ANALISA KESIAPAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN DAERAH (JAMKESDA) Analysis on Readiness of Integrated Local Health Insurance Supriyantoro', Harimat Hendarwan2, Yout Savithri3 'Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan 2 Peneliti pada Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat 'Staf Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan •Email:
[email protected] Diteritna: 6 Agustus 2013; Direvisi: 29 Agustus 2014; Disetujui: 8 September 2014 ABSTRACT The implementation Of National Social Health Insurance by BPJS-Health that has been started on January, I, 2014 gives an impact to integrating local health insurance into national scheme.This study aims to describe implementation of local social health insurance as a basic in formulating policy model which allows integration of local health insurance, particularly in the area of management, benefit packages, and government payed member in the frame of health decentralization policy. Study design is embedded multicases, using case study interpretatif method. Primary and secondary data were collected by explorative approach. Study area includes implementation of social local health insurance at 33 provinces, conducted in 2013-2014. Results of this study show a gap in understanding and capacity of local authorities in managing local health insurance; various characteristics of local social health insurance in term of local monetary capacity, benefit packages, management, and government payed member. This study recommends to accomodate public health effort financing into benefit packages scheme, perception equalizing between national and local policy maker in understanding policy steps, and giving more flexibility for province/district/municipal in local social health insurance integration policy. Keywords: Integration, local social health insurance, national social health insurance ABSTRAK Pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional terhitung I Januari 2014 dengan pengelolaan terpusat melalui BPJS Kesehatan berdampak pada integrasinya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Penelitian bertujuan memperoleh gambaran implementasi jaminan kesehatan daerah sebagai dasar bagi formulasi model kebijakan yang mampu mengintegrasikan sistem Jamkesda.khususnya dalam manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan iuran dengan tetap berlandaskan pada kerangka desentralisasi. Desain penelitian merupakan multikasus terjalin, menggunakan metode case study interpretatif melalui pendekatan eksploratif dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Area penelitian meliputi pelaksanaan Jamkesda di 33 provinsi, dilakukan tahun 2013-2014. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesenjangan dalam pemahaman dan kemampuan daerah dalam mengelola Jamkesda masing-masing provinsi; beragamnya karakteristik jaminan kesehatan daerah dari sisi kemampuan fiskal daerah, paket manfaat, manajemen pengelolaan, kepesertaan penerima bantuan iuran. Disarankan untuk pengutamaan pembiayaan upaya kesehatan masyarakat dalam paket manfaat, penyamaan persepsi dan pemahaman pelaku kebijakan dalam memahami langkah kebijakan, serta memberikan ruang fleksibilitas yang lebih besar bagi daerah dalam kebijakan integrasi jamkesda. Kata kunci: Integrasi, Jamkesda, jaminan kesehatan nasional
179
Kesehatan Vol. 13 No 3, September 2014 : 179-189
PENDAHULUAN Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menguraikan bahwa "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir clan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang haik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 menegaskan, "Setiap orang berhak was jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat". Selain itu, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 juga menegaskan bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediacin fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang lavok". Amanah UUD 1945 tersebut telah direspon oleh Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang telah menetaplcdn UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di dalamnya mencakup jaminan pemeliharaan kesehatan. WHO telah menyepakati tercapainya Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2014. Universal Health Coverage merupakan sistem kesehatan yang memastikan setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu dengan biaya yang terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko fipansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan. Indonesia pada scat ini sedang berada dalam masa transisi menuju sistem pelayanan kesehatan universal. UndangUndang Nomor No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah menjawab prinsip dasar UHC dengan mewajibkan setiap warga memiliki akses pelayanan kesehatan komprehensif yang pra-upaya. dibutuhkan melalui sistem dan peran memiliki Pemerintah tanggungjawab untuk menjamin dan mengatur setiap penduduk memiliki kesempatan yang sama (equal opportunities) terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin dan tingkat sosial ekonomi. Dalam rangka menjamin akses
180
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, Pemerintah telah menetapkan program Jamkesmas yang menjamin penduduk yang merrienuhi kriteria miskin dan tidak mampu untuk dapat memperoleh pelayanan kesehatannya. Negara membayar iuran asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Peran Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial semakin kuat dengan dikabulkannya judicial review atas UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan dasar hukum tersebut, sebagian Pemerintah Daerah berinisiatif untuk mengembangkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Sampai dengan tahun 2010, tercatat sebanyak 352 kabupaten/kota dan 33 provinsi yang telah mengembangkan Jamkesda. Kajian yang dilakukan Gani dkk, 2008 menemukan bahwa model Jamkesda yang dikembangkan di kabupaten/kota dan provinsi sangat bervariasi, tidak ada sate daerah pun yang memiliki model yang sama. Variasi yang teijadi meliputi berbagai aspek seperti badan pengelola, paket manfaat, manajemen kepesertaan, pembiayaan, iuran, dan pooling of resource. Penelitian tersebut merekomendasikan bahwa jika ditinjau dari perpektif luas dan diversitas antar wilayah Indonesia, pengembangan Jamkesda yang bervariasi sesuai dengan karakteristik clan kemampuan daerah memang sehardsnya terjadi dalam era desentralisasi kesehatan. Penelitian ini memprediksi bahwa beban manajemen akan sangat berat jika skema sistem jaminan dilakukan sentralistis. Dari segi manajemen pengelolaan, di akhir tahun 2011 telah disahkan Undangundang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) untuk menjalankan amanah konstitusi UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penyelenggaraan jaminan kesehatan secara nasional berada dalam kewenangan BPJS. Menurut Pasal 2 . UU BPJS, BPJS bertugas menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
