Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
{mosimage}
Harits Abu Ulya,
Ketua Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia|
Berbeda dengan peristiwa bom Bali I dan II, penanganan terorisme kali ini berbuntut panjang. Polisi tidak hanya mencari para teroris tapi juga mencurigai aktivis-aktivis Islam. Malah polisi mengumumkan akan mengawasi seluruh aktivitas dakwah. Meski kemudian Kapolri mencoba meluruskannya, fakta di lapangan bicara lain. Aparat memang betul-betul mengawasi para dai dan ulama.
Mengapa ini bisa terjadi? Apakah ini terkait dengan kepentingan kelompok atau negara besar? Jangan-jangan rezim Orde Baru jilid II telah muncul. Untuk mengurainya, wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Ketua Lajnah DPP HTI Harits Abu Ulya. Berikut petikannya.
Ada yang menyebut peristiwa terorisme di Indonesia belakangan sarat rekayasa. Tanggapan Anda?
Kita harus tahu, ketika aparat intelijen sudah mengendus rencana serangan-serangan dan sudah mengamati secara cermat indikasi-indikasi yang mengarah terjadinya serangan tapi kemudian serangan itu terjadi, maka ini menjelaskan beberapa kemungkinan. Pertama, aparat keamanan kecolongan dan kedahuluan oleh pelaku “terorisme” dan usaha preventif sudah tidak relevan dan ini bisa menggambarkan lemahnya aparat intelijen atau semakin cerdasnya pelaku terorisme dengan modus-modus baru yang tidak diduga dan dihendus oleh pihak aparat. Kedua, atau ini bagian dari “operasi intelijen” dengan sekian banyak data dan indikasi adanya serangan tapi ada unsur kesengajaan “pembiaran” itu terjadi. Jangan lupa bahwa dengan membiarkan suatu serangan yang semestinya bisa di cegah maka ini juga bisa dikategorikan bagian dari “operasi intelijen”. Ada kepentingan yang akan menjadi ekor panjang dari “serangan” ini.
1/7
Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
Saya melihat, pasca peristiwa Bom Marriott II ada langkah yang begitu sistemik dan masif untuk memainkan “bandul terorisme” ini untuk menyerang eksistensi Islam dan kaum Muslimin. Lihatlah, pasca ledakan kemudian ditimpali statemen-statemen politik dari pejabat pemerintah yang sebagian besar pengamat menilai sebagai sikap “kekanak-kanakan” mencari empati untuk kepentingan pribadi, setelah itu dilanjutkan tragedi Jati Asih Bekasi, kemudian berlanjut “drama Temanggung”, berlanjut penangkapan para da'i dari Jama'ah Tabligh di sejumlah daerah dengan delik salah penggunaan visa. Kemudian yang paling anyar adalah upaya pengawasan atau monitoring terhadap aktifitas dakwah di bulan Ramadlan oleh Polri. Tidak cukup itu saja, sejak serangan Bom Marriott II sebagian minoritas orang dengan dukungan dana dan media mencoba membangun opini publik keterkaitan antara tindakan terorisme dengan gerakan Islam dan yang lebih spesifik yakni terkait dengan kelompok-kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai ideologi. Langkah-langkah itu sangat sistemik, maka kalau kita mengamati dengan teliti dari indikasi yang ada justru “rekayasa” pasca ledakan itu yang begitu sistemik berjalan dengan tujuan dan target tertentu. Islam kembali dibidik dan seluruh elemen yang mengusung Islam sebagai ideologi menjadi target dari operasi “rekayasa” ini. Dan senjata utama intelijen untuk keberhasilan operasinya adalah apa yang dinamakan The Mind Control. Kontrol terhadap opini publik. Sebab itu, intelijen selalu punya kekuasaan atas kantor berita atau media massa besar, baik cetak maupun elektronik.
Kapolri membantah mengawasi kegiatan dakwah, menurut Anda?
Bantahan ini tidak ada artinya jika tidak disertai bukti nyata di lapangan. Karena tindakan mempublikasi strategi polri terkait pengawasan memang dinilai tidak tepat karena akan merugikan institusi dan citra polri, apalagi masalah ini sangat sensitif. Tapi mau apa lagi, sudah terlanjur terungkap di media, ya jalan satu-satunya adalah bantahan dari pejabat tertinggi polri dengan harapan bisa meminimalisir opini yang bias menurut kepentingan polri.
