JAKSEL MENYAPA
Lie Detector
A
pa yang ada dalam benak Anda ketka membahas orang pajak? Mungkin semuanya akan setuju orang pajak sebagai simbol-simbol kecurangan dan penyelewengan. Mulai dari korupsi, gratifikasi, hingga pungutan-pungutan liar sering diidentikkan dengan kinerja orang pajak. Citra negatif para pegawai pajak yang marak menghiasi berbagai pemberitaan seperti menjadi gambaran generalisai seluruh sifat orang pajak. Apakah benar gambaran buruk ini? Meminjam istilah salah satu petinggi DJP yang pernah mengatakan kalau ada sistem yang bisa menjamin setiap pegawai untuk selalu berlaku secara berintegritas beliau memastikan bahwa sistem itu akan beliau beli berapa pun miliar harganya, Namun pertanyaan bagi kita semua, adakah sistem seperti itu? Hampir mustahil jawabannya. Ibaratnya mencari sistem yang mampu menentukan sikap integritas seseorang itu seperti mencoba mesin lie detector. Mesin yang sempat tenar sebagai penanda tingkat kebohongan para pelaku atau saksi dalam memberikan kesaksian membuat kita semua sempat takjub bahwa mesin itu mampu mengatasi masalah sikap moral seseorang. Namun, pertanyaan muncul lagi soal keakuratan mesin tersebut jika mesin tersebut hanya bekerja berdasarkan kegiatan -kegiatan fisiologis tubuh seperti detak jantung, tekanan darah, laju pernafasan hingga berbagai aktivitas fisiologis lainnya. Tentunya atas dasar ini, lie detector pun tak mampu menjawab kebenaran sikap seseorang dikala beragam indikasi fisiologis terbentur dengan kondisi tubuh manusia yang mampu dikondisikan. Begitu juga dengan kejadian DJP, buruknya moral pegawai pajak mengakibatkan banyak masyarakat mengidentikkannya dengan gagalnya reformasi perpajakan. Padahal yang perlu kita lihat dari kejadian ini ada banyak faktor lain yang mendasari beragam kegagalan moral tersebut. Pernahkah kita berfikir ke arah wajib pajak yang seharusnya juga layak kita salahkan terkait permasalahan yang dialami pegawai pajak. Mengapa wajib pajak yang masih ingin curang tak terlalu disorot dalam berbagai aktivitas penyelewengan pajak? Padahal mereka adalah pemicu utama. Tidak ada pegawai pajak yang nakal kalau semua wajib pajak mau jujur. Inilah hukum alamnya jika ada penawaran harus ada permintaan. Kasusnya mirip seperti ini. Kita sering terlalu menyalahkan moral pegawai pajak yang perlu dibenahi tetapi kita lupa siapa pemantik kegagalan moral tersebut. Seharusnya moral wajib pajak pun harus dibenahi. Inilah yang menjadi salah satu pembahasan utama dalam media Pandu Pajak edisi kali ini. Menyikapi siklus penawaran dan permintaan tersebut, Heru Narwanta, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta
Selatan memberikan beberapa pandangannya dalam Sumbang Suara. Beliau menelisik kasus ini dengan memperhatikan faktor ekonomi dan nonekonominya hingga membahas modus utama penyelewengan pajak selama ini yang memberi kita pemahaman bagaimana sebenarnya menyikapi perbaikan moral di tubuh DJP. Selain itu pada Pandu Utama akan diberikan pembahasan yang lebih mendetail mengenai pentingnya moral bagi pajak. Tulisan "Pajak dalam Perspektif Moralitas dan Budaya" oleh Widi Widodo memberikan kita bagaimana sebenarnya menyikapi pandangan pajak terkait moral dna budaya. Tentunya pembahasan yang dilakukan telah memberikan bebagai referensi dan kutipan yang akurat sehingga memberikan gambaran kupasan permasalahan yang lebih dalam. Selain itu, opini perpajakan terkait moral pegawai pajak juga menghiasi media Pandu Pajak kali ini. Kali ini Dr. Harry Azhar Azis, M.A., yang merupakan wakil ketua komisi XI DPR RI, memberikan pandangannya terkait pentingnya moral wajib pajak. Beliau mengupas bagaimana wajib pajak seharusnya bersikap dengan sistem perpajakan Indonesia saat ini. Selain itu beliau juga membahas mengenai tingkat kepatuhan dan kesukarelaan wajib pajak yang masih rendah dalam membayar pajak. Semua ulasan ini akan dibahas dalam