iii
Forum Penelitian Agro Ekonomi ISSN 0216 – 4361
Volume 33 Tahun 2015 Terakreditasi No: 643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 Lembar abstrak ini dapat diperbanyak tanpa izin penerbit/penulis
Muchjidin Rachmat (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)
Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, hlm. 19–31
Percepatan Pembangunan Pangan Menuju Pencapaian Ketahanan Pangan yang Mandiri dan Berdaulat
Menjelang diberlakukannya pasar tunggal ASEAN akhir tahun 2015, Indonesia perlu untuk meningkatkan daya tahan perekonomiannya. Salah satu faktor yang menentukan daya tahan perekonomian nasional adalah ketahanan pangan nasional. Masuknya Indonesia di dalam pasar tunggal ASEAN dapat dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan untuk meningkatkan ketahanan pangan yang mandiri. Hasil kajian pustaka dan data sekunder menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai tingkat ketersediaan pangan yang cukup baik, kondisi akses pangan ekonomi yang sedang, tingkat pemanfaatan pangan yang kurang baik, serta tingkat harga pangan yang tinggi dan kurang stabil dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN pada umumnya. Agar Indonesia mendapatkan manfaat positif dari masuknya ke dalam pasar tunggal ASEAN, disarankan untuk melaksanakan langkah-langkah strategis sebagai berikut: (1) meningkatkan kemandirian pangan nasional, (2) mengembangkan pangan lokal, (3) meningkatkan akses pasar, dan (4) meningkatkan kerja sama dalam penanganan masalah pangan. Guna melaksanakan langkah-langkah strategis tersebut diperlukan dukungan kebijakan sebagai berikut: (1) melanjutkan upaya peningkatan produksi pangan pokok secara berkelanjutan, (2) mengembangkan industri pangan lokal dari hulu ke hilir, (3) meningkatkan promosi produk pangan lokal di pasar domestik dan pasar internasional, (4) meningkatkan infrastruktur, sistem logistik, rantai pasok, serta meningkatkan kelembagaan dan sistem informasi pasar, (5) menerapkan standardisasi kualitas dan keamanan pangan, (6) meningkatkan kerja sama dalam penanganan masalah pangan di kawasan, dan (7) memanfaatkan perdagangan pangan kawasan untuk penanganan masalah pangan manakala produksi pangan nasional tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, hlm. 1–17 Pembangunan pangan telah menunjukkan keberhasilannya seperti dalam peningkatan produksi dan penyediaan komoditas pangan. Namun, keberhasilan tersebut tidak diikuti oleh penurunan tingkat kerawanan pangan masyarakat. Jumlah penduduk rawan pangan masih cukup besar dan bahkan cenderung meningkat. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan dibangunnya ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, dengan sasaran peningkatan kemampuan produksi dan kecukupan penyediaan pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, dan meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri. Tantangan mewujudkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat berkaitan dengan peningkatan produksi, manajemen pembangunan pangan sejalan pelaksanaan otonomi daerah dan pengaruh dinamika lingkungan global. Diperlukan akselerasi pembangunan pangan melalui peningkatan produksi pangan yang lebih menyebar dan beragam, pengembangan pangan dan budaya pangan lokal, modernisasi sistem produksi pangan, pengelolaan perdagangan pangan, dan penguatan cadangan pangan masyarakat. Kata kunci: ketahanan pangan, kemandirian pangan, kedaulatan pangan
Hermanto (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) Ketahanan Pangan Indonesia di Kawasan ASEAN
Kata kunci: ketahanan pangan, kemandirian pangan, kerawanan pangan, ketahanan pangan kawasan
iv
Effendi Pasandaran (Badan Pengembangan Pertanian)
Penelitian
