ANALISIS ALIRAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI DALAM INTEGRASI EKONOMI ASEAN : PENDEKATAN MODEL GRAVITY
Oleh : RIDWAN A 161030061
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT
RIDWAN. 2011. The Analysis of Trade and Investment Flow within ASEAN Economic Integration Area: Gravity Model Approach (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, IMAN SUGEMA and RINA OKTAVIANI as Members of Advisory Committee).
This research aims to analysis how trade and investment flow within ASEAN area and ASEAN member countries. The research method used was gravity model, in both trade flow and investment flow. The research took 5 samples of ASEAN countries, namely Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand and Philippines. Meanwhile, the trade and investment partners were taken from 14 countries with the greatest trade and investment contribution. The research took place within 1982 to 2006. The study results uncover that the trade flow within ASEAN area and its member countries is influenced positively and significantly by trade integration index, FDI, number of populations, economic transparency, interest rate and GDP. Meanwhile, some variables such as rate, distance and real exchange rate generally effect negatively to the trade flow. Within real sectors, it is found that FDI in ASEAN area and its member countries are positively and significantly affected GDP, number of populations, economic transparency and export and import, while other variables like interest rate, rate, distance and real exchange rate generally effect negatively to the FDI flow within ASEAN area. The participation of ASEAN countries in APEC economic integration affects positively to the trade increase. Compared to ASEAN economic integration, integration within APEC area has a greater impact. It indicates the low intensity of intra-trade amongst ASEAN countries. The membership of FDI investor countries within NAFTA area has positive impacts to FDI and ASEAN flow. In contrast, membership in European Union area has negative impacts. The members of NAFTA and ASEAN are jointly incorporated in APEC area. FDIs in China and India effect to ASEAN FDI. Trade between China and India with ASEAN is sufficiently high. China has a greater impact than India, in addition to the greater size, investment ease in China is better than India.
Keywords: Economic Integration, ASEAN, Gravity Model, Trade and Investment
RINGKASAN RIDWAN. 2011. Analisis Aliran Perdagangan dan Investasi dalam Integrasi Ekonomi ASEAN : Pendekatan Model Gravity (MANGARA TAMBUNAN sebagai ketua, IMAN SUGEMA dan RINA OKTAVIANI sebagai anggota komisi pembimbing).
Penelitian ini bertujuan menganalisis aliran perdagangan dan investasi di kawasan ASEAN dan negara anggotanya. Metode penelitian menggunakan model gravitasi. Penelitian fokus pada 5 negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Sedangkan mitra perdagangan dan investasinya mengambil 14 negara yang memberikan kontribusi perdagangan dan investasi terbesar. Periode penelitian antara tahun 1982-2006. Hasil studi menemukan bahwa aliran perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh Indeks Integrasi Perdagangan, FDI, jumlah penduduk, keterbukaan ekonomi, suku bunga dan GDP. Sedangkan variabel seperti tarif, jarak dan nilai tukar riil umumnya berpengaruh secara negatif terhadap aliran perdagangan. Sedangkan FDI dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh GDP, jumlah penduduk, keterbukaan ekonomi, ekspor maupun impor. Variabel suku bunga, tarif, jarak dan nilai tukar riil umumnya berpengaruh secara negatif terhadap aliran FDI pada kawasan ASEAN. Keikutsertaan negara ASEAN pada integrasi ekonomi APEC berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan. Pengaruh APEC lebih besar daripada ASEAN. Hal tersebut membuktikan rendahnya intensitas perdagangan intra-trade antara sesama negara ASEAN. Keanggotaan negara investor FDI di kawasan NAFTA berpengaruh positif terhadap aliran FDI ke ASEAN. NAFTA dan ASEAN anggotanya tergabung bersama dalam kawasan APEC. Sebaliknya, keanggotaan pada Uni Eropa berpengaruh negatif. Strategi yang dilakukan untuk meningkatkan ekspor, daya saing produk dan FDI di negara ASEAN adalah pemerintah ASEAN diharapkan mempertahankan nilai kurs mata uang yang rendah terhadap Dolar Amerika dan menurunkan suku bunga. Suku bunga yang rendah dapat meningkatkan FDI, karena dapat memperbesar daya saing industri, peningkatan return dan stok kapital dalam negeri.
Keywords: Integrasi Ekonomi, ASEAN, Model Gravity, Perdagangan dan Investasi
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritil atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizing IPB
ANALISIS ALIRAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI DALAM INTEGRASI EKONOMI ASEAN : PENDEKATAN MODEL GRAVITY
RIDWAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc . Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Deddy Saleh, MSi Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc . Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Analisis Aliran Perdagangan dan Investasi Dalam Kawasan Integrasi Ekonomi ASEAN: Pendekatan Model Grafity. Disertasi tersebut merupakan syarat untuk menyelesaikan studi program doktor pada program studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing; Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc, selaku ketua komisi pembimbing; Dr. Ir. Iman Sugema; Prof. Dr. Ir.Rina Oktaviani, MSi masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan perhatian, waktu, dan masukan dalam penyusunan disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga ingin penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Rektor IPB, Bapak Dekan dan Sekretaris Program Pascasarjana IPB serta seluruh staf pengajar dan administrasi pada program pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian, atas semua bantuan dan fasilitas yang disediakan sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan dengan baik dan lancar. 2. Bapak Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hassanuddin, Prof. Dr. Muhammad Restu, MSi dan Ketua Jurusan Kehutanan, Dr. Ir. Beta Putranto, MSc beserta seluruh staf pengajar Fakultas Kehutanan Unhas, yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk menempuh pendidikan Doktor. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, sebagai dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, masukan dan dorongan yang sangat berharga.
4. Bapak Dr. Ir. Mujahidin Fahmid, MTD dan keluarga atas persahabatan dan persaudaraan yang telah terjalin selama lebih dari 20 tahun lebih. Bantuan, masukan dan semangat yang diberikan sangat berarti bagi penulis. 5. Bapak Leksi M Budiman, SE dan keluarga atas masukan dan dukungannya dalam persaudaraan yang hangat, selama lebih dari 20 tahun terakhir. 6. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Ambo Ala, MSi dan Ibu Dr.H. Marwah Daud Ibrahim. Bapak dan Ibu adalah guru terbaik saya, yang telah menanamkan visi serta membukakan jalan sehingga penulis bisa menjadi dosen di Unhas, serta menempuh jenjang pendidikan Doktor. 7. Bapak Prof. Dr. Djamal Sanusi, Bapak Dr. Ir. Bakri, MSc serta Bapak Dr. Ir. Beta Putranto. Bapak-bapak adalah dosen yang begitu memotivasi, khususnya pada waktu membimbing penulis menyusun skripsi pada studi tingkat sarjana. 8. Bapak Prof. Dr. Rizal Muin, MSc, Bapak adalah teman diskusi penulis yang sangat dekat dan hangat waktu menjadi mahasiswa tingkat sarjana di Unhas. 9. Bapak Hamka Halkam, SE, MSc; Ir. Soewarno Sudirman; Ir. Syahrullah; Ir. Tauhid Achmad, ME; Ir. Khaerul Usman; Drs Alam; Ir. Mulyadi Saleh; Lapipi Mado, MSE, dan Laode Asadi, ME. Bapak adalah teman terbaik saya. 10. Bapak anggota empat sekawan di Pascasarjana Fakultas Ekonomi Prof. Dr. Eddy Suratman, Dr. Syarkawi Rauf, dan Dr. Wildan Syafitri atas bantuan, dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi. 11. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi EPN angkatan 2003 atas dorongan dan semangat yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian studi. 12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi angkatan 2000 atas dorongan yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian studi.
13. Kepada seluruh Tim kerja saya di SPIRITEG Jakarta (Reren, Nasir, Ria, Ahmad, Roni, Endang, Opay, Eka, Miang) . 14. Kepada Adik-adik saya yang dari Sinjai maupun Jogyakarta, kalian telah memberikan dukungan dan bantuan yang luar biasa. Semoga Allah SWT menyertai dan selalu membimbing kalian semua dalam mencapai cita-citanya. 15. Kepada Almarhum Orang tua saya, Bapak Abu Rahman (alm), Ibu Fatimah Musa(alm), serta Bapak H. Soewarno dan Ibu H. Siti Sobariah teri. Bapak dan Ibu telah memberikan yang terbaik yang orang tua harus berikan kepada anaknya. Semoga Allah SWT membalas jasa dan kebaikan Bapak dan Ibu. 16. Akhirnya kepada Istri saya tercinta Dian Wahyu Windarsih dan anak saya Ahyani F. Widiyaningrum dan Ariffani F. Nadiyaningrum kepadamulah disertasi ini Bapak dedikasikan. Kalian telah memberikan yang terbaik yang seharusnya Istri berikan kepada Suaminya dan anak kepada Bapaknya. 17. Pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, baik itu pribadi maupun institusi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut membantu kelancaran studi saya, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis menyadari sepenuh hati bahwa sebagai makhluk Allah SWT, memiliki keterbatasan dalam menyusun disertasi ini. Semoga hasil penelitian disertasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkannya. Bogor, Juni 2011 RIDWAN
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 12 Januari 1968 di Sinjai provinsi Sulawesi Selatan, sebagai Putera pertama dari pasangan Abu Rahman Mahmud (almarhum) dengan St. Fatimah Musa (almarhum). Penulis lulus SD, SMP, dan SMA di kabupaten Sinjai. Pada tahun 1987 penulis diterima sebagai mahasiswa program sarjana pada Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan program Master bidang ilmu
ekonomi
dengan
kekhususan
ekonomi
industri
dan
perdagangan
internasional pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, lulus dan memperoleh gelar Master Ilmu Ekonomi pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor (S3) di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1996 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai dosen tetap pada jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Antara tahun 2001-2008 menjadi dosen tidak tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) LAN-RI, Jakarta. Pernah menjadi peneliti paruh waktu pada LPEM FE-UI antara tahun 2001-2002, peneliti paruh waktu di KPPOD Jakarta antara tahun 2002–2006. Penulis menikah dengan Dian Wahyu Windarsih pada tahun 2007, di karuniai dua orang Puteri yaitu: Ahyani F. Widiyaningrum (3 tahun) dan Ariffani F. Nadyaningrum (20 bulan).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xviii I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang...................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian.....................................
9
II. KEBIJAKAN INTEGRASI EKONOMI ASEAN................................
11
2.1. Pembentukan ASEAN .......................................................................
11
2.2. Kerjasama Bidang Ekonomi ASEAN................................................
11
2.2.1. Kerjasama Perdagangan ASEAN ............................................
14
2.2.2. Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA .......................
16
2.2.3. Kerjasama Investasi ASEAN ..................................................
19
2.2.4. Kinerja Investasi ASEAN .......................................................
22
2.3. Kerjasama ASEAN dengan Kawasan Integrasi Ekonomi Lain........
23
III. KAJIAN TEORITIS INTEGRASI EKONOMI ..................................
25
3.1. Teori Integrasi Ekonomi ..................................................................
25
3.2. Dampak Kreasi dan Dampak Diversi Integrasi Ekonomi ................
34
3.3. Pengaruh Perdagangan Internasional ...............................................
35
3.4. Hubungan Investasi, Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi .....
39
3.5. Pengaruh Kreasi dan Diversi Investasi ............................................
44
3.6. Kebijakan Doing Business dalam Investasi .....................................
46
3.7. Inter Industry Trade dan Intra Industry Trade ................................
49
3.8. Pelajaran dari Integrasi Ekonomi Eropa .........................................
52
IV.
V.
3.8.1. Masyarakat Ekonomi Eropa .................................................
52
3.8.2. Pasar Tunggal Eropa ............................................................
54
3.8.3. Sistem Moneter Eropa ..........................................................
55
3.8.4. Mata Uang Tunggal Eropa ...................................................
58
3.9. Studi Empiris Terdahulu ................................................................
59
3.10. Kerangka Pemikiran Disertasi........................................................
66
METODOLOGI PENELITIAN .........................................................
70
4.1. Rancangan Model............................................................................
70
4.2. Hipotesis Penelitian.........................................................................
74
4.3. Model Persamaan Perdagangan ......................................................
74
4.4. Persamaan Investasi ........................................................................
77
4.5. Populasi dan Sampel .......................................................................
81
4.6. Jenis Sumber Data ...........................................................................
82
4.7. Metode Pengolahan Data ................................................................
84
4.8. Tehnik Estimasi Regresi Majemuk ...............................................
84
4.9. Penyimpangan Asumsi Klasik dan Pemecahannya .......................
86
4.9.1. Kolinearitas Jamak ................................................................
86
4.9.2. Heteroskedastisitas ................................................................
87
4.9.3. Autokorelasi/ Korelasi Serial ................................................
89
4.10. Proses Estimasi dengan Model Regresi Data Panel .......................
90
4.10.1. Metode Pemilihan Estimasi dengan Fixed Effects atau Random Effects ...................................................................
92
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
95
5.1. Analisis Aliran Perdagangan ASEAN dan Negara Anggota ASEAN ................................................................
95
5.1.1. Analisis Aliran Perdagangan ASEAN ...................................
95
5.1.2. Perdagangan Negara Anggota ASEAN ................................. 101 5.1.2.1. Analisis Aliran Perdagangan Malaysia .................... 102 5.1.2.2. Analisis Aliran Perdagangan Indonesia ................... 107 5.1.2.3. Analisis Aliran Perdagangan Singapura................... 112 5.1.2.4. Analisis Aliran Perdagangan Thailand..................... 118
5.1.2.5. Analisis Aliran Perdagangan Philipina .................... 123 5.2. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment pada Kawasan ASEAN. 128 5.2.1. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Malaysia ............. 133 5.2.2. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Indonesia ............ 138 5.2.3. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Singapura ........... 144 5.2.4. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Thailand ............. 148 5.2.5. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Philipina ............. 151 VI. KESIMPULAN ..................................................................................... 156 6.1. Kesimpulan ................................................................................... 156 6.2. Implikasi Kebijakan ........................................................................ 158 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 161 DAFTAR LAMPIRAN........................................................................ 170
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Total Perdagangan ASEAN Tahun 2000-2008 ...................................
4
2.
Nilai Perdagangan ASEAN dengan Negara Luar ASEAN ..................
4
3.
Foreign Direct Invesment dari Negara Penerima Foreign Direct Invesment..............................................................................................
5
4.
Total Nilai Perdagangan Intra ASEAN Tahun 1993-2008 ..................
17
5.
Foreign Direct Invesment Inflows Negara ASEAN dari ASEAN.... ...
22
6.
Foreign Direct Invesment Inflows dari Negara Non ASEAN........... ... .
23
7.
Perbandingan Tingkat Kemudahan Berbisnis di Beberapa Negara Asia ..........................................................................
48
8.
Peringkat Komponen Doing Business Tahun 2009 dan 2010 ..............
49
9.
Kawasan Integrasi Ekonomi Dunia......................................................
67
10.
Perbandingan ASEAN dengan Integrasi Ekonomi Lain......................
67
11.
Pengaruh Integrasi dan Variabel Makroekonomi terhadap Aliran Perdagangan ASEAN ...........................................................................
96
12.
Hasil Estimasi Model Perdagangan Malaysia ..................................... 102
13.
Hasil Estimasi Model Perdagangan Indonesia .................................... 108
14.
Hasil Estimasi Model Perdagangan Singapura ................................... 113
15.
Hasil Estimasi Model Perdagangan Thailand ..................................... 119
16.
Hasil Estimasi Model Perdagangan Philipina ..................................... 124
17.
Hasil Estimasi Aliran Investasi ASEAN ............................................. 130
18.
Hasil Estimasi Aliran Foreign Direct Invesment Malaysia ................ 133
19.
Hasil Estimasi Aliran Foreign Direct Invesment Indonesia ............... 138
20.
Hasil Estimasi Aliran Foreign Direct Invesment Singapura ............... 144
21.
Hasil Estimasi Aliran Foreign Direct Invesment Thailand ................. 149
22.
Hasil Estimasi Aliran Foreign Direct Invesment Philipina................. 152
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Halaman Alur Kerangka Pikir Penelitian Disertasi .............................................
68
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Hasil Estimasi Perdagangan ASEAN............................................... .... 172
2.
Hasil Estimasi Perdagangan Malaysia............................................... ... 173
3.
Hasil Estimasi Perdagangan Indonesia............................................. .... 174
4.
Hasil Estimasi Perdagangan Singapura................................................. 175
5.
Hasil Estimasi Perdagangan Thailand................................................... 176
6.
Hasil Estimasi Perdagangan Philipina.............................................. .... 177
7.
Hasil Estimasi Model I Foreign Direct Invesment ASEAN.............. ... 178
8.
Hasil Estimasi Model II Foreign Direct Invesment ASEAN... ............. 179
9.
Hasil Estimasi Investasi Malaysia......................................................... 180
10.
Hasil Estimasi Investasi Indonesia.................................................... ... 181
11.
Hasil Estimasi Investasi Singapura........................................................ 182
12.
Hasil Estimasi Investasi Thailand..................................................... .... 183
13.
Hasil Estimasi Investasi Philipina..................................................... .... 184
14.
Hasil Pengujian Autokorelasi Model Perdagangan ASEAN ............... 185
15.
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Perdagangan ASEAN ..... 186
16.
Hasil Pengujian Multikolinearitas Model Perdagangan ASEAN ........ 187
17.
Hasil Pengujian Autokorelasi Model Investasi ASEAN...................... 188
18.
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Investasi ASEAN ........... 189
19.
Hasil Pengujian Multikolinearitas Model Investasi ASEAN ............... 190
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah
menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan meningkatnya jumlah negara yang menjadi anggota integrasi ekonomi. Saat ini sekitar 97 persen perdagangan dunia melibatkan negara yang minimal terikat dalam suatu perjanjian perdagangan khusus atau Preferential Trade Area (PTA). Meskipun beberapa kesepakatan integrasi tersebut terwujud antara lain karena pertimbangan politik, tetapi motivasi utama adalah kepentingan ekonomi yang telah menjadi alasan dan penggerak utama lahirnya berbagai kesepakatan integrasi ekonomi (Economic Integration Agreement). Integrasi ekonomi berkembang sangat pesat, mulai dari perjanjian perdagangan, customs union, economic union integration, dan total economic integration. Tujuannya adalah memperoleh manfaat pada kemajuan ekonomi dan pencapaian economics welfare. Meskipun demikian, kontroversi terhadap integrasi ekonomi tetap ada sampai sekarang. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah integrasi ekonomi memberi manfaat ataukah memberi kerugian bagi ekonomi
suatu
negara.
Keberhasilan
integrasi
ekonomi
Eropa
sampai
pembentukan mata uang bersama (Currency Union), Euro, adalah contoh yang membuktikan bahwa integrasi ekonomi telah memberikan kemajuan ekonomi
bagi negara anggota. Kesuksesan tersebut mendorong integrasi ekonomi di berbagai kawasan dunia. Selain indikator banyaknya kesepakatan integrasi ekonomi bilateral, perkembangan dalam dua dekade terakhir juga ditandai dengan semakin berkembangnya integrasi dan proliferasi integrasi ekonomi pada tingkat regional (Regional Integration Agreement), antara lain melalui pembentukan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di kawasan Asia Pasifik, European Union (EU) di Eropa, Mercado Comun del Sur (MERCOSUR) di Amerika Latin, dan North America Free Trade Area (NAFTA) di Amerika Utara. Integrasi ekonomi dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh dari integrasi lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dihadapi apabila tidak terlibat dalam integrasi. Alasan tersebut yang dipakai pemimpin negara untuk menempuh kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi atau bergabung dalam integrasi ekonomi. Kebijakan liberalisasi atau integrasi tersebut digunakan sebagai alat untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Integrasi ekonomi juga diharapkan memperkuat daya saing kawasan dalam menghadapi kompetisi global. Prinsip dasar integrasi ekonomi adalah mengurangi atau menghilangkan semua hambatan perdagangan dan investasi di antara negara anggota. Tujuannya adalah meningkatkan arus barang dan jasa yang bebas keluar masuk melintasi batas negara setiap anggota. Dari alasan tersebut, volume perdagangan semakin tinggi sehingga mendorong peningkatan produksi, peningkatan efisiensi, peningkatan kesempatan kerja, penurunan cost production, yang dapat
meningkatkan daya saing produk dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 1 Studi empiris yang dilakukan Viner (1950) mengenai persekutuan pabean menunjukkan bahwa pembentukan persekutuan pabean tidak selalu meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga dapat menurunkan kesejahteraan (diversi) negara anggotanya maupun negara lain yang bukan anggota. 2 Studi Cernat (2001) tentang penilaian kesepakatan perdagangan regional menemukan bahwa kebanyakan Regional Trade Arrangements (RTAs) di Afrika tidak menimbulkan efek diversi (diversion effects) tetapi membawa efek kreasi (creation effects). Pengaruh kreasi yang ditimbulkan suatu integrasi ekonomi lebih besar daripada pengaruh diversi. Dalam konteks ASEAN studi integrasi ekonomi yang dilakukan Sharma dan Chua (2000) menunjukkan bahwa integrasi ekonomi tidak memberi efek terhadap peningkatan perdagangan intra-ASEAN, namun memberi efek pada peningkatan lingkup yang lebih luas atau ekstra-ASEAN. Untuk memahami bagaimana kinerja perdagangan integrasi ASEAN sejak tahun 2000-2008 maka disajikan Tabel 1. Studi integrasi ekonomi dan pengaruhnya terhadap investasi (FDI) telah dilakukan oleh Kreinin and Plummer (2008) yang menemukan tiga poin penting: (1) integrasi regional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap FDI, yang merupakan kombinasi dari efek kreasi dan diversi investasi, (2) efek diversi investasi terjadi pada beberapa kasus, dan dengan demikian perlu mendapatkan perhatian, khususnya di antara negara berkembang yang bukan merupakan bagian dari anggota regional dengan
1 2
Asian regionalism and its effect on trade in the 1980s and 1990s, pg.3 working paper no 30. Dominic Salvatore, Ekonomi Internasional, hal. 388 – 390 tahun 1997
negara maju, dan (3) FDI bertindak sebagai substitusi untuk perdagangan, meskipun pada beberapa kasus bersifat komplemen bagi perdagangan. Tabel 1. Total Perdagangan ASEAN Tahun 2000-2008 Tahun Ekspor Impor 2000 93 380 73 466 2001 82 680 67 639 2002 86 706 73 202 2003 115 601 91 130 2004 141 116 119 581 2005 163 862 141 030 2006 189 176 163 594 2007 217 334 242 460 2008 184 586 215 579 Sumber : ASEAN Trade Statistic Data Base, 2009 (diolah).
(US$ juta) Total 166 846 150 319 159 908 206 731 260 697 304 892 352 770 459 794 400 165
Perdagangan negara ASEAN dengan mitra dagangnya yang selama ini didominasi oleh negara seperti Jepang, Amerika, Uni Eropa, dan Cina disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Perdagangan ASEAN dengan Negara Luar ASEAN (US$ juta) Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura 2000 77 973 137 458 61 631 201 957 2001 72 045 124 851 55 556 175 799 2002 71 518 132 702 59 562 176 975 2003 74 853 141 462 60 747 204 788 2004 93 428 173 865 68 526 262 416 2005 110 207 188 865 72 648 305 841 2006 124 002 212 272 80 773 363 987 2007 142 490 240 504 85 072 401 598 2008 198 055 253 718 84 272 300 809 Sumber : ASEAN Trade Statistic Data Base, 2009 (diolah). Tahun
Thailand 107 117 104 304 105 120 127 010 155 661 182 194 198 204 235 650 383 156
Perkembangan FDI di kawasan ASEAN cenderung komplemen dengan perdagangan.
FDI
dipengaruhi
oleh
beberapa
variabel
makroekonomi,
ketersediaan infrastruktur, tingkat korupsi serta kemudahan berinvestasi. FDI kawasan antara tahun 2000-2008 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Foreign Direct Invesment ASEAN dari Negara Penerima Foreign Direct Invesment (US$ juta) Negara Tahun Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 2000 -4 550.0 3 787.6 2 239.6 16 485.4 3 350.3 2001 -3 278.5 553.9 195.0 15 649.0 5 061.0 2002 144.9 3 203.4 1 542.0 7 200.0 3 335.0 2003 -596.1 2 473.2 490.8 11 664.0 5 235.0 2004 1 894.5 4 623.9 687.8 19 827.5 5 862.0 2005 8 336.0 3 964.8 1 854.0 15 001.9 8 048.1 2006 5 556.2 6 059.7 2 345.0 24 055.4 9 459.6 2007 6 828.3 8 401.2 2 916.0 31 550.3 11 238.1 2008 9 339.8 8 053.0 1 520.0 22 801.8 9 834.5 2000-2008 34 249.6 67 263.6 22 228.2 225 456.8 83 294.9 Sumber : ASEAN Statiscal Yearbook, 2008. Integrasi ekonomi telah mengalami perluasan dengan pembentukan kerjasama dalam bidang finansial. Pada kawasan integrasi ASEAN telah dibentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA) sebagai langkah awal, tetapi krisis ekonomi di Asia Timur pada tahun 1997 telah melahirkan kesadaran baru mengenai pentingnya kerjasama ekonomi secara luas dengan memikirkan kerjasama yang lebih kuat pada sektor finansial. Menjawab masalah tersebut, pada konferensi tingkat tinggi ASEAN tahun 1997, dilahirkan visi untuk memperluas integrasi ekonomi dengan membentuk ASEAN Economic Comunity (AEC). Visi AEC adalah kestabilan, kemakmuran ekonomi regional yang berdaya saing tinggi pada sektor barang dan jasa, investasi, dan modal akan bergerak secara bebas. Tujuannya adalah meningkatkan keunggulan kompetitif regional sebagai production base (barang komponen) untuk diekspor ke pasar dunia dengan mengambil keunggulan yang saling melengkapi di antara ekonomi
ASEAN, economic of scale yang relevan, serta menarik investasi. Pada akhirnya tercapai biaya yang rendah dan pusat produksi yang efisien di antara ekonomi ASEAN atas dasar keunggulan komparatif dan endowment. Dengan demikian akan meningkatkan peran kawasan sebagai production base, menarik investasi dan mempertinggi daya saing regional (Pangestu, 2003). Beberapa studi tentang integrasi ekonomi ASEAN baik segi perdagangan maupun investasi telah dilakukan. Studi dalam bidang perdagangan menunjukkan bahwa integrasi ekonomi belum memberikan efek pada peningkatan perdagangan intra anggota, yang telah dilakukan oleh Sharma dan Chua (2000), Lapipi (2004) dan Tubagus dan Yose (1996). Sedangkan studi Kreinin dan Plummer (2008) mengenai pengaruh integrasi ekonomi ASEAN terhadap FDI menunjukkan pengaruh positif untuk FDI yang berasal dari Jepang dan berpengaruh negatif untuk FDI yang berasal dari Amerika Serikat dan Jerman. Meskipun studi integrasi ekonomi sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian mengenai pengaruh integrasi ekonomi terhadap perdagangan dan investasi di ASEAN dan negara anggota belum dilakukan secara menyeluruh. Studi ini akan meneliti faktor yang memengaruhi aliran perdagangan dan investasi dalam kawasan integrasi ekonomi ASEAN serta dampaknya terhadap kreasi atau diversi perdagangan dan investasi. Studi ini penting mengingat pelaksanaan ASEAN Economic Community yang implementasinya pada tahun 2015. 1.2.
Rumusan Masalah Beberapa tahun terdahulu disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan
penting dalam pola perdagangan dan investasi internasional. Hal tersebut ditandai dengan semakin banyaknya perjanjian perdagangan dan investasi, baik yang
bersifat regional maupun bersifat bilateral, baik dalam bentuk perjanjian perdagangan khusus maupun perjanjian multilateral. Integrasi ekonomi ASEAN secara terus menerus memperbaiki dan memperbaharui perjanjian investasi dan perdagangannya. Langkah konkret yang paling nyata adalah kerjasama perdagangan bebas ASEAN Free Trade (AFTA) pada tahun 1992 yang mulai diberlakukan tahun 1993 dengan melaksanakan penurunan tarif. Penurunan tarif dilaksanakan secara bertahap sampai pada pelaksanaan semua kesepakatan AFTA. Implementasi CEPT-AFTA telah berhasil meningkatkan perdagangan intra-ASEAN dari US$ 82 444 miliar (tahun 1993) menjadi US$ 328 771 miliar (tahun 2006). Sedangkan dengan negara di luar kawasan ASEAN dari US$ 347 503 miliar (tahun 1993) menjadi US$ 1 052 034 miliar (tahun 2006). Beberapa ekonom menilai bahwa kerjasama AFTA belum berperan secara signifikan meningkatkan perdagangan di ASEAN. Beberapa
studi
menghasilkan
kesimpulan
bahwa
AFTA
belum
meningkatkan volume perdagangan intra-ASEAN karena negara-negara anggota, memiliki sumberdaya yang sama sehingga komoditi yang diperdagangkan adalah komoditi sejenis. Hal tersebut menunjukkan perdagangan di ASEAN didominasi perdagangan intra industry trade dibandingkan perdagangan inter industry trade. Krisis ekonomi negara ASEAN pada tahun 1997, telah menjadi pijakan untuk membentuk kerjasama sektor perdagangan dan investasi yang lebih kuat. Pertanyaannya adalah sejauh mana integrasi ekonomi CEPT-AFTA yang telah disepakati tersebut memberi pengaruh terhadap kreasi atau diversi perdagangan dan investasi di kawasan ASEAN. Apakah menurunnya hambatan perdagangan dan investasi antar anggota ASEAN menyebabkan negara anggotanya
menghadapi tekanan yang lebih kompetitif dan lebih besar, atau mendorong peningkatan kompetisi perolehan efisiensi produktif untuk meningkatkan perdagangan dan investasi. Apakah integrasi memperbesar perdagangan antar anggota dan menjauhi perdagangan bukan anggota integrasi. Pertanyaan tersebut belum dijawab secara lengkap pada beberapa penelitian terdahulu tentang integrasi ekonomi ASEAN. Secara khusus permasalahan yang diteliti dalam disertasi ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah integrasi ekonomi ASEAN memberi pengaruh terhadap peningkatan aliran perdagangan dan investasi kawasan ASEAN dan negara anggota ASEAN atau sebaliknya. Apakah integrasi ekonomi memperbesar aliran perdagangan dan investasi antar negara anggota dan menjauhi perdagangan dan investasi bukan anggota integrasi atau sebaliknya. 2. Apakah integrasi ekonomi kawasan lain seperti APEC, NAFTA, UNI EROPA, Cina dan India, memberikan pengaruh
terhadap aliran perdagangan dan
investasi di kawasan ASEAN dan negara anggota ASEAN. 3. Bagaimana variabel makroekonomi dan keterbukaan ekonomi berpengaruh terhadap aliran perdagangan dan investasi di ASEAN dan negara anggota ASEAN. Masalah apa saja yang harus di benahi oleh ASEAN dan anggotanya dalam meningkatkan perdagangan dan investasi. 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis
pengaruh
integrasi
ekonomi
ASEAN
dan
variabel
makroekonomi terhadap aliran perdagangan pada kawasan ASEAN dan masing-masing negara anggotanya.
2.
Menganalisis
pengaruh
integrasi
ekonomi
ASEAN
dan
variabel
makroekonomi terhadap aliran investasi dalam bentuk FDI pada kawasan ASEAN dan masing-masing negara anggotanya. 3.
Menganalisis bagaimana pengaruh dan hubungan integrasi ekonomi di APEC, NAFTA, UE, Cina dan India terhadap aliran perdagangan dan FDI pada kawasan integrasi ASEAN dan negara anggotanya.
1.4.
Manfaat Penelitian Secara praktis studi ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan ekonomi negara-negara ASEAN serta dalam pelaksanaan ASEAN Economic Community khususnya dalam bidang perdagangan dan investasi. Secara teoritis studi ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa, peneliti, dan ilmuwan lainnya sebagai sumber informasi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai dampak integrasi ekonomi ASEAN terhadap perdagangan dan investasi negara-negara di ASEAN. 1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian.
1. Penelitian ini hanya mencakup 5 negara anggota ASEAN, sementara 5 negara anggota ASEAN lainnya belum dimasukkan. Sedangkan negara mitra perdagangan dan investasi hanya mengambil 14 negara yang memiliki volume perdagangan dan investasi terbesar. 2. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model gravitasi. 3. Penelitian ini menggunakan data agregat nasional baik negara ASEAN, maupun 14 negara mitra perdagangan dan investasi terbesar antara tahun 1982-2006.
4. Jarak antara negara diukur berdasarkan ibu kota negara baik negara ASEAN, maupun 14 negara mitra perdagangan dan investasi terbesar. 5. Data perdagangan yang digunakan dalam penelitian ini hanya data perdagangan barang. Perdagangan jasa belum dimasukkan dalam analisis. 6. Data tarif yang digunakan adalah tarif rata-rata, yang dihitung dengan membagi total tarif yang diberlakukan dengan jumlah baris tarif barang yang diperdagangkan. 7. Data perdagangan dan investasi yang digunakan adalah data agregat nasional dari negara anggota ASEAN dan 14 negara mitra perdagangan dan investasi. 8. Variabel integrasi dihitung berdasarkan nilai indeks integrasi perdagangan dan tingkat keterbukaan ekonomi dari setiap negara anggota ASEAN.
II. KEBIJAKAN INTEGRASI EKONOMI ASEAN
2.1. Pembentukan ASEAN ASEAN merupakan organisasi kerjasama regional Asia Tenggara yang dideklarasikan di Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967, atas inisiatif Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Dasar pertimbangan pembentukannya adalah memperkuat stabilitas ekonomi, sosial, dan menjamin stabilitas keamanan, yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan ekonomi, kemajuan sosial, dan kemajuan budaya. Perkembangan berikutnya anggota ASEAN bertambah dengan masuknya Brunai Darussalam menjadi anggota keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Pada bulan Juli tahun 1994 Vietnam menjadi anggota penuh. Tiga negara Indocina masuk menjadi anggota, yaitu Kamboja, Laos dan Myanmar pada KTT ke-5 di Bangkok pada tahun 1995. Sejak itu, integrasi ASEAN lengkap menjadi 10 negara anggota. 2.2. Kerjasama Bidang Ekonomi Dalam bidang ekonomi disepakati bahwa kerjasama ASEAN perlu diprioritaskan dalam bentuk konsolidasi ke dalam. Bidang ekonomi masih merupakan bagian yang paling lemah setiap negara anggota. Dalam bidang ekonomi, telah disepakati kerjasama mengenai basic commodity, terutama pangan dan energi, kerjasama di bidang industri, kerjasama di bidang perdagangan dan dalam
masalah ekonomi lainnya. Semua negara anggota sepakat untuk
mengambil bagian dan mendirikan kawasan perdagangan bebas, yang disebut
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang pembentukannya berlangsung selama 10 tahun. Ada tiga alasan mengapa ASEAN menyetujui AFTA. Pertama, ASEAN mengkhawatirkan efek pengalihan perdagangan dengan adanya NAFTA dan pasar tunggal Eropa, juga kebangkitan ekonomi Cina. Kedua, perekonomian ASEAN telah berubah sesuai kebijakan yang dianut. Ketiga, kawasan tersebut harus mempertahankan kedekatan dan statusnya setelah selesainya masalah Kamboja dengan menggunakan tujuan ekonomi. Keberadaan AFTA terutama bukan dimaksudkan untuk meningkatkan perdagangan regional, melainkan lebih sebagai penarik investasi dan sebagai jawaban terhadap masalah pengalihan investasi yang dialami kawasan ASEAN dengan kebangkitan Cina. Jalan menuju AFTA ditempuh melalui Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang ditandatangani pemimpin negara anggota ASEAN pada bulan Januari 1992. Realisasinya adalah setiap negara akan menurunkan tarif
bea
masuk atau mengurangi restriksi non-tarif bagi sesama negara anggota, khususnya bagi produk yang masuk dalam kesepakatan yang berlaku di kawasan integrasi. Pertemuan menteri membahas area perdagangan bebas AFTA di Chiangmai Thailand, memutuskan untuk mempercepat realisasi AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Hal tersebut dilakukan karena keberhasilan dalam realisasi CEPT dan komitmen ASEAN dalam melaksanakan liberalisasi. Disepakati pula untuk menurunkan tarif pada jalur normal (normal track) dan jalur cepat (fast track). CEPT mencakup berbagai produk manufaktur dan produk pertanian yang diproses dan tarif yang dikenakan secara bertahap akan diturunkan antara 0-5 persen. Pada jalur normal, disepakati tarif yang berada di atas 20
persen menjadi 20 persen pada 1 Januari 1998 dan berikutnya dari 20 persen menjadi 0-5 persen pada 1 Januari 2003. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tanggal 15–16 Desember 1998, memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan area perdagangan bebas AFTA agar secara cepat menurunkan tarif dari produk-produknya. Setiap negara akan menurunkan tarif sampai 0 persen atau tidak lebih dari 5 persen dari sedikitnya 85 persen produk yang diikutsertakan dalam inclusion list (daftar produk yang diikutsertakan dalam AFTA) pada tahun 2000. Daftar produk yang terkena tarif antara 0-5 persen ditingkatkan menjadi sedikitnya 90 persen pada tahun 2001 kemudian menjadi 100 persen pada tahun 2002. Kesepakatan ini juga berlaku bagi negara anggota lainnya, namun bagi Vietnam baru mulai berlaku tahun 2003 sedangkan untuk Laos dan Myanmar tahun 2005. Untuk pengenaan tarif 0 persen bagi Vietnam berlaku tahun 2006 dan untuk Laos dan Myanmar tahun 2008. Pada bidang investasi, langkah yang ditempuh adalah memberi tambahan perlakuan khusus kepada investor dari negara anggota dan non-anggota di bidang manufaktur yang implementasinya dimulai 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 2000. Dalam rencana aksi Hanoi yang merupakan penjabaran visi ASEAN 2020 disebutkan tekad untuk memperkuat makroekonomi dan kerjasama keuangan melalui
pemeliharaan
stabilitas
makroekonomi
dan
keuangan
regional,
meningkatkan liberalisasi sektor jasa keuangan, mengintensifkan kerjasama keuangan, pajak, asuransi serta pengembangan pasar modal. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila tanggal 28 November 1999 menyepakati untuk menghapuskan semua bea masuk bagi 6 negara pendiri pada tahun 2010, lebih cepat dari rencana semula tahun 2015. Menyepakati pula untuk
hal yang sama bagi 4 negara anggota lainnya pada tahun 2015. Perdagangan bebas AFTA telah dilaksanakan oleh 6 negara pembentuk AFTA pada 15 kelompok komoditi sejak 1 Januari 2003. Transaksi perdagangan kelompok komoditi itu bebas dari semua hambatan tarif dan non-tarif. Pertemuan menteri perdagangan dan ekonomi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja tanggal 2 September 2003, menyetujui untuk
mempertimbangkan
pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dan tahun 2020 ditetapkan sebagai batas waktu pembentukannya. Konsep AEC ini akhirnya disepakati dalam KTT di Bali pada bulan Oktober 2003. AEC ini mirip dengan integrasi yang dilakukan Uni Eropa sampai pada pembentukan mata uang bersama (Currency Union). Dengan AEC segala bentuk tarif akan dihilangkan, mobilitas faktor produksi semakin bebas, fleksibilitas harga dan upah semakin tinggi. Integrasi ekonomi ASEAN yang lebih luas diharapkan akan mampu menjawab berbagai tantangan krisis, menggalang solidaritas kerjasama ekonomi, dan memecahkan krisis ekonomi secara terpadu. 2.2.1. Kerjasama Perdagangan ASEAN Dalam blue print perjanjian kerjasama, telah disepakati beberapa hal yang terdiri atas aliran bebas barang, aliran bebas investasi dan aliran bebas modal untuk mewujudkan pasar dan basis produksi tunggal ASEAN. Beberapa kesepakatan untuk memperlancar aliran bebas barang adalah: 1. Common Effective Preferential Tarrifs - ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA) pada tahun 2008-2009. 2. Reduksi tarif dengan rumusan menyelesaikan jadwal reduksi tarif sampai 0,5 persen untuk semua produk inclution list dengan pengaturan waktu khusus
bagi Laos dan Kamboja. 3. Penghapusan tarif dengan merumuskan dan melengkapi produk di luar skema CEPT sesuai dengan kesepakatan CEPT serta menghapuskan kewajiban impor sebesar 60 persen dari semua produk IL, kecuali yang dilakukan bertahap untuk produk dan waktu tertentu bagi Laos, Myanmar, dan Kamboja. 4. Program kerja fasilitasi perdagangan dengan rumusan: (1) penyelesaian program kerja yang komprehensif untuk memfasilitasi perdagangan dan penilaian kondisi fasilitasi perdagangan, (2) mendorong transparansi dan visibilitas atas tindakan dan intervensi stakeholders di dalam transaksi perdagangan internasional, (3) menyederhanakan, mengharmoniskan dan menstandarisasi perdagangan untuk menggerakkan barang dan jasa, (4) menghapuskan tarif atas semua produk, kecuali yang dilakukan bertahap bagi anggota, serta menghapuskan tarif atas semua produk yang telah disetujui dan menghapuskan kewajiban impor atas produk dan waktu yang disepakati, dan (5) menurunkan tarif produk serta daftar produk sisanya ke dalam skema kesepakatan CEPT. 5. Menghapuskan hambatan non-tarif, dengan rumusan: (1) mempercayai komitemen standstill dan roll-back pada NTB (Non Tariff Barrier), yang akan segera berlaku serta meningkatkan transparansi dengan mematuhi protokol prosedur notifikasi dan menyusun mekanisme pengawasan, dan (2) menghapuskan NTB untuk ASEAN-5 serta membangun pusat fasilitasi perdagangan ASEAN. 6. Integrasi bea cukai dengan rumusan: (1) mengintegrasikan struktur bea cukai, (2) memodernisasi teknik bea cukai, dipandu dengan prosedur dan formalitas
bea cukai yang sederhana dan terharmonisasi yang sesuai dengan standar dan praktek terbaik internasional, (3) membangun sistem transit bea cukai untuk memfasilitasi pergerakan barang, membangun sistem bea cukai yang sesuai, (4) modernisasi klasifikasi tarif, sistem penetapan nilai dan sistem penetapan, dan (5) mengadopsi standar dan praktek internasional untuk menjamin sistem klasifikasi tarif yang seragam, memperhalus penghapusan bea cukai serta memperkuat pembangunan sumberdaya manusia. 7. Standar dan kesesuaian dengan menjalankan skema regulasi, memonitor implementasi
skema
regulasi,
badan
penilai
kesesuaian
memonitor
implementasi rezim regulasi tunggal, menjalankan persyaratan teknis terharmonisasi, mengimplementasikan dan memperkuat kompetensi dan kepercayaan antar otoritas, harmonisasi prasyarat teknis serta meningkatkan infrastruktur teknis. 2.2.2 Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA Pelaksanaan CEPT-AFTA yang dimulai pada tahun 1993 ternyata dapat berpengaruh terhadap peningkatan perdagangan intra-ASEAN-5 dari US$ 81 068 miliar (tahun 1993) menjadi US$ 326 128 miliar (tahun 2006). Setelah krisis ekonomi di kawasan ASEAN-5 tahun 1997-1998, perdagangan intra-anggota mengalami peningkatan cukup baik dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai sebesar US$ 163 538 miliar atau tumbuh 25.52 persen dari tahun sebelumnya. Angka perdagangan tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2005 dan 2006 secara berurutan sebesar US$ 284 518 miliar dan US$ 326 128 miliar. Meskipun telah menunjukan peningkatan, perdagangan intra selama ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan dengan
negara-negara di luar kawasan ASEAN (extra-ASEAN trade). Persentase perdagangan intra terhadap total perdagangan hanya berkisar antara 19-22 persen. Secara jelas perdagangan intra sejak 1993 sampai 2008 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Total Nilai Perdagangan Intra-ASEAN Tahun 1993-2008 (US$ juta) Negara Tahun Indonesia Malaysia Filipina 1993 7 655 21 890 2 678 1994 9 138 26 204 3 889 1995 10 694 30 958 4 846 1996 13 859 37 376 6 982 1997 14 264 38 088 8 309 1998 13 906 34 551 8 249 1999 13 061 34 297 9 450 2000 17 664 40 343 10 938 2001 15 233 36 278 9 650 2002 16 929 39 372 11 071 2003 18 755 47 039 12 979 2004 24 680 57 928 15 193 2005 33 153 65 797 16 024 2006 37 862 73 270 18 410 2007 46 084 82 611 20 907 2008 68 162 85 076 21 398 Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008.
