KEAN NEKARA AGAMAN N JENIS BURUNG B G PADA B BEBERAP PA TIP PE HABIT TAT DI TAMAN T NASIONA N AL LORE E LINDU U PROVINS SI SULAW WESI TEN NGAH
ANDH HY PRIYO O SAYOG GO
D DEPARTE EMEN KONS SERVASII SUMBE ERDAYA HUTAN DAN EK KOWISAT TA FAKUL LTAS KE EHUTAN NAN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR 2009 9
KEAN NEKARA AGAMAN N JENIS BURUNG B G PADA B BEBERAP PA TIP PE HABIT TAT DI TAMAN T NASIONA N AL LORE E LINDU U PROVINS SI SULAW WESI TEN NGAH
ANDH HY PRIYO O SAYOG GO
Skripssi s sebagai salaah satu syarrat memperroleh gelar sarjana s kehhutanan di Fakultas F Kehhutanan Insstitut Pertannian Bogor
D DEPARTE EMEN KONS SERVASII SUMBE ERDAYA HUTAN DAN EK KOWISAT TA FAKUL LTAS KE EHUTAN NAN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR 2009 9
SUMMARY ANDHY PRIYO SAYOGO. Bird Diversity on Several Type of Habitat in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Province. Under Supervision: Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Lore Lindu National Park (LLNP) is located in Central Sulawesi included to Wallacea. LLNP is a habitat for 80% Sulawesi endemic bird, those bird species are sulawesi dwarf hornbill, large sulawesi hanging parrot, and maleo. Preasure that happen surround the habitat in LLNP become bigger such as land withdrawal by people and using it as a road to their coffe and chocolate plantation, and rice fields. Land withdrawal causing a change of forest structure and composition, and make a change on animal diversity in bird particulary. The differentiation of habitat condition make a bird diversity difference. However, data and fact is not complete and have interest to study. The research is done from Juny to August 2008 in Matauwe and Tomado resort, LLNP with the main focus on primary forest, ecotone between primary forest and coffe and chocolate plantation, also in coffe and chocolate plantation. Data was collected using IPA (Index Point of Abundence) methods. Based on the result of field observation and clasification on map of land closing on LLNP, landscape element on the research loacation are forest matrix, farm patch, and edge as an ecotone which the meeting between two difference type of habitat, which mean the meeting of primary forest and plantation. Bird species richness in research location are 76 spesies from 35 family. Ecotone habitat has the most bird richness, there found 51 species from 25 family. Ecotone habitat are used by bird whose like open area, semi open area, and unique bird in ecotone area. It causing bird richness in these habitat high. The highest similarity species level between ecotone and primary forest habitat are 44%. It is because the vegetation from those both habitat are likely, the bird is not too different such as frugivore and insectivore bird. Keywords : Bird, species diversity, habitat, LLNP
ANDHY PRIYO SAYOGO. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh: Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
RINGKASAN Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) berada didalam kawasan Wallaceae, tepatnya di Sulawesi tengah. TNLL merupakan habitat bagi 80 % burung endemik Sulawesi, jenis-jenis burung tersebut antara lain kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), serindit sulawesi (Loriculus stigmatus) dan Maleo (Macrocephalon maleo). Tekanan disekitar habitat di TNLL semakin besar seperti penyerobotan lahan yang dilakukan oleh masyarakat untuk dijadikan jalan, perkebunan kopi dan coklat, dan areal persawahan. Penyerobotan lahan tersebut menyebabkan perubahan komposisi dan struktur hutan, sehingga keanekaragaman satwa khususnya burung juga mengalami perubahan. Perbedaan kondisi habitat menyebabkan keanekaragaman jenis burung yang berbeda, namun demikian data maupun fakta yang tersedia belum lengkap sehingga hal tersebut sangat menarik untuk dikaji. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2008 di resort Matauwe dan resort Tomado TNLL, dengan fokus utama pada hutan primer, daerah peralihan antara hutan primer dengan kebun kopi dan coklat, serta kebun kopi dan coklat. Pengambilan data dengan menggunakan metode IPA (Indeks Point of Abundance). Berdasarkan hasil observasi lapangan dan klasifikasi peta penutupan lahan TNLL, elemen lanskap di lokasi penelitian merupakan matriks hutan, patch kebun dan edge sebagai daerah peralihan yang merupakan pertemuan antara dua tipe habitat yang berbeda yaitu pertemuan antara hutan primer dengan kebun. Kekayaan jenis burung dilokasi penelitian sebanyak 76 jenis burung dari 35 famili. Habitat daerah peralihan memiliki kekayaan jenis burung paling banyak yaitu 51 jenis burung dari 25 famili. Daerah peralihan digunakan oleh jenis-jenis burung yang menyukai daerah terbuka, semi terbuka, dan burung khas daerah peralihan, sehingga kekayaan jenis burung di habitat ini tergolong tinggi. Tingkat kesamaan jenis tertinggi yaitu antara habitat daerah peralihan dengan habitat hutan primer sebesar 44%. Salah satu penyebabnya yaitu vegetasi yang ditemukan pada kedua habitat tersebut hampir sama, sehingga jenis burungnya cenderung juga sama, seperti burung pemakan buah dan pemakan serangga. Kata kunci: Burung, keanekaragaman jenis, habitat, TNLL
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Agustus 2009 Andhy Priyo Sayogo NRP. E34104014
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya. Alhamdulillah atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul “Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah”. Penelitian ini dilakukan dibawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F dan Dr.Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Tipe-tipe habitat yang berbeda di Taman Nasional Lore Lindu dan keanekaragaman jenis burungnya merupakan sesuatu yang menarik untuk dipelajari.
Karya
ilmiah
ini
membahas
tentang
kondisi
habitat
dan
keanekaragaman jenis burung yang ada di resort Matauwe dan resort Tomado, Taman Nasional Lore Lindu. Dengan selesainya penulisan karya ilmiah ini, diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 22 Maret 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Suparno dan Ibu Sarwi Asih. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di SD Negeri 03 Kutho, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar. Pada tahun 1998 melanjutkan ke SMP Negeri 1 Karanganyar, Kabupaten Karanganyar dan lulus pada tahun 2001. Kemudian, penulis melanjutkan ke SMA Negeri 1 Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dan pada tahun 2004, penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Uni Konservasi Fauna (UKF) pada tahun 2005 sampai sekarang, serta menjadi ketua divisi konservasi burung UKF pada periode kepengurusan 2006-2007. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Sumedang. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi pada tahun 2008. Penulis juga pernah melakukan kegiatan magang di Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), di Taman Nasional Way Kambas pada tahun 2005. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Lore Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah” dibawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua, mbah kudur, mbah gempol dan adikku tercinta atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang tak pernah terputus. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Ir. Jarwadi Budi Hernowo, Ms.c F selaku dosen pembimbing utama dan Dr. Lilik Budi Prasetyo, Ms.c selaku dosen pembimbing kedua atas nasehat dan bimbingannya 2. Bapak Ir. Trisna Priadi, M. Eng. Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ibu Ir. T. M. Oemijati Rachmatsyah, Ms selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur atas semua saran, nasehat dan dukungan demi kesempurnaan penyusunan karya ilmiah ini. 3. Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu beserta seluruh staff yang sudah membantu dan memberikan ijin penelitian. 4. Kepala BKSDA Sulawesi tengah beserta seluruh staff atas bantuan perijinan 5. Kepala Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Sulawesi tengah beserta seluruh staff atas bantuan perijinan 6. Kepala The Nature Conservancy (TNC) Palu beserta seluruh staff atas bantuan tempat dan peralatan serta saran yang diberikan kepada penulis 7. Bapak Meiki dan keluarga yang telah memberikan tumpangan tempat tinggal dan menyediakan makanan. Bapak Obet dan Mas Nato atas bantuan yang diberikan selama pengambilan data di lapangan. 8. Keluarga besar Bapak Agus, mas Adit dan mas Arif atas bantuan dalam segala hal, dukungan, dan sarannya 9. Keluarga besar Bapak Daryo, Bapak Ginanto, mbok de Marni Kudur, mbok de Paini Mojosari atas doa dan kasih sayangnya 10. Jasmine S.A.I. yang selalu jadi penyemangat dan inspirasiku,,semoga kita selalu bersama…amin 11. Keluarga besar IC Balio 33B (tempat tinggal senyaman-nyamannya): Yosi “godeg”, Heru “padang”, Andi “ciamis”, Heri “balonk, Aaf “entol”,
Kuntoro “kun”, Faesal “ican”, Rama “anduk”, dan Marlan “bob” atas kekeluargaan yang kita tanam sejak pertemuan pertama. 12. Keluarga besar KSH 41 atas kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, dan pengalaman yang pernah kita jalani. “Empat Satu Emang Beda” 13. Keluarga besar Uni Konservasi Fauna (UKF) khususnya angkatan 2 (2004-2005) atas kekeluargaan dan perjuangan dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia “Selamatkan Fauna Indonesia” 14. Keluarga besar asrama silvasari khususnya “Jejaka Silvasari 2005” atas bantuan tempat dan sarannya 15. Boedak Baegeur Community (Fahutan 41) tempat tongkrongan yang seenak-enaknya 16. Semua pihak yang telah membantu hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini…matur nuwun sangetttt....
Bogor, Agustus 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................
1
1.2. Tujuan .....................................................................................
2
1.3. Manfaat ...................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
3
2.1. Burung Wallacea dan Keendemikannya .................................
3
2.2. Keanekaragaman Burung ........................................................
3
2.3. Penyebaran Burung .................................................................
4
2.4. Habitat Burung ........................................................................
4
2.5. Indeks Diversity/Keanekaragaman .........................................
5
2.6. Ekologi Lanskap .....................................................................
6
2.7. Efek Tepi .................................................................................
6
III. KONDISI UMUM ..............................................................................
8
3.1 Sejarah Kawasan ...................................................................... 3.2 Letak dan Luas ......................................................................... 3.3 Topografi .................................................................................. 3.4 Iklim ......................................................................................... 3.5 Flora ......................................................................................... 3.6 Fauna ........................................................................................
8 8 9 9 9 10
IV. METODE PENELITIAN ....................................................................
12
4.1 Lokasi dan Waktu ....................................................................
12
4.2 Alat dan Bahan .........................................................................
12
4.3 Pengumpulan Data ...................................................................
13
4.3.1 Burung ........................................................................
13
4.3.2 Kondisi vegetasi .........................................................
14
4.4 Analisis Data ............................................................................
15
4.4.1 Burung ........................................................................
15
a. Kelimpahan burung ....................................................
15
b. Keanakaragaman jenis dan penyebaran .....................
15
4.4.2 Habitat ........................................................................
17
a. Analisis vegetasi ..........................................................
17
b. Tingkat penggunan habitat ..........................................
18
c. Uji t-Student ................................................................
19
d. Penggunaan tajuk sebagai habitat oleh burung ...........
20
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
21
A. Hasil ..........................................................................................
21
A.1 Habitat Burung ........................................................................
21
A.1.1 Kondisi Lanskap ...........................................................
21
A.1.2 Habitat Hutan Primer ....................................................
21
A.1.2.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi....................
21
A.1.3 Habitat Daerah Peralihan ..............................................
25
A.1.3.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi....................
25
A.1.4 Habitat Kebun Kopi dan Coklat ...................................
28
A.1.4.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi....................
28
A.2 Burung .....................................................................................
33
A.2.1 Kekayaan Jenis Burung ................................................
33
A.2.2 Komposisi dan Struktur Burung ...................................
36
A.2.2.1 Penyebaran Jenis Burung ................................
36
A.2.2.2 Jenis Struktur Pakan ........................................
40
A.2.2.3 Status ...............................................................
43
A.2.3 Dominansi dan Kelimpahan Jenis Burung ...................
45
A.2.4 Kemerataan Jenis Burung .............................................
47
A.2.5 Indeks Keanekaragaman Jenis Burung .........................
48
A.2.6 Indeks Kesamaan Jenis Burung ....................................
48
A.2.7 T-hitung Komunitas Burung .........................................
50
A.3 Penggunaan Vegetasi oleh Burung .........................................
50
A.3.1 Penggunaan Strata Vegetasi .........................................
50
A.3.1.1 Habitat Hutan Primer ......................................
51
A.3.1.2 Habitat Daerah Peralihan ................................
54
A.3.1.3 Habitat Kebun .................................................
57
A.3.2 Penggunaan Ruang Tajuk .............................................
60
A.3.3 Penggunaan Jenis Vegetasi ...........................................
60
B. Pembahasan ...............................................................................
61
B.1 Habitat Burung ..............................................................
61
B.1.1 Kondisi Lanskap .................................................
61
B.1.2 Habitat Hutan Primer ..........................................
62
B.1.3 Habitat Daerah Peralihan ....................................
62
B.1.4 Habitat Kebun Kopi dan Coklat .........................
63
B.2 Burung...........................................................................
65
B.2.1 Kekayaan Jenis Burung ......................................
65
B.2.2 Komposisi dan Struktur Burung .........................
67
B.2.2.1 Penyebaran Jenis Burung ......................
67
B.2.2.2 Jenis dan Struktur Pakan .......................
68
B.2.2.3 Status .....................................................
71
B.2.3 Dominansi dan Kelimpahan Jenis Burung ........
72
B.2.4 Indeks Kesamaan Jenis Burung ........................
73
B.2.5 Nilai Keanekaragaman Jenis Burung ................
74
B.2.6 Kemerataan Jenis Burung .................................
74
B.2.7 T-hitung Komunitas Burung .............................
75
B.3 Penggunaan Vegetasi oleh Burung..............................
76
B.3.1 Penggunaan Strata Vegetasi ............................
76
B.3.2 Penggunaan Ruang Tajuk ................................
77
B.3.3 Penggunaan Jenis Vegetasi .............................
78
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
81
A. Kesimpulan ...............................................................................
81
B. Saran ..........................................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
83
LAMPIRAN .....................................................................................................
88
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Lokasi pengamatan ............................................................................
14
Tabel 2. Jumlah jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi pada tiap tingkat di habitat hutan primer .......................................................................
21
Tabel 3. Beberapa jenis vegetasi pada setiap strata di habitat hutan primer ....
23
Tabel 4. Jumlah jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi pada tiap tingkat di habitat daerah peralihan .................................................................
25
Tabel 5. Beberapa jenis vegetasi pada setiap strata di habitat daerah peralihan .................................................................................
26
Tabel 6. Jumlah jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi pada tiap tingkat di habitat kebun .................................................................................
28
Tabel 7. Beberapa jenis vegetasi pada setiap strata di habitat kebun ..............
29
Tabel 8. Kaitan antara jenis burung dengan tipe habitatnya ...........................
33
Tabel 9. Jenis burung endemik Sulawesi yang ditemukan dilokasi penelitian
34
Tabel 10. Jenis-jenis burung yang sering dijumpai di tiap-tiap tipe habitat .......................................................................................
36
Tabel 11. Jenis-jenis burung yang hanya dijumpai di tiap-tiap tipe habitat .......................................................................................
37
Tabel 12. Jenis burung dan jenis pakan burung yang ditemukan dilokasi penelitian .........................................................................................
42
Tabel 13. Jenis-jenis burung yang dilindungi yang ditemukan di lokasi penelitian .........................................................................................
44
Tabel 14. Dominasi jenis burung di setiap tipe habitat ....................................
45
Tabel 15. Komposisi jenis burung dominan dan sub-dominan di tiap-tiap tipe habitat .......................................................................................
45
Tabel 16. Matriks indeks kesamaan jenis di setiap tipe habitat .......................
49
Tabel 17. Perbandingan t-hitung antar tipe habitat ..........................................
50
Tabel 18. Stratifikasi jenis burung di tiap strata di habitat hutan primer .........
51
Tabel 19. Stratifikasi jenis burung di tiap strata di habitat daerah peralihan ...............................................................................
54
Tabel 20. Stratifikasi jenis burung di tiap strata di habitat kebun....................
57
Tabel 21. Tingkat penggunaan vegetasi oleh burung di berbagai tipe habitat .......................................................................................
61
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Peta lokasi penelitian Taman Nasional Lore Lindu .......................
12
Gambar 2. Bentuk jalur analisis vegetasi .........................................................
14
Gambar 3. Bentuk tajuk pohon secara vertikal dan horizontal ........................
20
Gambar 4. Peta tata guna lahan Taman Nasional Lore Lindu .........................
22
Gambar 5. Vegetasi di habitat hutan primer ....................................................
24
Gambar 6. Profil vegetasi pohon di habitat hutan primer ................................
24
Gambar 7. Vegetasi di habitat daerah peralihan ..............................................
27
Gambar 8. Profil vegetasi pohon di habitat daerah peralihan ..........................
27
Gambar 9. Vegetasi di habitat kebun ...............................................................
29
Gambar 10. Profil vegetasi pohon di habitat kebun .........................................
30
Gambar 11. Peta tata guna lahan resort Matauwe ............................................
31
Gambar 12. Peta tata guna lahan resort Tomado .............................................
32
Gambar 13. Perbandingan jumlah jenis burung di setiap tipe habitat..............
33
Gambar 14. Perbandingan jenis burung berdasarkan keendemikan ................
35
Gambar 15. Jenis burung endemik Sulawesi (a) Zoothera erythronota, dan (b) Otus manadensis ...................................................................
35
Gambar 16. Jumlah keanekaragaman jenis burung pada setiap famili ............
36
Gambar 17. Peta penyebaran burung endemik di resort Matauwe ..................
38
Gambar 18. Peta penyebaran burung endemik di resort Tomado ....................
39
Gambar 19. Penggunaan jenis pakan oleh burung di hutan primer, daerah peralihan, dan kebun .......................................................
40
Gambar 20. Penggunaan jenis pakan di habitat hutan primer ..........................
41
Gambar 21. Penggunaan jenis pakan di habitat daerah peralihan ....................
41
Gambar 22. Penggunaan jenis pakan di habitat kebun ....................................
42
Gambar 23. Jenis burung yang dilindungi (a) Spilornis rufipectus, dan (b) Rhyticeros cassidix ................................................................
44
Gambar 24. Perbandingan jenis burung yang dilindungi .................................
45
Gambar 25. Jenis burung dominan, (a) Zosterops atrifrons, (b) Dicrurus hottentottus .............................................................
46
Gambar 26. Perbandingan indeks kemerataan pada tiap-tiap tipe habitat .......
48
Gambar 27. Perbandingan indeks keanekaragaman pada tiap-tiap tipe habitat ..........................................................................................
48
Gambar 28. Dendogram tingkat kesamaan jenis burung di lokasi penelitian ..
49
Gambar 29. Stratifikasi vegetasi di habitat hutan primer.................................
51
Gambar 30. Penggunaan strata vegetasi oleh burung di habitat hutan primer ................................................................................
53
Gambar 31. Stratifikasi vegetasi di habitat daerah peralihan ...........................
54
Gambar 32. Penggunaan strata vegetasi oleh burung di habitat daerah peralihan ..........................................................................
56
Gambar 33. Stratifikasi vegetasi di habitat kebun ...........................................
57
Gambar 34. Penggunaan strata vegetasi oleh burung di habitat kebun............
59
Gambar 35. Vegetasi una-una (Piper aduncum) ..............................................
63
Gambar 36. a. Vegetasi coklat (Thebroma cacao), dan b. Sungai kecil di habitat kebun ..................................................
64
Gambar 37. Buah Ficus sp ...............................................................................
78
Gambar 38. Sarang Dicaeum celebicum pada vegetasi Piper aduncum ..........
80
Gambar 39. Jumlah jenis burung pada tiap-tiap tipe habitat ............................
81
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Rekapitulasi INP vegetasi di habitat hutan primer ......................
88
Lampiran 2. Rekapitulasi INP vegetasi di habitat daerah peralihan ................
92
Lampiran 3. Rekapitulasi INP vegetasi di habitat kebun kopi dan coklat .......
96
Lampiran 4. Jenis-jenis burung di habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun .......................................................
98
Lampiran 5. Jenis burung tidak dominan di tiap-tiap tipe habitat....................
101
Lampiran 6. Penggunaan tajuk pohon oleh burung .........................................
103
Lampiran 7. Foto-foto burung yang ditemukan di lokasi penelitian................
107
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sulawesi merupakan pulau yang khas dan bagian dari kawasan Wallacea. Kawasan ini terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Karena posisinya, kawasan ini memiliki tingkat endemisitas satwa yang tinggi khususnya burung. Sulawesi memiliki 380 jenis burung, 96 jenis diantaranya merupakan jenis endemik. Indonesia memiliki 115 jenis burung endemik, dan 90% burung endemik tersebut terdapat di Sulawesi (Sujatnika et al, 1995 dalam Pujaningsih, 2004). Taman Nasional Lore Lindu berada di dalam kawasan wallacea, tepatnya di Sulawesi Tengah. Kawasan ini mempunyai beberapa tipe ekosistem yaitu hutan sub-pegunungan, hutan pegunungan, dan hutan dataran rendah. Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat bagi 80 % burung endemik Sulawesi. Terdapat 225 jenis burung yang hidup di Taman Nasional Lore Lindu, diantaranya kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), serindit sulawesi (Loriculus stigmatus) dan maleo (Macrocephalon maleo). Taman Nasional Lore Lindu termasuk salah satu kawasan yang dijadikan sebagai daerah burung endemik (PHKA, 2004). Faktor penting yang mempengaruhi keanekaragaman burung adalah habitat (Welty, 1982). Beberapa habitat burung yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu antara lain hutan primer, daerah peralihan antara hutan primer dengan kebun kopi dan coklat, serta kebun kopi dan coklat. Keanekaragaman habitat adalah faktor penting yang berperan sebagai penyedia sumber makanan, tempat berlindung, tempat beristirahat dan tempat bersarang bagi burung. Tekanan disekitar habitat di Taman Nasional Lore Lindu semakin besar seperti penyerobotan lahan yang dilakukan oleh masyarakat untuk dijadikan jalan, perkebunan kopi dan coklat, dan areal persawahan. Penyerobotan lahan tersebut menyebabkan perubahan komposisi dan struktur hutan, sehingga keanekaragaman satwa khususnya burung juga mengalami perubahan. Lebih dari 30.000 hektar areal hutan Taman Nasional Lore Lindu sudah berubah fungsi menjadi kebun kopi
dan coklat. Sebagian dijadikan lokasi permukiman oleh para pendatang dari luar Sulawesi Tengah (Montesori, 2000). Perbedaan kondisi habitat menyebabkan keanekaragaman jenis burung yang berbeda, namun demikian data maupun fakta yang tersedia belum lengkap sehingga hal tersebut sangat menarik untuk dikaji. Studi secara terperinci dan terarah perlu dilakukan untuk mengetahui potensi dan keanekaragaman jenis burung
serta
habitatnya
dalam
rangka
pelestarian
dan
pengelolaan
keanekaragaman jenis burung dan habitatnya di Taman Nasional Lore Lindu. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan keanekaragaman jenis burung pada beberapa tipe habitat (hutan primer, daerah peralihan antara hutan primer dengan kebun kopi dan coklat, serta kebun kopi dan coklat) di Taman Nasional Lore Lindu. 2. Mengetahui hubungan jenis burung dengan tipe habitat di Taman Nasional Lore Lindu. 3. Mengetahui sebaran lokal pada tiap-tiap tipe habitat.
1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh apabila terjadi degradasi habitat (perubahan tata guna lahan) terhadap jenis burung dan memberikan informasi mengenai potensi keanekaragaman jenis, distribusi, serta kelimpahan burung di Taman Nasional Lore Lindu sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan Nasional Lore Lindu.
pelestarian Taman
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burung Wallacea dan Keendemikannya Kawasan Wallacea memiliki 650 spesies burung, 265 spesies diantaranya adalah endemik. Di antara 235 genus yang ada, 26 di antaranya merupakan endemik. Sejumlah 16 genus hanya terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau lain disekitarnya, seperti macrocephalon, aramidopsis, meropogon, cryptophaps, cataponera, geomalia, malia, heinrichia, hylocitrea, coracornis, myza, cittura dan scissirostrum. Sebanyak 380 spesies, termasuk 96 spesies burung endemik hidup di pulau Sulawesi. Endemisitas burung di Sulawesi terutama berasal dari barat, dengan 67 % jenis-jenisnya berasal dari Asia. Beberapa jenis burung yang terdapat di Wallacea antara lain: gosong maluku (Eulipa wallacei), mandar gendang (Habroptila wallacii), walik wallacea (Ptilinopus wallacii), bidadari halmahera (Semioptera wallacei), dan burung kacamata (Zosterops wallacei) (Lorelindu, 2008). Burung yang terdapat di Wallacea terbagi menjadi burung penetap dan burung migran. Ada 98 jenis migran palaeartik dan termasuk 37 jenis burung pantai (Coates dan Bishop, 1997). Sebagian besar, burung di Wallacea merupakan burung-burung cantik yang dijuluki burung-burung surgawi (birds of paradise).
2.2 Keanekaragaman Burung Keanekaragaman jenis burung berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Distribusi vertikal vegetasi atau stratifikasi tajuk juga merupakan
faktor
yang
mempengaruhi
keanekaragaman
jenis
burung.