dan
Menyoroti Sejarah Perkembangan Undang-Undang tentang Air Pengairan dan Sumber Daya Air Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, hlm. 33–46 Dari perspektif sejarah, Indonesia telah mengalami tiga generasi undang-undang yang terkait dengan air, yaitu Algemene Water Reglement tahun 1936, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tulisan ini bertujuan mempelajari faktor-faktor penyebab munculnya undang-undang pada setiap generasi dan mengusulkan langkah-langkah kebijakan untuk mempersiapkan undang-undang generasi keempat. Berdasarkan konteks sejarah diidentifikasi faktorfaktor dominan yang menjadi pemicu munculnya undang-undang pemicu. Ketiga generasi undangundang tersebut dipicu oleh berbagai faktor sebagai respons terhadap berbagai kepentingan politik yang muncul. Pada generasi pertama, politik etika, perkembangan teknologi hidrolika, dan kepentingan ekspor komoditas pertanian merupakan faktor-faktor pemicu. Pada generasi kedua, teknologi revolusi hijau dan kepentingan politik mencapai swasembada beras merupakan faktor dominan, sedangkan undang-undang generasi ketiga dipengaruhi oleh perkembangan birokrasi politik pascakrisis ekonomi tahun 1998, liberalisasi ekonomi sebagai persyaratan bantuan Bank Dunia, dan tekanan politik global untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air terpadu. Dengan dibatalkannya undang-undang generasi ketiga, Indonesia memerlukan undangundang generasi keempat yang perlu disiapkan dengan lebih bertanggung jawab dan didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola air yang baik. Kata kunci: sejarah, tata kelola, generasi, undangundang, sumber daya air, dan kepentingan politik
pakan berbasis produk samping tanaman dan industri pertanian yang berasal dari tanaman padi, kelapa sawit, dan tebu. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melakukan review perkiraan potensi kapasitas tampung ternak dan mengidentifikasi potensi wilayah pengembangan baru usaha sapi potong berbasis produk samping tanaman dan industri pertanian. Berdasarkan data sekunder review hasi-hasil penelitian sebelumnya dilakukan perhitungan potensi ketersediaan pakan dengan menggunakan matematika sederhana. Hasil penelitian memperkirakan kuantitas bahan pakan, yaitu dari produk samping tanaman dan industri pertanian padi, sawit, dan tebu mencapai 121,69 juta ton bahan kering atau mampu menampung 77,42 juta ST. Berdasarkan lokasi ketersediaan bahan baku pakan tersebut, maka daerah potensial untuk pengembangan sapi potong dengan sumber pakan utama produk samping tanaman dan industri pengolahan kelapa sawit, yaitu beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan, beberapa provinsi di Sulawesi, Papua, dan Papua Barat. Daerah-daerah di Jawa yang merupakan sentra sapi dapat memanfaatkan produk samping tanaman dan industri pengolahan tebu serta jerami padi. Bali dan NTT merupakan daerah defisit pakan. Untuk mendorong pertumbuhan sapi potong pada daerah sentra produksi baru, maka yang perlu dilakukan adalah (a) menguatkan riset terkait teknologi pengolahan produk samping tanaman dan industri dan formulasi pakan bermutu dengan harga murah, (b) mendatangkan teknologi pembuatan pakan komplit ke sentra-sentra potensi produk samping, dan (c) mengembangkan industri pakan komplit murah untuk diperdagangkan. Kata kunci: produk samping, pengembangan, sapi potong
pakan,
Iskandar Andi Nuhung (Fakultas Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah)
wilayah
Sains
dan
