BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1994). Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Niven, 2002). Atau juga dapat didefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah ditentukan (Gabit, 1999, Improving Complient by Gabit Ismailov Dunst, ¶ 3, http://www.dcc2.bumc.bu.ed/world.TB diperoleh tanggal 8 februari 2007). Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan (Robert, 1999, Enhancing Medication Compliance for People, ¶ 7, http://www.drh.state.ga.us.ep/pdf/tb.guide.pdf diperoleh tanggal 5 Februari 2007). Penderita yang patuh berobat adalah yang menyeselaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000).
11
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobta setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI, 2000). Menurut Cuneo dan Snider, (1989, Enhancing Patient Compliance with
Tuberculosis
Therapy
Clinic
in
Chest
Medicine,
¶
1,
http:/www.pudmed.guv, diperoleh tanggal 6 Februari 2007) pengobatan memerlukan jangka waktu yang panjang akan memberikan pengaruhpengaruh pada penderita seperti: a. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama. b. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih lama keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali penderita akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali. c. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan. d. Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan. e. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak enak terhadap penderita.
12
f. Sukar untuk menyadarkan penderita untuk terus minum obat selama jangka waktu yang ditentukan. Karena jangka waktu pengobatan yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur (defaulting), penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus berobat (droup out) (Partasasmita, 1996). Oleh karena itu menurut Cramer (1991, Compliance and Medical Practice Clinical Trial, ¶ 1, http://www.pudmed.guv. diperoleh tanggal 6 Februari 2007), kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi: 1) Kepatuhan penuh (Total compliance) Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk. 2) Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance) Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali. 2. Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: a. Faktor komunikasi Berbagai mempengaruhi
aspek tingkat
komunikasi ketidaktaatan,
antara
pasien
misalnya
dengan
informasi
dokter dengan
13
pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan. b. Pengetahuan Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibitoik. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis. c. Fasilitas kesehatan Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan
penyuluhan
terhadap
penderita
diharapkan
penderita
menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi: jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain. Sementara itu menurut Niven (2002), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: a. Faktor penderita atau individu 1) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatanya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya 2) Keyakinan Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinanya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat
14
menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya. b. Dukungan keluarga Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. c. Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan. d. Dukungan petugas kesehatan Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku
15
pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu berapdatasi dengan program pengobatanya. Faktor lain adalah peran PMO, kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat kepatuhan dan keberhasilanya (Purwanta, 2005, Ciri-ciri Pengawas Minum Obat, ¶ 2, http://www.tbcindonesia.or.id diperoleh tanggal 23 Maret 2007). Pengobatan dilakukan setiap hari dan dalam jangka panjang, sehingga kepatuhan minum obat (adherence) juga sering menjadi masalah yang harus dipikirkan sejak awal pengobatan. Minum obat yang tidak rutin terbukti telah menyebabkan
resistensi
obat
yang
dapat
menyebabkan
kegagalan
pengobatan. Berdasarkan hal tersebut, tentu perlu adanya pengaturan penggunaan obat sesuai tujuannya terutama obat seperti yang dikehendaki. Aturan minum obat sangat berpengaruh pada kepatuhan penderita (complience) (Nirmala, 2003, Konsultasi kesehatan kepatuhan minum obat, ¶ 6, http://www.kompas.com diperoleh tanggal 23 Maret 2007).
B. Pengawas Minum Obat (PMO) 1. Pengertian Pengawas minum obat adalah orang yang bertugas mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberculosis paru pada saat minum obat setiap
16
harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Depkes RI, 2000). 2. Tujuan Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997), tujuan diadakannya pengawas minum obat pada penderita TB Paru adalah: a. Untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang telah disepakati pada waktu awal pengobatan. b. Untuk menghindari penderita dari putus berobat sebelum waktunya. c. Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan terhadap OAT. 3. Persyaratan PMO Seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita (Depkes RI, 2000). 4. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya senitarian, juru imunisasi dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Nuraini, 2005).
17
5. Tugas PMO Menurut Nuraini (2003), tugas PMO terhadap penderita TB Paru adalah: a. Mengetahui tanda-tanda tersangka TB Paru. b. Mengawasi penderita minum obat setiap hari. c. Mengambil obat bagi penderita seminggu sekali. d. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak. 1) Seminggu sebelum akhir bulan ke dua pengobatan (untuk menentukan obat tambahan). 2) Seminggu sebelum akhir bulan ke lima pengobatan (untuk mengetahui kegagalan). 3) Seminggu sebelum akhir bulan ke enam pengobatan (untuk mengetahui kesembuhan). e. Memberikan penyuluhan pada penderita dan keluarga. f. Memberitahukan adanya suspek pada keluarga penderita. g. Merujuk kalau ada efek samping obat. 6. Informasi penting yang perlu dipahami PMO TB Paru bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB Paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur, tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan, pentingnya berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu diawasi, efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut, cara penularan dan pencegahan penularan (Nuraini, 2006).