kolom opini. Pada kolom edu pajak akan dijelaskan mengenai prosedur pengaduan mengenai tindak KKN dan penyelahgunaan wewenang yang dilakukan oleh petugas pajak. Berbagai saluran pengaduan yang memudahkan wajib pajak untuk melaporkan berbagai tindakan penyelewengan akan dibahas secara terperinci sehingga mampu mengatasi tindakan menyimpang yang dilakukan oleh petugas pajak dalam berinteraksi dengan wajib pajak. Pada sesi akhir seperti biasa tetap akan ada berbagai hasil jepretan lensa hasil berbagai kegiatan di Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Selatan. Mulai dari sosialisasi kepada para guru hingga mahasiswa menghiasi kolom sorot lensa. Selain itu terdapat juga hasil jepretan foto kegiatan Penghargaan Kinerja Pegawai di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Selatan sebagai perwujudan sebuah kompetisi yang positif dalam bekerja. Selamat membaca media Pandu Pajak. Semoga dengan memberikan pandangan baru dalam pembenahan moral di edisi ini mampu membuat kita semua sadar bahwa pembenahan moral adalah masalah kita bersama baik petugas pajak dan wajib pajak. •(pp) Redaksi menerima tulisan Saudara, baik opini, artikel maupun pendapat. Silakan mengirimkan ke
[email protected]
Pembina: Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan • Pengarah: Kepala Bidang P2Humas • Dewan Redaksi: Kasi Penyuluhan, Kasi Pelayanan, Kasi Humas • Redaktur Berita: Dedy Antropov, Aris Hidayat Kurniawan, Ade Firmansyah, Hardison • Redaktur Foto: Eko Cayo Putranto, Mahyudin • Tim Layout: Syahrul Yani, Firmania Ayu Ambari • Sekretariat: Fera Fanda • Alamat Redaksi: Bidang P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Selatan Gedung Utama KPDJP Lantai 24 Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42 Jakarta Selatan 12190 • email:
[email protected].
OPINI
P
embahasan terkait moral wajib pajak tentu menjadi suatu hal menarik pada akhir-akhir ini. Bisa dikatakan pada saat ini tingkat moral wajib pajak di Indonesia belum tumbuh dari motivasi individu melainkan paksaan dari faktor eksternal, yaitu besarnya denda pajak. Semakin besar denda pajak maka akan mengurangi motivasi seseorang untuk membayar pajak. Namun, masyarakat Indonesia tetap termotivasi untuk membayar pajak karena merasa berat untuk membayar denda pajak. Pada sisi ini, tingkat moral pajak menentukan tingkat kepatuhan seseorang terhadap peraturan perpajakan. Faktor kepercayaan terhadap sistem hukum dan perpajakan sangat berperan penting dalam meningkatkan moral perpajakan wajib pajak. Moral perpajakan merupakan determinan kunci yang dapat menjelaskan mengapa orang jujur dalam masalah perpajakan. Moral perpajakan inilah yang akan membawa masyarakat untuk patuh pajak dimana masyarakat memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan wajib pajak di Indonesia adalah kepatuhan yang dipaksakan yang disebabkan oleh adanya kemungkinan pemeriksaan pajak dan ancaman denda yang tinggi dan belum pada tahap kepatuhan perpajakan secara sukarela. Moral perpajakan merupakan motivasi internal masyarakat untuk mematuhi dan membayar pajak sehingga seharusnya menjadi fokus utama dalam penentuan kebijakan otoritas pajak. Atas dasar tersebut, pemerintah perlu menyusun suatu kebijakan yang efektif dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi mengingat masih belum optimalnya penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dari pajak orang pribadi. Sistem perpajakan di Indonesia yang saat ini menganut self asssesment system memperkenankan setiap orang pribadi untuk menghitung, melaporkan, menyetorkan, dan mempertanggungjawabkan besarnya pajak yang terutang sendiri ke otoritas perpajakan. Self assessment system akan berhasil jika terdapat kesadaran dan kejujuran
Pentingnya Moral Wajib Pajak Oleh : Dr. Harry Azhar Azis, MA Wakil Ketua Komisi XI DPR RI 2009 - 2015