Singapura 37 166 49 729 56 308 61 803 66 190 49 645 55 510 71 075 61 806 64 404 91 328 109 678 124 125 146 102 160 853 171 355
Thailand 11 679 15 070 19 430 21 868 21 647 13 752 17 889 23 518 22 596 23 718 29 199 37 004 45 419 50 484 57 886 69 375
Perdagangan selama ini masih sangat mengandalkan mitra dagang negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Pada tahun 2003, perdagangan dengan Amerika Serikat mencapai 14.1 persen dari total nilai perdagangan ASEAN, kemudian disusul berturut-turut dengan Jepang (13.7 persen), Uni Eropa (11.5 persen), dan Cina (7 persen). Hal ini mencerminkan tingkat integrasi ekonomi kawasan masih relatif rendah dibandingkan misalnya, dengan integrasi NAFTA atau Uni Eropa. Implementasi AFTA selama ini masih menghadapi beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain lemahnya komitmen negara anggota untuk mencapai
target liberalisasi perdagangan sebagaimana yang telah disepakati dalam CEPT merupakan hambatan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AFTA. Beberapa negara anggota sampai saat ini masih belum bersedia menurunkan tarif dan menghapuskan hambatan non-tarif atas produk-produk tertentu dengan alasan untuk melindungi industri dalam negeri yang dianggap masih belum siap. Masalah lain adalah adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi nasional dan keterbatasan kemampuan sumberdaya dari sebagian negara anggota dalam memasuki era liberalisasi perdagangan regional. Di samping itu, masih adanya keraguan dari sebagian negara anggota terhadap kemampuan AFTA dalam meningkatkan perdagangan dan investasi (FDI) di kawasan juga ikut menghambat pelaksanaan AFTA. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa negara anggota yang melakukan perdagangan bebas secara bilateral dengan negara maju. Singapura, misalnya menandatangani FTA dengan New Zealand (2002), Amerika Serikat (2001), Jepang (2002), dan Australia (2002). Demikian pula FTA Thailand dengan Australia (2005). Sedangkan Malaysia dan Indonesia sampai saat ini masih merundingkan FTA bilateral dengan Jepang. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara ASEAN untuk mengadakan perjanjian FTA bilateral. Pertama, untuk memberi tekanan kepada negara-negara ASEAN yang selama ini masih enggan untuk meliberalisasi perdagangannya secara penuh. Kedua, krisis ekonomi dan keuangan tahun 19971998 yang melanda sebagian negara anggota telah menyebabkan kemunduran ekonomi kawasan, khususnya di sektor ekspor dan investasi. Ketiga,
perkembangan ekonomi Cina yang pesat dikhawatirkan akan mengancam industri manufaktur dan daya saing ekspor negara-negara ASEAN (Aslam, 2003). 2.2.3. Kerjasama Investasi ASEAN Kesepakatan dalam rangka mendorong dan memperlancar aliran investasi di kawasan ASEAN adalah: 1. Kesepakatan investasi yang telah merumuskan draft ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) 2. Liberalisasi dengan rumusan: (1) memulai fase pertama dari pengurangan progresif dan penghapusan hambatan investasi, (2) memulai fase pertama dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi untuk delapan negara anggota pada waktu yang disepakati, menyelesaikan fase akhir dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi, dan (3) mewujudkan rezim investasi bebas dan terbuka dengan hambatan investasi, memulai fase kedua dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi 3. Promosi dengan rumusan: (1) mengatur dua misi investasi inbound dan outbound, (2) mengatur dua misi investasi inbound dan outbound, dan mengatur dua misi investasi inbound dan outbound per tahun, (3) melanjutkan rangkaian seminar investasi mengenai peluang di negara ASEAN-6, dan (4) mendorong kluster dan jaringan produksi regional melalui inisiatif kerjasama industrial serta mendorong kluster dan jaringan produksi regional melalui inisiatif kerjasama industrial. 4. Proteksi dengan mengorganisasikan seminar mengenai perlindungan investasi dan penyelesaian sengketa investasi.
Dalam rangka memperlancar aliran modal yang lebih bebas, telah dirumuskan beberapa langkah: 1. Memperkuat pasar modal ASEAN dengan melakukan harmonisasi yang lebih besar pada standar pasar modal pada bidang-bidang yang menawarkan aturan untuk sekuritas hutang, persyaratan penyingkapan dan distribusi aturan, memfasilitasi MRA atau kesepakatan untuk pengakuan kualifikasi dan pendidikan serta pengalaman dari pasar profesional, mencapai fleksibilitas yang lebih besar pada bahasa dan penyusunan persyaratan hukum untuk penerbitan sekuritas. Meningkatkan struktur pajak, jika memungkinkan, untuk mendorong luasnya investor base pada penerbitan hutang. Membiarkan mobilitas modal yang lebih besar. Liberalisasi pergerakan modal dipandu dengan prinsip-prinsip: (1) menjamin liberalisasi akuntansi modal yang teratur dan konsisten dengan agenda nasional negara-negara anggota dan kesiapan ekonominya, (2) menyediakan pengaman yang mencukupi terhadap potensi instabilitas makroekonomi dan risiko sistemik yang mungkin timbul dari proses liberalisasi, termasuk hak-hak untuk mengadopsi tindakan yang diperlukan untuk menjamin stabilitas makroekonomi, dan (3) menjamin manfaat liberalisasi secara bersama oleh semua negara anggota. 2. Investasi langsung luar negeri Foreign Direct Investasi (FDI), dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasikan aturan untuk liberalisasi aliran FDI yang lebih bebas yang mencakup: direct outward investment, direct inward investment dan likuidasi investasi langsung, dan (2) secara progresif meliberalisasikan, jika sesuai dan memungkinkan, daftar aturan pra industrial untuk aliran FDI yang lebih bebas. Meliberalisasikan, jika sesuai dan
memungkinkan, aspek lain yang berhubungan dengan: FDI, investasi portofolio, tipe aliran modal lainnya, mendukung FDI dan mendorong pembangunan pasar modal. 3. Investasi portofolio, dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi aliran investasi portofolio yang lebih bebas, khususnya pada hutang dan ekuitas, yang mencakup; pembelian sekuritas hutang domestik dan ekuitas oleh non-residen, penerbitan sekuritas hutang dan ekuitas oleh nonresiden secara lokal serta proses repatriasi yang muncul dari investasi portofolio dan penerbitan atau penjualan sekuritas hutang dan ekuitas, pembelian sekuritas hutang dan ekuitas ke luar negeri, dan (2) secara progresif meliberalisasikan daftar aturan pra-industrial untuk aliran FDI yang lebih bebas. 4. Tipe aliran lainnya, dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi tipe aliran pinjaman luar negeri jangka panjang dan hutang, dan (2) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi, khususnya pinjaman luar negeri jangka panjang dan hutang. 5. Transaksi neraca berjalan (current account), dengan rumusan: (1) membangun pasar finansial untuk menghapuskan, jika memungkinkan, struktur nilai tukar ganda, (2) memperlonggar hambatan untuk pembelian devisa dan tipe pembelian lainnya untuk transaksi yang tidak tampak (invisible transactions) dan transfer berjalan dan membangun pasar finansial, dan (3) menghilangkan atau memperlonggar, jika memungkinkan, hambatan untuk repatriasi/syarat penyerahan serta terus meliberalisasikan, jika memungkinkan, hal yang berhubungan dengan transaksi berjalan.
6. Fasilitasi, dengan rumusan: (1) membuat draft dan amendemen kerangka legal dan regulasi, jika sesuai dan memungkinkan, untuk mendukung perubahan pada aturan, (2) memperkuat dialog kebijakan mengenai aturan kehati-hatian (prudential regulation) dan supervisi, untuk membantu negara anggota membangun kerangka regulasi yang mendukung bagi liberalisasi serta membangun dan memperbaiki sistem untuk memonitor aliran di setiap negara anggota, dan (3) kerjasama antar negara untuk mengharmonisasikan kebijakan, statistika dan infrastruktur yang berhubungan dengan aliran serta membagi
bersama-sama
mengenai
kemajuan
pada
aturan
yang
diliberalisasikan. 2.2.4. Kinerja Investasi ASEAN Kinerja investasi ASEAN sejak diberlakukannya AFTA mengalami kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun 1997 investasi terus menurun, sampai dengan tahun 2008 dengan nilai investasi sebesar US$ 40 375 miliar. Realisasi investasi ASEAN disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Foreign Direct Invesment Inflows Negara ASEAN dari ASEAN (US$ juta) Negara Tahun Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 2000 109.6 87.2 92.1 640.7 -225.0 2001 323.1 208.2 34.0 1 982.4 -66.9 2002 321.3 1 050.4 22.6 2 045.5 274.6 2003 260.0 614.4 -12.6 1 683.5 143.9 2004 290.7 708.8 158.6 1 593.4 171.3 2005 214.3 1 275.0 76.1 2 576.7 28.1 2006 552.9 686.1 149.8 5 921.7 245.7 2007 232.6 896.0 81.6 7 230.8 736.9 2008 710.1 3 011.3 70.7 5 875.2 935.2 2000-2008 3 014.6 8 537.4 671.9 29 550.0 2 243.9 Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008.
Sedang penerimaan FDI dari luar negara anggota ASEAN disajikan pada Tabel 6. Mencermati data yang disajikan dalam Tabel 6, hanya Indonesia yang pernah mengalami negatif investasi. Beberapa kendala yang menyebabkan prestasi investasi Indonesia tertinggal jauh dari negara ASEAN disinyalir antara lain disebabkan kebijakan pajak, instabilitas kebijakan, korupsi dan pungutan liar. Tabel 6. Foreign Direct Invesment Inflows dari Negara non-ASEAN (US$ juta) Negara Indonesia Malaysia Filipina 2000 -4 550.0 3 787.6 2 239.6 2001 -3 278.5 553.9 195.0 2002 144.9 3 203.4 1 542.0 2003 -596.1 2 473.2 490.8 2004 1 894.5 4 623.9 687.8 2005 8 336.0 3 964.8 1 854.0 2006 5 556.2 6 059.7 2 345.0 2007 6 928.3 8 401.2 2 916.0 2008 8 33.8 8 053.0 1 520.0 2000-2008 34 249.6 67 263.6 22 801.8 Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008. Tahun
Singapura 16 485.4 15 649.0 7 200.0 11 664.0 19 827.5 15 001.9 24 055.4 31 550.3 22 801.8 225 456.8
Thailand 3 350.3 1 300.3 1 200.1 1 450.1 1 610.1 2 020.8 2 360.0 11 238.1 9 834.5 83 294.9
2.3. Kerjasama ASEAN dengan Kawasan Integrasi Ekonomi Lain Banyak masalah perekonomian tidak dapat diselesaikan bila hanya dilakukan dengan sesama anggota. Karena itu, ASEAN telah membuat langkah utama dalam membangun kerjasama dengan negara di kawasan Asia-Pasifik. Kerjasama dengan negara-negara Asia Timur dipercepat dengan diadakannya dialog atau pertemuan tahunan antara para pemimpin ASEAN, Cina, Jepang, dan Republik Korea. Hal tersebut sesuai Visi ASEAN 2020 bahwa melalui pandangan keluar ASEAN berhasil menarik minat banyak orang terhadap ASEAN. Pada bulan November 1999, para pemimpin ASEAN, Cina, Jepang, dan Republik
Korea mengeluarkan pernyataan bersama atas kerjasama Asia Timur yang menjelaskan ruang kerjasama antara masing-masing negara. Pertemuan ASEAN tahun 1992 menghasilkan pernyataan bahwa ”ASEAN sebagai bagian dari suatu dunia yang saling tergantung, perlu meningkatkan hubungan kerjasama dengan mitra dialognya”. Konsultasi antara ASEAN dan mitra dialognya dilaksanakan di tingkat menteri luar negeri setiap tahun. Mitra dialognya meliputi Australia, Austria, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang, Republik Korea, Selandia Baru, Rusia, Amerika Serikat, dan Program Pengembangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. ASEAN juga mempromosikan kerjasama dengan Pakistan dalam sektor tertentu. Konsisten
dengan
keputusannya
meningkatkan
kerjasama
dalam
pengembangan kawasan lain, ASEAN memelihara kontak dengan organisasi antar pemerintah lain, yakni Organisasi Kerjasama Ekonomi, Dewan Kerjasama Teluk, Perkumpulan (group) Rio, kerjasama regional dengan Perhimpunan Asia Selatan, dan Forum Pasifik Selatan. Negara anggota juga berpartisipasi aktif dalam aktivitas Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), Pertemuan Asia-Eropa (ASEM). Selain itu, negara anggota membentuk perjanjian bilateral dengan negara mitra dagang dan investasinya, seperti perjanjian bilateral antara Singapura dengan Amerika Serikat, Singapura dengan Jepang, Malaysia dengan Amerika Serikat serta beberapa kesepakatan bilateral lainnya.
III.
3.1.
KAJIAN TEORITIS INTEGRASI EKONOMI
Teori Integrasi Ekonomi Integrasi dalam ilmu ekonomi pertama kali digunakan dalam konteks
organisasi dalam suatu industri sebagaimana dikemukakan oleh Machlup (Jovanovic, 2006). Integrasi digunakan untuk menggambarkan kombinasi atau penyatuan beberapa perusahaan dalam suatu industri, baik secara vertikal maupun horizontal. Kemudian istilah integrasi ekonomi dalam konteks negara, yang menggambarkan penyatuan beberapa negara dalam satu kesatuan, diawali dengan munculnya teori Custom Union (CU) oleh Viner (1950). Tetapi definisi yang baku tentang integrasi ekonomi di antara para ekonom belum juga ditemukan hingga saat ini. Para ekonom mengembangkan berbagai definisi mengenai integrasi ekonomi dari berbagai sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Jovanovic (2006) dengan ringkas telah mendokumentasikan berbagai definisi integrasi yang berkembang, antara lain definisi yang dikemukakan oleh Tinbergen, Balassa, Holzman, Kahneert, serta Menis dan Sauvant. Tinbergen (1962) membedakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi (negative integration) dan sebagai bentuk penyerahan kebijakan pada lembaga bersama (positive integration). Balassa (1961) membedakan integrasi sebagai konsep dinamis melalui penghapusan diskriminasi di antara negara yang berbeda, maupun dalam konsep statis dengan melihat ada tidaknya perbedaan dalam diskriminasi. Holzman menyatakan integrasi ekonomi sebagai situasi ketika dua kawasan
menjadi satu atau mempunyai satu pasar yang ditandai harga barang dan faktor produksi yang sama di antara dua kawasan tersebut. Definisi tersebut mengasumsikan bahwa tidak ada hambatan pergerakan barang, jasa dan faktor produksi serta adanya lembaga yang memfasilitasi pergerakan tersebut. Dari
beberapa
definisi
integrasi
tersebut,
Jovanovic
(2006)
menyimpulkan bahwa konsep integrasi ekonomi merupakan konsep yang cukup kompleks dan harus didefinisikan secara hati-hati. Secara umum, integrasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh sekelompok negara dalam rangka meningkatkan kemakmurannya. Dalam upaya meningkatkan kemakmuran tersebut, integrasi merupakan pilihan kebijakan yang lebih efisien dibanding apabila setiap negara melakukan upaya secara unilateral. Integrasi ekonomi juga mensyaratkan paling tidak adanya beberapa pembagian tenaga kerja dan kebebasan mobilitas barang dan jasa dalam suatu kelompok negara. Integrasi pada tingkatan yang lebih tinggi juga mensyaratkan mobilitas yang bebas atas faktor produksi dalam intra-kawasan, termasuk hambatan pergerakan faktor produksi antar area yang terintegrasi. Definisi integrasi ekonomi yang ditandai oleh adanya mobilitas barang dan jasa serta faktor produksi tersebut sesuai dengan definisi integrasi menurut United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) maupun Pelkman (2001). UNCTAD (2006) mendefinisikan integrasi ekonomi sebagai kesepakatan yang dilakukan untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan pergerakan faktor produksi lintas negara. Sementara Pelkman (2001) mendefinisikan integrasi ekonomi sebagai integrasi yang ditandai oleh penghapusan hambatan-hambatan
ekonomi (economic frontier) antara dua atau lebih ekonomi atau negara. Hambatan-hambatan ekonomi tersebut meliputi semua pembatasan yang menyebabkan mobilitas barang, jasa, faktor produksi, dan juga aliran komunikasi, secara aktual maupun potensial relatif rendah. Dalam definisi ini, pengertian economic frontier berbeda dengan teritorial frontier. Alasan integrasi ekonomi didasarkan pada teori perdagangan bebas tanpa hambatan baik berupa tarif maupun non-tarif yang bertujuan untuk meningkatkan volume perdagangan, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Integrasi ekonomi memiliki prinsip dan mekanisme yang sama dengan perdagangan bebas, atas dasar suatu kesepakatan di antara anggota yang melakukan perjanjian di antara negara-negara yang berada dalam satu kawasan maupun atas kepentingan tertentu. Integrasi ekonomi mengacu pada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan perdagangan hanya di antara negara anggota yang sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi. Semua bentuk hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan. Sedangkan negara yang bukan anggota masih berhak untuk menerapkan kebijakan secara sendiri apakah mereka menerapkan tarif dan non-tarif. Dalam integrasi ekonomi terjadi perlakuan diskriminatif antara negara anggota dengan negara di luar anggota integrasi ekonomi dalam melakukan perdagangan dan investasi sehingga akan memberikan dampak kreasi dan dampak diversi bagi negara anggota. Krugman (1991) memperkenalkan suatu pendekatan bahwa secara alami blok perdagangan didasarkan pada pendekatan geografis yang
dapat memberikan efisiensi dan meningkatkan kesejahteraan bagi negara yang berintegrasi. Perkembangan terbaru tentang blok-blok perdagangan regional adalah dengan banyaknya perjanjian kesepakatan baru yang ditandatangani mengenai Preferential Trade Arragement (PTAs) sejak tahun 1990. PTAs adalah suatu persetujuan antar dua negara atau lebih yang memberlakukan tarif yang lebih rendah untuk produk yang diperdagangkan di antara mereka dibandingkan dengan produk yang diperdagangkan dengan negara luar.3 Meskipun terjadi perdebatan secara substansial dalam jangka pendek mengenai penyesuaian biaya dan pengurangan hambatan perdagangan, namun secara umum lebih menyepakati bahwa peningkatan keterbukaan perdagangan dalam jangka panjang memiliki dampak positif yang signifikan pada pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini kemajuan pada kesepakatan perdagangan preferensial (PTAs) dan kesepakatan perdagangan multilateral akan memberikan implikasi penting pada pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan dalam pembangunan dunia di masa yang akan datang. 3 Secara teoritis Solvatore (1997) 4 menguraikan integrasi ekonomi yang terdiri dari: 1. Pengaturan perdagangan preferensial (Preferential Trade Arragements) dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan perdagangan yang berlangsung di antara mereka dan membedakannya dengan negara-negara yang bukan anggota.
3 4
Preferential trade agreements in Asia and the Oacific, Asian Development outlook 2002. Regional cooperation in Asia, hal. 178
2. Kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dimana semua hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif di antara negara-negara anggota dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak menentukan sendiri apakah mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkan terhadap negara-negara di luar anggota. 3. Persekutuan pabean (Customs Union) mewajibkan semua negara anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara luar yang bukan anggota. 4. Pasaran bersama (Common Market) yaitu suatu bentuk integrasi yang tidak hanya membebaskan perdagangan barang, tetapi juga membebaskan arus faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal dari semua hambatan. 5. Uni Ekonomi (Economic Union) yaitu dengan menyeragamkan kebijakankebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota yang berada dalam suatu kawasan atau bagi negara-negara yang melakukan kesepakatan. Teori lain tentang integrasi ekonomi dikemukakan Balassa (1961) yang membagi proses pelaksanaan integrasi dalam enam tahap: 1.
Preferential Trading Area (PTA) yaitu blok perdagangan yang memberikan keistimewaan untuk produk-produk tertentu dari negara tertentu
dengan
melakukan
menghilangkannya sama sekali.
pengurangan
tarif,
namun
tidak
2.
Free Trade Area (FTA) suatu kawasan yang menghapuskan tarif dan kuota antar negara anggota, namun masing-masing negara tetap menerapkan tarif mereka masing-masing terhadap negara bukan anggota.
3.
Customs Union (CU) merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komoditi antar negara anggota dan menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota.
4.
Common Market (CM) merupakan CU yang juga meniadakan hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, dan aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumberdaya yang efisien.
5.
Economic Union merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk pengambilan kebijakan struktural).
6.
Total Economic Integration penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supra nasional, dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota. Tahapan integrasi Ballasa tersebut memberikan urutan untuk keperluan
analisis dan membantu memahami tambahan kebijakan yang diperlukan dalam setiap tahapan integrasi. Dalam perkembangannya, Balassa melakukan penyesuaian pada beberapa hal. Secara teoritis Balassa (1961) menunjukkan bahwa semakin tinggi tahapan integrasi ekonomi, semakin kompleks persyaratan kebijakan yang diperlukan. Balassa (1961) mengungkapkan bahwa perluasan tahapan integrasi ekonomi terdiri: (1) Regional Autarky yaitu bilateral trade agreements, (2)
FTA yaitu penghapusan tarif dan kuota antara negara anggota, tarif nasional tetap ada dan diberlakukan ke negara bukan anggota, (3) Custom Union yaitu penghapusan tarif dan kuota antar negara anggota dan pengenaan tarif yang sama pada negara non-anggota, (4) Common Market dimana faktor produksi barang dan jasa bergerak bebas, (5) Economic Union yaitu harmonisasi atau koordinasi beberapa kebijakan nasional. Transfer beberapa kebijakan nasional ke level supra nasional, (6) Monetery Union yaitu pemberlakuan mata uang tunggal (single currency) dan Single Central Bank, (7) Fiscal Union yaitu harmonisasi pajak pada semua negara anggota, dan (8) Political Union yaitu lembaga demokratis pada level supranatural. Perjanjian perdagangan preferensial (PTAs) adalah kesepakatan antara dua negara atau lebih dimana tarif yang dikenakan pada barang yang diperdagangkan bagi negara anggota lebih rendah dibanding dengan tarif yang diperdagangkan dengan negara di luar anggota. 5 PTAs dapat diartikan secara luas, meliputi Regional Trading Arragement (RTAs) yang merupakan kesepakatan yang dibentuk dalam satu kawasan, kesepakatan perdagangan antar negara-negara berkembang, kesepakatan perdagangan antar kawasan dan bentuk kesepakatan lainnya yang bertujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa. Bentuk kesepakatan perdagangan yang telah dibentuk telah mengarah pada perdagangan bebas seperti World Trade Organization (WTO), Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), ASEAN Free Trade Area (AFTA), Australian dan New Zealand yaitu Closer Economic Relation Trade Agreement (CER), South Pacific Regional Trade and Economic Coorporation Agreement (SPARTECA), Asian 5
Panagariya (2000) The defenition used in this chapter are generally based on tehe discussion in the paper and in Appleyard and Field (1998)
Pacific Economic Coorporation (APEC), European Union (EU), North American Free Trade (NAFTA), European Free Trade Area (EFTA), Andean Pact, Economic Cooperation Organization (ECO), dan Southern Common Market (Mercosur). Secara umum, bentuk kesepakatan perdagangan antara dua negara atau lebih, baik PTAs, sistem perdagangan multilateral, sistem perdagangan dalam suatu kawasan maupun organisasi perdagangan dunia memiliki prinsip yang sama yaitu menurunkan atau menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif. Cakupan integrasinya mulai dari integrasi untuk perdagangan barang dan jasa sampai pada pasar tunggal bersama yang meliputi semua aspek ekonomi seperti perdagangan barang dan jasa, perdagangan faktor produksi, integrasi dalam moneter dan integrasi kebijakan ekonomi secara menyeluruh. Tujuan yang paling mendasar dari integrasi ekonomi ini adalah meningkatkan volume perdagangan barang dan jasa, meningkatkan mobilitas kapital dan tenaga kerja, meningkatkan produksi, meningkatkan efisiensi produksi serta meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Pembentukan integrasi ekonomi akan menciptakan dampak meningkatnya kesejahteraan negara-negara anggota secara keseluruhan karena akan mengarah pada peningkatan spesialisasi produksi, yang didasarkan pada keuntungan komparatif setiap negara. Uraian tersebut diperkuat oleh hasil kajian dari Dollar (1992), Sach and Warner (1995), Edwards (1998) dan Wacziarg (2001) bahwa integrasi ekonomi yang menurunkan atau menghilangkan semua hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota dapat meningkatkan daya saing dan membuka besarnya
pasar pada negara anggota. Selain itu, integrasi ekonomi juga dapat meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat memacu efisiensi produktif di antara produsen domestik dan meningkatkan kualitas/kuantitas dari input dan barang dalam perekonomian, produsen domestik dapat meningkatkan keuntungan dan semakin besarnya pasar ekspor serta meningkatkan kesempatan kerja. Soloaga dan Winters (2001) yang meneliti tentang European Union menyimpulkan bahwa efek European Union terhadap arus perdagangan negara anggota sangat signifikan positif, yaitu meningkatkan volume perdagangan negara anggota. Begitu pula dengan efek dari EFTA sangat signifikan positif terhadap volume perdagangan. Dengan demikian maka integrasi ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat negara-negara anggota. Namun, apabila negara anggota lebih banyak berdagang dengan negara di luar kawasan integrasi ekonomi daripada menjalin hubungan dagang yang intensif dengan negara anggota maka akan terjadi penurunan volume perdagangan dan selanjutnya akan menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat negara anggota. Singkatnya, integrasi ekonomi dapat menimbulkan dampak kreasi dan diversi perdagangan. Secara lengkap manfaat integrasi ekonomi: (1) produksi semakin efisien yang memungkinkan terjadinya spesialisasi, sehingga produk yang bersangkutan memiliki keunggulan komparatif, (2) produksi meningkat akibat meningkatnya volume perdagangan, (3) posisi tawar di forum internasional makin membaik sehingga memungkinkan peningkatan volume perdagangan, (4) kualitas produk dan faktor produksi makin meningkat yang disebabkan oleh perkembangan teknologi, (5) mobilitas modal dan tenaga kerja bebas keluar masuk sesama
negara anggota, dan (6) adanya koordinasi antara sesama anggota dalam kebijakan moneter dan fiskal. Kondisi tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara anggota dalam satu kawasan yang terintegrasi secara ekonomi sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3.2. Dampak Kreasi dan Diversi Integrasi Ekonomi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa integrasi ekonomi menimbulkan dampak kreasi dan dampak diversi bagi perdagangan negara-negara anggota. Kreasi perdagangan (trade creation) terjadi apabila sebagian produksi domestik di suatu negara yang menjadi anggota perserikatan pabean (integrasi ekonomi) atau dari negara luar yang bukan anggota digantikan dengan impor yang lebih efisien atau harganya lebih murah dari negara anggota lainnya. Diversi perdagangan (trade diversion) terjadi apabila impor yang (efisien) murah dari negara luar yang bukan anggota perserikatan pabean tergusur oleh impor yang harganya lebih mahal dari negara anggota karena adanya pengenaan tarif bagi negara non anggota. 6 Dampak kreasi muncul karena selisih harga dunia dengan harga dalam kawasan integrasi ekonomi sangat kecil sehingga memberi kesejahteraan yang tinggi bagi negara anggota. Sedangkan dampak diversi muncul karena selisih antara harga dunia dengan harga yang ada dalam kawasan integrasi ekonomi sangat besar sehingga dapat mengurangi kesejahteraan negara anggota. Berkaitan dengan dampak kreasi dan diversi, De Melo, Panagariya and Rodrik (1992); Bhagwati and Panagariya (1996); dan Schiff (1997), mengungkapkan bahwa dampak diversi muncul melalui perdagangan antara negara anggota integrasi dengan non anggota integrasi, dimana pola spesialisasi
6
Solvatore, Dominich (1997) Ekonomi Internasional hlm. 383
tidak optimal karena distribusi sumberdaya lintas anggota tidak representatif dari distribusi sumberdaya di dunia. Misalnya, suatu negara anggota integrasi ekonomi relatif kaya akan kapital, sementara negara lain di luar anggota kaya akan tenaga kerja (labour) maka harga produk yang intesif labour negara di luar anggota integrasi lebih murah dibanding harga produk yang sama yang diproduksi oleh negara integrasi ekonomi. Tetapi karena produk dari luar anggota dikenai tarif, maka harga yang diterima konsumen anggota integrasi menjadi mahal. Akibatnya, terjadi pengurangan kesejahteraan bagi konsumen dalam kawasan integrasi ekonomi. Hal ini menimbulkan dampak diversi yang lebih besar. Cernat (2001) menilai bahwa sebagian besar kesepakatan perdagangan regional atau Regional Trade Arrangements (RTAs) di Afrika tidak menimbulkan diversi tetapi membawa kreasi yang lebih besar. 3.3. Pengaruh Perdagangan Internasional Konsep ekonomi berpandangan bahwa persaingan akan mengharuskan perusahaan-perusahaan yang bersaing dipasar akan menciptakan efisiensi, mengembangkan dan menguasai teknologi dan banyak melakukan inovasi. Apabila terwujud persaingan bebas secara internasional maka setiap perusahaan akan dapat memanfaatkan ”economies of scale”; perusahaan bisa menjadi besar dan produksi diperluas karena perdagangan bebas dapat memperluas pasar. Manfaat adanya ”economic of scale” yang diterima suatu negara disebut manfaat dinamis (dynamic gains). 7 Teori ekonomi telah membuktikan bahwa perdagangan bebas internasional akan memperbaiki efisiensi perekonomian suatu negara dan
7
Paul R. Krugman & Mauricen Stfeld, International Economics, Theory and Practics, London Scott, Foresman & Company, 1988,206
dunia, akan mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih baik, mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan akhirnya menaikan kesejahteraan ekonomi. Perdagangan bebas merupakan dasar pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan. Perdagangan yang terbuka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, perbaikan mikroekonomi pada efisiensi alokasi sumberdaya, dan peningkatan tingkat persaingan di antara industri. Selain itu, perdagangan juga dapat meningkatkan variasi produk intermediate dan barang-barang modal yang tersedia serta keterbukaan jaringan komunikasi untuk pertukaran metode produksi dan praktek bisnis. Integrasi ekonomi juga telah menunjukkan dampak yang penting pada pengurangan korupsi, peningkatan respons pemerintah dan peningkatan kualitas kebijakan ekonomi. Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut ditentukan oleh seberapa besar terjadinya kreasi dan diversi perdagangan. Apabila kreasi lebih besar dari diversi perdagangan maka kesejahteraan meningkat dan sebaliknya (Krugman and Maurice, 2003; Dunn and Mutti, 2000; Husted and Melvin, 2004). Selanjutnya, besar kecilnya kreasi perdagangan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Besaran atau ukuran ekonomi suatu kawasan. Meskipun tidak ada kriteria ukuran ekonomi yang optimal, tetapi semakin besar ukuran ekonomi sebuah kawasan akan semakin besar pasar yang tersedia sehingga semakin besar pula kemungkinan terciptanya kreasi perdagangan. 2. Struktur tarif awal (intial tariffs) yang berlaku di kawasan. Semakin tinggi tingkat tarif yang berlaku sebelum integrasi, semakin besar kemungkinan terciptanya kreasi perdagangan.
3. Perdagangan intra-kawasan sebelum adanya blok perdagangan. Kreasi perdagangan akan semakin besar apabila semakin tinggi perdagangan di antara negara-negara di dalam kawasan (perdagangan intra-kawasan), semakin besar kreasi perdagangan yang dapat diperoleh dari pembentukan blok perdagangan. 4. Tingkat substitusi produk. Semakin tinggi tingkat substitusi antara produkproduk yang dihasilkan di dalam kawasan dengan produk dari luar kawasan maka semakin besar kemungkinan terciptanya kreasi perdagangan. 5. Tingkat pembangunan ekonomi sebelum adanya blok perdagangan. Apabila tingkat pembangunan dan pendapatan nasional negara-negara di dalam kawasan hampir sama maka keuntungan ekonomi dari sebuah blok perdagangan regional akan semakin besar. Selain itu, proses integrasi ekonomi kawasan semakin mudah dilakukan. 6. Kedekatan geografis dan sarana transportasi. Integrasi ekonomi akan mudah dilakukan apabila negara-negara di sebuah kawasan secara geografis saling berdekatan karena biaya transportasi menjadi lebih rendah apalagi tersedia infrastruktur transportasi yang baik. 7. Struktur ekonomi komplemen atau kompetisi. Keberhasilan integrasi ekonomi kawasan juga ditentukan oleh struktur ekonomi negara-negara anggota. Kreasi perdagangan akan semakin besar apabila struktur ekonomi sebelum integrasi adalah berkompetensi tetapi selanjutnya berkomplementer setelah integrasi dilakukan. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum integrasi, negara-negara di dalam kawasan menghasilkan produk yang mirip akibat masih tingginya tingkat tarif dan banyaknya hambatan non-tarif. Setelah integrasi, semua jenis hambatan perdagangan dihapuskan maka industri yang lebih efisien akan
menggantikan yang kurang efisien dan produk yang dihasilkan lebih beragam. Industri akan berspesialisasi dan mencapai skala besar sehingga memberikan kesejahteraan yang lebih besar. Selain faktor-faktor ekonomi tersebut, keberhasilan integrasi ekonomi kawasan juga ditentukan oleh variabel non-ekonomi, seperti kesadaran negaranegara dalam kawasan untuk mencari solusi bersama guna memecahkan persoalan yang dihadapi, keinginan untuk mengakhiri konflik atau perselisihan di antara negara anggota dalam satu kawasan, dan keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. Selain itu, komitmen politik merupakan faktor penentu keberhasilan sebuah kerjasama ekonomi regional. Keberhasilan blok perdagangan regional memerlukan komitmen yang tinggi dari para pemimpin politik sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan. Hasil penelitian World Bank (2001) menunjukkan bahwa negara-negara NIEs seperti Singapura, Hongkong dan Korea yang mengembangkan kebijakan perdagangan yang lebih longgar terutama penurunan tarif secara berkala, telah meningkatkan volume perdagangan ketiga negara tersebut, dengan tingkat pertumbuhan ekspor manufaktur di atas 60 persen. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya perdagangan bebas maka arus barang dan jasa serta mobilitas faktor produksi dan adopsi teknologi semakin lancar melewati batas-batas negara. Hasil penelitian Tubagus dan Yose (1996) menunjukkan bahwa dampak perdagangan internasional yang semakin bebas akan menimbulkan perubahan kesejahteraan ekonomi, output sektoral, dan pola tenaga kerja di ASEAN. Dengan lebih
terbukanya
perdagangan
internasional
akan
diperoleh
tambahan
kesejahteraan ekonomi yang semakin tinggi bagi negara yang tergabung di dalam integrasi ekonomi. World Bank (2001) melaporkan bahwa langkah-langkah liberalisasi perdagangan internasional yang dijalankan sejumlah negara berkembang di kawasan Afrika, Amerika Latin dan Asia pascaputaran GATT mulai beranjak menjadi perekonomian industri baru dengan tingkat pertumbuhan ekspor dan impor manufaktur yang cukup tinggi dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat bagi yang sungguh-sungguh melaksanakannya. 3.4. Hubungan Investasi, Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Investasi merupakan faktor penting dalam kelangsungan pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan adanya investasi maka akan tercipta kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan pasar. Jika investasi turun, kegiatan produksi turun, dengan sendirinya output pun merosot. Jika output nasional turun maka pada gilirannya laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga akan menurun baik dalam angka persentase pertumbuhannya sendiri maupun, yang lebih penting, dalam kualitasnya. Kegiatan investasi ini terdiri atas investasi langsung (foreign direct investment, FDI) dan investasi portofolio. Investasi portofolio meliputi investasi dalam bentuk aset keuangan, seperti obligasi, saham dan sebagainya yang dimiliki oleh investor asing dan diinvestasikan ke dalam suatu negara. Sedangkan investasi langsung adalah investasi yang dilakukan pada pabrik, barang modal, tanah dan sebagainya, dengan melakukan kontrol terhadap investasi yang dilakukan.
