Anak Mantri Candu Mendongeng KISAH SEORANG YANG BERNAMA NARMODO
oleh
NARMODO 1
Edisi ke 2
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….
i
1. Kata Pengantar ……………………………………………………………
ii
2. Pendahuluan ………………………………………………………………
1
3. Masa Kanak-kanak ………………………………………………………..
3
4. Masa ABG-Remaja ………………………………………………………..
7
5. Masa Perjoangan 1948-1949 ………………………………………………. 14 6. Masa Pasca Perjoangan 1948 – 1949 ……………………………………… 25 7. Masa bekerja, berkeluarga dan lansia ……………………………………… 28
DAFTAR BACAAN .........................................................................................
38
LAMPIRAN Bagan Susunan Keluarga Bpk Soeparman Soemowidikdo (Lampiran 1) …...... 39 Bagan Susunan Keluarga Narmodo (Lampiran 2) …………………………...... 40 Inilah Saya (Lampiran 3)
.............................................................................. 41
Orang Tua Tercinta (Lampiran 4) ........................................................................ 42 Keluarga Besar Narmodo (Lampiran 5)
……………………………………. 43
Home Sweet Home: Salemba (Lampiran 6) ……………………………………. 44 Home Sweet Home: Jatibening (Lampiran 7)
i
……………………………. 45
KATA PENGANTAR Saya menyampaikan kata pengantar ini secara singkat saja. Dongeng yang saya ceriterakan ini adalah mengenai kehidupan saya, mulai saya dilahirkan samapai usia lanjut, tetapi meskipun demikian saya tidak berani menyatakan bahwa dongeng ini merupakan otobiografi saya. Kesan yang mengarah ke otobiagrafi memang ada, tetapi penyusunan suatu otobiografi itu tentunya memerlukan kaidah-kaidah baku. Dongeng yang saya sampaikan ini hanya kumpulan memori yang masih berserakan sebatas yang masih saya ingat. Mudah-mudahan dongeng bersangkutan dapat dimanfaatkan menambah informasi dan wawasan oleh keturunan saya dan keluarga lainnya, karena berdasarkan pengalaman saya, banyak peristiwa beserta datanya terutama yang berhubungan dengan silsilah keluarga sulit diperoleh. Tulisan dongeng ini adalah edisi ke 2 untuk memperbaiki edisi 1 yang masih menyisakan sejumlah memori yang tercecer sekaligus dilengkapi dengan beberapa foto pendukungnya.
Semoga. Jatibening Satu Agustus 2010
Narmodo
ii
1. PENDAHULUAN
Dongeng yang akan saya ceriterakan di bawah ini bersumber pada memori saya ditambah dengan ceritera atau bahan-bahan dari saudara-saudara saya lainnya.
Saya adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah bernama Soeparman yang kemudian bernama Soemowidikdo setelah menikah serta berkeluarga dengan ibu Markonah. Ayah adalah anak pertama dan merupakan satu-satunya anak laki-laki dari enam bersaudara dari eyang Wongsowitjitro, sedang ibu hanya 2 bersaudara dengan adik laki-lakinya yang kita kenal sebagai pak Amatredjo.
Pak Amatredjo bekerja di bengkel kereta api dari Nederlands Indische Spoor Maatchappij (NIS Mij) Lempuyangan Yogyakarta. NIS Mij adalah perusahaan kereta api swasta yang menjalani trayek Yogyakarta-Semarang dan sekitarnya. Isterinya, lebih akrab dikenal dengan nama mbok Amat, memiliki warung/kios di daerah Suryatmajan sekitar pabrik besi milik Maclaine & Watson Company. Penduduk setempat menamakan pabrik tersebut pabrik “Waleson” dari kata akhir Maclaine & Watson. Mbok Amat berjualan “kinangan” yang terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan tembakau rajangan untuk susur yang digunakan untuk menghapus/mengurangi ludah/air liur dari bibir mulut akibat makan sirih tadi. Sebetulnya, usaha utama mbok Amat adalah berjualan bunga tabur dan peralatan orang meninggal yang lain seperti kain kafan, kapas, dupa, dan air mawar. Pada waktu itu, ada kebiasaan/adat penduduk di mana setiap malam jumat atau hari-hari tertentu lainnya mereka meletakkan sesajian dari bunga tabur di samping pintu masuk rumah untuk menolak bala. Dengan demikian, selalu ada pembeli dari bunga tabur.
Pada zaman itu (zaman Nederlands Indie atau zaman penjajahan Belanda) ayah mulai bekerja di Yogyakarta sebagai mantri Candu dari Opium Regie. Opium Regie adalah
1
suatu usaha monopoli Pemerintah yang mengurusi soal candu, tetapi di samping itu juga mengurusi garam, sehingga namanya menjadi Opium en Zout Regie.
Dari Yogyakarta beliau dimutasikan ke Bali (di daerah Karangasem dan Klungkung), kemudian dalam waktu yang cukup lama berdinas di Sumatra meliputi hampir seluruh kota dalam wilayah yang dulunya disebut Sumatra’s Oostkust (Sumatra pesisir Timur, sekarang meliputi Propinsi Sumatra Utara dan Propinsi Riau).
Berkat kerajinan dan ketekunan beliau, secara bertahap meningkat kedudukannya sampai menjabat sebagai Assisten Collecteur Opium Regie hingga pensiun.
2
2. MASA KANAK-KANAK
Semasa ayah berdinas di Sumatra, saya dilahirkan pada hari Rabu Pon tanggal 26 Rabiul Awal 1347 H bertepatan dengan kalender Masehi tanggal 12 September 1928 dan diberi nama Narmodo.
Tempat kelahiran saya ialah Bagansiapi-api, suatu kota nelayan wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau (dahulu termasuk Sumatra’s Oostkust/Sumatra Pesisir Timur) terletak di mulut muara sungai Rokan pesisir Timur pulau Sumatra. Tidak heran kalau hasil daerah tersebut adalah ikan laut serta hasil ikutan lainnya. Hasil ikutan terkenal pada waktu itu adalah telur terubuk, yaitu telur sejenis ikan laut dari golongan besar (dalam bahasa latin disebut Ghipeidae) yang mengalami proses pengolahan/pengasinan sebelumnya. Ikannya sendiri kurang disukai penduduk karena banyak mengandung lemak.
Di sekitar tahun 1932/1933 ayah dipensiun dini, sehubungan adanya kecurigaan atasan terhadap kegiatan ayah di organisasi Muhamaddiyah. Sebetulnya beliau belum mencapai usia pensiun, sedang track record-nya cukup baik dalam menjalankan tugas pekerjaan.
Karena saya masih balita, ingatan maupun kesan sewaktu tinggal di Sumatra sangat terbatas dan samar-samar. Yang saya ingat hanyalah sewaktu tinggal di kota Binjai dan Tanjung Balai. Tempat tinggal di kota Binjai, rumah dan halamannya cukup luas. Sedangkan di Tanjung Balai yang kotanya dekat aliran sungai Asahan, kita mendiami rumah tinggi dengan kolong di bawahnya, karena pada waktu sore hari, tempat tinggal kita sering tergenang air luapan sungai Asahan yang tidak mampu lagi mengalirkan airnya ke muara sehubungan laut sedang pasang.
Sekitar tahun tersebut di atas, kami sekeluarga pulang ke Jawa dengan naik kapal laut milik KPM (suatu perusahaan perkapalan Belanda) dengan rute Belawan/Medan 3
melalui Singapore ke Tanjung Priok/Jakarta. Waktu itu Jakarta bernama Batavia. Kami semua sempat singgah di Singapore untuk pesiar melihat-lihat kota dan tempat rekreasinya, karena para penumpang memang dimungkinkan turun ke darat.
Setelah dua tiga hari di Jakarta, perjalanan diteruskan ke Kediri. Untuk sementara waktu kami menumpang di rumah eyang di daerah Ringinsirah. Di rumah eyang ternyata sudah banyak penghuninya yang terdiri dari anggota keluarga eyang lainnya. Waktu itu eyang kakung sakit lumpuh akibat terlalu banyak duduk bermain kartu yang dapat berlangsung berhari-hari, malahan kadang-kadang sampai tidak pulang ke rumah. Selain sakit lumpuh, menurut ingatan saya eyang juga sudah sulit berbicara. Eyang putri kesukaannya adalah “nginang”, yaitu mengunyah daun sirih dengan kelengkapannya seperti gambir dan kapur sirih. Gambir adalah endapan rebusan daun yang diuapkan dari tanaman yang dalam istilah bahasa latinnya disebut “Uncaria gambir”. Kunyahan daun sirih tadi karena bereaksi dengan ludah, maka air liur dan bibir menjadi merah. Sedang untuk menhapus/mengurangi ludah/air liur yang memerah dari bibir/mulut digunakan “susur” yaitu secomot tembakau rajangan sebesar lebih kecil dari bola pingpong. Caranya ialah dengan memutar-mutar “susur” tadi pada bibir/mulut. Kadangkadang “susur” ini bila tidak diperlukan untuk menghapus atau mengurangi air liur digigit, tetapi sebagian masih terlihat di luar mulut pada bibir. “Susur” ini dapat merupakan mala petaka bagi cucu-cucu yang nakal, karena mulut kita dicolek dengan susur tadi oleh eyang (disusuri).
Setelah beberapa lama tinggal bersama eyang di Kediri, kami sekeluarga pindah ke Yogyakarta. Adapun alasannya adalah karena sudah banyak anggota keluarga lainnya yang tinggal di rumah eyang, di samping ibu juga ingin dekat dengan keluarganya. Sebagai menantu perempuan tidak lepas dari rasa kurang nyaman bila tinggal bersama dengan mertua yaitu eyang. Walaupun demikian, ayah masih mondar-mandir Yogyakarta-Kediri, menjenguk eyang kakung dan eyang putri yang dua-duanya sudah uzur. Di kota Yogyakarta inilah saya mulai bersekolah di Taman Indria suatu sekolah Taman Kanak-Kanak dari perguruan Taman Siswa. Sekolahannya ada di pendopo rumah 4
Ki Hajar Dewantara. Uniknya kita belajar dengan lesehan. Masing-masing murid duduk di atas sehelai tikar empat persegi dengan meja kecil di depannya setinggi sesuai dengan bila kita duduk di atas tikar.
