AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012)
SKRIPSI
OLEH : HANURA GANI RAHMADI E1A010181
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
i
AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012)
SKRIPSI
OLEH : HANURA GANI RAHMADI E1A010181
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarajana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012)
oleh : HANURA GANI RAHMADI E1A010181
Maksud Skripsi untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman DISETUJUI DAN DITERIMA PADA TANGGAL FEBRUARI 2015
Penguji I/ Pembimbing I
Prof. Hj. Tri Lisiani Prihatinah, SH.MA.Ph.D NIP. 19631231 199002 2 001
Penguji III Penguji II/
Nur Wakhid, S.H., M.H. NIP. 19621225 198903 1 003
iii
H. Suyadi, S.H., M. Hum. NIP. 19611010 198703 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
: HANURA GANI RAHMADI
NIM
: E1A010181
Judul
: AKIBAT
WANPRESTASI
PADA
PERJANJIAN
PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
Januari 2015
HANURA GANI RAHMADI NIM. E1A010181
iv
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt.Sus/2012, tentang akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran Sertifikat fidusia. Hal ini perlu dilakukan karena lembaga fidusia sebagai solusi peminjaman dana untuk memenuhi kesulitan keuangan. Harus melalui pendaftaran. Prakteknya pendaftaran sering terlambat dilakukan bahkan tidak didaftarkan. Permasalahan dalam penelitian ini dikarenakan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia terlambat didaftar. Perkara tersebut diselesaikan hingga putusan Mahkamah Agung. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu menganalisis akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan yang terlambat didaftarkan serta menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara. Metode penelitian dalam menganalisis perkara ini dilakukan secara yuridis normatif. Diperoleh hasil bahwa perkara ini penyelesaiannya melalui pelelangan benda fidusia sebagai pelunasan hutang sudah sesuai aturan hukum. Selain itu pertimbangan Mahkamah Agung tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan fakta hukum. Fakta hukum yaitu terlambat didaftar namun pelelangan tetap sah karena sertifikat fidusia telah terbit setelah adanya pelelangan. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pelaksanaan pelelangan benda fidusia telah sah dan sesuai aturan yang berlaku.
Kata kunci : perjanjian pembiayaan, objek fidusia, mahkamah agung
v
ABSTRACT
This study analyzes the Supreme Court of 335 K / Pdt.Sus / 2012 , concerning the case of default on the financing agreement in the event of late registration certificate fiduciary . This is necessary because the fiduciary institution as a solution of borrowing funds to meet financial difficulties, must go through registration . Practice it is often too late registration is not even registered . Problems in this study due to the financing agreement with fiduciary late registration. The case is resolved by the Supreme Court ruling . The problems of this study is to analyze the case of default on the financing agreement that late registration and analyze the legal reasoning of judges in deciding the case . Research methods in analyzing this case normative juridical analyzes. The results obtained indicate that this case settlement through auction fiduciary objects as debt repayment is appropriate rule of law . In addition, the Supreme Court judgment can not be justified because it is not in accordance with the legal facts . Legal fact that late auctions listed yet remain valid as fiduciary certificates have been published after the auction . The conclusion from this study that the implementation of the fiduciary has a legitimate auction items and according to the rules .
Key World: Pact Funding, Fiducia thing, Court Of Law
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Pada halaman ini Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih terutama dan yang paling utama kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat hidayahnya sehingga skripsi saya menjadi lancar. Kepada bapak dan ibu yang selalu mendukung penulis untuk terus bersemangat mengerjakan tugas akhir ini. Saudara-saudaraku, mbah, pak lik, pak de, kaka ipar, adik ipar dan semua krabat teman saudara yang turut serta mendukung serta mendoakan demi kelancaran sekripsi ini.
vii
MOTTO
SAK BEJO BEJANING SING LALI ISIH BEJO SING ELING LAN WASPODO. BERTAHAN HIDUP HARUS BISA BERSIKAP LEMBUT, WALAU HATI PANAS BAHKAN TERBAKAR SEKALIPUN. HIDUP ADALAH SUATU PERJUANGAN, DEKATKANLAH DIRIMU DENGAN ALLOH SWT MAKA KAMU AKAN DIPERMUDAH. BERBUAT BAIKLAH DIMANAPUN DAN KAPAN PUN SELAGI BISA, SEBELUM MATI. JANGAN MEREMEHKAN SESUATU YANG SEDERHANA, KARENA TERKADANG ITULAH YANG MEMBUATMU BAHAGIA. TIDAK PERLU MENJADI ORANG LAIN UNTUK DAPAT BERSAMANYA. CEPAT MEMANG BAIK, TAPI LEBIH BAIK KALAU TEPAT.
viii
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang diberi judul : AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN
KONSUMEN
DALAM
HAL
TERJADI
KETERLAMBATAN
PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat ketegaran penulis serta bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya; 2. Prof. Hj. Tri Lisiani Prihatinah, SH.MA.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala bantuan, arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 3. Nur Wakhid, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, arahan, bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 4. H. Suyadi, S.H., M. Hum. selaku Dosen Penguji Skripsi 5.
Agus Mardianto S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Perdata
6. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala arahan dan masukan yang telah diberikan selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
ix
7. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 8. Drs. Supriyadi sebagai Ayah Kandung tercinta dari penulis; 9. Sumirah, S.pd Ibu Kandung tercinta dari penulis; 10. Odi, Berizki, Hendri, Mas bani, ian dan lainnya sebagai saudara penulis; 11. Teman-teman Republik Paramex Kelas C FH Unsoed 2010 ( terutama Rizal, Agus, Hendi, Dextra, Mas dudu, Rio, Galih, Eyang listyanto, Lanang, redyka, Singgih, Hery, Irkham, Giljeng, Ramajancok, alfio, sesepuh trio, mr. boby dan lainnya yang tak bisa saya sebutkan) yang selalu menemani disaat senang dan susah dalam menjalani masa perkuliahan; 12. Tim Pendaki Gunung Paramex ( Amri, Almas, Ciripa, Firman,Cak Sidik, Sintia, Piat) Perjalanan kita singkat, tetapi menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. 13. Perguruan Pencak Silat Betako Merpati Putih ( terutama Mas Nardjo selaku Dewan Guru. Para Senior, Mas Indra, mas Rudy selaku aspel, Mas tomo teman perjuangan MP, serta adikadik seperguruanku yang meneruskan tongkat estafet pengurus MP Unsoed). 14. Keluarga besar Fakultas Hukum Unsoed serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Purwokerto,
Januari 2015
Penulis
Hanura Gani Rahmadi
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. ………………...……………………………………..….………….…….i HALAMAN PENGESAHAN………….….………………….…….………………….…... ii LEMBAR PERNYATAAN…….………….…...………………….………………….…... iii ABSTRAK…….…………...…………...............………………..….…………………….. iv ABSTRACT……….…………....………...…...…………………………………….……...v HALAMAN PERSEMBAHAN………………………..…..………...…………………… vi MOTTO……..……………………………………………………..…………………..…. vii KATA PENGANTAR…………………………………….………………………………viii DAFTAR ISI………………………………………………..………………………….…... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………..…1 B. Rumusan Masalah………………………………………………..………......7 C. Tujuan Penelitian…………………………………..……………….…..…....7 D. Kegunaan Penelitian……………………………………...………..………...8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian…………………….………………………….……9 2. Perjanjian Baku…………….………………………………………........13 3. Pengaturan Hukum Perjanjian….……………………………….......…...17 4. Syarat Sah Perjanjian…………...…………………………...……….…..20 5. Perjanjian Pokok dan Accessoir…………………………………………27 B. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi…………………………..……………………..28 2. Terjadinya Wanprestasi…….…………………...………………………28 3. Bentuk Wanprestasi dan Pelaksanaan Prestasi….....……………………31 C. Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen 1. Pengertian Pembiayaan Konsumen…….……………...………………...34 2. Sumber Hukum Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen....36 3. Tujuan Perusahaan Pembiayaan…..……………………………..............37 xi
D. Fidusia 1. Pengertian Fidusia………………………………………………..…….39 2. Sifat Jaminan Fidusia…………………………………………………..40 3. Syarat-syarat Fidusia…………………………………………………...41 4. Keabsahan dan Lahirnya Fidusia………………………………………43 5. Pendaftaran Fidusia………………………………………....………….44 6. Hapusnya Jaminan Fidusia……………………………………….…….49 7. Eksekusi Benda Fidusia………………………………………………..49 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan……………………………………………..……....51 B. Spesifikasi Penelitian…………………………………..……………….52 C. Jenis Data…………………………………………………..…….…......52 D. Metode Pengumpulan Data…………………………………….……….53 E. Metode Penyajian Data………...…………………………….…………53 F. Metode Analisis Data…………………………………………....……...53 Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian…………………………………………………………..54 B. Pembahasan……………………………………………………………....63 Bab V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………........77 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..….…….……..79 LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa globalisasi saat ini mendukung perkembangan segala bidang pembangunan baik pada negara-negara maju maupun negara berkembang, hal yang utama dari pembangunan tersebut adalah pembangunan ekonomi. Peranan pembangunan ekonomi sangat mendukung kesejahteraan bagi Warga Negara Indonesia ini. Perkembangan pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Semakin majunya pembangunan nasional sebagai dampak dari perkembangan pembangunan ekonomi semakin meningkat pula kemajuan akan barang-barang kebutuhan, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Meningkatnya kebutuhan tersebut, menyebabkan kegiatan transaksi jual beli dalam rangka pemenuhan kebutuhan semakin meningkat. Seiring dengan perkembangan kegiatan pembangunan dan transaksi jual beli yang semakin maju, manusia sebagai konsumen semakin membutuhkan uang atau dana untuk memenuhi segala kebutuhannya. Dana yang dibutuhkan tersebut, sebagian besar diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam1. Tidak sedikit pula yang meminjam pada rentenir atau lintah darat meskipun dengan bunga yang sama tinggi, karena sulitnya memenuhi persyaratan peminjaman uang ke pada bank. Selain harus memenuhi berbagai persyaratan untuk meminjam kepada bank, masyarakat sebagai debitur juga harus memenuhi syarat 1
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Seri hukum bisnis dan jaminan fidusia, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001, hal.73.
1
tertentu misalnya 5C, yang artinya Character (karakter peminjam), Capacity (kemampuan melunasi hutang), Capital (kondisi kekayaan), Condition Of Economy (kondisi ekonomi/prospek debitur), Collateral (jaminan)2. Hal tersebut juga merupakan salah satu kesulitan masyarakat untuk mendapatkan pinjaman uang dari bank. Menyikapi berbagai kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam rangka menyalurkan kebutuhan dana yang diperlukan masyarakat, maka muncul lembaga keuangan bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan simple dari pada bank. Lembaga ini dinamakan lembaga pembiayaan, yang dapat mempermudah debitur dalam pemenuhan segala macam kebutuhan.
Menurut Pasal 1 angka (2) Kepres No.61 Tahun 1988, Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Munculnya lembaga pembiayaan ini dapat mendorong kondisi perekonomian yang terjadi di negara ini, sehingga setiap orang dapat lebih mudah memenuhi segala kebutuhan baik pokok maupun tambahan melalui perjanjian pembiayaan. Dengan mempermudah, memperlancar dan mengatur perjanjian pembiayaan konsumen atau consumer finance, dibuat suatu aturan berdasarkan Keputusan Menteri keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Dijelaskan bahwa
kegiatan pembiayaan pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dapat dilakukan dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen3. Konsumen dimudahkan dalam pembelian barang yang harganya relatif
2
Ihsan Ismail, Syarat-syarat kredit, tersedia di http://ihsan947.blogspot.com/2011/05/syarat-syarat-
kredit.html, diakses tanggal 25 Mei 2014 3
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.315.
