ANALISIS ATAS TEMUAN BPK ALTERNATIF SOLUSI ATAS KEBUNTUAN AUDIT PAJAK
BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI
PENDAHULUAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang diberi wewenang konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri. Tujuan tunggal pendirian BPK adalah untuk memeriksa setiap uang yang dipungut oleh negara, dari mana pun sumbernya, dimana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. Namun demikian, pemeriksaan keuangan atas penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir ini tidak dapat dilakukan secara baik yang menyebabkan BPK memberikan status “tidak memberikan opini” atau disclaimer terhadap LKPP 2005 dan 2006. Selain itu BPK telah mengajukan judicial review atas UU no. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan alasan bahwa beberapa pasal dalam UU tersebut telah bertentangan dengan kewenangan BPK seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa akses BPK dalam menerapkan prosedur pemeriksaan yang memadai atas penerimaan pajak sangat terbatas karena memerlukan izin Menteri Keuangan untuk data yang bersifat detail. BPK perlu memeriksa penerimaan pajak adalah untuk dapat memeriksa kinerja administrasi pajak dan ikut mendorong perbaikannya guna meningkatkan penerimaan negara. Peningkatan penerimaan negara menjadi semakin penting agar pemerintah dapat melunasi hutangnya dan melepaskan diri dari belenggu hutang. Pemeriksaan eksternal oleh BPK semakin penting karena sistem pelaporan dan perhitungan pajak yang digunakan dewasa ini adalah sistem mengitung pajak sendiri secara sukarela (self assestment). Dengan demikian, diperlukan reformasi yang dilandasi semangat untuk memenuhi kebutuhan rakyat sehingga BPK dapat melakukan kewenangan konstitusionalnya untuk memeriksa penerimaan negara yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak. PERMASALAHAN Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal ini menyebutkan bahwa BPK berwenang melakukan pemeriksaan atas seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara – baik berupa pajak dan non pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara maupun utangnya, memeriksa penempatan kekayaan negara – serta penggunaan pengeluaran negara. Hal ini menegaskan bahwa hak negara untuk memungut pajak adalah termasuk sebagai keuangan negara yang wajib diperiksa BPK. Kewenangan BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri mendapatkan justifikasi dan dipertegas lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 6 dan Pasal 9) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, (Pasal 3 dan Pasal 10) Berikut merupakan berbagai permasalahan yang dihadapi BPK sehingga menyebabkan kewenangan BPK sangat terbatas dalam menerapkan prosedur pemeriksaan yang memadai:
2
1. UU 28/2007 telah membatasi kewenangan BPK melalui norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) dimana pejabat pajak dan atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterangan kepada BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuangan. Oleh karenanya, BPK tidak dapat melaksanakan pemeriksaan penerimaan negara yang bersumber dari sektor perpajakan secara bebas dan mandiri. 2. Selanjutnya, menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU 28/2007, tidak semua data dan/atau keterangan dapat diberikan kepada BPK, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib pajak meliputi: 1. Nama Wajib Pajak; 2. Nomor Pokok Wajib Pajak; 3. Alamat Wajib Pajak; 4. Alamat kegiatan usaha; 5. Merk usaha; dan/atau 6. Kegiatan usaha wajib pajak. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi: a. penerimaan pajak secara nasional; b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Kantor Pelayanan Pajak; c. penerimaan pajak per jenis pajak; d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; e. jumlah Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; f. register permohonan Wajib Pajak; g. Tunggakan pajak secara nasional; dan/ atau h. Tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Kantor Pelayanan Pajak. 3. Dalam prakteknya BPK dapat meminta keterangan tentang perpajakan hanya setelah pejabat pajak mendapatkan ijin tertulis dari Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada BPK. Hal ini telah menimbulkan ketidakpastian kepada BPK untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam pemeriksaan perpajakan. Selama tahun 2006-2007, BPK telah mengajukan lima surat kepada Menteri Keuangan agar mengijinkan pejabat pajak memberikan keterangan dan data yang diperlukan oleh BPK. Dari lima surat tersebut, tiga buah tidak pernah direspon dan dua buah ditolak. Hal ini mengakibatkan terlambatnya jadwal pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara yang memberikan waktu dua bulan bagi BPK sehingga dapat diserahkan kepada DPR/DPD/DPRD selambatlambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Berbagai permasalahan tersebut tentunya harus segera bisa dipecahkan sehingga tidak lagi terjadi dispute antara BPK dengan Departemen Keuangan.
