AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH (Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)
MUSTAFA SABRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 17 Februari 2011
Mustafa Sabri NRP. B161060021
ii
ABSTRACT Mustafa Sabri. The Activity of Ethanol-extract of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) as an Antiosteoporosis on Female Rats (Rattus norvegicus). Under the supervision of Nurhidayat as chairman, Koeswinarning Sigit, Wasmen Manalu, and Bambang Pontjo Priosoeryanto as members of the Supervisory Committee. Osteoporosis relates to characteristic and microscopic structural changes of bones. An experiment was conducted to study the effect of sipatah-patah extract (ESP) on the prevention and treatment of osteoporosis. In this study, forty female rats were divided into two groups: nonovariectomized group (NOV group) (20 rats) used to study the ability of ESP in preventing osteoporosis and ovariectomized group (OV group) (20 rats) used to study the effect of ESP in treating osteoporosis. Nonovariectomized (NOV) and OV rats were adapted for 10 days before treatment. Nonovariectomized group was divided into five groups: control group (NOV-0) and groups given ESP at the age of 30 days (NOV-1), 60 days (NOV-2), 90 days (NOV-3), and 120 days (NOV-4) with dose 750 mg/kg body weight/day orally. Ovariectomized group was also divided into five groups: sham group (OV-0) consisted of rats that only sliced skin without ovariectomy and ESP administration, control group was ovarietomized group without ESP administration (OV-1), and ovariectomized groups given ESP at the age of 90 days (OV-2), 120 days (OV-3), and 150 days (OV-4) with dose 750 mg/kg body weight/day orally. All treatments were within 180 days period. Weighing was done every 15 days (twice a month), and blood samples were drawn every 30 days via coccygeal vein approximately 2 ml for analizing calcium and phosphate concentrations. At the end of treatment, rats were euthanized and, subsequently, radiography examination was done to observe bone mass. Then, necropsy was done to observe the histology of bone, liver, kidney, and parathyroid gland. Right tibio-fibula bones, kidney, liver, and parathyroid were sampled and fixated using Buffered Neutral Formalin 10%. Furthermore, left radio-ulna bones and lumbar vertebrae II-V bones were taken to analyze the calcium and phosphorous bone concentrations. The kidney, liver, and parathyroid gland tissues were stained using hematoxylin-eosin (HE) (Humason 1967) to observe the toxicity effect of ESP. The bones were stained with HE to count the osteoblast and the osteoclast, and also stained with Masson Trichrome staining (Kiernan 1990) to observe the trabecular changes. The result showed that ESP administration for 150 days in nonovariectomized rats (NOV-1) optimized calcium and phosphate concentrations, solid trabeculae, and had an effect on increasing the active osteoblast without toxic effects on the liver and kidney. Meanwhile, ESP administration on ovariectomized rats for 120 days (OV-2) was able to maintain calcium and phosphate homeostasis, improved the density and solidity of microscopic image of trabecular bone, and histological examination showed that ESP inhibited the formation of the osteoclast. Both observations showed no toxicity effect on liver and kidney. Keywords: Cissus quadrangula Salisb, osteoporosis, trabeculae, osteoblast, osteoclast
ovariectomy,
bone
iii
iv
RINGKASAN MUSTAFA SABRI. Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus). Di bawah bimbingan Nurhidayat sebagai ketua, Koeswinarning Sigit, Wasmen Manalu, dan Bambang Pontjo Priosoeryanto masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Osteoporosis pada wanita lanjut usia sulit disembuhkan secara sempurna. Berbagai risiko dapat timbul akibat terapi hormonal sintetis, sehingga usaha pengobatan osteoporosis dialihkan kepada pemberian kalsium dan fosfor dalam makanan disertai dengan peningkatan aktivitas fisik serta penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tanaman. Salah satu tanaman yang telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat di Aceh untuk mengobati fraktur tulang dan sakit sendi adalah sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang khasiat sipatah-patah pada tikus masa pertumbuhan (prepubertas) untuk mencegah kejadian osteoporosis pada masa tua dan mengobati tikus osteoporosis yang diinduksi melalui ovariektomi. Dalam pelaksanaan penelitian ini batang tanaman sipatah-patah diekstraksi dengan etanol sehingga diperoleh ekstrak etanol batang sipatah-patah (ESP). Penelitian ini menggunakan 40 ekor tikus betina galur Spraque Dawley umur 20 hari yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing 20 ekor. Tikustikus penelitian ini diadaptasikan di dalam kandang selama 10 hari. Kelompok pertama nonovariektomi (NOV) untuk menguji aktivitas ESP dalam mencegah osteoporosis, sedangkan 20 ekor lainnya diovariektomi pada umur 50 hari (OV) untuk menguji aktivitas ESP dalam mengobati osteoporosis. Tikus kelompok NOV dibagi menjadi lima grup masing-masing empat ekor tikus, yang terdiri atas grup kontrol (NOV-0) tanpa ESP, sedang empat grup lainnya masing-masing diberi ESP mulai umur 30 hari (NOV-1), 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Tikus kelompok OV juga dibagi menjadi lima grup yaitu dua grup kontrol OV-0 (sham) dan kontrol OV-1 (osteoporosis), keduanya tidak diberi ESP. Tiga grup lainnya adalah tikus ovariektomi yang diberi ESP masing-masing mulai umur 90 hari (OV-2), 120 hari (OV-3), dan 150 hari (OV-4). Masa penyembuhan luka operasi tikus ovariektomi dilakukan selama sepuluh hari. Dosis ESP adalah 750 mg/kgBB/24 jam/per oral. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 15 hari, dan pengambilan darah setiap 30 hari. Semua tikus NOV dieutanasi pada umur 180 hari sedangkan tikus OV pada umur 210 hari. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografi untuk menganalisis kondisi tulang. Sementara itu tulang radius-ulna kiri serta tulang vertebra lumbalis II-V diambil untuk analisis kadar kalsium dan fosfor. Dilakukan pula pengukuran panjang tulang femur. Sayatan tulang tibia-fibula diwarnai dengan Hematosilineosin (HE) dan Masson trichrome (MT) untuk menganalisis densitas osteoblas dan osteoklas, serta kepadatan trabekula tulang. Dari hasil analisis fitokimia sipatah-patah dengan metoda Gas Chromatografi-Mass Spectrophotometry (GC-MS) didapatkan unsur kalsium 4,33 %, fosfor 0,37 %, dan tujuh senyawa fitoestrogen sebesar 65,31 area % dari seluruh senyawa fitokimia yang ada. Hasil penelitian kelompok NOV menunjukkan bahwa tikus perlakuan yang diberi ESP berbagai rentang waktu pemberian mempunyai bobot badan yang lebih berat dibandingkan tikus kontrol (P<0,05). Tikus NOV-1 memiliki bobot badan 26.84 % lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol, diikuti tikus NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 masing-masing sebesar 16,40 %, 17,01 %, dan 9,76 %. Hal ini mengindikasikan bahwa ESP berpengaruh nyata pada pertambahan bobot badan dibanding tikus kontrol.
v
Selain itu, perbedaan panjang tulang femur tikus NOV-1 sebesar 10,76 %, yang diikuti NOV-2 3,17 %, NOV-3 2,47 %, dan NOV-4 1,84 % lebih panjang dibanding kontrol (P<0,05). Hal ini menandakan bahwa ukuran kerangka tubuh semakin besar dan disertai peningkatan bobot badan. Dari hasil pemeriksaan kadar kalsium darah tikus NOV-1 menunjukkan peningkatan dibandingkan pada tikus NOV-0 yang justru menurun. Peningkatan kadar kalsium tikus NOV-1 pada akhir perlakuan meningkat sebesar 4,49% yang dikuti NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 masing-masing 4,92%, 4,89% dan 0,26% dibanding tikus kontrol (P <0,05). Peningkatan kadar kalsium darah tertinggi selama masa pemberian ESP ditunjukkan tikus NOV-2 dan NOV-3, pada tikus tersebut masing dalam periode peningkatan. Pada tikus NOV-1 kadar kalsium sudah mencapai level optimum sehingga pemberian ESP secara terus menerus tidak meningkat, melainkan dideposit ke dalam tulang atau kelebihan kalsium diekskresikan melalui ginjal, oleh mekanisme homeostasis. Pada tikus NOV-4 diduga karena rentang waktu pemberian ESP terlalu singkat untuk dapat meningkatkan kadar kalsium darah. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran kadar kalsium darah, pemberian ESP tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar fosfor darah, karena kemungkinan kadar fosfor dalam darah sudah berada dalam level optimum. Pada gambaran mikroskopis sayatan memanjang tulang tibia masih ditemukan adanya sasaran epifisis disertai adanya sel-sel kondrosit yang sedang berproliferasi dan proses osifikasi pada trabekula. Hal ini menunjukkan bahwa tikus ini masih dalam masa pertumbuhan dan belum mencapai dewasa tubuh. Pada gambaran mikroskopis tulang tibia tikus dengan pewarnaan MT, tikus NOV-1 memiliki gambaran sasaran epifisis, substansia kompakta, dan trabekula dengan warna biru lebih pekat dibandingkan pada tikus NOV-0. Hal ini menandakan bahwa proses osifikasi sedang berlangsung. Di samping itu, pada gambaran mikroskopis tulang tibia tikus juga ditemukan osteoblas aktif lebih padat dan densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan pada tikus NOV-0, maupun tikus perlakuan lainnya. Sementara itu aktivitas osteoblas dan osteoklas di daerah metafisis lebih dominan ditemukan pada substansia spongiosa bagian sentral, dibandingkan dengan bagian tepi, sebagai akibat tenaga tarik oleh tendo dan ligamentum yang bertaut di bagian tepi metafisis tulang tersebut. Pembuluh darah juga banyak ditemukan di daerah metafisis yang berdekatan dengan keberadaan osteoklas dalam proses resorbsi tulang untuk sarana transportasi hasil metabolisme tulang. Walaupun analisis terhadap kadar kalsium dan fosfor tulang tikus perlakuan memberikan hasil yang sama dengan tikus kontrol (P>0,05), kerangka tubuh tikus-tikus perlakuan lebih besar dibandingkan tikus kontrol, sehingga kadar kalsium total tulang perlakuan relatif lebih tinggi dibandingkan pada tikus kontrol. Kondisi ini dapat dilihat dari gambaran radiografi tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 150, 120, dan 90 hari menunjukkan densitas yang lebih radiopaque pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus NOV-0. Dengan demikian, pemberian ESP di awal dan lama waktu pemberian ESP diduga berperan dalam peningkatan pertumbuhan bobot badan, ukuran tulang femur, kalsium dan fosfor, osteoblas aktif yang meningkat dan menekan keberadaan osteoklas sehingga terjadi perbaikan kualitas tulang yang ditunjukkan dengan kepadatan trabekula tulang yang meningkat. Dalam penelitian kelompok OV, tikus umur 50 hari diovariektomi untuk membuat tikus dalam kondisi kekurangan hormon estrogen, sehingga tikus tersebut memiliki kondisi hormonal mirip dengan wanita pascamenopause. Hasil penelitian kelompok ini menunjukkan bahwa tikus ovariektomi (OV-1, OV-2, OV-3 dan OV-4) memiliki bobot badan yang lebih berat dibandingkan pada tikus OV-0 (P<0,05). Pada tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3 dan OV-4) terjadi
vi
peningkatan bobot badan sejalan dengan lamanya waktu pemberian ESP dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1) (P<0,05). Bobot badan OV-2 meningkat sebesar 26,13 g (16,99 %) yang diikuti oleh OV-3 dan OV-4 masing-masing sebesar 20,43 g (13,28 %) dan 17,85 g (11,6 %) dibandingkan pada tikus OV-1. Sementara itu tikus ovariektomi yang diberi ESP secara umum mengalami pertambahan panjang tulang femur. Panjang tulang femur tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 di akhir penelitian masing-masing lebih panjang 4,11 %, 3,70 %, dan 2,12 % dibandingkan pada tikus OV-1 (P<0,05). Dengan demikian nutrisi yang terkandung dalam ESP yaitu kalsium, fosfor, dan fitoestrogen secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhan tulang dan secara tidak langsung dapat meningkatkan bobot badan akibat peningkatan pertumbuhan tulang. Kadar kalsium darah pada tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 meningkat selama masa pemberian ESP, walaupun pada akhir perlakuan kadar kalsium tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 tidak setinggi kadar kalsium tikus sham (P>0,05) tetapi lebih tinggi dari OV-1 (P<0,05). Hasil ini mengindikasikan bahwa pemberian ESP dapat meningkatkan kadar kalsium darah pada tikus ovariektomi walaupun tidak setinggi pada tikus sham. Kondisi yang sama juga ditemukan pada kadar fosfor darah yang diberi ESP meningkat sejalan dengan lama pemberian ESP dibandingkan dengan tikus OV-1, walaupun belum dapat menyamai kadar fosfor pada tikus sham. Keadaan yang sama juga ditemukan pada kadar kalsium tulang. Pada tikus OV-2 peningkatan kadar kalsium tulang adalah sebesar 2,68 % dibandingkan pada tikus OV-1 yang diikuti OV-3 dan OV-4 masingmasing sebesar 2,32 % dan 1.97 % (P<0,05), walaupun kadar kalsium tulang tikus ovariektomi yang diberi ESP tidak setinggi pada tikus sham. Pola yang mirip ditemukan juga pada kadar fosfor. Peningkatan kadar fosfor tulang OV-2 sebesar 0,25 %, yang dikuti OV-3 dan OV-4 masing-masing 0,14 % dan 0,24 % dibandingkan pada tikus OV-1. Pada gambaran radiografi, tulang tibia tikus OV-2 terlihat lebih radiopaque dibandingkan tikus OV-1, gambaran tingkat kepadatan tulang ini dikuti oleh tikus OV-3 dan OV-4. Walau demikian gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan densitas yang lebih radiolucent dibandingkan pada tikus sham. Sementara itu, pada tikus OV-2 densitas osteoblas aktif lebih padat dan densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan pada tikus OV-1 dan tikus perlakuan lainnya. Dengan demikian, ESP memengaruhi homeostasis kalsium dan fosfor darah. Hal ini terlihat pada peningkatan kadar kalsium tikus OV-2 yang meningkat pada level optimal walaupun produksi estrogen diduga sangat menurun. Waktu pemberian ESP yang lebih lama mampu mensubstitusi defisiensi kadar kalsium, fosfor, dan estrogen akibat ovariektomi. Tikus OV-2 menunjukkan densitas trabekula yang lebih rapat dibandingkan pada tikus OV-1 maupun pada tikus OV-3 dan OV-4. Pemberian ESP yang lebih lama pada tikus OV-2 dapat mengurangi kehilangan massa tulang yang ditunjukkan dengan mikrostruktur trabekula yang lebih rapat, dan juga mengurangi aktivitas osteoklas serta merangsang osteoblas dalam pembentukan massa tulang dibandingkan dengan tikus OV-1. Efek ini diduga erat hubungannya dengan interaksi fitoestrogen dalam ESP dengan reseptor estrogen alpha atau beta (ER-α, ER-β) pada osteoblas seperti halnya aktivitas estrogen endogen pada osteoblas. Dengan demikian pemberian ESP asal Aceh dapat mencegah osteoporosis pada tikus betina nonovariektomi prepubertas dan mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi dengan cara mempertahankan kadar kalsium darah, peningkatan densitas osteoblas aktif, dan penurunan densitas osteoklas sehingga terjadi peningkatan kepadatan trabekula tulang. Keywords: Cissus quadrangula Salisb, osteoporosis, ovariektomi, trabekula tulang, osteoblas, osteoklas
vii
©Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
viii
AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL BATANG SIPATAH-PATAH (Cissus quadrangula Salisb) SEBAGAI ANTIOSTEOPOROSIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)
MUSTAFA SABRI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ix
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Nastiti Kusumorini (Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor) 2. Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet (Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Drh. Yulvian Sani, Ph.D. (Kepala Bidang Program dan Evaluasi pada Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) Kementerian Pertanian Republik Indonesia di Bogor) 2. Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. (Dosen pada Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor)
x
Judul Penelitian : Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus) Nama
: Mustafa Sabri
NIM
: B 161060021
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet Ketua
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Anggota
Prof. Dr. drh. Koeswinarning Sigit, MS Anggota
Prof. Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, APVet Anggota
Mengetahui: Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, APVet Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 17 Februari 2011
Tanggal Lulus:
xi
xii
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahiim. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al Qu’ran yang suci dan mulia sebagai penerang dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa risalah kebenaran Islam kepada umatnya, juga kepada keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulilah atas rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 dengan judul Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) sebagai Antiosteoporosis pada Tikus (Rattus norvegicus). Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. drh. Nurhidayat, MS, PAVet sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr.drh. Koeswinarning Sigit, MS, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, dan Prof. Dr. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, APVet masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penyempurnaan penulisan ini sehingga dapat menambah wawasan penulis dalam berbagai hal yang tertuang dalam disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala atas izinnya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor, pada Program Studi Sains Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Laboratorium Riset Anatomi AFF FKH-IPB, Laboratorium Patologi KRP-FKH-IPB beserta seluruh staf, atas kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan baik. Kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi penulis mengucapkan terima kasih atas pemberian dana dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Program Sandwich, dan Program Hibah Doktor. Tak lupa juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemerintah Aceh Darussalam atas Beasiswa NAD selama tiga tahun mengikuti pendidikan S3 di IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. drh. Heru Setijanto, PAVet (K), Dr. drh. Srihadi Agungpriyono, PAVet (K), Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi, PAVet, Dr. drh. Savitri Novelina, MSi, PAVet, drh. Supratikno, MSi, PAVet, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan mahasiswa seangkatan yang setia dan penuh pengorbanan Dr. drh. I Nyoman Suarsana, MSi (FKH-UNUD), Dr. Ir. Najamuddin, MSi, (Universitas Tadulako), Dr. Muharram Saipulloh, SSi, MSc, drh. Sutiastuti, MSi. (BALIVET), Dr. drh. Sophia Setiawati, MP (Karantina Jakarta), Dr. drh. Ni Ketut Natih Karuni, MSi. (BPMSOH), drh. Sri Wahyuni, MSi, Harry, SSi, drh. Mawar Subangkit, drh. Faisal, drh. Siti Asyiah, yang dengan setia menemani penulis di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih yang dapat penulis sampaikan di tulisan ini, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Penghargaan yang setulusnya disampaikan juga kepada orang tua Ayahanda H.Yacub Hasan, SH. (Alm) ibunda Hj. Sawiyah Puteh dan ibu mertua
xiii
Hj. Katidjah Main atas kasih sayang dan doa restunya, dan juga kepada kakak Maryani, SPd, Dra Nuraini, Ir. Drs. Hasan Basri, SpI. MSi, MT, Sofiati, SPd, Nurlaili, SH, SP, Rahmad Fadli, SE, MSi, dan adik Fauzi Helmi, ST, MT, Bambang Yusri, ST, MT, Yeni Yusraini, SP, MP, atas doanya serta kepada istri yang tercinta Safrida Afriana, ST, MSc, ananda Alya Kurnila Ramazani, atas kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan dorongannya yang telah mengantar penulis hingga dapat menyelesaikan studi S-3 saya. Terima kasih kepada Ibu Nurtamani, Mas Bayu, Pak Holid, Pak Soleh, Pak Kasnadi, Pak Ngdang, Mas Koko yang sangat banyak membantu selama penelitian berlangsung, juga Pak Hasanuddin, Pak Sayuti, Pak Ali, dan kawankawan di FORKUB dan IKAMAPA Universitas Syiah Kuala di Bogor serta kepada berbagai pihak atas bantuan dan kerja samanya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan semoga Allah SWT memberi rahmat bagi kita semua. Amin
Bogor, 17 Februari 2011
Penulis
xiv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sigli pada tanggal 10 April 1969 sebagai putera ketujuh (dari sepuluh bersaudara) dari pasangan H.Yacub Hasan, SH (Alm) dan Hj. Sawiyah Puteh. Penulis diterima pada Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala melalui SIPENMARU pada tahun 1988, lulus Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1994 dan memperoleh gelar Dokter Hewan pada tahun 1995. Pada tahun 1998 penulis diterima di Program Studi Sains Veteriner Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan memperoleh gelar Magister Pertanian pada tahun 2000. Kesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang program Doktor pada program Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 yang dibiayai oleh BPPS, Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Sejak tahun 1997 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai dosen tetap di Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Selama mengikuti program S-3, penulis telah menghasilkan beberapa artikel. Artikel yang sudah diterbitkan dengan judul: “Analysis of Phytochemical and Mineral Content of Sipatah-patah Plant (Cissus quandrangula Salisb) from Aceh as Osteoporosis Premedication” pada Jurnal Rona Lingkungan Volume 1, No 2, September 2009. Artikel lain yang akan diterbitkan berjudul: “Kualitas Tulang Tikus Betina Normal yang diberi Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) pada Masa Pertumbuhan” pada Jurnal Veteriner (In press). Adapun artikel dengan judul: “The Effect of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Extract Administration on Quality of Bone Growth in Normal Growing Female Rats” telah diterbitkan pada The First Congress of South East Asia Veterinary School Association (SEAVSA) di Bogor, Indonesia, 20-22 Juli, 2010 dan “The Effect of Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) on Increasing Bone Cell and Osteoblastogenesis on Rats During Growth Period” yang diterbitkan pada kumpulan abstrak di Pertemuan Ilmiah Nasional Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, Jakarta 27-28 November 2010. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan tugas yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan pada program S-3, di Sekolah Pascasarjana IPB .
xv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... xvi DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxi I.
PENDAHULUAN...................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2. Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.3. Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.4. Hipotesis ...........................................................................................
1 1 5 5 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1. Struktur Tulang ................................................................................. 2.1.1. Komposisi Tulang...................................................................... 2.1.2. Metabolisme Tulang .................................................................. 2.1.3. Modeling dan Remodeling Tulang ............................................ 2.2. Osteoporosis..................................................................................... 2.2.1. Kalsium ..................................................................................... 2.2.2. Fosfor ........................................................................................ 2.2.3. Vitamin D................................................................................... 2.2.4. Hormon Paratiroid ..................................................................... 2.2.5. Estrogen ................................................................................... 2.2.6. Fitoestrogen .............................................................................. 2.3. Ovariektomi....................................................................................... 2.4. Aplikasi Pengobatan Osteoporosis .................................................. 2.5. Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) ....................
7 7 10 11 16 18 21 23 24 26 28 29 31 31 32
III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian........................................................... 3.2. Materi ............................................................................................... 3.2.1. Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb).............. 3.2.2. Hewan Coba ............................................................................. 3.2.3. Bahan Penelitan ........................................................................ 3.2.4. Alat Penelitian ........................................................................... 3.3. Metode .............................................................................................. 3.3.1. Pembuatan Ekstrak Batang Sipatah-patah (ESP) .................... 3.3.2. Analisis Kandungan Kalsium dan Fosfor Bahan Aktif dan Analisis Senyawa Fitokimia Batang Sipatah-patah ................... 3.3.3. Pembagian Kelompok Tikus ..................................................... 3.3.4. Kelompok Tikus Nonovariektomi (NOV) ................................... 3.3.5. Kelompok Tikus Ovariektomi (OV) ............................................ 3.4. Parameter ........................................................................................ 3.5. Analisis Hasil ...................................................................................
37 37 37 37 37 38 38 39 39 39 39 39 41 42 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 46 4.1. Hasil ................................................................................................. 46 4.1.1. Analis Proksimat Batang Kering Sipatah-patah dan Penapisan Fitokimia Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) ................................................... 46
xvi
4.1.2. Identifikasi Kandungan ESP .................................................. 4.2. Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Nonovariektomi ......... 4.2.1. Pertumbuhan Bobot Badan Tikus........................................... 4.2.2. Pengukuran Panjang Tulang Femur ...................................... 4.2.3. Kadar Kalsium dan Fosfor Darah ......................................... 4.2.4. Gambaran Radiografi Tulang ................................................ 4.2.5. Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia .......................................................................... 4.2.6. Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas ......................................... 4.2.7. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid ........................... 4.2.8. Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal ................................. 4.3. Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Ovariektomi ................ 4.3.1. Bobot Badan Tikus ................................................................ 4.3.2. Panjang Tulang Femur .......................................................... 4.3.3. Kadar Kalsium dan Fosfor Darah .......................................... 4.3.4. Gambaran Radiografi Tulang ................................................ 4.3.5. Densitas Osteoblas dan Osteoklas ....................................... 4.3.6. Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia ........................................................................... 4.3.7. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid ........................... 4.3.8. Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal ................................. 4.4. Pembahasan ................................................................................... 4.4.1. Hasil Analisis Batang Sipatah-patah ..................................... 4.4.2. Hasil Kelompok Tikus Nonovariektomi ............................... 4.4.3. Hasil Kelompok Tikus Ovariektomi .....................................
46 48 48 49 50 53 54 58 63 65 67 67 68 68 71 71 73 78 79 81 81 82 85
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95 LAMPIRAN .................................................................................................... 105
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komponen fitokimia ESP .................................................................. Tabel 2. Komposisi kimia ekstrak etanol batang sipatah-patah berdasarkan GC-MS ....................................................................... Tabel 3. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus di awal dan di akhir pemberian ESP…………………….. ......... Tabel 4. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus selama masa pemberian ESP ...................................................................... Tabel 5. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah pada tulang tibia tikus yang diberi ESP pada umur 30,60,90 dan 120 hari ..................................................................................... Tabel 6. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus ovariektomi di awal dan di akhir pemberian ESP . ................... Tabel 7. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus ovariektomi selama masa pemberian ESP ........................................................ Tabel 8. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari .....................................................
xviii
46 47 52 53
63 70 71
72
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2.
Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10.
Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14.
Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24.
Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28.
Halaman Struktur tulang panjang ............................................................... 9 Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa (trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang ............................................................................. 10 Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas .... 13 Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas ..................... 14 Diagram interaksi dari osteoblas dan osteoklas dalam proses remodeling pada permukaan tulang ................................ 15 Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia ...... 16 Bagan patogenesis proses osteoporosis ..................................... 20 Peranan kelenjar paratiroid dan kelenjar tiroid dalam homeostasis kadar kalsium darah .............................................. 27 Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen ........ 30 Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) dari Aceh dan Cissus quadrangularis Linn. dari India ..................................................................................... 34 Skema alur penelitian ................................................................. 43 Alur penelitian tikus nonovariektomi ........................................... 44 Alur penelitian tikus ovariektomi ................................................. 45 Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 30 hingga 180 hari pada grup NOV-0,NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4........................ 49 Diagram ukuran panjang tulang femur tikus setelah masa perlakuan selama 180 hari ............................................... 50 Gambaran kadar kalsium serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari ........................................... 51 Gambaran kadar fosfor serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30,60,90, dan 120 hari ............................................. 51 Gambaran radiografi tulang tibia tikus dengan perlakuan pemberian ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari ................. 54 Gambaran umum tulang tibia ...................................................... 55 Gambaran trabekula pada potongan memanjang tulang tibia tikus ............................................................................................ 56 Gambaran sketsa densitas trabekula pada tulang tibia setelah pembuangan sumsum tulang .......................................... 57 Osteoblas pada tulang tibia tikus ................................................. 59 Gambaran osteoklas yang sedang merusak trabekula .............. 59 Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus umur 180 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari .................................................... 61 Densitas osteoklas tulang tibia tikus yang diberi ESP mulai umur 30,60,90, dan 120 hari ...................................................... 63 Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari ................................... 64 Gambaran mikroskopis hati ........................................................ 65 Gambaran mikroskopis ginjal ...................................................... 66
xix
Gambar 29. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus ovariektomi yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 60 hingga 210 hari pada OV-0, OV-1, OV-2, OV-3, dan OV-4 .................................. Gambar 30. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus ovariektomi setelah masa perlakuan selama 180 hari .................................... Gambar 31. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari ............................. Gambar 32. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari ............................... Gambar 33. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi dengan perlakuan pemberian ESP pada umur 90,120, dan 150 hari ........................................................................................ Gambar 34. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus ovariektomi umur 210 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari.......................................... Gambar 35. Densitas osteoklas tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari.......................................... Gambar 36. Gambaran trabekula pada potongan memanjang dan sketsa densitas trabekula tulang tibia setelah pembuangan bone marrow dari tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120, 90, dan 60 hari ................................................................................... Gambar 37. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari.......................................... Gambar 38. Gambaran mikroskopis hati tikus ................................................. Gambar 39. Gambaran mikroskopis ginjal tikus ..............................................
xx
67 68 69 69
72
74 75
77 78 79 80
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13.
Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18.
Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22.
Halaman Surat identifikasi sipatah-patah ................................................. 106 Komposisi makanan tikus.......................................................... 107 Penapisan fitokimia tanaman sipatah-patah ............................. 108 Metode analisis proksimat ......................................................... 104 Metode ekstraksi ....................................................................... 110 Metode kromatografi gas ......................................................... 111 Prosedur analisis kadar kalsium dan fosfor............................... 111 Metode pewarnaan ................................................................... 114 Rerata berat badan kelompok pencegahan yang ditimbang 15 hari sekali dari awal pemeliharaan ..................... 115 Panjang tulang femur ................................................................ 115 Rerata kadar kalsium darah kelompok pencegahan yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan.................. 116 Rerata kadar fosfor darah pada grup percobaan sebelum dan sesudah pemberian ekstrak etanol sipatah-patah.............. 116 Kadar kalsium dan fosfor tulang pada masa pencegahan yang diberi ekstrak etanol sipatah-patah selama 180 hari pada tikus putih ......................................................................... 116 Rerata bobot badan kelompok pengobatan yang ditimbang 2 minggu sekali dari awal pemeliharaan................... 117 Panjang tulang femur tikus perlakuan ovariektomi.................... 117 Rerata kadar kalsium darah grup ovariektomi yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan ........................... 117 Rerata kadar fosfor tikus ovariektomi yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan ...................................... 118 Rerata kadar kalsium dan fosfor tulang pada grup ovariektomi yang diberi ekstrak etanol sipatah-patah selama 180 hari pada tikus putih........................................... 118 Analisis RAL in Time ........................................................... 118 Hasil analisis kadar kalsium .……………………………………. . 127 Hasil analisis fitokimia……………………………………………. . 128 Hasil analisis GC-MS ................................................................ 129
xxi
xxii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif dan menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi sebagai penopang tubuh, melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak, memberi bentuk tubuh serta juga sebagai tempat hemopoiesis darah (Favus 1993; Leeson et al. 1996). Tulang menjadi keras dan kuat karena dibentuk oleh kristal kalsium yang padat serta serabut kolagen yang lentur (Stevenson dan Marsh 1992), sehingga tulang juga berfungsi sebagai deposit mineral, khususnya kalsium, fosfat, dan magnesium dengan kepadatan tertentu melalui pengaturan sistem homeostasis tubuh (Burger et al. 1995). Tulang skeletal dewasa secara umum memiliki dua bagian, yaitu bagian kompakta yang mencapai proporsi sekitar 80 % dan bagian spongiosa sekitar 20 % (Stevenson dan Marsh 1992). Bagian kompakta bersifat lebih padat dan terletak di bagian tepi tulang sehingga dinamakan juga bagian korteks, yaitu bagian yang padat dan tebal sesuai dengan fungsinya sebagai penyangga tubuh. Bagian spongiosa disebut juga bagian trabekula karena bentuknya yang berongga atau lamelar yang tersusun dalam garis-garis trayektori dengan arah sesuai dengan tuntutan gerakan yang ditimbulkan oleh tarikan otot-otot dan ligamentum yang bertaut padanya.