Keanekaragaman jenis menyangkut dua hal yaitu kekayaan dan sebaran keseragaman. kekayaan jenis adalah jumlah jenis yang ada, sedangkan keseragaman menunjukkan kelimpahan relatif dari masing-masing jenisnya (Winarni, 2005). Taman Nasional Lore Lindu memiliki keanekaragaman burung yang cukup tinggi. Di Taman Nasional Lore Lindu terdapat 224 jenis burung, dan 97 jenis di antaranya merupakan burung endemik Sulawesi. Jenis-jenis burung
tersebut antara lain Anis punggung-merah (Zoothera erythronota), Serindit paruhmerah (Loriculus exilis), perkici dora (Trichoglossus ornatus), Cacatua sulphurea, kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), Pecuk ular (Anhinga rufa), dan maleo (Macrocephalon maleo) (Pujaningsih, 2004).
2.3 Penyebaran Burung Penyebaran burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan seleksi alam (Welty, 1982). Setiap jenis mempunyai pergerakan harian dengan pola dan jangkauan wilayah yang berbeda-beda, sehingga luas wilayah untuk pergerakan harian juga berbeda-beda tergantung dari jenis satwa liar dan/atau keadaan lingkungannya. (Alikodra, 2002) menyatakan bahwa penyebaran suatu jenis burung disesuaikan dengan kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan seperti pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis. Burung merupakan kelompok satwaliar yang paling merata penyebarannya, yang disebabkan karena kemampuan terbang yang dimilikinya. Beberapa daerah yang menjadi penyebaran burung di Wallacea khusunya di kawasan Sulawesi antara lain: Tangkoko dua saudara, Taman Nasional Dumoga-Bone, Lore lindu, Morowali, Rawa Aopa/Watumohae, Bantimurung dan Karaenta, Pegunungan lompobattang (Coates dan Bishop, 1997). Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu pusat penyebaran burung di kawasan Sulawesi, beberapa daerah yang menjadi penyebaran burung antara lain lembah besoa, danau lindu, dongi-dongi, lembah kulawi dan kamarora.
2.4 Habitat Burung Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat bukan hutan. Pada prinsipnya burung memerlukan tempat untuk mencari makan, berlindung, berkembangbiak, dan bermain. Tempat yang menyediakan keadaan yang sesuai dengan kepentingan diatas disebut dengan habitat (Odum, 1993), karena habitat merupakan bagian penting bagi distribusi dan jumlah. Habitat juga berfungsi sebagai tempat untuk bersembunyi dari musuh-musuh yang akan menyerang dan mengganggunya (Endah, 2002).
Hutan merupakan salah satu habitat dari bermacam-macam jenis burung. Secara alamiah hutan dengan berbagai jenis tumbuhan akan menyediakan sumber makanan berupa biji-bijian dan buah bagi burung yang menjadi penghuninya, akan memberikan rasa aman bagi satwa tersebut untuk bersarang dan berkembang biak. Keanekaragaman struktur habitat berpengaruh pada keanekaragaman jenis burung. Struktur hutan memberikan pengaruh nyata terhadap burung yang tinggal didalam habitat tersebut. Kawasan Wallacea memiliki beberapa tipe habitat burung diantaranya hutan rawa, pantai, mangrove, perkebunan kelapa, samudera, perairan dipedalaman, padang savana, hutan pamah monsoon, hutan sekunder dan pinggiran hutan, persawahan, hutan pegunungan, hutan tanaman (Coates dan Bishop, 1997). Di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu terdapat beberapa tipe habitat burung, yaitu hutan dataran rendah, hutan sub-pegunungan, hutan pegunungan, dan hutan tanaman. Salah satu habitat burung air di Taman Nasional Lore Lindu adalah danau lindu, burung yang dapat ditemukan antara lain bangau sandang-lawe (Ciconia episcopus) dan cangak merah (Ardea purpurea). Untuk hutan primer, dapat ditemukan jenis-jenis burung cingcoang sulawesi, walik kuping merah dan anis geomalia. Hutan sekunder ditemukan jenis-jenis burung seperti mandar padi zebra, ceret gunung, dan burung madu hitam. Sedangkan tepi hutan dihuni burung-burung pergam putih, kapasan Sulawesi, dan gagak hutan (Coates dan Bishop, 1997).
2.5 Indeks Diversity/ keanekaragaman Distribusi atau sebaran spesies menyangkut 3 hal yaitu diversity (keragaman), abundance (kelimpahan) dan spesies richness (kekayaan jenis). Ketiga komponen tersebut merupakan langkah awal dalam inventarisasi dan monitoring. Pengukuran spesies diversity atau sebaran spesies umumnya menggunakan indeks yaitu suatu nilai tunggal yang menggambarkan suatu keadaan secara sederhana. Indeks – indeks tersebut antara lain indeks margalef, indeks Shannon, dan indeks simpson. Indeks kekayaan spesies yaitu jumlah total spesies dalam satu komunitas, dapat menggunakan indeks margalef, dengan rumus D=(S-1)/ln N, dimana D adalah diversity; S adalah jumlah spesies; N
adalah jumlah total individu seluruh spesies dalam sampel. Kekayaan species dan kesamaannya
dalam
suatu
nilai
tunggal
digambarkan
dengan
Indeks
Diversitas/keanekaragaman. Indeks diversity merupakan hasil dari kombinasi kekayaan dan kesamaan spesies, dapat menggunakan indeks Shannon atau indeks simpson. Rumus indeks Shannon adalah H’ = -Σpi ln p, dimana H’ adalah nilai indeks Shannon dan p adalah proporsi dari tiap spesies i. Jadi, H’ adalah jumlah dari seluruh pi ln p untuk semua spesies dalam komunitas.
Rumus indeks
Simpson adalah D = Σ(ni(ni-1)) N(N-1). Indeks kesamaan, menggambarkan jika semua spesies dalam suatu sampel kelimpahannya sama, menunjukkan bahwa indeks kesamaan maksimum dan akan menurun munuju nol sebagai kelimpahan relatif suatu spesies yang tidak sama (Winarni, 2005).
2.6 Ekologi Lanskap Ekologi lanskap dapat diartikan sebagai bentang lahan yang heterogen, yang dibentuk dari elemen/unit pembentuk lanskap yang disebut patch yang saling berinteraksi. Patch yaitu areal homogen yang dapat dibedakan dari daerah sekelilingnya. Matriks yaitu areal homogen yang mendominasi Lanskap. Koridor yaitu patch yang berbentuk memanjang. Edge yaitu daerah peralihan antara patch/antara patch dan matriks. Elemen lanskap memiliki bentuk dan ukuran yang beragam. Bentuk elemen lanskap dibagi menjadi dua yaitu membulat (isodiametric) dan memanjang (elongated) (Sayogo et al, 2008). Matriks kawasan TNLL berupa hutan pegunungan (Upper montane forest dan lower montane forest) yang menutupi sebagian besar kawasan (90%), sisanya berupa patch-patch yang terpisah dengan habitat lainnya. Patch-patch tersebut antara lain cloud forest merupakan patch hutan yang terdapat dipuncak tinggi, patch savana, lower montane riverine forest berupa patch hutan yang berada di sepanjang sungai pegunungan bawah, patch ekosistem marsh dan swamp forest, dan patch berupa lake atau danau (Irawan et al, 2007).
2.7 Efek Tepi Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang dan terbagi-bagi (Primack et al, 1998). Antara satu fragmen dengan lainnya seringkali terjadi isolasi oleh bentang alam yang terdegradasi atau telah berubah, hal ini mengakibatkan bertambahnya luasan daerah tepi. Menurut Edanil (2008), efek tepi masih dapat dideteksi sejauh minimal 250 m kedalam hutan, oleh karena spesies tumbuhan (khususnya) dan hewan biasanya teradaptasi oleh suhu, kelembaban, dan intensitas tertentu saja, perubahan tersebut dapat memusnahkan beberapa spesies. Daerah tepi merupakan sebuah zona yang memungkinkan berbagai jenis satwa hidup pada batas toleransi kondisi lokal, sehingga sangat baik digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi pada lingkungan (Novarino et al, 2005). Paton (1994) dalam Primack et al (1998) menyatakan bahwa daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke dalam fragmen hutan.
III. KONDISI UMUM 3.1 Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Lore Lindu berasal dari tiga fungsi kawasan konservasi, yaitu: a. Suaka Margasatwa Lore Kalamanta yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian Tahun 1973. b. Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian Tahun 1978. c. Suaka Margasatwa Lore Lindu (perluasan Lore Kalamanta) yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian Tahun 1981 Pertama kali pemberian status bagi Taman Nasional Lore Lindu adalah pada tahun 1982 bertepatan dengan Konggres Ketiga Taman Nasional Dunia di Bali. Luas pada saat pengumuman ini adalah 231.000 Ha. Kemudian diperluas dengan penunjukan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1993 menjadi 229.000 Ha. Kawasan ini kemudian ditetapkan oleh Menteri pada tahun 1999 dengan luas 217.991,18 Ha sebagai Taman Nasional Lore Lindu.
3.2 Letak dan Luas Taman Nasional Lore Lindu dibentuk atas dasar penunjukan Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993. Secara umum Taman Nasional Lore Lindu terletak di Provinsi Sulawesi tengah, kabupaten Poso dan kabupaten Donggala. Secara geografis terletak di koordinat 1°03’-1°58’ LS, 119°57’120°22’ BT. Luas Taman Nasional Lore Lindu adalah ±217.991.18 ha. Taman Nasional Lore Lindu, bagian utara dibatasi oleh dataran lembah palu dan dataran lembah palolo, sebelah timur oleh dataran lembah napu, sebelah selatan dataran lembah bada, dan sebelah barat oleh sungai lariang dan hulu sungai palu (lembah kulawi).
3.3 Topografi Taman Nasional Lore Lindu berada pada ketinggian 300 sampai dengan lebih dari 2.000 m dpl, dengan puncak tertinggi Gunung Nokilalaki (2355 m dpl) dan Gunung Tokosa/Rorekatimbu (2.610 m dpl). Lembah atau dataran yang relatif luas terdapat di Lembah Palolo, Lindu, Napu, Bada, dan Kulawi. Berdasarkan analisis peta topografi, berikut adalah kondisi kelerengan keseluruhan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. - datar (0-8%) seluas 7 % - landai (8-15%) seluas 6% - agak curam (15-25%) seluas 15% - curam (25-45%) seluas 4% - sangat curam(> 45%) sekitar 68%.
3.4 Iklim Taman Nasional Lore Lindu bagian utara mempunyai tipe iklim C/D, bagian timur mempunyai tipe iklim B (agak musiman), bagian barat memiliki tipe iklim A (lembab permanen). Curah hujan disekitar Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dan tidak merata sepanjang tahun. Fontannel dan Chanterfort (1978, dalam RPTN Lore Lindu) melaporkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan secara umum berada diatas 3.000 mm. Bahkan pada bulan-bulan kering, terutama di wilayah pada ketinggian 1000 m dpl atau lebih, curah hujan masih tinggi. Suhu maksimum pada kisaran 26°C hingga 35°C, sedangkan suhu minimumnya pada kisaran 12°C hingga 17°C. Kelembaban udara rata-rata 98% dan kecepatan angin rata-rata 3,6 km per jam.
3.5 Flora Delapan tipe vegetasi utama yang dapat dijumpai di Taman Nasional Lore Lindu adalah: 1. Rawa; Tumbuhan yang dapat dijumpai antara lain: pandan, Dacrydium sp., sagu,
Burmannia
disticha,
anggrek
besar
yang
(Phaiustankervilleae), Nepenthes sp., Rhododendron
tumbuh
di
tanah
2. Hutan monsoon; Tumbuhan yang mendominasi antara lain: Pterospermumf, Diversifolium. Belum ada survei mengenai hutan monsoon ini. 3. Dataran rendah; Tanaman yang dijumpai antara lain Artocarpus vriesianus, Elmerillia ovalis dan beberapa jenis dari Dipterocarpaceae. Jenis burungnya: burung madu sepah raja, burung madu sriganti, sikatan matari. 4. Pegunungan;
Tipe
hutan
ini
dicirikan
adanya
jenis
Castanopsis
accuminatissima yang membentuk hampir 60-70% dari tempat mereka hidup dan dapat dikenali secara mudah. Beberapa jenis lainnya adalah Tristania whiteana, Calophyllum sp. Jenis Myrtus ditemui pada tempat yang lebih tinggi dan terbatas pada wilayah yang lebih kering. Jenis burungnya perling kecil, dan sikatan belang. 5. Pegunungan Rendah; Kawasan ini didominasi famili sapotacese dan fagaceae, namun ditemukan pula jenis Acer niveum, Bruinsmia styracea, Santiria sp. yang
merupakan karakteristik sub-tipe hutan ini. Pohon-pohon palem
(Calamus sp.) dan tumbuhan kayu merambat juga umum ditemui. Pohonpohon berdiameter lebih besar dari 60 cm banyak ditemui dan kanopinya tersusun secara baik, tertutup dan berlapis-lapis. 6. Pegunungan tinggi; Tumbuhan yang dapat ditemui antara lain: dawnosia, tumbuhan bambu kecil (Begonia spp., Elatostema spp, Cyrtandra spp., Agathis celebica, Ternstroemis, Lithocarpus spp., Phyllocladus hypophyllus). Jenis burung jalak alis api, kancilan perut kuning, kipasan sulawesi. 7. Hutan semak belukar; Tanaman yang banyak dijumpai adalah pohon-pohon ramping, serta memiliki daun kecil, seperti: Rhododendron sp. Phyllocladus hypophyllus, Burmania sp., Nepenthes. 8. Hutan awan; Tumbuhan yang dijumpai berupa lumut dan pohon kecil, jamur dan alga yang menutupi batang, ranting dan daun dari pohon-pohon yang ada. Selain itu dijumpai pula Eugenis spp., Weinmannia descombesiana, beberapa genus Theacea.
3.6 Fauna Burung, sampai tahun 2002 tercatat 225 jenis burung dalam Taman Nasional Lore Lindu, termasuk 78 endemik Sulawesi serta 46 jenis termasuk jenis langka. Berdasarkan data yang ada, Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat bagi 80% jenis burung endemik dan 82% jenis langka di Sulawesi. Jenis burung yang sangat terkenal diantaranya burung maleo (Macrocephalon maleo) dan julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix). Mamalia, 77 jenis mamalia besar maupun kecil tercatat di Taman Nasional Lore Lindu, termasuk diantaranya 47 endemik di Sulawesi. Taman Nasional Lore Lindu juga merupakan tempat tinggal bagi 89% jenis mamalia Sulawesi. Beberapa jenis mamalia antara lain: anoa (Bubalus sp), babirusa (Babyrousa babyrussa),
monyet
boti,
krabuku
(tarsius),
musang
(Macrogalidia
musschenbroeckii) dan kuskus beruang (Ailurops ursinus). Ikan, Reptil dan Amphibi, Informasi mengenai ikan di Taman Nasional Lore Lindu sangat sedikit. Sedangkan penelitian tentang reptil mencatat adanya 24 jenis dari 13 famili dan 21 jenis amphibi. Jenis-jenis reptil antara lain ular pyton (Phyton reticulatus), king kobra (Ophiophagus hannah), Calamaria nuchalis, dan Ptyas dipsas.
IV. METODE PE ENELITIIAN 4.1 Lokassi dan Wak ktu Penelitian dilakukan dii resort Matauwe M daan resort T Tomado, Taman T f utamaa pada hutaan primer, kebun kop pi dan Nasional Lore Linduu, dengan fokus coklat, daan daerah peeralihan anttara hutan primer p denggan kebun kopi dan co oklat. Penelitiann dilaksanakkan pada bullan Juni 200 08 sampai dengan d bulaan Agustus 2008. 2 Pengambilan data keaanekaragam man jenis bu urung dan annalisis vegeetasi pada habitat hutan prim mer dilakukkan pada 255 Juni–8 Ju uli 2008, paada habitat kebun kop pi dan coklat yaiitu 13–26 Juuli 2008, paada habitat peralihan antara a hutann primer deengan kebun koppi dan coklaat yaitu 30 Juli–12 J Agu ustus 2008.
Gaambar 1. Peta lokasi peenelitian Tam man Nasionnal Lore Linndu 4.2 Alat dan d Bahan Peralatan yanng digunakaan yaitu biinokuler unntuk melihaat burung; buku panduan lapang: buruung-burungg di kawasan n Wallacea (Coates daan Bishop, 1997) 1 digunakann untuk menngidentifikaasi jenis bu urung yang ditemukan;; peta penuttupan
lahan digunakan untuk menentukan lokasi penelitian; cronometer sebagai penunjuk waktu dalam pengamatan; kamera DSLR Nikon D40x dengan lensa tamron 70-300 mm untuk mendokumentasikan burung dan lokasi penelitian; binokuler bushneell 10x50 untuk membantu melihat burung; Global Positioning System (GPS) digunakan untuk memetakan burung yang ditemukan dilokasi penelitian; kompas digunakan sebagai penunjuk arah; pita diameter untuk mengukur diameter pohon; meteran untuk mengukur panjang jalur pengamatan; tali plastik 20 meter untuk mengukur jarak; dan alat tulis untuk mencatat.
4.3 Pengumpulan Data 4.3.1 Burung Pengumpulan data keanekaragaman jenis burung dilakukan dengan metode Indeks Point of Abundance (IPA). Metode IPA adalah metode pengamatan burung dengan mengambil sampel dari komunitas burung untuk dihitung dalam waktu dan lokasi tertentu. Pengamatan dilakukan dengan berdiri pada titik tertentu pada habitat yang diteliti kemudian mencatat perjumpaan terhadap burung dalam rentang waktu tertentu (Helvoort, 1981). Metode ini baik digunakan pada habitat yang terpecah-pecah atau pada habitat yang memiliki kondisi topografi curam. Dalam metode ini, pengamat berhenti pada suatu titik/stasiun pengamatan selama 15 menit untuk mengamati dan mencatat jenis burung yang dapat diidentifikasi di sekitar lokasi penelitian. Setelah 15 menit, pengamat kemudian berpindah ke stasiun pengamatan lain dan kemudian melakukan pengamatan lagi di stasiun pengamatan tersebut dengan waktu yang sama yaitu selama 15 menit. Jumlah jalur pada setiap tipe habitat adalah 3 jalur, jumlah titik pada setiap jalur adalah enam titik, dengan jarak masing-masing titik adalah 200 m, panjang jalur pengamatan 1 km. Peletakan jalur pada setiap tipe habitat dengan arah melawan garis kontur. Pengulangan pada jalur pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali. Pengamatan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi hari pada pukul 06.0009.00 WITA dan sore hari pada pukul 15.00-18.00 WITA.
Tabel 1. Lokasi pengamatan No 1 2 3
Jumlah jalur Hutan primer 3 Daerah peralihan 3 Kebun kopi dan 3 coklat Tipe habitat
Bentuk pengambilan data Indeks point count Indeks point count Indeks point count
Keterangan Arah jalur dengan melawan kontur
Pengamatan dilakukan melalui perjumpaan langsung dan suara. Selain mencatat jenis dan jumlah yang ditemukan, pengamatan juga dilakukan terhadap aktivitas burung yang dijumpai, posisi burung pada kanopi pohon, struktur dan jenis vegetasi yang digunakan oleh burung. Perjumpaan terhadap burung yang melintasi titik pengamatan tidak diperhitungkan.
4.3.2 Kondisi vegetasi Vegetasi merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat. Vegetasi dimanfaatkan oleh burung sebagai habitat untuk bersarang, beristirahat, mencari makan, berkembangbiak dan lainnya. Untuk melihat kondisi habitat burung dilakukan analisis vegetasi. Analisis vegetasi merupakan suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara & Indrawan, 2002). Ukuran petak adalah 20m x 20m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Dalam petak dibuat sub plot berukuran 2m x 2m untuk tingkat pertumbuhan semai, 5m x 5m untuk tingkat pertumbuhan pancang dan 10m x 10m untuk tingkat pertumbuhan tiang. 5 m
10 m
2 m
200m
5m
10 m
Gambar 2. Bentuk jalur analisis vegetasi
Pengamatan vegetasi dengan membuat petak ukur di sepanjang jalur pengamatan dengan panjang jalur 200 m. Parameter yang di ukur untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, dan tinggi total. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai meliputi jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis. Profil vegetasi Pengamatan struktur vertikal penutupan tajuk dilakukan dengan membuat diagram profil pohon. Dalam pengukuran struktur vertikal, dibuat petak ukur pengamatan berukuran 50x20m. Pengukuran dilakukan terhadap kedudukan vegetasi, penutupan tajuk, arah tajuk, tinggi tajuk, tinggi bebas cabang dan diameter batang setinggi dada. 4.4 Analisis Data 4.4.1 Burung a. Kelimpahan burung Kelimpahan burung merupakan total jumlah individu burung yang ditemukan selama pengamatan. Perhitungan jumlah dari jenis-jenis burung yang ada dengan melihat nilai kelimpahan tiap-tiap spesies yaitu
Pi =
∑ burung spesies ke - i ∑ total burung
dimana Pi = nilai kelimpahan
b. Keanekaragaman jenis dan penyebaran Keanekaragaman jenis burung dinyatakan dalam jumlah jenis dan dalam beberapa indeks sebagai berikut: b.1 Indeks keanekaragaman Keanekaragaman jenis burung pada tiap-tiap habitat dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus
H’ = - ∑ Pi ln Pi
b.2 Indeks kemerataan Indeks kemerataan (Index of eveness) berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis dalam setiap komunitas yang dijumpai. Kemerataan menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar spesies. Apabila setiap individu memiliki jumlah individu yang sama, maka komunitas tersebut mempunyai nilai kemerataan maksimal, dan jika nilai kemerataan kecil maka dalam komunitas tersebut terdapat jenis dominan, sub-dominan dan tidak dominan karena kelimpahan individu antar spesies dalam komunitas tersebut tidak merata. E
= H’/ln S
Keterangan: E
= indeks kemerataan
H’
= keanekaragaman jenis burung
ln
= logaritma natural
S
= jumlah jenis
b.3 Indeks kesamaan jenis burung Kesamaan jenis burung di tiap lokasi dapat dilihat dengan indeks kesamaan jenis dengan melakukan analisis dendrogram. Indeks Kesamaan Jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan jenis burung yang ditemukan pada habitat yang berbeda, karena habitat mempengaruhi komposisi jenis burung dalam suatu komunitas. Rumus yang digunakan sebagai berikut:
Indeks Kesamaan Jenis
=
a a + b + c
Keterangan: a
= jumlah jenis yang umum di komunitas A dan B
b = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas A c
= jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas B
b.4 Analisis penyebaran jenis burung Untuk melihat penyebaran jenis burung secara horizontal pada masingmasing habitat pengamatan, maka rumus yang digunakan dalam analisis penyebaran jenis burung adalah
Frekuensi Jenis (Fj)
=
Frekuensi Relatif (FR)
=
Jumlah plot ditemukan suatu jenis burung Jumlah seluruh plot contoh Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis
× 100%
Nilai ini menunjukkan tingkat keseringan atau kepentingan suatu jenis burung dalam menggunakan plot pengamatan secara relatif terhadap jenisjenis lainnya. b.5 Analisis dominansi jenis burung Menentukan jenis burung yang dominan didalam kawasan penelitian, ditentukan dengan menggunakan rumus menurut (Helvoort, 1981)
Kerapatan jenis (Kj)
=
Kerapatan Relatif (KR)
=
Kriteria :
Jumlah suatu jenis Luas plot contoh Kerapatan suatu jenis Kerapatan seluruh jenis
× 100%
Di = 0 – 2 % jenis tidak dominan Di = 2 – 5 % jenis sub-dominan Di = > 5 % jenis dominan
4.4.2 Habitat
a. Analisis vegetasi Analisis vegetasi digunakan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis pohon. Dominansi suatu jenis tumbuhan dapat dilihat dari besaran indeks nilai penting (INP). INP mengindikasikan tingkat kepentingan vegetasi bagi habitat burung. Nilai INP dihitung dari penjumlahan nilai-nilai kerapatan
relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) untuk tingkat tumbuhan bawah, semai, dan pancang, dan ditambahkan nilai dominansi relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai-nilai tersebut adalah
∑ individu
Kerapatan jenis
=
Kerapatan Relatif (KR)
=
Dominasi (D)
=
Dominasi Relatif (DR)
=
Dominasi suatu jenis x100% Dominasi seluruh jenis
Frekuensi (F)
=
∑ plot ditemukann ya suatu ∑ total plot contoh
Frekuensi Relatif (FR)
=
Frekuensi suatu jenis x100% Frekuensi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP)
= KR + DR +FR
Luas contoh Kerapatan suatu jenis x100% Kerapatan seluruh jenis
∑ Jumlah luas bidang dasar Luas petak contoh
jenis
b. Tingkat Penggunaan Habitat Nilai ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan habitat atau vegetasi oleh burung.
