PEMBERIAN RELAKSASI MELALUI MENDONGENG UNTUK MENURUNKAN STRES DAN GANGGUAN TIDUR PADA ANAK-ANAK PANTI ASUHAN Rif'atul Khoiriyah
ABSTRAK Anak-anak dalam perawatan institusi sering mengalami stres yang disebabkan oleh kerentanan psikologis yang dialaminya. Terlalu banyak stres dapat menyebabkan kelelahan fisik dan emosional. Stres dan gangguan tidur pada anak-anak dapat mempengaruhi konsentrasi, daya tahan fisik dan gangguan emosi juga perilaku. Relaksasi adalah salah satu metode yang sering digunakan untuk mengurangi tingkat stres dan gangguan kualitas tidur. Penelitian ini meneliti efek dari cerita dongeng sebagai metode dalam relaksasi untuk mengatasi gangguan stres dan tidur. Respon Stres diukur melalui posisi tekanan darah, denyut jantung dan suhu tubuh diukur terus menerus selama 5 menit pada periode base line dan 5 menit setelah cerita dibacakan. Selain itu terdapat pengukuran, stres dan kecemasan dengan skala DASS 21 sebagai posttest pretes dan juga observasi catatan gangguan tidur dalam diari tidur. Hasilnya adalah dampak pemberian cerita dongeng secara signifikan berpengaruh terhadap denyut jantung tetapi tidak dalam tekanan darah dan suhu tubuh. Cerita dongeng juga memiliki pengaruh pada hasil skala stres anak-anak dimana terjadi penurunan secara signifikan. Respon positif juga dilaporkan dalam buku harian tidur selama sesi relaksasi mendongeng. Kata Kunci: stres, gangguan tidur, dongeng
Realitas
menunjukkan
tidak
semua
anak
dapat
tinggal
dengan
orangtuanya. Setiap tahunnya 900.000 anak dilaporkan mengalami maltreatment dalam pengasuhannya. Dua setengah juta anak diketahui hidup terpisah dari orangtua. Kematian atau perceraian orangtua yang mengakibatkan penelantaran, trauma fisik dan psikologis akibat kekerasan dalam keluarga adalah latar belakang anak harus tinggal di sebuah lembaga yang dinamakan panti asuhan. Lembaga panti asuhan bertugas memberikan pelayanan sebagai pengganti fungsi keluarga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental dan sosial serta
memberikan
bekal
dasar
yang
dibutuhkan
anak
asuh
untuk
perkembangannya. Tujuan pengasuhan di keluarga dan di panti asuhan sesungguhnya adalah sama, namun bentuk pengasuhannya dapat berbeda (Departemen Sosial, 2007).
1
Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan peneliti, usia anak asuh di PSAA Tunas Bangsa adalah antara 8 – 18 tahun yang terbagi dalam tingkat pendidikan SD, SLTP dan SMK. Apabila ada 95 anak asuh di panti dengan 8 cottage atau wisma yang masing masing memiliki satu pengasuh dan 1 pekerja sosial maka petugas berkewajiban mendampingi 1 wisma yang dihuni 10 - 15 anak. Kondisi ini menyebabkan anak asuh kurang mendapatkan perhatian. Penentu keberhasilan dalam pembinaan dan pengasuhan lembaga adalah mutu pengasuhan oleh para pengasuh (Hasbullah, 1995; Hurlock, 1995 ; Merz, 2007). Dalam hal jumlah anak Webb (2009) menyatakan bahwa sebagaimana layaknya pengasuhan keluarga, jumlah anak yang diasuh seorang pengasuh idealnya adalah 1 – 5 anak. Hasil pengukuran persepsi anak terhadap pengasuh yang dilakukan menunjukkan 8 dari 10 anak mengatakan pengasuh kurang dapat menjadi kawan bicara yang baik, 6 dari 10 anak menyatakan pengasuh kurang tersenyum pada mereka, dan 6 dari 10 anak menganggap pengasuh kurang menyukai keberadaan dirinya. Merz (2007) menyebutkan bahwa ketidakpuasan akan kondisi di lembaga, beban tugas di sekolah, dan permasalahan yang kurang mendapat perhatian serta pendampingan sangat memungkinkan anak mengalami stres. Ditambah lagi anak asuh telah membawa akar permasalahan yang dapat berkembang