JURNAL ADMINISTRASI NEGARA KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA SAMARINDA DALAM MENANGANI ANAK JALANAN OLEH DINAS KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KOTA SAMARINDA (IMPLEMENTASI PERDA NOMOR 16 TAHUN 2002)
ADMINISTRASI NEGARA REGULER Oleh:
Agustien Darmayanti Nim. 0802015001
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2012
1
Abstract This study aims to determine how the implementation of government policy in dealing with children samarinda city streets by the social welfare department in the city of Samarinda and the effectiveness of government policy in dealing with children samarinda city streets by the social welfare department in the city of Samarinda. From the results of the study indicated that the Department of Social Welfare Samarinda has several policies in dealing with the problem of street children in the city of Samarinda, the mental activities, such as giving directions or lectures and street children return to their families or their stricken home and relief in the form of assistance school supplies that cater samarinda city street children of school age (5-9 years and 10-14 years) and in the form of venture capital that cater for street children aged samarinda city teenagers who are not likely to go to school anymore. In the process of implementing the policy is known that the process of implementation of the policy - this policy is yet to be effective, for example, because there are constraints - constraints faced by the Social Welfare Department to implement the city of Samarinda in policy in dealing with the problem of street children in the city of Samarinda, constraints - kenda faced by the include a minimal budget that does not meet the desires or goals, means and inadequate support facilities and a short time to handling activities, street children and the lack of public awareness that their activities were quite dangerous street life safety and their children - children as well as sanctions do not have a deterrent effect given to the perpetrators.
Keyword : street children
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Setiap manusia baik dewasa maupun anak – anak adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut, salah satu bentuk hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan pelindungan yang sesuai dengan nilai - nilai agama dan kemanusiaan. Jaminan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai - nilai Pancasila dan tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia. Selain terdapat di dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 alinea keempat, jaminan hak asasi anak juga terdapat di amanat Undang – Undang Dasar 1945 pasal 28B Ayat 2 yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Kemudian pada tanggal 17 juni 1999 di jenewa diadakan konvensi yang melindungi hak anak, yaitu konvensi ILO No.182 tahun 1999 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk – bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sebagai anggota PBB dan Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional atau International Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjujung tinggi dan berupaya menerapkan keputusan – keputusan lembaga internasional yang dimaksud, maka Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan Undang – Undang No.01 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO no.182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (ILO convention no.182 concerning the prohibition and immediate action for elimination of the worst forms of child labour). Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang – undangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak, oleh karena itu pengesahan konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehinggga akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk tindakan perbudakan dan tindakan atau pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, narkotika, dan psikotropika. Perlindungan ini juga mencangkup perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak – anak. Setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasi diwajibkan harus segera melakukan tindakan – tindakan untuk menghapus bentuk – bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, 2
