Bidang Unggulan: Akuntansi Keuangan Akuntansi Manajemen, Sistem Informasi Dan Auditing
LAPORAN PENELITIAN
AKUNTABILITAS DALAM PERSPEKTIF BUDAYA LOKAL PADA LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD)
1. 2. 3. 4.
TIM PENELITI Dr. I Ketut Sujana, SE, Ak., M.Si. Dr. A.A.N.B. Dwirandra, SE., M.Si., Ak. Dr. I G.A.M. Asri Dwija Putri., SE., M.Si. Dr. I Made Sadha Suardikha, SE., M.Si., Ak
DIBIAYAI DARI DANA DIPA BADAN LAYANAN UMUM UNIT KERJA UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN PENELITIAN NOMOR: 1455/UN.14.1.12.II/KP.01.04/SPK/2015
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 1
2
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman terhadap praktik akuntabilias pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kedonganan. Pendekatan etnometodologi untuk mendekati setting dalam kehidupan sehari-hari. Data dan filosofi tri hita karana sebagai kerangka untuk menganalisis data-data yang didapat dari setting tersebut pada situs penelitian, . Hasil penelitian ini menunjukkan praktik akuntabilitas LPD dalam dimensi hubungan manusia dengan Tuhan (akuntabilitas spritual atau parhayangan) dapat di lihat dari refleksi keimanan dan ketaqwaan manajemen LPD yang tercermin dalam aktivitasnya yang berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam ajaran agama, dan spirit kerja dipandang sebagai pengorbanan dan pengabdian. Praktik akuntabilitas LPD dalam dimensi hubungan manusia dengan alam lingkungan (akuntabilitas ekologi atau palemahan) dapat dilihat dari aktivitas dan keterlibatan LPD dalam usaha-usaha menjaga pelastarian alam lingkungan. Dan praktik akuntabilitas dimensi hubungan manusia dengan sesama (akuntabilitas ekonomi dan sosial atau pawongan) dapat dilihat dari implikasi ekonomi keberadaan LPD terhadap stakeholders-nya dan keperdulian sosial dan berbagai program pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan serta kontribusinya.
Kata kunci:
etnometodologi, tri hita karana, akuntabilitas parhayangan, akuntabilitas
palemahan, akuntabilitas pawongan.
3
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini. Judul penelitian ini “Akuntabilitas dalam Perspektif Budaya Lokal pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD)”. Adanya kesempatan untuk melaksanakan penelitian sampai penyusunan laporan penelitian ini, sudah barang tentu banyak pihak yang telah membantunya. Dalam kesempatan yang baik ini tanpa menyebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya kami
ucapkan
banyak
terimakasih.
Mudah-mudahan
semua
pihak
yang
telah
membantunya mendapat pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Mahaesa. Disadari bahwa dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki walaupun telah berupaya secara optimal untuk melakukan dengan kemampuan untuk lebih sempurna, penulis yakin masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam laporan akhir penelitian ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk mengarahkan laporan ini menuju kesempurnaan dan bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Denpasar, 30 Oktober 2015
Penulis
4
DAFTAR ISI
JUDUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
ABSTRAK
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Urgensi (keutamaan) Penelitian 1.4 Kontribusi Penelitian
1 1 8 8 9
BAB II. STUDI PUSTAKA 2.1 Budaya Tri Hita Karana (THK) 2.2 Konsep Akuntabilitas Berbasis Tri Hita Karana
10 10 13
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Etnometodologi: Suatu Pendekatan Untuk Memahami Realitas 3.2 Lokasi Penelitian 3.3. Instrumen Penelitian 3.4. Metode Pengumpulan Data 3.5. Analisis Data
15 15 16 17 17 18
BAB IV. PROFIL LPD DESA ADAT KEDONGANAN: MEMAHAMI REALITAS BUDAYA TRI HITA KARANA 4.1 Gambaran Umum 4.2. Kontribusi/Manfaat yang diberikan LPD Kepada Krama dan Desa Adat 4.3. Berkat LPD, Desa Adat Kedonganan Semakin Berkembang
20
BAB V. DIMENSI TRI HITA KARANA PADA LPD DESA ADAT KEDONGANAN 5.1 Dimensi Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan) 5.1.1 Tuhan Sebagai Principal Tertinggi 5.1.2 Kerja adalah Pengorbanan dan Pengabdian 5.1.3 Tinjauan Kritis Atas Implementasi Akuntabilitas LPD Dalam Dimensi Hubungan Manusia dengan Tuhan 5.2 Dimensi Hubungan Manusia dengan Manusia (pawongan) dalam
20 21 21 23 23 23 24 28 29
5
pengelolaan LPD 5.2.1 Kontribusi Ekonomi LPD Terhadap Desa Adat/ Pakraman dan Krama Desa 5.2.2 Kontribusi Ekonomi Keberadaan LPD Terhadap Karyawan atau Sumber Daya Manusia (SDM) 5.2.3 Kontribusi Ekonomi Keberadaan LPD Terhadap Nasabahnya 5.2.4 Kontribusi Ekonomi Keberadaan LPD Terhadap Pemerintah 5.2.5 Kontribusi Keberadaan LPD Dalam Bentuk Program Pemberdayaan Krama Desa dan Kepedulian Sosial 5.2.6 Tinjauan Kritis atas Implementasi Akuntabilitas LPD dalam Dimensi Sesama Manusia 5.3 Dimensi Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan (palemahan) dalam pengelolaan LPD 5.3.1 Alam Lingkungan sebagai Principal 5.3.2 Perhatian LPD dalam Usaha-Usaha Mensejahterakan Alam Lingkungan 5.3.3 Tinjauan Kritis atas Implementasi Akuntabilitas LPD dalam Dimensi Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan
30 32 37 37 38 39 40 40 42 43
BAB VI AKUNTABILITAS HOLISTIK: AKUNTABILITAS LPD 6.1 Akuntabilitas Spiritual: Upaya Pencapaian Keseimbangan Tujuan Skala dan Niskala 6.2 Akuntabilitas Ekonomi: Implikasi Ekonomi Keberadaan LPD terhadap Stakeholders-nya 6.3 Akuntabilitas Sosial: Kebijakan dan Kontribusi LPD terhadap Lingkungan Sosialnya 6.4 Akuntabilitas Ekologi: Harmoni Manusia Dengan Alam Lingkungan 6.5. Konsep Akuntabilitas dalam Perspektif Tri Hita Karana
44 44
BAB VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI HASIL DAN KETERBATASAN PENELITIAN 7.1 Kesimpulan 7.2 Implikasi Hasil Penelitian 7.3 Keterbatasan Penelitian
55
45 46 47 49
55 56 57
DAFTAR PUSTAKA
6
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Perkembangan Jumlah SDM Periode Tahun 1990 Sampai Dengan Tahun 2013
33
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Konsep Akuntabilitas Dimensi THK
14
Gambar 5.1 Alokasi Pembagian Laba untuk Penambah Modal, Pembangunan Desa dan 30 Dana Sosial Gambar 5.2 Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013
34
Gambar 5.3 Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan Berdasarkan Jabatan Tahun 2013
35
Gambar 5.4 Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2013
36
Gambar 5.5 Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan dan Upacaranya
41
Gambar 6.1 Akuntabilitas LPD
50
8
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Akuntabilitas merupakan konsep yang luas. Konsep akuntabilitas yang berupakan bagian dari konsep
Good Corporate Governance yang meliputi seperti akuntabilitas,
transparansi, independensi, dan objektivitas (Harahap: 2008:168).
Konsep akuntabilitas
muncul karena adanya perbedaan dari fungsi dalam organisasi sehingga menyebabkan evaluasi diperlukan secara terpisah terhadap tugas dan kerja (Lindkvist dan Sue, 2003: Erdogan et al., 2004). Akuntabilitas merupakan suatu proses relasional (keterkaitan), dimana individu atau organisasi harus bertanggungjawab kepada pihak lain. Agen (individu, kelompok atau organisasi) merupakan pihak yang menerima dan mempertanggungjawabkan apa yang diterimanya. Prinsipal (individu, kelompok atau organisasi) merupakan pihak yang berhak menuntut pertanggungjawaban atas tanggungjawab yang diserahkan pada
agen. Patton (1992) akuntabilitas sesungguhnya merupakan
tanggungjawab kepada lingkungan organisasi yang meliputi masyarakat, pemerintah dan kepatuhan pada peraturan, akuntabilitas bukan sekedar hanya pertanggungjawaban finansial secara formal saja. Triyuwono (2011) mengungkapkan bahwa akuntabilitas diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu akuntabilitas kepada Tuhan, Akuntabilitas kepada stakeholders, dan akuntabilitas terhadap alam. Yang penting adalah wujud konkret akuntabilitas kepada Tuhan dan alam apabila telah dipraktikkan hukum-hukum Tuhan dan hak-hak alam dalam organisasi. Tidak seperti stakeholders yang pada umumnya memerlukan akuntabiltas formal seperti laporan keuangan atau laporan tahunan sebagai akhir dari proses akuntansi. Akuntansi sebagai alat pertanggungjawaban dalam aktivitas suatu unit usaha atau organisasi. Manajemen tidak hanya memperhatikan pengelolaan dana yang diserahkan
9
tanggungjawab oleh pemiliknya, namun juga memperhatikan dampak yang ditimbulkan organisasi terhadap sosial dan alam lingkungannya. Akuntansi dalam penelitian ini tidak hanya dipahami sebagai technical skills (pengetahuan debet kredit), melainkan melihat akuntansi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang selalu terkait dengan manusia sebagai pencipta, pemakai, dan perubah akuntansi (Sawarjuwono, 2005). Begitu pula Triyuwono (2000) juga menyatakan bahwa akuntansi dibentuk oleh kultur masyarakat, sistem ekonomi, politik, dan sosial lingkungan akuntansi. Sukoharsono (2010) mengungkapkan bahwa posmodernisme akuntansi yang telah memproklamasikan kemajuan rasionalisme akuntansi harus digeser dari paham berbasis kapitalisme ke arah berbasis sosial, lingkungan dan spritualitas. Hasil penelitian Jacobs and Walker (2000) ditunjukkan bahwa terbentuknya sistem akuntansi dan akuntabilitas pada komunitas Kristen modern di Lona merupakan ketaatan anggota komunitas terhadap aturan dan sebagai komponen yang integral dari praktik keyakinan mereka. Penjelasan dalam aspek keuangan, mereka sebagai anggota komunitas memberikan dan menerima sebagai bagian dari kepatuhan pada ajaran agama dan sebagai pengikat pada kelompok mereka. Kepramareni (2013) menemukan bahwa praktik akuntabilitas yang dilakukan oleh organisasi keumatan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) telah dilakukan secara holistik baik secara vertikal dan horisontal dan terdapat dua bentuk praktik akuntabilitas pada organisasi ini yaitu akuntabilitas sekala (praktik secara nyata/fisik) dan akuntabilitas niskala (praktik tidak nyata/non fisik). Begitu pula, Suprasto (2013) meneliti akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, dengan temuannya adalah etika religius dan “semangat keagamaan” memainkan peran penting dalam meningkatkan “akuntabilitas”. Model akuntabilitas berbasis Tri Hita Karana merupakan hasil inkulturasi nilai-nilai etika religius dan “semangat keagamaan” ke dalam model akuntabilitas formal, yang dibangun berdasarkan srada dan bhakti, etika religius serta
10
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Sehingga bisa dikatakan bahwa akuntansi sebagai media pertanggungjawaban, tidak cukup pada akuntansi kapitalis. Akuntansi kapitalis adalah alat ideologi kapitalis untuk mencapai tujuannya khususnya mencapai kesejahteraan material yang diinginkan (Harahap; 2008:367). Akuntansi kapitalis sejalan dengan ide kapitalisme untuk mengakumulasi kekayaan dan memaksimalkan kekayaan untuk pemodal, harta merupakan bukti kemakmuran, ukuran keberhasilan hidup sehingga pemupukan harta merupakan sasaran dan tujuan hidup dengan berbagai cara yang dilakukan. Dengan pandangan hidup ini, kapitalis memiliki perbedaan yang mencolok dengan sistem ideologi lainnya misalnya yang berbasis agama. Oleh karenanya, akuntansi sebagai salah satu media akuntabilitas, pada dasarnya tidak hanya melihat bagaimana proses pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pihak agen kepada prinsipal atau kepada pemangku kepentingan yang lain, tetapi lebih jauh dari itu yakni bagaimana
seharusnya
agen
sebagai
pihak
yang
diberikan
kewenangan
untuk
bertanggungjawab melaksanakan praktik akuntabilitas ini secara menyeluruh. Oleh karena itu eksplorasi praktik akuntabilitas perspektif budaya lokal penting dilakukan yang tidak hanya menyentuh hubungan sesama manusia namun juga harus dimensi yang lain di perusahaan, pemerintahan termasuk lembaga keuangan. Di Indonesia secara umum lembaga keuangan dikelompokkan menjadai dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Demikian juga pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali yang merupakan suatu kesatuan entitas bisnis yang dimiliki oleh desa adat (saat ini disebut desa pakraman). LPD merupakan lembaga perkreditan yang operasionalnya seperti perbankan walaupun sebenarnya LPD itu bukan bank (Artha, 1999:1). Keberadaan LPD di Bali terinspirasi secara nyata mulai dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia mengadakan seminar mengenai perkreditan pedesaan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 20-21 Februari 1984. Gubernur Bali beserta wakil-
11
wakil dari Provinsi Bali ikut serta dalam seminar tersebut. Selanjutnya, wakil-wakil dari Bali melakukan studi banding di Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Padang, Sumatra Barat dan tempat lainnya. Setelah konferensi dan studi banding tersebut, pada 1 November 1984, Gubernur Bali mengumumkan peraturan sehubungan dengan pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972, Tahun 1984. LPD adalah alat desa dan merupakan unit operasional serta berfungsi sebagai wadah kekayaan desa. Selanjutnya, pada tahun 1985 didirikan delapan LPD di desa adat yang tersebar di delapan kabupaten sebagai pilot proyek. Pada saat itu pemerintahan Kota Denpasar belum terbentuk. Manfaat keberadaan LPD sangat besar dirasakan oleh masyarakat Bali. Dari hasil pilot proyek tersebut, Pemerintah Provinsi Bali kemudian memberikan prioritas kepada desa adat pemenang lomba desa untuk mendirikan LPD. Sampai saat ini per 31 Desember 2014 jumlah LPD sudah berjumlah ribuan yaitu 1.423 buah dari 1.481 desa adat/pakraman (Laporan PLPDK Provinsi Bali, 24 Januari 2015). Dengan demikian wajar Pulau Bali disebut sebagai pulau seribu lembaga keuangan bukan bank (LPD) seperti yang telah dikenal Bali sebagai pulau seribu pura ( Ramantha, 2012:1). Berkembangnya jumlah LPD di Bali, yang disertai pula perubahan landasan hukumnya. Landasan hukum berikutnya adalah Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Bali No. 2,Tahun 1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa yang isinya memuat hal-hal yang lebih terperinci mencakup apa yang telah diatur dalam SK Gubernur No.972. Perkembangan yang menonjol yang telah diatur secara terperinci dalam perda ini adalah pembagian laba bersih pada akhir tahun. Seiring dengan maksud pendirian LPD yang memilki karakteristik khusus sebagai salah satu usaha memperkuat ekonomi kerakyatan serta pelestarian adat dan budaya Bali, maka Perda No 2, Tahun 1988 diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8,
