63
V. STATUS INDUSTRI MANUFAKTUR/AGRO Pada bab ini akan dibahas mengenai status industri manufaktur/agro di Kota Bitung. Status industri yang dibahas meliputi kinerja industri, jenis-jenis industri dan produk yang dihasilkan, limbah industri, bahan ikutan industri, persepsi pemangku kepentingan, evaluasi terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri, dan pola keterkaitan antar industri.
5.1. Industri Manufaktur Sektor industri manufaktur merupakan sektor andalan Kota Bitung. Pada tahun 2006 terdapat 2.515 unit usaha, meningkat secara siknifikan dibanding tahun 2002 yaitu 2.375 unit usaha (Tabel 5.1.). Bertumbuhnya sektor ini sangat membantu perekonomian kota, terutama dengan meluasnya kesempatan kerja, dimana pada tahun 2006 terserap tenaga kerja sebanyak 22.545 orang (Tabel 5.2.) (Dinas Perindag Kota Bitung, 2007). Jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) pada tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51 unit. Tabel 5.1. Perkembangan Perusahaan Industri (unit) Thn 2002 – 2006 No
Jenis Usaha
1 2
2002 2.330
Industri Kecil & Menengah Industri Agro, Logam & 45 Kimia Jumlah 2.375 Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
2003 2.360
Tahun 2004 2.381
2005 2.424
2006 2.462
47
51
51
53
2.407
2.432
2.475
2.515
Dari 53 unit usaha industri besar (industri agro, logam, dan kimia), jumlah industri agro adalah 35 unit usaha atau sekitar 67 persen atau merupakan mayoritas dari keseluruhan industri besar yang ada di Kota Bitung. Tabel 5.2. Perkembangan Tenaga Kerja (orang) Thn 2002 – 2006 No 1
Tenaga Kerja
2002
2003
Industri Kecil & 11.092 11.174 Menengah 2 Industri Agro Logam & 7.647 10.116 Kimia Jumlah 18.739 21.290 Sumber : Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
Tahun 2004
2005
2006
11.245
11.380
11.479
10.510
10.510
11.066
21.755
21.890
22.545
Kinerja investasi industri manufaktur di Kota Bitung dapat dinilai baik. Penilaian ini didasarkan pada adanya penambahan sebanyak 140 unit usaha antara tahun 2002 dengan 2006 atau dengan rata-rata 23 unit usaha/tahun (Dinas Perindag Kota Bitung 2007). Mengacu pada Sagala (2004), peluang
64 pengembangan kawasan industri di Kota Bitung cukup besar karena tingkat realisasi investasinya lebih besar dari 10 buah per tahun. Untuk industri kecil dan menengah di tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebanyak 51 unit usaha. Rata-rata perkembangan Industri Kecil dan Menengah serta Industri Agro, Logam dan Kimia yaitu sebesar 21%. Bila semua jenis industri digabung maka dengan nilai investasi sebesar Rp 572,203 milyar mampu menghasilkan produksi sebesar Rp 1.232,411 milyar. Tabel 5.3. Perkembangan Nilai Produksi (Rp Juta) Thn 2002 – 2006 Tahun No
Nilai Produksi
1
Industri Kecil & Menengah
2002
2
Industri Agro Logam kimia Jumlah
2003
2004
2005
2006
118.097
119.525
121.57
124.780
132.891
851.095
897.905
976.462
976.462
1.098.520
969.192
1.017.43
1.098.032
1.101.242
1.232.411
Sumber: Dinas Perindag Kota Bitung (2007)
5.2. Jenis-jenis Industri dan Produk-produk yang Dihasilkan Jenis-jenis industri agro di Kota Bitung didominasi oleh industri perikanan laut dan industri kelapa. Berdasarkan survei yang dilakukan diketahui bahwa penamaan produk-produk utama dari industri perikanan laut oleh pabrikan berbeda antara satu pabrik dengan lainnya, demikian juga dengan penamaan di dalam Informasi Industri Formal yang dikeluarkan oleh Dinas Perindag Kota Tabel 5.4. Jenis-jenis Industri Agro dan Produk-produk yang Dihasilkan No
Jenis industri
Jenis produk yang dihasilkan
1 2 3
Tepung kelapa Minyak kelapa Minyak sawit
4
Tepung kelapa Minyak kelapa Minyak kelapa sawit Perikanan laut
5 6 7 8 9
Tepung ikan Pakan ternak Minyak murni Karbon aktif Nata de Coco
Fresh tuna, fresh loin tuna, frozen loin tuna, frozen tuna, frozen cooked loin tuna, smoked fish, dried fish, canned tuna Tepung ikan Pakan ternak VCO Karbon aktif Nata de Coco
Jumlah unit usaha 1 2 2
Produksi/tahun (ton)
30
94.960
1 6 1 1
175 7.785,2 1 7.200
6.400 239.075 305.805
Sumber: Data diolah dari Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag Kota Bitung 2008).
65 Bitung Tahun 2008. Untuk keperluan analisis maka jumlah unit usaha maupun produksi dari semua jenis industri perikanan laut tersebut disatukan, seperti yang diperlihatkan di dalam Tabel 5.4. Produk-produk utama yang dihasilkan oleh industri kelapa adalah tepung kelapa, minyak kelapa, dan minyak goreng.
5.2.1. Diagram Aliran Materi Tahunan Diagram aliran materi tahunan dari industri perikanan laut di Kota Bitung diperlihatkan pada Gambar 5.1.
Kebutuhan Energi 3.736 MW
Input materi: 158.260 ton*)
Kebutuhan air: 3,17 juta m3
Industri Perikanan Laut
Produk: 94.960 ton
Output non-produk By-products: 13.266 ton*) Limbah cair: 3,17 juta m3. Gambar 5.1. Profil Industri Perikanan Laut (Diagram Aliran Materi Tahunan) Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007, Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi. Ket: *) Bahan mentah
Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Perikanan Laut di Kota Bitung diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1. Produksi sebanyak 94.960 ton adalah data faktual yang diperoleh dari Informasi Industri Formal di Kota Bitung s/d Tahun 2007 (Dinas Perindag Kota Bitung 2008). 2. Input materi (bahan baku) sebanyak 158.260 ton merupakan data prediksi dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata produk perikanan laut sebesar 60% (94.960x(1/0,6)). 3. By-products sebanyak 13.266 ton merupakan perkalian antara produk yang dihasilkan dari by-product pada Tabel Jenis-jenis industri dan produk yang dihasilkan di atas (7.960,2 ton) dengan rendemen rata-rata tepung ikan dan pakan ternak sebesar 60% (7.960,2x(1/0,6)).
66 4. Kebutuhan air sebesar 3,17 juta m3 merupakan perkalian antara input materi (158.260.000 kg) dengan pemakaian air sebesar 20 lt/kg bahan baku. 5. Kebutuhan energi listrik sebanyak 3.736 MW merupakan penggunaan listrik oleh sektor industri (44,07%) terhadap daya tersalur sebesar 46.453 KVA dibagi dua (setengah bagian digunakan oleh industri kelapa). Data input materi bahan baku perikanan laut melebihi potensi produksi perikanan laut Kota Bitung Tahun 2006 sebesar 133.042,4 ton. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan bahan baku sebanyak 25.217,6 ton per tahun yang diimpor dari luar daerah, seperti Provinsi Maluku Utara dan Gorontalo. Data yang sangat menonjol besarnya adalah penggunaan air sebanyak 3,17 juta m3 per tahun. Bila dibagi dengan jumlah industri perikanan laut yang beroperasi sebanyak 30 unit maka penggunaan air bersih adalah sebanyak 294 m3/perusahan/hari, suatu jumlah yang sangat besar. Diagram aliran materi tahunan dari industri kelapa di Kota Bitung diperlihatkan pada Gambar 5.2. Data Diagram Aliran Materi Tahunan Industri Kelapa di Kota Bitung diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1. Kebutuhan energi listrik: sama dengan penjelasan pada diagram aliran materi tahunan industri perikanan laut. 2. Kebutuhan air adalah terutama digunakan oleh industri kelapa parut kering (KPK) yang menghasilkan produk sebanyak 6.400 ton. Penggunaan air untuk industri KPK adalah 20 liter air bersih/kg KPK yang dihasilkan atau sebanyak 128 ribu m3 per tahun. Sedangkan air cucian untuk industri kelapa lainnya diprediksi sebanyak 10% dari kebutuhan industri KPK, sehingga total kebutuhan air industri kelapa adalah 140,8 ribu m3 per tahun. 3. Input materi kelapa setara kopra adalah 409.109 ton merupakan data prediksi dengan mengalikan data produksi dengan rendemen rata-rata produk kelapa sebesar 60% (245.475x(1/0,6)). 4. Jumlah air kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 m3 diperoleh dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 ml). Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya air kelapa (ml) per butir kelapa.
67 Gambar 5.2. Ilustrasi Profil Industri Kelapa (Diagram Aliran Materi Tahunan) Kebutuhan energi: 3.736 MW
Input materi: Kelapa setara Kopra:409.109 ton
Kebutuhan air: 140,8 ribu m3
Industri Kelapa
Produk: 245.475 ton tepung kelapa dan minyak kelapa
Output non-produk Limbah cair: 140,8 ribu m3 Bahan ikutan: Air kelapa: 6.400 m3 Tempurung kelapa: 12.800 ton Paring daging kelapa: 6.400 ton.