Kinerja, Kendala, dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging Sapi Nyak Ilham (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) Ketersediaan Produk Samping Tanaman dan Industri Pertanian sebagai Pakan Ternak Mendukung Peningkatan Produksi Daging Nasional Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, hlm. 47–61 Salah satu pilar utama untuk meningkatkan produksi daging sapi adalah ketersediaan pakan. Di Indonesia bahan ketersediaan pakan masih menghadapi masalah, di antaranya karena penyempitan padang penggembalaan, persaingan bahan baku pakan untuk kebutuhan lain, industri, dan sistem distribusi pakan masih terbatas. Keterbatasan sumber pakan konvensional dapat diatasi dengan menggunakan
Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, hlm. 63–80 Indonesia berdasarkan potensi sumber daya alam, sumber daya genetik, budaya, teknologi, dan pengalaman sejarah mempunyai potensi yang besar untuk mewujudkan swasembada daging sapi, bahkan dapat kembali menjadi eksportir sapi seperti di tahun 1970-an. Tulisan ini mencoba mengidentifikasi permasalahan dan beberapa konsep pemikiran pemecahan masalah serta implikasi kebijakan untuk mewujudkan swasembada daging sapi. Beberapa masalah yang menjadi bottleneck pengembangan ternak sapi seperti sifat dan karakteristik pengembangan sapi, kebijakan yang belum komprehensif, skim pembiayaan yang terbatas, alih fungsi dan terbatasnya lahan
v
penggembalaan, sumber bibit yang terbatas, manajemen dan pola pengembangan yang belum efektif, kepastian harga dan pasar masih lemah, dan koordinasi yang lemah, perlu mendapat perhatian. Indonesia menjadi importir sapi dengan nilai yang cukup besar yaitu mencapai Rp13,5 triliun tahun 2014. Selain kemauan politik, juga diperlukan ketegasan kebijakan yang berpihak pada produk daging sapi dalam negeri dan peternak, pilihan pola pengembangan yang efektif menjawab masalah mendasar yang dihadapi terutama pelibatan peternak sapi, seperti pola Inti Plasma, pola pembangunan peternakan sapi terpadu, pola waralaba (franchise), pola Unit Pelaksana dan Pembinaan Peternakan Sapi (UP4S). Diperlukan adanya skim khusus pembiayaan seperti pada skim pengembangan perkebunan pola PIR-BUN. Kepastian lahan pengembangan, sumber bibit yang terjamin ketersediaan jumlah dan kualitasnya, serta manajemen pengelolaan pengembangan yang efektif dan akuntabel sebagai upaya terobosan debottlenecking untuk pengembangan ternak sapi nasional. Pemerintah perlu menyusun kembali cetak biru atau peta jalan pengembangan ternak sapi yang didasarkan pada hasil pengkajian yang komprehensif dengan mengakomodasi perkembangan lingkungan strategis baik domestik, maupun di dunia internasional dalam rangka peningkatan populasi, produksi, pendapatan, dan kesejahteraan peternak, serta swasembada berkelanjutan daging sapi.
lebih aktif dan intensif mendampingi serta secara terus menerus melakukan bimbingan teknis dan manajemen terkait penggunaan input, pembangunan dan perbaikan saluran irigasi, distribusi sarana produksi, pengadaan dan peningkatan akses kredit petani, serta sosialisasi hasil penelitian sampai ke tingkat petani, untuk mempertahankan efisiensi teknis yang tinggi dan meningkatkan efsiensi teknis yang rendah dan sedang. Untuk peningkatan efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi perlu strategi melalui pengadaan, renovasi, maupun peningkatan infrastruktur penunjang pemasaran, memperlancar transportasi input dan produk dari dan ke pusat produksi maupun pasar, dan peningkatan akses informasi bagi petani serta perlunya sosialisasi kesadaran mencintai dan mengonsumsi produk pangan dan pertanian dalam negeri. Diperlukan pula sosialisasi asuransi pertanian yang telah ada secara lebih luas dan mengembangkan asuransi pertanian tidak terbatas hanya pada komoditas padi dan sapi. Memberikan bimbingan teknis dan manajemen aplikasi input juga diperlukan dalam upaya menurunkan risiko usaha tani.