Di perguruan Taman Siswa saya hanya sampai di pertengahan tahun ajaran kelas tiga. Mengingat keadaan fisik dan finansial ayah makin menurun akibat dari seringnya mondar-mandir Yogyakarta-Kediri, akhirnya diputuskan untuk kembali menetap di Kediri. Di Kediri ayah menyewa sebuah rumah di desa Kepanjen, desa ke arah timur dari Sumberece dan tidak lagi tinggal bersama eyang. Saya dan kakak-kakak dimasukkan ke sekolah Neutrale HIS suatu HIS swasta yang bersubsidi. HIS adalah singkatan dari Hollands Inlandse School, suatu sekolah rendah kalau sekarang kira-kira setaraf dengan Sekolah Dasar. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dengan masa belajar selama tujuh tahun. Saya melanjutkan kembali duduk di kelas tiga dan ketika naik ke kelas empat, saya pindah ke 2e Gouvernements HIS suatu sekolah HIS Negeri ke 2, karena di Kediri ada dua HIS Negeri.
Penghasilan ayah sebagai orang pensiunan dapat dikatakan pas-pasan, bahkan cenderung kurang untuk mencukupi kehidupan keluarga dengan anak-anak yang masih sekolah semua. Oleh karena itu, maka ibu turut membantu mencari tambahan penghasilan dengan cara jualan kain batik yang kadang-kadang dilakukan secara “door to door”. Selain itu, ibu juga berusaha membuat “kue satu” dari tepung kacang hijau dan dijual melalui warung/depot makanan. Saya mendapat tugas mengantarkan kue satu tersebut ke warung/depot makanan yang sudah menjadi langganan. Depot yang masih saya ingat antara lain Depot Harjo dekat jembatan sungai Brantas ke arah Semampir, stasiun trem KSM (Kedirische Stoom Tram Maatscappij) dekat stasiun KA dan warung Aman di sekitar Pasar Paing. Trem KSM ini menjalani rute Kediri-Pare dan Kediri-Wates menyusuri tepi jalan ke arah tempat tujuan tersebut.
Setelah Jepang menduduki tanah air, jualan kain batik ibu terhenti, sedangkan usaha kue satu terus berlanjut. Berhentinya penjualan kain batik karena tidak ada lagi pasokan kain akibat sulitnya memperoleh bahan tekstil selama pendudukan Jepang. 5
Sebelum tahun ajaran selesai, ketika saya duduk di kelas tujuh, keburu Jepang datang menduduki Hindia Belanda/Indonesia, kalau tidak salah sekitar awal tahun 1942.
6
3. MASA ABG REMAJA
Kedatangan Jepang menduduki Hindia Belanda/Indonesia ini menyebabkan kegiatan belajar mengajar terhenti sama sekali. Setelah vakum beberapa lama, yang berarti tertundanya/mundurnya tahun ajaran baru, dibukalah sekolah “Kokumin Gakko” atau Sekolah Rakyat dalam bahasa Indonesianya. Bahasa pengantarnya Bahasa Jawa yang selanjutnya diubah berbahasa Indonesia dengan masa belajar lima tahun. Kenyataannya saya hanya menamatkan serta berijazah Sekolah Rakyat lima tahun ini, meskipun sebelumnya telah belajar selama tujuh tahun di HIS.
Setamat Sekolah Rakyat, mungkin pengaruh teman-teman dekat sekelas, saya ingin melanjutkan ke Sekolah Tehnik di Surabaya. Keinginan ini tidak tercapai, karena saya tidak lulus ujian saringan seleksi. Namun demikian untuk beberapa waktu saya masih di Surabaya dan tinggal di rumah keluarga Soewardjo, yang istrinya (Soepariyam) adalah adik ayah, sambil mencoba mencari sekolahan lain yang sesuai keinginan saya.
Sewaktu saya masih di Surabaya ini, di Kediri dibukalah kesempatan pendaftaran dan penerimaan murid untuk masuk “Chu Gakko” yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri. Saya kembali lagi ke Kediri, namun sudah terlambat untuk pendaftaran masuk Chu Gakko/SMP tadi. Dari pada menganggur, saya masuk ke Perguruan Taman Siswa setingkat SMP dengan nama Sekolah Taman Tani. Sekolah ini semacam sekolah kejuruan bidang pertanian, Nama sekolah Taman Tani sesungguhnya hanya merupakan suatu kamulflase menghindari larangan pemerintah Jepang usaha swasta mendirikan Sekolah Menengah Umum. Oleh karena itu pelajaran teori/praktek pertanian diberikan sambil lalu saja, malahan pelajaran lainnya yang bersifat umum seperti yang diajarkan pada SMP pemerintah lebih diutamakan.
7
Pada akhir tahun ajaran kelas satu saya mencoba masuk SMP Negeri Praban di Surabaya melalui tes yang dilakukan bersama siswa SMP Praban sendiri yang sedang ulangan untuk kenaikan ke kelas dua. Alhamdulillah, hasil tes saya baik dan saya diterima sebagai murid kelas dua. Saya hanya beberapa bulan sekolah di SMP Praban, kemudian pindah ke SMP Balowerti di Kediri yang muridnya semua laki-laki, karena SMP ini tidak menganut system Co-educatie, jadi murid laki-laki perempuan dipisah sekolahnya. Muridmurid perempuan belajar di SMP tersendiri, yaitu SMP Putri Pocanan. Sementara itu kakak perempuan saya Soekartini yang menjadi guru di Sekolah Rakyat Pare ditarik/diminta mengajar di SMP Putri Pocanan.
Setelah proklamasi kemerdekaan dianut system Co-educatie, sehingga baik SMP Balowerti maupun SMP Pocanan (Putri) murid-muridnya campur laki-laki dan perempuan. Kakak saya Soekartini mendapat bagian mengajar di SMP Balowerti, sedang saya memilih sekolah di SMP Pocanan. Pada umumnya murid sekolah di zaman Jepang, sebagian besar waktu belajarnya habis digunakan untuk melakukan kegiatan di luar kelas seperti taiso (olah raga senam), kyoreng (latihan baris berbaris dan perang-perangan), Kingrohoshi (kerja bakti). Kerja bakti yang dilakukan antara lain menanami lahan kosong bahkan sampai di pinggir jalan pun ditanami dengan tanaman pangan, tanaman jarak, mengerjakan matun yaitu membersihkan rumput dan tanaman liar di antara tanaman padi, menggropyok hama tikus di sawah.
Hidup di zaman pendudukan Jepang makin lama terasa makin tersiksa dan sulit, utamanya mengenai sandang pangan. Sementara itu pada tahun 1944/1945 banyak peristiwa yang terjadi dan ternyata akan banyak mempengaruhi perubaban keadaan nantinya.
Tahun 1944 Jepang mulai banyak keteter di medan pertempuran oleh serangan balik pihak sekutu. Di bulan Pebruari 1944 terjadi pemberontakan pasukan PETA dari Daidan (batalyon) Blitar, tetapi sayang pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Jepang. Tanggal 7 September 1944 pemerintah Jepang di Tokyo menjanjikan kemerdekaan Indonesia. 8
Membayangkan kembali kerja bakti dahulu, yang masih terkesan sampai sekarang adalah tatkala kerja bakti di kawasan hutan jati Mojoduwur Kecamatan Brebek Kabupaten Nganjuk. Kawasan hutan Mojoduwur ini lokasinya di pegunungan Kendeng yang merupakan daerah tandus dan miskin air. Sungai-sungai berair hanya waktu musim hujan saja, suplai air minum kami dikirim dari Brebek/Nganjuk dengan truk, sehingga masingmasing murid di jatah keperluan air minumnya.
Di Mojoduwur kami bekerja dengan para romusha (pekerja paksa) menyelesaikan proyek Jepang membangun Komplek asrama yang konon untuk menampung sisa anggota PETA Blitar yang pernah memberontak.
Setelah Hiroshima di jatuhi bom atom oleh Amerika, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah. Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Waktu itu saya masih duduk di akhir tahun ajaran kelas tiga SMP dalam suasana liburan bulan puasa. Setelah masuk sekolah kembali sesudah liburan, kegiatan belajar mengajar masih kurang menentu.
Dalam keadaan kosong belajar seperti itu, sebagian besar murid-murid kelas tiga sempat mengikuti latihan kemiliteran
bersama-sama calon anggota/prajurit Badan
Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam status kalah perang Jepang mendapat perintah dari pihak Sekutu supaya meneruskan roda pemerintahan sampai mereka (Sekutu) datang. Sementara itu Bung Karno telah memproklamasikan Indonesia merdeka. Di sinilah mulai terjadi keteganganketegangan antara Jepang yang merasa mendapat perintah Sekutu untuk meneruskan roda pemerintahan dengan rakyat Indonesia yang sudah merdeka.
Untuk menghadapi ketegangan yang dapat menjurus kepada pertikaian, maka di tempat-tempat stragegis terutama oleh golongan pemuda, didirikanlah posko-posko. 9
Apabila ada gerak-gerik Jepang atau kaki-tangannya yang mencurigakan maka berkumandanglah teriakan seruan dengan kata-kata “siaap...siaap” sambil memukul-mukul tiang listrik. Secara spontan rakyat akan keluar baik dari posko maupun dari rumah-rumah dengan membawa senjata seadanya menuju suara seruan tadi.
Kaitan dengan masa siaap-siaap itu, ada suatu peristiwa yang sangat mengesankan, di mana rakyat termasuk ex anggota PETA, HEIHO dan juga saya turut mengepung dan menyerang markas Kenpetai (Polisi Militer Jepang), meskipun sebagian besar hanya bersenjata seadanya seperti bambu runcing segala macam jenis senjata tajam bahkan pentungan. Kekuatan kita yang betul-betul bersenjata api adalah pasukan ex Tokubetsu Kaisatsu Tai (pasukan polisi istimewa) yang dibentuk oleh Jepang waktu itu.
Akhirnya tentara Jepang yang ada di markas Kenpetai itu menyerah, setelah sebelumnya diadakan negosiasi dengan mereka mengenai penyerahan senjata. Di dini hari setelah semalaman rakyat mengepung markas Kenpetai serta penyerahan diri mereka, rakyat baru mau membubarkan diri sesudah bendera Jepang Hinomaru diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian Jepang menyingkir ke luar kota dan berkumpul di daerah perkebunan sekitar kabupaten Kediri menunggu repatriasi oleh pihak Sekutu.