Tapi kalau kita cermati statemen-statemen dari pejabat resmi instansi yang terkait, indikasi upaya pengawasan ini sudah berjalan bahkan memasukkan TNI dalam ranah ini dari tingkat Kodam hingga Koramil. Jadi maklum kalau ada salah seorang Pangdam dengan sangat provokatif dan ngawur menyatakan 'jika ada orang asing memakai sorban dan jubah serta berjenggot,laporkan saja ke pihak keamanan. Masyarakat harus peka terhadap hal-hal seperti ini”... Dan fakta di lapangan pengawasan oleh aparat pemerintahan di level terendah yakni kelurahan dan desa sudah berjalan, bahkan dari instansi lain juga meminta lurah atau kepala desa mendata ulang seluruh penduduknya.
Fakta yang tidak bisa dibantah adalah pernyataan resmi Menhan yang menegaskan meski aturan pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang belum ada, kerja sama antara TNI dan
2/7
Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
Polri telah berjalan baik terutama di jajaran Polda dan Pangdam ke bawah. Jadi, sudah berjalan. Bahkan upaya masif untuk melegalkan langkah-langkah kontra terorisme ini akan disiapkan payung undang-undangnya yakni Undang-undang Keamanan Negara yang akan diajukan dalam proses legislasi periode 2009-2014.
Apakah aparat bisa dikatakan over acting?
Ya kesannya begitu, mengingat apa yang dilakukan oleh Polri menangani kasus Bom Bali I & II bisa fokus pada pelakunya sekalipun menyisakan banyak pertanyaan apakah benar pelakunya murni orang lokal yaitu Amrozi cs, mengingat BOM yang meledak begitu dasyat. Sementara untuk kasus Marriott II polisi meningkatkan eskalasi perburuan dan pengamatan serta strategi-strategi penanganan kasus terorisme ini sampai masuk di ranah yang tidak semestinya. Ramadhan yang mulia dianggap sebagai momentum tumbuh dan suburnya terorisme, karena di bulan ini kaum Muslimin secara kuantitatif dan kualitatif akan lebih sering mendatangi masjid dan majelis-majelis taklim di mana para dai dan mubalighnya akan lebih sering bertatap muka dengan umat untuk mengintroduksikan nilai-nilai Islam. Tentu ini adalah prejudice, menangani masalah dengan menyuburkan masalah baru. Sebagian besar para ulama merasa tindakan ini jika berjalan sudah termasuk pelecehan dan tuduhan keji kepada para pengemban dakwah. Dan aparat seperti memakai kaca mata hitam tidak bisa lagi membedakan warna putih dan abu-abu, semua warnanya gelap, maksud saya ini terkait dengan mind side keliru yang tertanam dalam pikiran aparat
Apa ini bisa digolongkan sebagai bentuk teror baru aparat kepolisian kepada pengemban dakwah maupun masyarakat?
Ini intimidasi psikis dan sudah bisa di kategorikan sebagai bentuk teror, karena akan melahirkan suasana yang tidak nyaman bagi para pengemban dakwah dan masyarakat sebagai mad'u (obyek)-nya. Seolah-olah seperti penjahat saja, ketika menyampaikan kebenaran Islam di tengah-tengah umat. Diintai dan dicari celah-celah yang bisa menyeret mereka ke meja peradilan karena dianggap telah melakukan tindakan kriminal. Nah di sinilah menjadi persoalan yang sangat kritis. Kalau aparat itu awam terhadap Islam tentu dengan mudah menyimpulkan seorang dai adalah provokator misalkan ketika bicara dalam konteks amar makruf dan nahi mungkar terhadap penguasa dengan banyak menyingkap data serta bukti kedzaliman penguasa terhadap rakyatnya. Ingat tidak, bagaimana kasus di zaman rezim Orde Baru? Kinerja kepolisian dan intelijen di zaman fasisme Orde Baru Jenderal Soeharto. Ada kesamaan dengan masa pasca terjadinya pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok
3/7
Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
1984 yang banyak memasukkan ke dalam bui para dai/ustad hanya gara-gara khutbah di masjid yang sekadar dianggap mengandung SARA atau provokatif.
Apa dampak negatif dari tindakan over acting aparat tersebut?
Akan melahirkan disharmonisasi kehidupan sosial masyarakat, dari tingkat keluarga hingga lingkungan masyarakat. Masyarakat dihinggapi penyakit baru, saling curiga terhadap sesamanya, was-was bahkan bisa berujung saling memfitnah dan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab lain.
