AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)
GUGI ARGAMULA
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRAK GUGI ARGAMULA. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus). Dibawah Bimbingan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO dan BAYU FEBRAM PRASETYO. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas pemberian ekstrak batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam bentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka pada kulit mencit (Mus musculus albinus) melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit dari strain DDY umur 4-6 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (salep placebo), kontrol positif (salep Betadine®) dan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon. Semua mencit dilukai di daerah punggung anterior sepanjang 1-1,5 cm menggunakan skalpel. Setiap hari luka diolesi dua kali dengan salep yang diuji. Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari dan pengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah warna luka, pembekuan darah, terbentuknya keropeng dan ukuran luka. Parameter yang diamati pada sediaan histopatologi adalah infiltrasi sel-sel radang (neutrofil, limfosit, makrofag), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan ketebalan fibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan, sedangkan data kualitatif disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok salep ekstrak lebih cepat membentuk keropeng dan menutup luka tanpa bekas, jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasil uji statistik infiltrasi sel-sel radang kelompok salep ekstrak berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hasil pengamatan histopatologis menunjukkan bahwa ekstrak batang pohon pisang Ambon dalam sediaan salep mampu meningkatkan jumlah infiltrasi sel-sel radang, pembentukan neokapiler, persentase re-epitelisasi serta mempercepat pembentukan fibroblas. Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka. Kata kunci : salep, ekstrak, batang pisang Ambon, persembuhan luka, mencit
ABSTRACT GUGI ARGAMULA. Activity of Ambon Banana (Musa paradisiaca var. sapientum) Stem Extract in Ointment Solution on the Wound Healing Process of Mice Skin (Mus musculus albinus). Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and BAYU FEBRAM PRASETYO. The objective of the present research is to study the activity of banana stem extract in ointment solutions in the acceleration of wound healing process on mice skins. Totally of 45 mice strain DDY 4-6 weeks old were devided in negative control group (placebo ointment), positive control group (Betadine® ointment) and Ambon banana stem extract ointment.All mice were aseptically wounded 1-1,5 cm in the anterior region of back skin using a sterile scalpel. The wound was smeared with the ointment. The pathology anatomy observations was done in day 3, 5, 7, 14 and 21 post wounded. Parameters of the gross lesions (pathology anatomy) observations ware colour of the wound, blood coagulations, scab formations and size of the wound. Parameter for (microscopic lesions) histopathology were infiltrations of inflammatory cells (neutrophils, lymphocytes, macrofages), neo-capillarizations, re-epitelization percentage and the thickness of fibroblast. All quantitative data were measure using ANOVA and continue with Duncan Test, moreover, the qualitative data were presented descriptively. The result shows that gross lesions observations, the extract ointment group was faster in scab formations and covers the wound without trace compared to the negative control group. The statistical test on the infiltrations of inflammatory cells parameter of the extract ointment group significantly different (P<0.05) compared to the negative control group. Histopatologycal observations shows that Ambon banana stem extract in ointment solutions can increase the infiltrations of inflammatory cells, neo-capillary formations, re-epitelizations percentage and acceleration of fibroblast formations. Base on the result the Ambon banana stems extract in ointment solutions can accelerate the wound healing process and it seems that this solution could be developed and uses for the medical purposes. Key words : ointment, extract, banana stem, wound healing, mice
AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)
GUGI ARGAMULA B04104109
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
Nama Nrp
: Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). : GUGI ARGAMULA : B04104109
Disetujui Pembimbing I
Pembimbing II
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D. NIP: 131 578 839
Bayu Febram P. SSi,Apt.MSi NIP: 132 311 720
Mengetahui, Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 131 669 942
Tanggal Lulus
:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini berjudul “Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus)”. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Bayu Febram Prasetyo, SSi,Apt.MSi selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. drh. Muchidin Noordin selaku dosen pembimbing Akademik yang senantiasa membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 4. Bapak, Ibu, dan seluruh anggota keluarga atas do’a, limpahan kasih sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi. 5. Seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi dan Farmasi FKH IPB atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini. 6. R. Enen Rosi Manggung atas dorongan, do’a, dukungan, dan kesabarannya menghadapi penulis selama ini. 7. Jeff n Bdull sebagai homemate selama penulis hidup di Bogor. 8. Rekan-rekan FKH’41 (Asteroidea) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi dunia kedokteran hewan Indonesia. Bogor, September 2008
Gugi Argamula
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1985 dari pasangan Bapak H. Edien Munajat dan Ibu Hj. Maesaroh, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Citarip Barat V Bandung pada tahun 1998 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SLTPN 3 Bandung pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 8 Bandung dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam berbagai kegiatan, diantaranya menjadi ketua Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2006-2007 dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor komisariat Fakultas Kedokteran Hewan.
DAFTAR ISI HALAMAN DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xiv
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................
2
1.3 Hipotesa Penelitian .....................................................................
3
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................
3
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Pisang ............................................................
4
2.2 Taksonomi ..................................................................................
4
2.3 Manfaat Pohon Pisang ................................................................
6
2.4 Biologi Mencit..............................................................................
8
2.5 Kulit .............................................................................................
10
2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka..... ... .................................
12
2.6.1 Jenis-Jenis Luka...........................................................
13
2.6.2 Proses Persembuhan Luka.........................................
15
2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka................................
20
2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka...................................
21
2.7 Salep . .................. .......................................................................
22
2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat............................................................
24
III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian......................................................
26
3.2 Identifikasi Tanaman ...................................................................
26
3.3 Alat dan Bahan ...........................................................................
26
3.3.1 Hewan Percobaan .......................................................
26
3.3.2 Bahan ..........................................................................
27
3.3.3 Alat ..............................................................................
27
3.4 Pembuatan Sediaan Salep.............................................................
27
3.5 Metodelogi Penelitian ..................................................................
28
3.5.1 Perlakuan pada Mencit ................................................
28
3.5.2 Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ............................
28
3.5.3 Pengambilan Kulit .......................................................
29
3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi ..............................
29
3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP) ..................................
30
3.5.6 Kriteria Skoring ............................................................
31
3.6 Analisa Data................................................................................
31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ...................................
32
4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi (HP) .........................................
40
4.2.1 Nutrofil .........................................................................
40
4.2.2 Makrofag .....................................................................
43
4.2.3 Limfosit ........................................................................
45
4.2.4 Neokapiler ...................................................................
48
4.2.5 Re-epitelisasi ..............................................................
51
4.2.6 Fibroblas (Jaringan Ikat) ..............................................
57
V KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................
61
VI DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
62
LAMPIRAN ...................................................................................................
66
DAFTAR TABEL Halaman 1 Deskripsi skor jaringan ikat (fibroblas). .......................................................
31
2 Perbandingan patologi anatomi (PA) ..........................................................
32
3 Rataan jumlah sel radang neutrofil .............................................................
40
4 Rataan jumlah sel radang makrofag ...........................................................
43
5 Rataan jumlah sel radang limfosit ..............................................................
46
6 Rataan jumlah neokapiler...........................................................................
49
7 Rataan persentase re-epitelisasi ................................................................
52
8 Perbandingan ketebalan jaringan ikat ........................................................
57
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pohon pisang Ambon ...........................................................................
6
2 Mus musculus ......................................................................................
9
3 Histologi kulit ........................................................................................
10
4 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-3 ............................
38
5 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-5 ............................
38
6 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-7 ............................
38
7 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-14 ..........................
39
8 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-21 ..........................
39
9 Grafik jumlah sel radang neutrofil .........................................................
41
10 Gambar sel radang neutrofil .................................................................
42
11 Grafik jumlah sel radang makrofag .......................................................
44
12 Gambar sel radang makrofag ...............................................................
45
13 Grafik jumlah sel radang limfosit...........................................................
47
14 Gambar sel radang limfosit...................................................................
48
15 Grafik jumlah neokapiler .......................................................................
50
16 Gambar neokapiler ...............................................................................
51
17 Grafik persentase re-epitelisasi ............................................................
54
18 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-3.........................
55
19 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-5.........................
55
20 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-7.........................
55
21 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-14 .......................
56
22 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-21 .......................
56
23 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-3 ...........................
59
24 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-5 ...........................
59
25 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-7 ...........................
59
26 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-14 .........................
60
27 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-21 .........................
60
xiii
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan obat tradisional baik yang berasal dari hewan maupun dari tumbuhan banyak digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan sejak zaman nenek moyang kita dulu. Pengobatan dengan obat tradisional tersebut merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di bidang kesehatan. Konsumsi beraneka jenis
obat
tertentu menurut
Mursito (2002)
mempunyai tujuan, mulai dari upaya pencegahan (preventif), mempertahankan atau meningkatkan kesehatan tubuh (promotif), dan melakukan pengobatan guna penyembuhan suatu penyakit (kuratif), untuk keperluan tersebut masyarakat memiliki berbagai pilihan cara pengobatan. Bahan obat tradisional biasanya digunakan berdasarkan pengalaman empiris. Salah satu bahan tradisional yang digunakan untuk pengobatan adalah pohon pisang yang memiliki berbagai manfaat, bahkan setiap bagiannya memiliki manfaat yang berbeda, salah satunya adalah getah batang pohon pisang yang dapat digunakan sebagai obat persembuhan luka (Versteegh 1988). Pisang umumnya merupakan tanaman pekarangan, walaupun diberbagai daerah sudah dibudidayakan untuk diambil buahnya. Pisang merupakan tanaman yang berbuah hanya sekali, kemudian mati. Pohon pisang selalu beregenerasi sebelum berbuah melauli tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang banyak mengandung humus memungkinkan pisang tersebar luas di Indonesia. Pisang tidak mengenal musim panen. Pohon ini dapat berbuah kapan saja (Dalimartha 2005). Ketersediaan pohon pisang yang melimpah pasca panen di Indonesia tidak didukung dengan pengembangan obat luka dari tanaman untuk kepentingan
komersial.
Permasalahan-permasalahan
diatas
menjadi
pertimbangan untuk mengembangkan obat persembuhan luka dari getah batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum)
karena
memiliki
prospek yang sangat baik dalam pemanfaatannya dan pengembangnya menjadi produk yang praktis siap pakai, dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Beberapa pengujian secara ilmiah mengenai khasiat dari pohon pisang untuk persembuhan luka pernah dilaporkan. Salah satunya yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Listyanti (2006), bahwa getah batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var. sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam bentuk sediaan segar, pada proses persembuhan luka menggunakan hewan coba mencit memperlihatkan hasil yang memuaskan. Selain mempercepat persembuhan luka, secara histologik juga memberikan efek kosmetik dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getahnya sekaligus mempercepat proses re-epitelisasi jaringan
epidermis,
pembentukan
buluh
darah
baru
(neokapilarisasi),
pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah luka. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka penggunaan getah batang pohon pisang sebagai obat persembuhan luka memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi sediaan farmasi. Salah satunya adalah dalam bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang Ambon yang diaplikasikan secara topikal, kemudian diuji kembali aktifitasnya terhadap persembuhan luka pada mencit. Penggunaan ekstrak batang pohon pisang ambon dalam sediaan salep belum pernah diujicobakan sebelumnya. Sediaan salep ekstrak didalam penelitian ini diuji dengan kontrol positif sebagai pembanding yaitu obat luka komersial yang juga berbentuk salep. Salep dipilih sebagai bentuk sediaan karena stabilitasnya baik, berupa sediaan halus, mudah digunakan, mampu menjaga kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit dan mempunyai tampilan yang lebih menarik (Ansel 1989). I.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sediaan topikal dalam bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang ambon terhadap proses persembuhan luka pada kulit mencit melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi dan membandingkannya dengan sediaan salep komersil yang beredar di masyarakat.
2
1.3 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H0 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon tidak mempercepat proses persembuhan luka. H1 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penggunaan ekstrak getah batang pohon pisang ambon dalam bentuk sediaan salep yang lebih praktis digunakan dalam proses persembuhan luka. Bentuk sediaan salep dari ekstrak getah batang pohon pisang ambon ini diharapkan mampu bersaing dengan obat-obatan komersil yang telah beredar tetapi harganya lebih murah sehingga masih terjangkau oleh masyarakat umum.
3
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Pisang Kata pisang dalam bahasa arab yaitu maus, yang oleh Linneus dimasukkan ke dalam keluarga musaceae. Dalam bahasa latin pisang disebut Musa paradisiacal. Menurut catatan sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara. Penyebar agama Islam lalu menyebarkan buah ini ke Afrika Barat, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Selanjutnya, pisang tersebar ke seluruh dunia meliputi daerah tropis dan subtropis (Anonimus 2008). Menurut Munadjim (1983) nama latin dari tanaman pisang adalah Musa paradisiaca. Nama Musa diambil dari nama seorang dokter asal Romawi yang bernama Antonius Musa. Pada masa tersebut, Antonius Musa selalu menganjurkan pada kaisar untuk selalu makan pisang agar tetap kuat dan sehat. Nama ini telah didapat sejak sebelum Masehi. Pisang merupakan tanaman asli dari daerah Asia Tenggara. Pisang disebarkan oleh para penyebar agama Islam di daerah Laut Tengah, dari Afrika Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Pasifik sampai ke Hawaii. Sampai di Barat melalui Samudra Atlantik, oleh karenanya sekarang pisang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia (Satuhu dan Supriyadi 1999). Tumbuhan pisang menyukai daerah alam terbuka yang cukup sinar matahari, cocok tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 meter lebih diatas permukaan laut. Tanaman pisang merupakan tumbuhan yang tidak memiliki batang sejati. Batang pohonnya terbentuk dari perkembangan dan pertumbuhan pelepah pelepah yang mengelilingi poros lunak panjang. Batang pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang tersembunyi di dalam tanah (Cox 1994). Pisang dikenal dengan nama lokal Cau, Gedang (Jawa), Galuh, Gaol, Puntik, Pusi (Sumatera), Harias, Peti (Kalimantan), Tagin, See, Pepe, Uti (Sulawesi), Nando, Pipi, Mayu (Irian), dalam bahasa Inggris pisang dikenal dengan nama banana (Dalimartha 2005).
2.2 Taksonomi Menurut Satuhu dan Supriyadi (1999), secara garis besar jenis-jenis pisang dikelompokan menjadi tiga jenis yakni pertama, pisang serat (Noe. Musa
4
texstiles) yaitu pisang yang tidak diambil buahnya tetapi hanya diambil seratnya saja. Kedua, pisang hias (Heliconia indica Lamk), pisang ini sama dengan pisang serat yakni tidak diambil buahnya, tetapi pisang ini hanya dijadikan hiasan di muka
rumah.
