ANALISIS ATAS TEMUAN BPK TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI
I. PENDAHULUAN Alokasi transfer ke daerah semakin terus meningkat. Ini tercermin dari total realisasi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tahun 2009 sebesar Rp336,2 triliun, naik dibandingkan capaian tahun 2008 senilai Rp293,6 triliun. Realisasi dana perimbangan tahun 2008, terdiri dari realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) senilai Rp78,42 triliun, Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp179,51 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp20,79 triliun. Sementara sisa transfer ke daerah lainnya tercatat dalam realisasi Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian tahun 2008 sebesar Rp13,72 triliun yang terdiri dari Dana Otonomi Khusus sebesar Rp7,51 triliun dan Dana Penyesuaian sebesar Rp6,21 triliun. DANA TRANSFER KE DAERAH 400 350 300 250 200 150 100 50 0
336.2 293.6 226.2 129.7
2004
253.3
150.5
2005
2006
2007
2008
2009
Realisasi dana perimbangan ini merupakan komponen terbesar dana transfer ke daerah yakni 95,31 persen dari total dana yang ditransfer dari Pemerintah pusat ke daerah. Sedangkan dana otonomi khusus dan penyesuaian mencapai 4,69 persen dari dana transfer ke daerah. Dominasi dana perimbangan dalam total alokasi transfer ke daerah merupakan tren yang berjalan dari tahun ke tahun sejalan dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang memperkuat pilar keuangan daerah melalui transfer dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Namun, jumlah dana yang terus meningkat besar dan kewenangan mengelola yang semakin besar, tidak diikuti dengan kemampuan daerah dalam mengelolanya. Baik secara administrasi maupun secara politik, anggaran tersebut belum dikelola dengan baik. Sangat banyak temuan BPK yang menunjukkan kelemahan daerah dalam mengelola anggaran seperti p engelolaan anggaran penerimaan dan pengeluaran yang tidak sesuai mekanisme APBD dan ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian negara. Masalah lain adalah kelemahan dalam manajemen sehingga terjadi kekurangan/keterlambatan penerimaan daerah, sehingga banyak dana yang tidak dapat dimanfaatkan tepat waktu dan membuka peluang penyalahgunaan. Akibatnya, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Semester II TA 2008 misalnya, ada indikasi tindak pidana korupsi dan kerugian negara/daerah dari Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) sebesar Rp30 triliun. Pada umumnya kerugian negara terdapat pada pengadaan barang dan jasa serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebesar Rp18,6 triliun. Untuk temuan mengenai belanja daerah dan belanja pilkada ini terdapat 1.869 kasus dengan kerugian senilai Rp1,22 triliun akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, kekurangan penerimaan daerah, ketidakhematan dan ketidakefektifan. Selain itu, terhadap belanja pemerintah daerah, BPK menemukan sebanyak 756 kasus di antaranya dengan nilai Rp253,18 miliar yang merupakan akibat ketidakpatuhan yang merugikan daerah. Temuan mengenai kelebihan pembayaran sebanyak 206 kasus senilai Rp52,05 miliar, kekurangan volume pekerjaan sesuai perjanjian sebanyak 338 kasus senilai Rp99,55 miliar. Mark up/pemahalan harga sebanyak 34 kasus dengan nilai Rp6,83 miliar dan pengadaan spesifikasi barang/jasa yang tidak sesuai kontrak sebanyak 57 kasus dengan nilai Rp27,25 miliar. Tidak hanya itu, pemeriksaan BPK terhadap Bantuan Opersional Sekolah (BOS) dan dana pendidikan lainnya di daerah mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp2,13 miliar dari pungutan, pemotongan, dan menerima penyetoran kembali DAK dan DPL dari dinas pendidikan kabupaten dan kota. 2
