Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA ISSN: 0853-1536, Tanggal 25 Mei 1995 Terbit 2 x setahun [Bulan Juli dan Desember]
Diterbitkan oleh : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar Pembina:
Drs. Hari Untoro Dradjat, M.A. [Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala]
Pelindung:
Drs. Soeroso, M. Hum. [Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman]
Penanggungjawab :
Drs. Marsis Sutopo, M.Si. [Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar]
Pimpinan Redaksi :
Drs. Budi Istiawan [Kasi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Batusangkar]
Anggota Redaksi :
Drs. Teguh Hidayat Nedik Tri Nurcahyo, S.S. Agoes Tri Mulyono, S.H. Saut M. Gurning, S.H. Rosalina Rambung, S.S. Yusfa Hendra B., S.S. Tumini, S.S. Lay Out & Artistik :
Sri Sugih@rta, S.S. Bambang Rudianto Alamat Redaksi : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar Jl. Sultan Alam Bagagarsyah, Kotak Pos 29, Batusangkar 27281 Telp. (0752) 71451, 72322 Fax. (0752) 71953
Redaksi menerima sumbangan naskah yang berkaitan dengan masalahmasalah Arkeologi, Sejarah, Antropologi dan Kebudayaan. Redaksi berhak mengubah tulisan sejauh tidak menyimpang dari isi tulisan.
embaca yang terhormat, sudah sekian lama Buletin Arkeologi AMOGHAPASA tidak dapat menemui pembaca. Hal ini bukan suatu kesengajaan dari pihak kami, namun karena banyaknya pekerjaan dan kurangnya sumber daya manusia yang mengelola buletin ini, sehingga baru saat ini kami dapat terbit kembali. Untuk tahun 2004 kami hanya terbit satu kali, tetapi untuk tahun selanjutnya kami akan terbit secara berkala pada bulan Juli dan Desember. Alasan pemilihan bulan tersebut kami lakukan, karena bulan Juli merupakan bulan tengah tahun anggaran sehingga kami dapat memberikan informasi kegiatan-kegiatan yang sudah kami laksanakan selama setengah tahun anggaran. Adapun bulan Desember merupakan akhir tahun anggaran sehingga kami dapat memberikan kembali informasi berbagai kegiatan yang sudah kami laksanakan pada paruh terakhir tahun anggaran. Pada edisi kali ini, kami akan mengangkat tema yang berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan Benda Cagar Budaya dalam era otonomi. Tema ini perlu kami angkat karena sejak digulirkan otonomi daerah maka sebagian kewenangan pusat berkaitan dengan pelestarian Benda Cagar Budaya sudah diserahkan ke daerah otonom sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 2000. Dalam kenyataannya, implementasi dari penyerahan kewenangan tersebut belum dapat berjalan dengan optimal. Hal ini karena banyak faktor yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya, antara lain kebijakan daerah otonom, kesiapan SDM, ketersediaan anggaran dan sebagainya. Berkaitan dengan tema yang kami sajikan dalam edisi kali ini, maka dari perspektif kebijakan pusat, Drs. Soeroso, M. Hum membahas Kebijakan di Bidang Kepurbakalaan dan Permuseuman dalam rangka Otonomi Daerah. Selanjutnya, dari perspektif akademik Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro menulis tentang Manajemen Benda Cagar Budaya dalam Era Otonomi Daerah. Adapun Drs. Marsis Sutopo, M.Si. akan menyampaikan tulisan mengenai Pelestarian dan Pengelolaan BCB di Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau pada Era Otonomi Daerah. Tulisan yang lain disampaikan oleh Drs. Said Parman mengenai Pelestarian dan Pemanfaatan BCB di Kota Tanjungpinang. Tema pelestarian dan pengelolaan Benda Cagar Budaya dalam era otonomi daerah tidak hanya kami diskusikan melalui tulisan, tetapi dijadikan sebagai tema dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Pelestarian dan Pengelolaan BCB Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau yang dilaksanakan pada tanggal 27 s.d 30 September 2004. Hasil yang diperoleh dari Rakorwil tersebut berupa Rumusan Kebijakan Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya di Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau yang kami sajikan dalam edisi ini. Sebagai pengantar rumusan ditulis oleh Drs. Budi Istiawan. Artikel lain yang kami sajikan adalah tentang Pelatihan Arkeologi Bawah Air dan Pemutakhiran Foto di Kabupaten Pelalawan yang keduanya ditulis oleh Nedik Tri Nurcahyo, S.S. Selanjutnya sebagai sajian penutup, kami sajikan Warta Pelestarian BCB yang merupakan warta ringkas mengenai kegiatan-kegiatan pelestarian yang telah kami lakukan pada tahun 2004. Redaksi
P
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/ Desember 2004
1
1 Salam
Redaksi !
Artikel Tema ! 3 Kebijakan di Bidang Kepurbakalaan dan Permuseuman
dalam rangka Otonomi Daerah
Drs. Soeroso, M.Hum.
9 Manajemen Benda Cagar Budaya dalam Era Otonomi Daerah
Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro
15
Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs di Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau pada Era Otonomi Daerah
21
Drs. Marsis Sutopo, M.Si. Pelestarian dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang
Drs. Said Parman
Forum ! 26
Rapat Koordinasi Wilayah Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya
28
Drs. Budi Istiawan
Rumusan Rapat Koordinasi Wilayah Kebijakan Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya di Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau
Dari Lapangan ! 34 Pelatihan Arkeologi Bawah Air Nedik Tri Nurcahyo, S.S.
36 Pemutakhiran Foto BCB dan Situs di Kabupaten Pelalawan
Nedik Tri Nurcahyo, S.S.
39–44 Warta
Pelestarian BCB !
Sumber Foto Cover : Rumah Gadang Kelarasan Koto Piliang Sitinjau Laut (Ragam Luhak Tanah Datar), Sumatera Barat. Diambil dari A.A. Navis. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta : Grafiti Pers, 1984, hlm. xxviii. Perancang Cover : Yusfa Hendra B., S.S.
2
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
KEBIJAKAN di Bidang Kepurbakalaan dan Permuseuman dalam rangka Otonomi Daerah Oleh :
Drs. Soeroso, M.Hum.
Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Pendahuluan Makna dan Lingkup Manajemen Kebijakan
Akhir abad ke 20, kebutuhan dan tuntutan terwujudnya “kepemerintahan yang baik” (good governance, GG) di berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia makin menggema. Kegagalan untuk membangun Indonesia merdeka yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan mandiri selama ini disebabkan oleh tidak atau kurang diindahkannya penerapan nilai dan prinsip-prinsip GG dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi. Terjadinya krisis multidimensi tersebut mengisyaratkan bahwa dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara terdapat keterkaitan antara sektor yang satu terhadap yang lain sehingga perubahan yang terjadi pada salah satu sektor akan berdampak pada sektor yang lain dan terhadap sistem pemerintahan secara keseluruhan. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut justru terjadi pengrusakan citra bangsa dan negara melalui kegiatan terorisme yang mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat secara luas.
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
3
Dalam rangka upaya menciptakan sistem pemerintahan yang demokratik, desentralistik, transparan, dan partisipatif sebagaimana menjadi salah satu agenda tuntutan reformasi guna memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemerintah daerah, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Berpijak pada kedua undang-undang tersebut, maka berubahlah sistem pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan non partisipatif yang dianut selama ini. Dengan asas dekonsentrasi, maka sebagian besar kewenangan pemerintah (pusat) di bidang pemerintahan dilimpahkan dan diserahkan kepada masing-masing daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan itu, termasuk pengaturan infrastruktur, sumber daya manusia, dan juga dana yang diperlukan untuk itu. Dalam sistem pemerintahan yang bersifat demokratik, desentralistik, transparan, dan partisipatif tersebut, maka peran masyarakat dan para stakeholder yang memiliki latar belakang dan perilaku yang berlainan sangat dipertimbangkan dalam rangka menentukan sejumlah kemungkinan atau opsi kebijakan. Guna memberikan dukungan yang lebih konkrit terhadap proses pelaksanaan otonomi daerah itu serta memberikan keleluasaan kepada daerah Tingkat I guna mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan di wilayahnya, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2002 Tentang Asas-asas Penyelenggaraan Dekonsentrasi. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah (Otoda) tersebut mengimplementasikan penyerahan hak, kewajiban, dan tanggung jawab ataupun kewenangan daerah untuk mengurus “rumah tangga (pemerintah dan pembangunan)” daerah guna mewujudkan citacita dan tujuan otonomi yang utamanya (1) meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan rakyat daerah, (2) meningkatkan kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat, dan (3) menjaga keserasian hubungan antar daerah dan antara pusat dan daerah. Terkait dengan hal tersebut dan terutama dalam hubungannya dengan pelimpahan kewenangan pemerintah kepadan provinsi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, maka di bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan pada pasal 3 ayat (5) butir 10 yang menyatakan bahwa: Bidang Pendidikan dan Kebudayaan: 1)…dst; 6). Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah kepurbakalaan; kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah. Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan tersebut, maka sesungguhnya kewenangan pusat menjadi lebih ringan karena di dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah (pusat) tinggal menangani 5 (lima) bidang kewenangan serta sejumlah kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain seperti disebut pada pasal 2 ayat (2) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Di bidang kebudayaan kewenangan dimaksud secara lebih rinci disebutkan: (1). Pasal 2 ayat (3) butir 11: Bidang Pendidikan dan Kebudayaan: 1). Penetapan standar …..dst. 6). Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengama-nan dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi; 7). Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional; ….dst; 10). Pembinaan dan pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah implementasi seluruh perundangundangan dan peraturan pemerintah yang terkait dengan pelimpahan dan penyerahan kewenangan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diamanatkan undangundang? Secara lebih spesifik apakah pemerintah (pusat) yang memiliki kewenangan untuk menetapkan sejumlah kebijakan itu telah mempersiapkan berbagai pedoman,
4
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
standard, kriteria, dan prosedur yang akan menjadi payung bagi daerah dalam menentukan kebijakan skala regional serta melaksanakan program dan kegiatan di tingkat kabupaten/kota? Lebih lanjut, apakah daerah yang telah menerima pelimpahan dan penyerahan kewenangan itu juga telah siap dengan sumberdaya manusianya?.
Masalah Kebijakan di Bidang Purbakala dan Permuseuman 1. Apa yang Disebut Kebijakan? Kebijakan ialah pedoman pelaksanaan yang terdiri dari sejumlah keputusan-keputusan guna mencapai tujuan dan sasaran suatu organisasi. Kebijakan pada dasarnya berupa ketentuan yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang untuk dapat dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk di dalam pengembangan ataupun kelaksanaan program/kegiatan agar tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mewujudkan tujuan dan sasaran. Tujuan ialah sesuatu (apa) yang hendak dicapai atau dihasilkan oleh suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu (1 hingga 5 tahun) sedangkan sasaran adalah hasil yang hendak dicapai secara nyata oleh organisasi (instansi pemerintah) dalam bentuk rumusan yang lebih spesifik, terukur dalam kurun waktu yang lebih pendek dari tujuan. Dalam sasaran dirancang indikator sasaran ialah ukuran tingkat keberhasilan pencapaian sasaran yang hendak diwujudkan pada tahun bersangkutan. Di bidang sejarah dan purbakala, kebijakan yang telah ditetapkan untuk 5 (lima) tahun ke depan (2005-2009) meliputi : • Melestarikan warisan budaya melalui upaya perlindungan pengembangan dan pemanfaatan • Menumbuhkan kesadaran budaya masyarakat untuk membangkitkan kebanggan terhadap budaya sendiri, cinta tanah air, serta memperkukuh jati diri bangsa • Meningkatkan penelitian dan pengembangan bidang arkeologi dan sejarah • Meningkatkan peran serta masyarakat dan organisasi profesi dalam pelestarian warisan budaya • Meningkatkan pengamanan, penataan dan penyajian (Museum) sebagai upaya melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya bangsa • Melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya untuk kepentingan agama, pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, persatuan serta persahabatan antar bangsa • Mewujudkan kerjasama nasional, regional, dan internasional.
2. Mengapa Diperlukan Kebijakan di Bidang Purbakala dan Permuseuman? Di bidang kepurbakalaan dan permuseuman suatu bentuk kebijakan perlu dibangun untuk: a. Menenetukan secara teliti bagaimana suatu strategi pencapaian tujuan sasaran harus dilakukan. b. Mengatur suatu mekanisme lebih lanjut apabila tujuan dan sasaran telah tercapai. c. Menciptakan mekanisme agar setiap pejabat dan pelaksana dalam suatu organisasi mengetahui apakah ia memperoleh dukungan untuk bekerja dan mengimplementasikan suatu keputusan Terkait dengan otoda, saat ini telah muncul dan berkembang tuntutan akan hak dalam pengelolaan Benda Cagar Budaya (BCB) dan Museum oleh pemerintah di daerah dan masyarakat. Hal ini kemudian memunculkan berbagai variasi kepentingan terhadap keinginan untuk mengelola BCB dan Museum guna mendukung pendapatan asli daerah (PAD). Di lain pihak, di kalangan internasional kepedulian akan kelestarian dan pemanfaatan warisan budaya sudah sangat maju, misalnya dengan adanya konvensi-konvensi pelestarian budaya yang tentu saja berimplikasi pada upaya pelestarian budaya di Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dan dampak dari era globalisasi di bidang kebudayaan. Dengan demikian, permasalahan pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB dan museum saat ini dan di masa mendatang menjadi sangat semakin kompleks dan bervariasi, sehingga perlu adanya pengembangan teknis pengelolaan BCB dan museum, guna mengantisipasi permasalahan dan dapat lebih memantapkan upaya pelestarian warisan budaya di Indonesia. Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
5
3. Secara minimal kebijakan apa saja yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran di bidang kepurbakalaan dan permuseuman? a. Kebijakan Publik: ialah kebijakan instansi pemerintah yang memiliki dampak luas bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan ini menyangkut pada perbaikan (revisi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dalam rangka mensinergikan dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan terutama dalam mengatur kewenangan antara pemerintah (pusat) dan daerah di bidang kepurbakalaan dan permuseuman. b. Kebijakan Teknis: ialah kebijakan yang dibuat oleh instansi pemerintah yang berkaitan dengan pelaksanaan teknis organisasi. Kebijakan ini menyangkut pengaturan pengelolaan BCB. Kebijakan teknis diwujudkan dalam berbagai bentuk aturan, pedoman, kriteria, prosedur, dan aturan yang meliputi: 1. Kepemilikan; 2. Penemuan; 3. Penelitian; 4. Perawatan dan perlindungan; 5. Pemanfaatan; 6. Pengawasan; 7. Sanksi terhadap pelanggaran Dalam kaitan ini, di lingkungan Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman sedang disusun kriteria/pembobotan tentang BCB dan situs yang melibatkan instansi terkait dan stakeholder agar dapat dijadikan dalam menentukan apakah suatu situs atau BCB itu menjadi kewenangan pemerintah (pusat), atau daerah/kota sehingga dapat dijadikan dasar untuk perumusan kebijakan pengelolaannya. Lain daripada itu juga sedang disusun sejumlah pedoman mengenai pemugaran bangunan batu, bata, kayu; pedoman konservasi benda cagar budaya bergerak serta pedoman pemanfaatan BCB yang tidak bergerak dan kini masih dimanfaatkan oleh pemiliknya. Termasuk dalam kelompok ini ialah bangunan-bangunan peribadatan seperti kelenteng, masjid kuno, dan lain-lain. c. Kebijakan Alokasi Sumberdaya (Sarana dan Prasarana): ialah kebijakan yang disusun guna menunjang implementasi/pelaksanaan kebijakan publik dan kebijakan teknis. Kebijakan ini menyangkut pengalokasian sarana dan prasarana terutama guna menunjang pelaksanaan kebijakan teknis secara efektif dan efisien terhadap program dan kegiatan yang masih menjadi kewenangan pemerintah (pusat). Untuk itu, maka dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintahan pusat sesuai dengan kewenangannya, pengalokasian dana yang sangat terbatas lebih diarahkan untuk penyusunan kebijakan. d. Kebijakan Personalia: kebijakan yang mengatur pengalokasian sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam suatu organisasi. Hal ini dirasakan untuk memenuhi keterbatasan tenaga arkeologi yang profesional khususnya di daerah. untuk itu perlu dikembangkan prinsip kolaborasi, kerjasama, atau perbantuan bagi daerah yang memang masih belum memiliki tenaga dengan standar kompetensi di bidang ini (sayangnya hingga saat ini pemerintah belum memiliki lembaga/ badan/bidang yang khusus menangani hal ini. Khusus untuk purbakala dan permuseuman telah pernah dibuat draft mengenai pamong budaya namun sampai saat ini belum berhasil disahkan). e. Kebijakan Keuangan: Kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian dana agar penggunaannya dapat dilakukan secara efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. f. Kebijakan Pelayanan Masyarakat: Kebijakan yang dibuat oleh instansi pemerintah dalam rangka memberikan kepuasan kepada masyarakat yang menjadi target pelayanan instansi pemerintah. Pada Asdep Urusan Purbakala dan Permuseuman terdapat Bidang Pemanfaatan yang terdiri dari sub. Bidang Penyajian dan Bimbingan Masyarakat serta sub. Bidang Publikasi dan Informasi yang tugas pokoknya selain menyiapkan bahan penyusunan kebijakan juga melakukan publikasi dan informasi di bidang kepurbakalaan dan permuseuman.
6
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
Upaya peletarian dan pengembangan BCB dan museum yang berkesinambungan dan berbasis pada masyarkat pun terkait dengan otoda kini menjadi trend yang segera diupayakan dalam bentuk pemberdayaan pada masyarakat, agar tercipta partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan BCB dan museum. Dalam pemberdayaan tersebut, masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, dan pengawasan serta evaluasi kegiatan pelestarian BCB. Dengan kata lain, masyarakat mendapat hak dan kewajibannya secara seimbang dalam pengelolaan BCB.
Rencana Strategis Tahun 2005 - 2009 Dalam rangka mengantisipasi perubahan yang akan terjadi di masa depan, khususnya untuk mendukung terlaksananya proses demokratisasi di bidang kepurbakalaan dan permuseuman, maka Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman telah mencanangkan sejumlah agenda strategis yang akan menjadi kisi-kisi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan 5 (lima) tahun ke depan. Agenda tersebut dituangkan dalam bentuk Rencana Strategis yang memuat Visi dan Misi serta Strategi dan Sasaran yang hendak dicapai.
Visi Terwujudnya pelestarian dan pemanfaatan peninggalan purbakala secara berkelanjutan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkokoh jati diri dan memperkuat persatuan, memberikan manfaat bagi masyarakat serta meningkatkan persahabatan antar bangsa.
Misi a. Meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan peninggalan purbakala dan museum dengan tetap mengacu pada bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Memberdayakan dan meningkatkan peran serta swasta masyarakat (stakeholder) dalam pelestarian dan pemanfaatan peninggalan purbakala dan museum. c. Meningkatkan perlindungan dan pemeliharaan peninggalan purbakala dan museum. d. Meningkatkan pemanfaatan peninggalan purbakala dan museum untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, agama dan persatuan, serta persahabatan antar bangsa. e. Meningkatkan dan mengembangkan SDM bidang kepurbakalaan dan permuseuman yang profesional agar mampu berkiprah di arena internasional
Strategi dan Sasaran a. Strategi 1). Menyusun dan mengkaji ulang kebijakan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepurbakalaan dan permuseuman 2). Menyusun dan mengkaji ulang kebijakan peningkatan kerjasama di bidang pelestarian dan pemanfaatan peninggalan purbakala dan museum, baik di lingkungan regional, nasional, dan internasional. 3). Menyusun dan mengkaji ulang kebijakan umum dan teknis di bidang kepurbakalaan dan permuseuman. 4). Menyusun dan mengkaji ulang kebijakan pengembangan SDM dan program di bidang kepurbakalaan dan permuseuman di pusat, dan daerah dalam rangka menunjang otoda. 5). Meningkatkan kualitas dan kuantitas program dan kegiatan pelestarian dan pengelolaan di bidang kepurbakalaan dan permuseuman. b. Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dipilah dalam 3 (tiga) tahap yaitu sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
7
Sasaran Jangka Pendek meliputi: • Revisi UU Nomor 5 Tahun 1992. • Meningkatkan kerjasama antar instansi baik dalam maupun luar negeri. • Membangun kemitraan dan pemberdayaan peran serta masyarakat dan stakeholder. • Peningkatan kualitas SDM secara berjenjang. • Melakukan keterpaduan program antara pemerintah dan daerah. • Meningkatkan pengawasan dan pengendalian. Sasaran Jangka Menengah meliputi: Sosialisasi UU BCB. Peningkatan kemitraan dan kerja sama dalam pengelolaan BCB dan museum. Peningkatan kemampuan SDM yang profesional. Memadukan kegiatan antara pusat dan daerah secara berkesinambungan. Meningkatan keterpaduan pengawasan dan pengendalian.