Biasanya
pisang
ini
diperbanyak
dengan
menggunakan
anakannya. Jenis yang ketiga adalah pisang buah (Musa paradisiaca), pisang jenis ini banyak ditemukan. Buah pisang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pisang buah meja adalah Musa sapientum (banana), karena lebih enak dimakan segar, misalnya pisang ambon, ambon lumut, raja, raja sereh, mas, susu, dan barangan. Kelompok berikutnya pisang yang enak dimakan setelah diolah terlebih dahulu adalah Musa paradisiaca (plantain), misalnya pisang tanduk, oli, nangka, kapas, batu, dan kepok (Dalimartha 2005). Sistem klasifikasi pisang ambon menurut menurut Tjitrosoepomo (1994) sebagai berikut : Kingdom
:
Plant
Phylum
:
Angiospermae
Kelas
:
Monocotyledoneae
Ordo
:
Zingiberales
Genus
:
Musa
Spesies
:
Musa paradisiaca
Varietas
:
Sapientum
Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran di bawah tanah. Batangnya pun berada di dalam tanah sedangkan batang di atas permukaan tanah merupakan batang semu yang terdiri dari kumpulan seludang daun yang saling membungkus rapat. Daun berkembang dari bagian tengah batang semu dalam keadaan tergulung rapat sewaktu muncul dan akan berkembang sampai ukuran yang maksimum. Akar dan tunas-tunas samping keluar dari bonggol, sehingga tunas-tunas inilah yang akan tumbuh ke atas membentuk batang semu. Tunas-tunas inilah yang sering disebut anakan. Perbanyakan tanaman dilakukan dengan anakan (Ernawati et al 1994). Menurut Dalimartha (2005) satu pohon pisang bisa menghasilkan 1 sampai dengan 17 sisir setiap tandan atau 4 sampai dengan 40kg per tandan. Jumlah dan berat pisang tergantung pada jenisnya. Selanjutnya gambar pohon pisang disajikan pada Gambar 1.
5
Gambar 1 Pohon pisang ambon. Pisang tumbuh dan berkembang subur pada daerah tropis (300 LU – 300 LS) dengan suhu 270 – 300 C.
Curah hujan antara 1400 – 2450 mm per tahun
dengan penyebaran yang merata.
Sedangkan pada daerah dengan musim
kering yang panjang tanaman pisang memerlukan pengairan (Purwanto dan Sujiprihati 1985).
2.3 Manfaat Pohon Pisang Pisang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan buahbuahan yang lainnya. Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap buah pisang matang adalah kalori 99 kal, protein 1.2 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 25.8 mg, serat 0.7 g, kalsium 8 mg, fosfor 28 mg, besi 0.5 g, Vitamin A 44 RE, Vitamin B 0.08 mg, Vitamin C 3 mg, dan air 72 g. Buah pisang mengandung tiga jenis gula alami, yaitu sukrosa, fruktosa, dan glukosa, yang dikombinasikan dengan serat, akan menghasilkan energi yang cukup banyak (Departemen Kesehatan 1989). Manfaat lain dari buah pisang, adalah untuk kesehatan, antara lain untuk menyembuhkan penyakit usus. Pisang juga bermanfaat bagi penderita diabetes. Pisang juga bisa menyembuhkan anemia, menurunkan tekanan darah, memacu tenaga untuk berfikir, kaya serat, membantu sistem syaraf, membantu perokok menghilangkan pengaruh nikotin, mengatasi stres, mencegah stroke, mengontrol temperatur badan, dan menetralkan asam lambung. Kulit pisang dapat digunakan sebagai krim antinyamuk ( Sangat et al 2000).
6
Menurut Listyanti (2006) getah batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam bentuk sediaan segar, bermanfaat dalam mempercepat proses persembuhan luka dan memberikan efek estetika dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getahnya sekaligus mempercepat re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah luka. Khususnya dalam proses persembuhan luka, getah batang pohon pisang dapat dijadikan penghilang rasa sakit dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit. Getah batang pohon pisang mengandung saponin, antrakuinon dan kuinon sebagai antimikrobial. Sedangkan lignin, membantu peresapan senyawa pada kulit sehingga dapat digunakan untuk mengobati luka memar, luka bakar, bekas gigitan serangga dan sebagai anti radang (Djulkarnain 1998). Menurut Priosoeryanto et al (2006), ekstrak batang pohon pisang ambon mengandung tanin, saponin dan flavonoid yang dapat berguna sebagai antimikrobial dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka.
Ekstrak
batang pohon pisang ambon mampu untuk mengobati luka pada kulit karena kandungan bahan aktifnya mampu meningkatkan aliran darah ke daerah luka dan juga dapat menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk persembuhan luka. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang merupakan satu golongan fenol alam yang terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, aseton,dan sebagainya. Flavonoid umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida yang larut air, sehingga pelarut air sangat baik untuk glikosida. Flavonoid mempunyai respon biologi secara alami karena mempunyai kemampuan bereaksi dengan komponen lainnya seperti allergen, virus dan karsinogen sehingga flavonioid dapat berfungsi sebagai anti alergi, antikanker dan anti inflamasi (Markham 1988). Senyawa flavonoid mempunyai efek biologis yang sangat kuat sebagai antioksidan, merangsang produksi oksidasi nitrit yang dapat melebarkan pembuluh darah. Flavonoid juga dapat meningkatkan aliran darah ke otak sehingga berperan dalam memperbaiki kerusakan pembuluh darah dan bermanfaat bagi kesehatan jantung. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne 1987).
7
Efek utama dari tanin yaitu sebagai adstringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam segi kosmetik. Kandungan zat aktif tanin menurut batasannya dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut air. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma sehingga berada diantaranya, tetapi bila pada jaringan rusak, misalnya dalam kondisi termakan oleh hewan, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak memiliki tanin dihindari oleh hewan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987). Senyawa yang juga terkandung dalam Ekstrak batang pohon pisang Ambon adalah saponin. Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas membentuk busa. Saponin terdiri atas agligen polisiklik yang disebut sapogenin dan gula sebagai glikon. Sapogenin dapat diuraikan kembali dari struktur kimia ikatan hidrogennya menjadi dua bentuk, yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya saponin dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit. Bila saponin dicampur dengan air akan membentuk busa stabil (Cheek 2005).
2.4 Biologi Mencit Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit laboratorium yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain DDY, dimana telah dikembangkan secara inbred dengan gen-gen yang homozigot (Penn dalam Handayani 2006). Hewan ini dinilai cukup efisien ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memilki anak per kelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta memiliki siklus estrus yang pendek (Malole dan Pramono 1989). Sistem taksonomi mencit menurut Malole dan Pramono (1989) adalah :
Kingdom
:
Animalia
Filum
:
Chordata
Subfilum
:
Vertebrata
Kelas
:
Mamalia
Ordo
:
Rodentia
Famili
:
Muridae
8
Subfamili
:
Murinae
Genus
:
Mus
Spesies
:
Mus musculus
Sub Spesies
:
Mus musculus albinus
Menurut Smith dan Mankoewidjojo (1988) pemberian makanan pada mencit yaitu dalam bentuk pelet komersial tanpa batas (ad libitum) yang diletakkan di bagian penutup dari kotak kandang yang telah disiapkan dimana penutup ini melekuk miring cukup dalam ke dalam kotak sehingga mencit yang baru disapih dengan mudah dapat mencapai pakan. Gambar hewan percobaan mencit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Mus musculus albinus di laboratorium sebagai hewan percobaan. Pemberian pakan pada mencit dibutuhkan protein berkadar di atas 14%. Setiap harinya mencit membutuhkan 15 gram makanan dan 15 ml air per 100 gram berat badan. Tingkat konsumsi makan dan minum mencit bervariasi, ditentukan berdasarkan keadaan kandang, kelembaban, kualitas pakan, kesehatan dan kadar air dalam pakan tersebut (Malole dan Pramono1989). Menurut Suhana (1994) sifat biologis mencit cukup mendukung sebagai hewan percobaan dengan lama hidup 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun. Mencit mencapai umur dewasa sekitar 35 hari dengan berat 20-40 gram jantan, 18-35 gram betina. Suhu tubuh normal mencit 35-39 oC dengan rata-rata 37,4 oC frekuensi napas 140-180/menit dan frekuensi denyut jantung 600-650/menit. Volume darah mencit 75-80 ml/kg dengan jumlah sel darah merah 7,7-12,5 x 106/mm3 sedangkan jumlah sel darah putih adalah 6,0-12, x 106/mm3 dengan rincian neutrofil 12-30%, limfosit 55-85%, monosit 1-12%, eosinofil 0,2-4%, basofil 0.03%.
9
Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 20-25° C. Mencit dapat dipelihara dengan baik pada temperatur 70- 80° F. Kelembaban ruang tersebut berkisar 45-55% (Robinson 1972).
2.5 Kulit Kulit merupakan bagian terluas dari bagian tubuh, berfungsi sebagai pelindung tubuh: terhadap bahaya fisik dan bahan kimia. Kulit dapat bertindak sebagai thermoregulator, mampu melakukan proses persembuhan dengan cepat, menggambarkan kondisi kesehatan tubuh yang bersangkutan, memiliki kemampuan antimikrobial dan menyimpan cadangan elektrolit (Smith dan Jones 1962). Kulit berfungsi sebagai pelindung jaringan, pencegah terjadinya pengeringan berlebihan, bertindak sebagai pengatur panas tubuh, ekskresi dan bertindak sebagai
alat
pengindera
dengan
reseptor
tekan,
suhu
dan
nyeri
(Mutschler 1991). Menurut Smith dan Jones (1962), kulit terdiri dari lapisan-lapisan yang berbeda bentuk dan fungsi. Lapisan utama kulit ada 3 bagian, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan hipodermis. Selanjutnya gambar kulit disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Histologi kulit manusia (Somantri 2007)
10
Epidermis merupakan lapisan epitel dari kulit. Lapisan epidermis yang terluar adalah stratum korneum atau lapisan tanduk yang terdiri dari sel-sel pipih banyak lapis dan mengandung banyak keratin. Kemudian dibawahnya terdapat stratum lusidum lapisan ini terdiri dari dua atau tiga lapis dari sel, mengandung eleidin yang berasal dari butir keratohyalin yang tidak terpecah yang berada di bagian bawah lapisan penghubung. Lapisan ini menutup lapisan lainnya yaitu stratum granulosum atau lapisan granula yang terbentuk dari dua sampai lima baris sel epitel yang berbentuk rhomboid dan mempunyai sitoplasma yang berwarna gelap karena mengandung granula basofilik keratohyalin. Lapis selanjutnya adalah stratum spinosum/stratum germinativum atau lapisan malphigi, terbentuk dari sel silindris banyak baris. Pada bagian terbawah stratum ini terdapat lapisan basal yang terdiri dari sel kubus dan terdapat pigmen melanin dimana bagian basal dari sel ini terikat pada membran basal oleh hemidesmosom (Smith dan Jones 1962). Lapisan dermis terletak dibawah epidermis, lapisan ini terbentuk dari jaringan yang kaya akan kolagen dan sel elastis yang membuat kulit menjadi kuat dan elastis. Dermis terdiri dari lapisan papilari dan lapisan retikuler. Lapisan paling atas dari dermis terbentuk dari jaringan ikat dengan diantaranya terdapat jaringan elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik sedangkan di bagian terbawah terdiri dari lapisan retikuler yang membuat menjadi tebal dan terutama mengandung jaringan kolagen yang membantu penyebaran serabut elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik dan adnexa dari epidermis. Adnexa mengandung struktur khusus yang berasal dari epidermis, ini merupakan bagian penting dari dermis tapi dalam situasi tertentu dapat meluas ke bagian subkutis. Pada adnexa dapat ditemukan kelenjar keringat, kelenjar apokrin, kelenjar minyak, folikel rambut dan kelenjar khusus seperti kelenjar air mata. Hampir 90 % dari serabut dermis adalah serabut kolagen. Serabut ini memiliki kekuatan yang luar biasa terhadap tekanan. Serabut elastik terdiri dari serabut tunggal dan memiliki daya elastisitas yang hebat (Muller 1976). Sel-sel yang menyusun lapisan dermis terdiri dari sel fibroblast, sel mast, dan histiosit. Fibroblast merupakan tipe sel tetap jaringan ikat longgar yang paling banyak jumlahnya (Dellmann dan Brown 1988). Fibroblast aktif terdapat pada hewan muda dan pada jaringan ikat yang beregenerasi akibat luka. Sel ini memproduksi tropokolagen fibril yang merupakan prekursor dari serabut kolagen dan
banyak
ditemukan
di
dekat
bagian
permukaan
serabut
kolagen
11
(Muller 1976). Sel mast berperan dalam respon terhadap perlukaan pada kulit dan terdapat di hampir seluruh bagian jaringan ikat, terutama dekat pembuluh darah. Sel ini memiliki butir sekreta yang mengandung heparin, histamin, serta pada tikus dan mencit menghasilkan serotonin. Heparin merupakan suatu antikoagulan, histamine bertindak sebagai mediator inflamasi, dan serotonin menyebabkan vasokonstriksi vena (Dellmann dan Brown 1988). Histiosit adalah sel tipe limfoid yang sudah dewasa dan mempunyai fungsi untuk membentuk serabut retikuler serta memiliki kemampuan memfagosit bakteri maupun partikel asing. Sel ini juga dapat bermigrasi menuju target yang akan difagositnya. Histiosit yang mengandung material yang terfagosit disebut sebagai makrofag (Muller 1976). Lapisan ketiga
setelah
epidermis
dan
dermis
adalah
hipodermis.
Hipodermis biasanya tidak selalu disebut bagian dari kulit. Lapisan ini berada di bawah kulit dan mengandung banyak jaringan ikat, syaraf dan pembuluh darah yang menuju dermis. Karakteristik dari lapisan hipodermis adalah banyaknya jaringan lemak yang disebut sebagai panniculus adipose.
2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang, baik kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membrane, dan tulang atau organ tubuh lain (Somantri 2007). Menurut Kaplan
dan Hentz (1992), ketika luka timbul, beberapa efek
akan muncul, yaitu: hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian sel. Mekanisme terjadinya luka : 1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat. 2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. 3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
12
4.
Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. 6.
Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7. Luka Bakar (Combustio) 2.6.1 Jenis-Jenis Luka Menurut
Zachary
(1990),
luka
sering
digambarkan
berdasarkan
bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka. Jenis-jenis luka dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu: 1. Berdasarkan tingkat Kontaminasi terhadap luka : a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tidak terinfeksi sehingga tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%. c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%. d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
13
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi : a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superfisial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal. c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. 3. Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi : a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan jadi meskipun tanpa pengobatan proses persembuhan luka akan tetap terjadi sampai kondisi normal kembali. b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, upaya untuk melindungi area luka terbebas dari kotoran dengan selalu menjaga kebersihan sangat membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Somantri 2007). Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka yaitu: (1) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara sistemik pada trauma, (4) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5) Keutuhan kulit dan
14
mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri. 2.6.2 Proses Persembuhan Luka Persembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dengan melibatkan banyak sel. Fase persembuhan luka digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan. Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase persembuhan luka yaitu: fase peradangan (Inflamasi), fase perbanyakan sel (proliferasi) dan fase maturasi (Somantri 2007). a. Fase Inflamasi Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 7 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Platelet akan menutupi vaskuler yang
terbuka
dan
juga
mengeluarkan
substansi
vasokonstriksi
yang
mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilatator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin tersimpan dalam granul pada sel mast, basofil, dan platelet. Pelepasan senyawa ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti trauma atau dingin, reaksi imunologik, suatu fraksi dari komplemen yang disebut sebagai anaphilatoxins, dan adanya histamin-releasing factor yang dikeluarkan oleh
neutrofil (Vegad 1995).
