AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] SEBAGAI INHIBITOR ALFA-GLUKOSIDASE in vitro DAN in vivo PADA TIKUS PUTIH
OLEH : SRI SUGIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
ABSTRAK
SRI SUGIWATI. Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.)Boerl.] sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan L. BROTO S. KARDONO. Inhibitor alfa-glukosidase merupakan obat antidiabetes oral yang digunakan untuk mengobati Diabetes Mellitus (DM) tipe II. Kerja antihiperglikemik dari inhibitor alfa glukosidase berasal dari inhibisi reversibel, kompetitif terhadap enzim hidrolase alfa amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase dan maltase yang berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor alfaglukosidase in vitro dan in vivo. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa, penapisan fitokimia, uji inhibisi alfaglukosidase in vitro dan uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa, yang dilanjutkan dengan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada model hewan coba tikus. Percobaan uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dilakukan dengan menggunakan enzim alfa-glukosidase dan p-nitrofenil α-D-glukopiranosa sebagai substrat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol dari buah tua dan buah muda mahkota dewa memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak metanol dan ekstrak air hasil rebusan, sedangkan ekstrak air hasil fraksinasi hampir tidak memiliki aktivitas inhibisi. Pada uji toksisitas dengan metode BSLT diamati tingkat mortalitas larva udang Artemia salina Leach yang disebabkan oleh ekstrak buah mahkota dewa. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode Sam berdasarkan perhitungan jumlah larva yang mati dan hidup. Berdasarkan nilai LC50 dari hasil uji toksisitas dengan BSLT, ekstrak buah muda mahkota dewa lebih toksik daripada ekstrak buah tua, dengan toksisitas paling tinggi adalah ekstrak metanol diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi n-butanol. Pada percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo digunakan 15 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol positif yang dicekok obat Acarbose, kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air hasil rebusan buah tua dan kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air hasil rebusan buah tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus dan
ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose sebagai kontrol positif dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol buah muda dan buah tua mahkota dewa memiliki aktivitas antihiperglikemik in vitro tertinggi terhadap inhibisi enzim alfa-glukosidase dan pada percobaan in vivo menggunakan tikus putih, menunjukkan bahwa aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak fraksi n-butanol buah tua setara dengan ekstrak air hasil rebusan buah tua dan Acarbose sebagai kontrol positif.
ABSTRACT
SRI SUGIWATI. Antihyperglycemic Activity of the Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.] Fruit Extracts as Alpha-Glucosidase Inhibitor by in vitro and in vivo Experiments in the White Rats. Under the direction of MARIA BINTANG and L. BROTO S. KARDONO. Alpha-glucosidase inhibitor is an oral antidiabetes for use in the management of type 2 diabetes mellitus. The antihyperglycemic activity of alpha-glucosidase inhibitor resulted from a competitive, reversible inhibition of hydrolase enzymes, pancreatic alpha-amylase and intestinal digestion enzymes (i.e., isomaltase, sucrase and maltase) which hydrolyzed dietary carbohydrates to glucose and other monosaccharides. In diabetic patients, inhibition of these enzymes result in a delayed glucose absorption and a lowering of postprandial hyperglycemia. The purpose of this research is to study the antihyperglycemic activity of the fruit extracts of Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. as alpha glucosidase inhibitor by in vitro and in vivo experiments. The research is performed in several steps: fractionation and extraction of the ripe and unripe fruits, phytochemistry test of the fruit extracts, alpha-glucosidase inhibition test by in vitro experiment, toxicity test of the fruit extracts by using BSLT method and antihyperglycemic activity test by in vivo experiment with Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) in the white rats. The alpha-glucosidase inhibition test in vitro is performed by using alphaglucosidase enzyme and substrate p-nitrophenyl α-D-glucopyranosa. The result of these experiment showed that n-butanol fraction extract of the ripe and unripe fruits have the highest activity followed by ethyl acetate fraction extract, methanol extract and water extract from the boiled of the ripe and unripe fruits. The water fraction extract of ripe and unripe fruits do not have any significant inhibition activity. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) method used the shrimp larvas of Artemia salina Leach to study the mortality effect that caused by the fruit extracts of phaleria macrocarpa. The data obtained was analyzed by using Sam’s method. Based on the LC50 value from the result of BSLT method, the unripe fruit extracts are more toxic than the ripe fruit extracts, with the highest toxicity is methanol extract followed by ethyl acetate fraction extract, boiled water extract and n-butanol fraction extract. In the antihyperglycemic activity test by in vivo experiment is used fifteen rats which are divided into three treatment groups: the positive control group which is given Acarbose drug, the treatment group which is given the water extract from the boiled ripe fruit and the treatment group which is given the n-butanol fraction extract of ripe fruit. The result of this experiment indicated that giving the water extract from the boiled ripe fruit with dose of 6.20 x 10-4 mg/ g rat and 1.24 x 10-3 mg/ g rat and the n-butanol fraction extract of ripe fruit with dose of 1.81 x 10-3 mg/ g rat and 3.62 x 10-3 mg/ g rat decreased the blood glucose concentration of rats after giving
80% w/v sucrose solution treated rats, that were comparable to those of Acarbose with dose of 1.00 x 10-3 mg/ g rat as the positive control. The conclusion of this research is the n-butanol fraction extract of the ripe and unripe fruits of Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. have the highest antihyperglycemic activity by in vitro experiment to inhibition of alpha-glucosidase enzyme and by in vivo experiment in the white rats showed that antihyperglycemic activity from the n-butanol fraction extract of the ripe fruit is the same as the water extract from the boiled ripe fruit and Acarbose as the positive control.
Judul Tesis
:
Nama : NRP : Program Studi :
Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai Inhibitor AlfaGlukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih Sri Sugiwati G135010011 Biokimia
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS Ketua
L. Broto S. Kardono, Apt. Ph.D, APU Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Biokimia
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Norman R. Azwar
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal ujian : 14 Juni 2005
Tanggal lulus :
PRAKATA
Berangkat dari suatu perasaan dari lubuk hati yang terdalam, yang tak terungkap dengan kata-kata tentang keikhlasan hati dari orang-orang terdekat, yang selalu setia dan penuh kasih sayang menemani dan membimbingku dalam menapaki jalan menuju cita. Kupersembahkan karya utama ini kepada Ibu dan Bapak tercinta Kakak-Kakak dan Adik-Adikku tersayang Suami dan belahan hatiku terkasih
Di awal kata tak akan pernah kulupa, untuk memanjatkan puji syukur yang terdalam kehadirat Alloh SWT Yang Maharohman dan Maharohim sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih”. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS sebagai pembimbing I dan Bapak Leonardus Broto Sugeng Kardono, Apt. Ph.D, APU sebagai pembimbing II, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dukungan dan semangat bagi penulis sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian Kimia Terapan LIPI, PUSPIPTEK Serpong, terutama kepada Ibu Dra. Puspa Dewi, MSc atas bantuan sarana dan prasarana penelitian. Kepada mbak Mimin, mbak Risna, Lala dan Bapak Achmad,
terima kasih atas segala bantuan dan bimbingannya di lapangan selama pelaksanaan penelitian. Kepada Bapak dan Ibundaku tercinta, terima kasih yang tak terhingga atas segala doa dan bimbingannya yang tiada pernah putus-putusnya diberikan kepada penulis dengan penuh kasih dan sayang. Kepada suamiku, mas Hari Satria dan belahan hatiku, Opik dan Lulu, terima kasih yang amat sangat atas segala doa, pengorbanan, dukungan dan pengertiannya selama ini. Kepada kakak-kakak dan adik-adikku, mbak Wiwik, Kak Almutholib, Ani, Didi, Herningwang, Parno, keponakan-keponakanku Indri, Arif, Opang, Ilham, Jajang, terima kasih yang tulus atas segala doa dan dukungannya. Mbak Tati dan Mas Suryo, terima kasih atas segala dukungan dan bantuannya tak akan pernah kulupa. Kusweni, terima kasih atas ketulusan dan keikhlasan menjaga dan menemani anakanakku. Teman-teman Program Pasca Sarjana Biokimia, FMIPA-IPB, Purbowati, Yosie dan Yuzda, semoga persahabatan yang telah terjalin akan terus berlanjut. Terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu di dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa karya ilmiah yang telah dapat diselesaikan ini masih jauh dari sempurna dan oleh sebab itu segala saran dan kritik membangun yang diberikan terhadap karya ilmiah ini sangat bermanfaat bagi penulis sebagai penunjang untuk penelitian lebih lanjut.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di negeri ini, dengan keanekaragaman hayatinya yang sangat beragam.
Bogor, 2 Juli 2005 Sri Sugiwati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1970 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan H. Suwarno dan Hj. Sutari. Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia. Pada tahun 1998, penulis menikah dengan Hari Satria Setiawan dan telah dikaruniai seorang putra Muhamad Taufiq Irsyad dan seorang putri Lulu Alya Setyowati. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Keperawatan Dasar dan Dasar Keperawatan (DKKD) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia sejak tahun 1997 hingga sekarang. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Biokimia. Selama pendidikan penulis mendapatkan beasiswa dari BPPS DIKTI.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
xii
PENDAHULUAN ……………………………………………………………
1
TINJAUAN PUSTAKA Mahkota Dewa ……………………………………………………........... Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat ………………………………….. Glikolisis, Jalur Metabolisme Utama Glukosa, Fruktosa dan Galaktosa ... Hormon-Hormon yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah …………. Diabetes Mellitus (DM) …………………………………………………. Klasifikasi DM ………………………………………………………….. Diagnosis DM …………………………………………………………… Komplikasi DM …………………………………………………………. Pengobatan DM …………………………………………………………. Mekanisme Kerja Obat sebagai Inhibitor Reaksi Enzim ………………... Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase …………………………………………… Penentuan Kadar Glukosa Darah dengan Glucose Test Strip …………… Model Hewan Percobaan DM …………………………………………...
5 7 8 14 17 18 20 21 23 26 28 29 30
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ……………………………………………................ Bahan dan Alat ………………………………………………………….. Sampel …………………………………………………………………... Model Hewan Coba ……………………………………………………... Rancangan Percobaan …………………………………………………… Fraksinasi dan Ekstraksi ………………………………………………… Penapisan Fitokimia …………………………………………………….. Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase …………………………………………… Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach. ……………………………………………………. Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa pada Hewan Coba Tikus ……….
31 31 32 32 32 33 34 36 38 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Fraksinasi dan Ekstraksi ………………………………………………… Penapisan Fitokimia …………………………………………………….. Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase …………………………………………... Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach. ………………………………………………….. Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa pada Hewan Coba Tikus ……….
43 45 47 52 55
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………………………………… Saran ……………………………………………………………………..
63 64
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
65
LAMPIRAN …………………………………………………………………
68
DAFTAR TABEL Halaman 1
Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 2 ml ……..
37
2
Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa dengan pelarut metanol …………………………………………………………………
43
Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah muda mahkota dewa ………………………………………………………….
44
Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa ………………………………………………………….
44
Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa yang diperoleh dengan cara rebusan ……………………………………………………
45
Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa ………………….....................
54
3
4
5
6
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Tanaman mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.)Boerl.] ……..
5
2
Pencernaan bertahap dari amilopektin atau glikogen oleh α-amilase dan α(1→6)-glucosidase. α-Amilase pada saliva memutus ikatan glikosida α(1→4) diantara unit maltosa dari amilopektin (atau glikogen), tetapi tidak dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) yang terdapat pada titik percabangan (gambar atas). α(1→6) Glukosidase di usus halus memutus ikatan glikosida α(1→6) pada titik percabangan, yang membuka inti amilosa untuk pencernaan lebih lanjut oleh amilase (gambar bawah) ………………………………………………………..
9
3
Jalur glikolisis ………………………………………………………….
10
4
Jalur masuk fruktosa ke dalam jalur glikolisis …………………………
12
5
Perubahan galaktosa menjadi glukosa …………………………………
13
6
Pengontrolan kadar glukosa darah oleh hormon yang disekresi pankreas, insulin dan glukagon …………………………………………………...
14
Pengontrolan metabolisme glikogen. Fosforilasi menginaktifkan glikogen sintase dan mengaktifkan fosforilase, yang menyebabkan peningkatan glikogenesis dan penghambatan sintesis glikogen ………..
16
8
Struktur kimia Acarbose ……………………………………………….
25
9
Inhibisi reversibel kompetitif; inhibitor dan substrat berkompetisi pada sisi aktif enzim. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; P = produk ..................
27
Inhibisi reversibel non-kompetitif; inhibitor dan substrat terikat secara bersama-sama. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; ESI = kompleks enzim substrat inhibitor; P = produk .................................................................
28
Persamaan reaksi enzimatik α-glukosidase dan p-nitrofenil-α-Dglukopiranosa ………………………………………………………….
28
7
10
11
12
Persamaan reaksi enzimatik glukosa dengan glukosa oksidase dan Peroksidase …………………………………………………………….
29
13
Diagram alir penelitian …………………………………………………
33
14
Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol dan ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua mahkota dewa …………….
48
Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa ………….
50
Kurva TGO pada penentuan kadar larutan sukrosa yang akan dicekok ke tikus. Kelompok I dicekok larutan sukrosa 40% b/v; kelompok II = 60% b/v dan kelompok III = 80% b/v ………………………………….
57
Kurva TGO kelompok A1 (kelompok kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif) dibandingkan dengan kelompok A2 (kelompok kontrol positif) ………………………………………………………….
58
Kurva TGO kelompok B2 dan B3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok B1 (kelompok perlakuan B sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif) ………………………………
60
Kurva TGO kelompok C2 dan C3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis masing-masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok C1 (kelompok perlakuan C sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif) …………
61
15
16
17
18
19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Gambar buah mahkota dewa …………………………………………..
68
2
Bagan fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa …………………………………………………………………….
70
Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa ……………………………………………………
71
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase secara in vitro dari berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa …………………………………………
72
Data hasil uji BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa ………………………………………………………….
77
Histogram persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji toksisitas dengan metode BSLT dari berbagai ekstrak buah mahkota dewa ………………………………………………………….
82
Diagram alir percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada model hewan coba tikus ………………………………..
83
Perhitungan dosis obat Acarbose (Glucobay tablet) yang dicekokkan pada hewan coba tikus …………………………………………………
84
Perhitungan dosis ekstrak air hasil rebusan buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus ………………………………
85
Perhitungan dosis ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus ……………………………………
86
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada percobaan penentuan kadar larutan sukrosa yang dicekokkan ke hewan coba tikus ................
87
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif yang dicekok obat Acarbose (kelompok A) ……………………………
88
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air hasil rebusan buah tua mahkota dewa (kelompok B) …………………………………………………………..
89
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa (kelompok C) …………………………………………………………..
91
Hasil Analisis Ragam Faktorial 2x2 RAL kadar glukosa darah kelompok hewan coba tikus pada uji aktivitas antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) …………………………………..
