Mukadimah Pada suatu masa, aku pernah melarung impian ini bersamamu. Impian tentang sebuah negeri yang sejahtera, aman, adil dan juga makmur. Tentang negeri yang akhirnya kembali melahirkan orang baru untuk memimpin dalam tradisi lima tahunannya. Seseorang yang terpilih untuk menjadi bapak dari dua ratus juta lebih rakyat negeri. Seseorang yang hari ini kutuliskan secarik surat sederhana untuk menemani perjalanannya mendudukki kursi RI-1. 1 Bapak, pada sebuah pertarungan aku pernah menemukan wajahmu begitu kuyu bahkan lusuh ketika peluh dan keringat begitu sering menyapamu. Menyaksikan tingkah polah perjuanganmu untuk sekedar mendapat simpati berjuta-juta rakyat negeri ini agar pada masanya nanti engkau bisa mendudukki kursi kehormatan itu. Kursi yang pertanggungjawabannya bukan hanya di dunia akan tetapi juga di akhirat kelak. Sebuah kursi yang seharusnya bisa serta mampu membawa negeri ini menjadi negeri paling disegani dunia, negeri yang berjuta-juta rakyatnya bisa hidup sejahtera tanpa ada gurat kekhawatiran ketika kemiskinan menjadi gurita yang paling menakutkan dari sejumlah rantai penjerat menuju lubang yang sama. Aku tak ingin negeri ini jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Dijebak oleh beragam ide serta pemikiran yang sesungguhnya adalah sampah bahkan produk gagal di negeri asalnya. Sebab itulah, kutulis surat sederhana ini agar pada saatnya
Aldy Istanzia Wiguna nanti engkau memimpin dan dilantik di hadapan para wakil rakyat yang berpakaian kebesaran, berjas kebohongan, serta berdasi kupukupu penebar dusta. Berharap semoga engkau bisa menjadi salah seorang pemimpin adil, jujur, amanah, beriman, serta bertakwa kepada Allah Yang Maha Memimpin dan mau mengembalikan seluruh pusaka negeri untuk dikelola sendiri demi menyejahterakan rakyat tanpa harus bergantung pada para penjajah dengan wajah baru dan pakaian-pakaian safari yang selalu menipu kisah kita. 2 Kuhaturkan selamat ketika dengan simpatiknya engkau kembali menjadi pusaran gelombang keramaian. Menjadi muara dari segala inspirasi dimana kemenanganmu adalah sebentuk doa yang takkan pernah selesai dirapalkan. Ketika ingar bingar para pendukungmu merayakan kemenanganmu di kafe-kafe, rumah-rumah atau mungkin di lorong-lorong kesepian, hingga di gang-gang sempit begitu syahdu menyebut namamu. Aku jadi teringat tentang segala janjimu ketika engkau hendak memperebutkan kursi tersebut bersama wakilmu. Ya, janjimu yang telah tertulis utuh di setiap catatan para malaikat. Janji yang mungkin bisa saja engkau ingkari bahkan tak kau laksanakan. Sebab, setiap ucapanmu pada suatu hari nanti kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Ingat, kau tak hanya memimpin sejumlah orang di kabinetmu. Namun kau adalah pemimpin dari dua ratus lima puluh juta rakyat negeri yang pada akhirnya menitipkan harapan terbaiknya di pundakmu. Dan
2
Surat Untuk Presiden di pundakmu-lah, harapan tentang kemandirian, kesejahteraan, kebersihan, keimanan, ketakwaan serta keutuhan pribadi sebuah bangsa dipertaruhkan. Ingat, bangsa ini bukan hanya butuh sebuah kesejahteraan dari perut belaka. Namun bangsa ini perlu sejahtera dari segala bidang. Dan engkau tahu, pada suatu masa semua kisah tentang kesejahteraan itu pernah terukir jauh sebelum engkau menjadi pemimpin negeri ini. Jauh sebelum engkau lahir ke dunia dari rahim ibumu. Ya, zaman dimana Islam menjadi tuntunan. 3 Pak, aku tahu dalam setiap janji-janjimu ketika dulu gelanggang kampanye kau perebutkan demi suara rakyat yang kelak memilih salah satu pemimpin terbaiknya. Ada terselip kata sejahtera yang kau rapalkan begitu khusyuk ketika pidato-pidatomu di seluruh penjuru negeri disimak tanpa ada jeda sedikitpun. Di sini, kita tahu engkau baru saja memberikan sebuah harapan baru untuk negeri yang kaya raya ini. Negeri yang tanahnya telah engkau pijak sejak dirimu lahir dari rahim ibumu sendiri, yang airnya telah engkau minum sedari engkau masih kanak-kanak sampai hari ini. Maka, bilamana engkau dusta dengan janjimu sendiri. Aku hanya cukup berujar, tunggulah kehancuran bangsa ini. Sebab ketika engkau tunduk pada sejumlah peraturan buatan manusia, ketika engkau merasa tak diawasi oleh-Nya. Ketika engkau memutuskan untuk lebih percaya pada apa-apa yang diputuskan para dewan yang terhormat di gedung istimewa itu. Lihatlah, nasib berjuta-juta