menjadi sumber stres, misalnya trauma perceraian, abused fisik, psikologis atau seksual, penolakan orangtua kandung dan sebagainya (Fisher, 2006). Jadi baik anak asuh baru maupun lama beresiko mengalami stres. Survei terhadap kondisi psikososial anak yang juga penulis lakukan pada anak asuh PSAA Tunas Bangsa Pati di bulan Desember 2013 pada 95 orang anak dengan menggunakan Child Behavior Check List yang dikembangkan untuk melihat aspek kognitif, emosi , sosial dan perilaku. Dari daftar pemeriksaan yang telah diadopsi dan diadaptasi oleh Webb (2009) menunjukkan, sejumlah 76 anak atau sekitar 80% klien Panti Asuhan Tunas Bangsa memerlukan pendampingan khusus oleh pekerja sosial dan psikolog. Lima puluh anak atau sekitar 65% subyek diketahui memiliki hambatan emosi. Sejumlah 7 atau 10%
anak
mengalami hambatan kognitif dan sebanyak 19 anak atau sekitar 25% mengalami
2
hambatan sosial dan gangguan perilaku. Keluhan yang sering dialami oleh pengasuh maupun pekerja sosial adalah anak asuh mudah mengalami emosional distres maupun emosional numbing seperti menarik diri, moody dan kehilangan minat pada semua kegiatan. Pada kasus lebih lanjut akan mengalami perubahan perilaku seperti melakukan bulliying verbal maupun fisik, membolos, mencuri dan usaha melanggar aturan panti. Satu hal yang mengherankan, gangguan emosi ini juga dialami oleh anak yang relatit tidak pernah melanggar tata tertib panti atau biasa disebut dengan anak- anak manis. Bahkan, anak- anak manis tersebut menyampaikan keluhan fisik yang dapat dikenali sebagai gejala stres misalnya sering berdebar, menangis tanpa alasan yang jelas, diagnosa kolik pada beberapa anak perempuan sehingga harus dirawat di rumah sakit. Stres yang terjadi pada masa kanak- kanak menurut Sapolsky (2004), memiliki dua risiko besar yaitu risiko psikologis berupa gangguan perilaku dan risiko fisik seperti kejang usus, diabetes, jantung dan gangguan fisik lainnya di masa dewasa. Reaksi trauma pada anak dapat hilang seiring waktu. Namun sebenarnya saat dukungan mulai berkurang, rutinitas mulai berjalan dan individu memiliki banyak waktu untuk melamun disitulah gejala reaksi emosional mulai muncul (Merz, 2007). Jika orang dewasa dibutuhkan waktu beberapa minggu dan banyak dukungan sosial untuk mengatasi kekecewaannya, maka untuk beberapa anak, kekecewaan dapat berlalu dalam hitungan jam (Donaldson. Prinstein & Danovsky, 2000). Penelitian Fallin, Wallinga dan Coleman (2001) menjelaskan anak yang tinggal dalam lembaga memiliki kesulitan mengatasi stres. Gejala stres pada anak panti banyak tidak tertangani karena terbatasnya dukungan sosial dan minimnya pengasuhan. Masalah perilaku anak asuh awalnya tampak kecil, namun dalam kurun waktu tertentu efek kumulatif yang muncul dapat berdampak pada perkembangan dan kemampuan emosional, akademis dan sosial anak. Perilaku stres pada anak ini dijelaskan secara lebih rinci oleh Jewett dan Peterson (2002) dalam lampiran. Stres menurut Selye (dalam Richardson, 2008) adalah suatu keadaan atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa terancam atau
3