imi. Yulianis R & Bet -yon Persepsi jajaran keschatan tentang (M. I las■
Hal diatas menunjukkan bahwa UU BPJS tidak lagi memberikan skema bagi Pemerintah Pusat maupun daerah dalam melakukan manajemen pengelolaan jaminan sosial kesehatan di masa yang akan datang. Hal ini menuntut perhatian Pemerintah Pusat untuk dapat menyusun skenario kebijakan terbaik sekaligus menerapkan best practices berdasarkan pelaksanaan Jamkesda sehingga pelaksanaan BPJS akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan bagian dari berjudul Penelitian Disertas i yang "Formulasi Strategi Universal Coverage 2014 tnelalui Integrasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional -. Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk memperoleh gambaran berbagai pola Jamkesda yang berjalan selama ini di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia serta memperoleh gambaran berbagai perbedaan dalam pengembangan Jamkesda, khususnya dalam hal manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan iuran. Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dengan desain penelitian berupa desain multikasus terjalin. Menurut Yin (2008), desain multikasus terjalin merupakan study case yang terdiri dari beberapa kasus dan beberapa unit analisis. Untuk menangkap gambaran yang terjadi pada beberapa kasus terjalin tersebut maka diperlukan suatu pendekatan yang mampu memahami situasi secara lebih khusus dan mendalam sehingga dapat dimunculkan suatu fenomena yang bersifat khusus terkait lokasi penelitian. Atas dasar kebutuhan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang be rtu juan mendapatkan gambaran pelaksanaan jaminan kesehatan daerah di 33 Provinsi. Penelitian studi kasus kualitatif ini dilakukan melalui pendekatan eksploratif dengan melakukan pengumpulan data primer berupa In-depth interview dan Focus Group Discussion serta menggunakan beberapa pendekatan dalam metodologi case study interpretatif (memahami fenomena melalui pemaknaan dari orang-orang yang terlibat
didalamnya). Studi kasus dipilih karena metode ini dapat mempelajari satu unit kelompok tertentu untuk tujuan memahami kelompok yang lebih besar. Penelitian ini dilakukan di seluruh provinsi dan di beberapa kabupaten/kota Indonesia yang sudah memiliki Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Upaya penerapan kebijakan Jamkesda yang dilakukan oleh daerah menjadi salah satu fokus yang diamati dalarn proses penyusunan formulasi kebijakan nasional. Penelitian menekankan pada upaya mengungkap dan memahami proses serta mekanisme implementasi kebijakan di daerah dan perum ►san kebijakan di tingkat nasional. Penelitian dilakukan pada tahun 2013-2014. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui self administered partisipati I, questioner, pengamatan wawancara mendalam, dan diskusi kelompok. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur. observasi clokumen_ dan sebagainya. Kedua jenis data ini digunakan untuk bahan analisis dan interpretasi. Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi fakta dan proses pelaksanaan kebijakan Jamkesda dimulai dari perencanaan, analisis kebutuhan, implementasi pelayanan dan hasil yang di dapat dari pelaksanaan. Data primer yang, diperoleh berasal dari informan melalui kelompok diskusi terfokus, wawancara dan pengamatan. Selain itu, data primer juga diperoleh•melalui kuesioner yang dirancang untuk dapat diisi sendiri oleh responden (self administered questioner). Secara rinci, informan untuk wawancara mendalam meliputi : Penentu kebijakan terkait di Kementerian Kesehatan (Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kementerian Kesehatan); Kesehatan Pimpinan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN); Para ahli/akademisi terkait sis•tem jaminan sosial di tingkat pusat dan daerah: Pengambil kebijakan di pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota (Kepala Dinas • Kesehatan, Kepala Bappeda); Pengelola Jamkesda, Pimpinan RSU Pemerintah setempat. Informan untuk kelompok diskusi terfokus di provinsi/kabupaten/kota terpilih 181
Jur-nail kologi Kesel-um) Vol. 13 No 3. ',eptember 2(114 : 1-9-189
terdiri dari : kelompok tenaga medis, penunjang medis dan tenaga non medis (supervisor dan staf administrasi, informasi dan teknologi [IT], entry data, umum, pemasaran, di!) selaku pelaksana lapangan di daerah; dan masyarakat pengguna Jamkesda Data mengenai kesiapan integrasi Jamkesda ke dalam Jamkesmas juga diperoleh melalui penyebaran kuesioner (self admistered questioner) kepada informan/responden terkait. Pengiriman self administered kuesioner ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama, dikirimkan kuesioner kepada dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dan pengelola Jamkesda. Tahap ' kedua, dilakukan pengiriman ulang kuesioner untuk seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi di Indonesia, khususnya dinas kesehatan yang belum merespon pengiriman kuesioner Tahap Pertama. Untuk memperkaya hasil penelitian, juga dilakukan pengolahan data terkait integrasi Jamkesda dari hasil monitoring dan evaluasi Kesiapan Jaminan Kesehatan Nasional yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan di akhir tahun 2013. Pada penelitian ini, pertimbangan etik penelitian diperoleh dari Komisi Etik Penelitian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan.