Selain mengakibatkan besarnya potensi kerugian secara finansial, kelemahan pengelolaan dana di daerah juga telah menimbulkan kerugian ekonomi. Kerugian ekonomi ini ditunjukkan dengan hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan dana untuk membangkitkan ekonomi daerah. Bentuk lain yang mengakibatkan kerugian ekonomi adalah besarnya dana daerah yang ditempatkan di SBI atau digunakan membeli SUN yang besarnya rata-rata 20%. Ini artinya bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan daerah kembali lagi (retransfer) ke pusat. Transfer dana ke daerah selama ini memang terlihat masih ada kelemahan didalam tingkat perencanaannya. Misalnya untuk DAU, dimana daerah dengan jumlah populasi yang tinggi akan mendapatkan dana yang lebih besar walaupun daerah tersebut sudah maju. Sedangkan untuk DAK, kebijakannya DAK masih belum fokus, kemudian dampak dari pemberian dana ini relatif masih rendah, dan tidak langsung berhubungan dengan standar pelayanan minimum. Untuk DBH, pemberian dana ini masih belum transparan, formula royalti masih komplikasi, serta masalah cash flow di daerah dan surplus yang besar di akhir tahun anggaran. Sedangkan kelemahan transfer ke daerah ini didalam implementasinya adalah masih rendahnya kualifikasi SDM dan belum adanya regulasi yang mengatur. Tentu saja pengelolaan keuangan daerah yang masih lemah tidak hanya diakibatkan oleh kelemahan administrasi dan birokasi akibat keterbatasan dukungan Sumber Daya Manusia. Akan tetapi juga ada kelemahan dalam law enforcement. Semestinya reward dan punishment diberlakukan untuk menekan agar dana-dana daerah dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk mendorong ekonomi daerah. Oleh karenanya ukuran keberhasilan pemerintah daerah dalam pengelolaan dana daerah seharusnya tidak hanya dinilai dari sisi administrasi, tetapi dikembalikan pada kemampuan daerah melaksanakan tugas utamanya yakni dalam mendorong kemajuan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan pelayanan dasar lain, dll. II. TEMUAN BPK Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun 2008 menyimpulkan bahwa perkembangan opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2004 sampai dengan 2007 menunjukkan kualitas yang semakin memburuk. Persentase LKPD yang informasi keuangannya tidak dapat diandalkan oleh para pengguna laporan keuangan semakin banyak, dan sebaliknya, persentase LKPD yang informasi keuangannya dapat diandalkan semakin sedikit. Berdasarkan hasil pemeriksaan semester II 2008 yang dilakukan terhadap 191 LKPD provinsi/kabupaten/kota tahun 2007 menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan daerah masih sangat memprihatinkan. Buruknya kualitas laporan keuangan daerah ditunjukkan bahwa dari 191 LKPD yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer, 8 LKPD memperoleh opini Tidak Wajar (TW), 110 LKPD memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan hanya satu daerah yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yaitu Kabupaten Aceh Tengah. Di samping itu, tingkat kepatuhan dan kedisiplinan daerah masih rendah dalam menyampaikan LKPD. Masih banyak laporan yang belum diserahkan hingga batas waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2004 yakni 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Tabel 1. Perkembangan Opini LKPD Tahun 2004 - 2007 Tahun LKPD
Opini
Tahun 2004
WTP 21
WDP 249
TMP 7
TW 10
Jumlah 287
Tahun 2005
17
308
25
12
362
Tahun 2006
3
326
106
28
463
Tahun 2007
4
283
120
59
466
3
Dilihat dari tingkat pemerintahan, LKPD yang diperiksa pada Semester II Tahun 2008 terdiri dari 10 LKPD provinsi, 151 LKPD kabupaten, dan 30 LKPD kota. Sedangkan pada semester sebelumnya terdiri dari 23 LKPD provinsi, 197 LKPD kabupaten dan 55 LKPD kota. Opini LKPD Tahun 2007 yang diperiksa selama Tahun 2008 untuk masing-masing tingkat pemerintahan dapat dilihat dalam tabel 2 di bawah. Tabel 2. Opini LKPD Tahun 2007 Berdasarkan Tingkat Pemerintahan LKPD Thn 2007 Yg dilaporkan pada IHPS I 2008 WTP WDP TMP TW Jlh 1 17 3 2 23 119 39 39 197 2 37 6 10 55 3 173 48 51 275
Pemerintahan Provinsi Kabupaten Kota Jumlah
LKPD Thn 2007 Yg dilaporkan pada IHPS II 2008 WTP WDP TMP TW Jlh 4 5 1 10 1 83 61 6 151 23 6 1 30 1 110 72 8 191
Total LKPD Tahun 2007 WTP 1 1 2 4
WDP 21 202 60 283
TMP 8 100 12 120
TW 3 45 11 59
Jlh 33 348 85 466
Berdasarkan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun 2007, terdapat temuan terhadap ketidakpatuhan peraturan perundang-undangan yang dapat dikelompokkan menjadi 8 jenis kelompok temuan yakni : Tabel 3. Kelompok Temuan Pemeriksaan LPKD Tahun 2007 No
Jumlah Temuan
Klasifikasi
Nilai Temuan (Rp juta/ribu valas)
%
1.