Pada tulang panjang, bagian korpus
sebagian besar terdiri atas bagian tulang kompakta yang mengelilingi sumsum tulang dan pada kedua ujungnya (metafisis) mengandung bagian spongiosa yang dikelilingi oleh tulang kompakta. Seluruh permukaan tulang, kecuali pada permukaan persendian, dibungkus oleh lapisan jaringan ikat khusus yang disebut periosteum, sedang bagian dalam dilapisi oleh selapis endosteum yang membatasi rongga-rongga di bagian spongiosa, yaitu suatu lapisan jaringan ikat yang fungsinya sama dengan periosteum, yaitu menjadi tempat sel-sel osteoblas (Carola et al. 1990). Jaringan tulang dibentuk oleh sel-sel tulang, yaitu osteosit, osteoblas, dan osteoklas.
Osteosit adalah sel osteoblas yang terpendam di dalam matriks
tulang (Leeson et al. 1996). Osteoblas berfungsi sebagai pembentuk osteoid (matriks tulang) dan serabut kolagen tulang.
Osteoklas berfungsi sebagai
penghancur tulang. Dalam keadaan normal, osteoblas dan osteoklas bekerja sama dalam pembentukan struktur tulang yang mencakup proses modeling dan remodeling (Smith 1993). Faktor yang memengaruhi kepadatan tulang adalah cara hidup (pola makan, aktivitas fisik, merokok, asupan kalsium), obesitas, paritas (jumlah anak), Iaktasi, usia yang masih terlalu muda pada saat pertama kali hamil, penyakit kelenjar tiroid, dan penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal (Winarno 1998). Secara normal, puncak kepadatan tulang pada manusia dicapai pada usia tiga puluhan. Setelah itu akan terjadi proses penurunan kepadatan tulang yang biasanya disertai dengan atau tanpa kerusakan arsitektur tulang, sehingga kekuatan tulang akan menurun yang mengarah kepada kerapuhan tulang (porous) atau dikenal sebagai osteoporosis. Secara umum keadaan ini dijumpai pada manusia lanjut usia, terutama pada wanita (Ott 1990). Satu dari tiga wanita yang berumur lebih dari 55 tahun akan terkena osteoporosis, sedangkan pada pria, satu dari 12 pria di atas umur 55 tahun akan terkena osteoporosis. Pada wanita kejadian ini menyebabkan kehilangan massa tulang yang lebih besar dibandingkan pria, sehingga risiko terjadinya osteoporosis dan patah tulang akan lebih tinggi pada wanita (Dawson-Hughes 1996; Magetsari 1999). Kepadatan tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan terjadinya kasus osteoporosis di kemudian hari (Karlson et al. 1995). Kepadatan tulang yang tinggi pada masa premenopause dapat mempertahankan deposit kalsium tulang sehingga mengurangi kehilangan atau penurunan kalsium pada masa menopause.
Dengan demikian, individu
dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan sampai masa premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa pascamenopause (Compston et al. 1993).
Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka
dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun (Nguyen et al. 1995). Pada saat tulang yang mengalami osteoporosis mencapai puncaknya, maka tulang tersebut akan menjadi rapuh dan mudah patah. Hal ini merupakan konsekuensi dari berkurangnya jumlah kalsium dalam massa tulang yang merupakan
faktor
risiko
untuk
terjadinya
osteopenia
dan
osteoporosis
(Rachman et al. 1996; Ott 2002). Kondisi demikian akan sangat berbahaya karena apabila berlanjut dalam jangka waktu yang cukup lama, tulang sebagai kerangka tubuh tidak dapat lagi menyangga bobot tubuh sehingga apabila terjadi
2
patah tulang maka akan sulit untuk sembuh seperti sediakala. Studi epidemiologi menunjukkan banyaknya cedera pada penderita osteoporosis adalah pada ossa vertebrae, ossa coxae, dan collum femoris.
Tulang-tulang ini lebih banyak
mengandung trabekula dibandingkan tulang kompakta (Favus 1993). Bukti substansial mengindikasikan bahwa osteoporosis merupakan masalah kesehatan global dengan ciri kerusakan mikroarsitektur massa tulang, dan terjadi pada 150 juta orang di seluruh dunia per tahun. Proses osteoporosis terjadi karena berkurangnya kadar estrogen pascamenopause pada wanita. Estrogen merupakan salah satu faktor yang sangat diperlukan dalam mengaktifkan osteoblas di jaringan endosteum di sekitar jaringan mieloid sumsum merah pada individu dewasa. Faktor lain yang memengaruhi aktivitas osteoblas adalah nutrisi, hormon paratiroid, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu (Smith 1993).
Osteoblas ini berfungsi untuk sintesis unsur
organik matriks tulang (osteoid), yaitu kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein (Carola et al. 1990; Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996). Memasuki usia 40 tahun, secara fisiologis produksi estrogen mulai berkurang hingga konsentrasinya
hanya
pascamenopause
mencapai
(Smith
1993)
10 yang
%
saat
wanita
dihasilkan
oleh
memasuki kelenjar
masa adrenal
(Guyton 1996). Secara medis beberapa jenis preparat hormon estrogen sintetis dapat dipakai untuk mengobati osteoporosis, namun dalam praktiknya hal ini sangat berat karena harus diberikan seumur hidup (Gass dan Neff 1995). Selain itu pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan, misalnya meningkatkan risiko kanker
payudara,
karsinoma
endometrium,
perdarahan
per
vagina,
tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyen et al. 1995; Genant et al. 1998). Oleh karena itu, kini fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis diarahkan melalui pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap tubuh, antara lain memberikan penambahan dosis asupan mineral, khususnya imbangan kalsium fosfat di dalam makanan, pemberian vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan aktivitas fisik, dan penggunaan bahan alami dari tanaman yang mengandung fitoestrogen. Bahan alami tanaman ini telah lama digunakan secara tradisional oleh
masyarakat
Dalimartha
untuk
2003).
mengobati
penyakit
(Tiangburanatham
1996;
Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan
penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti (hormonal replacement therapy).
3
Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk mengobati berbagai macam penyakit.
Akhir-akhir ini hal tersebut semakin
gencar didengungkan dengan slogan back to nature. Di Afrika, India, Sri Lanka, Malaysia, dan Jawa, Cissus qudrangularis Linn. banyak dipakai untuk mengatasi sakit sendi, sipilis, penyakit kelamin, dan osteoporosis (Shirwaikar et al. 2003). Studi
literatur
menunjukkan
bahwa
batang
Cissus
qudrangularis
Linn.
mengandung triterpen seperti α- dan β-amirin, β-sitosterol, ketosteroid, βkaroten, dan vitamin C (Attawish et al. 2002), γ-amirin, δ-amiron (Mehta et al. 2001).
Semua senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik
yang berbeda (Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004) dan diketahui memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model (Navarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002).
Studi fitokimia pada Cissus
qudrangularis Linn. menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti kuersetin dan vitamin C serta resveratrol, piceatannol, palidol, asam askorbat, ketosteroid, dan karoten (Tiangburanatham 1996; Swamy et al. 2006).
Di India dan Sri
Langka, Cissus qudrangularis Linn. dikenal dapat mengobati patah tulang karena kemampuannya mempertautkan tulang (Sivarajan dan Balachandran 1994). Nadkarni (1954) menjelaskan bahwa akar Cissus qudrangularis Linn. sangat berguna untuk pengobatan retak tulang baik diminum maupun digunakan sebagai plester eksternal. Di Aceh tanaman sipatah-patah telah lama dikenal sangat mujarab dipakai sebagai obat patah tulang dengan cara memakai tumbukan batangnya yang dibalutkan pada daerah yang patah.
Sipatah-patah mempunyai bentuk
struktur yang hampir sama dengan Cissus quadrangularis Linn. Tanaman ini tumbuh di Kecamatan Lam Nga, Kabupatan Aceh Besar, dan tanaman sipatahpatah ini telah diidentifikasi sebagai Cissus quadrangula Salisb oleh Herbarium Bogorinsis.
Mengingat besarnya potensi tanaman sipatah-patah dan khasiat
yang dikandungnya sebagai obat patah tulang, besar kemungkinan tanaman sipatah-patah yang ada di Aceh juga berpotensi sebagai antiosteoporosis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai peranan sipatah-patah sebagai antiosteoporosis.
Tanaman sipatah-patah ini belum pernah diteliti dan juga
belum diketahui kandungan fitokimia yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu sipatah-patah perlu diteliti kandungan fitokimianya.
4
Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995). Untuk itu maka perlu diteliti pengaruh sipatah-patah pada hewan percobaan yang diberi ekstrak sipatah-patah pada masa pertumbuhan dan menopause. Hewan percobaan
yang
akan
Shirwaikar et al. (2003).
dipakai
adalah
tikus
sesuai
dengan
penelitian
Dengan demikian maka diperlukan dua kelompok
penelitian, yaitu untuk mengetahui kemampuan sipatah-patah dalam mencegah osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan dan mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui ovariektomi.
1.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan melalui tiga hal yaitu: 1). Mengetahui kandungan mineral kalsium dan fosfat serta komposisi fitokimia tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) asal Aceh. 2). Menguji
kemampuan
ekstrak
etanol
batang
sipatah-patah
dalam
mencegah osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan. 3). Mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui ovariektomi. 1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kandungan mineral dan bahan fitokimia tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) asal Aceh dalam rangka memperkaya data biologi sumber daya alam hayati tanaman asli Indonesia dan memperteguh keyakinan kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan tanaman asli Indonesia, khususnya sipatah-patah dalam mencegah dan mengobati osteoporosis pada tikus melalui proses kajian ilmiah. 1.4. Hipotesis Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah: 1. Komponen utama sipatah-patah mengandung kalsium, fosfat, dan fitoestrogen. 2. Pemberian ekstrak etanol batang sipatah-patah asal Aceh dapat : a. Mencegah kejadian osteoporosis pada tikus betina prepubertas b. Mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Struktur Tulang Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif,
menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi sebagai penopang tubuh, memberi bentuk tubuh, dan melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak, serta menjadi tempat terjadinya proses hemopoiesis darah (Favus 1993; Leeson et al. 1996). Tulang-tulang membentuk kerangka (skeleton).
Kerangka manusia dibentuk oleh 206 buah tulang
(Akers dan Denbow 2008) sedangkan kerangka kuda mempunyai 208 buah tulang (Getty 1975). Tulang berfungsi sebagai alat gerak pasif karena gerakan tulang dilakukan oleh kontraksi otot yang bertaut ke tulang melalui tendo-tendo (Leeson et al. 1996). Tulang kerangka secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi ossa longa (tulang panjang), ossa plana (tulang pipih), ossa brevia (tulang pendek), dan ossa irregularia (tulang tidak beraturan). Tulang panjang (ossa tibia-fibula, ossa radius-ulna) bentuknya silindris dan panjang dengan kedua ujungnya membesar.
Tulang panjang berfungsi untuk menahan beban tubuh dan di
daerah metafisis bagian dorsal terdapat sumsum merah. Berbeda dengan tulang panjang, tulang pipih seperti os ilium dan ossa cranii bertugas untuk melindungi bagian tubuh yang lunak.
Tulang pendek (ossa carpi, ossa tarsi, dan
ossa sesamoidea) mempunyai panjang, lebar, dan tinggi yang hampir sama dan berfungsi untuk menahan benturan atau mengurangi pergeseran dan perubahan arah dari tendo. Ossa vertebrae termasuk tulang tidak beraturan, yang terbagi dalam segmen-segmen yang terletak pada sumbu tubuh sehingga sangat fleksibel dipakai untuk pergerakan tulang belakang dan menjadi tempat beradanya sumsum merah (Carola et al. 1990). Tulang tersusun atas tulang kompakta pada bagian luar dan tulang trabekula pada bagian dalam (Smith 1993). Dengan susunan seperti ini massa tulang menjadi lebih ringan tanpa mengurangi tingkat kekuatannya sehingga fungsinya menjadi optimal (Fleisch 1993). Bagian luar dari tulang berbentuk lapisan padat yang disebut tulang kompakta (substansia compacta), sedangkan bagian dalamnya merupakan lempeng-lempeng tipis tersusun seperti bunga karang (kasau-kasau tulang yang halus dan berjalan ke berbagai arah)
yang disebut tulang trabekula
7
(substansia spongiosa) (Stevenson dan Marsh 1992; Carola et al. 1990). Proporsi substansia kompakta dan spongiosa masing-masing sekitar 80 % dan 20 % (Goldberg 2004), namun ditemukan banyak variasi sesuai dengan jenis tulang dan dipengaruhi oleh daya tekan dan tarik yang dialami tulang tersebut (Stevenson dan Marsh 1992; Leeson et al. 1996). Dengan struktur seperti ini, tulang mempunyai kekuatan yang optimum dengan bobot yang minimal sehingga dapat
menahan
bobot
badan
maupun
beban
kerja
(Parfitt
1984;
Carola et al. 1990). Tulang kompakta terdiri atas jaringan kolagen dan hidroksiapatit yang membentuk 3 lapisan, yaitu lapisan periosteum, intrakompakta, dan endosteum (Rachman 1999).
Periosteum adalah selubung fibrosa yang membungkus
tulang, kecuali pada permukaan sendi (Leeson et al. 1996). Periosteum pada hewan dewasa terdiri atas dua lapisan, tanpa batasan yang jelas. Lapisan luar terdiri atas jaringan ikat padat fibrosa yang mengandung anyaman pembuluh darah. Lapisan dalam terdiri atas jaringan ikat yang lebih longgar, mempunyai sedikit
unsur
kolagen
yang
memasuki
tulang
sebagai
serat
Sharpey
(Carola et al. 1990), mengandung banyak sel jaringan ikat berbentuk gelondong yang disebut lapisan kambium, lapisan ini mengandung sel-sel osteoprogenitor dan disebut periosteum. Sel-sel osteoprogenitor adalah sel-sel yang berfungsi untuk membentuk jaringan tulang. Pada tulang yang sedang tumbuh, lapisan kambium aktif membentuk tulang sehingga dinding tulang menjadi tebal. Dalam keadaan normal, periosteum lebih tipis, kurang vaskularisasi dan berada dalam keadaan istirahat, tetapi masih berpotensi osteogenik. Jika tulang mengalami fraktura (retak), maka lapisan kambium dari periosteum akan aktif kembali dalam usahanya mengadakan regenerasi tulang (Leeson et al. 1996). Bagian intrakompakta merupakan bagian utama dari tulang kompakta yang dibentuk oleh sistem Haver, membentuk bangun berupa tabung dengan panjang 2 mm dan diameter 22 µm yang terdiri atas lapisan konsentrik dengan osteosit yang berada di antaranya.
Pada bagian tengah tulang kompakta
terdapat saluran Volkmann berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf yang berperan mengangkut nutrisi dan sebagai alat sensoris (Carola et al. 1990). Dari periosteum dan endosteum akan masuk saluran Volkman atau saluran nutrien secara tegak lurus ke dalam tulang dan berhubungan dengan saluran Haver. Dengan demikian, di dalam tulang terdapat suatu sistem yang kompleks
8
Gambar 1. Struktur tulang panjang (dimodifikasi dari Warwick dan Williams 1973). dan saling berhubungan antara pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf untuk tulang (Carola et al. 1990; Leeson et al. 1996). Setiap saluran Haver memiliki sejumlah lamel konsentris (5 sampai 20 lamel). Lamel matriks tulang, sel-sel dan saluran pusatnya membentuk sistem Haver. Kanalikuli pada sistem Haver akan berhubungan langsung dengan saluran Haver sehingga semua lakuna akan berhubungan langsung dengan saluran Haver. Kanalikuli pada tepi sistem Haver biasanya tidak berhubungan dengan kanalikuli yang berasal dari sistem sebelahnya, melainkan membentuk lengkungan dan kembali ke lakunanya sendiri.
Sistem Haver terutama tersusun menurut sumbu panjang
tulang, sehingga pada potongan melintang terlihat sebagai lubang bulat yang dikelilingi oleh lamel-lamel yang melingkar (Gambar 2), sedangkan pada potongan memanjang sistem Haver terlihat sebagai celah memanjang yang dibatasi kolom-kolom lamel (Leeson et al. 1996). Bagian
trabekula
mengandung
lempeng-lempeng
yang
saling
berhubungan dengan pola tertentu yang membentuk garis trayektori spesifik menurut fungsi mekanis tulang tersebut.
Tulang trabekula terdiri atas lamel-
lamel, di dalamnya terdapat lakuna yang mengandung osteosit dan sistem kanalikuli yang saling berhubungan. Pada masa prenatal, pada tulang spongiosa belum terlihat jelas adanya lamel-lamel karena serat-serat kolagen tulang terdapat dalam anyaman tidak beraturan. Hal ini terlihat khas untuk tulang yang berkembang dengan cepat dan disebut sebagai tulang teranyam (woven bone) (Leeson et al. 1996).
9
Gambar 2.
Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa (trabekula) di metafisis bagian proksimal tulang panjang (dimodifikasi dari Leeson et al. 1996)
Endosteum adalah lapisan halus yang membatasi rongga sumsum dan meluas sebagai pelapis sistem saluran tulang kompakta. Endosteum terdiri atas jaringan retikular padat yang memiliki kemampuan osteogenik dan hemopoetik (Carola et al. 1990). Endosteum merupakan permukaan dalam dari tulang yang terdiri atas sel osteoprogenitor dan hanya sebagian kecil jaringan ikat yang melapisi permukaan trabekula dan permukaan medulla tulang kortikal serta kanal Harvesian.
Endosteum menyediakan sel osteoprogenitor atau sel osteoblas
secara kontinyu untuk perbaikan dan pertumbuhan tulang yang berfungsi untuk remodeling tulang (Einhorn 1996; Leeson et al. 1996).
2.1.1
Komposisi Tulang Tulang terbentuk dari unsur mineral kira-kira 65 %, matriks organik
ekstraseluler 30 %, sel-sel osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air (sekitar 5 %). Sebagian besar (95 %) dari mineral tulang merupakan kristal hidroksiapatit dan 5 % sisanya terdiri atas bahan organik (Favus 1993; Guyton 1996; Ott 2002). Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran utamanya
kristal
kalsium
[3Ca 3 (P0 4 ) 2 Ca(OH) 2 ].
fosfat
atau
kristal
kalsium
hidroksiapatit
Kalsium hidroksiapatit berbentuk piringan kristal tajam
seperti jarum di dalam dan di antara serat kolagen dengan panjang 20-80 nm dan tebal 2-5 nm (Puzas 1993; Leeson et al. 1996). Selain komponen tersebut, kalsium hidroksiapatit juga mengandung komponen lain seperti karbonat, sitrat, magnesium, natrium, fluor, dan strontium yang terdapat pada kisi dari kristal atau terserap ke dalam sampai ke permukaan kristal (Rachman 1999).
10
Bahan organik dari mineral tulang terdiri atas 98 % jaringan kolagen dan 2 % sisanya terdiri atas beberapa protein nonkolagen. Kolagen adalah protein dengan daya larut yang sangat rendah, terdiri atas 3 rantai polipeptida (triple helix) yang pada setiap rantai terdapat seribu (1000) asam amino (Shenk et al. 1993). Protein
nonkolagen
tulang
terdiri
atas
osteonektin,
osteokalsin,
osteopentin, dan sialoprotein (Favus 1993). Osteonektin adalah protein besar dengan bobot molekul 320 KDa yang disintesis oleh osteoblas.
Protein ini
berfungsi untuk mengikat kolagen hidroksiapatit. Osteokalsin adalah protein kecil dengan bobot molekul 5.8 KDa dan berjumlah sekitar 10-12 % dari total protein nonkolagen, protein ini berhubungan erat dengan fase mineralisasi tulang (Rachman 1999). Beberapa protein tulang yang lain seperti trombopontin, asam glikoprotein, dan fibronektin merupakan protein yang mengandung asam argininglisin aspartat yang bersifat asam dan berafinitas besar terhadap kalsium. Protein-protein ini mempunyai kemampuan untuk diikat oleh reseptor integrin. Growth factor dan sitokin seperti transforming growth factor beta (TGFβ), insulin growth factor (IGF), interleukin (IL), bone morphogenic protein (BMP) terdapat dalam jumlah kecil di matriks tulang (Shenk et al. 1993). Protein-protein tadi mengikat mineral tulang dan matriks dan dilepaskan saat terjadi proses resorbsi tulang oleh osteoklas (Favus 1993).
2.1.2
Metabolisme Tulang Metabolisme tulang diatur oleh osteoblas, osteosit, dan osteoklas
terhadap
respons
dari
berbagai
rangsangan
di
sekelilingnya
termasuk
rangsangan kimia dan mekanik (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Rangsangan spesifik diatur oleh reseptor sel yang ditemukan pada membran sel atau di dalam sel. Reseptor yang berada di membran sel menerima rangsangan dari luar dan mengirimkan informasi tersebut ke inti menyeberangi sitoplasma sel melalui mekanisme transduksi. Sementara itu reseptor dalam sel (di sitoplasma atau di inti) mengikat rangsangan (biasanya hormon steroid) yang melewati membran sel dan masuk ke dalam sel untuk memindahkan efektor ke nukleus yang di dalamnya terdapat reseptor steroid kompleks yang terikat pada asam deoksiribonukleat (DNA) spesifik dari rangkaian gen (Rachman 1999).
11
Pada tulang dapat dibedakan tiga jenis sel tulang, yaitu osteoblas, osteosit, dan osteoklas (Rachman 1999) (Gambar 3). Osteoblas merupakan sel yang berhubungan dengan pembentukan tulang dan ditemukan pada permukaan tulang, yaitu periosteum dan endosteum. Osteoblas dibentuk dari sel stroma dari mesoderm (totipotent mesenchymal stem cell) (Smith 1993; Ott 2002). Pembentukan osteoblas dimulai dari prekusor sel stroma menjadi preosteoblas yang kemudian berkembang menjadi osteoblas yang dapat diaktifkan sehingga akhirnya dapat membentuk osteosit (Erickson et al. 1992; Puzas 1993). Osteoblas merupakan sel berinti tunggal yang terdapat di permukaan luar (periosteum) dan di dalam tulang (endosteum). Sitoplasmanya bersifat basofil karena mengandung nukleoprotein. Apabila sel ini berada dalam keadaan aktif berbentuk kuboid, sedangkan dalam keadaan tidak aktif, osteoblas berbentuk pipih (Einhorn 1996). Dalam proses perbaikan kondisi tulang setelah adanya perombakan tulang oleh osteoklas, biasanya ditemukan adanya osteoblas aktif di tempat itu untuk mensintesis matriks tulang baru yang diawali dengan proses mineralisasi dan kolagenasi matriks tulang (Price 1995; Lian dan Stein 1996). Osteoblas berfungsi menghasilkan kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein untuk pembuatan dan pertumbuhan tulang baru pada daerah permukaan tulang dan juga untuk pembentukan tulang pada kartilago (Telford dan Bridgman 1995). Proses
perkembangan
dan
pembentukan
tulang
oleh
osteoblas
dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lokal maupun sistemik. Faktor lokal yang berpengaruh dalam meningkatkan pembentukan tulang adalah BMP (bone morphogenic protein), TGF-β, IGF (insulin-like growth factor-1), estrogen, triiodotironin
(T 3 ),
tetraiodotironin
prostaglandin E2 (PGE2).
(T 4 ),
kalsitriol
[1,25-(OH) 2 D 3 ],
dan
Faktor sistemik yang meningkatkan pembentukan
tulang adalah fluorida, PTH (hormon paratiroid) nutrisi, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu (Gambar 4). Faktor sistemik lainnya yang bekerja dengan menghambat formasi tulang adalah hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal (Smith 1993; Ott 2002). Saat menjalankan fungsinya, osteoblas juga memproduksi enzim alkalin fosfatase.
Enzim ini mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan alkalin
fosfatase yang dihasilkan oleh jaringan lainnya.
Fungsi alkalin fosfatase ini
bekerja dengan cara membebaskan protein nonkolagen osteokalsin dalam proses pembentukan tulang. Aktivitas osteoblas dapat dipantau secara biokimia
12
Gambar 3.
Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas (dimodifikasi dari Leeson et al. 1996).
dengan menilai kadar enzim alkalin fosfatase tulang dan kadar osteokalsin dalam serum (Price 1995).
Dalam perkembangan penelitian selanjutnya telah
ditemukan reseptor estrogen dan reseptor kalsitriol di osteoblas (Gallaher 1986; Reid 1996). Tipe sel tulang yang kedua adalah osteosit, yaitu osteoblas yang sudah menetap dalam lakuna pada saat pembentukan lapisan permukaan tulang berlangsung.
Osteosit merupakan sel peralihan dari sel-sel osteoblas yang
berhenti membentuk matriks tulang dan terperangkap di dalam tulang. Sel ini memiliki peran dalam memelihara matriks tulang sehingga tersimpan di dalam tulang (Erickson et al. 1992; Puzas 1993).
Sel tersebut berhubungan satu
dengan yang lainnya melalui penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli dan berperan dalam membantu koordinasi respons tulang terhadap stres atau deformasi (Stevenson dan Marsh 1992). Tidak semua osteoblas berkembang menjadi osteosit (hanya 10-12 %), hal ini disebabkan oleh kegagalan difusi nutrisi. Pembuluh darah masuk melalui kanal kecil yang dikenal sebagai kanalikuli. Kanalikuli adalah satu-satunya saluran untuk nutrisi dan pertukaran gas yang akan digunakan oleh osteosit.
Bentuk kanalikuli beraturan seperti
tubulus penghubung (Lian dan Stein 1996).
Osteosit juga diduga memiliki
kemampuan merespons mekanisme rangsangan gaya mekanik dan neuroelektrik yang berhubungan dengan aktivitas individu.
Gaya fisioelektrik ini diduga
merangsang pengeluaran IGF-1 untuk mengaktifkan osteoblas dan juga merangsang proses pembentukan osteoblas yang baru (Erickson et al. 1992; Hosking 1994).
13
Sel ketiga pada tulang adalah osteoklas yang bertanggung jawab terhadap resorbsi kalsium tulang dan kartilago (Ott 2002). Osteoklas memiliki progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid, yaitu monosit atau makrofag pada sumsum tulang (Smith 1993; Ott 2002). Osteoklas ini bersifat mirip dengan sel fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang.
Osteoklas
merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus (10-20 nuklei) dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang trabekular (Marcus et al. 1996).
Di dalam menjalankan tugasnya, osteoklas
mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam laktat, serta asam sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini memecah atau melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan melarutkan garamgaram tulang. Osteoklas mempunyai ruffled border yaitu daerah spesifik dari membran sel berbentuk jari-jari atau gelambir-gelambir, yang biasanya berhadapan dengan permukaan tulang. Sekresi enzim-enzim, asam laktat, dan asam sitrat dilepaskan keluar sel melalui ruffled border. Di area ruffled border ini terjadi proses resorbsi tulang sehingga mengakibatkan terbentuknya Endokrin Jarak jauh PTH 1,25(OH)2D3
Estrogen
Jarak pendek Sitokin
Kortisol
Nutrisional
Mekanik
Osteoblas pasif
Pre-osteoblas
Osteoblas Osteosit
Sel pengendali osteoklas
Gambar 4.
14
Mineralisasi Sintesis kolagen protein non-kolagen proteoglikan
Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas (dimodifikasi dari Smith 1993)
cekungan sebagai akibat hilangnya matriks di daerah itu, dan cekungan yang terbentuk ini dinamakan lakuna Howship (Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996). Interaksi antara osteoklas dan osteoblas (Gambar 5) secara normal selalu terjadi pada proses remodeling tulang.
Osteoblas diduga mengambil bone
morphogenetic protein (BMP) sebelum osteoklas merusak tulang.
Resorbsi
tulang akan membebaskan protein tulang yang berpengaruh timbal balik yaitu dapat menstimulasi aktivitas osteoblas. diketahui dengan pasti (Smith 1993).
Proses remodeling ini masih belum Sel-sel osteoklas menangkap partikel-
partikel matriks tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya melarutkan benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah (Guyton 1996; Smith 1993).
Proses ini selalu dalam keadaan seimbang dalam mengatur
formasi dan resorbsi tulang sehingga dikenal dengan istilah berpasangan atau coupling (Suda et al. 1992; Smith 1993). Dalam proses peningkatan aktivitas osteoklas, osteoblas menghasilkan beberapa sitokin seperti tumor necrosis factor beta (TNF β), IL-1, dan IL- 6, sehingga dapat dikatakan terdapat poros osteoblasosteoklas dalam pengendalian densitas tulang. Sebaliknya, aktivitas osteoklas dihambat oleh estrogen, kalsitonin, TGF β, interferon gamma (IFN- ), dan prostaglandin (PGE2) (Suda et al. 1992).
Gambar 5.
Diagram interaksi osteoblas dan osteoklas remodeling pada permukaan tulang (Smith 2003).
dalam
proses
15
Bone morphogenetic protein merupakan pemicu osteoblastogenesis dengan merangsang osteoblastic specific factor-2 (OSF-2) atau core binding factor A1 (Cbf A1) yang berfungsi mengaktifkan gen spesifik osteoblas, seperti osteokalsin, osteopontin, sialoprotein, dan kolagen tipe I. Selain hormon sistemik dan sinyal mekanis, perkembangan dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas diatur juga oleh growth factor (GF) dan sitokin (Manolagas 2000).
2.1.3
Modeling dan Remodeling Tulang Carola et al. 1990 menyatakan bahwa tulang merupakan suatu organ
yang mengalami metabolisme aktif berupa proses penyerapan dan pembentukan tulang.
Proses ini berlangsung secara simultan dan menyangkut semua
perubahan yaitu modeling dan remodeling. Modeling adalah perubahan struktur atau bentuk pada jaringan tulang akibat formasi dan resorbsi matriks tulang dalam proses pertumbuhan (contoh: perubahan bentuk tulang kepala dari bayi sampai tua).
Pada manusia,
memasuki usia 20 sampai 30 tahun (Gambar 6) terjadi peningkatan pembentukan massa tulang dengan
tercapainya massa tulang puncak
(Goldberg 2004). Proses modeling terjadi pada bagian growth plate (lempengan tulang rawan yang aktif berproliferasi atau disebut juga sasaran epifise) atau pada
lokasi
perubahan
tulang
rawan
menjadi
tulang
termineralisasi
(Eriksen et al. 1994). Selama proses pertumbuhan terjadi pemisahan badan tulang (corpus) dengan area ujung tulang (epifisis) oleh sasaran epifise.
Gambar 6.
16
Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia (dimodifikasi dari Goldberg 2004)
Pertumbuhan memanjang terjadi karena sasaran epifise tersebut terisi oleh tulang baru pada ujung badan tulang. Lebar sasaran epifise sebanding dengan kecepatan pertumbuhan tubuh dan dipengaruhi oleh sejumlah hormon terutama hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh hipofisa dan insulin growth factor-1 (IGF-1) (Ganong 1995).
Sementara itu Goldberg (2004) menyatakan bahwa
modeling dimulai sejak di dalam kandungan sampai mencapai puncak massa tulang yang dipengaruh oleh faktor-faktor fisiologis dan mekanis. Pembentukan tulang terjadi melalui mekanisme pengerasan tulang endokondrial.
Hal itu
termasuk perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar dari matriks ekstraseluler.
Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler,
berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas (yang menurunkan kalsifikasi tulang rawan) dan prekursor osteoblas. Proses kalsifikasi tulang rawan menghasilkan the primary spongiosum, sedangkan tulang yang terbentuk di antara jaringan disebut the secondary spongiosum yang nantinya dikenal sebagai tulang woven (Leeson et al. 1996). Remodeling adalah proses yang berlangsung terus-menerus secara aktif dengan membangun dan memperbaiki pembentukan tulang yang dilakukan oleh osteoklas (resorbsi tulang) dan osteoblas (formasi tulang). Proses remodeling pada kondisi normal adalah massa tulang yang diresorbsi seimbang dengan jumlah massa tulang yang diformasi, terutama pada individu berusia sekitar 3040 tahun (Goldberg 2004). Remodeling juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan biokimia tulang, memelihara dan memperbaiki kerusakan tulang (Rachman 1999). Keseimbangan ini mulai terganggu melewati usia 40 tahun. Pada usia tersebut proses remodeling tulang mulai tidak seimbang yaitu, kecepatan formasi tulang tidak sama dengan resorbsi tulang dan lebih cenderung ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause. Pada saat ini terjadi proses uncoupling, yaitu awal proses penuaan (Goldberg 2004). Menurut Leeson et al.
(1996) dan Rodan (1996) tahapan proses remodeling tulang
normal meliputi enam tahap, yaitu quiescence (istirahat), aktivasi, resorbsi, proses balik (reversal), formasi, dan berakhir pada tahap istirahat. Remodeling tulang dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti hormon paratiroid (PTH), kalsitonin, sitokin, kalsitriol dan faktor-faktor lokal nutrisi, faktor pertumbuhan, TGFβ, fibroblast growth factor (FGF), IL, prostaglandin, dan aktivitas individu. Beberapa tahun setelah puncak massa tulang terjadi, proses
17
remodeling tulang masih berjalan normal dengan jumlah massa tulang yang masih stabil. Memasuki usia 40 tahun atau tepatnya memasuki usia menopause, proses remodeling mulai berjalan tidak seimbang (Rachman 1999). Secara fisiologis, pada wanita pascamenopause karena kadar estrogen yang mulai menurun akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sel osteoklas dan osteoblas (Mizuno et al. 1995).
Kekurangan estrogen akan
menyebabkan menurunnya kadar kalsium darah sehingga akan memacu kelenjar paratiroid untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang (Potu et al. 2009). Secara mikroskopis, proses remodeling tulang dimulai dengan sekresi kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan oleh osteoblas.
Kolagen mengalami
polimerisasi membentuk serabut kolagen atau semacam tulang rawan yang belum mengalami proses mineralisasi yang disebut osteoid.
Osteoblas yang
terperangkap di dalam osteoid akan menjadi osteosit dan berperan dalam regulasi mineral tulang (Favus 1993). Penumpukan mineral terjadi beberapa hari setelah terbentuknya osteoid dengan susunan berselang seling dengan serabut kolagen menjadi kristal hidroksiapatit. Pada remodeling proses pembentukan mineral diikuti juga oleh proses penyerapan mineral dan berlangsung dalam keseimbangan yang dinamis di dalam tulang (Leeson et al. 1996).
2.2.
Osteoporosis Osteoporosis merupakan suatu kondisi atau perubahan yang terjadi pada
tulang sebagai akibat pengurangan massa tulang, mineral maupun matriks tulang (Sabri 2000; Anderson et al. 2008), sehingga kepadatan tulang berkurang atau tulang menjadi keropos.
Pengurangan massa tulang tersebut dapat terjadi
sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorbsi dan pembentukan tulang (Palmer 1993; Shin et al. 2007). Beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis ialah faktor umur, kurangnya aktivitas fisik, jenis kelamin, nutrisi, kelaparan, hormonal, genetik, kebiasaan hidup, individu seperti perokok, dan peminum alkohol, serta warna kulit (Lane, 2001; Rizer 2006). Setelah mencapai usia 30 tahun pada puncak massa tulang, maka massa tulang berubah seiring dengan bertambahnya usia dan jaringan tulang yang 18
hilang menjadi lebih banyak daripada yang dibentuk.
Pada usia remaja,
pertumbuhan tulang wanita menjadi semakin cepat dengan meningkatnya produksi hormon estrogen dan progesteron. Massa tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan akan terjadinya osteoporosis dalam masa kehidupan selanjutnya (Karlson et al. 1995). Setelah usia antara 35-40 tahun penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1 % per tahun. Wanita pada masa pascamenopause mengalami peningkatan kehilangan tulang sampai 2% per tahun akibat peningkatan penyerapan tulang (Endris dan Rude 1994). Osteoporosis mencakup dua mekanisme perubahan mikroanatomi trabekula, yaitu proses penipisan dan erosi tulang trabekula.
Kedua proses
tersebut bergantung pada perubahan yang mendasari proses remodeling (Eriksen et al. 1994). Selanjutnya Croucher et al. (1994) menegaskan bahwa struktur trabekula tulang ilium wanita pascamenopause menunjukkan adanya perubahan mikrostruktur, berupa penurunan massa tulang dan matriks tulang. Pada penelitian lain, Kalu et al. (1993) menyatakan bahwa penentuan dasar proses remodeling tulang berupa penipisan tulang trabekula menuju pada perubahan arsitektur tulang dan erosi tulang sehingga kehilangan tulang trabekula dapat secara keseluruhan atau proporsional. Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, osteoporosis dapat bertambah parah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya konsumsi dan absorbsi kalsium tetapi juga disebabkan oleh terlalu tingginya rasio fosfat dan kalsium dalam diet (Sabri
2000).
Tingginya
konsumsi
fosfat
mengakibatkan
terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder sehingga mengganggu homeostasis kalsium terutama pada manula (Anderson 1996).
Calvo dan Park (1996) juga
menyebutkan bahwa osteoporosis pada hewan yang disebabkan oleh faktor defisiensi kalsium menjadi faktor penyebab utama, sedangkan faktor lainnya adalah malnutrisi dan defisiensi fosfor. Manifestasi klinis osteoporosis adalah rasa nyeri, yang baru timbul setelah ada komplikasi seperti fraktur dan deformitas.
Akibat lanjut
permasalahan osteoporosis pada wanita pascamenopause terdiri atas 75 % patah tulang lumbal (fraktur vertebrae) dan 25 % patah tulang paha (Gambar 7). Fraktur tulang lumbal, sering terjadi tanpa gejala, bila terdapat nyeri maka nyeri
19
- Asupan makanan - Genetis
Puncak massa tulang tidak optimal
Densitas tulang rendah Penuaan Kehilangan massa tulang meningkat
Tulang rapuh
Menopause Mudah kena trauma Penyakit dan faktor sporadis
Gambar 7.
Bagan patogenesis Wark 1993)
proses
osteoporosis
(dimodifikasi
dari
yang dialami bersifat akut, terlokalisasi pada tulang belakang, rasa nyeri akan berkurang setelah 2-6 minggu. Keadaan kifosis oleh karena fraktur akan muncul secara bertahap sehingga makin lama makin tampak nyata. Fraktur tulang paha biasanya oleh karena adanya trauma atau jatuh. Fraktur ini ditandai dengan adanya rasa nyeri terlokalisasi pada daerah fraktur dan hilangnya fungsi tulang sebagai penyangga tubuh.
Keadaan tersebut merupakan gejala khas
osteoporosis (Rachman et al. 1996). Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang (Karlson et al. 1995; Goldberg 2004). Menurut Jubb et al. (1993), diagnosis osteoporosis stadium awal banyak mengalami kesulitan, apalagi jika hanya menggunakan metode diagnostik yang sederhana. Oleh karena itu, osteoporosis biasanya baru dapat terdiagnosa apabila penyakit sudah melanjut.
Gambaran radiologi tulang
penderita osteoporosis terlihat radiolucent, kepadatan tulangnya menurun, tetapi gambaran ini umumnya hanya akan terlihat pada kasus osteoporosis yang sudah melanjut.
20
2.2.1. Kalsium. Kalsium sangat berperan dalam berbagai proses biologik seperti koagulasi darah, aktivitas enzim, kontraksi otot, eksitabilitas saraf, pembebasan hormon, permeabilitas membran, dan sebagai unsur esensial struktur tulang (Nieves 2005).
Aktivitas tersebut di atas dapat berlangsung normal apabila
kadar kalsium dalam darah berada dalam kisaran normal (Winarno 1998). Untuk mempertahankan dalam keadaan normal kalsium dipengaruhi oleh PTH, vitamin D, dan kalsitonin (Zhang et.al. 2006). Penyerapan kalsium sebagian besar terjadi di duodenum dan jejunum bagian proksimal karena keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian usus yang lainnya.
Penyerapan kalsium di usus halus berlangsung melalui dua
mekanisme, yaitu dengan transpor aktif dan transpor pasif. Mekanisme transpor aktif diatur oleh 1,25 - Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH) 2 D], suatu bentuk vitamin D paling aktif yang diproduksi dalam ginjal (Baylink 2000; Parfitt 2005). Transpor aktif diatur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh yang meningkat, misalnya pada periode pertumbuhan, kehamilan, laktasi, atau pada saat diet rendah kalsium.
Dehidroxycholecalciferol [1,25-(OH)2D]
menyebabkan terbentuknya protein pengikat kalsium di sel-sel epitel usus. Protein tersebut berfungsi untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel, selanjutnya kalsium bergerak melewati membran basolateral dengan cara difusi terfasilitasi (Guyton 1996). Protein pengikat kalsium tetap di dalam sel plasma beberapa minggu sesudah [1,25-(OH)2D] dikeluarkan dari tubuh sehingga memperpanjang waktu absorbsi kalsium.
Absorbsi kalsium dalam saluran
pencernaan biasanya berkisar antara 30-80 % dari total asupan kalsium. Tubuh manusia menyerap sekitar 20 % hingga 40 % kalsium dari makanan yang dikonsumsi, namun pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Penyerapan kalsium meningkat apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah. Sebaliknya penyerapan kalsium menurun apabila kadar kalsium darah tinggi (Murray et al. 2003). Kadar kalsium plasma normal berkisar antara 9,2-10,4 mg/dl (2,4 mEq/L), dari jumlah tersebut sekitar 6 % berikatan dengan sitrat, fosfat dan anion lain, sedangkan sisanya 94 % terbagi dua, yaitu bentuk yang terikat protein plasma dan bentuk terionisasi atau tidak terikat. Bentuk terikat protein plasma terutama dengan albumin (47 %) dan bentuk yang terionisasi atau yang tak terikat (47 %), dapat berdifusi melalui membran sel semipermeabel (Murray et al. 2003).
21
Kalsium dalam bentuk ion diperlukan untuk mengatur sejumlah proses fisiologik dan biokimia penting termasuk eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah, proses-proses yang sifatnya sekresi, integritas membran serta pengangkutan membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon serta neurotransmiter, dan kerja intrasel sejumlah hormon (Bringhurst 1995; Ganong 1995).
Aktivitas
biologik seperti tersebut di atas dapat berjalan normal apabila kadar kalsium berada dalam kisaran normal. Kadar kalsium ion dipertahankan oleh mekanisme homeostasis (Guyton 1996).
Adanya perubahan 1-5 % dari kalsium darah
menyebabkan mekanisme homeostasis mulai berperan untuk mengembalikan kadar kalsium pada kadar yang normal (Cunningham, 1992). Kalsium plasma berada dalam keseimbangan dengan kadar kalsium tulang yang siap melakukan pertukaran. Jumlah kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh PTH, kalsitriol, dan kalsitonin yaitu dengan cara memengaruhi transpor kalsium melalui membran yang memisahkan cairan ekstrasel dengan cairan periosteum (Ganong 1995). Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan kerangka tubuh. Kalsium harus tersedia dengan cukup pada makanan untuk mempertahankan kadar normalnya dalam serum.
Nutrisi rendah kalsium
menyebabkan individu akan memasuki kehidupan dewasa dengan massa tulang yang kurang padat. Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis (Ott 2002).
Mulai usia sekitar 50-an pada pria dan saat
menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan terjadi kehilangan massa tulang pada seluruh bagian dari kerangka.
Kehilangan
kalsium ini dihubungkan dengan makin meningkatnya kejadian patah tulang, khususnya pada wanita (Eastwood 2003). Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun (Nguyen et al. 1995). Kekurangan asupan kalsium atau gangguan penyerapan kalsium dari usus memberikan pengaruh berbeda pada berbagai tingkat usia. Apabila kondisi ini terjadi pada masa anak-anak maka akan menimbulkan penyakit rhakhitis atau osteomalasia pada orang dewasa (Parfitt 2005; Anderson et al. 2008). Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, 98-99 % dari jumlah kalsium yang difiltrasi akan diserap kembali (Cunningham, 1992). Penyerapan kembali dari kalsium 65 % terjadi di tubulus proksimal, sedangkan sisanya sebagian
22
besar diserap kembali melalui tubulus distal dan sebagian kecil melalui bagian asendens jerat Henle. Penyerapan kembali di tubulus distal merupakan proses transpor aktif yang diatur oleh hormon paratiroid (Ganong 1995; Parfitt 2005). Sebagian besar kalsium diekskresikan lewat tinja dan hanya sebagian kecil lewat urin.
Ekskresi kalsium lewat urin maupun tinja menurun apabila terjadi
hipokalsemia (Parfitt 2005)
2.2.2. Fosfor Sebagai suatu bahan anorganik, kadar fosfor yang terkandung dalam tubuh manusia menempati jumlah kedua terbanyak setelah kalsium, dan kira-kira 85-90 % fosfor ini terikat dalam kerangka (Ganong 1995). Fosfor plasma total sekitar 12 mg/dl, dua per tiga dari jumlah tersebut berupa senyawa organik dan sisanya merupakan fosfor anorganik. Fosfor anorganik dalam plasma terdapat dalam dua bentuk yaitu HPO 4 serta H 2 PO 4 - . Konsentrasi HPO 4 - adalah sekitar 1,05 mmol/L, sedangkan konsentrasi H 2 PO 4 - sekitar 0,26 mmol/L. Apabila jumlah total fosfor dalam cairan ekstraselular meningkat, kedua bentuk ion fosfor tersebut juga akan meningkat.
Secara kimiawi sangat sulit untuk menentukan jumlah yang
tepat dari HPO 4 - dan H 2 PO 4 - , hal ini karena jumlah total fosfor biasanya dinyatakan dengan miligram fosfor per desiliter (100 ml) darah.
Jumlah
rata-rata fosfor anorganik dalam plasma pada orang dewasa sekitar 4 mg/dl, yang bervariasi antara batas normal sebesar 3 sampai 4 mg/dl dan 4 sampai 5 mg/dl pada anak-anak (Guyton 1996). Fosfor berfungsi antara lain sebagai unsur pembentuk tulang, energi metabolik, memelihara integritas membran, metabolisme asam nukleat, dan sebagai bufer (Linder 1985).
Di dalam tubuh fosfor secara normal
mempertahankan suatu keseimbangan dengan kadar kalsium yang serasi. Kadar fosfor dalam darah cenderung berbanding terbalik dengan kadar kalsium dalam darah. Naiknya salah satu dari ke dua unsur tersebut akan diikuti oleh turunnya unsur yang satunya (Cunningham 1992) Peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan
konsentrasi
fosfor
serum,
sementara
kalsium
yang
terionisasi dalam serum akan mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid yang potensial dalam menyerap tulang.
Jumlah normal fosfor
yang masuk ke dalam tulang sekitar 3-4 mg/kg/hari, jumlah yang sama 23
meningggalkan tulang melalui proses penyerapan kembali. Fosfor dalam plasma disaring pada glomerulus melalui proses transpor aktif, 80-90 % dari jumlah fosfor yang disaring, sebagian besar diserap kembali melalui tubulus proksimal dan sebagian kecil diserap kembali malalui tubulus distal, sedangkan sisanya sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal (Cunningham 1992).
Proses transpor aktif ini sangat dihambat oleh
hormon paratiroid.
Hambatan proses penyerapan kembali fosfor dalam
tubulus
dan
proksimal
distal
akan
mendorong
terjadinya
fosfaturia
(Guyton 1996; Murray et al. 2003).
2.2.3. Vitamin D Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan merupakan turunan dari senyawa sterol serta mempunyai beberapa bentuk senyawa dengan fungsi yang sama. Sebagian besar vitamin D terdapat dalam bentuk vitamin D 2 (ergokalsiferol) dan vitamin D 3 (kolekalsiferol).
Kedua vitamin tersebut
mempunyai aktivitas biologik dan aktivitas nutrisional yang sama. Vitamin ini secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh untuk kelangsungan proses metabolisme sel normal, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh.
Vitamin D merupakan salah satu vitamin
yang terkait dengan pembentukan jaringan tulang (Keith 1994).
Fungsi
utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral dari makanan (Muhilal dan Sulaeman 2004). Vitamin D 2 dibentuk melalui irradiasi sinar ultraviolet dari suatu sterol atau ergosterol yang disintesis di dalam tanaman (Palmer 1993). Vitamin D 3 dibentuk di dalam kelenjar sebaseus kulit 7-dehidrokolesterol yang diubah oleh sinar ultraviolet menjadi previtamin D 3 (Murray et al. 2003). Vitamin D 3 yang disintesis dalam kulit diangkut oleh α-1-globulin atau α-2-globulin (Palmer 1993) yang terkandung di dalam serum untuk selanjutnya dibawa ke hati (Guyton 1996), demikian halnya dengan vitamin D 2 atau vitamin D 3 suplemen yang berasal dari makanan, setelah diserap di dalam usus (jejenum dan ileum) selanjutnya dibawa ke hati (Palmer 1993). Vitamin tersebut dapat berfungsi setelah diaktifkan melalui beberapa tahapan. Pengaktifan tahap pertama melalui hidroksilasi kolekalsiferol pada posisi C-25 dilakukan oleh enzim 25-hidroksilase,
24
sehingga terbentuk 25-hidroksikolekalsiferol (25-HCC).
Proses ini terjadi di
dalam sitoplasma sel hati (Guyton 1996). Perubahan vitamin D 3 menjadi 25HCC diperlukan ion magnesium, NADPH, oksigen molekuler, protein sitoplasmik, dan sitokrom P450 untuk mengaktivasi enzim 25- hidroksilase (Ganong 1995; Guyton 1996). Aktivitas enzim 25-hidroksilase untuk mengubah kolekalsiferol menjadi 25-HCC juga diatur oleh suatu mekanisme umpan balik, oleh karena itu jumlah 25-HCC yang dihasilkan relatif tetap meskipun diberikan vitamin D 3 dosis tinggi (Bank 1993; Guyton 1996).
Kolekalsiferol yang tidak mengalami
hidroksilasi disimpan di dalam hati sebagai cadangan (Bank 1993) dengan demikian
toksisitas
akibat
tingginya
vitamin
D3
dapat
dicegah
(Ganong 1995). Setelah terjadi proses hidroksilasi, senyawa 25-HCC berikatan dengan protein pembawa yang terdapat di dalam plasma secara cepat meninggalkan hati menuju ginjal (Bank 1993; Freskanich et al. 2003). Pengaktifan tahap ke dua, proses metabolik mengalami hidroksilasi di dalam mitokondria sel tubulus proksimal ginjal menjadi metabolik aktif yaitu 1,25-dehidrokolekalsiferol (1,25-DHCC) yang bertanggung jawab terhadap fungsi biologis utama vitamin D untuk mempertahankan serum kalsium dalam kondisi fisiologis normal melalui perannya pada usus, ginjal, dan tulang (Dawson-Hughes et al. 1997; Murray et al. 2003).
Reaksi
pembentukan senyawa 1,25-DHCC di dalam ginjal dirangsang oleh rendahnya kadar
kalsitriol
dalam
plasma,
kalsium,
fosfor
dan
hormon
paratiroid.
Penurunan konsentrasi kalsium darah akan merangsang kelenjar hipofise untuk meningkatkan sintesis dan sekresi PTH (Guyton 1996). Metabolisme kalsium tulang tidak lepas dari peran vitamin D 3 (kalsitriol) pada saluran pencernaan dan sintesis vitamin D 3 endogen.
Apabila terjadi
kekurangan vitamin D, absorbsi kalsium dan fosfor berkurang sehingga menyebabkan hipokalsemia (Passeri et.al. 2008).
Kondisi ini menstimulasi
kelenjar paratiroid untuk mensekresi PTH dalam jumlah tinggi, yakni dengan menstimulasi secara tidak langsung aktivitas osteoklas untuk meningkatkan proses resorbsi tulang sehingga kalsium dan fosfor masuk ke dalam darah. Hormon paratiroid juga merangsang ginjal untuk mengabsorbsi kalsium pada tubuli
dan
meningkatkan
25-hidroksikolekalsiferol
ekskresi
(25-OHD)
menjadi
fosfat,
serta
mengubah
1,25-dihidroksikolekalsiferol
25
[1,25-(OH) 2 D 3 ] yang merupakan metabolit aktif vitamin D, yaitu vitamin D 3 . Selanjutnya vitamin D 3 ini menstimuli usus halus untuk menyerap lebih banyak kalsium dan fosfor (Favus 1993). Vitamin D berpengaruh pada kemampuan osteoblas dalam memelihara kesehatan tulang.
Pengaruh ini ditentukan oleh kemampuan vitamin D
mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler yang cukup, agar dapat dideposisi ke dalam matriks tulang.
Matriks tulang merupakan hasil sintesis
osteoblas (Hollick 1996) dan vitamin D memengaruhi osteoblas melalui lintasan genomik maupun nongenomik.
Lintasan genomik memengaruhi osteoblas
melalui stimulasi biosintesis matriks yaitu meningkatkan produksi osteopontin (OPN) dan osteoklasin (OCN) (Khoury et al. 1995). Vitamin D memengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor pada organ target, yaitu usus halus, tulang, dan ginjal.
Metabolit aktif vitamin D 3
(kalsitriol) mempermudah penyerapan kalsium secara aktif di dalam usus halus dengan merangsang sintesis kalsium yang terikat dengan protein (Ilich-Ernst dan Kerstetter 2000). kalsium
ke
dalam
sel
melalui
Vitamin D 3 mempermudah masuknya protein
pengikat
kalsium
kalmodulin
(Guyton 1996).
2.2.4. Hormon Paratiroid Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon utama yang bertanggung jawab memelihara konsentrasi kalsium setiap saat.
Pengaruh biologis
yang sangat penting dari PTH meliputi: 1). meningkatkan kalsium plasma yang bersamaan dengan penurunan fosfat plasma, 2). meningkatkan ekskresi fosfat urin (fosfaturia), 3). meningkatkan resorbsi kalsium urin, 4). meningkatkan kecepatan remodeling tulang, 5). meningkatkan osteolisis osteosit, 6). membantu pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D 3 dengan memengaruhi sistem 1-hidrolase, dan 7). meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat dari usus halus oleh pengaruh langsung pada pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol (Banks 1993). Sebagai respons terhadap keadaan hipokalsemia, PTH disekresikan oleh kelenjar paratiroid. Hormon ini mengikat reseptor khusus pada tulang dan sel tubulus ginjal. Pada ginjal, PTH merangsang produksi vitamin D yang disebut dengan 1,25-(OH) 2 D 3 . Metabolit ini bekerja pada usus halus untuk merangsang penyerapan kalsium makanan dan bersama dengan PTH mendukung mobilisasi
26
kalsium dari tulang. Pada saat yang sama 1,25-(OH) 2 D 3 dan PTH menyebabkan ginjal meresorbsi lebih banyak ion kalsium, sehingga pada plasma dan kalsium ekstraseluler akan meningkat ke level normal (normokalsemia), dan akan menghambat
sekresi
PTH
melalui
puncak
umpan
balik
yang
negatif
(Murray et al. 2003) (Gambar 8). Pelepasan hormon paratiroid menyebabkan meningkatnya kalsium plasma. Pengaruhnya pada kerangka menyebabkan pelepasan 1,66 mol kalsium untuk setiap mol fosfor (Calvo et al. 1988; Banks 1993). Meningkatnya aktivitas kelenjar paratiroid dapat meningkatkan absorbsi garam-garam kalsium dari tulang sehingga menimbulkan hiperkalsemia, sebaliknya hipofungsi kelenjar tiroid (menghasilkan kalsitonin) dapat menimbulkan hipokalsemia (Guyton 1996). Pengaruh kalsitonin pada sel osteoklas dan osteosit bersifat antagonis terhadap aksi hormon paratiroid.
Pengaruh kalsitonin pada
ginjal mengimbangi aksi hormon paratiroid. Kalsitonin juga menunjukkan suatu pengaruh penghambatan penyerapan kalsium dan fosfor pada usus kecil. Pengaruh kalsitonin dalam sistem homeostasis di antaranya adalah: 1). mereduksi kalsium dan fosfor, 2). menghambat rangsangan hormon [Ca] darah rendah
Sensor kel paratiroid terhadap [Ca] darah
Sekresi hormon paratiroid
Hormon mengaktifkan stimulasi osteoklas Gambar 8.
[Ca] darah tinggi
Sensor kel tiroid terhadap [Ca] darah
Keadaan normal
[Ca] darah naik ke normal
Reabsorpsi tulang melepaskan Ca ke darah
[Ca] darah turun ke normal
Deposit Ca pada tulang
Peranan kelenjar paratioid dan homeostasis kadar kalsium darah.
Sekresi kalsitoni
Mengaktifkan stimulasi osteoblas
kelenjar
tiroid
dalam
27
paratiroid terhadap osteoklas dan osteolisis osteosit, 3). secara tidak langsung menghambat penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus, dan 4). melakukan perangsangan jangka pendek pada aktivitas osteoblas. Pengaruh kalsitonin pada lambung diduga terjadi secara tidak langsung, yaitu menghambat sintesis 1,25-dihidroksikolekasiferol. Peranan langsung kalsitonin pada ginjal belum diketahui dengan jelas.
Pengaturan ganda
kalsium oleh hormon paratiroid dan kalsitonin lebih jelas dibandingkan dengan kemungkinan yang dilakukan oleh satu hormon secara tunggal (Banks 1993).
2.2.5.
Estrogen Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid, yang dihasilkan
oleh sel teka interna folikel ovarium, korpus luteum, plasenta dan sedikit dihasilkan oleh korteks adrenal (Ganong 1995). Oleh karena itu wanita tetap memiliki estrogen dalam kadar rendah walaupun telah terjadi menopause karena masih ada estrogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal (Carola et al. 1990). Tiga jenis estrogen dapat ditemukan pada tubuh wanita, yakni estradiol, estron, dan estriol (Rachman 1999). Kekurangan hormon estrogen akan menyebabkan meningkatnya kadar PTH, sehingga akan meningkatkan resorbsi tulang, sehingga terjadi penurunan massa tulang (Lindsay 1991; Gruber et al. 2002). Tulang merupakan target hormon estrogen, yang memiliki reseptor α dan β (Pollard 1999). Secara seluler, mekanisme kerja hormon estrogen pada tulang dimulai dari interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang timbul merupakan hasil interaksi keduanya (Albert et al. 1998). Estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium di tulang yang potensial karena keberadaannya dapat menunjang sekresi dan meningkatkan produksi kalsitonin serta menurunkan sekresi hormon paratiroid.
Estrogen juga dapat
meningkatkan kadar 1,25 dihidroksikalsiferol sehingga akan meningkatkan penyerapan kalsium di dalam usus.
Penurunan produksi estrogen juga
menggagalkan osteoblas mendeposit jaringan matriks (osteoid) (Stevenson dan Marsh 1992).
Estrogen bertanggung jawab pada fase pertumbuhan dan
menutup perkembangan epifisis pada tulang panjang masa pubertas (Greenspan dan Strewler 1993).
Defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang.
28
Akibat defisiensi estrogen ini akan terjadi peningkatan produksi dari IL-1, IL-6, dan TNFα lebih lanjut. Estrogen juga merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan transforming growth factor- β (TGF-β) oleh sel osteoblas dan sel stroma, sehingga estrogen berfungsi menghambat penyerapan tulang dengan cara mempercepat atau merangsang apoptosis sel osteoklas (Oursler 2003). Pada wanita pascamenopause, kadar estrogen mulai menurun. Akibat dari penurunan hormon estrogen ini, maka proses resorbsi tulang terganggu (Mizuno et al. 1995; Fitzpatrick 2003; Rachman 2004). Estrogen memengaruhi kehilangan tulang baik secara langsung dengan mengikat reseptor pada tulang dan secara tidak langsung dengan memengaruhi hormon pengatur kalsium (PTH dan Vitamin D) dan sitokin interleukin (IL-1 , IL-6 dan TNFα) (Potu et al, 2009). Kadar estradiol pada masa premenopause sebesar 100-1000 pmol/l, sedangkan pada masa menopause menurun secara drastis hingga 20-50 pmoI/l. Kadar estron masa premenopause juga menurun, namun tidak sebanyak penurunan estradiol. Pada masa pascamenopause tidak dijumpai sama sekali adanya folikel ovarium sehingga terjadi penurunan kadar estradiol ke tingkat yang sangat rendah dan disertai dengan penurunan kadar progesteron. Rasio kadar estron dan estradiol pada wanita pascamenopause sangat besar yaitu 930:70 pg/ml.
2.2.6. Fitoestrogen Penggunaan bahan alami yang mengandung hormon atau fitohormon sudah banyak dikembangkan saat ini.
Salah satunya adalah fitoestrogen.
Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Menurut Jefferson et al. (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua gugus –OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil yang sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen di tulang (Adlercreutz et al. 2002; Dewell et al. 2002). Sementara itu Rachman et al. (1996) menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti (hormonal replacement therapy/HRT).
Pada tanaman dikenal beberapa senyawa fitoestrogen yang
diketahui antara lain isoflavon, flavon, lignan, kumestan, triterpen, glikosida, dan asiklik (Rachman et al.1996; Adlercreutz et al. 2002).
29
Estrogen Gambar 9.
Fitoestrogen
Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen (Guyton 1996)
Umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa saja, tetapi selalu dalam bentuk berbagai senyawa estrogenik secara bersamaan. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Dewell et al. 2002).
Hasil
penelitian Turner (2007) menunjukkan bahwa fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen pada sel-sel duktus kelenjar susu dan jika seluruh reseptor diblokir oleh fitoestrogen (genestain) estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor tersebut. Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai bagian dari aktivitas hormonal. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insulin-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang. Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat, walaupun afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor tersebut. Jika tubuh mendapatkan asupan fitoestrogen maka akan terjadi pengaruh pengikatan fitoestrogen dengan reseptor estrogen, sehingga dapat mengurangi simptom menopause (Rachman 1996).
Oleh karena itu, sumber makanan yang kaya
fitoestrogen merupakan salah satu cara praktis dan aman untuk mengatasi kekurangan estrogen pada wanita postmenopause (Arjmandi 2001).
30
2.3.
Ovariektomi Ovariektomi adalah suatu tindakan pembedahan atau teknik laparatomi
untuk pengambilan ovarium bilateral. Secara luas pada bidang biomedis, tikus ovariektomi
merupakan
model
juvenile
osteopenia
(Yamazaki
dan
Yamaguchi 1989; Cesnjaj et al. 1991), dan dapat menjadi model wanita pascamenopause
(Shirwaikar
et
al.
2003;
Devareddy
et
al.
2008).
Arjmandi et al. (1996) membuktikan bahwa ovariektomi kedua ovarium pada tikus percobaan akan menginduksi osteoporosis pada trabekula tulang rahang karena ovariektomi akan menstimulasi kerja osteoklas.
Ovariektomi menyebabkan
kehilangan massa tulang di daerah trabekula tetapi tidak terjadi pada tulang kortikal.