3
Audit atas penerimaan pajak menjadi sedemikian penting untuk menjamin terlaksananya pengelolaan keuangan negara secara bertanggungjawab. ANALISIS Analisis ini dimulai dengan mengedepankan kebutuhan data yang dipergunakan oleh BPK dalam menjalankan proses pemeriksaan keuangan. Sesuai dengan Standar Pemeriksaan yang berlaku, tujuan dari pemeriksaan BPK RI atas LKPP antara lain adalah meyakini (1) kewajaran angka penerimaan pajak dan piutang pajak yang disajikan pada LKPP dan (2) ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku dalam penyajian penerimaan dan piutang pajak. Untuk mencapai tujuan dimaksud, BPK RI harus memperoleh dan menguji data/dokumen yang memadai. Adapun data yang diperlukan dalam melakukan pengujian kewajaran nilai penerimaan pajak dan piutang pajak adalah antara lain : 1). Untuk menguji kewajaran penerimaan pajak, data minimal yang diperlukan adalah: a. Laporan Penerimaan Pajak yang disusun oleh DJP; b. Akses data penerimaan pajak pada sistem informasi komputer DJP – Data tidak dapat diberikan; c. Surat Setoran Pajak yang merupakan bukti transaksi penerimaan pajak – Data tidak dapat diberikan. 2). Untuk menguji kewajaran piutang pajak, data minimal yang diperlukan adalah: a. Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak; b. Laporan Kegiatan Penagihan Pajak; c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) – Data tidak dapat diberikan; d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) – Data tidak dapat diberikan; e. Surat Tagihan Pajak (STP) – Data tidak dapat diberikan; f. Surat Setoran Pajak yang merupakan bukti transaksi pembayaran pajak – Data tidak dapat diberikan; g. Usulan penghapusan piutang pajak – Data tidak dapat diberikan; h. Akses pada sistem informasi komputer DJP – Data tidak dapat diberikan. Data tidak dapat diberikan oleh pihak DJP dengan alasan berisi data individual wajib pajak dan sesuai penjelasan pasal 34 ayat 2 UU No. 28 tahun 2007 tentang KUP, khususnya yang menyangkut “nilai Rupiah” tidak termasuk informasi wajib pajak yang dapat diberikan kepada BPK-RI. Akan tetapi apabila data dan dokumen yang diperlukan di atas tidak diberikan, maka BPK RI tidak dapat melaksanakan prosedur pengujian yang memadai untuk meyakini kebenaran angka restitusi dan kewajaran angka penerimaan dan piutang pajak. Dengan demikian BPK tidak dapat memenuhi permintaan DPR dengan adanya pembatasan data tersebut.
