ANALISIS COST AND BENEFIT KEMUNGKINAN PENERAPAN FOREIGN ACCOUNT TAX COMPLIANCE ACT (FATCA) DI INDONESIA Dyah Ayu Puspitasari Universitas Bina Nusantara Pondok Jurang Mangu Indah, Jalan Mawar 2 Blok A17 No. 13, Pondok Aren – Tangerang 15222, 081316772664, 1 Heri Sukendar W, Drs., Ak., MM, BKP
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertukaran informasi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sehubungan dengan penerapan FATCA, untuk mengetahui peraturan Bank Indonesia mengenai kerahasiaan data nasabah untuk kepentingan perpajakan, dan untuk mengetahui cost and benefit bagi pemerintah Indonesia atas pelaksanaan FATCA ini. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan objek penelitian yang digunakan antara lain, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan AS, Pasal 26 dalam tax treaty antara Indonesia dan AS tentang pertukaran informasi, dan undang-undang perbankan mengenai kerahasiaan bank. Penelitian ini menganalisis aturan-aturan yang diperbolehkan sesuai perbankan Indonesia serta hambatan-hambatan yang ada, aturan-aturan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan (3), serta dampak dari penerapan FATCA bagi Indonesia. Simpulannya adalah Indonesia dapat memberikan informasi mengenai data Wajib Pajak tertentu kepada Internal Revenue Service (IRS) di AS sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada FATCA sepanjang data yang diperoleh hanya digunakan untuk kepentingan IRS dan IRS dapat menjaga informasi tersebut dari pihak lain. Kata Kunci: FATCA, Tax Treaty, Indonesia, Amerika Serikat, Kerahasiaan Bank.
PENDAHULUAN Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali menebar kontroversi melalui peraturan dibidang perpajakan, yang disebut dengan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). FATCA disahkan sebagai bagian dari Hiring Incentives to Restore Employment (HIRE) Act dan ditandatangani menjadi undang-undang pada tanggal 18 Maret 2010. Peraturan ini dibuat oleh pemerintah AS dengan tujuan untuk menanggulangi penghindaran pajak (tax avoidance) oleh warga negara AS yang melakukan direct investment melalui lembaga keuangan di luar negeri ataupun indirect investment melalui kepemilikkan perusahaan di luar negeri. Melalui FATCA pemerintah AS mengharuskan lembaga keuangan asing (Foreign Financial Institution atau FFI) dan lembaga non-keuangan (Non-Financial Foreign Entities atau NFFE) tertentu untuk melakukan sebuah perjanjian dengan US Internal Revenue Service (IRS). Perjanjian dimaksud berupa kesepakatan kewajiban FFI dan NFFE terhadap IRS untuk mengidentifikasi rekening milik warga negara AS, memberikan informasi mengenai rekening tersebut, dan memberikan informasi mengenai warga negara AS yang memiliki rekening atas perusahaan asing (umumnya lebih dari 10%). Apabila perjanjian tersebut tidak dilakukan, IRS akan mengenakan 30% withholding tax terhadap FFI dan NFFE atas penerimaan yang mereka peroleh dari investasi di AS. Sejauh ini sudah terdapat beberapa negara yang menandatangani perjanjian untuk menerapkan ketentuan FATCA. Perancis, Italia, UK, Spanyol, dan Jerman adalah 5 negara pertama yang menandatangani bilateral FATCA intergovernmental agreement. Namun demikian, melalui perjanjian bilateral ini kemungkinan dapat terjadi kesepakatan yang berbeda dalam perjanjian bilateral masing-masing negara dengan pemerintah AS. Akibatnya, dapat memicu berpindahnya para nasabah dan investor AS dari negara-negara yang memiliki perjanjian FFI yang 'ketat' ke negara-negara yang relatif 'relax' dalam penerapan ketentuan FATCA ini. Oleh karena itu, penerapan FATCA seharusnya dilakukan melalui pendekatan perjanjian multilateral (multilateral agreement), agar terdapat standar yang sama untuk mengimplementasikan ketentuan ini di setiap negara.
