Karya Ilmiah
ANALISA PEMBAHARUAN SISTEM PEMILIHAN KEPALA DESA DALAM KERANGKA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA (DITINJAU DARI UU NO 32 TAHUN 2004 DAN PP NO. 72 TAHUN 2005)
Oleh :
RINSOFAT NAIBAHO
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM MEDAN 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “Analisis Pembaharuan Sistem Pemilihan Kepala Desa Dalam Kerangka Pemilihan Umum Di Indonesia (Ditinjau dari UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005)”.
Penulisan ini dimaksudkan sebagai suatu penulisan Karya Ilmiah. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan literatur. Oleh karena itu semua saran dan kritik yang sifatnya membangun akan diterima dengan segala kerendahan hati.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………........1
A. Latar Belakang……………………………………………………….……….......1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………………….…10 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………..10 D. Manfaat Penelitian………………………………………………………….…...11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….…..12
A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa...................................................................12 1. Pengertian Desa………………………………………………………...……12 2. Pemerintahan Desa………………………………………………..........……18 3. Badan Permusyawaratan Desa…………………………………......……..….20 B. Pengertian Pemilihan Kepala Desa………………………………………...........23 C. Kepala Desa………………………………………………………….....…….…26 1. Syarat-syarat menjadi Kepala Desa………………………………….............27 2. Tahap Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa…………….………………..28 3. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Kepala Desa…………………………....29 4. Pemberhentian Kepala Desa………………………………………………....31 v BAB III PEMBAHASAN……………..…………………………………………35
A. Sistem Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005…..…………….......…..32 B. Esensi Pembaharuan Terhadap Sistem Pemilihan Kepala Desa dalam Kerangka Pemilihan Umum di Indonesia…….....……………………………….....………45 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….…55
A. Kesimpulan...........................................................................................................52 B. Saran.....................................................................................................................52 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal–usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.1 Pembentukan desa harus memenuhi persyaratan diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, serta sarana dan prasarana pemerintahan. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih ini dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.2 Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung. Salah satu persyaratan pembentukan desa yaitu adanya pemerintah desa, pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa mempunyai tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan 1 2
Pasal 2 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 2 ayat (4) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
1
kemasyarakatan dan dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan, dengan masa jabatan 6 (enam) tahun yang dihitung sejak yang bersangkutan dilantik.3
Kepala desa yang sudah menduduki jabatan hanya boleh menduduki satu kali masa jabatan berikutnya. Kemudian dalam menjalankan tugasnya, kepala desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat, yang prosedur pertanggung jawabannya dilaksanakan kepada Bupati melalui Camat.Dan kepada BPD, kepala desa wajib menyampaikan laporan keterangan pertanggung jawaban desa serta menyampaikan informasi mengenai pokok-pokok pertanggung jawabannya.
Kepala Desa mempunyai tugas, wewenang, dan kewajiban serta berhak atas gaji dan tunjangan, jaminan kesehatan, bantuan hukum, cuti dan mendapat penghargaan atas prestasi kerjanya, selanjutnya dalam rangka penguatan Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kecamatan wajib melaksanakan pembinaan kepada Kepala Desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa lainnya. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat.Pemilihan kepala desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
3
Pasal 52 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
2
adil.4 Pemilihan kepala desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan.5 Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Begitu pula dalam penyelenggaraan pemerintahan desa harus sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan
pemerintahan
desa
tidak
lepas
dari
kepala
desa.
Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala desa yang dipilih masyarakat desa yang sudah mempunyai hak memilih. Pemilihan kepala desa tidak terlepas dari partisipasi politik masyarakat desa. Partisipasi politik pada hakekatnya sebagai ukuran
untuk
mengetahui
kualitas
kemampuan
warga
negara
dalam
menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijakan dalam mensejahterahkan masyarakat sekaligus langkah-langkahnya) ke dalam simbol-simbol pribadi.
Secara substantif, partisipasi menyangkut tiga hal, yaitu: Pertama, suara (voice), artinya bahwa setiap masyarakat itu mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suara dalam proses pemerintahan, sebaiknya pemerintah mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, artinya bahwa setiap warga masyarakat itu mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik dan akses pada arus 4 5
Pasal 46 ayat (2) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 46 ayat (3) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
3
informasi. Ketiga, kontrol, artinya bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.6 Umumnya minat masyarakat dalam pemilihan Kepala Desa cukup tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam proses Pilkades, karena bagi sebagian masyarakat tidak ada lagi tekanan dan intimidasi politik dari pihak manapun, namun bagi sebagian masyarakat lain adanya paksaan dari salah satu kandidat calon kepala desa melalui tim suksesnya dengan membagikan kaos dan stiker serta adanya tekanantekanan para pembotoh atau pembotoh yang hadir dalam pelaksanaan pemilihan berlangsung.
Para pembotoh tersebut memberikan uang kepada sebagian masyarakat agar memilih calon yang disuruh oleh pembotoh, banyak sekali masyarakat yang mengikuti keinginan para pembotoh untuk memilih salah satu calon karena telah diberikan imbalan sebelum masuk ke dalam bilik suara. Selain itu ada juga sebagian masyarakat lainnya memilih calon kepala desa karena memiliki hubungan kekeluargaan dengan salah satu calon.
6
Solekhan, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa: Berbasis Partisipasi Masyarakat dalam Membangun Mekanisme Akuntabilitas, Malang: Setara Press, 2012, hlm. 9.
4
Selain ikut dalam aktivitas pada pelaksanaan Pilkades dengan menjadi partisipan dalam pelaksanaan Pilkades dan menjadi pengamat dalam pelaksanaan Pilkades, ada juga masyarakat menjadi orang yang apathis terhadap pelaksanaan Pilkades. Orang apathis tersebut benar-benar tidak peduli tentang pelaksanaan Pilkades baik dari tahap pencalonan sampai pada tahap pelaksanaan Pilkades. Orang apathis juga bisa tidak memilih salah satu calon kades dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
Berdasarkan uraian diatas maka pelaksanaan pemilihan kepala desa sarat dengan kepentingan dari berbagai pihak yang semuanya bermuara pada kekuasaan dan/atau uang. Oleh karena itu pihak-pihak dimaksud pastilah tidak tinggal diam apabila dalam prosesnya terdapat hal-hal yang mengancam dan merugikan kepentingan mereka. Tentu saja mereka akan melakukan berbagai cara untuk melindungi kepentingannya misalnya protes terhadap panitia, tuntutan Pilkades ulang, pengaduan kepada pihak berwenang, mengadukan kepada pihak berwajib apabila diyakini terdapat kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkades. Mereka juga tidak segan-segan membuat kekacauan/keributan. Bahkan melakukan tindakan pengerahan massa untuk memaksakan tuntutannya melalui unjuk rasa baik yang diarahkan kepada panitia, Kepala Desa/BPD, Camat maupun Bupati.
