ANALISA KASUS TIMILTY MIDDLE SCHOOL (TMS) Mary Grassa Oneil, kepala sekolah James P. Timilty middle school duduk di kantornya yang sederhana. Tiga tahun berlalu sejak pengangkatan sebagai kepala sekolah dan keputusannya untuk memprakarsai program percobaan project promise. Kini setelah dua tahun berjalannya program dan memasuki tahun ketiga pelaksanaannya, ia ingin merenungkan dua hal penting: Apa yang dulu dijanjikan project promise? Dan apa yang telah diberikannya ? -
Latar belakang Timilty middle school (TMS) memiliki sejarah yang sulit dan reputasi yang buruk selama
bertahun tahun. Didirikan pada tahun 1973 sebagai sekolah menengah pertama (kelas 7-9) dan bertransformasi menjadi sekolah menengah (kelas 6-8) tahun 1974, TMS telah mengalami perubahan komposisi rasial dan etnis secara dramatis, mulai dari 75 % warna kulit putih dan 25 % warga kulit hitam saat didirikan hingga 52 % warna kulit hitam, 29 % Hispanic, 7 % asia dan 9 % warga kulit putih saat ini. Saat Ms O’neil menjabat sebagai kepala sekolah, sekolah ini mempunyai banyak masalah; nilai mata pelajaran membaca dan matematika yang rendah, tingkat kehadiran murid dan guru yang rendah, tingkat skorsing dan kegagalan yang tinggi dan reputasi sebagai sekolah dengan tingkat prestasi rendah. Secara keseluruhan sekolah ini dianggap sebagai sekolah dengan terburuk di kota tersebut. Dalam Boston Public School (BPS), seperti pada kebanyakan kota lain, murid tidak punya pilihan lain tentang penetapan sekolah mereka : semua siswa sekolah menengah yang tinggal di daerah tertentu harus masuk ke sekolah yang telah di tentukan berdasarkan tempat tinggal. Akibatnya, populasi murid TMS terdiri dari percampuran ras, keluarga miskin, tinggal di rumah tidak layak, terbebani oleh kemiskinan, obat terlarang dan alcohol, kehamilan remaja, krisis keluarga dan kekerasan lingkungan. Menurut laporan AFDC, sebuah program oleh departemen sosial, murid TMS memiliki tingkat sosial ekonomi yang paling rendah di kota tersebut. -
Program Beberapa tahun silam, Ms o’Neil menemukan formulir formulasi pendaftaran untuk program
percobaan project promise dalam emailnya dan memutuskan untuk mendaftar setelah berdiskusi dengan stafnya. Project Promise, seperti diperkenalkan pada awalannya di Rochester, New York, adalah sebuah program perbaikan akademik intensif yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan membaca murid, matematika dan menulis. Program ini didasarkan pada teori bahwa jika murid dengan
kemampuan dibawah rata-rata menghabiskan lebih banyak waktu untuk mempelajari mata pelajaran dasar, kemampuan mereka akan meningkat. Ms O’Neil dan stafnya memutuskan bahwa program tersebut akan diperuntukkan bagi semua murid TMS, bukan hanya bagi murid yang butuh perbaikan. Permohonan TMS dikabulkan dan program percobaan pun dimulai. Program ini mempunyai tujuh komponen instruksional : 1. Penambahan hari. Murid hadir di sekolah 1.5 jam lebih lama dari Senin hingga Kamis, mulai dari jam 7.40 sampai jam 15.10. pada hari Jumat sekolah dimulai seperti biasa jam 7.40 sampai 13.40. Guru bekerja 2 jam lebih lama (7.25 s.d 15.55 hari Senin s.d Jumat). Secara keseluruhan. Murid berada di sekolah 37 % lebih lama : guru bekerja 40 % lebih lama. 2. Penambahan minggu. Pengarahan terstruktur selama 3 jam diberikan pada hari Sabtu pagi. Guru menggunakan berbagai pengelompokkan dan metode untuk melibatkan murid dalam kegiatan membaca, menulis dan matematika. 