Perumusan Masalah Penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah memungkinkan peraturan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia – Amerika Serikat untuk menerapkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA)? 2. Apakah penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) dimungkinkan secara regulasi Bank Indonesia? 3. Komparasi kemungkinan keuntungan dan kerugian penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) di Indonesia?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dampak dari pertukaran informasi Indonesia – Amerika Serikat sehubungan dengan penerapan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA).
2.
Untuk mengetahui peraturan Bank Indonesia mengenai kerahasiaan data nasabah untuk kepentingan perpajakan.
3.
Untuk mengetahui cost and benefit bagi pemerintah Indonesia atas pelaksanaan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA).
METODE PENELITIAN Penelitian ini didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh dari hasil wawancara. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yang menggunakan data primer. Teknik yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah metode langsung, yaitu: 1. Library Research Method (Metode Penelitian Kepustakaan) Suatu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca dan mengumpulkan bahan-bahan, literaturliteratur maupun media informasi lainnya berdasarkan buku-buku teori mengenai pajak internasional ataupun berbagai sumber data yang berkaitan erat dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini khususnya mengenai Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). 2. Field Research Method (Metode Penelitian Lapangan) Suatu penelitian yang dilakukan dimana penulis secara langsung mengadakan sesi wawancara pada perusahaan yang menjadi objek penelitian guna memperoleh dan mengetahui permasalahnya secara keseluruhan. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan untuk dimintai informasi berkaitan dengan penyusunan skripsi ini.
HASIL DAN BAHASAN Intergovernmental Agreement (Model IGA) Pada banyak kasus, hukum internasional akan mencegah Foreign Financial Institutions (FFI) untuk melapor secara langsung ke Internal Revenue Service (IRS) mengenai Informasi yang dibutuhkan peraturan undang-undang Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Hal ini bertolak belakang dengan tujuan FATCA untuk mendapatkan pajak dari mereka yang memiliki dana di luar negeri. Untuk mengatasi hal ini departemen keuangan bekerja sama dengan pemerintah asing untuk mengembangkan 2 Model perjanjian antar negara yang memfasilitasi FATCA dalam menjalankan tugas-tugasnya dan mengurangi beban FFI. Model pertama dari perjanjian antar pemerintah ini dipublikasikan pada tanggal 26 Juli 2012. Mitra hukum (dalam hal ini pemerintah asing) yang ikut menandatangani perjanjian (Model 1 IGA) dengan Unites State (US) akan melaporkan setiap informasi mengenai akun-akun US yang memenuhi standar yang telah ditentukan pada perjanjian Model 1 IGA. FFI sendiri akan termasuk pada Model 1 IGA untuk melaporkan setiap informasi mengenai akun-akun US kepada mitra hukum. Mitra hukum ini
nantinya akan bertukar informasi dengan IRS secara berkesinambungan. Aturan ini yang akan memastikan IRS mendapatkan informasi tentang akun-akun US dari FFI. Model kedua dari perjanjian antar pemerintah ini dipublikasikan pada tanggal 14 November 2012. Mitra hukum yang menandatangani perjanjian (Model 2 IGA) ini setuju untuk mengizinkan FFI beroperasi di wilayahnya dan mengirimkan laporan mengenai akun-akun US langsung kepada IRS, kecuali yang telah dirubah berdasarkan Model 2 IGA. Pada beberapa kasus seperti pemegang akun US yang tidak patuh harus dilaporkan kepada IRS melalui FFI. Kedua model baik Model 1 IGA dan Model 2 IGA menyatakan bahwa mitra hukum harus menyertakan semua institusi financial yang berlokasi di wilayahnya dan mengirimkan laporan mengenai informasi akun-akun US sesuai kesepakatan. Sebaliknya mitra hukum akan diberi kemudahan dalam mengurus aplikasi FATCA. Departemen Keuangan dan IRS percaya bahwa IGA dapat mempermudah implementasi FATCA dan akan terus menyetujui perjanjian bilateral yang sesuai dengan kedua model. Sebagai tambahan Departemen Keuangan dan IRS akan terus mengembangkan implementasi FATCA berdasarkan IGA. Departemen Keuangan dan IRS juga tetap berkomitmen untuk bekerjasama dengan pihak-pihak asing dalam mengembangkan transparansi pertukaran data pada skala global.