setiap orang. Sehingga pada sisi ini diperlukan peran pemerintah yang lebih aktif. Pemerintah perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dalam menyusun kebijakan yang efektif dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kejujuran wajib pajak. Jika setiap orang mempersepsikan bahwa negara bisa dipercaya maka tingkat kepercayaan wajib pajak akan meningkat, demikian juga dengan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Oleh karena itu, hubungan baik antara wajib pajak dengan negara harus senantiasa dipelihara dengan tindakan-tindakan positif, lembaga negara yang berfungsi dengan baik, dan atmosfer sosial yang positif. Kepercayaan setiap orang terhadap pemerintah menunjukkan tingkat kepatuhan wajib pajak yang lebih tinggi dibandingkan warga negara yang tidak
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
percaya dengan pemerintah. Dengan demikian, kepercayaan orang per orang mempengaruhi dorongan warga negara untuk berkomitmen dan patuh dengan peraturan. Ketidakpatuhan seseorang juga akan mempengaruhi ketidakpatuhan individu lainnya karena persepsi mengenai ketidakpatuhan akan menimbulkan perilaku oportunistik. Tindakan penggelapan pajak yang dilakukan individu, akan merusak tax morale individu lainnya. Wajib pajak yang semula telah taat pajak akan mempunyai pemikiran oportunistik, yaitu untuk melakukan penggelapan pajak. Penularan sifat inilah yang seharusnya mampu dicegah sehingga setiap warga negara sadar untuk membayar pajaknya dan tidak melakukan tindakantindakan amoral seperti menyuap pegawai pajak. •(pp)
JUNII 2013
3
PANDU UTAMA
Pajak dalam Perspektif Moralitas dan Budaya Oleh: Widi Widodo "Semakin tinggi kepercayaan warga negara kepada pemerintah, pengadilan dan sistem hukum, semakin tinggi motivasi intrinsik Wajib Pajak untuk mematuhi dan menerapkan Moralitas Pajak". (Beno Torgler, Tax Morale and Institution, 2003)
M
usyawarah Nasional dan Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Kempek Palimanan, Cirebon (17/9/2012) menghasilkan rekomendasi, antara lain menyangkut perlu nya keseriusan pemberantasan korupsi dan dukungan untuk memberikan ancaman hukuman mati bagi para koruptor. Pada kesempatan itu NU juga menyatakan akan memboikot pemungutan pajak apabila pajak terus dikorupsi oleh aparatur pajak. Apabila pajak digunakan untuk kepentingan rakyat dan ada upaya perbaikan untuk menu-
4
tup kebocoran penerimaan pajak maka NU akan mendukung pemerintah. Dinyatakan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj bahwa kewajiban membayar pajak itu tidak ada dalam syariat islam, yang ada adalah kewajiban membayar zakat yang hukumnya wajib. Namun, umat Islam harus membayar pajak karena harus taat kepada pemerintah, pemungutan pajak diperbolehkan sepanjang untuk membangun negara. Sangat menarik bahwa Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan ormas Islam terbesar di tanah air tertarik dan peduli atas peranan pemungutan pajak
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
untuk pembiayaan negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pajak demikian vitalnya untuk pembangunan negara, dimana tidak kurang dari 75% APBN kita dibiayai dari penerimaan pajak. Untuk itu kita sependapat bahwa uang pajak harus diawasi bukan saja dari proses pemungutannya tapi juga dalam hal penggunaannya. Konstruksi berfikir kita akan menjadi kurang tepat apabila ancaman moratorium pemungutan pajak tersebut hanya dikaitkan pada ketidakpercayaan kita pada otoritas pajak. Apakah jika otoritas pajak mampu memperbaiki sistem dan mengeliminasi kebocoran pajak maka secara otomatis masyarakat akan terdorong untuk menjadi patuh terhadap pajak? Apakah otoritas pajak merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan Wajib Pajak untuk patuh atau tidak patuh terhadap pajak? Bagaimana dengan akuntabilitas penggunaan uang pajak oleh instansi pemerintah yang lain? Apakah Wajib Pajak tidak perlu kritis terhadap hal tersebut? Bagaimana dengan persepsi masyarakat terhadap sistem hukum secara umum dan tingkat kepercayaan nya terhadap pemerintah? Lantas, pertanyaan yang cukup