5
Oleh karena itu untuk dapat mengeliminir/mereduksi kejadian atau masalah tersebut diatas, maka dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dibutuhkan panitia penyelenggara pemilihan yang efektif sehingga dapat melaksanakan pemilihan kepala desa yang lancar, aman, tertib dan sukses. Efektifitas memang diperlukan dalam berbagai aktivitas atau kegiatan, termasuk dalam kegiatan panitia pemilihan kepaladesa sebagai suatu organisasi. Saat ini efektifitas panitia pemilihan menjadi permasalahan penting dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa. Perlu dipahami bersama bahwa pelaksanaan pemilihan kepala desa merupakan kegiatan yang berat, rumit dan rangkaiannya relatif panjang serta memakan waktu yang tidak singkat.
Menurut United Nations Development Programme (UNDP), Good Governance memiliki 8 (delapan) karakteristik yaitu sebagai berikut: Pertama, Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui sistem keterwakilan. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi serta berpartisipasi secara konstruktif. Kedua, Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia (HAM). Ketiga, Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi. Informasi dapat dipahami dan dapat dimonitor. Keempat, Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba melayani setiap “stakeholders”. Kelima, Consensus Orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihanpilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas. Keenam, Effectiveness and Effeciency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Ketujuh, Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta
6
dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembagalembaga stakeholders. Kedelapan, Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.7 Dari kedelapan karakteristik diatas dapat dilihat bahwa sebenarnya tidak terlepas dari ide mendudukkan publik atau rakyat sebagai salah satu komponen yang harus diperhatikan keterlibatannya, ini merupakan konsekuensi logis dari negara dengan bentuk pemerintahan yang demokratis.
Menurut Amir Machmud, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, mengatakan bahwa negara (dengan bentuk pemerintahan) demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia (demokrasi) berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.8 Sehingga tidak salah Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang desentralistik sebagai jembatan atas keterlibatan masyarakat dalam menentukan kebijakan pemerintah, terutama pada pemerintahan tingkat paling bawah yaitu Desa. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam suatu negara tersebut adalah keterlibatannya dalam pemilihan umum. Pemilu merupakan salah satu ciri
7
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemrintahan yang Baik): Dalam Rangka Otonomi Daerah Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efesiensi melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan, Bandung: Mandar Maju. 2012, hlm. 7. 8 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 19.
7
pemerintahan yang demokratis. Termasuk didalamnya adalah pemilihan kepala desa secara langsung yang selanjutnya disingkat menjadi Pilkades. Tidak dipungkiri secara historis bahwa Pilkades merupakan prototype Pemilu langsung Indonesia. Tetapi dalam perjalanannya justru Pilkades menjadi sistem pemilihan yang paling statis dan tradisional. Seakan menjadi anak tiri dalam kesatuan sistem pemilihan umum di Indonesia.
Bahkan banyak desa diberbagai daerah di Indonesia termasuk di Madura biaya pemilihan kepala desa dibebankan kepada para calon kepala desa. Padahal pemilihan kepala desa adalah agenda pemerintah yang seharusnya dibiayai dari anggaran negara/daerah. Hal ini bisa jadi penyebabnya diantaranya adalah karena belum dimasukkannya pemilihan kepala desa secara langsung dalam rezim pemilihan umum. Padahal dari berbagai instrumen pemilihan kepala desa sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Bab XI dan dalam PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, pelaksanaan pemilihan kepala desa dapat dikatakan identik dengan pemilihan umum.
Asas-asas pelaksanaan Pilkades sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (2) PP No. 72 tahun 2005 sama persis dengan asas-asas pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen. Dari sisi
8
persyaratan pemilih juga dapat dikatakan sama antara pemilih Pilkades, dan pemilih dalam pemilu, termasuk dalam mekanisme penggunaan hak pilih, persyaratan dan tata cara pencalonan dan lain-lain. Perubahan pemilihan kepala desa dalam kerangka pemilihan umum di Indonesia baik dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa terletak pada prosedur persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan kepala desa dan panitia penyelenggara Pilkades.
Berangkat dari asumsi diatas maka penulis mencoba mengupas bagaimana sistem pemilihan kepala desa yang selama ini terjadi di Indonesia jika dihubungkan dalam kerangka pemilihan umum. Oleh karena itu penulis mengambil judul ANALISIS
PEMBAHARUAN
SISTEM
PEMILIHAN
KEPALA
DESA
DALAM KERANGKA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA (Ditinjau Dari UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005) yang diharapkan dari penelitian ini dapat diketahui dan dipahami dengan jelas mengenai sistem pemilihan kepala desa di Indonesia yang sebenarnya.
9
B. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Sistem Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 ? 2. Apakah Esensi Pembaharuan Terhadap Sistem Pemilihan Kepala Desa dalam kerangka Pemilihan Umum di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami sistem pemilihan kepala desa dalam sistem pemilihan umum di Indonesia. 2. Untuk mengetahui dan memahami proses jalannya esensi pembaharuan sistem pemilihan kepala desa dalam pemilihan umum di Indonesia.
10
D. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara Teoritis ini diharapkan mampu menambah wawasan dan pemahaman khususnya ilmu pengetahuan hukum tata negara. b. Secara Praktis Penelitian ini dapat menambah referensi yang ada dan dapat digunakan oleh semua pihak yang membutuhkan, terutama yang berkaitan dengan sistem pemilihan umum di Indonesia, penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan penambah wawasan dan sumbangan kepustakaan bagi pembaca yang memiliki minat lebih dalam materi yang serupa atau berkaitan dan dapat dijadikan acuan dalam penelitian dengan bahasan yang serupa maupun penelitian lanjutan di masa yang akan datang. c. Bagi Penulis 1. Bahwa penulis ini bermanfaat untuk memperdalam ilmu hukum mengenai sistem pemilihan kepala desa dalam kerangka pemilihan umum di Indonesia. 2. Bahwa penulis ini merupakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) bidang ilmu hukum.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
1. Pengertian Desa9
Pemerintahan desa sebagai unit lembaga pemerintahan yang paling berdekatan dengan masyarakat, posisi dan kedudukan hukumnya hingga saat ini selalu menjadi perdebatan terutama ditingkat elit politik. Penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain menimbulkan implikasi pada perubahan tata hubungan desa dengan pemerintah supra desa, juga membawa perubahan dalam relasi kekuasaan antar kekuatan politik dilevel desa.