Foreign Direct Investment (FDI) adalah kepemilikan pihak asing terhadap aset suatu negara sehingga mereka dapat melakukan pengawasan langsung terhadap penggunaan aset tersebut (Felianty, 2006). Negara penerima FDI tidak hanya menerima keuntungan berupa modal, tetapi juga akses terhadap teknologi, manajemen, pasar, international network, perubahan struktur dan export oriented. Sementara World Investment Report (1994) menyebutkan bahwa aliran FDI dari negara maju ke negara berkembang tergantung pada hubungan saling memengaruhi antara faktor ekonomi dan kebijakan pemerintah. Faktor ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi negara penerima FDI, potensi pasar yang tinggi, tenaga kerja yang dibutuhkan tersedia dalam jumlah yang cukup, ketersediaan infrastruktur yang lengkap dan mendukung serta apresiasi nilai tukar mata uang. Sedangkan kebijakan pemerintah yang berpengaruh adalah kebijakan pembangunan sektor swasta (private sector) yang tangguh, kebijakan pembaharuan ekonomi makro (broad economic), kebijakan melakukan liberalisasi perekonomian (economic liberalization), kebijakan melakukan swastanisasi (privatization) dan kebijakan mengintegrasikan hubungan regional (regional integration). Millberg (1999) dalam Karunia (2005) menyatakan bahwa FDI merupakan aktivitas kunci dalam aktivitas pembangunan perekonomian suatu bangsa karena FDI dapat memicu beberapa hal pokok seperti: (1) menciptakan efek promosi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (promote economic growth and development), (2) menciptakan penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat, (3) mempercepat penyerapan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas masyarakat, (4) dapat membantu penerobosan pasar
ekspor (access to export market), dan (5) mampu memberi efek positif pada neraca pembayaran. Selanjutnya, pendapat ekonom yang lain dalam menilai terjadinya aliran FDI dari suatu negara ke negara lain, yang dikenal dengan eclectic theory, menjabarkan hal pokok faktor yang menyebabkan aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya, yaitu: 1. Harus ada keunggulan kepemilikan (ownership advantage) dari perusahaan yang akan menanamkan modalnya. Keunggulan internal ini bersifat sangat spesifik untuk tiap perusahaan dan diperlukan sebagai kompensasi menjadi perusahaan asing di negara lain. Keunggulan spesifik ini dapat berupa monopoli atas suatu produk atau merek tertentu, proses produksi yang lebih efisien, keahlian manajemen dan pengetahuan yang lebih mengenai pasar atau teknik pemasaran. Faktor eksternal (negeri asal modal), seperti tingginya tingkat upah, energi yang semakin langka dan ketatnya regulasi mengenai lingkungan di dalam negeri, mendorong perusahan beroperasi di luar negeri. 2. Negara yang menjadi tempat investasi harus memiliki keunggulan-keunggulan lokasi untuk menarik calon investor asing agar menanamkan modalnya. Keunggulan lokasi ini dapat berupa potensi pasar yang besar, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang rendah, tenaga kerja yang murah, ketersediaan infrastruktur, melimpahnya sumberdaya alam, insentif yang menarik dan longgarnya peraturan mengenai pengendalian lingkungan. Keunggulan ini akan menjadi daya tarik bagi calon investor untuk mengeksploitasi potensi-potensi yang ada demi kepentingan bisnisnya.
Dalam teori produksi dijelaskan bahwa semua faktor produksi memberi sumbangan terhadap pertumbuhan output. Dengan demikian peningkatan output dapat diperoleh dari peningkatan investasi (akumulasi modal) dan peningkatan penyerapan tenaga kerja, dengan asumsi input lainnya tetap (ceteris paribus). Jadi, berapa besar perubahan pertumbuhan perekonomian akibat perubahan input dapat ditentukan. Teori ekonomi juga menjelaskan bahwa besarnya pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh pertumbuhan masing-masing input. Keseimbangan jangka panjang terjadi apabila laju pertumbuhan ekonomi sama dengan laju pertumbuhan barang modal dan laju pertambahan penyerapan tenaga kerja. Tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah laju pertumbuhan ekonomi lebih besar dari laju pertumbuhan modal dan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam teori perdagangan internasional, bahwa negara yang melakukan perdagangan internasional akan memperoleh gains from trade. Keuntungan tersebut dapat berupa peningkatan produksi barang dari faktor produksi yang melimpah, juga peningkatan konsumsi barang dan jasa yang tidak mempunyai faktor produksi yang tidak melimpah di negara tersebut. Jika suatu negara mengalami pertumbuhan maka pertumbuhan tersebut akan berdampak pada pola produksi yang ada di negara tersebut. Teori yang telah dikemukakan tersebut, menyatakan bahwa output total suatu negara merupakan fungsi dari kapital. Sedangkan teori lain menunjukkan bahwa pergerakan modal yang masuk ke suatu negara dapat meningkatkan output total negara tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Foreign
Direct Investment secara teori memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa adanya capital inflow ke suatu negara dapat memperbesar output total. Dengan adanya capital inflow ini dalam bentuk Foreign Direct Investmen maka kapital tersebut akan digunakan untuk memproduksi barang yang dapat berorientasi ekspor atau memproduksi barang yang dapat (menjadi) substitusi impor. Apa pun barang yang diproduksi akan berdampak positif pada perdagangan internasional. Pramadhani, Bissoondeeal, dan Driffield (2007) dalam studinya tentang FDI, Perdagangan dan Pertumbuhan, dengan menggunakan analisis causality menyimpulkan
bahwa
peningkatan
investasi
asing
di
Indonesia
akan
meningkatkan ekspor. Peningkatan ekspor juga akan menambah FDI yang masuk. Investasi asing juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku dan bahan penolong dalam proses produksi. Alguacil, Cuadros and Orts (2002) meneliti tentang hubungan FDI, ekspor industri manufaktur dan domestic performance di Meksiko. Dengan menggunakan kausalitas disimpulkan bahwa penelitian ini bukan hanya mendukung export led growth, tetapi juga membuktikan eksistensi FDI dan pertumbuhan. Ditemukan hubungan yang signifikan terkait pengaruh FDI terhadap output yang menunjukkan bahwa FDI dapat meningkatkan perekonomian di Meksiko. Adanya hubungan signifikan antara FDI terhadap ekspor membuktikan adanya keyakinan FDI led growth yang menggambarkan perusahaan-perusahaan asing di Meksiko berorientasi ekspor.
Riyadi (1998), melakukan penelitian dengan model ekonometrika, menemukan bahwa FDI inflow memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada sektor manufaktur dan sektor jasa. Sedangkan variabel-variabel ekonomi makro yang mempunyai hubungan positif dan signifikan yang memengaruhi pertumbuhan FDI inflow adalah investasi domestik dan impor. 3.5.
Pengaruh Kreasi dan Diversi Investasi ”Eclectic theory” dari Dunning (1977) menyatakan bahwa FDI adalah
suatu fungsi dari tiga kluster variabel, yakni: (1) spesifik perusahaan, (2) internalisasi, dan (3) keunggulan lokasional. Perusahaan harus memiliki spesifikasi perusahaan dengan keunggulan kepemilikan (ownership advantages) terhadap perusahaan lain dan harus dapat memanfaatkan keunggulan ini secara langsung
dibandingkan
advantages).
Selain
itu,
menjual
atau
perusahaan
menyewakannya harus
lebih
(internalization
profitabel
dengan
mengombinasikan keunggulan ini dengan memanfaatkan sedikitnya satu input faktor luar negeri sehingga produksi lokal dapat mendominasi ekspor (locational advantages). Jika tiga tipe insentif ini tidak terjadi, suatu MNC akan lebih baik mengekspor, melakukan licensing, franchising, dibandingkan melakukan investasi dalam bentuk investasi FDI. Pengaruh regionalisme terhadap FDI dapat dimasukkan dalam traditional electic model dimana perubahan pada kebijakan komersil eksternal akan memengaruhi keunggulan lokasional. Seperti yang dinyatakan, pengaruh integrasi regional terhadap FDI adalah bermakna ganda (ambiguous): di satu sisi, integrasi regional dapat memberi efek investment creation dan efek investment diversion
terhadap peningkatan FDI ke negara anggota melalui kesepakatan perdagangan preferensial. Di sisi lain, terdapat "tarif hopping" yang merupakan insentif bagi aliran FDI yang ada sebelum integrasi, dan akan terjadi penurunan capital outflow dalam bentuk FDI dari negara mitra (yaitu negara anggota dalam kesepakatan perdagangan preferensial) ketika tarif dihilangkan. Namun demikian, terdapat literatur empiris yang menguji pengaruh regionalisme terhadap FDI dalam konteks teori ini. Salah satu cara dalam mengintegrasikan investasi ke dalam model regionalisme ekonomi adalah menghubungkan diskriminasi dalam liberalisasi perdagangan dengan perubahan pada renumerasi faktor relatif, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan pada aliran investasi. Negara yang relatif berlimpah modal akan mengalami net inflow investasi dengan bunga yang relatif meningkat terhadap upah, dan sebaliknya negara yang relatif berlimpah tenaga kerja akan mengalami net capital outflow karena penurunan bunga modal relatif terhadap upah. Induksi variabel perdagangan dan pengaruh yang menyebabkan investasi telah diterapkan dalam model Dynamic Computational General Equilibrium (CGE). Namun, harga faktor relatif adalah salah satu determinan FDI dan yang lainnya seperti ukuran ekonomi, pendapatan per kapita, perubahan ekonomi di negara sumber dan penerima, jarak geografis antar negara, variabel yang terkait dengan kebijakan komersil, dan faktor keunggulan lokasional lainnya. Insentif renumerasi faktor relatif menunjukkan bahwa FDI akan mengalir dari negara dengan bunga relatif rendah ke negara dengan bunga yang relatif tinggi. Studi lain yang melihat pengaruh kawasan perdagangan regional terhadap pola FDI menggunakan teknik ad hoc, seperti mengidentifikasi keuntungan
struktural pada share FDI yang mungkin terkait dengan blok perdagangan telah dilakukan Kreinin and Plummer (2002) dan Blomstrom and Kokko (1997). Kreinin and Plummer (2002) menggunakan pendekatan ini untuk Uni Eropa dan NAFTA sedangkan Blomstrom dan Kokko (1997) menggunakannya untuk kawasan perdagangan bebas AS-Kanada, NAFTA, dan MERCOSOR. Studi yang dilakukan Kreinin and Plummer (2002) menemukan tidak adanya bukti diversi investasi dan menemukan sejumlah bukti kreasi investasi. Sementara Blomstrom and Kokko (1997) menemukan bahwa pengaruh regionalisme terhadap arus FDI tergantung pada pengaruh kesepakatan terhadap lingkungan kebijakan komersil dan keunggulan lokasional dalam negara yang berintegrasi. Namun, dalam studi ini cakupanya masih terbatas yaitu tidak berusaha memodelkan skenario kontrafaktual atau tidak menggunakan pendekatan ekonomoterika pada determinan FDI. Selain kedua studi tersebut, Pain (1996) juga melakukan studi terkait pengaruh perdagangan regional terhadap pola FDI. Studi yang dilakukan Pain (1996) menggunakan panel-data disagregasi untuk mengestimasikan determinan investasi Inggris di Uni Eropa dan menemukan bukti dampak positif yang signifikan secara statistika dari EC-92 (Single Market Program) terhadap outflow FDI ke negara EU lainnya, dan juga terjadi diversi investasi dari Amerika Serikat. Akan tetapi, hasilnya hanya didasarkan pada negara sumber (Inggris) dan satu (negara) non-anggota (Amerika Serikat). 3.6 Kebijakan Doing Business dalam Investasi Krisis keuangan global telah memunculkan minat baru terhadap penataan peraturan serta penyelenggaraan fungsi kelembagaan untuk mempermudah
jalannya perekonomian. Peraturan dan kelembagaan di bidang investasi dan usaha yang efektif dapat mendukung proses penyesuaian perekonomian. Investor membutuhkan kemudahan untuk mendirikan dan menutup usaha, serta fleksibilitas dalam pengerahan kembali sumberdaya yang mereka miliki. Kejelasan hak atas properti dan penguatan prasarana pasar yang dapat mendorong aliran investasi merupakan prasyarat yang harus dibenahi. Menjawab tantangan tersebut, World Bank sejak tahun 2002, memulai proyek doing business. Salah satu pemikiran yang melandasi doing business adalah bahwa kegiatan ekonomi perlu didukung oleh kebijakan yang baik. Hal tersebut mencakup peraturan yang menciptakan hak atas properti yang jelas dan mengurangi biaya penyelesaian sengketa, yang menyebabkan interaksi ekonomi menjadi lebih mudah diramal, dan peraturan yang memberi perlindungan pokok terhadap penyalahgunaan kepada para mitra kontrak. Tujuannya adalah mendorong perancangan kebijakan-kebijakan yang efisien, dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkannya dan dapat dilaksanakan dengan mudah. Sejumlah indikator doing business juga memberikan skor lebih tinggi bagi negara yang memiliki lebih banyak peraturan. Contohnya, berkenaan dengan ketentuan pengungkapan informasi yang lebih tegas untuk transaksi-transaksi dengan pihak terkait. Beberapa indikator lain memberikan skor yang lebih tinggi untuk negara yang mengambil langkah penyederhanaan dalam pelaksanaan kebijakan, seperti dalam hal proses formal pendirian usaha melalui penyelenggaraan layanan terpadu. Dalam indikator waktu dan pergerakan serta perkiraan biaya direkam berdasarkan daftar biaya resmi, yang dapat diberlakukan. Metode pengukuran
yang dipergunakan oleh doing business dilandasi pada karya De Soto (2000) yang menerapkan pendekatan waktu dan pergerakan. De Soto menggunakan pendekatan tersebut tahun 1980-an untuk menunjukkan hambatan yang dihadapi dalam mendirikan pabrik garmen di daerah pinggiran kota Lima, Peru. Dari data statistik pada Tabel 7, terlihat gambaran bahwa daya saing investasi ASEAN sangat bervariasi. Singapura menempati urutan pertama selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Sementara Filipina dan Indonesia menempati posisi yang sangat tertinggal masing-masing urutan ke 122 dan 144 pada tahun 2010. Tabel 7. Perbandingan Tingkat Kemudahan Berbisnis di Beberapa Negara Asia Negara
Peringkat 2006 2007 2008 Indonesia 131 135 123 Malaysia 25 25 24 Filipina 121 126 133 Singapura 2 1 1 Thailand 19 18 15 China 108 93 83 India 138 134 120 Jepang 12 11 12 Vietnam 98 104 91 Korea Selatan 23 23 30 Sumber : World Bank, Doing Business 2008, 2009, 2010.
2009 129 20 140 1 13 83 122 12 92 23
2010 122 23 144 1 12 88 133 15 93 19
Tabel 8 menyajikan peringkat komponen Doing Business tahun 2009 dan 2010. Terlihat bahwa Singapura selalu menduduki peringkat teratas, terutama dalam perekrutan pegawai dan perdagangan lintas batas. Malaysia juga menempati peringkat tertinggi dalam hal kemudahan mendapatkan kredit. Sedangkan Indonesia mendapatkan peringkat buruk dalam hal mendirikan usaha,
perekrutan pegawai, perlindungan kontrak dan penutupan bisnis. Demikian halnya dengan Filipina. Tabel 8. Peringkat Komponen Doing Business Tahun 2009 dan 2010 Komponen
Indonesia
Negara Filipina
Malaysia
Singapura
Thailand
2009
2010
2009
2010
2009
2010
2009
2010
2009
2010
173
161
76
23
155
162
4
4
12
55
57
61
105
109
106
111
2
2
11
13
Perekrutan Pegawai
150
149
54
61
114
115
1
1
47
52
Pendaftaran Properti Mendapat-kan Kredit Perlindung-an Bagi Investor
110
95
81
86
101
102
15
16
5
6
109
113
1
1
125
127
4
4
68
71
53
41
4
4
127
132
2
2
11
12
Membayar Pajak
119
127
21
24
126
135
5
5
82
88
Mendirikan Usaha Izin Mendirikan Bangunan
Perdagang-an Lintas Batas Perlindung-an Kontrak
40
45
31
35
66
68
1
1
10
12
142
146
60
59
116
118
16
13
24
24
Penutupan Bisnis
141
142
57
57
153
153
2
2
48
48
Sumber : World Bank, Doing Business, 2010 (diolah). 3.7.
Inter Industry Trade dan Intra Industry Trade Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur tingkat integrasi
adalah dengan menggunakan Indeks Intensitas Perdagangan (Trade Intensity Index, TII). Tingkat integrasi kedelapan sektor prioritas di ASEAN dapat dianalisis dengan menggunakan TII, diperlukan evaluasi tentang perkembangan perdagangan antarindustri yang berbeda (inter-industry trade) dan perdagangan di antara industri yang sama atau sejenis (intra-industry trade). Sejak tahun 1980, tren perdagangan internasional mulai bergeser ke perdagangan produk yang berasal dari industri yang sama (intra-industry trade) baik pada negara maju maupun negara industri baru. Intra-industry trade terjadi bukan hanya karena adanya perbedaan teknologi atau faktor produksi yang melimpah di suatu negara sehingga memiliki keunggulan komparatif, tetapi juga
karena pertimbangan skala ekonomi (Krugman and Maurice, 2003). Dengan adanya skala ekonomi, output akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar daripada peningkatan input. Akibatnya, perusahaan menjadi lebih efisien karena biaya produksi rata-rata menurun sehingga akan melakukan spesialisasi pada produk tersebut. Penyebab terjadinya intra-industry trade adalah: 1. Industrinya merupakan industri weight gaining, yang berarti bahwa produk tersebut memiliki nilai tambah seiring dengan bertambahnya kegiatan produksi. Terdapat suatu rangkaian produksi atau pasokan faktor produksi (supply chain) dimana negara yang memiliki keunggulan komparatif tertentu akan berspesialisasi pada suatu mata rantai produksi tersebut. 2. Cara produksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional (Multi National Corporation, MNC), biasanya berasal dari negara maju yang mengalokasikan segmen produksinya yang bersifat padat karya ke negara berkembang untuk mendapatkan keuntungan dari upah buruh yang lebih murah. Negara berkembang yang memiliki keunggulan komparatif berupa upah buruh yang murah melakukan kegiatan produksi berupa perakitan (assembly) dari komponen suku cadang yang berasal dari MNC. Produknya di ekspor kembali ke negara MNC untuk di jual di pasar domestik negara tersebut. 3. Produk tersebut merupakan produk musiman yang (memiliki) perbedaan siklus musim antara negara-negara yang berdagang. Sebagai akibatnya, suatu negara akan memproduksi dan mengekspor produk pada satu musim, kemudian pada suatu musim yang lain negara tersebut akan mengimpor produk untuk memenuhi permintaan negara.
4. Produk tersebut harus diproduksi secara simultan, misalnya industri minyak dan turunannya. Produksi dalam industri minyak dan turunannya biasanya dilakukan melalui distilasi/penyulingan bertingkat dan kapasitas produksi untuk masing-masing produk turunannya tidak sama sehingga suatu negara yang memiliki kapasitas berlebih untuk satu produk akan mengekspor produk tersebut ke negara lain. Sebaliknya, akan mengimpor produk yang kapasitas produksinya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan domestik. 5. Adanya entrepot trade yang biasanya terjadi pada produk yang di impor bukan untuk konsumsi domestik, melainkan untuk di ekspor kembali (re-ekspor). Negara tersebut akan memberi suatu jasa tertentu, misalnya packaging dan labeling, sebelum produk tersebut di re-ekspor. Rumus yang lazim digunakan dalam perhitungan indeks intra–industry trade adalah Gruebel–Lyold Index: ……………………………………………………(1) dimana: : indeks intra-industry trade produk k antara negara i ke negara j. : ekspor produk k dari negara i ke negara j : impor produk k oleh negara i dari negara j. Dengan mengikuti cara perhitungan tersebut, perkembangan tingkat integrasi perdagangan di ASEAN selama 10 tahun terakhir, khususnya pada delapan sektor prioritas, didominasi oleh sektor elektronik. Hal ini ditunjukkan oleh indeks IIT yang tinggi, yaitu di atas 50, dan melibatkan paling banyak negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dibandingkan dengan industri lainnya. Artinya, produk elektronik yang dihasilkan oleh negara-
negara ASEAN di proses di antara negara ASEAN itu sendiri, atau dapat dikatakan bahwa ASEAN telah menjadi regional production base untuk produk tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa perdagangan ASEAN di dominasi oleh produk elektronik. Industri lainnya yang terintegrasi cukup tinggi dan melibatkan beberapa negara ASEAN adalah industri perikanan (Malaysia, Filipina, dan Singapura) dan produk karet (Indonesia, Malaysia, dan Filipina). 3.8. Pelajaran dari Integrasi Ekonomi Eropa Dalam upaya memperdalam integrasi ekonomi ASEAN maka referensi utama yang paling dapat digunakan adalah integrasi ekonomi Eropa yang dinilai sukses dalam proses dan implementasinya. 3.8.1. Masyarakat Ekonomi Eropa Proses integrasi yang terjadi di Uni Eropa sering dijadikan model bagi keberhasilan integrasi ekonomi di dunia. Tetapi pembentukan Uni Eropa bukan pekerjaan mudah dan cepat. Prosesnya berlansung cukup lama, dimulai oleh gagasan tentang perlunya dibentuk Dewan Eropa 1946 di Swiss. Setelah perang dunia II, keinginan mendirikan Uni Eropa semakin meningkat, didorong oleh keinginan untuk membangun kembali Eropa dan menghindari kemungkinan perang. Karena itu, dibentuklah European Coal and Steel Community (ECSC) oleh Jerman, Perancis, Italia, dan negara-negara Benelux. Tujuan ECSC Treaty adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan suatu pasar bersama dimana produk, pekerja, dan modal dari sektor batu bara dan baja dari negara-negara anggotanya dapat bergerak
dengan bebas. ECSC mulai
diberlakukan tanggal 23 Juli 1952 sampai tahun 2002.
Dalam rangka memperkuat Uni Eropa, pada tahun 1957 di Roma ditandatangani European Atomic Energy Community (EAEC), yang lebih dikenal dengan Euratom dan European Economic Community (EEC) atau EEC Treaty. Tujuan utama Treaty of Rome adalah penciptaan suatu pasar bersama di antara negara-negara anggotanya melalui; pertama, pencapaian suatu Custom Unions yang ditandai dengan penghapusan customs duties, import quotas dan berbagai hambatan perdagangan lainnya di antara negara anggota, serta disisi lain memberlakukan suatu Common Custom Tariff. Perjanjian tersebut mengharuskan para anggota untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) menurunkan tarif, kuota, dan hambatan lain pada perdagangan intranegara Eropa, (2) menaati tarif eksternal umum di luar EEC, (3) menjalankan aliran faktor produksi dalam EEC, (4) mengharmonisasikan kebijakan pajak, moneter, keamanan dan sosial, dan (5) menentukan kebijakan di sektor pertanian, transportasi dan persaingan industri. Perkembagan selanjutnya menunjukkan semakin terjadinya konvergensi antara perekonomian Eropa sehingga semakin perlu untuk membatasi fluktuasi nilai tukar antar mata uang mereka. Dewan Eropa akhirnya menyepakati secara lebih nyata penyatuan Eropa dalam bidang ekonomi, moneter dan politik di Maastrich, Belanda pada tahun 1992. Sejak Kesepakatan Maastrich tidak ada lagi pembatasan lalu lintas barang maupun orang di antara negara-negara Uni Eropa. Setiap orang boleh bekerja di mana saja yang mereka inginkan. Begitu pula dengan barang-barang yang diproduksi bebas diperdagangkan dan melintasi batas negara di antara negaranegara Eropa. Komisi MEE telah merumuskan kebijakan hubungan luar negeri yang komprehensif dalam rangka pasar tunggal Eropa tahun 1993. Empat policy
issues yang telah disinggung adalah: (1) Eropa tahun 1993 tetap menganut sistem ekonomi/perdagangan terbuka, (2) MEE tidak akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional yang diatur dalam GATT, (3) keuntungan ekonomi yang telah diperoleh tidak akan diberikan secara unilateral kepada mitra dagang tanpa mengindahkan prinsip resiprositas, dan (4) pembatasan impor tetap dilakukan pada beberapa bidang sensitif. 3.8.2. Pasar Tunggal Eropa Untuk memulai pasar tunggal Eropa ada tiga rumusan pokok yang disepakati secara bertahap yaitu penghapusan hambatan fisik, penghapusan hambatan teknis, dan penghapusan hambatan fiskal. 1. Penghapusan hambatan fisik meliputi arus lalu lintas barang, penduduk, sarana transportasi serta berbagai masalah yang menyangkut peraturan, prosedur, bea cukai, pemeriksaan imigrasi, urusan paspor dan sebagainya. 2. Penghapusan berbagai hambatan teknis meliputi lalu lintas barang, penduduk, modal, serta hambatan hukum dan administrasi. 3. Penghapusan hambatan fiskal adalah penciptaan kebijakan fiskal untuk mendekatkan perbedaan tingkat pajak di antara sesama negara anggota. Meskipun perwujudan Pasar Tunggal Eropa (PTE) sudah terlaksana pada tanggal 1 Januari 1993, lalu lintas barang belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal tersebut terutama disebabkan oleh sebagian besar direktif itu masih menunggu pengesahan di negara anggota masing-masing. Selain itu, prinsip saling mengakui dan harmonisasi standar barang dan jasa yang diperdagangkan belum seluruhnya dipatuhi perusahaan di negara-negara anggota.
Terciptanya PTE meniadakan semua pengawasan dan formalitas pada batas internal ME, yang mempunyai efek segmentasi pasar yaitu meniadakan berbagai rintangan dan perdagangan dan produksi non tarif, dengan penciptaan PTE diharapkan akan memberi empat efek utama: (1) pengurangan yang mencolok dalam biaya, sebagai pemanfaatan yang lebih efisien dari berbagai macam skala ekonomi, (2) terciptanya efisiensi yang lebih baik dalam perusahaan dan tercapainya rasionalisasi merupakan akibat dari pasar yang kompetitif, (3) terjadinya penyesuaian antar industri atas dasar gerak yang lebih leluasa dari keunggulan komparatif dalam suatu pasar yang terintegrasi, dan (4) akhirnya terjadi arus inovasi dan terciptanya proses dan produk baru yang didorong oleh dinamika pasar internal Eropa yang besar. 3.8.3. Sistem Moneter Eropa European Monetary System (EMS) atau Sistem Moneter Eropa merupakan tahapan terakhir bagi terciptanya sebuah masyarakat Eropa yang bersatu. Selama delapan belas tahun antara tahun 1970 hingga 1988, telah terjadi berbagai peristiwa, di antaranya European Community telah bertambah anggotanya, dengan bergabungnya Denmark, Irlandia, Inggris, Yunani, Portugal, dan Spanyol. Di tahun 1979 dibentuk European Monetary System (EMS) yang menciptakan sistem nilai tukar tetap di antara negara anggota kecuali untuk mata uang Inggris, Poundsterling. Keberadaan EMS membantu stabilitas nilai tukar mata uang negara anggota dan mendorong negara anggota untuk menetapkan kebijakan yang ketat yang memungkinkan mereka menjaga solidaritas di antara para anggota dan mendisiplinkan perekonomian mereka. Wacana ini selanjutnya menjadi agenda
dalam Single European Act pada tahun 1987 yang mengarah pada pasar bebas untuk barang, jasa, dan modal yang diharapkan akan terwujud tahun 1993. EMS yang disampaikan Komite Delor terdiri atas tiga hal: 1. European Currency Unit (ECU) atau satuan mata uang Eropa, akan menjadi satu-satunya alat transaksi di antara negara-negara anggota ME. 2. Setiap negara anggota harus menyerahkan 20 persen cadangan devisanya untuk disimpan di European Monetary Coorporation. 3. Hal paling utama adalah bahwa setiap negara anggota wajib menjaga nilai tukar yang ditetapkan, yaitu mengikuti aturan ERM hanya diperkenankan untuk berfluktuasi +/- 2.25 persen, kecuali yang ditetapkan lain. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan EMU, proses integrasi menuju EMU berjalan secara evolusioner, terdiri atas (Felianty, 2006): 1. Fase pertama pembentukan European Monetary Union (EMU) memutuskan realisasi tahap pertama economic and monetary union dimulai pada 1 Juli 1990. Pada prinsipnya tahap pertama ini akan menghapus seluruh restriksi pergerakan modal di antara negara anggota. Tahap pertama ini akan mengidentifikasi segala permasalahan dan berakhir pada tahun 1993. 2. Fase kedua yaitu pendirian EMI dan EC. Fase kedua, dimulai dengan didirikannya European Monetary Institute (EMI) pada tanggal 1 Januari 1994. EMI memiliki dua tanggung jawab, yaitu: (1) memperkuat kerjasama antar bank sentral dan koordinasi kebijakan moneter, dan (2) melakukan persiapan untuk mendirikan Bank Sentral Eropa, yang memegang kendali kebijakan moneter dan menciptakan mata uang tunggal.
3. Fase ketiga yaitu penetapan nilai tukar tetap. Tanggal 1 Januari 1999 dimulai tahap ketiga, atau tahap terakhir dalam pembentukan EMU, yang ditandai dengan penetapan nilai tukar yang tetap di antara 11 mata uang negara anggota yang bergabung dalam monetary union dan pelaksanaan kebijakan moneter adalah tanggung jawab ECB. Sehubungan dengan syarat yang ditetapkan dalam Maastricht Treaty tersebut maka dirancang kriteria untuk mencapai tingkat sustainibilitas konvergensi yang tinggi. Kriteria konvergensi ini adalah: 1. Kriteria nilai tukar mata uang: nilai tukar mata uang tiap negara anggota harus berfluktuasi pada margin kurang-lebih 2.5 persen, selama dua tahun selama masa pengujian. Sebuah negara anggota tidak dapat berinisiatif sendiri dalam melakukan devaluasi mata uangnya terhadap mata uang negara anggota lain. 2. Kriteria inflasi: tingkat inflasi rata-rata negara anggota tidak boleh lebih dari 1.5 persen di atas tingkat inflasi rata-rata dari tiga negara anggota yang memiliki indikator tingkat inflasi rata-rata yang terbaik. 3. Kriteria suku bunga: tingkat suku bunga jangka panjang rata-rata (obligasi pemerintah atau sejenisnya) negara anggota tidak boleh lebih dari 2 persen di atas tingkat suku bunga jangka panjang rata-rata tiga negara anggota yang memiliki kinerja terbaik pada indikator tingkat suku bunga jangka panjang. 4. Kriteria keuangan publik: defisit anggaran tiap negara anggota tidak boleh
lebih dari 3 persen dari GDP.
3.8.4. Mata Uang Tunggal Eropa
Mulai tanggal 1 Januari 1999 negara anggota Uni Eropa memberlakukan mata uang tunggal, yaitu Euro. Ada tiga alasan yang menyebabkan Eropa menggunakan mata uang tunggal. Pertama, satu mata uang dipandang sebagai persyaratan utama untuk memperlancar perdagangan dan investasi di antara negara Uni Eropa. Kedua, mata uang tunggal diyakini akan memberi suara yang lebih kuat bagi Eropa dalam menghadapi Amerika Serikat pada perekonomian global. Ketiga, mata uang tunggal akan memperkuat integrasi politik yang akan menghindarkan terjadinya kembali perang di Eropa seperti pada masa lalu. Kriteria negara anggota MEE untuk dapat bergabung dalam satu mata uang Euro adalah sebagai berikut: (1) mempunyai inflasi tidak lebih dari 1.5 persen, (2) suku bunga jangka panjang tidak lebih tinggi dari 2 persen, (3) defisit anggaran pemerintah tidak lebih tinggi dari 3 persen terhadap GDP, (4) utang pemerintah tidak boleh lebih dari 60 persen terhadap GDP, (5) nilai tukar stabil dalam Sistem Moneter Eropa, (6) Bank Sentral nasional yang independen, (7) tidak boleh membayar defisit anggaran dengan mencetak uang, (8) tidak ada dana talangan untuk membayar uang yang berlebihan, dan (9) institusi keuangan tidak dapat dibujuk untuk membayar utang pemerintah. Keuntungan yang diperoleh dari pemberlakuan Euro adalah harga yang lebih rendah sebagai akibat persaingan dan transparansi harga di antara negara anggota. Harga pada berbagai negara dapat dibandingkan sehingga barang dan jasa menjadi lebih murah. Akibat pemberlakuan suatu mata uang itu adalah perdagangan intra-Uni Eropa akan bertambah besar. Euro sendiri tidak akan menyelesaikan masalah yang kini dihadapi Eropa, tetapi Euro yang stabil
membuat ekonomi Uni Eropa menjadi lebih kuat. Karena hilangnya gejolak Euro akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil. 3.9. Studi Empiris Terdahulu Studi yang dilakukan Kreinin and Plummer (2008) yang menggunakan model gravity yang diperluas (augmented model gravity) untuk menangkap pengaruh dari integrasi ekonomi regional terhadap aliran FDI pada EU, NAFTA, MERCOSUR, dan ASEAN, menghasilkan tiga kesimpulan penting, yakni: (1) integrasi regional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap FDI, yang merupakan kombinasi dari efek kreasi dan diversi investasi; (2) efek diversi investasi terjadi pada beberapa kasus, dan dengan demikian perlu mendapatkan perhatian, khususnya di antara negara berkembang yang bukan merupakan bagian dari anggota regional dengan negara maju; dan (3) FDI bertindak sebagai substitusi untuk perdagangan, meskipun pada beberapa kasus bersifat komplemen bagi perdagangan. Studi Sharma and Chua (2000) menyimpulkan bahwa perdagangan di ASEAN meningkat sesuai dengan ukuran perekonomian, dan integrasi ekonomi ASEAN
tidak
meningkatkan
perdagangan
intra-ASEAN.
Namun,
pada
kenyataannya peningkatan pada perdagangan negara ASEAN terjadi karena perdagangan dengan negara-negara APEC. ASEAN dapat menghasilkan suatu keuntungan lebih besar dalam perdagangan dengan pengurangan hambatan perdagangan secara unilateral dan multilateral di antara anggota maupun dengan negara di kawasan Asia Pasifik. Cernat (2001) melakukan studi tentang pengaruh kesepakatan perdagangan pada negara-negara berkembang. Model yang digunakan adalah model gravity
dengan melibatkan dua variabel dummy intra-RTA dan ekstra-RTA yang dianggap menggambarkan dampak diversi dan dampak kreasi dari integrasi ekonomi. Dalam studi ini disimpulkan bahwa pengaruh kreasi integrasi ekonomi RTAs bagi negara berkembang lebih besar dibanding dampak diversi. Begitu pula integrasi ekonomi UE, AFTA, COMESA, SADC menimbulkan pengaruh kreasi. MERCOSUR, Andean Community, ECOWAS menciptakan pengaruh diversi, dan NAFTA dan CRICOM memberikan kesimpulan yang tidak jelas. Kim, et al. (2003) meneliti faktor-faktor yang menentukan pola perdagangan bilateral dengan menggunakan persamaan model gravity dinamis pada 10 negara Uni Eropa. Kesimpulan mereka menunjukkan bahwa masuknya FDI pada industri-industri skala besar akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekspor yang tinggi dibanding dengan impor di dalam industri sektor ini dan sebaliknya, tingkat pertumbuhan pendapatan secara relatif menyebabkan tingginya pertumbuhan impor dari ekspor pada sektor makanan dan pertanian. Lee and Shin (2005) melakukan penelitian mengenai integrasi regional Asia Timur. Hasil penelitian mereka mengindikasikan bahwa bentuk RTA antara negara yang diperkirakan secara geografis berdekatan (diukur oleh jarak atau border) maka secara signifikan perdagangan akan meningkat di antara negaranegara anggotanya. Mereka juga menemukan bahwa letak geografis akan memberi kontribusi terhadap peningkatan perdagangan antara negara dan rest of the world, dan lebih lanjut menyatakan bahwa RTA Asia Timur sepertinya dapat menciptakan (creation) tambahan perdagangan antara negara anggota tanpa mengurangi perdagangan dari non-anggota.
Frankel (1997) menemukan koefisien kreasi perdagangan integrasi ekonomi ANDEAN negatif dan tidak signifikan untuk tahun 1960-an dan 1970-an dan positif kreasi perdagangan tahun 1992. Sementara, Amjadi dan Winters (1997) meneliti integrasi ekonomi MERCOSUR menyimpulkan bahwa dengan adanya integrasi ekonomi maka transportation cost perdagangan masing-masing anggota lebih rendah sehingga memperoleh manfaat net welfare bagi anggota MERCOSUR. Studi lain yang fokus pada NAFTA menemukan bahwa efek perdagangan NAFTA mixed dan tidak signifikan untuk extra trade dan intra trade (Wall, 2000; Krueger, 1999). Robert (2004) menggunakan model gravity untuk menjelaskan FTA CinaASEAN (CAFTA). Estimasi dilakukan dengan teknik pendugaan OLS. Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa ukuran ekonomi (GDP) dan jarak antara negara secara signifikan memengaruhi perdagangan antara Cina dan ASEAN. Dalam model ini, biaya perdagangan atau biaya transport diproksi dengan jarak antara, yang menyatakan bahwa semakin jauh jarak antara negara anggotanya maka tingkat perdagangan antara negara anggotanya akan menurun. Glick and Rose (2001) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh currency union terhadap perdagangan. Estimasi model gravity dilakukan dengan teknik pooled, random, dan fixed effect. Hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien currency union (CU) yang diproksi dengan variabel dummy, dimana nilai CU = 1 jika negara menggunakan mata uang yang sama, dan CU = 0 untuk yang lainnya. Hasilnya mengindikasikan bahwa negara yang berdagang dengan mitra dagangnya yang menggunakan mata uang bersama masing-masing dapat meningkatkan volume perdagangan untuk masing-masing negara.
Hasil penelitian Wiranta (1996) mengenai perkembangan perdagangan di kawasan ASEAN dan pengaruhnya terhadap Indonesia menyimpulkan bahwa perdagangan kawasan dengan dunia luar memperlihatkan peningkatan yang cukup cepat, namun perdagangan intra-ASEAN meningkat jauh lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama ekonomi kawasan memperlihatkan hasil yang positif dalam meningkatkan perdagangan intra-ASEAN meskipun lebih kecil dibanding perdagangan ekstra-ASEAN. Studi yang dilakukan oleh Tubagus dan Yose (1996) tentang liberalisasi perdagangan dunia dan bagaimana manfaatnya bagi ASEAN, menunjukkan bahwa dengan lebih terbukanya liberalisasi perdagangan internasional akan diperoleh tambahan kesejahteraan ekonomi yang semakin tinggi. Negara-negara yang bergabung dalam APEC dan AFTA akan mendapatkan manfaat tambahan dari liberalisasi, tapi tanpa bergabung dengan WTO keuntungannya akan sedikit saja. Selain itu, Lapipi (2004) menemukan bahwa efek integrasi ekonomi terhadap volume perdagangan intra-ASEAN relatif kecil dibandingkan efek integrasi ekonomi APEC terhadap perdagangan negara ASEAN. Keterlibatan anggota ASEAN dalam integrasi ASEAN belum memberikan efek kreasi, namun keterlibatannya dalam integrasi ekonomi APEC telah memberikan efek kreasi. Bussiere, Fidmurc and Schantz (2005) meneliti tentang integrasi perdagangan dari Central and Eastern European Countries (CEES) dengan menggunakan model gravity. Data yang digunakan adalah time series dan crosssection yang digabung jadi pooled data. Datanya dimulai dari tahun 1980-2003. Hasilnya menunjukkan hasil konvergen ke arah tingkat perdagangan normal karena dekatnya letak geografis mereka dengan penggunaan area Euro dan juga
karena tingkat GDP mereka yang lebih kecil. Negara-negara tersebut secara alami memiliki peran yang penting terhadap share perdagangan Uni Eropa. Carillo dan Li (2002) melakukan penelitian menggunakan model persamaan gravity untuk menjelaskan pengaruh Andean Community (AC) dan MERCUSOR terhadap perdagangan intra-region dan intra-industri pada periode 1980-1997. Hasilnya menunjukkan market size dan distance, AC Preferential Trade Area (PTA) memiliki pengaruh signifikan terhadap kedua produk diferensiasi dan produk pilihan, terutama pada barang-barang capital intensive. Sebaliknya, PTA Mercusor hanya memiliki pengaruh terhadap kapital intensif sub-kategori dari produk-produk pilihan yang diteliti. Beberapa studi tersebut menyimpulkan bahwa integrasi ekonomi memberi pengaruh pada peningkatan volume perdagangan, peningkatan produksi, peningkatan efisiensi, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan daya saing dan penurunan cost. Analisis kualitatif Frankel and Rose (1996) dalam penelitiannya yang menggunakan data dari 21 negara industri menemukan bahwa semakin tinggi level bilateral trade, akan semakin besar korelasi dari siklus bisnis antara negara. Ditemukan pula bahwa di 10 negara Asia Timur, fluktuasi perekonomian lebih terkonsentrasi ketika ketergantungan perdagangan semakin besar di suatu wilayah. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi volume perdagangan maka semakin mudah untuk membentuk Currency Union. Shin and Wang (2003) menemukan bahwa intra industry trade adalah jalur utama dari sinkronnya siklus bisnis Korea dan 11 negara di Asia lainnya, walaupun peningkatan dalam perdagangan itu sendiri belum tentu diikuti dengan peningkatan dalam koherensi siklus bisnis.