Histamin
juga
menyebabkan peningkatan
permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati
membantu
hemostasis
dan
mencegah
kontaminasi
luka
oleh
15
mikroorganisme. Dibawah scab sel epitel berpindah dari luka ke tepi. Se epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh darah dan respon seluler yang berfungsi untuk mengeliminasi benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan nutrisi yang diperlukan pada proses persembuhan. Sehingga pada daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah neutrofil, makrofag dan limfosit. 1. Neutrofil Neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear (PMN), berdiameter 14-20 µm. Mempunyai bentuk sel bulat atau oval, sitoplasma berwarna merah muda, warna merah muda ini berasal dari granul sitoplasma yang bersifat neutrofilik dan sedikit azorofil. Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang belakang. Pelepasan neutrofil dipengaruhi oleh Neutrophil Releasing Factor (NRF). Neutrofil memiliki masa hidup yang relatif singkat. Di dalam sirkulasi neutrofil dapat bertahan selama 4-6 hari. Neutrofil segera akan mati setelah melakukan fagosit terhadap benda asing yang masuk dan akan dicerna oleh enzim lisosom, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepas zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman dan Brown 1992). Fungsi utama dari neutrofil adalah fagositosis dan mikrobisidal. Neutrofil merupakan sel leukosit yang pertama berespon terhadap adanya benda asing yang ada pada luka, cara kerja neutrofil dalam memberikan respon imun adalah dengan menggunakan enzim lisosom yang dapat mencerna beberapa dinding sel bakteri, enzim proteolitik, ribonuklease, dan fosfolipase secara bersama yang dapat menghancurkan beberapa bakteri (Tizard 1982). Proses fagositosis ini kemudian dibantu oleh monosit yang mengalami tranformasi ketika sel ini memasuki jaringan ikat dan menjadi sel-sel fagositik yang besar yang disebut
16
sebagai makrofag jaringan. Semua proses ini merupakan metode pertahanan tubuh yang bersifat non-spesifik. 2. Makrofag Monosit yang ada di dalam jaringan dinamakan makrofag. Makrofag merupakan sel yang sangat aktif pada saat terjadinya perlukaan. Makrofag dapat bersatu dan membentuk sel raksasa yang dinamakan giant cell dengan tujuan dapat memfagositosis antigen yang berukuran lebih besar (Martini et al 1992). Makrofag mempunyai kemapuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil yang lain, bahkan mampu memfagosit 100 bakteri (Guyton 1996). Menurut
Vegad
(1995),
selain
memfagosit,
makrofag
juga
aktif
melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaskan makrofag yaitu : •
Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan protein pengkoagulasi
•
Platelet activating factor (PAF)
•
Faktor-faktor kemotaktik
•
Sitokin
•
Faktor-faktor pertumbuhan, seperti platelet-derived growth factor (PDGF) fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor
(EGF), dan
transforming growth factor-β (TGF-β). Faktor-faktor ini mempengaruhi proliferasi fibroblast dan pembuluh darah. Makrofag
juga
mengeluarkan
faktor
angiogenesis
(AGF)
yang
merangsang pembentukan ujung endotel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan. Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4. 3. Limfosit Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah dominan. Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti Peyer’s patches, limpa, tonsil, timus dan bursa Fabricius (Melvin dan William 1993). Fungsi utama limfosit di dalam tubuh adalah berperan dalam sistim kekebalan tubuh. Limfosit akan memproduksi antibodi sebagai respon terhadap antigen yang masuk di bawa oleh makrofag (Tizard 1982). Di dalam darah, limfosit terbagi atas 3 tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel non T, non B yang disebut
17
sel null. Sel tipe B terdapat 10-12% dari keseluruhan limfosit. Sel B berperan dalam humoral imun respon. Sel T mempunyai jumlah yang lebih dominan yaitu 70-75%
dari
jumlah
limfosit
dan
berperan
dalam
immunitas
seluler
(Ganong 1997). Menurut Dellman dan Brown (1987), limfosit T terbagi atas 3 jenis, yaitu limfosit T-killer (cytotoxic/CTLs), limfosit T-helper (Th cell), limfosit Tsupresor (Ts cells). Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan hanya memiliki kemampuan untuk melakukan kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya.
Beberapa limfokin
yang dilepaskan limfosit berpengaruh terhadap agregasi makrofag dalam proses persembuhan luka (Banks dalam Handayani 2006). b. Fase Proliferasi Menurut Somantri (2007), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Secara garis besar proses yang terjadi pada fase ini meliputi, re-epitelisasi, fibroplasia, kontraksi luka, dan neovaskularisasi. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Fase kedua ini berlangsung dari hari ke 4 hingga hari ke-21 pasca perlukaan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru (Shukla et al 1998). Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan C, dan asam amino pada jaringan kollagen. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga
18
kecil kemungkinan luka terbuka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”
ditandai dengan adanya
pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah. Pada saat itu lapisan persembuhan tampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan platelet. c. Fase Maturasi Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir hingga kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah : menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke10 setelah perlukaan. Kolagen yang ditimbun dalam luka diubah, membuat penyembuhan luka lebih kuat dan lebih mirip jaringan. Kolagen baru menyatu, menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas luka menjadi rata, tipis dan garis putih. Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
19
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai penyakit sistemik (diabetes melitus).
2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka Menurut
Somantri
(2007),
ada
beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi persembuhan luka, baik secara endogen ataupun eksogen. Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Usia Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. 2. Nutrisi Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat. 3. Infeksi Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi. 4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. 5. Hematoma
20
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. 6. Benda asing Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah. 7. Iskemia Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri. 8. Diabetes Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh. 9. Keadaan Luka Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu. 10. Obat Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka. a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab
kontaminasi
yang
spesifik.
Jika
diberikan
setelah
luka
pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular. 2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan dan keloid.
21
1. Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih. 2. Perdarahan Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan. 3. Keloid Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang. 2.7 SALEP Salep adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Pemakaian salep adalah untuk daerah topikal yang diperuntukan sebagai protektan, antiseptik, emolien, antipruritik, keratolitik, dan astringensia. Pemilihan dasar salep yang tepat sangat penting untuk efektivitas fungsi yang diinginkan. Untuk salep yang berfungsi sebagai protektan, maka dasar salep harus bersifat melindungi kulit dari kelembaban, udara, sinar matahari, dan faktor eksternal lainnya. Salep antiseptik digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Seringkali infeksi oleh bakteri terjadi jauh di dalam lapisan kulit, sehingga dasar salep untuk pembuatan salep antiseptik harus memiliki kemampuan untuk meresap ke dalam kulit dan melepaskan bahan aktif yang berfungsi sebagai obat (Hezmela 2006). Salep adalah gel dengan perubahan bentuk plastis yang ditentukan untuk penerapan pada kulit sehat, sakit atau terluka, atau pada selaput lendir (hidung, mata). Voigt (1994) menyatakan, salep pada pokoknya berlaku untuk terapi lokal, salep biasanya mengandung obat-obatan yang dipakai di luar tubuh dan memiliki
22
konsistensi yang kuat, yang apabila dioleskan pada kulit akan melunak dan membentuk lapisan di atas kulit. Proporsi bahan dalam sediaan salep dapat berubah-ubah untuk mempertahankan konsistensi, sedangkan proporsi bahan aktif di dalamnya tidak berubah. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang sesuai. Pemerian salep tidak boleh berbau tengik. Salep yang mengandung obat keras atau obat narkotika, kadar bahan obatnya adalah 10%. Respon klinik yang akan timbul ketika kita memakai suatu sediaan salep pada kulit yang sakit terdiri dari tiga proses, yaitu: (1) pelepasan obat dari pembawa, diikuti oleh (2) penetrasinya melalui barier kulit dan (3) pengaktifan respon Farmakologis yang diinginkan (Departemen Pertanian 2001). Menurut Ansel (1989), salep dapat mengandung obat baik dalam keadaan tersuspensi, terlarut atau teremulsi,. Salep juga bisa tidak mengandung obat. Salep yang tidak mengandung obat disebut sebagai salep dasar (basis ointment) dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat. Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar, yaitu: (1) dasar salep hidrokarbon, (2) dasar salep absorbsi, (3) dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan (4) dasar salep larut dalam air. Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung pada beberapa faktor penting, antara lain: a. laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep, b. keinginan peningkatan oleh dasar salep absorpsi perkutan dari obat, c. kelayakan melindungi lembap dari kulit oleh dasar salep, d. jangka lama atau pendeknya obat stabil dalam dasar salep, dan e. pengaruh obat bila ada terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar salep. Semua faktor-faktor ini dan lain-lainnya harus ditimbang satu terhadap lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik (Ansel 1989). Berdasarkan distribusi bahan obat dalam medium penyangganya, maka salep dibedakan atas salep larutan, salep suspensi, dan salep emulsi. Salep larutan dan salep suspensi berbeda, tergantung pada sifat kelarutan dari bahan obat terlarut atau tersuspensi dalam dasar salep. Salep mengandung air dengan penambahan emulgator secara umum dinyatakan sebagai salep emulsi (Voight 1994).
23
Salep emulsi terdiri atas dua jenis, yaitu jenis minyak dalam air (o/w) dan jenis air dalam minyak (w/o). Dasar salep o/w memiliki keuntungan, yaitu dapat dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan kesan lengket yang tidak disukai. Lebih dapat diterima sebagai dasar sediaan kosmetika, dan umumnya cocok untuk sediaan salep obat. Dasar salep w/o memiliki keuntungan, yaitu stabilitas emulsinya yang tinggi (Voigt 1994). Menurut Ansel (1989), salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu pencampuran dan peleburan. Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama sampai sediaan yang homogen tercapai. Pencampuran dilakukan dalam sebuah lumpang dengan sebuah alu untuk menggerus bahan bersama-sama. Dalam metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan melebur bersama, dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponenkomponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen. Dalam skala kecil, peleburan dapat dilakukan pada cawan porselen atau gelas piala. 2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat Menurut Ansel (1989), obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar lemak, atau antara sel-sel tanduk. Cara penetrasi obat pada kulit yang utuh umumnya melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat, karena luas permukaan yang terakhir ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini. Selaput
yang
menutupi
lapisan
tanduk
umumnya
tidak
terus-menerus
melapisinya dan sebenarnya tidak mempunyai daya tahan terhadap penetrasi. Hal ini dikarenakan susunan dari bermacam-macam lapisan dengan proporsi lemak dan keringat yang diproduksi dan juga derajat daya lepasnya melalui pencucian serta penguapan keringat. Absorbsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi langsung obat melalui stratum corneum 10 sampai dengan 15 µm, tebal lapisan datar mengeringkan sebagian demi sebagian jaringan mati yang membentuk permukaan kulit paling luar. Sratum corneum terdiri dari kurang lebih 40% protein
24
(pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa perimbangannya terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak. Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum. Apabila molekul obat dapat malalui stratum corneum, maka dapat melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis. Apabila obat dapat mencapai lapisan pembuluh darah kulit, maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum (Ansel 1989). Menurut Ansel (1989), stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif ini tergantung pada konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisiensi partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit. Penetrasi lapisan ini dapat terjadi dengan cara difusi melalui : •
penetrasi transeluler (menyebrangi sel);
•
penetrasi intraseluler (didalam sel);
•
penetrasi transappendageal (melalui folikel rambut, keringat, kelenjar lemak, dan perlengkapan pilo sebaceaus).
25
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi dan Sub Bagian Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus 2007 hingga dengan bulan Mei 2008. 3.2 Identifikasi Tanaman Pohon pisang Ambon yang digunakan untuk penelitian ini dideterminasi terlebih dahulu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Biologi Bogor. Batang pohon pisang diambil dengan cara memotong batang pohon pisang secara miring dan kemudian dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan di udara terbuka. Untuk mendapatkan ekstrak batang pisang Ambon dilakukan prosedur soxhletasi dari simplisia kering menggunakan pelarut etanol 70% selama 4 jam, kemudian cairan ekstraksi dipekatkan menggunakan rotary evaporator. Cara yang digunakan untuk ekstraksi mengikuti prosedur yang dideskripsikan oleh Lee-Huang et al (1996). Batang pohon pisang Ambon yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak ± 3 batang. Berdasarkan uji pendahulu oleh Priosoeryanto et al (2006) diketahui kandungan bahan aktif diantaranya adalah, flavonoid,
tannin
persembuhan luka.
dan
saponin
yang
ketiganya
berpengaruh
terhadap
Metode yang digunakan yaitu skrining fitokimia metode
Harbone.
3.3 Alat dan Bahan 3.3.1
Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit
(Mus musculus albinus) strain DDY umur 4-6 minggu. Mencit dipelihara di dalam kandang individual dari plastik yang pada bagian atasnya diberi kawat kasa sebagai penutup sekaligus tempat pemberian pakan dan minum. Sebagai alas digunakan alas sekam yang berfungsi untuk menjaga suhu dan menyerap urine. Pakan yang diberikan yaitu pakan komersil berbentuk pellet dan minum secara ad libitum. Sekam pada kandang mencit diganti 3 hari sekali.
26
3.3.2
Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%,
sediaan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon, sediaan salep komersial, sediaan salep placebo, eter untuk euthanasia, larutan neutral buffer formalin 10% untuk fiksasi, kapas dan bahan-bahan untuk sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer’s Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi yang bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%), larutan Lithium Carbonat, akuades, asam asetat 1%, Schiff Reagent, air sulfit, larutan Mordant, larutan Carrazi’s Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%, larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, larutan Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin Blue dan parafin. 3.3.3 Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kotak plastik (beralaskan sekam) dan kawat untuk kandang mencit, anaerobic jar untuk anasthesi, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, skalpel), plastik. Peralatan untuk membuat sediaan salep seperti timbangan, kaca arloji, sendok kecil, kertas perkamen, cawan porselin, penangas air dan mortar. Peralatan untuk membuat sedian histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas penutup. Untuk pengamatan histopatologi digunakan mikroskop dan videomikrometer. 3.4 Pembuatan Sediaan Salep Sediaan salep dibuat berdasarkan komposisi sediaan yang dibuat oleh Wintarsih et al (2007) menggunakan parafin solid, cera alba, oleum coccos, vaseline album, dengan penambahan ekstrak batang pohon pisang. Dosis ekstrak berdasarkan kepada hasil pengujian penentuan dosis efektif yang memiliki hasil persembuhan terbaik, yaitu dosis C %. Besarnya konsentrasi yang diuji tidak disampaikan dalam skripsi ini karena mengingat memiliki keperluan untuk pengajuan paten. Pembuatan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon yaitu dengan teknik peleburan. Hal yang pertama dilakukan adalah seluruh bahan yang dibutuhkan ditimbang, ekstrak getah batang pohon pisang dimasukkan ke dalam mortar lalu tambah sebagian vaseline, lakukan homogenisasi kemudian disisihkan sebagai bahan aktif. Ke dalam cawan porselin yang berisi oleum cocos, masukkan parafin solid, cera alba, dan sisa vaseline. Cawan diletakkan di atas penangas air sampai lumer, diaduk homogen, lalu diangkat dan diaduk kembali sampai dingin
27
hingga terbentuk basis salep. Basis salep dicampur dengan bahan aktif diaduk perlahan sampai homogen, kemudian dimasukkan ke dalam pot plastik sebagai sediaan salep ekstrak. Pembuatan sediaan salep placebo menggunakan parafin solid, cera alba, oleum coccos dan vaseline album, hanya sampai tahap basis salep. Salep Betadine® mengandung bahan aktif Povidone Iodine sebagai zat anti mikrobial. Semua perlakuan dilakukan secara aseptis.