Perubahan kearah interaksi yang demokratik itu terlihat dari beberapa fenomena, diantaranya: (1) Dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi adat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari; (2) Semangat mengadopsi demokrasi delegatif-liberatif cukup besar dalam UU yang baru. Misalnya, dengan hadirnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dimana badan legislatif baru ini berperan sebagai pengayom adat-istiadat, membuat Peraturan Desa bersama-sama dengan Kepala Desa
9
Solekhan, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa: Berbasis Partisipasi Masyarakat dalam Membangun Mekanisme Akuntabilitas, Malang: Setara Press, 2012, hlm. 35.
12
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaran pemerintahan desa; dan (3) Semangat partisipasi masyarakat sangat ditonjolkan. Artinya proses politik pemerintahan dan pembangunan di desa tidak lagi bermuara dari kebijakan pemerintah pusat secara terpusat (top-down), melainkan berasal dari partisipasi masyarakat.10 Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dari daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Dari pengertian undang-undang tersebut ditarik suatu kesimpulan bahwa desa itu merupakan bagian dari pemerintahan daerah. Perumusan secara formal desa dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dikatakan bahwa desa adalah: “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Didalam UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desa adalah: “Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
10
Ibid
13
adat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten”. Selanjutnya, dinyatakan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, Pasal 1 ayat (12) yang menjelaskan bahwa: “Desa atau yang disebut nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pasal 1 ayat (5) yang menjelaskan bahwa: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dari pengertian desa tersebut, didapatlah kata kunci, “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri”. Artinya desa itu memiliki hak otonomi. Hanya saja, otonomi desa disini berbeda dengan otonomi formal seperti yang dimiliki oleh pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, tetapi otonominya hanya sebatas pada asal-usul dan adat-istiadat setempat tersebut mengandung pengertian otonomi yang telah dimiliki sejak dulu kala dan telah menjadi adat-istiadat yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
14
Sementara otonomi yang dimiliki pemerintah kabupaten dan/atau kota adalah otonomi formal/resmi. Artinya, urusan-urusan yang dimiliki atau menjadi kewenangan kabupaten dan/atau kota ditentukan berdasarkan undang-undang. Contoh urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan/atau kota, diantaranya: 1) Urusan Pendidikan dan Kebudayaan, 2) Urusan Kesehatan, 3) Urusan Pertanian, 4) Urusan Ketenagakerjaan; dan sebagainya. Sedangkan urusan-urusan yang menjadi kewenangan desa, diantaranya: 1) Urusan Pengelolaan Pasar Desa, 2) Urusan Lumbung Desa, 3) Urusan Pengairan Desa, 4) Urusan Pengelolaan Makam Keramat, 5) Urusan Penyelenggaraan Upacara Adat, dan lain sebagainya.
Mencermati pengertian desa seperti di atas, Pemerintah Orde Baru kala itu memandang bahwa keberadaan desa-desa kesatuan hukum yang beragam corak dan sifatnya, dan otonom tersebut akan menyulitkan pemerintah dalam melakukan pengaturan dan pengendalian. Disamping itu, keberagaman desa tersebut juga dapat menghambat pembangunan nasional. Bagi pemerintah, desa-desa itu merupakan bagian dari organisasi dari keseluruhan sistem pemerintahan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran ini, maka desa-desa tersebut perlu memiliki keseragaman. Apabila dimungkinkan
tidak
hanya
keseragaman
dalam
sistem
pemerintahan
dan
ketatanegaraan yang diperlukan, melainkan juga dalam sistem sosial-budayanya,
15
sehingga disamping memudahkan pengaturan dan pengendalian juga memudahkan pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan.
Bertitik tolak dari pengertian desa tersebut di atas, maka Pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pengaturan Desa dalam rangka memudahkan pengaturan, pengendalian, dan pelaksanaan fungsi pelayanan terhadap pemerintahan desa dan masyarakatnya. Lebih dari itu, Inpres Nomor 5 Tahun 1976 juga sudah menjelaskan bahwa “Desa adalah desa dan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam pengertian territorial-administratif langsung di bawah kecamatan”. Dalam kaitan ini, tersirat dengan jelas dalam rumusan tersebut bahwa desa-desa di Indonesia itu adalah desa-desa yang telah ada sebelum negara ini merdeka, bukan merupakan ciptaan baru. Namun ditegaskan pula bahwa kedudukannya tidak bebas melainkan (secara territorial-administratif) langsung berada di bawah kecamatan. Dengan demikian, tidak lagi berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri sebagaimana ketika desa-desa itu belum berada di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun peraturan perundang-undangan yang terakhir yang mengatur mengenai desa adalah undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana desa memang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, karena
16
sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit tidak disebutkan kedudukan pemerintah desa dalam susunan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, perlu dicermati bahwa dengan diberlakukanya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi desa menjadi terdesentralisasi dan memiliki hak otonom berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dan bertanggungjawab terhadap Bupati dan Walikota.
Karena itu, istilah desa yang biasa dipergunakan di pulau Jawa, Bali, dan Madura tidak bisa berlaku secara general, tetapi harus didasarkan pada istilah yang dipergunakan oleh masing-masing daerah, dengan mengacu pada suatu pengertian bahwa desa atau sebutan lainnya adalah nama kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Saparin bahwa sebutan desa itu sangat beragam, sebagai contoh: masyarakat Aceh menggunakan nama Gampong atau Meunasah untuk daerah hukum paling bawah. Masyarakat Batak, daerah hukum setingkat desa dinamakan Kuta atau Huta. Masyarakat Minangkabau, daerah hukum setingkat desa dinamakan Nagari, sedang daerah gabungan dinamakan Luha. Di Sumatra Timur, daerah hukum yang paling bawah ialah Suku. Di Sumatra Selatan (Kerinci, Palembang, Bengkulu) nama daerah hukum ialah dusun dan daerah gabungan dinamakan Mendopo atau Marga. Di Lampung namanya Dusun atau Tiuh, Minahasa namanya Wanu,
17
Ujungpandang disebut Gaukung, Bugis (Metowa), Toraja (Toraja) dan Dusun Dati untuk desa di Maluku.
2. Pemerintahan Desa
Pemerintahan desa, didalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, Pasal 1 ayat (6) menyebutkan, bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik
Indonesia.
