TESIS
AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI
DESAK PUTU THIARINA MAHASWARI AGASTIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
TESIS
AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI
DESAK PUTU THIARINA MAHASWARI AGASTIA NIM. 1092461001
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESAK PUTU THIARINA MAHASWARI AGASTIA NIM. 1092461001
PROGRAM MAGISTER STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL :
Pembimbing I
JULI 2014
Pembimbing II
Prof.Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH SH.,MH NIP. 19551126 198511 1 001
Ida Bagus Putra Atmadja, NIP.19541231 198303 1 018
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H Sp.S (K). NIP. 19650221 199003 1 005
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, NIP. 19590215 198510 2 001
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: DESAK PUTU THIARINA MAHASWARI AGASTIA
Nim
: 1092461001
Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis
: Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 23 juni 2014 Yang Membuat Pernyataan,
Desak Putu Thiarina Mahaswari Agastia NIM. 1092461001
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH
DEBITUR
WANPRESTASI”. Dalam
penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.
Yohanes
Usfunan, Drs., SH., MH., selaku Pembimbing Pertama dan terimakasih penulis ucapkan kepada Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH selaku Pembimbing Kedua yang telah
memberikan
semangat,
bimbingan
dan
saran
selama penulis
menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof.
Dr.
dr.
Ketut
Suastika, Sp. PD-KEMD Rektor Universitas Udayana beserta staf atas kesempatan yang diberikan
untuk mengikuti
dan menyelesaikan
studi pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
v
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Magister pada Program Pascasarjana Universitas udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum., Ketua Program Studi
Magister
Kenotariatan Universitas Udayana. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada penulis, Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Terimakasih juga penulis tunjukan kepada Ayah Ngakan Putu Gede Agastia (Alm) dan Ibu IGA Eka Gesuriwaty Agastia, serta Suami tersayang Agus Made Yoga Iswara dan Anak Tersayang Ayu Putu Mahadewi Yogeswara atas segala dukungan dan perhatiannya yang telah memberikan arti tersendiri dalam diri penulis. Terimakasih kepada sahabat Putu Deviyanthi Sugitha, SH, Ni Kadek Femy Yulistiawati, SH, Putu Ayu Tianita Pramidewi, SS, Putu Ekarina Kumala, SE, teman-teman angkatan I Mandiri dan beserta teman-teman seluruh angkatan Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberi semangat dan mendorong dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukungan proses pembuatan tesis ini.
vi
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyangan Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, Mei 2014
Penulis
vii
ABSTRAK AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI
Lembaga Fidusia merupakan suatu lembaga penjaminan hutang yang sangat diminati oleh masyarakat saat ini, khususnya masyarakat yang bergerak dalam bidang bisnis atau usaha. Dengan demikian dalam penelitian ini dapat dikemukakan beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya penelitian ini, antara lain : belum adanya peraturan yang secara tegas dan jelas mengatur mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi, lembaga fidusia proses pelayanannya lebih mudah fleksibel, juga menjamin kepastian hukum para pihak, lembaga fidusia juga memberi kelonggaran bagi debitur untuk tetap dapat menguasai barang jaminan, karena yang diserahkan kepada kreditur hanyalah dokumen kepemilikannya saja, lembaga fidusia juga mempermudah pelaksanaan pengeksekusian dalam hal terjadi sengketa. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian tesis ini adalah mengenai bagaimanakah pengaturan pendaftaran Jaminan Fidusia dalam sistem Hukum Indonesia dan mengenai bagaimanakah akibat hukum terhadap Jaminan Fidusia yang didaftarkan setelah Debitur wamprestasi. Penelitian yang digunakan dalam penulisan thesis ini adalah penelitian hukum normatif yang artinya adalah suatu penelitian yang pelaksanaannya melalui penelitian pada peraturan hukum, asas hukum ataupun doktrin hukum yang terdapat dalam buku-buku kepustakaan, misalnya : peraturan perundang-undangan, buku asing atau dalam negeri, internet dan makalah hukum. Penelitian hukum normatif ini digunakan karena permasalahan yang diteliti adalah mengenai kekaburan norma tentang belum adanya peraturan yang secara tegas dan jelas mengatur mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. Hasil penelitian yang diperoleh mengenai pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit dan jaminan fidusia, yang mana ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. Kemudian hasil penelitian mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi adalah tetap dapat dilakukannya pengeksekusian jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi karena kantor pendaftaran fidusia tetap menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia walaupun sudah terlambat dan tetap mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia untuk diberikan pada pemohon pendaftaran jaminan fidusia, yang mana hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Kata kunci : akibat hukum, pendaftaran jaminan fidusia, wanprestasi.
viii
ABSTRACT THE LEGAL CONSEQUENCE OF FIDUCIARY ASSURANCE REGISTRATION AFTER A DEBTOR’S DEFAULT Fiduciary institution is a debt assurance that is drwaing people’s attention nowadays, particularly those who conduct business. Therefore, this research could provide several items as the research bacground, such as: the absence of strict provision about the legal consequences of fiduciary assurance registration after a debtor’s default, a more flexible process of fiduciary institution, legal assurance of the parties involved, as well as the fiduciary instution will give some space for the debtors to have the ownership, because it is only the ownership document that is submitted to the creditor, and the last is that the fiduciary institution will assist to ease the execution if there shall be a dispute. The problem emphasized in this thesis is about fiduciary assurance registration in Indonesian legal system, as well as the legal effect on fiduciary assurance which is registered after the debtor’s default Research applied in this thesis is a normative legal research which means a research that is done through legal regulation research, legal principle or doctrine stated in the referred books, such as: legislation regulation, foreign or local books, internet and law journal. The normative legal research is used because the investigated problem is dealing with norm obscurity about the absence of strict provision regulating the legal consequence of fiduciary assurance registration after a debtor’s default. The result of the regulation of fiduciary registation regulation in Indonesian legal system research is done through analysing 6 (six) provisions dealing with fiduciary assurance and credit assurance, which are known that there are several provisions which are subtly regulated the fiduciary assurance registration and the legal effect of fiduciary assurance registration after the debtor’s default, moreover there are some of them which are completely ignoring the regarded issues. Then, the research result about the legal consequences of fiduciary asurance after a debtor’s default is that the fiduciary assurance execution towards the defaulting debtor could still be conducted, as the fiduciary registration office is still accepting the registration of fiduciary assurance from the creditor although it is late, and also it will still be issueing the fiduciary assurance certificate to be handed to the creditor, which is appropriate referred to the Article 29 Legal of Fiduciary Assurance. Keyword: legal consequence, fiduciary assurance registration, default
ix
RINGKASAN
Tesis ini menganalisa mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. Bab I, menguraikan tentang latar belakang masalah yang disebabkan karena adanya kekaburan norma dan kekosongan norma mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi, mengenai berkredit dengan lembaga jaminan fidusia yang memiliki banyak keuntungan; antara lain adanya kepastian hukum, proses pelaksanaan yang mudah dan fleksibel, benda jaminan masih dapat dikuasai oleh debitur dan pelaksanaan eksekusi yang mudah. Bab II, menguraikan tentang teori-teori dan konsep-konsep mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan perjanjian kredit. Teori-teori konsep tersebut dijabarkan lagi menjadi empat sub bab antara lain teori dan konsep perjanjian kredit, jaminan kredit, jaminan fidusia dan wanprestasi. Bab III, menguraikan pembahasan terhadap rumusan masalah pertama yang diuraikan dalam tiga sub bab antara lain : bentuk pengaturan pendaftaran jaminan fidusia, mekanisme pendaftaran jaminan fidusia, dan pendaftaran jaminan fidusia oleh kreditur melalui sistem online. Bab IV, menguraikan pembahasan terhadap rumusan masalah kedua yang diuraikan dalam dua sub bab antara lain : sertifikat jaminan fidusia dan akibat hukum terhadap
jaminan
fidusia
yang
didaftarkan
x
setelah
debitur
wanprestasi.
Bab V, sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusis setelah debitur wanprestasi. Kemudian masih tetap dapat dilakukannya pengeksekusian jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi dikarenakan kantor pendaftaran fidusia masih menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia dan mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia untuk diberikan kepada kreditur.
xi
DAFTAR ISI JUDUL
HALAMAN
SAMPUL DALAM ..............................................................................................
i
LEMBAR PERSYARATAN GELAR SARJANA ...........................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ...............................................................................
v
ABSTRAK ............................................................................................................
viii
ABSTRACT .........................................................................................................
ix
RINGKASAN ......................................................................................................
x
DAFTAR ISI .......................................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................
12
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................
12
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................
12
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................
12
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................
13
1.4.1 Manfaat Teoritis ..............................................................
13
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................
13
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ..............................
14
1.5.1 Landasan Teoritis ............................................................
14
1.5.2 Kerangka Pemikiran ........................................................
18
1.6 Metode Penelitian ........................................................................
28
1.6.1 Jenis Penelitian ................................................................
28
1.6.2 Jenis Pendekatan .............................................................
29
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ...................................................
31
xii
BAB II
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................
32
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ......................................
33
TEORI DAN KONSEP-KONSEP TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Perjanjian Kredit ..........................................................................
35
2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit ...........................................
35
2.1.2 Unsur-Unsur Perjanjian Kredit .......................................
37
2.1.3 Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok...................
44
2.1.4 Syarat-syarat Permohonan Kredit...................................
45
2.1.5 Asas-Asas Perjanjian .......................................................
51
2.2 Jaminan Kredit .............................................................................
54
2.2.1 Pengertian Jaminan Kredit ..............................................
54
2.2.2 Asas-Asas Hukum Jaminan ............................................
58
2.2.3 Pengaturan Sistem Hukum Jaminan di Indonesia .........
60
2.3 Jaminan Fidusia ..........................................................................
62
2.3.1 Pengertian Jaminan Fidusia ............................................
62
2.3.2 Sejarah Jaminan Fidusia .................................................
68
2.3.3 Lahirnya Jaminan Fidusia di Indonesia..........................
71
2.3.4 Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia ...............................
73
2.3.5 Ruang Lingkup dan Objek Jaminan Fidusia..................
76
2.4 Wanprestasi .................................................................................
82
2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi ...................
82
2.4.2 Unsur-Unsur Wanprestasi ...............................................
83
BAB III PENGATURAN
PENDAFTARAN
JAMINAN
FIDUSIA
SEBAGAI JAMINAN KREDIT 3.1 Bentuk Pengaturan Pendaftaran Jaminan Fidusia......................
92
3.2 Mekanisme Pendaftaran Jaminan Fidusia ..................................
107
xiii
3.3 Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Kreditur melalui Sistem Online ...........................................................................................
110
BAB IV PEMBEBANAN DAN AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINANFIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI 4.1 Sertifikat Jaminan Fidusia ...........................................................
116
4.1.1 Pembebanan Jaminan Fidusia .........................................
116
4.1.2 Eksekusi Objek Jaminan Fidusia....................................
119
4.1.3 Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia ...................
124
4.2 Akibat Hukum terhadap Jaminan Fidusia yang Didaftarkan Setelah Debitur Wanprestasi .......................................................
127
4.2.1 Akibat Hukum Perjanjian yang Sah ...............................
127
4.2.2 Akibat Hukum Wanprestasi ............................................
128
4.2.3 Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah
BAB V
Debitur Wanprestasi ........................................................
130
5.1 Kesimpulan ..................................................................................
136
5.2 Saran-Saran ..................................................................................
137
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Para pengusaha, yang merupakan komunitas jumlah terbesar sebagai peminat kredit perbankan saat ini telah menemukan solusi terbaik dalam menambah modal mereka, untuk dapat tetap menjaga kesejahteraan hidupnya, dan mempertahankan usaha yang mereka rintis. Berkredit dengan menggunakan Lembaga Jaminan Fidusia adalah solusi tersebut. Lembaga Fidusia disini sangat menarik untuk diteliti bagi penulis, karena memiliki beberapa faktor yang cukup menguntungkan baik bagi debitur maupun kreditur. Untuk mendapatkan kredit, pengusaha dapat memilih Bank sebagai Pemberi Kredit. Lembaga Jaminan Fidusia tidak hanya dapat dipergunakan dalam perjanjian kredit di Bank tetapi juga pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang dilakukan antara debitur atau konsumen (pihak penerima biaya) dengan kreditur atau perusahaan pembiayaan (pihak pemberi biaya). Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk dari perjanjian kredit namun tidak sama. Oleh karena itu yang mengatur perjanjian pembiayaan bukanlah Undang-Undang Perbankan, melainkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia
1
2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 786), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Pada UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182) ada 2 (dua) jenis, yaitu: Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.1 Bank sebagai suatu lembaga yang mana harta kekayaannya digunakan sebagai alat penyambung antara kreditur (pihak bank) dengan debitur (pihak nasabah), maka bank sudah sepantasnya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengoperasionalkan kegiatan perbankannya. Fungsi perbankan dalam memberikan kredit kepada masyarakat ini, berkaitan dengan tujuan nasional Negara yaitu melaksanakan pembangunan nasional di segala bidang sehingga mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.2 Pemberian kredit selalu memerlukan adanya pengikatan benda jaminan. Lembaga penjaminan hutang di Indonesia ada 4 (empat) diantaranya adalah : Lembaga Gadai diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1150-1161), sedangkan Lembaga Hipotek diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1162-Pasal 1232), Lembaga Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42) tentang Hak Tanggungan, Lembaga Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168) tentang Jaminan Fidusia.3 1
Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 111. 2 Soedjono Dirdjodisworo, 2003, Hukum Perusahaan mengenai Hukum Perbankan di Indonesia (Bank Umum), CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 49. 3 M.Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 22.
3 Perjanjian jaminan fidusia pada Bank merupakan perjanjian kredit, yaitu suatu kondisi dimana kreditur memberikan pinjaman dana kepada debitur dengan membuat kesepakatan mengenai jangka waktu, bunga, jaminan hutang, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak dengan cara debitur melengkapi data pada formulir perjanjian kredit yang lengkap dengan peraturan peminjaman dana serta pasalpasalnya yang telah dibuat oleh kreditur dan kemudian debitur menandatangani dan menyetujui seluruh isi yang ada dalam formulir kredit tersebut. Selanjutnya apabila debitur telah melaksanakan tanggung jawabnya melunasi hutang kepada kreditur (bank), maka kreditur pun berkewajiban mengembalikan jaminan tersebut kepada debitur. Perjanjian kredit yang ada saat ini dalam praktik hukum perbankan yang modern sudah sangat berkembang, jadi isi dalam perjanjian antara debitur dan kreditur tersebut tidak hanya perjanjian kredit saja melainkan juga campuran dari perjanjian lainnya, seperti salah satunya adalah perjanjian jaminan fidusia, karena pengikatan jaminan yang digunakan adalah lembaga jaminan fidusia. Dalam Hukum Perdata Indonesia perjanjian kredit tersebut dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari perjanjian pinjam meminjam yang pengaturannya terurai dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan diatur dari Pasal 1754 hingga Pasal 1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya penelitian ini, bertitik tolak dari alasan-alasan sebagai berikut :
4 1.
Ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas (norma kabur) serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali (norma kosong), mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi.
2.
Lembaga Fidusia merupakan lembaga keuangan yang eksistensinya adalah untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat dalam hal peminjaman uang dengan syarat-syarat yang lebih mudah dan fleksibel.
3.
Melalui lembaga fidusia akan terjamin kepastian hukum dan keadilan hukum dalam hal adanya perjanjian kredit antara debitur dan kreditur.
4.
Melalui sistem fidusia ini, jaminan kreditnya adalah dalam bentuk benda bergerak misalnya : kendaraan bermotor ; serta benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang mana hanya cukup dijaminkan sertifikat atau dokumennya saja, sehingga barang-barang tersebut tidak perlu diserahkan secara fisik kepada kreditur dan tetap dapat dikuasai oleh debitur untuk dipergunakan dalam mengoperasionalkan bisnis mereka.
5.
Dengan sistem fidusia ini, memberi keuntungan bagi kreditur (pihak bank), bahwa apabila ada debitur yang wanprestasi, kreditur tidak perlu membawa ke pengadilan kasus tersebut, karena kreditur telah memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia, untuk mempermudah pengeksekusian di tempat barang jaminan tersebut.
5 6.
Dengan lembaga fidusia, juga dapat membantu konsumen dalam memperoleh pembiayaan melalui lembaga pembiayaan untuk membeli kendaraan bermotor dengan sistem angsuran.
7.
Sering terjadi keadaan dimana, objek yang dijadikan jaminan dalam fidusia terlambat didaftarkan atau tidak didaftarkan sama sekali pada Kantor Pendaftaran Fidusia oleh para kreditur bersangkutan. Dalam proses perjanjian kredit dengan menggunakan jaminan fidusia, harus
dilakukan pembebanan jaminan dengan akta jaminan fidusia yang selanjutnya objek tersebut seharusnya didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia setempat oleh kreditur bersangkutan, namun sering terjadi keterlambatan pendaftaran, tidak dilakukan pendaftaran, ataupun dilakukan pendaftaran objek jaminan fidusia namun setelah debitur wanprestasi. Para kreditur mempunyai alasan tersendiri untuk tidak segera ataupun tidak sama sekali mendaftarkan objek jaminan itu, padahal adanya pendaftaran tersebut sesungguhnya memberikan kepastian hukum dan banyak keuntungan yang dapat dinikmati bagi kreditur.4 Salah satu penyebab para kreditur tidak taat dalam mendaftarkan objek jaminan tersebut adalah adanya beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas (norma kabur) serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali (norma kosong), mengenai akibat hukum apabila tidak mendaftarkan atau telat mendaftarkan benda jaminan tersebut, khususnya undang-undang ataupun peraturan4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 146.
6 peraturan yang berkaitan dengan jaminan fidusia ataupun peraturan mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia. Norma kabur (ketidakjelasan) / (vague van normen) dan norma kosong tersebut dapat dilihat pada : Pasal 1131, Pasal 1132, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (norma kosong). Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 mengenai Pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (norma kabur). Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 23, Pasal 8, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (norma kosong). Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 170) (norma kabur). Pasal 1 ayat (1), Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (norma kabur). Pasal 3 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 419) (norma kabur)
7 Dalam kaitan dengan pinjaman kredit melalui lembaga fidusia, kemungkinan terjadi wanprestasi adalah sangat besar. Wanprestasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena usaha yang dirintis oleh debitur mengalami kemacetan, kerugian, ataupun penipuan, dapat juga karena keadaan memaksa atau overmacht, atau mungkin saja karena kepribadian dari debiturnya sendiri yang tidak memiliki itikad baik dalam berkredit. Wanprestasi disini adalah keadaan dimana debitur tidak melaksanakan kewajibannya yaitu membayar bunga dari kreditnya ataupun sama sekali tidak mau melunasi hutangnya.5 Tergantung dari program pada setiap bank, ada bank yang menawarkan pembayaran bunga saja di setiap bulannya, ataupun pembayaran bunga dengan pokok. Kepada debitur yang menunggak tersebut, biasanya bank masih memberikan kemunduran waktu untuk membayar sampai beberapa bulan berikutnya, namun debitur dikenakan denda pada penunggakan setiap bulannya. Apabila debitur menunggak dalam waktu yang cukup lama, lebih dari waktu yang telah diberikan oleh kebijakan bank, maka dimulai dengan pengiriman surat peringatan beberapa kali kepada debitur untuk mengingatkan mereka agar membayar kewajiban tepat waktu, serta pendekatan kekeluargaan pihak bank kepada debitur yang biasanya dilakukan oleh pegawai bagian penarikan pembayaran kredit bank. Apabila hal tersebut juga belum berhasil, bank mengeluarkan surat yang isinya menginformasikan kepada debitur bahwa pihak bank akan mengambil objek yang 5
J. Satrio, 2012, Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat J. Satrio I), hal. 4.
8 dijadikan jaminan oleh debitur, apabila debitur tidak dapat sama sekali bekerjasama untuk melakukan kewajiban sebagaimana mestinya.6 Wanprestasi yang debiturnya sama sekali tidak menunjukkan itikad baik sangat bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal ini berkaitan dengan moral baik dari seorang warga Negara, yang diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai Pancasila. Namun, tidak semua warga Negara memiliki moral baik, tergantung pada latar belakang kehidupan masingmasing orang, baik itu faktor keluarga, pendidikan, pergaulan maupun kepribadian orang tersebut. Oleh sebab itu, sebagai pihak pemberi dana (kreditur), diwajibkan benar-benar memperhatikan identitas daripada calon debitur yang akan diterima. Berdasarkan pada pemaparan latar belakang tesis, dapat diketahui bahwa Lembaga Jaminan Fidusia merupakan lembaga penjaminan hutang yang sangat popouler dan cocok untuk digunakan dalam perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan untuk kredit kendaraan bermotor yang mana disesuaikan dengan kebutuhan para pengusaha dan konsumen zaman globalisasi sekarang ini. Alasannya adalah apabila terjadi wanprestasi oleh debitur, cara pengeksekusian jaminan lebih mudah dan efisien. Walaupun demikian masih ada beberapa kekurangan lembaga jaminan fidusia salah satunya adalah dalam hal penerapan norma, yaitu ada peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas (norma kabur) serta ada peraturan yang tidak mengatur sama sekali (norma kosong), mengenai akibat hukum tidak didaftarkan atau terlambatnya pendaftaran jaminan fidusia, sehingga para kreditur 6
Ibid, hal. 10.
9 pun tidak merasa pendaftaran tersebut sebagai suatu hal yang wajib untuk segera dilaksanakan. Secara akademik, orisinalitas judul ini, dapat dipertahankan, karena meskipun sudah ada beberapa penelitian tentang judul jaminan fidusia, namun isi dan pembahasannya berbeda. Adapun kajian dari tesis-tesis tersebut dipaparkan sebagai berikut : 1.
Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan judul “Perlindungan Hukum Kreditur atas Wanprestasi seorang Debitur dalam Perjanjian Kredit terkait dengan Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan (studi kasus pada BPR TRI DHARMAPUTRI KLUNGKUNG)” yang disusun oleh Dewi Indriyani, tahun 2009. Adapun permasalahan yang dibahas pada tesis tersebut ada 3 (tiga) yaitu : (1) mengapa kredit di PT. BPR TRI DHARMAPUTRI Klungkung dengan jaminann fidusiatidak didaftarakan sesuai Pasal 11 undang-undang nomor 42 tahun 1999 ?; (2) bagaimana PT. BPR TRI menyelesaikan prestasi yang terkait dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ?;(3) bagaimana perlindungan hukum kreditur atas wanprestasi debitur dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ?
2.
Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan judul “Efektifitas pelaksanaan pendaftaran fidusia dalam perjanjian kredit menurut Pasal 11 ayat (1) undang-undang nomor 42 tahun 1999” yang disusun oleh I Wayan Rusmawan, tahun 2010. Adapun
10 permasalahan yang dibahas pada tesis tersebut adalah bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum untuk bank sebagai kreditur dalam perjanjian fidusia yang dibuat dibawah tangan? 3.
Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan judul “Efektivitas Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terhadap pendaftaran Jaminan Fidusia guna penerbitan Sertifikat Fidusia sebagai jaminan perlindungan hukum bagi kreditur dalam Konflik Sengketa Utang Piutang” yang disusun oleh I Kadek Dony Hartawan, tahun 2010. Adapun permasalahan yang dibahas pada tesis tersebut ada 3 (tiga) yaitu : (1) mengapa dalam pendaftaran Jaminan Fidusia tidak berjalan efektif tidak seperti yang diisyaratkan dalam undang-undang nomor 42 tahun 1999 sehingga undang-undang pun tidak berlaku efektif ?; (2) apakah kendala-kendala dan persyaratan dalam proses pembuatan akta Jaminan Fidusia sampai pada pendaftaran dan terbitnya sertifikat fidusia?; (3) bagaimana penyelesaian konflik sengketa utang piutang dengan jaminan fidusia yang tidak dilakukan sesuai prosedur dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi kreditur ?
4.
Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan judul “Perlindungan Hukum untuk Bank sebagai KREDITUR dalam Perjanjian Fidusia yang Dibuat Dibawah Tangan” yang disusun oleh Ayu Putu Ratna Kusuma Arsa, tahun 2010. Adapun permasalahan yang dibahas pada tesis tersebut adalah: bagaimana pelaksanaan perlindungan
11 Hukum untuk Bank sebagai kreditur dalam perjanjian fidusia yang dibuat dibawah tangan 5.
Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan judul “Penyelesaian Kredit macet oleh Bank akibat Debitur Wanprestasi dengan Jaminan Fidusia (studi kasus pada beberapa bank di Kota Denpasar)” yang disusun oleh I Gusti Ayu Maha Santi Dewi, tahun 2009. Adapun permasalahan yang dibahas pada tesis tersebut ada 3 (tiga) yaitu : (1) bagaimana cara bank menyelesaikan kredit macet akibat wanprestasi dengan jaminan fidusia ?; (2) apa kendala-kendala yuridis dan non yuridis yang dihadapi oleh pihak bank dalam menangani penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia ?; (3) upaya-upaya hukum apa yang dilakukan oleh bank dalam menghadapi kendala-kendala pada proses penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia
6.
Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan judul “Kedudukan Bank pada Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia dalam Hal Debitur Pailit” yang disusun oleh I Ketut Alit Ardana, tahun 2010. Adapun permasalahan yang dibahas pada tesis tersebut ada 2 (dua) yaitu : (1) bagaimana perlindungan hukum penerima fidusia dalam hal debitur pailit ? dan (2) bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian kredit dengan jaminan fidusia apabila debitur pailit ? Setelah membaca beberapa judul tesis dan rumusan permasalahan dari
beberapa mahasiswa terdahulu, dapat penulis ketahui bahwa judul dan rumusan
12 masalah yang mereka teliti adalah sangat berbeda dengan yang sedang penulis teliti.Bertitik tolak dari latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka penulisan tesis ini berjudul “AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penelitian dari beberapa materi dalam buku kepustakaan dan perundang-undangan yang telah terurai dalam latar belakang masalah diatas, maka telah ditemukan 2 (dua) rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pengaturan pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Sistem Hukum Indonesia ?
2.
Bagaimanakah akibat hukum terhadap Jaminan Fidusia yang didaftarkan setelah Debitur wanprestasi ?
1.3 Tujuan Penelitian Pembuatan tesis adalah kegiatan penelitian karya ilmiah yang memiliki tujuan dalam pembuatannya. Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, dilakukannya penelitian
ini adalah bertujuan untuk
pengembangan ilmu hukum dalam bidang Hukum Kenotariatan mengenai
13 pemahaman tentang Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah Debitur Wanprestasi. 1.3.2 Tujuan Khusus Agar pembahasan pada setiap bab dapat lebih terfokus, maka perlu diketahui tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengkaji dan menganalisa Pengaturan Pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Sistem Hukum Indonesia. 2. Untuk mengkaji dan menganalisa Akibat Hukum Jaminan Fidusia yang didaftarkan setelah Debitur Wanprestasi.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. 1.4.2 Manfaat Praktis Sebagai suatu penelitian yang telah dilakukan dengan metode penelitian dan sistematisasi yang lengkap, maka penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat. Adapun manfaat secara praktis penelitian ini, antara lain :
14 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat maupun penulis sendiri.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi pengembangan ilmu hukum.
3.
Diharapkan penulisan tesis ini, dapat membantu memberikan inspirasi bagi para mahasiswa yang juga akan melakukan penelitian.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis 1. Teori Sistem Hukum Teori Sistem Hukum digunakan untuk menganalisa rumusan permasalahan yang pertama. Teori Sistem Hukum yang menjadi pedoman dalam penelitian tesis ini adalah Teori Sistem Hukum milik Lawrence M. Friedman, seorang Guru Besar di Stanford University yang menurutnya agar tercipta kepastian hukum dalam perbuatan-perbuatan hukum yang ada di masyarakat, maka harus berfungsinya sistem-sistem hukum yang ada. Unsur-unsur sistem hukum tersebut adalah sebagai berikut : a. Struktur Hukum adalah berkorelasi dengan para pembuat atau para penyusun dan yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan, para aparatur hukum seperti polisi, penyidik, pengacara, jaksa, hakim yang memegang peranan penting dalam penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan atau hukum positif yang sedang berlaku pada Negara tersebut. Dalam hal ini masing-masing oknum yang ada dalam struktur hukum haruslah memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan moral sebagai warga negara yang baik,
15 b. Substansi Hukum adalah berkorelasi dengan produk hukum yang telah dihasilkan oleh para penyusunnya yaitu peraturan perundang-undangan, apakah materinya telah sesuai dengan isu-isu hukum yang ada di masyarakat, apakah telah mampu memenuhi kebutuhan akan ketegasan hukum dalam masyarakat, apakah sudah lengkap terbagi dalam bidang hukum masingmasing. Hukum yang dimaksud disini adalah peraturan perundang-undangan yang telah dikodifikasikan ataupun living law yaitu hukum yang hidup dalam kebiasaan yang terjadi di masyarakat. c. Budaya Hukum adalah berkorelasi dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat yang seharusnya tidak bertentangan dengan undang-undang, dimana dari segi positif kebiasaan tersebut lama kelamaan berproses menjadi suatu hal yang dipercayakan dan dihormati oleh masyarakat yang berefek pada kehidupan pergaulan antar individu dalam masyarakat, yang dapat menumbuhkan rasa takut apabila tidak mentaati kebiasaan yang terjadi, pada individu atau kelompok dalam masyarakat, sehingga dengan tidak langsung muncul kesadaran hukum masyarakat. Namun kebiasaan tesebut juga dapat berkembang dari sisi negatif yang mana sering menimbulkan penyalahgunaan serta banyak penyelundupan hukum, hal ini semua tergantung pada mental dan kepribadian individu bersangkutan serta pergaulan yang dijalaninya.7 Relevansi rumusan masalah pertama dengan Teori Sistem Hukum ini, dapat dilihat pada adanya kekaburan norma dan kekosongan norma dalam pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem hukum di Indonesia, ini dikarenakan pada penelitian beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait pendaftaran jaminan fidusia, ada beberapa pasal yang mengatur namun belum jelas dan tegas (norma kabur) serta ada juga beberapa pasal yang sama sekali tidak mengatur (norma kosong), mengenai pendaftaran jaminan fidusia khususnya mengenai akibat hukum jaminan fidusia yang tidak didaftarkan atau yang terlambat didaftarkan (setelah debitur wanprestasi) . Hal ini menyebabkan belum adanya kepastian hukum mengenai kedudukan jaminan fidusia tersebut apabila baru didaftarkan setelah debitur 7
Raimond Flora Lamandasa, Agustus 2010, Penegakan Hukum, available from : URL : http://www.scribd.com.
16 wanprestasi dan sanksi apa yang akan diperoleh bagi kreditur yang tidak mendaftarkan atau terlambat mendaftarkan sebagai pemegang jaminan fidusia. Keadaan tersebut mempengaruhi para kreditur tidak menganggap pentingnya untuk segera mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. Terkait dengan teori sistem hukum Friedman, terlihat bahwa struktur hukumnya yaitu : subyek hukum dan aparatur hukum disini tidak memiliki pedoman yang pasti dalam mentaati hukum mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi, karena substansi hukumnya sendiri belum jelas, yaitu perundang-undangan yang terkait akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia yang terlambat. Oleh sebab itu, disini tercipta budaya hukum yang buruk bagi masyarakat yaitu terlambat dan tidak mendaftarkan sama sekali jaminan fidusia. Friedman berpendapat, hal utama dalam mencapai terciptanya hukum yang kuat adalah harus optimalnya fungsi hukum. Fungsi hukum sebagai social control, mengatur perilaku kehidupan masyarakat sehari-hari, wadah penyelesaian konflik antar individu maupun organisasi pemerintah dan non pemerintah, ”sebagai alat dalam menjaga keamanan dan memelihara lingkungan dalam segala bidang baik desa, kabupaten, provinsi dan negara”.8 Donald Black, dalam kaitan ini berpendapat, pemerintah menjadi peran utama dalam memegang sistem social control suatu Negara, baik itu ”struktur hukum, substansi serta budaya hukumnya”.9
8
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law An Introduction, W.W. Norton & Company, New York, Page 5 – 14. 9 Donald Black, 1976, The Behaviour of Law, New York, USA, Academic Press, Page. 18.
17
Dari ketiga sistem hukum tersebut, substansi Hukum menjadi paling sesuai digunakan untuk menganalisa permasalahan pertama. Hal ini disebabkan, Substansi hukum merupakan bagian yang berfokus mengenai produk hukum yang dihasilkan yaitu peraturan perundang-undangan. Relevansinya dengan permasalahan pertama tersebut dapat dilihat dari adanya kekaburan norma dan kekosongan norma pada 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang yang diteliti, yang mana ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas, serta ada juga beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali, mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi.
2. Teori Individualisasi Teori Individualisasi ini digunakan untuk meneliti rumusan permasalahan kedua. Pendukung Teori Individualisasi ini adalah Birkmayer dan Karl Binding, yang menyatakan teori ini memiliki prinsip bahwa faktor penyebab yang dapat menimbulkan adanya suatu akibat adalah dengan melihat pada faktor yang ada atau yang terjadi setelah dilakukannya suatu perbuatan. Makna dari pernyataan ini adalah peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Teori ini berpandangan bahwa tidak semua faktor adalah penyebab. Faktor penyebab yang
18 dimaksud adalah faktor yang bersifat sangat dominan serta memiliki peran paling kuat akan timbulnya suatu akibat.10
Relevansi rumusan permasalahan kedua dengan Teori Individualisasi, yaitu adanya suatu faktor penyebab dalam penelitian tesis ini yang menjadi fokus utama timbulnya suatu akibat. Faktor penyebab yang dimaksud telah ada dalam penelitian tesis ini, ada 2 (dua) yaitu keterlambatan pendaftaran
jaminan fidusia dan
pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan setelah debitur wanprestasi. Adanya 2 (dua) faktor penyebab tersebut memberikan akibat yang benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Akibat yang muncul dengan adanya 2 (dua) faktor penyebab tersebut dijelaskan sebagai berikut : Faktor penyebab yaitu : keterlambatan pendaftaran jaminan fidusia. Akibat yang ditimbulkan yaitu : penundaan bagi penerima fidusia (kreditur) untuk memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia. Faktor penyebab yaitu : pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan setelah debitur wanprestasi. Akibat yang ditimbulkan yaitu : tetap dapat melakukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia, dan tetap diterima oleh kantor pendaftaran fidusia, sehingga penerima fidusia (kreditur) tetap memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia.11 Hal ini sesuai dengan peraturan yang diatur dalam tata cara pendaftaran jaminan fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
10
Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2 : Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 213.) 11 Ibid.
19 Kantor pendaftaran fidusia tetap mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia yang merupakan hak yang diperoleh kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia. Fungsi dari Sertifikat Jaminan Fidusia adalah untuk pelaksanaan eksekusi sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, apabila ada debitur yang wanprestasi. Sertifikat Jaminan Fidusia berfungsi untuk melindungi kreditur karena berkekuatan hukum tetap yang dipersamakan dengan keputusan pengadilan.
1.5.2 Kerangka Pemikiran Pendaftaran Jaminan Fidusia adalah mendaftarkan benda jaminan dalam perjanjian kredit ataupun perjanjian pembiayaan yang diikat dengan fidusia, yang telah dilakukan pembebanan dengan akta jaminan fidusia, pada Kantor Pendaftaran Fidusia.12 Tujuannya adalah memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai bukti bagi kreditur adalah pemegang jaminan fidusia, sehingga kreditur memperoleh kepastian hukum dan keuntungan sebagai kreditur preferen (kreditur yang didahulukan). Jaminan fidusia ini dipergunakan dalam perjanjian jaminan fidusia. Bidang hukum perjanjian, diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sistem terbuka yang artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melakukan suatu perjanjian
12
Thomas Soebroto, 1995, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotek, Fidusia, Penanggungan, dll, Dahara Prize, Semarang, hal. 80.
20 asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.13 Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menentukan bahwa definisi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.14 Perjanjian sebagai pengikat antara pihak pertama dan pihak kedua atau pihak lainnya, haruslah dapat dianggap sebagai perjanjian yang sah. Syarat-syarat perjanjian yang sah, sebagai berikut sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : 1. Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian 2. Adanya kecakapan dari pihak-pihak berjanji. 3. Adanya suatu hal tertentu 4. Adanya suatu sebab yang halal. Debitur dan kreditur merupakan subyek hukum (para pihak) yang ada di dalam suatu perjanjian kredit. Hal ini berkaitan dengan penjelasan asas personalia yang dirumuskan dalam Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya
13
Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Perbankan, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 61. 14 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op. Cit, hal-45.
21 akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.15 Setelah para pihak yang mempertemukan kehendak mereka masing-masing, kemudian digabungkan sehingga menjadi sebuah kesepakatan yang merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak Perancis.16 Definisi Kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perbankan menentukan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Perjanjian kredit merupakan Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak atau lebih berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang berjanji sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan melahirkan hak kebendaan, beralih, berubah serta berakhirnya hak kebendaan tersebut.17 Sebagai kreditur, bank adalah lembaga yang salah satu fungsinya adalah memberikan kredit kepada masyarakat, oleh sebab itu bank memiliki resiko yang
15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2002, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 15. 16 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Cet. VI, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 3. 17 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Cet.I, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono I), hal. 18.
22 sangat tinggi dalam operasional kegiatan kredit tersebut.18 Agar tetap stabil dalam divisi kredit tersebut maka bank harus berpedoman pada asas perkreditan yang sehat, sebagai berikut : 1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis; 2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit pada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian; 3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham; 4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit).19 Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Ciri-ciri jaminan fidusia diantaranya adalah memberikan hak kebendaan, memberikan hak didahulukan kepada kreditur, memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan utang, memberikan kepastian hukum, dan mudah dieksekusi.20 Pemberian Jaminan
18
R. Tjiptoadinugroho, 1983, Perbankan Masalah Perkreditan, Cet. V, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 101. 19 Muhamad Djumhana, Op. Cit, hal. 509. 20 M. Bahsan, Op. cit, hal. 51.
23 Fidusia selalu berupa penyediaan bagian dari harta kekayaan si pemberi fidusia untuk pemenuhan kewajibannya.21 Selain digunakan dalam perjanjian kredit, jaminan fidusia juga dapat digunakan dalam Pembiayaan Konsumen. Pembiayaan konsumen (Consumer Financing) berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan adalah ”kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran”. Perbedaan antara fidusia zaman romawi dengan zaman sekarang adalah terletak pada peraturan dan sistemnya, pada zaman romawi sistemnya hanya bertumpu pada kepercayaan (trust) saja.22 Sesuai dengan dinamisnya perkembangan masyarakat kita, maka hukum pun berkembang, termasuk sistem hukum jaminan kepercayaan ini, sehingga terbentuklah Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada tanggal 30 September 1999. Perjanjian Jaminan Fidusia ini bersifat accesoir karena merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit.23 Lembaga Jaminan Fidusia yang sudah terkodifikasi ini sangat banyak memberikan keuntungan bagi debitur juga kreditur. Sebagai pemegang Jaminan Fidusia membuat kedudukan kreditur sebagai kreditur
21
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9. 22 Sudargo Gautama, 1988, Pengakuan Fidusia dalam Perundang-undangan di Indonesia, Varia Peradilan, Majalah Hukum No. 30, , IKAHI, Jakarta, hal. 48. 23 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, op. cit, hal. 14.
24 preferen yang artinya kreditur yang didahulukan dari kreditur yang lainnya.24 Kemudian keuntungannya bagi debitur disini adalah dimana objek yang dijadikan jaminan hutang masih dapat dikuasai oleh debitur untuk mengoperasionalkan bisnis mereka sehingga debitur dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam melakukan pelunasan hutangnya kepada kreditur. Jaminan fidusia merupakan jaminan kepercayaan yang berasal dari adanya suatu hubungan perasaan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang mana mereka merasa aman, sehingga tumbuh rasa percaya terhadap teman interaksinya tersebut, untuk selanjutnya memberikan harta benda mereka sebagai jaminan kepada tempat mereka berhutang. Fidusia jaman romawi disebut juga Fiducia Cum Creditore, artinya adalah penyerahan sebagai jaminan saja bukan peralihan kepemilikan.25 Kepercayaan atau trust merupakan hubungan yang didasarkan pada aturan moral. Definisi trust, berdasarkan pendapat Bogart adalah hubungan kepercayaan yang mana satu orang adalah sebagai pemegang hak atas harta kekayaan berdasarkan hukum tunduk pada kewajiban berdasarkan equity untuk memelihara atau mempergunakan milik itu untuk kepentingan orang lain.26Melihat dari definisi tersebut, kemungkinan bagi kreditur untuk wanprestasi juga cukup besar, sehingga menyebabkan orang mulai melihat kelemahan fidusia pada masa itu, 24
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat J. Satrio II), hal. 64. 25 J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat J. Satrio III), hal. 167. 26 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1992, Mengenal Trust, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, Yogyakarta, hal.1.
25 kemudian meninggalkannya dan beralih pada gadai dan hipotek. Seiring munculnya lembaga gadai dan hipotek, fidusia pun tenggelam dengan sendirinya. Selanjutnya terjadi banyak perubahan akan pranata hukum jaminan tersebut yang kemudian disebut Hukum Jaminan Fidusia yang merombak kedudukan hukum para debitur dan kreditur, maka para debitur yang menjaminkan bendanya tetap dapat menguasai
bendanya
sehingga
dapat
membantu
mereka
untuk
tetap
mengoperasionalkan bisnis mereka dan dapat konsekuen memenuhi prestasi dalam kredit mereka, sedangkan kreditur hanya sebagai pemegang jaminan dengan buktinya adalah memegang Sertifikat Jaminan Fidusia. Selain itu juga timbul nilai positif pada kedudukan kreditur pemegang jaminan fidusia adalah sebagai Kreditur Preferen (yang didahulukan). Tidak hanya itu, Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak, tetapi dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak.27 Ditambah dengan berlakunya UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104), perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.28 Secara historis mengenai latar belakang tumbuhnya fidusia, dimulai dari adanya suatu situasi pada akhir abad ke-19 yang terjadi pada para 27
J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan Tanggung Menanggung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat J. satrio IV), hal. 79. 28 Ibid.
26 pengusaha di Hindia Belanda, lahan pertanian mereka terserang hama sehingga menyebabkan kerugian yang besar pada para pengusaha pertanian. Agar tetap dapat melanjutkan usahanya mereka memerlukan modal dari Bank. Tetapi pada saat itu, sistemnya adalah Bank baru dapat memberikan kredit kepada para pengusaha pertanian apabila mereka mampu memberikan agunan atas uang yang mereka pinjam yaitu peralatan pekerjaan pertanian mereka, tetapi sistemnya adalah dengan gadai yang mana agunan tersebut diserahkan pada Bank dan para pengusaha tidak diperbolehkan untuk menguasai agunan tersebut, selain itu Bank juga meminta agunan seperti tanah hak milik mereka dengan sistem hipotik.29 Melihat proses kredit seperti ini sangatlah tidak sesuai dengan kemampuan para pengusaha, karena dengan tidak menguasai alat pertanian mereka tidak bisa bekerja dan mereka pun jarang yang memiliki tanah. Apabila dipaksakan untuk membantu mereka berarti dengan sistem gadai, yang mana agunannya masih tetap dipegang para pengusaha. Sementara hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1198 ayat (2) Burgerlijk Wetboek (Pasal tersebut sama bunyinya dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa gadai tanpa penguasaan barang jaminan oleh kreditur adalah tidak sah.30 Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas dikeluarkanlah Undang-Undang Darurat di Hindia Belanda yang mengatur suatu Lembaga yang baru yaitu Lembaga Oogstverband (hak kebendaan) yang berdasarkan 29
R. Stutterheim, Kepastian dan Ketidakpastian Peralihan Milik Fidusyer di Negeri Belanda Latar Belakang Sejarah, Compendium Hukum Belanda, (Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia-Negeri Belanda), hal. 55. 30 Ibid, hal. 56.
27 Pasal 1 Koninlijk Besluit tahun 188 artinya adalah “suatu hak kebendaan atas hasilhasil pertanian yang belum dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar supaya dipenuhi perjanjian untuk menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bunga-bunga, ongkosongkos dan uang provisi dari hasil penjualan.”31 Pada saat itu lembaga ini sangat diperlukan, sehingga Lembaga Oogstverband ini bisa dikatakan sebagai sistem gadai tanpa penyerahan agunan namun belum bersifat murni.32 Hal itu merupakan permulaan lahirnya Fiduciare Eigendoms Overdracht. Selanjutnya terjadi juga ketidakpuasan masyarakat dengan lembaga gadai pada awal abad ke- 20, karena gadai dianggap tidak mampu memberikan keefektifan bagi para pelaku bisnis dalam mengoperasionalkan kegiatan mereka. Oleh sebab itu, para pelaku bisnis mencari alternatif lain untuk menanggulangi hal tersebut, yaitu dengan
membuat perjanjian seperti dalam Kasus Perusahaan Bir (Bierbrouwerij
arrest).33 Adapun beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan Gadai tidak dapat memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis meliputi : 1. Adanya asas inbezitstelling 2. Pegadaian atas surat-surat piutang ini karena : tidak adanya ketentuan tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai, tidak 31
H. Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Cet I, PT. Alumni, Bandung, hal. 49. 32 R. Subekti, 1982, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, Pt. Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat R. Subekti I), hal.76. 33 Mahadi, 1983, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Binacipta, Bandung, hal. 102-103.
28 adanya ketentuan mengenai bentuk bagaimana gadai itu harus dilaksanakan. 3. Pegadaian kurang memuaskan, karena ketidakpastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukan lebih tinggi dari pemegang gadai.34 Proses terjadinya jaminan fidusia memerlukan campur tangan beberapa pihak, diantaranya pihak bank (kreditur), pihak debitur, notaris, serta kantor hukum dan ham. Pihak kreditur disini adalah sebagai pemegang Jaminan fidusia (pemegang hak kepemilikannya, sementara benda konkretnya masih dipegang oleh debitur sebagai pemohon kredit). Sementara notaris adalah seorang pejabat hukum yang pada prakteknya berwenang untuk membuat akta jaminan fidusia yang berguna sebagai pembebanan jaminan fidusia yang dimiliki debitur. Dalam akta tersebut dibuatlah perjanjian antara pihak debitur dan kreditur mengenai kesepakatan nominal kredit serta benda jaminan mana yang akan diagunkan. Agar kreditur sah sebagai pemegang jaminan fidusia, maka benda yang dijaminkan tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, salah satu syarat yang harus dilengkapi untuk mendaftar jaminan fidusia tersebut adalah akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris. Pendaftaran fidusia bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum bagi kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia, sehingga kreditur mempunyai kekuatan hukum untuk mengeksekusi jaminan debitur apabila debitur wanprestasi. Debitur sebagai warga Negara yang baik harus memiliki moral, untuk mengetahui mana benar atau salah. Karena moral itu kedudukannya lebih tinggi 34
Fahrizayusroh, 18 Januari 2012, Sejarah Jaminan Fidusia, available from : URL :http://www.Fahrizayusroh.wordpress.com.
29 didalam hukum, yang mana “Bruggink mengatakan bahwa kaidah hukum diderivasi dari kaidah moral (berpijak dari moral)”.35 Dapat dijelaskan juga ”moral dalam hukum alam lebih tinggi kedudukannya dari moral hukum positif”.36 Dengan demikian, apabila debitur dalam keadaan wanprestasi berarti debitur sudah harus mengetahui bahwa ia ada dalam keadaan salah ataupun melawan hukum, yang mana ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut kepada kreditur, dan di mata hukum.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang artinya adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti norma hukum, asas-asas hukum, falsafah hukum, doktrin hukum maupun prinsip hukum dalam bahan-bahan kepustakaan. Contoh bahan-bahan kepustakaan tersebut : peraturan perundang-undangan, buku-buku asing maupun dalam negeri, internet ataupun makalah hukum.37 Penelitian yang dilakukan tersebut adalah untuk memperoleh jawaban yang sempurna dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini dikarenakan 35
J.J.H. Bruggink, (Alih Bahasa Arief Sidharta), 1996, Refleksi Tentang Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 189. 36 Soetiksno, 1989, Filsafat Hukum Bagian II, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 9. 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11, Jakarta, PT. Raja Grarfindo Persada, hal.13-14.