Bulan September 1945 sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris mendarat di Indonesia dengan tugas melucuti dan menyelenggarakan repatriasi tentara Jepang, juga mengatur warga negara sekutu yang ditawan Jepang. Di bawah lindungannya turut serta membonceng tentara Belanda beserta NICA nya singkatan dari Netherlands Indies Civil Administration, yaitu suatu pemerintahan sipil yang dibentuk Belanda di Australia ketika mereka mundur dari Indonesia. Tujuan keikut sertaan mereka dengan tentara Inggris datang di Indonesia adalah untuk mengambil alih dan menduduki kembali Indonesia.
Pertempuran pertama dari Republik Indonesia adalah pertempuran Surabaya yang berlangsung pada akhir-akhir bulan Oktober 1945. Inggris memberi Ultimatum agar semua
10
orang Indonesia meletakan senjatanya dan menyerahkan diri dalam waktu 24 jam. Tetapi rakyat membalas dengan cara pembunuhan besar-besaran terhadap tentara Inggris.
Merasa terdesak, Inggris meminta bantuan Bung Karno yang baru saja menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia untuk dapat menghentikan pembunuhanpembunuhan ini. Terjadi kesepakatan mengadakan gencatan senjata, hal mana dipatuhi oleh pejoang-pejoang Indonesia.
Beberapa hari kemudian, Jenderal Mallaby Komandan pasukan Inggris di Surabaya terbunuh yang tidak jelas siapa pembunuhnya. Kematian Mallaby ini digunakan sebagai dalih untuk menuntut penyerahan segera tidak bersyarat. Pernyataan ini memancing berkobarnya kembali pertempuran yang paling sengit. Inggris mengerahkan Angkatan Udaranya dengan bombardemen udara. Kapal-kapal perangnya memuntahkan tembakan meriam dari laut.
Pada tanggal 10 November 1945 dimulailah serangan balasan.
Tanggal ini
kemudian dikenal dan dikenang sebagai hari Pahlawan. Banyak penduduk yang mengungsi meninggalkan kota Surabaya menuju ke daerah lain, termasuk kakak perempuan saya Sulartinah (Ny. Moh Shaleh) yang waktu itu bekerja pada kantor telepon Surabaya. Ia kembali ke Kediri dan menggabungkan diri dengan kantor telepon setempat. Sedang kakak laki-laki yaitu Mas Suhud sementara masih ada di tempat bergabung dengan pemudapemuda pejoang lainnya.
Setelah tentara Inggris selesai bertugas dan meninggalkan Indonesia akhir Nopember 1945, tentara Belanda dan Nicanya berhadapan langsung dengan Indonesia, maka mulailah terjadi pertempuran-pertempuran dengan kita.
Saya sudah lupa, kapan kegiatan belajar mengajar dimulai lagi, apakah sekitar akhir tahun 1945 ataukah permulaan tahun 1946. Yang pasti di tahun 1946, karena Kediri belum mempunyai SMA, dengan mengikuti ujian saya diterima di SMA Negeri bagian A Manahan Solo. Sedangkan kakak perempuan di atas saya persis Darmawati sudah lebih 11
dahulu sekolah di situ. Menurut cerita ibu, kakak diberi nama Darmawati, karena sewaktu ibu melahirkannya, ayah sedang mengumpulkan darma/derma yaitu sumbangan untuk bantuan korban bencana alam melalui pementasan wayang orang dari perkumpulan kesenian orang-orang Jawa di rantau. Dalam pentas tadi ayah berperan sebagai “Buto Cakil”. Buto cakil adalah seorang raksasa bertaring di ujung mulut di bagian bawah dengan suara kecil menggagap serta banyak tingkah. Muncul dalam adegan perang tanding melawan seorang kesatria. Perangnya disebut perang kembang, karena tariannya sangat menarik. Akhirnya ia mati kena tusuk oleh kerisnya sendiri. Konon cakil adalah lambang kejahatan.
Di antara guru-guru kelas 1A yang masih saya ingat betul adalah Prof. DR. Purbatjaraka yang mengajar bahasa sansekerta.
Sewaktu mengajar beliau selalu
berpakaian Jawa lengkap dengan kain dan destarnya sambil membawa “upet” yang membara untuk bila diperlukan menyundut rokoknya karena kelangkaan adanya korek api. Upet tersebut diletakkan pada pinggir meja guru atau bangku murid yang kadang-kadang sampai membakar pinggiran meja atau bangku. Upet adalah potongan memanjang sebesar jari tangan dari seludang bunga kelapa kering yang mengalami proses pelunakan agar api dapat membara terus tanpa mati sebelum habis terbakar semua.
Ketika sekolah di SMA Negeri Solo itu, melalui organisasi perjoangan pelajar/mobilisasi pelajar saya pernah dikirim ke daerah pertempuran Jawa Tengah bagian Utara. Daerah pertempurannya meliputi daerah-daerah sekitar Demak di Timur, Ungaran di tengah sampai Kendal di bagian Barat. Saya ditempatkan di MPP (Markas Pimpinan Pertempuran) Salatiga untuk membantu pada bagian perhubungan yang menerima laporanlaporan dari garis depan.
Situasi revolusi fisik makin menggelora dan meningkat. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1947 saya dan kakak Darmawati kembali ke Kediri. Kebetulan waktu itu di Kediri sudah berdiri SMA Negeri. Menurut sejarahnya SMA ini didirikan pada bulan September 1946 dengan nama Sekolah Menengah Tinggi berstatus swasta. Baru bulan September 1947 kemudian SMT Kediri mendapat status menjadi sekolah negeri dan 12
namanya berubah menjadi SMA Negeri Kediri dengan gedung sekolahan tetap menumpang di gedung SMP Balowerti dan masuk pada sore/siang hari. Jadi sekolah SMA Kediri ini dapat dikatakan adalah seratus persen produk kemerdekaan Indonesia bukannya bekas/kelanjutan dari AMS (Algemene Middelbare School) zaman Belanda atau Koto Chu Gakko zaman Jepang.
Sedang senang dan asiknya bersekolah kembali, pada akhir tahun 1948 sekitar pertengahan bulan Desember kota Kediri diserang dan diduduki Belanda. Lagi-lagi kegiatan belajar mengajar terhenti kembali. Terhentinya kegiatan belajar-mengajar kali ini merupakan yang ketiga kalinya. Yang pertama kali terjadi pada tahun 1942 saat saya akan menamatkan sekolah HIS, karena Jepang menduduki Indonesia, dan kedua kalinya adalah pada saat akan menamatkan sekolah SMP tahun 1945 karena proklamasi kemerdekaan yang berlanjut dengan revolusi fisik.
13
4. MASA PERJUANGAN 1948-1949
Pada permulaan Belanda menyerang dan menduduki kota Kediri sebagian besar penduduk mengungsi ke luar kota. Demikian keluarga saya, yaitu ayah, ibu, kakak, dan adik mengungsi ke daerah Ngronggo, suatu desa tidak terlalu jauh dari desa Tosaren ke arah Selatan.
Kemudian kakak-kakak dan adik kembali masuk kota, sedang ayah serta ibu tetap di luar kota dan selalu berpindah-pindah tempat. Beliau adalah anggota Badan Pekerja Dewan Perwakilan Daerah kota Kediri dan kebetulan ditugaskan oleh Pemda Kediri untuk tetap ada di daerah sebelah Timur sungai Brantas. Wali Kota Cs ada di sebelah Barat sungai Brantas dalam rangka pembagian tugas kewilayahan.
Kakak-kakak dan adik tinggal bersama dengan paman Roesbandi, suami dari ibu Soeparmi adik ayah di Kampung Dalem. Sebagai PNS paman tetap berprinsip nonCooperation dengan Belanda. Untuk menunjang hidup sehari-hari bibi berjualan sembako dibantu adik saya Hardjono di Pasar Paing. Barang-barang dagangannya dimuat dalam gerobak yang didorong oleh Hardjono. Kalau tidak salah waktu itu, ia masih duduk di Sekolah Dasar, jadi tidak dicurigai oleh Belanda karena dianggap masih anak-anak. Hardjono meninggal di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1991 dan meninggalkan seorang isteri dan empat orang anak, yang tiga diantaranya sudah berkeluarga. Anak nomor dua pada bulan November 2007 meninggal dalam usia 38 tahun.
Saya sendiri sebelum pertengahan bulan Desember 1948 sudah jarang di rumah bergabung dalam organisasi Perjoangan Pelajar/Mobpel (mobilisasi pelajar). Karena keadaan makin gawat, sebagian dari kami dipindahkan dari markas di JL. Balowerti ke rumah penduduk di desa Wringin Anom dekat alun-alun dan rel kereta api.
14
Ternyata kami hanya semalam tidur di Wringin Anom karena pagi-pagi itu kalau tidak salah tanggal 18 Desember 1948, terdengar rentetan bunyi metraliur dan stengun dari arah Selatan. Oleh karena itu kelompok kami yang terdiri dari 9-10 orang menghindarkan diri ke arah Timur jurusan Wates. Kelompok kami hanya memiliki satu senjata karaben Jepang, satu pistol dan lainnya hanya membawa semacam granat sederhana dari peluru senjata berat seperti peluru berdiameter 12,7 yang ekornya diberi gombyok. Maka oleh teman-teman granat tersebut dinamakan “pistol gombyok”.
Dalam perjalanan, kami sering berhenti mencari informasi tentang keadaan kota Kediri dan menanyakan keadaan di depan kami. Menjelang magrib kami telah sampai di Pandantoya daerah Wates dan bersepakat untuk bermalam di tempat ini. Atas bantuan pak lurah kami diberi tempat untuk istirahat dan tidur di sebuah rumah seorang penduduk.
Keesokan harinya kita bertemu dengan rombongan Walikota Kediri yang rupanya juga meninggalkan kota untuk bergerilya. Kita mengenalkan diri pada rombongan Walikota tersebut dan beliau melihat kami sebagai kelompok yang terpisah dari induknya. Oleh karenanya Pak Walikota menawarkan kepada rombongan kami untuk bergabung dengan mereka. Selain kami dijadikan pasukan pengawal rombongan Walikota, juga diminta membantu mempertahankan eksistensi pemerintah Kota Kediri termasuk mengaktifkan Staf Pertahanan Rakyat (SPR).