Dengan
demikian,
dalam
Penyelenggaraan
pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa adalah organisasi pemerintahan desa yang terdiri atas: a. Unsur pimpinan, yaitu kepala desa; b. Unsur pembantu kepala desa, yang terdiri atas: 1. Sekretaris desa, yaitu unsur staf atau pelayanan yang diketuai oleh sekretaris desa; 2. Unsur pelaksana teknis, yaitu unsur pembantu kepala desa yang melaksanakan urusan teknis di lapangan seperti urusan pengairan, keagamaan, dan lain-lain;
18
3. Unsur kewilayahan, yaitu pembantu kepala desa di wilayah kerajanya seperti kepala dusun.11 Dijelaskan juga dalam PP No. 72 Tahun 2005, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Sedangkan BPD atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa, pemerintah desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Karena itu, kalau dilihat dari segi fungsi, maka pemerintah desa memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Menyelenggarakan urusan rumah tangga desa, (2) Melaksanakan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, (3) Melaksanakan pembinaan perekonomian desa, (4) Melaksanakan pembinaan partisipasi dan swadaya gotongroyong masyarakat, (5) Melaksanakan pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat, (6) Melaksanakan musyawarah penyelesaian perselisihan, dan lain sebagainya.
11
Nurcholis, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Jakarta: Erlangga, 2011, hlm. 73.
19
3. Badan Permusyawaratan Desa
BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.12 Jadi, dalam menyelenggarakan pemerintahan desa terdapat dua lembaga: pemerintah desa dan BPD. Pemerintah berfungsi menyelenggarakan kebijakan pemerintah atasnya dan kebijakan desa, sedangkan BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Atas fungsi tersebut BPD mempunyai wewenang: a. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa; b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa; c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa; e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan f. Menyusun tata tertib BPD.13 Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri atas ketua rukun warga, pemangku adat, golongan
12 13
Pasal 29 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 35 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
20
profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarkat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.14
Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah
ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.
Pimpinan BPD terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus. Rapat pemilihan pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai Hak: (1) Meminta keterangan kepada pemerintah desa; (2) Menyatakan pendapat. Sedangkan anggota BPD mempunyai hak sebagai berikut: a. Mengajukan rancangan peraturan desa; b. Mengajukan pertanyaan; c. Manyampaikan usul dan pendapat; d. Memilih dan dipilih, dan e. Memperoleh tunjangan.
14
Pasal 30 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
21
Sedangkan yang menjadi kewajiban anggota BPD yaitu sebagai berikut: a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa; c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; e. Memproses pemilihan kepala desa; f. Mendahulukan kepentingan umum di atas pribadi, kelompok dan golongan; g. Menghormati nilai-nilai sosial badaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan h. Menjaga norma-norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.15 Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan menjadi kepala desa dan perangkat desa. Pimpinan dan Anggota BPD dilarang: a. Menjadi pelaksana proyek desa; b. Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain; c. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari phak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan; d. Menyalahgunakan wewenang; dan e. Melanggar sumpah/janji jabatan.
15
Pasal 37 ayat (1) dan (2) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
22
B. Pengertian Pemilihan Kepala Desa Pemilihan Kepala Desa, atau seringkali disingkat Pilkades, adalah suatu pemilihan Kepala Desa secara langsung oleh warga desa setempat.16 Berbeda dengan Lurah yang merupakan Pegawai Negeri Sipil, kepala desa merupakan jabatan yang dapat diduduki oleh warga biasa. Pilkades dilakukan dengan mencoblos tanda gambar Calon Kepala Desa. Pilkades telah ada jauh sebelum era Pilkada Langsung. Akhirakhir ini ada kecenderungan Pilkades dilakukan secara serentak dalam satu kabupaten, yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Hal ini dilakukan agar pelaksanaannya lebih efektif, efisien, dan lebih terkoordinasi dari sisi keamanan.
Pemilihan kepala desa merupakan praktek demokrasi di daerah pedesaan yang menyangkut aspek legitimasi kekuasaan dan aspek penentuan kekuasaan sehingga akan mengundang kompetisi dari golongan minoritas untuk merebut jabatan kepala desa untuk mendapatkan jabatan kepala desa tersebut di butuhkan partisipasi aktif dari masyarakat yang pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban pada masyarakat itu sendiri dalam pemilihan kepala dasa.
16
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_desa, diakses pada tanggal 25 Juni 2013, pukul 19:45 WIB
23
Mengingat fungsi Aparatur Pemerintahan Desa yang sangat menentukan maka calon kepala desa yang terpilih seharusnya bukan saja sekedar seorang yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan, akan tetapi disamping memenuhi syarat yang cukup dan dapat di terima dengan baik oleh masyarakat juga mampu melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan sebagai pembina masyarakat serta berjiwa panutan dan suri tauladan bagi warga desanya, untuk itu harus benar-benar seorang pancasila sejati yang penuh dedikasi dan loyalitas yang cukup tinggi.
Pemilihan Kepala Desa dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan politik masyarakat. Dalam arti yang sempit, pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan mengahayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik ideal yang hendak dibangun. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemeritah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, menyebutkan bahwa Pemilihan Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat, pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum,
24
bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) membentuk panitia pemilihan yang terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat.17 Pemilihan kepala desa bertujuan untuk memilih calon kepala desa yang bersaing dalam pemilihan kepala desa untuk dapat memimpin desa. Dalam rangka pemilihan Kepala Desa yang dimaksud dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil adalah sebagai berikut: a. Asas Langsung berarti pemilih mempunyai hak suara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan. b. Asas Umum berarti pada dasarnya semua penduduk desa WNI yang memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya telah berusia 17 tahun ataupun telah/pernah kawin berhak memilih dalam pemilihan Kepala Desa. c. Asas Bebas berarti pemilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk menetapkan pilihannya sendiri tanpa adanya pengaruh tekanan dari siapapun dan dengan apapun.
17
Pasal 47 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
25
d. Asas Rahasia berarti pemilih dijamin oleh peraturan perundang-undangan bahwa suara yang diberikan dalam pemilihan tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun. e. Asas
Jujur
berarti
dalam
menyelenggarakan
pemilihan
umum;
penyelenggaraan/pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; f. Asas Adil berarti setiap pemilih dan peserta pemilu mendapatkan perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan dari pihak mana pun.