Kata kunci: kinerja, kendala, strategi, swasembada, daging sapi
Kedaulatan Pangan Sebagai Basis untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Asnah (Universitas Tribhuwana Tunggadewi), Masyhuri (Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada), Jangkung Handoyo Mulyo (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada), dan Slamet Hartono (Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada) Tinjauan Teoritis dan Empiris Efisiensi, Risiko, dan Perilaku Risiko Usaha Tani serta Implikasinya dalam Upaya Pencapaian Swasembada Pangan Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, hlm. 81–94 Tujuan dan ruang lingkup penulisan artikel ini adalah mendiskripsikan berbagai model dan hasil analisis empiris efisiensi, risiko, dan perilaku risiko usaha tani di dalam dan luar negeri. Metode yang digunakan adalah review hasil-hasil penelitian terkait. Analisis efisiensi pada komoditas tanaman pangan, hortikultura, dan skala usaha industri pengolahan memiliki nilai efisiensi teknis rendah hingga tinggi, dan seluruhnya kurang atau tidak efisien secara alokatif maupun ekonomi. Untuk mendukung tercapainya swasembada pangan perlu upaya dan kegiatan nyata membantu petani meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko usaha tani. Pemerintah maupun lembaga nonpemerintah agar
Kata kunci: efisiensi, risiko, perilaku risiko
Syahyuti, Sunarsih, Sri Wahyuni, Wahyuning K. Sejati, dan Miftahul Azis (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)
Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, hlm. 95–109 Konsep kedaulatan pangan secara resmi telah menjadi tujuan dan juga pendekatan dalam pembangunan pangan nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bersama-sama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Namun demikian, sampai saat ini perumusan dan pemahaman tentang kedaulatan pangan masih beragam dan kurang jelas. Tulisan ini bertujuan melakukan review konsep kedaulatan pangan yang berlangsung di dunia internasional dan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kedaulatan pangan merupakan suatu strategi dasar untuk melengkapi ketahanan pangan sebagai tujuan akhir pembangunan pangan karena kedua konsep ini sesungguhnya sejalan dan saling melengkapi. Hasil dari pendalaman terhadap berbagai konsep, dirumuskan bahwa kedaulatan pangan berkenaan dengan hak dan akses petani kepada seluruh sumber daya pertanian mencakup lahan, air, sarana produksi, teknologi, pemasaran, serta terhadap konsumsi. Kondisi ini dapat diukur pada berbagai level baik level individu, rumah tangga, komunitas, wilayah, dan juga nasional. Kata kunci: kedaulatan pangan, ketahanan pangan, petani, sumber daya pertanian, pertanian ekologis
vi
Ening Ariningsih (Pusat Kebijakan Pertanian)
Sosial
Ekonomi
dan
Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Padi melalui Valuasi Ekonomi Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, hlm. 111–125 Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya genetik padi yang sangat beragam yang dapat dimanfaatkan dalam perakitan varietas unggul baru padi. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai (1) keanekaragaman sumber daya genetik padi dan pemanfaatannya dalam perakitan varietas unggul; (2) pentingnya pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik padi; (3) tinjauan konseptual valuasi ekonomi sumber daya genetik padi; dan (4) nilai ekonomi sumber daya genetik padi. Tulisan ini merupakan review dari berbagai literatur terkait dengan sumber daya genetik padi dan valuasi ekonomi, khususnya valuasi ekonomi sumber daya genetik padi. Hasil kajian menunjukkan bahwa valuasi ekonomi sumber daya genetik padi penting untuk dilakukan supaya dapat menjadi acuan bagi para pemulia padi dalam merakit varietas unggul baru padi yang sesuai dengan preferensi petani padi maupun konsumen beras, sehingga varietas