KALPATARU
KALPATARU MAJALAH ARKEOLOGI
Volume 25, Nomor 1, Mei 2016, hlm. 1 - 74
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN ISSN 0126-3099 Akreditasi LIPI No.: 721/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Copyright Pusat Penelitian Arkeologi Nasional 2016
ISSN 0126-3099
Alamat (Address) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jalan Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Indonesia Telp. +62 21 7988171 / 7988131 Fax. +62 21 7988187 Email:
[email protected] /
[email protected] website: litbang.kemdikbud.go.id/arkenas Gambar Sampul Depan: Relief Kalpataru, Candi Prambanan.
KALPATARU MAJALAH ARKEOLOGI
Penerbit
PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2016
KALPATARU
MAJALAH ARKEOLOGI Volume 25, No. 1, Mei 2016
ISSN 0126-3099
Akreditasi LIPI No.: 721/AU/P2MI-LIPI/04/2016
DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab (Chairperson) Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Director of The National Research Centre of Archaeology) Pemimpin Redaksi (Editor in Chief) Dra.Vita (Arkeologi Lingkungan) Dewan Redaksi (Boards of Editors) Dr. RR Tri Wurjani (Arkeologi Prasejarah) Drs. Jatmiko, M. Hum (Arkeologi Prasejarah) Dra. Retno Handini, M.Si. (Arkeologi Prasejarah) Atina Winaya S. Hum (Arkeologi Sejarah) Mitra Bestari (Peer Reviewers) Prof. Ris. Dr. Bagyo Prasetyo (Arkeologi Prasejarah, Pusat Arkeologi Nasional) Prof. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto (Arkeologi Publik, Pusat Arkeologi Nasional) Prof. Ris. Dr. Dwi Purwoko ( Agama dan Tradisi Keagamaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Dr. Yahdi Zaim (Geologi, Institut Teknologi Bandung) Dr. Supratikno Rahardjo (Arkeologi Sejarah, Universitas Indonesia) Mitra Bestari Tamu (Peer Reviewer Guest) Prof. Ris. Dra. Naniek Harkantiningsih (Arkeologi Sejarah, Pusat Arkeologi Nasional) Penyunting Bahasa Inggris (English Editor) Auliana Muharini, S. S. Drs. Prih Suharto, M. Hum (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) Redaksi Pelaksana (Managing Editor) Harry Octavianus Sofyan, S. Hum Tata Letak dan Desain (Layout and Design) Atika Windiarti, A. Md. Alamat (Address) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Jalan Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Indonesia Telp. +62 21 7988171 / 7988131 Fax. +62 21 7988187 E-mail:
[email protected] /
[email protected] litbang.kemdikbud.go.id/arkenas
Produksi dan Distribusi (Production and Distribution) PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL (THE NATIONAL RESEARCH CENTRE OF ARCHAEOLOGY) 2016
ii
Kalpataru, Majalah Arkeologi, merupakan jurnal ilmiah tematik yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi hasil penelitian, atau aplikasi hasil penelitian dan pengembangan terkini dalam bidang arkeologi beserta ilmu terkait, seperti kimia, biologi, geologi, paleontologi, dan antropologi. Pengajuan artikel di jurnal ini dialamatkan ke Dewan Redaksi. Informasi lengkap mengenai pengajuan artikel dan petunjuk penulisan terdapat di halaman akhir dalam setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi Dewan Redaksi. Semua tulisan di dalam jurnal ini dilindungi oleh Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Mengutip dan meringkas artikel, gambar, dan tabel dari jurnal ini harus mencantumkan sumber. Selain itu, menggandakan artikel atau jurnal harus mendapat izin penulis. Jurnal ini terbit dua kali setahun, yaitu pada bulan Mei dan November, serta diedarkan untuk masyarakat umum dan akademik, baik di dalam maupun luar negeri. Kalpataru, Archaeological Magazine, is a thematic scientific journal, which presents original articles on the subject of knowledge and information about results of research or application of results of current research and development in the field of archaeology and related sciences, such as chemistry, biology, geology, palaeontology, and anthropology. Submission of articles for this journal should be addressed to the Board of Editors. Detail information on how to submit articles and guidance to authors on how to write the articles can be found on the last page of each edition. All of the submitted articles are subject to be peer-reviewed and edited. All articles in this journal are protected under the right of intellectual property. Quoting and excerpting statements, as well as reprinting any figure and table in this journal have to mention the source. Reproduction of any article or the entire journal requires written permission from the author(s) and license from the publisher. This journal is published twice a year, in May and November, and is distributed for general public and academic circles in Indonesia and abroad.
iii
iv
KATA PENGANTAR Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melalui media KALPATARU Majalah Arkeologi menyajikan artikel-artikel yang bersifat tematik. Pada edisi volume 25 No. 1 Mei 2016 ini mengangkat tema tentang kemaritiman situs-situs arkeologi di wilayah Indonesia. Pengetahuan tentang kemaritiman ditinjau dari berbagai aspek ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan adaptasi masyarakat di lahan basah, berbagai metode untuk menentukan pertanggalan absolut, cara identifikasi situs arkeologi, sebaran temuan bawah laut, pengelolaan, memelihara dan merawat peninggalan arkeologi bawah air, eksplorasi laut, dan ekonomi maritim. Dalam kehidupan manusia, adaptasi memegang peranan yang cukup penting dalam melangsungkan kehidupannya. Hal ini disampaikan dalam artikel Vita yang berjudul ”Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan”. Penulis membahas berbagai hal yang berkaitan dengan keadaan lingkungan Situs Air Sugihan, baik secara biotis maupun a-biotis. Di situs ini masyarakat beradaptasi dengan lingkungan rawa dengan mendirikan rumah panggung sebagai tempat tinggal, menggunakan perahu sebagai sarana transportasi serta memiliki tanah gambut yang kaya dengan bahan organik untuk bertani. Artikel selanjutnya, yaitu kolaborasi antara Agustijanto Indradjaja dan Darwin A.Siregar yang berjudul “Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolutnya”. Melalui metode analisis deskriptif dan analisis carbon dating (C-14), maka hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggalan mutlak terhadap sampel tiang kayu dengan metode C14 diketahui berangka 1450 ± 120 B.P (1950) yang artinya bahwa tiang kayu ini berasal dari masa sekitar 480-620 M (abad ke-5-7 M), dan sampel ijuk berangka tahun 1580 ± 110 B.P (1950) atau berasal dari sekitar 250-590 M (abad ke 3-6 M). Hasil pertanggalan ini sejaman dengan temuan Prasasti Kota Kapur berangka tahun 686 M. Eka Asih Putrina dalam artikel yang berjudul “Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan” membahas tentang kapal karam yang ditemukan pada tahun 2003 di perairan Cirebon, dan memaparkan sebaran temuan keramik yang terdapat pada situs-situs di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Artikel selanjutnya oleh Dino Gunawan Pryambodo dan Reiner Arief Troa menerapkan metode geolistrik konfigurasi Wenner 2D dengan menggunakan resistivitymeter multichannel S Field melalui tiga lintasan pengukuran. Proses pengolahan dan analisis serta interpretasi data dilakukan dengan menggunakan software Res2Dinv dalam artikelnya yang berjudul “Aplikasi Metode Geolistrik Untuk Identifikasi Situs Arkeologi di Pulau Laut, Natuna”. Artikel yang mengemukakan tentang bagaimana strategi pengelolaan, memelihara dan merawat peninggalan arkeologi bawah air yang banyak tersebar di perairan Indonesia ditulis oleh Agni Sesaria Mochtar, dalam naskahnya yang berjudul “In-Situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia”, Agni menjelaskan bahwa langkah awal yang dapat ditempuh adalah segera mengajukan penetapan situs-situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air menjadi Cagar Budaya sehingga dapat memiliki kekuatan hukum. Selain itu, pemerintah perlu melakukan koordinasi intra unit-unit pelaksanaannya agar disepakati tentang kewenangan dan regulasi pedoman yang sama, sehingga dapat meminimalisasi potensi konflik di lapangan. Terakhir, naskah yang ditulis oleh Roby Ardiwidjaja berjudul “Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruse)” membahas tentang pemenuhan kebutuhan sarana transportasi dalam kegiatan wisata bahari dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki daya tarik wisata alam dan budaya. Keanekaragaman kapal tradisional di Indonesia tidak saja dapat dimanfaatkan sebagai atraksi unik dari budayanya, seperti budaya pembuatan kapal tradisional yang dimulai dari upacara penyiapan bahan baku, pendesainan kapal hingga pembagian tugas mengoperasikan kapal. Kegiatan wisata bahari ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pemanfaatan v
akar budaya bahari, sekaligus pemberdayaan dibidang layanan jasa dan usaha transportasi kapal laut tradisional sebagai kapal wisata tradisional (Traditional Cruise). Semua artikel yang dimuat dalam Majalah Arkeologi Kalpataru volume 25 nomor 1 tahun 2016 diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan arkeologi bagi ilmuwan dan masyarakat luas pada umumnya serta khususnya dalam bidang pendidikan. Dewan Redaksi
vi
KALPATARU
MAJALAH ARKEOLOGI Volume 25, No. 1, Mei 2016
ISSN 0126-3099
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI KUMPULAN ABSTRAK Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan The Adaptation of Pre-Srivijaya Community in Air Sugihan Wetland Site, South Sumatra Vita
v vii ix-xii 1-14
Dermaga Kuna di Situs Kota Kapur dan Analisis Pertanggalan Absolut Ancient Port in Kota Kapur Site and Analysis of Absolute Dating Agustijanto Indradjaja dan Darwin A.Siregar
15-28
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan Distribution of Ceramics Cargo from Cirebon Shipwreck in Southern Sumatera Archaeological Sites Eka Asih Putrina Taim
29-43
Aplikasi Metode Geolistrik untuk Identifikasi Situs Arkeologi di Pulau Laut, Natuna Applications of Geoelectric Method for Archaeological Site Identification in Laut Island, Natuna Dino Gunawan Pryambodo dan Reiner Arief Troa
45-52
In-situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia In-Situ Preservation As a Strategy In Managing Underwater Cultural Heritage in Indonesia Agni Sesaria Mochtar
53-64
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata Maritime Culture Heritage Preservation: The Attraction of Traditional Boat as Traditional Cruise Roby Ardiwidjaja
65-74
vii
viii
KALPATARU Volume 25, Nomor 1, Mei 2016
ISSN 0126-3099
Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy tanpa izin dan biaya DDC: 959.81 Vita
DDC: 738 Eka Asih Putrina Taim
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan Vol. 25 No.1, Mei 2016, hlm. 1-14 Situs Air Sugihan merupakan salah satu pusat hunian awal sejarah di Pantai Timur Sumatera Selatan di masa lampau. Secara umum, keadaan lingkungan Situs Air Sugihan merupakan daerah yang didominasi oleh dataran rawa gambut yang terdiri dari vegetasi rawa dan vegetasi sawah. Dengan lingkungan rawa tersebut bagaimana manusia dapat beradaptasi dan melangsungkan kehidupannya sesuai dengan karakterisitik lingkungan yang ada. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan survei dan pangamatan lingkungan terhadap pemukiman di wilayah Situs Air Sugihan yang bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi masyarakat setempat dengan lingkungannya. Dari survei tersebut diketahui bahwa masyarakat mengubah lingkungan rawa gambut untuk memenuhi kebutuhannya, baik untuk bermukim maupun untuk kebutuhan seharihari, dengan kearifan mereka, mereka memanfaatkan tumbuhan nibung (Oncosperma tigillarium) jelutung (Dyera pollyphylla), bako (Rihzophoraceae), yang ada disekitarnya untuk membuat peralatan dan bangunan tempat mereka tinggal berupa rumah-rumah panggung guna melindungi diri mereka dari banjir, maupun dari binatang buas serta membuka lahan untuk sawah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan sumber daya alam yang ada, masyarakat dengan kearifan mereka telah mengelola lingkungan sesuai dengan kebutuhannya.
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan
Kata Kunci: Adaptasi, Lingkungan, Rawa gambut DDC: 930.1 Agustijanto Indradjaja dan Darwin A.Siregar Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut Vol. 25 No. 1, Mei 2016, hlm. 15-28 Penelitian arkeologi di Situs Kota Kapur memang tidak seintensif penelitian tentang Sriwijaya di Palembang, namun situs Kota Kapur tidak bisa dipisahkan dari Kerajaan Sriwijaya. Penelitian kali ini mencoba melihat aspek dermaga kuna sebagai bagian dari tapak permukiman di situs Kota Kapur. Penelitian ini difokuskan pada data sisa tiang dermaga dan upaya mencari pertanggalan absolutnya. Oleh karena itu, metode analisis deskriptif dan analisis carbon dating (C-14) digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggalan mutlak sisa dermaga memiliki kesesuaian dengan sejumlah data arkeologi lainnya yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Hal ini menegaskan bahwa dermaga tersebut merupakan bagian dari unit permukiman Kota Kapur pada sekitar abad ke-6 atau 7 M. Kata Kunci: Kota Kapur, Pelabuhan kuna, Sriwijaya
Vol. 25 No. 1, Mei 2016, hlm. 29-43 Kapal karam di perairan pantai Cirebon merupakan kapal karam yang ditemukan pada tahun 2003, kemudian muatan nya berhasil diselamatkan (diangkat) pada tahun 2005 hingga 2007. Meski berbagai jenis temuan dalam muatan kapal karam tersebut, keramik asing dari akhir abad ke-9-10 merupakan temuan salah satu terbanyak atau terpadat. Begitu banyak dan menonjolnya bentuk dan jumlah temuan keramik, bila melihat dari arah dan lokasi kapal tersebut karam menunjukkan kapal ini berasal dari sebuah tempat di wilayah barat dan kemungkinan besar adalah wilayah Sumatera Bagian Selatan. Tulisan ini akan berusaha memaparkan sebaran temuan sejenis (keramik) yang terdapat pada situs-situs di wilayah Sumatera Bagian Selatan, dan hubungannya dengan aktivitas pelayaran kapal yang kemudian karam dalam perjalanannya di perairan lepas pantai Cirebon, melalui pemerian dan pemetaan sebaran serta melakukan data tertulis dan data penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam permasalahan yang terkait dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan komparatif. Hasil dari analisis ini dapat disimpulkan mengenai sebaran situs-situs di wilayah Sumatera Bagian Selatan memiliki peran yang cukup penting pada pelayaran dan perdagangan masa lalu, baik sebagai pelabuhan tujuan maupun pelabuhan singgah untuk para pelaut Nusantara memuat komoditi dagang sebelum di distribusikan ke wilayah lain. Kata Kunci: Kapal karam Cirebon, Keramik abad ke 9-10 M, Sumatera bagian selatan DDC: 930.1 Dino Gunawan Pryambodo dan Reiner Arief Troa Aplikasi Metode Geolistrik untuk Identifikasi Situs Arkeologi di Pulau Laut, Natuna Vol. 25 No. 1, Mei 2016, hlm. 45-52 Pulau Laut merupakan salah satu pulau terdepan wilayah NKRI, merupakan jalur pelayaran internasional selama beradab-abad yang lampau. Terdapatnya situssitus arkeologi kapal tengelam merupakan buktinya. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan sebaran situs arkeologi dan kedalamnnya berdasarkan metode geolistrik konfigurasi Wenner 2D yang menggunakan resistivitymeter multichannel S Field dengan tiga lintasan pengukuran. Proses pengolahan, analisis serta interpretasi data dilakukan dengan software Res2Dinv. Hasil proses, analisis dan interpretasi data, diperoleh pada lintasan satu dengan arah bentangan kabel barat daya – Timur laut, situs
ix
kapal diduga pada posisi 21 – 24 m dari arah barat daya, nilai resistivitas antar 54,3 – 124 Ωm dengan kedalaman 0 – 3 m dari atas permukaan tanah. Lintasan dua dengan arah bentangan kabel yang sama dengan lintasan satu, posisi 21 – 27 m dari arah barat daya,kedalaman 0 – 3 m dari atas permukaan tanah dan rentangan nilai resistivitas 11,5 – 41,4 Ωm diduga terdapat situs kapal. Lintasan tiga dengan arah bentangan kabel barat laut – tenggara merupakan lintasan yang memotong (crossline) lintasan satu dan lintasan dua, diduga keberadaan situs kapal pada posisi 18 – 22 m dari arah barat laut dengan kedalaman 0 – 4 m dari atas permukaan tanah dan nilai resistivitas antara 56,7 – 205 Ωm Kata kunci: Arkeologi, Metode geolistrik, Konfigurasi Wenner 2D, Situs kapal, Pulau Laut DDC: 930.1 Agni Sesaria Mochtar In-situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia Vol. 25 No. 1, Mei 2016, hlm. 53-64 Indonesia sangat kaya dengan peninggalan arkeologi bawah air. Berbagai aktivitas budaya maritim telah meninggalkan data yang melimpah untuk merekonstruksi sejarah bangsa ini. Pada kenyataannya, upaya rekonstruksi tersebut masih menghadapi banyak tantangan terutama dalam hal perbedaan sudut pandang pengelolaan tinggalan-tinggalan tersebut oleh para pihak pengelola. Mengingat bahwa peninggalan arkeologi bawah air di Indonesia tidak hanya memiliki signifikansi nasional, tapi juga regional bahkan internasional, kajian ini mengurai kemungkinan penerapan in-situ preservation, sebagaimana tercantum dalam Konvensi UNESCO tahun 2001, sebagai strategi pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air Indonesia. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan permasalahan yang ada dan menunjukkan bahwa meskipun Indonesia belum dapat meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001 dalam waktu dekat, in-situ preservation merupakan strategi ideal pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang dapat diterapkan di Indonesia dengan melakukan penyesuaian regulasi yang berlaku. Kata kunci: Arkeologi bawah air, In-situ preservation, Konvensi UNESCO 2001 DDC: 306 Roby Ardiwidjaja Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata Vol. 25 No. 1, Mei 2016, hlm. 65-74 Wilayah Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih 75% berupa laut, memiliki peran penting dalam arus lalulintas perdagangan lokal maupun antar negara di masa lalu. Adanya berbagai bukti sejarah, kapal tenggelam, serta pengaruh atau kesamaan budaya bahari dengan
x
negara lain, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari yang hidup di wilayah perairan sebagai poros pelayaran internasional kala itu. Permasalahannya adalah kehidupan akar budaya bahari masyarakat sekarang ini, yang salah satunya berupa aktivitas pelayaran kapal tradisional sebagai bukti budaya bahari, secara perlahan tapi pasti mulai menghilang akibat faktor ekonomi, bahan baku, dan teknologi. Tulisan ini bertujuan memberikan alternatif pemecahan masalah pelestarian budaya bahari bangsa melalui pemanfaatan potensi kapal kayu tradisional sebagai kapal wisata tradisional (traditional cruise). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan melalui konsep pariwisata bahari dengan fokus pada pemanfaatan kapal tradisional yang tidak saja memberi kemudahan angkutan masyarakat antar pulau, tetapi juga kemudahan kepada wisatawan untuk mengunjungi keanekaragaman alam dan kehidupan keseharian akar budaya bahari masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi inspirasi dalam mendukung pemerintah memposisikan kembali wilayah perairan Indonesia sebagai poros pelayaran internasional (poros maritim dunia), sekaligus memperkuat upaya pelestarian budaya bahari bangsa Kata kunci: Fosil, Persepsi masyarakat, Pencarian fosil, Pelestarian, Sangiran
KALPATARU Volume 25, Number 1, May 2016
ISSN 0126-3099
These Abstract Can be Copied without Permission and Fee DDC: 959.81 Vita
DDC: 738 Eka Asih Putrina Taim
The Adaptation of Pre-Srivijaya Community in Air Sugihan Wetland Site, South Sumatra
Distribution of Ceramics Cargo from Cirebon Shipwreck in Southern Sumatera Archaeological Sites
Vol. 25 No. 1, May 2016 pp. 1-14
Vol. 25 No. 1, May 2016, pp. 29-43
The 20 meter-high Solo terrace claimed to be UpperAir Sugihan site was one of early history residential centers in the east coast of South Sumatra. In general, the environment of Air Sugihan Site is dominated by the peat bogs which consist of marsh and paddy vegetations. With such environment, how people could adapt and run their daily activities? To dig more about that, survey and environment observation was conducted in area of Air Sugihan Site to get information about the local community adaptation process with their environment. The survey revealed that people changed the peat bogs environment as settlement and to fulfill their daily needs, then with their local wisdom, used domestic plants such as nibung (Oncosperma tigillarium), jelutung (Dyera pollyphylla), bako (Rihzophoraceae), to make equipments and places for living in form of home on stilts to protect them from flood or wild animals and also opened paddy fields. Thus, it can be concluded that pra-Sriwijaya community had been managed the environment in accordance with their needs by using the available natural resources.
Cirebon shipwreck was found in 2003 and then its cargo successfully rescued (removed) in 2005 to 2007. Although various types of findings in the shipwreck cargo, ceramics from the late 9th century up to 10 M are the findings most and populous. So many and prominence of the form and amount of the findings of ceramics, drawing attention to know where thosecommodities were loaded, where else location which also present the similar kind of those ceramics in the archipelago, as seen from the direction and position of the sunken ship shown the ship might came from some place in western region and most likely is the region of Southern Sumatra. This article will attempt to explain the distribution of similar findings (ceramics), the location of its sites in the region of Southern Sumatra, and its relationship with the activity of the cruise ship later sank on its way in the waters off the coast of Cirebon. The methods used were qualitative and comparative analysis which give description and ceramics distribution. The results of this analysis can be concluded on the sites in the region of South Sumatra has an important role in shipping and trading of the past, either as the port of destination or stay over port for local sailors to load commodity trading before distributed to other regions in archipelago.
Keywords: Adaptation, Environment, Peat bogs DDC: 930.1 Indah Asikin Nurani dan Agus Tri Hascaryo Kota Kapur Site: Ancient Port and Analysis of Absolute Dating Vol. 25 No. 1, May 2016, pp. 15-28 Archaeological research at the Kota Kapur Site is not as intensive as research on Sriwijaya Palembang, but this site can’t be separated from the kingdom of Sriwijaya. The research tried to see ancient port as part of a settlement on the site of Kota Kapur. This study focused on the remaining pillars to search for its absolute dating. Therefore, descriptive analysis and carbon dating (C-14) methods were used to answer the research problems. The results showed that the absolute dating of ancient port were similar with other archaeological data obtained from previous research. It confirms that the port is part of the settlement units in Kota Kapur site at 6th or 7th century AD. Keywords: Kota Kapur, Ancient port, Srivijaya
Keywords: Cirebon shipwreck, 9th -10th century ceramics, Southern Sumatera DDC: 930.1 Dino Gunawan Pryambodo dan Reiner Arief Troa Applications of Geoelectric Method for Archaeological Site Identification in Laut Island, Natuna Vol. 25 No. 1, May 2016, pp. 45-52 Pulau Laut is one of the outer islands in Republic of Indonesia and part of the international shipping lanes during past centuries. The evidence came in form of shipwrecks which also became archaeological sites. The purpose of this study is to determine the distribution of archaeological sites and its depth using Wenner configuration 2D geoelectric method which is achieved by using resistivitymeter multichanel S Field with three lines measurements. Data processing, analysis, and interpretation were performed using software RES2DINV. The results then obtained direction on line one southwest - Northeast, the vessel is allegedly at positions 2124 m from the southwest, the value of resistivity is between 54, 3-124 Ωm with depth of 0-3 m subsurface. Line two is at the same direction with line one and the vessel is allegedly at positions 21-27 m from the southwest, a subsurface
xi
depth of 0-3 m and resistivity values range from 11.5 - 41.4 Ωm. Line three to the direction northwest - southeast is crosslined with track one and track two, allegedly the ship is at position 18-22 m from the northwest with a depth of 0 - 4 m above the ground and resistivity values between 56.7 - 205 Ωm. Keywords: Archaeology, Geoelectrical method, 2D Wenner configuration, Ship site, Pulau Laut DDC: 930.1 Agni Sesaria Mochtar In-Situ Preservation As a Strategy In Managing Underwater Cultural Heritage in Indonesia Vol. 25 No. 1, May 2016, pp. 53-64 Indonesia is a renowned country of its richness of underwater archaeological heritage. Abundant maritime cultural activities had provided data to reconstruct the ancient maritime glory. In the matter of fact, the efforts to reconstruct the history are still facing many challenges especially in the lack of main point of view in managing the heritage. Considering that the Indonesian underwater archaeological heritage is of international significance, this paper discusses the opportunity to implement in-situ preservation in managing underwater archaeological heritage in Indonesia, as it is recommended by the 2001 UNESCO Convention. Some issues in the management of underwater cultural heritage, including activities undertaken and related regulation, were discussed through a descriptive approach. This paper then shows that although Indonesia might not ratify the 2001 UNESCO Convention in the near future, in-situ preservation is an ideal strategy to manage the underwater cultural heritage and is applicable in Indonesia, subject to some adjustment of current regulations. Keywords: Underwater archaeology, In-situ preservation, 2001 UNESCO Convention DDC: 306 Roby Ardiwidjaja Maritime Culture Heritage Preservation: The Attraction of Traditional Boat as Traditional Cruise Vol. 25 No. 1, May 2016, pp. 65-74 Indonesia, where 75% of its territory is covered by the sea, held a significant role both in local and international commerce in the past. Various historical evidences, shipwrecks, as well as the influence and the similarity of maritime culture with other countries reveal that Indonesian people held major role in global maritime culture at the time. However, the maritime culture and life nowadays slowly recedes due to economical factors, limited raw materials, and lack of technology. This paper aims to provide solutions for the problems through the alteration of traditional wooden boat into traditional cruise. The approach used in this research is sustainable development approach through the concept of marine
xii
tourism which focuses in making use of traditional boats for both native villagers and tourists to visit the natural and cultural attractions of marine people living in coastal areas and small islands. Hopefully, this article can inspire to support the government repositioning Indonesia maritime area as one of the global maritime axis, in addition to strengthen the efforts to preserve the maritime cultural heritage. Keywords: Tourism, Cultural Traditional cruise
Heritage,
Maritime,
ADAPTASI MASYARAKAT PRA-SRIWIJAYA DI LAHAN BASAH SITUS AIR SUGIHAN, SUMATERA SELATAN The Adaptation of Pre-Srivijaya Community in Air Sugihan Wetland Site, South Sumatera Vita Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
[email protected]
Naskah diterima : 28 Maret 2016 Naskah diperiksa : 1 April 2016 Naskah disetujui : 20 April 2016
Abstract. Air Sugihan Site was one of early history residential centers in the east coast of South Sumatera. In general, the environment of Air Sugihan Site is dominated by the peat bogs which consist of marsh and paddy vegetations. With such environment, how people could adapt and run their daily activities? To dig more about that, survey and environment observation was conducted in area of Air Sugihan Site to get information about the local community adaptation process with their environment. The survey revealed that people changed the peat bogs environment as settlement and to fulfill their daily needs, then with their local wisdom, used domestic plants such as nibung (Oncosperma tigillarium), jelutung (Dyera pollyphylla), bako (Rihzophoraceae), to make equipments and places for living in form of home on stilts to protect them from flood or wild animals and also opened paddy fields. Thus, it can be concluded that pra-Sriwijaya community had been managed the environment in accordance with their needs by using the available natural resources. Keywords: Adaptation, Environment, Peat bogs Abstrak. Situs Air Sugihan merupakan salah satu pusat hunian awal sejarah di Pantai Timur Sumatera Selatan di masa lampau. Secara umum, keadaan lingkungan Situs Air Sugihan merupakan daerah yang didominasi oleh dataran rawa gambut yang terdiri dari vegetasi rawa dan vegetasi sawah. Dengan lingkungan rawa tersebut bagaimana manusia dapat beradaptasi dan melangsungkan kehidupannya sesuai dengan karakterisitik lingkungan yang ada. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan survei dan pangamatan lingkungan terhadap pemukiman di wilayah Situs Air Sugihan yang bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi masyarakat setempat dengan lingkungannya. Dari survei tersebut diketahui bahwa masyarakat mengubah lingkungan rawa gambut untuk memenuhi kebutuhannya, baik untuk bermukim maupun untuk kebutuhan sehari-hari, dengan kearifan mereka, mereka memanfaatkan tumbuhan nibung (Oncosperma tigillarium), jelutung (Dyera pollyphylla), dan bako (Rihzophoraceae) yang ada disekitarnya untuk membuat peralatan dan bangunan tempat mereka tinggal berupa rumahrumah panggung guna melindungi diri mereka dari banjir, maupun dari binatang buas serta membuka lahan untuk sawah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan sumber daya alam yang ada, masyarakat dengan kearifan mereka telah mengelola lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Kata kunci: adaptasi, lingkungan, rawa gambut
1
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
1. Pendahuluan Adaptasi ialah penyesuaian diri individu, baik manusia, hewan, tumbuhan maupun zat renik lainnya terhadap lingkungan. Menurut Odum (1993), semua bentuk tingkah laku pada hakekatnya adalah bentuk adaptasi atau reaksi organisme terhadap kondisi lingkungan demi kelangsungan hidup. Manusia dapat belajar dan berfikir merupakan organisme yang paling berhasil beradaptasi secara tingkah laku, sehingga manusia dapat menyesuaikan diri didalam semua tempat atau semua lingkungan yang dihuni. Namun, kesanggupan adaptasi manusia bukanlah tanpa batas; sedangkan Koentjaraningrat (Koentjaraningrat 1987 dalam Aryadi 2011), menyebutkan bahwa adaptasi atau penyesuaian diri manusia mengandung pemahaman bahwa manusia dianugerahi empat daya yaitu: 1. Daya tubuh yang menjadikan manusia memiliki kekuatan fisik (organ tubuh dan panca indera). 2. Daya hidup yang menjadikan manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan. 3. Daya akal yang menyebabkan manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Daya kalbu yang memungkinkan manusia memiliki moral, dan merasakan keindahan. Manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang mempunyai akal dan pikiran untuk berpikir dan bertindak dalam kehidupannya. Manusia juga merupakan makhluk sosial yang hidup menyebar pada berbagai kondisi alam untuk beradaptasi dalam melanjutkan atau mempertahankan kehidupannya. Dalam batas tertentu manusia mempunyai kelenturan, keluwesan dan elastisitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Semakin besar kemampuan manusia beradaptasi, maka semakin besar pula kemampuannya untuk meneruskan kehidupan dan bergenerasi karena dapat menempati 2
habitat yang beranekaragam, karena manusia mempunyai kemampuan beradaptasi paling besar jika dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Sejak jutaan tahun lalu makhluk hidup telah ada, sebagai makhluk hidup yang hidup didaratan, ia akan membangun masyarakatnya. Ketika masyarakat manusia telah terbentuk, manusia mempelajari bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dimuka bumi. Manusia mengembangkan cara baru untuk mengawetkan sumber daya alam tersebut (Mattulada 1994). Menurut Eriawati (1998), diantara permasalahan adaptasi yang dianggap cukup penting dikaji adalah cara memanfaatkan sumberdaya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, meliputi kajian mengenai pertimbangan faktor ekologi dalam melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang berkenaan dengan perolehan makanan dan perlindungan diri, maupun penempatan dirinya di muka bumi untuk menyelenggarakan kegiatan. Proses adaptasi juga terjadi pada masyarakat yang mendiami wilayah Situs Air Sugihan sejak masa lalu, yang menurut sejarahnya situs ini merupakan salah satu pusat hunian awal sejarah atau awal masa pra-Sriwijaya di Pantai Timur Sumatera Selatan di masa lampau. Daerah ini mempunyai topografi yang didominasi oleh dataran rendah dengan rawarawa yang luas, terutama di kawasan Timur yang berbatas dengan selat Bangka dan Laut Jawa. Dataran tinggi dan perbukitan sulit dijumpai di daerah ini. Menurut Utomo (2015), daerah rawa ditumbuhi hutan bakau yang dilalui oleh sungaisungai kecil yang mengalirkan air dari genangan rawa ke sungai besar dan akhirnya bermuara di Selat Karimata atau Selat Bangka. Pada masa sejarah, tidak ada teluk dalam dan tidak banyak perubahan terhadap garis pantai. Pemukiman paling awal muncul pada abad 1 - 2 Masehi di Muara Sugihan yang kemudian berkembang ke arah hulu terutama di anak Sungai Sugihan seperti Sungai Biyuku dan Sungai Raden.
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan, Vita
Situs Air Sugihan berada di Kecamatan Air Sugihan, secara geografis terletak pada titik koordinat 02.57504° Lintang Selatan dan 105.29959° Bujur Timur, dengan luas wilayah 2.593,82 km2. Kecamatan Air Sugihan merupakan salah satu dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir yang terdiri dari 19 Desa. Batas wilayah administrasi Kecamatan Air Sugihan sebagai berikut: a.. Sebelah utara: berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin. b. Sebelah selatan: berbatasan dengan Kecamatan Pangkalan Lampam. c. Sebelah timur: berbatasan dengan Selat Bangka. d. Sebelah Barat: berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin (BPS Kabupaten Ogan Komering Ilir 2015). Iklim di Kabupaten Ogan Komering Ilir tergolong dalam Tropik Basah dengan curah hujan rata-rata tahunan > 2.500 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata > 116 hari/tahun. Musim kemarau umumnya berkisar antara bulan Mei sampai Oktober setiap tahunnya, sedangkan musim penghujan berkisar antara bulan November sampai bulan April. Penyimpangan musim biasanya terjadi sekali dalam lima tahun, berupa musim kemarau yang lebih panjang dari musim penghujan, dengan rata – rata curah hujan lebih kurang 1.000 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan 60 hari/tahun. Situs ini dapat dicapai dengan menggunakan perahu bermotor dari Kota Palembang. Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir di sebelah utara berbatasan dengan Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bangka dan Laut Jawa, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim. Pemukiman di Air Sugihan dan sekitarnya terletak di dalam zona iklim IndoAustralia yang bercirikan suhu, kelembaban dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun.
