eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (1): 17-26 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
PENANGANAN KASUS TERORISME DI INDONESIA TAHUN 2002 – 2006 EMA HAJARYAH NUR1 NIM. 0902045255
Abstract
During the years 2002 – 2006 in Indonesia has frequents act of terrorism crimes in various region. This action demanded the Indonesian government to take measures to fight the crime of terrorism, and also this terrorism known as an extraordinary crime. Terrorism act’s occurred in Indonesia raising the concern of the international community to combat investigate and searching the perpetrators. The United Nation (UN) has issued two resolutions number 1438 of 2002 whies is strongly condemn the bombings in Bali and deeply sympathy to the people and Indonesian government, while the other resolution number 1373 of 2002 in contains some voices to collaborate and supported the Indonesian government to capture and uncover all the actors associated with the event process by court. By multiple occurrences of terrorism in Indonesia, all countries provide some intention and concrete’s supporting to counter the terrorism, while the uncover case processed of investigation to arrest the perpetrators to trial. The reality, there’s a red line between local terrorism and international terrorism network. This case raises our awareness and confident to fight the terrorism whies is required a comprehensive ways to work well in cross – sectoral and cross country. It is necessary for a national strategy for war on terrorism. Keywords: Terrorism, Indonesia Pendahuluan Peristiwa yang terjadi di Legian Bali pada tahun 12 Oktober 2002 memakan korban baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing yang menewaskan kurang lebih 184 orang dan ratusan orang mengalami luka berat dan ringan dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan lain-lain. Pada saat bersamaan terjadi juga peledakan di depan kantor konsulat Jendral Filipina di Manado, juga di konsulat AS di Renon, Bali. Aksi terorisme di Legian Bali menimbulkan dampak yang cukup besar bagi Indonesia maupun bagi dunia internasional. Beberapa negara mengutuk aksi terorisme sebagai perbuatan keji dan tidak berprikemanusiaan. Dampak langsung yang dirasakan dari kejadian itu adalah beberapa negara melarang warga negaranya untuk berpergian ke Indonesia seperti Australia, Amerika, dan sejumlah negara di Eropa sehingga banyak yang membatalkan jadwal penerbangan ke Indonesia. Peristiwa Bom Bali juga
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 17-26
memberikan dampak terhadap crash Bursa Efek Jakarta (BEJ) Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) langsung mengalami penurunan 10,4 persen, obral besar saham – saham unggulan menyebabkan IHSG mengalami penurunan yang signifikan bagi para investor bursa saham. Peristiwa bom bali berdampak juga bagi kelanjutan proses recovery perekonomian, dikarenakan investasi perdagangan menjadi terhambat. Peristiwa bom Bali merupakan aksi terorisme yang bersifat multinasional yang merujuk pada anggota jaringan internasional, tidak hanya dari Indonesia melainkan keterlibatan anggota jaringan luar negeri di antaranya Malaysia dan Kuawait (Umar Al Faruq), sejumlah media cetak di Jakarta menyebutkan Dr. Azhari Hussin dan Noordin M Top sebagai warga negara Malaysia yang terlibat pada peristiwa bom Bali. Kepolisian mengonfirmasi dugaan tersebut, sedangkan Ali Ghufron alias Muklas (tersangka bom Bali) menyatakan bahwa Wan Min warga negara Malaysia terlibat aksi donatur, hal ini bukti adanya jaringan terorisme berskala internasional di Indonesia. Sepanjang tahun 2002 - 2006 aksi - aksi lain juga terjadi di Indonesia seperti di Pertokoan Atrium Senen Jakarta, peledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta, peledakan bom restoran cepat saji Mc Donald Makassar, peledakan bom di Hotel J W Mariot Jakarta, peledakan bom di Kedutaan Besar Filipina dan di dekat Kedutaan Besar Australia, dan beberapa kejadian peledakan bom di daerah konflik