93
Uji lanjut Duncan pada percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo pada hewan coba tikus …………………………………………
94
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Dalimartha 2003). DM merupakan masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia. Menurut laporan terakhir dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2003 penderita DM telah meningkat secara mengkhawatirkan. Global Diabetes Statistic melaporkan tahun 2003 ada 194 juta orang di dunia yang terkena DM dan diperkirakan jumlahnya akan meningkat sampai 333 juta orang pada tahun 2025. Prevalensi DM di Indonesia sekitar 1,2% sampai 2,3% dari jumlah penduduk berusia di atas 15 tahun (Dalimunthe 2004). DM merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena dapat menyerang semua golongan usia, semua tingkat sosial ekonomi, laki-laki maupun perempuan. Beberapa faktor penyebab penyakit DM adalah faktor keturunan, adanya infeksi virus dan bakteri, bahan kimia toksik seperti aloksan dan streptozotosin, dan nutrisi berlebihan. Nutrisi berlebihan (overnutrition) terutama makanan berkolesterol dan berkadar lemak tinggi, merupakan faktor resiko pertama yang diketahui menyebabkan DM (Utami et al. 2003). Pada penderita DM menahun yang tidak mengontrol kadar glukosa darahnya, dapat terjadi komplikasi kronis, yang terutama disebabkan oleh kelainan pembuluh
2
darah seperti makroangiopati dan mikroangiopati. Kelainan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dapat menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluh darah kapiler yang ada pada ginjal, mata, dan kaki. Akibatnya, timbul berbagai komplikasi seperti pada kapiler glomerulus ginjal yang menyebabkan nefropati diabetik, pada retina mata menyebabkan retinopati dan berakhir dengan kebutaan. Kelainan pada pembuluh darah besar (makroangiopati) dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah jantung yang menyebabkan penyakit jantung koroner. Penyempitan pada pembuluh darah tungkai bawah dapat menyebabkan ulkus dan gangren di kaki, sedangkan kelainan pada pembuluh darah otak menyebabkan penyakit cerebrovaskuler yang mengakibatkan stroke (Dalimartha 2003). DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan melakukan upaya-upaya seperti perencanaan diet, mempertahankan bobot badan normal dan melakukan cukup olah raga. Obat hanya perlu diberikan, bila setelah melakukan berbagai upaya tersebut secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah (Ganiswara et al. 1999). Ada dua macam obat antihiperglikemik, yaitu berupa suntikan insulin dan obat antidiabetik oral yang meliputi golongan sulfonilurea, biguanid, thiazolidinedion, dan inhibitor alfaglukosidase (Silva 2004). Inhibitor alfa-glukosidase digunakan untuk mengobati DM tipe II. Berbeda dengan sulfonilurea, obat golongan ini tidak meningkatkan sekresi insulin. Kerja antihiperglikemik dari inhibitor alfa-glukosidase berasal dari inhibisi reversibel, kompetitif terhadap enzim hidrolase alfa-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase dan maltase. Enzim-enzim ini
3
berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan (Slagle 2002; Bayer 2004)). Beberapa jenis tanaman obat tradisional Indonesia yang secara empiris digunakan sebagai antidiabetes telah diteliti memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim alfa- glukosidase, diantaranya adalah biji alpukat, daun bungur, kulit jamblang, daun salam, daun sukun, daun kesumba dan cocor bebek. Pada penapisan fitokimia, tanaman tersebut memiliki kandungan senyawa golongan fenol (Sutedja 2003). Terdapat beberapa jenis tanaman obat Indonesia lainnya yang secara empiris digunakan sebagai antidiabetes, tetapi belum diteliti aktivitasnya sebagai inhibitor alfa-glukosidase, salah satunya adalah mahkota dewa. Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua. Umumnya dibudidayakan sebagai tanaman hias atau tanaman peneduh, tetapi terkadang masih dapat dijumpai tumbuh liar di daerah hutan pada ketinggian 10 m sampai 1.200 m di atas permukaan laut (Hutapea et al. 1999; Winarto et al. 2003). Tanaman ini telah digunakan secara empirik untuk mengatasi DM dan berbagai jenis penyakit lainnya seperti kanker, lever, jantung, asam urat, rematik, ginjal, tekanan darah tinggi, eksim, jerawat, dan luka gigitan serangga (Lisdawati 2002). Dari segi kandungan kimia, tumbuhan ini belum banyak diketahui. Evaluasi fitokimia mahkota dewa telah dilakukan, yang antara lain tumbuhan ini diduga mengandung alkaloid, terpenoid, saponin dan poliphenol (Kardono 2003).
4
Untuk membuktikan secara ilmiah mengenai aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor alfa-glukosidase, maka dilakukan penelitian in vitro dan in vivo. Penelitian in vitro dilakukan dengan menggunakan ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor terhadap enzim alfa-glukosidase dan p-nitrofenil α-D-glukopiranosa sebagai substrat. Penelitian in vivo dilakukan dengan metode uji toleransi glukosa oral pada model hewan coba tikus putih jantan. Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas inhibisi dan membandingkan efektifitas inhibisi terhadap enzim alfa-gukosidase in vitro dari berbagai ekstrak buah muda dan buah tua mahkota dewa secara. Selanjutnya, menguji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua dengan metode uji toleransi glukosa oral pada hewan coba tikus putih. Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak buah mahkota dewa dapat menginhibisi enzim alfa-gukosidase baik in vitro maupun in vivo. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pembuktian ilmiah mengenai aktivitas antihiperglikemik pada DM tipe II dari buah mahkota dewa, sehingga penggunaannya sebagai obat antidiabetes dapat dipertanggungjawabkan secara medik. Manfaat lain dari penelitian ini adalah diharapkan dapat meningkatkan penggunaan mahkota dewa sebagai obat antidiabetes alternatif bagi masyarakat terutama masyarakat pedesaan dimana tidak tersedia obat jadi atau karena tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat.
5
TINJAUAN PUSTAKA Mahkota Dewa Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Papua. Umumnya dibudidayakan sebagai tanaman hias atau tanaman peneduh, tetapi terkadang masih dapat dijumpai tumbuh liar di daerah hutan pada ketinggian 10 m sampai 1.200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1.000-2.500 mm/tahun. Tanaman ini memiliki nama sinonim Phaleria papuana Warb. Var. Wichannii (Val.) Back., nama daerah Simalakama (Sumatra), Makuto dewo (Jawa) (Hutapea et al. 1999; Winarto et al. 2003).
Gambar 1. Tanaman Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] Berdasarkan taksonomi tumbuhan, mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut (Hutapea et al 1999; Winarto et al. 2003) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermathophyta
Subdivisi
: Angiospermae
6
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Thymelaeales
Suku
: Thymelaeaceae
Marga
: Phaleria
Spesies
: Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl atau Phaleria papuana Warb var. Winchannii (Val) Back
Morfologi tanaman ini cukup sempurna karena memiliki batang, daun, bunga, dan buah. Buah mahkota dewa terdiri dari kulit, daging, cangkang, dan biji. Buah saat masih muda berwarna hijau muda, tetapi akan berubah menjadi merah marun saat sudah tua. Ukuran buahnya bervariasi, dari sebesar telur ayam kampung hingga sebesar apel merah. Ketebalan kulit berkisar 0,5-1,0 mm. Daging buah berwarna putih dengan ketebalan bervariasi, tergantung ukuran buah (Hutapea et al 1999; Winarto et al. 2003). Tanaman ini telah digunakan secara empiris untuk mengatasi berbagai jenis penyakit seperti kanker, lever, jantung, kencing manis (diabetes), asam urat, rematik, ginjal, tekanan darah tinggi, eksim, jerawat, dan luka gigitan serangga. Pemakaiannya dapat digunakan sebagai obat dalam dengan cara dimakan maupun diminum atau sebagai obat luar dengan cara dioleskan atau dilulurkan (Lisdawati 2002). Dari segi kandungan kimia, tumbuhan ini belum banyak diketahui. Evaluasi fitokimia mahkota dewa telah dilakukan, yang antara lain tumbuhan ini diduga mengandung alkaloid, terpenoid, saponin dan poliphenol. Buahnya banyak mengandung berbagai jenis lipid, yang terkonsentrasi pada biji. Sedangkan getahnya mengandung senyawa-senyawa anti-insekta terutama terhadap kumbang tenebrinoid.
7
Senyawa-senyawa dalam getah antara lain toluquinone, ethylquinone, asam oktanoat, 1-nonene, 1-undecene, 1-pentadecene, 1-heptadene, dan 6-alkyl-1-4-naphtoquinone (Kardono 2003). Dari daging buah mahkota dewa, telah diisolasi beberapa senyawa antikanker (sitostatika), salah satunya adalah suatu lignan, dengan rumus molekul C6H20O6
dan
struktur
molekulnya
5-[4(4-methoxy-phenyl-tetrahydrofuro-[3,4-
c]furan-1-yl]-benzene-1,2,3-triol (Lisdawati 2002). Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat Pencernaan karbohidrat (pati dan glikogen) dari makanan, sudah dimulai di dalam mulut, oleh adanya enzim alfa-amilase yang dihasilkan oleh kelenjar saliva. Enzim ini memutus ikatan glikosida α(1→4) pada polisakarida (Mathews dan van Holde 2000). Pencernaan karbohidrat selanjutnya, berlangsung di usus halus oleh adanya enzim alfa-amilase pankreatik yang disekresi oleh pankreas. Alfa-amilase pankreatik menghidrolisis amilosa menjadi maltosa dan glukosa, sedangkan amilopektin dan glikogen
hanya
dihidrolisis
secara
parsial
menghasilkan
dekstrin,
seperti
diperlihatkan pada Gambar 2. Enzim ini tidak dapat menghidrolisis sempurna amilopektin dan glikogen, karena tidak dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) yang terdapat pada titik percabangan. α(1→6)-Glukosidase (isomaltase) merupakan enzim yang dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) pada titik percabangan tersebut, sehingga terbuka kembali gugus baru yang dihubungkan oleh ikatan glikosida α(1→4) dan dapat dihidrolisis lebih lanjut oleh α-amilase hingga mencapai kembali titik percabangan baru yang dihubungkan oleh ikatan glikosida α(1→6). Produk akhir
8
dari kerja kedua enzim ini secara bertahap adalah penguraian sempurna pati dan glikogen menjadi maltosa dan glukosa. Maltosa dihidrolisis oleh maltase menghasilkan 2 molekul glukosa. Selanjutnya, glukosa dan monosakarida lainnya seperti fruktosa dan galaktosa yang merupakan hasil hidrolisis dari sukrosa dan laktosa diabsorpsi dari usus halus dan dibawa ke hati melalui sirkulasi vena portal (Mathews dan van Holde 2000). Di dalam hati, lebih dari setengah glukosa yang ada disimpan sebagai glikogen dan juga dioksidasi melalui jalur glikolisis untuk memenuhi kebutuhan energi metabolik hati. Glukosa sisanya, memasuki kembali aliran darah sebagai glukosa bebas untuk dibawa ke jaringan. Di otot, glukosa juga dioksidasi melalui jalur glikolisis untuk menghasilkan energi dan disimpan sebagai glikogen, sedangkan di jaringan adiposa, glukosa diubah menjadi asam lemak dan trigliserida (Schreiber 1984). Glikolisis, Jalur Metabolisme Utama Glukosa, Fruktosa dan Galaktosa Glikolisis merupakan jalur metabolisme utama bukan saja bagi glukosa tetapi juga bagi monosakarida lainnya, seperti fruktosa dan galaktosa yang berasal dari makanan. Pada jalur glikolisis, glukosa diubah menjadi piruvat melalui 10 tahapan reaksi seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Selanjutnya, piruvat diubah menjadi asetil-KoA dan memasuki siklus asam sitrat yang dirangkai dengan rantai transport elektron dan fosforilasi oksidatif menghasilkan energi kimia dalam bentuk ATP (Schreiber 1984; Strayer 2000).
9
Gambar 2.
Pencernaan bertahap dari amilopektin atau glikogen oleh α-amilase dan α(1→6)-glucosidase. α-Amilase pada saliva memutus ikatan glikosida α(1→4) diantara unit maltosa dari amilopektin (atau glikogen), tetapi tidak dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) yang terdapat pada titik percabangan (gambar atas). α(1→6) Glukosidase di usus halus memutus ikatan glikosida α(1→6) pada titik percabangan, yang membuka inti amilosa untuk pencernaan lebih lanjut oleh amilase (gambar bawah).
10
Gambar 3. Jalur glikolisis
11
Fruktosa, sebelum memasuki jalur glikolisis diubah terlebih dahulu menjadi dihidroksiaseton fosfat, gliseraldehid 3-fosfat atau fruktosa 6-fosfat melalui dua jalur reaksi yang berbeda, seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Pada jalur pertama, fruktosa difosforilasi menjadi fruktosa 1-fosfat oleh fruktokinase, yang selanjutnya dipecah menjadi gliseraldehid dan dihidroksiaseton fosfat oleh fruktosa 1-fosfat aldolase. Dihidroksiaseton fosfat merupakan intermediet glikolitik, sedangkan gliseraldehid sebelum memasuki jalur glikolisis, difosforilasi oleh tirosin kinase menjadi gliseraldehid 3-fosfat. Pada jalur kedua, fruktosa difosforilasi oleh heksokinase menjadi fruktosa 6-fosfat yang merupakan intermediet glikolitik (Schreiber 1984; Mathews dan van Holde 2000). Galaktosa memasuki jalur glikolisis dalam bentuk glukosa 1-fosfat yang merupakan intermediet glikolitik, melalui beberapa tahap reaksi seperti diperlihatkan pada Gambar 5. Pada reaksi tahap pertama, galaktosa difosforilasi menjadi galaktosa 1-fosfat oleh galaktokinase. Galaktosa 1-fosfat kemudian bereaksi dengan UDPglukosa membentuk UDP-galaktosa, dengan melepaskan glukosa 1-fosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh galaktosa 1-fosfat uridil transferase. Selanjutnya, UDP-galaktosa diubah kembali menjadi UDP-glukosa oleh UDP-galaktosa-4-epimerase (Schreber 1984; Mathews dan van Holde 2000).
12
Gambar 4. Jalur masuk fruktosa ke dalam jalur glikolisis.
13
Gambar 5. Perubahan galaktosa menjadi glukosa.
14
Hormon-Hormon yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah Pengontrolan kadar glukosa darah dipengaruhi oleh kerja dari beberapa hormon, seperti insulin, glukagon dan epinefrin. Hormon insulin berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah, sedangkan glukagon dan epinefrin berperan sebaliknya, yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Mekanisme pengontrolan kadar glukosa darah oleh insulin dan glukagon diperlihatkan pada Gambar 6 (Mathews dan van Holde 2000).
Gambar 6.
Pengontrolan kadar glukosa darah oleh hormon yang disekresi pankreas, insulin dan glukagon.
Insulin Insulin merupakan polipeptida berukuran 5,8 kilodalton, disintesis oleh sel beta pulau Langerhans pankreas, yang disekresi sebagai respon terhadap peningkatan kadar glukosa darah. Aksi insulin terutama pada tiga jaringan organ, yaitu hati, otot
15
dan jaringan adiposa. Aksi tersebut dapat berupa ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa, yang meliputi aktifasi glikolisis di hati; peningkatan sintesis asam lemak dan triasilgliserol di hati dan jaringan adiposa; inhibisi glukoneogenesis di hati; peningkatan sintesis glikogen di hati dan otot serta peningkatan permeabilitas sel terhadap glukosa di hati dan jaringan adiposa (Mathews dan van Holde 2000; Zulfikar 1993). Glukagon Glukagon merupakan polipeptida berukuran 3,5 kilodalton, disintesis oleh sel alfa pulau Lagerhans pankreas, yang disekresi sebagai respon terhadap kadar glukosa darah rendah (Mathews dan van Holde 2000). Jika kadar glukosa darah rendah, glukagon disekresi oleh pankreas dan dibawa oleh aliran darah ke organ sasaran. Hati merupakan organ sasaran utama dari glukagon. Sel-sel hati memiliki reseptor eksternal glukagon. Pada saat berikatan dengan reseptor, glukagon mengaktifasi adenilat siklase, enzim pada permukaan intraselular membran. Adenilat siklase merubah ATP menjadi siklik AMP, yang merupakan second messenger. Selanjutnya, siklik AMP berikatan dan mengaktifasi protein kinase yang bergantung siklik AMP. Protein kinase memfosforilasi beberapa enzim, yang dapat merubah aktifitas enzimatiknya, menjadi bentuk aktif dan tidak aktif. Fosforilasi glikogen sintase merubahnya menjadi bentuk tidak aktif, sehingga menghambat sintesis glikogen. Sebaliknya, fosforilasi pada fosforilase kinase, membuat enzim ini menjadi bentuk aktif. Terbentuknya fosforilase kinase aktif, selanjutnya mengubah glikogen fosforilase tidak aktif menjadi bentuk aktif. Dengan terbentuknya glikogen fosforilase aktif, maka proses glikogenolisis meningkat.