2
mahal, untuk dapat memiliki barang tersebut dengan cara yang relatif mudah, yaitu dengan angsuran. Perjanjian pembiayaan konsumen diikuti dengan jaminan yang merupakan cara menurut hukum untuk pengamanan pembayaran kembali pinjaman uang atau kredit yang diberikan. Menurut sistem hukum jaminan Indonesia dapat dibedakan atas jaminan dengan menguasai bendanya dan jaminan dengan tanpa menguasai bendanya. Jaminan yang menguasai bendanya disebut gadai, sedangkan jaminan yang diberikan tanpa menguasai bendanya dijumpai pada: hipotik, hak tanggungan dan fidusia.4. Dalam prakteknya lebih sering kita jumpai pada jaminan fidusia, karena memang yang dipakai sebagai obyek jaminan tersebut adalah benda dari suatu pembelian yang diangsur melalui lembaga pembiayaan. Menurut Pasal 1angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun 1999,
Jaminan
fidusia itu sendiri adalah hak-hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai jaminan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Mengenai mekanisme dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian pembiayaan telah dilengkapi dengan berbagai rumusan perjanjian pembiayaannya. Rumusan tersebut memuat jenis barang, harga, cara pembayaran dan hak serta kewajibankewajiban yang ditimbulkan, sehingga calon konsumen tinggal menyetujui atau menolak
4
Sri Soedewi Masjchon Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok hukum jamonan dan jaminan
perorangan, Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal.57.
3
atas penawaran yang dilakukan. Menurut Salim HS,5 konsumen adalah pihak yang paling mengetahui barang-barang yang dibutuhkannya dan mempunyai inisiatif pertama untuk menghubungi perusahaan pembiayaan konsumen. Sebelum menghubungi perusahaan tersebut, konsumen telah menetapkan daftar barang yang dibutuhkan dengan harganya berdasarkan penawaran dari pihak pemasok. Atas permohonan konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen menyiapkan dokumen pendahuluan berupa barang permohonan kredit (credit application form) untuk diisi oleh konsumen. Pada tahap berikutnya pihak konsumen menghubungi pihak pemasok untuk mengadakan perjanjian jual beli barang. Perjanjian tersebut disetujui oleh kedua belah pihak syarat bahwa harga barang akan dibayar tunai oleh pihak perusahaan pembiayaan konsumen. Setelah pembayaran dilakukan, pihak pemasok menyerahkan barang kepada pihak konsumen. Karena ini adalah perjanjian jual beli, maka berlaku semua ketentuan tentang jual beli dengan segala akibat hukumnya, kecuali bila ditentukan lain secara khusus dalam perjanjian. Sesuai dengan perjanjian pembiayaan konsumen dan perjanjian jual beli yang telah dilaksanakan, pihak konsumen membayar harga barang kepada perusahaan pembiayaan konsumen secara angsuran sampai lunas. Sebelum pembayaran lunas, semua dokumen kepemilikan atas barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen sebagai jaminan secara fidusia. Apabila Konsumen melakukan wanprestasi dalam arti tidak mampu lagi membayar (macet), maka perusahaan pembiayaan konsumen berdasarkan kuasa untuk menjual, melakukan penjualan barang guna menutup hutang konsumen yang belum dilunasi6.
5
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hal.145. 6
Adypato, Mekanisme Pembiayaan Konsumen, tersedia
dihttp://adypato.wordpress.com/2011/01/12/mekanisme-pembiayaan-konsumen/, diakses tanggal 10 februari 2014
4
Diterangkan dalam aturan tambahan di dalam Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan No.130/PMK.010/2012, bahwa perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan. Dengan pemenuhan syarat tersebut maka baru boleh dilaksanakan penarikan benda fidusia sebagai jaminan atas utang yang telah digunakan pemberi fidusia. Menurut Pasal 29 Undang-undang No.42 Tahun 1999 disebutkan bahwa eksekusi benda fidusia dilaksanakan dengan penjualan yang dilakukan oleh kekuasaan penerima fidusia melalui pelelangan umum, yang hasil penjualannya digunakan untuk pelunasan hutang pemberi fidusia dan dapat dilakukan melalui penjualan bawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia apabila dapat diperoleh harga yang tinggi untuk menguntungkan para pihak. Dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tidak terlepas dari berbagai hambatan dan masalah yang menyertainya, sehingga harus menyiapkan berbagai upaya penyelesaian guna mengatasi masalah, seperti yang terjadi antara PT. Mandiri dan Sunardi dimana keduanya melakukan perjanjian pembiayaan konsumen. Pada awalanya Sunardi melakukan perjanjian pembiayaan dengan PT. Mandiri untuk membeli sebuah mobil Dahitsu Xenia, perjanjian tersebut diikuti pula dengan penyerahan hak secara fidusia No: 906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007. Namun terjadi wanprestasi oleh Sunardi, yaitu macetnya pembayaran kredit pada angsuran ke 30 dari 48 angsuran. Terjadi kejanggalan dalam sengketa tersebut, karena penyelesaian tingkat pertama melalui Badan Penyelesain Sengketa Konsumen Yogyakarata (BPSK). Apakah dalam sengketa tersebut
5
BPSK berwenang memeriksa, karena jelas dalam hal ini yang terjadi bukan permasalahan konsumen namun karena wanprestasi oleh Sunardi kepada PT. Mandiri. Dalam putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, tertulis bahwa BPSK memutus agar PT. Mandiri mengembalikan uang muka Sunardi yang telah dibayarkan dalam pembayaran angsuran mobil tersebut, namun tidak disebutkan dasar putusan BPSK Yogyakarat, hal tersebut juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti guna penyusunan skripsi dengan judul: Akibat Wanprestasi Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pendaftaran Fidusia ( Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012 ). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dengan Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutus akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dan Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Untuk mengetahui akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen konsumen antara PT. Mandiri dengan Sunardi
dalam hal terjadi keterlambatan
pendaftaran fidusia pada Pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dengan Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini, dapat dibedakan menjadi dua yaitu kegunaan teoritis dan praktis : 1. Kegunaan Teoritis Dengan adanya penelitian tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
informasi
mengenai
pembiayaan
konsumen
yang
sedang
berkembang
dimasyarakat dan tentang jaminan fidusia yang telah diatur dalam Undang–Undang No. 42 Tahun 1999, terutama dalam hal terjadinya wanprestasi. 2. Kegunaan Praktis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap masyarakat pada umumnya tentang perjanjian pembiayaan konsumen dan mengenai fidusia yang saat ini sedang marak terjadi. Pemahaman masyarakat terhadap sistem berlakunya perjanjian fidusia sangat berguna, terutama dalam hal terjadinya wanprestasi pada permasalahan dalam fidusia dan pembiayaan konsumen, seperti salah satu objek sengketa pada putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, wanprestasi, pembiayaan konsumen dan teori fidusia. A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Hukum perdata atau hukum privat
dalam penerapannya bisa dilihat
dalam
masyarakat sering kali dilakukan adalah perjanjian. Perjanjian dilakukan atas dasar sebuah kesepakatan atau pertemuan kedua kehendak antara pribadi orang atau kelompok sesuai yang diinginkan. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana ada dua pihak atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan tersebutlah yang dinamakan perikatan7. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menimbulkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka, sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian dan undang-undang hanya hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari
7
Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung ,1992, hal.203.
8
undang-undang dibuat tanpa ketentuan para pihak yang bersangkutan8.
Perjanjian
merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan didalam masyarakat yang terdapat dalam ranah hukum privat. Arti perjanjian itu sendiri menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu: Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih‘. Pasal 1313 KUH Perdata yang memberikan rumusan arti perjanjian harus memberikan batasan mengenai peristiwa yang hanya mencakup peristiwa perjanjian saja dan tidak mencakup peristiwa yang bukan merupakan perjanjian. Pengertian perjanjian tidak terpaku dalam Pasal 1313 KUH Perdata saja, dengan mendasarkan gambaran tentang peristiwa hukum, J. Satrio memberikan kritik dan pendapat atas rumusan Pasal 1313 KUH Perdata yang intinya sebagai berikut.9 Kata perbuatan atau tindakan manusia bila dilihat dari skema peristiwa hukum dapat meliputi tindakan hukum dan bukan tindakan hukum yang keduanya dibedakan oleh adanya faktor kehendak. Keberatannya adalah akibat hukum pada peristiwa hukum yang berasal dari bukan perbuatan hukum pada dasarnya tidak didasarkan pada kehendak pihak-pihak yang terlibat, seperti onrechtmatige daad dan zaakwarneming sehingga tidak mungkin masuk dalam kelompok perjanjian karena akibat hukum pada perjanjian memang dikehendaki atau dianggap tidak dikehendaki. Agar beberapa contoh peristiwa hukum tersebut tidak tercakup kedalam kelompok perjanjian, maka kata ―perbuatan‖ dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus lebih tepat lagi kalau ditambah dengan kata ―hukum‖ dibelakangnya, sehingga menjadi perbuatan hukum / tindakan hukum.
8
J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT Citra Aditya Bakti, , Bandung,
1995, hal. 5. 9
Ibid., hal.24-27.
9
Selanjutnya J. Satrio mengkritik kalimat terakhir dari Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi ‖….Satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih‖. Setiap orang yang membaca kata ―mengikatkan dirinya‖ akan membayangkan makna meletakan kewajiban, sehingga kalimat tersebut menggambarkan adanya kewajiban pada pihak yang satu dan adanya hak pada pihak lain. Hubungan demikian hanya menggambarkan perjanjian sepihak saja. Padahal sebagaimana tampak dalam skema peristiwa hukum, dilihat dari pada perikatan yang muncul daripadanya, suatu perjanjian itu dapat berupa perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Agar perjanjian timbal balik dapat tercakup dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata maka harus ditambah ―…..atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya‖. Jika perumusan Pasal 1313 KUH Perdata dipertahankan sebagaimana apa adanya , maka disatu sisi terlalu luas sehingga membawa konsekuensi misalnya zaakawerming dan onrechtmatigdaad tercakup dalam perumusan perjanjian, sebaliknya sekaligus terlalu sempit karena tidak mewadahi perjanjian timbal balik. Berdasarkan kritik dan pendapat J. Satrio, maka perumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata seharusnya berbunyi ‗Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya‘. Menurut J. Satrio ―Perjanjian‖ dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu ―perjanjian‖ berarti setiap perjanjian yang dapat menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanian kawin, dan peerjanjian lainnya. Dalam arti sempit, ―perjanjian‖ ini hanya ditunjukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
10
hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata. Pendapat lain dengan meninjau berdasarkan skema pristiwa hukum, Subekti berpendapat mengenai perumusan perjanjian sebagai berikut.10 ‗Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal‘. Dari pendapat subekti dapat dikatakan bahwa perjanjian itu sendiri merupakan sebuah peristiwa, peristiwa tersebut dikatakan sebagai suatu peristiwa hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang melakukan suatu perjanjian. Dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, yang terdapat hubungan perikatan antara satu orang atau lebih untuk saling mengikatkan diri melaksanakan hal tertentu, sebagaimana diketahui isi perjanjian adalah perikatan. Dari berbagai perumusan tentang perjanjian diatas maka perjanjian bisa mencakup apa saja yang termasuk dalam perjanjian dan mengesampingkan yang bukan perjanjian, adapun yang termasuk dalam perjanjian harus berupa perbuatan hukum yang akibatnya dikehendaki. Sebagai contoh: zaakwarneming memang ada akibat hukum tetapi tidak dikehendaki oleh para pihak jadi bukan merupakan perjanjian. Perjanjian dapat ditentukan dari kapan kesepakatan diperjanjian itu tercapai antara para pihak yang melakukan perjanjian, sesuai dengan waktu perjanjian itu terjadi. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan, perikatan tersebut timbul sebelum ada perjanjian yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling bertimbal balik. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah
10
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal.1.
