PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
ALTERNATIF PELAKSANAAN STUDIO MERANCANG UNTUK GENERASI TEKNOLOGI INFORMASI Oleh
Paulus H. Soehargo Staf Pengajar Jurusan Arsitektur – Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan Universitas Kristen Petra
[email protected]
ABSTRAK Di era teknologi informasi sekarang dan mendatang, studio merancang tidak dapat mempertahankan keberadaan studio culture seperti yang dipahami selama ini. Perilaku peserta studio merancang dalam mencari informasi, pola berdiskusi dan cara penyampaian gagasan desain sampaipun cara mengatasi kejenuhan dan kebuntuan ide sesungguhnya sedang mengalami perubahan. Sebaliknya pengelolaan studio merancang di beberapa tempat masih berpegang pada prinsip dan manajemen pola lama. Kedua kondisi yang berjalan bersama ini tidak akan dapat menghasilkan pendidikan dan ketrampilan merancang yang efektif. Teknologi informasi sebenarnya memiliki potensi untuk mempercepat proses pendidikan merancang sekaligus mendekatkan kompetensi lulusan dengan dunia profesi yang di masa lalu mengalami kesenjangan yang demikian besar. Seberapa jauh pemanfaatan teknologi informasi di studio merancang dapat digunakan sesuai kebutuhan pelatihan di semester-semester tertentu tanpa mengurangi tujuan silabus dan kurikulum perlu diteliti.Keberadaan dan penggunaan fasilitas fisik studio perlu dievaluasi tingkat efisiensinya terhadap perkembangan teknologi seperti di atas. Pencermatan atas beberapa pendidikan tinggi arsitektur di negara maju menunjukkan berbagai variasi perkembangan pelaksanaan studio merancang yang cukup kreatif . Pengalaman dan eksperimen yang dilakukan di studio merancang khususnya semester 4 Jurusan Arsitektur – UK Petra selama dua semester menjadi dasar usulan bentuk studio yang lebih ideal meskipun tetap berketerbatasan lokal. Kata kunci: studio merancang, perilaku, teknologi informasi, profesi, efektif, efisiensi.
PERMASALAHAN PELAKSANAAN STUDIO MERANCANG ARSITEKTUR Sampai saat ini studio merancang masih diandalkan sebagai sistem pembelajaran merancang yang dianggap paling ideal di program pendidikan sarjana arsitektur. Hampir di semua program studi arsitektur, matakuliah merancang arsitektur yang pelaksanaannya dilakukan di studio memiliki jumlah satuan kredit yang terbesar dibanding matakuliah lainnya. Beberapa institusi menjadikan matakuliah ini menjadi core dalam kurikulum dimana matakuliah-matakuliah wajib lainnya diposisikan sebagai penunjang untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan dan pelatihan merancang. Keterpusatan pada merancang juga terlihat dalam skema kurikulum dimana pengambilan matakuliah ini disyaratkan lulus di studio merancang semester sebelumnya. Hal ini secara tidak langsung membuat mahasiswa cenderung untuk mengutamakan waktu dan konsentrasinya pada merancang arsitektur dibanding matakuliah-matakuliah lainnya.