Gambar 3.1. IGA Status as of June 11, 2013
Kelemahan Serta Kelebihan Model 1 IGA dan Model 2 IGA Model 1 IGA dan Model 2 IGA sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri dalam penerapannya bagi FFI maupun bagi pemerintah Indonesia. Kelemahan yang terdapat dalam Model 1 IGA adalah jika nantinya Indonesia sepakat untuk menggunakan Model 1 IGA pada pelaksanaan FATCA, pemerintah Indonesia harus menyediakan fasilitas untuk reporting informasi mengenai akun milik warga negara AS kepada IRS. Pemerintah terpaksa membuat regulasi domestik untuk dapat membuat reporting ini, regulasi domestik tersebut contohnya, PP, PMK, UU, PBI, dan lain sebagainya. Sedangkan kelemahan dari sisi Model 2 IGA itu sendiri adalah pihak FFI sendiri yang menyediakan informasi mengenai akun milik warga negara AS tanpa harus melalui Direktorat Jenderal Pajak, lalu Model 2 IGA ini dapat di audit langsung oleh IRS. Hal tersebut sangat mengganggu sistem kedaulatan dalam negeri karena kedaulatan di Indonesia terbiasa untuk bekerja secara “government to government” diantara kedua belah pihak negara bukan dengan cara “government to business” untuk melakukan audit terhadap informasi yang berasal dari FFI. Sedangkan kelebihan yang terdapat dalam Model 1 IGA adalah pemerintah memiliki kedaulatan penuh untuk dapat mencegah adanya interfensi IRS kepada FFI secara langsung ke Indonesia, selain itu pemerintah memiliki data semua US person yang ada di Indonesia, mulai dari data kekayaan, transaksi, investasi, dan lain sebagainya. Lalu kelebihan yang terdapat dalam Model 2 IGA adalah pemerintah tidak perlu membuat regulasi domestik terkait dengan penerapan kebijakan FATCA ini nantinya, karena semuanya diserahkan kepada sistem bisnis masing-masing dari FFI. Interaksi IGA dengan Final Regulation FFI yang disebut di Model 1 IGA akan bekerja sesuai hukum negara yang bersangkutan dan negara tersebut akan melaporkan akun-akun US yang memenuhi syarat seperti tercantum pada Model 1 IGA. Maka seperti yang disebutkan pada Model 1 IGA, FFI tidak perlu menerapkan final regulation dengan tujuan menghindari pemutusan dari FATCA. Pada beberapa kasus seperti yang disebutkan di Model 1 IGA, hukum yang berlaku di wilayah mitra hukum bisa memperkenankan penduduk FFI untuk memilih menggunakan hukum tersebut ketimbang yang ada di Model 1 IGA. Dan pada Model 2 IGA, FFI harus melakukan implementasi FATCA seperti yang sudah disebutkan pada peraturan yang berlaku. Dampak Ketentuan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) Terhadap Indonesia 1. Aspek Hukum Besar kemungkinan penerapan ketentuan FATCA di Indonesia ini sudah pasti akan bertolak belakang dengan beberapa payung hukum yang ada di Indonesia. Ketentuan ini berpeluang sangat besar akan bertolak belakang dengan penerapan prinsip kerahasiaan bank yang selama ini sudah ditetapkan di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Jika memang nanti dalam praktiknya terbukti ketentuan FATCA ini memang bertentangan dengan UU Kerahasiaan Bank tersebut, maka lembaga keuangan Indonesia harus mendapatkan Surat Pernyataan Pengabaian Kerahasiaan Bank dari warga AS yang memiliki rekening di Bank Indonesia untuk dapat memberikan informasi kepada IRS. Kerugian yang bisa saja terjadi antara lain, jika informasi tersebut telah disampaikan kepada IRS, IRS tidak memiliki
kebijaksanaan atas informasi yang diperoleh sehingga dapat menyebarkan informasi tersebut kepada tax authority di seluruh dunia. Hal ini tentu akan mempengaruhi kepercayaan serta kenyamanan warga AS yang menjadi nasabah perbankan di Indonesia. Akibatnya potensi terjadinya pelanggaran hukum dan peraturan tidak hanya terbatas antara dua negara yaitu Indonesia dan Amerika Serikat saja namun juga dapat terjadi diseluruh negara. Di lain sisi, ternyata tidak