terganggu. Pada penderita gejala stres, keluhan yang biasa muncul didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik) dan juga disertai keluhan-keluhan psikis. Ilmuwan Hans Selye memperkenalkan model General Adaptasi Syndrome (GAS) pada tahun 1936 untuk menunjukkan efek stres yang terjadi pada tubuh. Ketika tingkat stres rendah, tubuh berada dalam keadaan homeostasis dimana sistem tubuh beroperasi dengan lancar untuk menjaga keseimbangan. Stresor memicu adanya respon fisiologis, dan saat itu tubuh juga berusaha untuk kembali ke keadaaan homeostasis dengan cara respon adaptif. Respon adaptif tersebut yang disebut GAS (Rice, 2012). GAS memiliki tiga fase: alarm, resistensi, dan kelelahan (Szabo, 2002; Richardson, 2008). 1) Fase alarm dari GAS juga dikenal sebagai fight-or flight respon merupakan reaksi fisiologis paling dasar berupa bawaan hidup atau insting manusia. Ketika pikiran mendeteksi stresor, korteks serebral memicu saraf otonom atau Autonomic Nervose System (ANS) berupa respon yang mempersiapkan tubuh untuk bertindak melepaskan hormon yang kuat, adrenokortikotropik hormon (ACTH)
yang
dipicu
oleh
hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA)
(Fisher,2006). Hans Selye berpendapat dalam Flokman (2010) bahwa dalam kondisi stres, hipotalamus memicu sistem syaraf simpatetis bekerja. Respon yang terjadi adalah pembesaran pupil, produksi saliva terhambat, jantung berdetak lebih keras, paru-paru memompa lebih keras, fungsi digestif dari pencernaan dan adrenalin meningkat. Individu akan mengalami dada berdebardebar, keringat keluar lebih banyak dan pendangan mata menjadi lebih waspada. Individu akan segera beradaptasi dengan kondisi tersebut dengan mulai mengaktifkan coping stres seperti menangis, melamun, tidur dan sebagainya. Apabila coping stres berhasil maka kerja syaraf simpatetis menurun, digantikan oleh sistem syaraf parasimpatetis yang menjadikan tubuh lebih rileks (Rice, 2012). 2) Tahap resistance atau melawan. Tahap resistance merupakan tahap adaptasi dimana sistem endokrin dan sistem simpatis tetap mengeluarkan hormonhormon stres tetapi tidak setinggi pada saat reaksi waspada/ alarm. Saat fase alarm, tubuh mencoba untuk kembali ke homeostasis. Namun, karena beberapa
4
solusi stres belum berhasil stresor yang dirasakan masih ada, tubuh tidak mencapai lengkap tahap tenang. Organ dan sistem perlawanan bekerja lembur untuk membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan (Rizzo, 2006). Individu terlihat dalam kondisi tenang, tapi tubuh tidak kembali sepenuhnya untuk beristirahat. Bila keadaan ini selalu berulang, maka individu mulai masuk ke tahap selanjutnya yaitu tahap kelelahan (Szabo, 2012). 3) Fase exhaustion atau kelelahan adalah kondisi tahap waspada berkepanjangan menyebabkan beban allostatic, atau tubuh memakai seluruh sistem pertahanan. Pada fase kelelahan, energi fisik dan emosional yang digunakan untuk melawan stresor telah habis. Pada fase ini energi resistensi mulai menurun, kerusakan fisiologis mulai muncul dan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit, demikian pula organ tubuh mulai cedera. Selye mengembangkan teori bahwa stres merupakan penyebab utama penyakit karena stres kronis menyebabkan perubahan kimia jangka panjang pada tubuh (Szabo 2012). Penelitian Centre for Studies on Human Stres (2007) memaparkan bahwa stres dapat diukur melalui 2 pendekatan yaitu; (1) pendekatan psikologis, berkonsentrasi mengukur konsep-konsep abstrak seperti bahasa, kognisi, kepribadian dan emosi dengan menggunakan kuesioner. Pengukuran ini membutuhkan tahapan dan durasi waktu mengingat perubahannya yang tidak bisa spontan. (2) Pengukuran fisiologis. Penelitian efek fisiologi stres akhir akhir ini adalah menilai produk akhir aktivasi HPA dalam hormone kortisol dan katekolamin yang dapat terukur dalam darah, urin dan air liur. Namun pengukuran dengan pengambilan sampel urin, air liur atau darah dinilai sangat riskan (Sowden & Barrett, 2006). Akhirnya beberapa penelitian sekarang menggunakan kortisol dan proksi ukuran aktivasi organ yang terpicu syaraf simpatis dengan mengukur: 1) Tekanan darah, adalah ukuran gaya yang dihasilkan oleh darah pada dinding pembuluh darah. Ketika tekanan darah (parameter simpatik) diukur, dua nomor muncul, misalnya 120/80mmHg. Nomor pertama 120, merupakan tekanan sistolik, yang terjadi ketika jantung mendorong darah keluar dari pembuluh darah. Angka kedua 80, mewakili tekanan diastolik, adalah tekanan jantung saat istirahat. Tekanan darah dapat diukur dengan alat tensimeter atau dengan