Air Sugihan di pantai timur Sumatera Selatan merupakan wilayah dataran rendah yang termasuk dalam satuan morfologi dataran dengan kemiringan lereng antara 0% - 2%. Wilayah ini berpola pengeringan permukaan (surface drainage pattern) dengan arah umum dari barat ke utara-timur dan bermuara di Selat Bangka (Tim Penelitian 2009). Masyarakat Air Sugihan menempati wilayah geografis pada lahan-lahan basah berupa rawa gambut dan membentuk suatu kebudayaan. Kebudayaan dapat dikembangkan oleh masyarakat setempat untuk digunakan dalam menghadapi lingkungan alamnya. Faktor geografis, walaupun tidak secara mutlak mempengaruhi kebudayaan, tetapi cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan kebudayaan manusia. Keadaan geografis berupa rawa gambut akan memaksa masyarakat untuk menuruti cara hidup yang sesuai dengan keadaan lingkungan alamnya (Suhandi 1997). Manusia menciptakan kebudayaan sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungannya. Lingkungan ini mencakup lingkungan abiotis berupa keadaan geologi dan lingkungan biotis yang terdiri dari benda-benda hidup, yaitu hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dipengaruhi oleh lingkungan abiotis. Lingkungan abiotis dan biotis membentuk suatu ekosistem, dengan mengetahui ekosistem maka akan mendapatkan gambaran tentang kehidupan manusia di dalamnya. Habitat dapat mempengaruhi biologi manusia dan kebudayaannya. Tidak semua lingkungan akan dihuni oleh manusia, hanya habitat yang lebih menguntungkan saja yang akan dihuni oleh manusia. Habitat tersebut mengandung lingkungan biotis yang merupakan sumber makanan manusia dalam teritorium tertentu sesuai dengan teknik eksploitasi dan ekonominya. Dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam sebagai sumber makanan, tidak semua makanan habis begitu saja, sisa3
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
Gambar 1. Lokasi penelitian Arkeologi di Situs Air Sugihan, Kabupaten OKI, Provinsi Sumatera Selatan. (Sumber: Tim Penelitian 2009)
sisa makanan dapat tertinggal, seperti tumbuhtumbuhan, tulang-tulang dan kulit kerang. Makanan dapat diketahui juga dengan koprolit, yaitu fosil faces. Akan tetapi tidak semua tulangtulang merupakan sisa makanan, sebagian ditemukan berupa alat. Dari lingkungan pula diperoleh makanan dan untuk bertahan hidup dengan jalan mengubah dan mengeksploitasi lingkungan tersebut. Menurut Mundarjito (Mundardjito 2002), untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat masa lalu memanfaatkan sumber daya lingkungan, termasuk pertimbangan faktor ekologi yang digunakan dalam penempatan dirinya di muka bumi, meliputi penempatan bangunan untuk tempat menyelenggarakan kegiatan, baik yang berkenaan dengan perolehan makanan dan perlindungan diri. Hubungan manusia dengan lingkungan dalam berbagai kegiatan seperti ini dapat diketahui melalui berbagai sumber data, salah satunya yaitu data arkeologi berupa artefak, ekofak seperti flora, fauna, tanah dan air yang digunakan dan dimanfaatkan orang pada masa lalu. 4
Penelitian arkeologi telah membuktikan bahwa wilayah Situs Air Sugihan pernah dihuni di masa lalu, hal tersebut dapat diperlihatkan dengan adanya berbagai temuan berupa manik-manik yang terbuat dari batu kornelian dan kaca, mata cincin/kalung yang bermotif sapi, angsa dan simbol cakra yang dipahatkan pada batu kornelian dan garnet yang disebut intaglio, alat-alat logam berupa perunggu dan emas (pisau, cincin, antinganting, mendalion, tempat lilin, bandul kalung), sisa-sisa tiang kayu, tembikar berhias maupun polos dalam berbagai bentuk, seperti periuk, kendi, cangkir, tungku, tutup, lalu ditemukan juga fragmen keramik, tiang kayu, kubur manusia lebih kurang 3 (tiga) rangka diperkirakan berusia 2 tahun dan dewasa berusia 18 tahun (Indradjaya 2015). Berdasarkan bukti-bukti arkeologis serta keadaan lingkungan yang didominasi oleh rawa, maka perlu diketahui bagaimana keadaan lingkungan Situs Air Sugihan, baik lingkungan abiotis maupun biotis serta faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat bermukim dan bertahan hidup di wilayah ini.
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan, Vita
2. Metode Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan serangkaian metode antara lain: 1. Survei untuk mengetahui keadaan lingkungan biotis maupun abiotis Situs Air Sugihan. Daerah survei vegetasi di Situs Air Sugihan ini mencakup seluruh vegetasi rawa yang terdapat di wilayah ini pada umumnya dan khususnya vegetasi pada aliran sungai-sungai lama. Wilayah cakupan survei di Situs Air Sugihan yanng dilakukan secara random, meliputi Desa Banyubiru, Nusakarta, Kertamukti, Nusantara, Margatani, Negeri Sakti dan Sidomakmur. 2. Mengidentifikasi jenis-jenis vegetasi di wilayah penelitian dan melihat aktivitas manusia terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan. 3. Identifikasi dan determinasi untuk mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan yang didapat dengan menggunakan buku kunci determinasi, yaitu: a. (Hooker 1934): Flora of British India b. (S., Backer, and van den Brink Jr. 1966): Flora of Java c. (van Steenis 2002): Flora Untuk Sekolah di Indonesia. 3.
Hasil dan Pembahasan
Lingkungan yang dihuni tidak terlepas dari faktor biotis (hewan dan tumbuhan) dan a-biotis (fisik/geologi). Dari survei di wilayah Situs Air Sugihan di dapat hasil sebagai berikut: 3.1 Keadaan Lingkungan Situs Air Sugihan Keadaan lingkungan alam di setiap pulau di Nusantara berbeda-beda, ada yang berupa pegunungan, dataran, ada pula yang berbukitbukit kapur (karst). Di sepanjang pantai timur Sumatera, mayoritas merupakan lahan gambut tempat bermuaranya sungai-sungai besar 3.1.1 Lingkungan A-biotis Sebagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan seluas 87.017 km2 merupakan lahan
rawa yang tersebar di daerah bagian timur, mulai dari kabupaten Musirawas, Muba, OKI, Muaraenim, dan Banyuasin. Menurut Direktorat Jendral Pengairan (Direktorat Jendral Pengairan 1998), lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian di Provinsi Sumatera Selatan adalah 1.602.490 ha, terdiri atas lahan rawa pasang surut 961.000 ha dan rawa non pasang surut atau lebak 641.490 ha. Sebagian besar lahan rawa tersebut atau sekitar 1,42 juta ha merupakan lahan rawa gambut (Zulfikar 2006). Lahan rawa disebut juga dengan istilah “swamp” yaitu yang selalu digenangi air. Airnya tidak mengalir dan sebagai besar dasar tanah berupa lumpur. Vegetasi lahan gambut ini terdiri dari berbagai jenis rumput-rumputan atau semak sampai pohon-pohonan membentuk hutan rawa atau hutan gambut. Saat ini, hutan rawa gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang paling terancam dengan tekanan dari berbagai aktivitas manusia di Indonesia (Lubis 2006). Air Sugihan, salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah rawa pasang surut di muara Sungai Musi yang sejak tahun 1980 dijadikan lokasi pemukiman transmigrasi. Wilayah ini mempunyai sungaisungai besar dan kecil, saling berhubungan satu sama lainnya atau yang disebut juga dengan Pola Pengeringan Deranged yaitu suatu pola aliran sungai antar rawa, dimana sumber mata air dan muara biasanya adalah rawa-rawa, dan berdasarkan atas klasifikasi kuantitas air tersebut, maka sungai-sungai ini termasuk jenis sungai periodis, yaitu sungai yang volume airnya besar pada musim hujan, dan kecil pada musim kemarau (Lobeck 1940; Thornbury 1964; Tim Penelitian 2009). Sungai yang terbesar yaitu Sungai Sugihan atau disebut juga Sungai Buluran dengan beberapa anak sungai yaitu Sungai Simpang, Sungai Betet, Sungai Buluh, dan Sungai Raden. Sungai Sugihan/Buluran berhulu di kawasan rawa dan bermuara di Selat Bangka (Intan 2015). 5
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
Gambar 2. Satuan morfologi dataran di Situs Air Sugihan dengan bentuk permukaan yang sangat landai dan datar, mempunyai prosentase kemiringan lereng antara 0 - 2% dengan vegetasi rawa, tampak jenis kumpai purun atau rumput purun kudung (Eleocharis dulcis/Cyperaceae) (kiri), kumpai purun atau rumput purun kudung (Eleocharis dulcis/Cyperaceae) berasosiasi dengan jenis teratai Nymphaea/ Nymphaeaceae) (kanan) (Sumber: Tim Penelitian 2009)
Secara umum keadaan bentang alam (morfologi) Situs Air Sugihan memperlihatkan kondisi dataran rendah. Kondisi bentang alam seperti ini, apabila diklasifikasikan berdasarkan Sistem Desaunettes, 1977 (Todd 1980), yaitu atas prosentase kemiringan lereng dan beda tinggi relief suatu tempat, maka Situs Air Sugihan terbagi atas satu satuan morfologi, yaitu Satuan Morfologi Dataran. Satuan Morfologi Dataran, dicirikan pada bentuk permukaan yang sangat landai dan datar, dengan prosentase kemiringan lereng antara 0 - 2%, bentuk lembah yang sangat lebar. Satuan morfologi ini menempati 100% dari wilayah penelitian. Pembentuk satuan morfologi ini pada umumnya endapan rawa, dan aluvial. Satuan morfologi dataran, pada umumnya diusahakan sebagai areal perkebunan dan pemukiman. Ketinggian wilayah situs secara umum adalah 5 hingga 10 meter dpl. (Tim Penelitian 2009) Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/ danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa
6
bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal dan lama kelamaan akibat menumpuknya sarasahsarasah, maka mengakibatkan pendangkalan permukaan tanah. Akibat pendangkalan yang berjalan secara perlahan akan terbentuk rawa/ lebak/tanah gambut. Daerah rawa ini berfungsi sebagai cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya untuk persediaan air tanah di saat musim kering, mencegah terjadinya banjir dan sebagai sumber makanan hewani dan nabati. Berdasarkan lama dan tingginya genangan, (Subagyo 2006) membagi lahan rawa lebak menjadi tiga tipe (tipologi) lahan lebak, yaitu : (1) Lebak Pematang, (2) Lebak Tengahan, dan (3) Lebak Dalam (Gambar 3).
Gambar 3. Skematis tipologi lahan rawa lebak (Sumber: Subagyo 2006)
Keterangan gambar: a. Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya jarang kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumah-rumah dan perkampungan penduduk.
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan, Vita
b. Talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah terkena banjir, dan merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri atas batuan sedimen, atau batuan vulkanik masam. c. Lebak Pematang, kondisi alam lebak ini relatif lebih menguntungkan, dibandingkan dengan Lebak Tengahan dan Lebak Dalam, walaupun kemungkinan terjadi kekeringan/ kekurangan air pada musim kemarau. Lahan ini dimanfaatkan untuk permukiman, pekarangan, kebun buah buahan dan sawah di belakang perkampungan dan merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini sering juga disebut “Lebak Dangkal”. d. Lebak Tengahan, wilayah yang tidak pernah kekeringan dimanfaatkan untuk sawah, tanaman palawija dan sayuran pada galengan-galengan sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan. Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3 bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan, apabila genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan. e. Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang paling dalam airnya, dan sukar
mengering kecuali pada musim kemarau panjang. Disebut juga “lebak lebung”, tempat memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6 bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya kurang lebih dari enam bulan secara berturut-turut dalam setahun. Tanah gambut biasanya menempati wilayah Lebak Tengahan dan Lebak Dalam, khususnya di cekungan-cekungan, dan sebagian besar merupakan gambut-dangkal (ketebalan gambut antara 50-100 cm), dan sebagian kecil merupakan gambut-sedang (ketebalan gambut 100-200 cm) (Subagyo 2006). Saat ini penduduk dataran rendah terdiri atas berbagai aktivitas, mulai dari pertanian, perikanan, dan tambak. Pertanian, perkebunan dan perikanan bisa dikembangkan karena tersedianya air yang cukup, di samping iklimnya yang menunjang untuk pertumbuhan tanaman dataran rendah. 3.1.2 Lingkungan Biotis Daerah rawa merupakan sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, dapat bersifat musiman ataupun permanen yang ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Dalam kondisi alami, sebelum dimanfaatkan untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik
Gambar 4. Keadaan lingkungan (kiri) dan sungai (kanan) di desa Negeri Sakti, Air Sugihan (Sumber: Puslit Arkenas)
7
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
sejenis rumputan (reeds/Phragmites,sp/ rumput tebu), sedges/teki-tekian/ Carex, sp, dan rushes/ Juncus, sp), vegetasi semak maupun kayu kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal (Subagyo 2006). Rawa tanpa hutan, merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan, daerah ini hanya ditumbuhi oleh tumbuhan kecil seperti tumbuhan semak belukar dan rumput liar. Hal ini dapat dilihat pada vegetasi rawa khususnya kawasan Situs Air Sugihan yang memiliki berjenisjenis tumbuhan terutama dari jenis rumputrumputan seperti rumput pait (Axonophus compresus), rumput kerbau (Paspalum conjugatum), rumput gajah (Panisetum purpureum), ladingan (Scirpus triangularis), rumput mendong (Fimbristylis umbellaris) atau rumput purun kudung (Eleocharis dulcis), rumput blembem (Ischaemum barbatum), rumput teki (Cyperus rotundus), akar wangi (Andropogon zizanioides) dan merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Jika hutan rawa hilang dapat mengakibatkan kekeringan, yang mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan, dapat mengakibatkan banjir, hilangnya flora dan fauna di dalamnya, sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang, karena lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan kompleks
meliputi beragam tanaman yang mempunyai sifat unggul, pohon komersial, ikan, dan ternak yang khas rawa. Selain itu juga terdapat keragaman biota tanah berupa makroflora. Khusus pada lokasi penelitian arkeologi, vegetasinya terdiri dari vegetasi bekas sawah yang ditumbuhi oleh berbagai jenis rumput-rumputan seperti seperti rumput pait (Axonophus compresus), rumput kerbau (Paspalum conjugatum), rumput gajah (Panisetum purpureum), ladingan (Scirpus triangularis), rumput mendong (Fimbristylis umbellaris), rumput blembem (Ischaemum barbatum), rumput teki (Cyperus rotundus), akar wangi (Andropogon zizanioides), punur tikus (Eleocharis dulcis) dan lain-lain, khususnya pada daerah aliran sungai lama, jenis tumbuhan yang tumbuh pada daerah aliran sungai terdiri dari jenis tumbuhan air dan ada juga daerah bekas sungai lama yang sudah dijadikan perkebunan atau sawah. Adapun jenis tumbuhan yang mencirikan adanya bekas sungai lama yaitu terdapatnya jenis tumbuhan Hydrilla verticilata, genjer (Limnocharis flava), beberapa rumpun nipah (Nypa fruticans), rumput mendong (Fimbristylis umbellaris), langi (Scirpus triangularis), teratai (Nelumbium nelumbo) dan jenis paku pedangan (Pteridaceae), gelagah (Saccharum spontaneum) dan bambu betung (Dendrocalamus asper), sedangkan vegetasi pada tempat-tempat yang tidak digenangi air ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan yang ditanam untuk diperdagangkan maupun untuk
Gambar 5. Berbagai jenis tumbuhan Poaceae dan Cyperaceae sebagai penutup vegetasi rawa (Sumber: Puslit Arkenas)
8
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan, Vita
Gambar 6. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang dibudidayakan di Situs Air Sugihan seperti buah-buahan kelapa sawit (Elaeis guineensis), duku (Lansium domesticum), kopi (Coffea sp.) (searah jarum jam) (Sumber: Puslit Arkenas)
keperluan sendiri seperti jenis sawit (Elaeis guineensis), sengon (Samanea saman), gelam (Melaleuca leucadendron), akasia (Acacia sp.), jeruk (Citrus sinensis), kopi (Coffea sp) dan kelapa (Cocos nucifera). Saat ini lahan pekarangan Bapak Japar (tempat dibukanya kotak ekskavasi) di Desa Nusakarta ditanami kopi dan kelapa, namun di beberapa bagian sering juga ditanami tanaman cabe. Untuk menanam cabe ini maka ada bagian tanah yang ditinggikan dengan cara membuat pematang-pematang di sekitarnya. 3.2 Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat bermukim dan bertahan hidup di wilayah ini Lingkungan rawa gambut terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat sehingga tanah ini mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi, sehingga tanah sangat mudah untuk ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Dengan bermukimnya masyarakat masa lalu di wilayah ini berarti wilayah ini memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dari sisa-sisa tumbuhan/flora yang ditemukan dalam kotak ekskavasi berupa tiang rumah dari pohon nibung (Oncosperma
tigillarium), tali ijuk (Arenga pinnata), papan/ dayung, palang, pasak maupun kemudi perahu dari kayu, fragmen kayu dan kulit buah nipah. Disamping jenis-jenis sisa flora tersebut, dari hasil ekskavasi ditemukan juga beberapa jenis fragmen kayu. Jika dilihat dari jenis dan serat kayunya berkemungkinan sisa tumbuhan tersebut berasal dari jenis pulai (Alstonia scholaris), meranti (Shorea sp) dan jelutung (Dyera costulata), sedangkan jenis kulit kayu jika dilihat dari fisik dan ketebalannya berasal dari jenis tembesu (Fagraea fragrans). Sesuai dengan apa yang dikatakan Mundardjito (Mundardjito 2002), ada kecendrungan bagi masyarakat masa lampau untuk memilih lokasi pemukiman berdasarkan pertimbangan ekologi, pertimbangan prilaku sosial dan pertimbangan ideologis. Daerahdaerah yang memiliki sumber daya alam yang tinggi, cendrung dipilih oleh masyarakat masa lampau sebagai lokasi permukiman dibandingkan dengan daerah yang potensi sumberdaya alamnya rendah. Dari hasil ekskavasi tersebut jelas memperlihatkan bahwa sumber daya alam dan lingkungan cukup banyak tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dimasa lampau di Situs Air Sugihan, begitu juga dengan ditemukannya sisa tumbuhan berupa fragmen 9
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
Gambar 7. (Searah jarum jam) Fragmen tempurung kelapa (Cocos nucifera), buah genitri (Elaeocarpus ganitrus), kulit/serabut buah nipah (Nypa fruticans), kayu nibung (Oncosperma tigillarium) (Sumber: Tim Penelitian 2009)
kayu nibung (Oncosperma tigillarium), pulai (Alstonia scholaris), jelutung (Dyera costulata) dan serabut kulit buah nipah (Nypa fruticans), jelas memperlihatkan bahwa habitat tempat tumbuh jenis tersebut berupa daerah rawa. Daerah rawa gambut kaya akan bahan organik sehingga mudah ditanami, oleh karena itu masyarakat memilih untuk menempati wilayah ini dan agar terhindar dari limpahan air baik dari sungai maupun dari lingkungan sendiri yang mana proses pengeringannya cukup lama karena tanah gambut merupakan tanah yang jenuh terhadap air, maka masyarakat mendirikan rumah panggung dengan memanfaatkan pohon nibung (Oncosperma tigillarium) yang terdapat dilingkungan sekitarnya sebagai penyangga/tiang rumah. Jenis ini digunakan karena pohon ini sangat tahan dan awet dalam genangan air yang lama/ rawa. Perlakuan seperti ini merupakan salah satu bentuk adaptasi masyarakat Air Sugihan terhadap lingkungannya. Dengan mendirikan
rumah panggung, mereka akan terlindung dari berbagai bencana maupun bahaya yang ada disekitarnya, seperti banjir dan kemungkinankemungkinan gangguan dari binatang buas. Lain halnya bagi masyarakat yang membangun tempat tinggalnya tanpa tiang penyangga (tidak berupa rumah panggung), jika musim hujan akan terkena banjir dan akan selalu tergenang air karena proses pengeringan tanah gambut sangat berjalan sangat lambat. Tumbuhnya pemukiman di situs ini juga didukung oleh kemampuan masyarakatnya dalam pembuatan perahu. Perahu merupakan satu-satunya alat transportasi air yang menghubungkan pemukiman yang satu dengan pemukiman lainnya (Utomo 2015). Di beberapa tempat/wilayah di Air Sugihan masyarakat memanfaatkan lahan untuk perkebunan karet, tetapi hasil dari perkebunan karet ini tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Padi, jagung, kedelai, dan umbi-umbian adalah tanaman pangan yang dapat tumbuh
Gambar 8. Pemanfaatan pohon nibung (Oncosperma tigillarium) untuk penyangga rumah (a), sebagian penduduk sudah menggunakan penyangga rumah dari beton (b. dan c.) (Sumber: Tim Penelitian 2009)
10
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan, Vita
Gambar 9. Pemukiman Desa Margatani, dekat Sungai Betet akan kebanjiran apabila air Sungai Betet meluap (kiri). Jenis tumbuhan Kiambang/apu-apu (Pistia stratiotes) menutupi permukaan sungai Betet di Desa Margatani, Air Sugihan berasosiasi dengan tumbuhan nipah (Nypa fruticans) (kanan) (Sumber: Tim Penelitian 2009)
di lahan rawa. Tetapi hanya padi dan umbiumbian yang memiliki kekhasan di lahan rawa. Padi varietas lokal sangat banyak di jumpai di lahan rawa, baik di lahan pasang surut maupun di lahan lebak. Hal ini mungkin karena sifat adaptasinya yang tinggi pada kondisi lingkungan lahan rawa, meskipun hasilnya termasuk rendah. Sementara ubi-ubian lebih banyak ditemukan di lahan lebak (Sastrapraja and Rifai 1989). Lahan gambut terutama di Situs Air Sugihan pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal, bahkan akhir-akhir ini pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk ekstensifikasi usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun campuran dengan tanaman buah-buahan dan sayuran.
Dalam upaya mempertahankan eksistensinya, manusia memerlukan tempat untuk berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan lingkungannya. Makanan diperlukan dalam upaya mempertahankan hidupnya atau menyesuaikan dirinya, sehingga pemilihan tempat hunian dan jenis makanan dapat dipandang sebagai indikasi strategi adaptasi manusia pada masa lampau (Wiradnyana 2011). Menurut informasi dari salah satu penduduk wilayah ini yaitu pak Juari dan pak Teguh mengatakan bahwa daerah Air Sugihan dimasa lampau merupakan hutan rawa yang cukup lebat. Berbagai jenis tumbuhan tumbuh dengan suburnya, bahkan berbagai jenis fauna seperti gajah, biawak, buaya dan beraneka macam jenis ular terdapat di daerah ini, tetapi pada saat ini vegetasi hutan sudah jarang ditemukan lagi yag disebabkan oleh penguasa hutan yang memperdagangkan hasil
Gambar 10. Berbagai jenis tanaman perkebunan dan persawahan di lahan gambut Air Sugihan. (Searah jarum jam) Kelapa sawit (Elaeis guineensis); Gelam (Melaleuca leucadendron); Kelapa (Cocos nucifera); padi (Oryza sativa); kopi (Coffea sp.); Jeruk (Citrus sinensis) (Sumber: Tim Penelitian 2009)
11
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
hutan berupa jenis kayu yang sangat berharga. Terdapatnya berbagai jenis kayu di kawasan situs ini maka berkemungkinan lingkungan vegetasi yang menyusun hutan rawa di Air Sugihan ini pada masa lampau terdiri dari berbagai jenis tumbuhan kayu seperti meranti (Shorea sp.), jelutung (Dyera costulata), gelam (Melaleuca leucadendron), gelam hitam (Melaleuca sp.), nibung (Oncosperma filamentosum), menggris (Toona sp.), tembesu (Fagraea fragrans), petaling (Ochanostachys amanteacea), medang (Litsea firma), gebang (Corypha elata), ramin (Gonystylus bancanus), durian hutan (Durio sp.), genitri (Elaeocarpus ganitrus), bebeko, jambu alas (Sizygium sp.), pulai (Alstonia scholaris), selumar (Jackia ornate), trembesi (Samonea saman), laban (Vitex pubescens), kayu kunyitan, serdang (Livistona rotundifolia), nipah (Nipha fruticans), sagu (Metroxylon sagu), rasau (Pandanus helicopus), sungkit dan masih banyak jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi terdapat di wilayah ini yang pada saat sesarang sudah tidak ditemukan lagi. Jika dilihat dari jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di Air Sugihan dimasa lampau, maka berkemungkinan ekosistem di wilayah
Air Sugihan dimasa lampau termasuk dalam kelompok sub bioma hutan hujan tanah rawa dengan tipe ekosistem berupa hutan rawa gambut. Menurut Stevenson (Stevenson 1994), tanah gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayukayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asamasam fenolat. Hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar dicirikan dengan terdapatnya jenis tumbuhan yang beraneka jenis pohon seperti meranti (Shorea sp), jelutung (Dyera lawii), ramin (Gonistylus bancanus), dan lain-lain. Jenis tumbuhan ini merupakan jenis tumbuhan bernilai ekonomi tinggi karena mempunyai mutu kayu yang sangat bagus sebagai bahan bangunan. Misalnya, pohon jelutung (Dyera lawii) berbentuk silindris, tingginya bisa mencapai 25-45 m, dan diameternya bisa mencapai 100 cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitamhitaman, dan bertekstur kasar. Cabangnya
Gambar 11. 1) Pohon nibung (Oncosperma tigillarium); 2). Pohon jelutung (Dyera lawii); 3) Pohon raminn (Gonistylus bancanus); 4) pohon meranti (Shorea sp.)dan 5) Pohon roda (Hura crepitans); 6) Buah pohon roda (Hura crepitans) (Sumber: Penulis)
12
Adaptasi Masyarakat Pra-Sriwijaya di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan, Vita
tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 meter. Beberapa contoh tanaman pohon yang berkualitas tinggi. 4. Penutup Dari hasil dan pembahasan tentang adaptasi masyarakat pra-Sriwijaya di Situs Air Sugihan, Sumatera Selatan dapat disimpulkan bahwa Situs Air Sugihan memiliki sumber daya alam yang tinggi dengan berbagai kondisi alam berupa rawa gambut serta keanekaragaman jenis tumbuhannya. Lingkungan rawa gambut terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat sehingga tanah mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Dalam mempertahankan/kelangsungan kehidupan, masyarakat Air Sugihan mengubah lingkungan tersebut untuk memperoleh kebutuhannya, baik untuk bermukim maupun bertani, bersawah dan berkebun. Salah satu bentuk adaptasi masyarakat Air Sugihan terhadap berbagai faktor lingkungan rawa tersebut adalah penggunaan perubahan lahan yang teratur secara periodik, dan beberapa faktor lingkungan fisik (air dan tanah) sebagai isyarat untuk mengatur suatu aktivitas. Berkaitan dengan temuan arkeologi berupa manik-manik, mata cincin/kalung, intaglio, alat-alat logam berupa perunggu dan emas (pisau, cincin, anting-anting, mendalion, tempat lilin, bandul kalung), sisa-sisa tiang kayu, tembikar berhias maupun polos berupa periuk, kendi, cangkir, tungku, tutup, fragmen keramik, tiang kayu, kubur manusia, maka berdasarkan tipologi wilayah ini masyarakat situs Air Sugihan bermukim di areal “renah” yaitu areal yang paling tinggi dari tanggul sungai, dan lebak pematang. Areal lebak pematang lebih rendah dari wilayah “renah”, adakalanya lebak pematang terkena genangan air/banjir akibat naiknya permukaan air tanah di kala hujan. Agar terhindar dari banjir atau genangan air yang kadang-kadang muncul, dengan
kearifan masyarakat Air Sugihan, mereka mendirikan tempat tinggal berupa rumah panggung dengan memanfaatkan pohon nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiangtiang rumah dan jenis kayu lainnya untuk bahan bangunan yang terdapat di kawasan tersebut. Pola persebaran pemukimanpun berbeda-beda, hal ini disebabkan keadaan wilayah yang berbeda-beda pula. Persebaran pemukiman itu antara lain disebabkan oleh berbagai faktor kepentingan seperti adanya sungai atau jalan raya, pusat kegiatan ekonomi, pola penggunaan tanah, dan sebagainya. Daftar Pustaka Aryadi, Mahrus. 2011. Hutan Rakyat, Fenomena Adaptasi Budaya Masyarakat. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. http:// ummpress.umm.ac.id/katalog/detail/ atfenomenaadaptasibudayamasyarakat. html. BPS Kabupaten Ogan Komering Ilir. 2015. “Air Sugihan Dalam Angka Tahun 2015.” Indralaya Desaunettes, J. R. 1977. “Catalogue of Landforms for Indonesia: Examples of a Physiographic Approach to Land Evaluation for Agricultural Development”. Land Capability Appraisal Project (Indonesia), Lembaga Penelitian Tanah. Trust Fund of the Government of Indonesia Bogor: Trust Fund of the Government of Indonesia, Food and Agriculture Organization. . Direktorat Jendral Pengairan. 1998. “Profil Proyek Pengembangan Daerah Rawa Sumatera Selatan.” Jakarta. Eriawati, Yusmaini. 1998. “Adaptasi Manusia Penghuni Kompleks Gua Maros Terhadap Lingkungan Pada Masa Prasejarah Di Maros, Sulawesi Selatan.” In Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hooker, J.D. 1934. Flora of British India. VOL I – VI. India in council. Indradjaya, Agus. 2015. “Permukiman PraSriwijaya Di Kawasan Situs Air Sugihan, 13
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
Pantai Timur Sumatera.” In Kehidupan Purba Di Lahan Gambut. Surakarta: PT Aksara Sinergi Media. Intan, M. Fadhlan S. 2015. “Eksplorasi Geomorfologi Di Wilayah Air Sugihan, Sumatera Selatan.” In Kehidupan Purba Di Lahan Gambut. Surakarta: PT Aksara Sinergi Media. Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas & Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Lobeck, A. K. 1940. “Geomorphology.” Science Education 24 (5). McGrawHill Book Company, Inc.: 296–296. doi:10.1002/sce.3730240525. Lubis, Irwansyah Reza. 2006. “Pemanfaatan Lahan Rawa Gambut Dipandang Dari Aspek Konservasi: Pengalaman Kegiatan CCFPI Di Sumatera Selatan.” In Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Dan Lahan Rawa Secara Bijaksana Dan Terpadu, edited by Rimbawanto, 15–24. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan.
Pengelolaan Lahan Rawa, Pertama. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Suhandi, Agraha. 1997. Pola Hidup Masyarakat Indonesia. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Thornbury, W.D. 1964. Princyple of Geomorphology. New York: : John Willey and Sons. Inc. Tim Penelitian. 2009. “Laporan Penelitian Peradaban Awal Masa Sejarah: Permukiman Awal Masa Sejarah (PraSriwijaya) Di Pantai Timur Sumatera Selatan.” Jakarta. Todd, D.K. 1980. Groundwater Hydrology. Second Edi. New York: John Willey and Son’s. Utomo, Bambang Budi. 2015. “Kehidupan Purba Di Lahan Gambut.” In Kehidupan Purba Di Lahan Gambut. Surakarta: PT Aksara Sinergi Media.
Mattulada, H.A. 1994. Lingkungan Hidup Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
van Steenis, C.G.G.J. 2002. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs Masa HinduBuddha Di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Wiradnyana, Ketut. 2011. Pra Sejarah. Sumatera Bagian Utara: Kontribusinya Pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Odum, Eugene P., and Tjahjono (penterjemah) Samingan. 1993. Dasar-Dasar Ekologi / Eugene P. Odum ; Penerjemah Tjahjono Samingan ; Penyunting B. Srigandono. EKOLOG. Vol. 1993. Gadjah Mada University Press. doi:1993.
Zulfikar. 2006. “KebijakanPengelolaan Kawasan Hutan Rawa Gambut Dengan Pola KPH Di Provinsi Sumatera Selatan.” In Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan Dan Lahan Rawa Secara Bijaksana Dan Terpadu, edited by Rimbawanto, 7–13. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan.
S., F. A., C. A. Backer, and R. C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1966. “Flora of Java.” Taxon 15 (5): 192. doi:10.2307/1216480. Sastrapraja, S.D., and M.A. Rifai. 1989. “Mengenal Sumber Pangan Nabati Dan Plasma Nutfahnya.” Bogor. Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry : Genesis, Composition, Reactions. Wiley. Subagyo, H. 2006. “Klasifikasi Dan Penyebaran Hutan Rawa.” In Karakteristik Dan 14
DERMAGA KUNA DI SITUS KOTA KAPUR DAN ANALISIS PERTANGGALAN ABSOLUT Ancient Port in Kota Kapur Site and Analysis of Absolute Dating Agustijanto Indradjaja1 dan Darwin A.Siregar2 1
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
[email protected] 2
Pusat Survei Geologi, Jalan Diponegoro No. 57, Bandung
[email protected]
Naskah diterima : 16 Januari 2016 Naskah diperiksa : 15 Februari 2016 Naskah disetujui : 8 April 2016
Abstract. Archaeological research at the Kota Kapur site is not as intensive as research on Sriwijaya Palembang, but this site can’t be separated from the kingdom of Sriwijaya. The research tried to see ancient port as part of a settlement on the site of Kota Kapur. This study focused on the remaining pillars to search for its absolute dating. Therefore, descriptive analysis and carbon dating (C-14) methods were used to answer the research problems. The results showed that the absolute dating of ancient port were similar with other archaeological data obtained from previous research. It confirms that the port is part of the settlement units in Kota Kapur site at 6th or 7th century AD. Keywords: Kota Kapur, Ancient port, Srivijaya Abstrak. Penelitian arkeologi di situs Kota Kapur memang tidak seintensif penelitian tentang Sriwijaya di Palembang, namun situs Kota Kapur tidak bisa dipisahkan dari Kerajaan Sriwijaya. Penelitian kali ini mencoba melihat aspek dermaga kuna sebagai bagian dari tapak permukiman di situs Kota Kapur. Penelitian ini difokuskan pada data sisa tiang dermaga dan upaya mencari pertanggalan absolutnya. Oleh karena itu, metode analisis deskriptif dan analisis carbon dating (C-14) digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggalan mutlak sisa dermaga memiliki kesesuaian dengan sejumlah data arkeologi lainnya yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Hal ini menegaskan bahwa dermaga tersebut merupakan bagian dari unit permukiman Kota Kapur pada sekitar abad ke-6 atau 7 M. Kata kunci: Kota Kapur, Pelabuhan kuna, Sriwijaya 1. Pendahuluan Berita paling tua yang menyebut Bangka diperoleh dari sebuah karya sastra Buddha yang ditulis pada abad ke-3 M (Māhāniddesa). Berita tersebut, menyebutkan sejumlah nama tempat di Asia, antara lain tentang Swarnnabhūmi, Wangka, dan Jawa. Nama Swarnnabhūmi dapat diidentifikasikan dengan Sumatra sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Milindapañca, sedangkan Wangka mungkin dapat diidentifikasikan dengan Bangka (Damais 1995).