Ft =
St x100% Sp
Keterangan: Ft
= fungsi habitat atau vegetasi bagi burung
St
= jumlah jenis burung yang menggunakan habitat atau vegetasi
Sp
= jumlah keseluruhan jenis burung yang ada di lokasi penelitian
c. Uji t-Student Uji
t-student
digunakan
untuk
mengetahui
adanya
perbedaan
keanekaragaman jenis burung antara hutan primer, daerah peralihan antara hutan primer dengan kebun kopi dan coklat, serta kebun kopi dan coklat, pada tingkat kepercayaan 95% dan 99% dengan menggunakan hipotesa: H0 : tidak ada perbedaan kanekaragaman jenis burung pada tipe habitat 1 dan tipe habitat 2. H1 : ada perbedaan kanekaragaman jenis burung pada tipe habitat 1 dan tipe habitat 2. Jika thitung < ttabel, maka terima H0 Jika thitung ≥ ttabel, maka tolak H0, dan terima H1, dimana: Persamaan menurut Magurann (1988) sebagai berikut :
∑pi (ln pi) - (∑ pi ln pi) 2
Var H’ = thitung
=
N
2
−
S −1
(2N )2
H'1 + H' 2 (Var H'1 + Var H' 2 )1/2
(Var H'1 + Var H'2 ) 2 Df = [(Var H'1 ) 2 /N1 ] + [( Var H'2 ) 2 / N 2 ] Dimana: S
= Jumlah jenis dari satu unit contoh
N
= Jumlah total individu
H’
= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Df
= Derajat bebas
Var H
= Keragaman dari indeks keragaman Shannon
d. Penggunaan tajuk sebagai habitat oleh burung Analisis terhadap penggunaan strata vegetasi oleh burung dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menghubungkan antara penggunaan strata vegetasi hutan dengan banyaknya jenis burung di habitat tersebut sehingga dapat diketahui jenis burung yang menggunakan strata tajuk pada masing-masing tipe habitat
Gambar 3. Bentuk tajuk pohon secara vertikal dan horizontal Keterangan : 1 : Tajuk bagian atas 2 : Tajuk bagian tengah 3 : Tajuk bagian bawah 4 : Lantai hutan h : Ketinggian burung dari atas tanah A dan C: Tepi tajuk B : Tajuk tengah
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil A.1 Habitat Burung A.1.1 Kondisi Lanskap
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan klasifikasi peta penutupan lahan (Gambar 4), elemen lanskap di lokasi penelitian merupakan matriks hutan, patch kebun dan edge sebagai daerah peralihan yang merupakan pertemuan antara dua tipe habitat yang berbeda yaitu pertemuan antara hutan primer dengan kebun. Patch hutan mempunyai bentuk membulat dan mendominasi kawasan TNLL. Sedangkan patch kebun berada terpencar didalam dan disekitar kawasan taman nasional. Patch kebun ini sebagian besar mempunyai bentuk memanjang. A.1.2 Habitat Hutan Primer
Hutan primer di plot contoh terletak sekitar 5 km dari pemukiman masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan. Pada lokasi ini, jalur pengamatan berada pada ketinggian 700 sampai 1350 mdpl yang merupakan tipe hutan pegunungan bawah. Terdapat tiga jalur pengamatan yang mewakili tipe habitat ini. Hutan primer memiliki vegetasi rapat dan beragam yang didominasi oleh pohon-pohon besar. Kondisi daerah yang relatif utuh dari gangguan manusia, karena memiliki topografi yang berbukit-bukit. A.1.2.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi
Hasil pengamatan di habitat hutan primer ditemukan sebanyak 30 jenis pohon
yang
terdapat
disepanjang
jalur
pengamatan.
Tingkat
vegetasi
menunjukkan adanya variasi antara tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon. Dari hasil analisis komposisi vegetasi di plot pengamatan diperoleh data seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi pada tiap tingkat di habitat hutan primer Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai
Jumlah Jenis 30 19 14 15
Indeks Keanekaragaman 3.115 2.853 2.363 2.591
Gambar 4. Peta tata guna lahan Taman Nasiional Lore Lindu
Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi tertinggi ditemukan pada tingkat tiang, kemudian pohon, semai dan pancang. Sedangkan jumlah jenis vegetasi tertinggi ditemukan pada tingkat pohon, kemudian tiang, semai, dan pancang. Stratifikasi vertikal vegetasi pada habitat hutan primer menunjukkan adanya empat strata vegetasi yaitu strata A (>25 m), strata B (10-25 m), strata C (4-10 m), dan strata D (0-4 m), seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa jenis vegetasi pada setiap strata di habitat hutan primer Strata A
Tinggi >25 m
B
10-25 m
C
4-10 m
D
0-4 m
Jenis Vegetasi Beringin (Ficus sp) Lamwangi (Ficus septica) Rodo (Erythrina subumbrans) Kuhiyo (Evodia sp) Palili (Lithocarpus sp) Beringin (Ficus sp) Paliyo (Cinnamommum parthenoxyllon) Palili (Lithocarpus sp) Marangkapi (Villebrunea rubencens) Baka (Castanopsis argentea) Kuhiyo (Evodia sp) Wune (Glochidion rubrum)
Tingkat pohon pada habitat hutan primer didominasi oleh jenis Ficus sp (INP 45.53%), kemudian Lithocarpus sp (INP 28.20%), dan Lindera apoensis (INP 24.19%). INP tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis Erythrina subumbrans (INP 33.44%), berikutnya terdapat pada jenis Lithocarpus sp (INP
30.14%), dan Glochidion rubrum (INP 22.47%). Tingkat pancang, INP tertinggi pada jenis Ficus sp (INP 34.14%), Magnolia condali (INP 31.58%), Erythrina subumbrans dan Evodia celebica (INP 19.34%). Nilai tertinggi INP pada tingkat
semai ditemukan pada jenis Magnolia condali, lebanu, dan Lindera apoensis (INP 22.82%). Indeks nilai penting (INP) tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada Gambar 5 merupakan kondisi vegetasi habitat hutan primer dan peta profil tingkat pohon dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5. Vegetasi V di habitat h hutan primer
Gambbar 6. Profil vegetasi v poho on di habitat hutan primeer
Keterangan : a. Eugenia sp b. Evodia sp c. Elmerilia ovallis d. Erythrina subumbrans e. Engelhartia rigida
f. Ficus sp g. Lindera apoensis h. Lithocarpus sp i. Lithocarpus sp j. Glochidion rubrum
k. konkone l. Ficus sp m. Schefflera sp n. Ficus septica o. Erythrina subumbrans
A.1.3 Habitat Daerah Peralihan
Daerah peralihan berada diantara hutan primer dengan kebun. Terletak sekitar 3 km dari pemukiman masyarakat yang berbatasan dengan kawasan. Jalur pengamatan berada pada ketinggian 400 sampai 700 mdpl, yang merupakan tipe hutan dataran rendah. Terdapat tiga jalur pengamatan yang mewakili tipe habitat ini. Daerah peralihan wilayahnya agak terbuka, memiliki pohon-pohon besar yang jumlahnya sedikit dan banyak terdapat tumbuhan bawah. Kegiatan manusia ada, masyarakat memanfaatkan daerah ini untuk mencari kayu bakar dan menanam kopi dibawah tegakan pohon. A.1.3.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi
Jenis pohon yang tercatat pada jalur pengamatan sebanyak 25 jenis. Jenisjenis tersebut antara lain Erythrina subumbrans, Lithocarpus sp, dan Evodia sp. Dari hasil analisis komposisi vegetasi di plot pengamatan diperoleh data seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi pada tiap tingkat di habitat daerah peralihan Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai
Jumlah Jenis 25 14 15 13
Indeks Keanekaragaman 2.627 1.973 2.395 2.332
Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi tertinggi terdapat pada pohon, kemudian pancang, semai, dan tiang. Sedangkan jumlah jenis vegetasi terbanyak ditemukan pada tingkat pohon, kemudian pancang, tiang, dan semai. Stratifikasi vertikal vegetasi pada habitat daerah peralihan menunjukkan adanya empat strata vegetasi yaitu strata A (>25 m), strata B (10-25 m), strata C (4-10 m), dan strata D (0-4 m), seperti tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Beberapa jenis vegetasi pada setiap strata di habitat daerah peralihan Strata A
Tinggi >25m
B
10-25m
C
4-10m
D
0-4m
Jenis Vegetasi Kuhiyo (Evodia sp) Rodo (Erythrina subumbrans) Beringin (Ficus sp) Palili (Lithocarpus sp) Rodo (Erythrina subumbrans) Lamwangi (Ficus septica) Una-una (Piper aduncum) Palili (Lithocarpus sp) Mpomaria (Engelhartia rigida) Kopi (Coffea robusta) Una-una (Piper aduncum) Miyapo (Macaranga hispida)
Jenis pohon yang ditemukan pada habitat daerah peralihan terdapat juga pada habitat hutan primer, tetapi secara umum pohon yang mendominasi adalah jenis Erythrina subumbrans (INP 55.54%), Lithocarpus sp (INP 44.01%), dan Evodia sp (INP 28.89%). Pada tingkat tiang, INP tertinggi pada jenis Piper aduncum (INP 101.1%), berikutnya Coffea robusta (INP 68.91%), dan Lithocarpus sp (INP 28.63%). Nilai INP tertinggi pada tingkat pancang ditemukan
pada jenis Coffea robusta (INP 31.21%), kemudian Schefflera sp (INP 28.80%), dan Macaranga hispida (INP 22.76%). Tingkat semai didominasi oleh jenis Coffea robusta (INP 28.77%), Piper aduncum (INP 26.93%), Engelhartia rigida
dan Schefflera sp (INP 21.80%). Indeks nilai penting (INP) tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada Gambar 7 merupakan kondisi vegetasi habitat hutan primer dan peta profil tingkat pohon dapat dilihat pada Gambar 8.
G Gambar 7. Veegetasi di hab bitat daerah peralihan p
Gambarr 8. Profil veggetasi pohon n di habitat daaerah peralihhan
Keterangan : a. Lithocarpus sp b. Ficus sp c. Erythrina subumbrans d. Elmerilia ovallis e. Dizoxylun sp f. Evodia sp
g. Lithocarpus sp h. Lindera apoensis i. Chataranthus roseus j. Orio k. Chataranthus roseus l. Lithocarpus sp
m. Erythrina subumbrans n. Cryptocarya sp o. Ficus sp p. Glochidion rubrum q. Lindera apoensis
A.1.4 Habitat Kebun Kopi dan Coklat
Kebun ini awalnya merupakan hutan, namun telah dikonversi oleh masyarakat menjadi lahan budidaya. Jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat adalah kopi dan coklat. Wilayah ini berada didalam dan diluar kawasan taman nasional, terletak berbatasan langsung dengan pemukiman masyarakat. Jalur pengamatan berada pada ketinggian 200 sampai 400 mdpl. Terdapat tiga jalur yang mewakili tipe habitat ini. Habitat kebun mempunyai tajuk pepohonan, tetapi hanya terdiri dari beberapa jenis pohon. Aktifitas masyarakat sangat sering terlihat. A.1.4.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi
Hasil pengamatan di habitat kebun kopi dan coklat didapatkan 7 jenis pohon. Jenis-jenis tersebut antara lain Arthocarpus elastica, Eugenia aromatica, dan Ficus sp. Dari hasil analisis komposisi vegetasi di plot pengamatan diperoleh data seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi pada tiap tingkat di habitat kebun Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai
Jumlah Jenis 7 6 4 6
Indeks Keanekaragaman 1.864 1.594 1.084 1.593
Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi tertinggi terdapat pada pohon, kemudian tiang, semai, dan pancang. Sedangkan jumlah jenis vegetasi terbanyak ditemukan pada tingkat pohon, jenis paling sedikit yaitu pancang. Tiang dan semai mempunyai jumlah jenis yang sama. Stratifikasi vertikal vegetasi pada habitat kebun menunjukkan adanya tiga strata vegetasi yaitu strata B (10-25 m), strata C (4-10 m), dan strata D (0-4 m), seperti tersaji pada Tabel 7.
T Tabel 7. Beberapa jenis vegetasi v padaa setiap strataa di habitat kkebun Strata B
Tinggi 10-25m
C
4-10m
D
0-4m
Jenis Veggetasi Bendo (Artthocarpus elasstica) Lamwangi (Ficus septicaa) Beringin (F Ficus sp) Cengkeh (E Eugenia arom matica) Jambu air (Syzygium aqueum) Piper aduncum m) Una-una (P Una-una (P Piper aduncum m) Kopi (Coffe fea robusta) coklat (Theebroma cacao)
IN NP tingkat pohon paliing tinggi pada jeniss Eugenia aromatica (INP 60.35%), berikutnyaa Arthocarppus elastica a (INP 58.30%), dan Ficus sp (INP d 52.19%). Pada tingkkat tiang ditemukan jenis-jenis Eugenia aromatica (INP 77.57%), Ficus sp (INP 54.20%), dan Arthocarpuus elastica (INP 47.5 52%). Tingkat paancang, INP P tertinggi pada Thebrroma cacaoo (INP 120.30%), kemu udian Coffea robbusta (INP 44.86%), dan d Piper aduncum a (IN NP 24.81%). Tingkat semai s dijumpai jenis j Thebrroma cacaoo (INP 69.0 04%), Pipeer aduncum m (INP 43.6 65%), dan Coffeaa robusta (IINP 32.53% %). Inddeks nilai penting (IN NP) tingkaat pohon, tiang, t panccang, dan semai s selengkapnya dapat dilihat d padaa Lampiran 3. Pada Gaambar 9 merrupakan ko ondisi vegetasi habitat h hutaan primer dan d peta prrofil tingkatt pohon daapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 9. Vegetasi di d habitat kebbun
Gambar 10. Profil vegetasi pohon di habitat kebun Keterangan : a. Ficus sp b. Ficus sp c. Syzygium aqueum d. Arthocarpus elastica
Gaambar 11. Peeta tata guna lahan resort Matauwe
Gambar 12. Peeta tata gunaa lahan resortt Tomado
A.2 Burung
A.2.1 Kekayaan Jenis Burung
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada keseluruhan tipe habitat ditemukan sebanyak 76 jenis burung dari 35 famili. Habitat yang memiliki jumlah jenis burung paling banyak adalah habitat daerah peralihan, sebanyak 51 jenis burung dari 25 famili, habitat kebun memiliki jumlah jenis burung sebanyak 42 jenis dari 25 famili, sedangkan habitat yang memiliki jumlah jenis burung paling sedikit adalah habitat hutan primer, sebanyak 35 jenis burung dari 20 famili (Gambar 13).
Jumlah jenis burung
60
51
50 40
42
35
30 20 10 0 Hutan primer Daerah peralihan
Kebun
Tipe habitat
Gambar 13. Perbandingan jumlah jenis burung di setiap tipe habitat
Sedangkan jumlah jenis burung dan jumlah jenis burung endemik pada tiap-tiap tipe habitatnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kaitan antara jenis burung dengan tipe habitatnya No
Tipe Habitat
1 2 3 4 5 6 7
Hutan primer Daerah peralihan Kebun Hutan primer dan daerah peralihan Hutan primer dan kebun Daerah peralihan dan kebun Hutan primer, daerah peralihan, dan kebun
Jumlah Jenis Burung 35 51 42 10 1 7 17
Jumlah Jenis Burung Endemik 22 33 14 5 0 2 10
Pada lokasi penelitian, ditemukan 41 jenis burung (20 famili) yang merupakan burung endemik Sulawesi (Tabel 9).
Tabel 9. Jenis burung endemik Sulawesi yang ditemukan di lokasi penelitian Famili Accipitridae
Rallidae Columbidae
Psittacidae
Cuculidae
Centropodidae Strigidae Halcyonidae Alcedinidae Bucerotidae Picidae Campephagidae
Dicruridae Timallidae Turdidae Rhipiduridae Arthamidae Sturnidae
Dicaeidae
Zosteropidae
Nama Indonesia
Nama Ilmiah
Elang-ular sulawesi Elang sulawesi Elang-alap kepala-kelabu Kareo sulawesi Merpati-hitam sulawesi Pergam tutu Pergam kepala-kelabu Merpati murung Walik malomiti Perkici dora Perkici kuning-hijau Kring-kring dada-kuning Kring-kring bukit Serindit sulawesi Kangkok sulawesi Tuwur sulawesi Kadalan sulawesi Bubut sulawesi Celepuk sulawesi Cekakak-hutan dada-sisik Udang-merah sulawesi Kangkareng sulawesi Julang sulawesi Caladi sulawesi Pelatuk-kelabu sulawesi Kepudang-sungu biru Kepudang-sungu sulawesi Kapasan sulawesi Srigunting sulawesi Pelanduk sulawesi Anis punggung-merah Kipasan sulawesi Kekep sulawesi Blibong pendeta Jalak alis-api Jalak tunggir-merah Raja-perling sulawesi Cabai panggul-kuning Cabai sulawesi Cabai panggul-kelabu Opior sulawesi
Spilornis rufipectus Spizaetus lanceolatus Accipiter griseiceps Amaurornis isabellinus Turacoena manadensis Ducula forsteni Ducula radiata Cryptophaps poecilorrhoa Ptilinopus subgularis Trichoglossus ornatus Trichoglossus flavoviridis Prioniturus flavicans Prioniturus platurus Loriculus stigmatus Cuculus crassirostris Eudynamys melanorhyncha Phaenicophaeus calyorhynchus Centropus celebensis Otus manadensis Actenoides princeps Ceyx fallax Penelopides exarhatus Rhyticeros cassidix Dendrocopos temminckii Mulleripicus fulvus Coracina temminckii Coracina morio Lalage Leucopygialis Dicrurus montanus Trichastoma celebense Zoothera erythronota Rhipidura teysmanni Artamus monachus Streptocitta albicollis Enodes erythrophris Scissirostrum dubium Basilornis celebensis Dicaeum aureolimbatum Dicaeum nehrkorni Dicaeum celebicum Lophozosterops squamiceps
Keterangan: P: hutan primer, Pr: daerah peralihan, K: kebun
Tipe Habitat P Pr K • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Jennis burung endemik teerbanyak dittemukan paada habitat daerah peraalihan sebanyak 33 jenis, paada habitat hutan primeer sebanyakk 22 jenis, ddan habitat kebun k sebanyak 14 jenis (Gaambar 14). 3 33
Jumlah jenis burung
35 30 25
22
20
14
15 10 5 0 Hutan primeer
Daerah peralihan
Kebun
Tipee habitat
Gambar 144. Perbandinggan jenis burrung berdasarrkan keendem mikan
a b Gambaar 15. Jenis burung endeemik Sulaweesi (a) Zootheera erythronnota, dan (b)) Otus manaddensis
Buurung yang paling bannyak ditemu ukan dari famili fa colum mbidae (meerpatimerpatiann) sejumlah 9 jenis. Kemudian K faamili accipiitridae (6 jeenis); psittaacidae dan nectarriniidae (5 jenis); cucculidae dan sturnidae (4 ( jenis). S Sedangkan famili f burung yaang lain beerkisar 1-3 jenis yang g ditemukann dilokasi penelitian. Pada Gambar 16 1 disajikann jumlah jeenis burung g pada setiaap famili. Sedangkan jenis burung yaang ditemukkan pada tiapp-tiap habittat disajikann pada Lamppiran 4.
famili 6
5 5
4 4
3 3 3 3 3
2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Columbidae Accipitridae Psittacidae Nectariniidae Cuculidae Sturnidae Campephagi… Muscicapidae Dicaeidae Zosteropidae Estrildidae Centropodidae Halcyonidae Bucerotidae Picidae Dicruridae Phasianidae Turnidae Rallidae Strigidae Caprimulgidae Hemiprocni… Alcedinidae Hirundinidae Pycnonotidae Oriolidae Corvidae Timallidae Turdidae Pardalotidae Rhipiduridae Petroicidae Arthamidae Meliphagidae
10 8 6 4 2 0
9
Gambar 16. Jumlah keanekaragaman jenis burung pada setiap famili
A.2.2 Komposisi dan Struktur Burung A.2.2.1 Penyebaran Jenis Burung
Berdasarkan hasil analisa penyebaran lokal jenis burung menurut gradient pada tiap-tiap tipe habitat, terdapat 13 jenis burung yang sering dijumpai pada habitat hutan primer, 19 jenis burung pada habitat daerah peralihan dan habitat kebun sebanyak 16 jenis burung, selengkapnya tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Jenis-jenis burung yang sering dijumpai di tiap-tiap tipe habitat Tipe Habitat Hutan primer
Daerah peralihan
Kebun
Jenis Burung Spilornis rufipectus Cyornis rufigastra Phaenicophaeus calyorhynchus Culicicapa helianthea Rhyticeros cassidix Streptocitta albicollis Dendrocopos temminckii Enodes erythrophris Dicrurus hottentottus Dicaeum aureolimbatum Oriolus chinensis Zosterops atrifrons Macropygia amboinensis Cyornis rufigastra Loriculus stigmatus Culicicapa helianthea Phaenicophaeus calyorhynchus Streptocitta albicollis Halcyon chloris Enodes erythrophris Penelopides exarhatus Myzomela sanguinolenta Rhyticeros cassidix Nectarinia Aspasia Mulleripicus fulvus Dicaeum nehrkorni Dicrurus hottentottus Dicaeum celebicum Oriolus chinensis Zosterops atrifrons Eumyias panayensis Haliastur indus Eumyias panayensis Spilornis rufipectus Anthreptes malacensis Ducula forsteni Nectarinia jugularis Treron griseicauda Dicaeum aureolimbatum Loriculus stigmatus Dicaeum celebicum Halcyon chloris Zosterops chloris Dicrurus hottentottus Zosterops atrifrons Oriolus chinensis Lonchura molucca
Jumlah
12
19
16
Jenis burung yang hanya dijumpai di habitat hutan primer sebanyak 6 jenis, habitat daerah peralihan dan habitat kebun sebanyak 16 jenis burung, selengkapnya tersaji pada Tabel 11. Tabel 11. Jenis-jenis burung yang hanya dijumpai di tiap-tiap tipe habitat Tipe Habitat Hutan primer
Daerah peralihan
Kebun
Hutan primer dan daerah peralihan
Hutan primer dan kebun Daerah peralihan dan kebun
Hutan primer, daerah peralihan, dan kebun
Jenis Burung Coracina temminckii Coracina morio Dicrurus montanus Trichastoma celebense Ficedula hyperythra Lophozosterops squamiceps Actenoides princeps Hieraaetus kienerii Accipiter griseiceps Turacoena manadensis Cryptophaps poecilorrhoa Trichoglossus ornatus Trichoglossus flavoviridis Cuculus crassirostris Centropus celebensis Ictinaetus malayensis Turnix suscitator Amaurornis isabellinus Streptopelia chinensis Treron griseicauda Centropus bengalensis Ceyx fallax Pycnonotus aurigaster Spizaetus lanceolatus Ptilinopus subgularis Prioniturus flavicans Cuculus saturates Enodes erythrophris Gallus gallus Haliastur Indus Ducula radiate Prioniturus platurus Nectarinia aspasia Spilornis rufipectus Macropygia amboinensis Ducula forsteni Ptilinopus superbus Loriculus stigmatus Hemiprocne longipennis Eumyias panayensis Dicaeum aureolimbatum Zosterops atrifrons
Jumlah
7
Otus manadensis Eurostopodus macrotis Lalage leucopygialis Zoothera erythronota Artamus monachus Scissirostrum dubium Basilornis celebensis Dicaeum nehrkorni Gerygone sulphurea Anthreptes malacensis Nectarinia jugularis Nectarinia sp Zosterops chloris Lonchura molucca Lonchura punctulata Lonchura malacca Phaenicophaeus calyorhynchus Cyornis rufigastra Rhipidura teysmanni Culicicapa helianthea Aethopyga siparaja
16
16
10
1 Halcyon chloris Corvus enca Myzomela sanguinolenta Penelopides exarhatus Rhyticeros cassidix Dendrocopos temminckii Mulleripicus fulvus Dicrurus hottentottus Oriolus chinensis Streptocitta albicollis Dicaeum celebicum
7
17
Gambar 177. Peta penyeebaran burun ng endemik di resort Mattauwe
Gambar 18. Peta penyyebaran burun ng endemik di resort Tom mado
A.2.2.2 Jeenis dan Strruktur Pak kan Buurung mem manfaatkan jenis pakan n yang berbbeda-beda uuntuk memenuhi kebutuhann hidupnya. Berdasarkaan jenis pak kan utamanyya, burung--burung di lokasi l penelitian dapat dikellompokkan menjadi tujjuh kelompok yaitu pem makan seraangga, buah, dagging, biji, ikkan, nektar,, dan pemaakan bagiann tumbuhann (daun, ku uncup, bunga dann/atau batanng). Secara umum m jenis buruung dilokasii penelitian didominasii oleh jenis-jenis burung pemakan p seerangga (innsektivora) sebanyak 34 jenis, pemakan buah (frugivoraa) sebanyakk 20 jenis, pemakan daging (kaarnivora) seebanyak 8 jenis, j pemakan biji b (granivora) dan peemakan nek ktar (nektarivora) sebannyak 6 jeniss, dan
Jumlah jenis burung
pemakan ikan i (piscivvora) sebanyyak 2 jenis (Gambar ( 199). 40 35 30 25 20 15 10 5 0
34
20 8
6
6 2
Jenis pakaan
Gaambar 19. Peenggunaan jeenis pakan olleh burung dii habitat hutaan primer, daerrah peralihan n, dan kebun
Paada habitat hutan priimer, dido ominasi oleeh jenis burung pem makan serangga (insektivora ( a) sebanyakk 32 jenis, pemakan p buuah (frugivoora) sebanyaak 10 jenis, pem makan daginng (karnivorra) sebanyak k 2 jenis, peemakan bijii (granivoraa) dan pemakan nektar n (nekttarivora) sebbanyak 1 jeenis (Gambaar 20).