16
Penghambatan sintesis glikogen dan peningkatan glikogenolisis, menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Mekanisme pengontrolan metabolisme glikogen oleh hormon glukagon diperlihatkan pada Gambar 7 (Schreiber 1984; Mathews dan van Holde 2000).
Gambar 7.
Pengontrolan metabolisme glikogen. Fosforilasi menginaktifkan glikogen sintase dan mengaktifkan fosforilase, yang menyebabkan peningkatan glikogenesis dan penghambatan sintesis glikogen.
17
Epinefrin Epinefrin disekresi oleh medulla adrenal, sebagai respon terhadap kadar glukosa darah rendah. Di otot, epinefrin mengaktifasi adenilat siklase, yang menyebabkan peningkatan glikogenolisis dan menghambat sintesis glikogen. Di jaringan adiposa, epinefrin meningkatkan penguraian triasilgliserol menghasilkan bahan bakar untuk jaringan otot. Akibatnya, ambilan glukosa ke dalam otot menjadi berkurang dan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Epinefrin juga menghambat sekresi insulin dan menstimulasi sekresi glukagon. Secara keseluruhan kerja dari hormon epinefrin adalah meningkatkan kadar glukosa darah (Mathews dan van Holde 2000). Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Dalimartha 2003). Seseorang dapat menderita penyakit DM karena berbagai faktor berikut ini (Utami et al. 2003) : (1) Faktor genetik atau keturunan Pada sebagian besar penderita DM memiliki riwayat keluarga yang juga menderita DM. (2) Virus dan Bakteri Virus yang diduga menyebabkan DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4. Hasil penelitian menyebutkan bahwa virus dapat
18
menyebabkan DM melalui mekanisme infeksi sitolitik pada sel beta yang mengakibatkan kerusakan sel. (3) Bahan Toksik atau Beracun Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung, yakni aloksan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozotocin (produk dari sejenis jamur). (4) Nutrisi Nutrisi berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko pertama yang diketahui menyebabkan DM. Semakin lama dan berat obesitas akibat nutrisi berlebihan, semakin besar kemungkinan terjangkitnya DM. Klasifikasi DM Berikut ini adalah klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985 (Tjokroprawiro et al. 1988) : A. Kelas Klinis I. Diabetes Mellitus 1. DM tipe I atau Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI) atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) Kelompok DM tipe I adalah penderita penyakit DM yang sangat tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak gemuk. Sekitar 5-10 persen penderita DM menderita DM tipe I. DM tipe I disebabkan karena sebagian besar sel beta pulau Langerhans pankreas yang memproduksi insulin mengalami kerusakan, akibatnya, kadar insulin menjadi kurang atau tidak ada (Dalimartha 2003; Utami et al. 2003).
19
2. DM tipe II atau Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTI) atau non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) DM tipe II adalah lebih umum daripada tipe I. Di Indonesia 90 persen penderita DM adalah penderita DM tipe II dan umumnya disertai dengan kegemukan. Kebanyakan timbul pada penderita di atas usia 40 tahun. Pada DM tipe II, pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada bekerja kurang sempurna karena jumlah reseptor insulin pada sel target tidak mencukupi, akibat kegemukan. Orang gemuk biasanya memiliki jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit daripada orang normal. Kelompok ini terdiri dari penderita tidak gemuk (non-obese) dan penderita gemuk (obese) (Bettelheim dan Jerry 1995; Dalimartha 2003). 3. DMTM (Diabetes Mellitus Terkait Malnutrisi) Salah satu penyebab terjadinya DMTM diduga karena kekurangan protein jangka panjang yang bersamaan dengan makanan utama singkong, sehingga HCN dari singkong akan merusak sel beta pankreas yang sebenarnya HCN bisa dinetralkan oleh asam amino dari protein makanan, dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin (cyanide-cassava hypothesis) (Tjokroprawiro et al. 1988). 4. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu Diabetes tipe ini disebabkan oleh keadaan atau sindrom tertentu seperti penyakit pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan oleh obat atau zat kimia, gangguan reseptor insulin, dan sindrom genetik tertentu (Ellenberg dan Harold 1983).
20
II. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) Penderita gangguan toleransi glukosa (GTG) dinyatakan dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) dimana nilainya ada di daerah perbatasan yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai diagnostik untuk DM (Dalimartha 2003). III. DM pada kehamilan (gestational DM) Pada waktu hamil, perubahan-perubahan biokimiawi akibat kehamilan seperti adanya hormon plasenta yang bersifat insulin antagonis dan meningkatnya pemecahan insulin oleh plasenta, merupakan faktor diabetogenik (Adam 1987). B. Kelas risiko statistik Semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengidap DM. Yang termasuk dalam golongan ini adalah penderita yang kedua orang tuanya menderita DM, pernah menderita GTG kemudian normal lagi, pernah melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg (Dalimartha 2003). Diagnosis DM Diagnosis DM dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, yaitu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar menurut WHO. TTGO secara umum dilakukan dengan cara mengukur kadar glukosa darah puasa setelah pasien berpuasa selama 10-12 jam, kemudian pasien diberi minum larutan glukosa 75 gram. Selanjutnya, kadar glukosa darah diukur kembali setelah 1 jam dan 2 jam setelah minum larutan glukosa. Darah yang diperiksa adalah darah dari vena sekitar lipat siku (Dalimartha 2003).
21
Dari hasil pemeriksaan TTGO dapat diketahui apakah seseorang menderita DM, mengalami gangguan toleransi glukosa atau normal, dengan kriteria sebagai berikut (Dalimartha 2003): (1) Seseorang dikatakan menderita penyakit DM bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasanya ≥ 126 mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam setelah minum larutan glukosa ≥ 200 mg/dl. (2) Seseorang dikatakan terganggu terhadap toleransi glukosa bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasanya 110-125 mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam setelah minum larutan glukosa 140-199 mg/dl. (3) Seseorang dikatakan normal bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasanya < 110 mg/dl, kadar glukosa darah 1 jam setelah minum larutan glukosa < 180 mg/dl, dan 2 jam setelah minum larutan glukosa < 140 mg/dl. Komplikasi DM A.
Komplikasi Akut DM Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah seseorang meningkat atau menurun tajam dalam waktu relatif singkat. Pada komplikasi akut DM dapat terjadi (Utami et al. 2003) : (1) Hipoglikemia Hipoglikemia adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah di bawah nilai normal (kurang dari 50 mg/dl). Gejala dini hipoglikemia yaitu keringat dingin pada muka terutama hidung, gemetar, lemas, rasa lapar, mual, tekanan darah turun, gelisah, jantung berdebar, sakit kepala,
22
serta kesemutan di jari tangan dan bibir. Bila dibiarkan tanpa pertolongan maka penderita menjadi tidak sadar (koma) dengan atau tanpa kejang (Dalimartha 2003). (2) Ketoasidosis Diabetik Pada penderita DM, kadar glukosa darah tinggi tetapi tidak dapat masuk ke dalam sel karena kekurangan insulin, maka kebutuhan energi tubuh dipenuhi dengan meningkatkan metabolisme lipid (lipolisis), yang mengakibatkan meningkatnya asetil-KoA, dan selanjutnya meningkatkan pembentukan badan keton. Peningkatan badan keton menyebabkan asidosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tidak sadarkan diri, dan mengalami koma (Ganiswara et al. 1999). B.
Komplikasi Kronis DM Komplikasi kronis terjadi terutama akibat kelainan pembuluh darah seperti makroangiopati
dan
mikroangiopati.
Kelainan
pembuluh
darah
kecil
(mikroangiopati) dapat menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluh darah kapiler yang ada pada ginjal, mata, dan kaki. Akibatnya, timbul berbagai komplikasi seperti pada kapiler glomerulus ginjal yang menyebabkan nefropati diabetik, pada retina mata menyebabkan retinopati dan berakhir dengan kebutaan. Kelainan pada pembuluh darah besar (makroangiopati) dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah jantung yang menyebabkan penyakit jantung koroner. Penyempitan pada pembuluh darah tungkai bawah dapat menyebabkan ulkus dan gangren di kaki, sedangkan
23
kelainan pada pembuluh darah otak menyebabkan penyakit cerebrovaskuler yang mengakibatkan stroke (Dalimartha 2003). Pengobatan DM DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, Perkumpulan Endokrionologi Indonesia (Perkeni) menetapkan empat pilar utama dalam penatalaksanaan DM, yang meliputi perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan, dan pemberian obat hipoglikemik oral atau pemberian insulin (Nurul 1997). Pada penderita DM tipe II, obat hanya perlu diberikan, bila setelah melakukan diet dan latihan jasmani secara maksimal tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah (Ganiswara et al. 1999). Ada dua macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet yang disebut obat hipoglikemik oral atau antidiabetes oral. Antidiabetis oral dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu : (1) Golongan Sulfonilurea Derivat sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel Beta-pulau Langerhans pankreas untuk mengeksresikan insulin. Obat golongan ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I, karena pada penderita DM tipe I, sel beta pulau Langerhans pankreasnya sudah rusak, sehingga tidak dapat memproduksi insulin. Obat golongan ini dapat berguna bila diberikan pada penderita DM tipe II (Ganiswara et al. 1999). Berikut ini adalah obatobat yang termasuk golongan sulfonilurea (Ellenberg dan Harold 1983) :
24
(a) Generasi pertama: Tolbutamide, Chlorpropamide, Tolazamide, Acetohexamide (b) Generasi kedua: Glibenklamide, Glipizide, Glibonuride (2) Golongan Biguanid Derivat biguanid mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat sulfonilurea, obat-obat golongan ini bekerja dengan cara mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat-obat yang termasuk golongan biguanid adalah Metformin, Phenformin dan Buformin (Silva 2004). (3) Golongan Thiazolidinedion Derivat thiazolidinedion bekerja dengan cara yang sama dengan derivat biguanid, yaitu dengan mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat yang termasuk golongan thiazolidinedion adalah Troglitazone (Silva 2004). (4) Golongan inhibitor alfa-glukosidase Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi secara reversibel kompetitif terhadap
enzim
hidrolase
alfa-amilase
pankreatik
dan
enzim-enzim
pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase dan maltase. Enzimenzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa, sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Obat yang termasuk golongan ini adalah Acarbose dan di Indonesia telah dipasarkan dengan nama dagang Glucobay.
25
Acarbose adalah suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi mikroorganisme, Actinoplanes utahensis, dengan nama kimia O-4,6-dideoxy4-[[(1 S,4 R, 5 S, 6 S)-4,5,6-trihydroxy-3-(hydroxymethyl)-2-cyclohexen-1yl]amino]-(alpha)-D-glucopyranosyl-1(1 → 4)- O -(alpha)-D-glucopyranosyl(1 → 4)-D-glucose. Acarbose merupakan serbuk berwarna putih dengan berat molekul 645,6, bersifat larut dalam air dan memiliki pKa 5,1. Rumus empiriknya adalah C25H43NO18 dan struktur kimianya adalah sebagai berikut (Slagle 2002; Bayer 2004) :
Gambar 8. Struktur kimia Acarbose Acarbose, dapat digunakan secara kombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya seperti sulfonilurea, insulin atau metformin, untuk meningkatkan kontrol hiperglikemia. Hal ini disebabkan karena acarbose memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan ketiga golongan antidiabetik oral tersebut (Bayer 2004).
26
Mekanisme Kerja Obat Sebagai Inhibitor Reaksi Enzim Inhibisi reaksi enzim merupakan suatu strategi utama dalam perancangan obat, dan hampir sepertiga dari lima puluh jenis obat terpopuler yang diperdagangkan saat ini merupakan inhibitor enzim. Inhibisi dari suatu reaksi yang dikatalisis enzim dapat menghambat jalur metabolik utama dengan memblok pembentukan dari suatu metabolit esensial maupun metabolit yang tidak diinginkan (King 1994). Enzim memiliki sisi aktif yang dapat mengenali secara spesifik substratnya yang sesuai, sehingga memungkinkan untuk merancang inhibitor enzim yang dapat menghalangi pengikatan substrat pada enzim. Dengan terikatnya inhibitor pada enzim, maka dapat menghambat terbentuknya produk dari suatu metabolit yang tidak diinginkan (King 1994). Pada dasarnya, ada dua tipe inhibisi enzim yang disebabkan oleh obat sebagai inhibitor, yaitu inhibisi reversibel dan inhibisi ireversibel (Ophardt 2003). (1) Inhibisi Reversibel Inhibisi reversibel ditandai oleh adanya reaksi kesetimbangan diantara enzim dan obat sebagai inhibitor. Inhibitor reversibel berikatan dengan enzim melalui ikatan non-kovalen atau gaya kovalen lemah, dan dapat dilepaskan dari enzim dengan cara pengenceran, filtrasi gel, atau dialisis. Ada dua tipe utama inhibisi reversibel, yaitu (King 1994; Ophardt 2003) : (a)
Inhibisi reversibel kompetitif Inhibisi kompetitif terjadi apabila obat yang berperan sebagai inhibitor dengan struktur yang menyerupai substrat normal enzim, berkompetisi
27
dengan substrat normal untuk berikatan pada sisi aktif enzim (Ophardt 2003).
Gambar 9.
(b)
Inhibisi reversibel kompetitif; inhibitor dan substrat berkompetisi pada sisi aktif enzim. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; P = produk.
Inhibisi reversibel nonkompetitif Pada inhibisi reversibel nonkompetitif, obat sebagai inhibitor tidak terikat pada sisi aktif enzim, tetapi terikat pada bagian lain dari enzim. Terikatnya inhibitor obat pada enzim, menyebabkan perubahan bentuk enzim, yang mengakibatkan penurunan aktivitas katalitik enzim. Karena inhibitor terikat pada sisi yang berbeda dari substrat, maka enzim dapat berikatan dengan inhibitor, berikatan dengan substrat atau berikatan dengan inhibitor dan enzim secara bersama-sama (Hames & Hooper 2000; Ophardt 2003).
28
Gambar 10. Inhibisi reversibel non-kompetitif; inhibitor dan substrat terikat secara bersama-sama. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; ESI = kompleks enzim substrat inhibitor; P = produk.
(2) Inhibisi Ireversibel Pada inhibisi ireversibel, inhibitor terikat secara kovalen pada sisi aktif enzim, membentuk kompleks enzim inhibitor yang bersifat tetap (Hames & Hooper 2000). Inhibitor ireversibel tidak dapat dilepaskan dari enzim dengan cara pengenceran maupun dialisis (King 1994). Uji Inhibisi α-Glukosidase Enzim
α-glukosidase
akan
menghidrolisis
substrat
p-nitrofenil-α-D-
glukopiranosa menjadi p-nitrofenol (berwarna kuning) dan glukosa dengan reaksi sebagai berikut :
Gambar 11. Persamaan reaksi enzimatik α-glukosidase dan p-nitrofenil-α-Dglukopiranosa.