hanya kerugian saja yang bisa
berdampak pada Indonesia dari aspek hukum, namun ada keuntungan juga yang bisa Indonesia dapatkan dengan menerapkan ketentuan FATCA ini. Secara reciprocal, dengan adanya perjanjian persetujuan untuk saling bertukar informasi antara Indonesia dengan Amerika Serikat, Indonesia dapat memperoleh data-data warga negara Indonesia yang menetap ataupun yang memiliki akun rekening di Amerika Serikat. Sehingga pemerintah Indonesia tidak kesulitan juga untuk melacak warga negara Indonesia yang mangkir dari pelaporan serta pembayaran pajaknya. 2. Aspek Investasi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, FATCA yang mewajibkan lembaga keuangan di Indonesia untuk melaporkan segala aktivitas rekening milik investor AS maupun rekening yang aliran dananya berasal dari AS dikhawatirkan akan mempengaruhi kenyamanan serta kepercayaan para investor AS untuk berinvestasi di Indonesia. Kerugian yang berasal dari rasa ketidak-nyamanan para investor AS tersebut dapat mengurangi keinginan mereka untuk berinvestasi di Indonesia atau bahkan memicu adanya aliran modal keluar dari Indonesia. Dampak yang akan terjadi adalah Indonesia semakin kesulitan untuk menjadi ‘pemain dunia’ dalam perekonomian global, karena jika tidak ada lagi aliran dana investasi dari warga negara asing terutama dari warga AS yang kenyamanannya telah terusik dengan adanya ketentuan FATCA ini, maka kemungkinan buruk yang akan terjadi adalah Indonesia akan terkucilkan dari 80% perekonomian dunia. Namun sebaliknya, jika pemerintah Indonesia dan perbankan Indonesia sangat berpegang teguh dalam menjaga kepercayaan seluruh nasabahnya terutama nasabah wajib pajak warga AS yang selama ini merasa nyaman dengan sistem perbankan yang sudah ada di Indonesia terutama dalam menjaga kerahasiaan data-data nasabahnya dengan baik dan benar, maka keuntungan yang akan diperoleh bagi Indonesia ialah seluruh dunia baik nasabah yang berasal dari AS maupun negara lainnya yang ada di dunia tidak akan pernah merasa ragu jika akan berinvestasi di Indonesia karena tidak adanya hambatan dari segi financial. Dengan tidak adanya aliran modal yang lari keluar dari Indonesia, dapat membantu Indonesia dalam menciptakan perekonomian dalam negeri yang baik sehingga memperoleh tempat khusus di mata perekonomian dunia. 3. Aspek Teknis Operasional Ketentuan FATCA ini menyebabkan FFI di Indonesia harus melakukan penyesuaian dan juga menuntut kesiapan dalam beberapa hal, seperti teknik operasional dari sisi sumber daya manusia dan sisi pengendalian internal yang terdiri dari sistem database, sistem dan mekanisme pelaporan, dan ketentuan internal lainnya. Sebagai konsekuensinya, penyesuaian tersebut tentu akan menyita waktu dan akan mempengaruhi biaya operasional serta efisiensi FFI itu sendiri secara keseluruhan. Kelemahan dari sisi operasional bank adalah belum adanya sistem database yang enhanced untuk memisahkan dan membedakan antara nasabah yang tergolong US individual atau US entity. Hal ini
penting mengingat banyak sekali wajib pajak warga negara AS yang bertempat tinggal dan memiliki akun rekening di beberapa bank di Indonesia. Padahal untuk mengaktifkan sistem ini diperlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Sedangkan kelemahan FATCA dari sisi pemerintahan adalah penerapan ketentuan FATCA ini juga akan mempengaruhi operasional Multinational Corporations (MNCs) terutama dalam hal tambahan dokumentasi dan melakukan proses verifikasi untuk mendukung penerapan good corporate governance yang terkait dengan pelaksanaan aturan FATCA. Selain itu, meskipun penerapan FATCA ini digunakan sebagai pengaturan