karenanya Indonesia membuat Undang – Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai salah satu bentuk dari tindakan Indonesia dalam menghapus segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Pada era otonomi daerah, dalam rangka untuk menanggulangi dan melindungi pekerja anak, telah dikeluarkan Kepmen Dagri dan Otda Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA). Salah satu isi pokok adalah melakukan penanggulangan pekerja anak, dengan cara melakukan penghapusan, pengurangan dan perlindungan pekerja anak yang berusia di bawah 15 tahun agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral dan intelektual. Pemerintah daerah berkewajiban untuk melakukan langkah - langkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan pekerja anak. Menurut Pasal 5 program penanggulangan pekerja anak meliputi: 1) Melakukan pelarangan dan penghapusan segala bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak; 2) Melakukan pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan; 3) Melakukan perbaikan pendapat keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar;
4) Melakukan sosilisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat. Program yang bersifat khusus dalam penanggulangan pekerja anak meliputi: (1) mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa; (2) memberikan pendidikan nonformal; dan (3) mengadakan pelatihan keterampilan bagi anak. Pembiayaan kegiatan penanggulangan pekerja anak bisa dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan anak, APBN, APBD, bantuan luar negeri dan sumber-sumber lain yang syah dan tidak mengikat. Berdasarkan data dari dinas kesejahteraan sosial kota Samarinda, pada tahun 2011 terdapat 35 pekerja anak yang berusia 19 tahun kebawah yang berhasil dijaring oleh satpol pp yang terdiri dari anak jalanan, pengamen serta penjual koran. Data ini memang belum mewakili seluruh populasi anak jalanan di Samarinda, akan tetapi melalui data tersebut dapat diketahui bahwa indikasi adanya sindikat yang mengkoordinir kegiatan tersebut memang benar. Untuk itu pemerintah kota samarinda membuat perda nomor 16 tahun 2002 tentang penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan, dan gelandangan dalam wilayah kota samarinda. Hal ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai 3
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia dan sejahtera. Adapun ketentuan larangan yang termuat dalam perda No.16 tahun 2002 adalah : 1. Dilarang melakukan melakukan pengemisan di jalan – jalan umum atau simpang – simpang jalan baik secara perorangan maupun kelompok dengan cara meminta belas kasihan orang lain. 2. Dilarang bagi anak jalanan/gelandangan baik secara perorangan maupun kelompok untuk meminta – minta di jalan – jalan umum atau simpang – simpang jalan dalam wilayah Kota Samarinda. 3. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain, anak – anak, bayi atau mendatangkan seseorang dengan maksud melakukan kegiatan meminta – minta/mengemis di jalan – jalan atau simpang – simpang jalan Kota Samarinda. Namun pada kenyataannya, sejak perda tersebut diberlakukan mulai pada tahun 2002 hingga tahun 2011, jumlah anak jalanan masih sulit dikendalikan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan menimbulkan masalah sosial yang lebih besar lagi, dan pencitraan yang buruk terhadap kinerja pemerintah kota samarinda. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya perbaikan dan peningkatan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang
telah dibuat untuk kemudian dievaluasi agar permasalahan sosial yang kompleks dan cukup krusial ini dapat segara ditemukan jalan keluarnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Kebijakan Pemerintah Kota Samarinda dalam Menangani Anak Jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial di Kota Samarinda (Implementasi Perda Nomor 16 Tahun 2002). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas yang telah diuraikan penulis, maka penulis dapat merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh dinas kesejahteeraan sosial di kota Samarinda ? 2. Sejauh mana efektivitas kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh dinas kesejahteraan sosial di kota Samarinda ? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh dinas kesejahteeraan sosial di kota Samarinda ? 2. Untuk mengetahui efektivitas kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh dinas