5
sfigmomanometer dan stetoskop. Tekanan darah selain dipengaruhi oleh hormon adrenalin, juga dipengaruhi jenis kelamin, aktifitas tubuh, posisi tubuh dan temperatur lingkungan pun dapat mempengaruhi tekanan darah (Sowden, 2006). 2) Suhu tubuh. Rangsangan saraf simpatis dapat mencegah lemak coklat yang tertimbun dalam jaringan untuk dimetabolisme. Hampir seluruh metabolisme lemak coklat adalah produksi panas. Umumnya, rangsangan saraf simpatis ini dipengaruhi stres. Pemeriksaan suhu tubuh akan memberikan hasil suhu inti yang secara ketat dikontrol karena dapat dipengaruhi oleh reaksi kimiawi. Pemeriksaan suhu tubuh biasa dilakukan di aksila/ketiak dan dilakukan selama 5-10 menit. 3) Pemeriksaan frekuensi nadi. Denyut jantung sangat dipengaruhi oleh saraf otonom yang bekerja di bawah sadar. Pemeriksaan denyut nadi merupakan pemeriksaan pada pembuluh nadi atau arteri, dengan cara menghitung kecepatan atau loncatan aliran darah yang dapat teraba pada berbagai titik tubuh melalui perabaan. Pemeriksaan nadi dihitung selama satu menit penuh, meliputi frekuensi, keteraturan dan isi. Selain melalui perabaan dapat juga diperiksa melalui stetoskop. Adapun standart normal tanda- tanda vital tubuh menurut usia dapat dilihat pada table 1. Tabel 1. Ukuran Tanda Vital Tubuh menurut Usia Usia
Berat badan (Kg)
Detak Jantung
Nafas
Sistol
prematur 1 145/min ~ 40 42 + 10 prematur 1-2 135 ~ 40 50 + 10 Baru lahir 2-3 125 ~ 40 60 + 10 1 bulan 4 120 24 - 35 80 + 16 6 bulan 7 130 24 - 35 89 + 29 1 tahun 10 120 20 - 30 96 + 30 2-3 tahun 12-14 115 20 - 30 99 + 25 4-5 tahun 16-18 100 20 - 30 99 + 20 6-8 tahun 20-26 100 12 - 25 100 + 15 10 -12 tahun 32 -42 75 12 - 25 110 + 15 14 tahun >50 70 12 - 18 118 + 20 Sumber diadaptasi dari Robert M. Kliegman, et al (2007) halaman 389.
Diastol
21 + 8 28 + 8 37 + 8 46 + 8 60 + 10 66 + 25 64 + 25 65 + 20 60 + 10 60 + 10 60 + 10
6
Menurut Selye (dalam Flokman, 2010) saat individu mengalami fase kelelahan, beberapa keluhan kesehatan fisik mulai dialami dan memunculkan keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, seperti: 1) gangguan lambung dan usus: misalnya keluhan “maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare); 2) ketegangan otot-otot semakin terasa; 3) perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat; 4) gangguan pola tidur (insomnia), yang terbagi dalam (early insomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia) (Maramis, 2004). Gangguan tidur adalah merupakan sekumpulan kondisi yang hasil akhirnya ketidakmampuan untuk mendapat jumlah (yang cukup) atau kualitas (yang baik) dari tidur (American Psychological Association, 2009). DSM IV TR menyebutkan onzet gangguan tidur dan insomnia harus dialami secara terus menerus selama minimal 1 bulan. Schatzberg dan Nemeroff ( 2005) dalam penelitiannya memberikan dimensi dari gangguan tidur sebagai berikut : a) kesulitan untuk masuk tidur b) gangguan dari kontinuitas tidur c) bangun lebih dini d) tidur delta (terdalam) yang kurang e) kualitas tidur yang terganggu. Menurut Carlson (2002) gangguan tidur biasa terjadi sebagai reaksi keadaan yang penuh tekanan atau stres seperti yang diuraikan oleh (Lichstein, Kenneth & Charles, 2000). Data penelitian APA menyebutkan 10 – 30 % anak balita dan kanakkanak saat ini mulai mengalami gejala insomnia (APA, 2010). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mitchell, Burns dan Dorstyn (2006) yang menyebutkan sekitar 15 - 30% pasien insomnia yang terlapor di rumah sakit adalah kanakkanak. Penelitian Katsanis dan Smith (2014) menemukan bahwa orang dengan insomnia biasa dipengaruhi oleh stres yang berpengaruh secara fisiologis ditunjukkan oleh peningkatan metabolisme tubuh seperti kenaikan suhu tubuh dan detak jantung, dan sistem aktivasi saraf pusat. Mitchell, dkk berpendapat gangguan tidur pada masa kanak- kanak belum dapat dikategorikan sebagai gangguan klinis namun dapat mengakibatkan hilangnya energi di pagi hari, konsentrasi yang menurun dan fisik yang lemah. Katsanis dan Smith (2014)
7
menyebutkan juga bahwa dampak gangguan tidur antara lain adalah energi menurun, konsentrasi dan memori yang buruk, kelelahan, gangguan mood, kelambatan psikomotor dan berkurangnya kualitas hidup secara keseluruhan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada pekerja sosial dan tenaga medis PSAA Tunas Bangsa dengan subyek 10 anak asuh selama 2 bulan didapatkan 3 (30 %) anak sering menguap, 1 (10 %) konjungtiva merah, 6 (60 %) anak tertidur di ruang belajar, 4 (40 %) anak malas berbicara dan kurang konsentrasi, 2 (2 %) mengalami enuresis setiap malam. Tiga anak diantaranya dikeluhkan mengalami penurunan prestasi belajar oleh guru dan pekerja sosial. Relaksasi
merupakan
strategi
yang
berfokus
pada
emosi
yang
dihipotesiskan untuk mengurangi baik reaksi emosional dan somatik pada stres Lazarus dan Folkman (1984). Anak sering dihadapkan dengan masalah yang tidak atau tidak sepenuhnya dikontrol oleh mereka. Lohaos & Hebling (2001) membandingkan program manajemen stres baik pada relaksasi atau pada latihan coping stres. Riset tersebut menunjukkan hasil yang sama efektifnya. Namun untuk relaksasi efek perubahan terlihat spontan dan efektif pada berbagai situasi yang kurang dapat dikontrol oleh pribadi anak. Sedang pada pelatihan strategi pemecahan masalah hanya berhasil pada beberapa kasus anak saja. Beberapa penelitian tentang relaksasi pada anak terbukti dapat menurunkan tingkat kecemasan, meningkatkan mood positif, meningkatkan coping stres, menstimulasi self konsep, meningkatkan kreatifitas dan dapat mempercepat kesembuhan pasien (Huth dkk, 2009; Justo, 2008; Lohaos & Hebling, 2000, 2001). Dongeng diasumsikan memiliki kemampuan untuk menurunkan ketegangan yang diakibatkan oleh stres. Dongeng diartikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dahulu (KBBI, 2007 ; 274). Dongeng terbukti mampu memberikan efek perubahan perilaku anak. Selama beberapa dekade terakhir, salah satu pendukung paling bersemangat dari penggunaan cerita dalam pendidikan adalah Kieran Egan. Dia tertarik untuk meneliti cara anak menggunakan imajinasi dalam proses pembelajaran. Cerita imajinasi membantu anak- anak untuk mengingat lebih baik dan membuat informasi pengetahuan lebih
8
menarik (Egan 1997, 2005). Sementara menurut Minner, Levy dan Century dalam Foley dan McPhee (2008) imaginasi dalam cerita dongeng
juga