Sumber: Hasil kompilasi data dari sumber: Bitung Dalam Angka 2007, Dinas Perindag Kota Bitung 2008, dan data prediksi.
5. Jumlah tempurung kelapa yang dihasilkan sebanyak 12.800 ton diperoleh dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(400 gr). Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram KPK, sedangkan 400 menunjukkan beratnya tempurung kelapa (gr) per butir kelapa. 6. Jumlah paring kelapa yang dihasilkan sebanyak 6.400 ton diperoleh dengan mengalikan produksi KPK dalam kilogram (6400000)(5)(200 gr). Angka lima menunjukkan banyaknya butir kelapa untuk menghasilkan satu kilogram KPK, sedangkan 200 menunjukkan banyaknya paring kelapa (gr) per butir kelapa. Data input materi bahan baku kelapa melebihi potensi produksi kelapa Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2007 sebesar 229.613 ton setara kopra (Sulut Dalam Angka 2008). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan pasokan bahan baku sebanyak 179.496 ton setara kopra per tahun yang diimpor dari luar daerah, seperti Provinsi Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
68
5.2.2. Pengelompokan Menurut Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman 5.2.2.1. Kekuatan (A). Industri Perikanan Laut - Posisi geografis di alur pelayaran laut internasional (APLI) yang memberi keuntungan untuk pemasaran produk ke negara-negara Asia Pasifik, seperti Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. - Posisi sebagai sentra produksi industri perikanan laut ditunjukkan oleh jumlah unit usaha pengolahan produk perikanan laut dan armada penangkap ikan di kota ini yang relatif besar. - Tersedianya fasilitas pelabuhan perikanan, laboratorium pengujian perikanan, sekolah perikanan, akademi perikanan, pelabuhan samudera laut, kedekatan dengan bandar udara, pembuatan dan perbaikan kapal, dan lain-lain. - Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bidang produksi, pengujian, pendidikan dan pelatihan, pembuatan kapal penangkapan ikan, perbaikan kapal dan penangkapan ikan. - Kualitas sumberdaya perikanan laut (golden fish ground) yang tinggi/relatif belum tercemar sehingga menghasilkan produk tangkapan yang berkualitas tinggi. (B). Industri Kelapa - Tersedianya plasma nuftah Kelapa Dalam (KD). - Kondisi agroklimat yang sesuai untuk pertanaman KD dan kelapa hibrida (KH). 5.2.2.2. Kelemahan (A). Industri Perikanan Laut - Kemampuan teknologi armada tangkap yang relatif ketinggalan dibandingkan dengan kemampuan negara tetangga, seperti Philipina, Thailand, dan Taiwan. - Kapasitas tampung produk perikanan yang terbatas, khususnya pada musimmusim tangkap puncak. - Kendala birokrasi yang rumit dan pungutan liar. - Kemampuan SDM yang terbatas. - Sistem monitoring dan pengawasan terhadap illegal fishing yang masih lemah.
69 (B). Industri Kelapa - Status industri perkelapaan yang dikategorikan sebagai sunset industry. - Rata-rata umur tanaman kelapa relatif tua. - Tingkat aktivitas peremajaan kelapa relatif rendah. - Luasan lahan untuk ekstensifikasi usaha sangat terbatas. - Nilai usaha yang rendah antara lain karena mayoritas petani menerapkan sistem monokultur. - Masih kurangnya diversifikasi produk industri kelapa. - Kemampuan SDM dalam bidang teknologi yang masih terbatas. - Air kelapa belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan nilai tambah produk. 5.2.2.3. Peluang (A). Industri Perikanan Laut - Kebijakan nasional yang mendorong investasi. - Kebijakan
nasional
pengelolaan
wilayah/daerah
masing-masing
untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). - Permintaan ekspor produk perikanan laut yang relatif tinggi. - Menjadi alur migrasi lintas internasional dari jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti tuna dan cakalang. (B). Industri Kelapa - Kebijakan nasional yang mendorong investasi. - Kebijakan
nasional
pengelolaan
wilayah/daerah
masing-masing
untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). - Posisi kelapa sebagai komoditas sosial masyarakat (tree of life). - Permintaan atas Crude Coconut Oil (CCO) sebagai bahan baku pembuatan margarine yang tak tergantikan oleh sumber minyak nabati lainnya. 5.2.2.4. Ancaman (A). Industri Perikanan Laut - Penjualan hasil tangkapan di laut kepada nelayan asing. - Persaingan usaha yang semakin ketat dengan provinsi-provinsi lain di Kawasan Timur Indonesia yang juga memiliki potensi perikanan laut yang besar. - Semakin ketatnya ketentuan-ketentuan standar produk perikanan laut di negara-negara importir.
70 - Sertifikasi produk perikanan. - Pembuangan limbah domestik, industri manufaktur, dan pertambangan yang bermuara di laut. - Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru dan meningkatkan biaya operasional usaha. (B). Industri Kelapa - Penebangan pohon kelapa dengan laju yang cukup tinggi untuk digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan bakar pembuatan batu bata. - Konversi lahan perkebunan kelapa untuk penggunaan bukan pertanian yang cukup tinggi. - Permintaan produk dari importir yang dikaitkan dengan praktek lingkungan pabrik pengolahan kelapa. - Persaingan penggunaan bahan baku dengan penggunaan domestik. - Pasokan energi listrik yang terbatas sehingga menghambat investasi baru dan meningkatkan biaya operasional usaha.
5.3. Limbah Industri Limbah industri agro yang dominan dihasilkan oleh industri perikanan dan kelapa adalah limbah cair karena kedua jenis industri tersebut menggunakan air dalam jumlah besar di dalam proses produksi. Limbah cair umumnya diolah secara konvensional dengan sistem septic tank atau dengan pengolahan secara fisika, seperti penyaringan, untuk selanjutnya dialirkan ke badan air. Di dalam Tabel 5.5. maupun Tabel 5.6. dicantumkan data tentang limbah cair dan padat yang dihasilkan oleh industri agro.
Kecuali untuk data dari
industri karbon aktif, data limbah cair dan padat di dalam tabel tersebut merupakan hasil prediksi yang dilakukan oleh peneliti dengan merujuk pada sumber pustaka dan atau informasi dari sumber yang relevan, seperti manajer produksi dari beberapa pabrik. Data untuk industri tepung kelapa diperoleh dengan merujuk pada laporan dari Pojoh dkk. (2000).
Dalam laporan itu disebutkan bahwa satu kilogram
tepung kelapa dihasilkan dari rata-rata lima butir kelapa tua segar (umur 10-12 bulan). Satu butir kelapa tua segar mengandung air kelapa sebanyak rata-rata 200 ml,
tempurung kelapa sebanyak rata-rata 400 gram, dan paring kelapa
sebanyak rata-rata 200 gram.
Air pencuci untuk lima butir daging kelapa
diperkirakan sebanyak 20 liter/kg KPK. Air kelapa yang menyatu dengan air
71 cucian daging kelapa itulah yang merupakan limbah cair industri kelapa. Industri tepung ikan, pakan ternak, dan minyak murni menghasilkan limbah cair dan limbah padat dalam jumlah yang tidak siknifikan. Tabel 5.5. Limbah Cair dan Padat dari Industri Agro No 1 2 3
Jenis industri Tepung kelapa Minyak kelapa Minyak kelapa sawit
Limbah cair*) (m3/tahun) 147.200 Tidak signifikan Tidak signifikan
Limbah padat*) (ton/tahun) -
Plastik, spons, karton 5 Tepung ikan Tidak signifikan Tidak signifikan 6 Pakan ternak Tidak signifikan Tidak signifikan 7 Minyak murni Tidak signifikan Tidak signifikan 8 Karbon aktif 288 Keterangan :*) Data hasil prediksi (kecuali untuk data industri karbon aktif yang merupakan data faktual) 4
Perikanan laut
3,17 juta
5.4. Bahan Ikutan Industri Bahan ikutan dari industri perikanan laut meliputi: kepala, daging hitam, sirip, ekor, tulang, dan isi perut ikan laut, sedangkan dari industri kelapa adalah air kelapa, tempurung kelapa, dan paring kelapa.
Data kuantitas tempurung
kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung kelapa dalam satuan kilogram dengan berat tempurung per butir kelapa (400 gram). Data kuantitas paring kelapa diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi tepung kelapa dalam satuan kilogram dengan berat paring kelapa per butir (200 gram). Industri tepung ikan, pakan ternak, maupun karbon aktif tidak menghasilkan bahan ikutan yang siknifikan jumlahnya. Tabel 5.6. Jenis Industri Agro Penghasil Hasil Ikutan Hasil Ikutan*) (per Tahun) • Tempurung kelapa: 12.800 ton 1 Tepung kelapa • Paring daging kelapa: 6.400 ton • Air kelapa: 6.400 m3 2 Minyak kelapa Bungkil kopra: 34.650 ton 3 Perikanan laut 13.266 ton 4 Tepung ikan Tidak signifikan 5 Pakan ternak Tidak signifikan 6 Minyak murni Tidak signifikan 7 Karbon aktif Tidak signifikan Keterangan: *) data hasil prediksi No
Jenis industri
72
5.5. Persepsi Pemangku Kepentingan 5.5.1. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Aktivitas Industri Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 69,74% atau mayoritas warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur menyatakan setuju bahwa industri manufaktur/agro memberi banyak manfaat bagi mereka; dan tinggal di sekitar industri manufaktur relatif nyaman (Tabel 5.7. dan Gambar 5.3.). Tabel No
1
5.7.