12
Tahun 2002. Perkembangan yang menonjol, antara lain syarat-syarat untuk mendirikan LPD, modal awal, perubahan pembagian keuntungan dari cadangan umum/modal dan cadangan tujuan menjadi cadangan modal, dan yang lainnya. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2007 tentang perubahan atas Perda No. 8, Tahun 2002. Terdapat beberapa perubahan terhadap isi Perda tersebut, Salah satu di antaranya adalah ketentuan pasal 18, yang berbunyi: (1) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan; (2) Gubernur menugaskan pembinaan umum kepada Badan Pembina Umum Provinsi dan Badan Pembina Umum Kabupaten/Kota; (3) Gubernur menugaskan BPD sebagai pembina teknis dan pengawas eksternal LPD; dan (4) Gubernur dalam melaksanakan pembinaan sumber daya manusia LPD membentuk Lembaga Pengembangan dan Pelatihan LPD. Selanjutnya, perubahan kedua atas Perda No. 8, Tahun 2002 tentang LPD, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4, Tahun 2012. Perda ini mengubah pasal 1 menjadi lebih luas seperti adanya pengertian desa pakraman, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP), Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP), dan lainnya. Salah satu penambahan yang penting adalah adanya peran aktif MUDP pada LPD, seperti izin pendirian LPD ditetapkan dengan Keputusan Gubernur setelah mendapat rekomendasi bupati/wali kota dan MUDP, serta perubahan penting lainnya. Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD. Sampai dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 ini, tata kelola LPD di Bali mengacu pada pengelolaan lembaga keuangan bank. Sehingga LPD dalam akuntansi dan akuntabilitasnya praktis terlalu jauh sehingga menyerupai perbankan. Perda Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2007 tentang perubahan atas Perda Provinsi Bali Nomor 8,
13
Tahun 2002 pasal 18 (3) Gubernur menugaskan BPD sebagai pembina teknis dan pengawas eksternal LPD. Di lain pihak sepertinya ada keinginan dari pihak pemerintah untuk merubah bentuk hukum LPD di Bali dan memilih bentuk hukum lain. Hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Gubernur Bank Indonesia Nomor: 351.1/KMK.010/2009, Nomor: 900-639a Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/IX/2009, Nomor: 11/43a/KEP.GBI/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dikeluarkan pada 7 September 2009. Salah satu diktum dalam SKB ini adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang belum berbadan hukum, dibentuk atas inisiatif pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD) agar menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), koperasi, Badan Usaha Milik Desa (BUMD), atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan aturan yang berlaku. SKB ini pada prinsipnya menegaskan bahwa LPD mesti memilih salah satu bentuk lembagaan tersebut. Namun, LPD di Bali sebagai lembaga keuangan desa memiliki karakteristik khusus dan tidak memilih bentuk hukum tersebut. LPD di Bali tidak menjadi BPR atau badan hukum lainnya seperti yang diisyaratkan dalam SKB tersebut karena LPD sudah memiliki badan hukum seperti dijelaskan di atas. LPD memilki kedudukan hukum (linggih) yang kuat menurut hukum positif di Indonesia karena keberadaannya dijamin konstitusi/UUD 1945. Di samping itu,
LPD tidak perlu
beralih menjadi koperasi, BPR, dan BUMD karena keberadaannya amat khas, dibentuk oleh masyarakat hukum adat (desa adat), untuk mempertahankan budaya Bali (sekala lan niskala), bukan sekadar untuk kepentingan ekonomi semata (Windia, 2010). Dengan perjuangan panjang dari pemerintah, wakil-wakil rakyat dan masyarakat Bali, hingga akhirnya keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
14
tertanggal 8 Januari 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (selanjutnya disebut UU LKM). Keluarnya UU LKM ini perlu mendapatkan perhatian semua pihak secara lebih serius dalam usaha mempertahankan keberadaan dan aktivitas LPD sebagai salah satu duwe desa pakraman. UU LKM telah memberikan ruang yang cukup kondusif bagi keberadaan dan aktivitas LPD pada posisi “harus berbenah”. Adanya ruang yang cukup kondusif bagi keberadaan dan aktivitas LPD dalam UU LKM ini dapat diketahui dari ketentuan Bab XIII Pasal 39 angka (3) yang menentukan bahwa “Lembaga Perkreditan Desa ... diakui berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada UU LKM ini”. Dari ketentuan Pasal 39 angka (3) ini dapat diketahui bahwa sepertinya secara implisit Bali mendapatkan otonomi istimewa khususnya tentang lahirnya era baru bagi keberadaan LPD di Bali, yang patut direspons dengan cara tepat dan cepat. Oleh karenanya penelitian mengenai akuntabilitas LPD dari perspektif budaya lokal ini penting dilakukan untuk mendukung melalui dari hasil impiris dalam rangka proses berbenah dan menindak lanjuti yang memadai sesuai dengan amanat UU LKM tersebut. Dalam Pararem LPD Bali 2014, terungkap beberapa tujuan LPD diantaranya: memperkuat ketahanan desa pakraman dalam melestarikan dan menumbuhkembangkan nilainilai luhur adat dan budaya Bali yang dijiwai agama Hindu; membantu desa pakraman dalam mewujudkan sukerta tata agama, sukerta tata parahyangan, sukerta tata pawongan, dan sukerta tata palemahan. Nurjaya (2011;26) mengungkapkan bahwa LPD yang beroperasi sekarang tidak semata-mata bergerak diranah ekonomi saja/sosial ekonomi tetapi ada misi menjaga kehidupan budaya, dihubungkan lagi dengan persoalan dimensi hubungan manusia dengan Tuhan (ajaran Tri Hita Karana). Hasil penelitian Sujana (2014) faktor-faktor penilaian kinerja LPD diklasifikasikan ke dalam penilaian kinerja berbasis budaya Tri Hita Karana. Begitu pula, masalah Tri Hita Karana dalam ajaran Agama Hindu yang merupakan landasan filosofis dan religius dari lahirnya Desa Adat..., Surpha (2004: 8). Sehingga dalam
15
penelitian ini budaya lokal yang digunakan adalah budaya Tri Hita Karana, hal ini sesuai dengan visi LPD dalam LPD Blue Print yakni terwujudnya industri LPD yang sehat, kuat, produktif, dan dipercaya sebagai lembaga keuangan mikro untuk mendukung pembangunan pedesaan, serta pelestarian adat dan kebudayaan daerah Bali berlandaskan Tri Hita Karana. Bentuk akuntabilitas pengurus LPD kepada para stakeholder-nya diantaranya dalam bentuk formal laporan keuangan atau laporan tahunan LPD termasuk bentuk laporan tingkat kesehatan LPD dengan indikator CAEL sesuai SK Direksi BPD Bali No. 0303.102.2004.2. Bentuk formal laporan laporan keuangan menyerupai perbankan konvensional. Sistem perbankan konvensional secara umum telah menjadi basis nilai dari sistem ekonomi pasar (kapitalis) Triyuwono (2011). Begitu pula, laporan tingkat tingkat kesehatan LPD menggunakan CAEL/CAMEL menyerupai instrumen penilaian tingkat kesehatan bank yang hampir seluruhnya berorientasi pada aspek keuangan. Berdasarkan fenomena yang ada, maka peneliti tertarik dan penting meneliti mengenai praktik akuntanbilitas yang dilakukan LPD. 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan tujuan penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami praktik akuntabilitas yang dilaksanakan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kedonganan dalam dimensi budaya lokal: Tri Hita Karana yakni akuntabilitas manusia kepada Tuhan, akuntabilitas manusia kepada stakeholders/sesama dan akuntabilitas manusia terhadap alam. 1.3. Urgensi (keutamaan) Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pula di atas serta telah diundangkannya UU LKM yang mengecualikan LPD serta mengamanatkan pengaturan lebih lanjut berdasarkan hukum adat. Apalagi sampai saat ini sepertinya belum ada tindak-lanjut yang memadai sesuai dengan amanat UU LKM tersebut. Sehingga ada indikasi LPD bermasalah semakin meningkat jumlahnya. Oleh karenanya, penting untuk penelitian budaya
16
lokal yang di implementasikan pada LPD yang terkait dengan akuntabiltasnya. 1.4. Kontribusi Penelitian Temuan dalam riset ini adalah ditemukannya praktik-praktik akuntabilitas yang lebih holistik di LPD. Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis maupun kontribusi praktis. Kontribusi teoritis adalah penelitian ini memberikan sumbangan pengayaan teori yang mendasari praktik akuntabilitas pada LPD. Dan penelitian ini mendukung dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya serta memberikan sumbangan pemikiran tentang perkembangan praktik akuntabilitas dalam pengaruh nilai-nilai budaya lokal, khususnya yang diyakini oleh umat Hindu. Kontribusi praktisnya, penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi pengurus, pengawas LPD dalam pengolaan LPD-nya. Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu referensi bagi pihak pemerintah Provinsi Bali, Mejelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, dan pihak penting lainnya untuk menindak-lanjuti yang memadai sesuai dengan UU LKM tersebut. Hasil penelitian ini dapat memperkuat kelembagaan LPD sesuai dengan UU LKM.
17
BAB II STUDI PUSTAKA
2.1 Budaya Tri Hita Karana (THK) Salah satu unsur budaya adalah adat. Adat/kebiasaan bisa menjadi suatu budaya jika mengandung tiga struktur budaya (Palguna, 2007), yaitu (1) ada keyakinan atas suatu konsep kebenaran yang tercermin dalam pola perilaku yang konsisten dari masyarakatnya; (2) ada masyarakat yang meyakini konsep kebenaran tersebut; dan (3) ada produk dari perilaku itu yang bisa dirasakan atau terlihat (seperti artefak, outputs, outcomes). Oleh karena itu, suatu budaya terjadi dan terpelihara sebagai akibat dan kelanjutan dari pola pikir dan perilaku generasi sebelumnya. THK merupakan suatu budaya karena mengandung tiga struktur budaya seperti yang disyaratkan oleh Palguna, yakni ada keyakinan atas suatu konsep kebenaran yang tercermin dalam pola perilaku diterapkan atau dipraktikkan secara konsisten oleh masyarakat/warga desa adat di Bali termasuk LPD. Konsep tersebut diyakini kebenarannya dan ada produk dari perilaku itu yang dapat memberikan manfaat. Budaya Bali adalah budaya yang berlandaskan THK (Suarsana, 2010). THK adalah kearifan lokal (lokal wisdom) yang sudah menjadi kepribadian budaya (cultural identity) karena mampu mengakomodasikan dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli sekaligus menjadi bingkai tatanan kehidupan masyarakat Bali di berbagai sektor (Sulistyawati, 2000). THK adalah konsep bersifat totalitas meliputi alam semesta, di mana unsur-unsur THK di alam semesta (makrocosmos) meliputi lingkungan alam fisik, manusia sebagai penggerak alam, dan Tuhan yang menjiwai alam semesta (Putra, 2000). THK adalah suatu konsep atau sering disebut sebagai suatu filosofi masyarakat Hindu
18
di Bali. Konsep THK yang universal dan konsep yang diterapkan dalam suatu sistem sosial pada dasarnya dapat diukur
THK yang menekankan bahwa kesejahteraan dicapai bila
terealisasi hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), dengan sesama manusia (pawongan) dan alam lingkungan (palemahan) (Surpha, 2001; Wiana, 2007; Ashrama, 2005). Dalam kontek tulisan ini “kesejahteraan” diartikan dalam pengertian yang holistik diacu pada Triyuwono (2011), holistik artinya bahwa kesejahteraan tidak terbatas pada kesejahteraan materi, tetapi juga meliputi kesejahteraan mental dan kesejahteraan spiritual. Kesejahteraan mental (seperti emosi atau jiwa) menyangkut alam rasa, seperti rasa puas, senang, bahagia, kasih sayang, empati, care dan lain-lainnya. Untuk menciptakan kesejahteraan ini diperlukan pemikiran yang inovatif, karena kesejahteraan ini bersifat abstrak. Sedangkan kesejahteraan spiritual menyangkut alam ruh, misalnya meliputi kerinduan pada Tuhan, kecintaan pada Tuhan, dan lain-lainnya, atau menyatunya hamba dengan Tuhan (wahdatul wujud, manunggaling kawulo-Gusti, yoga). LPD perlu menciptakan stimulan-stimulan yang mampu mendorong terciptanya kesejahteraan spiritual dalam “diri” (self) manusia, karena kesejahteraan ini bersifat sangat pribadi. Umat manusia hidup di bumi ini dengan penuh perjuangan di tengah badai globalisasi dengan persaingan yang sangat ketat untuk mencari kesejahteraan, yang pada akhirnya umat manusia akan sadar bahwa muara hidupnya pada dasarnya untuk mencari harmoni dan kebersamaan. Harmoni dan kebersamaan adalah universalitas dari filosofi atau konsep THK (Windia dan Dewi, 2007). THK bersifat universal yang mengedepankan prinsip-prinsip kebersamaan, harmoni, dan keberlanjutan (sutainable) sehingga bisa diterima oleh siapa saja tanpa melihat latar perbedaan agama/keyakinan, ras/etnisitas, golongan/asal daerah, dan serupanya (Windia dkk., 2011). THK mengandung tujuan-tujuan harmoni dan kebersamaan antara semua aspek kehidupan bermasyarakat. Hal itu terjadi karena THK pada hakikatnya merupakan sikap hidup yang seimbang antara bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa, saling
19
menyayangi antar manusia dan kewajiban menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih berdasarkan tugas dan kewajiban masing-masing. Tujuan THK adalah mencapai kebahagiaan hidup melalui proses harmoni dan kebersamaan. Konsep THK pada dasarnya diterapkan di Bali yang merupakan warisan sumber daya budaya, seperti kearifan lokal yang diwariskan oleh sistem subak dan sistem desa adat. Koentjaraningrat (1993) menyebutkan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem memiliki elemen/subsistem pola pikir/konsep/nilai, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan. Dalam kaitan ini, Windia dan Dewi (2007:11) menyebutkan bahwa parhyangan analog dengan subsistem pola pikir/konsep/nilai, pawongan analog dengan subsistem sosial, dan palemahan analog dengan subsistem artefak/kebendaan. Begitu juga, nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan THK yang diungkapkan oleh Adhiputra (2009), yaitu (1) parhyangan meliputi, antara lain Moksartam jagathitaya caiti dharma menyiratkan gambaran manusia hidup di dunia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin; Wyapi-wiyapaka adalah sebagai asas manusia selalu ingat bahwa Tuhan selalu ada di mana-mana dan selalu ingat sembahyang atau beribadah; Rwa bhineda (menghargai perbedaan/dua yang berbeda) adalah menumbuhkan sikap adanya saling pengertian antarsesama; (2) pawongan meliputi Tri kaya parisudha, yaitu mengajarkan manusia untuk selalu berpikir (manacika), berkata (wacika), dan bertindak atau berbuat (kayika) yang baik; Catur purusartha, yaitu berhasil terwujudnya dharma (perbuatan baik), artha (materi/harta), kama (kesenangan), moksa (keseimbangan/keharmonisan) dalam kehidupan manusia sehari-hari; Tat twam asi (konsep cinta kasih, dan menyadari kehidupan semua makhluk hidup sebagai satu kesatuan yang utuh) adalah mengajarkan manusia untuk senantiasa menghindarkan diri dari kekerasan dan kekejaman; Karma phala (hukum sebab akibat); dan Tri guna (tiga karakter/perilaku), yaitu satwam (bijaksana, jujur, setia), rajas (penuh nafsu/rakus), tamas (malas);. (3) palemahan meliputi nilai budaya paras paros