3.5 Metodologi Penelitian 3.5.1 Perlakuan pada Mencit Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok berjumlah 15 ekor, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok salep ekstrak. Ketiga kelompok tersebut masing-masing dibagi lagi menjadi 5 kelompok kecil yang satu kelompoknya berjumlah 3 ekor. Pembagian kelompok kecil ditentukan berdasarkan waktu pengamatan histopatologi dan pengambilan sempel kulit yaitu pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21. Sebelum perlukaan seluruh mencit diadaptasikan di kandang yang telah disiapkan. Seluruh mencit yang digunakan, disayat sepanjang 1-1,5 cm pada bagian punggungnya sejajar os. Vertebrae menggunakan skalpel yang steril. Sebelum penyayatan mencit dibius menggunakan eter dan rambut di sekitar daerah sayatan dicukur sampai licin dan kemudian dibersihkan dengan kapas beralkohol 70%. Mencit yang dilukai diberi salep sesuai dengan kelompoknya masingmasing. Pemberian salep dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian luka pada mencit perlakuan menggunakan kapas steril setiap hari, dari hari ke-1 hingga hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari. Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 mencit dieuthanasia dan dilakukan pengambilan sampel untuk pembuatan preparat histopatologi. 3.5.2 Pengamatan Patologi Anatomi (PA) Pengamatan secara patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai dari hari ke-1 hingga hari ke-21 setelah perlukaan pada semua mencit perlakuan dan mencit kontrol dan pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pengambilan sampel
28
kulit. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat langsung pada bagian luka. Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pemotretan pada luka dengan menggunakan kamera digital. Parameter yang diamati adalah adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka. 3.5.3
Pengambilan Kulit Pengambilan kulit dilakukan setelah mencit sebelumnya dieuthanasi
dengan menggunakan larutan eter dosis berlebih secara perinhalasi di dalam anaerobic jar. Daerah punggung yang akan diambil kulitnya dibersihkan dari bulu, kulit digunting dengan ketebalan ± 3 mm sampai dengan sub cutan dan sepanjang 1-1,5 cm2. Kulit yang diperoleh kemudian di fiksasi dengan larutan neutral buffer formalin 10% dibiarkan pada suhu kamar selama ± 48 jam. 3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi Sediaan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan neutral buffer formalin 10% lalu dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol
70%, 80%,
90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan menggunakan xylol I dan xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sedian diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin. Setelah mulai membeku,
parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak
penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras. Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut dibentngkan di atas air hangat yang bersuhu 460C dan langsung diangkat yang berguna untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 600 C sehingga dapat dilakukan pewarnaan umum Hematoxyllin Eosin (HE) dan pewarnaan khusus Masson Trichrome (MT) untuk melihat jaringan fibroblas. Pewarnaan HE dan MT lebih jelas disajikan pada Lampiran 1.
29
3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP) Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil pada hari ke 3, 5, 7, 14, dan 21. Parameter yang diamati pada pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (neutrofil makrofag,dan limfosit), jumlah neokapiler, persentase re-epitelisasi dengan preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE. Untuk mengamati ketebalan jaringan ikat (fibroblas) digunakan pewarnaan MT karena jaringan ikat yang berwarna biru akan terlihat kontras dengan jaringan lain sekitarnya. Pengamatan terhadap jumlah dan deferensiasi sel-sel radang serta jumlah neokapilerisasi menggunakan mikroskop Olympus BX51TF Japan, dengan pembesaran objektif 40X. Pemotretan dilakukan dengan video photo dalam 15 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450 µm2 dengan tiga kali pengulangan. Pengukuran panjang luka menggunakan video mikrometer FDR-A IV-560 dengan pembesaran empat kali. Untuk melihat ketebalan dan luasan jaringan ikat digunakan preparat yang menggunakan pewarnaan Masson Trichome. Presentasi reepitelisasi dan luas jaringan ikat diukur menggunakan video mikrometer JVC Japan, dengan pembesaran empat kali. Persentase re-epitelisasi menurut Low et al ( 2001) menggunakan rumus, yaitu:
Panjang luka dengan epitel baru % Re-epitelisasi :
x 100 % Panjang luka keseluruhan
Kepadatan jaringan ikat dilihat dari intensitas jaringan ikat (fibroblas) pada pewarnaan Masson Trichrome (MT) dan dilakukan skoring.
30
3.5.6
Kriteria Skoring Jaringan Ikat Histopatologi Skoring dilakukan dengan acuan yang disajikan pada Tabel 1 sebagai
berikut : Tabel 1 Deskripsi skor jaringan ikat atau fibroblas Skor
Keterangan
1
Jaringan ikat sedikit, jarang atau tidak kompak dan tersebar tidak merata. Luka masih dalam keadaan terbuka.
2
Jaringan ikat sedikit tetapi sudah mengumpul dibeberapa tempat. Luka terbuka atau tertutup.
3
Jaringan ikat sudah padat dan kompak. Luka sudah tertutup tetapi masih terdapat rongga.
4
Jaringan ikat padat dan kompak. Luka sudah menutup dan tidak terdapat rongga.
3.5 Analisis data Semua data kuantitatif diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang nyata (P< 0.05). Sedangkan hasil pengamatan patologi anatomi dan kepadatan jaringan ikat dianalisis secara deskriptif.
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA) Hasil pengamatan patologi anatomi terhadap proses persembuhan luka pada hewan coba mencit untuk kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, serta kelompok perlakuan dengan salep ekstrak batang pohon pisang ambon disajikan dalam tabel 2. Tabel disajikan berdasarkan parameter tertentu, yaitu: adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka. Tabel 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit antara mencit perlakuan salep placebo, salep komersil , dan salep ekstrak batang pohon pisang ambon Hari ke-
1
2
3
4
5
Kontrol negatif
Kontrol Positif
Salep Ekstrak
Luka terbuka, tepinya terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm
Luka terbuka, tepinya terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat sedikit gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka mulai mengering dan berwarna merah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,3 cm Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka mulai mengering dan berwarna merah pucat, tepi luka mulai mengering, panjang luka 1,2 cm Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka mulai mengering dan berwarna merah pucat, tepi luka mulai mengering, panjang luka 1,1 cm
Luka terbuka, tepinya terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah dan lembab, terdapat gumpalan darah berwarna hitam, panjang luka 1,3 cm Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah pucat dan lembab, tepi luka mulai mengering, panjang luka 1,2 cm
Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah dan basah, terdapat gumpalan darah, panjang luka 1,5 cm Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah dan lembab, tepi luka mulai mengering, panjang luka 1,3 cm Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka lembab dan berwarna merah pucat, tepi luka mulai mengering, panjang luka 1,2 cm
Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan melebar, tampak merah pucat dan mulai mengering namun terlihat lembab, tepi luka mulai mengering dan luka mulai menyempit, panjang luka 1 cm
32
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka mulai mengering dan berwarna merah pucat, tepi luka mulai mengering, panjang luka 1,1 cm
Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka sudah mengering, tepi luka mulai mengering, belum terbentuk keropeng, luka mulai menyempit, panjang luka 0,9 cm Luka sudah mengering dan pucat, mulai terbentuk keropeng tepinya mengering dan masih terbuka namun luka mulai menyempit, pan jang luka 0,8 cm Luka sudah mengering dan pucat. Sudah terdapat keropeng. Luka menyempit. Panjang luka 0,7 cm Luka sudah mengering. Sudah terdapat keropeng. Luka mulai menyempit, panjang luka 0,6 cm
Luka terbuka dan tepinya masih terpisah dan melebar, luka sudah mengering, tepi luka mulai mengering, dan mulai terbentuk keropeng, luka mulai menyempit, panjang luka 0,9 cm Luka sudah mengering, dan terbentuk keropeng tepinya mengeras, tampak kekuningan dan luka mulai menyempit, panjang luka 0,8 cm
Luka terbuka, tepinya masih terpisah dan tampak kekuningan dan mulai mengering namun terlihat lembab, tepi luka mulai mengering dan luka mulai menyempit, panjang luka 0,9 cm Luka sudah mengering, dan terbentuk keropeng, tepinya kering mengeras tampak pucat, dan luka mulai menyempit, panjang luka 0,8 cm
Luka sudah mengering, terbentuk keropeng tepinya mengeras, tampak kekuningan dan luka mulai menyempit, pan jang luka 0,7 cm Luka seluruhnya tertutup keropeng. Sebagian keropeng sudah ada yang terlepas, panjang luka 0,5 cm Luka seluruhnya sudah tertutup keropeng. Sebagian keropeng sudah ada yang terlepas, luka menyempit, panjang luka 0,3 cm
Luka sudah mengering, terbentuk keropeng, tepinya kering mengeras tampak pucat, dan luka mulai menyempit, panjang luka 0,7 cm Luka sebagian tertutup keropeng. Tepi luka semakin menyempit, panjang luka 0,5 cm
Luka sudah mengering dan menyempit. Seluruh luka ditutupi keropeng, panjang luka 0,5 cm
Luka sudah tertutup. Sebagian keropeng sudah mulai lepas. Panjang luka 0,2 cm
Luka sebagian tertutup. Sebagian keropeng mulai terkelupas, panjang luka 0,5 cm Luka sebagian tertutup. Sebagian keropeng sudah lepas. Panjang luka 0,3 cm
Luka sudah tertutup. Keropeng sudah lepas keseluruhan, panjang luka 0,1 cm Luka sudah tertutup, mulai ditumbuhi rambut. Bekas luka masih terlihat
Luka sudah tertutup. Keropeng sudah lepas sebagian, panjang luka 0,1 cm Luka sudah tertutup. Keropeng sudah lepas keseluruhan, namun bekas luka masih terlihat
Luka sudah tertutup. Mulai ditumbuhi rambut. Bekas luka masih terlihat Luka sudah tertutup Mulai ditumbuhi rambut. Bekas luka mulai tidak terlihat
Luka sebagian tertutup keropeng, sebagian keropeng sudah ada yang terlepas, Tepi luka semakin menyempit, panjang luka 0,2 cm Luka sudah tertutup. Keropeng sudah lepas keseluruhan. Namun bekas luka masih terlihat Luka sudah tertutup, keropeng sudah lepas keseluruhan, bekas luka masih terlihat Luka sudah tertutup, mulai di tumbuhi rambut. Bekas luka masih terlihat Luka sudah tertutup. Mulai ditumbuhi rambut. Bekas luka masih terlihat Luka sudah tertutup, mulai ditumbuhi rambut. Bekas luka masih terlihat
33
16
1721
Luka sudah tertutup. Mulai ditumbuhi rambut. Bekas luka masih terlihat Luka sudah tertutup. Sudah tertutup rambut. Bekas luka sudah tidak terlihat
Luka Sudah Bekas terlihat Luka Sudah Bekas terlihat
sudah tertutup. tertutup rambut. luka sudah tidak sudah tertutup. tertutup rambut. luka sudah tidak
Luka sudah tertutup. Sudah tertutup rambut. Bekas luka sudah tidak terlihat Luka sudah tertutup. Sudah tertutup rambut. Bekas luka sudah tidak terlihat
Hasil pengamatan patologi anatomi pada penelitian ini selaras dengan hasil pada penelitian terdahulu, dimana getah batang pohon pisang secara umum memberikan efek percepatan persembuhan luka akut pada mencit. Hasil pengamatan patologi anatomi pada ketiga kelompok perlakuan pada hari pertama hingga hari ke-3 tidak menunjukkan perbedaan, dimana luka dari ketiga kelompok masih sama-sama terbuka dan basah (Gambar 4). Luka yang diamati pada mencit menurut mekanisme terjadinya luka adalah luka insisi. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka termasuk kelompok luka stadium III, yaitu hilangnya kulit secara keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. Menurut waktu penyembuhannya luka yang diamati termasuk luka akut. Warna merah pada luka merupakan hasil dari suatu peradangan terhadap luka. Reaksi ini berupa vasokonstriksi dari pembuluh darah yang segera diikuti oleh vasodilatasi. Adanya gumpalan darah merupakan reaksi platelet yang teraktivasi dan protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan oleh pembuluh darah. Platelet akan teraktivasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang akan menghentikan hemoraghi dan akan terlihat berupa gumpalan darah. Gambaran makroskopis sampai hari ke-5 dari luka kelompok perlakuan dengan sediaan salep ekstrak batang pohon pisang terlihat lebih sempit jika dibandingkan dengan kontrol negatif (Gambar 5). Namun permukaan luka pada ketiga kelompok masih terlihat lembab, hal ini dipengaruhi oleh faktor pembawa dari sediaan salep, yaitu vaseline, parafin solid dan oleum coccos yang termasuk dalam kelompok dasar salep hidrokarbon. Dasar salep hidrokarbon adalah dasar bersifat lemak, bebas air, preparat yang berair mungkin dapat dicampur hanya dalam jumlah sedikit saja. Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien. Dasar salep tersebut tertahan pada kulit dan tidak memungkinkan
34
kelembaban kulit terlepas ke udara (Ansel 1989). Menurut Somantri (2007), perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering, dan ini merangsang perkembangan perawatan luka modern baik menggunakan balutan ataupun sediaan topikal yang dapat mempertahankan kelembaban. Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Penggunaan sediaan salep ini menyebabkan hidrasi, tetapi proses absorbsi bahan aktif pada perlakuan kontrol positif dan ekstrak tetap berlangsung. Hidrasi dari kulit merupakan fakta yang paling penting dalam absorpsi perkutan. Hidrasi stratum corneum tampaknya meningkatkan derajat lintasan dari semua obat yang mempenetrasi kulit. Peningkatan absorpsi disebabkan melunaknya jaringan dan akibat pengaruh ”bunga karang” dengan penambahan ukuran pori-pori yang memungkinkan semua partikel arus bahan dapat melaluinya. Keberhasilan perawatan luka pada kondisi lembab harus disesuaikan juga dengan jenis dan kondisi luka (Ansel 1989). Penggunaan salep sebagai media pembawa bahan aktif untuk obat persembuhan luka secara topikal, memperlihatkan hasil yang sangat mendukung dalam proses persembuhan luka. Sediaan salep sebagai pembawa dapat mempertahankan kelembaban dan menghambat pengeluaran cairan dari kulit serta adanya efek peningkatan sirkulasi darah ke daerah luka sehingga dalam beberapa hari pertama
luka masih tampak lembab.
