PENGARUH SALEP EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) TERHADAP PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi) Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH : SYIFA QURROTU AINI NIM : 1111103000071
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul Penganrh Salep Ekstrak I)aun Binahong (Anredera cordifulia (Tenore) Steenis) terhadap Pembentukan Jaringan Granulasi pada Luka Bakar Tikus Sprngue dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi) yang diajukan oleh Syifa Qurrotu Aini (1111103000071),telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 8 September 2014. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada program Studi Pendidikan Dokter.
J
akarta, 8 Septembe r 201 4
DEWANPENGUJI
Pembi{bing
Rr. Ayu Fitri
I
Pembimbing
Ul/ fD-
llaftari, M.Biomed.
Penguji,
II
dr. Dyah Ayu Woro, M.Bior
Penguji
/
II
dr. Achmad Luthfi Sp.B-KBD
INAN FAKT]LTAS Dekan FKIK UIN
Kaprodi PSPD
,,,r%in,spAnd
dr.
tll
Wi
Ardini, M.Gi,z| Sp.GK
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGARUH SALEP EKSTRAKDAUN BINAHON G (Anredera cordifotia (Tenore) Steenisf TERIIADAP PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi) Laporan Penelitian Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokfer, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Svifa Ourrotu Aini
NIM:
Pembirfibing
1111103000071
I
Pembimbing
Rr. Ayu Fitri Hfosari, M. Biomed.
II
$Crh
dr. Dyah Ayu Woro, M. Biomed.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAI\ I}OKTER FAKT]LTAS Kf,DOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HII}AYATI]LLAH
JAKARTA rr / 2014M
1435
l,
t, I
I
b,
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr.wb. Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Untuk menyelesaikan penelitian ini saya mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. dr. Witri Ardini, M.Gizi., Sp.GK. selaku Kepala Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen di program studi ini yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari M.Biomed. dan dr. Dyah Ayu Woro M. Biomed. selaku dosen pembimbing yang telah membantu, menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya dari awal hingga akhir penelitian ini. 4. Kedua orang tua tercinta, H. Dahlan SH dan Hj. Saidah S. Ag, yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan cinta kasihnya sepanjang hidup saya. Juga adik – adik saya, Laily Amalia Nikmah, Sabila Nur Azkiyah dan Khalida Syilla Fasiha serta seluruh keluarga besar H. Nian yang senantiasa membuat saya bersemangat dalam menjalani pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. dr. Nurul Hiedayati Ph. D selaku penanggungjawab (PJ) laboratorium farmakologi, Ibu Zeti Haryyati, M. Biomed. selaku penanggungjawab (PJ) laboratorium biologi dan Ibu Nurlaeley Mida Rachmawati, S. Si, M. iv
Biomed., Ph. D selaku penanggungjawab (PJ) Animal House, serta Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari M. Biomed selaku penanggungjawab laboratorium histologi yang telah memberikan izin atas penggunaan laboratorium dalam penelitian ini. 6. Teman-teman seperjuangan saya,
yaitu Kelompok Belimbing, Asmi
Utami Asfar, Audi Fikri Aulia, Farah Nabilla Rahma, dan Seflan Syahrir Ahliadi, serta seluruh laboran yang terlibat, antara lain : Mas Rachmadi, Mba Suryani, dan Mba Din, serta Mas Harris dan Mas Panji yang telah membantu dalam proses penelitian ini. 7. Pihak LIPI dan BALITRO yang telah membatu peneliti dalam pembuatan ekstrak. 8. Ka Bayu dan Ka Zata, Program Studi Kesehatan Masyarakat 2010, yang telah membantu saya dalam mengolah data. 9. Teman-teman PSPD 2010, 2011, 2012, dan 2013 yang selalu memberi dukungan kepada saya. 10. Bapak-bapak Satpam dan OB FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa membuka pagar dan menunggu peneliti saat penelitian di hari libur. Saya menyadari bahwa laporan penelitian ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar laporan penelitian ini dapat menjadi lebih baik. Demikian laporan penelitian ini saya tulis. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Wassalamu‟alaikum wr.wb.
Ciputat, 11 Agustus 2014
Peneliti
v
PENGARUH SALEP EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) TERHADAP PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi) (ABSTRAK) Syifa Qurrotu Aini Pendahuluan: Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) sering digunakan untuk membantu penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salep ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar derajat III dan untuk mengetahui perbedaan efektivitas salep ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40%. Parameter pembentukan jaringan granulasi yang digunakan pada penelitian ini, yaitu : kepadatan deposit kolagen, jumlah sel fibroblas, dan neovaskularisasi. Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental. Subjek penelitian berupa tikus strain Sprague dawley berjumlah 25 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu kontrol positif, kontrol negatif, salep ekstrak daun Binahong 10%, salep ekstrak daun Binahong 20%, dan salep ekstrak daun Binahong 40% dengan membuat luka bakar dengan lama paparan luka bakar 30 detik pada kulit bagian dorsal tikus menggunakan besi panas yang berukuran 4 x 2 cm. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan deposit kolagen pada kelompok kontrol positif paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain dan jumlah sel fibroblas paling banyak terdapat pada kelompok perlakuan P2 (konsentrasi ekstrak 20%) dengan perbedaan yang signifikan. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun Binahong lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Jumlah neovaskularisasi pada kelompok perlakuan P3 (konsentrasi ekstrak 40%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain namun perbedaannya tidak signifikan. Kesimpulan: Salep ekstrak daun Binahong memiliki efektivitas pada kepadatan deposit kolagen dan jumlah sel fibroblas namun tidak memiliki efektifitas pada neovaskularisasi dalam pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley. Kata Kunci : Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Luka Bakar , Jaringan Granulasi, Tikus
vi
EFFECT OF BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) LEAF EXTRACT OINTMENT ON THE FORMING OF GRANULATION TISSUE IN BURN WOUND Sprague dawley RAT (The Study Advance for Exposure Time During 30 seconds with A Metal Plate) (ABSTRACT) Syifa Qurrotu Aini Introduction : Binahong leaf (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) can be used to improve wound healing activity. The aims of this research were to study the effectivity of Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), and to study the differences effectivity of Binahong leaf extract ointment (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) on the forming of granulation tissue with concentration 10%, 20%, and 40%. The parameter that used in this research were density of collagen deposition, number of fibroblast cells, and number of neovascularization. Methode: This research using laboratory experimental method. The subject in this research were 25 rats which divided into 5 groups, namely positive control, negative control, and treatment group with concentration 10%, 20%, and 40% of Binahong leaf extract ointment. Rat‟s back skin were wounded by hot plate (4 x 2 cm) to make burn wound. Result: Research result shows that the density of collagen deposition in positive control and the number of fibroblast cell in group P2 (extract concentration 20%) is the most among others with significantly differences. The number of neovascularization in group P3 (extract concentration 40%) is more than the other group that is applied by Binahong leaf extract ointment,but not significantly differences. Conclusion: Binahong leaf extract ointment possess effectivity to the density of collagen deposition and the number of fibroblast cell but not to the number of neovascularization on the forming of granulation tissue in burn wound Sprague dawley rat.
Keyword: Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Burn Wound, Granulation Tissue, Rats
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. KATA PENGANTAR ..................................................................................... ABSTRAK ........................................................................................................ DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GRAFIK ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
i ii iii iv vi viii x xi xii xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang .................................................................................. 1.2 Rumusan masalah ............................................................................. 1.3 Hipotesis ........................................................................................... 1.4 Tujuan penelitian .............................................................................. 1.4.1 Tujuan umum .......................................................................... 1.4.2 Tujuan khusus ......................................................................... 1.5 Manfaat penelitian ............................................................................ 1.5.1 Bagi peneliti ............................................................................ 1.5.2 Bagi institusi ............................................................................ 1.5.3 Bagi keilmuan........................................................................... 1.5.4 Bagi masyarakat ...................................................................... 1.6 Kerangka teori .................................................................................. 1.7 Kerangka konsep ..............................................................................
1 1 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori ................................................................................... 2.1.1 Tanaman Binahong ….............................................................. 2.1.2 Kulit …………………………………………………………. 2.1.3 Jaringan granulasi …………………………………………… 2.1.4 Luka bakar …………………………………………………... 2.1.5 Penanganan luka bakar ……………………………………… 2.1.6 Pemberian topikal ekstrak daun Binahong ………………….. 2.1.7 Tikus Sprague dawley ............................................................
7 7 7 10 18 24 28 32 33
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain penelitian .............................................................................. 3.2 Waktu dan tempat penelitian ............................................................ 3.3 Bahan yang diuji …………….......................................................... 3.4 Populasi dan sampel penelitian ……………………………………. 3.4.1 Kriteria inklusi……………………………………………….
35 35 35 35 35 36
viii
3.4.2 Kriteria eksklusi……………………………………………... 3.4.3 Besar sampel ………………………………………………… 3.5 Identifikasi variabel ……………………………………….............. 3.5.1 Varibel bebas ………………………………………………... 3.5.2 Variabel terikat ……………………………………………… 3.6 Definisi operasional ......................................................................... 3.7 Alat dan bahan …………………………………………………….. 3.7.1 Alat penelitian ……...……………………………………….. 3.7.2 Bahan penelitian …………………………………………….. 3.8 Alur penelitian ……………………….……………………………. 3.9 Cara kerja penelitian ……….……………………………………… 3.9.1 Pembuatan luka bakar pada tikus ..………………............... 3.9.2 Pembuatan ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) …………..………………………………... 3.9.3 Pembuatan salep ekstrak daun Binahong ………………….... 3.9.4 Perlakuan hewan coba ………………………………………. 3.9.5 Persiapan eksisi luka …………………………….………….. 3.9.6 Pembuatan preparat histopatologi kulit ………..……………. 3.9.7 Pengamatan histopatologi ...…………………………………. 3.10 Analisis data ……………………………………………………..... 3.11 Etika penelitian ................................................................................
36 36 37 37 37 37 38 38 38 39 40 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kepadatan deposit kolagen ............................................................... 4.2 Jumlah sel fibroblas ......................................................................... 4.3 Neovaskularisasi ............................................................................... 4.4 Keterbatasan penelitian .....................................................................
51 52 55 58 61
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ........................................................................................... 5.2 Saran ..................................................................................................
62 62 62
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN .....................................................................................................
64 69
ix
40 41 43 43 44 44 49 50
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Respon sistemik terhadap luka bakar ……………………………... Tabel 4.1 Rerata kepadatan deposit kolagen…………................................... Tabel 4.2 Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap kepadatan deposit kolagen ............................................................... Tabel 4.3 Rerata jumlah sel fibroblas ............................................................... Tabel 4.4 Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap jumlah sel fibroblas ......................................................................... Tabel 4.5 Rerata jumlah pembuluh darah ....................................................... Tabel 4.6 Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap neovaskularisasi .............................................................................
x
27 53 54 56 57 59 60
DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Rerata Kepadatan Deposit Kolagen ................................................ Grafik 4.2 Rerata Jumlah Sel Fibroblas ........................................................... Grafik 4.3 Rerata Jumlah Pembuluh Darah .....................................................
xi
53 56 59
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Daun binahong ............................................................................ Gambar 2.2 Komponen Sistem Integumen ………………………………….. Gambar 2.3 Struktur epidermis ……………………………………………… Gambar 2.4 Gambaran histologis jaringan granulasi …………………….….. Gambar 2.5 Tahap penyembuhan luka primer dan sekunder ………………... Gambar 2.6 Langkah – langkah proses angiogenesis ……………………….. Gambar 2.7 Frekuensi Mortalitas Akibat Luka Bakar karena Api per 100.000 anak -anak di daerah WHO berdasarkan Tingkat Pendapatan Negara ……………………………….…………….. Gambar 2.8 Ilustrasi Kedalaman Luka Bakar dan Hubungannya dengan Lapisan Kulit ……………………………………………………. Gambar 2.9 Rules of nine Wallace …………………………………………... Gambar 2.10 Bentuk sediaan obat topikal …………………………………... Gambar 3.1 Hasil tes homogenitas salep ekstrak daun binahong ………….... Gambar 3.2 Contoh Hasil Pengolahan Foto dengan Menggunakan Program Adobe Photoshop 6.0 …………………………………………… Gambar 3.3 Hasil penilaian kepadatan deposit kolagen dengan menggunakan histogram format RGB Blue ……………………………………. Gambar 3.4 Pengaturan Grid Line pada Program Adobe Photshop CS3 ……. Gambar 3.5 Pengaturan Guides, Grid & Slices pada Program Adobe Photoshop CS3 .......................................................................... Gambar 3.6 Grid line yang muncul pada Program Adobe Photoshop CS3 …. Gambar 4.1 Gambaran makroskopik luka bakar pada tikus Sprague dawley pada hari pertama setelah pembuatan luka .................................. Gambar 4.2 Gambaran makroskopik luka bakar pada tikus Sprague dawley pada hari ke – 5 setelah pembuatan luka ...................................... Gambar 4.3 Deposit kolagen pada jaringan granulasi luka bakar .................... Gambar 4.4 Sel fibroblas pada jaringan granulasi luka bakar ......................... Gambar 4.5 Neovaskularisasi pada jaringan granulasi luka bakar .................. Gambar 6.1 Aklimatisasi sampel penelitian .................................................... Gamabr 6.2 Proses pencukuran sampel penelitian .......................................... Gambar 6.3 Proses pembuatan besi panas untuk membuat luka bakar ........... Gambar 6.4 Proses pembuatan luka bakar pada sampel penelitian .................. Gambar 6.5 Kondisi luka bakar pada sampel penelitian .................................. Gambar 6.6 Proses pemberian salep ekstrak daun Binahong .......................... Gambar 6.7 Proses sacrifice sampel penelitian ............................................... Gambar 6.8 Proses pengambilan organ kulit ................................................... Gambar 6.9 Fiksasi organ kulit dalam larutan formalin .................................. Gambar 6.10 Proses pembuatan preparat ......................................................... Gambar 6.11 Proses pewarnaan preparat ......................................................... Gambar 6.12 Proses pengambilan foto preparat ..............................................
xii
8 11 12 19 20 22
24 25 27 32 42 46 46 48 48 49 51 51 52 56 59 73 73 73 73 73 73 74 74 74 74 74 74
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil identifikasi tanaman .............................................................. Lampiran 2 Hasil ekstraksi tanaman .................................................................. Lampiran 3 Surat keterangan tikus sehat …………………………………….... Lampiran 4 Surat persetujuan etik …………………………………………...... Lampiran 5 Gambar proses penelitian ................................................................ Lampiran 6 Riwayat hidup penulis .....................................................................