20
salunglung sabayantaka saharpanaya, yaitu menyiratkan nilai sikap, manusia belajar memahami dan melakukan praktik hidup toleran, seia sepenanggungan dan nilai budaya anuduhkna ajnyana sandhi, yaitu menyiratkan manusia tidak akan berbuat merusak dan memorandakan alam atau lingkungan. Nilai-nilai budaya THK yang sangat menghargai keseimbangan sistem alam harus terus dilestarikan dan ditumbuhkembangkan. Oleh karena itu, agar survive dan sukses dalam percaturan bisnis global, pebisnis dan manajer mesti memerhatikan beberapa hal. Salah satu yang penting adalah memahami, menghayati, dan menghargai budaya sendiri (Kerepun, 2006). 2.2. Konsep Akuntabilitas Berbasis Tri Hita Karana THK merupakan suatu konsep yang bersifat universal yang bersumber, antaranya Brahma Sutra I.1.2; Chandogya Upanisad VI.2.1; Rg Veda III.55.1; Bhagawadgita III.10 dengan kutipan sloka mantra-mantra (Kusuma, 2000 dan Titib, 2008) sebagai berikut. Tuhan Yang Mahaesa sebagai pencipta alam semesta, pencipta bumi dan surga di angkasa raya yang mahaluas, Ia-lah yang muncul pertama di alam semesta dan Tuhan yang Mahaesa-lah sumber kebahagiaan yang sejati, maharaja dari segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak di alam semesta ini. Tuhan Yang Mahaesa menciptakan alam semesta atas dasar Yajna (korban suci) dan menjadikan diri-Nya sebagai Yajna dan dari pada-Nyalah alam semesta tercipta. Bila setiap orang dapat membina hubungan yang harmonis dengan Sang Maha Pencipta, dengan mengikuti segenap ajaran-Nya, maka sesungguhnya akan memancarkan kasih sayang kepada sesama manusia bahkan kepada segala makhluk hidup. Filosofi THK berdasarkan Bhagawadgita III. 10, yaitu unsur THK adalah Prajapati, Praja dan Kamadhuk, sedangkan Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan sebagai wadah implementasi filosofi THK (Wiana, 2007:8). Dalam sloka Bhagawadgita III. 10 ketiga unsur tersebut dinyatakan saling beryadnya, Prajapati adalah sebutan Tuhan sebagai raja makhluk hidup di bumi ini, Praja unsur manusia dan Kamadhuk adalah simbol alam semesta. THK mempunyai makna bahwa tiga penyebab kesejahteraan manusia dalam rangka mencapai tujuan hidup Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma yang pada dasarnya 21
bersumber pada keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya (parahyangan), keharmonisan hubungan manusia dengan sesama (pawongan) dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam lingkungan (palemahan). Gambar 2.1. menunjukkan hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan sesama dan alam lingkungan. Pemahaman ini menunjukkan manusia secara individu sebagai agen dalam kehidupan ini yang mempunyai tiga prinsipal yakni kepada Tuhan sebagai “sang pencipta, pemelihara dan pelebur”, manusia sebagai makluk sosial dan alam lingkungan dimana manusia itu hidup. Berdasarkan urain diatas akuntabiltas tidak cukup dengan akuntabilitas
pada
hubungan sesama manusia atau sosial, penting juga pada akuntabiltas pada Tuhan dan alam lingkungan. Triyowono (2011) Akuntabilitas diklasifikasikan menjadi tiga macam seperti yang telah diungkapkan diatas. Tuhan dan alam sama sekali tidak membutuhkan laporan keuangan atau laporan tahunan, tidak seperti stakeholders lainnya yang memerlukan akuntabilitas formal. Namun yang dipentingkan disini adalah bagaimana hukum-hukum Tuhan dipraktikkan dalam operasi bisnis (LPD) dan bagaimana hak-hak dari alam dipenuhi secara bertanggungjawab. Sehingga, wujud kongkrit daripada akuntabilitas kepada Tuhan dan alam apabila telah dipraktikan hukum-hukum Tuhan dan hak-hak dari alam dalam organisasi. Gambar 2.1 Konsep Akuntabilitas Dimensi THK (Hubungan Tuhan, Manusia, Alam Lingkungan) Tuhan
Praktik Akuntabiltas
Alam Lingkungan
Manusia
Sumber: THK Award (2012:5) dimodifikasi 22
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Etnometodologi: Suatu Pendekatan Untuk Memahami Realitas Pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif sesungguhnya sangat tergantung dengan konteks dan fenomena yang akan diteliti. Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan induktif dan memiliki beberapa ciri (Supriadi, 2011:49). Pertama, fokus penelitian kualitatif adalah pada esensi dan hakikat obyek yang teliti. Kedua, akar filsafat dari penelitian kualitatif di antaranya adalah fenomenologi, interaksionisme simbolik, etnografi, etnometodologi, kritis. Tujuan penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses memahami, menjelaskan, dan menggambarkan temuan yang diperoleh dari tempat penelitian. Ketiga, metode pengumpulan datanya dengan melakukan wawancara (interview) terhadap beberapa orang informan sebagai sumber data. Instrumen kunci penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Metode selanjutnya adalah melakukan pengamatan (observasi) dan terakhir melakukan studi dokumentasi. Periset kualitatif menegaskan bahwa suatu penelitian bersifat penuh dengan nilai (value laden). Etnometodologi merupakan cara kajian secara sosiologis yang berusaha mendapatkan pemahaman tentang bagaimana suatu kelompok masyarakat atau anggota suatu budaya tertentu menggunakan atau menerapkan unsur-unsur budayanya dalam kehidupan sehari-hari mereka (Djamhuri, 2011). Etnometodologi meletakkan tekanan pertanyaan bagaimana bukan mengapa kelompok masyarakat yang kita diteliti melakukan atau mempraktikan unsur-unsur budaya yang secara bersama-sama mereka miliki. Beberapa alasan penelitian ini menggunakan pendekatan etnometodologi untuk memahami bagaimana praktik akuntabilitas pada LPD Desa Adat Kedonganan. Pertama, etnometodologi digunakan orang di dalam menyelesaikan
masalah
kehidupan
sehari-hari
(Ritzer
dan
Goodman,
2011:324),
23
etnometodologi mengacu pada studi mengenai bagaimana cara seorang individu dalam suatu komunitas atau organisasi bertindak dan bertingkah laku dengan landasan budaya yang dianut, serta berusaha memahami kehidupan sehari-hari individu dalam organisasi yang diteliti. Kedua, metodologi ini merupakan “anak” dari fenomenologi Schutzian. Ciri utama pendekatan ini adalah pada ciri “reflektifnya” Dalam hal ini, bagaimana karyawan dan pengurus LPD menerapkan nilai-nilai budaya THK dalam kegiatan operasional LPD seharihari, dari sikap mental (kedisiplinan) kerja, pemahaman mereka, pelaksanaan aktivitas profesional serta akuntabilitasnya yang mulai dari proses pencatatan dan pelaporan. Pendekatan ini juga berusaha mengeksplorasi kegiatan praktis, dikaitkan dengan kegiatankegiatan biasa kehidupan sehari-hari dalam LPD, bagaimana metode-metode yang digunakan individu-individu untuk memaknai dan sekaligus melaksanakan kegiatan sehari-harinya. Begitu juga, para aktor seperti pengurus dan badan pengawas LPD, bagaimana metodemetode yang digunakan untuk mengaktualisasikan aturan-aturan yang dibuat untuk mengimplementasikan nilai-nilai budaya THK.
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi atau situs penelitian ini dilakukan pada salah satu LPD yang ada di Provinsi Bali di Kabupaten Badung yaitu Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kedonganan. Pemilihan LPD ini seperti yang telah diungkapkan diatas karena, pertama LPD ini termasuk LPD yang sehat. Kedua, LPD ini telah melakukan laporan pertanggungjawaban kepada pemilik dan pada pemerintah (LP LPD Kabupaten Badung). Ketiga, LPD ini telah melaksanakan aktivitas atau pembiayaan aktivitas keagamaan pada krama desa adat. Keempat, LPD ini pernuh dikunjungi oleh ketua DPR RI periode sebelumnya sebagai salah satu LPD yang maju di Bali. Kelima, LPD ini dinobatkan sebagai juara satu pada tingkat Kabupaten Badung dan terpilih menjadi duta Kabupaten Badung di tingkat provinsi, serta
24
LPD ini memeroleh predikat terbaik I di tingkat Provinsi Bali. Dan keenam, LPD ini telah menyajikan kode dan nama akun atau rekening biaya pemberdayaan Tri Hita Karana dalam buku besarnya.
3.3. Instrumen Penelitian Moleong (2005:9) memaparkan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Instrumen penelitian pada saat terjun ke lapangan untuk memperoleh data adalah peneliti sebagai instrumen kunci. Alatalat pencatat (memo), alat perakam suara dan komera dalam penelitian ini sebagai instrumen pendukung. Penentuan sumber data pada penelitian kualitatif dapat dilakukan secara purposive, yaitu ditentukan dengan menyesuaikan pada tujuan penelitian atau tujuan tertentu (Satori, 2010:94). Sumber data utama dalam penelitian ini adalah informan. Keberadaan informan di dalam penelitian sangat penting dalam rangka untuk memeroleh data sebenarnya yang ada dilapangan. Jumlah informan yang dapat dijadikan sebagai sumber data, tidak terdapat ketentuan secara pasti. Namun yang terpenting adalah kecukupan dan kedalaman data yang diperoleh, informan yang dipilih adalah informan yang dianggap mengetahui dan dapat memberikan data yang diperlukan untuk memahami praktik akuntabilitas pada LPD Desa Adat Kedonganan. Informan yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini anggota pengurus LPD dan pihak lainnya.
3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memeroleh data (Satori, 2010:90). Dalam rangka untuk tujuan dapat memperoleh kedalaman informasi dari obyek yang diteliti, metode pengumpulan data dengan multimetode. Metode
25
pengumpulan data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini terdiri atas wawancara (interview), pengamatan (observation), dan dokumentasi (documentation).
3.5. Analisis Data Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan triangulasi. Menurut Denzin (1978) dalam Patton (2002 : 247) terdapat empat tipe dasar triangulasi yang dapat digunakan dalam penelitian yaitu (1) data source triangulation, (2) investigator triangulation, (3) theory triangulation, dan (4) methodological triangulation. Dua tipe triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Miles dan Hubermas (1992) mengungkapkan bahwa dalam penganalisisan data kualitatif terdapat beberapa tahap. Pertama, tahap pengumpulan data yaitu proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan pengumpulan data penelitian. Kedua, tahap reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul berdasarkan catatan-catatan tertulis dari lapangan. Ketiga, tahap penyajian data, yaitu penyajian informasi untuk memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Dan tahap keempat, tahap penarikan simpulan, yaitu penarikan simpulan dari data yang telah dianalisis. Etnometodologi merupakan cara kajian secara sosiologis yang berusaha mendapatkan pemahaman tentang bagaimana suatu kelompok masyarakat atau anggota suatu budaya tertentu menggunakan atau menerapkan unsur-unsur budayanya dalam kehidupan sehari-hari mereka (Djamhuri, 2011). Coulon (2008) ethnomethodology merupakan penelitian empirik mengenai metode-metode yang digunakan individu untuk memaknai dan sekaligus melaksanakan kegiatan sehari-harinya seperti berkomunikasi, mengambil keputusan, dan
26
penalaran. Ethnomethodology merupakan suatu pendekatan penelitian yang memiliki dua ciri kunci dalam melakukan analisis, yaitu indeksikalitas (indexicalite) dan refleksivitas (reflexivite). Indeksikalitas adalah teknik analisis yang mencari makna setiap ungkapan yang diberikan oleh informan, yang memiliki makna sesuai dengan konteknya. Indeksikalitas adalah semua penentuan yang melekat pada suatu kata pada suatu situasi. Sedangkan refleksivitas menggambarkan praktik yang sekaligus merupakan suatu kerangka sosial. Refleksivitas menggambarkan adanya padanan antara mendekripsikan dan menghasilkan suatu interaksi, antara pemahaman dan pengungkapan pemahaman (Coulon, 2008). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ethnomethodology. Dan proses pengumpulan data yang dilakukan pada situs penelitian LPD Desa Adat Kedonganan meliputi tahap pengumpulan data seperti yang disebutkan Miles dan Hubermas (1992).
27
BAB IV PROFIL LPD DESA ADAT KEDONGANAN: MEMAHAMI REALITAS BUDAYA TRI HITA KARANA
4.1 Gambaran Umum Lembaga Perkreditan Desa Adat Kedonganan berdiri sejak tanggal 9 September 1990 berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1987. Pada awal berdirinya LPD Desa Adat Kedonganan diatur berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 yang telah diganti dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang Lembaga Perkreditan Desa. LPD Desa Adat Kedonganan memiliki visi dan misi. Adapun visi dan misi LPD Desa Adat Kedonganan (LPD Desa Adat Kedonganan:2010) sebagai berikut. Visi: “Menjadikan LPD Desa Adat Kedonganan sebagai Lembaga padruwen (kekayaan) Desa Adat Kedonganan yang dipercaya dan tangguh sehingga mampu menyangga adat dan budaya Bali” Misi: 1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik secara individu maupun organisasi. 2. Meningkatkan kinerja pelayanan 3. Meningkatkan kerja sama antarlembaga yang ada di Desa Adat Kedongan. 4. Meningkatkan Kontribusi LPD untuk pembangunan Desa Adat Kedonganan, baik secara fisik maupun nonfisik 5. Membangun jaringan (networking) yang kuat dengan LPD-LPD di Bali. 6. Meningkatkan kinerja LPD Desa Adat Kedonganan sehingga mampu berperan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian pedesaan, aktivitas sosial budaya masyarakat dan lingkungan hidup. 7. Meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap LPD Desa Adat Kedonganan. 8. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para prajuru dan warga Desa Adat Kedonganan tentang LPD, sehingga mampu berperan sebagai Badan Pengawas yang profesonal.