HASIL Gambaran Pelaksanaan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
Untuk menganalisis permasalahanT permasalahan kebijakan Jamkesda di setiap provinsi, pola-pola yang muncul dari 33 provinsi yang memiliki Jamkesda menjadi penting untuk dilihat secara lebih mendalam. Pola ini terlihat dari beberapa hal, yakni pola manajemen pengelolaan, pola paket manfaat, pola penerima bantuan iuran dan pola kemampuan fiskal. Selain itu, penting pula dipertimbangkan kemampuan fiskal daerah sebagai landasan kemampuan daerah dalam mendanai pembiayaan kesehatan. Kelancaran implementasi Jamkesda di tingkat provinsi tidak terlepas dari kemampuan fiskal daerah. Berdasarkan Tabel Lampiran Peta Kapasitas Fiskal Daerah (Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.07/2012) terdapat 18 provinsi dengan kriteria indeks kapasitas fiskal rendah, diikuti kriteria sedang 7 provinsi, kriteria tinggi 5 provinsi, dan kriteria sangat tinggi 3 provinsi (Tabel I).
Tabel 1. Klasifikasi provinsi berdasarkan Indeks Kapasitas Fiskal Indeks Kapasitas Fiskal Rendah Sedang Tinggi Aceh Sulteng Sumbar Riau Sumut Sulsel Jambi Kalteng Sumsel Sultra Kalbar Kalsel Bengkulu NTT Sulut Bali Lampung NTB Maluku Utara Kepri Jabar Maluku Banten Jateng Papua Papua Barat Jatim Gorontalo DI Yogyakarta Sulbar
Pelaksanaan jaminan kesehatan daerah di provinsi kapasitas fiskal rendah Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian, diperoleh ,persentase penduduk miskin di 18 provinsi dengan kapasitas fiskal rendah antara 9,52 % (Jawa Barat) - 31,13% (Papua). Secara keseluruhan terdapat 184.951.819 jiwa penduduk dan 24.137.090
182
Jaminan
Sangat Tinggi 'DKI Jakarta Kaltim Babel
jiwa penduduk miskin (13,05%) di 18 provinsi ini. Sebagian besar provinsi mencakup peserta masyarakat miskin yang tidak dilingkupi oleh jaminan kesehatan. Beberapa provinsi mentargetkan jaminan kesehatan masyarakat semesta, seperti Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, dan Gorontalo. Provinsi Bengkulu dan Nusa
Persepsi jajaran kesehatan tentang
Tenggara Timur menggunakan Surat Keterangan Tidak ,Mampu (SKTIVI) sebagai bukti kepesertaan. Pengelolaan terbagi 2, sebagian provinsi dikelola oleh PT Askes, dan sebagian lagi dikelola sendiri oleh dinas kesehatan. Besarnya iuran antara Rp. 1000,(Provinsi NTT dan Sulawesi Tenggara) sampai Rp. 20.000,- (Provinsi Papua dan Jawa Timur). Bermacam-macam cara pembayaran untuk pelayanan dasar, sebagian menggunakan klaim, berdasarkan tarif perda, dan sebagian lagi mengikuti tarif Askes. Demikian pula dengan cara pembayaran pelayanan rujukan yang terbagi menjadi cara pembayaran berdasarkan tarif Perda dan menggunakan dasar tarif INA CBGs. Kondisi yang sama juga terjadi pada manfaat yang diberikan, sebagian menyatakan sama dengan manfaat yang diberikan jamkesmas, namun sebagian lain sesuai dengan aturan Peraturan Daerah.
Pelaksanaan jaminan kesehatan daerah di provinsi kapasitas fiskal sedang Berdasarkan pengolahan data basil penelitian, diperoleh persentase penduduk miskin di provinsi dengan kapasitas fiskal sedang antara 5,74 % (Banten) - 26,67% (Papua Barat). Secara keseluruhan terdapat 28.508.537 jiwa penduduk dan 2.190.990 jiwa penduduk miskin (7,7%) di 7 provinsi ini. Hampir semua provinsi mencakup peserta masyarakat miskin yang tidak dilingkupi oleh jaminan kesehatan. Dari sisi pengelolaan, sebagian jaminan kesehatan daerah dikelola sendiri oleh dinas kesehatan, dan sebagian lain dikelola oleh PT. Askes. Besarnya iuran antara Rp. 6.500,- (Sulawesi Utara) sampai Rp. 20.000,- (Papua Barat). Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Banten tidak menetapkan suatu besaran premi tertentu, tapi menggunakan fee for service. Sebagian besar provinsi menggunakan tarif peraturan daerah (Perda) sebagai dasar pembayaran untuk pelayanan dasar dan pelayanan rujukan. Provinsi Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Papua Barat memberikan manfaat jaminan kesehatan yang sama dengan Jamkesmas, sedangkan paket manfaat jaminan kesehatan di Provinsi Jambi, Banten, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara diatur oleh Peraturan Daerah.
