PENGGUNAAN EKSTRAK BATANG PISANG AMBON SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK PENGENDALIAN WHITE SPOT DISEASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME DI KARAMBA JARING APUNG
ABUNG MARULI SIMANJUNTAK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon sebagai Imunostimulan untuk Pengendalian White Spot Disease pada Budidaya Udang Vaname di Karamba Jaring Apung” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Abung Maruli Simanjuntak NIM C151130681
RINGKASAN ABUNG MARULI SIMANJUNTAK. Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon sebagai Imunostimulan untuk Pengendalian White Spot Disease pada Budidaya Udang Vaname di Karamba Jaring Apung. Dibimbing oleh SRI NURYATI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO. Salah satu alternatif pengendalian penyakit viral yang dapat dikembangkan adalah dengan menggunakan bahan herbal yang bersifat sebagai imunostimulan. Penggunaan imunostimulan telah banyak diteliti untuk pengendalian penyakit virus pada udang dan terbukti mampu meningkatkan respons imun non-spesifik serta pertumbuhan udang. Akan tetapi, sampai saat ini masih sangat minim informasi yang menjabarkan hubungan antara pengaruh dosis serta frekuensi pemberian imunostimulan pada udang. Batang pisang ambon merupakan salah satu limbah dari bahan alami yang tidak termanfaatkan dan mengandung beberapa senyawa aktif imunostimulan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menentukan dosis dan frekuensi pemberian ekstrak batang pisang ambon (EBPA) yang tepat, sehingga pada akhirnya diharapkan senyawa aktif yang terkandung dalam EBPA tersebut mampu merangsang sistem kekebalan tubuh non-spesifik terhadap serangan penyakit WSD (White Spot Disease) serta merangsang pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di karamba jaring apung (KJA). Penelitian tahap satu dilakukan untuk menentukan dosis dan frekuensi EBPA terbaik dalam meningkatkan respons imun serta pertumbuhan udang vaname. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian tahap satu adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu dosis dan frekuensi pemberian EBPA yang berbeda. Terdiri dari 14 perlakuan yang meliputi dua perlakuan kontrol (K); kontrol positif dan negatif dan 12 perlakuan pemberian pakan EBPA, yaitu A1, B1, C1, dan D1 (dosis 0.5, 2, 4, 6 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari), A3, B3, C3, dan D3 (dosis 0.5, 2, 4, 6 g/kg dengan frekuensi pemberian tiga hari sekali), A7, B7, C7, dan D7 (dosis 0.5, 2, 4, 6 g/kg dengan frekuensi pemberian tujuh hari sekali dengan masing-masing 3 ulangan. Pemberian pakan dengan ekstrak dilakukan pada perlakuan EBPA dan tanpa ekstrak pada kontrol secara at-satiation dengan frekuensi pemberian empat kali sehari selama 21 hari. Observasi parameter pertumbuhan meliputi rasio konversi pakan (FCR) dan laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang tiap perlakuan pada akhir penelitian. Kemudian udang di uji tantang menggunakan filtrat WSSV (103 ). Variabel pengamatan meliputi gejala klinis, kelangsungan hidup, histopatologi, konfirmasi WSSV menggunakan PCR, serta parameter imunitas (total hemocyte count (THC), aktivitas prophenoloxidase (proPO), aktivitas respiratory burst (RB), dan glukosa) dilakukan sebelum dan sesudah uji tantang pada tiap perlakuan. Penelitian tahap dua dilakukan untuk mengevaluasi EBPA dengan dosis dan frekuensi terbaik dalam meningkatkan respons imun serta pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di karamba jaring apung. Rancangan yang digunakan pada penelitian tahap dua adalah rancangan eksperimental yang terdiri dari dua perlakuan, yaitu perlakuan EBPA dengan dosis dan frekuensi pemberian terbaik (0.5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari) serta perlakuan kontrol (tanpa
EBPA) yang diulang sebanyak tiga kali tiap perlakuan. Pemberian pakan perlakuan dilakukan selama 30 hari dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari. Observasi kelangsungan hidup, konfirmasi WSSV (PCR dan Histopatologi), dan pertumbuhan (FCR dan LPS) dilakukan terhadap kedua perlakuan pada awal dan akhir penelitian. Pengamatan parameter imunitas (THC, proPO, RB, dan glukosa) dilakukan terhadap kedua perlakuan pada awal, tengah, dan akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pemberian EBPA pada pakan menyebabkan terjadinya penurunan respons imun serta pertumbuhan pada udang vaname. Sementara itu, semakin seringnya (setiap hari) frekuensi pemberian EBPA mampu memberikan respons yang optimal dalam meningkatkan sistem imun serta pertumbuhan udang vaname. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EBPA pada dosis rendah (0.5 g/kg) diiringi dengan frekuensi pemberian setiap hari (perlakuan A1) terbukti mampu memberikan respons yang optimal terhadap sistem imun (THC, proPO, RB), kelangsungan hidup dalam melawan infeksi WSSV, serta dapat meningkatkan pertumbuhan (FCR dan LPS) udang vaname. Konfirmasi WSSV menggunakan PCR dan histopatologi menunjukkan bahwa udang perlakuan yang mati pada saat uji tantang positif terinfeksi WSSV. Selanjutnya, aplikasi EBPA pada kegiatan budidaya udang di karamba jaring apung (KJA) menggunakan dosis dan frekuensi pemberian terbaik (A1) juga terbukti mampu meningkatkan kelangsungan hidup, sistem imun serta pertumbuhan udang vaname. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EBPA melalui pakan pada udang vaname mampu meningkatkan pertumbuhan, serta ketahanan tubuh udang terhadap infeksi WSSV. Kata kunci: ekstrak batang pisang, udang vaname, karamba jaring apung, respons imun, WSD
SUMMARY ABUNG MARULI SIMANJUNTAK. Application of Banana Stem Extract as an Immunostimulant for White Spot Disease Control in White Shrimp at Floating Cage. Supervised by SRI NURYATI and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO. One alternative control of viral disease that can be developed to use herbal compound which act as an immunostimulant. The use of immunostimulant has been widely studied for the control of viral diseases in shrimp and proved to increase the non-specific immune response as well as the growth of shrimp. However, until now there is still minimal information that describes the relationship between the effect of dose and frequency administration of immunostimulant on shrimp. Banana stem is a natural waste that rarely utilized and contain some of the immunostimulant active compounds. Therefore, this study was conducted to determine the effective dosage and frequency of banana stem extract administration so that active compounds contained in banana stem extract able to stimulate the non-spesific immune system to enhance the immune response against WSD (White Spot Disease) and stimulate the white shrimp growth which being kept in floating cage. The research stage one was conducted to determine the best dose and frequency of banana stem extract in enhancing the immune response and growth of white shrimp. The research design at stage one was used completely randomized factorial design consisting of two factors, namely the different dosage and frequency of banana stem extract administration. It consists of 14 treatments includes two control treatments (K); positive and negative controls and 12 BSE administration treatments, namely A1, B1, C1, and D1 (doses of 0.5, 2, 4, 6 g/kg given daily), A3, B3, C3, and D3 (dose 0.5, 2, 4, 6 g/kg given once every three days), A7, B7, C7, and D7 (doses of 0.5, 2, 4,hi 6 g/kg given once every seven days), each treatments done with 3 replication. Administration with extracts performed in banana stem extract treatment and without extract in control treatments at-satiation with a frequency of four times a day for 21 days. Observation of the growth parameters include the shrimp feed conversion ratio (FCR) and specific growth rate (SGR) of every treatment at the end of the study . Then the shrimp is challenged using the WSSV filtrate (10-3). Observation variable includes clinical symptoms, survival rate, histopathology, WSSV confirmation using PCR, and immune parameters (total hemocyte count (THC), prophenoloxidase activity (proPO), respiratory burst activity (RB), and glucose) performed before and after the challenge test in each treatment. The research stage two was conducted to evaluate the best dose and frequency of banana stem extract to enhancing the immune response and growth of white shrimp were cultured in floating cage. The design at stage two was used the experimental design consisting of two treatments, namely banana stem extract treatments with the best dose and frequency of administration (0.5 g/kg given daily) as well as the control treatment (without banana stem extract) which repeated three times for each treatment. The administration on treatments carried out for 30 days with the administration frequency of four times a day. Observation of survival, confirmation WSSV (PCR and histopathology) immune parameters
(THC, proPO, RB, and glucose) and growth (FCR and SGR) was done for the two treatments at the beginning, middle, and end of the study. The results showed that the higher doses of banana stem extract in the feed cause a decrease in the immune response and growth of white shrimp. Meanwhile, more frequently (daily) administration of banana stem extract was able to provide the optimal response in enhancing the immune system and the growth of white shrimp. Banana stem extract administration was given in low doses (0.5 g/kg) and in daily frequency (treatment A1) is proved being capable of providing an optimal response to the immune system (THC, proPO, RB), survival rate against WSSV infection, and can increase the growth (FCR and SGR) of white shrimp. WSSV confirmation using PCR and histopathology showed that treatment shrimp that died when challenge testing is positively WSSV infected. Furthermore, the application of banana stem extract in shrimp farming activities in floating cage using the best dose and frequency of administration (A1) was also shown to improve survival, immune system, and the growth of white shrimp. This indicates that administration of banana stem extract through feed on white shrimp is able to increase the shrimp growth and resistance against WSSV infection. Keywords: Banana stem extract, white shrimp, floating cage, immune response, WSD
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGGUNAAN EKSTRAK BATANG PISANG AMBON SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK PENGENDALIAN WHITE SPOT DISEASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME DI KARAMBA JARING APUNG
ABUNG MARULI SIMANJUNTAK
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Munti Yuhana, SPi MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon sebagai Imunostimulan untuk Pengendalian White Spot Disease pada Budidaya Udang Vaname di Karamba Jaring Apung pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada Ibu Dr Sri Nuryati dan Bapak Dr Nur Bambang Priyo Utomo selaku dosen pembimbing atas waktu, kebijaksanaan, tuntunan, perhatian, kesabaran, nasehat, semangat, dan masukan-masukan yang telah diberikan hingga tesis ini dapat diselesaikan. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan Kepada Bapak Irzal Effendi, MSi selaku pembimbing lapangan dan ketua penelitian udang vaname di karamba jaring apung Sea Farming Kepulauan Seribu atas izin penelitian yang diberikan serta bantuan, masukan dan saran selama kegiatan penelitian. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Munti Yuhana selaku penguji luar komisi dan Dr Eddy Supriyono selaku ketua program studi dalam pelaksanaan ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua, calon istriku tercinta Ruth Merlin Silitonga, SE, serta keluarga besar atas doa, semangat, kasih sayang, dan keteladanan untuk selalu pantang menyerah, fokus, dan saling berbagi ilmu antar sesama. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa S2 Fresh Graduate pada tahun 2013 serta kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan dan Kementrian Agama Republik Indonesia atas bantuan penyediaan Beasiswa Tesis pada tahun 2015 sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini serta memperdalam ilmu di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu serta memberikan masukan dan ide yang membangun selama kegiatan penelitian, Bapak Ranta, Bapak Henda, Bapak Shofy Mubarak, MSi, Mba Lina Mulyani, Dwi Febrianti, MSi, Yanti Ineke Nababan, SPi, Dendi Hidayatullah, MSi, Rangga Garnama SPi, Hasan Nasrullah, SPi, Denny Wahyudi MSi, Deni Yunus Wijaya, Tim Penelitian Udang (Shavika Miranti, MSi, T. M. Haja MSi, Sophia Margaretha, MSi, dan Fazril Saputra, MSi), serta teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur Angkatan 2013 dan Yayasan El-Hikmah Perjuangan (Novieanto Poernomo, MSi, Fitria Nawir, MSi, Rahmat Hidayat, MSi, Yunarty, MSi, Artin Indrayati, MSi, Rifqi Tamamdusturi, MSi, Asep Akmal Aonullah, MSi, Sekar Ayu Chairunnisa, MSi dan Nurin Dallilah Ayu, MSi) atas bantuan, kebersamaan, kekompakan serta motivasinya dalam perjuangan menempuh studi. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan umumnya dan perikanan budidaya khususnya. Bogor, Januari 2016
Abung Maruli Simanjuntak
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 4
2 METODE Waktu dan Tempat Rancangan Penelitian Penelitian tahap 1 Penelitian tahap 2 Prosedur Penelitian Preparasi EBPA Analisis Kulitatif dan Kuantitatif Fitokimia Persiapan Wadah dan Media Budidaya Persiapan Hewan Uji Preparasi Pakan Pembuatan Filtrat dan Infeksi WSSV Variabel Pengamatan Total Hemocyte Count (THC) Aktivitas Prophenoloxydase (ProPO) Aktivitas Respiratory Burst (RB) Glukosa Darah Kelangsungan Hidup Gejala Klinis Histopatologi Konfirmasi Keberadaan WSSV Menggunakan PCR Laju Pertumbuhan Spesifik Rasio Konversi Pakan Kualitas Air Media Pemeliharaan Prosedur Analisis Data
4 4 4 4 5 6 6 6 6 6 7 7 8 8 8 8 9 9 9 9 9 10 10 10 10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Ekstrak Batang Pisang Ambon Respons Imun Total Hemocyte Count (THC) Aktivitas prophenoloxydase (proPO)
11 11 11 11 11 13
Aktivitas Respiratory Burst (RB) Glukosa Darah Kelangsungan Hidup Gejala Klinis Histopatologi Konfirmasi WSSV Menggunakan PCR Laju Pertumbuhan Spesifik Rasio Konversi Pakan Pembahasan