29
Aktivitas enzim diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol. Apabila tumbuhan memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim alfa-glukosidase maka pnitrofenol yang dihasilkan akan berkurang (Basuki et al 2002). Penentuan Kadar Glukosa Darah Dengan Glucose Test Strip Prinsip dari penentuan kadar glukosa darah dengan glucose test strip adalah menggunakan metode reaksi enzimatik glukosa darah dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase yang dilapis pada kertas strip. Pada metode ini kertas strip dilapisi dengan membran selulosa tipis yang permeabel hanya untuk molekul-molekul kecil seperti glukosa. Apabila setetes darah dikenakan pada kertas strip, maka dengan adanya oksigen, glukosa darah dioksidasi secara enzimatik oleh glukosa oksidase menghasilkan hidrogen peroksida dan asam glukonat. Selanjutnya, peroksidase mengkatalisis reaksi hidrogen peroksida dengan kromogen kalium iodida menghasilkan iodin yang berwarna coklat.
Intensitas warna yang terbentuk adalah
sebanding dengan jumlah glukosa dalam tetesan darah. Berikut ini adalah persamaan reaksi enzimatik dari glukosa dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase (NCBE 1995) : β-D-Glukosa + O2 + H2O H2O2
Gambar 12.
+ kalium iodida
glukosa
⎯oksidase ⎯⎯ ⎯→
H2O2 + asam glukonat
peroksidase ⎯⎯ ⎯⎯→ iodin + H2O
Persamaan reaksi enzimatik glukosa dengan glukosa oksidase dan peroksidase.
30
Model Hewan Percobaan DM DM spontan menurut Skyler dan George (1981) merupakan kejadian umum yang dijumpai pada berbagai spesies hewan dan telah dikenal sejak beberapa waktu lalu. Leblanc melaporkan kejadian DM pada tikus pada 1851. Kucing, anjing, rubah, ikan lumba-lumba, dan berbagai hewan ternak dapat mengalami DM. Hewan DM dapat dijadikan sebagai model dari penyakit ini pada manusia. Akan tetapi, dikarenakan
hewan
memperlihatkan
keragaman
patofisiologi,
maka,
pada
kenyataannya, tidak ada gejala DM pada hewan yang tepat sama dengan tipe DM pada manusia. Gejala DM yang paling umum dijumpai pada hewan adalah berupa obesitas, hiperinsulinemia dan resistensi insulin. DM selain terjadi secara spontan dapat juga dibuat secara eksperimental dengan infeksi virus, atau melalui pemberian hormon dan senyawa kimia seperti pada berbagai hewan terutama hewan coba laboratorium, seperti tikus dan kelinci. Model hewan DM baik spontan dan eksperimental dapat digunakan secara efektif untuk mempelajari komplikasi, pengobatan dan pencegahan DM. Penggunaan senyawa kimia untuk menginduksi hewan menjadi DM memungkinkan mempelajari secara mendalam proses-proses biokimia, hormonal dan morfologi yang terjadi selama dan setelah induksi senyawa kimia tersebut pada hewan. Dua senyawa kimia yang telah dipelajari secara ekstensif adalah aloksan dan streptozotocin. Kedua senyawa ini merusak sel beta pulau langerhans pankreas, sehingga menyebabkan hiperglikemia permanen.
31
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan, mulai dari bulan April 2004 sampai Januari 2005, bertempat di Laboratorium Bahan Alam Pusat Penelitian Kimia-LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut-pelarut teknis dan p.a. antara lain metanol, etil asetat, n-butanol, dimetilsulfoksida, HCl, kloroform, H2SO4, anhidrida asetat, FeCl3, pereaksi Mayer’s, pereaksi Dragendorff, logam Mg, Na2CO3, α-glukosidase (Saccharomyces sp., Oriental Yeast Co., Ltd.), p-nitrofenil αD-glukopiranosa (Wako Pure Chemical Industries, Ltd.), buffer fosfat (pH 7,0), bovine serum albumin (Wako Pure Chemical Industries, Ltd.), tablet Glucobay, larva udang Artemia salina Leach., air laut, sukrosa, glukosa strip tes, glukosa meter, akuades, kertas saring. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary evaporator merk Buchii, spektrofotometer UV-Vis, pH meter, neraca analitik, mikropipet merk Socorex dan eppendorf, penangas air, oven, alat sentrifuse, lampu UV, kotak bersekat, vial uji, sonde oral, timbangan tikus, jarum suntik dan alat-alat gelas seperti tabung reaksi, erlenmeyer, beaker glass, labu bulat, pengaduk, corong pisah, gelas ukur.
32
Sampel Buah tua dan buah muda mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] yang telah diiris tipis dan dikeringkan dibawah matahari, diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) Tawangmangu, Jawa Tengah. Buah tua dan buah muda kering, selanjutnya dihaluskan dengan menggunakan blender.
Model Hewan Coba Model hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Wistar, sehat dan mempunyai aktivitas normal, berusia 6 bulan dengan bobot badan 250-350 gram.
Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap seperti diperlihatkan pada diagram alir penelitian (Gambar 13) yang terdiri dari tahap pertama fraksinasi dan ekstraksi dari buah tua dan buah muda mahkota dewa, tahap kedua penapisan fitokimia terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa, tahap ketiga uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa, tahap keempat uji toksisitas dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dan tahap kelima uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) terhadap model hewan coba tikus putih jantan galur Wistar.
33
Fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa
Penapisan fitokimia
Uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro
Uji toksisitas dengan metode BSLT
Uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dengan tes toleransi glukosa oral pada hewan coba tikus
Gambar 13. Diagram alir penelitian
Fraksinasi dan Ekstraksi Sebanyak 200 gram serbuk daging buah muda mahkota dewa diekstraksi dengan pelarut metanol sebanyak 1,5 liter, secara maserasi selama empat hari pada suhu ruang dengan pengulangan sebanyak empat kali, kemudian disaring dan diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh ekstrak metanol yang pekat. Ekstrak metanol buah tua diperoleh dengan cara yang sama dengan merendam 200 gram serbuk daging buah tua dalam 1,5 liter metanol.
34
Ekstrak metanol dari buah tua dan buah muda mahkota dewa selanjutnya difraksinasi dengan campuran pelarut etil asetat-air (1:1) menghasilkan fraksi etil asetat dan fraksi air. Fraksi air yang diperoleh difraksinasi kembali dengan n-butanol menghasilkan fraksi air dan fraksi n-butanol. Masing-masing fraksi dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol dan ekstrak fraksi air yang pekat. Bagan fraksinasi dan ekstraksi dari buah tua dan buah muda mahkota dewa dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada penelitian ini, untuk memperoleh ekstrak air, selain dilakukan dengan cara fraksinasi, juga dilakukan dengan cara merebus 20 gram serbuk daging buah tua dan buah muda mahkota dewa dengan aquadest sebanyak 300 ml, kemudian disaring dan diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak air hasil rebusan.
Penapisan Fitokimia Uji Alkaloid Sebanyak lebih kurang 10 ml ekstrak ditambahkan 1,5 ml asam klorida 2%. Selanjutnya, larutan dibagi menjadi tiga sama banyak dalam tabung reaksi. Tabung reaksi I sebagai pembanding. Tabung reaksi II ditetesi dengan 2 sampai 3 tetes pereaksi Dragendorff. Tabung reaksi III ditetesi dengan 2 sampai 3 tetes pereaksi Mayer. Adanya senyawa alkaloid ditunjukkan oleh terjadinya kekeruhan atau endapan jingga kecoklatan untuk pereaksi Dragendorff dan endapan putih kekuningan untuk pereaksi Mayer (Depkes 1987).
35
Uji Flavonoid Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak dilarutkan dalam 1 ml etanol 95%, ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 10 tetes HCl pekat. Terbentuknya warna merah jingga sampai merah ungu, menunjukkan adanya flavonoid (Depkes 1995). Uji Fenol Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak ditetesi dengan 3 tetes larutan besi (III) klorida. Apabila terjadi warna hijau, ungu, biru sampai hitam, menunjukkan adanya senyawa fenolik terutama fenol-fenol bebas (Depkes 1987). Uji Saponin Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak diencerkan dengan air volume sama dan dituangkan dalam tabung reaksi, kemudian dikocok selama 15 menit. Terbentuknya buih yang stabil menunjukkan adanya saponin (Depkes 1987). Uji Tanin Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak diencerkan dengan 2 ml air. Pada larutan ditambahkan 3 tetes larutan besi(III) klorida. Adanya tanin ditunjukkan oleh adanya perubahan warna larutan menjadi biru kehitaman atau hijau kehitaman (Depkes 1987). Uji Steroid-Triterpenoid/Uji Lieberman-Burchard Sebanyak lebih kurang 50 mg ekstrak ditambahkan 5 tetes asam asetat anhidrid dan dikocok. Ke dalam campuran tersebut ditambahkan 2 tetes H2SO4 pekat, kocok dan diamati. Terbentuknya warna hijau biru menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah/ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Juwati et al. 1998).
36
Uji Molish Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak ditambahkan 1 tetes pereaksi Molish segar kemudian dikocok. Selanjutnya, ditambahkan H2SO4 pekat lewat dinding tabung dan tidak dikocok sehingga membentuk dua lapisan. Terbentuknya warna ungu antara kedua lapisan tersebut menunjukkan adanya karbohidrat (Juwati et al. 1998). Uji Biuret Sebanyak lebih kurang 2 ml ekstrak dicampur dengan 2 ml NaOH 10%, kemudian ditambahkan 2 tetes larutan CuSO4 0,5% lalu dikocok. Terbentuknya warna merah muda atau ungu menunjukkan adanya protein (Munandar et al. 2001). Uji Ninhidrin Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak dicampur dengan 1 ml pereaksi Ninhidrin 0,2% dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan selama beberapa menit dalam air mendidih. Terbentuknya warna biru atau ungu menunjukkan adanya asam amino (Munandar et al. 2001).
Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase (Sutedja 2003) Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1,0 mg α-glukosidase dalam 100 ml buffer fosfat (pH 7,0) yang mengandung 200 mg bovin serum albumin. Sebelum digunakan, sebanyak 1 ml larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan buffer fosfat (pH 7,0). Campuran reaksi terdiri dari 250 μl 20 mM p-nitrofenil α-Dglukopiranosa sebagai substrat, 490 μl 100 mM buffer fosfat (pH 7,0) dan 10 μl larutan sampel dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada 37oC selama
37
5 menit, 250 μl larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 μl 200 mM natrium karbonat dan p-nitro fenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya pada 400 nm. Sistem reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dengan volume total 2 ml dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 2 ml.
Sampel DMSO Buffer Substrat Buffer Enzim Na2CO3
Blanko Kontrol So μl μl μl 10 10 10 490 490 490 250 250 250 Inkubasi penangas air 37oC, 5 menit 250 250 250 Inkubasi penangas air 37oC, 15 menit 1000 1000 1000
S1 μl 10 490 250 250 1000
Sampel yang digunakan adalah ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n- butanol dan ekstrak air dengan variasi konsentrasi 1%, 0,5%, 02,5% dan 0,125% dengan pelarut DMSO. Larutan standar dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan sampel, dengan melarutkan tablet Acarbose (Glucobay) dalam aquadest dan HCl 2N kemudian disentrifus, selanjutnya supernatan digunakan untuk membuat larutan standar. Persen inhibisi dapat dihitung dari persamaan : [(C - S) / C] x 100; dengan S = absorbansi sampel (S1-So dengan S1 = absorbansi sampel dengan penambahan enzim dan So = absorbansi sampel tanpa penambahan enzim) dan C = absorbansi kontrol (DMSO), tanpa sampel (kontrol-blanko).
38
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach. Telur udang Artemia salina Leach. ditetaskan di dalam gelas piala ukuran 1 liter yang telah diisi air laut kemudian diletakkan di bawah lampu UV dan diberi aerasi. Setelah 48 jam telur menetas menjadi larva udang (naupili) dan siap untuk diujicobakan. Larutan uji dibuat dengan konsentrasi 2000 ppm, 200 ppm dan 20 ppm. Larutan uji 2000 ppm dibuat dengan cara melarutkan 4 mg ekstrak dalam 2,0 ml air laut. Larutan uji 200 ppm dibuat dengan cara melarutkan 1 ml larutan uji 2000 ppm dalam 9 ml air laut, sedangkan larutan uji 20 ppm dibuat dengan cara melarutkan 1 ml larutan uji 200 ppm dalam 9 ml air laut. Jika tidak larut ditambahkan DMSO kurang lebih 10 μl. Uji bioaktivitas dilakukan dengan cara memasukkan 100 μl air laut yang berisi 10-12 ekor larva udang Artemia salina Leach., yang telah berumur 48 jam ke dalam vial uji. Selanjutnya, ke dalam vial uji ditambahkan 100 μl larutan uji untuk masing-masing konsentrasi sehingga konsentrasi akhir pada tiap-tiap lubang vial uji adalah 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm, kemudian disimpan di bawah lampu UV. Sebagai kontrol dipakai 1 ml air laut yang berisi 10-12 ekor larva udang tanpa penambahan ekstrak. Setelah 24 jam jumlah larva udang yang mati dihitung dan dianalisis menggunakan metode Sam (Colegate et al. 1993) berdasarkan perhitungan jumlah larva yang mati dan yang masih hidup, dan tingkat kematian atau mortalitas (%) diperoleh dengan membandingkan antara jumlah yang mati dibagi dengan jumlah
39
total larva. Nilai LC50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a + bx. Harga y yang dimasukkan adalah 50, untuk menyatakan larva udang yang mengalami kematian sejumlah 50% setelah masa inkubasi 24 jam. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linier berdasarkan data dari tiga titik konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva.
Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa pada Hewan Coba Tikus Pengadaptasian Sebelum melakukan percobaan, tikus diadaptasikan dahulu selama dua minggu untuk menyeragamkan cara hidup dan makanannya. Penentuan Dosis Obat Acarbose (Glucobay) dan Dosis Ekstrak yang Dicekokkan pada Hewan Coba Tikus Penentuan dosis ekstrak yang dicekokkan ke hewan coba tikus didasarkan pada pemakaian tradisional. Dalam penggunaannya sebagai obat tradisional untuk diabetes, sebanyak 5-6 irisan daging buah mahkota dewa kering direbus dengan 5 gelas air sampai hanya tersisa 3 gelas. Air rebusan diminum satu jam sebelum makan pagi, siang dan malam hari masing-masing sebanyak 1 gelas (Winarto et al. 2003). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dosis konversi yang setara dengan bobot ekstrak 2 irisan daging buah mahkota dewa untuk manusia dengan bobot badan 50 kg. Sedangkan dosis obat Acarbose yang digunakan adalah dosis konversi yang setara untuk manusia dengan bobot badan 50 kg. Perhitungan dosis obat Acarbose,
40
dosis ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi n-butanol yang dicekokkan pada hewan coba tikus, dapat dilihat pada Lampiran 8, 9 dan 10. Penentuan Kadar Larutan Sukrosa yang Dicekokkan pada Hewan Coba Tikus Pada percobaan ini digunakan 9 ekor tikus putih sehat yang dibagi menjadi 3 kelompok dengan jumlah 3 ekor untuk tiap-tiap kelompok, yaitu kelompok I, II dan III. Tikus pada masing-masing kelompok dipuasakan selama 18 jam. Setelah dipuasakan diambil darah pada masing-masing kelompok dan diukur kadar glukosa darah puasanya. Selanjutnya, pada kelompok I dicekok larutan sukrosa 40%b/v, kelompok II dicekok larutan sukrosa 60%b/v dan kelompok III dicekok larutan sukrosa 80%b/v masing-masing sebanyak 1 ml. Selanjutnya, kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok diukur setelah ½, 1, 2, dan 3 jam. Uji Aktivitas Antihiperglikemik Pada percobaan ini digunakan 15 ekor tikus putih sehat yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dengan jumlah 5 ekor untuk tiap-tiap kelompok, yaitu kelompok A, B, dan C sebagai berikut : (1)
Kelompok perlakuan A (kontrol positif) Pada kelompok perlakuan A, tikus dicekok obat Acarbose (Glucobay) dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus.