Setelah beberapa hari ada di Pandantoya, rombongan Walikota memutuskan untuk mendekati kota Kediri kembali dengan pertimbangan, bahwa sebaiknya sebagai Walikota Kediri, beliau harus bergerilya tidak terlalu jauh dari wilayah kekuasaannya. Demi keamanan rombongan mengambil jalan memutar, di awali dengan mendaki gunung Kelud melalui daerah Gambar daerah bekas aliran lahar letusan gunung Kelud. Pada sore harinya rombongan tiba di suatu desa dekat Selopuro, tetapi rombongan belum berani menyeberangi jalan raya Blitar-Kepanjen menunggu kesempatan yang baik, yaitu jika hari sudah gelap. Setelah hari mulai gelap, rombongan baru menyeberangi jalan raya Blitar Kepanjen. Demikian pula penyeberangan Kali Brantas. Kami memanfaatkan jembatan 15
yang sudah dihancurkan, namun kurang sempurna sehingga masih dapat dilewati meskipun hanya dengan merangkak meniti sebuah galar besi melengkung, tetapi masih menghubungkan kedua tepi kali.
Perjalanan diteruskan ke arah Barat lewat Lodoyo menyusuri jalan-jalan kecil sepanjang selatannya kali Brantas yang dipandang relatif lebih aman karena jalannya melalui hutan jati dan rawa-rawa. Setelah perjalanan hampir sehari penuh rombongan tiba di daerah Tjampur Darat suatu daerah yang berrawa-rawa. Ada beberapa teman yang memanfaatkan kesempatan untuk bersampan di rawa. Perjalanan selanjutnya menuju ke arah Gandusari daerah Trenggalek kemudian menyusuri lereng-lereng gunung Wilis menuju ke Pagerwojo melalui jalan setapak (jalan pintas) dan akhirnya sampailah kami semua di Besuki. Konon diwaktu damai Besuki ini merupakan tempat peristirahatan dan rekreasi.
Dari Modjo suatu tempat di sebelah Barat Sungai Brantas kira-kira berhadapan dengan Ngadiluwih di sebelah Timur sungai, diperoleh informasi, bahwa beberapa desa di Brangkulon Kediri beberapa hari yang lalu dihujani peluru mortir dan howitzer oleh Belanda. Menurut penduduk Brangkulon tadi katanya tentara Belanda mengetahui melalui Intelnya, bahwa Jenderal Sudirman ada di Brangkulon dan akan melalui desa Grogol, Gringging, Pace dan Sawahan menuju arah Yogyakarta.
Dari Besuki dengan menghindari jalan raya Modjo-Kediri melalui jalan-jalan setapak di pegunungan yang berlungur-lungur (lereng gunung dengan jalan yang berkelokkelok dan naik turun) rombongan menuju desa Kletak + 25-30 km sebelah Barat kota Kediri tersembunyi di antara perbukitan gunung Wilis. Desa Kletak inilah yang dijadikan “head quarter” rombongan Walikota yang kemudian head quarter tersebut bergeser lagi ke depan untuk lebih mendekati kota Kediri yaitu di salah satu desa sekitar Tjampuredjo/Podjok. Sejak di Kletak untuk tugas-tugas tertentu saya sering mondar-mandir antara Brangkulon dan Brangwetan menyeberangi Sungai Brantas dengan rakit bambu dari suatu tempat di Bandar Kidul dan mendarat di suatu tempat di desa Kaliombo. Meskipun 16
demikian saya lebih banyak menetap di Brangwetan dengan home base saya di rumah bapak Carik desa Blabak sebuah desa sebelah Tenggara kota Kediri.
Suatu ketika nyawa hampir-hampir melayang, karena rakit yang saya tumpangi ketahuan patroli Belanda yang kemudian langsung melepaskan tembakan-tembakan ke arah rakit kami. Untungnya rakit sudah mendekati tepi Brangwetan. Secara reflek kami semua penumpang rakit terjun ke air dan menyelam sambil berenang mengikuti arus menuju ke tepian dan bersembunyi di bawah rumpun bambu yang memang banyak ada di tepian situ. Sementara itu peluru masih berseliweran dan berdesing-desing di atas kami yang mengenai batang-batang bambu. Beberapa saat kemudian tembakan-tembakan berhenti dan diperkirakan Patroli sudah meninggalkan tempat itu. Dengan mengucap syukur alhamdulillah karena kami selamat semua, kami mulai naik ke darat. Saya beristirahat sebentar sambil menunggu keringnya pakaian yang dipakai sebelum meneruskan perjalanan ke home base di desa Blabak.
Peristiwa lain yang tidak enak dan tidak mudah dilupakan adalah waktu saya tertangkap tentara Belanda, tepatnya pada hari Kamis legi tanggal 2 Juni 1949 sore hari. Dengan todongan brengun saya disuruh jongkok dengan kedua tangan di atas kepala, karena saya dituduh dan dianggap sebagai gerombolan extremis. Namun secara spontan saya menjawab dalam bahasa Belanda “Ik_ben geen extremis, maar een dood gewone school jongen” (artinya saya bukan extremis, tetapi hanya seorang pelajar biasa). Dampak dari jawaban saya itu, tentara tadi makin berang dan langsung menendang perut saya dengan keras, sehingga saya tidak saja jongkok malahan jatuh terduduk. Sambil terduduk saya sempat berfikir, bagaimana mereka mengetahui dan menemukan home base saya. Akhirnya, setelah semua penghuni rumah yang saya tempati (home base) dikumpulkan, baru saya ketahui bahwa seorang teman yang saya titipi lembaran pamphlet-pamflet untuk disebarluaskan sebagai salah satu usaha untuk meng-counter propaganda Belanda tertangkap lebih dahulu dalam perjalanan ke home base nya di sebelah utara kota Kediri. Saya hampir tidak mengenalnya lagi karena kepalanya membengkak dan wajah dan bajunya penuh darah akibat dihajar serdadu Belanda. Karena tidak tahan menghadapi siksaan, akhirnya dia menunjukkan home base saya. 17
Ternyata kelompok tentara Belanda yang menggrebek home base saya adalah kelompok patroli yang bermarkas di pabrik gula Pesantren. Makanya saya dan teman yang sama-sama tertangkap di home base dibawa ke pabrik gula tersebut. Semalam suntuk kami berdua bersama teman yang tertangkap terlebih dahulu dengan posisi adu punggung kedua belah tangan diikat menjadi satu. Kami berdua diamankan di Pos jaga yang dilengkapi dengan senapan mesin terlindung oleh tumpukan karung pasir.
Keesokan harinya kami diperiksa/diinvestigasi yang dalam istilah mereka di “Verhoor” di kantor “IVG” yaitu kepanjangan dari Inlichting Veiligheids Groep. Tempatnya adalah di bekas kantor Polisi luar kota sekitar Kuwak. Setelah sempat dua hari ditahan dan diperiksa di kantor IVG tersebut, pada suatu malam kami dibawa pergi yang semula tidak tahu akan dibawa ke mana. Kami sempat berhati kecil dan “deg-degan” jangan-jangan kami akan dieksekusi yang konon biasanya dilakukan di daerah gunung Klotok. Tetapi ketika kendaraan yang membawa kami tidak belok kiri di pertigaan depan Karesidenan, maka timbul kembali harapan kami dan akhirnya kami mengetahui bahwa kami dimasukkan penjara.
Meskipun sudah ditempatkan di penjara, masih ada pemeriksaan lanjutan beberapa kali lagi di kantor IVG yang berbeda, yaitu kantornya ada di sebelah kiri kantor telepon, kalau kita menghadap ke jalan raya. Kantor telepon letaknya di sebelah Timur rel kereta api ke arah Ringinsirah.
Ternyata, hampir semua lapisan masyarakat yang ditangkap Belanda ada di penjara ini seperti pedagang pasar, belantik (perantara jual beli ternak di pasar hewan), petani, lurah, pegawai, pelajar, guru, perawat, dan orang laki-laki lain dengan bermacam-macam pekerjaan dan profesi. Bahkan bapak Mokh Sardjan, ayah artis Titiek Qadarsih, yang merupakan tokoh partai Masyumi setempat juga ada di sini. Untuk diketahui, bapak Moch Sardjan ini pernah menjabat menteri perekonomian era Presiden Soekarno sebelum kementrian perekonomian ini dipecah menjadi kementrian perdagangan dan kementrian perindustrian. 18
Hidup di penjara, ”HAM” kita memang betul-betul dipasung, namun masih ada rasa bangganya, karena kita di penjara bukan tersangkut kasus kriminal, tapi soal perjoangan membela tanah air.
Penjara Kediri mempunyai tiga blok atau kelompok kamar/ruangan yaitu blok a, b dan c. Masih ada bangunan lain yang agak terpisah yang merupakan blok khusus wanita. Di penjara itu saya ditempatkan dalam suatu ruangan/ kamar di blok b berisi kurang lebih tiga puluh orang. Tempat tidurnya adalah papan-papan yang ditopang di atas kaki lepas setinggi kaki meja pingpong. Alas tidurnya adalah tikar “glangse” semacam tikar yang biasa digunakan untuk membungkus/mengepak kapuk randu atau tembakau lembaran kering untuk ekspor. Jadi keadaan tikar tersebut cukup kasar bila dibandingkan dengan tikar mendong.
Di sudut ruangan dengan luas yang tidak begitu besar dibatasi dinding setengah badan terdapat semacam toilet untuk buang air kecil maupun besar. Jadi tidak perlu kaget, kalau kadang-kadang kita sedang makan tiba-tiba ada yang jongkok di sudut itu. Kami semua seharian penuh ada di ruangan/kamar, kecuali untuk antri menerima ransum makanan dan mandi.