4
Implikasinya adalah bahwa jika ketentuan seperti tercantum dalam pasal 34 ayat 2 UU No. 28 tahun 2007 tentang KUP tersebut betul-betul diterapkan maka BPK tidak akan pernah bisa melakukan pemeriksaan penerimaan pajak sesuai standar baku pemeriksaan keuangan. Karena itu pula maka kewajaran mengenai penerimaan pajak tidak bisa dinilai sehingga BPK akan terus memberikan status disclaimer. Dalam sistem menghitung pajak sendiri (self assesment), wajib pajak sendiri secara sukarela membuat laporan dan menghitung kewajiban pembayaran pajaknya. Sistem modern itu mulai digunakan sejak dilakukannya reformasi sistem perpajakan pada tahun 1983 dengan bantuan HIID (Harvard International Institute for Development). Dengan pemberlakuan sistem ini maka yang diperlukan adalah sistem pengawasan yang ketat secara berlapis untuk mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pembayaran pajak. Dengan demikian, audit eksternal yang dilakukan oleh BPK dapat merupakan bagian integral dari mekanisme good governance dalam pengelolaan pajak. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah terdapatnya ketakutan dari wajib pajak bahwa pemeriksaan oleh BPK akan menyebabkan situasi yang tidak nyaman bagi pelaku usaha. Bukan rahasia umum bahwa “pemeriksaan” selalu berkonotasi dengan “pemerasan”. Hal ini bisa diatasi dengan dua hal yakni pemeriksaan dengan sampling dan larangan pemeriksa BPK untuk berhubungan langsung dengan wajib pajak. Berdasarkan kemampuan BPK sekarang ini, besarnya sample yang akan diauditnya adalah kurang dari satu permil dari populasi seluruh wajib pajak yang ada. BPK akan memeriksa kebenaran isi laporan sample wajib pajak itu untuk memeriksa kinerja petugas atau pejabat pajak. BPK, karena bukan kewenangannya tidak akan memeriksa pembukuan wajib pajak. Jika pemeriksaan BPK menemukan adanya perbedaan tentang besarnya perhitungan pajak, pembetulan, pengurangan, pembatalan atas surat tagihan, dll. Maka masalah tersebut akan diselesaikan oleh pejabat petugas pajak itu sendiri. SARAN Pertama, mengingat pentingnya pemeriksaan keuangan oleh BPK atas penerimaan pajak untuk menjamin kebenaran penerimaan negara maka dalam jangka pendek ini harus diciptakan mekanisme yang merupakan kesepakatan antara BPK dan pemerintah. Pembatasan ruang lingkup pemeriksaan keuangan seperti tercantum dalam UU 28/2007 jelas sangat tidak memungkinkan BPK untuk menjalankan fungsinya. Dalam jangka panjang, bisa saja hal ini diatasi dengan melakukan amandemen terhadap UU tersebut. Akan tetapi hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena itu protokol khusus mengenai mekanisme pemeriksaan pajak bisa menjadi alternatif jangka pendek. Kedua, pembuatan protokol tersebut bisa mengacu kepada pelaksanaan best practice mengenai tax audit yang dilakukan di berbagai negara maju maupun negara berkembang sehingga perlindungan terhadap wajib pajak dapat dilakukan secara maksimal (Lihat lampiran). Protokol tersebut pada umumnya tidak membatasi jenis data yang bisa diakses. Yang dibatasi adalah penggunaan data dan tempat akses data.
5
Ketiga, protokol hanya merupakan alternatif jangka pendek sehingga dalam jangka panjang harus ada kesepakatan agar protokol tersebut dicantumkan dalam undang-undang perpajakan melalui proses amandemen. Sementara amandemen belum dilakukan, protokol bisa disempurnakan melalui berbagai uji coba dan evaluasi.
6
Lampiran : Best Practices Audit Pajak Pemeriksaaan pengelolaan keuangan negara dalam rangka perwujudan prinsip transparansi dan kontrol sosial sangat diperlukan untuk memodernisir sesuai dengan best practices di seluruh dunia. Adanya pemeriksaan akan membuat sistem keuangan negara menjadi transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, perlu dipaparkan bagaimana pelaksanaan best practices audit pajak yang juga mengacu pada best practices mancanegara: 1. Penerapan Self Assessment (Model Amerika Serikat) UU Nomor 6 Tahun 1983 melakukan pembatasan terhadap kewenangan konstitusional BPK untuk melakukan pemeriksaan atas penerimaan dari sektor perpajakan karena UU Nomor 6 Tahun 1983 telah menerapkan sistem pemungutan pajak berdasarkan prinsip menghitung dan melaporkan pajak sendiri (self assessment) yang diberlakukan di Indonesia sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983. Konsep ini mengacu pada model Amerika Serikat, dimana sistem self assesment, merupakan bentuk keleluasaan kepada wajib pajak untuk melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Salah satu alasan pemberlakuan self assesment adalah semakin banyaknya jumlah wajib pajak (lebih dari sepuluh juta NPWP) yang harus dilayani yang menyebabkan petugas pajak (fiskus) tidak bisa lagi meng-cover penentuan tarif pajak (official assesment) terhadap semua wajib pajak. Penerapan sistem self assessment hanya akan efektif jika penghitungannya yang dilakukan oleh wajib pajak serta penetapan dan pemeriksaan oleh petugas pajak, diperiksa oleh BPK sebagai lembaga negara yang berwenang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri. Berdasarkan pengalaman di dunia internasional dalam penerapan sistem self assessment wajib pajak dan dunia usaha akan secara sukarela patuh terhadap ketentuan apabila: (1)
Ditjen Pajak berorientasi melayani terhadap wajib pajak dan memberikan pendidikan untuk memenuhi kewajibannya;
(2)
Penegakan hukum dan pemberian sanksi yang efektif terhadap para pelanggar hukum pajak;
(3)
Ditjen Pajak berlaku transparan dan terlihat oleh publik jujur dan adil dalam menerapkan ketentuan perpajakan.