xiii
69 70 71 72 73 75
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Luka bakar merupakan luka yang ditimbulkan akibat trauma termal. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%. Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1 – 4 tahun sebesar 1,5%.1 Frekuensi kematian akibat luka bakar di negara dengan pendapatan rendah dan menengah sebelas kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi. Kebanyakan kematian luka bakar juga terjadi di daerah Afrika, Asia Tenggara dan Timur Tengah.2 Luka bakar dapat menimbulkan komplikasi beberapa infeksi, antara lain: infeksi respirasi (24%), infeksi ginjal (15%), infeksi kardiovaskular (16%), infeksi hematologi (1%), dan infeksi neurologi(1%). Luka bakar memiliki klasifikasi berdasarkan kedalaman luka dan luas luka, antara lain : luka bakar derajat I, derajat II, dan derajat III. Luka bakar derajat III merupakan luka yang paling luas dan merusak seluruh lapisan kulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi mortalitas pada luka bakar adalah luas luka bakar yaitu ≥ 50% Total Body Surface Area (TBSA).3 Salah satu komponen dari penyembuhan luka bakar adalah pembentukan jaringan granulasi. Pembentukan jaringan granulasi didahului oleh adanya respon inflamasi pada luka tersebut. Komponen jaringan granulasi terdiri atas sel leukosit (makrofag dan neutrofil), fibroblas, dan angiogenesis. Jaringan granulasi akan terbentuk dari awal terjadinya luka hingga minggu ke - 4 setelah timbulnya luka.4 Pembentukan jaringan granulasi juga dapat mempengaruhi waktu penyembuhan luka. Masyarakat Indonesia masih sering menggunakan obat – obatan herbal sebagai media penyembuhan luka. Salah satu bahan herbal yang sering digunakan adalah daun binahong. Binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) adalah tanaman yang berasal dari negara Amerika Selatan. Penyebaran tanaman ini cukup luas, yaitu meliputi Afrika, daerah Australia-Asia, Eropa, dan Amerika 1
2 Utara.5 Binahong memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia. Di Indonesia, tanaman ini sering dikenal sebagai penghias gapura yang melingkar di atas jalan taman.6 Selain itu, masyarakat juga sering menggunakan tumbukan daun Binahong sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan luka. Tanaman ini sering dijadikan sebagai makanan di beberapa negara, seperti Vietnam dan Taiwan. Masyarakat Cina, Korea, dan Taiwan juga sering mengkonsumsi tanaman ini karena dipercaya dapat membantu penyembuhan dari suatu penyakit. 7 Hampir seluruh bagian tanaman Binahong dapat digunakan untuk terapi herbal.8 Namun, masyarakat lebih sering menggunakan daun Binahong untuk langsung dimanfaatkan. Daun Binahong memiliki banyak manfaat, antara lain sebagai antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan analgesik. 5 Binahong juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit diabetes, wasir, penyakit jantung, tifus, stroke, reumatik, pemulihan pasca operasi, menyembuhkan luka dalam dan luka khitanan, sesak napas, keputihan, hepatomegali dan asam urat. 6 Binahong memiliki zat aktif, antara lain: flavonoid yang berkhasiat sebagai antibakteri, asam oleanolat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dan mengurangi nyeri pada luka bakar, dan ancordin yang berkhasiat untuk menstimulasi pembentukan antibodi dan menstimulasi pembentukan nitric oxide. Nitric oxide dapat meningkatkan sirkulasi darah yang membawa nutrien ke sel, merangsang produksi hormon pertumbuhan, dan mengganti sel yang rusak dengan sel yang baru.7 Penelitian yang dilakukan oleh Chotimah (2013) menunjukkan pemberian ekstrak daun Binahong dapat meningkatkan sel fibroblas pada penyembuhan luka akibat ekstraksi gigi.9 Beberapa studi menyebutkan bahwa ekstrak daun Binahong memiliki kemampuan antibakteri, baik bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Selain itu, binahong juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit menular seksual.10 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Persada et al (2014) tingkat kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian Binahong lebih tinggi dibandingkan dengan hidrogel secara mikroskopik, namun secara mikroskopik tidak terdapat perbedaan yang signifikan.11 Penelitian – penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap waktu penyembuhan luka sudah banyak dilakukan, umumnya pada luka
3
insisi. Namun, penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar masih jarang dilakukan. Berdasarkan hal diatas, penelitian ini bertujuan ini untuk mengetahui pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan studi pendahuluan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. Penelitian ini meliputi uji histopatologi jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley yang diberikan ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi yang berbeda dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. 1.2 Rumusan Masalah -
Apakah terdapat pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi?
-
Bagaimana pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40% terhadap pembentukan jaringan granulasi (sel fibroblas, deposit kolagen, dan neovaskularisasi) pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi?
1.3 Hipotesis -
Terdapat pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40% terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
-
Terdapat peningkatan kepadatan deposit kolagen, peningkatan jumlah sel fibroblas, dan peningkatan jumlah neovaskularisasi pada pembentukan jaringan granulasi luka bakar tikus Sprague dawley. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun binahong maka kepadatan deposit kolagen, jumlah sel fibroblas, dan jumlah neovaskularisasi semakin meningkat.
4
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong
(Anredera
cordifolia
(Tenore)
Steenis)
dengan
konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40% terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. 1.4.2
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perbedaan kepadatan deposit kolagen dalam jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi yang diberikan salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40%.
Untuk mengetahui perbedaan jumlah sel fibroblas dalam jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi yang diberikan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40%.
Untuk mengetahui perbedaan jumlah neovaskularisasi dalam jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi yang diberikan salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40%.
1.5 Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti - Menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama menempuh pendidikan di program studi pendidikan dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5
- Menambah pengetahuan peneliti terhadap penerapan beberapa ilmu kedokteran terhadap perkembangan dunia kesehatan. b. Bagi Institusi - Menambah informasi dan literatur mengenai bidang keilmuan histopatologi. - Memajukan
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
dengan
mempublikasikan penelitian ini. c. Bagi Keilmuan - Dapat memberikan informasi mengenai pengaruh salep ekstrak daun Binahong
(Anredera
cordifolia
(Tenore)
Steenis)
terhadap
pembentukan jaringan granulasi luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. - Sebagai sumber referensi bagi praktisi yang tertarik dalam penelitian histopatologi. d. Bagi Masyarakat - Menambah pengetahuan masyarakat mengenai bahan alam yang efektif untuk penyembuhan luka bakar. - Sebagai rujukan untuk pemanfaatan ekstrak daun binahong dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
1.6 Kerangka Teori
Bagan 1.1 Kerangka Teori
6
1.7 Kerangka Konsep
Salep ekstrak etanol daun binahong dengan konsentrasi ekstrak sebesar 10%, 20%, dan 40%
Luka bakar pada tikus Sprague dowley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi
Peningkatan Kepadatan Deposit Kolagen
Peningkatan Jumlah Sel Fibroblas
Bagan 1.2 Kerangka Konsep
Pembentukan Jaringan Granulasi
Peningkatan Jumlah Neovaskularisasi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) 2.1.1.1 Morfologi dan Klasifikasi Tanaman Binahong adalah tumbuhan merambat dan berumur panjang (perennial) dan panjangnya dapat mencapai 5 meter. Tanaman ini memiliki batang yang lunak, berbentuk silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tidak beraturan dan bertekstur kasar. Bunga majemuk berbentuk tandan , bertangkai panjang, muncul di ketiak daun. Mahkota bunga berwarna krem keputihan berjumlah lima helai dan tidak berlekatan, panjang helaian mahkota 0,5 – 1 cm, dan berbau harum. Akar binahong berbentuk rimpang dan lunak.6 Berikut adalah deskripsi daun binahong :
Warna
: Hijau
Bentuk
: Tunggal, berbentuk jantung, bertangkai pendek, tersusun
berselang – seling, panjang daun 5 – 10 cm, lebar 3 - 7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, dan permukaan licin.6,12 Berdasarkan ilmu taksonomi, berikut adalah klasifikasi dari tanaman binahong :13 Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisio
: Spermatophyta
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Caryophyllidae
Ordo
: Caryophyllales
Familia
: Basellaceae
Genus
: Anredera
Spesies
: Anredera cordifolia (Tenore) Steenis 7
8
Gambar 2.1 Daun Binahong Tanaman Binahong tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini juga dapat tumbuh pada ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut dengan suhu 200C -300C pada bulan Januari dan 100C – 300C pada bulan Juli serta dengan curah hujan 500 – 2000 mm per tahun. Tanaman ini tumbuh pada beberapa vegetasi, seperti hutan, lahan pertanian dan lahan yang berumput. Pada tanah lembab yang subur, tanaman ini dapat tumbuh secara agresif setinggi 40 meter dan membentuk pohon kanopi. Kecepatan pertumbuhan binahong 1 meter per bulan, dan lebih dari 1 meter pada musim panas. Binahong lebih cepat tumbuh di daerah yang memiliki banyak cahaya.13 Oleh karena itu, tanaman binahong dapat tumbuh dengan mudah di Indonesia karena Indonesia merupakan negera tropis yang mendapat intensitas sinar matahari yang tinggi. Perbanyakan tanaman binahong dapat dilakukan secara vegetatif dengan menggunakan akar rimpang dan secara generatif dengan menggunakan biji. Sampai saat ini, umumnya perbanyakan tanaman secara vegetatif karena lebih cepat pertumbuhannya dan sifatnya sama seperti induknya. Perbanyakan dari akar dengan mencabut atau memisahkan rimpang dari pohon induk. 13,6 Rimpang yang dipilih adalah rimpang yang paling tua. Selanjutnya, rimpang ditanam pada media tanah yang telah dicampur dengan pupuk kandang 1 : 1. Rimpang yang telah ditanam diberikan pelindung sampai 50%. Perbanyakan secara generatif dapat menggunakan biji yang telah matang. Biji yang disemai saat pembibitan harus memiliki 4 – 6 daun, dan setelah berumur 1 bulan dapat dipindahkan ke lapangan.6
9
Tanaman Binahong merupakan tanaman asli dari kawasan Amerika Selatan dan penyebaran cukup luas hingga ke beberapa negara. Hampir diseluruh benua terdapat tanaman ini, kecuali di benua Antartika, antara lain : Amerika Selatan (Bolivia, Ekuador, Paraguay, Peru), Mesoamerika (Costa rica, Honduras, Elsavador), Amerika Utara (bagian selatan Amerika Serikat), Asia (China), Eropa (Perancis), Afrika (Malawi, Senegal) dan Australia.6
2.1.1.2 Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Binahong Daun binahong mengandung senyawa fenol yang tinggi, asam askorbat dan antioksidan. Senyawa tersebut juga dapat digunakan sebagai antibakteri. Asam oleanolat yang terdapat di dalam daun binahong dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Rimpang binahong mengandung protein ancordin yang dapat menstimulasi nitrit oksida sehingga sirkulasi aliran darah menuju menjadi lebih baik serta dapat juga menstimulasi tubuh menghasilkan hormon pertumbuhan dan merangsang pergantian sel yang rusak dengan sel yang baru. 7 Saponin dapat ditemukan pada bagian daun, batang, akar tanaman binahong. Kadar saponin dalam daun sebesar 28.14±0.22 mg/g, batang sebesar 3.65±0.11 mg/g, dan dalam rimpang sebesar 43.15±0.10 mg/g. Saponin dapat diklasifikasikan menjadi triterpenoid, steroid, dan alkaloid. Saponin dapat berfungsi sebagai antibakteri, antiviral, antitumor, penurun kolesterol dan dapat menstimulasi pembentukan kolagen yang memiliki peran penting dalam proses penyembuhan luka. Saponin juga berperan sebagai hormon steroid yang berperan sebagai zat analgesik dan antiinflamasi. Saponin dapat berpotensi sebagai “salep hidrokarbon” untuk pembentukan kolagen tipe 1.7 Daun Binahong juga mengandung zat aktif lain, yaitu flavonoid. Jenis flavonoid yang terkandung di dalam ekstrak Binahong adalah flavonol.15 Flavonoid berperan sebagai antioksidan dan antimikroba. Flavonoid memiliki gugus hidroksil yang dapat menetralisir radikal bebas. Flavonoid juga dapat menghambat
enzim
yang
membantu
pembentukan
radikal
bebas
dan
meningkatkan proteksi antioksidan lain. Proses peroksidasi lipid dapat menimbulkan radikal bebas. Flavonoid melindungi lipid agar tidak mengalami kerusakan akibat stress oksidatif dan akan mencegah terjadinya radikal bebas. 18
10
Flavonoid dapat menghambat enzim DNA gyrase sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat. Flavonoid juga dapat berperan sebagai antiinflamasi. Flavonoid dapat mengganggu transduksi sinyal dan aktivasi sel imun dengan cara menghambat enzim kinase dan fosfodiesterase.18 Binahong juga mengandung vitamin C yang berfungsi sebagai kofaktor hidroksilasi prolin dalam pembentukan kolagen. Vitamin C dapat menstimulasi angiogenesis. Terdapat perbedaan kadar vitamin C pada daun binahong segar dan ekstrak daun binahong. Kadar vitamin C pada daun binahong segar sebesar 13.05±0.64mg/100gr dan pada ekstrak daun binahong sebesar 6.76±0.77 mg/100gr.16,17
2.1.2 Kulit Kulit merupakan organ terbesar tubuh.19 Proporsi kulit sebesar 16% dari berat tubuh total. Luas area kulit tubuh sebesar 1,5 – 2 m2. Kulit merupakan pertahanan tubuh pertama yang melawan organisme patogen dari luar. 20 Kulit memiliki dua komponen utama yaitu : 1. Membran kutaneus, yang terdiri atas 2 komponen yaitu : epidermis (epitel superfisial) dan dermis (jaringan ikat yang terletak dibawah epidermis) 2. Struktur tambahan, antara lain : rambut, kuku, dan kelenjar eksokrin multiseluler. Struktur – struktur tersebut terletak di dermis dan menonjol ke permukaan kulit melalui epidermis. Terdapat lapisan hipodermis atau lapisan subkutan yang terletak di bawah lapisan dermis. Lapisan hipodermis memisahkan antara fasia dalam organ yaitu otot dan tulang dengan sistem integumen.20
Fungsi kulit dan hipodermis, antara lain : 1. Proteksi jaringan yang terdapat dibawahnya dan organ terhadap aberasi, kehilangan cairan dan zat kimia 2. Ekskresi garam, air, dan zat sisa organik oleh kelenjer integumen 3. Mempertahankan suhu tubuh normal melalui insulasi maupun pendinginan evaporasi
11
4. Produksi melanin yang melindungi jaringan dari radiasi ultraviolet 5. Sintesis vitamin D 6. Tempat penyimpanan lipid di dalam adiposit pada lapisan dermis dan dalam jaringan adiposa di lapisan subkutan. 7. Mendeteksi rangsangan sentuhan, tekanan, nyeri dan suhu dan menyampaikan informasi rangsangan tersebut ke sistem saraf pusat.