berpengaruh dalam perbaikan sikap dan motivasi. Lohause telah melakukan penelitian mengenai efek beberapa model relaksasi terhadap stres secara fisiologis dan psikologis. Lohause dalam penelitian yang dilakukan dari 1998 hingga 2001, menambahkan metode cerita netral sebagai pembanding dari metode relaksasi proggresif, guided imagery dan tehnik nafas dalam. Lohause (2001) dalam penelitian ekperimennya pada kelompok kontrol dan intervensi, telah menemukan hasil yang sama signifikan pada pemberian relaksasi guided imagery dan pemberian cerita atau dongeng netral. Kedua metode ini ternyata mampu menurunkan denyut jantung, tekanan darah dan suhu kulit pada pasien anak pasca operasi. Penelitian Lohause menarik bagi penulis, karena jika dongeng dapat menurunkan simtom stres atau menjadi sebuah media relaksasi, maka metode ini dapat dikembangkan sebagai sebuah cara penanganan permasalahan anak oleh pengasuh di panti. Pengaruh dongeng secara fisiologis oleh Potter (1975) dalam bukunya menjelaskan, dongeng yang diceritakan dengan menarik dapat mempengaruhi wilayah emosional otak daripada rasional sehingga pesan data jadi mudah diingat ketika ada keterlibatan emosional. Proses otak menangkap informasi diuraikan pada gambar 1. Perry (2005) menjelaskan secara neuroscience di balik dongeng. Ketika otak menerima informasi, ada dua bagian utama otak kita yang menyala yaitu area broca yang bertanggung jawab untuk produksi kata dan tulisan, sedangkan area wernicke bertanggung jawab untuk memahami tulisan dan bahasa lisan. Ketika kita membaca sebuah pesan dari buku teori atau mendengarkan pidato, atau melihat paparan slide, maka bagian otak yang bekerja hanya pada 2 area tersebut. Kelemahannya adalah review dari memori terjadi sangat singkat karena proses yang terjadi di otak sangat minim.
9
Area Broca: memproses dan mengeluarkan bahasa dan tulisan
Area Wericke: memahami bahasa dan tulisan
Kortek Motor/ gerak
Image visual
Emosi
Korteks
penciu man
Ingatan pengalaman
reaksi Amigdala (emosi)
Keterangan: Perbandingan kerja otak saat mendengar informasi berupa data dan ketika mendengar cerita. Gambar sebelah kiri adalah proses otak ketika mendengar informasi data. Gambar sebelah kanan adalah proses otak ketika mendengar/ membaca cerita.
Sumber : Disarikan dari Potter (1975)
Gambar 1.
Kondisi Otak saat menerima Informasi data dan Cerita
McDrury dan Alterio (2003) serta Peery (2005) dalam penelitian mereka mengungkap seseorang yang mendengar dongeng atau membaca cerita fiksi, maka respon di otak adalah: bagian korteks sensorik terpicu dengan bahasa imaginer terkait dengan tekstur dan sensasi, seperti dalam kalimat
“kulitnya
nampak kasar bersisik”, maka individu seakan dapat merasakan kekasaran kulit berdasarkan persepsi yang dimiliki. Hal ini juga terjadi pada bagian korteks yang lain. Korteks motorik, terpicu pada informasi gerakan fisik seperti “melompat”. Korteks penciuman untuk bau atau kenangan bau merespon
kalimat “ibu
membawa sup ayam ke meja makan”, individu langsung paham bagaimana aroma yang ditimbulkan oleh sup tersebut. Korteks visual untuk warna dan bentuk akan menggambarkan kata (mangkuk, wortel, brokoli, kuah yang panas). Korteks pendengaran terpicu dengan kata – kata, “terdengar suaranya berdecit’’ atau “suara angin menembus celah – celah pintu”. Secara psikologis, dongeng dapat meningkatkan kemampuan individu untuk memahami perilaku orang lain melalui neuron cermin di otak (Iacoboni & Dapretto et al , 2005). Neuron cermin ini meningkatkan empati yang membentuk
10