25 Jumlah jenis burung
21 20 15 10 10 5
2
1
1
0 Insektivora Frugivora
Karnivora Nektarivora Granivora Jenis pakan
Gambar 20. Penggunaan jenis pakan di habitat hutan primer
Pada habitat daerah peralihan, didominasi oleh jenis burung pemakan serangga (insektivora) sebanyak 24 jenis, pemakan buah (frugivora) sebanyak 17 jenis, pemakan daging (karnivora) sebanyak 6 jenis, pemakan nektar (nektarivora) sebanyak 3 jenis dan pemakan ikan (piscivora) sebanyak 1 jenis (Gambar 21).
Jumlah jenis burung
30 25 20
24 17
15 10
6
5
3
1
0 Insektivora Frugivora
Karnivora Nektarivora Piscivora Jenis pakan
Gambar 21. Penggunaan jenis pakan di habitat daerah peralihan
Pada habitat kebun, didominasi oleh jenis burung pemakan serangga (insektivora) sebanyak 13 jenis, pemakan buah (frugivora) sebanyak 12 jenis, pemakan biji (granivora) sebanyak 7 jenis, pemakan nektar (nektarivora) sebanyak 5 jenis, pemakan daging (karnivora) sebanyak 4 jenis dan pemakan ikan (piscivora) sebanyak 1 jenis (Gambar 22).
Jumlah jenis burung
14
13
12
12 10 7
8
5
6 4
4 1
2 0 Insektivora Frugivora
Granivora Nektarivora Karnivora
Piscivora
Jenis pakan
Gambar 22. Penggunaan jenis pakan pada habitat kebun
Jenis burung dan jenis pakan burung secara lengkap disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Jenis burung dan jenis pakan burung yang ditemukan di lokasi penelitian Jenis Pakan Insektivora
Karnivora
Frugivora Granivora
Nektarivora
Jenis Burung Cuculus crassirostris Trichastoma celebense Cuculus saturatus Zoothera erythronota Eudynamys melanorhyncha Gerygone sulphurea Phaenicophaeus calyorhynchus Ficedula hyperythra Centropus bengalensis Eumyias panayensis Centropus celebensis Cyornis rufigastra Eurostopodus macrotis Rhipidura teysmanni Hemiprocne longipennis Culicicapa helianthea Dendrocopos temminckii Artamus monachus Mulleripicus fulvus Enodes erythrophris Hirundo tahitica Scissirostrum dubium Coracina temminckii Basilornis celebensis Coracina morio Zosterops atrifrons Lalage Leucopygialis Oriolus chinensis Lophozosterops squamiceps Dicrurus montanus Dicrurus hottentottus Streptocitta albicollis Haliastur indus Spilornis rufipectus Ictinaetus malayensis Hieraaetus kienerii Spizaetus lanceolatus Accipiter griseiceps Penelopides exarhatus Rhyticeros cassidix Lonchura molucca Lonchura punctulata Lonchura malacca Myzomela sanguinolenta Nectarinia Aspasia Nectarinia jugularis
Jumlah
31
6
2 3
5
Aethopyga siparaja Nectarinia sp Otus manadensis
Karnivora, insektivora Insektivora, piscivora Insektivora, frugivora
Granivora, Frugivora
Karnivora, frugivora, insektivora Nectarivora, insektivora, frugivora
1
Actenoides princeps Halcyon chloris Ceyx fallax Pycnonotus aurigaster Dicaeum aureolimbatum Dicaeum nehrkorni Dicaeum celebicum Zosterops chloris Amaurornis isabellinus Streptopelia chinensis Turacoena manadensis Macropygia amboinensis Ducula forsteni Ducula radiata Cryptophaps poecilorrhoa Trichoglossus flavoviridis Turnix suscitator Corvus enca
3
5
Ptilinopus melanospila Treron griseicauda Ptilinopus subgularis Trichoglossus ornatus Prioniturus flavicans Prioniturus platurus Loriculus stigmatus Gallus gallus
17
1 Anthreptes malacensis 1
A.2.2.3 Status
Status jenis burung berhubungan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan
kelestarian
jenis,
diantaranya
berkaitan
dengan
keendemikan,
perlindungan dan status kelangkaan. Perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia diantaranya dengan mengeluarkan undang-undang No. 5 th 1990, PP Nomor 7 Tahun 1999, SK Mentan No. 421/Kpts/Um/8/1970, SK Mentan No. 757/Kpts/Um/12/1979, dan Peraturan perlindungan binatang liar 1931. Perlindungan jenis burung juga dilakukan oleh Convention of International Trade in Endangered Spacies of Wild Fauna and Flora (CITES).
Pada lokasi penelitian, jenis burung yang tercatat dilindungi oleh pemerintah sebanyak 23 jenis dari 8 famili, diantaranya famili accipitridae, famili psittacidae, famili strigidae, famili halcyonidae, famili alcedinidae, famili bucerotidae, famili maliphagidae, dan famili nectariniidae (Tabel 13).
Tabel 13. Jenis-jenis J buurung yang dilindungi d yaang ditemukaan di lokasi ppenelitian Famili Accipitridae
Psittacidae
Strigidae Halcyonidae Alcedinidae Bucerotidae Maliphagidaae Nectariniidaee
Nam ma Indonesia Elang bondol Elang-ulaar sulawesi Elang hittam Elang perrut-karat Elang sullawesi Elang-alaap kepala-kelaabu Perkici dora d Perkici kuning-hijau k Kring-kriing dada-kuniing Kring-kriing bukit Serindit sulawesi s Celepuk sulawesi Cekakak--hutan dada-siisik Cekakak sungai merah sulawesii Udang-m Kangkareeng sulawesi Julang suulawesi Myzomela merah-tua Burung-m madu kelapa Burung-m madu hitam Burung-m madu sriganti Burung-m madu sepah-raaja Burung-m madu sp
Nama Ilmiah h Haliasstur indus Spilorrnis rufipectuss Ictinaeetus malayenssis Hieraa aetus kienerii Spizaeetus lanceolattus Accipiiter griseicepss Tricho oglossus ornatus Tricho oglossus flavooviridis Prioniiturus flavicanns Prioniiturus platuruus Loricu ulus stigmatuss Otus manadensis m Acteno oides princepss Halcyon chloris Ceyx fallax f Penelo opides exarhaatus Rhyticceros cassidix Myzom mela sanguinoolenta Anthreeptes malacennsis Nectarrinia aspasia Nectarrinia jugulariss Aethop pyga siparajaa Nectarrinia sp
Staatus Perlindu ungan A ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
♦ ♦
B ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
C ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
D
E
♦
♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
Keterangan : A : Appendiks II CITES, B : PP Nomoor 7 Tahun 19 999 dan UU No. N 5 tahan 19990, C : SK Mentan M No. 421/Kpts/Um/8/19700, D : SK Menntan No. 757//Kpts/Um/12/1979, E : Peraaturan perlind dungan binatang liarr 1931
a b pilornis rufippectus, (b) Rhyticeros casssidix Gambar 233. Jenis burung yang dilinndungi (a) Sp
Jenis burung dilindungi terbanyak ditemukan pada habitat hutan primer sebanyak 17 jenis, pada habitat kebun sebanyak 14 jenis, dan habitat daerah peralihan sebanyak 8 jenis burung (Gambar 24) 17 14
Jumlah jenis burung
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
8
Hutan primer
Daerah peralihan
Kebun
Tipe habitat
Gambar 24. Perbandingan jenis burung yang dilindungi
A.2.3 Dominansi dan Kelimpahan Jenis Burung
Analisis dominansi burung digunakan untuk melihat bagaimana komposisi jenis burung yang dominan, sub-dominan, dan tidak dominan dalam komunitas burung yang diamati. Hasil analisis dominasi terhadap jumlah jenis burung yang ditemukan pada setiap tipe habitat ditunjukkan pada Tabel 14. Pada habitat hutan primer jumlah jenis burung yang dominan sebanyak 5 jenis, daerah peralihan sebanyak 4 jenis, dan habitat kebun sebanyak 6 jenis. Tabel 14. Dominasi jenis burung di setiap tipe habitat Tipe Habitat Hutan primer Daerah peralihan kebun
Dominan 5 4 6
Jenis Burung Sub-dominan Tidak dominan 10 22 16 31 14 22
Jumlah 37 51 42
Jenis-jenis burung yang dominan dan sub-dominan pada habitat hutan primer, daerah peralihan, dan kebun tersaji pada Tabel 15, sedangkan jenis-jenis burung yang tidak dominan dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 15. Komposisi jenis burung dominan dan sub-dominan di tiap-tiap tipe habitat Tipe Habitat Hutan primer
Jenis Burung Dominan Rhyticeros cassidix Zosterops atrifrons Enodes erythrophris Oriolus chinensis
Sub-dominan Macropygia amboinensis Prioniturus flavicans Phaenicophaeus calyorhynchus Hemiprocne longipennis
D Dicrurus hotteentottus
Daerah peeralihan
Zosterops atrif Z ifrons O Oriolus chinennsis M Macropygia a amboinensis Dicrurus hotttentottus
Kebun
Zosterops chlooris Z Z Zosterops atrif ifrons D Dicaeum celebbicum M Macropygia a amboinensis T Treron griseiccauda H Haliastur Induus
Cyornis rufigasstra Cy Euumyias panayyensis C Culicicapa heliianthea Sttreptocitta albbicollis D Dicaeum aureoolimbatum Pttilinopus melaanospila Looriculus stigm matus Trrichoglossus oornatus Trrichoglossus fflavoviridis Phhaenicophaeuus calyorhynch hus H Hemiprocne lonngipennis Rhhyticeros casssidix Euumyias panayyensis Cy Cyornis rufigasstra Sttreptocitta albbicollis Ennodes erythrop ophris Sccissirostrum ddubium D Dicaeum aureoolimbatum D Dicaeum nehrkkorni D Dicaeum celebiicum D Ducula forstenii H Hemiprocne lonngipennis H Halcyon chloriss Rhhyticeros casssidix Peenelopides exarhatus D Dicrurus hottenntottus O Oriolus chinenssis Euumyias panayyensis Annthreptes mallacensis N Nectarinia juguularis D Dicaeum aureoolimbatum Loonchura moluucca
a b Gambar 255. Jenis buruung dominann, (a) Zostero ops atrifrons, (b) Dicruruus hottentottu us
Pada habitat hutan primer, nilai kelimpahan terbesar dimiliki pada jenis burung julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) dari famili bucerotidae dengan nilai kelimpahan 0.16, sedangkan 4 jenis burung lainnya mempunyai nilai kelimpahan terendah dengan nilai 0.003 yaitu elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), cekakak-hutan dada-sisik (Actenoides princeps), pelanduk sulawesi (Trichastoma celebense), dan opior sulawesi (Lophozosterops squamiceps).
Pada habitat daerah peralihan, jenis yang memiliki kelimpahan terbesar adalah srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus) dengan nilai kelimpahan 0.11. Nilai kelimpahan terendah sebesar 0.003 terdapat pada jenis elang perutkarat (Hieraaetus kienerii), elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus), merpati-hitam sulawesi (Turacoena manadensis), pergam kepala-kelabu (Ducula radiata), merpati murung (Cryptophaps poecilorrhoa), walik malomiti (Ptilinopus subgularis),
kangkok
sulawesi
(Cuculus
crassirostris),
tuwur
sulawesi
(Eudynamys melanorhyncha), dan anis punggung-merah (Zoothera erythronota). Nilai kelimpahan tertinggi pada habitat kebun dengan nilai sebesar 0.082 terdapat pada jenis kacamata laut (Zosterops chloris) dari famili zosteropidae. Nilai kelimpahan terkecil dengan nilai 0.003 terdapat pada jenis elang hitam (Ictinaetus malayensis), gemak loreng (Turnix suscitator), walik raja (Ptilinopus superbus), bubut alang-alang (Centropus bengalensis), udang-merah sulawesi
(Ceyx fallax), pelatuk-kelabu sulawesi (Mulleripicus fulvus), myzomela merah-tua (Myzomela sanguinolenta). A.2.4 Kemerataan Jenis Burung
Kemerataan jenis burung dalam suatu habitat dapat ditandai dengan tidak adanya jenis-jenis yang dominan. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka kemeratan jenis pada komunitas tersebut memiliki nilai maksimum. Sebaliknya bila jumlah individu pada masing-masing jenis berbeda jauh maka menyebabkan kemerataan jenis memiliki nilai minimum (Santosa, 1995). Indeks kemerataan jenis burung tertinggi terdapat pada habitat kebun sebesar 0.9012, pada habitat daerah peralihan nilai indeks kemerataannya sebesar 0.8909. Indeks kemerataan jenis burung terkecil terdapat pada habitat hutan primer sebesar 0.8786 (Gambar 26).
Jumlah
0.905 0.9 0.895 0.89 0.885 0.88 0.875 0.87 0.865
0.9012 0.8909 0.8786
Hutan primer
Daerah peralihan
Kebun
Tipe habitat
Gambar 26. Perbandingan indeks kemerataan pada tiap-tiap tipe habitat
A.2.5 Indeks Keanekaragaman Jenis Burung
Indeks keanekaragaman merupakan nilai yang menunjukkan tinggi rendahnya keanekaragaman dan kemantapan komunitas. Habitat daerah peralihan memiliki indeks keanekaragaman jenis burung tertinggi dilokasi penelitian yaitu 3.5028, indeks keanekaragaman pada habitat kebun yaitu 3.3682 dan indeks keanekaragaman jenis burung terkecil yaitu pada habitat hutan primer sebesar 3.1238 (Gambar 27). 3.6
3.5028
3.5 3.3682
Jumlah
3.4 3.3 3.2
3.1238
3.1 3 2.9 Hutan primer
Daerah peralihan
Kebun
Tipe habitat
Gambar 27. Perbandingan indeks keanekaragaman pada tiap-tiap tipe habitat
A.2.6 Indeks Kesamaan Jenis Burung
Jenis burung yang tercatat pada setiap tipe habitat memiliki kesamaan jenis dengan burung yang ditemukan di habitat lainnya. Indeks kesamaan jenis
burung digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan jenis burung yang ditemukan pada seluruh tipe habitat (Tabel 16). Tabel 16. Matriks indeks kesamaan jenis di setiap tipe habitat Indeks Kesamaan Jenis Hutan Primer Daerah peralihan Kebun
Tipe Habitat Hutan Primer
Daerah Peralihan
Kebun
1
0.44 1
0.34 0.35 1
Kesamaan jenis burung antar tipe habitat di lokasi penelitian membentuk 2 komunitas burung. Tingkat kesamaan jenis tertinggi yaitu antara habitat daerah peralihan dengan habitat hutan primer dengan indeks kesamaan jenis sebesar 44%. Habitat kebun memiliki tingkat kesamaan jenis dengan habitat daerah peralihan sebesar 35%. Tingkat kesamaan jenis terendah yaitu antara habitat kebun dengan habitat hutan primer dengan indeks kesamaan jenis sebesar 34%.
Hutan Primer 0.44
Daerah Peralihan 0.35 Kebun IS 1
0
Gambar 28. Dendogram tingkat kesamaan jenis burung di lokasi penelitian
Dari dendogram tersebut terbentuk dua kelompok komunitas burung yaitu habitat kebun membentuk satu komunitas dan komunitas kedua dibentuk oleh habitat hutan primer dan habitat daerah peralihan.
A.2.7 T-hitung Komunitas Burung
Perhitungan
komunitas
burung
dengan
menggunakan
t-student
(Magurran,1998). Fungsi ini digunakan untuk mengetahui perbedaan atau persamaan komunitas jenis yang satu dengan komunitas jenis lainnya. Komunitas jenis burung yang dibandingkan adalah nilai indeks keanekaragaman Shannon (H') pada habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun. Berdasarkan hasil perhitungan t-student pada habitat hutan primer dengan habitat daerah peralihan didapatkan bahwa t-hitung (25.092) > t-tabel selang kepercayaan 95% (2.074) dan selang kepercayaan 99% (2.819) berbeda sangat nyata. Pada habitat hutan primer dengan habitat kebun didapatkan bahwa t-hitung (24.582) > t-tabel selang kepercayaan 95% (2.080) dan selang kepercayaan 99% (2.831) berbeda sangat nyata. Perbandingan habitat daerah peralihan dengan habitat kebun didapatkan bahwa t-hitung (26.087) > t-tabel selang kepercayaan 95% (2.064) dan selang kepercayaan 99% (2.797) berbeda sangat nyata. Tabel 17. Perbandingan t-hitung antar tipe habitat t-hitung antar tipe habitat
t-tabel
95% 99%
Hutan primer dan daerah peralihan
Daerah peralihan dan kebun
25.092 2.074 2.819
26.087 2.064 2.797
Hutan primer dan kebun 24.582 2.080 2.831
A.3 Penggunaan Vegetasi oleh Burung A.3.1 Penggunaan Strata Vegetasi
Penyebaran burung secara vertikal pada tiap-tiap tipe habitat berkaitan dengan stratifikasi vegetasi. Setiap strata memiliki kemampuan yang dapat mendukung kehidupan jenis burung tertentu. Burung memanfaatkan strata vegetasi untuk melakukan aktivitas seperti mencari makan, tempat istirahat, dan tempat berlindung.
A.3.1.1 Habitat Hutan Primer
Pada habitat hutan primer, jumlah jenis burung yang memanfaatkan strata vegetasi A (>25 m) sebanyak 6 jenis, strata vegetasi B (10-25 m) sebanyak 14 jenis, strata vegetasi C (4-10 m) sebanyak 18 jenis, dan strata vegetasi D (0-4 m) sebanyak 3 jenis. Stratifikasi jenis burung disajikan dalam Gambar 29, Gambar 30 dan Tabel 18.
Gambar 29. Startifikasi vegetasi di habitat hutan primer Tabel 18. Stratifikasi jenis burung pada tiap strata di habitat hutan primer Strata A
B
C
Jenis Burung Spizaetus lanceolatus Spilornis rufipectus Prioniturus flavicans Loriculus stigmatus Hemiprocne longipennis Rhyticeros cassidix Ducula forsteni Macropygia amboinensis Ptilinopus subgularis Ptilinopus melanospila Phaenicophaeus calyorhynchus Cuculus saturatus Coracina temminckii
Jumlah Jenis
6
Coracina morio Dicrurus hottentottus Dicrurus montanus Oriolus chinensis Enodes erythrophris Aethopyga siparaja Zosterops atrifrons
Phaenicophaeus calyorhynchus
Rhipidura teysmanni
Cuculus saturatus
Culicicapa helianthea
Penelopides exarhatus
Streptocitta albicollis
Dendrocopos temminckii
Dicaeum celebicum
14
18
D
Mulleripicus fulvus
Dicaeum aureolimbatum
Trichastoma celebense
Dicrurus hottentottus
Cyornis rufigastra
Enodes erythrophris
Ficedula hyperythra
Lophozosterops squamiceps
Eumyias panayensis
Zosterops atrifrons
Gallus gallus Actenoides princeps Trichastoma celebense
3
Jenis burung yang ditemukan menggunakan strata vegetasi A antara lain jenis-jenis elang seperti S. lanceolatus dan Spilornis rufipectus, jenis-jenis paruh bengkok seperti Loriculus stigmatus dan Prioniturus flavicans. Jenis R. cassidix, dan Hemiprocne longipennis. Strata vegetasi A umumnya dimanfaatkan burung untuk bertengger. Strata vegetasi B (lapisan tengah) dihuni burung-burung pemakan buah seperti Macropygia amboinensis, P. subgularis, dan Ducula forsteni. Strata vegetasi C (lapisan bawah) dijumpai jenis-jenis dari famili picidae seperti Dendrocopos temminckii dan M. fulvus. Jenis-jenis dari famili muscicapidae
seperti Eumyias panayensis dan Cyornis rufigastra, jenis dari famili dicaeidae antara lain Dicaeum celebicum dan Dicaeum aureolimbatum. Jenis-jenis burung seperti D. hottentottus, Cuculus saturatus, dan Enodes erythrophris menggunakan lapisan tengah hingga bawah. Strata vegetasi D yang merupakan lapisan semak dan lantai hutan dijumpai jenis burung arboreal seperti Gallus gallus dan T. celebense. Jenis A. princeps memanfaatkan strata D untuk mencari makan dan membuat sarang.
Gambarr 30. Pengguunaan strata vertikal vegettasi oleh burrung di habitaat hutan prim mer
A.3.1.2 Habitat Daerah Peralihan
Pada habitat daerah peralihan, jumlah jenis burung yang memanfaatkan strata vegetasi A (>25 m) sebanyak 14 jenis, strata vegetasi B (10-25 m) sebanyak 21 jenis, strata vegetasi C (4-10 m) sebanyak 23 jenis, dan strata vegetasi D (0-4 m) sebanyak 5 jenis. Stratifikasi jenis burung disajikan dalam Gambar 31, Gambar 32, dan Tabel 19.
Gambar 31. Startifikasi vegetasi di habitat daerah peralihan Tabel 19. Stratifikasi jenis burung pada tiap strata di habitat daerah peralihan Strata A
Jenis burung Haliastur indus
Artamus monachus
Spilornis rufipectus
Basilornis celebensis
Hieraaetus kienerii
Loriculus stigmatus
Spizaetus lanceolatus
Trichoglossus ornatus
Accipiter griseiceps
Trichoglossus flavoviridis
Hemiprocne longipennis B
Rhyticeros cassidix Hieraaetus kienerii Accipiter griseiceps Haliastur indus Macropygia amboinensis Ptilinopus subgularis Ptilinopus melanospila Turacoena manadensis Ducula radiata Cryptophaps poecilorrhoa Ducula forsteni Prioniturus platurus
Jumlah jenis
14
Prioniturus flavicans Prioniturus platurus Loriculus stigmatus Trichoglossus ornatus Trichoglossus flavoviridis Prioniturus flavicans Lalage Leucopygialis Corvus enca Artamus monachus Enodes erythrophris Scissirostrum dubium Dicrurus hottentottus
21
C
D
Macropygia amboinensis Cuculus crassirostris Phaenicophaeus calyorhynchus Cuculus saturatus Eudynamys melanorhyncha Centropus celebensis Halcyon chloris Penelopides exarhatus Dendrocopos temminckii Mulleripicus fulvus Dicrurus hottentottus Oriolus chinensis
Eumyias panayensis Cyornis rufigastra Culicicapa helianthea Streptocitta albicollis Myzomela sanguinolenta Nectarinia aspasia
23
Aethopyga siparaja Dicaeum aureolimbatum Dicaeum nehrkorni Dicaeum celebicum Zosterops atrifrons
Otus manadensis Eurostopodus macrotis Zoothera erythronota Rhipidura teysmanni Cyornis rufigastra
5
Jenis burung yang dijumpai pada strata A antara lain jenis burung pemangsa seperti Haliastur Indus, S. rufipectus, dan S. lanceolatus. Jenis-jenis paruh bengkok seperti L. stigmatus, Trichoglossus ornatus, dan Trichoglossus flavoviridis. Jenis burung Artamus monachus dan H. longipennis menggunakan
strata A untuk bertengger. Strata vegetasi B dapat dijumpai jenis-jenis dari famili columbidae seperti M. amboinensis, P. subgularis, dan T. manadensis. Jenis-jenis dari famili
sturnidae seperti E. erythrophris, dan Scissirostrum dubium. Strata vegetasi C dihuni burung-burung pemakan serangga seperti C. saturatus, D. hottentottus, dan D. temminckii. Burung-burung pemakan buah dan pemakan serangga seperti D. aureolimbatum, Dicaeum nehrkorni, dan D. celebicum, juga ditemukan jenis-
jenis pemakan nektar seperti M. sanguinolenta, Nectarinia Aspasia, dan Aethopyga siparaja
Jenis burung yang umumnya dijumpai di strata D sebagai tempat mencari makan antara lain Otus manadensis (famili strigidae), Eurostopodus macrotis (famili caprimulgidae), Z. erythronota (famili turdidae), Rhipidura teysmanni (famili rhipiduridae),dan C. rufigastra (famili muscicapidae).
Gambar 332. Penggunaaan strata verrtikal vegetassi oleh burunng di habitat daerah perallihan
5.3.1.3 Habitat Kebun
Pada habitat kebun, jumlah jenis burung yang memanfaatkan strata vegetasi B (10-25 m) sebanyak 15 jenis, strata vegetasi C (4-10 m) sebanyak 23 jenis, dan strata vegetasi D (0-4 m) sebanyak 8 jenis. Stratifikasi jenis burung disajikan dalam Gambar 33, Gambar 34, dan Tabel 20.