JUNI 2013
PANDU UTAMA mendasar adalah sebagian dari kita beranggapan seolah-olah keputusan seseorang menjadi patuh atau tidak patuh terhadap pajak sepenuhnya bergantung pada faktor diluar pribadi Wajib Pajak itu sendiri. Bagaimana dengan faktor moral dari Wajib pajak itu sendiri? Bagaimana peranan lingkungan sosial dan budaya dalam mendorong Kepatuhan Pajak? Secara lebih lanjut saya akan mengulas faktorfaktor yang membentuk Kepatuhan Pajak. Menurut Andreoni, Erard and Feinstein (1998) faktor moral dan dinamika sosial dalam kaitannya pada model Kepatuhan Pajak merupakan area yang belum terjamah dalam penelitian. Sedangkan Budaya Pajak merupakan variabel lain yang mampu menjelaskan Kepatuhan Pajak. Kedua variabel tersebut (baik moralitas maupun Budaya Pajak) dapat menjadi faktor yang berperan dalam pembentukan Kepatuhan Pajak. Moralitas Pajak dideskripsikan melalui delapan indikator yaitu faktor 1) Partisipasi Warga Negara, 2) Tingkat Kepercayaan, 3) Otonomi Daerah dan Desentralisasi , 4) Kebanggaan , 5) Aspek Demografis, 6) Kondisi Ekonomi, 7) Aspek Pengelakan Pajak, dan 8) Sistem Perpajakan. Sedangkan Budaya Pajak dideskripsikan melalui tiga indikator yaitu 1) Hubungan antara Aparatur Pajak dengan Wajib Pajak, 2) Peraturan Perpajakan, dan 3) Budaya Nasional. Hasil riset yang saya lakukan di Indonesia pada tahun 2009 menunjukan bahwa faktor pembentuk Moralitas Pajak yang paling dominan adalah faktor demografis dimana tingkat pendidikan Wajib Pajak sangat besar peranannya untuk menentukan kepatuhannya terhadap pajak. Indikator demografis yang lain misalnya, tingkat pendapatan, gender, status pernikahan dan agama, ternyata tidak begitu dominan dalam menentukan moralitas seseorang untuk patuh terhadap pajak. Faktor terkecil peranannya dalam membentuk Moralitas
Pajak adalah deterrence factors, antara lain adanya penerapan sanksi perpajakan dan pungutan liar (pungli). Fenomena ini sangat menarik dan patut dicermati lebih lanjut, apakah Wajib Pajak mempersepsikan bahwa sanksi perpajakan sebagai faktor yang dapat diabaikan dan adanya kolusi dan korupsi sebagai sesuatu yang bisa diterima? Kalau memang benar, maka hal ini dapat menjelaskan bahwa korupsi pajak tidak lepas dari kuatnya dorongan Wajib Pajak untuk membayar pajak sekecil-kecilnya dengan cara
(IMAGE REPRO:www.siputro.com)
apapun, sekalipun itu ilegal. Dengan kata lain, adanya kejadian kasus korupsi pajak (baca: kasus penyuapan terhadap aparat pajak) bukan saja menjelaskan moral perilaku dari aparat pajak, tetapi juga sekaligus menjelaskan moral perilaku dari Wajib Pajak juga. Untuk itu, pencegahan kebocoran penerimaan pajak pada otoritas pajak tidak cukup dengan perbaikan sistem dan pengawasan yang efektif tetapi juga sekaligus dengan melakukan edukasi terhadap Wajib Pajak agar mau membayar pajak dengan baik dan benar. Hal ini bukan semata tanggung jawab otoritas pajak tapi perlu keteladanan semua pihak. Selain itu perlu law enforcement
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
yang lebih tegas terhadap wajib Pajak yang tidak patuh antara lain dengan cara memberikan kewenangan yang lebih mudah kepada otoritas pajak dalam mengakses data perbankan dan memiliki kewenangan menangkap pelaku kejahatan pajak. Artinya, sistem perpajakan perlu diawasi dengan baik tapi sekaligus diberikan kewenangan yang lebih baik juga. Masalahnya mau tidak pengambil kebijakan di negeri tercinta ini melakukan terobosan tersebut? Sebagian dari kita mudah untuk menilai bahwa integritas aparatur pajak mudah tercederai, tapi bagaimana dengan Wajib Pajak nya sendiri? Sikap kritis terhadap kinerja aparatur pajak memang penting, namun kritik yang tidak proporsional dapat bermakna sebagai upaya mendelegitimasi kewenangan