dalam hal pelaporan dan penagihan perpajakan, namun dalam kenyataannya FATCA ini memiliki potensi untuk memicu kekhawatiran terhadap penerapan kebijakan capital control yang dapat mempengaruhi aliran investasi maupun aliran modal di Indonesia. Oleh karena itu, untuk membantu lembaga keuangan mempersiapkan FATCA, Oracle memperkenalkan Oracle Financial Services Foreign Account Tax Compliance Act Management. Oracle ini merupakan suatu sistem database dengan memanfaatkan praktik due diligence – anti pencucian uang yang dirancang untuk mengetahui persyaratan nasabah, risiko operasional dan pelaporan peraturan. Sistem ini dapat membantu mengurangi risiko dan mempercepat kesiapan lembaga keuangan. Sistem ini sangat membantu untuk mempercepat waktu penyebaran informasi dari Indonesia ke Amerika Serikat begitupun sebaliknya dan mengoptimalkan investasi teknologi. Ini dibangun khusus untuk lembaga keuangan guna mendukung solusi kepatuhan terhadap perpajakan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemerintah Indonesia merencanakan untuk menggunakan IGA Model 1 berdasarkan usulan dari Bank Indonesia dan Perbanas jika nantinya ketentuan FATCA ini akan ditetapkan sebagai undang-undang baru di Indonesia. Alasannya karena IGA Model 1 ini dinilai sangat baik untuk Indonesia, Foreign Financial Institution (FFI) tidak perlu menandatangani perjanjian FATCA dengan Internal Revenue Service (IRS), FFI tidak perlu mengirim laporan ke IRS dan dapat melaporkan informasi yang diminta oleh IRS kepada Kantor Pelayanan Pajak di Indonesia. Dan peraturan IGA Model 1 ini dinilai sangat ideal bagi negara yang memiliki peraturan kerahasiaan bank seperti Indonesia ini. Namun dari segi hukum, rupanya penerapan FATCA di Indonesia ini sangat bertolak belakang terhadap peraturan perbankan yang selama ini ditetapkan di Indonesia. Indonesia sangat menjaga sekali kepercayaan para nasabah penyimpannya, baik nasabah tersebut Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) terutama WNA asal Amerika Serikat. Namun dengan adanya ketentuan FATCA ini, Indonesia seakan ‘dipaksa’ untuk memberikan data-data keuangan yang bersifat rahasia dari nasabah penyimpan milik wajib pajak warga AS untuk diaudit di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebelum dilaporkan kepada IRS. Walaupun berdasarkan perjanjian kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat nantinya akan ada kerjasama reciprocal terhadap data-data kerahasiaan WNI yang berada di Amerika Serikat.
Dari segi investasi, pelaporan segala jenis aktivitas keuangan milik wajib pajak warga AS yang menjadi nasabah penyimpan di bank-bank Indonesia dinilai sangat mengganggu kenyaman warga AS dalam menanamkan investasinya di Indonesia. Perlahan-lahan kepercayaan WNA terutama WNA dari Amerika Serikat mulai hilang terhadap kinerja bank-bank Indonesia dalam menjaga hak privacy para nasabahnya. Sehingga banyak yang memindahkan investasinya ke bank-bank yang ada di luar negeri, yang lebih terjamin kerahasiaan banknya. Namun jika pemerintah Indonesia tegas dalam menjaga kerahasiaan nasabah di perbankan Indonesia, maka seluruh dunia tidak akan ragu untuk berinvestasi di dalam negeri karena tidak adanya hambatan dari segi financial. Secara teknis operasional, Indonesia masih tertinggal sangat jauh dibanding negara-negara maju lainnya yang sudah memberlakukan ketentuan FATCA. Sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama serta biaya yang cukup besar bagi perbankan Indonesia untuk mempersiapkan suatu sistem yang mendukung penerapan ketentuan FATCA ini. Dan sistem database berbasis Oracle dirasa mampu untuk membantu perbankan Indonesia dalam mempersiapkan sistem yang sesuai untuk ketentuan FATCA tersebut.