Gambar 33. Startifikasi vegetasi di habitat kebun Tabel 20. Stratifikasi jenis burung pada tiap strata di habitat kebun Strata B
Jenis Burung Ducula radiata
Haliastur Indus
Ducula forsteni
Ictinaetus malayensis
Treron griseicauda
Spilornis rufipectus
Pycnonotus aurigaster
Prioniturus platurus
Zosterops atrifrons
Loriculus stigmatus
Zosterops chloris
Hemiprocne longipennis
Rhyticeros cassidix
Corvus enca
Jumlah Jenis
15
Hirundo tahitica C
Streptopelia chinensis Ptilinopus melanospila Halcyon chloris Dendrocopos temminckii Mulleripicus fulvus Pycnonotus aurigaster Dicrurus hottentottus Oriolus chinensis Gerygone sulphurea Eumyias panayensis Streptocitta albicollis Myzomela sanguinolenta
Nectarinia aspasia Anthreptes malacensis Nectarinia sp Nectarinia jugularis Dicaeum celebicum Dicaeum aureolimbatum Zosterops atrifrons Zosterops chloris Lonchura punctulata Lonchura malacca Lonchura molucca
23
D
Gallus gallus Turnix suscitator Amaurornis isabellinus Streptopelia chinensis Ptilinopus melanospila Centropus bengalensis Ceyx fallax Penelopides exarhatus
8
Pada habitat kebun strata vegetasi B dengan ketinggian 10-25m ditemukan jenis burung dari famili accipitridae seperti H. Indus dan S. rufipectus. Jenis-jenis paruh bengkok (famili psittacidae) seperti Prioniturus platurus dan L. stigmatus. Jenis julang (famili bucerotidae) seperti R. cassidix. Jenis-jenis D. radiata dan D. forsteni (famili columbidae), jenis cucak seperti Pycnonotus aurigaster dan jenis-jenis kacamata seperti Zosterops atrifrons dan Z. chloris.
Pada strata vegetasi C, jenis burung yang dijumpai yaitu D. hottentottus, Oriolus chinensis, Nectarinia jugularis, D. celebicum, Z. atrifrons, dan Lonchura punctulata. Strata vegetasi ini digunakan burung untuk mencari makan dan
tempat bertengger Jenis burung yang umum dijumpai pada strata vegetasi D yaitu jenis-jenis yang hidup diatas permukaan tanah seperti G. gallus, T. suscitator, dan Amaurornis isabellinus. Jenis-jenis C. bengalensis, C. fallax, dan Penelopides exarhatus menggunakan strata ini untuk mencari makan dan tempat istirahat.
Gam mbar 34. Pengggunaan straata vertikal veegetasi oleh burung di haabitat kebun
A.3.2 Penggunaan Ruang Tajuk
Pemanfaatan ruang tajuk terkait dengan kebutuhan burung untuk melakukan aktivitas hariannya. Penggunaan ruang tajuk antara burung satu dengan burung yang lain berbeda, hal ini disebabkan karena beranekaragamnya kemampuan burung untuk memanfaatkan habitat yang ada (Lampiran 6). Pada habitat hutan primer, jenis-jenis burung kebanyakan menggunakan lebih dari satu tajuk. Jenis-jenis yang memanfaatkan seluruh bagian tajuk pohon ada 4 jenis yaitu P. flavicans, L. stigmatus, D. hottentottus, dan A. siparaja. Jenisjenis yang memanfaatkan tajuk atas dan tengah sebanyak 2 jenis yaitu D. temminckii dan E. erythrophris. Jenis yang memanfatkan tajuk atas dan bawah
yaitu H. longipennis. Jenis-jenis yang memanfaatkan tajuk tengah dan bawah sebanyak 18 jenis. Pada habitat daerah peralihan, jenis burung yang memanfaatkan semua bagian tajuk sebanyak 9 jenis yaitu P. superbus, Prioniturus platurus, L. stigmatus, T. ornatus, T. flavoviridis, P. flavicans, Lalage leucopygialis, D. hottentottus, dan Basilornis celebensis. Jenis burung yang hanya memanfaatkan
tajuk tengah sebanyak 7 jenis burung, yang memanfaatkan tajuk tengah dan bawah sebanyak 13 jenis. Jenis-jenis yang memanfaatkan tajuk atas dan bawah sebanyak 4 jenis. Jenis burung yang memanfaatkan semua bagian tajuk pada habitat kebun sebanyak 12 jenis. Tajuk yang paling banyak digunakan adalah tajuk tengah dan bawah sebanyak 14 jenis. Jenis burung yang hanya memanfaatkan tajuk atas yaitu H. longipennis, yang hanya menggunakan tajuk bawah yaitu H. chloris. A.3.3 Penggunaan Jenis Vegetasi
Vegetasi merupakan komponen terpenting bagi burung karena dapat menyediakan makanan dan tempat berlindung. Semakin beranekaragam habitat, semakin banyak vegetasi yang dapat dimanfaatkan burung (Darmawan, 2005). Dari hasil pengamatan, jenis vegetasi yang banyak digunakan oleh burung pada tiap-tiap tipe habitat adalah Ficus sp, Erythrina subumbrans dan Lithocarpus sp. Sedangkan tingkat penggunaan vegetasi oleh burung berkisar antara 9.21%23.68% (Tabel 21).
Tabel 21. Tingkat penggunaan vegetasi oleh burung di berbagai tipe habitat Tipe Habitat Hutan primer
Daerah peralihan
Kebun
Jenis Vegetasi Erythrina subumbrans Ficus sp Lithocarpus sp Erythrina subumbrans Ficus sp Piper aduncum Lithocarpus sp Eugenia aromatica Ficus sp Syzygium aqueum
Jumlah Jenis Burung
% Penggunaan
12 10 8 18 12 9 8 10 9 7
15.79 13.16 10.53 23.68 15.79 11.84 10.53 13.16 11.84 9.21
B. Pembahasan B.1 Habitat Burung B.1.1 Kondisi Lanskap
Lokasi penelitian meliputi tiga tipe habitat yaitu hutan primer, daerah peralihan serta kebun kopi dan coklat. Ditinjau dari ketinggian tempat, ketiga lokasi penelitian merupakan tipe hutan hujan pegunungan bawah dan tipe hutan hujan dataran rendah. Menurut Ramadhanil (2002) sekitar 90% kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan hutan pegunungan dan sub-pegunungan dan sebagian kecil hutan hujan dataran rendah (±10%). Komposisi tumbuhan tipe hutan hujan dataran rendah ditandai dengan adanya Ficus sp, Elmeliria sp dan Arthocarpus sp, sedangkan
hutan hujan pegunungan bawah ditandai dengan
adanya tumbuhan Castanopsis argentea, Lithocarpus sp, dan Syzigium sp (Pujaningsih, 2004). Patch hutan mempunyai bentuk yang membulat. Menurut Sayogo et.al (2008) patch yang bentuknya membulat memiliki areal interior (areal dalam/inti) yang lebih luas dibandingkan dengan patch yang bentuknya memanjang, sehingga mampu menampung jenis burung interior yang lebih banyak. Bentuk patch yang membulat tersebut dapat meminimalkan efek tepi sehingga dapat meminimalkan gangguan dari luar, karena inti (core) berada jauh dari edge. Sedangkan patch yang bentuknya memanjang memiliki keanekaragaman jenis burung yang menyukai edge maupun daerah terbuka yang lebih tinggi. Bentuk patch yang memanjang memiliki lebar yang relatif lebih sempit dibanding dengan patch yang bentuknya membulat. Tepi yang satu dengan tepi yang lainnya memiliki jarak
yang berdekatan sehingga core sempit atau bahkan tidak memiliki core. Bentuk patch memanjang ini sangat rawan terjadi gangguan dari luar dan fragmentasi. Hal ini dapat berpengaruh pada jenis burung yang hidup pada patch dengan bentuk memanjang karena potensi terganggu dan terfragmennya habitat burung tersebut cukup tinggi. B.1.2 Habitat Hutan Primer
Kondisi vegetasi pada habitat hutan primer memiliki empat strata vegetasi. Hasil perhitungan analisis vegetasi menemukan bahwa vegetasi tingkat pohon mempunyai kerapatan yang tinggi dibandingkan tingkat vegetasi lainnya. Jenis vegetasi pada tingkat pohon didominasi oleh beringin (Ficus sp). Ficus sp merupakan pohon yang mempunyai tajuk lebar, batang besar dan bercabang, serta banir atau akar yang lebar. Hal ini menunjukkan bahwa habitat hutan primer masih didominasi oleh pohon-pohon besar sehingga sinar matahari tidak menembus sampai lantai hutan. Kondisi tersebut memberikan ruang bagi jenisjenis burung terutama dari jenis yang menyukai daerah tertutup dan sangat peka terhadap gangguan. Kondisi fisik pada habitat hutan primer memiliki topografi curam dengan kelerengan lebih dari 60%. Kelembaban rata-rata pagi dan sore hari 100°C. Lantai hutannya agak bersih karena tidak banyak ditumbuhi tumbuhan bawah. Pada beberapa bagian seperti cekungan yang diapit oleh dua bukit terdapat sungai. B.1.3 Habitat Daerah Peralihan
Habitat di daerah peralihan merupakan koridor yang meghubungkan dua kondisi habitat yang berbeda. Daerah peralihan terletak antara habitat hutan primer dengan habitat kebun. Menurut Yoza (2006), daerah peralihan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya sehingga jenis burung yang menempati daerah ini merupakan jenis burung yang menyukai daerah terbuka maupun tertutup. Tetapi ada beberapa jenis burung yang merupakan burung khas daerah peralihan seperti cabe sulawesi (D. nehrkorni). Habitat daerah peralihan ditandai dengan adanya jenis vegetasi Piper aduncum. P. aduncum merupakan jenis vegetasi yang hidup pada daerah yang
agak terbuka dan merupakan tumbuhan pionir. Jenis-jenis vegetasi lain pada habitat daerah peralihan terutama vegetasi pohon, hampir sama dengan habitat
hutan prim mer seperti Ficus sp. dan d Lithocarrpus sp. Strruktur vegeetasi pada habitat ini sedikiit terbuka yang y disebbabkan kareena beberaapa bagian hutan ini telah dikonversii masyarakat menjadi perkebunan n kopi. Meeskipun dem mikian, beb berapa bagian meemiliki tajuuk terbuka secara alam mi terutamaa pada daerrah yang miring. m Daerah inni dimanfaattkan oleh burung-buru b ung pemanggsa sebagaii landasan untuk u terbang. c Daari segi fisiik, kondisi topografi pada habittat daerah pperalihan curam dengan keelerengan lebih l dari 60%. 6 Kelem mbaban raata-rata paggi dan soree hari berkisar 90°C. Pada lantai hutannnya tertutup p oleh tumbuhan bawahh seperti rottan.
G Gambar 35. Vegetasi V una-una (Piper aduncum) a
B.1.4 Hab bitat Kebun n Kopi dan n Coklat Habitat kebuun kopi dann coklat teerbentuk kaarena perubbahan penuttupan gan mengkoonversi hutaan menjadi areal lahan yangg dilakukann oleh masyyarakat deng perkebunaan. Pada um mumnya, lookasi perkeb bunan relatiif dekat denngan pemuk kiman penduduk. Kondisi topografi t paada daerah tersebut reelatif datar sampai berrbukit dengan kelerengan k berkisar anntara 10% sampai 500%, sehinggga aksesib bilitas masyarakaat masuk dalam kaw wasan menjjadi lebih mudah. S Sampai saatt ini, penggunaaan lahan beerupa kebunn didalam kawasan TN NLL relatif ddominan. Marcel M (2005) meenyebutkann bahwa luaas kebun co oklat didalaam TNLL m mencapai 1.42% 1 dari luas taaman nasional.
Jennis vegetassi pohon didominasi d oleh Eugeenia aromaatica yang pada umumnyaa berkelomppok. Jenis vegetasi po ohon lainnyya yang diitemukan adalah a Ficus sp dan d Arthocaarpus elasticca. Kondisi habitat kebbun kopi daan coklat berrbeda dengan hutan h primeer maupun daerah peeralihan. Kondisi K veggetasi cendeerung homogen sehingga koondisi tutuppan tajuk rellatif terbukaa. Hal ini diisebabkan karena k jarang dittemukan jennis pohon yang y memiiliki tajuk lebar l yang dapat menaungi vegetasi dibawahnya d a. Kemudiann, intensitass gangguann pada daerrah ini tergo olong tinggi karrena aktifitaas keluar masuk m masy yarakat dalaam mengam mbil hasil kebun k berupa koopi dan cooklat. Jeniss-jenis burrung yang menempatii habitat kebun k umumnyaa jenis burunng yang sukka daerah terbuka t dann mempunyaai toleransi yang tinggi terhhadap keberradaan manuusia. Paada habitat kebun, k ditemukan sungai kecil seeperti parit. Sungai terrsebut digunakann oleh beberrapa burungg untuk man ndi dan minnum. Pada ssaat pengam matan, dijumpai jenis j C. falllax sedangg mandi, serrta jenis E. panayensiis dan Z. ch hloris menggunaakan sungai kecil tersebbut untuk minum. m
a b Gambar 36. a. Vegettasi coklat (T Thebroma ca acao) dan b. sungai s kecil dihabitat keb bun
B.2 Burung B.2.1 Kekayaan Jenis Burung
Kekayaan jenis burung yang ditemukan pada lokasi penelitian yaitu 76 jenis dari 35 famili, dengan jenis endemik sebanyak 41 jenis. Keseluruhan jenis burung di Sulawesi yang pernah tercatat memiliki keanekaragaman sebanyak 384 jenis dan 97 jenis merupakan endemik, dari 696 jenis burung dan 249 jenis endemik yang ada di kawasan wallacea (Coates dan Bishop, 1997). Sehingga 20% jenis burung Sulawesi dan 42% burung endemik Sulawesi terdapat pada lokasi penelitian. Tingginya keanekaragaman jenis burung pada lokasi penelitian dicirikan dengan banyak ditemukannya jenis burung dalam satu famili. Famili columbidae (9 jenis) merupakan famili dengan jumlah jenis tertinggi diantara famili-famili yang lain. Hal ini disebabkan karena famili columbidae adalah famili burung yang dapat hidup di berbagai habitat dan merupakan komponen utama hutan-hutan di Sulawesi (Phillips dan Holmes, 1999), sehingga jenis burung dari famili columbidae relatif mudah dijumpai. Keanekaragaman jenis burung yang tinggi juga dapat digambarkan dari banyaknya jenis burung pemangsa (6 jenis) dan jenis burung rangkong (2 jenis) (Darmawan, 2005). Habitat hutan primer memiliki jumlah jenis burung sebanyak 35 jenis dari 20 famili, jumlah ini merupakan paling sedikit jika dibandingkan dengan habitat daerah peralihan dan habitat kebun. Hal ini sangat bertentangan dengan hasil penelitian Dewi (2006) di Taman Nasional Gunung Ciremai yang mendapatkan kekayaan jenis burung paling banyak di habitat hutan primer. Menurut Dewi (2006), kekayaan jenis burung di habitat hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan habitat hutan sekunder maupun habitat kebun, hal ini berkaitan dengan beragamnya vegetasi yang menyediakan sumber pakan bagi burung. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Thiollay (1995) dalam Dewi (2006) yang menyebutkan bahwa keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan jenis burung secara signifikan lebih rendah di setiap lahan agroforestry dibandingkan dengan hutan primer. Rendahnya kekayaan jenis burung yang ditemukan dilokasi penelitian diduga berhubungan dengan kondisi vegetasi. Menurut Santosa (1995), habitat hutan primer memiliki tajuk yang sangat rapat, vegetasi yang beragam, dan strata yang komplek, sehingga jenis-jenis burung yang hidup dihabitat ini cenderung
juga komplek atau beragam. Beberapa jenis burung yang hidup pada habitat hutan primer merupakan jenis pemalu dan sangat peka terhadap kehadiran manusia. Dengan adanya kehadiran peneliti, burung-burung tersebut bersembunyi atau menghindar, ada juga jenis burung yang hidup pada lantai hutan maupun tajuk atas hutan (top canopy) sehingga sulit untuk menemukan burung-burung tersebut. Adaptasi morfologi yang dilakukan oleh burung seperti warna bulu yang menyerupai warna tanah pada burung yang hidup dilantai hutan dan warna hijau yang menyerupai daun pada burung yang hidup di tajuk-tajuk pohon sangat menyulitkan peneliti untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung tersebut, sehingga didapatkan kekayaan jenis yang paling rendah diantara kedua habitat lainnya. Kekayaan jenis burung yang dijumpai pada habitat daerah peralihan memiliki jumlah jenis burung tertinggi yaitu 51 jenis dari 25 famili. Banyaknya jenis burung yang ditemukan di habitat daerah peralihan diduga memiliki hubungan dengan habitat tersebut dalam menyediakan kebutuhan hidup bagi berbagai jenis burung, seperti pemenuhan kebutuhan ruang dan pakan. Daerah peralihan merupakan perbatasan antara dua tipe habitat yang berbeda, sehingga daerah peralihan ini bisa dikatakan sebagai koridor yang menghubungkan kedua habitat tersebut. Koridor habitat mempunyai fungsi sebagai daerah perlindungan dan menyediakan sumberdaya bagi burung (Indrawan et al, 2007). Menurut Yoza (2006), daerah peralihan digunakan oleh jenis-jenis burung yang menyukai daerah terbuka dan semi terbuka. Hal ini menyebabkan kekayaan jenis burung di habitat ini tergolong tinggi. Habitat kebun memiliki kekayaan jenis burung lebih tinggi dibandingkan habitat hutan primer yaitu sebanyak 42 jenis dari 25 famili. Hal ini dipengaruhi karena kondisi habitat kebun seperti jumlah vegetasi yang sedikit dan seragam serta penutupan tajuk yang tidak rapat yang menyebabkan burung mudah dijumpai. Habitat kebun juga menyediakan buah-buahan dan biji-bijian yang ditanam oleh masyarakat, sehingga menarik beberapa jenis burung untuk mengunjunginya. Seperti vegetasi papaya dan pisang yang buahnya sedang masak dikunjungi oleh burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan kacamata laut (Zosterops chloris). Pada habitat kebun ditemukan jenis vegetasi Syzygium aqueum yang sedang berbunga, sehingga banyak burung dari famili nektariniidae
yang mencari makan pada vegetasi tersebut. Habitat kebun juga berbatasan dengan lahan pertanian, sehingga mudah ditemukan jenis burung pemakan biji padi seperti Lonchura molucca, Lonchura punctulata, dan Lonchura malacca. Menurut Coates dan Bishop (1997), ketiga jenis burung tersebut merupakan jenis burung yang umum ditemukan menghuni tepi lahan budidaya, sawah, padang rumput, dan sekitar pemukiman penduduk. Jenis-jenis burung yang menggunakan habitat kebun umumnya merupakan jenis burung yang mudah beradaptasi terhadap gangguan. B.2.2 Komposisi dan Struktur Burung B.2.2.1 Penyebaran Jenis Burung
Penyebaran jenis burung terkait dengan tipe habitat, perilaku mencari makan dan makanan bagi burung tersebut. Setiap tipe habitat yang ada memiliki karakteristik tersendiri yang dapat mendukung dan menunjang kebutuhan hidup burung, baik berupa cover untuk berlindung maupun faktor kemudahan memperoleh makanan. Jenis-jenis burung yang ditemukan pada semua tipe habitat dimungkinkan karena jenis tersebut memiliki rentang yang luas sehingga mudah beradaptasi dengan tipe habitat yang berbeda. Alikodra (2002) mengatakan bahwa jika suatu jenis banyak melakukan pergerakan, berarti jenis tersebut memiliki kemampuan untuk hidup diberbagai habitat. R. cassidix dapat ditemukan pada semua tipe habitat karena memiliki jumlah individu yang cukup melimpah. Selain itu juga, sumber makanan berpengaruh terhadap keberadaan jenis burung ini. Suryadi (1994) dalam Indrawan et al. (2007) mengatakan bahwa sumber makanan utama R. cassidix yaitu buah Ficus sp. Ketika Ficus sp pada habitat hutan primer atau
daerah peralihan tidak berbuah, maka jenis burung ini akan mencari pohon Ficus sp yang sedang berbuah sampai pada habitat kebun yang berdekatan dengan pemukiman masyarakat. Demikian juga pada Spilornis rufipectus, yang memiliki pergerakan luas. Pada waktu pengamatan, S. rufipectus juga terlihat sedang mencari makan dipemukiman masyarakat, dan pada habitat daerah peralihan, ditemukan sarang S. rufipectus, sarang tersebut berada pada pohon Engelhartia rigida. Menurut Coates dan Bishop (1997) Jenis ini umum ditemukan di hutan
pegunungan, hutan yang ditumbuhi semak, lahan budidaya, dan padang rumput terbuka. Habitat hutan primer dengan kondisinya yang memiliki tajuk rapat serta struktur dan komposisi vegetasi yang beragam, diduga menjadikan hutan primer sebagai habitat yang ideal bagi jenis burung untuk berlindung. Hal ini mengakibatkan sulitnya menjumpai burung pada habitat tersebut. Ada tiga jenis burung yang termasuk dalam interior spesies yaitu S. lanceolatus, A. princeps, dan D. montanus. Interior spesies merupakan penghuni hutan alam dengan strata tajuk yang lengkap dan sedikit pengaruh adanya efek tepi (Utari, 2000) Pada habitat daerah peralihan, jenis-jenis burung yang dijumpai merupakan jenis-jenis burung yang juga ditemukan pada habitat hutan primer maupun habitat kebun. Tetapi ada jenis burung yang khas habitat daerah peralihan (Edge spesies) yaitu H. kienerii, Accipiter griseiceps, T. manadensis, T. ornatus, T. flavoviridis, C. crassirostris, L. Leucopygialis, Z. erythronota, S. dubium, dan D. nehrkorni. D. nehrkorni sangat umum ditemukan dihabitat ini, sering
mengunjungi benalu sebagai makanannya, biasanya sendirian atau berkejaran dengan pasangannya. Pada habitat kebun, ditemukan jenis-jenis burung yang menyukai daerah terbuka dengan mencari makan disemak-semak, sawah, dan lantai kebun. Jenisjenis burung yang menyukai daerah terbuka (open area spesies) antara lain T. suscitator, A. isabellinus, Streptopelia chinensis, T. griseicauda, Centropus bengalensis, Halcyon chloris, Hirundo tahitica, Pycnonotus aurigaster, Corvus enca, Gerygone sulphurea, Anthreptes malacensis, N. jugularis, Z. chloris, L. molucca, L. punctulata, dan L. malacca. Famili estrildidae seperti L. molucca, L. punctulata, L. malacca hanya ditemukan pada habitat kebun karena habitat kebun
berdekatan dengan sawah yang digunakan famili ini untuk mencari makanan berupa biji padi. B.2.2.2 Jenis dan Struktur Pakan
Struktur pakan menunjukkan posisi burung dalam rantai makanannya. Srukutur pakan suatu jenis burung dapat dilihat dari jenis makanannya yang dimanfaatkan oleh burung. Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung (Darmawan,
2005). Burung memiliki preferensi terhadap suatu makanan, jika disuatu tempat tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka burung akan memilih tempat lain yang memiliki sumber pakan yang melimpah. Sumber makanan burung terdiri dari tumbuhan dan hewan. Jenis burung herbivora (pemakan tumbuhan) mendapatkan makanannya dari biji-bijian, kacang-kacangan yang keras, buah-buahan yang lunak, rumput-rumputan, dan nektar. Sedangkan jenis karnivora (pemakan daging) dengan memakan hewanhewan kecil yang ada didalam tanah atau diatas tanah atau air (Ensiklopedi Indonesia, 1992). Jenis burung yang ditemukan dilokasi penelitian didominasi burung pemakan serangga. Burung-burung pemakan serangga terdiri dari burung yang hanya pemakan serangga tanpa memakan jenis makanan lain dan burung yang utamanya makan serangga. Sebanyak 34 jenis (44.43%) merupakan jenis burung yang menyukai serangga dan 29 jenis (38.15%) merupakan pemakan serangga sejati. Keberadaan berbagai jenis serangga juga didukung oleh kondisi vegetasi habitatnya. Utari (2000) mengatakan pada hutan yang memiliki penutupan tajuk dan tumbuhan bawah yang rapat memungkinkan hidupnya beragam jenis serangga dan tersedianya sumber pakan burung sehingga menyebabkan beragamnya jenis burung insekivora. Jenis serangga khususnya kupu-kupu sangat berpengaruh terhadap kehadiran burung disuatu tipe habitat tertentu. Menurut Winarni (2007) dalam Indrawan et al (2007), bahwa jika di suatu tempat memiliki keragaman kupu-kupu yang tinggi maka keanekaragaman jenis burung pun akan tinggi. Pada daerah peralihan ditemukan beberapa jenis kupu-kupu pada vegetasi una-una (Piper aduncum), hal ini mengidentifikasikan banyaknya jenis burung yang ditemukan di
daerah peralihan. Selain pemakan serangga sejati, jenis-jenis burung tersebut memiliki sumber pakan lain seperti buah, biji-bijian, nektar, dan lain-lain. Jika serangga tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, maka burung tersebut masih bisa memenuhi kebutuhan pakannya dari sumber lain. Menurut gaol (1998) tingginya keanekaragaman jenis vegetasi di hutan menyediakan lebih banyak sumber pakan. Banyaknya pohon penghasil buah seperti Ficus sp dan Erythrina subumbrans dilokasi penelitian, banyak pula
ditemukan jenis burung pemakan buah. Jenis burung pemakan buah merupakan jenis terbanyak kedua setelah jenis burung pemakan serangga yaitu 20 jenis (26.31% ). Burung pemakan buah dapat dibedakan menjadi spesialis buah dan non spesialis buah yang memakan buah bila ada (oportunis). Menurut MacKinnon (2000), Burung pemakan buah spesialis memakan buah yang bermutu tinggi, kaya akan lemak dan protein, sedangkan burung pemakan buah nonspesialis memakan buah yang kecil, berbiji banyak, kurang bergizi, daging berair banyak dan terutama menyediakan karbohidrat. Buah Ficus sp dimanfaatkan oleh jenis burung dari famili bucerotidae dan columbidae. R. cassidix merupakan spesialis buah yang memanfaatkan buah Ficus sp sebagai makanan utamanya. Suryadi (1994) dalam Indrawan et al (2007) menyebutkan bahwa R. cassidix ketika berbiak 63% sumber makanannya berasal dari Ficus sp dan 83% di luar masa berbiak. Sedangkan vegetasi Erythrina subumbrans dimanfaatkan oleh jenis burung dari famili psittacidae. Jenis burung pemakan daging sebanyak 8 jenis (10.52%). Terdapat 6 jenis (75%) pemakan daging murni yaitu dari famili accipitridae. Jenis pakan burung karnivora ini berupa katak, tikus, burung kecil, anak ayam, bajing, tupai, dan ular. Dari informasi masyarakat, jenis burung I. malayensis juga terlihat menyerang sarang lebah hutan. I. malayensis ini mengambil anakan lebah untuk dimakan. MacKinnon (2000) menyebutkan bahwa jenis-jenis burung pemangsa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
menangkap mangsanya, ada
yang berburu dari udara, dari cabang pohon, terbang melayang, dan beberapa diantaranya melayang diam sambil mengepak-ngepakkan sayap diatas calon mangsanya. Jenis burung H. indus pada habitat kebun berburu dengan terbang melayang, menyerang sekelompok burung punai yang bertengger pada sebuah pohon. Sedangkan S. rufipectus yang terlihat di habitat kebun, berburu dengan diam pada batang pohon sambil menunggu waktu yang tepat untuk menyerang mangsanya. Jenis burung pemakan biji sebanyak 6 jenis (7.89%). Jenis burung A. isabellinus selain memakan biji-bijian juga terlihat sedang memakan buah pisang
dihabitat kebun. Jenis burung pemakan biji memenuhi kebutuhan pakannya dari biji rerumputan, bulir padi dan biji vegetasi lainnya. Jenis burung pemakan ikan
yaitu C. fallax dan H. chloris. H. chloris yang ditemukan di habitat daerah peralihan dan habitat kebun. Sedangkan C. fallax ditemukan di habitat kebun. Kedua jenis tersebut umumnya di jumpai didaerah terbuka pada lapisan tengah dan bawah tajuk. Jumlah jenis burung nektarivora yang ditemukan dilokasi penelitian sebanyak 6 jenis (7.89%). Jenis burung nektarivora murni yaitu jenis-jenis dari famili nektariniidae. Sedangkan jenis nektarivora yang juga termasuk insektivora dan frugivora adalah famili dicaeidae. Jenis burung nektarivora banyak ditemukan di habitat kebun yang memiliki pohon Syzygium aqueum, antara lain N. jugularis, N. aspasia, dan A. malacensis. B.2.2.3 Status
Jenis burung yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dan CITES appendix II sebanyak 23 jenis (30.26%) dari 76 jenis burung yang ditemukan dilokasi penelitian. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan bahwa appendik II CITES merupakan populasi hidupan liar dialam pada saat ini belum termasuk kategori terancam punah, namun ada kekhawatiran bahwa jenis tersebut akan terancam punah bila tidak diatur perdagangannya. Empat jenis famili yang masuk dalam CITES appendiks II yaitu accipitridae, psittacidae, bucerotidae, dan strigidae. Terdapat 13 jenis burung endemik sekaligus dilindungi yang ditemukan dilokasi penelitian, jenis-jenis tersebut antara lain S. rufipectus, S. lanceolatus, A. griseiceps, T. ornatus, T. flavoviridis, P. flavicans, P. platurus, L. stigmatus, O. manadensis, A. princeps, C. fallax, P. exarhatus, dan R. cassidix.