15 17 18 20 21 22 23 24 25
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
31 31 32
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
48
DAFTAR TABEL 1 2 3
Perlakuan pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang berbeda Pengamatan parameter kualitas air selama penelitian Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif EBPA
4 10 11
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Skema perumusan masalah Skema uji in vivo selama perlakuan Tahap 1 Total hemocyte count udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV THC udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung Aktivitas prophenoloxydase udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV Aktivitas prophenoloxydase udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung Aktivitas respiratory burst udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV Aktivitas respiratory burst udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung Glukosa darah udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV Glukosa darah udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung Mortalitas udang vaname pascauji tantang dengan WSSV Kelangsungan hidup udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung Perubahan gejala klinis secara morfologis udang terinfeksi WSSV Perubahan gejala klinis secara mikroskopis karapaks udang terinfeksi WSSV pada perbesaran 400x Histopatologi jaringan hepatopankreas pada perbesaran 1000x Histopatologi jaringan hepatopankreas pada perbesaran 1000x Konfirmasi keberadaan WSSV menggunakan PCR Konfirmasi keberadaan WSSV menggunakan PCR Laju pertumbuhan spesifik udang vaname selama 21 hari perlakuan Laju pertumbuhan spesifik udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung Rasio konversi pakan udang vaname selama 21 hari perlakuan Rasio konversi pakan udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung
3 5 12 13 14 15 16 17 17 18 19 19 20 21 21 22 22 23 24 24 25 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Prosedur analisis kualitatif fitokimia Prosedur analisis glukosa darah menggunakan kit Human® Glucose Liquicolor Analisis ragam dan uji lanjut tukey data total hemocyte count (THC) udang vaname pada penelitian tahap 1 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data aktivitas prophenoloxydase (proPO) udang vaname pada penelitian tahap 1 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data aktivitas respiratory burst (RB) udang vaname pada penelitian tahap 1 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data kelangsungan hidup udang vaname pada penelitian tahap 1 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang vaname pada penelitian tahap 1 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data rasio konversi pakan (FCR) udang vaname pada penelitian tahap 1
37 38 38 41 43 45 46 46
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan budidaya udang vaname (Litopeneaus vannamei) telah berkembang pesat di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dan khususnya di Indonesia. Sampai saat ini, kegiatan budidaya udang vaname pada umumnya dilakukan pada wilayah pesisir atau tambak. Di sisi lain, wilayah lautan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pembangunan budidaya udang pada karamba jaring apung (KJA), dan ini menjadi alternatif untuk kegiatan budidaya udang yang berkelanjutan. Budidaya udang pada karamba jaring apung memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan budidaya udang di tambak, antara lain; relatif tidak terjadi penumpukan limbah organik dari sisa pakan, rasio konversi pakan lebih baik karena tersedianya pakan alami yang cukup dalam memenuhi kebutuhan nutrien udang, serta tidak memerlukan energi untuk pergantian air dan aerasi (Zarain-Herzberg et al. 2010). Selain memiliki beberapa keunggulan tersebut, budidaya udang di karamba jaring apung juga memiliki kelemahan, salah satunya adalah pengendalian apabila terjadi serangan penyakit infeksius. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan laut yang terbuka tidak sepenuhnya dapat terkontrol seperti yang dapat dilakukan pada budidaya udang di tambak. Penyakit infeksius yang disebabkan oleh parasit, bakteri, jamur, dan virus merupakan penyakit utama yang sering dijumpai pada kegiatan budidaya udang vaname. Virus merupakan salah satu jenis penyakit yang secara signifikan dapat meningkatkan mortalitas udang vaname, sehingga menghambat proses produksi dalam kegiatan budidayanya. White spot disease (WSD) hingga kini masih menjadi masalah dalam budidaya udang vaname yang disebabkan oleh virus White spot syndrome virus (WSSV). Infeksi WSSV pada tingkat akut dapat menyebabkan kematian hingga 100% dalam waktu 7-10 hari pascainfeksi (Lightner 1996). Beberapa alternatif pencegahan dan pengendalian yang umum digunakan untuk pengendalian penyakit WSSV pada kegiatan budidaya udang vaname antara lain dengan menggunakan benih udang SPF (specific pathogen free), penerapan biosekuriti (Lightner 2005), penggunaan probiotik (Lakshmi et al. 2013; Lauzon et al. 2014) dan imunostimulan (Citarasu et al. 2006; Sirirustananun et al. 2011). Vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit pada udang kurang efektif untuk diterapkan, karena mekanisme pertahanan udang lebih ditentukan oleh sistem kekebalan bawaan (innate immunity) untuk mengenali dan menangkal serangan patogen (Flegel et al. 2008). Imunostimulan saat ini mulai banyak digunakan untuk pengendalian penyakit pada kegiatan budidaya sebagai alternatif terhadap penggunaan obat-obatan, bahan kimia, dan antibiotik (Jane et al. 2015; Karunasagar et al. 2014). Penggunaan imunostimulan berupa bahan herbal juga telah banyak diteliti aplikasinya untuk pencegahan penyakit pada kegiatan budidaya ikan maupun udang dan diketahui meningkatkan respons imun nonspesifik, nafsu makan, pertumbuhan, serta bersifat sebagai anti-stres, antibakterial, anti-fungal dan anti-viral (Citarasu 2010; Harikrishnan et al. 2011; Ramudu dan Dash 2013). Imunostimulan dapat diaplikasikan dengan metode injeksi, perendaman, maupun melalui pakan (oral). Pemberian imunostimulan melalui pakan merupakan salah satu metode pemberian imunostimulan yang
2 banyak diteliti pada udang vaname. Beberapa hasi penelitian melaporkan bahwa penggunaan ekstrak herbal Cyanodon dactylon (Balasubramanian et al. 2008), Phyllanthus niruri (Jayanthi et al. 2013) dan Momordica charantia (Ghosh et al. 2014) melalui pakan mampu meningkatkan respons imun udang terhadap infeksi WSSV. Akan tetapi, sampai saat ini masih sangat minim informasi yang menjabarkan hubungan antara pengaruh dosis serta frekuensi pemberian imunostimulan pada udang vaname. Batang pisang ambon (Musa paradisiaca) merupakan salah satu limbah dari bahan alami yang tidak termanfaatkan dan sangat mudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Ekstrak tanaman pisang yang dihasilkan dari bagian akar (Biswas et al. 2011), batang (Apriasari et al. 2014; Onyenekwe et al. 2013), bunga (Sumathy et al. 2011) dan daun (Enechi et al. 2014) mengandung beberapa bahan aktif imunostimulan dan anti-inflamasi, antara lain; alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, tannin, triterpenoid, dan glikosida. Dari bagian-bagian tanaman pisang tersebut, batang pisang memiliki kandungan senyawa aktif imunostimulan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian lainnya (Loganayaki et al. 2010). Kandungan senyawa aktif tersebut berguna untuk menjaga maupun meningkatkan kesehatan ikan maupun udang budidaya. Aplikasi ekstrak batang pisang khususnya untuk budidaya udang vaname hingga kini belum dikaji secara ilmiah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan pengaruh dosis dan frekuensi pemberian ekstrak batang pisang ambon (EBPA) yang tepat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh nonspesifik udang vaname terhadap infeksi WSSV serta merangsang pertumbuhan udang vaname. Akhirnya diharapkan pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang optimal mampu meningkatkan respons imun udang vaname terhadap infeksi WSSV serta meningkatkan pertumbuhan udang vaname pada kegiatan budidaya udang vaname di karamba jaring apung. Perumusan Masalah Pencegahan dan pengendalian yang tepat terhadap serangan penyakit viral khususnya WSD pada kegiatan budidaya udang vaname sampai saat ini belum ditemukan. Udang merupakan hewan invertebrata yang memiliki sistem imun yang primitif dibandingkan dengan hewan vertebrata (ikan), karena udang tidak memproduksi antibodi (pertahanan spesifik). Mekanisme pertahanan udang sangat bergantung pada kekebalan bawaan (innate immunity) atau dikenal sebagai sistem pertahanan non-spesifik, terdiri dari komponen humoral dan seluler yang sangat efektif dalam menangkal serangan patogen. Alternatif pengendalian penyakit viral yang dapat dikembangkan adalah dengan menggunakan bahan herbal berupa EBPA sebagai imunostimulan. Dalam hal ini, belum ada informasi ilmiah yang mengkaji manfaat EBPA sebagai imunostimulan untuk budidaya udang. Upaya peningkatan respons imun pada udang menggunakan imunostimulan perlu memperhatikan dosis dan frekuensi pemberian imunostimulan yang optimal. Pemberian dosis imunostimulan yang terlalu tinggi dapat menekan mekanisme sistem pertahanan, sedangkan dosis pemberian yang rendah kurang efektif untuk meningkatkan respons imun udang vaname. Frekuensi pemberian imunostimulan juga penting untuk diperhatikan agar dapat dihasilkan proteksi yang optimal. Respons imun pada udang dapat dinyatakan dalam bentuk kelangsungan hidup udang yang terinfeksi, serta parameter imun berupa total hemocyte count (THC),
3 aktivitas prophenoloxidase (proPO), aktivitas respiratory burst (RB), dan glukosa. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dosis dan frekuensi pemberian EBPA terbaik melalui pakan dalam meningkatkan respons imun udang vaname terhadap infeksi WSSV serta meningkatkan pertumbuhan udang vaname. Selanjutnya pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang optimal diharapkan mampu meningkatkan respons imun udang vaname terhadap infeksi WSSV serta meningkatkan pertumbuhan udang vaname pada kegiatan budidaya udang vaname di karamba jaring apung.
Gambar 1 Skema perumusan masalah
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan dosis dan frekuensi optimum EBPA yang dapat meningkatkan respons imun serta pertumbuhan udang vaname
4 terhadap serangan WSSV, dan (2) mengevaluasi pengaruh aplikasi dosis dan frekuensi EBPA terbaik terhadap respons imun dan pertumbuhan pada kegiatan budidaya udang vaname di karamba jaring apung. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi tentang aplikasi EBPA untuk pencegahan dan pengendalian penyakit viral khususnya WSSV pada kegiatan budidaya udang vaname.
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada September - Desember 2014 dan Januari Agustus 2015. Penelitian tahap satu dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, serta penelitian tahap dua dilakukan di Stasiun Penelitian Coe Sea Farming dan Sea Ranching PKSPL IPB, Kepulauan Seribu. Rancangan Penelitian Penelitian tahap 1 Penelitian tahap satu dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian EBPA terhadap respons imun serta pertumbuhan udang vaname, serta menentukan dosis dan frekuensi yang optimal untuk meningkatkan respons imun udang vaname terhadap serangan WSSV serta pertumbuhan udang vaname. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu dosis dan frekuensi pemberian EBPA yang berbeda. Terdiri dari 14 perlakuan, yang meliputi dua perlakuan kontrol (K); kontrol positif dan negatif, dan 12 perlakuan pemberian pakan EBPA, yang diulang sebanyak tiga kali tiap perlakuan (Tabel 1). Tabel 1 Perlakuan pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang berbeda Perlakuan Kontrol (-) Kontrol (+) A1 B1 C1 D1 A3 B3 C3 D3 A7 B7 C7 D7
Dosis Ekstrak (g/kg) 0 0 0.5 2 4 6 0.5 2 4 6 0.5 2 4 6
Frekuensi Pemberian Setiap hari Setiap hari
Tiga hari sekali
Tujuh hari Sekali
Pemberian pakan dengan ekstrak dilakukan pada perlakuan EBPA dan tanpa ekstrak pada kontrol secara at-satiation dengan frekuensi pemberian empat kali
5 sehari selama 21 hari, dan dilakukan observasi parameter pertumbuhan meliputi rasio konversi pakan (FCR) dan laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang tiap perlakuan pada akhir penelitian. Uji tantang menggunakan filtrat WSSV (10-3) dilakukan pada udang perlakuan K positif dan EBPA, sementara perlakuan K negatif di injeksi menggunakan PBS (Phosphate Buffer Saline). Setelah proses uji tantang, dilakukan pemberian pakan perlakuan (pakan EBPA dan Kontrol) selama 14 hari sesuai dengan masing-masing perlakuan. Pengamatan gejala klinis, kelangsungan hidup, dan parameter imunitas dilakukan pada semua perlakuan sebelum dan setelah uji tantang. Parameter imunitas meliputi total hemocyte count (THC), aktivitas prophenoloxidase (proPO), aktivitas respiratory burst (RB), dan glukosa. Konfirmasi keberadaan WSSV sebelum dan sesudah uji tantang pada tiap perlakuan dilakukan secara histopatologis dan menggunakan PCR (Gambar 2).
Gambar 2 Skema uji in vivo selama perlakuan Tahap 1. ( ) pemberian pakan kontrol, ( ) pemberian pakan perlakuan, ( * ) pengamatan parameter imun, ( ) pascauji tantang. Penelitian tahap 2 Penelitian tahap dua bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian pakan dengan dosis dan frekuensi pemberian EBPA terbaik yang diperoleh dari hasil penelitian tahap pertama terhadap respons imun serta pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dalam karamba jaring apung (KJA). Dosis pemberian pakan EBPA yang digunakan dalam penelitian tahap dua ini adalah sebesar 0.5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari. Rancangan yang digunakan adalah rancangan eksperimental berupa dua perlakuan; perlakuan pemberian pakan EBPA dan pakan kontrol selama 30 hari pemeliharaan, yang diulang sebanyak tiga kali tiap perlakuan. Observasi kelangsungan hidup, konfirmasi WSSV (PCR dan histopatologis), dan pertumbuhan (FCR dan LPS) dilakukan terhadap kedua perlakuan pada awal dan akhir penelitian. Pengamatan parameter imunitas (THC, proPO, RB, dan glukosa) dilakukan terhadap kedua perlakuan pada awal, tengah, dan akhir penelitian.