Hasyimi, Yulianis 1( & Betry on )
Pelaksanaan jaminan kesehatan daerah di provinsi kapasitas fiskal tinggi Berdasarkan pengolahan data basil penelitian, diperoleh persentase penduduk miskin di 5 provinsi kapasitas fiskal tinggi antara 3,95 % (Bali) sampai 7,72% (Riau). Secara keseluruhan terdapat 18.273.374 jiwa penduduk dan 1.077.150 jiwa penduduk miskin (5,89%) di 5 provinsi ini. Hampir semua provinsi mencakup peserta masyarakat miskin yang tidak dilingkupi oleh jaminan kesehatan, kecuali Provinsi Bali yang mencakup jaminan kesehatan semesta. Dari sisi pengelolaan, seluruh jaminan kesehatan daerah dikelola sendiri oleh dinas kesehatan. Besarnya iuran antara Rp. 8.500,- (Bali) sampai Rp. 12.000,- (Kalimantan Tengah). Seluruh provinsi menggunakan tarif peraturan daerah (Perda) sebagai dasar pembayaran untuk pelayanan dasar. Sebaliknya, hanya Provinsi Bali yang menggunakan tarif Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar pembayaran untuk layanan rujukan, lainnya umumnya menggunakan dasar INA CBGs (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau) dan tarif rumah sakit (Kepulauan Riau). Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan memberikan manfaat jaminan kesehatan yang sama dengan Jamkesmas, sedangkan paket manfaat jaminan kesehatan di Kepulauan Riau dan Bali diatur oleh Peraturan Daerah.
Pelaksanaan jaminan kesehatan daerah di provinsi kapasitas fiskal sangat tinggi Berdasarkan pengolahan data basil penelitian, diperoleh 3 provinsi' dengan kriteria kapasitas fiskal sangat tinggi, yakni Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur. Persentase penduduk miskin di 3 provinsi tersebut antara 3,55 % (DKI Jakarta) - 6,06% (Kalimantan Timur). Secara keseluruhan terdapat 15.232.215 jiwa penduduk dan 661.370 jiwa penduduk miskin (4,34%) di 3 provinsi ini. Semua provinsi mencakup peserta masyarakat miskin yang tidak dilingkupi oleh jaminan kesehatan. Dari sisi pengelolaan, hanya DKI Jakarta yang dikelola oleh PT. Askes, yang lainnya dikelola sendiri oleh dinas kesehatan. Besarnya iuran antara Rp. 5.000,- (DKI Jakarta) sampai Rp. 16.000,- (Kalimantan Timur). Hanya DKI Jakarta yang 183
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 13 No 3, September 2014: 179-189
menggunakan kapitasi sebagai dasar pembayaran untuk pelayanan dasar, yang lainnya menggunakan tarif Peraturan Daerah (Perda). Sebaliknya, hanya Kalimantan Timur yang menggunakan tarif Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar pembayaran untuk layanan rujukan,'Iainnya menggunakan dasar INA CBGs. Provinsi Bangka Belitung dan Kalimantan Timur memberikan manfaat jaminan kesehatan yang sama dengan Jamkesmas, sedangkan paket manfaat jaminan kesehatan di DKI Jakarta diatur oleh Peraturan Daerah.
Pola manajemen pengelolaan, paket manfaat, dan sasaran penerima bantuan iuran jaminan kesehatan daerah
Mempertimbangkan kriteria kapasitas fiskal 33 provinsi maka dipilih enam provinsi yang dianggap mewakili kriteria kelompok fiskal. Keenam provinsi tersebut antara lain: Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur (mewakili provinsi dengan kapasitas fiskal rendah), Sumatera Barat (mewakili provinsi dengan kapasitas fiskal sedang), Kepulauan Riau (mewakili provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi), dan DKI Jakarta (mewakili provinsi dengan kapasitas fiskal sangat tinggi). Pola manajemen pengelolaan jaminan kesehatan daerah, pola paket manfaat, pola penerima bantuan iuran digunakan untuk mendalami kebijakan di keenam provinsi tersebut. Berikut ini adalah penilaian pelaksanaan Jamkesda di 6 provinsi terpilih.