18
C. Tuberculosis Paru 1. Pengertian Tuberculosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh microbakterium tuberculosis kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit ada beberapa microbakteri patogen, tetapi hanya strain bovin dan manusia yang patogenik terhadap manusia (Price & Wilson, 2001). Tuberculosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri microbakterium tuberculosis yang biasanya ditularkan dari orang ke orang lain melalui nuklei droplet (Nettina, 2002). Sedangkan menurut Daniel (1999), tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh microbakterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitifitas yang diperantoral sel (sell mediated hypersensitifi) penyakit ini biasanya menyerang diparu tetapi dapat menyerang organ lain seperti ginjal tulang meningen dan modus limfe. 2. Manifestasi Klinis Seringkali gejala penyakit TB Paru yang timbul tidak khas dan menyerupai penyakit lainnya sehingga disebut sebagai the great imitator (Amin, 1989). Ada beberapa gejala TB Paru harus diwaspadai adalah jika batuk tidak sembuh-sembuh selama 3 minggu, demam dan badan mengeluarkan keringat dingin saat tidur malam meskipun udara sedang tidak panas (Long, 1996).
19
Gejala lain yang perlu diperhatikan adalah ada perasaan lelah terus menerus padahal sedang tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat, hilang selera makan yang tanpa diketahui penyebabnya serta berat badan berkurang lebih cepat dalam pemeriksaan Laboratorium akan ditemukan laju endap darah (Sibusea, 1992). Gejala penyakit TB Paru lainnya bisa pula diketahui dengan ada rasa sakit yang muncul dibagian dada dan jika penyakit TB Paru semakin parah maka ketika terjadi batuk akan mengeluarkan darah (Nuraini, 2006). 3. Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TB Paru dengan basil tahan asam (BTA) Positif mycrobakterium ditularkan dari orang ke orang melalui jalan pernafasan walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang terbukti tidak ada satupun yang penting. Basilus tuberculosis disekret pernafasan membentuk nuklei droplet cairan yang dikeluarkan selama batuk bersin dan berbicara (Harrison, 2000). Penularan biasanya melalui inhalasi butiran (droplet) terinfeksi yang terbentuk karena penderita batuk atau bersin. (Robbins, 1999). Setiap kali seorang TB batuk, maka akan dikeluarkan 3000 droplet infektif (memiliki kemampuan menginfeksi). Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, bahkan dapat bertahan berhari-hari sampai berbulanbulan tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembapan partikel ini kemudian menempel pada jalan nafas atau paru (Danusantoso, 2000).
20
Tidak semua pasien TB Paru akan menularkan penyakitnya, pasien TB Paru yang dapat menularkan penyakitnya keorang lain adalah seorang pasien yang pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik ditemukan BTA sekurang-kurangnya 2 kali dari 3 kali pemeriksaan atau disebut BTA Positif. Seorang pasien TB yang pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis 3 kali tidak ditemukan BTA tetapi pada pemeriksaan radiologi ditemukan kelainan yang mengarah pada TB aktif maka disebut BTA Negatif, BTA Negatif yang telah diobati selama 2 minggu kecil kemungkinannya menularkan penyakitnya keorang lain. BTA Negatif diperkirakan akan menjadi BTA Positif dalam jangka 2 tahun bila tidak diobati (Depkes RI, 2000). Penularan TB Paru juga terjadi dilingkungan yang kumuh, kotor, dan penularan jika terjadi keadaan tubuhnya lemah, orang yang kurang gizi, kurang protein, kurang darah, dan kurang beristirahat. Mudah tertular juga jika penderita TB Paru membuang ludah dan dahaknya sembarangan sehingga dahak yang mengandung basil mengering (Nasedul, 1999). Mereka yang paling berisiko terpajan kebasil adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi (Corwin, 2000). 4. Diagnosa Tuberculosis Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan akurat, pemeriksaan mikroskopis merupakan teknologi diagnostik yang paling sesuai karena
21
mengindikasikan drajat penularan, resiko kematian serta prioritas pengobatan (Albert & Spiro, 2004). Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesemen SPS (Sewaktu, Pagi, Sewaktu) BTA positif bila hanya satu spesemen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut Rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS ulang. Kalau hasil Rontgen dada mendukung TB Paru maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif kalau hasil Rontgen dada tidak mendukung TB maka pemeriksaan dahak SPS diulang. Bila ketiga spesemen dahak hasilnya negatif diberi antibiotik spektrum luas misalnya kotrimoksasol atau amoksilin selama 1-2 mingggu, bila tidak ada perubahan ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif didiagnosa sebagai penderita TB BTA positif dan bila hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan Rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB BTA negatif Rontgen positif bila hasil Rontgen tidak mendukung TB maka penderita tersebut bukan TB (Depkes RI, 2000). Selain dengan SPS, diagnostik TB dapat pula dengan polymerase chain reaction (PCR), yakni teknik analisis DNA maupun RNA. Keunggulan PCR adalah daya lacak tinggi. Sehingga secara teoritis adanya satu basil TB dalam spesimen sudah dapat memberikan hasil yang positif. Waktu pelaksanaan lebih cepat, sekitar 5 jam, dibandingkan dengan kultur dahak. PCR dapat digunakan untuk untuk mendeteksi adanya resistensi obat anti TB secara cepat dibandingkan cara konvensional. Selain itu PCR dapat digunakan untuk menentukan strain M. tuberculosis dan epidemiologi melekuler (Kasper, et al. 2005).