• • • • •
Sasaran Jangka Panjang meliputi: Akumulasi dari sasaran jangka pendek dan jangka menengah sehingga tercapainya misi yang dicanangkan.
•
Program 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan. 2. Penyusunan pedoman, juklak, juknis, dan standardisasi pemugaran, konservasi, dan pemeningkatan situs/BCB, kawasan, baik dalam skala lokal, regional, nasional, maupun internasional. 3. Peningkatan kerja sama nasional, regional, dan internasional dalam pelestarian dan pemanfaatan kepurbaklaan dan permueuman. 4. Perumusan kebijakan pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB, situs, kawasan, dan museum yang berbasis pada masyarakat. 5. Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian dan pemanfaatan. 6. Peningkatan kualitas SDM kepurbakalaan dan permuseuman. 7. Peningkatan keterpaduan program dan kegiatan kepurbakalaan dan permuseuman. 8. Pengawasan dan pengendalian program bidang kepurbakalaan dan permuseuman. 9. Peningkatan upaya pengembangan kepurbakalaan dan permuseuman. 10. Pemberian subsidi di bidang kepurbakalaan dan permuseuman. 11. Pengelolaan data dan sistem informasi di bidang pelestarian dan pemanfaatan BCB. 12. Mengadakan sarana dan prasarana.
Penutup Perubahan sistem pemerintahan di Indonesia tidak dapat hanya diartikan sebagai pembagian kekuasaan/otoritas politik dan sumberdaya ekonomi ke daerah, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari proses perubahan tatanan politik secara keseluruhan. Pembagian kekausaan dan sumberdaya ekonomi dan budaya pada dasarnya memindahkan kultur birokrasi dari pusat ke daerah sehingga akan terjadi proses reformasi secara sistematik. Untuk sampai ke arah itu, dialog dengan berbagai pihak dan berbagai agensi merupakan keharusan, karena nilai budaya yang dimiliki daerah tertentu belum tentu secara langsung siap untuk mendukung proses transformasi itu. Berbagai interaksi dan dialog akan membantu proses pembelajaran yang akhirnya akan membawa pada pilihan-pilihan bersama yang lebih baik dalam penataan sosial politik secara komprehensif. Untuk itu dengan otoda diharapkan dapat memberikan ruang lebih besar kepada tumbuh dan berkembangnya daerah yang akan menjadi jalan bagi penciptaan suatu lingkungan sosial yang lebih toleran.[!]
8
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
MANAJEMEN Benda Cagar Budaya dalam Era Otonomi Daerah Oleh :
Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro Guru Besar Arkeologi UGM
Pengantar
W
acana debat publik mengnai otonomi daerah (otoda) mulai marak beberapa waktu setelah lengsernya Soeharto sebagai Presiden ke dua Republik Indonesia. Sejalan dengan kondisi itu muncul jargon “Autonomy is Automoney” dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Makna dari jargon itu kira-kira adalah bahwa penerimaan daerah dari sumber sendiri amat penting perannya dalam menentukan kadar ekonomi suatu daerah. Dengan demikian, semakin besar peran penerimaan sendiri terhadap total anggaran akan berakibat semakin dalam dan luas kadar otonomi yang dimiliki suatu daerah tersebut. Di Indonesia, penerimaan sendiri diartikan sebagai penerimaan asli daerah atau PAD (Simanjuntak, t.t.). Akibat jargon tersebut, muncullah beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan benda cagar budaya (BCB), di antaranya adalah (1) Apakah BCB dapat dikategorikan sebagai sumber daerah dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah; (2). Bagaimana pengelolaan, peluang, dan ancaman apabila BCB dimanfaatkan sebagai sumber daerah. Pemahaan tentang fenomena tersebut di atas, pada gilirannya diharapkan dapat membuahkan solusi dan langkah strategis dalam pengelolaan dan pemanfaatan BCB, terlebih dalam era otoda seperti yang berlangsung sekarang ini. Konflik terhadap pengelolaan BCB di Indonesia kerap terjadi, lebih-lebih dalam era otoda. Berlakunya otoda membuka peluang bagi daerahdaerah untuk menggali dan mengembangkan potensi daerahnya. Dalam melaksanakan wewenang itu, pemerintah daerah selayaknya mempertimbangkan banyak aspek, agar tidak mengorbankan (merusak atau memusnahkan) BCB sebagai aset negara, seperti yang tercantum dalam Keputusan Mendikbud RI Nomor 063/U/1995 Pasal 16 ayat (1). Bahwa setiap rencana kegiatan pemba-
ngunan yang dapat mengancam keberadaan BCB dan/atau situs serta mengakibatkan tercemarnya, pindahnya, berubahnya, musnahnya atau hilangnya nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, Pengelola rencana pembangunan dimaksud wajib menyampaikan laporan tertulis kepada menteri n.p. Direktorat Jenderal Kebudayaan (sekarang Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala). Pengelolaan BCB memerlukan kemampuan dan ketrampilan menajemen dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan aspek-aspek penting yang terkandung dalam BCB dengan tujuan pemanfaatan harus memiliki wawasan pelestarian. Oleh karena itu, pengelolaan BCB memerlukan pemahaman terhadap aspek yuridis, arkeologis, dan aspek manajerial agar tidak berdampak negatif (Haryono, 2003). Untuk keperluan itu dalam bidang budaya dikenal suatu pengelolaan sebagai manajemen sumberdaya budaya (cultural resource management) atau CRM. Dalam prakteknya, CRM mencakup 3 (tiga) tahapan, yaitu perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Melalui tiga tahapan itu diupayakan agar hakekat, sebab asal, dan hukum yang terkandung dalam BCB dapat dipahami tidak hanya di kalangan pengelola, tetapi juga di kalangan masyarakat luas.
Benda Cagar Budaya Sebagai Sumber Daya Dalam UU. RI Nomor 5 Tahun 1992 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan benda cagar budaya adalah: 1.a.Benda buatan manusia, bergerak dan tidak bergerak yang berupa kesatuan, kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun serta dianggap penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
9
b.Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. 2.Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungan yang diperuntukkan bagi pengamanannya. Posisi BCB di negara ini cukup penting, hal itu ditunjukkan oleh adanya statemen dalam mukadimah UU RI Nomor 5 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa BCB merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengetahuan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Berdasarkan pada pernyataan itu, maka BCB sangat wajar apabila diposisikan sebagai salah satu sumberdaya dan setara dengan sumberdaya lain, misalnya sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Oleh karena itu, BCB perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Pengetahuan sejarah yang terkandung dalam BCB meliputi beberapa aspek di antaranya tentang kehidupan manusia sejak manusia purba dengan lingkungan alam, fauna, dan floranya hingga kehidupan masyarakat yang lebih kompleks ketika unsur-unsur asing (India, Arab, Eropa, dan Asia) masuk ke Indonesia; jalur-jalur migrasi dan kontak budaya; muncul-berkembang hingga runtuhnya kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara; sejarah perpajakan, perdagangan, stratifikasi masyarakat, hukum, dan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam aspek ilmu pengetahuan, menurut Pearson dan Sullivan (1995), BCB merupakan sumber pengetahuan yang tidak dapat ditunjukkan oleh sumber lain dan bahkan menjadi dasar pengetahuan sehingga tetap eksis dan dikembangkan hingga sekarang. Pengetahuan itu antara lain adalah penguasaan teknologi membuat alat dari bermacam bahan, misalnya batu, tanah liat, logam, kaca, dan lain sebagainya. Pengetahuan lain yang tercermin dalam BCB adalah teknologi pembuatan sandang (tenun dan batik), bercocok tanam, navigasi, astronomi, dan bermacam-macam seni (musik, tari, lukis, pahat, dan seni bangunan), kepercayaan dan agama, serta pengetahuan mengenai pengelolaan lingkungan termasuk pemanfaatan sumberdaya alam (Sumijati, 2004). BCB merupakan sumber penting dalam aspek kebudayaan karena daripadanya dapat diungkapkan proses budaya, proses kemampuan transformasi, inovasi, adaptasi, akulturasi, dan toleransi. Bahkan BCB dapat pula mencerminkan local genius sebagai suatu kemampuan masyarakat yang luar biasa dalam menciptakan budaya-
10
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
nya. Ada gilirannya, hasil budaya itu akan menjadi identitas kelompok dan masyarakatnya. Dengan demikian, budaya adalah milik bersama dan merupakan manifestasi kepribadian masyarakat. Daripadanya terefleksi pula pandangan dan gaya hidup, sistem nilai, sikap, dan tingkah laku keseharian pendukungnya. Faktor lain yang mendukung BCB dapat diposisikan sebagai suatu sumberdaya adalah makna kulturalnya. Makna tersebut sangat ditentukan nilainilai yang terkandung di dalamnya, misalnya nilai estetis, asosiatif, simbolik, informatif, dan ekonomis. Nilai estetis amat erat kaitannya dengan keindahan dan keunikan BCB. Nilai tersebut merupakan daya tarik bagi pemerhati dan peminat seni. Akibatnya, BCB menjadi objek yang terkenal dan dikagumi oleh masyarakat luas. Nilai asosiatif sangat ditentukan dan erat hubungannya dengan tempat/lokasi keberadaannya karena lokasi keberadaan BCB biasanya mempunyai makna tertentu yang seringkali berkaitan dengan simbol yang melatarinya. Pendirian bangunan suci dengan arah hadap tertentu merupakan salah satu contoh tentang fenomena itu. Adapun nilai informasi yang terkandung dalam BCB mencakup beberapa aspek, misalnya keterangan sejarah; pengetahuan; dan kebudayaan milik nenek moyang kita yang dapat diinformasikan dari generasi ke generasi. Salah satu nilai BCB yang cukup kuat untuk memposisikannya sebagai sumberdaya adalah nilai ekonomis. Menurut Mattix (1999) kepentingan ekonomi dari BCB muncul sebagai akibat adanya minat terhadap artefak, benda-benda antik, benda-benda unik, dan benda-benda seni. Akibatnya, muncul permintaan-permintaan yang menyebabkan BCB mempunyai nilai jual. Namun selayaknya dalam meraih nilai jual itu jangan mengorbankan kepentingan lainnya, dan justru nilai penting BCB menjadi rambu-rambu pelaksanaannya. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa BCB merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan. Untuk tujuan itu diperlukan suatu pengelolaan yang baik, terencana, arif, dan bijaksana. Dalam hal ini pemerintah telah membuat rambu-rambu pelaksanaan, yakni Pasal 18 untuk pengelolaan dan Pasal 19 untuk pemanfaatan (UU RI Nomor 5/1992).
Otonomi Daerah dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah secara penuh dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Walaupun masih diliputi kegamangan dan
kekaburan penangannya, namun daerah-daerah pada umumnya menangkapnya secara positif sebagai suatu peluang dan kesempatan untuk mengembangkan dan memandirikan daerahnya. Pemberian otonomi bagi daerah-daerah dimaksudkan untuk (1) peningkatan pelayanan kesejahteraan masyarakat agar semakin baik; (2) pengembangan kehidupan demokrasi; (3) distribusi pelayanan publik makin baik, merata, dan adil; (4) penghormatan terhadap budaya lokal; (5) dan perhatian atas potensi dan keanekaragaman daerah (Rukmo, 2003). Desentralisasi dan otonomi daerah dilaksanakan dengan penggunaan dasar hukum, yakni UU RI No. 22 Th 1999. Dalam UU tersebut, Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, penanaman modal, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Dibandingkan dengan UU RI Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU RI Nomor 22 tahun 1999 lebih baik, namun demikian dalam pelaksanaannya terjadi tumpang tindih. Hal itu dikarenakan sebelum UU itu dilegalkan telah ada perundangundangan yang sifatnya sektoral seperti yang mengatur sektor kesehatan, kehutanan, pendidikan, dan perhubungan. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan itu adalah pemerintah pusat belum menyiapkan mekanisme untuk melakukan sinkronisasi terhadap produk hukum yang sudah ada. Akibatnya sering terjadi konflik kewenangan antara pemerintah pusat (dalam hal ini kementerian terkait) dengan pemerintah daerah. Fenomena tersebut terjadi pula dalam bidang kebudayaan umumnya dan bidang pengelolaan BCB khususnya. Dalam bidang ini, pemerintah telah mengeluarkan UU RI. Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan PP RI Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1992. Dalam UU tersebut, Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara. Penguasaan BCB oleh negara, diperkuat dan diperjelas oleh Pasal 5 dengan pernyataan bahwa BCB yang karena nilai, sifat, jumlah, dan jenisnya serta demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perlu dilesta-
rikan dan dinyatakan milik negara. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa pengelolaan BCB merupakan tanggung jawab pemerintah, seperti tercantum dalam Pasal 10 ayat (1). Namun dalam ayat (2) pada Pasal itu juga dinyatakan bahwa masyarakat, kelompok, atau perorangan berperan serta dalam pengelolaan BCB dan situs. Pernyataan itu memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan BCB dan situs. Diberikannya peluang itu sangatlah wajar, mengingat masyarakatlah yang paling tahu karakter BCB yang dimilikinya. Setiap masyarakat tentu memiliki nilainorma budaya, pengalaman budaya, hasil budaya yang secara turun temurun diwariskannya. BCB sebagai warisan budaya (cultural herItage) dapat pula menduduki posisi sebagai pusaka budaya. Kata pusaka budaya menyiratkan sesuatu yang selayaknya memperoleh tempat khusus dalam jiwa pemiliknya karena keistimewaan dan kekuatannya. Keistimewaan itu antara lain karena BCB tersebut merupakan “master piece” yang berkaitan dengan kebesaran masa lalu, mempunyai sejarah yang panjang, mewakili memori kolektif serta mempunyai potensi yang dapat menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan. Oleh karena itulah, BCB selayaknya dilindungi, dilestarikan agar dapat dimanfaatkan. Kesadaran akan pentingnya pengelolaan BCB mengakibatkan munculnya upaya pengelolaan di berbagai negara, misalnya di Amerika dengan nama Cultural Resource Management (CRM) (Mayer-Oakes, 1989), di Australia dengan Management of Heritage Places (Pearson dan Sullivan, 1995), sedangkan di Jepang lebih menekankan pada Preservation of Cultural Properties (Larsen, 1994). Kesadaran akan pentingnya pengelolaan BCB di Indonesia, lebih-lebih terhadap sumberdaya arkeologi, memiliki sejarah panjang dan tidak dapat dipisahkan dengan peran para ahli Belanda yang telah meletakkan dasar tentang penanganan terhadap peninggalan sejarah dan purbakala. Menurut Soekmono (2002), kesadaran ini muncul sejak pemerintahan Belanda dengan dibentuknya suatu dinas yang bertugas menangani peninggalan sejarah dan purbakala pada tahun 1913. Seiring dengan perkembangan politik dan pemerintahan, maka Dinas itu (Oudhekundige Dienst) seringkali berganti nama. Namun demikian, tugas pokok dinas itu tidak berubah, yakni tetap menangani masalah yang berhubungan dengan peninggalan sejarah dan purbakala yang mencakup penelitian, pengamanan, perlindungan, perawatan, dan pelestarian, serta menjalin hubungan kerja lintas sektoral. Kondisi itu memberi pengertian bahwa manajemen BCB yang menjadi tanggung jawab dinas itu Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
11
amat luas sehingga banyak masalah yang muncul. Untuk mengatasi hal itu, sejak tahun 1975 dinas dipecah menjadi 2 (dua) dengan tugas yang berbeda. Dengan demikian sejak itu ada 2 (dua) organisasi pengelola BCB dengan visi, misi, dan perencanaan yang berbeda pula. Satu organisasi (Direktorat) mengkhususkan pada tujuan perlindungan, pengamanan, pemeliharaan, pengawasan, dan pelestarian, sedangkan organisasi lainnya lebih mengkhususkan pada penelitian (Pusat Penelitian). Dalam pelaksanaan tugasnya keduanya memiliki perpanjangan tangan di daerah-daerah (Balai Arkeologi dan BP3). Kedua organisasi pengelola BCB tersebut di atas menjalankan visinya tampak sangat tegas pemisahannya. Masing-masing merasa paling tahu dan satu-satunya instansi pelaksana visi instansinya. Direktorat dengan tugas-tugas tersebut di atas seolah-olah tidak berhak melakukan penelitian, padahal dalam melaksanakan tugasnya perlu pula penelitian, misalnya layak tidaknya suatu BCB dipugar atau dilestarikan. Di sisi lain, manajemen Pusat Penelitian lebih difokuskan pada penelitian, baik survei maupun ekskavasi, tanpa disertai dengan penelitian terhadap masyarakat di sekitar situs untuk mengetahui sikapnya terhadap BCB di wilayahnya. Selain itu, aspek pemanfaatan bagi masyarkat luas juga kurang diperhatikan, misalnya dengan menyerahkan BCB yang telah diteliti ke Museum. Akibatnya adalah muncul “konflik kewenangan” di antara kedua organisasi tersebut. Namun demikian perlu dicatat bahwa hasil masing-masing instansi cukup banyak, baik BCB yang dipugar, dilindungi, dan dimanfatkan maupun BCB yang diteliti dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan di antara BCB itu ada yang diakui dan dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia (world heritage). Organisasi pengelola BCB mengalami perubahan semenjak diberlakukannya struktur baru, yakni dibentuknya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Dengan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala; Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman serta Asdep Arkeologi Nasionl sebagai organisasi di bawahnya. Masing-masing Asdep mempunyai perpanjangan tangan di daerah, yakni BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) dan Balar (Balai Arkeologi). Pengelolaan BCB sebagai suatu manajemen memerlukan unsur-unsur manajemen yang umum teridiri atas: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaksanaan, dan pengontrolan (P5). Dalam struktur baru tersebut, kedua Asdep tersebut merupakan penentu kebijakan, sedangkan BP3 dan Balar sebagai pelaksana di daerah sesuai dengan visi
12
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
masing-masing (Balar dengan pene-litian; BP3 dengan pelestarian peninggalan purba-kala). Pemilahan tersebut tetap membuka peluang adanya konflik kewenangan dalam tubuh instansi pengelola BCB, bahkan dalam era otoda seperti sekarang ini konflik kewenangan dapat pula muncul dari luar kedua instansi pengelola BCB.