Selain itu, tindakan ovariektomi dapat segera menimbulkan gejala
menopause tanpa menimbulkan gejala lain. Pada tikus yang dilakukan ovariektomi, ditemukan peningkatan aktivitas resorbsi tulang, hal ini sesuai dengan peranan estrogen terhadap tulang. Hilangnya fungsi ovarium dalam memproduksi hormon seks steroid, seperti estradiol akan menimbulkan kondisi hipoestrogenis yang merupakan faktor utama kehilangan massa tulang (Miller et al. 1986).
Histerektomi dengan
ovariektomi bilateral banyak dihubungkan dengan tingginya risiko osteoporosis (Lee dan Kanis 1994). Kalu et al. (1993) dan Dempster et al. (1995) menyatakan bahwa ovariektomi akan menyebabkan perubahan dan penurunan volume tulang, peningkatan jumlah osteoklas, serta peningkatan kadar enzim serum alkalin fosfatase. 2.4.
Aplikasi Pengobatan Osteoporosis Secara medis ada beberapa obat yang dipakai untuk mengobati
osteoporosis, yaitu meminum susu berkalsium tinggi, memakai jenis obat yang mengandung kalsium/fosfat dosis tinggi, dan pemberian beberapa jenis preparat hormon estrogen sintetis tetapi hal ini harus diberikan seumur hidup (Gass dan Neff 1995).
Selain itu, pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan,
misalnya meningkatkan risiko kanker payudara, karsinoma endometrium, perdarahan per vagina, tromboflebitis, dan tromboemboli (Nguyen et al. 1995; Genant et al. 1998). Kejadian osteoporosis merupakan proses yang sangat kompleks, maka tidak semua kasus osteoporosis dapat disembuhkan secara sempurna. Adanya kemungkinan terjadinya risiko terapi preparat hormonal sintetis jangka panjang, menyebabkan fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis masa kini 31
diarahkan kepada pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap tubuh seperti perubahan asupan mineral, khususnya imbangan kalsium fosfat makanan, vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan aktivitas fisik, dan penggunaan tumbuhan bahan alam yang telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati penyakit (Tiangburanatham 1996). Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit. Pencegahan osteoporosis yang baik adalah dengan menjaga keseimbangan kalsium dalam tulang. Hal ini dapat dilakukan dengan menghindari hilangnya kalsium yang berlebihan melalui ginjal dan gangguan penyerapan kalsium oleh usus (Preisinger et al. 1995). 2.5.
Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) ditemukan di Aceh. Tanaman
ini umumnya ditemukan di kawasan hutan dan dapat tumbuh dengan cepat jika dipindahkan ke tempat lain. Herbarium Bogoriensis menyatakan bahwa spesies ini adalah Cissus quadrangula Salisb.
Taksonomi tanaman tersebut adalah
sebagai berikut. Divisi
: Spermatophyta
Class
: Magnoliophyita
Ordo
: Sapindales
Family
: Vitaceae
Genus
: Cissus
Spesies : Cissus quadrangula Salisb Penampang melintang batangnya berbentuk segi empat sehingga tanaman ini dinamakan quadrangula. Pada setiap sudutnya terdapat tonjolan yang tipis ke samping, dan di antara masing-masing tonjolan terletak terpisah. Bentuk batang berbuku-buku dan setiap satu meter batang terdapat 4-5 buku, batang berwarna hijau kemerahan. Buku pada batang terus bertambah, baik ke atas maupun ke samping. Di antara buku-buku yang telah ada muncul 1-2 daun penumpu, dan di bagian bawah daun penumpu ini muncul calon batang baru. Pada bagian ujung batang muncul 1-2 daun penumpu, dan di antara daun penumpu ini muncul batang baru ke atas.
Menurut Versteegh-Kloppenburgh
(2006) batangnya bertekuk dan daunnya jarang. Daun sipatah-patah berbentuk runcing, panjang daun sekitar 4-5 cm dan terdapat pada pertemuan diantara buku-buku serta cepat rontok.
32
Tanaman sipatah-patah di Aceh sering dipergunakan untuk pengobatan beberapa penyakit di antaranya adalah rematik dan patah tulang. Pengobatan rematik dilakukan dengan meminum rebusan daun tumbuhan tersebut, yang ditambahkan dengan unsur-unsur yang lain.
Sementara itu untuk mengobati
patah tulang, dilakukan dengan cara menggerus daun sipatah-patah lalu menempelkan pada tempat yang patah. Penulis melakukan wawancara dengan bapak Rustam, salah seorang ahli pengobatan tradisional yang ada di Desa Lamgugob Kecamatan Syiah Kuala kotamadya Banda Aceh, beliau menyatakan bahwa tanaman ini juga sangat manjur untuk mengobati wanita lanjut usia yang menderita sakit sendi dan patah tulang. Tanaman sipatah-patah sejauh ini belum pernah diteliti baik dalam bentuk penggunaannya maupun analisis kandungan kimiawinya. Cissus quadrangularis Linn, merupakan salah satu tanaman yang ditemukan di Afrika Barat, India, Sri Lanka, Malaya, dan Jawa (Jainu et al. 2006). Tanaman ini tumbuh baik pada tempat terbuka dan terkena cahaya matahari langsung. Spesies ini ditemukan di daerah panas dan dataran rendah sampai 600 m di atas permukaan laut (Shirwaikar et al. 2003). Swamy et al. (2006) menyatakan bahwa ada tanaman Cissus quadrangularis Linn. yang dipakai dalam pengobatan tradisional di India. Tanaman ini berbeda dengan sipatahpatah yang ada di Aceh yaitu mempunyai daun berbentuk bulat. Perbedaan morfologi antara sipatah-patah Aceh dengan Cissus quadrangularis Linn. dari India (Gambar 10). Penelitian fitomedisin yang dilakukan oleh Nadkarni (1954) dan Warrier et al. (1994) menunjukkan bahwa bagian batang dari tanaman Cissus quadrangularis Linn. secara luas digunakan untuk pengobatan fraktur tulang, tumor, wasir, sariawan, dan tukak lambung. Tanaman ini juga mempunyai sifat antiosteoporotik (Shirwaikar 2003), analgesik, hipotensi, antibakterial, antifungal (Austin dan Jagdeesan 2004), obat anti kanker (Taylor 2002) dan peradangan (Dalimartha 2003). Di Afrika dan Asia ekstrak daun, batang, dan akar tanaman ini digunakan dalam penanganan berbagai penyakit (Murthy et al. 2003; Oben et al. 2008). Ekstrak batang dan akar dari tanaman ini diketahui juga memiliki aktivitas antioksidan dan antimikroba. Getah batang tanaman Cissus quadrangularis Linn. digunakan untuk pengobatan patah tulang, penyakit telinga dan mata, sariawan, asma, menstruasi tidak teratur, wasir, tumor, dan luka (Kritikar dan Basu 2000). Tanaman bagian
33
Cissus quadrangula Salisb
Cissus quadrangularis Linn. Gambar 10. Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) dari Aceh dan Cissus quadrangularis Linn. (Shirwaikar et al. 2003) dari India, terlihat jelas adanya perbedaan warna batang dan bentuk daun. akar, batang, dan daun digunakan khusus untuk patah tulang (Kumbhojkkar et al. 1991).
Menurut Nadkarni (1954) akar Cissus quadrangularis Linn. sangat
berguna untuk pengobatan fraktur tulang baik diminum maupun digunakan sebagai plester eksternal. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman ini mempunyai sifat analgesik, antioksidan, dan penyembuhan fraktur pada tulang (Deka et al. 1994). Cissus quadrangularis Linn. bersifat asam, mengandung senyawa euforbin, taraksasterol, α-laktucerol, eufol, glikosida, sapogenin, dan asam elagat.
Studi fitokimia menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti
kuersetin dan vitamin C, resveratrol, piceatannol, palidol, ketosteroid, dan karoten (Swamy et al. 2006), senyawa fitoestrogen yaitu isoflavon, lignin,
34
coumestan, triterpen, glicosides, dan asiklik (Jainu dan Devi 2006). Di samping itu tanaman Cissus quadrangularis Linn. mengandung vitamin C, β-karoten, fitosterol, dan kalsium (Tiangburanatham 1996; Patarapanich et al. 2004). Attawish et al. (2002) menyatakan bahwa batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpen seperti α- dan β-amirin, β-sitosterol, ketosteroid, βkaroten dan vitamin C. Mehta et al. (2001) menyatakan adanya senyawa γamirin, δ-amiron. Senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik yang berbeda (Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004) dan diketahui memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model (Nevarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002). Dari hasil-hasil pernyataan para peneliti tersebut di atas, menunjukkan bahwa kandungan fitokimia tanaman ini sangat beragam. Sanyal et al. (2005) menemukan kristal kalsit pada Cissus quadrangularis Linn.
Kristal kalsit ekstrak tanaman ini kaya akan sumber ion kalsium, dan
apabila direaksikan dengan CO 2 memicu terbentuknya kristal kalsit dengan morfologi yang tidak beraturan. Hal ini mengindikasikan adanya molekul bioorganik. Ekstrak segar batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung kalsium 4 % dan fosfor. Batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpenoid dan polifenol yang diketahui menekan pembentukan sitokin (Jainu dan Devi et al. 2006). Sedang Leiro et al. 2004 dan Thuong et al. 2005 menyatakan bahwa triterpenoid dan polifenol menurunkan pembentukan TNFα dan IL1-β.
35
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Anatomi, Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi; Bagian Patologi dan Bagian Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB; Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB; Laboratorium Fitokimia, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong; Laboratorium Biofarmaka IPB Taman Kencana, Bogor, serta Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, dari bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan Juni 2009. 3.2. Materi 3.2.1. Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Tanaman sipatah-patah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Desa Lam Nga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar,
Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Pengambilan sampel tanaman ini dilakukan pada bulan Maret 2007.
Tanaman diidentifikasi oleh Herbarium Bogoriensis, LIPI
Cibinong (Surat nomor: 177/IPH.1.02/IF.8/2007 tanggal 26 April 2007) dengan nama Cissus quadrangula Salisb (Lampiran 1). Dalam penelitian ini diperlukan 4,5 kg batang kering tanaman sipatah-patah. 3.2.2. Hewan Coba Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 40 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) umur 20 hari berasal dari galur Sprague Dawley yang diperoleh dari Animal Lab. IPB Baranangsiang, Bogor.
Sebelum dilakukan
penelitian, semua kelompok tikus diadaptasikan di dalam kandang selama 10 hari. Selama masa adaptasi, dilakukan pemeriksaan klinis, pemberian antibiotika dan obat cacing (Kalbazen 0,2 ml/oral) untuk menghilangkan infeksi cacing yang kemungkinan dapat menganggu jalannya penelitian. Tikus dipelihara di kandang berukuran 36 x 28 x 12 cm yang diberi alas sekam padi agar lingkungan kandang tidak lembab, ruangan diberi ventilasi dan penyinaran yang cukup dengan lama terang 14 jam dan lama gelap 10 jam dan setiap kandang diisi dua ekor tikus. Pakan tikus adalah pakan burung super berkicau P-588 produksi Indonesia Formula Feed (komposisi dapat dilihat pada Lampiran 2.) dan air minum diberikan secara ad libitum.
37
Ovariektomi dilakukan melalui sayatan kulit daerah flank bagian kiri dan kanan. Tikus terlebih dahulu dibius mengunakan campuran Xylazine (Xylazine20, Troy Laboratories PTY Ltd, Australia) dosis 0,3 mg (0,03 ml) dan Ketamine (Ketamil, Troy Laboratories PTY Ltd, Australia) dosis 1,5 mg (0,03 ml) per ekor secara intraperitoneal (ip). Setelah tikus terbius, kulit daerah flank disayat dengan panjang sayatan lebih kurang 1-1,5 cm.
Selanjutnya jaringan subkutan
dikuakkan, lalu dinding abdomen disayat, kemudian bantalan lemak ditarik sehingga ovarium beserta saluran tuba Fallopii (tuba uterina) dan kornua uteri ikut terbawa keluar rongga abdomen. Selanjutnya ovarium beserta bursa diambil untuk menghindari adanya ovarium yang tersisa. Cornua uteri dan tuba Fallopii dikembalikan ke dalam rongga abdomen. Ovarium kanan diambil dengan cara serupa.
Setelah itu kulit dijahit dan diberi antibiotik (Nebacetin, Pharos,
Indonesia), untuk pemulihan dilakukan selama sepuluh hari dan selanjutnya tikus tersebut telah siap untuk perlakuan ekstrak sipatah-patah (ESP).
3.2.3. Bahan Penelitian Untuk
keperluan
pembuatan
preparat
histologi
digunakan
1). paraformaldehid 0,2 % dalam phosphate buffered saline (PBS) 0,1 M pH 7,4, 2). normal buffer formalin 10 %, 3). alkohol bertingkat, 4). silol dan 5). paraffin histoplast dengan titik leleh 55-570 C. Bahan untuk pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) adalah pewarna Hematoksilin Delafield, dan pewarna Eosin dalam alkohol. Untuk pewarnaan Masson trichrome (MT) modifikasi Goldner digunakan bahan pewarna ponceau 2R, orange G dan lightgreen.
3.2.4.
Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan untuk fiksasi jaringan terdiri atas gelas objek,
cover glass, entelan, jarum kupu-kupu, scalpel, gunting, tang arteri, needle holder, pinset, spuit suntik, sonde (feeding tube), benang cat gut, tampon, gouce dan wadah penyimpanan jaringan. Untuk proses parafinasi dan pemotongan jaringan digunakan gelas piala, inkubator, sliding microtome. Selanjutnya untuk pengamatan hasil penelitian digunakan mikroskop cahaya, dan untuk pemotretan digunakan alat mikrofotografi.
38
3.3. Metode 3.3.1. Pembuatan Ekstrak Batang Sipatah-patah (ESP) Pembuatan ESP dilakukan di Laboratorium Biofarmaka IPB Taman Kencana, Bogor.
Bagian batang tanaman sipatah-patah dipotong-potong
dengan panjang sekitar 1 cm, lalu diangin-anginkan sehingga menjadi kering. Bagian tanaman yang sudah kering dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60°C selama 48 jam.
Setelah kering kemudian dihaluskan dengan
penggilingan sehingga menjadi serbuk.
Selanjutnya proses pembuatan
ekstrak dari serbuk dilakukan di Laboratorium Farmasi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH IPB. Proses pembuatan ESP secara rinci ada di Lampiran 3.
3.3.2. Analisis Kandungan Kalsium dan Fosfat, Bahan Aktif dan Analisis Senyawa Fitokimia Batang Sipatah-patah Analisis kandungan mineral kalsium dan fosfor sipatah-patah dilakukan dengan uji proksimat berdasarkan metode AOAC (1980) (Lampiran 4). Analisis bahan aktif sipatah-patah menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectrophotometry
(GC-MS)
FAMES1
M)
dilakukan
di
Laboratorium
Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta (Lampiran 5).
3.3.3
Pembagian Kelompok Tikus Penelitian ini dilakukan dengan membagi tikus percobaan menjadi dua
kelompok yaitu: 1). Kelompok tikus nonovariektomi (NOV) untuk meneliti kemampuan ESP terhadap pencegahan osteoporosis pada masa prepubertas, 2). Kelompok tikus ovariektomi (OV) untuk meneliti aktivitas ESP terhadap pengobatan osteoporosis pada tikus betina yang diovariektomi. Masing-masing kelompok diberi ekstrak sipatah-patah dengan dosis 750 mg/kg bb/hari/per oral sesuai penelitian Shirwaikar et al. (2003).
3.3.4
Kelompok Tikus Nonovariektomi (NOV) Penelitian pada kelompok tikus nonovariektomi ini bertujuan untuk
meneliti kemampuan ESP untuk memperbaiki kondisi tulang sehingga dapat mencegah terjadinya osteoporosis di kemudian hari.
Sebelum percobaan
dimulai, semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama
39
10 hari untuk tiap-tiap kelompok perlakuan. Setelah masa adaptasi, hewan coba dibagi secara acak dalam lima grup perlakuan dan masing-masing diberi ekstrak sipatah-patah setiap hari selama penelitian. Penelitian ini menggunakan 20 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 20 hari dengan bobot badan 95-100 g sebagai hewan coba. Tikus diberi pakan standar dan air minum ad libitum.
Hewan coba ditempatkan di dalam kandang individu dan
diadaptasikan terhadap pakan dan lingkungan selama 10 hari. Tikus-tikus pada grup kontrol diberi larutan karboksimetil selulosa (CMC) 1 % sebagai plasebo (NOV-0), sedangkan tikus grup perlakuan diberi ESP mulai umur 30 hari (NOV-1), 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Pada tikus-tikus grup perlakuan ESP diberikan per oral dengan feeding tube sebanyak satu mililiter ESP satu hari sekali yaitu pagi hari (jam 08.00 wib) dengan dosis 750 mg/kgBB/hari selama masa penelitian. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 15 hari sekali. Pengambilan darah kurang lebih 2 ml dilakukan setiap 30 hari sekali melalui vena coccygeae. Darah dikoleksi pada tabung reaksi dan selanjutnya dianalisis kadar kalsium dan fosfor. Analisis kadar kalsium dan fosfor dilakukan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, dengan
mengunakan ®
(Hitachi
Atomic
Absorbance
Spectrophotometry
(AAS)
5000) untuk kalsium, sedangkan untuk analisis kadar fosfor
menggunakan metode spectrophotometry dengan alat Spectronic Camspecs® LW-200 (Lampiran 7). Pada akhir masa perlakuan (pada umur tikus 180 hari), semua tikus dikorbankan dengan cara dislokasi tulang leher. Kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan kerangka tulang dan organ untuk diamati secara histologis . Pengamatan selanjutnya adalah pemeriksaan radiografi terhadap kondisi tulang yang dilakukan setelah organ visceral dikeluarkan.
Semua organ termasuk
tulang diambil dan difiksasi dengan larutan formalin 10 %. pembuatan sediaan histologi.
untuk proses
Selanjutnya ossa radius-ulna kiri serta ossa
vertebrae lumbalis II-V diambil untuk dianalisis kadar kalsium dan fosfat. Ossa tibia-fibula kanan, ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid diambil untuk pembuatan sediaan histologis. Sampel tulang tibia-fibula difiksasi dalam larutan pengawet paraformaldehid 4 % dan dilakukan dekalsifikasi dalam larutan asam nitrat 5 %, selanjutnya tulang diproses dengan metode 1967)
dan
ditanam dalam blok parafin.
histokimia
standar
(Humason
Sayatan jaringan ginjal, hati, dan
kelenjar paratiroid serta ossa tibia-fibula diwarnai dengan pewarnaan HE (Humason 1967) dan pewarnaan MT (Kiernan 1990) (Lampiran 8).
40
3.3.5
Kelompok Tikus Ovariektomi (OV) Penelitian pada kelompok tikus ovariektomi bertujuan untuk meneliti
pengaruh ESP dalam pengobatan osteoporosis pada tikus yang diovariektomi. Ovariektomi adalah tindakan pembedahan pengambilan ovarium bilateral untuk menginduksi
osteoporosis.
Sebelum
percobaan
dimulai
semua
diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari.
tikus
Percobaan
mengunakan 20 ekor tikus betina. Tikus-tikus tersebut dibagi ke dalam lima grup perlakuan masing-masing terdiri atas empat ekor tiap grup yaitu: tikus sham yang hanya dilakukan sayatan kulit lalu ditutup kembali (OV-0), tikus perlakuan ovariektomi tanpa diberikan ESP (OV-1), dan tikus perlakuan ovariektomi dengan pemberian ESP mulai umur 90 selama 120 hari (OV-2), umur 120 selama 90 hari (OV-3), dan umur 150 hari selama 60 hari (OV-4). Tahapan perlakuan dilakukan selama 180 hari (Gambar 11).
Pemberian ESP diberikan per oral dengan
feeding tube sebanyak satu mililiter ESP satu hari sekali yaitu pagi hari (jam 08.00 wib). Selama perlakuan, 15 hari sekali tikus ditimbang dan diambil darahnya kurang lebih 2 ml setiap 30 hari sekali melalui vena coccygeae. Darah dikoleksi pada tabung reaksi dan didiamkan selama satu hari, selanjutnya dianalisis kalsium dan fosfor. Pada akhir masa perlakuan (umur tikus 210 hari), semua tikus dikorbankan dengan cara dislokasi tulang leher. Kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan kerangka tulang dan melihat perubahan patologi anatomi pada organ hati, ginjal, dan kelenjar paratiroid yang mungkin terjadi. Pengamatan selanjutnya adalah pemeriksaan radiografi terhadap kondisi tulang yang dilakukan setelah organ visceral dikeluarkan.
Semua organ termasuk
tulang diambil dan difiksasi dengan larutan formalin 10 %, untuk proses pembuatan sediaan histologi.
Selanjutnya ossa radius-ulna kiri dan serta
ossa vertebrae lumbales II-V diambil untuk dianalisis kadar kalsium dan fosfor. Ossa tibia-fibula kanan, ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid diambil untuk pembuatan sediaan histologis. Sampel ossa tibia-fibula difiksasi dalam larutan pengawet paraformaldehid 4 % dan dilakukan dekalsifikasi dalam larutan asam nitrat 5 %, selanjutnya tulang diproses dengan metode histokimia standar (Humason 1967) dan ditanam dalam blok parafin. Sayatan jaringan ginjal, hati, dan kelenjar paratiroid serta ossa tibia-fibula diwarnai dengan pewarnaan HE (Humason 1967), selanjutnya ossa tibia-fibula juga diwarnai dengan pewarnaan MT (Kiernan 1990) (Lampiran 8).
41
3.4. Parameter Parameter yang diamati adalah bobot badan, panjang tulang femur, radiografi tulang, kadar kalsium dan fosfor darah, kadar kalsium dan fosfor tulang, gambaran mikroskopis tulang (ossa tibia-fibula) serta organ hati, ginjal, dan kelenjar paratiroid.
3.5. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan bobot badan, panjang tulang femur, kadar kalsium dan fosfor darah, serta kadar kalsium dan fosfor tulang, dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Duncan Test.
Gambaran
radiografi dan mikroskopis jaringan tulang serta organ hati, ginjal, dan kelenjar paratiroid dianalisis secara deskriptif.
42
Sipatah-patah Kandungan mineral Ca /P) Kandungan fitokimia Ekstraksi Identifikasi senyawa fitokimia
Pengujian Hewan coba tikus betina
Ovariektomi
Nonovariektomi
Pengamatan a. b. c. d. e.
Bobot badan Radiografi tulang Kadar Ca dan P darah Kadar Ca dan P tulang Gambaran histologi tulang, hati, ginjal, dan paratiroid
Analisis data Gambar 11. Skema Alur Penelitian
43
Umur 20
30
60
90
120
150
180
NOV-0 NOV-1
NOV-2
NOV-3
NOV-4
Adaptasi
Gambar 12. Alur Penelitian Tikus Nonovariektomi
Keterangan:
NOVNOV
44
= = = = =
Masa adaptasi Masa sebelum perlakuan dimulai Masa pemberian ESP Pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat darah Grup nonovariektomi
Perlakuan
Nekropsi
Gambar 13. Alur Penelitian Tikus Ovariektomi Ovariektomi
Umur (hari)
40
50
60
90
120
150
180
210
NOV -0 (sham) OV-1
OV-2
OV-3
OV-4
Adaptasi
Pemulihan
Perlakuan Nekropsi
Gambar 13. Alur Penelitian Tikus Ovariektomi Keterangan:
= Masa adaptasi
OV
= = = = =
Masa pemulihan dari ovariektomi Masa sebelum perlakuan dimulai Masa pemberian ESP Pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat darah Grup ovariektomi, diovariektomi pada umur 50 hari
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Analisis Proksimat Batang Kering Sipatah-patah dan Penapisan Fitokimia Ekstrak Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Dari hasil analisis proksimat batang kering tanaman sipatah-patah ditemukan kadar kalsium sebesar 4,33 % dan fosfor sebesar 0,37 % (Lampiran 20).
Untuk penentuan adanya substansi alkaloid dari ESP
digunakan pereaksi Mayer dan Dragendrof. menunjukkan hasil yang positif adanya alkaloid.
Kedua pereaksi tersebut Melalui uji fitokimia ESP
lainnya, juga ditemukan pula senyawa flavonoid, tanin (polifenolat) dan triterpenoid, sementara itu reaksi terhadap saponin negatif (Tabel 1 dan Lampiran 21). Tabel 1. Komponen fitokimia ESP No. 1.
Komponen fitokimia
Hasil
Alkaloid a. Pereaksi Mayer b. Pereaksi Dragendrof
+ +
2.
Flavonoid
+
3.
Tanin /polifenolat
+
4.
Triterpenoid
+
5.
Saponin
-
Keterangan: + = Mengandung, - = Tidak mengandung
4.1.2. Identifikasi Kandungan ESP Penentuan kadar komponen fitokimia dari ESP diperoleh dari analisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS).
Berdasarkan analisis
GC-MS terhadap ESP, diperoleh 33 senyawa fitokimia (Tabel 2 dan Lampiran 22). Dari ke-33 senyawa fitokimia tersebut diperoleh lima kelompok utama, yaitu steroid, triterpenoid, asam karboksilat, hidrokarbon, dan kelompok lain (ester dan keton).
46
Tabel 2. Komposisi kimia ekstrak etanol batang sipatah-patah berdasarkan GC-MS. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Senyawa Fitokimia A-norcholestan-3-one,5-ethenyl Stigmast-5-en-3-ol (3.beta) Stigmast-4- en-3-one (CAS) Lup-20(29)-en-3-ol (3.beta) Ergost-22-en-3-ol (3 beta.5alpha) Ergost-5-en-3-ol (3.beta) Ergost-25-ene-3,5,6,12-tetrol Stigmasta-5,23-dien-3.beta.-ol Methyl (25RS)-3β-hydroxyl-5 cholesten Gamma-Tocopherol Cholestan-3-one,2-(1-methil) Trans -stigmasta-5,22-dien-3 beta Ergost-22-en-3-ol (3.beta) Vitamin E
Golongan Steroids Steroids Steroids Steroids Steroids Steroids Steroids Steroids Steroids
Area (%) 22,67 15,52 8,53 7,94 5,74 4,69 2,59 2,55 2,36
Steroids Steroids Steroids Steroids Steroids
1,02 0,81 0,58 0,41 0,50
1,2-benzenedicarboxylic acid (asam phtalat) 9-octadecenoic acid (z), methyl (asam oleat)(C18:1) Octadecanoic acid (asam stearat)(C18:0) 1-phenenthrenecarboxylic Hexadecanoic acid(asam palmitat)
Asam karboksilat
5,87
Asam karboksilat
1,91
Asam karboksilat
1,10
Asam karboksilat Asam karboksilat
0,48 0,45
2-Hexadecen-1-ol,3,7,11,15tetramethyl atau phytol 2,6,10,14,18,22-tetracosahexaene Aristolone Oxacycloheptadeca-2-one (CAS) Muskolactone dan oxacyclotetradecane
Triterpenoid
4,54
Triterpenoid Triterpenoid Triterpenoid Triterpenoid
1,59 1,02 0,64 0,7
Phenanthrene,1-methyl-7-(1methyl) Cyclohexane Heptadecane Neophytadiene
Hidrokarbon aromatic Hidrokarbon siklik Hidrokarbon Hidrokarbon alifatik
0,81
Subtotal %
74,52 15 16 17 18 19
9,81 20 21 22 23 24
8,49 25 26 27 28
0,45 0,41 0,15 1,82
29 30 31 32 33
2,6-bis(methylthio)-4-(2-furyl) Hexadecanoic acid methyl ester (asam palmitat)(C16:0) 1,4a.beta.-dimethyl-7-isopropyl 2-pentadecanone 3-(2',2'-dimethyl-6'- methyliden)
Ester
Keton
0,54 1,49 1,28 0,39 0,28 3,98
Total
98,62
47
Dari keseluruhan senyawa fitokimia ESP, kelompok steroid merupakan kelompok yang paling dominan, yang terdiri atas 14 senyawa fitokimia dan tujuh di antaranya adalah senyawa fitoestrogen, dengan kumpulan persen puncak area paling besar yaitu (74,52 %). Komposisi terbanyak senyawa steroid ini adalah A-norcholestan-3-one, 5-ethenyl (22,67 %), Stigmast-5-en-3-ol (3 beta) (15,52 %), Stigmast-4- en-3-one (CAS) (8,53 %), dan Lup-20(29)-en-3ol (3.beta) (7,94 %), Senyawa fitokimia yang menempati urutan kedua terbanyak (9,81 %) adalah kelompok Asam karboksilat (9,81 %) dengan komponen yang paling dominan adalah 1,2-benzenedicarboxylic acid (5,87 %), 9-octadecenoic acid (z), Methyl (asam oleat) (1,91 %), dan Octadecanoic acid (asam stearat) (1.1 %). Kelompok triterpenoid juga banyak ditemukan pada ekstrak sipatahpatah (8,49 %), terdiri atas 2-hexadecen-1-ol,3,7,11,15-tetramethyl atau Phytol (4,54 %), 2,6,10,14,18,22-tetracosahexaene (1,59 %), Aristolone (1,02 %), dan beberapa komponen fitokimia lain yang kadarnya di bawah 1 %. Selain ketiga kelompok utama komponen fitokimia di atas, masih ditemukan pula kelompok hidrokarbon (1,82 %) dan kelompok ester dan keton (3,98 %).
4.2.
Pengaruh Pemberian ESP pada Kelompok Tikus Nonovariektomi
4.2.1. Pertumbuhan Bobot Badan Tikus. Pemberian ESP pada tikus betina dengan berbagai tingkatan umur menunjukkan adanya pengaruh pada pertumbuhan bobot badan antarperlakuan (Gambar 14). Secara umum, pemberian ESP menyebabkan pertumbuhan bobot badan lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol. Berdasarkan hasil analisis statistik ditemukan bahwa bobot badan tikus kontrol lebih rendah dari tikus yang diberi ESP selama 150 hari maupun dengan tikus yang diberi ESP 120 hari, 90 hari, dan 60 hari (P<0,05). Pertumbuhan bobot badan tikus yang diberi ESP selama 150 hari adalah paling tinggi dibanding dengan grup yang lain. Tikus yang diberi ESP 120 hari juga lebih berat dibandingkan dengan tikus yang diberi ESP 90 hari, 60 hari maupun tikus kontrol.
Dengan demikian maka pertumbuhan bobot badan semakin besar
sejalan dengan lama durasi pemberian ESP. Perbedaan tingkat pertumbuhan bobot badan antara tikus kontrol dan tikus perlakuan tampak setelah umur 105 hari. Pada umur 105 hari ini, tikus (NOV-1) mempunyai bobot badan 119,25 g, lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol (106,78 g). Demikian juga dengan tikus (NOV-2, NOV-3, dan NOV-4)
48
Bobot badan (gr)
180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 1
173,20 20,75a 159,78 20,26ab 158,95 17,06ab 149,88 7,44ab 136,55 7,68b NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4
1
30
45
60
75 90 105 120 135 150 165 180 Umur tikus (hari)
Gambar 14. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 30 hingga 180 hari pada grup NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05).
pada umur 105 hari memiliki bobot badan masing-masing 116,40 g, 108,68 g, dan 109,95 g yang semuanya lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol (P <0,05). Pada akhir perlakuan (umur 180 hari), tikus NOV-1 memiliki bobot badan sebesar 173,20 g atau 26,84 % lebih berat dibandingkan tikus kontrol. Tikus (NOV-2 dan NOV-3) masing-masing 16,40 % dan 17,01 % lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol, sedangkan tikus NOV-4 mempunyai bobot badan sebesar 149,88 g atau 9.76 % lebih berat dari kontrol.