seperti Poso, Aceh dan Maluku yang kesemuanya itu menimbulkan rasa takut dan rasa tidak tentram bagi masyarakat. Akibat aksi pengeboman tersebut menyebabkan runtuhnya bangunan dan sarananya, selain itu juga meyebabkan rendahnya rasa kepercayaan masyarakat internasional pada sektor keamanan di Indonesia. Dengan beberapa kejadian terorisme di Indonesia semua negara memberikan perhatian dan dukungan konkrit terhadap upaya Pemerintah Indonesia dalam menangani terorisme pada tahun 2002 – 2006, serta mengungkap kasus bom di berbagai daerah, melakukan investigasi untuk menangkap para pelaku teror untuk diajukan ke persidangan, dan dengan tertangkapnya para teroris yang melakukan pengeboman maka terungkaplah fakta bahwa adanya hubungan teroris lokal dengan jaringan teroris internasional. Pemerintah Indonesia memfokuskan dalam pemberantasan terorisme mencakup pencegahan, partisipasi publik dan kerjasama internasional. Hal ini karena adanya kesadaran serta keyakinan untuk perang melawan teroris serta bekerjasama menjalin hubungan diplomatik antar negara secara komprehensif baik pendekatan lintas sektoral maupun lintas negara serta di berbagai bidang, dalam rangka perang melawan terorisme. Landasan Teori dan Konsep Konsep Terorisme Secara harfiah kata “teroris” (sebagai pelaku) dan “terorisme” (sebagai aksi) berasal dari bahasa latin yaitu “terrere” yang berarti menggetarkan, sementara kata “terorisme” diartikan sebagai sesuatu yang membuat gemetar atau kengerian. Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi sangat sensitif karena terorisme dapat menyebabkan pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
18
Penanganan Kasus Terorisme di Indonesia (Ema Hajaryah Nur)
Sementara itu terdapat beberapa pengertian mengenai istilah terorisme menurut beberapa ahli dan lembaga internasional, yaitu: a. Menurut Konvensi PBB 1973, Terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang di tunjukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap pihak-pihak tertentu atau kelompok masyarakat secara luas. b. US Central Inteligence Agency (CIA) mendefinisikan terorisme internasional adalah teroris yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing. Hal tersebut juga dikemukakan oleh US Departement of State and Defense yang menyebutkan terorisme sebagai kekerasan yang bermotif politik yang dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional dengan tujuan mempengaruhi audien dan terorisme internasional merupakan terorisme yang melibatkan warga negara lain atau wilayah lebih dari satu negara. c. Convention of the Organisation of Islamic Conference on Combating Internasional Terorism mendefinisikan terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan terror terhadap pihak individu atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harga benda pribadi atau publik , atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional, mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara yang merdeka. Menurut Paul Wilkinsin, pengertian terorisme adalah aksi teror yang sistematis, rapi dan dilakukan oleh organisasi tertentu, dan terorisme politis memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Merupakan intimidasi yang memaksa. b. Pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan tertentu. c. Korban bukan tujuan melaikan sarana untuk menciptakan ketakutan bagi banyak orang. d. Target teror dipilih, bekerja secara rahasia namun tujuannya adalah publisitas. e. Pesan dari teror cukup jelas. f. Pelaku teror dimotivasi oleh idiologi yang keras. Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan, musuh rakyat Indonesia dan musuh dunia, ada dua alasan penting mengapa terorisme menjadi musuh bersama bangsa Indonesia: 1. Demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak merasa aman. Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua merasa lebih aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan bernegara. Kita semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang ingin mengambil rasa aman.
