Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja NU Dalam Mencegah Redikalisme Agama Oleh: Ahmad Ali MD1 Abstrak Artikel ini menunjukkan bahwa aksi kekerasan yang sering terjadi di Indonesia yang pada umumnya dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dilakukan dengan mengatasnamakan agama/jihad atau amar ma’ruf nahi mungkar. Padahal aksi kekerasan ini berlawanan dengan ajaran Islam yang mulia seperti kedamaian. Demikian juga tidak sejalan dengan Piagam Madinah, Konstitusi Negara RI (UUD 1945), falsafah bangsa (Pancasila), dan semboyang bangsa (Bhineka Tunggal Ika). Dalam konteks ini, nilai-nilai Aswaja NU, berupa keadilan, kesetaraan dan toleransi, karena sejalan dengan Piagam Madinah, UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika, menjadi penting diaktualisasikan dalam mencegah semakin meluasnya gerakan Islam garis keras.
Kata Kunci: Aswaja NU, Piagam Madinah, Radikalisme Agama Pendahuluan Beberapa tahun belakangan ini aksi kekerasan atas nama agama atau dikenal dengan ”radikalisme agama” atau ”fundamentalisme agama” sering terjadi di berbagai tempat di Indonesia. ”Radikalisme” atau ”fundamentalisme” agama seringkali dilekatkan pada gerakan Islam garis keras.2 Gerakan garis keras ini
1Dosen
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, sedang studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2Istilah fundamentalisme atau radikalisme digunakan untuk menunjukkan bahwa gerakan yang dilakukan kelompok-kelompok Islam yang mengusung obsesi penerapan syariat Islam (dan pembentukan negara Islam (dawlah/khilâfah Islâmiyyah) mendasarkan pada ajaran-ajaran fundamental dan akar-akar pokok agama/keagamaan, dengan lebih menonjolkan ajaran formalistiknya bahkan Arabisme zaman awal Islam daripada ajaran substanstifnya, bahkan seringkali dalam implementasinya dengan menggunakan jalur kekerasan yang dianggapnya sebagai jihad/amar ma’ruf-nahi munkar. Hal ini di antaranya karena alur pemahaman letterlijk (tekstual) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Sunnah Nabi. Orientasi kelompok atau organisasi radikalis/fundamentalis ini adalah menuntut penerapan syariat Islam di Indonesia secara Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
38 Ahmad Ali MD sering melakukan tindakan kekerasan di mana-mana.3 Gerakan garis keras banyak bermunculan di Indonesia sejak era reformasi, yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto. Di antaranya Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin oleh Habib Rizzieq, Laskar Jihad yang dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan ustadz Abu Bakar Ba’asyir.4 Gambaran di atas menunjukkan betapa radikalisme agama telah kaku/total, sebagaimana juga pernah disuarkan oleh partai-partai politik Islam, yakni amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang mencantumkan kembali tujuh patah kata dalam rumusan Piagam Jakarta, yakni ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Upaya memasukkan kembali tujuh kata ini, seperti dikatakan Thoha Hamim, memang terkesan sangat ahistoris. Bahwa mereka seakan melupakan fakta sejarah bahwa perdebatan di parlemen tahun 1950-an tentang apakah Islam atau Pancasila yang ”seharusnya” menjadi landasan konstitusi telah menguras segala daya bangsa ini. Lebih lanjut lihat Thoha Hamim, Islam & NU: di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer (Surabaya: Diantama, 2004), hlm. 3 dst. Mengenai organisasi-organisasi Islam radikal dan orientasiorientasinya lebih lanjut lihat dalam Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004). 3Kekerasan yang dilakukan itu terjadi dalam berbagai bentuknya, dikenal sebagai tindakan anarkis atau premanis. Anarkisme maupun premanisme di tanah air tampaknya bukan kian surut bahkan semakin membudaya, mengkhawatirkan bangsa kita. Kekerasan sudah menjadi kenyataan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Beberapa tahun lalu tragedi Monas terhadap aktivis Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Aksi brutalitas masyarakat dan Satpol Pamong Praja dalam prahara penggusuran Makam Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad (Mbah Priok) di Koja, Jakarta Utara, 2010. Di tahun 2010 juga terjadi penusukan terhadap tokoh gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bekasi. Perampokan di bank yang dilakukan oleh teroris, atas nama jihad. Tragedi berdarah antar dua kelompok: Bugis vs Tidung, di Kota Tarakan Kalimantan Timur. Pada Februari 2011 terjadi anarkisme keagamaan yang menewaskan tiga Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten, dan perusakan tempat ibadah di Temanggung Jawa Tengah. Selain itu, juga terjadi penyerangan terhadap Yayasan Pesantren Islam (YPI) di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Pasuruan, Jawa Timur yang mengakibatkan beberapa santri mengalami luka serius. 4Kemunculan mereka di samping sebagai wujud dari respon psikologis yang tertunda (delayed psychological responses) terhadap kekuasaan yang otoriter adalah fenomena yang biasa ketika dibukanya pintu keterbukaan. Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
39
menjadi problem yang krusial di negara kita. Oleh karena itu diperlukan upaya atau tindakan alternatif untuk mencegah meluasnya radikalisme agama. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci tentang radikalisme agama ini, penting dideskripsikan historis dan faktor pendukung munculnya radikalisme agama tersebut. Di samping itu juga penting dieksplorasi dan diidentifikasi aspek-aspek atau ciriciri yang terdapat dalam gerakan Islam garis keras atau radikalisme agama. Selanjutnya setelah uraian di atas, pembahasan tentang NU dan nilai-nilai Aswaja NU menjadi signifikan. Signifikansi pembahasan nilai-nilai Aswaja NU menjadi lebih jelas ketika diuraikan relevansinya dengan Piagam Madinah dan Konstitusi Negara RI (UUD 1945), Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika. Dengan uraian tersebut akan diperoleh solusi atau tindakan alternatif yang penting diambil dalam mencegah meluasnya radikalisme agama. Historis dan Faktor Pendorong Munculnya Radikalisme Agama Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950an (tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI ini berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya. Gerakan ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Juga perlawanan terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal dalam politik.5