Kerugian Daerah
556
310.860
3,13
2.
Potensi Kerugian Daerah
126
1.319.005
13,28
3.
Kekurangan Penerimaan
629
2.200.620
22,15
5 USD 4.
Uang yang belum/tidak dipertanggungjawabkan
212
1.496.495
15,06
5.
Administrasi
411
-
-
6.
Ketidakhematan/Pemborosan
227
205.119
2,06
7.
Ketidakefisienan
475
2.486.309
25,03
8.
Lain-lain
415
1.916.856
19,29
3.051
9.935.265 5 USD
100
Jumlah
Dari kelompok temuan di atas terlihat bahwa untuk kasus kekurangan penerimaan merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan dengan kelompok temuan lainnya. Dari total 629 temuan mengenai kekurangan penerimaan, sebanyak 459 temuan merupakan temuan atas kekurangan negara/daerah atau denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak terlambat dipungut/diterima/disetor ke kas negara/daerah, dan ini merupakan jenis temuan yang paling banyak dan paling sering terjadi di daerah. Namun bila dilihat dari jumlah nilai rupiahnya maka yang tertinggi adalah kelompok ketidakefektifan dimana temuan untuk penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran/peruntukannya menjadi temuan yang paling besar rupiahnya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengenai kelompok temuan mengenai ketidaktertiban administrasi dimana dalam tabel di atas terlihat bahwa ada sebanyak 411 kasus yang berkaitan dengan masalah administrasi namun nilai rupiahnya tidak ada atau tidak diketahui, dan masalah ini perlu menjadi bahan pertanyaan kepada BPK. Secara ringkas, dari 191 LKPD yang dilaporkan terdapat beberapa hal yang menjadi sumber kebocoran anggaran tersebut. 1. Kerugian Daerah
4
Ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah ada 556 kasus dengan nilai Rp310,86 miliar terdiri atas 8 jenis temuan yaitu : a. Rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan (27 kasus senilai Rp19,30 miliar) b. Kelebihan pembayaran (kerugian daerah selain karena kekurangan volume) (156 kasus senilai Rp102,59 miliar) c. Pemahalan harga (mark up) (25 kasus senilai Rp17,86 miliar) d. Pembayaran honorarium atau biaya perjalanan dinas ganda (36 kasus senilai Rp7,96 miliar) e. Spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sama dengan kontrak (22 kasus senilai Rp8,40 miliar) f.
Pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan (202 kasus senilai Rp107,77 miliar)
g.
Pengembalian pinjaman kepada bank pemerintah macet atau pengembalian dana bergulir macet (3 kasus senilai Rp8,87 miliar)
h.
Kurang volume atas pengadaan barang dan/jasa (85 kasus senilai Rp38,11 miliar)
Contoh Kasus Kerugian Daerah : a. Provinsi Papua, adanya belanja penghasilan Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak sesuai ketentuan senilai Rp8,76 miliar. b. Kabupaten Indragiri Hulu, terdapat kekurangan pekerjaan Asphalt Course-Wearing Course (AC-WC), Asphalt Treated Base (ATB), Agregat A dan B pada 8 paket peningkatan jalan pada dinas pekerjaan umum dan permukiman prasarana wilayah (Kimpraswil) senilai Rp3,67 miliar. c.
Provinsi Sumatra Utara, terdapat kekurangan pengadaan alat peraga/praktik BELMO senilai Rp2,25 miliar.
d. Kabupaten Sorong Selatan, pekerjaan fisik pembangunan RSUD dan pengadaan ternak tidak sesuai kontrak yang mengakibatkan kelebihan pembayaran senilai Rp7,64 miliar. e. Kabupaten Banyumas, terdapat pembayaran insentif pajak bumi dan bangunan kepada pejabat dan staf daerah senilai Rp4,54 miliar tidak didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku. f.
Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat pembayaran tunjangan tambahan penghasilan tidak sesuai dengan ketentuan senilai Rp1,78 miliar.