unggul baru padi yang dihasilkan dapat diadopsi secara luas dan memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat. Di samping itu, dalam kondisi anggaran konservasi yang terbatas, valuasi ekonomi dapat digunakan untuk lebih memfokuskan upaya pengelolaan sumber daya genetik yang dinilai memberikan manfaat ekonomi lebih besar. Pengelolaan sumber daya genetik tersebut dilakukan dengan eksplorasi, konservasi, karakterisasi dan evaluasi, dokumentasi, serta pertukaran material dan informasi antara lembaga penelitian dari dalam dan luar negeri. Kata kunci: padi, sumber daya genetik, valuasi ekonomi, varietas unggul
Saptana dan Handewi P. Saliem Rahman (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) Tinjauan Konseptual Makro-Mikro Pemasaran dan Implikasinya bagi Pembangunan Pertanian Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, hlm. 127–148 Pakar ekonomi dan pemasaran telah memberikan perhatian besar terhadap konsep pemasaran dan mencoba menerapkannya dalam pembangunan pertanian. Konsep pemasaran dimaknai dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi, bisnis, dan kebijakan. Di samping itu, ada yang memaknai pemasaran dari perspektif makro dan perspektif mikro. Tulisan ini berusaha mengkaji
konsep pemasaran dalam perspektif ekonomi baik makro maupun mikro. Kajian dari perspektif makro diharapkan berguna meningkatkan efisiensi pemasaran suatu komoditas pertanian dalam suatu wilayah atau nasional. Sementara itu, dari kajian dalam perspektif mikro diharapkan berguna dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok dan pengelolaan rantai nilai suatu komoditas. Secara mikro beberapa pelaku usaha rantai pasok komoditas pertanian Indonesia mempunyai efisiensi yang rendah, sehingga kalah bersaing di pasar domestik dan global. Untuk mewujudkan sistem pemasaran yang efisien diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menghilangkan adanya distorsi pasar dan menekan tingginya biaya transaksi pada sistem pemasaran komoditas pertanian. Sementara itu, untuk mewujudkan efisiensi pemasaran di tingkat mikro (pelaku usaha) menjadi efisiensi di tingkat makro (nasional) diperlukan adanya keterpaduan antara kebijakan makro terkait sistem distribusi dan pemasaran komoditas pertanian dan kegiatan usaha ekonomi mikro dalam rantai pasok komoditas pertanian. Kata kunci: pemasaran, pembangunan, pertanian
makro-mikro,
strategi,
Dewa Ketut Sadra Swastika (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) Kinerja Produksi dan Konsumsi serta Prospek Pencapaian Swasembada Kedelai di Indonesia Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, hlm. 149–160 Kedelai merupakan salah satu komoditas strategis, karena sangat dibutuhkan sebagai bahan pangan sumber protein nabati yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Perkembangan industri pangan dan pakan berbahan baku kedelai, sejalan dengan pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan kedelai terus meningkat. Namun, sejak pertengahan 1970-an hingga kini produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Kajian ini bertujuan untuk memberi gambaran riil tentang kinerja produksi dan konsumsi, serta prospek pencapaian swasembada kedelai di Indonesia di masa mendatang. Studi ini dilakukan melalui tinjauan pustaka dengan menggali dan menelaah data dan informasi yang relevan dari berbagai sumber seperti data BPS dan FAO, serta informasi yang relevan dari berbagai hasil kajian ilmiah yang diterbikan dalam buku, jurnal, prosiding, dan publikasi lainnya. Hasil tinjauan pustaka yang didukung oleh data statistik menunjukkan bahwa areal dan produksi kedelai yang mencapai puncaknya tahun 1992, terus menurun hingga mencapai sepertiganya pada tahun 2013. Penurunan yang sangat tajam ini mencerminkan makin tidak tertariknya petani menanam kedelai. Defisit kedelai yang harus dipenuhi dari impor terus meningkat.