Gambar 2.2 Komponen Sistem Integumen Sumber : Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, 2012
2.1.2.1 Epidermis Lapisan epidermis tersusun atas sel epitel skuamosa berlapis dan berkeratin. Epitel ini berperan sebagai proteksi mekanik dan menjaga agar mikroorganisme tetap di luar tubuh. Epidermis bersifat avaskular. Sel – sel yang terletak di lapisan epidermis mendapat nutrisi dan oksigen dari kapiler dermis melalui difusi. Epidermis di dominasi oleh keratinosit yang menghasilkan keratin.20
12
Gambar 2.3 Struktur Epidermis Sumber : Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, 2012
Keratinosit yang terdapat di dalam epidermis tersusun berlapis – lapis. Lapisan epidermis disebut stratum. Lapisan – lapisan tersebut dari membran basal ke permukaan antara lain : stratum basalis, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Pada kulit yang tipis, terdapat 4 lapisan keratinosit dengan ketebalan 0.08 mm dan tidak terdapat stratum lusidum sedangkan pada kulit yang tebal terdapat 5 lapisan keratinosit dengan ketebalan 0.5 mm dan terdapat stratum lusidum. Kulit tebal terletak pada telapak tangan dan telapak kaki.20 Stratum basalis merupakan lapisan paling dalam epidermis. Sel yang terletak pada lapisan ini memiliki hemidesmosom yang menempel pada membran basalis yang memisahkan epidermis dengan jaringan ikat longgar yang berdekatan dengan dermis. Stratum basalis membentuk lekukan epidermis (epidermal ridge) yang meluas hingga ke bagian dermis dan dekat dengan papila dermis yang meluas hingga ke bagian epidermis. Pola lekukan epidermis setiap orang berbeda – beda dan tidak pernah berubah. Pola – pola lekukan epidermis pada ujung jari membentuk sidik jari dan sering digunakan unutk proses identifikasi.20 Sel yang terdapat di stratum basalis merupakan stem cell dan memiliki daya regenerasi yang tinggi. Selain itu, pada bagian permukaan kulit yang memiliki sedikit rambut, terdapat sel Merkel di stratum basalis. Terdapat sel taktil yang berfungsi untuk menghantarkan rangsangan sentuhan dan sel melanosit yang menghasilkan melanin.20
13 Stratum spinosum tersusun atas 8 – 10 lapis keratinosit. Lapisan ini terletak di bagian atas stratum basalis. Keratinosit pada lapisan ini mengalami proses kimiawi. Sitoplasma sel mengkerut namun menyisakan komponen sitoskeleton dan desmosom yang masih intak. Selain itu juga terdapat sel Langerhans (sel dendritik) yang berperan untuk respon imun.20 Stratum granulosum terdiri atas 3 -5 lapis keratinosit yang merupakan derivat dari stratum spinosum yang terletak dibawahnya. Keratinosit pada lapisan ini mulai berhenti membelah dan menghasilkan keratin dan keratohialin yang banyak. Ketika keratin yang dihasilkan semakin banyak maka keratinosit akan semakin tipis dan datar. Membran sel akan menebal dan permeabilitasnya berkurang. Keratohialin membentuk granula sitoplasmik yang menyebabkan sel dehidrasi. Akibat dehidrasi tersebut, nukleus dan organel sel mengalami disintegrasi sehingga sel menjadi mati.20 Stratum lusidum terletak pada telapak tangan dan telapak kaki. Sel pada lapisan ini berbentuk datar, tanpa organel dan terisi oleh keratin. 20 Stratum korneum terletak pada bagian epidermis yang paling luar. Lapisan ini tersusun atas 15 – 30 lapis keratinosit. Pada keadaan normal, stratum korneum bersifat kering dan water resistent. Air yang berasal cairan interstitial dapat berpenetrasi ke permukaan kulit dan mengalami evaporasi. Proses tersebut dinamakan perspirasi. Perspirasi ada yang dapat dilihat dan dirasakan secara sadar (Sensible Perspiration) dan ada juga yang tidak dapat dilihat dan dirasakan (Insensible Perspiration). Jika terjadi kerusakan pada stratum korneum yang mengganggu efektifitasnya sebagai penahan air, maka frekuensi insensible perspiration akan meningkat dan tubuh akan kehilangan lebih banyak cairan. Pada luka bakar yang parah dapat menyebabkan terjadinya kulit kering yang berlebihan (xerosis).20 2.1.2.2 Dermis Dermis terletak di antara epidermis dan hipodermis. Lapisan ini banyak mengandung jaringan ikat, kelenjar, dan pembuluh darah. 27 Dermis memiliki dua komponen utama yaitu : 1. Lapisan papilar (pada bagian superfisial)
14
2. Lapisan retikular (pada bagian dalam) Lapisan papilar merupakan papila dermis yang berproyeksi diantara lekukan epidermal. Lapisan ini tersusun atas jaringan ikat longgar yang mengandung kapiler, pembuluh limfatik, dan neuron sensori yang menyuplai permukaan kulit.20 Jaringan ikat longgar yang menyusun lapisan ini terdiri atas serat kolagen tipe III dan serat kolagen. Sel – sel yang terdapat pada lapisan ini, antara lain : sel fibroblas, makrofag, sel plasma, dan sel mast. Pada beberapa bagian papilla dermis terdapat korpuskel Meissner. Korpuskel Meissner merupakan mekanoreseptor yang berespon terhadap deformasi ringan epidermis. Reseptor ini banyak terdapat di daerah yang peka terhadap rangsangan taktil, seperti bibir, genitalia eksterna, dan puting susu. Mekanoreseptor lain yang terletak pada papilla dermis adalah bulbus akhir Krause (Krause end bulb). Fungsi dari mekanoreseptor ini adalah untuk merespon rangsangan dingin. 45 Lapisan retikular tersusun atas anyaman jaringan ikat yang tidak beraturan yang mengandung serat kolagen dan serat elastin. Serat kolagen terletak pada bagian superfisial lapisan retikular dan masuk kedalam lapisan papilar, sehingga batas antara lapisan papilar dan lapisan retikular tidak dapat dibedakan. 20 Pada bagian intersitisial lapisan retikular terdapat proteoglikan yang banyak mengandung dermatan sulfat. Sel yang terdapat pada lapisan ini, antara lain: sel fibroblas, sel mast, limfosit, makrofag dan sel lemak pada bagian dalam lapisan retikular. Pada lapisan ini terdapat 2 mekanoreseptor, yaitu korpuskel pacini dan korpuskel ruffini. Korpuskel pacini berfungsi untuk merespon rangsangan tekanan dan getaran sedangkan korpuskel ruffini berfungsi untuk merespon regangan. 45 Sel Fibroblas Fibroblas merupakan sel terbanyak yang terdapat di jaringan ikat. Sel ini berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi. Fibroblas dapat berada dalam keadaan aktif maupun inaktif. Fibroblas yang aktif memiliki bentuk memanjang dengan sitoplasma lebih pucat dan biasanya sulit dibedakan dengan serat kolagen pada pewarnaan hematoxylin eosin. Bagian sel yang dapat terlihat dengan jelas adalah nukleus yang berbentuk oval, lebih gelap, besar dan mengandung nukleolus. Pada mikroskop elektron, apparatus golgi terlihat lebih
15
menonjol dan retikulum endoplasma kasar lebih banyak terutama saat sel sedang aktif memproduksi matriks seperti pada penyembuhan luka. 45 Sel fibroblas yang tidak aktif memiliki bentuk lebih kecil dan lebih oval. Nukleusnya lebih kecil dan memanjang. Pada mikroskop elektron akan terlihat retikulum endoplasma yang jarang namun banyak terdapat ribosom bebas. Sel fibroblas yang tidak aktif disebut juga sel fibrosit. Pembelahan sel fibroblas jarang terlihat pada jaringan normal. Namun, saat terjadi luka, sel tersebut akan berproliferasi dan menjadi lebih aktif untuk memproduksi matriks ekstraseluler. Saat penyembuhan luka, sel menjadi lebih besar dan bersifat basofilik. 45 Kolagen Serat kolagen terletak pada seluruh jaringan ikat. Pada potongan histologi, serat kolagen yang bersifat asidofilik akan berwarna merah muda pada pewarnaan eosin, berwarna biru pada pewarnaan Mallory trichrome, dan berwarna hijau pada pewarnaan Masson’s trichrome. Serat kolagen tersusun atas subunit tropokolagen yang memiliki sekuens asam amino rantai alfa. Serat kolagen menyusun 20% protein tubuh dan merupakan serat yang fleksibel dan memiliki kekuatan regangan yang besar.45 Serat kolagen dibentuk dari agregat serat tipis yang berdiameter 10 sampai 300 nm. Serat tipis tersebut merupakan molekul tropokolagen dengan panjang 280 nm dan berdiameter 1,5 nm. Molekul tropokolagen tersusun atas 3 rantai polipeptida yang disebut rantai alfa yang saling berpilin dan membentuk konfigurasi triple helical. Setiap rantai alfa memiliki 1000 asam amino. Setiap 3 asam amino terdapat asam amino glisin. Asam amino lain yang menyusun rantai alfa adalah prolin, hidroksiprolin, dan hidroksilisin. Ikatan hidrogen yang terdapat pada hidroksiprolin menjaga agar ketiga rantai alfa tetap bersama sedangkan hidroksilisin memberikan bentuk serat karena dapat saling mengikat molekul kolagen.45 Setiap rantai alfa dikode oleh mRNA (messanger Ribonucleic Acid) yang berbeda. Sekuens asam amino pada rantai alfa tersebut membagi kolagen menjadi 15 tipe kolagen yang berbeda, yaitu: 45 a. Kolagen Tipe 1 - Tipe kolagen yang paling banyak ditemukan
16
- Membentuk serat yang tebal - Terdapat di dermis, tendon, ligamen, kapsula organ, tulang, dentin, dan sementum - Dapat disintesis oleh sel fibroblas, osteoblas, odontoblas, dan cementoblas - Fungsi : menahan tekanan b. Kolagen Tipe II - Membentuk serat yang ramping - Hanya ditemukan pada matriks kartilago hialin dan elastin - Fungsi : menahan tekanan - Dapat diproduksi oleh sel kondroblas c. Kolagen Tipe III (serat retikular) - Merupakan kolagen yang terglikosilasi tinggi - Membentuk serat tipis dengan diameter 0,5 – 2,0 - Serat kolagen ini banyak terdapat di sistem limfatik, limpa, hati, sistem kardiovaskular, paru, dan kulit. - Membentuk struktur rangka limpa, otot polos, jaringan adiposa, hati, dan nodus limfatik - Dapat diproduksi oleh sel fibroblas, sel retikular, sel otot polos, dan hepatosit d. Kolagen Tipe IV - Tidak membentuk serat, namun membentuk anyaman molekul prokolagen yang melapisi lamina basalis - Diproduksi oleh sel epitel, sel otot, dan sel Schwann e. Kolagen Tipe V - Membentuk serat yang sangat tpis - Terdapat di dermis, ligamen, tendon, kapsul organ, tulang, plasenta, dan sementum - Berasosiasi dengan kolagen tipe 1 dan matriks dasar plasenta - Diproduksi oleh sel fibroblas dan mesenkim f. Kolagen Tipe VII - Membentuk agregat kecil yang disebut anchoring fibril
17
- Terletak pada pertemuan antara epidermis dan dermis - Diproduksi oleh sel epidermis Sintesis Kolagen Sintesis kolagen terjadi di retikulum endoplasma kasar dalam bentuk rantai preprokolagen. Molekul preprokolagen yang telah disintesis masuk ke dalam sisterna retikulum endoplasma kasar. Di dalam sisterna RE kasar, molekul tersebut dimodifikasi. Asam amino prolin dan lisin akan terhidroksilasi oleh enzim peptidil prolin hidroksilase dan peptidil lisin hidroksilase untuk membentuk hidroksiprolin dan hidroksilisin. Proses ini disebut modifikasi post translasi. Beberapa hidroksilisin mengalami glikosilasi dengan penambahan gugus glukosa dan galaktosa.45 Tiga molekul preprokolagen membentuk konfigurasi heliks yang disebut molekul prokolagen. Terdapat propeptida yang menjaga ikatan kolagen tersebut dan mencegah agregasi spontan serat kolagen di dalam sel. Molekul prokolagen meninggalkan RE kasar melalui vesikel transfer yang memindahkan molekul tersebut ke apparatus golgi. Di apparatus golgi, molekul tersebut dimodifikasi dengan penambahan oligosakarida. Molekul prokolagen yang telah dimodifikasi kemudian dikemas di dalam jaringan trans golgi dan langsung dikeluarkan dari sel.45 Saat prokolagen masuk ke dalam lingkungan ekstraseluler, enzim prokolagen peptidase akan memecah ikatan antara propeptida dengan kolagen. Molekul kolagen akan terbentuk lebih kecil dan disebut molekul tropokolagen. Ikatan kovalen yang dibentuk oleh lisin dan hidroksilisin molekul tropokolagen akan membentuk struktur serat. Pada kolagen tipe IV, propeptida yang terdapat pada prokolagen tidak dihilangkan sehingga struktur kolagennya tidak membentuk serat. 45 2.1.2.3 Hipodermis Hipodermis terletak dibawah lapisan retikular dermis. Namun, secara umum antara lapisan retikular dengan hipodermis tidak dapat dibedakan dengan jelas karena jaringan ikat pada kedua lapisan saling bertautan. Fungsi hipodermis adalah untuk stabilisasi kulit terhadap jaringan yang terdapat
18 dibawahnya yaitu otot dan tulang.28 Hipodermis tersusun atas jaringan ikat longgar dan jaringan adiposa. Pada bagian superfisial terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang besar.20,27
2.1.3 Jaringan Granulasi 2.1.3.1 Definisi Jaringan Granulasi Jaringan vaskular yang baru terbentuk secara normal pada proses penyembuhan luka jaringan lunak dan membentuk sikatrik, terdiri atas masa yang kecil, translusen, merah dan bernodul.19 Jaringan granulasi merupakan salah satu komponen dari proses penyembuhan luka. Jika suatu luka mengenai area yang luas atau luka tersebut mengenai daerah yang dilapisi dengan kulit yang tipis, perbaikan jaringan terjadi pada bagian dermis dan epitel. Pembelahan fibroblas dan sel mesenkim menghasilkan sel yang mobile yang masuk ke dalam area luka. Sel endotel pembuluh darah yang rusak mulai membelah, membentuk kapiler baru yang memperlancar sirkulasi. Kombinasi bekuan darah, fibroblas, dan jaringan kapiler yang luas disebut sebagai jaringan granulasi.21 Secara makroskopis, jaringan granulasi berwarna merah, lembut, dan bergranul, seperti yang terlihat di bawah keropeng pada kulit luka. Secara histologi ditandai dengan proliferasi sel fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam matriks ekstraseluler yang longgar. 21
19
Gambar 2.4 Gambaran Histologis Jaringan Granulasi A. Jaringan granulasi yang menunjukkan banyak pembuluh darah, edema, dan suatu ekstraseluler matriks yang longgar yang kadang mengandung sel radang. Hasil pewarnaan trikrom yang mewarnai biru kolagen. B. Pewarnaan trikrom jaringan parut matur, kolagen padat, hanya disertai saluran vaskular yang tersebar. Sumber : Kumar et al, 2007
2.1.3.2 Proses Penyembuhan Luka Proses perbaikan jaringan akibat luka sangat penting untuk mempertahankan kehidupan. Setiap jaringan yang rusak dapat mengalami perbaikan, namun kemampuannya sangat bervariasi. Proses penyembuhan luka merupakan proses yang kompleks, namun terjadi secara teratur. Proses tersebut terdiri atas serangkaian proses berikut :21 1. Induksi respon peradangan akut 2. Regenerasi sel parenkim 3. Migrasi dan proliferasi sel parenkim dan sel jaringan ikat 4. Sintesis protein ekstraseluler 5. Remodeling unsur parenkim untuk mengembalikan fungsi jaringan 6. Remodeling jaringan ikat untuk memperkuat luka. Secara
umum,
proses
penyembuhan
luka
juga
dapat
diklasifikasikan menjadi 3 fase, yaitu: fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling.22 Selain itu, berdasarkan keparahan lukanya, proses penyembuhan luka ada yang bersifat primer maupun sekunder.21
20
Gambar 2.5 Tahap Penyembuhan Luka Primer (kiri) dan Sekunder (kanan). Sumber : Kumar et al, 2007
Penyembuhan primer terjadi pada luka fokal pada kontinuitas membran basalis epitel dan menyebabkan kematian sel dalam jumlah yang sedikit sedangkan penyembuhan sekunder terjadi pada luka yang menyebabkan kehilangan sel atau jaringan luas sehingga merangsang pertumbuhan jaringan granulasi dan menyebabkan pertumbuhan jaringan parut.21 Perbedaan
antara
penyembuhan
primer
dan
penyembuhan
sekunder, antara lain: secara intrinsik, jika terjadi kerusakan jaringan yang luas maka jumlah debris jaringan nekrosis dan fibrin lebih banyak sehingga reaksi radang menjadi lebih hebat dan berpotensi besar mengalami cedera sekunder akibat radang, jaringan granulasi yang terbentuk lebih besar sehingga jaringan parut yang terbentuk juga lebih besar, dan penyembuhan sekunder menunjukkan adanya kontraksi luka.21 a. Fase Inflamasi Fase inflamasi merupakan fase awal proses penyembuhan luka. Fase ini terdiri atas 2 komponen, yaitu respon vaskular dan hemostasis, serta respon seluler. Perdarahan terjadi segera setelah jaringan luka akibat disrupsi pembuluh
21
darah. Hemostasis terdiri atas 2 proses, yaitu pembentukan bekuan fibrin dan koagulasi. Trombosit memiliki peran yang sangat penting dalam proses hemostasis tersebut. Trombosit diaktivasi oleh matriks ekstraseluler di dinding pembuluh darah sehingga membentuk agregat dan pada saat yang bersamaan mengeluarkan mediator (serotonin, adenosine difosfat, dan tromboksan A2) dan protein pengikat (fibrinogen, fibronektin, trombospodin, dan Von Willebrand Factor VIII ). Dalam proses ini, terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin oleh trombin sehingga akan terbentuk bekuan fibrin.22 Respon seluler dari fase inflamasi ditandai dengan datangnya leukosit, neutrofil dan monosit ke tempat luka. Sel – sel tersebut mengeluarkan zat sitokin yang merupakan faktor kemotaksis untuk memanggil sel – sel leukosit lain dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sedangkan monosit akan berubah menjadi makrofag dan memfagositosis sisa – sisa kotoran di tempat luka tersebut. Proses ini berlangsung dalam waktu 24 jam setelah terjadinya luka.21, 22 b. Fase Proliferasi Dalam fase proliferasi akan terjadi proses reepitelisasi, migrasi keratinosit, proliferasi keratinosit, pembentukan Basement Membrane Zone (BMZ), rekonstitusi dermis, fibroplasia, dan angiogenesis.
Reepitelisasi
merupakan proses pengembalian epidermis intak setelah terjadi luka. Proses ini dapat terjadi karena adanya migrasi sel keratinosit ke daerah luka, diferensiasi neoepitel menjadi stratum epidermis, restorasi BMZ yang intak yang menghubungkan dermis dan epidermis di bawahnya. Keratinosit bermigrasi dalam waktu 24 jam setelah terjadi luka. Faktor yang mempengaruhi migrasi keratinosit antara lain: matriks ekstraseluler, reseptor integrin, metalloprotease (MMP), dan faktor pertumbuhan.22 Rekonstitusi dermis terjadi pada hari ke 3 – 4 setelah terjadinya luka. Proses ini dicirikan dengan terbentuknya jaringan granulasi, yang terdiri atas pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) dan akumulasi fibroblas dan bahan dasar matriks. Pada hari ke-4, fibroblas mulai berploriferasi dan bermigrasi ke dalam bekuan fibrin serta menghasilkan kolagen baru dan protein matriks lainnya. Molekul struktural matriks ekstraseluler, fibronektin dan kolagen berperan untuk pembentukan jaringan granulasi. Fibronektin membantu fibroblas
22
berikatan dengan matriks ekstraseluler dan menyediakan tempat adhesi saat migrasi sel. Fibronektin juga berperan sebagai penyangga serat kolagen dan memediasi kontraksi luka. Migrasi fibroblas dapat distimulasi oleh PDGF dan TGF-beta yang dihasilkan oleh makrofag.22 Jumlah fibroblas mencapai puncaknya pada minggu ke 1-2 setelah terbentuknya luka. 28 Proses pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) melalui dua proses, yaitu: vaskulogenesis, yang jaringannya berasal dari angioblas (prekursor sel endotel) selama perkembangan embrionik dan angiogenesis atau neovaskularisasi yaitu pembuluh darah yang telah ada mengeluarkan tunas kapiler untuk menghasilkan pembuluh darah baru. Berikut tahapan – tahapan umum perkembangan pembuluh kapiler yang baru :21 1. Terjadi degradasi proteolitik pada membran basal pembuluh darah induk dan degradasi matriks ekstraseluler di sekitar pembuluh darah induk
Gambar 2.6 Langkah – langkah Proses Angiogenesis Sumber : Kumar et al, 2007
2. Migrasi sel endotel dari kapiler induk ke arah rangsangan angiogenik 3. Proliferasi sel endotel 4. Maturasi sel endotel untuk menyokong pembuluh endotel berupa rekrutmen dan proliferasi sel perisit (untuk kapiler) dan sel otot polos (untuk pembuluh darah yang lebih besar). Pembuluh darah baru tidak membentuk interendothelial junction dan meningkatnya transitosis sehingga mudah mengalami kebocoran dan menyebabkan jaringan granulasi mengalami edema. Faktor yang menginduksi angiogenesis, antara lain : FGF (Fibroblast Growth Factor) dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Kedua zat tersebut disekresikan oleh sel stroma. Selain itu juga terdapat aktivitas kinase intrinsik sel endotel yang menginduksi sel
23
endotel untuk menyekresi proteinase untuk mendegradasi membran basalis, meningkatkan migrasi sel endotel, dan mengarahkan pembentukan pembuluh darah baru.21 Kontraksi luka terjadi pada puncak minggu kedua. Selama pembentukan jaringan granulasi fibroblas secara bertahap bermodulasi menjadi miofibroblas yang memiliki berkas mikrofilamen aktin. Pseudopodia miofibroblas memanjang dan aktin sitoplasma berikatan dengan fibronektin ekstraseluler, menempel pada serat kolagen dan retraksi, menghubungkan serat kolagen dengan sel sehingga membentuk kontraksi luka. Kontraksi miofibroblas dipengaruhi oleh PGF1, 5hidroksitriptamin,
angiotensin,
vasopressin,
bradikinin,
epinefrin,
dan
norepinefrin.22 c.
Fase Remodeling
Perubahan jaringan granulasi menjadi jaringan parut melibatkan perubahan dalam komposisi matriks ekstraseluler. Pada dermis orang dewasa normal, komposisi kolagen tipe I sebesar 80% sedangkan komposisi kolagen tipe III sebesar 10%. Sedangkan pada fase penyembuhan luka, kolagen tipe III lebih dominan. Muncul pada hari ke 2 – 3 setelah luka, dan bertahan hingga hari ke 7 – 8. Perubahan tersebut terjadi untuk mencapai keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler.21,22 Degradasi matriks ekstraseluler dan kolagen dilakukan oleh kelompok metalloproteinase (bergantung pada ion Zn). Metaloproteinase terdiri atas kolagenase interstitial yang memecah kolagen fibril tipe I, II, dan III, gelatinase (kolagenase tipe IV), yang memecah kolagen amorf dan fibronektin, dan stromelisin yang mengatabolisasi
proteoglikan, laminin, fibronektin, dan
kolagen amorf. Enzim dalam bentuk tidak aktif dan dapat diaktifkan oleh zat – zat yang muncul pada daerah luka. Metaloproteinase yang aktif dapat dihambat dengan TIMP (Tissue Inhibitor Metalloproteinase) yang dihasilkan oleh sel mesenkim untuk mencegah terjadinya kerusakan. Aktivasi kolagenase dan inhibitornya diatur secara spasial dan temporal dan sangat penting untuk remodeling ekstraseluler matriks untuk pemulihan jaringan.21,22
24
2.1.4 Luka Bakar 2.1.4.1 Epidemiologi Luka Bakar Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000 orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun. Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak berisiko tinggi terhadap kematian akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup. 2 Di Amerika Serikat, luka bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari 50.000 pasien di rawat inap.21 Di Indonesia, menurut RISKESDAS (2013) prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%.1 Secara global, 96.000 anak – anak yang berusia di bawah usia 20 tahun mengalami kematian akibat luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian lebih tinggi sebelas kali di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi sebesar 4,3 per 100.000 orang dan 0,4 per 100.000 orang.2 Kebanyakan kematian terjadi pada daerah yang miskin, seperti Afrika, Asia Tenggara, dan daerah Timur Tengah. Frekuensi kematian terendah terjadi pada daerah dengan pendapatan tinggi , seperti Eropa dan Pasifik Barat.2
Gambar 2.7 Frekuensi Mortalitas Akibat Luka Bakar karena Api per 100.000 anak -anak di daerah WHO berdasarkan Tingkat Pendapatan Negara, 2004 Sumber : WHO (2008), Global Burden of Disease: 2004 Update
25
2.1.4.2 Klasifikasi Luka Bakar Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, antara lain: penyebab, luasnya luka, dan keparahan luka bakar. a. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme dan Penyebab Luka bakar termal Luka bakar yang biasanya mengenai kulit. Luka bakar ini bisa disebabkan oleh cairan panas,berkontak dengan benda padat panas, terkena lilin atau rokok, terkena zat kimia, dan terkena aliran listrik. Luka bakar inhalasi Luka bakar yang disebabkan oleh terhirupnya gas yang panas, cairan panas atau produk berbahaya dari proses pembakaran yang tidak sempurna. Luka bakar ini penyebab kematian terbesar pada pasien luka bakar.2 b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat dan Kedalaman Luka Bakar Derajat I atau Luka bakar superfisial Luka bakar hanya mengenai epidermis dan menimbulkan respon inflamasi sederhana. Biasanya disebabkan oleh paparan terhadap radiasi sinar matahari atau kontak terhadap benda padat. Luka bakar tipe ini dapat sembuh dalam seminggu dan tidak menimbulkan perubahan permanen pada warna, tekstur, dan ketebalan kulit.
Gambar. 2.8 Ilustrasi Kedalaman Luka Bakar dan Hubungannya dengan Lapisan Kulit Sumber : Senarath-Yapa K & Enoch S, 2009
26 Derajat II atau Luka bakar parsial/dalam Pada luka bakar derajat II, kerusakan jaringan meliputi epidermis dan dermis. Luka bakar derajat II dibagi menjadi 2, yaitu luka bakar derajat II superfisial dan luka bakar derajat II dalam. Pada luka bakar derajat II superfisial, kerusakan terjadi pada bagian epidermis dan permukaan dermis namun struktur tambahan kulit masih utuh sedangkan pada luka bakar derajat II dalam terjadi kerusakan pada seluruh epidermis dan dermis serta struktur tambahan kulit. Luka bakar derajat II superfisial dapat sembuh dalam waktu kurang dari 3 minggu, sedangkan luka bakar derajat II dalam sembuh dalam waktu lebih dari 3 minggu. Derajat III atau Luka bakar penuh Pada luka bakar ini, kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermal, meliputi epidermis, dermis dan jaringan subkutan serta folikel rambut yang dalam. Luka bakar jenis ini menimbulkan kerusakan pada lapisan kulit yang luas.2 c. Klasifikasi Berdasarkan Luas Luka Luas luka bakar ditentukan berdasarkan area permukaan tubuh total (Total Body Surface Area/TBSA). Metode yang digunakan adalah Rule of Nine Wallace. Metode ini digunakan untuk orang dewasa dan anak – anak berusia lebih dari 10 tahun, sedangkan Grafik Lund dan Browder digunakan untuk anak berusia kurang dari 10 tahun. Pada metode rule of nine, proporsi bagian kepala dan daerah leher sebesar 9%, setiap bagian lengan termasuk tangan sebesar 9%, setiap bagian tungkai dan kaki sebesar 18% , bagian batang tubuh (punggung, toraks, dan abdomen) pada satu sisi sebesar 18%.24
27
Gambar. 2.9 Rules of Nine Wallace Sumber: Senarath-Yapa K & Enoch S, 2009
2.1.4.3 Patofisiologi Luka Termal Respon inflamasi secara dapat terjadi secara lokal maupun sistemik akibat luka termal. Proses tersebut terjadi secara kompleks. Respon inflamasi terjadi segera setelah terjadinya luka, sedangkan respons sistemik bersifat progresif dan mencapai puncaknya pada hari ke 5 – 7 setelah terjadinya luka.23 Respon Sistemik Terhadap Luka Bakar
Tabel 2.1 Respon Sistemik terhadap Luka Bakar Sumber: Cakir B & Yegen C, 2004
2.1.5 Penanganan Luka Bakar Luka bakar dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan baik. Pasien luka bakar sama prioritasnya dengan pasien trauma sehingga perlu
28
dilakukan penanganan secara primer maupun sekunder ( lanjutan ). Pada penanganan luka bakar perlu dilakukan penilaian terhadap hal – hal berikut :29,30 1. Jalan Nafas (Airway) Luka bakar yang luas dapat menimbulkan edema massif dan menimbulkan obstruksi pada saluran nafas. Tanda – tanda obstruksi saluran nafas, yaitu : perubahan suara, penggunaan otot – otot pernafasan, dan kecemasan yang tinggi. Selain itu, terdapat beberapa kondisi pada pasien luka bakar yang meningkatkan resiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan, antara lain : luka bakar yang luas, semua pasien dengan luka bakar jenis deep burn (>35%-40% TBSA sebaiknya dipasang endotracheal tube (ETT)).30 Pemasangan ETT dapat dilakukan lebih awal jika pasien mengalami obstruksi saluran nafas. Selain itu, ETT juga dapat dipasang jika memerlukan waktu yang cukup lama untuk merujuk pasien. Trakeostomi tidak dibutuhkan pada penanganan resusitasi.30 2. Pernapasan (Breathing) Periksa frekuensi pernafasan. Hati – hati pada pernafasan yang cepat atau lambat.29 3. Sirkulasi (Circulation) Luka bakar dapat menyebabkan hilangnya cairan yang cukup banyak bergantung pada luas luka dan kedalamannya. Oleh karena itu, perlu cairan pengganti berupa larutan Ringer Laktat yang diberikan secara intravena. Perlu dilakukan pemasangan foley kateter untuk memonitor respon fisiologis tubuh terhadap cairan yang diberikan. Target urine output pada orang dewasa sebesar 0.5 ml/kg/jam, sedangkan pada anak – anak sebesar 1 ml/kg/jam.30 4. Kecacatan (Disability) Nilai apakah ada compartment syndrome atau tidak.29 5. Paparan (Exposure) Persentase area yang terkena luka bakar 29 Morbiditas dan mortalitas luka bakar bergantung pada luas permukaan luka bakar . Selain itu, morbiditas dan mortalitas luka bakar akan meningkat
29
seiring bertambahnya usia. Luka bakar yang kecil pada lansia dapat menimbulkan kematian.29 2.1.5.1 Pertolongan Pertama (First aid) Perawatan Luka Pada 6 jam pertama luka bakar merupakan fase kritis. Rujuk segera pasien yang mengalami luka bakar parah ke rumah sakit. Berikut langkah – langkah yang dilakukan untuk pertolongan pertama pada luka bakar, antara lain:29 a. Jika pasien belum mendapatkan pertolongan pertama, alirkan air dingin pada luka bakar pasien untuk mencegah kerusakan lebih jauh dan melepaskan pakaian yang terbakar. b. Jika luka bakar terbatas, kompres dengan air dingin selama 30 menit untuk
mengurangi nyeri dan edema dan
meminimalisasi kerusakan jaringan. c.
Jika luka bakar luas, setelah dialirkan air dingin, pasang pembalut yang bersih pada daerah luka untuk mencegah hipotermia.
2.1.5.2 Initial Treatment Wound Care a. Luka bakar harus steril b. Pemberian profilaksis tetanus c. Bersihkan semua bulla, kecuali pada luka bakar yang sangat kecil. Eksisi dan lakukan debridement pada jaringan nekrosis yang menempel. d. Setelah di-debridement, bersihkan luka bakar dengan larutan chlorhexidine 0.25% (2.5g/liter), 0.1% (1g/liter) larutan cetrimide, atau antiseptik lain yang berbahan dasar air. 30 e. Jangan menggunakan larutan berbahan dasar alkohol f. Gosok dengan hati – hati jaringan nekrotik yang longgar. Berikan lapisan tipis krim antibiotik (silver sulfadiazine) g. Balutkan kain kasa pada luka. Gunakan kasa kering yang tebal untuk mencegah terjadinya kebocoran pada lapisan luar. 2.1.5.3 Daily Treatment Wound Care
30
a. Ganti balutan kasa setiap hari (dua kali sehari jika memungkinkan) atau sesering mungkin untuk mencegah terjadinya kebocoran cairan. b. Inspeksi luka, ada perubahan warna atau tidak yang mengindikasikan adanya infeksi c.
Demam dapat muncul hingga luka tertutup
d.
Adanya selulitis mengindikasikan adanya infeksi
e.
Berikan
antibiotik
sistemik
jika
mengalami
infeksi
Streptococcus hemolyticus f.
Infeksi Pseudomonas aeruginosa sering menimbulkan septicemia dan kematian. Berikan aminoglikosida sistemik.
g.
Pemberian antibiotik topikal setiap hari. Jenis antibiotik topikal yang dapat diberikan antara lain : - Nitrat silver (0.5% aqueous), paling murah, diaplikasikan pada balutan kassa oklusif namun tidak dapat penetrasi ke dalam jaringan parut. Obat ini dapat menyebabkan deplesi elektrolit dan menyebabkan noda. -
Silver sulfadiazine (1% ointment), diaplikasikan pada
selapis balutan kasa, memiliki kemampuan penetrasi ke dalam jaringan parut yang terbatas, dan dapat menyebabkan neutropenia. -
Mafenide acetate (11 % ointment), diaplikasikan tanpa
balutan kasa, memiliki kemampuan penetrasi ke dalam jaringan parut yang lebih baik, dapat menyebabkan asidosis. 29 2.1.5.4. Antibiotik Topikal Silver Sulfadiazine Silver sulfadiazine merupakan antibiotik topikal pilihan untuk luka bakar. Komponen aktif silver sulfadiazine terdiri atas silver nitrat dan sodium sulfadiazine. Atom silver menggantikan atom hidrogen pada molekul sulfadiazine. Obat ini sering digunakan pada luka bakar permukaan (superficial burn) dan dalam (deep burn). Silver sulfadiazine memiliki spektrum antimikroba yang luas (Gram +, Gram -, dan ragi ) dan bersifat bakterisidal.31
31
Komponen silver akan berikatan dengan DNA bakteri sehingga akan menghambat proses sintesis protein bakteri dan menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat. Silver sulfadiazine memiliki kemampuan disosiasi sedang sehingga dapat berperan sebagai reservoir silver yang sangat mudah berdisosiasi jika dalam berbentuk garam.32. Ion silver dapat berikatan dengan enzim yang terdapat di dalam bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri. Selain itu, ion silver juga dapat terdeposit dinding sel dan membran plasma bakteri sehingga menyebabkan struktur luar bakteri tersebut menjadi abnormal.42 Sulfadiazine
merupakan
antibiotik
golongan
sulfonamide.
Sulfadiazine dapat menghambat sintesis asam folat bakteri dengan cara menghambat enzim dihydropteroat sintase sehingga pembentukan asam dihidrofolik dari PABA (p-aminobenzoic acid) akan menurun. Penurunan pembentukan asam dihidrofolik akan menghambat pembentukan purin dan DNA bakteri sehingga pertumbuhan bakteri akan berkurang. 43
Pemberian silver sulfadiazine kontraindikasi untuk penderita alergi sulfa daan ibu hamil. Pada ibu hamil, komponen sulfonamide menyebabkan kernikterik pada bayi. Selain itu, obat ini tidak boleh diberikan pada luka bakar di daerah wajah karena dapat menimbulkan iritasi mata. Efek samping obat ini adalah dapat menyebabkan leukopenia pada hari ke 3 dan ke 5 setelah terjadi luka bakar. Namun, beberapa dokter menyakini bahwa leukopeni tersebut terjadi karena penurunan migrasi leukosit ke daerah luka dan tidak disebabkan oleh supresi pada sumsum tulang.31 2.1.6 Pemberian Topikal Ekstrak Daun Binahong Cara pemberian obat untuk luka bakar dapat melalui topikal maupun sistemik bergantung jenis obatnya dan efek terapi yang diinginkan. Cara pemberian obat juga bergantung pada pembawa zat aktif obat tersebut. Salah satu cara pemberian obat luka bakar pada kulit adalah dengan pemberian obat topikal. Bentuk obat topikal kulit bermacam – macam, seperti salep, bubuk, krim, gel,
32
larutan, hidrogel, lotion dan salep. Bentuk obat tersebut bergantung pada sifat kelarutan zat aktif dan zat pembawa yang digunakan. 25 Pada bentuk obat topikal kulit salep, zat pembawa yang digunakan adalah vaselin album dan adeps lanae. Kedua zat tersebut bersifat lipofilik. Oleh karena itu, kedua zat tersebut dapat menahan uap air sehingga keringat tidak dapat menembus kulit dan tertahan pada kulit sehingga menimbulkan hidrasi pada kulit di bawah pembawa. Pembawa yang bersifat lipofilik umumnya cenderung baik bagi absorpsi obat.26
Gambar 2.10 Bentuk Sediaan Obat Topikal Sumber : Lullman H., et al, 2000
2.1.7 Tikus Sprague dawley Tikus Sprague dawley adalah salah satu jenis tikus putih (Rattus novergicus) yang sering digunakan untuk penelitian. Hampir 20% penelitian menggunakan hewan ini untuk kepentingan ilmiah. Berat tikus Sprague dawley saat lahir sebesar 5 gr dan sangat aktif. Hewan ini dapat tumbuh dengan cepat hingga minggu ke – 3. Berat tikus jantan dewasa sebesar 400 – 500 gr. Tikus ini dapat bertahan hidup hingga usia 2 tahun dan merupakan hewan yang jinak. Penelitian mengenai struktur anatomi tikus telah banyak dilakukan. Lambung tikus memiliki bagian aglandular yang lebih besar yaitu 1/3 bagian dari total mukosa gaster. Kelenjar lambung tidak memiliki kelenjar kardiak dan kaya
33
sel mast yang menghasilkan histamin. Sekum yang luas membantu untuk pencernaan selulosa. Suhu dan kelembaban lingkungan yang sesuai untuk tikus yaitu 20 0C- 250C dan 50 – 55%. Tikus dapat beradaptasi sesuai suhu dan kelembaban lingkungan di sekitarnya. Kelembaban pada jangkauan 40 – 70% masih dapat ditoleransi oleh tikus. Namun, saat penelitian, suhu dan kelembaban lingkungan tikus harus dijaga relatif konstan untuk meminimalisasi efek fluktuasi pada data penelitian melalui perubahan konsumsi makan dan minum, serta kerentanan terhadap penyakit. Ventilasi merupakan bagian yang penting pada kandang tikus. Kondisi ventilasi ini berkaitan dengan kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan. Frekuensi pertukaran udara segar 100% yang direkomendasikan bervariasi yaitu 10-20 pertukaran per jam, bergantung pada kepadatan populasi dan penggunaan filter udara. Penggunaan filter portable yang murah direkomendasikan untuk menghilangkan zat – zat toksik dan patogen. Pencahayaan juga merupakan bagian terpenting pada perawatan tikus. Kerusakan retina akibat paparan cahaya yang berlebih dapat terjadi pada tikus albino (tikus putih). Tikus juga memiliki pendengaran yang sensitif. Kadar kebisingan 160 dB dapat menyebabkan kerusakan mekanik pada telinga tikus. Oleh karena itu, kadar kebisingan di sekitar kandang tikus harus dijaga kurang dari 85 dB. Paparan kebisingan sebesar 107 – 112 dB selama 1 ½ jam selama 5 hari berturut – turut dapat menyebabkan pembesaran pada kelenjar adrenal, eosinopenia, leukositosis, dan peningkatan nafsu makan pada tikus. Tikus Sprague dawley sering digunakan untuk penelitian mengenai uji efikasi, keamanan, dan
toksisitas obat, penelitian mengenai reproduksi,
perkembangan, penuaan, nutrisi, onkologi, dan teratologi. Tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang sangat baik. Kulit hewan pengerat sering digunakan untuk penelitian mengenai per cutaneus permeation secara in vitro dan in vivo. Hewan pengerat yang sering digunakan adalah tikus, mencit, dan marmut. Keuntungan dari penggunaan hewan ini adalah ukurannya yang kecil, perawatan mudah, dan harga yang lebih murah. Diantara hewan pengerat lain, kulit tikus memiliki struktur yang mirip dengan
34
jaringan manusia. Permeation rate pada kulit hewan pengerat lebih tinggi dibandingkan
dengan
kulit
manusia,
kecuali
pada
kulit
tikus. 51
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan secara deskriptif analitik.39 Penelitian ini menggunakan evaluasi histopatologi untuk melihat efek salep ekstrak daun binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Agustus 2014 di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Proses determinasi tanaman dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, sedangkan proses ekstraksi dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO). Pembuatan preparat dilakukan oleh Laboratorium Patologi Anatomi FKUI sedangkan pengamatan preparat histopatologi jaringan luka dilakukan di Laboratorium Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Proses pembuatan salep ekstrak daun binahong dilakukan di Laboratorium Farmakologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.3 Bahan yang diuji Bahan yang diuji adalah daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore) Steenis) yang dideterminasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. Berat daun binahong basah sebesar 4 kg dan berat daun yang telah dikeringkan sebesar 530,6 gr. Daun binahong yang telah kering diekstraksi oleh Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO). 3.4 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih strain Sprague dawley yang didapatkan dari penyedia fasilitas dan model hewan coba (iRATco) yang disertai surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB). Sampel yang diambil adalah tikus yang memenuhi kriteria berikut : 35
36
3.4.1 Kriteria Inklusi Tikus Sprague dawley, berjenis kelamin jantan, kondisi sehat, berusia 12 – 16 minggu dengan berat 350 - 450 gr. 3.4.2 Kriteria Eksklusi Tikus Sprague dawley yang memiliki bekas luka di daerah dorsal atau memiliki kelainan pada kulit di bagian dorsal 3.4.3 Besar Sampel Besar sampel dihitung berdasarkan rumus Federer, yaitu :46 ( T – 1 ) ( N – 1 ) ≥ 15 Keterangan : T = jumlah perlakuan , N = jumlah sampel Dalam penelitian ini terdapat 5 perlakuan, sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan yaitu : (5 – 1) (N - 1) ≥ 15 (4) (N – 1) ≥ 15 (N – 1) ≥ 15/4 N – 1 ≥ 3,75 N ≥ 4,75 , dibulatkan menjadi 5. Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel yang dibutuhkan minimal 5 ekor tikus untuk setiap kelompok perlakuan. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah 5 ekor tikus dalam setiap kelompok penelitian sehingga jumlah keseluruhan sampel yang digunakan adalah sebanyak 25 ekor tikus. Seluruh sampel diberikan makanan dan minuman secara ad libitum. Secara random, sampel dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, 1 kelompok kontrol positif, dan 1 kelompok negatif, dengan rincian sebagai berikut:
Kelompok Kontrol Positif (K+) yang diberikan salep Silver Sulfadiazin: 5 ekor tikus
Kelompok Kontrol Negatif (K-) yang hanya diberikan basis salep: 5 ekor tikus
Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%: 5 ekor tikus
37
Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi ekstrak sebesar 20%: 5 ekor tikus
Kelompok Perlakuan 3 (P3) yang diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 40%: 5 ekor tikus 3.5 Identifikasi Variabel 3.5.1 Variabel Bebas Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) dengan konsentrasi sebesar 10%, 20%, dan 40%. 3.5.2 Variabel Terikat Kepadatan
deposit
kolagen,
jumlah
sel
fibroblas,
dan
neovaskularisasi 3.6 Definisi Operasional
No. 1
Variabel Kepadatan Deposit Kolagen
Definisi Operasional Kolagen yang terbentuk di jaringan granulasi
3
Jumlah Fibroblas
Fibroblas adalah sel yang memiliki inti lonjong ketika dipotong memanjang dan memiliki inti berwarna lebih pucat
4
NeovaskulaRisasi
Pembuluh darah yang terdapat dalam jaringan granulasi -
5
Salep ekstrak daun binahong
6
Basis Salep
7
Kontrol Positif
Salep ekstrak daun binahong dengan konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 10%, 20%, dan 40% Salep yang berisi vaselin album dan adeps lanae tanpa ekstrak daun binahong Salep silver sulfadiazine
Alat Ukur - Mikroskop Olympus BX41 - Program Adobe Photoshop 6.0 - Mikroskop Olympus BX41 - Program ImageJ 1.48v
Hasil Ukur Intensitas deposit kolagen pada jaringan granulasi
Skala Ukur Numerik
Jumlah sel fibroblas
Numerik
- Mikroskop Olympus BX41 - Program Adobe Photoshop CS3
Jumlah pembuluh darah
Numerik
-
-
Kategorik
-
-
Kategorik
-
-
Kategorik
38
3.7 Alat dan Bahan 3.7.1 Alat Penelitian 1. Plat besi berukuran 4 x 2 cm 2. Hot Plate Magnetic stirrer 3. Beker glass 4. Gunting dan Pinset 5. Pisau cukur 6. Karton 7. Staples 8. Pot obat 9. Kandang hewan coba 10. Timbangan elektronik 11. Termometer 12. Lumpang dan Alu 13. Cawan porselen 14. Spatula 15. Stopwatch 16. Mikroskop 3.7.2 Bahan Penelitian 1. Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) 2. Adeps lanae 3. Vaselin album 4. Formalin 5. Eter 6. Pelarut etanol 96 %.
39
3.8 Alur Penelitian
Persiapan Penelitian
Pemilihan sampel
Determinasi tanaman oleh LIPI Bogor
Pembuatan salep ekstrak daun Binahong di BALITRO dan Laboratorium Farmakologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sampel jaringan ditempatkan di dalam pot lalu dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi FKUI untuk dibuat preparat
Proses pengamatan histopatologi kulit di Laboratorium Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Aklimatisasi sampel selama 1 minggu
Pembuatan Luka Bakar pada Tikus
Pemberian salep ekstrak daun binahong, kontrol positif, dan kontrol negatif selama 5 hari
Pada hari ke - 6 , dilakukan eksisi luka
Pengolahan data hasil pengamatan preparat histopatologi kulit
Pembuatan Laporan Hasil Penelitian
(Gambar terlampir pada lampiran 5)
40
3.9 Cara Kerja Penelitian 3.9.1 Pembuatan Luka Bakar pada tikus50
3.9.2 Pembuatan Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) a. Persiapan Sampel Daun binahong diperoleh dari Pusat Penjualan Binahong yang berlokasi di Palmerah, Jakarta Barat. Daun binahong dikeringkan selama 3 hari. Kemudian daun binahong yang telah kering diblender hingga halus. b. Determinasi Sampel Determinasi
tanaman
Pengetahuan
Indonesia
dilakukan
oleh
Lembaga
Ilmu
(LIPI)
Bogor
dengan
surat
determinasi terlampir. (Lampiran 1) c. Ekstrak Sampel Daun binahong basah didapatkan sebanyak 4 kg setelah pengeringan didapatkan sebanyak 530,6 gr dan dihaluskan.
41
Sampel yang telah halus direndam dalam pelarut etanol 96% sebanyak 2500 ml dengan perbandingan 1 kg daun : 5 liter pelarut etanol 96%. Sampel sebanyak 530,6 gr yang telah direndam di dalam etanol dikocok selama 2 – 3 jam, kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah didiamkan selama 24 jam, sampel kemudian disaring dengan kertas saring. Hasil filtrat penyaringan kemudian dirotavapor. Saat dirotavapor, pelarut etanol divakum lalu didestilasi sehingga menjadi cair. Cairan pelarut etanol dari hasil destilasi kemudian ditampung. Jika pelarut sudah menguap semua akan didapatkan ekstrak kental daun binahong. Didapatkan ekstrak kental daun binahong sebanyak 26,2 gr. 3.9.3 Pembuatan Salep Ekstrak Daun Binahong a. Persiapan Bahan Salep Bahan yang akan digunakan untuk membuat basis salep dan ekstrak daun Binahong ditimbang sesuai dengan takaran. Basis Salep Basis yang akan digunakan basis berlemak yaitu adeps lanae dan vaseline album. Sebelum dibuat basis salep, dipanaskan lumpang dan alu di dalam oven dengan suhu 500C hingga panas, kemudian lumpang dan alu yang telah panas dikeluarkan dari oven dan masukkan adeps lanae terlebih dahulu dan diaduk hingga lebur kemudian dilanjutkan dengan memasukkan vaselin album dan diaduk dengan kecepatan konstan hingga homogen dengan membentuk basis salep. b. Pencampuran Basis Salep dengan Ekstrak Daun Binahong Basis salep yang telah dibuat, ditambahkan dengan ekstrak daun Binahong dan diaduk hingga homogen dengan menggunakan
lumpang
dan
alu
yang
panas
disesuaikan dengan masing – masing konsentrasi.
yang
42
Formula standar basis salep yang digunakan menurut Niswah Paju et al (2013) ialah : R/ Adeps lanae
15 g
Vaseline Album
85 g
m.f salep
100 g
Sediaan salep yang akan digunakan pada penelitian ini memiliki masing – masing konsentrasi ekstrak daun Binahong yaitu 10%, 20% dan 40% dibuat sebanyak 30g. a. Formulasi salep ekstrak daun Binahong 10% R/ Ekstrak daun Binahong
3g
Basis salep
27 g
m.f salep
30 g
b. Formulasi salep ekstrak daun Binahong 20 % R/ Ekstrak daun Binahong
6g
Basis salep
24 g
m.f salep
30 g
c. Formulasi salep ekstrak daun Binahong 40% R/ Ekstrak daun Binahong
12 g
Basis salep
18 g
m.f salep
30 g
c. Pengujian Sediaan Salep Untuk
mengetahui
homogenitas
salep
dilakukan
uji
homogentitas, yaitu dengan mengoleskan sediaan pada sekeping kaca transparan dimana sediaan diambil pada bagian atas, tengah, dan bawah.
Gambar 3.1 Hasil Tes Homogenitas Salep Ekstrak Daun Binahong
43
Salep dikatakan homogen apabila basis salep dan ekstrak daun binahong sudah tercampur merata dan ketika dioleskan di atas kaca tidak menggumpal. 3.9.4 Perlakuan Pada Hewan Coba Hewan coba dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus. Kategori perlakuan hewan coba, yaitu: 1.
Kontrol negatif: 5 ekor tikus diberikan salep yang hanya berisi basis salep (vaselin album dan adeps lanae)
2.
Kontrol positif: 5 ekor tikus diberikan salep silver sulfadiazine (SSD)
3.
Kelompok Perlakuan I: 5 ekor tikus diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 10%
4.
Kelompok Perlakuan II: 5 ekor tikus diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 20%
5.
Kelompok Perlakuan III: 5 ekor tikus diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 40%
Sebelum perlakuan, sampel diaklimatisasi selama 1 minggu. Setelah dilakukan pembuatan luka bakar, kelima kelompok tersebut diberikan masing – masing sediaan salep pada pagi dan sore hari selama 5 hari. Pada hari ke -6 dilakukan eksisi pada luka untuk menilai histopatologi kulit yang mengalami luka. 3.9.5 Persiapan Eksisi Luka Sebelum dieksisi, hewan dianestesi dengan eter. Eksisi luka dengan cara pembedahan. Preparat luka yang telah diambil dimasukkan kedalam larutan formalin 10% lalu dikirim ke Laboratorium
Patologi
Anatomi
Universitas Indonesia (FKUI). 3.9.6 Pembuatan Preparat Histopatologi Kulit
Fakultas
Kedokteran
44
Pembuatan preparat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) dan pewarnaan trichrome . Pewarnaan HE digunakan untuk melihat sel fibroblas dan neovaskularisasi sedangkan pewarnaan trichrome untuk menilai deposit kolagen. Pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi FKUI. 3.9.7 Pengamatan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x – 400x di Laboratorium Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan Mikroskop Olympus BX41 yang dilengkapi dengan software aplikasi DP2-BSW. 3.9.7.1 Cara Pengukuran
Kepadatan Deposit Kolagen Kepadatan deposit kolagen diukur dengan membuat foto sediaan kulit dorsal yang telah diberi luka bakar dengan menggunakan
mikroskop.
Hasil
foto
disimpan
dan
dianalisis secara kuantitatif dengan mengukur serapan warna
RGB
(Red,Green,
Blue)
atau
format
RGB
menggunakan program komputer adobe Photoshop 6.
Jumlah Sel Fibroblas Jumlah sel fibroblas diukur dengan membuat foto sediaan kulit dorsal yang telah diberi luka bakar dengan menggunakan
mikroskop.
Hasil
foto
disimpan
dan
dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung jumlah sel fibroblas dari 5 lapang pandang yang berbeda dan dipilih secara acak. Jumlah sel fibroblas dari kelima lapang pandang tersebut kemudian dirata – rata.
Neovaskularisasi Jumlah neovaskularisasi diukur dengan membuat foto sediaan kulit dorsal yang telah diberi luka bakar dengan menggunakan
mikroskop.
Hasil
foto
disimpan
dan
45
dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung jumlah pembuluh darah yang terbentuk dari 5 lapang pandang yang berbeda dan dipilih secara acak. Jumlah neovaskularisasi dari kelima lapang pandang tersebut kemudian dirata – rata. 3.9.7.2 Cara Penggunaan program Adobe Photoshop 6.0 Cara pengukuran kepadatan deposit kolagen menggunakan program Adobe Photoshop 6.0 adalah sebagai berikut : 1.
Preparat difoto dengan kamera mikroskop fotografi dengan pembesaran 200x. Foto – foto tersebut kemudian disimpan.
2.
Langkah – langkah untuk memperoleh nilai mean RGB Membuka program adobe photoshop 6.0 Buka file foto yang sudah disimpan Klik magic wound tool ( terletak di sebelah kiri ) Tempatkan kursor pada foto di bagian warna yang akan dihilangkan . Misal, di dalam foto tersebut terdapat warna ungu dan warna biru. Warna ungu menggambarkan lapisan sel epitel sedangkan warna biru menggambarkan kepadatan kolagen dengan pewarnaan trichrome. Pada penelitian ini, akan dinilai kepadatan kolagen sehingga warna ungu harus dihilangkan. Letakan kursor pada daerah warna ungu. Klik menu edit, pilih submenu cut. Maka warna ungu tadi akan hilang semua. Demikian seterusnya untuk warna lain yang akan dihilangkan. Sehingga hanya tampak warna yang akan dianalisis saja.
46
A
B
Gambar 3.2 Contoh Hasil Pengolahan Foto dengan Menggunakan Program Adobe Photoshop 6.0 A. Foto sebelum dilakukan pengolahan (masih terdapat warna lain selain warna biru) B. Foto setelah dilakukan pengolahan (dominasi warna biru) (Pewarnaan trichrome, perbesaran 200x) Selanjutnya, klik menu image, pilih submenu histogram. Klik blue, maka nilai mean akan tampak. Nilai mean ini merupakan jumlah titik atau pixels yang menandakan ketebalan pulasan kolagen (warna biru)
Gambar 3.3 Hasil Penilaian Kepadatan Deposit Kolagen dengan Menggunakan Histogram Format RGB Blue Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop 6.0
47
3.9.7.3
Cara Menghitung Sel Menggunakan Aplikasi ImageJ Langkah – langkah menghitung sel dengan menggunakan aplikasi ImageJ adalah sebagai berikut : 1. Buka aplikasi ImageJ 2. Buka gambar yang akan dihitung jumlah sel nya , klik File, lalu pilih Open, pilih gambar yang akan dihitung jumlah selnya 3. Klik Plugin, lalu pilih Analysis, selanjutnya pilih Cell counter 4. Klik Keep original . 5. Setelah itu, pilih Initiate untuk meng-copy gambar yang akan dihitung jumlah sel nya 6. Klik Type 1 untuk menandai sel yang akan dihitung. Jika ingin menghitung lebih dari satu jenis sel bisa memilih Type 2,Type 3 dan seterusnya. Dalam penelitian ini, Type 1 menandakan sel fibroblas. 7. Letakan kursor pada inti sel yang akan dhitung, lalu tekan pada inti sel tersebut. Setelah ditekan akan muncul sebuah titik yang menandakan bahwa sel tersebut sudah dihitung sehingga mengurangi resiko terhitung kembali. 8. Jumlah sel sama dengan jumlah inti sel yang ditandai. Banyaknya jumlah penanda akan secara otomatis terhitung dan hasilnya dapat dilihat pada Result.
3.9.7.4 Cara menghitung jumlah pembuluh darah pada foto preparat Berikut langkah – langkah yang dilakukan untuk menghitung jumlah pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada foto preparat, antara lain : 1.
Buka aplikasi Adobe Photoshop CS3
48
2.
Buka foto yang akan dihitung jumlah pembuluh darahnya dengan cara, klik file, lalu pilih open, pilih foto yang akan dihitung jumlah pembuluh darahnya
3.
Untuk memudahkan dalam penghitungan dan meminimalisasi kesalahan dalam penghitungan gunakan garis bantu (grid line).
4.
Untuk memunculkan grid line, tekan Ctrl + K secara bersamaan sehingga nanti akan muncul tampilan sebagai berikut :
Gambar 3.4 Pengaturan Grid Line pada Program Adobe Photshop CS3 Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop CS3
5.
Selanjutnya pilih Guides, Grid & Slices, sehingga akan muncul tampilan sebagai berikut :
Gambar 3.5 Pengaturan Guides, Grid & Slices pada Program Adobe Photoshop CS3 Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop CS3
49
Atur warna garis yang diinginkan dan jarak dari setiap garis, setelah itu klik OK. 6.
Tekan Ctrl + „ untuk memunculkan grid line
Gambar 3.6 Grid line yang muncul pada Program Adobe Photoshop CS3 Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop CS3
7. Hitung pembuluh darah yang terlihat pada foto. Pembuluh darah ditandai dengan adanya lumen yang dilapisi sel endotel atau lumen yang berisi sel darah baik yang terpotong secara memanjang atau melintang. Penghitungan dilakukan pada semua kotak dimulai dari kotak paling atas kiri hingga ke kotak paling bawah kanan. Selanjutnya jumlah pembuluh darah dari setiap kotak dijumlahkan. 3.10 Analisis Data Data hasil penelitian pengaruh pemberian salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16.0 untuk melihat apakah ada efektifitas yang bermakna dari masing – masing sediaan uji yang mengandung kontrol positif, ekstrak daun Binahong dengan berbagai konsentrasi, dan kontrol negatif terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
50
Data pada penelitian ini berupa variabel kategoriknumerik lebih dari 2 kelompok tidak berpasangan sehingga menggunakan uji one way ANOVA jika distribusi normal. Jika distribusi data tidak normal maka menggunakan uji nonparametrik yakni Uji Kruskall-Wallis. 3.11 Etika Penelitian Pelaksanaan penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hewan coba sebanyak 25 ekor tikus Sprague dawley diberikan makanan dan minuman secara ad libitum. Hewan ditempatkan di kandang yang sesuai dengan habitat tikus. Setiap kandang berisi 1 ekor tikus. Pada leher hewan dipasangkan collar neck agar kepala hewan tidak mengenai luka yang ada dipunggungnya. Setelah diberikan perlakuan selama 5 hari, pada hari ke – 6 dilakukan terminasi dengan menggunakan anestesi eter. Anestesi ini dilakukan agar tikus tidak menderita. Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel jaringan kulit bagian dorsal. Sampel jaringan kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Anatomi FKUI. Bagian tubuh tikus yang tidak diambil untuk sampel
jaringan
dikuburkan.
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara makroskopik, gambaran luka bakar pada tikus Sprague dawley yang diberikan paparan luka bakar selama 30 detik dengan plat besi terlihat kulit tikus yang diberikan paparan luka bakar berwarna merah kecoklatan dan terdapat bula pada hari pertama setelah dibuat luka bakar. Selain itu juga terdapat beberapa bagian kulit yang mengelupas.
Gambar 4.1 Gambaran Makroskopik Luka Bakar pada tikus Sprague dawley pada hari pertama setelah pembuatan luka Luka bakar kemudian diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40%, krim silver sulfadiazin (kontrol +), dan basis salep (kontrol -) selama 5 hari. Pada hari ke-5, terlihat terdapat keropeng pada luka yang berwarna kecoklatan dan bula sudah tidak terlihat. Luas luka cenderung mengecil.
51
52
Gambar 4.2 Gambaran Makroskopik Luka Bakar pada tikus Sprague dawley pada hari ke -5 setelah pembuatan luka Pada penelitian ini juga dilakukan identifikasi luka bakar secara mikroskopik, yaitu berupa pembentukan jaringan granulasi. Sel fibroblas, deposit kolagen, dan neovaskularisasi merupakan komponen penyusun jaringan granulasi yang digunakan sebagai parameter pembentukan jaringan granulasi dalam penelitian ini. 4.1 Kepadatan Deposit Kolagen Berikut ini adalah gambaran histopatologi deposit kolagen dalam jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar selama 30 detik dengan plat besi. Terlihat deposit kolagen berwarna biru dengan pewarnaan trichrome.
Gambar 4.3 Deposit Kolagen (biru) pada Jaringan Granulasi Luka Bakar. (a)Kelompok P1;(b) Kelompok P2;(c) Kelompok P3;(d) Kontrol positif;(e) Kontrol negatif (Pewarnaan Trichrome, Perbesaran 200X)
Pada penelitian ini, data kepadatan deposit kolagen yang diambil merupakan rerata ketebalan pulasan kolagen yang dianalisis secara kuantitatif
53
dengan mengukur serapan warna RGB (Red, Green, Blue) menggunakan program komputer adobe photsoshop 6.0 dari semua kelompok penelitian. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 4.1 Rerata Kepadatan Deposit Kolagen Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 K+ K-
N 5 5 5 5 5
Rerata Kepadatan Deposit Kolagen 187.644 169.1192 183.5344 226.1024 223.414
Rerata Deposit Kolagen (pixel)
Grafik Rerata Kepadatan Deposit Kolagen 250 200
p1
150
p2
100
p3 k+
50
k-
0 Kelompok Penelitian
Grafik 4.1 Rerata Kepadatan Deposit Kolagen Keterangan : P1 = Konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 10% P2 = Konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 20% P3 = Konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 40% K+ = Salep Silver Sulfadiazin K- = Basis salep Dari Tabel 4.1 dan Grafik 4.1 dapat disimpulkan bahwa ketebalan pulasan kolagen yang menggambarkan kepadatan deposit kolagen pada pembentukan jaringan granulasi paling tinggi terdapat pada kelompok kontrol positif yaitu sebesar 226,1024 pixel. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun binahong lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun binahong terendah terdapat pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun binahong sebesar 20% (Kelompok P2).
54
Selanjutnya dilakukan penghitungan secara statistik menggunakan One-Way Anova karena distribusi data normal dan variasi data homogen. Setelah dilakukan penghitungan didapatkan data sebagai berikut : Tabel 4.2 Hasil Analisis Data Pengaruh Ekstrak Daun Binahong terhadap Kepadatan Deposit Kolagen
Kepadatan Deposit Kolagen
Kelompok Perlakuan P1
P2 P3 K+ K-
N
Mean
5
187,64
Standar Deviation 12,62492
5 5 5 5
169,12 183,53 226,10 223,41
13,21485 9,18782 12,56250 17,08568
P Value 0,000
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, terdapat nilai p sebesar 0,000 (p<0,05) yang berarti minimal terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardana (2013) menunjukkan bahwa pemberian topikal ekstrak daun binahong sebanyak 5% dapat meningkatkan deposit kolagen pada penyembuhan luka bakar kulit derajat 3 dibandingkan dengan kontrol negatif.41 Kandungan zat saponin pada ekstrak daun binahong dapat menstimulasi pembentukan kolagen tipe 1. Selain itu, flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun binahong juga dapat menghambat proses peroksidasi lipid. Adanya penghambatan pada proses peroksidasi lipid meningkatkan sintesis DNA pada fibroblas, mencegah kerusakan sel, dan meningkatkan serat kolagen sehingga viabilitas serat kolagen meningkat. 14 Studi lain menyebutkan bahwa serabut kolagen mulai terlihat pada hari ke3 pasca perlukaan yang muncul dari tepi luka. Pada fase proliferasi, serabut kolagen diproduksi oleh fibroblas dan dipengaruhi oleh TGF β dari sel makrofag. Jenis serabut kolagen yang dihasilkan adalah kolagen tipe III. Sintesis kolagen tipe III akan berubah menjadi kolagen tipe I yang memiliki kekuatan regang lebih kuat pada fase remodeling, yaitu pada hari ke - 14 pasca perlukaan.34 Penelitian yang dilakukan oleh Jiang et al (2004) menunjukan bahwa pembentukan kolagen dipengaruhi oleh kadar keasaman (pH). 47 Molekul kolagen berbentuk globular pada pH sekitar 2,5 – 4,5. Pada pH yang lebih tinggi yaitu
55
sekitar 5,5–9,5, molekul kolagen berubah menjadi serat (fibrillar). Bentuk molekul kolagen tersebut mempengaruhi kepadatan kolagen. 47 Pada penelitian ini, kadar keasaman salep dapat mempengaruhi proses pembentukan kolagen pada jaringan granulasi. Penelitian yang dilakukan oleh Paju (2013) menunjukkan bahwa kadar pH pada salep yang diberikan ekstrak daun binahong lebih rendah (lebih asam) dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif.26 Hal tersebut dapat menyebabkan perbedaan molekul kolagen yang terbentuk pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kemungkinan pada kelompok perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun binahong, molekul kolagen yang telah berubah menjadi serat lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol sehingga kepadatannya berkurang. Kepadatan kolagen juga berpengaruh terhadap pulasan warna saat pewarnaan trichrome. Oleh karena itu, intensitas serapan warna kolagen pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kontrol negatif. Pada penelitian ini juga didapatkan serat kolagen yang terlihat terputus – putus pada kelompok perlakuan, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh jenis kolagen yang terbentuk merupakan kolagen tipe III yang mudah rapuh dan daya regangnya kurang kuat sehingga saat pembuatan preparat kolagen mudah rusak.
4.2 Jumlah Sel Fibroblas Berikut ini adalah gambaran mikroskopik sel fibroblas dalam jaringan granulasi luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. Terlihat sel fibroblas yang berbentuk lonjong dan inti sel berbentuk lonjong dan memiliki warna lebih ungu dengan pewarnaan hematoxylin eosin (HE).
56
Gambar 4.4 Sel Fibroblas (panah) pada Jaringan Granulasi Luka Bakar. (a)Kelompok P1;(b)Kelompok P2;(c) Kelompok P3;(d) Kontrol positif;(e) Kontrol negatif (Pewarnaan HE, Perbesaran 400X)
Data jumlah sel fibroblas merupakan rerata jumlah sel yang memiliki inti lonjong ketika dipotong memanjang dan memiliki inti berwarna lebih pucat dari masing – masing kelompok penelitian. Data yang diperoleh selama penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 4.3 Rerata Jumlah Sel Fibroblas Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 K+ K-
N
Rerata Jumlah Sel Fibroblas
5 5 5 5 5
28,96 59,38 30,1 37,76 54,34
Rerata Jumlah Sel Fibroblas (buah)
Grafik Rerata Jumlah Sel Fibroblas 80 p1
60
p2 40
p3
20
k+
0
kKelompok Penelitian
Grafik 4.2 Rerata Jumlah Sel Fibroblas
57
Dari tabel 4.3 dan grafik 4.2 dapat disimpulkan bahwa rerata jumlah sel fibroblas tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P2. Sedangkan kelompok perlakuan P1 dan P3 memiliki jumlah sel fibroblas lebih rendah dari kontrol negatif dan kontrol positif. Jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol negatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Selanjutnya dilakukan penghitungan secara statistik dengan menggunakan One Way Anova karena distribusi data normal dan variasi data homogen setelah ditransformasi. Data yang di dapat adalah sebagai berikut : Tabel 4.4 Hasil Analisis Data Pengaruh Ekstrak Daun Binahong terhadap Jumlah Sel Fibroblas
Jumlah sel fibroblast
Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 K+ K-
N
Mean
5
1,4455
Standar Deviation 0,04733
5 5 5 5
1,7463 1,4471 1,5612 1,7168
0,07472 0,07832 0,04583 0,05556
P Value 0,004
Dari tabel 4.4 diatas diperoleh nilai p sebesar 0,004 (p<0,05) menunjukkan bahwa minimal terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna. Berdasarkan nilai mean, jumlah sel fibroblas pada kelompok perlakuan P2 (konsentrasi ekstrak daun binahong 20%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumartiningsih (2012) yang menyebutkan bahwa pemberian ekstrak daun binahong selama 3 hari dengan akan meningkatkan jumlah sel fibroblas sebanyak 2%.40 Ekstrak daun binahong banyak mengandung zat aktif, salah satunya adalah flavonoid. Dari suatu penelitian diketahui bahwa flavonoid dapat meningkatkan reseptor Insulin-like Growth Factor (IGF) yang berperan untuk proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen. 34 Pada penelitian yang dilakukan oleh Zulfitri (2012) menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak daun binahong maka pertumbuhan sel akan semakin meningkat.35 Namun pada penelitian ini, jumlah sel fibroblas tertinggi terdapat pada kelompok P2 dengan konsentrasi ekstrak daun binahong 20%.
58
Kelembaban daerah luka merupakan fakor penting yang mempengaruhi pertumbuhan sel fibroblas. Kelembaban yang sesuai dapat mempercepat pembentukan faktor pertumbuhan sehingga pertumbuhan sel akan meningkat. 44 Basis salep yang berbahan dasar lemak dapat menjaga kelembaban di daerah luka. Pada salep dengan konsentrasi ekstrak binahong 20%, komposisi basis salep dan ekstrak sesuai dengan kelembaban yang dibutuhkan sehingga pertumbuhan sel akan meningkat. Pada salep dengan konsentrasi ekstrak daun binahong 40%, kadar basis salepnya lebih rendah sehingga kelembabannya akan lebih berkurang dan pertumbuhannya sel akan lebih berkurang jika dibandingkan dengan kelompok P2. Proliferasi sel fibroblas terjadi ketika adanya luka. Luka tersebut merangsang aktivasi dari trombosit sehingga trombosit mengalami degranulasi. Trombosit yang terdegranulasi akan mensekresi fibroblast growth factor (FGF). Selanjutnya, FGF akan merangsang proliferasi dari sel fibroblas sehingga pada saat terjadinya luka terjadinya peningkatan dari sel fibroblas. Sel fibroblas menghasilkan kolagen untuk menutup luka.48 Proliferasi sel fibroblas akan menurun ketika kolagen yang dihasilkan sudah cukup untuk penyembuhan luka. Jika kolagen yang dihasilkan masih kurang dari yang dibutuhkan, proliferasi sel fibroblas akan tetap terjadi. Hal tersebut dipengaruhi oleh growth factor yang merangsang proliferasi sel fibroblas. Sintesis kolagen mencapai puncaknya pada hari ke 5-7 setelah terjadinya luka.48,49 Pada penelitian ini, jumlah sel fibroblas pada kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok lain hal tersebut dikarenakan kolagen yang terbentuk masih sedikit. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok P2 paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain sehingga jumlah sel fibroblas pada kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.
4.3 Neovaskularisasi Berikut ini adalah gambaran mikroskopik dari neovaskularisasi pada jaringan luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan 30 detik dengan plat besi, terlihat lumen pembuluh darah yang dikelilingi oleh sel endotel dan juga lumen yang berisi sel darah merah.
59
Gambar 4.5 Neovaskularisasi (panah hijau) pada Jaringan Granulasi Luka Bakar. (a)Kelompok P1;(b) Kelompok P2;(c) Kelmpok P3;(d) Kontrol positif; (e) Kontrol negatif (Pewarnaan HE, Perbesaran 400X)
Data neovaskularisasi yang diambil adalah rerata jumlah pembuluh darah yang terdapat pada preparat kelompok penelitian. Data yang diperoleh selama penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 4.5 Rerata Jumlah Pembuluh Darah Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 K+ K-
N
Rerata Jumlah Pembuluh Darah
5 5 5 5 5
2,8 2,64 4,48 5,88 3,2
Rerata Jumlah Neovaskularisasi (buah)
Grafik Rerata Jumlah Neovaskularisasi 8
p1
6
p2
4
p3
2 0
k+ Kelompok Penelitian
Grafik 4.3 Rerata Jumlah Pembuluh Darah
k-
60
Dari tabel 4.5 dan grafik 4.3 di atas disimpulkan bahwa rerata jumlah pembuluh darah yang terbentuk pada kelompok perlakuan P3 (konsentrasi ekstrak binahong 40%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Di antara kelompok perlakuan lain yaitu P1 dan P2, kelompok perlakuan P3 memiliki rerata jumlah pembuluh darah tertinggi. Selanjutnya dilakukan penghitungan secara statistik dengan menggunakan One-Way Anova, namun karena distribusi data tidak normal maka menggunakan uji Kruskal Wallis. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut : Tabel 4.6 Hasil Analisis Data Pengaruh Ekstrak Daun Binahong terhadap Jumlah Pembuluh Darah
Neovaskularisasi
Kelompok Penelitian P1 P2 P3 K+ K-
N
Mean Rank
P value
5 5 5 5 5
10,40 11,00 14,60 16,00 13,00
0,713
Dari tabel 4.6 di atas, terdapat nilai (P>0,05) yang menunjukkan bahwa perbedaan jumlah pembuluh darah antar kelompok penelitian tidak bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun binahong tidak berpengaruh terhadap neovaskularisasi pada pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. Kelompok perlakuan P3 yang mengandung konsentrasi ekstrak daun binahong
40%
memiliki
rerata
jumlah
neovaskularisasi
paling
tinggi
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulfitri (2012) menunjukkan bahwa ekstrak daun binahong dengan konsentrasi 0 %, 20%, 40% dan 80% dapat meningkatkan pembuluh darah kapiler pada area luka. Eksisi luka dilakukan pada hari ke-4 setelah perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun binahong,maka jumlah pembuluh darah yang terbentuk semakin banyak. Pembuluh darah baru secara klinis mulai terlihat pada hari ke 3 – 5 setelah terjadinya luka. Ekstrak daun binahong memiliki flavonoid jenis quercetin.35 Quercetin dapat menghambat HIF-prolyl hydroxylase,
61
yaitu enzim yang berperan untuk hidroksilasi dan degradasi enzim Hypoxia Inducible Factor 1 Alfa ( HIF-1 Alfa ). Ketika enzim tersebut terhambat maka akan mengaktivasi HIF-1 dan menginduksi jalur angiogenesis HIF -1 & VEGF ( Vascular Endothelial Growth Factor ).36 Proses angiogenesis tidak berlangsung secara terus menerus. Terdapat beberapa mekanisme untuk menstabilisasi proses angiogenesis. Secara fisiologis, proses pembentukan pembuluh darah baru terjadi pada fase regeneratif yang dimulai sekitar hari ke 4 hingga hari ke-21 setelah luka.35,38 Pada fase penyembuhan tertentu, faktor pertumbuhan yang berperan dalam proses angiogenesis akan menurun sehingga pembuluh darah baru yang terbentuk akan berkurang. Selain itu, perisit yang menstabilisasi sel endotel mensekresikan TGFβ sebagai inhibitor proliferasi vaskular. Interferon β yang dihasilkan oleh epidermis juga akan mengganggu proses angiogenesis. Oleh karena itu, inhibitor angiogenesis endogen berpengaruh terhadap stabilisasi proses angiogenesis. 36,37 Pada penelitian ini, peningkatan jumlah neovaskularisasi yang terbentuk sesuai dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun binahong yang terkandung di dalam salep. Namun, berdasarkan penghitungan secara statistik, peningkatan tersebut tidak signifikan karena terdapat beberapa sampel dari setiap kelompok yang bernilai nol sehingga distribusi datanya menjadi tidak normal dan variasi datanya kurang homogen.
4.4 Keterbatasan Penelitian Selama penelitian ini berlangsung, banyak hambatan yang didapat,antara lain : 1. Kurangnya waktu yang disediakan untuk penelitian sehingga peneliti menggunakan waktu kuliah untuk melakukan penelitian 2. Proses perawatan dan kebersihan hewan sampel yang masih kurang sehingga dapat menyebabkan resiko infeksi pada luka bakar sampel 3. Pada penelitian ini, pemotongan jaringan yang diambil untuk pembuatan preparat hanya pada salah satu bagian luka sehingga kurang menggambarkan
kondisi
luka
secara
keseluruhan.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap pembentukan jaringan granulasi (kepadatan deposit kolagen (p value = 0,000)
dan jumlah sel
fibroblas (p value = 0,004)) pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. 2. Kepadatan deposit kolagen tertinggi terdapat pada kelompok kontrol positif dan kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun Binahong lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan negatif. 3. Jumlah sel fibroblas pada kelompok perlakuan P2 menunjukkan jumlah sel fibroblas yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lain. 4. Pemberian ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40% tidak berpengaruh terhadap pembentukan neovaskularisasi pada jaringan granulasi luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. 5.2 Saran Saran bagi peneliti selanjutnya adalah sebagai berikut : 1. Diharapakan dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) dengan dosis yang beragam, jumlah sampel penelitian yang lebih besar, dan waktu penelitian yang lebih panjang. Sebaiknya diteliti juga mengenai bagian lain dari tanaman binahong, seperti umbi, akar, dan batang. 62
63
2. Sebaiknya digunakan pewarnaan yang spesifik untuk menandai sel yang akan
dinilai
agar
sel
dapat
dibedakan
dengan
jelas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS 2013). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.p101-109 2. WHO. World report on child injury prevention; 2008.p79-93 3. Pavoni V, Gianesello L, Paprella L, Buoninsegni LT, Barboni E. Outcome predictors and quality of life of severe burn patients admitted to ICU. Scandinavian Journal of Trauma Resuscitation and Emergency Medicine. 2010;18:24. 4. Rhyner S. Rubin's Pathology: Clinicopatholigic foundations of medicine. sixth edition [internet]. China: Lippincott Williams & Wilkins; 2012 [cited 2014 April 3]. Available from: Google books. 5. Gupta N, Jain UK. Prominent wound healing properties of indigenous medicines. Journal of National Pharmaceutical. 2010; 1:2-10 6. Manoi F. Binahong (Anredera cordifolia) sebagai obat. Warta Penelitian Pengembangan Tanaman Obat. 2009; 13:1-32. 7. Astuti SM, Sakinah M, Andayani R, Risch A. Determination of saponin compound from Anredera cordifolia (Ten.) Steenis plant (Binahong) to potential treatment for several diseases. Journal of Agriculture Science. December 2011. Vol.3 - No.4. 8. Miladiyah I, Prabowo BR. Ethanolic extract of Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs. Universa Medica. January - April 2012. Vol 31 - No. 1. 9. Chotimah C. Anredera cordifolia extract with IL-10 as antiinflammation and accelerating wound healing post dental extraction. Universitas Airlangga. 2013. 10. Tshikalange TE. The traditional use of medicinal plants to treat sexually transmitted disease. Faculty of Natural and Agricultural Sciences of the University of Pretoria. 2005. 11. Persada AN, Windarti I, Fiana DN. Perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian topikal daun binahong (Anredera 64
cordifolia (Ten.)Steenis) tumbuk dan hidrogel pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2014. 12. Vivian-Smith G. Anredera cordifolia (vine,climber). Global Invasive Species Database [internet]; 2006 (updated 2006 April 10th ; cited 2014 March 20th ). Available from: http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=776.htm 13. Vivian-Smith G, Lawson BE, Turnbull I, Downey PO. The biology of Australian weeds 46. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis. Plant Protection Quarterly. 2007;Vol.22(1): 2-20. 14. Yuswantina R. Uji Aktivitas penangkal radikal dari ekstrak petroleum ether, etil, asetat dan ethanol, rhizome Binahong dengan metode DPPH (2,2-difenil 1-1 picrilhidrazil). Fakultas Farmasi UMS. 2009. 15. Selawa W, Runtuwene MRJ, Citraningtyas G. Kandungan flavonoid dan kapasitas antioksidan total ekstrak etanol Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis). Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT. Februari 2013. Vol. 2 No. 01. 16. Skipper A. Dietitian's handbook of enteral and parenteral nutrition third edition [internet]. USA: Jones & Bartlett Learning; 2012 [cited 2014 April 14]. Available from: Google books. 17. Nur DM. Perbedaan kadar vitamin C pada daun Binahong segar dan ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia ( Ten ) Steenis). Universitas Muhammadiyah Semarang; 2010. 18. Kumar S, Pandey AK. Chemistry and biological activities of flavonoids: an overview. The Scientific World Journal. 2013;Vol.2013:1-16 19. Dorland, WAN. Dorland's illustrated medical dictionary 32nd edition. USA: Elsevier saunders; 2011. 20. Martini FH, Nath JL, Bartholomew. Fundamentals anatomy & physiology Ninth edition. USA: Benjamin cummings; 2012.p145-155 21. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins edisi 7 volume 1 [Alih bahasa: Awal Prasetyo]. Jakarta: EGC; 2007.p75-84 65
22. Li J,Chen J, Kirsner R. Pathophysiology of acute wound healing. Clinics in Dermatology. 2007; 25: 9 - 18. 23. Cakir B, Yegen BC. Systemic response to burn injury. Turk J Med Sci 34 .2004: p215-226 24. Senarath-Yapa K, Enoch S. Management of burns in the community. Clinical Review Wounds UK. 2009. Vol. 5 No. 2 25. Lullman H, Mohr K, Ziegler A, Bieger D. Color atlas of pharmacology 2nd edition. New York: Thieme; 2000.p16-18 26. Paju N, Yamlean PVY, Kojong N. 2013. Uji efektifitas ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (TEN) Steenis) pada kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal ilmiah Farmasi – UNSRAT. Februari 2013.Vol. 2 No. 01. 27. Sheerwood L. Human Physiology: From cells to system seventh edition. Canada : Brooks/Cole Cengage Learning. 2010. 28. Kamer E, Unalp HR, Gundogan U, Dintz G, Ortac R, Olukman M, et al. Effect of ascorbic acid on incisional wound healing in streptozotocin induced diabetic rats. Original Research. Wound. 2010; 22(2): 27-31. 29. WHO. Management of burn. WHO Surgical Care at the District Hospital. Malta : Interprint Limited; 2003. 30. Center for Emergency Preparedness and Disaster Response . Trauma/Burn clinical guidelines. A Quick Guide for the Management of Trauma/Burn Disasters for Emergency Departement Personnel. Yale: Yale New Haven Health; 2013. 31. Greenhalgh DG. Topical antimicrobial agents for burn wounds. Clin Plastic Surgery 36. 2009 May 11; 597-606. 32. Anderson RJ, Groundwater PW, Todd A, Worsley AJ. Antibacterial agents: chemistry, mode of action, mechanism of resistence, and clinical applications [internet]. UK : John Wiley and Son, Ltd. 2012 [cited 2014 April 24]. Available from; Google books 33. Nijveldt RJ, Nood EV, Hoorn DEV, Boelens PG, Norren KV, Leeuwen PAV. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential 66
applications. The American Journal of Clinical Nutrition. 2001 October;74:418-25. 34. Sabirin IPR, Maskoen AM, Hernowo BS. Peran ekstrak etanol topikal daun mengkudu (Morinda citrofolia L.) pada penyembuhan luka ditinjau dari imunoekspresi CD34 dan kolagen pada tikus galur Wistar. FKG Unjani. MKB volume 45 No. 4 Desember 2013. 35. Zulfitri AMI, Khoswanto C, Istiati S. The Effect of extract Binahong leaf gel (Anredera cordifolia) to improve guinea pigs (Cavia cobaya) fibroblast cell and capillaries number over wound healing process after tooth extraction. Journal Media Oral Biology Dental Journal. July 2012; Vol.4 No.2. 36. Jeon H, et al. Quercetin activates an angiogenic pathway, hypoxia inducible factor (HIF) – 1 vascular endothelial growth factor, by inhibiting HIF-prolyl hydroxylase : a structural analysis of quercetin for inhibiting HIF-prolyl hydroxylase. Molecular Pharmacology. 2007 Jun;71(6):167684. 37. William WL, Vincent WL. Angiogenesis in wound healing. Contemporary Surgery. A supplement to Contemporary Surgery. November 2003. 38. de Mendoca RJ. Angiogenesis in wound healing. Departement of Biological Science. Federal University of Triangulo Minciro, Brazil. Available from: . [cited: 24th July 2014, 10.32 am] 39. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi 5. Seri Evidence Based Medicine 1. Jakarta: Salemba Medika; 2013. 40. Sumartiningsih S. The benefit of topically administered Binahong for treatment of sport injury (hematoma). Paper presented at: International Conference: Research and Application on Traditional Complementary and Alternative Medicine in Health Care (TCAM). 2012 June 22nd-23rd; Surakarta, Indonesia. 41. Wardana S. Pengaruh pemberian topikal ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap luasan serabut kolagen dalam penyembuhan luka sayat kulit derajat 3 pada tikus putih Wistar (Rattus norvegicus). FK UNS. 2013 67
42. Jung WK, Koo HC, Kim W, Shin S, Kim SH, Park YH. Antibacterial activity and mechanism of action of the silver ion in Staphylococcus aureus
and
Eschericia
coli.
Appl
Environ
Microbiol.
Apr
2008;74(7):2171-2178. 43. Katzung BG. Basic & clinical pharmacology. 10th Edition. USA: McGraw Hill Lange; 2006. 44. Sumaryo H, Dwitiyanti, Lestari PM. Pembuatan sediaan topikal dan uji aktivitas dari kombinasi zinc oxide dengan madu (Mel depuratum) untuk luka terbuka pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka 45. Gartner LP, Hiatt JL. Color textbook of histology. Second Edition. China: Saunders. 2001.p75-77,325-333 46. Federer WT. Experimental design: Theory and application. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co; 1967. 47. Jiang F, Horber H, Howard J, Muller DJ. Assembly of collagen into microribbons: Effect of pH and electrolytes. Journal of Structural Biology Elsevier. 2004;148: 268-278. 48. Tanggo VTIP. Pengaruh pemberian topikal ekstrak kulit delima pada penyembuhan luka split thickness kulit tikus. Departemen/SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik FK UNAIR. 2013. 49. Anindyajati TP, Harsini, Widjijono. Pengaruh konsentrasi ekstrak kulit batang jambu mete dalam bahan kumur terhadap proliferasi sel fibroblas pada penyembuhan luka (in vivo). Departemen Biomaterial. FKG UGM. 2013 50. Akhoondinasab MR, Akhoondinasab M, Saberi M. Comparison of healing effect of aloe vera extract and silver sulfadiazin in burn injuries in experimental rat model. Original Article. January 2014. Vol.3 No.1. 51. Godin B ,Touitou E. Transdermal skin delivery: Predictions for human from in vivo, ex vivo, and animal models. Advanced Drugs Delivery Review. 2007.p3
68
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Determinasi/Identifikasi Bahan Uji
Gambar 6.1 Hasil Determinasi Tanaman
69
Lampiran 2 Hasil Ekstraksi Bahan Uji
Gambar 6.2 Hasil Ekstraksi Tanaman
70
Lampiran 3 Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.3 Surat Keterangan Tikus Sehat
71
Lampiran 4 Surat Persetujuan Etik
Gambar 6.4 Surat Persetujuan Etik
72
Lampiran 6 Riwayat Hidup Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Syifa Qurrotu Aini
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Tangerang, 13 September 1993
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Bojong Renged Benda Baru RT 01/06 No. 19 Desa Rawa Rengas Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang Provinsi Banten
e-Mail
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan
1997-1999
: TK Islam Al Fajar
1999-2005
: SD Negeri 1 Rawa Rengas
2005-2008
: SMP Negeri 2 Tangerang
2008-2011
: SMA Negeri 1 Tangerang
2011-sekarang
: Program Studi Pendidikan Dokter , FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75