3. Team Teaching dan interdisipliner. Para guru bekerja sama untuk menggunakan pengajaran tematik lintas bidang studi. Kemampuan dasar membaca dan menulis diajarkan dalam semua bidang studi. Untuk menentukan cara efektif mengajar pada bidang studi mereka, guru bekerja bersama secara terpisah (a) kelas 6, (b) kelas 7, (c) kelas 8 dan (d) multilevel yang terdiri dari kelas 6,7 dan 8 dengan murid monolingual dan bilingual berbahasa Spanyol (dirancang untuk menuntun “mainstreaming” murid berbahasa Spanyol.) untuk memfasilitasi pengajaran lintas bidang studi, para guru juga menciptakan kesempatan untuk mengajar bersama. 4. Ukuran kelas yang lebih kecil. Hal ini dicapai dengan menambah staf akademik, yaitu guru dan kooordinatornya pada setiap kluster. 5. Jadwal yang fleksibel. Jam pelajaran ditentukan selama 45 menit diganti dengan jadwal yang fleksibel, ditentukan oleh setiap tim sehingga memungkinkan durasi kelas yang lebih panjang atau pendek untuk memenuhi kebutuhan belajar. 6. Waktu perencanaan. Para guru mempunyai waktu perencanaan bersamaan (sekitar 5 – 6 jam setiap minggu) untuk membuat materi pengajaran membaca dan menulis lintas bidang studi untuk mendiskusikan hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar. 7. Keterlibatan orang tua. Untuk mendukung inovasi berbasis sekolah ini, dua orang pegawai melakukan aktifitas untuk menginformasikan dan melibatkan orang tua dalam pendidikan mereka.
-
The program Untuk mengimplementasikan the program, semua deskripsi akademik dan sumber daya ruangan
dilakukan pendataan ulang dan di upgrade, dan semua posisi sebelumnya di hapuskan. Ms O’Neil mendirikan screening committee untuk mengisi posisi yang baru, dan sebelum implementasi tahun pertama project promise, 24 orang guru Timilty telah mendaftar dan 21 orang telah diterima sehingga tersisa 14 lowongan. Ms O’Neil menjelaskan : “Ada 3 kendala untuk menarik staf kedalam posisi baru : 1) banyak guru yang tidak berminat untuk bergabung dengan Project Promise, 2)Serikat guru Boston menentang Project Promise karena berpendapat bahwa guru diharuskan melamar pekerjaan lama mereka, dan 3) ada sejumlah besar ketidakpastian sehubungan dengan penggunaan eksperimen pendidikan yang melibatkan pengajaran lintas bidang studi tersebut .”
Meskipun terdapat sejumlah ocehan mengenai proses rekruitmen ini, banyak guru merasa bahwa terpilih untuk program akan menyatukan mereka dan ada keyakinan yang kuat bahwa program ini akan berhasil. Mayoritas guru yang terpilih telah bekerja di TMS selama lebih dari 15 tahun. Dari 7 orang baru yang terpilih menjadi staf, hanya satu orang yang baru dalam mengajar, selebihnya adalah guru berpengalaman, meskipun beberapa orang berasal dari luar Boston Public School. Menurut seorang veteran, hal ini sangat baik untuk program : “Mereka tidak punya kebiasaan buruk, dan mereka akan mudah belajar kebiasaan baru. Dan juga mereka akan dibimbing oleh guru yang lebih berpengalaman di sekolah ini. Orang orang yang datang terkadang bisa menjadi bintang. Seorang guru benar benar kesulitan di tahun pertamanya disekolah dengan 30 murid dalam kelas, anak anak yang tidak responsive. Kini merupakan tahun keduanya mengajar, dimana kali ini sebagai guru Project Promise. Ia mengajar apa yang diinginkannya dengan jumlah siswa yang lebih sedikit.dia mendadak menjadi bintang yang bersinar dengan semua bakat dan kemampuannya yang dimilikinya.” Staf administrasi terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan direktur pelajaran) tetap sama, dan tiga orang guru tambahan juga dilibatkan. Menurut Clem Pasquale, veteran yang mengajar selama 21 tahun di sekolah :