C. Kepala Desa
Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan.18
18
Pasal 52 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
26
Kepala Desa juga memiliki wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD. Ada beberapa tahapan menjadi Kepala Desa antara lain:
1. Syarat-syarat menjadi Kepala Desa Dalam Pasal 44 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa calon kepala desa adalah penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan: a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Meha Esa; b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-undang Dasar Tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah: c. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau sederajat; d. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun; e. Bersedia dicalonkan menjadi kepala desa; f. Penduduk desa setempat; g. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun; h. Tidak dicabut hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; i. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Desa paling lama 10 (sepuluh) tahun atau dua kali masa jabatan; j. Memenuhi syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
27
2. Tahap Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa Dalam Pasal 47-50 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa, Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa antara lain, sebagai berikut: Pasal 47 (1) Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Desa, BPD membentuk Panitia Pemilihan yang terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat. (2) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melakukan pemeriksaan identitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa kepada BPD. Pasal 48 (1) Panitia pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan Bakal Calon Kepala Desa sesuai persyaratan. (2) Bakal Calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan. Pasal 49 (1) Calon Kepala Desa yang berhak dipilih diumumkan kepada masyarakat di tempat-tempat yang terbuka sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. (2) Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosialbudaya masyarakat setempat.
28
Pasal 50 (1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang mendapatkan dukungan suara terbanyak. (2) Panitia pemilihan Kepala Desa melaporkan hasil pemilihan Kepala Desa kepada BPD. (3) Calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan Laporan dan Berita Acara Pemilihan dari Panitia Pemilihan. (4) Calon Kepala Desa terpilih disampaikan oleh BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat untuk disahkan menjadi Kepala Desa Terpilih. (5) Bupati/Walikota menerbitkan Keputusan Bupati/Walikota tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala Desa Terpilih paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari BPD.
3. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Kepala Desa Dalam Pasal 14 dan Pasal 15 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa: Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD; b. Mengajukan rancangan peraturan desa; c. Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD; d. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
29
e. Membina kehidupan masyarakat desa; f. Membina perekonomian desa; g. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif; h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Desa mempunyai kewajiban sebagai berikut: a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. Melaksanakan kehidupan demokrasi; e. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme; f. Menjalin hubungan kerja sama dengan seluruh peraturan perundang-undangan; g. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; h. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik; i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa; j. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa; k. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; l. Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;
30
m. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adatistiadat; n. Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup. 4. Pemberhentian Kepala Desa Dalam Pasal 17 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, menyebutkan bahwa: a. Kepala Desa berhenti, karena: 1. Meninggal dunia; 2. Permintaan sendiri; 3. Diberhentikan. b. Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksu pada ayat (1) huruf c karena: 1. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; 2. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut salama 6 (enam) bulan; 3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa; 4. Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; 5. Tidak melaksanakan kewajiban kepala; dan/atau 6. Melanggar larangan bagi kepala desa.
31
BAB III PEMBAHASAN
A. Sistem Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 1. Pemilihan Umum Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Dalam sejarah Pemilihan Umum yang dilakukan di Indonesia, terdapat perbedaan dasar hukum yang dipergunakan sebagai landasan yuridisnya, meskipun secara substansial mengatur hal yang sama, yakni Pemilihan Umum. Pemilihan Umum pada tahun 1955 menggunakan dasar hukum Undang-undang nomor 7 tahun 1953 (Lembaran Negara 1953 no. 29).Undang-undang ini merujuk pada Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 35 Undang-undang Dasar 1950 (UUDS). Sementara Pemilihan Umum berikutya sudah berlandaskan UUD NRI Tahun 1945.19 Setelah dilakukan amandemen III terhadap UUD NRI Tahun 1945, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 2011, Pemilihan Umum diatur dalam Bab VIIB Pasal 22E. Dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.20 Ketentuan ini menunjukkan tentang asas yang dianut dalam Pemilihan Umum di Indonesia adalah asas LUBER-JURDIL. Disamping itu, pada ayat ini juga diatur tentang jenjang waktu dari Pemilihan Umum, yakni setiap 19
Khairul Fahmi, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012, hlm. 144. 20 UUD NRI Tahun 1945.
32
lima tahun sekali, sehingga ada adagium yang berkembang di masyarakat bahwa “Pemilihan Umum merupakan pesta demokrasi lima tahunan”.
Kemudian pada ayat (1) di atas lebih dibakukan lagi oleh berbagai Undangundang organik yang mengatur tentang Pemilihan Umum, baik pemilihan umum untuk memilih anggota Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) yaitu UU No. 10 Tahun 2008, maupun Undang-undang yang mengatur tentang pucuk Pimpinan Pemerintahan (eksekutif) baik ditingkat pusat yakni Presiden/Wakil Presiden yaitu UU No. 42 Tahun 2008, maupun pemerintahan ditingkat daerah yakni Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yaitu melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008.
Dalam beberapa Undang-undang tersebut secara tegas menyebutkan asas Pemilihan Umum adalah LUBER-JURDIL, termasuk didalamnya adalah pemilihan kepala desa sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Adapun ruang lingkup Pemilihan Umum dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
33
Dari ayat ini terlihat bahwa Pemilihan Umum yang dilaksanakan lima tahunan adalah bermaksud untuk: i.
Memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
ii.
Memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah;
iii.
Memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Provinsi / Kabupaten / Kota); dan
iv.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden.
dimana untuk pelaksanaan operasional dari Pemilihan Umum di atas telah dikeluarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Legislatif sekarang diganti dengan UU No. 10 Tahun 2008, dan Undang-undang nomor 23 Tahun 2003 yang mengatur tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sekarang diganti dengan UU No. 42 Tahun 2008.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah diluar lingkup diatas dapat dikatakan sebagai Pemilu, atau bagian dari Pemilu ?. Seperti halnya Kepala Daerah yang disebut-sebut sebagai Pemilu atau bagian dari Pemilu termasuk juga didalamnya adalah Pemilihan Kepala Desa. Dari segi teori dan konsep bahwa Pilkada adalah termasuk Pemilu. Hal ini tentunya juga dapat diberlakukan terhadap pemilihan kepala desa, mengingat dari segi asas dan beberapa instrument lainnya juga mempunyai kesamaan. Persoalan baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam UU No. 32
34
Tahun 2004 tidak ada ketentuan secara tegas bahwa Pilkada dan Pilkades adalah termasuk dalam kategori dari Pemilu.
