada kegiatan live music di depan Blok G untuk menarik minat pengunjung. Namun semua kebijakan itu belum mampu memberikan keuntungan bagi PKl yang sama besarnya seperti ketika mereka berdagang di jalan. Sebagian besar pembeli PKl bukanlah pelanggan tetap atau pembeli yang memiliki niatan untuk berbelanja ke PKl. Menurut penuturan pedagang, pembeli mereka adalah orang yang lewat dan tertarik karena melihat dagangan yang ditawarkan. Perpindahan ke Blok G membuat kesempatan pedagang mendapatkan “pembeli tidak sengaja” tersebut semakin kecil. Lokasi Blok G yang berdekatan dengan Blok A, B dan F juga menjadi alasan sepinya pengunjung di Blok G. Pembeli akan lebih memilih berbelanja di Blok A, B atau F yang terdapat barang yang jauh lebih lengkap dibanding Blok G. Karena sifat pembeli yang mengharapkan mendapatkan barang dalam waktu tertentu dengan harga yang semurah mungkin. Lokasi yang memberikan mereka banyak pilihan, membuat mereka dapat membandingkan harga antar penjual satu dengan lainnya dengan mudah (Mubarok 2012). Hal ini berlaku sebaliknya ketika PKl berada di jalan, pedagang di Blok A,B dan F yang menjadi korban dari perebutan pembeli secara ilegal (karena lokasi PKl yang berada di trotoar dan jalan). Permasalahan sepinya pengunjung di Blok G dapat diatasi dengan mengondisikan Blok G agar menjadi jalut lalu lintas pengunjung yang akan ke atau dari Blok A, B dan F. Pembuatan jalur penghubung antara Blok G dengan Blok yang lainnnya cukup penting untuk meningkatkan jumlah pembeli di PKl. Rencana pembuatan jalur penghubung Blok G dengan pintu keluar Stasiun Kereta Api Tanah Abang juga dapat meningkatkan jumlah pengunjung yang melintas di Blok G. Namun perlu dianalisis lebih lanjut mengenai efektifitas kebijakan tersebut. Sebagai perbandingan, penataan PKl di jalur keluar Stasiun Kereta Api Bogor saja mampu mendapatkan omset rata-rata Rp 532.895,00 perhari (Pratiwi 2013). Permasalahan kedua dari relokasi ini adalah pencegahan para pedagang untuk kembali lagi ke lokasi semula. Perlu kontrol yang tegas dari pemerintah terhadap penjagaan lokasi. Munculnya PKl di lokasi lama akan menimbulkan kecemburuan bagi pedagang yang direlokasi di Blok G. Saat ini penjagaan jalan di sekitar Pasar Tanah Abang diperketat oleh petugas Satpol PP agar para pedagang tidak kembali lagi. Penjagaan yang lebih ketat dan tegas ini didukung oleh para pedagang. Para pedagang berharap dengan tidak adanya PKl baru ataupun lama yang kembali lagi ke jalan, para pembeli akan mendatangi mereka di Blok G. Jika penjagaan tidak diperketat, mereka menjamin bahwa para PKl di jalanan sekitar Tanah Abang akan penuh lagi seperti sebelumnya. Kecenderungan PKl akan terus bertambah jika dilihat dari rata-rata umur usaha PKl yang sudah ada saat ini. Adanya kontrol yang tegas terhadap PKl sebaiknya juga diimbangi dengan sosialisasi Undang-undang (UU) mengenai ketertiban umum di DKI Jakarta. Sosialisai ini penting agar PKl yang sudah ada
22 dan calon PKl di masa depan tidak hanya terkesan dikekang kebebasannya tetapi juga upaya mengajak mereka menaati UU dengan tidak menempati lokasi-lokasi yang dilarang.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapatan PKl dipengaruhi oleh omset dan lokasi berdagang. Pengaruh dari omset ditunjukan dari hasil analisis regresi yang signifikan pada taraf kepercayaan sebesar 95 persen dengan nilai koefisiennya 0,13 sebelum direlokasi dan 0,172 sesudah direlokasi. Faktor lainnya seperti modal awal, lama usaha, biaya kerja, lama kerja sehari, umur pedagang, pendidikan pedagang, jenis kelamin pedagang dan daerah asal pedagang tidak berpengaruh terhadap pendapatan. Pengaruh lokasi berdagang dapat dilihat dari perubahan pendapatan mereka ketika di jalan dengan di Blok G. Relokasi PKl di Blok G Pasar Tanah Abang memberikan dampak yang besar bagi pedagang sekaligus lingkungan di Tanah Abang. Kondisi jalanan kini menjadi lancar dan bersih dari para PKl, namun pendapatan PKl menurun drastis hingga 99 persen. Pendapatan PKl sebelum dipindahkan rata-rata