Penerapan Pengelolaan BCB di Era Otonomi: Peluang dan Kendalanya Telah dipaparkan bahwa BCB sangat signifikan untuk pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Oleh karena itu, BCB perlu dikelola demi pemenuhan jatidiri dan kepentingan nasional. Untuk itu diperlukan strategi pengelolaan (managemnet strategy) karena pengleolaan BCB dihadapkan pada tuntutan dan pemuasan kepentingan berbagai pihak baik internal maupun eksternal. Akibat dari itu maka kompleksitas pada proses pengambilan keputusan makin sulit dan rumit (Siagian, 1995). Oleh karena itu, jurus-jurus strategi perlu dan harus dilakukan dalam pengelolaan BCB. Di depan telah dikemukakan bahwa CRM dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam pengelolaan BCB Indonesia. Sesuai dengan cakupan CRM maka jurus strategi yang harus dilakukan adalah dalam aspek perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Dalam aspek perlindungan langkah strategis dapat dilakukan dengan dua cara, yakni hukum dan fisik. Perlindungan secara hukum agar setiap tindakan mempunyai landasan yang legal hingga dapat dipertanggung-jawabkan dan dikontrol, sedangkan perlindungan secara fisik diterapkan baik pada BCB maupun pada lingkungan di sekitar BCB. Dalam pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kondisi BCB yang bersangkutan. Strategi yang paling esensial dalam perlindungan BCB adalah pembobotan sebagai dasar untuk menentukan jenis perlindungannya, misalnya secara total (preservasi), konservasi, atau revitalisasi. Pearson dan Sullivan (1995) mengusulkan kriteria yang digunakan untuk pembobotan adalah nilai sejarah, estetika, dan arsitektur; perannya bagi ilmu pengetahuan, sejarah, masyarakat, dan kejamakannya. Cakupan kriteria pembobotan tersebut cukup luas, sehingga dalam pelaksanaannya perlu peran serta beberapa pihak baik pakar di bidangnya maupun masyarakat pewaris suatu BCB. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, langkah ini merupakan peluang bagi daerah untuk ikut
memberikan strategi, mengingat bahwa daerah juga mempunyai tanggung jawab pengelolaan sumberdaya di wilayahnya. Keikutsertaan masyarakat dan daerah pada gilirannya akan membuahkan hubungan kerja yang manis. Bentuk perlindungan dan pelestarian BCB dapat berupa penataan lahan kawasan/situs dengan zonasi/pemintakatan. Mintakat itu setidaknya terdiri atas mintakat inti, penyangga, dan pengembangan. Masing-masing zona itu, tingkat perlindungannya tidak sama (Dradjat, 1991). Aturan perlindungan dan pemanfaatan pada zona inti tentu lebih ketat dibandingkan dengan zona penyangga dan zona pengembangan karena zona inti merupakan area yang sudah pasti mengandung BCB. Seperti halnya pada langkah pembobotan, maka daerah dan masyarakat selayaknya diikutsertakan agar batas-batas zonasi diketahui dan dipahami sehingga pelanggaran pemanfaatan terutama zona inti dapat dihindari. Perlindungan BCB dapat pula dicapai dengan pemugaran, terutama bagi BCB yang rusak oleh faktor alam atau manusia. Sebelum dilakukan kegiatan pemugaran perlu diawali dengan penelitian (studi kelayakan) untuk menentukan layak tidaknya suatu BCB dipugar. Selain studi kelayakan, penelitian yang perlu dilakukan dalam pemugaran adalah penentuan strategi atau langkah-langkah pemugaran dan upaya mengungkap teknik dan perilaku pembuatan bangunan, misalnya candi (Anom, 1997). Fenomena di atas jelas menggambarkan bahwa dalam tindakan perlindungan diperlukan wawasan penelitian. Peluang daerah dalam aspek ini berada dalam subsidi penyedia dana karena pemugaran BCB pada gilirannya dapat dimanfaatkan. Namun demikian, suntikan dana tersebut hendaknya tidak menjadi ancaman bagi perlindungan dan pelestarian BCB. Upaya perlindungan yang di dalamnya terkandung pemugaran BCB bertujuan untuk melestarikan keberadaannya, agar supaya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat ditarik manfaatnya oleh generasi penerus. BCB dipandang memberi manfaat lebih apabila dapat mendatangkan kesejahteraan nyata kepada masyarakat secara ekonomi. Minat masyarakat yang besar terhadap artefak, benda antik, dan benda seni menyebabkan munculnya pasar yang menjanjikan (Mattix, 1999). Bagi daerah yang memiliki potensi BCB, peluang itu dapat ditangkap seiiring dengan trend pariwisata global yang berorientasi pada pariwisata budaya (cultural tourism) karena keunikan budaya merefleksikan adat istiadat, pandangan, dan cara hidup masyarakat pendukung BCB
menjadi daya tarik utama yang dibutuhkan turis untuk memperkaya pengalamannya. Data di lapangan menjukkan bahwa peluang pemanfaatan tersebut ditangkap oleh pemerintah daerah tanpa memperhatikan rambu-rambu yang diposisikan secara legal. Akibatnya sering terjadi pemindahan, penambahan, atau pengerusakan BCB, padahal sifatnya terbatas, unik, dan tidak terbaharui. Oleh karena itu, pemanfaatan BCB tidak perlu mengorbankannya. Turisme menurut Butler (1997) seringkali menjadi ancaman bagi keaslian (autenticity), identitas budaya (cultural identity) sehingga dalam pemanfaatan BCB pemasaran dan pengemasannya perlu menggunakan rambu-rambu agar sifat dan nilai yang terkandung di dalamnya terjaga. Pemanfaatan BCB untuk meraih potensi ekonomi biasanya melibatkan beberapa pihak yang memiliki perbedaan kepentingan. Pihak-pihak yang terlibat, tidak hanya pemerintah pusat-daerah, instansi yang terkait pusat-daerah, pihak swasta, kalangan akademisi, dan masyarakat luas. Akibatnya, tidak jarang terjadi konflik kepentingan di antara pihak-pihak tersebut sebagai akibat tidak terakomodasinya masing-masing kepentingan secara berimbang. Agar konflik itu dapat diatasi, maka pemanfaatan BCB harus dilakukan dengan bijak dan dengan menerapkan prinsip win-win solution, termasuk menyeimbangkan aspek perlindungan dan pelestariannya (Tanudirjo, 1998). Konflik kepentingan dan kewenangan dalam pengeloaan BCB di era otoda disebabkan oleh beberapa faktor, di antara faktor itu adalah manajemen yang diterapkan. Dalam manajemen strategik dikenal tiga tingkatan manajemen, yakni manajemen tingkat atas; tingkat menengah; dan tingkat bawah. Apabila tiga tingkatan itu diterapkan dalam struktur organisasi/instansi pengelola BCB muncul pertanyaan instansi mana yang diposisikan sebagai manajemen puncak, dan instansi mana yang didudukkan pada manajemen menengah dan bawah. Melihat tugas dan wewenang Asdep seperti yang dikemukakan di depan, dapat diandaikan Deputi dan 2 (dua) Asdep merupakan manajemen puncak, sedangkan BP3 dan Balar serta Dinas lain (Kebudayaan, Pariwisata, dan Museum) di tingkat Provinsi merupakan manajemen menengah. Adapun dinas-dinas di tingkat Kabupaten/Kota merupakan manajemen tingkat bawah. Seandainya 3 (tiga) tingkatan manajemen dalam era otoda, maka akan terjadi kendala karena Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk mengelola sumberdaya di wilayahnya. Kenyataan itu memberikan pengertian bahwa
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
13
dinas-dinas di Kabupaten/Kota memiliki 2 (dua) induk organisasi. Satu pihak berinduk pada pemerintah pusat, sedangkan di pihak lain berinduk pada pemerintah daerah. Akibatnya terjadi dualisme yang menyebabkan pelaksanaan visi organisasi menjadi tidak efisien. Untuk itulah perlu koordinasi antar instnasi terkait agar visi pengelolaan dan pemanfaatan yang berwawasan pelestarian dapat tercapai dan konflik kewenangan dan kepentingan antar instansi pusat dan daerah dapat diminimalisasi.
Penutup ◙ Dalam era otonomi daerah, BCB merupakan salah satu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pendapatan asli daerah, akan tetapi dalam pelaksanaannya jangan sampai meninggalkan asas perlindungan dan pelestarian, agar keaslian dan identitas budaya yang terkandung dalam BCB tidak terancam luntur dan punah. Pengelolaan BCB perlu menerapkan prinsip win-win solution melalui koordinasi dan sinergi antar instansi, baik internal maupun eksternal, agar konflik kewenangan dan pelanggaran dapat diminimalkan. Dalam pengembangan dan pemanfaatan BCB di era otoda diperlukan SDM yang berlatar pendidikan arkeologi dan memiliki kepedulian terhadap pelestarian BCB dalam jumlah yang memadai agar pengelolaannya tidak menghilangkan nilai pentingnya. ◙ Upaya perlindungan dan pelestarian terhadap BCB bertujuan pula untuk memberikan kesejahteraan kepada banyak pihak melalui pemanfaatan untuk mencapai tujuan itu. Pengelolaan BCB harus mengoptimalkan pendayagunaan secara berimbang unsur-unsur manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaksanaan, dan pengontrolan). Dari kelima unsur itu, pengontrolan (evaluasi) merupakan unsur yang kurang optimal dilaksanakan. ◙ Perlu penyebarluasan peraturan perundangundangan terhadap BCB untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat terhadap perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan BCB. ◙ Diharapkan dengan penerapan manajemen BCB yang berdaya guna menyebabkan BCB dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, sehingga rasa memiliki dan menjaga kelestariannya dapat tumbuh dari generasi ke generasi. ◙ Pengelolaan BCB bagaimanapun harus mengikutsertakan masyarakat, karena masyarakatlah
14
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
yang memiliki dan mengetahui karakteristik BCB di daerahnya. ◙ Untuk mengatasi/menghindari terjadinya kerusakan BCB di suatu lokasi yang akan digunakan untuk perluasan kawasan industri dan atau pemukiman memerlukan sikap antisipatif. !
Daftar Pustaka Anom, I.G.N., 1997, “Kesepadanan Aspek Teknis dan Aspek Keagamaan dalam Pendirian Candi Periode Jawa tengah: Studi Kasus Candi Utama Sewu”, Disertasi UGM, Yogyakarta. Atmosudiro, Sumijati, 2004, ”Khasanah Sumberdaya Arkeologi Indonesia: Peluang dan Kendala Pemanfaatannya”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta. ______, 2004, “Manajemen Sumberdaya Arkeologi dan Kendala Penerapannya”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tingkat Dasar, Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Trowulan. Butler, R., 1997, “The Destination Life Circle: Implication for Heritage Site Management and Attractivity”, dalam Wiendu Nuryanti, ed., Tourism and Heritage Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 44-53. Haryono, Timbul, 2003, “Pengembangan dan Pemanfaatan Aset Budaya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Makalah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 25-27 Maret 2003. Larsen, K.E., 1994. Architectural Preservation in Japan. Trodheim: Tapir Publisher for ICOMOS International Committee. Mattix, C., 1999. “Using Legal Tools to Preserve Heritage Sites”, dalam Wiendhu Nuryanti, Heritage, Tourism and Local Communities. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp. 109-123. Pearson, M. dan Sullivan,S., 1995, Looking after Heritage Places, Melbourne University Press, Carlton-Victoria, Australia. Siagian Sondang, P., 1995, Management Strategik, Jakarta: Bumi Aksara. Tanudirjo, D.A., 1994, Kualitas Penyajian Warisan Budaya kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur, PAU-SS UGM, Yogyakarta. Untoro Dradjat, H., 1991, “Eksploitative Managemnet of the Archaeological Heritage in Indonesia”, A Dissertation Submited for Deggre of Art in Archaeological Heritage Management, Department of Archaeology, University of York. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya."
PELESTARIAN BCB dan Situs di Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau pada Era Otonomi Daerah Oleh:
Drs. Marsis Sutopo, M.Si. Kepala BP3 Batusangkar
S
ejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom mengakibatkan adanya perubahan secara signifikan berkaitan dengan masalah pengelolaan dan kewenangan di bidang pelestarian benda cagar budaya dan situs.
B
erkaitan dengan kewenangan pemerintah (pusat) di bidang pelestarian benda cagar budaya, dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 antara lain dinyatakan bahwa pemerintah (pusat) memiliki kewenangan antara lain: ! Penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan, dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi; ! Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional. Sementara itu Provinsi memiliki kewenangan di bidang penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah. Sesuai dengan ketentuan di atas maka ada sebagian kewenangan di bidang pelestarian benda cagar budaya dan situs yang sudah menjadi tanggungjawab Daerah Otonom. Namun dalam
kenyataannya implementasi dari ketentuan di atas masih menghadapi beberapa kendala, antara lain masalah kemampuan keuangan Daerah Otonom dan SDM pelaksana yang memahami masalah pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs di Daerah Otonom. Berdasarkan pemantauan di lapangan, sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah baru sebagian kecil Daerah Otonom (Kabupaten dan Kota) yang secara aktif melakukan pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs dengan mengalokasikan anggaran melalui APBD. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan kemampuan keuangan Daerah Otonom itu sendiri dan juga skala prioritas pembangunan yang perlu ditangani. Daerah Otonom yang secara aktif sudah melakukan pelestarian benda cagar budaya dan situs dengan mengalokasikan anggaran melalui APBD antara lain Kabupaten Tanah Datar, Kabuaten 50 Koto, Kota Bukittinggi, Kota Sawahlunto, Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Daik, dan Kota Tanjungpinang. Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
15
Tabel 1 Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak dan Situs di Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau Posisi Desember 2004
No. A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat Kab. Tanah Datar Kab. Solok Kab. Solok Selatan Kab. Sawahlunto Sijunjung Kab. Dharmasraya Kab. Pasaman Kab. Pasaman Barat Kab. Agam Kab. Lima Puluh Koto Kab. Padang Pariaman Kab. Pesisir Selatan Kab. Mentawai Kota Pariaman Kota Padang Kota Padangpanjang Kota Bukittinggi Kota Payakumbuh Kota Solok Kota Sawahlunto
Jumlah BCB/Situs
B. 43 8 4 9 11 7 8 22 53 40 14 29 74 3 38 16 7 47
Selain kemampuan keuangan daerah setempat, perhatian Daerah Otonom mengalokasikan anggaran melalui APBD tersebut karena juga dipengaruhi setidak-tidaknya oleh dua pertimbangan, yaitu Pertama, benda cagar budaya dan situs yang ada merupakan kebanggaan daerah setempat; dan Kedua, memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan pemanfaatannya sebagai obyek wisata budaya. Sementara itu untuk benda cagar budaya dan situs yang memiliki potensi yang rendah untuk dikembangkan, dalam kenyataannya belum mendapatkan perhatian yang optimal sehingga pelestarian dan pengelolaannya sepenuhnya masih ditangani oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Berdasarkan data terakhir tahun 2004, benda cagar budaya dan situs yang berada di Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau sebanyak 550 obyek (lihat: Tabel 1), yang terdiri dari berbagai jenis dan bentuk tinggalan dari masa Prasejarah, Klasik, Islam, Kolonial, dan Perjuangan. Pelestarian dan pengelolaan yang dilakukan
16
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
No.
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. C. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Kabupaten Kota
Jumlah BCB/Situs
Provinsi Riau Kab. Kampar Kab. Pelalawan Kab. Rokan Hulu Kab. Rokan Hilir Kab. Siak Kab. Indragiri Hulu Kab. Kuantan Singingi Kab. Indragiri Hilir Kab. Bengkalis Kota Pekanbaru Kota Dumai
10 6 4 2 12 8 3 3 6 3 -
Provinsi Kepulauan Riau Kab. Natuna Kab. Kepulauan Riau Kab. Daik Kab. T. Balai Karimum Kota Tanjung Pinang Kota Batam Jumlah
1 6 11 5 16 550
oleh Balai P3 Batusangkar selama ini adalah dalam bentuk penanganan fisik dalam bentuk pemugaran (partial dan total), perlindungan, dan pemeliharaan, serta dan penanganan non fisik yang berupa inventarisasi dan dokumentasi. Untuk pemeliharaan rutin dilakukan dengan pengangkatan Juru Pelihara honorer yang pada tahun 2004 telah diangkat sejumlah 152 Juru Pelihara untuk 141 obyek. Penentuan obyek benda cagar budaya dan situs yang diberi Juru Pelihara dipilih berdasarkan pertimbangan antara lain (1). Obyek tersebut memiliki nilai potensial dan penting untuk dilestarikan, (2) Pemkab/Pemkot setempat belum mengalokasikan anggaran untuk pengangkatan Juru Pelihara, (3) Masyarakat setempat belum mampu untuk memelihara secara swadana. Adapun untuk bangunan-bangunan kolonial di perkotaan yang masih dihuni oleh pemiliknya atau difungsikan untuk perkantoran dan fungsi-fungsi lainnya tidak diberi Juru Pelihara dengan pertimbangan bahwa pemilik atau pengelolanya masih sanggup untuk memelihara dan melestarikan bangunan tersebut.
Kelembagaan dan Masalah SDM di Daerah Otonom Sebelum diberlakukan Otonomi Daerah terdapat dua bentuk kelembagaan (instansi) yang berada di Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan, yaitu yang sifatnya instansi vertikal dan dinas yang berada di bawah Pemda. Secara berjenjang instansi vertikal yang berada di Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan adalah Kanwil Depdikbud, Kandepdikbud Kabupaten/Kota, dan Kandepdikbucam. Secara berjenjang pula di semua daerah, pejabat yang menangani bidang kebudayaan juga sama, yaitu Kabid Muskala/ Musjarah, Kasi Kebudayaan, dan Penilik Kebudayaan. Kesamaan nomenklatur kelembagaan dan pejabat yang menangani bidang kebudayaan demikian sangat memudahkan dalam koordinasi penanganan pelestarian benda cagar budaya yang tersebar di wilayah Kabupaten dan Kota. Bahkan Kasi Kebudayaan yang berada di setiap Kabupaten/Kota dan Penilik Kebudayaan yang berada di setiap Kecamatan sudah banyak yang memperoleh diklat atau penyuluhan berkaitan dengan pelestarian benda cagar budaya. Setelah diberlakukannya Otonomi Daerah, instansi vertikal yang menangani bidang kebudayaan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sudah tidak ada lagi. Dengan tidak adanya aturan yang baku mengenai nomenklatur dan penamaan dinas, maka setiap Daerah Otonom di tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota memiliki nama yang berbeda-beda. Pada umumnya bidang kebudayaan yang dipisahkan dari bidang pendidikan kemudian digabung dengan pariwisata. Bahkan kadang digabungkan dengan bidang-bidang yang lain, yang ”agak jauh” kaitannya dengan bidang kebudayaan. Muncullah kemudian nama-nama antara lain Dinas/Kantor Budpar, Dinas Parsenibud, dan Dinas Parsenibudpora. Bahkan ada Dinas Parhub (Pariwisata dan Perhubungan) dengan Subdin Kebudayaan di dalamnya. Ada juga bidang kebudayaan yang masih di bawah pengelolaan Dinas Pendidikan Nasional. Perbedaan nama-nama dinas tersebut pada akhirnya juga mengakibatkan nama-nama pejabat yang menangani masalah kebudayaan (pelestarian benda cagar budaya) juga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal demikian sering “merepotkan” dalam koordinasi penanganan benda cagar budaya pada setiap Daerah Otonom. Masalah lain yang juga cukup krusial adalah para pejabat yang memiliki kewenangan di bidang kebudayaan tersebut umumnya pejabat-pejabat baru yang belum memiliki pemahaman di bidang
penanganan pelestarian benda cagar budaya dan situs. Kasi Kebudayaan di tingkat Kabupaten/Kota dan Penilik Kebudayaan di tingkat Kecamatan banyak yang sudah alih tugas tidak menangani bidang kebudayaan. Masalah ini tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus karena bagaimanapun juga pejabat di Daerah Otonom yang menangani masalah kebudayaan perlu memahami masalah pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Lebih-lebih jika sebagian kewenangan mengenai pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs sudah diserahkan ke Daerah Otonom sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka masalah ketersediaan SDM yang memahami pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs sudah merupakan tuntutan logis yang tidak dapat dihindari.
Perlunya Regulasi di Daerah Otonom Sampai saat sekarang ini benda cagar budaya dan situs yang berada di Daerah Otonom umumnya belum memiliki ketetapan hukum karena belum ada penetapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan benda cagar budaya dan situs di Provinsi Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau yang sudah terdaftar dalam Daftar Inventaris BCB/Situs di Balai P3 Batusangkar baru sebagian kecil yang sudah memiliki Kepmen sebagai BCB dan Situs. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah dan upaya yang cepat untuk penetapan secara hukum sehingga dalam konflik-konflik kepentingan keberadaan benda cagar budaya dan situs memiliki landasan hukum yang jelas dan tegas mengenai statusnya. Pada sisi lain setiap Daerah Otonom juga memerlukan “produk regulasi daerah” yang memiliki makna yang strategis khususnya untuk pengalokasian anggaran APBD. Regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) Pelestarian Benda Cagar Budaya merupakan salah satu regulasi daerah yang dapat dipakai sebagai alat bargaining pihak eksekutif dengan pihak legislatif dalam kaitannya dengan pengesahan program dan pengalokasian anggarannya. Dengan adanya Perda, maka pihak eksekutif sebagai penyusun dan perencana program kegiatan akan memiliki dasar hukum yang jelas untuk minta alokasi anggaran ke pihak legislatif. Oleh karena itu regulasi daerah dalam bentuk PERDA perlu disikapi secara bijak dan diberi makna yang strategis dalam perspektif kepentingan Daerah Otonom dalam kaitannya dengan pelestarian benda cagar budaya. Dalam konteks demikian, maka beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki banyak benda cagar Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
17
budaya dan situs yang potensial mulai memandang perlunya PERDA Pelestarian Benda Cagar Budaya, bahkan telah berkoordinasi dengan Balai P3 dalam rangka untuk penyiapan penyusunannya. Masalahnya sekarang, apakah perlu ada kesamaan bentuk baku dan substansi pokok mengenai PERDA Pelestarian Benda Cagar Budaya untuk Daerah Otonom? Kalau memang perlu siapa yang memiliki kewenangan untuk menyusun bentuk baku dan substansi pokok tersebut? Hal ini dengan pertimbangan bahwa yang diatur adalah “obyek yang sama” sehingga antara satu Daerah Otonom dengan Daerah Otonom lainnya di wilayah hukum RI memiliki “pola dasar” yang sama meskipun secara isi akan berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setiap daerah.