Sekitar abad ke-7 masehi Pulau Bangka dianggap strategis di kawasan Selat Malaka karena posisinya yang dekat dengan pusat kerajaan Sriwijaya1. O.W.Wolters, sejarawan Inggris, menyebutkan, bahwa wilayah Jambi sampai Palembang adalah lokasi yang paling strategis untuk pelabuhan (entrepot) untuk menunggu angin musim yang dapat 1 Orang yang pertama kali memperkenalkan Sriwijaya adalah Cœdès yang menyebut, bahwa di Sumatra pada abad ke-7 M terdapat sebuah kerajaan besar ber¬nama Śrīwijaya (Cœdès dan L.Ch. Damais 1989: 1-46).
15
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
mengantarkan kapal ke timur (Manguin 2006). Pulau Bangka juga mempunyai Selat Bangka yang bersambung dengan Selat Malaka. Pada sekitar abad ke-7 masehi, Selat Malaka sudah menjadi jalur pelayaran yang penting dan ramai karena menghubungkan kawasan India, Kepulauan Nusantara, dan Cina. Hal ini yang membuat munculnya sejumlah konsentrasi permukiman di sepanjang jalur pelayaran yang kemudian ikut berperan di dalam kegiatan perdagangan maritim tersebut, salah satunya adalah Situs Kota Kapur, Bangka. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Situs Kota Kapur merupakan salah satu titik dari masuk pengaruh budaya dari luar ke Bangka, termasuk pengaruh India dengan penduduk di pantai timur Sumatra. Meningkatnya aktivitas perdagangan maritim di Selat Malaka membuat posisi Bangka semakin penting terutama untuk jalur pelayaran yang menuju Jawa. Keterangan yang lebih detail mengenai gambaran Pulau Bangka terdapat dalam Berita Cina dari tahun 1436 masehi adalah Hsing-ch’a Shĕng-lan (= Laporan umum perjalanan di laut) yang ditulis oleh Fei Hsin. “.. Ma-yi-tung (=Bangka) letaknya di sebelah barat Kau-lan (=Belitung) di Laut Selatan. Pulau ini terdiri dari pegunungan yang tinggi dan dataran yang dipisahkan oleh sungaisungai kecil. Udaranya agak hangat. Penduduk pulau tinggal di kampung-kampung. Laki-laki dan wanita rambutnya diikat, memakai kain panjang dan sarung yang berbeda warnanya. Ladangnya sangat subur dan memproduksi lebih banyak dari negeri lain. Hasil dari pulau ini adalah garam yang dipanen dari air laut yang diuapkan dan arak yang dibuat dari aren. Selain itu, hasil yang diperoleh dari pulau ini adalah katun, lilin kuning, kulit (cangkang) penyu, buah pinang, dan kain katun (mungkin yang dimaksud adalah kain tenun) yang dihias dengan motif bunga. Barang-barang yang diimport dari tempat lain adalah pot tembaga, besi tuangan, dan kain sutra dari berbagai warna ...”. (Groeneveldt 1960). 16
Dampak langsung dari meningkatkan aktivitas perdagangan maritim memunculkan sejumlah pusat pelabuhan entreport di kawasan Asia Tenggara. Salah satu entreport yang paling popular dan merupakan salah satu pelabuhan besar pada awal milenium pertama adalah OcOe, Funan, Vietnam. Sumber tertulis Cina juga menyebutkan adanya sejumlah kerajaan lainnya di kawasan Asia Tenggara yang terkait dengan jalur perdagangan di Selat Malaka. Kerajaan tersebut antara lain Poli, Koying, Kantoli P’ulei, P’ota, P’o-huang, P’en-p’en, Tan-tan dan Holotan adalah nama-nama kerajaan yang diduga berlokasi di Nusantara terutama Jawa dan Sumatra. Koying adalah kerajaan awal yang muncul sekitar abad ke-3 masehi, yang kemudian posisinya digantikan oleh Ho-lo-tan di Jawa Barat sebelum kemunculan Kan-to-li (441 – 563 M) yang disebutkan oleh Wolters sebagai kerajaan dagang terpenting sebelum munculnya Sriwijaya (Read 2008). Untuk kerajaan Sriwijaya, Catatan Cina Hsin-tangshu (sejarah dinasti Sung) menyebutkan bahwa Sriwijaya memiliki 14 kota dagang yang besar kemungkinan satu di antaranya berada di Kota Kapur (Bangka) mengingat lokasinya yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka (Elvian 2007). Menyangkut Bangka, berita Cina paling awal berasal dari sekitar abad ke-3 masehi yang menyebutkan tentang sebuah tempat yakni Teluk Wen dan para penduduknya di daerah P’u-lei yang berlayar ke laut untuk memotong perjalanan kapal dan menukar bahan makanan dengan benda-benda logam. Lokasi dari Teluk Wen dideskripsikan di utara Karawang dan kemudian Wolters meyakini bahwa yang disebut sebagai Wen adalah toponim; yang merujuk kepada Bukit Menumbing terletak di bagian baratlaut Bangka dan menjadi daerah yang penting untuk orang-orang Tamil pada sekitar abad ke-11 M (Wolters 1979). Riwayat penelitian di Pulau Bangka terkait dengan perkembangan Hindu Buddha di Nusantara telah dimulai sejak ditemukan
Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar
Prasasti Kota Kapur pada tahun 1892 masehi. Prof. Dr. Hendrik Kern adalah orang yang pertama kali membaca prasasti ini pada tahun 1913 (Elvian 2011). Selanjutnya, Prasasti Kota Kapur yang ditemukan oleh J.K.van der Meulen ini digunakan sebagai dasar adanya sebuah kerajaan besar di Sumatra oleh Coedes. Setelah itu, sejumlah kegiatan penelitian arkeologi dilakukan di Bangka pada masa kemerdekaan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang. Penelitian arkeologi pertama kali dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1993 yang melaporkan adanya temuan benteng tanah di kawasan Situs Kota Kapur (Tim Pelaksana 2007). Selain benteng tanah, penelitian juga berhasil mengidentifikasi reruntuhan candi, fragmen tembikar, keramik asing dan temuan yang dianggap cukup penting adalah temuan fragmen arca Wisnu yang berasal dari abad ke-6/ 7 masehi. Tentu saja semua temuan tersebut memperkuat asumsi adanya pemukiman pada masa Hindu-Buddha di Pulau Bangka. Penaklukan Bangka yang dilakukan oleh kerajaan Sriwijaya juga diduga erat hubungannya dengan penguasaan jalur perdagangan dan pelayaran internasional di Selat Bangka (Poesponegoro, dkk (ed.) 1984). Permasalahan penelitian yang ingin diketahui dari makalah ini adalah jika di kawasan Situs Kota Kapur yang terletak di bagian barat Pulau Bangka sudah menjadi permukiman pada sekitar abad ke 6/7 Masehi maka bagaimanakah bentuk dermaga sebagai jalur penghubung. Jalur yang paling logis adalah jalur laut karena jalur ini adalah satu-satunya cara yang paling efektif untuk penduduk Bangka melakukan kontak dengan masyarakat luar termasuk masyarakat di Sumatra. Untuk mencari sisa dermaga, maka perlu dicari di jalur-jalur sungai kuna yang berhubungan dengan kawasan pesisir pantai. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana analisis pertanggalan untuk dermaga tersebut?
2. Metode Fokus utama tulisan ini adalah menyajikan hasil penelitian di Situs Kota Kapur serta analisis arang (C-14) yang dilakukan oleh Pusat Survei Geologi Bandung untuk sejumlah temuan di Situs Kota Kapur. Penelitian diarahkan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data dermaga kuna yang perannya tidak kecil untuk masyarakat Kota Kapur pada masa itu. Untuk itu, penelitian difokuskan di barat Situs Kota Kapur terutama di sejumlah aliran sungai, di antaranya Sungai Air Pancur. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jalur-jalur sungai adalah jalur yang cukup efektif untuk masuk ke pedalaman. Tahap pengumpulan data dilakukan melalui survei dan ekskavasi. Selain survei arkeologis, juga dilakukan survei lingkungan dengan mengamati perubahan ekosistem yang telah berlangsung sampai saat ini. Ekskavasi dilakukan di sektorAir Pancur dengan membuka 11 kotak ekskavasi. Temuan yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi, dan dianalisis untuk mengetahui bentuk dan fungsinya. Sejumlah tiang kayu yang ditemukan di sektor Air Pancur dilakukan analisis arang (C-14) untuk mengetahui pertanggalan mutlak sektor Air Pancur. Analisis konteks yang dilakukan di sektor Air Pancur untuk mengetahui hubungan antar tiang-tiang kayu dengan lingkungan dan temuan serta lainnya. Tahap selanjutnya adalah tahap interpretasi data dengan melakukan sintesa atas semua data yang telah ditemukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Gambaran Umum Lingkungan Situs Kota Kapur Pulau Bangka yang memiliki luas hampir 11.615 Km2. Memiliki kontur memanjang dari barat laut ke tenggara yang panjangnya sekitar 180 Km. Bentang alam (morfologi) wilayah ini memperlihatkan dataran pantai di sekeliling pulau, kemudian dataran rendah, dataran bergelombang dan 17
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
Gambar 1. Peta Situs Kota Kapur dan Sektor Air Pancur (insert: Peta Pulau Bangka) (Sumber: Tim Penelitian 2013)
perbukitan. Di bagian barat pulau inilah Situs Kota Kapur berada. Kondisi lingkungannya berupa dataran dan berhadapan langsung dengan Selat Bangka di bagian utara. Di sebelah barat, dan timur situs masih tertutup oleh hutan mangrove. Di sebelah selatan, kontur tanahnya agak berbukit-bukit dan kini menjadi tempat yang cocok untuk tanaman karet (Havea brasiliensis) dan lada (Piper nigrum). Wilayah paling tinggi di sebelah selatan situs dikenal sebagai Bukit Besar yang memiliki sekitar +125 meter d.p.l. Situs Kota Kapur juga dilintasi oleh sejumlah sungai kecil yang kemudian bertemu dengan Sungai Mendo (Menduk) dan akhirnya bermuara di Selat Bangka (Gambar1) (Tim Peneliti 2013). Daerah perbukitan ini biasanya merupakan daerah tangkapan air sehingga seringkali menjadi daerah penyimpan air/ sumber air bagi daerah hulu sungai yang mengalir di Kota Kapur. Daerah perbukitan juga terbentuk dari batuan sendimen dan batuan beku. Jenis batuan sendimen dapat diamati adalah jenis batu pasir (sandstone) dan batu lempung (claystone). Batupasir berwarna abu abu dan tekstur klastik (arenit). Bentuk butir membundar sampai menyudut tanggung, dengan ukuran butiran 0.5 – 1.0 mm serta sortasi sedang. Strukturnya berlapis dengan tebal lapisan 50 - 85 cm. Komposisi 18
mineralnya adalah kuarsa, feldspard dan kalsit. Berdasarkan genesanya termasuk pada batuan sendimen mekanik (epyclastic) (Tim Pelaksana 2007:33). Vegetasi yang hidup di kawasan Situs Kota Kapur adalah pohon bakau tumbuh di sepanjang tepian Sungai Mendo dan semakin ke hulu banyak dijumpai pohon Nipah. Sedangkan di daerah pedataran dan perbukitan banyak ditumbuhi oleh jenis tanaman keras seperti pohon Durian. Saat ini penduduk juga membudidayakan jenis pala yang tumbuh subur di daerah ini. Terjaganya habitat pantai menjadi sarang bagi hewan seperti udang dan kepiting. Membuat populasi udang dan kepiting cukup baik dan menjadi salah satu mata pencarian penduduk di Kota Kapur (Tim Peneliti 2013). Mayoritas penduduk Bangka adalah etnis Melayu Bangka. Di Pulau Bangka identitas melayu disandangkan bagi seseorang yang beragama Islam dan berkhitan. Selain etnis Melayu ada juga orang Mapur (suku terasing di sekitar Dusun Airabik, Belinyu). Namun jika orang Mapur masuk ke dalam Islam dia menjadi suku Melayu sedangkan yang tidak masuk Islam disebut orang “Lom” (belum). Selain Melayu, etnis Cina juga termasuk etnis yang banyak ditemukan di Bangka. Sebelum abad 19 Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan
Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar
Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar ke 16 M, di Bangka hanya dikenal sebagai ”orang darat” dan ”orang laut” mengacu kepada lokasi tempat tinggal dan mata pencahariannya (Elvian 2007). Lingkungan vegetasi mangrove di Kecamatan Mendo Barat ditemukan tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai dan di pinggir aliran Sungai Mendo yang melewati kecamatan ini sampai ke muara. Dari pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa lingkungan vegetasi bakau tersebut ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan khas bakau seperti Avicennia sp, Sonneratia sp, Rizopora sp, Bruquiera sp, dan Xylocarpus sp. Lingkungan vegetasi “hutan hujan tropik dataran rendah” ditemukan hampir di semua tanah daratan yang terdapat di belakang lingkungan vegetasi bakau. Vegetasi ini dicirikan oleh adanya famili tumbuhan Moraceae (beringin-beringinan), Euphorbiaceae (jarak-Jarakan), Meliaceae (duku-dukuan), Lecythidaceae (putatputatan), Bombacaceae (durian-durianan) dan beberapa jenis famili tumbuhan lain (Tim Penelitian 2013). 3.2 Data Arkeologi Salah satu teknik pengumpulan data melalui kegiatan ekskavasi yang dilakukan dengan memilih areal yang paling potensial
memberikan informasi arkeologi. Penggalian 2013 di Situs Kota Kapur membuka beberapa kotak ekskavasi di Sektor Air Rumbia, Candi III, Air Gentong dan Air Pancur. Diantara keempat sektor yang diteliti maka sektor Air Pancur yang memberikan informasi paling penting untuk keberadaan Situs Kota Kapur. Sektor Air Pancur berada pada ketinggian 13 dpl di lahan sawit milik warga. Penggalian di sektor Air Pancur ini membuka 11 kotak ekskavasi berukuran 2 x 2 meter tepat di atas aliran Sungai Air Pancur. Pemilihan lokasi ini dikarenakan adanya informasi warga yang pernah mencari timah pada beberapa tahun silam (tahun 2010) yang menyebutkan bahwa dirinya pernah menemukan sisa tiang di aliran Sungai Air Pancur. Namun tidak diketahui secara persis peruntukan tiang tersebut. Berdasarkan informasi tersebut maka Tim membuka kotak ekskavasi dengan terlebih dahulu mengalihkan jalur sungai agar tidak mengganggu kegiatan ekskavasi. Hasil penggalian memperlihatkan bahwa sampai kedalaman 100 cm adalah lapisan lempung pasiran dan diikuti oleh lapisan tanah gambut yang berwarna hitam pada lapisan lempung berwarna hitam yang diselingi oleh dedaunan dan sisa kayu. Temuan sisa tiang mulai muncul pada kedalaman 110 – 140 cm (Gambar 2).
Gambar 2. Temuan sisa tiang dermaga (Sumber: Puslit Arkenas 2013)
19
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
Gambar 3. Lancipan pada salah satu batang yang digunakan untuk menancapkan tiang) (Sumber: Puslit Arkenas 2013)
Deretan tiang-tiang yang ditemukan jelas sekali dibuat oleh manusia karena dari satu tiang yang terlepas diketahui ada jejak pangkasan pada salah satu ujung tiangnya (Gambar 3). Ditemukan pula lima gelondongan kayu pelangas (Aporoso aurita) yang dijajarkan timur-barat. Melihat pola susunannya dan adanya indikasi penguatan dengan ikatan ijuk dan patok agar gelondongan kayu tersebut tidak terserak, tampaknya susunan ini adalah dimanfaatkan sebagai lantai pijakan yang biasa digunakan orang jika baru turun dari sebuah perahu. Temuan sisa tiang dan susunan kayu gelondongan di sektor Air Pancur ini jika dibandingan dengan bentuk tempat penyeberangan yang masih banyak ditemukan di sungai-sungai dan tepi pantai di Nusantara tampaknya memiliki kesamaan. Bisa dibayangkan bahwa deretan tiang nibung (Oncosperma tigilarium)2 ini dahulu adalah tiang jembatan yang di bagian atas diberi susunan kayu untuk lantainya. Pada sisi paling baratdaya jembatan ini berakhir dilanjutkan 2 Nibung (nibung) adalah tanaman asli Indochina dan Asia Tenggara yang tinggal di dataran rendah, biasanya hutan pantai dengan air payau di ketinggian 0-50 meter di atas permukaan laut. Log sering digunakan sebagai tiang dan lantai rumah nelayan karena mereka tahan terhadap payau dan air laut (Tim Penyusun 2004:127-128).
20
dengan susunan lantai kayu dari gelondongan batang pohon. Tampak ada perbedaan ketinggian antara lantai yang dibuat dari deretan tiang nibung dengan lantai yang disusun dari gelondongan kayu dan bagian lantai yang terakhir ini adalah lantai yang lebih rendah tentunya. Lantai yang lebih rendah yang disusun dari gelondongan kayu ini biasanya sedikit berada di atas permukaan air namun akan tertutup muka air jika dalam kondisi air laut pasang. Temuan dua deretan tiang kayu ini kemungkinan besar digunakan untuk tiang jembatan yang di atas deretan kayu tersebut di susun kayu-kayu lain sebagai lantai jembatan. Lantai ini berakhir di ujung bagian barat yang berlanjut dengan susunan lantai kayu dengan menjajarkan 5 batang pohon yang juga merupakan bagian dari lantai dermaga. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa temuan sisa kayu nibung dan kayu pelangas di Sektor Air Pancur adalah sisa dermaga kuna. Diduga dermaga ini bukanlah satu dermaga yang besar tetapi jelas posisinya yang dekat laut tampaknya digunakan untuk aktivitas yang berhubungan dengan pelayaran. Untuk memastikan pertanggalan absolut dari keberadaan dermaga kuna ini maka perlu diambil sampel dari tiang kayu nibung dan
Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar
Gambar 4. Sisa dermaga dari sisi tenggara (tampak samping) (Sumber: Puslit Arkenas 2013)
tali ijuk yang ditemukan di gelondongan kayu pelangas. Tali ijuk yang digunakan berasal dari jenis pohon enau yang diambil bagian selubung daun mudanya dan berwarna hitam. Ijuk biasa digunakan untuk mengikat dan biasa ditemukan pada perahu-perahu kuna di Nusantara. Untuk dapat digunakan sebagai tali maka ijuk yang baru diambil dari pohonnya perlu dirapihkan dan kemudian dianyam menjadi tali. Di dalam kotak ekskavasi ini memperlihatkan bahwa adanya dua deretan tiang nibung yang masing masing deret jumlahnya tidak sama yakni 19 dan 21 tiang (mungkin sebagian telah rusak sebelum proses sendimentasi di sektor ini ). Panjang keseluruhan dari deretan tian ini hampir mencapai 6,7 meter dengan lebar (jarak antar dua deretan tiang) sekitar 1 meter. Diameter tiang bervariasi antara 10-15 cm. Seluruhnya ditanam dengan interval antar tiang sekitar 2030 cm. Memang di bagian baratdaya terlihat susunan beberapa tiang nibung yang tidak teratur baik dalam pemasangannya maupun ukurannya (ditemukan juga tiang nibung yang berdiameter di bawah 10 cm). Hal ini mungkin disebabkan adanya kegiatan pergantian tiangtiang nibung yang rusak dengan memasang lagi tiang nibung yang baru tanpa mencabut tiang nibung yang rusak. Hal seperti ini juga
umum ditemukan pada tiang-tiang nibung yang digunakan untuk bangunan Hunian di Sumatra. Pemakaian pohon nibung sebagai tiang penyangga jembatan kayu pada dermaga ini dipandang cukup tepat mengingat sifat kayu nibung yang tahan terhadap air dan mudah ditemukan karena pertumbuhan pohon ini mudah ditemukan di sepanjang daerah rawa pasang surut di Bangka. Adanya dermaga di jalur Sungai Air Pancur juga didukung oleh temuan artefak lainnya seperti fragmen tembikar, dan manik kaca. Fragmen tembikar yang ditemukan merupakan bagian dari wadah periuk, fragmen tungku dan cerat kendi. Periuk ditemukan hampir utuh hanya bagian tepiannya yang rusak dengan tinggi sekitar 15 cm. Badan periuk bulat dengan diameter sekitar 20 cm dan bagian dasarnya membulat. Dilihat dari bentuknya yang tidak simetrsi tampaknya periuk ini dibuat dengan teknik tatap pelandas dengan pembakaran yang tidak sempurna karena masih ditemukan jejak pembakaran warna hitam pada beberapa bagian periuk. Periuk dengan dasar membulat ini biasanya hanya digunakan untuk mengambil air dan tidak digunakan untuk menyimpan air Temuan satu cucuk kendi yang berwarna oranye dan diberi hiasan titik-titik melingkari 21
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
cucuk berasal dari bagian di bawah gelondongan kayu dermaga. Warnanya yang tidak biasa dan bentuknya yang tambun memberikan dugaan bahwa cucuk kendi ini tidak dibuat secara local dan tidak juga didatangkan dari Pulau Sumatra Kendi ini kemungkinan berasal dari luar Nusantara. Selain kendi, satu fragmen tungku juga ditemukan di bawah lantai kayu dermaga. Tungku dibuat dengan pembakaran yang tidak sempurna dan biasa ditemukan di Nusantara. Temuan fragmen tembikar ini semua mencerminkan alat alat rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat Kota Kapur kuna. Temuan manik kaca monochrome berwarna biru muda berbentuk bulat dempak dirasakan cukup menarik karena selama ini belum ada laporan temuan manik kaca di Bangka. Manik ini ditemukan di dalam kotak ekskavasi Padahal di pantai timur Sumatra (Situs Air Sugihan dan Karangagung) temuan manik kaca, manik dapat dikatakan sangat banyak bahkan data arkeologi mengindikasikan adanya kemampuan masyaakat local di Sumatra untuk memproduksi manik kaca. 3.3 Analisis Pertanggalan Absolut Untuk memperoleh pertanggalan absolut, analisis dilakukan pada contoh kayu dari sisa tiang kayu dermaga ini, yang diambil dari tiang kayu nibung dari kotak S2T3 dan sisa ijuk yang ditemukan di kotak S2T1. Selanjutnya, kedua sampel tersebut dikirim ke
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) Bandung untuk dianalisis. Berikut metode analisis yang dilakukan. Metode penentuan umur dengan karbon radioaktif merupakan metode yang telah ada sejak tahun 1951. Metode ini didasarkan atas alasan bahwa proporsi 14C terhadap karbon udara relatif tidak berubah semenjak zaman purba, sehingga sisa aktivitas radioakif suatu sampel karbon berkolerasi dengan umur sejak sampel tersebut tidak menunjukkan aktivitas kehidupan, yang dihitung berdasarkan pemakaian angka waktu paruh peluruhan 14C (Faur G. 1977). Prosedur lengkap pertanggalan C14 dapat dilihat dalam lampiran. Adapun hasil cacahan karbon radioaktif (aktivitas) dalam satuan cpm (counting per minute) dari sampel kayu adalah seperti pada tabel berikut ini. Dari kurva kestabilan, diambil sepertiga bagian lalu diplot garis titik menuju garis tegangan, sehingga diperoleh tegangan yang dipakai untuk pengukuran aktivitas karbon radioaktif, yaitu inner 4300 volt dan outer 4700 volt. Setelah dilakukan pencacahan karbon radioaktif, diperoleh data sampel kayu sebagai berikut (Tabel 1). Dengan memakai rumus penentuan umur dan konstanta peluruhan tertentu, maka umur sampel kayu didapat seperti berikut ini. Background counting = 1.09 ± .02 (cpm) (marble) Sample counting = 13.40 ± .012 (cpm)
Tabel 1. Data aktivitas sampel kayu No.
Time
Anti - Coin (±)
Activity (cpm) (±)
1
100.00
1342.00
36.63
13.42
0.37
2
100.00
1338.00
36.58
13.38
0.37
3
100.00
1341.00
36.62
13.41
0.37
4
100.00
1335.00
36.54
13.35
0.37
5
100.00
1337.00
36.57
13.37
0.37
6
100.00
1345.00
36.67
13.45
0.37
7
100.00
1350.00
36.74
13.50
0.37
8
100.00
1344.00
36.66
13.44
0.37
9
100.00
1336.00
36.55
13.36
0.37
10
100.00
1335.00
36.54
13.35
0.37
Total
1000.00
13403.00
115.77
13.40
0.12
22
Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar
Ct
= {(13.4 ± .12) – (1.09 ± .02)} x f (f = 1) = 6.547 ± .289 (cpm) Modern carbon = 14.87 ± .16 (cpm) (oxalic acid, SRM 4990 C) Age = 18496.5 x log (14.87/12.31) = 1517 Years dt = 8032.93 x {(.16/14.87)2 + (.122/12.31)2}^(1/2) = 117 Years AGE = 1450 ± 120 B.P (1950) Umur sampel kayu adalah 1450 ± 120 tahun (1950). Dengan prosedur yang sama menggunakan sampel ijuk, dilakukan pencacahan terhadap sampel sehingga diperoleh data aktivitas seperti berikut ini pada tabel 2. Setelah nilai aktivitas karbonradioaktif didapat, maka dengan memakai rumus yang sama, ditentukan umur sampel ijuk. Background counting = 1.09 ± .02 (cpm) (marble) Sample counting = 13.20 ± .11 (cpm) Ct = {(13.4 ± .11) – (1.09 ± .02)} x f (f = 1) = 12.11 ± .112 (cpm)
Modern carbon = 14.87 ± .16 (cpm) (oxalic acid, SRM 4990 C) Age = 18496.5 x log (14.87/12.11) = 15578 Years dt = 8032.93 x {(.16/14.87)2 + (.122/12.11)2}^(1/2) = 113 Years AGE = 1580 ± 110 B.P (1950) 4. Penutup Temuan sisa dermaga di Situs Kota Kapur jelas memberi data tambahan penting bagi keberadaan situs ini sebagai sebuah permukiman dari periode Hindu Buddha. Kehadiran sebuah dermaga bagi daerah kepulauan mutlak adanya karena melalui dermaga inilah masyarakat di Kota Kapur bisa berinteraksi dengan dunia luar termasuk di dalam kontak perdagangan internasional. Bentuk dermaga Situs Kota Kapur ini memang tidak terlalu besar tetapi bentuknya sangat umum ditemukan di Nusantara, yakni satu jembatan kayu yang menjorok keluar sepanjang 6.7 meter. Temuan sisa tiang dermaga diketahui berada di lapisan tanah rawa yang berwarna hitam yang bercampur dengan
Tabel 2. Data aktivitas sampel ijuk No.
Time
Anti - Coin (±)
Activity (cpm) (±)
1
100.00
1311.00
36.21
13.11
0.36
2
100.00
1321.00
36.35
13.21
0.36
3
100.00
1319.00
36.32
13.19
0.36
4
100.00
1324.00
36.39
13.24
0.36
5
100.00
1328.00
36.44
13.28
0.36
6
100.00
1316.00
36.28
13.16
0.36
7
100.00
1322.00
36.36
13.22
0.36
8
100.00
1330.00
36.47
13.30
0.36
9
100.00
1314.00
36.25
13.14
0.36
10
100.00
1310.00
36.19
13.10
0.36
Total
1000.00
13195.00
114.87
13.20
0.11
Tabel 3. Data hasil pertanggalan C14 sampel kayu dan ijuk dari Pulau Bangka Kode Sampel
Jenis Sampel
Berat Sampel Kering (gram)
Endapan CaCO3 (gram)
Dead Carbon (gram)
Faktor
Endapan SrCO3 (gram)
Tekanan C2H2 (cmHg)
Umur tahun (B.P)
0514
Kayu
34,7865
54.1246
-
1
61.4523
> 76
1450±120
0515
Injuk
30.1245
50.1378
-
1
59.7894
> 76
1580±120
23
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
sisa organik. Hal ini memberi gambaran bahwa pada saat dermaga ini digunakan masyarakat Kota Kapur kuna hidup di lingkungan rawarawa. Proses sedimentasi yang terjadi telah membuat dermaga ini tertimbun hampir 1,5 meter dalamnya. Temuan sisa tiang dermaga juga membuka kemungkinan lain yakni bisa saja rumah-rumah hunian masyarakarat Kota Kapur lokasinya tidaklah terlalu jauh dari dermaga itu sendiri. Artinya untuk mencari sisa hunian baik itu tiang-tiang rumah atau artefak lainnya perlu mencari terlalu jauh dari dermaga dan temuan sisa hunian mungkin baru dapat ditemukan pada kedalaman 1,5 meter dari permukaan tanah saat ini Proses sedimentasi juga yang tampaknya memberi pengaruh kepada lebar Sungai Air Pancur tempat dermaga ini ditemukan. Diduga Sungai Air Pancur pada masa lalu memiliki bentangan/ lebar yang cukup besar sehingga dapat dilalui oleh perahu/ sampan. Hal ini dibuktikan oleh adanya temuan sisa perahu pada tahun 2010 silam di sungai ini (Tim Pelaksana 2010). Penduduk setempat juga menyampaikan bahwa sebenarnya dahulu Sungai Air Pancur ini bisa dilalui oleh perahu, hal itu berarti jalur sungai Air Pancur dapat diduga lebih lebar dari yang terlihat saat ini hanya 1 meter. Selain di Sungai Air Pancur, sisa perahu berupa lima bilah papan juga dilaporkan ditemukan di sungai Air Kupang (Tim Pelaksana 2007). Berdasarkan bentuk dan ciri-ciri teknologi pembuatan perahu, temuan sisa-sisa perahu di dua lokasi tersebut menunjukkan tradisi Asia Tenggara, yaitu teknik papan ikat (sewn plank) dan kupingan pengikat (lushed plug technique). Teknik ini banyak berkembang di Asia Tenggara sehingga sering disebut teknologi Asia Tenggara. Teknik pembuatan perahu ini diduga sudah muncul sejak awal abad pertama (Abbas 2009). Hasil pertanggalan mutlak dengan metode C-14 memperlihatkan hasil tiang kayu 24
ini berasal dari masa sekitar 480620 M dan sampel tali ijuk berasal dari 250-590 M. yang artinya semasa dengan Prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 M (Coedes 2010), Arca Wisnu Kota Kapur3 yang dipertanggalkan sekitar abad ke-6/7 M (Dalsheimer dan Manguin TT: 14). Dengan demikian, jelas bahwa dermaga tersebut merupakan bagian dari kelengkapan permukiman di Kota Kapur. Sampai saat ini masyarakat lokal di Bangka masih mengingat wilayah Kota Kapur sebagai pelabuhan benteng Kota Kapur (Koestoro, dkk 1994). Artinya satu permukiman yang dikelilingi oleh benteng tanah sehingga satu-satunya jalan yang menghubungkan masyarakat Kotak Kapur kuna dengan dunia luar hanyalah melalui dermaga. Daftar Pustaka Abbas, Novida. 2009. “Perahu Kuno Di Situs Punjulharjo, Rembang.” Berita Penelitian Arkeologi 23: 46–59. Budisantosa, Tri Marhaeni. 2007. “Penelitian Situs Kota Kapur, Kabupaten Bangka Provinsi Sumatera Selatan.” Palembang. Coedès, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Cœdès, George., and Louis-Charles Damais. 1989. Kedatuan Sriwijaya : Penelitian Tentang Sriwijaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalsheimer, Nadine, and Pierre-Yves Manguin. 1998. “Visnu Mitrés et Réseaux Marchands En Asie Du Sud-Est : Nouvelles Données Archéologiques Sur Le Ier Millénaire Apr. J.-C.” Bulletin de l’Ecole Française d’ExtrêmeOrient 85 (1). Persée - Portail des revues scientifiques en SHS: 87–123. doi:10.3406/befeo.1998.2545. 3 Terdapat beberapa pendapat para ahli mengenai kronologis arca Wisnu Kota Kapur, diantaranya Stutterheim (1937) yang mengemukakan bahwa arca ini berasal dari abad ke-7 M, Satyawati Sulaeman (1980) dan Edi Sedyawati (1963) yang menyebutkan bahwa arca Wisnu Kota Kapur berasal dari abad ke-6 M. Sementara Suheimi (1979), P.Y. Manguin dan Dalsheimer memberi pertanggalan sekitar abad ke-6/7 M, dan Stanley J. Connor (1971) cenderung memasukkan dalam periode 650-800 M (Trimarhaeni S.B. 1997:26)
Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar
Damais, Louis-Charles. 1995. “Agama Buddha Di Indonesia.” In Pigrafi Dan Sejarah Nusantara (Seri Terjemahan No. 3). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Elvian. 2007. Kota Kapur Dalam Lintasan Sejarah. Pangkal Pinang: Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga. Faure, G. 1977. Principles of Isotope Geology. New York: John Wiley and Sosns. http:// www.osti.gov/scitech/biblio/7100564. Groeneveldt, Willem Pieter. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: C.V. Bhratara. http://catalogue. nla.gov.au/Record/783716. Koestoro, Lukas Pertanda, Soeroso, and Pierre Yves-Manguin. 1994. “An Ancient Site Reascertained: The 1994 Campaigns at Kota Kapur (Nangka South Sumatera).” In Proceeding of the 5th International Conference of The European Association of Southeast Asian Archaeologists, edited by Pierre Yves-Manguin, 61–81. Paris: University of Hull. Manguin, Pierre-Yves, Soeroso, and Muriel Charras. 2006. “Daerah Dataran Rendah Dan Daerah Pesisir.” In Menyelusuri Sungai Merunut Waktu, Penelitian Arkeologi Di Sumatera Selatan, 49–62. Jakarta: P.T. Enrique Indonesia. Pelaksana, Tim. 2007. “Hasil Penelitian Dan Pengembangan Situs Kota Kapur.” Pangkal Pinang. ----------. 2010. “Studi Mintakat Dan Kelayakan Kawasan Situs Kota Kapur.” Pangkal Pinang. Penelitian, Tim. 2013. “Penelitian Arkeologi Di Situs Kota Kapur, Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka.” Jakarta. Penyusun, Tim. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 6, 11, Dan 14. Jakarta: PT. Delta Pamungkas. Poesponegoro, Marwati Djoened, and Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: P.N. Balai Pustaka. Read, Robert Dick. 2008. Penjelajahan Bahari. Jakarta: Mizan. Wolters, O.W. 1979. “Studying on Srivijaya.” JMBRAS 2 (2): 1–32.
