Analisa Pengaruh Temperatur Terhadap Proses Penyerapan H2S di dalam Amine Contactor HESS Indonesia-Pangkah Limited Fajri Julisyah Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Fisika Institut Teknlogi Sepuluh Nopember Surabaya 60111 email:
[email protected]
Abstract – Gas alam (Natural Gas) adalah sumber energi yang umum digunakan saat ini, dengan kebutuhan yang tinggi memacu industri pengolahan gas alam untuk meningkatkan produksinya dengan membuka lahan-lahan baru. Setiap sumber yang didapat tentunya mempunya perbedaan komposisi terutama kandungan gas asam (Sour Gas) didalamnya. Gas alam dikategorikan sebagai Sweet Gas apabila memenuhi kriteria H2S kurang dari atau sama dengan 4 ppm. Penelitian saat adalah melakukan analisa pengaruh temperatur pada penyerapan H2S. Berdasarkan literatur dan jurnal penelitian tentang proses penyerapan gas alam ini, telah dikembangkan model matematis untuk menentukan fenomena perpindahan massa H2S dan CO2 secara simultan kedalam larutan Methyldiethanolamine (MDEA) yang disertai reaksi. Proses perpindahan massa menggunakan model film cocok untuk proses penyerapan yang reaktif. Dari model matematis ini akan digunakan sebagai validasi data yang diambil dari salah satu perusahaan pengolahan gas alam di kota Gresik, Jawa Timur. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi perbaikan proses pada industri pengolahan gas alam dan dapat diselesaikan secara teknis. Kata Kunci: Analisa penyerapan, absorpsi, H2S, Methyldiethanolamine, Hess Indonesia. 1. PENDAHULUAN Pengolahan gas alam merupakan proses terpenting pada industri minyak dan gas alam yaitu mengurangi kadar komponen gas asam yang terdiri dari Karbon Dioksida (CO2) dan Hidrogen Sulfida (H2S) dengan menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan desain proses. Pelarut yang digunakan dalam proses pengolahan gas ini biasanya larutan alkanoamina (Kohl dan Nielsen, 1997). Teknik absorpsi atau penyerapan CO2 dan H2S dalam gas alam adalah dengan mengunakan unit kolom absorpsi (absorber column) yang biasanya disebut Amine Contactor dan kolom pelucutan (desorber/stripper column) yang biasanya disebut Amine Regenerator. Proses tersebut adalah Proses Pemurnian Gas (Sweetening Gas Process) didalam Amine Contactor dengan arah aliran yang berlawanan (Countercurrent
Flow) bertujuan untuk mengabsorpsi gas asam sehingga kadar keasamannya dapat memenuhi spesifikasi gas, kadar keasaman ini dapat menyebabkan karat atau korosi (Corrosion) pada peralatan dan perpipaan yang terbuat dari baja dan besi. Gambar 1 dibawah adalah skema secara garis besar proses pemurnian gas yang pada umumnya.
Gambar 1. Proses pemurnian gas, sumber: Metso Automation. Inc
Pelarut kimia (Chemical Solvents) dari ethanolamine memiliki sifat yang berbeda terhadap temperatur kolom penyerap dibandingkan dengan pelarut fisik (physical solvents) (khol, 1997). Perbedaan yang utamanya adalah hubungan kecepatan reaksi dengan CO2 terhadap komponen lain seperti H2S. Perbedaan ini dapat diartikan bahwa menurunkan penyerapan CO2 dan menaikan penyerapan H2S adalah pada temperatur kolom penyerap yang lebih dingin atau rendah (Lunsford, 1999). Proses pemurnian yang dilakukan oleh Anderson et al (1992) menjelaskan bagaimana temperatur yang rendah pada saat musim dingin banyak CO2 yang tidak terserap. Law (1994) memperlihatkan hasil simulasi bagaimana menurunkan penyerapan CO2 dengan menurunkan jumlah tray, menaikkan konsentrasi amine, dan menurunkan temperatur absorber. Dupart (1993) menyarankan untuk temperatur gas umpan (feed gas) apabila spesifikasi gas tidak sesuai yang diharapkan. Jika bermasalah dengan H2S, temperatur gas harus kurang dari 120oF (48,9oC). Street (1994) menyarankan menaikkan temperatur larutan amine apabila untuk menaikkan penyerapan CO2 menggunakan larutan MDEA dengan minimum temperatur tidak melebihi 90oF (32,3oF).