Rp 7.112.500,00 dan setelah dipindahkan rata-rata Rp 5.656,00. Jumlah pembeli di Blok G tidak seramai ketika para PKl berada di jalan, meskipun Blok G lebih nyaman baik bagi pedagang maupun pembeli. Kemacetan lalu lintas memang menjadi alasan utama relokasi PKl ke Blok G. Namun Pemerintah provinsi DKI tetap memerhatikan keberlangsungan usaha PKl. Kepedulian pemerintah terhadap pedagang dibuktikan dengan adanya promosi Blok G dengan pemberian hadiah mobil bagi pembeli dan juga adanya panggung hiburan setiap akhir pekan. Tetapi usaha pemerintah tersebut masih belum mampu meningkatkan pendapatan pedagang di Blok G Pasar Tanah Abang. Saran Tipe pembeli di PKl rata-rata orang yang tidak dengan sengaja ingin untuk berbelanja. Mereka adalah orang yang lewat dan tertarik dengan barang yang dipamerkan oleh PKl. Rencana pemerintah untuk membuat jembatan penghubung antara Blok F dengan Blok G dan penghubung Blok G dengan pintu keluar Stasiun Kereta Api Tanah Abang harus segera terealisasi. Selama masa krisis bagi PKl yang direlokasi, penjagaan oleh petugas satpol PP untuk menertibkan jalanan di sekitar tanah abang tetap harus diperketat. Hal ini untuk mencegah kembalinya PKl menempati jalan raya lagi. Dalam proses penertiban sebaiknya juga dilakukan sosialisasi peraturan pemerintah mengenai ketertiban umum. Sebaiknya PD Pasar Jaya selaku pengelola pasar juga melakukan pengaturan ulang kios-kios para pedagang. Kios yang sudah lama tutup namun memiliki lokasi yang strategis digantikan oleh pedagang yang masih rajin membuka kiosnya. Sehingga pedagang yang masih buka dapat terlokalisir.
23 Dengan pemusatan pedagang yang masih buka ini diharapkan menambah kesempatan mereka untuk didatangi oleh pembeli. Perlu adanya penelitian dari sudut pandang pembeli yang berbelanja di PKl. Pengetahuan mengenai karakteristik pembeli dapat digunakan sebagai bahan menyusun strategi sebelum maupun sesudah relokasi.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2013. Jakarta Dalam Angka 2013. Jakarta (ID): BPS Provinsi DKI Jakarta. Agustinus TH. 2010. Strategi Penanganan Pedagang Kaki Lima Di Kota Administrasi Jakarta Utara [Tesis]. Depok (ID) : Universitas Indonesia. Akliyah LS. 2008. Kajian Penataan Pedagang Kakilima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Chandrakirana K, Sadoko I. 1995. Dinamika Ekonomi Informal di Jakarta : Industri Daur Ulang, Angkutan Becak dan Dagang Kakilima. Jakarta (ID) : UI - PRESS Dimas H. 2008. Street Vendors : Urban Problem and Economic Potential. Working Paper in Economics and Development Studies. No. 200803 Farhani N. 2011. Kerugian Sosial Ekonomi Dan Alternatif Kebijakan Dalam Mengatasi Permasalahan Kemacetan Di Sepanjang Jalan CicurugParungkuda, Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Hardjanto ST. 1999. Pedagang Kaki Lima di Pasar Regional Tanah Abang [Tesis]. Depok (ID) : Universitas Indonesia. Manning C, Effendi TN. 1985. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Usman AG, Ala AB, Penerjemah. Jakarta (ID) : PT Gramedia. Mishra SC. 2010. Keterbatasan Pembuatan Kebijakan Ekonomi Informal di Indonesia: Pelajaran Dekade Ini. Muhamad T, editor. Jakarta (ID) : ILO. Mubarok A. 2012. Karakteristik dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) Serta Strategi Penataan dan Pemberdayaan Dalam Kaitan Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Jakarta (ID): Pemda Provinsi DKI Jakarta. Pratiwi K. 2013. Analisis Dampak Penataan dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Omset Pedagang Kakilima di Kota Bogor (Periode Tahun 2012-2013) [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ramawisada IK. 2003. Analisis Kebijakan Publik Revitalisasi kawasan Perkotaan Dalam Rangka Penataan dan Pembinaan Padagang Kaki Lima (PKL) di Kota Pangkalpinang [Tesis]. Depok (ID) : Universitas Indonesia. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Haris M, penerjemah; Devri B, Suryadi S, Wibi H, editor. Jakarta (ID) : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Develoment. Ed ke-9.