5Lihat
antara lain http://talangsari.com/content/artikel/mendirikan.negara.islam.di. talangsari. (diakses pada 28 Maret 2011). Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
40 Ahmad Ali MD Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.6 Gerakan radikalisme bukan sebuah gerakan spontan, tetapi menurut Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU) setidaknya memiliki tiga faktor pendukung.7 Pertama, faktor sosialpolitik. Gejala kekerasan agama bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Akan masalahnya dapat ditelusuri dari sudut (faktor) sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia. Kedua, faktor emosi keagamaan (”sentimen keagamaan dan solidaritas keagamaan”) untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu juga menjadi pendorong munculnya radikalisme.8 Ketiga, faktor kultural, yang dianggap sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme Barat yang dicap sebagai musuh besar, juga memiliki andil besar bagi munculnya radikalisme. Secara kultural di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jerat jaring-jaring kebudayaan yang dianggap menyimpang. Di samping itu kesalahan pemahaman agama juga menjadi faktor pendukung radikalisme agama.9 Identifikasi Gerakan Radikalisme Agama/Islam Garis Keras Gerakan radikalisme agama atau gerakan Islam garis keras,
6Jamhari dan Jajang Jahroni (2004: 47 (peny.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2004), hlm. 47. 7Said Aqiel Siradj,.”Islam Keras dan Santun”, dalam www.lakpesdam.or.id (diakses pada 18 Maret 2011). 8Emosi keagamaan ialah menempatkan agama ke dalam pemahaman suatu realitas yang sifatnya nisbi dan subyektif, bukan faktor agama an sich, sungguhpun gerakan radikalisme selalu mengibarkan simbol agama seperti jihad dan mati syahid. 9Ahmad Ali MD, ”Menghadang Laju Radikalisme Agama di Indonesia”, artikel dalam HU Pelita, 2003.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
41
menurut penulis, dapat diidentifikasi dalam 9 (sembilan) aspek dan ciri-cirinya. Kesembilan aspek tersebut meliputi: 1) aspek ideologi ajaran; 2) aspek model referensi/model gerakan; 3) aspek paradigma/pola pikir; 4) aspek fiqh; 5) aspek hubungan sosialkemasyarakatan; 6) aspek model/metode dakwah; 7) aspek pandangan relasi agama dan negara/politik; 8) aspek orientasi; dan 9) aspek kebenaran penafsiran agama. Kesembilan aspek beserta ciri-cirinya akan diuraikan dalam tabel berikut. N o. 1.
Aspek
Ciri-ciri
Contoh & Implikasi
Ideologi ajaran
Wahabi/Salafi ”ortodok”, yang bertujuan untuk purifikasi keagamaan dan lebih menekankan nahi mungkar daripada amar makrufnya.10
Dalam berbagai bidang agama, baik akidah, hukum dan akhlaq/bermuamalah dengan sesama menggunakan faham Wahabi, terutama untuk ”slogan” atau ”jargon” menghidupkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi (ihyâ’ alSunnah) semaksimal mungkin. Implikasinya adalah apa saja yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dianggap sebagai bid’ah yang harus dilenyapkan.
10Gerakan
Wahabi atau Muwahhidin semula hanya di Saudi Arabia kemudian menyebar ke Indonesia. Ajaran Wahabi pada prinsipnya adalah kembali pada al-Quran dan Hadis, dan memberantas bid’ah dan adat istiadat lama dengan penuh fanatisme. Ajaran Wahabi ini bahkan dipaksakan kepada penduduk negara lain untuk menerimanya, bahkan bila perlu dengan jalan kekerasan. Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU (Surabaya: Bisma Satu, 1999), hlm. 41-42. Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
42 Ahmad Ali MD 2.
Model referensi/ gerakan
3.
Paradigma/po la pikir
Arabisme. Islam diidentikkan dengan Arab. Maksudnya orang yang berislam harus mengikuti tata cara Islamnya orang Arab atau budaya Arab. Apa yang tidak ada di arab atau budaya Arab, apalagi yang tidak ada pada masa Nabi dianggap sebagai bid’ah (membuat ketentuan hukum yang tidak ada dasar atau contohnya pada masa Nabi Saw.). Literalis, skripturalis dan simbolistik
Contohnya perayaan maulid Nabi Saw. dan isrâ’ mir’âj dianggap sebagai bid’ah. Implikasinya haram tidak boleh dilakukan.11
Semua pemahaman agama/hukum harus berdasarkan nash Qur’an dan Sunnah. Dan cara memahaminya secara letterlijk (tekstual), tidak melihat konteks yang mengitarinya. Contohnya memahami hadis Nabi saw. ”Sesuatu kain yang memanjang ke bawah menutupi mata kali maka berada di neraka”. Konsekuensinya menurut mereka untuk mengikuti sunnah Nabi dalam berpakaian harus dengan cara memakai kain atau
11Lihat
http://ululalbablampung.com/hukum-menghadiriperayaan-maulid-nabi.html (diakses pada 28 Maret 2011). Bid`ah pada dasarnya tidak secara mutlak sayyi’ah/madzmûmah (jelek/tercela), namun bid`ah terdiri dari bid`ah madzmûmah dan bid`ah hasanah (bid’ah yang baik). Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
43
celana yang cingkrang. Juga tentang Sunnah Nabi memelihara atau memanjangkan jenggot dipahami sebagai sunnah Nabi yang harus diikuti, tidak mengikutinya dipandang ”inkâr al-sunnah” (tidak mengikuti sunnah). Padahal memelihara atau memanjangkan jenggot termasuk kategori Sunnah ghairu tasyrî`îyah, yakni kebiasaan Nabi yang tidak berkonotasi hukum/syariat untuk diikuti. Padahal jika hadis itu dimaknai secara kontekstual dapat menggunakan hadis yang lain, bahwa ”Barangsiapa yang memanjangkan kainnya sampai menutupi mata kaki karena sombong, maka tidak akan dipandang atau (diberi rahmat) oleh Allah di akherat kelak” (HR alBukhârî, dalam Syarf al-Dîn al-Nawawî, Riyâdh alShalihîn). Jadi konteks larangan itu terkait dengan orang yang memanjangkan kainnya hingga menutupi mata kaki, seperti karena faktor sombong, dan tidak menjaga kainnya dari terkena najis/kotoran. Pemaknaan literalis juga seperti dalam memaknai hadis Nabi Saw dari Abû Sa`îd al-Khudzrî mengenai nahi mungkar: ”Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
44 Ahmad Ali MD
4.