6 Prosedur Penelitian Preparasi EBPA Prosedur ekstraksi yang dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Septiana dan Asnani (2012). Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Batang pisang ambon yang telah dibersihkan sebelumnya dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Batang pisang ambon yang telah dicacah menjadi bagian-bagian kecil diekstraksi dengan perbandingan 1:10 antara sampel dan pelarut. Setelah terendam dengan sempurna batang pisang ambon di shaker selama 24 jam menggunakan Thermoshake dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 40 oC. Filtrat yang diperoleh disaring untuk memisahkan dengan ampas, kemudian dilakukan penguapan dengan rotary evaporator pada suhu 40 oC. Hasil yang diperoleh berupa ekstrak kental batang pisang ambon. Analisis Kulitatif dan Kuantitatif Fitokimia Analisis kualitatif fitokimia dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dengan mengikuti prosedur Harborne (2006), meliputi uji alkaloid, uji saponin, uji tanin, uji titerpenoid, uji fenolik dan flavonoid (Lampiran 1). Selanjutnya, analisis kuantitatif dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cimanggu, Bogor menggunakan metode spektrophotometri (flavonoid dan tanin) dan Thin-Layer Chromatography scanner (saponin) untuk menghitung jumlah masing-masing kandungan bahan aktif dalam persen (%). Persiapan Wadah dan Media Budidaya Penelitian tahap 1 Wadah yang digunakan pada penelitian tahap satu adalah 42 akuarium berukuran 60 × 30 × 35 cm yang terlebih dahulu didesinfeksi dengan kaporit konsentrasi 50 ppm selama 24 jam kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih. Akuarium diisi dengan air laut sebanyak 40 liter/akuarium. Air laut yang digunakan untuk pemeliharaan bersalinitas 30,80±0.52 ppt. Sebelum digunakan air laut terlebih dahulu disaring dan disterilkan dengan menggunakan calcium hypoclorite (Ca(CIO2)) konsentrasi 30 ppm pada bak tandon sebelum dimasukkan ke akuarium. Penelitian tahap 2 Wadah yang digunakan pada penelitian tahap dua adalah karamba jaring apung dengan ukuran 1 × 1 × 2,5 m yang dipasang terlebih dahulu selama dua hari sebelum digunakan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat kimia yang terkandung dalam karamba yang akan digunakan. Sebelum digunakan karamba diberi anco (tempat pakan) dengan ukuran 1 × 1 m pada dasar wadah perlakuan. Persiapan Hewan Uji Penelitian tahap 1 Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tahap satu adalah udang vaname dengan bobot rata-rata 5,50±0.33 gr/ekor yang berasal dari PT Suri Tani Pemuka, Anyer. Udang uji yang akan digunakan terlebih dahulu dipastikan tidak terinfeksi WSSV dengan melakukan konfirmasi menggunakan PCR, kemudian
7 diadaptasikan selama 14 hari dalam akuarium perlakuan sebanyak 10 ekor/ 40L (Febriani et al. 2013) dan diberi pakan komersial secara at-satiation dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari. Pengelolaan kualitas air media dipertahankan pada kondisi optimal dengan melakukan kontrol kualitas air serta penyiponan terhadap kotoran dan sisa pakan yang terakumulasi di dalam akuarium. Udang uji dipuasakan selama 24 jam sebelum diberi perlakuan dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam tubuh. Penelitian tahap 2 Penelitian tahap dua udang uji yang digunakan udang vaname dengan ukuran 2,09±1,20 g/ekor yang berasal dari Stasiun Penelitian Coe Sea Farming dan Sea Ranching PKSL IPB, Kepulauan Seribu. Udang uji terlebih dahulu dipastikan tidak terinfeksi WSSV dengan melakukan konfirmasi menggunakan PCR, kemudian diadaptasikan selama tujuh hari dalam karamba perlakuan sebanyak 200 ekor/m3. Selama proses adaptasi udang diberi pakan komersial secara at-satiation dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari. Udang uji dipuasakan selama 24 jam sebelum diberi perlakuan dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam tubuh. Preparasi Pakan Ekstrak kental batang pisang ambon masing-masing ditimbang dan disiapkan berdasarkan dosis perlakuan yang telah ditentukan sebelumnya (Tabel 1). Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan udang komersil dengan kadar protein 40%. Sebelum dicampur pada pakan, ekstrak kental batang pisang ambon dicampur dengan Tween 80 (sebagai emulsifier) dengan perbandingan 1:1 (Alves et al. 2011), kemudian dilarutkan dengan akuades yang mengandung putih telur (binder) sebanyak 2% sampai tercampur rata. Selanjutnya, larutan ekstrak disemprotkan secara perlahan pada pakan dan dikeringanginkan pada suhu ruang tanpa terkena sinar matahari langsung. Pakan yang telah siap dapat langsung digunakan atau dapat dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat sampai saat akan digunakan. Pembuatan Filtrat dan Infeksi WSSV Udang vaname positif WSSV diperoleh dari Balai Pengembangan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jawa Timur yang sebelumnya telah dikonfirmasi menggunakan PCR. Prosedur pembuatan filtrat WSSV selanjutnya dilakukan dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Xie et al. 2005. Jaringan tubuh udang yang terinfeksi WSSV (tanpa hepatopankreas, usus dan karapaks) ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dicacah menjadi bagian-bagian kecil dan dihomogenkan dengan 20 mL TN-Buffer (200 mM Tris, 400 mM NaCl, pH 7,5) menggunakan mortar. Selanjutnya, jaringan udang yang telah dihomogenkan dengan TN-Buffer disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC, kemudian supernatan yang diperoleh dipindahkan pada wadah mikrotube yang baru dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC. Hasil supernatan yang diperoleh kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 10 -3 dan difilter menggunakan syringe filter 0,45 µm. Injeksi WSSV dilakukan pada bagian punggung udang, diantara segmen ketiga dan keempat sebanyak 0,1 mL/ekor dengan dosis 10-3 yang diperoleh dari
8 LD50 yang telah dilakukan sebelumnya. Udang yang digunakan sebagai kontrol negatif di injeksi menggunakan larutan Phospate Buffer Saline (PBS) sebanyak 0,1 mL/ekor. Variabel Pengamatan Total Hemocyte Count (THC) Pengamatan total hemocyte count (THC) udang vaname dilakukan dengan mengambil darah udang atau hemolim sebanyak 0,2 mL dari pangkal kaki renang pertama dengan menggunakan syringe 1 mL yang sudah berisi 0,2 mL antikoagulan. Selanjutnya, campuran tersebut dihomogenkan dengan cara menggoyangkan syringe membentuk angka delapan. Tetesan pertama cairan yang mengandung hemolim dan antikoagulan yang telah dihomogenkan dibuang sedangkan tetesan selanjutnya diteteskan pada haemocytometer dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali kemudian dihitung jumlah sel/mL. Aktivitas Prophenoloxydase (ProPO) Aktivitas prophenoloxydase hemosit udang diukur menggunakan metode yang dilakukan Immanuel et al. (2012) berdasarkan formasi dopachrome yang dihasilkan oleh L-DOPA (L-dihydroxyphenylalanine). 1 mL campuran hemolimantikoagulan disentrifugasi 700x g selama 10 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang dan pelet disuspensi kembali secara perlahan dengan menambahkan 1 mL larutan cacodylate-citrate buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,10 M trisodium citrate, pH 7) dan disentrifugasi kembali 700x g selama 10 menit suhu 4 oC. Supernatan yang terbentuk dibuang dan ditambahkan 200 µL cacodylate-citrate buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,10 M trisodium citrate, pH 7). Suspensi sel sebanyak 100 µL kemudian diinkubasi dengan 50 µL trypsin (1 mg/mL cacodylate buffer) sebagai aktivator selama 10 menit pada temperatur 25-26 oC. Selanjutnya ditambahkan 50 µL L-DOPA (3 mg/mL cacodylate buffer), diamkan selama 5 menit dan ditambahkan 800 µL cacodylate buffer. Densitas optikal (OD) diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Larutan standar mengandung 100 µL suspensi hemosit, 50 µL cacodylate buffer (pengganti trypsin), dan 50 µL L-DOPA. Densitas optikal (OD) dari aktivitas proPO dinyatakan sebagai formasi dopachrome dalam 100 µL hemolim. Aktivitas Respiratory Burst (RB) Aktivitas respiratory burst dari hemosit udang diukur menggunakan metode yang dilakukan Immanuel et al. (2012) berdasarkan reduksi NBT (nitroblue tetrazolium) sebagai ukuran superoxide anion (O2-). Sebanyak 50 µL campuran hemolim-antikoagulan diinkubasi selama 30 menit dalam suhu ruang. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 700x g selama 20 menit dan supernatan dibuang, kemudian ditambahkan 100 µL NBT dalam larutan HBSS (hank's buffered salt solution dengan konsentrasi 0,3% dan didiamkan selama 2 jam pada suhu ruang. Kemudian disentrifugasi 700x g selama 10 menit, supernatan dibuang dan ditambahkan 100 µL metanol absolut untuk selanjutnya disentrifugasi 700x g selama 10 menit (supernatan dibuang). Pelet yang terbentuk kemudian dibilas sebanyak 2 kali dengan metanol 70%. Selanjutnya 120 µL KOH (2M) dan 140
9 µL DMSO (dimethylsulfoxide) ditambahkan untuk melarutkan pelet. Pelet yang telah larut kemudian dimasukkan ke dalam microplate untuk diukur densitas optikal (OD) menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 630 nm. Glukosa Darah Analisis glukosa darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui pengaruh EBPA terhadap respons stress pada udang sebelum uji tantang (setelah pemberian EBPA) maupun pascauji tantang. Analisis dilakukan dengan cara mengambil cairan hemolim udang menggunakan syringe 1 mL dengan perbandingan 1:1 antara antikoagulan dan hemolim. Selanjutnya, hemolim yang diperoleh di homogenkan dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit untuk mendapatkan plasma darah udang. Plasma darah digunakan untuk menganalisis kadar glukosa darah dengan menggunakan metode yang telah tersedia pada kit Human® Glucose Liquicolor seperti yang tersaji pada Lampiran 2. Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup udang vaname dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan : Nt : Jumlah udang yang hidup pada akhir pengamatan (ekor) No : Jumlah udang pada awal pengamatan (ekor) Gejala Klinis Gejala klinis yang timbul pada udang dapat menunjukkan tingkat infeksi dari WSSV tersebut. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan gejala klinis, patologi anatomi (makroanatomi), maupun mikroanatomi. Data gejala klinis yang dihasilkan berupa data kualitatif (deskriptif). Histopatologi Histopatologi diambil dari jaringan hepatopankreas udang uji. Sampel udang uji diambil dari setiap perlakuan untuk mengetahui tingkat kerusakan jaringan yang terjadi akibat WSSV dan pengaruh perlakuan yang diberikan. Organ dan jaringan yang diambil dari udang uji difiksasi terlebih dahulu dengan larutan fiksatif davidson selama 24 jam. Organ dipotong 3-5 mm dan 1 × 1 cm, selanjutnya dilakukan dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding dan blocking parrafin. Block jaringan selanjutnya diiris menggunakan mikrotom 5 µm dan diwarnai dengan hematoxylin-eosin. Konfirmasi Keberadaan WSSV Menggunakan PCR Pemeriksaan virus dengan metode PCR (KAPA Taq PCR, Boston, USA) dilakukan guna mengkonfirmasi keberadaan virus WSSV pada udang vaname. Uji konfirmasi yang digunakan dalam perlakuan dan pada saat setelah diinfeksi menggunakan teknik one step PCR menggunakan primer 146F2 (5’-GTA-ACTGCC-CCT-TCC-ATC-TCC-A-3’) dan 146R2 (5’-TAC-GGC-AGCTGC-TGCACC-TTG-T-3’) mengikuti prosedur yang dilakukan Nunan dan Lightner (2011).