Di tengah lapangan blok terdapat sebuah sumur, tempat kita semua mandi dengan cara bergiliran masing-masing kamar. Kita dapat ransum makan tiga kali sehari termasuk sarapan. Sarapannya adalah bubur dicampur dengan ubi jalar. Tetapi apabila stok beras dan ubi jalar menyusut, sarapan pagi diganti dengan grontol jagung tanpa parutan kelapa atau diselingi dengan kacang tolo. Kita harus pandai-pandai memakan kedua jenis bahan makanan ini, supaya terasa tetap nikmat, yaitu pakai cara makan perlahan-lahan sambil mengupas kulit arinya. Ketika sarapan bubur campur ubi jalar, beruntunglah mereka yang mendapat bagian ubi jalar banyak, berarti sedikit banyak dapat mengenyangkan perut dibanding kalau bagian buburnya yang banyak. Makan siang dan sore adalah nasi dengan lauk sayur, sepotong tempe atau ikan asin, kadang-kadang seminggu sekali sepotong telur dadar yang amat tipis. Piring makan dikenal dengan nama ompreng yang dibuat dari seng. 19
Sayurnya sering sekali sayur kangkung. Pada mulanya saya tidak sampai hati untuk memakannya karena kuah sayur kangkung tadi bereaksi dengan seng ompreng menjadi kebiru-biruan seperti warna tinta. Lama kelamaan oke juga memakannya daripada kelaparan. Setiap hari minggu keluarga diperbolehkan mengirim bingkisan seperti makanan, rokok, pakaian, sikat, pasta gigi, dan lain-lain.
Suatu malam bulan Juli 1949 bertepatan dengan bulan puasa, saya terbangun mendengar pintu ruangan dibuka. Kelihatannya ada orang baru yang datang masuk ruangan. Setelah saya amati, antara percaya dan tidak, bahwa orang itu adalah Bapak Bagyono, guru saya. Ketika beliau melihat saya, dengan tenang beliau berkata: Nar, endi kelasaku? (Nar, mana tikar saya?) Memang waktu saya baru saja masuk penjara bulan Juni 1949, saya menerima kiriman lima helai tikar. Dalam hati saya merasa heran, karena kelompok saya hanya empat orang, kog mendapat kiriman lima helai tikar.
Dengan persetujuan teman-teman satu ruangan, tiap pagi beliau diminta kesediannya untuk memimpin senam di halaman blok b. Beliau tidak lama bersama kita di penjara karena sebelum hari Lebaran bulan Juli 1949 sekitar pukul 16:00 seorang cipier (penjaga penjara) datang ke ruangan untuk menjemput sekaligus memberitahukan bahwa beliau dibebaskan. Sesaat sebelum meninggalkan ruangan, beliau masih sempat berkata kepada saya dalam nada bercanda: Nar, aku keluar duluan ya. Kenyatannya, beliau tidak pernah tiba di rumah. Saya mengetahui beliau tidak sampai di rumah karena pada hari Lebaran keluarga mengirim parcel. Parcel ditolak oleh petugas karena menurutnya bapak Bagyono sudah dibebaskan sebelum hari Lebaran.
Saya tidak tahu bagaimana prosedur pelepasan ini, apakah langsung saja lepas dari penjara, ataukah harus kembali dahulu melalui kantor IVG. Berkaitan dengan prosedur pelepasan yang kurang jelas ini, maka saat ”hilangnya” beliau sehingga tidak sampai tiba di rumah, ada beberapa kemungkinan: 1) Antara penjara dan rumah, apabila dilepas langsung dari penjara; 2) Antara penjara dan kantor IVG, apabila pelepasan harus melalui kantor IVG dahulu; 20
3) Antara kantor IVG dan rumah, apabila telah ada penyelesaian di kantor IVG. Tragisnya, baik jenasah maupun pusaranya tidak pernah diketemukan.
Setelah beberapa waktu ada di penjara, sekitar akhir bulan Juli 1949, saya ditunjuk sebagai ”foreman” membawahi blok a sampai c karena saya dianggap dapat berkomunikasi dalam bahasa Belanda dengan cipier dan serdadu-serdadu penjaga.
Ada seorang cipier bernama Jackson, berbadan agak kurus dan tinggi. Ke manamana selalu menyandang stengun dan terkenal keras dan galak. Ia sering melakukan ”sidak” ke ruangan-ruangan mencari senjata tajam atau tali yang dianggap dapat digunakan untuk membunuh. Ia mencurigai bahwa di antara teman-teman ada yang menyimpan senjata tajam hasil buatannya secara sembunyi-sembunyi ketika mereka diperkerjakan di bengkel penjara.
Tuan Jackson pernah marah-marah dan memaki-maki saya gara-gara persoalan berikut. Pada suatu sore, meskipun sedang off, ia datang ke kantor naik sepeda berboncengan dengan seorang wanita. Kalau melihat dandanannya, dapat dipastikan kalau ia seorang WTS. Ketika melihat si wanita tersebut sendirian, teman-teman di belakang terali ruangan kamar blok b timbul keisengannya. Mereka mengeluarkan kata-kata yang nadanya meledek. Ada yang menyeringai, malahan ada yang mengucapkan ”daag – daag” kepada WTS yang bersangkutan. Waktu itu Jackson sedang berada di ruangan kantor, sehingga tidak mengetahui kejadian itu sebelum si WTS melaporkannya kepada Jackson. Berdasarkan laporan itu, kemudian saya sebagai foreman dipanggil dan diberi waktu sampai esok harinya untuk menemukan orang-orang yang mengganggu teman wanitanya. Ini adalah hal yang sulit bagi saya, karena kalau saya tunjuk teman-teman yang telah melakukan perbuatan iseng tadi tentu saya akan dikeroyok mereka. Semalaman saya berpikir keras. Esok paginya, sebelum saya dipanggil saya menghadap lebih dahulu. Dengan merendah dan sambil mohon maaf atas tingkah laku teman-teman saya sampaikan bahwa mereka berasal dari segala lapisan masyarakat. Mereka yang berasal dari lapisan bawah kurang mengerti dan mengenal ”fatsoen” (sopan santun). Kelihatannya ia dapat menerima argumen saya, namun ia masih mengancam. Katanya, lain kali hal itu tidak boleh 21
terulang kembali. Kalau tidak ”kau orang” sendiri akan saya masukkan sel. Alangkah senang hati saya karena insiden tersebut dapat selesai tanpa korban.
Di blok b, ada satu ruangan yang diperuntukkan bagi mereka yang sakit. Ruangan ini diperlengkapi dengan empat tempat tidur berupa veldbed, almari obat-obatan, dan dinamakan ”zieken kamer” (ruangan untuk orang sakit). Ruangan ini dikelola oleh seorang petugas pribumi ala kadarnya. Oleh karena itu garnizoen arts Mayor dr de Vries tiap minggu selalu datang memeriksa. Pada waktu itu, tiga kali seminggu, mereka yang sakit dengan pengawalan diantar ke rumah sakit militer. Pernah terjadi ada yang memanfaatkan kesempatan berobat ini untuk kabur. Setelah kejadian itu, agar tidak ada yang kabur lagi, mereka yang akan berobat ke rumah sakit dirantai berenteng satu per satu ke belakang. Karena ada tindakan merantai ini, berobat ke rumah sakit menjadi tidak menarik lagi. Akibatnya, tidak ada lagi yang ingin berobat ke rumah sakit.
Setelah saya menjadi foreman, timbul ide untuk memanfaatkan dua orang perawat senior yang kebetulan juga ditawan untuk mengelola zieken kamer. Atas penataan kedua perawat tadi, dr de Vries menunjukkan kepuasannya dan menyerahkan pengelolaannya kepada mereka berdua. Hanya ia berpesan bahwa apabila ada keadaan gawat darurat, mereka supaya menghubunginya melalui kepala penjara. Demikian juga mengenai obatobatan yang diperlukan.
Pada suatu hari yang tanggal dan bulannya saya sudah lupa, saya dan sebagian besar tawanan lainnya dipindahkan ke penjara di Madiun. Kita semua dinaikkan truk dengan pengawalan yang sangat ketat.
Satu truk berisi kurang lebih lima belas orang dan
diharuskan duduk lesehan, sedang di setiap sudut bak truk berdiri atau duduk seorang serdadu Belanda dengan senjata yang siap tembak. Konvoi truk dikawal oleh beberpa tank dan panser wagon.
Penjara di Madiun lebih luas dibanding dengan yang ada di Kediri dan terdiri dari enam blok ganda, yaitu blok a, b, c, d, e dan f masing-masing dengan sebutan Noord (Utara) dan Zuid (Selatan). Saya ditempatkan di blok f Zuid, blok paling belakang. Tiap blok terdiri 22
dari lima ruangan/kamar, sedang tempat tidurnya dari ubin beton yang dibuat sedikit miring, kemiringan yang tinggi untuk bagian kepala dengan alas tidur tikar “Glangse”. Ada ruang untuk mandi bersama berupa los/bangsal memanjang, di atasnya ada sepasang pipa berlobang-lobang sepanjang los tadi. Apabila kran dibuka, maka keluarlah air seperti hujan dan kita mandi di bawahnya ramai-ramai.
Di penjara Kediri kita selalu ada di ruangan/kamar kecuali kalau mau mengambil ransum makan dan mandi, tetapi di penjara Madiun kita dapat sedikit kebebasan yaitu jam 07.00 sampai jam 17.00 sore kita diperbolehkan ada di luar ruangan/kamar. Juga ada kesempatan berkirim surat pos lewat pimpinan penjara dan menerima tamu.
Lain dari pada itu kegiatan kerohanian juga diperhatikan, bagi yang beragama Islam diselenggarakan sholat Jumat, sedang pada hari Minggu ada kebaktian bagi mereka yang non muslim. Sebagai tawanan di penjara setiap minggu kita mendapat pembagian sepotong sabun cuci cap bendera yang cukupan besarnya dibandingkan dengan baju yang perlu dicuci dan dua pak rokok sigaret produksi BAT bermerk “SIGNET” dengan gambar sebuah cincin stempel. Barang-barang pembagian tadi terutama sabunnya sering jadi obyek barter dengan para penjaga/juru kunci kamar yang terdiri dari orang-orang pribumi. Adanya kesempatan barter tadi, timbul niat saya ikut barter sabun dengan “ragi” untuk membuat tape. Tape yang dibuat bukan dari singkong atau ketan, tetapi dari nasi. Bahan-baku nasi diperoleh dengan cara “menimpa” dari dapur yang dikepalai seorang India yang mudah dikibuli. Nasi yang sudah berragi dimasukkan ke dalam kaleng bekas “corned beef” dan kemudian ditutup rapat dengan kertas diikat karet gelang. Setelah dua atau tiga hari jadilah tape tersebut dan dapat dinikmati bersama.