Sekarang orang tua bisa mencurigai anak-anak mereka yang shalih, ketika anak mereka rajin mengaji di masjid atau kelompok-kelompok pengajian. Kalau ngajinya di pesantren pun masih membuka ruang munculnya kecurigaan dan su'udzan terhadap pesantren hanya karena ada rasa kekhawatiran yang tidak semestinya. Intimidasi dan teror ini bisa melahirkan disintegrasi sosial.
Di lapangan sudah kejadian bagaimana masyarakat main hakim sendiri membakar dua rumah gubuk di kaki Gunung Salak Bogor hanya karena diduga menjadi tempat singgah teroris. Atau masyarakat diadu domba, seperti kasus penyerbuan orang sipil ke Masjid al Munawaroh Pamulang karena pandangan yang berseberangan dengan asumsi satu pihak memiliki pandangan yang radikal. Keadaan yang lebih serius sebenarnya adalah, mengendapkan rasa phobi kepada Islam dalam diri umat pemeluknya.
Bisakah ini menjadi bukti awal lahirnya tirani baru di Indonesia?
Ya...ini tirani di alam demokrasi yang mereka banggakan. Mengintimidasi masyarakat seperti negara-negara fasis-komunis memaksa rakyat untuk tunduk mengikuti seluruh kemauan dan skenario kepentingan penguasa. Bahkan mengabaikan prinsip-prinsip HAM dan hukum bagi warga negara, ketika mempersoalkan atribut-atribut Islam dan bahkan dengan logika dengkul saat menangani isu teroris cenderung dengan menggunakan pendekatan atribut simbolik spesifik yang sama sekali tidak mendasar.
4/7
Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
Praduga tidak bersalah juga tidak berlaku di sini. Untuk kasus terorisme aparat sudah menangkap kurang lebih 500 orang dan diduga sarat dengan pelanggaran HAM. Dan lebih serius ada upaya dibuatnya undang-undang keamanan negara yang mirip dengan ISA di Malaysia. Drafting sudah berjalan dan targetnya masuk dalam prolegnas (program legislasi nasional) DPR-RI periode 2009-2014, dan satu paket dengan undang-undang Intelijen dan undang-undang rahasia negara. Saat ini TNI juga ditarik masuk ranah non-peperangan, bukan lagi peran pertahanan secara proporsional. Dari tingkat Kodam hingga Koramil bersinergi dengan pihak polri terlibat menangani isu terorisme ini. Mereka berhadapan dengan masyarakat, bahkan wacana dihidupkannya desk antiteror TNI juga muncul dan digodok draftnya. Lantas apa bedanya dengan rezim Orde Baru yang membungkam setiap orang yang dianggap berlawanan secara politik dengan kepentingan penguasa? Maka masyarakat perlu waspada munculnya wajah-wajah baru yang totaliter atas nama undang-undang dan demokrasi.
Apakah ini merupakan bagian dari strategi global AS dan sekutunya dalam membangun pemahaman Islam versi penjajah? Karena AS-lah yang sangat berkepentingan dengan isu ini dan sudah menjadi mafhum Densus 88 itu didanai dan dilatih AS?
Menurut saya banyak relevansinya di lapangan untuk mengatakan iya! Inilah target yang sebenarnya yang saya lihat dari bandul isu terorisme kali ini. War on terorism dengan sutradaranya AS mendapatkan momentumnya lagi khususnya di Indonesia, untuk dijadikan pintu masuk (entry point) menawarkan Islam versi AS melalui penguasa-penguasa bonekanya. Alias deradikalisasi itu untuk deislamisasi. Dokumen The National Security Strategy of USA September 2006 memuat intisari konsep keamanan nasional AS yang menitik beratkan pada konsekuensi-konsekuensi kondisi internal negara-negara lain. Titik tekan yang dipandang sebagai akar masalah bagi AS pada negeri-negeri Muslim adalah kurangnya demokrasi. Kita bisa buka kembali dokumen RAND Corporation 2006 bertajuk Building Moderate Muslim Networks menyebutkan kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam didiskreditkan dalam pandangan mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka dan di hadapan kelompok yang diam-diam menjadi pendukungnya.