30 dalam permasalahan yang diangkat adalah mengenai kekaburan norma dan kekosongan norma yaitu ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai mengenai pedaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum terhadap pendaftaran jaminan fidusia yang terlambat atau setelah debitur wanprestasi.
1.6.2 Jenis Pendekatan Menurut Bahder Johan Nasution ada 5 (lima) pendekatan yang dapat dipergunakan dalam penelitian tesis, antara lain : Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Analisis Konsep Hukum, Pendekatan Historis, Pendekatan Komparatif dan Pendekatan Kasus.38 Pendekatan yang digunakan meneliti tesis ini adalah :39
Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) : Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka mempelajari, meneliti, mengkaitkan serta mencari korelasi dan kecocokan antar peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai bahan kepustakaan terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti penulis.40 Adapun perundang-undangan yang diteliti dalam tesis ini adalah : Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, 38
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian llmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 90. 39 Mukti Fajar dan Achmad Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 60. 40 Bahder Johan Nasution, Op. Cit, hal. 92.
31 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach): Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti dalam asas-asas hukum, pendapat para sarjana, dan teori-teori hukum terkait mengenai permasalahan yang ditulis sampai diperoleh gambaran jelas ruang lingkup isu hukum tersebut, dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan, ada beberapa pasal yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa pasal yang sama sekali tidak mengatur mengenai isu hukum yang dibahas.41 Melalui pendekatan ini dapat diperoleh definisi-definisi, prinsip hukum serta ruang lingkup dari akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia yang terlambat atau tidak didaftarkan.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian tesis ini, digunakan 3 (tiga) sumber bahan hukum dalam menunjang data-data yang diperoleh. Sumber bahan hukum tersebut, antara lain :42
41
Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normative, Cet.III, Bayu Media Publishing, Malang, hal. 306. 42 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta, hal. 31.
32 1.
Bahan hukum primer : Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.43 Peraturan Perundang-undangan yang dipakai dalam tesis ini terdiri dari : -
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
-
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia;
-
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik.
2.
Bahan hukum sekunder : Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memiliki banyak korelasi
dengan bahan hukum primer serta berfungsi untuk membantu dalam menganalisa dan memahami bahan hukum primer, yang terdiri atas buku-buku hukum (text book) misalnya buku dari Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani yang berjudul Jaminan
43
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal. 93.
33 Fidusia, dan buku –buku yang berjudul, hukum perbankan, hukum perjanjian, teori dan analisa kasus, selain itu juga dapat dipergunakan jurnal-jurnal hukum atau makalah hukum, karya tulis hukum atau pandangan para sarjana hukum ataupun ahli hukum dalam media massa, serta internet dengan menyebut nama situsnya.44 3.
Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan definisi,
gambaran ataupun penjelasan baik itu dalam bahasa asing maupun bahasa Indonesia pada kata-kata asing atau kata-kata sulit yang terdapat di dalam penelitian ini.45 Bahan hukum yang dimaksudkan, seperti : Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Encyclopedia. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam
teknik
pengumpulan
bahan
hukum
ini,
dilakukan
dengan
mengumpulkan terlebih dahulu data-data dengan cara mempelajari bahan hukum primer, bahan bukum sekunder dan bahan hukum tertier, tekniknya adalah dengan menggunakan card system (sistem kartu). Sistem Kartu yaitu dengan menyusun dan mengklasifikasikan kartu-kartu tersebut yaitu kartu ikhtiar, kartu kutipan, dan kartu ulasan kemudian dicocokkan juga dengan perencanaan sistematika tesis yang dibuat. Selanjutnya diberi tulisan tentang sumber kutipan yang diperoleh secara lengkap.46
44
Ibid, hal. 94. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal. 28. 46 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal. 36. 45
34 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum dilakukan untuk kepentingan penyusunan dan pembahasan tesis yang sesuai sistimatika karya ilmiah. Dalam teknik analisis bahan hukum ini, beberapa langkah yang harus dilakukan secara berurutan dari atas ke bawah antara lain :47 1. Tahap Deskripsi atau dapat disebut juga penggambaran, dilakukan dalam rangka memaknai bahan hukum yaitu aturan-aturan hukum atau perundang-undangan yang dicocokkan dengan rumusan permasalahan yang telah ada,yang dipaparkan secara mendetail dan kemudian ditambahkan dengan pendapat para ahli hukum, sarjana atau filsuf terkemuka dunia. 2. Tahap Interpretasi atau disebut juga dengan penafsiran, dilakukan dengan menafsirkan makna dari suatu aturan atau norma dalam peraturan perundangundangan atau lainnya. Serta mengidentifikasi norma-norma yang saling berkaitan satu sama lain terkait jaminan fidusia, dan yang paling penting adalah menafsirkan norma yang kabur (vague van normen) dan norma yang kosong. 3. Tahap Sistematisasi dilakukan dengan cara memaparkan pendapat para sarjana, ahli hukum atau filsuf, aturan-aturan hukum dan isu-isu hukum yang kemudian dicari korelasi serta kesimpulannya agar dapat dipahami dengan baik. 4. Tahap Evaluasi dan Argumentasi dilakukan dengan membaca mempelajari bahanbahan hukum yang telah disistematisasi untuk dikomentari, ditambahkan
47
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hal. 113.
35 pendapat ataupun teori yang kemudian diberikan argumentasi berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam tesis tersebut.
BAB II TEORI DAN KONSEP-KONSEP TENTANG PERJANJIAN DAN JAMINAN KREDIT
2.1 Perjanjian Kredit Pembahasan pada Bab II penelitian tesis ini adalah lebih rinci mengenai asasasas hukum, prinsip-prinsip hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan perjanjian kredit serta jaminan fidusia, yang mana juga merupakan kumpulan teori dan konsep pendukung dalam latar belakang dan landasan teoritis yang telah diuraikan dalam bab I yang telah Pembahasan dalam bab II ini juga dapat dijadikan acuan oleh penulis dalam melakukan sistematisasi penelitian pada bab III dan bab IV. Pembahasan ini meliputi beberapa pokok bahasan, antara lain : Perjanjian Kredit, Jaminan Kredit, Jaminan Fidusia dan Wanprestasi
2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit Menurut Hukum Positif di Indonesia, ada 5 (lima) asas dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : Asas Personalia, Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda), Asas Itikad Baik.48 Selanjutnya konsep perjanjian dan jaminan kredit menurut hukum positif di Indonesia, akan diuraikan berdasarkan 48
Agus Hernoko Yudha, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 68.
36
37 pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, beserta peraturan perundang-undangan tentang perjanjian dan jaminan yang sedang berlaku saat ini. Dalam memahami pengertian perjanjian kredit, haruslah dipahami masing-masing pengertian dari kata “perjanjian” dan kata “kredit”. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang yang lain atau lebih”. Sedangkan pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pokok Perbankan No. 10 tahun 1998, adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Kemudian dapat dipahami pengertian “perjanjian kredit” adalah suatu perjanjian yang merupakan undang-undang bagi para pembuatnya, yang lahir berdasarkan adanya kesepakatan yang mengikat antara kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur mengenai hutang piutang dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban tersendiri, bagi debitur berkewajiban mengembalikan hutang kepada kreditur sesuai jangka waktu tertentu serta bunganya dan kreditur berkewajiban mengembalikan jaminan debitur setelah diperoleh pelunasan hutang. Penjelasan mengenai perjanjian kredit menurut Sutan Remy Sjahdeini adalah, sebagai berikut : Perjanjian kredit bukan merupakan suatu perjanjian riil atau perjanjian pinjam meminjam. Namun perjanjian kredit itu adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak yaitu kreditur (bank sebagai pemberi kredit) dengan debitur (nasabah sebagai pemohon kredit), yang berkaitan dengan penyediaan uang ataupun tagihan yang dipersamakan dengan hal tersebut, sehingga memberikan suatu
38 kewajiban bagi debitur melunasi hutang kreditnya dalam suatu jangka waktu tertentu, sesuai dengan perhitungan bunga, imbalan atau bagian dari hasil keuntungan.49 Perjanjian Kredit merupakan suatu perjanjian pokok atau principal serta memiliki sifat riil, dimana dalam suatu perjanjian principal, accesoir atau perjanjian ikutannya adalah perjanjian dengan jaminan yang dibuat setelah adanya perjanjian pokok (perjanjian kredit).50 Riil yang dimaksudkan disini adalah perjanjian kredit mengenai penyerahan sejumlah uang dari kreditur kepada debitur.51
2.1.2 Unsur-Unsur Perjanjian Kredit Untuk dapat dikatakan sah sebagai Perjanjian Kredit, maka perjanjian harus berpedoman pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana telah diatur 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang berdasar pada asas kebebasan berkontrak, antara lain :52 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Sepakat adalah suatu keadaan dimana ada pernyataan persesuaian kehendak antara pihak pertama dengan pihak lainnya. Proses memperoleh kata sepakat ini dimulai dengan adanya penawaran yang diberikan oleh pihak pertama kepada pihak
49
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para Pihak dalam Perjanjian Kredit, Institut bankir Indonesia, Jakarta, hal. 14. 50 BPHN, 1987, Aspek-Apek Hukum Masalah Perkreditan, Cet. I, Binacipta, Bandung, hal. 71. 51 Ibid, hal. 72. 52 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal. 48.
39 lainnya, yang kemudian pihak yang diberikan penawaran tersebut harus memberikan pernyataan apakah mereka menerima atau menolak penawaran tersebut. Apabila pihak yang seharusnya menerima penawaran menolak penawaran tersebut, maka ia dapat memberikan penawaran balik kepada pihak lawannya sesuai kehendaknya. Apabila belum terjadi kesepakatan proses tawar menawar ini akan tetap berlangsung, sampai pada titik pernyataan penerimaan penawaran yang paling akhir, barulah pada saat itu dapat dikatakan dicapainya kata sepakat dari para pihak. Keadaan seperti ini hanya dapat ditemukan pada perjanjian konsensuil, karena pada perjanjian formil, kata sepakat baru akan tercapai pada saat persyaratan formalitas dari pihak satu telah dipenuhi dan dilengkapi oleh pihak lainnya. Kesepakatan yang dimaksud disini adalah kesepakatan yang bebas tanpa adanya penyimpangan. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Kecakapan bertindak dalam perjanjian ini berkaitan dengan kewenangan bertindak secara hukum. Kedua pernyataan ini terkesan sedikit sama namun artinya sangat berbeda. Kecakapan bertindak dalam hukum diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terkait dengan ketentuan pihak-pihak yang cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
40
Orang-orang yang belum dewasa Orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 adalah orang yang belum berumur 18 tahun serta orang yang belum menikah. Bagi orang yang pernah menikah kemudian bercerai sebelum berumur 21 tahun, maka orang tersebut tetap dianggap telah dewasa. Jadi setiap anak yang dianggap belum dewasa, dalam melakukan tindakan hukum, mereka akan selalu diwakili Orangtua atau Wali.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan Orang yang berada dibawah pengampuan sesuai Pasal 433 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata adalah setiap orang dewasa yang kurang mampu bertindak menurut hukum. Pihak-pihak yang dimaksudkan adalah, karena dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap serta karena keborosannya.
Orang-orang perempuan Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. Ketentuan dalam Pasal 1330 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menjadi tidak berlaku lagi dikarenakan telah berkembangnya persamaan derajat hak antara perempuan dan laki-laki baik itu bagi yang sudah menikah ataupun yang belum menikah. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan bertindak dalam hukum adalah bagi mereka yang dalam undang-undang diperbolehkan untuk melakukan
41 suatu perbuatan hukum tertentu.53 Adapun contoh dari ketidakwenangan seseorang dalam suatu perbuatan hukum tertentu :54
Dilihat dalam Pasal 907 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ditentukan bahwa “dengan dibuatnya suatu surat wasiat di notaris, maka para ahli waris yang telah dihibahkan harta kekayaan oleh pewaris, diperbolehkan untuk menikmati segala harta warisan yang dihibahkan sesuai dengan porsi masing-masing yang ditentukan dalam surat wasiat”.
Dilihat dalam Pasal 1467 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa tidak diperbolehkan berlangsungnya jual beli antara suami istri, yang dapat mengakibatkan kebatalan perjanjian, kecuali jual beli tersebut memnuhi 3 (tiga) alasan berikut :
Apabila jual beli terjadi dalam keadaan suami istri tersebut telah disahkan perceraiannya oleh pengadilan, yang mana jual beli itu adalah untuk kepentingan pemenuhan hak suami atau istri dalam kedudukan hukumnya.
Apabila jual beli terjadi dalam rangka pengembalian benda pasangannya yang telah dijual ataupun uang yang telah dipinjam dari pasangannya, yang mana dalam keadaan tersebut harta yang dimaksud adalah harta dalam konteks pisah harta, bukan konteks persatuan harta.
53
C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, 1997, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten, tiende druk, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, nr. 89. 54 Herlien Budiono I, Op. Cit, hal. 106.
42 Apabila terjadi jual beli dalam hal untuk pengembalian uang dari suami atau istri kepada suami atau istri, yang mana uang yang telah dipinjam tersebut merupakan harta perkawinan mereka yang tetap harus dikembalikan sebagai harta bersama.
Dilihat dalam Pasal 1470 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa tidak diperbolehkan melakukan jual beli dengan orang-orang yang kedudukannya sebagai orang yang mendapat kuasa dalam menjual barang, dari orang yang memberi kuasa penjualan barang tersebut.
Dilihat dalam Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa tidak diperbolehkan untuk mengadakan jual beli terhadap barang milik orang lain. Apabila pihak ketiga yang membeli barang tersebut tidak mengetahui asal sebenarnya barang tersebut maka pihak yang menjual tersebut dapat dituntut ganti rugi ataupun bunga.
c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu yang dimaksudkan disini sesuai dengan Pasal 1332 sampai Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah berkaitan dengan objek atau benda yang dijadikan penghubung antara debitur dan kreditur dalam perjanjian, serta merupakan pokok prestasi yaitu hak dan kewajiban bagi debitur dan kreditur. Objek perjanjian dapat juga disebut dengan pokok perikatan atau pokok prestasi.
43 Suatu faktor yang dapat mendukung objek perjanjian menjadi objek yang sah dalam perjanjian, maka objek perjanjian yang digunakan haruslah mengandung unsur :55 1)
Dapat ditentukan Hal ini maksudnya adalah objek yang diperjanjikan tersebut memiliki suatu jenis, klasifikasi serta bentuk yang jelas untuk membedakan objek tersebut dari objek lainnya.
2)
Dapat diperdagangkan (diperbolehkan) Hal ini maksudnya adalah objek yang diperjanjikan tersebut adalah objek yang legal atau tidak merupakan benda yang dilarang untuk dimiliki oleh undangundang sehingga dapat dijual ke masyarakat dan menghasilkan keuntungan bagi penjualnya.
3)
Mungkin dilakukan Hal ini maksudnya adalah objek yang diperjanjikan tersebut sedang tidak berada dalam keadaan rusak ataupun tidak sedang berada dalam masalah ataupun persengketaan.
4)
Dapat dinilai dengan uang Hal ini maksudnya adalah objek yang diperjanjikan tersebut memiliki mutu, kualitas, manfaat, fungsi dan tujuan penggunaan atau kepemilikan sehingga dapat dinilai dengan uang sebagai tolok ukur tinggi rendahnya kualitas objek tersebut.
55
Herlien Budiono I, Op. cit, hal. 108.
44 d. Suatu sebab yang halal Adapun yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal sesuai dengan Pasal 1335 sampai Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah alasan pendorong dibuatnya perjanjian oleh para pihak. Sebab yang halal tersebut antara lain : bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, bukan sebab yang terlarang. Dengan berkembangnya doktrin dalam ilmu hukum khususnya bidang perjanjian, diketahui ada 3 (tiga) unsur dalam perjanjian. 3 (tiga) unsur perjanjian tersebut, antara lain :56 a. Unsur Esensialia Unsur yang harus atau wajib ada dalam pembuatan perjanjian yaitu unsur yang mendefinisikan jenis, sifat, serta prestasi hak dan kewajiban bagi debitur dan kreditur pada suatu bidang sehingga dapat memberikan perbedaan antara perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya, misalnya perjanjian dalam bidang jual beli, maka disebut perjanjian jual beli, yang mana adalah berbeda dengan perjanjian tukar menukar. b. Unsur Naturalia Unsur yang selalu dan pasti ada pada suatu perjanjian apabila perjanjian tersebut telah mengandung unsur esensialia, karena unsur naturalia ini merupakan unsur yang berada di dalam unsur esensialia itu sendiri, misalnya dalam suatu perjanjian jual beli, unsur esensialianya adalah jual beli itu sendiri, kemudian dengan 56
R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,
hal. 29.
45 sendirinya unsur naturalianya dapat dilihat dari, konsep jual beli itu dalam kebiasaan masyarakat sehari-hari serta undang-undangnya, yang mana para penjual suatu barang ataupun jasa harus menjaga kondisi barang atau jasa tersebut, jangan sampai ada cacat tersembunyi, dikarenakan para pembeli tidak akan mentolerir kondisi tersebut. c. Unsur Aksidentalia Unsur yang dibuat dan ditetapkan bersama oleh para pihak secara khusus yang disesuaikan dengan kehendak masing-masing pihak, namun tidak harus selalu dipenuhi dan dilaksanakan sesuai perjanjian oleh para pihak, jadi dapat dikatakan hanya sebagai unsur pelengkap saja. Contoh dari bentuk unsur aksidentalia ini adalah hal yang mengatur tentang waktu dan tempat dilakukannya penyerahan benda dalam perjanjian jual beli.
2.1.3 Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Pokok Kredit perbankan yang telah mendapat kata sepakat dari debitur dan kreditur, dapat langsung dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis yaitu perjanjian kredit. Perjanjian kredit tersebut mengatur secara tegas dan jelas tentang jangka waktu kredit, jumlah kredit yang diberikan, tata cara pembayaran pengembalian kredit, dan beberapa persyaratan yang sudah menjadi kebiasaan dalam dunia perkreditan. Dalam Pasal 1754 sampai Pasal 1769 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang Perjanjian Pinjam Meminjam, yang mana salah satu bentuk dari perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian Kredit.
46 Perjanjian Kredit dikatakan sebagai perjanjian pokok maksudnya perjanjian kredit disini adalah sebagai penentu mengenai batal atau tidaknya perjanjian tambahan yang merupakan perjanjian ikutannya.57 Perjanjian pokok ini juga dapat disebut sebagai perjanjian prinsipil atau utama atau pertama yang berisi tentang pengaturan serta penjelasan persetujuan atau kesepakatan pemberian kredit dari kreditur kepada debitur terhadap sejumlah dana tertentu, yang dilengkapi dengan penjelasan mengenai jangka waktu, bunga serta objek jaminan hutang, yang kemudian diikuti oleh perjanjian ikutan atau perjanjian jaminan atau perjanjian tambahan (bersifat accesoir atau tambahan).58Perjanjian tambahan ini mengatur dalam garis besar secara jelas dan rinci mengenai objek yang dijadikan jaminan hutang oleh debitur. Dari sanalah kita dapat mengetahui Lembaga Jaminan hutang apa yang digunakan, contohnya Lembaga Fidusia, maka Perjanjian tambahan tersebut bernama Perjanjian Jaminan Fidusia. Perjanjian Kredit ini memiliki sifat riil, yang artinya saat terjadinya perjanjian kredit tersebut bergantung pada saat penyerahan secara nyata dana tersebut dari pihak kreditur kepada debitur.59
2.1.4 Syarat-Syarat Permohonan Kredit Sebagai kreditur yang kegiatannya berada dalam bidang memberikan kredit kepada debitur, maka bank sudah sepantasnya menerapkan prinsip kehati-hatian 57
Thomas Suyatno, 1990, Dasar-Dasar Perkreditan, Cet. III, Gramedia, Jakarta, hal. 59. 58 Ibid, hal. 60. 59 Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, PT. Elex Media Komputindo, hal.19.
47 dalam langkah pemberian kredit. Sebagai pemohon kredit, debitur dibedakan dalam 2 (dua) kategori menyangkut pemenuhan syarat-syarat permohonan kredit yang harus dilengkapi, antara lain :60 1. Debitur Perorangan Debitur perorangan ini maksudnya adalah pemohon kredit yang latar belakang pekerjaannya berbeda-beda, mulai dari para profesional, pengusaha besar, pengusaha kecil, karyawan swasta ataupun negeri, serta petani. Berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan kredit debitur perseorangan : a. Fotocopy kartu-kartu identitas diri, yaitu : KTP (Kartu Tanda Penduduk), Paspor, SIM (Surat Izin Mengemudi). b. Fotocopy akta perkawinan diwajibkan bagi debitur yang telah menikah. Dalam rangka memberikan informasi kepada kreditur mengenai status benda yang dijaminkan kepada kreditur, apakah berstatus sebagai harta bersama atau tidak, yang mana suami istri tersebut harus mengetahui adanya suatu permohonan kredit yang menyebabkan kedua belah pihak dimintai keterangan persetujuannya serta bersamasama bertanggung jawab akan benda yang dijaminkan tersebut. c. Fotocopy kartu keluarga Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai pengeluaran biaya hidup dari debitur, apakah debitur hanya membiayai dirinya sendiri saja, ataukah juga membiayai kehidupan orang selain dirinya. 60
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Cet. II, Alumni, Bandung, hal. 50.
48
d. Fotocopy rekening koran Rekening giro maupun tabungan yang mana perputarannya dalam jangka waktu 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan terakhir, dalam rangka menganalisa jalur perputaran dana debitur sebagai nasabah sehingga dapat membantu kreditur untuk membuat kesimpulan mengenai keuangan nasabah, terkait adanya harta lebih yang dimiliki debitur untuk tetap mempertahankan kewajibannya membayar bunga ataupun melunasi pokok kredit, serta aman atau tidaknya pemberian kredit pada nasabah tersebut. e. Fotocopy slip gaji dan surat keterangan bekerja di suatu tempat. Bagi perusahaan swasta ataupun pemerintah, sehingga diperoleh kebenaran informasi bahwa debitur benar bekerja pada tempat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, debitur mendapat gaji tetap di setiap bulannya. 2. Debitur dalam bentuk Perusahaan Debitur dalam bentuk perusahaan ini maksudnya adalah pemohon kredit yang bukan berbentuk suatu pribadi atau professional, melainkan suatu perusahaan baik besar, kecil ataupun menengah yang dikelola oleh suatu sistem kepemimpinan, dan telah memiliki ijin perusahaan dalam bentuk PT (Perseroan Terbatas), CV (Persekutuan Komanditer), Firma, maupun Koperasi. Berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan kredit oleh debitur dalam bentuk perusahaan, antara lain : a. Fotocopy identitas pengelola perusahaan (direktur dan komisaris);
49 b. Fotocopy NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Perusahaan; c. Fotocopy Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP); d. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); e. Fotocopy Rekening Koran atau dan giro dan buku tabungan. Rekening yang diberikan adalah dalam jangka waktu 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan terakhir; f. Data-data keuangan perusahaan bersangkutan. Misalnya : laporan keuangan, laporan laba rugi, laporan barang terjual perhari, serta pembukuan keuangan lainnya. Kreditur harus memeriksa satu persatu data dari persyaratan permohonan kredit debitur, untuk memastikan tidak ada data yang dipalsukan. Selain itu, kreditur juga harus berpedoman pada analisis 5 (lima) C dalam hal memberikan persetujuan pemberian kredit kepada debitur. Uraian dari analisis 5 (lima) C, adalah sebagai berikut :61 a. Character Character ini artinya adalah karakter. Jadi kreditur disini menganalisa dan mengamati tentang segala hal yang berhubungan dengan calon debiturnya, yaitu : watak, kehidupan pribadi, latar belakang keluarga, latar belakang pekerjaan, lingkungan pergaulan, serta moral yang berkaitan dengan kepemilikan itikad baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat dan Negara. Sehingga diperoleh
61
Hedwig Reinhardt dan J. Wilian Shultz, 1964, Credit and Collection Management, Cet. III, Prentice Hall. Inc, N. J, page. 102.