4
kesejahteraan sosial di kota Samarinda ? KERANGKA DASAR TEORI Kebijakan Publik Berbagai konsep kebijakan publik telah banyak dikemukakan oleh para ahli kebijakan, diantara adalah Menurut Carl Friedrich (dalam Winarno, 2002:15), kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Menurut James, A. Anderson, “…….a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter concern.” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah ( 2000:26) Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan, kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat (dalam Winarno, 2002: 17) Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar aktor dan
interaksi yang terjadi di dalamnya dalam ( Winarno, 2002: 17). Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan negara (Public policy), seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Implementasi Kebijakan Publik Pengertian Implementasi Kebijakan Publik Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran. Menurut Lane, implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan 5
fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48). Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Model Implementasi Kebijakan Menurut Sabatier (1986: 2148), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan. Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran
akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses 6
implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat. Efektivitas Implementasi Kebijakan Publik Implementasi pada hakekatnya adalah pelaksanaan dari suatu keputusan atau kebijaksanaan dasar, yang di dalamnya terdapat identifikasi masalah yang ingin diatasi, tujuan/sasaran yang ingin dicapai, serta cara-cara unutk mengatur implementasinya. Suatu kebijakan pada dasarnya adalah suatu rencana yang perlu suatu proses untuk mewujudkan suatu tujuan yang telah ditetapkan. Agar implementasi dapat mencapai sasaran, maka perlu diperhatikan berbagai kondisi yang mempengaruhinya. Sabatier dan Mazmanian (1979) mencoba memperkirakan kondisi-kondisi apa yang mendorong atau yang menghambat implementasi kebijakan. Mereka berpendapat bahwa implementasi yang ideal memerlukan adanya seperangkat kondisi optimal. Sebaiknya, implementasi menjadi terhambat ketika sebagian atau semua kondisi optimal tersebut tidak ada. Terdapat 5 (lima) kondisi esensial yang menunjang kepastian bagi implementasi kabijakan yang efektif. Kondisi optimal tersebut merupakan berbagai kondisi yang memungkinkan implementasi dapt dilaksanakan secara efektif. Kondisi tersebut mencakup:
a. Program-program disusun berdasarkan teori-teori yang menghubungkan perubahan perilaku kelompok sasaran (target groups) dengan pencapaian terhadap keadaan yang diinginkan atau tujuan yang diharapkan. b. Kebijakan disusun dengan tujuan yang jelas dan struktur proses implementasi yang dapat memaksimalkan perubahan perilaku kelompok sasaran sesuai dengan yang diharapkan. c. Para pemimpin dari pelaksana kebijakan harus memiliki kamampuan manajerial dan keahlian politik yang layak. d. Program yang dilaksanakan memperoleh dukungan yang kuat, sportif dan netral dari semua pihak. e. Terdapat stabilitas lingkungan yang relavan yang tidak mengganggu dukungan politik. Anak Jalanan Menurut Peraturan Daerah Kota Samarinda nomor 16 tahun 2002, Anak jalanan adalah orang – orang atau anak manusia dengan batasan usia 19 tahun kebawah yang melakukan aktivitasnya di samping – samping jalan dan atau di jalan – jalan umum dalam wilayah Kota Samarinda dengan tujuan untuk meminta – minta uang baik atas kehendaknya sendiri, kelompok dan atau disuruh orang lain atau setiap pengemudi (sopir) atau penumpang kendaraan bermotor, yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Konsep anak jalanan sebagaimana dimuat dalam perda tersebut juga dapat kita identifikasi 7