11
bagian daripada hukum kekayaan, maka hubungan hukum yang timbul antara para pihak didalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. 2. Perjanjian Baku Pada prinsipnya perjanjian dapat dibuat secara lisan dan tertulis kecuali Undangundang menentukan lain, namun untuk memperkuat dan dapat dijadikan bukti biasanya dilakukan secara tertulis. Perjanjian yang ada pada masa sekarang ini terutama di dunia perdagangan atau bisnis mengalami banyak perkembangan, demi efisiensi dan untuk mempersingkat waktu dibuatlah perjanjian sepihak yang dibuat banyak dan isinya sama. Perjanjian tersebut biasa disebut perjanjian baku. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak perusahaan tertentu penyedia barang dan jasa sebagai pengusaha, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu pemohon atau konsumen, umumnya disebut ―Adherent‖, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (perusahaan tertentu sebagai pengusaha) mempunyai kedudukan monopoli, maka dari itu kedudukan perusahaan penyusun kontrak yang dilakukan secara sepihak lebih kuat dibanding konsumennya11. Tinggal bagaimana persetujuan konsumen terserah mau mengikuti atau menolak perjanjian. Penyusun kontrak atau perusahaan tertentu sebagai pengusaha bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu ―standard contract‖. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan
11
Mariam Daruz Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, , Alumni, Bandung, 1994, hal.32.
12
hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran12. Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti, diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap didalamnya sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak pemohon atau konsumen dari pihak perusahaan penyedia barang maupun jasa. Dalam hal ini pihak konsumen tinggal mematuhi saja apa yang dicantumkan oleh perjanjian yang sepihak dilakukan perusahaan penyedia barang atau jasa dalam melakukan jual beli13. Sekilas perjanjian ini memang memberatkan konsumen, namun perjanjian baku tidak dilarang. Perjanjian baku dilarang, jika memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g), ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perjanjian baku yang dilarang, dimana rinciannya sebagai berikut: Pasal 18 ayat 1 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87.
13
Ibid, hal.88.
13
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; Pasal 18 ayat 2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pasal 18 ayat 3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Secara jelas dan tegas bahwa pelaku usaha telah mengakui hubungan usaha konsumen dan pelaku usaha, dengan demikian maka pelaku usaha telah menerapkan klausula baku yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999, yang menyatakan dokumen perjanjian yang memenuhi ketentuan pada ayat (1) dan (2) tersebut batal demi hukum. Secara umum memang perjanjian baku banyak dilakukan didalam perjanjian jual beli, namun diluar itu perjanjian ini juga dapat dilakukan untuk perjanjianperjanjian lainnya. Pihak perusahaan dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula misalnya: terjadinya denda dalam wanprestasi atau kapan debitur wanprestasi. Pada dasarnya perjanjian baku hanya dipahami oleh pihak perusahaan dan ini merupakan kerugian bagi konsumen karena sulit atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat. Perjanjian baku sering digunakan
14
pada perjanjian pembiayaan konsumen terutama yang diikuti dengan jaminan fidusia, misalnya dalam perjanjian leassing kendaraan bermotor. 3. Pengaturan Hukum Perjanjian Sumber hukum nasional sebagaimana kita ketahui masih bersumber dari hukum yang telah diletakkan oleh kolonial dalam hal ini adalah Belanda. Penggunaan KUH Perdata sebagai Hukum Positif Indonesia masih digunakan, namun tidak digunakan sepenuhnya. Terdapat beberapa pasal yang dicabut
karena disesuaikan dengan nilai
budaya dan Hukum Negara Indonesia dengan adanya pemberlakuan aturan hukum baru. Perjanjian yang kita kenal secara umum juga diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan. Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan, karena dapat diketahuai perjanjian adalah sumber dari perikatan, dimana perjanjian adalah sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan14. Secara sistematis didalam Buku III KUH Perdata diatur ketentuanketentuan secara umum atau khusus mengenai perikatan. Ketentuan umum terdiri dari empat bab yaitu bab I sampai bab IV dan ketentuan khusus terdiri dari bab V sampai dengan XVIII. Bab I mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi persetujuan saja. Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan. Bab III lebih mengatur secara spesifik mengenai perikatan yang timbul karena undang-undang dan bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara hapusnya perikatan-perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena persetujuan atau undang-undang. Secara keseluruhan bab I sampai dengan IV jika dilihat dari segi pengaturan perjanjian, mengatur tentang perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus 14
J. Satrio, Op.Cit, hal.6.
15
di dalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUH Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, seperti diterangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: ‗Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya‘ yang dimaksudkan untuk menyatakan kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu perundang-undangan. Kekuatan itu seperti diberikan kepada ‗semua perjanjian yang dibuat secara sah‘ untuk mengadakan perjanjian, sekalipun perjanjian yang dilakukan tidak bernama atau tidak secara khusus diatur oleh undang-undang. Sementara bab V sampai dengan bab XVIII mengatur mengenai persetujuan-persetuan bernama (tertentu) atau perjanjian bernama. Perjanjian Bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang memiliki nama sendiri yang sudah diatur didalam undang-undang. Perjanjian tersebut diberi nama oleh pembuat undang-undang dan merupakan perjanjian yang sering di temui di masyarakat misalnya, jual-beli, sewa-menyewa, hibah, pemberian kuasa dan sebagainya15. Dapat diketahui
dalam Buku III KUH Perdata terdapat pengaturan mengenai
ketentuan umum dan ketentuan khusus dalam perjanjian. Ketentuan umum dalam bab I sampai dengan IV lebih mengatur tentang perjanjian tak bernama yang bebas berdasarkan azas kebebasan berkontrak, sedangkan ketentuan khusus yang terdapat dalam bab V sampai dengan XVIII mengatur tentang perjanjian yang bernama yang sudah diatur oleh undang-undang dan sudah diberi nama oleh pembuat undang-undang. Hubungan keduanya dapat diketahui, bahwa ketentuan umum mengatur perjanjian atau persetujuan yang lebih luas karena para pihak dalam perjanjian bebas membuat perjanjian apa saja berdasarkan
15
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 9-11.
16
azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat perjanjian atau persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU. Namun kebebasan pihak-pihak untuk membuat perjanjian diadakan beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh melanggar hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan16. Jika ketentuan khusus hanya mengatur tentang perjanjian yang telah diatur dan diberi nama oleh undang-undang saja. Jadi ketentuan umum mengatur tentang perjanjian tak bernama sebagai peraturan perundangan dalam Buku III KUH Perdata
bersifat menambah
(aavullend recht) dan lebih luas berlaku untuk semua perjanjian baik bernama maupun tak bernama sepanjang undang-undang pada perjanjian bernama tak memberikan suatu pengaturan tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum17. Sementara itu, ketentuan khusus hanya mengatur perjanjian yang sudah diatur oleh undang-undang dan bernama saja. 4. Syarat Sah Perjanjian Sebagaimana diketahui suatu perjanjian dalam salah satu sumber hukum perdata yang secara tertulis disebutkan, bahwa hukum perjanjian dari KUH Perdata menganut sistem konsensualisme. Artinya: hukum perjanjian dari KUH Perdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan dengan perjanjian itu terjadi ―perikatan‖ yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada saat detik tercapainya konsensus. Sebagaimana dimaksud diatas, pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik detik yang lain baik yang kemudian atau sebelumnya18.
16
Ibid., hal.11.
17
J. Satrio, Op.Cit, hal.150.
18
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1975, hal.3.
17
Secara umum syarat sah yang ada dalam perjanjian telah disebutkan dalam KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat, cakap berbuat, hal tertentu dan sebab yang halal. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati19. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, misalnya secara lisan, tertulis, dengan tanda, dengan simbol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian20. Secara umum suatu perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau persetujuan di antara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang menjadi objek perjanjian. Didalam perjanjian baku sepakat dinyatakan dengan persetujuan konsumen mengikuti perjnajian yang dibuat oleh perusahaan penyusun kontrak
19
J. Satrio, Op.Cit, hal.164.
20
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal 24.
18
yang dilakukan secara sepihak, yang diungkapkan secara tertulis biasanya melalui penandatanganan21. 2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: a. Orang yang belum dewasa ( Dibawah 21 tahun ); b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dan c. Perempuan yang sudah menikah Pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, Pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau istri) berhak melakukan perbuatan hukum. Maka hukum positiflah yang dipakai sebagai dasar penentu usia kedewasaan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Terdapat juga subyek hukum lain selain manusia yaitu badan hukum. Badan hukum dianggap sebagai hal yang abstrak atau tidak nyata karena tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendak, hanya manusia yang mempunyai kehendak. Maka dalam melakukan tugasnya sebagai 21
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.87.
19
pengemban hak dan kewajiban, tugas tersebut dijalankan oleh manusia-manusia yang juga subyek hukum dan tentunya sudah cakap dalam melaksanakan perbuatan hukum. Dalam hal kecakapan melaksanakan perbuatan hukum, harus dapat dipastikan bahwa badan hukum telah memenuhi persyaratan yang ditentukan negara22. Sebagai contoh badan hukum misalnya suatu perusahaan. 3. Mengenai suatu hal tertentu, maksud dari suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya maupun obyeknya. Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa ‗suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya‘. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu, berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa23. Jika dilihat dari segi perikatan, pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu dapat berupa menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu24. Dapat diambil kesimpulan bahwa Pasal 1234 KUH Perdata dalam syarat hal
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 67.
23
Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal.79.
24
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, hal.30.
20
tertentu hanya menerangkan tentang cara melakukan suatu prestasi, sedangkan bentuk prestasi yang sebenarnya adalah benda / zaak sebagaimana telah diterangkan didalam Pasal 1333 KUH Perdata diatas. 4. Suatu sebab yang halal, maksud dari sebab yang halal Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah25. Pasal 1335 Jo 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban. J. Satrio berpendapat bahwa Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undangundang, jika klausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman26. Klausa hukum dalam perjanjian juga terlarang jika bertentangan dengan ketertiban umum. J.Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan juga
25
Ibid, hal. 80.
26
J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
1995, hal.109.
21
keresahan dalam masalah ketatanegaraan27. Maka dapat diketahui bahwa sebab yang halal adalah salah satu penentu syarat sahnya perjanjian dan perjanjian dalam hal ini harus tidak bertantangan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban. Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhinya semua ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dari keterangan tersebut dapat diketahui juga terdapat hal-hal yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Jika diuraikan secara rinci, syarat cakap dan sepakat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif (syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian). Apabila salah satu syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan tentang suatu hal tertentu dan sebab halal digolongkan kedalam syarat objektif (benda yang dijadikan objek perjanjian). Jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian dengan sendirinya menjadi batal dengan kata lain perjanjian telah batal sejak dibuatnya perjanjian tersebut atau dianggap tidak ada. Hal-hal inilah yang merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian28. Maka dapat diketahui, secara umum bahwa empat syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat, cakap, hal tertentu, sesuatu yang halal pelaksanaannya tergantung pada para pihak yang melakukan suatu perjanjian itu. Kewajiban para pihak harus memenuhi empat syarat yang ada dalam suatu perjanjian dan ini merupakan suatu yang mutlak atau harus ada dan dipenuhi, karena memang sudah ditentukan secara rinci dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
27 28
Ibdi, hal. 41. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD
Dan KUHPerdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 191.