Pertambahan
bobot (bobot akhir dikurang bobot awal dari pemberian ESP) grup perlakuan ESP selama 150 hari adalah sebesar 78,47 g dibandingkan dengan tikus kontrol yang hanya 42,7 g, diikuti tikus yang diberi ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari masing-masing sebesar 65,2 g, 65,83 g, dan 56,5 g.
4.2.2. Pengukuran Panjang Tulang Femur Dari hasil pengukuran panjang tulang femur di akhir perlakuan pada tikus NOV-1 sebesar 31,88 mm, yang diikuti NOV-2 29,64 mm, NOV-3 29.44 mm, dan NOV-4 29,26 lebih panjang dibandingkan dengan kontrol yang hanya 28.74 mm
49
(Gambar 15).
Tikus yang diberi ESP selama 150 hari (NOV-1) memiliki
pertambahan ukuran tulang femur paling panjang yaitu sebesar 3,09 mm (meningkat 10,76 %) diikuti tikus NOV-2, NOV-3 dan OV-4 masing-masing 0,91 mm (3,17 %), 0,71 mm (2,47 %) dan 0,53 mm (1,84 %) dibandingkan dengan panjang tulang femur pada tikus NOV-0 (P<0,05). 40
28.73 0.13a
31.82 1.26b
29.64 1.15a
29.44 1.44a
29.26 0.14
NOV-0
NOV-1
NOV-2
NOV-3
NOV-4
Panjang Tulang (mm)
30
20
10
0
Grup
Gambar 15. Diagram ukuran panjang tulang femur tikus setelah masa perlakuan selama 180 hari. Ukuran tulang femur pada NOV-1 lebih panjang dibandingkan pada kontrol (NOV-0) dan perlakuan lainnya yaitu NOV-2, NOV-3, dan NOV-4.
4.2.3. Kadar Kalsium dan Fosfor Darah. Pada tikus NOV-0, kadar kalsium darah cenderung konstan berkisar antara 11,0-11,72 mg/dl. Kadar kalsium tikus yang diberi ESP selama 150 hari pada awal pemberian ESP sebesar 11,58 mg/dl dan kemudian meningkat pada akhir perlakuan menjadi sebesar 12,10 mg/dl (meningkat 4,49 %). Tikus yang diberi ESP selama 150 hari inilah yang memiliki konsentrasi kalsium tertinggi dibandingkan tikus perlakuan lainnya.
Kadar kalsium darah pada tikus yang
diberi ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ESP 150 hari. Tikus-tikus yang diberi ESP selama 120 hari memiliki kadar kalsium yang meningkat sebesar 4,92 % dan diikuti oleh tikus
50
(mg/dl) 12,5 12,10 11,72 11,70 11,36 11,18
Kadar kalsium darah
12 11,5 11
0,45a 0,53b 0,53b 0,37b 0,68b
10,5 10 9,5 90
Gambar 16. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. . NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama: 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05).
(mg/dl) 7,85 7,80 0,11a
Kadar fosfor darah
7,8
7,74 7,74 7,73 7,71
7,75 7,7
0,20a 0,23a 0,30a 0,40a
7,65 NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4
7,6 7,55
0 7,5 0
30
60
90
120
150
180
Umur tikus (hari)
Gambar 17. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05).
51
perlakuan ESP 90 hari sebesar 4,89 %, dan 60 hari sebesar 0,26 % (Tabel 3). Dengan demikian, hasil analisis terhadap parameter kadar kalsium darah secara umum
menunjukkan
peningkatan
pada
seluruh
tikus-tikus
perlakuan
dibandingkan tikus kontrol (P <0,05) (Gambar 16). Kadar fosfor darah pada tikus yang diberi ESP 150 hari, 120 hari, 90 hari, dan 60 hari menunjukkan peningkatan selama masa pemberian ESP walaupun pada akhir perlakuan, kadar fosfor tikus perlakuan ESP 150 hari, 120 hari, 90 hari, dan 60 hari tidak setinggi kadar fosfor tikus kontrol (Gambar 17). Kadar fosfor darah dari tikus yang diberi ESP selama 150 hari pada hari ke-180 mengalami peningkatan sebesar 1,84%, tikus yang diberi ESP selama 120 hari sebesar 2,24%, tikus yang diberi ESP 90 hari dan 60 hari masing-masing sebesar 2,65% dan 1,98 (Tabel 3). Hasil analisis statistik terhadap kadar fosfor dalam darah tidak berbeda nyata pada semua tikus-tikus perlakuan. Tabel 3. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus di awal dan di akhir pemberian ESP. Kalsium mg/dl Fosfor mg/dl Lama Perlakuan pemberian Kenaikan Kenaikan awal akhir awal akhir ESP (%) (%) NOV-0 Kontrol 11,78± 11,70± 0,53 -0,67 7,62±0,17 7,80±0,11 2,36 0,33 NOV-1
150 hari
11,58± 12,10± 0,45 0,40
4,49
7,60±0,18 7,74±0,20
1,84
NOV-2
120 hari
11,17± 11,72± 0,53 1,26
4,92
7,57±0,24 7,74±0,23
2,24
NOV-3
90 hari
10,83± 11,36 ± 0,37 0,66
4,89
7,53±0,47 7,73±0,30
2,65
NOV-4
60 hari
11,15± 11,18 ± 0,68 0,50
0,26
7,56±0,47 7,71±0,40
1,98
NOV-0 dan NOV-1= umur 30 hari; umur 60 hari (NOV-2), umur 90 hari (NOV-3), dan umur 120 hari (NOV-4).
Dari analisis terhadap kadar kalsium dan fosfor tulang tikus perlakuan ditemukan adanya hasil yang relatif sama dengan tikus kontrol (P<0,05). Kadar kalsium grup pemberian ESP selama 150 hari, 120 hari, 90 hari, dan 60 hari berturut-turut, yaitu sebesar 31,85 % 31,46 %, 30,30 %, dan 30,71 % serta kadar kalsium tikus kontrol sebesar 32.41 % (Tabel 4). Untuk kadar fosfor tulang tikustikus perlakuan juga memberikan hasil yang tidak berbeda dibandingkan tikus kontrol (P<0,05). Kadar fosfor grup pemberian ESP selama 150 hari, 120 hari,
52
90 hari, dan 60 hari berturut-turut sebesar 18,48 %, 18,23 %, 18,21 %, dan 17,85 %, dan tikus kontrol sebesar 18,89 % (Tabel 4). Ternyata perbedaan lama pemberian ESP dalam perlakuan tidak merpengaruhi pada kadar fosfor dalam tulang. Tabel 4. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus selama masa pemberian ESP. Perlakuan NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4
Kadar Kalsium (%) 32,41±1,37a 31,85±0,83 ab 31,46±0,20 abc 30,30±0,54 bc 30,71±0,37c
Fosfor (%) 18,89±1,12 18,48±0,22 18,23±0,82 17,85±0,56 18,21±0,41
NOV-0 = Tikus kontrol, NOV-1= perlakuan 30 hari, NOV-2= perlakuan 60 hari, NOV-3 = perlakuan 90 hari, NOV-4 = perlakuan 120 hari. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05).
4.2.4. Gambaran Radiografi Tulang Pemeriksaan radiografi terhadap tulang tibia tikus kontrol (NOV-0) dan perlakuan (NOV-1, NOV-2, NOV-3 dan NOV-4) dilakukan untuk menentukan kepadatan massa tulang. Tulang yang padat akan memberikan hasil gambar yang
lebih
radiopaque
sedangkan
tulang
yang
kurang
kompak
akan
memperlihatkan hasil yang lebih radiolucent. Secara umum, gambaran radiografi tulang tibia tikus perlakuan menunjukkan kekompakan yang lebih baik dibandingkan dengan tulang tibia pada tikus kontrol.
Tulang tibia tikus yang
diberi ESP selama 150 hari tampak lebih kompak dengan gambaran yang paling radiopaque dibandingkan dengan tulang tibia tikus perlakuan lainnya maupun tikus kontrol (Gambar 18).
53
NOV-1
NOV-0
NOV-3
NOV-0’
NOV-2
NOV-4
NOV-1’
NOV-2’
NOV-3’
NOV-4’
Gambar 18. Gambaran radiografi tulang tibia tikus dengan perlakuan pemberian ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Inset. Tanda panah memperlihatkan radiolucent (NOV-0’), dan radiopaque (NOV-1’), dengan derajat radiopaque yang menurun pada NOV-2’,NOV-3’ dan NOV-4’ jika dibandingkan dengan NOV-1’. Bar: 5 mm NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4).
4.2.5. Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia. Secara mikroskopis, kondisi pertulangan dapat ditentukan antara lain oleh densitas trabekula serta osteoblas dan osteoklas yang terdapat di daerah diafisis maupun metafisis. Secara umum, trabekula terbentuk dari sasaran epifisis yang mengalami osifikasi ke arah distal. Dengan mewarnai preparat tulang dengan pewarnaan Masson Trichrome, maka trabekula memberikan warna biru menandakan masih mengandung tulang rawan sedangkan warna merah menandakan tulang yang sudah padat dan umumnya hasil pengamatan pertumbuhan trabekula sejajar dengan sumbu tulang meskipun ada daya tarik menarik dengan otot (Gambar 19).
54
a e
b f c
g
d
Gambar 19. Gambaran umum tulang tibia. a. Epifisis proksimalis, b. Sasaran efifisis, c. Metafisis d. Trabekula, e. Osifikasi trabekula, f. Sumsum tulang (bone marrow), g. Subtansia kompakta. Pewarnaan MT. Bar: 50 µm. Tikus dengan pemberian ESP selama 150 hari memiliki trabekula dengan intensitas warna biru lebih pekat dibandingkan dengan tikus kontrol, maupun tikus-tikus perlakuan lainnya (pemberian ESP selama 120 hari,90 hari, dan 60 hari). Trabekula pada tulang tibia tikus dengan pemberian ESP selama 150 hari ini juga tampak lebih padat dan tebal, baik di daerah diafisis maupun metafisis. Intensitas warna trabekula menunjukkan kepadatan massa jaringan ikat trabekula.
Trabekula pada tikus pemberian ESP 150 hari dan 120 hari
memberikan intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat dibandingkan dengan intensitas warna trabekula pada tikus kontrol dan tikus perlakuan lainnya. Walaupun demikian pada tikus yang diberi ESP selama 120 hari, trabekulanya tampak lebih tipis dibandingkan dengan tikus yang diberi ESP selama 150 hari, hal yang sama ditemukan pada tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 90 hari. Tikus NOV-4 yang mendapatkan ESP selama hanya 60 hari intensitas trabekula dari tulang tibianya lebih tipis dan jarang dibandingkan dengan tikus perlakuan lainnya (Gambar 20) dan sketsa gambaran trabekula yang terlihat adanya perbedaan dengan tikus kontrol (Gambar 21). Dengan pewarnaan Masson trichrome ini juga dapat diamati buluh darah terutama ditemukan pada daerah metafisis.
Buluh darah banyak ditemukan pada sumsum tulang tikus kontrol
maupun tikus-tikus perlakuan tetapi pada struktur tulang tikus pemberian ESP 60 hari, buluh darahnya tampak lebih banyak dibandingkan dengan tikus kontrol maupun tikus-tikus perlakuan lainnnya karena adanya peningkatan aktivitas metabolisme tulang. 55
Gambar 20. Gambaran trabekula pada potongan memanjang tulang tibia tikus kontrol (NOV-0) dan tikus perlakuan yang diberi ESP mulai umur 30 hari dan NOV-1, 60 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 120 hari (NOV-4). Terjadi peningkatan trabekula (panah hitam) pada grup ESP dibandingkan dengan kontrol (NOV-0). Sumsum tulang (panah merah). Pewarnaan MT. Bar: 50 µm.
56
Gambar 21. Gambaran sketsa densitas trabekula pada tulang tibia setelah pembuangan sumsum tulang dari seluruh grup tikus pada umur 180 hari. Peningkatan trabekula (panah hitam) lebih jelas pada NOV-1 dan (NOV-2) dibandingkan kontrol (NOV-0). Ket: NOV-0 (tikus kontrol), NOV-1 tikus perlakuan yang diberi ESP mulai umur 30 hari, NOV-2 mulai 60 hari, NOV-3 mulai 90 hari, dan NOV-4 mulai 120 hari. Pewarnaan MT. Bar: 50 µm.
57
4.2.6. Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas. Kondisi pertumbuhan tulang dapat ditentukan melalui densitas trabekula dan kuantitas osteoblas dan osteoklas yang terdapat di daerah epifisis maupun metafisis. epifisis.
Pada tulang tibia dalam penelitian ini masih ditemukan sasaran Di daerah epifisis, densitas osteoblas dan osteoklas terlihat tidak
mengalami perubahan, sedangkan pada sasaran epifisis telah ditemukan adanya proses pembentukan dan proses osifikasi trabekula.
Pada daerah metafisis
ditemukan sumsum merah yang berisi jaringan darah yang berbentuk sel-sel darah dari hasil proses diferensiasi sel-sel hemositoblas dan jaringan darah ini dinamakan sumsum merah.
Osteoblas ditemukan di daerah endosteum:
osteoblas yang pasif berbentuk pipih dengan inti pipih juga sedangkan yang aktif berbentuk kuboid (Gambar 22). Sementara itu dalam penelitian ini osteoklas ditemukan di permukaan trabekula yang akan bersiap-siap untuk meresorbsi tulang dan osteoklas yang sebagian badannya berada dalam lakuna Howship yang sedang meresorbsi tulang (Gambar 23). Dalam pengamatan ini, osteoklas aktif ditemukan di daerah trabekula bagian sentral tetapi tidak ditemukan pada daerah substansia kompakta dan trabekula bagian tepi. Secara mikroskopis, sumsum tulang di bagian epifisis dan metafisis tulang tibia tikus pemberian ESP 150 hari, tampak lebih padat dibandingkan tikus kontrol dengan ditemukanya osteoblas aktif yang berbentuk kuboid maupun osteoblas pasif dengan bentuk pipih.
Densitas osteoblas aktif dan pasif pada tikus NOV-1, masing-masing
adalah 38,92 ± 8,09, dan 57,21 ± 17,51 lebih padat dibandingkan dengan densitas osteoblas pada tikus kontrol masing-masing: 34,58 ± 8,05, dan 50,67 ± 17,37, tetapi densitas osteoklas pada tikus NOV-1 lebih rendah (Tabel 5). Osteoblas aktif pada pemberian ESP selama 120 hari sebesar 34.88 ± 6.62 sedangkan yang pasif adalah 47.63 ± 8.69.
Pada grup ini, pemberian ESP
selama 120 hari memperlihatkan penurunan jumlah osteoblas baik yang aktif maupun yang pasif, tetapi densitas osteoklas meningkat.
Namun demikian,
densitas osteoblas tikus NOV-2 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol.
Selanjutnya, densitas osteoblas aktif pada tikus NOV-3 menurun
menjadi 20,25 ± 8,99 (P<0,05) dan yang pasif sebesar 39,04 ± 13,32 dan densitas osteoblas aktif pada tikus NOV-4 juga menurun menjadi 18,08 ± 3,68 dan osteoblas pasif sebesar 34,96 ± 6,38 (Gambar 24). Di lain pihak, densitas osteoklas meningkat sejalan dengan rentang yang pendek pemberian ESP dan trabekula makin menipis.
58
Gambar 22. Osteoblas pada tulang tibia tikus. Inset : A’ dan B’ merupakan gambaran detil dari A dan B. A’ gambaran osteoblas pasif (panah), B’ gambaran osteoblas aktif (panah). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm.
Gambar 23. Gambaran osteoklas yang sedang merusak trabekula (panah hitam). A. osteoklas di permukaan trabekula serta osteoklas (panah putih) yang sudah selesai merusak tulang dan bersiap untuk lisis. B. osteoklas di dalam lakuna Howship sedang merusak sebagian trabekula. Pewarnaan HE. Bar: 50 µm 59
ost
ost
os
ost
60
ost
Gambar 24. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus umur 180 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Inset: memperlihatkan osteoblas aktif dan pasif NOV-0’: tikus kontrol, NOV-1’: pemberian ESP selama 150 hari dengan jumlah osteoblas yang meningkat, NOV-2’, NOV-3’, dan NOV-4’: jumlah osteoblas mulai menurun. Osteoblas aktif (panah hitam), osteoblas pasif (segitiga), ost: osteosit (panah putih). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (NOV-0, NOV-1,NOV-3 dan NOV-4) dan 20 µm (NOV-0’, NOV-1’, NOV-2’, NOV-3’, dan NOV-4’).
Berdasarkan densitas osteoklas, tikus yang diberi ESP 150 hari memiliki densitas osteoklas lebih rendah dibandingkan tikus kontrol, maupun tikus yang diberi ESP 120 hari, 90 hari, dan 60 hari (P<0,05) Tabel 5. Dengan pewarnaan HE, tulang tikus kontrol terlihat adanya pengikisan trabekula karena aktivitas sel osteoklas, namun masih ada beberapa osteoblas yang bertindak meregenerasi tulang. Tikus yang diberi ESP selama 120 hari dimulai pemberian ESP pada umur 60 hari menunjukkan densitas osteoklas 4,29 ± 4,44, tetapi osteoklasnya masih lebih rendah dibandingkan tikus kontrol.
Pada tikus pemberian ESP
selama 90 hari, walaupun terlihat adanya peningkatan osteoklas tetapi masih terlihat sumsum tulang yang padat dan trabekula sudah mulai terlihat jarang Tikus pada pemberian ESP 60 hari terlihat sumsum dan trabekula sudah mulai terlihat jarang.
Pada pewarnaan HE (Gambar 25) menunjukkan beberapa
osteoklas yang sudah membuat lakuna Howship pada tulang. Tulang menjadi tergerus dan regenerasi dari osteoblas tidak cukup untuk mengkompensasi aktivitas sel osteoklas.
61
62
Gambar 25. Densitas osteoklas tulang tibia tikus yang diberi ESP mulai umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Inset: memperlihatkan sel osteoklas. NOV-0’: tikus kontrol, NOV-1’: pemberian ESP selama 150 hari dengan jumlah osteoklas yang berkurang, NOV-2’ sel osteoklas yang mulai meningkat, NOV-3,’ sel osteoklas yang semakin meningkat, dan NOV-4’ sel osteoklas yang meningkat. osteoklas (tanda panah), Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV3, NOV-4).dan 20 µm (NOV-0’, NOV-1’, NOV-2’, NOV-3’, NOV-4’).
Tabel 5. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas, dan buluh darah pada tulang tibia tikus yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari. Grup NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4
Osteoblas Aktif
Pasif
34,58±8,05b 38,92±8,09a 34,88±6,62b 20,25±8,99c 18,08±3,68c
50,67±17,37a 57,21±17,51a 47,63±8,69a 39,04±13,32b 34,96±6,38b
Osteoklas
Buluh darah
6,99±3,35bc 2,50±2,96a 4,29±4,44b 5,58±2,60b 6,75±3,55bc
13,79±3,40ab 11,96±3,34b 12,63±3,59ab 11,88±4,37b 14,42±1,77a
NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4).
4.2.7. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid pada tikus kontrol menunjukkan gambaran paratiroid yang normal dan terlihat sel-sel prinsipal warna sitoplasmanya gelap juga terlihat pada tikus pemberian ESP 150 hari (Gambar 26). Keadaan yang sama ditemukan pada tikus pemberian ESP 120 hari, 90 hari dan tikus grup pemberian 60 hari yaitu inti sel prinsipal yang membesar dan sitoplasma asidofilik. Sementara itu jumlah sel oksifil pada kelenjar paratiroid tikus-tikus NOV1, NOV-2, NOV-3, NOV-4 dan kontrol relatif sama. Inti selnya yang berwarna terang dengan sitoplasma yang berwarna gelap. Mikrovaskularisasi didalam kelenjar paratiroid dilakukan oleh sinusoid yang tampak membesar terdapat pada tikus-tikus NOV-2, NOV-3, dan NOV-4.
63
psp oks
oks psp
kpr
kpr
oks
psp oks
kpr
psp
kpr
psp
oks
kpr
Gambar 26. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP pada umur 30, 60, 90, dan 120 hari. NOV-0 = Tikus kontrol; Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1), 120 hari (NOV-2), 90 hari (NOV-3), dan 60 hari (NOV-4). NOV-0, NOV-1 menunjukkan sel-sel prinsipal yang kompak dan dan terlihat terang, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4 menunjukkan sel-sel prinsipal meningkat jumlahnya dan terlihat gelap. Sel-sel prinsipal (psp), sel-sel oksifil (oks), kapiler (kpr). Pewarnaan Hematoksilin Eosin. Bar: 50µm.
64
4.2.8. Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal Gambaran mikroskopis jaringan hati tidak menunjukkan terjadinya perubahan antara tikus kontrol (NOV-0) dangan dengan tikus perlakuan lainnya (NOV-1, NOV-2, NOV-3, NOV-4). Sel-sel hepatositnya tidak mengalami perubahan, tidak ada sel-sel yang degenerasi dan nekrosa ditandai inti sel hepatosit yang masih berwarna biru cerah, dan sitoplasma berwana merah cerah serta tidak ada akumulasi benda-benda asing di dalam sitoplasma. Sinusoid normal, tidak mengalami dilatasi ataupun kerusakan lainya (Gambar 27). Hasil pemeriksaan mikroskopis ginjal tikus menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup (NOV-0, NOV-1, NOV-2, NOV-3 dan NOV-4) (Gambar 28). Dari pemeriksaan mikroskopis baik tikus kontrol maupun tikus perlakuan terlihat glomerulusnya yang tidak mengalami kerusakan ataupun kelainan ditandai tidak adanya akumulasi eritrosit pada tubulus ginjal. Sel-sel endotel pada kapsula Bowman tidak mengalami kelainan. Lumen dari tubulus kosong, tidak ada akumulasi benda-benda asing. Kelainan yang terjadi adalah adanya hyperemi ditandai adanya akumulasi sel-sel eritrosit pada glomerulus, dan pada pembuluh darah kapiler di antara tubulus.
vc vc sht
sns
sht sns
vc sht
sns
Gambar 27. Gambaran mikroskopi hati. Tikus kontrol (NOV-0), Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV1) mulai umur 30, dan (NOV-4) yang diberi ESP 60 hari dimulai umur 120 hari. Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup dibandingkan tikus kontrol. Vena sentralis (vc), sinusoid (sns), sel-sel hepatosit (sht). Pewarnaan HE. Bar: 50µm.
65
tbg gmr gmr tbg
gmr
tbg
Gambar 28. Gambaran mikroskopis ginjal. Tikus kontrol (NOV-0), Tikus perlakuan diberi ESP selama 150 hari (NOV-1) mulai umur 30, dan (NOV-4) yang diberi ESP 60 hari dimulai umur 120 hari. Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup baik kontrol maupun tikus perlakuan. Gromerulus (gmr), tubulus ginjal (tbg). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm.
66
4.3.
Pengaruh Pemberian ESP Kelompok Tikus Ovariektomi
4.3.1. Bobot Badan Tikus Pemberian ESP pada tikus betina yang diovariektomi dengan berbagai lama pemberian menunjukkan tingkat pertumbuhan bobot badan yang berbeda (Gambar 29). Secara umum, pemberian ESP menyebabkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan dengan tikus sham maupun tikus kontrol. Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) menunjukkan bobot badan paling tinggi dibandingkan dengan grup perlakuan yang lain yaitu sebesar 179,93 g atau lebih berat 26,13 g (meningkat 16,99 %). Hal yang sama juga ditemukan pada tikus OV-3 dan OV-4 yang memiliki bobot tubuh lebih berat dibandingkan dengan tikus OV-1. Tikus OV-3 memiliki bobot akhir sebesar 174,23 g atau lebih berat sebesar 20,43 g (meningkat 13,28 %) dibandingkan tikus OV-1 dan tikus OV-4 mempunyai bobot badan sebesar 171,65 g atau lebih berat 11,61 % dari tikus OV-1, dengan pertambahan bobot badan sebesar 17,85 g.
Bobot badan (g)
180 170
179,93 7,43a 174,23 4,70a 171,65 4,83a
160
160,28 7,64b 153,80 5,34b
150 140 130
OV0 OV1 OV2 OV3 OV4
120 110 100 90 80 1
60
75
90
105 120 135 150 165 180 195 210
Umur tikus (hari)
Gambar 29. Gambaran pertumbuhan bobot badan tikus ovariektomi yang ditimbang setiap 15 hari sekali dari umur 60 hingga 210 hari pada grup OV-0, OV-1, OV-2, OV-3, dan OV-4. OV-0 = Tikus tidak diovariektomi dan tidak diberi ESP (sham); Tikus perlakuan yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus perlakuan yang diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05).
67
4.3.2. Panjang Tulang Femur Tikus
ovariektomi
yang
diberi
ESP
secara
umum
mengalami
pertambahan panjang tulang femur (Gambar 30). Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) memiliki ukuran tulang femur paling panjang yaitu sebesar 30,38 mm atau 1,2 mm (4,11 %) lebih panjang dari tikus kontrol (OV-1) sebesar 29.18 mm, kemudian diikuti tikus OV-3 dan OV-4 masing-masing 1.08 mm (3,70 %) dan 0,62 mm (2,12 %) dibandingkan dengan panjang tulang femur pada tikus OV-1 (P<0,05). 40
Panjang Tulang (mm)
30.07 0.74ab
29.18 0.58a
30.38 0.15b
30.26 0.83b
29.80 0.67b
30
20
10
0 OV-0
OV-1
OV-2
OV-3
OV-4
Grup perlakuan
Gambar 30.
Diagram ukuran panjang tulang femur tikus ovariektomi setelah masa perlakuan selama 180 hari. Pada OV-2 menunjukkan panjang tulang femur lebih panjang dibandingkan kontrol (OV-1), dan perlakuan lainya OV-3, dan OV-4. Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05).
4.3.3. Kadar Kalsium dan Fosfor Darah. Pada tikus OV-0, kadar kalsium darah cenderung konstan dengan kadar kalsium pada akhir penelitian sebesar 11,89 ± 0,36 mg/dl. Pada OV-1, kadar kalsium darah cenderung turun selama perlakuan.
Tetapi, pada tikus OV-2,
kadar kalsium di awal pemberian ESP sebesar 10,13 mg/dl dan di akhir penelitian menjadi 10,48 mg/dl (meningkat sebesar 3,45 %), tikus-tikus ini merupakan grup yang mempunyai konsentrasi kadar kalsium tertinggi pada akhir penelitian. Tikus OV-3 yang diberi ESP selama 90 hari, kadar kalsium darah tikus ini meningkat sebesar 0,58 % dan diikuti oleh tikus perlakuan OV-4 sebesar 1,10 %.
Secara umum pemberian ESP pada tikus-tikus yang diovariektomi
meningkatkan kadar kalsium darah secara signifikan di akhir penelitian (P<0,05) (Gambar 31 dan Tabel 6).
68
(mg/dl) 12,50
Kadar kalsium
12,00
11.89 0.36a
11,50
OV0
11,00
OV1 10.48 0.32b 10.29 0.43b 10.05 0.85b
10,50 10,00
OV2 OV3 OV4
9,50
9.33 0.52c
9,00 0
60
90
120
150
180
210
Umur (hari)
Gambar 31. Gambaran kadar kalsium serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. OV-0= tikus sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1), yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05).
Hal yang mirip juga ditemukan pada kadar fosfor darah tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 yang juga meningkat selama masa pemberian ESP walaupun pada akhir perlakuan, kadar fosfor tikus perlakuan OV-2, OV-3, dan OV-4 tidak setinggi kadar fosfor darah tikus sham (Gambar 32). Sebaliknya kadar fosfor darah pada tikus OV-1 cenderung menurun. Tikus ovariektomi yang diberi ESP
Kadar fosfat
(mg/dl) 7,80 7,70
7,70 0,30a
7,60
7,62 0,15a 7,57 0,27a 7,57 0,14a
7,50
OV0
7,40
OV1
7,30
OV2
7,20
OV3
7,10
7,13 0,39b
OV4
7,00 0
60
90
120
150
180
210
Umur (hari)
Gambar 32. Gambaran kadar fosfor serum darah tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. OV-0= tikus sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1) dan yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Hasil uji berbeda nyata bila huruf berbeda (P<0,05).
69
Tabel 6. Persentase perubahan kadar kalsium dan fosfor serum darah tikus ovariektomi di awal dan di akhir pemberian ESP.
Perlakuan
Lama pemberian ESP
Kalsium mg/dl awal
akhir
Fosfor mg/dl kenaikan (%)
awal
akhir
kenaikan (%)
OV-0
(sham)
11,62±0,47 11,89±0,36
4,04
7,46±0,34 7,58±0,30
3,21
OV-1
(kontrol)
10,08±0,54 9,33±0,52
-7,44
7,43±0,22 7,13±0,52
4,03
OV-2
120 hari
10,13±0,17 10,48±0,32
3,45
7,46±0,16 7,62±0,13
2,14
OV-3
90 hari
10,23±0,49 10,29±0,43
0,58
7,46±0,13 7,57±0,12
1,47
OV-4
60 hari
9,94±1,36 10,05±0,85
1,10
7,51±0,29 7,57±0,27
0,79
OV-0= tikus sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1), yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4).
selama 120 hari mengalami peningkatan kadar fosfor sebesar 2,14 %, sedangkan tikus yang diberi ESP selama 90 hari dan 60 hari masing-masing juga meningkat sebesar 1,47 % dan 0,79 % (Tabel 6). Pemberian ESP pada tikus ovariektomi (OV-2, OV-3, dan OV-4) memiliki kadar fosfor di akhir penelitian lebih tinggi dibandingkan pada tikus OV-1 (P<0,05) dan sama dengan kadar fosfor pada tikus sham (P>0,05). Tikus betina kontrol yang diovariektomi tanpa diberi ESP (OV-1) menunjukkan kadar kalsium tulang yang lebih rendah (27,3 %) dibandingkan kadar kalsium tulang tikus sham (P<0,05). Tetapi tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3 dan OV-4) masing-masing mempunyai kadar kalsium sebesar 2,68 %, 2,32 %, dan 1,97 %, lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol (P<0,05), tetapi lebih rendah dibandingkan dengan tikus sham (P<0,05). Pola yang mirip ditemukan juga pada kadar fosfor tulang. Kadar fosfor tulang tertinggi ditemukan juga pada tikus sham sebesar 18,48 %, tetapi pada tikus ovariektomi (OV-1), kadar fosfor tulang menurunkan menjadi 16,98 %. Pemberian ESP pada tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 dapat meningkatkan kadar fosfor tulang masing-masing sebesar 0,25 %, 0,14 %, dan 0,24 % dibandingkan dengan kadar fosfor pada tulang OV-1 (P>0,05) walau demikian kadar fosfor tikus perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan tikus sham (P<0,05) (Tabel 7).
70
Tabel 7. Persentase kadar kalsium dan fosfor tulang tikus ovariektomi selama masa pemberian ESP. Grup
Kadar Kalsium (%)
Fosfor (%)
OV-0 (sham)
32,66 ± 0,96 a
18,48 ± 0,90 a
OV-1(tanpa ESP)
27,37 ± 0,99 c
16,98 ± 0,23 b
OV-2
30,05 ± 0,64 b
17,23 ± 0,62 b
OV-3
29,69 ± 0,32 b
17,12 ± 0,23 b
OV-4
29,34 ± 0,75 b
17,22 ± 0,22 b
OV-0= grup sham; Tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1), yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05).