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
III - 51
PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
Semua kondisi di atas merupakan kewajaran yang sekaligus mencirikan proses pendidikan arsitektur yang berbeda daripada bidang ilmu lainnya. Dari sejarah pelaksanaan studio arsitektur di negara-negara Barat, studio merancang seakan menjadi rumah kedua bagi para mahasiswa. Dengan penerimaan jumlah mahasiswa yang terbatas dan terseleksi serta kemampuan finansial institusi, maka semua fasilitas yang terkait dengan kebutuhan pengajaran, pelatihan dan bahkan ketenangan pribadi (privacy) untuk mencari ide dan belajar disediakan. Dalam kondisi fisik yang demikian kondusif terbentuklah suatu karakter belajar dan suasana pendidikan yang khas yang dikenal sebagai studio culture. Budaya ini dipahami sebagai tradisi studio merancang secara turun temurun yang meliputi pengalamanpengalaman, kebiasaan-kebiasaan, dan pola-pola aktifitas yang terjadi dalam studio merancang arsitektur. Dalam laporan evaluasi oleh Studio Culture Task Force, diakui bahwa tidak semua perilaku dan kebiasaan di studio bersifat positif tetapi tetap tertradisikan. Karena itu perlu dilakukan pemilahan dan penyesuaian sehingga manfaat studio merancang untuk menjamin proses belajar yang kreatif untuk memandirikan peserta studio dan jaminan kompetensi dalam pendidkan arsitektur dapat tercapai. (Koch and others 2002) Dari pengamatan di beberapa program studi arsitektur, fenomena studio culture terjadi juga di studio merancang arsitektur di Indonesia khususnya di Universitas Kristen Petra (Soehargo 2006, 126). Pengalaman-pengalaman dalam studi lanjut yang dialami serta referensi yang diperoleh dosen serta pengelola studio berpengaruh kuat untuk menciptakan pelaksanaan studio bayangan yang tidak jauh berbeda dari asal-usulnya di negara Barat. Tentu saja terjadi berbagai variasi pengalaman, kebiasaan dan pola aktifitas yang berbeda karena pengaruh budaya lokal dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Kenyataannya masih banyak hal-hal yang perlu dievaluasi dan disempurnakan demi efektifitasnya pelaksanaan studio merancang. Di UK Petra diketemukan permasalahan yang terjadi sampai saat ini antara lain, Hambatan Fisik: •
Jaminan bahwa seorang mahasiswa memiliki individual space selama masa studinya dalam studio sulit terwujud karena keterbatasan fisik kampus serta penerimaan mahasiswa yang terlalu banyak. Karena itu kebebasan berekspresi serta berkonsentrasi dalam proses perancangan di dalam studio tidak pernah terjadi secara maksimal dan budaya studio tidak lagi sekuat seperti budaya asalnya. Di era teknologi informasi ini terbaca sebagai kompensasi kalau sebagian waktu di studio digunakan mahasiswa untuk berkomunikasi pribadi lewat hand phone tentang hal di luar merancang, akses melalui komputer laptop ke berbagai sumber baik info arsitektur maupun entertainment.
•
Secara individu maupun kelompok seharusnya memiliki tempat dengan suasana yang memadai dan tanpa gangguan untuk dapat berdiskusi dan berkonsultasi. Umumnya fasilitas ruang semacam ini juga tidak secara khusus tersedia sehingga menjadi ketidaknyamanan bagi tutor maupun peserta studio khususnya masalah kebisingan. Bagi pengguna komputer manfaat asistensi dan diskusi per kelompok lebih menyulitkan karena belum adanya fasilitas LCD di studio.
III - 52
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
Padahal menurut Susilo (1998): “Di dalam Studio Arsitektur pendidik dan peserta didik bersama-sama melatih diri untuk menerapkan ABC (tahapan merancang) demi putusan yang sekaligus paling benar, paling baik dan paling indah. Dalam berteori kita berusaha mencapai putusan yang kapan saja, dimana saja suara universal benar secara hakiki. Tetapi untuk diterapkan dalam putusan desain sesuai kenyataan faktual ternyata pertimbangan yang bijak masih perlu memperhitungkan yang baik dan yang indah. Pemenuhan kebutuhan hidup sangat bergantung tempat dan waktu. Masalah Kebudayaan yang bergantung dari studi antropologi dan etnologi ternyata berkaitan sekali dengan waktu. Apa yang dinyatakan bersama di tempat dan waktu tertentu tidak abadi. Ilmu pengetahuan karena buatan manusia juga demikian sifatnya, sehingga benarnya ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu adalah relatif. Akhirnya tujutan paling pokok adalah bagaimana pendidikan dapat membentuk manusia seutuhnya yang mampu membuat putusan yang benar, baik dan indah pada situasi dan kondisi tertentu.” Proses pembelajaran dalam studio sesungguhnya lebih penting daripada hasil atau produk akhirnya, sehingga meskipun kelihatannya hambatan terdapat dalam hal fisik tetapi akibatnya bisa berakibat pada tidak tercapainya misi dan hakekat studio itu sendiri. Gross