otoritas pajak. Siapakah yang punya kepentingan untuk mendelegitimasi kewenangan otoritas pajak? Tidak lain adalah para pengemplang pajak. Mestinya penegakan hukum di bidang perpajakan harus diarahkan pada kedua sasaran yaitu kepada aparatur pajak dan kepada Wajib Pajak, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan Kepatuhan Pajak. Upaya penegakan hukum yang adil, konsiten dan tegas akan mendorong tercapainya tatanan norma sosial yang lebih baik. Contoh menarik dari pene-litian tentang Kepatuhan Pajak dapat dikaji dari jurnal yang ditulis oleh Ronald G. Cummings, Jorge Martinez-Vanquez, Michael McKee, Benno Torgler, Effect of Culture on Tax Compliance: A Cross Check of Experimental and Survei Evidence (2004). Penelitian dilakukan di dua negara di Afrika, yaitu Botswana dan Afrika Selatan. Kedua negara tersebut bertetangga, namun memiliki latar belakang historis yang berbeda. Analisis terhadap faktor Moralitas Pajak yang bersumber dari persepsi terhadap pemerintah memberikan hasil bahwa anggapan terhadap pemerintahan yang bersih dan adil lebih tinggi diberikan pada negara Botswana, oleh sebab itu hal
JUNI 2013
5
PANDU UTAMA ini sejalan dengan tingginya tingkat kepatuhan dalam penyampaian SPT (Surat Pelaporan pajak) di negara tersebut. Dengan menggunakan penelitian sejenis dengan variabel yang terikat (controlled), penelitian Cummings, Martinez, McKee dan Torgler tersebut mengkonfirmasi bahwa perbedaan perilaku pajak ini dapat dijelaskan dengan norma sosial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perbedaan dalam perilaku kepatuhan Wajib Pajak adalah hasil dari perbedaan dalam norma sosial. Terkait upaya penegakan hukum perpajakan dalam hubungan nya dengan konsep kepatuhan sukarela maka kita harus pahami bahwa Self assessment systembukanlah sebuah voluntary system, dimana diasumsikan bahwa Wajib Pajak akan dengan sukarela mematuhinya walaupun hal itu secara ekonomis merugikannya. Anggapan itu sungguh salah, logikanya Wajib Pajak akan berupaya membayar pajak sekecil-kecilnya. Oleh karena itu peraturan pajak harus dibuat dengan memperhatikan ketentuanketentuan yang dapat "memaksa" Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan benar, yaitu dengan memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menguji kebenaran isi SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Di sinilah pentingnya prinsip keseimbangan atau proporsionalitas, dimana Wajib Pajak juga mendapatkan sesuatu dari apa yang dibayarkannya berupa hak untuk mendapatkan barang dan jasa publik secara layak. Selanjutnya bagaimana faktor Budaya Pajak dapat menjelaskan tentang Kepatuhan Pajak di Indonesia? Hasil riset yang saya lakukan di atas, memberikan hasil bahwa Budaya Pajak memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan Moralitas Pajak dalam mempengaruhi Kepatuhan Pajak. Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan di Jepang namun dengan makna yang jauh berbeda. Secara
6
sederhana dapat dijelaskan bahwa apabila di Jepang ada Wajib Pajak yang Moralitas Pajak nya rendah, namun karena begitu kuatnya nilai Budaya Pajak di sekitarnya maka orang tersebut akan menjadi lebih patuh terhadap pajak. Sebaliknya di Indonesia, apabila ada seseorang yang memiliki Moralitas Pajak yang tinggi namun karena disekitarnya nilai Budaya Pajak nya begitu rendah, maka orang tersebut akan terdorong untuk tidak patuh terhadap pajak. Disinilah eksistensi negara begitu penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang baik, melakukan diseminasi ketentuan perpajakan dan melakukan penegakan hukum yang tegas. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa faktor peraturan perpajakan memberikan kontribusi terbesar kepada Budaya Pajak dalam mempengaruhi Kepatuhan Pajak. Sedangkan hubungan antara Wajib Pajak dan aparatur pajak serta budaya nasional merupakan sub variabel Budaya Pajak yang memberikan kontribusi terkecil dalam membentuk Kepatuhan Pajak. Hasil Penelitian terhadap Budaya Pajak di Indonesia memperlihatkan bahwa aspek peraturan perpajakan yang dinilai lebih dominan adalah publikasi yang dilakukan kantor pajak, dari aspek hubungan antara aparatur pajak dan Wajib Pajak faktor dominan yang membentuk motivasi membayar pajak adalah keramahan petugas pajak,