Jenis-jenis burung yang dilindungi baik oleh pemerintah Indonesia maupun CITES mempunyai peranan penting di alam. Famili accipitridae yang merupakan top predator mempunyai fungsi sebagai penyeimbang ekosistem dari populasi hama tikus maupun ular. Famili bucerotidae mempunyai fungsi sebagai penyebar biji. Famili alcedinidae yang mempunyai kepekaan tertentu bermanfaat sebagai indikator keseimbangan lingkungan. Famila nektariniidae yang mencari makan pada vegetasi berbunga bermanfaat membantu penyerbukan bunga. Famili psittacidae dilindungi pada tingkat famili oleh pemerintah Indonesia dan CITES. Hal ini dikarenakan famili psittacidae banyak
diperdagangkan baik nasional maupun internasional sebagai burung peliharaan. Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003) ada lima kelompok burung paruh bengkok yang diminati masyarkat yaitu kelompok burung kakatua, nuri, perkici, betet dan serindit. B.2.3 Dominansi dan Kelimpahan Jenis Burung
Tiap-tiap habitat dilokasi penelitian memiliki kelimpahan jenis dan jumlah individu burung yang berbeda. Kelimpahan jenis burung berbanding lurus dengan dominasi jenis burung. Semakin melimpah suatu jenis burung (memiliki nilai kelimpahan tinggi) maka burung tersebut akan semakin mendominasi pada suatu habitat. Sebaliknya, jika suatu jenis burung dengan kelimpahannya rendah maka akan termasuk yang tidak dominan. Jenis burung yang mendominasi pada habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, maupun habitat kebun merupakan jenis burung pemakan serangga dan pemakan buah. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya pakan pada habitat yang ditempati burung tersebut. Dominasi suatu jenis burung didukung oleh kecocokan burung tersebut terhadap ekosistemnya sebagai bagian dari habitatnya dan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Faktor penting yang juga membuat suatu jenis dapat mendominasi suatu lingkungan adalah kemampuan burung untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya dan kemampuan untuk memilih serta menciptakan relung khusus bagi dirinya (Utari, 2000). Pada habitat hutan primer, terdapat 5 jenis burung yang dominan yaitu R. cassidix,
D. hottentottus, O. chinensis, E. erythrophris, dan Z. atrifrons. R.
cassidix merupakan jenis burung yang memiliki kelimpahan tinggi. Pada
umumnya R. cassidix membutuhkan habitat yang tidak terganggu, sehingga burung ini mudah dijumpai pada habitat hutan primer yang memiliki vegetasi pakan bagi burung tersebut. E. erythrophris dan Z. atrifrons merupakan burung yang hidup berkelompok dalam mencari makan, beristirahat, maupun bermain. Sedangkan Oriolus chinensis dan D. hottentottus merupakan burung yang umum di lokasi penelitian, kedua jenis burung ini hampir dijumpai pada semua titik pengamatan. Jenis burung yang dominan dan memiliki kelimpahan tertinggi pada habitat daerah peralihan adalah D. hottentottus, sedangkan M. amboinensis, O.
chinensis, Z.atrifrons merupakan jenis yang dominan. Jenis-jenis burung tersebut
umum ditemukan dilokasi penelitian sehingga sangat mudah dijumpai. Pada habitat kebun, terdapat 5 jenis burung yang dominan. Dominansi jenis burung yang tinggi ini dikarenakan sifat burung tersebut yang mudah diamati. T. griseicauda, M. amboinensis, Z. atrifrons dan Z. chloris sangat mudah diamati
karena sering berkelompok dalam mencari makan. Sedangkan D. celebicum dengan sifatnya yang cukup jinak dan mudah didekati, umumnya bertengger rendah sehingga lebih mudah diamati. B.2.4 Indeks Kesamaan Jenis Burung
Keanekaragaman jenis burung pada setiap habitat memiliki kesamaan antara habitat satu dengan habitat yang lain. Habitat daerah peralihan dan habitat kebun berasosiasi dengan habitat hutan primer, yang artinya bahwa habitat daerah peralihan dan habitat kebun memiliki banyak kesamaan jenis burungnya. Selanjutnya, jenis-jenis burung yang terdapat pada kedua habitat tersebut memiliki kesamaan dengan jenis burung pada habitat hutan primer. Berdasarkan matriks kesamaan jenis burung di lokasi penelitian diketahui antara habitat daerah peralihan dengan habitat hutan primer memiliki jenis burung yang sama atau memiliki nilai indeks kesamaan jenis sebesar 44%. Jenis burung yang sama pada kedua habitat tersebut antara lain P. subgularis, P. flavicans, R. teysmanni, C. helianthea. Kebanyakan jenis burung yang ditemukan pada habitat
hutan primer dan habitat daerah peralihan merupakan jenis burung pemakan serangga dan buah. Hal ini disebabkan karena vegetasi pada kedua habitat tersebut hampir sama, sehingga jenis-jenis burung pemakan serangga dan buah dapat menempati kedua habitat tersebut. Jenis vegetasi yang sama pada kedua habitat tersebut antara lain Ficus sp, Erythrina subumbrans dan Lithocarpus sp. Habitat daerah peralihan dengan habitat kebun memiliki indeks kesamaan jenis sebesar 35% atau lebih kecil dari asosiasi antara habitat hutan primer dengan habitat daerah peralihan. Jenis burung yang sama pada kedua habitat tersebut merupakan jenis-jenis burung yang menyukai habitat terbuka. Penutupan tajuk pada daerah peralihan tidak terlalu rapat, sedangkan pada habitat kebun penutupan tajuknya terbuka dan lokasi antara kedua habitat tersebut berdekatan.
Nilai indeks kesamaan terendah terdapat pada habitat hutan primer dan habitat kebun dengan nilai 34%. Umumnya, jenis burung yang ditemukan pada kedua habitat tersebut merupakan jenis burung pemakan serangga. Sedangkan yang menyebabkan kedua habitat tersebut mempunyai nilai kesamaan rendah karena adanya perbedaan struktur vegetasi. Selain itu, habitat kebun terletak didekat pemukiman masyarakat dan memiliki jarak yang jauh dari habitat hutan primer. B.2.5 Nilai Keanekaragaman Jenis Burung
Keanekaragaman jenis burung pada setiap tipe habitat di lokasi penelitian menunjukkan nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 3.1238 hingga 3.5028. Soerianegara (1996) mengatakan bahwa untuk nilai indeks keanekaragaman di Indonesia dapat dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 3.5. Nilai indeks keanekaragaman yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran jenis burung yang nilainya ditunjukkan oleh nilai kekayaaan dan kemerataan jenis burung (Balen, 1984). Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada habitat daerah peralihan dan terkecil adalah habitat hutan primer. Hal ini disebabkan karena jumlah jenis burung yang ditemukan dihabitat daerah peralihan lebih banyak dibandingkan dengan habitat hutan primer dan habitat kebun. Tingginya nilai keanekaragaman pada habitat daerah peralihan diduga memiliki hubungan dengan keanekaragaman vegetasi di habitat daerah peralihan. Pada saat dilakukan penelitian diketahui bahwa tipe vegetasi dihabitat daerah peralihan merupakan perpaduan antara hutan primer dengan kebun kopi dan coklat. Keanekaragaman tipe vegetasi pada habitat daerah peralihan tersebut mengakibatkan jumlah ruang, jenis makanan, dan tempat berlindung yang beranekaragaman pula. Menurut Yoza (2006) daerah peralihan secara ekologi berperan sebagai daerah kolonisasi bagi jenis burung, tempat mencari makan, dan merupakan daerah pengungsian. B.2.6 Kemerataan Jenis Burung
Kemerataan jenis dalam suatu habitat dapat ditandai dengan tidak adanya jenis-jenis yang dominan. Indeks kemerataan jenis yang memiliki nilai lebih besar dari 0.5 menunjukkan jenis-jenis yang ditemukan cukup merata (Darmawan,
2005). Hasil perhitungan nilai indeks kemerataan menunjukkan bahwa jenis burung pada habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun cukup merata. Nilai indeks kemerataan jenis burung tertinggi terdapat pada habitat kebun dengan nilai 0.9012. Habitat kebun memiliki nilai indeks kemerataan tertinggi karena sebaran individu jenis burung pada komunitas kebun merata, dimana jumlah individu antar jenis tidak banyak berbeda atau seimbang. Kurnia et al (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai dari indeks kemerataan,
mengindikasikan bahwa dalam suatu komunitas tidak terdapat jenis yang dominan. Nilai indeks kemerataan terendah terdapat pada habitat hutan primer dengan nilai 0.8786 hal ini disebabkan karena perbedaaan jumlah individu yang sangat besar antar tiap jenisnya di habitat hutan primer. Habitat kebun memiliki indeks kemerataan tertinggi diduga karena pada habitat kebun, komposisi struktur pakan burung kurang beragam dibandingkan dengan habitat lain. Dalam kondisi habitat yang relatif seragam, jumlah burung pada setiap jenis relatif lebih merata jika dibandingkan dengan habitat yang memiliki jumlah jenis burung yang tinggi yang memiliki sebaran individu kurang merata pada setiap jenisnya. Habitat kebun merupakan kondisi habitat yang relatif seragam tetapi memiliki sumberdaya yang memadai serta dapat memenuhi kebutuhan hidup setiap jenis burung yang ada. B.2.7. T-hitung Komunitas Burung
Berdasarkan uji t-student dengan membandingkan keanekaragaman jenis burung antar tipe habitat yaitu habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Hal ini dapat diartikan bahwa
setiap
tipe
habitat
yang
diamati
memiliki
banyak
perbedaan
keanekaragaman jenis burung dengan habitat lainnya. Pada masing-masing tipe habitat memiliki jenis-jenis burung yang khas atau hanya menyukai habitat tertentu saja. Pemilihan habitat tersebut berhubungan dengan pakan, tempat bermain, dan tempat berlindung bagi burung. Sebagai contoh, pada habitat kebun ditemukan jenis burung pemakan biji-bijian, hal ini disebabkan karena habitat kebun ini menyediakan pakan burung berupa biji seperti bulir padi, yang pada habitat lainnya tidak ditemukan. Pada habitat hutan primer ditemukan jenis burung yang sangat peka terhadap gangguan. Kondisi
yang cocok dengan keadaan hutan primer yang mempunyai vegetasi beragam sehingga digunakan burung untuk tempat bersembunyi dan berlindung. Pada habitat daerah peralihan selain menyediakan sumber pakan, burung-burung didaerah ini juga dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Menurut Yoza (2006) daerah peralihan memiliki suhu dan kelembaban udara yang berbeda dibandingkan dengan kedua tipe habitat yang berbatasan sehingga beberapa jenis burung yang hidup dihabitat ini sudah beradaptasi terhadap kondisi fisik tersebut. B.3 Penggunaan Vegetasi oleh Burung B.3.1 Penggunaan Strata Vegetasi
Stratifikasi vegetasi terbentuk oleh beragam jenis vegetasi yang menyusunnya pada tiap tingkat vegetasi. Menurut Alikodra (2002), suatu masyarakat burung dapat dibedakan menurut perbedaan lapisan hutan. Hutan terdiri atas strata semak belukar, strata antara semak belukar dengan pohon dan strata tajuk hutan. Setiap strata memiliki kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis burung tertentu. Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang, yang secara umum dimanfaatkan burung pada siang hari. Pemanfaatan strata vegetasi pada habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun didominasi oleh strata B (10-25 m) dan C (4-10 m). Hal ini dapat disebabkan
pada strata B dan C tersedia sumber pakan yang
dibutuhkan oleh burung seperti buah dan serangga. Sehingga jenis burung yang memanfaatkannya yaitu jenis-jenis burung pemakan buah dan serangga. Jenisjenis burung tersebut antara lain: D. forsteni, P. subgularis, C. saturatus, dan E. panayensis. Umumnya jenis burung yang memanfaatkan strata B dan C untuk
makan, beristirahat, dan bermain. Jenis khas strata A (> 25 m) pada habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun adalah burung-burung pemangsa dari famili accipitridae, yang memanfaatkan strata A untuk istirahat, bertengger dan mengintai mangsa. H. tahitica dan H. longipennis juga memanfaatkan strata A untuk menangkap serangga di udara. Selain itu, jenis burung yang memanfaatkan strata A yaitu: P. platuratus, C. enca, R. cassidix dan L. sigmatus.
Strata D (0-4 m) pada habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun dimanfaatkan oleh burung arboreal (hidup ditanah) dan burung lapisan bawah. Menurut Alikodra (2002) jenis burung yang ada di lantai hutan sangat bervariasi terutama ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan, kerapatan dan letak tempatnya. Jenis burung khas strata bawah umumnya yaitu G. gallus, T. suscitator, dan Z. erythronota. Burung-burung ini umumnya pemakan serangga
dan biji. Strata bawah ini sangat dipengaruhi oleh adanya vegetasi rerumputan dan semak belukar yang dapat menunjang kebutuhan penyediaan pakan berupa serangga dan biji bagi jenis-jenis burung ini. B.3.2 Penggunaan Ruang Tajuk
Penggunaan ruang tajuk oleh burung diduga karena faktor ketersediaan pakan, keamanan dan kesukaan, sehingga burung memilih ruang tajuk mana yang lebih sering digunakan dalam aktivitasnya. Jenis-jenis yang memiliki pergerakan yang cepat dan gesit, umumnya memanfaatkan semua bagian ruang tajuk. Ada juga jenis-jenis burung tertentu yang memanfaatkan satu ruang tajuk (Darmawan, 2005) Pada habitat hutan primer, jenis burung yang menggunakan lebih dari satu tajuk merupakan jenis burung yang jenis pakannya menyebar pada semua bagian pohon baik buah, nektar maupun serangga. Sebagai contoh, penggunaan lebih dari satu tajuk pada pohon dadap (Erythrina subumbrans), jenis burung yang memanfaatkannya antara lain P. flavicans, L. stigmata, dan D. hottentottus. Pada habitat daerah peralihan, jenis burung yang memanfaatkan semua bagian tajuk pada strata A dan B adalah T. ornatus, T. flavoviridis, P. flavicans, P. platurus, dan L. stigmatus untuk mencari makan, sedangkan B. celebensis
menggunakannya untuk mencari makan dan berjemur pada pohon dadap (Erythrina subumbrans). Pada habitat kebun, jenis burung yang menggunakan semua bagian tajuk merupakan jenis burung dari famili columbidae, nektariniidae, dan zosteropidae. Jenis burung yang menggunakan satu tajuk adalah H. longipennis dan H. chloris. Kedua jenis tersebut menggunakan tajuk atas dan bawah untuk bertengger dan istirahat.
B.3.3 Pen nggunaan Jenis Vegetaasi Paada habitat hutan prim mer, jenis vegetasi v yaang umum digunakan oleh burung addalah Ficuss sp. Mennurut Alikodra (2002)), Ficus spp yang taju uknya berbentukk payung sangat s disuukai oleh burung seebagai tem mpat berlind dung, beristirahaat, dan sekaaligus tempat mencari makan. Jennis pohon ini menghassilkan buah sebagai pakan burung b frugiivora. Kinnaird (1997) menambahhkan bahwa buah k burung karena k Ficus sp (Gambar 37) sanggat disukai satwa khususnya menganduung gula, mudah m dicerrna dan meengandung kalsium yaang penting g bagi pertumbuhhan tulang dan perkkembangan cangkang telur. Jeniis burung yang ditemukann menggunaakan Ficus sp adalah P. P flavicanss, R. cassidi dix, P. subgu ularis sebagai teempat menncari makann dan tem mpat istirahaat. D. hotttentottus daan E. panayensiis menggunnakan Ficuss sp sebagaai tempat bermain. b Jennis vegetasi lain yang diggunakan olleh burungg adalah dadap (Errythrina suubumbrans)). E. subumbrans sangat disukai d buruung-burung g pemakan buah dan sserangga. hal h ini disebabkaan karena pohon p E. suubumbrans menghasilkkan buah ddan pada batang b maupun daunnya d dittemukan serrangga (ulaat). Jenis-jeenis burung yang meny yukai buah E. subumbrans s s antara laiin P. flaviccans, dan L. L stigmatuss. Sedangkaan M. fulvus, D. temminckiii, dan E. erythrophris e s menggunnakan pohon dadap seebagai tempat mencari m maakan berupa ulat atau u seranggaa lainnya. Lithocarpu us sp mempunyyai banyak percabangaan batang sehingga s diigunakan ooleh burung g D. hottentottuus dan M. amboinensis a s sebagai tem mpat bertenngger dan beermain.
Gam mbar 37. Buaah Ficus sp
Pada habitat daerah peralihan, E. subumbrans merupakan vegetasi yang paling banyak digunakan oleh burung. Sebanyak 18 jenis burung yang menggunakan E. subumbrans. Jenis-jenis tersebut antara lain dari famili columbidae dan psittacidae yang mengunakan E. subumbrans sebagai tempat mencari makan. Kedua famili tersebut sangat menyukai buah E. subumbrans dan bergerombol saat mencari makan. Benalu yang hidup dipohon E. subumbrans dikunjungi oleh jenis burung dari famili dicaeidae. M. fulvus, L. leucopygialis, dan D. temminckii mencari ulat dipohon E. subumbrans. Vegetasi E. subumbrans
selain menghasilkan buah dan disukai ulat, juga memiliki struktur pohon yang tinggi, sehingga beberapa jenis burung seperti B. celebensis dan A. monachus menggunakannya untuk berjemur dan bertengger. Sebanyak 12 jenis burung memanfaatkan Ficus sp. Jenis burung yang memanfaatkan buah Ficus sp antara lain dari famili bucerotidae dan columbidae. L.stigmatus memanfaatkan Ficus sp dengan menghisap buahnya. Pohon Lithocarpus sp dimanfaatkan oleh 8 jenis burung, antara lain C. crassirostris, C. saturatus, O. chinensis, dan D. hottentottus yang memanfaatkan
pohon Lithocarpus sp untuk mencari serangga. Cryptophaps poecilorrhoa, T. ornatus, dan T. manadensis menggunakannya untuk bertengger. Pada jenis
vegetasi Piper aduncum digunakan oleh burung-burung yang menyukai strata bawah. Pada vegetasi ini ditemukan sarang burung D. celebicum (Gambar 38). Jenis burung E. panayensis, C. rufigastra, dan Z. atrifrons menggunakan vegetasi Piper aduncum sebagai tempat mencari makan, tempat bermain dan bertengger. R. teysmanni menggunakan vegetasi ini sebagai tempat bertengger, mengincar
mangsanya yaitu serangga. Sedangkan O. manadensis menggunakannya sebagai tempat tidur. Sekelompok D. aureolimbatun sering terlihat mencari makanan di vegetasi P. aduncum, burung ini mencari serangga terutama ulat pada daun atau batang vegetasi tersebut.
G Gambar 38. Sarang S Dicaeeum celebicu um pada vegeetasi Piper aaduncum
Paada habitat kebun, diitemukan 10 jenis buurung yangg memanfaaatkan vegetasi Eugenia E aroomatica. E. aromatica mempunyai banyak raanting yang tidak ada daunnnya dan terlletak pada daerah d miriing yang memungkink m kan terkena sinar matahari pada pagi hari, sehinngga sangatt baik diguunakan oleh burung untuk u berjemur dan d bertenggger. Jenis-jenis burung g yang mem manfaatkan vvegetasi terrsebut antara lainn P. aurigasster, D. hotttentottus, N. N aspasia, N. jugulariis, L. punctu ulata, dan L. maalacca. Ficcus sp dimaanfaatkan 9 jenis buruung untuk mencari makan, m antara lainn jenis burrung T. grisseicauda, P. melanosspila, L. sttigmatus, daan R. cassidix. Vegetasi V Syyzygium aqqueum yang g sedang beerbunga dim manfaatkan n oleh jenis burrung dari famili necctariniidae. Kelompokk famili nnectariidae juga memanfaaatkannya seebagai temppat bermain n. L. stigmaatus memannfaatkan veg getasi ini untuk mencari m maakan dengann menghisap p bunganya.. B.3.4 Imp plikasi Peneelitian Perubahan tatta guna lahhan dari hu utan primer menjadi aareal perkeb bunan menyebabbkan kompoosisi dan strruktur hutan n berubah. Vegetasi V pohhon-pohon besar dengan taajuk yang lebar hilanng kemudiaan digantikkan dengann vegetasi yang homogen
dengan
tajuk
yanng
terbuk ka.
Sehinggga
burung-burung
yang
membutuhhkan tajuk pohon yanng tinggi dan d habitatt tidak tergganggu meenjadi hilang. Paada habitat baru terseebut akan hidup h jeniss burung yyang mempu unyai toleransi tinggi t terhaadap gangguan dan menyukai m haabitat terbukka. Pemanffaatan pada habiitat kebun tidak t sekom mplek padaa habitat huutan primerr. Habitat kebun k hanya diggunakan sebbagai tempaat mencari makan m jeniss-jenis buruung tertentu u saja. Sedangkann pemanfaaatan pada haabitat hutan n primer diggunakan oleeh berbagai jenis
burung seebagai temppat mencarri makan, bermain, b beerkembangbbiak dan teempat berlindungg. Hal ini diidukung dengan beragamnya tipe vegetasi paada habitat hutan h primer. k Daaerah peralihan meruppakan habiitat tergangggu yang terbentuk karena adanya fraagmentasi habitat. h Hal ini menyeb babkan luassan suatu haabitat berku urang. Kenakeraggaman jeniss burung yanng ditemuk kan dihabitatt ini tergoloong tinggi seeperti pernyataann oleh Furnneess dan Grennwood d (1993) daalam Utari (2000), diimana dengan addanya habittat tepi makka daerah peralihan p d diperbanyak k sehingga dapat meningkattkan keanekkaragaman jenis j burung yang dapaat hidup diddalamnya. Tetapi T dilain pihhak daerah peralihan merupakan m koridor yaang memuddahkan berrbagai jenis penyyakit dan saatwa eksotikk masuk keedalam hutaan yang akaan menyebaabkan ekosistem m didalam huutan menjaddi terganggu u.