22
ALUR DIAGNOSIS TUBERCULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA
T ersan g k a p en d erita T B C (S u sp ek T B P aru )
P erik sa D ah ak S ew ak tu , P ag i, S ew ak tu (S P S )
H asil B T A +++ + +-
H asil B T A +- -
H asil B T A --B eri A n tib io tik S p ek tru m L u as
P erik sa R o n tg en d ad a H asil m en d u k u n g TBC
H asil tid ak m en d u k u n g TBC
T id ak ad a p erb aik an
A da p erb aik an
U lan g i p erik sa d ah ak S P S
P en d erita T B C B T A P o sitif
H asil B T A +++ + ++ --
H asil B T A --P erik sa R o n tg en d ad a
H asil m en d u k u n g TBC TB BTA N eg atif R o n tg en P o sistif
Skema 2.1 Sumber: Depkes RI, (2000).
H asil R o n tg en n eg atif B u k an T B C P en y ak it lain
23
5. Pencegahan Tuberculosis Tindakan-tindakan kesehatan masyarakat ditujukan untuk menemukan sedini mungkin adanya kasus dan sumber infesi. Terapi pencegahan tuberculosis dengan obat anti microbal merupakan sarana yang efektif untuk mengawasi penyakit, ini merupakan tindakan preventif yang ditujukan baik untuk mereka yang sudah terinfeksi maupun masyarakat pada umumnya. Karena itu penduduk yang mempunyai resiko menderita tuberculosis harus dilakukan
prioritas
untuk
melakukan
program
pengobatan,
dengan
mempertimbangkan resiko terapi dan kepentingan individual (Price & Wilson, 1990). Pemberantasan tuberculosis berupa gabungan kemotherapy yang efektif, identifikasi sedini mungkin serta follow up dan kemotherapy pada golongan masyarakat yang mempunyai resiko tinggi (Rom & Garay, 2004). Menurut Utomo (2005) pencegahan tuberculosis dapat berupa: a. Memberi imunisasi pada bayi-bayi yang baru lahir dengan BCG, dan diulang pada umur 12 atau 16 bulan kemudian bila diperlukan. b. Memberikan imunisasi keluarga yang terdekat, bila pemeriksaan tes tuberculin negatif. c. Jangan minum susu sapi mentah, harus dimasak dahulu. d. Memberikan penerangan pada penderita untuk menutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah atau mengeluarkan dahak di sembarang tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau
24
bahan lain yang dianjurkan dan mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran. 6. Pengobatan Tuberculosis Paru a. Tujuan Pengobatan Dengan
strategi
DOTS,
maka
tujuan
pengobatan
yang
sesungguhnya dapat dipenuhi yaitu menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau timbulnya resistensi terhadap OAT dan memutuskan rantai penularan (Depkes RI, 2000). b. Jenis dan dosis obat anti tuberculosis paru Menurut Depkes RI (2000), TB harus diobati dengan kombinasi beberapa obat, untuk menghindari timbulnya resistansi. Ada lima pilihan obat yang biasanya dipakai di Indonesia. 1) Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan, obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10mg/kg BB. 2) Rifampisin (R) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid dosis 10mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
25
3) Pirasinamid (Z) Bersifat baktersid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dalam suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35mg/kg BB. 4) Streptomisin (S) Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. 5) Etambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB. c.