Fiqh
Formalistik atau tidak substantif, yakni sedapat mungkin ketentuan/norma Islam diberlakukan seara formal bahkan dalam bentuk peraturan perundangundangan.
hendaklah (wajib) merubahnya dengan tangannya, namun bila tidak mampu dengan lisannya, jika itu pun tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu (nahi mungkar dengan hati) adalah selemahlemahnya iman”. Simbolistik contohnya lebih menekankan penggunaan simbol-simbol atau aksesoris fisik, seperti jilbab lebar bahkan model cadar, jubah/gamis, jenggot, dan suara-suara Allahu Akbar dalam berbagai acara, forum, bahkan dalam aksi mereka ketika melakukan kekerasan atas nama agama: jihad/amar makruf nahi mungkar. Bukan menekankan values (nilainilai) Islam seperti keadilan, kesetaraan, kemoderatan, dan toleransi. Apa yang sebenarnya merupakan fiqh dipandang sebagai Syariat/hukum Islam yang bersifat qath’î (pasti), tetap, tidak mengalami perubahan, dan berlaku universal sepanjang masa (kullîyan, ‘âmmân, abadîyan). Padahal fiqh berbeda dengan Syarî’ah (Syarî’ah adalah ketentuan hukum yang berdasarkan nash Qur’an dan/atau Sunnah yang bersifat muhkamât, jelas penunjukan hukumnya dan tidak menunjukkan pengertian lain). Fiqh hanyalah
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
5.
Hubungan sosialkemasyarakata n Model/metod e dakwah
Ekslusif
7.
Pandangan relasi agamanegara
Integrated. Agama dan negara menyatu (tidak bisa dipisahkan).
8.
Orientasi
Penerapan syariat Islam secara total bahkan mendirikan negara/pemerinta han Islam
9.
Kebenaran penafsiran keagamaan
Hanya ada kebenaran penafsiran tunggal (Paradigma takhthî’ yang menyatakan bahwa semua
6.
Penekanan nahi mungkar bahkan dengan jalan kekerasan
45
ketentuan hukum hasil pemahaman mujtahid/fuqahâ’ terhadap teks-teks al-Quran dan Sunnah/hadis yang kategorinya mutasyâbihât (serupa/bukan muhkamât) , yang sifatnya zhannî (relatif, nisbi), temporer, bisa mengalami perubahan seiring perkembangan ruang dan waktu, dan tidak berlaku universal. Membatasi pada kelompok atau komunitasnya saja.
Seringkali terjadi kekerasan, bahkan terorisme atas nama jihad/amar makruf nahi mungkar. Bahkan pernah terjadi perampokan bank yang ditengarai dilakukan oleh teroris, sebagai bentuk penghalalan untuk aksi jihad. Implikasinya negara harus berdasar agama (Islam) atau ketentuan-ketentuan perundang-undangannya harus berdasar syariat Islam secara total. Implikasinya negara Indonesia dipandang masih negara sekuler sehingga harus digantikan dengan dawlah/khilâfah islâmiyyah sehingga dapat menerapkan Islam secara total. Bertindak atas nama Tuhan/agama. Sering main hakim sendiri. Sering menghakimi orang atau kelompok lain yang berbeda paham/aliran
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
46 Ahmad Ali MD pendapat selain mazhab/ alirannya dipandang salah)
keagamaannya sebagai sesat bahkan kafir.