2. Dasar Teori
dan
2.1. Teori Lapisan Film Model yang paling sederhana dan tertua telah dikemukakan sebagai penjelasan proses transport massa yang disebut teori lapisan film. Pertama kali dikemukakan oleh Whitman (1923) dan digunakan oleh Hatta (1928) untuk absorption yang disertai reaksi kimia. Teori lapisan film didasarkan pada asumsi dimana dua fasa liquida saling kontak satu sama lain, suatu lapisan tipis fluida diam berada di setiap sisi batas fasa. Perpindahan massa konveksi dalam lapisan ini diasumsikan tidak penting, dan karena itu perpindahan itu dapat dicapai oleh difusi keadaan tunak (steadystate). Pada lapisan tipis ini turbulensi mampu untuk menghilangkan gradien konsentrasi. Gambar 3 menunjukkan model film perpindahan massa untuk absorpsi gas dalam liquid. Daerah interface dianggap ideal sebagai suatu hepotesa “lapisan tak teraduk”. Tekanan parsial tetap pi,blk menyebabkan tidak ada tahanan perpindahan massa dalam fase gas.
…………………………………….(4)
pada z = δ CA = CAb , CB = CBb Berdasarkan hubungan molar flux dan komposisi gas yang masuk piringan (tray) telah di evaluasi,
………………………..(5) ……………….(6) …………………….(7) dimana asumsi komposisi dari komponen yang ditransfer dalam cairan curah (liquid bulk) dengan menggunakan persamaan berikut, jumlah cairan yang meninggalkan setiap piringan (tray) dan komposisi amine sebagai konsentrasi HS- adalah berikut ini,
………………………………...(8)
...................... (9)
................................... (10) ….(11) …..(12)
Gambar 2. Skema diagram model lapisan film pad kolom absorpsi (Al-Baghli et.al, 2001)
Flux massa pada lapisan antarmuka (interface) gas dan cairan (y=0) dan cairan film curah (liquid film bulk) (y=δ) dibutuhkan untuk menghitung jumlah perpindahan H2S, CO2 ke cairan dan bereaksi dengan Amine di tiap tray dapat dihitung dengan rumus berikut,
……..……………………..(1) dengan konsentrasi profil (Consentration Profile) untuk CO2 dalam film cairan harus ditentukan. Sehingga rumusan berikut ini yang digunakan untuk penentuannya,
Dengan bantuan persamaan 3 dan kesetimbangan kimia penyerapan dari H2S-Amine pada tiap titik didalam film cairan (liquid film), konsentrasi profil H2S dan CO2 didalam film cairan dan komposisi pada antarmuka dapat dievaluasi.
……………………… (13)
Sehingga dengan menggunakan persamaan 1 dan sesuai persamaan komposisi CO2 dan H2S didalam cairan curah dapat dievaluasi.
..(14) ………………………………(15)
…….……….……………..………...(2) kondisi boundary untuk CO2 sebagai berikut,
pada z = 0
…...………...(3)
Perhitungan temperatur pada kolom adalah sebagai berikut,
.................... (16)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu feed gas dan suhu larutan amine menentukan kesempurnaan proses absoprsi. Tabel 1 dan Gambar 3 adalah pengaruh suhu feed gas dan larutan amine yang menentukan kesempurnaan proses absorpsi. Data ke-8 (jam 18:00) suhu amine turun ke 42,69 oC dari 48,79 o C (data ke-1, jam 11:00) dan suhu gas turun ke 36,23 o C dari 41,08 oC, dengan menghasilkan konsentrasi H2S 0 ppm dari konsentrasi awal 5,88 ppm setelah mengalami 1 jam proses absorpsi. Tabel 2 juga memberikan informasi yang sama dengan table 1 dan gambar 1. Batasan suhu larutan amine yang diperbolehkan sebagai umpan adalah 23,7-54,4oC. Sedangkan suhu larutan amine yang masuk kedalam Amine Contactor didesian pada 43oC. Larutan amine yang terkontaminasi hidrokarbon yang terserap pada proses absorpsi gas asam. Suhu larutan amine harus memiliki perbedaan 3-6oC diatas suhu feed gas, untuk menghindari kondensasi hidrokarbon didalam larutan amine. Suhu yang terlalu rendah menyebabkan pembentukan busa didalam kolom (foaming). Pada tabel 2, jam 13:00 perbedaan suhu antara larutan amine dan gas adalah 14,59 oC. Hal ini memberikan terserapnya hidrokarbon didalam larutan amine dan foaming didalam Amine Contactor.