vii
Kondisi ini akan memperlemah ketahanan pangan nasional. Jika tidak ada terobosan yang signifikan untuk memberi insentif bagi petani menanam kedelai, maka fenomena penurunan areal dan produksi kedelai akan terus berlangsung. Dengan permintaan yang terus meningkat, maka upaya pencapaian swasembada kedelai makin jauh dari
harapan, setidaknya hingga tahun 2025. Implikasinya ialah bahwa pencanangan swasembada kedelai tahun 2017 adalah sesuatu yang tidak realistis, sehingga perlu ditinjau kembali Kata kunci: kedelai, kinerja, produksi, konsumsi, swasembada
viii
Forum Penelitian Agro Ekonomi ISSN 0216 – 4361
Volume 33 Year 2015 Accredited No: 643/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
This abstract sheets may be reproduced without permission of charge
Muchjidin Rachmat (Indonesian Center Agricultural Socio Economic and Policy Studies)
for
Food Development Acceleration toward SelfReliance, Sovereign Food Security Achievement Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, p. 1–17 Successful development has been demonstrated by an increase in food production and food supply. But the success was not followed by a reduction in food insecurity. Number of food-insecure population is still large and likely to increase. Law 18/2012 on Food mandates establishment of an independent food security and sovereignty. The goal is to increase production and food self-sufficiency. It also aims to improve food diversity and to meet safety, quality, and requirement. Food security should also be competitive in both domestic and international markets. The challenge is to optimize food production resources, management of decentralization and global environment. It is necessary to accelerate food development through enhancing more distributed, diverse food production. It is also carried out through development of food and local food culture, food production system modernization, food trade management, and strengthening public food reserves. Keywords: food security, food resilience, food sovereignty
Hermanto (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Indonesian Food Security in the ASEAN Region Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, p. 19–31 Inclusion of Indonesia in the ASEAN Single Market can be seen as opportunities and challenges for the national food resiliency. Results of the study shows that Indonesia was sufficient in food availability, moderate in food accessibility, low in food utilization,
and relatively unstable in food price. To improve its food resiliency in the region, it is advisable for Indonesia to carry out some strategic steps as follows: (1) improving food self-resiliency, (2) developing local foods, (3) improving market access, and (4) improving cooperation in food security. The needed support policies were: (1) continuing efforts to increase sustainable food production, (2) developing local food industries, (3) promoting local food products, (4) improving infrastructures, logistics system, supply chain, as well as institutions and market information systems, (5) standardization of food quality and safety, (6) establishing collaboration in regional food security, and (7) managing regional food trade to achieve food resiliency. Keywords: food security, food resiliency, insecurity, regional food security
Effendi Pasandaran (Indonesian Agency Agricultural Research and Development)
food
for
Assessing Development History of Law on Irrigation Water and Water Resources Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, p. 33–46 From the viewpoint of historical perspective Indonesia has experienced three generations of water law, namely Algemeen Water Reglement (general water law), year 1936, Law No. 11 of 1974 and Law No. 7 Year 2004 on water resources. The purpose of this paper is to study factors considered as the drivers of the emergence of each generation of law. The analysis of historical context identified the dominant factors. The three generations of law are driven by various factors in response to the emerging political interests. In the first, ethical politics, development of hydraulic technology, and the interest to support agricultural export commodity are important driving factors. In the second, green revolution technologies, and the political interest to achieve rice self-sufficiency are dominant factors while that of the third is influenced by politics of bureaucracy in the aftermath of economic crisis of
ix
1998, economic liberalization as condition for the World Bank loan, and global political pressure to implement integrated water resources management. By the cancelation of the third generation of law Indonesia is stepping toward the fourth generation of law which has to be prepared in accountable manner based on the principles of good water governance.
Iskandar Andi Nuhung (FST-UIN Syarif Hidayatullah)
Keywords: history, governance, generation, law, water resources, political interest
Indonesia has a big opportunity to realize cattle meat self-sufficiency, and even it is possible to become an exporter such in 1970’s. This article reviews the constraint issues in cattle industry and formulates a concept of cattle industry toward meat selfsufficiency. Cattle industry deals with typical culture and characteristics of business, policy and political issues, financial scheme, limited grassing field, breeding, development management, meat market and price, competitiveness, and inter-institutional coordination. All of those problems shift Indonesia from an exporter to an importer. In the future, political will, domestic product orientation, prioritizing small farmers through partnership, integrated farming, franchise system, cattle development project management unit are necessary to boost cattle industry. Other attempts to take by the government are special credit scheme for cattle development, grassing field development, cattle breed supply through breeding farm system development, effective and accountable cattle development management. The government needs to reformulate cattle development road map to accommodate internal and external environment issues, and to emphasize the goals of cattle industry development, such as increasing cattle population, enhancing meat product, improving cattle farmers’ income, and sustaining cattle meat self-sufficiency.