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
sedangkan dari aspek Budaya Nasional yang lebih dominan memotivasi membayar pajak adalah faktor kesadaran dan melaporkan pajak dengan benar. Faktor-faktor pembentuk Budaya Pajak tersebut menjadi hal yang kemudian harus diperhatikan dalam menyusun kebijakan perpajakan di masa yang akan datang sehingga permasalahan mengenai rendahnya kepatuhan plaksanaan pemungutan pajak tidak akan menjadi masalah yang terus-menerus hadir dalam sistem perpajakan kita. Dalam hal Kepatuhan Pajak, riset tersebut menunjukan hasil bahwa Kepatuhan Pajak lebih banyak dibentuk oleh kepatuhan formal semata (patuh untuk menyetor dan melapor pajak tepat waktu), dibanding dengan kepatuhan material (kepatuhan untuk menyetor dan melaporkan pajak dengan jumlah yang benar). Dari uraian di atas maka dapat disampaikan bahwa efektivitas pemungutan pajak bukan hanya tanggung jawab otoritas pajak semata, banyak aspek yang menjadi faktor penentu yang bukan merupakan domain dari otoritas pajak. Mendorong Moralitas Pajak warga negara dan menanamkan Budaya Pajak yang tinggi tidak bisa hanya dengan penyempurnaan sistem perpajakan, namun lebih dari itu, diperlukan keteladanan, kemauan yang keras dari negara dan seluruh elemen masyarakat dalam mencapai tujuan tersebut. Kita memang perlu mengawasi dan mengkritisi otoritas pajak kita, tetapi penegakan hukum yang tegas kepada Wajib Pajak juga merupakan upaya yang sama pentingnya. Sistem perpajakan kita memang belum sempurna, penyimpangan masih mungkin terjadi, namun ancaman memboikot pajak sungguh tidak diperlukan, karena dampak dari penggelapan pajak akan sama buruknya dengan korupsi itu sendiri. •(Widi Widodo, Bandung)
JUNI 2013
SUMBANG SUARA
Heru Narwanta, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Mampang Prapatan
Benahi Pajak Harus Bareng-bareng Dalam beberapa hari terakhir bisa dikatakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang disibukkan dengan sinisme yang muncul dari masyarakat terkait permasalahan ulah oknum pegawainya. Permasalahan yang dihadapi ini semakin memberikan pencitraan negatif bagi sisi reformasi birokrasi yang terus dihembuskan oleh DJP.
B
anyak anggapan dengan tertangkaptangannya beberapa petugas pajak tersebutmenunjukkan bahwa harus ada pembenahan moral bagi pegawai pajak. Benarkah pendapat ini. Kali ini Redaksi Pandu Pajak akan mengupas pembenahan moral pegawai pajak dengan Heru Narwanta yang merupakan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Mampang Prapatan. Sosok yang terkenal memiliki berbagai terobosan dalam kepemimpinannya ini berkenan membagikan pan-
dangannya terkait berbagai masalah yang sedang dihadapi DJP tersebut. Bagaimana Bapak memandang kejadian tertangkaptangannya beberapa pegawai pajak dalam beberapa hari terakhir? Sebenarnya kasus-kasus kecurangan pajak, adalah hal yang mungkin terjadi pada administrasi perpajakan di Negara manapun di dunia ini. Filsuf terkenal, Plato, yang hidup ribuan tahun lalu menyebut: "When there is an income tax, the just man will pay more and the unjust less on the same amount of in-
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
come". Jadi, orang curang dalam berpajak itu sudah ada sejak dulu. Oleh karena itu, pada saat pemerintah merancang undang-undang, pemerintah sendiri pun sebenarnya sudah sadar bahwa akan ada peluang terjadinya penyimpangan pajak. Maka, di dalam undang-undang perpajakan terdapat pasal yang mengatur mengenai penyimpangan pajak, mengenai sanksi pidana bagi wajib pajak dan pegawai pajak. Ruang untuk penyelewengan pajak ini ada walapun tentunya juga ada yang patuh membayar pajak. Menurut Bapak bagaimana penyelewengan pajak tersebut terjadi? Secara garis besar kecurangan pajak ada dua cara, ada yang dilakukan wajib pajak secara mandiri dan ada yang dilakukan dengan melibatkan petugas pajak. Pada sistem perpajakan