22
Selain Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat sah perjanjian, juga terdapat perjanjian-perjanjian yang harus dibuat secara formal yang biasa disebut perjanjian formal. Adapun terhadap perjanjian-perjanjian ―formal‖ atau perjanjian ―rill‖ merupakan perkecualian. Perjanjian formal yang sering dilakukan misalnya perjanjian ―perdamaian‖ yang menurut pasal 1851 (2) KUH Perdata harus diadakan secara tertulis, sedangkan perjanjian ―rill‖ misalnya perjanjian ―pinjam pakai‖ yang menurut pasal 1740 KUH Perdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau ―Penitipan‖ yang menurut 1694 KUH Perdata baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Perjanjian ini tidak cukup dengan adanya kata sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatau formalitas atau suatu perbuatan yang nyata atau (rill). Misalnya pada perjanjian jual beli yang dilakukan dengan pembiayaan konsumen. 5. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accessoir Didalam suatu jaminan kebendaan terdapat dua macam perjanjian, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accessoir atau yang biasa disebut perjanjian ikutan . Perjanjian pokok adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung pada adanya perjanjian lain. Contoh : perjanjian kredit bank. Sedangkam
perjanjian
tambahan (accesoir) adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perjanjian tambahan dari pada perjanjian pokok. Contoh : perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia29. Perjanjian accessoir banyak dijumpai pada jaminan kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia dan masih dimungkinkan ada jaminan yang lain berkaitan dengan semakin berkembangnya zaman dan tekhnologi yang semakin mendunia dengan adanya globalisasi. 29
Junaidi, Rangkuman Hukum Jaminan , tersedia di website http://lawfile.blogspot.com/2011/12/catatan-
rangkuman-hukum-jaminan.html, diakses tanggal 20 Juni 2014
23
Sifat
accesoir pada perjanjian tersebut dapat ditafsirkan dari kata ―Ikutan‖.
Jika
dihubungkan dengan perjanjian pokok, perjanjian accessoir atau ikutan ini mempunyai ciri-ciri bahwa lahirnya atau adanya, berpindahnya dan hapusnya atau berakhirnya mengikuti perjanjian pokok tertentu30. Dikatakan begitu karena pemberian jaminan kebendaan sebagai jaminan suatu hutang atau kewajiban hukum yang dalam hal ini sebagai perjanjian pokok. Sehingga perjanjian pokok dan accesoir mempunyai hubungan hukum. B. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi) jika memang dapat dibuktikan bukan karena overmach atau keadaan memaksa. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian31. Kelalaian atau kesalahan debitur tersebut juga bukan karena overmach atau keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat menjadikan debitur tidak dapat berprestasi, jadi debitur bebas dari kewajiban atas prestasi lawan janjinya. Sebagai contoh penyerahan rumah tidak dapat dilakukan karena bencana Tsunami. 2. Terjadinya Wanprestasi
30
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.
196-197. 31
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hal.221.
24
Perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian, dari suatu perjanjian yang merupakan suatu pertemuan kehendak para pihak yang berjanji akan menimbulkan prestasi. Arti prestasi sendiri dapat dilihat dari Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa ‗tiap-tiap perikatan adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu‘. Kata ―memberikan sesuatu‖ sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu: 1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian. 2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis. Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan berdasarkan kesepakatan dan kehendak tanpa ada pihak yang dirugikan. Terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena tidak berprestasinya salah satu pihak atau debitur. Untuk mengatakan bahwa debitur salah dan melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, terkadang tidak mudah. Hal sulit untuk menyatakan wanprestasi karena tidak dengan mudah dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Bentuk prestasi debitur dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu dan memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya, maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi,
25
terdapat tata cara menyatakan wanprestasi oleh kreditur terhadap debitur atau kepada pihak yang mengingkari janji, yaitu melalui sommatie dan ingebreke Stelling. Sommatie adalah pemberitahuan atau pernyataan tertulis dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dan dilakukan melalui pengadilan., sedangkan ingebreke Stelling artinya peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri atau langsung secara lisan, hanya melalui teguran saja dan tidak ada tindak lanjut. Keadaan tertentu sommatie tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi32. Sommatie minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ‗Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan‘33, Pasal tersebut menerangkan tenatang sebuah keputusan bahwa debitur wanprestasi.
32
Qodhi, Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, tersedia di website
http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/, diakses tanggal 20 Juni 2014 33
Nindyo Pramono, Op. Cit. hal.22.
26
Tidak berprestasinya debitur, dalam hal ini si berpiutang atau kreditur sebagai mana dinyatakan dalam Pasal 1241 KUH Perdata menyebutkan bahwa ‗apabila perikatan tidak dilaksanakan maka si berpiutang atau kreditur boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang‘, pasal ini memberikan arahan bahwa kreditur dapat mengusahakan pemenuhan atas prestasi yang belum dipenuhi. 3. Bentuk Wanprestasi dan Pelaksanaan Prestasi Dalam
pemenuhan suatu perjanjian sebagaimana diterangkan diatas ada
kemungkinan salah satu pihak yang tidak berprestasi, dalam hal ini adalah pihak yang belum melaksanakan kewajibannya yang biasa disebut debitur. Bentuk
atau wujud
wanprestasi dapat dibedakan menjadi beberapa. Adapun bentuk atau wujud dari wanprestasi yaitu34: 1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali; Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya; Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. 3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan Subekti berpendapat bahwa wujud wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu :
34
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, , Jakarta, 1999, cet. 6, hal.18.
27
1. Tidak melakukan apa yang sanggup dilakukannya; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya35. Meskipun ada dua pendapat, pada hakekatnya memiliki arti yang sama dalam perwujudan wanprestasi. Adanya pernyataan wanprestasi seperti diatur dalam Pasal 1276 KUH Perdata, debitur dapat melakukan lima kemungkinan pelaksanaan prestasi kepada kreditur, yaitu sebagai berikut: 1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian; 2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi; 3. Membayar ganti rugi; 4. Membatalkan perjanjian; dan 5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Abdulkadir Muhamad, menyatakan ‗bahwa kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur. Tuntutan tersebut yaitu dapat menuntut pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian atau menuntut ganti kerugian saja, atau menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim atau menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi‘36. Pasal 1243 KUH Perdata menyebutkan bahwa Debitur wajib membayar ganti rugi, jika setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu maka dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh 35
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.56.
36
Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.24-25.
28
menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving) dalam menepati janji37. Kerugian yang terjadi harus mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi itu sendiri terdiri dari biaya, rugi, dan bunga. Seperti telah disebutkan dalam Pasal 1244 sampai dengan Pasal 1246 KUH Perdata. * Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-
nyata sudah
dikeluarkan oleh suatu pihak. * Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. * Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur. Segala sesuatu tentang wanprestasi sudah diatur di dalam KUH Perdata, sebagaimana telah disebutkan bahwa segala macam kerugian yang terjadi karena wanprestasi dapat dikenai ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang diderita dan bunga yang diperjanjikan para pihak. Segala pengaturan wanprestasi dan cara penyelesaian sudah diatur secara jelas dan rinci, tinggal bagaimana penyelesaiannya oleh penegak hukum yang berwenang. Misalnya dalam penerapan kasus wanprestasi dalam bidang fidusia dan pembiayaan konsumen yang segala macam aturannya dapat ditemukan didalam undang-undang yang mengatur.
C. Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen 1. Pengertian Pembiayaan Konsumen
37
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 2005, cet. 32, hal.148.
29
Sudah tidak asing lagi dalam menjalani aktifitas sehari-hari dengan kata-kata utang maupun piutang dalam dunia perekonomian. Memang dalam dunia perekonomian kedua hal tersebut sangat menunjang dalam peranannya. Terdapat suatu perjanjian dimana suatu perusahaan memberikan piutang kepada pihak konsumen untuk membantu dalam pembelian suatu barang tertentu. Perjanjian itu disebut perjanjian pembiayaan konsumen, menurut Pasal 5 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Pembiayaan Konsumen adalah kegiatan usaha yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan.
Menurut Pasal 1 huruf (b)
Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Diperjelas dengan Keputusan Mentri Keuangan No.1251 / KMK. 013/ 1988, perusahaan pembiayaan adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Sedangkan arti lembaga pembiayaan Menurut Keputusan Presiden No.61 tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Lembaga pembiyaan melaksanakan kegiatan tertentu yang tentunya berbeda dengan bank. Yang termasuk bidang usaha dari lembaga pembiayaan adalah sewa guna usaha (leasing), perdagangan surat berharga, piutang, modal ventura, pembiayaan konsumen, dan kartu kredit. Dapat disimpulkan dari pengertian pembiayaan konsumen,
30
secara umum pembiayaaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala. 2. Sumber Hukum Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen Lembaga pembiayaan yang salah satu tujuan kegiatan usahanya yaitu pembiayaan konsumen bukan merupakan hal asing lagi dalam hukum kita. Sudah terdapat aturan-aturan yang mengatur Lembaga Pembiayaan dan Pembiayaan konsumen, meskipun dalam KUH Perdata tidak diatur. Sumber hukumnya antara lain Keputusan Presiden No.61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Mentri Keuangan No.1251 / KMK. 013/ 1988 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, ditambah dengan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan yang didalam aturan ini mengatur tentang pembiayaan konsumen. Namun terdapat perubahan beberapa pasal dalam Keputusan Mentri Keuangan Nomor
448
dikeluarkannya
/KMK.017/2000
tentang
Perusahaan
Pembiayaan,
yaitu
dengan
Keputusan Mentri Keuangan Nomor: 172/KMK.06/2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Perubahan beberapa pasal dalam Keputusan mentri tersebut dimaksudkan untuk penyempurnaan dan penyesuaian.