perilaku modeling. Perilaku modeling telah banyak dikemukakan oleh para ahli meskipun scan otak belum dilakukan untuk menentukan lokasi yang tepat dimana respon empati itu terjadi (Langford & Crager,et al, 2006). Satu lagi kekuatan otak yang bekerja saat mendapatkan informasi adalah amygdala. Amygdala akan memindai informasi dari dongeng sebagai sebuah hiburan sehingga mengaktifkan emosi positif. Namun sebaliknya jika amygdala mengidentifikasi rangsangan sebagai ancaman serius, mereka akan mengaktifkan respon emosional yang kuat bagi kita untuk bertindak waspada. Respon emosional ini terkait dengan fase alarm atau fight or flight (Goleman, 2014). Riset Daniel Goleman menyebutkan, ketika stres, otak memerintahkan system syaraf dan hormon berkonsentrasi mengembalikan tubuh menjadi stabil, namun keadaan otak sendiri menjadi lemah dalam merespon informasi. Goleman (2014) menamakan keadaan tersebut sebagai amigdala hijack. Hal ini terjadi jika dalam informasi terkandung kata bersifat opresif, ancaman, dan penilaian tentang baik buruk. Individu dalam respon alarm, tidak akan mampu mencerna informasi untuk mencapai pemahaman atau pengambilan pemaknaan karena otak terkonsentrasi untuk menstabilkan tubuh. Maddocks (2013) menyatakan cerita atau dongeng lebih efektif daripada ceramah motivasi. Pada sesi ceramah motivasi tentang penilaian kinerja individu dalam meningkatkan kinerja dan income perusahaan, banyak karyawan hanya mencapai level fight or flight dan setelah diukur kinerja karyawan tidak berubah. Sedang pada metode cerita sharing pengalaman bagaimana membangun sebuah perusahaan, karyawan mendapat pemaknaan dan pengalaman tersendiri. Tercatat kinerja karyawan semakin meningkat sehingga menaikan omzet perusahaan. Dongeng menghidupkan imaginasi yang membuat amygdala mengaktifkan hyphotalamus untuk mengontrol emosi menjadi lebih rilek dengan melepaskan hormon oxytosin sehingga menurunkan kadar adrenalin dan kortisol yang berarti turunnya detak jantung, tekanan darah dan tegangan otot (Richardson, 2008; Rizzo, et al. 2006; Szabo, 2002). Selye (dalam Rice, 2012) seseorang harus mengembangkan kemampuan tubuh merespon stres melalui pengalihan atau relaksasi, yang keberhasilannya ditandai dengan penurunan tanda vital tubuh
11
menuju homeostatis atau rileks. Hasil-hasil studi terapi musik dan cerita naratif menemukan bahwa anak- anak yang mengalami nyeri sakit tidak membutuhkan farmakoterapi untuk menurunkan rasa nyerinya. Rangsangan musik dan cerita naratif meningkatkan pelepasan endofrin dan ini menurunkan kebutuhan akan obat- obatan. Pelepasan tersebut memberikan pula suatu pengalihan perhatian dari rasa sakit dan dapat mengurangi kecemasan (McGregor, 2001). Stresor dari latar belakang keluarga dan lingkungan sehari-hari di panti maupun sekolah dapat menimbulkan ketegangan. Ketegangan dapat dikenali melalui reaksi fisiologis seperti jantung berdebar dan otot menegang. Anak biasanya akan berusaha menghilangkan ketegangan tersebut, dengan melakukan coping. Bila coping berhasil maka individu akan kembali ke keadaan normal. Namun jika anak tidak mampu menghadapi stres dikarenakan sesuatu yang diluar dari kemampuannya seperti stres bawaan dari keluarga, maka coping tidak berhasil maka tubuh akan mengalami kelelahan dan mengakibatkan munculnya keluhan keluhan fisik. Relaksasi diberikan untuk menghentikan ketegangan dalam tubuh agar tidak berkelanjutan. Relaksasi digunakan untuk memutuskan rantai ketegangan karena dapat membuat otak rileks. Otak yang rileks akan memerintahkan kerja syaraf simpatetis digantikan oleh syaraf parasimpatetis sehingga seluruh organ tubuh kembali ke keadaan rileks. Dengan demikian ketegangan dapat dicegah agar tidak berada ditahap kelelahan terlalu lama.
Relaksasi dongeng diasumsikan
dapat menjadi alternatif pilihan metode relaksasi bagi anak dengan stres dan gangguan tidur. Hal ini dijelaskan dalam alur stres di gambar 2.