JUNI 2013
7
“
SUMBANG SUARA Self Assessment, peluang terjadinya kecurangan memang selalu ada, karena Negara member kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melapor sendiri kewajiban pajaknya. Oleh karena itu penting diberikan pemahaman kepada wajib pajak bahwa terlepas kecurangan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri secara mandiri maupun melibatkan oknum pajak, tetap saja tanggung jawab terbesar kesalahan adalah pada wajib pajak. Karena ketika ada kecurangan, berarti ada kecurangan data, atau kecurangan pembayaran atau kecurangan pelaporan, itu semua area wajib pajak. Sejauh yang saya baca pada hasil penelitian-penelitian tentang kecurangan pajak, sebagian besar inisiasi kecurangan ada pada wajib pajak. Tingkat kecurangan meningkat ketika ditemukan oknum pajak yang mau diajak memuluskan kecurangan. Kalau ada kecurangn pajak yang dilakukan oleh oknum pajak tanpa melibatkan wajib pajak, itu namanya korupsi. Menurut Bapak apa penyebab utama kecurangan dan penyelewengan tersebut? Penyelewengan pajak itu cenderung akan selalu ada karena melibatkan uang. Bagi sisi wajib pajak membayar pajak itu kan mengurangi uang, mengurangi kemampuan ekonomi dari wajib pajak. Jadi, sedapat mungkin orang akan mencari cara membayar pajak serendah-rendahnya. Ada survey oleh majalah Intisari, tentang kejujuran pajak orang Singapura yang selama ini dikenal kejujurannya tinggi. Responden menyampaikan kalau saja mereka mempunyai peluang untuk curang, maka mereka sebenarnya tidak ingin jujur membayar pajak. Kalau bisa curang mereka pun ingin curang tapi karena takut ketahuan dan tingginya sanksi, maka mereka memilih untuk jujur. Jadi pada dasarnya kejujuran membayar pajak yang ada di Singapura sekalipun itu terkondisikan karena telah adanya sistem yang baik. Bagaimana membuat seluruh wajib pajak untuk jujur membayar pajak
8
Sejauh yang saya baca pada hasil penelitian-penelitian tentang kecurangan pajak, sebagian besar iniasiasi kecurangan ada pada wajib pajak
sehingga meminimalisir pegawai pajak yang curang? Pendekatan yang bisa dilakukan bisa secara ekonomi dan nonekonomi. Secara pendekatan ekonomi kita lakukan dengan menghitung antara kemampuan mendeteksi kecurangan dan besaran denda kecurangan. Ke depan kita harus meningkatkan kemampuan institusi kita dalam mendeteksi kecurangan. Maksudnya, rasio deteksi atau peluang terdeteksinya setiap terjadi kecurangan harus makin besar, sehingga wajib pajak menjadi tidak tertarik untuk curang. Selain itu, semakin tinggi sanksi juga membuat orang enggan untuk melakukan kecurangan. Kalau dalam bahasa ekonominya probability to detect dan fine harus ditingkatkan. Secara teori ekonomi, kemampuan mendeteksi yang rendah mengakibatkan kecurangan semakin tinggi. Sanksi yang rendah juga mendorong kecurangan yang lebih tinggi. Ini sesuai dengan teori ekonomi kriminalitas. Kalau secara nonekonomi ada beberapa faktor. Antara lain moral. Kalau persepsi moral setiap orang terhadap pajak bagus maka tidak ada wajib pajak yang melakukan kecurangan. Tentunya ini sesuai harapan kita dan jumlah wajib
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