50 kesimpulan apakah debitur tersebut nantinya akan mampu melakukan tanggung jawabnya dalam membayar bunga kredit dan melunasi hutangnya. b. Capacity Capacity disini artinya adalah kemampuan bagi debitur untuk melakukan pembayaran bunga dari kredit serta kemampuan untuk melunasi hutang tepat waktu, sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit. Untuk dapat menilai tingkat kemampuan debitur dalam melakukan pembayaran kreditnya ini dapat dilakukan analisa dengan cara mengamati dari jenis usaha apa yang dilakukan oleh debitur (usaha yang mendapat dana dari kredit yang sedang dimohonkannya pada bank), apakah bisnis tersebut banyak kendala atau tidak serta mengamati dari keahlian dan kejujurannya dalam menjalankan bisnis tersebut, apakah pernah mengalami kebangkrutan atau tidak, dan apakah dalam menjalankan usahanya pernah menipu atau tidak. c. Capital Capital artinya adalah suatu keadaan yang menyangkut harta kekayaan dari usaha yang sedang dijalankan oleh debitur. Dengan mengamati capital ini, maka kreditur dapat mengetahui seberapa besar plafon kredit yang cocok untuk diberikan kepada debitur dan seberapa besar kemungkinan debitur untuk dapat melakukan pelunasan bunga dan hutang kreditnya. Mengamati capital dapat dilakukan dengan pengecekan pada data-data keuangan perusahaan debitur, misalnya : laporan keuangan, laporan laba rugi, kondisi permodalan, return on investment, dan return on equity.
51 d. Condition of Economy Condition of Economy ini maksudnya adalah kondisi perekonomian suatu Negara dapat mempengaruhi prospek ke depannya dari usaha yang dilakukan debitur. Dalam hal ini ada beberapa kegiatan bisnis yang kelancaran operasionalnya sangat bergantung pada kondisi perekonomian masyarakat dan Negara, contohnya : usaha dalam bidang perhotelan, pariwisata, perdagangan barang-barang mode, serta perusahaan bursa efek. Oleh karena itu, sangatlah penting bag kreditur untuk mengetahui usaha apa yang dijalankan debitur, apakah sangat bergantung dengan kondisi perekonomian atau tidak, dan bila iya, maka kreditur juga harus memperhatikan kondisi perekonomian saat itu, apakah sudah tepat waktu atau tidak untuk memberikan kredit pada debitur. Hal-hal yang dapat memberikan dampak yang begitur besar terhadap kestabilan perekonomian, misalnya : masalah dalam bidang politik, kenegaraan, peraturan perundang-undangan yang belum pasti, dan terjadinya bencana alam. e.
Collateral Collateral ini maksudnya adalah suatu jaminan yang dapat dieksekusi oleh
kreditur dalam hal debitur bersangkutan wanprestasi, dalam bentuk : benda, jaminan perorangan (borgtocht), surat garansi ataupun surat rekomendasi. Untuk mengambil keputusan mensyaratkan suatu collateral, haruslah juga diperhatikan baik-baik mengenai nilai dari collateral tersebut. Hal yang perlu diamati dalam pemilihan collateral adalah :
52
Dari segi ekonomis Hal yang diperhatikan adalah nilai ekonomis (seberapa mahal atau murahnya dinilai dengan mata uang) dari barang-barang yang dipilih sebagai collateral.
Dari segi yuridis Hal yang diperhatikan adalah aspek-aspek yuridisnya apakah telah dipenuhi sebagai suatu benda sehingga dapat digunakan sebagai jaminan.
2.1.5 Asas-Asas Perjanjian Adapun asas-asas perjanjian yang dijadikan sebagai pedoman dalam pembuatan suatu perjanjian adalah sebagai berikut :62 1. Asas Personalia Asas Personalia dalam perjanjian ini mengacu pada konsep mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak seseorang dalam hukum. Seseorang bertanggung jawab akan perbuatan hukum tersebut atas nama dirinya sendiri sebagai seorang individu dan subyek hukum, sehingga perbuatan hukum atau perjanjian yang dibuat atau dilakukan tersebut akan mengikat dan berlaku sebagai undang-undang terhadap orang tersebutdalam konteks individu serta harta kekayaan orang tersebut. Asas ini berpedoman Pasal 1315 dan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pernyataan dari Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang status individu atau subyek hukum menentukan bahwa “Pada 62
R. Subekti, 1979 Hukum Perjanjian, Cet. VI, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat R. Subekti II), hal. 88.
53 umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.” Selengkapnya, Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang harta kekayaan dari seorang individu atau subyek hukum, menentukan bahwa “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” 2. Asas Konsensualitas Asas Konsensualitas adalah asas yang bertumpu pada tercapainya suatu “kesepakatan” antara para pihak yang berjanji atau membuat perjanjian. Kesepakatan tersebu dapat dilakukan dengan lisan atau tertulis. Sejak tercapainya kesepakatan tersebut, lahirlah hak dan kewajiban para pihak yang bersepakat. Implementasi dari asas konsensualitas ini dapat dilihat pada Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya”. Dari adanya asas konsensualitas ini, maka muncullah perjanjian konsensuil yang artinya perjanjian yang dapat terbentuk cukup dengan hanya kata sepakat saja. Misalnya : perjanjian peminjaman barang, perjanjian penitipan barang, perjanjian riil, perjanjian formil. Suatu kesepakatan haruslah tidak bertentangan dengan undang-undang. Kata sepakat dianggap tidak sah menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila terjadi dalam keadaan :
54 1) Khilaf Dalam hal terjadi kekhilafan disini, akan menyebabkan perjanjian yang dibuat langsung batal, apabila khilaf yang dimaksud tersebut adalah menyangkut dari hakikat barang yang dijadikan objek perjanjian. 2) Paksaan Paksaan yang dimaksud disini adalah paksaan dengan kekerasan terhadap salah satu pihak maupun pihak ketiga barulah dapat membatalkan perjanjian, namun paksaan tanpa kekerasan yang merupakan rasa takut karena menghormati orangtua dalam garis keatas kekeluargaan tidaklah menyebabkan batalnya perjanjian. 3) Penipuan Penipuan dapat menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Penipuan yang diadukan
haruslah
terang dan nyata,
serta
harus
dapat dibuktikan
dan
dipertanggungjawabkan secara hukum. 3. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang berlandaskan pada Pasal 1320 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum perdata yaitu : “suatu sebab yang tidak terlarang”. Dalam hal ini, makna dari aturan tersebut, para pihak diperkenankan untuk membuat berbagai bentuk perjanjian yang melahirkan berbagai jenis hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, asalkan perjanjian yang dibuat tersebut tidak bertentangan dengan hukum ataupun peraturan perundang-undangan. Mengenai sebab terlarang, dapat diperjelas pada Pasal 1337 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yaitu : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
55 undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sebab yang dimaksud disini adalah suatu hal yang berkaitan dengan penyebab muncul atau terjadinya perbuatan hukum tertentu. 4. Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Kepastian Hukum) Asas Pacta Sunt Servanda ini merupakan unsur yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 5. Asas Itikad Baik Asas itikad baik dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab UndangUndang Hukum Perdata “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas-asas perjanjian merupakan suatu pegangan yang sangat penting bagi masyarakat hukum dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mana, selalu berkaitan dengan hak, kewajiban, dan harta kekayaan masyarakat sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, perlu diketahui, fungsi dari asas-asas perjanjian tersebut, antara lain :63 1. Untuk dapat terciptanya hubungan yang erat antar peraturan hukum yang ada. 2. Untuk dipergunakan menyelesaikan masalah dan membuka bidang hukum baru. 3. Menjustifikasi prinsip etika yang muncul dari substansi aturan dan norma hukum. 63
Herlien Budiono, 2008, Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Konsumen dalam Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal. 124129.
56 4. Dapat dipergunakan dalam menelaah dan mengkaji ulang doktrin hukum. Doktrin hukum tersebut selanjutnya mampu melahirkan suatu penyelesaian yang baru, terkait dengan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi.
2.2 Jaminan Kredit 2.2.1 Pengertian Jaminan Kredit Jaminan kredit adalah suatu objek atau benda yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur dalam rangka penanggungan atas hutang debitur kepada kreditur dan agar tercapainya rasa kepercayaan kreditur terhadap debitur dalam suatu perjanjian kredit ataupun perikatan lainnya yang berhubungan dengan peminjaman uang.64 Hukum dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan terhadap yang melanggar umumnya dikenakan sanksi.65 Sedangkan definisi Hukum Jaminan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan adalah hukum yang mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan menjaminkan bendabenda yang dibeli sebagai jaminan.66
64
Soewarso dan Indrawati, 2002, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 10. 65 Zainal. H. Asikin, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 10. 66 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1977, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet.I, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Bulaksumur, Yogyakarta, hal. 8.
57 Jaminan merupakan instrumen yang sangat penting dalam suatu perjanjian kredit. Adapun sifat dari jaminan tersebut adalah :67 a. Jaminan berfokus pada pemenuhan prestasi dari debitur pada kreditur b. Jaminan yang dipergunakan jenisnya adalah benda yang memiliki mutu dan kualitas sehingga dapat dinilai dengan uang c. Jaminan muncul akibat adanya suatu perjanjian kesepakatan yang terjadinya antara pihak debitur dengan pihak kreditur. d. Dengan adanya jaminan dapat menumbuhkan rasa percaya kreditur bahwa debitur yang diberikan kredit mampu memenuhi prestasinya sesuai perjanjian. Di Indonesia, jaminan dapat diklasifikasikan berdasarkan 4 (empat) hal, antara lain :68 a. Berdasarkan Cara Terjadinya :
Jaminan yang lahir karena undang-undang, adalah jaminan yang eksistensinya berpedoman atau patuh terhadap peraturan perundang-undangan, kerena telah dikodifikasikan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Contohnya : Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah mengatur mengenai segala harta kekayaan seorang debitur baik yang sudah ada ataupun yang akan ada, tetap menjadi penanggungan pelunasan hutang debitur kepada kreditur, serta mengatur pula mengenai kedudukan harta para kreditur baik yang 67
Boedi Harsono, 1981, Masalah Hipotik dan Credietverband, Seminar tentang Hipotik dan Lembaga-Lembaga Jaminan Lainnya, BPHN : Binacipta, hal. 78. 68 Oey Hoey Tiong, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, hal. 28.
58 preferen maupun tidak, tetap sama-sama harus mendapat pelunasan hutang dari debitur sesuai kedudukan yang mana didahulukan dan sesuai piutang masingmasing.
Jaminan yang lahir karena diperjanjikan ini adalah, merupakan jaminan yang diatur dalam perjanjian jaminan antara debitur dan kreditur yang mengulas hal-hal jumlah kredit serta jenis objek jaminan secara lengkap. Perjanjian jaminan ini adalah perjanjian accesoir yang mengikuti perjanjian
pokok yaitu perjanjian
kredit. Contohnya : perjanjian jaminan fidusia, hak tanggungan, gadai ataupun perjanjian penanggungan (borghtocht). b. Berdasarkan Objeknya :
Jaminan yang Objeknya Benda Bergerak
Jaminan yang Objeknya Benda tidak Bergerak atau Benda Tetap
Jaminan yang Objeknya Benda berupa Tanah
c. Berdasarkan Sifatnya :
Jaminan yang termasuk Jaminan Umum adalah jaminan yang digunakan dalam hal untuk pelunasan hutang para kreditur dengan seluruh harta kekayaan debitur sesuai dengan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jaminan yang termasuk Jaminan Khusus adalah jaminan yang dalam penyerahannya adalah suatu jenis benda tertentu, sesuai yang diinginkan oleh kreditur dalam rangka pelunasan hutang debitur, yang mana berdasarkan adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur.
59
Jaminan yang Bersifat Kebendaan adalah jaminan kebendaan yang harus selalu diadakan pencatatan dan tunduk pada asas publisitas, dengan demikian tercipta hak yang mutlak terhadap kebendaan yang dijadikan penanggungan hutang tersebut. Lembaga yang digunakan biasanya adalah fidusia, hak tanggungan, gadai, hipotek.
Jaminan yang Bersifat Perorangan adalah jaminan yang berupa orang, dalam arti orang yang dimaksud tersebut adalah orang yang bersedia sepenuhnya untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur dalam debitur tersebut wanprestasi.
4. Berdasarkan Kewenangan menguasai Benda Jaminannya :
Dalam hal jaminan yang menguasai jaminannya adalah pada lembaga gadai dan hak retensi, karena dianggap akan lebih aman bagi kreditur bila objek jaminan dikuasai.
Dalam hal jaminan tidak menguasai jaminannya adalah pada lembaga fidusia, dan hak tanggungan, yang dikuasai hanyalah surat-suratnya saja, dengan demikian debitur tetap dapat menggunakan benda jaminan untuk mengoperasionalkan bisnisnya.
2.2.2 Asas-Asas Hukum Jaminan Hukum jaminan adalah hukum yang dijadikan pedoman oleh lembaga jaminan. Adapun 5 (lima) asas hukum jaminan, antara lain :69
69
Hartono Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Cet. I, Liberty, Yogyakarta, hal. 18.
60 a. Asas Publicitet Adalah asas yang berpandangan bahwa semua benda atau objek jaminan yangdijadikan penanggungan hutang harus selalu didaftarkan, termasuk juga fidusia, hipotek serta hak tanggungan. Pendaftaran dapat dilakukan pada masing-masing kantor khusus yang telah ditunjuk oleh pemerintah dalam menerima pendaftaran objek jaminan tersebut, sehingga hal ini dapat menginformasikan pada pihak ketiga bahwa suatu benda atau objek tersebut adalah merupakan benda jaminan yang dijadikan penanggungan hutang dalam suatu perikatan. b. Asas Specialitet Adalah asas yang memiliki prinsip khusus bahwa mengenai lembaga fidusia, hipotek dan hak tanggungan hanya dapat dipergunakan pada objek-objek yang telah didaftarkan secara jelas dan pasti atas nama seorang individu, yang mana dalam hal objek tersebut adalah tanah, maka yang menjadi fokusnya adalah status tanah yang berupa persil. c. Asas Tidak Dapat Dibagi Adalah asas yang berprinsip bahwa walaupun jumlah nilai hutang yang dimiliki debitur kepada kreditur dapat dilakukan pembagian atau pengurangan (misalnya telah dilunasi sebagian), jumlah objek jaminan yang telah diagunkan tetap tidak dapat dilakukan pembagian atau pengembalian, sama seperti pada jumlah awal pemberian benda jaminan tersebut, sampai pada akhirnya hutang telah seluruhnya lunas barulah benda-benda yang dijadikan agunan tersebut dapat diambil seluruhnya oleh debitur.
61 d. Asas Inbezitsteling Adalah asas yang dianut oleh lembagai gadai yang berprinsip bahwa debitur yang berhutang harus mnyerahkan penguasaan objek jaminannya pada penerima gadai. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. e. Asas Horizontal Adalah asas yang berprinsip bahwa tanah dan bangunan tidaklah menjadi satu, dalam arti tidak satu kesatuan yang mana masing-masing memiliki sifat serta pengaturan dalam hak-hak atas tanah yang berbeda bidang. Contohnya adalah pada hak guna bangunan dan hak pakai.
2.2.3 Pengaturan Sistem Hukum Jaminan Di Indonesia Jaminan sebagai suatu bidang yang memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan bisnis suatu masyarakat dan negara, sudah sepantasnya memiliki peraturan yang terkodifikasi. Hal itu dimaksudkan agar, tercapai kepastian hukum bagi para pelaku bisnis dan masyarakat sosial yang membutuhkan pranata hukum jaminan tersebut. Mengenai pengaturan sistem hukum jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu :70
70
Ibid, hal. 29.
62 1. Sistem Hukum Jaminan Terbuka (open system) Adalah sistem hukum yang berpandangan bahwa masyarakat diperkenankan untuk membuat atau mengadakan suatu hak-hak jaminan yang baru selain yang telah diatur di dalam perundang-undangan. 2. Sistem Hukum Jaminan Tertutup (closed system) Adalah sistem yang dipergunakan oleh Indonesia, yang mana menganut pandangan bahwa masyarakat tidak diperkenankan untuk membuat hak-hak jaminan yang baru, kecuali hak-hak jaminan yang telah diatur didalam peraturan perundangundangan Republik Indonesia. Pengaturan Hukum Jaminan di Indonesia dibedakan dalam 2 (dua) bagian pengaturan, antara lain :71 a. Pengaturan Hukum Jaminan dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab UndangUndang Hukum Perdata : Dua unsur yang berkorelasi dengan jaminan dan tidak terpisahkan satu sama lain adalah benda (sebagai objek jaminan) serta perjanjian (sebagai sarana dalam saling mengikatkan kehendak serta wujud nyata dari kesepakatan para pihak yang berjanji). Kedua hal ini masing-masing telah diatur secara jelas dan rinci serta terkodifikasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Mengenai Benda, diatur dalam Buku ke II tentang Kebendaan, yaitu pada Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (mengenai jaminan secara umum), kemudian Lembaga Gadai yang diatur pada (Pasal 1150 sampai 71
Ibid, hal 32.
63 dengan Pasal 1161) dan Lembaga Hipotek yang diatur pada (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232).
Mengenai Perjanjian, diatur dalam Buku ke III tentang Perikatan.
b. Pengaturan Hukum Jaminan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkodifikasi pada beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda, antara lain :
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
2.3 Jaminan Fidusia 2.3.1 Pengertian Jaminan Fidusia Arti dari kata “Jaminan” adalah suatu objek atau benda yang dapat dinilai dengan uang yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur sebagai penanggungan atas hutang debitur, sedangkan fidusia, asal katanya adalah fides yang artinya adalah kepercayaan.72 Definisi fidusia menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. 72
Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 19.
64 Oleh sebab itu, pengertian Jaminan Fidusia, sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Perjanjian kredit dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia merupakan suatu Perjanjian Riil dalam bentuk perjanjian pinjam meminjam, yang mana benda atau barang yang dipinjam tersebut akan dikembalikan oleh peminjam dalam keadaan yang utuh.73 Dalam hal ini yang dimaksud adalah perjanjian utang piutang, sehingga dalam pembuatan akta perlu diperjelas pada pokok perjanjian atau yang disebut dengan komparisi, bahwa dalam perjanjian tersebut terjadi penyerahan uang. Akta Jaminan Fidusia sebagai akta yang mengikat dan menginformasikan isi dari perjanjian jaminan fidusia berisi hal-hal sebagai berikut :74 a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau tempat kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan.
73
Ibid, hal.30. Mariam Darus Badrulzaman,1991, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 131. 74
65 b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia. c. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan Benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi atau portfolio perusahaan efek, maka dalam akta Jaminan Fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut. d. Nilai penjaminan yang telah dijanjikan penerima fidusia kepada pemberi fidusia terhadap objek jaminan fidusia e. Nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Jadi perjanjian yang dibuatkan akta jaminan fidusia bisa disebut juga dengan perjanjian hutang piutang dengan lembaga fidusia. Utang yang pengembalian dananya dijamin dengan Jaminan Fidusia adalah :75 a. Utang yang telah ada pada saat itu juga; b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam suatu jumlah tertentu dan telah disepakati. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang dikenal dengan istilah “kontinjen”, misalnya utang yang timbul dari
75
Muhamad Djumhana, Op. Cit, hal. 535.
66 pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Utang yang dimaksud adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian. Apabila telah dilakukan pembuatan akta jaminan fidusia, maka dapat langsung melakukan pendaftaran benda jaminan fidusia. Tujuan dari pendaftaran jaminan fidusia adalah untuk memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia.Sertifikat jaminan fidusia adalah merupakan akta otentik yang dari segi pembuatannya merupakan akta yang dibuat oleh pejabat.76 Seluruh informasi yang ada dalam Sertifikat Jaminan fidusia mengandung kekuatan pembuktian sempurna. Adapun 3 (tiga) unsur yang terkandung dalam kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat tersebut, antara lain77 : 1. Kekuatan Bukti Luar Maksud dari kekuatan bukti luar ini adalah, suatu keadaan dimana akta otentik yang dipergunakan sebagai alat bukti tersebut, harus dipercaya kebenarannya sebagai akta otentik, kecuali ada suatu bukti kuat lainnya yang dapat membuktikan sebaliknya, bahwa akta tersebut bukan akta otentik. Apabila akta tersebut dapat 76
M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 570. 77 Ibid, hal. 580.
67 dibuktikan sebaliknya, maka kekuatan bukti luar yang ada pada akta tersebut otomatis hilang dan akta yang ditunjukkan tersebut tidak diperkenankan untuk dianggap sebagai akta otentik. Beberapa keadaan yang dapat menggugurkan akta otentik tersebut adalah :
Akta tersebut cacat hukum, dalam hal ini dapt disebabkan akta tersebut dibuat oleh pejabat yang tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembuatan akta tersebut.
Akta tersebut ditanda tangani secara palsu oleh oknum yang bukan pejabat yang berwenang.
Terjadi penambahan ataupun pengurangan kalimat dalam informasi yang ada dalam akta tersebut, sehingga menimbulkan perubahan makna.
2. Kekuatan Pembuktian Formil Maksud dari kekuatan pembuktian formil adalah berfokus mengenai anggapan yang benar terhadap seluruh isi serta keterangan yang ada dalam akta tersebut, yang mana diserahkan serta disetujui oleh yang menandatangani akta tersebut kepada pejabat yang berwenang membuat akta itu. Hal itu, menitikberatkan pada kebenaran mengenai : tanggal yang dimuat dalam akta, sehingga tanggal yang tercantum tersebut tidak dapat gugur, tempat dibuatnya akta, serta keaslian dari tanda tangan para pihak. Dalam hal ini, dapat saja pada kenyataannya para penghadap berbohong mengenai informasi yang mereka berikan kepada pejabat yang membuat akta, namun perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang berjanji beserta para ahli warisnya,
68 dan pihak penerima haknya. Pembuktian ini berdasarkan pada apa yang dilihat, didengar serta yang dilakukan pejabat umum. 3. Kekuatan Pembuktian Materiil Kekuatan pembuktian materiil ini adalah menitikberatkan pada kebenaran yang tertuang dalam akta tersebut, mengingat yang membuat akta tersebut adalah seorang pejabat umum yang berwenang dalam bidangnya serta bertanggungjawab penuh akan kebenaran isi yang tertuang dalam akta tersebut. Kekuatan pembuktian materiil ini ditemukan pada akta yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, kantor hukum dan hak asasi manusia. Akta otentik sebagai suatu alat pembuktian yang sempurna, harus memiliki 3 (tiga) unsur esensial, sebagai suatu syarat formal menjadi sebuah akta otentik. Adapun 3 (tiga) unsur tersebut, antara lain :78 1. Suatu akta yang dibuat karena ada penunjukan dari undang-undang 2. Suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan seorang pejabat umum 3. Suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang dalam membuat serta tempat dikeluarkan akta tersebut C.A. Kraan mengatakan akta otentik adalah akta yang memiliki kekhasan tersendiri daro akta lainnya. Ciri-ciri dari sebuah akta otentik adalah, sebagai berikut:79 78
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal. 148. 79 C.A. Kraan, 1984, De Authentieke Akte, Gouda Quint BV, Arnhem, hal. 143.