10 Laju Pertumbuhan Spesifik Laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang uji dihitung berdasarkan persamaan berikut (Bai et al. 2010): LPS = Keterangan: LPS = Laju pertumbuhan spesifik ln (fw) = Bobot ikan / udang pada akhir penelitian ln (iw) = Bobot ikan / udang pada awal penelitian t = Lama pemeliharaan Rasio Konversi Pakan Rasio konversi pakan atau Feeding Conversion Rate (FCR) udang vaname selama pemeliharaan dihitung menggunakan rumus (Yang et al. 2015): FCR = Keterangan : FCR = Konversi pakan Fi = Jumlah pakan (gram) Fw = Biomassa udang pada saat akhir perlakuan (gram) Iw = Biomassa udang pada saat awal perlakuan (gram) Kualitas Air Media Pemeliharaan Kualitas air pemeliharaan udang selama kegiatan penelitian dipertahankan pada kondisi stabil dengan melakukan penyiponan sisa pakan serta pergantian air sebanyak satu kali dalam seminggu. Monitoring kualitas air yang meliputi parameter TAN dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor setiap tiga hari sekali selama masa penelitian berlangsung. Parameter pengamatan yang terdiri dari suhu, salinitas, dissolved oxygen (DO), dan pH dilakukan pengukuran langsung pada wadah penelitian menggunakan alat pengukur masing-masing parameter, yaitu: salinitas (salinity AZ-8371), pH (pHep hanna instrument), suhu dan DO (dissolved oxygen meter Lutron DO-5509). Hasil pengukuran kualitas air selama kegiatan penelitian tersaji pada tabel 2. Tabel 2 Pengamatan parameter kualitas air selama penelitian Tahap penelitian Tahap 1 Tahap 2
Suhu (oC)
Salinitas (ppt)
DO (mg/L)
pH
TAN (mg/L)
27,5-28,7 28,8-30,5
30-31,7 32-35
7,3-7,6 4,8-6,5
7,6-8,3 8,0-8,4
0,003-0,021 0,002-0,007
Prosedur Analisis Data Penelitian Tahap 1 Data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian ditabulasi menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan dianalisis secara statistik menggunakan
11 software Minitab version 16. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis ragam (analysis of variance/ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (a=0,05). Analysis of variance digunakan untuk analisis data kelangsungan hidup, THC, proPO, RB, FCR, dan LPS. Apabila terdapat perbedaan antar perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji Tukey. Analisis deskriptif digunakan untuk data hasil analisis EBPA, glukosa darah, konfirmasi WSSV menggunakan PCR, pengamatan gejala klinis, histopatologi, dan data kualitas air. Penelitian Tahap 2 Data yang diperoleh selama kegiatan penelitian ditabulasi kemudian dikelompokkan berdasarkan data masing-masing parameter pengamatan (kelangsungan hidup, THC, proPO, RB, FCR, dan LPS), lalu diuji normalitasnya. Metode analisis yang digunakan yaitu uji t pada selang kepercayaan 95%. Analisis desktiptif dilakukan pada data glukosa darah, hasil konfirmasi WSSV menggunakan PCR serta data pengamatan kualitas air.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Ekstrak Batang Pisang Ambon Hasil analisis fitokimia secara kualitatif menunjukkan bahwa EBPA mengandung beberapa senyawa aktif seperti; flavonoid, hidroquinon, saponin, steroid, triterpenoid, dan tanin (Tabel 3). Senyawa alkaloid tidak terdeteksi dalam EBPA. Hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa aktif dari flavonoid adalah 19,52%, saponin 8,38%, dan tanin 4,94% (Tabel 3). Tabel 3 Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif EBPA Bahan aktif
Metode analisa
Kualitatif Alkaloid Flavonoid + Hidroquinon + Saponin + Steroid + Triterpenoid + Tanin + Ket : × = Tidak dilakukan pengukuran secara kuantitatif
Kuantitatif (%) × 19,52 × 8,38 × × 4,94
Respons Imun Total Hemocyte Count (THC) Pengamatan pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa THC udang uji mengalami peningkatan setelah 21 hari perlakuan (sebelum uji tantang), selanjutnya menurun 1 hari pascauji tantang, meningkat kembali pada hari ke-3 dan hari ke-7 pascauji tantang, kemudian kembali menurun pada hari ke-14 pascauji tantang (Gambar 3). Semakin tingginya penggunaan dosis pakan EBPA yang semakin tinggi menyebabkan terjadinya penurunan nilai THC pada udang uji. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) selama 21 hari
12 (sebelum uji tantang) menunjukkan nilai THC (29,1x106 sel/mL) yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (20,9x106 sel/mL) serta perlakuan lainnya (Lampiran 3). Selanjutnya, frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan pengaruh signifikan (p<0,05) terhadap THC pada udang uji, dimana jumlah THC meningkat seiring semakin seringnya (setiap hari) frekuensi pemberian pakan EBPA yang dilakukan. Pemberian pakan EBPA dengan frekuensi pemberian setiap hari menunjukkan nilai THC paling tinggi (26,5x106 sel/mL) bila dibandingkan dengan frekuensi pemberian yang dilakukan selama tiga hari (22,8x106 sel/mL) dan tujuh hari sekali (22,5x106 sel/mL). Hasil pengamatan interaksi antara dosis dan frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan bahwa perlakuan A1 (0,5 g/kg setiap hari) merupakan perlakuan terbaik (p<0,05) dari semua perlakuan (Gambar 3). Nilai THC perlakuan A1 selama penelitian yaitu 32,93±0,96x106 sel/mL sebelum uji tantang, 26,40±0,69x106 sel/mL hari ke-1 pascauji tantang, 31,80±0,20x106 sel/mL hari ke-3 pascauji tantang, 35,27±0,55x106 sel/mL hari ke-7 pascauji tantang dan 31,83±0,55x106 sel/mL hari ke-14 pascauji tantang. (A)
(B)
(C)
Gambar 3 Total hemocyte count udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV. Data (rata-rata±SD) dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: (A) A1 (0,5 g/kg setiap hari), B1 (2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), dan D1 (6 g/kg setiap hari). (B) A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), dan D3 (6 g/kg tiga hari sekali). (C) A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2
13 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Hasil uji skala lapang (tahap dua) di karamba jaring apung menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA selama 30 hari berpengaruh signifikan terhadap THC udang uji (Gambar 4). Udang yang diberi pakan EBPA baik pada pengamatan hari ke-15 (27,32±0,87x106 sel/mL) maupun hari ke-30 (29,05±1,03x106 sel/mL) memiliki nilai THC 1,35 dan 1,40 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan udang kontrol (20,27±1,39 dan 20,78±1,39x106 sel/mL).
Gambar 4 THC udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung. Aktivitas prophenoloxydase (proPO) Hasil penelitian tahap satu yang tersaji pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA selama 21 hari pemeliharaan mampu meningkatkan aktivitas proPO pada udang uji (0,412-0,680 OD) bila dibandingkan dengan udang kontrol (0,368 OD). Semakin tingginya penggunaan dosis pakan EBPA menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas proPO pada udang uji. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) memberikan pengaruh signifikan terhadap aktivitas proPO dibandingkan dengan perlakuan dosis lainnya (2, 4, dan 6 g/kg) serta perlakuan kontrol (p<0,05). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) selama 21 hari (sebelum uji tantang) memiliki aktivitas proPO (0,609 OD) 1,85 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (0,329 OD). Selanjutnya, pemberian pakan EBPA dengan frekuensi setiap hari menunjukkan aktivitas proPO paling tinggi diikuti dengan frekuensi pemberian tiga hari serta tujuh hari sekali (Lampiran 4). Pemberian pakan EBPA dengan frekuensi pemberian setiap hari menunjukkan aktivitas proPO yang lebih tinggi (0,520 OD) bila dibandingkan dengan frekuensi pemberian yang dilakukan selama tiga hari (0,411 OD) dan tujuh hari sekali (0,408 OD). Hasil pengamatan interaksi antara dosis dan frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan perlakuan A1 merupakan yang terbaik (p<0,05) dari semua perlakuan, kemudian diikuti oleh perlakuan B1, C1, D1, A3 dan A7. Nilai aktivitas proPO yang diperoleh perlakuan A1 selama penelitian, yaitu 0,719±0,036 OD sebelum uji tantang, 0,583±0,021 OD hari ke-1 pascauji tantang, 0,772±0,029 OD hari ke-3 pascauji tantang, 0,830±0,021 OD hari ke-7 pascauji tantang dan 0,731±0,010 OD hari ke-14 pascauji tantang. Perlakuan dengan nilai aktivitas proPO terendah diperoleh pada perlakuan K+, yaitu 0,329±0,008 OD sebelum uji tantang, 0,216±0,007 OD hari ke-1 pascauji tantang, 0,275±0,034 OD
14 hari ke-3 pascauji tantang, 0,322±0,021 OD hari ke-7 pascauji tantang dan 0,000±0,000 OD hari ke-14 pascauji tantang. (A)
(B)
(C)
Gambar 5 Aktivitas prophenoloxydase udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV. Data (rata-rata±SD) dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: (A) A1 (0,5 g/kg setiap hari), B1 ( 2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), dan D1 (6 g/kg setiap hari). (B) A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), dan D3 (6 g/kg tiga hari sekali). (C) A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Hasil uji pemberian pakan EBPA selama 30 hari pada skala lapang (tahap dua) di karamba jaring apung menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dosis 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari berpengaruh signifikan terhadap aktivitas proPO udang uji (Gambar 6). Pengamatan aktivitas proPO menunjukkan bahwa udang yang diberi perlakuan ekstrak baik pada pengamatan hari ke-15 (0,571±0,050 OD) maupun hari ke-30 (0,717±0,062 OD) memiliki aktivitas proPO 1,87 dan 2,16 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan udang kontrol (0,305±0,023 OD dan 0,331±0,036 OD).
15
Gambar 6 Aktivitas prophenoloxydase udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung.
Aktivitas Respiratory Burst (RB) Pengamatan aktivitas respiratory burst (RB) pada penelitian tahap satu selama 21 hari pemberian pakan EBPA pada Gambar 7 menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA (0,412-0,680 OD) memiliki aktivitas RB yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan udang kontrol (0,368 OD). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas RB udang uji dipengaruhi oleh pemberian dosis serta frekuensi pemberian pakan EBPA. Aplikasi dosis pakan EBPA yang semakin tinggi menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas RB pada udang uji. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) memberikan pengaruh signifikan terhadap aktivitas RB dibandingkan dengan perlakuan dosis lainnya (2, 4, dan 6 g/kg) serta perlakuan kontrol (p<0,05). Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) selama 21 hari (sebelum uji tantang) memiliki aktivitas RB (0,554 OD) 1,51 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (0,368 OD). Selanjutnya, frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan pengaruh signifikan terhadap aktivitas RB, dimana aktivitas RB meningkat dengan semakin seringnya (setiap hari) frekuensi pemberian pakan yang diberikan (Lampiran 5). Pemberian pakan EBPA dengan frekuensi pemberian setiap hari menunjukkan aktivitas RB yang lebih tinggi (0,514 OD) bila dibandingkan dengan frekuensi pemberian pakan yang dilakukan selama tiga hari (0,431 OD) dan tujuh hari sekali (0,422 OD). Hasil pengamatan interaksi antara dosis dan frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan A1 merupakan perlakuan terbaik (p<0,05) dari semua perlakuan, kemudian diikuti oleh perlakuan B1, C1, D1, A3 dan A7. Nilai aktivitas RB yang diperoleh perlakuan A1 selama penelitian, yaitu 0,680±0,033 OD sebelum uji tantang, 0,555±0,032 OD hari ke-1 pascauji tantang, 0,675±0,027 OD hari ke-3 pascauji tantang, 0,752±0,043 OD hari ke-7 pascauji tantang dan 0,662±0,013 OD hari ke-14 pascauji tantang. Sebaliknya, perlakuan dengan nilai aktivitas RB terendah diperoleh pada perlakuan K+, yaitu 0,368±0,020 OD sebelum uji tantang, 0,226±0,014 OD hari ke-1 pascauji tantang, 0,304±0,050 OD hari ke-3 pascauji tantang, 0,304±0,039 OD hari ke-7 pascauji tantang dan 0,000±0,000 OD hari ke-14 pascauji tantang.
16 (A)
(B)
(C)
Gambar 7 Aktivitas respiratory burst udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV. Data (rata-rata±SD) dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: (A) A1 (0,5 g/kg setiap hari), B1 (2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), dan D1 (6 g/kg setiap hari). (B) A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), dan D3 (6 g/kg tiga hari sekali). (C) A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Pemberian pakan EBPA selama 30 hari pada skala lapang (tahap dua) di karamba jaring apung menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian pakan setiap hari berpengaruh signifikan terhadap aktivitas RB udang uji (Gambar 8). Pengamatan aktivitas RB menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA baik pada pengamatan hari ke-15 (0,733±0,120 OD) maupun hari ke-30 (0,937±0,097 OD) memiliki aktivitas RB 1,91 dan 2,33 kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan udang kontrol (0,384±0,047 OD dan 0,402±0,035 OD).
17
Gambar 8 Aktivitas respiratory burst udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung. Glukosa Darah Pengamatan glukosa darah pada penelitian tahap satu setelah 21 hari (sebelum uji tantang) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pemberian pakan EBPA terhadap glukosa darah udang perlakuan maupun dengan udang kontrol (Gambar 9). Peningkatan glukosa darah tertinggi teramati dimulai pada hari ke-1 pascauji tantang dengan WSSV dimana seluruh perlakuan mengalami pengingkatan nilai glukosa darah. Peningkatan glukosa darah perlakuan kontrol + (11,2 mmol/L) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemberian pakan EBPA (8,7-8,8 mmol/L).
Gambar 9 Glukosa darah udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan WSSV. Data (rata-rata±SD) dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: (A) A1 (0,5
18 g/kg setiap hari), B1 (2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), dan D1 (6 g/kg setiap hari). (B) A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), dan D3 (6 g/kg tiga hari sekali). (C) A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Pengamatan kadar glukosa darah selama 30 hari pada skala lapang (tahap dua) di karamba jaring apung menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari tidak berpengaruh terhadap nilai glukosa darah udang uji (Gambar 10).
Gambar 10 Glukosa darah udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung.
Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup pascauji tantang dengan WSSV (penelitian tahap satu) menunjukkan bahwa semakin tinggi penggunaan dosis ekstrak yang digunakan menyebabkan semakin rendah kelangsugan hidup pada udang uji (Lampiran 7). Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) menunjukkan kelangsungan hidup (100%) yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol positif (0%) dan perlakuan dosis lainnya (B 57,8; C 50%; dan D 47,8%). Seperti halnya penggunaan dosis ekstrak, frekuensi pemberian pakan EBPA memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kelangsungan hidup udang uji. Pemberian pakan EBPA dengan frekuensi pemberian setiap hari (83,3%) menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemberian tiga hari sekali (51,1%) serta tujuh hari sekali (43,3%). Hasil pengamatan interaksi antara penggunaan dosis serta frekuensi pemberian pakan EBPA selama 14 hari periode pengamatan pascauji tantang menunjukkan bahwa perlakuan A1, A3, A7, B1, C1, dan D1 tidak teramati kematian (0%), sedangkan nilai kematian tertinggi diperoleh pada perlakuan K+ yang mencapai kematian hingga 100% pada hari ke-9 serta diikuti perlakuan D7 hari ke-10 pascauji tantang (Gambar 11).
19 -
KA1 A3 A7
- D1 - B1 - C1
Gambar 11 Mortalitas harian udang vaname pascauji tantang dengan WSSV. K(kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: A1 (0,5 g/kg setiap hari), B1 (2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), D1 (6 g/kg setiap hari), A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), D3 (6 g/kg tiga hari sekali), A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Hasil penelitian tahap dua menggunakan karamba jaring apung menunjukkan kelangsungan hidup udang yang diberi pakan EBPA terbaik (0,5% /setiap hari) pada pakan selama 30 hari pemeliharaan tidak berbeda nyata (p>0,05) dibandingkan dengan kontrol (Gambar 12). Kelangsungan hidup pada akhir masa pemeliharaan udang perlakuan memiliki rata-rata yaitu 89,93±5,62%, sedangkan perlakuan kontrol 80,33±1,04%.
Gambar 12 Kelangsungan hidup udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung.