“ Apa yang kita miliki saat ini, yang sebelumnya tidak kita miliki, adalah dukungan dari coordinator pelajaran, wakil kepala sekolah dan direktur pelajaran. Kini ada tiga kerangka dukungan dimana kau bisa bekerja dan mengatasi masalah yang dahulunya akan menghabiskan waktu mengajarmu. Kini kita memiliki organisasi, rencana dan staf untuk melakukan yang harus kita lakukan untuk mengurus sekolah. Jeff Cohen, veteran 19 tahun TMS menambahkan : “ Jika sesuatu terjadi yang tidak bisa kau selesaikan sendiri, kau bisa mengirim murid pada orang yang bisa mengatasinya. Saat ini kami menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengajar daripada mengurus masalah administrasi dan mendisiplinkan murid .” Awalnya The Program sangatlah menantang, khususnya dalam upayanya untuk mengubah durasi normal 6 jam sehari menjadi 7,5 jam sehari, dan untuk menjaga konsistensi antara Project Promise dengan guru lain. Akibat intensitas yang lebih besar ini, semua yang terlibat memiliki sejumlah aktifitas yang benar benar baru untuk 10 minggu terakhir tahun ajaran. Guru memiliki group yang lebih kecil untuk diajar, sedikitnya 10-15 murid untuk perbaikan, dan sekitar 20-25 murid untuk kelas regular, dibandingkan 30 murid untuk perbaikan dan kelas regular. Meskipun beberapa guru merasa tuntutan koordinasi kadang cukup menantang, namun secara umum, kebanyakan guru akan melakukan hal tertentu untuk murid yang tidak akan pernah mereka lakukan jika ukuran kelasnya besar. Karena waktu yang terasa lebih leluasa, para guru merasakan mood yang baru di sekolah. Waktu perencanaan yang terdapat dalam program menjadikan ikatan antara fakultas, murid dan orang tua lebih kuat dan memungkinkan mereka mendedikasikan diri mereka untuk pendidikan. Sebagaimana komentar seorang pengamat : “pembicaraan di ruang guru awalnya tentang kegiatan akhir pekan , mengeluh tentang murid dan menghitung berapa lama lagi tahun ajaran akan berakhir telah berganti pada topik topik tentang murid seperti kurikulum, berbagi cerita pelajaran sukses, dan berbagai ide baru yang bisa dilakukan di dalam kelas. Ada kegembiraa baru disekolah, dan guru serta murid terlihat menikmatinya.” Pengawas BPS telah memutuskan bahwa project Promise akan menjadi bukan hanya sekedar program remedial, yang ditargetkan hanya untuk murid dengan nilai terendah. Tetapi dasar pemikirannya adalah bahwa jika 6 komponen akademik tersebut baik untuk murid remedial, maka juga
akan baik untuk semua orang. Jim Fewless, veteran 21 tahun TMS, dan coordinator kelas 7, menjelaskan “janji” Project Promise sebagai berikut : “jika prestasimu dibawah rata rata, kami akan berusaha agar kau menjadi murid rata rata; jika kau adalah murid rata rata, kau bisa menjadi murid diatas rata rata; kami ingin murid diatas rata rata untuk unggul, selalu ada lebih banyak hal yang bisa dipelajari dan dilakukan, dan kau akan diberikan waktu untuk melakukannya”
- Biaya Menurut anggaran BPS, biaya TMS $636,718 lebih besar dibandingkan biaya rata rata sekolah menengah BPS lainnya. Biaya rata rata per murid untuk sekolah menengah adalah $,746 sementara pada TMS adalah $5,484, berbeda 46 % . semua itu dibebankan pada project Promise. Secara rata rata, guru project promise menerima gaji per tahun $6.000 - $7.000 lebih besar dbanding guru sekolah menegah lainnya, kebanyakan karena lembur. Uang tambahan digunakan untuk beberapa hal : waktu perencanaan umum untuk guru, ukuran kelas yang yang lebih kecil, guru remedial, penambahan waktu pelajaran (90 menit) untuk murid selama seminggu, kelas hari sabtu dan pengembangan professional contohnya training) untuk guru. -