Lampiran Prosedur Preparasi dan Kerja Laboratorium Analisis Pertanggalan Karbon (carbon dating) C14 Fasa penentuan umur yang dapat dilakukan di laboratorium Pusat Survei Geologi adalah fasa gas. Pada prinsipnya pengukuran fasa gas dapat dilakukan dalam bentuk gas CO2 atau gas asetilen (C2H2). Suess (1945) mempelajari teknik pencacahan dengan metode preparasi asetilena yang diperoleh dari CO2 yang dihasilkan dari pembakaran sampel. Ternyata teknik ini menghasilkan asetilena cukup banyak dan relatif lebih stabil untuk diukur sehingga memberikan hasil yang cukup teliti. Gas asetilena (C2H2) yang terbentuk akan dialirkan ke dalam suatu detektor “Multi Anode Anticoincidence” yang tersambung dengan suatu rangkaian elektronik pencacah karbon radioaktif. Sampel dapat diukur umurnya dengan rumus sebagai berikut (Hiromi Kobayashi, 1971): t1/2 A0 – ADC Umur = T = ------- ln ----------- ln2 A – ADC A = Radioaktivitas isotop 14C dalam percontohan A0 = Radioaktivitas isotop 14C pada saat tanaman atau hewan tersebut hidup (NBS Oxalic Acid SRM-4990-C) λ = Konstanta peluruhan radioaktif; t1/2 = 1/λ t1/2 = Waktu paruh = 5568 + 40 tahun ADC = Radioaktivitas isotop C-14 “Dead Carbon” yang terukur (DC-marmer Calgary-Italy) ln2 = 0,693 Pekerjaan Laboratorium (Mitamura 1985) Preparasi kedua sampel kayu dan ijuk yang mengandung karbon adalah dengan cara pencucian dan pembakaran. Tahap pencucian memakai air suling, larutan asam dan basa, sampai pengotor karbon sekunder benar-benar hilang dari sampel tersebut. Sampel yang sudah bersih ditimbang dengan berat tertentu dan dimasukkan dalam Brass Cylinder Quartz. 25
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
Sampel dimasukkan ke dalam pipa tabung kuarsa yang bersih dan kering, kemudian ujung tabung kuarsa dihubungkan dengan tabung berisi larutan KOH 30 % dan NH4OH 1:1 dan dipasang katalis Cu. Pemanasan dilakukan dengan temperatur antara 600 – 900oC dalam kondisi vakum. Sampel yang mengandung karbon (dibakar) akan bereaksi dengan oksigen murni yang dialirkan dari tabung lain membentuk gas CO2. Gas CO2 ini dialirkan ke dalam tabung berisi NH4OH 1:1. Proses pemanasan dihentikan setelah semua sampel habis terbakar yang ditandai dengan sisa pemanasan melekat pada wadah quartz warna putih keruh. Larutan (NH4)2CO3 yang terbentuk akan diperiksa tingkat kekeruhannya dengan kasat mata untuk mengetahui apakah tidak terjadi reaksi samping dari sampel. Jika larutannya jernih, maka proses selanjutnya adalah pembentukan kalsium karbonat, dengan larutan pengendapnya adalah Kalsium Klorida yang murni. Pembentukan Kalsium Karbonat (CaCO3) Larutan (NH4)2CO3 hasil pembakaran yang terbentuk dari sampel, dimasukkan ke dalam labu erlemeyer 1L. Larutan dipanaskan hingga mendidih lalu ditambahkan CaCl2 panas sehinga terbentuk endapan putih. Endapan CaCO3 yang terbentuk disaring dan dicuci dengan air suling yang telah dididihkan sebanyak 2 liter. Endapan CaCO3 dipindahkan ke cawan porselen dan dipanaskan dalam oven 110oC selama 1 malam. Endapan CaCO3 yang telah kering ditimbang berapa gram hasilnya. Selanjutnya endapan ini ditambahkan dengan larutan Stronsium Klorida untuk pembentukan endapan Stronsium Karbonat. Pembentukan Stronsium Karbonat (SrCO3) Endapan CaCO3 yang terbentuk dimasukkan ke dalam labu erlemeyer 1000 ml. Air suling ditambahkan sampai sampel terendam seluruhnya dan dihubungkan erlemeyer dengan dua labu gelas berisi larutan NH4OH 1:1 (1 26
bagian air suling dan 1 bagian larutan NH4OH pekat). Kemudian labu erlemeyer dihubungkan dengan corong pisah ukuran kecil yang berisi HCl pekat. Larutan HCl pekat diteteskan dari corong pisah secara perlahan sampai tidak terbentuk lagi gas CO2 yang ditandai dengan tidak terbentuk lagi gelembung pada labu gelas yang berisi larutan NH4OH 1:1. Larutan (NH4)2CO3 yang terbentuk pada labu gelas dikumpulkan dan dimasukkan dalam labu erlemeyer 1000 ml lalu dipanaskan sampai hampir mendidih. Selanjutnya, ditambahkan larutan SrCl2 (250 g). Endapan yang terbentuk disaring dan dicuci dengan air yang telah didihkan sebanyak 2 liter. Endapan yang telah dicuci dipindahkan ke cawan porselen dan ditutup dengan kaca arloji. Selanjutnya endapan dipanaskan dalam oven selama 1 malam. Endapan yang didapat ditimbang beratnya. Pembentukan Stronsium Karbida (SrC2) Serbuk Mg sebanyak 2/3 dari berat endapan SrCO3 dimasukkan ke dalam cawan porselen berisi endapan SrCO3 yang terbentuk pada proses sebelumnya. Campuran tersebut digerus sampai homogen, lalu dimasukkan ke dalam reaktor baja stainless yang bersih dan kering. Sebelum digunakan, sistem peralatan di atas divakumkan terlebih dahulu selama lebih kurang 90 menit. Kemudian dibakar dengan menaikkan tegangan secara bertahap sesuai dengan suhu yang dicapai, yaitu: Tabel 4. Kenaikan tegangan untuk menaikan suhu Tegangan (V)
Suhu (T)
40
100
60
200
80
350
o o o
o
Pada suhu mencapai 350 C, keran pada reaktor baja ditutup. Kemudian tegangan dinaikkan sampai 100 V. Setelah mencapai 800oC, alat pemanas dimatikan.
Situs Kota Kapur: Dermaga Kuna dan Analisis Pertanggalan Absolut, Agustijanto Indradjaja dan Darwin A. Siregar
Pembentukan Gas Asetilena (C2H2) Stronsium Karbida (SrC2) yang terbentuk pada proses sebelumnya, dimasukkan ke dalam reaktor baja kecil yang bersih dan kering dan divakumkan dalam sistem peralatan pembentukan gas asetilena. Setelah kevakuman sistem benar-benar tercapai, air bebas tritium pada corong pisah diteteskan ke dalam reaktor baja sehingga gas asitilena (C2H2) yang terbentuk mengalir ke masingmasing tabung TR yang ditunjukkan dengan menurunnya air raksa (Hg) pada manometer M1. Dengan mengatur c18, c15, dan c13, gas C2H2 akan tertampung pada TR2 dan TR3. Kemudian c13 dan c10 diatur agar gas C2H2 terbekukan dalam TR4, sedangkan gas pengotor lain dibuang dengan membuka c9. Penetasan air bebas tritium diulangi kembali sampai tidak terbentuk lagi gas C2H2 yang dapat diketahui dari perubahan M1. Semua gas asitilena (C2H2) dalam TR4 dipindahkan melalui TR5 (berisi
karbon aktif) ke TR6. Dari TR6 ke RBF yang dialirkan dengan mendinginkan gas dengan N2 cair. Proses ini dihentikan dengan dengan menutup c5 dan c4 setelah semua gas C2H2 dibekukan dalam RBF yang ditunjukkan dengan tidak turunnya Hg dalam M3. Pengukuran Radioaktivitas Gas asetilena (C2H2) yang terdapat dalam RBF disimpan selama 1 minggu. Setelah itu, gas asetilena dimasukkan ke dalam alat pencacah detektor Multy Anode Anticoincidence dan diukur kecepatan pencacah dari aktivitas radioaktifnya dalam dengan tegangan (volt) tertentu. Penentuan tegangan pengukuran didasarkan pada kurva kestabilan (plateau), yaitu tegangan yang akan dipakai dalam pengukuran aktivitas isotop 14C. Adapun hasil plateau dari sampel kayu tiang nibung dari kotak S2T3 adalah seperti tabel dan gambar grafik di bawah ini.
Tabel 5. Kurva kestabilan No.
Volt
INNER
Volt
OUTER
1.
3500
8
3000
2
2.
3600
15
3100
8
3.
3700
25
3200
25
4.
3800
47
3300
60
5.
3900
86
3400
136
6.
4000
137
3500
236
7.
4100
322
3600
356
8.
4200
367
3700
371
9.
4300
406
3800
506
10.
4400
418
3900
542
11.
4500
444
4000
604
12.
4600
450
4100
622
13.
4700
436
4200
644
14.
4800
472
4300
640
15.
4900
455
4400
596
16.
5000
452
4500
621
17.
5100
461
4600
631
18.
5200
510
4700
635
19.
5300
530
4800
619
20.
5400
647
4900
650
27
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (15-28)
No.
Volt
INNER
Volt
OUTER
21.
5500
701
5000
669
22.
5600
770
5100
694
23.
5700
886
5200
737
24.
5800
980
5300
Gambar 5. Grafik kurva kestabilan antara jumlah Counting Per Minute (CPM) dengan tegangan (volt) dari sampel Kayu
28
KERAMIK MUATAN KAPAL KARAM CIREBON: SEBARAN DI SITUS-SITUS ARKEOLOGI SUMATERA BAGIAN SELATAN Distribution of Ceramics Cargo from Cirebon Shipwreck in Southern Sumatera Archaeological Sites Eka Asih Putrina Taim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
[email protected]
Naskah diterima : 31 Maret 2016 Naskah diperiksa : 4 April 2016 Naskah disetujui : 25 April 2016
Abstract. Cirebon shipwreck was found in 2003 and then its cargo successfully rescued (removed) in 2005 to 2007. Although various types of findings in the shipwreck cargo, ceramics from the late 9th century up to 10 M are the findings most and populous. So many and prominence of the form and amount of the findings of ceramics, drawing attention to know where thosecommodities were loaded, where else location which also present the similar kind of those ceramics in the archipelago, as seen from the direction and position of the sunken ship shown the ship might came from some place in western region and most likely is the region of Southern Sumatra. This article will attempt to explain the distribution of similar findings (ceramics), the location of its sites in the region of Southern Sumatra, and its relationship with the activity of the cruise ship later sank on its way in the waters off the coast of Cirebon. The methods used were qualitative and comparative analysis which give description and ceramics distribution. The results of this analysis can be concluded on the sites in the region of South Sumatra has an important role in shipping and trading of the past, either as the port of destination or stay over port for local sailors to load commodity trading before distributed to other regions in archipelago. Keywords: Cirebon shipwreck, 9th -10th ceramics , Southern Sumatera Abstrak. Kapal karam di perairan pantai Cirebon merupakan kapal karam yang ditemukan pada tahun 2003, kemudian muatan nya berhasil diselamatkan (diangkat) pada tahun 2005 hingga 2007. Meski berbagai jenis temuan dalam muatan kapal karam tersebut, keramik asing dari akhir abad ke-9-10 merupakan temuan salah satu terbanyak atau terpadat. Begitu banyak dan menonjolnya bentuk dan jumlah temuan keramik, bila melihat dari arah dan lokasi kapal tersebut karam menunjukkan kapal ini berasal dari sebuah tempat di wilayah barat dan kemungkinan besar adalah wilayah Sumatera Bagian Selatan. Tulisan ini akan berusaha memaparkan sebaran temuan sejenis (keramik) yang terdapat pada situs-situs di wilayah Sumatera Bagian Selatan, dan hubungannya dengan aktivitas pelayaran kapal yang kemudian karam dalam perjalanannya di perairan lepas pantai Cirebon, melalui pemerian dan pemetaan sebaran serta melakukan data tertulis dan data penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam permasalahan yang terkait dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan komparatif. Hasil dari analisis ini dapat disimpulkan mengenai sebaran situs-situs di wilayah Sumatera Bagian Selatan memiliki peran yang cukup penting pada pelayaran dan perdagangan masa lalu, baik sebagai pelabuhan tujuan maupun pelabuhan singgah untuk para pelaut Nusantara memuat komoditi dagang sebelum di distribusikan ke wilayah lain. Kata kunci: Kapal karam Cirebon, Keramik abad ke 9-10 M, Sumatera Bagian Selatan
29
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
1. Pendahuluan Pada tahun 2003 terdapat laporan banyaknya keramik China yang terjaring jala para nelayan di wilayah perairan sekitar 60 km dari pantai Cirebon. Pada pertengahan tahun 2004 mulai dilakukan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam (BMKT) oleh Tim Pannas. Berdasarkan hasil temuan kapal karam di laut lepas pantai Cirebon pada lokasi 05º14’30”LS, 108º58’25”BT sekitar 80 mil utara pantai Cirebon, diketahui bahwa lokasi tenggelamnya kapal terletak pada jalur pelayaran menuju salah satu pelabuhan di utara Jawa Tengah (Utomo 2008). Dari hasil rekonstruksi lokasi dan sebaran temuan muatan, diduga kuat kapal tenggelam akibat kebocoran di bagian tengah lambung kapal dan juga akibat muatan yang melebihi kapasitas. Eksplorasi muatan kapal karam Cirebon dilakukan pada tahun 2005 hingga 2007, dan telah berhasil mengangkat seluruh muatan kapal yang terdiri dari 90 % lebih berupa keramik China baik utuh atau pecahan. Sejumlah 314 ribu lebih muatan kapal karam Cirebon yang berhasil diangkat, selain keramik, muatan berharga lainnya terdiri dari berbagai perhiasan emas dan batuan permata, artefak-artefak perunggu berupa arca, cermin dan alat-alat upacara lainnya, manikmanik, benda-benda logam emas, perak,
perunggu, besi dan koin, serta kaca, dan kayu (Utomo 2008). Dilihat dari bentuk dan teknologinya diketahui kapal karam Cirebon menunjukan teknologi yang umum dipakai oleh kapal–kapal di Asia Tenggara. Dengan demikian diketahui bahwa kapal karam di laut Cirebon adalah kapal Nusantara bukan kapal Asing seperti dari Arab atau China. Kini muncul pertanyaan dari manakah kapal tersebut mengambil atau memuat muatannya dalam jumlah yang sangat besar sehingga melebihi kapasitas muatan kapal (over loaded)?. Rekonstruksi Horst menunjukan kemungkinan besar kapal tersebut menarik sauhnya dari wilayah pantai timur Sumatera Selatan. Apabila hal ini benar maka akan dicoba menelusuri sejauh mana sebaran temuan sejenis terutama keramik dengan muatan kapal tersebut, sehingga dapat diketahui gambaran hubungan aktivitas perdagangan pada abad ke- 9 dan 10 M dengan keberadaan situs-situs arkeologi di Sumatera Bagian Selatan. 2. Metode Metode yang diterapkan untuk menganalisa dan membahas masalah ini adalah metode kualitatif dan komparasi. Metode kualitatif dilakukan pada saat menganalisis keramik dengan melihat bentuk, daerah asal dan periode keramik. Sementara itu komparasi atau
Gambar 1. Peta rekonstrusi Horst tentang lokasi tenggelamnya kapal Cirebon (Sumber: Utomo 2008)
30
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
perbandingan dilakukan pada temuan-temuan keramik hasil pengangkatan kapal karam Cirebon dengan temuan-temuan keramik di situs-situs wilayah Sumatera Selatan yang memiliki kesamaan tipe/bentuk, asal, dan periodisasinya Dalam pembahasannya, hasil perbandingan tersebut dianalisa dengan memasukan konteks data kondisi jalur perdagangan pada masa yang sama, jenis dan tehnik perahu yang digunakan serta data sejarah yang berhubungan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Keramik Muatan Kapal Cirebon
Karam
Diketahui bahwa muatan kapal karam Cirebon berjumlah 314.171, dari jumlah tersebut terdapat 256.963 keramik yang kemudian disimpan untuk dimanfaatkan selanjutnya. Keramik tersebut terdiri atas 221.124 berbahan porclain dan batuan/ stoneware, sisanya sejumlah 35.819 adalah merupakan wadah dari tanah liat atau tembikar. Berdasarkan klasifikasinya bentuk keramik muatan kapal karam Cirebon terdiri dari 9 bentuk wadah yaitu: 1. Mangkuk, 2. Piring, 3. Cepuk, 4. Pasu, 5. Teko/ewer, 6. Guci, 7. Buli-buli, 8. Pedupaan, dan 9. Tempat
tinta. (Utomo 2008). Selain sembilan bentuk wadah tersebut terdapat juga bentuk non wadah seperti tutup dengan berbagai bentuk dan figurin dengan bentuk seperti kura-kura, burung, dan bantal, serta berbagai bentuk dekorasi dari bahan porselain batuan dan tanah liat. Hasil analisis keramik diketahui hampir seluruh keramik kapal karam Cirebon berasal dari China abad ke-9 M - 10 M atau masa Dinasti Tang Akhir /Lima (5) dinasti. Sebagian besar keramik China tersebut merupakan produksi kiln (tempat pembakaran) di Provinsi Zhejiang China. Zhejiang merupakan pusat dan tempat awal keramik kualitas terbaik di produksi di China, dan telah berkembang sejak 1000 tahun yang lalu. Selain terdapat juga keramik-keramik jenis lain yang diproduksi di luar Zhe Jiang seperti keramik putih dan keramik hijau lainnya. Semua wadah berhias didekorasi dengan pola hias bunga-bunga, hewan, lengkung-lengkung, dan geometris. Seluruh hiasan tersebut diterapkan dengan menggunakan teknik ukir, cetak dan gores. Variasi muatan keramik berdasarkan jenis dan bentuknya terdiri dari: 1. Tempayan muatan kapal karam Cirebon (Gambar 2).
Gambar 2. Tempayan muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih)
31
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
Gambar 3. Guci muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih dan PPS)
Gambar 4. Buli-Buli muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih)
Gambar 5. Vas dan Botol muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih)
Gambar 6. Kendi/ewer dan Teko muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih dan PPS)
Gambar 7. Mangkuk muatan Harkantiningsih)
32
kapal
karam
Cirebon
(Sumber:
Naniek
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
Gambar 8. Piring muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih)
Gambar 9. Pasu muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih) dan PPS
Gambar 10. Pembakar dupa muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih) dan PPS
Gambar 11. Figurin muatan kapal karam Cirebon (Sumber: Naniek Harkantiningsih)
2. Guci muatan kapal karam Cirebon (Gambar 3). 3. Buli-Buli muatan kapal karam Cirebon (Gambar 4). 4. Vas dan Botol muatan kapal karam Cirebon (Gambar 5). 5. Kendi/ewer dan Teko muatan kapal karam Cirebon (Gambar 6). 6. Mangkuk muatan kapal karam Cirebon (Gambar 7). 7. Piring muatan kapal karam Cirebon (Gambar 8). 8. Pasu muatan kapal karam Cirebon (Gambar 9).
9. Pembakar dupa muatan kapal karam Cirebon (Gambar 10). 10. Figurin muatan kapal karam Cirebon (Gambar 11). Menurut hasil analisis (Harkantiningsih 2005; Harkantiningsih 2010), secara kronologis keramik-keramik dari kapal karam Cirebon dikategorikan dari beberapa periode atau dinasti, yaitu: Priode Tang Akhir (893-907 M) a. Hebbei/Henan ware (mangkuk, piring, bantal). b. Yue ware (mangkuk , guci , pasu). 33
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
Priode 5 Dinasti (907-906 M) a. Yue ware : mangkuk, kendi/ewer, tempat tinta, kura-kura, paidon. b. Shangyu ware: mangkuk dihias dengan hiasan bunga-bunga dan daun-daunan. c. Wenzhou ware :mangkuk-mangkuk berhias geometris. 5 Dinasti (907-906 M) - Dinasti Song Utara (960-1127M) – Dinasti Liao (916- 1125M) a. Hebbei ware : botol, buli-buli. b. Yue ware : mangkuk, piring. cepuk, kendi/teko/ewer. c. Liao : botol. 3.2 Sebaran keramik muatan kapal Karam Cirebon di wilayah Sumatera Bagian Selatan Keberadaan temuan kapal karam di utara pantai Cirebon merupakan bukti betapa padat dan ramainya kegiatan perdagangan laut masa itu. Wilayah Nusantara bukan sekedar tempat singgah kapal-kapal dagang, tetapi juga menjadi tujuan utama untuk mendapatkan hasil bumi yang cukup terkenal dan digemari (Groeneveldt 1960; Mills 1969). Pada masa kejayaan Sriwijaya sekitar abad ke-7–10 M, jalur perdagangan laut merupakan puncak perekonomian pada masa itu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai situs yang menunjukkan kegiatan perdagangan masa Sriwijaya di wilayah pesisir timur Sumatera selatan baik di sekitar Palembang maupun di wilayah Jambi. Berkaitan dengan ditemukannya komoditi perdagangan dari kapal karam baik di perairan selat Malaka, Bangka maupun di wilayah laut Jawa (Cirebon), yang memiliki kesamaan jenis dan masa dengan artefak-artefak yang ditemukan di situs-situs pesisir timur Sumatera Selatan, maka diduga kapal-kapal dagang dan situs-situs pelabuhan tersebut berasal dari aktivitas perdagangan yang semasa. Jumlah ratusan ribu keramik dalam muatan kapal karam merupakan angka yang cukup besar, dan hal ini membuktikan bahwa keramik adalah komoditi 34
yang cukup digemari dan mempunyai peran penting pada kehidupan masyarakat masa itu. Sejalan dengan itu, melihat lokasi tenggelamnya kapal karam di laut Cirebon, dapat diperkirakan perahu berangkat dari suatu wilayah di bagian barat Nusantara. Salah satu wilayah yang sering dihubungankan dengan jalur pelayaran kuna adalah wilayah pesisir timur Sumatera Bagian Selatan. Di wilayah ini terdapat sebaran situs yang memiliki temuan sejenis dengan muatan kapal karam Cirebon, antara lain: 3.2.1 Wilayah Provinsi Sumatera Selatan a. Situs Air Sugihan, Palembang Situs in merupakan situs terluar di Provinsi Sumatera Selatan, terletak di wilayah muara Sungai Musi, sekitar 30 km dari Kota Palembang ke arah selat Bangka. Situs ini kini sebagian besar telah berubah menjadi lahan transmigrasi. Temuan yang paling menonjol adalah keramik tertua dari abad ke-5-6 M ( Dinasti Sui). Temuan keramik lainnya yang semasa dengan keramik muatan kapal karam Cirebon adalah bentuk: mangkuk, buli-buli, tempayan, dan teko (ewer) (Gambar 12).
Gambar 12. Temuan keramik (China) abad ke-9-10 M di Situs Air Sugihan (Sumber: Puslit Arkenas)
b. Situs Karang Anyar, Palembang Situs karang Anyar terletak pada dataran alluvial bertanah lunak akibat proses pengendapan lumpur Sungai Musi yang terjadi
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
Gambar 13. Denah situasi Situs Karang Anyar, Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang)
berabad-abad lamanya. Lokasi tepatnya pada sebuah kelokan (meander) Sungai Musi di depan Sungai Keramasan. Indikator yang menunjukan bahwa wilayah Karang Anyar ini adalah sebuah kompleks purbakala karena terdapat di beberapa lokasi situs didekatnya
seperti Lorong Jambu terdapat bata dan keramik dan Kambang Unglen yang merupakan situs produksi manik-manik. Berdasarkan interpretasi foto udara, diperkirakan di daerah Karang Anyar ini terdapat sistem jaringan air, berupa kolam dan kanal atau parit buatan manusia serta pulau-pulau yang ada di tengah kolam. Pulau-pulau tersebut adalah dua pulau besar yang disebut dengan Pulau Cempaka dan Pulau Nangka. Temuan ini memberikan gambaran bahwa sistem jaringan air tersebut dibangun oleh masyarakat yang ahli dalam bidang tata air dan kemaritiman. Hasil ekskavasi di beberapa tempat di situs ini ditemukan peninggalan-peninggalan berupa sisa struktur (bangunan) bata, sejumlah fragmen tembikar dan keramik, manik-manik dan sisa–sisa perahu. Di antara temuan manikmanik di Kambang Unglen juga ditemukan bahan pembuat manik-manik kaca serta limbah pembuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa kompleks situs Karang Anyar merupakan situs penting pada masa perkembangan Kerajaan Sriwijaya (Taim et al. 1998). Temuan-temuan keramik di situs Karang Anyar dan sekitarnya, atau dikenal juga dengan sebutan Situs Palembang Barat mempunyai temuan yang sejenis dengan temuan muatan kapal karam Cirebon (Gambar 14).