3. Tujuan Perusahaan Pembiayaan Perusahaan pembiayaan merupakan salah satu lembaga pembiayaan formal di Indonesia sudah diatur secara resmi. Lembaga ini tumbuh dan berkembang seiring dengan 31
dikeluarkannya pranata hukum berupa KEPPRES No. 61 Tahun 1988 dan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Meskipun demikian, saat ini keberadaan perusahaan pembiayaan menunjukan perkembangan yang sangat baik. Pesatnya pertumbuhan bisnis didalam maupun luar negri secara global, sekaligus menunjukan tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang dengan cara mengangsur seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat lapisan menengah kebawah38. Dari hal tersebut akan menunjang perkembangan baik bagi pelaku usaha, konsumen maupun lembaga ekonomi seperti perusahaan pembiayaan. Beberapa tujuan perusahaan pembiayaan yaitu sewa guna usaha (Leasing), anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen. Sewa guna usaha dilakukan untuk mendukung kegiatan ekonomi dalam hal pembiayaan kredit maupun leasing/ sewa guna usaha bagi perusahan dalam bentuk penyedian barang - barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan. Menurut Pasal 1 huruf ( c )Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala, lebih rincinya berkaitan dengan penyediaan modal untuk digunakan suatu perusahaan. Diterangkan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan, diterangkan bahwa sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal obyek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahaan Pembiayaan. Menurut pasal ini, hak milik suatu barang yang dilakukan selama perjanjian sewa guna 38
M.Rinaldi Santoso, Pembiayaan Konsumen, tersedia website
dihttp://rinaldisantoso.blogspot.com/2011/11/pembiayaan-konsumen.html, diakses Tanggal 12 Januari 2014
32
usaha berlaku masih dalam kekuasaan perusahaan pembiayaan dan bukan dalam kekuasaan penyewa guna usaha atau konsumen yang mengajukan modal obyek transaksi. Berikutnya anjak piutang, didalam Pasal 4 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 diterangkan bahwa anjak piutang adalah pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri. Maksud dari kalimat tersebut bahwa dalam anjak piutang kewajiban membayar hutang debitur kepada nasabah atau penjual dialihkan kepada perusahaan anjak piutang, sehingga nantinya debitur akan membayar hutangnya kepada perusahaan anjak piutang bukan kepada nasabah, piutang. Sedangkan kegiatan usaha kartu kredit menurut Pasal 6 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 yaitu dilakukan dengan cara penerbitan kartu yang dapat dimanfaatkan pemegangnya untuk pembayaran barang maupun jasa. Tujuan terakhir adalah tujuan pembiayaan konsumen, dikatakan dalam Pasal 5 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 kegiatan pembiayaan konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. Misalnya dalam perusahaan kredit motor atau mobil yang dilakukan melalui perjanjian fidusia, yang memang dalam prakteknya sering dapat kita lihat pada perusahaan leasing yang memberikan jasa pembiayaan konsumen ini pada pembelian kendaraan bermotor maupun mobil. D. Fidusia 1. Pengertian Fidusia Berbagai macam pendapat dan pengertian tentang fidusia, tetapi undang-undang telah menyimpulkan pengertian tersebut, yaitu Undang-undang No.42 Tahun 1999. Menurut Undang-undang 42 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1), arti fidusia adalah : pengalihan
33
hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dapat kita ketahui bahwa perjanjian tersebut berdasarkan suatu kepercayaan yang dilakukan antara kreditur dan debitur. Lebih jauh lagi dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No 42 Tahun 1999 secara lengkap menyebutkan mengenai arti jaminan fidusia. ‗hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya‘. Dari arti tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa jaminan fidusia yang telah diberikan adalah haknya, namun demikian benda tetap saja dalam pengusaan debitur. Pemberian hak tersebut atas dasar kepercayaan anatar pemberi dan penerima fidusia. 2. Sifat Jaminan Fidusia Fidusia merupakan jaminan kebendaan yang baru muncul setelah Gadai dan Hipotik yang dari dahulu telah terlahir. Sifat jaminan fidusia itu sendiri adalah: 1.Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan dimana akta jaminan dibuat oleh Notaris; 2. Selalu mengikuti bendanya (droit de suite ); 3.Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan; 4.Apabila debitur wanprestasi maka dalam melaksanakan eksekusi dapat dengan lembaga parate executie; dan
34
5.Jaminan fidusia memuat hak mendahulu disebut juga hak preference artinya penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lain dalam pelunasan piutangnya seperti diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 Pasal 2739. 3. Syarat-syarat Fidusia Perjanjian fidusia harus disertai kriteria persyaratan tertentu agar perjanjian fidusia tersebut menjadi sah. Seperti yang diterangkan dalam Pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999, yaitu: 1. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahas Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia; 2. Terhadap pembuatan akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yang dijelaskan dalam Pasal
6
Undang-undang
N0.
42
Tahun
1999
sekurang-kurangnya
memuat:ww.hukumonline.com a. identitas pihak pemberi dan penerima fidusia; b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c. uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; d. nilai penjaminan; dan e. nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
39
Muhamad Riswan, Jaminan Yang Lahir Karena Perjanjian, tersedia di website
http://ayobelajarhukum.blogspot.com/2011/11/jaminan-yang-lahir-karena-perjanjian.html, diakses tanggal 5 februari 20014.
35
Syarat diatas harus dipenuhi agar perjanjian fidusia yang dilakukan tidak batal atau saling merugikan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia, seperti yang ditentukan dalam Pasal 5 undang-undang tersebut. Namun demikian, menurut J Satrio berpendapat bahwa tidak perlu diadakan pengalihan benda fidusia tetapi haknya saja yang beralih. Pengecualian tagihan atas tunjuk dan tagihan yang ditunjukan kepada debitur: ‗Hendaknya perlu diingat, bahwa permasalahan mengenai fidusia antara lain dimungkinkan karena pada asasnya menurut hukum kita, untuk penyerahan benda bergerak tidak perlu dituntut syarat adanya penguasaan nyata atas benda yang dioperkan. Bahkan untuk penyerahan tagihan tidak disyaratkan adanya pemberitahuan kepada debitur( Pasal 613 KUH Perdata). Dalam Pasal 613 KUH Perdata hanya disebutkan, bahwa untuk penyerahan tagihan atas nama dan lain-lian benda tak bertubuh—kecuali tagihan atas tunjuk ( aan toonder ) dan kepada order (aan order )—harus dilakukan dengan akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas benda yang bersangkutan dialihkan‘40. Kesemuanya sudah tentu untuk menghindarkan sengketa yang berkepanjangan dikemudian hari. Pada bank-bank tertentu , kalau pemberian jaminan fidusia dilakukan dengan akta bawah tangan, telah tersedia blangko formulir, yang berisi dengan penyebutan secara rinci benda obyek fidusia. Dapat diketahui bahwa perjanjian fidusia tetap harus dilakukan secara tertulis atau dengan menggunakan akta dengan surat perjanjian antara pemberi dan penerima fidusia, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 6 Undang-undang No. 42 Tahun 1999.
4. Keabsahan dan Lahirnya Fidusia Fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir atau disebut juga perjanjian ikutan, menurut Pasal 4 Undang-undang No. 42 tahun 1999. Jika memang merupakan perjanjian
40
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti, Purwokerto, 2002, hal.68.
36
ikutan maka menimbulkan bagi para pihak untuk memenuhi prestasi seperti dinyatakan oleh J. Satrio,berikut: ‗Perjanjian yang bersifat accesoir mempunyai cirri-ciri: lahirnya/ adanya, berpindahnya dan hapusnya/ berakhirnya mengikuti perjanjian pokok tertentu. Karena fidusia merupakan sarana pemberian jaminan, yang dumaksudkan untuk menjamin suatu hutang – suatu kewajiban hukum – maka perjanjian pokoknya adalah perjanjian yang menimbulkan hutang/ kewajiban hukum ( bersifat obligatoir ), yang dijamin dengan fidusia yang bersangkutan dan perjanjian fidusianya accesoir pada perjanjian pokok tersebut. Karena perjanjian fidusianya – yang berupa penyerahan hak milik benda jaminan secara kepercayaan, yang dilakukan oleh debitur pemberi fidusia kepada kreditur penerima fidusia – merupakan perjanjian yang bersifat accesoir, maka—sesuai dengan sifat accessoir daripada fidusia seperti tersebut diatas – perjanjian pemberian jaminan fidusia merupakan perjanjian bersyarat– dengan syarat pembatal sebagai yang diatur dalam pasal 1253 jo 1265 KUH Perdata – dengan konsekuensinya, pemberian jaminan fidusia itu dengan sendirinya berakhir/hapus. Kalau perjanjian pokoknya, untuk mana diberikan jaminan fidusia‘41. Sifat accessoir fidusia dapat disimpulkan dimana terjadi perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian fidusia yang merupakan ikutan maka perjanjian dianggap sah dan dianggap telah lahir. Namun di negara kita masih ada aturan tambahan yaitu mewajibkan fidusia tersebut untuk didaftarkan. Menurut Pasal 11 Undang-undang No.42 Tahun 1999, menyebutkan bahwa fidusia wajib didaftarkan. Setelah didaftar maka perjanjian dianggap telah ada atau lahir. Tujuan pendaftaran itu sendiri adalah untuk memenuhi asas piblisitas, agar masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan benda yang merupakan obyek jaminan fidusia dan menghindari adanya penyelundupan fidusia secara pura-pura, maka diadakan pendaftaran benda fidusia42. Selain itu, pendaftaran juga bertujuan untuk memberikan kepastian kepada kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia. Hal ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang dilarang oleh Pasal 1 Undang-undang No.42 Tahun 1999. Oleh karena itu, kewajiban 41
Ibid, hal.196-197.
42
Ibid, halaman 83.
37
pendaftaran fidusia ke instansi yang berwenang merupakan salah satu perwujudan dari asas publisitas43. 5. Pendaftaran Fidusia Fidusia diangggap telah lahir apabila sudah diadakan pendaftaran seperti diterangkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 terdapat keterangan mengenai pendaftaran fidusia, yaitu: (1). Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan; (2). Dalam hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) tetap berlaku. Diterangkan juga dalam Pasal 12 UU No. 42 Tahun 1999, tentang proses pendaftarannya : 1. Pendaftaran Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia; 2. Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia; 3.
Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman; dan
4.
Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 15 Undang-undang No.42 Tahun 1999 menerangkan bahwa sertifikat jaminan fidusia dugunakan untuk melaksanakan sitas jaminan objek jaminan fidusia apabila debitor wanprestasi, makadari itu keberadaannya sangat penting.
43
Martin Roestamy, Hukum Jaminan Fidusia, PT.Percetakan Penebar Swadaya, Bogor, 2009, hal.93.
38
Pada dasarnya penerapan pendaftaran fidusia telah sama secara nasional sejak dikeluarkan Undang-undang No.42 Tahun 1999 dan kepastian hukumnya lebih terjamin. Pada prakteknya perjanjian fidusia ini sering diterapkan pada perjanjian pembiayaan konsumen dengan perjanjian fidusia yang dilakukan pada jual beli kendaraan bermotor. Didalam Peraturan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomer
130/PMK.010/2012
tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, diterangkan dalam beberapa pasalnya: Pasal 1 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. (2)
Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan: a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah; dan/atau b. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).
Pasal 2 Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.
39
Pasal 3 Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan. Pasal 4 Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor. Pasal 5 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan.
40
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5)
Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (7)
Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. Dapat kita lihat bahwa pendaftaran fidusia melalui beberapa tahap dan sifatnya wajib. Pendaftaran ini wajib dan harus dilakukan bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan perjanjian pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan jaminan
41
fidusia, agar pihak yang terkait dapat melaksanakan perjanjian tersebut dan jika terjadi cidera janji maka akan dapat lebih dipertanggungjawabkan. 6. Hapusnya Jaminan Fidusia Benda yang dijaminankan dapat hapus
karena suatu hal, begitu juga dengan
jaminan fidusia. Hapusnya jaminan fidusia dapat diterangkan dalam Pasal 25 Undangundang No. 42 Tahun 1999. (1). Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Setelah benda hapus, sesuai dengan Pasal 25 ayat (3) Undang-undang No.42 Tahun 1999. Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melampirkan pernyataan
mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia tersebut. 7. Eksekusi Benda Fidusia Perjanjian yang diikuti dengan jaminan fidusia sangat mungkin terjadi cidera janji oleh pemberi fidusia. Pasal 29 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: (1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia. Tentang kedudukan sertifikat jaminan fidusia dalam hal eksekusi objek jaminan;
42
b. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. (2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Penyerahan benda jaminan fidusia bersifat wajib, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 30 Undang-undang No.42 Tahun 1999, bahwa pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.