Untuk pemilihan kepala daerah dengan diterbitkannya UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sudah dengan tegas dan jelas dimasukkan dalam lingkup pemilihan umum. Sedangkan untuk pemilihan kepala desa sampai saat ini belum ada satu ketentuanpun yang secara tegas memasukkannya kedalam bagian dari pemilihan umum, walaupun asas-asas dan beberapa instrumen lainnya terdapat kesamaan.
Selain itu Pemilu perlu diselenggarakan secara lebih berkualitas yang sekaligus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi.21 Mekanisme Pemilu perlu diatur meliputi, mulai dari konsep dasar, asas, tujuan, peserta, dan pelaksana serta tata cara penyelesaian hasil pemilu. Dengan demikian secara konstitusional pelaksanaan Pemilu di Indonesia menjadi semakin jelas, tegas, dan terarah.
21
Titik Triwulan, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UU No.32 tahun 2004 Dalam Sistem Pemilihan Umum Menurut UUD 1945, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, hlm. 25.
35
2. Pemilihan Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Tentang pemilihan kepala daerah, UUD NRI Tahun 1945 mengaturnya dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Pasal ini kemudian diterjemahkan dengan dikeluarkannya undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam Bab IV diatur tentang Penyelenggaraan Pemerintahan, dan pada bagian kedelapan Pasal 56119 mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Berkaitan dengan Pilkada A. Mukthie Fadjar menjelaskan dalam dissenting opinion-nya bahwa “Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara demokratis adalah pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung), Pilkada langsung adalah Pemilu, Pemilu adalah Pemilu yang secara substansial berdasarkan prinsipprinsip yang ditentukan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945”.22 Adapun yang perlu digaris bawahi, dari Pasal 18 ayat (4) diatas adalah pada kalimat dipilih secara demokratis. Kalimat dipilih secara demokratis mengandung pertanyaan apakah dipilih secara demokratis dapat dikatakan bagian dari Pemilihan Umum ? maka untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu:
22
Janedjri, Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2012, hlm.54.
36
a. Pendekatan konsep/teori Jika dari segi konsep dan teori tidak ada perbadaan prinsip antara pemilu dengan pilkades, kedua-duanya sama-sama dimaksudkan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam konteks negara demokrasi. Yang membedakannya hanya terletak pada lingkup pemilihan dan objek yang dipilih. Jika pemilu sifatnya nasional dan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan, Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan jika pilkada sifatnya regional/lokal (provinsi/kabupaten/kota) yang bermaksud untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota. b. Pendekatan normatif ketentuan UUD NRI Tahun 1945 Jika dilihat dari ketentuan normatif UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen, maka ada beberapa Pasal yang dapat diperhatikan. Jika dilihat pada Pasal 22 E ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemilu dimaksudkan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden maka, pilkada tidak termasuk didalamnya. Akan tetapi jika melihat ketentuan Pasal 22 E ayat(1) yang mengatur tentang asas-asas pemilu yaitu Langsung, Umum, Bebas, Jujur dan Adil maka Pilkada termasuk dalam kategori Pemilu. Hal ini didasarkan pada ketentuan UU No. 32 tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) dimana diatur bahwa Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota dipilih secara berpasangan
37
melalui pemilihan secara demokrasi berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Setelah terbitnya Undang-undang nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, maka perdebatan tentang Pilkada apakah masuk dalam rezim pemilu atau bukan menjadi selesai. Karena UU No. 15 Tahun 2011 tersebut khususnya dalam Pasal 1 angka 4 sudah tegas memasukkan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum, walaupun dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak diatur secara jelas. Yang kemudian dipertegas kembali dengan diterbitkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Mahkamah Konstitusi diberi wewenang memutus perselisihan hasil Pemilukada, setelah kewenangan tersebut dialihkan dari Mahkamah Agung.
3. Pemilihan Kepala Desa Dalam Perundang-undangan Indonesia Dalam UUD NRI Tahun 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen tidak ada satu ketentuanpun yang secara eksplisit mengatur tentang pemilihan kepala desa. Bahkan pengaturan tentang Desa pun secara eksplisit juga tidak ditemukan dalam
UUD
NRI
Tahun
1945,
walaupun
sebenarnya
desa
dan
sistem
pemerintahannya mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan NKRI, mengingat semua masyarakat bertempat tinggal di desa atau dengan sebutan istilah lainnya. Dan pemerintahan desalah yang bersentuhan langsung dengan denyut nadi kehidupan masyarakat.
38
Istilah desa dalam UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen dapat kita jumpai dalam Pasal 18 dan penjelasannya, yang berbunyi sebagai berikut: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya di tetapkan dengan undang-undang memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asalusul daerah yang bersifat istimewa”. Dan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 Penjelasan II, berbunyi: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelbesturendelandschappen” dan “Volkgemenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. Sedangkan setelah amandemen, Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu di bagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang”. Berdasarkan Pasal 18 diatas, maka kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam Pasal 200 ayat (1) dibentuklah pemerintahan Desa, yang berbunyi: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Desa dan/atau Pemerintahan Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih langsung dari dan oleh penduduk desa setempat
39
yang memenuhi persyaratan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 203 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi: “Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga Negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur denganPerda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah”.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, di Bagian Keempat diatur tentang Pemilihan Kepala Desa, yaitu mulai dari Pasal 43 s/d 54. Dalam Pasal 46 PP No. 72 Tahun 2005 tersebut diatur sebagai berikut: 1. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat. 2. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. 3. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan.23 Sedangkan untuk pemilih diatur dalam Pasal 45, yang berbunyi sebagai berikut: “Penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”. Adapun untuk pengaturan lebih lanjut tentang Tata Cara Pemilihan Kepala Desaakan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan”. 23
PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
40
Dari beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan diatas, tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memasukkan pemilihan kepala desa sebagai bagian dari pemilihan umum. Akan tetapi apabila melihat isi/materi dari beberapa ketentuan tersebut, misalnya: tata cara pemilihan kepala desa yang dipilih secara langsung, asas-asas pemilihan kepala desa, pentahapan pencalonan dan pemilihan, persyaratan pemilih dan lainnya sama persis dengan pengaturan pemilu. Dengan demikian secara substansi pemilihan kepala desa sebenarnya juga termasuk kedalam lingkup pemilihan umum.