Saran Dengan melihat kesiapan negara-negara maju dalam mengantisipasi penerapan FATCA yang dilakukan melalui pendekatan secara bilateral agreement, serta dengan mempertimbangkan beberapa dampak penerapan FATCA di Indonesia, maka saran yang tepat untuk ditindak-lanjuti oleh pemerintah Indonesia, antara lain: 1.
Melakukan komunikasi bilateral dengan pemerintah AS melalui US Treasury mengenai dampak implementasi FATCA di Indonesia serta melakukan perundingan mengenai pencocokan payung hukum yang ada diantara kedua negara tersebut sebagai pedoman dalam penerapan ketentuan FATCA nantinya di Indonesia.
2.
Melakukan penundaan secara bertahap untuk mengaktifkan FATCA di Indonesia Karena perlu persiapan yang matang di bidang teknologi serta pembuatan payung hukum mengenai FATCA di Indonesia, waktu yang lebih lama, dan biaya yang cukup besar untuk membuat sistem yang sesuai dengan ketentuan FATCA ini.
3.
Menyatakan keberatan atas pengenaan 30% withholding tax karena bertentangan dengan produk hukum di Indonesia. Karena di dalam UU Pajak Penghasilan belum ada payung hukum yang mengatur pengenaan withholding tax sebesar 30%. Perlu dibuat payung hukum yang baru sesuai dengan UU Pajak Penghasilan di Indonesia.
REFERENSI Eric, v. A. (2012). The foreign account tax compliance act. Trusts &Estates, 151(11), 52-n/a. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1238093836?accountid=31532 Hermansyah. (2011). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana. Iilyas, W. B., & Burton, R. (2008). Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Ilyas, W., & Suhartono, R. (2012). Perpajakan: Pembahasan Lengkap Berdasarkan Perundangundangan dan Aturan Pelaksanaan Terbaru. Jakarta: Mitra Wacana Media. Kasmir. (2012). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kasmir. (2012). Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kuncoro, M., & Suhardjono. (2012). Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE. Kurniawan, S. A. (2012). Tax Treaty Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) melalui Studi Kasus. Jakarta: Bee Media Indonesia. OECD. (2010). Model Tax Convention on Income and on Capital. French: OECD. Ompusunggu, A. P. (2011). Cara Legal Siasati Pajak. Jakarta: Puspa Swara anggota IKAPI Pamungkas, R. R. (2012). Analisa Justifikasi Negara - Negara Tax Haven Dalam Perpajakan Dan Similaritas Kebijakan Perpajakan Indonesia Serta Implikasi Yang Muncul Terhadap Perekonomian Dan Penanaman Modal Asing Di Hongkong, Indonesia, Dan Singapura. Akuntansi & Keuangan, Ekonomi & Komunikasi, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Sembiring, S. (2012). Hukum Perbankan Edisi Revisi . Bandung: CV. Mandar Maju. Sevilla, C. G., Ochave, J. A., Punsalan, T. G., Regala, B. P., & Uriarte, G. G. (1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia. Suandy, E. (2009). Hukum Pajak.(Edisi 4). Jakarta: Salemba Empat. Supramono, G. (2009). Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis. Jakarta: Rineka Cipta. Surahmat, R. (2011). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Suatu Kajian terhadap Kebijakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
RIWAYAT PENULIS Dyah Ayu Puspitasari lahir di kota Jakarta pada 5 April 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Ekonomi Akuntansi pada tahun 2013.