2. Potensi Kerugian Negara Ketidakpatuhan yang mengakibatkan potensi kerugian daerah ada 126 kasus senilai Rp1,31 triliun yang terdiri atas 4 jenis temuan yaitu : a. Hasil pengadaan barang jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya (13 kasus senilai Rp31,06 miliar) b. Pinjaman atau dana bergulir berpotensi tak tertagih (29 kasus senilai Rp54,10 miliar) c. Penggunaan aset oleh pihak ketiga tidak sesuai dengan ketentuan (26 kasus senilai Rp21,12 miliar) d.
Pengelolaan rekening tidak tertib (58 kasus senilai Rp1,21 triliun)
Contoh Kasus Potensi Kerugian Negara : a. Provinsi Kalimantan Timur, penyajian piutang pajak senilai Rp2,95 miliar dalam neraca tidak memiliki dasar memadai dan penyelesaian piutang pajak air bawah tanah dan air permukaan (ABT/AP) PT KPC senilai Rp1,84 miliar berlarut-larut. 5
b. Provinsi Sulawesi Barat, terdapat pengeluaran belanja bantuan sosial dan bantuan keuangan senilai Rp1,56 miliar tanpa persetujuan gubernur dan tidak didukung bukti yang lengkap dan sah. c.
Kabupaten Kapuas Hulu, terdapat belanja bantuan sosial pada sekretariat daerah senilai Rp9,14 miliar belum didukung bukti yang memadai, sehingga kurang dapat diyakini kebenaran penggunaannya dan berpotensi merugikan keuangan daerah.
d. Provinsi NAD, dana cadangan Pemprov NAD senilai Rp682,56 miliar belum ditetapkan dengan peraturan daerah yang mengatur maksud, tujuan dan manfaat serta kegunaan pembentukan dana cadangan tersebut.
3. Kekurangan Penerimaan Ketidakpatuhan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan ada 629 kasus senilai Rp2,20 triliun yang terdiri atas 2 jenis temuan yaitu : a. Pengelolaan penerimaan daerah tidak melalui mekanisme APBD (170 kasus senilai Rp1,54 triliun) b. Kekurangan penerimaan daerah atas denda keterlambatan pekerjaan belum/tidak dipungut dan disetor ke kas daerah (459 kasus senilai Rp655,82 miliar) Contoh Kasus Kekurangan Penerimaan a. Provinsi Kalimantan Timur, terdapat pengelolaan penerimaan retribusi pelayanan kesehatan di tiga RSUD di wilayah Provinsi Kalimantan Timur TA 2007 tidak melalui mekanisme APBD senilai Rp141,77 miliar. b. Kabupaten Limapuluh Kota, bagi hasil pajak Tahun Anggaran 2007 dari Pemerintah Provinsi terlambat dan/atau belum diterima oleh Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota senilai Rp12,68 miliar. c. Provinsi Sumatra Utara, pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi Sumut terlambat disetor ke kas negara senilai Rp38,07 miliar. d. Kabupaten Sorong Selatan, pendapatan dari biaya pungut pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai Rp2,42 miliar tidak dimasukkan ke kas daerah sehingga tidak tercatat sebagai realisasi pendapatan daerah Tahun 2007.
4. Uang Yang Belum/Tidak Dipertanggungjawabkan Ketidakpatuhan yang mengakibatkan uang yang belum/tidak dipertanggungjawabkan ada 212 kasus senilai Rp1,49 triliun yang terdiri atas 2 jenis temuan yaitu : a. Uang persediaan tidak sesuai dengan ketentuan (34 kasus senilai Rp101,42 miliar) b. Uang belum/terlambat/tidak dipertanggungjawabkan (178 kasus senilai Rp1,39 triliun) Contoh Kasus Uang Yang Belum/Tidak Dipertanggungjawabkan a. Kabupaten Mentawai, terdapat beberapa SKPD yang belum/terlambat menyampaikan SPJ Tahun 2007 senilai Rp74,87 miliar. b. Kabupaten Aceh Timur, penyampaian surat pertanggungjawaban (SPJ) TA 2007 oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kepada badan pengelola keuangan daerah (BPKD) terlambat senilai Rp226,46 miliar. c. Kabupaten Timor Tengah Utara, terdapat sisa UUDP TA 2007 senilai Rp8,89 miliar terlambat disetor dan senilai Rp401,96 juta belum disetor, serta sisa UUDP TA 2006 senilai Rp51,04 juta belum disetor ke kas daerah, mengakibatkan terjadinya pengendapan uang pada Bendahara Pengeluaran yang membuka peluang terjadinya penyimpangan penggunaan dana oleh bendahara pengeluaran. d. Kabupaten Barito Timur, terdapat penyetoran sisa uang persediaan (UP) TA 2007 senilai Rp3,09 miliar melampaui waktu yang ditentukan.