Nyak Ilham (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Side Products Availability of Crops and Agricultural Industry as Feed to Support National Meat Production Enhancement Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, p. 47–61 One of main components to boost cow meat is feed availability. In Indonesia, feed availability is still deal with decrease of pasture, competing feed with other uses, such as industry, and limited feed distribution system. Limited conventional feed sources could be overcome through use of feed from side products of crops and agricultural industry such as rice, oil palm, and sugarcane. This paper reviews livestock capacity potency and identifies new development region potency for beef cow farm business using side products of crops and agricultural industry. Feed availability potency is based on simple calculation of previous studies. It is estimated that feed source from crops and agricultural industry of rice, oil palm, and sugarcane is around 121.69 million tons of dried matter or it has capacity of 77.42 million livestock units. Based on feed raw material availability region, the potential regions for beef cow farm business development using main feed from side products of crops and oil palm agricultural industry are the provinces in Sulawesi, Papua and West Papua. The beef cow producing regions in Java could utilize side products of crops and processing industry of sugarcane and rice straw. Bali and NTT are regions with feed deficits. To boost beef cow farm business in new development regions, it is necessary (a) to strengthen researches on processing technology of crop and industrial side products, and quality feed formulation with cheap price, (b) to introduce complete feed processing technology to the side products potential centers, (c) to develop cheap, complete feed industry for sales. Keywords: side product, feed, development region, beef cow
Achieving Cattle Meat Self-Sufficiency: Performance, Constraints, and Strategy Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 1, p. 63–80
Keywords: performance, constraint, strategy, selfsufficiency, cattle meat
Asnah (Tribhuwana Tunggadewi University), Masyhuri (Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University), Jangkung Handoyo Mulyo (Center for Population and Policy Studies, Gadjah Mada University), dan Slamet Hartono (Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University) Theoretical and Empirical Review on Efficiency, Risk and Farming Attitude and Its Implication for Food Self-Sufficiency Achievement Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, p. 81–94 This paper aims to describe various models and results of empirical analyses of efficiency, risk, and risk behavior of farming in the country and abroad. Efficiency analyses on food crops, horticulture, and processing industry scales show various technical efficiencies, and both economic and allocative inefficiencies. To support food self-efficiency, therefore it is necessary to improve farm business
x
efficiency and to reduce risk farming. Government’s and non-government organizations’ aids are required to improve farm efficiencies, such as irrigation construction and maintenance, factor inputs distribution, credit access, agricultural insurance, and research results dissemination. To improve allocative and economic efficiencies, some efforts are necessary to take such as marketing infrastructure enhancement, acceleratin transport of agricultural inputs and products, and expanding farmers’ access for information. Keywords: efficiency, risk, behavior
Syahyuti, Sunarsih, Sri Wahyuni, Wahyuning K. Sejati, dan Miftahul Azis (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Kedaulatan Pangan Sebagai Basis Untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Food Sovereignty as the Basis to Realize National Food Security Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, p. 95–109 The concept of food sovereignty officially becomes an objective and an approach in national food development such as depicted in Law No. 18/2012 on Food along with food self-sufficiency and food security. However, up to now formulation and understanding of food sovereignty is various and unclear. This article aims to review the concept of food sovereignty at international and national levels. Food sovereignty is a strategy to improve food security as the ultimate goal of food development because the concept is in fact consistent and complementary. Food sovereignty is related with farmers' rights and access to the entire agricultural resources including land, water, production factors, technology, and marketing as well as on consumption. This condition is measurable at various levels at individual, household, community, regional, and national levels. Keywords: food sovereignty, food security, farmers, agricultural resources, ecological agriculture