(2)
Kelompok perlakuan B Pada kelompok perlakuan B, tikus dicekok ekstrak air dari rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1 x dosis konversi (6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus) dan 2 x dosis konversi (1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus).
41
(3)
Kelompok perlakuan C Pada kelompok perlakuan C, tikus dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 1 x dosis konversi (1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus) dan 2 x dosis konversi (3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus).
Tikus pada masing-masing kelompok dipuasakan selama 18 jam. Setelah dipuasakan diambil darah pada masing-masing kelompok dan diukur kadar glukosa darah puasanya. Selanjutnya, pada kelompok kontrol positif dicekok acarbose, kelompok perlakuan B dicekok ekstrak air rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1 x dosis konversi, kelompok perlakuan C dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa 1 x dosis konversi. Lima menit kemudian pada masing-masing kelompok dicekok larutan sukrosa 80% b/v sebanyak 1 ml. Kadar glukosa darah pada masing-masing kelompok diukur setelah ½, 1, 2 dan 3 jam setelah perlakuan. Percobaan untuk dosis 2 x dosis konversi pada kelompok perlakuan B dan C dilakukan dengan cara yang sama. Pada percobaan ini, sebagai kontrol negatif adalah setiap ekor tikus pada masing-masing kelompok, sebelum perlakuan. Tikus dipuasakan selama 18 jam, diukur kadar glukosa darahnya dan dicekok larutan sukrosa 80% b/v sebanyak 1 ml. Selanjutnya, kadar glukosa darah diukur setelah ½, 1, 2, dan 3 jam setelah perlakuan. Pengukuran Kadar Glukosa Darah dengan Glucose Test Strip Pengambilan contoh darah tikus dilakukan dengan menusuk ekor tikus yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70%(v/v), dengan jarum suntik (lancet), selanjutnya tetesan darah yang keluar dikenakan pada glucose test strip.
42
Kadar glukosa darah dapat dibaca pada alat glukosa meter secara digital (Anonim 2004). Analisis Data Data yang diperoleh dari masing-masing kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jika terdapat perbedaan nyata atau signifikan antara perlakuan yang diberikan, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf α = 0,05 (Matjik & Sumertajaya 2000).
43
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fraksinasi dan Ekstraksi Pada penelitian ini sebagai pelarut awal untuk ekstraksi digunakan metanol, karena hampir semua senyawa pada jaringan tumbuhan dapat terekstraksi oleh metanol (Harborne 1987). Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi dalam pelarut metanol dari buah tua dan buah muda mahkota dewa yang telah dikeringkan dan dijadikan serbuk. Maserasi dilakukan sebanyak 4 kali dengan asumsi maserasi sudah tidak efektif mengekstraksi komponen tumbuhan dalam jumlah yang berarti. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dipekatkan untuk mengetahui persen rendemen. Pemekatan dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40oC untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan komponen yang terkandung dalam ekstrak. Ekstrak yang diperoleh disebut ekstrak kasar metanol yang berbentuk pasta. Pada Tabel 2 dapat dilihat persen rendemen (kadar) hasil ekstraksi dari buah muda dan buah tua mahkota dewa masing-masing sebanyak 200 gram yang diekstraksi dengan pelarut metanol.
Tabel 2. Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa dengan pelarut metanol Sampel
Bobot awal (g)
Bobot ekstrak (g)
Kadar (%)
Buah tua
200
84,93
42,46
Buah muda
200
98,53
49,27
44
Sebanyak 3,04 g ekstrak metanol buah muda dan 3,01 g ekstrak metanol buah tua difraksinasi dengan campuran pelarut etil asetat dan air dengan perbandingan etil asetat : air (1:1). Hal ini dilakukan dengan maksud untuk memisahkan senyawasenyawa polar dan senyawa semi polar. Selanjutnya, fraksi air difraksinasi kembali dengan pelarut n-butanol dengan perbandingan air : n-butanol (1:1). Fraksinasi dengan n-butanol dilakukan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar dan senyawa non polar. Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat persen rendemen dari hasil fraksinasi bertingkat dari ekstrak metanol buah tua dan buah muda dengan pelarut etil asetat, air dan n-butanol.
Tabel 3. Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah muda mahkota dewa Fraksi
Bobot ekstrak (g)
Kadar (%)
etil asetat
0,22
7,24
n-butanol
1,52
50,00
air
1,13
37,17
Tabel 4. Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa Fraksi
Bobot ekstrak (g)
Kadar (%)
etil asetat
0,44
14,62
n-butanol
1,42
47,18
air
1,02
33,89
45
Dari hasil fraksinasi diperoleh persen rendemen ekstrak fraksi n-butanol (buah muda = 50,00% dan buah tua = 47,18%) lebih tinggi daripada ekstrak fraksi air (buah muda = 37,17% dan buah tua = 33,89%) dan ekstrak fraksi etil asetat (buah muda = 7,24% dan buah tua = 14,62%). Hasil ini menunjukkan kemampuan mengekstraksi terhadap senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman, paling tinggi dimiliki pelarut n-butanol, diikuti pelarut air dan etil asetat. Pada Tabel 5 dapat dilihat persen rendemen hasil ekstraksi dari buah muda dan buah tua mahkota dewa masing-masing sebanyak 20 gram yang diekstraksi dengan pelarut air dengan cara rebusan. Tujuan dari pembuatan ekstrak air dengan cara rebusan ini adalah untuk digunakan sebagai sampel pada uji inhibisi alfaglukosidase baik in vitro maupun in vivo sehingga dapat dibuktikan adanya aktivitas antihiperglikemik pada penggunaan buah mahkota dewa secara tradisional yaitu dengan cara rebusan.
Tabel 5. Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa yang diperoleh dengan cara rebusan Sampel
Bobot awal (g)
Bobot ekstrak (g)
Kadar (%)
Buah tua
20
3,23
16,15
Buah muda
20
5,11
25,55
Penapisan Fitokimia Pada penapisan fitokimia terhadap ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua dan buah muda mahkota dewa teridentifikasi adanya senyawa golongan fenol, tanin,
46
dan flavonoid. Hal ini ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman setelah ditambahkan FeCl3 pada uji fenol dan uji tanin dan terbentuknya warna merah jingga setelah penambahan magnesium dan HCl pekat pada uji flavonoid. Uji saponin memberikan hasil negatif, karena buih yang terbentuk setelah larutan ekstrak dikocok selama 15 menit tidak dapat bertahan selama 15 menit. Uji alkaloid juga memberikan hasil negatif, yang ditandai oleh tidak terbentuknya endapan jingga kecoklatan setelah ditambahkan pereaksi Dragendorff. Uji steroid-triterpenoid memberikan hasil positif hanya pada ekstrak fraksi etil asetat dari buah muda dan buah tua mahkota dewa, yang ditandai dengan terbentuknya warna hijau yang selanjutnya berubah menjadi biru setelah penambahan pereaksi Liebermann-Burchard. Dari hasil uji Molish menunjukkan adanya karbohidrat pada semua ekstrak uji, yang ditandai oleh terbentuknya warna ungu diantara dua lapisan setelah penambahan larutan Molish dan H2SO4 pekat. Uji Biuret memberikan hasil negatif pada semua ekstrak uji, yang ditandai oleh tidak terbentuknya warna ungu tetapi warna kuning kehijauan. Ini menunjukkan bahwa pada semua ekstrak uji tidak terdapat kandungan protein. Uji Ninhidrin memberikan hasil positif hanya pada ekstrak metanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa, yang ditandai oleh terbentuknya warna biru setelah penambahan pereaksi Ninhidrin. Hal ini menunjukkan adanya kandungan asam amino pada ekstrak metanol dan ekstrak air dari buah muda mahkota dewa. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa dapat dilihat pada Lampiran 3.
47
Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase Uji inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dilakukan untuk mengetahui aktivitas antihiperglikemik dari setiap ekstrak. Pada uji ini enzim alfa-glukosidase akan menghidrolisis substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa menjadi p-nitrofenol yang berwarna kuning dan glukosa dengan reaksi sebagai berikut :
Aktivitas enzim diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol yang berwarna kuning (Basuki et al. 2002). Dengan adanya ekstrak buah mahkota dewa yang berperan sebagai inhibitor alfa-glukosidase maka p-nitrofenol yang dihasilkan akan berkurang yang ditandai oleh berkurangnya intensitas warna kuning. Data absorbansi dan persen inhibisi dari hasil uji inhibisi alfa-glukosidase dapat dilihat pada Lampiran 4. Persentase aktivitas penghambatan (% inhibisi) dihitung dari persamaan : [(C-S) / C] x 100; dengan S = absorbansi sampel (S1-So, dengan S1 = absorbansi sampel dengan penambahan enzim dan So = absorbansi sampel tanpa penambahan enzim) dan C = absorbansi kontrol (DMSO), tanpa sampel (kontrol-blanko) (Sutedja 2003). Pada Gambar 14 diperlihatkan persen inhibisi terhadap enzim alfaglukosidase dari berbagai ekstrak buah tua mahkota dewa pada konsentrasi 6,25 ppm, 12,5 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm.
48
80
69.9
70 % inhibisi
60
52.93
Metanol
47.27
50
33.01
26.87
30
20.97
20 10
Etil asetat
42.27 37.09
40
10.1
8.25
11.34
Air rebusan
22.9
Air fraksinasi
11.64
0 0
0
21.44
n-Butanol
0
0.41
0
0 6.25
12.5
25
50
Konsentrasi (ppm)
Gambar 14. Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua mahkota dewa.
Pada konsentrasi 50 ppm, ekstrak fraksi n-butanol memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi (69,90%) diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak metanol dan ekstrak air hasil rebusan dengan nilai persen inhibisi yang tidak jauh berbeda yaitu 42,27% dan 37,09% dan 33,01%. Ekstrak fraksi air memiliki aktivitas inhibisi sangat rendah (0,41%). Pada konsentrasi 25 ppm dan 12,5 ppm aktivitas inhibisi dari ekstrak fraksi nbutanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak metanol, dan ekstrak air hasil rebusan masih memperlihatkan pola yang sama dengan aktivitas inhibisi pada konsentrasi 50 ppm, yaitu ekstrak fraksi n-butanol memiliki aktivitas inhibisi tertinggi (52,93% pada 25 ppm dan 47,27% pada 12,5 ppm) diikuti ketiga ekstrak lainnya dengan nilai persen inhibisi yang tidak jauh berbeda, yaitu ekstrak fraksi etil asetat (21,44% pada 25 ppm dan 11,34% pada 12,5 ppm), ekstrak metanol (20,97% pada 25 ppm dan 10,10% pada
49
12,5 ppm) dan ekstrak air hasil rebusan (22,90% pada 25 ppm dan 11,64% pada 12,5 ppm). Ekstrak fraksi air sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi (0%). Pada konsentrasi 6,25 ppm ekstrak fraksi n-butanol tetap memiliki aktivitas inhibisi tertinggi (26,87%) diikuti ekstrak fraksi etil asetat (8,25%), sedangkan ekstrak metanol dan ekstrak air hasil rebusan sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi (0%). Pada Gambar 15 diperlihatkan persen inhibisi terhadap enzim alfaglukosidase dari ekstrak buah muda mahkota dewa pada konsentrasi 6,25 ppm, 12,5 ppm, 25 ppm dan 50 ppm. Pada konsentrasi 50 ppm, ekstrak fraksi n-butanol dan ekstrak fraksi etil asetat memiliki aktivitas inhibisi tertinggi dengan nilai persen inhibisi yang hampir sama yaitu 71,11% dan 70,93% diikuti ekstrak metanol (40,44%) dan ekstrak air hasil rebusan (26,53%). Ekstrak fraksi air memiliki aktivitas inhibisi sangat rendah (0,61%). Pada konsentrasi 25 ppm, ekstrak fraksi n-butanol memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi (63,64%) diikuti ekstrak fraksi etil asetat (45,15%), ekstrak metanol (20,72%) dan ekstrak air hasil rebusan (11,45%). Ekstrak fraksi air sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi (0%). Pada konsentrasi 12,5 ppm dan 6,25 ppm aktivitas inhibisi dari ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi etil asetat dan ekstrak metanol masih memperlihatkan pola yang sama dengan aktivitas inhibisi pada konsentrasi 25 ppm, yaitu ekstrak fraksi nbutanol memiliki aktivitas inhibisi tertinggi (54,75% pada 12,5 ppm dan 34,14% pada 6,25 ppm) diikuti ekstrak fraksi etil asetat (30,72% pada 12,5 ppm dan 14,02% pada
50
6,25 ppm) dan ekstrak metanol (11,47% pada 12,5 ppm dan 3,82% pada 6,25 ppm). Ekstrak air hasil rebusan sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi (0%).
80
70.93 71.11
70
63.64 54.75
% inhibisi
60
Metanol 45.15
50
Etil asetat
40.44 34.14
40
n-Butanol
30.72 26.53
30 20 10
20.72
14.02 3.82
Air rebusan Air fraksinasi
11.47
11.45
0 0
00
0.61
0
0 6.25
12.5
25
50
Konsentrasi (ppm)
Gambar 15. Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa.
Mekanisme kerja inhibisi dari ekstrak buah mahkota dewa yang berperan sebagai inhibitor diduga adalah secara reversibel kompetitif terhadap enzim alfaglukosidase. Pada inhibisi reversibel kompetitif inhibitor dengan struktur yang menyerupai substrat normal enzim, berkompetisi dengan substrat normal untuk berikatan pada sisi aktif enzim membentuk kompleks enzim inhibitor dan tidak membentuk kompleks enzim substrat, sehingga tidak dihasilkan produk yang diharapkan (Ophardt 2003). Dari hasil percobaan memperlihatkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol baik buah tua maupun buah muda memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi diikuti ekstrak
51
fraksi etil asetat, ekstrak metanol, ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi air. Hal ini menunjukkan bahwa, senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai inhibitor alfa-glukosidase, memiliki kelarutan tertinggi pada pelarut non polar (n-butanol) diikuti pelarut semipolar (etil asetat), pelarut polar (metanol) dan pelarut polaritas tinggi (air). Ekstrak air hasil rebusan baik buah muda maupun buah tua mahkota dewa memiliki aktivitas inhibisi lebih tinggi daripada ekstrak air hasil fraksinasi pada semua konsentrasi yang diujikan. Hal ini disebabkan karena pada ekstrak air hasil rebusan memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder yang lebih banyak dibandingkan dengan ekstrak air hasil fraksinasi. Pada ekstrak air hasil fraksinasi sebagian besar kandungan senyawa metabolit sekunder telah terekstrak oleh pelarutpelarut pengekstrak lainnya yang digunakan pada fraksinasi. Pada percobaan ini aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari larutan standart Acarboce (tablet Glucobay) tidak dapat diukur, karena Acarbose yang dipakai tidak dalam bentuk sediaan murni, tetapi dalam bentuk tablet. Dari hasil pengukuran absorbansi larutan standart Acarbose memberikan nilai negatif, sehingga tidak dapat ditentukan persen inhibisinya. Adanya aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua dan buah muda mahkota dewa kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa golongan fenol yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sutedja (2003), yang melaporkan adanya senyawa golongan fenol pada beberapa jenis tanaman obat
52
tradisional Indonesia yang secara empiris digunakan sebagai obat antidiabetes dan telah diteliti memiliki aktivitas sebagai inhibitor alfa-glukosidase. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai golongan senyawa kimia mana yang terkandung dalam ekstrak tersebut yang berperan sebagai inhibitor alfa-glukosidase.