pajak kategori ini ada namun jumlahnya tidak banyak. Lapangan usaha juga berpengaruh. Misalnya kita bisa membandingkan kepatuhan pajak antara seorang yang bekerja sebagai karyawan dengan yang memiliki usaha sendiri atau pekerjaan bebas tentu tingkat kepatuhannya kan beda. Faktor sosial juga mempengaruhi. Hal ini dipengaruhi oleh kecenderungan lingkungannya. Misalnya, jika lingkungan sosialnya banyak yang curang maka kemungkinan melakukan kecurangan juga semakin besar. Selain itu persepsi terhadap politikus juga mempengaruhi. semakin orang percaya kepada politikus maka orang tersebut cenderung akan semakin patuh dalam membayar pajak. Sama seperti keyakinan orang akan pemerintah. Semakin yakin dengan pemerintah maka tingkat membayar pajak semakin tinggi. Selain itu faktor demografi seperti umur dan jenis kelamin juga berpengaruh untuk berani atau tidak melakukan penyelewengan pajak. Yang saya ungkapkan ini mengutip hasil penelitian akademis tentang kecurangan pajak di beberapa Negara. Menurut Bapak, bagaimana cara membenahi permasalahan pajak ini? Ingin membenahi pajak itu harus bareng-bareng. Dimulai dengan membenahi faktor ekonominya lewat penerapan sanksi yang kuat dan pengawasan yang baik. Selain itu tentunya juga harus ada perbaikan dalam faktor nonekonominya seperti harus ada penjelasan yang baik dan benar terkait penggunaan uang pajak kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi paham dan mengerti akan dikemanakan dana pajaknya. Jadi masalah pajak ini sebenarnya adalah masalah bersama bukan hanya DJP saja. Peran DJP hanyalah layaknya eksekutor semata, petugas administrasi yang mengurusi pajak. Hal yang terpenting adalah harus ada kejelasan peran pajak baik dari unsur pengumpulannya dan penggunaannya. Lewat cara ini moral untuk membayar pajak itu baru bisa dibangun sehingga masyarakat menjadi tertarik untuk membayar pajak. •(pp) JUNI 2013
EDU PAJAK
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
JUNI 2013
9
EDU PAJAK
10
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
JUNI 2013
SOROT LENSA
Program Penghargaan Kinerja Pegawai kanwil DJP Jakarta Selatan untuk Meningkatkan Budaya Berkompetisi Secara Positif
Endaryono, Kabid P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Selatan Menjelaskan Pentingnya Peran Guru dalam Perpajakan
Dua Ratus Mahasiswa yang Menghadiri Acara Tax Goes To Campus
Seluruh Peserta Workshop Pendidikan Pajak Untuk kemakmuran Rakyat Berfoto Bersama
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
JUNI 2013
11
KPP Madya Jakarta Selatan Jalan Ridwan Rais No. 5A-7, Gambir, Jakarta Pusat 10110, Telp: 021-3447971, 3447972, 3504170. Fax: 021-3447971 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Dua Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga Jalan Raya Pasar Minggu No. 11, Pancoran, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-7993028-7992961, Fax: 021-7994253 • KPP Tebet Jalan Tebet Raya No. 9, Jakarta Selatan, Telp: 021-8296869,8296937, Fax: 021-8296901 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu Gedung Patra Jasa Lantai 1 & 14, Jalan Jend. Gatot Subroto-Jakarta, Telp: 021-52920983, 52921276, Fax: 021-52921274 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua Jalan Ciputat Raya No. 2 Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310, Telp: 021-75818842,75908704, Fax: 021-75818874 •KPP Kebayoran Baru Tiga Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 14 A, Jakarta Selatan 12130, Tel: 021-7245735,7245785, Fax: 021-7246627 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama Jalan Ciledug Raya No. 65, Jakarta Selatan 12250, Telp: 021-5843105-5843109, Fax: 021-5860786 •KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan Jalan Raya Pasar Minggu No. 1, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-79191232 /7949574-5/7990020, Fax: 021-7949575 •KPP Pratama Jakarta Pancoran Jalan T.B. Simatupang Kav. 5 Kebagusan, Jakarta Selatan 12520, Telp: 021-7804462, 7804667, 7804451. Fax: 021-7804862 •KPP Pratama Jakarta Cilandak Jalan T.B. Simatupang Kav. 32, Jakarta Selatan 12560, Telp: 021-78843521-23, Fax: 021-78836258 •KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu Jalan T.B. Simatupang Kav. 39, Jakarta Selatan 12510, Telp: 021-7816131-4 /78842674, Fax: 021-78842440.