4.3.4. Gambaran Radiografi Tulang Radiografi terhadap tulang tibia tikus sham (OV-0), kontrol (OV-1) maupun tikus perlakuan (OV-2, OV-3, dan OV-4) dilakukan untuk menganalisis densitas massa tulang. Pada tikus yang diberi ESP, secara umum menunjukkan intensitas radiografi yang lebih padat (radiopaque) dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1), tetapi tidak berbeda dengan tikus OV-0. Tulang tibia tikus yang diberi ESP selama 120 hari menunjukkan massa tulang yang lebih radiopaque dibandingkan dengan tulang tibia tikus perlakuan lainnya termasuk tikus kontrol (Gambar 33).
4.3.5. Densitas Osteoblas dan Osteoklas Pada daerah metafisis ditemukan jaringan sumsum merah yang terdiri atas berbagai bentuk sel-sel darah dari hasil proses diferensiasi sel-sel hemositoblas. Pada daerah metafisis ini, banyak juga ditemukan osteoblas aktif maupun osteoblas pasif. Secara mikroskopis di bagian epifisis dan metafisis tulang tibia tikus yang diberi ESP 120 hari, sel-sel tulang, sumsum tulang, dan osteoblas baik yang aktif maupun yang pasif tampak lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol. Adanya osteoblas aktif menandakan tulang dalam kondisi bekerja sedangkan adanya osteoblas pasif menunjukkan tulang dalam kondisi istirahat dalam pembentukan tulang. Densitas osteoblas aktif dan pasif pada tikus OV-2, masing-masing: 57,19 ± 18,67, dan 67,31 ± 18,45, lebih padat dibandingkan dengan densitas osteoblas aktif dan pasif pada tikus kontrol masing-masing: 28,17 ± 14,79, dan 38,00 ± 14,52 (P<0,05) (Tabel 8).
71
OV-0
OV-1
OV-4
OV-3
OV-0’
OV-2
OV-1’
OV-3’
OV-2’
OV-4’
Gambar 33. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi dengan perlakuan pemberian ESP pada umur 90,120, dan 150 hari. Inset: Tanda panah memperlihatkan radiolusen (OV-1’), dan radiopaque (OV-2’), dengan derajat radiopaque yang menurun pada OV-3’- OV- 4’ bila dibandingkan dengan OV-2’. Bar: 5 mm OV-0 = sham, tidak diberi ESP dan diovariektomi OV-1, yang diberi ESP mulai umur 90 hari OV-2, 120 hari OV-3 ,dan 150 hari (OV-4).
Tabel 8. Densitas osteoblas aktif dan pasif, osteoklas dan buluh darah pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. Osteoklas
Buluh darah
OV-0
Osteoblas Aktif Pasif 30,75±19,16c 41,79±17,37b
3,21±2,19c
8,04±3,59b
OV- 1
28,17±14,79c
38,00±14,52b
16,00±3,32a
8,50±2,60ab
OV- 2
a
57,19±18,67
a
67,31±18,45
6,68±3,35b
11,17±5,57a
OV- 3
38,46±8,36b
45,75±10,45b
7,67±2,59b
10,75±3,37a
OV- 4
28,39±15,55c
36,39±16,97b
9,06±3,67b
8,71±4,61ab
grup
OV-0 = Tikus sham; Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4).
72
Banyaknya osteoblas aktif pada tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 90 hari adalah sebesar 38,46 ± 8,36 sedangkan yang pasif adalah 36 45,75 ± 10,45.
Pada tikus OV-3, yang diberi ESP selama 90 hari memperlihatkan
penurunan jumlah osteoblas baik yang aktif maupun yang pasif, tetapi densitas osteoblas tikus OV-3 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol (P<0,05).
Selanjutnya, densitas osteoblas aktif pada tikus OV-4 terlihat juga
adanya penurunan menjadi 28,39 ± 15,55 dan osteoblas pasif sebesar 36,39 ± 16,97 tetapi masih menyamai tikus kontrol (P>0,05) (Gambar 34). Sementara itu, densitas osteoklas meningkat sejalan dengan rentang waktu pemberian ESP yang lebih pendek (Tabel 8 dan Gambar 35).
Tikus
ovariektomi yang diberi ESP 120 hari menunjukkan densitas osteoklas paling rendah (6,68 ± 3,35) dibandingkan tikus kontrol (16,00 ± 3,32), maupun tikus perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4) (P<0,05). Tikus ovariektomi yang diberi ESP mulai umur 90 hari (OV-3) dan umur 60 hari (OV-4) menunjukkan densitas osteoklas sebesar (7,67 ± 2,59), namun demikian densitas osteoklas OV-3 dan OV-4 ini masih lebih rendah dibandingkan dengan tikus kontrol (P<0,05). Pada tikus pemberian ESP selama 60 hari di samping terlihat sumsum tulang yang jarang juga trabekula yang menipis dan menunjukkan peningkatan densitas osteoklas (Tabel 8). Densitas pembuluh darah arteriol dalam sumsum tulang akan mengikuti aktivitas tulang. Dari semua tikus perlakuan, tikus yang diberi ESP, secara relatif menunjukkan kondisi pembuluh darah arteriol yang banyak sejalan dengan lamanya pemberian ESP.
Tikus yang diberi ESP 120 hari (OV-2) memiliki
arteriol paling banyak bila dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1) maupun tikus perlakuan (OV-3 dan OV-4) (Tabel 8). 4.3.6. Gambaran Mikroskopis Trabekula dan Buluh Darah Tulang Tibia. Secara mikroskopis, kondisi pertulangan antara lain ditentukan oleh densitas trabekula, osteoblas, dan osteoklas yang terdapat di bagian diafisis maupun metafisis tulang. Trabekula merupakan jaringan ikat berupa anyamananyaman yang terbentuk dari sasaran epifisis yang mengalami osifikasi ke arah distal. Trabekula umumnya memanjang sejajar dengan sumbu tulang dan memberikan warna biru menandakan masih mengandung tulang rawan sedangkan warna merah menandakan tulang yang sudah padat dengan pewarnaan MT (Gambar 36). 73
Gambar 34. Distribusi osteoblas aktif dan pasif pada tulang tibia tikus ovariektomi umur 210 hari pada tikus kontrol dan yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari. Inset: OV-2’ pemberian ESP selama 120 hari dengan jumlah osteoblas yang meningkat. Osteoblas aktif (panah hitam) osteoblas pasif (segitiga), ost: osteosit (panah merah). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (OV-0, OV-1, OV-2,), 20 µm (OV-0’, OV-1’, OV-2’,).
74
ost
ost
ost
Gambar 35. Densitas osteoklas tulang tibia tikus ovariektomi yang diberi ESP pada umur 90,120, dan 150 hari. Inset: mempelihatkan sel osteoklas. OV-0’: sham, OV-1’: Tikus perlakuan yang diovariektomi tidak diberi ESP menunjukkan peningkatan sel osteoklas: OV-2’, pemberian ESP selama 120 hari, osteoklas (panah hitam), osteosit (panah merah). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm (OV-0, OV-1, OV-2), dan 20 µm (OV-0’, OV-1’, OV-2’).
75
76
Gambar 36. Gambaran trabekula pada potongan memanjang dan sketsa densitas trabekula tulang tibia setelah pembuangan bone marrow dari tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120, 90, dan 60 hari. Terjadi peningkatan trabekula (panah hitam) selama pemberian pada grup (OV-2- OV-4) dibandingkan dengan kontrol (OV-1). OV-0 = Tikus sham; Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), 90 hari (OV-3), dan 60 hari (OV-4). Pewarnaan MT. Bar: 50 µm
Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) memiliki trabekula dengan intensitas warna biru lebih pekat dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1), maupun tikus-tikus perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4). Trabekula pada tulang tibia tikus OV-2 juga tampak lebih padat dan tebal baik di daerah diafisis maupun metafisis. Demikian juga dengan trabekula pada tikus OV-3 yang memberikan intensitas warna biru yang lebih pekat dibandingkan dengan intensitas warna trabekula pada tikus kontrol dan tikus perlakuan lainnya. Walaupun demikian,
77
pada tikus OV-3 trabekulanya tampak lebih tipis dan jarang dibandingkan dengan tikus OV-2.
Hal yang sama juga ditemukan pada tulang tibia tikus OV-4.
Dengan pewarnaan MT ini, juga dapat diamati buluh darah terutama ditemukan pada daerah metafisis. Buluh darah banyak ditemukan pada sumsum tulang tikus kontrol maupun tikus-tikus perlakuan tetapi pada OV-2 dan OV-4, buluh darahnya tampak lebih banyak dibandingkan dengan tikus kontrol. 4.3.7. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Paratiroid Aktivitas sel-sel prinsipal dalam menghasilkan hormon paratiroid (PTH) dapat ditentukan dari ukuran dan jumlah sel prinsipal dalam kelenjar paratiroid. Gambaran mikroskopis tikus yang diberi ESP 120 hari (OV-2) menunjukkan gambaran paratiroid yang normal dan tidak menunjukkan perubahan yang menonjol dibandingkan dengan kontrol maupun tikus perlakuan lainnya.
psp oks kpr psp oks kpr
oks kpr
psp
Gambar 37. Gambaran mikroskopis kelenjar paratiroid tikus yang diberi ESP pada umur 90, 120, dan 150 hari. OV-0 = Tikus sham; Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus yang diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2), menunjukkan sel-sel prinsipal yang kompak dan terlihat terang. Selsel prinsipal padat tidak terjadi peningkatan jumlah, sel-sel oksifil tidak terjadi kerusakan, kapiler banyak terjadi penimbunan darah. Pewarnaan HE. Bar: 50µm. 78
Sel-sel kelenjar paratiroid tikus OV-2 menunjukkan susunan yang rapi, tidak menunjukkan kelainan. Dari semua kelompok perlakuan menunjukkan gambaran mikroskopis paratiroid yang hampir serupa dengan tikus kontrol.
Perubahan
yang demikian menunjukkan paratiroid dalam keadaan baik (Gambar 37). 4.3.8. Gambaran Mikroskopis Hati dan Ginjal Berdasarkan hasil pengamatan, gambaran mikroskopis jaringan hati tikustikus perlakuan (OV-2, OV-3, dan OV-4) mirip dengan pada tikus kontrol dan tidak menunjukkan perubahan anatomi.
Pada tikus OV-2 yang diberi ESP
selama 120 hari, sel-sel hepatosit tidak mengalami perubahan, dengan terlihat inti sel hepatosit yang masih berwarna biru cerah, dan sitoplasma berwana merah cerah serta tidak ada akumulasi benda-benda asing di dalam sitoplasma. Sinusoid normal, tidak mengalami perubahan maupun kerusakan lainya (Gambar 38).
sns sht
vc vc sht sns
sht vc
sns
Gambar 38. Gambaran mikroskopis hati. Tikus sham (OV-0), Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus yang diovariektomi diberi ESP selama 120 hari (OV-2). Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup dibandingkan tikus kontrol. Panah hitam sinusoid tidak melebar, panah merah sel hepatosit yang normal, panah hijau vena sentralis tidak dipenuhi darah. Pewarnaan HE. Bar: 50µm.
79
Hasil yang sama juga ditemukan pada gambaran mikroskopi ginjal tikus tidak menunjukkan adanya perubahan maupun perbedaan pada tikus sham, kontrol maupun tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3, dan OV-4). (Gambar 39). Pada tikus OV-2 glomerulusnya yang tidak mengalami perubahan, ditandai sel-sel penyusunnya yang kompak. Bowman terlihat normal.
Sel-sel endotel pada kapsula
Tubulus proksimalis dan tubulus distalis normal,
ditandai dengan epitel yang kompak dan sitoplasma cukup baik serta lumen dari tubulus kosong, tidak ada akumulasi benda-benda asing.
kB
tbg
tbg
kB gmr
gmr
gm
tbg
Gambar 39. Gambaran mikroskopi ginjal. Tikus yang diovariektomi tidak diberi ESP (OV-1), Tikus yang diovariektomi dan diberi ESP selama 120 hari (OV-2). Gambar menunjukkan tidak adanya perbedaan pada semua grup baik kontrol maupun tikus perlakuan. Panah hitam glomerulus padat, panah merah tubulus ginjal lumen kosong, panah hijau kapsula Bowman tipis dan tidak melebar. Pewarnaan HE. Bar: 50µm.
80
4.4. Pembahasan
4.4.1. Hasil Analisis Batang Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb) Berdasarkan hasil analisis proksimat pereaksi Mayer dan Dragendrof serta uji fitokimia, batang sipatah-patah mengandung beberapa komponen biologis yaitu kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, tanin (polifenolat), dan triterpenoid.
Komposisi yang hampir sama juga ditemukan pada Cissus
quadrangularis Linn (Gupta and Verma 1990; Mehta et al. 2001; Sanyal et al. 2005).
Kadar kalsium yang ditemukan pada batang sipatah-patah mencapai
4.33% dari bobot keringnya. Kadar kalsium ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar kalsium Cissus quadrangularis Linn. yang terdapat di India, yaitu sebanyak 4.00% dari bobot kering(Sanyal et al. 2005). Dengan demikian maka kandungan kalsium yang tinggi pada batang sipatah-patah ini dapat digunakan sebagai sumber kalsium dalam pembentukan tulang atau pemenuhan kebutuhan kalsium tubuh. Hasil uji terhadap ekstrak batang sipatah-patah (ESP) dengan metode Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) diperoleh sebanyak 33 senyawa fitokimia, dan 14 senyawa di antaranya termasuk golongan steroid (Tabel
2).
Sesuai
dengan
pernyataan
Kuiper
et
al.
(1998)
dan
Cseke et al. (2006) dapat diambil kesimpulan bahwa dari 14 senyawa steroid yang ditemukan di tanaman sipatah-patah tersebut, sebanyak tujuh senyawa yang ada, adalah fitoestrogen, yaitu A-norcholestan-3-one 5-ethenyl (area 22,67 %), Stigmast-5-en-3-ol (area15,52 %), Stigmast-4-en-3-one (area 8,53 %), Lup20(29)-en-3-ol (3.beta) (area 7,49 %), Ergost-22-en-3-ol (area 5,74 %), Stigmasta-5,23-dien-3.beta-ol (area 2,55 %), dan Methyl (25RS)-3 β-hydroxyl-5 cholesten (area 2,36 %). Dengan demikian, persentase fitoestrogen di dalam ESP ini adalah sebesar area 65,31 % dari seluruh senyawa fitokimia yang ada. Fitoestrogen ini mempunyai kesamaan struktur kimia dan aktivitas yang sama dengan hormon estrogen (Anderson and Garner 1998; Ishida et al. 1998; Cassidy 1994; Dewell et al. 2002). Karena kesamaan struktur kimianya maka fitoestrogen mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan reseptor estrogen pada osteoblas dan dapat menggantikan fungsi estrogen di dalam perbaikan tulang 2004;
pada
wanita
yang
mengalami
osteoporosis
(Winarsi
et
al.
Turner et al. 2007).
81
4.4.2. Hasil Kelompok Tikus Nonovariektomi Pada penelitian ini, kurva pertumbuhan dan perkembangan bobot badan menunjukkan bahwa tikus perlakuan yang diberi ESP dengan berbagai rentang waktu pemberian menunjukkan bobot badan yang lebih berat dibandingkan dengan grup tikus kontrol (NOV-0).
Tikus yang diberi ESP selama 150 hari
(NOV-1) memiliki bobot badan 26.84 % lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol, diikuti tikus yang diberi ESP selama 120 hari dan 90 hari, masing-masing sebesar 16,40 % dan 17,01 %
serta tikus NOV-4 yang diberi ESP selama
60 hari mempunyai bobot badan hanya 9,76 % lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian ESP yang dilakukan selama 150, 120, 90, dan 60 hari memberi pengaruh nyata pada pertambahan bobot badan dibandingkan dengan tikus kontrol. Selain itu, hasil pengukuran panjang tulang femur tikus di akhir penelitian (180 hari) pada grup tikus NOV-1 adalah 31,88 mm, NOV-2 29,64 mm, NOV-3 29,44 mm, dan NOV-4 29,26 mm yang semuanya lebih panjang dibandingkan dengan panjang tulang femur tikus kontrol, yaitu 28,74 mm. Pertambahan panjang tulang femur pada tikus-tikus perlakuan karena pemberian ESP mengindikasikan semakin besarnya ukuran rangka tubuh tikus-tikus tersebut.
Dengan demikian, bobot badan tikus-tikus
perlakuan lebih berat dari tikus kontrol karena pembesaran kerangka tubuh yang selalu diikuti dengan pembesaran otot dan organ lainnya sehingga tikus-tikus perlakuan lebih besar dibandingkan tikus-tikus kontrol. Kondisi ini, disebabkan oleh pengaruh pemberian ESP yang dapat meningkatkan osifikasi, menstimulasi proliferasi, dan diferensiasi kondrosit sehingga meningkatkan panjang tulang pada tikus sesuai pendapat Potu et al. (2007). Dengan demikian kandungan kalsium, fosfat, flavonoid, triterpenoid, dan beberapa biomolekul yang terkandung dalam ESP diduga berpengaruh pada pertambahan panjang tulang femur tikus perlakuan.
Sementara itu Rao et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian
Cissus qudrangularis Linn pada tikus dalam masa pertumbuhan dapat meningkatkan secara signifikan ketebalan tulang kortikal dan trabekula yang turut mendukung peningkatan panjang tulang. Pada gambaran mikroskopis sayatan memanjang tulang tibia tikus perlakuan (NOV-1, NOV-2, NOV-3, dan NOV-4) maupun pada tikus kontrol dari penelitian ini masih ditemukannya sasaran epifisis. Hal ini menunjukkan bahwa tikus-tikus ini masih dalam masa pertumbuhan dan belum mencapai dewasa
82
tubuh. Tulang tibia ini masih mengalami pertumbuhan baik memanjang maupun melebar, trabekula masih terlihat dalam proses pertumbuhan dengan terlihatnya sel-sel kondrosit yang sedang berproliferasi dan mengalami proses ossifikasi dari sasaran epifisis. Hal ini selaras dengan pernyataan Carola et al. (1990) bahwa tikus dalam masa pertumbuhan masih ditemukan adanya sasaran epifisis dan sel-sel
kondrosit
yang
berproliferasi.
Gambaran
mikroskopis
sayatan
memanjang tulang tibia tikus NOV-1 yang diberi ESP selama 150 hari ditemukan adanya struktur trabekula yang lebih padat baik di daerah epifisis maupun metafisis dibandingkan dengan tikus kontrol (NOV-0) maupun tikus perlakuan lainnya (NOV-2, NOV-3, dan NOV-4). Di daerah epifisis, struktur trabekula relatif lebih konstan.
Kondisi ini terjadi karena adanya penekanan tumpuan bobot
badan langsung akibat aktivitas fisik tikus selama berada di kandang sehingga struktur trabekula lebih konstan.
Sebaliknya, di daerah metafisis, kondisi
trabekula lebih dinamis karena banyak terjadi perubahan struktur akibat kerja dari osteoblas dan osteoklas, dan sesuai pendapat Goldberg (2004) bahwa trabekula juga mempunyai fungsi sebagai pusat metabolisme kalsium. Penentuan kepadatan tulang dilakukan dengan metode radiografi tulang. Gambaran radiografi tulang tibia tikus yang diberikan ESP selama 150 hari, 120 hari, dan 90 hari menunjukkan densitas yang lebih radiopaque pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus kontrol (Gambar 18). Kondisi radiopaque tulang tibia tikus NOV-1, NOV-2, dan NOV-3 ini menunjukkan massa tulang yang lebih padat dibandingkan tikus kontrol yang radiolucent. Menurut Thrall (1996) gambaran radiopaque menunjukkan massa tulang yang lebih padat, sedangkan radiolucent memperlihatkan massa tulang yang kurang padat. Kepadatan tulang sangat ditentukan oleh keutuhan mikroarsitektur tulang sebagai hasil atau keseimbangan proses remodeling tulang yang mencakup proses formasi dan resorbsi tulang. Sesuai pendapat Sulistiawati (2004), kedua proses ini sangat dipengaruhi oleh keseimbangan metabolisme mineral yang menjadi komponen utama pembentuk tulang seperti kalsium dan fosfat. Aktivitas remodeling ini dimulai dari trabekula di bagian epifisis dan metafisis tulang (Banks 1993). Tikus NOV-1 yang diberi ESP selama 150 hari, memiliki trabekula yang lebih padat dan rapat. Hal ini diperlihatkan oleh intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat (Gambar 20) serta semakin besarnya ukuran rangka tubuh dibandingkan dengan tikus NOV-0, maupun tikus-tikus grup perlakuan lainnya (NOV-2, NOV-3, dan NOV-4), baik di daerah epifisis maupun metafisis dari
83
tulang-tulangnya. Walaupun analisis terhadap kadar kalsium dan fosfat tulang tikus perlakuan memberikan hasil yang sama dengan tikus kontrol, belum terjadi gangguan resorbsi terhadap kadar kalsium dan fosfat dalam tulang. Di samping itu, tikus-tikus perlakuan memiliki rangka tubuh yang lebih besar dibandingkan tikus kontrol, sehingga kadar kalsium tulang relatif tidak setinggi kadar kalsium pada tulang tikus kontrol yang menunjukkan adanya aktivitas remodeling. Hal ini sesuai pendapat Palmer (1993) bahwa aktivitas remodeling tulang akan terpacu apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas di daerah metafisis lebih dominan ditemukan pada bagian sentral, dan jarang ditemukan di bagian tepi tulang. Karena di bagian tepi (subtansia kompakta) lebih padat sebagai akibat tenaga tekan dan tarik yang dialami tulang oleh ligamentum, serta tendo. Selain itu, buluh darah juga lebih banyak ditemukan di daerah metafisis, yang berdekatan dengan keberadaan osteoklas dalam proses resorbsi tulang. Anderson (1996) menyatakan bahwa peningkatan buluh darah di daerah sumsum tulang berhubungan erat dengan peningkatan aktivitas tulang, sebagai sarana transportasi hasil metabolisme tulang.
Densitas osteoblas pada tikus NOV-1
lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol, tetapi densitas osteoklas pada tikus NOV-1 lebih rendah dibandingkan pada tikus kontrol (NOV-0) dan tikus-tikus perlakuan lainnya. Pemberian ESP menyebabkan peningkatan kadar kalsium darah, dan meningkatkan osteoblas aktif sehingga trabekula lebih padat. Hal ini sesuai pendapat Banks 1993 bahwa adanya peningkatan osteoblas aktif dan kepadatan
trabekula
disebabkan
remodeling yang masih berjalan.
karena
adanya
proses
modeling
dan
Sebagai jaringan yang dinamis, trabekula
secara konstan akan selalu memperbaharui dirinya. Pada tikus NOV-1 yang memperoleh ESP di awal perlakuan dan dalam waktu yang lebih lama, osteoblas dan kepadatan trabekula lebih meningkat, sebagai akibat pengaruh fitoestrogen yang terkandung dalam ESP yang mempengaruhi aktivitas osteoblas. Hal yang sama diungkapkan oleh Jainu dan Devi (2006) bahwa fitoestrogen yang ada dalam Cissus quadrangularis Linn tersebut juga berperan dalam meningkatkan densitas osteoblas dan merangsang pembentukan kolagen sebagai bahan dasar dari trabekula tulang (Shirwaikar et al. 2003). Pada tikus yang diberi ESP selama 150 hari menunjukkan peningkatan kadar kalsium darah dibandingkan dengan grup kontrol yang justru menurun. Tetapi, kenaikan kadar kalsium darah paling tinggi selama masa pemberian ESP
84
ditunjukkan oleh grup tikus NOV-2, disusul oleh tikus-tikus NOV-3 dan NOV-4. Kondisi ini disebabkan oleh kadar kalsium darah pada tikus yang diberi ESP selama 150 hari (NOV-1) sudah mencapai level optimum karena kadar kalsium ion dipertahankan oleh mekanisme homeostasis.
Kondisi kalsium dapat
dikatakan optimum jika pemberian ESP secara terus menerus tidak akan meningkatkan kadar kalsium dalam darah, melainkan dideposisi ke dalam tulang atau kelebihan kalsium diekskresikan melalui ginjal. Tetapi, kadar kalsium darah pada tikus NOV-2 dan NOV-3 mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan grup NOV-0, NOV-1, dan NOV-4. Hal ini diduga karena rentang waktu pemberian ESP pada kedua grup tersebut masih dalam periode peningkatan kadar kalsium darah untuk mencapai level optimal, sedangkan pada tikus NOV-4 peningkatan kadar kalsium darah relatif lebih rendah karena rentang waktu pemberian ESP terlalu singkat untuk dapat meningkatkan kadar kalsium darah. Kondisi ini menunjukkan bahwa kadar kalsium darah jelas dipengaruhi oleh waktu dan lamanya pemberian ESP selama masa perlakuan. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran kadar kalsium darah, pemberian ESP tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar fosfat darah, karena kemungkinan kadar kalsium yang tinggi dalam darah akan meningkatkan kerja PTH sehingga ekskresi fosfat dalam ginjal meningkat, sesuai pendapat Guyton (1996). Asupan kalsium, fosfat, dan fitoestrogen yang ada di dalam ESP ikut berperan dalam proses peningkatan kadar kalsium dan fosfat serta mengoptimalkan level kadar kalsium dan fosfat dalam darah, terutama pada hewan muda. Boskey (1992) juga menyatakan bahwa kondisi kadar kalsium darah yang optimal akan menunjang deposisi kalsium ke dalam tulang. Pemberian ESP selama 150 hari,120 hari, 90 hari, dan 60 hari pada tikus betina yang berada dalam masa pertumbuhan memberikan efek peningkatan bobot badan disertai dengan peningkatan ukuran rangka tubuh dibandingkan dengan tikus kontrol.
Pemberian ESP dalam waktu yang panjang dapat
mengoptimalkan kadar kalsium darah, menghasilkan trabekula yang lebih padat, dan meningkatkan osteoblas aktif, sehingga memberikan efek pada deposisi kalsium ke dalam tulang.
4.4.3. Hasil Kelompok Tikus Ovariektomi Ovariektomi pada kelompok tikus umur 50 hari pada penelitian ini bertujuan untuk membuat kondisi kekurangan hormon estrogen, sehingga tikus
85
tersebut memiliki kondisi hormonal yang mirip dengan wanita pascamenopause. Hasil penelitian tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1) memberikan gambaran adanya defisiensi estrogen, dan bila berlanjut akan menjadikan tikus tersebut
dalam
kondisi
osteoporosis.
Kondisi
ini
sesuai
pernyataan
Arjmandi et al. (1996) yang telah membuktikan bahwa ovariektomi pada tikus percobaan menyebabkan kehilangan massa tulang di daerah trabekula sehingga akan menginduksi osteoporosis.
Sementara itu, Longcope et al. (1989) dan
Lee dan Kanis (1994) juga menyatakan kadar hormon estrogen yang rendah akibat hilangnya fungsi ovarium telah lama diketahui kaitannya dengan kejadian osteoporosis. Defisiensi hormon estrogen akibat ovariektomi pada tikus OV-1 berpengaruh pada pertambahan bobot badan dibandingkan dengan tikus sham, sebagai akibat menurunnya agresivitas tikus ovariektomi. Turunnya agresivitas ini sesuai hasil penelitian Jones et al. (2000) dan Potu et al. (2009) pada pemberian Cissus quadrangularis Linn pada tikus ovariektomi.
Berbeda dari
hasil yang diperoleh pada pertumbuhan bobot badan dan panjang tulang femur, tikus di akhir penelitian (180 hari) pada tikus OV-1 lebih pendek dibandingkan tikus perlakuan lain maupun tikus sham (OV-0). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ovariektomi berdampak pada bobot badan lebih besar disertai dengan ukuran tulang femur lebih pendek dibandingkan tikus normal. Pemeriksaan radiografi tulang bertujuan untuk menentukan kepadatan tulang. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan densitas yang lebih radiolucent (massa tulang yang kurang padat) pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus sham. Di samping itu, pada tikus ovariektomi yang hanya diberi pakan standar tanpa ESP (OV-1), juga mengalami kekurangan kalsium dan fosfat darah maupun tulang. menyatakan
bahwa
defisiensi
estrogen
akan
Potu et al. (2009)
meningkatkan
produksi
parathormon yang akan mengaktifkan osteoklas untuk resorbsi tulang sehingga kalsium
dalam
darah
dapat
terjaga
homeostasisnya.
Sementara
itu
Guyton (1996) juga menyatakan bahwa estrogen berperan amat penting dalam proses homeostasis, yaitu sebagai penunjang sekresi kalsitonin, dan inhibitor reabsorbsi tulang.
Selanjutnya, gambaran mikroskopis sayatan
memanjang tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan struktur trabekula yang paling jarang dibandingkan pada tikus sham (Gambar 36) dan diikuti dengan peningkatan osteoklas tetapi tidak diimbangi dengan pembentukan osteoblas (Tabel 8) sehingga menunjukkan kondisi tulang pada tahap resorbsi. Defisiensi estrogen akan menyebabkan peningkatan osteoklastogenesis dan berlanjut sampai ke kehilangan massa tulang (Arjmandi et al. 1996).
86
Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan bobot badan pada tikus ovariektomi yang diberi ESP dengan berbagai rentang waktu pemberian menunjukkan bobot badan yang lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1).
Pertumbuhan bobot badan meningkat pada tikus perlakuan sejalan
dengan lamanya pemberian ESP. Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) memiliki bobot badan lebih berat 16,99% dari tikus kontrol, diikuti tikus yang diberi ESP selama 90 hari dan 60 hari masing-masing 13,28 % dan 11,61 % lebih berat dari tikus kontrol.
Jones et al. (2000); Potu et al. (2009) juga
menemukan bahwa pada tikus yang diovariektomi, bobot badannya akan meningkat sebagai akibat dari menurunnya agresivitas.
Dengan demikian
kandungan ESP baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat
memberikan kontribusi terhadap kenaikan bobot badan. Nutrisi yang terkandung dalam ESP yaitu kalsium, fosfat dan fitoestrogen secara langsung akan meningkatkan
pertumbuhan
tulang
dan
secara
tidak
langsung,
akan
meningkatkan pertumbuhan bobot badan akibat peningkatan pertumbuhan tulang.
Pemberian ESP pada tikus dalam masa pertumbuhan juga dapat
meningkatkan panjang tulang yang diikuti dengan peningkatan bobot badan (Gambar 14 dan 15). Tulang femur pada tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3, dan OV-4) di akhir penelitian masing-masing lebih panjang 4,11 %, 3,70 %, dan 2,12 % dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1). Peningkatan panjang tulang femur ini menunjukkan bahwa tikus yang diberi ESP dalam rentang waktu yang lama dapat meningkatkan pertumbuhan memanjang tulang femur. Pemberian ESP pada tikus ovariektomi dapat meningkatkan kadar mineral kalsium dan fosfat tulang.