16
Kebun
Hutan prrimer
17
7
1
7
10 16 Daerah perralihan
Gambarr 39. Jumlahh jenis burung g pada tiap-tiiap tipe habitat
Beerdasarkan Gambar 399 dapat dikeetahui bahw wa jumlah jeenis burung yang hanya diteemukan di habitat hutan primer paling seddikit diantarra kedua habitat lainnya yaaitu sebanyaak 7 jenis burung. b Kettujuh burunng tersebut merupakan jenis burung yaang membuutuhkan haabitat tidak tergangguu, sehingga dengan ad danya sedikit peerubahan haabitat makaa akan men ngancam keeberadaan bburung terssebut. Daerah peeralihan dittemukan paaling banyaak jenis buurungnya, ttetapi jenis-jenis tersebut seecara agreggat komunittasnya mud dah berubahh atau goyahh. Dalam hal h ini mempertaahankan keuutuhan hutaan primer merupakan m usaha dalaam menjagaa dan melestarikkan burung--burung terssebut di alam m.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. *Jumlah jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 76 jenis dari 35 famili *Pada habitat hutan primer ditemukan 35 jenis burung dari 20 famili, dengan indeks keanekaragaman sebesar 3.1238 dan indeks kemerataan sebesar 0.8786. *Pada habitat daerah peralihan ditemukan 51 jenis burung dari 25 famili dengan indeks keanekaragaman sebesar 3.5028 dan indeks kemerataan sebesar 0.8909 *Pada habitat kebun ditemukan 42 jenis burung dari 25 famili dengan indeks keanekaragaman sebesar 3.3682 dan indeks kemerataan sebesar 0.9012 *Jumlah jenis burung endemik yang ditemukan dilokasi penelitian sebanyak 41 jenis. Pada habitat hutan primer sebanyak 22 jenis burung, habitat daerah peralihan sebanyak 33 jenis burung, dan habitat kebun sebanyak 14 jenis burung *Keanekaragaman jenis burung berdasarkan tipe pakan insektivora dan frugivora ditemukan paling banyak pada seluruh tipe habitat *Jenis vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan oleh burung adalah beringin (Ficus sp) dan dadap (Erythrina subumbrans) 2. Habitat
hutan
primer
digunakan
oleh
burung
sebagai
tempat
berlindung/cover. Habitat daerah peralihan digunakan sebagai tempat mencari makan dan tempat bermain. Habitat kebun digunakan sebagai tempat mencari makan. 3. Jenis burung yang ditemukan di habitat hutan primer merupakan jenis interior spesies seperti Spizaetus lanceolatus, Actenoides princeps, dan Dicrurus montanus. Jenis burung yang ditemukan pada habitat daerah
peralihan merupakan jenis edge spesies seperti Hieraaetus kienerii, Accipiter griseiceps, Turocoena
manadensis, Trichoglossus ornatus,
Trichoglossua flavoviridis, Cuculus crassirostris, Lalage leucopygialis,
Zoothera erythronota, Scissirostrum dubium, dan Dicaeum nehrkorni.
Jenis burung yang ditemukan pada habitat kebun merupakan jenis open area
spesies
seperti
Turnix
suscitator,
Amaurornis
isabellinus,
Streptopelia chinensis, Treron griseicauda, Centropus bengalensis, Hirundo tahitica, Pycnonotus aurigaster, Gerygone sulphurea, Anthreptes malacensis, Nectarinia jugularis, Zosterops chloris, Lonchura molucca, Lonchura punctulata, dan Lonchura malacca
B. Saran
1. Diperlukan adanya monitoring keberlanjutan terhadap hubungan burung dengan habitatnya, sehingga data yang ada selalu diperbarui dan apabila terjadi perubahan kondisi habitat dapat segera diketahui. 2. Perlu dilakukan penelitian terhadap ekologi setiap jenis burung sehingga akan memudahkan dalam pengelolaannya.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Balai Taman Nasional Lore Lindu. 2006. Laporan Tahunan Kegiatan Tahun 2006. BTNLL Direktorat jenderal PHKA Departemen Kehutanan. van Balen, B. 1984. Bird Counts and Bird Observation in the Neighborhood of Bogor. Nature Conservation Dept. Agriculture University Wageningan. Wageningen, The Netherlands. Coates, B.J. and Bishop, K.D. 1997. Panduan Lapang: Burung-Burung di Kawasan Wallacea. Dove Publication. Ardeley. Darmawan, M. P. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lindung Gunung Lumut. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Departemen Informasi dan Komunikasi Sulawesi Tengah. 2007. Taman Nasional Lore Lindu. Diakses dari www. Infokom-sulteng.go.id pada tanggal 20 Mei 2008. Dewi, R. S. 2006. Keanekaragaman Jenis burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Gunung Ciremai. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Dewi, T. S. 2005. Kajian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Lanskap Hutan Tanaman Pinus (Studi Kasus: Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Endah, R. M. 2002. Peranan Hutan Kota Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung Pada Berbagai Bentuk Ruang Terbuka Hijau. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Ensiklopedi Indonesia. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. Gaol, S. E. L. 1998. Studi Variasi Tingkat Keanekaragaman Jenis Burung Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Propinsi Lampung. Skripsi. Jurusan Konservasi
Sumberdaya
Hutan
Fahutan
IPB,
Bogor.
Tidak
dipublikasikan.
van Helvoort, B. 1981. Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java. Nature Conservation Departement, Netherlands. Irawan, A., Nurbandiah, S. N. Rohmah, M. Ramli, M. Jalaraya, T.A. Wijaya & F. Muryanto. 2007. Laporan Praktek Kerja Lapang Profesi Mahasiswa Program Sarjana di Taman Nasional Lore Lindu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Irwanto.
2007.
Indeks
Diversitas
atau
Keanekaragaman.
Diakses
dari
www.wordpress.com. pada tanggal 20 Mei 2008 Kartono, A. P. 2000. Tehnik Inventarisasi Satwaliar dan Habitatnya. Laboratorium Ekologi Satwaliar. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan IPB. Bogor. Kinnaird, M. F. 1997. Sulawesi Utara: sebuah panduan sejarah alam. Yayasan Pengembangan Wallaceae. Jakarta.
Kurnia, I., H. Fadly, U. Kusdinar, W. G. Gunawan, D. W. Idaman, R. S. Dewi, D. Yandhi, G. S. Saragih, G. F. Ramadhan, T. D. Djuanda, R. Risnawati & M. Firdaus. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung di Taman Nasional Betung Kerihun Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi X: 37-46.
MacKinnon, J. 1990. Burung-burung di Jawa-Bali. LIPI – Birdlife International Indonesia Programme. Bogor. MacKinnon, J., K. Phillips & B. van Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi – LIPI – Birdlife International Indonesia Programme, Bogor. Mahmud, A. 1991. Kelimpahan dan Pola Penyebaran Burung-burung Merandai di Cagar Alam Pulau Rambut. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan. Marcel. 2005. Ancaman Bagi Kehati di TNLL. Buletin TNLL Desember edisi pertama. Montesori, J. 2000. Tumpang-tindih Kepentingan di Lore lindu. Diakses dari www.YTM.or.id pada tanggal 20 Mei 2008 Noerdjito, M. & I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan
Indonesia.
Balitbang
Zoologi
(Museum
Zoologicum Bogoriense) Puslitbang Biologi – LIPI dan The Nature Conservancy, Cibinong. Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. PHKA. 2004. Lima puluh Taman Nasional di Indonesia. Pusat Informasi Konservasi Alam-Direktorat Jendral Pelestarian dan Konservasi Alam.
Phillipps, K & D. Holmes. 1999. Burung-burung di Sulawesi. Puslitbang BiologiLIPI. Bogor. Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan, & P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pujaningsih. 2004. Taman Nasional Lore Lindu. Diakses dari www. Berita Palu.com pada tanggal 20 Mei 2008 Ramadhanil. 2002. Keanekaragaman Hayati Sulawesi: Potensi, Usaha Konservasi dan Permasalahan. Diakses dari www.tumoutou.net pada tanggal 20 Mei 2008 Santosa, Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tidak dipublikasikan. Sayogo, A. P., S. V. R. Situngkir, A. N. Cahyana, A. S. Putri, R. Oktaviani, P. R. Herdiyanti & H. Sudarno. 2008. Laporan Praktek Kerja Lapang Profesi Mahasiswa Program Sarjana di Taman Nasional Alas Purwo. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Soehartono, T & A. Mardiastuti.
2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di
Indonesia. Japan Internasional Cooperation agency. Jakarta. Soerianegara, I. & A. Indrawan. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Lab. Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sujatnika., P. Jepson, T. R. Soehartono, M. J. Crosby & A. Mardiastuti. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik (Conserving Indonesian Biodiversity: The Endemic Bird Area Approach). Departemen Kehutanan – BirdLife International Indonesia Programme, Jakarta.
Utari, W. D. 2000. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat Di Areal Hutan Tanaman Industri PT Riau Andalan Pulp dan Paper dan Perkebunan Kelapa Sawit PT Duta Palma Nusantara Group Propinsi Dati I Riau. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan. Welty, J. C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publishing, Philadelphia. Winarni, N. L. 2008. Analisa sederhana dalam Ekologi Hidupanliar. Diakses dari www.google.com pada tanggal 20 Mei 2008 Yoza, D. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau. Tesis. Program
Pascasarjana
dipublikasikan.
Institut
Pertanian
Bogor,
Bogor.
Tidak
Lampiran 1. Rekapitulasi INP vegetasi di habitat hutan primer a. No
Tingkat semai Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
INP
1
aa
Ficus sp
3
7.5
7.692308
0.1
5
12.69231
2
baka
Magnolia condali
5
12.5
12.82051
0.2
10
22.82051
3
belobo
Cleistanthus myrianthus
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
4
dipala
Eugenia sp
2
5
5.128205
0.2
10
15.12821
5
beringin
Ficus sp
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
6
lamwangi
Ficus septica
1
2.5
2.564103
0.1
5
7.564103
7
lao
Lindera apoensis
5
12.5
12.82051
0.2
10
22.82051
8
lebanu
5
12.5
12.82051
0.2
10
22.82051
9
loha
1
2.5
2.564103
0.1
5
7.564103
10
loliya
Cryptocarya sp
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
11
loncaibo
Dizoxylun sp
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
12
miyapo
Macaranga hispida
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
13
mpomaria
Engelhartia rigida
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
14
paloha
Decasprmum paniculutum
2
5
5.128205
0.1
5
10.12821
15
wulala
Syzigium sp
3
7.5
7.692308
0.2
10
17.69231
b. No
Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
0.3
13.63636
INP
1
ampoi
Ficus sp
8
20
20.51282
2
baka
Magnolia condali
7
17.5
17.94872
0.3
13.63636
31.58508
3
birako
Schefflera sp
1
2.5
2.564103
0.1
4.545455
7.109557
4
dipala
Eugenia sp
1
2.5
2.564103
0.1
4.545455
7.109557
5
ficus
Ficus sp
2
5
5.128205
0.1
4.545455
9.67366
6
kuhiyo
Evodia sp
3
7.5
7.692308
0.1
4.545455
12.23776
7
lamwangi
Ficus septica
1
2.5
2.564103
0.1
4.545455
7.109557
8
lebanu
2
5
5.128205
0.2
9.090909
14.21911
9
loha
1
2.5
2.564103
0.1
4.545455
7.109557
34.14918
10
loliya
Cryptocarya sp
1
2.5
2.564103
0.1
4.545455
7.109557
11
marangkapi
Villebrunea rubencens
1
2.5
2.564103
0.1
4.545455
7.109557
12
palili
Lithocarpus sp
3
7.5
7.692308
0.2
9.090909
16.78322
13
rodo
Erythrina subumbrans
4
10
10.25641
0.2
9.090909
19.34732
14
wonce
Evodia celebica
4
10
10.25641
0.2
9.090909
19.34732
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
Di
Dri (%)
c. No
Tingkat pancang
Tingkat tiang Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
Lbds
INP
1
aa
Ficus sp
2
0.0306
5
6.896552
0.1
3.846154
0.0765
7.338129
18.08084
2
ampoi
Ficus sp
1
0.0132
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.033
3.165468
10.4599
3
baka
Magnolia condali
1
0.0153
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.03825
3.669065
10.96349
4
bune
Glochidion sp
2
0.027
5
6.896552
0.2
7.692308
0.0675
6.47482
21.06368
5
balintunga
Bischiffia javanica
1
0.0176
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.044
4.220624
11.51505
6
birako
Schefflera sp
1
0.0153
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.03825
3.669065
10.96349
7
cempaka
Elmerilia ovallis
1
0.0153
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.03825
3.669065
10.96349
8
kume
Palaquium quercifolium
1
0.0132
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.033
3.165468
10.4599
9
konkone
1
0.0176
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.044
4.220624
11.51505
10
loncaibo
Nuclea sp
1
0.0153
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.03825
3.669065
10.96349
11
rodo
Erythrina subumbrans
3
0.0482
7.5
10.34483
0.3
11.53846
0.1205
11.55875
33.44204
12
manggis hutan
1
0.0176
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.044
4.220624
11.51505
13
marangkapi
Villebrunea rubencens
2
0.0306
5
6.896552
0.2
7.692308
0.0765
7.338129
21.92699
14
palili
Lithocarpus sp
3
0.0505
7.5
10.34483
0.2
7.692308
0.12625
12.11031
30.14745
15
lebanu
1
0.0153
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.03825
3.669065
10.96349
16
miyapo
Macaranga hipsida
2
0.0306
5
6.896552
0.1
3.846154
0.0765
7.338129
18.08084
17
pinang
Pinanga caesia
2
0.0285
5
6.896552
0.2
7.692308
0.07125
6.834532
21.42339
18
pandan
Pandanus sp
1
0.0153
2.5
3.448276
0.1
3.846154
0.03825
3.669065
10.96349
19
wune
Glochidion rubrum
2
0.0329
5
6.896552
0.2
7.692308
0.08225
7.889688
22.47855
d.
Tingkat pohon
No
Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
Lbds
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
Di
Dri (%)
INP
1
baka
Castanopsis argentea
3
0.5701
7.5
3.69458
0.2
3.125
1.42525
2.96273
9.78231
2
balintunga
Bischiffia javanica
4
1.3321
10
4.92611
0.2
3.125
3.33025
6.92273
14.9738
3
belobo
Cleistanthus myrianthus
2
0.2426
5
2.46305
0.2
3.125
0.6065
1.26076
6.84881
4
birako
Schefflera sp
1
0.0854
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.2135
0.44381
3.23784
5
cempaka
Elmerilia ovallis
1
0.0346
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.0865
0.17981
2.97384
6
dipala
Eugenia sp
1
0.1962
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.4905
1.01962
3.81365
7
wulala
Syzigium sp
3
0.5466
7.5
3.69458
0.3
4.6875
1.3665
2.8406
11.2227
8
kaha
9
kaubula
Castanopsis accuminatissima
1
0.1451
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.36275
0.75406
3.54809
1
0.1519
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.37975
0.7894
3.58343
10
kume
Palaquim quercifolium
2
0.2267
5
2.46305
0.2
3.125
0.56675
1.17813
6.76618
11
kuhiyo
Evodia sp
2
0.2515
5
2.46305
0.2
3.125
0.62875
1.30701
6.89506
12
lamwangi
Ficus septica
2
0.209
5
2.46305
0.2
3.125
0.5225
1.08614
6.6742
13
beringin
Ficus sp
8
5.0629
20
9.85222
0.6
9.375
12.6573
26.3112
45.5384
14
lengaru
Alstonia scholaris
2
0.5077
5
2.46305
0.2
3.125
1.26925
2.63844
8.2265
15
loliya
Cryptocarya sp
6
1.0472
15
7.38916
0.5
7.8125
2.618
5.44215
20.6438
16
loncaibo
Dizoxylun sp
6
1.5028
15
7.38916
0.6
9.375
3.757
7.80984
24.574
17
marangkapi
Villebrunea rubencens
2
0.2791
5
2.46305
0.2
3.125
0.69775
1.45044
7.0385
18
maru
Garcinia sp
1
0.1808
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.452
0.93959
3.73362
19
konkone
2
0.2094
5
2.46305
0.2
3.125
0.5235
1.08822
6.67628
20
mpo maria
Engelhartia rigida
1
0.1451
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.36275
0.75406
3.54809
21
rodo
Erythrina subumbrans
2
0.3673
5
2.46305
0.1
1.5625
0.91825
1.90881
5.93436
22
palili
Lithocarpus sp
7
2.5649
17.5
8.62069
0.4
6.25
6.41225
13.3294
28.2001
23
paliyo
Cinnamommum parthenoxyllon
1
0.2289
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.57225
1.18956
3.98359
24
paloha
Decasprmum paniculutum
2
0.12
5
2.46305
0.2
3.125
0.3
0.62362
6.21168
25
pawa
Musaenda frondosa
1
0.1451
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.36275
0.75406
3.54809
26
tanganga
Tabernaemontana sphaerocarpa
1
0.0907
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.22675
0.47135
3.26538
27
uru
Elmerillia sp
1
0.2205
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.55125
1.14591
3.93993
28
wonce
Evodia celebica
1
0.1133
2.5
1.23153
0.1
1.5625
0.28325
0.5888
3.38283
29
lao
Lindera apoensis
7
1.7947
17.5
8.62069
0.4
6.25
4.48675
9.3268
24.1975
30
wune
Glochidion rubrum
7
0.6703
17.5
5.9727
0.3
4.6875
1.67575
3.48345
14.1436
Lampiran 2. Rekapitulasi INP vegetasi di habitat daerah peralihan a. No
Tingkat semai Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
INP
1
bayur
Pterospermum javanicum
1
2.5
2.325581
0.1
4.166667
6.492248
2
birako
Schefflera sp
4
10
9.302326
0.3
12.5
21.80233
3
dipala
1
2.5
2.325581
0.1
4.166667
6.492248
4
kopi
Coffea robusta
7
17.5
16.27907
0.3
12.5
28.77907
5
lamwangi
Ficus septica
3
7.5
6.976744
0.1
4.166667
11.14341
6
lao
Lindera apoensis Elmer
3
7.5
6.976744
0.2
8.333333
15.31008
7
palili
Lithocarpus sp
1
2.5
2.325581
0.1
4.166667
6.492248
8
miyapo
Macaranga hispida M.A
2
5
4.651163
0.4
16.66667
21.31783
9
mpomaria
Engelhartia rigida Blume
4
10
9.302326
0.3
12.5
21.80233
10
uru
2
5
4.651163
0.1
4.166667
8.817829
11
wulala
Syzigium sp
1
2.5
2.325581
0.1
4.166667
6.492248
12
rodo
Erythrina subumbrans Merr
6
15
13.95349
0.1
4.166667
18.12016
13
una-una
Piper aduncum
8
20
18.60465
0.2
8.333333
26.93798
b.