Gambar 14. Temuan keramik semasa dan setipe dengan temuan keramik muatan kapal karam di Cirebon abad ke-9-10 M (Sumber: Penulis)
35
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
Gambar 15. Temuan keramik semasa dan setipe dengan temuan keramik muatan kapal karam di Cirebon abad ke-9-10 M (Sumber: Penulis)
3.2.2 Wilayah Provinsi Jambi Berdasarkan topografi, Propinsi Jambi terbagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu wilayah dataran tinggi dan pegunungan, wilayah dataran rendah, serta wilayah pantai dan rawa. Berdasarkan aliran sungai terbesar yaitu Sungai Batang Hari, seolaholah membelah Propinsi Jambi menjadi dua bagian (Tjandrasasmita 1994) yaitu dataran tinggi di wilayah barat dan dataran rendah di wilayah timur. Dataran tinggi di propinsi ini dan wilayahnya termasuk kedalam wilayah Kabupaten Kerinci, wilayah peralihan antara dataran tinggi dengan dataran rendah temasuk kedalam wilayah 4 kabupaten yaitu, Kabupaten Sarko, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Bungo Tebo, dan Kodya Jambi, sedangkan wilayah dataran rendah atau wilayah pantai timur termasuk kedalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung dengan ibukota di Muara Sabak. Secara administratif, wilayah Tanjung Jabung kini terbagi menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan ibukota Kuala Tungkal dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan ibukotanya Muara Sabak. Tedapat tiga buah kecamatan di kabupaten Tanjung Jabung Timur yang memiliki intensitas temuan arkeologi yang cukup padat, yaitu Kecamatan Muara Sabak 36
(ibukota Kabupaten), Kecamatan Nipah Panjang dan Kecamatan Dendang. Ketiga kecamatan ini memiliki kondisi lingkungan yang hampir seragam yaitu berupa tanah gambut dengan endapan alluvial hutan rawa dan genangan air yang hampir merata di seluruh situs. Pada beberapa berdasarkan survai geologi tahun 1994, merupakan tanah asli seperti Situs Nipah Panjang yang terletak di atas lahan kering (tinggi) yang ditumbuhi ilalang tinggi. Sebelum dibuka sebagai lahan transmigrasi pada awal tahun 1970-an, daerah ini sebagian besar merupakan hutan rawa lebat. Wilayah Lambur Kecamatan Muara Sabak dibangun permukiman transmigrasi, seperti terdapat di wilayah Air Sugihan, yang dibagi-bagi dengan kanal-kanal. Di wilayah ini sumber air bersih tetap menjadi kendala hampir di setiap lokasi, sehingga masyarakat banyak mengandalkan sumber air bersih dari tadah hujan (Tim SPSP Jambi 1997). a. Situs Muara Sabak, Tanjung Jabung Jambi Penelitian di daerah pantai timur Sumatera khususnya Pantai Timur Propinsi Jambi memang dapat dikatakan masih sangat minim. Penelitian-penelitian yang pernah di daerah ini umumnya masih berupa pendataan tahap awal, seperti yang dilakukan oleh Schnitger, pada tahun 1937, Mc Kinnon
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
Gambar 16. Wilayah Tanjung Jabung , Provinsi Jambi (Sumber: Tim SPSP Jambi 1997)
dan Bambang Budi Utomo di Tungkal dan Koto Kandis pada tahun 1984 dan 1987. Penelitian di daerah pesisir pantai timur Jambi khususnya pada wilayah yang terbentang dari Kuala Tungkal hingga Semenanjung Nipah Panjang mulai lebih intensif pada tahun 1994 dilakukan oleh Tim Koordinasi Penelitian arkeologi dan geologi Jambi. Selain pendataan yang dilakukan oleh Tim Peneliti tahun 1994 tersebut, beberapa tahun terakhir di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung mulai sering dilaporkan adanya peninggalan-peninggalan arkeologi yang terdapat hampir merata dari Kota Muara Sabak hingga ke wilayah Nipah Panjang. Hasil survei dan peninjauan yang telah dilakukan oleh Tim Suaka PSP Sumbagsel sejak tahun 1994 menunjukan adanya daerahdaerah yang memiliki akumulasi temuan berupa keramik yang sangat padat, antar lain : daerah Muara Sabak, Lambur I, Lambur II/Siti Hawa, Sungai Bakung, Sungai Raya, Sungai Buaya, Nipah Panjang hingga ke daerah Koto Kandis. Seluruh wilayah tersebut terdapat pada sebuah dataran yang diapit oleh dua buah aliran anak Sungai Batang Hari yang terbagi dua di daerah Simpang (dekat Muara Kumpeh) dan bermuara di Selat Berhala yaitu anak sungai Batang Hari melalui Kota Muara Sabak di utara dan aliran Sungai Berbak melalui kota Nipah Panjang di selatan. Di wilayah ini
selain temuan keramik, temuan lainnya adalah: batu pipisan, bata kuno, gerabah, kaca kuno, manik-manik, uang logam China, perhiasan emas, sisa-sisa perahu dan lain-lain (Tim PSP Sumbagsel 1994). b. Situs Siti Hawa Situs Siti Hawa merupakan salah satu wilayah yang kini dimanfaatkan sebagai daerah dan lahan transmigrasi di Kabupaten Tanjung Jabung, terletak sekitar 13 km dari Kota Muara Sabak dan 5 km dari perbatasan Kecamatan Nipah Panjang. Nama Siti Hawa sendiri sebenarnya merupakan nama anak Sungai Batang Hari yang mengalir di daerah ini dan hingga kini merupakan sumber air bersih bagi masyarakat sekitarnya terutama pada saat musim kemarau. Kondisi tanah di wilayah ini umumnya merupakan tanah tegalan yang dimanfaatkan penduduk sebagai ladang palawija seperti jagung, kacang tanah, kacang panjang, cabai , dan ketimun. Pada beberapa tempat khususnya pada bagian tanah yang agak rendah dan berair, masyarakat setempat juga membuka persawahan tadah hujan. Secara topografis tanah di lingkungan situs dapat dibedakan atas tanah padat dan tanah rawa. Tanah padat berwarna coklat keputihan dan diduga sebagai tanah asli. Permukaan tanah padat tersebut bergelombang 37
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
dengan ketinggian lebih kurang dua meter dari permukaan rawa. Adapun tanah rawa yang terdapat disekitarnya hampir seluruhnya terdiri dari endapan gambut berwarna hitam dan lunak. Pada lapisan tanah kira-kira 1 meter dari permukaan tanah sekarang terdapat endapan pasir yang tampak seperti pasir laut (Tim Koordinasi Survei Arkeologi dan Geologi Jambi 1994). Pada bagian-bagian tertentu di Situs Siti Hawa ini masih dapat dilihat bekas sungai alam kuno yang pada musim penghujan tertutup oleh rawa-rawa sehingga tidak terlihat alirannya. Salah satu contoh adalah sungai alam yang merupakan anak Sungai Pemusiran Dalam, terletak 200 m di utara situs. Kondisi alam serupa juga terdapat di Situs Siti Hawa yaitu sebuah danau kuno seluas 18 km2 yang hanya tampak bila musim hujan tiba Pada musim kemarau, kondisi danau banyak ditumbuhi pohon alang-alang dan genangan rawa-rawa. c. Situs Lambur Penelitian terakhir di wilayah ini dilakukan di Situs Lambur I berupa ekskavasi kerja sama antara Suaka PSP dengan Balai Arkeologi Palembang pada tahun 1995. Dari penelitian tersebut diketahui adanya akumulasi temuan yang demikian padat pada
Gambar 17. Situs Lambur , Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi (Sumber: Jambi 1994)
38
kedalaman antara 0,5 cm hingga 40 cm dari permukaan tanah. Sebagian besar hampir 80% dari temuan-temuan tersebut adalah temuan pecahan keramik dari abad ke 9 hingga 13 M. Selain itu diketahui pula adanya sisa-sisa tiang kayu penyangga rumah pada kedalaman 6070 cm dari permukaan tanah. Dengan adanya temuan-temuan tersebut dapat diduga adanya pemukiman kuno yang cukup padat di wilayah pesisir timur ini (Taim, Padmiarsih, dan Novita 1996; Susanto 2007). d. Situs Nipah Panjang Nipah Panjang termasuk ke dalam wilayah delta kuno Batang hari, berdasarkan sumber-sumber berita asing wilayah ini termasuk ke dalam wilayah jalur pelayaran kuno sejak masa jaya perdagangan antara China dan Timur Tengah yang dikenal sebagai jalur sutrasekitar abad ke- 7 s.d 9 M (Guys 1986). Penelitian arkeologi di wilayah ini baru mulai intensif sejak tahun 1992 ketika dilakukan pendataan peninggalan arkeologis dan geologis dalam rangka penyusunan sejarah Melayu Kuno (Tim Koordinasi Survei Arkeologi dan Geologi Jambi 1992). Pada tahun-tahun berikutnya penelitian arkeologis di wilayah ini masih merupakan survei pendataan terhadap temuan temuan-temuan peninggalan arkeologi yang dilakukan oleh Suaka PSP Jambi pada tahun 1996 dan 1997. Dari hasil survei tersebut diketahui adanya temuan arkeologis yang tersebar di beberapa situs yaitu Sungairaya, Kuala Sadu, Parit Boom, Nipah Panjang, dan Parit 7 Sungai Jeruk. Temuan arkeologis dari hasil survei di situs-situs tersebut sebagian besar merupakan hasil pengumpulan penduduk setempat sehigga lokasi awal ditemukannya temuan tidak dapat dilacak lagi. Temuan-temuan tersebut antara lain adalah keramik, gandik, sisa-sisa perahu, bata-bata kuno, potongan gading, dan manikmanik (Tim SPSP Jambi 1997). Berbagai ragam temuan keramik yang serupa dan sejenis dengan temuan keramik dari muatan kapal
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
Gambar 18. Situs Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung, Provinsi Jambi (Sumber: Tim SPSP Jambi 1997)
karam di laut Cirebon yaitu botol dan vas, mangkuk, dan guci (Gambar 19) (Taim et al. 1997). 3.3 Hubungan Keberadaan Temuan Keramik Di Wilayah Pesisir Timur Sumatera Keberadaan temuan keramik di situs permukiman wilayah pesisir timur Sumatera Selatan ini erat dikaitkan dengan kegiatan perdagangan masa lalu, sejak masa pra Sriwijaya sebelum abad ke 7 M hingga masa sesudah/ post Sriwijaya abad ke 13 M (Leur 1955; Wolter 1967). Indikasi adanya kegiatan permukiman dan perdagangan di wilayah pesisir pantai timur Sumatera pada masa itu adalah dengan adanya sebaran temuan keramik
(China) dalam jumlah yang cukup padat di situs-situs yang tersebut di atas, selain itu temuan komoditi lain yang menyertai adalah seperti sisa-sisa hasil bumi, uang kepeng, manik-manik dan benda-benda logam baik untuk keagamaan ataupun perhiasan emas (Manguin 1992) Keramik tertua yang ditemukan di wilayah ini adalah temuan kendi keramik di Situs Air Sugihan, terletak di daerah muara Sungai Musi Sumatera Selatan ± 30 Km dari Kota Palembang, berasal dari Dinasti Sui abad ke-5 – 7 M, dengan hiasan kepala ayam pada cucuknya. Jenis keramik lain yang ditemukan di wilayah Kota Palembang dan sekitarnya adalah jenis keramik Guandong abad ke9 M berbentuk tempayan dan guci, jenis
Gambar 19. Keramik-keramik putih dan yueh abad 9-10 M yang setipe dan sejenis temuan keramik muatan kapal karam perairan Cirebon , ditemukan pada situs-situs di wilayah Tanjung Jabung Jambi (Sumber: Penulis)
39
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
keramik Yueh/ olive green ware dengan tanda pembakaran (spur mark) yang terdapat baik pada bagian atas atau bawah dasar keramik sebagian besar keramik, jenis ini ditemukan dalam bentuk mangkuk. Jenis mangkuk Yueh dari abad ke 9-10 M (Dinasti Tang Akhir – Dinasti Song Utara), merupakan keramik yang ditemukan dalam jumlah paling, terutama pada saat proses pengerukan kanal-kanal di situs bangunan air Karang Anyar, Palembang sekitar lebih dari 1000 pecahan (Taim et al. 1998). Situs – situs di pesisir timur lainnya di wilayah Propinsi Jambi juga terdapat temuan keramik, yang paling menonjol dalam jumlah dan kerapatan sebaran. Temuan keramik di wilayah ini cenderung lebih muda dari yang ditemukan di wilayah sekitar Palembang yaitu abad ke- 10 – 13 M akan tetapi bentuk dan jenisnya lebih bervariatif serta berasal tidak hanya dari wilayah China tetapi juga dari India danTimur Tengah, selain itu juga temuantemuan dari masa yang lebih tua didapat dari jenis wadah kaca dari Timur Tengah ( abad ke-6-9 M). Temuan keramik ditemukan dalam keadaan utuh maupun pecahan. Bentuk yang dapat diidentifikasi berupa kendi, piring, mangkuk, guci, tempayan, cepuk , dan botol merkuri. Temuan tembikar memperlihatkan kondisi agak rapuh sehingga sulit dikenali
Gambar 20. Peta sebaran situs-situs masa Hindu Buddha di Kotamadya Palembang, Sumatera Selatan (Sumber: Balai Arkeologi Palembang)
40
namun beberapa masih dapat dikenali bentuk asalnya seperti periuk dan kendi. Adapun benda-benda logam yang sering ditemukan penduduk, antara lain cincin emas, klintingan binatang setinggi 2,5 cm terbuat dari perunggu yang berpatina hijau gelap, serta bendabenda logam emas dalam bentuk potongan, lembaran tipis dan batang kecil /kawat. Dengan ditemukannya sabuk emas seberat 10 kg dengan hiasan yang raya di Situs Siti Hawa dan bentuk perhiasan emas serta barang berharga lainnya yang ditemukan di temukan di situs Lambur dan Muara Sabak pada sekitar tahun 1995 oleh penduduk dan kemudian disimpan di PSP Sumbagsel di Kota Jambi, menunjukan bahwa wilayah ini cukup kaya dan dimukimi oleh kalangan atau berada (Tim SPSP Jambi1997). Bila melihat dari variasi dan kerapatan temuan arkeologi di sepanjang dua aliran sungai maka baik Daerah Aliran Sungai Musi dan Sungai Batang Hari memegang peranan penting pada masa pengaruh budaya Hindu Buddha di Sumatera. Temuan-temuan yang mengindikasikan adanya hubungan kedua wilayah ini dengan kegiatan dari pihak luar banyak ditemukan pada berbagai temuan kapalkapal karam di sepanjang alur selat Malaka hingga ke laut Jawa (Cirebon). Berbagai artefak sejenis ditemukan pada situs-situs arkeologi di wilayah Sumatera Bagian Selatan juga terdapat pada muatan kapal yang karam di wilayah Selat Malaka terdapat pada antara lain pada kapal karam Belitung/ Batu Hitam (Flecker 2000), kapal karam Intan (Flecker 2001; 2005; Taim 2015) dan Kapal Karam Cirebon (Utomo 2008; Liebner 2014). Kapal karam di laut Cirebon sendiri dikenali sebagai sebuah kapal dengan teknologi lokal atau Nusantara yang diduga kuat membawa muatan dari sebuah tempat atau pelabuhan transit untuk dibawa ke wilayah lain. Dari kondisi saat kapal karam dan jumlah muatan yang melebihi kapasitas, kapal kargo ini kemungkinan besar tenggelam akibat kelebihan muatan (Utomo 2008).
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
Pada sebuah peta rekonstruksi berdasarkan temuan dari Kapal Karam Belitung yang disebut juga Batu Hitam atau Tang Kargo, terdapat dua buah rute yang membawa kargo atau muatan dari luar untuk masuk ke Nusantara pada abad ke- 9-10 M., yaitu: rute besar (berwarna merah ) yang dibawa oleh kapalkapal besar dari luar Nusantara dan rute kecil atau dalam (berwarna kuning) merupakan jalur yang dipakai oleh pelaut atau kapal Nusantara ke wilayah-wilayah di Indonesia. Kapal karam Batu Hitam merupakan kapal yang berasal dari wilayah Timur Tengah/Arab (Worrall 2009: 1-5) berada pada lokasi jalur berwarna merah, sedangkan lokasi kapal karam Cirebon merupakan jenis kapal Nusantara atau Asia Tenggara, berada di jalur berwarna kuning menuju salah satu Bandar di Utara Pulau Jawa bagian tengah atau timur. Bila melihat dari lokasi dan teknologi kapal yang karam di perairan Cirebon, Kapal Batu Hitam merupakan jenis Kapal Arab (Timur Tengah) dan Kapal Karam Intan adalah kapal jenis Junk China, Kapal Karam Cirebon merupakan kapal Nusantara yang berdasarkan rekonstruksi rute yang telah dibuat di atas,berada pada rute lokal (kuning) (Gambar 21). Ada dugaan kuat kapal karam di perairan Cirebon
merupakan perahu penyambung lintas dagang yang membawa muatan dari pelabuhan di pantai timur Sumatera ke wilayah perdagangan (pelabuhan) di utara Jawa abad 9-10 Masehi. 4. Penutup Dari pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa asumsi yang menghubungkan keberadaan keramik-keramik muatan kapal Cirebon yang tersebar di Sumatera Bagian Selatan, yaitu: Dari kondisi saat kapal karam dan jumlah muatan yang melebihi kapasitas, kapal kargo ini kemungkinan besar tenggelam akibat kelebihan muatan (Utomo 2008). Kapal karam tenggelam di lepas pantai Cirebon pada perjalanan menuju suatu tempat (pelabuhan ) Pantai Utara Jawa. Berdasarkan teknik dan bentuk perahu, perahu yang karam di perairan Cirebon adalah perahu lokal/Nusantara (Manguin 1992; Liebner 2014). Kapal karam di Perairan Cirebon merupakan Kapal Nusantara dan dari variasi temuan muatan kapal yang beraneka ragam dan berasal dari berbagai tempat maka diduga muatan tersebut tidak diambil langsung dari
Gambar 21. Peta Asia dan Timur Tengah menunjukkan jalur yang diduga merupakan jalur dari kapal karam Belitung, yang membawa “Tang Harta”, dan dikenal rute abad ke-9 sepanjang Laut Merah, Teluk Persia dan pantai Timur Afrika (Sumber : GlobalSecurity.org)
41
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
tempat asal komoditi tersebut berasal ,tetapi kemungkinan besar dimuat dari tempat berkumpulnya para “pemasok” barang-barang tersebut. Melihat dari posisi Kapal “Cirebon“ karam, maka kemungkinan terbesar kapal tersebut berlayar dari suatu tempat di wilayah Sumatera Selatan menuju wilayah Utara Pulau Jawa bagian timur. Keramik muatan kapal karam di laut Cirebon yang berasal dari masa Dinasti Tang akhir (abad ke- 9) hingga awal abad ke-10, ditemukan lebih padat di wilayah Sumatera Selatan dibandingkan Jambi. Keramik-keramik yang ditemukan di Jambi lebih beraneka ragam jenis dan bentuknya dengan kualitas yg lebih baik. Hal ini sedikit banyak memberikan gambaran mengenai keberadaan keramik dan fungsinya di kedua wilayah tersebut pada masa itu. Sebagian besar situs yang memiliki temuan sejenis dan semasa dengan muatan keramik “Kapal Cirebon”, kini merupakan lahan gambut dan basah di tepi aliran Sungai Batanghari dan Sungai Musi. Ucapan Terimakasih Ucapan terima kasih untuk Prof. Riset, Dra. Naniek Harkantiningsih yang telah memperbolehkan menggunakan data dan hasil analisis beliau pada keramik temuan kapal karam Cirebon. Daftar Pustaka BMKT, Tim PANNAS. 2008. “Kapal Karam, Abad Ke-10 Di Laut Jawa Utara Cirebon.” In , edited by ed Bambang Budi Utomo. Jakarta: PANNAS BMKT. Flecker, Michael. 2000. “A.9th-Century Arab or Indian Shipwreck in Indonesian Waters.” International Journal of Nautical Archaeology 29 (2). doi:0.1111/j.1095-9270.2000.tb01452.x. ----------. 2001. “The Archaeological Excavation of the 10th Century Intan Wreck.” BAR International Series 1047. Oxford. 42
----------. 2005. “Treasure from the Java Sea (The 10th Century Intan Shipwreck).” Heritage Asia Magazine 2 (2). Groeneveldt, Willem Pieter. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: C.V. Bhratara. Guys, John S. 1986. Oriental Trade Ceramics in South East Asia Ninth to Sixteenth Centuries. Asia Studi. Oxford.: Oxford University Press. Harkantiningsih, Naniek. 2005. “Identifikasi Keramik Muatan Kapal Karam Di Perairan Utara Cirebon.” In . Jakarta: PT . Paradigma Putra Sejahtera. ----------. 2010. “Keramik Muatan Kapal Karam Di Perairan Cirebon : Bukti Jaringan Pelayaran Kuna.” Amerta 28. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional: 98–104. Jambi, Tim SPSP. 1997. “Laporan Hasil Survai Arkeologi Kecamatan Nipah Panjang Dan Dendang , Kabupaten Tanjung Jabung , Provinsi Jambi.” Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Leur, Jacob C. Van. 1955. “Indonesian Trade and Society Essays in Asian Social and Economic History.” The Hague: van Hoeve. doi:LI-8. Liebner, Horst Hubertus. 2014. “The Siren of Cirebon A Tenth-Century Trading Vessel Lost in the Java Sea.” University of Leeds. Manguin, PY. 1992. “Excavations in South Sumatera ,1988-1990: New Evidence for Sriwijayan Sites.” In In I.C. Glover (Ed) Southeast Asian Archaeology 1990: Proceeding of The Third Conference of the European Assosiation of Southeast Asean Archeologiests, 63–73. Hull: Universityof Hull Centre for Southeast Asian Studies. Mills, JVG. 1969. “Ying-Yai Sheng-Lan: ‘The Overall Survey of the Ocean’s Shores’ [1433].” Cambridge: Cambridge University Press, 123–24. Susanto, Haris. 2006. “Pola Distribusi Situs Pantai Masa Sriwijaya Di Desa Lambur Luar/Kota Harapan , Kecamatan Muara Sabak , Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.” Palembang.
Keramik Muatan Kapal Karam Cirebon: Sebaran di Situs-Situs Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Eka Asih Putrina Taim
----------. 2007. “Pola Permukiman Kuno Di DAS Lambur , Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.” Palembang. Taim, Eka Asih Putrina Budisantosa, Tri Marhaeni Wiyana, Budi Purwanti, Retno. 1998. “Laporan Penelitian Arkeologi Klasik Di Situs-Situs Wilayah Palembang Barat.” Palembang.
ʹSrīvijaya. New York: Cornell University Press. Worrall, Simon. 2009. “Tang Shipwreck.” National Geographic. National Geographic. http://ngm.national geographic.com/2009/06/tangshipwreck/trade-route-illustration.
Taim, Eka Asih Putrina. 2015. “Ancient Settlement in Muara Jambi and Its Related Sites.” In , edited by Noel Hidalgo Tan. Bangkok Thailand: SEAMEO SPAFA Regional Centre for Archaeology and Fine Arts. Taim, Eka Asih Putrina, Sri Padmiarsih, and Aryandini Novita. 1996. “Laporan Penelitian Arkeologi Situs Lambur (Siti Hawa), Kabupaten Tanjung Jabung, Provinsi Jambi.” Palembang. Taim, Eka Asih Putrina, Tri Marhaeni Santosa, Budi Wiyana, and M. Mujib Ali. 1997. “Laporan Penelitian Arkeologi Klasik Di Situs Parit 7, Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung . Provinsi Jambi.” Palembang: Balai Arkeologi Palembang. Tim Koordinasi Survei Arkeologi dan Geologi Jambi. 1994. “Laporan Survei Arkeologi Dan Geologi Jambi, PSP Jambi, Sumatera Selatan Dan Bengkulu.” Jambi. Tim PSP Sumbagsel. 1994. “Laporan Survei Arkeologi Di Kabupaten Tanjung Jabung, Provinsi Jambi.” Tim SPSP Jambi. 1997. “Laporan Hasil Survei Arkeologi Kecamatan Nipah Panjang Dan Dendang , Kabupaten Tanjung Jabung , Provinsi Jambi.” Jambi: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Tjandrasasmita, Uka. 1994. “Laporan Penelitian Arkeologi Geologi Jambi.” Jambi: PSP Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Utomo, Bambang Budi. 2008. Kapal Karam Abad Ke-10 Di Laut Utara Jawa Cirebon. Edited by Bambang Budi Utomo. Jakarta: Pannas BMKT. Wolters, O. W. 1967. Early Indonesian Commerce : A Study of the Origins of 43
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (29-44)
44
APLIKASI METODE GEOLISTRIK UNTUK IDENTIFIKASI SITUS ARKEOLOGI DI PULAU LAUT, NATUNA Applications of Geoelectric Method for Archaeological Site Identification in Laut Island, Natuna Dino Gunawan Pryambodo1 dan Reiner Arief Troa2 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang KP, KKP 2 Gedung Balitbang KP Lantai 4, Jl. Pasir putih 1, Ancol Timur Jakarta 14430
[email protected]
Naskah diterima : 18 April 2016 Naskah diperiksa : 20 April 2016 Naskah disetujui : 9 Mei 2016
Abstract. Pulau Laut is one of the outer islands in Republic of Indonesia and part of the international shipping lanes during past centuries. The evidence came in form of shipwrecks which also became archaeological sites. The purpose of this study is to determine the distribution of archaeological sites and its depth using Wenner configuration 2D geoelectric method which is achieved by using resistivitymeter multichanel S Field with three lines measurements. Data processing, analysis, and interpretation were performed using software RES2DINV. The results then obtained direction on line one southwest - Northeast, the vessel is allegedly at positions 21-24 m from the southwest, the value of resistivity is between 54, 3-124 Ωm with depth of 0-3 m subsurface. Line two is at the same direction with line one and the vessel is allegedly at positions 21-27 m from the southwest, a subsurface depth of 0-3 m and resistivity values range from 11.5 41.4 Ωm. Line three to the direction northwest - southeast is crosslined with track one and track two, allegedly the ship is at position 18-22 m from the northwest with a depth of 0 - 4 m above the ground and resistivity values between 56.7 - 205 Ωm. Keywords: Archaeology, Geoelectrical method, 2D Wenner configuration, Ship site, Pulau Laut Abstrak. Pulau Laut merupakan salah satu pulau terdepan wilayah NKRI, merupakan jalur pelayaran internasional selama beradab-abad yang lampau. Terdapatnya situs-situs arkeologi kapal tengelam merupakan buktinya. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan sebaran situs arkeologi dan kedalamnnya berdasarkan metode geolistrik konfigurasi Wenner 2D yang menggunakan resistivitymeter multichannel S Field dengan tiga lintasan pengukuran. Proses pengolahan, analisis serta interpretasi data dilakukan dengan software Res2Dinv. Hasil proses, analisis dan interpretasi data, diperoleh pada lintasan satu dengan arah bentangan kabel barat daya – Timur laut, situs kapal diduga pada posisi 21 – 24 m dari arah barat daya, nilai resistivitas antar 54,3 – 124 Ωm dengan kedalaman 0 – 3 m dari atas permukaan tanah. Lintasan dua dengan arah bentangan kabel yang sama dengan lintasan satu, posisi 21 – 27 m dari arah barat daya,kedalaman 0 – 3 m dari atas permukaan tanah dan rentangan nilai resistivitas 11,5 – 41,4 Ωm diduga terdapat situs kapal. Lintasan tiga dengan arah bentangan kabel barat laut – tenggara merupakan lintasan yang memotong (crossline) lintasan satu dan lintasan dua, diduga keberadaan situs kapal pada posisi 18 – 22 m dari arah barat laut dengan kedalaman 0 – 4 m dari atas permukaan tanah dan nilai resistivitas antara 56,7 – 205 Ωm. Kata kunci: Arkeologi, Metode geolistrik, Konfigurasi Wenner 2D, Situs kapal, Pulau Laut
45
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (45-52)
1. Pendahuluan Kabupaten Natuna adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Natuna merupakan kepulauan paling utara di selat Karimata. Di sebelah utara, Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, di selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi, di bagian barat dengan Singapura, Malaysia, Riau dan di bagian timur dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat. Natuna berada pada jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea dan Taiwan (Wikipedia 2015). Sehingga tidak heran sejak zaman raja-raja nusantara (kerajaan sriwijaya) hingga masa kolonial, perairan Natuna selalu menjadi jalur pelayaran untuk keperluan perdagangan maritim (Muljana 2006) Pulau Laut adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia. Kecamatan ini merupakan kecamatan yang terluar di daerah Kabupaten Natuna (Gambar.1), merupakan tempat persinggahan
dari jalur pelayaran internasional pada zaman dahulu sehingga banyak menyimpan benda artefak arkeologi berupa keramik, guci atau kerangka kapal yang masih terkubur di bawah permukaan tanah (Dillenia 2011) Minimnya informasi tentang artefak yang terpendam di bawah permukaan tanah merupakan suatu hambatan dalam proses eskavasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran dengan metode pemetaan bawah permukaan di sekitar daerah yang diduga terdapat artefak agar proses penggalian dapat dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan dan diperoleh hasil yang signifikan dan efisien (Rusmin et al. 2015). 2. Metode Metode geolistrik adalah salah satu metode geofisika yang dapat memberikan informasi tentang tahanan jenis yang berkaitan dengan benda-benda artefak peninggalan pubakala yang berada dibawah permukaan tanah sehingga dapat diidentifikasikan dan
Gambar 1. Lokasi Kegiatan (Sumber: http://landsat.usgs.gov/landsat7.php, 2015)
46
Aplikasi Metode Geolistrik untuk Identifikasi Situs Arkeologi di Pulau Laut, Natuna, Dino Gunawan P. dan Reiner Arief T.
dipetakan keberadaannya (Oswin 2009). Metode geolistrik dimaksudkan untuk mengetahui susunan, kedalaman, dan penyebaran lapisan bawah pemukaan dari titik pendugaan berdasarkan harga tahanan jenis yang diperoleh. Prinsip metode ini didasarkan sifat-sifat batuan terhadap kelistrikan, diharapkan dapat memberikan informasi tentang inhomogeneities bawah permukaan (Clark 1990). Variasi resistivitas dan sejauh mana dan geometri anomali dapat digunakan untuk menyimpulkan kemungkinan adanya struktur arkeologi. Secara sederhana, metode ini dilakukan dengan cara mengalirkan arus listrik searah (DC) ke dalam bumi melalui sepasang elektrode arus (AB), yang kemudian diterima oleh sepasang elektrode potensial (MN) (Gambar 2). Elektrode potensial ini akan menerima harga perbedaan potensial yang ditimbulkan oleh sifat-sifat batuan yang dilalui arus listrik (Reynolds 1997). Survei dilakukan dengan menggunakan alat survei GPS (Global Positioning System) Garmin tipe 78s (Gambar 3) untuk menentukan posisi lintasan dan resistivitymeter Multichannel S Field (Gambar-4) untuk mengukur nilai beda potensial sesuai dengan konfigurasi elektrode yang digunakan. Peralatan lain yang digunakan dalam pengukuran mencakup elektroda potensial, elektroda arus, accumulator, dan kabel, dan perlengkapan pendukung seperti meteran, kalkulator, multi tester, dan handy talky (HT). Metode 2D adalah penggabungan metode 1D tetapi jumlah titik elektroda yang cukup banyak dalam suatu panjang tertentu (sesuai banyaknya elektroda dan panjang kabel yang tersedia) (Bahri 2005). Semua
A
M a
a
Gambar 4. Resistivitymeter Multichannel (Sumber: Geocis 2015)
S
Field
konfigurasi simetris yang ada dalam cara geolistrik 1D dapat digunakan dalam metode 2D. Dalam survey lapangan digunakan konfigurasi Wenner karena resolusi yang cukup baik secara horisontal maupun vertikal dan kedalaman penetrasi yang cukup dalam. Keunggulan dari konfigurasi Wenner (Gambar 2) ini adalah ketelitian pembacaan tegangan pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif besar karena elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB (Widiarso dkk. 2012). Disini bisa digunakan alat ukur multimeter dengan impedansi yang relatif lebih kecil sehingga nilai resisitivitas semu didapat dengan persamaan dibawah ini (Telford 1990):
ρa = K δv I
K = �a Dimana :
A V
Gambar 3. Garmin 78s (sumber: Garmin 2010)
B
N a
Gambar 2. Konfigurasi Wenner (Sumber: Telford 1990)
ρa = K = ΔV = I = a =
Tahanan jenis semu (Ωm) Faktor Geometri Beda potensial (mV) Kuat arus yang dialirkan (milliAmpere) Jarak antara kedua elektrode arus (AB dan elektroda potensial (MN)
47
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (45-52)
Metoda geolistrik 2D atau electrical imaging digunakan untuk melihat pola perubahan tahanan jenis batuan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Konfigurasi elektroda yang digunakan untuk pengukuran ini sama dengan pengambilan data geolistrik cara sounding atau 1D, tetapi teknik pengambilan data yang sedikit berbeda. Survey dilakukan pada lintasan yang lurus. Jumlah elektroda adalah 16 dengan jarak antar elektroda adalah 3 meter, maka panjang lintasan pengukuran adalah 48 meter. Kabel multielektroda terbagi dua bagian; elektroda nomor 1 – 8 di bagian kiri lintasan dan 9 – 16 di bagian kanan lintasan (Nurhidayah 2013). Peralatan geolistrik S Field ditempatkan di tengah lintasan, ujung tengah dari bagian kiri dan kanan kabel multielektroda dihubungkan dengan switchbox yang berfungsi untuk mengatur nomor elektroda yang berperan sebagai pengalir arus (A, B) dan pengukur beda potensial (M, N) (Alile 2007). Pengukuran dilakukan setahap demi setahap dimulai dari bagian kiri (nomor elektroda kecil) dan tiap layer kedalaman (n). Setelah semua data diambil, jika diplot maka akan diperoleh kumpulan data yang menyerupai perahu terbalik (Gambar 5). Pada gambar dibawah tersebut, diilustrasikan konfigurasi dari peralatan, kabel, dan sebaran titik pengukuran terhadap lapisan kedalaman. Setelah semua data didapatkan, maka dilakukan pengolahan data sehingga diperoleh penampang tahanan jenis dari lintasan yang diambil baik secara vertikal maupun horizontal atau kedalaman. Contoh kasus adalah pada konfigurasi elektroda Wenner dengan jarak elektroda “a” maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengukur array elektroda 1a tempat elektroda nomor 1, 2, 3, dan 4 digunakan untuk pengukuran. Konfigurasi ini bergerak sejauh 1a. Setelah pengambilan data untuk spasi 1a, langkah berikutnya adalah dengan spasi elektroda 2a dan menggunakan elektroda nomor 1, 3, 4 dan 7; pengukuran 48
data terus dilakukan sampai elektroda terakhir (Loke 1994). Pengolahan data dilakukan dengan menghitung faktor geometri dari konfigurasi Wenner untuk menghilangkan pengaruh letak elektroda potensial terhadap letak kedua elektroda arus. Setelah diperoleh hasil faktor geometri dari konfigurasi Wenner kemudian menghitung resistivitas semu dan menginversi dengan program Res2Dinv (Loke, 2004) untuk memperoleh penampang 2D. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan pendekatan parameter nilai-nilai resistivitas material (benda) dari penampang 2D hasil Res2Dinv (Loke 2003) Wenner
B
A M N a
A
M
M
A 3a
B
N
2a
2a
n=1
a
a
n=2
2a
B
N
3a
n=3
3a
Wenner +
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+ +
+ +
+ +
+ + +
+ +
+ + +
+ + +
+ + +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + +
+ + +
+ + +
+ +
+ + +
+ +
+ +
+ +
+ +
+
+ +
+
+
+
+
+
Gambar 5. Langkah pengambilan data geolistrik 2D konfigurasi Wenner (Sumber: Loke 1994)
3.
Hasil dan Pembahasan
Situs arkeologi terletak di desa Tanjung Pala yang terletak di sebelah timur Pulau Laut dengan koordinat GPS 4°44’3,34”.LU dan 107°59’40,70”.BT (Gambar 1), di lokasi ditemukan singkapan kayu diatas permukaan pasir yang diduga sebagai situs kapal karam (Gambar 6). Di dalam lokasi penelitian ini dibuat 3 lintasan survei geolistrik 2D dengan 2 lintasan yang sejajar (inline) yaitu lintasan satu dan lintasan dua dan satu lintasan melintang (crossline) yaitu lintasan tiga. 3.1 Lintasan Satu Pengukuran geolistrik pada lintasan satu yang berarah barat daya (SW) – timur laut (NE) (Gambar_7) menghasilkan nilai resistivitas pada lintasan ini bervariasi dari 0,383 Ωm
Aplikasi Metode Geolistrik untuk Identifikasi Situs Arkeologi di Pulau Laut, Natuna, Dino Gunawan P. dan Reiner Arief T.
Gambar 6. Singkapan kapal dan arah lintasan geolistrik (Sumber: penulis)
hingga 124 Ωm dengan kedalaman penetrasi sekitar 8,06 m. Penampang 2D tersebut memperlihatkan kontras resistivitas yang tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa di bawah permukaan tidak homogen, pada posisi panjang elektroda 21 meter sampai 24 meter dari elektroda pertama (SW) di kedalaman 0 meter sampai 3 meter dari permukaan tanah terdapat nilai resistivitas yang tinggi (warna merah) 54,3 – 124 Ωm dibandingkan dengan sekitarnya yang berupa alluvial dan pasir dengan rentangan nilai resistivitas 10 – 800 Ωm (Palacky 1987) yang diduga sebagai benda anomali dari situs kapal yang bagiannya tersingkap/terlihat di atas permukaan tanah.
dari permukaan tanah terdapat nilai resistivitas yang tinggi (warna merah) dibandingkan dengan sekitarnya yang duga kuat sebagai dari situs arkeologi yang berupa kumpulan keramik (Gambar 9) dan nilai resistivitas yang rendah (berwarna biru) kurang dari 1 Ωm berhubungan dengan adanya intrusi air laut (Abdalla.2008; Consentino et al. 2007; Hasanudin dan Pryambodo 2009) yang berbentuk lensa-lensa dengan posisi dan kedalaman bervariasi dan jarak dari garis pantai ke singkapan kapal kurang lebih berjarak 8 meter sehingga bisa mempengaruhi kualitas air tanah (FAO 1997).
Pada posisi elektroda 33 meter sampai 36 meter dari elektroda pertama (SW) di kedalaman 0 meter sampai sekitar 2 meter
Lintasan dua jaraknya tidak jauh dari lintasan pertaman sekitar 2 meter dan sejajar dengan lintasan satu (Gambar 9). Pada
3.2 Lintasan Dua
Gambar 7. Hasil pengukuran geolistrik pada lintasan satu (Sumber: penulis)
49
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (45-52)
resistivitas yang rendah (berwarna biru) kurang dari 1 Ωm yang penyebarannya berada pada posisi 18 – 30 meter dengan kedalaman mulai dari 2 – 8,06 meter. 3.3 Lintasan Tiga
Gambar 8. Artefak keramik di sekitar situs kapal (Sumber: penulis)
lintasan dua ini benda anomali yang diduga sebagai artefak dari situs arkeologi posisi dan kedalamannya hampir sama dengan yang ada di lintasan satu. Dengan nilai resistivitas pada lintasan ini bervariasi dari 0,00545 Ωm hingga 41,4 Ωm dengan kedalaman penetrasi sekitar 8,06 m. Anomali tinggi (berwarna merah) sekitar 41,4 Ωm terdapat pada posisi panjang elektroda 21 meter sampai 27 meter dari elektroda pertama (SW) di kedalaman 0 meter sampai 3 meter dari permukaan tanah diduga sebagai benda anomali dari situs kapal yang bagiannya tersingkap/terlihat di atas permukaan tanah. Pada posisi elektroda 33 meter sampai 36 meter dari elektroda pertama (SW) di kedalaman 0 meter sampai sekitar 2 meter dari permukaan tanah terdapat artefak dari kumpulan keramik dengan nilai resistivitas yang tinggi (warna merah) sekitar 41,4 Ωm lebih,dan terjadi intrusi air laut dengan nilai
Lintasan tiga ini merupakan lintasan yang memotong (crossline) dari lintasan satu dan lintasan dua dengan arah barat laut (NW) dan tenggara (SE) (Gambar 10), dan arah tenggara ini mendekati garis pantai. Dari hasil penampang lintasan tiga ini terlihat bahwa keberadaan artefak arkeologi yang berupa kapal terdapat pada posisi 18 – 22 meter dari arah barat laut (NW) dan kedalamannya mencapai sekitar 4 meter dari atas permukaan tanah dengan nilai resistivitas tinggi (warnah merah) sikitar 96,7 Ωm, sedangkan intrusi air laut juga terlihat pada penampang lintasan tiga ini dengan posisi 8 – 14 meter dari arah barat laut (NW) dengan kedalaman sekitar 4 – 5,37 meter dari atas permukaan tanah. Dari hasil ketiga penampang lintasan geolistrik 2D tentang dimensi dari situs singkapan kapal terlihat makin ke arah daratan (NW) situs kapal ini semakin besar dan semakin dalam. Hal ini akan memudahkan untuk melokalisir situs arkeologi ketika akan dilakukan ekskavasi karena letak posisi dan kedalamannya diketahui sehingga tidak diperlukan banyak waktu dan biaya (Faridi.1997). Diduga situs kapal ini adalah kapal dagang karena banyak benda pecahan keramik ditemukan disekitar situs kapal ini (Siswanto.2010). Intrusi air laut juga terdeteksi
Gambar 9. Hasil pengukuran geolistrik pada lintasan dua (Sumber: penulis)
50
Aplikasi Metode Geolistrik untuk Identifikasi Situs Arkeologi di Pulau Laut, Natuna, Dino Gunawan P. dan Reiner Arief T.