Sebagaimana pemilihan kepala daerah sebelum diterbitkannya UU No. 22 Tahun 2007, yang sekarang diganti dengan UU No. 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum, ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memasukkan Pilkada kedalam kelompok (rezim) pemilu sebagaimana telah dijelaskan diatas, kiranya demikian pula dapat digunakan pemilihan kepala desa, yaitu: a. Pendekatan konsep/teori Jika dari segi konsep dan teori tidak ada perbedaan prinsip antara pemilu dengan pilkades kedua-duanya sama-sama dimaksudkan sebagai sarana pelaksanaan
41
kedaulatan rakyat dalam konteks negara demokrasi. Yang membedakannya hanya terletak pada lingkup pemilihan dan objek yang dipilih. b. Pendekatan normatif ketentuan UUD NRI Tahun 1945 Jika dilihat dari ketentuan normatif UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen, maka ada beberapa pasal yang dapat diperhatikan. Jika dilihat pada Pasal 22 E ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemilu dimaksudkan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden maka Pilkades tidak termasuk didalamnya.
Akan tetapi jika melihat pada ketentuan Pasal 22 E ayat (1) yang mengatur tentang asas-asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil maka Pilkades termasuk dalam kategori Pemilu. Hal ini didasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 203 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) PP No.72 Tahun 2005 dimana diatur bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung dari dan oleh penduduk desa setempat melalui pemilihan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Terlebih jika kita lihat dari defenisi pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang berbunyi:
42
“Pemilihan Umum, yang selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.24 Jadi jelas dengan dasar ini Pemilihan Kepala Desa termasuk dalam lingkup pemilihan umum, karena pemilihan kepala desa selain sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan dengan asas LUBER-JURDIL dalam NKRI, juga dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu melalui revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana pengaturan tentang Desa akan diatur dengan Undang-Undang tentang Desa tersendiri maka perlu juga diatur penataan sistem pemilihan kepala desa dalam kerangka pemilihan umum mulai dari asas-asasnya, pemilihnya, persyaratan calon, penyelenggara, tata cara pemilihan, pembiayaan, pengawasan dan penyelesaian sengketa yang terjadi. Sehingga pemilihan kepala desa yang secara historis merupakan prototype pemilihan secara langsung di Indonesia benar-benar dihormati dan diperhatikan keberadaannya oleh negara dengan berbagai fasilitas terhadap seluruh kebutuhan yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian tidak perlu terjadi lagi pemilihan kepala desa tidak digelar karena tidak ada yang mau mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa, karena harus
24
UU RI No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
43
menanggung seluruh kebutuhan biaya pelaksanaa pemilihan kepala desa, seperti yang pernah terjadi di Desa Banyuajuh, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan yang sampai ssat ini belum bisa melaksanakan pemilihan kepala desa karena tidak seorangpun yang mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa, padahal masa jabatan kepala desanya sudah berakhir pada tahun 2008 yang lalu.
44
B. Esensi Pembaharuan Sistem Pemilihan Kepala Desa dalam Kerangka Pemilihan Umum di Indonesia
Selama ini suksesi Pilkades tidak pernah kering dari pembicaraan mulai dari mulut kemulut, dari pena ke pena, dan dari otak ke otak. Hal ini terjadi mengingat karena Pilkades adalah refleksi bagaimana demokrasi itu coba diimplementasikan. Disisi lain Pilkades merupakan sarana sirkulasi elit dan transfer kekuasaan di tingkat lokal. Dalam konteks ini Pilkades diharapkan secara langsung membuat masyarakat mengerti akan hak dan kewajibannya.
Pilkades adalah suatu moment dimana masyarakat mengerti posisi mereka sebagai warga dalam percaturan politik di desa tersebut. Dimana terjadi proses interaksi antara rakyat dan pemerintah sebagai wujud adanya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dimaklumi bersama, Pilkades tidak sesederhana apa yang kita bayangkan. Di dalamnya berimplikasi tentang banyak hal mengenai hajat hidup dan kepentingan orang banyak. Mulai dari proses, hasil hingga pasca kegiatan Pilkades adalah satu kesatuan yang utuh dan erat terkait di dalam menentukan arah dan agenda enam tahun ke depan ke mana desa tersebut akan dibawa.
45
Demokrasi desa adalah bingkai pembaharuan terhadap tata pemerintahan desa atau hubungan antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, (BPD) dan elemen-elemen masyarakat desa yang lebih luas.25 Dalam memahami demokrasi di tingkat lokal ini, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan.Prosedur dan lembaga memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif bagi perkembangan demokrasi.26 Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara Pemerintah Desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan masyarakat.
Sebagai ajang pesta demokrasi, pemilihan kepala desa pasti tidak lepas dari taktik dan strategi. Pada jaman dahulu tidak ada money politik dalam pemilihan kepala desa. Penentuan pilihan seseorang banyak dipengaruhi oleh kedekatan kekerabatan dan hubungan emosional lainnya. Kecakapan seorang calon kepala desa tidak ditentukan oleh kemampuan managerial atau akademis tetapi lebih ditentukan oleh sikap atau tingkah laku, memahami adat istiadat desa dan memiliki kelebihan dalam hal kesaktian.
25
http://membangun-desa.blogspot.com/2010/02/pilkades-sarana-mewujudkan-demokrasi.html,diakses pukul 20:37 WIB. 26 Janedjri, Op. Cit, hlm. 9.
46
Pada masa itu belum banyak orang yang berpendidikan sehingga modelmodel kampanye visi dan misi belum dikenal. Biasanya calon yang terpilih adalah orang yang dianggap tertua atau orang yang berwibawa yang mempunyai kharisma di desanya. Pada era Orde Lama tidak banyak perubahan paradigma pada masyarakat desa dalam menentukan kriteria calon kepala desa yang mereka pilih. Setidaknya ada 3 faktor utama yang menjadi alasan seseorang untuk menjatuhkan pilihannya yaitu kedekatan kekerabatan, tingkah laku (kepribadian / kharisma) dan rasa kedaerahan atau kedusunan. Dusun adalah bagian lebih kecil dari sebuah desa. Satu Desa biasanya terdiri dari beberapa dusun. Ikatan emosional kedusunan ini dimanfaatkan oleh calon kepala desa untuk membangkitkan sentimen primordial yang terbukti cukup efektif.
Masyarakat desa biasanya lebih menyukai kepala desa yang berasal dari dusun yang sama dengan tempat mereka tinggal. Pada masa ini money politik hampir tidak ada sama sekali, mengingat kondisi ekonomi pada masa itu masih sangat rendah. Pada masa Orde Baru, money politik relatif masih belum ada, kalaupun ada hanyalah pemberian berupa barang atau pakaian dan itupun secara sembunyisembunyi. Kriteria penentuan pilihan masih sama dengan pada masa order lama yaitu faktor tingkah laku (kepribadian/kharisma), hubungan kekerabatan, rasa kedusunan
47
ditambah lagi untuk generasi muda sudah mulai mempertimbangkan faktor kecakapan atau kemampuan.