6
5. Administrasi Ketidakpatuhan yang mengakibatkan masalah administrasi ada 411 kasus yang terdiri atas 4 jenis temuan yaitu : a. Pertanggungjawaban tidak akuntabel (bukti tidak lengkap/ tidak sah) (314 kasus) b. Penyertaan modal pemerintah daerah belum didukung dengan bukti (36 kasus) c. Kepemilikan aset tanah belum didukung dengan bukti kepemilikan yang sah (57 kasus) d.
Aset tetap tidak diketahui keberadaannya (4 kasus)
Contoh Kasus Masalah Administrasi a. Kota Balikpapan, antara lain terjadi karena bukti pengeluaran kas atas realisasi belanja pada dinas kebersihan, pertamanan, dan pemakaman (DKPP) tidak dikelola dengan tertib sehingga pengeluaran tersebut tidak disajikan secara wajar. b. Kabupaten Seram Barat, antara lain realisasi belanja daerah dan penyertaan modal tidak dapat diyakini kebenarannya. c. Kabupaten Aceh Jaya, terdapat aset tanah Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya seluas 322,37 Ha belum didukung dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat.
6. Ketidakhematan/Pemborosan Ketidakpatuhan yang mengakibatkan masalah ketidakhematan/pemborosan ada 227 kasus senilai Rp205,11 miliar yang terdiri atas 2 jenis temuan yaitu : a. Pengeluaran yang tidak dianggarkan (173 kasus senilai Rp156,92 miliar) b.
Pemberian bantuan kepada instansi vertikal (54 kasus senilai Rp48,19 miliar)
Contoh Kasus Masalah Ketidakhematan/Pemborosan a. Kota Payakumbuh, terdapat alokasi anggaran belanja bantuan sosial organisasi kemasyarakatan secara berulang pada TA 2006 dan 2007 untuk organisasi yang sama secara terus menerus senilai Rp17,86 miliar. b. Provinsi Kalimantan Barat, pembayaran honorarium dan bantuan kepada tim/panitia kegiatan dilakukan dengan tidak selektif senilai Rp4,97 miliar, mengakibatkan pemborosan senilai Rp4,40 miliar. c. Provinsi Kalimantan Barat, tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja minimal senilai Rp7,02 miliar tidak berdasarkan keadaan yang sebenarnya mengakibatkan pemborosan keuangan daerah. d. Provinsi Kalimantan Timur, realisasi bantuan sosial senilai Rp123,38 miliar tidak sesuai ketentuan, mengakibatkan pemborosan keuangan daerah. e. Kabupaten Simeuleu, penggunaan belanja modal untuk instansi vertikal senilai Rp4,75 miliar tidak sesuai ketentuan.
7. Ketidakefektifan Ketidakpatuhan yang mengakibatkan masalah ketidakefektifan ada 475 kasus senilai Rp2,48 triliun yang terdiri atas 3 jenis temuan yaitu : a. Pengadaan tidak dapat dimanfaatkan/anggaran tidak dapat direalisasikan (68 kasus senilai Rp412,82 miliar) b. Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran/peruntukan (181 kasus senilai Rp1,26 triliun) 7
c.
Penggunaan anggaran tidak sesuai ketentuan (226 kasus senilai Rp807,13 miliar)
Contoh Kasus Masalah Ketidakhematan/Pemborosan a. Kabupaten Supiori, pekerjaan atas 54 kegiatan senilai Rp42,33 miliar tidak dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat b. Kota Payakumbuh, hasil pembangunan baru Puskesmas Payolansek dan rumah dinas dokter serta paramedis pada dinas kesehatan belum dapat dimanfaatkan senilai Rp2,87 miliar.
8. Lain-Lain Ketidakpatuhan yang mengakibatkan masalah lain-lain ada 415 kasus senilai Rp1,91 triliun yang terdiri atas 2 jenis temuan yaitu : a. Adanya penyimpanan sementara dana kas (dana titipan) b.
Penyelesaian hutang pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang berlarut-larut.