and Do (1997: 4) berpendapat bahwa studio merancang seharusnya memfasilitasi mahasiswa dapat mengembangkan sendiri nantinya proses dan metodologi dalam merancang. Kuncinya adalah kehadiran dosen dan asisten di studio yang membimbing mahasiswanya untuk mengikuti metode yang sistematis dengan tertib. Kecenderungan setiap mahasiswa tentang ketrampilan bagaimana merancang adalah menirukan apa yang dicontohkan oleh dosen/asisten dan seniornya. Dalam pola studio yang lama ini peran setiap asisten di UK Petra khususnya semester 4 sangatlah dominan terhadap kelompoknya masing-masing. Dalam perbandingn asisten:mahasiswa= 1:9 waktu yang disediakan untuk asistensi/pendampingan terlalu minim yaitu 2 jam. Proses studio secara tradisional (tanpa menggunakan komputer) sampai tahun 2007 selama 4 jam per hari studio, 3 kali dalam seminggu. Dengan sebagian waktu proses penyajian dapat dilakukan di rumah (luar studio) maka selama ini dirasakan kreatifitas dan kemampuan mencari dan mengembangkan alternatif dalam desain sangat terbatas. KEHADIRAN TEKNOLOGI INFORMASI Dalam era perkembangan teknologi komputer yang akhir-akhir ini berkembang sangat cepat, pengimitasian pelaksanaan studio dan studio culture yang telah berjalan selama ini ternyata tidak secepat itu dapat dilakukan penyesuaiannya. Perkembangan teknologi komputer baik perangkat keras maupun perangkat lunak yang terbaru sekalipun sebenarnya tidak menjadi masalah untuk dimiliki dan dikuasai oleh beberapa dosen/asisten maupun mahasiswa. Tetapi penyesuaian dalam hasrat menggunakan, berkomunikasi serta berekspresi dalam memanfaatkan teknologi informasi ini (yang secara rasional akan sangat membantu pemahaman dan kreatifitas merancang) tidaklah semudah itu dapat diterapkan
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
III - 53
PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
secara langsung dalam sistem pengajaran maupun budaya studio yang selama ini telah terbentuk demikian kuatnya. • Faktor utama adalah menentukan apakah kehadiran teknologi ini dalam aktifitas dan proses perancangan sebagai alat bantu atau sebagai alat merancang. • Faktor lain adalah keterbatasan finansial institusi untuk melengkapi secara menyeluruh fasilitas-fasilitas fisik yang menyertai penggunaan teknologi ini dalam studio merancang, seperti: perangkat komputer dan LCD, scanner dll di dalam studio merancang. • Faktor ketidaksiapan sebagian tenaga pengajar yang tidak melihat manfaat penggunaan teknologi informasi dalam studio sehingga tetap menuntut peserta studio berproses dan presentasi dengan media konvensional. Akibatnya terjadi kesenjangan dan keraguan baik diantara dosen, pengelola studio, asisten maupun dengan mahasiswa ataupun antar mahasiswa. Masalah ini ternyata tidak hanya dihadapi oleh institusi pendidikan di dalam negeri yang termasuk negara berkembang. Di Amerika pada awal tahun 2000an masih muncul adanya kekhawatiran akan akibat-akibat yang akan menggoyahkan nilai-nilai positif dari studio merancang dengan digunakannya teknologi digital. Meskipun dalam penyajian grafis, visualisasi serta metode konstruksi teknologi ini sangat membantu pemahaman dan kreatifitas, dikhawatirkan bahwa komputer akan menurunkan nilai seni dan detail arsitektur, mengurangi tingkat kerjasama antar mahasiswa, menjadikan mahasiswa menyendiri dan lebih mengutamakan produk atau hasil akhir daripada proses. (Koch and others 2002, 11) Bila pembahasan perlu tidaknya teknologi informasi digunakan secara optimal dalam proses pendidikan arsitektur khususnya di studio merancang hanya dilihat dari perkembangan di dalam universitas itu sendiri, maka memang pemanfaatan teknologi ini akan menimbulkan banyak resiko. Tetapi bila pendidikan arsitektur berpaling pada kompetensi lulusannya dan apa yang sedang terjadi di dunia profesi arsitek saat ini, maka kehadirannya perlu dipertimbangkan. Dalam makalahnya tentang Electronic Architecture in Architectural Education, Abdelfattah and Raouf, 2004 menyimpulkan bahwa dalam dunia profesi arsitek telah terjadi kompleksitas dalam praktek lapangan. Terlalu banyak pihak berperan dalam menentukan keputusan desain. Di lain pihak banyak keputusan desain yang menentukan pada akhirnya adalah yang berkepentingan untuk menjual atau memanfaatkan bangunan tersebut. Dengan demikian arsitek tidak lagi memegang peran tunggal sebagai master builder lagi, ia beralih peran menjadi integrator. Teknologi informasi memegang peran penting dalam menyukseskan peran ini. Pendidikan arsitektur tradisional dinilai kurang memberikan pemahaman tentang sistem dan metodologi pembangunan serta ketrampilan berkomunikasi (interpersonal skills) serta kerjasama (teamwork). Bila yang hendak dibangun adalah ketrampilan untuk berkolaborasi dan bekerjasama dalam satu tim maka diperlukan pendidikan ketrampilan mendesain secara terintegrasi yang dengan sendirinya meningkatkan kemampuan teknis dalam teknologi informasi yang diharapkan akan meningkatkan juga kemampuan desain dengan teknologi digital. Dengan demikian pendidikan arsitektur akan menghasilkan lulusan yang dapat beradaptasi, terpakai dan III - 54