Visi, Misi, dan Program Strategis Berdasarkan pemantauan di Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau selama Otonomi Daerah dilaksanakan, terdapat beberapa masalah dan isu berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Beberapa masalah dan isu tersebut antara lain: (1). Peran Daerah Otonom dalam pelestarian BCB belum optimal sesuai dengan UU Otonomi Daerah, (2). Perangkat perlindungan hukum di tingkat Daerah Otonom belum lengkap (dalam bentuk SK dan Perda), (3). SDM di bidang pelestarian dan pengelolaan BCB di setiap Daerah Otonom belum memadai, (4). Petunjuk Operasional Teknis (Standard Pelayanan Minimal) pelestarian dan pengelolaan BCB di Daerah Otonom belum disosialisasikan dan dipahami, (5). Masih sering terjadi salah penanganan secara teknis dan prosedur dalam pelestarian dan pengelolaan BCB, dan (6). Pemanfaatan BCB belum optimal. Untuk menghadapi masalah dan isu tersebut maka diperlukan langkah dan upaya strategis, antara lain (1). Menyusun arah kebijakan pelestarian dan pengelolaan yang tertuang dalam program dan kegiatan, (2). Meningkatkan profesionalitas SDM, dan (3). Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi. Berkaitan dengan masalah, isu, dan program strategis tersebut maka yang perlu mendapatkan prioritas adalah kegiatan yang berupa: 1. Penyusunan arah kebijakan pelestarian dan pengelolaan BCB/Situs di Daerah Otonom. 2. Peningkatan koordinasi antar Dinas, Instansi dan pihak terkait (network stakeholders). 3. Pendampingan penyusunan program pelestarian dan pengelolaan BCB/Situs di Daerah Otonom.
18
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
4. Pendampingan penetapan BCB Tidak Bergerak dan penyusunan PERDA pelestarian BCB. 5. Pendampingan pemugaran BCB/Situs di Daerah Otonom. 6. Peningkatan kualitas dan profesionalitas SDM di lingkungan BP3 Batusangkar dan Daerah Otonom 7. Pelaksanaan Bintek pelestarian dan pengelolaan BCB untuk SDM Daerah Otonom secara berkesinambungan dan berkelanjutan. 8. Penyiapan dan pembinaan SDM Arkeologi Bawah Air. 9. Pemanfaatan Teknologi Informatika. 10. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian BCB/Situs. 11. Membangun Komitmen Bersama. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.51/OT.001/MKP/ 2003 Tanggal 5 Desember 2003 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala maka BP3 menyelenggarakan fungsi: • Melaksanakan pemeliharaan, pengelolaan, dan pemanfaatan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs peninggalan arkeologi bawah air. • Melaksanakan perlindungan peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan. • Melaksanakan pemugaran peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan. • Melaksanakan dokumentasi peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan. • Melaksanakan penyidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs termasuk yang berada di lapangan maupun yang tersimpan di ruangan. • Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat tentang peninggalan sejarah dan purbakala. • Melaksanakan penetapan benda cagar budaya bergerak di wilayah kerja Balai Pelestarian. • Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai Pelestarian. Berdasarkan fungsi tersebut di atas dan dikaitkan dengan kondisi era Otonomi Daerah, maka diperlukan apresiasi dan terobosan agar pelaksanaan fungsi Balai P3 dapat koordinatif dan
sinergis dengan Dinas/Instansi di Daerah Otonom yang juga memiliki kewenangan dalam pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Pola pikir dari “pelaksana tunggal” sebaiknya secara bertahap bergeser menjadi “pendamping, pembina, dan motivator” bagi pelaksanaan pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs di Daerah Otonom. Hal ini karena Balai P3 sebagai UPT Pusat yang berada di Daerah memiliki obyek garapan benda cagar budaya dan situs semuanya berada di wilayah Daerah Otonom. Balai P3 secara langsung hanya menangani dan mengelola benda cagar budaya dan situs yang sifatnya khusus dan memiliki bobot nasional. Oleh karena itu, peran Daerah Otonom dan masyarakat perlu diarahkan dan ditumbuhkembangkan sehingga dapat melaksanakan kewenangannya secara optimal. Menyikapi kondisi kekinian dan kondisi ke depan yang diharapkan maka Balai P3 Batusangkar sesuai dengan fungsi organisasi menyusun Visi, yaitu “Terwujudnya Pelestarian dan Pemanfaatan BCB yang Optimal Didukung Oleh Sumberdaya Manusia yang Profesional dan Peranserta Masyarakat”. Adapun Misi yang dikembangkan meliputi:
• Meningkatkan upaya pelestarian dan peman• • • •
faatan BCB di Provinsi Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau. Meningkatkan profesionalitas SDM di bidang pelestarian dan pemanfaatan BCB. Meningkatkan kerjasama antar instansi dan lintas sektoral. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian BCB. Menjalin kerjasama dengan LSM yang bergerak di bidang pelestarian budaya.
Dengan Visi dan Misi tersebut tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah: • Terwujudnya pelestarian dan pemanfaatan BCB di Provinsi Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau secara optimal. • Terwujudnya SDM yang profesional di bidang pelestarian BCB, baik di lingkungan Balai P3 Batusangkar maupun Daerah Otonom di Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau. • Terwujudnya koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar instansi terkait. • Terwujudnya peranserta masyarakat dalam pelestarian dan pemanfaatan BCB. • Terwujudnya kerjasama dengan LSM dalam pelestarian dan pemanfaatan BCB.
Sesuai dengan Tupoksi, Visi-Misi, dan Tujuan, maka Rencana Program Kerja Jangka Pendek, Jangka Menengah, dan Jangka Panjang yang sudah tersusun di lingkungan BP3 Batusangkar adalah sebagai berikut: 1. Jangka Pendek (2004 - 2005) a. Meningkatnya profesionalitas SDM di bidang pelestarian BCB. b. Meningkatnya upaya pelestarian BCB di Provinsi Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau. c. Meningkatnya koordinasi antar instansi di setiap Daerah Otonom. 2. Jangka Menengah (2006 – 2008) a. Meningkatnya perhatian Daerah Otonom terhadap pelestarian BCB dan Situs yang berada di wilayah masing-masing. b. Meningkatnya perangkat perlindungan hukum terhadap BCB dan Situs yang berada di setiap Daerah Otonom dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Tentang Pelestarian BCB dan Situs. c. Meningkatnya kepedulian masyarakat dalam upaya pelestarian BCB. d. Meningkatnya penyebarluasan informasi tentang BCB dan Situs. 3. Jangka Panjang (2009 – 2011) a. Meningkatnya pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan BCB dan Situs pada setiap Daerah Otonom sesuai dengan potensinya. b. Meningkatnya upaya pelestarian terhadap BCB dan Situs Bawah Air. c. Meningkatkan kerjasama dengan stakeholders dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan BCB dan Situs.
Catatan Akhir Era Otonomi Daerah memberikan tantangan dan peluang bagi peningkatan pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya dan situs yang berada di Daerah Otonom. Dengan adanya kewenangan Daerah Otonom dalam menangani pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka tantangan yang muncul adalah perlunya koordinasi yang lebih intensif antara instansi vertikal dan Dinas di Daerah Otonom yang memiliki kewenangan serta masalah kesiapan SDM di Daerah Otonom yang memahami pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Pada sisi lain, era Otonomi Daerah memberikan peluang semakin lestarinya BCB dan Situs yang tersebar di berbagai Daerah Otonom. Hal ini Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
19
karena Daerah Otonom, khususnya daerah yang memiliki potensi BCB/Situs dan PAD yang relatif tinggi, sudah mulai mengalokasikan anggaran untuk pelestarian BCB dan Situs yang berada di wilayahnya. Namun demikian agar tidak terjadi kesalahan penanganan secara teknis dan prosedur, masih perlu dilakukan pendampingan teknis dalam pelaksanaannya. Menghadapi kondisi demikian, maka Balai P3 Batusangkar pada tahun 2004 menyelenggarakan Rapat Koordinasi Wilayah Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya dan Situs se-Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau dengan mengundang semua Dinas di Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang membidangi masalah kebudayaan.Tujuan pokok Rakorwil tersebut adalah (1). Agar terjalin koordinasi yang lebih intensif antara Balai P3 Batusangkar dengan Dinas yang membidangi masalah kebudayaan, (2) Menyusun arah kebijakan bersama berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs (lihat: Hasil Rumusan Rakorwil). Dengan adanya arah kebijakan yang terarah dan pemahaman para pejabat di Daerah Otonom yang membidangi masalah benda cagar budaya dan situs maka diharapkan program dan kegiatan pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs dapat berjalan optimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
20
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
Untuk menyiapkan SDM di Daerah Otonom pada tahun 2004 Balai P3 Batusangkar menyelenggarakan Bintek untuk Kasi Kebudayaan dengan tujuan agar pejabat Kasi yang berada di Provinsi/Kabupaten/Kota memahami masalah pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Dengan pemahaman tersebut diharapkan para Kasi Kebudayaan atau Kasi yang menangani masalah pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs dapat menyusun program/kegiatan di daerahnya masing-masing. Pada akhirnya, menghadapi era Otonomi Daerah dengan permasalahan yang semakin kompleks diperlukan upaya-upaya yang strategis. Kinerja pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya dan situs dapat semakin meningkat dan sangat ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu komitmen, teamwork, dan network. Sebagai dasar fundamental bagi upaya pelestarian BCB/ Situs adalah komitmen bersama, bahwa semua pihak (pemerintah, masyarakat, dan swasta [stakeholders]) memiliki tanggungjawab bersama dalam upaya melestarikan BCB/Situs. Oleh karena pelestarian BCB/Situs bukanlah pekerjaan individual, maka perlu dibangun teamwork dan network secara sinergis sehingga upaya pelestarian akan memperoleh hasil yang optimal dan berdaya guna serta dapat mengakomodasi berbagai kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.!
PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang Oleh :
Drs. Said Parman
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang
Pendahuluan
Tanjungpinang merupakan kota yang sarat akan sejarah, budaya dan adat istiadat Melayu. Kondisi geografisnya yang terdiri dari kepulauan merupakan keistimewaan bagi Kota Tanjungpinang. Dari sejarah kepulauan ini terungkap bahwa sejarah Melayu berakar dari kota ini. Keterkaitan sejarah tidak hanya dengan sejarah Kerajaan Lingga, Kerajaan Malaka dan kerajaan yang berlokasi di Kotapiring, akan tetapi juga memiliki hubungan dengan kerajaankerajaan di Jawa dan Bugis.
B
agian Kota Tanjungpinang yang mempunyai peranan penting dalam kesejarahan adalah pusat Kota Lama yang ada di Kota Tanjungpinang Pulau Penyengat, Senggarang, Kota lama/ Kota Rebah dan Kota Piring. Kota Tanjungpinang di dalamnya banyak terdapat peningggalan berupa potensi cagar budaya yang berwujud bangunanbangunan arsitektural, makam dan situs. Kota Tanjungpinang saat ini memiliki beberapa permasalahan yang harus segera dipecahkan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain : 1. Kota Tanjungpinang memiliki banyak artefak bangunan arsitektural, makam dan situs, disisi lain keberadaannya berdampingan dengan pemukiman penduduk yang semakin bertambah sehingga memerlukan penanganan yang serius. 2. Lokasinya yang strategis menuntut Kawasan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang
untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin, baik untuk kepentingan kepariwisataan maupun kepentingan ekonomi. 3. Kawasan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang merupakan bagian dari akar Budaya Melayu yang harus dilestarikan dengan berbagai upaya. 4. Saat ini Kawasan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang sebagian sudah ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, dengan demikian perlu dipikirkan arah pengembangan di masa yang akan datang. Dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka dirasakan perlu untuk menyusun suatu rencana pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang sekaligus memberikan arahan pengoptimalan fungsi pulau, baik dari segi kepariwisataan maupun pelestarian sejarah. Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
21
Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan rencana pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya sebagai cagar budaya di Kota Tanjungpinang adalah: 1. Memberikan arahan dan pedoman mengenai pengembangan ruang kawasan budaya dan pariwisata yang mampu mengakomodasikan demand dan suplay mengenai wisata dan pelestarian sejarah. 2. Memperhatikan aspek penyelamatan/perlindungan dan pemanfaatan BCB. 3. Memberikan arah mengenai pelestarian kualitas lingkungan, kemudahan akses, kenyamanan dan keterjangkauan oleh masyarakat luas. 4. Menarik wisatawan dan investor domestik serta mancanegara untuk berpartisipasi dalam melestarikan potensi bersejarah BCB Melayu yang ada di Kota Tanjungpinang. Sasaran yang dilakukan dalam mencapai tujuan pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya Melayu di Kota Tanjungpinang adalah : 1. Mengidentifikasi kondisi eksisting kawasan yang terdapat Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang (fisik alam, kependudukan, sosial, ekonomi) 2. Mengidentifikasi potensi sejarah, potensi budaya dan adat istiadat. 3. Mengidentifikasi potensi Benda Cagar Budaya (berupa bangunan arsitektural, situs, makam). 4. Mengkaji rencana tata ruang dan studi yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan cagar budaya. 5. Menganalisis potensi wilayah regional dan lokal. 6. Menyusun strategi dan skenario pengembangan. 7. Menyusun skema pembiayaan dan pengelolaan. 8. Menyusun masterplan upaya pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang.
Manfaat Dengan tersusunnya masterplan pelestarian dan pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya Melayu di Kota Tanjungpinang ini, maka sudah ada pedoman pengembangan selanjutnya dimasa yang akan datang. Pedoman ini digunakan untuk menyamakan visi, misi persepsi dan prefensi mengenai pelestarian dan pemanfataan Kawasan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang sehingga segala upaya dapat lebih terencana, efektif, efi-
22
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
sien, terfokus dan tidak terjadi tumpang tindih dalam perencanaan, pembiayaan dan pengelolaan.
Identifikasi Hasil Pendataan dan Penyusunan Pendataan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang. 1. Hulu Riau/Sungai Carang - Kota Rebah di Kel. Melayu Kota Piring, Kec. Tanjungpinang Timur. - Komplek Makam Daeng Marewah di Kel. Melayu Kota Piring, Kec. Tanjungpinang Timur. - Komplek Makam Daeng Celak di Kel. Melayu Kota Piring, Kec. Tanjungpinang Timur. - Komplek Makam Tun Abbas di Kel. Melayu Kota Piring, Kec. Tanjungpinang Timur. - Kota Piring di Kel. Melayu Kota Piring, Kec. Tanjungpinang Timur. - Komplek Makam Sultan Sulaiman Badrul Alam Kampung Bulang Km. 6 di Kel. Kampung Bulang, Kec. Tanjungpinang Timur. - Makam Daeng Kamboja di Kel. Kampung Bugis, Kec. Tanjungpinang Kota. - Makam Raja Ali/Mahrum Pulau Bayan di Kel. Tanjung Unggat, Kec. Bukit Bestari. - Pulau Bayan di Kel. Kampung Bugis, Kec. Tanjungpinang Kota. 2. Pulau Penyengat - Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Komplek Makam Engku Putri Raja Hamidah di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Makam Raja Haji Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang di Kel. Penyengat Kec. Tanjungpinang Kota. - Komplek Makam Raja Jakfar YDM Riau IV di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Makam Embung Fatimah di Kel. Penyengat. Kec. Tanjungpinang Kota. - Komplek Istana Kantor di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Bekas Istana Kedaton di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Bekas Gedung Raja Haji Abdullah Hakim Mahkamah Syariah di Kel. Penyengat Kec. Tanjungpinang Kota. - Istana Bahjah Istana Raja Ali Kelana di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Taman Pantai di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota.
- Rusydiah Klub dan Tapak Percetakan Kerajaan di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Gedung Tabib di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Gedung Mesiu di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Perigi Putri/Perigi Kunci di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Benteng dan Kubu serta Parit Pertahanan di Kel. Penyengat, Kec. Tanjungpinang Kota.
mady, terdiri dari kitab-kitab ushuluddin, fiqih, tasyawuf, tafsir, kitab-kitab yang dibeli di Mesir, Arab, dan India dalam tahun 1883 yang sekarang tersimpan di Masjid Pulau Penyengat. 3. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional di Tanjungpinang. Lembaga informasi sejarah dan kebudayaan, rujukan dan referensi untuk bahan-bahan kebudayaan sukubangsa di Indonesia, khususnya di bagian barat Sumatera, Kalimantan dan sekitarnya.
3. Tanjungpinang - Makam Datuk Ledang di Kel. Kamboja, Kec. Tanjungpinang Kota. - Kelenteng Tua Tien Shang Miao dan Hsuan Tien Shang Ti Miao di Kel. Kampung Bugis, Kec. Tanjungpinang Barat. - Kelenteng Lama T’en Huo Kong di Kel. Tanjungpinang Barat, Kec. Tanjungpinang Barat. - Rumah Jil (Penjara/LP) di Kel. Tanjungpinang Barat, Kec. Tanjungpinang Barat. - Prins Hendrik Fort Tanjung Buntung di Kel. Tanjungpinang Barat, Kec. Tanjungpinang Kota. - Gereja Ayam di Kel. Tanjungpinang Barat, Kec. Tanjungpinang Barat. Selain benda-benda sejarah teridentifikasi pula situs maupun tempat bersejarah, monumen-monumen sejarah dan budaya, lembaga-lembaga sejarah dan budaya, antara lain : 1. Pusat Informasi Kebudayaan Melayu Riau di Pulau Penyengat. Suatu wadah kebudayaan yang menyediakan informasi-informasi tentang sejarah dan kebudayaan Melayu seperti kitab-kitab kuna, naskah/manuskrip, buku-buku rujukan, kumpulan naskah/thesis dan sebagainya menge-nai sejarah, bahasa, adat istiadat, kesenian, informasi, kebudayaan pada umum. Pusat Informasi kebudayaan Melayu Riau sangat menunjang keberadaan peninggalan-peninggalan sejarah setempat. 2. Perpustakaan Kuno Khutub Khanah Yamtuan Ahmady di Pulau Penyengat. Khutub Khanah Yamtuan Ahmady adalah himpunan kitab-kitab perpustakaan Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhamad Yusuf Ah-
4. Museum Swasta “Kandil Riau” Museum yang terdapat di Tanjungpinang adalah museum swasta Kandil Riau yang terletak di Km 2,5 yang banyak menyimpan alat-alat upacara adat, potret-potret tua, bermacammacam jenis senjata, peralatan rumah tangga, benda-benda kesenian, replika perahu, keramik-keramik dan lain-lain.
Permasalahan Permasalahan pertumbuhan penduduk merupakan permasalahan paling mendasar di sekitar Kawasan Benda Cagar Budaya tersebut dikarenakan pertumbuhan penduduk akan menimbulkan kebutuhan akan lahan baik untuk sarana pemukiman maupun sarana prasarana lain yang berkaitan dengan kelangsungan hidup. Kebutuhan lahan tersebut sangat membahayakan kelestarian dan keberadaan Benda Cagar Budaya yang ada disekitarnya. Dikhawatirkan, apabila pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan, maka akan mendesak dan menghilangkan Benda Cagar Budaya. Disisi lain, apabila kebutuhan penduduk akan lahan disiasati dengan pembangunan interstisial (peningkatan kepadatan), maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan yang baru (kekumuhan, kriminalitas, lingkungan tidak sehat, dan sebagainya). Dengan demikian, maka perlu dipikirkan upaya yang tepat dalam pengendalian jumlah penduduk sehingga tidak akan mengganggu keberadaan dan kelestarian BCB. Permasalahan pokok dalam pelestarian artefak dan Benda Cagar Budaya adalah : • Penanganan fisik, dalam hal ini adalah pemeliharaan dan perbaikan. Benda Cagar Budaya yang ada di Kota Tanjungpinang saat ini berBuletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
23
•
•
agam wujudnya. Ada Benda Cagar Budaya yang masih utuh dan terawat, ada yang terlantar dan ada yang berupa reruntuhan dan ada yang berupa bekas-bekasnya saja. Untuk itu perlu dipikirkan prioritas penanganannya, apakah harus dipreservasi, direkontruksi, direhabilitasi atau lain sebagainya. Pembiayaan, untuk penanganan fisik Benda Cagar Budaya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu perlu dipikirkan adanya sumber pendapatan baru, baik dari bantuan pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kota, partisipasi masyarakat setempat maupun retribusi pengunjung. Relokasi Penduduk. Saat ini ada beberapa Benda Cagar Budaya yang mulai terancam keberadaannya karena penduduk membuat bangunan untuk hunian di dekat bahkan diatas lahan/situs Benda Cagar Budaya. Perlu dipikirkan langkah-langkah sosialisasi mengenai pentingnya pelestarian Benda Cagar Budaya untuk kepentingan kehidupan kita sekarang maupun masa yang akan datang, sehingga penduduk mau berpartisipasi dalam melestarikan dan rela untuk tidak menghuni lagi di dekat maupun diatas lahan Benda Cagar Budaya.