Gambar 3. Grafik perubahan suhu yang mempengaruhi penyerapan H2S pada saat suhu ambien rendah atau dingin pada tanggal 22 Juni 2008
Menurut Al-Baghli (2001), salah satu asumsi yang digunakan untuk melakukan perhitungan desain kolom, 1. Temperatur gas yang keluar yaitu sweet gas sama atau mendekati temperatur liquida amine yang masuk, yaitu dapat dilihat pembacaan temperatur pada 135-TIC-212 mendekati pembacaan temperatur pada 135-TI-211 pada gambar 4. 2. Untuk menyatakan kesetimbangan panas (Thermal Equlibrium) yaitu temperatur gas yang masuk dan melewati tray yang pertama mendekati temperatur amine yang keluar dari bagian bawah kolom. Pembacaan terdapat pada 135-TI-188 dan 135-TI-123 pada gambar 4.
Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap penyerapan H2S saat suhu ambien dingin bulan Juni 2008 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00
ppm H2S
Flow Gas
Suhu Gas
Flow Amine
Suhu Amine
10.87 11.26 10.66 10.27 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.07
82.5 84.54 84.49 82.5 82 88.03 83.05 83.11 83.5 83.51 83.04 83.91
33.24 33.52 33.68 33.59 33.12 32.75 32.2 31.38 30.93 30.72 30.59 30.44
28.97 28.99 28.97 29 28.91 29.04 28.97 28.98 29 29.02 28.96 29.03
45.58 45.13 44.79 44.57 43.96 43.65 43.28 42.75 43.32 43.17 43.15 43.35
4. Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap penyerapan H2S saat suhu ambien dingin bulan Agustus 2010 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00
ppm H2S
Flow Gas
Suhu Gas
Flow Amine
Suhu Amine
6.07 9.48 11.96 11.06 10.21 9.48 6.6 5.33 4.45 4.45 3.98 3.51
46 47.25 47 47.75 45.25 47 47 46.25 44.5 44.75 44.75 46.75
40.7 41.13 41.75 41.85 41.51 40.16 38.95 37.88 37.31 37.08 37.02 36.89
26.92 27.06 26.9 26.91 26.93 27.08 27.12 27.1 27.08 27.14 26.9 26.91
47.69 54.52 56.34 52.29 49.48 47.88 46.68 46.09 45.82 45.76 45.64 45.5
Gambar 4. Profil Temperatur Amine Contactor di Hess Indonesia-Pangkah Limited Sistem Identifikasi Sistem identifikasi nonlinear dipilih didasari oleh ketergantungan tiap parameter yang memberikan andil dalam proses penyerapan. Ketergantungan tersebut dapat dilihat pada gambar 5. Sistem identifikasi digunakan untuk memprediksi temperatur gas keluar sebagai indikator penyerapan yang optimum didalam Amine Contactor, berdasarkan data dari pada stream keluar Contactor menunjukkan
suhu gas keluar 44,49 oC dan dengan hasil 8 ppm konsentrasi H2S. Hasil dari simulasi sistem identifikasi didapat sebagai berikut,
Temperatur
Gambar 5. Plot parameter masuk dan keluar Amine Contactor
mengecil. Temperatur gas outlet ini dapat digunakan untuk menentukan temperatur yang larutan amine yang masuk kedalam Amine Contactor dengan melakukan perhitungan kesetimbangan panas. Nilai dari perhitungan kesetimbangan panas dapatlah digunakan sebagai data perhitungan pada persamaan 16. 5. KESIMPULAN Ketidak linieran suhu pada Amine Contactor dikarenakan reaksi yang terjadi didalam kolom adalah reaksi reversible yang mengeluarkan panas atau eksotermis. Temperatur larutan Amine yang masuk sangat berperan dalam proses penyerapan dan telah dibuktikan dengan beberapa contoh simulasi perhitungan. Kemampuan alat pendingin (Air Cooled Heat Exchanger) perlu ditinjau ulang karena kemampuan perpindahan panas-nya pada larutan amine, kinerjanya sudah mulai menurun. Dari data desain alat pendinginan bahwa temperatur amine dapat didinginkan menjadi 45 oC dari 56,8 oC (Lampiran A3). Dilakukan pengkajian perpindahan panas pada keluaran pompa (discharge) karena sistem perpipaan sebagai alat transportasi larutan amine ini tidak difasilitasi penyelubung atau insulasi pipa (pipe insulation).