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach Penelitian dilanjutkan dengan menguji toksisitas pada berbagai ekstrak buah mahkota dewa menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dengan larva udang Artemia salina Leach. Metode BSLT dipilih dengan beberapa alasan. Alasan pertama, metode ini merupakan metode penapisan farmakologi awal yang mudah dan relatif tidak mahal. Kedua, metode ini merupakan metode yang telah teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan 95% untuk mengamati toksisitas suatu senyawa di dalam ekstrak kasar tanaman. Selanjutnya yang ketiga, metode BSLT sering digunakan dalam tahap awal isolasi senyawa toksik yang terkandung dalam suatu ekstrak kasar dan yang keempat metode ini sering dikaitkan sebagai metode penapisan untuk penyarian senyawa antikanker dari tanaman. Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya. Zat atau senyawa asing yang ada di lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh dengan cara difusi dan langsung mempengaruhi kehidupan larva udang tersebut. Larva udang yang sensitif ini akan mati apabila zat atau senyawa asing tersebut bersifat toksik (Colegate et al. 1993; Meyer et al. 1982). BSLT pada penelitian ini menggunakan larva udang Artemia salina Leach. sebanyak 10-12 ekor pada setiap vial uji yang ditambahkan ekstrak kasar tanaman
53
dari masing-masing pelarut. Percobaan dilakukan secara triplo dengan konsentrasi ekstrak 1000, 100 dan 10 ppm. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dari berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa dapat dilihat pada Lampiran 5. Senyawa aktif yang memiliki daya toksisitas tinggi diketahui berdasarkan nilai Lethal Concentration 50% (LC50) yaitu, suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian organisme sampai 50%. Menurut Meyer et al. (1982), senyawa kimia dikatakan berpotensi bioaktif bila mempunyai nilai LC50<1000 ppm dan bersifat non toksik bila nilai LC50>1000 ppm. Pada Tabel 6 dapat dilihat nilai LC50 dari hasil uji toksisitas dengan metode BSLT pada berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa. Nilai LC50 dari ekstrak metanol buah tua adalah 212 ppm, nilai ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi 212 ppm ekstrak sampel mampu membunuh larva udang lebih dari 50% populasi. Dari hasil fraksinasi terhadap ekstrak metanol buah tua, fraksi etil asetat adalah fraksi yang paling toksik dengan nilai LC50 290 ppm, sedangkan fraksi n-butanol dan fraksi air masing-masing nilai LC50-nya adalah, 1208 ppm dan 1149 ppm. Nilai LC50 dari ekstrak metanol buah muda adalah 139 ppm, sedangkan dari hasil fraksinasi terhadap ekstrak metanol buah muda, fraksi etil asetat adalah fraksi yang paling toksik dengan nilai LC50 235 ppm diikuti fraksi n-butanol dengan nilai LC50 480 ppm. Fraksi air memiliki nilai LC50 lebih dari 1000 ppm, yaitu 2362 ppm. Ekstrak air yang diperoleh dari hasil rebusan memiliki nilai LC50 (LC50 buah muda = 310 ppm; LC50 buah tua = 411 ppm) lebih kecil daripada ekstrak air yang
54
diperolah dari hasil fraksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air hasil rebusan lebih bersifat toksik daripada ekstrak air hasil fraksinasi dan diperkirakan kandungan senyawa metabolit sekunder pada ekstrak air hasil rebusan lebih banyak daripada yang terdapat pada ekstrak air hasil fraksinasi. Pada ekstrak air hasil fraksinasi, kemungkinan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada buah mahkota dewa telah terekstrak oleh pelarut pengekstrak lainnya. Perbandingan toksisitas berdasarkan metode BSLT dari masing-masing ekstrak buah mahkota dewa dapat dilihat pada Gambar 6.1 dan Gambar 6.2 (Lampiran 6).
Tabel 6. Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa Ekstrak Buah tua Metanol Fraksi Etil asetat Fraksi n-butanol Air hasil fraksinasi Air hasil rebusan Buah muda Metanol Fraksi Etil asetat Fraksi n-butanol Air hasil fraksinasi Air hasil rebusan
LC50 (ppm) 212 290 1208 1149 411 139 235 480 2362 310
Berdasarkan nilai LC50 pada Tabel 6, maka ekstrak buah tua yang berpotensi bioaktif dengan nilai LC50 < 1000 ppm adalah ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat dan ekstrak air hasil rebusan, sedangkan dari ekstrak buah muda yang berpotensi bioaktif adalah ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-
55
butanol dan ekstrak air hasil rebusan. Ekstral fraksi n-butanol dari buah tua, meskipun memiliki nilai LC50 > 1000 ppm, tetapi berpotensi bioaktif (memiliki aktivitas biologi). Hal ini ditandai oleh adanya aktivitas inhibisi yang cukup tinggi pada uji aktivitas antihiperglikemik terhadap enzim alfa glukosidase in vitro.
Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa Pada Hewan Coba Tikus Dalam penelitian ini sebagai model hewan coba digunakan tikus putih jantan. Tikus betina tidak digunakan karena terdapat siklus hormonal bulanan yang dapat memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah yang akan diukur. Model hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibuat DM, sehingga metabolisme karbohidrat seluruh hewan coba dianggap normal tanpa adanya defisiensi insulin. Ekstrak yang digunakan pada percobaan ini adalah ekstrak air yang berasal dari hasil rebusan buah tua dan ekstrak fraksi n-butanol dari buah tua mahkota dewa. Pemakaian buah tua didasarkan pada pemakaian tradisional dan berdasarkan hasil uji BSLT, yang menunjukkan bahwa ekstrak buah tua memiliki toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak buah muda pada hampir semua ekstrak uji. Penggunaan ekstrak fraksi n-butanol didasarkan pada hasil uji inhibisi terhadap enzim alfaglukosidase in vitro yang memiliki aktivitas inhibisi lebih tinggi dibandingkan ekstrak uji lainnya dan berdasarkan hasil uji BSLT yang menunjukkan toksisitas lebih rendah dibandingkan ekstrak uji lainnya yang digunakan pada percobaan ini. Sedangkan penggunaan ekstrak air hasil rebusan adalah berdasarkan pemakaian
56
tradisional. Dalam penggunaannya sebagai obat tradisional untuk diabetes, sebanyak 5-6 irisan daging buah mahkota dewa kering yang diperdagangkan di pasar direbus dengan 5 gelas air sampai hanya tersisa 3 gelas. Air rebusan diminum satu jam sebelum makan pagi, siang dan malam hari masing-masing sebanyak 1 gelas (Winarto et al. 2003). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), yaitu mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa. Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Setelah pemberian sukrosa, kurva Toleransi Glukosa Oral (TGO) akan meningkat tajam dan mencapai puncaknya dalam waktu 60 menit. Kemudian kurva menurun perlahan dan mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2 sampai 3 jam (Ravel 1969). Sebelum diberi perlakuan, tikus uji dipuasakan lebih dahulu selama 18 jam, dengan tujuan untuk mendapatkan kadar glukosa darah puasa. Setelah pemberian larutan sukrosa dan bahan uji peroral, sampel darah diambil setiap ½, 1, 2 dan 3 jam. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan metode glukosa oksidase peroksidase menggunakan glucose test strip dan glukosa meter. Pada awal percobaan dilakukan penentuan kadar larutan sukrosa yang akan dicekokkan pada tikus. Pada percobaan ini digunakan 9 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I dicekok larutan sukrosa 40% b/v, kelompok II 60% b/v dan kelompok III 80% b/v. Pada Gambar 16 dapat dilihat Kurva Toleransi Glukosa Oral (TGO) dari ketiga kelompok tikus yang dicekok larutan sukrosa dengan kadar yang berbeda.
Kadar glukosa darah (mg/dl)
57
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kelompok I Kelompok II Kelompok III
0
0.5
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 16.
Kurva TGO pada penentuan kadar larutan sukrosa yang akan dicekok ke tikus. Kelompok I dicekok larutan sukrosa 40% b/v; kelompok II = 60% b/v dan kelompok III = 80% b/v.
Kurva TGO pada ketiga kelompok menunjukkan puncaknya pada waktu 1 jam dan kemudian menurun dalam waktu 3 jam hingga kembali normal. Kurva TGO kelompok III lebih tinggi dibandingkan dengan kurva TGO kelompok II diikuti kurva TGO kelompok I. Hal ini menunjukkan bahwa larutan sukrosa 80% b/v memiliki kemampuan meningkatkan kadar glukosa darah tertinggi, diikuti larutan sukrosa 60% b/v dan larutan sukrosa 40% b/v. Oleh karena itu, pada percobaan pengujian aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak buah tua mahkota dewa digunakan larutan sukrosa 80% b/v. Dalam percobaan pengujian aktivitas antihiperglikemik digunakan 15 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing 5 ekor, yaitu kelompok A (kelompok kontrol positif yang dicekok sukrosa dan obat Acarbose), B (kelompok perlakuan yang dicekok sukrosa dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota
58
dewa), dan C (kelompok perlakuan yang dicekok sukrosa dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa). Pada percobaan ini, sebagai kontrol negatif adalah setiap ekor tikus pada masing-masing kelompok yang dicekok sukrosa, sebelum perlakuan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata dengan peluang nyata 0,0001 (<<α = 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat Acarbose dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua serta ekstrak fraksi nbutanol buah tua mahkota dewa mempengaruhi berkurangnya peningkatan kadar glukosa darah setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v pada hewan coba tikus. Perbedaan waktu yang dilakukan pada pengukuran kadar glukosa darah juga berpengaruh sangat nyata dengan peluang nyata 0,0001 (<<α = 0,01). Pada Gambar 17 diperlihatkan kurva TGO dari kelompok A2 (kelompok kontrol positif) dibandingkan dengan kurva TGO dari kelompok A1 (kelompok
Kadar glukosa darah (mg/dl)
kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif).
140 120 100 80 60 40 20 0
Kelompok A1 Kelompok A2
0
0.5
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 17.
Kurva TGO kelompok A1 (kelompok kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif) dibandingkan dengan kelompok A2 (kelompok kontrol positif).
59
Kurva TGO kelompok A1 lebih tinggi dibandingkan kurva TGO kelompok A2 dan dari hasil uji statistika menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf α = 0,05 antara kelompok perlakuan A1 dan A2 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pemberian obat Acarbose, kadar glukosa darah tikus meningkat lebih tinggi setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dibandingkan dengan adanya pemberian obat Acarbose. Peningkatan kadar glukosa darah setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v disebabkan karena meningkatnya absorbsi glukosa sebagai akibat dari hidrolisis sukrosa oleh enzim sukrase menjadi glukosa dan fruktosa pada usus halus. Dengan adanya obat Acarbose yang berperan sebagai inhibitor terhadap enzim sukrase, maka kerja dari enzim ini akan dihambat secara reversibel kompetitif, sehingga tidak semua sukrosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa dan terjadi penurunan absorbsi glukosa. Pada Gambar 18 diperlihatkan kurva TGO dari kelompok B2 dan kelompok B3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kurva TGO kelompok kontrol positif dan kurva TGO kelompok B1 (kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif).
Kadar glukosa darah (mg/dl)
60
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kelompok B1 Kelompok B2 Kelompok B3 Kelompok A2
0
0.5
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 18.
Kurva TGO kelompok B2 dan B3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok B1 (kelompok perlakuan B sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif).
Kurva TGO kelompok B1 lebih tinggi dibandingkan kurva TGO kelompok lainnya dan dari hasil uji statistika menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf α = 0,05 antara kelompok perlakuan B1 dengan kelompok B2, B3 dan A2 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian ekstrak air dari hasil rebusan buah tua, dapat menurunkan peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v. Kurva TGO kelompok B2, B3 dan A2 memiliki ketinggian yang hampir sama dan dari hasil uji statistika menunjukkan bahwa antara kelompok B2, B3 dan A2 tidak berbeda nyata pada taraf α = 0,05 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air hasil rebusan buah
61
tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. Pada Gambar 19 diperlihatkan kurva TGO dari kelompok C2 dan C3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol dengan dosis masingmasing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kurva TGO dari kelompok C1 (kelompok perlakuan C yang diperlakukan
Kadar glukosa darah (mg/dl)
sebagai kontrol negatif) dan kurva TGO kelompok A2.
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kelompok C1 Kelompok C2 Kelompok C3 Kelompok A2
0
0.5
1
2
3
Waktu (jam)
Gambar 19.
Kurva TGO kelompok C2 dan C3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis masing-masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok C1 (kelompok perlakuan C sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif).
Kurva TGO kelompok C1 lebih tinggi dibandingkan kurva TGO kelompok lainnya dan dari hasil uji statistika menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf α
62
= 0,05 antara kelompok perlakuan C1 dengan kelompok C3 dan A2 dan tidak berbeda nyata dengan kelompok C2 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ jam setelah perlakuan, sedangkan pada pengukuran kadar glukosa darah 1 jam setelah perlakuan, kelompok C1 berbeda nyata dengan kelompok C2, C3 dan A2. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian obat Acarbose maupun ekstrak fraksi n-butanol dapat menurunkan peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah diberikan larutan sukrosa 80% b/v. Kurva TGO kelompok perlakuan C2, C3 dan A2 memiliki ketinggian yang hampir sama dan dari hasil uji statistika menunjukkan bahwa antara kelompok perlakuan C2, C3 dan A2 tidak berbeda nyata pada taraf α = 0,05 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. Berkurangnya peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v sebagai akibat dari pemberian ekstrak air hasil rebusan buah tua maupun ekstrak fraksi n-butanol disebabkan oleh adanya inhibisi secara reversibel kompetitif terhadap enzim sukrase oleh kedua ekstrak tersebut, sehingga tidak semua sukrosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Akibatnya, terjadi penurunan absorbsi glukosa dari usus halus dan peningkatan kadar glukosa darah menjadi berkurang.