20 Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada penelitian tahap satu dilakukan untuk mengamati perubahan yang terjadi akibat adanya infeksi WSSV terhadap udang uji. Perubahan gejala klinis udang diamati setiap hari selama 14 hari pascauji tantang meliputi perubahan baik secara morfologis (nafsu makan, tingkah laku, dan perubahan fisik) maupun secara mikroskopis. Pengamatan gejala klinis menunjukkan bahwa udang uji yang terinfeksi WSSV mengalami beberapa perubahan morfologis bila dibandingkan dengan kontrol (Gambar 13D). Perubahan gejala klinis secara morfologis pada udang yang terinfeksi WSSV umumnya ditemukan bintik-bintik putih pada karapaks (white spot) (Gambar 13A), terjadinya perubahan warna (discolouration) (Gambar 13C), usus kosong serta hepatopankreas berwarna kekuningan (Gambar 13C). Penurunan nafsu makan juga teramati pada hari ke-1 pascauji tantang. (A)
(C)
(B)
(D)
Gambar 13 Perubahan gejala klinis secara morfologis udang terinfeksi WSSV. (A) bintik putih pada karapaks udang positif WSSV, (B) karapaks udang normal, (C) discolouration dan hepatopankreas bewarna kekuningan, dan (D) udang normal. Pengamatan perubahan gejala klinis yang diamati secara mikroskopis pada karapaks udang yang terinfeksi WSSV menunjukkan bahwa bintik putih (white spot) mengalami berbagai bentuk perkembangan seperti yang tersaji pada Gambar 14. Awal mula munculnya bintik putih pada karapaks terlihat seperti butiranbutiran kecil yang terpisah, tetapi beberapa diantaranya membentuk ikatan satu dengan yang lainnya (Gambar 14B). Selanjutnya, bintik putih tersebut akan membesar disertai dengan banyaknya bintik-bintik hitam kecil pada rongga inti (Gambar 14C) dan kemudian akan membelah sehingga membentuk bintik-bintik putih baru pada karapaks (Gambar 14D).
21 (A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 14 Perubahan gejala klinis secara mikroskopis karapaks udang yang terinfeksi WSSV pada perbesaran 400x. (A) karapaks udang normal (B) bintik putih kecil pada karapaks, (C) bintik putih membesar disertai bintik-bintik kecil pada rongga inti, dan (D) bintik putih membelah dan membentuk bintik putih baru.
Histopatologi Pengamatan histopatologi udang uji pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa jaringan hepatopankreas udang yang terinfeksi WSSV (Gambar 15B) mengalami abnomarmalitas bila dibandingkan dengan kontrol (Gambar 15A). Hepatopankreas yang terinfeksi WSSV (Gambar 15B) pada awalnya mengalami pembengkakan (hipertropi) pada bagian inti sel (nukleus), tahapan ini umumnya dikenal sebagai badan oklusi Cowdry type-A (panah putih). Selanjutnya inti sel yang terinfeksi akan mengalami pembengkakan yang semakin besar dan berubah warna menjadi biru kehitaman (tanda bintang). Sebaliknya, hepatopankreas pada kontrol (Gambar 15A) menunjukkan tidak adanya abnormalitas pada inti sel. (A)
(B)
Gambar 15 Histopatologi jaringan hepatopankreas pada skala 50 µm. (A) hepatopankreas udang kontrol (B) hepatopankreas udang terinfeksi WSSV. Tanda lingkaran menunjukkan inti sel normal (tidak ada abnormalitas). Tanda panah menunjukkan hipertropi pada inti sel
22 (Cowdry type-A). Tanda bintang menunjukkan sel mengalami pembengkakan yang besar (bersifat basofilik). Hasil pengamatan histopatologi hepatopankreas udang uji penelitian tahap dua menunjukkan bahwa udang yang diberi perlakuan ekstrak (Gambar 16B) maupun udang kontrol (Gambar 16A) tidak mengalami abnormalitas yang menandakan adanya infeksi WSSV. Terlihat bahwa hepatopankreas perlakuan maupun kontrol terdapat sel-sel normal dengan inti sel (nukleus) ditengah. (A)
(B)
Gambar 16 Histopatologi jaringan hepatopankreas pada skala 50 µm. (A) hepatopankreas udang kontrol (B) hepatopankreas udang perlakuan. Tanda lingkaran menunjukkan inti sel normal (tidak ada abnormalitas).
Konfirmasi WSSV Menggunakan PCR Konfirmasi keberadaan WSSV dilakukan dengan metode PCR, dimana pada penelitian tahap satu konfirmasi awal untuk memastikan bahwa udang uji yang digunakan terbebas dari WSSV (Gambar 17A), dan konfirmasi kematian udang uji selama masa uji tantang untuk memastikan kematian disebabkan oleh WSSV (Gambar 17B). Hasil konfirmasi awal menunjukkan bahwa udang uji yang digunakan untuk perlakuan bebas dari infeksi WSSV (Gambar 17A), selanjutnya konfirmasi kematian udang uji selama masa uji tantang menujukkan bahwa udang terdeteksi positif terinfeksi oleh WSSV (Gambar 17B). M
KN
1
KP
2
3
4
5
6
A
bp 1000 800
◄ 942 bp M
bp 1000 800
KN
KP
K+
B3
B7
C3
C7
D3
D7
B ◄ 942 bp
Gambar 17 Konfirmasi keberadaan WSSV menggunakan PCR. (A) Konfirmasi awal udang uji, (B) Konfirmasi kematian udang uji selama uji tantang. M (marker) KN (kontrol negatif bahan), KP (kontrol positif bahan), nomor 1-6 (sampel udang 1-6), perlakuan K+ (kontrol
23 positif), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), D3 (6 g/kg tiga hari sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Konfirmasi keberadaan WSSV pada penelitian tahap dua untuk memastikan bahwa udang uji yang digunakan tidak terinfeksi oleh WSSV (Gambar 18). Konfirmasi yang dilakukan pada saat awal (Gambar 18A) maupun akhir pemeliharaan (Gambar 18B) menunjukkan bahwa udang uji (kontrol dan perlakuan) yang digunakan tidak terinfeksi oleh WSSV. M
KN
KP
K
K
K
P
P
P
bp
A
1000 800
◄ 942 bp M
KN
KP
K
K
K
P
P
P
bp
B
1000 800
◄ 942 bp
Gambar 18 Konfirmasi keberadaan WSSV menggunakan PCR. (A) Konfirmasi awal pemeliharaan udang uji, (B) Konfirmasi akhir pemeliharaan udang uji. M (marker) KN (kontrol negatif bahan), KP (kontrol positif bahan), K (kontrol), dan P (perlakuan).
Laju Pertumbuhan Spesifik Laju pertumbuhan spesifik udang pada penelitian tahap satu dihitung selama 21 hari pemberian perlakuan. Pengaruh pemberian pakan EBPA seperti yang disajikan pada Gambar 19 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik dipengaruhi oleh perlakuan dosis pakan yang diberikan (p<0,05). Semakin tingginya penggunaan dosis pakan EBPA mengakibatkan turunnya LPS udang uji. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) selama 21 hari menunjukkan LPS (4,3) yang lebih tinggi (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontrol (3,9-4,0) serta perlakuan lainnya (3,8-4,1). Sebaliknya, frekuensi pemberian pakan EBPA tidak menunjukkan pengaruh signifikan (p>0,05) terhadap LPS pada udang uji (Lampiran 8). Hasil pengamatan interaksi antara pemberian dosis dengan frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan bahwa LPS tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perlakuan A1 yaitu sebesar 4,60±0,10, sedangkan hasil laju pertumbuhan spesifik terendah diperoleh pada perlakuan D1 dengan nilai 3,55±0,24.
24
Gambar 19 Laju pertumbuhan spesifik udang vaname selama 21 hari perlakuan. Data (rata-rata±SD) dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: A1 (0,5 g/kg setiap hari), B1 (2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), D1 (6 g/kg setiap hari), A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), D3 (6 g/kg tiga hari sekali), A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Hasil penelitian tahap dua menggunakan karamba jaring apung selama 30 hari pemeliharaan seperti yang tersaji pada Gambar 20 menunjukkan LPS udang yang diberi pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg /setiap hari (4,26±0,14) lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol (3,14±0,17).
Gambar 20 Laju pertumbuhan spesifik udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung.
Rasio Konversi Pakan Pengaruh pemberian pakan EBPA seperti yang disajikan pada Gambar 21 menunjukkan bahwa rasio konversi pakan dipengaruhi oleh dosis pakan EBPA yang diberikan. Semakin tinggi dosis pakan EBPA yang diberikan mengakibatkan meningkatnya rasio konversi pakan pada udang uji. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) menunjukkan nilai rasio konversi pakan yang lebih baik (p<0,05) dibandingkan dengan pakan EBPA dengan dosis 6 g/kg (perlakuan D) serta perlakuan lainnya. Sementara itu, frekuensi pemberian pakan EBPA tidak memberikan pengaruh (p>0,05) terhadap rasio konversi pakan udang uji (Lampiran 9). Hasil analisis interaksi antara dosis serta frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan semakin rendah dosis serta semakin sering frekuensi pemberian pakan yang diberikan mampu mengoptimalkan rasio konversi pakan pada udang
25 uji. Perlakuan A1 memiliki rasio konversi pakan terbaik (p<0,05) yaitu sebesar 1,72±0,0, sedangkan perlakuan D1 dengan rasio konversi pakan tertinggi 2,55±0,26 serta perlakuan lainnya secara umum tidak menunjukkan perbedaan (p>0,05) antar perlakuan.
Gambar 21 Rasio konversi pakan udang vaname selama 21 hari perlakuan. Data (rata-rata±SD) dengan huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif), pemberian pakan mengandung ekstrak batang pisang: A1 (0,5 g/kg setiap hari), B1 (2 g/kg setiap hari), C1 (4 g/kg setiap hari), D1 (6 g/kg setiap hari), A3 (0,5 g/kg tiga hari sekali), B3 (2 g/kg tiga hari sekali), C3 (4 g/kg tiga hari sekali), D3 (6 g/kg tiga hari sekali), A7 (0,5 g/kg satu minggu sekali), B7 (2 g/kg satu minggu sekali), C7 (4 g/kg satu minggu sekali), dan D7 (6 g/kg satu minggu sekali). Hasil penelitian tahap dua seperti yang tersaji pada Gambar 22 menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg setiap hari (1,75±0,09) selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung memiliki rasio konversi pakan yang lebih baik (p<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol (2,84±0,23).
Gambar 22 Rasio konversi pakan udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung.
Pembahasan Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa EBPA mengandung beberapa senyawa fitokimia seperti; flavonoid, hidroquinon, saponin, steroid, triterpenoid, dan tanin (Tabel 3). Hasil analisa kuantitatif menunjukkan bahwa EBPA mengandung flavonoid sebesar 19,52%, saponin 8,38%, dan tanin 4,94%. Hal ini menunjukkan EBPA mengandung senyawa aktif yang dapat berfungsi sebagai imunostimulan. Menurut Citasaru (2010), senyawa fitokimia seperti fenol, polifenol, alkaloid, hidroquinon, lektin dan polipeptida merupakan senyawa yang
26 umum terdapat pada tumbuhan, akan tetapi memiliki peran aktif dalam pengendalian penyakit pada ikan maupun udang karena memiliki sifat-sifat imunostimulan, sebagai antiviral, antibakteri, antioksidan, antistress, serta dapat memacu pertumbuhan. Hasil penelitian tahap satu menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA mampu meningkatkan respons imun udang meliputi; THC, aktivatas proPO, dan aktivitas RB. Hal yang sama juga dilaporkan bahwa penggunaan ekstrak herbal Cyanodon dactylon (Balasubramanian et al. 2008), Phyllanthus niruri (Jayanthi et al. 2013) dan Momordica charantia (Ghosh et al. 2014) melalui pakan mampu meningkatkan respons imun udang terhadap infeksi WSSV. Respons imum udang yang terdiri dari THC (Lampiran 3), aktivitas proPO (Lampiran 4) serta aktivitas RB (Lampiran 5) menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) memiliki nilai paling tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Semakin tingginya penggunaan dosis pakan EBPA yang diberikan menyebabkan terjadinya penurunan respons imun pada udang uji. Hal ini diduga bahwa pemberian pakan EBPA dosis 2 g/kg (perlakuan B), 4 g/kg (perlakuan C), dan 6 g/kg (perlakuan D) pada udang uji menyebabkan terjadinya imunosupresi. Kondisi ini menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA dosis 0,5 g/kg (dosis rendah) mampu memberikan reaksi yang optimal dalam meningkatkan respons imun udang dibandingkan dengan pakan EBPA lainnya. Hal ini sesuai dengan Harikrishnan et al. (2011) menyatakan bahwa pemberian imunostimulan melebihi dosis optimal dapat menyebabkan imunosupresi pada udang uji, tetapi dapat memproteksi ikan/udang terhadap serangan penyakit. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA dengan frekuensi pemberian setiap hari memiliki respons imun (THC, proPO, dan RB) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan frekuensi lainnya (tiga hari sekali dan tujuh hari sekali). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan frekuensi setiap hari meningkatkan resistensi udang terhadap serangan patogen. Kondisi ini dapat dilihat pada seluruh perlakuan (0,5 g/kg, 2 g/kg, 4 g/kg dan 6 g/kg) yang diberikan pakan EBPA setiap hari memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 11). Kondisi ini disebabkan pemberian imunostimulan yang dilakukan secara terus-menerus dapat mengatur dan mempertahankan sistem imun pada kondisi optimal sampai dengan pemberian berhenti dilakukan (Jane et al. 2015). Penelitian ini menekankan bahwa penggunaan dosis dan frekuensi immunostimulan harus divalidasi terlebih dahulu untuk mencapai stimulasi yang optimal pada sistem imun tubuh udang. Penggunaan imunostimulan tanpa mengetahui dosis dan frekuensi yang optimal tidak pernah bisa menjadi strategi yang efektif dalam penanggulangan penyakit. Pengamatan terhadap THC udang uji setelah 21 hari pemberian pakan EBPA (sebelum uji tantang) maupun setelah uji tantang menunjukkan bahwa perlakuan A1 merupakan perlakuan terbaik dari semua perlakuan (Gambar 3). Grafik batang THC menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara perlakuan A1 dan perlakuan kontrol. Perbedaan signifikan ini diduga akibat meningkatnya produksi sel-sel hemosit pada tubuh udang perlakuan akibat pemberian pakan EBPA pada udang uji. Peningkatan sel-sel hemosit dalam tubuh udang berperan penting dalam menghambat atau menghancurkan patogen yang masuk ke dalam tubuh udang (Cerenius et al. 2010). Penurunan nilai THC teramati baik pada