43
BAB III METODE PENELITIAN
Suatu penelitian sangat penting untuk menentukan metode yang akan dilaksanakan dalam membuat penelitian, karena berkaitan dengan arah dan tujuan penelitian tersebut. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan44. Madili mengemukakan bahwa menemukan berarti memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan; mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada; menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih menjadi diragu-ragukan kebenarannya. Atas dasar tersebut, setiap tahap dalam penelitian harus didasari pada suatu metode penelitian yang berfungsi sebagai arah yang tepat untuk mencapai tujuan dari penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan melalui metode pendekatan, spesifikasi penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, metode penyajian data, metode analisis data. A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum secara yuridis adalah penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat normatif adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan
44
Madili, Metode Penelitian, tersedia di website http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/divinisi-
penelitian-metode-dasar.html, diakses tanggal 12 Juli 2014.
44
peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan dan mengabaikan norma lain selain norma hukum45. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang hanya menggambarkan obyek atau masalah yang akan diteliti, dalam penelitian ini yaitu Tinjauan Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012, tentang lahirnya perjanjian fidusia dalam perjanjian pembiayaan konsumen. C. Jenis Data Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data penunjang. Data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangan-undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder berupa buku atau literatur yang berhubungan dengan obyek penelitian. Sementara bahan hukum tersier berupa kamus. Data primer dari dalam penelitian ini dilakukan dengan menggali informasi melalui wawancara terhadap responden (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/ BPSK). D. Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan perundangundangan, buku-buku, hasil penelitian sebelumnya dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang selanjutnya di pelajari sebagai pedoman untuk penyusunan data. Data yang akan diteliti adalah diperoleh dari putusan BPSK, Pengadilan Negri
45
Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, 1988, hal.13.
45
Purworejo, Mahkamah Agung dan diperlengkap dengan sedikit data primer yaitu wawancara dengan narasumber pegawai kantor BPSK Yogyakarta. E. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya. F. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara normatif, yaitu dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.
46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkmah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012, Pengadilan Negri Purworejo Nomer:
18/Pdt/G/2011/PN.Pwr tanggal 22
Desember 2011 dan diperjelas dengan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen No.24/Abs/BPSK-Yk/X/2011, tertanggal 6 Oktober 2011. Dapat disajikan hasil data sebagai berikut. I. Subyek hukum atau para pihak yang berperkara dalam Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012: a. Sunardi, Spd, yang berprofesi sebagai seorang guru, bertempat tinggal di Cengkawakrejo, RT 06, RW 04, Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah, selanjutnya disebut sebagai Termohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan/Konsumen/ Pengadu; b. PT. Mandiri Tunas Finance/ biasa disebut PT. Mandiri Finance berkedudukan di Graha, lantai 3A, Jl. Imam Bonjol, No.61, Jakarta Pusat, dalam hal ini memberi kuasa kepada Heintjie Sumampouw Wagiu,SH, Advokat, berkantor di WAGIU & REKAN beralamat di Graha Mustika Ratu, lantai 5, ruang 505, di Jl. Gatot Subroto, Kav. 74 – 75, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 3 Januari 2012;
selanjutnya
disebut
sebagai
Pemohon
Kasasi
dahulu
Pemohon
Keberatan/Pelaku Usaha/ Teradu. II. Obyek hukum yang dipersengketakan dalam Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012:
47
a. Sebuah unit kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe: Xenia LI Plus VVTIm
1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307 yang dibeli dengan total keseluruhan fasilitas pembiayaan sebesar Rp.150.355.200,00. b. Pembayaran sebuah unit kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe: Xenia LI
Plus VVTIm 1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307 dilakukan dengan mengangsur dalam jangka waktu 48 bulan; dengan angsuran per bulan sebesar Rp.3.132.400,00. c. Pada tanggal 19 Januari 2007, saat terjadinya perjanjian pembiayaan telah
dibayarkan uang muka Rp.10.140.000,
biaya administrasi Rp.6.000.000 dan
asuransi 48 bulan sebesar Rp. 2.788.000, III. Hubungan hukum para pihak dalm Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012: a. Pada tanggal 19 Januari 2007, antara Sunardi dan PT. Mandiri Finance melakukan perjanjian pembiayaan atas sebuah unit kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe:
Xenia LI Plus VVTIm 1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307
dengan
total
keseluruhan
fasilitas
pembiayaan
sebesar
Rp.150.355.200,00. Pembayaran dilakukan dengan mengangsur dalam jangka waktu 48 bulan; dengan angsuran per bulan sebesar Rp.3.132.400,00. b. Sunardi selaku konsumen telah mempelajari perjanjian baku yang dibuat PT. Mandiri Finance dan menyetujui perjanjian. Dibuktian dengan penandatanganan terhadap
Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiducia No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007, telah disepakati dan samasama dengan itikad baik.
48
c. Perjanjian pembiayaan tersebut diikuti dengan jaminan fidusia berupa sebuah unit
kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe: Xenia LI Plus VVTIm 1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307, yang dibeli Sunardi selaku konsumen melalui perjanjian pembiayaan. d. Perjanjian dengan penyerahan hak secara fidusia, akte fidusianya baru didaftarkan 11 bulan kemudian dan diterbitkan pada tanggal 18 Desember 2007. Dibuktikan dengan keluarnya Sertifikat Jaminan Fidusia No.: W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007 tertanggal 18 Desember 2007 Jam 14.20 Wib, yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah. IV. Pokok perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012: a. Pada bulan Agustus 2009, Sunardi selaku konsumen mengalami permasalahan ekonomi. Sehingga menyebabkan macetnya kredit pada angsuran ke 30 dengan total angsuran sebesar Rp.93.972.000. b. Guna melaksanakan amanat undang-undang dan sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku dan juga sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia No.: 906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007 serta berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia No.: W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007 tertanggal 18 Desember 2007, pada tanggal 4 februari 2010 dilakukan penarikan terhadap barang jaminan berupa 1 (satu) Unit kendaraan bermotor : Merk : Daihatsu, Tipe : Xenia LI Plus. c. Pada tanggal 18 februari 2010 konsumen atau pengadu membawa rekan untuk melakukan pembelian, konsumen memberikan tawaran Rp.100.000.000 namun
49
pelaku usaha atau PT.Mandiri Tunas Finance tidak setuju dan menolak penawaran Sunardi. d.
Setelah dilakukan penarikan, pelaku usaha atau PT. Mandiri Tunas Finance memberitahukan melalui surat kepada Sunardi selaku konsumen tentang sisa hutang yang belum dilunasi. Sisa hutang yang ada diberi masa tenggang waktu untuk melunasi
hingga 25 Februari 2010, jika tidak dilunasi jaminan sebuah mobil
Daihatsu Xenia akan dijual secara lelang untuk melunasi hutang Konsumen. e. Pengumuman lelang atas unit kendaraan bermotor tersebut, diberitahukan pada hari/tanggal: Jumat 19 Maret 2010 di halaman7 Koran Nasional Harian Rakyat Merdeka. Bukti ini sangat terang dan jelas bahwa lelang yang dilakukan telah memenuhi azas Publisitas. f. Setelah
pelelangan
berlangsung
dibuat
berita
acara
penetapan
lelang
No.:001/BAPPL/CWD/III/2010 dari Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta, tertanggal 25 Maret 2010 sebagai tanda bukti bahwa Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta telah melakukan lelang dan telah menetapkan pemenang lelang barang jaminan berupa sebuah mobil Daihatsu, Tipe: Xenia LI Plus VVTI 1.0,
No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307 terjual secara lelang dengan harga Rp.95.000.000 (Sembilan puluh lima juta Rupiah) untuk melunasi hutang Sunardi dan sisanya dikembalikan kepada Sunardi. g. Sunardi selaku konsumen merasa keberatan dengan pelelangan yang dilakukan PT. Mandiri Finance dan membawa permasalahan tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta ( BPSK ), dengan gugatan untuk menghukum kepada
50
pelaku usaha untuk member ganti rugi sebesar Rp. 102.760.000 (total biaya konsumen dalam kredit ditambah asuransi dan administrasi). V. Pertimbangan dan Putusan Hakim a. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Majelis Arbiter Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta: 1. Majelis mempertimbangkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari 2007 disebut klausal baku, yang telah dipersiapkan dan dibuat pelaku usaha. Perjanjian tersebut batal demi hukum, karena memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a), (g), ayat 2 dan ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen barkaitan dengan klausula baku yang dilarang. 2. Berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari 2007, pelaku usaha telah melelang jaminan yang diserahkan konsumen berupa satubuah unit kendaraan xenia. Dilelang secara terbuka dengan harga Rp. 95.000.000, akan tetapi
karena perjanjian pembiayaan dinyatakan batal demi hukum jadi
pelelangan tersebut tidak sah. 3. Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara
Fiducia No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007, akta fidusia baru didaftarkan tanggal 18 Desember 2007 ( Sebelas bulan kemudian ). Dibuktikan
dengan
keluarnya
Sertifikat
Jaminan
Fidusia
No.:
W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007 tertanggal 18 Desember 2007. Dengan demikian keberadaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak
51
milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari 2007 bertentangan dengan fakta hukum yang sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sah dan dilampirkan sebagai perjanjian aksesoris. 4. Atas dasar tersebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, menghukum kepada pelaku usaha untuk mengembalikan uang muka, biaya administrasi dan asuransi yang telah dibayarkan seluruhnya sebesar Rp. 15.632.500. Keberatan dengan putusan BPSK Yogyakarta, PT. Mandiri Finance mengajukan banding di Pengadilan Negeri Purworejo. Pokok keberatan Pemohon/ PT.Mandiri adalah : mohon agar putusan BPSK Kota Yogyakarat Nomor: 24/abs/BPSKYK/X/2011 Oktober 2011 dibatalkan. b. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Pengadilan Negri Purworejo: 1. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 tahun 2006, mensyaratkan jika keberatan terhadap putusan BPSK dapat diajukan baik oleh pelaku usaha dan atau konsumen kepada pengadilan negri ditempat kedudukan hukum konsumen tersebut. 2. Pemohon keberatan mendalilkan jika dalam penyelesaian sengketa di BPSK kota Yogyakarta melalui proses arbitrase, ada surat dokumen palsu atau yang dinyatakan palsu, majelis hakim tidak menemukan fakta adanya dokumen palsu. Terkait dengan pertimbangan hukum Badan Penyelesaian Sengkate Konsumen Yogyakarta, Majelis Hakim tidak menemukan suatu tipu muslihat dan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam proses arbitrase dianggap telah sesuai (Vide : Putusan BPSK Kota Yogyakarta Nomor 24/abs/BPSK-YK/X/2011, Tanggal 6 Oktober 2011).
52
3. Mendasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, maka majelis hakim berpendapat jika permohonan Pemohon Keberatan untuk membatalkan Putusan BPSK Kota Yogyakarta Nomor: 24/abs/BPSK-YK/X/2011, Tanggal 6 Oktober 2011, haruslah ditolak. Atas dasar tersebut Pengadilan Negri Purworejo menolak keberatan pemohon dan menghukum untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.201.000,00.