24 Yatmo YA. 2008. Street Vendors as ‘Out of Place’ Urban Elements. Journal of Urban Design. 13(3) : 387–402.
25 Lampiran 1 Hasil output analisis regresi sebelum dipindahkan Variables Entered/Removed
a
Variables Model
Variables Entered
Removed
Method
1
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-toOmset
. enter
<=
,050,
Probability-of-F-toremove >= ,150). a. Dependent Variable: Pendapatan
b
Model Summary
Std. Error of the Model
R
1
R Square .817
a
Adjusted R Square
.668
Estimate
.656
Durbin-Watson
2.16030E6
1.631
a. Predictors: (Constant), Omset b. Dependent Variable: Pendapatan
b
ANOVA Model
Sum of Squares
df
Mean Square
1 Regression
2.811E14
1
2.811E14
Residual
1.400E14
30
4.667E12
Total
4.212E14
31
F
Sig.
60.243
.000
a
a. Predictors: (Constant), Omset b. Dependent Variable: Pendapatan
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constant) Omset
Std. Error
1889694.669
773714.797
.130
.017
a. Dependent Variable: Pendapatan
Coefficients Beta
Collinearity Statistics t
.817
Sig.
2.442
.021
7.762
.000
Tolerance
1.000
VIF
1.000
26 Excluded Variablesb Collinearity Statistics Partial Model 1
Beta In
t
Sig.
Minimum
Correlation
Tolerance
VIF
Tolerance
.008
a
.071
.944
.013
.982
1.019
.982
LamaUsaha
-.144
a
-1.330
.194
-.240
.924
1.082
.924
BiayaKerja
.127
a
1.216
.234
.220
1.000
1.000
1.000
JamKerja
-.026
a
-.242
.811
-.045
.980
1.020
.980
Usia
-.030
a
-.277
.784
-.051
.965
1.036
.965
AsalPedagang
-.011
a
-.095
.925
-.018
.893
1.120
.893
JenisKelamin
-.073
a
-.650
.521
-.120
.904
1.106
.904
.149
a
1.408
.170
.253
.960
1.042
.960
Modal
Pendidikan
a. Predictors in the Model: (Constant), Omset b. Dependent Variable: Pendapatan Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov
Shapiro-Wilk Statist
Statistic Unstandardized Residual
.104
df
Sig. 32
.200
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
*
ic
df
.957
32
Sig. .233
27 Lampiran 2 Hasil output analisis regresi sesudah dipindahkan Variables Entered/Removed
a
Variables Model
Variables Entered
Removed
1
Method Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-
Omset
. enter
<=
,050,
Probability-of-F-toremove >= ,100). a. Dependent Variable: Pendapatan b
Model Summary
Std. Error of the Model
R
1
R Square .935
a
Adjusted R Square
.875
Estimate
.871
Durbin-Watson
35836.19591
2.488
a. Predictors: (Constant), Omset b. Dependent Variable: Pendapatan b
ANOVA Sum of Model 1
Squares Regressi
Mean df
Square
F
2.690E11
1
2.690E11
Residual
3.853E10
30
1.284E9
Total
3.075E11
31
on
Sig.
209.4
.000
76
a
a. Predictors: (Constant), Omset b. Dependent Variable: Pendapatan
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant) Omset
B
Std. Error
-5950.672
7481.607
.172
.012
a. Dependent Variable: Pendapatan
Coefficients Beta
Collinearity Statistics t
.935
Sig.
-.795
.433
14.473
.000
Tolerance
1.000
VIF
1.000
28
b
Excluded Variables
Collinearity Statistics Partial Model 1
Beta In
t
Sig.