69 1. Tulisan yang dibuat adalah secara sengaja khusus untuk menjadi suatu alat dalam pembuktian mengenai keadaan yang terjadi sesuai dengan tulisan yang dibuat dan diakui serta dinyatakan oleh pejabat yang berwenang khusus dalam bidang yang bersangkutan. 2. Tulisan tetap dianggap sebagai tulisan yang secara benar dan nyata dibuat oleh oleh pejabat yang berwenang dalam hal bersangkutan, kecuali ada bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya dari isi tulisan tersebut. 3. Tulisan yang dibuat haruslah berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta prosedur pembuatan dari tulisan tersebut, misalnya berisi nama serta kedudukan pejabat umum yang membuat, tanggal, dan tempat dibuatnya tulisan tersebut. 4. Pejabat umum yang membuat tulisan tersebut merupakan pejabat yang diangkat oleh Negara, serta statusnya bersifat mandiri dan tidak memihak dalam menjalankan wewenang dan kewajiban jabatannya. 5. Suatu perbuatan hukum yang dibuat dalam tulisan oleh pejabat umum tersebut adalah perbuatan hukum yang mana dalam ranah hukum privat.
2.3.2 Sejarah Jaminan Fidusia Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman Romawi. Bagi masyarakat pada saat itu, fidusia adalah satu-satunya lembaga jaminan yang
70 dapat mereka pergunakan dalam melakukan kegiatan perdagangan ataupun usaha para petani. Fidusia pada zaman romawi dikenal dengan 2 (dua) nama, yaitu :80 a. Fiducia Cum Creditore Contracta Adalah suatu janji kepercayaan yang dibuat antara debitur dengan kreditur, yang mana diadakan pengalihan kepemilikan benda jaminan ke pihak kreditur sebagai agunan hutang debitur, dengan syarat kreditur akan langsung mengembalikan agunan tersebut setelah debitur melunasi seluruh nominal hutangnya. Fidusia jenis inilah yang paling sering digunakan masyarakat romawi dalam kegiatan perdagangan serta usaha para petani. Walaupun fiducia cum creditore contracta dianggap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Romawi akan lembaga jaminan, namun fidusia ini memiliki kelemahan yaitu dikarenakan sistem yang digunakan masih berdasarkan kepercayaan dari debitur kepada kreditur saja.81 Dalam hal ini debitur percaya bahwa kreditur tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan debitur terhadap barang jaminan tersebut. Namun, apabila kreditur adalah pihak yang tidak dapat menjaga kepercayaan dengan baik, maka debitur pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena belum ada hukum tertulis secara jelas yang mengatur fidusia serta pelanggaranpelanggarannya.
80 81
H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 65. H. Tan Kamelo, Op.Cit.
71 b. Fiducia Cum AmicoContracta Adalah suatu janji berdasarkan kepercayaan yang dibuat antara seseorang dengan seorang teman atau orang yang dipercayainya, untuk menitipkan suatu barang atau benda berharga miliknya, dalam hal pemberi titipan tersebut harus bepergian keluar daerah, dengan catatan sekembalinya pemberi titipan dari luar daerah, penerima titipan harus mengembalikan benda titipan seutuhnya. Seiring perkembangan kehidupan masyarakat, berkembanglah lembaga gadai serta hipotek yang mampu mengalahkan popularitas fidusia sebagai lembaga jaminan. Hal ini dikarenakan gadai dan hipotek sudah ada hukum tertulis yang mengatur sehingga dianggap terjamin adanya kepastian hukum. Adapun latar belakang sejarah yang menunjukkan bahwa pengikatan jaminan dengan lembaga gadai tidak efektif, adalah sebagai berikut : Kebutuhan akan hukum jaminan mulai berkembang ke negara-negara Eropa. Pada suatu masa diakhir abad ke-19 terjadi krisis yang dialami oleh para pengusaha pertanian, yaitu suatu keadaan dimana tanaman-tanaman yang mereka olah setiap harinya mendapat serangan hama. Hal tersebut menyebakan para petani memerlukan banyak dana untuk tetap dapat memulihkan pengoperasian kegiatan pertaniaannya. Solusi yang didapat adalah dengan berkredit pada bank untuk memperoleh dana. Tetapi, bank sebagai kreditur saat itu mensyaratkan jaminannya dengan hipotek yaitu tanah dengan hak milik, sementara tidak banyak petani yang memilik tanah dengan hak milik, syarat kedua adalah para petani disyaratkan untuk menggadaikan alat-alat pertanian mereka pada bank. Kedua syarat tersebut tidak memberikan solusi bagi petani untuk berhasil memperoleh dana justru, para petani tidak mampu mengoperasionalkan pekerjaannya tanpa alat-alat pertanian yang dimilikinya.Walaupun seandainya dilakukan gadai yang tidak dengan penyerahan agunan, tetap tidak boleh karena hal itu melanggar Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.82
82
Oey Hoey Tiong, Op. Cit, hal. 39.
72 Selanjutnya, sempat dilakukan suatu perjanjian dimana debitur menjual benda jaminannya kepada kreditur yang kemudian, dalam jangka waktu beberapa saat debitur membeli kembali benda jaminan yang dijual tersebut agar debitur tetap dapat menggunakan benda tersebut, jadi debitur dalam keadaan ini dapat disebut sebagai peminjam pakai. Solusi lain dalam penanganan krisis tersebut adalah dengan dibuatnya lembaga jaminan Oogstverband yang artinya adalah suatu hak kebendaan atas hasil-hasil pertanian yang belum dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar supaya dipenuhi perjanjian untuk menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bungabunga, ongkos-ongkos dan uang provisi dari hasil penjualan.83 Dalam prosesnya ini Oogstverband memberikan sistem secara gadai namun benda jaminan tersebut dapat dikuasai dan dipergunakan oleh debitur dalam menjalankan usahanya. Sehingga Lembaga Oogstverband ini dapat dianggap sebagai awal permulaan lahirnya fiduciaire eigendoms overdracht.84 Setelah status bagi debitur sebagai peminjam pakai dalam perjanjian hutang selalu digunakan, kembali ada titik terang munculnya kembali fidusia. Hal tersebut ditemukan pada keputusan dari kasus NW Heineken Bierbrouwerij Maatschappij yang memberikan pinjaman dana kepada P.Bos yang memiliki kedai kopi Sneek.85 83
Wahidin Syamsul dan Abdurrahman, 1989, Beberapa Catatan tentang Hukum Jaminan dan Hak-Hak Jaminan Atas Tanah, Alumni, Bandung, hal. 77. 84 H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 70. 85 H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 69.
73 Dalam perjanjian hutang tersebut mereka menggunakan perjanjian pinjam pakai, yaitu menjual inventaris kedai dengan hak membeli kembali. Pada akhir sengketa, keputusan dari Hoge Raad Belanda, tanggal 29 Januari 1929 adalah memutuskan bahwa, perjanjian yang dilakukan masing-masing pihak tersebut diatas adalah perjanjian jaminan dengan penyerahan hak milik, namun benda jaminannya masih dalam penguasaan debitur, yang mana hal tersebut dinamakan fidusia.86 Dari keputusan Hoge Raad dalam kasus Bierbrouwerij Arrest inilah lembaga fidusia (fiduciaire eigendoms overdracht) mulai diakui dan yurisprudensinya adalah yang pertama di Negara Belanda.87
2.3.3 Lahirnya Jaminan Fidusia di Indonesia Selanjutnya dibahas mengenai proses kemunculan jaminan fidusia di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada kondisi suatu kasus yang memperoleh suatu putusan pengadilan yang tetap berdasarkan yurisprudensi. Kasus tersebut diuraikan sebagai berikut : Awal mula lahirnya dan diakuinya fidusia di Indonesia adalah sejak dikeluarkannya keputusan oleh Hooggerechtschof (Hgh) dalam kasus Bataafsche Petroleum Maatschappij melawan Pedro Clignett, yaitu tanggal 18 Agustus 1932, yang menghasilkan solusi dari permasalahan gadai pada Pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam kasus ini Pedro Clignett adalah sebagai debitur peminjam uang kepada Bataafsche Petroleoum sebagai kreditur dengan agunannya adalah mobil dari Pedro Clignett yang berada dibawah penguasaannya. Pedro Clignett mengalami wanprestasi, dan tidak mau menyerahkan mobil agunan tersebut kepada kreditur. Pedro berdalih bahwa perjanjian yang dilakukannya dengan kreditur adalah gadai yang tidak sah. Namun HgH memberikan keputusan bahwa perjanjian yang dilakukan kedua 86
H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 70. H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 71.
87
74 belah pihak tersebut adalah perjanjian dengan penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan yang disebut juga dengan fidusia. 88 Setelah pengakuan fidusia melalui yurisprudensi tersebut, fidusia dapat berkembang secara berdampingan dengan lembaga gadai dan hipotek pada masingmasing bidang, tanpa adanya percampuran persepsi lagi khususnya antara gadai dan fidusia. Pada kehidupan masyarakat Romawi, konsep fidusia tersebut adalah kreditur sebagai pemilik dari barang yang dijaminkan tersebut, namun semenjak yurisprudensi ini, kreditur hanya dianggap sebagai “pemegang” hak milik benda yang dijaminkan. Ini artinya pemilik asli dari benda jaminan masih tetap debitur.89 Semakin mengikuti perkembangan zaman dan hukum, muncul pula aturan mengenai hubungan debitur dengan pihak ketiga dalam perjanjian serta objek apa saja yang dapat dibebankan dengan jaminan fidusia. Mengenai objek jaminan fidusia yang dapat dibebankan, semakin tegas dan jelas ditentukan sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa benda yang dapat dijadikan jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
88
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hal. 48. 89 Munir Fuady, Op. Cit, hal 49.
75 2.3.4 Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia Jaminan fidusia sebagai lembaga penjaminan hutang memiliki asas-asas yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan aturan-aturanya. Asas-asas tersebut antara lain:90 1.
Asas Droit dePreference Asas ini artinya adalah prinsip mengenai bagaimana para kreditur yang
memegang jaminan fidusia memiliki hak untuk didahulukan dalam mendapat pelunasan piutang. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia. 2.
Asas Droit de Suite Asas ini artinya adalah prinsip mengenai objek jaminan fidusia yang selalu
diikuti oleh jaminan fidusia dimana pun objek tersebut berada. Asas ini memiliki ketentuan bahwa kreditur mana yang mendaftarkan lebih dahulu jaminan tersebut, maka kreditur tersebutlah yang berhak memperoleh pelunasan piutang paling pertama. Dalam asas ini juga memberikan perlindungan serta kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan
fidusia terhadap kemungkinan adanya perpindahan
tangan benda jaminan ke pihak ketiga, karena dengan prinsip droit de suite ini, pemgeang hak utama tetap berada pada kreditur. 3.
Asas Assesoritas Asas ini artinya adalah prinsip mengenai sifat jaminan fidusia yang
merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok. Dalam hal ini perjanjian jaminan 90
H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 157.
76 fidusia dibuat berdasarkan isi yang tertuang dalam perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit yang mengulas tentang perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur. 4.
Asas yang memiliki prinsip bahwa jaminan dengan lembaga fidusia ini dapat dipergunakan untuk menjamin kontinjen atau yang disebut juga hutang yang akan ada di kemudian hari.
5.
Asas yang memiliki prinsip bahwa jaminan dengan lembaga fidusia ini dapat dipergunakan untuk pembebanan benda jaminan milik debitur, yang akan ada di kemudian hari.
6.
Asas yang berpedoman pada asas pemisahan horizontal, dimana jaminan dengan lembaga fidusia dapat dipergunakan dalam pembebanan bangunan ataupun rumah yang berada diatas tanah hak milik orang lain, misalnya rumah sewa.
7.
Asas yang berpedoman pada asas spesialitas, yang mana menelaah seluruh informasi penting yang berkaitan dengan benda yang dijaminkan fidusia tersebut, antara lain : pemberi dan penerima fidusia, data perjanjian pokok jaminan fidusia, uraian tentang benda yang dijaminkan dengan fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda yang dijadikan objek jaminan fidusia.
8.
Asas yang berprinsip bahwa subyek yang berstatus sebagai pemberi fidusia diharuskan adalah subyek yang memiliki kewenangan hukum terhadap benda jaminan yang akan diberikan sebagai agunan hutangnya.
9.
Asas yang berpedoman pada asas publikasi dengan menganut pandangan bahwa benda jaminan fidusia yang dijadikan agunan pada suatu perjanjian hutang harus
77 selalu didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia, sehingga memberikan kepastian hukum bagi kreditur. 10. Asas yang berpedoman pada asas pendakuan yang mana selalu berprinsip bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan fidusia saja, bukan sebagai pemegang hak milik dari jaminan fidusia. 11. Asas yang memiliki prinsip bagi kreditur para pemegang jaminan fidusia yang mendaftarkan benda jaminannya paling awal, memperoleh hak istimewa untuk diprioritaskan terlebih dahulu daripada kreditur lainnya yang mendaftar setelah kreditur pendaftar pertama. 12. Asas yang berprinsip bahwa para pemberi fidusia yang menguasai objek jaminan fidusia yang telah berstatus agunan dari suatu hutang harus beritikad baik dengan menjaga kepercayaan kreditur untuk tidak menyewakan, menggadaikan ataupun mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain. 13. Asas yang memiliki prinsip bahwa dengan menggunakan lembaga jaminan fidusia, maka dijamin adanya kemudahan dalam eksekusi benda jaminan fidusia yaitu dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia, yamana kekuatannya dipersamakan dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
2.3.5 Ruang Lingkup dan Objek Jaminan Fidusia Ruang lingkup jaminan fidusia dapat dilihat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Di dalam kedua pasal tersebut menyatakan secara jelas bahwa undang-undang jaminan fidusia tersebut
78 hanya mengatur mengenai perjanjian-perjanjian yang benda jaminannya hanya dibebankan dengan jaminan fidusia, serta undang-undang tersebut tidak berlaku atas:91 a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas bendabenda tersebut wajib didaftar; b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih; c. Hipotek atas pesawat terbang; dan d. Gadai. Dalam aturan kebiasaan masyarakat Romawi, objek yang dijadikan jaminan fidusia adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak. Setelah berkembangnya gadai dan hipotek, maka khusus untuk barang bergerak adalah untuk gadai dan fidusia, dikarenakan sering terjadi konflik dalam perjanjian gadai mengenai cara penguasaan hak
milik benda jaminan, sedangkan barang
tidak bergerak
diperuntukkan pada hipotek.92 Sampai pada akhirnya Undang-Undang Pokok Agraria mengeluarkan ketentuan yang menunjukkan peraturannya tidak membedakan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak.93 Hal yang diatur dalam undang-undang pokok agraria adalah tanah dan bangunan merupakan satu kesatuan yang mana 91
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 111. J. Satrio I, Op. Cit, hal. 96. 93 Andreas Albertus Andi Prajitno, 2010, Hukum Fidusia, Selaras, Malang, hal. 101. 92
79 apabila bangunannya hendak dijaminkan maka tanahnya pun termasuk. Sehingga dalam hal seseroang memiliki tanah dengan hak sewa, ia tidak dapat membebaninya dengan hak tanggungan, melainkan dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Peraturan yang dikeluarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria ini sangat relevan dengan kondisi perekonomian dan bisnis yang ada di Indonesia. Karena banyak masyarakat yang masih memilik tanah dengan bukan hak milik melainkan dengan hak sewa, ataupun hak pakai dan yang sejenisnya. Kemudian semakin jelas dan tegas mengenai objek jaminan fidusia telah diatur pada Pasal 1 angka 2 dan angka 4 serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mana menegaskan secara ringkas, objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian kebendaan yang artinya perjanjian tersebut pembuatannya adalah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan, lahir karena adanya kesepakatan antara para pihak yang berjanji dan mengikatkan diri, yang sama-sama memiliki tujuan dalam rangka menimbulkan, mengalihkan, merubah atau mengakhiri suatu hak kebendaan.
80 Jaminan Fidusia dapat dilakukan peralihan hak. Peralihan hak dalam pengalihan jaminan fidusia ini agar dapat dikatakan sah, maka harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :94 a. Ada perjanjian yang zakelik b. Ada title guna peralihan hak c. Ada penyerahan kewenangan dari orang yang menyerahkan benda dalam rangka menguasai benda tersebut d. Penyerahan benda dilakukan dengan cara tertentu yaitu
Constitutum
Possessorium yang artinya adalah menyerahkan kepemilikan benda tanpa penyerahan benda secara fisik. Ada 3 (tiga) fase yang dilaksanakan, terkait penyerahan secara Constitutum Possessorium. 3 (tiga) fase tersebut, antara lain :95 a. Fase Perjanjian Obligatoir Awal dimulainya proses perjanjian jaminan fidusia adalah dengan perjanjian obligatoir. Maksud dari perjanjian obligatoir adalah perjanjian peminjaman uang dengan jaminannya yaitu jaminan fidusia, yang dilakukan antara pihak debitur dan pihak kreditur.
94
Salim, H.S, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 70. 95 J. Satrio III, Op. Cit, hal. 59.
81 b. Fase Perjanjian Kebendaan Apabila perjanjian obligatoir telah dilakukan, kemudian diikuti dengan perjanjian kebendaan. Perjanjian kebendaan ini adalah penyerahan hak milik yang dilakukan dari debitur kepada kreditur secara constitutum possessorium, yaitu menyerahkan hak milik tanpa penyerahan fisik benda. c. Fase Perjanjian Pinjam Pakai Pada tahap ini yang dilakukan adalah benda jaminan fidusia yang telah beralih tersebut dilakukan perjanjian pinjam pakai. Maksudnya yaitu benda yang dibebani jaminan fidusia tersebut penguasaannya tetap berada pada debitur. Dalam hal ini, diatur dalam suatu aturan dalam hukum acara yang menyatakan bahwa bagi pihak yang kalah dalam persidangan adalah pihak yang membayar biaya perkara. Pendaftaran jaminan fidusia adalah suatu keadaan dimana data-data mengenai surat kepemilikan objek yang dijadikan benda jaminan dalam suatu perjanjian hutang, dimasukkan kepada Kantor Pendaftaran fidusia untuk dicek dan disimpan datanya, dan memenuhi asas publisitas sehingga masyarakat umum mengetahui bahwa suatu benda tersebut merupakan jaminan dari suatu perjanjian hutang. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka suatu objek yang dijadikan benda jaminan fidusia adalah wajib untuk didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Walaupun telah diatur dalam undang-undang,
82 beberapa hal mengenai fidusia tersebut masih sering ada pelanggaran yang dilakukan oleh para kreditur pemegang jaminan fidusia.96 Terkait proses perkreditan dengan jaminan fidusia, ditemui beberapa pelanggaran yang kreditur lakukan, antara lain :97 1) Tidak didaftarkannya objek jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia oleh kreditur. Hal ini terjadi dikarenakan, kredit yang diambil oleh debitur adalah dalam jumlah kecil, sehingga Bank Umum, BPR (Bank Perkreditan Rakyat) ataupun lembaga finance telah bersedia untuk menanggung resiko dalam hal terjadi debitur yang wanprestasi. Selain itu, alasan dari keadaan ini adalah untuk mengefisiensikan waktu, biaya dan kinerja sehingga tidak terhambat dalam persaingan dengan lembaga keuangan lainnya, juga alasan bahwa lembaga keuangan sudah sangat mengenal debitur maka dari itu dianggap resikonya kecil untuk debitur wanprestasi. Sesuai dengan pendapat Tan Kamelo berdasarkan pada hasil penelitiannya, dikatakan bahwa para kreditur yaitu lembaga keuangan masih banyak yang melakukan pelanggaran dengan tidak mendaftarkan benda jaminan fidusia pada
96
Maria S.W Sumardjono, 1997, Hak Tanggungan dan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 59. 97 Marianna Sutadi, 2000, Jaminan Fidusia dan Kepailitan, Makalah dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri (Persero), tanggal 09-10 Mei, Jakarta, hal. 21.
83 Kantor Pendaftaran Fidusia, walaupun mereka dengan jelas mengetahui tujuan serta manfaat dari pendaftaran tersebut.98 2) Mendaftarkan jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. Hal ini terjadi dikarenakan, belum ada undang-undang yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai daluarsa pendaftaran jaminan fidusia serta akibat hukum terlambatnya pendaftaran jaminan fidusia. Berdasarkan beberapa kesimpulan dalam makalah seminar sosialisasi Undang-Undang Jaminan Fidusia, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi adalah :99 1. Berlakunya jaminan fidusia adalah pada saat setelah lahirnya jaminan fidusia yaitu, setelah keluarnya sertifikat jaminan fidusia pada hari dan tanggal yang sama dengan pengajuan permohonan pendaftaran, bukan pada waktu dibuatnya perjanjian kredit ataupun pada waktu dibuatnya akta jaminan fidusia. 2. Apabila ada perbuatan ataupun peristiwa hukum yang dilakukan sebelum pendaftaran jaminan fidusia dilakukan, maka aturan yang tercantum dalam undang-undang jaminan fidusia tidak berlaku. Karena hak jaminan kebendaan belum dipegang oleh kreditur, yaitu sertifikat jaminan fidusia. Pendaftaran dapat dilakukan apabila telah dibuat akta jaminan fidusia yang berisi informasi mengenai perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur serta 98
H. Tan Kamelo, Op. Cit, hal. 58. Bachtiar Sibarani, 2000, Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia, Makalah dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI bekerjasama dengan PT Bank Mandiri (Persero), tanggal 09-10 Mei, Jakarta, hal. 30. 99
84 keterangan mengenai objek jaminan yang dipergunakan. Akta Jaminan Fidusia dibuat di Notaris. Notaris berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, adalah seorang Pejabat Umum yang memiliki wewenang dalam pembuatan akta otentik serta kewenangan lainnya yang telah dicantumkan dalam undang-undang ini.
2.4 Wanprestasi 2.4.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi Prestasi adalah suatu hal yang dapat berupa kewajiban ataupun objek dalam perjanjian yang terdiri dari 3 (tiga) wujud, antara lain : memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.100 Sedangkan Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur sebagai pihak yang bertanggungjawab, tidak memenuhi prestasi yang telah disepakati bersama kreditur dengan sebagaimana mestinya sehingga itu merupakan suatu kesalahan bagi debitur.101 Wirjono Prodjodikoro mengatakan, wanprestasi merupakan ketiadaan suatu prestasi, dan prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.102 Dasar Hukum Wanprestasi, dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta 100
Yahman, 2011,Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang lahir dari Hubungan Kontraktual, hal. 30. 101 Ibid, hal. 31. 102 Wirjono Prodjodikoro I ,Op. Cit, hal. 44.
85 sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa, “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”
2.4.2 Unsur Unsur Wanprestasi Suatu perbuatan debitur sehingga dapat dikatakan dalam keadaan wanprestasi, haruslah mengandung unsur-unsur utama sebagai berikut :103 1. Ada unsur perbuatan Dalam perbuatan yang dimaksud disini, adalah adanya tindakan nyata dari seseorang atau sekelompok orang ataupun lembaga. Bagi subyek hukum ataupun badan hukum perbuatannya haruslah menyesuaikan dengan keadaan atau perjanjian yang telah disepakati. Berbuat sesuatu (disebut juga aktif) dan tidak berbuat sesuatu (disebut juga pasif), kedua hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak serta disesuaikan juga pada hukum positif yang sedang berlaku.
103
Purwahid Patrik, 1994,Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), Mandar Maju, Bandung, Hal 11.