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
kemudian berperan di dunia profesi arsitek masa kini tanpa kecanggunan dalam penguasaan teknologi digital. PELAKSANAAN STUDIO MERANCANG YANG BERTEKNOLOGI INFORMASI Upaya untuk dengan sadar mengubah peran teknologi informasi dengan paradigma yang baru dalam bentuk pelaksanaannya di studio merancang tidaklah mudah. Dengan segala keterbatasan finansial institusi, kondisi fisik ruang dan peralatan dalam paradigma studio lama serta kesiapan dan kesepakatan sumber daya manusia diperlukan beberapa studi banding dan eksperimen. Penggunaan komputer saja dalam studio tidaklah dapat mengubah paradigma studio merancang yang lama. Karena sebagai alat bantu, penggunaan komputer hanyalah menghasilkan denah, tampak, potongan dan bentuk perspektif dalam cara dan pola yang sama. (Abdelfattah 2004, 163). Bedanya hanyalah gambar yang dihasilkan berupa hasil grafis komputer yang dicetak. Kasus 1: Salah satu cara yang ditempuh untuk mengubah metode desain konvensional adalah seperti yang dilakukan oleh the School of Architecture at Columbia dengan menamakan studio merancangnya dengan the paperless design studio. Sebagaimana diuraikan oleh Antably (2004), ertama yang diupayakan adalah penggunaan high-end software, yang didesain khusus untuk industri film dalam memproduksi animasi dan efek khusus, seperti Alias/Wavefront, Softimage dan Maya. Kemampuan dari perangkat lunak ini untuk menciptakan special effects yang digunakan untuk studi tentang sirkulasi pada bangunan, pergerakan, dan berbagai macam program. Dengan demikian peserta studio dapat langsung bereksperimen melalui visualisasi secara langsung dan keputusan-keputusan dapat segera dibuat. Dalam paradigma lama, proses belajar sangat tergantung pada kredibilitas dan pengalaman tutor yang rasional melalui diskusi dan informasi yang telah disiapkan dan diberikan. Kasus 2: Berdasarkan pengalaman yang dinamakan Virtual Design Studio di the Key Centre for Design Computing, Faculty of Architecture, University of Sydney. Menurut Maher (1999), model ini ditunjang oleh teknologi internet dan telekomunikasi. Dalam kolaborasi desain oleh beberapa orang peserta, setiap peserta mempunyai pandangan dan pendapatnya sendiri tentang keseluruhan masalah desain. Kemudian terbangunlah konsep bersama hasil ‘superposition’ dari pandangan-pandangan seluruh peserta. Alternatif lain dengan “multipletask” dimana masalah desain dibagikan di antara peserta dimana setiap orang bertanggungjawab pada bagian tertentu dari keseluruhan desain. Hasilnya adalah karya desain yang telah mengalami proses penyatuan dan saling mengisi, dan selama proses desain semua yang terlibat dapat ikut serta melihat, mengalami dan menghasilkan. Pelaksanaan studio merancang di Semester 4 – Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra didasarkan pada silabusnya tentang pemahaman dan kemampuan merancang bangunan multi massa baik di tanah datar ataupun berkontur. Penggunaan komputer sebagai alat bantu dan belum diwajibkan untuk seluruh studio baru dilakukan semester Gasal 2007-2008. Hasil
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
III - 55
PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
evaluasi yabg terarah pada pengembangan pelaksanaan studio merancang dengan teknologi informasi adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman tentang pembentukan ruang luar dengan berbagai kualitas dan karakter ruang, serta analisis, karakter dan perlakuan terhadap tanah berkontur dapat menggunakan teknologi digital sebagaimana Kasus 1 meskipun untuk jenis dan kualitas kemampuan perangkat lunak yang akan dipakai tidak dapat berharap banyak. 2. Tugas desain dapat dikerjakan dalam tim seperti Kasus 2 tetapi penggunaan internet dan telekomunikasi bisa diprediksi sangat terbatas. Peran pendampingan dosen/asisten maupun keikutsertaan peserta studio lainnya dalam belajar berpartisipasi dalam desain bisa melalui pemanfaatan LCD dalam studio secara bergiliran. 3. Dalam pendampingan asisten dihimbau untuk tidak berlaku sebagai satu-satunya sumber informasi dan kebenaran, tetapi informasi yang didapat mahasiswa dan eksperimen yang dilakukan dengan teknologi informasi yang diujikan kebenarannya melalui fakta desain. Keterbatasan kehadiran bisa digantikan melalui internet bila sarana komunikasi yang disediakan universitas telah memungkinkan.