Persepsi Warga Agro/Manufaktur
Pertanyaan
Masyarakat
N Sangat setuju 39
terhadap
Aktivitas
Industri
Kategori jawaban (Responden) Setuju RaguTidak Sangat tidak ragu setuju setuju 81 29 7 1
Industri manufaktur 157 bermanfaat bagi warga masyarakat 2. Tinggal di sekitar 157 16 83 34 18 industri manufaktur relatif nyaman Jumlah 55 164 63 25 Persentasi 17,52 52,22 20,06 7,96 Persentasi Kumulatif 17,52 69,74 89,80 97,76 Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009). Ket: Pertanyaan (1) terdiri atas 5 sub-pertanyaan; pertanyaan (2) terdiri pertanyaan; dan pertanyaan (3) terdiri atas 2 sub-pertanyaan
6
7 2,24 100 atas 4 sub-
Warga masyarakat berpendapat bahwa aktivitas industri agro yang terdapat di desa/kelurahan mereka merupakan: 1. Penyedia lapangan pekerjaan; 2. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini meningkatkan nilai jual lahan; 3. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi pemasok bahan baku/bahan penolong; 4. Keberadaan industri agro di desa/kelurahan ini membuat bisnis ojek, kos, warung makan dan bisnis lainnya berkembang dengan baik; dan 5. Industri agro yang terdapat di desa/kelurahan ini menerapkan program tanggung jawab sosial (CSR) dengan cukup baik. Selanjutnya, tehadap keberadaan dan operasional harian dari industri manufaktur/agro yang terdapat di sekitar permukiman warga masyarakat, masyarakat memiliki persepsi bahwa (Gambar 5.4). 1. Walaupun tinggal menetap di sekitar pabrik/industri agro namun tetap merasa nyaman tinggal di disini.
73
Persepsi w arga m asyarakat bahw a industri agro di Kota Bitung m em beri banyak m anfaat
Sangat tidak setuju Ragu-ragu Tidak setuju
Sangat setuju
Setuju
Gambar 5.3. Persepsi Warga Terhadap Manfaat Industri Agro 2. Belum pernah terjadi gangguan kesehatan yang fatal di daerah ini karena pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro, dan 3. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri agro dapat diatasi dengan baik oleh Perusahan. Hal-hal yang dikemukakan di atas sejalan dengan fakta yang berkembang bahwa sampai saat survei dilakukan, tidak ada komplain atau keberatan yang berarti yang disampaikan oleh masyarakat terhadap eksistensi industri manufaktur/agro, khususnya dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa. Kalaupun ada keluhan warga masyarakat maka dengan itikad baik dari pihakpihak terkait dan dengan mediasi pihak Pemerintah Kota, dapat dicarikan solusi Persepsi w arga m asyarakat bahw a tinggal dan m enetap di sekitar industri agro relatif nyam an
Sangat tidak Tidak setuju setuju
Sangat setuju
Ragu-ragu
Setuju
Gambar 5.4. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Kenyamanan Tinggal di Sekitar Industri Agro yang dapat diterima semua pihak. Contohnya ditunjukkan oleh kesediaan masyarakat untuk bernegosiasi secara damai dengan pihak perusahan tertentu yang diduga telah menyebabkan pencemaran industri sehingga menyebabkan kematian puluhan ribu ekor ikan air tawar yang dibudidaya (Harian Komentar, 4
74 Juni 2009). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial antara industri dan masyarakat di sekitarnya relatif baik.
5.5.2. Persepsi Warga Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Hasil survei menunjukkan bahwa secara kumulatif 68,15% atau mayoritas warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi industri manufaktur setuju dengan rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah (Tabel 5.8. dan Gambar 5.5). Bagi masyarakat, pembangunan kawasan industri tidak akan mempengaruhi kesempatan kerja dan peluang usaha bagi mereka karena rencana lokasi berada sangat dekat dengan permukiman mereka. Tabel 5.8. Persepsi Warga Masyarakat terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Kategori jawaban (Responden) No
1
Pertanyaan Tanggapan terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung Persentasi Persentasi Kumulatif
N
Sangat setuju
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
157
44
63
34
14
2
28,03 28,03
40,12 68.15
21,66 89,81
8,92 98,73
1,27 100
Sumber: Hasil Survei Lapangan (2009).
Justru, rencana pembangunan tersebut diduga akan meningkatkan kesempatan kerja dan peluang usaha bagi warga masyarakat. Masyarakat juga menyatakan bersedia menjual lahan hak milik sesuai harga pasar atau menjadi pemegang saham apabila lahan diperlukan untuk membangun suatu Kawasan Industri.
Persetujuan w arga m asyarakat atas rencana pem bangunan Kaw asan Industri di Kota Bitung
sangat tidak tidak setuju setuju
sangat setuju
ragu-ragu
setuju
Gambar 5.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri
75
5.5.3. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Aktivitas Industri Data
persepsi
aparat
pemerintah
terhadap
aktivitas
industri
agro/manufaktur diberikan pada Tabel 5.9. Data menunjukkan bahwa mayoritas aparat pemerintah setuju bahwa industri manufaktur bermanfaat dan aktivitasnya memiliki prospek yang cerah.
Manfaat industri adalah sebagai penyedia
lapangan kerja yang utama bagi masyarakat dan merupakan penggerak utama perekonomian Kota. Namun bertentangan dengan pendapat warga masyarakat, aparat pemerintah memiliki persepsi bahwa kinerja lingkungan industri manufaktur di kota ini masih cukup rendah dengan alasan-alasan bahwa: 1. Biaya penanganan limbah industri merupakan beban besar bagi pihak industri. 2. Pihak pabrikan kurang memiliki kesadaran yang baik untuk menjaga lingkungan yang baik. 3. Teknologi penanggulangan pencemaran industri sangat mahal dan kurang tersedia 4. Tekanan dari masyarakat dan NGO belum dilakukan secara optimal. 5. Lokasi pabrik relatif terpencar sehingga sulit di monitor 6. Posisi masyarakat lemah dibandingkan industriawan 7. Pemberhentian aktivitas suatu industri penyebab pencemaran lingkungan akan berdampak besar bagi perekonomian Kota. Tabel 5.9. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Aktivitas Industri Agro/Manufaktur Jawaban No 1 2. 3
Pertanyaan Manfaat industri manufaktur Kinerja lingkungan industri manufaktur di Bitung masih rendah Aktivitas industri agro memiliki prospek yang cerah
N
Sangat setuju
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
31
9
16
1
5
Sangat tidak setuju 0
31
7
13
7
3
1
31
7
15
8
1
0
Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 2 subpertanyaan; Pertanyaan (2): 7 sub-pertanyaan; Pertanyaan (3): 12 sub-pertanyaan.
Aparat pemerintah berpendapat bahwa aktivitas industri agro memiliki prospek yang cerah karena:
76 1. Aktivitas industri agro di Kota ini akan semakin berkembang di masa yang akan datang. 2. Industri agro akan semakin menjadi tumpuan bagi penyediaan lapangan kerja. 3. Pasokan bahan baku bagi industri agro di Kota ini akan terus ada secara berkelanjutan. 4. Pasokan air dan energi bagi industri agro akan terus berkelanjutan. 5. Dampak lingkungan aktivitas industri dapat dikendalikan dengan baik. 6. Teknologi penanggulangan pencemaran industri agro yang baru dan terjangkau harga dan operasionalnya akan semakin tersedia di masa yang akan datang. 7. Akan semakin berkembang sistem manajemen dan monitoring dan evaluasi lingkungan yang semakin baik dalam mengantisipasi dihasilkannya by products dan limbah industri. 8. Ketersediaan lahan di Kota ini akan dapat mendukung pertambahan jumlah industri agro 9. Infrastruktur pendukung industri agro akan terus berkembang. 10. Tenaga kerja profesional akan terus bertambah dan mendukung aktivitas industri agro di Kota ini. 11. Kesadaran lingkungan pihak industriawan akan semakin baik di masa yang akan datang. 12. Pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi ke Samudera Pasifik akan semakin meningkatkan geliat aktivitas industri agro di Kota ini.
5.5.4. Persepsi Aparat Pemerintah Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Data persepsi aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan Kawasan Industri diberikan pada Tabel 5.10. Aparat pemerintah setuju, walaupun dengan persentasi yang tidak terlalu tinggi
(51,61%) bahwa
terpencarnya lokasi pembangunan industri akan membawa banyak dampak buruk dalam hal: 1. Pabrik/industri agro dibangun di lokasi-lokasi yang terpencar cenderung mengakibatkan tingginya dampak pencemaran industri. 2. Terpencarnya lokasi pabrik menyebabkan Pemerintah sulit melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi , khususnya terhadap pencemaran industri. 3. Terpencarnya lokasi pabrik mengurangi nilai estetika kota.