Menurut Ansel (1989),
faktor- faktor yang mempengaruhi peningkatan absorbsi perkutan adalah faktor pembawa yang dapat dengan mudah menyebar di permukaan kulit. Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya cenderung baik bagi absorpsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak bekerja sebagai penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus kulit, dan tertahan pada kulit sehingga umumnya menghasilkan hidrasi dari kulit di bawah pembawa. Oleh karena itu, keefektifan terapi topikal dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: obat, pembawa dan kulit. Keropeng yang terbentuk pada kelompok sediaan salep ekstrak di hari ke-7 lebih lambat jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif, tetapi lebih
35
cepat daripada kelompok kontrol negatif. Hal ini disebabkan oleh kondisi luka kelompok sediaan salep ekstrak yang masih lembab, dimana dasar salep hidrokarbon sebagai pembawa pada sediaan salep ekstrak lebih mempengaruhi kelembaban tersebut. Keropeng (scab) yang terbentuk diatas permukaan luka membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah keropeng, epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan dari persembuhan luka. Terbentuknya keropeng merupakan proses awal fase proliferasi pada proses persembuhan luka. Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Secara garis besar proses yang terjadi pada fase ini meliputi, re-epitelisasi, fibroplasia, kontraksi luka, dan neovaskularisasi (Somantri 2007). Waktu yang diperlukan untuk proses pengeringan luka kelompok perlakuan dengan sediaan salep ekstrak relatif sama dengan kelompok kontrol positif, tetapi berbeda dengan kontrol negatif. Hal ini dipengaruhi oleh bahan aktif yang ada pada ekstrak batang pohon pisang Ambon mengandung mengandung tannin, saponin dan flavonoid yang dapat berguna sebagai antibiotik dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka (Priosoeryanto et al 2006). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi luka yang awalnya dalam kondisi lembab,
terlihat
segera
mengering
setelah terbentuk
keropeng.
Selain
dipengaruhi daya kerja bahan aktif pada sediaan salep ekstrak, hal ini juga dipengaruhi oleh cera alba yang ada pada komponen pembawa pada sediaan salep sebagai kelompok dasar salep absorbsi. Daya kerja absorbsi dari cera alba terlihat lebih jelas pengaruhnya terhadap proses keringnya luka pasca terbentuk keropeng, karena konsentrasinya yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi dasar salep hidrokarbon. Pada hari ke-12 terlihat adanya perbedaan dari ketiga kelompok dimana pada kelompok kontrol positif dan kelompok salep ekstrak sudah terjadi penyempitan luka serta pelepasan keropeng, sedangkan pada kelompok kontrol negatif penyempitan luka dan pelepasan keropeng dapat terlihat jelas pada hari ke-15 (Tabel 2). Proses lepasnya keropeng ini bersamaan dengan proses keringnya luka hal ini menandakan sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada
kulit
sehingga
membantu
mempercepat
lepasnya
keropeng
dan
36
merapatnya tepi luka. Keropeng terlepas karena jaringan dibawahnya sudah kering dan tepi-tepi luka mulai tertarik ke tengah. Pada kelompok perlakuan salep ekstrak dan kontrol positif, rambut mulai tumbuh di daerah luka pada hari ke-14 (Gambar 7). Sedangkan pada kontrol negatif rambut mulai tumbuh pada hari ke-16 (Tabel 2). Tumbuhnya rambut pada daerah luka tersebut menunjukkan terjadinya proses regenerasi dan kondisi kulit sudah mulai kembali normal (Listyanti 2006). Tumbuhnya rambut yang lebih cepat pada kelompok perlakuan salep ekstrak dan kelompok kontrol positif menunjukkan proses regenerasi pada kulit mencit lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pada hari ke-16 bekas luka sudah mulai menghilang pada kelompok salep ekstrak dan kelompok kontrol positif. Sedangkan pada kelompok kontrol negatif mulai menghilang pada hari ke-17 (Tabel 2). Bekas luka menghilang lebih cepat pada kelompok kontrol positif dan kelompok salep ekstrak dibandingkan kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan salep ekstrak dapat mempercepat hilangnya jaringan parut, karena adanya kandungan zat aktif tanin. Efek tanin yang utama yaitu sebagai adstringensia yang banyak digunakan sebagai pegencang kulit. Dilihat dari sisi kosmetika keberadaan jaringan parut pada permukaan kulit akan terlihat kurang baik. Pada hari ke-21 semua kelompok kembali normal (Gambar 8). Proses persembuhan luka berada pada fase maturasi, tujuan dari fase maturasi adalah : menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu (Somantri 2007). Selanjutnya gambar luka pada hari ke-3, hari ke-5, hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-21 disajikan pada Gambar 4, 5, 6, 7 dan Gambar 8 berikut ini.
37
A Gambar 4
C
Perbandingan Gambaran Patologi Anatomi Mencit Hari ke-3 Pasca Perlakuan. Pada Kelompok Kontrol negatif (A) luka masih basah dan masih terbuka. Salep Komersil (B) luka masih basah dan masih terbuka dan Salep ekstrak batang pohon pisang ambon (C) luka masih basah dan masih terbuka dan berwarna hitam.
A Gambar 5
B
C
Perbandingan Gambaran Patologi Anatomi Mencit Hari ke-5 Pasca Perlakuan. Pada Kelompok Kontrol negatif (A) luka masih terbuka dan mulai mengering. Salep Komersil (B) luka sudah mengering dan Salep ekstrak batang pohon pisang ambon (C) luka sudah mulai mengering namun masih terlihat lembab.
A Gambar 6
B
B
C
Perbandingan Gambaran Patologi Anatomi Mencit Hari ke-7 Pasca Perlakuan. Pada Kelompok Kontrol negatif (A) luka sudah mengering tetapi belum terbentuk keropeng, Salep Komersil (B) luka sudah mengecil dan sudah terbentuk keropeng dan Salep ekstrak batang pohon pisang ambon (C) luka menyempit dan tertutup keropeng.
38
A
Gambar 7
C
Perbandingan Gambaran Patologi Anatomi Mencit Hari ke-14 Pasca Perlakuan. Pada Kelompok Kontrol negatif (A) luka sudah menutup kerpeng lepas sebagian. Salep Komersil (B) luka sudah menutup dan mulai tumbuh rambut dan Salep ekstrak batang pohon pisang ambon (C) luka sudah menutup mulai tumbuh rambut dan sudah tidak terlihat bekas luka.
A Gambar 8
B
B
C
Perbandingan Gambaran Patologi Anatomi Mencit Hari ke-21 Pasca Perlakuan. Pada Kelompok Kontrol negatif (A) luka sudah tidak terlihat dan sudah ditumbuhi rambut, Salep Komersil (B) luka sudah tidak terlihat dan ditumbuhi rambut dan Salep ekstrak batang pohon pisang ambon (C) luka sudah tidak terlihat lagi dan sudah ditumbuhi rambut.
39
4.2 Hasil Pangamatan Histopatologi (HP). Persembuhan luka merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan banyak sel dan jaringan. Proses ini melalui tiga fase yang saling berkaitan. Fase pertama dalam proses persembuhan luka adalah fase inflamasi dimana sel-sel yang berperan dalam fase ini adalah sel-sel peradangan, yaitu neutrofil, makrofag dan limfosit (Somantri 2007). Parameter yang diamati pada pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (neutrofil, makrofag dan limfosit), jumlah neokapiler, persentase re-epitelisasi dengan menggunakan preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin. Untuk mengamati ketebalan jaringan ikat dengan menggunakan preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan Masson Trichrome. 4.2.1 Neutrofil Fungsi utama dari neutrofil adalah fagositosis dan mikrobiosidal. Neutrofil merupakan sel leukosit yang pertama berespons terhadap adanya benda asing yang ada pada luka. Cara kerja neutrofil dalam memberikan respon imun adalah dengan menggunakan enzim lisosom yang dapat mencerna beberapa dinding sel bakteri. Enzim proteolitik, ribonuklease, dan fosfolipase secara bersama yang dapat menghancurkan beberapa bakteri (Tizard 1982). Neutrofil sewaktu memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel matang yang dapat segera memulai fagositosis. Sebuah sel neutrofil dapat memfagosit 5-20 bakteri sebelum sel neutrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati (Guyton dan Hall 1997). Selanjutnya hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel radang neutrofil pada daerah luka disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan jumlah sel radang neutrofil pada pemeriksaan kulit mencit Hari Kontrol Negatif Kontrol positif Salep Ekstrak ke3 118,20 ± 18,54A 163,29 ± 4,98B 229,60 ± 15,92C B C 5 242,51 ± 22,95 266,93 ± 38,60 201,49 ± 4,40A 7 203,62 ± 28,07C 158,51 ± 25,36B 116,29 ± 13,44A C B 14 143,71 ± 6,46 93,16 ± 8,78 67,22 ± 5,78A C B 21 72,04 ± 3,13 46,62 ± 0,59 29,36 ± 12,28A Keterangan : Huruf superscipt yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).
40
Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa hasil pengujian statistik terhadap rataan jumlah neutrofil untuk ketiga kelompok pada hari ke-3 sampai hari ke-21, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Perbedaan ini menjelaskan bahwa pada masing-masing kelompok sediaan salep memiliki daya kerja yang berbeda. Daya kerja sediaan salep ini bergantung pada jumlah kandungan
bahan
aktif
pada
masing-masing
kelompok
salep
yang
mempengaruhi tinggi atau rendahnya sel nutrofil pada fase inflamasi dalam proses persembuhan luka. Tingginya jumlah neutrofil hari ke-3 pada kelompok salep ekstrak batang pohon pisang, menunjukkan adanya proses pembersihan dan fagositosis bakteri ataupun runtuhan sel yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kelompok negatif. Menurut Vegad (1996), neutrofil bersifat kemotaksis dan menginfiltrasi radang lebih cepat. Oleh karena itu neutrofil sering disebut sebagai pertahanan seluler yang pertama. Faktor lain yang berpengaruh pada proses infiltrasi sel neutrofil adalah dasar sediaan salep dari kelompok hidrokarbon, yang menyebabkan kondisi luka berlangsung dalam keadaan lembab pada awal perlukaan. Dalam kondisi yang lembab, jaringan yang rusak karena perlukaan lebih mudah luruh. Sehingga merangsang datangnya neutrofil untuk memfagosit luruhan sel-sel tersebut. Selanjutnya grafik jumlah neutrofil disajikan pada Gambar 9.
NEUTROFIL
J u m l a h N e u t r o f il
300 250 Kontrol Negatif
200 Salep Betadine
150
Ekstrak Batang Pisang
100 50 0 3
5
7
14
21
Hari ke-
Gambar 9 Grafik jumlah neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan
41
Hasil pengamatan histopatologi pada ketiga kelompok menunjukkan pola rataan jumlah neutrofil yang hampir sama, yaitu tinggi pada awal dan kemudian menurun secara gradual pada hari-hari berikutnya. Semua kelompok mengalami penurunan jumlah sel neutrofil dari hari ke-7 hingga dengan hari ke-21, seiring dengan proses keringnya luka. Hal ini dikarenakan adanya beberapa mediator peradangan yang telah dikeluarkan oleh neutrofil seperti histamin, enzim-enzim lisosom dan faktor pengaktivasi platelet. Hal ini menunjukkan bahwa sel neutrofil melakukan tugasnya sebagai sel pertahanan hanya pada awal pasca perlukaan karena tugasnya segera digantikan oleh sel makrofag sebagai sel pertahanan seluler yang kedua (Gambar 9). Jumlah neutrofil pada kelompok kontrol negatif paling tinggi secara nyata (P< 0,05), dibandingkan dengan kontrol positif dan salep ekstrak setelah hari ke7 hingga hari ke-21. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya bahan aktif dalam sediaan salep placebo, sehingga sangat memungkinkan masih terdapatnya mikroba dan sisa sel mati dari kerusakan jaringan. Berbeda dengan bahan aktif yang ada pada ekstrak batang pohon pisang yaitu saponin, quinon dan antraquinon yang berfungsi sebagai antibiotik. Gambar sel radang neutrofil disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Gambar sel radang neutrofil pada luka kelompok salep ekstrak pada hari ke-7 (Pewarnaan HE, Bar 40µm)
42
4.2.2 Makrofag Monosit yang ada di dalam jaringan dinamakan makrofag. Sel makrofag dapat bersatu dan membentuk sel raksasa yang dinamakan giant cell dengan tujuan dapat memfagositosis antigen yang berukuran lebih besar (Martini et al 1992). Menurut Guyton dan Hall (1997), keberadaan sel makrofag dan sel neutrofil saling berhubungan dalam proses persembuhan luka. Sel neutrofil merupakan pertahanan seluler pertama yang jumlahnya akan meningkat pada awal perlukaan yang bertugas memakan benda-benda asing.
Benda-benda
asing dan luruhan sel yang tidak terfagositosis oleh neutrofil akan dilanjutkan oleh sel makrofag sebagai sel pertahanan seluler kedua. Makrofag mempunyai kemampuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil, bahkan mampu memfagosit 100 bakteri. Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel radang makrofag pada daerah luka disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan jumlah sel radang makrofag pada pemeriksaan kulit mencit Hari Kontrol Negatif kontrol positif Salep Ekstrak ke3 29,62 ± 4,03A 33,33 ± 2,59B 42,40 ± 4,32C 5 54,89 ± 5,03A 77,04 ± 16,53B 108,56 ± 13,69C B A 7 110,86 ± 7,97 72,04 ± 53,54 67,55 ± 2,98A B A 14 73,95 ± 3,97 51,85 ± 1,82 51,95 ± 1,72A 21 52,09 ± 3,31B 30,65 ± 1,41A 30,20 ± 0,29A Keterangan : Huruf superscipt yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Data pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hasil pengujian statistik terhadap jumlah rataan makrofag untuk ketiga kelompok pada hari ke-3 dan hari ke-5 perlakuan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tingginya jumlah makrofag secara nyata (P<0,05) untuk hari ke-3 dan hari ke-5 pada kelompok sediaan salep ekstrak batang pohon pisang dibanding kelompok lainnya menunjukkan lebih banyak proses fagositosis bakteri dan luruhan sel yang rusak sehingga pembersihan luka pada kelompok salep ekstrak berjalan lebih cepat. Menurut Vegad (1995), selain memfagosit, makrofag juga melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaskan makrofag yaitu : plasma protein, platelet activating factor (PAF),
faktor-faktor kemotaktik, sitokin dan
faktor-faktor pertumbuhan. Sehingga dengan keberadaan makrofag yang tinggi pada fase inflamatori akan membuat lebih banyaknya faktor pertumbuhan yang
43
akan meningkatkan jumlah sel-sel baru dan pembentukan jaringan granulasi yang lebih cepat sehingga proses persembuhan luka akan berjalan lebih cepat. Ekstrak batang pohon pisang dalam sediaan salep mengandung zat aktif yang pada masa awal perlakuan berfungsi sebagai kemotaktik, yang menarik kehadiran sel-sel radang dari sirkulasi darah dan bermigrasi ke dalam jaringan. Keberadaan makrofag juga berpengaruh terhadap pelepasan faktor-faktor kemotaktik. Faktor kemotaktik adalah suatu bahan aktif di dalam lokasi peradangan yang memiliki fungsi mendatangkan sel-sel radang dari sirkulasi darah. Faktor kemotaktik membantu penyelenggaraan respon peradangan hingga terjadinya persembuhan dan respon ini merupakan bagian pertahanan tubuh untuk mengendalikan infeksi, eliminasi benda asing dan membersihkan jaringan
nekrotik
serta
mengurangi
proses
hipersensitivitas
(Priosoeryanto et al 2006). Grafik pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel radang makrofag pada daerah luka disajikan pada Gambar 11.