Contoh Kasus Masalah Lain-lain a. Kota Palembang, terdapat pengeluaran dana dari kas daerah ke rekening titipan (dana blokir) senilai Rp105,16 miliar b. Kabupaten Tanah Toraja, terdapat penerbitan SP2D dan pencairan dana pada akhir tahun ke rekening bendahara atas pembayaran beberapa pekerjaan senilai Rp7,87 miliar c. Provinsi NAD, terdapat penyelesaian hutang pemerintah daerah kepada pemerintah pusat berlarut-larut senilai Rp36,79 miliar d. Kabupaten Kotawaringin Timur, terdapat penerbitan SP2D melewati batas waktu yang ditetapkan oleh Bupati Kotawaringin Timur senilai Rp53,26 miliar.
III. ANALISIS DAN REKOMENDASI Dari hasil temuan BPK, dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya berbagai pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya kerugian dan potensi kerugian negara, antara lain : Pertama, sumber daya manusia yang kurang memadai. Hal ini tercermin dari : a) Pengetahuan dan skill yang rendah terhadap pelaksanaan prosedur dan ketentuan yang berlaku seperti mekanisme penganggaran yang berakibat pada kekurangan dan kesalahan pencatatan, pemahaman dan persepsi yang keliru terhadap berbagai peraturan menyebabkan munculnya berbagai penyimpangan, b) Kelalaian dan ketidaktertiban dalam menjalankan ketentuan seperti keterlambatan dalam penyusunan dan pelaporan Laporan Keuangan, tidak ada/kurang bukti adminstrasi, tidak adanya pencatatan dan tidak adanya buku kas, c) Moral hazard dari pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan anggaran. Oleh karena itu proses perekrutan dan pelatihan yang efektif terhadap pihak yang berkaitan menjadi suatu keharusan. Hal tersebut tentu harus disertai dengan supervisi yang ketat serta pemberian sanksi yang tegas kepada pihak yang melanggar ketentuan yang berlaku. Kedua, prinsip-prinsip keorganisasisan tidak berjalan sebagaimana mestinya seperti koordinasi antar instansi Pemda tidak berjalan secara efektif dan lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan oleh pihak-pihak yang berwenang. Persoalan ini merupakan salah satu kelemahan birokrasi yang harus dihilangkan. 8
Pemberian insentif bagi pemda yang memiliki LKPD optimal patut dipertimbangkan. Sebaliknya bagi pemda yang memiliki LKPD buruk, punishment berupa pengurangan DAU dan DAK misalnya dapat menjadi cambuk tersendiri disamping sanksi administrasi bahkan pidana yang melakukan pelanggaran berat. Ketiga, peraturan yang tidak ada/lengkap yang menjadi acuan pelaksanaan tatakelola pemerintahan sehingga rawan menimbulkan penyimpangan. Penetapan dan penyempurnaan aturan menjadi suatu keharusan dan lazim diketahui oleh pihak yang terkait. Namun yang menjadi problem tatkala hal tersebut dibiarkan berlarut-larut sehingga menjadi celah terjadinya moral hazard. Oleh karena itu hal ini kembali kepada peran lembaga lain yang bertugas untuk mengawal terwujudnya pengelolaan anggaran yang accountable dan transparan. Keempat, penegakan hukum yang rendah dan sanksi hukum yang tidak menimbulkan efek jera. Sejumlah pelanggaran misalnya terus berulang akibat hanya berupa teguran. Sejumlah pelanggaran yang terindikasi kriminal seringkali tidak dilanjuti oleh pihak yang berwenang melakukan penyelidikan. Padahal semestinya BPK dapat memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan yang berindikasi kriminal. Misalnya pembayaran yang berindikasi merugikan keuangan daerah hanya cukup diselesaikan dengan penyetoran ke kas daerah sejumlah uang yang dikeluarkan. Kelima, keterbatasan fungsi audit BPK yang hanya untuk mencocokan akun dan melihat kesesuaian dengan standard akuntansi dan peraturan yang berlaku. Akibatnya laporan BPK tidak menunjukkan bahwa suatu temuan yang berpotensi merugikan adalah disengaja tetapi cenderung dengan indikasi kelalaian. Oleh karena itu patut dipertimbangkan agar opini BPK diperluas sehingga dapat menjadi bukti awal dalam proses penyelidikan hukum pada LKPD yang dianggap bermasalah. Keenam, ukuran keberhasilan pemerintah daerah dalam pengelolaan dana daerah seharusnya tidak hanya dinilai dari sisi administrasi, tetapi dikembalikan pada kinerja daerah dalam melaksanakan tugas utamanya yakni mendorong kemajuan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator dapat digunakan seperti jumlah lapangan kerja tercipta, peningkatan jumlah masyarakat yang dapat mengakses air bersih, kesehatan, pendidikan, dll. Artinya, tidak cukup hanya dinilai dari keberhasilan dari sisi administrasi dan birokasi. Bila ukuran kinerja tidak dievaluasi maka sangat mungkin dana yang dikelola semakin besar dan wajar secara administrasi tetapi tidak meningkatkan kinerja pemda dalam pelaksanaan tugas utamanya. Ketujuh, mengenai temuan-temuan yang diindikasikan ke dalam tindak pidana yang harus dilaporkan kepada pihak Kepolisian atau Kejaksaan selama ini tidak pernah diungkap mengenai temuan-temuan apa saja dan terjadi di instansi atau daerah mana saja. Dan data mengenai temuan-temuan yang sudah ditindaklanjuti oleh masing-masing instansi/daerah tidak pernah diketahui mana-mana saja yang sudah selesai, mana yang belum selesai dan mana yang masih dalam proses penyelesaian.