Pelaksanaan pemeriksaan oleh BPK diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan atas otoritas yang dimiliki oleh petugas pajak. Tanpa dilakukannya pemeriksaan, sistem self assessment sangat potensial dan dapat dijadikan lisensi untuk penggelapan pajak. Mengenai tidak dapat dipercaya begitu saja hasil penghitungan secara sukarela, Joel Slemrod mengungkapkan sebagai berikut: No government can announce a tax system and then rely on taxpayers’s sense of duty to remit what is owed. Sejalan dengan itu, Patricia T. Morgan menyatakan bahwa kerahasiaan perpajakan dapat menyuburkan penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan oleh beberapa pihak yang kurang bertanggung jawab. Kerahasiaan
7
dapat disalahgunakan oleh oknum pembayar pajak dan oknum petugas pajak untuk membungkus penghindaran penyelundupan, pengemplangan, dan lainlain penyimpangan pengelolaan pajak lainnya. (Tax Procedure and Tax Fraud, West Publishing Co, 1990) (Bukti P-9). Selain itu, pemeriksaan BPK atas Ditjen Pajak juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Ditjen Pajak dalam mengadministrasikan penerimaan pajak. Dengan demikian BPK tidak memeriksa kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, namun melakukan pemeriksaan atas hasil pekerjaan dari petugas pajak sebagai auditee, yaitu atas kegiatannya memantau kewajiban perpajakan dari wajib pajak dalam pelaksanaan self assesment. 2. Best Practices International Di negara lain, pemeriksa/auditor dapat melakukan review atas penerimaan pajak individual, dan bahkan mereka diberi kewenangan khusus untuk menambah beberapa hal yang menurut mereka mencurigakan, untuk dapat diperiksa/diaudit. Hal ini sejalan dengan Section 20 “The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts” yang dihasilkan pada Kongres International Organization of Supreme Audit Institutions – INTOSAI (organisasi BPK se-dunia) ke-IX pada bulan Oktober tahun 1977 di Lima, Peru yang menyatakan bahwa supreme audit harus memeriksa penerimaan pajak se-ekstensif mungkin sampai ke berkas individual wajib pajak. Bahkan sebelum adanya “Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts” tersebut telah dihasilkan rekomendasi awal dalam “The International Congress of INTOSAI” Rio de Janeiro, Brazil pada bulan Mei 1959, terkait dengan harus terbukanya akses keterangan dan data perpajakan seluas mungkin bagi lembaga audit. Rekomendasi berikutnya diberikan dalam Kongres Internasional INTOSAI selanjutnya di Madrid, Spanyol pada bulan Mei 1974. Dalam Seminar Internasional ASOSAI (Asian Organisation of Supreme Audit Institution) ke-III yang diselenggarakan di Bali, Indonesia pada 6 sampai dengan 11 Juni 1988 telah menghasilkan “Bali Declaration” yang menyatakan pentingnya akses terhadap data wajib pajak dalam rangka pemeriksaan untuk menilai sistem dan prosedur dari tax assessment. Sebagai perbandingan dapat dilihat pula praktik-praktik pemeriksaan pajak di beberapa negara lain kewenangan akses data wajib pajak (Tabel 1). BPK Australia (Auditor General) dapat memeriksa pajak, bahkan sampai pada berkas-berkas individual