berdasarkan ciri dari anak jalanan itu, Mulandar (1996:112) memberikan empat ciri yang melekat ketika seorang anak digolongkan sebagai anak jalanan : 1. Berada ditempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat – tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari. 2. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit sekali yang tamat SD). 3. Berasal dari keluarga – keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban, beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya). 4. Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal). Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak – anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Ditengah ketiadaan pengertian anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokkan anak jalanan, berikut ini merupakan pengelompokkan anak jalanan, antara lain : 1. Berdasarkan hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu anak – anak yang turun ke jalanan ( children on the street ) dan anak – anak yang ada di jalanan ( children of the street ). Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu anak – anak dari keluarga yang ada di jalanan (children in the street atau children from the families of
the street), berikut ini pengertian dari pengelompokkan anak jalanan berdasarkan hubungan mereka dengan keluarganya: 2. Selain dikelompokkan berdasarkan hubungan anak jalanan dengan keluarganya, anak jalanan juga dapat dikelompokkan dari lamanya mereka berada dijalanan, dalam pengelompokkan ini terdapat 3 (tiga) kategori 3. Dilihat dari tempat tinggalnya 4. Dilihat dari usianya. Anak jalanan umumnya berusia 6 – 21 tahun. Didalam range usia tersebut anak jalanan dibagi kedalam kelompok usia 5 – 9 tahun, 10 – 14 tahun, dan 15 – 19 tahun. Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor Nomor 16 Tahun 2002 Tentang Penertiban dan Penanggulangan Pengemis, Anak Jalanan dan Gelendangan Peraturan daerah adalah peraturan perundang – undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur,bupati/walikota) yang meliputi : 1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur. 2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama dengan walikota. 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama 8
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Peraturan daerah kota samarinda nomor 16 tahun 2002 tentang penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan dan gelandangan adalah adalah landasan hukum pelaksanaan penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan dan gelandangan yang ada di kota samarinda yang merupakan salah satu upaya pemerintah kota dalam rangka mewujudkan kota samarinda yang teduh, rapi, aman dan nyaman (TEPIAN). Dalam peraturan daerah ini dijelaskan pengertian dari pengemis, anak jalanan dan gelandangan, yakni sebagai berikut : a. Pengemis adalah orang – orang yang melakukan aktifitasnya dengan meminta di depan umum atau di badan jalan dan atau disamping – samping jalan dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain dan dapat mengganggu ketertiban umum. b. Anak Jalanan adalah orang – orang atau anak manusia dengan batasan usia 19 tahun kebawah yang melakukan aktifitasnya di samping – samping jalan dan atau di jalan – jalan umum dalam wilayah kota samarinda dengan tujuan untuk meminta – minta uang baik atas kehendaknya sendiri, kelompok dan atau dsuruh orang lain kepada setiap orang lain atau setiap pengemudi (sopir) atau penumpang
kendaraan bermotor yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. c. Gelandangan adalah orang – orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat dan tempat tinggal tidak menetap serta mengembara di tempat umum. Dalam peraturan daerah ini, kepala daerah dan atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah mempunyai wewenang untuk melarang setiap anak jalanan baik yang dilakukan secara perorangan, kelompok dan atau disuruh orang lain untuk meminta – minta dijalan – jalan umum atau simpang – simpang jalan yang dapat mengganggu ketertiban umum. Untuk melaksanakan wewenang tersebut, dapat dilakukan dengan penertiban