Pola manajemen pengelolaan
provinsi dikontrakkan pada PT Askes untuk seterusnya didistribusikan ke kabupaten/kota oleh PT. Askes sesuai dengan alokasi dan jumlah peserta yang ditetapkan sejak awal. Kabupaten/kota kemudian melakukan kontrak dengan PT. Askes cabang masing-masing dengan proporsi pemanfaatan dana yaitu 85% untuk pelayanan kesehatan langsung, 10% Operasional PT. Askes dan 5% pelayanan tidak langsung PT. Askes seperti sosialisasi, rapat, cetak kartu dan distribusi kartu dan lain lain.
sharing
Provinsi Berdasarkan Perda Gorontalo No. 8 Tahun 2012 ditetapkan pengorganisasian pelaksanaan Program Jamkesta Provinsi terdiri dari Tim Koordinasi dan Tim Pengendali di Provinsi dan Kabupaten/kota. Pengelolaan Jamkesta dilaksanakan Gorontalo Provinsi bekerjasama dengan PT. Askes Cabang Gorontalo. Pengelolaan Jamkesda di DKI Jakarta juga seluruhnya dikelola oleh PT. Askes dengan penyelenggaraan dilakukan oleh UP Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Tidak ada sistem pengelolaan antara seragam Jamkesda yang kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Ketiadaan Perda yang khusus mengatur Jamkesda di Provinsi Nusa Tenggara Timur mendorong tiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri, sehingga pola manajemen pengelolaan pun menjadi berbeda antara satu dengan lainnya, ada yang dikelola oleh PT. Askes, dings kesehatan, RSUD, bahkan Bendahara Pemda. Dinas Kesehatan provinsi memiliki dana talangan yang digunakan untuk menanggulangi masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan baik Jamkesmas ataupun Jamkesda.
Koordinasi pengelolaan Jaminan Kesehatan Aceh dilakukan di provinsi dan di kabupaten. Tim pengawas dari provinsi, kabupaten dan kecamatan dibentuk sesuai dengan surat keputusan dari walikota atau bupati (peraturan walikota/peraturan bupati). Pihak ketiga (PT Askes) melakukan manajemen operasional
Hal ini berbeda dengan Jamkesda Provinsi Kepulauan Riau yang dilaksanakan oleh Panitia Pelaksana Kegiatan Dukungan Jamkesda Provinsi Kepulauan Riau yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas.
Pengelolaan Jamkes Sumbar Sakato diserahkan pada pihak ketiga, sedangkan d inas kesehatan bertugas sebagai regulator/pembina. Pengelolaan dana jaminan kesehatan diserahkan ke PT Askes. Dana
Pola paket manfaat yang ditawarkan oleh Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) pada dasarnya merupakan pengembangan dari Jamkesmas, sehingga saat ini JKA menawarkan paket yang sama dengan
184
Pola Paket Manfaat
Persepsi jajaran kesehatan tentang ...(M. Hasyimi. Yulianis R &
Jamkesmas. Perbedaannya, jika satu paket Jamkesmas sudah termasuk kuratif dan rehabilitatif, sedangkan dalam Jamkesda 20% dari total kapitasi perbulan dialokasikan untuk luar gedung, sebagian untuk obat dan Bahan Habis Pakai (BHP), sisanya untuk remunerasi puskesmas. Di tingkat kabupaten/kota, tidak semua daerah menawarkan paket yang sama dengan Jamkesmas. Di beberapa daerah, paket manfaat diatur dan ditetapkan oleh bupati/walikota, seperti di Kabupaten Simelue dan Kabupaten Aceh Selatan. Manfaat yang diberikan oleh Jamkesda Sumatera Barat meliputi pelayanan pada fasilitas kesehatan pertama untuk semua pelayanan baik Rawat Jalan maupun Rawat Inap, kecuali biaya transportasi rujukan, surat keterangan kesehatan, dan surat keterangan sakit. Pada pelayanan kesehatan rujukan, manfaat meliputi semua tindakan medis dengan maksimal biaya Rp 10 juta setahun dengan batasan pada penyakit kanker, HIV, tindakan haemodialisa dan alat. bantu. Manfaat yang tidak dijamin yaitu pelayanan penyakit akibat perilaku, tindakan untuk kosmetika, dan mendapatkan keturunan. Hal ini disebabkan keterbatasan dana serta untuk efisiensi pengeluaran anggaran Jamkesda. Untuk pelayanan yang berbiaya mahal, Jamkesda Sumbar Sakato meminta kontribusi pemerintah daerah. Pelayanan promotif dan preventif telah dilaksanakan dan tetap menjadi bagian dari program, seperti penyuluhan dalam gedung dan konsultasi medis. Pada dasarnya paket manfaat Jamkesta Provinsi Gorontalo meilputi : Pelayanan oleh PPK-1, terdiri dari puskesmas dan jaringannya. PPK-1 menyediakan layanan untuk Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), persalinan tanpa penyulit, dan obat-obatan; serta Pelayanan oleh PPK-2, terdiri dari rumah sakit di Provinsi Gorontalo yang melakukan kerjasama dengan PT. Askes Cabang Gorontalo. Pelayanan Rawat Inap dilakukan di ruang rawat kelas 3. PPK-2 menyediakan layanan untuk Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL), Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL), persalinan dengan penyulit, dan obat-obatan.