19
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 17-26
2. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk gerakan yang teroorganisasi. Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Teori Sekuritisasi Untuk menunjang objektivitas penelitian, maka penulis menggunakan teori Sekuritisasi oleh Barry Buzan, Oleh Waever, Jaap de Wilde dalam Security: A New Framework for Analysis. Sekuritisasi dapat diartikan sebagai versi ekstrim dari politisasi. Dalam sekuritisasi, aktor melakukan perlusasan cakupan keamanan nasional ke dalam berbagai bidang sehingga semua masalah bisa dilihat sebagai keamanan nasional melalui proses politik. Sebagaimana yang ditekankan penganut Konstruktivisme, keamanan juga dilihat sebagai suatu hal yang dikonstruksikan, bukan merupakan suatu hal yang mutlak adanya. Politisasi isu yang dilakukan aktor menyebabkan isu yang tadinya bukan merupakan isu keamanan berubah menjadi isu yang mengancam dan membutuhkan agenda nasional untuk mengatasinya. Melalui sekuritisasi, terjadi pergeseran isu dari yang mulanya hanya isu politik biasa, menjadi isu yang diasumsikan urgent dan butuh penanganan cepat bahkan tanpa peraturan normal dan aturan-aturan pembuatan keputusan lainnya. Inilah esensi dari sekuritisasi. Ada beberapa konsep dalam sekuritisasi yang menunjukkan bagaimana aktor melakukan sekuritisasi. Konsep-konsep tersebut yaitu aktor sekuritisasi, speech act, existential threat, referent object, dan audience. Sesuai namanya, aktor sekuritisasi adalah pihak yang mengusahakan sekuritisasi. Aktor tersebut akan melakukan usahausaha sosialisasi ide atau yang disebut juga speech act, dengan cara mengampanyekan existential threat, yaitu isu-isu ancaman eksistensial yang diwacanakan. Usaha sekuritisasi ini ditujukan kepada audience, atau pihak pihak yang ingin dipengaruhi oleh aktor untuk mempercayai existential threat, dan akan berpengaruh pada referent object, yaitu pihak yang akan terancam jika isu tersebut tidak disikapi secara serius. Lalu bagaimana mengukur keberhasilan aktor dalam melakukan sekuritiasasi. Dalam hal ini, perlu ditegaskan bahwa sekuritasasi dikatakan sukses hanya jika audience menerima usaha sosialisasi ide yang dilakukan aktor tersebut. Dengan kata lain, audience setuju untuk mengasumsikan isu yang disuarakan aktor sebagai sebuah isu keamanan. Praktek sekuritisasi akan melalui beberapa tahap, mulai dari pemunculan masalah, adanya politisasi, timbul perdebatan, hingga pengambilan aksi oleh negara. Semua tahap ini sangat bergantung pada speech act yang dilakukan aktor. Kemampuan mensosialisasikan ide hingga ide tersebut diterima khalayak bisa dikatakan faktor kunci dalam proses sekuritisasi, karena pada akhirnya pengambilan aksi oleh negara hanya terjadi jika ide tersebut diterima. Sebaliknya, jika speech act actor tidak berhasil, atau dengan kata lain audience tidak menerima existential threat dari actor, maka sekuritisasi tidak akan berhasil. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan mahzhab Copenhagen, sekuritisasi yang berhasil akan memiliki tiga komponen utama: existential threat, emergency action, dan efek pada hubungan antar unit.
20
Penanganan Kasus Terorisme di Indonesia (Ema Hajaryah Nur)
Dalam menganalisis proses sekuritisasi dengan pendekatan speech-act, terdapat tiga jenis unit yang penting untuk dibedakan, antara lain: (1) referent object (objek referensi), (2) securitizing actors (aktor sekuritisasi), dan (3) functional actors (aktor fungsional). Interaksi di antara ketiga aktor ini tidak terjadi secara langsung tetapi pengaruh satu sama lain sangat signifikan dalam menyajikan sebuah analisis yang komprehensif. Ketiga aktor yang disebutkan di atas, terutama referent object dan securitizing actors sangatlah penting untuk dibedakan agar tidak membuat proses analisis menjadi tumpang tindih. Adapun yang dimaksud dengan objek referensi adalah hal-hal yang terancam oleh existential threat serta memiliki klaim yang sah terhadap kelangsungan