dann atau razia untuk kemudian dilakukan pembinaan oleh pemerintah atau perorangan dan atau badan hukum. Pembinaan disini dapat berbentuk Yayasan, Panti – panti sosial dan lain sebagainya yang tujuannya untuk memberikan tujuan mental baik rohani maupun jasmaninya, agar pengemis dan atau anak jalanan dimaksud tidak mengulangi perbuatannya untuk meminta – minta belas kasihan orang lain di jalan yang dapat mengganggu ketertiban umum, dan apabila terjadi pelanggaran sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka pelanggar ketentuan ini diancam pidana kurungan selama – lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda setinggi – 9
tingginya rupiah).
Rp.5.000.000,- (lima juta
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif Fokus Penelitian Fokus dari penelitian “ kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh dinas kesejahteraan sosial di kota Samarinda (implementasi perda nomor 16 tahun 2002) “ dapat dilihat dari indikator – indikator sebagai berikut : 1. Kebijakan pemerintah daerah kota Samarinda dalam menangani anak jalanan mencangkup hal – hal berikut : a. Pembinaan Mental b. Pemulangan dan Pengembalian Ke Daerah Asal c. Pemberian bantuan 2. Efektifitas kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh dinas kesejahteraan sosial kota samarinda di kota Samarinda Sumber Data Sumber data daalam penelitian ini peneliti menggunakan yaitu (a) wawancara informan sebagai sumber untuk memperoleh data, adapun dalam penentuan informan dilakukan secara purposive sampling; (b) dokumen/ arsip;
Tehnik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data untuk penulisan skripsi ini, setelah menyesuaikan situasi dan kondisi di lapangan, penulis menggunakan 2 macam cara yaitu : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research; 2. Penelitian Lapangan (Field Work Research): a. Observasi; b. Wawancara; c. Dokumentasi. Tehnik Analisis Data Adapun tehnik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis yang dikembangkan Miles dan Huberman (1992: 19) dengan menggunakan analisis data model interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Kebijakan Pemerintah Kota Samarinda Dalam Menangani Anak Jalanan Oleh Dinas Kesejahteraan Sosial di Kota Samarinda ( Implementasi PERDA Nomor 16 tahun 2002) Kebijakan pemerintah kota Samarinda dalam menangani anak jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial di kota Samarinda (implementasi perda nomor 16 tahun 2002) adalah suatu keputusan atau tindakan yang dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah yaitu dinas kesejahteraan sosial kota Samarinda dalam menangani anak jalanan, yang meliputi pembinaan berupa psikoterapi
10
dan pemulangan ke daerah asalnya dan pemberian bantuan berupa peralatan sekolah dan sepeda bagi anak jalanan yang masih bersekolah serta bantuan modal usaha bagi anak jalanan yang berusia remaja dan dewasa atau yang sudah tidak bersekolah lagi, di wilayah kota Samarinda. Peraturan daerah kota samarinda nomor 16 tahun 2002 tentang penertiban dan penanggulangan penegemis, anak jalanan dan gelandangan adalah landasan hukum pelaksanaan penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan dan gelandangan yang ada di kota samarinda yang merupakan salah satu upaya pemerintah kota dalam rangka mewujudkan kota samarinda yang teduh, rapi, aman dan nyaman (tepian). Sebagai landasan hukum kegiatan penertiban dan penanggulangan pengemis, anak jalanan dan gelandangan yang ada di kota samarinda, peraturan daerah ini tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis (juknis) ataupun petunjuk pelaksanaan (juklak), sehingga dalam implementasinya instansi terkait mengacu pada pedoman yang dimilki oleh masing – masing instansi tersebut. Dinas kesejahteraan sosial kota samarinda selaku salah satu istansi yang menangani masalah anak jalanan di kota samarinda memiliki beberapa kebijakan dalam menangani anak jalanan di kota samarinda yaitu sebagai berikut : A. Pembinaan Mental Pembinaan mental adalah kegiatan pemberian arahan atau