77 Tabel 5.10. Persepsi Aparat Pemerintah terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Jawaban No
1 2
Pertanyaan Terpencarnya lokasi industri memberi banyak dampak buruk Pembangunan Kawasan Industri di kota ini sangat diperlukan
N
Sangat setuju
Setuju
Raguragu
Tidak setuju
Sangat tidak setuju
31
2
14
6
8
1
31
12
14
4
1
0
Keterangan: - Masing-masing pertanyaan terdiri atas beberapa sub-pertanyaan dengan maksud untuk mendalami jawaban yang diberikan oleh responden (Pertanyaan (1): 9 subpertanyaan; Pertanyaan (2):47 sub-pertanyaan.
4. Terpencarnya lokasi pabrik meningkatkan biaya transportasi produk, bahan baku, dan tenaga kerja. 5. Terpencarnya lokasi pabrik menyuburkan premanisme. 6. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan efektivitas pengendalian pencurian air dan listrik. 7. Terpencarnya lokasi pabrik menurunkan daya saing produk dari segi tingkat kepercayaan konsumen. Selanjutnya, aparat pemerintah menyatakan setuju dengan persentase yang tinggi (83,87%) bahwa pembangunan suatu kawasan industri sangat diperlukan di Kota ini dan dukungan untuk itu telah tersedia berupa: 1. Tersedianya lahan yang cukup luas pada kawasan sesuai RTRW untuk membangun suatu kawasan industri. 2. Di masa yang akan datang, semua industri wajib untuk merelokasi industri ke atau mendirikan industri baru/melakukan perluasan usaha di dalam Kawasan Industri. 3. Pemerintah siap mengatur agar suatu kawasan industri terbangun di kota ini.
5.5.5. Pendapat Pihak Industri Agro Sebanyak 91% dari industri agro yang disurvei menyatakan bahwa pengendalian pencemaran industri sangat penting bagi pabrik mereka. Tanpa adanya upaya tersebut maka proses produksi dari pabrik dapat mengganggu kehidupan masyarakat di sekitar pabrik dan kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu pihak pabrik melakukan beberapa upaya seperti: (1) pada setiap saluran pembuangan air limbah dipasang saringan agar air yang mengalir ke laut sudah bebas dari tulang ikan berukuran besar, (2) memeriksa kualitas air bersih, air limbah, dan air laut di laboratorium analisis, (3) menerapkan upaya
78 pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL/UPL), dan (4) Mengurangi kepekatan air yang mengandung darah ikan dengan cara menambahkan air bersih kedalamnya sebelum dibuang ke badan air. Untuk yang disebut terakhir, ada pihak industri yang berpendapat bahwa bahan organik yang terdapat di dalam limbah cair industri yang dibuang ke badan air (laut) bermanfaat bagi kehidupan biota laut. Walaupun untuk derajat tertentu klaim ini dapat dilegitimasi, namun memperlakukan limbah cair dengan cara pengenceran untuk selanjutnya dibuang ke lingkungan tidak diperkenankan oleh peraturan perundangan. Memang fakta di lapangan menunjukkan bahwa walaupun praktek tersebut sudah dilakukan puluhan tahun namun dampaknya terhadap kualitas perairan laut tidak siknifikan antara lain terkait dengan kemampuan asimilasi perairan laut yang tinggi dan laju arus air laut yang besar di Selat Lembeh.
5.5.6. Persepsi Pihak Industri Agro Terhadap Rencana Pembangunan Kawasan Industri Data persepsi industri agro terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung dinyatakan pada Tabel 5.11. Terhadap diundangkannya PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri, khususnya terhadap pasal (7) dan pasal (8), industri agro yang disurvei menjawab setuju dan mendukung ketentuan tersebut dengan catatan: 1. Fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap; 2. Alternatif bagi pendirian industri baru; 3. Mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat; dan 4. Adanya kemudahan misalnya harga lahan yang terjangkau. Adanya fasilitas kawasan industri yang lengkap akan menjadi faktor penghela dan pendorong pembangunan industri di dalam kawasan industri. Fasilitas pendukung yang diperlukan adalah jalan, komunikasi, listrik, air, kapling siap pakai, gudang, kesehatan, pusat pengolahan air limbah dan pusat daur ulang limbah padat. Pembangunan industri di dalam kawasan industri dapat terjadi karena relokasi industri eksisting ke dalam kawasan industri atau pendirian industri baru. Industri baru yang dapat dibangun adalah industri yang bertumpu pada sumberdaya lokal. Ketersediaan bahan baku lokal, khususnya perikanan laut, dapat dijaga apabila daya tangkap perikanan laut dapat ditingkatkan tapi dilain
79 pihak menekan penjualan ikan kepada nelayan asing di tengah laut serta menekan illegal fishing, oleh aparat penegak hukum. Pihak industri agro yakin bahwa pendirian industri di dalam kawasan industri dapat menekan dampak pencemaran terhadap masyarakat. Selama ini terlihat bahwa letak industi agro terletak di kantong-kantong permukiman penduduk. Hal ini terjadi karena lemahnya perencanaan dan law enforcement terhadap RTRW. Fakta menunjukkan bahwa pengembangan industri akan selalu diikuti oleh tumbuhnya permukiman dan pusat bisnis di sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena didorong oleh ketersediaan fasilitas-fasilitas industri seperti jalan, air, dan listrik yang selalu menjadi faktor penarik tumbuhnya permukiman baru. Dengan diterapkannya sistem kawasan industri yang memiliki batas fisik yang jelas maka ekspansi permukiman penduduk tidak dapat dilakukan ke dalam kawasan industri yang telah memiliki status legal formal. Dengan demikian maka setting dan lansekap awal dari kawasan tersebut akan tetap terjaga. Catatan lain terkait dengan dukungan terhadap implementasi kawasan industri adalah harga lahan yang terjangkau. Pengalaman menunjukkan bahwa bila ada indikasi perencanaan pengembangan kawasan industri maka akan merangsang munculnya mafia tanah. Dilain pihak, ada fakta yang menunjukkan bahwa pihak pengembang kawasan industri selalu menetapkan harga yang sangat mahal terhadap kapling industri seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Kodrat (2006). Itu sebabnya perlu diberlakukan kebijakan harga maksimal kapling industri seperti yang ditetapkan oleh Pemerintah beberapa negara, seperti Korea Selatan. Bahkan China, dalam upaya menarik investasi industri ke negaranya, memberikan hak penggunaan lahan dengan waktu dan luasan sesuai yang diperlukan secara gratis (Wawancara dengan Rompas 2009). Terkait dengan bentuk antisipasi terhadap PP No. 24/2009 tentang Kawasan Industri, pihak industri menyatakan bahwa bila harus dilakukan maka relokasi industri ke kawasan industri akan dilakukan secara bertahap. Pihak pabrikan juga akan mengajak pihak lain untuk mengembangkan usaha di dalam kawasan industri yang dibangun pemerintah.
Ada pihak industri yang akan
mengantisipasinya dalam bentuk pembelian kapling industri, namun ada juga yang menolak apabila harus relokasi ke kawasan industri karena lokasi saat ini sudah sesuai dan sangat ideal. Ada juga beberapa industri yang tidak perlu bebuat sesuatu karena saat ini lokasinya sudah terletak di areal rencana kawasan industri.
80 Penolakan perusahan untuk relokasi ke kawasan industri juga terkait dengan mahalnya biaya relokasi dan kesulitan pengadaan tenaga kerja. Namun, ada juga pihak pabrikan yang merasa skeptis dengan rencana pengembangan kawasan industri ini berdasarkan pengalaman dimana sampai saat ini kawasan industri perikanan yang sudah lama direncanakan belum terealisir sampai saat ini. Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan responden pelaku usaha industri diperoleh informasi bahwa penegakan peraturan perundangan terkait dengan pengelolaan lingkungan di level pabrik belum dilakukan secara konsisten (Wawancara dengan Prasethio S. 31 Maret 2009). Hal itu mengurangi insentif bagi pihak pabrikan/industri untuk membangun pusat pengolahan limbah yang representatif. Ada pabrik yang membangun fasilitas pengolahan limbah yang representaif dengan harga yang mahal (contohnya adalah PT. Bimoli), namun ada juga yang membangun fasilitas pengolahan limbah industri tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi jenis dan kuantitas limbah industri yang dihasilkannya secara periodik. Bagi beberapa pihak pelaku usaha, yang diutamakan adalah tampak fisik dari fasilitas untuk memenuhi ketentuan tetapi bukan kinerja pengolahan limbahnya. Tabel 5.11. Pendapat Industri Agro terhadap Kebijakan tentang Kawasan Industri No 1
Pertanyaan Tanggapan perusahan atas PP No. 24/2009 tentang Kawasan Industri (KI), khususnya pasal (7) dan (8)
N 11
2
Bentuk antisipasi yang akan dilakukan perusahan terkait pertanyaan No. (1)
11
3
Tanggapan perusahan terhadap rencana pembangunan KI di Kel. Tanjung Merah, Kota Bitung Apakah sudah familiar dengan istilah ecoindustrial park?