Islam moderat atau memoderatkan Muslim Indonesia sebagai sebuah tawaran solusi untuk membungkam perlawanan kaum Muslimin dan melanggengkan imperialisme mereka di bawah drama yang bertitel “terorisme”.
Strategi politik AS untuk menguasai Indonesia adalah dengan strategi menghidupkan kultur moderat yang kuat di negeri ini. Dengan cara inilah diharapkan akan muncul perlawanan
5/7
Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
terhadap Islam ideologis dan menguatkan dukungan terhadap berbagai kebijakan Amerika yang menunggangi jargon Demokrasi-HAM dll. Di Densus 88 juga ditanamkan sedemikian rupa, ketika mapping (pemetaan) ancaman baik dalam konteks global dan regional maka arahnya mengerucut kepada Islam pasca runtuhnya komunis, diperas lagi arahnya adalah kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi. Jadi stereotip sejak awal telah menempatkan Islam dan para pejuangnya menjadi bahaya bagi kepentingan negara-negara imperialis.
Bisakah dikatakan bahwa perang melawan teror adalah perang melawan Islam kaffah yang notabene bertentangan dengan ideologi kapitalisme yang tengah diterapkan AS saat ini dan terus dipaksakan di negeri-negeri Islam termasuk Indonesia?
Ya begitulah realitasnya, karena eksistensi hegemoni barat di dunia Islam bergantung kepada keberhasilan mencabut Islam kaffah dalam kehidupan umat Islam. Karena tegaknya Islam kaffah akan mengakhiri dominasi dan imperialisasi mereka, maka dari perspektif ini akan menjadi ancaman serius bagi AS dan negara-negara bonekanya jika umat Islam atau sebagian (kelompok) dari mereka bangkit dan mengusung perlawanan dengan mengusung Islam ideologi. Dan menjadi krusial penguasa-penguasa yang pro dengan arus kepentingan Barat akan berupaya membungkam semua instrumen yang dimiliki oleh kelompok-kelompok pengusung ideologi Islam. Cepat atau lambat media-medianya akan di bungkam dengan berbagai strategi hingga operatornya. Baik dengan cara yang totaliter atau dengan kedok undang-undang.
Siapa yang seharusnya melawan hegemoni tersebut dan dengan senjata apa?
Umat yang sadar, yang terdiri atas ulama, tokoh umat, aktifis, intelektual dan pelaku media yang telah terintegrasi secara total dengan Islam. Harus bergerak secara masif, kontinyu dan simultan dengan senjata yang paling dahsyat yaitu Islam ideologis. Tentu dengan berbagai strategi dan cara hingga batas maksimal kemampuan yang dimiliki. Membina umat, membongkar konspirasi yang merugikan Islam dan kaum Muslimin serta mendorong penguasa untuk sadar akan pentingnya hidup dalam naungan Islam. Hingga umat siap memberikan dukungannya untuk menciptakan perubahan yang fundamental mencabut semua bentuk imperialisme dan hegemoni dzalim bangsa yang menjajah negeri Islam dan kaum Muslimin. Semua bisa dilakukan tanpa kekerasan, tapi proses penyadaran.
6/7
Memoderatkan Muslim Indonesia Tuesday, 03 November 2009 22:43
Bagaimana agar tetap istiqamah mengingat perjuangan ini tidak mudah dan memakan waktu yang tidak singkat?
Pohon yang tumbuh tinggi menjulang, dengan batang yang kokoh, rindang dan lebat daun bunga serta buahnya tentu itu tumbuh di atas akar yang kokoh menghunjam dalam dan kuat ke perut bumi, akar yang bersih tidak ada debu dan kotoran yang menghambat dia menyerap energi dan unsur hara yang dibutuhkan pohon di atasnya. Demikian juga, perjuangan Islam sangat perlu para pengembannya menanamkan iman yang bersih dan kokoh. Menjaga niat, kaifiyat dan ghayah yang benar dan jernih serta mengkristal dalam diri kita. Itu semua adalah instrumen menjaga perjuangan ini tidak akan pernah padam. Karena hari ini adalah hari-hari ujian bagi pejuang Islam, terhadap apa yang diusung dan keteguhan mereka menanggung semua beban resikonya di hadapan orang-orang dzalim. Jika demi kepentingan umat, demi kepentingan Islam dan demi ridla Allah SWT pastilah para pejuang itu akan tegak berdiri laksana karang di tengah badai dan terjangan gelombang.[]
7/7