hidupnya (survival). Metode Penelitian Dalam penelitian ini tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian jenis deskriptif – eksplanatif, dimana peneliti menjelaskan bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam menangani kasus terorisme di Indonesia. Data yang disajikan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui telaah pustaka, bukubuku, jurnal, majalah, tulisan ilmiah, dan akses internet. Adapun teknik analisis datayang digunakan adalah teknik analis data kualitatif. Pembahasan Beberapa kejadian kasus terorisme di sebagian wilayah Indonesia, yang dimana, unsur – unsur dari aksi terorisme mengalami perkembangan seperti motif atau tujuan apa saja yang digunakan, alat apa saja yang digunakan untuk menlancarkan aksi teror, kepentingan apa saja yang akan dilakukan oleh kelompok maupun individu, hingga sebab akibat apa saja yang ditimbulkan dari hasil aksi kejahatan terorisme tersebut. Ada beberapa bentuk dari pemberontakan dan pergerakan terorisme, yaitu Pertama: aksi pemisahan diri yang disebakan hubungan dekat degan penjajah (Belanda) seperti pada peristiwa Pemberontakan Republik Maluku selatan (RSM), Kedua: aksi terorisme yang ingin memisahkan diri dengan idiologi tertentu, seperti kasus PKI dan GAM. Ketiga: gerakan pemberontakan yang disebabkan oleh kesukuan dimana gerakan ini merasa adanya ketidakadilan pemerataan kebijakan antara daerah dan pusat, hal ini merupakan salahsatu yang menyebabkan timbulnya beberapa pristiwa pemberontakan yang menyebabkan adanya aksi terorisme di Indonesia. Di Indonesia terorisme dikaitkan dengan keberadaan kelompok Jamaah Islamiah (JI) yaitu kelompok radikal islam yang dianggap menjadi ancaman serius bagi keamanan di Asia Tenggara terkait dengan identifikasi anggota JI sebagai otak dan pelaku aksi aksi terorisme di Indonesia oleh pihak kepolisian antara tahun 2002 – 2006. Namun dalam memahami akar permasalahan terorisme, kemunculan dari kelompok – kelompok teroris tidak hanya disebabkan oleh satu faktor akan tetapi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Baik melalui pendekatan stuktural maupun individu, faktor – faktor yang muncul beragam, dan kemunculan kelompok teroris ataupun aksi terorisme berasal dari interaksi antara faktor – faktor tersebut. Aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok JI dalam kasus ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor afiliasi dengan Al – Qaeda semata melainkan kondisi domestik juga berpengaruh dalam munculnya aksi terorisme di Indonesia.
21
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 17-26
Struktur geografis Indonesia sangat memberikan peluang bagi teroris, dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan namun Pemerintah Indonesia belum memiliki sistem yang memadai, selain itu kondisi ekonomi dan sosial politik Indonesia belum memungkinkan untuk mengambil tindak pengamanan yang tegas, karena beberapa perairan di sekitar wilayah Indonesia menjadi jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Salah satunya yaitu Kota Batam yang menjadi tempat keluar masuknya barang – barang ilegal seperti barang – barang elektronik, hal ini dikhawatirkan akan menjadi pintu masuknya teroris ke Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia mengupayakan dalam menangani kasus terorisme di Indonesia dengan berbagai cara, baik melalui kebijakan yang bersifat nasional maupun kebijakan yang bersifat kerjasama internasional, secara bilateral maupun multilateral. Kebijakan tersbut antara lain adalah: A. Kebijakan Nasional dalam Penanganan Terorisme 1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu). 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002. Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Bali Tanggal 12 Oktober 2002. 3. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003. Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang – undang. 4. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom bali Pada Tanggal 12 Oktober 2002, menjadi undang – undang. B. Kerjasama Internasional dalam Menangani Aksi Terorisme Dalam perang melawan terorisme diperlukan upaya komprehensif secara lintas instansi dan lintas negara. PBB melalui United Nation Terorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan langkah – langkah penanggulangan secara komprehensif sebagai berikut: Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance), Aspek ekonomi dan sosial (economic and social), Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (pshychology, communication, education), Peradilan dan hukum (judicial and law), Aspek kepolisian dan sistem permasyarakatan (police and prison system), Aspek intelejen (intelligent), Aspek militer (military), Aspek imigrasi (immigration). 1. ASEAN Langkah pertama dimulai dengan kesepakatan yang dikeluarkan melalui KTT ASEAN VII di Brunei Darussalam pada tanggal 7 November 2001, yang menitik beratkan bahwa pentingnya aksi bersama dalam memerangi terorisme serta
22
Penanganan Kasus Terorisme di Indonesia (Ema Hajaryah Nur)
pengutukan terhadap serangan 11 September 2001 yang dianggap melanggar prinsip – prinsip kemanusiaan. ASEAN secara tegas menolak mengaitkan terorisme dengan agama, dan ras tertentu serta membentuk komitmen bersama untuk mengantisipasi serta melakukan aksi perlindungan dari kegitan terorisme atas dasar Piagam PBB, Hukum Internasional yang berlaku serta Resolusi PBB. ASEAN juga melakukan ratifikasi terhadap 12 konvensi yang dikeluarkan PBB sehubungan dengan masalah terorisme serta memasukkan unsur isu terorisme sebagai bagian penting dalam pembahasan tentang transnational crime pada pertemuan Tingkat Menteri di Malaysia dan pembangunan data base bersama untuk kepentingan investigasi, deteksi, monitoring dan pelaporan tentang kegiatan – kegiatan yang berindikasi terorisme telah dilakukan agar terciptanya sebuah jaringan keamana regional untuk secara bersama memerangi terorisme di berbagai macam tingkatan. Selain itu juga ASEAN melakukan kerjasama kepada AS dalam melakukan sharing intellegen dan kebijakan antisipasi tindakan terorisme perta penandatanganan resolusi PBB nomor 1373 dan 1377 tentang ajakan aksi untuk memerangi terorisme, serta resolusi PBB nomor 1390 tentang pembekuan asset terorisme dan pencegahan perluasan aksi terorisme lintas batas negara. Masalah terorisme yang terjadi di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara sebenarnya bukan acaman yang besar karena kelompok – kelompok yang dikatakan memiliki jaringan terorisme internasional masih bisa dikendalikan, serta seharusnya masalah terorisme tidak boleh dikaitkan dengan agama atau ras tertentu karena pada dasarnya adanya gerakan terorisme merupakan hasil dari ketidakpuasan kelompok – kelompok kecil yang merasa dirugikan baik dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu perlunya kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan agar dihapkan aksi teorisme yang terjadi di Indonesia dan seluruh dunia dapat terselesaikan. 2. AUSTRALIA Kerjasama keamanan antara Indonesia dengan Australia khususnya dalam bidang terorisme sudah berjalan cukup lama, yaitu pasca terjadinya 11 September 2001 di Amerika Serikat, dimana antara pemerintah Indonesia dengan Australia telah melakukan kerjasama anti terorisme yang dituangkan dalam perjanjian Memorendum on Understanding of Counter Terorism. Perjanjian ini terus berjalan sampai pada terjadinya bom Bali pada 12 Oktober 2002, kerjasama Indonesia dengan Australia tidak sebatas antar POLRI dan Astralia Federal Police (AFP), tetapi juga pada tingkatan menteri yaitu, kedua negara berhasil menyelenggarakan Pertemuan tingakat menteri Indonesia – Australia (AIMF) ke-VI Australia – Indonesia Development Area (AIDA) ke-IV pada tanggal 11 Maret 2003 di Jakarta. Salah satu tujuan pertemuan adalah membahas antiteror yang menjadi agenda penting dalam pertemuan RI dan Australia, termasuk cara – cara untuk meningkatkan upaya bilateral guna memerangi terorisme yang melibatkan sejumlah kementrian.