11
4
11
Jawaban Setuju/mendukung ketentuan tersebut, dengan catatan: (1) fasilitasnya sudah tersedia secara lengkap; (2) alternatif bagi pendirian industri baru; (3) mengurangi dampak pencemaran terhadap masyarakat; dan (4) adanya kemudahan misalnya harga lahan yang terjangkau. (1) Relokasi ke KI dilakukan secara bertahap; (2) mengajak perusahan lain untuk mengembangkan usaha di dalam KI yang dibangun pemerintah; (3) tidak akan relokasi ke KI karena lokasi perusahan saat ini sudah sesuai dan sangat ideal; (4) mencari lahan di KI; (5) lokasi perusahan berada di areal rencana KI; (1) Setuju dengan permohonan agar perusahan tidak direlokasi ke KI tersebut karena alasan biaya dan tenaga kerja; (2) Belum setuju karena rencana KI Perikanan di Aertembaga saja belum ada investornya; Belum familiar
Sumber: Hasil survei lapangan pada Industri Agro di Kota Bitung (2009)
81 Di lain pihak, pihak pemerintah sebagai pengawas dampak lingkungan hidup sering bertindak pasif, yaitu menunggu atau membiarkan terjadinya pelanggaran baru kemudian mencoba mengambil tindakan yang belum tentu berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan. Sebagai Kota Pelabuhan dan pusat pengembangan indusri manufaktur di Provinsi Sulawesi Utara maka tanpa adanya pengelolaan lingkungan yang tepat maka di masa yang akan datang kota ini, seperti kota-kota industri lainnya di Indonesia, akan menghadapi permasalahan lingkungan yang besar. Munculnya permasalahan tersebut terkait dengan pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi, tidak optimalnya penataan ruang,
perubahan gaya hidup karena
pertumbuhan ekonomi, ketergantungan yang besar pada sumber energi minyak bumi, dan kurangnya perhatian masyarakat. Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi akan mendorong pelebaran wilayah perkotaan (city widespread). Konsekuensinya adalah akan semakin lebarnya jarak permukiman penduduk dengan pusat aktivitas industri. Hal ini akan menyebabkan semakin intensifnya lalu lalang kendaraan dan munculnya titik-titik kemacetan lalu lintas yang baru. Tanpa adanya introduksi sistem transportasi masal, seperti Pakuan Express, maka akan mengakibatkan peningkatan pencemaran udara. Tingginya tingkat pencemaran di pusat-pusat perekonomian dan industri yang
menyumbang
pada
peningkatan
pencemaran
lingkungan
akan
merangsang penduduk untuk bermukim di luar kota. Namun, tumbuhnya permukiman baru di wilayah-wilayah penyanggah akan menyebabkan masalah baru bagi wilayah tersebut.
Untuk mengatasi masalah di atas maka perlu
dilakukan penataan terhadap aktivitas industri dan permukiman penduduk di wilayah kota. Aktivitas industri perlu dikonsentrasikan di suatu wilayah tertentu di dalam suatu kawasan industri. Dengan terkonsentrasinya aktivitas industri maka pengawasan dan pengelolaan lingkungan dapat lebih mudah dilakukan oleh pemerintah maupun pengusaha.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan kawasan industri berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan. Dengan tertatanya aktivitas industri manufaktur tersebut di atas maka kecenderungan masyarakat untuk bermukim jauh dari pusat kota dapat dikurangi.
Kecenderungan ini akan semakin siknifikan apabila pemerintah
menerapkan kegiatan revitalisasi permukiman di kampung-kampung yang
82 terletak di wilayah perkotaan.
Revitalisasi tersebut dapat dilakukan dalam
bentuk pembangunan rumah susun yang dapat ditempati warga masyarakat yang menjadi pemilik dari bagian lahan rumah susun tersebut dan permukim baru. Untuk menunjang keberhasilan program tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi terhadap peraturan perundangan terkait dengan pemilikan rumah susun. Pemerintah Kota, seperti di Kota Bitung, tidak perlu menunggu sampai kondisi lingkungan menjadi parah baru kemudian mulai bertindak. Rencana dan tindakan perlu dirumuskan dan diambil seawal mungkin. Perubahan gaya hidup biasanya terjadi di kota tertentu dimana kontribusi sektor industri manufaktur dan jasa telah melampaui sektor primer dalam PDRB. Pada tahun 2006 di Kota Bitung, kontribusi Sektor Angkutan berada pada urutan pertama terhadap total PDRB yakni sebesar 24,18 persen, diikuti oleh Sektor Industri sebesar 22,48 persen, dan ketiga Sektor Pertanian sebesar 21,69 persen. Sektor Konstruksi juga memberikan kontribusi yang cukup besar yakni 12,3 persen (Bitung Dalam Angka 2007). Keberadaan Pelabuhan Samudera Bitung yang berskala besar menyumbang perekonomian yang cukup siknifikan bagi Kota Bitung. Data ini merupakan sinyal bahwa kecenderungan terjadinya perubahan pola hidup masyarakat sudah sedang terjadi. Ketergantungan pada minyak bumi yang besar juga menyumbang pada pencemaran lingkungan. Hal ini terutama terkait dengan aktivitas transportasi masyarakat. Namun, hal itu juga dapat diakibatkan oleh karena pembangkitan energi listrik oleh industri manufaktur yang menggunakan bahan bakar fosil tersebut. Transisi ke sumber bahan bakar lain, seperti LPG, dapat mengurangi kontribusi sektor industri terhadap pencemaran udara di Indonesia. Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian pencemaran udara. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat dapat dilakukan melalui sosialisasi dan keteladanan, terutama dari pemerintah.
5.6. Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah Beberapa tahapan dari rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah dilakukan atas bantuan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI), Departemen Perindustrian RI. Bantuan tersebut meliputi Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Industri (Master Plan) dan Penyusunan Kajian AMDAL Kawasan Industri. Pada tanggal 17 Maret 2009 bertempat di Kantor Bappeda Kota Bitung telah dilaksanakan dua kegiatan, yaitu
83 Presentasi Laporan Akhir Rencana Pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung dan Persiapan Penyusunan AMDAL Kawasan Industri di Kota Bitung.
5.6.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Kawasan Industri Secara garis besar, yang melatarbelakangi rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung adalah faktor-faktor skala global dan nasional; dan skala regional (BPPIP Depperin 2009). Faktor-faktor dalam skala global dan nasional adalah persaingan sektor industri yang semakin ketat di era globalisasi dan liberalisasi ekonomi; dan visi pembangunan industri nasional “Pada tahun 2020, Indonesia menjadi sebuah Negara Industri Maju Baru.” Tantangan yang dihadapi, baik di tingkat pusat maupun daerah, adalah tidak tersedianya instrumen pembangunan bagi investor; tidak optimalnya pemanfaatan SDA akibat infrastruktur yang kurang efisien, sumberdaya manusia yang belum memadai dan iklim usaha yang kurang baik; dampak pembangunan belum cukup memadai untuk mengatasi kesenjangan kesejahteraan wilayah; dan perlunya upaya pengembangan kawasan industri yang berbasis kompetensi inti daerah sebagai upaya percepatan pembangunan ekonomi daerah. Faktor-faktor dalam skala regional adalah penetapan kawasan industri di Tanjung Merah, Kota Bitung sejak tahun 1989 (RIK Bitung 1989; RUTR Kota Bitung 1992; KAPET Manado-Bitung 1996; RTRW Kota Bitung 2000); potensi sumber daya laut dan kesesuaian pengembangan kelapa di Sulawesi Utara untuk peningkatan PAD; geoposisi Sulawesi Utara dan Kota Bitung yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik; adanya usulan penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kota Bitung; dan belum adanya instrumen pembangunan
yang
lebih
operasional
bagi
investor
terkait
dengan
pengembangan kawasan industri. Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung terletak pada satu hamparan lahan seluas 98 ha sebagai lokasi Kawasan Industri. Status lahan adalah tanah Milik Negara yang terletak di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari. Lahan tersebut merupakan lahan dengan topografi relatif datar dan subur, ditandai oleh pertumbuhan tanaman kelapa dan palawija yang produktif. Luasan lahan masih mungkin untuk diperluas hingga mencapai 512 hektar karena lahan disekitarnya milik masyarakat.
masih dimanfaatkan sebagai kebun kelapa
84
5.6.2. Faktor-faktor Pendukung Pembangunan Kawasan Industri Faktor-faktor pendukung pembangunan Kawasan Industri dibedakan atas lingkungan eksternal dan lingkungan internal (BPPIP Depperin 2009). (A). Lingkungan eksternal Beberapa faktor lingkungan eksternal pendukung adalah keanggotaan Indonesia (khususnya Provinsi Sulawesi Utara) di dalam BIMP-EAGA. Disamping itu, provinsi ini merupakan “pintu gerbang” Kawasan Timur Indonesia ke wilayah internasional karena kedekatannya dengan lintas perdagangan antar negara.
Juga, daerah ini memiliki keunggulan komparatif pada sumberdaya
alam, khususnya yang berbasis kelapa dan perikanan laut. Faktor lingkungan eksternal pendukung lainnya adalah: penetapan wilayah perkotaan Manado-Bitung, dalam PP No. 26/2008 tentang RTRWN, sebagai PKN (Gambar 5.6).