28
4.2. Kontribusi/Manfaat yang diberikan LPD Kepada Krama dan Desa Adat
1. Dana pembangunan 2. Dana sosial
Rp
9.414.058.200,1.981.542.088,-
3. Sumbangan lainnya -
Santunan kematian bagi krama (2002-2012) 433.000.000,Ngaben dan nyekah masa (2006,2009,2012) 1.833.365.679,Dana pembinaan banjar/STT/PKK banjar (2007-2012) 720.000.000,Dana rapat banjar (2007-2013) 65.160.000,Tali kasih kepada mantan prajuru, kelian dan kepala lingkungan (2006-2013) 72.470.000, Santunan orang cacat (2005-2013) 24.041.800,Bantuan beasiswa bagi siswa yang orang tuanya kurang mampu (2002-2013) 72.415.000,Beasiswa prestasi (1998-2013) 96.600.000,Punia merajan/dadia/paibon (2009-2013) 286.000.000,Program daging babi Galungan (2012-2013) 375.400.000 ,Jumlah Rp 15.374.052.767,-
(Gedong:2013)
4.3. Berkat LPD, Desa Adat Kedonganan Semakin Berkembang Yasmika (2010:10) sebagai Bendesa Adat Kedonganan mengungkapkan bahwa masyarakat sudah tahu dan merasakan betapa besarnya peranan LPD Desa Adat Kedonganan dalam pembangunan dan pengembangan Desa Adat Kedonganan. Berkat LPD, Desa Adat Kedonganan makin berkembang pesat dan bisa menyejajarkan dirinya dengan desa-desa lain di Badung bahkan di Bali. Perubahan itu tak dapat dipungkiri karena peran konkret LPD dalam mendukung program desa adat yakni pembangunan Tri Hita Karana yang meliputi aspek parhayangan, pawongan dan pelemahan. Dalam bidang parhayangan, LPD Desa Adat Kedonganan berperan sangat besar di desa adat seperti pembangunan Pura Dalem Kahyangan, Pura Segara, Pura Penataran, serta Gedong Ratu Ayu. Dalam bidang pawongan peranan LPD Desa Adat Kedonganan terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk 29
pendirian TK Dharma Putra. Dan, di bidang palemahan LPD Desa Adat Kedonganan turut mendorong upaya penataan palemahan desa terutama pantai kedonganan. Sehingga pantai kedonganan yang telah berubah menjadi sebuah arena ekonomi kerakyatan melalui usaha kafe/warung ikan bakar yang berbasiskan kebersamaan. Kehadiran LPD Desa Adat Kedonganan memang benar-benar dirasakan manfaatnya bagi krama dan desa adat. “LPD tidak bisa lagi dipandang semata-mata sebagai lembaga keuangan. Spririt yang mendasari kelahiran LPD adalah sebagai penyangga adat, budaya dan agama masyarakat Bali. Karena itu, sasaran LPD bukan semata-mata profit dan aset yang besar, tapi sejauh mana adat, budaya, dan agama masyarakat Bali itu tegak di desa Adat,” kata Madra (Gedong, 2013:9).
30
BAB V DIMENSI TRI HITA KARANA PADA LPD DESA ADAT KEDONGANAN
5.1 Dimensi Hubungan Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan) Perspektif parhyangan dalam THK menekankan perlunya diciptakan dan atau dijaga hubungan yang harmonis manusia dengan Tuhan. Menurut keyakinan umat Hindu bahwa pencipta, pemelihara dan pelebur alam beserta isinya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, manusia memiliki utang terhadap-Nya, sehingga manusia memiliki kewajiban untuk memelihara hubungan harmonis kepada Tuhan, sesama dan alam lingkungan. Dalam kaitan dengan kegiatan bisnis, aktivitas manusia haruslah juga menyadari bahwa berbisnis itu adalah sesuatu persembahan kepada Tuhan. Pembisnis harus ada kesadaran bahwa
kegiatannya pada hakekatnya dikontrol oleh Tuhan Yang Mahaesa
(Windia, 2007:35). Kegiatan bisnis tidak semata untuk tujuan memaksimalkan profit, termasuk juga LPD. LPD banyak memberikan manfaat kepada krama desa adat, memperbaiki infrastuktur desa adat dan bantuan lainnya. Kepala LPD Desa Adat Kedonganan mengungkapkan sebagai berikut. LPD memberikan manfaat lebih banyak kepada komunitas, misalnya membangun dan atau memelihara tempat suci (pura), membantu dalam biaya ngaben, membangun kantor institusi banjar, wantilan, pelestarian lingkungan dan lainnya. (manuskrif:5.19). 5.1.1 Tuhan Sebagai Principal Tertinggi Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun tumurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Biro Hukum dan Ham Setda Provinsi Bali: 14). Ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali yang menjiwai desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,
31
yang sangat besar peranannnya dalam bidang agama dan sosial budaya. Desa pakraman merupakan sebuah kesatuan masyarakat yang beratmosfirkan agama Hindu (Gorda, 1999:34). Menurut ajaran agama Hindu, alam dan manusia adalah diciptakan oleh Tuhan berdasarkan “pengorbanan” (Wiana, 2007:21). “Pengorbanan” (yadnya) manusia yang ditujukan kepada Tuhan merupakan upaya manusia untuk membayar utang kelahiran dan kehidupan yang diberikan-Nya kepada manusia. Pelaksanaan yadnya kepada Tuhan merupakan bentuk rasa bhakti, rasa syukur dan terimakasih manusia kepada Tuhan. Manusia mengabdi kepada sesama dan memelihara kesejahteraan alam merupakan salah satu pengorbanan kepada Tuhan dalam bentuk kerja. 5.1.2 Kerja adalah Pengorbanan dan Pengabdian Kerja adalah sebuah ibadah (yadnya). Bentuk yadnya atau pengorbanan bisa dalam bentuk ekonomi (uang), tenaga, waktu dan bentuk perasaan. Prinsip kerja ala ulah ala tinemu, ayu kinardi ayu pinanggih, artinya perbuatan baik hasilnya juga baik, perbuatan buruk hasil yang dinikmati juga buruk. Konsep kerja berlandaskan prinsip ini lebih berorientasi untuk kesejahteraan umum dan ketertiban sosial serta tidak mengharapkan balasan dan tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi. Peneliti mencoba menanyakan semangat kerja dalam mengelola LPD kepada Pak Ketut M. sebagai kepala LPD Desa Adat Kedonganan, penjelasannya sebagai berikut. “Kami bekerja pada LPD berdasarkan swadarma (kewajiban) kami sebagai pengurus LPD yang dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pambrih” (manuskrip:5.34). Memang konsep tulus atau ngayah tidak selalu harus diartikan tanpa bayaran. Semangat yang mendasari pelaksanaan tugas, yang dikedepankan bukanlah ada atau tidaknya penghargaan materi. Apabila semangat konsep tulus ini ada dalam diri, maka komitmen untuk membangun desa akan muncul. Artinya, ketulusan menjadi modal sosial dalam pengelolaan atau bekerja di LPD. LPD Desa Adat Kedonganan berprinsip semangat dan rasa jengah yang berdasarkan 32
dharma. Di samping itu juga, dalam buku Kedonganan Bangkit terungkap LPD ini mengadopsi etos kerja, yakni tulus, lurus, dan serius. Tulus mengandung pengertian sikap yang ikhlas dan penuh pengabdian dalam mengelola LPD dan menjalankan usahanya. Dalam kehidupan masyarakat Bali, etos tulus ini diterjemahkan ke dalam konsep ngayah. Siapa pun yang bekerja di LPD Desa Adat Kedonganan harus berangkat dari pemahaman mengabdi untuk kepentingan desa. Lurus berkaitan dengan kejujuran dalam melaksanakan tugas. Kejujuran atau kelurusan dalam melaksanakan tugas di LPD Desa Adat Kedonganan tidak semata-mata menyangkut etika moral, tetapi sudah harus menjadi budaya kerja. Sehingga dengan etos kerja ini muncul kepercayaan yang menjadi modal dasar untuk mengembangkan LPD. Etos lurus berhubungan dengan erat dengan pemahaman dan pelaksanaan peraturan serta mekanisme atau prosedur kegiatan. Sejauhmana suatu sistem dilaksanakan secara efektif, hal ini tergantung dari ketaatan untuk mengikuti peraturan dan mekanisme atau prosedur kegiatan. Kesungguhan dalam bekerja sebagai etos kerja serius. Walaupun LPD Desa Adat Kedonganan merupakan lembaga milik desa, namun pola manajemennya mengadopsi manajemen modern yang berbasis kinerja. LPD harus terbiasa merumuskan target-target, merancang strategi untuk mencapainya serta mengevaluasi pencapaian atas target-target tersebut. Ketiga konsep tersebut akan bermuara pada tiga sasaran yakni trust (kepercayaan), integrity (integritas) serta professionality (profesional). Dengan kepercayaan yang kuat, LPD bisa menjadi kuat. Kepercayaan merupakan modal sosial bagi LPD Desa Adat Kedonganan. Integritas pengurus dan karyawan LPD harus diarahkan pada kemajuan lembaga dan desa, sehingga diharapkan muncul integritas masyarakat terhadap LPD. Sementara profesional merupakan kunci dari lahirnya kepercayaan dan integritas. Oleh karena pengurus dan
33
karyawan harus mengembangkan kinerja yang profesional dalam bekerja. Konsep kerja menurut pandangan Hindu mendasarkan diri pada yajnya (pengorbanan) dan ngayah (pengabdian). Bhagawadgita III.25 menyatakan bahwa Tuhan memelihara alam semesta beserta isinya dengan bekerja (ber-karma). Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan juga wajib bekerja (ber-karma) untuk tujuan kesejahteraan sesama manusia dan alam semesta. Pengorbanan dan pengabdian manusia dalam bentuk kerja dilakukan melalui empat jalan utama, yaitu jnana yoga, bhakti yoga, karma yoga, dan raja yoga (Gorda, 1996). Jnana yoga merupakan bentuk aktivitas mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan jnana yoga pada aktivitas LPD berupa peran aktif pengurus, karyawan dan badan pengawas internal LPD dalam kegiatankegitan yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) LPD seperti berperan aktif dalam seminar-seminar, pelatihan-pelatihan dan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Begitu pula LPD Desa Adat Kedonganan yang menjadi penyokong utama keberlangsungan “Sekolah Kauripan Bali”. Sekolah ini membekali generasi muda atau siswa mengenai kebudayaan Bali tentang parikrama (tata krama), taksu dan unteng Bali. Bhakti yoga diartikan sebagai sikap moral dan perilaku yang berorientasi pada hubungan kasih dengan Tuhan dan ketaatan kepada kebenaran ajaran-Nya. Dan dapat pula bhakti yoga diartikan sebagai sikap penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Pelaksanaan Bhakti yoga di LPD bisa dilihat dari aktivitas pengurus dan karyawan. Sikap moral dan perilaku pengurus dan karyawan dalam menjalankan tugas mereka berdasarkan ajaran tri kaya parisudha dan persembahan pada Tuhan dalam bentuk ngayah (pengabdian) dan punia dalam bentuk pembanguan dan perbaikan pura-pura dan dana punia untuk piodalan di pura, serta dana punia piodalan di masing-masing
merajan dan pura keluarga sebesar Rp
1.000.000,-. Setiap hari sebelum memulai aktivitas operasional LPD, salah seorang karyawan
34
melakukan ritual dewa yadnya dengan mengaturkan banten yang dipersembahkan pada Tuhan. Pengurus dan karyawan lainnya melaksanakan persembahyangan untuk memohon keselamatan dan tutunan kepada Tuhan supaya diberi jalan yang benar dan dijauhkan dari godaan-godaan untuk melakukan penyimpangan dalam melakaksanakan tugas mereka. Pengurus dan karyawan LPD juga secara rutin melaksanakan upacara dewa yadnya seperti upacara piodalan di pura LPD, hari purnama-tilem, dan setiap hari raya agama Hindu. Spiritual persembahyangan dilakukan secara bersama, hal ini dimaksudkan unuk salah satunya bertujuan menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan memupuk rasa kebersamaan diantara pengurus, karyawan LPD. Dengan bersembahyang manusia akan selalu ingat pada Tuhan serta ajaran-ajaran dan larangan-larangan-Nya. Ajaran karma yoga (Bhagawadgita III, 2 dan 9) hidup adalah kerja tanpa mengikatkan diri pada hasilnya. Yadnya-melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan diri, dengan iklas dan untuk Tuhan. Bentuk kerja dalam LPD Desa Adat Kedonganan terlihat pada etos kerjanya yakni tulus, lurus dan serius. Tulus mengandung pengertian sikap yang ikhlas dan penuh pengabdian dalam mengelola serta menjalankan usaha LPD. Lurus berkaitan dengan kejujuran atau kelurusan dalam melaksanakan tugas di LPD dan serius dimaknai sebagai kesungguhan dalam bekerja. Ketiga konsep etos kerja tersebut bermuara pada tiga sasaran yakni kepercayaan, integritas dan profesional. Kepercayaan merupakan modal sosial bagi LPD untuk menjadi LPD yang kuat, integritas menyangkut komitmen yang kuat kepada lembaga, sedangkan profesional merupakan kunci dari lahirnya kepercayaan dan integritas. Sehingga diharapkan seluruh pengurus dan karyawan harus mengembangkan kinerja yang profesional. Seperti pengurus dan karyawan LPD dalam menjalankan tugasnya memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi, hal ini bisa dilihat dari rasa tanggungjawabnya yang ditunjukkan dalam menjalankan tugasnya sehingga mereka rela untuk pulang malam sampai melewati waktu
35
pulang kantor. Raja yoga, pengurus dan karyawan LPD memiliki keyakinan bahwa ada kekuatan supra manusiawi yang selalu mengawasi mereka yaitu Tuhan dan juga roh leluhur mereka. Disamping itu pengurus dan karyawan LPD berkeyakinan terhadap hukum karmaphala dan keyakinan akan kelahiran kembali (punarbhawa/samsara). Pelaksanaan raja yoga ini bisa dilihat dari kesemangatan, kedisiplinan dan kesabaran kerja dari pengurus dan karyawan LPD. Pada awal-awal berdirinya LPD ini, LPD belum memiliki kantor tersendiri (dipinjamkan di Wantilan Banjar Anyar Gede sebagai kantor sementara) dan karyawan serta pengurus tidak menerima gaji serta malahan juga mendapatkan colotehan. Namun semangat pengurus dan karyawan tetap tinggi untuk bekerja memajukan LPD. Sampai-sampai pak I Ketut Madra kepala LPD memberanikan diri menggadaikan sertifikat tanah milik ibunya untuk dijadikan jaminn meminjam uang di BRI. Uang hasil pinjaman itu lalu dikelola untuk mengembangkan LPD (Gedong, 2012:4). 5.1.3 Tinjauan Kritis Atas Implementasi Akuntabilitas LPD Dalam Dimensi Hubungan Manusia dengan Tuhan Akuntabiltas seseorang kepada Tuhannya merupakan akuntabilitas spiritual. Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban seseorang mengenai segala sesuatu yang dikerjakannya, dan semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan individu orang bersangkutan dengan Tuhan, serta hanya diketahui dan dipahami oleh yang bersangkutan. Bentuk akuntabilitas spiritual LPD adalah bersifat abstrak dalam bentuk keimanan (sraddha) dan ketakwaan (bhakti) kepada Tuhan. Keimanan dalam hal ini berarti keyakinan akan keberadaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelubur alam semesta beserta isinya. Sedangkan bhakti artinya sujud dan cinta pada Tuhan. Bentuk akuntabiltas spiritual secara konkrit yakni keyakinan atas keberadaan Tuhan akan menimbulkan kesadaran ketuhanan dalam diri pengurus dan karyawan LPD untuk 36
mentaati serta mematuhi hukum-hukum Tuhan. Bhakti yang diwujudkan oleh pengurus dan karyawan LPD seperti disiplin dalam melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan seharihari dan pengabdian kepada sesama makluk ciptaan Tuhan dan memelihara kesejahteraan alam dalam bentuk kerja. LPD Desa Adat Kedonganan, pengurus LPD memberikan ijin (libur) kepada karyawannya pada saat hari raya agama Hindu dan pada saat pelaksanaan ritual keagamaan. Refleksi keimanan dan ketaqwaan pengurus LPD tercermin dan terwujudkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban LPD. Dalam laporan pertanggungjawan LPD berisi beban aktivitas untuk kesejahteraan spiritual menyangkut alam ruh, misalnya meliputi kerinduan dan kecintaan pada Tuhan dan lain-lainnya. Contoh aktivitas ini antaranya pengeluaran biaya upakara-upakara (ritual dewa yadnya) berupa banten atau sesajen baik setiap hari maupun secara periodik, dan perjalanan suci (tirtayatra) baik di Bali maupun di luar Bali atau luar negeri, serta melakukan punia. Pelanggaran terhadap aturan akuntabiltas spiritual akan menghasilkan sanksi yang bersifat profan (duniawi dan manusia) dan sakral (surgawi dan supra manusiawi). Contoh sanksi profan adalah diperlakukan awig-awig desa adat yang berkaitan atas pelaksanaan pengurus dan karyawan LPD yang merugikan LPD, seperti penyelewengan. Sedangkan sanksi yang bersifat sakral bagi pengurus dan karyawan LPD yang melakukan penyimpangan berupa dosa dan tindakan ini nantinya akan dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada Tuhan.