3
Aldy Istanzia Wiguna rakyat yang kembali hidup dalam garis kemiskinan yang dipenuhi dengan kisah-kisah nestapa dan keburukan tiada henti. Sementara janjimu adalah ingin menyejahterakan mereka dengan sejumlah peraturan buatan manusia. Bukan yang berasal dari Dia yang telah menciptakan dirimu dan dari sunnah Nabi. Maka, pada suatu masa engkau sudah mengajak berjuta-juta rakyat negeri ini pada apa yang aku sebut sebagai medan kehancuran. Sebab bangsa ini hanya tinggal menunggu waktu, kapan dihancurkan oleh-Nya. 4 Bapak, tengoklah kembali buku-buku kusam itu. Buku yang pada suatu masa pernah mengabarkan tentang beberapa orang terpilih yang duduk di kursi kepemimpinan. Orang-orang pilihan yang merasa bahwa telah datang sebuah musibah kelak ketika mereka akhirnya diangkat menjadi pucuk pimpinan semesta. Mereka yang benar-benar mempersembahkan hidup, diri dan seluruh baktinya hanya untuk kemaslahatan umat. Mereka yang tak pernah ada niat sedikit pun menyalahgunakan kursi kepemimpinannya. Mereka yang senantiasa ber-taqarrub kepada-Nya ketika amanah yang kini diemban serasa berat di pundak. Ah, aku tak ingin berharap banyak apalagi terhadap dirimu. Aku hanya ingin engkau sesegera mungkin mau menerapkan semua ini. Meski asal muasalmu dari partai yang katanya jauh dari nilai-nilai agama itu, namun ketika engkau dipilih dan terpilih menjadi seorang pemimpin. Sudah sepatutnya engkau hanya tunduk dan patuh terhadap aturan yang
4
Surat Untuk Presiden telah diturunkan-Nya melalui malaikat Jibril kepada nabi-Nya, nabi Muhammad S.A.W. Sebab, di pundakmulah harapan demi harapan itu dititipkan. Semesta telah menjadi saksi ketika janji demi janji kau lesapkan di gelanggang kampanye yang penuh dengan onak dan duri itu. Janji yang akhirnya lesap semenjak engkau disumpah oleh ratusan wakil rakyat yang terhormat. Sebab di sini, engkau akan tetap kami lihat, kami pantau dan berharap apa-apa yang dulu menjadi janjimu di gelanggang kampanye bisa segera terlaksana. 5 Bapak, rindu kami pada masa-masa emas itu. Masa dimana kita hidup dalam limpahan berkah tak berbilang. Masa dimana tak ada sedikit pun sekat antara seorang pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya. Masa dimana segala urusan rakyat jauh lebih utama dibandingkan dengan urusan sendiri. Dan masa dimana kebaikan terus berkembang menjadi doa-doa panjang penuh keberkahan. Dan masa dimana segala tentang kebaikan adalah kemaslahatan untuk bersama bukan untuk orang per seorang. Di sini, kita akan kembali mengaabadikan senarai rindu itu. Mengeja ulang perihalperihal yang dulu mungkin kau karibkan mustahil di matamu. Tapi, bagiku tak ada yang tak mungkin jika kita bersungguh-sungguh dalam berkhidmat dan mendakwahkan apa yang menjadi suatu keharusan dan kewajiban ini. Mungkin, bukan hanya engkau yang kelak dituntut untuk berani mendakwahkan ini, namun aku juga yang kata banyak orang terlambat atau apapun itu. Ah, bapak mari
5
Aldy Istanzia Wiguna kita bersama-sama berjuang di jalan-Nya. Mewujudkan manfaat serta maslahat sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya bukan sesuai dengan apa yang dirancang manusia. Sebab, bilamana kita terus percaya dan meyakini segala aturan buatan manusia, maka pada suatu waktu kita justru tengah menunggu kecelakaan dan juga kehancuran sendiri. Sebab, kita tengah menyaksikan parade demi parade kehancuran itu. Parade yang kini begitu nyata dalam diam. Parade yang kelak mengajak kita untuk menolak segala benar.
6