Menjelang akhir tahun 1949 kira-kira bulan Desember, dalam rangka penyerahan kedaulatan RI, semua tawanan yang ada di penjara Madiun dibebaskan dengan surat pelepasan dari kolonel Scheffelaar komandan Tijger Brigade (Brigade Harimau). Dalam surat pelepasan disebutkan juga bahwa kepada yang bersangkutan diberikan paket pakaian dan uang tunai sebesar sepuluh gulden. Paket pakaian terdiri dari satu helai sarung, satu 23
celana panjang bergaris seperti celana piyama dan satu hem putih lengan pendek tanpa kancing, jadi kalau mau memakainya tinggal kepalanya dimasukkan seperti mau memakai baju kaos.
Pada hari dan tanggal yang saya sudah lupa dari Madiun kita diangkut dengan kereta api kembali ke Kediri, masih dalam pengawalan, tetapi tidak seketat seperti waktu dipindahkan ke Madiun. Dengan adanya rombongan penyambutan tawanan di setasiun Kediri, Belanda khawatir kalau nantinya akan terjadi sesuatu. Oleh karena itu maka jauh sebelum tiba di stasiun Kediri, kereta api diberhentikan di tengah sawah dan kita semua disuruh turun dan dinaikkan ke truk-truk yang telah disiapkan. Dalam hati kecil saya bertanya-tanya akan dibawa kemana lagi kita-kita ini. Baru kemudian diketahui, bahwa kita sudah sampai di pabrik/penggilingan beras di kawasan perempatan Recopentung dekat lapangan Setono Betek
Kita semua ditinggalkan begitu saja tanpa ada pengucapan kata-kata dari komandan pengawalan. Melihat keadaan demikian, akhirnya kita semua membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing. Saya sendiri, sekitar jam 16.00 sampai rumah di Jl. Kampung Dalem no. 60. Ternyata saya sudah ditunggu ibu sejak pagi hari dan disambut dengan rasa haru dan gembira melihat anaknya kembali sehat setelah selama setengah tahun sempat ditawan Belanda. Sementara itu rombongan penyambutan kebingungan mencari para tawanan yang baru dibebaskan
24
5. MASA PASCA PERJOANGAN 1948-1949
Menjelang akhir tahun 1949 dalam rangka penyerahan kedaulatan RI, semua tawanan di penjara Madiun dibebaskan. Setelah dibebaskan saya memerlukan beberapa waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan biasa, karena meskipun hanya enam bulan di penjara sebagai tawanan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap diri saya.
Pada awal-awal setelah pembebasan, saya dan teman-teman ex tawanan masih sering suka berkumpul-kumpul, tetapi lama kelamaan masing-masing satu per satu mulai kembali ke aktivitas semula.
Sebagaimana diketahui SMA Kediri selama pendudukan Belanda tahun 1949 ditutup dan baru pada tahun 1950 dibuka kembali. Saya kemudian mendaftar ulang untuk masuk sekolah. Ternyata teman-teman sekelas masih tetap seperti dulu.
Jika sebelum pendudukan Belanda SMA ada di Balowerti, maka setelah itu dipindahkan ke gedung bekas SMP Pocanan dan masuk pagi hari. Mereka-mereka yang terlibat dalam organisasi perjoangan pelajar, baru di demobilisasikan pada bulan Juli tahun 1950 dengan surat tanda demobilisasi Gubernur Militer Jawa Timur tanggal 1 Juli 1950 nomor I/Kd/0559/1950.
Sebagaimana dimaklumi, sebelum pendudukan Belanda rumah kami ada di desa Singonegaran sebelah Selatan dari Pasar Paing. Ketika Belanda memasuki kota Kediri, keluarga mengungsi ke luar kota. Saya sendiri tidak mengetahui persis proses pengungsian ini, sebab lama sebelum Belanda masuk kota Kediri, saya sudah jarang ada di rumah, karena bergabung dengan organisasi perjoangan pelajar.
Sewaktu masih tinggal di desa Singonegaran menurut ingatan saya adalah bahwa setiap hari pasaran yang jatuh pada hari Paing di depan rumah selalu ramai dengan orang25
orang/pedagang dan petani yang membawa hasil bumi dan lain-lain. Mereka membawa pedati atau gerobak yang ditarik sapi dan parkir di pinggir jalan depan rumah.
Karena rumah ditinggal mengungsi dan hampir tidak pernah ditengok-tengok kembali, maka habislah barang-barang dijarah orang. Demikian juga buku-buku dan catatan pelajaran sekolah, ijazah Sekolah Rakyat dan SMP milik saya terbawa juga oleh penjarah. Oleh karena itu dalam hati saya bertekad untuk dapat menyelesaikan pendidikan di SMA ini dengan sebaik mungkin.
Pada tanggal 25 Juli 1950 sampai dengan tanggal 15 Agustus 1950 diselenggarakan ujian penghabisan tahun pelajaran 1949/1950 meliputi delapan mata pelajaran dengan hasil nilai rata-rata tujuh. Bagi saya ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa, mengingat di kelas tiga saya hanya belajar selama enam bulan. Akhirnya saya dapat menamatkan SMA dengan berijazah tertanggal 17 Agustus 1950.
Karena saya belajar dibagian kesusasteraan (bagian A) maka dari delapan mata pelajaran yang diujikan, lima diantaranya merupakan mata pelajaran bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Inggris, Daerah, Jawa kuno dan Jerman. Tiga mata pelajaran lainnya adalah Sejarah Umum, Sejarah Kebudayaan dan Ilmu Bumi. Di samping ujian tertulis, untuk bahasa Indonesia dan Inggris ada ujian lisan dengan penguji berasal dari luar lingkungan sekolah.
Kalau saya tidak salah ingat penguji bahasa Indonesia Bapak Darwis dari Surabaya dan Frater Mensfoord untuk bahasa Inggris. Yang saya takuti adalah ujian bahasa Indonesia apabila menyangkut tata bahasa. Tetapi untungnya saya hanya disuruh membaca sebagian dari buku yang berhuruf Arab tanpa ada tanda bacaan (lazim disebut huruf Arab gundul). Seingat saya buku tersebut menceritakan kepahlawanan Hang Tuah.
Berbekal ijazah yang baru saya terima, saya dengan beberapa teman pergi ke Yogyakarta untuk mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Negeri Gajah Mada dan diterima sebagai mahasiswa tanpa ujian saringan. Dibanding dengan proses pendaftaran 26
dan penerimaan mahasiswa pada PTN sekarang, proses pendaftaran dan penerimaan mahasiswa saat itu sangat mudah dan sederhana. Barangkali hal ini karena masih terbatasnya jumlah calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi
Meskipun kami adalah lulusan SMA bagian kesusasteraan (bagian A), tetapi anehnya tidak seorang temanpun yang ingin melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra. Pada saat itu di Fakultas Hukum dianut system study bebas yang memungkinkan mahasiswa setiap saat dapat mengajukan permohonan untuk diuji apabila sudah merasa siap. Ujianujian semuanya dilakukan dengan cara lisan. Ada tiga macam tingkat ujian, yakni : 1. testimonium untuk mata kuliah tambahan 2. tentamen untuk mata kuliah lainnya (mata kuliah ujian) 3. ujian sidang untuk mata kuliah ujian yang menjadi pilihan mahasiswa.
Pada ujian sidang, mahasiswa lainnya dalam jumlah terbatas dapat mengikuti jalannya sidang ujian tersebut. Saya hanya sampai tingkat persiapan dan kemudian menuju Jakarta untuk mencoba mencari nafkah di Ibu Kota.
27
6. MASA BEKERJA, BERKELUARGA, DAN LANSIA
Di Jakarta saya untuk sementara tinggal bersama kakak perempuan Sumastuti, isteri Bapak Suroyo di Jalan Cisadane daerah Cikini.
Pada bulan September 1952 saya diterima di Departemen Pertanian sebagai Ajun Komis dengan gaji pokok Rp 174,- dan ditempatkan pada bagian Rencana Kesejahteraan Istimewa. Tugas saya adalah melakukan verificatie terhadap pertanggungan jawab keuangan dari daerah-daerah. Saya hanya bertahan dua tahun di tempat itu dan kemudian pada tahun 1954 akhir, pindah ke Badan Urusan Tembakau yang kemudian menjadi Lembaga Tembakau. Badan ini adalah badan non structural, tetapi dibina oleh Departemen Perdagangan dan Departemen Pertanian dengan titik berat pada Departemen Perdagangan. Karyawannya berstatus Non PNS termasuk saya. Pada tahun 1958 dari Instansi, saya memperoleh fasilitas menempati rumah dinas dekat kantor di persil belakang kantor Departemen Pertanian Jalan Salemba Raya no. 16. Sampai akhir tahun 2000 saya menempati rumah dinas tersebut.
Karena merasa sudah mempunyai penghasilan tetap dan usia sudah memadai pada tanggal 7 Pebruari 1959 saya menikah di Yogyakarta dengan Oenggargini adik kelas di SMA Kediri dan kebetulan juga adik teman sesekolahan. Saat itu Oenggargini telah lulus ujian Bacclaureat Ilmu Hukum Jurusan Kenegaraan (setingkat sarjana muda) dari Universitas Negeri Gajah Mada.
Pada tanggal 1 Desember 1957 ia diangkat menjadi pegawai Departemen P. D. dan K di Jakarta. Sementara itu pada tanggal 14 Juni 1960 lahir Gemala Paramita anak pertama. Kemudian berturut-turut disusul anak kedua Widyo Hapsoro pada tanggal 24 Juli 1961. Anak ketiga Poppy Intan Tjahaya lahir pada tanggal 24 November 1962, anak keempat Sita Dewi pada tanggal 27 Maret 1965 dan yang bungsu Bagus Satyawan Sidarta pada tanggal 6 Agustus 1970. Pada bulan Februari 1965 Ibu wafat dan dimakamkan di TPU Setonogedong Kediri. Kemudian ayah kita boyong ke Jakarta. Namun, naas tidak dapat 28
dielakkan, pada bulan Mei 1965 beliau wafat menyusul ibu dan dimakamkan di TPU Karet Pasar Baru Barat Jakarta.