MAKROFAG Jumlah Makrofag
120 100 Kontrol Negatif
80 Salep Betadine
60
Ekstrak Batang Pisang
40 20 0 3
5
7
14
21
Hari ke-
Gambar 11 Grafik jumlah makrofag pada ketiga kelompok perlakuan
Perbandingan rataan jumlah makrofag antara kelompok kontrol positif dengan salep ekstrak batang pohon pisang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada hari ke-7 hingga hari ke-21(Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa salep ekstrak memiliki pengaruh yang hampir sama pada
44
proses pembersihan luka dan jauh lebih baik dibandingkan dengan kontrol negatif. Makrofag menjadi aktif dan jumlahnya akan berlipat ganda apabila terjadi peradangan setelah neutrofil bekerja memfagosit partikel asing. Oleh karena itu, sel ini juga disebut sebagai sel pertahanan kedua. Sel neutrofil yang mati akan turut difagosit oleh makrofag. Makrofag pada hari hari ke-5 untuk kelompok salep ekstrak mencapai puncak tertinggi, kemudian menurun secara gradual di harihari berikutnya. Jumlah makrofag pada kelompok kontrol negatif, puncak tertingginya terjadi pada hari ke-7, dan pada hari-hari berikutnya jumlahnya tetap lebih tinggi secara nyata (P<0,05), dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kelompok salep ekstrak (Gambar 11). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya bahan aktif yang membantu mengeliminir partikel asing pada salep placebo, sehingga tingkat inflamasi pada kelompok kontrol negatif tetap tinggi. Gambar sel radang makrofag disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Gambar sel radang makrofag pada luka kelompok salep eksrak pada hari ke-7 (Pewarnaan HE, Bar 40µm)
4.2.3 Limfosit Fungsi utama limfosit di dalam tubuh adalah berperan dalam sistim kekebalan tubuh. Limfosit akan memproduksi antibodi sebagai respon terhadap antigen yang masuk di bawa oleh makrofag (Tizard 1982). Sel limfosit
45
melepaskan limfokin yang berfungsi merangsang agregasi makrofag dan juga sebagai
chemoattractant
bagi
makrofag.
Limfosit
memiliki
masa hidup
berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan terhadap sel tersebut (Guyton dan Hall 1997). Selanjutnya hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel radang limfosit pada daerah luka disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Rataan jumlah sel radang limfosit pada pemeriksaan kulit mencit Hari Kontrol Negatif Kontrol positif ke3 26,18 ± 8,77A 25,85 ± 3,88A A 5 41,40 ± 1,52 46,07 ± 1,99B C 7 63,40 ± 2,08 41,71 ± 1,66B 14 46,53 ± 3,05B 25,73 ± 2,61A B 21 27,62 ± 0,91 15,38 ± 1,54A Keterangan : Huruf superscipt yang sama pada baris yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Salep Ekstrak 41,78 ± 4,22B 66,80 ± 1,66C 38,65 ± 1,22A 27,62 ± 0,75A 13,87 ± 3,14A sama menunjukkan
Jumlah sel limfosit pada kelompok salep ekstrak batang pohon pisang pada hari ke-3 hingga hari ke-7 berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Jumlah limfosit kelompok salep ekstrak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif karena pada hari ke-5 merupakan puncak sel limfosit teraktivasi dan membentuk limfokin untuk mengaktivasi makrofag. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok ekstrak dan kelompok kontrol positif pada hari ke-3 dan hari ke-5 karena memasuki proses peradangan akut. Pada kedua kelompok ini proses peradangan akut lebih cepat berlangsung sehingga sel limfosit sebagai salah satu sel peradangan juga lebih cepat menginfiltrasi daerah luka. Semakin tinggi jumlah makrofag maka akan diimbangi oleh peningkatan sel limfosit. Korelasi dari perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Kehadiran sel limfosit pada proses persembuhan luka adalah untuk mengaktivasi makrofag dan memberikan nutrisi pada sel-sel lainnya. Limfosit-T
yang
berikatan
dengan
antigen
akan
teraktivasi
dan
membentuk limfokin. Selanjutnya limfokin ini akan mengaktivasi monosit menjadi makrofag di jaringan. Limfosit-T memberikan imunitas yang diperantarai oleh sel dan limfosit-B dalam pembentukan antibodi yang memberikan imunitas humoral (Guyton dan Hall 1997). Di dalam darah, limfosit terbagi atas 3 tipe sel yaitu sel B, sel T dan sel non T, non B yang disebut sel null. Sel tipe B terdapat
46
10-12% dari keseluruhan limfosit. Sel T mempunyai jumlah yang lebih dominan yaitu 70-75% dari jumlah limfosit dan berperan dalam immunitas seluler (Ganong 1997). Hasil pengujian statistik terhadap rataan jumlah limfosit untuk ketiga kelompok pada hari ke-7, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Jumlah sel limfosit pada kelompok salep ekstrak mulai mengalami penurunan setelah mencapai puncaknya pada hari ke-5 (Gambar 13). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi luka yang mulai membaik setelah tertutup keropeng seluruhnya dan persembuhan jaringan sudah mulai terlihat sehingga hampir semua sel radang pada kelompok salep ekstrak menurun jumlahnya. Perbandingan rataan jumlah limfosit antara kelompok kontrol positif dengan salep ekstrak menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada hari ke-7 hingga hari ke-21(Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa salep ekstrak
mempercepat fase inflamasi pada proses persembuhan luka.
Grafik pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah sel radang limfosit pada daerah luka disajikan pada Gambar 13.
LIMFOSIT
J u m l a h L i m f o s it
80 70 60 50
Kontrol Negatif
40
Salep Betadine
30
Ekstrak Batang Pisang
20 10 0 3
5
7
14
21
Hari ke-
Gambar 13 Grafik jumlah sel limfosit pada ketiga kelompok perlakuan
Gambar 13 menunjukkan pada hari ke-7 jumlah sel limfosit mengalami penurunan secara gradual untuk kelompok salep ekstrak dan kelompok kontrol positif, sedangkan pada kelompok kontrol negatif jumlah sel limfosit meningkat
47
mencapai puncaknya. Akibatnya jumlah limfosit lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan kelompok salep ekstrak dan kelompok kontrol positif (Tabel 5). Fenomena ini dapat dikatakan sebagai respon imun lokal yang ditandai dengan masih adanya partikel asing. Lebih tingginya jumlah limfosit pada kelompok kontrol negatif dibandingkan kontrol positif dan kelompok salep ekstrak mengindikasikan bahwa masih banyak antigen yang ditemui pada kelompok kontrol negatif sehingga tubuh akan berespon dengan mengirim limfosit lebih banyak untuk membentuk limfokin. Jika di daerah luka terdapat banyak antigen, maka tubuh akan berespon dengan mengirimkan limfosit keluar untuk dapat menghasilkan antibodi (Guyton dan Hall 1997). Gambar sel radang limfosit disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Gambar sel radang limfosit pada luka kelompok salep ekstrak pada hari ke-7 (Pewarnaan HE, Bar 40µm) 4.2.4 Neokapiler Pembentukan neokapiler adalah pembentukan pembuluh darah baru ke dalam luka yang terjadi bersamaan dengan fibroplasia. Rangkaian proses neovaskularisasi meliputi vasodilatasi dan kongesti dari vascular bed, elongasi dari pembuluh yang berhubungan dengan perkembangan varikosa, sinus, atau perubahan struktur pilihan serta disolusi membran basal pembuluh darah. Neokapilerisasi meliputi pertunasan atau pertumbuhan endotel ke dalam jaringan sekitarnya, migrasi distal endotel menghadap sumber angiogenik melalui mitosis
48
proksimal, proliferasi sel endotel, pembentukan lumen (kanalisasi), anastomosis dengan tunas endotel lainnya dan pembentukan simpul, perkembangan sirkulasi serta maturasi dan evolusi saluran-saluran dengan segmen-segmen arteri dan vena (Spector & Spector 1993). Selanjutnya hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap jumlah neokapilerisasi pada daerah luka disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Rataan jumlah neokapiler pada pemeriksaan kulit mencit Hari Kontrol Negatif Kontrol positif Salep Ekstrak ke3 28,33 ± 3,79A 42,33 ± 5,17B 53,00 ± 4,97C A B 5 56,00 ± 2,48 82,33 ± 5,17 86,67 ± 5,17C 7 81,00 ± 2,48B 65,00 ± 4,97A 67,00 ± 2,48A C A 14 76,33 ± 5,74 44,67 ± 1,43 53,33 ± 5,17B 21 62,67 ± 6,25C 38,00 ± 2,48A 50,00 ± 2,48B Keterangan : Huruf superscipt yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Jumlah neokapiler di hari ke-3 dan hari ke-7 menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) pada ketiga kelompok perlakuan. Jumlah neokapiler pada kelompok salep ekstrak batang pohon pisang lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif (Tabel 6). Keberadaan pembuluh darah memiliki peranan yang penting untuk memberikan asupan nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi. Selain itu, pembuluh darah juga mempunyai peranan untuk menghantarkan sel-sel radang yang dibentuk di sumsum tulang hingga mendekati jaringan yang terluka hingga sel radang tersebut melakukan emigrasi. Untuk menunjang fungsi-fungsi tersebut, pembuluh darah akan membentuk tunas-tunas pembuluh baru yang akan berkembang menjadi percabangan baru di daerah jaringan yang terluka. Tunas-tunas pembuluh darah ini muncul disebabkan oleh aktivitas mitosis pada sel-sel endotel pembuluh darah tertua diikuti oleh migrasi ke arah luka (Spector dan Spector 1993). Data pada Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan jumlah sel neutrofil, makrofag, dan limfosit kelompok salep ekstrak pada hari ke-3 dan hari ke-7 memiliki angka tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini sejalan dengan tingginya jumlah neokapiler hari ke-3 dan hari ke-7 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian salep ekstrak batang pohon pisang Ambon dapat mempercepat pembentukan neokapiler di daerah luka. Grafik pemeriksaan
49
mikroskopis terhadap jumlah neokapiler pada daerah luka disajikan pada Gambar 15.
NEOKAPILER
J u m l a h N e o k a p il e r
100 90 80 70
Kontrol Negatif
60 Salep Betadine
50 40
Ekstrak Batang Pisang
30 20 10 0 3
5
7
14
21
Hari ke-
Gambar 15 Grafik neokapiler pada ketiga kelompok perlakuan
Gambar 15 memperlihatkan jumlah neokapiler pada kelompok salep ekstrak dan kelompok kontrol positif pada hari ke-7 mengalami penurunan secara gradual. Sedangkan pada kelompok kontrol negatif jumlah neokapiler meningkat mencapai puncaknya, sehingga jumlahya lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok salep ekstrak dan kelompok kontrol positif. Pada kelompok kontrol negatif tahap inflamasi masih terjadi, dimana jumlah sel radang terus meningkat dan membutuhkan asupan nutrisi yang diimbangi dengan peningkatan neokapiler. Peningkatan
jumlah
neokapiler
menandakan
berjalannya
proses
persembuhan luka pada fase proliferasi. Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Secara garis besar proses yang terjadi pada fase ini meliputi, reepitelisasi, fibroplasia, kontraksi luka, dan neovaskularisasi. Jumlah neokapiler yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah makrofag. Makrofag mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung endotel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses persembuhan luka (Sumantri 2007). Makrofag juga menghasilkan FGF
50
(Fibroblast Growth Factor) yang menghasilkan sekresi proteinase oleh sel endotelial yg dapat memulai pendegradasian membran basal dan merangsang migrasi sel endotelial dan proliferasi untuk pembentukan pembuluh baru (Vegad 1996). Pada hari ke-21 jumlah neokapiler yang terbentuk mulai menurun pada kelompok kontrol positif dan kelompok sediaan salep ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa fase proliferasi persembuhan luka mendekati awal fase maturasi, dimana peranan kapiler dalam menyediakan nutrisi bagi regenerasi selsel selama masa persembuhan luka sudah mulai berkurang. Perbandingan antara kelompok salep ekstrak dengan kelompok kontrol positif menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05), hal ini mengindikasikan bahwa kedua kelompok memiliki kandungan zat aktif yang dapat mempercepat proses peradangan sehingga meningkatkan pula pembentukan neokapiler. Selanjutnya gambar neokapiler disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Gambar neokapiler pada luka kelompok salep ekstrak pada hari ke-7 (Pewarnaan HE, Bar 40µm) 4.2.5 Re-epitelisasi Re-epitelisasi merupakan proses perbaikan sel-sel epitel kulit sehingga luka akan menutup. Semakin cepat terjadi reepitelisasi akan membuat struktur epidermis kulit mencit
segera mencapai keadaan normal (Kalangi dalam
Putriyanda 2006).