12
Tahap Alarm: Jantung berdebar, Otot menegang
Stres Stresor Anak Panti Keluarga Asal (Perceraian, ekonomi, kelaparan penelantaran) Lembaga (Adaptasi, Pengasuhan) Lingkungan (teman, Sekolah, dll)
Tahap Resistance: Adaptasi menolak tegangan dan memulihkan tubuh kembali normal
TANPA COPING STRES Pikiran negative Perilaku menyimpang Diet salah Mengurung diri
Coping Stres Menangis, Self Talk, Berpikir positif
Relaxasi Mendongeng Memutus rantai proses agar ketegangan tidak terus berada pada tahap kelelahan. Tubuh kembali rileks
Tahap Exhaustion Tubuh kelelahan karena terus menerus mengalami perubahan kimia tubuh dalam waktu lama. Akibat: gangguan tidur, tukak lambung, hipertensi, diabetes, gagal jantung, cancer, dll
Keterangan: Alur individu mengalami stres dan gangguan tidur dan peran relaksasi agar individu dapat kembali normal
Gambar 2. Alur terjadinya stres
Killick dan Boffey (2012) berpendapat bahwa tidak ada dongeng baik atau buruk. Meskipun tidak dalam konteks happy ending, jika pendongeng mampu menyampaikan cerita dengan penekanan pada pemaknaan yang baik, maka
13
dongeng akan lahir menjadi sebuah inspirasi yang baik juga. Ellis dan Brewster (2014) Dongeng membantu kita menghidupkan perasaan, sukacita, ketakutan, kesedihan, kemarahan, dan sebagainya. Burns (2007) sebagai sebuah terapi
bagi
anak
dan
dewasa
menjadikan dongeng untuk mengidentifikasi
permasalahan dan emosi serta memfasilitasi klien mentransformasi kondisi yang dihadapi dan secara tidak langsung mengalihkan pikiran klien dari persoalan yang sedang dialami. Komunikasi dalam terapi ini dapat terjadi jika pendongeng dapat menyampaikan emosi dari dongeng. Kekuatan cerita bukan hanya berasal dari pemaknaan cerita, namun juga dari bentuk ambiguitasnya (DeRoiser & Mercer ,2007; Polletta, 2008). Oleh karena itu, dalam dongeng yang paling penting adalah seorang pendongeng yang baik. Dalam terapi mendongeng, seorang terapis yang handal adalah seorang pendongeng yang baik (Slivinske & Slivinske,2011). Anak- anak dan remaja sering enggan mendiskusikan problem yang dialaminya. Mereka lebih menyukai menuangkannya dalam buku harian, gambar atau puisi. Slivinske & Slivinske (2013) menyatakan bahwa dengan melibatkan seni narasi melalui mendongeng dalam sebuah bentuk terapi, akan membuat klien lebih mudah dalam mengungkapkan permasalahannya. Klien maupun terapis dapat mengambil tokoh lain untuk mengantarkan cerita tanpa merasa dihakimi Slivinske & Slivinske (2011). Melalui dongeng, terapis maupun klien akan berkomunikasi
dengan
mengomentari
tokoh
cerita
sehingga
akhirnya
memunculkan sikap dan pilihan yang mencerminkan inner psychic yang dapat memproyeksikan akar permasalahan. Sesi tatap muka yang biasanya dihindari menjadi sesi yang tidak sadar hadir secara utuh dan nyaman. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti bermaksud mengembangkan dan menguji relaksasi dengan dongeng untuk menurunkan gejala stres dan gangguan tidur terhadap anak panti asuhan. Penelitian lebih memiliki manfaat dan hasil jika didukung oleh pendongeng atau penyampai cerita yang baik. Oleh karena itu penelitian ini didahului dengan pemberian pelatihan mendongeng bagi pengasuh dan pekerja sosial. Dalam jangka panjang, penelitian ini ditujukan sebagai sumbangan model teknik relaksasi yang dapat diterapkan oleh pengasuh dan
14
pekerja sosial
dalam
meringankan stres dan gangguan tidur anak asuhnya.
Penelitian ini menjadi penting mengingat minimnya literatur penelitian dengan tujuan serupa yang mengambil tempat di Indonesia. Sejalan dengan itu, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Hipotesis 1: Teknik relaksasi melalui dongeng berpengaruh menurunkan detak jantung, tekanan darah dan suhu tubuh. Hipotesis 2: Teknik relaksasi melalui dongeng berpengaruh menurunkan stres. Hipotesis 3: Teknik relaksasi melalui dongeng dapat mengurangi gangguan tidur. Adapun proses penelitian tercantum pada gambar 3.
Gambar 3. Proses penelitian
15