Karena rumah dekat dengan R.S Sint Carolus empat orang anak lahir di rumah sakit tersebut, hanya Sita Dewi yang lahir di Klinik Bersalin Jalan Ciliman daerah Cikini. Satu dan lain hal ini disebabkan oleh keterlambatan mendaftar ke R.S Sint Carolus.
Kelima anak saya tadi menyelesaikan pendidikan dasar di TK dan SD Kristen Yayasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK) dengan pertimbangan letak sekolahnya dekat rumah. Pendidikan menengah pertama ditempuh di sekolah yang bervariasi ada yang di SMP Negeri 1, 8, 9 dan 216, sedang pendidikan menengah atas, empat anak adalah alumnus SMA Negeri 4, sedang seorang yaitu Bagus alumnus SMA Negeri 8. Perguruan tingginya juga bervariasi yaitu: a. 2 orang alumnus Universitas Kristen Indonesia Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum b. 2 orang alumnus Universitas Indonesia Fakultas MIPA(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), jurusan Biologi dan Matematika c. Seorang alumnus Universitas Trisakti Fakultas Teknik Mineral jurusan Geologi Poppy Intan Tjahaya pada tahun 1986 memperoleh bea siswa dari BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) mulai bulan April 1988 sampai 1994 (enam tahun) mendapat kesempatan belajar di Kyushu University di Jepang sampai mencapai tingkat S3 dengan latar belakang Studi Ilmu Biokimia.
Sita Dewi menyelesaikan tingkat S2 di Universitas Indonesia Fakultas Pascasarjana Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Widyo Hapsoro saat ini juga telah menyelesaikan studi kenotariatan di Universitas Pajajaran Bandung. Pada tahun 1962 saya mencoba kuliah kembali di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Extension Course. Tetapi sayang hanya sampai tingkat empat, yang seharusnya sudah mulai menyusun skripsi.
29
Saya mendapat kesempatan di tahun 1980 untuk meninjau “Tabak Borse” di Jerman Barat dan beberapa Pabrik Cerutu di Negeri Belanda. Tabak Borse atau Bursa Tembakau adalah suatu tempat dimana tembakau cerutu Indonesia dijual melalui system lelang tertulis yang dalam bahasa Jermannya dinamakan Einschreibung. Sebagaimana diketahui, tembakau Indonesia, bahan cerutu asal Deli/Sumatera Utara, Besuki/daerah Jember dan Vorstenlanden daerah Klaten memang dikirim ke Tabak Borse Bremen.
Sebelum adanya sengketa dengan negeri Belanda soal Papua Barat atau Irian Jaya/Barat (1950-1962), penjualan tembakau Indonesia melalui lelang diselenggarakan di Amsterdam dan Rotterdam Negeri Belanda. Saya merasa beruntung, karena ketika di Bremen sempat pergi ke Berlin untuk menyaksikan tembok Berlin dan bulevar andalan “Unter der Linden” yang terkenal waktu itu. Sebagai penjelasan dapat ditambahkan di sini, bahwa setelah perang dunia ke II usai pada tahun 1945 dalam perjanjian Potsdam, Berlin dibagi menjadi empat bagian, yaitu zone USA, Inggris, Perancis (Sekutu) dan Uni Soviet. Tembok yang tinggi dan kokoh itu dibangun oleh Uni Soviet pada tahun 1961 yang akhirnya membelah Jerman menjadi Jerman Barat (RFD/Republik Federasi Djerman) dan Jerman Timur (RDD/Republik Demokratik Djerman). Pembangunan tembok tersebut oleh Uni Soviet merupakan puncak dari selalu adanya percekcokan dan kekurangpuasan antara kubu Sekutu dan Uni Soviet. Baru perpuluh-puluh tahun kemudian tembok Berlin tadi dibongkar dan dihancurkan setelah adanya unificatie antara RFD dan RDD.
Pada tanggal 1 Maret 1982 atas pertimbangan tertentu, Departemen Perdagangan mengangkat semua karyawan Lembaga Tembakau termasuk saya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada saat itu saya sudah berusia 54 tahun, sehingga praktis saya menjadi PNS Departemen Perdagangan hanya dua tahun dan akhirnya tahun 1984 saya dipensiun. Dengan Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 15 Juli 1985 saya ditetapkan bersama beberapa karyawan lainnya memperoleh tanda penghargaan berupa Piagam Pernyataan Terima Kasih sebagai penghargaan atas pengabdian dan dharma bakti kepada Pemerintah Nusa dan Bangsa cq Departemen Perdagangan. Karena tenaga saya masih dibutuhkan saya masih dipekerjakan kembali sebagai tenaga ahli honorer.
30
Agustus 1995 saya mendapat musibah berupa luka retak di tulang pangkal paha kanan karena terpeleset di kamar mandi saat mengambil air sembahyang subuh. Saya dirawat di RS Cikini dan menurut dokter setempat, saya harus dioperasi untuk penggantian tulang paha yang retak tadi, tetapi anak-anak tidak menyetujuinya mengingat usia saya sudah lanjut. Akibat tidak dilakukan tindakan operasi ini, maka setelah selesai perawatan, kaki kanan menjadi sekitar 5 cm lebih pendek dibanding dengan kaki kiri. Karena itu diperlukan sepatu khusus dalam arti sol sepatu kanan lebih tebal 5 cm dari sepatu kiri untuk menyeimbangkan panjang kaki kiri dan kanan.
Terapi yang dilakukan adalah kaki kanan hanya diluruskan kembali seolah-olah ditarik dengan melekatkan bahan seperti plester lebar dan panjang dari perut sampai tungkai kaki. Di ujung tungkai kaki tadi digantungi beban + 5 kg dan tungkai kaki tadi diletakkan di atas bantalan, sedangkan beban tetap menggantung di ujung luar tempat tidur. Dengan posisi demikian, saya masih dapat duduk di tempat tidur.
Beberapa waktu kemudian untuk menjaga agar keretakan tulang paha tidak meluas, dari perut terus ke bawah meliputi pangkal paha kanan yang retak sampai di atas lutut di “gips”/semen. Setelah digips saya tidak dapat duduk lagi dan mulai menjalani fisioterapi terutama latihan berjalan dengan dua tongkat penyangga di ketiak kiri dan kanan. Saya kira jalan dibantu tongkat penyangga tadi mudah, ternyata saya merasakan kesulitan. Apabila mau turun dari tempat tidur saya harus dapat langsung berdiri di atas kaki kiri yang sehat untuk kemudian jalan dengen tongkat penyangga.
Setelah menjalani rawat inap selama kurang lebih tiga bulan, saya keluar dari rumah sakit masih pakai “gips” dan harus secara periodic menjalani pemeriksaan/berobat jalan. Karena keretakan tulang paha sudah membaik berdasarkan hasi foto rontgen, maka “gips” dilepas dan alangkah leganya rasa hati ini.
Mulailah saya giat belajar jalan dengan tongkat penyangga sampai akhirnya saya dapat berjalan tanpa alat bantu. Jalan saya sekarang tidak sempurna dan secepat seperti dahulu sebelum mengalami cidera di pangkal paha. Saya harus merogoh kocek dalam31
dalam sampai sebelas juta, itupun sebagian sudah ditanggung oleh PT Askes. Meskipun demikian masih ada hikmahnya juga, karena saya dapat menghentikan kebiasaan merokok hingga sekarang.
Anak-anak satu demi satu melepaskan masa lajangnya, tetapi justru dimulai oleh Sita Dewi anak keempat pada tahun 1992. Ia kebetulan mendapat jodoh juga putera keempat dari keluarga Bapak Sugih Sujoko dari Boyolali, yaitu Wahyu Catur Wibowo. Dalam rangka suami menyelesaikan studinya untuk S2 di Indiana University USA, Sita Dewi selepas pernikahan mengikuti suaminya ke USA sekaligus sebagai masa honey moon. Sepulangnya dari USA Wahyu kembali berdinas di Pusilkom Universitas Indonesia sampai ia berangkat ditugaskan ke Australia untuk gelar S3 nya di Royal Melbourne Institute of Technology, Sita baru menyusul kemudian dengan dua anak balitanya Noni dan Tio. Kedua anak ini sempat bersekolah dasar di Melbourne. Di Melbourne ini mereka dianugerahi momongan yang ketiga yaitu Ana. Setibanya kembali di Indonesia Wahyu menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
Anak kedua Widyo Hapsoro pada tanggal 13 September 1993 menyusul menikah dengan seorang gadis pilihannya Dwiwati Budi Astuti dengan nama akrabnya Anis. Ia adalah puteri bungsu dari keluarga Soewarto Kolonel (purnawirawan) Polisi dari Pondok Karya. Pelaksanaan akad nikah sangat mengharukan karena dilakukan di depan jenazah Bapak Soewarto. Sebetulnya pernikahan sudah direncanakan akan diselenggarakan pada bulan November 1993, tetapi apa daya pada tanggl 12 September 1993 Bapak Soewarto mengalami kecelakan mobil sampai meninggal dunia, sehingga hari pernikahan diajukan. Sekarang mereka sudah mempunyai tiga orang anak, dua puteri yaitu Ica dan Nadya dan seorang putera bernama Nabiel.
Anak ketiga Poppy Intan Tjahaya menikah pada tanggal 27 Oktober 1996 dengan Putu Sukmabuana putera pertama dari keluarga Bapak I Made Ripu dari Yogyakarta. Dua jagoan yaitu Farhan dan Fauzi turut menghangatkan dan meramaikan suasana rumah tangga mereka.
32
Si bungsu Bagus, pada tanggal 2 Juli 2006 mempersunting gadis pilihannya yaitu Farra Lanova puteri kedua dari keluarga Bapak Iskandar Sabirin asal kota empek-empek Palembang. Kaitan dengan pernikahan itu, sesuai adat daerah asal Bapak Iskandar pada acara resepsi diadakan upacara penganugerahan gelar Cahyo Mataram kepada Bagus beserta isteri.
Saya kira tidak ada salahnya, apabila di sini dikemukakan, bahwa setelah istri saya Oenggargini meninggal pada tanggal 1 Februari 1986 sehingga sejak saat itu saya hidup sendiri tanpa istri bersama anak-anak. Pada masa itulah saya merasakan suatu kekurangan akan perlunya seorang wanita yang dapat mendampingi saya untuk hidup bersama di usia yang makin senja. Oleh karena itulah pada tanggal 26 April 1996 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1416 H telah dilangsungkan akad nikah antara saya dan Nawang Sri Esti adik almarhumah Oenggargini di KUA Kecamatan Menteng dalam suasana sederhana tetapi cukup khidmad.