DAFTAR REFERENSI
Waktu (x104) Gambar 6. Identifikasi temperatur gas keluar Amine \ Contactor data yang digunakan pada identifikasi ini adalah temperatur larutan amine masuk (135-TIC-212), temperatur gas masuk (135-TI-210) dan temperatur gas keluar (135-TI-211) yang diukur pada bulan September 2007 dengan jumlah data sebanyak 1998 dan waktu sampling 20 menit. Gambar 6 memiliki 2 grafik yaitu grafik simulasi dan grafik pengukuran, z adalah data output yang terukur dalam hal ini diharapkan mewakili temperature pada 135-TI-211. Sedangkan mw1 adalah output yang dismulasi dengan model perdiksi, prediksi temperature yang harapkan pada gas keluar. Hasil simulasi mendekati hasil data sheet pada Lampiran C6 yaitu 46,5 oC, dengan best fit mw1 6,52%. Best fit pada simulasi ini memiliki keunikan dari simulasi yang lain, yaitu semakin rendah best fit menunjukan temperatur keluar kolom akan semakin
[1] Kohl, Arthur and Nielsen, Richard (1997), Gas Conditioning, 5th edition, Gulf Publishing, Houston, Texas. [2] Lunsford, Kevin. dan Mcintyre, Gavin. (1999) “Decreasing Contactor Temperature Could Increase Performance”, Proceedings of the Seventhy-Eight GPA Annual Convention, Gas Processors Association, Nashville, TN, hal. 121127. [3] Anderson, M.D., Hegarty, M.J. dan Johnson, J.C. (1992) “Flexible Selective Solvent Design”, Proceedings of the 71st GPA Annual Convention, Anaheim, California hal 292-300. [4] Law, Danny (1994), “New MDEA Design in Gas Plant Improve Sweetening, Reduces CO2”, Oil and Gas Jounal, hal. 83-86. [5] Arby, R.G.F dan Dupart, M.S (1993),”Amine Plant Troubleshooting and Optimization: A Practical Guide”, Proceeding from the 43rd Annual Laurance Reid Gas Conditioning Conference, Norman, Oklahoma, hal. 157-182. [6] Street, D.E (1995), “Alkanolamine: Operational Issue and Design Considerations” Sulfur Recovery Symposium, Vail, Colorado. [7] Thomas, J.C (1997),”Improved Selectivity Achieved with UCARSOL Innovator Solvent 111”, Proceeding from Laurance Reid Gas Conditioning Conference 1951-1988, University
[8]
[9]
[10]
[11]
of Oklahoma, Norman, Oklahoma, binder II, hal. 406-419 Smith, R. (Robin), (2005), Chemical ProcessDesign and Integration, John Wiley & Sons, Inc., New York. David S.J. “Stan” Jones and Peter R. Pujado, (2006), Handbook of Petroleum Processing, Springer. American Institute of Chemical Engineers, (2000), Optimization Distillation Column. www.aiche.org. Enrique del Castillo, (2007), Process Optimization A Statistical Approach, Springer.