51
Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi, migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel. Tahapan-tahapan ini akan mengembalikan intregitas kulit yang hilang. Mitosis dan migrasi sel epitel akan berfungsi untuk mengembalikan integritas dari kulit. Pada permulaan kulit re-epitelisasi akan terjadi melalui pergerakan sel-sel epitel dari tepi jaringan bebas menuju jaringan rusak. Hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap persentase re-epitelisasi pada daerah luka disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Rataan persentase re-epitelisasi pada pemeriksaan kulit mencit Hari Kontrol Negatif kontrol positif Salep Ekstrak ke3 0,00 ± 0,00A 0,00 ± 0,00A 0,00 ± 0,00A 5 20,75 ± 2,18A 33,90 ± 3,86B 45,63 ± 0,87C A B 7 55,33 ± 6,25 63,67 ± 1,43 65,20 ± 2,77B 14 100,00 ± 0,00A 100,00 ± 0,00A 100,00 ± 0,00A A A 21 100,00 ± 0,00 100,00 ± 0,00 100,00 ± 0,00A Keterangan : Huruf superscipt yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Persentase re-epitelisasi pada hari ke-3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) antara kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dan kelompok salep ekstrak. Hal ini dikarenakan belum terbentuknya reepitelisasi yang terjadi di daerah luka, karena daerah luka berada dalam kondisi lembab. Hal ini dipengaruhi oleh faktor sediaan pembawa salep yang lebih dominan dasar salep hidrokarbon dari pada dasar salep absorbsinya sehingga melapisi permukaan luka dan menjaganya pada kondisi lembab. Dalam kondisi lembab ujung epitel yang terkoyak luruh dan dapat difagosit dengan mudah oleh sel-sel radang sehingga belum bisa melakukan proses regenerasi. Pada hari ke-5 sel-sel epitel mulai terbentuk untuk menutup luka pada ketiga kelompok. Perbedaan yang nyata (P<0,05) terlihat pada hari ke-5 dimana persentase re-epitelisasi kelompok salep ekstrak cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif. Meningkatnya proses re-epitelisasi dipengaruhi oleh kandungan bahan aktif pada sediaan salep ekstrak yang dapat merangsang proliferasi sel epitel setelah partikel asing difagosit oleh sel radang, sehingga proses re-epitelisasi cepat berlangsung.
52
Hasil persentase re-epitelisasi antara kelompok kontrol positif dengan sediaan salep ekstrak pada hari ke-7 memperlihatkan tidak berbeda nyata (P>0,05). Tetapi apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif maka berbeda nyata (P<0,05). Pada pengamatan patologi anatomi dalam fase ini, terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai dengan munculnya keropeng pada daerah luka. Persembuhan luka sangat dipengaruhi oleh re-epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat persembuhan luka.
Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian salep ekstrak batang pohon pisang Ambon mempunyai kemampuan mempercepat penutupan luka dengan proses re-epitelisasi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Proliferasi sel epitel untuk menutup luka dipengaruhi oleh adanya ujung bebas dari lapisan epidermis yang telah terkoyak dan beberapa faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor-
∀ (TGF∀) dan keratinocytes growth factor (KGF). Proliferasi sel epitel yaitu berupa aktivitas mitosis dari sel-sel epitel yang berada di tepi luka. Ketika berproliferasi, beberapa sel epitel yang telah matang meluncur keluar dari tepi luka dengan gerakan amuboid menuju bagian permukaan luka (dermis). Akibatnya sel epitel yang bermigrasi dari segala arah akhirnya menyatu di bagian tengah luka. Apabila sel-sel epitel telah menyatu di bagian tengah luka, maka luka akan tertutup sepenuhnya dan terbebas dari kontaminasi lingkungan luar tubuh sehingga proses pematangan jaringan di bawahnya akan berlangsung dengan lebih baik. Suatu luka dapat dikatakan sembuh apabila daerah luka tersebut telah mengalami epitelisasi secara menyeluruh dan tidak lagi membutuhkan perawatan (Schmidt dan Greenspoon dalam Handayani 2006). Grafik pemeriksaan mikroskopis persentase re-epitelisasi pada daerah luka disajikan pada Gambar 17.
53
RE-EPITELISASI 120
jumlah Re-epitelisasi
100 80
Kontrol Negatif
60
Salep Betadine
40
Ekstrak Batang Pisang
20 0 3
5
7
14
21
Hari ke-
Gambar 17 Grafik persentase re-epitelisasi pada ketiga kelompok perlakuan
Pada hari ke-14 dan ke-21 sudah tidak terlihat perbedaan lagi antara masing-masing kelompok (Tabel 7), karena pada hari ke-14 dan hari ke-21 epitel telah menutup dengan sempurna di daerah luka. Selanjutnya gambar histopatologi daerah luka pada hari ke-3, hari ke-5, hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-21 disajikan pada Gambar 18, 19, 20, 21 dan Gambar 22.
54
A Gambar 18
B
C
Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-5 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, terdapat infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re® epitel (20,75%); B. Kelompok salep Betadine , terdapat infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re-epitel (33,90%) dan C. Kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon terdapat infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re-epitel (45,63%). (Pewarnaan HE, Bar 100µm)
A Gambar 20
C
Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-3 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, terdapat infiltrasi sel radang dan belum terbentuknya ® re-epitel; B. Kelompok salep Betadine , terdapat infiltrasi sel radang dan belum terbentuk re-epitel dan C. Kelompok salep ekstrak, terdapat infiltrasi sel radang dan belum terbentuk re-epitel. (Pewarnaan HE, Bar 100µm)
A Gambar 19
B
B
C
Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-7 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, terdapat infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re® epitel (55,33%); B. Kelompok salep Betadine , terdapat infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re-epitel (63,67%) dan C. Kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon terdapat infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re-epitel dan keropeng mulai terlepas (65,20%). (Pewarnaan HE, Bar 100µm)
55
A
Gambar 21
C
Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-14 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif luka sudah tertutup dan re-epitel sudah terbentuk ® sempurna (100%); B. Kelompok salep Betadine , luka sudah menutup dan reepitel sudah terbentuk sempurna (100%) dan C. Kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon, luka sudah menutup dan re-epitel sudah terbentuk sempurna (100%). (Pewarnaan HE, Bar 100µm)
A
Gambar 22
B
B
C
Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-21 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, re-epitel sempurna dan sudah tampak folikel rambut; ® B. Kelompok Betadine , re-epitel sudah sempurna dan terdapat folikel rambut dan C. Kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon re-epitel sudah sempurna dan terdapat folikel rambut. (Pewarnaan HE, Bar 100µm)
56
2.6 Fibroblas (Jaringan Ikat) Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan
selama
proses
rekonstruksi
jaringan.
Fibroblast
berfungsi
menghubungkan sel-sel jaringan yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Setelah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam rekontruksi jaringan baru (Shukla et al 1998). Hasil skoring terhadap kepadatan jaringan ikat pada daerah luka disajikan pada tabel 8.
Tabel 8 Perbandingan skor jaringan ikat pada daerah luka kulit mencit Hari Kontrol Negatif Kontrol positif ke3 1 1 1 2 2 5 2 2 2 2 2 7 2 2 3 2 3 14 3 3 3 3 3 21 4 3 4 4 4 Keterangan skor dilihat pada Tabel 1
Salep Ekstrak 1 3 3 3 4
1 2 3 3 4
2 2 3 3 4
2 3 3 4 4
Kepadatan fibroblas kelompok kontrol positif dan salep ekstrak batang pohon pisang pada hari ke-3 menunjukkan hasil yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Jumlah fibroblas terus meningkat setiap harinya hingga hari ke-21 pada ketiga kelompok perlakuan (Tabel 8). Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan sel makrofag pada luka, karena sel makrofag menghasilkan faktor-faktor pertumbuhan, seperti platelet-derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor
(EGF), dan
transforming growth factor-β (TGF-β). Faktor-faktor ini mempengaruhi proliferasi fibroblast dan pembuluh darah (Vegad 1995). Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan vitamin C serta asam amino pada jaringan kolagen. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari
57
luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka ( Somantri 2007). Proses utama pertumbuhan fibroblas terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-14 pasca perlukaan dan setelah itu akan akan terus terjadi penyempurnaan sampai struktur kulit kembali normal. Pertumbuhan jaringan ikat lebih banyak terjadi di kelompok salep ekstrak (Tabel 8). Sehingga kepadatan fibroblas terlihat lebih rapat (Gambar 25). Kepadatan jaringan ikat akan membantu kontraksi luka sehingga kedua sisi kulit yang terluka akan tertarik dan lebar luka akan menyempit. Hal ini dapat terlihat pada hari ke-5 untuk kelompok kontrol positif dan kelompok salep ekstrak sudah mempunyai nilai skor kepadatan jaringan ikat 3 (Tabel 8). Apabila dilihat secara patologi anatomi
lebar luka
sudah menyempit (Gambar 8). Hal ini dikarenakan semakin banyaknya jaringan ikat pada luka, semakin besar daya kontraksi luka sehingga sisi luka akan tertarik dan menyebabkan besar luka menjadi mengecil. Pada hari ke-7 dan hari ke-14, kepadatan fibroblas pada kelompok salep ekstrak sedikit berbeda dengan kelompok kontrol positif dari kesempurnaannya, namun kepadatan fibroblas dari kedua kelompok ini sangat berbeda dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini terlihat dari jumlah jaringan ikat yang padat dan kompak tapi masih terdapat beberapa bagian yang kosong karena terisi oleh neokapiler dan sel radang (Tabel 9 dan Gambar 25).
Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian sediaan salep ekstrak lebih meningkatkan pembentukan jaringan ikat kolagen pada luka daripada kelompok lainnya. Pada hari ke-21 semua kelompok mengalami kepadatan fibroblas yang sudah sempurna, ditandai dengan luka sudah menutup sempurna dengan jaringan ikat yang sangat padat dan kompak, selain itu terlihat folikel rambut. Dilihat dari patologi anatominya persembuhan luka sempurna ditandai dengan sudah tumbuhnya rambut dan hilangnya bekas luka. Proses pembentukan jaringan ikat lebih cepat terjadi pada kelompok salep ekstrak batang pohon pisang, yang mengindikasikan proses penutupan luka terjadi lebih cepat. Selanjutnya gambar perbandingan ketebalan jaringan ikat daerah luka secara histopatologi dengan pewarnaan MT untuk ketiga kelompok perlakuan pada hari ke-3, hari ke-5, hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-21 disajikan pada Gambar 23, 24, 25, 26 dan Gambar 27.
58
A B C Gambar 23 Perbandingan ketebalan jaringan ikat kolagen pada hari ke-3 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, jaringan ikat sedikit dan tidak kompak; B. Kelompok salep komersil, jaringan ikat sedikit dan mengumpul dan C. kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon, jaringan ikat sedikit dan mengumpul. (Pewarnaan MT, Bar 100µm)
A
B
C
Gambar 24 Perbandingan ketebalan jaringan ikat kolagen pada hari ke-5 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, jaringan ikat sedikit dan mengumpul; B. Kelompok salep komersil, jaringan ikat sedikit dan mengumpul dan C. kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon, jaringan ikat padat tetapi masih terdapat rongga. (Pewarnaan MT, Bar 100µm)
A
B
C
Gambar 25 Perbandingan ketebalan jaringan ikat kolagen pada hari ke-7 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, jaringan ikat sedikit dan mengumpul; B. Kelompok salep komersil, jaringan ikat padat tetapi masih terdapat rongga dan C. kelompok getah batang pohon pisang ambon, jaringan ikat padat tetapi masih terdapat rongga. (Pewarnaan MT, Bar 100µm)
59
A
B
C
Gambar 26 Perbandingan ketebalan jaringan ikat kolagen pada hari ke-14 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif jaringan ikat padat tetapi masih terdapat rongga; B. Kelompok salep komersil, jaringan ikat padat tetapi masih terdapat rongga dan C. kelompok getah batang pohon pisang ambon, jaringan ikat padat dan kompak. (Pewarnaan MT, Bar 100µm)
A
B
C
Gambar 27 Perbandingan ketebalan jaringan ikat kolagen pada hari ke-21 pasca perlakuan. A. Kelompok kontrol negatif, jaringan ikat padat dan kompak; B. Kelompok salep komersil, jaringan ikat padat dan kompak. dan C. kelompok salep ekstrak batang pohon pisang ambon, jaringan ikat padat dan kompak. (Pewarnaan MT, Bar 100µm)
60
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Sediaan salep ekstrak batang pisang ambon memiliki aktivitas mempercepat proses persembuhan luka. 2. Pemberian sediaan salep ekstrak batang pisang ambon menunjukkan adanya efek kosmetik dengan tidak terlihatnya bekas luka secara makroskopis. 3. Sediaan salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempunyai kemampuan yang hampir sama dengan salep Betadine dalam mempercepat proses persembuhan luka.
5.2
Saran Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah: 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menguji kualitas sediaan salep antara lain : uji stabilitas, uji Ph, uji tekstur, uji homogenitas, uji pelepasan bahan aktif, uji penyerapan air, dan pengujian iritasi kulit. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari mekanisme aktivitas zat aktif dari batang pohon pisang Ambon. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas sediaan topikal ekstrak batang pisang Ambon untuk luka kronik. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk formulasi kombinasi antara sediaan topikal ekstrak batang pohon pisang Ambon dengan bahan biologik atau bahan kimia lain yang bersifat anti mikrobial dalam proses persembuhan luka.
61
VI. DAFTAR PUSTAKA Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Alih bahasa : Farida Ibrahim. UI Press : Jakarta. hlm : 489-539. Cheek PR. 2005. Applied Animal Nutrition: Feeds and Feeding Thrid Edition. Upper Sadle River. United States of America. Cox PA. 1994. The etnobotanical approach to drug discovery; strengths and limitations in Prance G & Marsh (Eds). Ethnobotany and the Search for New Drugs. Ciba Foundation Symposium 185. Academic Press, Landon : pp. 25 – 41. Dalimartha S. 2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta. hlm : 25-26. Dellmann HD, Brown EM.1992. Buku Teks Histologi Veteriner. R Hartono Penerjemah; Edisi ke-3. Jakarta: Universitas Indonesia. hlm : 57-71. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Histology. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan. 1989. Pemanfaatan Tanaman Obat. Edisi III. Depkes RI. 284 hal. Departemen Pertanian. 2001. Farmakope Obat Hewan Indonesia (Farmasetik dan Premiks). Edisi 2. Jakarta, Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. hal : 35. Djulkarnain HB.1998. Pohon Obat Keluarga.Intisari.Jakarta. Ernawati A, Purwito A, Suketi K. 1994. Studi Perbanyakan Cepat Pisang Rajabulu, Pisang Ambon Kuning dan Pisang Barangan dengan Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah MD, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Guyton AC, JE Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Handayani I. 2006. Aktivitas Sediaan Gel dari Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Barbadensis Miller) untuk Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan ke 2. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
62
Hezmela R. 2006. Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) . [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kaplan NE, Hentz VR, 1992. Emergency Management of Skin and Soft Tissue Wounds, An Illustrated Guide, Little Brown, Boston, USA. Lee Huang S, PL Huang, PL Nara, H Chen, H. Kung, P. Huang and HI Huang. 1996. Plant Protection useful for treating tumors and HIV Infections. US Patent No. 5,484,889. Listyanti AR. 2006. Pengaruh Pemberian Getah Batang Pohon Pisang Ambon (Musa parasidiaca var. Sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Low QEH et al 2001. Wound Healing in MIP-alpha-/- and MCP-1-/- Mice. American Journal of Pathology 159:457-463 Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan Percobaan di laboraturium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB. Martini F, Ober WC, Garrison CW dan Welch K.1992. Fundamental. of Anatomy and Physiology. Edisi 2. New Jersey : Prentice Hal. Englewood Cliffs. USA. Melvin JS and OP William.1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal. 11 Edition. Cornell University Press. Ithaca and London. Muller GH. 1976. Small Animal Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Company. Hlm: 8-14, 34. Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Jakarta: PT. Gramedia. Mursito B. 2002. Ramuan Tradisional untuk Gangguan Ginjal. Penebar Swadaya. Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Ed ke-5. Mathilda B, Widianto, Ranti AS; editor. Bandung: Penerbit ITB. Priosoeryanto BP, Huminto H, Wientarsih I, Estuningsih S. 2006. Aktivitas Getah Batang Pohon Pisang dalam Proses Persembuhan Luka dan Efek Kosmetiknya pada Hewan. Lembaga Penelitian dan Pemberdayan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Purwanto R, Sujiprihati S. 1985. Studi Pengaruh Jenis Bibit Serta Taraf Pemupukan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pisang. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
63
Putriyanda N. 2006. Kajian Patologi Aktivitas Getah Batang Pohon Pisang Tanduk (Musa parasidiaca forma typica) Dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Robinson R. 1972. Gene Mapping in Laboratory Mammal.s. New York: Parts B. Plenum. Sangat HM, EAM. Zuhud dan EK. Damayanti, 2000. Kamus Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obat Indonesia. Jakarta. hal : 209. Satuhu, Suyanti, Supriyadi A. 1999. Pisang Budidaya, Pengolahan, dan Proyek Pasar. Jakarta: Penebar Swadaya. Shukla A, Rasik AM, Jain GK, Shankar R. 1998. In Vitro and In Vivo Wound Healing Activity of Asiaticoside Isolated from Cantella Asiatica. Journal of Ethnopharmacology 65, 1-11. Smith HA dan Jones TC. 1962. Veterinary Pathology. 2nd Edition. The Skin and it Appendages. Univ. Michigan, Michigan. hal : 175. Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta. hlm: 10-14. Somantri I. 2007. Definisi Luka. http://www.irmanthea.blogspot.com/2007/07 [ 27Juli 2007]. Spector WG dan Spector TD. 1988. Pengantar Patologi Umum. Ed ke-3. Soetjipto NS, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hlm : 134-135 Suhana N. 1994. Etika dan Penggunaan Hewan Model untuk Penelitian Biomedik. Jakarta: Universitas Indonesia Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga University Press. Tjitrosoepomo G. 1994. Toksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Vegad JL. 1995. A Textbook of Veterinary General Pathology; Healing and Repair. New Delhi: Vikas Publishing House Put. Ltd. hlm. 82-153. Versteegh JK. 1988. Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-tanaman di Indonesia dan Khasiatnya sebagai Obat-obatan Tradisionil. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh CD.RS. Bethesda Yogyakarta. Penerbit CD.RS. Bethesda Yogyakarta dan Andi Offset, Yogyakarta.