ceramah berupa motivasi – motivasi kepada anak jalanan agar mau tidak melakukan kegiatan meminta – minta maupun aktivitas lainnya yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka. Untuk teknis operasionalnya sendiri tidak ada jadi pembinaan mental dilakukan atas iniasiatif pihak dinas kesejahteraan sosial kota samarinda, yaitu setelah anak jalanan terjaring razia, kemudian anak jalanan tersebut diidentifikasi untuk mengetahui siapa namanya, umur serta asalnya untuk dipilah – pilah mana anak jalanan yang berasal dari kota samarinda dan yang berasal dari luar kota samarinda. Kemudian anak – anak jalanan tersebut diberikan arahan atau ceramah bahwa apa yang mereka lakukan dijalan itu sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa mereka serta agar mereka tidak mengulangi perbuatan meminta – minta belas kasihan orang lain dijalan yang dapat mengganggu ketertiban umum. kemudian kegiatan ini tidak ditentukan kapan waktu pelaksanaanya, karena dinas kesos bergantung kepada razia Satpol pp, jadwal kapal serta ketersediaaan anggaran kegiatan. Efektivitas kebijakan pembinaan mental yang dilaksanakan oleh dinas kesos ini dirasa masih kurang berjalan efektif karena anak jalanan tersebut masih saja melakukan aktivitas mereka dijalanan setelah terjaring razia dan diberikan pembinaan mental oleh dinas kesejahteraan sosial kota samarinda. Berikut ini daftar anak –anak jalanan yang berhasil tertangkap oleh Satpol PP Kota Samarinda dan sudah diidentifikasi pada tanggal 24 maret 2011 yang berlokasi di Air Hitam 11
Tabel 4.4 Daftar Anak Jalanan yang Tertangkap Razia Di Air Hitam No
Nama
1
2
1
Sugi
2
Arif
3
Rahmat
4
Candra
5
Ita
Umur (Th)
Jenis Kelami n
3 23
4 Lk
23
Lk
20
Lk
25
Lk
19
Pr
Alamat (jl)
Asal
TKP
Ket
5 Antasari gg. Indra Mekar sari, bpp
6
7
Smd
Air hitam
Bpp
Air hitam
Sentosa
Smd
Air hitam
Lambung gg.8
Smd
Air hitam
Belida tgr
Tgr
Air hitam
8 Anak punk Anak punk Anak punk Anak punk Anak punk
Sumber : Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Samarinda(2011) Berikut ini daftar anak –anak diidentifikasi pada tanggal 5 April jalanan yang berhasil tertangkap oleh 2011 yang berlokasi di jalan M. yamin, Satpol PP Kota Samarinda dan sudah Simpang 4 Lembuswana Tabel 4.5 Daftar Anak Jalanan Yang Tertangkap Razia Di Simpang 4 Lembuswana Jenis Kelamin
2
Umur (Th) 3
1
Yuyun
15
P
2
Tika
10
P
3
Winda
12
P
4
Nana
8
P
5
Akbar
10
L
6
Iga
11
P
7
Rais
9
L
No
Nama
1
4
Alamat (jl) 5 Pasar pagi Pasar pagi Pasar pagi Pasar pagi Pasar pagi Pasar pagi Pasar
Asal
TKP
ket
6
7
8
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
Sul-sel
Lembuswana
Anjal
12
pagi Pasar 8 Isa 6 P Sul-sel Lembuswana pagi Pasar 9 Adi 9 L Sul-sel Lembuswana pagi Pasar 10 Libis 8 P Sul-sel Lembuswana pagi Sumber : Dinas Kesejahteraan sosial Kota samarinda (2011) Berdasarkan data diatas dapat penulis simpulkan bahwa anak jalanan yang terjaring razia kebanyakan didominasi berasal dari luar daerah kota samarinda, yaitu daerah Sulawesi selatan, Balikpapan dan Tenggarong. B. Pemulangan dan Pengembalian Ke Daerah Asal Setelah diberikan pembinaan mental, kemudian anak jalanan tersebut dipulangkan kekeluarganya masing – masing, bagi anak jalanan yang berasal dari kota samarinda. Sedangkan anak jalanan yang berasal dari luar kota samarinda dinas kesejahteraan sosial kota samarinda bekerja sama dengan dinas kesejahteraan sosial provinsi mengembalikan anak jalanan tersebut kembali ke daerah asal mereka, jika pada saat ditangkap bertepatan dengan jadwal kapal maka mereka langsung dipulangkan tetapi jika tidak bertepatan dengan jadwal kapal maka
Anjal Anjal Anjal
anak jalanan tersebut diinapkan dipanti sosial milik dinas kesejahteraan sosial provinsi selama 2 – 3 hari menunggu jadwal kapal berangkat. Efektivitas kebijakan pengembalian dan pemulangan anak jalanan ke daerah asal masih belum berjalan efektif untuk menanggulangi masalah anak jalanan di wilayah kota samarinda, karena setelah mereka dipulangkan kedaerahnya masing – masing, tidak lama kemudian mereka datang kembali ke kota samarinda untuk kembali melakukan aktivitas mereka dijalan. Hal ini karena koordinator yang membawa mereka belum tertangkap serta sanksi yang diterapkan tidak memberikan efek jera. Berikut daftar rekapitulasi hasil razia anak jalanan beserta Gepeng dan WTS yang dipulangkan kekeluarga dan kedaerah asalnya pada tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Samarinda