Gambar 10. Hasil pengukuran geolistrik pada lintasan tiga (Sumber: penulis)
dari hasil geolistrik ini karena jarak dari garis pantai ke situs kapal kurang lebih berjarak 8 meter, sehingga air laut dapat menyusup masuk kedaratan (Hendrayana.2002). 4. Penutup Berdasarkan hasil pengukuran dan pengolahaan data geolistrik 2D di lapangan dengan tiga lintasan dapat disimpulkan bahwa identifikasi benda arkeologi berdasarkan hasil inversi program Res2DInv terdapat anomali resistivitas yang besar dibandingkan dengan sekitarnya pada ketiga lintasan tersebut yang memiliki kisaran nilai resistivitas 41,4 – 205 Ωm yang diduga sebagai benda arkeologi berupa kapal karam dengan posisi 21 – 24 meter dari arah barat daya (SW) untuk lintasan satu dan dua dengan kedalaman bervariasi antara 0 – 3 meter dari atas permukaan tanah dan untuk lintasan tiga dengan posisi 18 – 22 meter dari arah barat laut (NW) dengan kedalaman samapai 4 meter dari atas permukaan tanah. Diduga situs kapal ini merupakan kapal dagang karena banyak ditemukan pecahan keramik di sekitar kapal. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kelitbang Geodinamika dan Sumberdaya laut dalam P3SDLP KKP yang telah membantu dalam pelaksanaan pengukuran geolistrik. Penelitian ini telah dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun (KKP) 2015.
Daftar Pustaka Abdalla, M.A. 2008. “‘Effect of Salt Water Intrusion on The Groundwater Resources at Delta of Wadi Kiraf Area, Shaltein, Egypt’.” In Contributions to Geophysics and Geodesy 37 (1 (2007)). Bratislava: Earth Science Institute of the SAS.: 71–86. Alile, O. M., W.A Molindo, dan M.A Nwachokor. 2007. “Evaluation of Soil Profile on Aquifer Layer of Three Location in Edo State.” International Journal of Physical Sciences 2(9): 249– 253. Bahri. 2005. “Hand Out Mata Kuliah Geofisika Lingkungan Dengan Topik Metoda Geolistrik Resistivitas.” Surabaya: Institut Teknologi Surabaya. Clark, A. 1990. “Seeing Beneath the Soil.” In Prospecting Methods in Archaeology. London: Batsford. Cosentino P., Capizzi P., Fiandaca G., Martorana R, Messina P. and Pellerito S. 2007. “‘Study and Monitoring of Saltwater Intrusion in the Coastal Area between Mazara Del Vallo and Marsala (South-Western Sicily).’” Water Science and Technology Library 62. (XVI ISBN 978-1-4020-5923-0). Dordrecht: Springer: 303–21. Dian Agus Widiarso; Henarno Pudjihardjo; Wahyu Prabowo. 2012. “Potensi Air Tanah Daerah Kampus UNDIP Tembalang” 33 (No. 2). Teknik. Dillenia, Ira Nia; Naelul H; Syahrial Nur Amri; Rainer A Troa; Eko Triarso; Joko P. 2012. “Kajian Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Laut Berbasis Ekosistem Pesisir Laut Natuna.” In Hasil Penelitian Terbaik, 88–89. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. 51
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (45-52)
FAO -Rome, IT. 1997. Seawater Intrusion in Coastal Aquifers: Guidelines for Study, Monitoring and Control. FAO Water Reports. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization (FAO). Faridi, A. 1997. Skripsi.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 1997. “Penyelidikan Keberadaan Batuan Situs Purbakala Candi Kedulan Dengan Metode Resistivitas.” Universitas Gadjah Mada. Hasanudin. M dan D. G. Priambodo. 2009. “Studi Intrusi Air Laut Di Cirebon Dengan Menggunakan Metode Geolistrik.” Segara 5 (2): 121–133. Hendrayana, H. 2002. “Intrusi Air Asin Ke Dalam Akuifer Di Daratan.” Yogyakarta. Loke. M. H. 1994. “The Inversion of TwoDimensional Resistivity Data.” Uni. of Birmingham. Loke, M.H. 2004. Tutorial 2D and 3D Electrical Imaging Surveys. Birmingham: Birmingham University. Loke MH, Acworth I, Dahlin T. 2003. “‘A Comparison of Smooth and Blocky Inversion Methods in 2D Electrical Imaging Surveys.’” Exploration Geophysics 34: 182–87. Muljana. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. Nurhidayah. 2013. “Aplikasi Metode Geolistrik Untuk Mengetahui Pencemaran Limbah Pabrik Di Sekitar Sungai Di Daerah Genuk.” UNNES Semarang. Oswin, J. 2009. “A Field Guide to Geophysics in Archaeology.” Chicester: SpringerPraxis Books. Palacky, G.J. 1987. ‘Resistivity Characteristics of Geologic Targets. In: Nabighian, M.N. (Ed.).” Electromagnetic Methods in Applied Geophysics Theory 1 (Society of x-ploration Geophysicists). Tulsa: SEG Books. Reynolds, J.M. 1997. An Intruduction to Applied and Enviromental Geophysics. Chichester: Jhon Wiley & Sons Ltd. Siswanto. 2010. “Temuan Kapal Kuno Di Rembang.” Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air 4: 1–5. Telford. W. M, Geldart. L. P, & Sheriff. R. E. 1990. Applied Geophysics. Applied Geophysics. Second Edi. New York: Cambridge and Hall. 52
Sumber online: Geocis. 2015. “S Field Resistivity Automatic Multichannel (16 CH)”. http://www. geocis.net/file-download/S-FIELD-.pdf. Garmin. 2010. “GPSMAP 78 Series Manual.” http://gpscentrs.lv/instrukcijas/ GPSMAP_78_OM_EN.pdf. http://landsat.usgs.gov/landsat7.php. Rusmin, Syamsuddin & Lantu. 2015. “Identifikasi Benda Arkeologi Di Kec. Makassar Dengan Metode Geolistrik Konfigurasi Wenner-Schlumberger.” Accessed November 6. repositori.unhas. ac.id/bitstream/handle.htm.
IN-SITU PRESERVATION SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN PENINGGALAN ARKEOLOGI BAWAH AIR INDONESIA* In-Situ Preservation As a Strategy In Managing Underwater Cultural Heritage in Indonesia Agni Sesaria Mochtar Balai Arkeologi Yogyakarta, Jl. Gedongkuning No. 174 Yogyakarta 55171
[email protected]
Naskah diterima : 16 Februari 2016 Naskah diperiksa : 20 Februari 2016 Naskah disetujui : 20 Mei 2016
Abstract. Indonesia is a renowned country of its richness of underwater archaeological heritage. Abundant maritime cultural activities had provided data to reconstruct the ancient maritime glory. In the matter of fact, the efforts to reconstruct the history are still facing many challenges especially in the lack of main point of view in managing the heritage. Considering that the Indonesian underwater archaeological heritage is of international significance, this paper discusses the opportunity to implement in-situ preservation in managing underwater archaeological heritage in Indonesia, as it is recommended by the 2001 UNESCO Convention. Some issues in the management of underwater cultural heritage, including activities undertaken and related regulation, were discussed through a descriptive approach. This paper then shows that although Indonesia might not ratify the 2001 UNESCO Convention in the near future, in-situ preservation is an ideal strategy to manage the underwater cultural heritage and is applicable in Indonesia, subject to some adjustment of current regulations. Keywords: Underwater archaeology, In-situ preservation, 2001 UNESCO Convention Abstrak. Indonesia sangat kaya dengan peninggalan arkeologi bawah air. Berbagai aktivitas budaya maritim telah meninggalkan data yang melimpah untuk merekonstruksi sejarah bangsa ini. Pada kenyataannya, upaya rekonstruksi tersebut masih menghadapi banyak tantangan terutama dalam hal perbedaan sudut pandang pengelolaan tinggalan-tinggalan tersebut oleh para pihak pengelola. Mengingat bahwa peninggalan arkeologi bawah air di Indonesia tidak hanya memiliki signifikansi nasional, tapi juga regional bahkan internasional, kajian ini mengurai kemungkinan penerapan in-situ preservation, sebagaimana tercantum dalam Konvensi UNESCO tahun 2001, sebagai strategi pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air Indonesia. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan permasalahan yang ada dan menunjukkan bahwa meskipun Indonesia belum dapat meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001 dalam waktu dekat, in-situ preservation merupakan strategi ideal pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang dapat diterapkan di Indonesia dengan melakukan penyesuaian regulasi yang berlaku. Kata kunci: Arkeologi bawah air, In-situ preservation, Konvensi UNESCO 2001 1. Pendahuluan Indonesia memiliki peninggalan arkeologi bawah air yang melimpah. Hal ini tidak terlepas dari tingginya intensitas aktivitas
kelautan yang terjadi di wilayah perairan Indonesia. Sejarah budaya bahari Indonesia telah dimulai tidak kurang dari 4.500 tahun yang lalu, bersamaan dengan persebaran
*) Karya Tulis ini pernah dipresentasikan dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi yang diselenggarakan oleh Pusat Arkeologi Nasional di Solo, 3-7 September 2012 dan telah mengalami penambahan dan pemutakhiran referensi dan pembahasan.
53
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (53-64)
penutur bahasa Austronesia ke Nusantara dan Pasifik dari Pulau Formosa (Taiwan). Mereka bermigrasi dengan menggunakan balokbalok kayu yang digabungkan dan kemudian melakukan inovasi dalam teknologi pelayaran dengan membuat perahu bercadik yang cukup canggih (Tanudirjo 2008). Perairan Nusantara semakin ramai setelah munculnya jalur perdagangan internasional. Sebagai penghasil utama komoditi perdagangan seperti lada, pala, cengkeh, cendana dan dupa, Nusantara telah menarik minat para pedagang dari Cina, India, dan Persia. Sejak dulu beberapa tempat di Indonesia telah menjadi pelabuhan penting seperti Aceh, Palembang, Sunda Kelapa (Batavia), Banten, Cirebon, Makassar, Ternate, Tidore, yang kemudian menjadi kerajaankerajaan maritim besar (Hardiati 2007). Bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda datang kemudian untuk melakukan perdagangan dan kolonisasi (Tjandrasasmita 2008). Arus migrasi, perdagangan, hingga kolonisasi telah meninggalkan banyak budaya material yang terendam di bawah permukaan laut Indonesia. Sebagian besar dari bendabenda tersebut memuat informasi dari masa lalu, yang memiliki signifikansi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dapat diartikan bahwa perairan Indonesia memiliki potensi yang diduga Cagar Budaya, sampai ditetapkan demikian atau justru sebaliknya, dalam jumlah yang besar. Kondisi yang belum sebanding dengan hal tersebut di atas justru terjadi pada upaya pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air. Sudah banyak aktivitas pengangkatan ilegal yang mengakibatkan banyak keramik dan artefak lainnya yang dicuri dari laut Indonesia dan dijual di berbagai rumah lelang (Helmi 2009). Aktivitas tersebut memberikan dampak yang sangat memprihatinkan. 54
Beberapa anggota masyarakat Indonesia kemudian lebih cenderung untuk melihat peninggalan arkeologi bawah air sebagai ‘harta karun’ dengan nilai ekonomi semata, sehingga cenderung untuk mencari dan menjual benda berharga dari dasar laut kepada siapapun yang mau membeli dengan harga tinggi. Bendabenda tersebut jarang dilihat sebagai benda bersejarah yang memiliki nilai budaya yang sangat penting. Hal tersebut menunjukkan beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia. Jelas terlihat banyak pihak yang terlibat dalam penanganan Peninggalan Arkeologi Bawah Air masih bertindak sendiri-sendiri, dengan kepentingan dan sudut pandangnya masing-masing. Belum ada satu garis besar yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai panduan bagi seluruh stakeholders yang terlibat dalam masalah ini. Sementara itu, dunia international melalui UNESCO sudah mempromosikan Konvensi tahun 2001 tentang Perlindungan Cagar Budaya Bawah Air1. Salah satu prinsip utama yang ditekankan dalam Konvensi tersebut adalah penerapan in-situ preservation. Banyak negara mulai meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001 sebagai kebijakan dalam penanganan Peninggalan Arkeologi Bawah Air mereka. Mengingat tingginya signifikansi Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia, maka perlu untuk mengkaji kondisi penanganan terhadap Peninggalan Arkeologi Bawah Air yang sudah dilakukan, serta melihat kemungkinan ratifikasi Konvensi tersebut dan implementasi in-situ preservation sebagai konsekuensinya. 2. Metode Angin segar mulai berhembus ketika ditetapkannya Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.48 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Pening1 Terminologi asli dari Konvensi ini adalah 2001 UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage.
In-Situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia, Agni Sesaria Mochtar
galan Arkeologi Bawah Air yang mengatur pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air, terutama bagi pemerintah daerah di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Akan tetapi, penetapan peraturan tersebut belum mampu menghentikan upaya eksploitasi terhadap kekayaan peninggalan arkeologi bawah air. Pemerintah kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, dengan tujuan untuk memastikan bahwa segala bentuk usaha pengangkatan peninggalan bawah laut berada dalam kendali pemerintah. Pada kenyataannya, Keputusan Presiden ini justru menghadirkan isu-isu baru. Isu tersebut meliputi tumpang tindih kewenangan dan perbedaan definisi antara Peninggalan Arkeologi Bawah Air dengan barang berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Oleh karena itu dalam Strategi pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air Indonesia tersebut, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yang menggambarkan strategi ideal pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang diterapkan di Indonesia dengan melakukan penyesuaian regulasi yang berlaku 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Signifikansi Peninggalan Bawah Air Indonesia
Arkeologi
Perairan yang luas, aktivitas maritim yang padat, kondisi laut, cuaca, peperangan dan pembajakan menyebabkan Indonesia saat ini kaya akan Peninggalan Arkeologi Bawah Air (Ridwan 2011). Potensi Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia sudah terkenal hingga manca negara dengan jumlah yang melimpah. Masyarakat semakin terbiasa mendengar adanya sekitar kurang lebih 463 titik kapal karam yang dicatat oleh Litbang Oceanologi. Sementara Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda mencatat adanya sekitar 245 kapal VOC dan buku Tony Wells, Shiwrecks & Sunken Treasure menyebutkan
adanya sekitar 186 kapal VOC yang tenggelam di lautan Indonesia (Rahardjo 2009:7). Adapun sebaran titik tersebut terdapat di perairan Selat Malaka, perairan Sumatera Selatan yang tersebar di selat Bangka, Perairan Riau, Selat Gaspar, Perairan Belitung dan Perairan Enggano; perairan Kepulauan Seribu-Selat Sunda, Pelabuhan Ratu; perairan Cilacap-JawaTengah, Laut Jawa yang meliputi perairan Karimun Jawa dan Pantai Jepara, Selat Madura-Pulau Kangean, Selat Karimata, Nusa Tenggara Barat-Timur; perairan Arafura; perairan Papua, perairan Morotai-Teluk Kao; perairan Almahera Tidore-Bacan; perairan Ambon Buru; perairan Teluk Tomini dan perairan Sulawesi termasuk di Selat Makassar (Mulyadi 2012). Sebaran titik tersebut sebagian telah disurvei dan diidentifikasi oleh Direktorat Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa situs-situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air tidak hanya berupa kapal-kapal kuno yang tenggelam, tetapi juga berupa reruntuhan pesawat terbang Perang Dunia II, yang selama ini banyak ditemukan tersebar di perairan Indonesia timur, seperti di Halmahaera Utara, Maluku Utara (Widiati 2011). Komoditi perdagangan kuno yang terendam di perairan Indonesia tidak dapat dipungkiri merupakan daya tarik utama berbagai pihak masuk dalam ranah penanganan Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Berbagai artefak seperti keramik, logam mulia, perhiasan emas, hingga koin mata uang kuno menjadi target utama para pemburu harta karun. Sekian banyak artefak yang sudah berhasil diangkat dari dasar laut Indonesia, baik legal maupun ilegal, menunjukkan nilai kekunoan yang sangat tinggi. Keramik yang berhasil diidentifikasi berasal dari masa Dinasti Tang (Flecker 2001), Song dan Yuan (Flecker 2003) hingga Dinasti Ming (Sulistyarto 2011). Bangkai kapal tenggelam yang ditemukan di perairan Indonesia terdiri dari 55
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (53-64)
kapal kayu dan kapal besi. Beberapa kapal kayu yang ditemukan bermuatan komoditi dagang terutama keramik, yang belakangan ini menjadi objek utama incaran para pemburu harta karun. Sementara itu, kapal besi biasanya buatan bangsa Eropa yang berfungsi selain sebagai kapal dagang juga sebagai kapal perang atau sebagai moda transportasi laut di perairan Indonesia. Beberapa bangkai kapal kayu yang ditemukan di Indonesia dibuat dengan teknologi awal pembuatan kapal khas Asia Tenggara dengan menggunakan sambungan lambung kapal tambuku2. Bangkai kapal kayu tersebut di antaranya adalah yang ditemukan di Paya Pasir-Medan, Kolam Pinisi-Palembang, dan Punjulharjo-Rembang (Abbas 2009). Kapalkapal tersebut memiliki kesamaan teknologi dengan kapal yang ditemukan di Filipina dan Vietnam (Manguin 1993).
Sementara itu, bangkai kapal besi yang sudah ditemukan di Indonesia menyediakan informasi tentang teknologi perkapalan yang sudah berkembang saat itu, baik untuk kapal perang, kapal dagang, maupun kapal transportasi. Kapal-kapal tersebut merupakan kapal buatan bangsa Eropa seperti Belanda (Mochtar & Sulistyarto 2013), Inggris, Portugis, dan Jerman (Mochtar, dkk 2015). Selain itu juga ada kapal dari Australia. Negara-negara tersebut, sama halnya dengan Indonesia, juga berkeinginan untuk merekonstuksi sejarah budaya mereka bahkan hingga mencapai belahan dunia lain. Ketersediaan data yang melimpah di Indonesia merupakan suatu bukti nyata pentingnya posisi Indonesia di dunia maritim internasional. 3.2 Pengelolaan Bawah Air
Peninggalan Arkeologi
Mengacu pada signifikansi yang dimiliki, pengelolaan yang baik menjadi kebutuhan utama dalam menjamin kelestarian Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia. Hingga saat ini bentuk pengelolaan yang ada masih terhitung parsial, belum dilaksanakan secara komprehensif. Belum ada satu sudut pandang mendasar yang mampu memayungi, atau menjadi acuan utama, kegiatan-kegiatan yang menjadikan Peninggalan Arkeologi Bawah Air sebagai objeknya. Dalam ranah Peninggalan Arkeologi Bawah Air banyak pihak yang terlibat dengan membawa kepentingan dan kekuatan masing-masing. Hal ini seringkali menimbulkan konflik dalam merumuskan satu sudut pandang tertentu. Sebagai bahan pertimbangan perumusan, perlu diulas terlebih dahulu beberapa hal yang berhubungan dengan pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air, yaitu regulasi dan kegiatan di situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Gambar 1. Kapal Punjulharjo (Sumber: Balai Arkeologi Yogyakarta 2009)
3.2.1 Regulasi
2 Tonjolan segi empat yang digunakan untuk mengikat papan lambung dengan menggunakan tali ijuk dan pasak kayu untuk memperkuat (Sulistyarto 2013: 77).
Regulasi merupakan dasar hukum yang seyogyanya dijadikan landasan dalam
56
In-Situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia, Agni Sesaria Mochtar
melakukan berbagai aktivitas nyata, begitu juga dengan pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa regulasi yang mengatur berbagai kegiatan pengelolaan tersebut. Regulasi yang pertama adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 20103 tentang Cagar Budaya. Pasal 1 UU tersebut menyebutkan bahwa Cagar Budaya juga meliputi Cagar Budaya yang berada di lingkungan air. Pada bagian penjelasan Pasal 4 disebutkan bahwa lingkungan air tersebut meliputi laut, sungai, danau, waduk, sumur, dan rawa. Regulasi yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia adalah Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Permenbudpar) Nomor 48 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Peraturan lain mengenai Peninggalan Arkeologi Bawah Air adalah Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 107 tahun 2000. Senada dengan Permenbudpar Nomor 48 tahun 2009, Keppres ini juga mengatur pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air, yang secara khusus disebut sebagai Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Pasal 1 angka 2 menuliskan bahwa pengelolaan BMKT adalah kegiatan survei, pengangkatan, dan pemanfaatan BMKT. Selain kedua regulasi tersebut, masih ada regulasi lain yang berkaitan dengan Peninggalan Arkeologi Bawah Air yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Menteri ini juga mengatur tentang konservasi terhadap Peninggalan Arkeologi Bawah Air, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 21: Kawasan konservasi maritim adalah daerah perlindungan adat dan budaya maritim 3 UURI No.11 Tahun 2010 merupakan pembaruan dari UURI No.5 Tahun 1992. Hingga saat ini belum ada regulasi turunan dari UU yang baru tersebut).
yang mempunyai nilai arkeologi historis khusus, situs sejarah kemaritiman dan tempat ritual keagamaan atau adat dan sifatnya sejalandengan upaya konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan Peninggalan Arkeologi Bawah Air tersebut merupakan pedoman bagi setidaknya 3 (tiga) unit pelaksana yang berbeda. Adanya perbedaan istilah yang digunakan untuk merujuk ‘Peninggalan Arkeologi Bawah Air’ dan juga adanya tumpang tindih kewenangan menunjukkan adanya potensi konflik dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Kenyataannya di lapangan, masing-masing pihak seringkali tidak saling berkoordinasi dalam melaksanakan tugasnya akan tetapi justru sering berkonflik karena memegang teguh pedoman regulasinya masing-masing. 3.2.2 Aktivitas di Situs Arkeologi Bawah Air Kegiatan yang dilaksanakan di situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air yang pertama kali menarik perhatian pemerintah dan masyarakat adalah pengangkatan ilegal terhadap komoditi, sebagian besar keramik, kapal VOC Geldermalsen oleh Michael Hatcher (Johnston 1994). Sejak saat itu, mulai banyak pihak yang menyadari kekayaan laut Indonesia. Banyak bangkai kapal tenggelam di Indonesia memang berisi barang berharga sehingga menjadi target para pemburu harta karun. Pengrusakkan dan pencurian Peninggalan Arkeologi Bawah Air telah berlangsung di Indonesia sejak tahun 1980an hingga sekarang. Pelakunya adalah individu ataupun lembaga, dan tidak hanya orang asing seperti Michael Hatcher saja tetapi juga masyarakat lokal. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh masyarakat lokal di perairan Taka Kappala, Kabupaten Kepulauan Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang nilai penting dan strategis dari Peninggalan Arkeologi Bawah 57
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (53-64)
Air sebagai identitas nasional dam peningkatan ekonomi nasional merupakan masalah besar di Indonesia (Ridwan 2011: 2). Setelah maraknya berbagai kegiatan pengangkatan ilegal, pemerintah membentuk Panitia Nasional BMKT untuk mengontrol kegiatan pengangkatan yang dilaksanakan di perairan Indonesia. Menurut catatan Panitia Nasional BMKT sejak tahun 1989 hingga tahun 2010 telah dilakukan 13 kali kegiatan pengangkatan muatan kapal tenggelam di perairan Indonesia. Enam lokasi berada di wilayah perairan Pulau Sumatera, khususnya di Kepulauan Riau dan Bangka Belitung, enam lokasi tersebar di perairan Pulau Jawa, mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, dan satu lokasi berada di selat Karimata, Kalimantan Barat. Seluruh lokasi itu merupakan runtuhan dari sisasisa perahu kuno yang memuat keramik Cina dalam jumlah relatif besar, yang diperkirakan sebagai barang dagangan (Widiati 2011). Kegiatan lain yang juga dikembangkan adalah berbagai kegiatan penelitian terhadap Peninggalan Arkeologi Bawah Air. Direktorat Peninggalan Arkeologi Bawah Air beserta UPT daerah yaitu Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya melaksanakan identifikasi titik lokasi hingga survei di
berbagai situs terutama di lokasi bangkai kapal tenggelam. Beberapa situs yang sudah pernah diteliti adalah Karimunjawa, Madura, Belitung (bekas lokasi Belitung wreck) dan situs-situs di Selat Makassar (Sulistyarto 2009; Sofian 2010). Selain itu, situs-situs bangkai kapal tenggelam juga menjadi objek wisata minat khusus yang menarik banyak wisatawan. Salah satunya di Tulamben, Bali. Kapal tenggelam USAT Liberty telah memberikan keuntungan besar untuk masyarakat Tulamben. Sejak akhir tahun 1980an kapal Liberty telah menjadi objek selam utama di wilayah Bali Timur dan menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat lokal. Masyarakat dapat menyediakan beberapa fasilitas penunjang, di antaranya: penginapan, sentra selam, rumah makan, lahan parkir, pemandu selam, toko sovenir, toko selam, rental mobil, toko kelontong, dan kuli angkut. Aktivitas perekonomian tersebut dapat mengurangi tingkat pengangguran di desa Tulamben. Masyarakat lokal sangat menyadari bahwa keberadaan USAT Liberty dapat meningkatkan kedatangan pihak asing ke wilayah mereka dan akan sangat baik untuk peningkatan ekonomi daerah (Ridwan 2011: 6).
Gambar 2. Sketsa USAT Liberty (Sumber: www.tulambenwreckdivers.com)
58
In-Situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia, Agni Sesaria Mochtar
Masyarakat Tulamben kemudian merasakan kebutuhan untuk membantu menjaga daerah terebut. Dengan adanya kesadaran tentang Peninggalan Arkeologi Bawah Air, masyarakat sendiri merasakan dampak positif dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Mereka menyadari bahwa pariwisata minat khusus, terutama penyelaman di bangkai kapal tenggelam, meningkat pesat di Indonesia. Jumlah penyelam di Liberty wreck rata-rata mencapai 100-200 orang per hari dan terdapat sekitar 25 sentra selam dan 8 toko selam di Tulamben. Diperkirakan potensi dan nilai ekonomis pariwisata laut Tulamben mencapai US $3,265,777 per tahun (Kamaluddin 2002: 146-147). 3.3 In-Situ Preservation 3.3.1 Definisi In-situ preservation dalam arkeologi bawah air adalah sebuah konsep konservasi yang menyimpan artefak pada tempat aslinya, dengan tujuan mengurangi permasalahan dalam melakukan konservasi logam ataupun kayu dalam skala besar. Pada kasus temuan bangkai kapal tenggelam, bangkai tersebut
dibiarkan pada posisi aslinya di dasar laut/ danau/sungai dan diupayakan dalam kondisi stabil, kemudian diubah fungsinya menjadi monumen yang dapat dikunjungi oleh penyelam umum. Pendekatan ini merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan bagaimana melakukan konservasi atau ekskavasi pada bangkai kapal tenggelam secara keseluruhan. Tipe in-situ preservation lainnya adalah reburial artefak setelah ekskavasi dan penelitian. Konsep ini pernah dilakukan pada bangkai kapal San Juan di Red Bay, Labrador. Bangkai kapal tersebut diekskavasi dan komponennya dibongkar satu per satu untuk diteliti oleh arkeolog. Untuk menghindari timbulnya permasalahan dan biaya besar untuk konservasi, artefak-artefak tersebut di kubur kembali di dasar pelabuhan. Komponenkomponen kapal tersebut diletakkan dalam tiga lapisan yang ditutupi pasir dan gundukan tersebut ditutup dengan geotekstil untuk mengamankan bangkai kapal tersebut (Hamilton & Scourge tt). Reburial adalah proses yang sangat penting dalam arkeologi bawah air, dimana kesempatan untuk melakukan analisis
Gambar 3. Proses persiapan reburial artefak (Sumber: Clarence project – AHSPP 2012)
59
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (53-64)
komprehensif atas temuan tidak selalu ada. Selain itu, reburial juga sering dilakukan pada kasus dimana upaya konservasi akan menguras dana penelitian sehingga akan mengurangi kualitas penelitian secara keseluruhan. Hal ini terutama terjadi dalam salvage archaeology, dimana sebagian besar situs diekskavasi dalam waktu yang singkat. Reburial juga sering diaplikasikan apabila pilihan-pilihan konservasi yang tersedia sangat terbatas karena faktor eksternal (Jesusfamiltytomb.com tt). Pengimplementasian in-situ preservation telah berkembang menjadi strategi ideal dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air secara internasional. Hal ini telah disepakati dalam Konvenci UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Terhadap Warisan Budaya Bawah Air. Prinsip-prinsip Umum yang tertulis dalam Lampiran Konvensi UNESCO tahun 2001 berisi tentang peraturan yang berkaitan dengan perlindungan Cagar Budaya Bawah Air. Pasal 1 dalam Prinsip-prinsip Umum menyebutkan bahwa in-situ preservation harus menjadi pilihan pertama dalam pengelolaan artefak terendam. Menurut UNESCO, hal ini berarti benda-benda tersebut ‘seharusnya dibiarkan di dasar laut pada lokasi aslinya’ (UNESCO. org). Walaupun disebutkan bahwa in-situ preservation harus diutamakan, pada kondisikondisi tertentu pengangkatan artefak dari dasar laut dapat diterima, selama ekskavasi dapat memberikan ‘kontribusi yang signifikan bagi perlindungan atau pengetahuan atau pengembangan Cagar Budaya Bawah Air’ (Konvensi UNESCO tahun 2001: Prinsipprinsip Umum Pasal 1) Dengan pengertian yang luas tersebut, Peninggalan Arkeologi Bawah Air dapat dianggap terpreservasi apabila dibiarkan terbenam pada kondisi terakhirnya, baik di bawah maupun terletak di dasar laut. Sementara para praktisi mungkin saja tidak menentang pernyataan tersebut, akan tetapi apabila sebuah situs berada pada lingkungan yang terekspos atau dinamis, respons yang 60
pasif tidak akan membantu perlindungan dan preservasi situs tersebut dalam jangka panjang. Demi penanganan situs yang lebih efektif, metode in-situ preservation proaktif yang tepat bagi kondisi lingkungan harus diterapkan. Dalam hal ini, definisi yang lebih jelas untuk pengelolaan yang baik termasuk menangani situs secara aktif pada lokasi aslinya, demi menambah panjang umur situs dengan tetap menjaga konteks dan posisi spasialnya yang asli. Apabila benda mengalami kerusakan tingkat tinggi karena terekspos oleh gerakan arus air yang ekstrem, gerakan pasir, erosi pesisir, pencurian, pengangkatan, pembangunan, atau organisme laut, preservasi proaktif yang dianggap tepat untuk lingkungan tersebut harus diterapkan. Serangkaian tindakan ini menjaga situs tetap in-situ – sehingga termasuk dalam praktek pengelolaan yang baik – dengan tetap memungkinkan dilakukannya penanganan dan preservasi Peninggalan Arkeologi Bawah Air secara aktif (Shefi tt.: 5). 3.3.2 Langkah Menuju Implementasi Mengkaji kondisi pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia saat ini, terlihat bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik penelitian, konservasi, hingga pengangkatan, masih berjalan sendiri-sendiri dengan unit pelaksana yang berbeda-beda dan dengan pedoman yang berbeda pula. Pada dasarnya, seluruh kegiatan yang dilaksanakan bertujuan baik dalam kerangka pikir pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya bendawi di Indonesia. Seluruh kegiatan tersebut bertujuan untuk menjaga Peninggalan Arkeologi Bawah Air dari kerusakan akibat aktivitas manusia seperti pencurian dan pengrusakan yang tentu membawa kerugian bagi negara. Permasalahannya terletak pada belum adanya satu sudut pandang yang dianut bersama dalam strategi pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air, sehingga masing-masing pihak tidak memandang
In-Situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia, Agni Sesaria Mochtar
masalah pengelolaan tersebut berdasarkan kepentingannya masing-masing. Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Terhadap Warisan Budaya Bawah Air merupakan sebuah langkah besar secara international untuk menanggapi berbagai isu berkaitan dengan pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di seluruh dunia. UNESCO sebagai organisasi dunia melalui konvensi tersebut telah menggarisbawahi pentingnya menjadikan in-situ preservation sebagai prioritas utama dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air, seperti disebutkan dalam Prinsip-prinsip Umum, Peraturan 1 berikut ini: The protection of underwater cultural heritage through in-situ preservation shall be considered as the first option. Accordingly, activities directed at underwater cultural heritage shall be authorized in a manner consistent with the protection of that heritage, and subject to that requirement may be authorized for the purpose of making a significant contribution to protection or knowledge or enhancement of underwater cultural heritage. In-situ preservation merupakan sebuah metode yang dapat menjawab kesulitankesulitan dalam penanganan Peninggalan Arkeologi Bawah Air seperti biaya pengangkatan yang besar, kebutuhan tempat penyimpanan, serta ancaman kerusakan artefak karena perbedaan kondisi air laut dengan daratan. In-situ preservation dapat menjaga kondisi artefak, terutama artefak dari bahan organik, tetap terawetkan dalam lingkungan aslinya. Hingga kini Indonesia belum menerapkan metode ini sebagai pilihan pertama karena belum meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001. Melakukan perlindungan terhadap komponen arkeologis yang terendam di air sangatlah penting bagi generasi mendatang. Tidak hanya sebagai bagian dari warisan kita, tetapi juga memberikan kemungkinan untuk
dilaksanakannya penelitian di masa yang akan datang seiring perkembangan teknik investigasi baru. Peninggalan arkeologi menggambarkan kompleksitas dan keragaman budaya materi masa lalu, memberikan kesempatan yang penting bagi para peneliti untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang aspek budaya, lingkungan, dan sosial dari masyarakat masa lalu (Lillie & Smith 2009). Konsep menjaga peninggalan arkeologi tetap in-situ sebaiknya menjadi pilihan pertama dalam pengelolaan situs arkeologi pada konteks perairan. Akan tetapi, pilihan ini hanya layak apabila kita dapat memahami dan mengkontrol jenis-jenis ancaman lingkungan yang berbeda (termasuk ancaman antropogenik dan ancaman alami terhadap sumber daya arkeologi pada konteks perairan). Hal ini dibutuhkan, baik pada level inter dan intra situs. Ancaman-ancaman ini dapat mengubah karakteristik in-situ dari lingkungan reburial, dan sebagai konsekuensinya, memiliki pengaruh yang merusak terhadap peninggalan organik yang terdapat di dalamnya (Lillie & Smith 2009). Sebenarnya, in-situ preservation bukan merupakan hal yang sepenuhnya baru dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia. Metode ini telah diterapkan si situs Punjulharjo. Setelah ditemukan pertama kali pada tahun 2008 bangkai kapal kayu di situs Punjulharjo telah diekskavasi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Ekskavasi tersebut selesai pada tahun 2009 dan strategi konservasi yang dipilih adalah membiarkan bangkai kapal tersebut pada konteks aslinya, dengan menjaganya supaya tetap terendam air laut. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan keaslian lingkungan yang akan memegang peran penting dalam konservasi bahan kayu yang sangat mudah lapuk apabila mengalami perubahan kondisi yang ekstrem. Kapal Punjulharjo adalah sebuah langkah awal yang baik untuk memulai implementasi in-situ preservation di Indonesia. Harus 61
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (53-64)
dipahami bahwa ada perbedaan yang besar antara ‘in-situ preservation’ dan ‘abandoned on site’. Dari sekian banyak potensi Peninggalan Arkeologi Bawah Air di lautan Indonesia, baru sekitar 10% yang sudah dieksplorasi. Dari 10% tersebut, temuan berupa keramik dan artefak lepas lainnya sebagian besar sudah diangkat untuk kemudian dilelang atau disimpan dalam gudang menunggu untuk dilelang. Sementara temuan kapal pengangkutnya dibiarkan tetap di laut bahkan, untuk kasus Belitung Wreck, justru dirusak dalam proses pengangkatan (Sofian 2010). Demikian pula situs-situs yang sudah pernah dieksplorasi kemudian dibiarkan begitu saja, maka akan termasuk dalam kategori ‘abandoned on site’. Hal yang membedakan ‘in-situ preservation’ dan ‘abandoned on site’ terletak pada kegiatan monitoring dan pemanfaatan. Konvensi UNESCO tahun 2001 menyebutkan dengan jelas bahwa selain menjamin kelestarian Peninggalan Arkeologi Bawah Air, in-situ preservation dijadikan prioritas agar masyarakat dapat mengakses Peninggalan Arkeologi Bawah Air tanpa merusak kondisi aslinya. Salah satu situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air yang telah menerapkan in-situ preservation adalah situs bangkai kapal tenggelam USAT Liberty di Tulamben, Bali. Adanya law enforcement dari hukum adat awig-awig menjadikan situs tersebut terjamin kelestariannya dan tetap dapat diakses oleh masyarakat. Tingginya minat masyarakat untuk mengakses tinggalan kapal tenggelam melalui wisata penyelaman minat khusus juga perlu menjadi pertimbangan dalam memilih insitu preservation sebagai strategi pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia. Aktivitas penyelaman tersebut berpotensi untuk memberikan dampak positif dan negatif. Kesadaran masyarakat tentang Cagar Budaya tentu akan meningkat dengan bertambahnya pemahaman tentang warisan budaya setelah mereka mengeksplorasi secara langsung Peninggalan Arkeologi Bawah 62
Air. Sebaliknya, pengrusakan dan pencurian artefak sangat potensial untuk terjadi di situssitus bawah air tersebut. Dengan demikian, in-situ preservation perlu diimplementasikan secara cermat sehingga mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk mengakses warisan budaya mereka tetapi juga keamanan dan keutuhan situs tetap terjaga. Tantangan terbesar untuk mengimplementasikan Konvensi UNESCO tahun 2001 adalah berkenaan dengan Peraturan 2 dalam Prinsip-prinsip utama yang menyebutkan bahwa: The commercial exploitation of underwater cultural heritage for trade or speculation or its irretrievable dispersal is fundamentally incompatible with the protection and proper management of underwater cultural heritage. Underwater cultural heritage shall not be traded, sold, bought or bartered as commercial goods. Peraturan tersebut bertentangan dengan keputusan pemerintah Indonesia yang membentuk Panitia Nasional BMKT untuk mengkoordinasikan kegiatan pengangkatan dan pelelangan Peninggalan Arkeologi Bawah Air sehingga menjadi kegiatan yang legal. Seperti diketahui, tujuan kegiatan tersebut semata-mata untuk kepentingan komersial, maka yang diupayakan adalah mengangkat benda temuan sebanyak-banyaknya dan dalam kondisi baik (Widiati 2011). 4. Penutup Pemahaman tentang signifikansi Peninggalan Arkeologi Bawah Air di Indonesia semestinya memberikan gambaran pentingnya pelestarian terhadap peninggalan tersebut. Strategi dalam pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air menjadi kunci terwujudnya pelestarian tersebut. Ratifikasi atas Konvensi UNESCO tahun 2001 sebenarnya merupakan langkah ideal untuk implementasi in-situ preservation. Pada kenyataannya hal tersebut masih menjadi sebuah lompatan
In-Situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia, Agni Sesaria Mochtar
yang terlalu jauh untuk dilakukan saat ini karena Indonesia masih belum secara resmi membubarkan Panitia Nasional BMKT yang artinya kegiatan eksploitasi ekonomi terhadap Peninggalan Arkeologi Bawah Air masih dilindungi oleh regulasi di Indonesia. Dengan demikian, langkah awal yang dapat ditempuh adalah segera mengajukan penetapan situs-situs Peninggalan Arkeologi Bawah Air menjadi Cagar Budaya sehingga dapat memiliki kekuatan hukum. Selain itu, pemerintah perlu melakukan koordinasi intra unit-unit pelaksanaannya agar disepakati tentang kewenangan dan regulasi pedoman yang sama. Hal ini diperlukan untuk meminimalisasi potensi-potensi konflik di lapangan. Berbagai istilah berbeda yang selama ini digunakan untuk merujuk istilah Peninggalan Arkeologi Bawah Air harus disamakan agar tidak terjadi salah pengertian. Tentunya, Keputusan Presiden tentang pembentukan Panitia Nasional perlu dikaji ulang. Masyarakat international menaruh perhatian besar terhadap Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia, sangat disayangkan apabila harta karun tersebut justru dijual ke luar negeri dan tidak lagi dimiliki Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Novida. 2009. “Perahu Kuno Di Situs Punjulharjo, Rembang.”. Berita Penelitian Arkeologi 23: 46–59. Flecker, Michael. 2003. “The ThirteenthCentury Java Sea Wreck: A Chinese Cargo in an Indonesian Ship.” The Mariner’s Mirror 89, 388–404. Flecker, Michael. 2001. “A Ninth-Century AD Arab or Indian Shipwreck in Indonesia: First Evidence for Direct Trade With China” 32 (3). World Archaeology: 335–354. Hardiati, Endang Sri. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka. Helmi, Surya. 2009. “Potensi Peninggalan Arkeologi Bawah Air Di Perairan Pulau Sumatera” Amoghapasa 13: 3–5.