r■ on I
Pelaksanaan Jamkesda di Nusa Tenggara Timur menawarkan paket manfaat yang sama dengan Jamkesmas, dengan beberapa daerah membuat perda yang khusus membatasi. pelaksanaan Jamkesda di daerah masing-masing. Manfaat pelayanan seperti ambulan dan pengurusan jenasah diurus dinas kesehatan provinsi. Proses rujukan Jamkesda Nusa Tenggara Timur hams berdasarkan MoU sehingga apabila tidak dilakukan sesuai dengan aturan maka pasien/peserta akan dikembalikan ke perujuk. Karakter khas' pelayanan Jamkesda Provinsi Kepulauan Riau meliputi: Biaya transportasi untuk satu orang keluarga pasien dan satu orang pasien yang dirujuk di dalam dan keluar Provinsi Kepulauan Riau; Biaya transportasi pemulangan dan pengurusan jenasah di dalam dan keluar Provinsi Kepulauan Riau; Biaya transportasi pasien yang dirujuk dan belum dirawat Inap diberi makan dan minum sebesar Rp. 25.000,- x 2 orang x I had; Untuk satu orang pendamping pasien diberikan biaya makan dan minum dari sebelum pasien dirawat hingga pasien pulang; Biaya penginapan pasien yang dirujuk keluar Provinsi Kepulauan Riau diberikan bantuan sebesar Rp. 500.000,-/ bulan; Biaya perlengkapan pasien yang dirawat Inap di Rumah Sakit Jiwa diberikan bantuan sebesar Rp. 100.000,-/bulan sesuai kebutuhan pasien; Uang saku; Biaya transportasi pasien dan pendamping keluarga dipertanggungjawabkan secara at cost; dan Biaya penginapan.
Pola sasaran penerima bantuan iuran Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) menjamin kesehatan semua penduduk Aceh yang belum memiliki kartu Jamkesmas, asuransi atau Jamsostek. Target sasaran • Jamkesda adalah seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah Aceh. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telab menetapkan kepesertaan Jamkesda melalui Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2013 tentang Kepesertaan Jamkes Sumbar Sakato. Penetapan peserta .dilakukan melalui SK bupati/walikota. Sampai akhir tahun 2013 telah terdapat 1.254.220 jiwa peserta Jamkesda. Kepesertaan Jamkesda,-dibedakan menjadi 2 kategori yaitu penerima bantuan
185
Jurnal aologi Kesehatan Vol. 13 No 3, September 2014 179-189
iuran (PBI) dan peserta Jamkesda mandiri. Peserta penerima bantuan iuran diperuntukan bagi masyarakat tidak mampu yang mempunyai pendapatan di bawah atau sama dengan upah minimal (UMP) dengan prioritas diberikan bagi keluarga yang mempunyai bayi, ibis hamil dan balita. Peserta PBI diusulkan oleh walinagari/lurah. Masyarakat yang sudah diusulkan pemerintahan nagari/Iurah/desa selanjutnya diverifikasi oleh Tim Penanggulangan Kem iskinan Daerah kabupaten/kota, dan kemudian ditetapkan dengan SK bupati/walikota. Peserta Jamkesta Provinsi Gorontalo adalah seluruh penduduk PrOvinsi Gorontalo yang mempunyai kartu identitas (KTP/kartu keluarga) dan belum memiliki jaminan kesehatan apapun yang ditetapkan oleh keputusan bupati/walikota. Kepesertaan Jamkesta Provinsi Gorontalo dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Jamkesta. Anak yang terlahir dari pasangan peserta Jamkesta Provinsi Gorontalo secara otomatis menjadi peserta Jamkesta dengan menunjukkan akta kelahiran atau surat keterangan lahir. Pada akhir tahun 2012, Jamkesta Provinsi Gorontalo menambah jumlah kepesertaannya hingga menjamin seluruh masyarakat yang belum memiliki asuransi kesehatan apapun. Dengan demikian Provinsi Gorontalo telah rnenuju pendapatan universal health coverage (UHC). Jamkesda NTT ditujukan untuk masyarakat miskin yang belum terlindungi oleh jaminan kesehatan lainnya seperti Di Jamkesmas dan Jamsostek. perl indungan ini kabupaten/kota. menggunakan dana pengamanan daerah masing-masing. Dana Pemerintah Provinsi digunakan untuk masyarakat yang belum terdaftar, hanya dengan membawa SKTM dan KTP. Hal ini hanya berlaku di fasilitas pelayanan kesehatan yang termasuk ke dalam jaringan pelayanan provinsi. Untuk beberapa daerah seperti Kabupaten Belu, premi diatur oleh Perda sebesar Rp.1.000,- untuk tidak membebankan peserta yang. berasal dari golongan kurang (tidak) mampu. Jamkesda DKI Jakarta ditujukan untuk masyarakat miskin yang belum terlindungi oleh jaminan kesehatan lainnya seperti Jamkesmas dan Jamsostek dan untuk
186
warga yang mengalami bencana/kejadian luar biasa. Pelayanan ini ditanggung oleh dana pengaman daerah untuk pelayanan di tingkat daerah, dan dana Pemerintah Provinsi disiagakan (floating fund) apabila biaya melebihi beban di tingkat kota. Premi diatur oleh Perda sebesar Rp.5.000,- untuk tidak membebani peserta yang berasal dari golongan kurang/tidak mampu. Pembayaran untuk Iayanan dasar dilakukan dengan menggunakan kapitasi dan untuk layanan lanjutan dilakukan menggunakan klaim dengan tarif INA-CBGs. PT. Askes sebagai pengelola hanya melakukan verifikasi administrasi agar tidak terjadi petrtbayaran ganda. Dalam hal kepesertaan, pendaftaran peserta Jamkesda di Provinsi Kepulauan Riau dilakukan dengan menggunakan SKTM dan KK/KTP, dengan pengecualian di Kabupaten Anambas yang hanya menggunakan KTP/KK. luran bersumber. dari dana sharing Provinsi dan kabupaten/kota dengan perbandingan 2:1 atau 66% : 33%, dengan sasaran penduduk tidak mampu yang berada di wilayah Kepulauan Riau.