23
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 17-26
Pertemuan itu telah menghasilkan suatu kerjasama yang disebut Joint Ministerial Statement On Counter Terorism. Dalam kerjasama tersebut menghasilkan kesepakatan yang diantaranya memuat: 1. Pengakuan para menteri Australia atas keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI, termasuk atas Papua dan Aceh, dan penetapan program otonomi daerah/ khusus bagi provinsi tersebut sebagai jalan keluar dari konflik. 2. Pernyataan kesediaan pemerintah Australia untuk merancang suatu code of conduct bagi NGO Australia yang beroprasi di Indonesia untuk tidak menggunakan dana pemerintah Australia untuk kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan gerakan – gerakan separatisme, buruh, dan kegiatan – kegiatan lain yang bertentangan dengan kepentingan nasional Australia. Selain itu pemerintah Australia memberikan dana sebesar 10 juta dolar Australia dalam bentuk hibah, yang bertujuan untuk: 1. Peningkatan Kapasitas Kepolisian Indonesia untuk memerangi terorisme dan kejahatan tras – nasional. 2. Meningkatkan keamanan perjalanan dan pengawasan perbatasan melalui kerjasama dibidang transportasi, imigrasi. 3. Dengan bantuan negara – negara lain, memperkuat sektor keuangan Indonesia dan mengembangkan langkah – langkah untuk membatasi aliran dana bagi para teroris. Kesepakatan tersebut menitik beratkan pada penegasan kembali kerjasama Indonesia – Australia dalam mencegah dan memerangi segala bentuk terorisme. Kerjasama antara kedua negara tersebut juga melibatkan negara – negara di kawasan melalui Bali Regional Ministerial Meeting on Counter Terorism yang dilaksanakan pada tanggal 4-5 Febuari 2004 bersama AFP dan di ikuti perwakilan negara – negar lainnya, seperti Jerman, Inggris, Rusia, AS, Kanada, Jepang, Cina, Prancis, Slandia Baru, Korsel, India, Vietnam, Brunei Darussalam, Fhilipina, Singapura, Thailand, Malaysia, Kamboja, Laos, Myanmar, Papua Nugini dan Timor Leste. Pertemuan antar menteri tersebut menghasilkan CO-Chairs’ Statement dengan rekomendasi dan mekanisme tindak lanjut, yaitu rekomendasi terdiri dari antara lain: 1. Memperkuat kerangka kerja hukum 2. Kerjasama diantara badan penegak hukum 3. Memperkuat kapasitas sistem keamanan 4. Pentaatan terhadap ke-12 Konvensi PBB yang berkaitan dengan penanggulangan terorisme 5. Upaya bersama untuk menghentikan keuangan para teroris 6. Mengambil langkah – langkah yang berkaitan dengan pengamanan di perbatasan 7. Menggalakkan upaya menanggulangi terorisme di udara dan di laut. 8. Mendukung keterlibatan masyarakat bisnis dalam memerangi terorisme. Dalam teori sekuritisasi, terorisme merupakan suatu isu yang dianggap penting untuk ditangani secara serius. Peristiwa terorisme yang di Indonesia sepanjang tahun 2002 – 2006, membuat pemerintah dalam hal ini sebagai aktor dari sekuritisasi untuk membuat suatu kebijakan terhadap terorisme dalam bentuk UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak pidana Terorisme serta adanya kerja sama Internasional dalam menangani kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, Presiden sebagai Kepala Negara
24
Penanganan Kasus Terorisme di Indonesia (Ema Hajaryah Nur)
melakukan speech act yaitu dengan melalui konfrensi pers tentang adanya serangan terorisme di Indonesia dan penangannya terhadap kasus terorisme yang dibantu oleh media massa baik melalui media cetak maupun elektronik. Kebijakan tersebut dimaksudkan agar warga negara sebagai referent object mengetahui bahwa adanya serangan terorisme di Indonesia serta adanya upaya Pemerintah Indonesia terhadap terorisme di Indonesia untuk menjaga keamanan dari aksi teroris tersebut, Pemerintah menunjuk TNI, Densus 88 (Polri), dan Badan Intelegent Negara sebagai functional actor berupaya dalam memerangi teroris yang merupakan existential threat sebagai pelaku dari aksi terorisme di indonesia. Kesimpulan Aksi terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan kejadian yang tidak dapat dilupakan bangsa Indonesia, dan mengingatkan kita bahwa betapa pentingnya keamanan dan perlindungan terhadap