Keberatan dengan putusan Pengadilan
Negri
Purworejo, PT. Mandiri Finance mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. c. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Mahkamah Agung: 1. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan, bahwa Pengadilan Negeri Purworejo tidak salah menerapkan hukum, pertimbangannya sudah tepat dan benar. Pembaca I, nama: H.Syamsul Ma‘arif,SH.,LLM.,Ph.D, berbeda pendapat (dissenting opinion): bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan Penggugat (sekarang, Termohon) karena gugatan Penggugat/konsumen pada dasarnya tidak memenuhi prestasi atau isi perjanjian yaitu tidak membayar sisa angsuran dan bunga sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Pembiayaan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Pembaca I berpendapat, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi harus dikabulkan. 2. Terjadi perbedaan pendapat dalam majelis dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai permufakatan. Sesuai Pasal 30 ayat (3) Undang-undang No.5 Tahun 2004. Diambil putusan dengan suara terbanyak yaitu menolak permohonanan kasasi dari Pemohon Kasasi. Maka permohonan
53
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT.Mandiri Tunas Finance, tersebut
harus
ditolak
dan
menghukum
Pemohon
Kasasi/Pemohon
Keberatan/Pelaku Usaha/Teradu untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.500.000,00. VI.Hasil wawancara yang didapat dari narasumber Pegawai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta. a. Narasumber menerangkan bahwa data dalam perjanjian menyebutkan jika angsuran yang diangsur oleh konsumen tidak dapat dikembalikan, sesuai dengan perjanjian pembiayaan antara Sunardi sebagai konsumen dan PT. Mandiri Tunas Finance sebagai perusahaan pembiayaan. Hal demikian dilakukan berdasarkan perjanjian baku agar perusahaan pembiayaan tidak mengalami kerugian. b. Jika terjadi wanprestasi sesuai aturan tentang jaminan fidusia, yang telah disebutkan berdasarkan Undang-undang No.42 Tahun 1999. Jaminan akan dilelang untuk mengambil pelunasan. Dalam perkara ini hasil pelelangan telah dianggap sebagai pelunasan piutang dan sisanya telah dikembalikan kepada yang bersangkutan. Hal tersebut karena didalam perkara ini tidak ada gugatan konsumen atau pengaduannya tentang pengembalian sisa lelang. Gugatan konsumen hanya untuk memberi ganti rugi sebesar Rp. 102.760.000 (total biaya konsumen dalam kredit ditambah asuransi dan administrasi). c. Pihak Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta tidak dapat memberikan data tentang Perjanjian Baku yang dibuat PT.Mandiri Tunas Finance, karena terkait kerahasiaan
perusahaan
atau
privasi
54
perusahaan
tersebut.
Hanya
dapat
memberitahukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen saja, dengan kata lain hanya memiliki putusannya saja tidak termasuk perjanjian pokok. B. Pembahasan Dapat diketahui hubungan antara dua orang yang saling mengikatkan diri dimana salah satu mempunyai hak dan salah satu mempunyai kewajiban disebut perikatan, pemenuhan hak suatu perikatan disebut prestasi. Dari perikatan-perikatan tersebut dapat terbentuk suatu perjanjian atau dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, yang telah diatur di dalam Buku III KUH Perdata. Arti dari perjanjian disebutkan di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi : ‗suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih‘. Jika suatu perjanjian tidak dapat terpenuhi atau tidak dipenuhinya suatu prestasi, maka akan berakibat terjadinya wanprestasi. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian46. Kelalaian dan kesalahan debitur bukan karena overmacht/ keadaan memaksa. Perkembangan ekonomi yang semakin mengglobal dan semakin meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat, munculah perjanjian pembiayaan konsumen. Menurut Pasal 5 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Pembiayaan Konsumen adalah kegiatan usaha yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan.
Pelaksanaan perjanjian pembiayaan sering
diikuti dengan jaminan fidusia, dimana diatur dalam Undang-undang No.42 Tahun 1999. Pada pelaksanaan perjanjian pembiayaan yang diikuti dengan jaminan fidusia dapat terjadi 46
Nindyo Pramono, Op. Cit. hal.221.
55
wanprestasi dan menimbulkan berbagai akibat hukum. Seperti dalam peristiwa wanprestasi oleh Sunardi sebagai konsumen kepada PT.Mandiri Finance didalam perjanjian pembiayaan yang diikuti dengan jaminan fidusia. 1. Akibat Wanprestasi Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara PT. Mandiri dengan Sunardi Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pendaftaran Fidusia
Pada
Perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012 Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana tersaji dalam data no.III.a, yaitu pada tanggal 19 Januari 2007 terjadi penandatanganan dan persetujuan oleh pihak konsumen yaitu Sunardi yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan atas sebuah unit kendaraan
bermotor: Merk Daihatsu. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika dikaitkan dengan isi pasal diatas maka Sunardi tidak hanya sebagai debitur saja, namun secara sah dia mempunyai hubungan yuridis sebagai konsumen, karena tidak memperdagangkan kembali barang yang dibeli. Perjanjian diatas merupakan perjanjian pembiayaan dimana diatur didalam Pasal 5 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000, yang dibuat berdasarkan perjanjian baku. Mengenai perjanjian baku, Abdul Kadir Muhammad berpendapat sebagai berikut47: ‖Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran. Perjanjian 47
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87.
56
baku memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak pemohon atau konsumen dari pihak perusahaan penyedia barang maupun jasa‖. Dilihat dari data no.III.a, perjanjian antara Sunardi dan PT. Mandiri Tunas
Finance dapat dikatakan sah karena memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat, cakap berbuat, hal tertentu dan sebab yang halal. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian baku yang tidak dilarang, karena tidak memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g), ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perjanjian baku yang dilarang. Disini pelaku usaha tidak mengalihkan tanggung jawabnya dan tidak menambah peraturan baru yang dibuat sepihak pada saat konsumen memanfaatkan jasanya dan perjanjian baku yang dibuat dapat dipahami oleh Sunardi sebagai konsumen. Dibuktikan dengan penandatanganan dan persetujuan oleh pihak konsumen dalam data no.III.b, dimana Sunardi selaku konsumen telah mempelajari perjanjian baku yang dibuat PT. Mandiri Finance dan menyetujui perjanjian. Data no.IV.a menyebutkan, bahwa pada bulan agustus 2009 terjadi wanprestasi oleh Sunardi sebagai konsumen. Menurut Pasal 30 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 apabila debitor atau pemberi fidusia wanprestasi, maka pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Data no.IV.b menyebutkan bahwa karena wanprestasinya sunardi selaku konsumen sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen, pada tanggal 4 februari 2010 dilakukan penarikan terhadap barang jaminan berupa 1 (satu) Unit kendaraan bermotor : Merk : Daihatsu. Setelah dilakukan penarikan benda jaminan tersebut dieksekusi. Pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek
57
jaminan fidusia harus memenuhi Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 42 Tahun 1999, Yaitu: a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.42 Tahun 1992, dimana sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial. b. Penjualan benda jaminan fidusia dilakukan melalui pelelangan umum, untuk mengembil pelunasan. c. Penjualan bawah tangan dapat dilakukan melalui kesepakatan pemberi dan penerima fidusia yang menguntungkan para pihak. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf a Undangundang No. 42 Tahun 1999, Walaupun dari data no.III.d menyebutkan bahwa terjadi keterlambatan pendaftaran sertifikat fidusia, yaitu sebelas bulan setelah perjanjian pembiayaannya. Tetap saja sah, karena penarikan dan pelaksanaan eksekusi benda jaminan sesuai data no.IV.b baru dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 2010, dimana sertifikat fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial telah terbit sebelum adanya penarikan benda jaminan dan eksekusinya yaitu telah terbit pada tanggal 18 Desember 2007. Hal tersebut juga sudah sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012 yang intinya perusahaan pembiayaan boleh melakukan penarikan benda jaminan fidusia apabila sertifikat telah terbit. Pasal 4 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012 menyebutkan bahwa penarikan benda jaminan harus disepakati para pihak didalam perjanjian pembiayaan. Sesuai data no.III.a penarikan benda jaminan sudah disepakati para pihak didalam perjanjian pembiayaan.
58
Secara umum jika benda jaminan fidusia yang berkaitan dengan kendaraan bermotor tidak didaftar atau tidak memiliki sertifikat jaminan fidusia, akan memberi akibat langsung pada penerima fidusia, dalam hal ini dapat diakatakan sebagai perusahaan pembiayaan. Pasal 5 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012 menyebutkan akibat jika perusahaan pembiayaan selaku peneriman fidusia tidak mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai undang-undang jaminan fidusia, tiga kali berturut-turut akan dilakukan peringatan, jika peringatan dihiraukan akan dilakukan sanksi pembekuan kegiatan usaha selama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Apabila masa pembekuan kegiatan usaha berakhir tetapi perusahaan pembiayaan tetap tidak melakukan apa yang diperintahkan dalam aturan ini, yaitu tidak mendaftarkan jaminan fidusia maka Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. Akibat yang lain disebutkan didalam Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012 bahwa apabila sertifikat jaminan benda fidusia belum terbit atau tidak didaftar maka apabila terjadi wanprestasi pada debitur, perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor. Hal tersebut juga berkaitan dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial terhadap benda jaminan fidusia. Dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang pelaksanaan eksekusi yang harus dilakukan dengan pelelangan umum, sudah sesuai. Karena menurut data no.IV.e menyebutkan, bahwa eksekusi benda jaminan fidusia dilakukan melalui pengumuman lelang atas unit kendaraan bermotor tersebut pada
59
hari/tanggal: Jumat 19 Maret 2010di halaman7 Koran Nasional Harian Rakyat Merdeka. Diperkuat dengan data no.IV.f yang menyebutkan bahwa setelah pelelangan
berlangsung dibuat berita acara penetapan lelang No.:001/BAPPL/CWD/III/2010 dari Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta, tertanggal 25 Maret 2010. Memang pelelangan ini dilakukan untuk mengambil pelunasan piutang sesuai perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok dan sisanya telah dikembalikan. Dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 42 Tahun 1999 bahwa dapat dilakukan penjualan dibawah tangan apabila terjadi kesepakatan. Pelaksanaan eksekusi benda jaminan ini memang tidak dilakukan dengan penjualan dibawah tangan karena tidak ada kesepakatan dari para pihak, maka sesuai data no.IV.e dan no.IV.f pelaksanaan eksekusi dilakukan secara lelang beserta pemberitaannya. Dengan demikian maka pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia yang terjadi dari wanprestasi Sunardi sebagai konsumen, sesuai dengan aturan yang berlaku sebagaimana diterangkan diatas. 2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Akibat Wanprestasi Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara PT. Mandiri Dan Sunardi Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pendaftaran Fidusia Pada
Perkara Putusan No. 335
K/Pdt. Sus/ 2012 Sesuai data no.V.c.1, bahwa pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Negri Purworejo, sebagaimana disebutkan sebelumnya pada data no.V.b.2 Pengadilan Negri Purworejo juga menyetujui Putusan BPSK Yogyakarta. Sesuai dengan data no.V.a.1,V.a.2 dan V.a3 terdapat beberapa pertimbangan hukum yang disetujui Mahkamah Agung, yang
60
menyebuktkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam perkara ini disebut batal demi hukum dan dikatakan tidak sah. Pasal 4 Undang-undang No. 42 tahun 1999, menerangkan bahwa fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir atau disebut juga perjanjian ikutan. Sifat accessoir fidusia dapat disimpulkan jika perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian fidusia sah, maka perjanjian fidusia yang merupakan ikutan dari perjanjian pokok dianggap sah. Dari hal tersebut, maka dapat diketahui akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan antara Sunardi dan PT. Mandiri Finance berupa pelelangan mobil sesuai data no.IV.e dan no.IV.f dapat dikatakan tidak sah. Dilihat dari data no.V.a.1;V.a.2 dan V.a3 yang menyebutkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam perkara ini disebut batal demi hukum dan dikatakan tidak sah. Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut dapat disanggah. Dari data no.V.a.1 yang menerangkan bahwa perjanjian pembiayaan yang didasarkan pada klausula baku yang dibuat PT. Mandiri Tunas Finance memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) huruf (a), huruf(g), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagai perjanjian baku yang dilarang. Terdapat beberapa alasan yang dapat menyanggah data no.V.a.1 sebagaimana diterangkan diatas. Alasan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Pasal 18 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 memberi penjelasan bahwa ‗pelaku usaha tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya‘. Pada saat jalannya persidangan sesuai dengan fakta hukum dalam pertimbangan Mahkamah Agung dari data no.V.a.1, majelis Mahkamah Agung tidak dapat membuktikan adanya pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh PT. Mandiri Tunas Finance.