para wajib pajak dan hasilnya dilaporkan kepada Parlemen. Hal ini tercermin dalam “The Act of The Commonwealth of Australia 1901-1973” Section 14C yang mendasarkan pada pemikiran bahwa tugas Auditor General tugasnya adalah tertuju kepada penyelenggaraan kepentingan umum, karena harus mengawasi keuangan negara, yang bukan hanya menyangkut segi pengeluarannya saja. BPK Malaysia pun berwenang memeriksa pajak, termasuk pajak penghasilan sesuai dengan Income Tax Act 1967 (Act 53) Section 138 Certain Material to be Treated as Confidential . Audit pajak Malaysia dilakukan sepanjang tahun dengan melibatkan staf khusus yang setiap hari memantau pemasukan pajak. Bahkan BPK bisa memantau keterlambatan wajib pajak dalam membayar kewajibannya dan sekaligus bisa melakukan langkah hukum. Jika wajib pajak tidak membayar pajak dan cukai, dapat dicekal. BPK Thailand, setelah terjadi Reformasi Konstitusi pada tahun
8
1999 - yang berhasil mengungkap praktik bisnis mantan PM Thaksin Sinawatra dan berbuntut penggulingan kekuasaan oleh Jenderal Sonthi Bonyaratkalin dapat memeriksa pajak penghasilan maupun otomotif. BPK Thailand juga dapat memperoleh dokumen pembayar pajak tanpa hambatan. Di Korea auditor memiliki akses penuh terhadap data wajib pajak untuk kepentingan audit keuangan, kepatuhan, dan kinerja. Begitu juga dengan auditor BPK New Zealand, mereka memiliki kerjasama yang sangat baik dengan institusi pajak dalam rangka audit laporan keuangan. Dari praktik-praktik yang terjadi di beberapa negara lain, terlihat bahwa pemeriksaan keuangan negara sektor perpajakan yang dilakukan oleh BPK di Indonesia, sangat tertinggal jauh.
9
Tabel 1. Kewenangan dan Akses Data Wajib Pajak di BPK Mancanegara
No
Negara
Kewenangan
Ketentuan
1
UK National Audit - Fungsi NAO adalah melakukan pemeriksaan laporan - Kewenangan The Comptroller & Auditor General dalam Office (NAO) keuangan seluruh departemen, agensi dan badan publik melakukan pemeriksaan pajak tertuang dalam Pasal 2 lainnya. NAO juga melaporkan hasil pemeriksaannya ke Undang-undang Audit UK 1921 (The Exchequer & Audit parlemen terkait value for money atas pembelanjaan Departments Act 1921) departemen-departemen tersebut - Undang-undang Keuangan 1989 (The Finance Act 1989) - Ketua NAO disebut the Comptroller and Auditor General mengatur tanggung jawab yang dimiliki oleh The dalam menjaga (C&AG) yang merupakan anggota dari Parlemen UK. Staff Comptroller & Auditor General NAO melakukan pemeriksaan keuangan atas nama Ketua kerahasiaan wajib pajak. Undang-undang ini juga NAO. mengatur kondisi-kondisi tertentu dimana kerahasiaan wajib pajak diperbolehkan untuk diungkap. Pasal yang - The Comptroller & Auditor General dapat mengakses data terkait dengan hal tersebut tertuang dalam bagian wajib pajak dan memiliki tanggung jawab dalam menjaga ”Miscellaneous", paragraf 182 "Disclosure of Information", kerahasiaan wajib pajak. The Finance Act 1989.
2
Australia National - The Auditor-General bertanggung jawab melakukan Audit Office pemeriksaan atas seluruh kegiatan deaprtemen dan sektor (ANAO) publik lainnya.