63
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Penapisan fitokimia pada ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua dan buah muda mahkota dewa menunjukkan adanya senyawa kimia golongan flavonoid, fenol, tanin dan karbohidrat. Senyawa golongan steroid hanya dijumpai pada ekstrak fraksi etil asetat buah tua dan buah muda mahkota dewa. 2. Berdasarkan nilai LC50 dari hasil uji BSLT ekstrak buah muda mahkota dewa lebih toksik daripada ekstrak buah tua, dengan toksisitas paling tinggi adalah ekstrak metanol diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi n-butanol sedangkan ekstrak fraksi air buah tua dan buah muda bersifat non toksik dengan nilai LC50 > 1000 ppm. 3. Pada pengujian aktivitas antihiperglikemik in vitro terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa, ekstrak non polar (n-butanol) memiliki aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase paling tinggi diikuti ekstrak semipolar (etil asetat), ekstrak polar (metanol) dan ekstrak polaritas tinggi (air) hasil rebusan sedangkan ekstrak air hasil fraksinasi hampir tidak memiliki aktivitas inhibisi. 4. Pada pengujian aktivitas antihiperglikemik in vivo terhadap model hewan coba tikus, pemberian ekstrak air hasil rebusan buah tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat
64 menurunkan peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan obat Acarbose sebagai kontrol positif dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. Saran 1. Perlu diisolasi senyawa kimia murni dan dilakukan karakterisasi dengan spektroskopi (UV, IR, NMR, GC-MS) untuk menentukan struktur molekul terhadap senyawa yang terkandung dalam ekstrak buah mahkota dewa yang memiliki aktivitas inhibisi alfa-glukosidase. Dengan didapatkan struktur molekulnya, maka senyawa tersebut dapat diketahui apakah sama dengan obat yang ditemukan sebelumnya atau merupakan obat baru sehingga dapat disintesis dan dijadikan sebagai obat antidiabetes jenis baru. 2. Perlu dilakukan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo pada hewan coba yang dibuat DM. 3. Perlu dilakukan uji keamanan dari penggunaan ekstrak buah mahkota dewa melalui uji toksisitas akut, subkronik dan kronik pada hewan coba untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap organ. 4. Dalam penggunaannya sebagai obat tradisional untuk pasien DM sebaiknya digunakan buah tua dengan dosis konversi pada manusia dengan bobot badan 70 kg adalah 43,4 mg untuk ekstrak air hasil rebusan buah tua dan 126,7 mg untuk ekstrak fraksi n-butanol.
65
DAFTAR PUSTAKA
Adam JMF. (1987). Diabetes Gestasi. Cermin Dunia Kedokteran 42: 41-43. Anonim. (2004). Blood Glucose Assay, Chemical Urine Tests, and Venous Blood Sampling. http://www.cuhk.edu.hk/cscl/materials/pclm12/pclm12.html. [17 Agustus 2004] Basuki T, Indah DD, Nina A, LBS Kardono. 2002. Evaluasi Aktivitas Daya Hambat Enzim α-Glukosidase dari Ekstrak Kulit Batang, Daun, Bunga dan Buah Kemuning [Murraya Paniculata (L.) Jack.]. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI; Surabaya, 27-28 Maret 2002. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. hlm 314-318. Bayer. 2004. Precose (Acarbose Tablets). http://www.drugs.com/PDR/Precose Tablets.html. [14 Juni 2004]. Bettelheim FA, Jerry M. 1995. Introduction to Organic and Biochemistry. Ed ke-2. Philadelpia: Saunders College Publishing. Collegate, Steven M, Russel J.M. 1993. Bioactive Natural Products, Detection, Isolation, and Structural Determination. Boca Raton: CRC Press. Dalimartha S. 2003. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus Adalah "Silent Killer". http://www.waspada.co.id/serba_serbi/kesehatan/artikel.php?article_id=42768. [21 Juni 2004]. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1987. Analisis Obat Tradisional. Jilid I. Jakarta: Depkes. [Depkes] Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Dirjen POM Depkes RI. Ellenberg M, Harold R, editor. 1983. Diabetes mellitus: Theory and Practice. Ed ke3. New York: Medical Examination Publishing Co., Inc. Ganiswara SG et al, editor. 1999. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
66
Harborne JB. 1997. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. K. Padmawinata K & I. Soediro, penerjemah; S. Nikosolihin, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Ed ke-2. Hutapea JR et al, editor. 1999. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid V. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Juwati K. 1998. Penuntun Praktikum Biokimia Untuk Keperawatan. Depok: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Indonesia. Kardono LBS. 2003. Kajian Kandungan Kimia Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]. Dalam: Seminar Sehari Mahkota Dewa; Jakarta, 6 Agustus 2003. Jakarta: Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. King FD, editor. 1994. Medicinal Chemistry: Principles and Practice. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Lisdawati V. 2002. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Bioasai Antikanker in vitro dengan Sel Leukemia L1210, dan Isolasi serta Penentuan Struktur Molekul Senyawa Kimia dari Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Loeb W, F. Quimby, W. Fred. 1989. The Clinical of Laboratory Animals. New York: Pergamon Press. Mathews CK, KE van Holde, Kevin GA. 2000. Biochemistry. Ed ke-3. San Francisco: Addison-Wesley publishing Company. Matjik AA, M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Ed ke-1. Bogor: IPB Press. Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E. Putnam, L.B. Jacobsen, D.E. Nichols & J.L. McLaughlin. 1982. Brine Shrimp: A Convenient General Bioassays for Active Plant Constituent. Planta Med. 45: 31-34. Muchtar Z. 1993. Resistensi Insulin: Mekanisme Seluler dan Implikasi Klinis. Medika 19(6):47-57. Munandar I. et al. 2001. Penuntun Praktikum Kimia Dasar. Depok: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Indonesia.
67
[NCBE] National Centre for Biotechnology Education. 1995. Glucose Detector. http://www.ncbe.reading.ac.UK/NCBE/PROTOCOLS/PRACBIOTECH/PDF/glu cdet.pdf. [17 September 2004]. Nurul. 1997. Sulfonilurea, Bila Diit dan Olahraga Gagal. Medika 23(8):668. Ophardt CE. 2003. Mechanism of Drug Action by Enzyme Inhibition. http://www.elmhurst.edu/~chm/chembook/651enzymeinhibit.html. [18 Juni 2004]. Ravel R. 1969. Clinical Laboratory Methods. Ed ke-6. St. Louis: The CV Mosby Company. Schreiber WE. 1984. Medical Aspects of Biochemistry. Boston: Little, Brown and Company. Silva ML da. 2004. Diabetes Means Siphon! Insulin Comes from the Islands. http://www.apol.net/dightonrock/diabetes_history.htm. [10 Mei 2004]. Skyler JS, George FC, editor. 1981. Diabetes Mellitus. New York: Yorke Medical Books. Slagle M. 2002. Alpha-Glucosidase Inhibitors. Southern Medical Journal. http://static.highbeam.com/s/southernmedicaljournal/january012002/alphaglucosi daseinhibitorsmedicationupdatebriefart/index.html. [18 Juni 2004]. Strayer L. 2000. Biokimia. Sadikin et al, penerjemah; Zahir SS, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Biochemistry. Volume ke-2. Ed ke-4. Sutedja L. 2003. Bioprospecting Tumbuhan Obat Indonesia Sebagai Sediaan Fitofarmaka Antidiabetes. Laporan Kemajuan Tahap II Riset Unggulan Terpadu, Pusat Penelitian Kimia-LIPI. Tjokroprawiro A, Hendromartono, Ari S. 1988. Aspek Klinik Diabetes Mellitus di Bidang Kedokteran Gigi. Majalah Ilmu Penyakit Dalam 14(1):15-36. Utami P, Tim Lentera. 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Diabetes Mellitus. Jakarta: Agromedia Pustaka. Winarto WP, Tim Karyasari. 2003. Mahkota Dewa: Budi Daya dan Pemanfaatan untuk Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.
68
Lampiran 1.
Gambar buah mahkota dewa
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Buah muda mahkota dewa.
Buah tua mahkota dewa
69
Lampiran 1.
Lanjutan
Gambar 1.3
Irisan buah tua mahkota dewa yang sudah dikeringkan di bawah matahari.
70
Lampiran 2. Bagan fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa
Daging buah muda dan buah tua Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl. yang telah dikeringkan dan dihaluskan, dimaserasi dengan metanol Saring dengan kertas saring kasar
Ampas
Filtrat Rotavapor 40oC Ekstrak metanol
Fraksinasi dengan etil asetat : air (1:1) dalam corong pemisah
Fraksi etil asetat
Fraksi air Rotavapor 40oC
Rotavapor 40oC Ekstrak fraksi etil asetat
Ekstrak fraksi air Fraksinasi dengan n-butanol : air (1:1) dalam corong pemisah
Fraksi n-butanol Rotavapor 40oC Ekstrak fraksi n-butanol
Fraksi air Rotavapor 40oC Ekstrak fraksi air
71
Lampiran 3.
Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Tabel 3.1. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah muda mahkota dewa Uji fitokimia
Ekstrak metanol
Ekstrak etil asetat
Ekstrak n-butanol
Ekstrak air hasil fraksinasi −
Ekstrak air hasil rebusan −
Uji alkaloid
−
−
−
Uji flavonoid
+
+
+
+
+
Uji fenol
+
+
+
+
+
Uji saponin
−
−
−
−
−
Uji tanin
+
+
+
+
+
Uji steroid-
−
+
−
−
−
Uji molish
+
+
+
+
+
Uji biuret
−
−
−
−
−
Uji ninhidrin
+
−
−
+
+
triterpenoid
72
Lampiran 3. Lanjutan
Tabel 3.2. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua mahkota dewa Uji fitokimia
Ekstrak metanol
Ekstrak etil asetat
Ekstrak n-butanol
Ekstrak air hasil fraksinasi −
Ekstrak air hasil rebusan −
Uji alkaloid
−
−
−
Uji flavonoid
+
+
+
+
+
Uji fenol
+
+
+
+
+
Uji saponin
−
−
−
−
−
Uji tanin
+
+
+
+
+
Uji steroid-
−
+
−
−
−
Uji molish
+
+
+
+
+
Uji biuret
−
−
−
−
−
Uji ninhidrin
−
−
−
−
−
triterpenoid
73
Lampiran 4.
Tabel 4.1.
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase in vitro dari berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak metanol buah tua
Kadar
Konsentrasi
Absorbansi
%
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,125
6,25
0,518
0,580
0,554
0,550
-
0,25
12,5
0,411
0,514
0,463
0,463
10,10
0,5
25
0,369
0,426
0,427
0,407
20,97
1
50
0,297
0,338
0,337
0,324
37,09
0,465
0,566
0,515
0,515
Kontrol
Absorbansi
Contoh perhitungan % inhibisi dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa : % inhibisi = [(C – S)/C] x 100 % inhibisi pada konsentrasi 12,5 ppm = [(0,515 – 0,463) /0,515] x 100 = 10,10% % inhibisi pada konsentrasi 25 ppm = [(0,515 – 0,407) /0,515] x 100 = 20,97%
Tabel 4.2.
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak metanol buah muda
Kadar
Konsentrasi
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
0,125
6,25
0,443
0,25
12,5
0,5 1 Kontrol
Absorbansi
Absorbansi
%
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,544
0,448
0,478
3,82
0,406
0,506
0,408
0,440
11,47
25
0,338
0,468
0,377
0,394
20,72
50
0,252
0,364
0,273
0,296
40,44
0,465
0,566
0,461
0,497
74
Lampiran 4. Lanjutan
Tabel 4.3.
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak fraksi etil asetat buah tua
Kadar
Konsentrasi
Absorbansi
%
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,125
6,25
0,447
0,459
0,429
0,445
8,25
0,25
12,5
0,433
0,440
0,418
0,430
11,34
0,5
25
0,384
0,399
0,359
0,381
21,44
1
50
0,279
0,277
0,284
0,280
42,27
0,488
0,502
0,465
0,485
Kontrol
Tabel 4.4.
Absorbansi
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak fraksi etil asetat buah muda
Kadar
Konsentrasi
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
0,125
6,25
0,419
0,25
12,5
0,5 1 Kontrol
Absorbansi
Absorbansi
%
Ulangan 3
Rerata
inhibisi
0,439
0,392
0,417
14,02
0,330
0,357
0,321
0,336
30,72
25
0,253
0,290
0,256
0,266
45,15
50
0,145
0,132
0,146
0,141
70,93
0,488
0,502
0,465
0,485
75
Lampiran 4. Lanjutan
Tabel 4.5.
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak fraksi n-butanol buah tua
Kadar
Konsentrasi
Absorbansi
%
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,125
6,25
0,335
0,360
0,390
0,362
26,87
0,25
12,5
0,256
0,260
0,268
0,261
47,27
0,5
25
0,212
0,235
0,253
0,233
52,93
1
50
0,134
0,148
0,164
0,149
69,90
0,468
0,495
0,521
0,495
Kontrol
Tabel 4.6.
Absorbansi
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak fraksi n-butanol buah muda
Kadar
Konsentrasi
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
0,125
6,25
0,289
0,25
12,5
0,5 1 Kontrol
Absorbansi
Absorbansi
%
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,326
0,363
0,326
34,14
0,199
0,234
0,238
0,224
54,75
25
0,173
0,167
0,201
0,180
63,64
50
0,119
0,135
0,174
0,143
71,11
0,468
0,495
0,521
0,495
76
Lampiran 4. Lanjutan
Tabel 4.7.
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak fraksi air buah tua
Kadar
Konsentrasi
Absorbansi
%
(%)
(ppm)
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,125
6,25
0,577
0,499
0,502
0,526
-
0,25
12,5
0,564
0,493
0,491
0,516
-
0,5
25
0,549
0,486
0,478
0,504
-
1
50
0,539
0,472
0,459
0,490
0,41
0,540
0,474
0,461
0,492
Kontrol
Tabel 4.8.
Absorbansi Ulangan 1 Ulangan 2
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak fraksi air buah muda
Kadar
Konsentrasi
(%)
(ppm)
0,125
6,25
0,571
0,25
12,5
0,5 1 Kontrol
Absorbansi
Absorbansi
%
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,495
0,490
0,519
-
0,558
0,487
0,483
0,509
-
25
0,543
0,480
0,473
0,499
-
50
0,538
0,472
0,458
0,489
0,61
0,540
0,474
0,461
0,492
Ulangan 1 Ulangan 2
77
Lampiran 4. Lanjutan
Tabel 4.9.
Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak air hasil rebusan buah tua
Kadar
Konsentrasi
Absorbansi
%
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
rerata
inhibisi
0,125
6,25
0,520
0,550
0,548
0,539
-
0,25
12,5
0,453
0,460
0,477
0,463
11,64
0,5
25
0,384
0,400
0,429
0,404
22,90
1
50
0,339
0,341
0,373
0,351
33,01
0,504
0,528
0,540
0,524
Kontrol
Absorbansi
Tabel 4.10. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari ekstrak air hasil rebusan buah muda Kadar
Konsentrasi
(%)
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
0,125
6,25
0,521
0,558
0,25
12,5
0,512
0,5
25
1
50 Kontrol
Absorbansi
Absorbansi
%
rerata
inhibisi
0,564
0,548
-
0,544
0,556
0,537
-
0,445
0,472
0,474
0,464
11,45
0,376
0,388
0,392
0,385
26,53
0,504
0,528
0,540
0,524
Ulangan 3
78
Lampiran 5.
Tabel 5.1.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
32 18 7
0 13 25
57 25 7
0 13 38
57/57 25/38 7/45
Keterangan Tabel : AM = AH = AM/T = % Mortalitas =
Mortalitas (%) 100 65,79 15,55
LC50 (ppm) 212
Akumulasi jumlah mati Akumulasi jumlah hidup Akumulasi jumlah mati/Total (AM + AH) (AM/T) x 100%
Contoh perhitungan nilai LC50 dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa dengan menggunakan metode Sam (Colegate et al. 1993) : Konsentrasi (ppm) (x) 1000 100 10
% Mortalitas (y) 100 65,79 15,55
Persamaan garis regresi :
Jadi nilai LC50 = 212 ppm
y = a + bx y = 35,978 + 0,066x (a = 35,978; b = 0,066; r = 0,85) Jika y = 50, maka x = 212
79
Lampiran 5. Lanjutan
Tabel 5.2.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Tabel 5.3.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Tabel 5.4.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Tabel 5.5.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak metanol buah muda mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
32 19 10
0 13 21
61 29 10
0 13 34
61/61 29/42 10/44
Mortalitas (%) 100 69,05 22,73
LC50 (ppm) 139
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak fraksi etil asetat buah tua mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
28 18 4
2 12 26
50 22 4
2 14 40
50/52 22/36 4/44
Mortalitas (%) 96,15 61,11 9,09
LC50 (ppm) 290
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak fraksi etil asetat buah muda mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
31 20 4
0 11 28
55 24 4
0 11 39
55/55 24/35 4/43
Mortalitas (%) 100,00 68,57 9,30
LC50 (ppm) 235
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
7 6 4
23 25 28
17 10 4
23 48 76
17/40 10/58 4/80
Mortalitas (%) 42,50 17,24 5,00
LC50 (ppm) 1208
80
Lampiran 5. Lanjutan
Tabel 5.6.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Tabel 5.7.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Tabel 5.8.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Tabel 5.9.
Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak fraksi n-butanol buah muda mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
25 10 6
8 22 26
41 16 6
8 30 56
41/49 16/46 6/62
Mortalitas (%) 83,67 34,78 9,68
LC50 (ppm) 480
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak fraksi air buah tua mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
5 3 3
25 27 28
11 6 3
25 52 80
11/25 6/25 3/80
Mortalitas (%) 44,00 11,54 3,75
LC50 (ppm) 1149
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak fraksi air buah muda mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
4 2 0
28 28 30
6 2 0
28 56 86
6/28 5/56 0/86
Mortalitas (%) 21,43 3,57 0,00
LC50 (ppm) 2362
Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak air hasil rebusan buah tua mahkota dewa Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
25 11 7
6 19 25
43 18 7
6 25 50
43/49 18/43 7/57
Mortalitas (%) 87,75 41,86 12,28
LC50 (ppm) 411
81
Lampiran 5. Lanjutan
Tabel 5.10. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak air hasil rebusan buah muda mahkota dewa Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
27 15 9
5 16 24
51 24 9
5 21 45
51/56 24/45 9/54
Mortalitas (%) 91,07 53,33 16,67
LC50 (ppm) 310
Tabel 5.11. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari blanko air laut Konsentrasi (ppm) 1000 100 10
Mati
Hidup
AM
AH
AM/T
0 1 0
31 30 31
1 1 0
31 61 92
1/31 1/61 0/92
Mortalitas (%) 3,23 1,64 0,00
LC50 (ppm) 18583
82
Lampiran 6.
Histogram persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji toksisitas dengan metode BSLT dari berbagai ekstrak buah mahkota dewa
120 100 % Mortalitas
Metanol 80
Etil asetat Air rebusan
60
n-Butanol 40
Air fraksinasi Blanko
20 0 10
100
1000
Konsentrasi (ppm)
Gambar 6.1.
Persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua mahkota dewa.
120 100 % Mortalitas
Metanol 80
Etil asetat Air rebusan
60
n-Butanol 40
Air fraksinasi Blanko
20 0 10
100
1000
Konsentrasi (ppm)
Gambar 6.2.
Persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa.
83
Lampiran 7.
Diagram alir percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada model hewan coba tikus
dicekok sukrosa 80% b/v
dicekok sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose (Glucobay)
dicekok sukrosa 80% b/v dan ekstrak air buah tua 1 x dan 2 x dosis konversi
dicekok sukrosa 80% b/v dan ekstrak butanol buah tua 1 x dan 2 x dosis konversi
Kontrol Negatif (Kelompok A, B, C)
Kelompok Perlakuan A (Kontrol Positif)
Kelompok Perlakuan B
Kelompok Perlakuan C
Analisis kadar glukosa darah
84
Lampiran 8.
Perhitungan dosis obat Acarbose (Glucobay tablet) yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Bobot 1 tablet obat Glucobay = 0,1360 g (mengandung 50 mg Acarbose) Bobot obat Glucobay yang dicekok : Bobot tikus
x
Bobot tablet Glucobay
Bobot manusia (50 kg) Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan (BB) 300 g Bobot obat Glucobay yang dicekok : 0,300 kg
x 0,1360 g = 8,16 x 10-4 g = 0,816 mg
50 kg Maka bobot obat Glucobay yang dicekok per g bobot badan tikus : 0,816 mg obat
=
2,72 x 10-3 mg obat/ g BB tikus
300 g BB tikus Dalam 1 tablet Glucobay mengandung 50 mg Acarbose, maka dosis Acarbose yang dicekok pada hewan coba tikus dengan BB 300 g : 0,300 kg
x
50 mg = 0,30 mg
50 kg Maka bobot Acarbose yang dicekok per g bobot badan tikus : 0,30 mg obat 300 g BB tikus
=
1,00 x 10-3 mg obat/ g BB tikus
85
Lampiran 9.
Perhitungan dosis ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Bobot rata-rata 2 irisan buah tua mahkota dewa : (0,2184 + 0,1856 + 0,1703 + 0,1653 + 0,2458 + 0,1860 + 0,1726) g/ 7 = 0,1920 g Rendemen ekstrak air dari rebusan buah tua mahkota dewa = 16,15%, jadi bobot ekstrak dari 2 irisan buah tua = 0,1920 g x 16,15% = 0,0310 g Bobot ekstrak yang dicekok : Bobot tikus
x Bobot ekstrak 2 irisan buah tua
Bobot manusia (50 kg) Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan 300 g Bobot ekstrak yang dicekok : 0,300 kg
x 0,0310 g = 1,86 x 10-4 g = 0,186 mg
50 kg Maka bobot ekstrak yang dicekok per g bobot badan (BB) tikus : 0,186 mg ekstrak
= 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus
300 g BB tikus Bobot ekstrak air dari rebusan buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk 1 x dosis konversi = 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus. Bobot ekstrak air dari rebusan buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk 2 x dosis konversi = 1,24 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
86
Lampiran 10. Perhitungan dosis ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Rendemen ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa : Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua
x 100%
Bobot ekstrak metanol yang digunakan 1,4176 g
x 100% = 47,06%
3,0124 g Maka bobot ekstrak fraksi n-butanol untuk 2 irisan buah tua : Bobot rata-rata 2 irisan buah tua x 47,06% = 0,1920 g x 47,06% = 0,0904 g Bobot ekstrak yang dicekok : Bobot tikus
x Bobot ekstrak 2 irisan buah tua
Bobot manusia (50 kg) Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan 300 g Bobot ekstrak yang dicekok : 0,300 kg
x 0,0904 g = 5,424 x 10-4 g = 0,5424 mg
50 kg Maka bobot ekstrak yang dicekok per g bobot badan (BB) tikus : 0,5424 mg ekstrak
= 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
300 g BB tikus Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk 1 x dosis konversi
= 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk 2 x dosis konversi
= 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
86
Lampiran 10. Perhitungan dosis ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Rendemen ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa : Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua
x 100%
Bobot ekstrak metanol yang digunakan 1,4176 g
x 100% = 47,06%
3,0124 g Maka bobot ekstrak fraksi n-butanol untuk 2 irisan buah tua : Bobot rata-rata 2 irisan buah tua x 47,06% = 0,1920 g x 47,06% = 0,0904 g Bobot ekstrak yang dicekok : Bobot tikus
x Bobot ekstrak 2 irisan buah tua
Bobot manusia (50 kg) Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan 300 g Bobot ekstrak yang dicekok : 0,300 kg
x 0,0904 g = 5,424 x 10-4 g = 0,5424 mg
50 kg Maka bobot ekstrak yang dicekok per g bobot badan (BB) tikus : 0,5424 mg ekstrak
= 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
300 g BB tikus Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk 1 x dosis konversi
= 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk 2 x dosis konversi
= 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
87
Lampiran 11. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada penentuan kadar larutan sukrosa yang dicekokkan ke hewan coba tikus
Tabel 11.1.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok yang dicekok larutan sukrosa 40% b/v (kelompok I)
Kelompok I1 I2 I3 Rerata
T0 75 80 82 79
T0,5 89 95 98 94
Waktu T1 100 113 108 107
T2 91 98 91 93,33
T3 78 86 77 80,33
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 40% b/v.
Tabel 11.2.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok yang dicekok larutan sukrosa 60% b/v (kelompok II)
Kelompok II1 II2 II3 Rerata
T0 76 83 90 83
T0,5 91 102 106 99,67
Waktu T1 110 111 117 112,67
T2 91 96 105 97,33
T3 82 88 98 89,33
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 60% b/v.
Tabel 11.3.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v (kelompok III)
Kelompok III1 III2 III3 Rerata
T0 94 90 92 92
T0,5 121 115 125 120,33
Waktu T1 133 142 142 139
T2 112 124 113 116,33
T3 101 114 111 108,67
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v.
88
Lampiran 12. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif yang dicekok obat Acarbose (kelompok A)
Tabel 12.1
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80%b/v)
Kelompok A1 A2 A3 A4 A5 Rerata
T0 92 81 80 97 86 87,2
T0,5 121 124 115 122 121 120,6
Waktu T1 130 132 125 130 130 129,4
T2 118 114 100 110 116 111,6
T3 103 98 94 101 99 99
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v.
Tabel 12.2
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif yang dicekok obat Acarbose (tablet Glucobay) dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus
Kelompok A1 A2 A3 A4 A5 Rerata
T0 93 85 88 90 89 89
T0,5 110 113 93 108 107 106,2
Waktu T1 118 115 114 119 114 116
T2 113 113 110 112 112 112
T3 105 93 93 95 99 97
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus.
89
Lampiran 13. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa (kelompok B)
Tabel 13.1.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan (kelompok B) yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80%b/v)
Kelompok B1 B2 B3 B4 B5 Rerata
T0 81 90 92 88 94 89
T0,5 122 115 125 126 121 121,8
Waktu T1 132 142 142 135 133 136,8
T2 120 124 113 119 112 117,6
T3 112 114 111 101 101 107,8
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v.
Tabel 13.2.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan (kelompok B) yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok B1 B2 B3 B4 B5 Rerata
T0 85 98 92 80 100 91
T0,5 107 118 115 104 113 111,4
Waktu T1 116 129 119 111 128 120,6
T2 110 111 109 99 117 109,2
T3 100 92 97 89 109 97,4
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus.
90
Lampiran 13. Lanjutan
Tabel 13.3.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan (kelompok B) yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,24 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok B1 B2 B3 B4 B5 Rerata
T0 89 83 100 84 98 90,8
T0,5 112 86 103 100 117 103,6
Waktu T1 119 95 120 108 118 112
T2 114 89 116 98 111 105,6
T3 113 86 111 94 107 102,2
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,24 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
91
Lampiran 14. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa (kelompok C)
Tabel 14.1.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan (kelompok C) yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80%b/v)
Kelompok C1 C2 C3 C4 C5 Rerata
T0 100 97 94 86 82 91,8
T0,5 120 122 127 117 120 121,2
Waktu T1 142 133 142 132 134 136,6
T2 118 118 115 110 115 115,2
T3 114 103 111 95 93 103,2
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v.
Tabel 14.2.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan (kelompok C) yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok C1 C2 C3 C4 C5 Rerata
T0 118 97 96 86 89 97,2
T0,5 119 117 112 111 105 112,8
Waktu T1 122 120 122 120 118 120,4
T2 112 114 115 104 103 109,6
T3 99 105 107 95 98 100,8
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
92
Lampiran 14. Lanjutan
Tabel 14.3.
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan (kelompok C) yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok C1 C2 C3 C4 C5 Rerata
T0 98 97 98 84 86 92,6
T0,5 106 118 110 113 108 111
Waktu T1 120 122 123 116 115 119,2
T2 103 115 103 108 110 107,8
T3 98 99 100 90 93 96
Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
93
Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Faktorial 2x2 RAL kadar glukosa darah kelompok hewan coba pada uji aktivitas antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
General Linear Models Procedure Class Level Information Class Treat Time
Levels 8 5
Values A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 1 2 3 4 5
Number of observations 200 Dependent Variable: kadar kadar glukosa darah (mg/dl)
Source
DF
Sum of Squares Mean Square F Value
Model
47
32604.95500 693.72245
Error
152
6162.04000
Corrected Total
199
38766.99500
17.11
Pr > F < 0.0001
40.53974
R-Square
Coeff Var
Root MSE
Kadar Mean
0.841049
5.895174
6.367082
108.0050
Source
DF
Treat Time Ulngn(treat) Treat*Time
7 4 8 28
Type I SS
Mean Square F Value
3279.87500 468.55357 25455.52000 6363.88000 1013.16000 126.64500 2856.40000 102.01429
11.56 156.98 3.12 2.52
Pr > F <0.0001 <0.0001 0.0027 0.0002
Keterangan : Sum of square = Jumlah kuadrat; Mean Square = Kuadrat tengah; F value = F hitung; Pr>F = peluang nyata; R-square = R2; C.V = koefisien keragaman (%); Root MSE = simpangan baku galat; kadar mean = rataan umum kadar glukosa darah.
94
Lampiran 16. Uji lanjut Duncan pada percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo pada hewan coba tikus
Tabel 16.1.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok A1 dengan kelompok A2
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
A1
89
120,6*
129,4*
111,6
99
A2
87,2
106,2
116
112
97
Keterangan : A1 = kelompok kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
Tabel 16.2.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok B1 dengan kelompok A2
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
B1
89
121,8*
136,8*
117,6
107,8
A2
87,2
106,2
116
112
97
Keterangan : B1 = kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
95
Lampiran 16. Lanjutan
Tabel 16.3.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok B1 dengan kelompok B2
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
B1
89
121,8*
136,8*
117,6
107,8
B2
91
111,4
120,6
109,2
97,4
Keterangan : B1 = kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); B2 = kelompok perlakuan B yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air rebusan buah tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
Tabel 16.4.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok B1 dengan kelompok B3
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
B1
89
121,8*
136,8*
117,6
107,8
B3
90,8
103,6
112
105,4
102,2
Keterangan : B1 = kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); B3 = kelompok perlakuan B yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air rebusan buah tua dengan dosis 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
96
Lampiran 16. Lanjutan
Tabel 16.5.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok C1 dengan kelompok A2
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
C1
91,80
121,20*
136,60*
115,20
103,20
A2
87,2
106,2
116
112
97
Keterangan : C1 = kelompok perlakuan C yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
Tabel 16.6.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok C1 dengan kelompok C2
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
C1
91,80
121,20
136,60*
115,20
103,20
C2
97,20
112,80
120,40
109,60
100,80
Keterangan : C1 = kelompok perlakuan C yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); C2 = kelompok perlakuan C yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
97
Lampiran 16. Lanjutan
Tabel 16.7.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok C1 dengan kelompok C3
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
C1
91,80
121,20*
136,60*
115,20
103,20
C3
92,60
111,00
119,20
107,80
96,00
Keterangan : C1 = kelompok perlakuan C yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); C3 = kelompok perlakuan C yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
Tabel 16.8.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok A2 dengan kelompok B2 dan B3
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
A2
87,2
106,2
116
112
97
B2
91
111,4
120,6
109,2
97,4
B3
90,8
103,6
112
105,4
102,2
Keterangan : A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus; B2 dan B3 = kelompok perlakuan B yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
98
Lampiran 16. Lanjutan
Tabel 16.9.
Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok A2 dengan kelompok B2 dan B3
Kelompok
Rerata kadar glukosa darah (mg/dl) T0
T0,5
T1
T2
T3
A2
87,2
106,2
116
112
97
C2
97,20
112,80
120,40
109,60
100,80
C3
92,60
111,00
119,20
107,80
96,00
Keterangan : A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus; C2 dan C3 = kelompok perlakuan C yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis masing-masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.