NU dan Nilai-Nilai Aswaja Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah/31 Januari 1926 Masehi, pada awal lahirnya sebagai respon atau counter terhadap paham/gerakan Wahabi. Motivasi utamanya adalah untuk mempertahankan paham Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja).12 Aswaja merupakan paham yang menekankan pada aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam berupa keadilan (ta’âdul), kesimbangan (tawâzun), moderat (tawassuth), toleransi (tasâmuh) dan perbaikan/reformatif (ishlâhîyah).13 Nilai-nilai Islam yang dirumuskan dalam Aswaja itu kemudian dijadikan ke dalam Fikrah Nahdhîyah. Fikrah Nahdhîyah adalah kerangka berpikir atau paradigma yang didasarkan pada paham Aswaja yang dijadikan landasan berpikir NU (Khiththah Nahdhîyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlâh al-ummah (perbaikan umat).14 Fikrah Nahdhîyah itu mempunyai lima ciri (khashâ’ish), yaitu: 1). Fikrah tawassuthîyah (pola pikir moderat), artinya NU senantiasa bersikap tawâzun (seimbang) dan i’tidâl (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. NU tidak tafrîth atau ifrâth. 2). Fikrah tasâmuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda. 3). Fikrah Ishlâhîyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan
12Lihat
Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 41-42, dan A. Fawaid Sjadzili, (Penyunting), Faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jakarta: Lakpesdam NU, 2009), hlm. 45-51. 13Keadilan, keseimbangan, moderat, toleransi dan perbaikan dikatakan sebagai nilai-nilai ajaran Islam, karena dipandang sebagai sesuatu ajaran atau prinsip yang (sangat) berharga. Prinsip-prinsip ini menjadi penggerak manusia dalam tindakan dan laku-perbuatannya. Dengan terpenuhinya sesuatu yang berharga itu maka akan dirasakan suatu kepuasan. Dengan kata lain, kepuasan terjadi, jika sesuatu yang dipandang berharga tersebut tercapai. Lihat Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Buku Keempat Pengantar Kepada Teori Nilai (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 4. 14Lihat dalam www.lakpesdam.or.id (diakses pada 18 Maret 2011). Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
47
menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlâh ila mâ huwa al-ashlah). 4). Fikrah Tathawwurîyah (pola pikir dinamis), artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. 5). Fikrah Manhajîyah (pola pikir metodologis), artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.15 Melalui prinsip-prinsip tersebut, NU selalu mengambil posisi sikap yang akomodatif, toleran dan menghindari sikap ekstrim (tafrîth, ifrâth) dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun. Sebab paradigma Aswaja di sini mencerminkan sikap NU yang selalu dikalkulasikan atas dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan mafsadah. Inilah nilai-nilai Aswaja yang melekat di tubuh NU yang menjadi penilaian dan pencitraan Islam rahmatan lil ‘alamin di mata dunia.16 Fikrah Nahdhîyah yang memuat nilai-nilai Aswaja itu menempatkan kedamaian sebagai misi Islam. Sungguh ironis terjadi di negeri yang berpedoman pada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kekerasan bukanlah bagian dari aksi kemanusiaan dan keadaban, tetapi merupakan aksi kebiadaban. Padahal kita percaya agama mengajarkan kehidupan yang penuh kedamaian dan keselamatan bagi manusia. Agama Islam misalnya. Sesuai namanya berarti damai dan selamat. Islam membawa misi rahmatan li al‘âlamîn (menebarkan kedamaian dan ketenteraman bagi semesta alam). Al-Qur’an sumber utama ajaran Islam, dimulai dengan ayat Bismillâhir Rahmânir Rahîm, mengajarkan agar kita memulai sesuatu dengan menyebut nama Allah, Bismillâh. Bahwa Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, Pengasih dan Penyayang. Ayat ini menegaskan bahwa dalam memulai dan melakukan setiap pekerjaan apa pun harus mengingat keagungan Tuhan sebagai Sang Penebar kasih sayang. Kata Bismillâh sebenarnya mempunyai dua makna sekaligus, yaitu mengingat keagungan Tuhan, yang merupakan ekspresi dari esensi iman itu sendiri. Iman mengandaikan kepercayaan dan keyakinan pada keesaan Tuhan, juga memahami sifat Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Artinya keagungan Tuhan tersebut dijelaskan dalam 15Ibid. 16Ashari
Tambunan, ”Haluan Aswaja NU”, dalam http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article &id=179319: haluan-aswaja-nu&catid=25:artikel&Itemid=44 (diakses pada 18 Maret 2011). Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
48 Ahmad Ali MD sifat-Nya yang mengajarkan kasih sayang dan kerahmatan. Ayat ini mengajarkan kita untuk membumikan kasih sayang sebagai ekspresi iman.17 Juga agar kita menciptakan kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hadis, sumber utama kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an, memerintahkan agar manusia menebarkan kedamaian, ketenteraman, menjalin tali silaturrahim dan memberi makan orang yang membutuhkan. Rasulullah Saw. diriwayatkan oleh al-Tirmidzî dari ‘Abdullâh bin Salâm bersabda: ”Ya ayyuha al-nâs, afsyû al-salâm, washilû al-arhâm, wa ath’imû al-tha`âm…tadkhulû al-jannah bi al-salâm. Wahai manusia! Tebarkanlah kedamaian, jalinlah silaturahim (persaudaraan), dan berilah makan orang yang membutuhkan…niscaya kalian akan masuk surga dengan kedamaian (HR. al-Tirmîdzî dan disahihkan olehnya).18 Bahkan Islam juga memerintahkan manusia untuk mempererat tali persaudaraan, melalui shilaturrahim. Silaturahim secara luas bermakna bekerjasama dalam kebaikan, dan berbuat untuk kemajuan bersama, tanpa mengenal perbedaan agama dan keyakinannya. Dalam konteks umat seagama, sesama orang mukmin, umat Islam adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menopang sehingga bangunan itu berdiri kokoh ”al-Mu’minu li almu’mini ka al-bunyâni yasyuddu ba`dhuhu ba`dhan”. (HR. al-Bukhârî dari Abû Burdah).19 Oleh karena itu, diingatkan oleh Nabi Saw.: ”Lâ yadkhul al-jannah qâthi`”, tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahim. (HR. al-Bukhârî).20 Apalagi orang yang berbuat anarkhis bahkan merenggut nyawa manusia secara zalim.