64
Wintarsih I, Febram B, Madyastuty R. 2007. Diktat Praktikum Farmasi dan Ilmu Resep Program Pendidikan Dokter Hewan. Bag. Farmasi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Zachary CB. 1990. Basic Cutaneous Surgery, A Primer in Technique, Churchill Livingstone,
65
LAMPIRAN
66
Lampiran 1 Fiksasi Pembuatan Preparat Histologi a. Fiksasi Sediaan kulit dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi larutan Natural Buffer Formalin 10%. Fiksasi dilakukan selama 2 x 24 jam. b. Penipisan (Trimming) Sediaan kulit dipotong kecil-kecil, daerah yang diambil adalah luka pada bagian tengah. Bagian luka dimasukkan ke dalam kaset. Tiap kaset berisi 3 sampel. c. Dehidrasi Sediaan kulit kemudian dimasukkan ke dalam gelas berturut-turut berisi alkohol 70% selama 2 jam, alkohol 80% selama 2 jam, alkohol 90% selama 2 jam, alkohol 95% I selama 2 jam dan alkohol 95% II selama 2 jam kemudian dimasukkan kedalam alkohol 100% I selama 2 jam dan alkohol 100% II selama 2 jam. d. Penjernihan (Clearing) Sediaan kulit dimasukkan kedalam xylol dengan 2 kali pergantian masingmasing selama 2 jam. e. Pencetakan (Embedding) Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sediaan diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan sampai pencetak penuh dan didiamkan kembali sampai mengeras.
Setelah mengeras alat pencetak dapat dilepaskan, blok-blok
parafin dimasukkan ke dalam lemari es. f.
Pengirisan dengan mikrotom Sediaan diiris menggunakan mikrotom setebal 5 mikron.
Hasil potongan
dimasukkan ke dalam air hangat untuk meregangkan jaringan yang keriput pada suhu 45
0
C.
Sediaan diangkat dari permukaan air dengan
menggunakan gelas objek yang diletakkan di atasnya.
Preparat ini
didinginkan sebentar supaya kering, lalu diberi tanda dan disimpan dalam inkubator temperatur 60 0C minimal 2 jam.
67
Pewarnaan Sediaan diwarnai dengan pewarnaan umum Hemotoxylin Eosin (HE) untuk melihat sel-sel radang (makrofag, neutrofil dan limfosit), neokapiler dan reepitel dan pewarnaan khusus Masson Trichrome untuk melihat jaringan ikat. a. Pewarnaan HE Sediaan yang akan diwarnai HE dimasukkan ke dalam xylol I dan xylol II, masing-masing untuk melarutkan parafin selama 2 menit.
Berikutnya
dilakukan rehidrasi dimana sediaan secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 100% selama 2 menit, alkohol 95% dan alkohol 80% masing-masing 1 menit. dan selanjutnya sediaan dicuci dengan air kran selama 1 menit setelah itu dimasukkan ke dalam larutan Mayer’s Hematoxylin selama 8 menit lalu sediaan dicuci dengan air kran selama 30 detik.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam
larutan Lithium Carbonat selama 15-30 detik dan dicuci dengan air kran selama 30 detik. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan Eosin selama 2-3 menit dan dicuci lagi dengan air kran selama 30-60 detik. Sediaan yang telah dicuci kemudian di dehirasi dengan mencelupkannya ke dalam alkohol 95% sebanyak 10 celupan, alkohol 100% yang pertama sebanyak 10 celupan dan alkohol 100 % yang kedua selama 2 menit. Langkah terakhir adalah sediaan dimasukkan ke dalam larutan Xylol selama 1 menit dan dimasukkan ke dalam larutan Xylol yang kedua selama 2 menit. Preparat tersebut dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditutup menggunakan gelas penutup. b. Pewarnaan Masson Trichrome Sediaan sebelum diwarnai dimasukkan ke dalam xylol 2 kali pergantian, masing-masing parafin. Berikutnya dilakukan rehidrasi dimana sediaan secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 100% selama 2 menit, alkohol 90% dan alkohol 80% selama 1 menit, lalu dilakukan pencucian dengan menggunakan aquadest. Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam larutan Mordant 30-490 menit lalu dicuci dengan aquades. Berikutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Carrazi’s Hematoxylin selama 40 menit dan dicuci dengan aquades. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0,75% selama 1-2 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2
68
kali dengan cara menggoyangnya sebentar.
Setelah itu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan Ponceau Xylidine Fuchsin selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan Phosphotungstic Acid selama 10 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali.
Kemudian sediaan
dimasukkan ke dalam Anilin Blue selama 15 menit, dicuci dengan menggunakan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dan terakhir dimasukkan ke dalam alkohol 95%. Langkah terakhir yaitu sediaan didehidrasi dan clearing terlebih dahulu sebelum ditutup dengan gelas penutup. Penutup Sediaan Preparat dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditutup. Diatas preparat ditetesi zat perekat entelan dan ditutup dengan kaca penutup sediaan. Tunggu sampai preparat kering dan diberikan tabel, kemudian preparat dapat disimpan atau diamati.
69
Lampiran 2 Hasil output Anova dan Duncan untuk Neutrofil hari ke-3 ANOVA Neutrofil3 Sum of Squares 18840,084 201,604 19041,688
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 9420,042 33,601
2 6 8
F 280,353
Sig. ,000
Neutrofil3 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 118,2000 163,2900 1,000
1,000
3
229,6000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neutrofil hari ke-5 ANOVA Neutrofil5 Sum of Squares 6562,679 659,906 7222,585
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 3281,340 109,984
F 29,835
Sig. ,001
Neutrofil5 Duncan Perlakuan Ekstrak Kontrol Betadine Sig.
a
N 3 3 3
1 201,4867
Subset for alpha = .05 2
3
242,5100 1,000
1,000
266,9333 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
70
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neutrofil hari ke-7 ANOVA Neutrofil7 Sum of Squares 11444,833 522,459 11967,292
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 5722,417 87,076
2 6 8
F 65,717
Sig. ,000
Neutrofil7 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 116,2900 158,5133 1,000
1,000
3
203,6233 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neutrofil hari ke-14 ANOVA Neutrofil14 Sum of Squares 9079,070 49,346 9128,417
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 4539,535 8,224
2 6 8
F 551,961
Sig. ,000
Neutrofil14 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 67,2200 93,1567 1,000
1,000
3
143,7100 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neutrofil hari ke-21 ANOVA Neutrofil21
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2766,466 52,142 2818,607
df 2 6 8
Mean Square 1383,233 8,690
F 159,170
Sig. ,000
71
Neutrofil21 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
N
1 29,3567
3 3 3
Subset for alpha = .05 2
3
46,6233 1,000
1,000
72,0433 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Makrofag hari ke-3 ANOVA Makrofag3 Sum of Squares 259,212 13,487 272,699
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 129,606 2,248
F 57,657
Sig. ,000
Makrofag3 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N
Subset for alpha = .05 2
1 29,6233
3 3 3
3
33,3333 1,000
1,000
42,4000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Makrofag hari ke-5 ANOVA Makrofag5 Sum of Squares 4364,477 157,444 4521,921
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 2182,238 26,241
F 83,163
Sig. ,000
Makrofag5 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 54,8867 77,0433 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
3
108,5567 1,000
.
72
Hasil output Anova dan Duncan untuk Makrofag hari ke-7 ANOVA Makrofag7 Sum of Squares 3402,909 952,523 4355,432
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 1701,454 158,754
F 10,718
Sig. ,010
Makrofag7 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 67,5533 72,0433 110,8633 ,678 1,000
N 3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Makrofag hari ke-14 ANOVA Makrofag14 Sum of Squares 972,716 7,142 979,858
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 486,358 1,190
F 408,601
Sig. ,000
Makrofag14 Duncan
a
Perlakuan Betadine Ekstrak Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 51,8467 51,9533 73,9533 ,909 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Makrofag hari ke-21 ANOVA Makrofag21
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 939,039 4,235 943,274
df 2 6 8
Mean Square 469,520 ,706
F 665,272
Sig. ,000
73
Makrofag21 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 30,2033 30,6467 52,0900 ,542 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Limfosit hari ke-3 ANOVA Limfosit3 Sum of Squares 497,444 35,575 533,019
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 248,722 5,929
F 41,949
Sig. ,000
Limfosit3 Duncan
a
Perlakuan Betadine Kontrol Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 25,8467 26,1767 41,7800 ,874 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Limfosit hari ke-5 ANOVA Limfosit5
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1096,501 2,924 1099,426
df 2 6 8
Mean Square 548,251 ,487
F 1124,822
Sig. ,000
74
Limfosit5 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 41,4033 46,0700 1,000
1,000
3
66,8000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Limfosit hari ke-7 ANOVA Limfosit7 Sum of Squares 1092,568 2,778 1095,345
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 546,284 ,463
F 1180,020
Sig. ,000
Limfosit7 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 38,6467 41,7100 1,000
1,000
3
63,4000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Limfosit hari ke-14 ANOVA Limfosit14
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 793,914 5,390 799,303
df 2 6 8
Mean Square 396,957 ,898
F 441,920
Sig. ,000
75
Limfosit14 Duncan
a
Perlakuan Betadine Ekstrak Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 25,7333 27,6200 46,5333 ,051 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Limfosit hari ke-21 ANOVA Limfosit21 Sum of Squares 341,435 4,232 345,668
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 170,718 ,705
F 242,019
Sig. ,000
Limfosit21 Duncan
a
Perlakuan Ekstrak Betadine Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 13,8667 15,3800 27,6233 ,069 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neokapiler hari ke-3 ANOVA Neokapiler3
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 918,222 21,333 939,556
df 2 6 8
Mean Square 459,111 3,556
F 129,125
Sig. ,000
76
Neokapiler3 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 28,3333 42,3333 53,0000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neokapiler hari ke-5 ANOVA Neokapiler5 Sum of Squares 1652,667 19,333 1672,000
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 826,333 3,222
F 256,448
Sig. ,000
Neokapiler5 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 56,0000 82,3333 86,6667 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neokapiler hari ke-7 ANOVA Neokapiler7
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 456,000 12,000 468,000
df 2 6 8
Mean Square 228,000 2,000
F 114,000
Sig. ,000
77
Neokapiler7 Duncan
a
Perlakuan Betadine Ekstrak Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 65,0000 67,0000 81,0000 ,134 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neokapiler hari ke-14 ANOVA Neokapiler14 Sum of Squares 1606,889 20,000 1626,889
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 803,444 3,333
F 241,033
Sig. ,000
Neokapiler14 Duncan
a
Perlakuan Betadine Ekstrak Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 44,6667 53,3333 76,3333 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Neokapiler hari ke-21 ANOVA Neokapiler21
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 912,889 16,667 929,556
df 2 6 8
Mean Square 456,444 2,778
F 164,320
Sig. ,000
78
Neokapiler21 Duncan
a
Perlakuan Betadine Ekstrak Kontrol Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 38,0000 50,0000 62,6667 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Re-Epitelisasi hari ke-3 ANOVA Re_Epitelisasi3 Sum of Squares ,000 ,000 ,000
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square ,000 ,000
F
Sig. .
.
Interpretasi : Hasil output Anova dan Duncan untuk Re-Epitelisasi hari ke-5 ANOVA Re_Epitelisasi5 Sum of Squares 929,774 6,612 936,386
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 464,887 1,102
F 421,879
Sig. ,000
Re_Epitelisasi5 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 20,7500 33,9000 45,6333 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
79
Hasil output Anova dan Duncan untuk Re-Epitelisasi hari ke-7 ANOVA Re_Epitelisasi7 Sum of Squares 169,147 15,813 184,960
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square 84,573 2,636
F 32,089
Sig. ,001
Re_Epitelisasi7 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Betadine Ekstrak Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 55,3333 63,6667 65,2000 1,000 ,291
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Hasil output Anova dan Duncan untuk Re-Epitelisasi hari ke-14 ANOVA Re_Epitelisasi14
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,000 ,000 ,000
df 2 6 8
Mean Square ,000 ,000
F
Sig. .
.
Interpretasi : Hasil output Anova dan Duncan untuk Re-Epitelisasi hari ke-21 ANOVA Re_Epitelisasi21
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,000 ,000 ,000
df 2 6 8
Mean Square ,000 ,000
F
Sig. .
.
80
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 ....................................................................................................
67
Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi ....................
67
Pewarnaan .............................................................................................
68
Penutupan sediaan .................................................................................
69
Lampiran 2 ....................................................................................................
70
xiv