Keterbatasan Prasarana
Sarana
dan
Saat ini terdapat keterbatasan dalam penyediaan sarana dan prasarana di Kawasan Benda Cagar Budaya. Sarana dan prasarana tersebut harus dipikirkan apabila Kawasan Benda Cagar Budaya Melayu ini menjadi salah satu tujuan wisata budaya di Kota Tanjungpinang. Sarana dan prasarana yang ada saat ini merupakan sarana dan prasarana lingkungan pemukiman. Adapun sarana dan prasarana untuk wisata dan pelestarian Benda Cagar Budaya masih sangat kurang.
Konsep Pengembangan Konsep penyelamatan dan pemanfaatan menjadi kata kunci dalam upaya pengembangan kawasan cagar budaya di Kota Tanjungpinang. Penyelamatan dan perlindungan disini diarahkan kepada benda-Benda Cagar Budaya baik yang berupa bangunan arsitektural, makam maupun situs. Penyelamatan dan perlindungan ini diarahkan dari terjadinya tekanan dan penghancuran, baik karena faktor alam, ekologis, faktor kunjungan dari masyarakat wisatawan maupun dari adanya perkem-
24
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
bangan penduduk setempat. Adapun aspek pemanfaatan dilakukan dengan tanpa merusak. Segi kepariwisataan tidak selalu identik dengan perusakan, akan tetapi dapat menjadi salah satu upaya pemanfaatan untuk mendapatkan nilai tambah dari Benda-Benda Cagar Budaya. Nilai tambah ini yang kemudian menjadi sumber pembiayaan bagi upaya penyelamatan dan perlindungan. 1. Pengembangan Aspek Budaya dan Pariwisata. Letak Benda-Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang sangat khas, karena tersebar di seluruh pulau yang memiliki luas 239,5 km2. dengan demikian perlu untuk memikirkan link-
age perjalanan wisata budaya dan wisata sejarah diseluruh pulau yang ada di kota Tanjungpinang. Bentuk yang paling utama adalah dengan membuat satu tempat/satu obyek wisata menjadi starting point menuju keseluruh kawasan. Di sini pengunjung akan mendapatkan informasi dan gambaran awal sebelum melanjutkan perjalanan. Bentuknya dapat berupa pusat fasilitas/pusat pelayanan wisata yang langsung menangkap kedatangan pengunjung ke Pulau Penyengat. Tersebarnya artefak-artefak bersejarah di seluruh Kota Tanjungpinang menyebabkan konsep pengembangan pada setiap “sel” potensial Benda Cagar Budaya sebaiknya memuat tiga konsep pengembangan yaitu : • Konsep pengembangan daya tarik artefak. • Konsep pengembangan daya tarik baru. • Konsep kemanfaatan bagi masyarakat 2. Daya Tarik Artefak Konsep ini bertumpu pada strategi pengembangan potensi daya tarik artefak sebagai suatu Benda Cagar Budaya yang perlu dilestarikan untuk kemudian ditampilkan menjadi obyek wisata sehingga masyarakat mendapatkan pengetahuan sejarah Melayu langsung
dari bukti-bukti arkeologisnya. Pengembangan daya tarik artefak ini meliputi upaya pelestarian dan upaya menjadikan artefak sebagai “obyek wisata”. Keunikan yang dimiliki oleh Benda-Benda Cagar Budaya yang ada di Kota Tanjungpinang adalah keterkaitan sejarah dengan situs lain di Lingga, Siak bahkan Malaka. Disini, masyarakat akan mengetahui silsilah raja, pola ruang kota zaman Kerajaan Melayu, sistem pertahanan dan lain sebagainya. 3. Daya Tarik Baru Langkah berikutnya adalah perlu mengembangkan daya tarik baru yang dapat menunjang daya tarik yang telah dimiliki oleh artefakartefak Pulau Penyengat. Kawasan ini membutuhkan daya tarik baru di sekitar benda-benda cagar budaya dengan tujuan agar wisatawan dan masyarakat tertarik untuk berkunjung sekaligus meningkatkan “length of stay”. Hal yang perlu dipertimbangkan dan diupayakan adalah bagaimana daya tarik baru tersebut menjadi “nilai tambah” dan selaras dengan artefak sekitarnya. Luasnya dan menyebarnya Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang harus menjadi perhatian utama, sehingga walaupun jarak antar obyek berjauhan pengunjung tetap berkeinginan menyaksikan semua artefak yang ada namun tetap merasa nyaman dan betah. Bahkan dapat didorong pula kunjungan ke Kota Tanjungpinang tidak sekedar menjadi kunjungan yang singkat tetapi menjadi kunjungan dalam waktu yang relatif lama. Dalam upaya meningkatkan length of stay tersebut, perlu dibuat desain daya tarik obyek
wisata selain daya tarik artefak. Daya tarik tersebut merupakan tahap dimana daya tarik utama telah ditentukan dan dikembangkan terlebih dahulu. Langkah berikutnya adalah menyusun tahapan desain bagi daya tarik baru. Salah satu daya tarik yang dapat dikembangkan adalah membuat pusat pelayanan, pusat informasi, museum, jalur pedestrian ways, yang nyaman dan teduh dan lain sebagainya. 4. Konsep Kemanfaatan bagi Masyarakat Konsep pengembangan daya tarik tidak cukup hanya dengan mengembalikan peninggalan budaya dan sejarah Melayu di Kota Tanjungpinang, akan tetapi lebih jauh lagi perlu adanya keseriusan dari berbagai pihak untuk mulai memikirkan keberlanjutan yang terpelihara untuk kemudian dikembangkan sebagai daya tarik wisata dengan merujuk pada konsep alternatif yang ada. Konsep pengembangan kawasan budaya dan wisata yang dimaksud disini tidak untuk merubah secara total bentuk fisik artefak melainkan menyisipkan sesuatu yang baru untuk keberlangsungan sosial ekonomi masyarakat. Konsep ini dikembangkan agar masyarakat di sekitar Benda Cagar Budaya dapat berperan secara proporsional dan sekaligus mendapatkan manfaat dan dampak positif pengembangan Kawasan Benda Cagar Budaya di Kota Tanjungpinang. Pengembangan dengan konsep ini memungkinkan masyarakat merasa memiliki kawasan wisata sehingga keberadaan kawasan cagar budaya dan wisata ini dapat bertahan lama.!
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
25
Rapat Koordinasi Wilayah Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya Oleh :
Drs. Budi Istiawan
Kasi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Batusangkar
Pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya BCB) sebagai aset yang bernilai sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun demikian, partisipasi Pemerintah Daerah, masyarakat luas, dan swasta (stakeholder) perlu ditumbuhkembangkan agar secara proaktif ikut berperan serta dalam pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya. Pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya harus dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan agar diperoleh manfaat yang optimal.
E
ra Otonomi Daerah pada kenyataannya telah memberikan tantangan dan peluang bagi pelestarian dan pengelolaan benda cagar budaya (BCB) di setiap daerah otonom. Tantangan yang secara langsung dihadapi terutama berkaitan dengan kemampuan SDM di bidang pelestarian BCB yang berada di setiap Daerah Otonom yang masih sangat terbatas. Namun, pada sisi lain juga memberikan peluang semakin lestarinya BCB yang tersebar di berbagai Daerah Otonom. Hal ini karena Daerah Otonom, khususnya daerah yang memiliki potensi BCB dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang relatif tinggi, sudah mulai mengalokasikan anggaran untuk pelestarian BCB yang berada di wilayahnya.
26
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
Benda cagar budaya sebagai aset budaya yang memiliki beragam nilai pemanfaatan menjadi salah satu harapan bagi Daerah Otonom untuk peningkatan sumber PAD melalui sektor kebudayaan dan pariwisata. Oleh karena itu, agar pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya dapat berjalan secara proporsional perlu adanya pengelolaan secara terpadu dan berkesinambungan yang dilakukan oleh instansi terkait pada setiap Daerah Otonom. Upaya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan serta program di bidang kebudayaan sebenarnya telah sering dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan melibatkan hampir seluruh instansi di Daerah Otonom yang membidangi kebudayaan. Pada sisi lain, wilayah Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau memiliki potensi benda cagar budaya yang tersebar di setiap Daerah Otonom. Untuk menindaklanjuti upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Pusat, maka Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar menyelenggarakan Rapat Koordinasi tentang Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya untuk wilayah Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.
Rapat Koordinasi tersebut dilaksanakan selama 4 (empat) hari di Hotel Dymens, Kota Bukittinggi pada tanggal 27 s.d 30 September 2004. Para peserta yang diundang dalam Rapat Koordinasi tersebut terdiri dari seluruh Kepala Dinas yang membidangi kebudayaan di Kabupaten/Kota di seluruh Prov. Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau (sebanyak 48 orang); Kepala Dinas dan Kasubdin bidang Kebudayaan Prov. Sumatera Barat dan Riau; Kepala Museum Padang dan Pekanbaru; Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang dan Tanjung Pinang; Pakar Arkeologi dari UGM dan UI, serta Kepala Balai Arkeologi Medan. Acara Rapat Koordinasi yang mengambil tema “Meningkatkan Keterpaduan Upaya Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya dalam Era Otonomi Daerah” tersebut, menampilkan kurang lebih 18 pemakalah yang terdiri dari Pakar, unsur Museum, BKSNT, dan Dinas Provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang secara keseluruhan memberikan tambahan wawasan dan pegetahuan mengenai upaya pelestarian dan pengelolaan BCB dalam era otonomi daerah ini, dari perspektif yang berbeda dari setiap pemakalah yang ada. Pada akhir kegiatan, dilakukan diskusi kelompok yang terbagi dalam Kelompok Pelestarian dan Kelompok Pemanfaatan. Dari masing-masing kelompok tersebut dihasilkan rumusan yang sangat penting arti dan nilainya bagi kelanjutan kegiatan Rapat Koordinasi maupun pelestarian dan pengelolaan BCB dalam era otonomi daerah di masa-masa mendatang. Kegiatan Rapat Koordinasi beserta hasil yang diperoleh selama pelaksanaan kegiatan mempunyai arti penting, tidak hanya untuk BP3 Batusangkar, tetapi untuk setiap pihak yang berkepentingan dengan upaya pelestarian dan pengelolaan BCB. Untuk itu, dalam Buletin Arkeologi Amoghapasa ini, kami usahakan untuk berbagi pengetahuan dan wawasan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan BCB dalam era otonomi daerah
kepada pembaca sekalian. Oleh karena keterbatasan yang ada, kami hanya dapat menyajikan 3 (tiga) makalah yang dipresentasikan dalam Rapat Koordinasi, masing-masing dari Prof. Dr. Sumijati As tentang Manajemen BCB Dalam Era Otonomi Daerah; Drs. Soeroso, M.Hum, yang menulis tentang Kebijakan di Bidang Kepurbakalaan dan Permuseuman dalam rangka Otonomi Daerah; dan satu makalah kami pilihkan dari Kadinas Parsenibud Kota Tanjung Pinang, Drs. Said Parman, yang menulis tentang Pelestarian dan Pemanfaatan BCB di Kota Tanjung Pinang. Kegiatan Rakorwil akan semakin bermakna kalau mendapatkan hasil tidak saja kesuksesan pelaksanaan kegiatan, tetapi juga catatan penting yang dibawa oleh setiap peserta, yaitu catatan hasil rumusan Rapat Koordinasi, yang terbagi 2 (dua) kelompok Pelestarian dan Pemanfaatan. Untuk itu, perlu kami sampaikan juga hasil rumusan tersebut kepada pembaca sekalian agar dapat ikut mengetahui dan memaknai hasil rumusan yang dihasilkan oleh para peserta, khususnya dari setiap Dinas yang ada di Prov. Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau. Mudah-mudahan dengan sajian kami tentang Rakorwil Pelestarian dan Pengelolaan BCB dalam Era Otonomi daerah ini akan semakin membuka wawasan, pengetahuan, dan kearifan kita tentang upaya pelestarian dan pengelolaan BCB, yang melibatkan berbagai instansi yang berkepentingan di berbagai daerah yang berlainan. Pada akhirnya setiap kegiatan perlindungan, pelestarian dan pengelolaan pada dasarnya, dalam bahasa Undangundang adalah bertujuan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Hari ini kitalah yang menjalankan misi tersebut, besok hari anak cucu kitalah yang akan meneruskan misi tersebut, sehingga BCB sebagai warisan dan bukti sejarah masa lampau, tidak akan hilang dan musnah sampai berakhirnya kehidupan dan peradaban kita di dunia ini. ! Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
27
RUMUSAN RAPAT KOORDINASI WILAYAH PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN BENDA CAGAR BUDAYA
Kelompok
PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA I. Latar Belakang Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa, pariwisata dan kepentingan nasional lainnya. Untuk menjaga kelestarian Benda Cagar Budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penetapan, penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, penelitian, perlindungan, pemeliharaan, dan pengawasan Benda Cagar Budaya. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tentang Otonomi Daerah telah mengakibatkan perubahan pengelolaan di daerah yang menangani masalah pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB)). Pada setiap daerah otonom telah dibentuk instansi dengan nomenklatur yang tidak seragam. Kondisi demikian berdampak terhadap pelaksanaan koordinasi yang harus dilakukan oleh antar instansi terkait dalam rangka pengelolaan, pelestarian Benda Cagar Budaya di daerah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut perlu dijalin hubungan yang terpadu dan sinergi antara Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat yang menangani pelestarian Benda Cagar Budaya dengan instansi yang menangani kebudayaan di daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
II. Dasar Hukum 1. 2. 3. 4.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan; Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya; Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang; Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; 5. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; 6. Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 7. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Penelitian dan Pengembang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1992; 9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; 11. Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara Sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002; 12. a. Keputusan Mendikbud RI Nomor 087/P/1993 Tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya; b. Keputusan Mendikbud RI Nomor 062/P/1995 Tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan dan Penghapusan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs; c. Keputusan Mendikbud RI Nomor 063/P/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya;
28
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
d. Keputusan Mendikbud RI Nomor 064/P/1995 Tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs; e. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM-51/OT.001/ MKP/2003 Tentang Sruktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala; f. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM-33/PL.303/ MKP 2003 Tentang Museum; g. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM-53/PL.001/ MKP/ 2003 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Arkeologi;
III. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Menyamakan visi tentang pelestarian Benda Cagar Budaya antara pemerintah, masyarakat dan stakeholders. 2. Sasaran Terpeliharanya Benda Cagar Budaya di wilayah Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau sebagai aset negara.
IV. Isu-Isu Pokok 1. Kurangnya pemahaman Pemerintah Daerah dalam pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) karena dinilai tidak memberikan kontribusi kepada daerah. 2. Belum ada standard perlindungan hukum terhadap Benda Cagar Budaya, misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya (BCB). 3. Masih kurangnya diklat teknis di bidang pelestarian Benda Cagar Budaya di Daerah Otonom. 4. Kurangnya pemahaman para eksekutif, legislatif dan yudikatif di daerah tentang Benda Cagar Budaya. 5. Terbatasnya dana di daerah untuk melaksanakan pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). 6. Belum adanya penghargaan kepada masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berjasa terhadap pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). 7. Koordinasi belum dilakukan secara optimal antar instansi terkait yang menangani pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). 8. Masih kurangnya data registrasi, inventarisasi, zoning dan penelitian terhadap Benda Cagar Budaya (BCB) untuk kepentingan pengelolaan di daerah. 9. Kurangnya sosialisasi dan publikasi tentang Benda Cagar Budaya (BCB) di media massa.
V. Arah Kebijakan 1. Perlu penyusunan standard Peraturan Daerah tentang pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). 2. Perlu ditingkatkan diklat teknis di bidang pengelolaan pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) di Daerah Otonom. 3. Perlu ditingkatkan sosialisasi UU dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pelesarian Benda Cagar Bu-daya (BCB) kepada lembaga Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. 4. Perlu adanya alokasi dana pada setiap Provinsi, Kota/Kabupaten untuk pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). 5. Perlu adanya pemberian penghargaan kepada masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berjasa terhadap pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
29
6. Perlu dibentuk forum komunikasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah Otonom secara terpadu untuk melestarikan Benda Cagar Budaya (BCB). 7. Perlu ditingkatkan registrasi, inventarisasi, pemintakatan/zoning dan penelitian terhadap Benda Cagar Budaya (BCB) di seluruh wilayah Daerah Otonom. 8. Perlu ditingkatkan sosialisasi dan publikasi tentang Benda Cagar Budaya (BCB) 9. Setiap Pemerintah Kota/Kabupaten yang memiliki Benda Cagar Budaya (BCB), perlu membuka formasi pegawai sarjana Arkeologi.
VI. Program 1. Penyusunan petunjuk teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) pelestarian (Standard Pelayanan Minimal) sebagai acuan pelaksanaan pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) di Daerah Otonom. 2. Sosialisasi pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) secara luas baik di lingkungan masyarakat maupun lembaga dan institusi kemasyarakatan lainnya. 3. Mengadakan pelatihan tenaga teknis untuk menunjang usaha pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB). 4. Membentuk Forum komunikasi di bidang pelestarian Benda Cagar Budaya (BCB) di Provinsi Sumatera Bara, Riau dan Kepulauan Riau. 5. Pemanfaatan media masa (radio, TV, media tulis, teknologi dan komputer) untuk sosialisasi dan publikasi Benda Cagar Budaya (BCB). 6. Meningkatan penelitian Benda Cagar Budaya (BCB) di setiap Kabupaten/Kota.
VII. Rekomendasi 1. Perlu sosialisasi ke pihak Eksektutif (Gubernur, Bupati/Wako), Legislatif (DPRD) dan Yudikatif. 2. Perlu dibentuk Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) di setiap Propinsi. 3. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata membuat pertunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dan mendistribusikan ke seluruh Kabupaten/Kota. 4. Perlu dibentuk kerjasama antar Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau dalam pengelolaan Benda Cagar Budaya (BCB) bagi kepentingan kepariwisataan.
VIII. Penutup Dari rumusan Kelompok I, Kebijakan Pelestarian Benda Cagar Budaya dalam Rapat Koordinasi Pelestarian dan Pengelolaan Benda Cagar Budaya (BCB) yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar diharapkan dapat meningkatkan upaya pelestarian Benda Cagar Budaya di lingkungan UPT Kebudayaan dan daerah Provinsi, Kabupaten, maupun Kota. Bukittinggi, 29 September 2004
Ketua, ttd. [Helmi Syukra, S.H.] Pendamping: 1. Drs. Soeroso, M.Hum. 2. Drs. Lucas P. Koestoro, DEA 3. Drs. Budi Istiawan
30
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
Anggota: 1. Edi Fatri, S.Pd. 2. Drs. Khair Mukhtar 3. Emwady Nurdin, S.H. 4. Drs. Jhon Analis 5. Asdi, S.Pd. 6. Mahyuddin, S.Pd
Sekretaris, ttd. [Mulyar Muluk, S.Sos.] 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Drs. Sasmita S. Drs. Mewahiddin Drs. Said Parman Kamarulzaman Suhanna Mahmud Wahab
RUMUSAN RAPAT KOORDINASI WILAYAH PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN BENDA CAGAR BUDAYA
Kelompok
PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN BENDA CAGAR BUDAYA I. Latar Belakang Pengelolaan BCB merupakan upaya menjaga keutuhan dan kelestarian BCB/situs melalui berbagai perangkat aktivitas pengelolaannya. Paradigma pengelolaan lebih mendasarkan pada eksistensi BCB/situs sebagai data sejarah yang bersifat statis. Pada sisi lain perkembangan zaman menuntut adanya paradigma yang bersifat dinamis sehingga pengelolaan BCB/situs harus lebih menekankan adanya keseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan BCB/situs. Paradigma pengelolaan lebih mendasarkan pada timbal balik antara ekstensi BCB/situs dan nilai pemanfaatan yang ditimbulkan oleh BCB/situs itu sendiri. Nilai pemanfaatan BCB/situs tersebut dapat dikelola melalui analisis potensi BCB/situs sehingga pada akhirnya pemanfaatan tersebut dapat digunakan untuk berbagai kepentingan oleh berbagai pihak sesuai dengan peraturan-peraturan dan ketentuan yang berlaku. Menyikapi perubahan paradigma penanganan BCB/situs tersebut perlu disikapi melalui kebijakan pemerintah yang bersifat dinamis dengan cara optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan BCB/situs yang melibatkan berbagai unsur terkait.