Ening Ariningsih (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Optimizing Rice Genetic Resources Using Economic Valuation Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, p. 111–125 Indonesia has potency of widely diverse genetic resources of rice useful to assembly the new
varieties. This study aimed to analyze (1) diversity of genetic resources and their utilization in the assembly of rice varieties; (2) importance of preserving the diversity of rice genetic resources; (3) a conceptual overview of economic valuation of genetic resources of rice; and (4) economic value of genetic resources of rice. This paper is a literature review related to genetic resources and economic valuation of rice. The results show that the economic valuation of genetic resources of rice is necessary to do in order to become a reference for breeders of rice in assembling new varieties of rice in accordance with preferences of rice farmers and consumers, so that the new varieties of rice produced to be widely adopted and provide economic impact on communities. In addition, in the conditions of limited conservation budgets, economic valuation can be used to better focus efforts to manage genetic resources that are considered to provide greater economic benefits. The management of genetic resources could be done through exploration, conservation, characterization, and evaluation, documentation, as well as the exchange of material and information between research institutions from home and abroad. Keywords: rice, genetic valuation, improved variety
resource,
economic
Saptana dan Handewi P. Saliem Rahman (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Macro-Micro Marketing Conceptual Review and Its Implication for Agricultural Development Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, p. 127–148 Economists are interested in the marketing concept try to apply it in agricultural development. Marketing concept has several aspects, i.e. economy, business, and policy. Some people interpret marketing concept in terms of macro aspect (national level) and micro aspect (firm level). This paper proposes to examine marketing concept in term of macro and micro levels. Examining the marketing aspect at macro level will be useful to increase the marketing efficiency of agricultural commodity at regional or national level. It will also improve marketing efficiency in supply chain of agricultural commodity. Reviews on empirical studies indicate that some agricultural commodities have low marketing efficiency causing low competitiveness in the domestic and global markets. Enhancing marketing efficiency requires government intervention intended to reduce market distortion and high transaction cost in the supply chain of agricultural commodity. To achieve marketing efficiency of agricultural commodity, it is necessary to integrate macro-economic policy and micro-
xi
economic activities in the supply chain of agricultural commodity. Keywords: competitiveness, macro-economic, microeconomic, strategy, development, agriculture
Dewa Ketut Sadra Swastika (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Performance of Soybean Production and Consumption and Its Self-Sufficiency Prospect in Indonesia Forum Penelitian Agro Ekonomi 2015, Vol. 33, No. 2, p. 149–160 Soybean is one of the strategic commodities required as a source of vegetable protein in Indonesia. Progressing food and feed industries using soybeans as raw material is in line with population growth causing increased soybean demand. However, since the mid-1970s until now domestic soybean production has not been able to meet national demand. This study aims to give a real figure regarding the performance of production and
consumption, as well as the future prospects for the achievement of soybean self-sufficiency in Indonesia. This study was conducted through reviewing literatures as well as exploring and examining the relevant data and information from various sources such as BPS and FAO data, as well as related information from some scientific studies published in books, journals, proceedings, and other publications. The results of this literature review supported by statistical data indicated that soybean area and production peaked in 1992, then it declined sharply until 2013. The very sharp decline in harvested area reflects the disincentive for farmers to grow soybean. This condition will weaken national food security. If there is no significant breakthrough in providing incentives for farmers to grow soybeans, the phenomenon of decline in soybean area and production will continue. Along with the increasing demand for soybean, efforts to achieve selfsufficiency become unrealistic, at least until 2025. It implies that launching soybean self-sufficiency in 2017 is unworkable. Keywords: soybean, performance, consumption, self-sufficiency
production,