86 2. Ada unsur perbuatan yang melawan hukum Dalam hal ini, unsur perbuatan melawan hukum berpedoman pada yurisprudensi yang dikeluarkan pada kasus Lindenbaum dan Cohen (Keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919. Unsur-unsur tersebut, sebagai berikut : a. Perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku b. Perbuatan yang melanggar hak subjektif dari subyek hukum lain yang dilindungi oleh hukum c. Perbuatan yang melanggar kewajiban hukum dari subyek hukum atau badan hukum itu sendiri d. Perbuatan yang melanggar norma kesusilaan e. Perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan bermasyarakat dalam selalu bertindak baik dan positif dengan tujuan menghormati kepentingan diri sendiri dan kepentingan masyarakat luas 3. Ada unsur kesalahan pada debitur Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, dengan adanya unsur kesalahan (schuld) yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Unsur kesalahan yang dimaksud disini, memiliki faktor pencetusnya, antara lain :
87 a. Faktor kesengajaan b. Faktor lalai c. Faktor yang keadaannya tidak ada alasan pembenar ataupun alasan pemaaf, walaupun orang tersebut dalam keadaan overmacht, tidak waras ataupun membela diri. 4. Ada unsur kerugian yang ditimbulkan Mengenai unsur kerugian (schade) ini juga berpedoman pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kerugian yang dimaksud dalam penelitian thesis ini adalah kerugian materiil saja, karena berkaitan dengan wanprestasinya debitur dalam suatu perjanjian. 5. Ada hubungan sebab akibat dalam perbuatan tersebut yang menyebabkan timbulnya kerugian Dalam hubungan sebab akibat ini difokuskan kepada tindakan nyata apa yang dilakukan oleh seseorang hingga menimbulkan kerugian bagi orang yang lainnya. Teori yang dipergunakan dalam membahas hubungan kausal ini adalah : Teori Hubungan Faktual, teori ini berprinsip bahwa suatu kerugian timbul selalu disebabkan oleh adanya suatu tindakan nyata yang benar-benar terjadi dan bertentangan dengan hukum serta kesusilaan sehingga mempunyai dampak yang merugikan.
88 Wanprestasi dalam bentuk nyata dapat dilihat dalam aktivitas pemenuhan perstasi debitur sebagai peminjam dana pada kreditur. Adapun 4 (empat) bentuk Wanprestasi yang dikemukakan oleh Subekti :104 1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali Mengenai bentuk wanprestasi seperti ini, faktor penyebab adalah tidak adanya keinginan sama sekali dari debitur untuk memenuhi prestasinya, ataupun dapat juga dikarenakan secara subyektif dan obyektif debitur tidak memungkinkan melakukan prestasi lagi. 2. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat) Prestasi dalam bentuk ini, debitur memenuhi prestasinya secara benar seperti apa yang telah disepakati, namun waktu pemenuhan prestasi tersebut sudah terlambat dari waktu yang telah disepakati. 3. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan Pelaksanaan prestasi seperti ini, akan dianggap debitur tetap tidak melaksanankan prestasinya oleh kreditur. Karena prestasi yang berikan atau dilakukan oleh debitur ini, bukanlah yang diharapkan oleh kreditur seperti yang telah debitur dan kreditur sepakati. 4. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Bentuk prestasi seperti ini merupakan suatu pelanggaran bagi debitur. Hal itu disebabkan, karena dalam perjanjian antara debitur dan kreditur telah disepakati hal
104
R. Subekti I, Op. Cit, hal. 58.
89 tersebut adalah dilarang untuk dilakukan, namun debitur tetap melakukan hal tersebut. Selain keempat Wanprestasi yang dikemukakan oleh Subekti, ada juga 3 bentuk wanprestasi menurut J. Satrio. Bentuk-bentuk tersebut, antara lain :105 1. Debitur yang sama sekali tidak berprestasi 2. Debitur yang melakukan prestasi namun terlambat 3. Debitur yang melakukan prestasi dengan keliru Berdasarkan pada uraian yang telah dibahas dalam Bab II diatas, maka dapat dipahami bahwa Perjanjian Kredit merupakan perjanjian pokok yang mana dalam proses permohonannya akan diikuti oleh perjanjian jaminan sebagai syarat wajib untuk dapat dikabulkannya permohonan kredit. Jaminan disini adalah sebagai objek yang dipercayakan oleh kreditur untuk menanggung pelunasan hutang debitur, apabila terjadi wanprestasi oleh debitur. Ketiga hal ini, perjanjian kredit, jaminan yaitu jaminan fidusia, serta wanprestasi telah diatur tersendiri oleh peraturan perundang-undangan Indonesia yang secara khusus mengatur dalam bidang tersebut contohnya : Undang-Undang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Perbankan ataupun pada peraturan yang tidak khusus namun telah terkodifikasi, yaitu Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Perjanjian jaminan fidusia yang melibatkan dipinjamnya sejumlah harta kekayaan debitur oleh debitur, yang kemudian debitur sebagai peminjam dana memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya, meyebabkan besar 105
J. Satrio II, Op. cit, hal 68.
90 kemungkinannya debitur untu wanprestasi. Adapun akibat hukum wanprestasi adalah:106 1. Adanya ganti rugi, keadaannya adalah debitur membayar semua kerugian yang dialami kreditur. Unsur-unsur yang harus ada dalam ganti rugi, antara lain : a. Biaya adalah suatu pembayaran atau pengeluaran dana yang secara nyata telah dilakukan oleh pihak yang berkewajiban membayar ganti rugi. b. Rugi, antara lain :
Dapat berupa bunga, yaitu kerugian yang dialami oleh kreditur dalam perjanjian kredit adalah dalam hal telah lewatnya jangka waktu kreditur memberikan pinjaman dana kepada debitur yang mana seharusnya cicilan dana tersebut dapat diterima setiap bulan oleh kreditur untuk dapat diputar kembali dalam pengoperasian maksimal kegiatan kreditur mencapai keuntungan yang telah diperhitungkan, menjadi tertunda dalam jangka waktu panjang dikarenakan debitur wanprestasi.
Dapat berupa benda, yaitu kerugian yang dialami kreditur apabila objek yang dijadikan jaminan fidusia yang masih dikuasai oleh debitur mengalami kerusakan, sehingga pengeksekusian jaminan menjadi sulit ataupun tertunda. Ganti rugi yang dimaksud diatas tersebut, tertulis dalam code civil. Ganti rugi yang berupa biaya serta benda disebut dommages, sedangkan ganti rugi berupa bunga disebut interest. 106
Yahman, 2011, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Internasional atau PRT, Prestasi Pustaka Raya, Bandung, hal. 49.
91 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengaturan mengenai lingkup ganti rugi, yaitu : Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut menentukan bahwa : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.” 2. Adanya pembatalan perjanjian atau yang disebut juga pemecahan perjanjian Ini dilakukan bertujuan untuk menggiring para pihak yang berjanji ke suatu keadaan dimana perjanjian tersebut belum dilakukan. Dalam hal ini pembatalan tersebut adalah berlaku surut sampai detik terjadinya perjanjian. Fokus utamanya adalah mentiadakan perjanjian. Jadi, walaupun telh terjadi peralihan uang ataupun barang tetap harus dikembalikan. Mengenai pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1266 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut menentukan bahwa : “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
92 Pembatalan perjanjian tersebut tidak batal secara otomatis, namun harus dimohonkan kepada hakim. Sehingga keluarlah keputusan hakim yang konstitutif yaitu “membatalkan perjanjian”. Dalam hal pembatalan perjanjian ini, hakim diharuskan memiliki kekuasaan discretionair, yang berarti suatu kekuasaan dalam menilai seberapa besar atau kecil kesalahan yang dilakukan oleh debitur, kemudian dibandingkan dengan beratnya dampak dari pembatalan perjanjian yang dapat menimpa debitur tersebut.107 Namun apabila hakim berpendapat kesalahannya terlalu kecil dibandingkan dengan kerugian besar ang diperoleh sebagai dampak dari pembatalan perjanjian, maka hakim dapat menolak pengajuan pembatalan perjanjian. Dalam hal ini debitur diberikan jangka waktu untuk pemenuhan kewajibannya, jangka waktu ini disebut dengan terme de grace. 3. Peralihan Resiko Resiko artinya suatu keadaan dimana harus ada pemikul kewajiban dalam hal terjadi peristiwa yang merusak atau menghilangkan barang jaminan diluar kesalahan para pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 1237 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yang menentukan bahwa : Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan terterntu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berutang lalai akan menyerahkannya maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.
107
T. Joseph Bockrath, 2000, Contracts and The Legal Environment For Engineers and Architects, Six Edition, Mc-Graw Hill Series in Construction Enginering and Project Management, United States, page 78.
93 Penjelasan mengenai peralihan resiko dapat dilihat dalam Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam terjadi jual beli suatu barang, apabila barang tersebut dilakukan pembelian dan walaupun barang tersebut belum diserahkan maka resiko ditanggung pembeli, namun apabila sudah ditentukan waktu penyerahan sementara penjuak belum menyerahkan atau terlambat menyerahkan kepada pembeli, maka resiko tersebut beralih ditanggung penjual. 4. Pembayaran biaya perkara, apabila kasus tersebut sampai dimohonkan ke pengadilan Pembayaran perkara disini akan dibebankan kepada pihak yang kalah dalam persidangan pengadilan. Contohnya : debitur yang wanprestasi, dimana debitur ini telah memberikan kerugian pada kreditur dari sejak ia mulai dikategorikan wanprestasi.
BAB III PENGATURAN PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT
Pendaftaran Jaminan Fidusia adalah suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam hal untuk memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia. Maka dari itu, peraturan yang mengatur mengenai pendaftaran jaminan fidusia tersebut sudah seharusnya diatur secara rinci, tegas dan jelas. Adapun beberapa pokok pembahasan dalam bab ini, antara lain : Bentuk Pengaturan Pendaftaran Jaminan Fidusia, Mekanisme Pendaftaran Jaminan Fidusia, dan Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Kreditur melalui Sistem OnLine.
3.1 Bentuk Pengaturan Pendaftaran Jaminan Fidusia Jaminan fidusia sudah lama dikenal dalam hukum jaminan di Indonesia. Bentuk jaminan ini dipergunakan secara luas dalam transaksi pinjam meminjam, karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat baik oleh pihak pemberi fidusia maupun pihak penerima fidusia. Namun sampai saat ini tidak dapat memberikan kepastian hukum, oleh karena dalam peraturan pendaftaran jaminan fidusia dan jaminan kredit ada beberapa pasal yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa pasal yang sama sekali tidak mengatur mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi dan kapan saatnya pendaftaran tersebut harus dilakukan.
94
95 Pengaturan
Pendaftaran
Jaminan
Fidusia
sebagai
Jaminan
Kredit
pembahasannya, meliputi : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (norma kosong) 2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (norma kabur) 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (norma kosong) 4. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (norma kabur) 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (norma kabur) 6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (norma kabur) Selanjutnya agar lebih terperinci akan diuraikan pembahasan dari 6 (enam) peraturan mengenai kredit dan jaminan fidusia yang telah disebutkan diatas. Pembahasan tersebut adalah, sebagai berikut : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengaturannya antara lain :
Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, menentukan bahwa segala kebendaan si berutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
96 baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, adalah menjadi jaminan segala perikatan pribadi debitur tersebut. Pasal ini mengandung asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab tersebut berupa penyediaan kekayaannya baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak untuk melunasi utang-utangnya.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan bahwa kebendaan tersebut dalam Pasal 1131 menjadi jaminan bersama bagi para kreditur, dan hasil pelelangan kebendaan tersebut dibagi diantara para kreditur seimbang menurut besar kecilnya piutang mereka masing-masing, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk mendahulukan piutang yang satu daripada piutang yang lain. Pasal ini menganut asas keadilan yang mana para kreditur, masing-masing
akan tetap mendapatkan pengembalian piutangnya sesuai jumlah yang debitur pinjam beserta bunganya. Dikecualikan apabila salah satu kreditur ada yang memegang hak istimewa sebagai kreditur preferen contohnya, kreditur pemegang jaminan fidusia. Berdasarkan penelitian pada kedua pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka diketahui bahwa didalamnya tidak ada pengaturan mengenai pendaftaran jaminan fidusia ataupun akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi (Norma Kosong). Pengaturan yang ada hanyalah mengenai jaminan dan harta kekayaan seorang yang berhutang baik yang sudah ada maupun yang akan ada, tetap menjadi pelunasan hutang kepada kreditur, sesuai
97 dengan porsi piutang kreditur masing-masing, serta sesuai kedudukan kreditur, apakah kreditur preferen atau tidak. 2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Pasal 11 Undang Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa setiap benda yang dibebankan Jaminan Fidusia adalah wajib untuk didaftarkan walaupun benda tersebut berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Pasal ini menganut Asas Publisitas.
Pasal 12 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa pendaftaran jaminan fidusia dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, yang mana Kantor Pendaftaran Fidusia pertama berdiri di Jakarta dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, serta berada dibawah pengawasan Departemen Kehakiman. Mengenai pembentukan kantor pendaftaran fidusia dan penetapan wilayah kerjanya pada masing-masing provinsi dan daerah di Indonesia diatur dalam Keputusan Presiden.
Pasal 13 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa :
mengenai
pendaftaran jaminan fidusia, permohonannya dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa ataupun wakilnya dengan menyerahkan formulir pendaftaran jaminan fidusia, yang isinya antara lain :
Kelengkapan identitas para pihak pemberi dan penerima fidusia
Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia, serta nama dan wilayah kedudukan notaris tempat akta jaminan fidusia tersebut dibuat.
98
Informasi data mengenai perjanjian pokok yang hutangnya dijamin dengan fidusia
Uraian mengenai latar belakang secara lengkap benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Nilai penjaminan hutang yang telah diperjanjikan antara pemberi dan penerima fidusia
Nilai benda yang digunakan sebagai objek jaminan fidusia Jaminan Fidusia yang didaftarkan, dicatat dalam Buku Daftar Fidusia oleh
Kantor Pendaftaran Fidusia saat tanggal yang sama pada tanggal penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Dalam hal ini, aturan mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia serta biaya pendaftarannya diatur dalam Peraturan Pemerintah, sebagai berikut :
Pasal 14 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa tugas kantor pendaftaran fidusia adalah menerbitkan dan menyerahkan Sertifikat Jaminan Fidusia pada penerima fidusia pada tanggal dan hari yang sama saat setelah diterimanya formulir pendaftaran jaminan fidusia. Segala catatan dan informasi yang ada dalam buku daftar fidusia disalin ke dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, sehingga pada hari tersebut disebut sebagai hari lahirnya jaminan fidusia yang mana sama dengan hari dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.
Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa pada bagian paling atas sertifikat jaminan fidusia
tertulis kata-kata “DEMI KEADILAN
99 BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mana sertifikat ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga penerima fidusia memiliki hak eksekusi ditempat, dalam menjual benda jaminan fidusia apabila debitur wanprestasi. Pasal ini mengandung Asas Kepastian Hukum.
Pasal 16 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa dalam hal dilakukan perubahan terhadap segala sesuatunya yang tertera dalam sertifikat jaminan fidusia maka penerima fidusia berkewajiban melakukan permohonan pendaftaran perubahan hal-hal tersebut kepada kantor pendaftaran fidusia, yang mana kantor pendaftaran fidusia akan menerbitkan pernyataan perubahan satu rangkaian yang tak terpisahkan dengan sertifikat jaminan fidusia pada tanggal dan hari yang sama dengan diajukannya permohonan pendaftaran perubahan tersebut.
Pasal 17 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan mengenai larangan dilakukannya fidusia ulang bagi benda jaminan fidusia yang telah didaftarkan.
Pasal 18 Undang-Undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa kelengkapan informasi tentang benda jaminan fidusia yang telah terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia tersebut adalah terbuka untuk khalayak umum. Pasal ini menganut Asas Publisitas. Berdasarkan penelitian terhadap kedelapan pasal pada Undang-Undang
Jaminan Fidusia, diketahui bahwa pasal-pasal tersebut mengatur mengenai proses dan syarat-syarat pendaftaran jaminan fidusia. Sedangkan mengenai akibat hukum
100 terlambat didaftarkan (setelah debitur wanprestasi) atau tidak didaftarkannya jaminan fidusia, pengaturannya belum jelas dan tegas (Norma Kabur). 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, menentukan bahwa kredit merupakan suatu perjanjian penyediaan dana yang dibuat dengan kesepakatan pinjam meminjam uang antara bank dengan debitur yang mana memberikan kewajiban pada debitur untuk melakukan pelunasan hutang sesuai jumlah termasuk bungan dan jangka waktu yang telah ditentukan dan disepakati.
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan, menentukan bahwa agunan adalah suatu benda jaminan tambahan yang dokumen kepemilikannya diserahkan kepada pihak bank oleh kreditur dengan tujuan permohonan kredit ataupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, menentukan bahwa kreditur sebagai pemberi kredit dan pembiayaan, harus melakukan analisis terlebih dahulu sesuai dengan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diatur oleh Bank Indonesia, yang mana focus analisisnya adalah mengenai identitas dan komitmen para debitur dalam kesanggupannya melakukan pelunasan hutang.
Pasal 11 Undang-Undang Perbankan, menentukan mengenai batas maksimum pemberian kredit yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang didasarkan pada prinsip syariah, pemberian jaminan, pengalokasian investasi surat berharga yang dilakukan antara bank dengan para debiturnya.
101 Berdasarkan penelitian pada keempat pasal dalam Undang-Undang tentang Perbankan diketahui bahwa dalam pasal-pasal tersebut mengatur mengenai definisi dari kredit, jaminan, kemudian cara pemberian kredit dan batas maksimum pemberian kredit. Namun tidak ada pasal yang mengatur mengenai pendaftaran jaminan fidusia ataupun akibat hukumnya pendaftaran jaminan fidusia yang terlambat ataupun tidak didaftarkan (Norma Kosong). 4. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 menentukan bahwa, cara pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia adalah dengan melengkapi formulir permohonan pendaftaran jaminan fidusia secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa, ataupun wakilnya yang mana bentuk dan isi formulir adalah dalam bentuk baku dan telah ditetapkan dengan keputusan menteri yang nantinya juga akan diajukan kepada menteri melalui kantor pendaftaran fidusia. Dalam hal ini permohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut mengeluarkan biaya yang jumlahnya ditetapkan oleh peraturan pemerintah secara khusus tentang penerimaan Negara bukan pajak. Adapun syarat permohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut harus dilampirkan juga dengan :
a. Salinan akta jaminan fidusia yang dibuat di notaris b. Surat Kuasa ataupun pemberian wewenang bagi kuasa atau wakil dari penerima fidusia yang melakukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia
102 c. Bukti telah membayar biaya pendaftaran jaminan fidusia
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 menentukan mengenai persyaratan permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang diajukan haruslah lengkap, namun apabila pejabat yang bertugas memeriksa menyatakan tidak lengkap, maka formulir tersebut harus segera dikembalikan pada pemohon bersangkutan agar egera dilengkapi.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 menentukan bahwa permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang telah dinyatakan lengkap persyaratannya, selanjutnya jaminan fidusia tersebut akan dicatat oleh pejabat dalam Buku Daftar Fidusia pada hari dan tanggal yang sama saat diterimanya permohonan pendaftaran tersebut. Kemudian sertifikat jaminan
fidusia juga
diterbitkan dan diserahahkan pada hari dan tanggal yang sama dengan diterimanya permohonan pendaftaran jaminan fidusia tersebut pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 menentukan mengenai sertifikat perbaikan dapat dimohonkan kepada kantor pendaftaran fidusia apabila terjadi kekeliruan informasi atau penulisan
dalam sertifikat jaminan fidusia,
dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya sertifikat jaminan fidusia. Dalam sertifikat perbaikan tersebut dicantumkan tanggal yang sama dengan sertifikat sebelumnya, dan penerbitannya tidak terkena biaya.
103
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 menentukan bahwa penjelasan yang lebih terperinci mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia diatur secara lengkap dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan penelitian pada kelima pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor
86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia diketahui bahwa pasal-pasal tersebut mengatur mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia. Namun, mengenai akibat hukum terlambat didaftarkannya jaminan fidusia (setelah debitur wanprestasi) atau tidak didaftarkannya jaminan fidusia, pengaturannya belum jelas dan tegas (norma kabur). 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 130/PMK.010/Tahun 2012, menentukan bahwa jaminan fidusia wajib didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia, oleh perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor, yang juga berdasarkan prinsip syariah, serta yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) dan pembiayaan bersama (jointfinancing), sebagaimana diatur dalam undang-undang jaminan fidusia.
104
Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 130/PMK.010/Tahun 2012 menentukan bahwa jangka waktu pendaftaran jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan paling lambat adalah 30 (tiga puluh) hari kalender dihitung sejak tanggal dibuatnya perjanjian pembiayaan konsumen.
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 130/PMK.010/Tahun 2012 menentukan mengenai larangan bagi perusahaan pembiayaan dalam menarik kendaraan bermotor yang merupakan jaminan fidusia apabila sertifikat jaminan fidusia yang merupakan dokumen penting, sebagai bukti pemegang jaminan fidusia
tersebut belum diterbitkan
dan
diserahkan
kepada
perusahaan
pembiayaan. Berdasarkan penelitian pada ketiga pasal dalam Peraturan Menteri Keuangan seperti disebutkan diatas, maka diketahui bahwa pasal-pasal tersebut mengatur mengenai wajibnya melakukan pendaftaran jaminan fidusia dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen dan mengenai larangan penarikan kendaraan bermotor apabila perusahaan pembiayaan belum memegang sertifikat jaminan fidusia. Namun, pada pasal-pasal tersebut pengaturannya belum jelas dan tegas mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia (norma kabur). 6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik
Pasal 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 menentukan mengenai tata cara pendaftaran objek jaminan
105 yang difidusiakan secara elektronik yaitu dengan mengisi formulir aplikasi, yang harus dilengkapi dengan : identitas yang memohon, identitas pemberi fidusia, identitas penerima fidusia, akta jaminan fidusia, perjanjian pokok (perjanjian kredit), nilai penjaminan, dan nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Setelah mengisi formulir aplikasi tersebut, bukti pendaftaran dapat dicetak oleh pemohon, yang mana di dalamnya berisi : nomor pendaftaran, tanggal (waktu) saat mengisi aplikasi, nama pemohon, nama Kantor Pendaftaran Fidusia, jenis permohonan, dan biaya pendaftaran permohonan jaminan fidusia yang disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Biaya pendaftaran tersebut dibayar melalui Bank Persepsi. Selanjutnya sertifikat jaminan fidusia yang telah selesai ditandatangai dengan elektronik oleh pejabat pendaftaran jaminan fidusia, dapat dicetak oleh pemohon yang bersangkutan. Berdasarkan penelitian pada kedua pasal dalam Peraturan diatas, diketahui bahwa kedua pasal tersebut mengatur mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik. Dalam pasal tersebut pengaturannya belum jelas dan tegas mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi (norma kabur). Berpedoman pada uraian tersebut diatas maka dapat dikemukakan pengaturan pendaftaran jaminan fidusia sesuai hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana dalam tabel berikut ini :
106 No. 1.
INSTRUMEN
PENGATURAN
KETERANGAN
Kitab
Undang
-
Pasal 1131
Kedua
Undang
Hukum -
Pasal 1132
berturut-turut adalah pasal
Perdata
yang
pasal
ini
mengatur
konsep
secara
mengenai
jaminan
secara
umum, dimana benda yang menjadi
jaminan
pelunasan terhadap sesuai
hutang para
asas
bersama debitur
krediturnya
keseimbangan
adalah benda bergerak, tidak bergerak, baik benda yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, tetapi tidak
diatur
pendaftaran
mengenai jaminannya
(norma kosong).
2.
Undang-Undang Nomor
42
Pasal
11
sampai
Tahun dengan Pasal 18
Dalam
pasal-pasal
ini
adalah bagian yang khusus
1999 tentang Jaminan
mengatur
mengenai
Fidusia
pendaftaran jaminan fidusia. Namun pengaturannya belum jelas dan tegas mengenai sanksi atau akibat hukum apa yang terlambat
diperoleh
dalam
didaftarkannya
(setelah debitur wanprestasi)
107 atau
tidak
jaminan
didaftarkannya
fidusia
(norma
kabur). 3.
Undang-Undang Nomor
10
1998
-
Pasal 1 angka 11
Tahun -
Pasal 1 angka 23
masing-masing
Pasal 8
mengatur
Pasal 11
pengertian kredit, pengertian
tentang -
perubahan
atas -
Dalam keempat pasal ini hanya mengenai
Undang-Undang
agunan atau jaminan, cara
Nomor 7 Tahun 1992
pemberian kredit dan batas
tentang Perbankan
maksimum
pemeberian
kredit. Jadi setiap pasalnya tidak ada yang mengatur mengenai
pendaftaran
jaminan (norma kosong). 4.
Peraturan Pemerintah -
Pasal 2
Republik
Pasal 3
pemerintah ini hanya berisi
Tahun -
Pasal 4
ketentuan mengenai tata cara
Tata -
Pasal 5
pendaftaran jaminan fidusia
Pendaftaran -
Pasal 6
dan Biaya Pembuatan Akta
Nomor 2000 Cara
Indonesia 86
tentang
Dalam
peraturan
Jaminan Fidusia dan
Jaminan Fidusia. Sedangkan
Biaya
mengenai
Pembuatan
Akta Jaminan Fidusia
terlambatnya
akibat
hukum
pendaftaran
(setelah debitur wanprestasi) dan
tidak
didaftarkannya
jaminan
fidusia,
pengaturannya belum jelas dan tegas dalam peraturan pemerintah
ini
(norma
108 kabur). 5.
Peraturan
Menteri -
Pasal 1 ayat (1)
-
Dalam pasal 1 ayat (1)
Keuangan Nomor : -
Pasal 2
ditentukan
130/PMK.010/Tahun
Pasal 3
pendaftaran
2012
-
tentang
bahwa jaminan
fidusia bagi perusahaan
Pendaftaran Jaminan
pembiayaan
Fidusia
pembiayaan
Bagi
Perusahaan
yang
konsumennya
Pembiayaan
yang
untuk
kendaraan
bermotor
melakukan
dengan jaminan fidusia
Pembiayaan
adalah hal wajib.
Konsumen
untuk
-
Pasal
2
menentukan
Kendaraan Bermotor
bahwa
dengan Pembebanan
fidusia
Jaminan Fidusia
dilakukan 30 (tiga puluh) hari
pendaftaran paling
lambat
kalendar
sejak
tanggal
perjanjian
pembiayaan
konsumen
dibuat. -
Pasal
3
larangan penarikan
menentukan mengenai jaminan
kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan, apabila
kantor
pendaftaran
fidusia
belum
mengeluarkan
serta
menyerahkan
sertifikat jaminan fidusia kepada
perusahaan
109 pembiayaan. Dengan bahwa
kesimpulan pengaturannya
dalam pasal ini belum jelas dan tegas mengenai akibat
hukum
terlambatnya didaftarkan (setelah
debitur
wanprestasi) dan tidak didaftarkannya
jaminan
fidusia (norma kabur). 6.
Peraturan Hukum
Menteri dan
Asasi Republik Nomor 2013
ini hanya mengatur mengenai
Manusia
tata cara pendaftaran jaminan
Indonesia
fidusia
secara
elektronik,
Tahun
yang mana dalam pasal ini
Tata
pengaturannya belum jelas
Pendaftaran
dan tegas, mengenai akibat
tentang
Jaminan
Dalam pasal 3 peraturan
Hak
10
Cara
Pasal 3
Fidusia
secara elektronik
hukum
terlambat
didaftarkannya debitur
(setelah
wanprestasi)
atau
tidak didaftarkannya jaminan fidusia (norma kabur). Dari pengkajian beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dirinci diatas, dipahami bahwa dalam peraturan-peraturan yang berkaitan tentang perjanjian kredit, jaminan fidusia, perusahaan pembiayaan ataupun perbankan ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas (disebut juga norma kabur)
110 serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali (disebut juga norma kosong), mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. Dalam pembahasan Bab III ini, yang menganalisa tentang Pengaturan Pendaftaran Jaminan Fidusia digunakan Teori Sistem Hukum dari Lawrence.M. Friedman. Teori Sistem Hukum ini sangat tepat digunakan dalam meneliti pengaturan pendaftaran jaminan fidusia karena, pendaftaran jaminan fidusia adalah salah satu proses perkreditan dengan lembaga fidusia yang tujuan dilakukannya pendaftaran adalah untuk memperoleh kepastian hukum bagi kreditur. Kepastian hukum dalam pendaftaran jaminan fidusia ini diperoleh dengan pendaftaran jaminan fidusia yang kemudian mengakibatkan diperolehnya sertifikat jaminan fidusia bagi debitur, sebagai bukti pemegang jaminan fidusia yang dapat digunakan untuk kepentingan eksekusi jaminan. Namun setelah dilakukan pengkajian dalam perundang-undangan serta buku-buku kepustakaan, maka diketahui bahwa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendaftaran jaminan fidusia ini ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas (norma kabur) serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali (norma kosong), mengenai akibat hukum terlambat didaftarkannya (setelah debitur wanprestasi) atau tidak didaftarkannya jaminan fidusia. Dengan keadaan norma yang demikian, maka para kreditur pun tidak merasa ada kepastian hukum yang dapat menjatuhkan sanksi bagi kreditur yang terlambat atau tidak mendaftarkan benda jaminan fidusianya. Oleh sebab itu, kreditur memiliki anggapan bahwa pendaftaran jaminan fidusia adalah tidak wajib.
111
3.2 Mekanisme Pendaftaran Jaminan Fidusia Sebagai jaminan hutang, benda yang dibebani dengan jaminan fidusia harus dilakukan pendaftaran, gunanya adalah untuk memperoleh kepastian hukum yang mana sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mewajibkan Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia. Pendaftaran Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia, dan pendaftarannya mencakup Benda yang kedudukannya berada di dalam ataupun di luar wilayah negara Republik Indonesia. Tujuannya adalah untuk memenuhi asas publisitas. Selain itu pendaftaran ini juga merupakan informasi yang sangat penting bagi pihak ketiga bahwa suatu benda tersebut merupakan jaminan hutang. Uraian mekanisme pendaftaran jaminan fidusia yang digabung berdasarkan aturan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, adalah sebagai berikut :
Langkah pertama, formulir yang bentuk dan isinya telah ditetapkan dengan keputusan menteri tersebut, dilengkapi dengan data yang berisi syarat-syarat permohonan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, kemudian diajukan tertulis
112 dan berbahasa Indonesia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, yang dilaksanakan oleh kreditur sebagai penerima fidusia, dimana dapat diwakilkan atau dengan kuasanya. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia ini akan diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia. Syaratsyarat yang harus dilengkapi dalam formulir pendaftaran tersebut antara lain 108: a. Identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia; b. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia; c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; d. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; e. Nilai Penjaminan; f. Nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Permohonan pendaftaran tersebut dibayar sesuai biaya yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dalam hal Penerimaan Negara bukan Pajak.
Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut kemudian diperiksa oleh pejabat yang berwenang dalam kantor fidusia, yang mana kelengkapan tambahannya adalah :
a. Salinan akta notaris yaitu akta jaminan fidusia b. Surat kuasa yang diberikan kepada wakil dari kreditur yang mendelegasikan wewenang pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia c. Bukti telah membayar pendaftaran jaminan fidusia. 108
Oey Hoey Tiong, Op. Cit, hal. 35.
113
Kemudian dilakukan pencatatan terhadap jaminan fidusia yang didaftarkan oleh kreditur dalam buku daftar fidusia, pada saat tanggal yang sama dengan penerimaan formulir pernyataan pendaftaran jaminan fidusia.
Hal terakhir adalah diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia pada hari dan tanggal yang sama dengan dimasukkannya permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia merupakan perbuatan
konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia. Penegasan lebih lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa “apabila atas Benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu mendaftarkannya adalah Penerima Fidusia.
3.3 Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Kreditur melalui Sistem OnLine Perkembangan teknologi yang begitu pesat, menyebabkan segala kegiatan masyarakat bisnis dan dan non bisnis selalu berkaitan dengan elektronik. Melalui media elektronik pengaksesan berita, ilmu pengetahuan nasional dan internasional menjadi mudah diperoleh. Terkait dengan sistem bisnis dan sistem pemerintahan saat ini juga telah banyak dibantu dengan media elektronik, seperti kementrian hukum dan ham yang merupakan departemen yang menaungi bidang kelembagaan jaminan fidusia. Saat ini bagi para kreditur yang ingin memohonkan pendaftaran benda jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia yaitu kantor hukum dan ham, sudah dapat dilakukan secara online (diakses melalui jaringan internet). Hal ini telah diatur
114 dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara Elektronik. Berikut tata cara pendaftaran jaminan fidusia melalui OnLine berdasarkan pada Pasal 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara Elektronik, antara lain : 1. Hal pertama yang dilakukan bagi pemohon pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik adalah mengisi formulir aplikasi yang telah disediakan pada tampilan halaman media elektronik, yang isinya adalah : identitas pemohon, identitas pemberi fidusia (debitur), identitas penerima fidusia (kreditur), akta jaminan fidusia, perjanjian pokok (perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan), nilai penjaminan, serta nilai benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. 2. Setelah mengisi formulir aplikasi, dilakukan pencetakan bukti pendaftaran. Halhal yang dimuat dalam bukti pendaftaran, antara lain : nomor pendaftaran, tanggal mengisi aplikasi, nama pemohon, nama Kantor Pendaftaran Fidusia, jenis permohonan yang diajukan, biaya pendaftaran permohonan fidusia yang disesuaikan dengan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. 3. Selanjutnya dilakukan pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia sesuai dengan bukti pendaftaran jaminan fidusia tersebut. Pembayarannya dilakukan melalui Bank Persepsi.
115 4. Apabila pembayaran telah dilakukan, maka dapat dilakukan pencetakan sertifikat Jaminan Fidusia yang telah ditandatangani secara elektronik oleh Pejabat yang bertanggung jawab dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia. Beberapa keuntungan yang diperoleh dalam melakukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik, antara lain :109 Efisiensi waktu dan lebih cepat Melalui pendaftaran secara elektronik para pemohon pendaftaran jaminan fidusia tidak perlu menunggu waktu berhari-hari seperti dalam proses administrasi yang manual. Dalam pendaftaran online hanya tinggal memasukkan data dengan mengetik kemudian mencetak langsung sertifikat jaminan fidusia yang telah jadi dalam waktu 7 (tujuh) menit. Akurat dan efektif Pendaftaran jaminan fidusia akan memberikan kemudahan dalam proses pemasukan data pemohon pendaftaran, hanya dengan mengetik dalam kolom-kolom yang telah tersedia, maka data akan terekam dalam sistem pendaftaran online, yang dengan secara otomatis akan memeriksa mengenai kebenaran nama pemohon, benda jaminan yang didaftarkan, nilai nominal hutang dan nominal objek jaminan, apakah sudah tepat atau belum. Data tersebut akan diperiksa melalui sistem komputerisasi yang memungkinkannya 100% (seratus persen) data yang keluar adalah akurat dan
109
Makalah Sosialisasi Pendaftaran Jaminan Fidusia secara OnLine, 2012, Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia, hal. 21.
116 efektif karena sertifikat jaminan fidusia yang dicetak dalam waktu 7 (tujuh) menit dapat langsung digunakan. Bebas pungli Dengan menggunakan jalur pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik, maka proses pendaftaran jaminan fidusia bebas dari pungutan liar dikarenakan biaya pembayaran pendaftaran jaminan fidusia dapat dilakukan dengan langsung melakukan pembayaran pada bank persepsi oleh pemohon pendaftaran. Bank Persepsi adalah bank umum
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam hal
melakukan penerimaan biaya setoran dari Negara (bukan dalam bentuk impor), antara lain : Penerimaan pajak dan non pajak, serta biaya cukai dalam negeri. Apabila jalur pendaftaran jaminan fidusia tidak dilakukan secara elektronik, akan lebih memperbesar adanya kemungkinan pungutan liar karena pendaftaran dilakukan secara manual dan otomatis akan bertemu banyak orang dalam prosesnya, sehingga untuk mempercepat pengeluaran sertifikat jaminan fidusia, pemohon sering harus memberikan istilahnya biaya tambahan untuk mempercepat kelarnya proses pendaftaran. Hemat Biaya Pendaftaran jaminan fidusia yang biasanya dianggap memerlukan banyak biaya dalam prosesnya, menjadi suatu pendaftaran yang hemat biaya melalui jalur elektronik. Hal itu dikarenakan, pembayaran hanya perlu dilakukan pada bank persepsi saja, tidak ada tambahan biaya lainnya selain biaya permohonan pendaftaran jaminan fidusia.
117 Mengacu pada pembahasan dari Bab III yang dianalisa diatas, diketahui bahwa pengaturan mengenai pendaftaran jaminan fidusia di Indonesia belum lengkap karena ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai akibat hukum tidak didaftarkan atau terlambatnya (setelah debitur wanprestasi) pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran Jaminan Fidusia disini memang dianggap agak merepotkan oleh para kreditur karena syarat dalam mekanisme permohonan pendaftaran jaminan fidusia cukup banyak yang harus disiapkan, walaupun saat ini telah tersedia layanan pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik, para kreditur masih banyak yang menunda untuk mendaftarkan dikarenakan ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai ada atau tidaknya sanksi dalam keterlambatan pendaftaran ataupun tidak didaftarkannya benda jaminan. Oleh sebab itu, kreditur menganggap itu bukan merupakan hal yang wajib.
BAB IV AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA SETELAH DEBITUR WANPRESTASI
Jaminan Fidusia pada Bab ini pembahasannya lebih mengarah pada penelitian mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi. Dalam hal ini, untuk dapat mendaftarkan jaminan fidusia harus dipenuhi beberapa syarat pendaftaran yang terdiri dari data-data yang diperlukan untuk informasi mengenai pemohon pendaftaran, informasi mengenai objek jaminan yang didaftarkan serta data pemiliknya. Setelah syarat-syarat pendaftaran dilengkapi barulah pemohon dapat mengajukan formulir pendaftaran jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Adapun beberapa pokok pembahasan dalam bab ini meliputi : Sertifikat Jaminan Fidusia, yang mencakup :
Pembebanan Jaminan Fidusia
Eksekusi Objek Jaminan Fidusia
Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia
Akibat Hukum terhadap Jaminan Fidusia yang Didaftarkan Setelah Debitur Wanprestasi, yang mencakup :
Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
Akibat Hukum Wanprestasi
Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah Debitur Wanprestasi
118
119 4.1 Sertifikat Jaminan Fidusia 4.1.1 Pembebanan Jaminan Fidusia (Pengikatan Jaminan Fidusia atau Jaminan Hutang) Sebagai jaminan hutang, suatu benda tersebut harus diikat, sehingga pihak ketiga mengetahui benda tersebut adalah jaminan hutang. Pembebanan Jaminan Fidusia adalah pengikatan jaminan hutang, yang diproses dengan pembuatan akta jaminan fidusia yang dibuat oleh seorang notaris dan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Jaminan Fidusia. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam Bab II penelitian tesis ini, menurut Mariam Darus Badrulzaman, Akta Jaminan Fidusia sebagai akta yang mengikat benda jaminan fidusia, dalam pembuatannya harus dicantumkan hal-hal pokok yang berkaitan dengan identitas para pihak yang berjanji; kemudian informasi lengkap mengenai perjanjian pokok, uraian benda sebagai objek jaminan fidusia, jumlah nilai hutang yang dijamin dengan fidusia serta nilai objek jaminan fidusia.110 Hutang yang dimaksud dalam hal ini adalah hutang yang objek jaminannya diikat dengan lembaga jaminan fidusia. Jenis-jenis hutang yang dalam hal dilakukan pelunasannya menggunakan lembaga fidusia, dikemukakan oleh Muhamad Djumhana dalam Bab II penelitian ini, jenis hutang tersebut meliputi hutang yang sudah ada, hutang yang
110
Mariam Darus Badrulzaman, Loc. Cit.
120 akan ada di kemudian hari, serta hutang yang telah terhitung nominalnya pada saat eksekusi.111 Sebagai bukti yang akurat untuk ditunjukkan kepada publik ataupun debitur, bahwa kreditur merupakan pemegang Jaminan Fidusia, adalah Sertifikat Jaminan Fidusia yang dikeluarkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama persis dengan tanggal penerimaan permohonan Pendaftaran benda Jaminan Fidusia tersebut. Penyerahan sertifikat ini kepada Penerima Fidusia juga dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.. Pemahaman mengenai kewajiban pendaftaran jaminan Fidusia dapat dikatakan merupakan suatu proses yang harus ada dan dilaksanakan, ini dikarenakan pada umumnya objek yang dijadikan Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang tidak terdaftar makasulit untuk mengetahui siapa pemiliknya sebenarnya. Sertifikat Jaminan Fidusia disini adalah sebagai alat bukti yang merupakan akta otentik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri sertifikat jaminan fidusia, yaitu dibuat oleh pejabat yang berwenang atau dapat disebut juga pejabat umum (dalam hal ini dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam pengeluaran sertifikat jaminan fidusia yang bertugas pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan bernaung dibawah pengawasan Departemen Kementrian Hukum dan Ham). Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah : sebuah akta yang bentuknya
telah
diatur
serta
ditentukan
oleh
undang-undang,
kemudian
pembuatannya dilakukan oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang 111
Muhammad Djumhana, Loc. Cit.
121 berkuasa untuk pembuatan akta tersebut,yang mana bertempat dimana akta itu dibuat, sebagaimana dicantumkan dalam Bab II penelitian ini yang mengutip dari M. Yahya Harahap.112 Sebagai alat bukti yang merupakan akta otentik, maka sertifikat jaminan fidusia, dipersamakan informasinya dengan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga tidak dapat disangkal kebenarannya kecuali pihak yang menyangkal dapat membuktikan sebaliknya dari apa yang dimuat dalam sertifikat jaminan fidusia tersebut. Unsur penguat dalam sertifikat jaminan fidusia yang selalu melekat juga pada akta otentik lainnya adalah, adanya unsur kekuatan pembuktian sempurna atau volledig dan mengikat atau bindende. Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II yang mengutip dalam buku M. Yahya Harahap, bahwa Kekuatan pembuktian sempurna tersebut merupakan suatu unsur yang lengkap yang harus ada dalam suatu akta otentik, dimana suatu akta tersebut harus dapat mengalahkan informasi bukti-bukti lainnya, dan mengenai isi dan informasi dalam akta akan tetap dianggap benar karena merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,hal ini dapat berubah sampai ada bukti lain yang membuktikan sebaliknya.113 Sebuah akta otentik yang sempurna menurut pendapat Irawan Soerodjo dalam Pembahasan Bab II, dilihat dari bentuk luarnya sebagai suatu akta yang memenuhi syarat formal, maka ada 3 (tiga) unsur esensial yang membangun suatu akta, yaitu 112 113
M. Yahya Harahap, Loc. Cit. M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
122 akta tersebut dibuat dengan adanya arahan dari undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum, dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang dalam pembuatan serta pengeluaran akta tersebut.114 Selain unsur esensial sebagai unsur pembangun akta otentik, diketahui juga ciri khas sebuah akta otentik seperti yang dikemukakan C.A. Kraan dalam Bab II diatas, yaitu informasi dalam akta adalah untuk pembuktian yang benar, nyata, sesuai perundang-undangan, dibuat oleh pejabat umum atau pejabat yang berwenang serta berada dalam bidang hukum privat.115 Melihat dari uraian mengenai pembebanan jaminan fidusia, maka dapat diketahui bahwa proses pembebanan jaminan fidusia ini adalah salah satu proses utama yang penting dan wajib, untuk dilakukan. Hal ini bertujuan agar para kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia dapat melanjutkan tahap berikutnya dalam proses penjaminan hutang dengan lembaga fidusia, tahap itu adalah pendaftaran jaminan fidusia.
4.1.2 Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia yang dipegang oleh Penerima Fidusia tersebut memiliki fungsi sebagai bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan pemegang Jaminan Fidusia yang mana bila dalam suatu persengketaan menjadikan ia memiliki hak sebagai Kreditur Preferen yaitu Kreditur yang didahulukan pemberian piutangnya
114 115
Irawan Soerodjo, Loc. Cit. C. A. Kraan, Loc. Cit.
123 dari kreditur-kreditur lainnya.116 Hak didahulukan ini bergantung pada tanggal pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia. Artinya, bahwa hak tersebut diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya sehingga perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen), baik di dalam maupun di luar kepailitan dan atau likuidasi. Pada bagian paling atas dari Sertifikat Jaminan Fidusia yang sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia tercantum kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat ini mempunyai kekuatan untuk mengeksekusi yang mana kedudukannya disamakan dengan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Artinya adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung dipergunakan untuk mengeksekusi atau dilaksanakan tanpa melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui pengadilan, dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Apabila debitur yang berkredit mengalami cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak penuh untuk menjual Benda jaminan yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Ini merupakan salah satu ciri jaminan kebendaan yang prosesnya memberi kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu apabila pihak Pemberi Fidusia atau debitur mengalami cidera janji. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia diatur secara khusus tentang eksekusi dari Jaminan Fidusia ini dalam pasal khusus mengenai eksekusi yaitu Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. 116
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 68.
124 Eksekusi adalah hal yang harus dan penting untuk dilakukan apabila debitur yang berhutang wanprestasi, sehingga kreditur memperoleh ganti rugi dari pelaksanaan ekskusi tersebut. Kerugian yang diderita oleh kreditur dengan adanya debitur wanprestasi adalah tertundanya perputaran keuntungan kreditur dalam jangka waktu yang cukup lama yang mana keuntungan tersebut diperoleh dari kewajiban pembayaran bunga dan pokok dari hutang debitur. Dalam pelaksanaan eksekusi yang dilakukan adalah pengambilan objek jaminan fidusia yang berada dalam penguasaan debitur untuk dapat dilakukan suatu hal misalnya, mengambil di tempat benda jaminannya, lelang atau penjualan dibawah tangan sesuai Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur mengenai eksekusi jaminan fidusia, yang menentukan bahwa apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
Melaksanakan eksekusi dengan menggunakan atau memperlihatkan Sertifikat Jaminan Fidusia
Penerima fidusia dapat menjual benda jaminan fidusia dengan cara melelang, kemudian hasil dari penjualan lelang tersebut digunakan untuk melunasi hutang pemberi fidusia kepada penerima fidusia.
Benda jaminan fidusia dijual dengan cara dibawah tangan yang mana sesuai kesepakatan antara penerima Fidusia dengan Pemberi Fidusia, dengan tujuan
125 memperoleh penjualan tertinggi sehingga memberi keuntungan kedua belah pihak. Secara keseluruhan prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik Pemberi Fidusia ataupun Penerima Fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hal tersebut disepakati oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi. Khusus untuk “penjualan di bawah tangan”, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Pasal 30 Undang-Undang Jaminan Fidusia mewajibkan Pemberi Fidusia untuk menyerahkan Benda Jaminan Fidusia kepada Penerima Fidusia untuk kepentingan proses pengeksekusian jaminan fidusia. Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Pasal 31 Undang-Undang Jaminan Fidusisa menentukan bahwa saham atau efek yang menjadi objek jaminan fidusia, dalam melakukan penjualannya tetap
126 dilakukan pada lingkungan pasar atau bursa efek, yang mana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai efek. Bagi efek yang terdaftar di bursa di Indonesia, maka peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal akan otomatis berlaku. Pengaturan serupa dapat kita lihat pula dalam hal pranata gadai, sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 ayat (2) Kitab Undang-Undang Perdata yang menentukan bahwabarang gadai yang menjadi objek jaminan fidusia, dalam melakukan penjualan bendanya tetap dilakukan pada pasar atau bursa efek yang mana dilakukan dengan melibatkan 2 (dua) orang perantara yang profesional dalam bursa efek tersebut. Pasal 29 dan 31 Undang-Undang Jaminan Fidusia sifatnya mengikat dan tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para pihak. Cara penerapan eksekusi ini diatur lebih tegas dengan Pasal 32 Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang mana pelaksanaan eksekusi yang dilakukan Penerima Fidusia terhadap Pemberi Fidusia haruslah berpedoman pada perundang-undangan, dan apabila dilanggar maka ekskusi yang dilakukan adalah batal demi hukum. Mengenai status keberadaan dan kepemilikan objek jaminan fidusia telah diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang tidak memperbolehkan kreditur untuk mengambil hak kepemilikan objek jaminan fidusia, meskipun debitur mengalami wanprestasi. Keputusan yang harus dilakukan adalah mengambil jalan tengah untuk eksekusi sesuai prosedur yang ada dalam Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Namun apabila kreditur melanggar peraturan tersebut maka perjanjian yang dibuat adalah batal demi hukum. Apabila terjadi kelebihan jumlah
127 nilai benda yang dijual setelah dilakukan penjualan objek jaminan maka kelebihan tersebut harus tetap diserahkan kepada debitur, yang mana aturannya tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dalam hal terjadi kesalahan penulisan pada sertifikat jaminan fidusia, dapat dilakukan perubahan dengan memohonkan dikeluarkannya sertifikat perbaikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa apabila terjadi kekeliruan pencetakan tulisan dalam sertifikat jaminan fidusia yang telah dikeluarkan, maka pemohon pendaftaran jaminan fidusia dapat melakukan pengajuan ulang untuk dikeluarkan sertifikat perbaikan, yang mana dari hari dikeluarkannya sertifikat pertama oleh Kantor Pendaftaran Fidusia, pemohon hanya memiliki waktu 60 (enam puluh) hari saja untuk melakukan pengajuan pelaporan sertifikat perbaikan. Dalam hal ini, tanggal yang tertera pada sertifikat perbaikan sesuai dengan sertifikat pertama namun tidak terkena biaya.