II. Dasar Hukum 1. 2. 3. 4.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan; Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya; Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1992; 5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum; 6. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; 7. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; 8. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahuh 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah; 9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom; 10. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002; 11. a. Keputusan Mendikbud RI Nomor 062/P/1995 Tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya; b. Keputusan Mendikbud RI Nomor 063/P/1995 Tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya; c. Keputusan Mendikbud RI Nomor 064/P/1995 Tentang Penelitian, dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan/atau Situs; d. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata KM-51/OT.001/ MKP/2003 Tentang Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala; e. Keputusan Menteri Kebudayaan Pariwisata KM-33/PL.303/MKP/2003 Tentang Museum; Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
31
III. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Menyamakan visi dan persepsi tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya dalam era otonomi daerah, antara pusat dan daerah serta antar daerah otonom. 2. Sasaran Terwujudnya rumusan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya di wilayah Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan antar pihak yang terkait.
IV. Isu-Isu Pokok 1. Koordinasi antar daerah otonom dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat di daerah belum berjalan dengan optimal. 2. Pengelolaan BCB di daerah otonom masih banyak yang belum sesuai dengan undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang Benda Cagar Budaya (BCB). 3. Dalam pelaksanaan pengembangan BCB kurang memperhitungkan karakter dan lingkungan. 4. Kurangnya pengelolaan dan pemanfaatan BCB sebagai salah satu aset wisata di daerah otonom. 5. Kurangnya data registrasi, inventarisasi, dan zoning terhadap BCB untuk kepentingan pengelolan di daerah. 6. Kurangnya kesadaran pemilik yang bersifat perseorangan terhadap pengelolaan dan perawatan BCB yang dimiliki. 7. Lemahnya dan sempitnya pemahaman instansi yang terkait tentang BCB diluar instansi teknis BCB.
V. Arah Kebijakan 1. Dalam setiap pengelolaan BCB yang dilakukan daerah otonom diperlukan koordinasi yang intensif dan strategis dengan UPT Pusat yang di daerah. 2. Perlu disusun kebijakan pengelolaan BCB di daerah dan mengintensifkan sosialisasi undang-undang BCB dan peraturan lainnya. 3. Dalam pengembangan BCB perlu dilakukan studi pengembangan agar didapatkan sasaran pengembangan yang tepat. 4. Perlunya penentuan kriteria BCB sesuai dengan potensi yang ada sehingga terwujudnya pengelolaan dan pengembangan yang optimal. 5. Perlu ditingkatkan registrasi, inventarisasi, dan zoning terhadap BCB untuk kepentingan pengelolaan di daerah. 6. Perlu ditingkat sosialisasi kepada masyarakat/pemilik BCB dalam menangani pengelolaan, perawatan dan pemanfaatan BCB.
VI. Program 1. Koordinasi dalam pengelolaan BCB baik internal maupun eksternal. 2. Penyusunan Peraturan Daerah mengenai pengelolaan BCB pada daerah otonom. 3. Sosialisasi dan penyuluhan tentang pengelolaan dan pemanfaatan BCB di daerah otonom. 4. Kerjasama dengan pihak stakeholders dalam pengembangan kebudayaan. 5. Pendataan ulang registrasi, inventarisasi, dan zoning terhadap BCB untuk kepentingan daerah. 6. Sosialisasi dan penyuluhan tentang pengelolaan, perawatan dan peman-faatan BCB pada masyarakat/pemilik BCB. 7. Keterpaduan program dinas tentang BCB dengan instansi/lembaga daerah.
32
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
VII. Rekomendasi 1. Perlu diadakan Rakor pada tahun 2005 antara instansi teknis BCB dengan instansi tingkat propinsi dan kabupaten/kota dengan mengikutkan Kepala Bappeda, Kepala Bappedalda, Kimpraswil, dan instansi lainnya, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. 2. Diusulkan adanya Kasi Kebudayaan pada dinas teknis di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. 3. Perlu penambahan pengalokasian anggaran pada sektor kebudayaan di setiap kabupaten/kota. 4. Diminta pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota memperhatikan mutasi aparatur Persenibud sehingga terdapatnya kesinambaungan program dan kegiatan. 5. Diusulkan formasi pegawai yang berlatar belakang akademik Arkeologi pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. 6. Diminta proaktif pihak penegak hukum dalam menjaga dan mengamankan benda cagar budaya sesuai dengan UU. No. 5 Tahun 1992 dan PP No. 10 tahun 1993. 7. Diminta pada organisasi profesi, pengusaha, dan perdagangan untuk dapat melarang anggotanya memperjualbelikan BCB.
VIII. Penutup Dari rumusan kelompok II, Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya dalam Rapat Koordinasi Pelestarian dan Pengelolaan BCB yang di selenggarakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangakar, diharapkan dapat meningkatkan upaya pengelolaan dan pemanfaatan BCB di lingkungan UPT Kebudayaan dan daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota. Bukittinggi, 29 September 2004
Ketua, ttd. [H. Djamilis, S.H.] Pendamping :
Anggota :
1. 2.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro Drs. Marsis Sutopo, M.Si.
Drs. Tamyus T.M. Asrul Muhar, B.A. Zainal Wanna, S.Sos. Drs. Elfriza Z. Drs. Yushar, M.Pd. Drs. Husril Kasim
Sekretaris, ttd. [Ir. H. Zamhir Basem, M.M.] 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Abdul Kadir Ibrahim Lem Amar Drs. Yanuar Abdullah Basrul Basir H. Muklis Baharuddin
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
33
Pelatihan Arkeologi Bawah Air Langkah Awal Perlindungan dan Pelestarian Peninggalan Bawah Air Oleh:
Nedik Tri Nurcahyo, S.S.
Kapokja Dokumentasi–Publikasi BP3 Batusangkar
B
alai P3 Batusangkar, sesuai dengan rencana program kegiatan tahun 2004, telah mengadakan kegiatan Pelatihan Arkeologi Bawah Air yang diselenggarakan pada tanggal 7 – 13 Oktober 2004. Pelatihan yang diikuti oleh 31 orang peserta tersebut dilaksanakan di Pantai Trikora, Desa Teluk Bakau, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Kepulauan Riau, dekat Kota Tanjungpinang. Sebagai instruktur adalah Rio Hariyanto dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jakarta. Peserta berasal dari beberapa instansi, yaitu Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman Jakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gianyar, Balai Arkeologi Medan, Balai Arkeologi Palembang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar sendiri yang sekaligus merangkap sebagai panitia penyelenggara. Acara pelatihan dibuka secara resmi oleh Pejabat Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman Jakarta yang diwakili oleh Drs. Suyud Winarno, M.M. Dalam sambutannya, beliau mengharapkan agar peserta tekun berlatih dan disiplin dalam mengikuti kegiatan karena ke depan banyak tugas yang harus dipikul berkaitan dengan potensi tinggalan arkeologis bawah air yang banyak terdapat di wilayah teritorial Indonesia. Kerjasama antar maupun lintas instansi juga perlu dibangun demi tercapainya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya budaya, terutama tinggalan BCB bawah air. Kegiatan pelatihan Arkeologi Bawah Air ternyata mendapat respon yang positif. Hal itu terbukti dengan hadirnya para Kepala UPT, antara lain Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gianyar, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makasar, Kepala Balai Arkeologi Medan, dan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Selain ingin menyelami sejauh mana manajemen dan prosedur penyelaman, para kepala UPT tersebut juga benar-benar ikut menyelam dan berbaur dengan peserta lainnya. Dra. Nismawati, Kepala BKSNT Tanjungpinang, juga menyempatkan diri untuk melihat secara langsung kegiatan pelatihan dan amat terkesan dengan kegiatan penyelaman, bahkan bersedia ikut masuk ke dalam perahu yang dipakai untuk pelatihan ke tengah laut. Dalam pelatihan arkeologi bawah air, selain diberikan materi teori, juga dilakukan praktek langsung dengan penyelaman ke dalam air laut. Materi pelatihan yang diberikan antara lain pengetahuan akademis penyelaman, renang di laut terbuka, skin diving di laut terbuka, pengenalan habitat laut dan binatang bawah laut, teknik penyelaman di laut terbuka, evaluasi akademis penye-
34
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
laman PAP, evaluasi teknik penyelaman, latihan navigasi penyelaman, dan latihan rescue dan P3K penyelaman. Selain itu ada kegiatan lain yang dilakukan oleh bintang 3 dan 4, yaitu mencari titik situs. Ada dua situs yang berhasil ditemukan, namun yang berhasil disurvai awal baru satu lokasi. Titik I yang disebut sebagai situs karang kapal berada pada kedalaman 20 meter. Situs tersebut dapat ditempuh dengan kapal motor sekitar satu jam perjalanan dari Pantai Trikora. Kegiatan yang dilakukan pada titik I antara lain pemasangan base line, layout situs, pemasangan grid, pencatatan dan penggambaran situasi, serta pengambilan foto, yang semuanya dikerjakan di dalam air pada kedalaman 20 meter. Kotak grid telah dipersiapkan sebelumnya dengan membuat sebuah kotak berukuran 2 x 2 meter dari bahan besi siku. Setelah semua kegiatan di titik 1 dianggap mencukupi, penyelam tingkat pemula, bintang 1 serta bintang 2 diberi kesempatan untuk melihat hasil kerja penyelam bintang 3 dan 4, sekaligus melatih untuk orientasi lapangan pada kedalaman yang sebelumnya belum pernah dijalani. Pada setiap malam harinya, selain penyajian materi penyelaman juga dilakukan evaluasi terhadap segala aktivitas yang telah dilakukan pada siang harinya. Evaluasi bertujuan untuk mengkaji kelemahan, kekurangan, dan kelebihan yang ada, dan membuat strategi serta perencanaan untuk kegiatan hari berikutnya. Pada tahap akhir kegiatan pelatihan penyelaman, dilakukan pemulihan kondisi dengan recompression chamber. Penyelam secara bergantian masuk ke dalam alat tersebut (kapasitas 4 orang dan 1 pemandu) dan ditekan sampai kedalaman 60 feet. Waktu yang dibutuhkan setiap sesi adalah 1 jam. Selama dalam chamber, orang bernafas dengan masker oksigen, sehingga diharapkan kadar kelebihan nitrogen yang berada dalam tubuh menjadi netral kembali. Dari seluruh aktivitas yang berhasil diamati, ternyata banyak di antara kita (penyelam) kurang sekali mengadakan latihan penyelaman. Latihan yang kontinyu amat diperlukan untuk mengasah dan memperdalam ilmu yang telah dimiliki. Tanpa latihan, orang akan grogi menghadapi medan yang ganas, terutama di laut lepas. Sisi positif yang dapat diambil dari pelatihan ABA (arkeologi bawah air) di Tanjungpinang adalah kita punya kemauan dan tekad untuk maju demi mengembangkan ABA untuk pelestarian BCB di tanah air. Kegiatan ini bertujuan untuk menciptakan tenaga yang profesional di bidang perlindungan terhadap peninggalan bawah air. Hal ini disebabkan, wilayah kerja dari Balai P3 Batusangkar meliputi tiga provinsi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan terutama di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Viva ABA
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
35
PEMUTAKHIRAN FOTO Benda Cagar Budaya dan Situs di Kabupaten Pelalawan Oleh:
Nedik Tri Nurcahyo, S.S.
Kapokja Dokumentasi-Publikasi BP3 Batusangkar
K
abupaten Pelalawan, Provinsi Riau, merupakan daerah kaya dengan sumber daya alam, sehingga strategis untuk perindustrian dan perkebunan. Ditambah lagi akses transportasi darat lintas Sumatera yang melewati ibukota kabupaten yang menunjang perkembangan industri, salah satunya, yaitu pabrik pulp, sehingga perindustrian maju dengan pesat. Adapun untuk sektor perkebunan didukung oleh luasnya lahan. Lahanlahan tersebut sekarang sudah ditanami kelapa sawit. Kebetulan untuk saat ini sawit-sawit yang mereka tanam sudah siap untuk dipanen. Keletakan Kabupaten Pelalawan yang amat strategis sangat berdampak positif bagi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan ekonomi masyarakat. Hal ini memacu perkembangan wilayah secara cepat menjadi kawasan perkotaan (town) dibandingkan dengan kabupaten lain. Sebagai kabupaten baru, dahulu bagian dari Kabupaten Kampar, Pelalawan cukup maju dari sektor ekonomi sehingga memiliki PAD cukup besar untuk melakukan pembangunan sarana fisik di segala bidang. Namun demikian, mereka juga tidak mengabaikan bidang-bidang lain, seperti pembangunan bidang politik, sosial dan juga kebudayaan. Pembangunan di bidang kebudayaan, salah satu kegiatan yang di laksanakan saat ini adalah melestarikan tinggalan bersejarah yang tersebar di Kabupaten Pelalawan. Kegiatan ini dilakukan bekerja sama dengan BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Batusangkar. Bentuk pelestarian yang sudah dilakukan yaitu inventarisasi dan pendokumentasian. Kegiatan pelestarian yang mereka lakukan sudah bisa dipertanggungjawabkan secara arkeologis, sebab langkah-langkah dalam pelestarian ini sudah berdasarkan pada prinsip pelestarian menurut ilmu arkeologis. Untuk membantu kelancaran kegiatan mereka ini, pihak BP3 Batusangkar telah menetapkan-
36
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
nya sebagai program kerja tahunan sebagai bentuk keseriusan dalam melakukan pengawasan terhadap pelestarian BCB dalam wilayah kerjanya. Melalui kegiatan pemutakhiran foto dan pendataan benda-benda purbakala, nantinya akan dipakai sebagai acuan dalam membuat kebijakan penanganan lebih lanjut terhadap BCB tersebut. A. Teknik Pelaksanaan Pemutakhiran foto dan pendataan BCB dilaukan dengan melakukan pendokumentasian secaa visual, yaitu berupa foto. Dengan dokumentasi foto nantinya dapat menggambarkan suasana asli di lapangan. Selain itu untuk melengkapi keteragan yang tidak diperoleh dari foto juga dilakukan pendeskripsian secara verbal. B. Sasaran Pemutakhiran Foto dan Pendataan Hasil pendataan dan pemutakhiran foto terhadap benda cagar budaya (BCB) tidak bergerak yang berada di Kabupaten Pelalawan yaitu : 1. Situs Makam Raja-raja Pelalawan I 2. Situs Makam Raja-raja Pelalawan II 3. Situs Makam Raja-raja Pelalawan III 4. Situs Masjid Pelalawan 5. Situs Rumah Raja Pelalawan 6. Situs Meriam Kerajaan Hasil dari kegiatan ini akan diuraikan melalui deskripsi singkat mengenai kondisi dan permasaahan yang ada pada BCB/situs tersebut. 1. Situs Makam Raja-raja Pelalawan I Situs makam Raja-raja Pelalawan I berupa nisan tanpa jirat. Bentuk nisan didominasi oleh nisan tipe gada dan Aceh. Nisan ini terbuat dari bahan batu andesit dan tembaga. Nisan dari bahan tembaga hanya terdapat satu buah nisan pada suatu makam, dan diletakkan pada bagian kepala. Pada nisan tembaga tersebut terdapat hiasan tulisan Arab Melayu yang
terdapat pada bagian depan. Sedangkan hiasan nisan tipe Aceh tidak begitu mendominasi banyak jumlahnya. Di sekitar makam ini juga ditemukan pecahanpecahan genteng dengan ukuran tebal 3 cm. Pecahan-pecahan genteng ini diperkirakan bekas atap cungkup yang sudah mengalami keruntuhan. Genteng terbuat dari tanah liat yang dibakar sehingga berwarna kemerahan. 2. Situs Makam Raja-raja Pelalawan II Situs makam Raja-raja Pelalawan II terletak di tepi kanan muara Sungai Rasau. Jenis nisan yang ada di situ, juga bertipe tipe gada sama dengan tipe raja Palalawan I. Ukuran tinggi nisan disini cukup besar dari yang lainya yaitu setinggi 75 cm. Akan tetapi, yang cukup menarik dari nisan Raja-Raja Palalawan II ini adalah nisan tipe Aceh yang terbuat dari bahan kayu yang diberi ukiran dan nisan dari batu marmer yang bertuliskan bertuliskan huruf Arab Melayu. 3. Situs Makam Raja-raja Pelalawan III Situs makam Raja-raja Pelalawan III sudah diberi cungkup oleh Pemkab Pelalawan pada tahun 2001. Selain cungkup, di dalam kompleks makam tersebut sudah di pasang paving blok. Beberapa makam yang ada dalam komplek makam ini merupakan nisan tipe Aceh. Bahan pembuat nisan adalah kayu dan batu andesit. Yang cukup menarik dari situs makam RajaRaja Palalawan III ini adalah terdapatnya nisan tipe gada dari bahan kayu dengan bentuk bulat dan kotak. Makam Assaidis Syarif Harun sudah diberi marmer oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan. Akan tetapi, pada Makam Said II yang terdapat di sebelahnya tetap dipertahankan keasliannya, yaitu nisan dari kayu tanpa jirat. Disini kompleks makam ini juga ditemukan nisan yang berhiaskan tulisan Arab Melayu. 4. Situs Masjid Pelalawan Di masjid pelalawan ini sudah banyak penambahan bangunan baru, salah satunya yaitu pembuatan gapura baru pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan yang letaknya pada bagian depan masjid di depan gapura yang lama. Gerbang atau gapura lama masih dipertahankan bentuk aslinya yang berbentuk menara. Atap menara berbentuk kubah, dan ada tangga naik di dalam menara tersebut untuk menuju ke bagian atas. Perubahan yang ter-
dapat pada gerbang lama ini adalah seng yang dipakai untuk menutup sekeliling dinding luar menara sudah tidak ada lagi. Rumah bedug juga masih asli dan berada di tempat semula pada bagian depan masjid. 5. Situs Rumah Raja Pelalawan Kondisi rumah Raja Pelalawan ini sekarang sudah rusak. Dinding rumah yang terbuat dari papan semuanya sudah roboh, dan atapnya runtuh teronggok di tanah. Seluruh bahan kayu tidak ada lagi yang tersisa karena rumah ini dibuat dengan konstruksi kayu. Satu-satunya data yang menunjukkan bangunan tersebut sebelumnya masih berdiri adalah foto dan gambar denah rumah yang dibuat sekitar tahun 1992 oleh tim dari Balai P3 Batusangkar. Temuan yang cukup menarik pada rumah ini yaitu terdapatnya dua buah meriam kembar di halaman rumah. Meriam berukuran panjang 2,20 m dan diameter terbesar 30 cm. Meriam ini terbuat dari bahan perunggu yang di beri hiasan dengan ukiran motif geometris. 6. Situs Meriam Kerajaan Situs Meriam Kerajaan ini sudah diberi pagar dan cungkup. Jumlah meriam yang terdapat pada situs ini 14 buah. Ukuran masing-masing meriam ini berbeda-beda. Pola letak meriam disusun berdasarkan arah mata angin yaitu yang ke arah selatan menghadap 12 buah meriam dan 2 buah disusun berhadap-hadapan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, meriam memiliki ketua yaitu meriam yang bercat kuning. Kondisi Situs Meriam Kerajaan ini sekarang sering terendam air, apalagi saat air sungai Kampar Kiri mengalami pasang naik. Untuk mengatasi genangan air ini pihak Pemkab Kampar sudah membuat rencana rencana untuk menanggulanginya, dengan menaikkan pondasi serta kedudukan meriam dari posisi semula. Berdasarkan kondisi rill yang ditemukan di lapangan oleh tim survei pendataan BCB Kabupaten Pelalawan. Kondisi tersebut sudah dipaparkan di atas dalam deskripsi singkat, maka usulan penganan yang dapat dilakukan sebagai berikut. C. USULAN PENANGANAN 1. Situs Makam Raja-raja Pelalawan I Situs Makam Raja-raja Pelalawan I terletak paling jauh dari permukiman penduduk, tepatnya di pinggir sebelah kiri sungai Rasau. Untuk pergi ke situs ini harus naik perahu motor sekiBuletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
37
tar 1 jam. Sulitnya untuk menjangkau lokasi situs menyebabkan situs kurang terawat. Untuk, pemerintah kabupaten dan masyarakat sekitar situs diminta untuk berperan aktif melakukan pemantauan terhadap kinerja juru pelihara. Untuk program jangka panjang tim survey menyarankan untuk membuat jalan tembus ke lokasi dari ujung desa Pelalawan. Supaya program ini terlaksana pihak BP3 Batusangkar perlu melakukan koordinasi dengan pemkab setempat. 2. Situs Makam Raja-raja Pelalawan II Situs Makam Raja-raja Pelalawan II terletak di pinggir sebelah kanan sungai Rasau. Dari Desa Pelalawan dapat ditempuh dengan kendaraan perahu motor sekitar 45 menit. Kondisi situs ini tidak jauh beda dengan situs Makam Raja-Raja Palalawan I yaitu juga kurang terawat. Sehingga program untuk menga-tasinya sama dengan Situs Makam Raja-Raja Pelalawan I itu juga. Selain itu pihak BP3 menganjurkan dengan pemkab setempat untuk juga “memperhatikan” situs-situs yang letaknya agak jauh dari permukiman, selain di daerah Palalawan.
ke bentuk semula perlu dicari referensi yang cukup melalui studi teknis terhadap rumah terebut dengan bekerjasama bersama instansi terkait di daerah dan ahli-ahli dibidang lain. 6. Situs Meriam Kerajaan Situs Meriam Kerajaan sudah diperhatikan oleh Pemkab Pelalawan. Tapi dengan adanya itikad baik untuk menaikkan pondasi kedudukan meriam, yang perlu dilakukan adalah koordinasi dengan pemkab setempat agar dalam pelaksanaannya tidak melanggar rambu-rambu yang ada terutama yang menyangkut undang-undang tentang benda cagar budaya.