Pengukuran Kinerja. Beberapa indikator kinerja yang tersedia bagi Ms O’Neil : 1. Kehadiran siswa. Sebelum Promise Project, tingkat kehadiran di TMS berkisar antara 75 – 85 %, sama dengan rata rata untuk sekolah menengah. Tingkat kehadiran pada tahun pertama adalah 90 % meningkat di tahun kedua 92 %. Awalnya, kehadiran pada hari sabtu adalah 45 % yang naik sekitar 60 – 70 % di tahun ketiga. Salah satu penjelasan untuk hal ini adalah karena kini murid merasakan rasa memiliki sekolah serta pencapain prestasi yang tinggi, dan mereka merasa prosesnya menyenangkan. 2. Kehadiran guru. Sebelum Project Promise, kehadiran serta moral guru TMS tergolong rendah, dimana mayoritas guru pasti menggunakan seluruh cuti sakit dan cuti lainnya, biasanya tepat sebelum atau sesudah liburan sehingga ketidakhadiran staf sekitar seperempat bagian. Setelah Project Promise, tingkat kehadiran guru TMS menjadi nomor 2 di kota meskipun guru diharuskan menambah 2 jam sehari dan 3 jam di hari Sabtu. 3. Penerimaan ujian sekolah. Sebelumnya, keinginan siswa kelas 8 untuk mendaftar ujian sekolah hampir tak terdengar. Dengan program, murid didorong untuk mendaftar dan
jumlah yang diterima bertambah setiap tahun. Data penerimaan ujian sekolah disajikan dalam peraga 1. 4. Tingkat skorsing yang dalam peraga 1 mengalami penurunan drastis. 5. Jumlah siswa tinggal kelas yang lebih rendah dari 2 sekolah lainnya. 6. Keterlibatan orang tua. Dengan kehadiran kurang lebih 426 murid, lebih dari 200 orang tua ikut hadir dalam open house tahunan dimana sebelumya hanya sekitar 13 – 14 orang tua. Sekarang, lebih dari 100 orang tua sering hadir pada hari Sabtu untuk mengikuti kegiatan sekolah seperti pameran ilmiah, festifal internasional dan hari penghargaan guru dan murid. 7. Kemampuan membaca dan matematika yang diukur menggunakan skor MAT (metropolitan Achievemen test) untuk merangkum seluruh gambaran kelas 6,7 dan 8. Sebelumnya, setiap murid pada setiap tingkatan diberi tes membaca dan matematika dan kembali di tes setahun setelah mengikuti project. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan membaca dan matematika tersebut.
-
Dampak Jangka panjang Setelah 2 tahun pelaksanaan project promise, disimpulkan : Hasil pemeriksaan awal menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, murid project promise
mengalami perkembangan lebih cepat dibandingkan murid non Project. Hal ini khususnya terbukti pada matematika. Analisis selanjutnya akan memperhatikan perubahan lebih detail sepanjang waktu dan informasi dari CRT (Criterion Reference Test). Laporan evaluasi akhir akan memasukkan informasi dari guru, murid dan orang tua tentang dampak Project. - KRITIKAN Meskipun cukup banyak data yang tersedia untuk membuktikan kesuksesan Project di TMS, David Whall, direktur anggaran BPS merasa skeptic. Dalam pandangannya “Disaat nilai membaca dan matematika meningkat, seperti yang terjadi di cheveland dan Thompson yang juga merupakan sekolah Project,namun ada sekolah lain yang menunjukkan peningkatan serupa tanpa bantuan project. Jika dilihat nilai tes tahun ke 2 umumnya naik dari tahun ke 1 yang turun dari tahun sebelumnya. Dan jika dilihat nilai tes sekolah menengah secara keseluruhan dan membandingkannya selama 3 tahun, tidak terdapat peningkatan yang nyata. Total pengeluaran BPS berubah dari sekitar $ 256 juta seblumnya