Selain itu ada pengaruh eksternal dari para penjudi taruhan (botoh) yang kadang-kadang
rela
membagi-bagikan
uang
agar
pemilih
bisa
mengikuti
kehendaknya demi kemenangan taruhan. Pada Jaman Reformasi terjadi perubahan besar-besaran dalam proses pemilihan kepala desa. Masyarakat desa sudah mulai terkontaminasi ulah elit politik yang sering menggunakan money politik dalam mencapai tujuan. Desa yang kita harapkan sebagai benteng terakir kerusakan pranata negara, ternyata juga terkontaminasi pragmatisme politik yang tidak kalah parahnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk dapat terpilih menjadi kepala desa didalam pilkades harus dengan biaya ratusan juta rupiah bahkan dibeberapa desa bisa mencapai angka milyaran rupiah. Pada masa ini money politik sudah terjadi secara masiv dan terang-terangan. Selain itu para penjudi/botoh yang taruhan dalam acara pilkades berani tampil terang-terangan seakan-akan negeri ini sudah menjadi rimba raya dengan hukum rimbanya, siapa yang kaya akan menelan yang miskin, yang kuat menerkam yang lemah dan rakyat desa mayoritas mendukung kondisi ini terus menerus terjadi. Akibatnya lambat laun hanya pemodal besar yang bisa duduk sebagai kepala desa, penjudi bisa mengatur seseorang berhasil atau gagal duduk
48
sebagai kepala desa. Putra-putri terbaik desa yang kurang modal tertutup kemungkinanya untuk bisa mengabdi kepada desanya masing-masing.
Pembaharuan demokrasi di tingkat lokal, seperti halnya dalam proses pemilihan kepala desa saat ini telah diperbincangkan dikursi DPR terhadap rancangan undang-undang tentang pedesaan. Demokrasi Pemilihan kepala desa dilaksanakan oleh panitia pemilihan kepala desa yang dibentuk oleh Bupati/Walikota dan terhadap biaya pemilihan kepala desa dibebankan kepada APB Desa yang bersumber pada APBD Kabupaten/Kota.
Dalam proses pemilihan kepala desa ada beberapa persyaratan untuk dapat dicalonkan sebagai kepala desa yaitu sebagai berikut: a) warga negara Republik Indonesia; b) bertempat tinggal di desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan; c) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d) setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepada pemerintah pusat; e) berpendidikan paling rendah tamat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) atau sederajat; f) berusia paling rendah 25 tahun terhitung sejak pendaftaran atau sudah/pernah kawin; g) mampu secara jasmani dan rohani;
49
h) bersedia dicalonkan menjadi kepala desa; i) penduduk desa yang dikenal dan mengenal desa; j) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; k) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; l) tidak pernah mendapat sanksi adat; m) belum pernah menjabat sebagai kepala desa dalam 2 (dua) kali masa jabatan; dan n) syarat lain yang diatur dalam peraturan daerah kabupaten/kota.27 Pemilihan kepala desa dilakukan melalui tahapan penjaringan dan penyaringan bakal calon, penetapan calon, kempanye, pemungutan suara, dan penetapan calon kepala desa. Calon kepala desa yang sudah terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak yang telah diajukan oleh panitia pemilihan kepala desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat untuk ditetapkan sebagai kepala desa maka. Dan hal ini Bupati/Walikota menerbitkan keputusan Bupati/Walikota tentang pengesahan calon kepala desa terpilih paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan.
Kepala desa yang sudah terpilih akan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung tanggal
27
RUU tentang Pedesaan.
50
penerbitan keputusan Bupati/Walikota. Sebelum memangku jabatannya, kepala desa yang sudah terpilih harus mengucapkan sumpah/janji, dan susunan kata-kata sumpah/janji kepala desa yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“ Demi Allah, Saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Desa dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan kepala desa diatur dengan peraturan pemerintah.
51
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Sistem pemilihan kepala desa dalam UUD NRI Tahun 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen tidak ada satu ketentuanpun yang secara eksplisit mengatur tentang pemilihan kepala desa. Tetapi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 72 Tahun 2005 dan RUU tentang Pedesaan bahwa Pemilihan kepala desa identik dengan Pemilu, sebab cara pemilihannya dilakukan secara demokratis. 2. Esensi pembaharuan sistem pemilihan kepala desa dalam kerangka demokrasi di Indonesia adalah berkaitan dengan persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan, dan penyelenggara Pilkades.
B. Saran
1. Untuk menghindari keberagaman persoalan serta pro dan kontra yang berkepanjangan, maka perlu dipikirkan dan diperjuangkan kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat berkaitan dengan persoalan pemilihan kepala desa, melalui revisi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
52
2. Sebaiknya pengaturan tentang desa diatur melalui undang-undang tersendiri yaitu dengan penataan sistem pemilihan kepala desa dalam kerangka pemilihan umum, mulai dari asas-asasnya, pemilihnya, persyaratan calon, penyelenggara, tata cara pemilihan, pembiayaan, pengawasan, dan penyelesaian sengketa yang terjadi. 3. Pemilihan kepala desa di Indonesia sebaiknya benar-benar dihormati dan diperhatikan keberadaannya dalam negara dengan berbagai fasilitas terhadap seluruh kebutuhan yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya. Tentunya tetap memperhatikan hak-hak, asal-usul, dan adat istiadat desa setempat.
53
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Fahmi Khairul. 2012. Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Rajawali Press. Gaffar. Janedjri. 2012. Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. Mahfud. Moh. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurcholis Hanif. 2011. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: Erlangga. Sedarmayanti. 2012. Good Governance (Kepemerintahan yang baik) dalam rangka Otonomi Daerah, Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien melalui Rekonstruksi dan Pemberdayaan. Bandung: CV. MandarMaju. Solekhan. Moch. 2012. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa:Berbasis Partisipasi Masyarakat dalam Membangun Mekanisme Akuntabilitas. Malang: Setara Press. Triwulan Titik. 2006. Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Situs Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_desa,(diakses pada tanggal 25 juni 2013) http://membangun-desa.blogspot.com/2010/02/pilkades-sarana-mewujudkandemokrasi.html,(diakses pada tanggal 22 juli 2012) http://kartonmedia.blogspot.com/2013/05/pemilihan-kepala-desa-darijaman.html,(diakses pada tanggal 22 juli 2013)