PEMBAHASAN Kebijakan Pola Paket Manfaat Pada awal pembentukannya, Jam inan Kesehatan Daerah (Jamkesda) merupakan bersifat kesehatan yang jaminan komplementer terutama terhadap Jaminan KeSehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada perkembangannya, pola paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesda seringkali mengacu secara langsung pola paket manfaat yang ditawarkan oleh Jamkesmas. Potensi hambatan di dalam pemberian paket manfaat antara lain disebabkan kemampuan anggaran yang berbeda di masing-masing daerah, misalnya antara Provinsi Riau dan Aceh disatu sisi dan Provinsi NTT disisi lain. Sebagaimana diungkapkan Normand dan Weber (1994) bahwa dalam menentukan essential benefit package dari sisi ekonomi salah satunya tergantung pada level pembangunan negara tersebut. Kesulitan akibat perbedaan kemampuan antar wilayah ini juga terjadi di Amerika Serikat dalam menentukan essential benefit package terkait pelaksanaan the
on) Persepsi jajaran kesehatan tentang (.M. I lasyirni, Yulianis R & Betr■
Affordable Act. Amerika Serikat memberikan fleksibilitas bagi setiap negara bagian dalam menentukan paket manfaat • namun harus mencakup 10 essential benefits yang harus ada dalam seluruh skema pembiayaan tanpa batasan waktu dan jumlah, antara lain mencakup layanan gawat darurat, rawat inap, laboratorium, pelayanan maternal, anak, kesehatan jiwa dan NA PZA, ambulatory care (outpatient). obat dengan resep, layanan preventif, layanan rehabilitatif dan perawatan gigi dan mata bagi anak. Dalam mengintegrasikan Jamkesda, Pemerintah Pusat harus menentukan layanan mendasar yang harus berlaku secara nasional sehingga perbedaan manfaat yang selama ini terjadi dapat disetarakan. Disisi lain, peluang terjadinya dinamika politik karena terdapat manfaat JKN yang tidak sebanding dengan Jamkesda sebelumnya dapat diminimalisir. Perbedaan lainnya yang terjadi antar daerah dalam pemberian paket manfaat adalah keberadaan pelayanan promotif dan preventif dalam paket manfaat Jamkesda. Di sebagian daerah pelayanan promotif dan preventif kurang mendapat perhatian. Hal ini terutama dapat dikaitkan dengan kurangnya • kejelasan mengenai bentuk pelayanan promotif dan preventif yang dimaksud. Salah satu faktor utamanya adalah kurangnya penekanan bahwa promotif dan preventif merupakan pelayanan yang setara dengan pelayanan kuratif. Jika layanan promotif dan preventif diterapkan secara tegas dalam paket manfaat dalam JKN, maka dapat menjadi faktor yang akan mendorong JKN berjalan lebih baik.
Kebijakan Pola Sasaran Penerima Bantuan Iuran Akses kepada pelayanan kesehatan adalah hak asasi manusia. Universal coverage belum tuntas mencapai tujuannya meningkatkan kesehatan penduduk dan memperkecil disparitas sosial bila belum mencakup penduduk yang tidak terjamin. Pada tahun 2008, Komisi WHO untuk Social Determinants of Health menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa inekuiti membunuh rakyat dalam jumlah besar. Di antara rekomendasi yang disampaikan dalam laporan tersebut,
peningkatan akses kepada asuransi kesehatan .merupakan suatu hal yang penting tidak hanya untuk Negara berkembang tetapi juga untuk Negara maju (Vallee, AQ. dkk, 2012). Pola sasaran PBI merupakan salah satu isu penting kebijakan di dalam, program jaminan kesehatan terutama Jamkesda untuk memastikan bahwa pengalokasian sumber daya yang terbatas tersebut dapat didistribusikan secara efektif kepada target sasaran yang benar-benar membutuhkan. Pola sasaran di dalam kebijakan kesehatan melibatkan sebuah tata aturan dan upaya yang sistematis untuk memfokuskan/ daya mengkonsentrasikan sumber Pemerintah yang terbatas tersebut secara efektif kepada rakyat miskin, tidak mampu, berketerbatasan, dan rentan terhadap resiko termasuk resiko dunia kerja. Definisi ini memberikan arti bahwa keluaran dari kebijakan pengentasan kemiskinan dapat dicapai dengan efektif apabila sumber daya yang terbatas tersebut dapat didistribusikan secara efektif kepada masyarakat yang benarbenar membutuhkan sesuai target pengentasan kemiskinan. Hasil analisis menekankan beberapa hal. Pertama, bahwa kemiskinan bukanlah merupakan hal yang statis dan tidak rentan perubahan. Akurasi, val iditas, dan pembaharuan data kemudian menjadi hal sangat krusial. Fakta bahwa kemiskinan adalah dinamis berarti bahwa pola sasaran dengan basis indikator kemiskinan dapat menjadi tidak reliabel atau relevan dalam jangka waktu tertentu. Kedua, faktor portabilitas yang seringkali menjadi hambatan di dalam Jamkesda. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih data jika Pemerintah tidak mampu mengintegrasikan data antar wilayah secara baik. Peran Pemerintah Pusat untuk dapat menghimpun data dalam satu payung kelembagaan sehingga prinsip portabilitas dalam JKN dapat berjalan secara optimal. Ketiga, ternyata terdapat keterikatan antara iuran dengan alokasi APBD untuk Jamkesda. Terjadi peningkatan alokasi dana Jamkesda di APBD dari tahun ke tahun pada daerah-daerah yang sepenuhnya menjamin layanan jaminan sosial dengan paket manfaat melalui APBD. Penggunaan dana talangan (floating find) tanpa kontrol yang ketat 187