13
1
Tabel 4.6 Daftar Rekapitulasi Hasil Razia Gepeng, Anjal dan WTS Yang Dipulangkan Kekeluarga dan Kedaerah Asal Dikota Samarinda Tahun 2011 Dipulangkan kedaerah asal Panti Hasil kelua jompo Profesi Bjm pontia (org) rga Jatim Sulsel nak Gepeng 127 92 28 4 1 1 1
2
PSK
No
50
50
-
3
-
-
Anjal 15 15 4 Anak 14 15 punk 5 Penjual 14 14 Koran 6 Waria 4 4 7 Pengam 6 6 en 8 P. lokalisas 2 2 i 9 Koor. 1 1 Wisma 233 198 28 4 1 Jumlah Sumber : Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Samarinda (2011) Berdasarkan keterangan diatas terdapat 233 orang yang berhasil dirazia oleh Satpol PP dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Samarinda, yang terdiri dari Gepeng, Anak Jalanan, PSK, Waria serta Koordinator Wisma yang dipulangkan kekeluarganya dan daerah asal mereka pada tahun 2011 di wilayah kota Samarinda. C. Pemberian Bantuan Dinas kesejahteraan sosial kota samarinda memiliki kebijakan pemberian bantuan kepada anak
k et -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
jalanan, pemberian bantuan ini dibedakan menjadi 2 macam yaitu bantuan pengembangan pendidikan formal ( SD, SMP) / non formal ( TK / PAUD) untuk anak usia umur 5-9 tahun dan 10 – 14 tahun. Biasanya bantuan ini berupa perlengkapan sekolah seperti seragam sekolah, buku, tas dan alat tulis. Bantuan yang kedua yaitu bantuan pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan yang ditunjukkan kepada anak jalanan usia remaja yang sudah drop out atau yang sudah tidak mungkin untuk
14
melanjutkan sekolah, bantuan ini berupa pemberian modal usaha. Untuk kegiatan pemberian bantuan kepada anak jalanan usia remaja ini terdapat syarat – syarat yang harus dipenuhi seperti surat keterangan tidak mampu dari RT dan diketahui oleh lurah dimana mereka tinggal serta harus mampu mengembangkan usaha, selain itu anak jalanan tersebut harus membentuk kelompok yang masing – masing kelompok terdiri dari lima (5) orang, pembentukan kelompok hendaknya muncul dari aspirasi mereka sendiri, demikian pula keanggotaan kelompoknya dibiarkan mereka sendiri yang menentukan. Dan juga wajib membuat laporan usaha yang mereka jalankan yang kemudian diserahkan kepada dinas kesejahteraan sosial kota samarinda per triwulan, untuk melihat apakah usaha yang mereka jalankan itu berkembang atau tidak. Selain itu usaha yang dijalankan oleh kelompok anak jalanan tersebut selalu di pantau perkembangannya oleh tenaga relawan sosial. Jika usaha yang mereka jalankan tidak bisa berkembang maka pihak dinas kesejahteraan sosial berhak mengalihkannya kepada kelompok lain yang dianggap lebih mampu. Efektivitas kebijakan bantuan pengembangan pendidikan formal / non formal tidak efektif untuk menaggulangi masalah anak jalanan di wilayah kota samarinda, kebijakan ini malah memicu jumlah anak jalanan usia sekolah ( 5 - 14 ) semakin bertambah sebanyak 50 % dari jumlah anak jalanan yang diberikan bantuan, hal ini karena mereka merasa senang mendapatkan bantuan berupa
perlengkapan sekolah yang mereka anggap sebagai hadiah. Sedangkan kebijakan bantuan pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan cukup efektif dalam menanggulangi jumlah anak jalanan usia remaja diwilayah kota samarinda karena dapat memberdayakan anak jalanan agar mau mengubah cara hidupnya menjadi lebih baik, mereka mau bekerja dengan lebih layak dan mampu mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penulis mengenai kebijakan pemerintah kota samarinda dalam menangani anak jalanan oleh Dinas Kesejahteraan Kota Samarinda ( Perda nomor 16 tahun 2002) , maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Dinas kesejahteraan sosial kota samarinda memiliki beberapa kebijakan dalam menangani masalah anak jalanan di wilayah kota samarinda, kebijakannya yaitu Pembinaan Mental, Pengembalian dan Pemulangan Anak jalanan Kedaerah Asal serta Pemberian Bantuan. 2. Kebijakan pembinaan mental yang dilaksanakan oleh dinas kesos masih kurang berjalan efektif karena anak jalanan tersebut masih saja melakukan aktivitas mereka dijalanan setelah dirazia oleh dinas kesejahteraan sosial kota samarinda, hal ini karena setelah di razia dan diberi pembinaan mereka langsung dipulangkan kekeluarganya tanpa diberi 15