KESIMPULAN Paradigma baru tentang studio merancang yang memanfaatkan teknologi informasi sesuai perkembangan di dunia profesi arsitek tidak dapat ditunda lagi pelaksanaannya. Ketakutan tentang dampak buruk teknologi digital seharusnya diatasi dengan upaya realisasi sesuai dengan kemampuan institusi setempat. Dalam hal ini diperlukan kreatifitas untuk mengatasi masalah dalam pelaksanaannya yang didapat dari pengalaman studio-studio merancang lain baik dalam maupun luar negeri. Perencanaan yang matang serta kesiapan untuk target pelaksanaan yang jelas harus menjadi komitmen studio yang melaksanakannya sebagai eksperimen. Dukungan dari jurusan, fakultas dan universitas terkait mutlak dibutuhkan untuk mencapai hasil maksimal. Keberhasilan yang sesuai dengan visi dan misi institusi juga berarti jaminan akan eksistensi pendidikan arsitektur di universitas terkait melalui alumninya untuk berperan lebih baik di masa depan. DAFTAR PUSTAKA Abdelfattah, Hesham Khairy and Ali A. Raouf. “No More Fear or Doubt: Electronic Architecture in lArchitectural Education”. In !st ASCAAD International Conference, e-Design in Architecture KFUPM, in Dhahran, Saudi Arabia. December 2004. Antably, Ahmed. The Virtual Design Studio as a Tool for Collaborative Design. Unpublished M.Sc. Thesis, Cairo University, Egypt. Gross, Mark D., and Ellen Yi-Luen Do. “The Design Studio Approach: Learning Design in Architecture Education”. In Design Education Workshop held in Atlanta, edited by J. Kolodner & M. Guzdial. Atlanta: College of Computing, Georgia Institute of Technology. 1997 Koch, Aaron, Katherine Schwennsen, Thomas A. Dutton, and Deanna Smith. The Redesign of Studio Culture. New York: American Institute of Arhitecture Students, Inc, 2002 III - 56
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
PROCEEDINGS-SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur MANAJEMEN STUDIO Menuju Dunia Arsitektur Profesional Denpasar, 9-10 Pebruari 2008
Maher, M. L., S.J. Simoff and A. Cicognani. Understanding the Virtual Design Studio. New York: Springer-Verlag Inc., 1999 Soehargo, Paulus H. “Studio Merancang di Tengah Perkembangan Teknologi Informasi.” Inovasi Pengelolaan dan Pendidikan Arsitektur: Prosiding Seminar Nasional Jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara di Jakarta 13 Desember 2006, penyunting Gatot Suharjanto & Fajar Putra Judadi, 125-134. Jakarta: Jurusan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, 2006 Susilo, Suhartono “Studio Arsitektur” Sikap dan Pemikiran Suhartono Susilo Arsitek dan Pendidik” Kumpulan Karya Tulis dan Profesi oleh Jurusan Arsitektur Unpar & Ikatan Arsitek Indonesia – Jabar di Bandung 26 Maret 1998, penyunting Yuswadi Saliya, 27-48. Bandung: Badan Sinfar IAI – Jabar, 1998
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana
III - 57