Kandungan kalsium, fosfat, dan fitoestrogen yang ada dalam ESP
memegang peran penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja kedua jenis sel tersebut, dan mempengaruhi pertambahan panjang tulang femur pada tikus perlakuan. Tikus pada masa pertumbuhan yang diberi ESP dapat meningkatkan ketebalan korteks dan trabekula tulang secara signifikan yang turut mendukung peningkatan panjang tulang (Gambar 15), sehingga secara keseluruhan akan meningkatkan ukuran rangka tubuh tikus-tikus ovariektomi yang diberi ESP. Diduga asupan fitoestrogen pada ESP juga dapat mensubstitusi kehilangan estrogen dan efek fitoestrogen ini pada tikus ovariektomi berperan dalam mempertahankan proses keseimbangan remodeling tulang dan bersama-sama
87
dengan kalsitriol membantu mengabsorbsi kalsium di usus, sehingga secara tidak langsung membantu meningkatkan mineralisasi tulang dengan peningkatan deposit kalsium pada permukaan tulang, demikian juga halnya seperti yang dinyatakan oleh Banks (1993) dan Ilich-Ernst & Kerstetter (2000). Hal ini dapat dikaitkan dengan kadar kalsium dan fosfat tulang serta intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat pada pewarnaan trichrome Masson pada trabekula yang diberi ESP pada penelitian ini. Selain itu, pada hasil pemeriksaan radiografi pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberikan ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari menunjukkan densitas tulang yang radiopaque pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus kontrol terlihat adanya penurunan densitas tulang. Penurunan densitas tulang dikaitkan dengan rendahnya kadar hormon estrogen akibat hilangnya fungsi ovarium (Gruber et al. 2002).
Kondisi
radiopaque tulang tibia tikus OV-2, OV-3, dan OV-4, menunjukkan massa tulang yang lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol.
Kondisi radiopaque ini
didukung oleh hasil pemeriksaan densitas trabekula tulang. Tikus OV-2 yang diberikan ESP selama 120 hari, memiliki trabekula yang lebih padat dan rapat yang ditunjukkan oleh intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat serta semakin besarnya ukuran rangka tubuh dibandingkan dengan tikus OV-1, maupun tikus-tikus grup perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4). Tulang juga menjadi target dari hormon estrogen, yang memiliki reseptor estrogen α dan β (Kuiper et al. 1996) yang diduga sebagai reseptor untuk fitoestrogen ESP.
Menurut Sulistiawati (2004), mekanisme kerja hormon
estrogen secara seluler pada tulang dimulai dengan interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang ditimbulkan merupakan hasil interaksi keduanya. Dari penelitian ini tampak bahwa pemberian ESP dalam waktu yang panjang akan dapat merangsang pembentukan kembali trabekula dan kekurangan estrogen akibat
ovariektomi
dapat
dikompensasikan
dengan
pemberian
ESP.
Fitoestrogen yang terkandung dalam ESP juga berperan dalam meningkatkan densitas osteoblas, merangsang dan meningkatkan pembentukan kolagen sebagai bahan dasar dari trabekula tulang (Tabel 5). Pemberian ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari pada tikus betina ovariektomi memberikan efek peningkatan panjang tulang dibandingkan dengan tikus kontrol. Pemberian ESP dalam waktu yang panjang memberikan efek pada
88
deposisi kalsium ke dalam tulang sehingga dapat meningkatkan massa tulang dan mengoptimalkan densitas tulang. Pada tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120 hari tampak peningkatan kadar kalsium darah secara nyata dibandingkan tikus kontrol, disusul tikus-tikus OV-3 dan OV-4.
Kondisi ini
menunjukkan bahwa dampak ovariektomi dapat dikompensasikan dengan pemberian ESP dan dipengaruhi oleh waktu dan lamanya pemberian ESP selama masa perlakuan. Pada tikus OV-4, peningkatan kadar kalsium darah relatif lebih tinggi dibandingkan pada tikus OV-3, karena pada tikus OV-4 waktu pemberian ESP terlalu singkat dan kadar kalsium darah masih pada masa peningkatan.
Tikus ovariektomi tanpa ESP (OV-1) mengalami hipokalsemia
karena terjadinya penurunan kadar estrogen yang mengakibatkan proses penyerapan kalsium di usus juga menurun. Kadar fosfat darah tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 meningkat selama pemberian ESP dibandingkan dengan tikus kontrol, walaupun pada akhir perlakuan tidak setinggi kadar fosfat darah tikus sham (P>0,05). Hasil pemeriksan kadar kalsium dan fosfat tulang menunjukkan hasil yang mirip dengan analisis terhadap kadar kalsium dan fosfat darah. Kadar kalsium tulang tikus yang diberi ESP selama 120 hari menunjukkan peningkatan secara signifikan dibandingkan pada tikus kontrol yang justru menurun walaupun belum menyamai level pada tikus sham. Menurut Jubb et al (1993) pada radiografi tulang tibia tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dan hanya akan terlihat nyata pada kasus osteoporosis berlanjut. Kenaikan kadar kalsium tulang paling tinggi selama masa pemberian ESP, yang ditunjukkan oleh tikus OV-2, disusul oleh tikus-tikus OV-3 dan OV-4. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar kalsium tulang dipengaruhi oleh lamanya pemberian ESP selama masa perlakuan.
Fitoestrogen ESP berperan sebagai estrogen pada pembentukan
tulang untuk menurunkan resorbsi tulang dan di lain pihak Ganong (1995) menyatakan estrogen dapat menghambat aktivitas hormon paratiroid pada proses resorbsi melalui peningkatan kalsitonin.
Aktivitas remodeling tulang
terhambat juga dengan adanya pemberian ESP, akan meningkat bila terjadi penurunan kadar kalsium darah seperti pada tikus OV-1. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran kadar kalsium dan fosfat darah dan kadar kalsium tulang, pemberian ESP tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar fosfat tulang karena kadar fosfat tulang sudah berada pada level normal.
89
Aktivitas osteoblas dan osteoklas di daerah metafisis lebih dominan di bagian sentral, jarang ditemukan di bagian perifer tulang. Densitas osteoblas aktif pada tikus OV-2 lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1), tetapi densitas osteoklas pada tikus OV-2 lebih rendah dibandingkan pada tikus kontrol dan tikus-tikus perlakuan lainnya.
Pada tikus ovariektomi yang diberi ESP
selama 120 hari, dalam rentang waktu tersebut, asupan fitoestrogen ESP dapat mensubstitusi atau menggantikan sumber estrogen alami yang hilang akibat ovariektomi. Kepadatan osteoblas aktif menunjukkan bahwa pemberian ESP, selain dapat meningkatkan kadar kalsium darah, juga berpengaruh pada pembentukan massa tulang. Hal ini disebabkan oleh proses modeling dan remodeling yang masih berlangsung. Pada tikus ovariektomi tanpa diberi ESP (OV-1) akan terjadi defisiensi estrogen, disertai peningkatan densitas osteoklas (Tabel 8). Kondisi ini akan meningkatkan proses osteoklastogenesis dan bila proses ini berlanjut akan menyebabkan kehilangan massa tulang seperti pernyataan dari Arjmandi et al. (1996) karena rendahnya kadar estrogen akan meningkatkan sitokin yang berperan dalam penyerapan tulang, sesuai pendapat Potu
et
al.
(2009).
Sesuai
pernyataan
Thuong
et
al.
(2005)
dan
Jainu et al. (2006) maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kandungan fitoestrogen ESP diduga dapat menekan produksi sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF-α) dan terjadi pembentukan massa tulang kembali setelah ovariektomi. Di sisi lain, Kawiyana (2009) menyatakan bahwa estrogen akan merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan TGF-β pada sel osteoblas dan sel stroma, selanjutnya akan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas. Selain itu, buluh darah juga lebih banyak ditemukan di daerah metafisis (OV-1 dan OV-2), yang berdekatan dengan keberadaan osteoklas dalam proses resorbsi tulang. Sebagai jaringan yang dinamis, trabekula secara konstan akan selalu memperbaharui dirinya.
Pada tikus OV-2 yang memperoleh ESP di awal
perlakuan dan waktu yang lebih lama menunjukkan peningkatan panjang tulang, kadar kalsium dan fosfat darah, kadar kalsium tulang, dan peningkatkan osteoblas aktif, dibandingkan dengan kontrol (OV-1) berpengaruh pada massa tulang yang dikaitkan dengan intensitas warna merah serta biru yang lebih pekat dan memiliki trabekula yang lebih padat dan rapat. Tulang tibia tikus OV-1 menunjukkan struktur trabekula yang paling jarang dibandingkan dengan tikus sham maupun tikus perlakuan lainnya. Tikus sham dan tikus OV-2 menunjukkan densitas trabekula yang rapat dibandingkan pada
90
tikus kontrol maupun pada tikus perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4). Pemberian ESP selama 120 pada tikus perlakuan OV-2 dapat mengurangi kehilangan massa tulang yang ditunjukkan dengan mikrostruktur trabekula yang rapat, dan juga mengurangi aktivitas osteoklas dengan memfasilitasi massa pembentukan tulang dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1).
Pemberian ESP di awal
perlakuan dan dalam waktu yang lama secara langsung berpengaruh dalam komponen mineral utama pembentukan tulang.
Selain itu, keberadaan
fitoestrogen ESP membantu pengaturan metabolisme mineral tulang.
Pada
pemberian ESP selama 120 hari pada tikus OV-2 menunjukkan hasil yang optimal yang ditunjukkan dengan hasil densitas osteoblas dan gambaran tulang yang lebih padat dibandingkan dengan tikus kontrol maupun tikus sham. Efek ini diduga erat hubungannya dengan interaksi fitoestrogen dalam ESP dengan reseptor estrogen alpha atau beta (ER-α, ER-β) pada osteoblas, sesuai dengan pendapat Albert (1998) dan Pollard (1999) sebagaimana estrogen endogen yang dihasilkan oleh ovarium pada tikus yang normal.
Hubungan antara hasil
pengukuran panjang tulang, kadar kalsium dan fosfat darah, kadar kalsium tulang, dan peningkatkan osteoblas aktif pada trabekula mungkin dapat menjelaskan proses mineralisasi aktif untuk pembentukan massa tulang. Dengan demikian kehilangan atau defisiensi kalsium, fosfat, dan estrogen dapat diatasi dengan pemberian ESP pada tikus perlakuan. Dengan demikian ESP diharapkan dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada kondisi osteoporosis.
91
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1.
Sipatah-patah mengandung kalsium (4,33%), fosfor (0,37%) dari bahan kering. Sipatah-patah mengandung tujuh macam senyawa fitoestrogen yaitu A-norcholestan-3-one,5-ethenyl, Stigmast-5-en-3-ol, Stigmast-4-en-3one, Lup-20(29)-en-3-ol (3.beta), Ergost-22-en-3-ol, Stigmasta-5,23-dien3.beta-ol, dan Methyl (25RS)-3 β-hydroxyl-5 cholesten
2.
Pemberian ekstrak etanol batang sipatah-patah asal Aceh dapat mencegah osteoporosis pada tikus betina prepubertas dan mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi dengan cara: a. Biomolekul kalsium dan fosfor yang dikandung sipatah-patah dapat mempertahankan kadar kalsium darah, sehingga trabekula tulang sebagai deposit kalsium tidak banyak mengalami gangguan b. fitoestrogen yang dikandung sipatah-patah dapat diterima oleh reseptor estrogen pada osteoblas sehingga dapat meningkatkan aktivitas osteoblas dan menurunkan aktivitas osteoklas sehingga proses pembentukan trabekula tulang dapat dipertahankan dengan baik Oleh karena itu bahan aktif di dalam tanaman sipatah-patah terutama biomolekul kalsium dan
fosfor serta
fitoestrogen
berperan
peningkatan kualitas mikrostruktur tulang pada tikus prepubertas
dalam dan
perbaikan pada tikus osteoporosis.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu: 1. Mempelajari mekanisme kerja zat bioaktif ekstrak sipatah-patah secara seluler 2. Penelitian dengan memakai tikus yang lebih tua (minimal 24 bulan) 3. Penggunaan dosis bertingkat untuk mengetahui dosis optimal dari Cissus quadrangula Salisb dalam mencegah dan mengobati osteoporosis 4. Pemeriksaan kadar estrogen pada masa diestrus 5. Penelitian lebih lanjut agar dapat diaplikasi pada manusia
DAFTAR PUSTAKA Adlercreutz H, Goldin BR, Gorbach SL. 2002. Soybean phytooestrogens and cancer risk. J Nutr 125:757S–770S. Akers MR, Denbow MD 2008. Anatomy and physiology of domestic animals. 1ist Ed. Blackwell Publising. Oxford: hlm.133-168. Albert B. 1998. Molecular biology of the cell. 3rd Ed. Garland Publishing, Inc.New York and London.USA. Anderson JJB. 1996. Calsium, phosphorus and human bone development. J Nutr 126:1153S-1158S. Anderson JJB, Garner SC. 1998. The effect of phytoestrogens on bone. J Nutr Res 17:1617-1632. Anderson PH, Rebecca KS, Alison JM, May BK, O’Loughlin PD, Morris HA. 2008. Vitamin D depletion induces RANK-mediated osteoclastogenesis and bone loss in a rodent model. J Bone Miner Res. 23 (11):1789-1797. Arjmandi BH, Alekel L, Hollis BW, Amin D, Stacewiez-Sapuntzakis M, Guo P, Kukreja SC. 1996. Dietary soybean protein prevents bone loss in an ovariectomized rat model of osteoporosis. J Nutr 126:161-167. Arjmandi BH. 2001. The role of phytoestrogens in the prevention and treatment of osteoporosis in ovarian hormone deficiency. Am J Nutr 20:398S-402S. Attawish A, Chavalittumrong P, Chivapat S, Chuthaputti A, Rattanajarasroj S, Punyamong S. 2002. Subchronic toxicity of Cissus quadrangularis Linn. J Sei Technol 24(1): 39-51. Austin A, Jagdeesan M. 2004. Gastric and duodenal antiulcer and cytoprotective effects of Cissus quadrangularis Linn. variant II in rats. Nig J Nat Prod Med 6 :1-7. Banks WJ. 1993. Applied veterinary histology. 3rd Ed. Mosby Year Book. Toronto: hlm.107-126. Baylink DJ. 2000. The diagnosis and management of osteoporosis. J Rheumatol Suppl 1 59:42S- 44S Boskey AL. 1992. Mineral-matrix interaction in bone and cartilago. Clin Orthop 281:244-274 Bringhurst FR. 1995. Calcium and phosphate distribution, turnover and metabolic actions. Di dalam: Endocrinology, 3rd Ed. DeGroot, LJ, editor. Saunders, Philadelphia, hlm.1015–1043. Burger EH, Klein-Nulend A, Van Der Plast J, Nijwede PJ. 1995. Function of osteocytes in bone, their role in mechano transduction. J Nutr 125:2020S– 2023S.
Calvo MS, Kumar R, Heath H. 1988. Elevated secretion and action of serum parathyroid hormone in young adults consuming high phosphorus, low calcium diets assembled from common food. J Clin Endocrin Metab. 66:823-829 Calvo MS, Park YK. 1996. Changing phosphorus content of the U.S. Diet : potential for adverse effects on bone. J Nutr 126:1168 S–1180S. Carola R, Harley JP, Nobac CR. 1990. Human anatomy and physiology. McGraw-Hill Publishing Inc. hlm.148-162. Cassidy A, Bingham S, Setchell KD. 1994. Biological effects of diet of soy protein rich in isoflavones on the menstrual cycle of premenopausal women. Am J Clin Nutr 60(3):333-340. Cesnjaj M, Stavljhenic A, Vukicevic S. 1991. In vivo models in the study of osteopenias. Eur J Clin Chem & Clin Biochem 29(4):221-229. Combaret L, Taillandier D, Dardevet D, Bechet D, Ralliere C, Claustre A, Grizard J, Attaix D. 2004. Glucocorticoids regulate mRNA levels for subunits of the 19 S regulatory complex of the 26 S proteasome in fast-twitch skeletal muscles. J Biochem 378:239-246. Compston JE, Garraham NJ, Croucher PI, Wright CDP, Yamaguchi K. 1993. Quantitative analysis of trabecular bone structure. Bone 14:187-192. Croucher PI, Garraham NJ, Compston JE. 1994. Structural mechanisms of trabecular bone loss in primary osteoporosis: Specific disease mechanism or early ageing. J Bone Miner 25:111-121. Cseke LJ, Ara K, Peter BK, Sara LW, James AD, Harry LB. 2006. Natural Product from Plant. 2nd Ed. LLC.Boca Raton.London. hlm.611-642. Cunningham JG.1992. Textbook of veterinary physiology. Philadelphia : W.B. Saunders Company. hlm.416-423. Dalimartha S. 2003. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus Agriwidya. Dawson-Hughes B. 1996. Calcium and vitamin nutritional needs of elderly woman. J Nutr 126:165S-1167S. Dawson-Hughes B, Harris SS, Krall EA, Dallal GE. 1997. Effect of calcium and vitamin D supplementation on bone density in men and women 65 years of age or older. J Med 337:670-676. Deka DK, Lahon LC, Saikia J, Mukit A. 1994. Effect of Cissus quadrangularis in accelerating healing process of experimentally fractured radius - ulna of dog: A preliminary study. Ind J Pharmacol 26:44-8. Dempster DW, Birehman R, Xu R, Lindsay R, Shen V. 1995. Temporal changes in cancellous bone structure of rats immediately after ovariectomy. Bone 16 (1):157-161.
96
Devareddy L, Hooshmand S, Collins JK, Lucas EA, Chai SC, Arjmandi BH. 2008. Blueberry prevents bone loss in ovariectomized rat model of postmenopausal osteoporosis. J Nutr Biochem 10:694-9. Dewell A, Clarie BH, Bonnie B. 2002. The effects of soy-derived phytoestrogens on serum lipids and lipoproteins in moderately hypercholesterolemic postmenopausal women. J Clin Endocrin Metab 87 (1):118-121. Eastwood M. 2003. Principles of human nutrition. 2 nd Ed. Blackwell Publishing, Malden UK. Einhorn. 1996. Cellular control of bone homeostasis. Di dalam: Mishell’s Textbook of infertility, Contraception and Reproductive Endocrinology. 4th Ed. New York: Blackwell Science. hlm.8-16. Endris DB, Rude RK. 1994. Mineral and bone metabolism. Di dalam: Tietz Textbook Clinical Chemistry. CA. Burtis and ER Ashwood, editors. 2nd Ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. hlm.1939-1957. Erickson EF, Kasem L, Aarhus.1992. The celluler basis of bone remodeling. Triangle. hlm.45-57. Eriksen EF, Axelrod DW, Melsen F. 1994. York:Raven press. hlm.1-54.
Bone histomorphometry. New
Favus MJ. 1993. Primary on the metabolic bone disease and disorder of mineral metabolism. New York : Raven 3-9 and 34-40. Fitzpatrick LA. 2003. Phytoestrogens-mechanism of action and effect on bone markers and bone mineral density. Endocrin Metab Clin 32(1):233-52. Fleisch H. 1993. Biphosphonates in bone disease. Berne, Switzerland: Graphic Enterprise. hlm.8-25. Freskanich D, Wilet WC, Colditz GA. 2003. Calcium, vitamin D, milk consumption, and hip fractures : a prospective study among postmenopausal women. Am J Clin Nutr 77:504-511. Gallaher JC. 1986. Estrogen : Prevention and treatment of osteoporosis. Di dalam: Osteoporosis. Markus R, Fieldman D, Kelsey J, editors. San Diego: Academic Press Inc. hlm.1191-208. Ganong WF. 1995. Fisiologi kedokteran. Andrianto P, penerjemah; Oswari J, editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Gass R, Neff M. 1995. Prevention of menopausal osteoporosis. Schiweiz Med Wochenschr 125(34):1538-1591. Genant HK, Bay Link DJ, Gallagher JC. 1998. Estrogens in the prevention of osteoporosis in postmenopausal women. Am J Obs and Gyn 161:18421846.
97
Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of the Domestic Animals. 4rd Ed. Philadelphia and London. W.B. Saunders Company. Glover A, Assinder S.J. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormon receptor expression. J Endoc 189: 565-573. Goldberg G. 2004. Nutrition and bone. Women’s Health Medicine 1(1):25-29. Greenspan FS, Strewler GJ. 1993. Basic and clinical endrocrinology. Fifth Ed. Appleton and Lange, Stanford. hlm. 263-279 Gruber CJ, Tschugguei W, Schneebeger C, Huber JC. 2002. Production and action of estrogens. N Engl J Med 346:340-50. Gupta MM, Verma RK. 1990. Unsymmetric tetracyclic triterpenoids from Cissus quadrangularis. Phytochem 29: 336–7. Guyton AC. 1996. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit (Human physiology and mechanism of disease). Terjemahan. Ed ke-3 Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hollick MF. 1996. Vitamin D in health and prevention of metabolic bone disease Di dalam: Osteoporosis, Diagnostic and Theurapeutic Principles. Rosen CJ, editor. Totowa: Hamaxia Pres. hlm.9-128. Hosking DJ. 1994. Osteoporosis. Medicine International 26:209-12. Humason GL. 1967. Freeman.
Animal tissue technique. 2nd Ed. San Francisco: WH
Ilich JZ, Kerstetter JE. 2000. Nutrition in bone health revisited : a story beyond calcium. Rev. J Am Coll Nutr 19(6):715-737. Ishida H, Uesugi T, Hirai K, Toda T, Nukaya H, Yokotsuka K, Tsuji K. 1998. Preventive effects of the plant isoflavones, daidzin and genistin on bone loss in ovariectomized rats fed a calcium-deficient diet. Biol Pharm Bull 21:62-66. Jainu JM, Devi CSS. 2006. Gastroprotective effect of Cissus quadrangularis extract in rats with experimentally induced ulcer. Indian J Med Res 123:799-806. Jefferson W.N, Padilla-Banks E, Clark G, Newbold R.R. 2002. Assessing estrogenic activity of phytochemicals using transcriptional activation and immature mouse uterotrophic responses. J Chrom. B Analytical Technologies in the Biomedical and Life Sci 777(1-2):179-189. Jones MEE, Thorburn AW, Britt KI,Hewitt KN, Wrefort NG, Proietto J, Oz OK, Leury BJ, Robertson KM, Yao S, Simpson ER. 2000. Aromatase-deficient (ArKO) mice have a phenotype of increased adiposity. Proc. Natl. Acad.Sci. USA. 97(23):12735-12740.
98
Jubb KVF, Kenneddy PC, Palmer N. 1993. Pathology of domestic animals, 4rd. Ed. Academic Press.Inc. Orlando. Sandigo.hlm.2-54. Kalu DN, Elena S, Chung-Ching L, Fabrizio F, Arjmandi BH, Mohammed A. Salih. 1993. Ovariectomy-induced bone loss and the hematopoetic system. Bone and Mineral 23:145-161. Karlson MK, Vergnauld P, Delmos PD, Obrant KJ. 1995. Indicates of bone formation in weight lifters. Calcif Tissue Int 56 (3):177-180. Kawiyana SIK. 2009. Interleukin-6 dan RANK-ligand yang tinggi sebagai faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis pada wanita pascamenopause defisiensi estrogen. Program Studi Ilmu Kedokteran Pascasarjana Universitas Udayana (Disertasi). Khoury RS. Weber J, Farach-Carson. 1995. Vitamin D metabolites modulate osteoblast activity by Ca+2 influx-independent genomic and Ca+2 influxdependent nongenomic pathway. J Nutr 125:1699S-1703S. Kiernan JA. 1990. Histological & histochemical methods: Theory & Practice. 2nd Ed. England: Pergamon Pr. Kritikar KR, Basu BD. 2000. Indian Medicinal Plants, 3rd revised. Basu LM, Allahabad, editors. India. hlm.841-3. Kuiper GGJM, Enmark E, Peitohuikki M, Nillson S, Gustaffson JA. 1998. Interaction of estrogenic chemicals and phytoestrogens with estrogen receptor β. J Endrocrin Soc 139 (10):4252-4263. Kumbhojkkar MS, Kulkarni DK, Upadhye AS. 1991. Ethnobotany of Cissus quadrangularis L. from India. Ethnobotany 3:21-25. Lane NE. 2001. Osteoporosis, rapuh tulang : petunjuk untuk penderita diabetes langkah-langkah pengamanan untuk keluarga. Terjemahan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lee CJ, Kanis JA. 1994. An association between osteoporosis and premenstrual symptoms and postmenopausal symptoms. J Bone Miner 24:127-134. Leeson RC, Leeson TS, Paparo AA. 1996. Buku ajar histologi. Edisi VII Tambayong et al. Jakarta. TextBook of Histology. Terjemahan. hlm.132158. Leiro JD, Garcia JA, Arranz R, Delgado ML, Sanmartin F, Orallo. 2004. An Anacardiaceae preparation reduces the expression of inflammationrelated genes in murine macrophages. Int. Immunopharmacol 4:991– 1003. Lian JB, Stein GS. 1996. Osteoblast biology.Di dalam: Osteoporosis. Marcus R, Fieldman D, Kelsey J, editors. San Diego: Academic Press inc. hlm.21-60. Linder MC, 1985. Nutrional biochemistry and metabolisme with clinical applications. Elsiveir. New York. hlm. 133-149.
99
Lindsay R. 1991. Why do estrogen prevent bone loss? Bailliere ‘s Clin Obs and Gyn 5(4):S37-851. Longcope C, Hoberg L, Steuterman S, Baran D. 1989. The effect of ovariectomy on spine bone mineral density in rhesus monkeys. Bone 10:341-344. Magetsari R. 1999. Osteoporosis pada wanita pascamenopause. Seminar Bahagia Menjelang dan Sesudah Menopause, Yogyakarta. hlm. 27-33. Manolagas SC. 2000. Bone marrow, cytokines and bone remodelling emerging insight into the pathophysiology of osteoporosis. N Eng J Med 332(21):115-137. Marcus R, Feldman D, Kelsey J. 1996. Press.
Osteoporosis. New York: Academic
Mehta M, Kaur N, Bhutani KK. 2001. Determination of marker constituents from Cissus quadrangularis Linn. and their quantitation by HPTLC and HPLC. Phytochem Anal 12:91-105. Miller LC, Weaver DS, McAllister JA, Koritnik DR. 1986. Effect of ovariectomy on vertebral trabecular bone in the cynomolgus monkey (Macaca fascicularis). Calcif Tissue Int 38:62-65. Mizuno
K,Suzuki A, Ino Y, Asada Y, Kikkawa F,Tomoda Y. 1995. Postmenopausal bone loss in Japanese Women. Int. J Ginecol Obstet 50:33-39.
Muhilal, Sulaeman A. 2004. Angka kecukupan gizi vitamin larut lemak. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII,Jakarta. Murray RK, Granner DK, Mayes, PA, Rodwell VW. 2003. Harper’s Review of Biochemistry. Dalam Andry Hartono: Biokimia, EGC. Penerbit Kedokteran, Jakarta. Murthy KNC, Vanitha A, Swamy MM, Ravishankar GA. 2003. Antioxidant and antimicrobial activity of Cissus quadrangularis L. J Med Food 6:99-105. Nadkarni AK. 1954. Indian Meteria Medica,13th Ed. Dhootapapeshwar Prakashan, Ltd., Bombay, hlm.284-285 Navarrete AJL, Trejo-Miranda L, Reyes-Trejo. 2002. Principles of root bark of Hippocratea excelsa (Hippocrataceae) with gastroprotective activity. J Ethnopharmacol 79:383–388. Nieves JW. 2005. Osteoporosis: the role of micronutrients. AM J Clin Nutr 81:1232S-1239S Nguyen TVC, Jones G, Sambrook PN, White GP, Kelly PJ, Eisman JA, 1995. Effects of estrogen exposure and reproduction factor and bone mineral density and osteoporosis fractures. J Clin Endocrin Metab 80(9):27092714. Oben J, Dieudonne Kuate, Gabriel Agbor, Claudia Momo, Xavio Talla. 2008. The use of a Cissus quadrangularis formulation in the management of weight loss and metabolic syndrome. Lipids in Health and Disease 7:12
100
Ott SM. 1990. Attainment of peak bone mass. J Clin Endocrin Metab 323(2):73– 79. Ott SM. 2002. Osteoporosis and bone physiology. J Am Medic 228:334-341. Oursler MJ. 2003. Direct and indirect effects of estrogen on osteoclast. J Musculoskel Neuron Interact 3(4):363-6. Palmer N. 1993. Bone and Joints. Di dalam: Pathology of domestic animal. Jubb KVF, Kennedy PC and Palmer N, editors. Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanovich Publishers. San Diego. hlm.1-181. Parfitt AM. 2005. Vitamin D and the pathogenesis of rickets and osteomalacia. Di dalam: Feldman D, Vitamin D. 2nd Ed. Elsevier Academic Press, San Diego, CA, USA. hlm. 1029-1048. Passeri G, Rosanna V, Paolo S, Carlo G, Claudio F, Mario P. 2008. Calcium metabolism and vitamin D in the extreme longevity. Exp Gerontol 43:7987. Patarapanich CJ, Thiangtham E, Saifah S, Laungchonlatan W, Janthasoot. 2004. Determination of antioxidant constituents in the herb Cissus quadrangularis Linn. Ind. J Pharm Res 2:77. Pollard JW. 1999. Modifiers of estrogen action. Sci and Med 38-47. Potu BK, Rao MS, Swamy NVB, Kutty GN. 2007. Cissus quadrangularis plant extract enhances the ossification of fetal bones. Pharmacologyonline 1:63–70. Potu BK, Bhat KM, Rao MS, Nampurath GK, Chamallamudi MR, Nayak SR, Muttigi MS. 2009. Evidence-based assessment of petroleum ether extract of Cissus quadrangularis Linn. On: Ovariectomy induced osteoporosis. J Medical Sci 114(3):140–148. Preisinger E, Alaclamioglu Y, Pils K, Saradeth T, Scheider B, 1995. Therapeutic exercise in the prevention of bone loss. Am J Phys Med Rehabil 74: 120123. Price CP, Thomson PW.1995. The role of biochemical test in the screening and monitoring of osteoporosis. Am Clin Biochem 32:244-60. Puzas VE.1993. The osteoblast. Di dalam: Primer on the metabolic bone disease and disorders of mineral metabolism. Faves MJ, editor. 2nd Ed. Raven Press Ltd. hlm.15-20. Rachman IA, Baziad A, Jacoeb TZ, Isbagio H. 1996. Pengobatan estrogen dan progesterone pada osteoporosis pascamenopause. Majalah Osbtetri dan Ginekologi Indonesia 20(2):121-127. Rachman IA. 1999. Paparan sinar UV beta terhadap remodeling tulang: Studi eksperiment pada M.fascicularis yang hipoestrogenis. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana UI. Jakarta.