menjadi $ 328 tiga tahun kemudian, meningkat 28 % dari pengeluaran aggregate (naik sekitar 15 hingga 16 persen jika terkoreksi inflasi) dengan jumlah murid tetap. Dari sudut pandang anggaran saya, terdapat peningkatan pengeluaran yang cukup tinggi, namun jika melihat hasil tes, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam prestasi akademik.” Whall mengakui bahwa dalam banyak hal, project memang merupakan program yang sukses dan menjanjikan, namun dalam pandangannya, project promise tidak menggambarkan penggunaan sumber daya BPS secara optimal. “Apakah sistem akan menjadi lebih baik, secara keseluruhan, jika dana disalurkan ke sumber daya lain ? contohnya, seperti yang ditunjukkan dalam analisis yang saya siapkan peraga 6), ada banyak cara untuk memanfaatkan dana $ 1.256.326 untuk TMS tahun lalu. Karena murid yang datang ke sekolah seperti TMS memiliki kekurangan kemampuan akademik dasar, mungkin akan lebih efesien jika sumber daya tersebut dialokasikan untuk populasi murid SD yang beresiko dan menyediakan tambahan program harian dengan remedial akademik bersamaan dengan pengayaan sosial cultural, termasuk field trip, konseling dan pelayan sosial lainnya. “ Singkatnya, saat mengevaluasi Project promise, kita harus melihat pada apa yang di akibatkannya pada sistem secara keseluruhan, lalu cobalah ajkan beberapa pertanyaan : 1. Menerapkan Project Promise untuk 20 sekolah lainnya di seluruh kota akan membutuhkan biaya sekitar $ 9 juta. Apa itu arah yang ingin diambil departemen sekolah ? 2. Daripada melanjutkan project promise, apalagi yang bisa di lakukan dengan uang yang bisa menghasilkan manfaat serupa atau lebih besar dari yang dicapai sekolah Project Promise ? Apakah perbedaan biaya per murid sebesar 46 % pantas untuk peningkatan nilai, atau adakah alternaltif lain ? apakah hal ini menggambarkan penggunaan sumber daya keuangan yang optimal? Mr. Whall yakin bahwa dalam hal analisis biaya manfaat, biaya project promise adalah : “mungkin, biayanya terlalu tinggi untuk manfaat yang dihasilkan, dan manfaat yang sama mungkin bisa didistribusikan lebih luas di dalam sistem dengan melakukan sesuatu untuk sekolah lain. Tapi hal ini kembali pada pertanyaan : sanggupkah kita menerapkan
Project Promise pada seluruh sistem, khususnya pada situasi keterbatasan anggaran saat ini ?” Dia juga mengomentari kepemimpinan Ms. O’Neil : “Sebagian kesuksesan TMS tidak ada hubungannya dengan Project Promise, namun disebabkan oleh kepemimpinan Mary Grassa O’Neil. Dia adalah administrator yang dinamis dan sangat baik. Menurut penilaian saya, dia mampu membuat keajaiban kecil. Dia mempunyai kemampuan untuk menanamkan antusiasme, dan menyampaikan tujuan serta cara mencapai tujuan tersebut sangat jelas pada stafnya. Jadi menurut saya, kepemimpinan sangatlah penting dalam kesuksesan TMS. Mary bis saja mendapatkan hasil serupa dengan jumlah dana yang lebih sedikit “. - TANGGAPAN MS. O’NEIL Ms. O’neil yakin bahwa Mr. Whall memiliki pemahaman yang keliru tentang informasi yang tersedia. Dia juga menegaskan bahwa project promise tidak dapat sepenuhnya dipertukarkan: “Pertama tama, harus dipahami bahwa David Whall adalah Direktur anggaran, bukan statiskawan atau peneliti. Hal ini penting, karena statistic dalam bidang ini sangat kompleks, dan untuk menginterpretasikannya dibutuhkan seorang ahli. David mengatakan bahwa tidak ada peningkatan signifikan di TMS. Dia salah, terlebih lagi. Dia tidak menyebutkan bahwa semua pendanaan untuk project Promise berasal dari grants yang artinya dana tersebut berada di luar formula untuk menghitung distribusi anggaran diantara sekolah BPS. Dia mengatakan seolah olah kami mengambil uang dari hal lain yang seharusnya dapat didanai dari grants, padahal tidak. Dan juga, uang $ 2,1 juta yang disebutkannya adalah untuk 3 sekolah. TMS tidak pernah mendapatkan $2,1 tetapi hanya $636,000 “ Juga terlibat dalam kontoversi tersebut adalah ahli statistic dari kantor Penelitian dan Pengembangan BPS, divisi perencanaan dan alokasi anggaran. Ahli statistic tersebut mengatakan bahwa Mr. Whall membandingkan apel dan jeruk, sehingga jika Mr. Whall ingin membandingkan dengan benar, dia harus mencari sekolah yang bisa dibandingkan dengan TMS. Sayangnya tidak ada sekolah yang serupa dengan TMS dalam BPS