27 perlakuan pemberian pakan EBPA maupun kontrol positif terjadi di hari ke-1 pascauji tantang. Terjadinya penurunan THC pascauji tantang disebabkan oleh bermigrasinya sel hemosit dari sistem sirkulasi tubuh menuju jaringan dimana banyak sel yang terinfeksi (Yeh et al. 2009). Peningkatan THC terjadi pada hari ke-3 sampai dengan hari ke-7 dan kemudian kembali menurun pada hari ke-14 pascauji tantang. Peningkatan nilai THC hari ke-3 dan hari ke-7 pascauji tantang disebabkan oleh infeksi WSSV yang berada pada fase kritis sehingga menyebabkan terjadinya reaksi sel-sel hemosit untuk melakukan berbagai mekanisme pertahan tubuh yang terdiri dari proses pengenalan patogen, fagositosis, melanisasi dan sitotoksisitas (Cerenius et al. 2010). Hasil penelitian tahap dua di karamba jaring apung menunjukkan bahwa penggunaan pakan EBPA 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari selama 30 hari memiliki THC yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Gambar 4). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg setiap hari terbukti efektif dalam meningkatkan THC udang uji. Hal ini sesuai dengan Jane et al. (2015) yang menyatakan bahwa pemberian imunostimulan secara terus-menerus dapat mengatur dan mempertahankan sistem imun udang pada kondisi optimal sampai dengan pemberian berhenti dilakukan. Aktivasi sistem proPO merupakan salah sistem kekebalan tubuh utama dalam krustase. Proses ini dikendalikan oleh enzim kunci yaitu phenoloxydase (PO) yang berfungsi mengkatalisis langkah awal dalam jalur sintesis melanin (Song dan Li 2014). Hasil penelitian tahap satu menunjukkan bahwa aktivitas proPO tertinggi diperoleh perlakuan A1 setelah 21 hari dilakukan pemberian pakan EBPA (sebelum uji tantang) dan pascauji tantang dilakukan (Gambar 5). Peningkatan juga teramati pada penelitian tahap dua dimana pemberian pakan EBPA selama 30 hari dengan dosis 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari memiliki aktivitas proPO yang lebih tinggi bila di bandingkan dengan kontrol (Gambar 6). Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Jayanthi et al. (2013), dimana pemberian ekstrak Phyllanthus niruri melalui pakan sebanyak 150 mg/kg pada Penaeus indicus mampu menghasilkan aktivitas proPO tertinggi bila dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA mengakibatkan aktifnya mekanisme sistem imun non-spesifik pada udang sehingga memicu terjadinya aktivasi gen intraseluler yang dapat meningkatkan produksi molekul antimikroba (Bricknell dan Dalmo 2005). Aktifnya sistem proPO pada udang melibatkan beberapa molekul yang dirilis untuk melakukan respons imun yang berfungsi dalam proses pengenalan benda asing, komunikasi antar sel, pembentukan melanin, produksi reaktan sitotoksik, proses enkapsulasi, serta pembentukan nodul dan kapsul (Amparyup et al. 2013). Aktifnya hemosit dalam tubuh udang juga memproduksi senyawa antibakterisida tambahan, seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan anion superoksida (O2-) yang dapat meningkatkan resistensi udang terhadap infeksi patogen. Anion superoksida (O2-) merupakan reaksi pertama yang dihasilkan pada proses aktivitas respiratory burst (RB). Aktivitas RB merupakan mekanisme penghapusan partikel oleh sel fagosit yang melibatkan pelepasan enzim degradatif ke dalam fagosom (oxygen dependent killing mechanism) dan mengahasilkan ROIs (reactive oxygen intermediates) (Rodriquez dan Le Moullac 2000). Pengamatan aktivitas RB pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan EBPA selama 21 hari (sebelum uji tantang) memiliki aktivitas
28 RB yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Gambar 7). Hasil pengamatan interaksi antara dosis dan frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan bahwa perlakuan A1 memiliki aktivitas RB terbaik dari semua perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas RB diketahui sangat berhubungan dengan THC. Hal ini terlihat dari pola peningkatan serta penurunan aktivitas RB yang diamati. Penurunan aktivitas RB pada hari ke-1 pascauji tantang berkaitan dengan penurunan jumlah sel hemosit yang ada dalam tubuh udang sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produksi molekul yang dihasilkan dari proses fagositosis yaitu berupa anion superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH-), serta singlet oksigen (1O2) yang bersifat toksik bagi patogen (Chang et al. 2003; Rodriquez dan Le Moullac 2000). Pengamatan aktivitas RB pada penelitian di karamba jaring apung (tahap dua) menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis dan frekuensi terbaik dari penelitian tahap satu (0,5 g/kg setiap hari) selama 30 hari memiliki aktivitas RB yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Gambar 8). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Balasubramanian et al. (2008), dimana pemberian ekstrak Cyanodon dactylon dengan dosis 2% melalui pakan dapat meningkatkan aktivitas RB pada Penaeus monodon. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh penggunaan jenis ekstrak yang berbeda. Harikrishnan et al. (2011) menyatakan bahwa efek penggunaan imunostimulan sangat tergantung dari berbagai faktor, seperti jenis ekstrak yang digunakan, dosis, waktu pemberian, metode pemberian, dan kondisi fisiologis dari ikan atau udang. Konsentrasi atau kadar glukosa darah merupakan salah satu parameter biokimia yang sering digunakan sebagai indikator stress non-spesifik pada ikan atau udang (Bulfon et al. 2013). Hasil pengamatan kadar glukosa darah pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai glukosa darah antara udang perlakuan dan kontrol setelah 21 hari pemberian pakan EBPA dengan dosis dan frekuensi pemberian yang berbeda (Gambar 9 dan Lampiran 6). Pengamatan kadar glukosa darah pada penelitian tahap dua di karamba jaring apung juga menunjukkan tidak adanya perbedaan kadar glukosa darah antara udang yang diberi perlakuan pemberian pakan EBPA dibandingkan dengan kontrol (Gambar 10). Peningkatan signifikan teramati pada hari ke-1 pascauji tantang dimana glukosa darah perlakuan kontrol + memiliki nilai glukosa darah yang lebih tinggi dari pada perlakuan pemberian pakan EBPA (Gambar 9). Peningkatan kadar glukosa pada udang uji disebabkan oleh adanya infeksi WSSV. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Citasaru et al. (2006), bahwa kadar glukosa darah pada hemolim Penaeus monodon meningkat pascauji tantang dengan WSSV. Kondisi ini disebabkan karena adanya transportasi glukosa dari organ hepatopankreas dan otot menuju helomim. Peningkatan kadar glukosa dalam hemolim merupakan bentuk respons stres yang umum ditemukan pada invertebrata. Crustacean Hyperglycemic Hormone (CHH) merupakan hormon yang memegang peranan penting dalam peningkatan kadar glukosa darah pada krustase dan fungsi fisiologis lainnya (Chen et al. 2014). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA mampu meningkatkan respons imun (THC, proPO, dan RB) udang baik yang dilakukan uji tantang dengan WSSV (tahap satu) maupun yang tidak di uji tantang (tahap dua). Hal ini juga didukung dari hasil pengamatan kelangsungan hidup udang selama kegiatan penelitian tahap satu menunjukkan bahwa pemberian pakan
29 EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) menghasilkan kelangsungan hidup terbaik bila dibandingkan dengan kontrol positif dan perlakuan lainnya sampai 14 hari pascauji tantang. Pemberian pakan EBPA pada dosis yang lebih tinggi tidak efektif karena semua perlakuan pemberian ekstrak B, C, dan D (2 g/kg, 4 g/kg, dan 6 g/kg) memiliki nilai kelangsungan hidup yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (Lampiran 7). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg mampu diserap dengan optimal oleh udang uji dan merangsang sistem imun untuk melakukan proses pertahanan tubuh untuk menghambat perkembangan virus. Di samping itu, frekuensi pemberian pakan EBPA setiap hari diketahui menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemberian tiga hari maupun tujuh hari sekali (Lampiran 7). Pengamatan interaksi antara penggunaan dosis serta frekuensi pemberian pakan EBPA selama 14 hari periode pengamatan pascauji tantang menunjukkan bahwa perlakuan A1, A3, A7, B1, C1, dan D1 memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 11). Tingginya nilai kelangsungan hidup pada perlakuan A1, B1, C1 dan D1 menunjukkan bahwa pemberian EBPA dengan dosis 0,5-6 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari mampu merangsang respons imun untuk berada dalam kondisi optimum sehingga menyebabkan udang uji lebih tanggap dalam menghadapi infeksi WSSV. Di samping itu, senyawa aktif yang terkandung dalam EBPA juga berpengaruh terhadap patogenesitas WSSV dalam tubuh udang. Nilai kelangsungan hidup terbaik pada perlakuan pemberian EBPA dengan frekuensi pemberian tiga hari dan tujuh hari hanya diperoleh pada perlakuan A3 dan A7. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian frekuensi (tiga hari dan tujuh hari sekali) pakan dengan dosis EBPA lebih dari 0,5 g/kg kurang optimal dalam meningkatkan respons imun udang uji sehingga tidak efektif dalam menghadapi adanya infeksi WSSV. Sajeevan et al. (2009) mengemukakan bahwa pemberian 0,2% glucan yang diperoleh dari Candida sake S165 pada Fenneropenaeus indicus dan pemberian 10% Candida aquaetextoris S527 pada P. Monodon (Babu et al. 2013) dengan frekuensi pemberian tujuh hari sekali mampu meningkatkan nilai kelangsungan hidup bila dibandingkan perlakuan lainnya. Mekanisme aksi pemberian senyawa fitokimia seperti; flavonoid, tannin, saponin, steroid serta senyawa lainnya dalam meningkatkan respons imun maupun kelangsungan hidup ikan ataupun udang sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Namun, menurut Balasubramanian et al. (2007) ada tiga mekanisme aktivitas antivirus yang diduga dapat dilakukan oleh ekstrak herbal dalam menghadapi infeksi WSSV, yaitu; (1) pemberian ekstrak herbal akan menyebabkan terjadinya kontak langsung antara ekstrak dengan virus yang menyebabkan terjadinya inaktifasi virus karena adanya reaksi yang terjadi antara ekstrak yang digunakan dengan protein yang menyelimuti virus, (2) pemberian ekstrak herbal mampu menghambat proses replikasi virus dalam tubuh inangnya, dan (3) sebagai imunostimulan yang dapat meningkatkan sistem imun udang seperti proPO dan RB dalam melawan infeksi WSSV, serta kandungan antioksidan dalam ekstrak tanaman mampu melindungi sel-sel dari radikal bebas akibat dari adanya infeksi WSSV. Nilai kelangsungan hidup udang uji penelitian tahap dua pada karamba jaring apung menunjukkan bahwa udang perlakuan yang diberi pakan EBPA
30 terbaik dari penelitian tahap satu tidak berbeda terhadap perlakuan kontrol (Gambar 12), namun pemberian pakan EBPA pada budidaya udang vaname dikaramba jaring apung mampu meningkatkan respons imun udang uji untuk mencegah terjadinya kematian massal yang diakibatkan oleh adanya infeksi patogen. Udang yang terinfeksi WSSV pascauji tantang menunjukkan beberapa perubahan morfologis maupun mikroskopis bila dibandingkan dengan kontrol negatif (tanpa infeksi WSSV) (Gambar 13). Perubahan gejala klinis udang yang terinfeksi WSSV, secara morfologis dapat dilihat dari adanya bintik-bintik putih pada karapaks (white spot), terjadinya perubahan warna (discolouration), usus kosong serta hepatopankreas berwarna kekuningan. Penurunan nafsu makan juga teramati pada hari ke-1 pascauji tantang. Lightner (2011) menyatakan bahwa infeksi akut WSSV ditandai oleh adanya oklusi atau bintik-bintik putih berdiameter 0,5-2 mm yang pada umunya terdapat pada permukaan bagian dalam karapaks, serta penurunan nafsu makan yang cepat. Udang yang terinfeksi WSSV dalam beberapa kasus enunjukkan gejala klinis berupa perubahan warna tubuh menjadi coklat kemerahan yang terjadi akibat perluasan kutikula dan kromatofor. Udang yang menunjukkan perubahan gejala klinis seperti ini menunjukkan terjadinya infeksi akut dan umumnya dapat menyebabkan kematian sampai dengan 100% dalam 3-10 hari pascainfeksi. Perubahan gejela klinis secara mikroskopis yang diamati pada karapaks udang yang terinfeksi WSSV menunjukkan bahwa bintik putih (white spot) mengalami berbagai bentuk perkembangan (Gambar 14). Bintik putih yang terlihat pada karapaks udang merupakan lesi spesifik yang disebabkan oleh infeksi WSSV. Bintik putih yang terjadi merupakan akibat dari penyimpangan metabolisme kalsium yang mengumpul pada lapisan epitel udang (Ligthner 2011). Hasil penelitian serupa juga diperoleh Wang et al. (2000), yang mengemukakan bahwa induksi WSSV pada karapaks udang membentuk bintik-bintik putih yang terdiri dari cincin yang mengelilingi tepi serta pada bagian tengah dikelilingi oleh bintik hitam yang berlimpah. Pengamatan histopatologi udang uji pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa secara umum jaringan hepatopankreas udang yang terinfeksi WSSV mengalami abnomarmalitas bila dibandingkan dengan kontrol (Gambar 15). Hepatopankreas yang terinfeksi WSSV pada awalnya mengalami pembengkakan (hipertropi) pada bagian inti sel (nukleus). Selanjutnya inti sel yang terinfeksi akan mengalami pembengkakan yang semakin besar dan berubah warna menjadi biru kehitaman. Sebaliknya, penelitian tahap dua menunjukkan bahwa udang uji baik yang diberi perlakuan ekstrak maupun udang kontrol tidak mengalami abnormalitas yang menandakan adanya infeksi WSSV (Gambar 16). Kondisi ini menunjukkan bahwa infeksi WSSV sangat berpengaruh terhadap jaringan udang yang terinfeksi. Aliffudin et al. (2003), menyatakan bahwa stadia perkembangan infeksi virus WSSV pada sel target terdiri dari 4 stadia. Stadia 0 merupakan sel normal dengan inti sel ditengah; pada stadia satu, inti sel bengkak (mengandung badan oklusi yang bersifat eosinofilik/kemerahan), inti di tengah. Stadia dua dicirikan oleh pembengkakan inti sel dan inti sel agak ke pinggir, pada stadia tiga sel mengalami pembengkakan yang besar, berwarna biru kehitaman (bersifat basofilik), dan pada stadia empat, inti sel sangat besar ke pinggir dan bersifat basofilik.