Prinsip Pengobatan Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap awal atau intensif penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap Rifampisin, bila pada tahap ini diberikan secara tepat penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif, sedang untuk tahap lanjutan penderita
26
mendapat obat dalam jangka waktu yang lebih lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2000). d. Panduan OAT di Indonesia Menurut Depkes RI (2000), program nasional penanggulangan TB Paru di Indonesia menggunakan panduan OAT panduan obat ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. 1) Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3) Obat tersebut diberikan selama 2 bulan (2HRZE) kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan Isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3) obat ini diberikan untuk penderita TB Paru BTA Positif, TB Paru Negatif Rontgen Positif yang sakit berat dan TB ekstra paru berat. 2) Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan dengan H,R,Z,E dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK dilanjutkan satu bulan dengan H,R,Z,E setiap hari. Tahap lanjutan selama 5 bulan dengan H,R,E 3 kali seminggu obat ini diberikan untuk penderita kambuh (Relaps), penderita gagal
(failure), dan
penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
27
3) Kategori 3 ( 2HRZ / 4 H3R3 ) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahapan lanjutan terdiri dari H,R selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3) obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif Rongten positif sakit ringan, penderita ekstra paru ringan. 4) OAT sisipan ( HRZE ) Bila pada akhir tahap intensif dan pengobatan dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. e.
Efek samping obat Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping oleh karena itu pemantauan efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping, menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT (Soeparman, 1994).
28
Tabel 2.1 Efek samping ringan dari OAT Efek amping Tidak ada nafsu makan, mual ,sakit perut Nyri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar dikaki Warna kemerahan pada air seni (urine)
Penyebab Rifampisin Pirasinamid INH Rifampisin
Penanganan Obat diminum malam sebelum tidur Beri Aspirin Beri vitamin B6 (PIRIDOXIN) perhari Tidak perlu diberi apa-apa tapi perlu penjelasan dengan penderita
Sumber : Depkes RI, (2000).
Tabel 2.2 Efek samping berat dari OAT Efek samping Gatal dan kemerahan kulit Tuli
Penyebab Semua jenis OAT Streptomisin
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Ikterus tanpa penyebab lain Bingung dan muntahmuntah (perluaan ikterus karena obat) Gangguan penglihatan Purpura dan renjatan (syok)
Hampir semua OAT Hampir semua OAT
Etambutol Rifampisin
Penatalaksanaan Ikut petunjuk pelaksanaan Streptomisin dihentikan ganti Etambutol Streptomisin dihentikan ganti Etambutol Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang Hentikan semua OAT segera lakukan tes fungsi hati Hentikan Etambutol Hentikan Rifampisin
Sumber : Depkes RI, (2000).
29
f. Hasil Pengobatan Menurut Crofton, Horne dan Miller (2002), hasil pengobatan dapat dikategorikan sebagai : 1) Sembuh Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan BTA negatif. 2) Meninggal Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun. 3) Defauled atau Drop out Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4) Gagal Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. g. DOTS (Directly Observed Treatment Short Couse) Menurut Depkes dan Kessos RI (2000), DOTS adalah nama untuk suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB Paru strategi ini terdiri dari lima komponen yaitu:
30
1) Dukungan politik para pimpinan wilayah disetiap jenjang sehingga program ini menjadi salah satu prioritas dan pendanapun tersedia. 2) Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB Paru melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan penemuan secara pasif. 3) Pengawas minum obat yaitu orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya sehingga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum obatnya diharapkan sembuh pada akhir masa pengobatan. 4) Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sehingga bagian dari sistem surverlans penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan. 5) Panduan obat anti TB Paru jangka pendek untuk keberhasilan pengobatan termasuk terjaminnya kelangsungan persediaan panduan obat ini
31
D. Kerangka Teori
Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam minum obat: 1.
Komunikasi
2.
Pengetahuan
3.
Fasilitas kesehatan
4.
Faktor penderita a. Sikap b.
Tingkat kepatuhan minum obat: a. Patuh b.
Tidak patuh
Keyakinan
5. Obat 6. 7.
Dukungan keluarga (PMO) Dukungan sosial
8. Du kungan petugas kesehatan Skema 2.2 Kerangka teori.
E. Kerangka Konsep Untuk menggambarkan hubungan variabel bebas dan variabel terikat maka disusun kerangka konsep sebagai berikut :
Peran Pengawas Minum Obat
Skema 2.3 Kerangka konsep.
Kepatuhan dalam Minum Obat 1. Patuh 2. Tidak Patuh
32
F. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Peran pengawas minum obat di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. 2. Variabel Terikat Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.
G. Hipotesis Berdasarkan tujuan dan rumusan masalah maka Hipotesis yang dapat dikemukakan adalah ada hubungan yang signifikan antara Peran Pengawas Minum Obat dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan.