AKTIVITAS EKSTRAK KASAR ALKALOID DAUN PEPAYA TERHADAP Staphylococcus aureus DAN EKSPRESI GEN STAPHYLOCOCCAL ENTEROTOXIN A
LITA HANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen Staphylococcal Enterotoxin A adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2013 Lita Handayani NIM F251110331
RINGKASAN LITA HANDAYANI. Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen Staphylococcal Enterotoxin A. Dibimbing oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan DIDAH NUR FARIDAH. Pepaya merupakan tanaman yang banyak ditanam di Indonesia. Daun pepaya digunakan oleh masyarakat sebagai sayur-mayur, bahan pengempuk daging, dan sebagai bahan obat-obatan tradisional. Ekstrak daun pepaya dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Aktivitas antimikroba tersebut berhubungan dengan komponen fitokimia yang dimiliki oleh daun pepaya. Tanin dan terpenoid dapat mengganggu membran sel bakteri, sedangkan alkaloid dapat menyisip pada utas ganda DNA dan mengambat sintesis DNA. Oleh karena itu, selain sebagai pengempuk daging, daun pepaya dapat menjadi alternatif pengawet alami di dalam pangan. Staphylococcus aureus merupakan patogen penyebab intoksikasi melalui produksi staphylococcal enterotoxins (SEs) pada pangan. Staphylococcal enterotoxin A (SEA) merupakan salah satu SEs yang paling sering menyebabkan kasus keracunan pangan akibat S. aureus. SEA disintesis dari gen sea dan diekspresikan pada pertengahan fase eksponensial pertumbuhan. Selain menghambat pertumbuhan bakteri, terdapat potensi bahwa ekstrak daun pepaya dapat menghambat produksi SEA melalui aktivitas alkaloid. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh penambahan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dalam berbagai konsentrasi terhadap ekspresi gen penyandi SEA. Ekstrak kasar alkaloid diekstraksi dari daun pepaya kering dengan ultrasonic-assisted extraction. S. aureus diisolasi dari pangan siap saji dan susu sapi mentah menggunakan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM) yang dimodifikasi. Isolat dengan koloni tipikal S. aureus pada media BairdParker Agar (BPA) dan Mannitol Salt Agar (MSA) serta positif memproduksi koagulase diidentifikasi dengan uji API Staph serta dengan PCR gen penyandi 16S rRNA, diikuti dengan sekuensing. Sekuen yang diperoleh dianalisis menggunakan program BLAST. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak kasar alkaloid ditentukan menggunakan metode pengenceran makro. Selanjutnya, isolat S. aureus dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid pada konsentrasi 0, 1, dan 2 kali KHM. Setelah itu, ekspresi gen sea dianalisis dengan quantitative reverse transcription PCR (qRT-PCR). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rendemen ekstrak kasar alkaloid berkisar antara 0.48% - 1.82% per berat kering daun pepaya. Isolat S. aureus penghasil SEA diperoleh dari beberapa pangan, yaitu susu sapi mentah, telur balado, tumis usus ayam, dan sate jeroan. Nilai KHM ekstrak kasar alkaloid terhadap S. aureus adalah 0.25 mg/ml. Setelah pemaparan dengan 0.25 mg/ml dan 0.5 mg/ml ekstrak kasar alkaloid selama 2 jam, terjadi peningkatan nilai cycle threshold (CT) gen sea. Hasil ini mengindikasikan terjadinya penurunan jumlah cDNA sea awal, yang berarti lebih sedikit mRNA yang disintesis dari gen sea. Gen sea diekspresikan 29 dan 41 kali lebih rendah ketika S. aureus dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid pada 1 dan 2 kali KHM. Ekspresi sea ditentukan secara relatif terhadap sampel kalibrator dan kontrol internal menggunakan
metode perbandingan CT. Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya memiliki aktivitas antibakterial terhadap S. aureus, yang tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri tetapi juga menghambat pembentukan toksin dengan menekan ekspresi gen sea. Kata kunci : daun pepaya, ekstrak kasar alkaloid, Staphylococcus aureus, staphylococcal enterotoxin A
SUMMARY LITA HANDAYANI. Activity of Crude Alkaloid Extract of Papaya Leaves toward Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxin A Gene Expression. Supervised by HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM and DIDAH NUR FARIDAH. Papaya plant is widely grown in Indonesia. Papaya leaves are used by people as vegetable, meat tenderizer and traditional herbs. Extracts of papaya leaves have been reported to have antimicrobial activity against both Gram positive and Gram negative bacteria. This antimicrobial activity was related to phytochemical content of papaya leaves. Tannins and terpenoids can make cell membrane disruption, whereas alkaloids have been shown to intercalate into DNA and inhibit DNA synthesis. Therefore, besides as meat tenderizer, papaya leaves can be an alternative natural preservatives in food. Staphylococcus aureus is known pathogen causing intoxication by producing staphylococcal enterotoxins (SEs) in food. Staphylococcal enterotoxin A (SEA) is one of SEs that is commonly implicated in staphylococcal food poisoning. SEA is synthesized from sea gene and expressed from the midexponential phase of growth. In addition to the ability to inhibit S. aureus growth, there is a potential action of papaya leaves extract, i.e the ability to inhibit SEA production through the alkaloids activity. This study was conducted to investigate the ability of crude alkaloid extract from papaya leaves to inhibit SEA expression. Crude alkaloid extract was extracted from grounded dried papaya leaves using ultrasonic-assisted extraction. S. aureus was isolated from ready to eat food and raw cow milk using modified Bacteriological Analytical Manual (BAM) method. Isolates with typical colony of S. aureus on Baird-Parker Agar (BPA) and Mannitol Salt Agar (MSA) and produced coagulase were identified using API Staph test and PCR of 16S rRNA gene, followed by sequencing. Those 16S rRNA gene sequence were analyzed using BLAST. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of crude alkaloid extract were determined by broth macro-dilution method. Furthermore, S. aureus isolate was exposed to crude alkaloid extract at 0, 1, and 2 folds of MIC, and subsequently the expression of sea gene was analyzed using a quantitative reverse transcription PCR (qRT-PCR). The results demonstrated that the yield of crude alkaloid extracts was 0.48% to 1.82% per dry weight of papaya leaves. SEA-producing S. aureus were obtained from some foods, i.e raw milk, fried egg in chilli sauce, sauteed chicken intestine, and chicken liver satay. The MIC of crude alkaloid extract to S. aureus was 0.25 mg/ml. After exposure to the crude alkaloid extract at 0.25 mg/ml and 0.5 mg/ml for 2 h, significant increase in cycle threshold (C T) values of sea gene was observed. These results indicated a decrease of initial amount of sea cDNA which meant lesser mRNA was synthesized from the sea gene. The sea gene was expressed 29 and 41 times less when S. aureus was exposed to crude alkaloid extract at 1 and 2 folds MIC, respectively, determined relatively to the calibrator sample and an internal control using comparative C T method. The crude alkaloid extract of papaya leaves possessed antibacterial activity
against S. aureus which was not only inhibited the bacteria but also the toxin formation by suppressing the expression of sea gene. Keywods: crude alkaloid extract, papaya leaves, Staphylococcus aureus, staphylococcal enterotoxin A
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
AKTIVITAS EKSTRAK KASAR ALKALOID DAUN PEPAYA TERHADAP Staphylococcus aureus DAN EKSPRESI GEN STAPHYLOCOCCAL ENTEROTOXIN A
LITA HANDAYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji luar komisi pada ujian tesis : Dr Ir Utut Widyastuti, MSi
Judul Tesis
Nama NRP
: Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen Staphylococcal Enterotoxin A : Lita Handayani : F251110331
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Harsi Dewantari Kusumaningrum Ketua
Dr Didah Nur Faridah, STP MSi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 6 Desember 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbinganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini. Tesis dengan judul “Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Staphyloccous aureus dan Ekspresi Gen Staphylococcal Enterotoxin A” ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2013. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Dr Ir Harsi Dewantari Kusumaningrum selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Didah Nur Faridah, STP MSi selaku anggota komisi pembimbing atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat didanai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, serta atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam memberikan bimbingan, ilmu, arahan, motivasi, dan masukkan selama penulis mengikuti pendidikan, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, pembuatan artikel jurnal hingga penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini melalui program Hibah Desentralisasi dengan Skim Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2013. Terima kasih kepada keluarga dan sahabat terkasih atas doa dan dukungannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Hadi Januar atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di program studi ilmu pangan IPB. Di samping itu, terima kasih kepada Dr Ir Utut Widyastuti, MSi atas arahan dan bimbingan dalam penentuan metode pada tahapan analisis molekuler dan masukkannya selaku penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis, kepada seluruh teman, dosen, teknisi, karyawan di IPN, Departemen ITP dan SEAFAST, terutama Mbak Ari, Pak Taufik, Teh Yayam, Mas Yerris, dan Mbak Nurul, dan terima kasih kepada rekanrekan penelitian di laboratorium, terutama Mbak Fenny dan Arum atas bantuan, masukkan, dukungan, dan kerja sama, serta kepada Pak Muksin dan Pak Hendar di University Farm atas bantuannya dalam pengambilan sampel daun pepaya dan kepada semua pihak selama penyelesaian tesis ini. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian dan tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan.
Bogor, Desember 2013
Lita Handayani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian
1 2 2 2 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Daun Pepaya Staphylococcus aureus dan Staphylococcal Enterotoxin Staphylococcus aureus Staphylococcal Enterotoxin Staphylococcal Enterotoxin A Isolasi dan Identifikasi S. aureus Isolasi dan Identifikasi S. aureus secara Konvensional Identifikasi S. aureus secara Molekuler Quantitative Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Kuantifikasi Absolut Kuantifikasi Relatif
4 6 6 6 7 7 7 8 9 10 11
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan Penelitian Peralatan Penelitian Prosedur Penelitian Persiapan Daun Pepaya Ekstraksi Alkaloid Daun Pepaya Isolasi S. aureus dari Pangan Identifikasi gen sea Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum Pemaparan S. aureus dengan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Pengukuran Tingkat Ekspresi Gen sea Analisis Data
12 12 13 13 13 14 14 16 16 17 17 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Isolat S. aureus Penghasil SEA Isolat Terduga S. aureus dari Pangan Hasil Identifikasi Isolat Terduga S. aureus dengan metode Konvensional Hasil Identifikasi Isolat Terduga S. aureus dengan PCR Amplikon Gen sea Konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya
20 22 22 23 25 27 28
Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Jumlah Bakteri S. aureus dan Sintesis Gen sea Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid terhadap Jumlah S. aureus Kemurnian Isolat RNA Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid terhadap Sintesis Gen sea
31 31 32 32
5 SIMPULAN DAN SARAN
36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL 1
Aktivitas antimikroba berbagai ekstrak daun pepaya
4
2
Mekanisme antimikroba berbagai senyawa bioaktif
4
3
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus
6
4
Faktor yang mempengaruhi pembentukan SE
6
5
Primer yang digunakan pada PCR dan qRT-PCR
6
Hasil uji API Staph isolat S. aureus dari pangan
24
7
Konsentrasi dan kemurnian isolat DNA ............................................
26
8
Hasil analisis sekuen penyandi gen 16S rRNA isolat S. aureus dengan Program BLAST ...............................................................................
27
9
Nilai ekspresi relatif gen sea dengan metode 2
....
∆∆
16
33
DAFTAR GAMBAR 1
Struktur alkaloid karpain
5
2
Kurva amplifikasi pada reaksi qPCR
9
3
Molekul fluoresens pada qPCR
10
4
Diagram alir tahapan penelitian
14
5
Daun pepaya kering
20
6
Proses ekstraksi alkaloid : (a) setelah sonikasi dan penyaringan; (b) setelah penambahan larutan H2SO4, (c) lapisan yang terbentuk saat ekstraksi dengan kloroform, (d) ekstrak kasar alkaloid di dalam kloroform
21
Pertumbuhan S. aureus pada media (a) BPA-kuning telur telurit (b) MSA
23
8
Uji aktivitas koagulase isolat S. aureus
23
9
Uji API Staph (a) awal, setelah inkubasi 18-24 jam (b) isolat 66.8% positif S. aureus, (c) 85% positif S. aureus, dan (d) 97.8% positif S. aureus
24
7
10 Contoh hasil elektroforesis isolat DNA genom S. aureus
25
11 Hasil elektroforesis produk PCR gen penyandi 16S rRNA
26
12 Hasil elektroforesis produk PCR gen sea
28
13 Zona penghambatan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap S. aureus SJ1
29
14 Diameter zona bening ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap S. aureus SJ1
29
15 Kemampuan penghambatan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada berbagai konsentrasi, dengan uji pengenceran makro setelah inkubasi 24 jam, terhadap pertumbuhan S. aureus SJ1 dengan jumlah awal inokulum 4.65 log CFU/ml
30
16 Pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada 0, 1, dan 2 KHM terhadap pertumbuhan S. aureus SJ1
31
17 Kurva pelelehan gen sea dan gen penyandi 16S rRNA S. aureus SJ1
34
18 Hasil elektoforesis produk qPCR gen sea S. aureus SJ1 yang dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada konsentrasi (1) 0 mg/ml, (2) 0.25 mg/ml, dan (3) 0.5 mg/ml. 34
DAFTAR LAMPIRAN 1
Sekuen gen penyandi 16S rRNA isolat S. aureus dari pangan
43
2
Hasil uji ANOVA dan Duncan diameter zona hambat ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada berbagai konsentrasi terhadap S. aureus SJ1
45
Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai CT gen sea dan gen penyandi 16S rRNA S. aureus SJ1 yang telah dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid pada 0, 1, dan 2 kali KHM selama 2 jam
46
3
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman yang banyak ditanam di daerah tropis dan subtropis, termasuk di Indonesia. Pepaya telah menjadi tanaman pekarangan dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Selain buahnya, daun pepaya juga dimanfaatkan oleh masyarakat. Daun pepaya digunakan sebagai sayur-mayur, bahan pembantu dalam pangan, maupun sebagai bahan obat-obatan. Sebagai sayur-mayur, daun pepaya dimasak menjadi suatu hidangan, sedangkan sebagai bahan pembantu pangan, daun pepaya dimanfaatkan sebagai pengempuk daging dengan cara membungkus daging dengan daun pepaya sebelum dimasak maupun dengan merendam daging bersama dengan sari daun pepaya (Abdalla et al. 2012). Sebagai obat-obatan, daun pepaya digunakan untuk membungkus luka dan uapnya dimanfaatkan untuk mengobati asma. Infusi daun pepaya digunakan untuk mengobati sakit perut, demam, dan beri-beri (Krishna et al. 2008). Ekstrak daun pepaya dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif, seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa (Baskaran et al. 2012). Aktivitas antimikroba tersebut berhubungan dengan komponen fitokimia yang dimiliki oleh daun pepaya, seperti flavonoid, tanin, terpenoid, dan alkaloid. Tanin dan terpenoid mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengganggu membran sel bakteri, sedangkan alkaloid dapat mengambat sintesis DNA dengan cara menyisip pada utas ganda DNA (Cowan 1999; Baskaran et al. 2012). Oleh karena itu, selain sebagai pengempuk daging, daun pepaya dapat menjadi alternatif pengawet alami di dalam pangan. S. aureus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab keracunan pada pangan. Susu dan produk susu, salad, krim pie, krim pengisi pastri, dan produk telur merupakan pangan yang berkaitan dengan kasus keracunan akibat bakteri ini (FDA 2012). Menurut data Center for Disease Control and Prevention (CDC), terdapat sekitar 49 kasus kejadian luar biasa (KLB) yang disebabkan oleh S. aureus pada tahun 2006-2011, dengan jumlah korban sakit mencapai sekitar 1402 orang. Bakteri ini dapat menyebabkan intoksikasi melalui staphylococcal enterotoxin (SE) yang dihasilkannya. SE tahan terhadap panas sehingga tidak akan hilang walaupun pangan mengalami pemanasan. Staphylococcal enterotoxin A (SEA) adalah toksin yang paling sering menyebabkan kasus keracunan pangan akibat S. aureus (Pinchuk et al. 2010). SEA bertindak sebagai superantigen serta menstimulasi pelepasan sitokin dan inflamasi sehingga menimbulkan gejala keracunan, seperti mual dan muntahmuntah (Proft dan Fraser 2003). Selain menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, terdapat kemungkinan bahwa ekstrak daun pepaya juga mampu menghambat produksi SEA melalui aktivitas alkaloid dalam mengambat ekspresi gen penyandi SEA. Oleh karena itu, analisis pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap gen penyandi SEA dapat dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap pembentukkan toksin tersebut. Pengaruh ekstrak daun pepaya terhadap ekspresi gen sea dapat dipelajari dengan
2 teknik Quantitative Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (qRTPCR). qRT-PCR meliputi proses transkripsi balik (reverse transcription) yang diikuti dengan real time PCR (qPCR). mRNA ditranskripsi balik membentuk cDNA, yang selanjutnya digunakan sebagai cetakan pada qPCR (Pfaffl et al. 2002). qPCR menggunakan molekul reporter fluoresens untuk memonitor produksi dari produk amplifikasi pada setiap siklus reaksi PCR. Pada qPCR akan diperoleh nilai cycle threshold (CT), yaitu siklus ketika intensitas emisi zat warna fluoresens melewati nilai threshold. Semakin tinggi jumlah awal kopi target asam nukleat, semakin cepat peningkatan fluoresens sehingga semakin rendah nilai C T.
Perumusan Masalah Ekstrak daun pepaya diketahui memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Aktivitas antimikroba ini berhubungan dengan komponen fitokimia yang terdapat dalam daun pepaya, seperti tanin, terpenoid, dan alkaloid. S. aureus merupakan patogen pada pangan penghasil enterotoksin yang tahan terhadap pemanasan. SEA adalah enterotoksin S. aureus yang paling sering menyebabkan kasus keracunan pangan. Alkaloid diketahui dapat menghambat sintesis DNA sehingga terdapat kemungkinan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dapat mempengaruhi ekspresi gen penyandi SEA dan menghambat produksi enterotoksin tersebut. Oleh karena itu, kajian mengenai aktvitas ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap gen penyandi SEA perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh penambahan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dalam berbagai konsentrasi terhadap ekspresi gen sea. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dengan ultrasonic assisted extraction, mendapatkan isolat S. aureus penghasil SEA dari pangan, mengetahui nilai KHM ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap S. aureus, serta pengaruh ekstrak kasar alkaloid terhadap jumlah sel dan ekspresi gen sea.
Hipotesis Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya mampu menghambat ekspresi gen penyandi SEA. Dengan demikian, produksi SEA dapat dihambat dan meningkatkan keamanan pangan.
3 Manfaat Penelitian Penelitian mengenai pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap ekspresi gen penyandi SEA pada S. aureus ini diharapkan dapat memiliki manfaat, yaitu: 1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kegunaan daun pepaya sebagai senyawa antimikroba alami. 2. Sebagai rujukan akan senyawa antimikroba alami alternatif pada pangan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri sekaligus menghambat pembentukkan toksin yang tahan terhadap panas melalui penghambatan sintesis DNA.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Daun Pepaya Daun pepaya mengandung senyawa bioaktif, yaitu alkaloid, saponin, senyawa fenolik, flavonoid, terpenoid, dan tanin (Baskaran et al. 2012). Daun pepaya juga memiliki akitivitas proteolitik karena kandungan enzim papain yang dimilikinya (Nwofia et al. 2012). Ekstrak daun pepaya menunjukkan aktivitas antimikrobial terhadap bakteri Gram positif dan negatif serta kapang (Tabel 1). Aktivitas antimikroba dari ekstrak daun pepaya tersebut berhubungan dengan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam daun pepaya. Alkaloid, terpenoid, fenolik, flavonoid, dan tanin memiliki kemampuan menghambat mikroba dengan berbagai mekanisme (Tabel 2). Tabel 1 Aktivitas antimikroba berbagai ekstrak daun pepaya Jenis ekstrak Ekstrak etanol
Ekstrak metanol
Ekstrak etil asetat
Ekstrak kloroform Ekstrak aseton
Ekstrak air panas
Mikroba yang dihambat Escherichia coli, Micrococcus luteus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris, Enterococcus faecalis, Salmonella typhi, S. paratyphi A, Aspergillus niger, A. flavus, Candida albicans, C. Tropicalis E. coli, M. luteus, P. aeruginosa, B. cereus, S.aureus, A. niger, A. flavus, C. albicans, C. Tropicalis E. coli, M. luteus, P. aeruginosa, B. cereus, K. pneumoniae, S. aureus, A. niger, A. flavus, C. albicans, C. Tropicalis E. coli, M. luteus, P. aeruginosa, K. pneumoniae, S. aureus, A. niger, A. flavus, C. albicans, C. Tropicalis E. coli, P. aeruginosa, B. cereus, K. pneumoniae, S. aureus, E. faecalis, A. niger, A. flavus, C. albicans, C. Tropicalis S. aureus, P. aeruginosa, E. coli, K. Pneumoniae, Proteus mirabilis
Pustaka Anibijuwon dan Udeze 2009; Rahman et al. 2011; Alabi et al. 2012; Baskaran et al. 2012
Baskaran et al. 2012
Baskaran et al. 2012
Baskaran et al. 2012
Alabi et al. 2012; Baskaran et al. 2012 Anibijuwon dan Udeze 2009; Baskaran et al. 2012
Tabel 2 Mekanisme antimikroba berbagai senyawa bioaktif Senyawa bioaktif Alkaloid
Terpenoid
Subkelas -
-
Mekanisme antimikroba Menyisip pada utas ganda DNA Mempengaruhi enzim topoisomerase dan enzim dalam proses perbaikan DNA yang salah Merusak membran sel
Pustaka Cowan 1999; Cao et al 2007 Cao et al 2007 Cowan 1999; Mustarichie et al. 2012
5 Tabel 2 Lanjutan Senyawa bioaktif Fenolik
Subkelas Flavonoid
Tanin
Fenolik sederhana (tymol, eugenol, carvacrol) Quinones
Mekanisme antimikroba Berikatan dengan adhesin, membentuk kompleks dengan dinding sel Berikatan dengan adhesin, menghambat enzim, membentuk kompleks dengan dinding sel, merusak membran sel Mengganggu membran sel, menghambat ATPase, menghambat pelepasan ATP intraseluler Berikatan dengan adhesin, membentuk kompleks dengan dinding sel
Pustaka Cowan 1999
Cowan 1999
Cetin-Karaca 2011
Cowan 1999
Alkaloid merupakan senyawa organik siklik yang mengandung nitrogen dalam keadaan oksidasi negatif serta tersebar secara terbatas pada organisme hidup (Hesse 2002). Daun pepaya mengandung alkaloid, yaitu karpain, pseudokarpain, serta dehidrokarpain I dan II (Krishna et al. 2008). Keempat alkaloid tersebut termasuk ke dalam golongan alkaloid piperidin karena memiliki struktur piperidin, yaitu berupa amina heterosiklik yang terdiri atas cincin karbon segi enam dengan lima jembatan metilen (-CH2-) dan 1 gugus amin. Karpain merupakan alkaloid yang paling banyak terdapat di seluruh bagian berwarna hijau dan pada biji pepaya. Kandungan karpain di dalam daun pepaya mencapai 0.4% (Burdick 1971). Tang (1979) juga menunjukkan bahwa alkaloid dehidrokarpain I dan II banyak terdapat pada daun pepaya. Karpain (C28H50N2O4) terdiri atas 2 cincin piperidin identik yang dihubungkan oleh dua gugus ester (Gambar 1). Karpain dapat menurunkan tekanan darah, efektif dalam mengobati disentri amoeba, dan memiliki aktivitas antituberkulosis dengan mengambat Mycobacterium tuberculosis. Karpain juga dilaporkan mempunyai aktivitas antitumor dan antihelmintik (Burdick 1971).
Gambar 1 Struktur alkaloid karpain (Masuda et al. 2006).
6 Staphylococcus aureus dan Staphylococcal Enterotoxin Staphylococcus aureus S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus, non-motil, tidak membentuk spora, dan bersifat anaerob fakultatif. S. aureus termasuk sebagai bakteri mesofilik dan mampu bertahan pada kondisi kering dalam waktu yang cukup lama. Bakteri ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap garam dan gula ([FDA] 2012). S. aureus mampu memproduksi pigmen karotenoid sehingga menghasilkan koloni berwarna keemasan (Schelin et al. 2011). Berbagai faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan bakteri ini (Tabel 3). Tabel 3 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus Faktor Suhu pH aw NaCl Oksigen
Batas pertumbuhan 6 - 48°C 4 – 10 0.83 – 0.99 0 - 20% anaerobik-aerobik
Pertumbuhan optimum 35 - 41°C 6–7 0.99 0% aerobik
Sumber: Schelin et al. 2011
S. aureus dapat ditemukan pada tanah, air, dan udara. Bakteri ini juga dapat ditemukan pada hidung dan kulit hewan berdarah panas. S. aureus merupakan patogen pada manusia yang dapat menyebabkan staphylococcal food poisoning (SFP), toxic shock syndrome, pneumonia, dan infeksi pada luka. Pada kasus keracunan pangan, S. aureus yang mengontaminasi pangan mampu tumbuh dan menghasilkan toksin (Schelin et al. 2011). Staphylococcal Enterotoxin Terdapat 21 enterotoksin S. aureus yang telah diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi enterotoksin klasik (SEA, SEB, SEC, SED, SEE) dan enterotoksin non klasik (SE1G, SElH, SEl, SElJ, SElK, SElL, SElM, SElN, SElO, SElP, SElQ, SER, SES, SET, SElU, SElV) (Schelin et al. 2011). SE bersifat tahan panas dan resisten terhadap protease gastrointestinal. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pembentukan SE memiliki batas yang berbeda dengan batas faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus (Tabel 4). Tabel 4 Faktor yang mempengaruhi pembentukan SE Faktor Suhu pH aw NaCl Oksigen
Batas pembentukan SE 10 - 46°C 5 – 9.6 0.86 – 0.99 < 12% anaerobik-aerobik
Pembentukan SE optimum 34 - 40°C 7–8 0.99 0% Aerobik
Sumber: Schelin et al. 2011
Keracunan makanan akibat SE dicirikan dengan masa inkubasi yang singkat, yaitu 2 – 6 jam setelah mengonsumsi makanan. Gejala yang ditimbulkan akibat mengonsumsi SE adalah mual, muntah, sakit perut, dan diare. SE yang
7 paling banyak ditemukan sebagai penyebab SFP adalah SEA (Balaban dan Rasooly 2000). Staphylococcal Enterotoxin A (SEA) SEA merupakan polipeptida yang terdiri atas 233 asam amino dan disintesis dari gen sea, yang tersusun atas 774 pasang basa. Gen sea dibawa oleh bakteriofag yang disisipkan pada kromosom bakteri sebagai profag dan berperilaku seperti bagian dari genom bakteri. Transkripsi sea berkaitan dengan siklus hidup dari profag penyandi SEA (Schelin et al. 2011). Polimorfisme alami pada profag ditemukan mempengaruhi jumlah SEA yang diproduksi oleh bakteri pembawa profag. Hasil analisis sekuen daerah promotor menunjukkan bahwa strain yang memproduksi sea dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu strain yang memproduksi SEA dalam jumlah tinggi (kelompok SEA 1) dan strain yang memproduksi SEA dalam jumlah rendah (kelompok SEA2) (Borst dan Betley 1994). Derzelle et al. (2009) menunjukkan bahwa ekspresi sea tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan bakteri. Akan tetapi, produksi SEA pada susu terdeteksi ketika sel S. aureus telah mencapai konsentrasi 106.5 CFU/ml (Fujikawa dan Morozumi 2006). SEA mulai diproduksi pada pertengahan fase eksponensial pertumbuhan (Balaban dan Rasooly 2000). Hanya sedikit jumlah SEA yang dibutuhkan untuk menimbulkan penyakit, yaitu kurang dari 1 µg. SEA bersifat seperti superantigen, yang dapat berinteraksi dengan banyak sel T secara non spesifik. Interaksi ini menyebabkan terjadinya pelepasan yang tidak terkontrol dari berbagai sitokin dan menyebabkan terjadinya inflamasi akut dan shock sehingga menimbulkan gejala keracunan, seperti mual dan muntah-muntah (Proft dan Fraser 2003).
Isolasi dan Identifikasi S. aureus Isolasi dan Identifikasi S. aureus secara Konvensional Isolasi S. aureus dimulai dengan mendeteksi keberadaan S. aureus pada sampel pangan menggunakan media BPA. Media BPA yang disuplementasi dengan kuning telur dan kalium telurit merupakan media selektif diferensial yang direkomendasikan oleh International Organization for Standardization (ISO), Official Analytical Chemists International (AOAC), dan Bacteriological Analytical Manual (BAM), untuk enumerasi dan isolasi S. aureus dari pangan. S. aureus akan membentuk koloni berwarna abu-abu hingga hitam dengan zona bening atau opaque disekeliling koloni. Akan tetapi, BPA tidak cukup selektif untuk menganalisis keberadaan S. aureus pada pangan, terutama pangan dengan flora kontaminan yang tinggi. Beberapa mikroorganisme, seperti staphylococci selain S. aureus, Bacillus spp., dan micrococci membentuk koloni dengan morfologi yang mirip dengan S. aureus pada BPA (Capita et al. 2001). Penggunaan media MSA yang mengandung NaCl yang tinggi dapat menyeleksi isolat terduga S. aureus yang diperoleh pada BPA sehingga mengurangi kemungkinan pemilihan isolat yang bukan S. aureus. S. aureus mampu tumbuh pada media ini dan menggunakan manitol sehingga mengubah media menjadi kuning. Identifikasi isolat terduga S. aureus dilanjutkan dengan uji koagulase dan uji biokimia. Kedua uji tersebut dapat dilakukan dengan
8 menggunakan kit, seperti Staphylase test kit (Oxoid) untuk uji koagulase dan API Staph (bioMérieux) untuk uji biokimia (Di Giannatale et al. 2011). Identifikasi S. aureus secara Molekuler Identifikasi isolat terduga S. aureus dapat dilakukan secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR dan sekuensing. DNA dari isolat terduga S. aureus diisolasi dan isolat DNA yang diperoleh digunakan sebagai cetakan untuk mengamplifikasi gen penyandi 16S rRNA dengan PCR. Produk PCR gen penyandi 16S rRNA selanjutnya disekuensing dan sekuen yang diperoleh dibandingkan dengan basis data genom. Prinsip Isolasi DNA Bakteri Secara umum, terdapat 3 prinsip dalam isolasi DNA bakteri, yaitu perusakan sel bakteri, ekstraksi DNA dengan pelarut organik, serta presipitasi DNA dengan menggunakan alkohol (Moore et al. 2004). Perusakan sel bakteri dapat dilakukan melalui digesti menggunakan enzim dan lisis dengan detergen. Lisozim merupakan enzim yang mengatalisis hidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik di antara N-asetilmuramic acid-N-acetylglucosamine pada lapisan peptidoglikan bakteri. Selain enzim lisozim, juga dapat digunakan enzim proteinase-K, yaitu protease serin yang dihasilkan oleh fungi Tritirachium album. Enzim ini memotong di dekat gugus karboksil dari asam amino alifatik dan aromatik, yang terlibat dalam ikatan peptida, termasuk pada ikatan sebrang silang peptida yang terdapat pada peptidoglikan dinding sel bakteri. Detergen juga digunakan untuk mengganggu sel bakteri. Detergen dapat membentuk ikatan yang kuat dengan protein dan menyebabkan denaturasi yang tidak dapat dibalik (irriversible). Detergen terutama efektif untuk mengganggu bakteri yang telah mengalami kerusakan pada dinding selnya. Oleh karena itu, pada proses isolasi DNA, perlakuan dengan detergen diberikan setelah dinding sel diberi perlakuan dengan enzim. Detergen yang dapat digunakan, yaitu sodium dodecylsulfate (SDS) dan cetyl trimethylammonium bromide (CTAB). SDS merupakan detergen anionik, yang pada konsentrasi rendah dapat berikatan pada protein yang terikat pada sel dan lipoprotein. SDS efektif dalam mendenaturasi protein tersebut. CTAB merupakan detergen kationik yang dapat digunakan dalam mengekstraksi DNA bakteri. CTAB dapat mendenaturasi dan mempresipitasi lipopolisakarida dan protein dinding sel. Penggunaan NaCl bersamaan dengan CTAB berfungsi untuk menyediakan kation monovalen (Na +) sehingga mencegah DNA terpresipitasi. Keberadaan kation monovalen dengan konsentrasi di atas 0.5 M akan membuat DNA tetap terlarut. Proses perusakan sel bakteri tersebut dilakukan dalam larutan bufer (pH 89) yang mengandung agen pengelat logam, seperti ethylenediamine-tetraacetic acid (EDTA). pH basa akan mengurangi interaksi elektrostatik antara DNA dan protein yang bersifat basa sehingga memfasilitasi denaturasi protein seluler lain dan menghambat aktivitas nuklease. EDTA dapat mengikat kation divalen (Mg2+ and Mn2+) sehingga mengurangi stabilitas dari dinding dan membran serta menghambat nuklease yang membutuhkan kation logam. Setelah sel bakteri mengalami kerusakan, asam nukleat yang terdapat di dalam sel dapat keluar. Selanjutnya, DNA diekstraksi menggunakan pelarut organik untuk memisahkan DNA dari komponen selain DNA. Pelarut organik, seperti fenol dan kloroform berinteraksi dengan komponen hidrofobik dari protein
9 dan lipoprotein serta menyebabkan denaturasi dan presipitasi. Presipitat material sel yang terdenaturasi akan berada pada fase organik dan dapat dipisahkan dengan sentrifugasi. Secara umum, fenol efektif dalam mendenaturasi protein, sedangkan kloroform lebih efektif untuk polisakarida (Moore et al. 2004). Isoamilalkohol digunakan untuk mengurangi pembentukan buih selama proses ekstraksi. DNA yang telah terekstrak kemudian dipresipitasi menggunakan alkohol (etanol atau isopropanol) pada suhu rendah. Suhu rendah dapat menurunkan energi kinetik sehingga DNA lebih mudah mengendap. Presipitat DNA yang diperoleh dicuci dengan etanol 70% untuk menghilangkan sisa-sisa reagen.
Quantitative Reverse Transcription PCR (qRT-PCR) Transkripsi balik (reverse transcription) yang diikuti dengan real time PCR (qPCR) merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan menguantifikasi mRNA. mRNA ditranskripsi balik membentuk cDNA, yang selanjutnya digunakan sebagai cetakan pada qPCR. Metode ini merupakan metode paling sensitif untuk mendeteksi dan menguantifikasi tingkat ekspresi gen (Pfaffl et al. 2002). qPCR menggunakan molekul reporter fluoresens untuk memonitor produksi dari produk amplifikasi pada setiap siklus reaksi PCR. Pada qPCR akan dideteksi sinyal fluoresens yang dihasilkan secara proporsional selama proses amplifikasi target DNA. Pengujian real time ini menentukan titik waktu selama siklus ketika amplifikasi produk PCR pertama kali dideteksi. Hal ini ditentukan melalui angka siklus (cycle number) saat intensitas emisi zat warna reporter berada di atas background noise (Gambar 2).
Gambar 2 Kurva amplifikasi pada reaksi qPCR (NCBI 2012). Angka siklus ini dikenal sebagai threshold cycle (CT). CT ditentukan pada fase eksponensial reaksi PCR dan berbanding terbalik dengan jumlah kopi dari target. Semakin tinggi jumlah awal kopi target asam nukleat, semakin cepat peningkatan fluoresens sehingga semakin rendah nilai CT. Korelasi linear antara produk PCR dan intensitas fluoresens ini dapat digunakan untuk menentukan jumlah DNA cetakan pada awal reaksi (Bustin 2005a).
10 Molekul fluoresens yang dapat digunakan pada qPCR dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu molekul fluoresens non spesifik dan molekul fluoresens spesifik (Bustin 2005b). Molekul fluoresens non spesifik berupa intercalating dye, seperti SYBR green I yang dapat menyisip pada setiap DNA utas ganda. Zat warna fluoresens dapat dideteksi saat primer menempel pada DNA cetakan dan enzim polimerase bekerja memperpanjang utas DNA (tahap polimerasi) (Gambar 3a). Molekul fluoresens spesifik menggunakan probe fluoresens yang spesifik dengan cetakan yang digunakan, seperti probe TaqMan. Probe tersebut memiliki reporter pada ujung 5’ (bentuk bulat) dan quencher pada ujung 3’ (bentuk segi lima) (Gambar 3b). Reporter dapat menghasilkan pendaran fluoresens yang dapat hilang ketika berdekatan dengan quencher. Saat tahap annealing, probe TaqMan dapat berhibridisasi dengan DNA cetakan. Ketika enzim polimerase mereplikasi DNA, probe akan pecah dan menyebabkan reporter terpisah dari quencher. Dengan demikian, reporter dapat berpendar dan sinyal fluoresens dapat terdeteksi. Data berupa nilai CT dapat dianalisis dengan menggunakan kuantifikasi absolut atau kuantifikasi relatif.
Gambar 3 Molekul fluoresens pada qPCR. (a) Non spesifik (SYBR green I); (b) Spesifik (probe TaqMan) (Bustin 2005b).
Kuantifikasi Absolut Pada analisis data dengan kuantifikasi absolut digunakan kurva standar eksternal. Kurva standar dibuat menggunakan seri pengenceran dari DNA cetakan yang diketahui konsentrasinya. Kurva standar menunjukkan hubungan linear antara nilai CT dengan log jumlah RNA atau DNA. Melalui persamaan kurva standar, konsentrasi DNA sampel yang tidak diketahui dapat diketahui melalui nilai CT yang diperoleh. Kuantifikasi absolut banyak digunakan untuk menguantifikasi jumlah sel tumor atau partikel menular, seperti virus atau bakteri pada cairan tubuh (Bustin 2005b), serta untuk deteksi dan kuantifikasi jumlah mikroba pada pangan, seperti kapang dan khamir (Bleve et al. 2003), S. aureus (Alarcon et al. 2006), dan Salmonella Typhimurium (Miller et al. 2011).
11 Kuantifikasi Relatif Pada kuantifikasi relatif, perubahan ekspresi gen sampel diukur relatif terhadap gen referensi (kontrol internal) dan sampel kalibrator. Nilai CT dari sampel target secara langsung dibandingkan dengan nilai C T referensi dan hasilnya dinyatakan sebagai rasio antara target dengan referensi (Wong dan Medrano 2005). Berbagai metode dapat digunakan untuk menganalisis data ekspresi gen relatif. Salah satunya adalah dengan menggunakan metode perbandingan CT atau metode 2 ∆∆ . Metode perbandingan CT mengasumsikan bahwa efisiensi PCR mendekati 1 dan efisiensi PCR dari gen target mirip dengan efisiensi PCR gen referensi. Ekspresi antara gen target dengan gen referensi dapat dibandingkan dengan persamaan 2 ∆∆ , dengan ΔΔCT = [(CT gen target – CT gen referensi) sampel – (CT gen target – CT gen referensi) kontrol tanpa perlakuan]. Nilai 2 ∆∆ menunjukkan berapa kali lipat perubahan ekspresi gen target dengan perlakuan dibandingkan dengan kontrol (Schmittgen dan Livak 2008).
12
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Kimia Pangan PAU IPB, Laboratorium Mikrobiologi Pangan Departemen Ilmu dan Tekonologi Pangan IPB, serta Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Bioteknologi Pangan SEAFAST Center IPB, pada bulan Januari hingga September 2013.
Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan untuk mengekstraksi alkaloid dari daun pepaya, antara lain daun pepaya calina (IPB 9), sodium dodecylsulfate (SDS) (Merck & Co., New Jersey, USA), kertas saring Whatman no.1, akuades, H2SO4 (Merck & Co., New Jersey, USA) 2% (v/v), reagen Mayer (HgCl2, KI), Na2CO3 (Merck & Co., New Jersey, USA) 5% (b/v), kloroform (J.T. Baker, Pennsylvania, USA), fenolftalein, Na2SO4 (Merck & Co., New Jersey, USA), dan gas N2. Isolasi S. aureus dilakukan dari beberapa pangan, yaitu ayam suwir, sate jeroan, bakso, telur balado, tumis usus ayam, dan susu sapi mentah. Bahan dan media yang digunakan pada proses isolasi ini, yaitu NaCl 0.85%, baird-parker agar (BPA) (63 g/liter, Oxoid Ltd., Hampshire, UK), kuning telur, kalium telurit 1%, mannitol salt agar (MSA) (111 g/liter, Oxoid Ltd., Hampshire, UK), Staphylase test kit (Oxoid Ltd., Hampshire, UK), dan APIStaph (bioMérieux Inc., North Carolina, USA). Bahan yang digunakan pada penentuan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) ialah triptone soya agar (TSA) (40 g/liter; Oxoid Ltd., Hampshire, UK), triptone soya broth (TSB) (30 g/liter; Oxoid Ltd., Hampshire, UK), mueller hinton agar (MHA) (38 g/liter; Oxoid Ltd., Hampshire, UK), dimethyl sulfoxide (DMSO) (Merck & Co., New Jersey, USA). Selain itu bakteri S. aureus ATCC 25923 juga digunakan sebagai pembanding. Bahan-bahan yang digunakan untuk deteksi gen sea pada isolat S. aureus, antara lain bahan untuk isolasi DNA, yaitu bufer TE 1x (Tris 1M; 0.5M EDTA pH 8), lisozim (Bio Basic Canada Inc., Ontario, Kanada), larutan SDS 10%, proteinase K (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), NaCl, cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) (Merck & Co., New Jersey, USA), kloroform, PCI (25:24:1) (fenol (MP Biomedicals, LCC, Illkirch, Perancis); kloroform; isoamil alkohol (Applychem, Darmstadt, Jerman)), CI (24:1) (kloroform, isoamil alkohol), isopropanol (Merck & Co., New Jersey, USA), dan etanol (Merck & Co., New Jersey, USA) 70%; bahan untuk amplifikasi gen sea, yaitu Dreamtaq Green PCR master mix (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), DNA cetakan, primer SEA1 dan SEA2, serta air bebas nuklease; bahan untuk elektroforesis, yaitu loading dye (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), bufer TAE (tris asetat EDTA), agarosa (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), etidium bromida (EtBr) (Amersham BioSciences, Uppsala, Swedia), GeneRuler 100 bp DNA ladder plus (#SM0321, Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), dan akuabides.
13 Bahan-bahan yang digunakan dalam menganalisis ekspresi gen sea, antara lain bahan untuk ekstraksi RNA, yaitu peqGOLD Bacterial RNA Kit (PEQLAB Biotechnologie GmbH, Erlangen, Jerman) dan DNAse I, RNase free (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA); bahan untuk sintesis cDNA, yaitu RevertAid First Strand cDNA Synthesis Kit (Thermo Fisher Scientific, Massachusetts, USA), primer SEA (SEA1 dan SEA2), primer 16S rRNA (16sF dan 16sR3); serta bahan untuk real-time PCR, yaitu KAPA SYBR® FAST qPCR Kit Master Mix (Kappa Biosystems, Massachusetts, USA).
Peralatan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, pipet mikro 10 ml, pipet mikro 1 ml, pipet mikro 100 µl, pipet mikro 10 µl, blender, oven vakum (VWR A143 A-143, Sheldon Manufacturing, Inc., Oregon, USA), ultrasonic bath (Bransonic Ultrasonic Cleaner model 8510E MTH, Branson Ultrasonic Corporation, Connecticut, USA), rotari evaporator (Butchi Rotavapor R-210, BÜCHI Labortechnik, Flawil, Switzerland), stomacher (BagMixer® 400P, Interscience, Perancis), sentrifuge (Hermle Z383K; Hermle Labortechnik GmbH, Wehingen, Saint Nom, Jerman), spektrofotometer UV-1800 (Shimadzu, Jepang), perangkat elektroforesis DNA (Bio-Rad, Bio-Rad Laboratories Pte. Ltd, Singapore), Thermal Cycler 2720 (Applied Biosystems, California, USA), gel doc (Bio-Rad, Bio-Rad Laboratories Pte. Ltd, Singapore), Swift Spectrum Themal Cycler 48 (Esco Healthcare Pte. Ltd., Singapore).
Prosedur Penelitian Tahapan di dalam prosedur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Di dalam tahap isolasi dan deteksi S. aureus penghasil SEA dari pangan, deteksi keberadaan gen sea hanya dilakukan pada 10 isolat S. aureus yang diperoleh dari sampel pangan. Dari isolat-isolat S. aureus penghasil SEA yang diperoleh, hanya 1 isolat yang digunakan pada tahapan penentuan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM), pemaparan S. aureus dengan ekstrak kasar alkaloid, serta pada pengukuran tingkat ekspresi gen sea. Persiapan Daun Pepaya Daun pepaya berwarna hijau tua dan sehat (tidak terserang penyakit atau berlubang) dikumpulkan dari pohon pepaya calina (IPB 9) yang ditanam di University Farm, Institut Pertanian Bogor. Daun dicuci 2 - 3 kali dengan air kran mengalir. Daun dikeringkan dengan oven vakum pada suhu 55 °C selama 22 jam (Caro et al. 2000). Daun kering dihaluskan hingga membentuk bubuk dengan menggunakan blender, dilewatkan pada saringan berukuran 40 mesh, dan disimpan pada wadah tertutup. Kadar air daun pepaya basah dan kering diukur menggunakan metode oven (AOAC 2005) sebanyak 3 ulangan.
14 Persiapan daun pepaya
Ekstraksi alkaloid daun pepaya
Isolasi dan deteksi S. aureus penghasil SEA dari pangan
Penentuan KHM ekstrak kasar alkaloid daun pepaya
Pemaparan S. aureus dengan ekstrak kasar alkaloid
Pengukuran tingkat ekspresi gen sea
Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian. Ekstraksi Alkaloid Daun Pepaya Daun pepaya kering sebanyak 10 g disuspensikan dalam 400 ml SDS 0.2 % dan disonikasi selama 2.5 jam di dalam ultrasonic bath pada suhu 25 - 35°C. Ekstrak dipisahkan dengan kain saring dan residu pada kain saring dicuci dengan 20 ml akuades. Selanjutnya, ekstrak disaring dengan kertas Whatman no. 1. Ke dalam filtrat ditambahkan larutan H2SO4 2% hingga diperoleh pH 3-4 dan alkaloid dipresipitasi dengan 15 ml reagen Mayer. Presipitat dipisahkan dengan sentrifugasi pada 2 400 × g selama 10 menit dan dilarutkan dengan Na2CO3 5% lalu diekstraksi dengan CHCl3. Lapisan organik yang terbentuk dicuci dengan akuades hingga pH menjadi netral dan dilewatkan pada Na2SO4. Larutan dievaporasi dengan rotari evaporator dan dikeringkan dengan gas N2 untuk memperoleh alkaloid (Djilani et al. 2006). Ekstrak alkaloid dilarutkan di dalam DMSO sebelum digunakan dalam analisis. Isolasi S. aureus dari Pangan S. aureus diisolasi dari beberapa jenis pangan, yaitu ayam suwir, sate jeroan, telor balado, tumis usus, susu sapi mentah, dan bakso. Isolat S. aureus diperoleh melalui beberapa tahapan, yaitu isolasi bakteri terduga dari sampel pangan, identifikasi isolat terduga S. aureus secara konvensional, dan identifikasi isolat terduga S. aureus secara molekuler dengan menggunakan PCR. Identifikasi isolat secara molekuler terdiri atas isolasi DNA bakteri, amplifikasi gen penyandi 16S rRNA, dan sekuensing. Isolasi Bakteri Isolasi bakteri S. aureus dilakukan dengan menggunakan metode BAM (Bennet dan Lancette 2001) dengan modifikasi. Sebanyak 25 g atau 25 ml sampel pangan dimasukkan ke dalam plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan garam fisiologis 0.85% sebagai pengencer. Sampel dihancurkan dengan
15 menggunakan stomacher selama 2 menit. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran sampel, yaitu 10-1, 10-2, dan 10-3. Dua puluh lima gram sampel yang telah dihancurkan di dalam 225 ml larutan pengencer merupakan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml sampel pengenceran 10-1 dipipet dan dibagi ke dalam 3 cawan media BPA, yang disuplementasi dengan 50 ml/L larutan kuning telur–1% kalium telurit (kuning telur: NaCl 0.85%: kalium telurit 1% = 2:2:1). Selanjutnya, sebanyak 0.1 ml sampel pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 masing-masing disebar ke dalam 1 cawan media BPA. Sampel diinkubasi pada 37°C selama 18 - 24 jam. Koloni dengan ciri-ciri tipikal S. aureus (bulat, cembung, berdiameter 2-3 mm pada pertumbuhan yang tidak padat, berwarna hitam, dan dikelilingi dengan zona buram (opaque) atau bening diambil dengan ose tusuk dan digoreskan pada media MSA dan diinkubasi pada 37°C selama 18 -24 jam. Koloni yang dapat mengubah warna media MSA menjadi kuning selanjutnya digunakan pada uji koagulase. Uji koagulase dilakukan menggunakan Staphylase Test Kit. Isolat yang mampu menghasilkan koagulase akan membentuk aglutinasi saat dicampurkan dengan reagen. Identifikasi Isolat Terduga S. aureus dengan Metode Konvensional Isolat dengan hasil koagulase positif selanjutnya diidentifikasi dengan uji biokimia menggunakan analytical profile index (API) Staph. Hasil API kemudian dibaca dengan menggunakan apiwebTM identification sofware. Isolasi DNA Isolasi DNA S. aureus menggunakan metode Mason et al. (2001), dengan modifikasi, yaitu penggunaan lysostaphin digantikan dengan lisozim 10 mg/ml serta tanpa pemakaian RNase. Isolat yang menunjukkan positif S. aureus pada API ditumbuhkan pada media TSB dan diinkubasi pada 37°C selama 18 – 24 jam. Sebanyak 2 ml kultur S. aureus pada media TSB disentrifugasi pada 21 000 × g selama 1 menit. Supernatan dibuang dan pelet diresuspensi menggunakan 560 μl bufer TE 1x. Selanjutnya, ditambahkan 100 μl lisozim (10 mg/ml) kemudian dicampurkan hingga homogen dan diinkubasi pada 37°C selama 1 jam (tabung dibolak-balik setiap 15 menit). Sebanyak 30 μl SDS 10% dan 10 μl proteinase K (10 mg/ml) ditambahkan dan diinkubasi kembali pada 37°C selama 1 jam (tabung dibolak-balik setiap 15 menit). Setelah itu, 100 μl NaCl 5 M dan 80 μl CTAB-NaCl (10% CTAB di dalam 0.7 M NaCl) yang telah dipanaskan pada 65°C ditambahkan kemudian diinkubasi selama 10 menit pada 65°C. Kloroform dengan volume yang sama dengan suspensi ditambahkan lalu divorteks dan disentrifugasi pada 21 000 × g selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru dan diekstraksi 2 kali dengan PCI (25:24:1) dan 1 kali dengan CI, dengan volume yang sama dengan suspensi. Fase aqueous pada bagian atas dipindahkan ke tabung baru dan dilakukan presipitasi DNA menggunakan isopropanol absolut dingin sebanyak 0.7 x volume supernatan. Campuran tersebut diinkubasi pada -20°C selama 1 jam dan disentrifugasi pada 21 000 × g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 1 ml etanol 70% lalu disentrifugasi pada 21 000 × g selama 5 menit. Pelet DNA dikeringkan dan diresuspensi dengan 30 μl akuabides. Hasil isolasi DNA divisualisasi pada gel agarosa 1.5% dengan elektroforesis pada tegangan 120 V selama 45 menit.
16 Kuantifikasi DNA Konsentrasi dan kemurnian isolat DNA ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Isolat DNA diencerkan 1:1000 menggunakan bufer TE 1x dan diukur absorbansinya (A260 dan A280). Konsentrasi DNA (ng/µl) dapat dihitung dengan rumus A260 x 50 x faktor pengenceran (1 OD A260 = 50 ng/µl dsDNA). Kemurnian DNA dapat ditentukan dengan mengukur rasio A260/A280. Kemurnian DNA yang baik memiliki nilai rasio antara 1.8 sampai 2.0 (Johnson & Tyler 1993). Amplifikasi Gen Penyandi 16S rRNA Amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dilakukan dengan menggunakan Thermal Cycler 2720. Isolat DNA diamplifikasi dengan primer 16sF dan 16sR3 (Tabel 5). Campuran reaksi PCR sebanyak 25 μl terdiri atas 12.5 µl DreamTaq Green master mix, 1 µl setiap primer (10 µM), 2 µl DNA cetakan (1000 ng/µl), dan 8.5 µl air bebas nuklease. Siklus PCR yang digunakan, yaitu 1 siklus denaturasi selama 5 menit pada 95°C, 30 siklus amplifikasi (denaturasi 1 menit pada 95°C, annealing 1 menit pada 55°C, dan extension 1 menit pada 72°C), dan terminasi selama 5 menit pada 72°C (Lee et al. 2007). Produk hasil amplifikasi divisualisasikan pada gel agarosa 1.5% dengan elektroforesis pada tegangan 120 V selama 35 menit. Sebagai marker digunakan 100-bp plus DNA ladder. Gen penyandi 16S rRNA menghasilkan pita berukuran 240 bp. Tabel 5 Primer yang digunakan pada PCR dan qRT-PCR Target sea 16S rRNA
Primer SEA1 SEA2 16sF 16sR3
Sekuen nukleotida (5’-3’) TTGGAAACGGTTAAAACGAA GAACCTTCCCATCAAAAACA CCGCCTGGGGAGTACG AAGGGTTGCGCTCGTTGC
Amplikon (bp)
Pustaka
120
Lee et al. 2007
240
Lee et al. 2007
Sekuensing Sekuensing dilakukan untuk mengetahui urutan basa DNA dari gen penyandi 16S rRNA isolat S. aureus dari pangan. Sekuensing dilakukan dengan mengirimkan hasil PCR gen penyandi 16S rRNA ke 1st Base Pte Ltd, Singapura, melalui PT. Genetika Science Indonesia. Sekuen yang diperoleh dianalisis dengan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) (http://blast. ncbi.nlm.nih.gov/). Identifikasi gen sea Identifikasi isolat S. aureus penghasil SEA dilakukan secara molekuler dengan menggunakan teknik PCR. Amplifikasi gen sea dilakukan dengan metode yang sama dengan amplifikasi gen penyandi 16S rRNA. Primer yang digunakan adalah primer SEA1 dan SEA2 (Tabel 5). Gen sea ditunjukkan dengan pita berukuran 120 bp. Isolat S. aureus penghasil SEA diinokulasikan pada TSA miring sebagai stok. Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum Sebelum penentuan KHM, dilakukan proses penapisan menggunakan metode sumur untuk menentukan kisaran konsentrasi ekstrak kasar alkaloid daun pepaya. Isolat S. aureus berumur 18 - 24 jam pada media TSB disentrifugasi pada 9 500 × g selama 10 menit dan pelet bakteri disuspensikan pada garam fisiologis
17 0.85% hingga mencapai kekeruhan setara dengan kekeruhan standar 0.5 McFarland (1.5 × 108 CFU/ml). Kekeruhan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm dengan nilai absorbansi 0.08. Nilai absorbansi tersebut setara dengan 0.5 standar McFarland (Andrews 2005; Oliveira dan de Lencastre 2011). Suspensi bakteri diinokulasikan menggunakan cotton swab steril pada seluruh permukaan MHA. Setelah itu, sumur dibuat menggunakan pembolong agar steril berdiameter 4 mm. Sebanyak 20 µl ekstrak kasar alkaloid daun pepaya (10 mg/ml, 8 mg/ml, 6 mg/ml, 4 mg/ml, 2 mg/ml, 1 mg/ml) dipipet ke dalam lubang pada media. Media didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang dan diinkubasi tanpa dibalik pada 37 ºC selama 18-24 jam (Ehsan et al. 2009; Subramanian dan Saratha 2010). Sebagai kontrol negatif digunakan DMSO. Penentuan KHM dilakukan dengan metode pengenceran makro. Sebanyak 100 μl suspensi S. aureus berumur 18-24 jam dengan konsentrasi 106 CFU/ml diinokulasikan ke dalam 1 ml media TSB yang mengandung ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada berbagai konsentrasi (kisaran konsentrasi berdasarkan hasil penapisan). Kultur bakteri kemudian diinkubasi pada 37 °C selama 24 jam dan digoyang dengan kecepatan 150 rpm (Mazzola et al. 2009; Subramanian dan Saratha 2010). Selanjutnya, dibuat seri pengenceran dari kultur bakteri pada setiap konsentrasi ekstrak alkaloid dan disebar pada media TSA. Media tersebut diinkubasi pada 37°C selama 48 jam dan dilakukan penghitungan jumlah bakteri. KHM90 merupakan konsentrasi ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terendah yang dapat menghambat 90% pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan jumlah awal inokulum (Fazeli dan Salehi 2007). Pemaparan S. aureus dengan Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Sebanyak 100 μl suspensi S. aureus penghasil SEA, dengan konsentrasi 108 CFU/ml, dipipet ke dalam 5 ml media TSB yang telah ditambahkan dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dengan konsentrasi 0, 1, dan 2 KHM. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam dan digoyang dengan kecepatan 150 rpm. Jumlah sel bakteri, sebelum dan setelah diinkubasi selama 2 jam, ditentukan dengan menggunakan metode agar sebar pada TSA. Pengukuran Tingkat Ekspresi Gen sea Tingkat ekspresi gen sea dari bakteri S. aureus yang telah dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dapat diketahui melalui beberapa tahapan, yaitu, isolasi mRNA bakteri, sintesis cDNA, serta pengukuran ekspresi gen sea menggunakan real-time PCR. Isolasi mRNA RNA diisolasi menggunakan peqGOLD Bacterial RNA Kit dan dilakukan sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada kit. Sebanyak 2 ml kultur bakteri yang telah dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya disentrifugasi pada 5 000 × g selama 5 menit. Pelet bakteri diresuspensi dengan 100 µl bufer TE dan 30 µl lisozim 10 mg/ml. Selanjutnya, 450 µl RNA lysis buffer T ditambahkan dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2 menit. Sampel tersebut dicampurkan dengan pipet dan diinkubasi kembali selama 10 menit pada suhu ruang. Sampel kemudian dipindahkan ke dalam DNA removing column yang
18 telah dipasangkan dengan collection tube (CT) dan disentrifugasi pada 10 000 × g selama 2 menit. Etanol 70% 1x vol (sekitar 550 µl) ditambahkan ke dalam sampel pada CT dan dicampurkan dengan pipet. Sebanyak 650 µl sampel dipindahkan ke dalam PerfectBind RNA column yang telah dipasangkan dengan CT dan disentrifugasi pada 10 000 × g selama 1 menit. Residu sampel yang terdapat pada CT kembali dimasukkan ke dalam PerfectBind RNA column yang sama dan disentrifugasi 10 000 × g selama 1 menit. PerfectBind RNA column tersebut kemudian dipasangkan dengan CT baru dan ditambahkan 500 µl RNA wash buffer I lalu disentrifugasi selama 1 menit pada 10 000 × g dan cairan yang terdapat pada CT dibuang. PerfectBind RNA column tersebut kembali dipasangkan pada CT yang sama dan sebanyak 650 µl RNA wash buffer II ditambahkan lalu disentrifugasi pada 10 000 × g selama 1 menit. Larutan pada CT dibuang dan tahap penambahan RNA wash buffer II kembali dilakukan. PerfectBind RNA column dipasangkan dengan CT dan disentrifugasi selama 2 menit pada 10 000 × g untuk mengeringkan matriks kolom. Selanjutnya, PerfectBind RNA column tersebut dipasangkan dengan tabung 1.5 ml dan sebanyak 30 – 50 µl air bebas nuklease ditambahkan langsung pada matriks, diinkubasi 1 menit, dan disentrifugasi selama 1 menit pada 6 000 × g untuk mengelusi RNA. Kemurnian RNA ditentukan dengan mengukur rasio A260/A280 dengan spektofotometer UV. RNA yang diperoleh diberi perlakuan dengan DNAse I, RNase free untuk mendegradasi DNA yang terdapat ekstrak RNA. Sintesis cDNA Sintesis cDNA menggunakan RevertAid First Strand cDNA Synthesis Kit dengan primer spesifik untuk gen sea dan gen penyandi 16S rRNA sebagai gen referensi (Tabel 5). Prosedur sintesis cDNA dilakukan sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada kit. Campuran reaksi terdiri atas 1 µg RNA total, 20 pmol setiap primer, dan air bebas nuklease hingga volume 12 µl. Campuran diinkubasi pada 65ºC selama 10 menit. Selanjutnya, ditambahkan 4 µl bufer reaksi 5x, 1 µl RiboLock RNase Inhibitor (20 u/µl), 2 µl dNTP 10 mM, dan RevertAid M-MuLV Reverse Transcriptase (200 u/µl). Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 42ºC selama 60 menit. Reaksi dihentikan melalui pemanasan pada 70ºC selama 5 menit. Real-time PCR (qPCR) Real-time PCR dilakukan menggunakan Swift Spectrum Themal Cycler 48. Campuran reaksi terdiri atas 1 μl cDNA (100 ng/µl) sebagai cetakan, 0.8 µl setiap primer (10 µM) (Tabel 5), 10 µl KAPA SYBR® FAST qPCR Kit Master Mix, dan air bebas nuklease hingga volume 20 µl. Kondisi PCR yang digunakan, yaitu pre-denaturasi selama 1 menit pada 95°C, 45 siklus amplifikasi (denaturasi 1 menit pada 95°C, annealing 1 menit pada 55°C, extention 1 menit pada 72°C), dan terminasi pada 72°C selama 5 menit. Pembacaan fluoresens dilakukan setelah setiap tahap extention dan dilanjutkan dengan analisis kurva pelelehan pada suhu 70 - 90°C dengan step temperature 0.5°C dan constant time 10 detik (Lee et al. 2007). Ekspresi gen sea dihitung relatif terhadap sampel kalibrator dan gen referensi (16S rRNA) dengan metode perbandingan CT (2∆∆ ) (Schmittgen dan Livak 2008).
19 Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengujian sebanyak 3 ulangan diolah secara statistik menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (taraf signifikansi 0.05). Jika hasil uji berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Software yang digunakan adalah IBM SPSS Statistics 16.0. Hasil dilaporkan sebagai nilai rata-rata ± standar deviasi (SD).
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya Ekstrak kasar alkaloid diperoleh dari daun pepaya yang telah dikeringkan. Daun pepaya segar dengan kadar air 78.17 ± 0.10% dikeringkan menggunakan oven vakum selama 22 jam hingga diperoleh kadar air daun kering, yaitu 12.06 ± 0.29%. Daun pepaya kering diblender hingga membentuk bubuk (Gambar 5). Rendemen daun pepaya kering adalah 20.62 ± 1.77%. Pada Nwofia et al. (2012), daun pepaya basah memiliki kadar air sebesar 81 – 85%. Perbedaan kadar air daun pepaya dapat terjadi karena adanya perbedaan jenis pepaya, musim, cuaca, dan kondisi tanah tempat penanaman pohon.
Gambar 5 Daun pepaya kering. Di dalam proses ekstraksi alkaloid, daun pepaya kering ditambahkan ke dalam larutan SDS 0.2% dan disonikasi sehingga diperoleh rendemen ekstrak yang baik, yaitu berkisar antara 0.48% – 1.82% per berat kering daun pepaya. Ekstrak kasar alkaloid diperoleh dari 7 kali proses ekstraksi yang berbeda. SDS merupakan surfaktan anionik yang memiliki sifat membasahi (wetting), solubilisasi, dispersi, dan emulsifikasi (Djilani et al. 2006). Sifat membasahi dari SDS dapat meningkatkan kemampuan dari air atau larutan untuk menggantikan udara pada permukaan zat cair atau padat. Hal ini akan meningkatkan kontak antara larutan dengan daun pepaya kering. Solubilisasi merupakan keadaan ketika suatu zat (gas, padat, cair) larut secara spontan melalui interaksi dengan misel dari surfaktan pada pelarut. Interaksi tersebut dapat menurunkan aktivitas termodinamika dari zat terlarut sehingga dapat meningkatkan kelarutan zat. Sifat solubilisasi surfaktan memungkinkan suatu zat dapat larut pada pelarut, yang pada umumnya zat tersebut tidak dapat larut (Rosen 2004). Surfaktan juga berperan di dalam proses dispersi padatan di dalam media cair. Larutan SDS akan membasahi daun pepaya kering dan memindahkan udara yang terdapat pada permukaan daun pepaya kering, memecah kelompok partikel, dan mencegah penyatuan kembali partikel yang telah terdispersi. Dengan demikian, partikel daun pepaya kering dapat terdispersi di dalam larutan dan tidak membentuk gumpalan. Selain itu, kemampuan SDS dalam emulsifikasi akan membentuk emulsi antara dua fase cair yang tidak dapat dicampur. Kemampuan SDS dalam membasahi, mendispersi, menyolubilisasi, dan mengemulsifikasi dapat meningkatkan kelarutan senyawa di dalam daun pepaya kering pada air. Proses sonikasi daun pepaya kering di dalam larutan SDS menghasilkan ekstrak berwarna hijau tua (Gambar 6a). Ekstrak dipisahkan dari residu daun
21 pepaya kering dengan penyaringan menggunakan kain saring dan kertas saring Whatman no. 1. Selanjutnya, pH dari ekstrak diturunkan menjadi 3-4 menggunakan larutan H2SO4. Perlakuan dengan larutan asam dapat mengekstrak alkaloid dari larutan SDS. Alkaloid akan bersatu dengan asam membentuk garam. Setelah penambahan larutan asam, warna larutan berubah dari hijau tua menjadi hijau kecoklatan (Gambar 6b). Setelah itu, reagen Mayer ditambahkan ke dalam larutan untuk mengendapkan alkaloid. Reagen Mayer terdiri atas merkuri klorida dan kalium iodida. Atom merkuri di dalam reagen ini akan membentuk pasangan ion dengan nitrogen yang terdapat pada alkaloid. Pasangan ion tersebut akan membentuk presipitat yang bersifat tidak larut. Larutan kemudian disentrifugasi untuk memisahkan endapan alkaloid dari larutan. Endapan alkaloid dilarutkan dengan larutan Na2CO3 untuk memberikan kondisi basa pada endapan yang bersifat asam. Kondisi basa ini akan mengubah alkaloid dari garam menjadi bentuk bebas. Larutan basa tersebut selanjutnya diekstraksi dengan kloroform. Proses ekstraksi dengan kloroform akan membentuk dua lapisan, yaitu lapisan air di atas dan lapisan organik di bawah (Gambar 6c).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6 Proses ekstraksi alkaloid: (a) setelah sonikasi dan penyaringan, (b) setelah penambahan larutan H2SO4, (c) lapisan yang terbentuk saat ekstraksi dengan kloroform, (d) ekstrak kasar alkaloid di dalam kloroform. Kloroform akan memisahkan alkaloid dari pengotor dan garam amonium, yang akan berada di lapisan air. Ekstrak kasar alkaloid di dalam larutan kloroform tersebut disaring dengan Na2SO4 untuk mengikat sisa air yang terbawa dan dikeringkan dengan evaporasi serta gas N2 untuk menguapkan kloroform (Xu dan Yang 2011). Rendemen ekstrak kasar alkaloid yang diperoleh pada penelitian ini (0.48 – 1.82%) lebih besar dibandingkan ekstrak kasar alkaloid yang diekstraksi dengan metode asam basa konvensional. Sudsai (2006) menggunakan metode asam basa konvensional untuk mengekstraksi alkaloid dari daun pepaya dan diperoleh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya sebesar 0.284%. Metode asam basa konvensional membutuhkan pelarut bersifat asam dan basa yang lebih banyak serta waktu ekstraksi yang lebih lama. Selain karena perbedaan jenis pepaya dan lingkungan tumbuh, penggunaan sonikasi dapat meningkatkan rendemen ekstrak. Di dalam proses ekstraksi dari material tanaman kering, material tanaman direndam di dalam pelarut yang akan memfasilitasi terjadinya proses pengembangan dan hidrasi. Selanjutnya, terjadi transfer massa senyawa yang
22 dapat larut, dari material tanaman ke dalam pelarut melalui proses difusi dan osmosis. Pada Ultrasonic Assisted Extraction (UAE), ultrasonik dapat memfasilitasi proses hidrasi dan pengembangan sehingga menyebabkan pembesaran pori pada dinding sel. Hal ini akan meningkatkan proses difusi dan transfer massa (Vinatoru 2001). UAE merupakan teknik ekstraksi yang mudah, efisien, dan tidak mahal. Gelombang ultrasonik (20 kHz – 100 MHz) melewati medium dengan membentuk tekanan dan ekspansi. Proses ini menghasilkan fenomena yang disebut peronggaan (cavitation), yaitu terjadinya produksi, pengembangan, dan pemecahan gelembung. Hanya material cair dan material cair dengan padatan yang memiliki efek peronggaan. Energi ultrasonik dapat memfasilitasi pelepasan komponen organik dan inorganik dari matriks tanaman. Gelombang ultrasonik dapat meningkatkan transfer massa dan mempercepat akses pelarut menuju material sel pada bagian tanaman. Mekanisme ekstraksi oleh gelombang ultrasonik melibatkan 2 tipe fenomena fisik, yaitu proses difusi melewati dinding sel dan pelepasan isi sel setelah dinding mengalami kerusakan (Azmir et al. 2013). UAE dapat memberikan beberapa keuntungan, seperti mempersingkat waktu ekstraksi serta mengurangi penggunaan energi dan pelarut. Selain itu, penggunaan UAE dapat meningkatkan jumlah ekstrak yang dihasilkan. Djilani et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan UAE dan larutan SDS dapat peningkatkan jumlah total alkaloid yang diekstraksi dari daun Ruta graveolens and Hyoscyamus muticus, dibandingkan dengan metode konvensional (dengan pelarut) atau dengan menggunakan soxhlet.
Isolat S. aureus Penghasil SEA Isolat Terduga S. aureus dari Pangan Isolat dengan bentuk koloni tipikal S. aureus pada media BPA hanya ditemukan pada sampel sate jeroan, telur balado, tumis usus, dan susu sapi mentah, sedangkan pada sampel ayam suwir dan bakso, ciri-ciri koloni sulit untuk diamati. Terdapat 66 isolat terduga S. aureus pada media BPA. Akan tetapi, hanya 62 isolat yang dapat tumbuh dan menunjukkan ciri koloni S. aureus pada media MSA. BPA dengan kuning telur dan telurit merupakan media yang mengandung karbon dan nitrogen sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan. Glisin, litium klorida, dan kalium telurit merupakan agen selektif yang akan menghambat pertumbuhan berbagai bakteri pada pangan, tanpa menghambat pertumbuhan S. aureus. S. aureus memiliki kemampuan dalam mereduksi telurit menjadi telurium. Hal ini menyebabkan koloni S. aureus memiliki warna abu-abu hingga hitam pada media ini. Kemampuan S. aureus dalam menghasilkan lesitinase dapat memecah lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pemecahan lesitin ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni (Gambar 7a) (Capita et al. 2001). Media MSA merupakan media selektif diferensial yang mengandung 7.5% NaCl, manitol sebagai satu-satunya karbohidrat dalam media, pepton, dan merah fenol sebagai indikator perubahan pH. NaCl 7.5% akan menghambat pertumbuhan berbagai bakteri Gram positif maupun negatif. Staphylococci,
23 termasuk S. aureus dapat tumbuh pada kadar NaCl 7.5%. S. aureus juga mampu memfermentasikan manitol dan menghasilkan asam. Kondisi asam akan mengubah merah fenol pada media dari merah menjadi kuning (Gambar 7b) (Shields dan Tsang 2013). a
b
Gambar 7 Pertumbuhan S. aureus pada media (a) BPA-kuning telur telurit (b) MSA. Seluruh isolat dengan ciri koloni tipikal S. aureus pada media MSA kemudian diuji kemampuannya dalam memproduksi koagulase. Produksi koagulase merupakan salah satu uji yang digunakan untuk membedakan isolat S. aureus dari bakteri lain, termasuk dari staphylococci lain, seperti Staphylococcus epidermidis. S. aureus dapat memproduksi koagulase bebas maupun terikat. Kemampuan S. aureus dalam menghasilkan koagulase dapat diuji menggunakan Staphylase Test Kit. Reagen yang digunakan pada uji ini mengandung sel darah merah domba yang disensitisasi dengan fibrinogen kelinci. Semua isolat yanng diuji memberikan hasil positif koagulase. Bakteri yang mampu menghasilkan koagulase, seperti S. aureus dan isolat S1, akan membentuk aglutinasi saat direaksikan dengan reagen ini. Aglutinasi ditunjukkan dengan terbentuknya titiktitik berwarna coklat (Gambar 8). Berbeda dengan S. aureus, Escherichia coli adalah bakteri yang tidak mampu memproduksi koagulase sehingga tidak membentuk aglutinasi.
Gambar 8 Uji aktivitas koagulase isolat S. aureus. 1= S. aureus ATCC 25923, 2 = isolat S1, 3. Escherichia coli. Isolat klinis S. aureus dapat mensekresikan dua faktor penggumpalan (clotting factor), yaitu coagulase (Coa) dan von-Willebrand factor binding protein (vWbp). Coa dan vWbp dapat mengikat dan mengaktifkan protrombin, yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penggumpalan pada plasma atau darah (Cheng et al. 2010). Hasil Identifikasi Isolat Terduga S. aureus dengan Metode Konvensional Isolat dari pangan yang memiliki ciri positif S. aureus pada media BPA, MSA, dan memproduksi koagulase selanjutnya digunakan pada uji biokimia
24 menggunakan API Staph. Berdasarkan hasil API Staph, diperoleh 10 isolat positif S. aureus pada dengan nilai persentase yang berbeda-beda, yaitu 66.8%, 85%, dan 97.8% (Tabel 6). Perbedaan ini terjadi karena perbedaan kemampuan bakteri dalam menggunakan bahan atau substrat yang terdapat di dalam 20 lubang pada API Staph. Tabel 6 Hasil uji API Staph isolat S. aureus dari pangan No.
Isolat
Sumber pangan
API Staph
1
S1
susu sapi mentah
85% positif S. aureus
2
S4
susu sapi mentah
97.8 % positif S. aureus
3
S10
susu sapi mentah
97.8 % positif S. aureus
4
TB1
telur balado
85% positif S. aureus
5
TB10
telur balado
97.8 % positif S. aureus
6
UA1
tumis usus
85% positif S. aureus
7
UA2
tumis usus
97.8 % positif S. aureus
8
UA13
tumis usus
97.8 % positif S. aureus
9
SJ1
sate jeroan
66.8 % positif S. aureus
10
SJ4
sate jeroan
97.8 % positif S. aureus
Isolat SJ1 memiliki persentase positif S. aureus sebesar 66.8%. Isolat SJ1 tidak mampu mengubah piruvat menjadi asetoin pada uji Voges Proskauer (VP). Tujuh puluh delapan persen S. aureus dapat mengubah piruvat menjadi asetoin (Biomerieux 2009). Asetoin akan bereaksi dengan alfa-naftol dan KOH, yang terdapat pada reagen VP, membentuk warna merah violet. Bakteri yang tidak mampu mengubah piruvat menjadi asetoin tidak akan membentuk warna hingga membentuk warna merah muda setelah penambahan reagen VP (Gambar 9b). Isolat S1, TB1, dan UA1 memiliki persentase positif S. aureus sebesar 85%. Isolat-isolat tersebut menunjukkan hasil negatif pada uji VP dan urea. Pada uji urea, sebanyak 80% S. aureus mampu menghasilkan urease sehingga akan membentuk warna merah violet pada uji API (Biomerieux 2009). Di sisi lain, isolat S1, TB1, dan UA1 menunjukkan warna kuning pada uji urea (Gambar 9c). Isolat S4, S10, TB10, UA2, UA13, dan SJ4 memiliki persentase 97.8% positif S. aureus. Isolat ini menunjukkan hasil persentase yang sama dengan persentase S. aureus ATCC 25923 pada uji API (Gambar 9d).
Gambar 9 Uji API Staph (a) awal, setelah inkubasi 18-24 jam (b) isolat 66.8% positif S. aureus, (c) 85% positif S. aureus, dan (d) 97.8% positif S. aureus.
25 Hasil Identifikasi Isolat Terduga S. aureus dengan PCR Isolat DNA Isolat DNA yang diperoleh divisualisasikan dengan elektroforesis pada gel agarosa 1.5%, dengan voltase 120 V, selama 45 menit. Pada hasil isolasi DNA genom S. aureus, diperoleh 3 pita DNA, yaitu pita yang terdapat di antara marker 1200 bp dan 1500 bp, di antara marker 2000 bp dan 3000 bp, serta di atas marker 3000 bp (Gambar 10).
Gambar 10 Contoh hasil elektroforesis isolat DNA genom S. aureus. M= marker 100 bp plus DNA ladder, 1= S. aureus ATCC 25293, 2= Isolat UA1. Genom S. aureus memiliki ukuran yang besar, yaitu berkisar antara 2.74 Mbp hingga 2.94 Mbp (Suzuki et al. 2012). Pita yang berada di atas pita marker berukuran 3000 bp menunjukkan DNA kromosom, sedangkan kedua pita lainnya menunjukkan keberadaan DNA plasmid. Pyzik dan Marek (2013) melakukan analisis profil plasmid pada isolat S. aureus yang diisolasi dari telur. Isolat S. aureus tersebut memiliki plasmid dengan ukuran kecil, yaitu antara 2.5 kbp hingga 5.6 kbp. Konsentrasi dan kemurnian DNA ditentukan melalui nilai absorbansi yang diperoleh pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. Kemurnian isolat DNA berkisar antara 1.7 – 3.7, sedangkan konsentrasi DNA berkisar antara 1237.5 – 4600 ng/µl (Tabel 7). Isolat UA1 dan UA13 memiliki kemurnian DNA yang baik, yaitu memiliki nilai rasio A260/A280 di antara 1.8 – 2.0. Isolat DNA dengan nilai rasio A260/A280 di bawah 1.8 mengindikasikan kontaminasi protein, sedangkan nilai rasio lebih besar dari 2.0 menunjukkan keberadaan RNA yang ikut terekstrak (Moore et al. 2004). Sebagian besar isolat DNA yang diperoleh memiliki nilai rasio lebih besar dari 2.0. Hal ini terjadi karena dalam proses isolasi DNA tidak digunakan RNase yang dapat mendegradasi RNA. Walaupun memiliki kemurnian yang kurang baik, isolat DNA yang diperoleh dapat digunakan sebagai cetakan dalam PCR dengan hasil elektroforesis yang mampu mendeteksi keberadaan gen penyandi 16S rRNA dan sea serta membedakan antara isolat yang memiliki atau tidak memiliki gen sea.
26 Tabel 7 Konsentrasi dan kemurnian isolat DNA No
Isolat
A260/280
Konsentrasi (ng/µl)
1
S1
3.7
1387.5
2
S4
2.9
1662.5
3
S10
3.7
1375
4
TB1
1.7
4600
5
TB10
3.2
1575
6
UA1
1.9
1487.5
7
UA2
3.5
1500
8
UA13
1.8
1450
9
SJ1
2.2
1237.5
10
SJ4
3.4
1525
Sekuen Gen Penyandi 16S rRNA Isolat S. aureus Hasil elektroforesis produk PCR gen penyandi 16S rRNA dengan primer 16sF dan 16sR3 menunjukkan bahwa sama seperti S. aureus ATCC 25923, kesepuluh isolat S. aureus dari pangan menghasilkan amplikon dengan ukuran 240 bp (Gambar 11).
240 bp
Gambar 11 Hasil elektroforesis produk PCR gen penyandi 16S rRNA. M= 100 bp plus DNA ladder, 1= S. aureus ATCC 25923, 2= S1, 3= UA1, 4= TB1, 5= SJ1, 6= UA13, 7= S10, 8= S4, 9= SJ4, 10= UA2, 11= TB10. Dari hasil sekuensing dapat diketahui sekuen dari gen penyandi 16S rRNA yang dimiliki isolat S. aureus (Lampiran 1). Dengan mengetahui sekuen isolatisolat tersebut, dapat dilakukan analisis bioinformatika dengan BLAST. Dengan demikian, dapat diketahui sekuen bakteri yang mirip dengan sekuen isolat-isolat tersebut. Semua isolat yang disekuensing memiliki sekuen gen penyandi 16S rRNA yang mirip dengan sekuen genom S. aureus subsp. aureus ST288 yang berukuran 2759510 bp (Tabel 8).
27 Tabel 8 Hasil analisis sekuen penyandi gen 16S rRNA isolat S. aureus dengan program BLAST Isolat
Ukuran sekuen (bp)
S1
215
S4
217
S10
215
TB1
212
UA1
213
UA2
217
UA13
212
SJ1
210
SJ4
216
Sekuen bakteri yang mirip
E value
Identities (%)
genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 genom Staphylococcus aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338
2 x 10-101
99
2 x 10-101
99
6 x 10-102
99
1 x 10-98
99
4 x 10-99
99
2 x 10-101
99
1 x 10-98
99
2 x 10-97
99
9 x 10-100
99
Berdasarkan basis data genom S. aureus subsp. aureus ST288, isolat 10338 (GenBank: HE579059.1), bakteri ini memiliki gen penyandi SEA berukuran 774 bp, yaitu pada basa ke-1988966 hingga basa ke-1989739 (NCBI 2013). Hal ini mengonfirmasikan hasil identifikasi isolat terduga S. aureus dengan menggunakan API Staph. Identifikasi isolat terduga dengan metode konvensional dan PCR menunjukkan bahwa semua isolat yang diperoleh ialah S. aureus. Amplikon Gen sea Penggunaan primer SEA1 dan SEA2 akan mengamplifikasi gen sea sehingga menghasilkan amplikon berukuran 120 bp. Amplikon berukuran 120 bp tersebut akan berada di antara marker berukuran 100 bp dan 200 bp. Bakteri yang tidak memiliki gen sea, tidak akan menghasilkan amplikon tersebut. Hasil elektroforesis produk PCR menunjukkan bahwa isolat S1, S4, S10, TB1, UA1, UA2, UA13, SJ1, dan SJ4 memiliki gen sea (Gambar 12). Keberadaan gen ini menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut dapat memproduksi SEA. Di sisi lain, isolat TB10 tidak memiliki gen sea seperti S. aureus ATCC 25923 yang tidak memiliki gen sea sehingga tidak memproduksi SEA. Hal ini mengonfirmasikan bahwa S. aureus ATCC 25923 memang tidak menghasilkan SEA. Primer SEA1 dan SEA2 juga digunakan oleh beberapa peneliti lain untuk mendeteksi keberadaan gen sea pada isolat S. aureus yang diperoleh dari sampel pangan. Alaboudi et al. (2012) melakukan isolasi dan deteksi gen toksin pada S. aureus yang berasal dari usab hidung dan karkas daging unta di Yordania. Pada studi tersebut, sebanyak 91.3% isolat S. aureus terdeteksi memiliki gen sea.
28
120 bp
Gambar 12 Hasil elektroforesis produk PCR gen sea. M= 100 bp plus DNA ladder, 1= S. aureus ATCC 25923, 2= S1, 3= UA1,4= TB1, 5= SJ1, 6= UA13, 7= S10, 8= S4, 9= SJ4, 10= UA2, 11= TB10. Rall et al. (2008) mendeteksi gen toksin pada isolat S. aureus yang berasal dari susu mentah dan susu pasteurisasi menggunakan teknik PCR. Di antara gen yang menyandikan enterotoksin klasik (SEA-SEE), gen sea merupakan gen toksin yang paling banyak ditemukan pada isolat dari susu tersebut. Sebanyak 41% isolat memiliki gen sea, diikuti oleh gen sec (20.5%), sed (3.7%), seb (7.7%), dan see (5.1%). Selain terdapat pada bahan pangan, S. aureus pembawa gen sea juga ditemukan pada tangan dan rongga hidung dari para pengolah makanan. Rall et al. (2010) melakukan deteksi gen enterotoksin pada isolat S. aureus yang berasal dari rongga hidung dan tangan pengolah makanan yang bekerja di dapur industri kota Botucatu, Brasil. Deteksi dilakukan dengan teknik PCR dan menggunakan primer SEA1 dan SEA2. Sebanyak 17 isolat S. aureus diperoleh dan 9 isolat (69.2%) diantaranya positif memiliki gen sea, diikuti oleh gen see (40.8%), gen sec (23.1%), dan seb (7.7%).
Konsentrasi Hambat Minimum Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap S. aureus Ekstrak kasar alkaloid pada setiap konsentrasi menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap S. aureus SJ1, sedangkan DMSO sebagai pelarut ekstrak tidak memiliki aktivitas penghambatan (Gambar 13). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin besar diameter zona hambat yang dihasilkan. Secara statistik, diameter zona penghambatan yang dihasilkan oleh ekstrak kasar alkaloid konsentrasi 10 mg/ml tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 8 mg/ml (Lampiran 2). Alkaloid dengan konsentrasi 1 mg/ml masih memberikan zona penghambatan berdiameter 4.16 ± 0.34 (Gambar 14). Dengan demikian, alkaloid dengan kisaran konsentrasi 1 mg/ml digunakan dalam penentuan nilai KHM.
29
10 mg/ml
4 mg/ml
8 mg/ml
2 mg/ml
DMSO
6 mg/ml
Diamater zona penghambatan (mm)
Gambar 13 Zona penghambatan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap S. aureus SJ1.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7.85b
8.84a
9.49a
6.21c 5.18d 4.16e
0.00f 1
2
4
6
8
10
DMSO
Konsentrasi ekstrak kasar alkaloid (mg/ml)
Gambar 14 Diameter zona hambat ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap S. aureus SJ1.Nilai dengan huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (P < 0.05). Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada konsentrasi 10 mg/ml memberikan zona penghambatan yang lebih kecil dibandingkan dengan zona hambat ekstrak etanol daun pepaya. Pada konsentrasi 10 mg/ml, ekstrak etanol tersebut membentuk 15 mm zona hambat terhadap S. aureus (Rahman et al. 2011). Hal ini dapat terjadi karena ekstrak etanol daun pepaya mengandung berbagai komponen fitokimia yang dapat bekerja sama dan memberikan aktivitas antibakterial yang lebih besar terhadap S. aureus. Cowan (1999) melaporkan bahwa etanol dapat digunakan untuk mengekstrak tanin, polifenol, poliasetilena, flavonol, terpenoid, sterol, alkaloid, and propolis. Di sisi lain, ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada konsentrasi 10 mg/ml memiliki aktivitas antibakterial yang lebih kuat dibandingkan ekstrak air dan metanol dari daun Chelidonium majus terhadap S. aureus. Ekstrak air dan metanol pada konsentrasi 100 mg/ml, secara berurutan, membentuk 12 ± 0.81 dan 10 ± 0.81 mm zona hambat (Cruz-Galvez et al. 2013). Nilai KHM ditentukan menggunakan metode pengenceran makro. Pada metode ini, ekstrak kasar alkaloid daun pepaya digunakan dalam berbagai konsentrasi, yaitu konsentrasi dengan seri pengenceran 2 kali. Konsentrasi yang diujikan adalah 1 mg/ml, 0.5 mg/ml, 0.25 mg/ml, dan 0.125 mg/ml. Penambahan ekstrak kasar alkaloid, pada konsentrasi 0.25 mg/ml, 0.5 mg/ml, dan 1 mg/ml
30
Jumlah bakteri (log CFU/ml)
dapat menghambat pertumbuhan S. aureus SJ1 (Gambar 15). Pada kontrol tanpa penambahan ekstrak kasar alkaloid, jumlah bakteri mengalami kenaikan dari 4.65 menjadi 9.21 log CFU/ml setelah inkubasi selama 24 jam. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9.21
8.40
3.67 1.88 1.50
0
0.125
0.25
0.5
1
Konsentrasi ekstrak kasar alkaloid (mg/ml)
Gambar 15 Kemampuan penghambatan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada berbagai konsentrasi, dengan uji pengenceran makro setelah inkubasi 24 jam, terhadap pertumbuhan S. aureus SJ1 dengan jumlah awal inokulum 4.65 log CFU/ml. Nilai KHM90 dari ekstrak kasar alkaloid daun pepaya terhadap S. aureus SJ1 adalah 0.25 mg/ml. Ekstrak kasar alkaloid pada konsentrasi 0.25 mg/ml mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 1 log CFU/ml (90%), yaitu dari 4.65 menjadi 3.67 (Gambar 15). Nilai KHM ekstrak kasar alkaloid daun pepaya lebih kecil dibandingkan dengan nilai KHM ekstrak etanol daun pepaya, yaitu 1.25 mg/ml (Rahman et al. 2011) dan KHM ekstrak air panas daun pepaya (1.2 mg/ml) (Anibijuwon dan Udeze 2009). Dibandingkan dengan ekstrak kasar alkaloid dari daun lain, KHM ekstrak alkaloid daun pepaya lebih kecil dibandingkan dengan KHM ekstrak alkaloid daun Tribulus terrestris L. T. terrestris banyak digunakan dalam pengobatan tradisional di India untuk mengobati hipertensi dan hiperkolesterolemia. Tanaman ini juga memiliki aktivitas antimikroba dan antihelmintik. Nilai KHM ekstrak alkaloid T. terrestris terhadap S. aureus adalah 0.625 mg/ml (Jindal et al. 2013). Di sisi lain, KHM ekstrak kasar alkaloid daun pepaya lebih besar dibandingkan dengan KHM ekstrak alkaloid daun Aconitum elwesii dan Sida acuta Burm. f. KHM ekstrak alkaloid daun A. elwesii adalah 0.094 mg/ml, sedangkan ekstrak alkaloid daun S. acuta Burm. f. memiliki KHM 0.078 mg/ml terhadap S. aureus. Kedua tanaman tersebut merupakan tanaman yang digunakan dalam pengobatan tradisional. Aconitum spp. digunakan untuk mengobati demam, inflamasi, gangguan pencernaan, batuk, dan asma. S. acuta Burm. f. dimanfaatkan untuk mengobati demam, bronkitis, diare, disentri, dan penyakit kulit (Jindal dan Kumar 2012; Sinam et al. 2013).
31 Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Jumlah Bakteri S. aureus dan Ekspresi Gen sea
Jumlah bakteri (log CFU/ml)
Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid terhadap Jumlah Bakteri S. aureus Pemaparan S. aureus SJ1 dengan konsentrasi 0, 1, dan 2 KHM selama 2 jam menghasilkan jumlah sel bakteri yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Gambar 16). Pada pemaparan dengan 0 mg/ml ekstrak kasar alkaloid, jumlah bakteri mengalami kenaikan 1.09 log CFU/ml, sedangkan pada konsentrasi 0.25 mg/ml dan 0.5 mg/ml, jumlah bakteri hanya mengalami sedikit kenaikan, yaitu 0.42 log CFU/ml dan 0.21 log CFU/ml. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan, semakin kecil kenaikan jumlah bakteri setelah 2 jam waktu inkubasi. Berdasarkan perbandingan dengan pertumbuhan kontrol (0 KHM), ekstrak kasar alkaloid konsentrasi 0.25 mg/ml dapat menghambat 61% pertumbuhan dan pada konsentrasi 0.5 mg/ml mampu menghambat 81% pertumbuhan. Konate et al. (2012) dan Luo et al. (2013) juga menemukan terjadinya penurunan jumlah sel S. aureus yang diberi perlakuan dengan alkaloid. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7.02 5.94
5.93
0
6.37
0.25
5.80 6.01
0.5
Konsentrasi ekstrak kasar alkaloid (mg/ml)
Gambar 16 Pengaruh ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada 0, 1, dan 2 KHM terhadap pertumbuhan S. aureus SJ1. 0 jam, 2 jam. Konate et al. (2012) menguji aktivitas antibakterial ekstrak alkaloid dari Cienfuegosia digitata Cav. terhadap methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Pemaparan MRSA dengan ekstrak alkaloid C. digitata Cav. selama 6 jam dapat membunuh bakteri tersebut, yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan pada media cawan. Luo et al. (2013) melakukan pengujian aktivitas berbagai alkaloid berberine terhadap MRSA dengan menggunakan tikus sebagai hewan model. Tikus dengan defisiensi sistem imun diinfeksikan dengan suspensi MRSA serta diberikan berbagai alkaloid berberine secara oral. Pada hari ke-16 setelah infeksi, organ dari tikus dihomogenisasi dengan garam fisiologis, diencerkan, dan disebar pada agar cawan serta dilakukan perhitungan jumlah koloni. Kombinasi optimum alkaloid berberine, coptisine, jatrorrhizine, palamtine, dan epiberberine dapat mereduksi jumlah MRSA dibandingkan dengan kontrol tanpa alkaloid, yaitu dari 8.1 menjadi 4.3 log CFU/g pada organ ginjal, 4.7
32 menjadi 2.6 log CFU/g pada organ paru-paru, serta dari 2.8 menjadi 1.8 log CFU/g pada organ otak. Kemurnian Isolat RNA Isolat RNA yang baik memiliki nilai rasio A260/A280 ~ 2.0 (Barbas et al. 2007). Pada penelitian ini, isolat RNA yang diperoleh memiliki rasio A260/A280 di atas 2.0. Isolat RNA S. aureus yang tidak dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid memiliki nilai rasio A260/A280 yang baik, yaitu 2.1. Akan tetapi, isolat RNA yang telah dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid pada 1 dan 2 kali KHM memiliki nilai rasio A260/A280 yang lebih besar, yaitu 4.5 dan 3.3. Walaupun demikian, rasio absorbansi pada 260 dan 280 nm di atas 1.8 biasanya dianggap sebagai indikator kemurnian RNA yang dapat diterima (Elaume dan Jabbouri 2004; Imbeaud et al. 2005). Rasio A260/A280 di atas 1.8 mengindikasikan jumlah protein pada suspensi isolat RNA yang cukup rendah. Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid terhadap Ekspresi Gen sea Walaupun pemaparan dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya hingga konsentrasi 0.5 mg/ml selama 2 jam menghasilkan sedikit kenaikan jumlah sel, ekstrak kasar alkaloid pada konsentrasi tersebut dapat menyebabkan penurunan ekspresi relatif gen sea. Pemaparan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya menyebabkan peningkatan nilai CT dari gen sea. Nilai CT gen sea dengan adanya pemaparan dengan ekstrak kasar alkaloid berbeda nyata dengan nilai C T gen sea tanpa pemaparan alkaloid (Lampiran 3). Akan tetapi, pemaparan ini tidak mempengaruhi nilai CT dari gen penyandi 16S rRNA (Tabel 9). Nilai CT berbanding terbalik dengan jumlah kopi dari DNA cetakan. Semakin tinggi jumlah awal DNA, semakin rendah nilai CT. Nilai CT gen penyandi 16S rRNA yang relatif konstan ini mengonfirmasikan terjadinya sedikit peningkatan jumlah sel S. aureus. Gen penyandi 16S rRNA merupakan gen housekeeping yang selalu diekspresikan. Gen ini menyandikan 16 ribosomal RNA, yang merupakan komponen dari subunit 30S ribosom prokatiotik. 16S rRNA diperlukan oleh sel, selalu diproduksi pada berbagai kondisi, serta terlibat di dalam metabolisme protein. Gen ini digunakan sebagai standar atau kontrol internal di dalam qPCR dan dapat berperan sebagai penanda jumlah sel di dalam sampel (Vandecasteele et al. 2001). Amplifikasi gen sea pada 0 mg/ml ekstrak kasar alkaloid membutuhkan 17.38 siklus sehingga sinyal fluoresens yang dihasilkan dapat melewati nilai threshold (Tabel 9). Akan tetapi, pemaparan dengan 0.25 dan 0.5 mg/ml ekstrak kasar alkaloid menyebabkan amplifikasi gen sea membutuhkan siklus yang lebih banyak untuk melewati nilai threshold. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan jumlah cDNA sea awal, yang berarti lebih sedikit mRNA yang disintesis dari gen sea. Lee et al. (2007) mempelajari ekspresi gen enterotoksin dari isolat S. aureus asal pangan dengan teknik qRT-PCR menggunakan SYBR green. Tingkat ekspresi gen yang diperoleh bervariasi, bergantung pada spesies dan gen enterotoksin. Duquenne et al. (2010) juga menggunakan qRT-PCR dengan SYBR green untuk mempelajari ekspresi dari gen sea dan sed selama proses pembuatan keju. Ekspresi gen sea tidak mengalami perubahan yang berarti dalam 72 jam pertama waktu pembuatan keju, sedangkan ekspresi gen sed mengalami penurunan. Perbedaan tingkat ekspresi ini terjadi karena adanya interaksi antara S.
33 aureus dan Lactococcus lactis pada keju serta karena adanya perbedaan pengaturan dalam proses pembentukan SEA dan SED. Berbagai metode dapat digunakan untuk menganalisis data ekspresi relatif gen. Salah satunya adalah dengan menggunakan metode perbandingan CT atau metode 2ି∆∆ . Pada penelitian ini, nilai ekspresi relatif dari gen sea merupakan nilai 2ି∆∆ , yaitu dengan nilai ∆∆CT diperoleh dari selisih antara ∆CT gen sea dengan gen 16S rRNA bakteri yang mengalami pemaparan 0.25 mg/ml atau 0.5 mg/ml ekstrak kasar alkaloid dengan ∆CT gen sea dengan gen 16S rRNA bakteri tanpa pemaparan (0 mg/ml). S. aureus dengan 0 mg/ml ekstrak kasar alkaloid memiliki nilai ekspresi relatif 1, sedangkan S. aureus dengan pemaparan 0.25 mg/ml dan 0.5 mg/ml ekstrak kasar alkaloid memiliki nilai ekspresi relatif yang lebih rendah, yaitu 0.035 dan 0.025 (Tabel 9). Nilai ekspresi relatif tersebut menunjukkan bahwa ekspresi gen sea mengalami penurunan 28.5 (1/0.035) kali berkaitan dengan pemaparan 0.25 mg/ml ekstrak kasar alkaloid daun pepaya. Ekspresi gen sea pada S. aureus dengan konsentrasi pemaparan 0.5 mg/ml mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu 40.7 (1/0.025) kali. Tabel 9 Nilai ekspresi relatif gen sea dengan metode 2ି∆∆ Konsentrasi CT gen penyandi CT gen sea* ekstrak kasar ∆CT 16s rRNA* alkaloid (mg/ml) 0 17.38 ± 0.28b 15.26 ± 0.41c 2.12 a 0.25 22.58 ± 1.07 15.63 ± 0.17c 6.95 0.5 23.15 ± 0.62a 15.69 ± 0.58c 7.47 * Nilai dengan huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (P < 0.05).
∆∆CT
ି∆∆ࢀ
0 4.83 5.35
1.000 0.035 0.025
SYBR green sebagai molekul reporter fluoresens di dalam qPCR dan analisis dengan metode perbandingan CT juga digunakan oleh Qiu et al. (2010) dan Azizkhani et al. (2013) untuk mengukur ekspresi dari enterotoksin dan hemolisin dari S. aureus. Qiu et al. (2010) mempelajari pengaruh thymol, suatu senyawa fenol monoterpen, terhadap sekresi α-hemolisin, SEA, dan SEB S. aureus. Bakteri S. aureus dengan konsentrasi 109 CFU/ml dipaparkan dengan thymol pada konsentrasi 64 µg/ml selama 4 jam pada suhu 37°C. Pemaparan tersebut menyebabkan penurunan ekspresi gen penyandi hemolisin, SEA, dan SEB sebesar 10.2, 8.6, dan 5.2 kali. Di sisi lain, Azizkhani et al. (2013) mempelajari efek minyak esensial dari Zataria multiflora Boiss. terhadap ekspresi SEA, SEC, dan SEE pada S. aureus. Minyak esensial dari tanaman tersebut mengandung senyawa fenol, carvacrol, sebagai penyusun utamanya. Setelah pemaparan pada suhu 35°C selama 72 jam, minyak esensial Z. multiflora Boiss. pada konsentrasi 0.023 % (v/v) dapat menurunkan ekspresi gen penyandi SEA, SEC, dan SEE sebesar 13.9, 11.21, dan 12.44 kali. Gen sea membentuk puncak kurva pelelehan pada suhu 76°C, sedangkan gen penyandi 16S rRNA pada suhu 84°C (Gambar 17). Berdasarkan hasil analisis kurva pelelehan tersebut, tidak terdapat produk kontaminan di dalam reaksi. Analisis kurva pelelehan penting dilakukan pada penggunaan SYBR green sebagai molekul fluoresens di dalam qPCR karena SYBR green dapat mendeteksi semua DNA utas ganda, termasuk primer dimer, DNA kontaminan, dan produk PCR dari primer yang salah menempel. DNA kontaminan atau primer dimer ditunjukkan dengan terbentuknya puncak (peak) tambahan selain puncak
34 amplikon yang diinginkan (Azizkhani et al. 2013). Beberapa penelitian lain menggunakan probe fluoresens untuk meminimalkan terdeteksinya DNA utas ganda lain, selain DNA target, sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih spesifik (Artin et al. 2008; Marta 2011; Cao et al. 2012).
Gambar 17 Kurva pelelehan gen sea dan gen penyandi 16S rRNA S. aureus SJ1. Secara kualitatif, penurunan jumlah awal cDNA sea dapat dilihat pada hasil elektroforesis produk qPCR gen sea. S. aureus yang dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid menghasilkan pita DNA berukuran 120 bp yang lebih tipis (Gambar 18).
120 bp
Gambar 18 Hasil elektoforesis produk qPCR gen sea S. aureus SJ1 yang dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada konsentrasi (1) 0 mg/ml, (2) 0.25 mg/ml, dan (3) 0.5 mg/ml. M= 100 bp plus DNA ladder. Berdasarkan hasil yang diperoleh, alkaloid pada daun pepaya, yang termasuk dalam golongan piperidin, memiliki aktivitas pernghambatan terhadap produksi enterotoksin. Alkaloid piperidin yang berasal dari Lobelia bridgesii Hook et Arn dan Lobelia tupa L memiliki kemampuan dalam mengikat DNA. Kedua piperidin alkaloid tersebut, yaitu norlobelanidin dan norlelobanidin, pada konsentrasi 0.5 mg/ml memiliki persentase aktivitas pengikatan terhadap DNA sebesar 79% dan 71%. Akan tetapi, alkaloid norlobelanidin pada konsentrasi mencapai 200 µg/ml tidak mengubah biosintesis DNA, RNA, atau protein pada sel L 1210 (Marambio et al. 1999).
35 Alkaloid piperidin yang berasal dari Cassia leptophylla, yaitu (-)-spectaline, (-)-spectalinine, dan canavaline menunjukkan aktivitas dalam memodifikasi DNA khamir (Bolzani et al. 1995). Aktivitas induksi kerusakan DNA juga ditemukan pada sel yang dipaparkan dengan pseudodistomins B-F. Pseudodistomins B-F merupakan alkaloid piperidin yang terdapat pada Pseudodistoma megalarva (Freyer et al. 1997).
36
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya dengan metode UAE memiliki rendemen 0.48% – 1.82% per berat kering daun pepaya. Isolat S. aureus penghasil SEA diperoleh dari beberapa pangan, yaitu susu sapi mentah, telur balado, tumis usus ayam, dan sate jeroan. Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dengan nilai KHM 0.25 mg/ml. Pemaparan S. aureus dengan ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada konsentrasi 1 dan 2 KHM mampu menghambat 61% dan 81% pertumbuhan bakteri serta ekspresi gen sea. Ekspresi gen sea mengalami penurunan 28.5 dan 40.7 kali dengan perlakuan 1 dan 2 KHM. Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri tetapi juga menghambat ekspresi SEA. Ekstrak kasar alkaloid daun pepaya berpotensi sebagai pengawet pangan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan pembentukan toksin pada bahan pangan.
Saran Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah dapat dilakukan pengujian aktivitas alkaloid dari daun pepaya dengan menggunakan ekstrak alkaloid yang lebih murni atau dengan isolat alkaloid tertentu yang terdapat pada daun pepaya. Selain itu, di dalam pengukuran ekspresi gen menggunakan qPCR, dapat digunakan probe fluoresens sebagai pengganti SYBR green sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih spesifik.
37
DAFTAR PUSTAKA Abdalla HO, Ali NAA, Siddig FS, Ali SAM. 2012. Improving tenderness of spent layer hens meat using papaya leaves (Carica papaya). Pak Vet J 33(1): 73-76. Alabi OA, Haruna MT, Anokwuru CP, Jegede T, Abia H, Okegbe VU, Esan BE. 2012. Comparative studies on antimicrobial properties of extracts of fresh and dried leaves of Carica papaya (L) on clinical bacterial and fungal isolates. Adv Appl Sci Res 3(5): 3107-3114. Alaboudi AR, Jaradat ZW, Shatnawi MM. 2012. Biotypes and enterotoxigenicity of staphylococci isolated from camel’s meat in Jordan. Br Microbiol Res J 2(1): 23-35. Alarcon B, Vicedo B, Aznar R. 2006. PCR-based procedures for detection and quantification of Staphylococcus aureus and their application in food. J Appl Microbiol 100: 352-364.doi:10.1111/j.1365-2672.2005.02768.x. Andrews JM. 2005. BSAC standardized disc susceptibility testing method (version 4). J Antimicrob Chemother 56: 60-76.doi:10.1093/jac/dki124. Anibijuwon II, Udeze AO. 2009. Antimicrobial activity of Carica papaya (pawpaw leaf) on some pathogenic organism of clinical origin from SouthWestern Nigeria. Ethnobotani Leaf 13: 850-864. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemists International. Washington DC (US): AOAC. Artin I, Carter AT, Holst E, Lovenklev M, Mason DR, Peck MW, Radstrom. 2008. Effects of carbon dioxide on neurotoxin gene expression in nonproteolytic Clostridium botulinum type E. Appl Environ Microbiol 74(8): 2391.doi: 10.1128/AEM.02587-07. Azizkhani M, Misaghi A, Basti AA, Gandomi H, Hosseini H. 2013. Effects of Zataria multiflora Boiss. essential oil on growth and gene expression of enterotoxins A, C and E in Staphylococcus aureus ATCC 29213. Int J Food Microbiol 163: 159-165.doi:10.1016/j.ijfoodmicro.2013.02.020. Azmir J, Zaidul ISM, Rahman MM, Sharif KM, Mohamed A, Sahena F, Jahurul MHA, Ghafoor K, Norulaini NAN, Omar AKM. 2013. Techniques for extraction of bioactive compounds from plant materials: a review. J Food Eng 117: 426-436.doi: 10.1016/j.jfoodeng.2013.01.014. Balaban N, Rasooly A. 2000. Review staphylococcal enterotoxins [ulasan]. Int J Food Microbiol 61: 1-10. Barbas III CF, Burton DR, Scott JK, Silverman GJ. 2007. Quantitation of DNA and RNA. Cold Spring Harb Protoc. doi:10.1101/pdb.ip47. Baskaran C, Ratha bai V, Velu S, Kumaran K. 2012. The efficacy of Carica papaya leaf extract on some bacterial and a fungal strain by well diffusion method. Asian Pac J Trop Dis 2: S658-S662.doi: 10.1016/S22221808(12)60239-4. Bennet RW, Lancette GA. 2001. BAM: Staphylococcus aureus. [Internet]. [diunduh 2013 Mar 27]. Tersedia pada: http://www.fda.gov/Food/Food ScienceResearch/LaboratoryMethods/ucm071429.htm. Biomerieux. 2009. API Staph. Marcy-l'Etoile (FR): Biomerieux.
38 Bleve G, Rizzotti L, Dellaglio F, Torriani S. 2003. Development of reverse transcription (RT)-PCR and Real-Time RT-PCR assays for rapid detection and quantification of viable yeasts and molds contaminating yogurts and pasteurized food product. Appl Environ Microbiol 69(7): 4116-4122.doi: 10.1128/AEM.69.7.4116-4122.2003. Bolzani VS, Gunatilaka AAL, Kingston DGI. 1995. Bioactive and other piperidine alkaloids from Cassia leptophylla. Tetrahedron 52(21): 59295934.doi: 10.1016/0040-4020(95)00254-6. Borst DW, Betley MJ. 1994. Phage-associated differences in staphylococcal enterotoxin A gene (sea) expression correlate with sea allele class. Infect Immun 62(1):113. Burdick EM. 1971. Carpaine: an alkaloid of Carica papaya: its chemistry and pharmacology [ulasan]. Econ Bot 25(4): 363-365. Bustin SA. 2005a. Real-time PCR. Di dalam: Fuchs J, Podda M, editor. Encyclopedia of Diagnostic Genomics and Proteomics. New York (US): Marcel Dekker. hlm 1117-1125. Bustin SA. 2005b. Real-time reverse transcription PCR. Di dalam: Fuchs J, Podda M, editor. Encyclopedia of Diagnostic Genomics and Proteomics. New York (US): Marcel Dekker. hlm 1131-1135. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. Foodborne outbreak online database (FOOD). [Internet]. [diunduh 2013 Sep 13]. Tersedia pada: http://wwwn.cdc.gov/foodborneoutbreaks/Default.aspx. Cao R, Peng W, Wang Z, Xu A. 2007. β-carbolin alkaloids: biochemical and pharmacological functions. Curr Med Chem 14: 479-500. Cao R, Zeaki N, Wallin-Carlquist N, Skandamis PN, Schelin J, Radstrom P. 2012. Elevated enterotoxin A expression and formation in Staphylococcus aureus and its association with prophage induction. Appl Environ Microbiol 78(14): 4942.doi: 10.1128/AEM.00803-12. Capita R, Alonso-Calleja C, Moreno B, del Camino Garcia-Fernandez M. 2001. Assesment of Baird-Parker Agar as screening test for determination of Staphylococcus aureus in poultry meat. J Microbiol 39(4): 321-325. Caro Y, Villeneuve P, Pina M, Reynes M, Graille J. 2000. Investigation of crude latex from various Carica papaya varieties for lipid bioconversions. J Am Oil Chem Soc 77(8): 891-901. Cetin-Karaca H. 2011. Evaluation of natural antimicrobial phenolic compounds againts foodborne pathogens [tesis]. Kentucky (US): University of Kentucky. Cheng AG, McAdow M, Kim HK, Bae T, Missiakas DM, Schneewind. 2010. Contribution of coagulases towards Staphylococcus aureus disease and protective immunity. PLoS Pathog 6(8): 1-18.doi:10.1371/journal.ppat. 1001036 Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agent. Clin Microbiol Rev 12(4): 564-582. Cruz-Galvez AM, Gomez-Aldapa CA, Villagomez-Ibarra JR, ChavarriaHernandez N, Rodriguez-Banos J, Rangel-Vargas E, Castro-Rosas J. 2013. Antibacterial effect against foodborne bacteria of plants used in traditional medicine in central Mexico: studies in vitro and in raw beef. Food Control 32: 289-295.doi: 10.1016/j.foodcont.2012.12.018.
39 Derzelle S, Dilasser F, Duquenne M, Deperrois V. 2009. Differential temporal expression of the staphylococcal entertotoxins genes during cell growth. Food Microbiol 26: 896-904. doi:10.1016/j.fm.2009.06.007. Di Giannatale E, Prencipe V, Tonelli A, Marfoglia C, Migliorati. 2011. Characterisation of Staphylococcus aureus strains isolated from food for human consumption. Vet Ital 47(2): 165-173. Djilani A, Legseir B, Soulimani R, Dicko A, Younos C. 2006. New extraction technique for alkaloids. J Braz Chem Soc 17(3): 518-520. Duquenne M, Fleurot I, Aigle M, Darrigo C, Borezee-Durant E, Derzelle S, Bouix M, Deperrois-Lafarge V, Delacroix-Buchet A. 2010. Tool for quantification of staphylococcal enterotoxin gene expression in cheese. Appl Environ Microbiol 76(5): 1367-1374.doi:10.1128/AEM.01736-09. Ehsan BR, Vital A, Bipinraj NK. 2009. Antimicrobial activity of the ethanolic extract of Brynopsis laciniosa leaf, stem, fruit and seed [komunikasi singkat]. Afr J Biotechnol 8(15): 3565-3567. Elaume H, Jabbouri S. 2004. Comparison of two standardisation methods in realtime quantitative RT-PCR to follow Staphylococcus aureus genes expression during in vitro growth. J Microbiol Methods 59: 363-370. doi:10.1016/j.mimet.2004.07.015. Fazeli H, Salehi R. 2007. Antibiotic resistance pattern in shiga-toxin producing Escherichia coli isolated from diarrheal patients in Al-zahra Hospital, Isfahan, Iran. Res Pharm Sci 2: 29-33. [FDA] US Food and Drug Administration. 2012. Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic Microorganisms and Natural Toxin Handbook. Ed ke-2. New York (US): International Medical Publishing. Freyer AJ, Patil AD, Killmer L, Troupe N, Mentzer M, Carte B, Faucette L, Johnson RK. 1997. Three new pseudodistomins, piperidine alkaloids from the Ascidian Pseudodistoma megalarva. J Nat Prod 60(10): 986-990.doi: 10.1021/np9701438. Fujikawa H, Morozomi S. 2006. Modeling Staphylococcus aureus growth and enterotoxin production in milk. Food Microbiol 23: 260-267. doi:10.1016/j.fm.2005.04.005. Hesse M. 2002. Alkaloids: Nature’s Curse or Blessing? Weinheim (DE): J Wiley. Imbeaud S, Graudens E, Boulanger V, Barlet X, Zaborski P, Eveno E, Mueller O, Schroeder A, Auffray C. 2005. Towards standardization of RNA quality assessment using user-independent classifiers of microcapillary electrophoresis traces. Nuc Acid Res 33(6): e56.doi: 10.1093/nar/gni054. Jindal A, Kumar P. 2012. Antibacterial activity of Sida acuta Burm. f. against human pathogens. Asian J Pharm Clin Res 5(3): 33-35. Jindal A, Kumar P, Gautam K. 2013. Evaluation of antibiotic potential of alkaloids of Tribulus terrestris L. against some pathogenic microorganism. Int J Green Pharm 7: 102-105. Johnson WM, Tyler SD. 1993. Genes for enterotoxins, exfoliative toxins, and toxic shock syndrome toxin-1 in Staphylococcus aureus. Di dalam: Persing DH, Smith TF, Tenover FC, White TJ, editor. Diagnostic Molecular Microbiology: Principles and Application. Washington DC: ASM Press.
40 Konate K, Mavoungou JF, Lepengue AN, Aworet-Sameny RRR, Hilou A, Souza A, Dicko MH, M’Batchi B. 2012. Antibacterial activity against βlactamase producing methicillin and amphicillin-resistants Staphylococcus aureus: fractional inhibitory concentration index (FICI) determination. Ann Clin Microbiol Antimicrob, 11: 18. doi:10.1186/1476-0711-11-18. Krishna KL, Paridhavi M, Patel JA. 2008. Review on nutritional, medicinal, and pharmacological properties of papaya (Carica papaya Linn.) [ulasan]. Nat Prod Rad 7(4): 364-373. Lee YD, Moon JH, Park JH, Chang HI, Kim WJ. 2007. Expression of enterotoxin genes in Staphylococcus aureus isolates based on mRNA analysis. J Microbiol Biotechnol 17(3): 461-467. Luo J, Yan D, Yang M, Dong X, Xiao X. 2013. Multicomponent therapeutics of berberine alkaloids. Evid Based Complement Alternat Med 2013: 1-10. Marambio O, Monsalve E, Schmeda-Hirshchmann G. 1999. DNA binding alkaloids from Lobelia bridgesii Hook et Arn and Lobelia tupa L. Bol Soc Chil Quim 44(3).doi: 10.4067/S0366-16441999000300016. Marta D. 2011. Molecular monitoring of meat spoiling Pseudomonas species and analysis of staphylococcal enterotoxin expression and formation [disertasi]. Budapest (HU): Corvinus University of Budapest. Mason WJ, Blevins JS, Beenken K, Wibowo N, Ojha N, Smeltzer MS. 2001. Multiplex PCR protocol for the diagnosis of staphylococcal infection. J Clin Microbiol 39(9): 3332-3338. Masuda Y, Tashiro T, Mori K. 2006. Synthesis of (+)-carpamic acid from (+)alanine. Tetrahedron: Asymmetry 17(24): 3380-3385.doi: 10.1016/j.tetasy. 2006.12.025. Mazzola PG, Jozala AF, de Lencastre Novaes LC, Moriel P, Penna TCV. 2009. Minimal inhibitory concentration (MIC) determination of disinfectant and/or sterilizing agents. Braz J Pharm Sci 45(2): 241-248. Miller ND, Davidson PM, D’Souza DH. 2011. Real-time reverse-transcriptase PCR for Salmonella Typhimurium detection from lettuce and tomatoes. LWT-Food Sci Technol 44: 1088-1097.doi:10.1016/j.lwt.2010.08.003. Moore E, Arnscheidt A, Kruger A, Strompl C, Mau M. 2004. Simplified protocols for thr preparation of genomic DNA from bacterial cultures. Di dalam: Kowalchuk GA, de Brujin FJ, Head IM, Akkermans ADL, van Elsas JD, editor. Molecular Microbial Ecology Manual. Ed ke-2. Volume ke-1. Dordrecht (NL): Kluwer Academic Publishers. hlm 3-18. Mustarichie R, Udin LZ, Muchtaridi, Supriyatna. 2012. Identification and antibacterial activity of methanol extract of Luffa accutangula Roxb. Med Health Sci J 12: 70-77. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2012. Real-time qRTPCR. [Internet]. [diunduh 2013 Feb 19]. Terdapat pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/projects/genome/probe/doc/TechQPCR.shtml. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2013. Staphylococcus aureus subsp. aureus ST228 complete genome, isolate 10388. [Internet]. [diunduh 2013 Sep 4]. Terdapat pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ nucleotide/408422572?report=genbank&log$=nucltop&blast_rank=8&RID =1XTDV6X4015.
41 Nwofia GE, Ojimelukwe P, Eji C. 2012. Chemical composition of leaves, fruit pulp and seeds in some Carica papaya (L) mophotypes. Int J Med Arom Plants 2(1): 200-206. Oliveira DC, de Lencastre H. 2011. Methicillin-resistance in Staphylococcus aureus is not affected by the overexpression in trans of the mecA gene repressor: a surprising observation. PLoS ONE 6(8): e23287. doi:10.1371/journal.pone.0023287. Pfaffl MW, Horgan GW, Dempfle L. 2002 Relative expression software tool (REST©) for group-wise comparison and statistical analysis of relative expression results in real-time PCR. Nucl Acid Res 30(9): 1-10. Pinchuk IR, Beswick EJ, Reyes VE. 2010. Staphylococcal enterotoxins [ulasan]. Toxins 2: 2177-2197. doi:10.3390/toxins2082177. Proft T, Fraser JD. 2003. Bacterial superantigens [ulasan]. Clin Exp Immunol 133: 299-306. Pyzik E, Marek A. 2013. Plasmid profile analysis and evaluation of antibiotic susceptibility of Staphylococcus aureus strains isolated from table chicken eggs. Pol J Vet Sci 16(2): 307-312.doi: 10.2478/pjvs-2013-0042. Qiagen. 2004. Critical factors for successful Real-Time PCR. [Internet]. [diunduh 2013 Jun 15]. http://www.icmb.utexas.edu/core/DNA/qPCR/ QiagenRT-PCR.pdf. Qiu J, Wang D, Xiang H, Feng H, Jiang Y, Xia L, Dong J, Lu J, Yu L, Deng X. 2010. Subinhibitory concentrations of thymol reduce enterotoxins A and B and α-hemolysin production in Staphylococcus aureus isolates. PloS ONE 5(3): e9736. doi:10.1371/journal.pone.0009736. Rahman S, Imran M, Muhammad N, Hassan N, Chisthi AK, Khan AF, Sadozai KS, Khan SM. 2011. Antibacterial screening of leaves and stem of Carica papaya. J Med Plants Res 5(20): 5167-5171. Rall VLM, Sforcin JM, Augustini VCM, Watanabe MT, Fernandes Jr. A, Rall R, Silva MG, Araujo Jr. JP. 2010. Detection of enterotoxin genes of Staphylococcus sp. Isolated from nasal cavities and hands of food handlers. Braz J Microbiol 41: 59-65. Rall VLM, Vieira FP, Rall R, Vieitis RL, Fernandes Jr. A, Candeias JMG, Cardoso KFG, Araujo Jr. JP. 2008. PCR detection of staphylococcal enterotoxin genes in Staphylococcus aureus strains isolated from raw and pasteurized milk [komunikasi singkat]. Vet Microbiol 132: 408-414.doi: 10.1016/j.vetmic.2008.05.011. Rosen MJ. 2004. Surfactans and Interfacial Phenomena. Ed ke-3. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc. Schelin J, Wallin-Carlquist N, Cohn MT, Lindqvist R, Barker GC, Radstrom P. 2011. The formation of Staphylococcus aureus enterotoxin in food environments and advances in risk assessment. Virulence 2 (6): 580592.doi: 10.4161/viru.2.6.18122. Schmittgen TD, Livak KJ. 2008. Analyzing real-time PCR data by the comparative CT method. Nat Protoc 3(6): 1101-1108.doi:10.1038/nprot. 2008.73. Shields P, Tsang AY. 2013. Mannitol salt agar plates protocols. [Internet]. [diunduh 2013 Agu 2]. http://www.microbelibrary.org/component/resource/ laboratory-test/3034-mannitol-salt-agar-plates-protocols.
42 Sinam YM, Kumar S, Hajare S, Gautam S, Shantibala G, Sharma A. 2013. Morpho-phenological and antibacterial characteristics of Aconitum spp. Not Sci Biol 5(2): 189-197. Subramanian SP, Saratha V. 2010. Evaluation of antibacterial activity of Calotropis gigantea latex extract on selected pathogenic bacteria. J Pharm Res 3(3): 517-521. Sudsai T. 2006. Effect of purified alkaloid from Carica papaya L. leaves on smooth muscle contraction in rat uterus [tesis]. Songkhla (TH): Prince of Songkla University. Suzuki H, Lefebure T, Bitar PP, Stanhope MJ. 2012. Comparative genomic analysis of the genus Staphylococcus including Staphylococcus aureus and its newly described sister species Staphylococcus simiae. BMC Genomics 13:38.doi: 10.1186/1471-2164-13-38. Tang CS. 1979. New macrocyclic, ∆1-piperidine alkaloids from papaya leaves: dehydrocarpaine I and II. Phytochemistry 18(4): 651-652.doi: 10.1016/S0031-9422(00)84279-X. Vandecasteele SJ, Peetermans WE, Merckx R, Van Eldere J. 2001. Quantification of expression of Staphylococcus epidermidis housekeeping genes with taqman quantitative PCR during in vitro growth and under different conditions. J Bacteriol 183(24): 7094-7101.doi: 10.1128/JB.183.24.7094-7101.2001. Vinatoru M. 2001. An overview of the ultrasonically assisted extraction of bioactive principles from herbs. Ultrason Sonochem 8: 303-313. Wong ML, Medrano JF. 2005. Real-time PCR for mRNA quantitation [ulasan]. BioTechniques 39: 75-85. Xu RS, Yang Y. 2011. Alkaloids. Di dalam: Xu RS, Yang Y, Zhao W. Introduction to Natural Products Chemistry. Florida (US): CRC Pr. Hlm 55-80.
43 Lampiran 1 Sekuen gen penyandi 16S rRNA isolat S. aureus dari pangan. >S1 GTGGGGATAGGCATTGACGGGGACCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAA TTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACTCTA GAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTGT CGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCC TTAAAA >S4 GTGGGCCCTTAGGGATTGACGGGGACCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTT AATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACT CTAGAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGT TGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAA CCCTTAAAN >S10 GTGGTATAAGGGATTGACGGGGACCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAA TTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACTCTA GAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTGT CGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCC TTAAAN >TB1 AGGGGTACAAGGATTGACGGGGACCGCACAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAAT TCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACTCTA GAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTGT CGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCC TTTA >UA1 GGGGGTATTAGGGATTGACGGGGACCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTA ATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACCACTCT AGAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTG TCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACC CTTA >UA2 GGGGAGGCCTAGGTATTGACGGGGACCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTT AATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACT CTAGAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGT TGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAA CCCTTAAAN
44 >UA13 TGGGGTATAGGGATTGACGGGGACCGCACAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAAT TCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACTCTA GAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTGT CGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCC TTTA >SJ1 GGGGGACCTAGGATGACGGGGACCGCACAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATT CGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACTCTAG AGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTGTC GTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCCTT A >SJ4 GTGGGGTATCAGGGATTGACGGGGACCGCACAGCGGTGGAGCATGTGGTTTA ATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAAATCTTGACATCCTTTGACAACTCT AGAGATAGAGCTTTCCCCTTCGGGGGACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTTG TCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACC CTTAAAA
45 Lampiran 2 Hasil uji ANOVA dan Duncan diameter zona hambat ekstrak kasar alkaloid daun pepaya pada berbagai konsentrasi terhadap S. aureus SJ1. ANOVA
Between Groups
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
186.295
7
26.614
124.940
.000
2.343
11
.213
188.638
18
5
6
Within Groups Total
Duncan Konsentrasi (mg/ml)
Subset for alpha = 0.05 N 1
2
3
4
DMSO
3
1
2
2
2
4
3
6
3
8
2
8.8400
10
2
9.4900
Sig.
.0000 4.1600 5.1850 6.2100 7.8467
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
.160
46 Lampiran 3
Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai CT gen sea dan gen penyandi 16S rRNA S. aureus SJ1 yang telah dipaparkan dengan ekstrak kasar alkaloid pada 0, 1, dan 2 kali KHM selama 2 jam.
ANOVA
CT sea
CT
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
60.700
2
30.350
56.710
.000
Within Groups
3.211
6
.535
Total
63.911
8
.320
2
.160
.903
.454
1.064
6
.177
1.384
8
Between Groups
16S rRNA Within Groups Total
Duncan CT sea Subset for alpha = 0.05
Konsentrasi
N
(mg/ml)
1
2
0
3
0.25
3
22.5800
0.5
3
23.1533
Sig.
17.3800
1.000
Duncan CT 16S rRNA Konsentrasi (mg/ml)
Subset for alpha = 0.05 N 1
0
3
15.2600
0.25
3
15.6267
0.5
3
15.6867
Sig.
.275
.374
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1988 sebagai anak ketiga dari Lim Wendra Halim dan Lie Bouw Hoa. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh program S2, penulis pernah mengikuti dan lulus dalam pelatihan Good Laboratory Practices (GLP). Selain itu, penulis juga megikuti International Guest Lecture oleh Prof Dr Helmut Erdman, dengan tema “Current Issue in Regulation of Genetically Modified Food In Europe”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master sains, penulis melakukan penelitian berjudul “Aktivitas Ekstrak Kasar Alkaloid Daun Pepaya terhadap Staphylococcus aureus dan Ekspresi Gen Staphylococcal Enterotoxin A” di bawah bimbingan Dr Ir Harsi D. Kusumaningrum dan Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi. Sebagian dari hasil penelitian tersebut telah disajikan dalam poster dengan judul “Activity of Crude Alkaloid Extracts of Papaya Leaves toward Staphylococcus aureus” pada 13th ASEAN Food Conference 2013 yang diselenggarakan di Singapura pada 9 – 11 September 2013 dan diajukan sebagai artikel pada pada Journal of Food Protection dengan judul “SEA-producing Staphylococcus aureus from Foods and Its Control by Crude Alkaloid from Papaya Leaves”