Tingkat pancang No
Nama daerah
1
belobo
2
birako
3 4
Nama ilmiah
Jumlah
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
INP
7
17.5
9.859155
0.2
6.451613
16.31077
Schefflera sp
9
22.5
12.67606
0.5
16.12903
28.80509
cemara gunung
Chataranthus roseus
2
5
2.816901
0.1
3.225806
6.042708
cempaka
Elmerilia ovallis
3
7.5
4.225352
0.2
6.451613
10.67697
5
kauwatu
Siphonodon celastrineus
3
7.5
4.225352
0.1
3.225806
7.451159
6
lao
Lindera apoensis Elmer
1
2.5
1.408451
0.1
3.225806
4.634257
7
kopi
Coffea robusta
13
32.5
18.30986
0.4
12.90323
31.21308
8
lamwangi
Ficus septica
1
2.5
1.408451
0.1
3.225806
4.634257
9
rodo
Erythrina subumbrans Merr
3
7.5
4.225352
0.1
3.225806
7.451159
10
mangga hutan
Mangifera indica
1
2.5
1.408451
0.1
3.225806
4.634257
11
pakinau
Finschia sp
2
5
2.816901
0.1
3.225806
6.042708
12
miyapo
Macaranga hispida M.A
7
17.5
9.859155
0.4
12.90323
22.76238
13
mpomaria
Engelhartia rigida Blume
9
22.5
12.67606
0.2
6.451613
19.12767
14
wulala
Syzigium sp
1
2.5
1.408451
0.1
3.225806
4.634257
15
una-una
Piper aduncum
9
22.5
12.67606
0.4
12.90323
25.57928
c. No
Nama daerah
1
belobo
2
birako
Nama ilmiah Schefflera sp
Jumlah
Lbds
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
1
0.0095
2.5
1
0.0079
Di
Dri (%)
INP
2.222222
0.1
3.703704
0.02375
1.472183
7.398109
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.01975
1.224237
7.150163
3
berau
1
0.0113
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.02825
1.751124
7.677049
4
cempaka
Elmerilia ovallis
1
0.0133
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.03325
2.061057
7.986983
5
kauwatu
Siphonodon celastrineus
1
0.0177
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.04425
2.74291
8.668836
6
kopi
Coffea robusta
12
0.177
30
26.66667
0.4
14.81481
0.4425
27.4291
68.91058
7
loncaibo
Dizoxylun sp
1
0.0154
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.0385
2.386487
8.312413
8
loliya
Cryptocarya sp
2
0.0408
5
4.444444
0.2
7.407407
0.102
6.322641
18.17449
9
miyapo
Macaranga hispida
2
0.0308
5
4.444444
0.1
3.703704
0.077
4.772974
12.92112
10
mpomaria
Engelhartia rigida
1
0.0113
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.02825
1.751124
7.677049
11
rodo
Erythrina subumbrans
1
0.0133
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.03325
2.061057
7.986983
12
palili
Lithocarpus sp
4
0.0557
10
8.888889
0.3
11.11111
0.13925
8.631644
28.63164
13
una-una
Piper aduncum
16
0.2318
40
35.55556
0.8
29.62963
0.5795
35.92128
101.1065
14
wulala
Syzigium sp
1
0.0095
2.5
2.222222
0.1
3.703704
0.02375
1.472183
7.398109
d. No
Tingkat tiang
Tingkat pohon Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
Lbds
K
1
0.0415
2.5
Kri (%)
Fi
Fri (%)
Di
Dri (%)
INP
0.952381
0.1
1.612903
0.10375
0.449047
3.014331
1
bayur
2
belobo
1
0.0379
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.09475
0.410093
2.975377
3
berau
4
0.2313
10
3.809524
0.3
4.83871
0.57825
2.502759
11.15099
Pterospermum javanicum
4
beringin putih
Ficux sp
1
1.7662
2.5
0.952381
0.1
1.612903
4.4155
19.111
21.67628
5
cemara gunung
Chataranthus roseus
3
0.2072
7.5
2.857143
0.3
4.83871
0.518
2.241987
9.93784
6
cempaka
Elmerilia ovallis
3
0.3336
7.5
2.857143
0.1
1.612903
0.834
3.609686
8.079733
7
kaha
Castanopsis accuminatissima
1
0.0803
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.20075
0.868878
3.434163
8
kauwatu
Siphonodon celastrineus
2
0.087
5
1.904762
0.2
3.225806
0.2175
0.941375
6.071943
9
rodo
Erythrina subumbrans
24
1.6794
60
22.85714
0.9
14.51613
4.1985
18.17178
55.54506
10
lamwangi
Ficus septica
6
0.418
15
5.714286
0.3
4.83871
1.045
4.522928
15.07592
11
lao
Lindera apoensis
1
0.1133
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.28325
1.225952
3.791236
12
lengaru
Alstonia scholaris
3
0.2158
7.5
2.857143
0.3
4.83871
0.5395
2.335043
10.0309
13
loliya
Cryptocarya sp
1
0.0415
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.10375
0.449047
3.014331
14
loncaibo
Dizoxylun sp
1
0.0491
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.12275
0.531282
3.096566
15
mangga hutan
Mangifera indica
1
0.1661
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.41525
1.797269
4.362553
16
miyapo
Macaranga hispida
1
0.066
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.165
0.714147
3.279431
17
mpomaria
Engelhartia rigida
8
0.56
20
7.619048
0.4
6.451613
1.4
6.059426
20.13009
18
orio
1
0.0379
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.09475
0.410093
2.975377
19
pakinau
1
0.0491
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.12275
0.531282
3.096566
Finschia sp
20
kuhiyo
Evodia sp
12
0.7196
30
11.42857
0.6
9.677419
1.799
7.786362
28.89235
21
palili
Lithocarpus sp
17
1.5277
42.5
16.19048
0.7
11.29032
3.81925
16.53033
44.01113
22
palili
Lithocarpus sp
1
0.0379
2.5
0.952381
0.1
1.612903
0.09475
0.410093
2.975377
23
wonce
Evodia celebica
4
0.339
10
3.809524
0.3
4.83871
0.8475
3.668117
12.31635
24
wulala
Syzigium sp
4
0.2623
10
3.809524
0.4
6.451613
0.65575
2.838192
13.09933
25
wune
Glochidion rubrum
3
0.1741
7.5
2.857143
0.2
3.225806
0.43525
1.883832
7.966781
Lampiran 3. Rekapitulasi INP vegetasi di habitat kebun kopi dan coklat a. Tingkat semai No
Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
INP
1
beringin
Ficus sp
1
2.5
7.142857
0.1
11.11111
18.25397
2
kopi
Coffea robusta
3
7.5
21.42857
0.1
11.11111
32.53968
3
coklat
Thebroma cacao
5
12.5
35.71429
0.3
33.33333
69.04762
4
una-una
Piper aduncum
3
7.5
21.42857
0.2
22.22222
43.65079
5
pacing
Komelina silindrica
1
2.5
7.142857
0.1
11.11111
18.25397
6
delumpa
Pipturus sp
1
2.5
7.142857
0.1
11.11111
18.25397
b. Tingkat pancang No
Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
INP
1
una-una
Piper aduncum
3
7.5
14.28571
0.2
10.52632
24.81203
2
kopi
Coffea robusta
5
12.5
23.80952
0.4
21.05263
44.86216
3
coklat
Thebroma cacao
12
30
57.14286
1.2
63.15789
120.3008
4
palili
Lithocarpus sp
1
2.5
4.761905
0.1
5.263158
10.02506
c. Tingkat tiang No
Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
Lbds
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
Di
Dri (%)
INP
1
kayu batu
Ficus sp
3
0.0133
7.5
27.27273
0.1
14.28571
0.03325
12.64259
54.20103
2
miyapo
Macaranga hispida M.A
1
0.0201
2.5
9.090909
0.1
14.28571
0.05025
19.10646
42.48309
3
bendo
Arthocarpus elastica
1
0.0254
2.5
9.090909
0.1
14.28571
0.0635
24.14449
47.52111
4
jambu air
Syzygium aqueum
1
0.0154
2.5
9.090909
0.1
14.28571
0.0385
14.63878
38.01541
5
mpomaria
Engelhartia rigida Blume
1
0.0177
2.5
9.090909
0.1
14.28571
0.04425
16.8251
40.20172
6
cengkeh
Eugenia aromatica
4
0.0133
10
36.36364
0.2
28.57143
0.03325
12.64259
77.57765
d. Tingkat pohon No 1
Nama daerah
Nama ilmiah
Jumlah
Lbds
K
Kri (%)
Fi
Fri (%)
Di
Dri (%)
INP
beringin
Ficus sp
1
0.2462
2.5
8.333333
0.1
9.090909
0.6155
34.77401
52.19825
2
jambu air
Syzygium aqueum
2
0.0707
5
16.66667
0.2
18.18182
0.17675
9.985876
44.83436
3
bendo
Arthocarpus elastica
2
0.1661
5
16.66667
0.2
18.18182
0.41525
23.46045
58.30894
4
balintunga
Bischiffia javanica
1
0.0572
2.5
8.333333
0.1
9.090909
0.143
8.079096
25.50334
5
mpomaria
Engelhartia rigida
1
0.0491
2.5
8.333333
0.1
9.090909
0.12275
6.935028
24.35927
6
lamwangi
Ficus septica
2
0.0615
5
16.66667
0.1
9.090909
0.15375
8.686441
34.44402
7
cengkeh
Eugenia aromatica
3
0.0572
7.5
25
0.3
27.27273
0.143
8.079096
60.35182
Lampiran 4. Jenis-jenis burung di habitat hutan primer, habitat daerah peralihan, dan habitat kebun
Habitat Famili
No
Nama Indonesia
Nama Ilmiah
Nama Inggris Hutan primer
Accipitridae
1
Elang bondol
Haliastur indus
Brahminy Kite
2
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
Sulawesi Serpent-eagle
3
Elang hitam
Ictinaetus malayensis
Black Eagle
9
Daerah peralihan
Kebun
9
9
9
9 9
9
4
Elang perut-karat
Hieraaetus kienerii
Rufous-billied Eagle
5
Elang sulawesi
Spizaetus lanceolatus
Sulawesi Hawk-eagle
6
Elang-alap kepala-kelabu
Accipiter griseiceps
Sulawesi Goshawk
Phasianidae
7
Ayam-hutan merah
Gallus gallus
Red Junglefowl
Turnidae
8
Gemak loreng
Turnix suscitator
Barred Button-quail
9
Rallidae
9
Kareo sulawesi
Amaurornis isabellinus
White-breasted Waterhen
9
10
Tekukur biasa
Streptopelia chinensis
Spotted Dove
9
11
Merpati-hitam sulawesi
Turacoena manadensis
Sulawesi Black Pigeon
Columbidae
Psittacidae
9
9 9
9
9
9
12
Uncal ambon
Macropygia amboinensis
Brown Cuckoo dove
9
9
9
13
Pergam tutu
Ducula forsteni
White-bellied Imperial Pigeon
9
9
9
14
Pergam kepala-kelabu
Ducula radiata
Grey-headed Imperial Pigeon
9
9
15
Merpati murung
Cryptophaps poecilorrhoa
Sombre pigeon
9
16
Walik malomiti
Ptilinopus subgularis
Maroon-chinned Fruit-dove
9
9
17
Walik raja
Ptilinopus superbus
Black-naped Fruit-dove
9
9
18
Punai penganten
Treron griseicauda
Grey-cheeked green Pigeon
19
Perkici dora
Trichoglossus ornatus
Ornate Lorikeet
20
Perkici kuning-hijau
Trichoglossus flavoviridis
Yellow-and-green Lorikeet
21
Kring-kring dada-kuning
Prioniturus flavicans
Yellow-breasted Racquet-tail
22
Kring-kring bukit
Prioniturus platurus
Golden-mantled Racquet-tail
9 9
9 9 9
9 9
9
9
9
23
Serindit sulawesi
Loriculus stigmatus
Large Sulawesi Hanging parrot
24
Kangkok sulawesi
Cuculus crassirostris
Sulawesi Hawk-cuckoo
25
Kangkok ranting
Cuculus saturatus
Oriental Cuckoo
26
Tuwur sulawesi
Eudynamys melanorhyncha
Black-billed Koel
27
Kadalan sulawesi
Phaenicophaeus calyorhynchus
Yellow-billed Malkoha
28
Bubut alang-alang
Centropus bengalensis
Lesser Coucal
29
Bubut sulawesi
Centropus celebensis
Bay Coucal
9
Strigidae
30
Celepuk sulawesi
Otus manadensis
Sulawesi Scops-owl
9
Caprimulgidae
31
Taktarau besar
Eurostopodus macrotis
Great eared Nightjar
9
Hemiprocnidae
32
Topekong jambul
Hemiprocne longipennis
Grey-rumped Tree-swifl
9
Halcyonidae
33
Cekakak-hutan dada-sisik
Actenoides princeps
Scaly-breasted Kingfisher
9
34
Cekakak sungai
Halcyon chloris
Collared Kingfisher
35
Udang-merah sulawesi
Ceyx fallax
Sulawesi dwarf Kingfisher
Cuculidae
Centropodidae
Alcedinidae
9
9 9
9 9
9
9 9
9
9
9
9 9
36
Kangkareng sulawesi
Penelopides exarhatus
Sulawesi Dwarf Hornbill
9
9
9
37
Julang sulawesi
Rhyticeros cassidix
Knobbed Hornbill
9
9
9
38
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
Sulawesi Pygmy Woodpecker
9
9
9
39
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
Ashy Woodpecker
9
9
9
Hirundinidae
40
Layang-layang batu
Hirundo tahitica
Pacific Swallow
Campephagidae
41
Kepudang sungu-biru
Coracina temminckii
Caerulean Cuckoo-shrike
9
42
Kepudang-sungu sulawesi
Coracina morio
Sulawesi Cicadabird
9
43
Kapasan sulawesi
Lalage leucopygialis
Sulawesi Triller
44
Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster
Sooty-headed Bulbul
Bucerotidae Picidae
Pycnonotidae
9
9 9
45
Srigunting sulawesi
Dicrurus montanus
Sulawesi Drongo
9
46
Srigunting jambul-rambut
Dicrurus hottentottus
Hair-crested Drongo
9
9
9
Oriolidae
47
Kepudang kuduk-hitam
Oriolus chinensis
Black-naped Oriole
9
9
9
Corvidae
48
Gagak hutan
Corvus enca
Slender-billed Crow
9
9
Timallidae
49
Pelanduk sulawesi
Trichastoma celebense
Sulawesi Babbler
Dicruridae
9
9
Turdidae
50
Anis punggung-merah
Zoothera erythronota
red-backed Thrush
Pardalotidae
51
Remetuk laut
Gerygone sulphurea
Flyeater
Muscicapidae
52
Sikatan mugimaki
Ficedula mugimaki
Mugimaki Flycatcher
9
53
Sikatan pulau
Eumyias panayensis
Island Verditer Flycatcher
9
9
54
Sikatan bakau
Cyornis rufigastra
Mangrove Blue Flycatcher
9
9
9 9
Rhipiduridae
55
Kipasan sulawesi
Rhipidura teysmanni
Rusty-bellied Fantail
9
9
Petroicidae
56
Sikatan matari
Culicicapa helianthea
Citrine Flycatcher
9
9
Arthamidae
57
Kekep sulawesi
Artamus monachus
Ivory-backed Wood-swallow
Sturnidae
58
Blibong pendeta
Streptocitta albicollis
White-necked myna
9
9
59
Jalak alis-api
Enodes erythrophris
Fiery-browed Starling
9
9
60
Jalak tunggir-merah
Scissirostrum dubium
Grosbeak starling
9
61
Raja-perling sulawesi
Basilornis celebensis
Sulawesi Crested Myna
9
Meliphagidae
62
Myzomela merah-tua
Myzomela sanguinolenta
Scarlet Honeyeater
9
9
Nectariniidae
63
Burung-madu kelapa
Anthreptes malacensis
Brown-throated Sunbird
64
Burung-madu hitam
Nectarinia aspasia
Black sunbird
9
9
65
Burung-madu sriganti
Nectarinia jugularis
Olive-backed Sunbird
66
Burung-madu sepah-raja
Aethopyga siparaja
Crimson Sunbird
67
Burung-madu sp
Nectarinia sp
68
Cabai panggul-kuning
Dicaeum aureolimbatum
Yellow-sided Flowerpecker
69
Cabai sulawesi
Dicaeum nehrkorni
Crimson-crowned Flowerpecker
70
Cabai panggul-kelabu
Dicaeum celebicum
Grey-sided Flowerpecker
71
Kacamata laut
Zosterops chloris
Lemon-bellied White eye
Dicaeidae
Zosteropidae
Estrildidae
9 9
9 9 9
9 9
9
9
9
9 9
9
9
9
9
9
72
Kacamata dahi-hitam
Zosterops atrifrons
Black-fronted White eye
9
73
Opior sulawesi
Lophozosterops squamiceps
Streak-headed Darkeye
9
74
Bondol taruk
Lonchura molucca
Black-faced Munia
9
75
Bondol peking
Lonchura punctulata
Scaly-breasted Munia
9
76
Bondol rawa
Lonchura malacca
Chesnut Munia
9
Lampiran 5. Jenis burung tidak dominan di tiap-tiap tipe habitat a. No
Nama Indonesia
Nama Ilmiah
1
Elang sulawesi
Spizaetus lanceolatus
2
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
3
Ayam-hutan merah
Gallus gallus
4
Pergam tutu
Ducula forsteni
5
Tekukur biasa
Streptopelia chinensis
6
Walik malomiti
Ptilinopus subgularis
7
Walik raja
Ptilinopus melanospila
8
Kangkok ranting
Cuculus saturatus
9
Cekakak-hutan dada-sisik
Actenoides princeps
10
Kangkareng sulawesi
Penelopides exarhatus
11
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
12
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
13
Kepudang sp
Coracina sp
14
Kepudang-sungu sulawesi
Coracina morio
15
Srigunting sulawesi
Dicrurus montanus
16
Pelanduk sulawesi
Trichastoma celebense
17
Sikatan mugimaki
Ficedula mugimaki
18
Kipasan sulawesi
Rhipidura teysmanni
19
Burung-madu sepah-raja
Aethopyga siparaja
20
Cabai panggul-kelabu
Dicaeum celebicum
21
Kacamata laut
Zosterops chloris
22
Opior sulawesi
Lophozosterops squamiceps
b. No
Habitat hutan primer
Habitat daerah peralihan Nama Indonesia
Nama Ilmiah
1
Elang bondol
Haliastur indus
2
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
3
Elang perut-karat
Hieraaetus kienerii
4
Elang sulawesi
Spizaetus lanceolatus
5
Elang-alap kepala-kelabu
Accipiter griseiceps
6
Merpati-hitam sulawesi
Turacoena manadensis
7
Pergam kepala-kelabu
Ducula radiata
8
Merpati murung
Cryptophaps poecilorrhoa
9
Walik malomiti
Ptilinopus subgularis
10
Pergam tutu
Ducula forsteni
11
Kring-kring bukit
Prioniturus platurus
12
Kring-kring dada-kuning
Prioniturus flavicans
13
Kangkok sulawesi
Cuculus crassirostris
14
Kangkok ranting
Cuculus saturatus
15
Tuwur sulawesi
Eudynamys melanorhyncha
16
Bubut sulawesi
Centropus celebensis
17
Celepuk sulawesi
Otus manadensis
18
Taktarau besar
Eurostopodus macrotis
19
Cekakak sungai
Halcyon chloris
20
Kangkareng sulawesi
Penelopides exarhatus
21
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
22
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
23
Kapasan sulawesi
Lalage Leucopygialis
24
Gagak hutan
Corvus enca
25
Anis punggung-merah
Zoothera erythronota
26
Kipasan sulawesi
Rhipidura teysmanni
27
Kekep sulawesi
Artamus monachus
28
Raja-perling sulawesi
Basilornis celebensis
29
Myzomela merah-tua
Myzomela sanguinolenta
30
Burung-madu hitam
Nectarinia aspasia
31
Burung-madu sepah-raja
Aethopyga siparaja
c. No
Habitat kebun Nama Indonesia
Nama Ilmiah
1
Elang hitam
Ictinaetus malayensis
2
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
3
Ayam-hutan merah
Gallus gallus
4
Gemak loreng
Turnix suscitator
5
Kareo sulawesi
Amaurornis isabellinus
6
Pergam kepala-kelabu
Ducula radiata
7
Tekukur biasa
Streptopelia chinensis
8
Walik raja
Ptilinopus melanospila
9
Kring-kring bukit
Prioniturus platurus
10
Serindit sulawesi
Loriculus stigmatus
11
Bubut alang-alang
Centropus bengalensis
12
Udang-merah sulawesi
Ceyx fallax
13
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
14
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
15
Layang-layang batu
Hirundo tahitica
16
Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster
17
Remetuk laut
Gerygone sulphurea
18
Blibong pendeta
Streptocitta albicollis
19
Myzomela merah-tua
Myzomela sanguinolenta
20
Burung-madu hitam
Nectarinia aspasia
21
Bondol peking
Lonchura punctulata
22
Bondol rawa
Lonchura malacca
Lampiran 6. Penggunaan tajuk pohon oleh burung a. No
Habitat hutan primer Nama Lokal
Nama Ilmiah
Tajuk Tengah
Bawah
1
Elang sulawesi
Spizaetus lanceolatus
Atas
•
•
2
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
•
•
3
Ayam-hutan merah
Gallus gallus
4
Pergam tutu
Ducula forsteni
•
•
5
Uncal ambon
Macropygia amboinensis
•
•
6
Walik malomiti
Ptilinopus subgularis
•
•
7
Walik raja
Ptilinopus superbus
•
•
8
Kring-kring dada-kuning
Prioniturus flavicans
•
•
•
9
Serindit sulawesi
Loriculus stigmatus
•
•
•
10
Kadalan sulawesi
Phaenicophaeus calyorhynchus
•
•
11
Kangkok ranting
Cuculus saturatus
•
•
12
Topekong jambul
Hemiprocne longipennis
13
Cekakak-hutan dada-sisik
Actenoides princeps
14
Julang sulawesi
Rhyticeros cassidix
15
Kangkareng sulawesi
Penelopides exarhatus
16
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
17
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
•
18
Kepudang sp
Coracina sp
•
19
Kepudang-sungu sulawesi
Coracina morio
•
20
Srigunting jambul-rambut
Dicrurus hottentottus
21
Srigunting sulawesi
Dicrurus montanus
22
Kepudang kuduk-hitam
Oriolus chinensis
23
Pelanduk sulawesi
Trichastoma celebense
24
Sikatan bakau
25
Sikatan bodoh
26 27
•
• •
•
•
•
•
•
•
• •
•
•
Cyornis rufigastra
•
•
Ficedula hyperythra
•
•
Sikatan pulau
Eumyias panayensis
•
•
Kipasan sulawesi
Rhipidura teysmanni
28
Sikatan matari
Culicicapa helianthea
•
•
29
Blibong pendeta
Streptocitta albicollis
•
•
30
Jalak alis-api
Enodes erythrophris
•
•
31
Burung-madu sepah-raja
Aethopyga siparaja
•
•
32
Cabai panggul-kelabu
Dicaeum celebicum
•
•
33
Cabai panggul-kuning
Dicaeum aureolimbatum
•
•
34
Kacamata dahi-hitam
Zosterops atrifrons
•
•
35
Opior sulawesi
Lophozosterops squamiceps
•
b. No
Habitat daerah peralihan Nama Lokal
Nama Ilmiah
Tajuk Atas
Tengah
Bawah
1
Elang bondol
Haliastur indus
•
2
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
•
3
Elang perut-karat
Hieraaetus kienerii
•
4
Elang sulawesi
Spizaetus lanceolatus
•
5
Elang-alap kepala-kelabu
Accipiter griseiceps
•
•
6
Uncal ambon
Macropygia amboinensis
•
•
7
Walik raja
Ptilinopus superbus
•
•
8
Merpati-hitam sulawesi
Turacoena manadensis
•
9
Pergam kepala-kelabu
Ducula radiata
•
10
Merpati murung
Cryptophaps poecilorrhoa
•
11
Walik malomiti
Ptilinopus subgularis
•
•
12
Pergam tutu
Ducula forsteni
•
•
13
Kring-kring bukit
Prioniturus platurus
•
•
•
14
Serindit sulawesi
Loriculus stigmatus
•
•
•
•
•
•
15
Perkici dora
Trichoglossus ornatus
•
•
•
16
Perkici kuning-hijau
Trichoglossus flavoviridis
•
•
•
17
Kring-kring dada-kuning
Prioniturus flavicans
•
•
•
18
Kangkok sulawesi
Cuculus crassirostris
•
•
19
Kadalan sulawesi
Phaenicophaeus calyorhynchus
•
•
20
Kangkok ranting
Cuculus saturatus
•
•
21
Tuwur sulawesi
Eudynamys melanorhyncha
•
22
Bubut sulawesi
Centropus celebensis
•
23
Celepuk sulawesi
Otus manadensis
24
Taktarau besar
Eurostopodus macrotis
25
Topekong jambul
Hemiprocne longipennis
26
Cekakak sungai
Halcyon chloris
•
•
27
Kangkareng sulawesi
Penelopides exarhatus
•
•
28
Julang sulawesi
Rhyticeros cassidix
•
•
29
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
•
•
30
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
•
•
•
•
•
31
Kapasan sulawesi
Lalage Leucopygialis
•
•
•
32
Srigunting jambul-rambut
Dicrurus hottentottus
•
•
•
33
Kepudang kuduk-hitam
Oriolus chinensis
•
•
34
Gagak hutan
Corvus enca
•
•
35
Anis punggung-merah
Zoothera erythronota
36
Sikatan pulau
Eumyias panayensis
•
•
37
Sikatan bakau
Cyornis rufigastra
•
•
38
Kipasan sulawesi
Rhipidura teysmanni
39
Sikatan matari
Culicicapa helianthea
•
•
40
Kekep sulawesi
Artamus monachus
•
41
Blibong pendeta
Streptocitta albicollis
•
•
•
•
42
Jalak alis-api
Enodes erythrophris
•
43
Raja-perling sulawesi
Basilornis celebensis
•
•
44
Jalak tunggir-merah
Scissirostrum dubium
•
45
Myzomela merah-tua
Myzomela sanguinolenta
•
46
Burung-madu hitam
Nectarinia aspasia
•
•
47
Burung-madu sepah-raja
Aethopyga siparaja
•
•
48
Cabai panggul-kuning
Dicaeum aureolimbatum
•
•
49
Cabai sulawesi
Dicaeum nehrkorni
•
•
50
Cabai panggul-kelabu
Dicaeum celebicum
•
•
51
Kacamata dahi-hitam
Zosterops atrifrons
•
•
c. No
Habitat kebun Nama Lokal
1
Elang bondol
Nama Ilmiah Haliastur indus
2
Elang hitam
Ictinaetus malayensis
3
Elang-ular sulawesi
Spilornis rufipectus
4
Ayam-hutan merah
Gallus gallus
5
Gemak loreng
Turnix suscitator
Tajuk Atas
Tengah
•
•
Bawah
•
•
6
Kareo sulawesi
Amaurornis isabellinus
7
Pergam kepala-kelabu
Ducula radiata
•
•
8
Pergam tutu
Ducula forsteni
•
•
9
Punai penganten
Treron griseicauda
•
•
•
•
•
10
Tekukur biasa
Streptopelia chinensis
11
Uncal ambon
Macropygia amboinensis
12
Walik raja
Ptilinopus superbus
•
•
•
13
Kring-kring bukit
Prioniturus platurus
•
•
•
•
•
•
14
Serindit sulawesi
Loriculus stigmatus
15
Bubut alang-alang
Centropus bengalensis
16
Topekong jambul
Hemiprocne longipennis
17
Cekakak sungai
Halcyon chloris
18
Udang-merah sulawesi
Ceyx fallax
19
Julang sulawesi
Rhyticeros cassidix
20
Kangkareng sulawesi
Penelopides exarhatus
21
Caladi sulawesi
Dendrocopos temminckii
• • • •
•
•
22
Pelatuk-kelabu sulawesi
Mulleripicus fulvus
23
Layang-layang batu
Hirundo tahitica
•
24
Cucak kutilang
Pycnonotus aurigaster
25
Srigunting jambul-rambut
Dicrurus hottentottus
26
Kepudang kuduk-hitam
Oriolus chinensis
•
•
27
Gagak hutan
Corvus enca
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
28
Remetuk laut
•
Gerygone sulphurea
•
29
Sikatan pulau
Eumyias panayensis
•
30
Blibong pendeta
Streptocitta albicollis
•
31
Myzomela merah-tua
Myzomela sanguinolenta
32
Burung-madu hitam
Nectarinia aspasia
•
•
•
•
•
33
Burung-madu kelapa
Anthreptes malacensis
•
•
•
34
Burung-madu sp
Nectarinia sp
•
•
•
35
Burung-madu sriganti
Nectarinia jugularis
•
•
•
36
Cabai panggul-kelabu
Dicaeum celebicum
•
•
37
Cabai panggul-kuning
Dicaeum aureolimbatum
•
•
38
Kacamata dahi-hitam
Zosterops atrifrons
•
•
•
39
Kacamata laut
Zosterops chloris
•
•
•
40
Bondol peking
Lonchura punctulata
•
•
41
Bondol rawa
Lonchura malacca
•
•
42
Bondol taruk
Lonchura molucca
•
•
Lampiran 7. Foto-fotoo burung yaang ditemuk kan di lokassi penelitiann
Ptilinopuus subgularis
Treronn griseicauda
Neectarinia Aspassia
Aethoopyga siparaja
Ducula forstteni
D Ducula radiata
Anthreptes ma alacensis
Actenoides priinceps
Macropygiaa amboinensis
P Ptilinopus superrbus
Nectariniia jugularis
Halcyyon chloris
Triichoglossus ornnatus
Prioniturus platurus p
Loriculuus stigmatus
Cullicicapa heliantthea
gastra Cyornis rufig
Eumyiass panayensis
Streptoocitta albicolliss
Dicaeuum celebicum
E Enodes erythrop phris
mbatum Diccaeum aureolim
Scissirosttrum dubium
m nehrkorni Dicaeum
Hieraaeetus kienerii
Spizaetus lanceolatus l
Dendrocoppos temminckii
Amaurorrnis isabellinus
Haliastur Ind dus
P Penelopides exa arhatus
Zosterops chlo oris
C Centropus beng galensis
Accipiteer griseiceps
Mullerippicus fulvus
ha Eudynamyss melanorhynch
Lalage Leeucopygialis
Phaenicophaaeus calyorhyncchus
Gerygone sulph hurea
Artamuss monachus
Corrvus enca
Hirundo tahitica
Ictinaetuus malayensis
Hemiprocnne longipennis
gaster Pyycnonotus aurig
Orioluus chinensis
Basilornnis celebensis
Lonchura mo olucca
Lonchuraa malacca