Di dalamnya ditetapkan empat kawasan andalan, yaitu
industri manufaktur, perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Keberadaan BPKAPET Manado-Bitung merupakan faktor pendukung.
Dari semua faktor
pendukung yang sudah disebutkan, keberadaan Pelabuhan Samudera Bitung merupakan faktor pendukung utama.
Rencana Lokasi KI di Kel. Tanjung Merah
Gambar 5.6. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Utara Keterangan: Kawasan Industri di Koridor Bitung-Kema Kawasan Pelabuhan Internasional Bitung Kawasan Ekonomi Khusus (KAPET Manado-Bitung, KPE Sangihe/Sitaro, & KPE Talaud, KPE Tomohon Sumber: RTRW Provinsi Sulawesi Utara
85 Tantangan yang dihadapi bagi Kota ini adalah bagaimana menyiapkan instrumen untuk menangkap peluang yang muncul dari trend ekonomi global dalam bidang investasi, industri, teknologi informasi, pola konsumsi, dan pola kawasan industri. (B). Lingkungan internal Faktor-faktor lingkungan internal pendukung pengembangan kawasan industri di Kota Bitung adalah arahan RTRW Kota Bitung dan RTRW Provinsi Sulawesi Utara, rencana pengembangan Pelabuhan Bitung menuju International Hub Port, pemantapan program One Stop Service dalam hal pelayanan investasi, dan rencana pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung sepanjang 46 km dengan lebar 60 m. Khusus untuk yang disebut terakhir, rencana tersebut terkendala oleh belum adanya investor yang berminat karena “load factor” yang masih rendah. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluarnya misalnya dengan melibatkan Pemerintah Daerah secara langsung sebagai partner investasi dalam pengadaan/pembebasan tanah. (C). Dukungan Masyarakat dan Aparat Pemerintah Baik warga masyarakat maupun aparat pemerintah setuju terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung (Gambar 5.7. dan Gambar 5.8.). Gambar 5.7. Persetujuan masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rencana pembangunan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah mendapat dukungan masyarakat dan aparat pemerintah daerah. Dukungan ini akan memuluskan implementasi rencana tersebut.
86 Gambar 5.8. Persetujuan aparat pemerintah terhadap rencana pembangunan kawasan industri di Kota Bitung
5.6.3. Kebijakan dan Regulasi Pemerintah terkait Pengembangan Kawasan Industri Kebijakan dan regulasi pemerintah terkait dengan pengembangan industri antara lain adalah: •
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
•
Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
•
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
•
Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
•
Undang-undang No. 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
•
Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, dan PP 24/2009 tentang Kawasan Industri
•
Undang-undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Bab III, Pasal 13 ayat 2). Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (Pasal 14 ayat 2) Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) menyangkut rencana pembangunan Kawasan Industri di Kota Bitung ditulis bahwa yang menjadi aspek inti/penghela pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) spesialisasi
87 produk unggulan pada kawasan tertentu/spesialisasi kawasan, (2) adanya industri pendorong, dan (3) output: penetapan jenis produk berdaya saing dengan
penetapan
target
pasar
tertentu.
Aspek
kunci/pendukung
pengembangan Kawasan Industri adalah: (1) SDM: fasilitasi pendampingan, tenaga ahli, pendidikan/pelatihan, (2) penelitian/pengembangan: teknologi dan inovasi, informasi, dan riset, (3) pasar: pasar/outlet, informasi pasar dan jaringan pasar, (4) akses ke sumber input: infrastruktur, modal, bahan baku, (5) keterkaitan: antar sektor/komoditas, antarpelaku, antardaerah, hulu-hilir, dan (6) iklim usaha: regulasi/Perda dan kebijakan. Berdasarkan pada Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, UU 22/1999, dan PP 25/2000 maka perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha.
Pada era Pasca Otonomi
Daerah, sesuai UU No. 22/1999 dan PP 25/2000 pasal 2(4) butir j: kewenangan Pemerintah (Pusat) dalam membuat standar bagi pemberian izin oleh daerah, dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman.
Pemerintah Provinsi
melakukan koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas kabupaten/kota.
Berdasarkan PP 84/2000 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah: Pasal 4(3) butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian izin. Pasal 8 (3) butir b: dinas kabupaten/kota berfungsi dalam pemberian izin. Dari segi pelaku usaha, setelah Keppres 53/1989 diundangkan, dunia usaha dalam negeri dan luar negeri diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. UU tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan Undang-undang yang diamanatkan oleh UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007. Pada pasal 31 ayat 1 UU No 25 tahun 2007 mengenai Penanaman Modal berbunyi, “Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.” Ayat 2 menyatakan, “Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.” Serta ayat 3, “Ketentuan mengenai kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan undang-undang.” Ada empat syarat umum dalam pengajuan proposal Kawasan. Pertama, harus sesuai dengan rancangan tata ruang wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung. Kedua, pemerintah provinsi beserta pemerintah kabupaten atau kota yang terkait harus mendukung Kawasan tersebut. Kawasan
88 juga wajib terletak pada lokasi yang dekat dengan jalur perdagangan atau pelayaran internasional, atau dekat wilayah yang memiliki sumber daya alam unggulan. Keempat, kawasan harus memiliki batas yang jelas. Rincian dari persyaratan ini bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penetapan kawasan ekonomi khusus, yang diharapkan bisa rampung dalam waktu kurang dari enam bulan setelah Undang-undang Kawasan Ekonomi Khusus disahkan tanggal 15 September 2009.
5.6.4. Kelembagaan terkait Pengembangan Kawasan Industri Di dalam Laporan Bappeda Kota Bitung (2009) terkait dengan rencana pembangunan
Kawasan
Industri
di
Kota
Bitung
dikemukakan
bahwa
kelembagaan yang terkait dengan pengembangan Kawasan Industri di Kota Sektor Pertanian: Input benih, sarana prasarana produksi, budidaya, teknologi, pembinaan pelatihan SDM, pengolahan, pemasaran, pengelolaan lahan-air
Pemerintah Daerah: Kebijakan, PERDA, penjaminan kepada Bank, insentif
Sektor PU: Sarana prasarana (program Agropolitan), infrastruktur pengairan, infrastruktur jalan
Sektor Koperasi/UKM: Pelatihan SDM, pengembangan usaha, pendampingan SDM, fasilitasi modal usaha, penyiapa n kelembagaan
Sektor Perindustrian: Penyediaan sarana prasarana pengolahan, teknologi, pembinaan pelatihan SDM
Lembaga Riset: Sektor Perdagangan: Pengembangan pasar, jaringan informasi pasar, pembinaan SDM
FASILITASI PEMERINTAH KAWASAN INDUSTRI
Pelatihan, informasi, teknologi
Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Koperasi Petani:
SWASTA/ MASYARAKAT
Penyediaan, pengelolaan dana bergulir/kredit bagi petani
Lembaga Pengelolaan Bisnis: Distribusi dan pengadaan input, pengolahan, pemasaran, riset, informasi, dan promosi
Pengusaha Lokal Pengolahan dan Pemasaran
Petani: Produksi/budidaya
LSM/Perguruan Tinggi: Pemberdayaan, pendampingan
Bank: Permodalan
Asosiasi dan KADINDA: Kemitraan, informasi, jaringan pasar
Gambar 5.9. Kelembagaan Pengembangan Kawasan Industri (Bappeda Kota Bitung 2009 - digambar kembali)
89 Bitung meliputi Sektor Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Pekerjaan Umum, dan Koperasi/UKM, Lembaga Riset, Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Lokal, Pemerintah Daerah, Koperasi Petani, Lembaga Pengelolaan Bisnis, Pengusaha Lokal, Perguruan Tinggi, LSM, Perbankan, Petani, Asosiasi, dan Kadinda. Peran utama Pemerintah adalah memberikan fasilitasi bagi Swasta/Masyarakat (Gambar 5.9.).
5.6.5.Evaluasi Terhadap Rencana Lokasi Kawasan Industri Pembahasan selanjutnya adalah menyangkut evaluasi terhadap rencana lokasi tapak proyek kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah dengan menggunakan pendekatan “Kerangka Kinerja Lingkungan” yang dikemukakan oleh Lowe (2001). Data yang digunakan untuk melakukan evaluasi adalah data skala Kota Bitung (bukan data spesifik lokasi karena adanya keterbatasan data, kecuali disebutkan). (A). Penggunaan Energi Rencana lokasi Kawasan Industri Tanjung Merah terletak di wilayah yang memiliki ekspos terhadap penyinaran matahari yang sangat besar.
Data
menunjukkan bahwa penyinaran matahari pada tahun 2006 berkisar antara 5077% atau diperkirakan antara 6,00-9,24 jam per hari (BPS Bitung 2007). Belum ada
hambatan penyinaran matahari oleh bangunan karena rencana lokasi
terletak di dan sekitar hamparan lahan perkebunan. Topografi yang landai dari lokasi kawasan industri mengurangi kemungkinan adanya bagian-bagian tertentu dari kawasan industri yang akan terhalang dari sinar matahari. Ekspos yang besar terhadap sinar matahari merupakan potensi untuk pengembangan sumber energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi kawasan industri.