17Ahmad Ali MD, ”Membumikan Kasih Sayang Sebagai Ekpresi Iman”, artikel dalam HU Sinar Harapan, 2004. 18Muhammad bin Ismâ’îl al-Kahlânî, Subul al-Salâm: Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, hlm. 208. 19Shahîh al-Bukhârî, hadis nomor 5680, bab tentang saling tolongmenolong sesama orang-orang mukmin. 20Lihat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Adâb (Kitab tentang Etika), Bâb Itsmi al-Qâthi (Bab tentang Dosa Orang yang Memutuskan Silaturahim), hadis nomor 5638, dalam Ahmad bin Hajar al-`Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarh Shahîh al-Bukhârî (Dâr al-Rayyân li al-Turâts, 1986), hlm. 428429.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
49
Islam pun mengajarkan umatnya untuk melakukan ishlâh (perdamaian). Jika terdapat dua kelompok yang bertikai haruslah mengadakan perdamaian (QS. al-Hujurat/49: 9). Perdamaian ini menjadi salah satu tujuan utama ajaran Islam (maqashid al-Syarî`ah). Hal ini sesuai dengan kaidah Arab yang mengatakan bahwa ”Pada dasarnya pangkal (prinsip utama) dalam hubungan kemanusiaan adalah kedamaian/perdamaian (al-Ashl fî al-`alâqah al-insânîyah alsilm). Relevansi Nilai-Nilai Aswaja NU dengan Piagam Madinah, Konstitusi Negara RI, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Nilai-nilai Aswaja NU yang di antaranya berisi toleransi atau penghormatan terhadap keragaman (pluralitas) yang ditanamkan dan dipraktekkan dalam masyarakat itu sesuai dengan konstitusi negara kita (UUD 1945), falsafah atau dasar kehidupan kenegaraan dan kebangsaan (Pancasila) dan semboyang keanekaragamaan penduduk Indonesia (Bhineka Tunggal Ika). Demikian pula aktualisasi Aswaja tersebut sejalan dengan hak asasi manusia (HAM) yang dideklarasikan dalam PBB dan telah diratifikasi ke dalam perundang-undangan di Indonesia. Bahkan lebih jauh merupakan aktualisasi dari Piagam Madinah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad S.a.w.21 Piagam Madinah adalah
21Istilah Piagam Madinah disebut juga Konsitusi Madinah, oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai ”Republik Madinah”. Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’rûf al-Dawâlibî (w. 218 H.) dari Universitas Islam Internasional Paris, ”yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia”. Dikutip oleh Nurcholish Madjid, ”Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyâsî Sunnî”, dalam Budy Munawwar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 590. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah (l. 1908): ”Konstitusi yang membawa hak istimewa ini tidak hanya merupakan konstitusi negara Islam pertama, tetapi juga merupakan konstitusi pertama di muka bumi yang diumumkan oleh sebuah negara. Dikutip oleh Ali Bulac, ”The Medina Document”, dalam Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 173.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
50 Ahmad Ali MD perjanjian tertulis antara Nabi dengan penduduk Madinah yang beragam background dan agamanya dalam kerangka membangun dan menjaga Negara Madinah. Piagam Madinah itulah yang kemudian mempersatukan negara Madinah, sehingga menjadi tempat terpeliharanya keragaman atau masyarakat majemuk (pluralis).22 Secara singkat, Piagam Madinah itu memuat dasardasar dan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, yang berisi dua hal pokok. Pertama, umat Islam, baik imigran (muhajirin) maupun penduduk pribumi (anshar), yang terdiri dari berbagai suku, adalah satu umat, satu komunitas (ummatan wahidah), sehingga mereka harus bersatu. Kedua, sesama muslim dan hubungan antara komunitas Islam dan komunitas lain berdiri di atas lima prinsip: (1) bertetangga dengan baik; (2) satu sama lain saling membantu, termasuk dalam hal menghadapi musuh bersama; (3) membela mereka yang teraniaya; (4) satu sama lain saling menasihati dalam kebaikan; dan (5) saling menghormati agama masing-masing.23 Dalam konteks Indonesia, Piagam Madinah itu telah mengilhami lahirnya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta.24
22Tentang isi Piagam Madinah ini, misalnya lihat dalam Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Cet. II (Yogyakarta: UII Press, 1990), hlm. 10-15. 23Lihat dalam buku Ahmad Sukardja, berjudul Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Majemuk, juga dalam aalimd.blogspot.com. 24Piagam Jakarta memuat rumusan resmi pertama Pancasila, yang berisi dasar-dasar negara, disusun dan ditandatangani tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI. Sembilan orang tersebut mencerminkan aliran Islam, nasionalis, dan Kristen. Mereka adalah Soekarno (Bung Karno), Mohammad Hatta (Bung Hatta), A.A. Maramis (tokoh Kristen), Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasjim, dan Mr Mohamad Yamin. Piagam Jakarta ditandatangani oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di bawah pimpinan Bung Karno di Gedung Pancasila --terletak di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat. Gedung yang diabadikan sekitar tahun 1930-an kini dinamakan Gedung Pancasila. Dari gedung inilah, Bung Karno pada 1 Juni 1945 berpidato di depan sidang PPKI yang kemudian melahirkan dasar negara Pancasila. Dalam pidatonya tersebut dia mengemukakan doktrin Pancasilanya, ‘lima dasar’ yang akan menjadi
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
51