Auditor-general Act 1997 Part 5-Information-Gathering Powers and Secrecy. Division 1-Information-Gathering Powers.Section 33:The Auditor-General or an authorised official:
- ANAO terdiri dari 3 sektor utama yakni (1) Financial Statement Audits Unit, (2) Performance Audits Unit, dan (3) (a) may, at all reasonable times, enter and remain on any Unit Pendukung yang bertugas menyediakan bantuan teknis premises occupied by the Commonwealth company;and bagi unit-unit pemeriksaan tersebut. (b) is entitled to full and free access at all reasonable times - Terkait pemeriksaan pajak, The Auditor-General dan para to any documents or other property;and pegawai ANAO dapat mengakses dokumen apapun selama (c) May examine, make copies of or take extracts from any melakukan pemeriksaan. Pasal-pasal terkait akses informasi documents terdapat dalam lampiran 1- Access Clauses ANAO. Auditor General Act 1997. 3
Government Accountability Office (GAO) USA
- GAO dapat mengakses dokumen wajib pajak dan tidak ada peraturan khusus yang mengatur pemberian ijin ole – International Revenue Service (IRS) kepada GAO dalam mengakses data wajib pajak karena IRS tidak memiliki kewenangan dalam hal tersebut. - Kewenangan GAO untuk mengakses dokumen wajib pajak diberikan oleh Komite Pajak Kongres (the congressional tax
GAO order 0135.1. ‘ Penugasan audit terkait akses informasi perpajakan dan koordinasi tugas GAO dalam bidang kebijakan dan administrasi perpajakan menegaskan: The Chairman of the house ways and means comittee, The Chairman of the senate finance committee, and the
10
writing committee) dan Joint Komite Pajak (the Joint Committee on Taxation).
chief of staff of the joint
- GAO tidak dapat berhubungan langsung dengan wajib pajak terkait kewajiban perpajakannya. Selain itu, tidak terdapat peraturan khusus yang mengatur pemberian ijin oleh Internal Revenue Service (IRS) kepada kepada GAO dalam mengakses data wajib pajak karena IRS tidak memiliki kewenangan dalam hal tersebut. 4
Jabatan Negara Malaysia
Audit - Wewenang yang dimiliki oleh JAN sebagai Auditor Negara - Kewenangan akses data wajib pajak yang dimiliki oleh (JAN) Malaysia untuk mendapatkan seluruh data yang diperlukan JAN juga telah jelas diatur dalam Income Tax Act 1967 dalam proses audit dilindungi dengan Undang-undang yang berlaku di Malaysia - Adapun kewenangan untuk memperoleh akses data wajib pajak, diatur pada Income Tax Act 1967 Section 138
5
6
INTOSAI (International Organization of Supreme Audit Institution)Organisasi Institusi Badan Pemeriksa Keuangan SeDunia
The Auditor General dapat melakukan pemeriksaan penerimaan pajak se-intensif mungkin sampai berkas individual wajib pajak
ASOSAI (Asian Organization of supreme Audit Institution)Organisasi Institusi Badan Pemeriksa Keuangan Se-Asia
Menyatakan pentingnya akses terhadap data wajib pajak dalam rangka pemeriksaan untuk menilai sistem dan prosedur dari tax assessment
“Lima Declaration of Guidelines on Auditing Preceps” October 1977, Lima-Peru, South America, Section 20-Tax Audit; 1. Supreme Audit Institution shall be empowered to audit the collection of taxes as extensively as possible and, in doing so, to examine individual tax files 2. Tax Audit are primarily legality and regularity audit; however, when auditing the application of tax law, Supreme Audit Institution shall also examine the system and efficiency of tax collection, the achievement of revenue targets and, if appropriate, shall propose improvements to the legislative body. ASOSAI Seminars, Bali, Indonesia 1988, Sub Theme II-a Tax Audit; It is important that individual tax files are examined to evaluate the adequacy of system and procedures of tax assesment and collection...It may be desirable that SAIs have access to the records of taxpayers. Data and information on tax payers collected by the tax authorities may be verified against other independent sources
11
available. 7
Comptroller and Auditor General of India
The Comptroller and Auditor-General memiliki akses terhadap data wajib pajak
The comptroller and auditor-general’s (duties, powers, and conditions of service) act, 1971 (as of May 31, 1989) (15 th December, 1971) (as amended in 1976, 1984, 1987 and 1994) Audit of receipt of union or of States 16. I shall be the duty of the comptroller and auditor-general to audit all receipts which are payable into the consolidated fund of India and of each State and of each Union territory having a legislative assembly and to satisfy himself that the rules and procedures in that behalf are designed to secure an effective check on the assestment, collection and proper allocation of revenue and are being duly observed and to make for this purpose such examination of the accounts as he thinks fit and report thereon.
12