Johnston, Paul Forsythe. 1994. “Treasure Salvage, Archaeological Ethics and Maritime Museums.” The International Journal of Nautical Archaeology 22.1: 53–60. Kamaluddin, L.M. 2002. “Pariwisata Bahari Dan Konservasi.” Pembangunan Ekonomi Maritim Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kepres RI No 107/2000. n.d. Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam. Lillie, Malcolm dan Robert Smith. 2009. “International Literature Review: In-Situ Preservation of Organic Archaeological Remains.” Hull: Wetland archaeology & Environments Research Centre. Manguin, Pierre-Yves. 1993. “Trading Ships of the South China Sea. Shipbuilding Techniques and Their Role in the History of the Development of Asian Trade Networks.” Journal of the Economics and Social History of the Orient 36.3: 253–280. Mochtar, Agni Sesaria, Dkk. 2015. “Taka Pesawat: A German U-Boat Wreck Site in the Java Sea.” Bulletin of the Australasian Institute for Maritime Archaeology 39: 44-52. Mochtar, Agni Sesaria dan Priyatno Hadi Sulistyarto. 2013. “Bangkai Kapal ‘Fyenoord’ Di Perairan Selat Madura, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.” Mulyadi, Yadi. 2012. “Penetapan Cagar Budaya Bawah Air Dan Masa Kolonial.” Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 48 tahun 20019. n.d. “Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air.” Rahardjo, Supratikno. 2009. “Prospek Dan Tantangan Arkeologi Maritim Di Indonesia.” Amoghapasa 13: 6–10. Ridwan, Nia Naelul Hasanah. 2011. “The Importance of Empowering Local Community in Preserving Underwater Cultural Heritage in Indonesia: Case Study in Tulamben, Bali and in Taka Kappala, Selayar-South Sulawes.” Asia Pacific Regional Conference on Underwater Cultural Heritage,. Manila, The Philippines. 63
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (1-14)
Shefi, Debra. n.d. “Legally In-Situ: Legislative Allowance for The Practical Application of In-Situ Preservation Pertaining to Marine Archaeological Materials.” Sofian, Harry Octavianus. 2010. “Keadaan Terkini Situs Arkeologi Bawah Air Belitung Wreck, Perairan Batu Hitam, Kabupaten Belitung.” Jurnal Arkeologi Siddhayatra 15.2: 20–23. Sugianto, Asep, and Ary Kristianto A.W. 2011. “Survei Magnetotellurik Daerah Panas Bumi Kepahiang, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.” Inproceedings. In . Jakarta: Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral. Sulistyarto, Priyatno Hadi. 2011. “Melacak Jejak Budaya Bahari Di Kepulauan Karimunjawa (Tahap II).” Balai Arkeologi Yogyakarta. Sulistyarto, Priyatno Hadi. 2009. “Melacak Jejak Budaya Bahari Di Kepulauan Karimunjawa (Tahap I).” Tanudirjo, Daud Aris. 2008. “Awal Jaringan Pelayaran.” In , edited by Bambang Budi Utomo, Kapal Kara. Jakarta: Panitia Nasional BMKT. Tjandrasasmita, Uka. 2008. Sejarah Nasional III. Edited by Uka Tjandrasasmita. Zaman Pert. Jakarta: Balai Pustaka. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010. n.d. “Cagar Budaya.” UNESCO. 2001. The Convension on the Protection of the Underwater Cultural Heritage. Paris. Sumber online: Jesusfamilytomb.com. n.d. “Archaeology: Reburial.” http://www.jesusfamilytomb. com/evidence/ archeology/ reburial. html. Widiati. 2011. “Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Di Indonesia.” Jurnal IAAI 2011. http://iaaipusat. wordpress.com/2012/02/11/ pengelolaan-peninggalan-budayabawah-air-di-indonesia/.
64
PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BAHARI: DAYA TARIK KAPAL TRADISIONAL SEBAGAI KAPAL WISATA Maritime Culture Heritage Preservation: The Attraction of Traditional Boat as Traditional Cruise Roby Ardiwidjaja Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Jl. Medan Merdeka Barat No. 17, Jakarta
[email protected]
Naskah diterima : 25 Februari 2016 Naskah diperiksa : 1 Maret 2016 Naskah disetujui : 7 Maret 2016
Abstract. Indonesia, where 75% of its territory is covered by the sea, held a significant role both in local and international commerce in the past. Various historical evidences, shipwrecks, as well as the influence and the similarity of maritime culture with other countries reveal that Indonesian people held major role in global maritime culture at the time. However, the maritime culture and life nowadays slowly recedes due to economical factors, limited raw materials, and lack of technology. This paper aims to provide solutions for the problems through the alteration of traditional wooden boat into traditional cruise. The approach used in this research is sustainable development approach through the concept of marine tourism which focuses in making use of traditional boats for both native villagers and tourists to visit the natural and cultural attractions of marine people living in coastal areas and small islands. Hopefully, this article can inspire to support the government repositioning Indonesia maritime area as one of the global maritime axis, in addition to strengthen the efforts to preserve the maritime cultural heritage. Keywords: Tourism, Cultural Heritage, Maritime, Traditional cruise Abstrak. Wilayah Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih 75% berupa laut, memiliki peran penting dalam arus lalu-lintas perdagangan lokal maupun antar negara di masa lalu. Adanya berbagai bukti sejarah, kapal tenggelam, serta pengaruh atau kesamaan budaya bahari dengan negara lain, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari yang hidup di wilayah perairan sebagai poros pelayaran internasional kala itu. Permasalahannya adalah kehidupan akar budaya bahari masyarakat sekarang ini, yang salah satunya berupa aktivitas pelayaran kapal tradisional sebagai bukti budaya bahari, secara perlahan tapi pasti mulai menghilang akibat faktor ekonomi, bahan baku, dan teknologi. Tulisan ini bertujuan memberikan alternatif pemecahan masalah pelestarian budaya bahari bangsa melalui pemanfaatan potensi kapal kayu tradisional sebagai kapal wisata tradisional (traditional cruise). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan melalui konsep pariwisata bahari dengan fokus pada pemanfaatan kapal tradisional yang tidak saja memberi kemudahan angkutan masyarakat antar pulau, tetapi juga kemudahan kepada wisatawan untuk mengunjungi keanekaragaman alam dan kehidupan keseharian akar budaya bahari masyarakat di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi inspirasi dalam mendukung pemerintah memposisikan kembali wilayah perairan Indonesia sebagai poros pelayaran internasional (poros maritim dunia), sekaligus memperkuat upaya pelestarian budaya bahari bangsa. Kata kunci: Pariwisata, Warisan budaya, Bahari, Kapal wisata tradisional
65
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
1. Pendahuluan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas lautan mencapai 5,8 juta km persegi dan panjang garis pantai 81.000 km, memiliki kekuatan sumber daya kelautan yang luar biasa. Indonesia dengan potensi ¾ wilayahnya laut, dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki sekitar 17.508 pulau (Pujayanti 2011: 3). Selain itu, Indonesia dikenal sebagai benua keenam dunia dengan sebutan benua maritim Indonesia, serta negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Letaknya yang strategis menjadikan Indonesia memiliki keanekaragaman budaya seperti tinggalan cagar budaya beserta adat istiadat, kearifan lokal, tradisi dengan 742 bahasa dan dialek dari 1.128 suku bangsa (Biro Pusat Statistik 2012). Di samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia yang kaya akan keanekaragaman non-hayati dan hayati laut, di antaranya memiliki 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang (Siregar 2015). Bahkan dari berbagai data dan informasi dalam dan luar negeri, sering disebutkan bahwa wilayah perairan Indonesia pada masa lalu sangat strategis dan memiliki peran penting dalam arus lalu-lintas perdagangan baik lokal maupun antar negara. Menambah lagi keberadaan tinggalan budaya bawah air atau disebut benda berharga asal temuan kapal tenggelam, telah menambah khazanah kekayaan potensi kelautan Indonesia (Djalal 2013). Pemerintah sekarang ini mendorong pembangunan pariwisata di daerah dengan mencanangkan sasaran 20 juta kunjungan wisman pada tahun 2019 (Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN 2015). Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan jumlah kunjungan dimaksud, yang salah satunya adalah mengembangkan wisata bahari melalui segmen wisatawan 66
mancanegara dari paket wisata kapal pesiar (cruise). Permasalahan yang dihadapi adalah kapal pesiar cruise memiliki karakteristik yang justru kurang memberikan manfaat optimal bagi Indonesia sebagai destinasi yang dikunjungi (Brida dan Sandra 2008). Sebagai contoh, kapal cruise dengan kapasitas 1.000 sampai 6.000 penumpang antara lain akan menghasilkan 2.000 ton sampah (solid, liquid dan toxic waste) (US EPA 2008). Cruise tersebut memerlukan pelabuhan standar internasional yang besar, sedangkan waktu dan pengeluaran wisatawan di destinasi sangat terbatas mengingat yang dijual cruise adalah paket wisata lengkap (Klein 2003). Permasalahan berikutnya yaitu keanekaragaman budaya bahari terkait pembuatan dan transportasi kapal laut tradisional antar pulau kurang dioptimalkan sehingga semakin sedikit keberadaannya (Asmiati, dkk 2012). Seharusnya Indonesia dengan potensi bahari yang dimiliki, menjadi salah satu negara maritim terbesar di dunia yang akar pembangunan dan pendapatan utama ekonomi negara adalah dari potensi kekayaan baharinya. Walaupun diwacanakan sudah sejak satu dekade yang lalu, program pembangunan oleh pemerintah masih fokus pada pembangunan berbasis darat, dan belum beranjak ke pembangunan yang berbasis bahari sesuai dengan karakteristik wilayah Indonesia yang berbasis laut (Sunoto 2016). Padahal bila dilihat dari sejarahnya, bangsa Indonesia pada masa lalu sudah dikenal sebagai bangsa bahari yang juga diakui sebagai pelaut ulung (Salman, dkk 2011). Artinya, bisa jadi wilayah Indonesia sebagai jalur perempatan pelayaran yang sangat ramai pada masa lalu, sudah menggambarkan sebagai poros maritim internasional. Lebih jauh lagi, Adhuri menjelaskan mengenai bukti sejarahnya, yaitu adanya pengaruh budaya Nusantara dalam bentuk salah satunya hubungan perdagangan pelaut kita dengan negara lain yang hingga
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
saat ini masih dilakukan oleh nelayan dari Bugis (Adhuri 2009). Atas dasar kondisi tersebut, maka tulisan ini akan membahas masalah pelestarian (perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan) budaya bahari terkait moda transportasi kapal laut tradisional. Berdasarkan keanekaragaman dan keunikannya, kapal laut tradisional di Indonesia memiliki peluang yang dapat dikembangkan sebagai kapal wisata/pesiar tradisional yang merupakan bagian keunikan daya tarik wisata bahari, dan sekaligus menjadi alat konektivitas antar pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K) di Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi inspirasi terobosan pemerataan pembangunan, mewujudkan tol laut antar pulau, pertahanan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta pelestarian industri kapal tradisional yang sekaligus memperkuat akar budaya bahari. 2. Metode Guna menumbuhkan kesadaran terhadap potensi tersebut, maka pemerintah sekarang mencanangkan visi pembangunan ke depan, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang tentunya harus melalui pendekatan pembangunan yang berbasis laut (Muhamad 2014). Pembangunan yang dimaksud dipastikan tidak akan terwujud apabila tidak melalui upaya pelestarian dan pengangkatan kembali akar budaya bahari bangsa Indonesia yang sekarang ini sudah dalam kondisi mengkhawatirkan. Untuk itu, salah satu upaya pelestarian budaya bahari dalam rangka mendukung program Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah dengan pendekatan pembangunan pariwisata berbasis daya tarik bahari. Konsep pariwisata berbasis bahari dapat dijadikan sebagai salah satu alat pelestarian dalam pemanfaatan keanekaragaman potensi sumber daya bahari yang ada pada kawasan pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia. Satu contoh potensi sumber daya bahari yang
dapat dimanfaatkan adalah moda transportasi laut tradisional sebagai sarana kemudahan konektivitas antar destinasi wisata bahari pesisir dan pulau-pulau kecil sekaligus menjadi daya tarik warisan budaya berupa kapal wisata tradisional (traditional cruise). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Isu Strategis Tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development) seharusnya dipahami tidak lagi hanya berpusat pada pertumbuhan yang menekankan hasil ekonomi, tetapi berpusat pada rakyat dengan mengutamakan pelestarian alam dan budaya masyarakat (Fletcher 1996: 4). Undang-Undang nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, serta Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan, menekankan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan budaya dapat dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian dan memperhatikan prinsip keberlanjutan yang didasarkan azas manfaat dan lestari, kerakyatan, kesejahteraan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Dalam penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan, pemerintah menggalakkan pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan serta kelestarian sumber daya alam dan budaya Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman potensi kelautan dan budaya bahari, seyogyanya pariwisata mendukung prioritas pembangunan wilayah laut melalui konsep wisata bahari. Namun mengingat upaya pengembangan wisata bahari baru dilakukan beberapa tahun terakhir, maka masih terdapat berbagai permasalahan dan peluang yang perlu dikaji lebih mendalam terhadap konsep, pemahaman dan kesamaan pandang terkait wisata bahari beserta komponennya seperti atraksi, aksesibilitas, amenitas hingga kelembagaan dan kebijakan yang ada. Beberapa isu yang 67
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
menjadi perhatian dalam pengembangan wisata bahari secara umum (Ardiwidjaja 2013). Isu tersebut mencakup antara lain: 1) Pembangunan wisata bahari belum dikembangkan secara holistic mencakup pemanfaatan potensi sumberdaya alam bahari dan keterkaitannya dengan potensi sumberdaya akar budaya bahari. 2) Wisata bahari dapat menjadi alat strategis (strategic weapon) dalam melestarikan warisan budaya bahari termasuk transportasi kapal layar tradisional sebagai salah satu identitas peradaban bangsa bahari untuk Indonesia. 3) Wisata bahari mempunyai dampak positif untuk tumbuh bangkitnya kembali jiwa dan akar budaya bahari yang dimungkinkan memberikan efek ganda dalam mendorong terwujudnya negara maritim yang tangguh. 4) Wisata bahari dengan melestarikan (melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan) keberadaan akar budaya bahari dan kehidupan keseharian masyarakatnya mampu memberikan pengaruh besar terhadap penguatan karakter bangsa, terobosan ekonomi (economic breakthrough), serta konservasi lingkungan bahari. 3.2 Wisata Bahari Menurut Orams, wisata bahari adalah jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut (marine), yang dilakukan di bawah permukaan laut (submarine), maupun yang dilakukan di pesisir (coastal) (Orams 1999). Wisata bahari
oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pariwisata, dikelompokkan dalam wisata minat khusus (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2001). Wisata minat khusus sendiri didefinisikan sebagai suatu bentuk perjalanan wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus terhadap suatu daya tarik atraksi atau kegiatan yang ada di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut (Cooper, dkk 1996). Sebagai bagian dari ekowisata, wisata bahari secara koseptual dilandaskan pada pariwisata berkelanjutan dengan prinsip mendukung upaya-upaya konservasi lingkungan bahari (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Dritasto dan Annisa 2013). Dengan demikian, wisata bahari merupakan suatu bentuk wisata berbasis laut yang sangat erat dengan prinsip konservasi (Ardiwidjaja 2013). Bahkan dalam strategi pengembangannya juga menggunakan strategi konservasi yang mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di area yang masih alami yang terdiri dari ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, ekosistem hutan bakau dan ekosistem pantai pasir/batu. Adapun sumber daya wisata bahari meliputi: 1) Potensi atraksi dan aktivitas (Tabel 1). 2) Kegiatan wisata bahari yang mencakup rekreasi lainnya di wilayah perairan antara lain kegiatan marina; kapal wisata; kapal layar; dan pengelolaan pulau kecil.
Tabel 1. Potensi Atraksi dan Aktivitas
Pesisir/Pantai 1. Upacara adat di pantai 2. Kehidupan masyarakat pesisir 3. Homestay dan kuliner 4. Bola volley pantai 5. Sun Bathing dan lain-lain
68
Permukaan Laut 1. Kegiatan memancing (fishing game) 2. Kegiatan layar dan dayung 3. Ski air 4. Upacara adat yang dilakukan di laut 5. Selancar 6. Snorkling
Bawah/Dasar Laut 1. Selam 2. Under water archaeology 3. Penelitian bawah air 4. Under water museum
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
3) Usaha penunjang kegiatan wisata bahari, antara lain jasa penyediaan moda transportasi; kapal pesiar; pengelola pulau kecil; pengelola taman laut hotel dan restoran terapung; pemandu wisata selam; serta rekreasi pantai dan lain sebagainya. 3.3 Penyelenggaraan Pelayaran Kapal Tradisional Melalui sejarah, diketahui bahwa liberalisasi dalam bidang pelayaran sudah mulai dirintis sejak tahun 1865 dengan dikeluarkannya peraturan tarif nondiferensial tahun 1865. Pemerintah kolonial Belanda mulai mengendorkan kebijaksanaan dengan memperbesar peran pelayaran dan perdagangan bebas di Indonesia. Pembukaan sejumlah pelabuhan untuk perdagangan umum tidak hanya pada pelabuhan besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang, tetapi juga pada pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Palembang, Cirebon, dan Banten (Maziyah, dkk 1999). Dari gambaran tersebut, diperkirakan bahwa pada masa itu peran pelayaran perahu tradisional memegang peran penting serta pangsa pasar sendiri dalam perkembangan perekonomian Indonesia, mengingat biayanya yang murah, serta tidak terikat dengan jalur dan jadwal pelayaran tertentu. Kapal tradisional merupakan kapal kayu yang dibangun dan didesain berdasarkan tradisi, pengetahuan serta pengalaman si pembuatnya (Aji 2000). Umumnya berukuran kecil dan digunakan untuk menangkap ikan, mengangkut penumpang dan barang. Hingga sekarang, kapal tradisional masih digunakan di beberapa wilayah Indonesia, dan bahkan menjadi andalan di bidang transportasi antar pulau. Bahkan dapat dikatakan bahwa kapal tardisional sudah menjadi industri skala kecil di bidang perkapalan rakyat (Gultom 1995; Aji 2000). Ciri khas kapal tradisional ini kebanyakan mengunakan layar, kecepatannya rendah dan ukurannya mulai dari perahu kecil yang disebut kelotok atau ketingting yang
bisa memuat sepuluh penumpang, hingga bus air berupa perahu panjang (long boat) yang mampu membawa puluhan penumpang. Akan tetapi, perkembangan pelayaran Indonesia selanjutnya, kurang didukung oleh kebijakan yang memberi kemudahan perizininan di bidang usaha pelayaran sehingga memperlancar arus barang dan penumpang. Akibatnya, hal tersebut memberikan peluang dan keleluasan bagi kapal asing untuk memungkinkan beroperasi yang berdampak pada menurunnya industri pelayaran nasional khususnya pelayaran kapal tradisional. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi kapal yang mengarah kepada kapal yang lebih cepat dan lebih besar saat ini, peran pelayaran rakyat semakin memprihatinkan karena hanya sesuai untuk angkutan dengan demand yang kecil, menghubungkan pulau-pulau yang jumlah penduduknya masih rendah, ataupun pada angkutan pedalaman guna memenuhi kebutuhan masyarakat didaerah aliran sungaisungai khususnya di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Belum lagi masalah angkutan sungai yaitu pendangkalan pada musim kemarau.
Gambar 1. Jenis Kapal Tradisional Indonesia
69
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
Sehubungan dengan permasalahan yang ada, pemerintah terus berupaya mendorong pelayaran rakyat untuk meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau; meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut dan angkutan pedalaman nasional. Salah satu upaya lainnya dalam mengakselerasi peran pelayaran tradisional adalah dengan memberdayakan masyarakat di bidang pariwisata melalui peningkatan pelayanan kapal layar tradisional sebagai kapal wisata tradisional.Indonesia mempunyai banyak faktor pendukung unggulan yang dapat menjadikannya sebagai pusat pariwisata bahari dunia. Salah satu upaya yang diyakini mempunyai manfaat yang sangat besar dalam mendorong perekonomian di daerah yang berbasis pada wisata bahari adalah pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan akar budaya kapal layar tradisional sebagai daya tarik kapal wisata tradisional (Traditional Cruise). Pada sebagian besar wilayah kepulauan menunjukkan bahwa kapal tradisional inilah yang telah meringankan beban pemerintah mempercepat aksesibilitas dalam menembus keisolasian hubungan antar pulau, walaupun masih kurang memadai dari segi kenyamanan dan fasilitas kapal. Dalam pengembangan transportasi wisata bahari, dapat dilakukan dengan program pemberdayaan masyarakat di bidang budaya bahari, yaitu pemanfaatan daya tarik kapal tradisional. Melalui program pengembangan pelayaran nusantara yang berorientasi pada pelayaran tradisional, semakin memperjelas bahwa tradisi keseharian kehidupan budaya bahari masih ditempatkan sebagai dasar identitas peradaban negara kepulauan Indonesia. Keberpihakan program pemerintah terhadap nilai dan tradisi masyarakatnya yang tersebar di 70
P3K, mencerminkan bahwa pembangunan wisata bahari melalui pendekatan konsep pengembangan kapal wisata tradisional (traditional cruise) merupakan pembangunan yang culturally appropriate, socially accepted, people centered, dan undiscriminative, environmentally sound (Ardiwidjaja 2013). 3.4 Pengembangan Traditional Cruise Pembangunan wisata berbasis bahari sangat bertumpu pada sumber daya lokal, dimulai dari sumber daya pariwisata itu sendiri sampai pada pengadaan sarana, prasarana, hingga suprasarana yang ramah lingkungan. Sarana transportasi kapal tradisional memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata dan sekaligus dapat menjadi daya tarik wisata bahari. Sarana transportasi kapal tradisional akan menjadi bagian dari ciri khas daya tarik budaya yang ada. Jenis kapal pesiar tradisional ini akan lebih optimal, bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau, digunakan karena dengan skala ukuran kecil hingga menengah akan lebih mudah bermanuver. Keanekaragaman budaya bahari di Indonesia memperlihatkan bahwa jenis kapal tradisional yang ada di Indonesia bervariasi seperti halnya kapal tradisional asal Sulawesi seperti kapal patorani, kapal pakur, kapal padewakang, dan kapal pinisi. Contoh lainnya adalah kapal asal Madura, seperti kapal golekan lete; kapal sope dari Jakarta; kapal alut pasa dari Kalimantan Timur; kapal lancang kuning dari Riau; kapal gelati dari perairan Bali; dan kapal kora-kora dari Maluku (Jastro 2010). Ciri khas daya tarik kapal-kapal tersebut beraneka ragam, misalnya kapal pinisi sebagai kapal layar tradisional khas asal Sulawesi Selatan yang umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang. Makna dari jumlah tiang dan layar tersebut adalah bahwa nenek moyang bangsa
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
Gambar 2. Kapal Wisata Tradisional
Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia (Kurniawan 2010). Kapal tersebut umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau. Menurut World Tourism Organization (WTO) (Ardiwidjaja 2013), trend wisatawan sekarang ini mengalami perubahan dari perjalanan yang bersifat hiburan ke perjalanan yang memberikan pengalaman dan pengetahuan. Penyelenggaraan wisata bahari dengan menggunakan traditional cruise milik masyarakat, memungkinkan wisatawan melakukan perjalanan yang memberi manfaat terkait daya tarik pelestarian yang mendidik pada daerah yang memiliki fenomena alam dan budaya bahari terutama di kawasan P3K. Aksesibilitas dan mobilitas wisatawan ke daerah tujuan wisata akan sangat didukung oleh ketersediaan infrastruktur transportasi, sebagai akses bagi wisatawan untuk kemudahan menuju daerah tujuan wisata. Ini berarti, keterkaitan antara wisata bahari dan
transportasi merupakan suatu hubungan yang mutlak terjadi, terutama di Indonesia sebagai negara kepulauan. Pergerakan manusia yang dilakukan dari daerah/negara satu ke daerah/ negara lain melibatkan transportasi sebagai sistem untuk mewujudkannya. Keterpisahan daerah-daerah oleh lautan membutuhkan sarana dan prasarana angkutan laut dan udara. Kapal tradisional dapat menjadi kelengkapan sarana wisata untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya ke daerah tujuan wisata, sekaligus menikmati salah satu unsur kehidupan budaya bahari masyarakat setempat. Keanekaragaman kapal tradisional di Indonesia tidak saja dapat dimanfaatkan sebagai atraksi unik dari budayanya, seperti budaya pembuatan kapal tradisional mulai dari upacara penyiapan bahan baku, perancangan kapal, hingga pembagian tugas mengoperasikan kapal. Dalam hal ini interpretasi (story telling) nilai yang terkandung dalam unsur-unsur akar budaya khususnya terkait dengan kapal wisata tradisional menjadi penting. Menurut Bambang, kapal tradisional juga dapat dimanfaatkan dari fungsinya sebagai kapal nelayan atau angkutan menjadi traditional cruise, baik yang melayani transportasi antar pulau (small islands cruise) maupun yang melayani transportasi pedalaman (river cruise) (Utomo 2010). Beberapa karakteristik kapal layar tradisional yang dapat dipertimbangkan sebagai sarana transportasi sekaligus daya tarik wisata bahari mencakup: 1. Penyelenggaraan pelayaran kapal tradisional yang dilakukan oleh Perusahaan Pelayaran Rakyat dengan menggunakan kapal tradisional dengan layar; Kapal tradisional dengan layar dan motor; serta Kapal tradisional dengan motor. 2. Batas pelayarannya menyinggahi antar pulau dan bahkan antar negara tetangga melalui jalur tradisional (jalur sutera). 3. Kapal pelayaran rakyat memiliki beaya menggunakan perahu tradisional lebih murah dari pada kapal uap atau bermesin; 71
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
memiliki pangsa pasar tersendiri yang tidak tersentuh oleh pelayaran kapal-kapal lain; tidak selalu terikat pada jalur dan jadwal pelayaran tertentu; dan ramah lingkungan. Dalam situasi masih lemahnya infrastruktur perhubungan dan fasilitas pariwisata di sebagian besar wilayah pulaupulau kecil di Indonesia, kegiatan wisata dengan menggunakan transportasi laut di Indonesia pada dasarnya mempunyai peluang yang besar. Upaya pemanfaatan keanekaragaman daya tarik pulau-pulau kecil yang ada, menjadikan keberadaan transportasi yang menghubungkan antar pulau sebagai daerah tujuan wisata bahari menjadi penting. Walaupun hingga saat ini sarana transportasi laut yang disediakan pemerintah masih sangat minim, namun hubungan antar pulau di beberapa wilayah banyak dilakukan oleh pelayaran rakyat dalam bentuk kapal layar tradisional. 4. Penutup Wisata bahari dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki daya tarik wisata alam dan budaya yang tersebar ribuan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, akan sangat membutuhkan sarana transportasi laut yang layak. Kapal layar tradisional dengan ukuran yang mampu bermanufer di wilayah kepulauan serta sangat fleksibel dalam pengaturan jadwal dan tujuan antar pulau, sangat dimungkinkan dimanfaatkan dalam kegiatan wisata bahari sebagai kapal wisata tradisional Berdasarkan data sejarah, beberapa kawasan di Indonesia memiliki banyak pelabuhan tua yang hingga kini masih berfungsi dengan komunitas masyarakatnya yang beragam. Sebagai bagian dari unsur-unsur sistem kebudayaan, pelabuhan ini dapat menjadi kesatuan daya tarik mulai dari jalur pelayaran tradisional, pelabuhan tradisional/rakyat, kehidupan sosial budaya bahari masyarakat pesisir, hingga daya tarik sarana, fasilitas dan layanan di dalam kapal itu sendiri (The Fine Art Department 1999). Adapun untuk pelabuhan tidak harus ada 72
di sebuah teluk yang dalam dan terlindung dari tiupan angin, tetapi bisa juga pelabuhan terdapat di pedalaman yang jalan masuknya melalui sungai-sungai (river cruise). Dengan basis kekayaan dan keanekaragaman potensi alam dan budaya bahari yang dimiliki Indonesia, baik yang berada di pesisir, laut permukaan (marine), maupun kedalaman laut (submarine), maka sangat dimungkinkan sasaran pembangunan pariwisata Indonesia adalah mejadikan Indonesia sebagai destinasi pariwisata bahari dunia dengan salah satu keunikannya adalah keanekaragamanan kapal pesiar tradisional (traditional cruise) antar pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pembangunan berbasis bahari untuk Indonesia sebagai negara kepulauan menempatkan wisata bahari menjadi alat penting dalam: 1. Mengakomodasi kebutuhan transportasi laut yang mampu menghubungkan jejaring antar daerah terpencil khususnya daerah kepulauan. 2. Memperkuat upaya pelestarian warisan budaya bahari terkait dengan alat transportasi tradisional masyarakat pesisir di Indonesia. 3. Meningkatkan apresiasi, kesadaran, dan kepedulian masyarakat sebagai warga negara kepulauan terhadap budaya bahari. 4. Mendukung pemerintah dalam upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal, khususnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil yang letaknya terisolir. 5. Memudahkan pengelolaan pemanfatan sumberdaya budaya bahari khususnya di pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai daya tarik, dan sekaligus perlindungan nusantara yang berbatasan negara tetangga. 6. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pemanfaatan akar budaya bahari, sekaligus pemberdayaan dibidang layanan jasa dan usaha transportasi kapal laut tradisional sebagai kapal wisata tradisional (traditional cruise).