falsafah resmi dari Indonesia merdeka: ketuhanan, kebangsaan, perikemanusiaan, kesejahteraan, dan demokrasi. Meskipun dasar-dasar ini pada umumnya diterima oleh anggota-anggota BPUPKI, tetapi para pemimpin Islam merasa tidak senang karena menurut mereka Islam tampaknya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Pada akhirnya, mereka menyetujui apa yang disebut sebagai Piagam Jakarta yang merupakan bentuk kompromi, yang menyebutkan bahwa negara akan didasarkan atas ”ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan (18 Agustus 1945), di tempat yang sama berlangsung pelantikan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Pada waktu bersamaan, sidang tersebut juga menetapkan UUD 1945 sebagai falsafah negara. Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement bangsa Indonesia. Implikasi Piagam Jakarta terhadap hubungan antara syariat Islam dan Negara menjadi sumber pertentangan-pertentangan sengit di tahuntahun mendatang. Badan Penyelidik mengakhiri tugasnya dengan merancang konstitusi pertama Indonesia, yang menghendaki sebuah republik kesatuan dengan jabatan kepresidenan yang sangat kuat, dan dengan menetapkan bahwa negara baru tersebut tidak hanya akan meliputi Indonesia saja, tetapi juga Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan (Borneo). Dengan demikian, hari lahir Pancasila yang lebih tepat bukanlah tanggal 1 Juni 1945, melainkan tanggal 22 Juni 1945, yakni hari dirumuskannya Pancasila pertama kali secara resmi, atau tanggal 18 Agustus 1945, yakni hari dinyatakan berlaku untuk pertama kali. Kesimpulan ini pernah dikemukakan oleh tokoh cendekiawan muslim Endang Saifuddin Anshari. Piagam Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana diketahui sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret tujuh kata di belakang kata Ketuhanan, yaitu, ”dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pencoretan tujuh kata tersebut meskipun kontroversial tetapi diterima sebagai blessing in disguised (berkah terselubung) dalam merajut persatuan bangsa. Kompromi ini jelas menunjukkan kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara kebangsaan yang religius dengan menjadikan ajaran agama (tidak hanya Islam) sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara. Bandingkan dengan M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Serambi dari judul asli A History if Modern Indonesia Since c. 1200 (Jakarta: Serambi, 2008) hlm. 441-442. Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
52 Ahmad Ali MD Menurut Moh. Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi RI), Pancasila bukan lain merupakan jalinan nilai-nilai dasar kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat bangsa Indonesia. Jalinan nilai-nilai dasar yang tertuang dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945 dijabarkan ke dalam aturan dasar (hukum dasar) dalam bentuk pasal-pasal UUD yang mencakup berbagai segi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, aturan, norma, hukum dasar dalam UUD merupakan manifestasi yang secara substansi memuat dan mencerminkan nilai-nilai dasar tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD semata-mata berisi nilai-nilai sebagai perincian atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Nilai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, dirinci ke dalam norma, aturan, hukum dasar yang tercermin ke dalam banyak pasal di UUD 1945. Nilai dasar itu tidak semata-mata berdimensi teologis yang mengisyaratkan bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing, melainkan juga berdimensi politik. Implikasinya, nilai dasar itu menuntut orang untuk mengembangkan sikap hormatmenghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain, sebab agama dan kepercayaan adalah hal yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan sebagai Khâliq-nya.25 Dengan demikian Pancasila adalah selaras dengan ajaran Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Madinah. Nilai-nilai Asjawa yang mencerminkan Piagam Madinah, dan selaras dengan Pancasila itu relevan dijadikan pelajaran di tengah-tengah sering terjadinya tindakan premanisme, anarkhisme, perkelahian, dan pertikaian antara kelompok, terorisme, dan sebagainya. Fakta ini sebenarnya bertolak belakang dengan realitas penerapan nilai-nilai Aswaja NU di lembaga-lembaga pendidikan Islam dan masyarakat. Pada dasarnya, nilai-nilai Aswaja ala NU tersebut selama ini telah diajarkan, ditanamkan dan dipraktekkan secara luas, umumnya di Pesantren. Pesantren-pesantren yang 25Mahfud
MD, ”Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi”, makalah dalam http://mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahWeb&id=3&aw=1 &ak=8 (diakses pada 5 Agustus 2010). Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
53
didirikan oleh ulama/kyai NU atau bercorak pendidikan ala NU telah menanamkan Aswaja NU pada santri-santri (siswa-siswa), sehingga mereka pun mempraktekkan Aswaja NU dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan pesantren maupun di masyarakat.26 Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja NU Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa solusi yang harus dilakukan dalam mencegah meluasnya gerakan radikalisme agama atau gerakan Islam garis keras, di antaranya adalah dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Aswaja NU ke dalam masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan. Aktualisasi berarti menghidupkan dan mempraksiskan kembali nilai-nilai Aswaja NU dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar mendapatkan elan vitalnya, manfaat bagi terbangunnya kehidupan
26Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam bagi Muslim tradisional yang dibangun sejak Islam masuk di tanah air, dan mendapatkan momentumnya pada abad ke-19 M. Lihat K.S. Nathan, dan Mohammad Hashim Kamali, ed., Islam in Southeast Asia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), hlm. 11. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan pada mulanya dan umumnya berada di pedesaan. Pesantren, di samping juga tarekat merupakan lembaga yang biasanya menyandang cap tradisional, meskipun sekarang sudah banyak pesantren yang menyelenggarakan sistem pendidikan modern. Lembaga pesantren maupun tarekat ini mempunyai misi yang sama, yaitu menyampaikan dan melestarikan tradisi Islam dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, dua lembaga ini mempunya titik tekan berbeda. Pesantren lebih mengkhususkan misinya pada transmisi tradisi Islam di kalangan generasi muda agar mereka siap mengambil peran-peran aktif dalam masyarakat tanpa melupakan tujuan jangka panjang, yaitu mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di kahirat. Sedangkan tarekat lebih mengutamakan transmisi tradisi Islam di kalangan orang tua agar mereka siap menghadapi hidup di akhirat kelak di saat terasa akhir hayat semakin dekat. Meskipun demikian, kedua misi tersebut sering juga sekaligus ada pada, atau diiemban oleh, lembaga yang sama, misalnya Pesantren Buntet di Cirebon yang didirikan pada tahun 1750 oleh Kyai Muqayim, penghulu Keraton Cirebon. Lihat A.G. Muhaimin, ”Pesantren and Tarekat in the Modern Era”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 4, No. 1, 1997, hlm. 1.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
54 Ahmad Ali MD yang damai dan negara Indonesia yang kokoh khususnya, dan perdamaian dunia pada umumnya. Dengan cara demikian, diharapkan gerakan Islam garis keras tidak semakin meluas. Demikikian pula genarasi muda diharapkan menjadi warga negara yang menjungjung tinggi nilai-nilai Aswaja NU yang mencerminkan Piagam Madinah dan sekaligus sejalan dengan konstitusi UUD 1945, falsafah Pancasila dan semboyang Bhineka Tunggal Ika. Aktualisasi nilai-nilai Aswaja NU secara lebih rinci dan menjadi upaya yang penting untuk dilakukan dalam mencegah meluasnya gerakan radikalisme agama atau gerakan Islam garis keras adalah sebagai berikut: 1. Mencegah berkembang dan meluasnya ideologi Wahabi/manhaj Salaf ”ortodok”. 2. Kontekstualisasi Islam, yakni memahami ajaran Islam agar kontekstual, relevan diterapkan dalam konteks kehidupan majemuk dan modern. Contohnya kontekstualisasi makna jihâd. Jihâd dalam konteks modern dapat mengambil bentuk jihad humanis: jihad di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Jihâd dalam arti perang pada kondisi normal, maupun dalam bentuk terorisme dan kekerasan tidaklah sejalan dengan tujuan Islam. 3. ”Pribumisasi” Islam dalam menghadapi arabisme/arabisasi, yakni tidak menjadikan konteks Arab sebagai tolok ukur keberislaman atau pelaksanaan ajaran Islam dalam berbagai sendi kehidupan, namun memahami Islam dengan memperhatikan pula situasi dan kondisi lokal yang melingkupinya. Lebih khusus lagi, dalam melakukan pribumisasi Islam itu, dengan cara mengadaptasi dan menghargai budaya lokal, seperti budaya ”selametan”, tahlilan, dan ”marhabanan” (pembacaan al-Barzanzî yang berisi tentang kisah kelahiran, keutamaan, puji-pujian pada dan tauladan Nabi Muhammad Saw.) 4. Menekankan dan mempromosikan paradigma berpikir substantif dalam menghadapi meluasnya paradigma berpikir literalis dan skripturalis, formalistik dan simbolistik. 5. Mengedepankan nilai-nilai Islam (Islam substantif) atau maqâshid al-Syarî`ah (tujuan-tujuan hukum Islam/ajaran Islam), seperti keadilan, kemoderatan, dan toleransi daripada simbol-simbol fisik yang bernuansa religius.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
55
6. Mengedepankan penyelesaian masalah secara demokratis, musyawarah dan melalui jalur hukum dan tidak main hakim sendiri, apalagi menggunakan jalur kekerasan. 7. Mengedapankan dakwah bi al-hâl, dengan metode/pendekatan bi al-hikmah (bijaksana), nasehat yang baik (mau’izhah hasanah) dan perdebatan yang fair (al-mujâdalah bi al-lati hiya ahsan): argumentatif, rasional, realistik, seobyektif mungkin dan proporsional. Dengan ungkapan lain, harus menekankan dakwah yang kontekstual, moderat, inklusif, bukan dakwah yang parsial namun dakwah yang komprehensif dan yang memberdayakan umat. Model dakwah yang kontekstual ini misalnya telah dicontohkan oleh Syaikh `Abd al-Qâdir al-Jaylânî dalam memahami teks hadis Nabi riwayat Abû Sa`îd al-Khudzrî tidak secara letterlijk, namun memahaminya dengan berpijak pada maqâshid al-Syarî`ah, mengarah pada tercapainya rahmat, yang tercermin dalam kehidupan harmonis, toleran, terwujudnya perdamaian, dan kesejahteraan.27 8. Mengedepankan paradigma ”tashwîb”, yang menyatakan bahwa madzhabî shawwâb yumkin al-khathâ’, wa madzhabu ghayrî khathâ’ yumkin al-shawwâb (aliran/pandangan kelompokku
27Hadis Nabi diriwayatkan oleh Abû Sa`îd al-Khudzrî tentang amar makruf nahi mungkar dengan tangan, lisan dan hati, ditafsirkan secara baik/kontekstual oleh Syaikh `Abd al-Qadir al-Jîlânî al-Hasanî. Menurutnya, amar makruf-nahi munkar itu dilakukan sesuai kompetensi masing-masing. Nahi munkar dengan tangan dilakukan oleh penguasa/aparat berwenang. Nahi mungkar dengan lisan, nasehat bijaksana, dilakukan oleh ulama, intelektual. Sedangkan nahi munkar dengan hati dilakukan oleh orang biasa. Syaikh `Abd al-Qâdir al-Jîlânî juga membuat lima syarat dalam beramar makruf nahi munkar. Pertama, mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang --oleh agama. Kedua, bertujuan meraih ridha Allah, meluhurkan agama-Nya, dan meninggikan kalimat-Nya. Ketiga, dilakukan dengan lemah lembut, kasih sayang, dan bijaksana. Keempat, dilakukan dengan kesabaran, kerendahan hati, dan kestabilan hati, seperti halnya dokter yang mengobati pasien secara sungguh-sungguh, psikiater yang mengobati orang sakit jiwa, serta memberikan teladan dan petunjuk. Kelima, mengetahui strategi apa yang dia perintahkan dan apa yang dilarangnya agar tidak dikuasai oleh pihak yang menjadi sasaran amar makrufnya ini. Lihat Syaikh `Abd al-Qâdir alJîlânî al-Hasanî, al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa alTashawwuf wa al-Âdâb al-Islâmiyyah (Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t.), Juz I, hlm. 50-52.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
56 Ahmad Ali MD
9.