5.2 Dimensi Hubungan Manusia dengan Manusia (pawongan) dalam pengelolaan LPD Perspektif pawongan dalam budaya THK perlu terciptanya dan atau dijaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan stakeholder-nya dalam situasi di kantor, desa pakraman, nasabah, pemerintah dan lingkungan sosial. LPD akan bisa eksis dan berlangsung hidup apabila terjadi hubungan yang harmonis dengan stakeholder-nya. Sehubungan dengan 37
itu, Pengurus LPD juga harus mempertanggungjawabkan kegiatan operasionalnya kepada berbagai pihak
atas kepercayaan yang diberikan oleh pemilik (prinsipal). Disamping
pengurus LPD melaksanakan pertanggungjawaban, terdapat pula pengurus melaksanakan beberapa kegiatan dan program yang diarahkan untuk memberikan kontribusi/manfaat baik ekonomi maupun sosial.
5.2.1 Kontribusi Ekonomi LPD Terhadap Desa Adat/Pakraman dan Krama Desa LPD Desa Adat Kedonganan sampai dengan tahun 2014 telah memperoleh laba milliaran rupiah. Manfaatnya pun jelas, tidak hanya membantu mempermudah akses modal bagi masyarakat adat tetapi juga membantu meringankan beban masyarakat dari biaya-biaya untuk kegiatan adat, budaya, dan agama. Menurut Perda LPD mengatur kewajiban menyetor 20% dari total laba kepada desa adat selaku pemilik LPD sebagai dana pembangunan desa dan 5% dari total laba sebagai dana sosial. Pertumbuhan laba dan distribusi laba LPD ini untuk penambahan modal LPD, pembangunan desa dan dana sosialnya selama periode waktu enam tahun terakhir (2009 – 2014) dapat dilihat dalam Gambar 5.1 Gambar 5.1 Alokasi Pembagian Laba untuk Penambah Modal, Pembangunan Desa dan Dana Sosial
Sumber: LPD Desa Adat Kedonganan tahun 2015
Penyetoran 20% dari total laba LPD tentu bukan angka yang sedikit bagi desa
38
pakraman, apalagi LPD ini telah memperoleh laba milliaran rupiah. Jumlah laba dari tahun 2009 sampai dengan 2014 sebesar Rp36.137.709.000,- dan alokasinya untuk penambah modal LPD sebesar Rp21.682.605.400,-, dana pembangunan desa sebesar Rp 7.227.541.800,dan dana sosial sebesar Rp1.806.885.450,-. Sedangkan jumlah dana pembangunan yang didistribusikan kepada Desa Adat Kedonganan dari tahun 1990-2014 sebanyak Rp 12.696.085.200,- dan jumlah dana sosialnya sebesar Rp 3.174.021.300,-. Sumbangan lainnya sampai dengan akhir tahun 2013 yakni untuk penguatan adat dan budaya Bali senilai Rp 3.978.452.479,- (Gedong, 2013:14). Dana pembangunan sepenuhnya diterima Desa Adat Kedonganan yang digunakan untuk kegiatan parhyangan, pawongan, dan palemahan sesuai dengan program desa adat. Dana sosial dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, seperti punia ubon-ubon pura kahyangan tiga, undangan bazaar STT se-Desa Adat Kedonganan, punia beras pemangku dan kelian banjar, punia/tirtha yatra pura sad kahyangan di Bali, punia/tirtha yatra pura di luar Bali, kesehatan pemangku, bantuan bagi warga cacat, pembinaan sekaa gong remaja dan anakanak, pembinaan STT, pembinaan olah raga serta pembinaan seni dan budaya. LPD Desa Adat Kedonganan juga memberikan sumbangan lainnya dalam bentuk bantuan langsung kepada krama maupun melalui program. Sumbangan lainnya itu, diantaranya santunan kematian, ngaben dan nyekah masa, dana pembinaan banjar/STT/PKK banjar, dana rapat banjar, tali kasih kepada mantan prajuru, kelian dan kepala lingkungan, bantuan beasiswa bagi anak yang orang tuanya kurang mampu, beasiswa prestasi, punia ke merajan/sanggah, dadia/paibon serta program daging babi gratis saat hari raya Galungan. Di luar itu, LPD Desa Adat Kedonganan juga berkontribusi serta menjadi penyokong utama kegiatan pembangunan fisik di desa adat, seperti pengaspalan jalan desa, renovasi Pura Dalem Kahyangan, renovasi Pura Segara, renovasi Pura Penataran, renovasi gedong ratu ayu, renovasi wantilan Palguna Pura, Pendirian TK Dharma Putra, Pasar Desa Adat Kedonganan
39
serta bimbingan belajar widya wijaya. Kalau diperhatikan jumlah dan jenis kontribusi yang diberikan kepada desa adat dan krama desa adat yang bersumber dari pembagian laba maupun pengeluaran langsung dari biaya operasional. Hal ini dapat dimaknai bahwa orientasi LPD memang bukan memperoleh profit yang tinggi, tapi labda, yakni bagaimana LPD dirasakan kehadiran dan manfaatnya bagi krama dan desa adat, khususnya dalam menjaga adat dan budaya Bali.
5.2.2 Kontribusi Ekonomi Keberadaan LPD Terhadap Karyawan atau Sumber Daya Manusia (SDM) Keberadaaan LPD sebagai entitas sosial dan bisnis membuka lapangan kerja lapangan kerja bagi krama desa adat Kedonganan. Sampai dengan akhir tahun 2014 jumlah tenaga kerja sebanyak enam puluh enam (66) orang. Berdasarkan data SDM yang diperoleh diperoleh di LPD Desa Adat Kedongan, SDM dapat dilihat dari segi karakteristiknya, meliputi jenis kelamin, jabatan dan pendidikan sebagai berikut. 5.2.2.1 Karakteristik Sumber Daya Manusia (SDM) LPD Desa Adat Kedonganan LPD Desa Adat Kedonganan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya didukung oleh beberapa SDM sebagaimana struktur organisasi yang ada. Sejak berdiri pada tanggal 9 September 1990 sampai 31 Desember 2013 ini, perkembangan jumlah SDM yang ada di LPD Desa Adat Kedonganan ditampilkan pada tabel 5.1 berikut ini.
40
Tabel 5.1 Perkembangan Jumlah SDM Periode Tahun 1990 Sampai Dengan Tahun 2013 Tahun
Jumlah (Orang)
1990
6
1991
8
1992
Perkembangan (%)
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
3
3
33.33%
4
4
9
12.50%
4
5
1993
10
11.11%
4
6
1994
10
0.00%
4
6
1995
15
50.00%
5
10
1996
21
40.00%
7
14
1997
23
9.52%
9
14
1998
23
0.00%
9
14
1999
23
0.00%
9
14
2000
33
43.48%
14
19
2001
36
9.09%
16
20
2002
51
41.67%
22
29
2003
51
0.00%
22
29
2004
51
0.00%
22
29
2005
51
0.00%
22
29
2006
52
1.96%
23
29
2007
53
1.92%
24
29
2008
53
0.00%
24
29
2009
54
1.89%
24
30
2010
54
0.00%
24
30
2011
54
0.00%
24
30
2012
54
0.00%
24
30
2013
66
22.22%
33
33
Sumber : LPD Desa Adat Kedonganan Tahun 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan jumlah SDM LPD Desa Adat Kedonganan hingga tahun 2013 sebesar 1000,00 %. Hal ini mengindikasikan bahwa LPD Desa Adat Kedonganan telah cukup mampu menyerap tenaga kerja yang ada di Desa Adat Kedonganan. Adapun SDM LPD Desa Adat Kedonganan tahun 2013 ini terdiri atas 53 (lima puluh tiga) karyawan tetap dan 13 (tiga belas) karyawan training, yang mulai bekerja 41
pada bulan Mei 2013. Uraian mengenai karakteristik dari SDM yang ada di LPD Desa Adat Kedonganan periode tahun 2013 dipilah dalam lima kategori yaitu : jenis kelamin, jabatan, dan tingkat pendidikan. 1. Karakteristik SDM Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan berdasarkan jenis kelamin dapat ditampilkan pada gambar 5.2 berikut ini.
Gambar 5.2 Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013
Berdasarkan gambar 5.2 di atas, diketahui bahwa jenis kelamin SDM di LPD Desa Adat Kedonganan berimbang, yaitu masing-masing sebesar 50,00 % atau 33 orang. 2. Karakteristik SDM Berdasarkan Jabatan Berdasarkan struktur organisasi, adapun karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan berdasarkan jabatan dapat diamati sebagaimana tabel 5.3 berikut ini.
42
Gambar 5.3 Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan Berdasarkan Jabatan Tahun 2013 Gambar 5.3 di atas menjelaskan bahwa tiga orang dengan persentase 4,55 % memiliki jabatan pengurus, empat orang dengan persentase 6,06 %
memiliki jabatan sebagai
Kepala Bagian (Kabag), tujuh orang dengan persentase 10,61 % memiliki jabatan sebagai Kepala Seksi (Kasie) dan 52 orang dengan persentase 78.79 % merupakan staff. Hal ini berarti bahwa persentase jabatan SDM yang terbesar adalah staff dan yang terkecil adalah Pengurus. 3. Karakteristik SDM Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan terakhir sangat penting dalam meningkatkan kemampuan, wawasan dan tingkat kepercayaan SDM dalam melaksankan tugas dan tanggungjawannya sebagai anggota organisasi. SDM yang memiliki pendidikan yang tinggi akan mampu melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan dan tanggung jawab yang lebih tinggi. SDM dengan tingkat pendidikan yang memadai untuk jabatan dan terampil dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari maka akan mudah menjalankan kinerja maksimal (Mangkunegara, 2009). Gambar 5.4 berikut menyajikan mengenai karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013.
43
Gambar 5.4 Karakteristik SDM LPD Desa Adat Kedonganan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2013 Berdasarkan gambar 5.4 di atas dapat diketahui bahwa SDM LPD Desa Adat Kedonganan memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi, mulai dari SD hingga S2. Tingkat pendidikan SDM yang terbanyak adalah SMA sebesar 42 orang dengan persentase 63,64 %, sedangkan tingkat pendidikan yang terkecil adalah SMP, yaitu sebesar satu orang dengan persentase 1,52 %. Usaha-usaha LPD Desa Adat Kedongan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) LPD dan masyarakat melalui membiayai karyawan yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, seminar-seminar, dan pelatihan-pelatihan. Berdasarrkan Laporan Keuangan LPD Desa Adat Kedonganan tahun 2014, besarnya beban pendidikan dan training yang dikeluarkan oleh LPD Desa Adat Kedonganan tahun 2014 sebesar Rp200.000.000,- Besarnya biaya tenaga kerja (Gaji) dan biaya lembur yang dikeluarkan per tahun 2014 masing-masing sebesar Rp5.561.541.000,- dan Rp4.520.000,-. Disamping itu, kesejahteraan yang diterima per akhir tahun berupa jasa produksi. Sesuai dengan perda jasa produksi sebesar 10% dari keuntungan bersih. Jasa produksi yang diperoleh karyawan LPD sebesar 10% dari keuntungan yakni sebesar Rp907.808.200,-.
44
5.2.3 Kontribusi Ekonomi Keberadaan LPD Terhadap Nasabahnya Secara operasional kegiatan LPD sama dengan kegiatan bank khususnya BPR, yaitu sebagai perantara keuangan (financial intermediary) dari pihak yang mempunyai dana untuk disimpan dan pihak yang memerlukan dana. Nasabah LPD dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nasabah penyimpan/deposan (nasabah tabungan dan simpanan berjangka) dan nasabah kredit. Kontribusi ekonomi yang diberikan oleh LPD ini kepada nasabah beberupa beban bunga untuk nasabah penabung dan deposan untuk tahun 2014 masing-masing sebesar Rp7.292.362.000,- dan Rp6.962.831.000,-. Jumlah beban bunga tabungan ini dipengaruhi oleh tingkat suku bunga tiap-tiap jenis produk tabungan pada tahun yang bersangkutan. Demikian pula
beban bunga deposito tergantung jangka waktu simpanan berjangka
(deposito) dan tingkat suku bunga yang diberlakukannya.
5.2.4 Kontribusi Ekonomi Keberadaan LPD Terhadap Pemerintah Kontribusi ekonomi yang berimplikasi ekonomi tidak langsung terhadap pemerintah atas Keberadaan LPD. Adapun kontribusi ekonomi secara tidak langsung tersebut antara lain berupa: (1) mendukung usaha pemerintah terkait dengan menyiapkan fasilitas untuk menyimpan dana secara produktif (LPD); (2) mendukung pemerintah dalam menunjang pemerataan pembangunan infrastruktur di desa termasuk pemeliharaan warisan budaya. Hal ini bisa dilihat dari pendistribusian laba oleh LPD sebagai dana pembangunan desa dan dana sosial; (3) membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan pengangguran dalam upaya untuk pemerataan dan kesempatan kerja. Hal ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap di LPD; (4) bentuk program lainnya, yang sungguh merupakan akumulasi fungsi yang sangat berat dan memerlukan pembiayaan yang sangat besar, seperti sebagai bagian dari anggota desa adat sebagai suatu himpunan keluarga juga memiliki kewajiban-
45
kewajiban kultural yang tidak ringan Sujana (2014:202-203).