61
Pasal 18 ayat 1 huruf (g) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 memberi penjelasan bahwa ‗dilarang melakukan penundukan konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya‘. Pertimbangan yang dibuat Mahakamah Agung
sesuai data no.V.a.1, tidak dapat
dibuktikan adanya aturan baru yang harus dipatuhi konsumen pada saat konsumen memanfaatkan jasanya pada perjannjian pembiayaan dalam perkara ini. Hal tersebut dibuktikan dengan data no.III.a dan III.b, yang menyatakan persetujuan dan penandatanganan oleh pihak konsumen yaitu Sunardi hanya dilakukan Pada tanggal 19 Januari 2007. Tidak ada penambahan aturan lain yang dilakukan pada hari yang berbeda pada saat konsumen atau Sunardi memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun menerangkan bahwa ‗pelaku usaha dilarang mencantumkan klausa baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti‘. Pertimbangan yang Mahkamah Agung atas dasar pasal tersebut tidak tepat, karena dalam fakta hukumnya sesuai data no.III.b menyebutkan bahwa pihak konsumen atau Sunardi telah diberikan waktu yang cukup oleh PT. Mandiri Finance, untuk mempelajari dan memahami Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007, sebelum terjadinya kesepakatan dan penandatanganan. Dapat dikatakan sesuai dengan beberapa alasan yang telah disebutkan, perjanjian pembiayaan tersebut tidak dapat dikatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g) dan ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagai klausula baku yang dilarang.
62
Data no.V.a.2 yang memberikan keterangan mengenai pertimbangan Mahkamah Agung atas persetujuannya yang menyebutkan bahwa pelelangan yang dilakukan PT. Mandri Tunas Finance selaku perusahaan pembiayaan tidak sah karena perjanjian pembiayaan batal demi hukum. Terdapat sanggahan karena sesuai dengan keterangan diatas, tentang alasan mengenai perjanjian pembiayaan yang dilakukan dengan klausula baku, tidak terbukti melanggar Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g) dan ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagaimana yang disebutkan didalam pertimbangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang disetujui Mahkamah Agung. Dengan demikian klausula baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007 dianggap sah beserta pelelangan yang dilakukan sesuai dengan data no.IV.e dan no.IV.f. Pelelangan tersebut, juga telah memenuhi Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 42 Tahun 1999, tentang cara eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Di dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 42 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang pelaksanaan title eksekutorial fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang adanya sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Sesuai dengan data no.III.d mengenai adanya Sertifikat Jaminan Fidusia No.: W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007 tertanggal 18 Desember 2007 dalam perjanjian pembiayaan, pada perkara ini digunakan sebagai kekuatan untuk melaksanakan eksekusi benda fidusia. Pelaksanaan penarikan dan eksekusi jaminan fidusia pada perkara ini jika dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang pelaksanaan eksekusi yang harus dilakukan dengan pelelangan umum, sudah sesuai. Menurut data no.IV.e, bahwa
63
eksekusi benda jaminan fidusia dilakukan melalui pengumuman lelang atas unit kendaraan bermotor tersebut pada hari/tanggal: Jumat 19 Maret 2010 di halaman 7 Koran Nasional Harian Rakyat Merdeka. Diperkuat dengan data no.IV.f yang menyebutkan bahwa setelah pelelangan berlangsung dibuat berita acara penetapan lelang No.:001/BAPPL/CWD/III/2010 dari Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta, tertanggal 25 Maret 2010. Pelelangan ini dilakukan untuk mengambil pelunasan piutang sesuai perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok dan sisanya telah dikembalikan sesuai data no.IV.f. Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 42 Tahun 1999 bahwa dapat dilakukan penjualan dibawah tangan apabila terjadi kesepakatan. Pelaksanaan eksekusi benda jaminan ini memang tidak dilakukan dengan penjualan dibawah tangan karena tidak ada kesepakatan dari para pihak, maka sesuai data no.IV.e dan IV.f pelaksanaan eksekusi dilakukan secara lelang. Sudah jelas bahwa data no.V.a.2 yang memberikan keterangan mengenai pertimbangan hukum yang disetujui Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa pelelangan yang dilakukan PT. Mandri Tunas Finance selaku perusahaan pembiayaan tidak sah, tidak dapat dibenarkan. Pelaksanaan lelang dalam perkara ini sebagaimana diterangkan diatas telah dianggap sah dan sudah sesuai aturan yang ada. Data no.V.a3 tentang pertimbangan Mahkamah Agung menyebutkan, bahwa akta fidusia baru didaftar 11 bulan kemudian dan terbit pada tanggal 18 Desember 2007 (Sebelas bulan kemudian). Keberadaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari 2007 bertentangan dengan fakta hukum yang sebenarnya maka pelelangan juga tidak dapat dikatakan sah‘. Kedudukan sertifikat jaminan fidusia sangat penting, karena
64
sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012 yang berbunyi ‗perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan‘. Dari data no.III.d memang terlihat terjadi keterlambatan pendaftaran sertifikat fidusia, yaitu sebelas bulan setelah perjanjian pembiayaannya. Tetapi pelaksanaan lelang dapat dikatakan sah, karena penarikan dan pelaksanaan eksekusi benda jaminan sesuai data no.IV.b baru dilaksanakan pada tanggal 4 Februaru 2010. Sertifikat fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial telah terbit sebelum adanya penarikan benda jaminan dan eksekusinya yaitu pada tanggal 18 Desember 2007 oleh lembaga yang berwenang yaitu Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah Jo. Akta Jaminan Fidusia No.: 192. Dari berbagai alasan tersebut maka akibat wanprestasi dalam perkara ini yaitu pelaksanaan eksekusi secara lelang terhadap barang jaminan berupa 1 (satu) Unit kendaraan bermotor : Merk : Daihatsu, Tipe : Xenia LI Plus dibenarkan, karena sesuai dengan fakta hukum yang terjadi dan juga aturan-aturan yang terkait. Jika memang terjadi kerugian pada konsumen itu memang murni dikarenakan oleh pihak konsumen yaitu Sunardi itu sendiri bukan karena PT.Mandiri Tunas Finance sebagai pelaku usaha yang memberikan kerugian terhadap pelayanan jasa maupun sifat kualitatif benda jaminan. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan diatas telah jelas terlihat bahwa perkara ini murni disebabkan karena wanprestasi yang dilakukan oleh Sunardi pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia
65
No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007 kepada PT.Mandiri Tunas Finance selaku pelaku usaha.
66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan yang bisa dilihat dari halaman sebelumnya, berdasarkan fakta hukum dan Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung dapat diambil kesimpulan, bahwa: 1. Akiba wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dengan Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012 adalah dilakukannya penarikan dan penjualan lelang benda jaminan fidusia yaitu 1 (satu) unit kendaraan bermotor merk Daihatsu, yang dilakukan melalui pelelangan sebagai pelaksanaan pelunasan hutang. Pelaksanakan penarikan dan penjualan lelang dalam perkara ini sudah sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012, Pasal 29 ayat (1) Sampai ayat (3) dan Pasal 30 Undang-undang No.42 Tahun 1999. Walaupun terjadi keterlambatan pendaftaran sertifikat fidusia yaitu sebelas bulan, namun pelelangan tersebut dapat dikatakan sah karena penarikan dan pelaksanaan penjualan lelang benda jaminan fidusia baru dilaksanakan pada tanggal 4 Februaru 2010, sedangkan sertifikat jaminan fidusia telah terbit pada tanggal 18 Desember 2007. 2. Pertimbangan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan antara Sunardi dan PT.Mandiri Tunas Finance, yang memberikan pertimbangan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam perkara ini disebut batal demi hukum dan dikatakan tidak sah. Setelah dikaitkan dengan hasil penelitian, pertimbangan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku yang diperjanjikan tidak terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf (a), huruf(g), ayat (2) 67
dan ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagai perjanjian baku yang dilarang. Pelaksanaan penarikan dan penjualan lelang yang dilakukan secara lelang juga sudah sesuai dengan Pasal 29 Undang-undang No.42 Tahun 1999. Walaupun dalam pertimbangan Konsumen
Mahkamah Dengan
Agung disebutkan
Penyerahan
Hak
bahwa,
Milik
perjanjian
Secara
Pembiayaan
Fidusia
Nomer:
906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007 tidak sah karena terlambat didaftarkan. Namun karena penarikan dan penjualan lelang dilakukan setelah sertifikat terbit, maka dapat dikatakan sah.
68
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Literatur Badrulzaman, Mariam Daruz, Aneka Hukum Bisnis, , Alumni, Bandung, 1994. Gautama, Sudargo, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD Dan KUHPerdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1994. Masjchon Sofwan, Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok hukum jamonan dan jaminan perorangan, Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Liberty, Yogyakarta, 1980. Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 1999. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. _____________________, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. _____________________, Hukum Perusahaan Indonesia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003. Roestamy, Martin, Hukum Jaminan Fidusia, PT.Percetakan Penebar Swadaya, Bogor, 2009. Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, 1988. Satrio, J., Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT Citra Aditya Bakti, , Bandung, 1995. ______, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. ______, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, Jakarta, 1999. Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987. 69
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 2005. Syahrani, Riduan, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung ,1992. Wijaya ,Gunawan dan Ahmad Yani, Seri hukum bisnis dan jaminan fidusia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. 2.
Peraturan-peraturan : Undang-undang No.42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia Undang-undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012, tentang Pendaftaran Fidusia Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000, tentang Pembiayaan Konsumen
3. Sumber Internet Adypato, Mekanisme Pembiayaan Konsumen, tersedia dihttp://adypato.wordpress.com/2011/01/12/mekanisme-pembiayaan-konsumen/, diakses tanggal 10 februari 2014 Ihsan Ismail, Syarat-Syarat Kredit, tersedia di http://ihsan947.blogspot.com/2011/05/syarat-syarat-kredit.html, diakses tanggal 25 Mei 2014 Junaidi, Rangkuman Hukum Jaminan , tersedia di website http://lawfile.blogspot.com/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-jaminan.html, diakses tanggal 20 Juni 2014 Madili, Metode Penelitian, tersedia di website http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/divinisi-penelitian-metode-dasar.html, diakses tanggal 12 Juli 2014. M.Rinaldi Santoso, Pembiayaan Konsumen, tersedia website dihttp://rinaldisantoso.blogspot.com/2011/11/pembiayaan-konsumen.html, diakses Tanggal 12 Januari 2014 Muhamad Riswan, Jaminan Yang Lahir Karena Perjanjian, tersedia di website http://ayobelajarhukum.blogspot.com/2011/11/jaminan-yang-lahir-karena-perjanjian.html, diakses tanggal 5 februari 20014 Qodhi, Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, tersedia di website http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaanmemaksa/, diakses tanggal 20 Juni 2014 70