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 13 No 3, September 2014 : 179-189
terhadap klaim, mengakibatkan terjadinya kebocoran pengklaiman dana talangan Jamkesda yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya hutang yang harus ditanggung sehingga mengganggu APBD dan bahkan pembangunan di sektor lainnya. Penerima bantuan iuran secara nasional belum tentu sesuai dengan kebutuhan di tingkat daerah. Hal ini terjadi d i m an a pada Obama Care, dalam kenyataannya pada Inyak negara bagian, warga negara yang memerlukan bantuan ternyata melebihi kriteria yang ditetapkan. Persoalan ini kemudian diatasi Pemerintah AS dengan memberikan jalan keluar berupa keleluasaan bagi negara bagian untuk mengajukan perluasan cakupan secara resmi melebihi standar federal dengan mekanisme yang telah ditentukan secara ketat.
memberikan ruang fleksibilitas yang lebih besar bagi daerah seluruh pendataan Integrasi penduduk termasuk peserta Jamkesda selaku penerima bantuan iuran dalam satu payung sistem JKN harus menjadi prioritas formulasi kebijakan integrasi jamkesda. Pemerintah Pusat harus menentukan layanan mendasar yang harus berlaku secara nasional sehingga paket manfaat dapat disetarakan. Pemerintah Pusat harus mampu menjembatani perbedaan pemahaman para pengambil kebijakan di daerah, khususnya kepala daerah dalam memandang manfaat JKN.
UCAPAN TERIMA KASIH KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat perbedaan antara sistem Jamkesda yang ada saat ini khususnya dalam hal manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun besaran iuran. Pola sistem pembiayaan Jamkesda yang berjalan di 33 menunjukan Indonesia di Provinsi kesenjangan dalam pemahaman dan kemampuan daerah dalam mengelola Jamkesda masing-masing provinsi. Secara umum, pola jamkesda yang di setiap provinsi memiliki karakteristik jaminan kesehatan yang sangat beragam dan berbeda dari sisi kelayakan dan pendalaman kebijakannya, ditentukan berdasarkan kriteria kemampuan fiskal daerah, paket manfaat, manajemen pengelolaan, kepesertaan penerima bantuan iuran, serta pemahaman dan kapasitas masing-masing daerah.
Saran Pelaku kebijakan di tingkat pusat harus mampu menyamakan persepsi dan pemahaman pelaku kebijakan dibawahnya dalam memahami langkah kebijakan yang akan diambil. Dalam mengintegrasikan kebijakan daerah kedalam kebijakan pusat, konsep harus integrasi kebijakan formulasi 188
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Gadjah Mada dan Pengelola Program Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, yang telah memungkinkan dilaksanakannya penelitian ini dan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan serta Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kementerian Masyarakat Kesehatan Kesehatan yang telah mendukung dapat dipublikasikannya tulisan ini. Terima kasih disampaikan Pula pada segenap dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota, dan seluruh informan, responden, serta segenap peneliti yang terlibat baik di dalam penyusunan konsep, proposal, instrumen, pengumpulan data, analisis, dan penyusunan laporan dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Gani. A.
Laporan Kajian Sistem (2008), dkk Pembiayaan Kesehatan di Beberapa Kabupaten dan Kota 2008. Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan dan Analisis Kebijakan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. Normand C. Weber Z. (1994). Social Health Insurance: .4 guidebook for planning. Geneva: World Health Organization and International Labour Office. Vallee, AQ, dkk (2012), Assessing harriers to health
insurance and threats to equity in comparative perspective : The Health Insurance Access Database, BMC Health Service Research 12 : 107
Persepsi jajaran kcsehatan tentang ...(M. Hasyimi, Yulianis R & &Afyon)
Yin. RK. (2008). Saudi Kaszis Desain dan Aletode. • Rajawali Pers; Jakarta.
Undang-undang Nomor 4i)-Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945
189