Dalam kaitan intra industry trade sebagai prasyarat Currency Union, Arif and Tan (1992) menemukan bahwa didalam perdagangan antar negara ASEAN pangsa intra industry trade sebesar 96 persen dan inter industry trade hanya sebesar 4 persen. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Lapipi (2004) yang menemukan hal yang sama bahwa perdagangan di ASEAN didominasi oleh fenomena intra industry trade sebesar 96 persen. Pramadhani, Bissoondeeal, dan Driffield (2007) dalam studinya tentang FDI, perdagangan dan pertumbuhan, dengan menggunakan analisis causality mengatakankan
bahwa
peningkatan
investasi
asing
di
Indonesia
akan
meningkatkan ekspor, peningkatan ekspor juga akan menambah FDI yang masuk. Investasi asing juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku dan bahan penolong dalam proses produksi. Alguacil, Cuadros and Orts (2002) meneliti hubungan FDI, ekspor industri manufaktur dan domestic performance di Meksiko. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan hubungan yang signifikan antara pengaruh FDI terhadap output yang menunjukkan bahwa FDI dapat meningkatkan perekonomian di Meksiko. Adanya hubungan signifikan antara FDI terhadap ekspor membuktikan adanya keyakinan FDI led growth yang menggambarkan perusahaan-perusahaan asing di Meksiko berorientasi ekspor. Riyadi (1998) melakukan penelitian dengan model ekonometrika, menemukan bahwa FDI inflow memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni sektor manufaktur dan sektor jasa. Sedangkan variabel-variabel ekonomi makro yang mempunyai hubungan positif dan
signifikan yang memengaruhi pertumbuhan FDI inflow adalah investasi domestik dan impor. Studi lain yang melihat pengaruh kawasan perdagangan regional terhadap pola FDI telah dilakukan Kreinin and Plummer (2002) menggunakan pendekatan ini
untuk
Uni
Eropa
dan
NAFTA.
Blomstrom
dan
Kokko
(1997)
menggunakannya untuk kawasan perdagangan bebas Amerika Serikat-Kanada, NAFTA, dan MERCOSOR. Kreinin and Plummer (2002) menemukan tidak adanya bukti diversi investasi dan menemukan sejumlah bukti kreasi investasi. Sementara, Blomstrom dan Kokko (1997) menemukan bahwa pengaruh regionalisme terhadap arus FDI tergantung pada pengaruh kesepakatan terhadap lingkungan kebijakan komersil dan keunggulan lokasional dalam negara yang berintegrasi. Studi ini cakupannya masih terbatas, yaitu tidak berusaha memodelkan skenario kontra faktual atau tidak menggunakan pendekatan ekonomoterika pada determinan FDI. Pain (1996) menggunakan panel-data disagregasi untuk mengestimasikan determinan investasi Inggris di Uni Eropa dan menemukan bukti pengaruh positif yang signifikan secara statistika terhadap outflow FDI ke negara Uni Eropa lainnya dan terjadi diversi FDI dari Amerika Serikat. Hasilnya hanya didasarkan pada negara sumber Inggris dan satu lagi Amerika Serikat. 3.10.
Kerangka Pemikiran Disertasi Integrasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan internasional adalah cerita
keberhasilan dan kesuksesan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan ekonomi global tersebut berlangsung sangat cepat dan terintegrasi, mendorong peningkatan efisiensi ekonomi untuk memperoleh daya saing yang
tinggi. Hambatan dalam kegiatan ekonomi mulai dikurangi bahkan dihilangkan terutama dalam kegiatan investasi dan perdagangan terhadap barang maupun jasa, dengan membentuk World Trade Organization (WTO). Pada awalnya WTO diperkirakan akan berjalan mulus, ternyata dalam perkembangannya mengalami berbagai kendala dan kegagalan. Penyebabnya adalah belum siapnya negara anggota menjalankan kesepakatan WTO. Dalam rangka mempersiapkan diri dalam WTO, beberapa negara di dunia membentuk blok-blok ekonomi berdasarkan batas wilayah dan rumpun untuk memperkuat ekonomi seperti Uni Eropa, NAFTA, MERCOSUR, ASEAN dan lainnya. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi negara anggota. Beberapa kawasan integrasi ekonomi dunia disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Kawasan Integrasi Ekonomi Dunia AFTA ASEAN Free Trade Area CSN Danean Community CSN ASEAN Association Of South East Asian Nations CER Closer Economic Relations Trade Agreement ECO Economic Coorperation Organisations EFTA European Free Trade Association EU European Union NAFTA North American Free Trade Agreement SAPTA Preferential Trade Arrangement SPAR TECA South Pacific Regional Trade dan Economic Cooperation Sumber : Clarete, Ramon, C. Edmonds and J.S. Wallack (2003) Kesuksesan pelaksanaan integrasi ekonomi Uni Eropa sampai tahapan yang sangat maju, telah mendorong berkembangnya integrasi ekonomi pada beberapa kawasan lainnya mulai dari kerjasama ekonomi bilateral sampai pada kerjasama pada satu kawasan yang lebih luas, baik pada skala ekonomi yang kecil maupun dalam skala integrasi ekonomi yang lebih luas. Persaingan antar kawasan
kerjasama ekonomi mulai berkembang yang mengarah pada efisiensi ekonomi kawasan. Perbandingan kawasan ASEAN dengan kawasan integrasi ekonomi lainnya dalam size ekonomi dan GDP disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Perbandingan ASEAN dengan Kawasan Integrasi Ekonomi Lain Badan
Populasi
UE 456 285 839 ASEAN 553 900 000 NAFTA 430 495 039 CSN 366 669 975 CINA 1.306 847 624 INDIA 1.102 600 000 Amerika Serikat 296 900 571 Sumber : ASEAN Secretariat (2008).
GDP (PPP) 11 064 752 2 172 000 12 889 900 2 635 349 7 249 000 3 433 000 11 190 000
GDP (PPP) Per Kapita 24.249 4.044 29.942 7.187 5.200 3.100 39.100
Negara Anggota 25 10 3 12 33 35 50
Kondisi tersebut mendorong pembentukan kerjasama negara-negara ASEAN sejak tahun 1967. Krisis ekonomi yang melanda negara pada kawasan Asia Timur, semakin memantapkan langkah negara ASEAN untuk menjalankan integrasi ekonomi yang lebih luas. Kemungkinan pelaksanaan integrasi keuangan dan integrasi moneter menjadi cita-cita negara ASEAN yang dipandang dapat meningkatkan daya tahan ekonomi negara anggotanya. Kerangka pemikiran penelitian disertasi ini secara singkat disajikan pada gambar 1.
Globalisasi Ekonomi
Daya saing ekonomi
WTO
Kegagalan WTO Persaingan Ekonomi Regional
Regionalisasi Ekonomi Uni Eropa NAFTA APEC ASEAN Free Trade (Penghapusan Tarif) Barang dan Jasa
Keberhasilan EMU Krisis Ekonomi 98
Integrasi Free Factor Mobility Modal Tenaga Kerja
Investasi
Perdagangan -
TII Open GDP Populasi FDI Tax Real Exchange Rate Interest Rate APEC
Efek Kreasi
-
GDP Trade Population Distance Size Open Real Exchange Rate Interest Rate Cina, India, UE, APEC, NAFTA
Efek Diversi
GDP (Gross Domestic Product) / Output
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disertasi Integrasi ekonomi ASEAN yang lebih luas, diharapkan dapat menciptakan free mobility factor (modal dan tenaga kerja) dan terjadi pembebasan tarif barang dan jasa bagi negara ASEAN yang berdampak pada peningkatan volume perdagangan, peningkatan investasi, efisiensi produksi dan efisiensi alokasi
sumberdaya dan peningkatan pendapatan faktor. Penghapusan hambatan perdagangan dan investasi serta penyatuan dalam pasar keuangan dan penyatuan moneter akan memberi dampak kreasi bagi negara-negara anggota ASEAN sekaligus dapat memberikan efek diversi bagi negara-negara anggota. Pengaruh diversi muncul karena adanya proteksi bagi negara non-anggota ASEAN yang lebih efisien dalam kegiatan produksi barang dan jasa. Dampak akhir yang diharapkan dalam integrasi ekonomi ASEAN adalah pertumbuhan output yang diukur dengan pertumbuhan GDP masing-masing negara anggota sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat negara anggota integrasi.
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1.
Rancangan Model Model yang sering digunakan untuk menganalisis efek integrasi ekonomi
terhadap dampak kreasi dan dampak diversi perdagangan adalah Model gravity. Model ini pertama diperkenalkan oleh Tinbergen (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa dan yang terakhir diperkenalkan oleh Anderson (1979), Bergstrand (1985) dan Sanso et al. (1993) yang telah dibangun dan lebih terkenal sebagai dasar teoritis. Model gravity mengaplikasikan hukum gravitasi dari Newton, yang menyatakan bahwa atraksi atau gaya tarik gravitasi dari dua objek adalah proporsional dari masses mereka dan berbanding terbalik terhadap jarak (Km2) mereka. Model umum gravity dituliskan: ………………………………………………………………….…(2)
dimana:
Mi dan Mj
: atraksi gravitasi : massa dari dua objek, : jarak antara dua negara i dan j.
Model gravity telah digunakan dalam penelitian ekonomi dengan memperkuat dasar teori ekonominya. Karena itu, akhir-akhir ini banyak peneliti yang mendukung teori gravity dengan memberi penjelasan kaitan dasar teori ekonomi untuk model ini. Linneman (1966) adalah penulis pertama yang memberi dasar teori ekonomi untuk model gravity, dia menunjukkan bahwa persamaan gravity dapat diturunkan dari model keseimbangan parsial.
Bergstrand (1985) yang awalnya mengkritik model ini karena tidak mampu menjelaskan bentuk fungsional multiplikatif dari persamaan gravitiy. Bergstrand mengatakan bahwa model gravity mungkin mis-spesifikasi karena mengabaikan variabel harga. Tetapi selanjutnya Bergstrand menggunakan dasar mikroekonomi dalam rangka menjelaskan model gravity. Dia menjelaskan bahwa penawaran perdagangan negara adalah diturunkan dari maksimisasi
keuntungan
perusahaan
dan
permintaan
perdagangan
diturunkan dengan memaksimisasi fungsi utilitas CES dengan kendala anggaran. Karena itu, diperoleh persamaan gravity menggunakan pasar keseimbangan. Melalui beberapa riset melengkapi model gravity dengan kerangka model Heckscher-Ohlin (H-O) dengan menggunakan asumsi kompetisi monopolistik yang menekankan adanya diferensiasi produk pada perusahaan daripada diferensiasi produk pada negara. Ekonom lain mencoba untuk menurunkan model gravity dari teori perdagangan internasional dengan menggembangkan model Ricardian dan menunjukkan persamaan gravity dapat diperoleh dari kerangka Ricardian tetapi dasar parameter teknologinya diidentifikasi. Sementara Deardoff (1995) membuktikan bahwa model gravity dapat muncul dari dua kasus yang ekstrim model H-O dengan dan tanpa hambatan perdagangan. Model gravity sangat ekstrim dan secara empiris sangat sukses dan telah digunakan di berbagai negara dalam menjelaskan pola perdagangan antara negara. Anderson pada tahun 1979 menurunkan persamaan gravitasi dengan menggunakan asumsi diferensiasi produk dengan preferensi Cobb-Douglas dan CES (constant elasticity substitution). Model Gravity dilandasi oleh teori
Heckscher-Ohlin (model H-O) maupun teori imperfect substitute yang dibuktikan oleh Deardoff (1998). Dengan asumsi bahwa preferensi konsumen adalah identik dan homotetik, misal x i adalah vektor produksi negara i dan c i adalah vektor konsumsi negara i pada ekuilibrium perdagangan bebas dan vektor harga dunia p. Pendapatan negara i adalah Y i = p.x i = p c i dengan asumsi bahwa perdagangan dalam keadaan ekuilibrium. Dengan menggunakan asumsi spesialisasi tidak sempurna, berbagai riset kemudian menguatkan hasil penelitian Deardoff (1998) dengan berbagai pendekatan teoritis dan menggunakan metodologi yang berbeda (Haveman dan Hummel, 2001; Evenett dan Keller, 1998; Feenstra et al., 1998). Jika nilai ekspor dari negara j ke negara i adalah T ij , dengan preferensi identik dan homotetik, semua negara memiliki fraksi pendapatan yang dibelanjakan β k untuk produk k sehingga konsumsi negara i untuk produk k adalah:
bila fraksi kontribusi negara j terhadap produksi dunia
pembelian negara i dari negara j untuk produk k adalah:
bila
, adalah jumlah produksi dunia untuk produk k dengan fraksi
pendapatan yang dikeluarkan oleh setiap negara identik, fraksi itu juga akan setara dengan pangsa dari produk k dalam pendapatan dunia, maka nilai total impor i dari j adalah:
Yw :
,
dengan demikian, pada preferensi yang identik, homotetik dapat diturunkan persamaan gravity yang lebih sederhana daripada model gravity standar, yaitu:
dengan notasi konstanta proporsi, yaitu
dan D ij adalah jarak dari j ke i
Dari hasil penurunan model gravity maka model dasar gravity adalah sebagai berikut:
dimana: X ij Yi Hi Ni D ij ōi A
: total ekspor negara i ke negara j : GDP negara i, : ukuran geografis negara i : penduduk negara i : jarak antara negara i dengan negara j : rata-rata jarak negara i dengan pasar ekspor di negara lain : konstanta dan ß,µ>0 dan γ,α,δ <0.
Model gravity sudah mulai dipergunakan untuk melihat efek terhadap pertumbuhan ekonomi dan variabel investasi. Aplikasi dari model gravity tersebut dapat digunakan untuk melihat kinerja integrasi ekonomi ASEAN, baik dilihat dari perdagangan, pertumbuhan ekonomi maupun nilai tukar.
4.2. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
1. Integrasi ekonomi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perdagangan dan investasi pada kawasan integrasi ekonomi ASEAN dan negara anggotanya. Semakin tinggi derajat integrasi ekonomi akan semakin besar pengaruhnya terhadap peningkatan perdagangan dan investasi kawasan ASEAN dan negara anggotanya. 2. Variabel makroekonomi terpilih yang dianalisis memberi pengaruh bervariasi terhadap kegiatan aliran perdagangan dan investasi FDI pada kawasan integrasi ASEAN dan negara anggotanya. 3. Integrasi ekonomi seperti APEC, NAFTA, Uni Eropa, Cina dan India memengaruhi besarnya aliran perdagangan dan investasi FDI pada kawasan ASEAN dan negara anggotanya. Hal tersebut dipengaruhi oleh luasnya cakupan integrasi ekonomi, serta perbedaan dalam hal kebijakan investasi dan perdagangan setiap negara. 4.3.
Model Persamaan Perdagangan Dengan menginternalisasikan beberapa variabel ekonomi makro yang
secara teoritis memengaruhi perdagangan, seperti tingkat tarif baik negara i maupun negara j, nilai tukar negara i dan negara j, GDP negara i dan negara j, investasi negara i dan negara j, keterbukaan ekonomi dan integrasi ekonomi baik negara i maupun negara j, yang mengacu pada teori open economy baik yang dikembangkan Mundell Fleming maupun ekspansinya, maka spesifikasi model perdagangan ASEAN yang akan dirumuskan model: a. Indeks Integrasi Perdagangan (TII) dan Keterbukaan ekonomi: ……………………………………………..(12) dimana:
: : : : : :
ekspor negara i ke negara j pada tahun t impor negara i ke negara j pada tahun t total ekspor negara i pada tahun t total impor negara i pada tahun t total ekspor negara j pada tahun t total impor negara j pada tahun t
b. Keterbukaan ekonomi: = Average
…………………………………………(13)
dimana: : derajat keterbukaan dari negara i relatif terhadap negara j : ekspor negara i ke negara j pada tahun t : ekspor negara j ke negara i pada tahun t : GDP pada harga konstan untuk periode ke-t Mengacu pada rumusan tersebut, maka model aliran perdagangan ASEAN dirumuskan:
+
+
…(14)
dimana:
t i,j
GDP
: intersep : parameter masing-masing variabel yang akan diuji secara statistik dan ekonometrik : (1,....., T) mulai tahun 1982 sampai dengan 2006 : (1,...., N) perdagangan bilateral ASEAN dengan negara mitra : Volume perdagangan bilateral dari negara i ke negara j pada tahun t dan impor bilateral negara i ke negara j untuk negara ASEAN atau volume ekspor impor bilateral negara ASEAN, yang nilainya dalam mata uang US$. Nilai ini diperoleh dari jumlah volume ekspor dan impor dikalikan dengan harga (US$) : GDP negara eksportir i pada tahun t yang dinilai dengan mata uang US$ dalam nilai nominal. Secara teori, GDP negara eksportir dapat meningkatkan perdagangan yang
GDP j
:
:
:
:
:
:
:
menggambarkan peningkatan output sehingga dapat meningkatkan ekspor. Apabila terjadi peningkatan output tetapi tidak terjadi peningkatan ekspor, berarti produk yang dihasilkan masih memenuhi pasar dalam negeri atau terjadi substitusi impor. Variabel ini diharapkan berpengaruh positif GDP negara importir i pada tahun t yang dinilai dengan mata uang US$ dalam nilai nominal. Secara teori GDP negara importir terjadi hubungan positif karena adanya peningkatan daya beli masyarakat negara importir. Semakin tinggi pendapatan negara importir maka permintaan akan barangbarang importir semakin besar. GDP importir diharapkan berpengaruh positif Jumlah penduduk negara eksportir i pada tahun t. Besarnya populasi menggambarkan besarnya tenaga kerja yang tersedia dalam perekonomian. Kalau tenaga kerja berkualitas dan memiliki produktivitas yang tinggi maka peningkatan populasi dapat meningkatkan output dan selanjutnya dapat meningkatkan ekspor. Tetapi kalau populasinya tidak produktif maka peningkatan populasi akan meningkatkan konsumsi dalam negeri sehingga ekspor menurun. Variabel jumlah penduduk ini diharapkan positif Jumlah penduduk negara importir i pada tahun t. Besarnya populasi negara importir menggambarkan besarnya potensi pasar dan tenaga kerja pada negara tersebut. Semakin besar populasi negara importir, maka semakin besar permintaan barang impor negara tersebut, sehingga variabel tersebut diharapkan memiliki pengaruh positif Nilai investasi negara eksportir i pada tahun t dalam nilai US$. Secara teoritis peningkatan investasi akan meningkatkan produksi yang kemudian akan meningkatkan ekspor. Kenaikan investasi berbanding lurus dengan peningkatan perdagangan sehingga variabel ini diharapkan akan memiliki pengaruh positif Nilai tukar negara eksportir i terhadap US$. Secara teoritis hubungan nilai tukar (exchange rate) terhadap ekspor adalah positif, dimana jika terjadi depresiasi pada nilai tukar maka ekspor akan meningkat karena harga barang di luar negeri terasa mahal (sisi supply) dan pihak luar negeri merasa lebih murah barang dari dalam negeri (sisi permintaan). Variabel ini diharapkan akan memiliki pengaruh positif Nilai tukar negara importir j terhadap US$. Secara teoritis hubungan nilai tukar (exchange rate) negara importir j terhadap ekspor negara eksportir i adalah negatif, dimana jika terjadi apresiasi pada nilai tukar negara importir j maka ekspor negara i akan meningkat karena permintaan barang impor akan meningkat (sisi permintaan). Variabel ini diharapkan akan memiliki pengaruh positif Tingkat tarif rata-rata impor pada negara i dari dan keluar j. Secara teoritis hubungan tingkat tarif dengan ekspor adalah
ASEAN ij
APEC ij
Dist ij
4.4.
negatif, apabila tingkat tarif ekspor tinggi maka harga produk ekspor menjadi mahal dan daya saing rendah sehingga volume ekspor turun, demikian sebaliknya. Variabel ini diharapkan memiliki pengaruh negatif : Dummy integrasi ekonomi dengan mengambil nilai 1 perdagangan sesama anggota integrasi/FTA ASEAN dan mengambil nilai 0 yang lainnya. Secara teoritis, integrasi ekonomi dalam satu kawasan dapat meningkatkan investasi dan perdagangan, karena pengurangan hambatan perdagangan dan hambatan investasi. Semakin terintegrasi perekonomian maka semakin besar volume perdagangan dan investasi, baik sesama negara anggota maupun dengan negara bukan anggota. Variabel ini diharapkan bernilai positif : Dummy integrasi ekonomi dengan mengambil nilai 1 perdagangan sesama anggota APEC dan mengambil nilai 0 yang lainnya. Secara teoritis, integrasi ekonomi dalam satu kawasan dapat meningkatkan investasi dan perdagangan karena adanya pengurangan hambatan perdagangan dan hambatan investasi. Dengan demikian variabel ini diharapkan bernilai positif : Jarak antara ibukota negara eksportir (i) dengan negara importir (j) dalam kilometer. Jarak merupakan proxy dari besarnya biaya transportasi dalam transaksi barang dan jasa. Semakin besar biaya perdagangan antara dua negara maka daya saingnya semakin rendah. Variabel ini diharapkan bernilai negatif
Persamaan Investasi Persamaan investasi yang dibangun adalah menggunakan model gravity,
yang menggambarkan perilaku investasi bilateral dari suatu negara ke negara lainnya. Model gravity yang digunakan untuk menjelaskan variasi observasi dan aliran FDI mulai dibangun pada tahun 1960 yang pada awalnya untuk menjelaskan aliran perdagangan dari negara i ke negara j. Model dasar tersebut dikembangkan oleh Deardoff (1995) untuk diaplikasikan ke dalam FDI dengan model: ………………….……………………………….(15)
adalah volume FDI flow aktual dari investor i ke penerima FDI j. Persamaan ini merupakan kondisi ekuilibrium dalam longrun. Jadi, dalam
longrung
harapan sama dengan
aktual, namun dalam kenyataannya
terdapat negara yang menerima FDI lebih kecil dari yang diharapkan dan bahkan menerima lebih besar dari yang diharapkan. Dalam model ini terdapat konstanta dimana jika salah satu GDP suatu negara menuju nilai nol maka aliran FDI kedua negara tersebut juga nol, disini nilai
menjadi konstanta proporsional.
Dalam mengaplikasikan model tersebut dalam konstanta proporsional juga dimasukan besaran populasi dari kedua negara sehingga konstanta proporsional menjadi A dikalikan (POPixPOPj)/(POPixPOPj) dimana
menjadi konstanta A.
Dengan demikian diasumsikan bahwa semakin besar populasi akan menarik FDI lebih besar sejumlah: ………………...(16) dimana FDI sejalan dengan peningkatan GDPi dan GDPj dan GDP menjadi fungsi perkapita
sehingga dapat ditulis kembali: …………………..(17)
dengan demikian jika dilogkan kita dapat model untuk persamaan empiris: ………..(18) Dengan memasukkan variabel integrasi perekonomian yaitu size ASEAN dengan rumusan: SIZE = Penjumlahan GDP 5 negara ASEAN SIZEi = relative size GDP dari negara ( i ) Keterbukaan perekonomian dihitung dengan rumus:
OPENij = Average
………………………………………….(19)
Mengacu pada model tersebut, maka spesifikasi model FDI yang dibangun adalah:
………………………….…………….…(20) dimana :
t i,j
: Intersep : Parameter masing-masing variabel yang akan diuji secara statistik dan ekonometrik : (1,....., T) mulai tahun 1982 sampai dengan 2006 : 1,...., N) FDI bilateral antara Penerima FDI seperti ASEAN5, NAFTA, EU 15, Cina, Korea Selatan, India yang bersumber dari negara Multi National Cooperation (MNC) yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Swiss dan Australia sebagai investor yang merupakan sumber FDI terbesar : Nilai investasi bilateral dari negara i ke negara j pada tahun t dalam nilai US$. Nilai investasi yang dimaksud adalah jumlah capital inflow di negara investor (i) ke negara penerima FDI j dalam bentuk investasi langsung. Secara teoritis peningkatan investasi dipengaruhi oleh berberapa faktor seperti ukuran perekonomian, derajat integrasi ekonomi, GDP, perdagangan, populasi, suku bunga, jarak dan kesepakatan kerjasama ekonomi : Nilai perdagangan bilateral dari negara i ke negara j pada tahun t, yang nilainya dalam mata uang US$. Nilai ini diperoleh dari jumlah volume ekspor/impor dikalikan dengan harga (US$). Secara teori nilai perdagangan yang tinggi akan meningkatkan FDI. Variabel ini diharapkan berpengaruh secara positif : GDP negara i pada tahun t yang dinilai dengan mata uang US$ dalam nilai nominal. Secara teori peningkatan dalam GDP suatu negara berpengaruh pada peningkatan FDI. Semakin tinggi GDP atau size ekonomi, akan terjadi peningkatan FDI. Variabel ini diharapkan berpengaruh positif : GDP negara i pada tahun t yang dinilai dengan mata uang US$ dalam nilai nominal. Secara teori peningkatan dalam GDP suatu negara dapat mendorong peningkatan FDI, baik untuk penambahan kapasitas produksi maupun untuk investasi baru yang didorong oleh peningkatan permintaan. Semakin tinggi size suatu negara maka semakin tinggi capital
APEC
ASEAN
EU
CINA
inflow dalam bentuk FDI. Variabel ini diharapkan berpengaruh positif : Jumlah penduduk negara eksportir i pada tahun t. Besarnya populasi menggambarkan besarnya tenaga kerja dan luasnya pasar yang tersedia dalam perekonomian. Peningkatan dalam populasi suatu negara akan meningkatkan konsumsi dalam negeri, sehingga jumlah capital outflow menurun karena lebih banyak diserap untuk kebutuhan dalam negeri. Variabel jumlah penduduk diharapkan berpengaruh negatif : Jumlah penduduk negara eksportir j pada tahun t. Besarnya populasi menggambarkan besarnya tenaga kerja dan luasnya pasar yang tersedia dalam perekonomian. Peningkatan populasi akan meningkatkan konsumsi yang akan meningkatkan produksi dan selanjutnya FDI. Variabel ini diharapkan berpengaruh positif : Dummy integrasi ekonomi dengan nilai 1 FDI ke anggota integrasi APEC dan 0 yang lainnya, terjadinya kerjasama dalam suatu kawasan akan mengurangi risiko investasi dan mengurangi hambatan investasi sehingga FDI akan meningkat dengan adanya integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi mendorong investor melakukan investasi pada kawasan integrasi ekonomi, agar output yang dihasilkan bebas dari tarif. Secara teori integrasi ekonomi akan meningkatkan FDI. Variabel ini diharapkan berpengaruh secara positif : Dummy integrasi ekonomi dengan nilai 1 FDI ke anggota integrasi ASEAN dan 0 yang lainnya, terjadinya kerjasama dalam suatu kawasan integrasi akan mengurangi risiko investasi dan hambatan investasi sehingga FDI akan meningkat. Integrasi ekonomi mendorong investor melakukan investasi pada kawasan integrasi ekonomi, agar output yang dihasilkan bebas dari tarif. Secara teori integrasi ekonomi akan meningkatkan FDI. Variabel ini diharapkan berpengaruh positif : Dummy integrasi ekonomi dengan nilai 1 FDI ke anggota integrasi NAFTA dan 0 yang lainnya, terjadinya kerjasama dalam suatu kawasan akan mengurangi risiko investasi dan hambatan investasi sehingga FDI akan meningkat dengan adanya integrasi ekonomi yang lebih luas. Variabel ini diharapkan berpengaruh positif : Dummy Cina dengan nilai 1 FDI ke Cina dan 0 yang lainnya. Peningkatan investasi ke Cina akan mengurangi FDI ke kawasan lainnya. Faktor price di negara ini relatif lebih rendah dibanding daerah lainnya. Integrasi ekonomi mendorong investor untuk melakukan investasi pada kawasan integrasi ekonomi agar output yang dihasilkan bebas dari tarif. Secara teori integrasi ekonomi akan meningkatkan FDI. Variabel ini diharapkan memiliki pengaruh yang positif
: Tingkat bunga negara i pada tahun t dalam tingkat bunga riil. Secara teori, tingkat bunga dalam negeri yang tinggi akan mendorong capital inflow dan sebaliknya penurunan tingkat bunga dalam negeri akan terjadi capital outflow. Variabel ini diharapkan memberikan pengaruh yang positif : Tingkat bunga luar negeri (negara i) pada tahun t dalam tingkat bunga riil. Secara teori, tingkat bunga luar negeri yang tinggi akan mendorong capital outflow dan sebaliknya penurunan tingkat bunga luar negeri akan terjadi capital inflow. Variabel ini diharapkan memberi pengaruh negatif : Jarak antara ibukota negara (i) dengan negara (j)
4.5.
Populasi dan Sampel Populasi yang dipilih dalam penelitian ini dapat dipetakan dalam dua
kelompok yang terdiri atas model perdagangan dan model investasi. Model perdagangan dan investasi menggunakan populasi semua negara mitra dagang negara-negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand). Hal tersebut diambil karena keterbatasan data dari beberapa negara ASEAN lainnya. Penelitian ini hanya mengambil 5 negara ASEAN yang memberikan share terbesar perdagangan di ASEAN. Mitra dagang di luar kawasan sebanyak 14 negara sehingga secara keseluruhan sampel sebanyak 19 negara. Keempat belas negara tersebut adalah Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Inggris, Jepang, Cina, Hongkong, Korea, India, Australia dan Newzeland. Negara-negara tersebut merupakan mitra perdagangan dan investasi negara ASEAN yang paling dominan. Periode waktu yang akan diteliti sebanyak 25 tahun (1982-2006). 4.6.
Jenis Sumber Data Data dan informasi yang digunakan sebagai objek studi dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber resmi seperti pemerintah, lembaga internasional dan laporan hasil penelitian baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak. Karenanya data yang diperoleh telah mengalami pengolahan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun jenis data sekunder time series dan cross-section yang digabung menjadi data panel. Beberapa data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: 1.
Data volume ekspor dan impor masing-masing negara ASEAN ke berbagai negara tujuan dalam satuan ton dan data nilai ekspor dan impor masingmasing negara ASEAN ke berbagai negara tujuan dalam satuan US Dolar yang diperoleh dari United Nations Comodity Trade Division (UN COMTRADE), International Monetary Fund (IMF), Direction of Trade Statistics (DOTS) dan International Financial Statistic (IFS) mulai tahun 1982 sampai dengan tahun 2006. 8 Data ekspor yang diperoleh menurut rincian komoditi ekspor dan menurut rincian negara tujuan serta berdasarkan SITC (Standard International Trade Clasification).
2.
Data nilai FDI (outward) negara-negara Investor (Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, Swiss dan Jepang) yang mengalir ke negaranegara anggota integrasi ekonomi ASEAN, EU, NAFTA, dan negara-negara lainnya seperti Cina, Jepang, Korea, India, Australia, Jepang yang memiliki daya tarik investasi dalam satuan US Dolar yang diperoleh dari OECD Statistic, mulai tahun 1982 sampai dengan tahun 2006. 9
3.
Data GDP negara-negara yang masuk dalam penelitian ini (GDP series 2007b) dan data GDP ini dikonversi dalam Dolar dengan nilai pasar exchange rate (series ag) diperoleh dari IMF dan IFS serta CD-ROM datab
8
Website ; www.ifs.com, www.uncomtrade.com, www.imf.org, www.sectretariat_ASEAN.org, www.dots.com, 9 Website ; www.ifs.com, www.uncomtrade.com, www.imf.org, www.sectretariat_ASEAN.org, www.dots.com,
base dan bersumber dari World Development Index (WDI) dari Bank Dunia. Nilai GDP yang dipakai dalam penelitian ini adalah nilai GDP riil setiap negara yang diobservasi. 4.
Data jumlah penduduk negara-negara yang masuk dalam penelitian ini (population series 2007) diperoleh dari IMF dan IFS.
5.
Data jarak (distance) antara negara eksportir (negara ASEAN) dengan mitra dagangnya (jarak antara ibukota negara) dalam satuan kilometer diperoleh dari US Naval Oceanographic 0ffice serta http://www.indo.com/distance. Data jarak yang diperoleh ini merupakan proksi dari biaya transportasi dalam perdagangan internasional.
6.
Data daftar tingkat tarif rata-rata masing-masing dari ke negara-negara yang masuk dalam penelitian ini diperoleh dari sekretariat WTO dan DOTS serta sekretariat ASEAN.
7.
Data Exchange Rate diperoleh dari International Financial Statistic (IFS) IMF terakhir pada tahun 2007.
8.
Data tingkat bunga (interest rate) 19 negara yang diteliti diperoleh dari IFS tahun 1982–2006.
4.7.
Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data dimulai dengan mengumpulkan data sesuai
kebutuhan penelitian dalam model gravity dengan menggunakan persamaan, untuk melihat pengaruh integrasi ekonomi terhadap perdagangan dan investasi. Langkah berikutnya dilakukan cross cek data dari berbagai sumber dan menetapkan satu sumber data yang konsisten, dan disusun dalam tabel kombinasi
variasi cross section sesuai periode waktu yang akan dianalisis. Selanjutnya, dilakukan penyusunan menurut matriks time series dan kemudian dimasukan dalam matriks cross section. Penelitian ini akan menggunakan observasi sesuai dengan data cross section antara lima negara ASEAN (Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina dan Malaysia), dengan mitra dagang dan investasinya masing sebanyak 14 negara secara bilateral dan selama 26 tahun (1982-2006). Data tahun 1993-2006 merupakan proses dimulainya penurunan tarif di ASEAN. Data akan diolah atau diestimasi dengan menggunakan software ekonometri yaitu E-Views versi 5.1 dan Stata 10 dengan teknik pengolahan data panel kemudian dianalisis. 4.8.
Teknik Estimasi Regresi Majemuk Analisis regresi membahas hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen atau hubungan antara variabel penjelas dengan variabel yang dijelaskan. Sebagai induk dari analisis regresi, ekonometri berusaha untuk menangkap perilaku hubungan antar hubungan variabel ekonomi. Metode pendugaan yang sering digunakan dalam analisis regresi adalah Ordinary Least Squares (OLS) Method yang dikemukakan oleh Carl Friedrick Gauss. Andai sebuah model berbentuk: ……………………………………………………..(21) Sebelum model ini dapat diestimasi dengan menggunakan metode OLS untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien yang menjelaskan hubungan antar variabel, data yang digunakan harus terlebih dahulu diuji apakah data tersebut melanggar asumsi-asumsi dasar seperti multicolinearity (kolinearitas jamak),
autocorrelation (autokorelasi), dan heterokedasticity (heterokedastisitas). Model OLS mengandung beberapa asumsi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 1. Hubungan antara variabel terikat Y dan sejumlah variabel bebas X1 dan X2 merupakan hubungan linier. 2. X1 dan X2 bukan variabel stokastik, berarti nilai-nilai telah ditetapkan dan tidak ada hubungan linier yang persis antar variabel bebas. 3. Error memiliki expected value (nilai harapan) nol, E(ε) = 0 4. Error dari observasi-observasi yang berbeda independen secara statistik, E(εiεj) = 0, untuk semua i ≠ j 5. Error memiliki varians yang konstan untuk semua observasi E(ε2) = σ2 Jika semua asumsi tersebut dipenuhi maka berdasarkan teorema GaussMarkov dikatakan bahwa estimasi yang didapatkan merupakan penaksir linier yang tidak bias dan terbaik, atau disebut Best Linier Unbiased Estimation (BLUE), dalam arti memiliki varians minimum. Parameter-parameter yang telah diestimasi dengan metode di atas kemudian akan diuji untuk melihat apakah suatu hipotesa bisa diterima atau tidak. Cara pengujian yang dapat dilakukan untuk menentukan baik atau buruknya model adalah dengan uji nilai t jika secara parsial, dan uji F jika secara simultan dan adjusted R2. 4.9. Penyimpangan Asumsi Klasik dan Pemecahannya Dalam rangka menghasilkan model yang efisien, feasible, dan konsisten, maka perlu pendeteksian terhadap pelanggaran asumsi model yaitu gangguan antar waktu (time-related distrubance), gangguan antar individu (cross sectional distrubance) dan gangguan akibat keduanya. Pengestimasian terhadap model
tersebut hasilnya diharapkan memperoleh konstanta intercept yang berbeda-beda untuk masing-masing negara ASEAN di masing-masing tahun. Agar model yang digunakan dalam model ini feasible dan efektif, maka kita perlu melihat pelanggaran asumsi dasar yaitu: 4.9.1. Kolinearitas Jamak Kolinearitas jamak adalah adanya hubungan linier yang signifikan antara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Kolinearitas jamak muncul jika di antara variabel independen memiliki korelasi yang tinggi sehingga kita sulit memisahkan efek satu variabel independen terhadap variabel dependen dari efek variabel independen yang lain. 1. Varians dan galat baku untuk koefisien regresi menjadi tinggi sehingga nilai t hitung menjadi lebih kecil dan sebagai akibatnya kita cenderung tidak dapat menolak hipotesa nol karena besarnya galat baku dugaan. Dengan t hitung yang mengecil menyebabkan signifikansi dari t menjadi turun. 2. Nilai koefisien regresi bukan nilai yang sebenarnya. Ada koefisien yang overestimates dan ada koefisien yang underestimates. Pelanggaran ini menjadi masalah jika tujuan melakukan regresi adalah untuk menafsirkan koefisien regresi. Indikasi adanya kolinearitas jamak: 1. Jika ditemukan nilai R2 yang tinggi dan nilai statistik F yang signifikan tetapi sebagian besar nilai statistik t tidak signifikan. 2. Korelasi sederhana yang relatif tinggi (0.8 atau lebih) antara satu atau lebih pasang variabel independen. Jika koefisien korelasi kurang dari 0.8 berarti masalah tidak terlalu serius, belum terjadi kolinearitas berganda. Jika koefisien korelasi lebih 0.9 berarti kolinearitas berganda merupakan masalah serius.
3. Regresi bantuan (Auxilary Regression), dengan cara meregresi masing-masing peubah bebas pada peubah bebas lainnya. Apabila nilai yang diperoleh R2-nya tinggi maka ada indikasi kebergantungan linier yang hampir pasti di antara kolom-kolom X. Pemecahan masalah kolinearitas jamak: (1) Mengurangi variabel independen dalam model, (2) Mengubah bentuk model, dan (3) Menambah data atau memilih sampel baru yang sesuai. 4.9.2. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi jika error dalam persamaan regresi memiliki varians yang tidak konstan. Heteroskedastis tidak menyebabkan penduga parameter menjadi bias, tetapi menyebabkan penduga tersebut tidak efisien sehingga dapat menganggu pengujian hipotesis. Heteroskedastisitas biasanya muncul pada data cross section dan tidak terjadi pada data time series (deret waktu) karena perubahan dalam variabel dependen dan perubahan-perubahan dalam satu atau lebih variabel independen kemungkinan adalah sama besar. Efek dari heteroskedastisitas adalah pendugaan kuadrat terkecil membobot lebih berat pada observasi yang memiliki varians galat lebih besar dibanding pada observasi yang memiliki varians galat lebih kecil. Hal ini terjadi karena jumlah residual kuadrat dari galat yang memiliki varians yang lebih besar kemungkinan adalah lebih besar dari pada jumlah residual kuadrat dari galat yang mempunyai varians yang lebih kecil. Karena pembobotan implisit ini, penduga-penduga parameter kuadrat terkecil biasa adalah tidak bias dan konsisten, tapi tidak efisien, yaitu varians dugaannya bukanlah varians minimum. Selain itu, varians dugaan
dari parameter-parameter dugaan adalah penduga-penduga yang bias dari varians yang sebenarnya. Untuk menguji ada tidaknya heteroskedastisitas dalam penelitian ini dapat digunakan Uji Breusch-Pagan dengan tahapan: Model sederhana:
, setelah melakukan estimasi dengan model di
atas kita memperoleh Least Squares residual εi. Selanjutnya kita hitung dimana
,
. Kemudian kita estimasi residual yang telah dinormalisasi
dengan variabel X (semua variabel independen) sesuai model di atas, yaitu: ............................................................................................(22) Dari hasil estimasi tersebut diperoleh R2 dan Error Sum of Squares (ESS) yang nantinya akan digunakan untuk memperoleh nilai Regression Sum of Squares (RSS). Dimana RSS = ESS/(1-R2). Selanjutnya distribusi Chi-square. Jika
1
2
1
2
RSS mengikuti
RSS < nilai kritis dari Chi-square, kita terima Ho
yang menyatakan homokedastis (Pindyck, 1997) Pemecahan masalah heteroskedastisitas adalah Weighted Least Square, yaitu membobotkan setiap variabel dengan varians yang tidak konstan. Tujuannya membuat varians jadi konstan. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan mentransformasi model dalam bentuk logaritma natural. 4.9.3. Autokorelasi/Korelasi Serial Salah satu asumsi dasar dari penerapan metode regresi dengan kuadrat terkecil adalah tidak adanya korelasi antar gangguan. Adanya masalah autokorelasi ini akan menghasilkan hasil estimasi koefisien yang konsisten dan tidak bias tetapi dengan varians yang besar, atau dengan perkataan lain hasil tidak efisien. Korelasi serial terjadi jika galat-galat dari observasi yang berbeda
berkorelasi, dengan kata lain terjadi korelasi galat antar waktu. Jika galat-galat dari periode-periode waktu yang berbeda (biasanya berdekatan) berkorelasi, dikatakan bahwa galat itu berkorelasi serial. Korelasi serial biasanya terjadi pada data time series. Cara yang paling sering digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah Uji Durbin Watson (DW), meliputi perhitungan uji statistik yang didasarkan pada residual-residual dari prosedur regresi kuadrat terkecil biasa. Statistiknya didefinisikan sebagai:
.........................................................................................(23)
atau
…………………………………………………………...…(24) Dimana ρ adalah koefisien autokorelasi derajat pertama dari sampel yang
nilainya 0 – 1. Jika ρ = 0, maka d = 2, dan jika ρ = +1, maka terjadi autokorelasi sempurna sehingga diharapkan d berada disekitar 2. Uji DW ini hanya dapat digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intersep dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel penjelas. Hipotesis yang akan diuji adalah: Ho : ρ = 0 (tidak ada autokorelasi) H1 : ρ > 0 (ada autokorelasi) Keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat selang kepercayaan yang didapat dari hasil pengujian yang mencakup lima daerah yaitu : 1. Bila nilai kurang dari DW1 terjadi korelasi serial positif . 2. Bila nilai antara DW1 dan DWu tidak dapat ditentukan apakah ada atau tidak korelasi serial.