Dengan demikian susunan keluarga menjadi lengkap kembali seperti tertera pada bagan terlampir (lampiran 1 dan 2). Saya menempati rumah dinas di persil belakang komplek Departemen Pertanian Jalan Salemba Raya no. 16 mulai tahun 1958 sejak masih lajang sampai berkeluarga. Kantor Departemen Pertanian kemudian pindah ke gedung baru di atas lahan yang cukup luas di daerah Ragunan. Sedang bekasnya ditempati oleh kantor Direktorat Jenderal Peternakan.
Dalam kurun waktu selanjutnya Departemen Pertanian memutuskan untuk menjual assetnya berupa tanah dan gedung/bangunan yang ada di Jalan Salemba Raya no. 16 kepada pihak swasta dengan system ruilslag/tukar guling. Pihak swasta ini tidak mustahil dari Grup Cendara, mengingat aktivitas Tommy Suharto dalam penyelesaian proses ruilslag tadi. Akhirnya ruilslag menjadi kenyataan pada pertengahan tahun 2000 dengan akibatnya saya harus keluar dari rumah dinas tersebut. Saya hanya mendapat bantuan Rp. 25 juta pada bulan Agustus 2000 sebagai pesangon dengan syarat selambat-lambatnya tiga bulan sesudah menerima uang harus meninggalkan rumah dinas tadi.
33
Untungnya istri saya mempunyai rumah BTN type 45 di komplek Jatibening Satu Pondok Gede dengan proyek/pengembang
luas tanah 167 m2
yang
berbentuk
trapesium.
termasuk pembelian Untuk
tanah dari
menghilangkan
bentuk
trapesiumnya saya membeli sebidang tanah yang berbatasan dengan tanah kami tersebut seluas + 80 m2 dari penduduk setempat yang kebetulan mau menjualnya. Dengan tambahan tanah seluas + 80 m2 tadi, luas tanah kami keseluruhan menjadi 247 m2.
Agar dicapai luas bangunan yang ideal sesuai kebutuhan kami sekeluarga, maka rumah type 45 di atas direnovasi dalam artian diperluas 102 m2 dengan 2 lantai tanpa merubah bentuk rumah asli yang “Klein aber mein”. Dengan modal uang pesangon Rp 25 juta ditambah Rp 20 juta uang patungan anak-anak sehingga berjumlah Rp 45 juta serta masih ditambah pasokan kayu balok dan beberapa daun pintu satu truk tronton dari Putu di Bandung, sambil mengucapkan “Bismillahirahman nirrohim” dalam bulan September 2000 pekerjaan renovasi dimulai. Proyek renovasi ini dikomandani penuh oleh mas Heru dan Pak De Kirman dengan pekerja/tukang sebagian besar asal Pelabuhan Ratu.
Menjelang akhir bulan Desember 2000 kebetulan juga menghadapi Lebaran 1421 H dimana pekerja/tukangnya sudah ingin pulang, rumah hasil renovasi sudah mencapai tahap layak huni, tinggal finishing touch saja. Sampai tahap tersebut telah menghabiskan biaya sekitar Rp 77 juta yang berarti ada kekurangan Rp 32 juta yang untungnya mas Heru berkenan menalangi dahulu. Talangan mas Heru tadi baru dapat saya lunasi selama hampir satu setengah tahun dengan menyicil.
Pada kesempatan ini tiada kata lain yang dapat saya sampaikan kepada mas Heru dan Pad De Kirman, kecuali rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Karena pekerjaan renovasi rumah dapat diselesaikan dalam waktu + 3,5 bulan yang dapat dikatakan relatif cepat, maka rumah tersebut kira-kira tidak salah kalau disebut rumah “instan”. Pada awal tahun 2001, akhirnya kami sekeluarga sudah dapat pindah ke rumah di Jatibening Satu dengan didahului acara tumpengan sederhana yang diprakarsai oleh mbak Mur.
34
Dengan tiada terasa, di pertengahan tahun 2010 usia saya telah mencapai 81 tahun lebih 11 bulan dan termasuk “eldery people”/lansia. Memang menjadi tua merupakan proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Manusia hanya dapat memperlambat efek dari proses menua tersebut serta menjaga agar masa lanjut usia tetap dalam kondisi prima. Lanjut usia merupakan tahap akhir siklus kehidupan. Dalam “gerontology” yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari lanjut usia, lanjut usia dibagi dalam 2 golongan yaitu :
Pertama
: Young old (usia 64-74 tahun)
Kedua
: Old old (usia diatas 75 tahun)
Sedang dari segi kesehatan dibagi pula dalam 2 kelompok :
Well old, mereka yang tidak sakit-sakitan
Sick old, mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris.
Saya sendiri sekarang termasuk golongan old old dan alhamdulillah, meskipun tidak termasuk kelompok sick old, tetapi tidak pula termasuk kelompok well old murni. Hal ini adalah dampak dari pertumbuhan saya waktu remaja yang kurang pas, karena ada pendudukan Jepang dan permulaan masa kemerdekaan yang masih sering diselengi clash dengan tentara Belanda. Meskipun ada kendala dengan kaki kanan saya akibat jatuh beberapa tahun yang lalu, kebiasaan olah raga berjalan kaki masih diteruskan di komplek Jatibening Satu yang kita tempati sekarang. Route jalan yang kami lalui adalah jalanjalan di komplek dan sekitarnya yang kondisi jalannya tidak selalu mulus, sehingga memaksa saya membawa tongkat. Namun dikala tongkat terlupa dibawa, saya berpegangan pundak istri saya. Keadaan ini yang menimbulkan kesan orang bagaimana “mesra” nya kami berdua. Mereka tidak tahu, dibalik kemesraan ini sebetulnya hanya karena saya lupa membawa tongkat! Saking seringnya kami menjalani route yang sama, banyak warga yang hafal wajah-wajah kami, walaupun belum tentu kenal nama, disertai rasa kagum terhadap kelansiaan dan kekompakkan kami yang masih aktif melakukan olah raga.
35
Agar dapat bersosialisasi sekaligus bersilaturahmi dengan komunitas lansia lainnya, maka kami berdua menggabungkan diri dengan kelompok senam lansia Serodja yang masih berlokasi di komplek itu juga. Dalam kelompok ini kita berolah raga senam lansia dua kali seminggu. Selain senam ini untuk menjaga kebugaran jasmani, tetapi sebetulnya disitu juga dibina rasa kebersamaan dan keakraban antara sesama. Agustus 2005 kami berdua ikut serta dalam kelompok latihan “Vitalisasi otak”(senam untuk kebugaran fisik dan otak) yang merupakan program RS Duren Sawit.
Dalam kata pengantar buku Latihan Vitalisasi Otak karangan Prof. Dr. Soemarmo Markam ApS(K) dkk, menyebutkan antara lain bahwa senam otak adalah senam yang pada dasarnya untuk mempertahankan kesehatan otak dikombinasikan dengan gerakan badan. Sifat gerakannya lambat, disesuaikan dengan irama pernapasan sehingga tidak meningkatkan frekwensi denyut jantung dan tekanan darah, karena dilakukan oleh para lansia. Kelompok latihan”vitalisasi otak” dipimpin dan dibina oleh Dr. Agus Solichin, SpS MARS dokter RS Duren Sawit. Latihan senam dilaksanakan seminggu sekali. Setelah senam peserta istirahat sebentar sambil makan bubur kacang hijau, kemudian dilanjutkan dengan ceramah/kuliah oleh dokter Agus Solichin. Dalam ceramahnya antara lain, telah dibahas soal otak (memelihara dan menstimulasi), pernafasan dan otak, penyakit-penyakit atau gangguan yang umumnya diderita lansia, seperti nyeri lutut, sakit pinggang, sakit kepala, stroke dan lain
sebagainya. Juga dibahas soal tidur (insomnia, parasomnia,
katafleksi dan narkolepsi), mimpi dan ngorok. Untuk keperluan evaluasi kemampuan daya tangkap peserta pada waktu tertentu diadakan tes, dari materi yang sudah dibahas. Sayangnya latihan vitalisasi otak ini sudah beberapa waktu terhenti. Barangkali karena kesibukan Dokter Agus Solichin sebagai dokter ahli saraf di RS Duren Sawit. Saya pribadi merasakan bahwa latihan tersebut banyak sekali manfaatnya guna kebugaran fisik dan otak untuk menjangkau hidup sehat serta ceria di usia lanjut.
36
DAFTAR BACAAN 1.
Adams, Chindy. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta 1966
2.
Ensiklopedi Indonesia. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta 1980
3.
Buku Kenangan 50 Tahun SMA Negeri 1 Kediri (9 September 1946-9September 1996), 14 September 1996.
4.
Reuni Akbar SMA Negeri 1 Kediri (9 September 1946-9September 2001). 9 September 2001
5.
Hendroyogi. Kediri 50 an Tahun yang lalu : Suatu Kenangan nan Indah di Waktu Remaja. Jakarta 9 Agustus 2003 (Terbatas tidak diterbitkan)
6.
Henuhili, Supiyani dr SPKJ. Sehat di Usia Lanjut. Dibacakan pada Seminar Sehari & Dialog Interaktif “Ceria Menghadapi Hari Tua”, RS Duren Sawit 24 September 2005
7.
Markam, Soemarmo Prof.dr. SP.S (K) dkk. Latihan Vitalisasi Otak. Jakarta : PT Grasindo, 2005
37
LAMPIRAN I Bagan Susunan Keluarga Bpk. Soeparman Soemowidigdo
38
LAMPIRAN 2
Bagan susunan keluarga Narmodo
39
LAMPIRAN 3 Inilah Saya
SAAT LULUS SEKOLAH SMA NEGERI KEDIRI TAHUN 1950
MASA BEKERJA DAN PENGABDIAN
MASA PURNA BAKTI DAN LANSIA
40
LAMPIRAN 4 Orang Tua Tercinta
41
LAMPIRAN 5 Keluarga Besar Narmodo
42
LAMPIRAN 6 Home Sweet Home
43
LAMPIRAN 7
Home Sweet Home
44