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
Daftar Pustaka Aji, Chandra Anggoro. 2000. “Pengetahuan Lokal Pembuatan Perahu Tradisional Oleh Suku Biak Di Kecamatan Warsa, Kabupaten Biak Numfor.” Universitas Cendrawasih. Ardiwidjaja, Roby. 2013a. Pariwisata Berkelanjutan: Pengembangan Destinasi Pariwisata Berbasis Lingkungan. Yogyakarta: Kepel Press. ----------. 2013b. Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil: P3K Sebagai Destinasi Wisata Berbasis Bahari. Yogyakarta: Kepel Press. Cooper, Chris. 1996. “Tourism Principles and Practice.” Malaysia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2001. “Rencana Induk Pengembangan Wisata.” Djalal, Hasjim. 2013. “Mengelola Potensi Laut Indonesia.” Majalah Hukum Nasional No. 2. Fletcher, John. 1996. “Heritage Tourism: Enhancing the Net Benefits of Tourism.” In International Conference on Tourism and Heritge Management. Yogyakarta. Gultom, F. J. H. 1995. “Jenis-Jenis Kayu Yang Digunakan Dan Kesesuaian Sebagai Bahan Baku Pembuatan Perahu Tradisional Di Kabupaten Manokwari.” Universitas Cendrawasih. Jastro, Elymart. 2010. “Kajian Perahu Tradisional Nusantara Di Museum Bahari Jakarta: Proses Produksi Pesan Tentang Teknologi Perahu.” Universitas Indonesia. Klein, Ross A. 2003. Cruising – Out of Control: The Cruise Industry, the Environment,Workers, and the Maritimes. Canadian Centre for Policy Alternatives – Nova Scotia. Maziyah, Siti, Sugiyarto, and Singgih Tri Sulistiyono. 1999. “Strategi Pelayaran Perahu Tradisional Indonesia 18791911.” Semarang. Muhamad, Simela Victor. 2014. Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia: Info Singkat Hubungan Internasional. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.
Orams, Mark. 1999. Marine Tourism Development: Impacts and Management. London: Routledge. The Fine Art Department (FAD) of Thailand. 1999. “Cultural System: For Quality Management.” Bangkok. US EPA. 2008. Cruise Ship Discharge Assessment Report, Oceans and Coastal Protection Division Office of Wetlands, Oceans, and Watersheds. Washington: Division Office of Wetlands, Oceans, and Watersheds. Sumber online: Adhuri, Dedi S. 2009. Refleksi Kontemporer Sejarah Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke‐16 dan 17: Posisi Pengetahuan Tradisional dan Persoalan Teritori dalam Pembangunan. h t t p s : / / w w w. r e s e a r c h g a t e . n e t / publication/257355908. Diunduh 2 Januari 2013. Asmiati, M., Yamin Jinca, dan Syamsu Alam. 2012. Manajemen Usaha Pelayaran Rakyat: Business Management of Traditional Shipping. http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/ c5213a0da9555e04b2f296abf06fc3ca. pdf. Diunduh 5 Desember 2015. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN. 2015. http://www.dpr.go.id/ doksetjen/dokumen/biro-apbn-apbn. Diunduh 2 Februari 2016. Biro Pusat Statistik. 2012. Jumlah Penduduk Miskin Berdasarkan Propinsi. http:// w w w. b p s . g o . i d / t a b _ s u b / v i e w / php?tabel=1&id_subyek=23¬ab=1. Diunduh 1 Maret 2014. Brida, Juan Gabriel dan Sandra Zapata Aguirre. 2008. “The Impacts of the Cruise Industry on Tourism Destinations”, dalam Sustainable Tourism as a Factor of Local Development. http://ssrn.com/ abstract=1298403. Diunduh 2 Februari 2016. Dritasto, Achadiat dan Annisa Ayu Anggraeni. 2013. “Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari terhadap Pendapatan Masyarakat di Pulau Tidung”, dalam Reka Loka Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, PWK - Itenas. portalgaruda.org/ article.php?article=57445&val=4295. Diunduh 2 Maret 2016. 73
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
Kurniawan, Iwan. 2010. “Yang Masih Tersisa di Sunda Kelapa”, dalam Heritage, Media Indonesia, Minggu, 17 Oktober 2010. ftp.unpad.ac.id/ koran/mediaindonesia/2010-10-17/ mediaindonesia_2010-10-17_006.pdf. Diunduh 10 November 2015. Pujayanti, Adirini. 2011. Budaya Maritim: Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia. http://berkas.dpr.go.id/ pengkajian/files/buku_lintas_tim/bukulintas-tim-3.pdf. Diunduh 2 Januari 2016. Salman, Darmawan, dkk. 2011. Jagad Bahari Nusantara. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Siregar, Yusni Ikhwan. 2015. Menggali Potensi Sumberdaya Laut Indonesia. Makalah disampaikan pada Workshop Forum Rektor Indonesia USU, Medan 5-6 Maret 2015. http://usu.ac.id/public/ content/files/USU%20Ikhwan.pdf. Diunduh 2 Februari 2016. Sunoto, MES. Arah Kebijakan Pengembangan Konsep Minapolitan di Indonesia. http:// penataanruang.pu.go.id/bulletin/upload/ data_artikel/edisi2%20pdf2c.pdf. Diunduh 2 Januari 2016. Utomo, Bambang Budi. 2010. Traditional Cruise dan River Cruise di Kawasan Timur Indonesia. http://wisatadanbudaya. blogspot.co.id/2010/03/traditionalc r u i s e - d a n - r i v e r- c r u i s e - d i . h t m l . Diunduh 2Februari 2015.
74
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Kontributor Penulis
Vita Lahir di Bukittinggi, 20 Agustus 1958. Menyelesaikan S1 di FMIPA-Biologi Universitas Andalas Padang. Mulai bertugas di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sejak tahun 1988 dengan bidang keahlian Arkeometri/Lingkungan Arkeologi. Penelitian yang dilakukan selama ini meliputi penelitian arkeologi Prasejarah, Arkeologi Klasik dan Arkeologi Islam. serta menulis pada majalah dan buku ilmiah arkeologi. Organisasi profesi yang diikuti adalah Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Asosiasi Prehistori Indonesia (API). Email:
[email protected] Agustijanto Indradjaja Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Arkeologi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1995 dan S2 Arkeologi di Universitas Indonesia pada tahun 2016. Bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta. Minat kajiannya adalah Arkeologi Hindu Budha, terutama yang terkait dengan Kerajaan Sriwijaya. Email:
[email protected]
Eka Asih Putrina Taim Lahir di Jakarta 12 November 1967, Peneliti Madya di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Lulus S1 Arkeologi FSUI tahun 1991 dan S2 Antropologi FISIP UI tahun 2002, kini sedang mengikuti program S3 (Doktoral) di FIB UI sejak tahun 2015. Penelitian dan kepakaran dalam bidang Arkeologi Sejarah (masa Hindu Buddha). Email:
[email protected]
Dino Gunawan Pryambodo Lahir di Blitar, 18 September 1977. Bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menyelesaikan S1 di bidang Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan S2 di bidan Teknik Geofisika, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung. Email:
[email protected]
Agni Sesaria Mochtar Lahir di Jakarta, 26 Mei 1985. Menyelesaikan S1 Arkeologi, di Fakultas Ilmu Budaya, UGM dan bekerja sebagai peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta sejak 2011. Mempunyai minat kajian di bidang Arkeologi Maritim dan Arkeologi Hindu-Buddha. Saat ini sedang menempuh studi S2 di Flinders University, Adelaide, Australia. Email:
[email protected]
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Roby Ardiwidjaja Lahir di Bandung 20 Juli 1955. Peneliti Utama pada Kementerian Pariwisata. Pendidikan S1 Arkeologi Universitas Indonesia tahun 1985 dan pendidikan S2 Business Information Technology, Royal Melbourne Institute Of Technology lulus pada tahun 1997. Sebagai peneliti, ia aktif melakukan penelitian di bidang kebudayaan dan kepariwisataan serta aktif mengikuti berbagai kegiatan pembangunan Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Email:
[email protected]
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Pedoman Penulisan Pengajuan Naskah (Guidance on Article Submission) 1. Kalpataru Majalah Arkeologi merupakan jurnal ilmiah terakreditasi yang memuat tulisan mengenai hasil penelitian terkini yang bersifat tematik, dalam bidang arkeologi dan budaya. 2. Naskah yang diajukan merupakan karya tulis ilmiah orisinal, belum pernah diterbitkan di tempat lain. Penulis harus memiliki hak yang cukup untuk menerbitkan naskah tersebut. 3. Penulis diminta memberikan alamat surat menyurat, e-mail, nomor telepon, atau faksimili yang dapat dihubungi untuk kemudahan berkomunikasi. 4. Penulis mengajukan naskah yang telah disesuaikan dengan gaya selingkung jurnal. Dewan Redaksi berhak mengadakan penyesuaian format untuk keseragaman. 5. Semua naskah yang diajukan akan melalui penilaian Dewan Redaksi. Sistem penilaian bersifat anonim dan independen. Dewan Redaksi menetapkan keputusan akhir naskah yang diterima untuk diterbitkan. 6. Penulis akan menerima pemberitahuan dari Dewan Redaksi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan. Penulis akan diminta melakukan perbaikan (jika ada) dan mengembalikan revisi naskah dengan segera. Penulis diminta memeriksa dengan seksama susunan kata dan penyuntingan serta kelengkapan dan kebenaran teks, tabel, dan gambar dari naskah yang telah direvisi. Naskah dengan kesalahan pengetikan yang cukup banyak akan dikembalikan kepada penulis untuk diketik ulang. Naskah yang sudah dinyatakan diterima akan mengalami penundaan penerbitan jika pengajuan/ penulisan naskah tidak sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. 7. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan menggunakan
1. Kalpataru Majalah Arkeologi is an accredited scientific journal which presents current thematic studies in the field of archaeology and culture. 2. The submitted article(s) must be scientific, original, and never been published anywhere. The author(s) must be given the right to publish his/her/their work(s). 3. The author(s) should give correct information about home or office address, e-mail, and phone or faximile numbers to facilitate communication. 4. The submitted article(s) should be adjusted with the writing guideline of Kalpataru journal. The Board of Editors is authorized to make the format adjustments to match with our writing standard. 5. All submitted papers will be anonymously and independently reviewed by the Boards of Editors. The final decision for those submitted papers to be published in the journal is made by The Board of Editors . 6. Author(s) will receive notifications from the Board of Editors if his/her/their article(s) is qualified for publication. Author(s) will be asked to make revisions (if any), and check thoroughly the sentences and editing notes as well as completeness and correctness of text, tables, and plates/pictures of the revised article(s). Article(s) with excessive typing errors will be returned to the author to be retyped. The publication of accepted article(s) will be postponed if the writing/ submission is not in accordance with the guidance.
7. Article(s) must be written both in English and Indonesian using Microsoft Word in
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Microsoft Word pada kertas ukuran A4, font Times New Roman ukuran 12, spasi 1.5, batas atas dan kanan 2 cm, sedangkan batas kiri dan bawah 2.5 cm. Panjang naskah 15 – 20 halaman dengan jumlah halaman tabel, gambar/grafik, dan foto tidak melebihi 20% dari jumlah halaman naskah.
A4 paper, Times New Roman font (size 12), space of 1,5, upper and right margins of 2 cm each, and left and lower margins of 2,5 cm each. The lenght of each article is 15 – 20 pages, with a maximum of 20% contains tables, pictures/charts, and photographs.
8. Judul singkat, jelas, dan mencerminkan isi naskah. Nama penulis dicantumkan di bawah judul, ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar, diletakkan di tengah (centered). Alamat penulis (nama dan alamat instansi tempat bekerja) ditulis lengkap di bawah nama penulis. Alamat e-mail ditulis di bawah alamat penulis.
8. Heading of the article(s) must be concise, clear, and representing the content of the article(s). The full name of the author(s) is placed below the heading, without academic title(s). Information about the author(s), such as name, e-mail, and address of the institution where he/she works, is placed below the name. All of those are to be in centered position.
9. Abstrak dibuat dalam satu paragraf, ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Abstrak merupakan intisari naskah yang ditulis tidak lebih dari 200 kata, meliputi alasan (permasalahan), tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan. Abstrak dalam bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam bahasa Indonesia, sedangkan abstract dalam bahasa Inggris diikuti keywords dalam bahasa Inggris (3-5 kata). Kata kunci/keywords dipilih dengan mengacu pada Agrovocs.
9. Abstract must be written in one paragraph, both in Indonesian and English. Each abstract contains summary of the article which is not more than 200 words and consists of reasonings (problems), methods, objectives, and results. Abstract is followed by keywords (3 – 5 words) which are chosen with reference to Agrovocs.
10. Naskah ditulis ke dalam beberapa bab, yang meliputi: 1. Pendahuluan Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah dan tujuan.
10. The content of the article(s) is written into several chapters, which includes: 1. Introduction Introduction includes background, formulation of problems, and its objective.
2. Metode Metode mencakup uraian dan penjelasan berdasarkan karakteristik keilmuan dan teknik pengumpulan data (teori dan hipotesis (jika ada)).
2. Method Method consists of narrative description in accordance with characteristic of the related science data collecting procedure (theory hypotesis (if any)).
3. Hasil dan Pembahasan Hasil merupakan pemaparan data yang relevan dengan tema sentral kajian berupa deskripsi, narasi, angka-angka, gambar/tabel, dan suatu alat. Upayakan
3. Results and Discussion Results present data that are relevant to the central theme of the study, in forms of: description, narration, numbers, pictures/tables, and an implement. Better
and the and and
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
untuk menghindari penyajian deskriptifnaratif yang panjang lebar dan gantikan dengan ilustrasi dalam bentuk gambar, grafik, foto, diagram, peta, dan lain-lain, namun dengan penjelasan serta legenda yang mudah dipahami. Sedangkan pembahasan merupakan hasil analisis, korelasi, dan sintesa data.
to avoid long descriptive-narrative presentation, use instead illustrations (pictures, charts, photographs, maps, etc.) with clear captions and legends. Discussion is based on results of data analysis, correlation, and synthesis.
4. Penutup Penutup merupakan uraian secara umum yang menjawab permasalahan dan tujuan penelitian (bukan ringkasan artikel). Jika terdapat saran, ditulis di dalam penutup.
4. Closing Closing contains a general explanation that answers the problems and objectives (not a summary of the article). Suggestions and remarks are mentioned in the closing as well.
5. Ucapan Terima Kasih (jika ada)
5. Acknowledgement (if any) 6. Bibliography References should not be less than 10 literatures which contain 80% of primary sources and 20% of secondary sources. Primary sources consist of both accredited and non-accredited scientific journals, published reports of scientific researches, undergraduate essays, theses, dissertations, primary textbooks, and statutory rules and regulations. Secondary sources consist of textbooks, unpublished reports of scientific researches, printed media, and official websites. Wikipedia, wordpress, and blogspot are not considered as official websites. The quantity of references cited in the article must be equivalent with the bibliography. The standard for composing the bibliography refers to Chicago style and must follow Mendeley rules. 7. Attachments (if any)
6. Daftar Pustaka Acuan minimal terdiri dari 10 literatur, yang terdiri dari 80% acuan primer dan 20% acuan sekunder. Acuan primer terdiri dari jurnal ilmiah terakreditasi dan tidak terakreditasi, laporan penelitian yang diterbitkan, skripsi, tesis, disertasi, buku teks acuan utama dan peraturan perundang-undangan; sedangkan acuan sekunder terdiri dari buku teks, laporan penelitian, media cetak, dan laman (website) resmi. Wikipedia, wordpress, dan blogspot bukan merupakan laman resmi. Jumlah acuan yang tercantum di dalam tubuh naskah harus sesuai dengan jumlah daftar pustaka yang terdapat di bagian akhir naskah. Penulisan daftar pustaka mengacu pada chicago style berdasarkan aturan Mendeley. 7. Lampiran (jika ada) 11. Tabel yang ditampilkan di dalam naskah diberi judul dalam bahasa Indonesia secara singkat dan jelas. Judul tabel diletakkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), serta ditulis menggunakan font Times New Roman ukuran 10. Tabel diberi nomor urut sesuai keterangan di dalam teks dengan menggunakan angka Arab (1,2,3,4, dst)
11. Tables in the article(s) must have a short and clear title in Indonesian. Its title is placed on the upper left of the table, using Times New Roman font, size 10. Tables are given a number sequence along with the explanations by using Arabic numbers (1, 2, 3, 4, etc.).
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Contoh: Tabel 1. Pertanggalan situs-situs akhir Pleistosen
12. Gambar yang ditampilkan di dalam naskah dapat berupa ilustrasi, sketsa, foto, bagan, grafik, diagram, dan peta. Judul gambar diletakkan di bagian bawah gambar, di tengah (center), serta ditulis menggunakan font Times New Roman ukuran 10. Seluruh gambar ditampilkan berwarna dan diberi nomor urut sesuai keterangan di dalam teks dengan menggunakan angka Arab (1,2,3,4, dst), serta dicantumkan sumber gambar. Foto yang disajikan memiliki resolusi yang baik (minimal 600x800 pixel)
12. Pictures to be put in the article(s) are in form of illustrations, sketches, photos, flowcharts, diagrams, and maps. Its title is placed below the picture, centered, and using Times New Roman font, size 10. All pictures should be in color and given a nember sequence along with the explanations by using Arabic numbers (1, 2, 3, 4, etc.) and the sources of the pictures. Photos must have high resolution (minimum 600x800 pixels).
Contoh: Gambar 1. Sketsa alat batu zaman Mesolitik (sumber: penulis) Gambar 2. Foto panel lukisan cadas di situs Ohoidertawun (sumber: Balai Arkeologi Ambon) Gambar 3. Bagan analisa pemetaan konflik (sumber: Fisher) Gambar 4. Peta jaringan perdagangan jarak dekat dan jarak jauh (sumber: Bakosurtanal)
Example: Table 1. Dates of Late PleistoceneEarly Holocene Sites
Example: Map 1. Wet field areas in Sumatera Island (Source: Bakosurtanal) For example: Pic 1. Sketch of Mesolithic stone tool (source: author) Pic 2. Picture of rock art at Ohoidertawun site (source: Balai Arkeologi Ambon) Pic 3. Flowchart of conflict mapping analysis (source: Fisher) Pic 4. Map of long distance and short distance commerce web (source: Bakosurtanal)
13. Cara pengutipan sumber acuan dalam naskah menggunakan catatan perut dan dibuat dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang dan tahun terbit,. Semuanya ditempatkan dalam tanda kurung. Jumlah catatan perut yang terdapat dalam naskah dan daftar pustaka harus sama. Contoh: (Binford 1992) (Gupta 2003) (Kirch 1984) (Penelitian. 2006) (Suleiman 1986) (Soegondho 1993) (Balai Konservasi Borobudur., n.d.)
13. Quotations from other references are put in footnotes and made in a sequence that consists of name of the author(s), and publication year which are put in a bracket. The quantity of footnotes in the article must be equivalent with the bibliography. Example: (Binford 1992) (Gupta 2003) (Kirch 1984) (Penelitian. 2006) (Suleiman 1986) (Soegondho 1993) (Balai Konservasi Borobudur., n.d).
14. Daftar Pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/nomor halaman. Sebagai contoh:
14. Bibliography is arranged alphabetically without number sequence, in the following order: name(s) of author(s) in standard writing style, publication year, title of the article, book’s title/name and number, publisher’s name and city, and page numbers. For example:
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Binford, L.R. 1992. “The Hard Evidence”, Discovery 2.
Binford, L.R. 1992. “The Hard Evidence”, Discovery 2.
Gupta, S. 2003. “From Archaeology to Art in the Material Record of Southeast Asia” in From Archaeology to Art in the Material Record of Southeast Asia, edited by A. Karlstom dan A. Kallen (eds.), 391405. Stockholm: Museum of Far Eastern Antiquities.
Gupta, S. 2003. “From Archaeology to Art in the Material Record of Southeast Asia” in From Archaeology to Art in the Material Record of Southeast Asia, edited by A. Karlstom dan A. Kallen (eds.), 391405. Stockholm: Museum of Far Eastern Antiquities.
Kirch, P.V. 1984. No Title The Evolution of the Polynesian Chiefdoms. Cambridge: Cambridge University Press.
Kirch, P.V. 1984. No Title The Evolution of the Polynesian Chiefdoms. Cambridge: Cambridge University Press.
Penelitian, Tim. 2006. “Jaringan Perdagangan Masa Kasultanan TernateTidore-Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad ke-16 – 19 Tahap I.” Jakarta.
Penelitian, Tim. 2006. “Jaringan Perdagangan Masa Kasultanan Ternate-Tidore-Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad ke-16 – 19 Tahap I.” Jakarta
Soegondho, Santoso. 1993. “Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Plawangan: Sebuah Kajian Teknologi dan Fungsi.” Universitas Indonesia.
Soegondho, Santoso. 1993. Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Plawangan: Sebuah Kajian Teknologi dan Fungsi.” Universitas Indonesia.
Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius pada Masa Klasik” in Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), edited by Ayat Rohaedi, 152-185. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius pada Masa Klasik” in Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), edited by Ayat Rohaedi, 152-185. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumber online:
Online source:
Balai Konservasi Borobudur. 2014. “Kajian Pengaruh Abu Vulkanik Terhadap Batu Candi Borobudur.” Accessed March 1. http://konservasiborobudur. org/v3/fasilitas/285-kajianpengaruh-abu-vulkanikt e r h a d a p - b a t u - c a n d i - b o r o b u d u r.
Balai Konservasi Borobudur. 2014. “Kajian Pengaruh Abu Vulkanik Terhadap Batu Candi Borobudur.” Accessed March 1. http://konservasiborobudur. org/v3/fasilitas/285-kajian-pengaruhabu-vulkanik-terhadap-batu-candiborobudur.
15. Naskah dikirim melalui pos elektronik
[email protected] atau alamat pos Dewan Redaksi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jalan Raya Condet Pejaten No. 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan – 12510, sebanyak 2 eksemplar/1 keping cakram digital (CD).
15. Articles should be sent by e-mail to redaksi_
[email protected] or by regular mail to Dewan Redaksi (Board of Editors) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jalan Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan – 12510. The latter option consists of 2 (two) hardcopies and a sofcopy in CD (Compact Digital) version.
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Template Jurnal Kalpataru
PERSEBARAN DAN BENTUK-BENTUK MEGALITIK DI INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN KAWASAN The Distribution and Forms of Megalithic in Indonesia: A Spatial Approach Bagyo Prasetyo Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510
[email protected] *(Di tulis oleh 1 penulis)
SISTEM INFORMASI ARKEOLOGI: PANGKALAN DATA BERBASIS DARING UNTUK PEREKAMAN DATA ARTEFAK TEMBIKAR DAN KERAMIK PADA KAWASAN PERCANDIAN MUARAJAMBI Archaeological Information System: Daring-based Data Resource for Recording Pottery and Ceramic Artifacts Data in Muarajambi Temples Ingrid H.E. Pojoh1, Arie Nugraha2, Rizky Fardhyan1, Dian Sulistyowati1, dan Dicky Caesario1 1 Departemen
Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok – Jawa Barat
[email protected] 2 Departemen lmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok – Jawa Barat
[email protected] *(Di tulis oleh lebih dari 1 penulis) Naskah diterima : 5 Januari 2015 Naskah diperiksa : 30 Januari 2015 Naskah disetujui : 21 Maret 2015
Abstract. (Abstrak dalam bahasa Inggris, ditulis miring) ...................................................................... ................................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................................ Keywords: (3 – 5 words) Abstrak. (Abstrak dalam bahasa Indonesia) .......................................................................................... ................................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................................ Kata kunci: (3 – 5 kata)
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
1.
Pendahuluan (10%) Dalam bagian ini diuraikan latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup (materi dan wilayah), landasan teori/konsep/tinjauan pustaka, Kajian Literatur (10% dari pendahuluan), Metode Penelitian (10% dari pendahuluan) berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, serta metode analisis data.
2.
Metode Penelitian (10% dari pendahuluan) Metode Penelitian berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, serta metode analisis data.
3. Hasil dan Pembahasan (50%) 3.1 Hasil (sub bab boleh ditulis dengan judul lain yang berkaitan dengan isi) 3.1.1 Sub bab (jika ada) 3.1.2 Sub bab (jika ada) 3.1.3 Sub bab (jika ada), dan seterusnya Bagian ini memuat uraian sebagai berikut: • Penampilan/pencantuman/tabulasi data hasil penelitian yang dilaksanakan sesuai dengan metodologi; • Analisis dan evaluasi terhadap data tersebut sesuai dengan formula hasil kajian teoritis yang telah dilakukan; • Diskusikan atau kupas hasil analisis dan evaluasi, terapkan metode komparasi, gunakan persamaan, grafik, gambar dan tabel agar lebih jelas; • Berikan interpretasi terhadap hasil analisis dan bahasan untuk memperoleh jawaban, nilai tambah, dan kemanfaatan terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian. • Ada beberapa catatan yang harus diperhatikan pada bagian ini, yaitu: 1 Hasil dan pembahasan merupakan hasil analisis fenomena di wilayah penelitian yang relevan dengan tema sentral kajian. 2 Hasil yang diperoleh dapat berupa deskriptif naratif, angka-angka, gambar/tabel, dan suatu alat. 3 Upayakan untuk menghindari penyajian deskriptif naratif yang panjang lebar dan gantikan dengan ilustrasi (gambar, grafik, foto, diagram, atau peta, dan lain-lain), namun dengan penjelasan serta legenda yang mudah dipahami. Ilustrasi (Tabel, Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram) • Ilustrasi merupakan salah satu bentuk informasi sebagai penggalan atau bagian dari naskah ilmiah. Umumnya merupakan pendukung pada bagian hasil dan pembahasan. Penyajian ide atau hasil penelitian dalam bentuk ilustrasi bisa lebih mengefisienkan volume tulisan. Sebab, tampilan sebuah ilustrasi adakalanya lebih lengkap dan informatif daripada tampilan dalam bentuk narasi. • Ilustrasi merupakan rangkuman dari hasil aktivitas/kegiatan penelitian yang dapat berupa tabel gambar, foto, dan sebagainya. • Tabel harus memiliki judul dan diikuti detail eksperimen dalam “legend” yang dapat dimengerti tanpa harus membaca manuskrip. Judul tabel dan gambar harus dapat berdiri sendiri. Setiap kolom tabel harus memiliki “heading”. Setiap singkatan harus dijelaskan pada “legend” di bawahnya, diikuti dengan keterangan/sumber yang jelas. • Setiap foto (baik dalam artikel maupun lampiran) ditampilkan dalam ukuran asli (dalam resolusi besar/tidak diperkecil).
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
3.2 Pembahasan (sub bab boleh ditulis dengan judul lain yang berkaitan dengan isi) 3.2.1 Sub bab (jika ada) 3.2.2 Sub bab (jika ada) 3.2.3 Sub bab (jika ada), dan seterusnya Dalam bagian ini diuraikan pemaparan data beserta penjelasannya berdasarkan metode analisis yang ditetapkan, sehingga memperoleh hasil yang didukung oleh landasan teori/konsep/tinjauan pustaka yang digunakan. Tabel 1. Judul tabel (Sumber: ................) No. Kode Temuan Jenis Kelamin 1 LRN1 Perempuan 2 LRN2 Laki-laki 3 LRN3 Laki-laki (?)
Usia Dewasa Dewasa Lanjut Dewasa Lanjut
Gambar 1. Judul (Sumber: ................)
Gambar 2. Judul (Sumber: ..............)
Gambar 3. Judul (Sumber: ................)
Tinggi (cm) 155-158 164-168 157-160
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
4. Penutup Bagian ini meliputi kesimpulan yang isinya diperoleh dari pembahasan terhadap data yang dianalisis menggunakan metode tertentu. Kesimpulan ini disusun dalam bentuk paragraf yang runut dan sistematis. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: • Dalam kesimpulan harus diingat segitiga konsistensi yaitu masalah-tujuan-kesimpulan, harus konsisten sebagai upaya check & recheck. • Kesimpulan merupakan bagian akhir suatu tulisan ilmiah yang diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan atau hasil uji hipotesis tentang fenomena yang diteliti, bukan tulisan ulang dari pembahasan dan juga bukan ringkasan. Disampaikan secara singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk penyampaian butir-butir kesimpulan secara berurutan. • Kesimpulan khusus berasal dari analisis, sedangkan kesimpulan umum adalah hasil generalisasi atau keterkaitan dengan fenomena serupa di wilayah lain yang diacu dari publikasi terdahulu. • Kesimpulan harus menjawab pertanyaan dan permasalahan riset yang diungkapkan pada pendahuluan.
Saran (jika ada dimasukkan ke dalam bagian penutup) Saran bila diperlukan dapat berisi rekomendasi akademik atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh. Ucapan terima kasih (jika ada dimasukkan ke dalam bagian penutup) Menguraikan nama orang atau instansi yang memberikan kontribusi nyata pada naskah.
Daftar Pustaka Binford, L.R. 1992. “The Hard Evidence”, Discovery 2. Gupta, S. 2003. “From Archaeology to Art in the Material Record of Southeast Asia” in From Archaeology to Art in the Material Record of Southeast Asia, edited by A. Karlstom dan A. Kallen (eds.), 391-405. Stockholm: Museum of Far Eastern Antiquities. Kirch, P.V. 1984. No Title The Evolution of the Polynesian Chiefdoms. Cambridge: Cambridge University Press. Penelitian, Tim. 2006. “Jaringan Perdagangan Masa Kasultanan Ternate-Tidore-Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad ke-16 – 19 Tahap I.” Jakarta. Soegondho, Santoso. 1993. “Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Plawangan: Sebuah Kajian Teknologi dan Fungsi.” Universitas Indonesia. Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius pada Masa Klasik” in Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), edited by Ayat Rohaedi, 152-185. Jakarta: Pustaka Jaya. Sumber online: Balai Konservasi Borobudur. 2014. “Kajian Pengaruh Abu Vulkanik Terhadap Batu Candi Borobudur.” Accessed March 1. http://konservasiborobudur.org/ v3/fasilitas/285-kajian-pengaruh-abu-vulkanik-terhadap-batu-candi-borobudur.
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016: 1-74
Zuraidah. Pembangunan Pusat Informasi Majapahit: Upaya Pemasyarakatan Tinggalan Arkeologi di Situs Trowulan. www.isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 5 Juni 2014. http://kbbi.web.id/mediator, diakses 29 Mei 2014. http://www.koran-sindo.com, diunduh 26 Maret 2014. http://www.google.co.id/maps/@-6.8705707,109.1172396,13z, diunduh 20 Agustus 2014.