ANALISA KASUS : 1. Data yang tersedia dirasa masih kurang untuk melakukan analisa terhadap Project Promise. Untuk bisa menentukan apakah Project Promise telah berhasil di TMS dan beberapa sekolah Project Promise lainnya, diperlukan suatu analisa statistika (pengujian hipotesis atau analisis regresi) untuk menguji apakah Project Promise berpengaruh terhadap peningkatan nilai siswa, tingkat kehadiran dan lain sebagainya. Dalam pembahasan kasus disebutkan bahwa secara keseluruhan, murid Project Promise mengalami perkembangan lebih cepat dibandingkan murid non Project Promise, namun tidak ada data dukung yang membandingkan antara perkembangan murid Project Promise dan murid non Project Promise setiap tahunnya. Agar analisis lebih akurat, akan lebih baik untuk menambah informasi yang tersedia dengan analisis statistika dan berbagai data perbandingan (misalnya perbandingan antara murid Project Promise dan non Project Promise, grafik peningkatan prestasi siswa dalam kurun waktu 5 tahun, dll). Selain itu perlu juga dipertimbangkan informasi tentang pendapat guru, murid dan orang tua murid tentang program Project promise. 2. Kritikan yang diajukan Mr. Whall tidak sepenuhnya dapat diterima. Seperti yang disampaikan oleh ahli statistic Boston Public School, Mr. Whall membandingkan apel dengan jeruk, artinya Mr. Whall tidak bisa membandingkan TMS dengan sekolah lain di dalam sistem karena karakteristiknya berbeda. Kritikan Mr. Whall juga tidak berdasar, dimana seharusnya Mw. Whall melmapirkan hasil analisis statistic yang menyatakan bahwa tidak ada peningkatan yang signifikan dalam prestasi akademik jika dihubungkan dengan Project Promise. Akan tetapi, dengan keterbatasan anggaran di BPS, harus dipertimbangkan kembali alokasi anggaran untuk menerapkan Project Promise di sekolah lain dalam sistem BPS. Perlu dikaji sekolah mana yang paling membutuhkan penerapan Project Promise diantara 20 sekolah yang masih tersisa dengan penerapan secara bertahap. Untuk TMS, sistem penerapan Project Promise pun perlu dikaji ulang, dimana Project Promise diperuntukkan bagi seluruh siswa. Untuk menghemat anggaran, penerapan Project Promise sebaiknya dilakukan terhadap murid yang membutuhkan perbaikan akademik saja sehingga sisa anggarannya bisa dialokasikan untuk hal lain, seperti penanganan populasi murid SD yang beresiko dalam prestasi akademik dan lain sebagainya. 3. Jika dilakukan analisa terhadap sejumlah data yang tersedia, bisa disimpulkan bahwa Project Promise telah sukses dari segi peningkatan prestasi akademik dan pengelolaan sistem
pembelajaran TMS, namun masih belum sempurna dalam hal pengelolaan anggaran karena dengan dana yang cukup besar seharusnya peningkatan yang terjadi harus lebih baik dari dicapai saat ini. 4. Project Promise dikembangkan di sekolah lain jika tersedia anggaran yang memadai namun dengan terlebih dahulu menyempurnakan sistem pelaksanaan Project Promise sehingga tidak terjadi pemborosan angaran, misalnya dengan mengeliminasi aktivitas yang tidak diperlukan (menerapkan project promise ke seluruh siswa di TMS, evaluasi jumla jam pelajaran, dan lain sebagainya).
*This case was prepared by Alexander D. Stankowicz under the supervision of Professor David. W. Young. Copyright@David W. Young and Alexander D. Stankowicz