3. Situs Makam Raja-raja Pelalawan III Secara umum situs makam Raja-raja Pelalawan III sudah tertata dengan baik. Yang perlu diperhatikan hanya perawatan nisan-nisan yang terbuat dari kayu, misalnya dengan konservasi. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahan kayu tersebut mudah rusak, dibandingkan nisan yang terbuat dari batu. 4. Situs Masjid Pelalawan Situs Masjid Pelalawan, fisik bangunan masih cukup baik dan kuat. Sayangnya keaslian desain ruangan sudah rusak oleh bangunan baru seperti gapura yang dibuat oleh Pemkab Pelalawan. Bangunan gapura baru ini amat merusak pandangan karena terkesan megah. Sedangkan bangunan masjidnya hanya sederhana dan terbuat dari bahan kayu. Langkah yang perlu diambil adalah mencegah terjadinya penambahan bangunan baru di lingkungan situs, sebab dapat merusak aspek keruangan bangunan aslinya. Hal ini akan dapat terlaksana melalui kerjasama yang baik antar instansi. 5. Situs Rumah Raja Pelalawan Situs Rumah Raja Pelalawan sudah rata dengan tanah. Untuk dapat mengembalikannya
38
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
D. PENUTUP Demikianlah hasil-hasil pemutakhiran foto dan survai pendataan benda cagar budaya tidak bergerak di Kabupaten Pelalawan. Masukan-masukan dari tim pemutakhiran foto dan survai pendataan ini, diharapkan nantinya dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan penanganan lebih lanjut terhadap benda cagar budaya tidak bergerak, khususnya di Kabupaten Pelalawan.!
! Studi Teknis Balairungsari Tabek Studi teknis merupakan salah satu kegiatan dalam rangka pengumpulan data untuk pemugaran BCB. Hasil studi teknis selanjutnya akan dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan pekerjaan fisik pemugaran. Studi teknis terhadap bangunan Balairungsari Tabek bertujuan untuk mengumpulkan data teknis tingkat kerusakan bangunan. Dari studi teknis yang sudah dilakukan dapat diketahui bahwa bangunan Balairungsari telah mengalami kerusakan pada bagian atap. Atap bangunan yang terdiri dari bahan ijuk telah mengalami kerusakan karena dimakan usia, sehingga disarankan untuk diganti pada bagian yang sudah mengalami kerusakan. Studi teknis yang dilaksanakan pada bulan April tahun 2004 dikerjakan oleh Suhardi dan Khairul Hidayat. (TMN)
! Latihan Arkeologi Bawah Air Pelatihan Arkeologi Bawah Air merupakan kegiatan rutin dari BP3 Batusangkar yang bertujuan untuk menciptakan SDM yang handal di bidang arkeologi bawah air. Hal ini sesuai dengan Tupoksi BP3 yang sekarang memiliki salah satu fungsi untuk melakukan pengelolaan BCB Bawah Air. Kegiatan pelatihan arkeologi bawah air dilaksanakan di perairan Pulau Cingkuk Kabupaten Pesisir Selatan tanggal 5 s.d 7 Mei 2004. Peserta pelatihan berasal dari staf BP3 Batusangkar yaitu Nedik Tri Nurcahyo, SS., Emi Rosman, SH., Andrison, Hendra Fazri, dan Afriyondri. Sebagai instruktur adalah Drs. Teguh Hidayat dan Drs. Nurmatias (YHB) ! Penelitian
Arkeologi DAS Batanghari
Bidang Arkeometri Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan Mei 2004 bekerja sama dengan BP3 Batusangkar melakukan penelitian arkeometri di DAS Batanghari. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari penelitian Tahap I yang telah dilakukan pada tahun 2003. Adapun lokasi penelitian berada di situs Padang Laweh dan situs Bukit Awang Maombiak yang keduanya terletak di Kabupaten Dharmasraya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara potensi SDA yang ada dengan keberadaan candi yang terletak di wilayah DAS Batanghari, dengan tinjauan pada pertimbangan ekologi. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk mengetahui variasi potensi sumber daya lingkungan yang ada pada situssitus candi, yang dapat mencerminkan variasi pilihan orang masa lalu dalam penentuan lokasi bangunanbangunan bersifat keagamaan. Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional terdiri dari Ketua Tim Dra. Yusmaeni Eriawati, M.Hum dengan anggota tim Dra. Vita, Ir. M. Fadhlan S. Intan, Boedi Prayitno, Suhanto, Priyo Panunggul dan Afriyondri dari Balai P3 Batusangkar. (YHB) ! Pemugaran
Candi Pulau Sawah I
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat dan Riau melalui dana Proyek mulai melaksanakan pekerjaan pemugaran terhadap Candi Pulau Sawah I Tahap I
tahun 2003. Titik berat pemugaran Candi Pulau Sawah I Tahap II pada tahun 2004 diarahkan untuk memugar bagian candi dan melengkapi sarana kelengkapan werkeet berupa pembuatan sumur, piring-piring, serta instalasi listrik. Kegiatan pemugaran candi Pulau Sawah I ini dilaksanakan oleh Nedik Tri Nurcahyo, SS sebagai tekno arkeologi serta Darul Aswad, dan Ramadani Rusli sebagai tenaga teknis. (NDK) ! Penataan
Candi Padang Roco
Pemugaran Candi Padang Roco Tahap X tahun 2004 dilaksanakan selama sembilan bulan, mulai bulan Maret 2004 sampai bulan Nopember 2004. Sasaran pokok kegiatan ini adalah penataan lingkungan yang meliputi pembuatan drainase keliling situs volume 225 m, pembuatan jalan setapak volume dalam lingkungan halaman candi dengan panjang 155 m1, dan pertamanan volume 1900 M. Sebagai tenaga tekno arkeologi adalah Afriyondri dan sebagai tenaga teknis adalah Hendra Fazri, dan M. Yusuf. Penataan lingkungan dimaksudkan sebagai bagian integral dari upaya pelestarian, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dalam usaha penataan lingkungan, penambahan unsur penunjang berdasarkan keserasian dan keselarasan sangat penting bagi objek situs itu sendiri. Dari kegiatan yang dilaksanakan diharapkan dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kepentingan Ilmiah maupun masyarakat luas sebagai salah satu sumberdaya budaya. (TMN) ! Pemugaran
Candi Tanjung Medan
Pemugaran Candi Tanjung Medan tahun 2004 merupakan tahap terakhir dari pekerjaan pemugaran yang sudah dilaksanakan dari tahun-tahun sebelumnya. Pekerjaan pada tahun 2004 adalah penataan halaman dan pembuatan pagar keliling situs. Kegiatan ini dimulai bulan Mei 2004 dan berakhir pada bulan Oktober 2004. Hasil yang dicapai adalah selesainya penataan halaman dan pembuatan pagar keliling situs. Sebagai tenaga tekno arkeologi adalah Khairul Hidayat dengan tenaga teknis Suhardi, dan Nasrizal. (TMN)
!Pelatihan Adobe Photoshop Pelatihan Adobe Photoshop merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan SDM dalam memanfaatkan teknologi komputer, khususnya untuk digitalisasi foto maupun peta yang berkaitan dengan upaya pelestarian BCB. Pelatihan yang dilaksanakan pada bulan Mei 2004 tersebut dilaksanakan selama satu minggu dengan diikuti oleh enam orang staf BP3 Batusangkar, yaitu Nedik Tri Nurcahyo, SS., Bambang Rudianto, Sri Sugiharta, SS., Yusfa Hendra B., SS., Tumini, SS, dan Afriyondri. Sebagai instruktur pelatihan adalah Didik Suhartono, SS dari Laboratorium Arkeologi FIB Univ. Gadjah Mada. Manfaat langsung yang dapat diperoleh adalah para peserta mampu mengolah foto-foto BCB dengan program Adobe Photoshop sehingga dapat membuat poster foto yang sangat bermanfaat untuk materi pameran BCB. (NDK) Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
39
! Studi
Pencagarbudayaan
Studi Pencagarbudayaan merupakan salah satu kegiatan Pokja Perlindungan. Studi ini bertujuan menghimpun data yang lengkap bagi upaya pelestarian, khususnya dari sisi perlindungan. Keluaran dari studi pencagarbudayaan adalah terhimpunnya data yang lengkap mengenai keberadaan dan status BCB dan situs sehingga dapat dijadikan sebagai bahan untuk penetapan sebagai BCB dan Situs. Kegiatan studi ini dilakukan di dua lokasi yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kota Padang. Studi Pencagarbudayaan di Kabupaten Tanah Datar dilaksanakan pada tanggal 25 s.d 29 Mei 2004 oleh Tim Pelaksana yang terdiri dari Agoes Try Mulyono, SH., Nedik Tri Nurcahyo, SS., Yusfa Hendra B., SS., dan M. Yusuf. Sedangkan studi pencagarbudayaan di Kota Padang dilaksanakan dari tanggal 1 s.d 6 Juni 2004 dengan Tim Pelaksana terdiri dari Agoes Try Mulyono, SH., Rosalina Rambung, SS., Marjohan S., dan Darul Aswad. (YHB) ! Inventarisasi
dan Pelabelan Koleksi
Inventarisasi koleksi Istana Basa Pagaruyung merupakan salah satu langkah untuk perlindungan BCB bergerak. Sedangkan pelabelan koleksi Istana Basa Pagaruyung ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada pengunjung mengenai nama, asal-usul, dan fungsi koleksi artefak yang ada. Dengan adanya informasi koleksi melalui label koleksi maka lebih menunjang pemanfaatan Istana Pagaruyung sebagai obyek wisata budaya, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal guna kepentingan ilmu pengetahuan, sejarah, budaya dan pariwisata. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2004 dengan Tim pelaksana Sri Sugiharta, SS., Junaidi Sani, dan Bambang Rudianto.(JS) ! Pemugaran
Masjid Pincuran Gadang
Benda Cagar Budaya tidak bergerak dan situs merupakan aset budaya yang mempunyai nilai penting bagi masyarakat dan pemerintah. Salah satu upaya pelestarian bangunan cagar budaya adalah pemugaran, baik yang bersifat pemugaran sebagian (partial) maupun pemugaran total terhadap keseluruhan bangunan. Pemugaran Masjid Pincuran Gadang dilakukan secara partial hanya pada bagian yang rusak, antara lain pada bagian dinding dan plafon. Pelaksanaan kegiatan pemugaran bangunan tersebut berlangsung pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2004 yang dilaksanakan oleh Rosalina Rambung, SS dan Nasrizal. (YHB) ! Survai
Pendataan BCB Tak Bergerak
Kegiatan survai pendataan BCB Kabupaten Pariaman dilaksanakan pada bulan Juli 2004 oleh Nedik Tri Nurcahyo, SS. dan Afriyondri. Selama dua hari kegiatan tersebut berhasil dikumpulkan data lima situs. Situs-situs yang berhasil disurvai tersebut adalah Situs Makam Syech Tuangku Johok di Dusun Padang Jati Nagari Limau Puruik Kecamatan V Koto, Situs Balai Silaga-laga di Dusun Batang Piaman Nagari Batang Anai Kecamatan V Koto Timur, Masjid Raya Batang
40
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/desember 2004
Piaman di Dusun Batang Piaman Nagari Batang Anai Kecamatan V Koto Timur, serta Masjid Raya Gadur dan makam Orang Gujarat keduanya di Kecamatan Gadur. Berdasarkan hasil penilaian yang berdasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan maka yang masuk kedalam kategori Benda Cagar Budaya adalah Makam Syech Tuangku Johok, Situs Silaga-laga, Masjid Raya Batang Piaman dan makam Orang Gujarat.(NDK) ! Studi
Pemanfaatan
Studi pemanfaatan dilakukan pada lima situs yang ada di Sumatera Barat, yaitu Situs Rumah Gadang Mande Rubiah Lunang Kab. Pesisir Selatan, Situs Makam Syech Burhanuddin Kab. Pariaman, dan Makam Raja-Raja Jambu Lipo I dan II Kab. Sawahlunto/Sijunjung dan Situs Makam Ibrahim Sumpur Kudus Kab. Sawahlunto/Sijunjung. Kegiatan studi ini dilakukan pada Bulan Juli 2004. Tujuan studi pemanfaatan adalah untuk menghimpun data pemanfaatan BCB/Situs yang dilakukan oleh masyarakat sekitar situs tersebut. Dengan terhimpunnya data pemanfaatan maka dapat dipakai sebagai bahan untuk monitoring dan perencanaan lain yang lebih optimal dalam rangka pemanfaatan benda cagar budaya yang mencakup pemanfaatan untuk kepentingan Religi, Wisata, Pendidikan, Sosial, Budaya, Ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dari hasil yang dicapai terdapat beberapa BCB dan Situs yang pemanfaatannya bersifat rutin, antara Situs Rumah Gadang Mande Rubiah dan situs Makam Syech Burhanuddin untuk pemanfaatan religi. Studi Pemanfaatan dilakukan oleh Tim yang terdiri dari Afrizal dan Junaedi Sani di Situs Makam Syech Burhanuddin; Yusfa Hendra Bahar, SS dan Emi Rosman, SH di Situs Rumah Gadang Mande Rubiah; Zulfian, SE., dan Edy Yudson di Situs Makam RajaRaja Jambu Lipo I dan II. (YHB)
! Sosialisasi Pelestarian BCB dan Situs Kabupaten Limapuluh Koto merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang kaya akan peninggalan megalitik. Namun pemanfataan peninggalan megalitik tersebut belum optimal. Berkaitan dengan hal tersebut maka BP3 Batusangkar bekerjasama dengan Dinas Parsenibud Kabupaten Limapuluh Koto menyelenggarakan Sosialisasi Pelestarian dan Pemanfaatan BCB di Kabupaten 50 Koto yang dilaksanakan pada tanggal bulan Juli 2004 yang bertempat di Aula Kantor Bupati Limapuluh Koto. Sosialisasi pelestarian dan pemanfaatan BCB yang dilaksanakan selama satu hari tersebut diikuti oleh para pejabat di lingkungan Pemkab. Limapuluh Koto, tokoh masyarakat, para wali nagari, dan para guru sejarah. Acara tersebut dibuka oleh Alis Marajo Bupati Kabupten Limapuluh Koto yang sekaligus memberikan pengarahan tentang pentingnnya pelestarian dan pemanfaatan BCB dalam era otonomi daerah. Adapun sebagai narasumber dan pembicara adalah Drs. Marsis Sutopo, M.Si Kepala BP3 Batusangkar, DR. Nursirwan Efendi Kepala BKSNT Padang, Drs. Yanuar Abdullah Kepala Dinas Parsenibud Kabupeten 50 Koto, Dra.