31 Pengamatan kinerja pertumbuhan selama kegiatan penelitian tahap satu menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pemberian EBPA yang diberikan pada pakan mengakibatkan menurunnya LPS (Lampiran 8) serta meningkatkan rasio konversi pakan (Lampiran 9) pada udang uji. Hal ini membuktikan bahwa pemberian pakan EBPA dengan dosis 2-6 g/kg mempengaruhi palatabilitas pakan yang diberikan. Selain berfungsi sebagai imunostimulan, penggunaan senyawa aktif fitokimia yang melebihi batas toleransi dapat menjadi zat antinutrisi bagi ikan maupun udang. Lall dan Dumas (2015) menyatakan bahwa penggunaan zat antinutrisi (tannin dan saponin) melebihi batas toleransi dapat mempengaruhi pencernaan, penyerapan, serta pemanfaatan protein dan asam amino yang terdapat dalam pakan. Interaksi pemberian dosis serta frekuensi pemberian pakan EBPA menunjukkan bahwa perlakuan A1 (0,5 g/kg setiap hari) memiliki nilai LPS (Gambar 19) dan rasio konversi pakan (Gambar 21) terbaik dari semua perlakuan. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian tahap dua, dimana udang perlakuan pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg selama 30 hari memiliki LPS (Gambar 20) dan rasio konversi pakan (Gambar 22) yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg diduga mampu meningkatkan penyerapan nutrien pada pakan yang diberikan sehingga mampu menghasilkan performa pertumbuhan yang lebih baik. Citasaru (2010), menyatakan bahwa penggunaan berbagai ekstrak herbal pada ikan maupun udang mampu meningkatkan performa pertumbuhan dengan menstimulasi sekresi yang terjadi pada usus atau berdampak langsung pada bakteri mikroflora yang terdapat pada usus, selanjutnya senyawa aktif yang terdapat pada pakan ekstrak herbal akan menginduksi sekresi enzim pencernaan yang berdampak pada peningkatan sintesis protein dalam pakan. Menurut Lin et al. (2006), pemberian ekstrak herbal melalui pakan dapat mempengaruhi proses pencernaan seperti; (1) meningkatkan atau merusak aktivitas enzim, (2) meningkatkan atau menurunkan kecernaan pakan akibat adanya zat antinutrisi dalam pakan, serta (3) dapat merangsang pakan lebih cepat melewati saluran pencernaan.
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian pakan ekstrak batang pisang ambon dengan dosis 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari selama 21 hari masa pemeliharaan mampu meningkatkan sistem imun (total hemocyte count, aktivitas prophenoloxidase, dan aktivitas respiratory burst), kelangsungan hidup, dan performa pertumbuhan (laju pertumbuhan spesifik dan rasio konversi pakan) udang vaname yang dilakukan uji tantang dengan WSSV. Serta pemberian pakan ekstrak batang pisang ambon dengan dosis 0,5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari selama 30 hari masa pemeliharaan mampu meningkatkan sistem imun (total hemocyte count, aktivitas prophenoloxidase, dan aktivitas respiratory burst), dan performa pertumbuhan (laju pertumbuhan spesifik dan rasio konversi pakan) udang vaname di karamba jaring apung.
32 Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap pemberian ekstrak batang pisang ambon dengan dosis dan frekuensi pemberian terbaik pada kegiatan budidaya udang skala produksi.
DAFTAR PUSTAKA Alifuddin M, Dana D, Eidman M, Malole MB, Pasaribu FH. 2003. Patogenesis infeksi virus white spot (wsv) pada udang windu, Penaeus monodon (fab.). J Akuakultur Indonesia 2(2): 85-92. Alves DS, Oliveira DF, Carvalho GA, Santos HM, Carvalho DA, Santos M, Carvalho HWP. 2011. Plant Extracts as an Alternative to Control Leucoptera coffeella. Neotrop Entomol 40(1): 123-128. Amparyup P, Charoensapsri W, Tassanakajon A. 2013. Prophenoloxidase system and its role in shrimp immune responses against major pathogens. Fish Shellfish Immun. 34: 990-1001. Apriasari ML, Iskandar, Suhartono E. 2014. Bioactive compound and antioxidant activity of methanol extract Mauli bananas (Musa sp) stem. Int J Biosci Biochem Bioinforma. 4: 2. Babu DT, Antony SP, Joseph SP, Bright AR, Philip R. 2013. Marine yeast Candida aquaetextoris S527 as a potential immunostimulant in black tiger shrimp Penaeus monodon. J Invertebr Pathol. 112: 243–252. Bai N, Zhang W, Mai K, Wang X, Xu W, Ma H. 2010. Effects of discontinuous administration of β-glucan and glycyrrhizin on the growth and immunity of white shrimp Litopenaeus vannamei. Aquaculture. 306: 218–224. Balasubramanian G, Sarathi M, Kumar SR, Hameed ASS. 2007. Screening the antiviral activity of Indian medicinal plants against white spot syndrome virus in shrimp. Aquaculture. 263: 15-19. Balasubramanian G, Sarathi M, Venkatesan C, Thomas J, Hameed ASS. 2008. Studies on the immunomodulatory effect of extract of Cyanodon dactylon in shrimp, Penaeus monodon, and its efficacy to protect the shrimp from white spot syndrome virus (WSSV). Fish Shellfish Immun. 25: 820-828. Biswas SK, Chowdhury A, Das J, Raihan SZ, Sill MC, Karmakar UK. 2011. Investigation ethanol extracts of Musa paradisiaca Lam. J Appl Pharma Sci. 01(06): 133-135. Bricknell I, Dalmo RA. 2005. The use of immunostimulants in fish larval aquaculture. Fish Shellfish Immun. 19: 457-472. Bulfon C, Volpatti D, Galeotti M. 2013. Current research on the use of plantderived products in farmed fish [review]. Aquac res. 1-39. Cerenius L, Jiravanichpaisal P, Liu H, Söderhäll1 I. Crustacean immunity. Di dalam: Söderhäll1 K, editor. Invertebrate immunity. 2010: New York, USA. New York (USA). Landes Bioscience and Springer Science Business Media, LLC. hlm 239-258.
33 Chang CF, Su MS, Chen HY, Liao IC. 2003. Dietary β-1.3-glucan effectively improves immunity and survival of Penaeus monodon challenged with white spot syndrome virus. Fish & Shellfish Immun. 15: 297-310. Chen Y, Chen W, Cheng W. 2014. The second type of transglutaminase regulates immune and stress responses in white shrimp, Litopenaeus vannamei. Fish & Shellfish Immun. 37: 30-37. Citarasu T, Sivaram V, Immanuel G, Namita Rout, Murugan V. 2006. Influence of selected Indian immunostimulant herbs against white spot syndrome virus (WSSV) infection in black tiger shrimp, Penaeus monodon with reference to haematological, biochemical and immunological changes. Fish Shellfish Immun. 21: 372-384. Citarasu T. 2010. Herbal biomedicines : a new opportunity for aquaculture Industry. Aquacult Int. 18: 403-414. Enechi OC, Odo CE, Agosi PO. 2014. Anti-oxidant vitamins, phytochemicals and proximate composition of the ethanol extract of the leaves of Musa paradisiaca. Afr J Pharm Pharmacol. 8(18): 464-468. Febriani D, Sukenda, Nuryati S. 2013. Kappa-karagenan sebagai Imunostimulan untuk pengendalian penyakit infectious myonecrosis (IMN) pada udang vaname Litopenaeus vannamei. J Akuakultur Indonesia 12 (1), 77-85. Flegel TW, Lightner DV, Lo CF, Owens L. 2008. Shrimp disease control: past, present and future. Dis Asian Aquat VI. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. 505 pp. Ghosh U, Chakraborty S, Balasubramanian T, Das P. 2014. Screening, isolation and optimization of anti–white spot syndrome virus drug derived from terrestrial plants. Asian Pac J Trop Biomed. 4: 118-128. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Penerjemah: Patmawinata K dan Soediro I. Edisi Kedua. Bandung (ID). Penerbit ITB. Harikrishnan R, Balasundaram C, Heo M. 2011. Impact of plant products on innate and adaptive immune system of cultured finfish and shellfish [review]. Aquaculture 317: 1–15. Immanuel G, Sivagnanavelmurugan M, Marudhupandi T, Radhakrishnan S, Palavesama A. 2012. The effect of fucoidan from brown seaweed Sargassum wightii on WSSV resistance and immune activity in shrimp Penaeus monodon (Fab). Fish Shellfish Immun. 32: 551-564. Jane MS, Amar A, Amar EC. 2015. Use of immunostimulans in shrimp culture: An update. Di dalam: Caipang CMA, Beth MI, Maningas B, Fagutao FF, editor. Biotechnological advances in shrimp health management in the Philippines: 2015: Kerala, India. Kerala (IND). Research Signpost. hlm 45-71. Jayanthi R, Malar HLV, Charles PM. 2013. Effect of Phyllanthus nirurii on Penaeus indicus post larvae against WSSV infection. Int J Fish Aquac. 3(4): 130-135. Jeney G, Wet LD, Jeney Z, Yin G. 2015. Plant extracts. Di dalam: Lee C, Lim C, Gatlin DM, Webster CD, editor. Dietary nutrients, additives, and fish health. 2015. Wiley-Blackwell. hlm 321-332. Karunasagar I, Kumar SN, Maiti B, Rai P. 2014. Immunostimulation in crustaceans. Di dalam: Gudding R, Lillehaug A, Evensen Ø, editor.
34 Fish vaccination. 2014: Oxford, United Kingdom. Oxford (UK). John Wiley & Sons, Ltd. hlm 352-371. Lakshmi B, Viswanath B, Gopal DVRS. 2013. Probiotics as antiviral agents in shrimp aquaculture [review]. J Patho. ID 424123, 13. Lall SP, Dumas A. 2015. Nutritional requirements of cultured fish: formulating nutritionally adequate feeds. Di dalam: Davis DA, editor. Feed and feeding practice in aquaculture. 2015: Oxford, United Kingdom. Oxford (UK). Elsevier Ltd. hlm 53-110. Lauzon HL, Dimitroglou A, Daniel L, Merrifield D, Ringø E, Davies SJ. 2014. Probiotics and prebiotics: concepts, definitions and history. Di dalam: Merrifield D, Ringø E, editor. Aquaculture nutrition: gut health, probiotics and prebiotics. 2014: Oxford, United Kingdom. Oxford (UK). John Wiley & Sons, Ltd. hlm 169-184. Lightner DV. 1996. A handbook of pathology and diagnostic procedures for diseases of penaeid shrimp. In : special publication of the World Aquaculture Society, Baton Rouge (USA). . 2005. Biosecurity in shrimp farming: pathogen exclusion through use of spf stock and routine surveillance. J World Aquac Soc. 36: 3. . 2011. Virus diseases of farmed shrimp in the Western Hemisphere (the Americas): A review. J Invertebr Pathol. 106: 110–130. Lin H, Li Z, Chen Y, Zheng W, Yang K. 2006. Effect of dietary traditional Chinese medicines on apparent digestibility coefficients of nutrients for white shrimp Litopenaeus vannamei, Boone. Aquaculture. 253: 495-501. Loganayaki N, Rajendrakumaran D, Manian S. 2010. Antioxidant capacity and phenolic content of different solvent extracts from banana Musa paradisiaca and mustai Rivea hypocrateriformis. Food Sci Biotechnol. 19: 1251-1258. Nunan LM, Lightner DV. 2011. Optimized PCR assay for detection of white spot syndrome virus (WSSV). J Virol Meth. 171: 318–321. Onyenekwe PC, Okereke OE, Owolewa SO. 2013. Phytochemical screening and effect of Musa paradisiaca stem extrude on rat haematological parameters. J Biol Scien. 5(1): 26-29. Ramudu KR, Dash G. 2013. A review on herbal drug against harmfull pathogens in aquaculture. Am J Drug Discov Dev. 2013. Rodrıguez J, Moullac GL. 2000. State of the art of immunological tools and health control of penaeid shrimp. Aquaculture. 191: 109–119. Sajeevan TP, Philip R, Singh ISB. 2009. Dose/frequency: A critical factor in the administration of glucan as immunostimulant to Indian white shrimp Fenneropenaeus indicus. Aquaculture 287: 284-252. Septiana AT, Asnani A. 2012. Kajian sifat fisikokimia ekstrak rumput laut coklat Sargassum duplicatum menggunakan berbagai pelarut dan metode ekstraksi. Agrointek 6 : 22-28. Sirirustananun N, Chen J, Lin Y, Yeh S, Liou C, Chen L, Sim SS, Chiewa SL. 2011. Dietary administration of a Gracilaria tenuistipitata extract enhances the immune response and resistance against Vibrio alginolyticus and white spot syndrome virus in the white shrimp Litopenaeus vannamei. Fish Shellfish Immun. 31: 848-855.
35 Song Y, Li C. 2014. Shrimp immune system – special focus on penaeidin. J Marine Science & Tech. 22: 1-8. Sumathy V, Luchumy SJ, Zakaria Z, Sasidharan S. 2011. In vitro bioactivity and phytochemical screening of Musa acuminata flower. Pharmaco 2: 118-127. Wang YG, Lee KL, Najiah M, Shariff M, Hassan MD. 2000. A new bacterial white spot syndrome (BWSS) in cultured tiger shrimp Penaeus monodon and its comparison with white spot syndrome (WSS) caused by virus. Dis Aquat Org. 41: 9-18. Xie X, Li H, Xu L, Yang F. 2005. A simple and efficient method for purification of intact white spot syndrome virus (WSSV) viral particles. Aquaculture. 108: 63-67. Yang Q, Tan B, Dong X, Chi S, Liu H. 2015. Effects of different levels of Yucca schidigera extract on the growth and nonspecific immunity of Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei and on culture water quality. Aquaculture. 439: 39-44. Yeh SP, Chen YN, Hsieh SL, Cheng W, Liu CH. 2009. Immune response of white shrimp, Litopenaeus vannamei, after a concurrent infection with white spot syndrome virus and infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus. Fish Shellfish Immun. 26: 582-588. Zarain-Herzberg M, Fraga I, Hernandez-Llamas A. 2010. Advances in intensifying the cultivation of the shrimp Litopenaeus vannamei in floating Cage. Aquaculture 300: 87-92.