Minimum
Correlation Tolerance
VIF
Tolerance
-.098
a
-1.536
.135
-.274
.978
1.022
.978
.102
a
1.614
.117
.287
.992
1.008
.992
-.006
a
-.082
.935
-.015
.921
1.086
.921
Umur
.087
a
1.332
.193
.240
.960
1.042
.960
Pendidikan
.025
a
.352
.727
.065
.865
1.156
.865
Asal
.007
a
.110
.913
.020
.971
1.030
.971
Gender
.090
a
1.414
.168
.254
.989
1.011
.989
Modal Lamausaha Jamkerja
a. Predictors in the Model: (Constant), Omset b. Dependent Variable: Pendapatan
Lampiran 3 Hasil output uji t berpasangan Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pendsesudah
51656.2500
32
99602.95674
17607.48153
pendsebelum
7.1125E6
32
3.68587E6
6.51576E5
Paired Samples Correlations N Pair 1
Pendsesudah & pendsebelum
Correlation 32
.241
Sig. .183
29 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval
Mean
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
of the Difference Lower
Upper
Sig. (2t
df tailed)
Pair 1 Pendsesudah pendsebelum
-7.06084E6 3.66312E6 6.47554E5
-8.38154E6 -5.74015E6 -10.904 31
.000
30 Lampiran 4 Kuisioner penelitian KUISIONER PENELITIAN
ANALISIS DAMPAK RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI BLOK G PASAR TANAH ABANG JAKARTA PUSAT (PERIODE TAHUN 2013 – 2014) Nama Surveyor Hari dan Tanggal Survey Nomor Kuisioner I.
II.
: : :
Data Responden 1. Nama 2. Jenis kelamin 3. jumlah anak 4. Daerah asal 5. Pendidikan terakhir 6. Jenis usaha
: : laki-laki / perempuan :……… : Jakarta / bukan Jakarta : : SD SMP SMA S1 :
Pertanyaan 7. Sudah berapa lama saudara berdagang? …….. tahun 8. Sebelumnya saudara bekerja sebagai apa? 9. Berapa modal yang di butuhkan untuk berdagang seperti ini? 10. Adakah perubahan omzet sebelum dan sesudah dipindahkan? a. Berapa omzet sebelum pemindahan (Rp/bulan)? b. Berapa omzet sesudah pemindahan (Rp/bulan)? 11. Retribusi dan pungutan liar a. Sebelum dipindahkan, adakah retribusi? - Resmi berapa (Rp/bulan)? - Tidak resmi berapa (Rp/bulan)? b. Sesudah dipindahkan adakah retribusi ? - Resmi berapa (Rp/bulan)? - Tidak resmi berapa (Rp/bulan)? 12. Berapa jam bapak bekerja perhari? a. Sebelum (jam/hari)? b. Sesudah (jam/hari)? 13. Dari omzet sebesar itu berapa pendapatan bapak, setelah dikurangi retribusi dan kebutuhan lainnya? a. Sebelum (Rp/bulan)? b. Sesudah (Rp/bulan)? 14. Bagaimana jumlah pembeli setelah dipindahkan? 15. Bagaimana luas lapak setelah dipindahkan? 16. Bagaimana kenyamanan kebersihan dan kerapihan tempat setelah dipindahkan? 17. Apa saran saudara untuk pengelola pasar?
31 Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
Jembatan Penghubung Blok F dengan Blok G yang masih dalam pengerjaan
Pedagang di lantai dua Blok G
Kios-kios kosong di lantai tiga Blok G
Jalanan di depan Blok G
32
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar Jawa Timur pada 12 Desember 1989. Putra ketiga dari Prihati dan Suhartono. Mengawali pendidikan di SDN Khayangan II Jombang, saat kelas 5 pindah ke SDN Nglegok 1 Blitar. Pada tahun 2005 lulus dari SMPN 3 Blitar. Tahun 2008 diterima di IPB pada Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen melalui jalur USMI setelah dinyatakan lulus dari SMA 1 Blitar. Penulis sangat tertarik dalam gerakan pelestarian lingkungan. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Uni Konservasi Fauna IPB. Penulis juga terlibat langsung dalam pengembangan Pusat Penelitian Hutan Hujan Tropika di Situgunung Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penulis memiliki spesialisasi dalam study tentang serangga.