Meutia dari Museum Negeri Padang, dan Drs. Budi Istiawan serta Agoes Tri Mulyono, SH keduanya dari BP3 Batusangkar.(TMN) ! Inventarisasi
Tokoh Sejarah Lokal
Kegiatan ini merupakan program kerja Dinas Parsenibud Tanah Datar dalam upaya menggali kesejarahan dan ketokohan di kabupaten Tanah Datar. Dalam pelaksanaannya kegiatan ini melibatkan staf BP3 Batusangkar yaitu Drs. Budi Istiawan. Sistem pelaksanaan inventarisasi dengan menyebarkan formulir mengenai usulan tokoh-tokoh di setiap kecamatan dan nagari, kemudian dilakukan pengecekan lapangan untuk melakukan wawancara dengan ahli waris dan mendata tinggalan-tinggalan yang ada. Salah satu tokoh sejarah yang cukup penting dan berhasil diinventarisasi adalah Tuanku Lintau. Berdasarkan pada wawancara dengan ahli waris, diketahui bahwa makam Tuanku Lintau berada di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan. Untuk itu dilakukan survei terhadap makam tokoh tersebut ke Pelalawan bulan Juli 2004. (BI) ! Pameran
BCB & Sosialisasi Pelestarian
Dalam rangka ikut menyemarakkan Revitalisasi Budaya Melayu yang diselenggarakan oleh Pemkot Tanjungpinang bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, pada tanggal 29 Juli s.d 1 Agustus 2004, maka BP3 Batusangkar menyelenggarakan Sosialisasi Pelestarian dan Pameran BCB di Tanjungpinang. Pameran BCB dilaksanakan di Aula Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Tanjungpinang pada tanggal 29 Juli s.d 1 Agustus 2004. Pameran BCB menampilkan materi yang ada berupa artefak-artefak serta poster BCB dan Situs, khususnya yang ada kaitannya dengan Kerajaan Melayu Lingga Daik, dan banyak dikunjungi oleh pelajar Tanjungpinang. Sementara itu sosialisasi tentang Pelestarian BCB dan Situs dilaksanakan selama satu ari pada tanggal 29 Juli 2004 di Pulau Penyengat dengan pertimbangan pulau ini banyak tinggalan dari Kerajaan Melayu Lingga Daik ketika berpusat di Pulau Penyengat. Sosialisasi Pelestarian BCB di Pulau Penyengat bertujuan memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat Pulau Penyengat mengenai BCB serta upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan. Sebagai narasumber dan pembicara dalam sosialisasi tersebut adalah Drs. Marsis Sutopo, M.Si, Drs. Budi Istiawan dan Agoes Trimulyono, SH. (YHB) ! Diskusi
Perlindungan dan Dokumentasi
Dalam upaya meningkatkan wawasan dan kemampuan teknis di bidang pelestarian BCB dan situs, Balai P3 Batusangkar pada bulan Agustus 2004 mengadakan kegiatan Diskusi Tentang Perlindungan dan Dokumentasi BCB dalam Era Otonomi Daerah. Diskusi tersebut dilaksanakan di Kantor BP3 Batusangkar. Tujuannya adalah untuk mencari format penanganan perlindungan dan pendokumentasian yang sesuai dengan kondisi otonomi daerah. Dengan format yang
sesuai dengan otonomi daerah diharapkan keberadaan Benda Cagar Budaya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat luas. Peserta diskusi meliputi semua staf BP3 Batusangkar dan peserta undangan, yaitu Koordinator Pokja Perlindungan dan Pokja Dokumentasi BP3 Jambi, Kasi Kebudayaan Kab. 50 Koto, Kab. Tanah Datar, dan Kota Sawahlunto. Adapun sebagai narasumber adalah Dra. Koos Siti Rochmani, MA Kabid Regtap Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman, Drs. Marsis Sutopo, M.Si Kepala BP3 Batusangkar, Drs. Douglas Winston Mambo Kepala BP3 Trowulan, Drs. Siswanto Kepala Balar Palembang. Sebagai pemakalah adalah Nedik Tri Nurcahyo, SS. dan Agoes Tri Mulyono, SH keduanya dari BP3 Batusangkar dan Agus Sudaryadi, SS dan Kristanto, SS., keduanya dari BP3 Jambi. (YHB) ! Pameran
Poster BCB di Padang
Pameran Benda Cagar Budaya di Padang dilakukan sehubungan dengan dilaksanakannya Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau oleh Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tanggal 23 s.d 24 Agustus 2004. Pameran tersebut di laksanakan di Hotel Muara Padang dengan pelaksana pameran sebanyak 4 orang, yaitu Sri Sugiharta, S.S, Yusfa Hendra Bahar, S.S., Bambang Rudianto, dan Junaidi Sani. Materi yang ditampilkan dalam pameran tersebut meliputi beberapa poster foto BCB/Situs yang ada di Sumatera Barat, khususnya yang menggambarkan tentang pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Minangkabau dari masa prasejarah sampai masa kolonial. Selain untuk mendukung seminar tersebut, pemeran ini juga bertujuan untuk mensosialisasikan BCB/Situs yang ada di Provinsi Sumatera Barat. (YHB) ! Restorasi
Istana Siak
Pemkab Siak pada tahun anggaran 2004 melaksanakan restorasi terhadap Istana Siak. Berdasarkan dari penelitian penelitian yang telah dilakukan, Istana Siak mengalami kemelesakan dan keretakan pada dinding bangunan yang disebabkan oleh daya dukung tanah yang kurang kuat. Untuk mengatasi agar tidak terjadi kemelesakan pondasi bangunan dan keretakan dinding bangunan yang lebih parah maka dilakukan grouting pada sekeliling luar bangunan dan bagian dalam. Grouting pada sekeliling bangunan sebanyak 152 titik dan pada bagian dalam istana sebanyak 66 titik. Dengan grouting tersebut diharapkan kemelesakan bangunan yang dapat mengakibatkan keretakan pada bagian dinding dapat ditanggulangi. Restorasi Istana Siak pada tahap I ini meliputi pekerjaan grouting, perbaikan dinding dan atap, serta perbaikan pada bagian lantai. Selama pelaksanaan restorasi dilakukan pengawasan oleh Balai P3 Batusangkar. Adapun sebagai petugas pengawas adalah Nedik Tri Nurcahyo,SS. (NDK) ! Survei
Arkeologi di Pasaman
Kegiatan Survei Arkeologi di Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat dilakukan oleh Balai Arkeologi Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
41
Medan bekerjasama dengan BP3 Batusangkar. Kegiatan ini bertujuan untuk menginventarisasi kembali situs-situs yang ada di dua kabupaten tersebut. Sewaktu survai di Kabupaten Pasaman, tepatnya di daerah Bonjol, ditemukan sebuah prasasti yang dituliskan pada sebuah batu monolit. Sebagai Ketua Tim Survei adalah Drs. Lukas P. Koestoro, DEA dengan anggota sebanyak enam orang dari Balar Medan. Dari Balai P3 Batusangkar mengikutkan Darul Aswad untuk membantu pelaksanaan survei tersebut. Adapun waktu pelaksanaan kegiatan berlangsung pada bulan September 2004. (YHB) ! Konservasi
dan Penataan Taman Candi Muaratakus
Untuk meningkatkan upaya pelestarian dan pemanfaatan secara optimal terhadap Candi Muaratakus maka pada tahun 2004 Pemkab Kampar mengalokasikan anggaran untuk pembersihan dan konservasi bangunan candi serta penataan kembali pertamanan di sekitar kompleks percandian Muaratakus yang pelaksanaannya dilakukan oleh BP3 Batusangkar. Kegiatan pembersihan dan konservasi Candi Muaratakus bertujuan untuk memelihara dan menghambat proses kerusakan/pelapukan bangunan candi tersebut. Pembersihan dan konservasi terhadap candi Muaratakus meliputi pekerjaan pembersihan mekanis kering, pembersihan mekanis basah, dan pengolesan bata dengan bahan kimia. Kegiatan ini berlangsung pada bulan September 2004 dengan pelaksana Rosalina Rambung, SS., Hendra Fazri, Sri Sugiharta, SS., Marjohan Syarief, Syahrial Gindo, Mastur dan Ramadhan. Penataan kembali taman yang berada di luar pagar keliling candi yang dahulu dibuat oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Kampar dilakukan pada bulan Desember 2004. Penataan taman tersebut dimaksudkan agar taman yang ada serasi dan sesuai dengan kondisi lingkungan situs. Sebagai pelaksana dalam penataan taman adalah Bambang Rudianto dan Suhardi. Sementara itu, Balai P3 Batusangkar melalui dana rutin melakukan pekerjaan penataan batu-batu pagar keliling candi, penataan halaman candi di dalam pagar keliling, dan pembuatan papan nama yang dilaksanakan oleh Hendra Fazri. (TMN) ! Pendataan
BCB TB di Bengkalis
Inventarisasi BCB Tidak Bergerak di Bengkalis dimaksudkan untuk memperoleh dokumentasi secara lengkap baik verbal maupun visual. Tujuannya adalah agar didapatkan informasi yang akurat dan lengkap terhadap BCB di Kabupaten Bengkalis, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan pelestarian dan pengelolaan BCB di masa mendatang. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan November 2004 oleh Agoes Triy Mulyono, SH dan Afriyondri. Dalam inventarisasi tersebut telah berhasil dihimpun data situs yang meliputi Situs Makam Panglima Minal, Situs Pesanggrahan Raja-raja, Situs Makam Sangnawolo (Sang Naualuh Damanik), Situs Makam Tengku Bagus Toha, Rumah Kapiten, Bangunan Lembaga Pemasyarakatan, Makam Putri Sembilan. (TMN)
42
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/desember 2004
! Penataan
Benteng Bukit Raaf
Kegiatan penataan Benteng Bukit Raaf yang berlokasi di Pasar Usang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, dilakukan pada bulan Oktober 2004. Benteng Bukit Raaf didirikan pada tahun 1947 untuk mencegah masuknya tentara Belanda ke seluruh pelosok Sumatera Barat. Benteng ini dipergunakan oleh pasukan Republik Indonesia Front utara untuk pertahanan. Benteng pertahanan ini berbentuk semi artifisial dengan sebuah puncak bukit yang menjorok keluar yang dipergunakan sebagai basis pertahanan. Benteng ini dilindungi oleh bukit pada sisi timur sehingga sangat sukar untuk menembus benteng. Benteng pertahanan ini berbentuk parit yang melingkar dan pada tengah-tengah lingkaran ini terdapat senjata RAAF. Lebar parit 50 cm dan dalamnya 1 meter. Di antara parit berjarak dua meter dan pada benteng ini terdapat lima buah parit yang melingkari benteng. Adapun penataan Benteng Bukit Raaf meliputi pembuatan jalan setapak, pembuatan jalan tangga naik ke bukit, penataan makam dan benteng, serta pembersihan lokasi. (YHB) ! Pemetaan
Bakol di Bukittinggi
Pemetaan sebaran bangunan kolonial Kota Bukittingi dilaksanakan pada bulan Oktober 2004 selama tujuh hari. Tujuan dari pemetaan ini sebagai upaya menginventarisasi dan mendokumentasikan secara spatial bangunan-bangunan kolonial yang tersebar di Kota Bukittinggi dalam rangka untuk pelestarian. Selain itu juga diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengembangan tata ruang kota. Jumlah bangunan kolonial yang berhasil dipetakan sebanyak 34 bangunan. Data yang dihimpun di antaranya keletakan astronomis dan administratif, fungsi bangunan, ukuran bangunan, dan foto bangunan. Pemetaan tersebut difokuskan pada bangunanbangunan kolonial yang tersebar di tiga kecamatan dalam Kota Bukittinggi yaitu Kec. Guguk Panjang, Kec. Aur Birugo Tigobaleh, dan Kec. Mandiangin Koto Selayan. Sebagai Tim Pelaksana Pemetaan sebanyak yaitu Bambang Siswoyo dari Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, serta Andrison, Afriyondri, dan Anasril dari BP3 Batusangkar. (YHB) ! Survei
Arkeologi di Riau
Dinas Budsenipar Provinsi Riau bekerja sama dengan BP3 Batusangkar melakukan survei pengumpulan data arkeologi di tiga lokasi situs, yaitu situs Candi Sedinginan di Kabupaten Rokan Hulu, situs Padang Candi di Kabupaten Kuantan Singingi, dan situs Benteng Sembung di Kabupaten Indragiri Hilir. Selain pengumpulan data permukaan, pada tiga lokasi situs tersebut juga dilakukan pembukaan kotak uji galian untuk mencari data di bawah permukaan tanah. Survei di situs Candi Sedinginan dilaksanakan pada tanggal 2 s.d 5 November 2004. Selama survei di situs Candi Sedinginan. Tim dari Dinas Budsenipar Provinsi Riau didampingi oleh Drs. Budi Istiawan dari BP3 Batusangkar sebagai tenaga arkeologis.
Sementara itu survei di situs Padang Candi dilaksanakan pada tanggal 5 s.d 8 November 2004. Tim dari Dinas Budsenipar Provinsi Riau didampingi oleh Drs. Nedik Tri Nurcahyo, SS dari BP3 Batusangkar sebagai tenaga arkeologis. Hasil yang diperoleh pada survei di situs Padang Candi adalah sebaran fragmen bata yang diperkirakan berasal dari batubata suatu candi yang tersebar di perkebunan dan permukiman penduduk. Dari uji coba kotak penggalian yang dilakukan di perkebunan penduduk pada kedalaman 20 s.d 50 cm ditemukan fragmen bata yang sudah tidak beraturan lagi. Survei di situs Benteng Sembung dilaksanakan pada tanggal 25 s.d 28 November 2004 dan didampingi oleh Drs. Teguh Hidayat dari BP3 Batusangkar sebagai tenaga arkeologis. Survei di situs Benteng Sembung bertujuan untuk melacak sisa-sisa artefak yang dapat dipakai untuk pengungkapan sejarah Kabupaten Indragiri Hilir khususnya dan sejarah masyarakat Melayu pada umumnya. (BI-NDK-TH)
! Pengecatan Istana Marhum Kantor Pulau Penyengat memiliki potensi tinggalan bangunan-bangunan dari masa kejayaan Melayu Lingga. Lebih-lebih pulau ini pernah menjadi tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda (Sultan Muda). Sementara kedudukan Sultan bertempat di Daik Pulau Lingga. Salah satu tinggalan yang berada di Pulau Penyengat adalah Istana Marhum Kantor yang kondisinya masih relatif utuh, terdiri dari sebuah bangunan dengan dua lantai yang dikelilingi oleh tembok keliling istana. Kondisi fisik bangunan dan tembok keliling catnya sudah banyak yang mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan kesan kurang terawat. Untuk meningkatkan tingkat kebersihan dan keterawatan bangunan maka dilakukan pembersihan lokasi dan pengecatan kembali terhadap bangunan tersebut. Adapun pekerjaannya meliputi pembersihan lokasi seluas 94,50 m2, pengecatan tembok keliling seluas 2.893 m2, dan pengecatan bangunan istana seluas 184 m2. Selain pengecatan terhadap Istana Marhum Kantor juga dilakukan pengecatan terhadap bangunan Gedung Mesiu di Pulau Penyengat. Sebagai pelaksana pengecatan tersebut adalah M. Yusuf dan Syahrial dan dilaksanakan pada bulan Desember 2004 . (TMN) ! Penataan
Makam Sultan Sulaiman
Penataan Situs Makam Sultan Sulaiman di Kecamatan Tanjung Pinang Timur adalah untuk meningkatkan kelestarian situs sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Lebih-lebih situs makam ini adalah merupakan makam salah satu Sultan yang pernah memerintah di kerajaan Melayu Lingga yang masih sering dikunjungi oleh para peziarah. Penataan Makam Sultan Sulaiman meliputi pekerjaan: Pemagaran situs ukuran 34,25 X 26,75 m, Pengecatan tembok keliling makam dengan ukuran 10,8 M X 10,6 m, Rehabilitasi cungkup dengan ukuran 3,50 M X 2,50 m. Pelaksanaan kegiatan penataan situs Makam Sultan Sulaiman dilaksanakan pada bulan Novem-
ber s.d Desember 2004 dengan penanggungjawab pekerjaan Rosalina Rambung, SS dan M. Yusuf. (TMN) ! Penataan
Makam Raja Jambu Lipo
Makam Jambu Lipo merupakan makam salah satu raja yang pernah memerintah kerajaan Jambu Lipo. Situs ini terletak di Jorong Jambu Lipo, Nagari Jambu Lipo, Kecamatan Lubuk Tarok, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Penataan situs Makam Raja Jambu Lipo meliputi perbaikan terhadap pagar keliling situs dan perbaikan atap cungkup makam. Waktu pelaksanaan pekerjaan pada bulan November s.d bulan Desember 2004. Sebagai penanggungjawab kegiatan adalah Saut Marudut Gurning, SH. (TMN) ! Pemetaan
Budaya
Pemetaan budaya merupakan upaya untuk memetakakan potensi kekayaan budaya yang tersebar di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Dengan diketahuinya peta budaya di seluruh wilayah dapat dimanfaatkan untuk menyusun kebijakan arah pembangunan kebudayaan di masa yang akan datang. Kegiatan pemetaan budaya di Sumatera Barat dilaksanakan tanggal 26 s.d 30 November 2004 oleh tiga Asdep yaitu Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Pemuseuman, Asdep Urusan Tradisi, dan Asdep Urusan Kepercayaan. Dalam pelaksanaan di lapangan UPT Kebudayaan di daerah, yaitu BKSNT Padang, Balai P3 Batusangkar, Museum Nagari Adityawarman Padang, Taman Budaya, Universitas Andalas, dan Universitas Negeri Padang. Lokasi pemetaan budaya ini adalah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, kabupaten Tanah Datar, Kota Sawahlunto, Kota Bukittinggi, dan Kabupaten Agam. Staf Balai P3 Batusangkar yang mengikuti kegiatan pemetaan budaya adalah Nedik Tri Nurcahyo, SS. dan Afriyondri. (NDK) ! Sarasehan
di Siak
Balai P3 Batusangkar bekerjasama dengan Dinas Parsenibudpora Kabupaten Siak melakukan Sarasehan Pelestarian dan Pemanfaatan BCB dan Situs yang diselenggarakan di Kabupaten Siak pada tanggal 27 November 2004. Sarasehan tersebut bertujuan untuk memberikan arahan kepada masyarakat tentang pelestarian dan pemanfaatan Benda Cagar budaya. Peserta dari sarasehan ini berasal dari berbagai kalangan, antara lain Pramu Wisata, Pemerhati Budaya, dan Dinas Parsenibudpora Kabupaten Siak. Materi yang disampaikan dalam sarasehan tersebut adalah kebijakan pelestarian dan pemanfaatan BCB di Provinsi Sumbar dan Riau oleh Drs. Marsis Sutopo, M.Si Kepala Balai P3 Batusangkar, kebijakan pelestarian BCB di Provinsi Riau oleh Drs. John Analis Kasubdin Kebudayaan Budsenipar Provinsi Riau, kebijakan pelestarian BCB di Kabupaten Siak oleh Drs. H. Kadri Yafis, M.Pd, Kepala Dinas Parsenibupora Kabupaten Siak, dan perlindungan BCB oleh Emi Rosman SH dari Balai P3 Batusangkar. (YHB) Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/Desember 2004
43
! Rehabilitasi
Surau Syech Burhanuddin
Syech Burhanuddin merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Sumatera Barat. Salah satu peninggalan Syech Burhanuddin adalah berupa surau yang berada di Bintungan Tinggi, Kabupaten Pariaman. Dahulu surau ini dipakai untuk tempat penyebaran agama Islam. Bangunan surau ini berupa bangunan kayu dengan atap seng dan lantainya berupa lantai panggung. Rehabilitasi surau bertujuan untuk memperbaiki dan mengganti komponen-komponen bangunan yang sudah lapuk dan tidak dapat dipertahankan lagi, antara lain pada bagian lantai, dinding, pintu, dan jendela. Pelaksanaan pekerjaan berlangsung pada bulan November s.d Desember dengan penanggungjawab pekerjaan Drs. Budi Istiawan dan pelaksana lapangan Rosalina Rambung, SS, dan Darul Aswad. (YHB) ! Bimbingan Teknis Untuk menciptakan dan meningkatkan kemampuan SDM di Daerah Otonom di bidang pelestarian BCB maka Balai P3 Batusangkar melalui dana pembangunan menyelenggarakan Bimbingan Teknis Pelestarian dan Pengelolaan BCB untuk Kasi Kebudayaan se-Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Bimbingan Teknis pelestarian dan pengelolaan BCB yang diselenggarakan pada tanggal 2 s.d 5 Desember 2004 di Hotel Dymen Bu-kittinggi, diikuti oleh 29 orang Kasi yang menangani bidang kebudayaan, khususnya bidang kepurbakalaan, kesejarahan, dan permuseuman. Tujuan pokok dari Bintek tersebut adalah untuk memberikan bekal dan pemahaman kepada kasi kebudayaan tentang BCB dan upaya-upaya pelestarian dan pengelolaan BCB, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Adapun narasumber dan pemakalah dalam Bintek tersebut adalah Drs. Dani Wigatno dari Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman yang menyampaikan materi tentang kebijakan pelestarian dan pemanfaatan BCB dan Ismijono dari Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman yang menyampaikan materi tentang pemugaran BCB. Dari akademisi oleh Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc dari Jurusan Arkeologi FIB UGM yang menyampaikan materi tentang pengetahuan tentang dasar-dasar arkeologi. Drs. Marsis Sutopo, M.Si dari Balai P3 Batusangkar menyampaikan makalah tentang kebijakan pelestarian dan pengelolaan BCB di Sumbar, Riau, dan Kepulauan Riau. Pemakalah lain yang menyampaikan materi mengenai masalah perlindungan BCB, pendokumentasian BCB, pemanfaatan BCB, pengenalan arkeologi bawah air, dan pelestarian budaya intangible adalah Agoes Tri Mulyono, SH, Nedik Tri Nurcahyo, SS, Drs. Budi Istiawan, Drs. Teguh Hidayat, dan Nurmatias, SS dari BKSNT Padang Selain diberikan materi seperti tersebut di atas, juga dilakukan studi lapangan dengan mengunjungi ke situs-situs cagar budaya yang berada di sekitar Batusangkar. Dalam studi lapangan tersebut para peserta Bintek melakukan pengamatan terhadap kondisi situs
44
Buletin Arkeologi
AMOGHAPASA Edisi 9/X/desember 2004
dan diminta untuk melakukan perencanaan pelestarian dan pengembangan sesuai dengan kondisi situs yang ditemui. Dengan teknik demikian diharapkan para peserta sudah memiliki kemampuan dasar untuk perencanaan pelestarian situs dan benda cagar budaya yang berada di daerahnya masing-masing. Dari kesan dan pesan para peserta Bintek disampaikan bahwa materi dan pengalaman yang peroleh dalam Bintek sangat bermanfaat untuk pelaksanaan di Daerah Otonom. Para peserta Bintek berharap kegiatan Bintek Pelestarian BCB dan Situs dapat dilanjutkan lagi dengan materi yang lebih mendalam dan spesifik yang berkaitan dengan masalah pelestarian dan pengelolaan BCB. Dengan upaya demikian maka diharapkan pada setiap Daerah Otonom akan memiliki tenaga SDM yang memahami masalah pelestarian BCB dan situs sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (YHB) ! Inventarisasi
BCB dan Situs di Sumbar
Dinas Parsenibud Provinsi Sumatera Barat pada bulan Oktober 2004 melakukan inventarisasi BCB dan situs di Kab. Tanah Datar, Kab. Limapuluh Koto, Kab. Sawahlunto Sijunjung, dan Kab. Pesisir Selatan. Inventarisasi tersebut bertujuan untuk menghimpun data BCB dan situs yang berada di empat kabupaten. Dalam pelaksanaan inventarisasi melibatkan Balai P3 Batusangkar. Anggota tim dari Balai P3 Batusangkar yang ikut serta dalam survei dan inventarisasi tersebut adalah Nedik Tri Nurcahyo, SS dan Sri Sugiharta, SS. (NDK)
!Pameran BCB Dalam Rangka Festival Minangkabu 2004 Provinsi Sumatera Barat pada bulan Desember 2004 menyelenggarakan Festival Minangkabau 2004. Salah satu kegiatannya adalah Pameran Budaya yang melibatkan antara lain instansi Museum Nagari Adityawarman, Balai P3 Batusangkar, Kantor Arsip Kota Padang, dan Badan Arsip Sumbar. Pameran Budaya digelar di Aula Museum Nagari Adityawarman pada tanggal 18 s.d 24 Desember 2004. Oleh karena banyaknya pengunjung, maka pameran diperpanjang sampai dengan 30 Desember 2004. Dalam pameran tersebut Balai P3 Batusangkar menyajikan poster foto BCB dengan tema Lintas Sejarah Minangkabau: Dari Masa Prasejarah Sampai Dengan Masa Perjuangan. Selain untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang peninggalan-peninggalan Minangkabau yang tersebar di berbagai kabupaten di Sumatera Barat, juga sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat perlunya pelestarian terhadap benda cagar budaya. Tim pelaksana pameran dari Balai P3 Batusangkar adalah Nedik Tri Nurcahyo, SS., Zulfian, SE, Yusfa Hendra Bahar, SS., Rita Nofiarti, SE, Yendri Suharni, Usiati, Afrizal, Junaidi Sani, dan Mastur. (YHB)