36
LAMPIRAN
37 Lampiran 1 Prosedur analisis kualitatif fitokimia Uji alkaloid 1. Sebanyak 0,1 g ekstrak ethanol 96% gedebok pisang ambon ditambahkan 1 mL HCI 2 N dan 9 mL akuades panas kemudian dipanaskan selama 2 menit. Setelah dingin, filtrat lalu disaring dan dibagi menjadi dua tabung kecil. 2. Tabung pertama ditambahkan pereaksi Bauchardat dan tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendrauf. 3. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat hingga kehitaman pada pereaksi Bauchardat dan endapan putih pada pereaksi Dragendrauf. Uji saponin 1. Sebanyak 0,1 g ekstrak ethanol 96% gedebok pisang ambon ditambahkan 5 mL akuades lalu dipanaskan selama 5 menit. 2. Kemudian ekstrak disaring dan filtratnya dikocok. 3. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya busa selama + 10 menit. Uji tanin 1. Sebanyak 0,1 g ekstrak ethanol 96% gedebok pisang ambon ditambahkan 5 mL akuades lalu dipanaskan selama beberapa menit. 2. Filtrat lalu disaring dan ditambahkan FeCl3 1%. 3. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru tua atau hitam kehijauan. Uji triterpenoid dan steroid 1. Sebanyak 0,1 g ekstrak ethanol 96 gedebok pisang ambon ditambahkan 2 mL ethanol lalu dipanaskan dan disaring. 2. Filtrat yang dihasilkan diuapkan hingga kental dan ditambahkan 1 mL eter, 3 tetes asam asetat anhidrat, dan 1 tetes H2SO4 pekat. 3. Hasil positif triterpenoid ditunjukkan dengan adanya warna merah atau ungu, dan hasil positif steroid dengan terbentuknya warna hijau. Uji fenolik dan flavonoid 1. Sebanyak 0,1 g ekstrak ethanol 96% gedebok pisang ambon ditambahkan 2 mL methanol lalu dipanaskan dan disaring. 2. Filrat yang dihasilkan dibagi menjadi dua tabung, tabung pertama ditambahkan NaOH 10% dan tabung kedua ditambahkan H2SO4 pekat. 3. Warna jingga kemerahan menunjukkan adanya senyawa fenolik, dan warna merah hingga kecoklatan menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
38 Lampiran 2 Prosedur analisis glukosa darah menggunakan kit Human® Glucose Liquicolor 1. Mempersiapkan larutan blanko, standar dan sampel hemolim udang vaname dengan menambahkan akuades atau reagen sesuai prosedur berikut ini: Blanko Sampel atau standar Aquades Reagen
Sampel standar 10 μl 1000 μl
10 μl 1000 μl
atau
2. Homogenkan dengan bantuan vortex. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25 oC, atau selama 10 menit pada suhu 37 oC 3. Baca absorbansi dalam 60 menit dan dibandingkan dengan blanko. Panjang gelombang yang digunakan 546 nm. 4. Penghitungan kadar glukosa : * Dengan standar atau kalibrator : Glukosa [mg/dl] = ΔA Sampel x konsentrasi Std/Cal [mg/dl] ΔA Std/Cal Konsentrasi Std/Cal [mg/dl] = 100 mg /dl ( 5.55 mmol/l ) * Konversi faktor : Glukosa [mg/dl] x 0,05551 = Glukosa [mmol/l]
Lampiran 3 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data total hemocyte count (THC) udang vaname pada penelitian tahap 1 Factor Type Dosis fixed Frekuensi Pemberian fixed
Levels 6 3
Values A; B; C; D; K-; K+ 1; 3; 7
Sebelum uji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 442,268 177,655 104,625 16,007 740.554
Adj SS 442,268 177,655 104,625 16,007
Adj MS 88,454 88,827 10,463 0,445
F 198,94 199,78 23,53
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D
N 9 9 9 9
Mean 29,1 25,8 23,7 23,4
Grouping A B C C
39 KK+
9 9
20,9 20,9
D D
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 26,5 22,8 22,5
Grouping A B B
Satu hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 707,268 165,286 107,107 9,167 988,828
Adj SS 707,268 165,286 107,107 9,167
Adj MS 141,454 82,643 10,711 0,255
F 555,53 324,56 42,06
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 25,3 23,1 20,8 20,2 20,0 13,6
Grouping A B C C D D E
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 23,0 19,3 19,3
Grouping A B B
Tiga hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 561,912 221,843 128,506 8,627 920,888
Adj SS 561,912 221,843 128,506 8,627
Adj MS 112,382 110,921 12,851 0,240
F 468,98 462,89 53,63
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 27,9 25,8 23,9 22,8 20,8 18,0
Grouping A B C D E F
40 Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 26,0 22,1 21,4
Grouping A B C
Tujuh hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 805,837 254,458 140,840 7,893 1209,028
Adj SS 805,837 254,458 140,840 7,893
Adj MS 161,167 127,229 14,084 0,219
F 735,05 580,27 64,23
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 30,9 27,6 26,5 25,1 20,6 19,9
Grouping A B C D E F
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 28,2 23,7 23,4
Grouping A B B
Empat belas hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 4646,68 484,87 920,86 15,78 6068,19
Adj SS 4646,68 484,87 920,86 15,78
Adj MS 929,34 242,44 92,09 0,44
F 2120,16 553,09 210,08
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C KD K+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 28,1 25,3 23,8 20,1 16,1 0,0
Grouping A B C D E F
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap THC pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian
N
Mean
Grouping
41 1 3 7
18 18 18
22,5 19,0 15,2
A B C
Lampiran 4 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data aktivitas prophenoloxydase (proPO) udang vaname pada penelitian tahap 1 Sebelum uji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0.538927 0,146004 0,089318 0,057454 0,831703
Adj SS 0.538927 0,146004 0,089318 0,057454
Adj MS 0,107785 0,073002 0,008932 0,001596
F 67,54 45,74 5,60
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0,6 0.5 0.5 0,4 0,3 0,3
Grouping A B C C D D
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0.5 0,4 0,4
Grouping A B B
Satu hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,416744 0,120466 0,077647 0,020605 0,635462
Adj SS 0,416744 0,120466 0,077647 0,020605
Adj MS 0,083349 0,060233 0,007765 0,000572
F 145,62 105,23 13,57
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0.5 0,4 0,3 0,3 0,3 0,2
Grouping A B C C D E
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi
42 Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0,4 0,3 0,3
Grouping A B B
Tiga hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,945482 0,123063 0,076117 0,028807 1,173469
Adj SS 0,945482 0,123063 0,076117 0,028807
Adj MS 0,189096 0,061532 0,007612 0,000800
F 236,32 76,90 9,51
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0,6 0,6 0.5 0.5 0,3 0,3
Grouping A B B C C D D
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0.5 0,4 0,4
Grouping A B B
Tujuh hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 1,216001 0,129071 0,075653 0,031838 1,452563
Adj SS 1,216001 0,129071 0,075653 0,031838
Adj MS 0,243200 0,064536 0,007565 0,000884
F 274,99 72,97 8,55
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Dosis A C B D K+ K-
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0,7 0,6 0,6 0,6 0,3 0,3
Grouping A B B B C C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 7 3
N 18 18 18
Mean 0,6 0.5 0.5
Grouping A B B
43 Empat belas hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 2,35992 0,29280 0,43784 0,02165 3,11221
Adj SS 2,35992 0,29280 0,43784 0,02165
Adj MS 0,47198 0,14640 0,04378 0,00060
F 784,82 243,43 72,81
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0,6 0,6 0.5 0,3 0,3 0,0
Grouping A B C D E F
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas proPO pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0.5 0,4 0,3
Grouping A B C
Lampiran 5 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data aktivitas respiratory burst (RB) udang vaname pada penelitian tahap 1 Sebelum uji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,245160 0,091923 0,067262 0,028825 0,433171
Adj SS 0,245160 0,091923 0,067262 0,028825
Adj MS 0,049032 0,045962 0,006726 0,000801
F 61,24 57,40 8,40
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D K+ K-
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0,6 0.5 0.5 0.5 0,4 0,4
Grouping A B B B C C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0.5 0,4 0,4
Grouping A B B
44 Satu hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,249462 0,045706 0,034584 0,064801 0,394554
Adj SS 0,249462 0,045706 0,034584 0,064801
Adj MS 0,049892 0,022853 0,003458 0,001800
F 27,72 12,70 1,92
P 0,000 0,000 0,074
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0.5 0,4 0,4 0,4 0,3 0,2
Grouping A B B B B C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0,4 0,3 0,3
Grouping A B B
Tiga hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,343927 0,084716 0,059276 0,047052 0.534972
Adj SS 0,343927 0,084716 0,059276 0,047052
Adj MS 0,068785 0,042358 0,005928 0,001307
F 52,63 32,41 4,54
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0.5 0.5 0.5 0.5 0,4 0,3
Grouping A B B B C C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0.5 0,4 0,4
Grouping A B B
Tujuh hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,619668 0,103497 0,070776 0,054881 0,848823
Adj SS 0,619668 0,103497 0,070776 0,054881
Adj MS 0,123934 0,051749 0,007078 0,001524
F 81,30 33,95 4,64
P 0,000 0,000 0,000
45 Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C D KK+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0,6 0.5 0.5 0.5 0,4 0,3
Grouping A B B B C D
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0.5 0.5 0,4
Grouping A B B
Empat belas hari pascauji tantang Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 1,67606 0,18981 0,39469 0,05624 2,31679
Adj SS 1,67606 0,18981 0,39469 0,05624
Adj MS 0,33521 0,09490 0,03947 0,00156
F 214,56 60,75 25,26
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C KD K+
N 9 9 9 9 9 9
Mean 0.5 0.5 0.5 0,3 0,3 0,0
Grouping A A A B B C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap aktivitas RB pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 0,4 0,4 0,3
Grouping A B C
Lampiran 6 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data kelangsungan hidup udang vaname pada penelitian tahap 1 Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 63459,3 16192,6 19518,5 2000,0 101170,4
Adj SS 63459,3 16192,6 19518,5 2000,0
Adj MS 12691,9 8096,3 1951,9 55,6
F 228,45 145,73 35,13
P 0,000 0,000 0,000
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap pada selang kepercayaan 95%.
46 Dosis A KB D C K+
N 9 9 9 9 9 9
Mean Grouping 100,0 A 100,0 A 57,8 B 50,0 B 47,8 B 0,0 C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 3 7
N 18 18 18
Mean 83,3 51,1 43,3
Grouping A B C
Lampiran 7 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang vaname pada penelitian tahap 1 Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 1,39847 0,01413 0,70492 0.58984 2,70735
Adj SS 1,39847 0,01413 0,70492 0.58984
Adj MS 0,27969 0,00706 0,07049 0,01638
F 17,07 0,43 4,30
P 0,000 0,653 0,001
Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap LPS pada selang kepercayaan 95%. Dosis A B C K+ KD
N 9 9 9 9 9 9
Mean 4,3 4,1 4,0 4,0 3,9 3,8
Grouping A B B C B C C C
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap LPS pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 1 7 3
N 18 18 18
Mean 4,0 4,0 4,0
Grouping A A A
Lampiran 8 Analisis ragam dan uji lanjut tukey data rasio konversi pakan (FCR) udang vaname pada penelitian tahap 1 Source Dosis Frekuensi Pemberian Dosis*Frekuensi Pemberian Error Total
DF 5 2 10 36 53
Seq SS 0,80287 0,02348 0,49937 0,41229 1,73801
Adj SS 0,80287 0,02348 0,49937 0,41229
Adj MS 0,16057 0,01174 0,04994 0,01145
F 14,02 1,02 4,36
P 0,000 0,369 0,000
47 Uji lanjut Tukey pengaruh dosis yang berbeda terhadap FCR pada selang kepercayaan 95%. Dosis D KC K+ B A
N 9 9 9 9 9 9
Mean 2,4 2,2 2,2 2,2 2,2 2,0
Grouping A B B B B pC
Uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pemberian yang berbeda terhadap FCR pada selang kepercayaan 95%. Frekuensi Pemberian 3 7 1
N 18 18 18
Mean 2,2 2,2 2,2
Grouping A A A
48
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Muara Bungo, Jambi pada tanggal 01 Mei 1991 dari Bapak Lader Simanjuntak dan Ibu Desi Agustini Sianturi. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara (Dyan Noperdes Simanjuntak, Melina Simanjuntak, Kastop Willy Simanjuntak, dan Salmon Pratama Simanjuntak). Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di SDN 102 Muara Bungo pada tahun 2003, SMPN 4 Muara Bungo pada tahun 2006, SMA Swasta Xaverius 2 Jambi pada tahun 2009, dan program sarjana (S1) Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis berkesempatan melanjutkan kembali jenjang pendidikan ke Program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Akuakultur Institut Pertanian Bogor melalui program Fresh Graduate oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 2015 penulis mendapatkan bantuan beasiswa penelitian dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan dan Kementrian Agama Republik Indonesia sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis di Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar Magister Perikanan berjudul “Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon sebagai Imunostimulan untuk Pengendalian Penyakit White Spot Disease pada Budidaya Udang Vaname di Karamba Jaring Apung”. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul “Konfirmasi Keberadaan White Spot Syndrome Virus pada Udang Vaname Setelah Pemberian Ekstrak Batang Pisang Ambon pada Pakan” telah memasuki tahap review pada Jurnal Veteriner terakreditasi B oleh DIKTI dan seminar internasional The 4th International Seminar on Fisheries and Marine Science “Strengthening Science and Technology Towards the Developtment of Blue Economy” Faculty of Fisheries and Marine Science, University of Riau pada tahun 2015.