5.2.5 Kontribusi Keberadaan LPD Dalam Bentuk Program Pemberdayaan Krama Desa dan Kepedulian Sosial
Kontribusi
ekonomi
berupa
pembiayaan-pembiayaan
program
sosial
yang
dilaksanakan oleh LPD Desa Adat Kedonganan yang dikeluarkan langsung dalam biaya operasional atau di luar pembagian keuntungan bersih LPD untuk pembangunan desa dan dana sosial. Kontribusi ekomomi tersebut berupa santunan meninggal dunia, pembiayaan ngaben masa, dana pembinaan banjar, dana rapat banjar pembiayaan tali kasih kepada mantan-mantan (kelian, kaling dan prajuru), LPM dan Lurah, santunan kepada orang cacat, bantuan siswa orang tuannya tidak mampu, beasiswa berprestasi di bidang pendidikan dan punia ke masing-masing merajan. Adapun besarnya kontribusi ekomomi pada program kepedulian sosial seperti berikut. (1). Santunan meninggal dunia. Jumlah orang santunan meninggal dunia yang diberikan oleh LPD Desa Adat Kedonganan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2014 sebanyak 374 orang dengan besaran biaya sebesar Rp529.000.000,-. (2). Pembiayaan ngaben masa. Jumlah biaya ngaben masa untuk periode tahun 2006, tahun 2009 dan tahun 2012 sebesar Rp1.833.365.679,-. (3) Dana pembinaan banjar, dana untuk program ini yang dimulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2014 berjumlah Rp1.590.000.000,-. (4) Dana rapat banjar , besarnya biaya program ini dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 sebesar Rp113.160.000,-. (5) Pembiayaan tali kasih kepada mantan-mantan (kelian, kaling dan prajuru), LPM dan Lurah. Sebanyak 387 orang mantan-mantan (kelian, kaling dan prajuru), LPM dan Lurah telah diberikan kontribusi ekonomi dalam periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2014 sebesar Rp104.327.500,-. (6). Santunan kepada orang cacat. Jumlah sntunan ini diberikan kepada orang cacat sebanyak 114 orang selama tahun 2005 sampai dengan tahun
46
2014 dengan santunannya sebesar Rp29.515.800,-. (7). Bantuan siswa orang tuannya tidak mampu, program ini telah memberikan bantuan sebanyak 121 orang dengan biaya sebesar Rp84.115.000 untuk periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2014. (8). Beasiswa berprestasi di bidang pendidikan, jumlah beasiswa di bidang pendidikan sejumlah 204 orang dengan bantuan sebesar Rp 122.650.000,- yang di mulai dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2014. Dan (9). Program punia ke masing-masing merajan, jumlah punia ke masingmasing merajan yang ada di Desa Adat Kedonganan sebesar Rp373.000.000,- yang dimulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014.
5.2.6 Tinjauan Kritis atas Implementasi Akuntabilitas LPD dalam Dimensi Sesama Manusia Berdasarkan pemaparan pada sub-subbab sebelumnya dapat dilihat dari perspektif hubungan manusia sesama manusia, LPD tidak sepenuhnya berorientasi profit oriented yang berbasis pada sistem kapitalis. Akuntabilitasnya ada dua bentuk akuntabilitas, yakni akuntabilitas ekonomi dan akuntabilitas sosial. Akuntabilitas ekonomis LPD Desa Adat Kedonganan didasarkan pada hubungannya dengan para stakeholders-nya. Keberadaan LPD Desa Adat Kedonganan memberikan dampak ekonomis kepada para stakeholder-nya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Akuntabilitas sosial LPD ini didasarkan atas tanggung jawab sosialnya terhadap lingkungan sosialnya. Pertanggungjawaban aktivitas ekonomi dan sosial LPD kepada stakeholders-nya secara fisik dipertanggungjawabkan dalam bentuk Laporan Keuangan Tahunan (misalnya Laporan Keuangan LPD Desa Adat Kedonganan Tahun Buku 2014) yang ditujukan kepada Bapak Bupati Badung di Sempidi sebagai prihal Permohonan Pengesahan Laporan Keuangan Tahun 2014. Adapun isi dari laporan keuangan tersebut meliputi antara lain lembar permohonan pengesahan laporan keuangan tahun 2014, alokasi keuntungan, neraca, laporan laba rugi, perincian keadaan usaha, perincian penunjang usaha, berita acara rapat, lampiran 47
biaya sosial dan lampiran-lampiran lainnya. Sudah barang tentu laporan keuangan ini sebelum dimintakan pengesahannya terlebih dahulu dipertanggungjawabkan kepada Warga Desa Adat Kedonganan melalui paruman. Sesuai berita acara penyampaian laporan keuangan LPD Desa Adat Kedonganan tahun buku 2014 tertanggal 2 Januari 2015, yang hadir dalam paruman tersebut yang bertindak untuk dan atas nama Warga Desa Adat Kedonganan yakni Prajuru Desa Adat Kedonganan, Penglingsir Desa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan, LPM Kelurahan Kedonganan, Kelian Banjar Se Desa Adat Kedonganan, Kepala Lingkungan se Kelurahan Kedonganan, Tokoh-Tokoh Masyarakat, Badan Pengawas LPD Kedonganan, serta karyawan dan karyawati LPD Desa Adat Kedonganan. Disamping laporan keuangan tahunan yang dipertanggungjawabkan kepada pihakpihak tersebut,
LPD
Perkembangan LPDnya
Desa Adat Kedonganan mempertanggungjawabkan
Laporan
secara bulanan kepada Badan Pengawas, Prajuru Desa Adat
Kedonganan, Kelian Banjar Se Desa Adat Kedonganan dan ke Lembaga Pembina Lembaga Perkreditan Desa (LP LPD) Kabupaten Badung. Adapun isi dari laporan pertanggungjawan ini berisi antara lain neraca bulanan, daftar perincian laba rugi, laporan kegiatan dan laporan lainnya.
5.3 Dimensi Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan (palemahan) dalam pengelolaan LPD 5.3.1 Alam Lingkungan sebagai Principal Upacara merupakan kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Esensi dari upacara pada dasarnya adalah yaitu yadnya, korban suci dengan hati yang tulus ikhlas. Upacara merupakan salah satu cara untuk menjaga hubungan harmoni dengan alam lingkungan. Di Bali, seperti upacara yang dikenal untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam lingkungan (bintang dan tumbuh-tumbuhan) yang disebut dengan tumpek bubuh dan tumpek kandang. Tumpek bubuh memberikan filosofis memberi 48
sebelum menerima, dalam kaitannya dengan sumberdaya tumbuh-tumbuhan atau hayati. Sebelum manusia menikmati atau menggunakan tumbuh-tumbuhan untuk dikonsumsi seharihari, maka ia harus menanam atau memelihara dulu. Begitu pula tumpek kandang yang berarti manusia mencintai segala jenis satwa. Disamping itu manusia juga melakukan upacara (caru) untuk menjaga hubungan yang bersifat timbal balik antara manusia dan alam yang di ciptakan oleh Tuhan. Hubungan upacara yang dilakukan oleh manusia dengan alam lingkungan dapat digambarkan seperti dalam Gambar 5.5 hubungan manusia dengan alam lingkungan dan upacaranya. Gambar 5.5: Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan dan Upacaranya
Tumbuhtumbuhan Tumpek Bubuh Manusia Caru
Tumpek Kandang Alam
Binatang
Keterangan: : Interaksi : Upacara
Wiana (2007;157) mengungkapkan bahwa Alam semesta yang mahabesar disebut bhuwana agung (macro cosmos), sedangkan manusia disebut bhuwana alit (micro cosmos). Kedua-duanya ini menurut keyakinan Hindu adalah ciptahaan Tuhan. Tuhan yang menjadi jiwa bhuwana agung disebut Brahman, sedangkan Tuhan yang menjadi jiwa bhuana alit disebut Atman. Hal ini memberikan penjelasan bahwa alam semesta ini adalah badan jasmani Tuhan (Brahman). Tuhan menciptakan alam sebagai badan jasmani-Nya sekaligus sebagai
49
media kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karenanya, manusia hidup saling ber-yadnya antara sesama ciptaan Tuhan. Ini diajarkan dalam Bhagawadgita III.16 dengan istilah cakra yadnya, yang maksudnya beryadnya yang timbal balik. Tuhan ber-yadnya kepada manusia maka manusia juga ber-yadnya kepada Tuhan. Alam ber-yadnya kepada manusia. Sebaliknya, manusia juga ber-yadnya kepada alam.
5.3.2 Perhatian LPD dalam Usaha-Usaha Mensejahterakan Alam Lingkungan Manajemen perusahaan dan pebisnis harus lebih disadari bahwa perusahaan tidak hanya memiliki tanggung jawab ekonomi untuk tujuan ekonomi (profit) untuk memenuhi kepentingan mereka. Perusahaan harus menyelaraskan tanggung jawab ekonomi dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pebisnis termasuk LPD harus memerhatikan lingkungan hidup, baik lingkungan untuk kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun lingkungan alam lainnya. Bentuk keterlibatan LPD Desa Adat Kedongan dalam usaha memelihara kelestarian alam lingkungannya, bisa dilihat seperti penataan Pantai Kedonganan yakni penataan kafe sebanyak 24 kafe dengan memberikan kredit sebesar Rp12.000.000.000,- untuk investasi awal, pembuatan taman-taman penghijauan, termasuk kolam ikan di dalamnya, pembuatan atau pemeliharaan saluran-saluran air, partisapi dalam sumbangan dana dalam program penghijauan dan penanaman tanaman hias, bentuk pemeliharaan alam lingkungan baik di tingkat desa, kabupaten maupun provinsi. Disamping biaya-biaya upacara yadnya yang berhubungan alam lingkungan yang dikeluarkan oleh LPD, LPD juga berupaya memelihara lingkungan yang bersih, rapi dan asri dalam kantor. LPD Desa Adat Kedonganan mengangkat karyawan khusus yang menangani di bidang kebersihan, kerapian dan keasrian kantor. Kantor LPD dapat menimbulkan rasa tenang dan tentram dalam diri karyawan dan nasabah
50
LPD, sehingga tercipta suasana yang nyaman dalam bekerja dan pelayanan kepada nasabahpun menjadi benar-benar optimal. Untuk tahun 2014 LPD ini mengeluarkan biaya kebersihan sebesar Rp100.000.000,-. Serta dalam rangka menyambut hari hulang tahun Selae Tiban LPD Kedongan pada tahun 2015 ini rencana kegiatan dalam bidang palemahan meliputi antara lain pembersihan pantai, taman bumi banten, lomba kebersihan antar cafe dan lomba kebersihan antar banjar di lingkungan Desa Adat Kedonganan.
5.3.3 Tinjauan Kritis atas Implementasi Akuntabilitas LPD dalam Dimensi Hubungan Manusia dengan Alam Lingkungan. Bentuk akuntabilitas LPD pada alam lingkungan masih sebatas pada (1) melaksanakan yadnya upacara terkait dengan alam lingkungan, (2) penataan Pantai Kedonganan, (3) menjaga dan memelihara alam lingkungan di sekitar lingkungan kantor LPD, (4) keterlibatan LPD dalam program pemeliharaan pelestarian lingkungan yang dilaksanakan oleh desa dinas dan desa pakraman dan (5) pemberian bantuan atau sumbangan dana pada instansi yang berkaitan dengan pemeliharaan alam lingkungan, termasuk pemikiran dan pelaksanaanya. Walaupun secara tidak langsung usaha LPD tidak memiliki dampak merusak alam lingkungan, namun LPD diharapkan secara lebih nyata dalam program atau rencana kerjanya dan dalam akunnya membuat kebijakan yang terkait dengan keterlibatan LPD dalam memelihara dan perbaikan alam lingkungan.
51
BAB VI AKUNTABILITAS HOLISTIK: AKUNTABILITAS LPD
6.1 Akuntabilitas Spiritual: Upaya Pencapaian Keseimbangan Tujuan Skala dan Niskala.
Akuntabilitas spiritual merupakan akuntabilitas seseorang kepada Tuhannya. Akuntanbiltas
ini
meliputi
semua
aktivitas
yang
dilakukan
oleh
seseorang
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, karena segala sesuatu yang dilakukan seseorang hanya diketahui dan dipahami oleh orang yang bersangkutan. Akuntabilitas spiritual didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta beserta isinya. Parhyangan adalah sebuah konsep yang menginginkan adanya harmoni antara manusia dan Tuhan Yang Mahaesa. Dalam kaitan dengan kegiatan bisnis, haruslah juga disadari bahwa aktivitas manusia yang berbisnis itu adalah suatu persembahan kepada Tuhan. Willian W. George dalam Agustian (tanpa tahun:25) mengungkapkan bahwa telah banyak bukti empiris tentang bangkitnya era spiritual dalam bisnis. Medtronic Inc, membuktikan bahwa spiritualitas merupakan energi utama penggerak institusi bisnis meraih sukses dan bisnis tidak hanya untuk memaksimalkan nilai pemegang saham. Kegiatan bisnis tidak semata untuk tujuan memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, harus ada kesadaran dari kalangan bisnis bahwa kegiatannya pada hakekatnya dikontrol oleh Tuhan Yang Mahaesa (Windia, 2007:35). Praktik akuntabilitas spiritual pengurus LPD diwujudkan dalam bentuk penghayatan dan kedekatan diri dengan Tuhan berdasarkan ajaran agama Hindu, dengan menjalan ajaranNya serta berupaya menjauhi larangangan-Nya. LPD dalam menjalankan berbagai aktivitasnya berdasarkan pada dasar keimanan dan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran
52
agama Hindu. Berdasarkan pembahasan di bab V dimensi berhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengelolaan LPD, Akuntabilitas spiritual LPD meliputi (1) keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. (2) kerja dipandang sebagai pengorbanan dan pengabdian kepada sesama makluk ciptaan Tuhan. (3) pengurus LPD berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Hindu dan aturan-aturan yang bersumber dari konsensus dan kesepakatan manusia sendiri, (4) teloransi dalam melaksanakan ibadah.
6.2
Akuntabilitas Ekonomi: Stakeholders-nya.
Implikasi
Ekonomi
Keberadaan
LPD
terhadap
Akuntabilitas ekonomi bentuk pertanggungjawaban pengurus LPD kepada para stakeholder. LPD sebagai entitas sosial-ekonomi dan sosial-religius milik komunitas desa pakraman yang dipercaya untuk mengelola kekayaaan desa pakraman dalam bentuk uang dan surat berharga lainnya. Jika dicermati lebih dalam, kelahiran LPD tidak semata-mata dilandasi kepentingan membangun dan memperkokoh ekonomi saja, melainkan juga diharapkan mampu berperan aktif dalam menjaga kebertahanan dan keberlanjutan kebudayaan Bali. Wujud akuntabilitas ekonomi LPD dapat dilihat dari implikasi ekonomi keberadaan LPD terhadap para stakeholder. Keperdulian terhadap implikasi ekonomi keberadaan LPD merupakan bentuk akuntabilitas ekonomi. Implikasi ekonomi keberadaan LPD bagi desa pakraman (krama desa) antara lain kontribusi 20% dan 5% dari keuntungan sebagai dana pembangunan desa dan dana sosial. Penggunaan dana ini oleh desa pakraman umumnya untuk pembangunan infrastruktur desa, pemberdayaan krama desa adat, kepentingan sosial dan berbagai kegiatan yang umumnya tetap berpijak pada aspek dasar yang di kenal dengan Tri Hita Karana. Implikasi ekonomi keberadaan LPD pada karyawannya yakni dalam bentuk penciptaan kesejahteraan karyawan LPD berupa gaji, tunjangan-tunjangan lainnya dan jasa 53
produksi sebesar 10% dari keuntungan. Keberadaan LPD bagi Nasabahnya memberikan implikasi implikasi ekonomi dalam bentuk pendapatan bunga atas dana yang ditempatkan di LPD, dan kemudahan dalam memperoleh kredit serta beban bunga yang relatif lebih rendah bagi nasabah kredit. Begitu pula keberadaan LPD bagi pemerintah memberikan implikasi ekonomi secara tidak langsung antaranya (1) mendukung usaha pemerintah terkait masalah kesenjangan fasilitas dan pelayanan perbankan antara desa dan kota, (2) mendukung usaha pemerintah terkait dengan upaya pemerataan pembangunan infrastruktur, (3) membantu dalam upaya pengentasan pengangguran atau penyediaan lapangan kerja. Akuntabilitas ekonomi LPD kepada stakeholders-nya secara fisik diwujudkan dalam bentuk (1) laporan perkembangan LPD yang berisi neraca bulanan, daftar perincian laba rugi, laporan kegiatan, dan laporan lainnya. (2) laporan tahunan (laporan keuangan) LPD. Kedua bentuk laporan ini disosialisasikan secara periodik oleh prajuru desa pakraman sebagai wakil dari desa pakraman. Sosialisasi laporan ini oleh prajuru desa pakraman atau kelian banjar melalui rapat desa atau rapat banjar (sangkep).