Namun di lain pihak, akan meningkatkan biaya untuk
pendinginan udara (air conditioning). Rencana lokasi Kawasan Industri terletak di pinggir pantai sehingga memiliki ekspos yang besar terhadap tiupan angin. Ekspos yang besar terhadap angin juga merupakan potensi untuk pengembangan energi terbarukan. Disamping itu, pergerakan udara yang relatif tinggi akan meminimalkan potensi inversi atmosfir, yang dapat menyebabkan kabut (smog) seperti yang menjadi fenomena klasik di Jabodetabek. Namun, ekpos yang besar terhadap angin dan atau tiupan angin kencang berpotensi meningkatkan risiko kerusakan fasilitas dan gangguan produksi di kawasan industri.
90 Potensi pembangkitan energi angin dipengaruhi oleh kekuatan dan kesinambungan tiupan angin.
Pengaturan lokasi dengan mempertimbangkan
topografi lahan, tegakan tanaman, dan bangunan mempengaruhi aliran angin yang ingin dimanfaatkan.
Variasi dari efektivitas pembangkitan energi angin
dipengaruhi oleh interaksi antara pola angin regional dan topografi lokasi, badan air yang besar (laut), dan areal hutan. Akses terhadap sumber energi sampingan yang dihasilkan oleh industri eksisting sangat potensial karena letak lokasi yang hanya sekitar enam kilometer dari pusat aktivitas industri manufaktur saat ini. Kedekatan lokasi ini merupakan salah satu keunggulan dari rencana lokasi kawasan industri ini. Karena kedekatan tersebut maka fasilitas bagi akses terhadap energi sampingan dapat dipersiapkan dengan relatif mudah. Dari hasil wawancara dengan Prasethio (Direktur PT. Bimoli) pada 31 Maret 2009 diperoleh argumentasi bahwa kawasan industri seharusnya dibangun di Kecamatan Aertembaga atau di bagian Timur dari Kota Bitung. Prasethio berargumen bahwa pendirian kawasan industri di Kelurahan Tanjung Merah (yang sedang diproses) berisiko karena lokasi tersebut terpapar oleh tiupan angin kencang, terutama pada musim angin Timur/Selatan. Selanjutnya diinformasikan pelaku industri tersebut bahwa tiupan angin kencang secara kontinu merusak bangunan/pabrik, seperti yang dialami oleh PT. Bimoli. Bila kawasan industri ditempatkan di bagian Timur dari Kota Bitung maka kawasan tersebut akan lebih aman dari terpaan angin kencang karena terlindung oleh Pulau Lembeh. Juga, bila diperlukan maka pada kawasan tersebut dapat dibangun dermaga yang khusus melayani pengguna kawasan industri. (B). Penggunaan Air Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Kota Bitung hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di wilayah ini dimana pada bulan Oktober sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan. Hal ini terjadi karena angin bertiup dari arah Barat/Barat Laut yang banyak mengandung air. Sedangkan pada bulan Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim kemarau, karena dipengaruhi oleh arus angin dari arah Timur/Selatan yang tidak banyak mengandung air. Karakter curah hujan Kota Bitung menunjukkan bahwa curah hujan yang relatif tinggi tersebut meningkatkan ketersediaan air, namun sebaliknya dapat
91 meningkatkan potensi kontaminasi air permukaan. Selanjutnya, karena topografi dari rencana lokasi kawasan industri yang landai (0-25 meter dpl) maka intensitas curah hujan yang tinggi relatif tidak menyebabkan erosi yang siknifikan atau kejadian longsor. Sungai yang melintasi tapak proyek adalah Sungai Tanjung Merah. Air dari sungai, setelah diolah terlebih dahulu, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan kawasan industri. Hasil analisis laboratorium terhadap air sumur dan air kali yang melintas di rencana lokasi Kawasan Industri menunjukkan bahwa sampel Air Sumur memenuhi syarat SNI Air Minum, sedangkan sampel Air Kali memenuhi syarat Air Golongan D (Lampiran 4). (C). Penggunaan Bahan Baku/Sumberdaya Infrastruktur yang telah tersedia adalah jalan raya hotmix dengan lebar 6 meter. Di dalam lokasi tapak proyek sendiri belum tersedia infrastruktur maupun fasilitas tertentu karena masih merupakan lahan perkebunan kelapa, sayursayuran, dan palawija. Dengan status lahan eksisting sebagai lahan perkebunan maka konversi penggunaan lahan tidak akan menyebabkan kehilangan habitat alami. Juga, sebagai lahan pertanian maka potensi telah terjadinya kontaminasi lahan sangat kecil. Namun dilain pihak, konversi lahan pertanian ini ke penggunaan lain menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif. Kehilangan produksi akibat konversi ini diperkirakan sebesar 500 ton kopra per tahun, disamping ratusan ton produk palawija. Sebagaimana yang diargumentasikan oleh Prasethio (Wawancara tanggal 31 Maret 2009), lokasi kawasan industri sebaiknya ditempatkan di bagian Timur dari Kota Bitung. Namun demikian, topografi wilayah di bagian Timur Kota Bitung umumnya termasuk dalam kategori berombak-berbukit, bergunung, dan berombak. Namun Prasethio berargumen bahwa kemampuan teknologi dapat memberikan jalan keluar dari kendala tersebut. Hal ini sejalan dengan Ayres dan Ayres (2002) yang menulis bahwa sebaiknya pembangunan kawasan industri dilakukan di lahan-lahan yang tidak produktif, seperti misalnya lahan yang memiliki topografi berombak berbukit atau lahan brownfield (lahan bekas penggunaan lain tapi sudah tidak digunakan lagi).
Kriteria ini lebih sesuai
dengan kondisi lahan yang terdapat di Bagian Timur Kota Bitung tersebut. Keuntungan lain yang akan diperoleh bila Kawasan Industri didirikan di wilayah
92 tersebut adalah tersedianya pantai yang tenang karena terlindung oleh Pulau Lembeh. (D). Emisi atmosfir Pola angin di Kota Bitung adalah angin Barat/Barat Laut yang bertiup dari bulan Oktober sampai dengan bulan April dan angin Timur yang bertiup dari bulan Juni sampai dengan bulan September. Baik karena pola angin maupun kecepatannya maka inversi amosfir tidak terjadi di Kota Bitung.
Dengan
demikian maka kemungkinan terjadinya kabut/smog sangat kecil. Sumber-sumber emisi yang sudah ada di lokasi tapak proyek hanya berasal dari gas buang dari kendaraan yang lalu lalang dan juga dari permukiman warga di sekitarnya. Jarak tempuh kendaraan truk dari lokasi ke pelabuhan relatif pendek (hanya sekitar 6 km) sehingga emisi yang dikeluarkan untuk setiap kilogram bahan yang diangkut relatif rendah. (E). Ekosistem Sebagai lahan pertanian yang sudah diusahakan puluhan bahkan ratusan tahun, rencana lokasi kawasan industri bukan lagi merupakan habitat alami. Dengan
demikian,
konversi
lahan
menjadi
areal
industri
tidak
akan
mengakibatkan terjadinya kehilangan habitat alami/satwa liar. (F). Lingkungan Sekitar Rencana pembangunan Kawasan Industri di Kelurahan Tanjung Merah merupakan kawasan industri pertama yang akan dibangun di Kota Bitung. Saat ini, industri manufaktur (termasuk industri agro) didirikan di lokasi yang terpencar-pencar, dengan konsentrasi di sepanjang garis pantai di Kecamatan Madidir/Pelabuhan Samudera Bitung.
Pembangunan kawasan industri di
Kelurahan Tanjung Merah berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan karena akan mempermudah penerapan sistem manajemen lingkungan, baik oleh pihak pengelola Kawasan Industri maupun pemerintah. Di sekitar rencana lokasi kawasan industri terdapat beberapa areal permukiman/kelurahan. Terdapatnya permukiman penduduk di sekitar lokasi dapat memberikan keuntungan dari sisi penyediaan tenaga kerja dan fasilitas pemondokan dengan segala fasilitas pendukungnya. Namun, lokasi permukiman yang terlalu dekat dengan kawasan industri memiliki tingkat risiko bahaya yang cukup tinggi.
93 Lokasi kawasan industri yang relatif dekat dengan fasilitas pendukung seperti pelabuhan akan meminimalisasi lalu lalang truk pengangkut dan hilir mudik pekerja sehingga dapat menurunkan emisi gas dan menciptakan keuntungan lainnya.