4.1.3 Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia Pengalihan Jaminan Fidusia Pengalihan Jaminan Fidusia adalah perpindahan tempat memohon kredit. Dalam perjalanan perjanjian jaminan fidusia antara debitur dan kreditur sangat memungkinkan terjadinya perpindahan kredit dari kreditur satu ke kreditur yang lainnya. Hal ini dapat terjadi dengan alasan debitur sebagai peminjam dana ingin
128 mencari bunga lebih rendah pada kreditur yang lain, untuk itulah pengalihan jaminan fidusia ini dapat terjadi. Aturan mengenai pengalihan jaminan fidusia ini telah diatur dalam Pasal 19 Undang Undang Jaminan Fidusia, yang menentukan bahwa : a. Dengan dilakukannya pengalihan jaminan fidusia ini memberi akibat beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditur yang baru. b. Dengan beralihnya jaminan fidusia tersebut maka kreditur (penerima fidusia) yang baru mendaftarkan kembali jaminan fidusia tersebut pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam Bab II penelitian tesis ini, menurut J. Satrio ada 3 (tiga) fase yang dilakukan dalam proses Constitutum Possessorium. Ketiga fase tersebut adalah fase Perjanjian Obligatoir atau fase perjanjian hutang piutang dengan menggunakan jaminan fidusia, fase Perjanjian Kebendaan atau fase penyerahan jaminan kebendaan secara constitutum possessorium dan fase Perjanjian Pinjam Pakai atau fase dimana benda jaminan fidusia dalam penguasaan debitur.117
Hapusnya Jaminan Fidusia Hapusnya Jaminan Fidusia adalah hilangnya status barang jaminan pada suatu benda yang sebelumnya merupakan objek jaminan hutang dengan lembaga fidusia. Jaminan fidusia sebagai jaminan kebendaan yang mengikat objek jaminan dalam 117
J. Satrio III, Loc. Cit.
129 suatu perjanjian kredit jaminan fidusia, keberadaanya adalah bergantung pada perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit, dikarenakan sifat dari perjanjian jaminan fidusia ini accessoir yaitu mengikuti perjanjian pokok, sehingga apabila perjanjian kredit tersebut telah diselesaikan dan dihapuskan begitupula dengan jaminan fidusianya. Mengenai hapusnya jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 UndangUndang Jaminan Fidusia, antara lain : 1) Sebab hapusnya jaminan fidusia : a. Hapusnya utang yang dijaminkan mengunakan lembaga fidusia Ini merupakan konsekuensi logis dan yuridis karakter perjanjian dengan jaminan fidusia sebagai perjanjian ikutan dari perjanjian pokok (perjanjian kredit). b. Adanya pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh kreditur Merupakan suatu kondisi yang umum dimana kreditur sebagai penerima fidusia berhak dalam mempertahankan ataupun melepas hak tersebut. c. Musnahnya benda yang dijadikan jaminan fidusia Keadaan musnahnya benda jaminan fidusia ini merupakan keadaan memaksa yang tidak terduga. Sehingga tidak dimungkinkan untuk mempertahankan jaminan fidusia tersebut. Tetapi, apabila benda jaminan tersebut memiliki asuransi, maka pembayaran yang diperoleh dari pihak asuransi diberikan kepada penerima fidusia. 2) Klaim asuransi tetap dapat berjalan walaupun benda yang dijadikan objek jaminan fidusia musnah.
130 3) Kreditur sebagai penerima fidusia menginformasikan mengenai hapusnya jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan surat pernyataan mengenai sebab hapusnya jaminan fidusia, baik itu karena hapusnya utang, pelepasan hak ataupun musnahnya benda jaminan fidusia.
4.2 Akibat Hukum terhadap Jaminan Fidusia yang Didaftarkan Setelah Debitur Wanprestasi 4.2.1 Akibat Hukum Perjanjian yang Sah Suatu perjanjian yang dibuat antara pihak satu dengan pihak lainnya yang terjadi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, yang disetujui dan ditandatangani bersama, memberikan kondisi yang pasti terhadap status para pihak tersebut, sehingga menimbulkan akibat hukum bagi mereka. Adapun akibat hukum dari perjanjian yang sah tersebut berdasarkan pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut : 1. Setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak yang berjanji, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, yaitu para pihak itu sendiri. Makna dari perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang berjanji bersifat mengikat para pihaknya dalam melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Apabila salah satu dari pihak tersebut melanggar perjanjian maka, dapat dituntut secara hukum ataupun dihadapan pengadilan. 2. Perjanjian yang telah dibuat dengan kesepakatan para pihak tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa adanya kesepakatan dari para pihak ataupun tanpa
131 adanya alasan tertentu dari pernyataan dalam undang-undang. Makna dari membatalkan perjanjian yang telah disepakati, secara sepihak adalah melanggar hukum, karena kesepakatan antara para pihak adalah syarat sahnya perjanjian. 3. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berjanji harus dilaksanakan dengan itikad baik. Makna dari itikad baik tersebut tidak dapat dilihat hanya dengan penafsiran biasa, namun penafsiran tersebut adalah berpedoman pada Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu patuh pada materi dalam perjanjian yang menjadi kesepakatan para pihak serta melaksanakan isi perjanjian sesuai dengan sifat perjanjian yang berpedoman pada kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. 4.2.2 Akibat Hukum Wanprestasi Wanprestasi merupakan suatu keadaan yang sangat dihindari oleh para kreditur dan debitur. Namun resiko terjadinya wanprestasi adalah sangat besar dikarenakan bisnis yang dilakukan para pengusaha saat ini sangat bergantung pada kondisi perekonomian negara, politik serta arus globalisasi. Dan apabila terjadi wanprestasi, beberapa unsur utama yang menjadi fokus dalam keadaan tersebut adalah: 1. Ganti Rugi Adanya ganti rugi bagi kreditur yang dirugikan merupakan hal wajib untuk dilakukan bagi debitur. Kreditur dalam hal ini dapat memperoleh kembali hak-haknya yang hilang, misalnya : akibat debitur wanprestasi dan menunggak lama untuk membayar bunga serta pokok hutang, maka debitur tetap bersedia membayar
132 perhitungan persentase bunga yang terus dihitung sampai pada saatnya debitur dapat melunasi hutang. 2. Jaminan Dengan wanprestasinya debitur, berarti debitur dapat dikategorikan tidak mampu melunasi hutang. Hal itu dapat dijadikan sebagai alat pelunasan hutang adalah barang jaminan yang telah disiapkan didepan pada saat dilakukannya perjanjian kredit, yang telah disepakati oleh debitur dan kreditur. 3. Surat Peringatan Dalam hal debitur wanprestasi namun masih dapat berkooperatif dengan pihak kreditur, maka akan diberikan surat peringatan dalam rangka mengingatkan debitur untuk segera menepati waktu dalam melakukan pemenuhan prestasinya. Pemberian surat peringatan ini pun ada batas waktunya sesuai dengan kebijakan masing-masing kreditur. 4. Penyelesaian Masalah Kredit Macet Apabila debitur sama sekali tidak dapat melakukan pemenuhan prestasinya, barulah diambil jalan penyelesaian sengketa. Upaya penyelesaiannya, baik secara kekeluargaan maupun lewat jalur pengadilan. Wanprestasi memberikan beberapa akibat hukum yang akan diterima oleh debitur dan krediturmenurut Yahman, seperti yang telah dibahas dalam Bab II, antara lain : pembayaran ganti rugi oleh debitur kepada kreditur, dilakukannya pembatalan perjanjian dalam rangka memperoleh kembali barang atau uang yang sudah dialihkan, adanya suatu peralihan resiko baik pada si berutang ataupun si berpiutang sesuai
133 perjanjian yang disepakati kedua belah pihak, dalam hal tanggung jawab terhadap keadaan kebendaan, pembayaran perkara oleh pihak yang kalah bagi kasus yang masuk pengadilan.118
4.2.3 Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah Debitur Wanprestasi Tidak didaftarkannya jaminan fidusia adalah pelanggaran yang sering dilakukan kreditur, meskipun kreditur mengetahui adanya aturan tentang kewajiban pendaftaran jaminan fidusia dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Adapun pelanggaran yang dilakukan kreditur dalam perjanjian kredit menggunakan jaminan fidusia adalah : kreditur tidak mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia dan kreditur mendaftarkan jaminan fidusia setelah debitur bersangkutan wanprestasi. Dengan tidak adanya aturan mengenai daluarsa, kantor pendaftaran fidusia tidak memiliki alasan dalam menolak, apabila ada permohonan pendaftaran jaminan fidusia yang masuk. Selain itu, kantor pendaftaran fidusia juga tidak diperkenankan melakukan penyelidikan terhadap informasi yang ada dalam formulir pendaftaran jaminan fidusia, melainkan hanya dibolehkan untuk mengecek data yang dicantumkan dalam formulir pendaftaran saja. Sebagaimana uraian oleh Bachtiar Sibarani dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Jaminan fidusia yang diuraikan dalam Bab II, akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi yaitu : Sertifikat Jaminan 118
Yahman, loc. Cit.
134 Fidusia keluar dan berlaku pada saat tanggal permohonan pendaftaran jaminan fidusia bukan tanggal pembuatan perjanjian kredit, perbuatan hukum yang ada sebelum keluarnya Sertifikat Jaminan Fidusia, tidak dapat diterapkan peraturan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia.119 Akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi, adalah mengacu pada ketetntuan hukum positif sebagai berikut :
Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang menentukan bahwa jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, yang mana relevansinya terhadap judul tesis adalah sertifikat jaminan fidusia baru keluar setelah pendaftaran jaminan fidusia yaitu setelah debitur wanprestasi.
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang menentukan bahwa apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia dan penyerahannya kepada pemohon dilakukan pada tanggal yang sama dengan
tanggal pencatatan
permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 119
Bachtiar Sibarani, Loc. Cit.
pendaftaran
Jaminan
Fidusia
135
Pasal
3
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan meyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.
Pasal
4
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor.
Pasal 3 ayat (6) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara Elektronik yang menentukan bahwa setelah melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemohon pendaftaran fidusia mencetak Sertifikat Jaminan Fidusia yang telah ditandatangani secara elektronik oleh Pejabat Pendaftaran Jaminan Fidusia, yang relevansinya dengan judul tesis
136 ini adalah terhadap kemudahan pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia oleh kreditur yang dapat dilakukan secara elektronik, walaupun pendaftaran dilakukan setelah debitur wanprestasi. Dari keenam dasar hukum yang telah disebutkan diatas, maka akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi adalah : suatu keadaan dimana tetap dapat dilakukannya eksekusi jaminan fidusia oleh kreditur terhadap objek jaminan fidusia yang sedang dalam penguasaan debitur yang wanprestasi. Karena dalam hal ini, kreditur hanyalah terlambat mendaftarkan jaminan fidusia, yang mana setelah dilakukan pendaftaran, kreditur tetap memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia dari Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagai bukti pemegang jaminan fidusia dan dapat digunakan sebagai alat mengeksekusi jaminan fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap seperti yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) Undang Undang Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa “Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun 3 (tiga) cara yang dapat dipilih oleh kreditur dalam pengeksekusian benda jaminan fidusia, adalah sesuai dengan aturan yang ada dalam Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dari uraian-uraian terlebih dahulu, maka menurut hemat penulis, Sertifikat Jaminan Fidusia yang diperoleh setelah pendaftaran jaminan fidusia, yang mana debiturnya telah wanprestasi, tetap dapat digunakan karena :
137 1.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka Sertifikat Jaminan Fidusia merupakan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat publik yang jabatannya pada bidang eksekutif dan berwenang untuk hal yang dimohonkan, yang mana disebut juga pejabat tata usaha Negara (TUN), sehingga pembuktiannya kuat dan sempurna. Hanya suatu bukti yang dapat membuktikan terbalik isi dari sertifikat jaminan fidusia, barulah dapat menggugurkan sertifikat tersebut.
2.
Sertifikat Jaminan Fidusia memang merupakan alat untuk mengekskusi debitur yang tidak dapat melunasi hutang mereka. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 dan Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Bertitik tolak dari pembahasan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa
suatu benda yang dipergunakan sebagai jaminan hutang dalam perjanjian kredit haruslah diikat untuk membuktikan bahwa benda tersebut memang benar sebuah jaminan hutang. Hal ini dilakukan dengan pembebanan benda tersebut dengan dilakukan pembuatan akta jaminan fidusia. Akta Jaminan fidusia ini merupakan salah satu syarat dalam permohonan pendaftaran benda jaminan fidusia, yang mana nantinya diperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai bukti bahwa kreditur merupakan pemegang jaminan fidusia, sehingga memberikan kemudahan pada kreditur dalam mengeksekusi jaminan fidusia apabila ada debitur yang wanprestasi. Wanprestasi dapat menimbulkan beberapa akibat hukum bagi debitur dan kreditur. Khususnya bagi kreditur sudah pasti menimbulkan kerugian, sementara bagi debitur akibat hukumnya adalah adanya status baru yang mana debitur harus dimintakan
138 pertanggungjawabannya. Jaminan fidusia yang kebanyakan berwujud benda bergerak sangat dimungkinkan adanya pengalihan jaminan fidusia, salah satu contoh alasan pengalihan adalah debitur ingin memindahkan kreditnya pada kreditur lain untuk mencari bunga lebih rendah. Kemudian apabila seorang debitur telah melakukan pelunasan hutang, dapat menyebabkan hapusnya jaminan fidusia. Dalam pembahasan Bab IV ini, yang menganalisa tentang Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah Debitur Wanprestasi digunakan Teori Individualisasi dari Birkmayer dan Karl Binding. Teori Individualisasi ini sangat tepat digunakan dalam meneliti akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi karena, walaupun kreditur yang sebagai pemegang jaminan fidusia mendaftarkan objek jaminan fidusianya terlambat melakukan pendaftaran jauh setelah dibuatnya perjanjian kredit, kantor pendaftaran jaminan fidusia tetap menerima permohonan pendaftaran jaminan fidusia dari kreditur. Dalam hal ini, kantor pendaftaran jaminan fidusia tetap mengeluarkan sertifikat jaminan fidusia sesuai dengan tanggal masuknya permohonan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Oleh sebab itu, dengan memegang sertifikat jaminan fidusia kreditur memperoleh perlindungan hukum karena kreditur tetap dapat melakukan eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi walaupun kreditur terlambat mendaftarkan jaminan fidusia. Dapat disimpulkan adanya faktor penyebab yaitu kreditur (penerima fidusia) mendaftarkan jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi, maka timbul akibat bahwa kreditur penerima fidusia) tetap akan memperoleh
139 sertifikat jaminan fidusia, karena bagi kantor pendaftaran fidusia belum ada peraturan yang mengatur mengenai batas waktu (penerimaan pendaftaran jaminan fidusia).
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Pembahasan mengenai “Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Setelah Debitur Wanprestasi” yang diuraikan pada latar belakang masalah serta bab-bab pembahasan sebelumnya memberikan jawaban atas 2 (dua) rumusan permasalahan yang diangkat. Adapun mengenai, kesimpulan yang diperoleh ialah sebagai berikut : 1)
Dengan dilakukannya analisa beberapa pasal dalam 6 (enam) peraturan yang berkaitan dengan perjanjian kredit dan jaminan fidusia, diperoleh kesimpulan bahwa pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem Hukum Indonesia, masih ada kekaburan norma dan norma kosong. Hal ini dikarenakan dalam pasal-pasal pada 6 (enam) peraturan yang diteliti, yaitu Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 23, Pasal 8, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia; Pasal 1 ayat (1), Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang
140
141 melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia; Pasal 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara Elektronik, ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas (norma kabur) serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali (norma kosong), mengenai terlambatnya pendaftaran jaminan fidusia (setelah debitur wanprestasi) serta tidak didaftarkannya jaminan fidusia. Oleh karena itu, para kreditur lebih memilih untuk menunda pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia, yang mana baru akan didaftarkan setelah debitur tersebut wanprestasi. 2)
Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia setelah Debitur Wanprestasi terhadap Kreditur adalah : tetap dapat dilakukannya pengeksekusian jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi. Ini dikarenakan, setelah kreditur melakukan pendaftaran jaminan fidusianya (pada saat setelah debitur wanprestasi), permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh kreditur tetap diterima oleh Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia, sehingga kreditur tetap memperoleh penyerahan Sertifikat Jaminan Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia, yang mana kreditur tetap dapat menggunakan Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut sesuai dengan tata cara pengeksekusian pada Pasal 29 UndangUndang Jaminan Fidusia.
142
5.2 Saran-saran Pembahasan permasalahan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya telah memperoleh jawaban, yang mana dapat dipergunakan sebagi saran-saran dalm penelitian tesis ini. Adapun beberapa saran tersebut adalah, sebagai berikut : 1)
Kepada pemerintah khususnya Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar merevisi setiap undang-undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia dengan menambahkan pasal mengenai akibat hukum dari jaminan fidusia yang tidak didaftarkan atau terlambatnya (setelah debitur wanprestasi) pendaftaran jaminan fidusia, sehingga terciptanya ketertiban hukum dalam segala proses perkreditan yang dilakukan oleh kreditur dan debitur dengan jaminan fidusia, khususnya bidang pendaftaran jaminan fidusia.
2)
Kepada kreditur disarankan agar segera mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia setelah diadakan perjanjian kredit. Dengan demikian, kreditur dapat segera melakukan pengeksekusian benda dalam hal ada debitur wanprestasi, serta sebagai informasi yang jelas terhadap pihak ketiga mengenai status benda yang dikuasai oleh debitur tersebut merupakan jaminan hutang, demi terwujudnya kepastian hukum bagi kreditur (penerima fidusia) dalam pemberian kredit dengan jaminan fidusia
143 DAFTAR PUSTAKA
I.Buku-buku Asikin, Zainal. H., 2011, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Cet. II, Alumni, Bandung ______, 1991, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Bahsan, M, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Black, Donald, 1976, The Behaviour of Law, New York, USA, Academic Press Bockrath, T. Joseph, 2000, Contracts and The Legal Environment For Engineers and Architects, Six Edition, Mc-Graw Hill Series in Construction Enginering and Project Management, United States. BPHN, 1987, Aspek-Apek Hukum Masalah Perkreditan, Cet. I, Binacipta, Bandung Bruggink, J.J.H., (Alih Bahasa Arief Sidharta), 1996, Refleksi Tentang Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Cet.I, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung _____,2008, Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Konsumen dalam Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Dirdjodisworo, Soedjono, 2003, Hukum Perusahaan mengenai Hukum Perbankan di Indonesia (Bank Umum), CV. Mandar Maju, Bandung Djumhana, Muhamad, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Fajar, Mukti dan Achmad Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
144 Friedman, Lawrence M., 1984, American Law An Introduction, W.W. Norton & Company, New York Fuady, Munir, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Gautama, Sudargo, 1988, Pengakuan Fidusia dalam Perundang-undangan di Indonesia, Varia Peradilan, Majalah Hukum No. 30, IKAHI, Jakarta Hadisoeprapto, Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Cet. I, Liberty, Yogyakarta Harahap, M. Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta Hariyani, Iswi, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, PT. Elex Media Komputindo Harsono, Boedi, 1981, Masalah Hipotik dan Credietverband, Seminar tentang Hipotik dan Lembaga-Lembaga Jaminan Lainnya, BPHN : Binacipta Hartkamp 4-II,C. Asser-A.S., 1997, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten, tiende druk, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer Ibrahim, Johnny, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normative, Cet.III, Bayu Media Publishing, Malang Kamelo, H. Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Cet I, PT. Alumni, Bandung Kraan, C.A., 1984, De Authentieke Akte, Gouda Quint BV, Arnhem Mahadi, 1983, Hukum Benda dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Binacipta, Bandung Marzuki , Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta Muhammad, Abdulkadir, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, 2002, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian llmu Hukum, Mandar Maju, Bandung
145 Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari undang-undang), Mandar Maju, Bandung Prajitno, Andreas Albertus Andi, 2010, Hukum Fidusia, Selaras, Malang Reinhardt, Hedwig dan J. Wilian Shultz, 1964, Credit and Collection Management, Cet. III, Prentice Hall. Inc, N. J Salim, H.S, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Satrio, J., 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _____,1991, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _____,1996, Hukum Jaminan , Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan Tanggung Menanggung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _____, J., 2012, Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung Setiawan, R., 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang seimbang bagi para Pihak dalam Perjanjian Kredit, Institut bankir Indonesia, Jakarta Soebroto, Thomas, 1995, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotek, Fidusia, Penanggungan, dll, Dahara Prize, Semarang Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum UI Press, Jakarta Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya Soetiksno, 1989, Filsafat Hukum Bagian II, Pradnya Paramita, Jakarta
146 Soewarso dan Indrawati, 2002, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta ______, 1980, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet.I, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Bulaksumur, Yogyakarta Subekti, R., 1982, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, Pt. Alumni, Bandung ______, 1979, Hukum Perjanjian, Cet. VI, PT. Intermasa, Jakarta Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Cet. VI, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Sumardjono, Maria S.W, 1997, Hak Tanggungan dan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta Suyatno, Thomas, 1990, Dasar-Dasar Perkreditan, Cet. III, Gramedia, Jakarta Syamsul, Wahidin dan Abdurrahman, 1989, Beberapa Catatan tentang Hukum Jaminan dan Hak-Hak Jaminan Atas Tanah, Alumni, Bandung Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cv. Kita, Surabaya Tiong, Oey Hoey, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia Tjiptoadinugroho, R., 1983, Perbankan Masalah Perkreditan, Cet. V, Pradnya Paramita, Jakarta Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta Yahman, 2011, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Internasional atau PRT, Prestasi Pustaka Raya, Bandung Yudha, Agus Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
147 II. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2009, (Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio), PT. Pradnya Paramita, Jakarta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432 ) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 170). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/Tahun 2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 786). Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 419).
Internet : Raimond Flora Lamandasa, Agustus 2010, Penegakan Hukum, available from : URL : http://www.scribd.com Fahrizayusroh, 18 Januari 2012, Sejarah Jaminan Fidusia, available from : URL :http://www.Fahrizayusroh.wordpress.com. Makalah : Simanjuntak Emmy Pangaribuan, 1992, Mengenal Trust, Penataran Dosen Hukum Perdata/Dagang, Yogyakarta
148 Stutterheim. R, Kepastian dan Ketidakpastian Peralihan Milik Fidusyer di Negeri Belanda Latar Belakang Sejarah, Compendium Hukum Belanda, (Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia-Negeri Belanda) Sutadi Marianna, 2000, Jaminan Fidusia dan Kepailitan, Makalah dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI bekerjasama dengan PT. Bank Mandiri (Persero), 09-10 Mei, Jakarta Sibarani Bachtiar, 2000, Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia, Makalah dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI bekerjasama dengan PT Bank Mandiri (Persero), 09-10 Mei, Jakarta