6.3 Akuntabilitas Sosial: Kebijakan dan Kontribusi LPD terhadap Lingkungan Sosialnya. Akuntabilitas sosial LPD merupakan bentuk pelaksanaan tanggungjawab sosial LPD terhadap lingkungan sosialnya. Keberadaan LPD telah mendapatkan dukungan kuat dari lingkungan sosialnya, sehingga LPD memiliki tanggungjawab sosial terhadap lingkungan sosialnya. Pelaksanaan tanggungjawab sosial LPD terhadap lingkungan sosialnya meliputi pendidikan, kesehatan, santunan meninggal dunia, ngaben masa, dana pembinaan banjar, dana rapat banjar, tali kasih kepada mantan-mantan (kelian, kaling, prajuru, LPM, Lurah) , santunan kepada orang cacat, bantuan siswa orang tuanya tidak mampu, seni dan budaya, pengembangan usaha lokal dan pembangunan infrastruktur. Pembiayaan program-program atau kegiatan ini dikeluarkan secara langsung dalam operasional LPD, maupun bersumber 54
dari dana pembangunan desa dan dana sosial. Akuntabiltas sosial LPD kepada stakeholders-nya secara fisik diwujudkan dalam bentuk yang seperti akuntabiltas ekonomi LPD. Kedua bentuk laporan pertanggungjawaban LPD di atas memuat berbagai aktivitas LPD yang terkait pelaksanaan kebijakan dan kontribusi keberadaan LPD terhadap lingkungan sosialnya. Jika pelaksanaan akuntabiltas ekonomi dan sosial ini dilanggar maka akan dikenakan sanksi, yang mana sanksi tersebut diatur dalam perda maupun dalam awig-awig desa pakraman. Bentuk sanksi yang diberikan bersifat sakral dan profan. Sanksi bersifat sakral berdasarkan pada keyakinan krama desa pada hukum karma pala sebagai salah satu dasar keimanan umat Hindu. Konsepsi karma pala berdasarkan hukum sebab akibat yang baik selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi ini merupakan landasan pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral dalam berbagai segi kehidupan (Ardana: 2007:64). Sanksi yang bersifat profan adalah sanksi yang diberikan berdasarkan pada ketentuan yang terdapat pada perda tentang LPD, awig-awig desa pakraman serta pararem.
6.4 Akuntabilitas Ekologi: Harmoni Manusia Dengan Alam Lingkungan. Dalam Perda LPD, khususnya yang mengatur pembagian labanya maka bisa dikatakan bahwa LPD telah mengimplementasikan Catur Perusa Artha. Hal ini dapat dilihat bahwa laba LPD dialokasikan sebesar 60% untuk cadangan modal, 5% untuk dana pembinaan, pengawasan, dan perlindungan. Kedua jenis ini merupakan implementasi artha untuk artha. Dana pembangunan desa 20% dan dana sosial 5% yang merupakan implementasi artha untuk dharma. Dan laba untuk jasa produksi sebesar 10% merupakan implementasi dari artha untuk kama. Ajaran Catur Perusa Artha yang mengajarkan filosofi tanggung jawab sosial telah ada beberapa abad sebelumnya. Sedangkan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau lebih dikenal dengan sebutan corporate social responsibility (CSR) baru 55
diperkenalkan sejak tahun 1900 an. Di Indonesia, hal itu terungkap dalam Pasal 74 UndangUndang No.40, Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang disahkan oleh DPR pada 20 Juli 2007. Kewajiban manusia untuk memelihara alam lingkungan ini juga diungkap oleh Gunawan ( 2012) bahwa dari mantram dan sloka beberapa kitab suci, yakni dalam Rgweda, III.51.5 terungkap seperti di bawah ini. “Alam memang memilki kekayaan yang tak terkira jumlahnya, alam yang demikian ini akan lestari dan memberi kesejahteraan kepada umat manusia apabila manusia berbuat sesuatu berupa yadnya” serta “Manusia jangan dan hentikan mencemari atmosfir, tumbuh-tumbuhan, sungai, sumber-sumber air, dan hutan belantara, karena kesemuanya ini adalah pelindung kekayaan alam yang tak terkira banyaknya”. Lebih lanjut dalam Maitra yani Samhita II.8.14 terungkap bahwa “Manusia agar senantiasa memelihara bumi ini dan jangan mencermarinya”. Kalau dimaknai dari mantra dan sloka-sloka tersebut, umat Hindu mempunyai keyakinan bahwa keselarasan hubungan dan tanggung jawab antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya yang merupakan sumber kesejahteraan dan kebahagiaan. Sehubungan dengan itu, manusia memiliki kewajiban untuk berbuat sesuatu agar alam yang berlimpah memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Berdasarkan pembahasan dimensi hubungan manusia dengan alam lingkungan pada bab V maka akuntabilitas LPD dalam dimensi ini tidak disajikan secara fisik seperti dalam bentuk laporan keuangan yang ditujukan kepada alam lingkungan, namun bagaimana LPD bisa mentaati hukum alam itu sendiri. Akuntabilitas LPD dalam dimensi Akuntabilitas ekologi meliputi (1) pelaksanaan ritual butha yadnya rutin, yadnya pada pepohonan, ternak, termasuk alam berupa caru atau penyucian alam dan pelaksanaan berata penyepian, (2) keterlibatan LPD dalam program-program desa adat dan desa dinas dalam usaha-usaha memelihara dan pelestarian alam lingkungan, seperti pembersihan dan penataan pantai Kedonganan, dan penyediaan fasilitas umum, (3) pemberian fasilitas kredit untuk pengelolaan kafe untuk mendukung penataan Pantai Kedonganan, (4) menjaga kerapian, 56
kebersihan dan keasrian kantor dan alam lingkungan di sekitar alam lingkungan kantor LPD dan (5) memberikan bantuan dana kepada instansi yang terkait dengan pemeliharaan alam lingkungan. Aktivitas usaha LPD di bidang palemahan ini secara tidak langsung memang tidak berpengaruh pada produk yang dihasilkannya, namun LPD Desa Adat Kedonganan berkeyakinan bahwa tertatanya aspek palemahan akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat Kedonganan yang berarti pula berpengaruh terhadap pertumbuhan LPD Desa Adat Kedonganan. LPD Desa Adat Kedonganan akan berupaya terus dapat memberikan kesejahteraan bagi alam ini dalam bentuk kebijakan menyalurkan pembiayaan kepada perusahaan yang bisnisnya ramah lingkungan.
6.5. Konsep Akuntabilitas dalam Perspektif Tri Hita Karana Berdasarkan akuntabilitas spiritual, ekonomi, sosial dan akuntabilitas ekologi LPD diatas dapat dikatakan praktik akuntabilitas LPD bersifat holistik karena menyangkut hubungan harmonis manusia dengan Tuhan (akuntabilitas spiritual), hubungan harmonis dengan sesama (akuntabilitas manusia hubungan manusia) dan hubungan harmonis dengan alam lingkungan (akuntabilitas ekologi). Akuntabilitas ini bisa disebut dengan akuntabilitas Tri Hita Karana (Akuntabilitas Budaya Lokal) karena nilai-nilai budaya yang terdapat di kalangan masyarakat adat Hindu khususnya di Bali. Adat Bali yang berhubungan dengan salah satu aspeknya yaitu aspek budaya harus bertitik tolak dari ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang terdapat di kalangan masyarakat Adat Hindu sendiri yaitu dalam mereka menghubungkan diri dengan Hyang Widhi Wasa, dengan alam sekitarnya dan dengan sesamanya yang dikenal dengan Tri Hita Karana (Surpha, 2006:17). Hal yang senada dikatakan oleh Ardana (2007:60) bahwa prinsip Tri Hita Karana telah menjadi dasar tradisi budaya termasuk keberadaan lembaga/pranata sosial budaya
masyarakat Bali.
Ilustrasi
57
akuntabilitas LPD dapat digambarkan dibawah ini. Gambar 6.1 Akuntabilitas LPD
Akunt. Parhyangan
Akuntabilitas Palemahan Akunt.Pawongan
LPD
Gambar 6.1. menunjukkan bahwa akuntabilitas LPD bersifat holistik, karena akuntabilitasnya meliputi akuntabilitas spiritual (parhyangan), akuntabilitas manusia (pawongan) dan akuntabilitas ekologi (palemahan) serta ketiga akuntabiltas tersebut saling keterkaitan. Akuntabilitas spritual LPD merupakan dimensi hubungan manusia dengan Tuhan merupakan lapisan teluar, sedangkan akuntabilitas hubungan manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam lingkungan merupakan bagian dari akuntabilitas spiritual. Akuntabilitas spiritual LPD merupakan hubungan manusia dengan Tuhan yang berdasarkan pada keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta beserta isinya. Tuhan merupakan prinsipal tertinggi, pencipta dan pemberi kehidupan bagi semua makluk yang ada di alam semesta. Manusia 58
mempunyai kewajiban untuk bersyukur dan berterimakasih atas kehidupan dan sumber penghidupan yang diberikan Tuhan. Bentuk syukur dan terimakasih ini ditunjukkan oleh manusia adalah melalui bentuk kerja yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia dan alam lingkungan. Hal ini dapat diungkapkan bahwa pengurus dan karyawan LPD telah melaksanakan kesejahteraan manusia dan alam lingkungan, melaksanakan akuntabilitas ekonomi, sosial dan ekologis serta merupakan bagian dari akuntabilitas spiritual. Wujud akuntabilitas spritual LPD tidak dalam bentuk fisik seperti dalam bentuk laporan keuangan atau bentuk laporan lainnya namun dapat dilihat dari perilaku pengurus yang mencerminkan kesadaran ketuhanan yaitu kesadaran untuk meningkatkan kesadaran bahwa Tuhan selalu ada setiap saat, sehingga manusia akan selalu tunduk terhadap hukumhukum Tuhan. Kesadaran pengurus ini merupakan refleksi dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Perilaku ini ditunjukkan dari aktivitas-aktivitas LPD yang dijalankan berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang termuat dalam ajaran agama. Disamping itu, pengurus membuat bentuk fisik akuntabilitas berupa bentuk laporan keuangan dan bentuk laporan lainnya. Kebijakan pengurus LPD terkait dengan beban upacara dan pelaksanaan persembahyangan bersama, pelaksanaan hari libur pada upacara agama, metirtha yatra, punia, dan beban pemeliharaan dan pembangunan tempat suci merupakan repleksi keimanan dan ketagwaan pengurus LPD. Disamping itu, pelaksanaan akuntabilitas spiritual tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, hal ini diyakini bahwa baik buruk perbuatan (karma) manusia di kehidupan yang sekarang akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia saat sekarang, di akhirat, dan juga kehidupan manusia dikelahiran selanjutnya. Keyakinan ini di ajaran agama Hindu di sebut dengan hukum karmaphala (hasil dari perbuatan) dan reinkarnasi yakni kelahiran kembali ke dunia setelah kematian. Pelanggaran terhadap akuntabilitas spitual oleh pengurus dan karyawan LPD seperti
59
melakukan penyelewengan (fraud) terhadap aset LPD akan dikenakan sanksi. Jenis sanksinya berupa sanksi bersifat profan (duniawi dan manusiawi) dan sakral. Pengenaan sanksi bersifat profan terhadap pengurus dan karyawan LPD yang melakukan penyelewengan pada aset LPD sanksi diberikan berdasarkan ketentuan yang ada dalam awig-awig desa atau pararem desa. Sedangkan sanksi bersifat sakral bagi pengurusdan karyawan LPD yang melakukan penyelewengan atau penyimpangan berupa dosa dan perbuatannya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada Tuhan. Hubungan manusia dengan alam lingkungan berdasarkan pengorbanan alam kepada manusia. Alam telah berkorban kepada manusia memberikan tempat untuk hidup dan sumber kehidupan. Oleh karenanya, manusia wajib berkorban kepada alam. Bentuk pengorbanan manusia pada alam dalam bentuk pelastarian dan pemeliharaan alam lingkungan. Bentuk pengorbanan manusia ini, merupakan pelaksanaan akuntabiltas manusia pada alam lingkungan dan juga merupakan wujud rasa syukur dan terimakasih manusia kepada Tuhan. Wujud nyata LPD melaksanakan akuntanbilitas ekologi seperti penataan dan kebersihan Pantai Kedonganan, pembersihan lingkungan Desa dan
LPD Desa Adat Kedonganan,
pembuatan taman-taman penghijauan di lingkunagn LPD, pembersihan dan penataan dalam kantor LPD Desa Adat Kedonganan, berperan aktif dalam kegiatan pelestarian lingkungan yang di lakukan oleh desa adat maupun dinas atau pemerintah, termasuk memberikan sumbangan dana kepada instansi yang peduli dengan pelestarian dan pemeliharaan alam lingkungan. Akuntabilitas ekologi ini tidak berwujud secara fisik dalam bentuk laporan keuangan dan laporan lainnya secara tersendiri, tetapi secara moral dan spiritual pengurus LPD bertanggungjawab atas hak-hak alam dalam aktivitas yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pelastarian alam lingkungan. Pelanggaran terhadap akuntabiltas ekologi ini bagi organisasi LPD akan dikenal sanksi profan dan sakral.