9
LAMPIRAN Daftar Kelompok dan Jenis Temuan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2007 (LHP II Tahun 2008 (dalam juta Rp) (dalam ribu valas) No
Kelompok Temuan
Jumlah Kasus
Nilai (Rp)
%
Ketidakpatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Mengakibatan: I
Kerugian Daerah
556
310.860
27
19.303
156
102.590
25
17.862
Pembayaran Honorarium atau Biaya Perjalanan Dinas Ganda
36
7.958
Spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sama dengan kontrak
22
8.404
202
107.764
1
Rekanan Pengadaan Barang/Jasa Tidak Menyelesaikan Pekerjaan
2
Kelebihan Pembayaran (selain kurang volume)
3
Pemahalan Harga (Mark Up)
4 5 6
Pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan
7
Pengembalian pinjaman kepada Bank Pemerintah macet atau pengembalian dana bergulir macet
8
Kurang Volume
II
Potensi Kerugian Daerah
9
Hasil pengadaan barang jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagain atau seluruhnya
10 11 12
Pengelolaan rekening tidak tertib
58
1.212.711
III
Kekurangan Penerimaan
629
2.200.620
22,15
5
USD
13
Pengelolaan penerimaan dan pengeluaran daerah tidak melalui mekanisme APBD
170
1.544.792
14
Kekurangan Penerimaan Negara/Daerah atau Denda Keterlambatan Pekerjaan Belum,/Tidak Terlambat Dipungut/Diterima/Disetor ke Kas Negara/Daerah
459
655.828
5
USD
IV
Uang yang belum/tidak dipertanggungjawabkan
212
1.496.495
15,06
15
Uang Persediaan Tidak Sesuai Dengan Ketentuan
34
101.421
16
Uang belum dipertanggungjawabkan/terlambat
178
1.395.074
V
Administrasi
411
-
17
Pertanggungjawaban tidak akuntabel (bukti tidak lengkap/tidak sah)
314
-
18
Penyertaan modal pemerintah daerah belum didukung bukti kepemilikan
36
-
19
Kepemilikan aset tanah belum didukung dengan bukti
57
-
20
Aset Tetap Yang Tidak Diketahui Keberadaannya
4
-
VI
Ketidakhematan/Pemborosan
227
205.119
21
Pemborosan/ketidakhematan
173
156.922
22
Pemberian bantuan kepada instansi vertikal
VII
Ketidakefektifan
23
Pengadaan tdk dpt dimanfaatkan/anggaran tdk dpt drealisasikan
68
412.827
24
Penggunaan anggaran Tidak Tepat Sasaran/Peruntukan
181
1.266.348
25
Penggunaan Anggaran Tidak sesuai Ketentuan
226
807.135
VIII
Lain-lain
3
8.867
85
38.113
126
1.319.005
13
31.063
Pinjaman atau Dana Bergulir Berpotensi Tak Tertagih
29
54.108
Pengunaan aset oleh pihak ketiga tidak sesuai dengan ketentuan
26
21.123
Jumlah
54
48.197
475
2.486.309
3,13
13,28
-
2,06
25,03
415
1.916.856
19,29
3,051
9.935.265
100
USD
5
* Perbedaan total jumlah dalam tabel dengan narasi dikarenakan perhitungan menggunakan excel
10