pelatihan – pelatihan keterampilan yang sebenarnya akan membantu mereka untuk memperbaiki kehidupan mereka sebagai anak jalanan jauh lebih baik karena mereka telah memiliki keterampilan. 3. Kebijakan pengembalian dan pemulangan anak jalanan ke daerah asal belum berjalan efektif untuk menanggulangi masalah anak jalanan di wilayah kota samarinda, karena setelah mereka dipulangkan kedaerahnya masing – masing, mereka datang lagi ke kota samarinda bahkan sampai membawa tetangga dan saudara untuk melakukan kegiatan yang sama seperti mereka yaitu meminta – minta, mengamen, berjualan Koran dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan koordinator yang menaungi mereka belum ditangkap, namun jika ada yang pernah ditangkap, mereka akan tetap melakukannya lagi karena sanksi yang didapatkan tidak memberikan efek jera. 4. kebijakan bantuan pengembangan pendidikan formal / non formal dianggap tidak efektif untuk menaggulangi masalah anak jalanan di wilayah kota samarinda, kebijakan ini malah memicu jumlah anak jalanan usia sekolah ( 5 - 14 ) semakin bertambah sebanyak 50 % dari jumlah anak jalanan yang diberikan bantuan, hal ini karena mereka merasa senang mendapatkan bantuan berupa perlengkapan sekolah yang mereka anggap sebagai hadiah. Sedangkan kebijakan bantuan
pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan cukup efektif dalam menanggulangi jumlah anak jalanan usia remaja diwilayah kota samarinda karena dapat memberdayakan anak jalanan agar mau mengubah cara hidupnya menjadi lebih baik, mereka mau bekerja dengan lebih layak dan mampu mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Saran Melihat beberapa kendala yang dihadapi dinas kesejahteraan kota samarinda dalam menangani anak jalanan, maka adapun saran – saran yang direkomendasikan oleh penulis berdasarkan hasil penelitian yakni sebagai berikut : 1. Sebaiknya dinas kesejahteraan sosial kota samarinda bekerjasama dengan BLK untuk memberikan pelatihan – pelatihan keterampilan bagi anak jalanan yang terjaring razia, agar mereka memiliki keahlian yang dapat mereka gunakan untuk memperbaiki kehidupannya menjadi lebih baik lagi. 2. Diharapkan sebaiknya pemerintah memberikan hukuman yang seberat – beratnya kepada koordinator serta memberikan peraturan yang tegas yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat dengan memasang spanduk – spanduk mengenai peraturan dan sanksi mengemis agar masyarakat ataupun anak jalanan dan juga koordinator anak jalanan jera melakukan kegiatan tersebut. 16
3. Diharapkan hendaknya pemerintah membuat suatu wadah atau tempat kreativitas bagi anak jalanan untuk membuat suatu kreasi, yang kemudian kreasi – kreasi yang dihasilkan oleh anak jalanan tersebut di jual dipasar dan hasilnya untuk membantu biaya pendidikan mereka agar mereka tidak bekerja di jalan lagi.
Anderson, James. 2000. Public Policymaking, Second edition. Holt, Rinehart and Winston
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Perda Kota Samarinda Nomor 16Tahun 2002 Tentang Penertiban dan Penanggulangan Pengemis, Anak Jalanan dan Gelandangan Dalam Wilayah Kota Samarinda. Lembaran Daerah Kota Samarinda No. 16 Tahun 2002 Seri D Nomor 10. Samarinda.
Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti Hariadi. 2003. Krisis & Child Abuse. Surabaya : Airlangga University Press.
Fadhilah, Putra. 2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Thomas R. Dye dalam Solichin Abdul Wahab. 1995. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Rineka Cipta
Ismail, Fauzi. 2005. Libatkan Rakyat dalam Pengambilan Kebijakan, Yogyakarta: Forum LSM DIY
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik., Yogyakarta: Media Pressindo
Islamy, Irfan. 2002. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan 12. Jakarta: Bumi Aksara Mulandar, Surya. 1996. Dehumanisasi Anak Marjinal ; Berbagai Pengalaman Pemberdayaan. Bandung. Yayasan Akatiga. Santoso, Purwo, dkk (ed). 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Fisipol UGM 17