adalah benar namun bisa jadi salah, dan aliran/pandangan selainku aalah salah namun bisa jadi benar). Artinya tidak truth claim, sebagai satu-satunya kebenaran yang otoritatif atau mutlak. Membuat, memperkuat dan melebarkan sayap jaringan komunitas Islam moderat. Di antara jaringan Islam moderat sudah dirintis tahun 2004-an adalah CMM (Center for Moderate Muslim).28
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aksi kekerasan dalam berbagai bentuknya yang sering terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras didasarkan dengan mengatasnamakan agama/jihad atau amar ma’ruf nahi mungkar. Aksi kekerasan tersebut sesungguhnya sangatlah berlawanan dengan ajaran Islam yang mulia seperti kedamaian dan persaudaraan. Demikian juga aksi kekerasan tersebut tidak sejalan dengan Piagam Madinah, Konstitusi Negara RI (UUD 1945), falsafah bangsa (Pancasila) dan semboyang bangsa (Bhineka Tunggal Ika). Dalam konteks ini, nilai-nilai Aswaja NU, berupa keadilan, kesetaraan, persaudaraan dan toleransi, karena sejalan dengan Piagam Madinah, UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika, menjadi penting diaktualisasikan dalam mencegah semakin meluasnya gerakan Islam garis keras. Aktualisasi nilai-nilai Aswaja NU itu dapat menjadi salah satu solusi untuk mencegah maraknya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Aktualisasi nilai-nilai Aswaja NU itu dilakukan dalam berbagai bentuknya, baik dalam ranah paradigmatik atau pola pikir maupun dalam ranah aplikatifnya. Mulai dari transformasi paradigma/pola pikir pemahaman keagamaan yang moderat hingga dakwah praksis yang moderat, dan pemecahan problem umat dan bangsa secara moderat pula, baik melalui jalur politik maupun sosialkemasyarakatan.
28CMM didirikan oleh para tokoh Muhammadiyah dan NU, seperti Dr. KH. Tarmidzi Taher dan KH. Nuril Huda Sejumlah tokoh NU dan Muhammadiyah banyak yang bergabung dalam jaringan ini. Jaringan ini mempromosikan Islam yang ramah, damai, toleran dan rahmatan li al-‘âlamîn, baik melalui media seperti website (lihat http://www.cmm.or.id/) dan aksi-aksi damai.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
57
Daftar Pustaka Ali MD, Ahmad. ”Menghadang Laju Radikalisme Agama di Indonesia”. Artikel dalam HU Pelita, 2003. ---------.”Membumikan Kasih Sayang Sebagai Ekspresi Iman”. Artikel dalam HU Sinar Harapan, 2004. Amal, Taufik Adnan, dan Panggabean, Syamsu Rizal. Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Alvabet, 2004. Anam, Choirul. Pertumbuhan & Perkembangan NU. Surabaya: Bima Satu, 1999. al-`Asqalânî, Ahmad bin Hajar. Fath al-Bârî: Syarh Shahîh al-Bukhârî. Dâr al-Rayyân li al-Turâts, 1986. Charlez Kurzman. Ed. Liberal Islam: A Sourcebook. New York: Oxford University Press, 1998. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Buku Keempat Pengantar Kepada Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang, 2002. Hamim, Thoha. Islam & NU: di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer. Surabaya: Diantama, 2004. http://www.cmm.or.id/ http://ululalbablampung.com/hukum-menghadiri-perayaanmaulid-nabi.html. Diakses pada 18 Maret 2011. http://talangsari.com/content/artikel/mendirikan.negara.islam.di. talangsari. Diakses pada 28 Maret 2011. al-Jîlânî al-Hasanî, Syaikh `Abd al-Qâdir. al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa al-Tashawwuf wa al-Âdâb al-Islâmiyyah. T.Tp.: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t.. Jamhari, dan Jahroni, Jajang (peny.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: RajaGravindo Persada, 2004. al-Kahlânî, Muhammad bin Ismâ’îl. Subul al-Salâm: Syarh Bulûgh alMarâm min Adillat al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. 2 Jilid. Mahfud MD, Moh. ”Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”. Makalah dalam http://mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahWeb &id=3&aw=1&ak=8. Diakses pada 5 Agustus 2010. Muhaimin, A.G. ”Pesantren and Tarekat in the Modern Era”, dalam Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 4, No. 1, 1997. Nathan, K.S., dan Kamali, Mohammad Hashim. Editor. Islam in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2006.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011
58 Ahmad Ali MD al-Nawawî, Syarf al-Dîn. Riyâdh al-Shalihîn. Kairo: Dâr al-Salâm, 2003. Rahman, Budy Munawwar-. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Penerjemah Tim Penerjemah Serambi. Judul asli A History if Modern Indonesia Since c. 1200. Jakarta: Serambi, 2008. Sjadzili, A. Fawaid (Penyunting). Faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Jakarta: Lakpesdam NU, 2009. Siradj, Said Aqiel. ”Islam Keras dan Santun”, dalam www.lakpesdam.or.id, diakses pada 18 Maret 2011. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Majemuk, 1995. Tambunan, Ashari. ”Haluan Aswaja NU”. Artikel dalam http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content &view=article&id=179319:haluan-aswajanu&catid=25:artikel&Itemid=44. Diakses pada 18 Maret 2011.
Al-Dzikra Vol. 5 No. 9 Juli - Desember Tahun 2011