3. Bila nilai antara DW1 dan 4 – Dwu maka bebas korelasi serial. 4. Bila nilai antara 4 – DW1 dan 4 – Dwu maka tidak dapat ditentukan apakah ada korelasi serial. 5. Bila lebih dari 4 – DW1 Korelasi serial negatif. Sementara koreksi terhadap korelasi serial dalam penelitian ini akan digunakan adalah Prosedur Hidreth-Lu. Prosedur ini menspesifikasikan nilainilai untuk ρ, yaitu nilai-nilai ruang yang mengakomodasi taksiran-taksiran nilai ρ, yaitu: ...........................................................................................(25)
Kemudian model awal ditransformasi dengan rumus: .............................................(26) Jadi, semua observasi ditransformasi. Untuk menghindari kehilangan observasi awal kita trransformasi dengan
dan
setelah itu
diestimasi dengan panel data. Hasilnya DW meningkat dan tidak ada autokorelasi (Gujarati, 1995) 4.10.
Proses Estimasi dengan Model Regresi Data Panel Spesifikasi model perdagangan dan investasi menunjukkan bahwa data
yang dibutuhkan adalah data perdagangan dan investasi bilateral negara ASEAN dan antar tahun sekaligus. Dalam ekonometri proses penyatuan data antar waktu (time series) dan data antar individu (cross-section) disebut dengan pooling. Sedangkan data yang dihasilkan disebut dengan pooled data atau data panel. Beberapa keuntungan penggunaan data panel adalah: (1) memungkinkan jumlah data yang meningkat, dan (2) memasukan informasi yang berkaitan dengan baik
cross section maupun time series yang dapat mengurangi masalah yang muncul apabila ada variabel yang dihilangkan. Permasalahannya adalah bagaimana menspesifikasi suatu model statistik yang mampu menangkap perilaku individu selama jangka waktu tertentu untuk memperoleh estimasi parameter. Data panel adalah suatu set observasi yang terdiri dari beberapa individu pada periode tertentu. Observasi tersebut merupakan pasangan yit dengan xitj, dimana i merupakan individu, t menunjukkan waktu dan j menunjukkan variabel bebas. Spesifikasi model regresi data panel adalah: …………………..(27) Pada data panel yang dikatakan seimbang (balanced) maka jumlah observasi menjadi n x T. Namun, apabila data panel tidak seimbang (unbalanced), maka jumlah observasi menjadi
t pda saat n = 1 dan T cukup besar, maka
data bersifat time series. Sebaliknya, pada saat T = 1 dan n cukup besar maka data bersifat cross section. Data panel mengacu pada kasus dimana T > 1 dan n > 1. Adapun untuk melakukan estimasi data panel, observasi tersebut harus dikelompokan terlebih dahulu baik itu berdasarkan kerat lintang (stacked data by cross section) maupun berdasarkan waktu (stacked data by date). Selain harus memenuhi asumsi klasik seperti non-autokorelasi, homokedastis, dan nonmultikolinearitas, terdapat beberapa asumsi tambahan untuk model regresi data panel. Asumsi tersebut adalah: (1) tidak adanya hubungan antar individu i; (2) αi dan εit bersifat independen; dan (3) εit tidak berkorelasi dengan xit. Jika semua asumsi tersebut terpenuhi maka asumsi metode OLS dapat digunakan untuk panel data yang disebut dengan pooled estimation. Kesulitan yang dihadapi dengan menggunakan pooled estimation adalah bahwa asumsi
intersep dan slope yang konstan mungkin tidak masuk akal. Sebagai alternatif terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan antara lain: fixed effects dan random effects. Model estimasi dengan menggunakan fixed effects memasukan unsur dummy variable yang memungkinkan intersep bervariasi antara cross section maupun antar unit waktu yang disebut pula dengan metode Least Squares Dummy Variable (LSDV). Sedangkan pada penggunaan random effects, variasi pada intersep dapat memecahkan komponen error menjadi cross section error, time series error dan combination error. Estimasi parameter bisa didapat baik dengan menggunakan Generalized Least Squares (GLS) maupun dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE). 4.10.1 Metode Pemilihan Estimasi dengan Fixed Effects atau Random Effects Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika membuat pilihan antara fixed effects dan random effects. Pertama perlu diperhatikan berapa jumlah N dan T. Ketika T → ∞ dan N memiliki nilai tertentu maka parameter yang dihasilkan oleh fixed effects dan random effects akan sama. Untuk kasus tersebut parameter yang dihasilkan oleh fixed effects konsisten dan efisien, walaupun asumsi random effects berlaku. Untuk T yang besar dan N yang kecil maka kemungkinan perbedaan hasil estimasi antara fixed effect dan random effects tidak akan jauh berbeda sehingga pilihan akan jatuh pada penggunaan fixed effect yang tentunya perhitungannya jauh lebih mudah ketimbang random effects. Namun, apabila N yang besar dan T yang kecil maka parameter yang dihasilkan akan jauh berbeda dan isu lain akan muncul. Jika asumsi random effects berlaku dan fixed effects tetap digunakan maka parameter yang dihasilkan tetap konsisten akan tetapi tidak
lagi efisien. Oleh karena itu, harus dilakukan uji lebih lanjut guna mengetahui yang manakah yang harus digunakan. Cara
yang
paling
mudah
dilakukan
untuk
membedakan
antara
penggunaaan fixed effects dan random effects terletak pada data yang digunakan. Bila data merupakan random sample dari suatu populasi dan yang diteliti adalah populasi maka random effects lebih cocok untuk digunakan. Sebaliknya, bila data terdiri dari populasi dan yang diteliti adalah pada tingkat individu (cross sectional units) maka sebaiknya digunakan fixed effects. Unsur lain dari pemilihan antara penggunaan fixed effects dan random effects terletak pada asumsi (3). Apabila asumsi (3) dilanggar, yaitu terdapat hubungan antara εit dengan xit, maka disarankan untuk menggunakan fixed effects. Sebaliknya, jika benar bahwa tidak terdapat hubungan antara εit dengan xit,, maka disarankan untuk menggunakan random effects untuk estimasi. Hal ini disebabkan karena jika εit dan xit berkorelasi maka hasil estimasi dengan penggunaan random effects akan bias, sedangkan dengan penggunaan fixed effects tidak bias (Judge, 1988). Pemilihan antara random effects dan fixed effects dapat juga ditentukan dengan melakukan Hausman Test. Uji tersebut didefenisikan: ……………………………………...(28) ………………..…….(29) Adapun variabel
didapat melalui matriks kovarians dari parameter estimasi
dengan fixed effects dan matriks kovarians dari parameter estimasi dengan radom effects tanpa konstanta. Hasil dari uji Hausman dibandingkan dengan χ2 pada derajat kebebasan n-K. Jika hipotesis nol diterima, tidak terdapat korelasi antara
individual effects dengan variabel bebas, maka yang harus digunakan adalah random effects. Pendekatan random effects menentukan nilai α dan β didasarkan pada asumsi bahwa intersep α terdistribusi random antar unit µi. Dengan kata lain slope memiliki nilai yang tetap, tetapi intersep bervariasi untuk setiap individu. Persamaan umum untuk model ini adalah: dimana komponen µi adalah karakteristik random dari observasi unit ke-i dan tetap sepanjang waktu (Greene, 2000)
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Analisis Aliran Perdagangan ASEAN dan Negara Anggota ASEAN Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap hasil estimasi model
gravity untuk persamaan perdagangan dan persamaan investasi. Model yang dianalisis menggunakan panel data karena merupakan penyatuan antara data antar-waktu (time series) dan data antar-individu (cross section) dengan menggunakan teknik fixed effect. Metode fixed effect digunakan dengan pertimbangan data panel yang diestimasi mempunyai jumlah waktu (T) 25 tahun lebih besar dibanding jumlah individu (N) 19 negara. Secara teoritis, apabila T lebih besar dari N dianjurkan memakai fixed effect. Selanjutnya, model diestimasi dengan Generalize Least Square (GLS). Hasil estimasi tersebut dapat menggambarkan pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependen pada persamaan. Hasil estimasi dari model persamaan dapat dilihat pada lampiran. Pembahasan hasil estimasi model dapat diuraikan sebagai berikut: 5.1.1. Analisis Aliran Perdagangan ASEAN Secara umum selama 24 tahun antara tahun 1982-2006 kinerja perdagangan ASEAN cukup kuat. Kinerja perdagangan tersebut didukung oleh perdagangan internasional berupa ekstra-regional dan intra-regional. Krugman (1991) memperkenalkan istilah blok perdagangan alami atau natural trading blok yang didasarkan pada kedekatan geografis yang dapat meningkatkan perdagangan. Tetapi untuk kasus ASEAN, ekstra-ASEAN lebih besar dari intra-ASEAN. Hasil estimasi data panel model perdagangan ASEAN menunjukkan pengaruh variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi terhadap perdagangan bilateral kawasan
dengan negara mitra perdagangannya. Hasil estimasi data panel model persamaan perdagangan disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Pengaruh Integrasi dan Variabel Makroekonomi Terhadap Aliran Perdagangan ASEAN Variabel C GDPi(-1) POPi FDIi(-3) TII i(-3) IRi RERi TAXi TAXj OPENi GDPj POPj(-2)) FDIj RERj(-1) IRj
Koefisien -5.2018 0.5661 1.2511 0.0008 0.0002 -0.0521 -0.0447 0.0244 -0.0001 1.1125 7.98E-05 0.0003 -0.0001 0.0001 4.49E-05
Standar Error 0.991066 0.044952 0.168348 0.003944 0.000101 0.006681 0.006513 0.005728 0.000160 0.008058 0.000283 4.86E-05 0.168348 0.000128 3.42E-05
Nilai Prob. 0.000 0.000 0.043 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.1907
Hasil estimasi data panel perdagangan ASEAN menunjukkan bahwa variabel FDI berpengaruh positif dan signifikan. FDI dapat menghasilkan komoditi ekspor dan meningkatkan perdagangan. FDI merupakan faktor penting dalam peningkatan perdagangan kawasan, baik variabel FDI negara eksportir maupun FDI negara importir. Dalam rangka meningkatkan kerjasama investasi, telah dibentuk kerjasama ASEAN investment Area (AIA) pada tahun 1998. Tujuannya menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang kompetitif, kondusif dan bebas untuk berinvestasi. Tujuan tersebut diikuti sejumlah kebijakan, seperti menerapkan kebijakan investasi terkordinasi dan program fasilitasi, memperluas sektor untuk
FDI kecuali beberapa sektor yang ditetapkan dalam temporary dan sensitive list bagi investor ASEAN pada tahun 2010 dan non-ASEAN 2020. Mendorong lalu lintas modal, profesional dan teknologi yang lebih bebas di antara negara anggota, menghilangkan hambatan investasi dan meliberalisasi ketentuan serta kebijakan investasi. ASEAN diharapkan menjadi tempat yang atraktif bagi investasi dan mencegah perlombaan insentif untuk menarik FDI. Peningkatan FDI di ASEAN dapat meningkatkan perdagangan dalam lag selama tiga tahun. Peningkatan FDI pada negara importir ternyata dapat menurunkan ekspor negara ASEAN. Data perdagangan ASEAN menunjukkan adanya peningkatan ekspor maupun impor. Hal ini ditunjukkan dari perubahan nilai ekspor sebesar US$ 93 380 juta pada tahun 2000 menjadi US$ 184 586 juta pada tahun 2008 atau naik hampir 100 persen. Realisasi FDI di ASEAN pada tahun 2000 adalah sebesar US$ 23 372.4 juta dan menjadi US$ 60 596.0 juta pada tahun 2008. Hasil tersebut sesuai teori FDI yang mengatakan bahwa apabila FDI meningkat maka produksi barang dan jasa mengalami peningkatan. Produksinya dapat meningkatkan pemenuhan pasar dalam negeri maupun ekspor. Hasil yang sama dikemukakan Kim et al. (2003) yang menunjukkan bahwa masuknya FDI pada industri skala besar akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekspor yang tinggi dibanding dengan impor pada industri sektor yang sama. Pengaruh GDP baik bagi negara kawasan maupun negara mitranya adalah positif dan signifikan. Peningkatan GDP berarti adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta peningkatan dan penambahan kapasitas produksi. Antara tahun 2000-2008 GDP ASEAN mengalami kenaikan berarti. Pada tahun 2000, GDP adalah sebesar 572 902 juta US$ sedang
kan pada tahun 2008 menjadi sebesar 1 073 866 Juta US$ atau naik sebesar 87.4 persen. Sedangkan GDP perkapita meningkat dari US$ 1 159 (tahun 2000) menjadi US$ 2 582 (tahun 2008). Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume perdagangan negara ASEAN. Pengaruh tersebut disebabkan adanya peningkatan daya beli bagi negara importir. Peningkatan dalam daya beli akan meningkatkan permintaan barang untuk substitusi impor dari negara ASEAN. Hasil yang sama ditemukan oleh beberapa studi sebelumnya seperti Clarete, Edmonds and Walack (2002), Wall (2000), dan Cernat (2001) yang menyimpulkan bahwa variabel GDP eksportir dan importir berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan perdagangan pada integrasi ekonomi. Negara yang berpendapatan tinggi, juga menunjukan adanya produksi yang tinggi sehingga menimbulkan peningkatan efisiensi produksi dalam negeri serta mendorong peningkatan perdagangan. GDP yang tinggi meningkatkan potensi ekspor, dan paling besar jika didukung oleh efisiensi produksi. Hasil tersebut sesuai temuan Robert (2004) yang menggunakan model gravity untuk menjelaskan FTA Cina-ASEAN. Kesimpulannya adalah GDP dan jarak antara negara secara signifikan memengaruhi perdagangan antara Cina dan ASEAN. Studi ini memperkuat asumsi bahwa integrasi ekonomi mempercepat perdagangan dan menguntungkan negara kaya. Manfaat integrasi ekonomi semakin menguntungkan anggota yang berpendapatan tinggi. Negara anggota yang berpendapatan rendah tetap memperoleh manfaat dari pembentukan integrasi ekonomi atau perdagangan bebas. Sedangkan perdagangan bebas dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Jumlah penduduk berpengaruh positif baik terhadap negara ASEAN maupun jumlah penduduk negara mitra dagang. Penduduk selain berfungsi sebagai tenaga kerja juga merupakan pasar yang besar bagi produksi barang dan jasa. Produsen dalam negeri akan lebih mengutamakan pemenuhan permintaan dalam negeri dibandingkan melakukan perdagangan ke luar negeri. Peningkatan jumlah penduduk negara importir pada dua tahun kemudian dapat meningkatkan perdagangan negara ASEAN. Secara teoritis, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan dalam jumlah konsumen. Jumlah penduduk yang tinggi di ASEAN menyebabkan produsen dalam negeri lebih memprioritaskan pemenuhan pasar dalam negeri, terutama yang berkaitan dengan produk akhir. Sebaliknya, pada negara importir jumlah penduduk akan meningkatkan ekspor negara ASEAN. Pada negara mitra transisi demografisnya sudah hampir selesai karena pertumbuhan penduduknya sangat kecil, tetapi kualitas dari penduduknya yang tinggi meningkatkan produktifitas dan akhirnya produksi dan perdagangan. Hasil tersebut sesuai dengan temuan Do (2006) yang menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral salah satunya ditentukan oleh ukuran pasar atau jumlah penduduk. Integrasi perdagangan berpengaruh positif dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar tingkat integrasinya, akan memperbesar volume perdagangan ASEAN dan negara anggotanya. Keterbukaan ekonomi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap aliran perdagangan. Semakin terbuka sebuah perekonomian atau negara menunjukkan adanya kemudahan dalam melaksanakan transaksi perdagangan dengan negara mitra perdagangannya. Hasil yang sama ditemukan oleh Guttman dan Richards (2004), dengan estimasi
model gravity yang menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan di Australia. Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran perdagangan. Semakin terbuka sebuah kawasan atau negara maka semakin tinggi pula tingkat aliran perdagangannya. Alasan utama dari
hasil tersebut adalah
bahwa peningkatan perdagangan akibat keterbukaan ekonomi menciptakan lebih banyak keuntungan dari pada membatasi perdagangannya baik pada sektor maupun pada negara tertentu. Mengingat rumusan keterbukaan ekonomi yaitu rasio antara penjumlahan ekspor dan impor dibandingkan GDP, maka keterbukaan ekonomi dapat dilihat dari intensitas barang keluar atau ekspor dan barang masuk atau impor. Assumsi ini berlaku apabila hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif kondusif bagi negara yang melaksanakan perdagangan. Nilai tukar mata uang negara ASEAN berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perdagangan, semakin terdepresiasi nilai mata uang negara ASEAN akan meningkatkan penawaran ekspor dari negara ASEAN. Respons penawaran ekspor lebih besar dari permintaan impor. Nilai tukar mata uang yang rendah, akan meningkatkan jumlah uang beredar dan meningkatkan produksi serta mendorong ekspor. Sebaliknya, depresiasi nilai tukar negara importir berpengaruh positif terhadap ekspor ASEAN. Semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir dapat meningkatkan volume ekspor negara ASEAN, dengan tingkat elastisitas yang relatif kecil. Do (2006) menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral suatu negara ditentukan oleh exchange rate selain ukuran ekonomi dan ukuran pasar. Besarnya tingkat tarif impor yang diberlakukan berpengaruh positif terhadap aliran perdagangan ASEAN. Sekalipun terjadi kenaikan tarif di ASEAN,
peningkatan perdagangan tetap positif karena negara ASEAN lebih berorientasi ekspor. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Yeats (1998) yang menunjukkan bahwa hanya produk yang kompetitif di luar kawasan integrasi yang dapat mendorong pertumbuhan perdagangan di luar kawasan integrasi. Kebijakan tarif ASEAN mengacu pada kesepakatan AFTA melalui penghapusan tarif dan nontarif dengan target penurunan 0-5 persen untuk produk yang memiliki muatan ASEAN sebesar 15 persen dalam kurun waktu 15 tahun sejak tahun 1993. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teoritis tarif dapat menghambat impor dan meningkatkan harga barang impor dan melindungi industri dalam negeri. Pengaruh tingkat tarif negara importir terhadap volume ekspor negara ASEAN adalah negatif dan signifikan. Secara teoritis dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor, volume ekspor akan menurun. Produsen domestik dapat memenuhi pasar dalam negeri dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan harga barang impor yang dikenai tarif dengan harga lebih mahal. Jadi, meskipun impor menurun tetapi ekspor tetap lebih tinggi. 5.1.2. Perdagangan Negara Anggota ASEAN Bagian ini menganalisis pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makro ekonomi negara ASEAN terhadap perdagangan setiap anggota ASEAN yaitu Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand dan Filipina. Dengan menggunakan
panel data model gravity persamaan perdagangan yang diestimasi dijelaskan sebagai berikut: 5.1.2.1. Analisis Aliran Perdagangan Malaysia Pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makro ekonomi terhadap aliran perdagangan
Malaysia
dianalisis
berdasarkan
hasil
estimasi
persamaan
perdagangan Malaysia disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Estimasi Model Perdagangan Malaysia Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC
Koefisien -33.632 2.2262 2.2663 0.0014 -0,0009 0.0302 -0.2958 0.0006 0.0109 0.0030 -0.0014 0.0014 -0.0714 -0.0763 0.0062 -0.0057 0.1847 0.1424
Standar Error 0.724037 0.037227 0.040850 0.001608 0.001576 0.005204 0.011843 0.003099 0.002687 0.000772 0.000805 0.001030 0.003071 0.003414 0.001190 0.000787 0.018518 0.023311
Nilai Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.3777 0.9529 0.0000 0.0000 0.8339 0.0001 0.0001 0.0801 0.1616 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Malaysia merupakan negara ASEAN yang berhasil melaksanakan industrialisasi secara terencana sejak diterapkannya kebijakan ekonomi baru (New Economic Policy, NEP) pada tahun 1971. Program NEP dibiayai oleh hasil ekspor komoditas primer Malaysia. Untuk menjamin tercapainya NEP pemerintah Malaysia meningkatkan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi. Peran
pemerintah tersebut membawa wajah baru industrialisasi di Malaysia. Malaysia dikenal sebagai negara Asia yang sukses melewati transisi ekonomi, bahkan pada tahun 1990 ekspor manufaktur mencapai 30 persen sehingga masuk dalam Newly Industrialized Country (NIC). Hasil estimasi model perdagangan Malaysia menunjukkan bahwa secara umum variabel yang dianalisis memiliki koefisien yang berpengaruh positif dan signifikan, kecuali variabel tarif dan nilai tukar. Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Malaysia adalah positif dan signifikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa FDI dapat meningkatkan output yang akhirnya peningkatan ekspor. Nilai ekspor Malaysia meningkat dari US$ 46 316.5 miliar (tahun 1993) menjadi 194 495.9 miliar (tahun 2008) atau rata-rata naik sebesar 11.08 persen per tahun. Sedangkan nilai impor Malaysia mencapai US$ 44 338.0 miliar (tahun 1993) kemudian menjadi US$ 144 298.8 miliar (tahun 2008) atau naik 9.662 persen per tahun. Dari hasil nilai ekspor dan impor tersebut berarti setiap tahun Malaysia masih net ekspor. Ekspor Malaysia sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Pada tahun 1993 nilai ekspor Malaysia ke negara ekstra-ASEAN yaitu sebesar US$ 33 329.7 miliar menjadi US$ 144 094.5 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 11.28 persen per tahun. Ekspor pada negara intra-ASEAN juga meningkat. Pada tahun 1993 nilai ekspor Malaysia adalah sebesar US$ 12 986.9 miliar kemudian menjadi US$ 50 401.4 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 10.69 persen per tahun. Peningkatan perdagangan tersebut menunjukkan bahwa FDI di Malaysia dapat menghasilkan komoditi ekspor dan meningkatkan volume ekspor bilateral,
baik terhadap ASEAN maupun negara ekstra-ASEAN. Realisasi FDI ke Malaysia antara tahun 2000-2008 meningkat searah dengan perdagangan. Pada tahun 2000 realisasi FDI mencapai US$ 3 787.6 miliar dan pada tahun 2008 menjadi US$ 8 053.0 miliar. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya pada tahun 2002 share FDI malaysia mencapai 27.5 persen kemudian menurun menjadi 18.9 persen pada tahun 2008. FDI negara importir berpengaruh secara negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI pada negara mitra perdagangan memproduksi barang yang bersifat substitusi impor. GDP Malaysia maupun GDP negara importir memberi pengaruh positif dan signifikan. Peningkatan GDP menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. Pada rentang tahun 2000-2008, GDP Malaysia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 5.087 persen. Pada tahun 2000 sebesar 356 miliar ringgit kemudian meningkat menjadi 528.80 miliar pada tahun 2008. Selain itu, GDP perkapita juga meningkat dari US$ 3 844 (tahun 2000) menjadi US$ 7 992 (tahun 2008) atau rata-rata mengalami kenaikan sebesar 9.807 persen per tahun. Sementara itu, kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume ekspor Malaysia. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya beli masyarakat negara importir. Do (2006) menyimpulkan bahwa salah satu penyebab aliran perdagangan bilateral adalah ukuran ekonomi atau GDP. Jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume perdagangan, begitu pula dengan jumlah penduduk negara mitra dagang. Do (2006) menyimpulkan bahwa aliran perdagangan bilateral salah satunya ditentukan oleh ukuran pasar. Jumlah penduduk Malaysia tahun 2000 adalah
sebesar 23 275 juta kemudian tumbuh menjadi 27 863 juta pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 2.02 persen per tahun. Secara teoritis, jumlah penduduk Malaysia berpengaruh positif karena pertambahan penduduk berarti pertumbuhan tenaga kerja yang akan meningkatkan produksi barang dan jasa yang akan meningkatkan volume perdagangan. Penduduk yang besar juga merupakan pasar yang besar. Nilai tukar Ringgit Malaysia terhadap US$ relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2000 nilai tukar Malaysia sebesar 3.80 Ringgit/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 3.55 Ringgit/US$. Dalam analisis ini, variabel nilai tukar Ringgit Malaysia berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap volume perdagangannya. Hal ini berarti semakin terdepresiasi nilai mata uang Ringgit maka perdagangan Malaysia mengalami penurunan, tetapi penurunan tersebut tidak signifikan. Nilai ini menunjukkan elastisitas nilai tukar terhadap ekspor Malaysia relatif rendah tetapi positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barangbarang impor dari Malaysia akan meningkat. Tingkat tarif di Malaysia memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor Malaysia. Variabel tarif negara importir juga negatif dan signifikan. Malaysia memiliki komitmen yang kuat terhadap CEPT-AFTA untuk mengikuti liberalisasi perdagangan. Sejak 1 Januari 2005, sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam. Produk-produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya diatas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada
tahun 2003. Secara teori, semakin tinggi tarif pada negara tujuan ekspor, volume ekspor akan menurun. Jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor Malaysia. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan negara importir maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kawasan integrasi ekonomi Andean dan Mercusor. Pengaruh variabel integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan. Nilai koefisien ASEAN ini lebih besar dibanding dengan APEC, artinya dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN maka volume perdagangan Malaysia di ASEAN meningkat lebih besar dibanding integrasi APEC. Hal tersebut menunjukkan bahwa Malaysia dapat memanfaatkan ASEAN untuk meningkatkan perdagangannya. Secara keseluruhan ekspor ASEAN ke negara intra-ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 2000 ekspor intra-ASEAN hanya US$ 93.380 juta sedangkan keluar ASEAN US$ 316 760 juta atau hanya sekitar 22.8 persen. Pada tahun 2006 ekspor intra-ASEAN US$ 189 176 juta sedangkan luar ASEAN sebesar US$ 561 531 juta atau sekitar 25.2 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa sampai sekarang sumbangan perdagangan intraASEAN masih relatif kecil dibanding dengan negara mitra perdagangannya. Dalam rangka meningkatkan perdagangannya, Malaysia juga membentuk FTA dengan beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS). Inisiatif FTA Malaysia–AS tersebut sebenarnya berasal dari AS. Dengan membuat FTA dengan Malaysia, memberi kesempatan kepada perusahaan AS masuk ke Asia Tenggara
dengan pasar sebesar US$ 3 triliun. Saat ini Malaysia merupakan mitra terbesar AS di ASEAN dan sepuluh besar di dunia. AS memiliki perdagangan dua arah berjumlah US$ 44 miliar pada tahun 2005, 60 persen lebih besar daripada perdagangangan dengan India. AS merupakan pasar terbesar kedua Malaysia. Malaysia dan AS merupakan mitra dalam negosiasi perdagangan global serta menjadi pemain penting dalam forum APEC. Kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang menganalisis dua skenario liberalisasi perdagangan potensial, yaitu Free Trade Area (FTA) di Amerika dan kemungkinan hubungan antara Mercusor dan Uni Eropa. Hasilnya FTA menciptakan kreasi perdagangan, dan terdapat penurunan perdagangan pada jumlah yang kecil (trade disversion) di negara yang tidak berpartisipasi dalam FTA sekitar 0.02 persen. Kesimpulan tersebut menolak kekhawatiran bahwa liberalisasi dalam jangka panjang akan menyebabkan instabilitas makroekonomi. 5.1.2.2. Analisis Aliran Perdagangan Indonesia Bagian ini menganalisis variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi ASEAN yang berpengaruh terhadap aliran perdagangan Indonesia. Hasil estimasi model aliran perdagangan Indonesia disajikan pada Tabel 13. Salah satu kebijakan penting perdagangan Indonesia setelah krisis tahun 1998 adalah memperluas liberalisasi perdagangan dengan menghapus berbagai restriksi tarif dan non-tarif maupun batasan ekspor. Kritik terhadap kebijakan tersebut adalah dilakukannya liberalisasi terhadap sektor sensitif seperti notifikasi terhadap peran bulog sebagai state trading enterprise. Indonesia menjadi negara berkembang paling liberal di sektor perdagangan. Padahal ekspor Indonesia masih didominasi sektor primer yang berbasis komoditas sumberdaya alam.
Tabel 13. Hasil Estimasi Model Perdagangan Indonesia Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC
Koefisien -24.768 1.6231 1.8339 0.0712 -0.0838 0.0082 -0.3318 0.0453 0.0082 0.0371 0.0426 0.0444 -0.1357 -0.1632 0.0645 -0.0013 0.2232 0.2358
Standar Error 1.622555 0.070841 0.175496 0.014547 0.015105 0.019689 0.026451 0.012247 0.024819 0.008228 0.006214 0.006619 0.010563 0.015705 0.012455 0.007354 0.023125 0.020207
Nilai Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.6767 0.0000 0.0002 0.7400 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8521 0.0000 0.0000
Hasil estimasi menunjukkan pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi terhadap perdagangan Indonesia dengan negara mitra, adalah hampir semua variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Indonesia kecuali tarif, jarak, dan variabel suku bunga. Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Indonesia adalah positif karena kegiatan investasi di Indonesia dapat menghasilkan komoditi ekspor. FDI di Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat berarti sekalipun dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, Indonesia masih relatif tertinggal. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya penyerapan FDI di Indonesia adalah tingkat kemudahan investasi (kemudahan mengawali bisnis, kemudahan
perizinan, perlindungan terhadap investor, kemudahan perdagangan, komitmen kontrak) yang nilainya lebih rendah, dibandingkan negara lainnya di kawasan. Indonesia hanya bersaing dengan Filipina, sementara Singapura, Malaysia, Thailand menikmati FDI jauh lebih besar dari Indonesia. Sejak tahun 1995 FDI ke Indonesia hanya sekitar US$ 4 346.0 miliar kemudian menjadi US$ 8 336.0 miliar pada tahun 2005, meskipun terjadi FDI outflow pada saat krisis tahun 1998 sebesar US$ -356.0 miliar bahkan pada tahun 2001 FDI outflow masih terjadi sebesar US$ -3 278.5 miliar. Semakin besar FDI masuk ke Indonesia, semakin besar pula volume perdagangan bilateral. FDI negara importir juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan Indonesia. Pengaruh variabel GDP, baik GDP Indonesia maupun negara importir adalah positif. Kenaikan GDP Indonesia dapat meningkatkan volume perdagangan karena adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta penambahan kapasitas produksi juga peningkatan daya beli. GDP Indonesia pada harga konstan naik sangat tinggi pada tahun 2000 GDP adalah Rp. 1 389 770 miliar dan pada tahun 2008 menjadi Rp. 2 082 104 miliar. Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap perdagangan Indonesia. Hal ini disebabkan adanya kenaikan daya beli bagi negara importir. Semakin tinggi GDP maka semakin besar pangsa pasar produk ekspor Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia adalah input bagi pertumbuhan ekonomi, sekaligus merupakan konsumen bagi output perekonomian. Ketidakmampuan memanfaatkan potensi jumlah penduduk dapat menumbuhkan ketidakefisienan dalam alokasi sumberdaya dan menunjukkan ketidakmampuan perekonomian
suatu negara untuk meningkatkan daya beli pada negaranya. Lewis (1959) menyatakan bahwa penduduk yang besar dapat memberikan kontribusi terhadap output dan tenaga kerja pada sektor baru yang lain. Dengan kata lain, kelebihan jumlah penduduk dapat digunakan untuk mengakumulasi pendapatan. Hasil analisis menunjukkan jumlah penduduk Indonesia berpengaruh signifikan terhadap peningkatan volume perdagangan, baik Indonesia maupun negara mitra. Hal tersebut sesuai temuan Carillo dan Li (2002) bahwa market size berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral. Dari sisi permintaan besarnya jumlah penduduk menyebabkan produsen dalam negeri lebih mengutamakan permintaan dalam negeri dibanding ekspor. Penduduk Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN dan terbesar keempat di dunia. Tahun 2000 penduduk Indonesia mencapai 205 juta jiwa dan pada tahun 2008 menjadi 228 juta jiwa atau rata-rata tumbuh sebesar 1.208 persen per tahun. Potensi pasar tersebut sangat menjanjikan bagi produsen dalam negeri maupun negara mitra perdagangan. Produk yang dihasilkan adalah produk antara dan produk akhir. Pengaruh nilai tukar riil terhadap perdagangan Indonesia adalah negatif dan signifikan. Artinya, bahwa apabila nilai tukar Rupiah terdepresiasi terhadap Dolar AS maka akan meningkatkan ekspor Indonesia dengan mitranya. Hal tersebut menunjukkan bahwa respons perubahan nilai tukar terhadap perdagangan meningkat, respons ekspor lebih besar dari pada respons terhadap impor. Secara teori, depresiasi nilai tukar akan meningkatkan produksi dan meningkatkan volume ekspor.
Sementara nilai tukar riil importir juga adalah positif dan
signifikan. Depresiasi nilai tukar pada negara mitra dagang Indonesia akan meningkatkan permintaan perdagangan dari negara ASEAN dan Indonesia.
Variabel tarif yang berupa pengaruh tingkat tarif negara Indonesia terhadap perdagangan adalah kecil dan tidak signifikan. Fluktuasi volume perdagangan juga dipengaruhi oleh tingkat tarif yang diberlakukan di negara importir. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk-produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Variabel tarif negara importir berpengaruh negatif dan signifikan. Secara teoritis dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun karena harga akan cenderung mengalami kenaikan. Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume perdagangan Indonesia. Semakin jauh jarak antara Jakarta dengan negara importir maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume perdagangan dengan negara mitra dagang pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan. Integrasi APEC lebih besar pengaruhnya dibanding nilai koefisien integrasi ASEAN. Nilai tersebut menunjukkan bahwa integrasi ekonomi ASEAN dapat meningkatkan perdagangan Indonesia di ASEAN, tetapi nilainya ini relatif kecil. Penelitian Clarete et al. (2002) tentang tingkat integrasi perdagangan yang tergabung dengan integrasi APEC, Uni Eropa
dan NAFTA memberikan hasil yang sama. Artinya, integrasi ekonomi berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan dunia. Rendahnya ekspor Indonesia ke intra-ASEAN memperkuat adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Indonesia dengan negara-negara ASEAN, sehingga cenderung terjadi kompetisi di antara negara kawasan, terutama pada komoditi-komoditi primer. Perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN masih relatif kecil. Perdagangan Indonesia didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Perdagangan di antara negara ASEAN masih didominasi oleh perdagangan barang-barang komponen (intra industri trade) seperti elektronik dan produk lainnya. Integrasi APEC memberi pengaruh yang lebih besar dalam meningkatkan perdagangan Indonesia. Pengaruh perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan dengan negara anggotanya. Selain itu, ada kecenderungan kerja sama integrasi menyebabkan negara anggota memberikan perhatian yang lebih tinggi bagi negara anggota. Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Soloaga dan Winters (2001) dan Frankel (1997) yang meneliti bagaimana perdagangan kawasan integrasi Mercusor. Hasilnya menunjukkan bahwa keanggotaan Mercusor berpengaruh positif dan signikan pada peningkatan ekspor. 5.1.2.3. Analisis Aliran Perdagangan Singapura Singapura merupakan promotor utama liberalisasi perdagangan barang dan jasa di ASEAN. Di antara negara ASEAN, Singapura dikenal lebih agresif dalam melakukan FTA baik dalam kerangka AFTA maupun APEC. Sebagai anggota
ASEAN, Singapura telah menurunkan beberapa hambatan tarif dan non-tarif dalam kerangka CEPT-AFTA serta kerjasama ekonomi lainnya di ASEAN. Analisis ini melihat pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi ASEAN terhadap aliran perdagangan Singapura. Hasil estimasi persamaan perdagangan untuk Singapura, secara ringkas seperti Tabel 14. Tabel 14. Hasil Estimasi Model Perdagangan Singapura Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi Iri GDPj POPj FDIj RERj Irj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC
Koefisien -29.440 1.9524 2.1693 0.0065 0.0122 0.1052 -0.3478 0.0242 0.0296 0.0105 -0.0068 0.0060 -0.1101 -0.1355 0.0038 -0.0152 0.1148 0.2475
Standar Error 0.744213 0.031241 0.061484 0.003725 0.003779 0.012035 0.011583 0.003492 0.008200 0.002293 0.002168 0.001261 0.005031 0.005913 0.003000 0.002089 0.009628 0.006723
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.0805 0.0012 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0018 0.0000 0.0000 0.0000 0.1948 0.0000 0.0000 0.0000
Hasil estimasi model perdagangan Singapura menunjukkan bahwa variabel yang dianalisis memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Singapura kecuali variabel tarif dan jarak. Pengaruh investasi FDI di Singapura terhadap perdagangan bilateral Singapura dengan negara mitra dagangnya adalah signifikan. Ekspor Singapura mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi dan tertinggi di kawasan ASEAN. Nilai ekspor Singapura rata-rata
mengalami kenaikan sebesar 8.607 persen dan impor 7.38 persen. Hal ini terlihat dari nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 74 001.1 miliar menjadi menjadi US$ 241 404.7 miliar pada tahun 2008, sedangkan impornya dari US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 230 760.3 miliar. Angka tersebut menunjukkan bahwa Singapura merupakan negara net ekspor. Ekspor Singapura sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Pada rentang tahun 1993-2008, ekspor Singapura ke negara ekstra-ASEAN meningkat dari US$ 74 001.1 miliar tahun 1993 menjadi US$ 139 927.4 miliar tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 7.015 persen per tahun. Sedangkan ekspor pada negara intra-ASEAN, pada rentang tahun yang sama, menunjukkan peningkatan dari US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 101 477.3 miliar atau rata-rata naik sebesar 12.933 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kegiatan investasi di Singapura berkorelasi secara positif dengan perdagangan. Hal tersebut disebabkan karena FDI dapat menghasilkan komoditi ekspor, semakin besar FDI di Singapura maka akan meningkatkan volume ekspor bilateral, baik terhadap sesama anggota kawasan maupun dengan kawasan diluar integrasi ASEAN. Ekspor intra-ASEAN hanya berkisar 13.339 persen artinya 86.661 persen ekspor Singapura ke negara di luar anggota integrasi ASEAN. Singapura adalah negara paling banyak memanfaatkan perjanjian CEPT-AFTA ekspor di kawasan negara anggota ASEAN. Realisasi FDI ke Singapura antara tahun 2000-2008 meningkat pesat. Pada tahun 2000, realisasi investasi FDI mencapai US$ 16 485.4 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 22 801.8 miliar, atau rata-rata meningkat sebesar 12.77 persen
per tahun. Dibanding dengan negara anggota ASEAN lainnya, pada tahun 2000 share FDI Singapura mencapai 84.1 persen kemudian turun menjadi 53.1 persen pada tahun 2008. Singapura adalah negara dengan FDI inflow terbesar di kawasan ASEAN. Salah satu penyebabnya adalah kemudahan investasi serta korupsi yang rendah sehingga menyebabkan investor tidak begitu tertarik menanamkan modalnya di Singapura. Hal yang sama juga terjadi pada FDI negara importir atau mitra dagang Singapura yang berpengaruh signifikan secara negatif. Hal ini menunjukkan bahwa FDI di negara mitra Singapura memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor, atau mengalihkan permintaan pasarnya ke negara lain atau kawasan integrasi ekonomi lainnya. Pada saat krisis di Asia timur tahun 1998, Singapura adalah negara yang mampu mengatur pertumbuhan positif. Strateginya adalah keterbukaan eksternal terhadap perdagangan dan arus investasi. Singapura merupakan negara keenam belas terbesar dalam sektor perdagangan dan ekspor jasa. Perkembangan GDP Singapura mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2007. GDP Singapura pada tahun 2000 adalah sebesar 160 miliar Dolar Singapura kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 234 miliar Dolar Singapura, atau mengalami peningkatan rata-rata 4.39 persen per tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP perkapita juga meningkat dari sebesar US$ 23 007 tahun 2000 menjadi US$ 38 046 tahun 2008, atau mengalami kenaikan rata-rata 6.10 persen per tahun. Sementara kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume ekspor Singapura. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan
daya beli bagi negara mitra dagang Singapura, semakin tinggi GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor. Peningkatan dalam daya beli menyebabkan peningkatan permintaan barang komponen untuk substitusi impor. Jumlah penduduk Singapura sangat kecil, tetapi memberi pengaruh yang positif begitu juga jumlah penduduk negara mitra dagang berpengaruh positif terhadap volume perdagangan. Perkembangan jumlah penduduk Singapura pada tahun 2000 sebesar 4 028 juta jiwa menjadi 4 839 juta jiwa, atau naik rata-rata 2.077 persen per tahun. Singapura merupakan negara dengan kualitas sumberdaya manusia yang sangat tinggi, sehingga memiliki produktifitas yang tinggi pula. Meskipun pertambahan penduduknya kecil, tetapi kualitas tenaga kerjanya sangat baik sehingga akan meningkatkan produksi barang dan jasa dan pada akhirnya meningkatkan perdagangan baik dalam negeri maupun ekspor. Di negara mitra, pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan impor dari Singapura. Nilai tukar Dolar Singapura terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998 nilai tukar Dolar Singapura sebesar 1.76 Sing$/US$ dan cenderung melemah pada tahun 2008 menjadi 1.44 Sing$/US$ dalam 9 tahun terakhir. Nilai tukar Dolar Singapura berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap volume ekspornya, artinya semakin terdepresiasi nilai mata uang Singapura maka perdagangannya mengalami penurunan. Pengaruh nilai tukar negara importir terhadap perdagangan Singapura adalah positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari Singapura akan meningkat. Tarif yang diberlakukan Singapura berpengaruh negatif yang signifikan terhadap volume perdagangan Singapura. Tarif negara importir juga berpengaruh
negatif. Singapura adalah negara yang konsisten terhadap pelaksanaan kebijakan CEPT-AFTA. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List (IL) CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk-produk dalam IL yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teoritis, semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan Singapura. Nilai koefisien integrasi APEC lebih besar dibanding nilai koefisien integrasi ASEAN. Dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN, volume perdagangan Singapura terhadap negara anggota lebih kecil dibandingkan dengan negara anggota APEC. Kenyataan tersebut memperkuat asumsi adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Singapura dengan negara ASEAN. Perdagangan Singapura dengan negara ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 1993 pada saat mulainya penurunan tarif CEPT-AFTA ekspor Singapura ke negara intra-ASEAN US$ 18 0406.1 miliar pada tahun yang sama ekspor ke ekstra-Singapura sebesar US$ 55 595.0 miliar. Dibandingkan ekstra-ASEAN, ekspor intra-ASEAN hanya 24.8 persen selebihnya 75.2 persen ekstra-ASEAN. Nilai tersebut merupakan persentase terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Singapura berhasil memanfaatkan peluang perdagangan dalam konteks CEPT-AFTA. Di luar ASEAN, mitra dagang Singapura didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Manfaat yang diperoleh Singapura dengan bergabung dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil dibanding dengan APEC.