5.6.6. Rangkuman Hasil evaluasi dengan menggunakan pendekatan Kerangka Kinerja Lingkungan
(“Environmental
Performance
Framework”)
menunjukkan bahwa elemen kinerja lingkungan, yaitu
(Lowe
2001)
penggunaan energi,
penggunaan air, ekosistem, dan lingkungan tetangga (evaluasi terhadap emisi limbah cair dan limbah padat tidak dilakukan karena data pendukung belum tersedia) mendukung pembangunan kawasan industri di rencana lokasidi Kelurahan Tanjung Merah yang telah ditetapkan Pemerintah Kota Bitung. Salah
satu
elemen
kinerja
lingkungan,
yaitu
penggunaan
bahan
baku/sumberdaya tidak mendukung penetapan lokasi menjadi kawasan industri. Hal ini terkait dengan fakta bahwa pembangunan kawasan industri di lokasi dimaksud akan menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif dalam luasan yang cukup besar. Data di dalam Bitung Dalam Angka Tahun 2006 menunjukkan bahwa lahan datar (0-15 derajat) di Kota Bitung hanya seluas 4,18% dari total areal Kota Bitung (304 km2), atau hanya sekitar 1.271 ha. Dengan demikian, terhadap total luasan lahan datar yang ada, persentasi rencana luasan lahan kawasan industri seluas 98 ha adalah sebesar 7,7%, suatu persentasi yang relatif besar. Hal-hal yang mendukung penetapan lokasi sebagai kawasan industri adalah kedekatannya dengan Pelabuhan Samudera Bitung sehingga beban emisi gas buang ke udara oleh transportasi darat yang ditimbulkannya akan relatif kecil. Kedekatan lokasi juga meningkatkan efektifitas dan efisiensi lalu lalang pekerja/pengguna kawasan industri. Walaupun lokasi kawasan industri dekat dengan pelabuhan dan permukiman, tetapi jaraknya cukup aman sehingga risiko yang dapat ditimbulkan terhadap masyarakat adalah minimal. Tiupan angin kencang memang berisiko merusak fasilitas kawasan industri dan berpotensi menggangu proses produksi, namun di lain pihak merupakan potensi pengembangan energi terbarukan. Jadi, walaupun ada elemen kinerja lingkungan yang tidak mendukung penetapan lokasi di Kelurahan Tanjung Merah
94 sebagai kawasan industri (elemen penggunaan bahan baku/sumberdaya), namun elemen kinerja lingkungan lainnya mendukung penetapan dimaksud. Kondisi aktual dari industri manufaktur/agro di Kota Bitung dapat diringkas sebagai berikut: 1) Walaupun secara umum kualitas lingkungan masih cukup baik namun ada permasalahan dalam hal lemahnya penegakan peraturan perundangan (law enforcement), kecenderungan meningkatnya pencemaran industri terutama terhadap komponen tanah dan air permukaan serta masalah lingkungan sosial sebagai dampak dari alih fungsi lahan pertanian. 2) Rencana pengembangan Kawasan Industri Bitung di Kelurahan Tanjung Merah cukup layak dipandang dari segi Kerangka Kinerja Lingkungan. Namun, ada beberapa dampak yang perlu dikelola dengan baik agar kualitas lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial dapat dipelihara. Permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam ringkasan di atas perlu dikelola dengan baik agar aktivitas industri dapat diarahkan menuju ke tahapan industri yang berkelanjutan. Upaya pengelolaan tersebut dapat dilakukan melalui penerapan Model Pengembangan Agro-Eco-Industrial Park (MP Agro-EIP).
5.7. Pola Keterkaitan Antar Industri Sekitar 64% pabrik industri agro yang disurvei menyatakan bahwa mereka telah memiliki ikatan dengan pihak lain terkait dengan penjualan hasil sampingan yang dihasilkan. Sekitar 36% menyatakan bahwa mereka belum memiliki ikatan dengan pihak lain dengan alasan bahwa jumlah hasil sampingan yang dihasilkan relatif sedikit jumlahnya. Dari persentasi 36% tersebut, ada satu pabrik yang menyatakan tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan bersama dengan pabrik lain yang dapat menghasilkan pendapatan dari hasil sampingan yang dihasilkan pabrik, atau menurunkan biaya manajemen lingkungan, dan keuntungan lainnya. Ada pabrikan yang sedang mempraktekkan bentuk keterkaitan (kerjasama) ini yaitu dengan membeli limbah pre-cooking dari pabrik pengolahan ikan kaleng untuk digunakan di dalam proses produksi pada pabrik mereka. Namun, persetujuan untuk berpartisipasi dibarengi dengan beberapa persyaratan seperti: perlu dilakukan pertemuan pendahuluan dan perencanaan tentang apa yang akan dilakukan dan bersedia berpartisipasi selama harga bisa bersaing.
95 Prinsip-prinsip ekologi industri, yaitu pola keterkaitan antara industri agro dengan industri sejenis atau industri lainnya, di Kota Bitung dapat dilihat pada Tabel 5.12. Keterkaitan antar industri yang dicantumkan di dalam Tabel 5.12. selanjutnya digambarkan ke dalam Diagram Pola Keterkaitan Antar Industri seperti pada Gambar 5.10. Tabel 5.12. Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait Perusahan
Jenis Perusahan
A
Kelapa
B
Minyak kelapa
C D
Minyak sawit Perikanan laut
E
Perikanan laut
F
Perikanan laut
G
Perikanan laut
H
Perikanan laut
I J K L
Perikanan laut Perikanan laut Perikanan laut Arang aktif
Perusahan yang terkait (dari segi penggunaan by-products dan atau limbah industri) M Pakan ternak
N Pembuatan arang tempurung
Pakan ternak Pakan ternak
-
O Pembuatan minyak kelapa dari paring -
P Pembuatan nata de coco
Q -
R -
S -
-
-
-
-
-
-
Pembuatan bakso
-
-
-
Pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal -
-
-
Pakan ternak Pakan ternak
-
-
-
-
-
-
Pakan ternak Pakan ternak -
-
-
-
-
-
Pengekspor air rebusan -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Data hasil survei industri agro di Kota Bitung (2009) Keterangan: - belum ada keterkaitan antar industri
Produk ikutan yang dihasilkan oleh pabrik tepung kelapa yang saat ini memiliki nilai ekonomis adalah paring kelapa dan tempurung kelapa. Paring kelapa biasanya dikeringkan terlebih dahulu oleh pabrikan tepung kelapa dan selanjutnya dijual kepada pabrik pembuatan minyak kelapa. Tempurung kelapa dijual dalam bentuk bahan mentah kepada pengusaha pembuatan arang tempurung. Keduanya dijual secara lokal. Air kelapa saat ini belum memiliki nilai jual yang berarti karena hanya relatif sedikit yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata de coco, sehingga sejumlah besar masih dibuang dalam bentuk yang sudah tercampur dengan air bersih pencuci daging kelapa. Pabrik perikanan laut menghasilkan by-products berupa: kepala, sayap, ekor, isi perut, daging hitam, tulang, kulit, air rebusan, air cucian yang mengandung darah ikan, dan abu sisa pembakaran kayu.
Pabrikan juga
96 menghasilkan fishmeal, yang merupakan bahan olahan dari kepala, sayap, ekor, dan tulang ikan yang telah dikeringkan sebelumnya. Fishmeal dijual sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak. Ada pabrik yang menyatakan bahwa di waktu mendatang fishmeal akan diekspor ke Jepang. Daging hitam biasanya di kirim ke Pulau Jawa untuk dijadikan bakso. Kepala ikan, selain sebagai bahan baku pembuatan fishmeal, juga dijual dalam bentuk segar kepada pembeli yang selanjutnya menjualnya di pasar lokal. Air rebusan ikan pernah di ekspor ke Jepang dan di waktu yang akan datang berpotensi untuk diekspor kembali. A
C
B
D
F
E
M N
G
H
O
P
I
Q
J
R
K
S
L
Gambar 5.10. Pola Keterkaitan antar Industri Agro dan Industri Terkait Keterangan: A-L: Perusahan-perusahan yang tercantum di dalam Kolom 1/2 Tabel 4… M: Perusahan pembuatan pakan ternak N: Perusahan pembuatan arang tempurung O: Perusahan pembuatan minyak kelapa dari paring kelapa P: Perusahan pembuatan nata de coco Q: Perusahan pembuatan bakso R: Perusahan pembeli kepala ikan segar untuk pasar lokal S: Perusahan pengekspor air rebusan ikan
Gambar 5.15. menunjukkan bahwa tidak semua industri agro di Kota Bitung memiliki keterkaitan dengan industri sejenis atau jenis industri lainnya. Nilai keterkaitan (C) dari industri agro dan industri lainnya di Kota Bitung dihitung menggunakan rumus C = 2 L / [S(S-1)]. Dimana S adalah jumlah spesies atau industri di dalam jaring makanan (suatu kawasan tertentu) dan L adalah jumlah interaksi antar industri (Tabel 5.15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Nilai C = (2 x13) : 11 (11-1) = 26 : 110 = 0,2364 atau 23,64%. Nilai ini masih dibawah nilai medium, yaitu 42,3 % (Hardy dan Graedel 2002). Ini berarti bahwa pola keterkaitan antar industri agro di Kota Bitung masih rendah.
97
Industri
Tabel. 5.13. Perhitungan Nilai Keterkaitan (C) Antar Industri Agro dan Industri Terkait di Kota Bitung Industri Jumlah A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S
A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
B 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
E 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
F 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
G 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
H 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
J 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
L 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
M 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
N 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
O 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
P 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Q 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
R S 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah
4 1 0 3 1 2 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13
Pola keterkaitan yang potensial dikembangkan di Kota Bitung di masa yang akan datang dapat diketahui dengan menganalisis informasi mengenai jenis limbah industri/bahan ikutan yang masih dibuang ke udara atau yang langsung dibuang ke lingkungan (belum dimanfaatkan) atau yang diperjualbelikan.