101
Rachman IA. 2004. Pengaruh estrogen terhadap osteoporosis. Pada Simposium Nasional: Memasyarakatkan menopause untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup wanita. Jakarta: Permi Jaya. Rao MS, Potu BK, Swamy NVB, Kutty GN. 2007. Cissus quadrangularis plant extract enhances the development of cortical bone and trabeculae in the fetal femur. Pharmacologyonline;3:190–202 Reid IA. 1996. Vitamin D and its metabolites in the management of osteoporosis. Di dalam: Osteoporosis. Markus R, Fieldman D and Kelsey J, editors. San Diego: Academic Press Inc. hlm.1116-190. Rizer MK. 2006. Osteoporosis. Prim Care Clin Office Prac 33 p.943-951. Rodan GA. 1996. Coupling of bone resorption and formation during bone remodeling. Di dalam: Osteoporosis. New York: Academic Press. hlm.289-299. Sabri M. 2000. Pengaruh suplemen rebon dan vitamin D3 terhadap struktur tulang dan kelenjar paratiroid pada tikus penderita osteoporosis buatan. [Thesis]. Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Sairam KCHV, Rao M, Dora Babu K. VijayKumar VK, Agarwal RK, Goel. 2002. Antiulcerogenic effect of methanolic extract of emblica officinalis: an experimental study. J Ethnopharmacol 82:1–9. Sanyal A, Ahmad A, Sastry M. 2005. Calsite growth in Cissus quadrangularis plant extract,a traditional Indian bone-healing aid. Curr Sci 89:1742–5. Shenk RK, Felix R, Hofsteter W. 1993. Morphology of connective tissue: bone. Di dalam: Connective tissue and its heritable disorders, molecular, genetic and medical aspects. Royce PM and Steinman B, editors. New York : Wiley-Liss.hlm.85-101. Shin HD, Kun J Y, Bok RP, Chang WS, Hee JJ, Sae KK. 2007. Antiosteoporotic effect of polycan, glucan from Aureobasidium, in ovariectomized osteoporotic mice. J Nutr 23: 853–860 Shirwaikar A, Khan S, Malini S. 2003. Antiosteoporotic effect of ethanol extract of Cissus quadrangularis Linn. on ovariectomized rat. J Ethnopharmacol 89: 245-250. Sivarajan VV, Balachandran I. 1994. Ayurvedic Drugs and Their Plant Sources. Oxford and India Book House Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi. hlm. 496. Smith R. 1993. Bone physiology and the osteoporotic process. Resp Med 87 (Suppl A):3-7. Stevenson JS, Marsh MS. 1992. An atlas of osteoporosis. Parthenon Publishing Group New Jersey. USA. Suda T, Takahashi N, Martin TJ.1992. Modulation of osteoclast differentiation. Endocr Rev 13:66-80.
102
Sulistiawati E. 2004. Analisis histomorformetri dengan sediaan plastik dan parafin pada trabekula tulang ilium Macaca fascicularis hipoestrogenis yang terpapar sinar lampu ultraviolet beta (UVβ). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Swamy VAHM, Thippeswamy AHM, Manjula DV, Cumar CBM. 2006. Some neuropharmacological effects of the methanolic root extract of Cissus quadrangularis in mice. Afr J Biomed Res 9:69-75. Taylor L. 2002. The healing power of rainforest herbs. Rain tree nutrition tropical plant database. http//www.rain-tree.com/aveloz.htm (20 September 2009). Telford IR, Bridgman CF. 1995. Indroduction to fungctional histology. 2nd Ed. Harper Collins Colloge Publishers. hlm.103-119. Thrall Donald E. 1996. Textbook of veterinary diagnostic radiology. 3rd Ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia, London. Thuong PT, W. Jin, J. Lee, R. Seong, Y.M. Lee, Y. Seong, K. Song, K. Bae. 2005. Inhibitory effect on TNF-alpha-induced IL-8 production in the HT29 cell of constituents from the leaf and stem of Weigela subsessilis, Arch. Pharm. Res. 28;1135–1141 Tiangburanatham W. 1996. Dictionary of Thai medicinal plants. Prachumtong Printing, Bangkok, Thailand. hlm.572-3. Turner JV, Agatonovic-Kustrin S, Glass BD. 2007. Moleculer aspects of phytoestrogen selective binding at estrogen reseptor. J Pharm Sci 96 (8):1879-1885. Versteegh-Kloppenburgh J. 2006. Tanaman berkhasiat Indonesia. IPB Press. Soegiri J dan Nawangsari, penerjemah. volume 1.Jakarta Warrier PK, Nambiar VPK, Ramankutty C. 1994. Chennai, India. Orient Longman 2:112-113.
Indian medicinal plants,
Warwick R, Williams PL. 1973. Gray’s Anatomy. 35th British edition. W.B. Saunders Company Philadelpia. hlm.200-230. Winarno B. 1998. Densitas mineral tulang wanita menyusui. [Spesialis]. Jakarta: Program Pendidikan Dokter Spesialis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Winarsi H, Muchtadi D, Zakaria FR, Purwantara B. 2004. Efek susu skim yang disuplementasi isoflavon kedelai dan Zn (susemo) terhadap sindrom menopause pada wanita premenopause. J Tehnol Industri Pangan 15(3): 179-187. Yamazaki I, Yamaguchi H. 1989. Characteristic of an ovariectomized rat model. J Bone Miner Res 4(1):13-22. Zhang Y, Ping W, Leung PC, Wu CF, Yao XS, Wong MS. 2006. Effects of fructus Ligustri lucidi extract on bone turnover and calcium balance in ovariectomized rats. Biol Pharm Bull 29(2):291-296.
103
LAMPIRAN
106
Lampiran 2. Komposisi Makanan Tikus/Pelet.
Bahan yang dipakai : Jagung, dedak, tepung ikan, bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pecahan gandum, bungkil kacang tanah, tepung daun, canola, vitamin, kalsium, fosfat, dan trace mineral Antibotik :
Zinc Bacitracin
Bakterostic :
Furazolidon
Analisa kimia : Kadar air
max
13,0 %
Protein
18,5 – 20,5 %
Lemak
min
4,0 %
Serat
max
6,0 %
Abu
max
8,0 %
Kalsium
min
0,5 %
Fosfor
min
0,7 %
ME
3100-3200 Kcal/Kg
(Sumber : PT Indonesia Formula Feed) Lampiran 3. Penapisan fitokimia tanaman sipatah-patah Setiap tanaman obat mengandung beragam senyawa organik yang terbentuk dan terkandung di dalam tanaman tersebut. Kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tumbuhan dapat diketahui melalui perlakuan metode pemisahan, pemurnian, dan identifikasi kandungan di dalam tanaman dengan penapisan fitokimia (Harbone 1987). Kandungan senyawa organik yang umum diidentifikasi adalah alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, steroid, dan triterpenoid Uji Flavonoid. Sebanyak 0.1 gram ekstrak sipatah-patah ditambah metanol sampai terendam lalu dipanaskan. Filtratnya ditambah NaOH 10% atau H 2 SO 4 pekat. Terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH 10% menunjukkan adanya senyawa fenolik hidrokuinon sedangkan warna merah akibat penambahan H 2 SO 4 pekat menunjukan adanya flavonoid.
107
Uji Alkaloid. Sebanyak 0.1 gram ektrak etanol tanaman sipatah-patah ditambahkan 5 ml kloroform dan 3 tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 2 tetes H 2 SO 4 2M. Fraksi asam dibagi menjadi tiga tabung kemudian masing-masing ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi Wagner. Uji Tanin. Sebanyak 0.1 gram ekstrak etanol tanaman sipatah-sipatah ditambahkan 5 ml aquadest kemudian dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dan filtratnya ditambahkan dengan 5 tetes FeCl 3 1%(b/v). Warna biru tua atau hitam kehijauan yang terbentuk menunjukkan adanya tanin. Uji Saponin. Sebanyak 0.1 gram ekstrak etanol tanaman sipatah-sipatah ditambahkan 5 ml aquadest lalu dipanaskan 5 menit kemudian dikocok selama 5 menit. Busa yang terbentuk setinggi kurang lebih 1 cm dan tetap stabil setelah didiamkan selama 10 menit menunjukan adanya saponin.
Lampiran 4. Metode analisis proksimat 1. Kadar Air : Sampel segar sebanyak 1 g dimasukkan dalam botol timbangan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C selama 8 jam, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus : Bobot sampel (segar-kering) X 100%
Kadar air = Bobot sampel
2. Kadar abu : Sampel segar sebanyak 1 g ditempatkan dalam wadah porselin dan dibakar sampai tidak meresap, kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 0C selama 1 jam, lalu ditimbang.
Bobot abu Kadar abu =
X 100% Bobot sampel kering
108
3. Kadar lemak kasar : Sampel kering sebanyak 2 g disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan dalam labu soxhlet. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksana sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 0C selama 1 jam. Bobot abu Kadar abu =
X 100% Bobot sampel kering
4. Kadar protein kasar : Sampel kering sebanyak 0.25 g ditempatkan dalam labu Kjeldahl ukuran 100 ml dan ditambahkan 0.25 g Selenium dan 3 ml H 2 SO 4 pekat. Selanjutnya dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40%, lalu ditestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H 3 BO 3 2% dan 2 tetes indicator Brom cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda yang tidak hilang. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus : (S-B) x NHCL x 14 %N =
X 100 % W x 1000
Keterangan : S = volume titran sampel (ml); B = volume titran blanko (ml); w = bobot sampel kering (mg). Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan 4.38 (faktor perkalian umum). Faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 6.25 (AOAC 1980). 5. Kadar serat kasar. Sampel kering sebanyak 1 g dilarutkan dengan 100 ml H 2 SO 4 1.25% dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Watman (Ø
10 cm) dan
dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml 109
air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan 100 ml NaOH 1.25 % selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H 2 SO 4 1.25 % mendidih, 2.5 ml air sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan ke cawan porselin dan dikeringkan dalam oven 130 0C selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselin ditimbang (A), lalu dumasukkan dalam tanur 600 0C selama 30 menit, lalu didinginkan dan ditimbang kembali (B). Bobot serat kasar X 100 %
Kadar serat kasar = Bobot sampel kering Keterangan : w – w0 = bobot serat kasar w
= bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = A – (bobot kertas saring+cawan); A: bobot residu + kertas saring +
cawan W
= bobot residu setelah dibakar dalam tanur = B – (bobot cawan); B: bobot residu + cawan.
6. Kadar karbohidrat : Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference yaitu: 100 % - (kadar air + abu + protein + lemak). Kadar karbohidrat N-free menunjukkan besarnya kandungan karbohidrat yang dapat dicerna dari suatu bahan pangan. Ditentukan dengan cara 100 % - (kadar air + abu + protein + lemak + serat kasar).
Lampiran 5. Metode Ekstraksi Ekstrak etanol batang sipatah-patah dilakukan dengan cara maserasi, yaitu menambahkan etanol 95% dalam simplisia kering batang sipatah-patah. Sebanyak 500 g simplisia dimasukkan ke dalam maserator lalu direndam dengan lima liter etanol 95%.
Perbandingan banyaknya etanol dengan
batang sipatah-patah sebanyak 1:10. Kemudian direndam dan diaduk selama
110
24 jam dan ditampung.
Maserat dipisahkan, dan proses diulangi dua kali
dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Larutan hasil maserasi diuapkan dengan rotary evaporator (Rotavapor R-205 Buchi Switzerland) sampai terbentuk ekstrak kental. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan diatas penangas air dengan temperatur 40-50°C sampai larutan penyari hilang atau jumlahnya berkurang sehingga mendapatkan endapan kental. Selanjutnya kandungan bahan aktif endapan kental ini dianalisis dengan mengunakan kromatografi gas.
Lampiran. 6. Metode Kromatografi Gas Analisa bahan aktif sipatah-patah menggunakan Gas ChromatographyMass Spectrophotometry (GC-MS) FAMES1 M) dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Alat Gas Chromatography (Agilent Technologies 6890) dengan panjang Column Capillary (Innowax) 30 m, diameter 0,25 mm, film thickness 0,25 µm. Temperature inlet diatur pada 250ºC dan dengan menggunakan gas pembawa Helium. Prosedur pengujian diawali dengan mengatur temperatur oven dengan temperatur awal 130ºC selama 2 menit, kemudian dinaikkan 6ºC/menit menjadi 170ºC selama 2 menit, 3ºC/menit sampai mencapai 215ºC selama 1 menit, dan kemudian dinaikkan lagi 40ºC/menit menjadi 250ºC selama 10 menit. Waktu Running yang dibutuhkan adalah 20 menit dengan aliran tetap (constant flow) pada 1.5 µl/menit. Volume yang diinjeksi sebanyak 5 µg dengan perbandingan aliran 1:100 dihubungkan dengan auto sampler Mass Selective Detector (Agilent 5973, electron impact (IE)) dan Chemstation data system.
Suhu sumber ion
230ºC dan suhu interface 280ºC serta suhu quadrupole adalah 140ºC. Komponen terdeteksi berdasarkan waktu retensi puncak kromagram (% puncak area) dan spektra mass.
Lampiran 7. Prosedur analisis kadar kalsium dan fosfor Metode dan Prinsip Kalsium dan fosfor mempunyai hubungan yang erat dan dibutuhkan bersama-sama karena keduanya mempunyai fungsi yang saling menunjang
111
sebagai dasar kerangka jaring tulang, oleh karena itu kebutuhan kalsium dan fosfor tergantung pada kecepatan pertumbuhan ternak dan penambahan jumlah makanan yang diberikan. Cara Kerja •
Ditimbang contoh kira-kira sebanyak 5 gram, dimasukkan kedalam cawan porselin yang sudah diketahui bobotnya.
•
Contoh dipijarkan di atas nyala pembakar Bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik (400-6000C), sampai abu menjadi putih seluruhnya.
•
Setelah contoh menjadi abu seluruhnya, diencerkan dengan HCl pekat sebanyak 5 mL. kemudian dipanaskan di atas pembakar Bunsen sampai mengering.
•
Abu yang telah kering tersebut diangkat lalu ditambahkan
2 mL HCl
pekat dan sedikit air panas. •
Larutan diatas tersebut disaring dan dicuci dengan air panas ke dalam Erlenmeyer sampai filtrat mencapai 200 mL, didinginkan.
•
Kemudian filtrat tersebut dipindahkan ke dalam labu ukur
250 mL
(ditambahkan air suling sampai tanda tera). Hasil filtrat tersebut biasa disebut ekstrak HCl. Analisis Kalsium •
Dipipet 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL.
•
Kemudian larutan di atas ditambahkan pereaksi Chapman sampai 100 mL, lalu dipanaskan.
•
Ditambahkan larutan NH 3 beberapa tetes sampai larutan menjadi berwarna biru.
•
112
Larutan Kalsium ini didiamkan selama 1 hari.
•
Disaring larutan (dalam keadaan panas) yang sudah didiamkan selama 1 hari. Dicuci endapan tersebut dengan air panas sampai dengan 150 mL (dilakukan 2 kali pencucian).
•
Kertas saring beserta endapan yang sudah dicuci tersebut dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL yang diberi batang pengaduk, lalu ditambahkan 25 mL H 2 SO 4 4N, dan air panas sampai volume larutan menjadi 150 mL.
•
Larutan tersebut dititar dengan KM n O 4 0,02N (sampai larutan berwarna merah jambu seulas) Analisis fosfor.
•
Dipipet sebanyak 25 mL ekstrak HCl dan dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL.
•
Larutan tersebut ditambahkan amonium nitrat sebanyak
5 gram, dan
ditambahkan 5 mL asam nitrat, lalu dipanaskan. •
Ditambahkan 50 mL larutan Amonium Hepta Molibdat yang panas ke dalam larutan di atas (larutan akan berwarna kuning).
•
Larutan didiamkan selama 1 malam.
•
Disaring larutan fosfor yang sudah didiamkan selama 1 malam. Kemudian dicuci endapan tersebut dengan KNO 3 1% sampai 150 mL (pencucian dilakukan sebanyak 2 kali).
•
Kertas saring beserta endapan yang telah dicuci dimasukkan kedalam gelas piala 400 mL yang diberi batang pengaduk. Ditambahkan N a OH 0,2N sebanyak 25 mL dan air suling sampai volume larutan 150 mL..
•
Ditambahkan 2 tetes indicator PP (larutan akan berwarna merah jambu).
•
Larutan fosfor dititar dengan larutan HCl 0,1N sampai larutan menjadi tidak berwarna.
113
Perhitungan rumus kadar kalsium (%) : (V Penitar - V Blanko) x N KMnO4 x Ca/CaO x Fp x 28
X 100 %
mg contoh
Keterangan : 28 = Bst CaO Perhitungan : Fosfor (%) =
(V Penitar - V Blanko) x N HCl x 0,1347 gram contoh
X 100 %
2P Keterangan : 0,1347 P2O5
Lampiran 8. Metode Pewarnaan Pewarnaan HE Pengamatan histopatologi dengan pewarnaan HE bertujuan untuk pengamatan terhadap struktur umum jaringan. Sedian preparat yang telah dideparafinasi
dan
rehidrasi
ditetesi
dengan
pewarnaan
Hematoksilin,
selanjutnya dibilas dengan air kran mengalir kemudian dimasukkan kedalam aquades. Sediaan diwarnai dengan pewarna Eosin kemudian dibilas dengan air kran mengalir. Tahap selanjutnya adalah dilakukan proses dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam serial larutan alkohol 70, 80, 90 dan 95%, alkohol absolut I, II, dan III. Tahap berikutnya adalah penjernihan (clearing), sediaan dimasukkan ke dalam xylol I, II dan III. Tahap terakhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan bantuan perekat entelan. . Sediaan yang telah diwarnai lalu diamati dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran objektif 20 x dan 40 x. Pewarnaan MT Pengamatan histopatologi dengan pewarnaan masson trichrome bertujuan untuk mengamati struktur umum jaringan. Sedian preparat yang telah
114
dideparafinasi dan rehidrasi ditetesi dengan pewarnaan mordant, selanjutnya dibilas dengan air kran dan dibilas kembali dengan aquades. Sediaan diwarnai dengan pewarna carrazi’s hematoxilin, kemudian dibilas dengan air kran dan selanjutnya dicelup kedalam larutan pewarna orange G 0,75 %. Tahap berikutnya adalah pewarnaan jaringan dengan ponceau xylidine fuchsin yang diawali dengan pencelupan slide jaringan kedalam larutan acetic acid 1%, dan dibilas kembali dengan acetic acid. Selanjutnya slide dimasukkan kedalam asam fosfotungstat dan dicelup (dibilas) kembali dengan asam asetat. Tahap pewarnaan terakhir adalah pewarnaan dengan aniline blue, yang dilanjutkan dengan pembilasan slide dengan asam setat dan alkohol. Tahap
selanjutnya
adalah
dilakukannya
proses
dehidrasi
dengan
mencelupkan sediaan ke dalam serial larutan alkohol 70, 80, 90, dan 95%; alkohol absolut I, II, dan III. Tahap berikutnya adalah penjernihan (clearing), sediaan dimasukkan ke dalam xylol I, II dan III. Tahap terakhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan bantuan perekat entelan. . Sediaan yang telah diwarnai lalu diamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 20 x dan 40 x. Pengamatan yang dilakukan adalah terhadap struktur umum trabekula maupun pembuluh daranya. Lampiran 9.
Rerata berat badan kelompok pencegahan yang ditimbang 15 hari sekali dari awal pemeliharaan
Group
Berat Badan/minggu (gram) awal
4
6
8
10
12
14
16
18
20
93.85 ±3.79 94.73 ±6.59
96.18 ± 5.10 100.80 ±8.49
99.50 ± 5.45 106.45 ±7.47
103.35 ±5.34 111.98 ±7.49
106.78 ±5.62 119.25 ±8.79
108.15 ±7.45 118.40 ±10.58
112.6 ± 5.84 126.25 ±10.46
117.52 ±7.68 136.92 ±11.87
120.82 ±8.40 157.77 ±30.81
130.83 ±8.19 168.85 ±14.48
136.55 ±7.68 173.20 ±20.75
NOV-3
93.75 ±3.24 93.95 ±4.62
99.88 ± 3.77 97.90 ± 5.87
102.93 ±5.82 100.93 ±5.92
108.42 ±6.32 105.6 ± 7.07
116.40 ±14.47 108.68 ±7.75
117.78 ±15.05 113.65 ±3.13
123.75 ±12.90 118.52 ±2.86
129.75 ±14.12 127.9 ± 2.17
143 ±16.11 143.17 ±22.81
154.50 ±13.91 156.60 ±16.92
158.95 ±17.05 159.78 ±20.26
NOV-4
93.38 ±6.92
97.48 ± 8.26
102.08 ±9.24
107.75 ±9.86
109.95 ±8.58
114.10 ±10.10
119.77 ±9.96
127.32 ±11.32
134.9 ± 8.30
142.73 ±6.22
149.88 ±7.44
NOV-0 NOV-1 NOV-2
2
Lampiran 10. Panjang Tulang Femur Grup NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4
panjang tulang femur 28,89 30,01 30,34 31,35 29,31
28,76 32,76 28,39 29,71 29,12
28,62 32,56 30,85 28,58 29,17
28,63 31,96 28,97 28,11 29,42
115
Lampiran 11. Rerata kadar kalsium darah kelompok pencegahan yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan. Kadar Kalsium (mg/dl) Bulan Ke
Perlakuan
1 NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3
11.78± 0.33 11.58 ± 0.40
2
3
4
5
11.79 ± 0.33 11.53± 0.26 11.17± 1.26
11.83± 0.37 11.85± 0.20 11.44± 0.91 10.83± 0.66
11.73± 0.49 11.95± 0.50 11.52± 0.45 11.04± 0.70
11.93 ± 0.21 11.90 ± 0.28 11.60 ± 0.39 11.28 ± 0.45
11.15± 0.50
10.99 ± 0.72 11.18 ± 0.68
NOV-4
6 11.70 ± 0.53 12.10 ± 0.45 11.72 ± 0.53 11.36 ± 0.37
Lampiran 12. Rerata kadar fosfat darah pada grup percobaan sebelum dan sesudah pemberian ekstrak etanol sipatah-patah. Perlakua n
1
2
3
Kadar Fosfat (mg/dl) Bulan Ke 4
5
6
NOV-0
7.62±0.17
7.66±0.18
7.67±0.17
7.72±0.10
7.78±0.10
7.80±0.11
NOV-1 NOV-2
7.60±0.18
7.65±0.22 7.57±0.24
7.70±0.23 7.64±0.23
7.72±0.23 7.65±0.21
7.71±0.21 7.70±0.24
7.74±0.20 7.74±0.23
7.53±0.47
7.58±0.46
7.66±0.31
7.73±0.30
7.56±0.47
7.65±0.43
7.71±0.40
NOV-3 NOV-4
Lampiran 13. Kadar kalsium dan fosfat tulang pada masa pencegahan yang diberi ekstrak Etanol sipatah-patah selama 180 hari pada tikus putih. Kadar
Perlakuan
116
Kalsium (%)
Fosfat (%)
NOV-0
32.41±1.375a
18.90±1.1269
NOV-1
31.75±0.838ab
18.48±0.229
NOV-2 NOV-3 NOV-4
31.46±0.200abc 30.30±0.544bc 30.71±0.374c
18.23±0.821 17.85±0.566 18.21±0.418
Lampiran 14. Rerata berat badan kelompok pengobatan yang ditimbang 2 minggu sekali dari awal pemeliharaan Group
OV-0
OV-1
OV-2
OV-3
OV-4
Berat Badan/minggu ke (gram)
1 116. 85± 2.94 115. 50± 1.77 114. 93± 5.02 112. 23± 4.31 114. 20± 9.50
2
4
6
14
16
18
20
114.13 ± 3.17
117.63 ± 6.08
122.33± 6.52
126.68 131.20 ± 6.49 ± 6.29
8
10
136.08 ± 6.18
12
141.20 ± 6.40
147.30 ± 6.51
153.08 ± 7.04
160.28± 7.63
111.45 ± 2.83
116.58 ± 1.43
120.02± 2.14
123.08 126.78 ± 1.78 ± 1.97
132.10 ± 3.43
138.20 ± 3.49
142.63 ± 3.72
148.00 ± 4.07
153.80± 5.34
111.43 ± 5.26
118.40 ± 5.11
126.73± 4.75
135.10 140.03 ± 3.59 ± 7.23
147.65 ± 6.03
156.85 ± 10.15
161.95 ± 6.94
170.43 ± 6.28
179.93± 7.42
108.68 ± 4.32
114.08 ± 4.80
118.18± 5.11
127.28 134.43 ± 5.05 ± 4.75
142.42 ± 5.03
148.85 ± 5.00
156.50 ± 5.78
166.43 ± 3.89
174.23± 4.70
109.20 ± 8.02
113.80 ± 8.27
118.38± 7.85
122.48 127.78 ± 6.32 ± 5.97
135.93 ± 5.71
146.80 ± 4.77
154.83 ± 4.50
163.93 ± 4.32
171.65± 4.82
Lampiran 15. Panjang Tulang Femur Tikus perlakuan Ovariektomi Grup
panjang ovariektomi
OV-0
29,23
29,74
29,38
28,38
OV-1
30,4
29
30,68
30,18
OV-2
31,42
29,63
30,68
29,8
OV-3
30,41
30,37
30,08
30,19
OV-4
29,5
30,8
29,48
29,41
Lampiran 16. Rerata kadar kalsium darah grup ovariektomi yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan. Perlakuan
Kadar Kalsium (gr/dl) Bulan Ke 3 4
1
2
OV-0
11.62±0.47
11.65±0.26
11.83±0.22
OV-1
10.08±0.54
9.68±0.30 10.13±0.17
OV-2 OV-3 OV-4
5
6
11,88±0.30
11,85±0.30
11.89±0.36
9.66±0.32
9.19 ±0.57
9.62±0.418
9.33±0.52
10.15±0.19
10.10±0.18
10.21±0.16
10.48±0.32
10.23±0.49
10.23±0.35
10.03±0.69
10.29±0.43
9.94±1.36
9.95±1.13
10.05±0.85
117
Lampiran 17. Rerata kadar Fosfat tikus ovariektomi yang diukur 1 bulan sekali dari awal pemeliharaan.
OV-0
1 7.46±0.34
2 7.51±0.32
Kadar Fosfat (gr/dl) Bulan Ke 3 4 7.55±0.33 7.64±0.33
OV-1
7.43±0.22
7.38±0.22
7.28±0.32
7.24±0.55
7.19±0.54
7.13±0.52
7.46±0.16
7.48±0.15
7.52±0.15
7.56±0.15
7.62±0.13
7.46±0.13
7.49±0.12
7.51±0.13
7.57±0.12
7.51±0.29
7.53±0.28
7.57±0.27
Perlakuan
OV-2 OV-3 OV-4
5 7.66±0.31
6 7.58±0.30
Lampiran 18. Rerata kadar kalsium dan fosfat tulang pada grup ovariektomi yang diberi ekstrak Etanol sipatah-patah selama 180 hari pada tikus putih. Perlakuan
Kadar
OV-0
Kalsium (%) 32.66±0.96
Fosfat (%) 18.48±0.90
OV-1
27.17±0.84
16.98±0.23
OV-2
30.06±0.64
17.23±0.62
OV-3
29.69±0.32
17.12±0.23
OV-4
29.34±0.75
17.22±0.22
Lampiran 19. Analisis RAL IN TIME Kalsium PH The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 54 Error Mean Square 0.324372 Harmonic Mean of Cell Sizes 17.91045
118
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .3816 .4014 .4144 .4238 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan B 11.7017 24 NOV-0 A 12.1015 24 NOV-1 B 11.7235 20 NOV-2 B 11.3694 16 NOV-3 B 11.1817 12 NOV-4 RAL IN TIME Fosfat NOV The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 NOV0 NOV1 NOV2 NOV3 NOV4 bulan 6 BLN1 BLN2 BLN3 BLN4 BLN5 BLN6 r 4 1234 Number of Observations Read 96 Number of Observations Used 95 RAL IN TIME Fosfat The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 53 Error Mean Square 0.135658 Harmonic Mean of Cell Sizes 17.79497
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .2477 .2605 .2690 .2751 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A 7.7183 12 NOV4 A 7.7417 24 NOV1 A 7.7440 20 NOV2 A 7.5474 23 NOV0 B 7.7306 16 NOV3
119
RAL IN TIME Kalsium OVThe GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 NOV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 bulan 6 BLN1 BLN2 BLN3 BLN4 BLN5 BLN6 r 4 1234 Number of Observations Read 96 Number of Observations Used 96
RAL IN TIME Kalsium OVThe GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 54 Error Mean Square 0.318928 Harmonic Mean of Cell Sizes 17.91045
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .3784 .3980 .4109 .4203 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A 11.8975 24 OV-0 B 10.4815 20 OV-2 B 10.2938 16 OV-3 B 10.0517 12 OV-4 C 9.3313 24 OV-1 RAL IN TIME Fosfat OV The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 OV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 bulan 6 BLN1 BLN2 BLN3 BLN4 BLN5 BLN6 r 4 1234 Number of Observations Read 96 Number of Observations Used 96
120
RAL IN TIME Fosfat OVThe GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 54 Error Mean Square 0.100062 Harmonic Mean of Cell Sizes 17.91045
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .2119 .2229 .2302 .2354 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A 7.5731 16 OV-3 A 7.5783 12 OV-4 A 7.7058 24 OV-0 A 7.2833 24 OV-1 A 7.6220 20 OV-2
RAL Kalsium The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 r 4 1234 Number of Observations Read 20 Number of Observations Used 20 RAL Kalsium tulang NOV The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 11.26562000 2.81640500 4.58 0.0129 Error 15 9.21967500 0.61464500 Corrected Total 19 20.48529500 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.549937 2.502811 0.783993 31.32450
121
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 11.26562000 2.81640500 4.58 0.0129 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 11.26562000 2.81640500 4.58 0.0129 RAL Kalsium The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 0.614645 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range 1.182 1.239 1.274 1.298 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A 32.4125 4 NOV-0 B A 31.8550 4 NOV-1 B C 31.4600 4 NOV-2 B C 30.7100 4 NOV-4 C 30.2950 4 NOV-3
RAL Fosfat NOV The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 NOV-0 NOV-1 NOV-2 NOV-3 NOV-4 r 4 1234 Number of Observations Read 20 Number of Observations Used 20
122
RAL Fosfat NOV The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 2.40948000 0.60237000 1.21 0.3480 Error 15 7.47650000 0.49843333 Corrected Total 19 9.88598000 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.243727 3.851389 0.705998 18.33100
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 2.40948000 0.60237000 1.21 0.3480 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 2.40948000 0.60237000 1.21 0.3480
RAL Fosfat NOV The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 0.498433 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range 1.064 1.115 1.147 1.169
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A 18.8950 4 NOV-0 A 18.4800 4 NOV-1 A 18.2250 4 NOV-2 A 18.2100 4 NOV-4 A 17.8450 4 NOV-3
123
RAL Kalsium tulang OV The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 NNOV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 r 4 1234 Number of Observations Read 20 Number of Observations Used 20 RAL Kalsium OV The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 57.42560000 14.35640000 23.99 <.0001 Error 15 8.97550000 0.59836667 Corrected Total 19 66.40110000
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.864829 2.593601 0.773542 29.82500 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 57.42560000 14.35640000 23.99 <.0001 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 57.42560000 14.35640000 23.99 <.0001
RAL Kalsium OV The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 0.598367 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range 1.166 1.222 1.257 1.281
124
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A 32.6600 4 OV-0 B 30.0575 4 OV-2 B 29.6925 4 OV-3 B 29.3425 4 OV-4 C 27.3725 4 OV-1 RAL Fosfat tulangOV The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 5 OV-0 OV-1 OV-2 OV-3 OV-4 r 4 1234 Number of Observations Read 20 Number of Observations Used 20 RAL Fosfat OVThe GLM Procedure Dependent Variable: respon Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 4 5.90807000 1.47701750 5.40 0.0068 Error 15 4.10342500 0.27356167 Corrected Total 19 10.01149500
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.590129 3.004977 0.523031 17.40550 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 5.90807000 1.47701750 5.40 0.0068 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 4 5.90807000 1.47701750 5.40 0.0068
125
RAL Fosfat OVThe GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 0.273562 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .7883 .8263 .8500 .8661 Means with the same letter are not significantly different.
126
Duncan Grouping
Mean
N perlakuan
A
18.4775
4
OV-0
B
17.2325
4
OV-2
B
17.2175
4
OV-4
B
17.1200
4
OV-3
B
16.9800
4
OV-1