60
sanksi profan terhadap pelanggaran ini yang diatur dalam perda LPD, awig-awig desa dan pararem desa. Sedangkan sanksi bersifat sakral
berdasarkan hukum rta (hukum alam
semesta) sebagai salah satu keimanan umat Hindu. Contoh dari sanksi ini adalah terjadinya bencana alam sebagai akibat dari ulah manusia yang menggangu hak asasi alam. Akuntabiltas ekonomi dan sosial LPD, akuntabilitas dalam dimensi hubungan manusia dengan sesama didasarkan pada keberadaan LPD sebagai entitas sosial dan bisnis. Akuntabilitas ekonomi LPD dapat dilihat kontribusi kesejehteraanya kepada para stakeholder-nya yang dapat berimplikasi langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan LPD. Demikian pula akuntabilitas sosial LPD dapat dilihat dari kebijakan dan kontribusi kesejahteraan pada stakeholder-nya dalam bentuk program pemberdayaan warga desa adat dan keperdulian sosial. Akuntabiltas ekonomi dan sosial LPD kepada stakeholder-nya secara fisik dalam bentuk laporan keuangan tahunan dan laporan kegiatan bulanan. Laporan keuangan tahunan yang berisi laporan neraca, laporan laba-rugi, laporan tingkat kesehatan LPD dan laporan kegiatan lainnya. Laporan kegiatan bulanan berisi laporan neraca bulanan, laporan laba rugi bulanan,daftar neraca percobaan, laporan kondisi kredit dan laporan lain sesuai dengan kebutuhan pihak pengurus untuk disampaikan kepada pemilik LPD. Kedua bentuk laporan LPD Desa Adat Kedonganan tersebut disosialisasikan kepada pemilik LPD. Laporan keuangan tahunan LPD disampaikan oleh pengurus LPD ke pemilik LPD melalui prajure desa. Penyampaikan pertanggungjawaban ini melalui prajure desa bisa melalui rapat banjar maupun pararuman desa adat. Laporan tahunan ini juga disampaikan ke Bupati Badung untuk mendapatkan pengesahan. Akuntabilitas laporan kegiatan bulanan disampaikan secara rutun ke tingkat masing-masing banjar dan juga ke LPLPD Kabupaten Badung. Pelanggaran terhadap akuntabilitas ekonomi dan sosial LPD akan dikenakan sanksi
61
sesuai dengan perda tentang keberadaan LPD, awig-awig Desa Adat Kedonganan dan pararem Desa Adat Kedonganan. Sanksi terhadap pengurus dan karyawan LPD yang tidak melaksanakan akuntabilitas ekonomi dan sosial bisa bersifat profan dan sakral. Sanksi profan sesuai dengan perda tentang LPD, awig-awig desa adat, pararem dan kebijkaan intern LPD. Misalnya sanksi dalam awig-awig yakni di keluarkan dalam “bebanjaran”. Seorang warga yang tidak mebanjar dapat dikucilkan (kesepekang).
Sampai saat ini LPD Desa Adat
Kedonganan belum pernah menerapkan sanksi seperti ini. Sedangkan sanksi bersifat sakral berdasarkan pada keyakinan krama desa adat pada hukum karma pala dan reinkarnasi sebagai salah satu dasar keimanan umat Hindu.
62
BAB VII KESIMPULAN, IMPLIKASI HASIL DAN KETERBATASAN PENELITIAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan bab-bab sebelumnya atas pemahaman praktik akuntabilitas pada LPD Desa Adat Kedonganan dalam dimensi budaya lokal: THK. Dimensi THK dalam hubungan manusia dengan Tuhan (akuntabilitas spiritual), hubungan manusia dengan manusia (akuntabilitas ekonomi dan akuntabilitas sosial) dan hubungan manusia dengan alam lingkungan (akuntabilitas ekologi). Akuntabilitas spiritual LPD didasarkan pada keyakinan keberadaan Tuhan sebagai “sang pencipta, pemelihara, dan pelebur” alam semesta dan isinya. Disamping itu pengurus dan karyawan LPD meyakini atas hukum karma pala dan reinkarnasi sehingga perilakunya dalam menjalankan aktivitas LPD harus mencerminkan kesadaran ketuhanan setiap saat, sehingga manusia akan selalu tunduk pada hukum-hukum Tuhan. Pelaksanaan aktivitas yang berhubungan dengan akuntabilitas spiritual yang ditujukan dengan keimanan dan ketakqwaan karyawan dan pengurus LPD dan aktivitasnya berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma agama. Disamping itu pengurus dan karyawan LPD spiritnya adalah kerja, kerja sebagai persembahan dan pengabdian. Akuntabilitas spiritual LPD tidak diperlukan akuntabilitas formal seperti stakeholders lainnya, namun yang penting bagaimana hukum-hukum Tuhan dipraktikkan dalam operasional LPD. Akuntabilitas LPD dalam dimensi hubungan manusia dengan alam lingkungan, pengurus LPD ikut mensejahterakan alam lingkungan karena alam telah berkorban sebagai tempat hidup dan sumber-sumber kehidupan bagi manusia. Pengurus LPD memiliki kewajiban dalam aktivitas-aktivitas mensejahterakan alam lingkungan dengan tulus iklas. Akuntabilitas ekologi LPD juga tidak diperlukan akuntabilitas formal seperti stakeholders lainnya, namun yang penting bagaimana hak-hak dari alam terpenuhi. 63
Akuntabilitas LPD dalam dimensi hubungan manusia dengan sesama (akuntabilitas ekonomi dan sosial) yang berdasarkan implikasi ekonomi dan sosial pada stakeholders-nya. Akuntabilitas LPD kepada stakeholders-nya bersifat formal yakni dalam bentuk laporan tahunan (laporan keuangan tahunan) dan laporan kegiatan bulanan. LPD sebagai entitas bisnis dan sosial, yang mana pihak pengurus LPD (agen) harus bertanggungjawabkan aktivitas dan sumber daya yang digunakannya kepada pemilik (principal) serta mendistribusikan kesejahteraan kepada stakeholders. Dalam aktivitas LPD banyak didukung oleh lingkungan sosialnya, sehingga LPD memiliki tanggungjawab sosial untuk memperhatikan kesejahteraan lingkungan sosialnya. Aturan akuntabilitas dalam dimensi ini bersifat
konkrit dan abstrak. Aturan akuntabilitas yang bersifat konkrit dalam bentuk
Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD, awig-awig desa pakraman, dan kebijakan pengurus LPD sedangkan aturan yang bersifat abstrak adalah keyakinan pada ajaran agama. Aturan akuntabilitas LPD ketiga dimensi tersebut disamping memiliki kekuatan berupa sanksi-sanksi berupa manusiawi (profan) dan duniawi yang diatur dalam Perda LPD, awig-awig desa pakraman mengenai LPD dan kebijakan pengurus akan tetapi juga memiliki sanksi-sanksi yang bersifat supra manusiawi (sakral). Sanksi-sanksi yang bersifat supra manusiawi (sakral) dari aturan akuntanbilitas LPD ini berhubungan dengan dasar keimanan umat Hindu yaitu berkeyakinan terhadap hukum karma pala dan reinkarnasi.
7.2 Implikasi Hasil Penelitian Hasil penelitian ini dapat menambah pembendaharaan akuntabilitas, yakni akuntabilitas dimensi hubungan manusia dengan manusia, disamping itu juga akuntabiltas dimensi hubungan manusia dengan Tuhan dan akuntabilitas hubungan manusia dengan alam lingkungan. Disamping itu, konsep akuntabilitas ini bagi pengurus LPD diharapkan bisa menjadi pedoman dalam meningkatkan kebermanfaatan atau dan kesejahteraan bersama
64
dengan memperhatikan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
sesama,
dan
hubungan
manusia
dengan
alam
lingkungan
serta
dipertanggungjawabkan secara fisik, mental dan spiritual.
7.3 Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasi karena data, persepsi, sikap dan perilaku yang ditemui pada situs penelitian ini bisa berbeda dengan situs lainnya, tetapi hanya dapat dibandingkan atau memiliki konsep akuntabilitas yang sama dengan situs penelitian lain yang memiliki persamaan kondisi. Keterbatasan yang lain yaitu proses pengumpulan data, pengamatan dan pengungkapan terhadap berbagai fenomena di lapangan karena tingkat kesibukan informan yang tinggi dan ketersediaan waktu yang terbatas.
65
DAFTAR PUSTAKA
Anantawikrama,T. A. 2012. “Kebangkrutan Lembaga Perkreditan Desa (Kajian Kritis di Desa Pakraman Bontihing, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali)”. Disertasi, Program Doktor Ilmu Akuntansi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang. Ardana, I G M. 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global. Cetakan Pertama, Denpasar: Pustaka Tarukan Agung. Arsyad, L..2006. “Assesing Faktor Affecting The Repayment Rate of Microfinance Institutions: A Case Study of Village Credit Institutions of Gianyar Bali”. Gadjah Mada Internasional Journal of Business, 8(2):h:54. Artha, I. M. 1999. Penilaian Tingkat Kesehatan LDKP/LPD. Denpasar: Bank Pembangunan Daerah Bali Kantor Pusat Denpasar. Ashrama, B. 2005. The Essence of THK and Its Referential Teachings: Tri Hita KaranaTourism Awards and Accreditations. Astawa, I Putu; Made Sudarma, Siti Aisjah, dan Djumahir. 2012. “Credit Risk and Harmonious Values Practice (Study at Village Credit Institution (Lembaga Perkreditan Desa of Bali Province”. Journal of Business and Management. Vol. 6, issue:04 (Nov-Des), pp 16—20 Berry, AJ., 2005. Accountability and control in a cat’s cradle. Accounting, Auditing & Accountability Journal Vol. 18 No.2, 2005. Pp. 255-297. Biro Hukum dan Ham Setda Provinsi Bali. 2003. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Biro Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Bali. 2003. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8, Tahun 2002 tentang LPD Disertai Keputusan Gubernur Bali. Biro Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Bali. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8, Tahun 2002 tentang LPD dan Peraturan Gubernur Bali. Biro Perekonomian dan Pembangunan SETDA PROVINSI BALI. 2009. Cetak Biru (Blue Print) Lembaga Perkreditan Desa. Biro Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Bali. 2012. Pedoman SOP Administrasi LPD. Coulon, Alain. 2008. Etnometodologi. Alih bahasa, Jimmy Ph. Paat. Cetakan ketiga-Jakarta: Lengge. Pp. 1-168
66
Chua, W.F. 1986. “Radical Developments in Accounting Thought”. The Accounting Review.Vol. LXI. No.4.pp. 601-632. Dewi, Ni Wayan Yulianita. 2008. Akuntabilitas Dalam Bingkai Filosofi Tri Hita Karana: Suatu Eksplorasi Pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pakraman Dharmajati Tukadmungga, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Tesis. Program Magister Akuntansi Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Doost, Roger K. 1998. Financial accountability: a. Missing link in university financial reporting systems,Managerial Auditing Journal. 13/8.479-488. MCB University Press Duncan, J, Flesher, D., dan Stocks, M. 1999. Internal control systems in US churches: an examination of the effects of church size and denomination on system of internal control. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 12(2), pp 142-163 Dwirandra, A.A.N.B. 2012. “Rekonstruksi Metoda Penilaian Aset dengan Filosofi Tri Hita Karana”. Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya. Erdogan, B., Raymond T., Sparroweb, R.C, Lidenc dan Kenneth, J.D. 2004. Implications of Organization Exchanges For Accountability Theory. Human Resource Management Review. Gedong. 2013. Geliat LPD Desa Adat Kedonganan #03 Harahap, Sofyan Syafri. 2008. Teori Akuntansi, Edisi Revisi. PT. Rajagrafindo Persada Jakarta. Kepramareni, Putu. 2013. Praktik Akuntabilitas Organisasi Keumatan MGPSSR: Satu Studi Ethnomethodology. Disertasi. Program Doktor Ilmu Akuntansi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Malang. Laughlin, R.C. 1990. “A Model of Financial Accountability and The Church of England”, Financial, Accountability & Management. Vol. 6. No. 2.pp. 93-114. Lehman, Glen. 2004. Accounting, Accountability and Religion: Charles Taylor’s Catholic, Modernity And The Malaise of A Disenchanted World. Accepted for Presentation at the Fourth Asia Pasific Interdisciplinary Research in Accounting Conference 4 to 6 July 2004. Singapore. Lindkvist, L. Dan Sue, L. 2003. Accountability, Accounting, Organizations. Human Resource Management Review Majelis Utama Desa Pakraman Bali. 2014. Pararem Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali. Cetakan I Miles, MB., dan Huberman, AM. 1992. Analisa Data Kualitatif; buku Sumber Tentang Metode Metode Baru (penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi) Jakarta:UI-PRESS Nasr, Seyyed Hossein. 1984. Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, Jembatan Filosofis dan 67
Religius Menuju Puncak Spiritual: Ali Noer Zaman (Penerjemah) The Encounter Man and Nature Universitas of California Press. Yogyakarta: IRciSoD. Neu, D. 2000. Accounting and Accountability Relations: Colonization, Genocide and Canada's First Nations. Accounting, Auditing & Accountability, 268--288. Nurjaya, I N.; I.N. Sukandia; I D. P.E.W. Wardana, dan G.M.W. Atmaja. 2011. Landasan Teoretik Pengaturan LPD sebagai Lembaga Keuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Bali (Vol. Cetakan Pertama). Denpasar: Udayana University Press. Patton, JM., 1992. Accountability and Govermental Financial Reporting. Financial, Accountability, and Management, Vol. 8, No.3: 165-180. Ramantha, I Wayan. 2012. “Kearifan Lokal Dalam Manajemen Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali”. Paper presented at the Seminar International Strengthening Microfinance With Local Contents di Politeknik Negeri Bali Sawarjuwono, T. 2005. Bahasa Akuntansi Dalam Praktik: Sebuah Critical Accounting Study. Sujana, I Ketut. 2014. Rekonstruksi Penilaian Kinerja Lembaga Perkreditan Desa: Integrasi Teori Komunikasi Aksi Habermas Dan Budaya Tri Hita Karana. Disertasi Program Doktor Ilmu Akuntansi Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya. Sukoharsono, E. G. 2010. Akuntansi and Ideologi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis (EKSIS), Volume III, Nomor 3, Januari. ISSN: 1978-8185 Sukoharsono, E. G. 2010. Metamorfosis Akuntansi Sosial dan Lingkungan: Mengkontruksi Akuntansi Sustainabilitas Berdimensi Spritualitas. Buku Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Akuntansi Sosial dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Surpha, I Wayan. 2004. Eksistensi Desa Adat Dan Desa Dinas Di Bali. Pustaka Bali Post, Cetakan Pertama. Suprasto, Herkulanus Bambang. 2013. Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Dari Pespektif Budaya Lokal. Ringkasan Disertasi. Program Doktor Ilmu Akuntansi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Malang. Triyuwono, Iwan. 2002. Kearifan Lokal: Internalisasi "Sang lain" Dalam Dekonstruksi Pengukuran Kinerja manajemen. Paper presented at the Seminar Regional Sehari"Emansipasi Kearifan Lokal Untuk Rekonstruksi Sistem Ekonomi dan Bisnis, FE UB. ..........., 2006. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada Jakarta. ............,2011. ANGELS: Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah. Jurnal Akuntansi Multiparadigm. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Voume 2, Nomor 1. Hal. 1-21 68
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Wahyudi, I., & Azhera, B. 2011. Corporate Social Responsibilty (Cetakan kedua ed.): Setara Press (Kelompok IN-TRANS Publising). Wiana, I. K. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu: Penerbit Paramita Surabaya. Widia, W., & Dewi, R. K. 2007. Analisis Bisnis Yang Berlandaskan Tri Hita Karana: Penerbit Unud. ---------,Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa. ---------,Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4, Tahun 2012. tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8, Tahun 2002 tentang LPD. ---------, Buku Panduan Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation 2012. Bali Travel New Paper.
69