setiap orang atau masyarakat dari kejahatan terorisme. Dengan dilandaskan oleh Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 atas melindungi seluruh tumpah darah Indonesia maka pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan PERPU (Peraturan Perundang-undangan) tentang anti – terorisme pada pertengahan tahun 2002 dan dinaikan statusnya menjadi Undang –Undang Anti Teorisme pada tahun 2003 dan dengan adanya kerjasama internasional kepada negara – negara anggota ASEAN dan Australia bertujuan untuk menjaga kestabilitasan keamanan dikawasan ASEAN maupun daerah teritori Australia. Undang – undang anti terorisme harus dilaksanakan secara komprehensif dan memandang hak – hak sipil, serta memandang Hak Asasi Manusia agar dalam aplikasinya bisa dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan kebijakan anti terorisme harus dibarengi juga dengan pembenahan sistem keamanan baik di dalam lingkup Pemerintahan, agar instansi – instansi dan lembaga – lembaga yang terkait di dalam penanganan terorisme tersebut bisa bekerja secara profesional dan proporsional sesuai dengan komando yang ada. Upaya Pemerintah dalam menangani kasus terorisme di Indonesia pada tahun 2002 – 2006, yaitu dengan membuat suatu kebijakan yang diimplementasikan dalam bentuk tugas atau perintah yang dilaksanakan oleh pasukan khusus anti teror, selain itu juga Pemerintah mengatur RUU anti teror berdasarkan PERPU, mengadakan pendidikan dan pelatihan khusus kepada pasukan anti teror, pembaharuan sistem kependudukan yaitu melalui sistem online, pengawasan masalah imigrasi, pengamanan airport, pengamanan paspor, dan mengupayakan adanya pengadaan alat – alat untuk menunjang anti teror yang lebih canggih lagi. Pemerintah Indonesia juga berupaya menjaga wilayahnya dengan memperkuat sistem keamanan di setiap perbatasan – perbatasan antar negara dengan memperkuat dan menambah armada laut, darat dan udara disetiap perbatasan antar negara. Serta Pemerintah Indonesia memperhatikan pasokan barang dan aliran dana yang akan digunakan oleh para teroris, hal tersebut dilakukan agar supaya mempersempit langkah – langkah dan mempersempit ruang gerak para teroris yang akan ingin mencoba untuk melakukan aksinya di wilayah Indonesia.
25
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 17-26
Daftar Pustaka Abusman, Muhnyidin. Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi. Spectrum. Jakarta: 2006. Atmasasmita, Romli. Penanganan Kasus Terorisme di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003. Jakarta 28 Juni 2004. Atmasasmita, Romli. Penegakan Hukum Pidana Internasional. PT Rafika Aditama. Bandung. 2000. Badan pengkajian dan pengembangan kebijakan maslah luar negeri departemen luar negeri republik indonesia 2003. Penanganan terorisme internasional dan perubhan corak politik luar negeri Amerika Serikat. Jakarta. Buzan Barry, Ole Waever, Jaap de Wilde. 1998. Security: A New Framework for Analysis. London: Lynne Rienner. Indonesia, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Republiuk, Undang – Undang Nomor 15 tahun 2003. Muladi. 2004. Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus.Jakarta Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum: PT Redika Aditama. Yudhoyono, Susilo Bambang. 2002. Selamatkan Negeri Kita dari Terorisme. Kementrian Koordinator POLKAM. Media Internet: http://id.wikidedia.org/wiki/Indonesia. diakses pada tanggal 7 April 2014 http://www.dcaf.ch/oversight/proj_timor20. pdf Lihat Opini Prasetya pudji W; Pembentukan Desk Anti Teror Kepedulian Terhadap negatr. http://www.TNI.mil.id, diakses pada tanggal 09 Desember 2013. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2008, www.legalitas.org. diakses pada tanggal 19 april 20013 Suara Merdeka, Vonis Mati Ajukan Jempol. www.suaramerdeka.com. Di akses pada tanggal 7 April 2014 Tb Ronny Rahman Nitibaskara, State Terorism. Kompas Cyber Media, www.kompas.com, diakses pada tanggal 23 maret 2013. http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/07/19/m7ef2u-kisah-bom-diindonesia-ii-simbol-kapitalis-asing, diakses pada tanggal 19 april 2014.
26