Pengaruh perdagangan Singapura dengan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Hal ini sesuai kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang menganalisis dua skenario liberalisasi perdagangan potensial, yaitu FTA di Amerika dan kemungkinan hubungan antara Mercusor dan Uni Eropa. Kesimpulannya, FTA menciptakan kreasi perdagangan. Hal tersebut yang mendorong Singapura terus memprakarsai kerjasama regional dan bilateral dibidang perdagangan maupun investasi. Singapura juga menilai integrasi APEC terlalu besar dan luas sehingga tidak mampu menangani semua masalah perdagangan dan investasi. Karena itu, Singapura menempuh dan memperkuat jalur bilateral untuk mendukung kebijakannya di sektor perdagangan. Singapura membentuk perjanjian bilateral dengan Amerika Serikat dan Jepang. Bagi Singapura kerja sama tersebut bernilai strategis karena memperoleh akses pasar yang luas dan sebagai cara menghindari kerugian dari adanya kebijakan proteksi. 5.1.2.4. Analisis Aliran Perdagangan Thailand Hasil estimasi pengaruh integrasi ekonomi ASEAN dan variabel makroekonomi terhadap aliran perdagangan di Thailand, secara ringkas disajikan pada Tabel 15. Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara umum variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Thailand kecuali tarif dan nilai tukar berpengaruh negatif. Thailand mengalami pertumbuhan ekspor yang tinggi, secara berurutan nilai ekspor pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 37 634.5 miliar dan US$ 174 966.7 miliar atau ratarata naik sebesar 10.82 persen per tahun. Pada rentang tahun yang sama, impornya
mengalami perubahan dari US$ 46 883.7 miliar menjadi US$ 177 567.5 atau naik 10.44 persen per tahun. Thailand masih merupakan negara net impor. Ekspor Thailand sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Tahun 1993 ekspor ke negara ekstra-ASEAN, yaitu sebesar US$ 37 634.5 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 135 479.6 miliar atau rata-rata naik sebesar 10.18 persen per tahun. Sedang ekspor pada negara intra-ASEAN pada tahun 1993 sebesar US$ 46 883.7 miliar menjadi US$ 39 487.0 miliar tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 14.18 persen per tahun. Data tersebut menunjukkan peningkatan FDI di Thailand berkorelasi positif dengan perdagangan. FDI menghasilkan komoditi ekspor, meningkatkan volume ekspor bilateral baik intra-ASEAN maupun ekstraASEAN. Tabel 15. Hasil Estimasi Model Perdagangan Thailand Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC
Koefisien 47.420 0.7832 1.8173 0.0096 -0.0435 0.2052 -0.0066 -0.0078 -0.1665 0.4966 -0.0395 0.1078 -0.0181 -8.8738 0.0972 -0.0155 -0.1135 0.3746
Standar Error 2.446053 0.060074 0.403689 0.004148 0.038171 0.015821 0.011504 0.004257 0.042716 0.103982 0.002834 0.013705 0.003379 0.178935 0.008040 0.013279 0.011803 0.017104
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.0205 0.2548 0.0000 0.5610 0.0649 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2423 0.0000 0.0000
Pengaruh FDI terhadap perdagangan bilateral Thailand dengan negara mitra dagangnya, adalah positif. Secara teoritis FDI akan meningkatkan output dan output meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan perdagangan. Data realisasi FDI ke Thailand antara tahun 20002008 menujukkan peningkatan pada tahun 2000 realisasi investasi FDI mencapai US$ 3 350.3 miliar dan pada tahun 2008 sebesar US$ 9 834.5 miliar, atau rata-rata naik sebesar 21.54 persen per tahun. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya, pada tahun 2002 FDI Thailand mencapai 7.2 persen meningkat menjadi 8.4 persen pada tahun 2008. Artinya, share FDI Thailand di ASEAN menurun sejak 4 tahun terakhir. Sedangkan perkembangan FDI negara importir berpengaruh negatif dan signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI pada negara mitra Thailand memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor atau mengalihkan permintaan pasarnya ke negara lain atau kawasan lainnya. Pertumbuhan
GDP
Thailand
maupun
negara
mitra
dagangnya,
berpengaruh positif dan signifikan. Perkembangan GDP Thailand pada harga konstan mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2008. GDP Thailand pada tahun 2000 adalah sebesar 3 008 miliar Bath kemudian pada tahun 2008 nilainya menjadi 4 370 miliar Bath, atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4.258 persen per tahun. Peningkatan tersebut disebabkan karena adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP per kapita meningkat dari US$ 1 976 pada tahun 2000 menjadi US$ 4 116 pada tahun 2008, atau mengalami kenaikan ratarata 8.75 persen per tahun.
Kenaikan GDP pada negara importir juga berpengaruh positif terhadap volume ekspor Thailand. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan daya beli bagi negara mitra dagang Thailand. Semakin tinggi tingkat GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor. Komoditi yang diekspor Thailand kepada negara mitranya adalah produk final goods dan intermediate goods. Nilai tukar Bath Thailand terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya setelah krisis tahun 1998. Pada tahun 1998 nilai tukar Bath Thailand sebesar 40.31 Bath/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 33.36 Bath/US$ atau menguat 14 persen dalam 10 tahun terakhir. Nilai tukar Bath Thailand berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap volume ekspornya. Hal tersebut berarti bahwa semakin Bath terdepresiasi maka perdagangan Thailand pun mengalami peningkatan, walaupun peningkatan tersebut tidak signifikan. Nilai tukar negara importir terhadap ekspor Thailand adalah positif, tetapi elastisitas nilai tukar terhadap ekspor Thailand relatif rendah. Artinya, semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari Thailand meningkat. Tingkat tarif yang diberlakukan di Thailand ternyata tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume ekspor Thailand. Sementara variabel tarif negara importir negatif dan signifikan. Thailand konsisten dalam menjalankan kebijakan dan perjanjian CEPT-AFTA. Sejak 1 Januari 2005 sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam Inclusion List (IL) CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam. Produk-produk dalam IL yang tarifnya di atas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada
tahun 2003. Secara teori, semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun. Artinya, apabila terjadi peningkatan tarif pada negara mitra perdagangan maka terjadi penurunan nilai ekspor dari Thailand. Variabel jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume ekspor Thailand. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan negara importir maka semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan Thailand. Pengaruh integrasi APEC lebih besar dibanding integrasi ASEAN. Artinya, dengan adanya integrasi ekonomi ASEAN maka volume perdagangan Thailand di ASEAN terhadap negara anggota ASEAN lebih kecil. Hal ini memperkuat alasan adanya kesamaan sumberdaya yang dimiliki Thailand dengan negara ASEAN sehingga cenderung terjadi kompetisi di negara ASEAN, terutama pada komoditi primer. Perdagangan Thailand dengan negara ASEAN masih relatif kecil. Pada tahun 1993 ekspor Thailand ke negara intra-ASEAN adalah sebesar US$ 6 008.4 miliar sedangkan ekspor ke negara ekstra-ASEAN sebesar US$ 31 626.1 miliar. Dibandingkan ekstra-ASEAN, ekspor intra-ASEAN hanya sebesar 16 persen. Mitra dagang Thailand didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manfaat perdagangan yang diperoleh Thailand dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil.
Perdagangan di antara negara ASEAN lebih pada perdagangan barang komponen (intra industri trade) seperti elektronik dan produk lainnya. Pengaruh perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Integrasi ekonomi APEC lebih banyak meningkatkan perdagangan negara Thailand ketimbang pengaruh integrasi ASEAN. Manfaat ASEAN bagi Thailand masih lebih kecil dibanding manfaat yang diperoleh Thailand bergabung dalam APEC. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan bagi negara anggota integrasi ekonomi. 5.1.2.5. Analisis Aliran Perdagangan Filipina Hasil estimasi model perdagangan Filipina disajikan secara ringkas pada Tabel 16. Hampir semua variabel yang dianalisis berpengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan bilateral Filipina kecuali variabel tarif dan jarak. Pengaruh investasi FDI di Filipina terhadap perdagangan bilateral Filipina dengan negara mitra dagangnya, adalah signifikan. Ekspor Filipina mengalami pertumbuhan yang baik, pada tahun 1993 nilai ekspornya US$ 11 374.8 miliar kemudian menjadi US$ 49 025.4 miliar pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 10.140 persen per tahun. Impornya pada tahun 1993 mencapai US$ 17 597.4 miliar kemudian menjadi US$ 56 645.6 miliar pada tahun 2008, atau naik 8.2 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa Filipina merupakan negara net impor. Ekspor Filipina sebagian besar ditujukan pada negara ekstra-ASEAN. Pada tahun 1993 ekspor ke negara ekstra-ASEAN yaitu sebesar US$ 11 374.8 miliar dan pada tahun 2008 menjadi sebesar US$ 41 943.7 miliar, atau rata-rata naik sebesar 9.53 persen per tahun. Ekspor pada negara
intra-ASEAN tahun 1993 adalah sebesar US$ 795.3 miliar menjadi US$ 7 081.7 miliar pada tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 16.90 persen per tahun. Tabel 16. Hasil Estimasi Model Perdagangan Filipina Variabel C GDPi POPi FDIi RERi OPENi TAXi IRi GDPj POPj FDIj RERj IRj DIST TIIi TAXj ASEAN APEC
Koefisien 4.5232 0.1398 0.6052 0.0233 -0.0480 0.2711 -0.8540 0.0355 -0.0012 0.0335 -0.0308 0.0115 -0.1938 -0.2028 0.0110 -0.0274 0.0306 0.0723
Standar Error 0.966109 0.043974 0.075790 0.005246 0.005566 0.014163 0.013181 0.004656 0.009933 0.002807 0.002943 0.001997 0.009575 0.009968 0.003967 0.003097 0.011339 0.012032
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0016 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8998 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0054 0.0000 0.0071 0.0000
Fakta tersebut menunjukkan bahwa peningkatan FDI di Filipina berkorelasi secara positif dengan perdagangan. FDI dapat menghasilkan komoditi yang dapat diekspor. Semakin besar FDI di Filipina maka semakin meningkatkan volume ekspor bilateral, baik terhadap anggota negara ASEAN maupun dengan kawasan di luar integrasi ASEAN. Tetapi ekspor intra-ASEAN hanya berkisar 17.4 persen sedangkan 82.6 persen ekspor Filipina ke negara di luar anggota integrasi ASEAN. Realisasi FDI ke Filipina antara tahun 2000-2008 meningkat dengan pesat. Realisasi investasi FDI awalnya (tahun 2000) mencapai US$ 2 239.6 miliar dan
menjadi US$ 1 520.0 miliar (tahun 2008). Dibanding dengan negara anggota ASEAN lainnya, pada tahun 2000 share FDI Filipina mencapai 12.1 persen kemudian menurun menjadi 0.6 persen pada tahun 2008. Artinya, share FDI Filipina di ASEAN menurun drastis sejak 9 tahun terakhir. FDI negara importir atau mitra dagang Filipina, berpengaruh negatif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa FDI negara mitra memproduksi komoditas yang bersifat substitusi impor atau mengalihkan permintaan pasarnya dari Filipina ke negara lain atau kawasan integrasi ekonomi lainnya. GDP Filipina maupun negara mitra dagangnya, berpengaruh positif dan signifikan. Perkembangan GDP pada harga konstan Filipina mengalami peningkatan yang cukup berarti antara tahun 2000-2008, yaitu sebesar 958 miliar Peso menjadi 1 419 miliar Peso atau rata-rata meningkat 4.48 persen per tahun. Peningkatan GDP menunjukkan adanya peningkatan volume produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan penambahan kapasitas produksi. GDP perkapita juga meningkat dari US$ 978 pada tahun 2000 menjadi US$ 1 844 pada tahun 2008 atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 7.63 persen per tahun. Kenaikan GDP pada negara importir berpengaruh positif terhadap volume perdagangan Filipina. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kenaikan daya beli bagi negara mitra dagang. Semakin tinggi GDP semakin besar pangsa pasar produk ekspor. Peningkatan dalam daya beli menunjukkan peningkatan permintaan barang serta untuk substitusi impor. Jumlah penduduk Filipina memberi pengaruh yang positif dan signifikan, begitu juga jumlah penduduk negara mitra dagang berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume perdagangan. Perkembangan jumlah penduduk
Filipina pada tahun 2000 sebesar 76 947 juta jiwa menjadi 90 457 juta jiwa pada tahun 2008 atau rata-rata naik sebesar 1.815 persen per tahun. Hal tersebut disebabkan karena pertambahan penduduk menunjukkan adanya pertambahan tenaga kerja yang meningkatkan produksi barang dan jasa. Selain itu, penduduk yang besar merupakan sumber peningkatan daya beli yang pada akhirnya meningkatkan perdagangan, baik dalam negeri maupun ekspor. Pada negara mitra perdagangan Filipina yang umumnya merupakan negara maju, memiliki penduduk yang relatif terdidik dengan produktivitas yang tinggi sehingga berpengaruh besar terhadap peningkatan output. Kualitas penduduk dapat menyebabkan perubahan produktivitas yang akhirnya dapat menggeser fungsi produksi. Schultz (1962) menjelaskan pentingnya penduduk dalam pertumbuhan ekonomi. Sekalipun sumberdaya cukup tersedia, peralatan teknologi yang tinggi dan modal uang yang besar, tidak akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar. Terjadinya pertumbuhan populasi bagi negara importir menunjukan peningkatan daya beli sehingga akan meningkatkan permintaan impor dari Filipina, khususnya pada komoditi intermediate goods, bukan komoditi final goods. Nilai tukar Peso Filipina terhadap Dolar Amerika Serikat relatif stabil dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1998 nilai tukar Peso Filipina sebesar 50.00 Peso/US$ dan cenderung menguat pada tahun 2008 menjadi 48.09 Peso/US$ atau melemah 15.5 persen dalam 9 tahun terakhir. Nilai tukar Peso Filipina berpengaruh negatif, dan signifikan terhadap volume ekspornya. Semakin terdepresiasi nilai mata uang Peso maka ekspor Filipina akan mengalami peningkatan. Peso yang rendah akan menaikkan jumlah uang beredar,
meningkatkan produksi dan mendorong ekspor. Sedangkan elastisitas nilai tukar negara importir terhadap ekspor Filipina adalah positif, artinya semakin terdepresiasi nilai tukar negara importir maka permintaan atas barang impor dari Filipina akan meningkat. Tingkat tarif yang diberlakukan di Filipina ternyata tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap volume perdagangan Filipina. Sementara variabel tarif negara importir berpengaruh negatif. Filipina adalah negara ASEAN yang konsisten terhadap kebijakan dan perjanjian CEPT-AFTA. Sebesar 98.98 persen produk yang masuk dalam inclusion list CEPT telah berhasil diturunkan oleh ASEAN-5 ditambah Vietnam yang diberlakukan sejak 1 Januari 2005. Produk dalam Inclusion List (IL) yang tarifnya diatas 5 persen adalah produk yang baru ditransfer dari Temporary Exclution List (TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclution List (GEL) pada tahun 2003. Secara teori bahwa semakin tinggi tingkat tarif pada negara tujuan ekspor maka volume ekspor akan menurun. Variabel jarak sebagai proksi transportation cost berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume perdagangan Filipina. Semakin jauh jarak antar negara eksportir dengan importir, semakin besar biaya transportasi dan semakin turun volume ekspor pada negara tersebut. Hasil yang sama dikemukakan Carillo dan Li (2002) bahwa jarak, market size dan FTA di Andean dan Mercusor berpengaruh terhadap aliran perdagangan pada kedua kawasan tersebut. Integrasi ekonomi ASEAN maupun APEC berpengaruh positif dan signifikan. Pengaruh APEC lebih besar dibanding integrasi ASEAN, meskipun perjanjian pada kawasan APEC tidak mengikat seperti ASEAN yang kesepakatannya mengikat anggota integrasi. Dengan adanya integrasi ekonomi
ASEAN maka volume perdagangan Filipina di ASEAN terhadap negara anggota meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesamaan sumberdaya yang dimiliki Filipina dengan negara anggota lainnya, sehingga cenderung terjadi kompetisi di negara ASEAN, terutama pada komoditas primer. Perdagangan intra-ASEAN Filipina masih relatif kecil, pada tahun 1993 saat dimulainya penurunan tarif CEPT-AFTA ekspor Filipina ke negara intra-ASEAN US$ 6 008.4 miliar sedangkan ekspor ke negara ekstra-ASEAN sebesar US$ 31 626.1 miliar. Perdagangan Filipina didominasi oleh Jepang, Amerika, Eropa dan Cina. Manfaat yang diperoleh Filipina bergabung dalam integrasi ekonomi ASEAN masih relatif kecil. Perdagangan di antara negara ASEAN lebih pada perdagangan
barang-barang
komponen
(intra
industri
trade).
Pengaruh
perdagangan intra-APEC lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Dengan demikian maka integrasi ekonomi APEC lebih banyak meningkatkan perdagangan Filipina. Hal ini membuktikan bahwa semakin luas integrasi ekonomi, semakin meningkatkan volume perdagangan bagi anggota integrasi ekonomi. Hasil ini sesuai kesimpulan Diao, Bonilla dan Robinson (2002) yang mengatakan bahwa integrasi ekonomi dapat menciptakan kreasi perdagangan. 5.2. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment pada Kawasan ASEAN Model investasi FDI ASEAN menunjukkan adanya interaksi antara ASEAN sebagai negara penerima investasi yang melakukan integrasi ekonomi dengan negara multinasional sumber FDI. Negara investor melakukan investasi pada kawasan integrasi ekonomi, yang menurunkan bahkan menghilangkan hambatan tarif dalam perdagangan intra kawasan. Perusahaan lebih memilih berinvestasi pada kawasan ASEAN dibanding melakukan ekspor yang akan
dikenakan tarif bagi negara di luar kawasan integrasi. Model ini melihat pengaruh integrasi ekonomi dan variabel makroekonomi terhadap penerima FDI. Beberapa variabel yang secara teoritis memengaruhi volume FDI ke ASEAN, seperti GDP, populasi, tingkat bunga, tingkat tarif, jarak, size, keterbukaan ekonomi, dummy integrasi UE, NAFTA, APEC dan Cina-India. Realisasi FDI untuk kawasan ASEAN memiliki volatilitas yang cukup besar antara tahun 1995-2008. Pada tahun 1995 masih sebesar US$ 28 230.6 miliar kemudian menjadi US$ 60 596.0 miliar pada tahun 2008, atau rata-rata naik sebesar 13.306 persen. Nilai tersebut kelihatan relatif kecil, tetapi hal ini disebabkan adanya krisis Asia Timur pada tahun 1997-1998. Investasi kawasan pada tahun 1998 turun 34 persen dari tahun 1997 yaitu US$ 34 098.6 miliar. Penjelasan perkembangan FDI tersebut terlihat pada hasil estimasi persamaan investasi FDI ASEAN yang menunjukkan hampir semua variabel menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap volume investasi FDI pada kawasan ASEAN dari negara investor. Pengaruh positif juga terjadi pada GDP ASEAN maupun GDP investor. Pertumbuhan ekonomi di negara investor telah meningkatkan arus FDI ke negara ASEAN. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan capital outflow dalam bentuk FDI ke ASEAN, yang dianggap lebih efisien dibandingkan melakukan ekspor. Pengaruh positif dan signifikan juga terjadi pada GDP ASEAN, yang berarti pengaruh pertumbuhan ekonomi negara investor lebih besar dibanding negara ASEAN. Pengaruh tersebut disebabkan oleh peningkatan capital outflow investor dan kenaikan daya beli negara ASEAN, yang dipandang sebagai pasar bagi produk yang dihasilkan FDI.
Model persamaan investasi diestimasi dengan menggunakan model gravity. Hasil estimasi persamaan FDI ASEAN disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Hasil Estimasi Aliran Investasi Foreign Direct Invesment ASEAN Variabel C GDPj POPi RERj IRj SIZE OPENi RERi IRi POPj Xi Mi NAFTA UE APEC
Koefisien 27.15261 0.097388 0.047165 0.120770 0.023425 1.47E-12 1.930499 -0.116500 0.036159 -0.842121 0.233676 -0.616055 0.943363 -10.12984 0.407954
Standar Error 50.09570 0.002808 0.004725 0.003424 0.000794 1.05E-12 1.161685 0.222882 0.138185 6.709984 0.607471 0.528533 0.281307 0.480010 0.251451
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0017 0.8248 0.0000 0.0806 0.0000 0.0000 0.0001 0.0947 0.1076 0.0000 0.0000 0.8961 0.0124 0.9795
Jumlah penduduk baik pada negara ASEAN maupun negara investor berpengaruh signifikan terhadap FDI. Pertumbuhan penduduk bagi negara ASEAN justru meningkatkan arus investasi FDI. Penduduk ASEAN mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, dari sebesar 517 074 juta jiwa pada tahun 2000 kemudian menjadi 583 651 juta jiwa pada tahun 2008 atau meningkat 1.35 persen per tahun. Jumlah penduduk yang besar tersebut menjadi daya tarik bagi negara investor karena lebih mencari pangsa pasar dibandingkan apabila melakukan investasi di negaranya sendiri. Selain itu, juga karena adanya insentif berupa rendahnya tarif pada negara di kawasan ASEAN. Pada negara investor jumlah penduduk berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara
investor maka arus investasi FDI outflow negara investor ke negara ASEAN akan tetap naik tetapi tidak signifikan. Pada negara investor, pertumbuhan penduduknya telah melewati masa transisi sehingga relatif stabil. Suku bunga memiliki pengaruh yang beragam baik negara investor maupun ASEAN. Pada negara investor, suku bunga memberi pengaruh positif dan signifikan terhadap arus FDI ke ASEAN. Semakin tinggi suku bunga di negara investor maka arus investasi FDI outflow ke negara ASEAN semakin tinggi. Tingginya suku bunga menunjukkan adanya biaya investasi yang tinggi yang bersumber dari tingkat bunga apabila berinvestasi dalam negeri. Pengembalian investasi pada negara ASEAN lebih besar dibandingkan di negara investor. Keterbukaan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap aliran FDI. Semakin terbuka sebuah kawasan atau negara maka semakin tinggi pula tingkat aliran investasinya. Argumen utama dari hasil tersebut adalah bahwa peningkatan investasi akibat keterbukaan ekonomi menciptakan lebih banyak keuntungan dari pada membatasi aliran investasinya baik pada sektor maupun pada negara tertentu. Pengaruh suku bunga pada negara ASEAN adalah negatif dan signifikan. Penurunan suku bunga akan memperbesar kemampuan laba investor, serta meningkatkan stok kapital. Penurunan suku bunga juga akan berdampak pada peningkatan
pendapatan
yang
berakibat
pada
peningkatan
permintaan.
Perkembangan suku bunga ASEAN sangat bervariasi, pada tahun 2006 suku bunga Indonesia adalah 9.71 persen per tahun, Malaysia 3.19 persen, Singapura 0.57 persen, Thailand 4 persen, dan Filipina 5.15 persen.
Pengaruh nilai ekspor terhadap terhadap FDI ASEAN adalah positif dan signifikan. Data menunjukkan bahwa FDI yang dilakukan perusahaan asing merupakan kekuatan utama untuk menggerakkan ekspor. Sedang terhadap impor pengaruhnya negatif, artinya bahwa FDI menurunkan impor. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari komoditas yang dihasilkan FDI adalah komoditas subtitusi impor. Hubungan FDI dengan integrasi ekonomi dapat dilihat dari pengaruh variabel dummy yang terdiri atas variabel UE, NAFTA, AFTA, Cina dan India. Kawasan integrasi ekonomi tersebut, telah melaksanakan liberalisasi perdagangan secara bertahap dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan nontarif. Semua variabel dummy berpengaruh signifikan terhadap aliran FDI negara investor ke negara ASEAN. Investasi di Cina memberi pengaruh negatif tetapi tidak signifikan, artinya semakin besar FDI yang masuk ke Cina akan menurunkan FDI ke ASEAN. Cina merupakan kompetitor ASEAN dalam menarik investasi. India berpengaruh secara positif dan tidak signifikan, artinya peningkatan FDI di India tidak terlalu berpengaruh terhadap investasi di ASEAN. Variabel dummy NAFTA memberikan pengaruh yang positif. Artinya keanggotaan negara investor pada kawasan NAFTA tetap memberi pengaruh peningkatan investasi yang tinggi pada kawasan ASEAN, sehingga terjadi kreasi FDI yang bersumber dari negara NAFTA. Keanggotaan negara investor di Uni Eropa berpengaruh secara negatif terhadap investasi di ASEAN. Investor yang berasal dari kawasan Eropa (Jerman, Inggris dan Prancis) lebih memilih untuk melakukan investasi ke Uni Eropa dibanding melakukan investasi pada kawasan ASEAN. APEC memberi pengaruh positif, tetapi tidak signifikan. Pengaruh
kreasi ini menunjukan manfaat yang ditimbulkan integrasi ekonomi terhadap aliran FDI. Integrasi anggota ASEAN ke APEC telah meningkatkan arus FDI dari negara investor ke kawasan APEC. Negara sumber utama FDI seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris dan Jepang lebih memilih untuk meningkatkan FDI dibanding melakukan ekspor ke negara ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan integrasi ekonomi mendorong investasi dan perdagangan serta aktivitas ekonomi pada kawasan ASEAN. 5.2.1. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Malaysia Hasil estimasi persamaan investasi dalam bentuk FDI Malaysia disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18. Hasil Estimasi Model Investasi Foreign Direct Invesment Malaysia Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC
Koefisien -27.949 2.9364 2.2610 -0.0461 -0.3546 -0.6519 -0.1448 -0.1718 -0.1819 -0.0233 -0.8800 0.1172 0.0248 -0.2535 -0.4473
Standar Error 8.489933 0.558716 0.577158 0.083706 0.019213 0.043266 0.010550 0.036138 0.012200 0.021459 0.611541 0.040256 0.011737 0.368625 0.414994
Nilai Probabilitas 0.0011 0.0000 0.0001 0.5821 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2771 0.1509 0.0038 0.0348 0.4919 0.2817
Hasil estimasi persamaan investasi Malaysia, menunjukkan variabel GDP signifikan berpengaruh terhadap FDI di Malaysia. GDP Malaysia dalam kurun waktu antara tahun 2000-2008 tumbuh rata-rata 4.522 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2000 sebesar 8.9 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Malaysia tersebut dipicu oleh kesuksesan Malaysia melakukan industrialisasi secara bertahap. Program pembangunan disesuaikan dengan masalah utama yang muncul pada setiap tahapan pembangunan. Dalam master plan pengembangan industri Malaysia tahun 2001-2010 di arahkan pada industri manufaktur dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8.3 persen. Periode ini Malaysia merupakan fase pengembangan baru manufaktur dalam rangka mewujudkan ekonomi berbasis pengetahuan. Kelembagaan yang mengelola perizinan investasi di Malaysia yaitu melalui pelayanan one stop service melalui lembaga MIDA (Malaysian Industrial Development Agency). MIDA memiliki perwakilan di semua negara bagian (BKPM 2003). Perkembangan sektor industri Malaysia memberi sumbangan yang sangat besar terhadap perekonomian Malaysia. Peran manufaktur terhadap PDB dan ekspor meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi sektor manufaktur tersebut adalah peran investasi khususnya FDI. FDI Malaysia cukup berfluktuasi, pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 5 815.0 miliar menurun drastis pada tahun 2001 menjadi US$ 553.9 miliar dan US$ 2 473.2 miliar pada tahun 2003 dan US$ 4 623.9 miliar pada tahun 2004 kemudian meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$ 6.059.7 miliar dan menjadi US$ 8.053.0 miliar pada tahun 2008. Malaysia merupakan negara terbesar kedua setelah Singapura dalam menyerap FDI di ASEAN. Salah satu insentif bagi FDI di Malaysia adalah
dimungkinkannya kepemilikan asing 100 persen saham perusahaan, kecuali usaha kecil menengah (UKM) Malaysia bisa mengerjakannya. Secara garis besar strategi yang dikembangkan Malaysia meliputi: pengembangan kualitas dan standar produk dan jasa hingga diakui oleh internasional, peningkatan Reseach and Development bidang teknologi, dilaksanakan dalam rangka peningkatan kemampuan industri menyerap dan beradaptasi terhadap teknologi baru serta peningkatan produktifitas tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan daya saing. Prestasi tersebut telah meningkatkan arus FDI dari negara investor ke Malaysia. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh negatif artinya bahwa apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Malaysia. Selain itu, juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber investasi. Jumlah penduduk Malaysia berpengaruh secara positif dan signifikan. Jumlah penduduk Malaysia menempati urutan kedua di ASEAN setelah Indonesia dengan total 87.099 juta jiwa pada tahun 2006. Didominasi oleh etnis Melayu, Cina dan India. Tahun 2010 penduduk tersebut diperkirakan jumlah terbesarnya bekerja pada sektor manufaktur (30.4 persen) sektor perdagangan hotel dan restoran (17.1 persen). Sektor jasa meningkat menjadi 12.5 persen, pertanian dan perkebunan menjadi 9.8 persen dan sektor pemerintah menjadi 9.6 persen. Jumlah penduduk yang besar juga merupakan pasar yang menarik bagi investor. Sebaliknya, pada negara investor pengaruh jumlah penduduk adalah negatif. Apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara
investor, maka arus investasi FDI outflow ke Malaysia mengalami penurunan. Investor lebih memilih berinvestasi di negaranya sendiri. Variabel suku bunga berpengaruh secara negatif dan signifikan, terhadap FDI Malaysia. Semakin tinggi tingkat bunga di Malaysia, volume investasi FDI mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan investor mengalihkan dananya pada instrumen investasi portofolio. Pengaruh negatif tersebut menunjukkan adanya pelarian investasi FDI ke investasi portofolio. Apabila terjadi penurunan suku bunga dalam negeri maka rencana investasi riil akan meningkat, karena memperbesar kemampuan laba dan tambahan stok kapital. Dibanding dengan Indonesia, suku bunga Malaysia termasuk sangat rendah yaitu pada tahun 1998 sebesar 11.17 persen dibanding Indonesia saat itu sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Malaysia sebesar 5.15 persen dan Indonesia 9.17 persen. Peningkatan suku bunga pada negara investor memberikan pengaruh negatif terhadap arus FDI ke Malaysia. Semakin tinggi suku bunga maka arus investasi FDI outflow ke Malaysia semakin kecil. Hal ini terjadi karena adanya pelarian dari FDI ke saving dengan memanfaatkan tingkat bunga negara mereka sendiri. Ekspektasinya tingkat pengembalian investasi lebih besar dibanding berinvestasi di luar negeri termasuk Malaysia. Pengaruh ekspor Malaysia terhadap FDI adalah positif, artinya bahwa semakin besar nilai ekspor akan semakin menarik FDI karena merupakan potensi pasar untuk memasarkan produk. Komoditas yang dihasilkan oleh FDI di Malaysia adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Malaysia sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan yang baik. Pada tahun 1993 nilainya US$ 10 579.5 miliar menjadi US$ 39 217.9 miliar pada tahun 2006
dan US$ 194 495.3 miliar pada tahun 2008. Malaysia tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998, sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil. Sedangkan pengaruh impor Malaysia terhadap FDI adalah positif dan signifikan karena impor bahan baku industri dari FDI, khususnya pada tahap awal. Impor Malaysia mengalami peningkatan dari tahun 1993 nilai impornya US$ 15 714.4 miliar menjadi US$ 41 555.3 miliar pada tahun 2006 dan US$ 144 298.8 miliar pada tahun 2008 atau naik atau meningkat ratarata 8.454 persen per tahun. Tetapi secara keseluruhan Malaysia adalah net ekspor. Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Malaysia yang baik, menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan FDI. Dalam penelitian tersebut, faktor doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business yang lebih baik, dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Pada tahun 2008 Malaysia menempati posisi 24 naik menjadi 20 pada tahun 2010. Pengaruh variabel dummy APEC adalah positif dan signifikan terhadap aliran FDI. APEC memberikan pengaruh kreasi terhadap FDI di Malaysia. Peningkatan FDI menunjukkan manfaat yang diperoleh akibat integrasi ekonomi. Besarnya pengaruh variabel dummy AFTA adalah positif. Integrasi ekonomi ASEAN telah meningkatkan aliran FDI masuk ke Malaysia. Dengan integrasi ekonomi, FDI Malaysia mengalami peningkatan karena adanya peningkatan dalam daya saing investasi dibanding kawasan lainnya. Negara investor utama (Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Inggris dan Jepang) lebih memilih untuk meningkatkan investasi FDI ketimbang melakukan ekspor pada Malaysia.
5.2.2 Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Indonesia Hasil estimasi model persamaan investasi FDI Indonesia secara singkat disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Indonesia Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC
Koefisien -14.743 1.5214 2.5517 0.5642 -0.5460 -0.3559 -0.1097 -0.0674 -0.0709 -0.0153 -0.8525 0.0565 0.0516 0.1989 0.1223
Standar Error 3.378507 0.322769 0.432340 0.029795 0.021695 0.022823 0.008164 0.044378 0.007335 0.011226 0.371667 0.027929 0.018430 0.043975 0.044718
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1293 0.0000 0.1709 0.0223 0.0437 0.0053 0.0000 0.0065
Hasil estimasi aliran FDI Indonesia menunjukkan beberapa variabel makroekonomi yang signifikan berpengaruh terhadap aliran investasi FDI (inflow) di indonesia yang bersumber dari negara-negara investor terbesar. Realisasi FDI di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat selama periode tahun 1995-2008 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 21.60 persen per tahun. FDI Indonesia mengalami penurunan pada periode krisis ekonomi tahun 1997-1998 serta pada awal penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia tahun 2001. Sejak diberlakukannya CEPT-AFTA yaitu pada tahun 1995 FDI ke Indonesia hanya sekitar US$ 4 346.0 miliar, menjadi US$ 8 336.0 miliar pada
tahun 2005, meskipun terjadi FDI outflow pada saat krisis tahun 1998 sebesar US$ -356.0 miliar bahkan tahun 2001 FDI outflow masih terjadi sebesar US$ -3 278.5 miliar, tetapi setelah itu FDI meningkat. Sementara itu FDI di negara ASEAN lainnya menunjukkan peningkatan yang lebih pesat dibandingkan dengan Indonesia. Beberapa faktor melambatnya FDI di Indonesia di antaranya adalah kebijakan pemerintah dan implementasinya. Negara di Asia Timur seperti Cina dan Korea Selatan serta Malaysia, Thailand dan Vietnam memiliki Kebijakan investasi yang lebih kondusif. Negara investor masih mempersoalkan buruknya iklim investasi, masalah korupsi, banyaknya pungutan liar khususnya setelah implementasi otonomi daerah, kurangnya transparansi dan efisiensi, pada akhirnya pada tingginya biaya transaksi di Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (2004) menyebutkan bahwa selain indikator makro ekonomi, FDI juga di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang FDI,insentif investasi, jaminan perlindungan investasi, penggunaan perizinan, kelembagaan. Variabel GDP memberi pengaruh positif dan signifikan pada aliran FDI di Indonesia. GDP Indonesia pada harga konstan pada tahun 2000 adalah Rp.1 389.770 miliar menjadi Rp. 2 082.104 miliar pada tahun 2008 atau meningkat rata 4.610 persen. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan arus FDI dari negara investor. Data tersebut menunjukkan bahwa preferensi investor sangat tinggi terhadap ekspektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada negara mitra berpengaruh negatif. Artinya apabila GDP naik, negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Indonesia. GDP menunjukkan kemampuan daya
beli masyarakat negara sumber FDI Indonesia. Hal tersebut tidak sesuai dengan kecendrungan umum bahwa pertumbuhan ekonomi negara maju justru akan meningkatkan investasi FDI ke Indonesia. Hal tersebut menunjukkan masih banyak hal yang harus dibenahi seperti infrastruktur, korupsi serta kemudahan dalam perizinan investasi FDI. Jumlah penduduk Indonesia berpengaruh secara positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa negara investor lebih mencari pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan berinvestasi dinegaranya sendiri. Penyebab lain adalah insetif berupa rendahnya tarif pada negara-negara yang melakukan integrasi. Penduduk Indonesia adalah yang terbesar pertama di ASEAN dan terbesar keempat di dunia. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 205 132 000 juta jiwa, dan pada tahun 2008 menjadi 228 523 000 jiwa atau tumbuh ratarata 1.208 persen pertahun. Jumlah penduduk Indonesia justru meningkatkan arus investasi FDI di negara kawasan integrasi ekonomi. Hal sebaliknya terjadi pada pertumbuhan
penduduk
negara
maju.
Apabila
terjadi
kenaikan
dalam
pertumbuhan penduduk di negara sumber investasi maka arus investasi FDI outflow dari negara investor ke Indonesia akan menurun. Peningkatan suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI Indonesia. Semakin tinggi suku bunga di Indonesia, volume FDI mengalami penurunan, karena investor akan menyimpan uangnya dalam bentuk portofolio. Sebaliknya penurunan suku bunga akan meningkatkan FDI, karena akan terjadi peningkatan laba dan penambahan stok kapital. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah menurunkan suku bunga setelah krisis ekonomi tahun 1998, memberi pengaruh nyata terhadap peningkatan investasi di Indonesia. Suku bunga di
Indonesia pada saat krisis tahun 1998 adalah 49.23 persen turun menjadi 13.63 pada tahun 2002 dan turun lagi pada tahun 2006 menjadi 9.71 persen. Teori investasi mengatakan semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula arus investasi dari negara investor ke negara penerima FDI. Suku bunga luar negeri memberi pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap arus FDI outflow ke Indonesia. Peningkatan suku bunga di negara investor menyebabkan investor dari negara tersebut cenderung mengurangi FDI. Perilaku tersebut disebabkan oleh rate of return modalnya lebih besar jika ditabung di negaranya. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia pada tahun 1998 yang suku bunganya mencapai 49.23 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pengembalian FDI jauh lebih rendah dibandingkan dengan pengembalian investasi dalam bentuk portofolio seperti saham, obligasi dan deposito perbankan. Sama halnya dengan variabel GDP, ekspor Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap FDI di Indonesia. Semakin besar nilai ekspor akan semakin menarik FDI, karena merupakan potensi besar untuk memasarkan produk. Komoditas yang dihasilkan oleh FDI di Indonesia adalah hasil industri manufaktur yang merupakan komoditi ekspor, meskipun ada investor yang bergerak pada industri substitusi impor yang mengandalkan pasar domestik. Perkembangan ekspor Indonesia di luar ASEAN meningkat dari tahun 1993 sebesar US$ 31 825.8 miliar menjadi US$ 82 315.5 miliar pada tahun 2006. Penurunan terjadi pada saat krisis tahun 1997 dari US$ 45 534.4 miliar pada tahun 1996 menjadi US$ 42 423.4 miliar tahun 1997 dan menurun lagi menjadi US$ 39 500.9 miliar pada tahun 1998.
Pengaruh impor Indonesia terhadap FDI juga positif dan signifikan, karena kandungan bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi oleh hasil FDI masih di impor khususnya pada tahap-tahap awal. Perkembangan impor Indonesia dari luar ASEAN meningkat dari tahun 1993 sebasar US$ 25 669.0 miliar menjadi US$ 144 298.8 miliar pada tahun 2008. Penurunan terjadi pada saat krisis tahun 1998 dari US$ 36 266.7 miliar pada tahun 1997 menjadi US$ 22 777.6 miliar tahun 1998 dan menurun lagi menjadi US$ 19 219.7 miliar pada tahun 1999. Secara keseluruhan Indonesia masih mengalami surplus perdagangan terhadap negara mitranya. Pengaruh variabel APEC adalah positif dan signifikan terhadap aliran FDI. APEC memberi pengaruh terhadap aliran investasi masuk ke Indonesia. Integrasi ekonomi ASEAN dapat meningkatkan aliran FDI di Indonesia. Terdapat pengaruh kreasi integrasi ekonomi ASEAN terhadap masuknya FDI ke Indonesia. Dengan integrasi ekonomi, maka investasi FDI pada negara kawasan ASEAN mengalami peningkatan karena adanya peningkatan dalam daya saing investasi dibanding dengan kawasan integrasi ekonomi lainnya. Hasil studi yang dilakukan oleh LPEM-FEUI dalam Tambunan (2009) menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi investor dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi serta perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tiba-tiba, juga kondisi keamanan, sosial, dan politik di Indonesia. Pemerintah telah berupaya meningkatkan FDI di Indonesia. Salah satunya adalah paket kebijakan ekonomi 2008-2009 yang tertuang dalam Inpres nomor 5 Tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009, yang memuat antara lain
kebijakan perbaikan iklim investasi dan kebijakan ekonomi makro dan keuangan. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan investasi melalui Inpres No. 3 Tahun 2006. Paket Kebijakan Perbaikan Iklim investasi itu mencakup lima aspek, yaitu: (1) bidang umum, termasuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi, sinkronasi peraturan daerah dan pusat, dan kejelasan ketentuan mengenai kewajiban amdal; (2) bidang kepabean dan cukai, termasuk percepatan arus barang, pengembangan peranan kawasan berikat, pemberantasan penyelundupan, dan debirokratisasi bidang cukai; (3) perpajakan, termasuk insentif perpajakan untuk investasi, melaksanakan sistem “melakukan pengkajian sendiri” secara konsisten, revisi pajak pertambahan nilai untuk promosi ekspor, melindungi hak wajib pajak, dan mempromosikan transparasi dan disclosure; (4) ketenagakerjaan yang mencakup penciptaan iklim hubungan industrial, perlindungan, dan penempatan TKI di luar negeri, penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah, dan berkeadilan, mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan, penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif, dan terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan (5) bidang usaha kecil, menengah dan koperasi. Kemudahan berbisnis atau investasi di Indonesia berdasarkan World Bank doing business masih pada peringkat yang rendah. Indikator tersebut juga menjadi pertimbangan investor dalam melaksanakan FDI ke Indonesia. Dalam penelitian ini variabel doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business yang baik akan memperoleh aliran FDI yang lebih baik. Pada tahun 2008 Indonesia menempati posisi 123 menjadi 122 pada
tahun 2010 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Singapura, Malaysia dan Thailand. 5.2.3. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Singapura Hasil estimasi persamaan investasi dalam bentuk FDI Singapura disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20.
Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Singapura
Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC
Koefisien -27.0248 2.2361 2.8840 0.0808 -0.4004 -0.2859 -0.1275 -0.2509 -0.1061 -0.0270 -0.7163 0.1160 -0.0004 0.2669 0.1038
Standar Error 4.697650 0.392870 0.510891 0.075789 0.016619 0.021629 0.007601 0.037280 0.006465 0.012621 0.441159 0.043251 0.005882 0.048597 0.043929
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.2869 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0330 0.1052 0.0076 0.9423 0.0000 0.0185
Singapura adalah negara yang paling banyak menikmati aliran FDI dari negara investor. Hal tersebut disebabkan adanya program liberalisasi kebijakan, peraturan investasi yang baik serta pemberian national treatment di ASEAN. Perkembangan FDI Singapura sangat tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 11 502.7 miliar meningkat menjadi US$ 16 485.4 miliar pada tahun 2000, kemudian turun pada tahun 2002 menjadi US$ 7 200.0 miliar dan meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$ 24
055.4 miliar yang kemudian pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi US$ 22 801.8 miliar. Jumlah perusahaan asing mencapai 3000 buah yang tersebar pada berbagai sektor ekonomi. Perusahaan tersebut menyumbang 70 persen ekspor manufaktur Singapura, sedangkan pada sektor jasa peran pemerintah masih besar. Sebagian besar FDI tersebut berasal dari Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Ada tiga faktor kunci keberhasilan Singapura dalam menarik FDI yaitu: Pertama, adopsi perdekatan ekonomi terbuka dalam meningkatkan FDI. Singapura mendukung rezim perdagangan bebas dan mempromosikan industri berorientasi ekspor. Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan perusahaan FDI, dengan mempertahankan kebijakan ekonomi makro yang stabil, menjaga pemerintahan bersih dan jujur yang menyediakan jasa secara efisien, mempertahankan
transparansi,
penyusunan
peraturan
yang
probisnis,
mempertahankan harmonisasi antara pemerintah dan buruh melalui kerjasama gerakan buruh dan pemimpin industri. Ketiga, berinvestasi dengan gencar pada sektor infrastruktur publik dan pengembangan sumberdaya manusia dan memastikan pencapaian standar kualitas yang tinggi. Hasil estimasi model FDI Singapura, menunjukkan beberapa variabel signifikan berpengaruh terhadap volume investasi FDI di Singapura dari negara investor terbesar. Peranan aliran FDI di Singapura juga dapat merangsang perkembangan investasi domestik sebesar 27 persen per tahun. Akibatnya pertumbuhan ekonomi Singapura yang cukup tinggi. Variabel makroekonomi yang berpengaruh signifikan adalah GDP. Singapura merupakan salah satu negara di dunia dengan GDP tertinggi di dunia. Antara tahun 1960-1999, pertumbuhan riil mencapai 8 persen. GDP Singapura
dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.391 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2000 sebesar 10.1 persen. Singapura bahkan pernah mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi di antara NICs yaitu Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong. Peningkatan GDP di Singapura tersebut telah meningkatkan aliran FDI dari negara investor. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh negatif artinya bahwa apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Singapura. Jumlah penduduk Singapura berpengaruh secara positif dan signifikan. Jumlah penduduk Singapura dengan total 4.839 juta jiwa pada tahun 2008, termasuk sangat kecil dibanding negara anggota ASEAN lainnya. Daya tarik Singapura adalah integrasinya dengan kawasan ASEAN, khususnya Indonesia, Malaysia dan Thailand. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara investor tetap mencari pasar yang lebih potensial. Singapura juga merupakan negara dengan kemudahan investasi yang sangat bagus. Hal sebaliknya terjadi pada jumlah penduduk negara investor. Apabila terjadi pertumbuhan penduduk di negara investor maka arus investasi FDI outflow negara investor ke Singapura mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan bertambahnya potensi pasar bagi negara investor, sehingga mereka lebih memilih berinvestasi pada negaranya sendiri. Variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap peningkatan FDI Singapura. Semakin tinggi tingkat bunga, volume investasi FDI mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan adanya peralihan modal ke investasi portofolio dan menghindari besarnya biaya investasi. Sebaliknya penurunan suku bunga akan meningkatkan FDI, karena akan menambah
kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan serta pembesaran stok kapital. Dibandingkan dengan Indonesia suku bunga Singapura sangat rendah yaitu pada tahun 1998 sebesar 1.17 persen dibanding Indonesia saat itu sebesar 49.23 persen. Tahun 2006 Singapura sebesar 2.57 persen dan Indonesia 9.17 persen. Suku bunga negara investor memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap aliran FDI ke Singapura. Semakin tinggi suku bunga di negara investor maka arus investasi FDI outflow semakin kecil. Investor memilih berinvestasi pada kawasan yang suku bunganya kecil, serta adanya perubahan pola dari FDI ke investasi portofolio atau saving. Tingkat pengembalian investasinya lebih besar dibandingkan melaksanakan investasi FDI di Singapura. Pengaruh ekspor Singapura terhadap FDI adalah positif dan signifikan. Semakin besar nilai perdagangan ekspor akan semakin menarik FDI dari negara investor karena merupakan potensi besar untuk memasarkan produk. Hal tersebut disebabkan karena sebagian komoditas yang dihasilkan oleh investasi FDI di Singapura adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Singapura sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada tahun 1993 nilainya US$ 74 401.1 miliar menjadi US$ 241 404.7 miliar pada tahun 2008. Singapura tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998, sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil. Pengaruh impor Singapura terhadap FDI adalah positif dan signifikan karena sebagian bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi hasil FDI masih di impor khususnya pada tahap-tahap awal. Impor Singapura sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada
tahun 1993 nilai impornya US$ 85 227.7 miliar menjadi US$ 230 760.3 miliar pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 7.388 persen per tahun. Pengaruh keanggotaan Singapura di APEC adalah positif terhadap aliran FDI ke Singapura. Sedangkan pengaruh keanggotaan Singapura ke dalam integrasi ASEAN terhadap FDI juga positif. Peningkatan FDI Singapura juga disebabkan oleh tingginya daya saing FDI Singapura dibanding dengan negara atau kawasan integrasi lainnya. Singapura merupakan negara dengan tingkat kemudahan berbisnis atau investasi terbaik di dunia. Dalam laporan World Bank tentang doing business Singapura menempati urutan pertama pada tahun 2008 dan bertahan selama tiga tahun berturut-turut sampai tahun 2010. Hal tersebut sesuai data FDI Singapura yang menunjukkan bahwa di antara negara ASEAN Singapura adalah negara terbesar penerima FDI dari negara investor. 5.2.4. Analisis Aliran FDI Thailand Hasil estimasi pengaruh variabel integrasi ekonomi dan makroekonomi terhadap aliran FDI di Thailand secara ringkas disajikan dalam Tabel 21. FDI Thailand merupakan faktor paling penting dalam pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pemerintah memberikan komitmen tinggi untuk memfasilitasi kebutuhan serta membuka peluang usaha bagi investor asing. FDI Thailand bergerak fluktuatif tapi trennya meningkat, pada tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 2.070.0 miliar meningkat drastis pada tahun 1998 menjadi US$ 7 491.2 miliar kemudian turun menjadi US$ 3 350.3 miliar pada tahun 2000 kemudian meningkat lagi menjadi US$ 9 834.5 miliar pada tahun 2008. Investasi di
Thailand didominasi negara sumber FDI terbesar di Thailand yaitu Jepang, Singapura, Inggris dan Amerika Serikat. Tabel 21. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Thailand Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC
Koefisien 93.843 1.2758 12.864 1.8055 2.8266 0.4140 0.1336 -0.0119 -0.0203 0.0087 -0.0141 0.0341 0.0012 -0.0062 -0.0405
Standar Error 21.50263 0.593860 3.613866 0.091282 0.381760 0.037320 0.015473 0.005187 0.002698 0.000362 0.000832 0.001973 0.000159 0.001356 0.002084
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0323 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0213 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Hasil estimasi FDI Thailand, menunjukkan bahwa variabel GDP berpengaruh positif dan signifikan. GDP Thailand dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.258 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2003 sebesar 7.4 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi Thailand tersebut telah meningkatkan aliran FDI. GDP negara investor berpengaruh negatif artinya apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Thailand. Kenaikan GDP pada negara investor juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat. Jumlah penduduk Thailand berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap aliran FDI. Penduduk Thailand berjumlah 66.482 juta jiwa pada tahun
2008. Jumlah tersebut merupakan potensi pasar yang menarik bagi negara investor. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara investor lebih mencari pasar yang lebih potensial untuk memasarkan produknya. Pengaruh sebaliknya terjadi pada pertumbuhan penduduk di negara investor. Apabila terjadi kenaikan pertumbuhan penduduk di negara investor maka arus investasi FDI negara investor ke Thailand mengalami penurunan. Suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI Thailand. Semakin tinggi tingkat bunga di Thailand, volume FDI dari negara investor mengalami penurunan. Hal tersebut bertentangan dengan perilaku investasi portofolio, semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula arus investasi. Dibandingkan dengan Indonesia, suku bunga Thailand termasuk sangat rendah yaitu sebesar 6.00 persen pada tahun 1998, sedangkan Indonesia sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Thailand sebesar 4.00 persen sedangkan Indonesia 9.17 persen. Suku bunga di negara investor memberi pengaruh terhadap aliran FDI ke Thailand. Semakin tinggi suku bunga negara investor maka arus FDI outflow ke Thailand semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan dari FDI ke saving atau portofolio dengan memanfaatkan tingkat bunga negara sendiri. Tingkat pengembalian investasi pada negara investor lebih besar dibanding tingkat pengembalian jika melaksanakan investasi FDI di Thailand. Ekspor Thailand berpengaruh positif dan signifikan terhadap FDI. Semakin besar nilai perdagangan ekspor akan semakin menarik FDI, karena investor melihat adanya kekuatan ekspor untuk memasarkan produk. Apalagi komoditas yang dihasilkan oleh investasi FDI di Thailand adalah komoditi ekspor.
Sejak diberlakukannya AFTA tahun 1993 perkembangan ekspor Thailand mengalami peningkatan cukup baik. Nilai ekspor Thailand secara berturut-turut pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 37 635.5 miliar dan US$ 174 966.7 miliar. Ekspor Thailand tidak terlalu terpengaruh oleh krisis tahun 1997-1998. Sekalipun mengalami krisis tapi pengaruhnya terhadap ekspor relatif kecil. Pengaruh impor Thailand terhadap investasi juga positif dan signifikan. Penyebabnya adalah bahan baku atau material yang dibutuhkan dalam proses produksi FDI sebagian masih di impor. Perkembangan impor Thailand sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Nilai impor Thailand pada tahun 1993 dan 2008 adalah sebesar US$ 46 883.7 miliar dan USS 177 567.5 miliar atau meningkat rata-rata 10.438 persen per tahun. Keanggotaan Thailand di APEC memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap aliran FDI, meskipun kesepakatan di APEC besifat tidak mengikat anggota. Hal ini menunjukkan integrasi APEC memberi pengaruh kreasi terhadap arus FDI yang masuk ke Thailand. Pengaruh kreasi tersebut berarti integrasi ekonomi APEC telah meningkatkan aliran FDI ke Thailand. Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Thailand jauh lebih baik dari Indonesia dan Filipina. Dalam penelitian ini faktor doing business tidak di estimasi, tetapi data menunjukkan bahwa negara dengan indeks doing business yang baik dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Tahun 2008 Thailand menempati posisi 15 pada tahun 2008 menjadi urutan 12 pada tahun 2010. 5.2.5. Analisis Aliran Foreign Direct Invesment Filipina Hasil estimasi model persamaan aliran investasi dalam bentuk FDI di Filipina disajikan dalam Tabel 22.
Tabel 22. Hasil Estimasi Model Aliran Investasi Foreign Direct Invesment Filipina Variabel C GDPi POPi OPENi RERi IRi POPj GDPj RERj IRj SIZE Xi Mi ASEAN APEC
Koefisien -26.5218 2.3499 2.7058 -0.0319 -0.3697 -0.3226 -0.1372 -0.1761 -0.0988 -0.0460 -0.7476 0.0393 0.0041 0.3133 0.2045
Standar Error 4.384523 0.377946 0.456605 0.067069 0.015691 0.018089 0.007335 0.034242 0.005910 0.010539 0.389865 0.020778 0.012614 0.052550 0.042567
Nilai Probabilitas 0.0000 0.0000 0.0000 0.6336 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0558 0.0588 0.7404 0.0000 0.0000
Filipina merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan FDI negatif pada saat krisis Asia 1997-1998. Perkembangan FDI Filipina cenderung stagnan, tahun 1995 nilai FDI mencapai US$ 1 577.0 miliar menurun drastis pada tahun 2001 menjadi US$ 195 miliar dan US$ 687.8 miliar pada tahun 2004 kemudian meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi US$ 1 520.0 miliar. Data dari world doing business (1998) menunjukkan bahwa daya saing Filipina untuk FDI masih sangat rendah. Sebagai contoh, prosedur yang harus dilewati investor yang masuk Filipina ada 15 prosedur. Dibanding Singapura hanya 5 prosedur, Thailand 8 prosedur, Malaysia 9 prosedur dan Indonesia 12 prosedur. Kemudahan pengurusan izin FDI juga Filipina menempati peringkat terakhir dari ASEAN-5 yaitu dengan indeks 21.
Hasil estimasi model investasi FDI Filipina, menunjukkan variabel yang signifikan berpengaruh terhadap volume investasi FDI (inflow) di Filipina adalah GDP. GDP Filipina dalam kurun waktu antara tahun 1996-2008 tumbuh rata-rata 4.480 persen per tahun, tertinggi pada tahun 2007 sebesar 7.4 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di Filipina tersebut telah meningkatkan arus FDI dari negara investor. Sebaliknya, pertumbuhan GDP negara investor berpengaruh negatif. Hal tersebut berarti apabila GDP naik maka negara tersebut cenderung meningkatkan impor daripada melaksanakan FDI ke Filipina. Selain itu juga menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat negara sumber investasi. Jumlah penduduk Filipina berpengaruh secara positif dan signifikan, dilihat dari aspek jumlah penduduk Filipina menempati urutan kedua di ASEAN setelah Indonesia dengan total 90 457 juta jiwa pada tahun 2008. Jumlah tersebut merupakan pasar yang sangat menarik bagi investor. Selain itu juga merupakan sumber tenaga kerja yang relatif murah. Negara investor lebih mencari pasar yang besar dibandingkan melaksanakan investasi dinegaranya sendiri. Insentif berupa rendahnya tarif pada negara yang berintegrasi di ASEAN juga berpengaruh. Pertumbuhan penduduk negara investor FDI berpengaruh negatif, artinya bahwa apabila terjadi kenaikan dalam pertumbuhan penduduk di negara investor, aliran investasi FDI ke Filipina mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan bertambahnya potensi pasar produksi di negara investor sehingga mereka lebih memilih berinvestasi di negaranya. Pada negara maju penduduk juga mengambarkan kualitas dengan produktifitas yang tinggi. Variabel suku bunga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap FDI Filipina. Semakin tinggi tingkat bunga di Filipina, volume investasi FDI
mengalami penurunan. Hal tersebut bertentangan dengan perilaku investasi portofolio, dimana semakin tinggi tingkat bunga luar negeri, semakin tinggi pula arus investasi ke luar negeri. Pengaruh negatif ini menunjukkan adanya pelarian investasi FDI ke investasi portofolio. Sebaliknya penurunan suku bunga akan menarik FDI. Hal tersebut disebabkan adanya potensi peningkatan laba perusahaan serta penambahan stok kapital dalan negeri Philipina. Dibandingkan dengan Indonesia suku bunga Filipina cukup rendah. Tahun 1998 sebesar 11.17 persen sementara Indonesia sebesar 49.23 persen. Pada tahun 2006 Filipina sebesar 5.15 persen dan Indonesia sebesar 9.17 persen. Pada negara investor, variabel suku bunga memberikan pengaruh yang negatif terhadap aliran FDI ke Filipina. Hal ini disebabkan oleh adanya peralihan dari FDI ke investasi portofolio dan akan investasi dinegaranya atau saving. Pertimbangannya adalah tingkat pengembalian investasi FDI yang lebih besar. Pengaruh ekspor Filipina terhadap FDI adalah positif dan signifikan. Semakin besar nilai perdagangan ekspor, semakin menarik FDI karena merupakan potensi pasar. Sebagian komoditas yang dihasilkan oleh FDI adalah komoditi ekspor. Perkembangan ekspor Filipina sejak pemberlakuan AFTA tahun 1993 mengalami peningkatan berarti. Pada tahun 1993 nilainya US$ 10 579.5 miliar menjadi US$ 49 025.4 miliar pada tahun 2008. Tingkat kemudahan berbisnis atau investasi di Filipina relatif kurang menarik dibandingkan negara ASEAN lainnya. Dalam penelitian ini faktor doing business tidak di estimasi, tetapi jelas sekali terlihat bahwa negara dengan indeks doing business yang baik dapat memperoleh aliran FDI yang lebih besar. Di antara 5 negara ASEAN, Filipina merupakan negara dengan FDI terkecil.
Keanggotaan Filipina di APEC berpengaruh positif dan signifikan terhadap arus FDI. Artinya, ada pengaruh kreasi pada integrasi APEC terhadap arus FDI Filipina. Pengaruh kreasi menunjukan manfaat yang ditimbulkan integrasi ekonomi yang lebih luas terhadap arus FDI. Integrasi ekonomi APEC telah meningkatkan aliran investasi FDI dalam kawasan APEC.
BAB VI. KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan Hasil penelitian mengenai aliran perdagangan dan investasi pada kawasan integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Integrasi
ekonomi
memberi
pengaruh
positif
terhadap
peningkatan
perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya. Pada sektor perdagangan, Thailand memperoleh manfaat paling besar, disusul Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Tetapi volume perdagangan terbesar di ASEAN adalah Singapura, disusul Malaysia dan Thailand. Faktor utama kemajuan Singapura adalah kebijakan liberalisasi perdagangan yang berorientasi ekspor serta adanya perjanjian perdagangan bilateral dengan negara Amerika Serikat, Jepang. Begitupula dengan Malaysia dan Thailand, sedangkan Indonesia dan Filipina masih tertinggal. 2. Integrasi ekonomi berpengaruh positif terhadap perkembangan FDI di kawasan ASEAN dan anggotanya. Singapura memperoleh manfaat paling besar dengan menempati share terbesar total FDI ASEAN, disusul Malaysia dan Thailand. Faktor utama kemajuan Singapura adalah kebijakan liberalisasi investasi serta pembangunan industri yang berbasis manufaktur berorientasi ekspor. Begitupula kebijakan investasi di Malaysia dan Thailand. Indonesia dan Filipina FDInya masih rendah dibandingkan tiga negara lainnya. 3. Integrasi ekonomi ASEAN belum berpengaruh pada peningkatan perdagangan intra-ASEAN. Pengaruh terbesarnya pada perdagangan ekstra-ASEAN. Hal tersebut memperkuat teori tentang adanya kesamaaan sumber daya yang
dimiliki oleh negara ASEAN, terutama pada komoditi primer. Perdagangan intra-ASEAN terbesar adalah Singapura disusul Malaysia. 4. Keterbukaan ekonomi memberi pengaruh yang positif terhadap peningkatan perdagangan kawasan integrasi ASEAN dan negara anggotanya. Keterbukaan ekonomi juga berpengaruh positif terhadap FDI ASEAN maupun negara anggotanya kecuali Filipina. Semakin terbuka perekonomian suatu negara, semakin besar daya tariknya bagi investasi dan perdagangan dan FDI. 5. GDP negara ASEAN berpengaruh positif terhadap aliran perdagangan dan investasi di ASEAN, peningkatan GDP akan meningkatkan produksi barang dan jasa serta memperbesar kapasitas produksi. Pada negara mitra dagang, peningkatan GDP meningkatkan daya beli masyarakat sehingga meningkatkan volume impornya. Negara dengan pendapatan tinggi memperoleh manfaat relatif lebih besar dibanding negara berpendapatan rendah. Kenaikan GDP di ASEAN berarti peningkatan daya beli dan sebagai pasar bagi produk FDI. 6. Nilai tukar berpengaruh negatif terhadap aliran perdagangan negara anggota ASEAN. Nilai mata uang yang rendah akan menaikkan jumlah uang beredar, meningkatkan produksi dan mendorong ekspor. Tarif impor berpengaruh secara negatif dan signifikan di ASEAN. Kenaikan tarif terbukti menurunkan volume ekspor dari negara ASEAN. 7. Suku bunga berpengaruh negatif terhadap aliran FDI ASEAN dan negara anggotanya. Peningkatan suku bunga di ASEAN menyebabkan terjadinya peningkatan saving dan menurunkan FDI. Sebaliknya penurunan suku bunga akan memperbesar daya saing industri dalam negeri, peningkatan return dan stok kapital. Penurunan suku bunga juga berdampak pada peningkatan
permintaan akibat adanya peningkatan pendapatan. Pada negara investor, suku bunga berpengaruh negatif karena menghindari biaya investasi yang meningkat sehingga investor lebih memilih investasi portofolio. 8. Keikutsertaan negara ASEAN di integrasi ekonomi APEC berpengaruh positif terhadap peningkatan perdagangan. Dibandingkan integrasi ekonomi ASEAN, integrasi di kawasan APEC pengaruhnya lebih besar. Hal tersebut membuktikan rendahnya intensitas perdagangan intra-trade antara negara ASEAN. Semakin luas kawasan integrasi ekonomi, pengaruhnya terhadap kreasi perdagangan dan investasi akan lebih besar... 9. Kenggotaan negara investor FDI di kawasan NAFTA berpengaruh positif terhadap aliran FDI di ASEAN. Sebaliknya, keanggotaan pada kawasan Uni Eropa berpengaruh negatif. Uni Eropa adalah kompetitor ASEAN dalam menarik FDI, sementara NAFTA dan ASEAN anggotanya bergabung bersama dalam kawasan APEC. FDI di Cina dan India berpengaruh terhadap FDI ASEAN. Perdagangan antara Cina dan India dengan ASEAN cukup tinggi. Cina lebih besar pengaruhnya dari India, selain karena size-nya yang lebih besar, kemudahan investasi di Cina juga lebih baik daripada di India.
6.2 Implikasi Kebijakan Penilitian ini merekomendasikan beberapa kebijakan sebagai berikut: 1. Dalam upaya meningkatkan manfaat dari kebijakan integrasi ekonomi, baik pada sektor perdagangan maupun investasi, diperlukan kebijakan negara ASEAN yang mampu mendorong peningkatan produktifitas dan efisiensi ekonomi. Penyederhanaan dan perampingan (deregulasi) prosedur perizinan,
meningkatan infrastruktur serta menghapuskan praktek-praktek ilegal, korupsi dalam kegiatan perdagangan dan investasi. 2. Dalam rangka meningkatkan ekspor dan daya saing produk negara-negara ASEAN, maka pemerintah ASEAN diharapkan mempertahankan nilai mata uang atau kurs yang rendah terhadap Dolar Amerika. Nilai mata uang yang rendah akan meningkatkan produksi dan mendorong ekspor. 3. Dalam rangka meningkatkan ekspor dan daya saing ekspor, pemerintah secara bertahap perlu menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga akan memperbesar daya saing industri dalam negeri, peningkatan return dan stok kapital. Penurunan suku bunga juga berdampak pada peningkatan permintaan akibat adanya peningkatan pendapatan. 4. Dalam upaya menjaga keseimbangan perdagangan dengan luar negeri, pemerintah
negara
ASEAN
perlu
melaksanakan
reformasi
sektor
perdagangan. Tujuannya adalah tidak hanya membangun perekonomian yang berorientasi perdagangan, tetapi juga aktivitas ekspor dan impor yang dapat membantu daya saing dan akses pengusaha ASEAN dalam perdagangan bebas dunia, serta peningkatan ekspor di masa datang di atas trend yang berlaku. 5. Pemerintah negara ASEAN harus fokus memperbaiki iklim investasi yang belum kondusif, seperti pembenahan infrastruktur, kemudahan pengurusan perizinan, penguatan kelembagaan pengelola FDI, kepastian kebijakan dan peraturan investasi, serta insentif yang relevan untuk meningkatkan ekspor. 6. Negara anggota ASEAN harus memperkuat dan mengembangkan kerjasama perdagangan dan investasi bilateral dalam bentuk Bilateral Trade Agreement.
Karena beberapa kesepakatan FTA-ASEAN belum mampu dimanfaatkan secara baik oleh negara anggotanya. 7. Pemimpin ASEAN perlu pertimbangan yang lebih matang dan hati-hati dalam memasukkan komoditi tertentu untuk proyek liberalisasi perdagangan. Kemampuan perekonomian negara anggota bervariasi. Komoditi yang belum siap sebaiknya ditunda atau dimasukkan ke dalam daftar produk sangat sensitif (highly sensitive list) sampai komoditinya siap untuk diliberalisasikan.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, F. 2002. Pengaruh Penambahan Keanggotaan Uni Eropa Bagi Regionalisasi Eropa yang Komprehensif. Tesis. Universitas Indonesia, Jakarta Amelung, T. 1992. Regionalization of Trade in The Asia Pasific: A Statistical Approach. ASEAN Economic Bulletin, 9(2): 133-148. Amjadi, A and A. Winters. 1999. Transport Costs and Natural Integration in Mercosur. Journal of Economic Integration, 14(4): 497-521. Anderson, J.E. 1979. A Theoretical Foundation for Gravity Equation. American Economics Review, 69(1): 106-116. Alguacil. T. and C. Orts. 2002. Foreign Direct Investment, Export and Domestic Performance In Mexico: A Causality Analysis. Economics Letters, 77(3): 371-376. Arifin, S. 2004. Integrasi Ekonomi dan Keuangan ASEAN: Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta Arif dan S.R. Tan. 1992. Kinerja Perdagangan Negara-negara ASEAN. Tesis. Universitas Indonesia, Jakarta. ASEAN. 1992. ASEAN Selayang Pandang. Sekretariat Nasional ASEAN, Jakarta. . 2005. ASEAN Statistical Yearbook 2005. Sekretariat Nasional ASEAN, Jakarta. . 2007. ASEAN Statistical Pocketbook 2006. Sekretariat Nasional ASEAN, Jakarta. Aslam, M. 2003. AFTA, ASEAN-China FTA dan Ekonomi Malaysia. FEA Working Paper 2003-1. Departement of Applied Economics and Administration. University of Malaysia, Kula Lumpur. Malaysia. Aswicahyono, H. 1996a. “Transformasi Industri: Makna dan Tantangan. Dalam M. E. Pangestu, R. Atje, dan J. Mulyadi, Editor. Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Jakarta: CSIS Pr.hlm: 11-15. Aswicahyono, H. 1996b. “Dari Substitusi Impor ke Promosi Ekspor”. Dalam M. E. Pangestu, R. Atje, dan J. Mulyadi, Editor. Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Jakarta: CSIS Pr.hlm: 20-25.
Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2004. Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle (IMT-GT): Sejarah dan Perkembangannya. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. .1998. Kebijakan Reformasi di Bidang Investasi. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. .2003. Laporan Hasil Studi Banding Kebijakan Penanaman Modal di Negara Malaysia. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. .2003. Laporan Hasil Studi Banding Kebijakan Penanaman Modal di Kerajaan Thailand. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. . 2003. Laporan Hasil Studi Banding Kebijakan Penanaman Modal di 8 Negara. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. . 2004. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Penyiapan Bahan Posisi Indonesia dibidang Investasi dalam Fora Kerjasama Regional. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. . 2004. Penelitian Penyebab Rendahnya Realisasi Investasi di Berbagai Daerah dan Sektor yang Potensial. Laporan Antara. PT. Superintending Company of Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta. . 2005. Penelitian Peranan Penanaman Modal Asing (PMA) dalam Perekonomian Nasional. PT. Superintending Company of Indonesia. Jakarta. Bandoro, B dan A. Gondomono. 1997. ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara. Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Bank Indonesia. 2008a. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional. Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta. . 2008b. Integrasi Ekonomi Kawasan, Mobilitas Faktor Produksi dan Peran Bank Sentral. Working Paper Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter No. WP/17/2007. Bank Indonesia, Jakarta. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2009. Trade and Invesment in Indonesia: a note on Competitiveness and Future Challenge. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Jakarta Baxter, M., L. Kouparitsas and A. Michael. 2000. What Causes Fluctuations in the Terms of Trade? NBER Working Papers No. 7462, National Bureau of Economic Research, Inc., New York.
Bayoumi, T. and M. Paolo. 2001. The Suitability of ASEAN for a Regional Currency Arrangement. C.E.P.R. Discussion Paper, No. 2411. , E. Barry and M. Paolo. 2000. On Regional Monetary Arrangement for ASEAN. Journal of Japanesse and International Economies, 14 (2): 121-148. Balassa, B. 1961. The Theory of Economic Integration. Homewood, Illinois: RD Irwin Inc., Massachusetts. . 1976. Types of Economic Integration. World Bank Reprint Series, No.69, Washington D.C. Bergstrand, J.H. 1985. The Gravity Equation in International Trade: Some Microeconomic Foundations and Empirical Evidence. Review of Economics and Statistics, 67: 474-481. Bhagwati, J.N. and A. Panagariya. 1996. The Economics of Prefential Trade Arrangements. AEI Press, Washington, D.C. Blomström, M and A. Kokko. 1997. Regional Integration and Foreign Direct Investment. NBER Working Paper No. 6019. National Bureau of Economic Research. Bussiere, M, J. Firdmuc, B. Schnatz. 2005. Trade Integration of Central and eastern European Countries: Lesson From a Gravity Model. Working Papers No. 545. European Central Bank, Vienna. Austria. Carrilo, C and Li, C.A. 2002. Trade Block and the Model gravity: Evidance from Latin America Countries. Departement of Economics, University of Essex, Essex. Cernat, L. 2001. Assessing Regional Trade Arrangements: Are South-South RTAs More Trade Diverting. Global Economi Journal, 2(3): 235-260. Clarete, Ramon, C. Edmonds and J.S. Wallack. 2003. Asian Regionalism and Its Effects on Trade in the 1980s and 1990s. Journal of Asian Economics, 14(1): 91-129. Deardoff, A. 1995. Determinants of Billateral: FDI Does Model gravity in World Economy. The University of Chicago Press, Chicago. . 1998. Determinants of Billateral Trade: Does Gravity Work in a Neoclassical World? in J. A. Frankel, ed., The Regionalization of The World Economy. The University of Chicago Press, Chicago.
De Grauwe, P. 2003. The Challenge of Enlargement of Euroland. Workshop on EMU: Current State and Future Prospects, University of Crete, Rethymno, Athena. De Melo, J., A. Panagariya and D. Rodrick. 1992. The New Regionalism A Country Perspective. CEPR Discussion Paper 715. London. Centre Economics and Policy Research. Washington D.C. De Soto, H. 2000. The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails everywhere Else. Basic Books, New York. Dollar, D. 1992. Outward Oriented Developing Economic Really Do Grow More Rapidly: Evidence from 95 LCDs. 1976-85. Economic Development and Cultural Change, 40 (3): 523-544. Do. T. T. 2006. A Gravity Model for Trade Between Vietnam and Twenty-Three European Countries. D Thesis. Departement of Economics and Society. Dalarna University, Borlange. Dunning, J.H. 1977. Trade, Location of Economic Activity and The MNE: a Search For an Election Approach. In B. Ohlin, P-O. Hesselborn & P.M. Wijkman (Editor). The International Allocation of Invesment Activity. McMillan, London. . 1987. Multinational Corporate Integration and Regional Economic Integration. Journal of Common Market Studies, 26(2): 103-126. Economics III Honours and Graduate International Economics. 2003. Trade and Production The Theory of Stolper Samelson Model. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. . 2003. Trade and Production The Theory of Rybczynsky Model. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Edwars, S. 1998. Openness, Productivity and Growth: What Do We Really Know? Economic Journal, 108(3): 383-398. Eliot, R.Jr. and I, Kengo. 2004. AFTA and the Asian Crisis: Help or Hindrance to ASEAN Intra-Regional Trade? Asian Economic Journal, 18(1): 1-23. Feenstra, R.A., J.F. Markusen and A. Rose. 1999. Understanding the Home Market Effect and Gravity Equation: The Role Of Differentiating Goods. NBER Working Paper No.W6804. New York: National Bureau of Economic Research. Felianty, T.A. 2006a. FDI di Indonesia, Peranannya Terhadap Kinerja Makro Ekonomi, Masalah-masalah yang Dihadapi dan Tantangan ke Depan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 7(2): 69-86.
. 2006b. Optimum Currency Area: Studi Kasus di Negara ASEAN 5. Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Feridhanusetyawan, T., M. E. Pangestu, dan Erwidodo. 2002. “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reforms on Indonesia Agriculture”, Dalam R. Stringer, Erwidodo, T. Feridhanusetyawan, dan K. Anderson, Editor. Indonesia in a Reforming World Economy: Effect on Agriculture, Trade and the Environment, Centre for International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide. Feridhanusetyawan, T. dan M. E. Pangestu. 2003. “Indonesian Trade Liberalisation: Estimating The Gains”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1): 22-31. Firmuc, J. 2000. Integration, Disintegration and Trade in Europe: Evaluation of Trade Relation During the 1990s. Working Paper No. 20. Fithryanto, I. 2008. Peranan Investasi Asing Langsung terhadap Sektor Industri Manufaktur Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Francis, Ng., Y. Alexander. 1997. Production Sharing in East Asia: Who Does What for Whom and Why? Staff Member Trade Team, Development Research Group The World Bank, New York. . 2003. Major Trade Trends in East Asia: What the Implications for Regional Cooperation and Growth. Staff Member Trade Team, World Bank Policy Research Working Paper No. 3084. Frankel, J. 1997. Regional Trading Blocs in The World Economic System. Institute for International Economics, Washington D.C. , Rose and Andrew K. 1998. The Endogenity of The Optimum Currency Area Criteria. The Economic Journal, 108 (449): 1009-1025. Greene, H.W. 2000. Econometric Analisys. Fouth Edition, New York University, New York. Gujarati, D. 1995. Basics Econometrics. Third Editions. McGraw-Hill, New York. Guttamann, S and A. Richards. 2004. Trade Openness: An Australian Perspective. Research Discusiion Paper. 2004-11. Economic Group. Reserve Bank of Australia, Adelaide. Halwani, R.H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Hamilton, C.B. and L.A. Winters. 1992. Opening Up International Trade with Eastern Europe. Economic Policy, 7(5): 78-116. Hsiao, C. 1999. Analysis of Panel Data, Econometric Society Monographs. Cambridge University Press, Cambridge. Judge, G. 1988. Introduction to the Theory and Practice of Econometrics. Second Edition, John Wiley and Sons, New York. Karunia, F. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung Sektor Industri Manufaktur Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Kim, M.K., G.D. Cho and W.W. Koo. 2003. Determinan Bilateral Rade Patters Using a Dynamic Gravity Equation. Center For Agricultural and Trade Studies Departement of Agribussiness and Applied Economics. North Dakota State University, North Dakota. Kreinin, M.E. and M.G. Plummer. 2002. Economics Integration and Development: Has Regionalism Delivered for Developing Countries? Edward Elgar, London. . 2008. Effect of Regional Integration on FDI: an Empirical Approach. Journal of Asian Economics, 19(5): 447-454. Krueger, A.O. 1999. Trade Creation and Trade Diversion Under NAFTA. NBER Working Paper No. 7429. National Bureau of Devries B.A (1978), New York. Krugman, P. 1991. Lessons of Massachusetts for EMU. Geography and Trade. MIT Press, Cambridge. and O. Maurice. 2003. International Economics: Theory and Policy. Addison-Wesley Publishing Company, San Francisco. Lane, P., M. Ferretti and G. Maria. 2000. The External Wealth of Nations: Measures of foreign Assets and Liabilities for Industrial and Developing Countries. CEPR, 14 August, Washington DC. Lapipi. 2004. Analisis Efek Integrasi Ekonomi ASEAN terhadap Kinerja Perdagangan Masing-masing Negara ASEAN. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Lee, J. W. and K. Shin. 2005. Regional and Global Financial Integration in East Asia. Working Paper in Workshop Global Imbalances and Asian Financial Markets. UC Berkeley.
Lindart H.P. and P.A. Thomas. 1996. International Economics. Time Mirror Higher Education Group, London. Linneman, H. 1966. An Econometric Study of International Trade Flows. Penerbit, North-Holland. Lewis, A. W. 1959. The Theory of Economic Growth (London: Allen and unwin), cited by alejendhro Portes and Laura Benton, Industrial Development and Labor Absortion: a Reinterpretation, Population and Development Review, No. 4 (Desember 1984), p.590. Luhulima, C.P.F. 1991. ASEAN Menuju Postur Baru. CSIS, Jakarta. Mankiw, N.G, D. Romer and D. Weil. 1992. A Contribution to The Empiris of Economics Growth. Quartely Journal of Economics, 107(2): 407-437 McKinnon, R and R.A. Mundell 2004. The East Asian Dollar Standard. Policy Brief, Stanford Institute for Economic Policy Research, Stanford. and S. Gunther. 2003. The East Asian Dollar Standard, Fear of Floating, and Original Sin. Review of Development Economics, 8(8): 331360 Mittal, R. 2004. ASEAN Monetary Union-A Possibility? A Comparison of ASEAN Economic Indicators with That of Euro Zone. Public Policy Departement, Stanford University, Stanford. Mundell, R.A. 2002. Prospects for an Asian Currency Area. Journal of Asian Economics 14(11): 1-10. Obstfeld, M. and K. Rogoff. 1996. Foundations of International Macroeconomics. MIT Press, Cambridge. Osborne, Evan (2002), “Rethinking Foreign Aid”, Cato Journal, 22(2): 15-25. Pain, N. 1996. Continental Drift: Europen Integration and The Location of UK Foreign Direct Invesment. NIESR Discussion Paper 1007, National Institute of Economic and Social Research. Pangestu, M.E. 2003. The East Asia Economic Competitiveness. Journal of Asian Economics, 98(2): 120-150. Porter, M.E. 1990. Competitive Adaventage of Nations. Free Press, New York. Pramadhani, M., Bissoondeeal R. and Driffield N. 2007. FDI, Trade and Growth, a Causality Link, Research Paper, Aston Business School. Aston University, Birmingham.
Riyadi, D.S. 1998. Peranan Arus Masuk Investasi Asing Langsung (FDI) Inflow Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Roberts, B. A. 2004. A Gravity Study of the Proposed China-ASEAN Free Trade Area. The International Trade Journal, Vol. XVIII. No. 4 Winter. Sachs, J.D. and A. Warner. 1995. “Economic Reform and The Process of Global Integration. Brooking Paper on Economic Activity, 1(5): 1-118 Sadewa, Purbaya Yudhi (2003), “Indonesia Perlu Mengoptimalkan AFTA”, Kompas, Financial, Senin, 25 Agustus, Halaman 27. Sanso, M., A. Cuairian and F. Sanz. 1993. Billateral Trade, The Garvity Equation and Funcional Form. Review of Economics and Statistics: 266-275. Saloaga, I. and L.A. Winters. 2001. Regionalism in The Nineties: What Effect on Trade? North American Journal of Economics and Finance. 12: 1-29. Schiff, M. 1997. Small is Beautiful: Prefential Trade Agreements and The Impact of Country Size, Market Share and Smuggling. Journal of Economic Integration, 12(3): 359-387. Schultz, T.W, 1962. Reflection on Invesment in Man. Journal of Political economy. October, Siplement, cited by Meir, Gerald, Economic Development, p. 520. Sharma, S.C. and Chua, S.Y. 2000. ASEAN: Economic Integration and Intra Regional Trade. Apllied Economics Letters, Vol 7(3): 165-169. Solvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Soloaga, I. dan A. Winters. 2001. “Regionalism in the Nineties: What Effect on Trade?”, North American Journal of Economics and Finace, 12(4): 11-20. Suminar, P. 2003. Integrasi dan Disentegrasi dalam Perpektif Kearifan Lokal. Badan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata RI, Jakarta. Tambunan, T.H.T. 2004 Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta .. 2009 Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Tornell, A. and V. Andres. 1995. Fixed Versus Flexible Exchange Rates: Which Provides More Fiscal Discipline? NBER Working Paper No. W5108, May. Tubagus, F dan Yose. 1996. Manfaat Liberalisasi Perdagangan bagi Indonesia. CSIS, Jakarta.
Tinbergen, J. 1962. Shaping The World Economy: Suggestions for an International Economic Policy. The Twentieth Century Fund. New York. Viner, J. 1950. The Customs Union Issue.Carnegie Endowment for International Peace, New York. Vousden, Neil. 1994. The Economic Of Trade Production. Cambridge University Press, Cambridge. Wacziarg, R. 2001. Measuring the Dynamic Gains From Trade. World Bank Economic Review, 15(3): 393-429. Wall, J.H. 2000. Model gravity Specification and the Effects of the Canada-US Border. Federal Reserve Bank of St. Louis. Workig Paper 2000-024A. Whalley, J. 1996. Why Do Countries Seek Regional Trade Agreements? In J. A. Frankel, ed. The Regionalization of the World Economy. The University of Chicago Press, Chicago. Wiranta, S. 1996. Perkembangan Perdagangan di Kawasan ASEAN dan Pengaruhnya terhadap Indonesia. CSIS, Jakarta. Wong, Kar Yiu. 1995. International Trade Goods and Factor Mobility. The MIT Press, Massachusetts. World Bank. 2001. World Development Indicator. The World Bank, Washington D.C. . 2004a. Trade Blocs. Oxford University Press, New York. . 2004b. World Development Indicators”. World Bank, Washington Yeats, A.J. 1998. Does Mercosurs Trade Performance Raise Concerns About the Effects of Regional Trade Arrangements. World Bank Economic Review, 12(1): 1-28.
Lampiran 1. Hasil Estimasi Perdagangan ASEAN Dependent Variable: LOGTRADE? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 10:41 Sample (adjusted): 1985 2006 Included observations: 22 after adjustments Cross-sections included: 14 Total pool (balanced) observations: 308 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -5.201838 0.991066 -5.248730 LOG GDP? 7.98E-05 0.000283 0.282274 LOG POP?(-2) 0.000313 0.001121 0.279005 LOG FDI? -0.000126 4.86E-05 -2.598530 LOG RER?(-1) 0.000147 0.000128 1.145393 LOG IR? 4.49E-05 3.42E-05 1.311797 LOG OPEN_ASEAN? 1.112517 0.008058 138.0687 LOG TAX? -0.000198 0.000160 -1.239460 LOG TAX_ASEAN? 0.024449 0.005728 4.268502 LOG RER_ASEAN? -0.044779 0.006513 -6.875347 LOG IR_ASEAN? -0.052176 0.006681 -7.809291 LOG GDP_ASEAN?(-1) 0.566166 0.044952 12.59485 LOG POP_ASEAN? 1.251193 0.168348 7.432194 LOG FDI_ASEAN?(-3) 0.000751 0.003944 0.190530 LOG TII_ASEAN?(-3) 0.000185 0.000101 1.825812 APEC? 1.36E-05 1.80E-05 0.759320 Fixed Effects (Cross) _AUS--C 0.000288 _ITY—C -6.20E-05 _CHN--C -0.000324 _JPN--C 9.66E-06 _ENG--C -0.000362 _KSL--C -0.000721 _FRA--C 0.000196 _NTD--C 0.000689 _GMN--C 0.000322 _NZL--C -4.29E-06 _HKG--C -0.000284 _SPY--C 0.000185 _IND—C -0.000188 _USA--C 0.000256 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 1.000000 Mean dependent var Adjusted R-squared 1.000000 S.D. dependent var S.E. of regression 0.465146 Sum squared resid F-statistic 67533162 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.7779 0.7804 0.0099 0.2530 0.1907 0.0000 0.2162 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8490 0.0689 0.4483
193.4623 1154.405 60.36478 2.121593
Lampiran 2. Hasil Estimasi Perdagangan Malaysia Dependent Variable: LOGTRADE? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 07:52 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -33.63242 0.724037 -46.45126 LOG GDP_MAL? 2.226287 0.037227 59.80309 LOG POP_MAL? 2.266394 0.040850 55.48121 LOG FDI_MAL? -0.001420 0.001608 -0.883000 LOG RER_MAL? -9.32E-05 0.001576 -0.059114 LOG OPEN_MAL? 0.030272 0.005204 5.817060 LOG TAX_MAL? -0.295865 0.011843 -24.98133 LOG IR_MAL? 0.000650 0.003099 0.209792 LOG GDP? 0.010990 0.002687 4.090293 LOG POP? 0.003092 0.000772 4.004491 LOG FDI? -0.001412 0.000805 -1.754457 LOG RER? 0.001445 0.001030 1.402301 LOG IR? -0.071409 0.003071 -23.25318 LOG DIST_MAL? -0.076324 0.003414 -22.35533 LOG TII_MAL? -0.006231 0.001190 -5.234156 LOG TAX? -0.005744 0.000787 -7.298037 ASEAN? 0.184798 0.018518 9.979264 APEC? 0.142486 0.023311 6.112281 Fixed Effects (Cross) _AUS--C -0.051378 _KSL--C 0.056170 _CHN--C -0.117283 _INA--C -0.207716 _ENG--C -0.123937 _NTD--C -0.031755 _FRA--C 0.007902 _NZL--C 0.198017 _GMN--C -0.126893 _PHI--C 0.199119 _HKG--C -0.117719 _SIN--C 0.100830 _IND--C 0.157935 _SPY--C 0.018972 _ITY--C 0.076784 _THA--C -0.131642 _JPN--C 0.234051 _USA--C -0.141458 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 1.000000 Mean dependent var Adjusted R-squared 1.000000 S.D. dependent var S.E. of regression 0.934736 Sum squared resid F-statistic 30447172 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.3777 0.9529 0.0000 0.0000 0.8339 0.0001 0.0001 0.0801 0.1616 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
1059.628 1419.314 362.5982 1.528161
Lampiran 3. Hasil Estimasi Perdagangan Indonesia Dependent Variable: LOGTRADE? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 01/05/10 Time: 08:24 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -24.76842 1.622555 -15.26507 LOG GDP_INA? 1.623124 0.070841 22.91209 LOG POP_INA? 1.833922 0.175496 10.44996 LOG FDI_INA? 0.071174 0.014547 4.892745 LOG RER_INA? -0.083853 0.015105 5.551256 LOG OPEN_INA? 0.008215 0.019689 0.417244 LOG TAX_INA? -0.331895 0.026451 -12.54770 LOG IR_INA? 0.045268 0.012247 3.696083 LOG GDP? 0.008240 0.024819 0.332020 LOG POP? 0.037063 0.008228 4.504558 LOG FDI? 0.042642 0.006214 6.862339 LOG RER? 0.044410 0.006619 6.709764 LOG IR? -0.135756 0.010563 -12.85190 LOG DIST_INA? -0.163261 0.015705 -10.39561 LOG TII_INA? 0.064481 0.012455 5.177059 LOG TAX? -0.001372 0.007354 -0.186585 ASEAN? 0.223186 0.023125 9.651426 APEC? 0.235838 0.020207 11.67101 Fixed Effects (Cross) _AUS--C -0.013344 _KSL--C -0.000566 _CHN--C -0.005915 _MAL--C 0.010734 _ENG--C -0.006211 _NTD--C 0.011012 _FRA--C 0.006205 _NZL--C 7.85E-05 _GMN--C -0.010137 _PHI--C 0.005262 _HKG--C 0.009854 _SIN--C -0.002457 _IND--C 0.007196 _SPY--C -0.007555 _ITY--C 0.007968 _THA--C -0.015112 _JPN--C 0.009666 _USA--C -0.006678 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999019 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.998939 S.D. dependent var S.E. of regression 0.047680 Sum squared resid F-statistic 12432.52 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.6767 0.0000 0.0002 0.7400 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8521 0.0000 0.0000
9.455940 1.463673 0.943449 1.471829
Lampiran 4. Hasil Estimasi Perdagangan Singapura Dependent Variable: LOGTRADE? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 09:30 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -29.44098 0.744213 -39.55989 LOG GDP_SIN? 1.952488 0.031241 62.49781 LOG POP_SIN? 2.169350 0.061484 35.28326 LOG FDI_SIN? 0.006528 0.003725 1.752311 LOG RER_SIN? 0.012291 0.003779 3.252214 LOG OPEN_SIN? 0.105268 0.012035 8.746925 LOG TAX_SIN? -0.347847 0.011583 -30.03045 LOG IR_SIN? 0.024210 0.003492 6.933555 LOG GDP? 0.029603 0.008200 3.610197 LOG POP? 0.010556 0.002293 4.603317 LOG FDI? -0.006817 0.002168 -3.144575 LOG RER? 0.006092 0.001261 4.832200 LOG IR? -0.110151 0.005031 -21.89470 LOG DIST_SIN? -0.135511 0.005913 -22.91596 LOG TII_SIN? -0.003896 0.003000 -1.298604 LOG TAX? -0.015254 0.002089 -7.301671 ASEAN? 0.114868 0.009628 11.93101 APEC? 0.247525 0.006723 36.81737 Fixed Effects (Cross) _AUS--C -0.000803 _JPN--C 0.034583 _CHN--C -0.001061 _KSL--C -0.012156 _ENG--C 0.007736 _MAL--C 0.032695 _FRA--C -0.002156 _NTD--C -0.000414 _GMN--C -0.004320 _NZL--C -0.003392 _HKG--C -0.010524 _PHI--C -0.004782 _INA--C -0.013211 _SPY--C -0.053415 _IND--C 0.002898 _THA--C -0.011381 _ITY--C 0.006725 _USA--C 0.032979 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999999 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999999 S.D. dependent var S.E. of regression 0.982690 Sum squared resid F-statistic 21578988 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0805 0.0012 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0018 0.0000 0.0000 0.0000 0.1948 0.0000 0.0000 0.0000
181.7838 1256.171 400.7574 1.742405
Lampiran 5. Hasil Estimasi Perdagangan Thailand Dependent Variable: LOGTRADE? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 10:04 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 47.42008 2.446053 19.38637 LOG GDP_THA? 0.783268 0.060074 13.03848 LOG POP_THA? 1.817309 0.403689 -4.501758 LOG FDI_THA? 0.009647 0.004148 2.325318 LOG RER_THA? -0.043524 0.038171 -1.140226 LOG OPEN_THA? 0.205244 0.015821 12.97313 LOG TAX_THA? -0.006693 0.011504 -0.581812 LOG IR_THA? -0.007879 0.004257 -1.851059 LOG GDP? -0.166522 0.042716 -3.898347 LOG POP? 0.496618 0.103982 4.775992 LOG FDI? -0.039517 0.002834 -13.94555 LOG RER? 0.107859 0.013705 7.870267 LOG IR? -0.018191 0.003379 -5.383547 LOG DIST_THA? -8.873805 0.178935 -49.59225 LOG TII_THA? 0.097244 0.008040 12.09472 LOG TAX? -0.015549 0.013279 -1.170944 ASEAN? -0.113518 0.011803 -9.617994 APEC? 0.374687 0.017104 21.90630 Fixed Effects (Cross) _AUS--C 1.146272 _JPN--C 0.006195 _CHN--C 2.250852 _KSL--C 1.593281 _ENG--C -1.286474 _MAL--C 1.216643 _FRA--C 1.596725 _NTD--C 1.452528 _GMN--C -1.603350 _NZL--C 1.446762 _HKG--C -0.752008 _PHI--C -2.098998 _INA--C -1.709182 _SIN--C -1.910479 _IND--C 1.539238 _SPY--C -1.641188 _ITY--C 1.315367 _USA--C -2.562185 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999997 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999997 S.D. dependent var S.E. of regression 0.981822 Sum squared resid F-statistic 3797486. Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0205 0.2548 0.0000 0.5610 0.0649 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2423 0.0000 0.0000
423.6301 526.4992 400.0492 1.670955
Lampiran 6. Hasil Estimasi Perdagangan Philipina Dependent Variable: LOGTRADE? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 08:30 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 4.523280 0.966109 4.681956 LOG GDP_PHI? 0.139822 0.043974 3.179629 LOG POP_PHI? 0.605248 0.075790 7.985856 LOG FDI_PHI? 0.023318 0.005246 4.444705 LOG RER_PHI? 0.048041 0.005566 8.631867 LOG OPEN_PHI? 0.271149 0.014163 19.14499 LOG TAX_PHI? -0.854054 0.013181 -64.79624 LOG IR_PHI? 0.035518 0.004656 7.628075 LOG GDP? -0.001252 0.009933 -0.126049 LOG POP? 0.033555 0.002807 11.95235 LOG FDI? -0.030864 0.002943 -10.48632 LOG RER? 0.011566 0.001997 5.792114 LOG IR? -0.193856 0.009575 -20.24564 LOG DIST_PHI? -0.202816 0.009968 -20.34724 LOG TII_PHI? 0.011099 0.003967 2.797821 LOG TAX? -0.027479 0.003097 -8.871932 ASEAN? 0.030666 0.011339 2.704470 APEC? 0.072345 0.012032 6.012475 Fixed Effects (Cross) _IND--C -0.011557 _CHN--C 0.103082 _NZL--C 0.032128 _ENG--C 0.011121 _THA--C 0.006462 _MAL--C -0.002736 _ITY--C -0.014506 _INA--C -0.007628 _SPY--C -0.011659 _HKG--C -0.000185 _FRA--C 0.000563 _GMN--C 0.022091 _KSL--C -0.084609 _SIN--C -0.011266 _NTD--C -0.000884 _JPN--C -0.009490 _AUS--C -0.022668 _USA--C 0.001741 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999994 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999994 S.D. dependent var S.E. of regression 0.989457 Sum squared resid F-statistic 2170348. Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0016 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.8998 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0054 0.0000 0.0071 0.0000
375.2137 401.1242 406.2951 1.967374
Lampiran 7. Hasil Estimasi Model I FDI ASEAN Dependent Variable: LOGFDI_ASEAN? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 01/06/10 Time: 20:57 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 14 Total pool (balanced) observations: 350 Linear estimation after one-step weighting matrix White period standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 27.15261 6.378704 4.256759 LOG GDP? 0.097388 0.030854 3.156387 LOG POP? 0.047165 0.212866 0.221572 LOG RER? -0.120770 0.028903 -4.178423 LOG IR? 0.023425 0.013364 1.752843 LOG SIZE? 1.47E-12 2.66E-13 5.527422 LOG OPEN_ASEAN? 1.930499 0.101151 19.08534 LOG RER_ASEAN? -0.116500 0.028517 -4.085315 LOG IR_ASEAN? 0.036159 0.021574 1.676031 LOG POP_ASEAN? -0.842121 0.521888 -1.613604 LOG X_ASEAN? 0.233676 0.049158 4.753603 LOG M_ASEAN? -0.616055 0.055535 -11.09319 NAFTA? 0.943363 7.218004 0.130696 UE? -10.12984 4.027425 -2.515215 APEC? 0.407954 15.83239 0.025767 Fixed Effects (Cross) _AUS--C -2.486883 _ITY--C 1.663885 _CHN--C -2.685688 _JPN--C 1.868151 _ENG--C -2.020139 _KSL--C -0.194326 _FRA--C -1.837110 _NTD--C 0.154751 _GMN--C -1.417554 _NZL--C 2.609013 _HKG--C -0.903794 _SPY--C 2.982675 _IND--C -0.899803 _USA--C 3.166822 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.974809 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.972697 S.D. dependent var S.E. of regression 0.074563 Sum squared resid F-statistic 461.4979 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.964950 Mean dependent var Sum squared resid 1.790345 Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.0017 0.8248 0.0000 0.0806 0.0000 0.0000 0.0001 0.0947 0.1076 0.0000 0.0000 0.8961 0.0124 0.9795
10.08289 0.451250 1.790205 1.731646
10.07477 1.729150
Lampiran 8. Hasil Estimasi Model II FDI ASEAN Dependent Variable: LOGFDI_ASEAN? Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 01/06/10 Time: 20:58 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 14 Total pool (balanced) observations: 350 Linear estimation after one-step weighting matrix White period standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 17.10495 12.26424 1.394701 LOG GDP? 0.098017 0.031549 3.106859 LOG POP? 0.054048 0.214716 0.251720 LOG RER? -0.124820 0.028569 -4.369103 LOG IR? 0.024019 0.012786 1.878580 LOG SIZE? 8.85E-13 1.27E-13 6.961086 LOG OPEN_ASEAN? 1.986813 0.109380 18.16426 LOG RER_ASEAN? -0.175463 0.012412 -14.13673 LOG IR_ASEAN? 0.078857 0.008104 9.730640 LOG POP_ASEAN? 0.085962 1.446742 0.059418 LOG X_ASEAN? 0.113911 0.065060 1.750866 LOG M_ASEAN? -0.630689 0.057434 -10.98116 CHINA? -1.491230 14.63491 -0.101895 INDIA? 1.235220 14.86800 0.083079 Fixed Effects (Cross) _AUS--C 0.148140 _ITY--C -0.266372 _CHN--C -0.103102 _JPN--C -0.160161 _ENG--C 0.420403 _KSL--C 0.038726 _FRA--C 0.064739 _NTD--C 0.010119 _GMN--C 0.212049 _NZL--C -0.255410 _HKG--C 0.347439 _SPY--C -0.261458 _IND--C 0.057712 _USA--C -0.252824 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.974388 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.972326 S.D. dependent var S.E. of regression 0.074639 Sum squared resid F-statistic 472.6267 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.964768 Mean dependent var Sum squared resid 1.799606 Durbin-Watson stat
Prob. 0.1641 0.0021 0.8014 0.0000 0.0612 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.9527 0.0809 0.0000 0.9189 0.9338
10.08260 0.448678 1.799443 1.725284
10.07477 1.722599
Lampiran 9. Hasil Estimasi Investasi Malaysia Dependent Variable: LOGFDI_MAL? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 07:59 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LOG GDP_MAL? LOG POP_MAL? LOG OPEN_MAL? LOG RER_MAL? LOG IR_MAL? LOG POP? LOG GDP? LOG RER? LOG IR? LOG SIZE? LOGX_MAL? LOGM_MAL? ASEAN? APEC? Fixed Effects (Cross) _AUS--C _CHN--C _ENG--C _FRA--C _GMN--C _HKG--C _IND--C _ITY--C _JPN--C
-27.94965 2.936495 2.261024 -0.046105 -0.354604 -0.651960 -0.144862 -0.171842 -0.181948 -0.023352 -0.880059 0.117253 0.024852 -0.253593 -0.447366
8.489933 0.558716 0.577158 0.083706 0.019213 0.043266 0.010550 0.036138 0.012200 0.021459 0.611541 0.040256 0.011737 0.368625 0.414994
-3.292093 5.255795 3.917514 -0.550792 -18.45650 -15.06864 -13.73054 -4.755095 -14.91413 -1.088204 -1.439084 2.912673 2.117415 -0.687943 -1.078007
-0.175185 _KSL--C 0.588128 -0.011346 _INA--C 0.406298 -0.071399 _NTD--C -0.218117 -0.232115 _NZL--C -0.368603 0.015420 _PHI--C -0.312255 0.130049 _SIN--C 0.648030 -0.233714 _SPY--C -0.338448 -0.219043 _THA--C 0.178408 -0.331604 _USA--C 0.545496 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999778 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999761 S.D. dependent var S.E. of regression 1.017901 Sum squared resid F-statistic 60606.12 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
0.0011 0.0000 0.0001 0.5821 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2771 0.1509 0.0038 0.0348 0.4919 0.2817
55.01114 65.85209 433.0988 2.093197
Lampiran 10. Hasil Estimasi Investasi Indonesia Dependent Variable: LOGFDI_INA? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/05/10 Time: 11:07 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C -14.74378 3.378507 -4.363993 LOG GDP_INA? 1.521405 0.322769 4.713604 LOG POP_INA? 2.551728 0.432340 5.902132 LOG OPEN_INA? 0.564260 0.029795 18.93798 LOG RER_INA? -0.546048 0.021695 -25.16975 LOG IR_INA? -0.355954 0.022823 -15.59615 LOG POP? -0.109776 0.008164 -13.44715 LOG GDP? -0.067451 0.044378 -1.519897 LOG RER? -0.070950 0.007335 -9.673449 LOG IR? -0.015397 0.011226 -1.371572 LOG SIZE? -0.852500 0.371667 -2.293718 LOG X_INA? 0.056501 0.027929 2.023018 LOG M_INA? 0.051684 0.018430 2.804344 ASEAN? 0.198998 0.043975 4.525209 APEC? 0.122345 0.044718 2.735931 Fixed Effects (Cross) _AUS--C -0.017277 _KSL--C -0.010414 _CHN--C 0.020875 _MAL--C -0.035953 _ENG--C 0.005454 _NTD--C 0.033270 _FRA--C -0.003890 _NZL--C -0.008502 _GMN--C 0.013970 _PHI--C 0.028155 _HKG--C 0.003009 _SIN--C -0.025542 _IND--C -0.030702 _SPY--C -0.009403 _ITY--C 0.003294 _THA--C -0.004199 _JPN--C 0.001288 _USA--C 0.036568 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999351 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999303 S.D. dependent var S.E. of regression 1.034167 Sum squared resid F-statistic 20757.86 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.1293 0.0000 0.1709 0.0223 0.0437 0.0053 0.0000 0.0065
62.34319 39.16341 447.0513 2.168533
Lampiran 11. Hasil Estimasi Investasi Singapura Dependent Variable: LOGFDI_SIN? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 09:33 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable C LOG GDP_SIN? LOG POP_SIN? LOG OPEN_SIN? LOG RER_SIN? LOG IR_SIN? LOG POP? LOG GDP? LOG RER? LOG IR? LOG SIZE? LOG X_SIN? LOG M_SIN? ASEAN? APEC? Fixed Effects (Cross) _AUS--C _CHN--C _ENG--C _FRA--C _GMN--C _HKG--C _INA--C _IND--C _ITY--C
Coefficient Std. Error -27.02488 2.236179 2.884008 0.080818 -0.400424 -0.285909 -0.127548 -0.250941 -0.106179 -0.027002 -0.716384 0.116099 -0.000426 0.266903 0.103841 0.060764 0.029466 -0.049539 0.036031 -0.070518 -0.033416 -0.050243 0.020885 0.067247
4.697650 0.392870 0.510891 0.075789 0.016619 0.021629 0.007601 0.037280 0.006465 0.012621 0.441159 0.043251 0.005882 0.048597 0.043929 _JPN--C _KSL--C _MAL--C _NTD--C _NZL--C _PHI--C _SPY--C _THA--C _USA--C
t-Statistic
Prob.
-5.752851 5.691909 5.645055 -1.066344 -24.09388 -13.21847 -16.78080 -6.731290 -16.42389 -2.139505 -1.623866 2.684295 -0.072395 5.492162 2.363847
0.0000 0.0000 0.0000 0.2869 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0330 0.1052 0.0076 0.9423 0.0000 0.0185
0.008238 0.024483 0.049638 -0.090783 -0.012941 -0.097672 0.035345 0.050808 0.022207
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999936 0.999931 1.025311 209313.3 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
131.0556 123.2609 439.4274 2.067459
Lampiran 12. Hasil Estimasi Investasi Thailand Dependent Variable: LOGFDI_THA? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 10:09 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C 93.84308 21.50263 4.364260 LOG GDP_THA? 1.275847 0.593860 2.148396 LOG POP_THA? 12.86429 3.613866 -3.559702 LOG OPEN_THA? 1.805526 0.091282 19.77973 LOG RER_THA? 2.826624 0.381760 7.404186 LOG IR_THA? 0.414070 0.037320 11.09510 LOG POP? 0.133609 0.015473 8.635124 LOG GDP? -0.011988 0.005187 -2.311117 LOG RER? -0.020328 0.002698 -7.535302 LOG IR? 0.008740 0.000362 24.15429 LOG SIZE? -0.014157 0.000832 -17.01034 LOG X_THA? 0.034174 0.001973 17.31729 LOG M_THA? 0.001291 0.000159 8.118231 ASEAN? -0.006233 0.001356 -4.596570 APEC? -0.040562 0.002084 -19.45968 Fixed Effects (Cross) _AUS--C 0.049426 _JPN--C -0.049133 _CHN--C -0.146447 _KSL--C 0.182186 _ENG--C -0.188205 _MAL--C -0.041964 _FRA--C 0.043518 _NTD--C -0.008170 _GMN--C 0.106264 _NZL--C 0.034174 _HKG--C 0.054414 _PHI--C -0.016948 _INA--C -0.122795 _SIN--C 0.008737 _IND--C -0.035658 _SPY--C 0.105945 _ITY--C -0.002071 _USA--C 0.026726 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999926 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999921 S.D. dependent var S.E. of regression 0.852526 Sum squared resid F-statistic 182695.4 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0323 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0213 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
35.48944 95.75143 303.8028 1.914664
Lampiran 13. Hasil Estimasi Investasi Philipina Dependent Variable: LOGFDI_PHI? Method: Pooled EGLS (Cross-section SUR) Date: 01/06/10 Time: 08:43 Sample: 1982 2006 Included observations: 25 Cross-sections included: 18 Total pool (balanced) observations: 450 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic C LOG GDP_PHI? LOG POP_PHI? LOG OPEN_PHI? LOG RER_PHI? LOG IR_PHI? LOG POP? LOG GDP? LOG RER? LOG IR? LOG SIZE? LOG X_PHI? LOG M_PHI? ASEAN? APEC? Fixed Effects (Cross) _AUS--C _CHN--C _ENG--C _FRA--C _GMN--C _HKG--C _INA--C _IND--C _ITY--C
-26.52189 2.349943 2.705836 -0.031994 -0.369758 -0.322647 -0.137277 -0.176133 -0.098800 -0.046050 -0.747675 0.039369 0.004183 0.313309 0.204515
4.384523 0.377946 0.456605 0.067069 0.015691 0.018089 0.007335 0.034242 0.005910 0.010539 0.389865 0.020778 0.012614 0.052550 0.042567
-6.048979 6.217668 5.925991 -0.477025 -23.56475 -17.83620 -18.71638 -5.143714 -16.71814 -4.369299 -1.917778 1.894752 0.331607 5.962139 4.804556
0.050571 _JPN--C -0.020763 -0.017974 _KSL--C -0.018407 -0.023597 _MAL--C 0.100941 0.020370 _NTD--C -0.026660 0.018250 _NZL--C -0.021524 -0.013957 _SIN--C 0.042291 -0.047369 _SPY--C -0.026505 -0.007336 _THA--C 0.036020 -0.028425 _USA--C -0.015927 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999838 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.999826 S.D. dependent var S.E. of regression 1.020754 Sum squared resid F-statistic 83365.06 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.6336 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0558 0.0588 0.7404 0.0000 0.0000
31.16455 77.44726 435.5306 2.132270
Lampiran 14. Hasil Pengujian Autokorelasi Model Perdagangan ASEAN Dependent Variable: LOGTRADE Method: Least Squares Date: 01/10/10 Time: 18:06 Sample: 1 2250 Included observations: 2250 Variable C LOGGDP_I LOGPOP_I LOGFDI_I LOGRER_I LOGOPEN_I LOGTAX_I LOGIR_I LOGGDP LOGPOP LOGFDI LOGRER LOGIR LOGDIST LOGTII_I LOGTAX ASEAN APEC R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.286267 10.16944 -7.302548 2.698364 4.343254 -0.712024 -2.697428 4.578992 5.402498 2.001554 -4.120516 1.935625 -4.412238 -3.682134 6.252002 -2.182082 10.27383 -4.657324
0.7747 0.0000 0.0000 0.0070 0.0000 0.4765 0.0070 0.0000 0.0000 0.0455 0.0000 0.0530 0.0000 0.0002 0.0000 0.0292 0.0000 0.0000
0.390078 1.373860 -0.968971 0.073100 0.123645 -0.033531 -0.158661 0.128556 0.143481 0.028991 -0.066740 0.016628 -0.098175 -0.135750 0.121161 -0.039100 0.488328 -0.080742
1.362638 0.135097 0.132689 0.027090 0.028468 0.047092 0.058820 0.028075 0.026558 0.014484 0.016197 0.008590 0.022251 0.036867 0.019380 0.017919 0.047531 0.017337
0.825747 0.824420 0.279019 173.7648 -311.5058 2.060137
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
9.224293 0.665880 0.292894 0.338644 622.1749 0.000000
Uji Autokorelasi Sementara dtabel untuk observasi sebanyak (n=∼) diperoleh nilai dL = 1.57 dan dU = 1.78. Pembuktiannya adalah dari model diketahui DWhitung = 2.06, dengan demikian 2.06 > 1.78, karena nilai DWhitung > dU maka tidak terdapat autokorelasi. Jadi berdasarkan ketentuan di atas terbukti bahwa model ini berada di daerah tidak terdapat autokorelasi artinya tidak terdapat kesalahan pengganggu atau tidak terjadi korelasi diantara data pengamatan.
Lampiran 15. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Perdagangan ASEAN
Dependent Variable: RESIDUALTR Method: Least Squares Date: 01/10/10 Time: 18:07 Sample: 1 2250 Included observations: 2250 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOGGDP_I LOGPOP_I LOGFDI_I LOGRER_I LOGOPEN_I LOGTAX_I LOGIR_I LOGGDP LOGPOP LOGFDI LOGRER LOGIR LOGDIST LOGTII_I LOGTAX ASEAN APEC
5.99E-10 -2.76E-10 3.40E-10 -7.62E-11 -9.02E-12 1.92E-10 1.17E-10 -8.59E-11 8.82E-11 -2.24E-11 -1.60E-11 -4.97E-12 -8.95E-12 9.06E-12 -5.97E-11 3.02E-11 -1.06E-10 3.40E-11
1.362638 0.135097 0.132689 0.027090 0.028468 0.047092 0.058820 0.028075 0.026558 0.014484 0.016197 0.008590 0.022251 0.036867 0.019380 0.017919 0.047531 0.017337
4.40E-10 -2.04E-09 2.56E-09 -2.81E-09 -3.17E-10 4.07E-09 1.99E-09 -3.06E-09 3.32E-09 -1.55E-09 -9.90E-10 -5.79E-10 -4.02E-10 2.46E-10 -3.08E-09 1.68E-09 -2.23E-09 1.96E-09
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
0.000000 -0.007616 0.279019 173.7648 -311.5058 2.060137
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
2.53E-11 0.277962 0.292894 0.338644 1.29E-13 1.000000
Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui nilai sig. (prob./P-value) untuk semua variabel bebas tidak ditemukan yang bernilai lebih kecil dari 0.05 untuk tingkat signifikansi 5%. Dengan demikian dapat dikatakan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas diantara anggota group pada model regersi ini, sehingga memenuhi persyaratan untuk analisis regresi berganda (multiple regression) atau regresi data panel (pooled).
Lampiran 16. Hasil Pengujian Multikolinearitas Model Perdagangan ASEAN
Model
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
LOGGDP_I
0.157
6.369
LOGPOP_I
0.139
7.202
LOGFDI_I
0.426
2.346
LOGRER_I
0.128
7.832
LOGOPEN_I
0.161
6.194
LOGTAX_I
0.161
6.195
LOGIR_I
0.571
1.751
LOGGDP
0.302
3.316
LOGPOP
0.352
2.844
LOGFDI
0.211
4.742
LOGRER
0.545
1.835
LOGIR
0.297
3.367
LOGDIST
0.242
4.141
LOGTII_I
0.333
2.999
LOGTAX
0.407
2.456
ASEAN
0.162
6.160
APEC
0.642
1.559
Uji Multikolinearitas Dari tabel dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan variabel bebas dengan nilai VIF lebih besar dari 10 atau mempunyai nilai tolerance lebih kecil dari 0.1. Dengan demikian tidak ada masalah multikolinearitas, sehingga pada model tidak ada variabel independen yang harus di-eliminasi.
Lampiran 17. Hasil Pengujian Autokorelasi Model Investasi ASEAN
Dependent Variable: LOGFDI_I Method: Least Squares Date: 01/10/10 Time: 09:29 Sample: 1 2250 Included observations: 2250 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOGGDP_I LOGPOP_I LOGOPEN_I LOGRER_I LOGIR_I LOGPOP LOGGDP LOGRER LOGIR SIZE LOGX_I LOGM_I ASEAN APEC
-11.49951 1.636654 0.764534 0.059284 -0.328198 -0.181815 -0.106326 0.022276 -0.048575 0.015725 -0.170007 0.006975 0.004960 0.047567 0.045020
1.320800 0.099436 0.087436 0.036322 0.018844 0.021924 0.008675 0.018660 0.006157 0.011928 0.058939 0.009675 0.005376 0.032932 0.013695
-8.706470 16.45942 8.743961 1.632186 -17.41674 -8.292807 -12.25618 1.193769 -7.889715 1.318269 -2.884463 0.721003 0.922608 1.444399 3.287378
0.0000 0.0000 0.0000 0.1028 0.0000 0.0000 0.0000 0.2327 0.0000 0.1875 0.0040 0.4710 0.3563 0.1488 0.0010
R-squared Adjusted R-squared
0.556720 0.553943
Mean dependent var S.D. dependent var
S.E. of regression
0.222178
Akaike info criterion
Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
110.3266 199.5335 2.011748
Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
9.120231 0.332664 0.164030 0.125905 200.4972 0.000000
Uji Autokorelasi Sementara dtabel untuk observasi sebanyak (n=∼) diperoleh nilai dL = 1.57 dan dU = 1.78. Pembuktiannya adalah dari model diketahui DWhitung = 2.06, dengan demikian 2.012 > 1.78, karena nilai DWhitung > dU maka tidak terdapat autokorelasi. Jadi berdasarkan ketentuan di atas terbukti bahwa model ini berada di daerah tidak terdapat autokorelasi artinya tidak terdapat kesalahan pengganggu atau tidak terjadi korelasi diantara data pengamatan.
Lampiran 18. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Model Investasi ASEAN
Dependent Variable: RESIDUAL Method: Least Squares Date: 01/10/10 Time: 09:31 Sample: 1 2250 Included observations: 2250 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOGGDP_I LOGPOP_I LOGOPEN_I LOGRER_I LOGIR_I LOGPOP LOGGDP LOGRER LOGIR SIZE LOGX_I LOGM_I ASEAN APEC
4.80E-11 -8.80E-11 2.11E-10 5.53E-11 -4.38E-11 2.24E-11 -2.14E-11 -1.78E-11 9.92E-12 8.64E-12 -1.42E-11 -8.92E-12 7.15E-12 1.97E-12 -2.80E-11
1.320800 0.099436 0.087436 0.036322 0.018844 0.021924 0.008675 0.018660 0.006157 0.011928 0.058939 0.009675 0.005376 0.032932 0.013695
3.63E-11 -8.85E-10 2.41E-09 1.52E-09 -2.32E-09 1.02E-09 -2.47E-09 -9.51E-10 1.61E-09 7.24E-10 -2.41E-10 -9.22E-10 1.33E-09 5.98E-11 -2.05E-09
1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
0.000000 -0.006264
Mean dependent var S.D. dependent var
S.E. of regression
0.222178
Akaike info criterion
Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
110.3266 199.5335 2.011748
Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared
-2.22E-12 0.221486 0.164030 0.125905 1.23E-13 1.000000
Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui nilai sig. (prob./P-value) untuk semua variabel bebas tidak ditemukan yang bernilai lebih kecil dari 0.05 untuk tingkat signifikansi 5%. Dengan demikian dapat dikatakan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas diantara anggota group pada model regersi ini, sehingga memenuhi persyaratan untuk analisis regresi berganda (multiple regression) atau regresi data panel (pooled).
Lampiran 19. Hasil Pengujian Multikolinearitas Model Investasi ASEAN
Model
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
LOGGDP_I
.125
7.985
LOGPOP_I
.127
7.889
LOGOPEN_I
.113
8.885
LOGRER_I
.137
7.322
LOGIR_I
.594
1.684
LOGPOP
.621
1.609
LOGGDP
.387
2.582
LOGRER
.673
1.487
LOGIR
.655
1.526
SIZE
.227
4.400
LOGX_I
.452
2.215
LOGM_I
.642
1.558
ASEAN
.214
4.663
APEC
.652
1.534
Uji Multikolinearitas Dari tabel dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil pengujian tidak ditemukan variabel bebas dengan nilai VIF lebih besar dari 10 atau mempunyai nilai tolerance lebih kecil dari 0.1. Dengan demikian tidak ada masalah multikolinearitas, sehingga pada model tidak ada variabel independen yang harus di-eliminasi.